Pendekar Panji Sakti 23

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 23


anakah posisi mereka sekarang" Kuil Sang-cing-koan di bukit
Lau-san berada dimana" Kedua orang itu tidak mengerti.
Sekarang mereka hanya berharap bisa bertemu seseorang untuk ditanyai arah yang benar.
Maka dengan langkah lebar mereka pun berjalan
meninggalkan tempat itu, namun sudah sekian lama berjalan, belum juga dijumpai seorang manusia pun.
Gi Beng sudah mulai merasakan matanya berkunang, kakinya lemas tidak bertenaga, kini dia betul-betul merasa sangat kecewa.
Saat itulah mendadak terdengar suara bentakan nyaring berkumandang dari balik bukit di depan sana, terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah:
"Sudah lama aku mencarimu dan kau pun tahu akan hal ini, buat apa masih berlagak pilon?"
Terdengar seorang yang lain menyahut sambil tertawa:
"Cayhe sungguh tidak habis mengerti, ada urusan apa Cianpwe mencari aku?"
Walaupun Gi Beng dan Gi Teng tidak dapat mengenali suara siapa orang yang menjawab belakangan, tapi mereka segera mengenali suara bentakan yang pertama tadi berasal dari Che Toa-ho.
Tidak terlukiskan rasa girang dua bersaudara ini, tanpa ragu lagi cepat mereka berlari menghampiri sumber suara itu.
Terdengar Che Toa-ho kembali membentak gusar:
"Biar kau tidak tahu pun, hari ini aku tetap akan berusaha melenyapkan kau si bangsat cabul dari muka bumi, akan kulihat apakah kau masih berani merusak pagar ayu orang lain lagi."
Menyusul suara bentakan nyaring, terdengarlah suara bentrokan senjata yang sangat ramai.
Dengan perasaan girang Gi Beng serta Gi Teng mempercepat langkah kakinya, tidak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah hutan, dari kejauhan sudah terdengar deru angin serangan yang memekakkan telinga
Begitu asyiknya pertarungan itu berlangsung, hingga dua bersaudara Gi tiba di sisi arena pun Che Toa-ho masih belum menyadarinya.
Dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang ganas dan telengas, setiap serangan yang dilancarkan saat itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus-jurus mematikan, seolah dia mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan lawannya hingga ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh.
Musuh yang sedang dihadapi adalah seorang pemuda berbaju
perlente, seorang pemuda yang tidak dikenal Gi Beng maupun Gi Teng.
Walaupun kungfu yang dimiliki pemuda itu cukup tangguh, nampak jelas dia masih bukan tandingan salah satu jago pedang pelangi itu, permainan pedangnya makin lama semakin kacau dan tercecar hebat, kini dia hanya mampu bertahan Dua bersaudara Gi merasa kurang leluasa untuk turut campur dalam pertarungan itu, mereka pun tidak berusaha mencegah, karenanya hanya berdiri menonton di sisi arena.
Kelihatannya kedua orang yang sedang bertarung itu sama sekali tidak sadar akan kehadiran pihak ketiga, mereka masih terlibat dalam pertarungan yang amat seru.
Khususnya Che Toa-ho, semakin bertarung dia semakin naik pitam, bukan cuma rambutnya berdiri bagai landak, sepasang matanya ikut berubah merah padam.
Sudah cukup lama Gi Beng dan Gi Teng kenal jagoan ini, mereka pun seringkah menyaksi-kan dia bertarung melawan orang lain, namun selama ini belum pernah menyaksikan dia menyerang dengan begitu buas, kejam dan telengas seperti hari ini.
Kini dia sudah mengembangkan ilmu pedangnya hingga mencapai puncaknya, setiap serangan yang dilancarkan ibarat pelangi yang membelah angkasa, membuat daun dan ranting berguguran, hawa pedang menyelimuti seluruh angkasa, pemandangan saat itu betul-betul membetot sukma dan menggetarkan hati.
Mendadak Che Toa-ho membentak nyaring, di tengah getaran cahaya pedang, satu tusukan kilat dilontarkan ke muka.
Tidak sempat menghindarkan diri, bahu pemuda itu segera tersambar hingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam.
Sambil menjerit kesakitan, kontan pemuda itu mengumpat:
"Che Toa-ho, apa maksudmu menghalangi perjalananku dan memaksa aku bertarung melawanmu" Kalau beraninya hanya menganiaya kaum muda, terhitung Enghiong macam apa dirimu itu?"
"Jika hari ini aku tidak mampu melenyapkan bajingan cabul macam kau, nama besarku sebagai jago pedang berkopiah kuning baru terhitung hancur di tangan binatang macam dirimu," balas CheToa-ho penuh amarah.
Sementara berbicara, secepat kilat dia melancarkan kembali
tujuh tusukan maut.
Kembali muncul beberapa luka dalam di dada kiri pemuda itu, darah segar segera bercucuran membasahi tubuhnya, darah yang membentuk kuntum bunga merah di atas jubah suteranya yang halus.
Dengan rasa takut bercampur ngeri, pemuda itu berteriak keras:
"Suhu! Susiok! Cepat kemari, tolong aku... ! Che Toa-ho kumat edannya, dia ingin membunuhku...."
"Ayo, berteriaklah!" jengek CheToa-ho sambil tertawa seram,
"teriak lagi yang keras.... Hmmm, biar kau berteriak sampai serak pun jangan harap Hek Seng-thian serta Suto Siau datang menolongmu."
Sekarang Gi Teng serta Gi Beng baru tahu kalau pemuda perlente itu ternyata adalah murid Hek Seng-thian serta Suto Siau, mereka saling bertukar pandang sekejap sambil berpikir,
"Bukankah Sim Sin-pek satu aliran dengan Hek Seng-thian maupun Suto Siau" Kenapa Che Toa-ho begitu membenci pemuda itu seakan punya dendam kesumat sedalam lautan dan bersikeras ingin menghabisi nyawanya?"
Baru saja ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring:
"Tahan!"
Tiga sosok bayangan manusia menyusup masuk ke dalam hutan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, di antara cahaya pedang yang berkilauan:
"Traangg!", tahu-tahu serangan pedang Che Toa-ho sudah ditangkis.
"Laute, kau sudah edan?" terdengar seseorang membentak keras.
Suaranya berat dan dalam, dia tidak lain adalah si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau.
Dua orang yang lain menerjang pula ke dalam arena, yang seorang dengan senyum di kulum melindungi tubuh pemuda itu, sementara seorang yang lain, berperawakan kecil mungil, memegangi lengan CheToa-ho dengan wajah gelisah.
Orang yang tersenyum tidak lain adalah Suto Siau, sementara yang bertubuh kecil mungil adalah Sun Siau-kiau.
Tidak terlukiskan rasa gusar Che Toa-ho, saking marahnya, paras muka lelaki ini berubah jadi merah padam seperti kepiting rebus, jeritnya:
"Siau-kiau, cepat lepas tanganmu! Toako, kau tidak usah mencampuri urusan ini, apapun yang terjadi, hari ini aku harus menjagal si cabul busuk ini, dia binatang busuk!"
"Saudara Che, tolong redakan amarahmu," kata Suto Siau pula sambil tersenyum, "jika Sim Sin-pek memang berbuat salah atau kurang sopan, katakan saja terus terang, biar Siaute yang mengganjar hukuman berat kepadanya, buat apa saudara Che mesti bersusah payah ingin men-cabut nyawanya?"
Melihat orang itu berbicara sambil tersenyum, Che Toa-ho jadi semakin mendongkol, saking jengkelnya dia sampai tidak mampu berkata.
Dalam pada itu Suto Siau sudah berpaling ke arah pemuda itu sambil membentak:
"Kenapa kau menyalahi paman Che" Ayo, cepat mengaku terus terang."
Pemuda itu tidak lain adalah Sim Sin-pek, begitu melihat bala bantuan sudah tiba, kontan nyalinya bertambah besar, setelah memutar biji matanya, dengan lagak seperti orang kena fitnah dia berkata:
"Kapan murid pernah berbuat salah kepada paman Che"
Justru pamanlah yang berulang kali mengumpatku sebagai bajingan cabul, padahal murid sendiri juga tidak jelas kenapa bisa dituduh begitu?"
Dalam pada itu Seng Cun-hau telah menegur pula dengan suara dalam:
"Laute, sebenarnya apa yang terjadi" Katakan saja."
Che Toa-ho sama sekali tidak menjawab, hanya tubuhnya kelihatan gemetar keras, dia tak sanggup mengemukakan alasannya.
Tiba-tiba Suto Siau menarik wajahnya, sambil tertawa dingin ujarnya:
"Sim Sin-pek masih muda, dia masih cukup lama hidup mengembara dalam dunia persilatan, masih mending kalau hari ini dia terbunuh di tangan saudara Che, tapi tuduhan sebagai
'bajingan cabul', satu tuduhan yang berat dan susah dipikul siapa pun. Cun-hau, kau sebagai ketua tujuh pedang pelangi mesti menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya, jika saudara Che tidak menerangkan sejelasnya, aku akan minta pertanggungjawabanmu."
Baru pertama kali ini dua bersaudara Gi bertemu dengan Suto Siau, menyaksikan sikap maupun caranya bertindak, mereka
berdua serentak berteriak dalam hati:
"Sungguh lihai manusia ini."
Benar saja, Seng Cun-hau betul-betul dipojokkan oleh ucapan itu, dia dipaksa tidak mampu berbicara, sesudah berdehem berulang kali, akhirnya dia berpaling ke arah Che Toa-ho dan bisiknya tergagap:
"Laute, kau...."
Belum selesai dia berbicara, dengan suara keras Che Toa-ho sudah berteriak lebih dulu:
"Baik! Akan kukatakan terus terang, Suto Siau, dengarkan baik-baik, murid bajinganmu yang tidak tahu malu itu berani berbuat tidak senonoh terhadap biniku, coba katakan, pantas tidak kalau dia dijagai?"
Seketika itu juga Seng Cun-hau serta Suto Siau berdiri tertegun.
Sekarang Gi Beng dan Gi Teng baru mengerti kejadian sebenarnya.
"Ohh, ternyata urusan beginian, tidak heran sulit bagi Che Toa-ho untuk buka suara."
Sebetulnya Sun Siau-kiau hanya berdiri bengong di situ, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu.
"Sin-pek, benarkah ada kejadian seperti ini?" bentak Suto Siau keras.
Sim Sin-pek memutar biji matanya berulang kali, kemudian sahutnya dengan kepala tertunduk:
"Mana mungkin ada kejadian seperti ini" Sekalipun murid berniat menggaet Che-hujin, tapi Che-hujin kan seorang wanita suci dan berhati bersih, mana mungkin dia mau berbuat tidak senonoh dengan murid?"
"Kentut! Kau binatang jahanam masih ingin mengelak...."
bentak Che Toa-ho penuh amarah.
Belum selesai dia bicara, pipinya sudah ditampar Sun Siau-kiau keras-keras, dia terkejut bercampur gusar, tapi belum sempat berbuat sesuatu, Sun Siau-kiau sudah berguling di tanah sambil menangis keras.
Sembari menarik pakaian yang dikenakan dan memukul dada sendiri, perempuan itu menjerit sambil menangis:
"Aku tidak mau hidup... aku tidak mau hidup... bunuhlah aku... bunuh saja aku! Kalau tidak berani membunuhku, kau memang kura-kura kepala busuk, binatang goblok...."
Biarpun pada hari biasa Che Toa-ho terhitung seorang
Enghiong, namun begitu bininya mulai sewot dan menangis, sama seperti pria kebanyakan, kontan dia jadi kelabakan dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Dalam waktu singkat tubuhnya sudah termakan tiga bogem mentah ditambah lima tendangan Sun Siau-kiau, begitu keras gebukan itu membuat mukanya semakin merah padam.
"Ayo, bangun!" teriaknya sambil menghentakkan kaki berulang kali, "cepat bangun, ada urusan kita bicarakan baik-baik."
Sambil memukul dan menangis, Sun Siau-kiau mengumpat tiada hentinya:
"Apalagi yang bisa dibicarakan, orang lain mengatakan binimu suci bersih sebaliknya kau justru menuduh binimu main serong dan melakukan hal yang tidak senonoh, huuuh... orang lain begitu percaya kepada binimu, sebaliknya kau malah tidak percaya... teman-teman semua, coba lihat, mana ada manusia di kolong langit yang ngotot mengenakan topi hijau untuk diri sendiri?"
Seng Cun-hau berdiri tersipu-sipu, dia merasa serba salah, mau menarik salah, mau mencegah pun rikuh, untuk sesaat dia malah berdiri kebingungan.
Suto Siau hanya menggendong tangan sambil memandang langit, tiada hentinya dia tertawa dingin, sementara Sim Sin-pek diam-diam melengos ke arah lain, seolah tidak tahan geli dan ingin tertawa terbahak-bahak.
Mendadak Sun Siau-kiau melompat bangun, sambil merobek pakaian yang dikenakan Che Toa-ho, makinya:
"Baik, kau menuduh aku telah menjadikan dirimu seekor kura-kura dungu, kenapa tidak kau bunuh saja diriku" Ayo, cepat turun tangan... kalau memang bernyali, cepat bunuh aku...."
Paras muka Che Toa-ho merah padam bagaikan kepiting rebus, pakaian yang dikenakan robek hingga compang-camping karena ditarik bininya, dia berusaha mendorong istrinya, namun tidak berhasil, mau menghindar juga gagal, terpaksa jeritnya:
"Seng-toako, cepat tarik dia!" Seng Cun-hau menghentakkan kakinya berulang kali, serunya:
"Aaaai! Dasar pikun, mana mungkin aku bisa menariknya?"
Untunglah Gi Beng tidak tahan menyaksikan adegan itu, cepat dia melompat ke muka merangkul pinggang Sun Siau-kiau, lalu sambil menepuk bahunya, dia berseru:
"Ensoku yang baik, ayo, sudahlah, beristirahatlah dulu!"
Sambil membalikkan tubuh, Sun Siau-kiau siap menggebuk, tapi begitu tahu orang yang merangkulnya adalah Gi Beng, dia pun mengurungkan niatnya, sambil memeluk tengkuk gadis itu, dia menangis tersedu-sedu.
"Adikku," teriaknya, "untung kau yang datang, tahukah kau, Ensomu sudah dituduh yang bukan-bukan... oooh, Thian... oooh, Thian... mau ditaruh kemana mukaku selanjutnya?"
"Ya, Che-toako memang sudah salah bicara, tidak seharusnya dia menuduh yang bukan-bukan," sahut Gi Beng tergagap.
Mendengar perkataan itu, isak tangis Sun Siau-kiau malah semakin menjadi, katanya dengan sedih:
"Adikku, ternyata hanya kau yang memahami jiwaku.... He, manusia she Che, sudah kau dengar perkataan adik keluarga Gi ini" Dasar lelaki tidak punya liangsim, lelaki dungu, kau memang binatang goblok!"
Melihat kehadiran Gi Beng, diam-diam Che Toa-ho
menghembuskan napas lega, sementara itu dia sudah menyingkir jauh dari arena.
Saat itulah Gi Beng mengedipkan mata ke arahnya sambil berkata:
"Che toako, kau telah sembarangan menuduh Enso, cepat kemari, minta maaf kepadanya."
Sejujurnya Che Toa-ho ingin sekali maju mendekat dan minta maaf, tapi begitu sorot matanya bertemu pandangan Sim Sin-pek yang nampak berdiri sambil menyengir, kontan dia menghentikan kembali langkahnya.
Tiba-tiba Suto Siau berdehem berulang kali, kemudian katanya:
"Kalau toh persoalan ini hanya timbul karena kesalah pahaman, baiklah, kita sudahi sampai di sini saja. Cun-hau, temani rekan-rekanmu berbincang, aku dan Sin-pek akan jalan lebih dulu."
Padahal dia sendiri pun tahu dengan pasti kalau, Sim Sin-pek memang telah berbuat tidak senonoh dengan Sun Siau-kiau, karena itu kalau bukan kabur sekarang juga, dia mau menunggu sampai kapan"
Maka setelah memberi kode kepada Sim Sin-pek, buru-buru dia berlalu dari situ.
Saat itulah Che Toa-ho baru berjalan mendekat dan menjura berulang kali sambil minta maaf, dia mesti berusaha mati-matian
sebelum akhirnya Sun Siau-kiau menghentikan isak tangisnya.
Sambil menampar wajah lelaki itu, kembali Sun Siau-kiau berseru:
"Di kemudian hari apakah kau masih berani menuduh aku berbuat tidak senonoh?"
"Tidak berani, tidak berani," sahut Che Toa-ho dengan kepala tertunduk lesu.
Melihat tampang suaminya, Sun Siau-kiau pun tertawa cekikikan.
"Dasar kura-kura tolol, memandang wajah adik Gi Beng, kuampuni kesalahanmu kali ini."
Seng Cun-hau yang menyaksikan dari samping hanya bisa menggelengkan kepala berulang kali sambil menghela napas, dia benar-benar tidak tega menonton lebih lanjut, cepat dia berpaling ke arah lain dan menatap wajah Gi Teng.
Cepat Gi Teng maju ke depan sambil menjura, katanya:
"Siaute memang sedang mencari Toako, sayang selama ini tidak kuketahui dimana letak kuil Sang-cing-koan, untunglah kita bersua tanpa sengaja di sini...."
"Kedatangan kalian pun sungguh kebetulan," Seng Cun-hau menghela napas panjang, "kalau tidak, sekalipun berhasil menemukan letak kuil Sang-cing-koan, belum tentu bisa bertemu kami, karena kami sudah meninggalkan tempat itu sejak awal."
"Meninggalkan tempat itu?" tanya Gi Teng keheranan, "mau pergi kemana kalian?"
"Tempat tinggal kami saat ini boleh dibilang selalu berpindah-pindah, terkadang dalam sehari kami bisa tiga kali berpindah tempat. Masih untung tidak banyak perbekalan yang kami bawa, jadi begitu dia mengajak pergi... aaaai, kami pun segera berangkat."
Gi Teng semakin keheranan, tak tahan tanyanya:
"Kenapa begitu?"
Seng Cun-hau mendongakkan kepala menghela napas
panjang, sampai lama sekali dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Sun Siau-kiau segera menimbrung:
"Lui-pian Lojin betul-betul seorang manusia yang susah dilayani, dia kuatir ada orang lain mengintip rahasianya, maka seringkah dia berpindah tempat tinggal, bahkan saban hari memaksa kami melakukan patroli di sekitar tempat tinggalnya, terkadang sewaktu kami balik lagi ke tempat semula, dia sudah
angkat kaki dan berpindah ke tempat lain."
Sekalipun wajahnya masih dibasahi air mata, namun begitu bercerita, dia pun berbicara panjang lebar dengan santainya.
Kontan Gi Teng berkerut kening, ujarnya:
"Aaaai, tidak nyana manusia ternama dan terhormat macam Lui-pian Lojin pun selalu berpindah tempat macam setan gentayangan... dengan watak anehnya itu, mana mungkin kalian bisa sabar menghadapinya?"
"Biar tidak tahan pun apa boleh buat, ibu Seng-toako...."
Mendadak perempuan itu melirik Seng Cun-hau sekejap, akhirnya dia pun urung melanjutkan perkataannya.
Rasa sedih yang luar biasa seketika menyelimuti wajah Seng Cun-hau, dia mendongakkan kepala memandang angkasa sambil menghela napas panjang, melihat itu Gi Teng pun tidak banyak bicara, dia hanya tertunduk dengan sedih.
Tiba-tiba Gi Beng bertanya:
"Jika kita balik ke sana dan ternyata dia sudah berpindah tempat lagi, dengan cara apa kita menemukan jejaknya?"
"Itu bukan masalah besar," jawab Sun Siau-kiau tertawa,
"bukankah Suto Siau punya kode rahasia untuk saling berhubungan" Ketika mencari jejaknya, kami pun memanfaatkan kode rahasia itu untuk saling berhubungan dan menjalin kontak, itulah sebab-nya kemana pun mereka pergi, kami pasti berhasil menemukan kembali, adikku, mari, biar kuajak kau menengok keadaan yang sebenarnya."
Tanpa membuang waktu dia segera menarik tangan Gi Beng dan diajak pergi dari situ
Terpaksa Seng Cun-hau sekalian mengikutnya di belakang.
Kini Che Toa-ho baru tahu, rupanya rombongan itu bisa menemukan jejaknya karena sudah mengikuti tanda rahasia yang secara diam-diam ditinggalkan Sim Sin-pek, dengan termangu diawasinya bayangan punggung Sun Siau-kiau yang menjauh, untuk sesaat dia tidak bisa mengatakan bagaimana perasaan hatinya kini....
Sejak itu persekutuan lima keluarga besar dari Suto Siau dengan tujuh pedang pelangi pun sudah tertanam sebutir bibit ketidak beruntungan yang membawa firasat buruk.
BAB 35 Cinta Kasih Sejati
Un Tay-tay menyingkap rerumputan, dari balik rumput yang lebat dilihatnya ada lima butir biji catur berwarna hitam, empat ditumpuk jadi satu pada posisi belakang dengan sebiji catur paling depan, arah yang ditunjuk adalah timur.
Rupanya itulah tanda rahasia yang ditinggalkan Suto Siau sekalian untuk menunjukkan arah, dulu Un Tay-tay cukup lama bergaul dengan Suto Siau, bahkan hubungan mereka terhitung cukup akrab, tidak heran perempuan ini sangat menguasai kode rahasia itu.
Sejak tadi sebetulnya dia sudah melihat tanda rahasia itu, hanya saja karena waktu itu pikirannya sedang dilanda kesedihan dan kekalutan sehingga tidak terlalu memperhatikan.
Tapi sekarang dia sudah mengambil keputusan, apapun yang bakal terjadi, dia harus menemukan jejak Lui-pian Lojin serta Suto Siau sekalian.
Lama dia mengawasi kode rahasia itu, akhirnya dia ambil biji catur yang terakhir dan menggesernya dari depan menuju ke belakang, dia telah memindahkan dari arah ke timur menjadi arah barat.
Kemudian sambil bertepuk tangan dia bergerak menuju ke timur, membayangkan bagaimana Suto Siau sekalian bakal dibuat bingung oleh arah yang salah, tanpa terasa sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Sepanjang perjalanan kembali dia jumpai empat lima buah tanda rahasia, serta merta dia memutar balik arah yang dituju, dengan harapan Suto Siau sekalian semakin kabur dari arah yang sebenarnya.
Akhirnya tibalah dia di sebuah lembah bukit yang amat gersang, walaupun di depan sana terlihat ada jalan setapak, namun kiri kanannya merupakan tebing setinggi beberapa ratus kaki yang tegak lurus dan curam. Sementara arah yang dituju adalah ke sisi kanan.
Un Tay-tay tertegun, dia mencoba mendongakkan kepala, terlihat dinding tebing itu sangat tinggi hingga menjulang ke angkasa, sekalipun sepanjang dinding terlihat ada rotan yang
bisa dipakai untuk merambat, namun ditinjau dari medan yang begitu sulit, rasanya seekor monyet pun tidak mudah untuk melewati tempat itu.
Dia semakin tercengang bercampur kaget, pikirnya:
"Jangan-jangan ada orang yang datang lebih awal dari aku dan mengacau arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu?"
Namun dia tahu kode rahasia itu hanya diketahui Suto Siau sekalian yang berjumlah beberapa gelintir, mustahil orang lain mengetahui rahasia itu, tapi kenapa mereka bisa mengacau arah yang ditinggalkan"
Un Tay-tay memeras otak berusaha memecahkan persoalan ini, namun sampai lama kemudian dia masih belum berhasil memecahkannya.
Dengan termangu dia berdiri mematung di situ, angin berhembus kencang mengibarkan ujung bajunya....
Waktu itu dia berdiri menghadap ke arah dinding tebing, lalu darimana munculnya hembusan angin itu" Mungkinkah angin itu berhembus dari balik dinding"
Penemuan tidak terduga ini seketika menggerakkan akalnya, cepat dia berjalan menghampiri dinding tebing dimana angin itu berasal, biarpun dalam keadaan tergopoh, dia tidak lupa mengubah arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu, kali ini dia mengubahnya ke arah jurang.
Benar saja, di antara dinding tebing yang licin terdapat beberapa buah celah, sekalipun celah itu tersembunyi di balik tumbuhan rotan yang cukup lebat, akan tetapi setelah dicari Un Tay-tay secara seksama, akhirnya celah itu berhasil juga ditemukan.
Dalam keadaan seperti ini dia benar-benar sudah melupakan semua rasa takut dan ngeri, sekalipun di balik celah adalah sarang naga atau gua harimau, dia tidak ambil peduli, begitu berhasil menyingkirkan rotan yang menutupi seputar celah, perempuan ini langsung menerobos masuk ke dalam.
Di balik celah merupakan sebuah lorong yang sempit dan gelap, ditinjau dari rerumputan yang tumbuh di seputar sana, jelas terlihat tanda-tanda bekas diinjak manusia, untung Un Tay-tay sangat teliti dan seksama, sebab kalau tidak diperiksa secara khusus, pertanda itu memang sulit ditemukan.
Dengan susah payah dia menerobos lorong sempit itu sejauh puluhan kaki sebelum akhirnya tiba di sebuah tempat yang jauh lebih luas dan terang.
Tempat itu merupakan sebuah lembah yang sangat luas, sinar matahari menyinari seluruh jagad, angin pun terasa berhembus sepoi menggoyangkan tumbuhan dan rerumputan.
Mimpipun Un Tay-tay tidak menyangka di balik celah yang sempit ternyata terdapat tanah lembah yang begitu luas dan lebar.
Untuk sesaat dia seakan terpukau menyaksikan keindahan alam yang sangat cantik dan luas ini, sampai lama sekali dia berdiri termangu, tertegun, tanpa bergerak sedikitpun.
Di tengah padang rumput yang sangat luas terlihat rerumputan tumbuh setinggi manusia, ketika berjalan di antara rumput nan hijau itu, Un Tay-tay merasa dirinya seolah terombang-ambing di tengah gelombang samudra yang luas, membuat pening kepalanya, membuat kabur pandangan matanya.
Dia sama sekali tidak dapat melihat pemandangan di sekeliling sana, dia pun tidak bisa menentukan arah mata angin, kalau semula dia menyangka begitu memasuki celah tebing, maka Lui-pian Lojin segera akan ditemukan, kini dia sadar bahwa pendapatnya itu keliru besar.
Mencari seorang di tengah padang rumput yang begitu luas, ibarat mencari sebatang jarum di tengah samudra, bukan saja teramat sulit, bahkan boleh dibilang mustahil.
Untuk berteriak atau menjerit pun dia tidak berani, karena dia merasa ngeri untuk berteriak di tengah padang rumput tanpa tepian ini.
Mungkinkah ada ular beracun atau hewan buas yang mengintai dari balik rerumputan" Mungkinkah ada musuh tangguh yang sedang mengawasinya" Un Tay-tay sama sekali tidak mau memikirkannya, dia berjalan terus menerobos rerumputan dengan langkah lebar.
Namun rerumputan yang tumbuh di situ benar-benar kelewat tebal, kelewat rimbun, dalam keadaan seperti ini, biar ada orang yang berjalan mendekatinya pun belum tentu dia tahu, bahkan sekalipun dia sudah berjalan dengan langkah cepat pun, dia tidak berhasil bergerak lebih cepat lagi.
Sudah dua tiga peminuman teh dia berjalan, namun suasana di sekitar sana tetap hening dan sepi, dia belum berhasil juga menemukan sesuatu.
Yang terdengar hanya angin yang menggoyangkan
rerumputan, hanya desingan angin yang menerpa sisi telinganya.
Meskipun hanya suara angin, Un Tay-tay merasa suara itu lama kelamaan mulai membuatnya gugup, membuatnya panik.
Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menghimpun tenaga, tubuhnya melambung ke tengah udara, melampaui rerumputan dan memeriksa seputar sana.
Namun sejauh mata memandang, hanya gelombang
rerumputan yang bergoyang beriring, jangankan seseorang, bahkan bayangannya pun tidak nampak.
Dia ingin sekali memeriksa dengan lebih seksama, sayang hawa murninya telah buyar sehingga tubuhnya terpaksa meluncur kembali ke bawah.
Di saat tubuhnya meluncur turun ke bawah itulah mendadak dia merasakan suatu gerakan yang sangat aneh muncul dari padang rumput sebelah kiri, tapi sayang, ketika dia melambung sekali lagi ke tengah udara, tiada sesuatu yang berhasil disaksikan.
Berjalan di tengah padang rumput yang luas dan lebat, sebenarnya merupakan satu tindakan yang berbahaya, karena di balik rerumputan bisa jadi terdapat berbagai jebakan dan perangkap, bisa pula terdapat penghadangan yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.
Andaikata orang lain, belum tentu mereka berani bertindak secara gegabah dan ngawur dalam situasi seperti ini.
Namun Un Tay-tay merasa yakin dalam lembah itu hanya terdapat Lui-pian Lojin dan komplotannya, sekalipun sudah muncul jejak manusia di sisi kiri, dia menduga orang itu pastilah salah satu di antara komplotannya.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung menerobos maju ke depan.
Baru berjalan puluhan kaki, tiba-tiba perempuan itu menghentikan kembali langkahnya, dari arah depan dia seperti mendengar suara desingan angin lirih, seperti suara baju yang bergesek dengan rerumputan.
"Siapa di situ?" hardik Un Tay-tay.
Begitu suara bentakan berkumandang, suara desingan angin lirih itu seketika hilang tidak berbekas.
Dengan kening berkerut, perlahan-lahan Un Tay-tay bergeser maju ke depan. Siapa tahu begitu dia mulai bergerak, suara lirih itu kembali bergema, bahkan sedang beringsut mundur dari situ, namun begitu dia menghentikan langkahnya, suara itu seketika ikut berhenti juga.
Keadaannya ketika itu persis seperti orang sedang bermain petak-umpet, namun beratus kali lipat lebih berbahaya, di tengah keheningan yang mencekam, hanya suara hembusan angin yang terdengar.
Sekalipun Un Tay-tay sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri, tidak urung bergidik juga perasaannya waktu itu.
Rasa takut yang muncul secara spontan terhitung salah satu titik kelemahan yang dimiliki manusia dan tidak mungkin bisa dihindari.
Sekali lagi Un Tay-tay menghentikan langkahnya sambil membentak:
"Siapakah kau?"
Hanya ada suara angin yang menggoyang rerumputan, suasana di sekeliling situ tetap sepi, hening, tiadajawaban.
"Kedatanganku tidak bermaksud buruk," kembali Un Tay-tay berkata, "siapa pun dirimu, tolong tampil, mari kita bersua muka."
Kali ini dia berbicara dengan suara yang lebih keras, tapi suasana tetap hening, tiadajawaban yang terdengar di sekeliling sana.
Sepanjang perjalanan hidupnya, sudah cukup banyak tempat berbahaya yang dikunjungi, namun betapa berbahayanya tempat itu, ancaman bahaya yang muncul selalu dapat dia lihat dan saksikan secara jelas.
Sebaliknya berada di balik padang rumput yang begitu lebat, meski sepintas tempat itu nampak aman tenteram, padahal setiap jengkal tanah yang ada di situ tersimpan ancaman bahaya maut yang menakutkan, mara bahaya yang tidak terlihat dan tidak gampang ditebak itu sesungguhnya jauh lebih berbahaya ketimbang tempat yang paling berbahaya sekalipun.
Tidak tahan lagi dia mulai bergumam dan memaki:
"Sialan benar rerumputan di sini, kenapa tumbuh begitu lebat dan tinggi...."
"Sreeet!", belum selesai dia bergumam, suara desingan lirih kembali bergema dari balik rerumputan.
Un Tay-tay terkesiap, tanpa mempedulikan wajahnya tersayat oleh ujung rumput, dengan cepat dia melesat maju ke depan, begitu cepat gerakan tubuhnya membuat rerumputan berdesis nyaring.
Suasana tetap hening, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Dua mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, namun tubuhnya kembali terkurung di balik rerumputan yang tinggi dan lebat, kinLmau tak mau bergidik juga perasaan Un Tay-tay.
Tidak kuasa menahan gejolak perasaannya, kembali dia berteriak:
"Apakah kau tidak dapat mengenali suaraku" Aku adalah Un Tay-tay! Apakah kau adalah Hek Seng-thian" Pek Seng-bu" Suto Siau" Seng Cun-hau?"
Secara beruntun dia menyebut beberapa nama, tapi masih tidak ada jawaban.
Dengan kening berkerut kembali dia berpikir, "Jangan-jangan memang tidak ada manu sia di depan sana" Jangan-jangan aku yang salah mendengar" Tapi bagaimana pun hanya ada jalan maju bagiku, apapun yang bakal terjadi aku harus tetap menerjang maju ke depan."
Berpikir sampai di situ, sambil mengertak gigi ia menerjang maju ke depan.
Langit lambat laun bertambah gelap, angin berhembus makin lama semakin kencang.
Mendadak Un Tay-tay menginjak tempat kosong, rupanya dia sudah terperosok ke dalam perangkap, tidak ampun tubuhnya langsung roboh terjungkal ke bawah.
Jangan dilihat usianya masih muda, pengalamannya dalam dunia persilatan justru amat luas dan matang, dalam keadaan seperti ini meski hatinya tercekat, namun tidak membuat pikirannya kalut, cepat sepasang lengannya digetarkan ke samping, dia memaksakan diri melambung ke udara dan menjatuhkan diri ke sisi lain.
Siapa tahu baru saja ujung kakinya menyentuh permukaan tanah, mendadak muncul dua batang ranting pohon yang melejit dari samping rerumputan, ranting pohon yang tajam bagaikan sebilah pedang, dengan membawa desingan tajam langsung melesat ke arah tubuhnya.
Sambil memutar tangannya melepaskan gempuran, Un Tay-tay merangsek maju ke depan, dengan gerakan Liong heng it sih (gerakan naga sakti) dia menyusup ke muka.
Siapa tahu kakinya kembali menginjak tempat kosong, tubuhnya jadi lemas dan tidak ampun sekali lagi dia roboh tertelungkup.
Kali ini dia telah menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki, sulit baginya untuk melambung lagi ke udara.
Tahu-tahu pandangan matanya jadi gelap, sebuah karung kain hitam sudah ditutupkan ke atas kepalanya hingga ke separoh tubuh, sepasang lengannya ikut terkerudung yang membuatnya tidak mampu berkutik lagi.
Un Tay-tay benar-benar mati kutu, begitu masuk perangkap, bukan saja dia tidak sempat melakukan perlawanan, bahkan langsung berhasil diringkus lawan.
Dengan perasaan kaget segera jeritnya:
"Siapa...."
Belum sempat kata "kau" diucapkan, sebuah tangan yang besar dan kuat sudah membekap mulutnya, diikuti tubuhnya sudah dicengkeram dan diangkat orang itu.
Un Tay-tay mencoba meronta sekuat tenaga, sepasang kakinya menendang kian kemari.
Namun orang itu benar-benar memiliki tenaga yang luar biasa, sepasang tangannya kekar dan kuat bagaikan terbuat dari baja, jangankan melepaskan diri, mau meronta pun susahnya bukan kepalang.
Tahu-tahu ketiaknya terasa kesemutan, kemudian tubuhnya nyaris tidak mampu bergerak lagi, dia merasa tubuhnya seperti dipanggul orang di atas bahu dan dibawa pergi dari situ dengan langkah lebar.
"Siapa gerangan orang ini?" pikir Un Tay-tay, "Mau diapakan aku olehnya" Jangan-jangan orang ini punya dendam sakit hati denganku sehingga dia berani membokong aku?"
Menurut arah yang ditinggalkan tanda rahasia, seharusnya lembah ini merupakan tempat persembunyian yang digunakan Suto Siau sekalian, atau dengan perkataan lain Lui-pian Lojin pun berada di sini, lalu siapa pula yang berani bercokol di tempat ini selain mereka"
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Un Tay-tay seperti menyadari akan sesuatu, segera pikirnya, "Aaah, benar, sudah pasti Suto Siau masih teringat dendam sakit hatinya di masa lampau maka secara diam-diam membokong aku, dia pasti bermaksud hendak mempermalukan diriku."
Berpikir begitu, dia malahan merasa jauh lebih lega.
Selang berapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara teguran seseorang, suara seorang wanita.
"Suko, kau benar-benar telah turun tangan?" terdengar perempuan itu bertanya.
Walaupun suara seorang wanita, namun nadanya jauh lebih
kuat dan tegas ketimbang suara seorang pria.
Orang yang menggendong Un Tay-tay tidak menjawab, dia hanya mendengus.
Kembali perempuan itu berkata:
"Bukankah ayah berulang kali sudah berpesan, sebelum mengetahui asal-usul lawan, jangan sekali-kali kita turun tangan, jangan sampai tindakan kita malah "menggebuk rumput mengejutkan ular", gara gara masalah kecil malah merusak rencana besar."
"Kau tahu siapakah perempuan ini?" terdengar lelaki itu bertanya dengan suara parau.
"Mana aku tahu, kenal pun tidak."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, logat suaranya yang semula kecut dan hambar kini berubah jauh lebih lembut, selembut suara seorang gadis muda.
Sambil mendengus, kata lelaki itu:
"Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau."
Biarpun hanya beberapa patah kata yang sederhana, namun mengandung rasa benci dan dendam yang luar biasa, seakan dia sudah membenci Suto Siau hingga merasuk ke tulang sumsum.
Terdengar gadis itu berseru tertahan, kemudian tidak berbicara lagi.
Selanjutnya suasana pun kembali hening, kedua orang itu tidak bercakap-cakap lagi.
Keheningan yang luar biasa sekali lagi menyelimuti udara, kecuali hembusan angin yang menimbulkan gelombang pada rerumputan, tak terdengar suara lain lagi, keheningan yang menakutkan segera membuat hati Un Tay-tay makin tercekat.
"Siapa gerangan lelaki perempuan ini" Apakah mereka adalah musuh besar" "atau mungkin dia membenciku karena aku datang mencari Suto Siau" Atau takut aku datang mencari balas terhadap Suto Siau maka dia membekuk diriku lebih dulu?"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hingga kini Un Tay-tay belum berhasil menebak siapa gerangan muda-mudi itu" Dia pun tak bisa menebak hendak dibawa kemana dirinya" Dan apa pula yang hendak mereka lakukan"
Tapi ia bisa merasakan betapa cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, kalau dilihat dari cara mereka bergerak dengan leluasa, dapat diduga mereka sudah cukup lama tinggal di situ sehingga bukan masalah bagi kedua orang itu untuk menentukan arah meski berada di tengah rimba rerumputan.
Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba terdengar gadis itu berseru lirih:
"Berhenti!"
Un Tay-tay merasakan tubuhnya tenggelam ke bawah, ternyata pemuda itu sudah berjongkok bahkan sambil menahan napas.
Tidak lama kemudian dari balik rerumput-an di sebelah kanan terdengar suara langkah manusia diikuti suara gesekan ujung baju dengan rumput.
Un Tay-tay yang berada dalam punggung pemuda itu dapat merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang.
"Aneh" pikirnya keheranan, "kenapa pemuda ini nampak begitu tegang" Jelas dia kuatir si pendatang mengetahui kehadirannya, atau mungkin yang datang adalah musuh tangguhnya?"
"Betul-betul satu kejadian yang di luar dugaan, ternyata di tengah padang rumput yang begitu rahasia, terdapat dua aliran kekuatan yang saling bertentangan bagaikan air dan api, tapi selain kelompok Lui-pian Lojin, siapa pula kelompok yang lain"
Berarti sepasang muda-mudi ini berasal dari kelompok yang bertentangan dengan Lui-pian Lojin."
Begitu dicekam rasa ingin tahu, untuk sesaat dia malah melupakan keselamatan sendiri, sekarang dia hanya berharap orang yang berada dalam semak itu segera tampil agar dia tahu manusia macam apa yang telah datang.
Siapa tahu suara langkah itu tiba-tiba berhenti dan tidak terdengar lagi ketika mereka berada beberapa jengkal dari sumber suara, menyusul kemudian terdengar seorang wanita dengan nada suara tinggi melengking dan aneh berkata:
"Kalau kita berbicara di sini, sudah pasti tidak akan ada orang lain yang ikut mendengar."
Nada suara orang ini seperti suara orang muda, tapi seperti juga suara orang yang sudah tua.
Begitu mendengar suara itu, kontan jantung Un Tay-tay berdebar keras, pikirnya, "Ternyata Seng Toa-nio pun sudah tiba di sini!"
Suara yang mirip orang muda tapi mirip juga suara orang tua ini memang suara khas Seng Toa-nio, siapa pun orangnya, asal pernah mendengar suaranya satu kali saja, maka selamanya tak bakal melupakannya.
Walaupun Un Tay-tay tahu Seng Toa-nio pasti berada di balik
rerumputan itu, tak urung hatinya tercekat juga mendengar suaranya.
Terdengar suara yang lain menyahut sambil menghela napas:
"Tidak nyana Lui-pian Lojin dapat menemukan tempat yang begini rahasia, sungguh menggelikan, sudah begini tersembunyi tempat ini, dia masih berkata di tempat ini pasti ada orang sedang mengintainya."
Sekali lagi Un Tay-tay merasa terperanjat setelah mendengar suara itu, pikirnya, "Ternyata Hek Seng-thian pun sudah muncul di sini."
Dengan rasa ingin tahu yang makin membara, kembali dia berpikir:
"Sungguh aneh, kenapa Seng Toa-nio harus mengajak Hek Seng-thian untuk berbicara secara rahasia di sini" Rahasia apa yang hendak mereka bicarakan" Aku harus mendengarkan dengan seksama."
Di tengah hembusan angin yang menggoyang rerumputan, suara pembicaraan kedua orang itu terdengar semakin lirih.
Terdengar Seng Toa-nio berkata sambil tertawa dingin:
"Menurut pendapatku, belakangan kesadaran si tua bangka itu makin lama semakin tidak jelas, kalau kita harus mengikutinya terus menerus pergi tanpa tujuan, bagaimana mungkin pekerjaan besar dapat dilaksanakan?"
Hek Seng-thian turut menghela napas panjang.
"Aaaai... sayang posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, ingin kabur pun rasanya mustahil."
"Bagaimana jika umpamanya dia mampus?"
Kelihatannya Hek Seng-thian sangat terkejut oleh perkataan itu, sampai lama sekali dia baru berkata lagi:
"Siaute rada tidak paham dengan ucapan Toa-nio."
"Kau mengerti, kau pasti mengerti, malah sejak tadi aku sudah tahu di antara beberapa orang yang tersisa, hanya kau seorang yang paling pantas disebut lelaki sejati, itulah sebabnya aku hanya mengajakmu seorang."
Hek Seng-thian terbungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Seng Toa-nio berkata:
"Walaupun tua bangka itu banyak curiga, namun sama sekali tidak menaruh rasa was was terhadap kita, asalkan kita campuri arak dalam buli-bulinya dengan obat racun, hehehe...."
Hek Seng-thian menarik napas dingin, bisiknya tergagap:
"Tapi... tapi... sekarang kita masih butuh kekuatannya sebagai
sandaran, khususnya untuk membalas dendam, jika dia mati...
bukankah keadaan ini malah merugikan kita semua?"
Kontan Seng Toa-nio tertawa dingin.
"Masa tidak kau lihat kedua jilid kitab yang berada dalam buntalannya" Di situlah dia telah mewariskan semua ilmu silat yang dimilikinya, asal dia mampus, maka kitab itu akan menjadi milik kita berdua."
Tergerak juga hati Hek Seng-thian sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya tergagap:
"Tapi...."
"Sekarang si Ratu matahari sudah mengasingkan diri, Ya-te pun hilang jejaknya," tukas Seng Toa-nio cepat. "Asal kita berhasil mempelajari ilmu silat si Pecut geledek, dapat dipastikan kita pun bisa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, apa lagi yang kau ragukan?"
Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang, katanya:
"Cuma... putranya itu meski kelihatan agak bloon, dia sangat cerdas, aku kuatir kemampuannya malah jauh di atas kemampuan si tua bangka, aku kuatir sulit menghadapinya."
"Asal yang tua sudah mampus, masa kita masih takut dengan yang muda" Tidak usah menyebut orang lain, dengan mengandalkan sepasang tangan bajamu ditambah sekantung jarum bidadari langitku, ditambah lagi sebilah pedang dari Hau-ji, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawanya!"
Kembali Hek Seng-thian membungkam tanpa menjawab.
Lewat beberapa saat kemudian Seng Toa-nio kembali bertanya:
"Bagaimana?"
"Asal Toa-nio mulai bertindak, Siaute pasti akan membantu."
Seng Toa-nio tertawa ringan, tiba-tiba tanyanya lagi:
"Menurutmu, bagaimana dengan Suto Siau?"
Hek Seng-thian nampak tertegun, sahutnya kemudian:
"Soal ini... Siaute...."
"Hmm! Orang ini sok pintar, dalam hal apapun dia ingin lebih menonjol dari siapa pun," kata Seng Toa-nio sengit, "bukan saja dia tidak pernah memandang sebelah mata terhadapku, dia pun tidak pernah memandang sebelah mata terhadap kalian semua, lihat saja, sampai muridmu pun direbut olehnya, masa kau tidak acuh terhadap semua ini?"
Untuk kesekian kalinya Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang.
"Sebetulnya sejak lama Siaute sudah menaruh perasaan tidak suka terhadap orang ini, tapi mengingat kita semua berasal dari satu persekutuan yang sama, maka aku tidak ingin turun tangan terhadapnya."
"Asal kita sudah pelajari ilmu silat milik Lui-pian, buat apa manusia macam begitu?"
Hek Seng-thian termenung sejenak, kata-nya kemudian:
"Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tangguh, tapi kelicikannya justru jauh melebihi seekor rase, rasanya tidak gampang menyingkirkan manusia macam begini."
"Kalau soal itu tidak perlu kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang matang."
"Apa siasat Toa-nio" Bolehkan Siaute tahu?"
"Siasat ini tergantung pada Che Toa-ho serta Sun Siau-kiau."
"Sun Siau-kiau?" kelihatannya Hek Seng-thian tidak habis mengerti.
"Masa kau masih belum tahu manusia macam apakah Sun Siau-kiau itu?"
"Perempuan ini memang seorang yang amat berbahaya," Hek Seng-thian tertawa, "kelihatannya, kecuali suaminya, asal di kolong langit terdapat lelaki yang dianggap tampan, dia pasti akan berusaha untuk mencicipinya."
"Itulah dia, bukan saja dia telah berbuat tidak senonoh dengan Sim Sin-pek, bahkan berusaha pula menggaet putra Lui-pian, padahal orang yang benar-benar sudah terpikat oleh rayuan mautnya adalah Suto Siau, si rase tua itu."
"Ooh... benarkah itu?" seru Hek Seng-thian tercengang.
"Bukan baru satu dua hari mereka melakukan perzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam-diam, untuk sementara tidak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba...."
"Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?"
"Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Che Toa-ho menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm... hmmm... kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau begitu saja?"
"Tapi... tapi... belum tentu Che Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau."
Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"Mungkin saja Che Toa-ho bukan tandingannya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian-sik
menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan?"
"Betul," seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula, "sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubut dua jago pedang, niscaya dia akan mampus di tangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton...."
"Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti."
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Aaai... baru hari ini Siaute sadar, ternyata kecerdasan Toanio memang luar biasa, betapapun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio."
"Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini."
"Siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar Siaute pun ikut kecipratan rezekinya"
"Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama. Aaai, Cun-hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini aku pun telah mengelabui dirinya, aku berharap kau jangan membocorkan dulu rahasia ini kepadanya."
Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya:
"Siaute belum gila, tidak nanti kubocorkan rahasia besar ini."
"Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini."
Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan, berlalulah kedua orang itu dari situ.
Un Tay-tay sendiri pun ikut menghembuskan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan itu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut, dia pun kegirangan, pikirnya:
"Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka babak-belur."
Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran.
Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega sambil berkata:
"Ternyata perkataan Samsiok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular
berbisa itu pasti akan saling cakar dan gontok sendiri."
"Sejak kapan perkataan Samsiok pernah keliru," sahut si nona dengan suara sedih, "hanya saja... hanya saja dia orang tua berkata, Jiko dan Samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu... benarkah perkataannya itu... " Aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat sedikit, bila Jiko dan Samko tidak kembali, aku kuatir... aku kuatir...."
Apa yang dia kuatirkan" Kelihatannya gadis itu tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya.
Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya
membungkam dalam seribu bahasa.
Un Tay-tay yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir, "Jiko" Samko" Siapa yang dimaksud?"
Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi berpikir lebih seksama, hanya secara lamat-lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan persoalan ini.
Persoalan apa yang tidak beres" Dia sendiri tidak bisa menjawab.
Kembali mereka menempuh perjalanan selama setanakan nasi lamanya, tiba-tiba Un Tay-tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembus kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah.
Dia dapat merasakan permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidung pun terasa semakin menyengat.
Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur:
"Siapa itu?"
"Ananda yang telah balik," sahut pemuda itu cepat.
"Kemana saja kalian telah pergi" Ayo, cepat masuk!"
Tiba-tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya:
"Tampaknya lagi-lagi kau sembarangan turun tangan" Siapa yang kau bopong?"
Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah terdengar keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar-benar menggidikkan hati.
Biarpun Un Tay-tay belum sempat bertemu orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu.
Terdengar pemuda itu menyahut:
"Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau
"Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!" tukas kakek itu gusar.
"Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan, tapi tidak berhasil menemukan mereka, maka ananda pikir ada baiknya membekuk dia, paling tidak jangan sampai mengganggu orang lain."
"Pikirmu?" ujar kakek itu semakin gusar, "kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarangan"
Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang" Apakah tidak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati-matian untuk bersabar hingga hari ini" Tahukah kau kenapa aku berbuat begini" Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh" Sekarang... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau... kau anak tidak tahu diri, apakah kau benar-benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini di tanganmu seorang?"
Makin bicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut.
Terdengar suara seseorang segera berkata:
"Harap Toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap."
Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus.
Kakek itu segera mendengus dingin.
"Kenapa masih belum diturunkan!" hardiknya.
Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian dia menurunkan tubuh Un Tay-tay ke atas tanah.
Kembali kakek itu berseru:
"Kalian berdua berjaga di depan pintu, Samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya."
Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk tubuh Un Tay-tay.
Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay-tay menghela napas perlahan sambil menggeliat.
Terdengar kakek itu kembali membentak gusar:
"Sudah tiba di sini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?"
"Benar, aku memang sudah bosan hidup," jawab Un Tay-tay pedih.
Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya:
"Siapa kau?"
Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya.
Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap di atas dinding menerangi seluruh ruangan.
Di antara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah penuh wibawa mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis di hadapannya.
Di samping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan.
Sementara muda-mudi yang menangkapnya tadi berdiri di sisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat.
Pakaian yang dikenakan keempat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya.
Un Tay-tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas, ujarnya:
"Ternyata apa yang kuduga tidak salah."
"Apa yang kau duga?" hardik kakek itu
"Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga."
Kakek itu kembali tertegun, paras mukanya kontan berubah hebat.
Begitu pula dengan ketiga orang lainnya, air muka mereka ikut berubah.
Kakek itu kembali maju selangkah, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya Un Tay-tay lekat-lekat, bentaknya:
"Kau bisa membayangkan tampangku" Jadi kau sudah tahu siapakah Lohu?"
"Benar, aku sudah mengetahui siapakah kau orang tua."
"Siapa" Cepat katakan!"
"Aku rasa kau orang tua adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun...."
Belum selesai ia berkata, kakek itu sudah menerkam ke depan, dengan tangan sebelah menarik tubuh Un Tay-tay, tangan yang lain diayunkan siap menampar wajah perempuan itu.
Un Tay-tay sama sekali tidak meronta, dia pun tidak berusaha melawan, ditunggunya kakek itu menampar wajahnya dan ditatapnya kakek itu dengan pandangan tenang, lembut, sama sekali tak terlintas sedikit rasa takut pun.
Ketika sampai di tengah jalan, mendadak kakek itu menarik kembali telapak tangannya, dengan suara keras kembali bentaknya:
"Cepat katakan! Siapa kau" Darimana tahu asal-usulku"
Hmmm, kalau berani bicara bohong, akan kusuruh kau menikmati siksaan yang paling keji dari Thiat hiat tay ki bun!"
Di balik nada suaranya yang nyaring bagai guntur, terselip hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati!
Tapi Un Tay-tay sama sekali tidak jeri, malah sedikitpun tidak ada rasa takut atau seram, sekulum senyuman manis tersungging di ujung bibirnya.
"Sudah banyak kudengar tentang kehebatan siksaan yang berlaku dalam perguruan Tay ki bun, bahkan keseramannya sudah tersohor di seantero jagad, sayangnya, mati pun aku tidak takut, apa lagi yang mesti kutakuti" Bila kau mengancam dengan siksaan, biar sampai mati pun aku tak bakal bicara."
Kakek itu tidak lain adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun yang tersohor karena ketegasan serta watak keras kepalanya, Im Gi.
Selama ini keangkeran serta kewibawaannya selalu membuat ciut hati siapa pun, belum pernah ada seorang pun yang tidak dibuat pecah nyali oleh perkataannya, tapi sekarang, dia benar-benar tidak menyangka perempuan di hadapannya begitu bernyali, berani membangkang perintahnya.
Biarpun perasaannya sekarang penuh diliputi rasa gusar bercampur tercengang, tidak urung muncul juga suatu perasaan aneh di hatinya, dengan sorot mata berapi ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, kemudian ancamnya:
"Jadi kau benar-benar tidak mau bicara?"
Un Tay-tay mengedipkan mata sambil balik menatap kakek itu, lalu sambil tersenyum dia menggeleng.
"Baik!" bentak Im Gi gusar.
Untuk kedua kalinya dia mengangkat telapak tangannya, tapi tindakannya itu segera dicegah kakek berwajah tampan.
Dengan gusar teriak Im Gi:
"Bukan saja perempuan ini datang sebagai mata-mata untuk mencari berita, dia bahkan begitu berani terhadapku... kau...
kenapa kau menarikku" Memangnya kau masih ingin
mempertahankan hidupnya?"
Kakek berwajah tampan yang tidak lain adalah Im Kiu-siau, segera menyahut:
"Kalaupun ingin turun tangan, rasanya belum terlambat bila kita tanyai dulu maksud kedatangannya."
Orang ini selalu tampil tenang, halus, sama sekali tanpa emosi, sangat bertolak belakang bila dibandingkan watak Im Gi yang keras dan gampang naik darah.
Kelihatannya Im Gi sangat menurut pada perkataannya, benar saja, dia segera menarik kembali tangannya sambil mundur tiga langkah ke belakang.
Perlahan-lahan Im Kiu-siau berpaling kearah Un Tay-tay, kemudian katanya dengan lembut:
"Bila kami gunakan cara kekerasan dan alat siksa, kau enggan berbicara, sebaliknya kalau kami perlakukan dirimu dengan baik, tentunya kau bersedia untuk bicara bukan?"
"Benar", sambil tersenyum Un Tay-tay manggut-manggut.
"Kalau memang begitu, kau boleh berbicara sekarang."
Un Tay-tay menghela napas panjang, katanya:
"Biar aku tidak pernah bersua dengan kalian, namun sudah sering mendengar dari orang lain tentang tindak-tanduk serta cara kalian bersikap, itulah sebabnya begitu bersua muka hari ini, aku segera dapat menebak siapakah kalian sebenarnya."
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya:
"Aku yakin kau pastilah Im Kiu-siau, tokoh paling cerdas dan paling berakal dalam perguruan Tay ki bun, sementara dua orang yang ada di belakang pastilah Im Ting-ting serta Thiat Cing-su."
Tampaknya Im Kiu-siau sendiri pun tidak menyangka gadis di hadapannya begitu menguasai tentang orang-orang perguruan Tay ki bun, paras mukanya sedikit berubah, ujarnya dengan suara berat:
"Siapa yang mengatakan semua itu kepadamu?"
"Im Ceng... Thiat Tiong-tong...."
Paras muka Im Kiu-siau berubah makin hebat, sementara Im Ting-ting serta Thiat Cing-su menjerit tertahan.
Paras muka Im Gi kelihatan berubah hebat, gejolak emosi, umpatnya:
"Dasar binatang! Binatang! Tidak kusangka kedua orang binatang ini berani membocorkan rahasia perguruan kepada orang lain, Losam, sudah kubilang lebih baik kita cabut nyawa mereka, tapi kau selalu menampik, coba lihat sekarang... aaai!
Akhirnya mereka lakukan juga perbuatan terkutuk ini, kau...
kau... apa lagi yang hendak kau katakan?"
Im Kiu-siau menghela napas panjang, ia menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
"Mereka mau bicara denganku, karena aku pun bukan orang luar," ujar Un Tay-tay lembut.
"Apa... apa kau bilang?" bentak Im Gi gusar.
"Karena aku adalah istri Im Ceng!"
Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang tertegun dan berdiri bodoh, untuk beberapa saat mereka tidak mampu bergerak, bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak sanggup.
Sekali lagi Im Gi membentak gusar, serunya sambil menghentakkan kaki berulang kali:
"Berontak! Berontak! Dendam berdarah perguruan pun belum terbalas, binatang ini malah berani mencari bini di luaran, bedebah!"
Dengan satu lompatan dia merangsek ke hadapan Un Tay-tay, kembali sebuah pukulan siap dilontarkan.
Im Ting-ting menjerit kaget, cepat dia melompat ke muka dan menghadang di hadapan Un Tay-tay.
"Minggir kau!" bentak Im Gi semakin sewot.
"Kalau dia memang bini Samko, kau... kau orang tua seharusnya...."
"Lohu tidak mengakui perkawinan ini! Binatang, mau minggir tidak?"
Tapi Im Ting-ting tetap menghadang dihadapannya, sementara air mata telah bercucuran membasahi pipinya.
Sambil memeluk kaki ayahnya, gadis itu merengek dengan air mata berderai:
"Bila kau orang tua tidak mau mengakui perkawinan ini, suruh saja mereka bercerai, kenapa mesti menghabisi
nyawanya?"
"Siapa bilang aku bersedia cerai dengannya?" tiba-tiba Un Tay-tay berkata.
Biarpun perkataan itu diucapkan dengan lembut, namun terkandung keteguhan hatinya yang sudah bulat.
Im Gi semakin gusar, belum sempat mengucapkan sesuatu, Im Ting-ting sudah berkata lebih dulu:
"Kau... buat apa kau memaksakan diri...."
Un Tay-tay tertawa pedih, katanya:
"Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa merebutnya dari sisiku... selamanya dia akan menjadi milikku, tahukah kalian"
Selamanya... selamanya...."
Belum lagi orang lain memahami maksud perkataannya, dengan wajah berubah hebat Im Kiu-siau telah menjerit kaget:
"Jangan-jangan dia... dia sudah...."
Perlahan-lahan Un Tay-tay memejamkan mata, untaian air mata kembali berderai membasahi pipinya.
"Selamanya kalian tidak bakal bisa bertemu lagi dengannya,"
gumamnya seperti orang sedang mengigau dalam mimpi.
Kontan saja Im Ting-ting menjerit lengking, Thiat Cing-su roboh terduduk ke lantai, paras muka Im Kiu-siau pucat-pias bagai mayat, sementara Im Gi seperti kepalanya dipukul martil besar, seolah tertancap di tanah tanpa berkutik.
Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba-tiba dia menjerit lengking, sambil merobek pakaian di bagian dada, dia membentak nyaring:
"Siapa yang telah mencelakainya?"
Un Tay-tay menggeleng, dia hanya memejamkan mata tanpa menjawab.
Dengan sekali sambaran, Im Gi mencengkeram rambut perempuan itu, jeritnya lagi:
"Katakan! Cepat katakan! Hutang darah ini harus ditebus dengan lelehan darah!"
Un Tay-tay masih tetap mengertak gigi, tidak sepatah kata pun yang diucapkan.
Tiba-tiba Im Ting-ting menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, dengan air mata berlinang, pintanya:
"Kumohon... kumohon kepadamu, katakanlah nama musuh besar pembunuh Samkoku, kalau tidak... kalau tidak, aku akan segera bunuh diri di hadapanmu."
Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, katanya pedih:
"Bukan aku enggan menyebutkan nama musuh besarnya, justru karena sudah kukatakan pun tidak ada gunanya...."
"Kenapa" Kenapa tidak berguna?" teriak Thiat Cing-su nyaring.
"Karena tidak seorang pun di dunia ini yang sanggup membalaskan dendam sakit hatinya," kata Un Tay-tay sambil roboh ke tanah:
"karena orang yang memaksanya mati adalah... adalah Jit ho Nio nio dari pulau Siang cun-to yang tak ada tandingannya."
Sambil menjerit keras Im Gi mundur tiga langkah ke belakang, dia jatuh terduduk di atas sebuah batu hijau.
Dengan wajah pucat keabu-abuan, seru Im Kiu-siau pula:
"Dia sudah mati" Apakah Tiong-tong tahu?"
Tiba-tiba Un Tay-tay mendongakkan kepala, sekarang dia sendiri pun tidak tahu yang meleleh di wajahnya itu air mata atau darah"
"Thiat Tiong-tong sama sekali tidak tahu," sahutnya dengan suara parau:
"karena... karena Thiat Tiong-tong sudah mati lebih dulu!"
Sekalipun kawanan jago perguruan Tay ki bun terhitung manusia dengan hati sekuat baja pun, tak urung mereka sangat terpukul juga setelah mendengar berita ini.
Ketika Un Tay-tay selesai berkata, perubahan mimik muka Im Gi sekalian benar-benar tak terlukiskan dengan perkataan apapun... memang tidak seorang pun yang tega melukiskan perubahan wajah orang-orang itu.
Lama dan lama kemudian, Im Gi baru bertanya:
"Ke... kenapa dia bisa mati?"
Kakek yang selama ini tampil gagah dan ulet bagaikan lempengan baja itu sekarang gemetaran keras, semua kewibawaan dan keangkerannya seolah tersapu bersih oleh air mata.
"Aku terlebih tidak boleh menyebut nama orang yang telah mencelakainya," jawab Un Tay-tay kaku.
Mendadak Im Ting-ting melolos sebilah golok tajam dari balik bajunya, lalu ditempelkan di atas dada sendiri.
Dengan air mata bercucuran dan mata memerah bagaikan darah, sepatah demi sepatah dia mengancam:
"Kalau kau enggan bicara, aku segera akan bunuh diri!"
Sambil mengertak gigi dan air mata berlinang Un Tay-tay tetap menggeleng.
"Baiklah!" mendadak Im Ting-ting menekan tangannya ke dalam, ujung golok pun seketika menghujam di atas dadanya, percikan darah segar berhamburan kemana mana, asal dia menghujam sedikit lebih ke dalam, niscaya ujung golok itu akan merobek jantungnya.
Mati-matian Un Tay-tay menarik tangannya sambil menangis tersedu, jeritnya:
"Apakah kalian ingin aku mengatakannya" Baik, akan kukatakan, orang yang telah mencelakai Thiat Tiong-tong adalah... adalah... Im Ceng... !"
"Trangg!", golok itu jatuh rontok ke tanah.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Im Ting-ting langsung jatuh tidak sadarkan diri, sementara Thiat Cing-su tidak sanggup bangkit berdiri.
"Apa" Im Ceng?" seru Im Kiu-siau pula seperti kehilangan sukma:
"benarkah begitu?"
"Tidak! Bukan begitu, kalian... lebih baik bunuhlah aku!"
Sambil berseru dia segera menjatuhkan diri ke tanah.
Cepat Im Kiu-siau membimbingnya bangun, katanya dengan nada mengenaskan:
"Hidup sekian tahun memangnya aku belum bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah" Aku. , aku hanya merasa sayang, semestinya Tiong-tong adalah... adalah seorang bocah yang mempunyai kemampuan hebat...."
"Betul," sambung Im Gi pula sambil manggut-manggut, "dia adalah seorang anak baik, bila Thian membiarkan dia hidup lebih lama lagi, niscaya dia akan melakukan karya maha besar untuk perguruan Tay ki bun kita, hanya sayang... hanya sayang...."
Mendadak ia mendongakkan kepala sambil berteriak kesal:
"Thian, oooh Thian! Kenapa kau biarkan dia mati muda"
Perguruan Tay ki bun sangat membutuhkan tenaganya, kenapa kau biarkah dia mati" Bagaimana dengan kami sekarang" Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, tapi semua kesalahan, dia lakukan demi orang lain, kesalahan yang pantas dimaafkan... selama hidup dia belum pernah melakukan kesalahan karena urusan pribadi...."
"Betul," ujar Un Tay-tay pula sambil menangis, "kalian semua telah salah menuduhnya, kalian sudah tahu bahwa dia itu orang baik, semasa hidupnya kenapa kalian selalu memojok-kan
dirinya?" Sambil memukul tanah dengan tangannya, dia berteriak lebih jauh:
"Bila kalian tahu semua perbuatannya selama ini hanya demi orang lain, demi perguruan Tay ki bun, kenapa semasa hidupnya kalian justru menuduhnya sebagai murid murtad, pengkhianat perguruan" Sekarang dia sudah mati, percuma kalian mengucapkan perkataan semacam itu, sudah kelewat terlambat!
Selamanya dia... dia tidak akan mendengar lagi."
Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, meski tidak berbicara maupun bergerak, namun sorot matanya telah berubah jadi merah darah, rambutnya berdiri kaku bagai landak, tampangnya saat itu benar-benar menakutkan.
Pada saat itulah, mendadak dari luar gua berkumandang suara pekikan nyaring yang menusuk pendengaran....
Walaupun saat itu Thiat Tiong-tong belum mati, keadaannya sudah tidak berbeda jauh dengan orang mati.
Istana bawah tanah yang semula indah dan megah, kini telah berubah menjadi neraka dunia yang amat mengenaskan, gelak tertawa, teriakan canda yang dulu mewarnai suasana di situ kini hanya tersisa isak tangis yang memedihkan hati.
Tidak seorang pun di antara kawanan wanita itu yang bisa menghentikan isak tangisnya.
Luka yang diderita San-san sebetulnya sudah mulai membaik, tapi sekarang tambah hari lukanya bertambah parah dan berat, sampai akhirnya dia kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, setiap hari kondisinya semakin memburuk dan tidak pernah sadar.
Setiap kali mendusin dari pingsannya, dia pun mulai berteriak:
"Tolong, maafkan aku... maafkan aku... aku mohon...."
Dia berusaha sekuat tenaga bergelut melawan maut, karena dia tahu, begitu mati maka selamanya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menebus dosa.
Hanya dikarenakan dorongan emosinya, semua orang harus menanggung akibatnya, terkubur hidup-hidup dalam ruang bawah tanah yang lebih mengenaskan daripada neraka, apakah kesalahan besar yang telah dilakukannya bisa ditebus hanya dengan sebuah kematian"
Tapi yang membuatnya paling menyesal adalah gara-gara
ulahnya Thiat Tiong-tong ikut terkurung dalam ruang bawah tanah, dia lebih suka pemuda itu mencincangnya hingga hancur berkeping-keping ketimbang menanggung rasa sesal yang membuatnya sangat tersiksa.
Tapi sikap Thiat Tiong-tong terhadapnya justru amat tenang, pemuda itu malah menghiburnya:
"Semuanya ini merupakan kehendak Thian, kau tidak perlu menyesal."
Penampilan anak muda itu memang sangat tenang dan sama sekali tidak nampak panik, padahal siapa yang bisa membayangkan betapa menderita dan tersiksanya perasaan pemuda itu"
Masa hidupnya belum terlalu lama, saat itu dia masih harus berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar, sementara orang yang paling dikasihi pun sedang menjalankan nasib tragis di luar sana.
Tapi kini dia sama sekali tidak berdaya, dia tidak memiliki kemampuan untuk membantunya.
Dia tidak boleh mati, dia pun tidak ingin mati, tapi sayang dia tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk hidup lebih jauh, dia pun tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk hidup terus....
Kalau diharuskan hidup terus dalam ruangan bagaikan neraka ini, bukankah jauh lebih baik mati ketimbang hidup"
Di samping semua itu, masih ada satu penyesalan besar yang masih mengganjal hatinya.
Dia sempat bertanya kepada Ya-te, memohon penjelasan dari si Kaisar malam:
"Aku mohon kepada kau orang tua, katakanlah rahasia yang menyelimuti perguruan Tay ki bun kami, bila kau orang tua enggan mengatakannya, aku betul-betul akan mati tidak meram!"
Tapi jawaban dari Kaisar malam sungguh di luar dugaannya.
"Rahasia apa" Siapa bilang ada rahasia?"
Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri berlutut, memohon kepadanya.
Kaisar malam pun menjawab:
"Sekalipun ada sesuatu rahasia, aku sendiri pun tidak tahu, lebih baik kau tidak usah mencari tahu, dengan begitu kau bisa mati dengan perasaan tenang, sebab kalau tidak, kau bisa menjadi gila, jadi sinting karena persoalan ini."
Thiat Tiong-tong tidak paham maksud perkataannya itu, dia
pun tidak mampu bertanya lagi.
Sebab sekalipun dia mengulang pertanyaan yang sama, belum tentu Kaisar malam bersedia menanggapi.
Kakek maha sakti yang di masa lalu menggetarkan kolong langit itu, kini hanya duduk melongo siang maupun malam, bukan cuma tidak bergerak, makan pun enggan.
Ketika dia enggan melakukan sesuatu, maka tidak seorang pun di kolong langit yang dapat memaksanya. Ketika dia enggan mengucap-kan sesuatu, siapa pula manusia di kolong langit ini yang bisa memaksanya mengucapkan sepatah kata saja"
Kulit tubuhnya yang semula kencang penuh berotot, kian hari kian bertambah kusut dan layu, mulai muncul banyak kerutan, sorot matanya yang semula tajam bagaikan sembilu pun makin lama semakin rendup, semakin tidak bercahaya....
Tampaknya kekuatan hidup yang cemerlang sudah berlalu seiring berjalannya sang waktu, seinci demi seinci bergerak lenyap dari dalam tubuhnya.
Pelapukan yang terjadi tanpa suara dan tanpa wujud ini nampaknya segera akan memusnahkan seluruh kehidupannya, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa menghalanginya, tidak seorang pun dapat menolongnya.
Manusia luar biasa kelihatannya segera akan roboh.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami Thiat Tiong-tong, kekuatan apa pula yang dia miliki untuk menopang kehidupan ini"
Kalau seseorang sudah kehilangan harapan, mungkinkah akan tumbuh semangat juang dalam dirinya"
Di tengah keputus asaan, kematian makin lama semakin mendekat!
Thiat Tiong-tong hanya bisa berdoa kepada Thian, "Oooh, Thian, kumohon kepadamu berilah kehidupan yang layak untuk Im Ceng, dialah satu-satunya harapan untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, semua harapan yang tersisa kini hanya ada di atas pundaknya."
Tapi... dimanakah Im Ceng sekarang" Apakah dia pun masih hidup"
Thiat Tiong-tong rela mengorbankan segalanya asal bisa memperoleh berita tentang Im Ceng, tapi seandainya saat itu dia benar-benar memperoleh berita tentang Im Ceng, mungkin pemuda ini sudah membenturkan kepalanya ke atas batu cadas dan bunuh diri.
BAB 36 Badai di Padang Rumput
Pintu gua menuju ke markas besar perguruan Tay ki bun sebenarnya terletak sangat rahasia dan tertutup rapat, tapi suara pekikan nyaring yang berkumandang saat itu justru bersumber dari luar gua, begitu nyaring suaranya membuat semua orang merasa bergetar, membuat gendang telinga semua orang terasa sakit.
"Sungguh amat sempurna tenaga dalam yang dimiliki orang ini!" batin Un Tay-tay dengan perasaan terkesiap.
Baru saja ingatan itu melintas, pikiran lain kembali menyelimuti perasaannya, dia teringat kembali suara pekikan panjang Lui-pian Lojin sewaktu menggetarkan pintu gerbang kuil Siau-lim-si tempo hari, pikirnya, "Jangan-jangan yang datang adalah Lui-pian Lojin" Tapi kenapa pula dia berpekik nyaring seorang diri di luar sana?"
Apa yang sebenarnya terjadi" Un Tay-tay tidak perlu berpikir lebih jauh karena segera diperoleh jawabannya.
Selesai berpekik nyaring, Lui-pian Lojin berseru:
"Hei, manusia yang bersembunyi dalam gua, cepat
menggelinding keluar!"
Semua orang terperanjat, tiba-tiba Im Gi melompat bangun, dengan satu gerakan cepat dia tampar wajah Thiat Cing-su dengan keras.
Dengan perasaan kaget bercampur ketakutan, teriak Thiat Cing-su gemetar:
"Kau... kau orang tua
"Kalau bukan gara-gara kau membocorkan jejak kita, mana mungkin dia bisa menemukan kita di sini?" teriak Im Gi gusar.
Pucat keabu-abuan wajah Thiat Cing-su saking takutnya, bibirnya gemetar keras seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
"Samte, segera laksanakan hukum perguruan..." tukas Im Gi lagi.
Baru saja dia menyebut soal hukuman, suara pekikan yang bergema di luar gua kembali sudah berkumandang.
"Kenapa kalian belum juga menggelinding keluar?" teriak Lui-
pian Lojin dari luar gua, "hemmm... hemmm.... Lohu sudah menduga di balik padang rumput pasti bersembunyi sesuatu, percuma saja kalian bersembunyi terus...."
Begitu mendengar perkataan itu, Im Kiu-siau segera menghembuskan napas lega, ujarnya sambil menghela napas:
"Ternyata dia belum berhasil menemukan jejak kita, saat ini dia baru menaruh curiga saja, pekikan nyaring yang dia lakukan tak lebih hanya gertak sambal belaka, untuk menakut-nakuti kita."
Diam-diam Thiat Cing-su ikut menghembuskan napas lega, dia berdiri sambil menundukkan kepala.
Im Gi berdiri mematung dengan sepasang kepalannya menggenggam kencang, wajahnya nampak tersiksa dan penuh penderitaan.
Melihat mimik muka orang tua itu, Un Tay-tay ikut menghela napas, pikirnya, "Kelihatannya orang tua ini mulai menyesal karena salah menghajar Thiat Cing-su, tapi dengan tabiatnya yang keras.... Aaaai, dia lebih suka batinnya tersiksa ketimbang menghibur orang lain, orang macam begini tak nanti mau mengakui kesalahan sendiri"
Ternyata dugaannya keliru, tiba-tiba Im Gi dengan tangan gemetar keras mulai membelai kepala Thiat Cing-su.
Pemuda ini lahir dalam perguruan Tay ki bun, tumbuh dewasa di Tay ki bun, selama dua puluh tahun belum pernah ia lihat Ciang bunjin melakukan tindakan seperti ini, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dibuatnya.
Dia sangka Ciang bunjin ingin menghukum dirinya lagi, tubuhnya gemetar keras saking takutnya, meski begitu dia tetap berdiri di tempat sambil mengertak gigi, sama sekali tidak berani menghindar.
Im Gi semakin tersiksa batinnya setelah melihat kejadian ini, sambil menghela napas panjang, katanya:
"Kau tak usah takut, nak, aku... aku hanya.... Aaaai!"
Setelah menghentakkan kaki berulang kali, lanjutnya:
"Aku telah salah bersikap terhadap saudara tuamu, kini sudah seharusnya aku bersikap lebih baik terhadapmu, tapi...
aaai! Watak kerasku tidak pernah bisa berubah."
Perkataan semacam inipun belum pernah didengar Thiat Cing-su sebelumnya, dia nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri, wajah-nya segera menampilkan perasaan terkejut bercampur gembira.
Sepasang mata Im Gi pun menampilkan cahaya berkilat, dadanya nampak naik turun tidak beraturan, lewat beberapa saat kemudian akhirnya dia berkata kembali:
"Nak, aku telah salah menuduhmu... kau jangan
membenciku."
Thiat Cing-su segera menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah, katanya dengan suara parau:
"Sudah sepantasnya bila kau orang tua melakukan suatu tindakan terhadap anak-anak, kau tidak usah berkata begitu...
setelah ananda mendengar perkataan kau orang tua hari ini, sekalipun harus segera mati pun aku... aku tetap merasa gembira...."
Pemuda keras kepala yang sebenarnya mempunyai watak keras bagaikan seekor kerbau ini kontan mengucurkan air mata sehabis mendengar perkataan itu.
Im Gi berdiri mematung bagaikan sebuah arca, diam-diam dia melelehkan juga air matanya, air mata sedih.
Sementara Im Kiu-siau diam-diam manggut manggut, dia ikut terharu menyaksikan adegan itu, sedang Im Ting-ting mengawasi wajah ayahnya dengan penuh rasa hormat, sikapnya begitu santun seakan sedang memandang malaikat dari langit.
Un Tay-tay sendiri pun ikut terhanyut oleh suasana itu, untuk sesaat dia tak tahu haruskah merasa sedih, girang, manis atau getir"
"Berubah, berubah...." gumamnya dalam hati, "akhirnya orang tua ini berubah juga, tapi apa alasannya hingga orang tua yang keras kepala ini tiba-tiba berubah?"
Terdengar Im Gi berkata dengan suara perlahan:
"Kini anggota Thiat hiat tay ki bun tinggal kita berempat, mulai sekarang sampai hari kematianku, aku pasti akan bersikap baik kepada kalian, karena...."
Mendadak dia melengos ke arah lain sambil memejamkan mata, setelah mengatur napas beberapa saat, akhirnya dia berhasil juga menahan air matanya yang nyaris meleleh keluar.
Katanya dengan sedih:
"Karena mulai sekarang, keadaan kita akan semakin sulit, kehidupan kita pun akan lebih sengsara ketimbang dulu, penderitaan yang harus kalian terima sudah lebih dari cukup...."
"Toako, lebih baik pergilah beristirahat dulu!" bujuk Im Kiu-siau sambil menghela napas. Im Gi tertawa getir.
"Bagaimanapun juga, aku harus menyampaikan dulu
perkataan ini," katanya.
"Tapi... tapi... biar tidak Toako katakan pun, kami semua sudah tahu."
"Kau tahu... aaai! Tahukah kau, dalam menghadapi pertarungan yang sudah di depan mata, berapa besar kemungkinan kita untuk meraih kemenangan" Nyaris boleh dikata tanpa harapan
Tiba-tiba nada suaranya berubah penuh emosi, lanjutnya:
"Tapi mustahil bagi kita untuk menghindari pertarungan itu, biar tahu bukan tandingannya pun kita tetap akan bertarung sampai titik darah penghabisan. Inilah kewajiban yang harus kita berempat laksanakan sebagai anggota Thiat hiat-Tay ki bun yang penuh semangat...."
"Bukan berempat, tapi berlima!" mendadak Un Tay-tay menyela.
Perkataan itu kontan membuat paras muka hn Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting maupun Thiat Cing-su berubah hebat.
"Siapa bilang kau anggota perguruan Tay ki bun?" hardik Im Gi.
"Aku adalah bini Im Ceng, tentu saja termasuk anggota perguruan Tay ki bun, semasa hidupnya dulu Im Ceng belum mengucurkan darahnya demi perguruan Tay ki bun, apa salahnya sekarang aku mewakilinya berjuang."
"Kau sungguh akan melakukannya?" Im Gi menatap tajam wajahnya sampai lama sekali sebelum bertanya.
Un Tay-tay tertawa sendu, sahutnya:
"Kalau bukan lantaran ingin berbuat begitu, mungkin sejak dulu aku sudah menyusul Im Ceng ke alam baka!"
Baru saja ia bicara sampai di situ, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sudah mengucurkan air mata.
Im Gi sendiri pun seketika terpengaruh oleh gejolak emosinya, serunya:
"Kau pasti sudah mengetahui apa yang barusan kukatakan, perguruan Thi (Thiat) hiat tay ki bun bakal memasuki masa yang paling sengsara dan tersiksa, apakah kau sanggup menerima penderitaan semacam itu?"
"Kalau kuatir sengsara, aku sudah bunuh diri sejak dulu."
Tiba-tiba Im Gi melototkan sepasang matanya, bentaknya:
"Kau benar-benar rela mengorbankan nyawa demi perguruan Tay ki bun?"
"Un Tay-tay hidup sebagai anggota perguruan Tay ki bun, mati
pun ingin jadi setan perguruan Tay ki bun."
"Apakah kau tahu apa arti Thiat-hiat (darah baja) dari perguruan kami?"
Mula-mula Un Tay-tay tertegun, tapi dengan cepat dia menyadari apa artinya, tanpa banyak bicara dia sambar golok milik Im Ting-ting yang terjatuh di tanah dan langsung dibabatkan ke atas bahu sendiri.
Dimana mata golok menyambar, percikan darah segera menyembur kemana-mana.
Tanpa berubah wajahnya, bahkan berkerut kening pun tidak, Un Tay-tay menyahut lantang:
"Inilah arti Thiat-hiat!"
Baru selesai dia bicara, Im Ting-ting sudah memburu maju dan menegur dengan suara gemetar:
"Enso... kau... kau sangat menderita."
Kembali Un Tay-tay tertawa getir.
"Setelah mendengar sebutan Enso darimu, biar lebih sengsara pun apa artinya?"
Dengan pandangan mata yang lembut, ditatapnya luka di atas dada Im Ting-ting, sebaliknya Im Ting-ting memperhatikan pula luka di bahunya.
Luka yang diderita kedua orang ini tidak terlampau parah, tapi babatan yang telah mereka lakukan bukan saja memperlihatkan keberanian serta tekad mereka yang melebihi orang lain, bahkan disertai pula kobaran emosi yang membara.
Mendadak Im Gi mendongakkan kepala dan tertawa keras, gumamnya:
"Perempuan hebat! Perempuan bagus! Hanya perempuan dengan semangat semacam ini yang pantas menjadi anggota Thiat hiat tay ki bun kami. Biarpun nasib perguruan sedang mengenaskan, tidak disangka justru dapat bertemu perempuan bersemangat macam kalian."
"Di masa lampau, ananda pun sudah banyak melakukan kesalahan," bisik Un Tay-tay lirih.
"Manusia bukan nabi, siapa sih yang tidak pernah melakukan kesalahan" Kesalahan di masa lampau tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting mulai sekarang tidak melakukan tindakan yang melanggar peraturan perguruan."
Pada saat itulah suara pekikan panjang kembali bergema memekakkan telinga, bahkan berasal dari suatu tempat yang dekat sekali dari tempat mereka.
Terdengar Lui-pian Lojin berteriak:
"Jadi kalian benar-benar tidak mau keluar" Baiklah, Lohu sendiri pun tidak berminat tetap tinggal di padang rumput ini, akan Lohu hitung sampai empat, jika kalian belum mau keluar juga, Lohu segera akan membakar habis padang rumput ini...
akan kulihat tokoh macam apakah kalian?"
Setelah berhenti sejenak, dengan suara menggelegar bagai guntur dia mulai menghitung:
"Satu...."
Apabila padang rumput itu sampai dibakar, maka dapat dipastikan kebakaran hebat akan melanda tempat itu, sekali kebakaran terjadi, siapa pun tidak akan mampu
menyelamatkannya, terlebih tidak seorang pun mampu bersembunyi lagi di balik rerumputan.
Berubah hebat paras muka Im Kiu-siau, katanya:
"Celaka, didengar dari suara menggelegar yang memekakkan telinga, jelas orang ini memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, biasanya orang semacam ini akan melaksanakan ancaman-nya bila tidak dituruti."
"Jadi kalian belum tahu siapakah orang itu?" tanya Un Tay-tay.
"Sudah cukup lama kami bersembunyi di balik padang rumput, baru semalam kami mendapat tahu Suto Siau sekalian telah tiba di sini, tapi kami tidak mengira mereka memiliki jago silat setangguh ini, kami pun tidak tahu siapa gerangan orang itu?"
"Dia tidak lain adalah Lui-pian Lojin!" bisik Un Tay-tay sambil menarik napas panjang.
Begitu mendengar nama itu, sekujur tubuh Im Gi sekalian gemetar keras.
Dengan wajah berubah, kata Im Kiu-siau:
"Rupanya tokoh silat yang di masa lalu hanya mendengar namanya dari cerita dongeng, kini sudah bermunculan di depan mata, bahkan sejalan dengan Suto Siau sekalian?"
"Aaaai... panjang untuk diceritakan sebab musabab di balik semua itu, tapi ananda yakin kawanan jago tangguh itu sedikit banyak pasti tersangkut urusan dendam dengan perguruan Tay ki bun kita."
Baru bicara sampai disitu, kembali suara hitungan menggelegar:
"Dua...."
Sambil menundukkan kepala, Im Kiu-siau menghela napas.
"Apabila Lui-pian Lojin sejalan dengan Suto Siau sekalian, berarti harapan menang bagi kita semakin tipis, kini apa yang harus kita lakukan" Toako, silakan menurunkan perintah."
Im Gi ragu-ragu sejenak, kemudian serunya:
"Terjang... keluar!"
Biar hanya kata yang singkat, namun terkandung perasaan gusar, sedih dan putus asa yang kental.
Sambil mengertak gigi, ujar Im Kiu-siau pula:
"Daripada kita semua dipaksa keluar oleh kobaran api, lebih baik sekarang juga kita menyerbu keluar, toh sama-sama bakal mati, kenapa tidak mati dalam kondisi yang lebih gagah."
Sambil tertawa Im Gi menggeleng, tukasnya:
"Bagus! Kau memang tidak malu menjadi Samteku."
Un Tay-tay tidak menyangka Im Kiu-siau yang begitu lembut penampilannya ternyata memiliki semangat begitu gagah, diam-diam dia merasa kagum.
Dalam pada itu Im Kiu-siau telah melirik sekejap ke arah perempuan itu, kemudian katanya sambil menghela napas:
"Hanya saja... nona... nona Un, kau baru bergabung dengan perguruan kami, tapi kini harus berhadapan dengan situasi yang sangat tidak mengenakkan, kau... apakah kau tidak sangat menderita?"
"Kenapa mesti dirisaukan" Belum tentu kita bakal mati dalam pertarungan hari ini."
"Kalau bukan mati dalam pertarungan, memangnya kita mesti menyerah?" sela Im Gi gusar.
Buru-buru Un Tay-tay berseru:
"Ananda bukan bermaksud begitu, walaupun saat ini Lui-pian Lojin berada satu rombongan dengan Suto Siau sekalian, namun ananda punya akal untuk memecah belah mereka menjadi beberapa kelompok."
Kejut bercampur girang hati Im Gi sehabis mendengar perkataan itu, katanya:
"Asal Lui-pian Lojin bersedia tidak mencampuri urusan ini, kekuatan kita masih lebih dari cukup untuk bertarung melawan Suto Siau sekalian... tapi bagaimana caramu?"
Belum sempat Un Tay-tay menjawab, suara hitungan di luar telah bergema lagi:
"Tiga...."
Dengan perasaan terkejut Im Gi segera berseru:
"Waktu sudah tidak banyak lagi, cepat katakan caramu itu!"
"Di balik akal yang hendak ananda laksanakan, masih terkandung hubungan yang sangat pelik, persoalan ini tak mungkin bisa dijelaskan dalam sepatah dua patah kata, tapi ananda yakin akal ini tak bakalan meleset."
"Lantas apa yang harus kami lakukan?" tanya Im Gi dengan kening berkerut.
"Ananda tidak berani bicara."
"Urusan telah berkembang jadi begini, kenapa kau tidak berani menjelaskan?" seru Im Gi gusar.
Un Tay-tay menundukkan kepala semakin rendah, katanya:
"Ananda hanya berharap kau orang tua diam, apapun yang akan kukatakan, apapun yang hendak kulakukan, harap kau orang tua tidak melakukan tindakan apapun."
Belum selesai dia memberi penjelasan, Im Gi lelah menunjukkan kemurkaan yang luar biasa, bentaknya:
"Jadi kau suruh kami menjadi bonekamu?"
Buru-buru Im Kiu-siau menimbrung:
"Biarpun kita baru saja bertemu dengan bocah ini, tapi dapat kulihat kecerdasannya tidak berada di bawah Tiong-tong, aku percaya dia pasti punya alasan yang kuat sebelum mengucapkan perkataan itu."
"Tapi... bagaimana mungkin perguruan Tay ki bun kita...."
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Asal Tay ki bun masih punya kesempatan untuk menuntut balas, biarpun hari ini kita harus tersiksa dan menerima penghinaan pun, semuanya berharga untuk dilakukan, apalagi bocah ini sudah menjadi anggota perguruan kita."
Im Gi terbungkam beberapa saat, akhirnya sambil
menghentakkan kaki, dia berseru:
"Kalau begitu, baiklah!"
Dalam pada itu suara hitungan telah bergema lagi dari luar gua:
"Empat...."
Tidak membuang waktu, Un Tay-tay segera melejit dan meluncur keluar dari gua dengan kecepatan luar biasa.
Dia kurang menguasai situasi jalan dalam lorong gua itu, sepanjang perjalanan entah sudah beberapa kali tubuhnya dibuat lecet oleh gesekan batu cadas, namun perempuan itu sama sekali tidak merasa sakit, dengan cepat dia berlari keluar dari mulut gua sambil berteriak keras:
"Kami sudah keluar!"
Di antara rerumputan yang bergelombang karena hembusan angin, suasana terasa hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun di sana.
"Bagus!" mendadak terdengar gelak tertawa Lui-pian Lojin bergema kembali, "akhirnya muncul juga... hehehe... kalian selalu berkeras mengatakan padang rumput ini tidak ada penghuninya, masih untung Lohu orang yang banyak curiga, coba lihat, buktinya ada orangnya bukan?"
Di tengah gelak tertawanya, terlihat sesosok bayangan manusia melayang keluar dari balik rerumputan.
Rumput yang tumbuh di sana tingginya melampaui manusia, apalagi tangkainya kecil dan sangat lentur, bukan sembarang manusia dapat meluncur melalui atas rerumputan itu dengan mudah, dari sini bisa diketahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu benar-benar luar biasa.
Tampak bayangan manusia itu bergerak di atas rerumputan bagaikan sedang berjalan di tanah datar, tanpa dipandang raut mukanya lagi juga Un Tay-tay segera tahu orang yang muncul adalah Lui-pian Lojin.
Lui-pian Lojin pun nampak sangat terperanjat setelah mengetahui yang muncul adalah Un Tay-tay, begitu tubuhnya meluncur turun ke atas tanah, teriaknya keras:
"Aaaah, ternyata kau!"
"Kau masih mengenali aku?" tegur Un Tay-tay sambil tertawa.
Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kau adalah bakal menantu yang kupilih sendiri, tentu saja aku masih mengenali-mu, tapi... bukankah kau berada di pulau Siang cun-to" kenapa bisa muncul di sini?"
"Terus terang aku tidak kerasan tinggal di pulau Siang cun-to, di situ hidup menyendiri dan selalu kesepian, aku benar-benar tidak betah, karena itu aku... aku pun diam-diam minggat."
"Bagus! Bagus sekali! Memang tepat kau minggat dari situ!"
Lui-pian Lojin kembali tertawa tergelak.
Pada saat itulah dari balik rerumputan kembali terdengar suara manusia.
Un Tay-tay segera memutar biji matanya, ujarnya cepat:
"Saat ini aku mempunyai banyak masalah yang ingin kubicarakan dengan kau orang tua, tapi... tapi aku tidak ingin didengar orang lain, menurut kau bagaimana baiknya?"
Tidak sampai perempuan itu menyelesaikan perkataannya,
Lui-pian Lojin telah membentak nyaring:
"Balik, balik semua!"
Dari balik rerumputan segera terdengar suara orang menyahut, tidak lama kemudian suara berisik itu sudah semakin menjauh.
Sepeninggal suara itu, kembali dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Un Tay-tay, sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya, ujarnya:
"Biarpun kau telah berbuat tidak pantas terhadapku, namun aku masih tetap menyukaimu, sebab setelah kuperhatikan lebih seksama, kecuali kau, rasanya di kolong langit saat ini belum ada orang kedua yang lebih pantas menjadi menantu-ku, hanya saja... apakah sekarang kau sudah berubah pikiran?"
Un Tay-tay mengerling genit.
"Tentu saja aku sangat gembira bisa menjadi menantumu,"
katanya, "tapi sebelum itu aku ingin tahu dulu, apakah kau orang tua pun bersedia melenyapkan musuh besarku dan melindungi sahabat-sahabatku?"
"Tentu saja aku bersedia," sahut Lui-pian Lojin kegirangan,
"bila kau menjadi menantuku, berarti musuhmu adalah musuh Lohu juga, sahabatmu pun akan menjadi sahabatku."
Baru selesai ia bicara, tiba-tiba dilihatnya Im Gi dan rombongan berjalan keluar dari balik gua dengan langkah lebar, paras mukanya seketika berubah, dengan sorot mata setajam sembilu, tegurnya:
"Siapakah orang-orang itu?"
"Mereka adalah sahabatku," sahut Un Tay-tay sambil tersenyum.
"Oooh," Lui-pian Lojin tertawa tertahan, "budak kecil, rupanya kau sudah sedia payung sebelum hujan, kalau memang mereka adalah sahabatmu, tentu saja Lohu pun tidak akan menyusahkan mereka... tapi paling tidak suruhlah mereka datang mendekat dan memberi hormat kepadaku."
Sembari berkata dia mengawasi tajam wajah Im Gi.
Sementara itu Im Gi dengan sorot mata yang tajam sedang mengawasi pula dirinya... biarpun sinar mata itu sangat tajam, namun hawa membunuh pada diri Im Gi justru jauh lebih mengerikan.
Dua orang kakek yang sama-sama garang dan penuh wibawa saling berhadapan dengan sinar mata tajam, walaupun yang seorang berpakaian perlente sementara yang lain berbaju
rombeng, namun kewibawaan serta keangkeran yang terpancar tidak jauh berbeda.
Oleh karena kedua orang ini sama-sama berstatus seorang ketua perguruan, tidak heran penampilan mereka sama-sama keras dan kaku, begitu sinar mata mereka saling beradu, terjadilah gesekan hebat seolah-olah menimbulkan percikan bunga api.
Dengan satu gerakan cepat Lui-pian Lojin langsung meluruk maju ke hadapan Im Gi.
Sedemikian cepat gerakan tubuhnya, membuat siapa pun yang melihat merasa terperanjat, namun paras muka Im Gi yang kaku bagaikan sebuah baja itu sama sekali tidak berubah, bahkan sepasang matanya pun sama sekali tidak berkedip.
Begitu tiba di hadapan Im Gi, dengan suara garang Lui-pian Lojin segera menghardik:
"He, aku suruh kau memberi hormat kepadaku, dengar tidak?"
Dada Im Gi kelihatan naik turun menahan emosi, dia tetap membungkam.
"He, jangan-jangan si tua bangka ini tuli?" kembali Lui-pian Lojin menegur dengan gusar.
Tiba-tiba Im Gi balas membentak:
"Kenapa Lohu mesti memberi hormat kepadamu?"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bentakan itu sungguh dahsyat, suaranya keras bagaikan guntur yang membelah bumi di siang liari bolong, bukan saja membuat semua orang terkejut, bahkan Lui-pian Lojin pun ikut terperanjat.
Sesaat kemudian, dengan penuh amarah dia membentak:
"Kalau kau enggan memberi hormat, Lohu akan memberi pelajaran kepadamu."
Sepanjang hidup, jarang ada orang berani turun tangan melawannya, ini disebabkan sekalipun orang lain tidak mengetahui identitas-nya, paling tidak mereka dibuat keder oleh penampilannya yang angker.
Apalagi dilihat dari sorot matanya yang tajam bagai sembilu serta nada suaranya yang keras bagai bunyi genta, orang langsung tahu dia memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.
Tapi kini, bukan saja Im Gi tidak dibuat keder, malahan dengan suara lantang segera menyahut:
"Coba saja!"
Begitu selesai bicara, sebuah gempuran sedahsyat sambaran
guntur telah dilontarkan, meski jurus serangan yang digunakan tidak terlalu istimewa, namun tenaga pukulannya benar-benar menakutkan.
Dengan perasaan terperanjat Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, bentaknya:
"Tua bangka, berani amat kau turun tangan, sudah tahu siapakah Lohu?"
"Coba kalau bukan Lui-pian, kau tidak pantas bertarung melawanku," Im Gi balas menghardik.
Di satu pihak kedua orang tua itu sudah saling berhadapan sambil saling mengancam, di pihak lain Im Kiu-siau tiada hentinya memberi kode kedipan mata kepada Un Tay-tay dan memintanya untuk mencegah pertarungan antara kedua orang itu.
Siapa tahu Un Tay-tay berlagak seolah tidak melihat, dia hanya menonton sambil tersenyum.
Tidak terlukiskan rasa kaget, gusar dan panik yang dirasakan Im Kiu-siau, namun dia pun tidak berani turun tangan membantu....
Ketika Im Gi sedang bertarung melawan seseorang, sampai mati pun dia enggan menerima bantuan dari orang lain.
Tentu saja Im Kiu-siau tidak tahu Un Tay-tay sesungguhnya sudah mengenal sangat jelas watak Lui-pian Lojin, orang ini lebih suka dihadapi secara kekerasan ketimbang cara halus, orang semacam ini memang perlu ditaklukkan oleh kekerasan watak manusia macam Im Gi.
Perempuan inipun tahu, walaupun kungfu yang dimiliki Im Gi masih bukan tandingan Lui-pian Lojin, namun wataknya yang keras kepala dan berangasan sama sekali tidak di bawah kekerasan watak kakek cambuk geledek ini.
Jiwa keras orang-orang Thiat hiat tay ki bun memang tiada duanya di kolong langit.
Benar saja, begitu Im Gi selesai membentak, Lui-pian Lojin malah mendongakkan kepala dan lertawa terbahak-bahak, tertawa keras yang membuat orang-orang perguruan Tay ki bun lertegun.
Terdengar Lui-pian Lojin berkata:
"Pepatah mengatakan, burung rajawali tidak akan
berkelompok dengan burung walet, Kilin tidak akan berkawan dengan rase, ternyata teman-teman Un Tay-tay memang bukan bangsa kurcaci."
Kemudian sambil menepuk bahu Im Gi, katanya pula:
"Mari, mari, mari, kita dua orang tua bangkotan memang pantas saling berkenalan, ayo ikut aku, kita harus meneguk beberapa cawan arak dan minum sampai mabuk."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, mendadak tanyanya:
"Bukankah kau orang tua memiliki sebuah buli-buli?"
"Benar," sahut Lui-pian Lojin setelah tertegun sejenak.
"Apakah buli-bulimu saat ini berisi arak?"
"Kalau tidak berisi arak, buat apa Lohu menggembol buli-buli kosong?"
"Mana buli-bulimu itu?"
"Eeei, budak cilik, pertanyaanmu makin lama terasa makin aneh, mana mungkin Lohu meniru gaya orang sinting yang tiap hari memegang buli-buli arak di tangan, buli-buliku tentu saja kugantung di atas dinding, tapi kenapa kau mesti menanyakan persoalan ini?"
Sekalipun sudah cukup lama berkenalan, namun dia masih belum bisa menebak maksud di balik pertanyaan Un Tay-tay itu.
Un Tay-tay hanya mengedipkan matanya berulang kali dan tersenyum tanpa menjawab.
"Kalau kau ingin mengatakan sesuatu, kenapa tidak kau katakan segera?" tanya Lui-pian Lojin lagi keheranan.
"Aku masih belum bisa menjelaskan sekarang."
"Harus menunggu sampai kapan?"
"Sampai bertemu dengan Seng Toa-nio."
Lui-pian Lojin menggelengkan kepala berulang kali sambil tertawa.
"Dasar budak yang banyak akal," serunya, "terkadang Lohu pun bisa kau tipu habis-habisan, sudah, tidak usah menggubris dia lagi, ayo kita teguk tiga cawan arak."
Sekali lagi dia menepuk bahu Im Gi, lalu membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Memandang bayangan punggungnya, Im Gi pada sangsi sejenak, tapi akhirnya dia mengikut dari belakang dengan langkah lebar.
Kedua orang ini bukan saja memiliki perawakan tubuh yang sama, gaya, watak maupun penampilannya pun tidak banyak berbeda, jadi tidak aneh kalau mereka berdua saling tertarik.
Bedanya, Lui-pian Lojin selalu hidup santai dan mengembara dalam dunia persilatan sebagai orang yang latah, dia tidak
pernah memandang sebelah mata pun terhadap umat persilatan di dunia, karena itu sikapnya lebih terbuka dan seenaknya.
Berbeda dengan Im Gi yang mesti memikul dendam kesumat perguruan, bertanggung jawab atas keselamatan serta keutuhan perguruan Tay-ki-hun, dalam keadaan seperti ini, tidak aneh dia selalu tampil serius dan jarang sekali tertawa.
Begitulah, rombongan manusia itu berangkat menerobos masuk ke balik padang rumput, sepanjang jalan hanya rerumputan lebat yang terbentang di depan mata, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan langkahnya sambil memasang telinga mendengarkan sesuatu, paras mukanya seketika berubah jadi serius, agaknya dia berhasil mendengar sesuatu suara yang mencurigakan.
Diam-diam Un Tay-tay tertawa geli, pikirnya, Mana mungkin ada seseorang di situ" Jangankan manusia, bayangan setan pun mungkin tidak ada, tidak heran semua orang mengatakan sepanjang hari dia hanya curiga melulu.
Berpikir sampai di situ, tidak tahan serunya:
"Kau...."
Tapi belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, tahu-tahu mulutnya sudah dibekap oleh Lui-pian Lojin.
Terdengar kakek itu berbisik di sisi telinganya:
"Di sana ada manusia yang sangat mencurigakan, entah apa yang sedang mereka bicarakan, ayo kita tengok ke situ."
Dia baru saja berbicara dengan menggunakan ilmu Coan im ji bit (ilmu menyampaikan gelombang suara), sebuah kepandaian tingkat tinggi dalam dunia persilatan, kecuali Un Tay-tay, siapa pun tidak mendengar apa yang sedang dia katakan.
Pada saat bersamaan, kembali dia berbisik pula ke telinga semua orang yang lain:
"Harap kalian menunggu sejenak di sini, jangan bicara, jangan bergerak, Lohu segera akan balik lagi kemari."
Suara itu meski dikirim dengan ilmu menyampaikan gelombang suara, namun setiap patah kata dapat didengar Im Gi sekalian dengan jelas sekali.
Tanpa terasa Im Gi saling bertukar pandang sekejap dengan Im Kiu-siau, dengan perasaan kagum, pikirnya:
"Sebuah kepandaian yang sangat hebat, ternyata nama besarnya bukan nama kosong belaka, tapi sekeliling tempat ini sepi tidak nampak bayangan manusia pun, kenapa secara tiba-
tiba dia mengajak pergi Un Tay-tay" Apa yang hendak dia perbuat?"
Sebaliknya Un Tay-tay juga sedang berpikir, "Mana mungkin ada yang sedang berbicara di situ" Mungkin orang tua ini salah dengar, mendingan tidak usah ke sana!"
Tapi lantaran mulutnya dibekap, maka perkataan itu tidak mungkin diucapkan keluar.
Pada saat itulah terasa tubuhnya sudah melayang
meninggalkan permukaan tanah, hanya dalam dua tiga kali lompatan saja mereka sudah meninggalkan Im Gi dan rombongan sejauh belasan kaki lebih.
Gerakan tubuh Lui-pian Lojin sama sekali tidak menimbulkan suara, selain ringan juga sangat cepat, baru saja Un Tay-tay mengagumi kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mendadak dari sisi kiri dia mendengar ada suara seperti orang sedang berbicara.
Ternyata Lui-pian Lojin memang tidak salah mendengar, di tempat itu benar-benar ada orang sedang berkasak-kusuk, yang hebat adalah suara pembicaraan itu sangat lirih bagaikan suara bisikan serangga, namun dia yang berada sejauh dua puluhan kaki masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Un Tay-tay semakin kagum, pikirnya, "Siapa lagi yang sedang berbincang" Jangan-jangan Suto piau sekalian pun sedang merundingkan siasat buruk" Wah, kalau dia pun mengundang Hek Seng-thian untuk mencelakai Seng Toa-nio, ini baru hebat namanya!"
Tampak paras muka Lui-pian Lojin berubah jadi serius, agaknya dia sedang menguping pembicaraan yang sedang berlangsung.
Un Tay-tay mencoba ikut mendengarkan, sayang dia hanya mampu menangkap suara pembicaraan yang kabur, sama sekali tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.
Dalam gelisahnya, satu ingatan cerdas melintas dalam benaknya, cepat dia menempelkan telinganya ke atas permukaan tanah, kebetulan kedua orang yang berada di seberang sana pun sedang berbicara sambil menempelkan tubuh ke tanah, dengan begitu dia dapat mengikuti jalannya pembicaraan itu dengan jelas.
Terdengar salah satu di antaranya sedang berkata:
"Setelah berada di tempat yang begini rahasia, sekalipun ada orang lain, rasanya kita pasti akan mengetahui kehadirannya,
kenapa Hengtai masih harus berbicara sambil berbaring di tanah" Apakah Hengtai tidak merasa tindakanmu kelewat berlebihan?"
Kalau didengar dari logat bicaranya, orang itu seharusnya seorang anak muda, tapi Un Tay-tay belum pernah mendengar nada suara orang ini sehingga dia tidak dapat menebak siapa gerangan orangitu.
Terdengar seseorang yang lain segera menjawab:
"Saudara Liong, kau tidak tahu, ketajaman pendengaran ayahku luar biasa hebatnya, aku berani bilang kehebatannya tiada duanya di kolong langit, bila kita bersikap sedikit gegabah saja, biarpun dia berada puluhan kaki jauhnya dari posisi kita, suara pembicaraan kita berdua pasti dapat kedengaran olehnya."
Begitu mendengar suara orang ini, Un Tay-tay betul-betul dibuat tertegun, mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang yang sedang berkasak-kusuk saat ini ternyata tidak lain adalah putra Lui-pian Lojin sendiri.
Sebenarnya dia mempunyai rahasia apa" Kenapa harus bicara secara sembunyi-sembunyi di tempat itu" Kenapa dia harus mengelabui ayahnya" Manusia macam apa pula pemuda marga Liong itu"
Sementara itu pemuda she Liong itu sudah bertanya kembali:
"Apakah persoalan yang hendak Hengtai sampaikan kepada Siaute tidak boleh diketahui ayahmu?"
"Betul, ayahku memang tidak boleh tahu."
Diam-diam Un Tay-tay mencoba melirik sekejap, terlihat olehnya Lui-pian Lojin sedang berdiri dengan wajah penuh amarah.
Walaupun timbul rasa ingin tahu di hati kecilnya, tidak urung Un Tay-tay mulai kuatir juga atas keselamatan pemuda itu, bagaimanapun juga pemuda ini pernah membantu dia dan Im Ceng, dia merasa berhutang budi kepadanya.
Terdengar pemuda she Liong itu menghela napas, ujarnya:
"Walaupun Siaute kurang tahu persoalan apa yang membuat Hengtai harus mengelabui ayahmu, tapi asalkan Siaute dapat menyumbangkan sedikit tenaga bagi Hengtai, Siaute pasti akan melakukannya."
"Sebetulnya Siaute hanya ingin menanyakan satu hal kepada Hengtai."
"Soal apa?" kelihatannya pemuda she Liong itu agak keheranan.
Kembali putra Lui-pian Lojin menghela
Istana Pulau Es 7 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Cacad 20
^