Pendekar Panji Sakti 26

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 26


enak, tanyanya lagi:
"Bagaimana dengan Sim Sin-pek?"
"Dia kabur paling dulu sambil membopong Sui Leng-kong!"
"Dan si Hujan gerimis?" tanya Suto Siau lagi setelah menghembuskan napas lega.
"Dengan kepandaiannya yang hebat, memangnya dia tidak sanggup meloloskan diri?"
"Seng Toa-nio?"
"Seng Toa-nio" Aaaai, susah dibilang, tapi paling tidak enam puluh persen mereka ibu beranak punya kesempatan untuk tetap hidup, sedang Liu Ji-uh dan Liong Kian-sik bisa dipastikan mampus."
"Benar," Hek Seng-thian menandaskan, "sewaktu masih berada dalam gua, aku sempat mendengar jerit kesakitannya, dia seperti kejatuhan batu besar. Aaaai! Sayang juga, masih muda sudah harus mati."
"Kalau Che Toa-ho?"
"Sebelum terjadi longsor, dia sudah mati lebih dulu, mati keracunan."
Dalam hati kecil Suto Siau merasa sangat gembira, tapi di luar dia pura-pura menghela napas panjang.
"Aaaai, tidak kusangka ada begitu banyak orang yang harus tewas dalam bencana kali ini
"Suto-heng, kau tidak merasa agak aneh dengan bencana alam yang barusan terjadi?" sela Pek Seng-bu tiba-tiba.
"Aneh" Apanya yang aneh?"
"Tanah longsor dan gempa itu terjadi sangat mendadak."
"Tanah longsor dan gempa bumi merupakan bencana alam,
itulah gejala alam yang sukar diramalkan, apanya yang aneh?"
"Tapi gempa dan longsor yang terjadi kali ini sepertinya perbuatan manusia," kata Pek Seng-bu serius.
"Perbuatan manusia?"
"Benar, 90% hasil perbuatan manusia."
Suto Siau tertegun beberapa saat lamanya, tapi kemudian katanya sambil tertawa geli:
"Pek-heng, mungkin dugaanmu keliru, manusia mana di dunia ini yang mampu membuat gempa dan tanah longsor?"
"Bahan peledak!" sela Hek Seng-thian, "masa saudara Suto lupa tentang bahan peledak?"
Sekali lagi Suto Siau tertegun, gumamnya, "Benar, bahan peledak
"Ketika pertama kali mendengar suara ledakan tadi, lamat-lamat aku sempat mengendus bau belerang dan mesiu, tampaknya ledakan itu berasal dari dalam bumi, tapi aku tidak begitu yakin."
"Sayang Bi Lek-hwe si tua bangka itu tidak berada di sini, kalau tidak, dia dapat memastikan suara ledakan itu berasal dari mana," kata Hek Seng-thian sambil menghela napas.
"Bi Lek-hwe?" Suto Siau berpikir sejenak, "jangan-jangan dia?"
"Aku rasa bukan, biarpun watak Bi Lek-hwe agak bau dan jelek, dia paling pantang melakukan perbuatan seperti itu, jadi mustahil ledakan tadi hasil perbuatannya."
"Tapi selain Bi Lek-hwe, siapa lagi yang memiliki kemampuan untuk meledakkan mesiu sedahsyat itu?"
"Siaute sendiri pun kurang tahu, tapi dunia persilatan memang isinya sarang naga gua harimau, apalagi menguasai bahan peledak bukan merupakan suatu kejadian yang luar biasa."
"Bila ledakan itu hasil ulah tokoh silat, buat apa dia mesti meledakkan bukit karang" Apalagi ledakan itu berasal dari bawah tanah, memangnya orang itu bersembunyi di dalam bumi?"
"Siaute pun merasa bingung, tidak habis mengerti dengan kejadian ini."
Pada saat itulah dari kejauhan kembali terdengar suara pekikan nyaring yang amat keras... suara pekikan itu sama seperti suara pekikan yang terdengar oleh Gi Beng dan Im Gi sekalian.
BAB 40 Tewasnya sang Bidadari
Ledakan itu memang berasal dari dalam bumi, tentu saja di bawah tanah terdapat manusia, karena obat mesiu itu memang diledak-kan dari dalam perut bumi.
Peristiwa semacam ini merupakan peristiwa langka, kejadian yang tidak umum, tidak heran manusia licik macam Suto Siau pun tidak bisa menduga apa gerangan yang telah terjadi.
Terlebih lagi mereka tidak menyangka orang yang berada di dalam perut bumi tidak lain adalah jagoan yang paling mereka segani... Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam.
Selama beberapa waktu belakangan, kehidupan Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam yang berada dalam perut bumi boleh dibilang ibarat hidup dalam neraka, bukan hanya penderitaan secara lahiriah, yang lebih menderita adalah siksaan yang datang dari dalam batin.
Setiap hari mereka hanya bisa mengawasi bongkahan batu raksasa yang membukit tanpa bisa banyak bicara maupun berbuat, yang dapat mereka lakukan hanya duduk tanpa bergerak, duduk termangu sambil mengawasi bebatuan itu, duduk mendelong hingga lupa makan, minum apalagi tidur.
Batuan cadas raksasa itulah yang telah memisahkan mereka dengan dunia luar, memutuskan jalan keluar mereka, melenyapkan seluruh harapan mereka, juga melenyapkan sisa kekuatan hidup yang mereka miliki.
Dalam keadaan begini, mereka sudah tidak tahu apa arti kepedihan, tidak tahu bagaimana harus marah, yang bisa dilakukan hanya termangu sambil mengawasi bongkahan batu raksasa itu, dengan tenang menunggu saat lenyapnya kehidupan mereka....
Bukan hanya Kaisar malam seorang, bahkan Thiat Tiong-tong pun sudah kehilangan semangat juangnya, semangat untuk mempertahankan diri.
Sebenarnya anak muda ini memiliki hati sekuat baja, betapa pun besarnya kekecewaan, pukulan batin, mara bahaya maupun kegagalan, hatinya tidak pernah berubah, keuletannya tidak pernah mengendor.
Tapi sekarang dia harus melalui kehidupan penuh kegalauan, hidup dalam situasi pelik yang sulit tertolong lagi, dalam keadaan begini terpaksa dia harus membuang jauh seluruh harapannya, dia harus memendam semua semangatnya.
Kaisar malam pun nampak sangat kusut, bila saat itu ada orang yang bertemu dengannya, mereka tidak bakal percaya orang tua ini tidak lain adalah jagoan nomor wahid yang pernah menggetarkan sungai telaga, kakek romantis yang memiliki banyak pacar dan tidak terkalahkan kungfunya.
Terkadang dia sempat bergumam seorang diri:
"Kesalahan apa yang telah kulakukan" Kesalahan apa yang telah kulakukan" Aku bersalah.. aku bersalah...
Nada ucapannya dipenuhi rasa sedih dan penyesalan, membuat pedih perasaan hati siapa pun yang mendengar.
Tapi kawanan gadis yang menawan itu seolah sudah kehilangan senyuman mereka yang menawan, sudah kehilangan kecantikan wajah mereka di masa lampau.
Wajah yang semula putih, halus dan ayu, kini berubah jadi layu dan kusut, kerlingan matanya yang genit, kini jadi buram tidak bercahaya, bahkan rambut panjang mereka yang dulu hitam berkilat, kini sudah pudar.
Mereka sudah menyingkirkan bedak dan gincu, mereka membuang cermin untuk berdandan, mereka tinggalkan khim dan catur, mereka singkirkan pit dan kertas, namun mereka tidak pernah bisa menyingkirkan rasa sesal yang luar biasa.
Hingga suatu hari, San-san menghembuskan napas yang terakhir.
Gadis romantis yang lincah dan penuh rasa cinta itu akhirnya pergi untuk selamanya dengan membawa semua penyesalan, kepedihan dan penderitaan... cinta yang berlebihan akhirnya memusnahkan seluruh kehidupannya.
Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, dia sudah dalam kondisi yang mengenaskan, pipinya yang semula halus lembut bagaikan buah apel, kini tinggal kulit pembungkus tulang, tinggal selapis kulit yang pucat dan tidak bercahaya.
Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, semua gadis berdiri mengelilinginya, hanya Kaisar malam seorang yang duduk menjauh, jangankan menghampiri, melirik sekejap pun tidak.
Sesaat sebelum ajalnya, dia masih memohon pengampunan Kaisar malam.
"Ampunilah kesalahanku, aku mohon.... ampunilah
kesalahanku," pintanya dengan suara gemetar.
Kaisar malam sama sekali tidak ambil peduli dia seolah tidak mendengar permohonan itu, seakan tidak mendengar apa-apa.
"Aku... aku tahu... dia... selamanya dia tidak akan memaafkan diriku," bisik San-san lagi dengan air mata berlinang, "tapi Thiat-kongcu, maukah kau... maukah kau memaafkan aku?"
Dengan hati pedih Thiat Tiong-tong mengangguk, sahutnya sambil menghela napas panjang:
"Semua ini memang bukan salahmu, cinta yang berlebihan...
aaaai! Tidak pernah ada yang menyalahkan seorang yang memiliki cinta berlebihan, kalau ingin menyalahkan... Thian lah yang salah, aaaai... ! Thian... wahai, Thian!"
Akhirnya sekulum senyuman tersungging di ujung bibir San-san.
Itulah senyumannya yang terakhir, senyuman yang membuat wajahnya yang kurus kering menampilkan secercah cahaya aneh... itulah cahaya terakhir menjelang sekarat.
Inilah berkah yang diberikan Thian kepada seorang yang sekarat.
Dari balik mata San-san pun memancarkan sekilas cahaya aneh, perlahan-lahan dia menyapu wajah semua gadis yang berada di sekelilingnya... setiap orang, tak ada yang tertinggal.
Kemudian dia bertanya lagi:
"Adik-adikku, kalian... kalian mau memaafkan aku bukan?"
Kawanan gadis itu tidak mampu mengendalikan diri lagi, semua orang menangis tersedu-sedu.
Menangis pun merupakan pemberian maaf yang paling tulus.
"Bila kalian telah bersedia memaafkan aku, ada satu permintaan terakhir yang ingin kusampaikan kepada kalian,"
kata San-san kemudian: "aku berharap kalian bersedia mengabul-kan permintaanku itu... katakan! Kalian bersedia mengabulkan permintaanku bukan?"
"Apapun permintaanmu, kami pasti akan mengabulkan,"
sahut Min-ji sambil menangis terisak.
"Kami kabulkan permintaanmu," serentak kawanan gadis yang lain ikut menyahut.
"Baiklah San-san tertawa pedih, "setelah aku mati nanti, ledakkan jenasahku dengan obat peledak hingga hancur berkeping, aku... aku...."
Belum selesai dia berkata, mendadak napasnya sesak dan gadis itupun menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sekalipun dia belum selesai berkata, namun semua orang dapat menangkap betapa menyesalnya gadis itu, rasa penyesalan yang luar biasa, rasa sesal yang membuatnya menderita....
Dia ingin nyawa dan tubuhnya hancur berkeping, hancur menjadi abu, dia tidak ingin lagi menyisakan dirinya, menyisakan bagian mana pun dari tubuhnya di dunia ini....
Meledaklah isak tangis yang memilukan hati
Obat mesiu telah diangkut ke situ, bungkus demi bungkus obat mesiu telah menumpuk di sekeliling jenazah San-san.
Min-ji sambil mengangkat obor tinggi-tinggi selangkah demi selangkah berjalan mendekat, cahaya api menyinari wajahnya, memantulkan butiran air mata di wajah semua orang, menyinari pula jenazah yang membujur kaku di tanah menyinari seluruh gua yang penuh misteri itu....
Pemandangan saat itu terasa begitu pedih, tragis dan menggetarkan sukma.
Tiba-tiba Cui-ji berlari ke depan, berlari sambil berseru:
"Cici sekalian, cepat menyingkir, hati-hati jangan sampai kalian ikut diledakkan."
"Bagaimana dengan kau?" tanya kawanan gadisku.
"Aku telah memutuskan untuk menemani Enci San-san, aku ingin mati bersamanya, karena itu telah kugunakan begitu banyak bahan peledak, semoga obat mesiu itu cukup untuk menghancur leburkan tubuh kami bertiga...."
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Thiat Tiong-tong melompat bangun sambil berteriak.
Dengan tertegun semua gadis berpaling, mereka dapat menangkap rasa girang yang terlintas di wajah pemuda itu.
"Thiat-kongcu, kau... kau tidak perlu menghalangi kami," kata Min-ji sambil tertawa pedih, "sudah kami putuskan...."
Obornya mulai diturunkan, mulai mendekati sumbu bahan peledak itu....
Saat itu Thiat Tiong-tong masih berada beberapa langkah darinya, di tangannya tiada benda, ingin menyambar tangannya pun sudah tidak sempat lagi, bahkan ingin menimpuk jatuh obor itupun mustahil.
Tidak ada gunanya obor itu ditimpuk jatuh, karena bahan mesiu itu pasti akan segera meledak, kalau sampai begitu, dapat dipastikan tubuh Min-ji dan Cui-ji pun akan turut hancur jadi abu.
Sejujurnya dia sama sekali tidak memikirkan keselamatan
Min-ji serta Cui-ji, tindakannya itu bukan lantaran menguatirkan mereka, dia panik karena obat mesiu itu.
Obat mesiu yang tersisa merupakan kesempatan terakhir bagi mereka, dia tidak ingin benda itu dibuang percuma.
Dalam gugup dan paniknya, tanpa mempedulikan segala resiko dia lepaskan sebuah pukulan.
Belum lagi tubuhnya mencapai sasaran, angin pukulan sudah dilontarkan ke muka, menumbuk tubuh Min-ji yang lemah dan membuat gadis itu mencelat ke belakang.
Tidak ampun badannya yang lemah menumbuk dinding batu, roboh terjungkal ke tanah, obor yang berada dalam genggaman pun padam seketika.
Dengan langkah cepat, Thiat Tiong-tong meluncur ke tepi tumpukan obat mesiu, dadanya naik turun tidak beraturan, napasnya tersengal, sementara dia hanya berdiri tertegun, berdiri tanpa sadar kalau ada belasan mata sedang mengawasinya dengan ter peranjat, merasa tercengang oleh tindakannya, kaget oleh kehebatan tenaga pukulannya.
Padahal dia sendiri pun merasa terperanjat... mimpi pun tidak mengira ayunan tangannya bisa menghasilkan tenaga pukulan sedahsyat itu.
Dia seolah tidak sadar, sejak berhasil mempelajari ilmu Ka ih sin kang, tenaga dalamnya sudah amat dahsyat, kekuatannya sudah bisa disejajarkan dengan jagoan nomor wahid manapun.
Kalau dulu dia ibarat sebuah batu pualam yang belum terasah, batu pualam yang belum memantulkan cahayanya, belum sanggup memperlihatkan kemampuan terpendamnya.
Tapi sekarang dia ibarat batu pualam yang sudah terasah, indah bercahaya, semua kemampuan terpendamnya telah tergali... dari sebongkah baja telah berubah menjadi sebilah pedang tajam.
Saat itu Kaisar malam sedang mengawasi pula ke arahnya.
Untuk pertama kalinya secercah cahaya tajam melintas di wajahnya yang kusut dan murung.
Dapat menyaksikan keberhasilan anak didiknya yang terasah olehnya, jelas merupakan kejadian yang menggembirakan, kejadian yang membanggakan.
Min-ji sudah tidak sadarkan diri, roboh terkapar di sisi Cui-ji, sementara gadis itu dengan suara gemetar menegur:
"Thiat-kongcu, kenapa kau... kenapa kau berbuat begitu"
Kenapa kau harus berbuat begitu" Apakah kau pun melarang
kami orang-orang bernasib burukuntuk mati?"
"Kau tidak perlu mati... semua orang tidak perlu mati," tukas Thiat Tiong-tong.
"Apakah kau... sudah mendapat akal?"
"Bahan peledak... obat mesiu...."
Sekarang dia sudah berhasil mengendalikan diri, wajahnya dipenuhi senyum kegembiraan, mendadak dia ambil sebungkus obat mesiu, sambil disodorkan ke hadapan Cui-ji, teriaknya:
"Obat mesiu ini berhasil meledakkan lorong bawah tanah, kenapa tidak kita gunakan lagi untuk meledakkan bongkahan batu raksasaku?"
Cui-ji tertegun sejenak, kemudian teriaknya sambil berjingkrak:
"Betul! Betul! Kenapa tidak terpikir sejak dulu...."
Sementara kawanan gadis itu bersorak-sorai, Thiat Tiong-tong telah membalikkan tubuh menghampiri Kaisar malam.
Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Kaisar malam telah bangkit berdiri sambil berseru:
"Cepat, cepat pindahkan semua bahan mesiu yang ada kemari!"
Dia sendiri sudah lupa, sudah berapa lama tidak bangkit dari tempat duduknya sekarang, namun sekarang dia merasa begitu bersemangat, begitu bertenaga.
Suasana kehidupan tumbuh kembali di dalam liang gua itu.
Hampir semua bahan mesiu yang tersedia dalam gudang telah dipindahkan keluar semua.
"Cu... cukupkah itu?" dengan perasaan sangsi Thiat Tiong-tong bertanya.
Kaisar malam tertawa tergelak. "Kalau diganti dengan bahan mesiu lainnya, biar ditambah sepuluh kali lipat pun belum tentu cukup, tapi bahan mesiu itu... hahaha... cukup.. cukup... lebih dari cukup."
"Apa bedanya dengan bahan peledak lain?" tak tahan Thiat Tiong-tong bertanya.
"Coba kau perhatikan lagi dengan seksama, masa tidak bisa menemukan perbedaannya?"
"Tecu sama sekali tidak paham tentang bahan mesiu, tapi...
seingatku dulu, obat mesiu yang dijual di toko mercon biasanya berwarna kuning."
"Coba kau perhatikan sekarang, obat mesiu itu berwarna apa?"
"Hitam!"
"Nah, itulah dia, bubuk mesiu berwarna kuning hanya bisa digunakan untuk membuat mercon, sedang bubuk mesiu berwarna hitam dapat digunakan untuk meledakkan batu dan bukit, setiap orang punya resep untuk membuat ramuan bubuk mesiu kuning, tapi ramuan bubuk hitam hanya Lohu seorang yang tahu, bubuk mesiu yang tersedia sekarang tidak lain adalah hasil buatanku sendiri."
Kini orang tua itu sudah memperoleh kembali semangat serta kehebatannya di masa lalu, sinar matanya tajam bagai pisau, wajahnya penuh pancaran cahaya hidup, cara bicaranya pun lebih bersemangat.
"Kenapa terdapat perbedaan yang besar antara bubuk kuning dengan bubuk hitam?" tidak tahan kembali Thiat Tiong-tong bertanya.
"Perbedaannya bukan hanya terletak dalam hal warna, bahan ramuannya pun jauh berbeda."
Setelah memperoleh kembali semangat hidupnya, rasa ingin tahu Thiat Tiong-tong pun tumbuh kembali, dia memang sangat tertarik dengan segala yang baru, semua pengetahuan yang diperoleh selalu ditanya hingga detil.
"Apa pula perbedaan bahan ramuannya?" kembali ia bertanya.
"Ramuan untuk bubuk mesiu kuning tersedia di negeri ini sejak zaman kuno, bahan utamanya adalah belerang, sewaktu meledak menimbulkan suara keras, namun daya ledaknya tidak mampu menghancurkan benda keras."
"Kalau yang hitam?"
"Kalau bubuk mesiu hitam beda sekali, bubuk itu baru berhasil Lohu buat setelah melalui eksperimen yang sangat lama, jarang orang di kolong langit yang mengetahui rahasia ramuan ini."
"Bolehkah Tecu... Tecu...."
"Sayang, kau pun tidak boleh tahu."
"Ooh...." Thiat Tiong-tong tertunduk lesu dan tidak bicara lagi.
Sementara berbincang-bincang, sepasang tangan Kaisar malam bekerja tiada hentinya, dengan alat bantu sebilah pisau kecil ia membuat banyak sekali sumbu mesiu yang disambung menjadi satu.
Cukup lama Thiat Tiong-tong memperhatikan orang tua itu bekerja, lama kelamaan dia tidak tahan juga untuk bertanya:
"Apa yang sedang kau buat" Untuk apa benda itu?"
"Aku sedang membuat sumbu untuk memicu api itu
meledakkan bahan mesiu lainnya."
"Dengan alat pemicu itu, semua bahan mesiu bisa meledak?"
Kaisar malam tertawa lebar.
"Asal kita sulut mesiu itu dengan api, sudah pasti semua bahan yang ditumpuk di situ akan meledak, tapi ledakan yang bakal terjadi sangat mengerikan, kita semua bisa mati konyol karenanya."
"Aaah, belum pernah Tecu memikirkan hal itu," kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa jengah.
"Nah, untuk menghindari mati konyol, sengaja kubuat sumbu pemicu yang panjang, kita bisa menyulutnya dari jarak sekian puluh kaki, bukan Lohu sengaja membual, dalam hal pembuatan sumbu pemicu inipun belum ada orang yang mampu
menandingiku di kolong langit saat ini."
"Apakah di balik pembuatan inipun terdapat rahasia lain?"
"Tentu saja ada rahasianya... kau mesti tahu, bubuk hitam adalah bahan mesiu yang gampang meledak, salah-salah bisa mendatangkan bencana kematian buat diri sendiri, bahan sensitif semacam ini tidak setiap orang bisa membuatnya.
Bi lek tong bisa tersohor di kolong langit karena mereka pun punya resep untuk meracik bubuk mesiu semacam ini, namun bila dibandingkan dengan kemampuan Lohu, hahaha... mereka masih ketinggalan jauh."
"Tentu saja!" Thiat Tiong-tong ikut tertawa.
"Untuk meracik bahan mesiu semacam ini, selain dibutuhkan tehnik tingkat tinggi, kau mesti memiliki sepasang tangan yang tenang dan mantap, harus menguasai tindakan apa yang mesti dilakukan bila menjumpai suatu keadaan, dengan ketrampilan semacam inilah bubuk mesiu itu baru bisa menciptakan daya ledak semaksimal mungkin."
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang. "Aaaai! Tecu tidak pernah menyangka kalau untuk meracik bahan mesiu pun dibutuhkan pengetahuan sedemikian luasnya, sayang... sayang Tecu tidak berjodoh untuk mempelajarinya."
"Kau mulai merasa kecewa" Menyesal?" Kaisar malam menatapnya sekejap dan tertawa.
"Tecu... Tecu...."
"Padahal semua kepandaian yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu, kenapa justru ilmu meracik bahan peledak tidak kuwariskan" Coba pikir sendiri dengan lebih seksama, apa
alasanku menolak permintaanmu itu?"
"Tecu tidak mengerti."
"Karena bubuk mesiu adalah sebuah benda yang
mendatangkan bencana, barang haram yang membuat sial."
Dia mendongakkan kepala dan menghela napas, lanjutnya:
"Ketika untuk pertama kalinya aku berhasil menciptakan rahasia ini, tidak terlukiskan rasa girangku, aku ingin segera menyiarkan kabar gembira ini ke seluruh kolong langit, tapi setelah berpikir dua hari, makin kubayangkan hatiku semakin bergidik, bukan saja rahasia racikan itu seketika kumusnahkan, bahkan aku bersumpah tidak bakal mewariskan ilmu rahasia ini kepada siapa pun, aku tidak ingin ada orang menggunakan resep rahasiaku untuk mencelakai orang lain."
"Memang betul benda itu bisa digunakan untuk mencelakai orang, tapi bila digunakan untuk membuka jalan baru, bukankah hal itu justru memberi manfaat yang menguntungkan?" kata Thiat Tiong-tong setelah berpikir sejenak.
"Betul, benda itu memang mendatangkan manfaat kecil bagi umat manusia, tapi jika digunakan untuk kepentingan yang salah, bencana yang ditimbulkan sangat mengerikan, bahkan lebih menakutkan daripada datangnya air bah."
"Soal ini... lagi-lagi Tecu tidak mengerti."
"Coba bayangkan, bila benda ini digunakan untuk
peperangan, untuk membantai sekelompok manusia, apa jadinya" Pertarungan antar umat persilatan memang masalah kecil, bila digunakan dalam peperangan antar negara" Bukankah akibatnya bisa fatal?"
Kembali Thiat Tiong-tong termenung, kemudian teriaknya:
"Aaah, betul juga."
Setelah menghela napas panjang, kembali Kaisar malam berkata:
"Sejak zaman kuno, manusia selalu memiliki ambisi, bila ada ambisi pasti terjadi peperangan, sejak kaisar pertama melakukan peperangan, selama ribuan tahun lamanya kapan peperangan berhenti" Kapan tidak terjadi pertempuran lagi?"
"Betul juga perkataan ini," Thiat Tiong-tong manggut-manggut.
"Dalam pertempuran yang terjadi di zaman kuno, orang hanya menggunakan batu dan kayu sebagai senjata, maka tidak banyak korban yang berjatuhan, menyusul kemudian manusia mulai belajar menggunakan besi, pisau, parang...."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Senjata yang bertambah ampuh membuat orang jadi kesemsem, siapa tahu makin banyak senjata tajam ditempa makin besar ambisi orang untuk menguasai jagad, makin banyak pula manusia yang tewas di ujung senjata, kemudian diciptakan panah, lalu panah api digunakan dimana-mana, bila terjadi pertempuran, bangkai pasti membukit, darah pasti mengalir menganak sungai.
"Dalam setiap medan pertempuran, nyawa manusia ibarat sampah, sama sekali tidak ada nilainya.
"Itulah dia, aku kuatir bila ciptaan bubuk hitamku sampai diwariskan ke dunia, orang akan berlomba-lomba membuat benda berbahaya ini, jika sampai terjadi pertempuran, bisa dipastikan korban yang berjatuhan akan beribu kali lipat lebih mengerikan daripada korban hujan panah berapi."
Thiat Tiong-tong tidak berani membayangkan lebih lanjut, diam-diam dia bergidik, tapi dia pun merasa kagum dengan kebijaksanaan orang tua ini, tidak nyana Kaisar malam bisa berpandangan begitu jauh.
Lewat beberapa saat kemudian, kembali Kaisar malam berkata:
"Untung bahan racikan itu tidak gampang dibuat, sekalipun bisa cara meraciknya, namun kalau tidak tahu bahan ramuan serta kadar yang dibutuhkan, hasilnya juga tidak mengerikan, bila lohu mati nanti, rahasia ini akan lenyap untuk selamanya dari kolong langit, paling tidak selama ratusan tahun ke depan belum tentu ada orang mampu menciptakan benda yang sama."
"Tapi...." sebenarnya Thiat Tiong-tong ingin mengucapkan sesuatu lagi, namun setelah melirik Kaisar malam sekejap, dia urungkan niatnyaitu.
Kelihatannya Kaisar malam dapat menebak apa yang ingin ditanyakan, dengan sedih dia menghela napas panjang.
"Betul, manusia macam aku pun bisa menciptakan benda itu, cepat atau lambat suatu saat nanti orang lain pun bisa menciptakannya pula, tapi... aku pikir sehari bisa kita hambat penemuan itu, biarlah sehari pula dunia lewat dalam ketenangan."
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Semoga saja rahasia itu tidak pernah ditemukan manusia,"
katanya. Dalam pada itu Kaisar malam telah menyusun rapi
bungkusan berisi bubuk mesiu itu, kemudian dengan seksama pula dia menghubungkan satu kelompok bungkusan dengan kelompok bungkusan lainnya melalui sumbu yang telah dipersiapkan.
"Kenapa bungkusan itu mesti dibagi jadi dua kelompok?"
tanya Thiat Tiong-tong.
"Sebetulnya hanya satu kelompok yang kecil pun sudah cukup untuk meledakkan batu itu, namun setelah terjadi ledakan, hancuran batu pasti akan berguguran kembali ke tanah, bahkan bisa jadi akan menyumbat jalan keluar itu. Nah, dalam keadaan begitulah kita mesti meledakkan bungkusan yang besar, agar batu yang menyumbat hancur berantakan."
Tidak lama kemudian Kaisar malam bekerja sama dengan Thiat Tiong-tong membuat sebuah celah di bawah batu raksasa itu, lalu dengan sangat hati-hati Kaisar malam memasukkan bubuk mesiu ke bawah lubang itu.
Sumbu pun mulai dipasang, menghubungkan bungkusan berisi bubuk mesiu itu dengan sisi paling dalam liang gua itu.
Kaisar malam, Thiat Tiong-tong beserta kawanan gadis lain segera memindahkan bungkusan bubuk mesiu yang lebih besar itu itu ke dalam gua.
Setelah membuat obor, Kaisar malam menyerahkan benda itu ke tangan Thiat Tiong-tong, katanya:
"Semuanya ini berkat jasamu, jadi kau saja yang
menyulutnya."
"Baik!" sahut Thiat Tiong-tong girang, sambil memegang obor, diam-diam ia berdoa, "Thian, semoga kali ini berhasil dengan gemilang."
"Wesss!", ujung sumbu mulai disulut, api pun mulai menjalar membakar tali sumbu yang panjang itu.
Tidak jelas Kaisar malam menggunakan bahan apa untuk membuat tali sumbu itu, tapi jelas di dalamnya diisi bubuk mesiu, percikan bunga api segera menyebar kemana-mana.
Semua orang mengalihkan perhatiannya ke atas tali sumbu itu, mereka merasa di balik setiap kerdipan bunga api itu seolah mengandung kegembiraan yang tidak terkirakan, mengandung harapan yang tiada batasnya.
Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga akhirnya berkumandang!
Sebenarnya suara ledakan itu merupakan saat yang paling dinantikan semua orang, paling diharapkan setiap penghuni gua
itu, namun ledakan dahsyat yang memekakkan telinga tidak urung membuat mereka terkesiap, tercekat.
Biarpun beberapa nona itu telah menutup lubang telinga mereka dengan tangan, namun suara ledakan masih membuat gendang telinga mereka jadi kaku dan mendengung keras, bahkan untuk beberapa saat mereka seolah tidak bisa mendengar suara lain.
Gelombang getaran yang dahsyat ibarat gempa bumi yang menggetarkan jagad, dinding batu yang kokoh mulai bergoncang keras, hancuran batu, guguran pasir, hamburan debu menyelimuti seluruh ruangan, membuat mata siapa pun terasa pedas, tidak sanggup dibuka kembali.
Meja batu, bangku batu, semua peralatan yang tersedia....
Bahkan setiap benda yang diciptakan Kaisar malam dengan susah payah, setiap barang antik yang tidak ternilai harganya, bergetar, berjatuhan dan hancur berantakan.
Namun waktu itu, pada keadaan seperti itu, tidak seorang pun yang mau menggubris, mempedulikan hal-hal seperti itu.
Ketika getaran mulai mereda, di saat kabut abu mulai berkurang, berbondong-bondong semua orang berlari keluar, mereka ingin tahu bagaimana hasil ledakan itu, ingin secepatnya tahu apakah bongkahan batu raksasa itu sudah hancur berkeping.
Semakin ke ujung lorong, debu semakin bertambah tebal.
Bahkan ketika tiba di titik ledakan, suasana terasa begitu gelap, kabur, membuat orang susah membuka mata, membuat mereka tidak mampu melihat dengan jelas benda yang berada di sekeliling situ.
Lewat sepeminuman teh kemudian, akhirnya hancuran batu dan debu mulai mereda... ketika melongok dari balik kabut, tampak bongkahan batu raksasa yang semula menyumbat jalan, kini sudah lenyap tidak berbekas.
Tidak tahan semua nona menjerit histerius, bersorak kegirangan.
"Berhasil, berhasil, akhirnya berhasil" gumam Kaisar malam dengan air mata berlinang.
Pengalaman yang diterima Kaisar malam selama ini memang banyak, namun belum pernah dia dihadapkan dalam suasana yang begitu mengharukan, rasa terharu, gembira, puas bercampur aduk menjadi satu, membuat dia seolah tak dapat mengendalikan emosinya lagi, membiarkan air matanyajatuh
berlinang. Begitu pula keadaan Thiat Tiong-tong waktu itu, terkejut, girang, puas bercampur aduk jadi satu, membuatnya hampir sesenggukan.
"Lihai, sungguh lihai...." gumamnya seperti orang kesurupan.
Bongkahan batu cadas sebesar dan sekeras itupun dapat dihancurkan, bisa dibayangkan apa jadinya bila digunakan terhadap manusia yang terdiri dari darah daging. Jika senjata sedahsyat ini digunakan dalam pertempuran, berapa banyak nyawa manusia yang harus melayang" Berapa banyak keluarga yang harus kehilangan anggotanya"
Semoga di dunia ini tidak pernah ada benda pemusnah semacam ini.
"Jika ada umat manusia yang menciptakan kembali benda laknat semacam ini, dia pasti akan menyesal setelah melihat hasil ciptaannya merenggut begitu banyak nyawa manusia, menghancur-leburkan begitu banyak keluarga," dia berpikir.
Tapi kemudian pikirnya lebih lanjut, "Orang yang bisa menciptakan benda dahsyat semacam ini, dia pasti akan bermandikan uang, tapi di saat usianya telah lanjut, ketika rasa menyesal mulai limbul, dia pasti akan berusaha menggunakan hasil ciptaannya untuk kesejahteraan orang banyak, namun apapun yang dia lakukan, belum cukup rasanya untuk menebus dosa dan kesalahan yang telah dilakukan terhadap umat manusia."
Apa yang diduga memang tepat sekali, apa yang kemudian terjadi sesuai dengan apa yang dia duga.
Di kemudian hari memang ada umat manusia yang berhasil menciptakan benda itu, orang itu akhirnya sangat menyesal, dia benar-benar melimpahkan seluruh kekayaannya untuk membangun kesejahteraan manusia.
Kalau dibilang menciptakan benda itu merupakan satu kejahatan, kenyataan benda itu telah mendatangkan banyak perubahan yang menguntungkan manusia, tapi kalau dibilang menciptakan benda itu merupakan tindakan benar, kenyataan nyawa manusia jadi begitu tidak berarti.
Ada kelebihan pasti ada kekurangan, siapa yang berani memvonis itu benar atau salah"
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak habis mengerti, kenapa pada saat dan situasi seperti ini dia bisa membayangkan persoalan yang tidak masuk akal, padahal keadaan tidak
mengizinkan dia berpikir banyak.
Kantong bubuk mesiu kelompok kedua sudah diangkat datang, sudah dipendam di balik reruntuhan batu.
Untuk kedua kalinya semua orang mengundurkan diri.
Sumbu telah disulut, percikan bunga api kembali meletup, ledakan dahsyat kembali bergema, menciptakan getaran dan ledakan yang menggidikkan hati.
Di tengah sorak-sorai gembira, kawanan nona itu kembali berlarian ke titik ledak.
"Tunggu sebentar," tiba-tiba Kaisar malam menghardik.
Dengan perasaan tertegun, kawanan nona itu berhenti.
"Apa lagi yang mesti ditunggu?" ada yang mulai bertanya.
Menanti suara ledakan telah reda, Kaisar malam baru berkata dengan suara dalam:
"Tidak ada gunanya kita keluar dalam keadaan begini, tidak ada yang bisa dilihat, apa salahnya kalau kita menunggu sejenak lagi."
Nada suaranya terdengar begitu tenang, damai, sayang kabut tebal masih menyelimuti ruangan, susah untuk melihat jelas bagaimana perubahan mimiknya saat itu.
Meski agak keheranan, ternyata kawanan gadis itu menurut juga, mentaati apa yang dia ucapkan.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun perasaan mereka sudah diliputi kegembiraan yang tidak terlukiskan, gejolak emosi yang tidak terkirakan, bahkan sampai akhirnya tubuh mereka mulai gemetar.
Semua penderitaan, siksaan segera akan berakhir, cahaya terang yang sudah lama mereka nantikan kini sudah muncul di depan mata, tapi... mereka harus menunggu lagi di situ, menanti....
Sebuah penantian yang begitu lama, sebuah penantian yang membuat orang panik, gelisah....
Lambat-laun debu dan kabut mulai menipis, Kaisar malam masih duduk tidak bergeming di situ.
"Harus menunggu lagi" Kenapa?" tidak tahan kawanan gadis itu bertanya.
"Makin lama kau menanti, makin besar kegembiraan yang akan kau nikmati," jawab Kaisar malam perlahan.
Walaupun dia berkata begitu, namun Thiat Tiong-tong dapat menebak perasaannya saat itu.
Perasaannya saat itu seperti seseorang yang sedang dihadapkan pada ujian berat, ujian yang sangat menentukan,
ujian yang menentukan segalanya, dia seperti tidak percaya diri, dia merasa takut menghadapi kenyataan, takut menghadapi kegagalan, dia tidak berani menerima kenyataan seperti itu, maka selama bisa ditunda, dia ingin sekali menundanya lebih lama.
Dia memang tidak yakin akan berhasil dengan tindakannya ini, dia tidak yakin bisa menyingkirkan semua rintangan yang ada, dia takut gagal, dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi pukulan batin sekecil apapun!
Sejujurnya, siapa pula yang sanggup menghadapi pukulan batin yang datang sekali lagi"
Pukulan batin yang mematikan, pada akhirnya tetap akan terjatuh ke tubuh sekawanan manusia apes, segelintir manusia tak beruntung.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Kaisar malam menghela napas panjang.
"Pergilah!" ujarnya lirih
Di tengah sorak-sorai, kawanan gadis itu berhamburan keluar, sementara Thiat Tiong-tong tetap menemani Kaisar malam, berjalan paling akhir.
Tampaknya kedua orang itu mempunyai pikiran yang sama, maka mereka berjalan sangat lambat... ketika tiba di titik ledakan, mereka jumpai kawanan gadis itu ternyata masih tetap di situ, hanya tidak seorang pun dalam kondisi berdiri.
Di antara mereka ada yang tidak sadarkan diri, ada pula yang berbaring di tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Bongkahan batu besar telah hancur, jalan keluar pun sudah terbuka, tapi sayang Kaisar malam lupa memperhitungkan sesuatu, dia seperti lupa memperhitungkan daya ledak yang dimiliki bubuk mesiu ramuannya, dia pun tidak menyangka bubuk mesiu itu bisa menghasilkan ledakan sedemikian dahsyatnya.
Ketika terjadi ledakan pertama, dinding batu bagian atas sudah banyak yang merekah dan berguguran, ketika terjadi ledakan kedua, seluruh bongkahan batu besar itu hancur berantakan.
Tapi ledakan yang maha dahsyat itu ikut merobohkan seluruh dinding gua itu, berton-ton bongkahan batu seketika gugur dan longsor ke bawah, membuat mulut gua yang baru terbuka, kembali tersumbat.
Padahal mereka sudah tidak punya persediaan bubuk mesiu lagi.
Salah perhitungan yang dilakukan mendatangkan pukulan mematikan yang telak! Semua harapan, semua kegembiraan seketika sirna tidak berbekas.
BAB 41 Perburuan di Padang Rumput
Suara pekikan nyaring berkumandang di padang rumput.
Suara pekikan itu bergerak bagaikan larinya kuda jempolan, dalam sekejap mata sudah makin mendekat, para jago yang masih dicekam rasa ngeri, kembali dibuat bergidik, berdebar jantungnya sesudah mendengar pekikan nyaring itu.
Tanpa sadar Gi Beng mulai menggeser tubuhnya, bergerak mendekati Thiat Cing-su.
"Si... siapa itu?" bisik Thiat Cing-su dengan wajah berubah.
"Sssttt, tutup mulut, cepat tiarap bentak Im Gi cepat.
Belum selesai dia menegur, suara pekikan itu sudah tiba di atas kepala mereka.
Thiat Cing-su tidak sempat berpikir panjang lagi, cepat dia tarik tangan Gi Beng dan menjatuhkan diri ke tanah, dengan menggunakan tubuhnya dia tindih badan Gi Beng.
Pada saat dan keadaan seperti itu, dia hanya berpendapat melindungi gadis yang berada di sampingnya merupakan tanggung jawab yang sepantasnya dia lakukan, tentang masalah perbedaan antara laki dan perempuan, dia sudah melupakannya.
"Weesss!", sesosok bayangan manusia, diiringi suara pekikan panjang melintas di atas kepalanya, menyusul kemudian
"Weesss!", lagi-lagi sesosok bayangan manusia melintas.
Kedua orang itu, yang satu melarikan diri sementara yang lain mengejar, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran petir, itulah sebabnya suara ujung baju mereka yang tersampuk angin menimbulkan suara lengkingan tajam yang menusuk
pendengaran. Walaupun Thiat Cing-su tidak sempat melihat gerakan tubuh kedua orang itu, namun cukup didengar dari ujung baju mereka yang tersampuk angin bisa diduga mereka adalah jago-jago silat dunia persilatan yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
Dalam pada itu meski Im Gi memerintahkan muridnya tiarap, dia sendiri justru masih tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak.
Sepasang kaki kedua sosok bayangan manusia itu nyaris
menginjak kepalanya, namun jangankan memiringkan kepala, orang tua itu justru masih berdiri tegak sambil melotot besar.
Dengan cepat dia dapat mengenali kedua sosok bayangan manusia itu adalah Hong Lo-su yang sedang kabur dan Leng It-hong yang telah berubah jadi Dewa racun mengejar di belakangnya.
Menanti suara pekikan itu menjauh, Thiat Cing-su baru mendengar suara rintihan lirih berkumandang dari bawah tubuhnya, sekarang dia baru sadar badannya sedang menindih tubuh seorang gadis molek.
Kontan saja pipinya merah dan panas, jantungnya berdebar keras, buru-buru dia bangun terduduk, meski masih menundukkan kepala, tidak urung sorot matanya secara diam-diam melirik ke arah gadis yang berada di sisinya.
Gi Beng masih berbaring di atas tanah, bahunya bergoncang keras, dadanya naik turun dengan kerasnya, jelas jantungnya masih berdebar kencang, tidak jelas dia sedang jengah, mendongkol, keberatan atau memang tidak berani bangkit"
Thiat Cing-su sendiri pun merasa detak jantungnya berdebar sangat kencang, seolah-olah hendak menjebol dadanya dan melompat keluar.
Lewat sesaat kemudian, tidak tahan dia menyapa:
"Nona...."
"Ehmm...."
"Harap nona jangan marah," ujar pemuda itu tergagap,
"barusan Cayhe hanya... hanya...."
Tiba-tiba Gi Beng bangkit berdiri, sahutnya sambil menundukkan kepala dan tertawa:
"Kau telah mempertaruhkan segalanya demi melindungi keselamatanku, masa aku marah padamu?"
Sesungguhnya dia adalah seorang gadis periang dan sangat terbuka, ketika secara tiba-tiba tubuhnya ditindih tubuh seorang pemuda yang gagah dan kekar, entah mengapa dalam hati justru muncul sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dia tidak tahu apakah itu lantaran jengah atau perasaan lain" Sekarang meskipun dia telah berusaha berlagak seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, tidak urung merah jengah juga pipinya, sepasang matanya yang bening bagaikan air di musim gugur tidak pernah terangkat kembali.
Walaupun kedua orang itu sama-sama tidak berani
mendongakkan kepala, namun dengus napas mereka terdengar
jelas, perasaan hangat dan manis sama-sama timbul dalam hati mereka berdua, apalagi Thiat Cing-su, dia merasakan hatinya kebat-kebit tidak keruan, sukmanya serasa melayang meninggalkan raga, nyaris terkesima dan dibuat bodoh....
Mendadak terdengar Im Gi membentak nyaring:
"Cing-su, angkat wajahmu!"
Thiat Cing-su terkesiap, sekarang dia baru teringat mereka masih berada di hadapan gurunya, dalam keadaan begini dia semakin tidak berani mengangkat wajah, hanya dengan suara gemetar jawabnya:
"Tecu berada di sini."
"Kau sudah lupa sekarang kita berada dimana" Dalam suasana apa?"
"Te... tecu tidak berani."
Im Gi mendengus dingin, sambil berpaling, kembali tegurnya:
"Nona Gi!"
Dengan kepala tertunduk rendah dan mempermainkan ujung bajunya, Gi Beng mengiakan.
Dengan suara berat Im Gi berkata lebih jauh:
"Setiap murid perguruan Tay ki bun memikul tanggung jawab membalas dendam kesumat sedalam lautan, semangat juang mereka tidak boleh terkikis oleh cinta kasih muda-mudi."
"Aku... aku tahu."
"Kalau sudah tahu, kenapa kau belum pergi dari sini?" bentak Im Gi lebih jauh.
Gi Beng tertegun, sambil mengangkat wajah dia berseru:
"Tapi... tapi...."
"Tidak usah banyak bicara, cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tapi... tapi saat ini mara bahaya sedang mengancam, masa kau... kau orang tua tega membiarkan dia seorang gadis muda pergi begitu saja" Dia harus pergi kemana?" protes Thiat Cing-su.
"Kau anggap urusan pribadinya jauh lebih penting daripada membalas dendam kesumat perguruan kita?" bentak Im Gi semakin gusar.
"Tapi... baru saja dia nyaris
"Kau tidak usah bicara lagi," tukas Gi Beng sambil melompat bangun, "aku segera akan pergi. Biar cuma seorang gadis muda, sudah lama aku berkelana dalam dunia persilatan, masa kau kuatir aku bakal ditelan orang lain?"
Waktu itu pengaruh totokan jalan darahnya telah bebas, lambat-laun peredaran darah tubuhnya juga telah berjalan
lancar, sekalipun gerakan tubuhnya masih belum lancar, paling tidak dia sudah mampu bangkit berdiri.
Im Gi sama sekali tidak berpaling, kembali serunya:
"Paling bagus memang begitu, sekarang cepat pergi dari sini!"
"Kalau aku sudah bilang akan pergi, aku pasti akan pergi."
Kelihatan sekali perasaan gadis itu penuh diliputi gejolak emosi, nada suaranya agak parau dan sesenggukan, setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dia berpaling lagi dan ujarnya sambil tertawa dingin:
"Sebelum pergi, ada beberapa persoalan ingin kutanyakan kepadamu"
"Cepat katakan!"
"Kau suruh aku meninggalkan tempat ini, memangnya kau takut aku akan merayu dan menggaet muridmu?"
Im Gi sama sekali tidak menyangka gadis yang dihadapinya begitu terbuka dan berani bicara blak-blakan, bahkan langsung menyodorkan pertanyaan yang terus terang kepadanya.
Untuk sejenak dia tertegun:
"Soal ini...."
"Hmm, kalau begitu kuberitahu padamu, meski cinta muda-mudi dapat mengikis semangat juang seseorang, sebaliknya cinta pun bisa membangkitkan semangat juang, memangnya kau anggap dengan menjadikan setiap murid perguruan Tay ki bun bagai Hwesio, maka mereka akan punya semangat untuk membalas dendam" Hmmm, keliru besar jika kau berpendapat begitu, ingat, tidak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa mencegah muda-mudi bercinta."
"Tutup mulutmu!" hardik Im Gi gusar.
Gi Beng tidak peduli, ujarnya lebih lanjut:
"Apalagi sejak mula aku memang tidak pernah pandang sebelah mata terhadap anak murid perguruan Tay ki bun, sudah terlalu banyak perempuan yang disakiti hatinya oleh anggota perguruan Tay ki bun."
Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya:
"Kalian bukan saja tidak tahu bagaimana harus melindungi anak bini sendiri, membiarkan anak bini sendiri dianiaya orang, disiksa orang, bahkan tindak-tanduk serta ulah sendiri pun mendatangkan banyak kesedihan buat mereka, terhitung Enghiong Hohan macam apa kalian itu" Hmmm, aku lihat dendam sakit hati ini lebih baik tidak usah dibalas, urus dulu anak bini sendiri, selamatkan dulu mereka sebelum memikirkan
hal lain!"
Tidak terlukiskan rasa kaget dan gusar Im Gi setelah dicaci-maki seperti itu, mimpi pun dia tidak menyangka ada orang berani bicara semacam itu di hadapannya.
"Aku telah selesai berbicara dan sudah waktunya pergi," kata Gi Beng lebih lanjut, "coba pikirkan kembali perkataanku tadi dengan seksama!"
Tanpa berpaling lagi dia segera beranjak pergi dari situ.
Thiat Cing-su hanya mengawasi bayangan punggungnya dengan termangu, dia ingin memanggil namun tidak berani.
Pada saat itulah suara pekikan aneh itu tiba-tiba berbalik lagi ke arah mereka.
Kali ini suara pekikan aneh itu datang jauh lebih cepat, bahkan jauh lebih menggetarkan sukma.
Mendadak tubuh Gi Beng terhuyung, lalu terjatuh ke tanah.
Thiat Cing-su tidak ambil peduli lagi, cepat dia menerkam ke depan, kali ini mereka berdua sudah bersiap, mereka ingin tahu siapa gerangan yang sedang melintas, maka walaupun menjatuhkan diri ke tanah, mereka masih menyempatkan untuk berpaling.
Dua sosok bayangan manusia yang saling mengejar itu kembali melintas di atas kepala Im Gi, melintas bagaikan meteor saja, jika mereka melintas beberapa inci lebih ke bawah, niscaya batok kepala orang tua itu akan tertendang.
"Kenapa kau... kau orang tua tidak tiarap?" seru Thiat Cing-su ketakutan.
"Binatang, memangnya kau lupa siapa gurumu dan apa kedudukanku dalam dunia persilatan?" seru Im Gi gusar, "kau sangka aku boleh sembarangan bertiarap" Hmmm, sebagai anggota perguruan Tay ki bun, aku lebih suka mampus...."
Mendadak suara pekikan aneh itu hilang tak berbekas, suasana di sekeliling tempat itupun kembali dicekam dalam keheningan yang luar biasa.
Keheningan ini muncul sangat mendadak, jauh lebih menggetarkan sukma dibanding ketika mendengar suara pekikan tadi, bahkan Im Gi sendiri pun mau tidak mau seketika menghentikan pembicaraannya dan tidak berani bersuara lagi.
Tidak lama kemudian terdengar suara Hong Lo-su yang parau tapi melengking tajam berkumandang lagi.
Terdengar dia membentak nyaring:
"Aku tahu kau sudah datang, kenapa tidak berani
menampakkan diri" Aku percaya barang yang kau pinjam dariku
pun sudah kau bawa, cepat kembalikan kepadaku... cepat...."
Suara itu bergema sebentar dari kiri sebentar dari kanan, sebentar dari belakang sebentar pula dari depan, jelas selama pembicaraan berlangsung, tubuhnya sama sekali tidak pernah berhenti bergerak.
Tiada jawaban, suasana tetap hening.
Kembali semua orang dibuat tercengang dan tidak habis mengerti, tanpa terasa pikirnya, "Siapa yang telah datang"
Sebenarnya Hong Lo-su sedang berbicara dengan siapa?"
Setelah menunggu sesaat tanpa jawaban, akhirnya Hong Lo-su mulai mencaci-maki kalang-kabut.
"Dasar nenek sihir berhati busuk, kau bersembunyi dimana?"
umpatnya gusar, "Lohu dikejar sampai hampir putus napas, kenapa kau belum juga menampakkan diri menolong aku"
Memangnya kau si nenek busuk ingin melihat aku mampus"
Agar kau bisa mengangkangi barang yang kau pinjam" Kau toh tahu, hanya 'dia' yang sanggup membendung si burung beracun itu!"
"Jangan-jangan yang sedang dimaki adalah Hoa Ji-nio?"
gumam Im Gi tanpa terasa.
"Dari nada bicaranya, aku rasa bukan," ahut Gi Beng, "tapi bisa dipastikan orang yang jadi sasaran makiannya adalah seorang wanita, bahkan wanita itu pernah meminjam sebuah barang penting darinya."
Kini semua orang sedang dicekam perasaan ingin tahu, seakan mereka sudah melupakan ganjalan yang baru saja terjadi.
Im Gi termenung beberapa saat, kembali ujarnya:
"Benda apa di dunia ini yang bisa membendung Dewa racun?"
"Pertanyaan ini sulit rasanya untuk dijawab."
"Yang dimaksud 'dia' rasanya bukan barang, melainkan manusia," tiba-tiba Thiat Cing-su menyela.
"Ehmm, rasanya begitu...."
Tapi siapa di dunia saat ini yang sanggup membendung Dewa racun?" kata Im Gi dengan kening berkerut:
"Bila orang itu betul-betul memiliki kemampuan semacam itu, kenapa pula bisa saling pinjam oleh kedua orang itu?"
Semua orang berusaha menduga dan menebak, namun
akhirnya tiada jawaban yang ditemukan.
Dalam pada itu suara makian telah bergeser ke sisi kiri.
"Sreeet!", terdengar desingan angin tajam bergema, Hong Lo-su telah melintas dari rerumputan di sisi mereka, sementara si
Dewa racun Leng It-hong mengejar ketat di belakangnya.
Tapi anehnya, kini di belakang Dewa racun telah bertambah lagi dengan sesosok bayangan manusia.
Bayangan itu memiliki perawakan tubuh yang kecil mungil, namun kelihaian ilmu meringankan tubuhnya sungguh menggidikkan hati, dia menempel terus di belakang Dewa racun tanpa menimbulkan suara, walaupun jaraknya tidak kelewat jauh, ternyata Dewa racun tidak menyadari akan hal itu.
Tiga sosok bayangan manusia melintas dan lenyap kembali di balik rerumputan.
Im Gi termenung sejenak, lalu bisiknya:
"Jangan-jangan orang itu yang sedang dimaki Hong Lo-su?"
"Ehmm, kelihatannya orang itu mirip seorang wanita."
Berubah paras muka Im Gi.
"Perempuan di kolong langit, rasanya hanya satu orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tangguh, mungkin termasuk si Hujan gerimis Hoa Bu-soat pun belum tentu tidak dapat menandinginya."
"Siapa yang kau orang tua maksud?" tanya Thiat Cing-su agak tertarik.
"Si Sambaran petir Coh Sam-nio!"
Thiat Cing-su dan Gi Beng segera saling pandang, diam-diam mereka menghembuskan napas dingin.
"Sekarang Angin, Hujan, Kilat dan Guntur, empat jagoan dari Bi lok hu telah muncul lengkap di sini, satu kejadian yang tidak akan dipercaya siapa pun," lanjut Im Gi dengan suara dalam.
Perlu diketahui, siapa pun dari Angin, Hujan, Kilat maupun Guntur yang menampakkan diri, kejadian itu sudah cukup menggetarkan seluruh dunia persilatan, apalagi sekarang mereka muncul berempat, muncul bersama-sama, jelas peristiwa semacam ini sangat menghebohkan.
Gi Beng segera bergumam:
"Waaah, dengan kehadiran mereka berempat, lembah ini bakal lebih ramai lagi, aaaai! Siapa pun dari mereka berempat sudah lebih dari cukup untuk memporak-porandakan tempat ini."
"Kalau begitu lebih baik... lebih baik kita pergi saja," ajak Thiat Cing-su tergagap, "dengan kehadiran mereka berempat di sini...."
Tapi setelah melirik Im Gi sekejap, dia segera menelan kembali perkataan yang belum sempat diucapkan.
Biarpun perkataan berikut tidak berani dia ucapkan, tapi
orang lain pun bisa menebak apa yang hendak dia katakan:
"Dengan kehadiran mereka berempat, apa arti kepandaian silat yang kita miliki" Apa pula yang bisa kita lakukan?".
Tentu saja jika kungfu yang mereka miliki dibandingkan dengan kemampuan Coh Sam-nio berempat, boleh dibilang ibarat cahaya kunang-kunang dibandingkan dengan sinar rembulan.
"Betul," bisik Gi Beng, "mumpung saat ini mereka sedang cakar, kenapa kita tidak segera meloloskan diri" Andai...."
"Jangan mengungkit soal pergi lagi!" tukas Im Gi tiba-tiba dengan penuh amarah.
"Tapi meski tidak pergi, apa...."
"Saat ini mereka sedang gontok-gontokan, bisa dipastikan tidak sempat buat mereka memperhatikan urusan orang lain, inilah kesempatan paling baik buat kita untuk bertindak."
"Bertindak?" Gi Beng mengedipkan mata.
"Betul, bertindak! Aku yakin orang-orang Ngo-hok-beng pasti sedang bersembunyi di balik padang rumput ini, tadi mereka kabur terbirit birit, berarti saat ini belum sempat berkumpul jadi satu."
"Betul, kawanan manusia itu merupakan kelompok manusia busuk yang takut mampus," Gi Beng manggut-manggut, "dalam keadaan seperti ini mereka pasti tidak berani sembarangan bergerak, mereka pun belum tentu akan berkumpul jadi satu di tempat yang sama."
Mendengar nona itu ikut mengumpat musuh besarnya, tanpa terasa timbul perasaan simpati Im Gi terhadapnya, setelah melirik sekejap, katanya sambil tertawa:
"Betul sekali, inilah saat mereka berada dalam kondisi tercerai-berai, saat paling tepat buat kita untuk menggempurnya, bila ada di antara mereka yang bertemu Lohu, itulah saat orang itu harus mampus, akan kubuat mereka ketemu satu mati satu, ketemu dua mampus sepasang!"
"Bagus sekali!" sorak Gi Beng sambil bertepuk tangan,
"tinggalkan Suto Siau si bajingan mogor itu untukku."
"Bagus, kebetulan Lohu memang ingin menyaksikan
kehebatan tujuh pedang pelangi!"
Melihat hubungan antar kedua orang itu telah berjalan normal kembali, diam-diam Thiat Cing-su merasa girang, tapi setelah melirik Im Gi sekejap, keningnya kembali berkerut. Ujarnya tergagap:
"Tapi kekuatan kau orang tua...."
"Melihat batok kepala musuh sudah berada di depan mata golok, semua racun yang mengeram di tubuh Lohu lenyap tidak berbekas," kata Im Gi dengan suara berat, "yang tersisa sekarang hanya rasa dahaga, haus untuk menghirup darah segar mereka."
"Dibandingkan arak tua yang berusia ratusan tahun pun, darah segar musuh pasti lebih mantap," sambung Gi Beng sambil tertawa.
"Anak pintar, ternyata kau mengerti sekali soal seleraku."
"Tapi barusan aku sempat memakimu!"
"Huuh, apalah arti makian, hanya orang berjiwa terbuka yang berani memaki orang tanpa tedeng aling-aling, jauh lebih bagus ketimbang mereka yang tahunya mengikut, menurut, segala mengiakan, seperti orang yang tidak punya pendirian saja, ayo, jalan!"
Tanpa membuang waktu dia segera beranjak pergi dari situ dengan langkah lebar.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, diam-diam Gi Beng menjulurkan lidah, kemudian sambil berpaling ke arah Thiat Cing-su, bisiknya sambil tertawa:
"Orang tua ini betul-betul manusia aneh, kalau dia sudah tidak senang denganmu, segala perbuatanmu dianggapnya salah, tapi begitu dia merasa cocok denganmu, biar dimaki pun tidak jadi masalah."
"Jangan-jangan umpatanmu tadi sangat mengena, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?"
Thiat Cing-su menghela napas panjang, bisiknya:
"Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa bertemu lagi denganmu."
"Apa... apa hubungannya denganku?" paras muka Gi Beng kontan bersemu merah.
"Mungkin buatmu tidak masalah, tapi sangat bermasalah bagiku," bisik Thiat Cing-su sambil menundukkan kepala.
Beberapa patah kata itu diucapkan tanpa sadar, apa yang diungkapkan pun merupakan pengakuan yang paling jujur dari sanubarinya.
Perlu diketahui, bila orang berada dalam posisi senasib, biasanya saat seperti itulah paling gampang mengungkap perasaan hati dengan sejujurnya, tidak kecuali Thiat Cing-su dan Gi Beng waktu itu.
Tanpa terasa Gi Beng melirik sekejap ke arahnya,
menyaksikan ketulusan dan keseriusan pemuda itu, tanpa terasa dia pun ikut mengutarakan perkataan yang seharusnya enggan diucapkan.
"Kemudian bisiknya dengan lembut, "padahal aku pun merasa ikut bersalah."
Begitu selesai bicara, bagaikan sedang terbang saja dia langsung meluncur maju ke depan.
Tidak terlukiskan rasa gembira Thiat Cing-su setelah mendengar perkataan itu, dia merasa tubuhnya seolah berubah lebih enteng, cepat dia menyusul di belakangnya dengan ketat, atas semua bencana dan mara bahaya yang mengancam di depan mata pun dia merasa seolah sudah lupa.
Im Gi bergerak lebih dulu paling depan, terhadap pembicaraan yang dilakukan sepasang muda-mudi itu dia seolah sama sekali tidak mendengar, bahkan berpaling pun tidak.
Semenjak bertemu Un Tay-tay dan Gi Beng... sejak mendengar berita kematian Thiat Tiong-tong dan Im Ceng, watak orang tua ini seakan benar-benar telah tejadi perubahan, perubahan yang amat drastis.
Berlarian di tengah padang rumput sesungguhnya merupakan tindakan yang berbahaya, karena tidak gampang menghindari pengamatan orang lain, masih untung waktu itu Hong Lo-su sedang saling kejar sehingga banyak membantu kelancaran gerak ketiga orang itu.
Mendadak terlihat cahaya tajam berkilat, sebilah pedang tahu-tahu menusuk keluar dari balik rerumputan langsung mengancam dada Im Gi, serangan itu datang sangat cepat, ganas dan sama sekali tidak menimbulkan suara.
"Ternyata datang juga!" bentak Im Gi nyaring. Kelihatannya dia sudah membuat persiapan, walaupun tusukan pedang itu muncul secara tiba-tiba, meski serangannya ganas dan telengas, namun bagi Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun ini, erangan itu sama sekali tidak dipandang sebelah mata pun.
Tampak dia menekuk pinggangnya ke samping, tahu-tahu tusukan itu sudah menyambar lewat di sampingnya, menyusul dia pentang kesepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan dan langsung mencengkeram pergelangan tangan lawan yang menggenggam pedang.
"Bajingan busuk, hebat juga kau," bentak orang di balik rerumputan gusar.
Tampak seseorang menerjang keluar dari tempat
persembunyiannya sambil memutar pedang dengan kalap, ternyata dia adalah Gi Teng.
Dengan perasaan terkejut bercampur girang, Gi Beng segera berseru:
"Im-locianpwe, ampuni jiwanya!" Im Gi tertegun, cepat dia menarik kembali serangannya sambil mundur.
Gi Teng menarik pula pedangnya sambil melompat mundur, untuk sesaat dia pun hanya berdiri tertegun dengan mata terbelalak.
Ketika kakak beradik saling bertemu, tidak terlukiskan rasa terkejut dan gembira mereka berdua.
Sun Siau-kiau yang mengintil di belakang Gi Teng segera berseru pula:
"Adikku, ternyata kau, hampir saja kami mengalami bencana besar, betul-betul air bah menghanyutkan kuil raja naga."
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru pula dari balik rerumputan, berkata sambil tertawa ringan:
"Sun Siau-kiau, saudara Gi, kenapa kalian kabur"
Memangnya aku benar-benar akan mencelakai kalian" Cepat kemari, cepat kemari, asal kita berkumpul, makin banyak jumlahnya semakin enak cara kerjanya."
Perkataan itu disampaikan dengan suara rendah dan perlahan, jelas cara kerja orang itu amat teliti dan berhati-hati.
"Su...." berubah hebat paras muka Gi Beng. Baru saja dia mengucapkan sepatah kata, mulutnya sudah dibekap Gi Teng.
"Betul," bisik Sun Siau-kiau di samping telinganya, "dia memang Suto Siau, sewaktu aku bersama kakakmu berusaha menyusup masuk ke dalam padang rumput, kami telah bertemu dengan ketiga orang bajingan tengik itu, ternyata dia... dia tidak mempedulikan hubungan di masa lalu...."
Ketika bicara sampai di situ, tiba-tiba dia bungkam, paras mukanya berubah merah jengah.
Terpaksa Gi Beng berlagak seolah tidak paham, katanya lirih:
"Kebetulan sekali kedatangan kalian."
Sementara itu Im Gi dengan sinar mata berkilat dan wajah diliputi napsu membunuh telah berkata:
"Pancing mereka kemari."
Beberapa orang itu bukan manusia bodoh, begitu mendengar perkataan itu, Gi Beng dan Thiat Cing-su segera mengikuti Im Gi membaringkan diri bersembunyi, sementara Gi Teng dengan pedang terhunus bersiap sedia.
Dengan cepat Sun Siau-kiau menghampiri Suto Siau, serunya manja:
"Kau sungguh tidak akan mencelakaiku?"
"Tentu saja sungguh," sahut Suto Siau sambil tertawa,
"dimana mereka sekarang?"
"Ada di sini, masa kalian belum mendengar?"
"Baiklah, kali ini kalian jangan kabur secara sembarangan, apa yang kucapkan tadi tidak lebih hanya mengajak kalian bergurau saja.."
Belum habis perkataan itu berkumandang, Suto Siau, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu telah menyusup tiba, mereka langsung mengurung Sun Siau-kiau dan Gi Teng di tengah arena.
Paras muka mereka sama sekali tidak dihiasi senyuman, apalagi wajah Suto Siau, dia nampak dingin, kaku bagaikan bongkahan salju, seakan perkataan yang barusan diucapkan bukan berasal dari mulutnya.
"Akhirnya kalian tertipu juga," kata Pek Seng-bu ketus.
"Akan kulihat, kali ini kalian akan kabur kemana lagi?"
sambung Hek Seng-thian.
Sun Siau-kiau pura-pura terkejut, jeritnya tergagap:
"Mau apa... mau apa kalian?"
"Tidak mau apa-apa, hanya ingin mencabut nyawa kalian berdua," kata Suto Siau perlahan.
"Apakah kau... kau sedang bergurau?"
Suto Siau tertawa dingin.
"Dalam keadaan begini, siapa yang punya selera mengajak kalian bergurau" Hek-heng, Pek-heng, kenapa tidak segera turun tangan" Mau menunggu sampai kapan lagi?"
"Tunggu sebentar!" bentak Sun Siau-kiau cepat.
"Apa lagi yang ingin kau katakan?" jengek Pek Seng-bu dingin.
"Kedatangan tujuh pedang pelangi khusus untuk membantu kalian, kenapa kalian malah...."
"Hmmm, tujuh pedang pelangi hanya sekelompok manusia yang pagar makan tanaman," ujar Suto Siau sambil tertawa dingin, "sudah lama aku berniat membasmi kalian, kini saatnya sangat tepat, inilah kesempatan emas yang diberikan Thian kepadaku."
"Tapi... tapi... masa kau sudah mengabaikan hubungan lama kita...."
"Tutup mulut!" tukas Suto Siau gusar.
Sun Siau-kiau tertawa terkekeh.
"Sekarang aku mengerti," katanya, "ternyata kau memang berniat membungkam mulutku untuk selamanya, karena itu timbul niat untuk menghabisi nyawaku, dasar bajingan tengik berhati busuk, kau memang pantas mampus."
"Kalau memang begitu, mau apa kau" Mulutmu yang banyak bicara memang sudah waktunya untuk dibungkam selamanya,"
kata Suto Siau sambil tertawa seram.
"Memang sudah waktunya untuk tutup mulut, cuma ada satu persoalan perlu kusampaikan."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soal apa?"
"Belalang menubruk tonggeret, burung nuri mengintai dari belakang. Masa kau lupa dengan perkataan ini" Kalau kurang percaya, tidak ada salahnya berpaling dan periksa sendiri, coba lihat siapa sajayangberdiri di belakangmu?"
"Hahaha, kau pun ingin membohongi aku dengan permainan anak-anak semacam itu?" Suto Siau tertawa tergelak.
Ketiga orang itu benar-benar licik dan banyak akal muslihat, ternyata tidak seorang pun yang bersedia berpaling.
Serentak mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, katanya:
"Kami tidak bakal menoleh, dan kau pun jangan harap bisa kabur...."
Belum selesai mereka tertawa, tiba-tiba dari belakang tubuh terdengar seseorang berkata dingin:
"Lebih baik kalian berpaling." Begitu ucapan itu berkumandang, tanpa berpaling pun mereka tahu siapa gerangan yang berada di belakang, tidak tahan hawa dingin seketika muncul dari tulang belakang dan bulu kuduk pun berdiri.
Suto Siau berdehem berulang kali, kemudian ujarnya sambil tertawa paksa:
"Bagus sekali, kebetulan sekali, ternyata kita bersua kembali."
"Betul, sangat kebetulan kita bisa bersua lagi...." ujar Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu pula sambil tertawa paksa.
Sementara berbicara, tubuh mereka secara diam-diam bergeser ke samping dan berusaha pindah ke arah lain.
"Berhenti!" bentak Im Gi nyaring.
"Kau tidak usah kuatir, sekalipun kau tidak datang mencari kami, kami tetap akan mencarimu, setelah saling berjumpa, kenapa kami mesti menyingkir?"
"Kalau begitu, balik tubuhmu, mari kita berduel sampai mati."
Suto Siau memandang sekeliling tempat itu sekejap, lalu ejeknya dengan licik:
"Kalian berlima sementara kami bertiga, dengan lima lawan tiga pihak kalian ingin meraih kemenangan dengan jumlah banyak, hehehe... masa orang perguruan Tay ki bun akan berbuat begitu?"
"Buat apa membicarakan peraturan dunia persilatan dengan bajingan tidak tahu malu macam kalian," hardik Gi Beng gusar,
"Enci Sun, mari kita bersama-sama meringkus dan menghabisi nyawa anjingtuaini!"
"Memang sejak lama aku ingin menjagal bajingan tua ini."
Serentak kedua orang itu merangsek ke muka, satu di depan dan yang lain dari belakang, langsung menyerang Suto Siau dengan garang.
Gi Teng mengayunkan pedangnya ikut menusuk Pek Seng-bu, sedang Thiat Cing-su setelah sangsi sejenak akhirnya ikut menerjang maju, secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai sambil berteriak:
"Heng-tay, aku datang membantumu."
"Hahaha, bagus! Bagus sekali!" seru Hek Seng-thian sambil mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "tinggalkan ketua perguruan Tay ki bun ini untukku!"
Meskipun gelak tertawanya amat nyaring, namun dapat terdengar suara tawanya agak gemetar.
"Kau masih belum mau membalikkan badan?" tegur Im Gi.
"Cepat atau lambat toh pasti akan bertarung juga, buat apa kau terburu napsu?"
Perlu diketahui, walaupun jawabannya masih ketus dan keras, namun hatinya sudah mengkeret, rasa takut yang luar biasa telah mencekam hatinya, dia sadar, begitu berpaling maka pertarungan mati hidup segera akan berlangsung, bayangkan saja, mana mungkin dia berani cepat-cepat berpaling"
"Hmm, kau anggap tanpa berpaling lantas Lohu tidak berani menyerangmu?" tegur Im Gi lantang.
"Ma... masakah Ciangbunjin perguruan Tay ki bun akan membokong orang dari belakang" sahut Hek Seng-thian, tapi belum selesai dia berkata, tahu-tahu pandangan matanya kabur dan Im Gi sudah berdiri tegak persis di hadapannya.
"Hehehe, kau tidak berani berpaling, memangnya Lohu tidak bisa muncul sendiri di hadapanmu" Ayo, cepat bertarung,"
terdengar Im Gi tertawa seram, sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke arah dadanya.
Belum lagi bertarung, Hek Seng-thian sudah ciut hatinya,
apalagi menghadapi serangan yang begitu dahsyat dengan kekuatan yang menggetarkan sukma, lima gebrakan kemudian dia sudah bermandikan keringat dingin.
Di pihak lain, walaupun Suto Siau harus seorang diri melawan Sun Siau-kiau dan Gi Beng, namun pertarungan masih berjalan seimbang, justru posisi Pek Seng-bu yang paling berbahaya, dia sudah terdesak hebat hingga berulang kali harus menghadapi situasi yang amat berbahaya, panik dan takut membuat dia bermandikan peluh dingin.
Cahaya pedang, angin pukulan, tenaga serangan
menggetarkan sekeliling tempat itu, membuat rerumputan tumbang tidak keruan, terpapas kutung sebagian dan beterbangan di angkasa, ada di antaranya yang terbang dan melekat di wajah Suto Siau sekalian yang berkeringat, ada pula yang beterbangan di seputar tubuh mereka yang sedang bertarung, membuat orang-orang itu nampak amat
mengenaskan. Melihat ketiga orang musuh besarnya yang paling dibenci sudah tercecar hebat dan hampir kehilangan nyawa, Im Gi merasa semangatnya semakin berkobar, makin bertarung dia pun semakin perkasa.
Tampak jenggot panjangnya berkibar terhembus angin, sepasang kepalannya melepaskan pukulan bagai hujan badai, angin pukulan yang menderu-deru ibarat tindihan bukit karang yang berat, membuat Hek Seng-thian susah bernapas, membuat ia terengah-engah.
"Sungguh memuaskan! Sungguh menggembirakan tidak tahan Im Gi berseru sambil tertawa nyaring.
Jika ketiga orang itu mampus, berarti persekutuan Ngo hok beng ikut tumbang, rasa benci dan dendam kesumat yang sudah tersimpan selama puluhan tahun pun akhirnya bisa terlampiaskan, dalam kondisi seperti ini, tentu saja dia merasa sangat puas dan gembira.
"Hmm, apa yang kau gembirakan?" tiba-tiba Suto Siau menjengek sambil tertawa dingin, "sekalipun hari ini aku Suto Siau bakal mampus, toh bukan mati di tangan anggota perguruan Tay ki bun, siapa bilang dendam kesumatmu sudah terbalaskan?"
Im Gi melengak, tapi segera teriaknya gusar:
"Kau...."
Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Gi Beng sudah
menyela lebih dulu, "Siapa bilang kau bukan mampus di tangan anggota perguruan Tay ki bun?"
"Hehehe, memangnya kau anggota perguruan Tay ki bun?"
ejek Suto Siau sambil tertawa dingin.
"Siapa bilang bukan!"
Kontan Suto Siau mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Pelacur cilik, sejak kapan kau jadi anggota perguruan Tay ki bun?" jengeknya, "kecuali dalam waktu relatif singkat, kau menjadi bini si bocah dungu perguruan Tay ki bun."
Walaupun saat itu Thiat Cing-su sedang bertempur melawan musuh, namun semua pembicaraan dapat didengarnya dengan jelas.
Dalam gusarnya dia siap melontarkan umpatan, namun Gi Beng sudah berkata lebih dulu:
"Dugaanmu tepat sekali, aku memang sudah menikah dengan murid perguruan Tay ki bun, itulah sebabnya sekarang aku pun terhitung anggota perguruan Tay ki bun, apa lagi yang hendak kau ucapkan" Serahkan nyawa anjingmu!"
Begitu perkataan itu diutarakan, Suto Siau kontan melengak, sementara Im Gi merasa terkejut bercampur kegirangan.
Rasa girang dan kaget yang dialami Thiat Cing-su pun tidak terlukiskan dengan perkataan.
Gi Teng mula-mula tertegun, kemudian dengan perasaan girang serunya:
"Kionghi, kionghi...."
"Terima kasih," sahut Thiat Cing-su dengan wajah memerah.
Tanpa terasa semangat kedua orang pemuda itupun makin berkobar, tiga gebrakan kemudian Pek Seng-bu sudah tercecar hebat hingga napasnya tersengal-sengal.
Di pihak lain Suto Siau juga berhasil didesak Gi Beng hingga mulai menunjukkan tanda terdesak.
Posisi Hek Seng-thian yang paling gawat, dia sudah tercecar hebat dan terjerumus dalam posisi bahaya.
Andai ketiga tonggak utama persekutuan Ngo hok beng ini tumbang, niscaya kekuatan persekutuan itupun akan hancur berantakan.
Di saat yang amat kritis itulah sekonyong-konyong terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang.
Padahal sebelum munculnya bayangan manusia itu, suara bentakan dan umpatan mereka sudah berkumandang lebih dulu,
hanya sayang beberapa orang itu sedang asyik terlibat dalam pertarungan seru sehingga siapa pun tidak mendengar kedatangan mereka.
Bayangan manusia itu tidak lain adalah Hong Lo-su, ketika melintas di sana, dia segera melihat pertarungan yang sedang berlangsung, tiba-tiba tubuhnya berjumpalitan di udara, lalu dengan cepat meluncur ke arah Im Gi.
Dalam terkesiapnya, buru-buru Im Gi melepaskan sebuah pukulan, siapa tahu Hong Lo-su menggeser kakinya ke samping dan secepat kilat berputar ke belakang tubuhnya, mengguna-kan kesempatan itu dia mendorong tubuh lawan-nya ke depan.
Im Gi terkejut, cepat dia melejit ke tengah udara dan berusaha menghindari dorongan yang datang dari belakang.
Pada saat bersamaan Dewa racun telah mengejar tiba, karena Im Gi melejit ke udara, maka tindakan ini sama artinya dia menyongsong kedatangannya, menanti sadar akan mara bahaya yang mengancam dan berusaha menghindar, keadaan sudah terlambat.
Tampak Dewa racun menyodokkan tangannya ke depan mengarah dada lawan, dalam posisi begini Im Gi tidak sanggup menghindar lagi.
Gi Teng, Gi Beng maupun Thiat Cing-su terkesiap melihat kejadian itu, cepat mereka tinggalkan lawan masing-masing sambil menerjang ke depan, tapi siapa di antara mereka yang mampu membendung pukulan maut Dewa racun"
Untunglah di saat yang amat kritis, kembali terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, rupanya bayangan manusia yang berada di belakang Dewa racun telah melampaui tubuhnya dan mendorong tubuh Im Gi ke samping.
Gerakan itu kelihatannya saja amat gampang dan sederhana, padahal tanpa ilmu meringankan tubuh yang sempurna, jangan harap orang lain bisa melakukannya.
Terdengar Hong Lo-su mengumpat dengan rasa kaget:
"Perempuan sialan, ternyata selama ini kau mengintil terus di belakangku."
Kini di hadapan Dewa racun tidak ada penghalang lagi, dia pun kembali mengejar Hong Lo-su.
Dalam kondisi demikian, Hong Lo-su tidak sempat lagi memaki lebih jauh, buru-buru dia melejit ke udara dan kembali melarikan diri.
Dewa racun pun segera mengejar kembali dari belakang.
Baru saja Im Gi meluncur turun ke atas tanah, dia segera mendengar suara tertawa ringan seorang wanita sambil berseru:
"Akulah yang telah menyelamatkan nyawamu, jangan lupa hal ini."
Baru saja ucapan itu bergema, tubuh perempuan itu kembali meluncur ke depan, bahkan suara tawanya berasal dari sana.
"Coh Sam-nio, tunggu sebentar," teriak Im Gi, "bukankah kau adalah Coh Sam-nio?"
Waktu itu bayangan manusia tadi sudah lenyap di balik rerumputan, tapi terdengar suara yang halus dan lembut, diiringi suara tertawa ringan bergema dari kejauhan sana:
"Benar, aku memang Coh Sam-nio."
Im Gi mencoba memandang ke tempat jauh, namun tidak melihat apa-apa.
Dalam pada itu Gi Beng, Gi Teng, Thiat Cing-su serta Sun Siau-kiau sudah mengerubung datang sambil bertanya:
"Kau orang tua tidak apa-apa bukan?"
Im Gi menghela napas panjang, sahutnya dengan gegetun:
"Biarpun aku tidak kekurangan sesuatu apapun, tapi bagaimana caraku membayar budi pertolongan ini?"
Setelah berhenti sejenak, sambil menengok sekitar sana, tiba-tiba serunya lagi dengan wajah berubah:
"Celaka!"
Ketika semua orang ikut berpaling, mereka baru tahu Suto Siau, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu telah memanfaatkan kesempatan ketika terjadi kekalutan tadi untuk melarikan diri.
Keadaan Gi Beng dan Gi Teng masih agak mending, Im Gi serta Thiat Cing-su justru merasa gusar, kaget, kecewa serta perasaan campur aduk lain yang susah dilukiskan dengan perkataan.
"Kejar!" bentak Im Gi kemudian dengan wajah memerah, merah karena marah.
Dengan Im Gi dan Thiat Cing-su berjalan paling depan, Gi Beng serta Gi Teng melakukan perlindungan dari kedua sisi dan Sun Siau-kiau berada di barisan paling belakang, berangkatlah kelima orang itu untuk melakukan pengejaran, bergerak dalam formasi kipas.
Anggota perguruan Tay ki bun memang tidak malu disebut Hohan berhati tegar bersemangat baja, walaupun berada dalam kondisi gusar bercampur kecewa, ternyata gerak-gerik mereka tetap tidak gegabah.
Berada di padang rumput yang luas dan lebat, posisi pemburu serta mereka yang diburu sama sekali tidak ada bedanya, siapa pun di antara mereka berani bertindak ceroboh, niscaya akan mengalami celaka di tangan lawan.
Pekikan aneh serta umpatan gusar Hong Lo-su masih bergema tiada hentinya, kelihatannya permainan petak umpetnya dengan Coh Sam-nio masih berlangsung seru, namun sayang dia tidak mampu berbuat banyak.
Yang membuat semua orang tercengang adalah teriakan serta umpatannya yang begitu keras dan nyaring kenapa tidak memancing kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu"
Kemana perginya kedua orang jago silat itu" Apa yang sedang mereka lakukan"
Sebenarnya persoalan ini patut dicurigai dan perlu dibahas lebih mendalam, tapi sayang Im Gi sekalian sedang dibakar api dendam dan amarah yang tidak terlukiskan, kobaran api amarah dan dendam itu membuat mereka seolah melupakan segalanya.
Gi Beng berjalan di sisi Thiat Cing-su, berulang kali mereka saling pandang dengan mesra, kerlingan demi kerlingan membuat wajah mereka memerah dan buru-buru melengos ke arah lain.
Didera api dendam dan api asmara yang sama-sama
membara, pemuda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan ini benar-benar sangat menderita dan tersiksa.
Mendadak Im Gi berjongkok dengan gerakan cepat.
Walaupun orang lain tidak mendengar suara apapun, tidak pula melihat sesuatu, namun Im Gi adalah pemimpin mereka, melihat sang pemimpin berjongkok, otomatis orang lain pun serentak ikut berjongkok.
Terdengar Im Gi berbisik dengan suara lirih:
"Hati-hati, di depan sana ada jejak musuh."
Suara itu sangat lirih, biarpun Gi Beng, Gi Teng serta Sun Siau-kiau tidak mendengar dengan jelas, namun tanpa mendengar pun mereka dapat menebak apa yang terjadi, kontan jantung mereka berdebar keras.
Dengan perasaan dag-dig-dug, mereka mulai bergerak ke depan, bergerak dengan merangkak.
Sebenarnya posisi mereka saat ini sebagai pemburu atau yang diburu" Mereka sedang mengurung orang lain sebagai buruan, atau justru sedang bergerak masuk ke dalam perangkap lawan"
Mereka tidak tahu, mereka pun tidak jelas posisi sendiri, bahkan
tidak seorang pun berani berpikir ke situ.
Dalam kondisi yang serba tidak jelas dan penuh kontradiksi ini, semua orang merasa ketegangan perasaan mereka sudah mencapai puncaknya.
Akhirnya terdengar suara manusia bergema dari balik rerumputan, meski tidak keras namun sudah lebih dari cukup membuat semua orang merasa terkesiap.
Terdengar salah seorang di antaranya menjerit:
"Seng Toa-nio, kau benar-benar ingin bermusuhan
denganku?"
"Tepat sekali, aku memang ingin bermusuhan denganmu,"
jawab seorang wanita dengan suara aneh.
Im Gi dapat mengenali suara orang terakhir adalah suara Seng Toa-nio, sedang suara orang pertama meski tidak dikenalnya, namun bisa diduga orang itupun berasal satu kelompok dengannya.
Im Gi mulai mengertak gigi, wajahnya mulai mengejang kencang, emosi dan rasa dendam membuatnya nyaris tak kuasa mengendalikan diri.
Musuh besar berada di depan mata, seharusnya dia menerjang maju dan membunuhnya, tapi ingatan lain segera melintas, bukan saja dia berjongkok makin rendah, bahkan gerak-gerik serta tindak-tanduknya makin berhati-hati.
Ketika orang tua itu tidak bergerak, dengan sendirinya semua orang semakin tidak berani bertindak gegabah.
Kini Im Gi benar-benar sudah bertiarap di tanah, dia mencoba mengintip dari sela-sela rerumputan yang lebat.
Seorang pemuda berwajah tampan tapi penuh kelicikan duduk di sana, tangan kanannya menggenggam pedang sementara tangan kirinya membopong tubuh seorang gadis.
Gadis itu berbaring membujur di situ, rambutnya yang panjang berwarna hitam terkulai di atas tanah, meski dadanya naik turun namun berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Seng Toa-nio berada lebih kurang lima kaki di depan mereka, rerumputan yang memisahkan mereka pun kelihatan sudah hampir rata karena terinjak-injak, kelihatannya di tempat itu pernah terjadi pertarungan yang amat sengit.
Perempuan tua itu menggenggam toya baja di tangan kanannya dan membopong seorang gadis di tangan kirinya, gadis itu berada dalam keadaan tudak sadar, ternyata dia tidak lain adalah Im Ting-ting.
Seng Cun-hau pun belum mendusin, dia masih berbaring di sampingnya, tapi di sisi Seng Cun-hau berbaring pula seseorang yang lain, orang itu berambut putih dan berjenggot panjang.
Im Gi tidak perlu melirik untuk kedua kalinya karena dia segera mengenalinya sebagai Im Kiu-siau.
Begitu pemandangan itu melintas di depan mata Im Gi, mencorong sinar merah dari mata orang tua itu.
Kini saudara serta putri kesayangannya sudah terjatuh ke tangan musuh besarnya dan sama sekali tidak berkutik, bagaimana mungkin orang tua ini berani bertindak gegabah meski rasa gusar dan sedih telah mencekam benaknya"
Thiat Cing-su, Gi Beng serta Gi Teng pun telah menyaksikan hal itu, mereka ikut kaget, gusar dan berubah hebat wajahnya.
Yang dikuatirkan Gi Beng dan Gi Teng adalah keselamatan Sui Leng-kong, sementara yang dikuatirkan anggota perguruan Tay ki bun adalah paman serta keponakannya, walaupun sasarannya beda, namun kecemasan dan rasa panik yang mereka alami tidak jauh berbeda.
Terdengar pemuda licik itu, Sim Sin-pek, berkata:
"Tadi kita masih sempat bekerja sama membekuk tuan muda anggota perguruan Tay ki bun, masa sekarang sudah berganti memusuhi kami?"
"Hmm, lain tadi lain sekarang, masa kau tidak paham perkataan itu?" ujar Seng Toa-nio sambil tertawa dingin, "cukup melihat sikapmu yang tidak sopan, tidak tahu membedakan mana lebih tua mana lebih muda dan seenaknya membahasakan kau-aku, sudah cukup beralasan bagiku untuk mencabut nyawa anjingmu."
"Kau... kau juga melupakan persekutuan Ngo hok beng?"
"Betul, gara-gara urusan ini maka sampai sekarang aku belum juga turun tangan, asal kau bersedia melepaskan gadis itu, aku akan segera memberi jalan hidup untukmu."
"Perempuan itu adalah musuh besar kita bersama, kenapa kau...." paras muka Sim Sin-pek berubah hebat.
"Binatang, kau sangka aku tidak dapat menebak pikiran busukmu?" bentak Seng Toa-nio penuh gusar, "cukup melihat sepasang mata bangsatmu, aku sudah tahu pikiran cabul apa yang sedang melintas dalam benakmu."
Dengan mata jalangnya Sim Sin-pek melirik sekejap tubuh Sui Leng-kong yang molek, kemudian sahutnya:
"Betul, aku memang berniat menggagahi gadis ini...."
"Binatang! Kau..." Seng Toa-nio semakin gusar.
"Bila aku berhasil menggagahi gadis ini, pertama, bisa melampiaskan semua rasa benci dan dendamku, agar Thiat Tiong-tong si bajingan cilik itu jadi setan pun tetap harus memakai topi hijau."
Mendengar sampai di sini baik Im Gi maupun Thiat Cing-su sekalian merasa gusar, saking jengkelnya mereka harus mengertak gigi untuk menahan diri... menahan siksaan batin yang sangat menyakitkan.
Terdengar Sim Sin-pek berkata lebih lanjut:
"Kedua, gadis ini sudah dianggap Hoa Bu-soat sebagai putrinya, jika berhasil kugagahi hingga nasi menjadi bubur, mau tidak mau Hoa Bu-soat tentu akan menerima aku menjadi menantunya."
Dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, lanjutnya:
"Kalau aku sudah menjadi menantu Hoa Bu-soat, dapat dipastikan Hoa Bu-soat akan mendukung persekutuan Ngo hok beng, berarti sekali timpuk dapat dua, kenapa kau malah melarang aku melakukannya?"
Seng Toa-nio termenung beberapa saat, mendadak bentaknya lagi dengan penuh amarah:
"Tidak bisa, tidak bisa, bagaimanapun juga gadis itu dilahirkan oleh menantu keluarga Seng, siapa pun tidak boleh menggagahinya."
Sebetulnya semua orang sedang heran, mereka tidak habis mengerti kenapa Seng Toa-nio begitu melindungi Sui Leng-kong, tapi setelah mendengar penjelasannya, semua orang pun menjadi sadar.
Paras muka Sim Sin-pek sama sekali tidak berubah, katanya kalem:
"Sekalipun dia adalah anggota keluarga Seng, memangnya kawin denganku berarti mempermalukan dia?"
"Dasar binatang, kau lebih rendah dan busuk ketimbang anjing," umpat Seng Toa-nio sewot.
"Tidak masalah kau ingin mengumpat dengan kata-kata kotor macam apapun, cuma aku ingatkan saja, kalau sampai terdengar guruku, hehehe... kau bakal mendapat kesulitan."
Semakin pemuda itu berlagak santai dan acuh, hawa amarah Seng Toa-nio semakin menjadi-jadi, hanya saja dia tidak ingin Suto Siau sekalian kehilangan muka, maka hingga saat itu masih
enggan turun tangan.
Tapi ejekannya yang terakhir sangat menyinggung
perasaannya, sekarang dia tidak ambil peduli urusan lain lagi, dengan penuh amarah bentaknya:
"Baik, hari ini juga aku akan menjagal kau si bangsat cilik, bajingan busuk yang tidak tahu malu, akan kulihat apa yang bisa diperbuat Suto Siau sekalian terhadapku?"
Toyanya langsung dihantamkan ke atas kepalanya.
Melihat kejadian itu, semua merasa girang, mereka berharap pertarungan yang berlangsung bisa makin seru dan ganas, dengan begitu mereka akan mendapatkan kesempatan bagus untuk menyelamat kan Im Ting-ting sekalian.
"Wesss!", desingan angin tajam membuat rerumputan bergoncang keras.
Biar Seng Toa-nio sudah tua, serangan tuanya sama sekali tidak ikut tua, kekuatan pukulan yang dilontarkan saat ini boleh dibilang luar biasa dahsyatnya.
Sim Sin-pek tidak berani ayal, apalagi menghadapi serangan itu dengan keras lawan keras, cepat dia melompat mundur.
Waktu itu tubuhnya sudah menyusup kembali ke balik rerumputan, ini membuat gerak-geriknya kembali tidak leluasa, Im Gi sekalian segera bersiap, mereka menunggu sampai Seng Toa-nio mengejar sambil melepaskan serangan lagi baru ikut maju mengembut.
Betul saja, Seng Toa-nio kembali mengayun toyanya siap melancarkan serangan lagi.
Kali ini Sim Sin-pek tidak menghindar maupun menangkis, tiba-tiba bentaknya:
"Tunggu sebentar! Ada satu perkataan harus kusampaikan dulu."
"Baik, akan kudengarkan dulu perkataanmu," Seng Toa-nio menarik kembali serangannya.
Memang tidak sia-sia dia menekuni ilmu toyanya selama puluhan tahun, begitu pergelangan tangannya yang kurus digetarkan, toya baja seberat puluhan kati itu sudah ditarik kembali.
"Kau mengandalkan umur tuamu untuk menganiaya aku yang muda, jelas aku bukan tandinganmu."
"Kalau sudah tahu, lebih baik segera menyerah," tukas Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
Sim Sin-pek balas tertawa dingin.
"Tapi bila kau nekad mengayunkan toyamu lagi, hmm, biar bakal terhajar toyamu pun akan kutusuk mampus anakmu terlebih dulu, kemudian akan kubantai putrimu ini, aku mau lihat apa yang bisa kau perbuat?"
Seng Toa-nio melengak, toya yang sudah terangkat di tengah udara pun segera diturunkan kembali, "Bluuuk!", ujung toya segera ditancapkan ke dalam tanah.
"Kau.. kau berani?" tegur Seng Toa-nio dengan nada gemetar, rambutnya yang beruban nampak bergetar keras karena menahan emosi.
"Kenapa aku tidak berani?"
"Kau... kau...."
Tiba-tiba Im Kiu-siau yang sedang berbaring di atas tanah melejit ke tengah udara, kemudian secepat kilat secara beruntun dia menotok tujuh buah jalan darah penting di punggung Seng Toa-nio.
Waktu itu Im Gi sekalian sedang kecewa karena Seng Toa-nio urung melancarkan serangan, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat mereka kegirangan setengah mati, tanpa membuang waktu serentak mereka meluruk maju ke depan.
Waktu itu tubuh Seng Toa-nio baru saja roboh terjungkal ke tanah.
Tatkala Sim Sin-pek masih dibuat terperana oleh perubahan yang terjadi secara mendadak, tahu-tahu dari balik rerumputan telah muncul beberapa sosok bayangan manusia, kenyataan ini membuat dia semakin tercekat hingga sepasang kakinya lemas.
Menanti dia berniat melarikan diri, keadaan sudah terlambat, Gi Teng, Thiat Cing-su serta Gi Beng telah mengepungnya dari tiga penjuru, menyusul kemudian terlihat cahaya pedang berkelebat dan bayangan pukulan menderu-deru.
Tidak ampun Sim Sin-pek seketika roboh terkapar di tanah.
Kemenangan ini diraih begitu cepat, Im Kiu siau seketika dibuat kegirangan setengah mati.
Sambil menepuk bahu saudaranya, Im Gi turut berkata sambil tertawa tergelak:
"Samte, kau memang hebat, kusangka kau benar-benar tidak mampu bergerak lagi, siapa tahu rupanya kau sedang berlagak bodoh, kemampuanmu sungguh membuat Toako sangat
gembira." "Kemunculan Toako yang tiba-tiba ibarat malaikat langit turun dari kahyangan, Siaute pun amat kagum," seru Im Kiu-
siau sambil tertawa.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi" Cepat kau ceritakan."
"Sewaktu aku dan Ting-ting terpisah dari Toako, sebenarnya aku berencana memulihkan kembali kekuatanku sebelum bergabung, siapa tahu muncul kedua orang itu secara tiba-tiba dan melancarkan serangan bokongan...."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Waktu itu kondisi tubuhku belum pulih, tenaga dalam juga belum balik, aku sadar biar melawan pun pada akhirnya bakal kalah juga, maka aku pura-pura tidak mampu bergerak dan membiarkan binatang kecil she Sim itu menotok jalan darahku."
"Kalau memang jalan darahmu sudah tertotok, kenapa tiba-tiba bisa melancarkan serangan?" tanya Im Gi keheranan.
Dengan senyum menghiasi bibir, sahut Im Kiu-siau:
"Waktu itu secara diam-diam aku memperhatikan gerak serangannya, melihat dia berniat menotok jalan darah Khi hay hiatku maka secara diam-diam aku sembunyikan tanganku ke sisi jalan darah tadi dan siap membebaskannya, maka sewaktu dia menotok, aku pun menggunakan kesempatan di saat jalan darahku belum tersumbat untuk menotok bebas jalan darah itu, maka biar dia sudah menotok jalan darahku, padahal sebenarnya tidak menotok apa-apa."
Im Gi segera bertepuk tangan memuji, serunya:
"Sejak dulu aku sudah bilang, Samte adalah orang paling cerdas dalam perguruan kami, ternyata dugaan itu tidak salah, Cing-su, kau mesti mencontoh kehebatan paman ketigamu Ini."
Gembira karena dapat berkumpul kembali, ditambah rasa bangga karena berhasil meraih kemenangan mutlak, untuk sesaat meredam rasa benci dan dendam di dada setiap orang.
Tapi di saat sorot mata Im Gi beralih kembali ke wajah Seng Toa-nio, senyum di wajahnya seketika hilang tidak berbekas.
Waktu itu Gi Beng dan Gi Teng telah merebut Sui Leng-kong dari pelukan Sim Sin-pek, sedang Thiat Cing-su juga telah membebaskan jalan darah Im Ting-ting yang tertotok.
Im Kiu-siau menendang tubuh Sim Sin-pek hingga mencelat ke samping Seng Toa-nio, kemudian tanyanya:
"Toako, mau kita apakan kedua orang ini?"
"Bunuh! Bunuh! Bunuh! Kecuali dibunuh, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Mau dibantai di sini juga?"
"Benar, di sini juga dan sekarang."
Pada saat itulah semacam hubungan batin antara ibu dan anak membuat Seng Cun-hau yang selalu berbakti kepada orang tuanya, tiba-tiba tersadar kembali dari pingsannya.
Walaupun selama ini dia berada dalam keadaan tidak sadar, namun seolah menyadari akan terjadinya perubahan itu, maka begitu sadar dari pingsannya, dia langsung merangkak bangun sambil berteriak:
"Kalau ingin membunuh ibuku, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Belum sempat Im Gi menanggapi, Gi Beng dan Gi Teng sudah bersama-sama menjatuhkan diri berlutut.
Dengan suara serius, ujar Gi Teng:
"Walaupun nasib Seng-toako kurang beruntung hingga musti dilahirkan sebagai musuh bebuyutan perguruan Tay ki bun, namun selama ini dia tidak pernah melakukan perbuatan jahat atau busuk terhadap anggota perguruan Tay ki bun, harap Locianpwe sudi mengampuninya."
"Benar," kata Gi Beng pula, "bukan saja Seng-toako tidak bisa dianggap sebagai musuh besar perguruan Tay ki bun, sebaliknya dia justru sahabat karib Thiat Tiong-tong. Locianpwe, memandang wajah Thiat Tiong-tong, kau tidak boleh melukainya."
Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, dia berdiri mematung tanpa bergerak.
Dengan suara lirih Thiat Cing-su ikut berkata:
"Kebaikan putranya masih belum cukup untuk menebus kejahatan yang pernah dilakukan ibunya."
"Bila kau ingin membunuhnya, bunuhlah aku terlebih dulu!"
ancam Gi Beng. Dengan jengkel Thiat Cing-su menghentak-kan kaki berulang kali dan tidak bicara lagi.
Untuk sesaat semua jago hanya berdiri dengan mulut membungkam, tampak dada Im Gi naik turun dengan kerasnya, terdengar dengusan napasnya makin lama semakin bertambah berat dan kasar.
Mendadak terlihat seseorang membelah rerumputan dan berjalan mendekat.
Waktu itu pikiran semua orang sedang dicekam gejolak emosi yang luar biasa, ternyata tidak seorang pun yang menaruh perhatian dengan cara apa orang itu muncul di situ, ketika tahu-tahu melihat kehadiran orang itu, dengan perasaan terkejut serentak mereka mundur selangkah ke belakang.
Orang itu mengenakan baju berwarna hijau, rambutnya yang panjang nampak kusut, walaupun paras mukanya terhitung cantik dan menawan, namun mimik mukanya seperti orang bloon, bagai orang kehilangan ingatan.
Ketika melihat ada begitu banyak orang berkumpul di situ, dia tidak nampak gembira, tidak kaget juga tidak ketakutan, sebaliknya sambil memiringkan kepala mengawasi seputar arena, katanya sambil tertawa:
"Waah, ternyata di sini terdapat banyak orang!"
"Ooh, rupanya kau," seru Gi Beng kemudian sambil menghembuskan napas lega.
"Betul," nona itu manggut-manggut dan tertawa, "memang aku, kalau bukan aku siapa lagi?"
"Siapa kau?" tegur Im Gi dengan nyaring.
"Siapa aku" Ooh, betul, aku bernama Leng Cing-peng."
"Leng Cing-peng?" berubah paras muka Im Gi, "jangan-jangan kau adalah putri Leng It-hong?"
Sekarang dia baru teringat gadis itu tidak lain adalah orang yang menyampaikan berita di kuil kuno beberapa tahun berselang, bila dibandingkan saat itu, kini nona itu kelihatan jauh lebih tua, sayu dan kusut, sehingga untuk sesaat sulit baginya untuk mengenalinya.
"Leng It-hong?" terlihat Leng Cing-peng menyahut dengan wajah kebingungan, "Ehmmm, betul, dia adalah ayahku, baru saja aku melecutinya dengan cambuk, hehehe... lucu sekali, mana ada anak menggebuki bapak sendiri" Menarik tidak"
Menarik tidak?"
Selesai berkata, kembali dia tertawa cekikikan.
Sayang orang lain sama sekali tidak ingin tertawa, semua orang hanya bisa mengawasinya dengan tertegun, mereka tidak tahu harus merasa iba atau terperanjat.
Sambil mengedipkan matanya berulang kali, kembali Leng Cing-peng berkata sambil tertawa:
"Siapa sih kalian" Aku... aku seperti merasa pernah kenal...
tapi seperti juga tidak pernah kenal, aku... aku merasa seperti pernah bertemu dengan kalian, tapi sepertinya belum pernah bertemu
Tiba-tiba dia mengayunkan tangannya memukul kepala sendiri, memukul dengan sepenuh tenaga, lalu serunya dengan jengkel:
"Kepala, kepala, kau memang kepala yang menjengkelkan!
Terkadang kau sepertinya bisa mengingat banyak urusan, kenapa tiba-tiba bisa melupakan semuanya" Biar kuhajar kau, kuhajar kau...."
Semakin memukul semakin keras, makin menghantam makin nyaring, akhirnya Im Ting-ting merasa tidak tega, cepat dia melompat ke depan, menggenggam tangannya dan berseru:
"Kau pernah bertemu kami, waktu itu kita berada dalam sebuah kuil kuno, bila kau tidak datang, mungkin kami...."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, betul, betul, kuil kuno, kuil kuno...." tiba-tiba Leng Cing-peng bersorak sambil bertepuk tangan.
"Kuil kuno, kau masih ingat?"
"Tentu saja masih ingat, kuil kuno itu sangat menyenangkan!
Ada banyak benda aneh dan lucu, juga ada dua orang sedang berkelahi, mereka terbang ke sana kemari...."
"Yang aku maksud bukan kuil kuno seperti itu, dulu...."
"Betul, betul, aku tidak berbohong, kuil kuno itu sangat menyenangkan, dindingnya merah, atapnya kuning, kuning sekali seperti... seperti kuning emas."
Kembali semua orang saling pandang tanpa bicara sepatah kata pun, namun di hati mereka terasa kecewa bercampur iba, khususnya Im Ting-ting, dia tidak bisa menahan rasa sedihnya lagi hingga air mata jatuh berlinang membasahi pipi.
Sambil menghela napas, ujar Im Gi:
"Kelihatannya gadis ini sudah gila, mengingat budi kebaikannya di masa lalu, aaaai! Biarlah dia pergi! Walau mengajaknya bicara lebih banyak pun tidak bakal bisa diperoleh keterangan apapun."
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Im Kiu-siau, serunya:
"Tunggu sebentar!"
"Kau ingin menahannya" Kenapa?" tanya Im Gi keheranan.
"Orang yang ingatannya sedang terganggu, kadang
perkataannya justru paling bisa dipercaya."
"Maksudmu?" tanya Im Gi keheranan.
Im Kiu-siau tidak menjawab pertanyaan itu, dia berbalik sambil menegur:
"Nona Leng, apakah kau pernah pergi ke kuil kuno itu?"
"Tentu saja, malah aku baru saja keluar dari situ," sahut Leng Cing-peng sambil tertawa dan manggut-manggut.
"Mana mungkin di padang rumput yang begini luas terdapat kuil kuno?" sambil menghela napas Im Gi menggelengkan kepala
berulang kali: "Aku rasa dia...."
Cepat Im Kiu-siau menggoyangkan tangan menukas
perkataannya, kemudian tanyanya:
"Apakah kau melihat dengan jelas orang yang sedang berkelahi dalam kuil kuno itu?"
"Tentu saja aku melihatnya dengan jelas, bahkan jelas sekali!"
"Bagaimana bentuk dandanan mereka?" Leng Cing-peng memiringkan kepala sambil termenung sejenak, setelah itu sahutnya:
"Mereka... ahh, betul, mereka adalah seorang lelaki dan seorang wanita, yang laki malah masih terhitung guru ayahku!
Aku tidak boleh memberitahukan kepada orang lain...."
Padahal dia sudah memberitahukan kepada orang lain, tapi mulutnya masih mengoceh tidak boleh memberitahu orang lain, jelas kesadaran gadis ini memang sudah hilang, di samping merasa iba, mereka pun merasa terkejut, kaget karena Siang-tok Thaysu ternyata berada di situ.
Tergerak perasaan Im Gi, cepat katanya:
"Jangan-jangan wanita yang sedang bertarung melawannya adalah Hoa Bu-soat" Tidak heran mereka berdua tidak muncul, nona... nona Leng, berada dimana kuil kuno itu?"
"Ada di sana," seru Leng Cing-peng sambil tertawa, "belok kiri, belok kanan, lalu belok kiri lagi, belok kanan lagi Setelah berpikir sejenak, lanjutnya:
"Kemudian belok lagi ke kiri, belok lagi ke kiri, dan tetap belok lagi ke kiri...."
"Jangan belok melulu, cepat ajak kami ke situ!" tukas Im Gi akhirnya sambil tertawa getir.
Mendadak Leng Cing-peng menutup wajah sendiri dengan kedua belah tangannya sambil berteriak:
"Aku tidak mau ke situ, aku tidak mau ke situ... aku tidak mau pergi ke sana lagi."
"Kenapa tidak mau ke situ?"
"Biarpun tempat itu menyenangkan, tapi menakutkan sekali, aku merasa seakan dari empat penjuru muncul setan... setan! Ya, setan! Banyak sekali setannya! Aku tidak mau ke situ... aku tidak mau...."
"Ini... ini... aaaai!" dengan mendongkol Im Gi menghentakkan kaki berulang kali.
Tiba-tiba Im Kiu-siau berseru sambil tertawa:
"Aaah, aku tahu, kau sedang berbohong bukan?"
"Tidak, tidak... aku tidak membohongi mu."
"Sudah jelas kau tidak pernah ke situ, malah sama sekali tidak tahu dimana letak kuil itu, karena sedang berbohong, maka kau enggan mengajak kami ke situ bukan" Aaah, ternyata dia pembohong, ayo, kita tidak usah menggubris dia lagi."
"Aku bukan pembohong, baik, baik... aku... aku akan mengajak kalian ke situ, tapi... aku tidak mau masuk ke dalam, boleh bukan aku hanya menunggu di depan pintu?"
"Asal mau mengajak kami ke situ, ikut masuk atau tidak terserah padamu," sahut Im Kiu-siau kegirangan.
"Baik, ayo, kita berangkat!"
Perlahan dia membalikkan tubuh, beranjak menelusuri padang rumput.
Kini secara lamat-lamat semua orang dapat menduga di balik kuil kuno misterius itu pasti tersimpan sejumlah rahasia luar biasa, melihat gadis itu beranjak pergi, tanpa terasa semua orang mengintil di belakangnya.
"Bagaimana dengan kedua orang ini...." bisik Im Kiu-siau,
"Seng Toa-nio...."
Im Gi termenung dan berpikir sejenak, kemudian sambil menghentakkan kaki dan menghela napas, sahutnya:
"Sekalipun ingin mencabut nyawanya, tidak mungkin kita lakukan di hadapan anak berbakti-nya."
"Siaute juga berpendapat begitu," sahut Im Kiu-siau.
Perlahan dia memandang sekejap sekitar sana, dilihatnya Gi Beng telah membopong Sui Lengkong, Gi Teng juga sudah memayang Seng Cun-hau, dia pun melihat seorang wanita lain...
Sun Siau-kiau, dia sedang mengawasi Sim Sin-pek dengan terkesima.
Sejenak kemudian dia pun berseru:
"Cing-su, kemari kau!"
Sambil membalikkan badan, tanya Thiat Cing-su:
"Paman ketiga, kau ada perintah apa?"
"Kau saja yang membopong Seng Toa-nio, bila terjadi perubahan di luar dugaan,...."
Bicara sampai di situ dia pun membuat gerakan menggorok, lanjutnya:
"Mengerti?"
"Tecu mengerti," tanpa banyak bicara pemuda itupun membopong Seng Toa-nio.
"Terima kasih, Hengtai," seru Seng Cun-hau cepat, "terima kasih pula para Cianpwe, Cayhe... Cayhe...."
Setelah menghela napas panjang, dia menundukkan kepala dan tanpa bicara lagi berjalan mengintil di belakang Gi Teng.
Kini sinar mata Im Kiu-siau beralih ke wajah Sun Siau-kiau, sapanya:
"Nona ini...."
"Kau suruh aku membopongnya" Baik!" kata Sun Siau-kiau sambil tertawa.
Tanpa menunggu Im Kiu-siau berbicara, dia langsung membopong tubuh Sim Sin-pek dan berjalan di belakang dua bersaudara Gi.
"Kenapa kau suruh dia...." bisik Im Gi dengan kening berkerut.
"Toako tidak usah kuaur," tukas Im Kiu-siau sambil tertawa,
"Siaute akan mengintil ketat di belakangnya."
Sambil menyingkirkan rumput dengan kedua belah
tangannya, Leng Cing-peng berjalan paling depan, walaupun sedang berjalan di tengah padang rumput yang penuh dengan ancaman bahaya, ternyata dia menelusurinya dengan santai dan tenang, seolah-olah sedang berjalan di taman saja.
Justru orang-orang yang mengikut di belakangnya yang merasa kuatir dan kebat-kebit hatinya, tapi kejadian sudah makin berkembang, terpaksa mereka pun mengikut tanpa banyak bicara.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya gadis itu mulai berbelok.
"Berjalan di tengah padang rumput, buat apa dia mesti berbelok?" tanya Im Gi dengan kening berkerut.
Im Kiu-siau tertawa getir.
"Bukankah kita yang meminta dia sebagai penunjuk jalan"
Ikuti saja kemauannya."
Sambil menghela napas Im Gi tidak bicara lagi.
Tidak selang beberapa saat kemudian, suara pekikan dan makian Hong Lo-su kembali bergema semakin mendekat, terdengar iblis itu berteriak lantang:
"Coh Sam-ci, aku mengaku kalah, sebenarnya apa maumu"
Cepat katakan!"
"Sudah cukup umpatanmu?" tegur Coh Sam-nio dengan suara lembut tapi melengking.
"Sejak kapan Siaute berani mengumpat Sam-ci" Siaute...."
"Kalau bukan sedang memaki aku, siapa pula yang sedang kau maki?"
"Tadi... tadi... aku sedang memaki diriku sendiri, aku memang bangsat, binatang, aku bukan manusia baik-baik, aku memang bajingan tengik, bajingan busuk...."
"Selanjutnya?"
"Selanjutnya apapun yang Sam-ci katakan, Siaute pasti akan menurut, bila Sam-ci menyuruh aku berjumpalitan, aku segera akan jumpalitan, bila Sam-ci menyuruh aku makan tahi, aku akan makan tahi."
"Kalau kau ingkar janji, tidak pegang ucapanmu, apa yang akan kuperbuat?"
"Terserah... terserah apapun yang hendak Sam-ci lakukan."
"Terserah aku" Aku tidak memaksamu, kau yang berjanji sendiri...."
"Betul, aku berjanji, aku sendiri yang berjanji, Sam-ci, nyonya besarku, ampunilah aku! Makhluk itu bukan manusia, sedang aku... jelek-jelek begini juga manusia, aku tidak sanggup menangkan larinya...."
"Baiklah, kalau begitu ikuti aku!" ujar Coh Sam-nio sambil tertawa.
Semua pembicaraan itu berkumandang datang mengikuti hembusan angin, terkadang terasa jauh sekali, terkadang terasa sangat dekat, tak bisa diketahui dengan jelas berasal darimana suara itu.
Ketika mendengar sampai di situ, semua orang hanya sempat menangkap bayangan punggung Dewa racun yang berwarna abu-abu melesat ke depan dan tahu-tahu sudah mendahului di depan Hong Lo-su.
Menanti semua orang melihat dengan lebih jelas, ternyata ketiga orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Sambil menghela napas, ujar Im Gi, "Ternyata nama besar si Sambaran petir Coh Sam-nio memang bukan nama kosong belaka, bicara kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mungkin termasuk Kaisar malam pun belum tentu bisa mengunggulinya."
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Sambaran petir Coh Sam-nio memang tiada dua-nya di kolong langit," Im Kiu-siau manggut-manggut, "kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa mempermainkan Hong Lo-su semaunya?"
"Hanya saja... benda apa yang sebenarnya dia pinjam dari Hong Lo-su" Kalau dibilang benda itu adalah manusia, manusia
mana di kolong langit yang sanggup menghadapi racun si Dewa racun?"
"Kalau bukan manusia, lalu benda aneh apakah itu?"
"Aaaai, hanya Thian yang tahu benda setan apakah itu."
BAB 42 Cahaya Mentari Menyinari Panji Sakti
Padang rumput teramat luas, berjalan di tempat seperti ini semua orang merasa seolah berjalan di alam yang tidak bertepian.
Rombongan itu masih berjalan mengintil di belakang Leng Cing-peng, entah sudah berapa lama mereka bergerak.
Akhirnya habis sudah kesabaran Im Gi, ujarnya:
"Jangan-jangan budak ini sedang mempermainkan kita?"
"Aku rasa tidak begitu," jawab Im Kiu-siau sambil tertawa.
Im Gi mendengus dingin, setelah termenung beberapa saat, mendadak ujarnya lagi:
"Tapi... andaikata kita berhasil menemukan kuil kuno itu, lalu apa gunanya?"
"Di tengah padang rumput yang berada dalam lembah terpencil, terdapat sebuah kuil kuno, bisa diduga dalam kuil kuno itu tentu tersimpan banyak sekali kejadian misterius, bila rahasia itu menyangkut urusan dunia persilatan, aku percaya rahasia itu tentu ada sangkut-pautnya pula dengan perguruan kita," ujar Im Kiu-siau.
"Benar, hampir semua rahasia yang beredar dalam dunia persilatan selama puluhan tahun terakhir, sedikit banyak tentu ada sangkut-pautnya dengan perguruan Tay ki bun kita, khususnya rahasia persilatan yang beredar di enam propinsi utara sungai Huang-ho."
Setelah mengernyitkan alis matanya yang tebal, dia melanjutkan:
"Tapi sekarang Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu berada di situ, padahal kedua orang itu bukan sahabat dan juga bukan musuh kita, bukankah kehadiran kita di tempat itu hanya mencari penyakit sendiri?"
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Toako, menurut pendapat Siaute, budi dendam perguruan kita menyangkut
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Golok Halilintar 13
^