Pendekar Panji Sakti 27

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 27


sebuah rangkaian besar dan rumit, masalahnya tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan selama ini."
"Tentanghal ini... aku pun tahu."
"Oleh sebab itu bila kita ingin membalas dendam hanya mengandalkan kekuatan perguruan sendiri, rasanya hal ini mustahil bisa berhasil, lagi pula amat sulit... aaaai! Ditambah lagi dalam setahun terakhir, kekuatan perguruan kita semakin tercerai-berai...."
"Semoga saja Thian mau membantu kita..." sela Im Gi sambil tertawa.
Berkilat sepasang mata Im Kiu-siau, ujarnya:
"Sekarang dengan situasi semacam inilah kesempatan emas yang dilimpahkan Thian untuk kita."
"Apa maksudmu?"
"Kini hampir semua tokoh silat berilmu tinggi telah berkumpul di sini, mereka ada yang otaknya kurang waras, ada yang banyak curiga dan busuk akalnya, di antara mereka sendiri juga terlibat banyak pertikaian dan sengketa, kenapa kita tidak memanfaatkan situasi yang tidak menentu ini untuk menciptakan situasi yang menguntungkan pihak kita?"
"Walaupun perkataanmu benar, tapi...."
"Sepintas kawanan jago itu nampaknya memang bukan sahabat kita, melainkan musuh yang menakutkan, namun bila kita hadapi secara baik-baik, bukan saja mereka tidak akan memusuhi kita, sebaliknya bisa jadi akan membantu kita secara diam-diam, misalkan saja Hoa Bu-soat, putri kesayangannya telah berada dalam genggaman kita, kenapa kita tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk memaksanya melakukan beberapa hal yang menguntungkan kita."
"Tapi... tindakan semacam ini rasanya...."
"Siaute memahami maksud Toako," tukas Im Kiu-siau sambil menghela napas, "kau ingin mengatakan tindakan semacam ini tidak gagah, tidak mencerminkan perbuatan seorang ksatria, namun kita memikul beban dan tanggung jawab yang berat, kita harus membalas dendam kesumat perguruan, demi keberhasilan balas dendam ini, apa salahnya kita pun menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan?"
"Hanya saja cara ini...."
Tiba-tiba terdengar Leng Cing-peng berseru:
"Sudah sampai...."
Dengan perasaan girang semua orang segera mengalihkan pandangan ke depan, betul saja, di tepi padang rumput yang tidak bertepian itu muncul sebuah tanah perbukitan batu, bukit itu berdiri tegar tanpa terpengaruh oleh getaran dahsyat yang terjadi tadi.
Tapi bukit cadas itu nampak gundul dan gersang, tiada rerumputan yang tumbuh di situ, tiada pula pepohonan yang nampak, apalagi bayangan kuil kuno.
"Mana kuil kunonya?" tegur Im Gi gusar
"Ada di bawah bukit sana."
"Bawah bukit" Kuil kuno itu berada di bawah bukit?" tanya Gi Beng keheranan.
Leng Cing-peng tertawa cekikikan.
"Aku belum selesai bicara," katanya, "adikku, kenapa kau tidak sabar?"
"Aku mohon, cepat jelaskan, aku sudah hampir mampus karena tidak sabar."
"Di bawah bukit terdapat sebuah gua kecil, asal
menundukkan kepala, kau dapat segera masuk ke dalam, setelah masuk, maka kau harus membelok ke kiri, kemudian belok ke kiri lagi dan belok ke kiri lagi."
"Biar aku pergi memeriksanya," seru Im Gi tidak sabar, dengan cepat dia bergerak maju lebih dulu.
Semua orang pun segera mengintil di belakang, ketika tiba di bawah tebing, terlihat rumput tumbuh dengan lebatnya mengelilingi sekeliling tanah perbukitan itu, sekilas pandang tak nampak ada tanda-tanda gua di seputar situ
Tapi setelah diperiksa dengan lebih seksama, terlihatlah di sekitar sana terdapat sebagian rerumputan seperti bekas terinjak manusia, bahkan secara lamat-lamat terdengar suara hembusan angin yang muncul dari arah tebing di belakang rerumputan itu.
"Kemungkinan besar berada di sini," kata Im Kiu-siau kemudian.
"Benar, memang berada di situ," seru Leng Cing-peng sambil berdiri di tempat jauh, "kalian masuklah, aku akan pergi dari sini."
Sambil membenahi rambutnya yang kusut dan menyisihkan rerumputan, gadis itu benar-benar beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Mengawasi bayangan punggungnya yang semakin menjauh, semua orang hanya bisa berdiri termangu.
"Jangan-jangan di belakang sana terdapat jebakan?" kata Im Gi dengan suara berat.
"Benar," kata Thiat Cing-su pula, "siapa tahu gua itu hanya sebuah perangkap yang sengaja dipersiapkan untuk menjebak kita" Bisa juga gadis itu hanya berlagak gila, agar kita tertipu dan
masuk perangkap."
"Tidak mungkin," bantah Gi Beng sambil menggeleng, "dia bukan gadis semacam itu."
"Kalau dia adalah gadis semacam itu, buat apa pula dia mempertaruhkan nyawa memberi peringatan kepada kita waktu itu," ujar Im Ting-ting pula dengan sedih, "bahkan dia menaruh perasaan cinta terhadap Thiat-jiko, mana mungkin dia mencelakai kita."
"Siapa tahu jiwanya sudah terpengaruh oleh ilmu pembetot sukma dan kedatangannya kali ini untuk melaksanakan perintah?" kata Thiat Cing-su cepat, "bukankah dia berada satu rombongan dengan Siang-tok Thaysu" Aku... aku rasa besar sekali kemungkinan semacam ini."
Im Ting-ting nampak tertegun, serunya kemudian dengan tergagap:
"Kalau soal ini.... Aaaai!" Semua orang saling pandang tanpa bicara, mereka merasa apa yang diucapkan Gi Beng maupun Im Ting-ting ada benarnya, tapi mereka pun berpendapat perkataan Thiat Cing-su sangat masuk akal, untuk sesaat semua orang jadi bimbang, tidak seorang pun bisa mengambil kesimpulan dan keputusan.
Akhirnya sinar mata semua orang dialihkan ke wajah Im Gi, menunggu orang tua ini mengambil keputusan.
Sambil berpaling ke arah Im Kiu-siau, tanya Im Gi kemudian:
"Samte, bagaimana menurut pendapatmu?"
Im Kiu-siau termenung, berpikir sejenak, lalu memutuskan:
"Bagaimanapun kita sudah tiba di sini, biar perangkap sekalipun kita harus masuk untuk memeriksanya."
"Betul, kalau tidak memasuki sarang macan, bagaimana mungkin bisa mendapatkan anak harimau!" sambung Im Gi bersemangat.
Tinggi mulut gua di balik rerumputan itu hanya empat kaki, benar saja, semua orang harus menundukkan kepala sebelum menerobos masuk ke dalam, biar tidak luas, namun jelas kelihatan mulut gua itu hasil karya manusia.
Di balik dinding gua yang sudah dipenuhi lumut hijau, lamat-lamat terlihat bekas pahatan.
Waktu itu Im Kiu-siau sudah siap melangkah masuk, cepat dia mundur kembali, dengan merobek secarik kain dia gosok lumut di atas dinding gua itu kuat-kuat, tidak selang beberapa saat, ukiran yang tertera di atas dinding pun nampak lebih jelas, benar saja, ternyata ukiran yang tertera di situ sangat indah.
Di atas dinding gua seluas empat kaki yang mengelilingi mulut gua itu, hampir semuanya dihiasi ukiran tokoh manusia berdandan Busu, ada yang sedang menunggang kuda, menjajal pedang, ada pula yang sedang terlibat pertempuran sengit Sekalipun ukiran itu hasil pahatan yang sudah lama, hingga ada bagian yang mulai kabur, namun sekilas pandang setiap tokoh yang terpahat di sana hampir semuanya nampak hidup, seolah tokoh silat itu sedang menjebol dinding untuk tampil keluar.
"Toako, coba lihat," kata Im Kiu-siau dengan suara berat,
"ternyata tempat ini memang ada hubungannya dengan dunia persilatan"
"Aku akan masuk lebih dulu, kau lindungi aku dari samping,"
bisik Im Gi. Begitu selesai bicara, dia langsung membungkukkan tubuh dan menerobos masuk ke dalam gua.
Im Kiu-siau sekalian segera mengintil di belakangnya, Gi Beng sambil membopong Sui Lengkong berjalan paling belakang. Tiba-tiba dia jumpai Im Ting-ting tidak ikut masuk, rupanya nona itu masih mengamati ukiran di atas dinding dengan terpesona.
"Ayo, masuk, apa bagusnya ukiran itu?" ujar Gi Beng sambil tertawa.
"Aku merasa ukiran ini sedikit aneh," sahut Im Ting-ting serius.
"Rada aneh?" gumam Gi Beng, tanpa terasa dia ikut memperhatikan.
Biarpun tokoh silat yang terukir di atas dinding itu sangat banyak, namun ketika diamati lebih seksama, ternyata raut muka yang ditampilkan tidak jauh berbeda, dari sekian ratus tokoh yang tertera, paling hanya mewakili wajah empat lima orang.
"Sudah dapat menangkap arti di balik ukiran itu?" tanya Im Ting-ting kemudian.
"Ehmmm! Kelihatannya pahatan ini berhubungan satu dengan lainnya, seperti sedang menceritakan sebuah kisah, pada lukisan pertama dikisahkan ada seorang lelaki dibokong orang dan menderita kekalahan, lalu pada lukisan kedua...."
Mendadak dari dalam gua terdengar Gi Teng berteriak:
"Ji-moay, cepat masuk!"
"Ayo, jalan!" ujar Gi Beng sambil tertawa, "sekalipun pahatan ini mengisahkan sebuah cerita, tidak mungkin cerita itu ada hubungan atau sangkut-pautnya dengan kita...."
Dia segera menarik tangan Im Ting-ting dan diajak masuk ke dalam gua.
Im Ting-ting yang ditarik tangannya mau tidak mau ikut masuk ke dalam gua, namun berulang kali dia masih menoleh mengawasi pahatan itu, seakan pahatan kuno itu sudah mendatangkan semacam daya tarik yang aneh baginya.
Mengapa begitu" Dia sendiri pun tidak tahu.
Setelah memasuki gua, di hadapan mereka terbentang sebuah lorong rahasia yang berliku-liku dan gelap.
Untuk membangun lorong bawah tanah yang begitu berlikuliku menembus perut bukit, bisa dibayangkan berapa banyak orang dan tenaga yang dilibatkan tempo dulu, dinding sepanjang lorong itu halus dan berkilat, setiap belasan langkah terdapat sebuah lentera tembaga yang berbentuk aneh dan antik menghiasi dinding batu.
Hanya sayang, waktu yang tidak berperasaan telah menelanjangi lapisan luarnya yang dulu mungkin berkilat indah, yang tersisa kini hanya bekas noda minyak yang mirip sisik ikan.
Tapi justru karena itu suasana dalam lorong rahasia itu jadi terkesan misterius, mengenaskan serta penuh dicekam hawa pembunuhan yang menggidikkan.
Ketika semua orang memasuki tempat itu, pemandangan yang muncul di hadapan mereka adalah suasana mengenaskan yang penuh diliputi kemisteriusan, hidung mereka pun mengendus bau lembab yang busuk dan basah.
Perasaan ini persis sama seperti orang yang berjalan memasuki kompleks kuburan, begitu berat, dingin dan menyesakkan napas.
Bukan hanya muda-mudi itu saja, bahkan Im Gi yang berpengalaman pun mau tak mau harus memperlambat langkahnya.
Dari dasar hatinya yang paling dalam dia seolah mendapat firasat jelek... seolah-olah di dalam kuil kuno, di ujung lorong rahasia itu sudah ada semacam nasib yang paling tragis sedang menanti kedatangannya.
Sayangnya walaupun dia sudah tahu begitu, namun mustahil baginya untuk berbalik lagi, dari dalam tubuhnya seolah terdapat semacam kekuatan iblis yang sedang mendorong-nya, minta dia jangan menghentikan langkah, memacu dia meneruskan perjalanan menuju ke sana.
Biar langkah kakinya sangat lamban, sekalipun mimik mukanya menunjukkan keseriusan dan murung, namun jantungnya justru berdebar penuh keriangan, berdetak dengan rasa gembira yang luar biasa....
Sekalipun nasib sangat tragis sedang menantinya di perjalanan berikut, namun entah mengapa, bukan saja dia enggan menghindar, malahan justru terburu-buru ingin segera menghadapinya, menjumpainya....
Perasaan Im Kiu-siau, Thiat Cing-su serta Im Ting-ting tidak jauh berbeda, perasaan aneh seakan menyelimuti hati mereka....
Kuil kuno di dalam gua rahasia ini bagi anggota perguruan Tay ki bun seakan memiliki semacam daya tarik yang aneh dan sesat, daya tarik ini membuat mereka dapat menghadapi nasib tragis dengan perasaan gembira, sekalipun harus menghadapi kematian.
Akhirnya mereka tiba di ujung lorong rahasia.
Lagi-lagi selapis pintu tebal... pintu dengan ornamen penuh pahatan indah.
Ketika tiba di situ, Im Gi sudah tidak mampu mengendalikan gejolak emosi, dia tidak ambil peduli apakah di balik pintu terdapat orang lain atau tidak, dia pun tidak peduli ruang macam apa yang terdapat di balik pintu itu, tiba-tiba saja dia seperti lupa segala-galanya, sambil membentak keras langsung menerobos masuk dengan kalap.
Kakek yang di waktu biasa selalu bersikap tenang, tiba-tiba saja berubah jadi begitu emosi dan tidak sabar, sudah tahu berada di tempat rahasia yang berbahaya dan penuh dengan ancaman maut, dia bukan hanya berteriak keras, bahkan menerjang masuk bagai orang kalap, kenyataan ini membuat semua orang terperanjat, serentak mereka ikut menerobos masuk ke dalam.
Ruang kuil kuno penuh diliputi debu yang beterbangan karena getaran suara teriakannya, Im Gi berdiri kaku di tengah ruangan dengan wajah tertegun, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Ternyata ruangan itu berada dalam keadaan sepi, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Diam-diam Gi Beng menarik napas dingin, gumamnya:
"Ternyata Hoa Bu-soat maupun Siang-tok Thaysu tidak berada di sini... masakah nona Leng benar-benar telah membohongi kita?"
Dia tidak tahu harus merasa kecewa atau bersyukur, tapi setelah mengawasi seluruh ruangan beberapa saat lamanya, sesudah memeriksa setiap sudut ruangan itu, kembali gumamnya:
"Ternyata dia tidak berbohong... dia tidak membohongi aku."
Kalau dibilang tempat itu adalah sebuah ruang kuil kuno, lebih cocok kalau dikatakan tempat itu merupakan sebuah ruang yang bobrok dan kotor.
Ruang itu berbentuk setengah lingkaran, di bawah atap bulat yang penuh ukiran, terpancang delapan tiang batu yang sangat besar, luasnya mencapai belasan kaki, di belakang undak-undakan batu yang sangat rapi terdapat sebuah meja altar yang megah, di atas meja altar berjajar dua buah patung dewa yang nampak angker.
Biarpun debu yang melapisi tempat itu sangat tebal, meskipun lumut hijau amat tebal, bahkan di setiap sudut ruangan yang gelap tersisa bekas sarang burung dan hewan yang kotor, sarang laba-laba yang tebal, namun semua itu tidak menutupi kemegahan ruangan itu di masa lalu, hingga kini siapa pun yang berada di sana akan muncul rasa hormat dan segan luar biasa, perasaan haru yang membuat mereka nyaris menjatuhkan diri untuk menyembah.
Tapi ketika debu mulai mereda, ketika suasana sudah terang benderang, mereka menjumpai hampir setiap tonggak, dinding batu dan sekeliling meja altar, penuh bertaburkan butiran benda yang memancarkan cahaya berkilauan.
Kilauan cahaya yang gemerlapan rasanya tidak sebanding dengan bangunan kuil yang kuno dan kotor, bagaimana mungkin di balik suasana yang gelap dan lembab bisa bertaburkan cahaya berkilauan yang begitu indah"
Tanpa sadar semua orang mulai memperhatikan benda itu dengan lebih seksama, tidak lama kemudian mereka tahu bahwa setiap benda yang berkilauan itu ternyata tidak lain adalah senjata rahasia yang mematikan.
Senjata rahasia itu terdiri dari aneka bentuk yang berbeda, ada mutiara Ngo bong cu, ada jarum Bwe hoa ciam, ada duri beracun Gin ji li, ada pasir Toh hun sah... biarpun senjata rahasia itu terdiri dari berbagai jenis, namun Im Kiu-siau sekalian masih dapat mengenali bentuk-nya satu per satu.
Namun selain bentuk yang diketahui, ternyata di situ pun terdapat puluhan jenis senjata rahasia lain yang berbentuk aneh, ada senjata rahasia mirip gembrengan terbang, gunting, golok, pedang, gangsingan, malah ada pula yang berbentuk lembut sebesar butiran beras, bentuk yang sedemikian kecil hingga susah dilihat dengan jelas.
Biarpun Im Kiu-siau sekalian sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, walaupun pengetahuan dan pengalaman mereka sangat luas, namun selama hidup bukan saja tidak pernah menyaksikan senjata rahasia semacam ini, bahkan mendengar pun belum pernah.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah benda lembut dan kecil yang nampaknya begitu ringan, bahkan untuk menembus kain tebal pun belum tentu sanggup, kini justru menghujam dalam di atas batu cadas. Dari sini dapat diketahui orang yang melepaskan senjata rahasia itu bukan saja memiliki kepandaian yang hebat, tenaga dalamnya pun amat sempurna.
Semua orang saling berpandangan sambil berpikir:
"Dalam dunia persilatan, kecuali si Hujan gerimis Hoa Bu-soat, siapa pula yang sanggup melepaskan berbagai jenis senjata rahasia yang aneh itu serta mampu menghujamkan senjata rahasia itu menembus batu dan kayu?"
"Ternyata nona Leng memang tidak membohongi kita," kata Gi Beng, "rupanya si Hujan gerimis Hoa Bu-soat memang pernah bertarung habis-habisan di sini melawan Siang-tok Thaysu, cuma...."
"Cuma... entah mereka berdua saat ini telah pergi kemana?"
lanjut Thiat Cing-su.
"Kira-kira siapa yang berhasil memenangkan pertarungan ini?" kata Im Kiu-siau dengan kening berkerut.
Sinar matanya kembali menyapu sekejap senjata rahasia yang berkilauan itu, kemudian pikirnya, "Bila Siang-tok Thaysu ingin meloloskan diri dari kepungan hujan Am-gi si Hujan gerimis, rasanya lebih sulit daripada memanjat ke langit."
Biarpun para jago tidak sempat menyaksikan sendiri jalannya pertempuran yang mendebarkan hati itu, namun ditinjau dari bekas yang tertinggal di medan pertempuran, bisa dibayangkan betapa seru dan dahsyatnya pertarungan tadi.
Terdengar Gi Beng menghela napas sambil bergumam:
"Sayang kedatangan kita terlambat satu langkah, sayang terlambat selangkah...."
Tiba-tiba nampak Im Ting-ting berlari cepat menaiki anak tangga, sekalipun dia berlari dengan kecepatan tinggi, namun sepasang matanya mengawasi terus kedua patung dewa yang ada di meja altar tanpa berkedip.
Wajah kedua patung dewa itu sudah tertelan di balik lumut yang tebal, boleh dibilang sama sekali tidak terlihat raut muka sebenarnya, namun Im Ting-ting tetap mengawasinya dengan kesemsem, bahkan sewaktu lututnya terantuk sisi meja altar yang keras pun dia seolah tidak merasa kesakitan.
Dengan sekali lompatan dia naik ke atas meja altar, kemudian merobek ujung bajunya dan merangkak naik lagi ke atas bahu patung dewa raksasa itu.
"Ting-ting, apa yang hendak kau lakukan?" tegur Im Kiu-siau dengan kening berkerut.
Im Ting-ting sama sekali tidak berpaling, dia seolah tidak mendengar teguran itu, dengan tangannya yang gemetar dia mulai mengusap wajah patung dewa yang kotor dan
membersihkan semua lumut tebal yang ada.
Baru saja Im Kiu-siau hendak menegur, tiba-tiba dia menyaksikan Im Gi berdiri pula dengan sikap yang aneh...
sepasang mata orang tua itu sedang menatap wajah patung dewa itu tanpa berkedip, bahkan dia mengamatinya dengan begitu terpesona.
Dalam waktu singkat hati Im Kiu-siau bergetar keras, darah panas langsung memenuhi kepalanya, secara tiba-tiba dia ikut melupakan segalanya, yang dia lakukan saat itu hanya mengawasi wajah patung dewa itu dengan terkesima.
Gi Beng bersaudara yang menyaksikan perubahan aneh wajah orang-orang itu segera merasakan hatinya bergidik, semacam firasat jelek seketika melintas di hati mereka, seolah-olah sebentar lagi akan terjadi satu peristiwa yang menyeramkan.
Lumut tebal akhirnya berhasil dibersihkan, kini wajah patung dewa itupun tampil lebih jelas.
Selembar wajah angker, berwibawa, pemberani dan ulet, alis matanya kelihatan begitu tebal, menampilkan sebuah tekad dan ambisi yang luar biasa.
Hanya sekilas pandang Gi Teng segera merasakan hatinya berdebar keras... dia merasa wajah patung dewa itu begitu dikenal, seperti belum lama menjumpainya.
Mendadak terdengar Gi Beng berteriak keras:
"Bukan. , bukankah itu wajah Im-locianpwe"
Baru saja dia menjerit, terlihat Im Gi dan Im Kiu-siau telah menjatuhkan diri berlutut.
Dalam waktu singkat, paras muka kedua orang ini telah terjadi perubahan yang luar biasa, perubahan yang sulit dilukiskan... mimik muka itu seperti terkejut, gembira, sedih, seperti juga diliputi gejolak emosi yang luar biasa.
Malah butiran air mata telah jatuh berlinang membasahi wajah Im Ting-ting.
Sambil menggigit bibir, kembali dia menyeka lumut yang menodai wajah patung dewa itu, ketika hendak berjongkok, tiba-tiba lututnya lemas dan dia pun terjatuh tertelungkup di atas meja altar, tepat di depan patung raksasa itu.
Sun Siau-kiau yang menyaksikan kejadian itu jadi melongo, diam-diam dia menghampiri Gi Beng sambil berbisik:
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Aku sendiri pun kurang tahu," sahut Gi Beng sambil menggeleng, padahal secara lamat-lamat dia sudah dapat menebak apa gerangan yang telah terjadi.
Hanya saja untuk sesaat dia tidak berani menerima hal itu sebagai kenyataan, susah baginya untuk percaya bahwa di dunia ini ada kejadian yang begitu kebetulan.
Semua anggota perguruan Tay ki bun telah menjatuhkan diri berlutut, wajah mereka basah oleh air mata.
"Ternyata benar... ternyata benar...." bisik Im Ting-ting dengan nada gemetar.
"Betul... betul...." ucap Im Kiu-siau pula dengan air mata berlinang.
"Sebenarnya apa...." tidak tahan Sun Siau kiau berseru.
Belum selesai pertanyaan itu diajukan, terdengar Im Gi telah berseru sambil menengadah ke atas:
"Thian... oooh, Thian, mimpi pun Tecu tidak menyangka akan berjumpa dengan wajah Cosuya berdua di tempat ini, tampaknya sudah saatnya bagi perguruan Tay ki bun untuk membalas dendam."
Bergetar hati Sun Siau-kiau, gumamnya dengan perasaan-tercekat:
"Jangan-jangan... jangan-jangan kedua orang Cianpwe itu adalah Cosuya mereka yang mendirikan perguruan Tay ki bun?"
Kini semua orang merasa bahwa wajah patung dewa yang berada di sebelah kiri sangat mirip dengan wajah Im Gi, Ciang bunjin perguruan Tay ki bun yang sedang berlutut di tanah.
Serentak Gi Beng maupun Gi Teng ikut berlutut.
Paras muka Seng Cun-hau berubah hebat, gumamnya pula:
"Kemauan takdir... kehendak takdir...."
Sementara itu Im Ting-ting sudah merangkak bangun dari atas meja altar, tiba-tiba jeritnya:
"Ayah, di atas meja terdapat ukiran tulisan"
"Apa yang dikatakan?"
Sambil menyeka tulisan itu dengan kain agar nampak lebih jelas, baca Im Ting-ting:
"Dipersembahkan untuk Im, Thiat dua orang Inkong, semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa."
"Semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa," Im Gi mengulang perkataan itu sambil tertawa getir.
Terbayang bagaimana keturunannya tercerai-berai, keluarganya hancur berantakan, tidak kuasa lagi air mata berlinang membasahi wajah tuanya.
Terdengar Im Ting-ting dengan nada gemetar melanjutkan:
"Di bawahnya tertera tanda tangan beberapa orang, mereka adalah...."
Tiba-tiba nada suaranya dipenuhi rasa benci, dan rasa dendam kesumat yang sangat mendalam, lanjutnya:
"Keluarga Seng, Lui, Leng, Pek, Hek dan Suto enam orang!"
Ketika nama itu diucapkan, Seng Cun-hau tidak kuasa menahan rasa bergidiknya lagi, bulu kuduknya berdiri.
"Enam keluarga mempersembahkan ucapan yang hebat, hahaha... semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa... aku tahu, kalian enam keluarga justru sangat membenci keluarga Im dan Thiat, kalian berharap kami tertumpas dari muka bumi... tertumpas untuk selamanya...."
teriak Im Gi sambil tertawa pedih.
Di tengah gelak tertawa yang menyeramkan, dia melompat bangun sambil mencengkeram Seng Toa-nio, jeritnya:
"Takdir... kehendak takdir... takdirlah yang menghendaki kalian datang kemari hari ini, agar kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang ditinggalkan leluhur kalian, sekarang... apa yang hendak kau katakan lagi?"
Seng Toa-nio memejamkan mata rapat-rapat, sambil mengertak gigi dia membungkam.
"Seng Cun-hau!" kembali Im Gi berteriak keras, "kalau kau memang seorang anak berbakti, tahukah kau bila hari ini kau masih berbakti kepada ibumu, hal ini sama artinya tidak berbakti kepada leluhurmu?"
"Boanpwe... Boanpwe...." dengan sedih Seng Cun-hau menghela napas, "aaaai! Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi."
"Kalau memang tidak bisa berkata lagi... bagus, Seng Toa-nio, memandang wajah anakmu hari ini, Lohu berikan satu kesempatan lagi kepadamu...."
Setelah menepuk bebas jalan darah Seng Toa-nio, bentaknya gusar:
"Bangun, mari kita selesaikan persoalan hari ini dengan berduel!"
Dia mundur dua langkah, berbalik tubuh menghadap ke arah dua patung dewa itu dan ujarnya lagi dengan suara gemetar:
"Suco berdua, hari ini Tecu Im Gi sengaja akan menyelesaikan semua dendam kesumat perguruan Tay ki bun di hadapan kalian berdua, akan Tecu gunakan darah segar musuh untuk menyembah arwah kalian di alam baka!"
Selesai berkata dia rentangkan sepasang tangannya dan siap membalikkan badan....
Mendadak terdengar suara seseorang berkumandang datang dari atas patung dewa itu.
Suara itu datang mengalun dan terdengar sangat misterius, seakan-akan suara yang berasal dari roh gentayangan.
Sekata demi sekata dia berkata:
"Im Gi, wahai Im Gi, kau keliru besar, jangan dianggap pertikaian dan dendam kesumat yang dialami perguruan Tay ki bun bisa diselesaikan segampang itu, sekalipun Seng Toa-nio berhasil kau bunuh, tapi apa gunanya?"
Begitu ucapan itu bergema, semua jago dibuat terkesiap dan tercekat perasaannya.
Siapa yang tidak kaget" Siapa yang tidak bergidik ketika secara tiba-tiba di tengah ruang kuil yang misterius, dari belakang patung Dewa yang antik dan kuno, tiba-tiba muncul suara manusia"
Sekujur tubuh Im Gi gemetar keras, dia mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, serunya tergagap:
"Kau... kau...."
Saking kaget dan tercekatnya dia sampai tidak mampu melanjutkan kembali perkataannya.
Terdengar suara itu kembali bergema:
"Kerumitan serta kekalutan di balik semua pertikaian dan dendam kesumat yang menimpa perguruan Tay ki bun tidak semudah dan sesederhana yang kau bayangkan, untung di antara mereka yang terlibat masih banyak yang hidup, hari ini mereka akan berdatangan semua ke tempat ini."
"Darimana kau tahu?" dengan memberanikan diri Im Gi berteriak.
"Darimana aku tahu?" jawab suara itu, "urusan apa lagi di dunia ini yang tidak kuketahui?"
"Siapa kau?" tiba-tiba Im Kiu-siau membentak nyaring.
Sekarang dia sudah tahu suara itu berasal dari belakang patung dewa, di tengah bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara dan secepat kilat menubruk ke belakang patung itu.
Siapa tahu, belum lagi tubuhnya mencapai tempat itu, tiba-tiba segulung desingan angin meluncur keluar dari belakang patung, meskipun gulungan angin itu tidak terlampau kuat, namun sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan tubuh Im Kiu-siau hingga mesti bersalto beberapa kali di udara dan sewaktu melayang turun, mundur lagi dengan sempoyongan.
Terkejut bercampur gusar, kembali Im Gi membentak:
"Sebenarnya siapa kau?"
Suara itu tertawa terkekeh, sahutnya:
"Hahaha, baru saja aku menyelamatkan nyawamu, masa sekarang kau sudah lupa?"
"Coh Sam-nio!" seru Im Gi terperanjat.
"Betul, aku adalah Coh Sam-nio, karena tadi aku telah menyelamatkan nyawamu, tentu saja sekarang pun aku tidak berniat mencelakai-mu, kenapa kau tidak percaya dengan nasehat serta bujukanku?"
"Apa... apa yang kau inginkan?"
"Bila kau sungguh ingin menyelesaikan semua pertikaian dan dendam kesumat yang menimpa perguruan Tay ki bun, ikutlah aku."
Di tengah pembicaraan, terlihat sesosok bayangan manusia melintas keluar dari balik patung dewa, tubuhnya bagaikan naga terbang, seperti juga sambaran halilintar, hanya berkelebat sekejap di depan semua orang dan tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas.
Tapi di saat yang amat singkat itulah semua orang telah melihat sebuah lorong rahasia dari balik kedua patung dewa itu, dari tempat itulah Coh Sam-nio muncul.
Besar kemungkinan di balik lorong rahasia itu tersimpan ancaman bahaya maut yang lebih besar dan menakutkan, namun bagi Im Gi sekalian tidak punya pilihan lain kecuali mempertaruhkan nyawa ikut menerobos masuk ke dalam.
"Semua anggota perguruan Tay ki bun, ikut aku!" bentak Im Gi nyaring.
Tanpa membuang waktu, dia menerobos masuk terlebih dulu.
Sebelum ikut masuk, Im Kiu-siau berpaling memandang Seng Toa-nio sekejap, tegurnya:
"Apakah kau masih...."
Sambil tertawa dingin Seng Toa-nio menukas:
"Tidak perlu kau kuatirkan, setelah urusan berkembang jadi begini, memangnya aku bakal kabur?"
Setelah sangsi sejenak, dia membungkukkan tubuh
membopong tubuh putra kesayangannya, kemudian beranjak mengintil di belakang Im Gi sekalian.
Benar saja, di belakang patung dewa terdapat sebuah lorong rahasia.
Tentu saja lorong rahasia itupun berliku-liku bahkan jauh lebih gelap dan lembab, menelusuri lorong rahasia itu, perasaan Im Gi sekalian terasa jauh lebih bergolak, gejolak emosinya makin membara.
Bayangan tubuh Coh Sam-nio sudah lenyap, tapi gelak tawanya tiada henti berkuman-dang dari balik kegelapan di depan sana, kelihatannya suara tertawa itu digunakannya untuk memberi petunjuk jalan bagi rombongan ini.
Semua orang merasakan hawa dingin yang menggidikkan makin lama semakin bertambah mencekam, ketika berjalan beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari depan sana terdengar suara bentakan serta pekikan tajam yang menusuk pendengaran.
Pekikan tajam itu tampaknya berasal dari Dewa racun Leng It-hong.
Menyusul terdengar suara Coh Sam-nio yang berseru dari kejauhan:
"Sudah hampir sampai, ayo, besarkan nyali dan cepat kemari!"
Kemudian dari arah depan sana lamat-lamat mulai terlihat ada cahaya terang.
Saat ini tidak seorang pun buka suara, yang terdengar hanya debaran jantung yang makin lama semakin bertambah nyaring, langkah kaki semua orang pun tanpa terasa diayunkan makin cepat....
Mendadak pemandangan di depan sana mulai bertambah lebar dan cerah.
Sebuah lapisan pintu yang lebih tinggi dan besar terbentang di depan mata.
Suasana di balik pintu itu sangat terang, rupanya sebuah ruang pertemuan yang lebar, bangunan ini jauh lebih megah, mentereng dan mewah ketimbang bangunan pertama, di belakang meja altar terdapat pula dua buah patung dewa yang tinggi besar, sekalipun raut wajahnya sudah tertutup oleh lapisan lumut tebal, namun anehnya ternyata kedua patung itu berupa patung wanita, sisi kiri ruangan yang sangat megah itu ternyata sudah roboh sebagian, tumpukan batu berserakan dimana-mana, dari celah dinding yang roboh itulah cahaya matahari memancar masuk ke dalam dan menerangi seluruh sudut.
Biarpun banyak hal aneh yang dijumpai di situ, namun semua orang tidak sempat memperhatikan dengan seksama, karena di tengah ruangan terdapat kejadian mengejutkan lain yang jauh lebih menarik perhatian mereka.
Suara bentakan yang menggetarkan pendengaran, suara pekikan yang tinggi melengking serta suara deru angin yang bergelombang sedang menyelimuti seluruh ruang megah bak istana itu.
Dua sosok bayangan manusia bergerak cepat kian kemari, mereka sedang terlibat pertarungan yang amat seru, seluruh suara aneh itu tidak lain berasal dari tubuh kedua orang yang sedang terlibat pertarungan sengit ini.
Kedua orang itu, seorang di antaranya berpekik nyaring tiada hentinya sambil melompat kian kemari bagaikan sesosok mayat hidup, tanpa melihat raut mukanya pun semua orang tahu dia tidak lain adalah Dewa racun.
Sementara yang lain membentak gusar tiada hentinya, sebilah kapak raksasa yang diputar dalam genggamannya menimbulkan bayangan kapak yang berlapis bagai bukit dan suara deru angin yang memekakkan telinga, begitu kerasnya suara deruan itu hingga ujung baju Im Gi sekalian yang berdiri puluhan tombak dari situ pun ikut berkibar kencang.
Tubuh orang itu seakan memiliki tenaga sakti yang tiada habisnya, kapak raksasa yang berada dalam genggamannya diputar bagaikan roda kereta, begitu rapat dan berlapis-lapis hingga angin dan hujan susah menembus.
Biarpun Dewa racun berteriak gusar, namun jangan harap sepasang cakar racunnya mampu menyentuh tubuh orang itu, dia hanya bisa berpekik nyaring berulang kali sambil berputar mengelilingi bayangan manusia itu dan menanti bayangan kapaknya muncul celah kosong.
Sayang orang itu seolah memiliki kekuatan alam yang luar biasa, kekuatan yang membuatnya tidak pernah lelah, begitu dahsyat dan kuatnya orang itu seakan dia memiliki kemampuan untuk memutar kapak itu selamanya.
Selama hidup belum pernah kawanan jago itu menyaksikan pertarungan sedahsyat ini, tanpa terasa semua orang berdiri melongo dengan pandangan terbelalak.
Seakan menyadari akan sesuatu, Gi Beng segera berseru:
"Ternyata 'benda' yang disebut Hong Lo-su adalah orang ini, tapi siapakah dia" Kenapa bisa memiliki tenaga sesakti itu"
Jangan-jangan dia pun bukan... bukan manusia?"
Ketika berpaling, dia jumpai Im Gi sedang mengawasi bayangan manusia itu tanpa berkedip, begitu besar dia melotot sampai biji matanya seolah-olah mau melompat keluar.
Setelah mengamati beberapa saat, akhirnya dia berteriak nyaring:
"Sim-te! Dia adalah Sim-te!"
"Sim-te!" terdengar Im Kiu-siau ikut berteriak keras, "kenapa kau bisa berada di sini?"
Dipengaruhi gejolak emosi yang meluap, kedua orang itu hampir saja menubruk maju ke depan, tapi sebelum melangkah, tiba-tiba pandangan jadi kabur, tahu-tahu Coh Sam-nio sudah merintangi jalan pergi mereka sambil merentangkan sepasang tangannya.
Terdengar dia berkata dengan suara berat:
"Betul, dia memang adik Sim kalian, dan dia pula satu-satunya orang di dunia ini yang mampu membendung keganasan Dewa racun, aku sengaja mengajaknya kemari tidak lain karena ingin menggunakan kemampuannya untuk bertarung melawan Dewa racun."
"Tapi adik Sim, dia... kelihatannya...."
"Benar," tukas Coh Sam-nio sambil tertawa, "kesadarannya memang kelihatan tidak beres, karena jiwanya memang sudah dibetot dengan ilmu pembetot sukma, karena tidak sadar maka dialah yang paling cocok bertarung menghadapi si Dewa racun."
"Aku sebagai Ciangbunjin perguruan Tay ki bun tidak bisa membiarkan dia menderita, apalagi membiarkan dia bertarung seorang diri, Lohu... biar mempertaruhkan nyawa pun harus..."
"Orang yang sudah kehilangan kesadaran mana mungkin tahu menderita" Sekarang dia telah mengeluarkan seluruh tenaganya yang tersembunyi untuk melakukan pertarungan, saat ini dia justru telah menjadi satu-satunya jago paling tangguh dari perguruan Tay ki bun, sementara si Dewa racun Leng It-hong tidak dapat disangkal telah menjadi jagoan yang paling tangguh pula dari persekutuan Ngo hok beng, pertarungan yang berlangsung saat ini pada hakikatnya merupakan pertempuran antara perguruan Tay ki bun melawan persekutuan Ngo hok beng, apa salahnya membiarkan dia bertempur" Dengan kemampuan silatmu sekarang, ikut dalam pertarungan itu hanya merupakan tindakan ceroboh, membuang tenaga dengan percuma."
Biarpun ucapan yang terakhir disampaikan dengan bahasa yang sopan, namun maksudnya jelas sekali:
"Jika kau ikut campur, pada hakikatnya hanya mengantar nyawa dengan percuma".
Im Gi termangu beberapa saat, akhirnya sambil
menghentakkan kaki dan menghela napas panjang, dia membungkam.
Akhirnya sorot mata semua orang pun dialihkan ke tubuh Dewa racun dan lelaki bertelanjang kaki itu.
Sementara itu Gi Beng menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia lihat di bawah meja altar dan di bawah patung dewa yang berjarak tiga kaki, duduk bersila dua orang, orang yang bersila di sebelah kiri ternyata adalah Hong Lo-su, kelihatannya dia sudah menggunakan tenaga kelewat banyak hingga sekarang perlu duduk mengatur pernapasan.
Sementara di sampingnya duduk bersila pula seseorang, ternyata dia adalah Siang-tok Thaysu, wajahnya yang semula merah darah kini telah berubah jadi hijau keabu-abuan, hal ini menandakan dia sudah menderita luka dalam.
Mereka berdua sebenarnya adalah musuh bebuyutan, tapi kini justru duduk berdampingan di atas meja altar yang sama, kejadian ini semakin menunjukkan kedua orang ini sudah bertarung habis-habisan hingga tak punya tenaga lagi untuk bergerak, kalau masih punya kekuatan, mana mungkin mereka duduk tenang" Mungkin pertarungan mati hidup kembali akan berkobar dengan serunya.
Ketika memeriksa lagi ke belakang meja altar, tampak ada tiga kepala manusia muncul dari balik kegelapan, saat itu mereka sedang mengawasi Im Gi dengan penuh kebencian, ternyata ketiga orang itu adalah Hek Seng-thian, Pek Seng-bu dan Suto Siau.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu melihat kehadiran ketiga orang itu, tidak tahan Gi Beng berseru keheranan:
"Aneh, mereka bertiga bisa muncul di sini, kenapa Hoa Bu-soat...."
"Hoa Bu-soat sedang pergi mencari putrinya," terdengar Coh Sam-nio menyela sambil tertawa.
"Lalu nona Un?"
"Un Tay-tay sudah terjatuh ke tangan Suto Siau."
"Aduh! Bagaimana baiknya!" Gi Beng menjerit tertahan.
Coh Sam-nio tersenyum.
"Dulu Un Tay-tay memang bini muda Suto Siau, kalau sekarang dia balik lagi ke samping Suto Siau juga bukan suatu kejadian yang aneh, itu lumrah, kenapa kau mesti cemas pada keselamatannya?"
Gi Beng menjadi tertegun beberapa saat, tapi setelah menghela napas panjang, dia pun tidak berbicara lagi... kalau kejadian sudah begini, perkataaan apa lagi yang bisa disampaikan"
Im Kiu-siau yang ikut memandang sekejap sekeliling tempat itu diam-diam merasa girang.
Kini Hoa Bu-soat sudah pergi, Hong Lo-su dan Siang-tok Thaysu sudah terluka, jago lihai yang tersisa pun tinggal Coh Sam-nio seorang, padahal dilihat dari sikapnya, jelas Coh Sam-nio tidak menaruh niat jahat terhadap perguruan Tay ki bun.
Ketika mencoba menganalisa kekuatan musuh, dari pihak lawan Seng Toa-nio sudah terjatuh ke tangan mereka, Seng Cun-hau sudah tidak bisa bertarung dan tidak mau bertarung lagi, sisanya Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau sudah bukan ancaman yang menguatirkan lagi, berarti asal lelaki bertelanjang kaki itu tidak kalah, dendam kesumat sedalam lautan perguruan Tay ki bun bisa terbalaskan hari ini.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa sekulum senyuman menghiasi bibirnya.
Tidak membuang waktu lagi dia segera menarik ujung baju Im Gi sambil berbisik dengan suara dalam:
"Kesempatan emas sudah di depan mata dan peluang ini segera akan lenyap bila tidak dimanfaatkan, kalau tidak turun tangan sekarang, kita mau menunggu kapan lagi?"
"Benar!" seru Im Gi dengan semangat berkobar.
Dia segera memberi tanda sambil terusnya:
"Cing-su, Ting-ting, kalian menghadapi Pek Seng-bu, aku menghadapi Suto Siau, sedang Hek Seng-thian kuserahkan kepadamu Samte!"
Baru selesai bicara, dia sudah melesat ke depan.
Angin serangan kapak dan bayangan manusia nyaris menyelimuti seluruh ruangan itu, terpaksa Im Gi harus menelusuri pinggir ruangan.
Thiat Cing-su, Im Kiu-siau serta Im Ting ting cepat menyusul dari belakang.
Keempat orang itu penuh diliputi gejolak hawa darah yang menggelora, napsu membunuh menghiasi wajah semua orang, bahkan Im Ting-ting yang biasanya halus lembut pun kini sudah diliputi hawa napsu membunuh yang menakutkan, dia seolah ingin segera membunuh musuhnya dan memadamkan kobaran api dendamnya dengan darah lawan.
Menyaksikan bayangan punggung beberapa orang itu, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir Coh Sam-nio, ujarnya sambil manggut-manggut dan tertawa:
"Bagus, bagus, memang seharusnya begitu, memang
seharusnya begitu
Kemudian sambil menarik kembali pandangan serta
senyumannya, dia melanjutkan dengan nada dalam:
"Tapi persoalan ini merupakan pertikaian orang-orang perguruan Tay ki bun dan Ngo hok beng, kecuali kalian yang terlibat langsung, siapa pun tidak boleh ikut campur dalam persoalan ini, mengerti?"
"Aku toh boleh ikut terlibat," sela Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
Baru saja dia menurunkan tubuh Seng Cun-hau, mendadak tubuhnya gemetar keras, di tengah jeritan kagetnya, mendadak tubuhnya terjungkal ke atas tanah. Rupanya Seng Cun-hau dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimilikinya telah menotok jalan darah ibunya.
Ibu dan anak pun sama-sama jatuh bergulingan di atas tanah.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur gusar Seng Toa-nio, jeritnya histeris:
"Cun-hau! Apa-apaan kau?"
Dengan air mata bercucuran, sahut Seng Cun-hau memelas:
"Ananda memang pantas dibunuh, tapi... tapi ananda...."
"Binatang!" umpat Seng Toa-nio makin gusar, "dasar binatang yang tidak berbakti!"
"Kau tidak perlu memakinya," kata Coh Sam-nio sambil tertawa, "bocah itu berbuat begitu juga demi kebaikanmu sendiri, dengan begitu, siapa yang akan keluar sebagai pemenang, di kemudian hari kau boleh cuci tangan dan berdiri sebagai penonton, apa tidak lebih menyenangkan?"
Terdengar suara bentakan nyaring menggelegar memecah keheningan, kepalan baja Im Gi telah dilontarkan ke depan menghantam dada Suto Siau.
"Bagus, orang she Im, kau sangka aku Suto Siau benar-benar takut kepadamu?" seru Suto Siau sambil tertawa keras.
Karena sadar tidak mungkin bisa menghindari pertarungan itu, terpaksa dia harus membesarkan nyali dan menyambut datangnya serangan itu.
Di arena lain, Hek Seng-thian dan Im Kiu-siau sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, begitu bertemu, masing-masing pihak saling melancarkan tujuh jurus serangan, sedang Thiat Cing-su bekerja sama dengan Im Ting-ting terlibat pula dalam pertempuran seru melawan Pek Seng-bu.
Dendam kesumat yang sudah tersimpan selama belasan tahun dalam dada mereka seketika dilampiaskan keluar semua, jurus demi jurus serangan yang digunakan pun ganas, telengas dan sama sekali tidak kenal ampun, tampaknya mereka ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh bebuyutannya.
Pek Seng-bu bertiga pun sadar, bila dalam pertarungan kali ini tidak berhasil ditentukan hidup-mati, mustahil pertempuran akan disudahi begitu saja, dalam keadaan seperti ini, kecuali mengadu jiwa, memang tiada pilihan lain lagi bagi mereka.
Dalam waktu singkat, tampak angin pukulan bayangan kepalan menderu dan menggulung di udara, suara pekikan keras bagai gulungan ombak di samudra serasa membawa hawa pembunuhan yang menakutkan, sedemikian hebatnya
pertarungan yang berlangsung sampai Gi Beng yang berdiri belasan kaki dari arena pun dapat merasakan betapa menekannya hawa pembunuhan itu.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki beberapa orang itu belum bisa dibilang sangat luar biasa, namun hawa pembunuhan yang terpancar justru cukup membuat hati orang berdebar, apalagi bagi Gi Beng, jantungnya berdebar keras, diam-diam dia selalu berdoa demi keselamatan Thiat Cing-su.
Coh Sam-nio melirik sekejap ke arahnya sambil tersenyum, tiba-tiba ujarnya:
"Kelihatannya walaupun bukan anggota perguruan Tay ki bun, namun kau ingin sekali membantu pihak mereka, bukankah begitu?"
"Siapa pun wajib membela dan menegakkan kebenaran!"
"Ehmmm, membela dan menegakkan kebenaran! Sebuah perkataan yang bagus, hanya sayang... aaaai!" Coh Sam-nio menghela napas panjang.
Dia sengaja menghentikan perkataannya dan tidak
dilanjutkan kembali.
Betul saja, Gi Beng tidak kuasa menahan diri, segera tanyanya:
"Sayang kenapa?"
"Sayang kelompok jago yang membela dan menegakkan kebenaran ini mungkin akan tertumpas untuk selamanya pada hari ini."
Berubah paras muka Gi Beng setelah mendengar perkataan itu, tapi sejenak kemudian sambil tertawa dia menggeleng, katanya:
"Kalau hanya mengandalkan kemampuan Hek Seng-thian dan Suto Siau bertiga, bagaimana mungkin mereka mampu menandingi kekuatan mereka" Mungkin kelompok Ngo-hok-beng yang bakal tertumpas untuk selamanya!"
"Oya... lantas bagaimana dengan Dewa racun itu?"
"Bukankah sudah ada orang yang mampu menghadang si Dewa racun?"
"Betul," Coh Sam-nio tersenyum, "memang ada orang lain yang mampu membendung sepak terjang Dewa racun, tapi si lelaki bertelanjang kaki itu hanya mampu membendung, itupun sudah menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya, ingin melenyapkan dirinya" Mustahil bisa dia lakukan. Lagi pula tenaga manusia itu ada batasnya, paling setengah jam lagi dia pun tidak akan mampu membendung serangan mautnya."
"Lalu... lalu bagaimana baiknya?" seru Gi Beng terkejut.
"Pada saat itulah kelompok yang akan membela dan menegakkan kebenaran ini akan tertumpas dan musnah untuk selamanya."
"Kalau sampai terjadi seperti ini, apapun yang bakal terjadi kita harus mencari cara untuk menghadapi Dewa racun...." seru Gi Beng sambil menggigit bibir.
Tiba-tiba Coh Sam-nio menarik wajahnya seraya menegur:
"Hanya mereka yang terlibat langsung dalam pertikaian ini yang boleh ikut campur, kau sudah lupa dengan perkataan itu?"
"Tapi... tapi... masa akan kau biarkan mereka mati konyol?"
seru Gi Beng dengan wajah berubah.
"Cara kerjaku selalu menjunjung tinggi keadilan, bila aku tidak mengizinkan orang lain membantu pihak Ngo hok beng, tentu saja aku pun akan melarang siapa pun membantu pihak perguruan Tay ki bun, bila ada yang berani turun tangan secara sembarangan, dia mesti melewati dulu aku Coh Sam-nio."
Gi Beng tertegun beberapa saat, kemudian jeritnya:
"Kau sengaja berkata begitu karena tahu pihak perguruan Tay ki bun bakal mengalami bencana tragis, kau jelas berat sebelah, katanya saja bersikap adil, tapi nyatanyakau... kau...."
"Besar amat nyalimu," hardik Coh Sam-nio keras, "di hadapan Sam-nio pun berani bicara kurangajar, memangnya kau sangka aku tidak mampu membungkam mulutmu?"
Sekali lagi Gi Beng dibuat melengak, akhirnya dia berpaling ke arah lain, sementara butiran air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Gi Teng sendiri pun merasa sangat gusar dan mendongkol, tapi selama berada di hadapan jago lihai dunia persilatan ini, selain bersabar dan menahan diri, apa lagi yang bisa mereka lakukan" Memangnya mereka ingin mengantar kematian dengan percuma"
Lewat beberapa saat kemudian terdengar Coh Sam-nio berkata lagi:
"Keadaan sudah berkembang jadi begini, apa gunanya kau menangis" Coba lihat ke arah sana!"
Tidak tahan Gi Beng segera berpaling ke arah yang ditunjuk, tampak Im Gi masih menyerang dengan garangnya, tapi sayang walaupun semua serangannya ganas dan hebat, Suto Siau dengan mengandalkan gerakan tubuhnya yang lincah dan gesit berhasil berkelit dari semua ancaman itu, untuk sesaat nampaknya dia belum akan terkalahkan.
Im Kiu-siau sendiri walaupun berhasil merebut posisi di atas angin, namun dia pun mengalami kesulitan menyelesaikan pertarungan dalam waktu singkat.
Hanya keadaan Pek Seng-bu yang paling mengenaskan, dikerubut dua orang jago dari kiri kanan, posisinya makin lama semakin tercecar dan terjerumus dalam keadaan sangat berbahaya.
Im Ting-ting serta Thiat Cing-su ibarat dua ekor harimau yang baru turun gunung, jurus serangan macam apapun yang digunakan Pek Seng-bu, ternyata mereka berdua selalu menghadapinya dengan keras lawan keras.
Peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi seluruh tubuh Pek Seng-bu, tiba-tiba dia melepaskan sebuah pukulan, sementara iga kirinya dibiarkan terbuka dari pertahanan.
Melihat datangnya kesempatan emas, Thiat Cing-su tidak mau melepaskannya dengan sia-sia, sambil membentak dia merangsek maju.
Siapa tahu walaupun Pek Seng-bu bukan tandingan mereka, namun pengalamannya dalam pertarungan jauh mengungguli lawan, kali ini dia memang sengaja membuka pertahanannya agar pihak lawan masuk perangkap.
Ketika Thiat Cing-su merangsek maju, mendadak tangan kiri Pek Seng-bu melepaskan sebuah pukulan, padahal waktu itu si anak muda itu sudah telanjur merangsek setengah jalan, sulit baginya untuk menghindarkan diri.
"Aduh celaka!" pekik Gi Beng kaget.
Baru dia berteriak, Thiat Cing-su sudah termakan sebuah pukulan hingga tubuhnya mencelat ke belakang.
Biarpun serangan itu bersarang di tubuh Thiat Cing-su, namun seakan menghajar dada Gi Beng, seketika membuat gadis itu menjerit kaget dan kesakitan, hampir saja tanpa mempedulikan segala sesuatunya dia akan menerkam ke depan.
Tampak tubuh Thiat Cing-su bergulingan di atas tanah, tapi segera melompat bangun lagi.
Rupanya walaupun pukulan Pek Seng-bu tadi bersarang telak, namun karena hadangan Im Ting-ting, serangan itu tidak sampai menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Im Gi yang menyaksikan kejadian itu segera membentak keras:
"Anak baik, ayo, maju lagi!"
"Baik!" sahut Thiat Cing-su tidak kalah kerasnya.
Benar saja, dia langsung merangsek maju lagi, biarpun pukulan tadi membuatnya kesakitan hingga wajahnya berubah dan bermandikan keringat dingin, namun rasa sakit sama sekali tidak melenyapkan semangat tempurnya yang luar biasa.
Gi Beng yang melihat hal itu merasa hatinya pedih bercampur girang... perempuan mana di dunia ini yang tidak senang menyaksikan pujaan hatinya seorang lelaki berhati baja"
"Kelihatannya perhatianmu terhadap anak muda itu sangat besar," kata Coh Sam-nio sambil tertawa.
"Hmmm!" Gi Beng mendengus sambil melengos ke arah lain, mendadak dia lihat di belakang tubuhnya telah berkurang dua orang... rupanya menggunakan kesempatan terjadinya kekalutan tadi, secara diam-diam Sun Siau-kiau telah membopong Sim Sin-pek kabur dari situ.
Tapi saat itu dia tidak punya waktu untuk menggubris Sun Siau-kiau lagi, karena pada waktu bersamaan Hong Lo-su yang semula duduk bersemedi tiba-tiba melompat bangun.
Gi Beng serta Gi Teng seketika terkesiap.
"Hong Lo-su pun tidak termasuk salah satu orang yang terlibat dalam pertikaian ini, kau harus mencegahnya untuk ikut terlibat dalam pertarungan ini," buru-buru Gi Beng berseru.
"Tidak usah kuatir," Coh Sam-nio tersenyum, "dia tidak bakal turun tangan."
Benar saja, Hong Lo-su sama sekali tidak menengok ke arah arena pertarungan, setelah bangkit berdiri, perlahan-lahan dia berjalan menuju kehadapan Siang-tok Thaysu.
Menyaksikan hal itu, Gi Beng pun menghembuskan napas lega.
Tampak sekilas senyuman puas yang misterius terlintas di wajah Coh Sam-nio. Rupanya dia sudah menduga Hong Lo-su bakal melakukan satu perbuatan yang mengejutkan.
Sewaktu melihat Hong Lo-su berjalan menuju ke hadapannya, paras muka Siang-tok Thaysu berubah hebat, kelihatannya dia belum siap untuk menghadapi serangan, bila Hong Lo-su sampai melancarkan serangan, niscaya Siang-tok Thaysu tidak akan sanggup melakukan perlawanan.
Anehnya ternyata Hong Lo-su tidak melancarkan serangan.
Dengan sekulum senyuman aneh dia menatap wajah Siang-tok Thaysu lekat-lekat, ujarnya perlahan:
"Angkat wajahmu!"
"Mau... mau apa kau?"
"Tatap wajahku!" kembali Hong Lo-su berkata.
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mengangkat wajahnya, dan dia pun segera menyaksikan sepasang biji mata Hong Lo-su memancarkan cahaya aneh.
"Celaka...." pekiknya dalam hati. Dia ingin menghindar, tapi sayang keadaan sudah terlambat.
"Dalam pertarungan yang terjadi tempo hari," ujar Hong Lo-su, "walaupun aku terkena racunmu, kau pun terpengaruh ilmu pembetot sukmaku, saat itu jiwa dan pikiranmu masih kuat, karenanya tidak sampai terpengaruh terlalu mendalam, kau masih sanggup mempertahankan diri meski tingkah lakumu sudah setengah gila, waktu itu orang lain dapat melihat tingkah gilamu, tapi kau sendiri sama sekali tidak merasakannya."
Tiba-tiba nada ucapannya berubah sangat halus, ramah dan hangat, seperti seorang tua yang ramah sedang memberi wejangan kepada anak muridnya yang paling disayang.
Siang-tok Thaysu membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasinya tanpa berkedip, dia mendengarkan semua perkataan itu tanpa membantah, bagaikan seorang anak penurut yang sedang mendengarkan wejangan gurunya.
Terdengar Hong Lo-su berkata lagi:
"Tapi sekarang, kau sudah terluka oleh senjata rahasia Hoa Bu-soat, biarpun kau sangat menguasai ilmu racun, namun tidak mampu memunahkan racun senjata rahasia yang dilepaskan Hoa Bu-soat, benar begitu?"
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu menganggukkan kepala.
"Oleh sebab itu, kini kau sedang memusatkan seluruh pikiran dan perhatianmu untuk mencegah agar racun jahat itu tidak menyerang jantungmu, karena itu niat dan ketegaran jiwamu sangat lemah, sangat rapuh, kau sudah tidak mampu melawan aku lagi."
Siang-tok Thaysu menghela napas panjang, tanpa terasa kembali dia mengangguk.
"Nah, itulah dia, kini jalan pikiran dan kesadaranmu sudah berada dalam kendaliku, sekarang kau tidak akan mampu mengambil keputusan lagi, kau hanya mampu menuruti semua perkataanku, benar bukan?"
Nada suara Hong Lo-su makin lama semakin lembut, halus dan hangat.
Dengan termangu Siang-tok Thaysu menatap wajahnya beberapa saat, tapi akhirnya dia menundukkan kepala seraya mengangguk:
"Benar!"
"Mulai sekarang kau hanya mempunyai seorang majikan, apapun yang akan dia katakan, kau tidak akan melawan dan membangkang... tahukah kau, siapa majikanmu?"
"Kau adalah majikanku," sahut Siang-tok Thaysu seperti orang mengigau.
"Bagus, apa jadinya bila kau berani membangkang
majikanmu?" kata Hong Lo-su lagi.
"Siap menjalani hukuman yang ditimpakan majikan
kepadaku."
"Mulai sekarang racun yang mengeram dalam tubuhmu sudah terbendung oleh kekuatan saktiku, racun itu tidak bakal kambuh lagi."
Perlu diketahui, ilmu pembetot sukma yang digunakan di masa lalu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ilmu hipnotis zaman sekarang, ilmu ini berkhasiat juga untuk menyembuhkan penyakit.
Tampak sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibir Siang-tok Thaysu, katanya:
"Terima kasih banyak."
"Tapi kau harus ingat," kata Hong Lo-su lebih jauh, "bila kau berani membangkang perintah majikanmu, racun itu segera akan bekerja lagi, dan bila sampai terjadi hal semacam ini, tidak ada lagi manusia di dunia ini yang sanggup menyelamatkan jiwamu, mengerti?"
Senyuman di wajah Siang-tok Thaysu seketika hilang tidak berbekas, kembali dia menundukkan kepala seraya menyahut:
"Mengerti!"
Saat itulah senyum kepuasan terlintas di wajah Hong Lo-su, katanya perlahan:
"Bagus, sekarang kau boleh memanggil balik si Dewa racun, beritahu kepadanya siapa saja yang menjadi anggota perguruan Tay ki bun, kemudian perintahkan kepadanya untuk membantai habis semua orang itu."
"Terima perintah," sahut Siang-tok Thaysu.
Tiba-tiba Hong Lo-su membalikkan tubuh sambil membentak:
"Kapak sakti, ada dimana kau?"
Sementara Siang-tok Thaysu berteriak pula dengan lantang:
"Dewa racun, ada dimana kau?"
Diiringi suara nyaring, deruan angin kapak dan bayangan manusia seketika reda dan lenyap.
Tampak si Dewa racun meluncur ke sisi Siang-tok Thaysu dengan kecepatan bagaikan hembusan angin, sedang si lelaki bertelanjang kaki itu berjalan menghampiri Hong Lo-su dengan langkah lebar.
Gi Beng serta Gi Teng yang berdiri di kejauhan hanya bisa menyaksikan perubahan mimik muka Siang-tok Thaysu, mereka sama sekali tidak mendengar perkataan apa yang diucapkan Hong Lo-su tentu saja perubahan yang terjadi sekarang membuat mereka jadi tercengang dan berdiri tertegun.
Mereka semakin bingung dan tidak habis mengerti ketika melihat Dewa racun maupun lelaki bertelanjang kaki itu dipanggil balik.
Sepasang muda-mudi ini hanya bisa saling bertukar pandang dengan wajah keheranan, siapa pun tidak dapat menebak dengan pasti peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi.
Umpama waktu itu mereka berdua dapat mendengar
perkataan Hong Lo-su, rasa kaget, keheranan dan tidak habis mengerti yang mencekam hati mereka pasti akan berlipat ganda.
Waktu itu Hong Lo-su telah berkata kepada lelaki berkapak sakti itu:
"Tahukah kau, sebenarnya kau adalah anggota perguruan Tay ki bun?"
"Tahu!" sahut lelaki kekar itu.
Sambil menuding ke arah Pek Seng-bu, Hek Seng-thian dan Suto Siau, kembali Hong Lo-su berkata:
"Ketiga orang yang kutuding itu adalah musuh bebuyutanmu, sekarang juga cepat kau cabut nyawa mereka bertiga."
"Baik!"
Dalam pada itu si Dewa racun kembali berpekik aneh, bagaikan hembusan angin kencang dia merangsek ke sisi tubuh Im Gi, lalu dengan sepasang cakar beracunnya dia serang tubuh orang tua itu.
Im Kiu-siau yang kebetulan menyaksikan kejadian itu jadi kaget setengah mati, segera jeritnya:
"Toako, hati-hati!"
Cepat Im Gi menjatuhkan diri menggelinding di atas tanah, dalam waktu singkat dia sudah berkelit sejauh beberapa tombak.
Gagal dengan serangannya, kembali Dewa racun melesat maju, kali ini sepasang cakar setannya mengancam tubuh Im Kiu-siau.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, dengan tergopoh-gopoh Im Kiu-siau menghindarkan diri, teriaknya kemudian:
"Cing-su, Ting-ting, hentikan serangan dan cepat mundur!"
Keempat orang itu segera melarikan diri dengan berpencar ke empat penjuru, namun Dewa racun tidak tinggal diam, sambil berpekik nyaring dia mengejar terus di belakang mereka.
Melihat kejadian ini, Gi Beng dan Gi Teng kaget setengah mati, sebaliknya Suto Siau sekalian justru merasa amat girang Sayang sebelum mereka sempat tertawa terbahak-bahak karena kegirangan, lelaki bertelanjang kaki dengan kapak mautnya telah muncul di hadapan mereka, bahkan kapak raksasanya diputar bagaikan pusingan roda dan disertai deru angin tajam langsung dibacokkan ke arah kepala mereka.
Kekuatan kapak maut tidak jauh berbeda dengan cakar beracun Dewa racun, tiada kekuatan manusia di dunia ini yang sanggup menandingi-nya.
Suto Siau, Pek Seng-bu serta Hek Seng-thian pun terpaksa melarikan diri terbirit-birit ke empat penjuru, namun deru angin kapak yang tajam dan dahsyat seolah tidak pernah meninggalkan belakang tubuh mereka.
Dalam waktu singkat dalam ruangan itu terlihat delapan sembilan sosok bayangan saling menerjang ke kiri, menerobos ke kanan diiringi teriakan, jeritan serta pekikan aneh yang menusuk pendengaran.
"Menarik, menarik, sangat menarik...." seru Hong Lo-su sambil bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak.
"Hong-locianpwe," jerit Suto Siau dengan perasaan kaget,
"kenapa kau... kenapa kau
"Hahaha, lelaki bertelanjang kaki itu memang anggota perguruan Tay ki bun," seru Hong Lo-su sambil tertawa tergelak,
"tentu saja dia akan mencari kalian untuk membuat perhitungan, buat apa kau berteriak-teriak memanggil aku... ?"
Di pihak lain Gi Beng pun berteriak keras:
"Coh... Coh-locianpwe... kenapa kau...."
Coh Sam-nio tertawa terkekeh.
"Hahaha, Leng It-hong memang anggota Ngo hok beng, apa salahnya kalau dia mencari anggota perguruan Tay ki bun untuk menuntut balas" Buat apa kau berteriak memanggil aku" Coba lihat, mereka yang terlibat dalam pertarungan saat ini, siapa yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian dan perselisihan itu"
Orang luar mana yang terlibat dalam pertarungan itu" Bukankah cara kerja Sam-nio sangat adil?"
Gi Beng merasa terkejut bercampur gusar, jeritnya:
"Kau memang betul-betul keji! Kalian semua memang jahat dan kejam! Bukan saja kalian menghendaki seluruh anggota perguruan Tay ki bun punah, kalian pun berharap semua anggota Ngo hok beng mampus, sebenarnya apa maksud kalian melakukan hal ini?"
"Bila mereka semua sudah mampus, bukankah kolong langit akan jauh lebih aman dan tenteram?" sahut Coh Sam-nio sambil tersenyum.
Gi Beng menarik napas dingin, kini dia benar-benar tidak tahu perkataan apa lagi yang bisa dikatakan.
Mendadak dari luar celah dinding yang roboh terdengar seseorang membentak nyaring:
"He, apa-apaan kalian semua" Mau memberontak" Semuanya berhenti!"
Sesosok bayangan manusia meluncur masuk dengan
kecepatan tinggi, ternyata dia adalah Hoa Bu-soat.
"Hoa Bu-soat, kau tidak boleh ikut campur dalam urusan itu, cepat kemari," Coh Sam-nio segera membentak keras.
Di tengah suara bentakan itu, mendadak dia turun tangan secepat sambaran petir, Gi Beng hanya merasakan pandangan matanya kabur, belum sempat melihat jelas apa yang terjadi, tahu-tahu Sui Leng-kong yang berada dalam pelukannya telah direbut Coh Sam-nio.
Hoa Bu-soat membalikkan tubuh dan meluncur ke hadapan Coh Sam-nio, tegurnya sambil tertawa dingin:
"Budak ketiga, rupanya kau, sejak kapan kau berani memberi perintah kepadaku?"
"Jici, baik-baikkah kau?" sahut Coh Sam-nio sambil tertawa,
"coba kau perhatikan, siapa-kah dia?"
Begitu menyaksikan Sui Leng-kong yang berada dalam pelukannya, berubah hebat paras muka Hoa Bu-soat, teriaknya:
"Putriku... kembalikan kepadaku, putriku.."
Dalam pada itu Coh Sam-nio sudah mundur sejauh beberapa tombak dari posisi semula, katanya sambil tertawa:
"Asal Jici tidak ikut campur persoalan ini, tentu saja Siaumoay akan segera mengembalikan putrimu."
Hoa Bu-soat seperti akan menubruk lagi ke muka, tapi akhirnya dia urungkan niatnya, ujarnya sambil tertawa terkekeh:
"Hahaha, bagus, budak ketiga, aku turuti perkataanmu, tapi jangan kau lukai putriku walau seujung rambut pun."
"Aku saja senang melihat bocah perempuan ini, mana mungkin melukainya, Jici, kau tak usah kuatir, coba lihatlah, betapa menariknya pertarungan mereka."
Dewa racun mengejar ketat anggota perguruan Tay ki bun, kecuali anak murid perguruan ini, dia tidak pernah menengok sasaran lain.
Begitu pula dengan lelaki bertelanjang kaki itu, dia hanya mengejar Suto Siau bertiga, sementara mati hidup orang lain dia tidak peduli.
Ketika anggota perguruan Tay ki bun saling bersimpangan dengan Suto Siau sekalian dalam kaburnya, setiap kali bersua, dalam kerepotan mereka masih sempat saling melepaskan pukulan untuk merobohkan lawan.
Pemandangan waktu itu boleh dibilang sangat kalut, suasana pun terasa mengerikan dan menakutkan.
Mendadak terlihat langkah Pek Seng-bu sempoyongan, diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati dia termakan bacokan maut kapak raksasa lelaki itu hingga tubuhnya terbelah jadi dua bagian.
Sekalipun Gi Beng menaruh kesan jelek terhadap Pek Seng-bu, tidak urung kematiannya yang begitu mengenaskan membuat bulu kuduk-nya berdiri, dia merasakan segulung hawa dingin muncul dari dasar kakinya dan menyusup hingga ke atas kepala.
Sementara itu lelaki bertelanjang kaki dengan mengayunkan kapak raksasanya yang penuh berlepotan darah sedang mengejar Hek Seng-thian.
Biarpun Hek Seng-thian keji, jahat dan tidak berperasaan, namun kematian saudara angkatnya yang sudah mati hidup ber saman ya selama puluhan tahun seketika membuat matanya memerah, jeritnya pilu:
"Jite,kau...."
Belum selesai dia menjerit, percikan darah segar Pek Seng-bu yang menempel di mata kapak telah menodai seluruh pakaiannya, menyusul kemudian sebuah ayunan kapak langsung menghajar batok kepalanya.
Belum selesai dia menjerit ngeri, batok kepalanya sudah terpenggal hingga mencelat jauh ke sudut ruangan.
Suto Siau yang menyaksikan kejadian itu bergidik, nyalinya pecah berantakan, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa keras, tertawa kalap seperti orang gila.
"Bagus sekali suara tawamu, bagus sekali suara tawamu ejek Hong Lo-su sambil tertawa aneh.
Mendadak Suto Siau menerjang maju ke depan, lalu secepat kilat tubuhnya menerkam ke muka dan dia memeluk sepasang kaki Hong Lo-su kencang-kencang.
Tindakan ini sama sekali di luar dugaan Hong Lo-su, mimpi pun dia tidak pernah mengira Suto Siau bakal berbuat begitu.
Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya sepuluh kali lipat lebih hebat daripada kepandaian yang dimiliki Suto Siau, namun sepasang kakinya yang secara di luar dugaan dipeluk dan ditubruk orang kuat-kuat, membuat tubuhnya limbung dan tidak ampun seketika jatuh terguling ke bawah meja altar.
Dalam waktu singkat kedua orang itu saling bergulingan di atas tanah.
Terdengar Suto Siau berteriak sambil tertawa seram:
"Kau menginginkan kematianku" Baik, aku pun
menginginkan kematianmu...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, kapak maut lelaki bertelanjang kaki itu sudah diayunkan ke bawah, langsung membacok batok kepala Suto Siau dan sisa kekuatannya masih sempat membacok kutung sepasang kaki Hong Lo-su.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, Hong Lo-su roboh tidak sadarkan diri, kelihatannya dia pun tidak bisa hidup lebih lanjut.
Sungguh tragis nasib jagoan yang tangguh dan berhati keji ini, pada akhirnya dia harus tewas di ujung senjata hambanya.
Dalam waktu relatip singkat, sudah empat orang tewas dalam keadaan mengenaskan, bahkan kematian mereka yang satu jauh lebih tragis daripada yang lain, semuanya mati dengan tubuh hancur dan tidak utuh....
Menyaksikan percikan darah segar yang muncrat ke empat penjuru dan menggenangi permukaan lantai, tidak kuasa lagi Gi Beng bergidik dengan bulu kuduk berdiri, biarpun sudah cukup lama dia berkelana dalam dunia persilatan, namun baru pertama kali ini dia saksikan pertempuran yang demikian seru dan mengerikan.
Tidak kuasa menahan gejolak emosi dalam dada, gadis itu merasakan kakinya jadi lemas dan roboh terjengkang ke tanah.
Coh Sam-nio sendiri pun tidak melangka akan terjadinya peristiwa tragis semacam itu, dengan wajah berubah hebat dia hentakkan kakinya berulang kali ke lantai, serunya:
"Losu... Losu, kau... kau...." Untuk sesaat dia pun tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Begitu menyaksikan tubuh Hong Lo-su roboh terjungkal, tiba-tiba Siang-tok Thaysu merasakan tubuhnya bergetar keras, sukmanya seakan-akan untuk sesaat kehilangan kendali, dia bangkit berdiri dengan wajah kebingungan.
Lelaki bertelanjang dada pun ikut menghentikan gerakan tubuhnya dan berdiri mematung di tempat, mengawasi tetesan darah segar yang mengalir dari mata kapaknya, tiba-tiba sekulum senyuman bodoh tersungging di ujung bibirnya.
Melihat semua musuh besarnya sudah tewas mengerikan di tangan saudaranya, Im Gi merasa terkejut bercampur girang, tapi melihat Dewa racun masih mengejar terus tiada hentinya, mendadak sambil menggigit bibir dia membentak keras:
"Semua anggota perguruan Tay ki bun cepat berkumpul kemari."
Im Kiu-siau, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su serentak berlarian mendekat.
Terdengar Im Gi berteriak lebih jauh:
"Dendam kesumat perguruan Tay ki bun sudah terbalas, kini aku orang she Im bisa pergi tanpa sesal, aku tidak mau lagi dikejar dan dihina orang terus menerus, Leng It-hong, kemari kau!"
Mendadak dia menghentikan langkahnya sambil membalikkan tubuh, kemudian secepat kilat menerjang ke hadapan Dewa racun.
"Toako! Jangan...." jerit Kiu-siau kaget.
Tapi sayang, waktu itu cakar beracun Dewa racun telah tiba di hadapan Im Gi.
Sambil tertawa seram, teriak Im Gi:
"Dialah musuh besar terakhir perguruan Tay ki bun kita, biar aku mengadu jiwa dengannya."
Bukannya menghindar, dia justru memapak datangnya serangan itu, sambil merentangkan sepasang lengannya dia menerkam ke depan dan memeluk tubuh Dewa racun kuat-kuat.
Tubuh kedua orang itupun jatuh ke lantai dan saling bergulingan.
Menyaksikan adegan yang menegangkan ini, semua orang merasakan anggota tubuhnya jadi dingin dan kaku, sukma seraya melayang meninggalkan raga.
Tampak kedua orang jago itu bergulingan beberapa saat kian kemari, namun tiba-tiba mereka tidak bergerak lagi.
Dengan nada pedih Im Kiu-siau segera menjerit:
"Toako... Toako...."
Im Ting-ting serta Thiat Cing-su ikut menangis tersedu-sedu, mereka tidak tahan menyaksikan keadaan gurunya.
Baru saja ketiga orang itu siap menubruk ke depan jenazah Im Gi, tiba-tiba tubuh Dewa racun melejit dan berdiri kembali, berdiri bagai mayat hidup dengan sepasang cakar beracunnya diluruskan ke depan.
Dalam waktu singkat suasana jadi hening, semua napas seolah berhenti secara tiba-tiba, sepasang cakar maut Dewa racun seakan-akan telah mencekik tenggorokan semua orang.
Pada saat bersamaan itulah tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara tertawa seseorang yang merdu:
"Aku tidak berbohong, di dalam sana pasti ada orang...
Cihuku sayang, cepatlah ikut aku!"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun suara tawanya merdu merayu, namun bagi
pendengaran semua orang serasa mengandung nada misterius yang aneh.
Di tengah gelak tertawa, empat orang berjalan masuk ke dalam ruangan dengan Leng Cing-peng berjalan paling depan, di belakangnya mengikut Im Kian, Hay Tay-sau yang jarang menampakkan diri serta Liu Ho-ih, si nona berbaju hijau yang ada di desa pandai besi.
Kemunculan mereka bertiga di tempat ini sungguh di luar dugaan siapa pun, mereka tidak mengira akan terjadi hal seperti ini.
Rupanya dalam pengembaraannya, Hay Tay-sau telah bertemu dengan Im Kian di padepokannya, perjumpaan yang tidak terduga ini membuat mereka berdua merasa cocok satu dengan lainnya.
Hubungan mereka berdua semakin bertambah erat setiap kali Hay Tay-sau menyinggung soal Thiat Tiong-tong serta memuji kegagahan serta jiwa kependekarannya.
Biarpun Hay Tay-sau orang yang tinggi hati, boleh dibilang dia amat mengagumi kehebatan Thiat Tiong-tong, padahal hubungan batin Im Kian dengan Thiat Tiong-tong pun amat akrab, maka kedua orang inipun sering bersulang demi kesela-matan anak muda itu.
Im Kian yang cetek takaran minumnya sering dibuat mabuk kepayang, suatu ketika dalam mabuknya, sambil melelehkan air mata dia membeberkan rahasia besar pribadinya....
Mengetahui rahasia itu, Hay Tay-sau yang tinggi hati kontan mencaci-maki Im Kian habis-habisan, dia menganggap tidak seharusnya Im Kian sebagai seorang lelaki sejati hidup mengasingkan diri, apapun yang bakal terjadi, apapun yang bakal menimpa dirinya, seharusnya dia berani tampil ke depan....
Di bawah desakan yang berulang kali, akhirnya Im Kian membuang jauh semua sikapnya selama ini, dia pun keluar dari pondoknya yang telah dihuni selama ini dan bersama Hay Tay-sau terjun kembali ke dunia persilatan.
Dalam perjalanan mengarungi dunia Kangouw, suatu hari kedua orang itu lewat di dusun pandai besi, di sana mereka bertemu Liu Ho-ih yang kehilangan akal dan kesadarannya sedang berdiri seorang diri di bawah pohon. Berdiri dengan termangu seperti orang gila.
Tiba-tiba suara guntur yang menggelegar membelah pohon besar itu jadi dua bagian, Liu Ho-ih pun jatuh tidak sadarkan diri.
Menyaksikan kejadian ini, tentu saja Im Kian dan Hay Tay-sau tidak berpangku tangan, cepat mereka menyelamatkan Liu Ho-ih yang pingsan dan menyelamatkan jiwanya dengan memberi pil mujarab.
Siapa sangka gara-gara bencana itu Liu Ho-ih justru memperoleh keberuntungan, sambaran geledek yang
menggetarkan tubuhnya justru memulihkan kembali kesadaran serta ingatannya.
Dia pun mulai teringat dirinya adalah Hoa Ling-ling, putri kesayangan si Hujan Gerimis Hoa Bu-soat, dia pun teringat ketika kabur dari rumah gara-gara perkawinannya yang tidak disetujui.
Suatu hari, di tengah hujan guntur yang deras, dia berdiri termenung di bawah pohon sambil membayangkan kekasihnya, sambaran petir saat itu membuatnya jatuh tak sadarkan diri.
Ketika mendusin kembali, dia seakan lupa segalanya, maka semenjak itulah setiap kali berjumpa dengan hujan geledek, dia tak tahan untuk berlari keluar dari rumah dan berdiri di bawah pohon, dia seperti menantikan datangnya sesuatu.
Sampai hari itu, kesadaran dan ingatannya yang sudah terenggut oleh sambaran petir, akhirnya balik lagi kepadanya....
Mendengar kisah semacam ini, Im Kian serta Hay Tay-sau hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdecak.
Hoa Ling-ling yang berhasil memperoleh kembali ingatan serta kesadarannya pun tidak menetap lagi di dusun pandai besi, setelah berpamitan dengan saudara-saudara angkatnya, dia pun ikut Hay Tay-sau berdua mengembara dalam dunia persilatan.
Sebenarnya dia masih tidak ingin pulang, dia hanya berharap bisa berjumpa lagi dengan Lui Siau-tiau.
Ketika tiba di seputar tempat itu, dia pun mendengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan bahwa Lui-pian Lojin pernah diketahui jejaknya muncul di seputar bukit itu.
Dengan cepat mereka bertiga naik bukit sambil melakukan pencarian, ketika sedang melakukan pelacakan, secara kebetulan mereka jumpai Sun Siau-kiau dengan membopong Sim Sin-pek sedang melarikan diri keluar dari celah bukit rahasiaku.
Hay Tay-sau langsung membekuk Sim Sin-pek, Sun Siau-kiau yang pintar melihat gelagat buru-buru menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi.
Maka mereka bertiga pun memasuki padang rumput, dimana mereka menjumpai Leng Cing-peng sedang mengembara seorang diri.
Tentu saja Leng Cing-peng kenal Im Kian, tapi kesadaran dan ingatannya yang terganggu membuat dia seolah lupa bahwa Im Kian pernah mati, dia hanya tahu dia adalah iparnya, maka Im Kian pun menanyakan kejadian di tengah padang rumput itu.
Akhirnya dia pun mengajak mereka memasuki gua rahasia itu.
Begitu masuk ke dalam gua, Hoa Ling-ling langsung berteriak keras:
"Ibu!"
Im Kian dengan mata memerah berteriak pula:
"Ayah!"
Sedang Leng Cing-peng sambil tertawa berseru pula:
"Ayah, ternyata kau berada di sini."
Suara ketiga orang itu bercampur-baur tidak jelas, tapi masing-masing segera berlarian menuju ke arah orang yang di kasihnya.
Mula-mula Hoa Bu-soat nampak tertegun, menyusul
kemudian serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahaha, ternyata kaulah Ling-hng, gadis itu bukan... gadis itu bukan... oooh, Ling-ling putriku sayang, ibu amat merindukanmu."
Im Kian yang menubruk ke atas jenazah Im Gi telah menangis tersedu-sedu.
Bagaimana dengan Leng Cing-peng yang menubruk ke atas tubuh Dewa racun"
Tentu saja Dewa racun Leng It-hong tidak mengenali putrinya lagi, ketika merasa ada orang menerkam tubuhnya, dia langsung mengayunkan telapak tangannya sambil melepaskan satu pukulan.
"Duuuk!", diiringi suara benturan keras, Leng Cing-peng roboh terjungkal ke tanah, ternyata dia telah membunuh putri kesayangan-nya.
Menjelang ajalnya, Leng Cing-peng sempat berseru sambil tertawa:
"Ooh, ayah! Kau telah membunuh putrimu sendiri.... kau telah membunuh putri kandungmu sendiri.... menyenangkan....
sungguh menyenangkan"
Suara gelak tertawanya terdengar begitu memilukan hati, membuat perasaan orang hancur lebur.
Genangan darah kental mulai meleleh membasahi permukaan lantai, namun kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya memang jauh melebihi kekuatan apapun.
Gelak tertawa yang kalap dan mengenaskan membuat Dewa racun yang sebenarnya sudah mati rasa dan hilang pikiran merasakan tubuhnya bergetar keras, perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, dengan mata melotot besar diawasinya wajah Siang-tok Thaysu tanpa berkedip.
Begitu Siang-tok Thaysu pulih kembali pikirannya, racun yang mengeram dalam tubuh-nya pun mulai kambuh, begitu racun mulai bekerja, kesadarannya semakin terang.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa keras, teriaknya:
"Bagus, bagus, aku hampir mati, Dewa racun perguruanku juga tidak boleh dipergunakan siapa pun...."
Ketika dia melompat turun dari atas altar, kebetulan Dewa racun sedang berjalan menghampirinya, dalam waktu singkat kedua orang itu saling bergumul, mereka berguling, saling menghantam, saling mencakar... akhirnya suara tertawa pun makin melemah sebelum akhirnya sama sekali tidak bergerak lagi.
Kali ini mereka benar-benar tidak bergerak lagi, mereka mati karena senjata makan tuan, Siang-tok Thaysu yang selama hidup bermain racun, akhirnya harus tewas di tangan Dewa racun, perguruan racun yang sudah lama membawa bencana dan sengsara bagi umat persilatan pun punah semenjak itu.
Dalam waktu singkat suasana dalam ruangan itu jadi kalut.
Kekacauan, kepedihan, kengerian, kesedihan bercampur-aduk jadi satu, suasana ketika itu betul-betul tidak bisa dilukiskan dengan ucapan.
Paras muka Coh Sam-nio pucat pias tidak berdarah, tiba-tiba sambil tertawa seram dia berjalan menghampiri anggota perguruan Tay ki bun.
Padahal saat itu semua anggota perguruan Tay ki bun masih berdiri dengan wajah tertegun, melongo dan tidak tahu harus berbuat apa, kematian Im Gi sang Ciangbunjin yang tiba-tiba, kemunculan Im Kian yang di luar dugaan, ditambah semua kengerian, kepedihan yang terjadi secara tiba-tiba telah membuat semangat mereka hancur berantakan.
Jangankan manusia yang terdiri dari darah daging, manusia baja pun tidak akan tahan menghadapi perubahan seperti ini.
Gi Beng jadi kaget melihat hal itu, dengan sigap teriaknya:
"Hati-hati... Coh Sam-nio akan...."
Sekonyong-konyong...
"Kraaaak!", diiringi suara keras, dua buah patung dewa raksasa itu membelah jadi dua, disusul kemudian terlihat dua orang manusia berjalan keluar dari belahan patung itu.
Orang yang berjalan paling depan adalah nenek tua berambut putih yang wajahnya penuh keriput, dia tidak lain adalah si nenek yang membawa sampan penyeberang di pulau Siang cun-to... Im Toa-nio, di sisi tubuhnya mengikut seseorang sambil membopong putrinya, dia tidak lain adalah Leng Cing-soat.
Kembali terjadi kegaduhan, kembali terjadi kekalutan....
Im Toa-nio memandang sekejap sekeliling tempat itu, memandang pula Im Kiu-siau yang selalu dicintainya, biarpun pemandangan tragis terpampang di hadapannya membuat emosinya bergelora, namun mimik mukanya sama sekali tidak menampilkan perubahan apapun.
Dengan suara perlahan dia menegur:
"Coh Sam-nio, kau masih tidak mau menghentikan
langkahmu?"
Coh Sam-nio berpaling, kemudian sahutnya sambil tertawa sedih:
"Bagus, bagus, akhirnya penghuni pulau Siang cun-to datang juga kemari...."
Mendadak tubuhnya jadi lemas, tidak tahu kenapa tiba-tiba dia roboh ke tanah.
"Biarpun aku sudah datang, sayang kedatanganku kelewat terlambat," kata Im Toa-nio perlahan, "dendam kesumat perguruan Tay ki bun sudah terbalas, tapi begini tragis akhirnya... semua anggota perguruan Tay ki bun dengarkan baik-baik, apakah kalian tahu dengan pasti asal-muasal perselisihan ini?"
Sambil menahan rasa sedih yang luar biasa, Im Kiu-siau maju ke depan, ujarnya sambil memberi hormat:
"Mohon diberi petunjuk."
Im Toa-nio tak berani menatapnya, sambil mengertak gigi, ujarnya:
"Untuk mengetahui kejadian ini, aku harus bercerita mulai awal
Ternyata Im dan Thiat sebagai cikal-bakal pendiri perguruan Tay ki bun meski sepak terjangnya gagah dan berjiwa ksatria, namun sikap mereka terhadap istri masing-masing justru sangat buruk.
Im-hujin berasal dari marga Cu, sedang Thiat-hujin bermarga Hong, kedua orang Hujin ini bukan saja berjiwa saleh, mereka pun memiliki kepandaian silat tangguh.
Cu-hujin mempunyai watak yang lebih keras, ketika hubungan suami istri kurang harmonis, dia pun mengembara jauh ke luar lautan dengan mendirikan perguruan sendiri, yakni Siang cun-to.
Saat setiap anggota perguruan Tay ki bun menyia-nyiakan istrinya, dia pun segera menjemput mereka dan ditampung di pulau terpencil itu.
Akibatnya pamor perguruan Tay ki bun kian hari kian bertambah suram dan merosot, sementara Siang cun-to makin lama semakin berjaya.
Sementara itu Hong-hujin yang lebih lemah pendiriannya, tidak sanggup menahan siksaan batin yang menahun, akhirnya dia tewas secara mengenaskan.
Adik Hong-hujin merasa sedih bercampur gusar melihat kakaknya mati tragis, dalam gusarnya dia berniat membalas dendam sakit hati ini.
Namun bagaimanapun juga dia masih mempunyai hubungan dekat dengan pihak perguruan Tay ki bun, tentu saja tidak mungkin baginya untuk tampil sendiri, maka dia pun mengumpulkan murid-muridnya dari marga Seng, Leng, Pek, Hek dan Suto untuk membentuk persekutuan Ngo hok beng dan memerintahkan mereka untuk berontak.
Sejak itu persekutuan Ngo-hok-beng bermusuhan dengan perguruan Tay ki bun, secara diam-diam jagoan perguruan Hong membantu usaha mereka, sementara pihak Siang cun-to berpeluk tangan tidak mencampuri urusan itu.
Walaupun leluhur Ngo hok beng pernah berhutang budi kepada Im dan Thiat, namun budi yang diberikan kedua orang Hujin itu jauh melebihi kedua orang itu, karenanya sewaktu mereka membangun kuil untuk menyatakan rasa terima kasih, mereka pun membuat ruang kuil yang tidak kalah megahnya untuk memperingati kedua orang Hujin itu.
Justru karena sikapnya itu, keluarga Hong baru bersedia membantu mereka secara diam-diam.
Tapi kekuatan perguruan Tay ki bun waktu itu sangat hebat, kepopuleran mereka sedang pada puncaknya, dengan mengandalkan kekuatan beberapa orang, jelas tidak akan berhasil menghancur-kannya.
Untuk keberhasilan rencana ini, keluarga Hong pun menghubungi beberapa orang tokoh sakti pada waktu itu untuk membantu mereka, kawanan jago itu tidak lain adalah para leluhur Lui-pian Lojin, Coh Sam-nio, Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu
Ketika menurun sampai generasi berikutnya, meskipun beberapa keluarga persilatan ini tidak lagi ikut memusuhi perguruan Tay ki bun, namun mereka tetap menyimpan rapat rahasia besar itu, bahkan segera menunjukkan sikap tidak mencampuri urusan ini.
Adapun leluhur Kaisar malam tidak lain adalah keluarga dekat Cu-hujin....
Maka pertikaian perguruan Tay ki bun pun melibatkan banyak sekali jagoan lihai dunia persilatan, hanya saja karena tidak ingin kejadian itu menimbulkan gelombang yrang lebih besar, leluhur perguruan Tay ki bun maupun Ngo hok beng tidak pernah menjelaskan rahasia ini kepada anak cucunya.
Kini setelah Im-toanio dengan kalimat yang paling sederhana menceritakan semua kejadian ini, sekalipun belum mengungkap detil yang lebih dalam, namun sudah lebih dari cukup untuk membuat para jago yang hadir bermandikan keringat dingin.
Terdengar Im-toanio berkata:
"Jit ho Nio nio yang berada di Pulau Siang cun-to saat ini tidak lain adalah istri Im Gi di masa lalu, ketika beliau mendengar tentang badai yang sedang berlangsung di sini, meski belum jelas duduknya persoalan, namun dia bisa menduga pasti ada sangkut-pautnya dengan perguruan Tay ki bun, maka beliau menitahkan aku datang kemari untuk memberi penjelasan, siapa tahu... aaaai! Ternyata sudah terjadi perubahan yang begini tragis, sekalipun aku menguasai jalan pintas gua rahasia ini, akhirnya toh datang terlambat juga."
Kuil persembahan di tempat itu merupakan kuil untuk menyembah leluhur para penghuni pulau Siang cun-to, tidak heran Jit ho Nio nio pun mengetahui rahasia lorong rahasia ini, sementara Leng Cing-soat begitu tahu persoalan itu menyangkut perselisihannya dengan perguruan Tay ki bun, segera merengek kepada Im-toanio agar mengajaknya....
Ketika selesai mendengar penjelasan itu, tiba-tiba Im Kiu-siau berseru dengan air mata berlinang:
"Kalau memang pulau Siang cun-to tidak pernah mau mencampuri urusan perguruan Tay ki bun, kenapa sekarang....
"Sebab Jit ho Nio nio pernah bersumpah," tukas Im toa-nio cepat, "asal ada seorang anak murid dari perguruan Tay ki bun yang mau mengorbankan nyawanya demi istrinya, maka dia akan...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari bawah altar terdengar seseorang menangis tersedu-sedu, ternyata orang itu tidak lain adalah Un Tay-tay yang telah ditotok jalan darahnya oleh Suto Siau.
Im-toanio segera membebaskan totokan jalan darahnya sambil berkata dengan lembut:
"Anak baik, jangan menangis... bukankah Jit ho Nio nio adalah ibu kandung Im Ceng" Siapa tahu dia tidak tega membiarkan putranya benar-benar mati" Siapa tahu di bawah tebing jurang itu ada tuan penolong yang menyelamatkan jiwanya..."
"Sesungguhnya dia... dia masih hidup atau sudah mati?"
tanya Un Tay-tay sambil terisak.
Im Toa-nio termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata:
"Mati atau hidup, lebih baik pergilah periksa sendiri!"
Kemudian sambil melompat naik lagi ke atas meja altar, ujarnya seraya menghela napas:
"Kini urusanku sudah selesai, sudah saatnya aku harus pergi."
"Terima kasih untuk perjalanan Hujin," bisik Im Kiu-siau sambil menahan rasa sedih:
"Hujin, kau...."
Tampaknya Im-toanio tidak kuasa menahan diri untuk menengok sekejap ke arahnya, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun akhirnya tidak sepatah kata pun yang diucapkan.
Ketika berpaling ke arah lain, tidak tahan air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Akhirnya perempuan yang hidup dalam kepedihan ini pergi dari situ, pergi dengan perasaan remuk.
Kalau toh Im Kiu-siau sudah tidak mengenalinya, buat apa dia harus melemparkan perasaan cintanya lagi" Kalau kekasih sudah berubah jadi orang asing, daripada bersua lebih baik tidak bertemu muka, berjumpa hanya meninggalkan kepahitan dan kegetiran.
Ketika patung dewa menutup kembali, Leng Cing-soat pun berlarian menghampiri Im Kian.
Setiap kejadian yang berlangsung saat ini, kalau bukan kesedihan yang luar biasa tentu merupakan kegembiraan yang luar biasa, ketika kesedihan bertautan dengan kegembiraan, manusia mana yang mampu menahan diri"
Akhirnya suasana menjadi tenang kembali, yang tersisa kini hanya kegetiran dan kepahitan yang membekas.
Saat itulah Hoa Ling-ling memohon kepada semua orang untuk mencarikan jejak Lui-pian Lojin dan putranya.
Benar saja, di bawah reruntuhan bebatuan cadas, mereka menemukan tubuh Lui-pian Lojin dan putranya serta tubuh Liu Ji-uh dan Liong Kian-sik.
Lui-pian Lojin dan putranya duduk berhimpitan di bawah sudut gua yang tidak runtuh, ternyata tidak menderita luka parah.
Perjumpaan sepasang kekasih yang lama berpisah tentu saja dilalui dalam suasana yang tidak terlukiskan.
Sui Leng-kong yang baru tersadar dari pingsannya hanya bisa duduk sedih menyaksikan adegan itu.
Melihat sepasang kekasih yang saling bertemu, melihat ibu anak yang berkumpul kembali, lalu melihat pula Gi Beng yang bersandar di pundak Thiat Cing-su, tiba-tiba satu perasaan pedih muncul di hatinya.
Akhirnya meledaklah isak tangis gadis itu, teriaknya:
"Tiong-tong... Tiong-tong... Thiat Tiong-tong.. kenapa justru kau seorang yang mati!"
"Thiat Tiong-tong tidak mati!" tiba-tiba Lui Siau-tiau berbisik.
"Apa... apa kau bilang?" jerit Sui Leng-kong sambil mencengkeram bajunya.
"Sewaktu berbaring di atas tanah tadi, aku sempat mendengar ada suara pembicaraan bergema dari bawah tanah, ada seorang kakek berkata, "Thiat Tiong-tong, aku telah menyusahkan dirimu, apakah kau menyesal?". Seorang yang lain, aku rasa pasti Thiat Tiong-tong segera menjawab, "Mati hidup ditentukan Thian, kenapa aku harus menyalahkan kau orang tua" Selama hidup aku Thiat Tiong-tong tidak pernah memalukan langit dan bumi, kenapa mesti takut menghadapi kematian?"
Sui Leng-kong segera melompat bangun, jeritnya gemetar:
"Sung... sungguh?"
Sambil tertawa tergelak Hay Tay-sau berseru.
"Hahaha, aku yakin pasti benar, kecuali Thiat Tiong-tong, manusia mana lagi di dunia ini yang sanggup berbicara segagah itu" Hahaha... Thiat Tiong-tong, wahai Thiat Tiong-tong, aku sudah menduga kau tidak bakal mati, jika kau mampus, akan jadi apa dunia ini" Hahaha, semua peristiwa yang tragis sudah lewat, yang tersisa sekarang hanya kegembiraan. Suatu hari nanti, aku pasti akan membujuk Bi Lek-hwe untuk kembali jadi orang preman dan ikut aku mengembara dalam dunia persilatan, jadi orang biasa pasti lebih enak daripada jadi Hwesio...."
Berita yang baru diterima membuat semua orang terkejut bercampur gembira, tanpa membuang waktu lagi semua orang bekerja keras menggali tanah.
Dengan tenaga gabungan beberapa orang jago tangguh ini, tidak sampai setanakan nasi mereka telah berhasil menggali hingga mencapai gua bawah tanah dimana Kaisar malam berada.
Tapi yang mereka jumpai di sana hanya hancuran batu yang berserakan bagai kuburan, sama sekali tidak nampak bayangan manusia pun.
Kemana perginya mereka" Kenapa tidak ada manusia di situ"
Semua orang menelusuri setiap jengkal lorong, namun tetap tidak ditemukan sesosok bayangan manusia pun....
Kemana perginya Kaisar malam, Thiat Tiong-tong serta kawanan gadis itu" Kemana mereka pergi"
Kegembiraan yang datang kelewat cepat, selalu mendatangkan kekecewaan yang berat.
Kembali semua orang bahu membahu menggali reruntuhan bebatuan itu, namun yang mereka jumpai tetap lorong rahasia yang kosong.
Kemana perginya Thiat Tiong-tong" Kenapa jejaknya tidak ditemukan"
Di antara sekian banyak orang, hubungan Im Kiu-siau, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Im Kian terbatas hanya hubungan persaudaraan dengan Thiat Tiong-tong, sedang hubungan Sui Leng-kong adalah hubungan cinta yang mendalam, sebaliknya Un Tay-tay menganggap pemuda itu sebagai idola yang susah dilupakan.
Bukan hanya mereka, Hay Tay-sau, Leng Cing-soat, Hoa Lingling serta Seng Cun-hau pun merasa pernah berhutang budi pada pemuda ini.
Kegagalan mereka menemukan jejak Thiat Tiong-tong seketika mendatangkan pukulan batin yang berat bagi orang-orang itu, untuk sesaat semua terpekur murung, isak tangis bergema memecah keheningan.
Dengan air mata bercucuran, ujar Gi Beng:
"Aku tidak pernah punya keinginan apa-apa dalam hidupku, tapi sekarang ada satu keinginan yang mencekam perasaanku, aku menyesal kenapa tidak punya kesempatan bersua dengan Thiat Tiong-tong, aku...."
"Tidak usah bicara lagi," tiba-tiba Hay Tay-sau membentak nyaring:
"Thiat Tiong-tong toh belum mati, kita masih punya kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, dia... dia tidak mungkin mati, siapa tahu saat ini dia sudah berada di luar samudra, hidup bagaikan seorang dewa...."
"Bisa jadi dia masih terkurung dalam gua ini," sambung Sui Leng-kong sambil menangis, "tidak berhasil menemukan jalan keluar, harus menahan lapar, menahan dahaga...."
"Kalian semua pergilah" sela Im Kian, "biar aku tetap tinggal disini, biar aku yang pergi mencari."
"Aku pun akan tetap tinggal di sini" serentak Sui Leng-kong, Un Tay-tay, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Hay Tay-sau serta Leng Cing-soat berseru.
"Baik," ucap Im Kiu-siau dengan air mata berlinang, "aku tahu, inilah keinginan kalian, sayang aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, aku tidak bisa menemani kalian, semoga tiga bulan kemudian ketika aku balik kemari lagi, kalian telah berhasil menemukannya, bila saat itu kalian... kalian tidak menemukannya... maka aku...."
Isak tangis membuatnya tidak mampu melanjutkan
perkataannya. Sebenarnya Thiat Tiong-tong masih hidup atau sudah mati"
Dalam tiga bulan mendatang apakah mereka berhasil menemukannya"
Persoalan semacam ini memang amat pelik, susah untuk menemukan jawabannya.
Tapi bagaimanapun juga, bila pemuda berhati baja ini masih hidup, dia pasti akan
Melakukan karya lain yang lebih menggemparkan, bila sudah mati, diapun akan menjadi seorang setan berjiwa ksatria.
Badai yang melanda padang rumput akhirnya mereda, kini yang tersisa hanya selembar panji sakti yang berkibar dibawah timpaan cahaya sang surya.
TAMAT Catatan akhir cerita
Berikut adalah kisah penutup Pendekar panji sakti: Ketika Thiat Tiong-tong bersama Ya-te berhasil meloloskan diri dari lorong bawah tanah, mereka menjumpai Sui Leng-kong sekalian yang sedang melakukan pencarian di sepanjang pesisir laut, betapa senangnya semua orang saat itu, apa lagi buat Sui Leng-kong selain bisa bertemu kekasihnya juga bisa bertemu dengan ayahnya yang baru pertama kali di lihatnya. Kaisar Malam sendiri juga seperti lupa pada sumpahnya.
Dalam suatu kesempatan Thiat Tiong-tong bertanya pada Sui Leng-kong tentang pernikahannya dengan Cu Cau, ketika tahu kesalahan fatal itu tidak sampai terjadi, tidak terlukiskan rasa girang hati Thiat Tiong-tong.
Maka setelah berhasil membangun kembali perguruan Thi hiat tay ki bun dan menjadi ketuanya, Thiat Tiong-tong pun menikah dengan Sui Leng-kong, sedang yang menjadi buah hati mereka adalah "Coh Liu-hiang" yang tentu saja harus bermarga "Thiat.
Jit ho Nio nio yang tahu Im Ceng adalah putra kandungnya, tentu saja tidak membiarkan putranya mati ketika melompat ke dalam jurang, sesuai dengan sumpahnya, bila ada anak murid Thi hiat tay ki bun yang rela mengorbankan nyawa demi kekasih hatinya, dia akan melupakan semua perselisihannya dengan perguruan itu, jadi dia pun menolong Im Ceng dan menjodohkannya dengan Un Tay-tay. Buah hati dari perkawinan Im Ceng dan Un Tay-tay tidak lain adalah Ci Peng-eng.
Sesuai dengan maksud dan tujuan perguruan Thi hiat tay ki bun, maka Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ci Peng eng bersama-sama mengembara dalam dunia persilatanserta menghadapi dan membela detisp ketidak-adilan yang terjadi dalam dunia persilatan.
Habis Sekilas catatan tentang Pendekar Harum
Pendekar Harum merupakan karya Gu Long yang berbau detektif dengan lakon bernama Coh Liu-hiang, tokoh yang romantis, tenang, berpikiran cermat dan berjiwa setia kawan.
Tentang tokoh yang satu ini, Gu Long hanya mengisahkan perjalanan hidupnya, asal-usulnya hanya disinggung secara sepintas.
Banyak pembaca curiga Ya-te (Kaisar Malam) adalah guru Coh Liu-hiang, tapi ternyata tidaklah begitu, Gu Long belum pernah menjelaskan secara detil asal-usul pendekar yang satu ini.
Mari kita menelaah asal-usul Pendekar Harum Coh Liu-hiang.
1. Pertama kali Gu Long menyinggung asal usul Coh Liu-hiang adalah dalam cerita Peristiwa Burung Kenari (hal 348-349): Lamkiong Yan menepekur sebentar seperti sedang mengingat tingat, katanya kemudian lebih kalem:
"Orang ini seperti pula Coh Liu-hiang, orang Kang-ouw tiada satu pun yang tahu asal-usul ilmu silat mereka, yang diketahui mereka semula dari keturunan keluarga besar yang turun temurun, sejak kecil kegemarannya berlatih silat, maka dirumahnya mengundang banyak sekali guru silat, tapi kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang, bukan hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu."
Oh Thi-hoa tersenyum sambil mengangguk kepala, katanya:
"Ya, sedikit pun tidak salah." Oleh karena itu banyak orang curiga, dalam keluarga mereka ada tokoh silat yang amat lihai bersembunyi di rumahnya dan secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka.
Tapi ada pula yang curiga, mereka menemukan buku pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana."
Oh Thi-hoa tetap tertawa, ujarnya: "Kau bisa tahu begini banyak, tentu tidak mudah mendapat bahan-bahannya."
Lamkiong Yan tidak menghiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut:
"Akan tetapi, meski dibesarkan bersama Coh Liu-hiang, ilmu silat mereka justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajari mengutamakan kekerasan, mirip ilmu silat Thi hiat tay ki bun masa lalu."
Kini Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, kulit mukanya terasa kaku dan mulut pun melongo keheranan. Tapi dia melirik pun tidak,
Lamkiong Yan meneruskan uraiannya, "Dulu setelah Thi Tiong-tong (Thiat Tiong tong-Pendekar Panji Sakti) menegakkan perguruan Thi hiat tay bun ki, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang Cianpwe yang bernama Ji cu-han, mereka pernah lewat di kampung kelahiran orang ini, maka menurut dugaan, ilmu silat yang dipelajari Coh Liu-hiang didikan langsung dari Ya-te (Kaisar Malam), sementara Ji cu-han (lelaki telanjang kaki-Pendekar Panji Sakti) menerima orang ini sebagai murid."
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau:
"Tebakanmu meski tidak tepat juga tidak meleset terlalu jauh, tidak heran orang Kangouw gentar terhadap kalian, agaknya kalian punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain."
Dari penuturan di atas, jelas telah di beberkan asal-usul Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa.
Tatkala Lamkiong Yan mengatakan:
"Ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan kekerasan, mirip ilmu silat Thi hiat tay ki bun masa lalu".
Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, kulit muka nya terasa kaku dan mulut pun melongo keheranan. Hal ini menyimpulkan bahwa Oh Thi-hoa memang ada hubungan erat dengan perguruan Thi-hiat-tay-ki-bun. Kemudian ketika Lamkiong Yan menduga ilmu silat Coh Liu-hiang hasil didikan Ya-te, sedang si lelaki bertelanjang kaki (Ji-cu-han) menerima Oh Thi-hoa sebagai murid, waktu itu Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau:
"Tebakanmu meski tidak tepat juga tidak meleset terlalu jauh...." Hal ini menunjukkan bahwa ilmu silat Coh Liu-hiang bukan dipelajari dari Ya-te dan Ji cu-han pun bukan guru Oh Thi-hoa, namun menunjukkan pula bahwa Oh Thi-hoa maupun Coh Liu-hiang mempunyai hubungan erat dengan perguruan Thi hiat tay ki bun.
2. Dari judul buku Pendekar harum (Coh Liu-hiang Toan-ki) disebut juga Thi hiat toan ki (Kisah darah baja), sementara Tayki-Enghiong-toan) disebut juga Thi hiat tay ki (Panji sakti darah besi). Mustahil tanpa sebab Gu Long memberi judul Thi hiat toan ki untuk cerita Coh Liu-hiang Toan-ki, hal ini menunjukkan Oh Thi-hoa maupun Coh Liu-hiang memang benar mempunyai hubungan dengan Thi-hiat tay ki bun. Tapi apa hubungannya"
Pada halaman 185 cerita Peristiwa Burung Kenari, dikatakan: Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajal, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh di sana, di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju. Terbayang olehnya waktu dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa di bukit salju, secara diam-diam Oh Thi-hoa menyusup kan segenggam salju yang dingin ke dalam lubang baju di lehernya. Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di dada, dia merasa di waktu kecil dulu mirip benar dengan keadaan sekarang.
Kehidupan mereka amat susah, hal ini bukan hanya satu kali Gu Long menyinggungnya, mustahil mereka berasal dari keluarga persilatan kenamaan, keturunan keluarga persilatan kenamaan tidak akan mengalami kehidupan susah seperti Coh Liu-hiang, terlebih tidak mungkin bisa membentuk watak tenang, tidak gampang panik. Bagi yang telah membaca Tay ki Enghiong toan (Pendekar Panji Sakti) pasti tahu bahwa semua anak murid perguruan Thi hiat Tay ki bun dibesarkan di wilayah bersalju di luar perbatasan, padahal Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa pun tumbuh dewasa di tanah bersalju. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Coh Liu-hiang maupun Oh Thi-hoa sesungguhnya adalah anggota perguruan Thi hiat tay ki bun, bisa jadi mereka she Thi (Thiat) dan she Im, sedang nama yang mereka gunakan adalah nama samaran. Dari julukan Su Coh Liu Hiang (Hokkian) atau Si Chu Liu Xiang (Pinyin), empat penjuru meninggalkan bau harum, bila kita buang huruf Su atau Si nya, maka tinggal Coh Liu-hiang (Chu Liu Xiang). Sementara julukan Hoa ou-tiap (Hu Tie Hoa), bunga kupu-kupu, bunyinya persis sama dengan nama Oh Thi-hoa. Hal ini membuktikan nama Oh Thi-hoa pun palsu. Bila guru Coh Liu-hiang bukan Ya-te, lalu siapa"
Dari perkataan Lamkiong Yan, jelas Coh Liu-hiang menguasai ilmu silat Thi hiat tay ki bun dan ilmu silat Ya-te.
Dalam Pendekar panji sakti, dimana Thiat Tiong-tong (Thi Tiong-tong) terkurung di bawah lorong bawah tanah selama tiga bulan bersama Ya-te, pada saat itu Ya-te telah mewariskan segenap kepandaian silatnya kepada Thiat Tiong-tong, waktu itu Thiat Tiong-tong mengira dialah penyebab terjadinya perkawinan antar saudara, Sui Leng-kong dengan Cu Cau, sehingga untuk menghilangkan tekanan batin yang dideritanya, dia mengalihkan seluruh konsentrasinya mempelajari ilmu silat. Dengan ilmu Kia ie sin kang (Ilmu baju pengantin) yang dimiliki, dia berhasil mempelajari seluruh kepandaian silat Ya-te hanya dalam waktu tiga bulan saja. Ketika kemudian Thiat Tiong-tong terjun kembali kedalam dunia persilatan, tentu saja ilmu silat yang dia gunakan adalah ilmu silat Ya-te, dari sini bisa disimpulkan bahwa Coh Liu-hiang tanpa perlu belajar langsung dari Ya-te mampu menguasai ilmu silatnya, sebab Coh Liu-hiang mempelajari dari Thiat Tiong-tong.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan kalau ilmu silat yang dipelajari Coh Liu-hiang berasal dari Thiat Tiong-tong. Bukankah Coh Liu-hiang murid Thi hiat tay ki bun" Dengan sendirinya Thiat Tiong-tong sebagai Ciangbunjin perguruan itu akan mewariskan seluruh ilmu silatnya kepada anak muridnya. Lalu bagaimana dengan aliran silat Oh Thi-hoa" Karena Oh Thi-hoa pun murid Thi hiat tay ki bun, lagi pula aliran silatnya bersifat keras, tentu saja dia mempelajarinya dari Im Ceng serta Im Kian.
Kalau benar Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa adalah murid perguruan Thi hiat tay ki bun, berarti mereka pun mempunyai hubungan darah dengan Thiat Tiong-tong serta Im Ceng, padahal ilmu silat Coh Liu-hiang dipelajari dari Thiat Tiong-tong, maka besar kemungkinan antara Thiat Tiong-tong dan Coh Liu-hiang ada hubungan darah.
Dari cerita Legenda Kelelawar hal 457-458: "Ksatria besar yang kumaksudkan itu ialah ketua Tay ki bun (Perguruan Panji Besar), pendekar besar yang tiada bandingannya, jago nomor satu di dunia, Thi-tayhiap, Thi Tiong-tong!" demikian sekata demi sekata Gui Heng-liong menjelaskan. Thi Tiong-tong! Demi mendengar nama ini, mendadak suasana menjadi sunyi senyap, semua orang sama menahan napas. Selama ratusan tahun ini, kalau ada seorang tokoh persilatan yang benar-benar dihormati dan dikagumi serta pantas mendapat predikat 'nomor satu di dunia', maka orang itu adalah Thi Tiong-tong!"
Lalu terdengarlah orang banyak menghela napas panjang.
Sampai agak lama barulah Ci-lotoa mengembuskan napasnya, lalu bertanya pula:
"Anda kenal Thi-tayhiap?" Lantaran nama "Thi Tiong-tong', panggilannya kepada Gui Heng-liong seketika berubah menjadi sungkan pula....
"Thi-tayhiap memang terkenal dingin di luar, panas didalam.
Terhadap orang paling jahat sekalipun dia tetap memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki diri, dalam hal ini dia memang sama dengan Coh-hiangswe," ujar Ci Put-coan.
Dari kalimat terakhir, semakin membuktikan bahwa antara Thiat Tiong-tong (Thi Tiong-tong) dengan Coh Liu-hiang kemungkinan besar mempunyai hubungan darah, apalagi ketenangan Coh Liu-hiang dalam menghadapi persoalan, kecermatan dan ketelitiannya dalam mengatasi keadaan, kesetiakawanan serta kebajikannya sangat mirip Thiat Tiong-tong. Jika antara mereka berdua tidak ada hubungan, mengapa dalam Legenda Kelelawar Gu Long merasa perlu membahas Thiat Tiong-tong panjang lebar" Maka 90% Coh Liu-hiang adalah anak Thiat Tiong-tong dengan Sui Leng-kong. Judul Kisah Pendekar Harum seharusnya Kisah darah besi, sedang Kisah Pendekar panji sakti seharusnya berjudul Panji Sakti Darah Besi. Bila Coh Liu-hiang dari she Thiat, kemungkinan besar Oh Thi-hoa dari she Im, sebab Gu Long selalu mengisahkan dua keluarga itu serta latar belakang perguruan Thi hiat tay ki bun. Karena usia Oh Thi-hoa jauh lebih tua ketimbang Coh Liu-hiang, maka besar kemungkinan Oh Thi-hoa adalah putra Im Kian dengan Leng Cing-soat.
Bentrok Rimba Persilatan 2 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 11
^