Pendekar Panji Sakti 3

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 3


at ini, tiba disebuah tempat yang jauh lebih indah dari nirwana, bertemu dengan seorang wanita cantik bak bidadari dari kahyangan, aaai! Hari itu, andaikata aku tidak minum arak di dusun Sin hoa cun, mana mungkin aku akan mengalami kejadian aneh seperti ini"
Bagai orang kerasukan sepasang tangannya mulai
menggerayangi seluruh tubuh perempuan cantik itu, sementara bisikannya bagai orang yang sedang mabuk kepayang.
Gumamnya lagi: "Tay-tay, aku amat berterima kasih kepadamu, sebelum berjumpa dengan kau, aku benar-benar tidak tahu kalau kehidupan manusia sebenarnya begitu menggembirakan, begitu menarik...."
Un Tay-tay meliuk-liukkan tubuhnya mengimbangi
gerayangan dari pemuda tersebut, sambil menempelkan bibirnya disisi telinga anak muda itu, bisiknya pula:
"Kau benar-benar berterima kasih kepadaku?"
"Tay-tay, percayalah kepadaku" desis pemuda itu penuh luapan emosi, wajahnya merah padam bagai orang mabuk,
"aku.... aku benar-benar berterima kasih kepadamu, saking terima kasihnya, aku rela mati demi dirimu..."
Telapak tangannya yang sedang memeluk punggung pemuda itu perlahan-lahan mulai bergeser naik ke atas kepala dan berhenti diatas jalan darah giok-seng-hiat di belakang otaknya, kemudian dengan lembut dia menotoknya....
Anak muda itu masih memeluk tubuh perempuan itu
kencang-kencang, dengan napas tersengkal bisiknya:
"Sungguh, sungguh Tay-tay, mari kita...."
Mendadak dia menjerit ngeri, tubuhnya pun terkapar lemas diatas pembaringan..
Sorot matanya masih memancarkan perasaan terkejut
bercampur ngeri, seolah-olah dia tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja terjadi, kegembiraan yang dinikmati selama tiga hari ternyata harus dibayar dengan selembar nyawanya.
Kesenangan itu datang secara tiba-tiba, pergi-pun secara tiba-tiba, sambil membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasi perempuan cantik itu dengan pandangan terkejut, ngeri, takut bercampur tidak percaya, teriaknya gemetar:
"Kau.... kau sungguh kejam...."
Kemudian semua kesenangan, kenikmatan dan ketakutan berlalu untuk selamanya dari muka bumi.
Disamping cermin besar terdapat sebuah pintu rahasia, dibalik pintu rahasia tersedia sebuah kolam mandi yang sangat aneh, empat penjuru dindingnya berlapiskan cermin tembaga, semen-tara kolam mandi itu sendiri terbuat dari lapisan batu kemala putih, airnya terasa sangat hangat.
Perempuan itu sedang merendam diri dalam kolam,
membersihkan setiap jengkal tubuhnya dengan seksama, dari atas hingga ke bawah tidak ada bagian yang terlewatkan.
Setiap kali selesai melenyapkan nyawa kekasih jangka pendeknya, dia akan selalu merendam diri dan membersihkan seluruh tubuhnya secara seksama, kemudian sewaktu keluar dari kolam air itu dia seakan telah berubah jadi seorang manusia baru, semua dosa, kesalahan, kecabulan dan kekejamannya seakan akan ikut tercuci bersih oleh air hangat dalam kolam.
Saat ini dia sedang berdiri ditepi kolam sambil memandang diri di cermin tembaga, wajahnya penuh senyuman, senyuman yang polos, halus dan manja, polos bagai bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki disusul suara Ming-ji sedang memanggil: "Hujin!"
Dengan langkah lembut Un Tay-tay muncul dari balik kamar rahasia, lalu sambil memutar tubuhnya dia berkata seraya tersenyum:
"Ming-ji, coba lihat, cantikkah aku" Maukah kau memeluk aku?"
Walaupun Ming-ji cukup memahami watak aneh majikannya, tidak urung pipinya bersemu merah juga lantaran jengah, katanya lagi lirih:
"Majikan telah pulang, dia pulang dengan membawa luka!"
Agak berubah wajah Un Tay-tay, serunya tertahan:
"Benarkah itu" Cepat gotong masuk!"
Baru saja dia mengenakan baju sutera halus untuk menutupi badannya yang bugil, dua orang lelaki kekar telah berjalan masuk sambil menggotong sebuah pembaringan empuk. Ketika kedua orang lelaki itu menjumpai tubuh setengah bugil yang tertutup kain sutera halus itu, sorot mata mereka seketika terpana, lama sekali mereka hanya mengawasi perempuan itu tanpa tahu apa yang mesti dilakukan.
Un Tay-tay mengerling sekejap, lalu serunya: "Cepat baringkan loya diatas pembaringan, perlahan sedikit!"
Telapak tangannya seperti sengaja tidak sengaja menuding ke arah pembaringan, tiba-tiba pakaian yang dikenakan terbuka dan merosot ke bawah.
Dari balik pakaian yang terbuka segera terlihatlah sepasang payudaranya yang putih, montok dengan dua puting susu yang merah.
Kontan saja ke dua orang lelaki itu merasa dengus napasnya memburu cepat, wajahnya berubah jadi merah padam, buru-buru mereka tundukkan kepalanya, namun lagi-lagi secara kebetulan mereka saksikan sepasang kaki dengan paha yang putih mulus terbentang di depan mata.
Tampaknya Un Tay-tay merasa puas sekali dengan tingkah laku ke dua orang lelaki itu, tanpa membetulkan letak pakaiannya dia ber-tanya lagi: "Parahkah luka yang diderita loya?"
"Masih.... masih agak baikkan, dia.... dia orang tua telah....
telah diberi obat penenang oleh.... oleh Pek jiya.... sekarang....
sekarang sudah tertidur nyenyak"
Lelaki kekar itu merasa mulutnya kering, napasnya memburu sehingga untuk berbicara pun jadi tergagap.
Senyuman genit kembali tersungging diujung bibir Un Tay-tay, katanya kemudian:
"Bocah bodoh, memangnya sepanjang hidup belum pernah melihat wanita" Kalau pingin melihat, jangan melihatnya dengan mencuri!"
Tiba-tiba dia busungkan dada sambil membuka pakaiannya semakin lebar....
"Blaaam!" ke dua orang lelaki itu merasa batok kepalanya seperti dipukul dengan palu besar, darah panas langsung bergolak ke atas kepala, saking tegangnya ke empat anggota tubuh mereka sampai gemetar keras.
Tapi sepasang matanya yang terbelalak lebar seakan terkena
hipnotis, mengawasi sepasang payudara wanita itu tanpa berkedip.
"Bagaimana" Sudah cukup belum?" tanya Un Tay-tay lagi sambil tertawa genit.
"Hamba.... hamba...." merah padam wajah kedua orang lelaki itu, mereka jadi tergagap dan tidak mampu menjawab.
Tiba-tiba Un Tay-tay menarik kembali senyumannya, sambil membetulkan letak pakai-annya dia berkata dingin:
"Kalian berdua telah menikmati keindahan tubuhku, seandainya sampai ketahuan loya.... Hmm! Hmmm!"
Berubah hebat paras muka ke dua orang itu, buru-buru mereka menjatuhkan diri berlutut sambil memohon dengan suara gemetar:
"Ham.... hamba memang pantas dihukum mati, tolong....
tolong hujin mengampuni nyawa.... nyawa kami!"
Kembali Un Tay-tay mengerling sekejap ke wajah kedua orang itu, tiba-tiba dia tertawa lagi, tertawa manis.
"Sudahlah, kalian boleh pergi sekarang, aku pun akan mengampuni kalian berdua, cuma ingat, bila selanjutnya ada kejadian apa-apa di peternakan ini, jangan lupa datang melapor kepadaku!"
Kedua orang lelaki itu menyahut berulang kali, kemudian dengan wajah basah oleh keringat dingin tergopoh-gopoh kabur dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, Un Tay-tay baru tertawa menghina sambil bergumam:
"Lelaki wahai lelaki, cuhh! Makhluk yang paling tidak berharga didunia ini adalah orang lelaki, sekali aku suruh kalian lari ke timur, tidak mungkin kalian berani menuju ke barat!"
Dia membalikkan tubuh menghampiri ke depan pembaringan, ternyata lelaki yang berbaring diatas ranjang itu tak lain adalah Suto Siau.
Dengan pandangan asing dia mengawasi Suto Siau, berapa saat kemudian sekulum senyuman baru menghiasi ujung bibirnya.... karena pada waktu itu Suto Siau sudah sadar kembali dari pingsannya.
Setelah dibokong Thiat Tiong-tong tadi, meski dia sempat jatuh tidak sadarkan diri namun luka yang dideritanya tidak terhitung parah, apalagi setelah diobati Pek Seng-bu, boleh dibilang kini dia sudah mampu berbicara meski kekuatan
tubuhnya belum pulih kembali.
Un Tay-tay sudah duduk disisi tubuhnya, mengawasi dengan wajah penuh rasa kuatir dan perhatian, kemudian sambil bersandar di dadanya dia berbisik:
"Aku dengar kalian pergi menggropyok sarang Perguruan Tay ki bun, padahal sejak kepergianmu, hatiku sudah amat kuatir, tidak disangka ternyata kau benar-benar terluka"
"Lukaku ini tidak terlalu parah" sahut Suto Siau jengkel, "tapi yang membuat aku tersiksa justru rasa mendongkolku!"
"Kenapa mesti mendongkol" Masa kalian tidak berhasil menangkap seorang anggota Perguruan Tay ki bun pun" Masa kalian biarkan mereka berhasil kabur semua?"
"Bukan saja tidak ada yang berhasil ditangkap, bahkan seorang pun tidak ada. Sebaliknya aku malah dipecundangi oleh pemuda itu...."
"Aaah, jadi mereka berhasil kabur semua" Aaai, bagaimana sekarang" Kalau bisa menangkap satu atau dua di antaranya masih boleh...."
"Bila ada seorang anggota Perguruan Tay ki bun yang terjatuh ketanganku, tentu saja hai ini sangat menguntungkan, tapi sayangnya...."
"Seandainya ada satu orang dapat menghantarkan seorang murid Perguruan Tay ki bun yang masih hidup ke tanganmu, apa yang akan kau lakukan terhadapnya?"
"Akan kubagi separuh harta kekayaanku kepadanya, juga...."
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Suto Siau, dengan cepat dia meronta bangun, ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, lalu tegurnya:
"Hey budak cilik, permainan busuk apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku" Mungkin saja aku berhasil menangkap seorang anggota Perguruan Tay ki bun!"
"Sungguh?"
"Asal kau pegang janjimu, tentu saja perkataanku pun sesungguhnya"
"Masa uang yang kuberikan masih belum cukup?"
"Aku tidak mau duitmu, aku hanya mau dirimu!"
Sambil tertawa lembut, dengan jari tangannya yang lentik dia membelai kening Suto Siau, kemudian lanjutnya:
"Aku tidak menginginkan separuh harta kekayaanmu, aku hanya ingin kau bikin mampus nenek sialan yang memuakkan
itu, aku ingin menjadi istri sah mu, aku sudah bosan menjadi bini simpanan, penghidupan semacam ini sudah membosankan!"
"Memangnya kau sangka nenek itu gampang dibikin
mampus?" "Aku yakin kau pasti punya akal untuk mengatasinya, sayangku, berjanjilah untuk mengabulkan permintaanku ini, aku janji, aku pun akan melayanimu dengan sebaik-baiknya"
"Asal kau berhasil merayu tawananmu hingga mengakui tempat persembunyian orang-orang Perguruan Tay ki bun, aku pasti akan mengabulkan juga permintaanmu"
Un Tay-tay kegirangan, teriaknya cepat:
"Itu mah gampang, sekarang juga...."
Sembari berkata dia segera melompat turun dari atas ranjang.
"Tunggu sebentar!" mendadak Suto Siau mencegahnya.
Un Tay-tay menghentikan langkahnya sambil memberi hormat.
"Masih ada perintah apa lagi?"
"Dengan cara apa kau akan memancing pengakuannya?"
"Kini aku sudah menyekapnya dalam ruang rahasia, asal kusuruh dia mencicipi dulu berapa macam alat penyiksaan, memangnya dia tidak mau tunduk dan mengakui semuanya?"
"Tidak bisa, tidak bisa...."
"Kenapa tidak bisa" Semua alat siksaan itu sangat hebat, biar lelaki yang terbuat dari besi baja pun tidak akan tahan, apalagi terhadap tubuh lembut yang terbuat dari darah dan daging"
"Biarpun tubuh anak murid Perguruan Tay ki bun bukan terdiri dari besi baja, namun hati mereka, tekad mereka jauh lebih teguh dari baja, sekalipun kau menghancur lumatkan tulang belulang mereka pun, jangan harap bisa memperoleh pengakuannya sepatah kata pun" "Lalu apa yang harus ku perbuat?" "Jalan kekerasan tidak mungkin bisa berhasil, tentu saja harus menggunakan cara lunak"
"Memangnya kau suruh aku menggunakan Bi jin ki (siasat wanita cantik)?"
"Kecuali menggunakan cara kuno itu, rasanya tidak ada cara lain di dunia ini yang bisa membohonginya, terpaksa aku harus minta bantuanmu...."
Sambil menarik wajahnya Un Tay-tay pura-pura gusar, serunya dengan nada tidak senang:
"Kau anggap aku ini perempuan apaan" Mana mungkin aku boleh berbuat begitu dengan lelaki lain" Kalau aku sampai
melakukannya, dikemudian hari kau pasti muak kepadaku, kau.... kau suruh aku.... aku...."
Bicara sampai disitu dia segera menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan dan mulai menangis tersedu-sedu.
Suto Siau menghela napas panjang, hiburnya: "Tay-tay, aku tahu kau memang wanita yang baik sekali, tapi posisi kita memang terpojok, apa boleh buat, tanpa cara tersebut mustahil kita bisa mengorek pengakuannya, tolonglah, maukah kau berkorban untukku sekali ini saja?"
Tiba-tiba Un Tay-tay menubruk ke dalam pangkuan Suto Siau dan menangis tersedu-sedu.
"Sudahlah Tay-tay, jangan menangis" bujuk Suto Siau sambil membelai rambutnya, "aaai, padahal aku sendiripun merasa sayang, merasa berat hati, tapi...."
"Aku tahu, aku tahu.... aku.... aku bersedia berkorban untukmu, aku bersedia melakukan pekerjaan apa pun demi kau...."
"Sungguh Tay-tay" Aku tidak akan melupakan
pengorbananmu itu, selamanya...."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?"
Suto Siau menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru menempelkan bibirnya di sisi telinga Un Tay-tay dan membisikkan sesuatu, kemudian dia berkata lagi:
"Begitu tugas selesai, kau boleh membunuhnya dengan telapak tanganmu sendiri!"
Setelah terisak lagi berapa saat Un Tay-tay baru menghentakkan kakinya dengan gemas sambil berseru:
"Baik, baiklah, aku turuti kemauanmu, apapun yang kau minta akan kulakukan...."
Sambil membesut air matanya dia segera beranjak pergi dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuh perempuan itu lenyap dari pandangan, tiba-tiba Suto Siau tertawa dingin, gumamnya:
"Perempuan cabul, lonte busuk, pandai amat kau bermain sandiwara, hmmm, disangkanya aku tidak mengetahui semua tingkah lakumu yang cabul itu" Hmmm, coba kalau aku bukan masih punya selera untuk menidurimu, sudah sejak tadi kuhabisi nyawa anjingmu itu"
Begitu keluar dari pintu kamar, Un Tay-tay sudah berhenti menangis, sekulum senyuman bangga malah menghiasi ujung bibirnya, dia segera bertepuk tangan sambil memanggil:
"Ming-ji!"
Ming-ji muncul sambil berlarian dari kejauhan.
"Ada apa hujin?"
"Pemuda yang tadi...."
"Sudah kukirim ke ruang Teng-yu-wu!"
Dengan gemas Un Tay-tay mentowel pipi dayang-nya, serunya sambil tertawa:
"Budak setan, ternyata pandai amat kau menebak jalan pikiranku, tunggu dua hari lagi, kau pasti...."
Ming-ji segera menutupi sepasang telinganya dengan tangan, dengan wajah merah jengah serunya genit:
"Aku tidak mau mendengarkan, aku tidak mau
mendengarkan...."
Dia segera membalikkan tubuh dan cepat-cepat kabur meninggalkan tempat itu.
"Dasar budak cilik" maki Un Tay-tay sambil tertawa, "coba lewat satu tahun lagi, belum lagi aku tawari, kau pasti sudah meminta jatah kepadaku!"
Setelah melewati jalan yang berliku-liku, menaiki tiga anak undakan, sampailah dia disebuah jalan kecil beralas batu putih.
Batu yang bersih lagi bulat persis seperti mutiara yang dijajarkan, ketika tertimpa cahaya matahari segera memantulkan sinar yang berkilauan, jalanan itu lurus ke depan hingga menembusi sebuah pintu berbentuk setengah lingkaran.
Setelah melewati selapis pintu, sampailah disebidang tanah yang dipenuhi aneka pepohonan dan bunga, tampaknya tempat itu adalah kebun belakang.
Di antara sebuah aliran sungai kecil dengan air yang mengalir bersih, terdapat dua buah ayunan mungil, disamping ayunan merupakan sebuah gunung-gunungan dengan kolam kecil dibawahinya, bunga teratai yang sedang mekar dengan daun yang lebar terapung diatas permukaan, sepasang bebek China berenang berpasang-pasangan.
Dengan termangu Un Tay-tay mengawasi sepasang bebek China itu berenang kian kemari berapa saat lamanya, kemudian dia baru berjalan menuju ke gunung-gunungan itu.
Ternyata diatas gunung-gunungan terdapat sebuah pintu rahasia, dibalik pintu rahasia itulah terletak ruang Teng yu wu.
Perlahan-lahan dia mendorong pintu dan melangkah masuk, betul saja, dibelakang pintu terdapat sebuah dunia yang lain.
Dia berjalan menembusi sebuah ruangan lebar, menyingkap
sebuah tirai berwarna merah dan melangkah masuk ke dalam sebuah kamar.
Bau harum semerbak kembali menyelimuti seluruh ruangan, dibawah sinar lampu berwarna merah terlihat sebuah pembaringan yang terbuat dari gading, Im Ceng masih tergeletak dalam keadaan tidak sadar, dia tertidur dengan nyenyaknya dibalik selimut.
Perlahan-lahan Un Tay-tay menyingkirkan kantung obat yang menempel diatas jidat Im Ceng dan duduk disisi pembaringan, cahaya lentera berwarna merah yang memancar redup membuat kerlingan matanya yang genit nampak lebih menarik, membuat napsu birahinya makin berkobar.
Lama kemudian Im Ceng baru tersadar dari tidurnya, dia seakan akan baru terjaga dari impian buruk, keringat dingin membasahi seluruh jidatnya, ketika berjumpa dengan perempuan itu, sekulum senyuman tenang baru tersungging dibibirnya.
"Nenyak betul tidurmu" bisik Un Tay-tay sambil tertawa.
Dia mengambil selembar sapu tangan dan mulai menyeka keringat yang membasahi jidat pemuda itu.
"Terima kasih nona, cayhe sudah merasa agak baikan!" kata Im Ceng cepat.
Dia ingin meronta untuk bangun duduk, tapi dengan lembut Un Tay-tay menekan bahunya melarang dia terbangun, bujuknya lembut:
"Jangan sembarangan bergerak, nanti mulut lukamu merekah lagi!"
"Cayhe sama sekali tidak kenal nona, aku sudah berterima kasih sekali karena berkat bantuan nona, aku lolos dari mulut macan. Mana berani aku mengganggumu lagi?"
"Kau mesti merawat lukamu sampai sembuh, jangan banyak bicara, lebih-lebih jangan berpikir yang bukan-bukan" kata Un Tay-tay lembut, "kalau tidak menurut, aku akan marah...."
Dengan lemah-lembut dia menarik selimut untuk menutupi tubuh Im Ceng kemudian memandangnya sambil tersenyum.
Tidak lama Ming-ji muncul sambil membawa sebuah baki, dalam baki tersedia sebuah gunting emas dan obat-obatan.
Im Ceng semakin terharu, dia merasa berterima kasih sekali kepada perempuan cantik itu karena mau merawat lukanya.
Sejak kecil dia memang sudah terbiasa hidup susah, apalagi dibawah didikan ayahnya yang keras lagi disiplin, boleh dibilang belum pernah dia merasakan perhatian dan kasih sayang seperti
ini, tidak heran kalau perasaan hatinya jadi terenyuh dan terbuai.
Bukan hanya begitu, dia pun merasa bahwa perempuan cantik ini berhati mulia, sangat lembut dan penuh perhatian, nyatanya terhadap seorang asing macam dia pun dia rela turun tangan sendiri untuk merawatnya.
Yang tersisa dalam benak pemuda itu sekarang hanya luapan rasa terharu serta terima kasih yang tidak terhingga, sudah barang tentu tidak ada rasa was was maupun kewaspadaan barang sedikitpun juga.
Dengan perasaan lega dan tenteram diapun tinggal disitu sambil merawat luka yang didentanya.
Sementara waktu keadaanpun berlalu dalam ketenangan dan kelembutan kasih sayang seorang wanita cantik.
BAB 4 Gadis Sendu di Lembah Kehampaan
Pada saat yang bersamaan, Thiat Tiong-tong justru sedang mengalami kehidupan dalam badai ketidak tenangan, kehidupan yang dipenuhi pergolakan, ketegangan serta ketidak pastian.
Waktu itu anak muda tersebut masih berbaring di dasar jurang, setelah berada dalam keadaan tidak sadarkan diri berapa saat, lambat laun telinganya mulai dapat menangkap suara nyanyian.
Suara nyanyian itu merdu merayu, tapi lagu yang dinyanyian hanya mengulang kata yang selalu sama:
"Siapa namamu" Kau berasal dari mana" Mengapa hanya tidak sadarkan diri" Cepatlah mendusin, ketahuilah, aku sedang menantimu.... aku sedang menanti dengan penuh kecemasan!"
Seorang gadis berambut panjang duduk bersila disamping Thiat Tiong-tong, dia sedang menengadah mengawasi awan yang bergerak di udara sambil melantunkan nyanyiannya, dia seolah sedang terbuai oleh nyanyian sendiri, terbuai hingga lupa daratan.
Thiat Tiong-tong yang memandang dari bawah tidak sempat menyaksikan raut mukanya, dia hanya melihat pakaian yang dikenakan perempuan itu terbuat dari kain goni yang kasar, baju itu kotor lagi banyak berlubang, ternyata saat ini dia sedang berbaring dengan berbantal diatas lututnya.
Dalam terkesiapnya dia cepat memiringkan tubuh dan berguling menjauhi lutut gadis itu.
Nyanyian gadis itu seketika terhenti, kemudian dia menundukkan kepalanya.
Ternyata walaupun suara nyanyiannya amat merdu merayu, suaranya manis menawan, dia memiliki raut muka yang kotornya luar biasa, seakan akan sudah cukup lama tidak pernah dicuci dengan air, hanya sepasang matanya yang tampak jeli.
Thiat Tiong-tong sangat keheranan, belum sempat dia bertanya, gadis itu telah bersenandung kembali:
"Siapa namamu" Kau berasal dari mana?"
Thiat Tiong-tong semakin terkesima, tanpa sadar dia hanya mengawasi gadis itu dengan wajah termangu.
Gadis itu segera memutar biji matanya berulang kali, sementara mulutnya masih berse-nandung:
"Aku bertanya kepadamu, mengapa kau tidak menjawab"
Apakah kau tidak pandai bicara" Apakah kau seorang bisu?"
Meskipun keheranan dalam hati kecilnya, Thiat Tiong-tong merasa amat kegelian, segera tegurnya:
"Nona, sebetulnya kau sedang berbicara atau sedang menyanyi, aku benar-benar dibuat kebingungan"
Gadis itu ikut tertawa, senandungnya:
"Menyanyi bagiku adalah berbicara, kau tidak menjawab berarti tidak sudi berbicara, kalau kau tidak menjawab pertanyaanku lagi, akan kukembalikan dirimu biar tergantung diatas tebing!"
Diiringi suara tertawanya yang merdu, ternyata dia benar-benar membopong kembali tubuh Thiat Tiong-tong.
Anak muda itu sadar, tampaknya gadis yang agak miring otaknya ini selain nakal, diapun mampu melakukan semua yang diucapkan, buru-buru sahutnya dengan lantang:
"Aku dari marga Tong bernama Tiong!"
Dia memang seorang pemuda yang cermat lagi sangat berhati-hati, sebelum mengetahui asal-usul yang sebenarnya dari gadis itu, dia enggan memberitahukan nama sesungguhnya.
Gadis itu segera tertawa terkekeh:
"Aku bernama Sui Leng-kong, sejak kecil sudah hidup di tempat ini"
Dasar jurang itu dikelilingi tebing curam yang sangat tinggi, empat penjuru hanya ada akar rotan yang bergelantungan, selain itu diseputar sana pun dipenuhi dengan tanah rawa-rawa, tempat dimana mereka berada sekarang merupakan sebidang tanah berbatu berwarna hijau.
Ditempat semacam inipun ada kehidupan" Bagaimana dia hidup" Bagaimana dia mencari makanan"
Sekilas perasaan sedih kembali melintas diwajah gadis itu, kembali dia bernyanyi:
"Setiap hari aku hanya berdiri diatas batu, aku tidak tahu bagaimana bentuk dunia diluar sana, seandainya aku bisa naik ke sana dan melihat sebentar saja, biar harus matipun aku tidak akan menyesal"
Irama lagunya sendu, membuat hati orang beriba.
Thiat Tiong-tong merasa hatinya sedih, dia tidak tahu dengan cara apa gadis itu bisa mempertahankan hidupnya dalam
lingkungan sesulit ini.
Kebutuhan materi memang menyedihkan hati, tapi kesepian yang dialami dalam kehidupannya jauh lebih mengenaskan.
"Setelah melewati kehidupan yang begini susah dan pelik hampir belasan tahun lamanya, tidak heran kalau dia berubah seperti orang idiot, berbicara dengan orang lain pun menggunakan logat menyanyi"
Berpikir sampai disitu, tidak tahan anak muda itu bertanya lagi:
"Apakah nona sendirian tinggal disini?"
Gadis itu menghela napas sedih, senandungnya:
"Sejak kecil aku sudah tidak punya ayah, hanya ada ibu, akupun tidak tahu bagaimana bisa datang ditempat seperti ini?"
Belum lagi menyelesaikan nyanyiannya, air mata sudah jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Thiat Tiong-tong mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, tampak tebing karang yang menjulang ke angkasa mencapai ketinggian ratusan depa, permukaannya penuhi ditumbuhi lumut hijau, tempat seperti ini benar-benar sulit ditembus, jangan lagi oleh manusia, burung pun sulit untuk melewatinya.
.... Benarkah tidak ada jalan lain disitu"
Apakah aku harus hidup seperti dia, sampai tua tetap tinggal ditempat ini"
Berpikir sampai disitu, tidak kuasa lagi timbul perasaan bergidik didalam hati pemuda itu.
Tiba-tiba Sui Leng-kong bangkit berdiri, ternyata gaun yang dikenakan hanya sebatas lutut hingga terlihatlah kakinya yang kecil mungil tapi kotor oleh Lumpur itu.
Sambil menggeliat melemaskan otot pinggangnya tiba-tiba dia tersenyum dan bernyanyi sambil bertepuk tangan:
"Naikkan babi gemuk diatas jepitan besi.
Ranting pohon dibakar, bunyi mencicit,
Minyak babi meleleh membasahi bumi,
Kulit garing terpanggang jadi kuning.
Kuiris sepotong daging babi.
Silahkan, silahkan kau mencicipi"
Kemudian sambil tertawa cekikikan dia membuat gerakan seolah sedang mengiris sepotong daging babi dan menyuguhkan kehadapan Thiat Tiong-tong, kembali nyanyinya:
"Silahkan, silahkan kau mencicipi!"
Perempuan ini benar-benar setengah sinting, sebentar dia
menangis sedih, sebentar lagi tertawa riang, sekalipun Thiat Tiong-tong merasa keheranan, tidak urung saat ini ikut tertawa juga.
Ketika melihat pemuda itu tertawa, Sui Leng-kong semakin bergembira hati, lagi-lagi dia menyanyi sambil tertawa:
"Mama sering berkata padaku, jadi orang tidak boleh selalu sedih, setiap kali kau merasa sedih, sesaat kemudian kau mesti menyanyi!"
Dia mulai mengelilingi tubuh pemuda itu dan menyanyi sambil menari.
"Biarpun aku belum pernah mencicipi daging babi, namun setiap hari aku dapat menikmati hangatnya matahari, melamun makan babi di bawah terik matahari, bikin hatiku tidak pernah bersedih hati!"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya:
"Kalau orang yang hidup ditempat seperti ini tidak pandai menghibur diri sendiri, waktu yang berlalu dapat merupakan siksaan dan penderi-taan, tapi aneh, kenapa ibu beranak ini bisa tinggal di tempat seperti ini?"
Dia tahu nona ini maupun ibunya tentu memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Sebab orang yang tidak memiliki ilmu silat, jangan harap bisa bertahan hidup di tempat seperti ini, atau mungkin mereka datang ke situ karena sedang bersembunyi dari kejaran musuh besarnya"
Siapakah musuh bebuyutan mereka" Berasal darimanakah ibu beranak dua orang ini"
Baru saja pertanyaan itu melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, dari kejauhan sana sudah terdengar seseorang memanggil:
"Leng-ji, kenapa belum pulang untuk menanak nasi?"
Suara itu berat lagi mantap, sekalipun berasal dari kejauhan sana namun Thiat Tiong-tong justru mendengar seakan-akan berasal dari sisi telinganya.
Thiat Tiong-tong semakin terkesiap, belum pernah dia jumpai seseorang yang memiliki tenaga dalam sedemikian sempurna.
Dalam pada itu Sui Leng-kong sudah membungkukkan tubuh seraya berkata:
"Ayoh jalan.... ikut.... ikut aku pergi... menjumpai... ibu...."
Walaupun hanya satu kalimat pendek, ternyata dia membutuhkan waktu cukup lama untuk mengutarakannya,
bahkan disampaikan dengan tergagap.
Sekarang Thiat Tiong-tong baru sadar apa yang terjadi, pikirnya:
"Ternyata dia adalah gadis gagap, tidak heran kalau dia enggan berbicara dan selalu menyanyi, aku dengar orang bilang, dari sepuluh orang gagap, ada sembilan orang yang tidak akan gagap sewaktu menyanyi, ternyata perkataan itu ada benarnya juga"
Sementara dia masih berpikir, tubuhnya sudah digendong gadis itu.
"Jarang.... jarang ada orang.... menemani.... menemani aku bi... bicara, ma... maka aku tidak.... tidak pandai bi.... bicara....
kau.... mentertawakan a.... aku?"
"Mana mungkin aku mentertawakan kau" Selanjutnya aku pasti akan sering menemanimu berbicara, penyakitmu itu tentu akan sembuh dengan sendirinya"
"Kau.... kau baik sekali!" Sui Leng-kong segera tertawa lebar.
Gerakan tubuhnya cepat, ringan dan gesit, bagaikan burung manyar yang menukik diatas permukaan air.
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, dia tidak menyangka kalau gadis tersebut memiliki kungfu yang begitu hebat, pemuda ini jadi semakin penasaran, dia ingin mengetahui asal-usul mereka.
Hanya dalam berapa kali lompatan saja, gadis itu sudah melesat sejauh puluhan depa.
Sewaktu meluncur diatas rawa-rawa dan semak belukar, gadis itu sama sekali tidak nampak mengeluarkan tenaga banyak, Thiat Tiong-tong sadar, meski tidak berada dalam kondisi terluka parahpun belum tentu ilmu ginkangnya bisa meiampuai kehebatan nona ini.
Perguruan Tay ki bun selalu mendidik anak muridnya secara ketat dan penuh disiplin, sejak kecil Thiat Tiong-tong sudah berlatih silat, dengan bakatnya yang bagus, kecerdasan otaknya yang melebihi orang, ditambah berkat petunjuk guru kenamaan, kepandaian silat yang dimilikinya saat ini boleh dibilang sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.
Tapi dibandingkan dengan nona cilik ini, biarpun usianya masih muda belia, ternyata kehebatan kungfunya masih jauh diatas kepandaian Thiat Tiong-tong, kenyataan ini benar-benar membuat orang merasa terkejut bercampur keheranan, dia tidak bisa membayangkan bagaimana cara gadis itu melatih ilmu
silatnya. Di depan sana terdapat sebuah batu gunung setinggi empat depa, batu itu berdiri tegak persis dihadapannya, batu itu nampak kering lagi bersih, kelihatannya sering dibersihkan hingga berbeda sekali kondisinya dengan keadaan
disekelilingnya.
Setibanya ditempat itu, Sui Leng-kong baru memperlambat langkah kakinya, selangkah demi selangkah dia berlarian dibawah rerumputan, seakan kungfunya secara tiba-tiba berkurang sembilan puluh persen.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru tiba di depan batu hijau, napasnya sudah tersengkal-sengkal seakan orang yang mau putus nyawa.
Thiat Tiong-tongjadi keheranan, pikirnya:
"Mungkinkah selama ini dia merahasiakan soal ilmu silat"
Mungkinkah dia berlatih kungfu tanpa sepengetahuan ibunya"
Lalu darimana dia pelajari ilmu silat yang tangguh itu?"
Semakin dipikir dia semakin keheranan, akhirnya tidak tahan bisiknya:
"Jangan-jangan ilmu silatmu...."
Belum habis ia berkata, Sui Leng-kong sudah menyumbat mulutnya dengan tangan, sorot matanya nampak gugup bercampur ketakutan, sambil gelengkan kepalanya berulang kali, bisiknya:
"Jangan.... jangan bicara!"
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, pelbagai tanda tanya berkecamuk dalam benaknya.
Tampak nona itu dengan napas terengah engah mengitari batu hijau itu, dibelakang batu hijau terdapat mulut gua, ternyata batu hijau itu bermanfaat sebagai penyekat angin.
Mulut gua sempit lagi memanjang, walaupun gelap, lembab dan menyeramkan namun semua-nya bersih dan teratur.
Sebelum melangkah masuk ke dalam gua, terlebih dulu Sui Leng-kong membesutkan sepatunya yang berlumpur diatas sebuah batu besar, kemudian setelah bersih dia baru masuk ke dalam gua dengan sikap yang sangat menghormat.
Setelah berjalan kurang lebih dua puluhan langkah, gua itu berbelok kesebelah kiri dan ruangan pun bertambah lebar.
Ditengah sebuah ruang gua yang luasnya mencapai empat, kaki depa persegi, diempat penjuru dinding bertumpuk tumbuhan dan obat-obatan seperti san-ma, akar rotan serta bahan obat lainnya.
Diatas seutas tali, tergantung tiga ekor bangkai burung.
Disudut gua terdapat sebuah tempat air yang menampung butiran air yang menetes keluar dari celah dinding gua, setetes demi setetes jatuh ke dalam kolam dan menimbulkan suara dentingan yang memecahkan keheningan.
Disamping kolam penampung air terdapat sebuah anglo yang terbuat dari batu.
Dibawah sorot cahaya yang lemah, diatas sebuah
pembaringan beralaskan ilalang kering, duduk bersila seorang perempuan kurus kering berambut putih yang mengenakan baju dari bahan goni.
Perempuan itu kurus sekali hingga tinggal kulit pembungkus tulang, tulang jidatnya tinggi, sepasang matanya jembung kedalam lagi lebar dan meman-carkan sinar buas bagai mata hewan liar.
Saat itu dengan sinar matanya yang menyeramkan sedang mengawasi Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, seolah olah setan jahat dari dalam neraka yang tiba-tiba menjumpai mangsa.
Yang paling menakutkan adalah perasaan benci, dendam dan buas yang terpancar dari balik matanya yang menyeramkan.
"Dari mana datangnya orang itu?" tiba-tiba dia membentak keras.
Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tidak mengira kalau dari tubuh yang kurus kering bisa terpancar suara bentakan yang begitu nyaring bagai suara guntur yang membelah bumi, seluruh ruang gua serasa bergetar keras.
Sui Leng-kong sangat ketakutan, dengan tubuh menggigil keras jawabnya tergagap:
"Dia.... dia.... daa.... datang da.... dari aa.... atas bu....
bukit...."
Pada dasarnya dia memang gagap, ditambah lagi rasa takutnya ketika berhadapan dengan perempuan tua itu, perkataannya semakin kedengaran gagap hingga tidak jelas suaranya, walaupun seluruh tubuh sudah basah oleh keringat, tidak sepatah katapun sanggup diutarakan.
Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya:
"Tidak kusangka dia begitu ketakutan terhadap ibunya sendiri, tidak aneh jika gagapnya susah disembuhkan"
Berikir sampai disitu dia segera melompat bangun dan berkata:
"Dalam keadaan terluka parah cayhe terjatuh dari atas tebing,
berkat pertolongan dari nona inilah nyawaku baru berhasil terselamatkan"
"Siapa kau" Kenapa bisa terluka?"
"Aku bernama Tong Tiong, sedang dikejar-kejar musuh, karena tidak mampu melawan kerubutan...."
"Tong Tiong" Apakah kau berasal dari keluarga Tong di Suchuan" Siapa musuh musuhmu itu?"
Cepat-cepat Thiat Tiong-tong menyangkal: "Cayhe berasal dari perguruan Heng gi bun, musuh besarku adalah perkumpulan lima racun dari sebelah barat sungai besar"
Dalam dugaannya nenek ini sudah kelewat lama terjebak didasar jurang hingga tidak mungkin mendengar kabar berita tentang dunia persilatan, oleh sebab itu dia sengaja mengarang sebuah nama perkumpulan serta asal usul palsu bagi dirinya.
Dengan sorot mata yang tajam kembali nenek berambut putih itu mengawasi wajahnya, kemudian tanyanya lagi:
"Setelah berada disini, apa rencanamu selanjutnya" Coba kau terangkan kepadaku"
"Cayhe sudah terluka parah oleh kerubutan musuh
bebuyutan, sekalipun ada rencana, itupun mesti ditunggu sampai lukaku sembuh"
Baru selesai ia berkata, nenek berambut putih itu sudah tertawa seram.
"Hahahaha.... rangsum yang tersedia disini tidak cukup untuk konsumsi kami berdua, air bersih disinipun tidak ternilai harganya, mana ada tempat bagimu untuk merawat luka" Hmm, jangan bermimpi disiang hari bolong!"
Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, sementara paras muka Sui Leng-kong pun berubah hebat.
Tiba tiba dia melompat ke depan dan menghadang di depan tubuh anak muda itu.
"Bee... berikan ja.... jatahku ke.. kepadanya..." Gadis ini sangat polos dan berhati mulia, tidak ada pikiran atau prasangka apapun dalam benaknya, dia hanya tahu, karena dia yang menolong bocah lelaki itu maka menjadi kewajibannya untuk melindungi keselamatan orang itu.
Nenek berambut putih itu segera tertawa dingin, bentaknya:
"Jadi kau hendak menyerahkan jatah makanan dan air bersihmu untuk dia?"
Dengan mata melotot besar Sui Leng-kong manggut-manggut.
Nanek itu segera menggebrak dinding gua keras keras,
hardiknya penuh amarah:
"Lantas bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku.... aku.... tidak jadi soal"
Belum selesai dia bicara, nenek berambut putih itu sudah meluncur dari atas ranjangnya dan secepat kilat menampar wajah Sui Leng-kong dua kali, begitu selesai menampar, dia melayang balik ke asal tempatnya.
Sui Leng-kong tetap berdiri tidak bergerak, dia berdiri dengan kepala tertunduk.
"Bagus sekali" umpat nenek berambut putih itu, "kau tidak makan tidak minum, apakah rela mati kehausan, mati kelaparan demi orang itu" Lantas bagaimana dengan aku si nenek tua yang cacad ini?"
Ternyata nenek tua yang kurus kering ini cacad kedua belah kakinya.
Tiba-tiba nenek berambut putih itu berpaling, dengan sinar mata yang menyeramkan dia tatap wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip.
"Putriku rela memberikan rangsum dan air minumnya untukmu, dia rela mati kelaparan demi kau, sudah dengar pernyataannya?"
"Maksud baik nona Sui membuat hatiku sangat terharu, tapi sayang aku tidak dapat menerima kebaikan ini"
"Kalau memang tidak mau menerima, lebih baik cepatlah pergi mampus!"
Sui Leng-kong segera menjerit keras: "Ibu, kau.... kau begitu te.... tega...."
"Kenapa aku mesti tidak tega?" sahut nenek itu gusar,
"banyak kejadian didunia ini saudara saling membunuh, mertua menantu saling membantai, lagipula aku tidak kenal dengan dia, apa urusannya jika dia mati atau tidak?"
Perasaan takut menyelimuti wajah Sui Leng-kong, baru saja hendak mengucapkan sesuatu, Thiat Tiong-tong sudah berteriak keras:
"Luka yang kuderita tidak terlampau parah, paling juga hanya kelelahan, asal beristirahat dua hari saja kekuatanku sudah pulih kembali, sampai waktunya aku pasti akan berusaha mencarikan bahan makanan dan air bersih dan membayar dobel untuk membalas budi kebaikan cianpwee"
"Membayar dobel" Enak benar kalau bicara, memangnya gampang mencari bahan makanan dan air bersih disini?" Hmm,
ketahuilah semua bahan makanan dan air jauh lebih berharga daripada emas ditempat ini" kata perempuan tua itu, "makanan masih agak mending, khususnya air.... air.... coba kau lihat, air disinipun hanya keluar setetes demi setetes...."
Kemudian sambil menuding bak penampungan air itu katanya lagi:
"Kecuali tempat ini, dilain tempat tidak akan ditemukan air, memangnya air sejumlah itu cukup untuk menghidupi tiga orang?"
Air yang menetes ke dalam bak penampungan itu memang teramat minim, bahkan jauh lebih sedikit daripada lelehan air mata.
"Bagaimana dengan air hujan?"
"Disini tidak ada air hujan"
Sambil menghela napas Thiat Tiong-tong melirik Sui Lengkong sekejap, sekarang dia baru tahu kenapa gadis itu tampak begitu dekil.
"Kalau memang begitu, yaa sudahlah!"
Sui Leng-kong segera berteriak keras:
"Ibu.... berikan.... berikanlah air.... air bekas.... bekas cuci muka mu.... berikan... berikan sedikit sa.... saja...."
"Kurangajar, dasar budak sialan" nenek berambut putih itu semakin naik pitam, "kau suruh lonio tidak cuci muka, kau suruh aku berikan air itu untuk bocah busuk itu" Kau.... kau budak busuk yang tidak berbakti, sejak kapan kau meniru watak bapakmu, demi ibunya, rela menyuruh bininya pergi mampus!"
Pada saat itulah satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, dia seakan menyaksikan sosok tubuh seseorang, maka tanpa berpikir panjang lagi bentaknya nyaring:
"Seng toako, perbuatanmu itu salah besar!"
Benar saja, nenek berambut putih itu kelihatan sangat terperanjat, tanyanya dengan suara gemetar:
"Apa kau bilang?"
Diam-diam Thiat Tiong-tong kegirangan, dia tahu tebakannya tidak meleset, maka sambil sengaja menggelengkan kepalanya ia menyahut:
"Aaah, tidak apa apa...."
"Mau bicara tidak?"
"Aku hanya menebak secara sembarangan, mungkin saja tebakanku keliru besar"
"Cepat katakan, benar atau salah tidak masalah"
"Tapi mulutku kering, mungkin tidak mampu lagi berbicara"
"Air, berikan air kepadanya!"
Dengan perasaan kaget bercampur keheranan Sui Leng-kong mengawasi pemuda itu, dia tidak habis mengerti kenapa hanya dengan sepatah kata saja pemuda itu berhasil menggerakkan hati ibunya.
Dia mendekati tandon air, mengambil segayung air dan diserahkan kepada Thiat Tiong-tong.
"Nona Sui, kau minum duluan" ujar Thiat Tiong-tong sambil tersenyum.
Sui Leng-kong tertegun, dia segera menoleh memandang ibunya.
"Diminum!" bentak nenek itu keras.
Sui Leng-kong segera meneguk habis air itu, kemudian mengambil segayung lagi dan diserahkan kepada Thiat Tiong-tong, meskipun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun dari pancaran sinar matanya terlihat jelas rasa cinta dan sayangnya yang kental.
Menanti Thiat Tiong-tong selesai menghabiskan air itu, nenek berambut putih itu segera berkata lagi:
"Berikan sedikit makanan kepadanya, daripada dia menuntut yang bukan-bukan"
Selesai menghabiskan rangsum yang diberikan kepadanya, Thiat Tiong-tong merasa semangatnya kembali berkobar.
"Sekarang tentunya kau boleh mulai berbicara bukan?" kata nenek itu sambil menatapnya tajam.
"Sebenarnya watak cianpwee halus dan lembut, tapi sekarang berubah jadi begini rupa, aku percaya dalam berapa tahun terakhir pasti telah mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan hati"
"Darimana kau bisa mengetahui masa silamku?"
"Sekalipun aku hanya menduga, tapi...."
"Menduga" Terus-terangan saja, apakah kau diutus si nenek itu untuk melacak jejak kami berdua?"
Suaranya keras bagai geledek, membuat gendang telinga terasa sakit.
Nada pembicaraan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak berubah, lanjutnya:
"Apakah si nenek yang cianpwee maksudkan adalah Seng Toanio?"
Kembali paras muka nenek berambut putih itu berubah
hebat. "Sebenarnya siapa kau?"
Begitu mendengar nama "Seng Toa-nio" disinggung, dia seakan merasa ngeri, takut dan seram, sedemikian ketakutannya sampai sekujur tubuhnya mulai gemetar keras.
"Cianpwee tidak usah kuatir" hibur Thiat Tiong-tong lagi, "aku pun terhitung musuh bebuyutan dari Seng Toa-nio, bahkan sangat menaruh simpatik atas musibah yang telah cianpwee alami"
"Musibah apa yang kualami" Darimana kau tahu kalau aku pernah mengalami musibah?"
"Dimasa lalu, dalam dunia persilatan hidup seorang pendekar wanita yang tersohor namanya di dunia persilatan, tentunya cianpwee bernama Ji cing jiu (si tangan lembut penuh perasaan) Sui Ji-song bukan?"
Sekali lagi sekujur tubuh nenek berambut putih itu bergetar keras:
"Sui Ji-song.... Sui Ji-song.... "gumamnya.
Tiba-tiba dia tekan sepasang tangannya ke atas ranjang dan tubuhnya langsung melayang ke tengah udara.
Thiat Tiong-tong hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu kerah bajunya sudah dicengkeram nenek itu.
Sui Leng-kong tidak jelas apa yang sedang mereka bicarakan, wajahnya berubah hebat setelah menyaksikan ibunya mencengkeram baju anak muda itu, jeritnya dengan suara gemetar:
"Ibu, kau.... kau...."
Saking terkesiapnya dia jadi tertegun, berdiri kaku dan sama sekali tidak mampu bergerak.
"Jawab!" terdengar nenek berambut putih itu membentak lagi,
"darimana kau bisa tahu kalau aku adalah Sui Ji-song?"
Karena sepasang kakinya tidak mampu bergerak, kini dia sudah duduk bersila ditanah, tapi tenaga pukulannya sungguh mengerikan, dia telah merobek pakaian yang dikenakan pemuda itu, sementara ibu jari, jari tengah dan jari kelingkingnya mencengkeram tulang dada Thiat Tiong-tong kuat-kuat, asal telapak itu sedikit didorong ke depan, niscaya tulang dada pemuda itu akan retak dan patah jadi berapa bagian.
Thiat Tiong-tong masih bersikap sangat tenang, air mukanya sama sekali tidak berubah, katanya:
"Cianpwee jangan kelewat memaksa, sekarang napas cayhe
sudah mulai sesak, susah bagiku untuk berbicara"
"Hmmm, kau tahu kalau aku sangat ingin mendengar kisah itu, maka sengaja jual mahal?"
"Aaah, rupanya cianpwee memang pandai sekali"
Dengan jengkel nenek berambut putih itu mengawasinya berapa saat, terakhir dia kendorkan juga cengkeramannya seraya berkata:
"Cepat katakan! Kalau tidak bicara sejelas-jelasnya, jangan salahkan kalau aku akan mencincangmu jadi delapan keping"
"Ingat cianpwee, kadangkala di saat perasaan hatiku sedang tidak suka hati, akupun tidak pandai bicara"
Saking jengkelnya, dada si nenek berambut putih itu naik turun dengan hebatnya, jelas dia sedang mengendalikan api amarah yang berkobar dalam dadanya, terpaksa dengan merendahkan suaranya dia berseru:
"Baik, baik, bagaimana kalau cepat kau katakan?"
Sui Leng-kong yang mengikuti semua kejadian itu semakin tercengang dibuatnya.
Dia tidak menyangka kalau ibunya suatu saat akan bersikap begitu penyabar terhadap orang lain, bahkan berusaha mengendalikan amarahnya, untuk sesaat timbul perasaan kagumnya terhadap anak muda itu.
Terdengar Thiat Tiong-tong berkata lagi: "Padahal kalau diceritakan pun tidak ada hal yang luar biasa, sejak usia enam belas tahun, jago pedang berhati ungu Seng Cun-hau secara beruntun telah mengawini tiga orang istri, tapi secara bergantian semuanya mati. Menurut apa yang dikatakan Seng Toa-nio dalam dunia persilatan, katanya ke tiga orang bini Seng Cun-hau tewas ditangan anggota Perguruan Tay ki bun, mendengar tuduhan tersebut guru teramat gusar bercampur kaget, sebab dia orang tua tahu kalau anak murid Perguruan Tay ki bun belum pernah turun tangan menghabisi nyawa ke tiga orang hujin itu"
Kulit wajah nenek berambut putih itu segera mengejang keras.
"Apakah Chee Lip-san dan Hoa Siang-beng juga tewas dibunuh orang orang Perguruan Tay ki bun?"
"Kehadiran anggota Perguruan Tay ki bun di daratan Tionggoan adalah bertujuan menuntu balas dendam, tapi yang diperoleh selama ini adalal menjadi kambing hitam bagi sekawanan manusi munafik dari dunia persilatan, tampaknya kawanan manusia kurcaci itu tahu kalau Perguruan Tay ki bun yang gagal dengan misinya pasti akan mundur teratur, maka
semua persoalan, semua hutang piutang dialihkan semua atas nama Perguruan Tay ki bun" ujar Thiat Tiong-tong, "waktu itu guru sudah menaruh curiga bahwa semua kejadian itu merupakan hasil karya Seng Toa-nio, dia takut menantunya merebut cinta kasih putranya, maka dengan tega telah menghabisi nyawa menantu menantunya, cuma cara turun tangannya licik lagi keji, bukan saja dia berhasil mengelabuhi para jago di kolong langit, bahkan diapun dapat mengelabuhi Seng Cun-hau"
"Kau sangka Seng Cun-hau sama sekali tidak tahu" Dia hanya berlagak pilon, pura-pura tolol"
"Tidak heran kalau sampai sekarang dia belum berani kawin lagi. Aaai! Orang ini memang benar-benar seorang anak berbakti!"
"Ooh, ternyata dia belum kawin lagi...." bisik nenek berambut putih itu sambil menundukkan kepalanya, tiba-tiba hardiknya lagi, "darimana kau bisa tahu kalau aku adalah Sui Ji-song?"
"Pertama karena nona ini bermarga Sui, ke dua karena aku lihat cianpwee pernah menderita kesedihan yang luar biasa, maka barusan akupun mencoba meneriakkan kata 'Seng toako', ternyata paras muka cianpwee segera berubah, maka akupun tahu jika dugaanku tak meleset, satu-satunya persoalan yang membuatku ragu adalah penampilan cianpwee yang rasanya jauh lebih tua dari usia sebenarnya, tapi kemudian aku pikir penderitaan dan siksaan yang berat terkadang gampang membuat wajah orang jauh lebih tua dari usia sebenarnya, maka akupun yakin jika cianpwee adalah Sui Ji-song, menantu Seng Toa-nio yang telah dicelakai pada dua puluh tahun berselang!"
Di antara remang-remangnya cahaya, tampak Sui Ji-song duduk ditanah bagai sukma gentayangan, wajahnya diliputi perasaan sedih bercampur dendam, tampaknya dia sudah terjerumus dalam lamunan masa lalunya.
Sui Leng-kong membelalakkan matanya lebar-lebar, sebentar dia memandang wajah Thiat Tiong-tong, sebentar lagi memandang ibunya, akhirnya sambil duduk bersimpuh ditanah gadis itu mulai menangis tersedu-sedu.
Sampai lama, lama kemudian Sui Ji-song baru berkata:
"Tidak kusangka kau amat cerdas dan pandai menganalisa keadaan, kau.... dugaanmu memang benar sekali"
Setelah menggertak gigi menahan dendam, lanjutnya:
"Dua puluh tahun berselang, lima keluarga besar terlibat dalam pertempuran yang amat seru melawan orang orang
Perguruan Tay ki bun, setelah bertarung selama berapa hari akhirnya kami berada diatas angin, tapi saat itu aku sangat lelah, kehabisan tenaga ditambah sedang hamil, maka diam-diam aku minta ijin kepada Seng Toa-nio untuk pulang duluan. Siapa sangka begitu mendengar permintaanku tiba-tiba dia tertawa seram, katanya dia melarang aku melahirkan anak, sebab kejadian ini akan mengalihkan rasa sayang putranya. Baru saja aku merasa terperanjat, dia sudah mendorongku jatuh ke jurang, meski aku tidak sampai tewas tapi sepasang kakiku...."
Sekali lagi kulit wajahnya mengejang keras, mendadak dia menghentikan perkataannya dan duduk mendelong dengan sorot mata penuh kebencian.
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Aaai, tidak nyana dalam kondisi yang begitu susah dan tersiksa, cianpwee telah melahirkan seorang putri, boanpwee betul-betul merasa sangat kagum"
"Hmmm, penghidupan yang berat, penuh siksaan akhirnya berlalu juga" kata Sui Ji-song penuh rasa dendam, "sekalipun aku tersiksa hingga berubah jadi begini rupa, tapi.... bagaimana pun aku tetap masih hidup!"
Sinar matanya yang penuh kebencian dan perasaan dendam, perlahan-lahan dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, lanjutnya:
"Waktu itu, keadaanku tidak jauh berbeda dengan kondisimu sekarang, lelah, sedih bahkan menderita luka parah"
Sekulum senyuman keji lambat laun tersungging diwajahnya, satelah menatap wajah pemuda itu, katanya lagi:
"Tapi aku adalah wanita, selain cacad, sedang hamil lagi, kondisiku saat itu jauh lebih mengenaskan daripada kondisimu sekarang, kenyataan aku toh tetap bisa bertahan hidup sampai kini, sementara kau adalah seorang lelaki, masa tidak mampu bertahan?"
"Maksud cianpwee...." Thiat Tiong-tong terkesiap.
"Walaupun aku tidak ingin membunuhmu, namun akupun tidak mampu memeliharamu, lebih baik cepatlah menggelinding dari hadapanku, kalau tidak.... hmmm, hmmm, jangan memaksa aku harus turun tangan sendiri!"
Sekali lagi dia tekan lantai dengan lengannya dan melayang baik keatas ranjang, pandangan matanya sama sekali tidak dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, dia pun tidak membujuk atau menghibur Sui Leng-kong yang masih tertelungkup dilantai sambil menangis.
Thiat Tiong-tong termangu-mangu berapa saat lamanya, dia telah menggunakan seluruh kecerdasan yang dimilikinya berusaha menyentuh perasaan Sui Ji-song, tapi kini dia tahu, harapan itu tidak mungkin bisa terpenuhi.
Sambil mengepal tinjunya dia bangkit berdiri, beranjak dari tempat itu dengan langkah sempoyongan, tapi baru saja tiba diluar gua, tubuhnya kembali roboh terjungkal ke tanah.
Demi keselamatan jiwanya, dia rela berjuang dengan mengandalkan kekuatan dan kecerdasan yang dimilikinya.
Biar harus tersiksa, biar harus menderita, dia tetap akan memperjuangkannya, dia tidak sudi mengemis, tidak sudi merengek-rengek.
Air bersih dan sedikit ransum yang dimakannya tadi telah memulihkan sedikit kekuatan tubuhnya, tapi setelah berjalan sampai diluar gua, lagi-lagi dia kehabisan tenaga.
Dengan meluruskan ke empat anggota tubuhnya dia berbaring tertelentang diatas tanah, pemuda ini berusaha mengendorkan seluruh syaraf dan otot ditubuhnya kemudian menghimpun semua semangat yang dimilikinya untuk mulai mengatur pernapasan.
Ketika mendongakkan kepala memandang angkasa, dijumpai senja telah menjelang tiba, sebuah arena perjuangan sudah segera akan berlangsung.... perjuangan untuk mempertahankan hidup selain sulit dan penuh penderitaan bahkan kejam dan tidak berperasaan.
Dia sadar, sebelum malam yang gelap menjelang tiba, dia harus menemukan sebuah tempat berteduh, dengan begitu baru bisa menghindari serangan ular beracun serta nyamuk-nyamuk beracun.
Setelah matahari tenggelam dibalik gunung, dari permukaan rawa-rawa itu mulai mengeluarkan selapis kabut putih yang baunya sangat busuk.
Dia mencoba mencari ranting-ranting kering yang segera diikatkan pada kakinya, menahan napas dan memilih jalan yang ditempuh secara seksama, sebagai seseorang yang teliti dan berhati hati dia tidak ingin salah melangkah hingga terjerumu s ke dalam rawa rawa tersebut.
Kabut berbau busuk makin lama semakin bertambah tebal, suasana yang semula remang remang kini kian bertambah gelap, lambat laun jalan setapak yang terbentang di depan matapun makin sulit dilihat.
Akhirnya sambil menghela napas Thiat Tiong-tong
menjatuhkan diri terduduk ditepi rawa rawa, dia benar-benar kehabisan tenaga, kondisi tubuhnya yang semakin lemah membuat dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi, sekarang dia betul betul sudah tersudut, sudah terpojok pada kondisi yang amat kritis.
Mendadak terasa desingan angin bergema dari belakang tubuhnya, tahu-tahu Sui Leng-kong sudah muncul
dihadapannya, tanpa mengucap-kan sepatah kata pun langsung memayang tubuhnya.
Dalam keadaan begini, Thiat Tiong-tong tidak mampu melukiskan bagaimana perasaan hatinya kini, dia hanya bisa berbisik: "Nona Sui, kau...."
Sui Leng-kong gelengkan kepalanya, terpaksa Thiat Tiong-tong membatalkan kembali perkataannya.
Ketika seseorang yang berada dalam keputus-asaan, mendadak muncul orang yang datang membantunya, gejolak perasaan yang dialami saat itu boleh dibilang sukar diungkap dengan perkataan apapun.
Semula dia mengira Sui Ji-song sudah berubah pikiran, siapa tahu Sui Leng-kong memayangnya menuju ke arah yang lain, melihat itu tidak tahan kembali dia bertanya:
"Kita akan kemana?"
Sui Leng-kong tersenyum, sambil menutupi sepasang mata pemuda itu dia mulai bersenandung:
"Kupersilahkan kau menebak, kuminta kau berpikir, tapi sayang kau tidak pernah tahu, tidak pernah menyangka, kemana akan kubawa dirimu kini"
Dalam keadaan seperti ini, Thiat Tiong-tong merasa nyanyian itu begitu merdu dan indah, sekarang dia sudah tidak merasa kalau dengan menyanyi untuk menggantikan pembicaraan merupakan satu perbuatan yang sangat tolol.
Kini dia merasa tubuhnya sangat ringan, karena Sui Lengkong telah mengalihkan seluruh berat tubuh ke pundaknya.
Setelah berjalan berapa saat akhirnya Sui Leng-kong membopong tubuhnya, dia masih berjalan sangat ringan dan cepat, kembali nyanyi-nya:
"Jangan melihat, jangan berpikir, akan kubawa kau ke sebuah tempat indah, ke semua tempat nyaman!"
Nyanyan yang ramah bagaikan secangkir air gula yang dituang ke dalam kegetiran perasaan hati Thiat Tiong-tong, tapi
diapun merasakan dibalik rasa manis terselip pula rasa tersiksa dan menderita.
Sebab pemuda itu sadar, ditempat yang begini terpencil, gersang dan miskin, tidak mungkin bisa terdapat sebuah teman yang indah dan nyaman, bahkan kinipun dia merasa udara disekelilingnya makin lama makin bertambah lembab, keadaan medan pun makin lama semakin aneh, sampai akhirnya mereka memasuki sebuah gua, gua dengan deruan angin kencang.
Ketika hembusan angin mulai terasa tadi, akhirnya Sui Lengkong menggeser telapak tangannya.
Tapi Thiat Tiong-tong masih belum berani membuka matanya, terdengar Sui Leng-kong bersenandung sambil tertawa:
"Bukalah matamu, tengoklah tempat ini, dimana aku berada?"
Thiat Tiong-tong membuka sepasang matanya, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya amat terperanjat.
Sebab sejauh mata memandang, yang terlihat hanya intan permata, mutu manikam yang bersusun membukit, tidak terhitung jumlahnya.
Setiap sudut gua, setiap ruangan telah dipenuhi oleh berpuluh-puluh batang batu karang yang tingginya sebukit.
Pada batu karang itu penuh bergelantungan manau, zamrud, batu pualam, mutiara serta benda benda berharga lain yang belum pernah dilihat Thiat Tiong-tong sebelumnya.
Disudut gua agak jauh dari tempat mereka berada terdapat sebuah balai agak tinggi yang dilapisi kain sutera, meskipun kain itu sudah kuno namun kelihatan masih indah.
Disampingnya bertumpuk puluhan guci arak wangi yang sama sekali belum dibuka segelnya.
Dalam waktu singkat Thiat Tiong-tong hanya bisa berdiri terbelalak, tidak sepotong perkataan-pun mampu diucapkan.
Dia berdiri dengan mata melotot besar dan mulut melongo, mimpi pun tidak pernah terpikir olehnya kalau didasar jurang yang gersang dan miskin ternyata betul-betul terdapat sebuah tempat bak sorgawi.
Cahaya kegembiraaan dan rasa bangga memancar dari balik mata Sui Leng-kong, setelah memayang Thiat Tiong-tong menuju ke balai berlapis kain sutera itu, katanya sambil tertawa:
"A.... aneh bukan?"
Lama sekali Thiat Tiong-tong termangu sebelum akhirnya menghela napas panjang:
"Aaai, yaa! Memang aneh sekali!"
Sui Leng-kong tertawa ringan, tiba-tiba dia beranjak keluar dari situ, ternyata dibalik ruang gua berisi barang berharga itu masih terdapat ruang gua lain, ditengah keheningan yang mencekam lamat-lamat dia mendengar suara air yang mengalir.
Dengan termangu Thiat Tiong-tong bersandar diatas balai, saat ini dia hanya merasa apa yang terbentang di depan mata bagaikan sebuah impian, sulit baginya untuk mempercayainya.
Tapi sesaat setelah gejolak perasaan hatinya berhasil ditenangkan kembali, dia pun mulai menganalisa semua kejadian yang telah dialami-nya dan mulai mengambil kesimpulan, pikirnya:
"Tampaknya disinilah Sui Leng-kong mempelajari ilmu silatnya. Sui Ji-song tentu melarang putrinya belajar silat, sementara Sui Leng-kong sendiri-pun tidak berani membangkang perintah ibunya, maka dia sengaja merahasiakan ilmu silat yang berhasil di pelajarinya dari tempat ini"
Tapi ada persoalan lain yang tidak bisa dipecahkan Thiat Tiong-tong, walau sudah memeras otak pun sulit baginya untuk menemukan jawaban.
Milik siapakah gua mestika ini" Apakah pemiliknya masih hidup atau sudah mati" Darimana datangnya barang barang berharga itu"
Bagaimana kisahnya hingga Sui Leng-kong berhasil menemukan tempat ini"
Sementara dia masih termenung, terdengar Sui Leng-kong telah bersenandung lagi dari ruang gua sebelah depan:
"Cepat kau pejamkan matamu, ada satu hal, aku ingin membuat kau terkejut dah keheranan"
Thiat Tiong-tong tidak tega untuk membangkang maka dia segera pejamkan sepasang matanya.... hanya perasaan kasih yang lembut dapat menggerakkan perasaan hatinya, hanya ungkapan perasaan yang tulus yang bisa meluluhkan kekerasaan hatinya.
Dia merasa bau harum berhembus lewat, menyusul kemudian Sui Leng-kong sudah muncul dihadapannya dan berseru sambil tertawa:
"Sudah!"
Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong membuka matanya, mendadak dia merasa pandangan matanya jadi silau.
Ditengah gemerlapnya cahaya intan permata dan mutiara, dihadapannya kini berdiri seorang gadis yang amat cantik bak
bidadari yang turun dari kahyangan.
Ternyata gadis itu telah mengenakan sebuah baju sutera bertahtakan intan permata, dia nampak begitu angun dan cantik, senyuman diwajahnya begitu cerah dan bersinar, membuat Thiat Tiong-tong nyaris tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya.
Dia seolah tidak percaya kalau gadis cantik bak bidadari yang berada dihadapannya sekarang adalah Sui Leng-kong, si gadis yang dekil dan kotor itu.
Kini dia muncul bagaikan sebutir mutiara yang keluar dari balik lumpur, sekalipun keindahannya sudah lama terpendam dibalik kedekilan, namun begitu kotoran disingkirkan, keindahannya segera muncul kembali.
Sementara pemuda itu masih termangu, tampak Sui Lengkong sudah memutar tubuhnya berulang kali dihadapannya sambil bertanya:
"Dii.... dibandingkan o.... orang lain, can.... cantikkah a....
aku?" "Apakah kau tidak mengetahuinya?" Thiat Tiong-tong balik bertanya sambil menghela napas panjang.
Sui Leng-kong menggeleng.
"Waa.... wajahku se.... sekarang belum pernah di.... dilihat si.... siapa pun, baru... baru kau seorang...."
Thiat Tiong-tong manggut-manggut, pikirnya:
"Gadis sendu di Lembah kehampaan.... yaaa, paling cocok kalau aku ibaratkan nona ini sebagai Gadis sendu di Lembah kehampaan...."
Ketika dia mendongak kembali, terlihat Sui Leng-kong sedang berdiri dengan wajah murung.
Bagaimanapun dia adalah seorang lelaki, biasanya seorang lelaki sulit untuk memahami perasaan hati seorang gadis....
apalagi ketika seorang nona tidak bisa mengetahui cantik atau tidak wajah sendiri, penderitaan dan siksaan yang dirasakannya mana mungkin bisa dipahami seorang pria"
Lama, lama kemudian dia baru menyahut setelah menghela napas:
"Cantik, cantik sekali...."
Sekulum senyuman gembira segera melintas diwajah Sui Leng-kong, sambil tertawa cekikikan serunya:
"Benarkah aku cantik?"
"Tentu saja, tentu saja kau amat cantik!" pemuda itu kembali mengangguk.
Sui Leng-kong segera menjatuhkan diri bersandar dibahu Thiat Tiong-tong, katanya:
"Terima kasih, kau baik sekali!"
Ketika mengucapkan perkataan itu, dia ungkap dengan lancar dan jelas, seolah penyakit gagapnya hilang lenyap dengan begitu saja.
Tergerak perasaan hati Thiat Tiong-tong, serunya kegirangan:
"Nah coba lihat, penyakit gagapmu telah hilang!"
"Sung.... sungguh?" Sui Leng-kong tertegun dan berdiri dengan mata terbelalak.
Tatkala perasaan hatinya mulai tegang, penyakit gagapnya kembali mulai menyerang.
"Nona Sui" kata Thiat Tiong-tong sambil menghela napas,


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"selama tiada rasa takut dihatimu, asal kau tidak tegang, aku yakin penyakit gagapmu pasti akan sembuh dengan sendirinya!"
Sambil tertawa Sui Leng-kong duduk di samping pemuda itu, setelah tertunduk sesaat tiba-tiba diapun menghela napas:
"Bi.... bila ibu bi.... bisa melihat tam.... tampangku sekarang, aku.... aku akan amat gem.... gembira"
"Kenapa kau tidak ingin diketahui ibumu" Sebenarnya tempat milik siapakah gua ini?"
Sui Leng-kong menghela napas, dibalik senyuman manisnya segera terlintas kembali rasa sedih dan dukayang tebal, katanya:
"Waktu itu aku masih kecil.... kecil sekali, suatu malam bulan purnama...."
"Aku ingin kau menceritakan semua kisahmu itu kepadaku"
tukas Thiat Tiong-tong cepat, "aku tidak ingin menyanyi, bisa bukan?"
"Aku.... kata-kataku ti.... tidak bagus...."
"Perlahan-lahan kalau bicara, jangan takut, tidak ada yang mentertawakan dirimu"
Sui Leng-kong mengangkat wajahnya, melihat sorot mata penuh pengertian dari pemuda itu, dia merasa rasa percaya diri tumbuh kembali dalam hatinya.
.... Hanya pengertian dan dorongan semangat dari orang lain disertai tumbuhnya rasa percaya diri, baru merupakan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit gagapnya.
Maka dia pun mulai menceritakan pengalamannya.
Karena lahir dalam kondisi yang serba sulit, sejak kecil kesehatan gadis ini kurang sehat, apalagi ditambah ibunya yang mengalami goncang-an jiwa maka hingga usia tujuh, delapan
tahun pun dia masih belum mampu berbicara.
Sepanjang hari Sui Ji-song hanya menyimpan dendam terhadap Seng Toa-nio, otomatis perhatiannya terhadap keturunan keluarga Seng pun jadi sangat berkurang. Dia bukan saja membenci Seng Toa-nio, membenci bocah itu, membenci diri sendiri, bahkan diapun membenci seluruh umat manusia yang ada di dunia ini.
Sui Leng-kong yang tumbuh dewasa dalam suasana serba sulit, suasana dingin tanpa kasih sayang, suasana penuh rasa benci dan dendam, lambat laun terbiasa hidup menyendiri, kerap kali dia pergi ke tempat yang terpencil, tempat yang paling menakutkan untuk melelehkan air mata seorang diri.
Waktu itu dia baru berusia tujuh tahun ketika mengalami kejadian aneh tersebut.
Malam itu rembulan bersinar terang, seorang diri dia sedang menangis sedih di dalam gua, sedemikian asyiknya dia melelehkan mata hingga tidak sadar kalau saat itu ada sepasang mata yang tajam bagai mata pisau sedang mengintip gerak geriknya.
Sejak saat itu, setiap kali dia menyingkir ke tempat itu untuk menangis, sepasang mata itupun selalu mengintipnya dari balik kegelapan hingga suatu hari tiba-tiba gadis itu menjumpai ada seorang kakek cacad berdiri dihadapannya.
Kaki kanan kakek itu sama sekali kutung, sementara kaki kirinya tinggal setengah, lengan kirinya juga cacad parah, boleh dibilang dari ke empat anggota badannya hanya lengan kirinya yang masih utuh.
Meskipun penampilan kakek itu menyeramkan namun
sikapnya sangat ramah dan penuh welas kasih, maka perasaan takut Sui Leng-kong terhadap kakek cacad itupun lambat laun bertambah memudar, malah sebaliknya timbul perasaan kasihan dan ibanya terhadap orang tua itu.
Sejak hari itu setiap hari dia pasti akan meluangkan waktu untuk menemani kakek itu, lewat belasan hari kemudian si kakek baru mengajak-nya mengunjungi gua penuh benda berharga itu.
Dia mentaati pesan kakek itu, selamanya tidak pernah menceritakan kisah pengalaman tersebut kepada ibunya.
Dengan sepenuh hati Kakek itu mulai mewariskan ilmu silat dan pengetahuan kepadanya, diapun mengajarinya membaca dan menulis, ketika ransum dan air minum yang diperoleh dari
ibunya sangat dibatasi maka ditempat ini dia peroleh semua kekurangannya itu.
Tapi dia tidak berani membersihkan tubuhnya dari kotoran dan lumpur karena kuatir ketahuan ibunya.
Tiga tahun kemudian kakek cacad itu telah mengakhiri kehidupannya yang penuh penderitaan, sebelum
menghembuskan napas terakhir, dia seperti punya banyak perkataan yang hendak di sampaikan kepadanya.
Tapi di saat saat terakhir dia hanya sempat mengucapkan sepatah kata:
"Didalam peti musibah terdapat...."
Sayang perkataan itu tidak lengkap karena kakek itu keburu putus nyawa.
Biarpun waktu itu Sui Leng-kong masih kecil, namun dia dapat merasakan penderitaan dan penyesalan yang terpancar dari wajah kakek itu, dia tahu orang tua itu tentu mempunyai masa lalu yang penuh penderitaan dan dendam kesumat, tapi sayang tidak sepatah kata pun pernah dia katakan.... mungkin dia mengira usia gadis itu masih kelewat muda dan baru akan memberitahukan setelah agak dewasa nanti, sayang keadaan sudah tidak sempat lagi.
Ketika berbicara sampai disini, Sui Leng-kong sudah melelehkan air matanya.
Dengan wajah serius Thiat Tiong-tong tundukkan kepalanya sambil termenung, sampai lama kemudian dia baru bertanya:
"Siapa nama kakek itu?"
"Aku.... aku tidak tahu!"
"Apa pula arti Peti musibah" Tentunya kau tidak akan mengatakan tidak tahu bukan"
"Aku tahu!" jawab Sui Leng-kong sambil tertawa.
Dengan cepat dia lari keluar dari ruang gua, tidak lama kemudian sudah muncul kembali sambil membawa dua buah peti kecil, peti itu tingginya sepuluh inci dengan lebar dua puluh inci, mirip sekali dengan kotak rias milik wanita.
Bentuk dari kedua kotak itu sama satu dengan lainnya, tapi warna serta hiasannya sama sekali berbeda.
Yang satu penuh bertaburkan zamrud berwarna hijau dengan batu mulia berwarna merah darah dan mutiara yang menyilaukan mata, bentuknya sangat mencolok.
Sebaliknya peti yang lain berwarna hitam pekat, tiada hiasan apapun disekeliling peti itu, juga tidak jelas peti itu terbuat dari
bahan apa, tapi berat sekali.
Sui Leng-kong meletakkan kedua peti itu diatas balai dan segera membuka peti yang bertaburan batu mulia.
"Inikah peti musibah?" tidak tahan Thiat Tiong-tong bertanya.
Dengan cepat Sui Leng-kong menggeleng.
"Bukan, peti ini bertaburkan batu permata tujuh warna, ini adalah peti keberuntungan"
Didalam peti itu berisikan berapa gulung buku, empat buah botol kemala serta sebatang jinsom berusia seribu tahun yang bentuknya nyaris seperti bentuk manusia.
Pemuda itu tahu, gulungan kertas serta botol porselen itu tentu berupa kitab pusaka ilmu silat serta obat mujarab yang diimpikan setiap umat persilatan, sementara jinsom berusia seribu tahun itu adalah mestika yang sangat langka.
Tapi dia jauh lebih tertarik dengan peti berwarna hitam itu, peti yang penuh diliputi kemisteriusan dan perasaan ingin tahu, pemuda itu yakin isi peti itu pastilah berupa semua rahasia kehidupan kakek cacad itu.
"Inikah peti musibah?" tanyanya.
Baru saja dia akan membuka peti hitam misterius itu, Sui Leng-kong sudah menangkap tangannya kuat-kuat.
"Jang.... jangan kau sentuh!"
"Apakah peti itu belum pernah dibuka orang?"
"Semua barang berharga yang ada digua ini boleh dipegang, hanya peti itu tidak boleh di sentuh, sebab begitu peti itu dibuka maka musibah segera akan tiba, tidak seorangpun bisa mencegah musibah itu, tidak seorangpun dapat menghadapinya, walaupun tiga belas tahun telah berlalu, belum pernah aku membuka peti itu"
Wajahnya penuh dicekam perasaan takut, suara
senandungnya juga kedengaran amat serius.
Ketika Thiat Tiong-tong menarik kembali tangannya, senyuman lebar baru menghiasi kembali wajahnya.
"Dalam peti keberuntungan terdapat obat mujarab yang bisa menyembuhkan aneka penyakit, jinsom seribu tahun lebih hebat lagi, bisa menambah kekuatan tubuh, cepat kau minum obat itu agar lukamu segera sembuh kembali!"
Belum sempat Thiat Tiong-tong menampik, Sui Leng-kong telah menutup mulutnya dengan tangan, pancaran sinar matanya yang lembut penuh rasa cinta membuat anak muda itu tidak bisa menampik lagi.
Maka gadis itupun mulai membersihkan mulut luka ditubuh Thiat Tiong-tong, memaksanya menelan pil mujarab, lalu merajang jinsom seribu tahun itu jadi kepingan kecil dan memaksa pemuda itu untuk menelannya.
Dalam waktu singkat Thiat Tiong-tong sudah terlelap tidur dengan nyenyaknya, sementara Sui Leng-kong berdiri disisinya dengan termangu, lama kemudian akhirnya dia membungkukkan tubuhnya dan mencium pipi anak muda itu.
Kembali dia bertukar pakaian dengan mengenakan kembali baju dekilnya, kemudian melumurkan lumpur dan kotoran diwajah serta tubuhnya, setelah itu dengan senyum kepuasan dia baru berlalu dari situ.
Ketika Thiat Tiong-tong mendusin dari tidurnya, Sui Lengkong sudah tidak berada disisinya, tapi dia merasa seluruh tubuhnya segar dan penuh bertenaga, seolah-olah dia telah berganti menjadi orang lain.
Peti musibah juga telah disingkirkan, tapi peti keberuntungan masih tertinggal diatas balai, di antara penutup peti itu terselip selembar kain putih dengan berapa tulisan dari arang:
"Kau sudah tertidur dua hari dua malam, aku telah menggantikan obat untukmu, sekarang aku pergi menemani ibu, bila merasa senggang, bukalah peti itu dan bacalah buku yang ada disana"
Sekalipun tulisan itu tidak bagus namun semua huruf ditulis secara benar, bahkan dari garis tulisannya lamat-lamat dapat dirasakan perhatian serta rasa cintanya yang sangat mendalam.
Luapan cinta tampak begitu nyata, tulisan itu tampak begitu nyata, benda berharga yang bertaburan dalam gua pun nampak begitu nyata, namun Thiat Tiong-tong merasa dirinya seolah berada dalam alam impian.
Dari keadaan yang mengerikan, terluka, terjatuh ke dalam jurang, bercucuran darah, kini dia seakan berubah jadi seseorang yang lain, kitab ilmu silat, obat mujarab, wanita cantik, kekayaan yang berlimpah....
Perubahan hidup yang begitu drastis membuat pemuda itu nyaris tidak percaya dengan apa yang dialaminya, tidak kuasa lagi dia menghela napas panjang, nasib apa lagi yang bakal diatur Thian terhadap dirinya"
Dia mengambil gulungan kertas yang pertama dan membaca isinya, ternyata buku itu mengajarkan dasar tenaga dalam.
Tapi semakin dibaca isinya dia semakin terkesiap, sampai
pada akhirnya peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Ternyata ilmu silat yang tercatat dalam gulungan kertas itu sejalan dan satu aliran dengan ilmu silat ajaran Perguruan Tay ki bun, bahkan isinya jauh lebih hebat dan sempurna.
Banyak kesulitan yang dulu seringkali dia jumpai sewaktu berlatih silat, kesulitan yang tidak mampu dijelaskan oleh gurunya sekalipun, ternyata semuanya terjawab secara gamblang dalam kitab ini.
"Jangan-jangan kakek cacad itu mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Perguruan Tay ki bun" Atau mungkin dia adalah salah satu locianpwee leluhur Perguruan Tay ki bun?"
Tiba-tiba dia teringat kembali dengan cerita gurunya, konon sewaktu Perguruan Tay ki bun merajai dunia persilatan dulu, mereka pernah memiliki sejumlah harta kekayaan yang tertinggal di daratan Tionggoan.
Tapi kemudian Perguruan Tay ki bun dihancurkan oleh kawanan musuh besar sehingga ciang bunjin beserta seluruh anak muridnya tewas terbantai.
Sejak peristiwa itu, keberadaan harta kekayaan itu menjadi sebuah rahasia besar yang tidak terjawabkan, walaupun anggota Perguruan Tay ki bun sudah menelusuri hampir puluhan tahun lamanya pun tetap tidak berhasil menemukan kabar beritanya.
Dia terbayang kembali perkataan gurunya dulu: "Ayahmu adalah seorang tokoh sakti berbakat aneh, konon beliau berhasil melacak kabar berita tentang harta karun ini, sayang sebelum berhasil mengungkapnya, dia keburu tewas dibunuh orang!"
Ketika ingatan tersebut melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, dia merasa hawa darah bergolak dalam dadanya, hampir saja dia melompat turun dari balai untuk mencari keberadaan peti musibah itu.
Dia yakin semua rahasia yang sedang dicari bisa jadi tersimpan dalam peti itu, mungkin saja disitu sudah tersimpan semua jawaban dari rahasia ini, meski mungkin saja dia akan tertimpa bencana gara-gara membuka peti itu, namun dia bertekad untuk membukanya.
BAB 5 Gua Harta Dewa Kematian
Harta karun yang tersimpan dalam ruang gua yang lain ternyata jauh lebih mengejutkan, berbagai macam pedang mestika bergantungan diatas dinding, bahkan tampak juga mahkota yang bertaburkan intan berlian.
Suara air yang gemericik berkumandang dari sebuah kepala naga yang terbuat dari batu permata, air itu ditampung dalam sebuah kolam air, meski permukaan air sangat penuh namun tidak nampak meluber, agaknya dibagian bawah kolam terdapat jalan pembuangan.
Disamping kolam air terdapat pula sebuah pembaringan, pakaian keraton yang dikenakan Sui Leng-kong tadi masih tertinggal disitu. Selain itu terlihat pula dua buah peti yang penuh berisikan pakaian.
Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas, dia tahu semua tempat yang ada disitu pasti dirancang dan dibangun dengan susah payah oleh pemilik harta karun itu.
Tapi dia belum juga berhasil menemukan peti musibah berwarna hitam itu, maka diapun mendekati kolam air, niatnya untuk minum dulu berapa tegukan, siapa tahu saat itulah dia temukan peti hitam tersebut ternyata disimpan didalam kolam.
Tanpa ragu dia mengambil peti itu ke tepi kolam, mendadak terjadi getaran yang sangat kuat disusul dinding gua terasa bergoncang keras, peti itu kembali terjatuh ke dalam air.
Suara getaran makin lama semakin bertambah kuat, seolah olah sedang dilanda gempa dahsyat.
Dengan perasaan terkesiap Thiat Tiong-tong berpikir:
"Benarkah peti musibah itu memiliki daya kekuatan yang begini mengerikan?"
Dia mencoba untuk mengambil peti itu lagi, siapa tahu suara getaran kembali mengguncang seluruh ruang gua, tidak kuasa lagi pemuda itu bergerak mundur sejauh tiga langkah.
Getaran yang terjadi kali ini jauh lebih dahsyat lagi, hampir semua barang mestika yang tergantung diatas dinding berguguran ke tanah, air bersih dalam kolam pun ada sebagian yang tertumpah keluar.
Ketika suara itu mereda, suasana pun pulih kembali dalam keheningan yang mencekam, kemudian secara lamat-lamat ia mendengar suara orang sedang menggali, suara itu berasal dari tempat yang sangat dekat bahkan makin lama semakin mendekat.
"Aaah, rupanya ada orang membuka bukit!" akhirnya Thiat Tiong-tong paham dengan apa yang terjadi.
Begitu memahami apa yang segera akan terjadi, pemuda itu mulai memandang sekeliling tempat itu, maksudnya ingin mencari tempat persembunyian, tapi sekitar ruangan hanya dinding gua yang rata, sama sekali tidak terdapat tempat yang bisa dipakai untuk menyembunyikan diri.
Tidak lama kemudian terdengar ada orang berseru:
"Sudah betul belum arahnya?"
Suara itu kedengaran sangat dekat, seolah berasal dari dinding sebelah.
"Kau tidak usah kuatir" terdengar seseorang menjawab, "aku sudah membuang banyak waktu dan pikiran untuk mencari tempat ini, tidak bakalan salah"
"Baik, saudara sekalian, kita lanjutkan penggalian!"
Menyusul kemudian terdengar lagi suara cangkul yang membentur permukaan tanah.
Terdesak oleh waktu dan keadaan, Thiat Tiong-tong tidak sempat berpikir panjang lagi, dia segera mendorong pembaringan itu ke sudut ruangan, kemudian mendorong ke dua peti berisi pakaian ke depan pembaringan itu.
Lalu dengan cepat dia membenahi tempat bekas pembaringan itu berada, menutup kembali peti keberuntungan,
menyembunyikannya ke balik tumpukan benda mestika dan membersihkan dua tetes darah yang menodai pembaringan itu.
Saat itu kendatipun luka yang dideritanya belum pulih kembali, tapi kondisi kesehatannya jauh lebih segar dan sehat, dengan sendirinya semua gerakan dilakukan cepat.
Setelah yakin kalau disekeliling tempat itu tidak tertinggal bekas baru yang menunjukkan baru saja ada orang disitu, dia baru menerobos masuk ke bawah ranjang.
Beberapa saat kemudian dinding gua roboh jadi dua, menyusul teriak kegirangan seseorang:
"Aaah, ternyata memang berada disini!"
Dua sosok bayangan manusia menyelinap masuk melalui celah dinding yang roboh.
Thiat Tiong-tong segera menahan napas, dia mencoba mengintip keluar melalui celah-celah peti baju.
Ternyata orang yang barusan muncul dalam ruangan adalah seorang sastrawan berusia pertengahan yang memakai jubah panjang berwarna biru, meskipun berada dalam keadaan terkejut bercampur girang, namun sikapnya tetap tenang, mantap dan tidak terburu napsu, hanya pakaiannya penuh berdebu dan pasir hingga penampilan nya sedikit berantakan.
Orang ke dua adalah seorang tojin berjubah abu-abu dengan rambut digulung tinggi, hidungnya betet matanya cekung, tulang keningnya kurus lagi sempit, meskipun masih berusia pertengahan namun rambutnya sudah mulai memutih.
Begitu tiba dalam gua, sorot mata mereka berdua segera terhisap oleh tumpukan benda berharga yang membukit.
Dalam pada itu dari balik dinding gua kembali muncul seorang pemuda berbaju perlente serta seorang lelaki berpakaian ringkas yang bercambang lebar, beralis tebal dan bermata besar.
Mungkin lantaran kelewat gembira dan sulit mengendalikan emosinya, sewaktu melompat masuk ke dalam ruangan itu, kepala lelaki kekar tersebut membentur diatas dinding hingga berdarah, namun dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit.
Harta karun yang tidak ternilai harganya itu membuat sorot mata semua orang terperana, pandangan rakus dan kebuasan seekor binatang terbesit diwajah masing masing.
Sampai lama, lama sekali kakek berambut putih itu baru menghela napas panjang sambil berkata:
"Jerih payah selama belasan tahun, penderitaan yang membuat rambut memutih akhirnya terbayarkan juga hari ini"
Dari atas lantai diambilnya sebilah pedang perak yang bertaburkan intan permata, kemudian gumamnya lagi:
"Tahukah kau, berapa banyak pikiran dani keringat yang harus kukorbankan demi mendapatkan kau?"
Tiba-tiba sastrawan berbaju biru itu menyampoi tangannya hingga pedang perak itu terjatuh kembali ke lantai.
"Apa-apaan kau ini?" tegur tojin itu dengan wajah berubah.
"Apakah kau sudah lupa dengan perjanjian yang telah kita sepakati" Sebelum ada pembagian, siapa pun dilarang menyentuh benda yang ditemukani dalam gua ini!"
"Aku kan hanya ingin melihatnya sejenak!"
Sastrawan berbaju biru itu sama sekali tidak menggubris, dia
berjalan ke tepi kolam untul minum air.
Sementara itu lelaki bercambang lebat itu sudah mundur dua langkah, kepada pemuda berbaji perlente itu bisiknya:
"Saudaraku, kau berasal dari keluarga kaya, apa pernah melihat harta karun sebanyak ini?"
"Jangankan melihat, mimpi pun belum pernah melihat"
Selesai minum setegukan air sastrawan berbaju biru itu menyeka tangannya yang basah lalu sambilj berpaling tanyanya:
"Sekarang harta karun sudah ditemukan, apa rencana anda berikut?"
"Sekalipun aku yang berhasil melacak tempat penyimpanan harta karun ini, tapi bila tiada dukunganmu, rasanya mesti membuang tenaga lebih banyak"
"Hanya membuang tenaga lebih banyak?"
"Bukan hanya membuang lebih banyak tenaga bahkan bisa jadi tidak akan ditemukan untuk selamanya"
"Ehmm, rasanya memang begitu"
"Maka dari itu akupun tidak ingin tamak, bagaimana kalau kita bagi dua harta karun ini dengan masing masing memperoleh satu bagian.."
Kemudian setelah menghela napas panjang, kembali tojin itu melanjutkan:
"Selanjutnya aku hanya ingin mencari sebuah tempat dengan pemandangan alam yang indah dan menikmatinya"
"Membagi jadi dua?" teriak lelaki bercambang itu tiba-tiba,
"kau anggap kami semua adalah orang mampus" Dalam dunia persilatan saat ini. Kecuali Siau Lui-sin (dewa guntur kecil) dari perguruan Bi lek bun, siapa pula yang sanggup meledakkan perut bukit dengan menggunakan obat peledak?"
"Meminjam obat peledakmu tentu ada harganya juga" jawab tojin berambut putih itu dingin, "jangan kuatir, aku pasti akan membayar untuk itu"
"Apa kau bilang?" bentak lelaki bercambang itu semakin gusar.
Tosu berambut putih itu tertawa dingin, dia berjalan menghampiri kolam penampungan air dan mengambil segayung air bersih. Dalam kondisi seperti ini, setiap orang tentu ingin minum sedikit air.
Thiat Tiong-tong yang menonton dari balik persembunyian segera berpikir:
"Kalau aku jadi dia, sebelum minum air tersebut tentu akan
kuperiksa dulu apakah air itu beracun atau tidak"
Sementara itu tosu berambut putih itu telah membiarkan air mengalir keluar hingga habis, gumamnya:
"Tidak bisa, tidak bisa...."
Sastrawan berbaju biru itu pura-pura tidak mendengar, sambil bergendong tangan dia memandang ke tempat kejauhan.
Tosu berambut putih itupun tidak memandang kearahnya, dia melepaskan tusuk kondenya dari kepala dan segera dicelupkan ke dalam air. Ujung tusuk konde yang terbuat dari perak itu segera berubah warnanya jadi hitam pekat.
Sambil mengembalikan tusuk kondenya, tosu itu baru berpaling ke arah sastrawan berbaju biru itu sambil tegurnya dingin:
"Hek Seng-thian, hatimu benar-benar kelewat hitam!"
Paras muka Hek Seng-thian sama sekali tidak berubah, dia bahkan berlagak tidak mendengar.
"Ternyata kau berniat menguasainya sendirian!" kembali ujar tosu itu penuh amarah.
"Benar" jawab Hek Seng-thian ketus, "tapi racun dalam air itu bukan dipersiapkan untukmu, bila aku ingin membunuhmu, buat apa mesti meracuni air tersebut?"
Kepada pemuda berbaju perlente itu serunya:
"Suruh mereka semua masuk!"
Pemuda perlente itu menyahut dan keluar dari ruangan, tidak lama kemudian dia muncul kembali diiringi delapan orang lelaki kekar yang membawa cangkul.
"Aaah, kalian tentu sudah kelelahan" seru Hek Seng-thian sambil tertawa, "mari, mari minum air dulu untuk melepaskan dahaga"
"Cong piautau kelewat sungkan!" kawanan lelaki kekar itu sama-sama menjura, meski mulut bicara begitu namun enam belas buah mata sama-sama mengawasi tumpukan harta karun itu tanpa berkedip.
"Minum air dulu" kembali bujuk Hek Seng-thian dengan senyuman ramah, "jangan kuatir, semuanya mendapat bagian!"
Serentak kawanan lelaki kekar itu menghampiri kolam air dan berebut minum untuk melepaskan dahaga.
"Benar benar manusia berhati kejam dan buas!" pikir Thiat Tiong-tong dengan perasaan bergidik, saking seramnya pemuda itu merasakan tangan dan kakinya menjadi dingin
Tampaknya tojin berambut putih serta Siau Lui-sin ikut
terkesiap, paras muka mereka berubah hebat.
Ketika semua orang selesai minum, salah seorang di antaranya bergumam sambil menyeka mulutnya:
"Manis benar air ini, seperti dicampuri dengan gula...."
Berapa patah kata itu diucapkan sangat lemah seakan sama sekali tidak bertenaga, ketika mengucapkan kata terakhir, paras mukanya tiba-tiba mengejang keras kemudian napasnya jadi sesak dan roboh terjungkal.
Menyusul kemudian ke tujuh orang lainnya satu per satu roboh terkapar ke tanah, begitu menyentuh tanah nyawa mereka ikut melayang. Ternyata tidak seorang pun sempat menjerit kesakitan.
"Obat racun yang sangat lihay!" desis lelaki bercambang itu ngeri.
Dia segera berjongkok, membuka kelopak mata sesosok mayat di antaranya dan diperiksa dengan seksama, ternyata kulit matanya telah berubah jadi hijau tua.
Sambil tersenyum Hek Seng-thian memandang sekejap sekeliling ruangan, lalu katanya:
"Ditengahi kerlipan cahaya mutiara, berjajar berapa sosok mayat, begini baru hebat namanya!"
Sembari berkata dia mulai menggeser tubuhnya menghampiri tosu berambut putih itu.
Seketika itu juga paras muka tojin berambut putih itu berubah hebat.
"Mau apa kau?" hardiknya.
"Aku hanya ingin tahu, darimana kau dapatkan peta harta karun ini?"
"Bukankah sudah kujelaskan sejak dulu?"
Hek Seng-thian tertawa dingin.
"Kau bilang mendapatkan peta harta karun itu dari tubuh seorang murid Perguruan Tay ki bun yang tewas?"
"Benar...."
"Kalau kau gunakan perkataan itu untuk membohongi bocah berusia tiga tahun, mungkin saja dia akan percaya, tapi bagiku....
hmmm! Hmmm! Sudah terlalu banyak mayat anak murid Perguruan Tay ki bun yang kulihat, semenjak dua puluh tahun berselang, murid Perguruan Tay ki bun mana yang bukan mampus dihadapan mataku"
"Ini.... ini...." tosu berambut putih itu mulai tergagap.
Sambil tertawa dingin Hek Seng-thian menukas: "Apalagi harta karun yang tidak ternilai jumlahnya ini merupakan harta karun peninggalan leluhur mereka, setiap anggota Perguruan Tay ki bun menganggapnya sebagai masalah serius, karena itu orang yang bertugas menyimpan peti rahasia ini pastilah seorang pentolan yang punya posisi tinggi dalam Perguruan Tay ki bun!
Mayat mereka sudah pernah kuperiksa semua, seandainya mereka menggembol peta itu, kau anggap dirimu masih ada kesempatan untuk peroleh bagian?"
Tosu berambut putih itu termenung berapa saat lamanya, tiba-tiba teriaknya keras:
"Kau tidak usah perduli darimana aku dapatkan peta rahasia ini, hal ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, kau harus membagi setengah dari harta karun ini kepadaku!"
"Benar, aku memang harus membaginya denganmu" dengus Hek Seng-thian dingin, "tapi aku mulai mencurigai asal-usulmu"
"Mencurigai apa?" berubah paras muka tosu itu.
Sambil menarik muka ujar Hek Seng-thian:
"Aku curiga kaupun salah seorang anggota Perguruan Tay ki bun, ketika mendengar rahasia tentang peta harta karun itu dari mulut angkatan tuanya, timbul niat jahat untuk mengangkangi harta tersebut, maka kaupun menghianati perguruan, bukan begitu?"
Sekujur tubuh tosu berambut putih itu gemetar keras, secara beruntun dia mundur sejauh tiga langkah, kemudian serunyua dengan nada gemetar:
"Kau.... kau sudah edan" Kalau aku anggota Perguruan Tay ki bun, masa akan mencari dirimu?"
Hek Seng-thian tertawa dingin.
"Tentu saja kau harus mencariku" katanya, "sebab dalam dunia persilatan ini, kecuali aku Hek Seng-thian, siapa lagi yang mengerti ilmu membongkar bukit" Kecuali Bi lek tong, siapa pula yang mengerti menggunakan bahan peledak?"
Paras muka tojin berambut putih itu berubah hijau membesi, lama sekali dia berdiri tertegun sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Betul" katanya, "aku memang menghianati perguruan gara-gara ingin mendapatkan harta karun ini!"
"Bagus sekali" bentak Siau Lui-sin keras, "ternyata kau si bajingan tua adalah cucu kura-kura dari Perguruan Tay ki bun, hari ini biar kujagal dirimu terlebih dulu!"
Sepasang lengannya segera direntangkan, ruas tulang sekujur badannya gemerutuk nyaring, dengan sekali lompatan ia sudah menyelinap maju ke hadapan tosu itu kemudian kepalannya ditonjok-kan ke muka.
Jurus serangan ini tampaknya bodoh, kaku dan sederhana, sama sekali tidak nampak kehebatannya, padahal dibalik kesederhanaan justru tersembunyi kekuatan maha dahsyat, inilah Kun bu bi lek kun (pukulan geledek tanpa gulungan) yang amat dahsyat dari perguruan Bi lek tong.
Sambil miring ke samping tosu berambut putih itu mundur ke belakang, lalu setibanya disamping kolam air teriaknya keras:
"Hek Seng-thian, ada perkataan yang hendak kusampaikan, mau mendengarnya tidak?"
"Apa lagi yang mau kau katakan?" hardik Siau Lui-sin sambil merangsek ke depan.
"Keponakan Lui, tahan!" tiba tiba Hek Seng-thian berseru.
Sambil menghentikan gerakan tubuhnya seru Siau Lui-sin:
"Paman Hek, bangsat ini pernah jadi anggota Perguruan Tay ki bun, berarti dia adalah musuh besar lima keluarga kita, masa kau akan melepaskan dirinya?"
"Siapa bilang mau melepaskan dia" sahut Hek Seng-thian dingin, "Apa salahnya kalau kita menunggu sampai dia selesaikan dulu perkataannya"
Sambil menempel pada dinding gua, tosu berambut putih itu memperhatikan sekejap sekeliling ruangan, lalu teriaknya:
"Asal kalian bersedia memberi jalan kehidupan kepadaku, aku rela hanya menerima dua bagian dari harta karun itu!"
"Omong kosong, sebutkan dulu siapa namamu!"
Melihat pemuda perlente itu sudah menghadang jalan perginya sementara Siau Lui-sin menempel terus disisinya, sedangkan Hek Seng-thian meski masih berdiri sambil bergendong tangan, namun sorot matanya setajam sembilu menguasahi terus gerak-geriknya, sadarlah tosu berambut putih itu bahwa mereka telah menguasahi keadaan.
Setelah menghela napas panjang, ujarnya:
"Walaupun aku pernah menjadi anggota Perguruan Tay ki bun, namun belum pernah melukai seorang manusia pun dari lima keluarga kalian, aku.... aku adalah murid terakhir dari Thiat Hau, bagian pelaksana hukuman dalam Perguruan Tay ki bun, namaku Chee-gong!"
Diam-diam Thiat Tiong-tong terkesiap karena Thiat Hau
adalah nama ayahnya.
Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian tertawa dingin, ujarnya:
"Chee-gong" Hehehehe.... selamanya Perguruan Tay-ki-bun belum pernah menerima murid diluar keluarga Im maupun keluarga Thiat, kau sangka bisa membohongi aku?"
Dengan wajah pucat bagaikan mayat tiba-tiba tosu berambut putih itu menjatuhkan diri berlutut, rengeknya:
"Terlepas siapa pun diriku ini, tapi yang jelas aku telah mencuri peta harta karun ini dari tangan Thiat Hau, akupun sudah menggunakan tenaga dalam pikiran selama belasan tahun untuk membongkar rahasia dibalik peta ini sebelum berhasil membawa kalian kemari...."
Dengan air mata nyaris bercucuran lanjutnya:
"Selama dua puluh tahun, aku telah banyak menderita dan siksaan, penderitaan membuat rambutku beruban, apakah sekarang kalian tega membunuhku dengan begitu saja?"
Berkilat sepasang mata Hek Seng-thian.
"Thiat Hau pintar dan berilmu tinggi, kemampuannya tiada tandingan dikolong langit, mana mungkin kau bisa mencuri barang miliknya kalau antara kalian tidak punya hubungan khusus" Hmmm, delapan puluh persen kau adalah saudara seayah lain ibu dari Thiat Hau yang bernama Thiat Cing-kian!"
"Betul, betul, akulah Thiat Cing-kian" teriak tosu berambut putih itu cepat, "kalau bukan aku yang telah membokong Thiat Hau hingga terluka parah, mana mungkin kalian mampu melukai dirinya?"
Thiat Tiong-tong yang mendengar pembicaraan itu seketika merasa teramat gusar, saking dendamnya sekujur tubuhnya sampai gemetar keras.
Hek Seng-thian kembali tersenyum.
"Betul" sahutnya, "andaikata kau tidak membokong Thiat Hau hingga terluka parah, belum tentu jagoan dari lima keluarga sanggup menandingi kemampuannya, cukup ditinjau dari jasamu ini, sudah sepantasnya jika nyawamu diampuni, tapi sayang....
aaai! siapa suruh kau dari marga Thiat, karena kau dari keluarga Thiat maka aku tidak bisa mengampuni nyawamu"
Bicara sampai disini segera bentaknya: "Turun tangan!"
Thiat Cing-kian tertawa pedih, sambil menghela napas keluhnya:
"Tahu bakal mengalami kejadian seperti hari ini, aku pasti tidak akan berbuat salah dimasa lalu, oh toako, aku bersalah
kepadamu, aku.... aku...."
Tiba tiba sambil busungkan dada serunya:
"Kalau kalian ingin turun tangan, silahkan lakukan! Aku tidak akan melawan!"
"Memangnya kau mampu melawan?" jengek Hek Seng-thian sambil tertawa dingin.
Sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan, "Blaaaam!"
serangan itu bersarang di dada Thiat Cing-kian.
Terdengar Thiat Cing-kian menjerit kesakitan, darah segar menyembur keluar dari mulutnya, sementara tubuhnya mencelat ke belakang dan roboh terkapar.
Siau Lui-sin segera memburu tiba, ketika memeriksa dengus napasnya dia segera berseru:
"Sudah mampus!"
"Tentu saja sudah mampus, mana ada korban yang hidup dibawah seranganku" kata Hek Seng-thian sambil tertawa angkuh.
"Tapi sayang keenakan baginya, orang semacam ini seharusnya jangan dibiarkan mati kelewat cepat"
"Anggap saja dia tahu diri, tidak berani melancarkan serangan balasan!" ucap Hek Seng-thian sambil tertawa, kemudian setelah memandang sekejap sekitar situ, katanya lagi, "cepat kalian kumpulkan semua harta karun yang ada ditempat ini"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Lui-sin dan pemuda perlente itu menyahut, serentak mereka mulai turun tangan.
Perlahan-lahan Hek Seng-thian berjalan menghampiri pembaringan, menarik keluar sebuah peti dan membukanya, tapi segera gumannya:
"Pakaian semacam ini mana pantas digunakan lagi!"
"Blaaam!" dia menutup kembali peti itu dan menendangnya balik ke tempat asal.
Terdengar pemuda perlente itu berkata sambil menghela napas.
"Siapa pun orangnya, bila memperoleh harta karun sebanyak ini, dia pasti akan kayanya luar biasa, tapi.... dengan cara apa kita bertiga akan mengangkut keluar semua harta karun itu?"
"Tidak usah kuatir" seru Siau Lui-sin sambil tertawa terbahak bahak, "dengan mengandalkan kekuatan lenganku, biar lebih banyak satu kali lipatpun aku masih mampu untuk mengangkutnya"
Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian berseru tertahan, dari
dalam kolam air dia mengeluarkan sebuah peti berwarna hitam, setelah diamati berapa saat gumamnya:
"Peti ini kelihatan sangat aneh, entah bagaimana cara membukanya"
"Coba aku lihat!" seru Siau Lui-sin sambil tertawa.
Dia sambut peti besi itu dan diperiksa sejenak, kemudian katanya:
"Masa dalam peti semacam inipun bisa tersimpan barang bagus" Lebih baik tidak usah diperiksa!"
Sambil berkata dia buang peti itu ke tanah.
"Aaah, kau tahu apa" seru Hek Seng-thian sambil tertawa dingin, "aku berani taruhan barang yang tersimpan dalam peti itu pasti harganya jauh diatas tumpukan intan permata itu"
"Sungguh?" seru Siau Lui-sin tercengang, kembali dia pungut peti besi itu dari tanah.
Mendadak terdengar seseorang berseru tertahan kemudian terlihat sesosok bayangan manusia meluncur masuk ke dalam ruangan.
"Siapa?" bentak tiga orang itu berbareng.
Seorang gadis yang dekil lagi pula lumpur telah berdiri di depan pintu gua sambil bercekak pinggang, teriaknya:
"Kaa.... kalian.... sii.... siapa" Maa.... mau apa datang kee....
ke sini?" Gadis itu tidak lain adalah Sui Leng-kong.
Siau Lui-sin tertawa tergelak, sambil menghampiri dengan langkah lebar, serunya:
"Nona gagap, siapa pula dirimu" Apakah tempat ini adalah tempat tinggalmu?"
"Teen.... tentu sa.... saja!"
"Hahahaha.... tapi sekarang tempat ini sudah berganti pemilik!
Bila kau bersedia mandi sampai bersih, toaya tentu akan mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!"
Sui Leng-kong melirik sekejap sekeliling tempat itu, ketika tidak menjumpai mayat Thiat Tiong-tong tergeletak ditanah, dia segera tahu kalau pemuda itu sudah menyembunyikan diri, diam-diam dia pun menghembuskan napas lega.
Tapi diluar dia berlagak tertarik, serunya sambil tertawa:
"Suu.... sungguh" kau.... kau aa.... akan memm....
membawaku kee.... keluar dari sii... sini?"
Sambil tertawa cengar-cengir Siau Lui-sin berjalan menghampiri gadis itu dan bermaksud meraba payudara Sui
Leng-kong, mendadak Hek Seng-thian menarik wajahnya, dengan sekali ayunan dia sudah menghajar lelaki itu hingga mundur berapa langkah.
Dalam terkejut bercampur kagetnya Siau Lui-sin berteriak keras:
"Paman Hek, kau.... kau...."
Tanpa memandang sekejap pun ke arahnya, Hek Seng-thian menghampiri Sui Leng-kong, kemudian setelah menjura katanya:
"Harap nona jangan marah"
Sui Leng-kong pura-pura tertawa dan segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
Kembali Hek Seng-thian berkata dengan lembut:
"Bila nona memang pemilik tempat ini, tentunya kau bisa membuka peti hitam itu bukan" Tolong nona bukakan agar kami bisa melihat isinya, begitu selesai menengok kami segera akan pergi dari sini dan tidak akan mengganggu ketenanganmu lagi"
Sui Leng-kong memutar biji matanya berulang kali, serunya sambil tertawa:
"Membuka peti itu mah gampang sekali, asal diputar kesebelah kiri, peti itu segera akan terbuka!"
Dia masih berbicara dengan tergagap, untuk menyelesaikan sepatah kata tersebut dia butuh waktu setengah perminum teh lamanya.
Tiba tiba Siau Lui-sin menimbrung lagi:
"Peti itu empat persegi, bagaimana caranya memutar?"
"Peti itu memang empat persegi" sela Hek Seng-thian sambil tertawa, "bukankah di dalamnya terdapat bulatan tombol kecil?"
Siau Lui-sim termenung berapa saat lamanya sebelum jadi mengerti, katanya kemudian:
"Aaah, benar, benar, diluar memang empat persegi tapi dalamnya bulat, ternyata si pencipta peti ini memang sangat pintar dan hebat!"
Sambil tertawa Hek Seng-thian mengambil peti itu, tiba-tiba satu ingatan seperti melintas dalam benaknya, dia membawa peti itu menuju ke depan Sui Leng-kong, kemudian katanya lagi:
"Peti ini milik nona, lebih baik nona saja yang membukakan!"
"Pe.... peti ii.... tu suu.... sudah berkaa.... karat, a.... aku tak pu.... punya tenaga, ma.... mana mungkin bi.... bisa membukanya...."
Siau Lui-sin segera maju ke depan dan mengambil peti itu, katanya sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... kalau masalah tenaga, biar aku Lui Ceng-wan yang melakukannya!"
Dengan tangan kanan memeluk peti itu, tangan kiri memutar ke arah kiri, benar saja penutup peti itu segera bergerak.
"Hahaha.... coba lihat" seru Siau Lui-sin sambil tertawa tergelak, "aku...."
Belum selesai dia berkata mendadak orang itu menjerit kesakitan dan roboh terkapar ke tanah, percikan darah segar segera menyembur keluar dari dadanya.
Ternyata begitu penutup peti itu kendor, tiga bilah pisau terbang yang sangat tipis telah meluncur keluar dan semuanya menghujam diatas dadanya yang kekar.
Dengan wajah berubah Hek Seng-thian membungkukkan badan melakukan pemeriksaan.
"Lui toako, dia.... "jerit pemuda perlente itu.
Sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang sahut Hek Seng-thian:
"Sudah tidak tertolong lagi!"
Pemuda perlente itu segera menyerbu ke hadapan Sui Lengkong, bentaknya penuh amarah:
"Kelihatannya kau ingin mampus!"
"Aku.... aku ju.... juga tiii.... tidak tahu" seru Sui Leng-kong sambil membelalakkan matanya.
"Kentut, kalau kau tidak tahu, siapa yang tahu?"
Sambil bangkit berdiri Hek Seng-thian segera menukas dingin:
"Kalau mau disalahkan mesti salahkan Lui Ceng-wan sendiri yang kelewat gegabah dan tidak mau berhati-hati, mana boleh kau salahkan nona ini" Bagaimanapun toh peti sudah terbuka, cepat periksa apa isinya?"
Pemuda perlente itu tertegun sesaat, dalam hati kecilnya dia mulai menggerutu, agaknya dia tidak menyangka kalau gurunya begitu kejam dan tidak berperasaan.
Hek Seng-thian mengambil sebuah pacul dan digunakan untuk membuka penutup peti itu, ternyata isinya hanya beberapa jilid kitab serta sebuah kain kumal yang tertata rapi sekali.
Tampaknya pemuda berbaju perlente itu sangat kecewa, sebaliknya Hek Seng-thian menunjukkan rasa girang yang luar biasa, serunya sambil tertawa terbahak-bahak:
"Hahahaha.... ternyata kitab pusaka ilmu silat warisan Perguruan Tay ki bun berada disini!"
Ditengah gelak tertawa nyaring dia berpaling seraya serunya
lagi: "Ambil keluar"
Pemuda perlente itu menggeleng seraya mundur dua langkah.
"Kau tidak mau mengambilnya?" "Tecu tidak berani...."
"Bagus, ternyata kau berani membangkang perintah" sorot matanya dialihkan ke wajah Sui Leng-kong.
Tidak menunggu orang itu buka suara, Sui Lengkong sudah membungkukkan tubuh seraya berseru:
"Biar aku saja yang mengambil!"
Sewaktu pinggangnya dibungkukkan itulah mendadak sepasang telapak tangannya dilontarkan bersama ke depan, sekuat tenaga menghantam dada Hek Seng-thian, selain pukulannya berhawa dingin, lamat-lamat terselit desingan angin serangan yang kuat.
Hek Seng-thian tertawa dingin.
"Hmmm, sudah kuduga, kau pasti akan berbuat begini"
Ditengah suara tertawa dinginnya, dia berputar setengah lingkaran, kakinya melayang ke depan menendang tulang selangkangan gadis itu.
Bergeser, berganti gerakan semuanya dilakukan secepat sambaran petir, dengan merangkap tangan-nya ke depan dada dia kunci jalan mundur Sui Leng-kong,
Saat ini, tampaknya Sui Leng-kong tidak mampu
menghindarkan diri lagi dengan ancaman musuh karena dalam melancarkan serangan nya tadi dia kelewat besar menggunakan tenaganya.
Siapa tahu di saat yang terakhir itulah tiba-tiba gadis itu melambung ke tengah udara.
"Ilmu meringankan tubuh yang hebat!" puji Hek Seng-thian dengan wajah berubah.
Cepat dia mundur tiga langkah sambil berusaha melindungi diri.
Memanfaatkan kesempatan ini Sui Leng-kong merangsek maju ke depan, dia berniat merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Sayangnya, kendatipun ilmu silat yang dimiliki sangat tangguh namun dia sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bertarung, tidak seharusnya dia merangsek maju dalam kondisi seperti ini.
Diam-diam Hek Seng-thian kegirangan, secepat kilat telapak tangannya didorong ke muka.
Berapa gebrakan kemudian, benar saja, jurus serangan yang
dilancarkan Sui Leng-kong makin lama semakin bertambah lemah.
Perlu diketahui, gadis itu sama sekali tidak tahu sampai dimana takaran ilmu silat yang dimilikinya, tidak heran kalau timbul perasaaan takut, cemas dan was-wasnya ketika bertarung melawan orang lain.
Thiat Tiong-tong yang bersembunyi dibawah ranjang jadi sangat gelisah bercampur cemas, baru saja dia hendak menerobos keluar, saat itulah Thiat Cing-kian yang semula sudah tergeletak mati itu melejit bangun lagi dari atas tanah.
Thiat Tiong-tong terkesiap, dia merasa jantungnya berdebar keras, baru saja ingatan lain melintas....
Mendadak Sui Leng-kong memutar pinggangnya sambil berputar arah, sepasang telapak tangannya dihantamkan ke tubuh lawan kuat kuat.
Hek Seng-thian tertawa dingin, pikirnya:
"Ternyata ilmu silat yang digunakan adalah kungfu aliran Perguruan Tay ki bun, bodoh amat budak ini, bukannya mengandalkan kele
Dendam Iblis Seribu Wajah 7 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 4
^