Pendekar Panji Sakti 7

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 7


n Tay ki bun, budi ini sangat besar, mana boleh aku tidak membalasnya?"
"Jadi kaupun anak murid Perguruan Tay ki bin?" tegur Kiu cu Kui bo tiba-tiba sambil menarik muka.
"Benar" sahut Im Ceng sambil membusungkan dada, "akulah Im Ceng, putra dari ciangbunjin perguruan Tay ki bun, mau apa kau?"
"Kalian berdua sama-sama anggota Perguruan Tay ki bun, kenapa bilang tidak saling mengenal"
Sebenarnya sandiwara apa yang sedang kalian mainkan dihadapanku?" tegur Kiu cu Kui bo lagi dengan suara keras.
Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, sementara Im Ceng dengan perasaan terperanjat segera berpaling, mengawasi rekannya tajam tajam sembari menghardik:
"Jadi kaupun anggota Perguruan Tay ki bun" Siapa bilang kaupun anggota Perguruan Tay ki bun?"
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong terbungkam, tidak mampu berbicara.
Kiu cu Kui bo kembali berkata:
"Orang ini memiliki panji sakti dari Perguruan Tay ki bun,
mana mungkin dia bukan anggota Perguruan Tay ki bun"
Sebenarnya apa yang telah terjadi" Cepat katakan!"
"Aku mempunyai kesulitan yang tidak bisa diungkap...." Thiat Tiong-tong menghela napas sedih.
"Suhu" Sui Leng-kong segera menimbrung, "lebih baik kau orang tua jangan mendesaknya lagi!"
Dengan pandangan dingin Kiu cu Kui bo memandang Thiat Tiong-tong berapa kejap, kemudian ujarnya:
"Baiklah, sepuluh hari kemudian aku akan mengundangmu untuk menjelaskan persoalan ini, sementara waktu aku bebaskan dirimu"
"Terima kasih suhu" cepat Sui Leng-kong menyembah.
Kiu cu Kui bo menarik lengan bajunya, dengan sekulum senyuman ramah menghiasi bibirnya dia berbisik:
"Anak baik, ayoh kita pergi!"
Sui Leng-kong manggut-manggut, tanpa bicara dia menengok mengawasi Thiat Tiong-tong sekejap, waktu itu Thiat Tiong-tong juga sedang menatapnya, ketika empat mata saling bertemu, mereka seolah merasa ada banyak perkataan yang hendak disampaikan, namun tidak sepatah katapun mampu diutarakan.
Tatapan mata yang berlangsung cukup lama seolah telah saling menjalin suatu perasaan cinta yang tidak terhingga.
Akhirnya Sui Leng-kong telah pergi, pergi dengan membawa bau harum, pergi dengan meninggalkan perasaan kehilangan yang mendalam.
Setelah bayangan tubuh ke dua orang itu lmyap dari pandangan, Im Ceng baru melotot kearah Thiat Tiong-tong, tiba-tiba dia mencengkeram bahunya sambil berteriak:
"Mereka telah pergi, bagaimana penjelasanmu kepadaku?"
"Saat ini aku masih belum dapat memberi penjelasan"
"Kau tidak dapat menjelaskan berarti kau memang anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, jika kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, hari ini jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat" hardik Im ceng.
Thiat Tiong-tong tertawa getir.
"Sekalipun aku hanya anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, tapi kulakukan hal ini toh demi menyelamatkan nyawa kalian semua, kenapa kau malah ingin membunuhku"
Membalas air susu dengan air tuba?"
Dengan penuh amarah kembali Im Ceng berteriak:
"Kau telah selamatkan nyawa dari begitu banyak musuh besar
Perguruan Tay ki bun dengan menggunakan panji sakti milik perguruan kami, bagaimana mungkin aku bisa berterima kasih kepadamu?"
"Walaupun aku telah selamatkan jiwa mereka, tapi akupun telah selamatkan nyawa dari begitu banyak lelaki ksatria dari gedung keluarga Li, apakah kau sudah melupakan akan hal ini?"
"Bagaimana pun juga, aku harus bertanya dulu kepadamu, darimana kau dapatkah panji sakti itu?"
"Soal inipun kau tidak perlu tahu"
"Panji darah adalah panji sakti pusaka perguruan, kenapa aku tidak berhak untuk mengetahuinya?" teriak Im Ceng makin gusar.
"Walaupun kau tidak perlu tahu, namun kau punya hak untuk mengambil balik"
"Panji sakti itu berada dimana sekarang?"
Dari dalam sakunya Thiat Tiong-tong mengambil keluar panji darah itu, lalu dengan suara berat ujarnya:
"Panji sakti ini merupakan pusaka perguruan, pemegangnya mempunyai kedudukan diatas posisi ciangbunjin, setelah kau mendapatkan kembali panji ini, kuharap bertindaklah lebih berhati-hati!"
Baru saja Im Ceng akan menerima panji sakti itu, mendadak dia mundur selangkah sambil berseru:
"Bila kau bukan anggota Perguruan Tay ki bun, tidak mungkin kau akan serahkan panji sakti itu kepadaku, pun tidak akan mengetahui seluk beluk perguruan sejelas itu. Sebaliknya bila kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun, kenapa harus mengakui bahwa dirimu gadungan" Tadinya aku benar-benar tidak habis mengerti dengan persoalan ini, tapi sekarang aku sudah tahu"
"Karena apa?" tidak tahan Thiat Tiong-tong berseru.
"Karena dalam Perguruan Tay ki bun terdapat seorang murid murtad yang tidak berani berjumpa denganku" kata Im Ceng sepatah demi sepatah kata, "karena merasa bersalah, dia jadi malu sendiri"
"Apa yang telah dia lakukan?" tanya Thiat Tiong-tong dengan perasaan terkesiap.
Sinar berapi api memancar keluar dari balik mata Im Ceng, dia tertawa dingin.
"Hmm, di saat aku sedang terluka parah, ketika nyawaku sedang diujung tanduk, dia telah meninggalkan aku, bahkan
dengan tebalkan muka mengaku musuh sebagai ayah"
"Kalau memang begitu, kenapa kau bisa hidup hingga sekarang?"
"Untung lukaku waktu itu sangat parah hingga tidak dijaga secara ketat, tampaknya mereka baru akan menginterogasi setelah aku sadar dari pingsanku!"
"Benarkah perkataanmu itu?" berubah wajah Thiat Tiong-tong.
"Buat apa aku berbohong?" teriak Im Ceng gusar, "semua kejadian itu kualami sendiri, pelajaran itu kuperoleh dari cucuran darah, buat apa aku mesti berbohong?"
"Aaai, kau salah paham!" Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Salah paham?" Im Ceng tertawa seram, "kalau salah paham, kenapa kau tidak berani bertemu aku?"
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Aku...."
"Thiat Tiong-tong!" teriak Im Ceng semakin gusar, "urusan sudah jadi begini, buat apa kau masih berlagak pilon" Kalau bukan Thian maha adil sehingga aku sempat mendengarkan pembicaraanmu dengan Suto Siau, kalau bukan nasibku lagi mujur hingga sempat kabur dari musibah itu, mungkin di kolong langit benar-benar tidak ada yang tahu akan perbuatan terkutukmu yang telah menghianati perguruan dan menjual rekan sendiri. Sekarang Thian telah memberi kesempatan kepadaku untuk bisa bertemu lagi denganmu, apa lagi yang hendak kau katakan" Thiat Tiong-tong, serahkan nyawamu!"
Dengan cekatan Thiat Tiong-tong membalik tubuhnya, mundur sejauh tiga langkah, serunya sambil menghela napas sedih:
"Samte, sekalipun ingin membunuhku, seharusnya dengarkan dulu penjelasanku"
Im Ceng tertawa dingin.
"Percuma, biar kau menjelaskan sampai lidahmu berbunga pun tidak bakal aku percaya lagi kepadamu"
"Sebetulnya waktu itu aku hanya membohongi Suto Siau agar dia percaya kepadaku, kemudian baru mencari kesempatan untuk melarikan diri"
Dia tidak segan mempertaruhkan nyawa sendiri untuk ditukar dengan keselamatan Im Ceng, tapi kini Im Ceng justru menaruh kesalah pahaman yang begitu mendalam terhadapnya.
"Apakah waktu itu kaupun kabur dari sana?" jengek Im Ceng sambil tertawa dingin.
Thiat Tiong-tong mengangguk sedih.
"Waktu itu aku kabur dengan penuh penderitaan, bila kuceritakan, belum tentu kau mau percaya"
"Tentu saja aku tidak akan percaya" Im Ceng tertawa seram,
"jangan lagi persoalan lain, waktu itu kau terluka parah bahkan sudah terjatuh ke tangan Suto Siau, bagaimana mungkin masih sempat melarikan diri?"
"Tapi begitulah kenyataannya, kau ingin bagaimana baru mau percaya?"
"Biar kau bunuh akupun, aku tetap tidak akan percaya!"
teriak Im Ceng nyaring.
Baru selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari luar hutan berkumandang suara gelak tertawa seseorang.
Menyusul gelak tertawa itu, Suto Siau melayang masuk ke dalam hutan, serunya lagi sambil tertawa:
"Tiong-tong, kalau toh dia tidak percaya yaa sudahlah, buat apa kau mesti mengajaknya berdebat?"
"Betul-betul manusia berhati keji!" umpat Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.
Dia sadar, dengan sikap dan perkataan Suto Nian, kesalahan pahamnya dengan Im Ceng bakal bertambah mendalam.
Betul saja, Im Ceng kontan tertawa seram. "Bagus, bagus sekali!" teriaknya, "Thiat Tiong-tong wahai Thiat Tiong-tong, kendatipun kau berusaha mungkir, kini Suto Siau sudah mewakilimu mengakui, apa lagi yang akan kau katakan?"
Dengan sekali lompatan Thiat Tiong-tong menyerbu ke hadapan Suto Siau.
"Hahahaha.... urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau membohonginya lagi?" kembali Suto Siau berkata sambil tertawa.
Sambil tersenyum dia segera menggapai ke luar lilitan, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Phoa Seng hong segera bermunculan dari balik pepohonan.
Kembali Suto Siau melanjutkan sambil tertawa: "Bagaimana pun juga, semua orang yang hadir disini adalah orang orang kita, apalagi yang mesti kautakuti?"
"Benar" sambung Pek Seng-bu sambil tertawa pula, "asal kita habisi nyawanya, didunia ini tidak mungkin ada orang yang mengetahui rahasiamu lagi, dan kau tetap bisa menjadi mata-
mata dalam Perguruan Tay ki bun!"
Dengan penuh kemarahan dan rasa dendam Thiat Tiong-tong menggigit bibir sambil menutup rapat mulutnya, dia sadar, fitnahan ini tidak mungkin bisa dibantah dengan alasan apa pun.
Dalam pada itu Im Ceng telah mengepal tinjunya kencang kencang, setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu mendadak teriaknya:
"Thiat Tiong-tong, aku beritahu padamu, sekalipun harus pertaruhkan nyawa aku tetap akan berusaha kabur dari sini!"
"Huuh, murid Perguruan Tay ki bun bisanya kabur juga?" ejek Hek Seng-thian sambil tertawa dingin.
"Aku harus kabur dari sini karena aku ingin menyiarkan penghianatannya ke seluruh dunia, agar semua orang tahu akan perbuatan busuk yang dia lakukan" jerit Im Ceng makin gusar.
Begitu selesai bicara, dia langsung menerjang ke arah Pek Seng-bu.
Dari kejauhan Suto Siau segera memberi kerdipan mata kepada Pek Seng-bu, tampaknya Pek Seng-bu memahami rencana rekannya.... saat itulah kepalan Im Ceng telah menyodok tiba.
Saat ini dia hanya berniat meloloskan diri secepatnya, tidak heran kalau tenaga pukulan yang dilontarkan sangat dahsyat, dengan tangan kiri melindungi dada, kepalan kanannya menyodok ke iga Pek Seng-bu, belum lagi serangannya tiba, angin pukulan yang kuat sudah mengibarkan ujung baju lawan.
Cepat Pek Seng-bu mengayunkan tangannya dan langsung membabat urat nadi di pergelangan tangan lawan.
Siapa tahu serangan dari Im Ceng itu hanya serangan tipuan, baru sampai setengah jalan, kepalan kirinya mendadak memutar keluar dari bawah ketiak kanannya dan menghantam dagu Pek Seng-bu dengan jurus Sik po thian keng (batu hancur langit bergetar).
Agaknya Pek Seng-bu tidak menyangka kalau dia akan mengubah jurus serangannya secepat itu, sementara dia masih kaget dan gugup, Im Ceng lelah melancarkan serangkaian tendangan berantai, tiga jurus serangan seakan dilancarkan hampir berbareng.
Di antara deruan angin tendangan dan bayangan pukulan, tubuh Pek Seng-bu terdorong maju sejauh berapa, langkah, seolah termakan oleh pukulan dari Im Ceng, langkahnya jadi gontai hingga terpaksa harus menyingkir ke samping dan
memberi jalan lewat.
Pertarungan antara ke dua orang itu berlangsung hanya sekejap mata, tujuan utama Im ceng memang ingin cepat lolos dari kepungan, dia tidak mau bertarung lebih jauh, setelah berputar di tengah udara secepat kilat tubuhnya melesat keluar dari hutan.
Suto Siau dan Hek Seng-thian serentak membentak nyaring:
"Kejar! Mau kabur ke mana kau!"
Tubuh mereka berdua tetap berdiri menggencet disamping Thiat Tiong-tong, biar teriakannya nyaring, kaki mereka sama sekali tidak bergeser.
Ketika Im Ceng sudah pergi jauh, Pek Seng-bu buru berkata sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... bagaimana dengan lagakku pura-pura kalah"
Sudah cukup persis belum?"
"Betul-betul mirip, betul-betul hebat" puji Suto Siau sambil bertepuk tangan.
"Tapi sejujurnya, gerak serangan bajingan itu cukup tangguh!"
"Sehebat secanggih apapun gerak serangannya, memang dia benar benar mampu kabur dari sergapan saudara Pek hanya dalam tiga gebrakan?" tukas Suto Siau sambil tertawa.
Ke tiga orang itu saling berpandangan sambil tertawa tergelak, suara tertawa mereka penuh diliputi perasaan bangga dan puas.
Sesaat kemudian Suto Siau baru berpaling ke arah Thiat Tiong-tong, katanya:
"Tahukah kau, apa sebabnya kami bertiga tidak menghabisi nyawa Im Ceng, sebaliknya malah membiarkan dia kabur?"
"Hmm. Kau memang berniat mengadu domba kami berdua"
dengus Thiat Tiong-tong sinis.
Sekali lagi Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tepat, tepat sekali" katanya, "dengan membiarkan dia melarikan diri kali ini, sama artinya aku telah menciptakan seorang musuh bebuyutan untukmu, selama hidup jangan harap dia bisa melepaskan dirimu dengan begitu saja"
Dalam hati kecilnya Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, namun diluaran sahutnya dengan ketus:
"Hmmm, kami adalah sesama saudara seperguruan, sekalipun timbul kesalahan paham, akhirnya toh akan beres dengan sendirinya"
"Benarkah?" jengek Suto Siau sambil tertawa licik,
"mendengar kan perkataanmu saja tidak sudi, bahkan dalam
pikirannya hanya ingin menghabisi nyawa murid murtad secepatnya, mana mungkin kesalahan paham ini bisa diselesaikan begitu saja"
Hampir meledak rasa mendongkol Thiat Tiong-tong setelah mendengar perkataan itu, tidak tahan teriaknya:
"Bajingan laknat, kau...."
"Betul, aku memang bajingan laknat" tukas Suto Siau lagi sambil tertawa, "tapi bila dibandingkan nama busukmu dikemudian hari, mungkin posisiku jauh lebih mendingan ketimbang kau"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Saudara Thiat, sekarang kau sudah menjadi murid murtad dari Perguruan Tay ki bun, bukan saja Im Ceng ingin membunuhmu, gurumu pasti akan berusaha menjalankan peraturan perguruan, kalau dugaanku tidak salah, kawanan jago persilatan yang menganggap diri mereka sebagai para pendekar sejati pun tidak bakalan melepaskanmu dengan begitu saja. Hahahaha.... mulai sekarang kau akan menghadapi ancaman di mana-mana, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tancapkan kaki dalam dunia persilatan, saudara Thiat, aku pikir kau pasti menyadari akan hal ini bukan"
"Sekalipun begitu, tidak ada urusannya denganmu!"
Kembali Suto Siau tertawa dingin.
"Seharusnya hengtay tahu diri, dengan situasi yang kau hadapi sekarang semestinya paling cocok bila bergabung dengan kami semua, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" tukas Thiat Tiong-tong.
"Hahahaha.... kalau tidak bakal terjadi apa, masa hengtay sendiripun tidak tahu?"
"Betul" sambung Hek Seng-thian pula sambil tertawa, "lebih baik kau ambil keluar semua harta karun yang diperoleh dari dalam gua dan bersama kami membangun satu usaha besar, tindakan ini lauh lebih menggembirakan daripada harus menerima tekanan dari Perguruan Tay ki bun"
"Jangan didesak terus" cegah Pek Seng-bu cepat, "apa salahnya kalau kita beri kesempatan lagi untuk saudara Thiat agar bisa dipertimbangkan kembali usulan ini!"
"Betul, betul sekali" seru Phoa Seng-hong pula sambil tertawa keras, "lebih baik kita balik dulu ke gedung keluarga Li sambil menikmati hidangan dan arak, urusan lain toh bisa kita bicarakan perlahan-lahan"
Ke empat orang ini benar benar telah menggunakan semua
cara mengancam, membujuk, merayu maupun memaksa untuk menggiring pemuda itu masuk ke dalam perangkap. Tapi sikap Thiat Tiong-tong justru berubah makin dingin, kaku, tanpa sedikit perasaaanpun, siapa pun tidak dapat menduga apa gerangan yang sedang dia pikirkan.
"Hengtay, mari kita pergi!" kata Suto Siau kemudian sambil merangkul bahu pemuda itu.
Thiat Tiong-tong tidak bisa menyingkir, terpaksa dia keluar dari dalam hutan mengikuti ke empat orang itu dan menuju ke gedung keluarga Li.
Diluar pintu gerbang terlihat ada sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, agaknya Un Tay-tay sedang berdiri di depan pintu sambil mengawasi situasi diseputar sana.
Sambil menuding bayangan manusia itu seru Suto Siau seraya tersenyum:
"Sekarang kita sudah menjadi orang sendiri, siaute pun tidak ingin merahasiakan sesuatu lagi kepadamu, tahukah hengtay siapa sebenarnya Un Tay-tay ini?"
Tidak menunggu jawaban dari lawan, dia segera
menambahkan: "Un Tay-tay sebenarnya adalah istri simpanan-ku, tapi bila hengtay memang berminat dengannya, siaute bersedia segera putus hubungan dengan perempuan ini!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Un Tay-tay sudah melompat keluar dari balik pintu dan mendekati mereka semua, ketika melihat Thiat Tiong-tong berjalan berdampingan dengan Suto Siau, bahkan mereka tampak berhubungan begitu akrab, perempuan itu seketika menghentikan langkahnya dan berdiri termangu, saking tertegunnya sampai perkataan yang hampir terucap keluar pun segera ditelan kembali.
Sambil tertawa terbahak-bahak Suto Siau segera berkata:
"Un Tay-tay, mulai sekarang saudara Thiat adalah orang sendiri, kau tidak dilarang untuk berhubungan mesra dengannya sekalipun berada dihadapanku"
Un Tay-tay mengangkat wajahnya, memandang Thiat Tiong-tong dengan termangu.
Sorot mata Thiat Tiong-tong sama sekali tanpa emosi, tiba-tiba Un Tay-tay menutupi wajah sendiri dan lari masuk ke dalam sambil menangis tersedu-sedu, pakaian yang dikenakan kelihatan bergelombang kencang ketika tertimpa cahaya malam.
"Hahahaha.... bagus, bagus sekali!" kembali Suto Siau tertawa
terbahak bahaka, "tidak kusangka ternyata dia benar-benar sudah jatuh hati kepada saudara Thiat, benar-benar satu peristiwa yang patut dirayakan"
Sekalipun gelak tertawanya nyaring, namun tidak dapat menutupi rasa cemburunya yang meluap.
Perlu diketahui, dia sama sekali tidak pernah menyukai Un Tay-tay namun diapun enggan ditinggalkan perempuan itu, apalagi membiarkan dia jatuh cinta kepada lelaki lain.
Tapi berhubung dia sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan Un Tay-tay, tentu saja tidak sebesar penderitaan yang dialami dalam hatinya.... inilah keegoisan seorang lelaki, lelaki mana pun tidak akan tahan menghadapi penderitaan karena ditinggalkan perempuan, bahkan seringkah dia lebih suka membiarkan penderitaan tersebut dirasakan oleh perempuan itu sendiri.... menikmati penderitaan orang lain, bagi orang tertentu justru merupakan semacam kenikmatan.
Ditengah gelak tertawa nyaring, cahaya lentera segera menerangi seluruh ruangan, Li Lok-yang dan Li Kiam-pek berdua muncul dari balik pintu.
Bi lek hwee dan Hay Tay-sau mengikuti dibelakangnya, hampir semua orang tampil dengan wajah tegang, senjata masih terhunus, tampaknya mereka belum tahu kalau kepungan diluar telah dibubarkan.
Ketika menyaksikan sikap Suto Siau sekalian yang tampak begitu santai, Li Lok-yang tertegun, tanyanya keheranan:
"Apakah hengtay sekalian tidak apa apa?"
"Kalau disini ada saudara Thiat, semua urusan tentu akan beres dengan sendirinya" sahut Suto Siau sambil tertawa nyaring.
"Mana Kiu cu Kui bo?"
"Mungkin saat ini sudah berada setengah li dari sini"
Wajah Li Lok-yang yang tegang pun perlahan-lahan mengendor kembali, namun sorot matanya yang tajam masih diliputi tanda tanya besar dan mengawasi wajah Suto Siau serta Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, jelas dia berharap bisa mendengarkan kisah kejadian yang sebenarnya.
Namun Suto Siau sengaja tidak bicara, sementara Thiat Tiong-tong pun seakan sudah menjadi orang bisu, tidak sepotong perkataanpun yang diutarakan.
Hanya Pek Seng-bu yang berkata sambil tersenyum:
"Kiu cu Kui bo pasti mempunyai alasan yang kuat untuk memberi muka kepada kita semua, toh sekarang orangnya sudah
pergi, buat apa saudara Li banyak bertanya lagi"
Benar saja, Li Lok-yang tidak bertanya lagi, lapi dia semakin menaruh curiga terhadap asal usul Thiat Tiong-tong, dengan kening berkerut dia persilahkan tamunya untuk masuk ke dalam mangan.
Gedung keluarga Li yang semula sunyi senyap pun dalam waktu singkat muncul kembali kehidupan.... perasaan hati yang selama ini tertekan oleh bayang-bayang kematian, dalam waktu singkat telah hilang tak berbekas.
Perasaan sedih dan iba seringkah merupakan ungkapan perasaan yang paling nyata dalam setiap peristiwa.... di saat manusia menghadapi rasa takut dan ngeri dalam menghadapi kematian, biasanya perasaan mereka akan jadi kaku dan hilang rasa, tapi sekarang semua orang mulai merasa sedih dan iba terhadap rekan rekannya yang tewas, mulai merasa betapa berharganya nyawa yang dimiliki.
Cara kerja keluarga kenamaan ini memang luar biasa, tidak sampai berapa saat kemudian semua jenazah telah dikubur, bahan makanan yang dibutuhkan pun sudah didatangkan, bahkan pintu gerbang yang semula kotor oleh darah pun kini sudah berkilat dan bersih sekali.
Sayang nyawa yang terlanjur melayang tetap melayang, selamanya tidak bisa kembali lagi.
Selama ini Suto Siau, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu tidak pernah bergeser setengah inci pun dari sisi Thiat Tiong-tong.
Hay Tay-sau dengan matanya yang tajam bagai elang juga mengawasi terus gerak gerik Phoa Seng-hong.
Bi lek hwee sambil bergandong tangan sebentar duduk, sebentar berdiri, dia nampak tidak tenang, sedangkan Li Lokyang dan putranya meski nampak sangat repot namun keningnya berkerut kencang, agaknya ada masalah berat yang mengganjal hati mereka.
Tiba tiba Hay Tay-sau tertawa dingin sambil menyindir:
"Ada sementara orang walaupun kelihatannya pintar, padahal gobloknya setengah mati, semestinya ada peluang untuk diam-diam kabur, dia justru hingga sekarang masih bercokol disini"
Phoa Seng-hong sengaja berpaling ke arah lain, dia berlagak seperti tidak mendengar perkataan itu.
Sebaliknya Bi lek hwee tidak bisa menahan, diri, segera tegurnya:
"Siapa yang hengtay maksudkan?"
"Biarpun pertempuran sudah berlalu tapi biang kerok yang menimbulkan musibah ini justru masih bercokol dengan tenangnya, orang semacam ini masa kita biarkan berlagak terus?"
Paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat, Bi lek hwee pun kelihatan mulai naik pitam, dengan penuh amarah dia berpaling ke arah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu lalu hardiknya:
"Betul, pertempuran sudah lewat, pertikaian di antara kitapun sudah saatnya untuk diselesaikan!"
"Kita toh sesama saudara sendiri" ujar Hek Seng-thian sambil tersenyum, "kalau memang ada persoalan, mari kita bicarakan baik baik"
"Kembalikan dulu muridku sebelum berbicara!" bentak Bi lek hwee nyaring.
"Bila hengtay mengajak aku ribut dalam suasana dan situasi seperti ini, rasanya kaulah yang bakal rugi" ujar Hek Seng-thian dengan tenangnya, kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah Suto Siau, lanjutnya, "bukan begitu saudara Suto?"
"Kelihatannya memang begitu" jawab Suto Siau sambil tersenyum.
Berubah paras muka Bi lek hwee.
"Jadi saudara Suto akan membantunya?"
Suto Siau hanya tersenyum tanpa menjawab, orang ini nyaris sepanjang hari hanya menampilkan senyuman hambarnya, membuat orang susah menebak arti sesungguhnya dari senyuman itu.
Bi lek hwee mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, agaknya berusaha mencari bantuan, tapi anak buahnya sudah keburu pergi dari situ sedang orang lain pun sama sekali tidak berminat untuk mencampuri urusan ini.
Diam-diam dia menghela napas, selain kecewa hatinya panas dan marah.
Untunglah pada saat itu Li Lok-yang muncul kembali dengan langkah lebar, dengan nyaring dia berseru:
"Jika kalian masih ada urusan lain, silahkan dilanjutkan setelah mengisi perut!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Waktu itu akupun ada berapa patah kata yang ingin kusampaikan kepada kalian semua"
Tidak lama kemudian diatas meja telah ditata hidangan yang meski tidak terlampau lezat namun cukup mengenyangkan perut.
Dalam keadaan situasi seperti ini, biarpun dia seorang.
peminum juga tidak ada selera untuk minum arak, biarpun dia banyak masalah pun untuk sesaat semuanya dikesampingkan dulu, hidangan sudah berada di depan mata, sementara waktu mereka tidak ingin mengurusi hal yang lain kecuali mengisi perut secepatnya.
Sejak dulu hingga sekarang, kelaparan merupakan musuh paling besar bagi umat manusia, sehebat dan setangguh apapun seorang enghiong, tidak nanti dia sanggup melawan rasa lapar.
Kini suara yang terdengar dalam ruangan hanyalah suara orang bersantap, selang sesaat kemudian tiba-tiba Hek Seng-thian meletakkan kembali sumpitnya seraya berteriak kaget:
"Aduh celaka!" paras mukanya ikut berubah.
"Ada apa?" cepat Suto Siau bertanya.
"Ada seseorang yang tidak ikut bersantap!"
"Benarkah.... ooh" Li Lok-yang mengernyitkan alis matanya, setelah melirik Thiat Tiong-tong sekejap, serunya sambil ber paling, "Kiam-pek, kenapa kau tidak mengundang.... nyonya itu untuk ikut bersantap...."
Belum selesai dia berkata, Hek Seng-thian sudah lari keluar.
"Sungguh aneh" gumam Hay Tay-sau dengan kening
berkenyit, "sejak kapan dia mencemaskan bini orang yang tidak ikut bersantap, ini namanya kaisar tidak gelisah justru sang thaykam yang panik"
Siapa tahu belum selesai dia berkata, Pek Seng-bu sudah ikut berlarian pula meninggalkan ruangan.
Suto Siau meski lebih dapat mengendalikan diri dan sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya, namun kelihatan sekali kalau wajahnya berubah.
Tentu saja ke tiga orang ini kuatir Un Tay-tay dengan membawa harta karun melarikan diri terlebih dulu, sementara Bi lek hwee dan Hay Tay-sau sekalian sama sekali tidak tahu duduknya persoalan, tentu saja mereka sangat keheranan setelah melihat kegugupan ke tiga orang itu.
S Setelah mendeham berapa kali, Suto Siau berbisik ke sisi telinga Thiat Tiong-tong:
"Saudara Thiat, harta karun itu apakah kau gembol dalam sakumu?"
Thiat Tiong-tong termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya ketus:
"Bila kau jadi aku, akan kau simpan dimana barang-barang
itu" Mana ada tempat yang jauh lebih aman daripada disisi diri sendiri?"
Suto Siau tertegun, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dia berseru:
"Waah, kalau begitu runyam sudah urusannya!"
Buru-buru dia beranjak dari tempat duduknya dan ikut lari keluar dari ruangan. Tapi baru setengah jalan, dia sudah menghentikan kembali langkahnya.
Melihat itu Thiat Tiong-tong segera berseru:
"Aku sudah tidak punya tempat untuk dituju, rasanya kau tidak perlu menjaga disisiku lagi"
Suto Siau segera mengerdipkan matanya memberi kode kepada Phoa Seng-hong, kemudian baru melanjutkan kembali perjalanannya keluar dari ruangan.
Perlu diketahui, ke tiga orang ini menganggap harta karun adalah segala-galanya, oleh sebab itu persoalan yang lain mereka anggap sudah tidak penting lagi.
Li Lok-yang dan Hay Tay-sau sekalian, hanya bisa saling berpandangan dengan mulut melongo.
Sambil menggebrak meja Bi lek hwee kontan mengumpat:
"Permainan busuk apa yang sebenarnya sedang mereka bertiga lakukan" Benar-benar bikin hatiku mendongkol!"
"Kalau memang ingin tahu, kenapa tidak segera menyusul mereka untuk memeriksa sendiri?" sela Thiat Tiong-tong.
"Aaah, benar juga! Lohu memang seharusnya menyusul ke sana!" seru Bi lek hwee.
Tanpa sadar Hay Tay-sau ikut pula beranjak pergi.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, gumamnya:
"Manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, harta karun ku itu nampaknya akan merenggut beberapa lembar nyawa manusia lagi"
Berubah hebat paras muka Li Lok-yang, cepat dia melompat bangun sambil berseru:
"Sudah terlalu banyak manusia yang kukubur hari ini, aku tidak ingin terjadi pembunuhan lagi ditempat ini, Kiam-pek, ayoh ikut aku!"
Belum selesai bicara, tubuhnya sudah melangkah keluar dari ruangan.
Li Kiam-pek melirik Thiat Tiong-tong dan Phoa Seng-hong sekejap kemudian buru-buru keluar dari situ, ketika tiba diluar
pintu, dia membisikkan sesuatu ke telinga anak buahnya, mungkin dia minta anak buahnya untuk memperhatikan gerak-gerik ke dua orang itu.
Maka saat ini dalam ruangan hanya tersisa Thiat Tiong-tong dan Phoa Seng-hong dua orang.
"Jadi kau diperintahkan mereka untuk mengawasi aku?"
tanya Thiat Tiong-tong kemudian.
"Cayhe hanya ingin menemani hengtay"
"Hmm, sekarang kau menjual tenaga untuk mereka, tunggu saja ketika mereka berkeinginan untuk melenyapkan biang keladi dari semua peristiwa ini, aku kuatir tidak ada orang lagi yang mau menjual tenaga untukmu"
Phoa Seng-hong tersenyum.
"Aaah, belum tentu begitu"
Jelas antara dia dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu sekalian sudah ada perjanjian khusus sehingga dia nampak begitu tenang.
"Jangan lupa" kata Thiat Tiong-tong lagi, "Kiu cu Kui bo sedang menunggumu setiap saat, kau pun jangan lupa kalau aku memiliki kekuatan yang bisa mengundurkan kekuatan Kiu cu Kui bo dari sini"
Phoa Seng-hong tertunduk sambil termenung, tapi wajahnya sudah sedikit berubah, lewat sejenak kemudian tiba-tiba dia mendongak sambil berkata:
"Apa yang kau inginkan dariku" Coba dijelaskan lebih dulu"
"Jika kau bersedia bekerja sama denganku, bukan saja selanjutnya tidak ada ancaman jiwa bahkan dengan kesempatan ini kau bisa mendapat nama serta keuntungan materi secara bersamaan"
"Benarkah ada keuntungan semacam ini didunia ini" Apa yang harus kulakukan?"
"Asal kau bersedia mengenakan topeng kulit manusia yang kubeli dengan harga mahal ini, kemudian mengenakan juga pakaianku, persoalan yang lain bisa dihadapi menurut keadaan"
"Apa yang harus kuperbuat?" tanya Phoa Seng-hong dengan mata terbelalak lebar.
"Perawakan tubuhmu sembilan puluh persen mirip tubuhku, asal kau bisa mengatakan alasan yang tepat, enggan melepaskan topengmu, mereka pasti tak dapat mengenalimu lagi"
"Perawakan badan boleh mirip, tapi suaraku..."
Thiat Tiong-tong segera tersenyum.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Padahal logat suaraku sekarangpun bukan suara asli, karena
sudah kubuat-buat, jadi setiap orang dapat menirukannya.
Lagipula aku memang tidak suka bicara, asal kau kurangi pembicaraan yang tidak penting maka semuanya akan beres"
Phoa Seng-hong kembali tertawa dingin, katanya:
"Dengan menyamar jadi kau, meski aku berhasil mengelabuhi mereka semua namun apa keuntungannya bagiku" Hmm keuntungan bagimu jauh lebih banyak ketimbang bagiku"
"Siapa bilang tidak ada manfaatnya" Dengan menyamar jadi aku berarti manusia yang bernama Phoa Seng-hong telah lenyap, orang orang yang datang mencari balas harus pergi ke mana untuk menemukan Phoa Seng-hong?"
"Apakah masih ada manfaat lain?" tanya Phoa Seng-hong setelah berpikir sejenak.
"Setelah kau menyamar jadi Thiat Tiong-tong, mereka pasti akan berusaha membaikimu karena mereka memang ingin memperalat Thiat Tiong-tong, menggunakan kesempatan ini kau bisa 'mengaduk air menangkap ikan', aku percaya kau pasti sudah sangat terbiasa dengan perbuatan semacam ini"
Akhirnya sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Phoa Seng-hong.
"Pada masa itu kau bahkan bisa menyelidiki banyak rahasia, bukan cuma kau bisa mengancam mereka bahkan kau pun bisa peroleh banyak keuntungan dariku" kembali Thiat Tiong-tong berkata.
Meski Phoa Seng-hong belum menjawab, namun dari
senyuman diwajahnya dapat disimpulkan kalau dia sudah mulai tertarik.
"Secara garis besar itulah yang kumaui" ujar Thiat Tiong-tong lebih jauh, "tentu saja dalam perkembangan nanti masih terdapat beribu macam perubahan, aku percaya dengan kecerdasanmu, semua masalah pasti bisa teratasi, jadi akupun tidak usah menerangkan lebih jauh"
"Sampai kapan sandiwara ini baru akan berakhir?" tanya Phoa Seng-hong kemudian.
"Asal kau tidak membongkar rahasiaku, setelah sampai suatu saat tertentu aku bakal muncul lagi mencarimu, waktu itu kaupun bisa kabur untuk menyembunyikan diri"
Setelah dipikir punya pikir, Phoa Seng-hong merasa bahwa dengan berbuat begitu sesungguhnya tiada kerugian apa pun bagi dirinya, malah banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diperolehnya, tentu saja diapun tidak akan memikirkan sampai
dimana kerugian yang bakal diderita orang lain.
Walaupun ditengah halaman terdapat sekawanan centeng sedang meronda, namun kelaparan yang telah diderita banyak hari dan kini merekapun sudah makan kenyang, keadaan tersebut membuat mereka mulai terkantuk-kantuk.
Thiat Tiong-tong segera menarik tangan Phoa Seng-hong dan bersembunyi di belakang pembatas ruangan.
Tidak lama kemudian muncullah Thiat Tiong-lang dengan wajah aslinya serta Phoa Seng-hong yang kini telah berubah menjadi si kakek aneh.
"Mirip tidak suaraku?" tanya Phoa Seng-hong kemudian dengan suara parau.
Thiat Tiong-tong tersenyum.
"Kalau suaramu lebih rendah sedikit lagi, kujamin orang lain tidak bisa mengenalimu lagi" katanya.
Setelah melalui berapa hari penyaruan, kulit wajahnya yang semula hitam berkilat kini terlihat sedikit putih pucat dan kusut.
Phoa Seng-hong segera membetulkan letak pakaiannya lalu berbisik:
"Bagaimana cara kita berhubungan dikemudian hari?"
"Kita menggunakan kata sandi "Merubah wajah" untuk melakukan kontak dan bintang bersegi tujuh sebagai tanda rahasia, setiap saat kita bisa saling berhubungan"
"Baik! Kau boleh segera berangkat"
Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menggeleng.
Ketika untuk pertama kalinya menyaksikan senyuman pemuda itu, Phoa Seng-hong merasakan hatinya bergetar keras, raut wajahnya yang tampan terasa memiliki daya pikat yang susah dilawan. Tanpa terasa pikirnya:
"Aku sebagai seorang pria pun langsung terpikat oleh senyuman wajahnya, apalagi seorang wanita...."
Sementara itu Thiat Tiong-tong sudah melompat keluar melalui jendela sambil berbisik:
"Sementara waktu aku masih akan tetap tinggal disini!"
Dengan sekali lompatan dia sudah menyusup naik ke atas wuwungan rumah.
Gedung bangunan ini selain kuno dan tua, luasnya bukan kepalang, tiang penglarinya sangat lebar dan luas, cukup dapat menampung puluhan orang tanpa bisa diketahui orang yang ada dibawahnya.
Diam-diam Phoa Seng-hong keheranan, dia tidak habis
mengerti kenapa pemuda itu belum juga kabur dari situ, tapi dia tidak banyak membantah dan segera duduk dengan tenang disana, karena sepak terjang serta kecerdasan otak anak muda itu benar-benar telah membuat hatinya takluk.
Berapa saat kemudian terdengar suara desingan angin tajam berkelebat lewat.
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu telah berlari masuk ke dalam ruangan dengan wajah gelisah, begitu tiba dihadapan Phoa Seng-hong segera bentaknya nyaring:
"Dimana Un Tay-tay?"
Thiat Tiong-tong yang mengintip dari atas tiang penglari diam-diam merasa kegirangan, dia tahu Pek Seng-thian dan Pek Seng-bu telah menganggap Phoa Seng-hong sebagai dirinya.
Tapi diapun sedikit terkejut bercampur keheranan setelah mendengar kalau Un Tay-tay benar-benar telah pergi.
Dalam pada itu Phoa Seng-hong telah menggeleng dengan wajah kaku, dia malah balik bertanya:
"Ooh, jadi dia sudah pergi?"
"Masa kau tidak membuat janji dengannya?" bentak Hek Seng-thian lagi.
"Kenapa aku harus membuat janji dengannya?" jawab Phoa Seng-hong dengan suara yang direndahkan dan sangat parau, benar saja, logat bicaranya persis sekali dengan logat bicara Thiat Tiong-tong.
Sambil menghentakkan kakinya berulang kali, kembali Hek Seng-thian berseru:
"Tahukah kau, semua harta karun yang kau miliki telah dibawa lari perempuan sundal itu" Kenapa kau tidak nampak panik?"
"Aah, harta karun hanya barang keduniawian, kenapa aku mesti panik?"
Hawa membunuh seketika melintas diwajah Pek Seng-thian, teriaknya penuh amarah:
"Tahukah kau, semua harta karun itu milikku" Semua ini gara gara ulahmu sehingga persoalan besar jadi kacau balau!"
Didalam gusarnya hampir saja dia turun tangan untuk melakukan pembunuhan.
Untung saja di saat yang kritis Suto Siau telah muncul pula disana, dia memang melakukan pencarian dengan lebih seksama sehingga baliknya lebih terlambat.
Melihat mimik muka Hek Seng-thian yang diliputi kegusaran,
dia tahu orang itu sedang sakit hati karena kehilangan peluang untuk memiliki sejumlah harta yang tidak ternilai harganya.
Cepat dia menariknya ke samping sambil berbisik:
"Biarpun Un Tay-tay telah melarikan sejumlah harta karun, namun orang she Thiat ini jauh lebih berharga lagi, bila dia bersedia bergabung dengan kita, lebih banyak keuntungan yang bakal kita peroleh, saudara Hek, kau tidak boleh mencelakainya!"
Hek Seng-thian tertegun berapa saat, akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... siaute hanya merasa sakit hati bagi kehilangan yang diderita saudara Thiat, masa harta karun sebanyak itu dilarikan seorang perempuan sundal!"
"Dia tidak bakal bisa kabur terlalu jauh, siaute jamin akan membantu saudara Thiat untuk menemukannya kembali" janji Suto Siau dingin, lalu setelah memandang sekejap sekeliling ruangan, tiba-tiba serunya lagi dengan wajah berubah, "kemana perginya Phoa Seng-hong?"
"Dia sudah kabur!" jawab 'Phoa Seng-hong' cepat.
Kebetulan Hay Tay-sau sedang melangkah masuk ke dalam ruangan, mendengar itu segera teriaknya:
"Kabur kemana dia?"
"Kalian toh tidak pernah minta aku untuk menjaganya, bagaimana mungkin aku bisa tahu kemana kaburnya orang itu?"
Dengan kening berkerut Suto Siau segera tertawa paksa, selanya:
"Cayhe pun merasa bangsat ini rada aneh, kenapa...."
"Aku dengar bajingan ini paling pandai menggaet kaum wanita" sela Hek Seng-thian dengan wajah berubah, "jangan-jangan Un Tay-tay sudah tergaet juga olehnya sehingga mereka berdua kabur bersama?"
Kontan Suto Siau tertawa dingin, selanya:
"Biarpun Un Tay-tay jalang, dia tidak bakalan tertarik dengan lelaki busuk macam Phoa Seng-hong, jadi saudara Hek tidak perlu kuatir"
'Phoa Seng-hong' merasa mendongkol sekali setelah mendengar umpatan yang dialamatkan kepada dirinya itu, namun dia tidak bisa berbicara apa-apa karena itu rasa jengkelnya hanya di simpan didalam hati.
Diluaran dia malah manggut-manggut tanda setuju, katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh:
"Umpatan yang bagus! Umpatan yang sangat tepat!"
Dengan geram Hay Tay-sau berseru lagi:
"Mungkin bajingan itu tahu kalau aku tidak akan
mengampuninya, maka diam-diam kabur dari sini. Bajingan keparat! Biar kau kabur ke langit atau menyusup ke dalam bumi, aku tetap akan mencarimu hingga ketemu!"
Tabiat orang ini benar-benar keras dan berangasan, begitu berkata akan pergi, belum lagi selesai bicara dia benar-benar sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Dalam kegelapan malam, aku rasa perempuan jalang itupun tidak bakal pergi terlalu jauh" kata Suto Siau kemudian, "asal kita lakukan pengejaran bersama, delapan puluh persen kita pasti dapat menyusulnya"
"Memang seharusnya begitu!" sambung Hek Seng-thian.
Suto Siau segera berpaling ke arah 'Phoa Seng-hong' dan bertanya:
"Bagaimana pendapat saudara Thiat?"
Perlahan-lahan 'Phoa Seng-hong' bangkit berdiri, sahutnya:
"Kalau bersatu kedua belah pihak sama-sama untung, kalau tercerai berai kedua belah pihak sama-sama buntung...."
"Aaah, saudara Thiat betul-betul seorang manusia berbakat yang hebat, pandai sekali kau menilai situasi" seru Suto Siau kegirangan, "saudara Hek, saudara Pek, urusan ini tidak bisa ditunda lagi, ayoh kita segera berpamitan dengan tuan rumah!"
Ke tiga orang ini memang tidak membawa perbekalan apa-apa, benar saja, mereka langsung berpamitan dengan tuan rumah.
Meskipun dimulut Li Lok-yang berlagak menahan mereka, namun tawarannya sudah tidak sehangat semula.
Thiat Tiong-tong yang bersembunyi diatas tiang penglari menengok ke bawah, dia saksikan Li Lok-yang berdiri termangu beberapa saat lamanya, kemudian dengan menyeret langkah kakinya yang berat, dia padamkan lilin yang ada diseluruh ruangan.
Kini didalam ruang gedung yang luas hanya tersisa sebuah lentera, cahaya lentera yang redup membuat suasana disitu terasa amat sepi dan redup.
Setelah menanti beberapa saat lagi hingga sama sekali tidak kedengaran ada suara, Thiat Tiong-tong baru melompat turun dari atas tiang penglari dan menyelinap keluar melalui jendela.
Malam semakin kelam, tapi dia masih menanti, masih melakukan pencarian, tapi siapa yang dinantikan dan siapa pula yang dicari"
Akhirnya dari sebuah sudut nun jauh disana, dibalik kegelapan malam, di antara pepohonan terdengar suara gemerisik yang lirih serta desingan angin lembut, meski suaranya lirih namun Thiat Tiong-tong tidak mau melepaskannya dengan begitu saja.
Terlihat sesosok bayangan manusia menyelinap keluar dari balik pepohonan, lalu dengan sigap mengawasi sekejap sekeliling tempat itu.
Setelah memperhatikan sekejap suasana disitu, akhirnya orang itu munculkan diri, dia mengenakan baju berwarna hitam dengan saputangan warna hitam membungkus kepalanya, hanya sepasang matanya yang jeli nampak berkilauan.
Thiat Tiong-tong menahan napas, akhirnya dia dapat melihat dengan jelas wajah bayangan itu, dia tidak lain adalah Un Tay-tay.
Tangan kirinya membawa sebuah kotak peti sementara tangan kanannya membawa karung goni, baru berjalan berapa langkah kembali dia menghentikan tubuhnya sambil memasang telinga.
Diam-diam Thiat Tiong-tong tertawa dingin, pikirnya:
"Ternyata Un Tay-tay memang sangat pintar, sadar kalau sulit baginya kabur dari sini, dia putuskan untuk tetap tinggal di tempat ini"
Dengan sangat berhati-hati Un Tay-tay menyelinap keluar kemudian melompat naik ke atas wuwungan rumah, tidak jauh dari tempat persembunyian Thiat Tiong-tong, sambil mendekam diatas atap rumah, dia mengatur napasnya yang sedikit tersengkal.
Waktu itu Thiat Tiong-tong sudah memilih sebuah tempat yang paling tersembunyi untuk dirinya, oleh sebab itu dia dapat mengikuti semua gerak-gerik Un Tay-tay, sebaliknya Un Tay-tay sama sekali tidak dapat melihat tempat persembunyiannya.
Ketika napasnya yang tersengkal mulai tenang kembali, dia segera mengikat karung goni itu di punggungnya, lalu setelah membetulkan ikat pinggangnya diapun mengikat kencang sepatunya.
Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong mulai menggerakkan tubuhnya, hawa murni telah dihimpun dalam lengannya, dia siap melancarkan sergapan untuk membekuk perempuan itu dalam sekali serangan.
Ketika sudah selesai bebenah ternyata Un Tay-tay tidak langsung pergi dari situ, sebaliknya dia malah mengendorkan
tubuhnya sambil berbaring diatas atap, entah apa yang sedang dipikirkan.
Mendadak sorot matanya memancarkan sinar kesedihan bercampur amarah yang meluap, gumamnya lirih:
"Suto Siau, kau telah merusak hubunganku dengannya, aku tidak akan mengampuni dirimu!"
Baru bicara sampai disitu, dia seakan tersadar akan kesilafannya, buru-buru perempuan itu tutup mulutnya kembali.
Thiat Tiong-tong bukan orang bodoh, tentu saja dia dapat menangkap maksud dari perkataannya itu.
Dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa Un Tay-tay tidak bakalan berani kabur di saat seperti itu, maka dia sengaja menunggunya disitu, rencananya akan dia tangkap perempuan itu bahkan mungkin menghabisi nyawanya sambil mengambil balik harta karun itu.
Tapi sekarang, secara tiba-tiba dia berganti haluan.
"Harta karun yang ada disini paling banter cuma satu bagian dari seluruh harta yang ada, bagian ini merupakan bagianku, kenapa tidak kuserahkan sementara waktu kepadanya, agar dia bisa menggunakan harta tadi untuk menghadapi Suto Siau sekalian" Dengan kepintaran serta ketelengasannya, ditambah dengan kecantikan wajahnya, bukankah dia justru merupakan musuh paling tangguh bagi Suto Siau?"
Ternyata dia telah membagi harta karun itu menjadi sepuluh bagian, di antaranya tiga bagian dia sisihkan sebagai beaya dari sebuah misi rahasia.... apakah misi rahasia itu" Tidak ada yang tahu kecuali dia sendiri, sebab hal ini merupakan masalah paling rahasia yang dia miliki.
Dua bagian yang lain dia sisihkan untuk Im Ceng, agar dia bisa menggunakan beaya tersebut untuk balas dendam.
Sui Leng-kong juga memperoleh dua bagian, gadis ini pernah menjaga harta karun itu, pernah merawat dan menemani kakek yang cacad lagi kesepian, sudah sewajarnya bila dia peroleh bagian itu.
Untuk darah daging keluarga Im yang masih dalam rahim Leng Cing-peng, diapun sisihkan satu bagian, sementara sisanya yang satu bagian akan dia berikan kepada Tio Ki-kong yang telah selamatkan jiwanya serta jiwa Im Ceng.
Akhirnya Un Tay-tay bangkit berdiri dan melesat turun dari wuwungan rumah, wanita memang tidak pernah lebih sabar dari kaum pria, walaupun saat itu dia merasa lapar, letih dan lemah
namun gerakan tubuhnya tetap lincah dan gesit.
Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah meninggalkan gedung perkampungan dan menyusup masuk ke dalam hutan.
Thiat Tiong-tong menguntil dari kejauhan, walaupun dia tidak menyesal telah menyerahkan harta tersebut kapadanya, namun sebenarnya diapun telah menyerahkan sebuah tugas besar kepada perempuan itu.
Kini dia ingin menyaksikan semua tingkah lakunya, apakah dia memang mampu memikul tanggung jawab besar itu"
Setibanya didalam hutan Un Tay-tay baru memperlambat langkahnya dan menghembuskan napas panjang.
Baru saja dia akan beristirahat sejenak, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melompat turun dari atas pohon, melayang turun persis dihadapannya dan mengawasi perempuan itu sambil tertawa.
Dalam terkejut dan gugupnya, paras muka Un Tay-tay berubah hebat.
Bayangan manusia itu membawa sebuah buntalan ditangan kirinya, dalam buntalan terlihat cahaya hijau yang berkilauan, dengan wajah cengar-cengir orang itu sedang mengawasi wajahnya tanpa berkedip.
Setelah berhasil mengendalikan diri, Un Tay-tay baru dapat melihat jelas wajah orang itu, ternyata dia tidak lain adalah si bocah pincang, anak murid Kiu cu Kui bo.
Tidak kuasa lagi dia segera menegur:
"Bukankah kalian sudah pergi semua" Kenapa kau masih berada di sini?"
Bocah pincang itu tertawa terkekeh, sambil menuding bungkusan ditangan kirinya dia menyahut:
"Mereka semua memang sudah pergi, aku datang untuk mengumpulkan kembali mutiara hijau yang tergantung disekitar hutan"
"Setelah semua mutiara hijau diambil, sudah sepantasnya kau segera pulang" kata Un Tay-tay sambil menarik napas dalam,
"kenapa masih ada disini" Tidak kuatir dicari suhumu?"
Bocah pincang itu hanya mengawasi payudara Un Tay-tay yang montok tanpa berkedip, sementara senyuman masih menghiasi bibirnya.
"Ciss.... tidak tahu malu" umpat Un Tay-tay sambil tertawa,
"hey setan cilik, berapa usiamu tahun ini?"
"Empat belas"
"Wouw, baru berusia empat belas sudah pandai melihat perempuan, siapa yang mengajari mu?"
Sambil membesut ingus dari hidungnya, bocah pincang itu kembali tertawa terkekeh.
"Masa melihat wanita cantik pun harus diajari orang?"
"Aku dengar kau mempunyai banyak suci yang cantik-cantik, seharusnya kau segera pulang untuk menengok mereka, kenapa masih menghalangi perjalananku disini?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh bocah pincang itu menghela napas panjang.
"Betul, aku memang mempunyai banyak suci, tapi mereka semua masih kanak kanak, bukan wanita beneran"
"Ooh, jadi perempuan macam aku baru terhitung wanita beneran?" kata Un Tay-tay sambil tertawa.
Menggunakan kesempatan itu kembali si bocah pincang mengamati payudara Un Tay-tay yang montok, teriaknya sambil bertepuk tangan:
"Waah, semuanya asli dan bukan bohong-bohongan, kau memang seorang wanita yang seratus persen asli dan mantap!"
Kontan saja Un Tay-tay tertawa terpingkal-pingkal.
"Tidak kusangka dengan usia sekecil ini, kau pandai juga menilai seorang wanita, sayang usiamu masih kelewat muda"
"Siapa bilang aku kelewat muda?" teriak bocah pincang itu dengan mata mendelik, "sekalipun usiaku baru empat belas, namun kondisi tubuhku tidak beda jauh dengan lelaki berusia dua puluh empat"
Dengan lembut Un Tay-tay meraba pipinya, lalu berbisik:
"Ketika kau sudah berusia dua puluh empat, mungkin aku sudah tua sekali, lebih baik lihatlah sekarang!"
"Betul, aku memang akan memperhatikan mu baik-baik"
Benar saja, bocah itu langsung mengawasi perempuan itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, bahkan mengamatinya berulang kali.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian itu dari dalam hutan diam-diam merasa mendongkol bercampur geli.
Bocah pincang itu tampaknya memang aneh dan nakal, biar kecil orangnya tapi banyak akalannya, sampai Un Tay-tay yang biasanya bertabiat anehpun dibuat tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah memperhatikan wanita itu berapa saat, tiba-tiba bocah pincang itu gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, gumamnya:
"Aaai, aku menyesal kenapa perjumpaan ini tidak terjadi di saat aku sudah dewasa nanti, yaa, apa lagi yang bisa kukatakan!"
Un Tay-tay tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa cekikikan, lama kemudian baru serunya:
"Sudah cukup belum kalau melihat" Sekarang biarkan aku pergi!"
Setelah menghela napas lagi, bocah pincang itu manggut-manggut dan beranjak pergi, tapi baru berapa langkah ia sudah berpaling seraya berkata:
"Barusan aku melihat Im kongcu mu itu"
"Di mana?" tanya Un Tay-tay dengan wajah berubah.
"Kau ingin kuajak menjumpainya?"
"Kau tahu dia berada dimana sekarang?"
"Tentu saja tahu!"
"Kau akan mengajakku ke sana?" kembali Un Tay-tay bertanya sambil mempermainkan biji matanya.
Seketika si bocah pincang itu berkerut kening.
"Kalau soal ini.... tapi...."
"Tapi kenapa?" umpat Un Tay-tay sambil tertawa, "bukankah kau yang akan mengajakku ke sana" Memangnya sekarang jadi tidak berani" Sungguh memalukan!"
"Kenapa aku tidak berani mengajakmu?" si bocah pincang itu segera membusungkan dadanya, "asal aku diperbolehkan menciummu sekali saja, kita segera berangkat"
Un Tay-tay benar-benar terpingkal dibuatnya, sambil menuding bocah itu umpatnya:
"Dasar setan cilik.... dasar setan cilik...."
Saking terpingkalnya, dia sampai tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
"Apa yang kau tertawakan" Kalau tidak mau yaa sudah" seru bocah pincang itu sambil menarik muka.
"Baik, baiklah, cici akan membiarkan kau menciumku!"
"Sungguh?" Teriak bocah itu kegirangan.
Sambil setengah memejamkan matanya Un Tay-tay
menyodorkan wajahnya ke hadapan bocah itu, serunya sambil tertawa:
"Ayohlah!"
Mendadak bocah pincang itu menarik kembali senyumannya, setelah meletakkan buntalan itu ke tanah dan menarik napas panjang, dia pentang tangannya lebar-lebar dan segera memeluk tubuh Un Tay-tay dengan kencangnya.
Dengan napas tersengkal sengkal seru Un Tay-tay:
"Setan cilik! Perlahan sedikit.... perlahan sedikit.... aduh, kau...."
Tiba-tiba dia mendorong tubuh bocah itu sementara paras mukanya berubah jadi merah padam.
Thiat Tiong-tong yang berada dalam hutan kembali menghela napas panjang, pikirnya:
"Un Tay-tay memang seorang perempuan cantik yang sangat langka, jangan lagi lelaki dewasa, sampai bocah cilik pun terpikat oleh kecantikan wajahnya...."
Dia tidak tahu, justru semakin muda bocah itu apalagi di saat menginjak usia puber, napsu birahi-nya semakin berkobar, apalagi bertemu dengan wanita matang yang begitu cantik dan montok.
Dengan sempoyongan bocah pincang itu mundur berapa langkah lalu berdiri termangu-mangu, sepasang matanya menatap kosong ke tempat kejauhan, dia seakan akan jadi bodoh secara mendadak.
Sebaliknya Un Tay-tay mulai membenahi rambutnya yang kusut.
Mendadak terdengar bocah pincang itu tertawa tergelak, kemudian setelah bersalto beberapa kali di udara teriaknya keras keras:
"Aku telah menciumnya, aku telah menciumnya, ooh.... dia sungguh harum!"
"Hey setan cilik, kau sudah gila!" umpat Un Tay-tay sambil tertawa.
"Betul, aku sudah gila, aku sudah gila.... aku benar-benar sudah gila!" jerit bocah pincang itu sambil tertawa dan melompat-lompat.
"Bila kau bersedia mengabulkan satu permintaanku, aku akan mengijinkan kau untuk mencium sekali lagi"
"Sungguh?" bocah itu tertegun dan tergagap.
"Adik cilik, kapan cici pernah membohongi-mu?"
"Cepat katakan, cepat katakan" teriak bocah pincang itu sambil mencak mencak, "asal aku diijinkan mencium lagi, apa pun permintaanmu pasti akan kukabulkan!"
"Kau harus berjanji mau membawaku ke sana, tapi kau tidak boleh ikut masuk, dan kaupun harus berjanji tidak akan menceritakan persoalan ini kepada siapa pun"
"Jangan lagi hanya permintaan begitu, sepuluh kali lipat lebih
sulitpun tetap akan kukabulkan"
"Bocah manis...." seru Un Tay-tay sambil tertawa merdu, dia segera maju mendekat, memeluknya dan menciumi wajahnya yang burik berulang kali.
Menanti Un Tay-tay melepaskan pelukannya, tiba-tiba bocah pincang itu roboh terjungkal ke tanah.
"Hey, kenapa kau?" jerit Un Tay-tay kaget.
Belum habis ia berteriak, bocah pincang itu sudah melompat bangun lagi sambil berjumpalitan berapa kali, teriaknya sambil tertawa:
"Dalam tiga bulan mendatang, bila aku cuci muka maka aku adalah seorang telur busuk"
"Tiga bulan tidak cuci muka" Waaah... seperti apa baunya" Un Tay-tay terkekeh.
"Kalau aku bilang tidak mencuci, aku tidak akan mencuci"
sambil berteriak bocah pincang itu mengambil kembali buntalannya dan menarik lengan Un Tay-tay sambil berseru,
"ayoh kita berangkat!"
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan semua kejadian merasa terkejut bercampur gusar, pikirnya:
"Mau apa perempuan busuk ini mencari jite" Jangan-jangan dia akan mencelakainya lagi.
Tapi.... bukankah dia sudah berpisah dengan Suto Siau, rasanya tidak mungkin dia akan mencelakai jite, tapi jite begitu mencintainya, bila dia balik ke sana, dengan watak jite, hubungan mereka berdua bisa jadi akan terjalin kembali.
Biarpun perempuan ini belum tentu akan mencelakai jite, tapi dengan tabiatnya yang cabul dan nakal, cepat atau lambat dia bakal melukai hati jite lagi.... lagipula...."
Dalam pada itu si bocah pincang itu sudah menarik Un Tay-tay untuk pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku tidak boleh berpangku tangan dalam persoalan ini"
akhirnya Thiat Tiong-tong mengambil keputusan, dengan cepat dia menyusul dari belakang.
Bocah pincang itu menarik tangan Un Tay-tay menuju ke tengah hutan, arah yang dituju bukan ke arah kota besar tapi tempat yang makin lama semakin terpencil dan sepi.
Lebih kurang setengah li kemudian, bocah pincang itu baru menghentikan langkahnya.
"Sudah sampai?" tanya Un Tay-tay.
"Yaa, sudah sampai" dengan termangu bocah itu mengangguk.
Un Tay-tay mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, namun diseputar sana hanya terlihat berapa batang pohon yang rimbun, tidak sesosok bavanean manusia nun vane terlihat disana.
"Dimana?" tanya perempuan itu lagi dengan kening berkerut.
"Di depan sana"
"Kalau masih di depan sana, kenapa kau berhenti?"
Bocah pincang itu termangu berapa saat lamanya, mendadak dia menghela napas panjang.
"Setelah kepergianmu kali ini, aku tidak tahu apakah masih berkesempatan untuk bertemu lagi denganmu"
"Bocah bodoh, jangan mengucapkan kata-kata dungu" bujuk Un Tay-tay sambil tertawa, "aku toh bukan pergi untuk mati, tentu saja kita masih bisa bertemu lagi"
Bocah pincang itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Sekalipun bisa bertemu lagi, akupun tidak tahu akan terjadi di bulan dan tahun berapa"
"Bila kau ingin bertemu aku, setiap saat kau boleh datang mencariku"
"Perduli berada di mana pun kau bersedia memberitahukan jejakmu itu kepadaku?" seru si bocah kegirangan.
Un Tay-tay manggut-manggut.
"Adikku sayang, perduli cici berada dimana pun pasti akan kuberitahukan kepadamu, ayoh, tertawalah untuk cici"
Bocah pincang itu benar-benar tertawa lebar, sambil membangkitkan kembali semangatnya dia berseru:
"Ayoh kita berangkat!"
"Tunggu sebentar" kali ini Un Tay-tay gelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau sungguh aneh...."
"Apanya yang aneh?" Un Tay-tay menghela napas panjang,
"terus terang kuberitahu, cici memang seorang manusia aneh, selain aneh juga kesepian dan penuh derita...."
Dia mendongakkan kepalanya dan memandang ke angkasa dengan pandangan sendu.
Bocah itu ikut menghela napas.
"Kau begitu cantik, entah berapa banyak lelaki didunia ini yang menyukaimu, kenapa kau bisa kesepian" Aku benar benar tidak mengerti"
"Aku sangat membenci semua orang yang mencintaiku, tapi orang yang kucintai justru tidak suka kepadaku, bagaimana mungkin aku tidak kesepian" Oleh sebab itu aku harus berupaya
dengan segala cara untuk menghilangkan rasa kesepian ini"
"Bukankah Im kongcu amat mencintaimu?"
"Bukan, bukan dia orangnya" Un Tay-tay menggeleng.
"Lalu siapakah dia?"
Lama sekali Un Tay-tay termenung, akhirnya sambil tertawa paksa ujarnya:
"Sudahlah, tidak usah dibicarakan lagi, sekarang aku bukan saja sudah tidak mencintainya bahkan membencinya setengah mati"
"Tidak masalah, bukankah masih ada aku yang mencintaimu"
teriak bocah pincang itu lantang.
Un Tay-tay balas tertawa.
"Aku pun menyukaimu, itulah sebabnya sekarang aku bersedia menemanimu, kau adalah lelaki ke dua yang pernah kucintai sepanjang hidupku ini"
"Sungguh?" berkilat sepasang mata bocah pincang itu.
Dengan lembut Un Tay-tay mengelus lagi wajahnya, katanya halus:


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayang kau hanya seorang bocah, sedang aku sudah hampir tua, aku hanya bisa menyukaimu sebagai seorang adik, mengerti?"
Dengan pandangan bodoh hocah pincang itu mengangguk, tiba-tiba teriaknya:
"Bagaimanapun juga, setelah aku dewasa nanti, jika kau belum juga kawin dengan orang lain, aku tetap akan menikaimu"
Dia tidak berbicara lagi, sambil menarik baju Un Tay-tay segera melanjutkan kembali perjalanannya.
Thiat Tiong-tong yang berdiri dibalik kegelapan hanya berdiri termangu.
Berapa saat lamanya, dia mulai bertanya kepada diri sendiri:
"Benarkah dia sangat aneh?"
Ketika mendongakkan kembali kepalanya, terlihat ke dua orang itu sudah mulai menyusup masuk ke dalam hutan.
Thiat Tiong-tong tidak ragu lagi, dia segera menyusul dari belakang.
BAB 9 Pembicaraan di Kuil Terpencil
Di balik hutan terlihat ada sebuah kuil, Un Tay-tay dan bocah pincang itu sudah berhenti jauh di depan kuil bobrok itu.
"Adikku, kau mesti ingat baik-baik" ujar Un Tay-tay kemudian dengan suara ringan, "ada sementara wanita meski tubuhnya kotor namun dia memiliki jiwa yang sangat bersih, meskipun dia mencelakai orang, namun ini semua disebabkan orang-orang itu memang tidak tahu diri, masih belum pantas menjadi lelaki, oleh sebab itu apa yang akan terjadi dikemudian hari, kau harus menjadi seorang lelaki sejati, mengerti?"
Dengan perasaan setengah mengerti setengah tidak bocah pincang itu manggut-manggut.
"Bila aku telah memperoleh kediaman tetap pasti akan datang mengabarimu" kata Un Tay-tay lagi, "sekarang kau cepatlah pergi!"
Dengan sangat penurut bocah pincang itu membalikkan tubuh, tiba-tiba dia berpaling lagi seraya bertanya:
"Kenapa sih kau bisa menyukai aku" Hingga sekarang aku masih tidak habis mengerti, bersediakah kau memberitahukan kepadaku?"
Un Tay-tay tersenyum.
"Karena kau menyukai aku dengan bersungguh hati, tidak punya pikiran dan niat lain, maka akupun menyukaimu"
Bocah pincang itu tertegun berapa saat, kemudian sambil bersorak-sorai baru beranjak pergi dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari
pandangan, kembali Un Tay-tay berdiri termangu, akhirnya setelah menarik napas panjang, sambil menenteng peti itu dia berjalan menuju ke arah kuil dengan langkah lebar.
Kuil itu sudah lama terlantar, dua belah pintu gerbangnya juga entah sudah sejak kapan dicuri orang sebagai bahan bakar, tanaman ilalang tumbuh liar disepanjang halaman, daun kering berserakan memenuhi lantai, apalagi ketika terhembus angin malam, segera menimbulkan suara gemersik yang ramai.
Ketika suara itu dipadukan dengan suara jendela yang bergoyang, terciptalah sebuah irama malam yang sendu.
Setelah melalui halaman kuil yang dipenuhi daun kering, menaiki undak-undakan batu yang dilapisi lumut dan menembusi kosen pintu yang dipenuhi sarang laba laba, sampailah perempuan itu dalam ruang kuil yang bobrok, lembab dan gelap.
Seketika itu juga Un Tay-tay mengendus bau busuk yang tajam berhembus keluar dari ruang kuil, suasana disana benar-benar mengenaskan, meja altar tampak sudah sangat bobrok, kain tirai robek sana sini, entah sudah berapa lama tidak pernah dijamah para jemaahnya.
Ditengah hembusan angin malam, hawa dingin terasa semakin menggigilkan tubuh, angin yang berhembus masuk melalui jendela, menggoyangkan kain tirai yang bobrok, ternyata ruang kuil itu kosong tidak berpenghuni.
Un Tay-tay mulai ragu, pikirnya penuh curiga:
"Jangan-jangan aku dibohongi setan cilik itu?"
Tapi baru lewat ingatan tersebut, dia sudah mendengar suara napas orang yang lirih berkumandang keluar dari bawah meja altar bobrok itu.
Dia agak sangsi tapi kemudian melanjutkan hngkahnya, per lahan-lahan menyingkap taplak meja altar dan melongok ke bawah... Benar saja, dia menyaksikan Im Ceng sedang tertidur di situ.
Menyaksikan hal ini, tidak tahan Un Tay-tay menghela napas, pikirnya:
"Aaai, suhengnya begitu hati-hati dan selalu waspada, sementara sutenya begitu sembrono, biarpun sangat lelah, tidak seharusnya dia tidur di tempat seperti ini!"
Dia benar-benar tidak habis mengerti, kenapa dua orang.
seperguruan ternyata memiliki tabiat yang jauh berbeda, Thiat Tiong-tong cekatan dan penuh waspada, berada dalam situasi sekritis apa pun, bukan saja mampu melindungi diri bahkan masih sempat menolong orang lain.
Sebaliknya Im Ceng begitu berangasan, emosinya sangat tinggi dan sepak terjangnya begitu sembrono, sekalipun dia berdarah panas dan selalu ingin membela hal hal yang tidak adil, tapi dia justru tidak mengerti bagaimana harus menata diri, bagaimana harus memikirkan diri sendiri.
Mungkin dia tidak tahu kalau dua bersaudara seperguruan ini sebenarnya memiliki satu kesamaan yang paling besar.... mereka berdua sama-sama berjiwa pendekar dan berhati ksatria,
sekalipun cara bertindak dan cara yang digunakan sangat berbeda namun tujuan yang hendak mereka capai sebenarnya tidak jauh berbeda.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong yang bersembunyi dibawah wuwungan rumah pun mulai merasa amat iba, pikirnya:
"Ji-te wahai Ji-te, sekalipun kau memiliki keberanian seperti Thiat Tiong-tong, meski memiliki kepandaian yang tangguh, namun tabiatmu sangat menguatirkan, aku benar-benar tidak tega membiarkan kau berkelana seorang diri di dalam dunia persilatan!"
Tiba-tiba ia dengar Un Tay-tay menghela napas panjang, kemudian menepuk bahu Im Ceng berulang kali.
"Siapa?" bentak Im Ceng sambil terjaga dari tidurnya.
Sembari membentak dia melompat bangun, tampaknya pemuda itu lupa kalau sedang tidur dibawah meja altar, tidak ampun meja itu tertumbuk hingga mencelat ke belakang dan hancur berserakan.
Un Tay-tay mundur selangkah, memandanginya tanpa bicara.
Begitu tahu siapa yang datang, paras muka Im ceng berubah hebat, hardiknya:
"Rupanya kau!"
"Benar, memang aku!"
"Mau apa kau datang kemari?"
"Datang mencarimu?"
"Hahahaha.... bagus, tidak nyana kau masih punya muka untuk berjumpa denganku" Im Ceng mendongakkan kepalanya tertawa seram.
Un Tay-tay tidak bicara apa apa, dia hanya menatapnya berapa saat kemudian setelah menghela napas dia membalikkan tubuh dan beranjak pergi dari situ.
Melihat wanita itu hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba Im Ceng melejit ke udara dan mnighadang jalan perginya.
"Kau sebentar datang sebentar pergi, memangnya sudah edan!"
"Kusangka kau sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi terhadapku, maka aku datang mencarimu" kata Un Tay-tay ketus, "tapi setelah menyaksikan tampangmu sekarang, aku tahu kau belum bisa melupakan aku, terpaksa aku harus segera pergi dari sini"
"Siapa bilang aku tidak bisa melupakan dirimu" Aku justru amat membencimu" seru Im Ceng gusar.
"Antara cinta dan benci sebenarnya hanya dipisahkan oleh sebuah garis yang tipis, walaupun sekarang kau membenciku, tidak lama kemudian kau bakal mencintaiku lagi"
"Kau sangka bisa menebak suara hatiku?"
Un Tay-tay tidak menanggapi pertanyaan itu, kembali dia menghela napas panjang.
"Maukah kau mendengarkan kisah asal usulku?" dia bertanya.
"Manusia macam apakah dirimu?" Im Ceng tertawa dingin.
"Kalau ingin tahu, duduklah dulu, biar aku bercerita"
Walaupun masih menunjukkan rasa gusar, Im Ceng duduk juga ke lantai.
Un Tay-tay meletakkan petinya ke lantai kemudian duduk diatas peti itu, ujarnya perlahan:
"Sejak kecil aku hidup tanpa ayah tanpa ibu, aku dipelihara seorang ayah angkat, dia adalah seorang lelaki yang berhati mulia namun selalu hidup dalam ketidak puasan, dia anggap semua orang didunia ini bersalah kepadanya, maka setiap hari dia hanya pergi minum arak bahkan minum sampai mabuk berat.
"Padahal orang di kolong langit tidak pernah berbuat sesuatu terhadapnya, justru dia sendiri yang memandang rendah kemampuan diri, karena watak tersebut bukan saja dia hidup terasing, pekerjaan pun ikut terbengkelai"
Dia pejamkan mata sambil menghela napas panjang, lama kemudian baru lanjutnya:
"Dia tidak memiliki keahlian apapun untuk mencari nafkah, kepandaian silat pun tidak hebat, pekerjaan apapun tidak mau dia lakukan, saban hari dia selalu berkata begini terhadap dirinya: "manusia macam aku, mana boleh melakukan pekerjaan rendah yang memalukan, kalau harus bekerja, aku harus melakukan satu usaha besar", maka kerjanya setiap hari hanya luntang lantung kian kemari, katanya mah ingin melakukan usaha besar, tapi usaha besar macam apa yang akan dilakukan"
Bahkan dia sendiripun tidak tahu, dia hanya beritahu kepadaku, suatu hari nanti dia pasti akan kaya raya.
"Waktu itu usiaku masih sangat kecil, hidup kami sangat menderita dan penuh siksaan, bukan saja harus berdiam dalam kuil bobrok, makan pun tidak pernah kenyang, hingga mencapai usia lima belas tahun, pakaian yang kukenakan pun masih selembar pakaian yang sudah kukenakan sejak berumur sepuluh tahun.
"Padahal gadis berusia lima belas tahun memiliki bagian tubuh yang tidak berbeda dengan wanita dewasa, akibatnya setiap hari ada sekawanan pemuda pengangguran yang melototi tubuhku, aku berusaha menutupi bagian yang satu namun tidak dapat menutupi bagian yang lain, akhirnya akupun pasrah, biarkan mereka menonton sepuasnya, maka.... tahun itu ada berapa orang pemuda pengangguran yang meloloh ayah angkatku hingga mabuk berat, menggunakan kesempatan itu mereka memperkosa aku secara bergilir, keesokan harinya kulaporkan kejadian ini kepada ayah angkat, didalam gusarnya dia mencari kawanan pemuda pengangguran itu dengan berbekal golok, tentu saja tanpa hasil.
"Sejak itu ayah angkatku minum arak semakin banyak, tentu saja semakin mabuk, dia tidak pernah mengurusi diriku lagi, akhirnya dia pergi entah ke mana.
"Kemudian aku pun berkenalan dengan seorang pelatih kuda dari peternakan Lok-jit, dia mengerti silat dan terhitung seseorang yang punya duit dan punya pengaruh ditempat itu, akupun berusaha memikatnya.
"Tentu saja dia langsung terpikat oleh rayuanku, asal ada permintaanku, dia tidak pernah menampik, maka mula-mula aku minta kepadanya untuk menghabisi nyawa kawanan pemuda pengangguran yang pernah memperkosaku!"
"Manusia begundal macam itu memang pantas dibunuh!" sela Im Ceng geram.
Un Tay-tay tertawa hambar, lanjutnya: "Tapi setelah berjumpa dengan Suto Siau, pemilik peternakan Lok-jit, akupun mengambil keputusan untuk mengail ikan kakap ini.
"Dengan menggunakan pelbagai cara aku berusaha
mendekatinya, tatkala pada akhirnya dia mulai memperhatikan aku, mulai merayuku, dengan air mata berlinang akupun berkata kepadanya bahwa aku tidak bisa menghianati si pelatih kuda itu.
"Maka keesokan harinya Suto Siau perintahkan pelatih kuda itu untuk menemaninya pergi mengembala sekawanan kuda, mereka berangkat berdua tapi ketika balik tinggal Suto Siau seorang.
"Kepadaku Suto Siau berkata bahwa si pelatih kuda itu terjatuh dari kudanya karena kurang hati-hati hingga mati terpijak kawanan kuda, tentu saja aku mengerti apa yang terjadi, namun diluar aku berlagak sangat sedih.
"Maka ditengah suasana kesedihan itulah aku menjadi
perempuan simpanan Suto Siau.
"Aku bersumpah tidak akan hidup miskin lagi dikemudian hari, dengan pelbagai cara aku berusaha membuat senang Suto Siau, lambat laun aku pun memiliki gedung yang indah, memiliki kebun yang luas, pakaian yang mewah dengan aneka perhiasan yang mahal harganya, dari seorang wanita miskin berubah jadi wanita kaya yang terhormat, melompat keluar dari kubangan lumpur dan hidup dalam bangunan gedung yang indah, akhirnya apa yang kucita-citakan terwujud sudah"
Ketika perempuan itu menghentikan ceritanya, Im Ceng pun ikut terbungkam dalam seribu bahasa.
Angin masih berhembus lewat, cukup lama suasana dicekam dalam keheningan yang luar biasa.
Lama kemudian, akhirnya sekulum senyuman yang sangat dingin menghiasi wajah Un Tay-tay yang putih memucat, terusnya:
"Sejak saat itu aku berusaha mengisi semua kekuranganku, belajar membaca, belajar silat, aku tidak ingin terperosok lagi ke lembah kenistaan, aku ingin terbang lebih tinggi lagi.
"Menanti aku merasa kemampuanku sudah cukup tangguh maka akupun mulai membalas dendam, mulai merayu lelaki, mempermainkan mereka lalu membunuhnya.
"Dalam dua tiga tahun terakhir, entah sudah berapa banyak lelaki yang tidak kuat menahan godaan tewas ditanganku, tapi aku tidak pernah menyesali perbuatanku ini"
"Cukup, tidak usah dilanjutkan!" tiba tiba Im Ceng berteriak keras.
Un Tay-tay mendengus dingin, katanya: "Aku sengaja menceritakan semua pengalamanku ini dengan tujuan agar kau tahu perempuan macam apakah diriku ini, tentang lelaki aku sudah mengetahui kelewat banyak, terhadap lelaki semacam kau, tidak mungkin aku pernah mencintainya, jadi kau harus putuskan semua ingatanmu tentang aku, jangan berharap dan jangan menanti, sebab kau bakal kecewa"
Im Ceng mengepal tinjunya kuat-kuat, teriaknya:
"Terhadap dirimu, bukan saja aku sudah putus asa, bahkan.... bahkan...."
"Bila kau pandang rendah aku, bila pandang jijik tubuhku, hal ini jauh lebih bagus lagi" sela Un Tay-tay sambil tertawa hambar.
Tiba tiba Im Ceng bangkit berdiri, teriaknya:
"Kalau tahu begini, kenapa kau masih datang mencariku?"
"Sekarang Suto Siau sudah bersekongkol dengan suhengmu Thiat Tiong-tong, Suto Siau amat membenciku, dia tidak mungkin akan lepaskan aku maka terpaksa aku harus membunuhnya terlebih dulu, sementara aku.... aku amat membenci Thiat Tiong-tong, aku ingin membunuh mati dirinya"
"Kedua orang itu pun merupakan dua orang yang harus kubunuh" ujar Im Ceng penuh kebencian.
"Tepat sekali" Un Tay-tay tertawa ringan. Im Ceng segera mendongakkan kepalanya dan bertanya:
"Jadi kau ingin bekerja sama denganku untuk menghadapi mereka?"
"Tepat sekali, bila ingin mengandalkan kekuatan masing-masing untuk menghadapi mereka, jelas kepandaian kita belum mampu mengungguli, terpaksa aku harus bekerja sama denganmu, dengan begitu baru ada kesempatan untuk meraih kemenangan"
"Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama denganmu?"
"Kenapa tidak mungkin" Kau bisa manfaatkan kecerdasan dan kelicikanku sementara aku bisa memanfaatkan kekuatan dan ilmu silatmu, tapi kau mesti ingat baik-baik, kita hanya saling memanfaatkan, sama sekali tidak ada ikatan perasaan apapun, tatkala urusan sudah selesai, kau boleh pergi menurut keinginanmu dan akupun akan lewat melalui jalanku"
Im Ceng kembali berdiri termangu, jelas dia sangat ragu dan tidak berani mengambil keputusan.
Melihat itu Un Tay-tay segera tertawa dingin. "Kenapa" Apa lagi yang kau pikirkan" Tidak berani?"
"Siapa bilang aku takut!"
"Hmmm, mana aku tahu apa yang kau takuti?" ejek
perempuan itu makin ketus.
Dengan geram Im Ceng berteriak:
"Asal bisa membunuh Suto Siau, lalu menangkap hidup-hidup murid murtad dari Perguruan Tay ki bun, agar aku bisa menyaksikan dia mati mengerikan dibawah hukuman siksaan....
mati seperti.... seperti toako ku dulu, apa pun tidak perlu kutakuti, apa pun akan kulakukan"
Kelihatannya dia tidak pernah bisa melupakan toakonya mati ditarik dengan lima ekor kuda, terlebih terhadap Thiat Tiong-tong yang mendapat perintah untuk menjadi algojo, rasa bencinya serasa merasuk hingga ke tulang sumsum.
"Nah, begitulah baru tampang seorang lelaki bernyali" puji Un Tay-tay sambil tersenyum.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Kesempatan pasti akan datang, bila kesempatan sudah tiba, tidak sedikit yang mesti dilakukan"
Thiat Tiong-tong yang bersembunyi diluar jendela diam-diam tersenyum geli.
Pertama dia merasa yakin bahwa investasi yang ditanamkan pada diri Un Tay-tay bukanlah penanaman modal yang sia sia....
paling tidak Un Tay-tay sudah menunjukkan sikapnya untuk menganggap Suto Siau sebagai musuh dan siap melawannya dengan sepenuh tenaga.
Kedua dia merasa berterima kasih sekali kepada Un Tay-tay karena bersedia mengemukakan sikapnya terhadap Im Ceng, dengan didampingi Un Tay-tay yang licik paling tidak Im Ceng yang berangasan akan peroleh banyak bantuan, satu hal yang membuatnya sangat lega.
Mengenai perasaan Un Tay-tay terhadap dirinya, Thiat Tiong-tong tidak ingin membahasnya lebih jauh, diam-diam dia melompat turun dari wuwungan rumah.
Mendadak dia saksikan ada sesosok bayangan manusia menyelinap mendekat dengan kecepatan tinggi.
Dalam terkejutnya dia mengira jejak mereka sudah ketahuan oleh Suto Siau beserta komplotannya, cepat dia melompat naik lagi ke atas wuwungan rumah.
Bayangan manusia itu kelihatan membalikkan tubuhnya, ternyata dia tidak lain adalah si bocah pincang, murid Kiu cu Kui bo..
Dengan kening berkerut Thiat Tiong-tong segera berpikir:
"Ternyata setan cilik inipun bukan manusia yang bisa dipercaya"
Maka dia pun menggapai ke arahnya sambil membalikkan tubuh dan bergerak menjauhi bangunan kuil.
Baru tiba diluar pagar, bocah pincang itu sudah menyusul tiba, tegurnya dengan mata melotot:
"Kenapa kau berkerut kening, mau apa mencari aku?"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Aaai, bukankah kau sudah menyanggupi Un Tay-tay" Tidak seharusnya kau datang mengintip"
Bocah pincang itu tertegun, mendadak dia mengebaskan tangannya perlahan.
Thiat Tiong-tong segera mengendus bau harum yang semerbak menerpa hidungnya, kontan kepalanya terasa pening kemudian roboh terjungkal ke tanah, tidak sadarkan diri.
Dengan satu gerakan cepat bocah pincang itu melepaskan ikat pinggangnya dan mengikat tubuh Thiat Tiong-tong kuat-kuat, gumamnya:
"Jangan salahkan aku berbuat begitu kepadamu, kalau mau disalahkan, salahkan dirimu sendiri kenapa tahu kelewat banyak"
Selesai mengikat tubuh Thiat Tiong-tong, dia panggul tubuh pemuda itu dipunggungnya, lalu bergumam lagi:
"Jika kau beritahu Un Tay-tay kalau aku datang mengintip, dia pasti tidak akan suka kepadaku lagi, aku harus mencari akal agar kau tidak berani mengatakannya"
Tapi diapun tidak tahu siapakah anak muda ini dan darimana asal usulnya, dia tidak berpikir kenapa pemuda itu bisa mengetahui begitu banyak persoalannya. Oleh sebab ragu maka dia tidak berani turun tangan keji.
Dengan membopong Thiat Tiong-tong yang lemas, secepatnya dia melesat pergi menjauhi tempat itu.
Tempat itu terletak diluar kota, setelah menembusi hutan tibalah dia disebuah tanah pertanian yang luas.
Berhubung dia harus membawa seseorang, bocah pincang itu tidak berani kembali ke tempat gurunya, sementara otaknya berpikir keras bagaimana caranya mengatasi soal orang yang diculik, langkah kakinya bergerak tiada hentinya.
Setelah berjalan berapa saat, perasaan hatinya makin lama semakin bertambah gelisah, akhirnya tibalah ditepi ladang pertanian, disitu terbentang sebuah jalan kecil menuju ke arah tiga buah rumah gubuk.
Dalam rumah gubuk itu bukan saja ada cahaya lentera bahkan terdengar suara gesekan roda penggiling yang berisik, tampaknya rumah itu adalah sebuah kedai kecil yang menjual cairan kedele.
Setelah ragu sesaat akhirnya bocah pincang itu berpikir:
"Baiklah, biar kuteguk dulu semangkuk susu kedele dan makan dua potong tahu panas sebelum melanjutkan perjalanan"
Dengan langkah lebar dia mendekati bangunan rumah itu.
Di depan rumah gubuk terdapat sebuah tenda yang amat sederhana, dibawah tenda tersedia dua tiga buah meja kursi yang lapuk.
Sebuah lentera yang tidak terlalu terang tergantung ditengah tenda, menyinari wajah seorang kakek berambut putih, berbadan bungkuk dan mengenakan pakaian amat sederhana, saat itu dia sedang menggiling kedele dengan ogah-ogahan.
"Apakah ada yang dijual?" bocah pincang itu segera bertanya lantang.
"Susu kelede yang harum, tahu yang hangat, butuh berapa pun kami tersedia"
"Kalau begitu cepat hidangkan" seru si bocah sambil membanting tubuh Thiat Tiong-tong ke tanah, kemudian sengaja gumamnya lagi, "pencuri ini sungguh berat, setelah digelandang ke kantor polisi, aku harus menghajarnya berapa kali"
"Ooh, rupanya tuan kecil adalah seorang opas" sapa si kakek sambil memicingkan matanya dan tertawa.
"Benar, benar, dugaanmu tepat sekali!" buru-buru bocah pincang itu menyahut.
Kakek itu segera berpaling seraya berseru: "Toa-nio, ada tuan opas ingin minum susu kedele, cepat ambilkan mangkuk yang agak bersih" Dari dalam guduk terdengar seseorang menyahut, lalu terlihat seorang nyonya muda bergaun hijau, berikat kepala hijau dengan menggendong bayinya yang masih merah berjalan keluar.
Dia membawa sebuah mangkuk porselen yang bersih, menuangnya dengan susu kedele lalu disodorkan ke hadapan bocah pincang itu.
Melihat perempuan itu sembari menggendong bayi harus bekerja melayaninya, bocah pincang itu merasa rikuh sendiri, baru saja dia hendak bangkit membantu, tiba-tiba teringat olehnya kalau dia adalah seorang 'opas', sepantasnya seorang opas tidak berlaku sopan, akhirnya diapun duduk kembali dengan santainya.
Kelihatannya nyonya bergaun hijau itupun merasa takut sekali berhadapan dengan opas, kepalanya tertunduk sangat rendah, sambil berdiri dihadapan bocah pincang itu tanyanya lembut: "Apakah thayjin masih ada perintah lain?"
"Siapkah dua potong tahu panas" jawab bocah pincang itu sengaja memperberat nadanya.
Nyonya bergaun hijau itu mengiakan dan segera berlalu, dia membisikkan sesuatu ke sisi telinga si kakek.
Sambil tertawa kakek itupun berkata: "Nyonya kami bilang koanjin pasti sudah amat lelah karena memburu buronan,
karena itu harus dilayani dengan istimewa, dia suruh aku tambahkan berapa macam bumbu dalam tahu ini"
Diam-diam bocah pincang itu tertawa geli, pikirnya:
"Tidak nyana ada gunanya juga mengaku sebagai seorang opas"
Dengan membawa semangkuk tahu kakek itu masuk ke dalam gubuknya, tidak lama kemudian dia sudah muncul kembali seraya berkata:
"Koanjin, cobalah semangkuk tahu ini"
Sambil berkata dia sodorkan semangkuk tahu yang masih panas ke hadapan bocah pincang itu, benar saja, tahu itu sudah diberi berapa bahan penyedap dan gorengan minyak hingga baunya harum semerbak.
Dalam hati kecilnya bocah pincang itu bertambah geli, pikirnya:
"Tampaknya mereka sangat takut kepadaku, mungkin menagih uang pun tidak berani...."
Maka dengan lahapnya dia makan semangkuk tahu itu hingga ludas bersih.
"Bagaimana rasanya?" tanya kakek itu kemudian.
"Bagus, enak sekali"
"Semangkuk tahu itu memang semuanya bagus, hanya ada satu hal yang kurang bagus" kakek itu berkata lagi sambil tertawa.
"Apanya yang kurang bagus?"
"Siapa yang sudah makan tahu itu berarti dia bakal kehilangan nyawa"
Berubah paras muka bocah pincang itu, sambil mendorong meja dia melompat bangun dan melompat ke hadapan kakek itu, teriaknya sambil mencengkeram baju kakek itu kuat-kuat:
"Jadi kedai ini sebuah kedai gelap?"
Kakek itu hanya menatapnya sambil tertawa tergelak, sama sekali tidak berbicara.
Bocah pincang itu segera merasakan kepalanya mulai pening dan pandangan matanya berkunang-kunang, ke empat anggota tubuhnya lemas tidak bertenaga, dia sadar keadaan tidak beres, dengan penuh kegusaran sebuah pukulan langsung dilontarkan ke tubuh kakek itu.
Dengan cekatan si kakek mengigos ke samping lalu mendorongnya perlahan, bocah pincang itu langsung roboh terjungkal ke lantai.
Tatkala tubuhnya terjungkal, dengan penuh rasa dendam pikirnya:
"Tidak nyana aku sebagai anggota perguruan Kiu cu kui bo akhirnya harus roboh terjungkal ditangan orang"
Belum lagi ingatan itu selesai melintas, dia sudah jatuh tidak sadarkan diri.
"Roboh kau, roboh kau...." seru si kakek sambil bertepuk tangan, kemudian sambil berpaling tanyanya dengan senyuman masih menghiasi wajahnya, "nona, sebenarnya siapakah orang ini" Kenapa kau merobohkan dirinya?"
"Aku sendiri juga kurang tahu siapakah dia" jawab perempuan bergaun hijau itu, "tapi aku kenal dengan orang yang ditangkapnya itu, cepat kita gotong masuk ke dua orang itu!"
Dibawah cahaya lentera yang redup, tampak wajah cantiknya sama sekali tidak berbedak maupun bergincu, sekalipun pakaian yang dikenakan amat sederhana namun tidak menutupi kecantikan wajahnya yang menawan.
Sikap maupun tingkah laku kakek itupun kelihatan menaruh hormat terhadap si nona, dia tak berani banyak bertanya lagi dan segera menggotong masuk Thiat Tiong-tong serta bocah pincang itu.
Biarpun wajahnya sudah penuh keriput, usianya sudah agak lanjut, namun kekuatan lengannya masih hebat, biarpun sekaligus harus menggotong tubuh dua orang, dia tampak tidak kepayahan.
Perabot yang ada dalam ruang gubuk itu amat sederhana, tapi suasana amat bersih, tidak nampak ada setitik debu pun.
Sambil menggendong bayinya, nyonya bergaun hijau itu mengikuti di belakangnya, sambil menuding ke arah Thiat Tiong-tong ujarnya:
"Coba kau periksa orang itu, apakah tertotok jalan darahnya atau pingsan karena dicekoki obat pemabuk"
"Siangkong ini nampak lemas seperti kapas, kelihatannya dia roboh karena obat pemabuk" jawab si kakek setelah memeriksanya secepat, saat ini sorot matanya tajam sekali.
Setelah membaringkan bayinya diatas ayunan, perempuan berbaju hijau itu mengambil semangkuk air dingin dan mencoba dilolohkan ke mulut Thiat Tiong-tong, siapa tahu pemuda itu tetap tidak sadarkan diri, bahkan ketika kepalanya diguyur air dingin pun sang pemuda tetap pingsan.
"Lihay betul obat pemabuk ini!" gumam kakek itu dengan
kening berkerut.
Perempuan bergaun hijau itu menghela napas panjang, ujarnya:
"Padahal orang ini selalu hati-hati dan penuh kewaspadaan, ilmu silatnya terhitung tangguh, kenapa bisa dikerjai bocah cilik?"
"Sebenarnya siapa sih siangkong ini" Kenapa nona sangat menguatirkan dirinya?"
Kembali perempuan bergaun hijau itu menghela napas.
"Dialah Thiat Tiong-tong dari Perguruan Tay ki bun!"
sahutnya. Berubah paras muka kakek itu:
"Jadi dia.... dia adalah.... nona ke dua...."
"Sstt tutup mulut! Ada orang datang" mendadak perempuan itu menggoyangkan tangannya.
Baru selesai bicara, suara langkah manusia sudah berjalan mendekat dari kejauhan, lalu terdengar seseorang berkata dengan suara dalam:
"Omitohud, bolehkah aku si pendeta minta sedekah semangkuk susu kedele untuk menghilangkan dahaga?"
"Kau jaga disini, biar aku yang tengok keadaan diluar" bisik perempuan itu lirih.
Dengan cepat dia berjalan keluar dari ruangan, sekalian merapatkan kembali pintunya.
Dalam remang remangnya kegelapan malam terlihat ada seorang pendeka berjubah abu-abu yang mengenakan sepatu rumput, berkaos kaki putih dan mengenakan sebuah topi bambu berdiri disisi gilingan kedele.
Kelihatannya dia datang dari kejauhan, ini terlihat dari pakaiannya yang penuh debu dan pasir, topi bambu dikenakan rendah rendah sehingga menutupi separuh wajahnya, yang terlihat hanya jenggot panjangnya yang hitam.
Dengan kepala tertunduk kembali orang itu berkata:
"Li sicu, bersediakah kau memberi sedekah untuk aku si pendeta?"
Perempuan berbaju hijau itu ingin pendeta tersebut secepatnya pergi dari situ, maka setelah menuang semangkuk susu kedele dan mengambil sepotong tahu, dia sodorkan di depan sang pendeta seraya berkata:
"Thaysu, silahkan dicicipi!"
"Li sicu berhati mulia, Pousat tentu akan melindungi mu" seru
pendeta itu kemudian sambil tertawa.
"Terima kasih atas doa thaysu, silahkan dicicipi"
Perlahan-lahan pendeta itu duduk di bangku, kembali ujarnya:
"Pousat pasti akan melindungi Li-sicu selalu banyak rejeki dan selamat, selamanya jejaknya tidak ketahuan orang"
"Thaysu, apa katamu?" berubah paras muka nyonya berbaju hijau itu, "aku tidak mengerti maksudmu"
"Nona Leng, benarkah kau tidak mengerti?" kata pendeta itu sama sekali tidak berpaling.
Sekujur badan perempuan berbaju hijau itu bergetar keras, wajahnya berubah makin hebat, tapi dia masih memaksakan diri untuk tertawa.
"Siapa sih nona Leng itu" Jangan-jangan thaysu salah melihat orang!"
"Leng Cing-soat, nona Leng" kata pendeta itu sambil tertawa,
"sejak kepergianmu, semua orang berusaha menemukan jejakmu, orang menyangka kau telah bersembunyi ditengah hutan lebat, siapa sangka seorang putri cantik yang sudah biasa hidup dimanja, kini bersembunyi disebuah dusun terpencil sambil menjual susu kedele"
"Siapa kau sebenarnya?" bentak perempuan berbaju hijau itu terperanjat.
Perlahan-lahan pendeta itu berpaling, melepaskan topi bambunya dan perlihatkan sepasang alis matanya yang tebal, sepasang matanya yang tajam serta hidung bengkoknya seperti paruh burung elang.
Biarpun dibawah dagunya tumbuh jenggot pendek, namun usianya masih sangat muda, walaupun bertampang ganteng, sayang wajahnya yang pucat pasi menimbulkan kesan dingin yang menggidikkan hati.
Leng Cing-soat memandang orang itu sekejap, tiba-tiba ia mundur dua langkah.
"Nona Leng, apakah kau sudah mengenali siaute?" tanya pendeta itu lagi sambil tersenyum.
Sekulum senyuman manis tiba-tiba tersungging diujung bibir Leng Cing-soat, katanya sambil tertawa ringan:
"Bukankah kau adalah Sim toate" Mana mungkin aku tidak bisa mengenalimu?"
Ditengah senyuman manis mendadak tangannya secepat kilat menyapu ke depan, sepuluh jari tangannya yang tajam bagai
pedang langsung membabat sepasang mata dan tenggorokan pendeta itu, sementara kakinya melepaskan tendangan kilat menghajar Tan-thian di perutnya.
Jurus serangan yang digunakan selain aneh juga ganas dan telengas, apalagi selisih jarak mereka berdua sangat dekat, asal tersambar ujung jarinya dapat dipastikan akan mendatangkan bencana kematian.
Siapa sangka kelihatannya pendeta itu sudah menaruh waspada sejak awal, sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
"Hahahaha.... untung sejak awal siaute sudah tahu kalau dibalik senyuman nona tersembunyi golok, kalau tidak, mungkin aku sudah kehilangan nyawa saat ini"
Selesai tertawa tubuhnya sudah meloncat ke udara dan menghindarkan diri.
"Hmm, sekarang pun kau tetap tidak punya harapan untuk hidup!" ejek Leng Cing-soat sambil tertawa dingin.
Tubuhnya bagai bayangan saja langsung menempel ketat disamping pendeta itu, sepasang tangannya berputar kencang menciptakan bayangan pukulan yang menyelimuti angkasa.
Setelah memunahkan berapa jurus serangan lawan, kembali pendeta itu berteriak keras:
"Nona, jangan menyerang dulu, kedatangan siaute kali ini sama sekali tidak bermaksud jahat"
Berada ditengah udara, dengan jurus Si jin ti (menjinjing orang mati) dia mencelat sejauh satu meter lebih.
"Kalau memang tidak bermaksud jahat, kenapa gerak gerikmu mencurigakan dan wajahmu tampil dengan menyamar"
Memangnya kau berharap nonamu akan membebaskan kau sehingga dapat pulang menyampaikan berita?"
Pendeta itu menghela napas getir, ujarnya:
"Nona Leng, tahukah kau kalau nasib siaute saat ini tidak beda jauh dengan nona" Kini aku sudah menjadi manusia gelap yang takut bertemu orang, oleh sebab itulah terpaksa siaute harus menyamar seperti ini"
Leng Cing-soat tampak agak ragu, dia perhatikan sekejap pendeta itu kemudian katanya sambil tertawa dingin:
"Sim Sin-pek, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai perkataanmu?"
"Seandainya Leng locianpwee berhasil menemukan nona, paling banter dia akan minta nona untuk pulang ke rumah" kata pandeta itu sambil menghela napas, "sebaliknya bila guruku yang
menemukan jejakku, dia bisa jadi akan mencabut nyawaku!"
"Hek Seng-thian hanya memiliki seorang murid, kenapa ingin membunuhmu?"
"Sebab siaute telah menghianati guruku!" sahut pendeta itu sambil tertawa getir.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata pendeta ini tidak lain adalah pemuda yang ikut bersama Hek Seng-thian memasuki gua harta karun dan kemudian menghianati gurunya dengan melarikan diri di saat bahaya mengancam, dia bernama Sim Sin-pek.
Ketika mengetahui kalau Hek Seng-thian tidak tewas didalam gua harta, pemuda ini segera tahu kalau gurunya tidak nanti akan lepaskan dirinya dengan begitu saja.
Lantaran ketakutan, dia tidak berani tampil lagi dalam dunia persilatan, untuk merahasiakan identitasnya maka dia menyamar menjadi seorang pendeta yang berkelana kemana-mana.
Tidak nyana didalam pengembaraannya dia bertemu dengan Leng Cing-soat.
Padahal sejak awal dia memang sudah punya maksud jahat terhadap Leng Cing-soat, setelah memperoleh kesempatan, agar menghilangkan kecurigaan orang maka diapun sengaja menciptakan sebuah cerita untuk membohongi perempuan itu.
Dasar dia memang pandai bersilat lidah, tidak heran kalau cerita karangannya segera membuat orang percaya.
Sebagai penutup kembali dia menghela napas panjang, perlahan ujarnya:
"Itulah sebabnya guruku tidak ingin membiarkan siaute hidup terus, kalau siaute tidak menyamar dan kabur dari dunia persilatan, mungkin...."
"Hmmm, percuma kau bersilat lidah dengan memutar balikkan dunia, aku tidak bakal percaya kepadamu" dengus Leng Cing-soat ketus.
Bagaimana pun dia adalah seorang wanita, melihat betapa ibanya orang itu, sekalipun dimulut mengatakan tidak percaya, padahal dia sudah mempercayainya berapa bagian.
Tiba tiba Sim sin-pek berlutut, sumpahnya:
"Jika cayhe bohong, biar langit menghukum dan menumpasku dari muka bumi!"
"Apa gunanya kau bersumpah?" jengek Leng Cing-soat lagi sambil tertawa dingin.
"Kini siaute telah menghianati perguruan dan kabur dari dunia persilatan" katanya, "jika nona pun menaruh curiga
kepadaku, biarlah siaute mati dihadapan nona saja daripada membuatmu kuatir"
Leng Cing-soat tertawa dingin, dia membuang muka dengan mendongakkan kepalanya memandang angkasa.
Kembali Sim Sin-pek berkata:
"Asal bisa cuci bersih nama siaute dari segala tuduhan dan fitnahan, kenapa mesti takut mati" Siaute hanya memohon agar nona menjadi saksi atas semua pengakuan ini, jangan lupa siramlah kuburan siaute nanti dengan satu dua cawan arak kegetiran"
"Kalau ingin mati, matilah! Tidak bakal ada yang menghalangi niatmu"
Sim Sin-pek menghela napas panjang, dari dalam sakunya dia cabut keluar sebilah pisau belati yang amat tajam kemudian siap digorokkan keatas tenggorokan sendiri.
Tampaknya dia sudah memahami sifat Leng Cing-soat yang ketus diwajah namun hangat didalam hati, dia yakin gadis itu tidak akan membiarkan dirinya mati bunuh diri, oleh sebab itu tusukan belatinya dilakukan dengan sepenuh tenaga.
Paras muka Leng Cing-soat agak berubah ketika melihat pendeta itu mencabut pisau belati, maka begitu melihat dia benar-benar menggorok leher sendiri, diiringi bentakan nyaring tubuhnya melejit ke depan, secepat kUat tangannya menghajar pergelangan tangan Sim Sin-pek yang menggenggam senjata.
"Triiing!" pisau belati itu terjatuh ke tanah, namun mata pisau yang tajam tidak urung melukai juga leher Sim Sin-pek hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang.
Darah segar meleleh keluar membasahi jubah Sim Sin-pek yang abu-abu, terdengar dia menghela napas sedih.
"Aaaai, kalau toh nona pun tidak percaya kepadaku, biarlah siaute mati dihadapanmu!"
Tampaknya Leng Cing-soat masih kuatir kalau dia akan mencoba bunuh diri lagi, dengan satu tendangan dia menyepak pisau belati itu hingga mencelat jauh, katanya kemudian:
"Aku percaya kepadamu!"
"Sungguh?" Sim Sin-pek kegirangan.
Leng Cing-soat menghela napas panjang.
"Luka mu tidak serius bukan" Cepat ikut aku masuk ke dalam, biar kubalut lukamu itu"
"Siaute bersedia mati untuk membuktikan ketulusan hatiku, asal nona percaya kepada siaute, biar harus mati saja tidak
masalah apalagi hanya luka sekecil ini"
Leng Cing-soat mengerdipkan matanya berulang kali, tampaknya dia terharu oleh pernyataan itu.
Perlu diketahui, sudah sejak lama Sim sin-pek menaruh rasa suka terhadapnya, setiap kali bertemu nona ini, dia selalu bicara dengan lembut, sopan dan penuh keriangan.
Sebaliknya Leng Cing-soat sudah banyak tahun hidup menjauh dari keluarganya, kemiskinan, kesepian membuatnya sangat menderita, maka pertemuannya kali ini sama halnya seperti bertemu sanak sendiri, tidak heran kalau dengan cepat dia menaruh keper-cayaan penuh terhadap segala perkataannya.
Sim Sin-pek mengikuti dibelakangnya masuk ke dalam ruangan, pikirnya dengan girang:
"Dia sudah lama hidup kesepian, sekarang-pun menaruh simpatik kepadaku, menganggap aku senasib sependeritaan dengannya, asal membuang sedikit waktu, tidak susah rasanya untuk menggiring dia masuk ke dalam pelukanku"
Baru saja dia memandang sekejap sekeliling ruangan, tiba-tiba terlihat ada sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya tanpa berkedip, sorot mata itu penuh dengan pengalaman, sorot mata yang penuh kecurigaan serta rasa tidak percaya kepada siapa pun.
Sim Sin-pek segera kenal sorot mata itu sebagai pandangan mata dari Leng Cuan-hok, pengurus rumah tangga benteng Han hong po di masa lampau.
Maka sambil tertawa licik sapanya:
"Lo-coongkoan, masa kau tidak kenal aku?"
Leng Coan-hok manggut perlahan, sorot matanya kembali dialihkan ke wajah Leng Cing-soat.
Padahal secara lamat-lamat dia sudah mengikuti semua pembicaraan dan kejadian yang berlangsung diluar rumah tadi, hanya persoalannya tidak terlalu jelas.
Secara ringkas Leng Cing-soat menceritakan apa yang terjadi, kembali tambahnya:
"Ketika aku sedang meninggalkan Han hong po tempo hari, gerak gerikku ketahuan Hok-tia, tapi dia tidak mencegah perbuatanku sebaliknya malah ikut aku melarikan diri"
Setelah menghela napas, terusnya:
"Selama berapa tahun belakangan, seandainya tidak ada dia, mungkin akupun tidak bisa hidup hingga kini"
Membayangkan kembali rasa takut yang harus dihadapinya
ketika kabur dari pengejaran, perjuangannya untuk mempertahankan hidup, penderitaannya karena membayangkan kematian suaminya, keraguannya ketika mempertimbangkan tempat untuk menyembunyikan diri serta siksaan batin yang harus dirasakannya ketika hidup menyendiri, tidak kuasa lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Saat itulah Sim Sin-pek telah menemukan Thiat Tiong-tong serta bocah pincang yang tergeletak tidak sadarkan diri dilantai, segera tanyanya:
"Siapa pula ke dua orang ini?"
"Yang seorang adalah Thiat Tiong-tong dari Perguruan Tay ki bun, sedang yang lain adalah...."
Mendadak Leng Coan-hok terbatuk-batuk, jelas dia hendak mencegah Leng Cing-soat menjelaskan persoalan itu.
Leng Cing-rsoat tertawa pedih, katanya:
"Mulai sekarang Sim-pek sudah menjadi anggota keluarga kita, aku pikir persoalan apa pun yang sedang kita hadapi, tidak perlu dirahasiakan kepadanya lagi"
"Tapi...."
"Sudah, tidak perlu banyak bicara lagi" Terpaksa Leng Coan-hok menundukkan kepalanya sambil perlahan-lahan
membalikkan tubuh, sorot mata orang tua ini nampaknya sudah berhasil menebak niat buruk dari Sim sin-pek, hanya untuk sesaat dia belum bisa membuktikannya.
Dia berjalan mendekati ayunan, menundukkan kepala dan mengawasi bocah yang sedang tertidur lelap.
Sambil tertawa paksa kata Sim Sin-pek kemudian:
"Perkataan Hok-tia ada benarnya juga...."
"Aaaai.... bagaimana pun kita adalah manusia yang hidup bermasyarakat" tukas Leng Cing-soat sambil menghela napas,
"sedikit banyak kita harus belajar menaruh kepercayaan kepada orang lain"
Kalau dibilang perkataan itu ditujukan untuk Sim sin-pek, maka lebih tepat kalau dibilang ucapan mana sengaja dialamatkan untuk Leng Coan-hok, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak berpaling.
Mengawasi bayangan punggungnya yang rentan dan tua, timbul perasaan menyesal dihati kecil Leng Cing-soat, kembali ujarnya:
"Hok-tia, bagaimana kalau hari ini kita menutup usaha lebih awal?"
Dengan kepala tertunduk Leng Coan-hok menyahut.
Sambil tertawa paksa kembali Sim Sin-pek berkata:
"Nona dapat bersembunyi disini sambil membuka warung usaha, cara ini bagus sekali, siapapun tidak akan menduga sampai disini"
"Yaa, semuanya ini adalah berkat ide dari Hok-tia" sahut Leng Cing-soat sambil menghela napas.
Mendadak dia jumpai Sim Sin-pek meski sedang mengajaknya berbicara, namun sorot matanya berulang kali melirik Thiat Tiong-tong yang tidak sadarkan diri, tidak tahan segera tegurnya:
"Apa yang sedang kau perhatikan" Memangnya kau kenal dengan orang itu?"
Buru-buru Sim Sin-pek menarik kembali sorot matanya, sambil tertawa paksa dia menyahut:
"Aaah, mana mungkin siaute kenal orang ini?"
Hanya dalam satu lirikan mata, dia sudah menjumpai diujung saku Thiat Tiong-tong terdapat sebuah benda yang mirip sekali dengan panji darah, panji yang pernah dijumpai ketika berada dalam gua harta karun.
Panji darah itu semestinya hendak Thiat Tiong-tong serahkan kepada Im Ceng, tapi ditampik oleh pemuda itu sehingga hingga kini disimpan dalam sakunya.
Apa mau dibilang benda pusaka itu sekarang justru ditemukan oleh Sim sin-pek yang berhati busuk dan penuh dengan akal licik ini.
Kontan saja Sim Sin-pek merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya:
"Orang she-Thiat ini bisa peroleh panji tersebut, berarti dia pun sudah mendapatkan seluruh harta karun itu...."
Maka sambil berlagak tidak sengaja dia bungkukkan tubuhnya.
Dibawah sorot cahaya lentera yang redup dia mencoba memastikan apakah benda yang tersumbul keluar dari saku Thiat Tiong-tong benar-benar adalah panji darah, pusaka dari Perguruan Tay ki bun atau bukan.
Sementara dia masih mengamati dengan serius, kebetulan pada waktu itu Thiat Tiong-tong sedang membuka matanya.
Di saat pemuda itu belum teringat akan semua peristiwa yang terjadi, pandangan pertama yang muncul dihadapannya adalah wajah orang itu, selembar wajah yang seakan akan.... akan....
Tiba-tiba dia teringat kembali dengan wajah orang ini, dia
masih ingat dengan jelas, wajah tersebut tidak lain adalah wajah sang pemuda yang telah menghianati gurunya dan melarikan diri dari gua harta.
"Aaaah, rupanya kau!"
Pada saat yang bersamaaan, ketika Thiat Tiong-tong tersadar dari ingatannya, Sim Sin-pek telah mengambil keputusan, dia tidak boleh membiarkan Thiat Tiong-tong berteriak, tidak boleh membiarkan pemuda itu membocorkan kebohongannya, dan yang lebih penting lagi dia harus mendapatkan seluruh harta karun yang dimiliki Thiat Tiong-tong.
Demi mendapatkan harta karun yang tidak ternilai harganya, dia tidak sempat lagi mengurusi kecantikan Leng Cing-soat, dalam waktu sedetik Sim Sin-pek telah menyodokkan jari tangan kirinya sambil membalik lengan kanannya.
Jari tangan kirinya digunakan untuk menotok jalan darah didada kanan Thiat Tiong-tong sementara tangan kanannya berbalik meloloskan sebilah pisau belati.
Ditengah kilatan cahaya tajam, secepat petir dia menghujamkan pisau belati itu ke atas dada Leng Cing-soat.
Gadis itu menjerit kesakitan, sambil mendekap mulut luka didadanya dengan kedua belah tangan, dia menjerit gemetar:
"Hok-tia...."
Dengan langkah terhuyung dia mundur ke samping ayunan.
Kasih sayang seorang ibu membuat Leng Cing-soat yang terluka parah tidak pernah lupa untuk melindungi keselamatan putra kesayangannya.... ditengah jerit kesakitan, bayi itu mulai menangis keras.
Sambil menyeringai seram Sim sin-pek membalikkan tubuhnya, selangkah demi selangkah menghampiri ayunan.
Waktu itu Leng Coan-hok sedang memegang lentera sambil masuk ke dalam ruangan, dengan mata merah membara dia lempar lentera itu ke tanah kemudian tubuhnya langsung menerkam ke arah Sim Sin-pek.
Cepat Sim sin-pek sedikit merendahkan tubuhnya sambil merentangkan tangannya ke kiri kanan, dengan jurus Hong hong siang tian ci (burung hong pentang sayap) tangan kirinya men dorong roboh Leng Cing-soat sementara tangan kanannya memukul mundur Leng Cioan-hok.
Dengan sempoyongan Leng Coat-hok mundur ke belakang, kini orang tua itu sudah sangat geram, umpatnya dengan wajah merah padam:
"Bajingan keparat, nona bersikap baik kepadamu, tidak nyana kau justru tega melukainya...."
"Hmm, kalau tidak kejam bukan seorang lelaki" jengek Sim sin-pek sambil tertawa licik, "tua bangka Leng, hari ini akan kusuruh kau rasakan kelihayan dari seorang lelaki sejati macam aku!"
Ditengah gelak tertawa menyeramkan, dia merangsek maju menghampiri orang tua itu.
Leng Coan-hok mendongakkan kepalanya tertawa keras, teriaknya:
"Mundur kau bangsat, lohu tidak sudi mati ditanganmu!"
Kini rambut putihnya awut-awutan, darah meleleh diujung matanya, sikap ksatria seorang abdi dalam yang dengan setia dan gigih membela majikannya membuat Sim Sin-pek sedikit tertegun, tidak sadar dia sege
Dendam Iblis Seribu Wajah 4 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 6
^