Jodoh Si Mata Keranjang 6

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


bar menyerangnya. Karena Liong Bi berloncatan ke arah belakang dua orang gadis itu, hal ini membuat Cang Huy dan Cin Nio terpaksa seringkali memutar tubuh dengan cepat. Dan gerakan ini membuat keduanya mulai berkeringat dan napas mereka memburu setelah lewat tiga puluh jurus mereka menyerang sekuat tenaga dan selalu serangan mereka mengenai tempat kosong belaka.
Karena kelelahan, apalagi tadi juga sudah memainkan siang-kiam, kedua orang gadis ini menjadi lambat gerakannya. Dan akhirnya, dengan kecepatan luar biasa, ketika dua orang gadis itu menyerang, tubuh Liong Bi seperti terbang dengan loncatan ke atas, berjungkir balik di udara dan kini dengan kepala di bawah tubuhnya meluncur turun, didahului kedua tangannya dan tahu-tahu hiasan rambut itu sudah berada kembali di kepala Cang Hui dan Cin Nio, terpasang dengan rapi!
Cang Taijin bertepuk tangan, isterinya tersenyum-senyum kagum, juga Cang Sun bertepuk tangan lebih keras daripada ayahnya. Coa-ciangkun mengangguk-angguk dan memandang kagum pula. Cang Hui dan Cin Nio juga menjadi kagum dan Cang Hui kehilangan perasaan penasarannnya. Ia sudah takluk dan bahkan girang mendapatkan seorang guru yang demikian pandainya. "Engkau memang hebat, enci Liong Bi!" katanya memuji.
"aih, siocia terlalu memuji. Siocia juga mempunyai bakat yang baik sekali," kata Liong Bi, bukan sekedar menyenangkan hati puteri bangsawan itu melainkan memang sebenarnya gadis itu memiliki bakat yang baik untuk belajar ilmu silat.
"Sekarang harap Coa-ciangkun suka menguji saudara Liong Ki!" kata Cang Sun gembira dan Menteri Cang juga mengangguk ke arah Coa-ciangkun. Perwira itu ada;ah bawahan Menteri Cang. Andaikata tidak menjadi guru dua orang gadis itu pun dia tetap seorang perwira yang memiliki tugas lain. Baginya, menjadi guru kedua orang gadis itu atau tidak, sama saja dan tidak ada bedanya karena mengajar dua orang gadis iyu pun merupakan pelaksanaan tugas yang diperintahkan atasannya. Kini dia mendapat tugas menguji kepandaian pemuda yang katanya kakak dari wanita cantik itu. Dia dapat menduga bahwa kalau adiknya yang perempuan saja demikian lihai apalagi kakaknya. Dia bangkit, memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, kemudian melangkah ke tengah ruangan.
Liong Ki juga memberi hormat kepada tuan rumah, lalu melangkah menghadapi Coa-ciangkun, memberi hormat kepada perwira itu. "Ciangkun, maafkanlah dan bermurah hatilah kepada saya yang muda."
Ucapan itu sungguh merupakan ucapan yang merendah. Mendengar ini dan melihat sikap pemuda itu, senanglah hati Coa-ciangkun. Orang muda ini tentu lihai dan sikapnya sopan dan rendah hati, sungguh akan merupakan hamba yang baik dan dapat diandalkan. Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus yakin akan kemampuan pemuda ini yang akan dijadikan pengawal pribadi atasannya.
"Orang muda yang gagah, melihat tingkat kepandaian adikmu, aku dapat mengerti bahwa engkau tentu lihai bukan mai. Harap jangan sungkan, aku hanya bertugas menguji kepandaianmu."
"Kalau begitu silakan, Ciangkun. Bagaimana Ciangkun hendak mengatur ujian ini" Bertangan kosong" Bersenjata?"
Coa-ciangkun menghadap Menteri Cang dan bertanya, "Taijin, bolehkah saya mengujinya dengan cara saya untuk melihat apakah dia ini benar-benar cakap untuk menjadi pengawal pribadi Taijin?"
Menteri Cang mengangguk-angguk. "Lakukanlah, Ciangkun. Engkau lebih tahu bagaimana harus menguji calon pengawal pribadi yang baik."
"Terima kasih, Taijin," kata perwira itu yang kini menghadapi pemuda itu lagi. "Liong-sicu (orang gagah Liong), menjadi pengawal pribadi atau pengawal keluarga, harus siap menghadapi segala kemungkinan adanya bahaya yang mengancam. Mending yang mendatangkan bahaya bukan hanya seorang saja sanggupkah engkau menghadapi serbuan lima orang pengacau?"
"Tentu saja, Ciangkun. Kalau saya menjadi pengawal, maka saya akan melindungi dan membela keselamatan yang saya kawal dengan taruhan nyawa saya."
"Bagus kalau begitu. Nah, katakanlah bahwa saya dan lima orang anak buah saya menyerbu rumah Cang Taijin dan engkau harus melindungi keselamatan keluarga beliau." Perwira itu melangkah ke pintu dan memanggil lima orang pengawal yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi karena mereka itu adalah para sute (adik seperguruan) darinya. Lima orang prajurit itu masuk, memberi hormat kepada keluarga Menteri Cang, kemudian atas isyarat suheng mereka, mereka berdiri mengepung Liong Ki dalam setelam setelah lingkaran.
"Liong-sicu, kami berenam adalah pengacau-pengacau yang menyerbu rumah keluarga yang kaulindungi. Kami semua bersenjata dan kami akan menyerang dengan sungguh-sungguh. Sanggup dan beranikah engkau menghadapi kami" Karena ini hanya ujian, tentu saja engkau tidak boleh melukai kami, hanya boleh merobohkan tanpa melukai. Sanggup?"
"Nanti dulu!" Cang Sun berseru. "Tidak adil kalau begini. Masa seorang dikeroyok enam orang" Di sini masih ada nona Liong Bi, dan ada pula tunangan saudara Liong Ki. Mereka bertiga tentu akan bergerak melawan kalau rumah di serbu enam orang penjahat!"
Akan tetapi Liong Bi sambil tersenyum ramah. "Biarkan saja, Cang-kongcu. Kurasa kakakku masih akan mampu menghadapi keroyokan enam orang penguji itu. Nanti kalau kewalaham, baru aku akan membantunya, kalau saja diperbolehkan."
Mendengar ini, Cang-taijin yang sudah merasa gembira dan kagum itu berkata, "Tentu saja boleh kalau nanti engkau akan membantu kakakmu."
Perwira Coa yang sudah mencabut pedangnya, juga lima orang sutenya yang sudah mengeluarkan senjata mereka, ada yang memegang golok ada yang membawa tombak atau pedang, berkata, "Naih, Liong-sicu, keluarkan senjatamu untuk menghadapi keroyokan kami."
Liong Ki melolos sabuknya, sebuah sabuk sutera yang berwarna biru muda, lemas dan panjangnya ada dua meter. Dia menggerakkan tangan kanan dan sabuk itu melayang ke atas, membuat lingkaran dan membelit-belit lengannya sampai tergulung semua. "Inilah senjataku, Ciangku. Cu-wi (kalian semua) mulailah!"
Liong Ki memang tampan dan gagah sehingga dua orang gadis itu memandang penuh kagum. Betapa gagahnya pemuda itu, menghadapi enam orang yang bersenjata tajam hendak mengeroyoknya, bersikap demikian tenangnya, bahkan senjatanya pun sehelai sabu sutera tipis dan lemas! Semua orang memandang tegang kecuali tentu saja Liong Bi. Wanita ini yakin benar bahwa kakaknya akan mampu menandingi pengeroyokan enam orang itu.
"Liong-sicu, awas, kami mulai menyerang!" kata Coa-ciangkun dan ia mendahului sutenya untuk menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cpat dan mengandung tenaga yang kuat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang dan ketika menyambar, mengeluarkan suara bersiutan! Gerakan pedang ini di susul oleh gerakan senjata lima orang sutenya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit yang biasa bertempur sebagai pasukan, apalagi mereka adalah kakak-beradik seperguruan yang mengenal ilmu silat masing-masing, maka gerakan mereka itu teratur dan rapi, tidak simpang siur dan saling mendukung.
Tadinya semua orang memandang tegang melihat enam buah senjata menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah tubuh pemuda itu. Akan tetapi mereka pun terbalalak kagum ketika tubuh Liong Ki lenyap dan terbungkus lingkaran gulungan biru yang dibuat oleh sabuk suteranya. Bahkan Liong Bi juga memandang kagum. Kakaknya memang hebat, lebih hebat darinya! Dan enam orang pengeroyoknya itu terkejut karena seringkali senjata mereka bertemu dengan sabuk yang sinarnya bergulung-gulung itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka tegetar hebat! Bahkan pertemuan antara senjata dengan sabuk itu menimbulkan suara berdenting seolah-olah sabuk itu berubah menjadi baja yang kaku! Itu menunjukkan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dapat membuat sabuk sutera menjadi keras dan kaku.
Mula-mula, Liong Ki mempergunakan kelincahan gerakannya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sduah mencapai tingkat tinggi. Tubuhnya berkelabatan dan menyelinap di antara gulungan sinar enam buah senjata. Hanya kadang-kadang saja pengelakannya di Bantu oleh tangkisan sabuk suteranya. Sampai belasan jurus dia menghindarkan serangan-serangan itu dengan mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatan gerakannya. Nampaknya, memang lucu dan indah. Enam orang itu bagaikan enam orang anak-anak yang berlomba menangkap seekor burung walet yang beterbangan di antara mereka.
Setelah lewat belasan jurus, Liong Ki mengubah permainannya. Dia tidak lagi berloncatan mengelak, melainkan berdiri tegak dan memutar sabuknya. Sabuk itu berubah menjadi benteng sinar biru yang melindungi dirinya sehingga semua serangan yang datang dari depan, kanan kirii dan atas itu terpental kembali karena bertemu dengan benteng sinar sabuk biru! Berulang kali enam orang itu mengerahkan tenaga, menggunakan senjata mereka menyerang untuk menembus perisai atau benteng sinar biru, namun semua serangan itu gagal karena senjata mereka terpental seperti bertemu dengan kitiran baja yang amat kuat!
Kalau pengeroyok berusaha untuk mengelilinginya, Liong Ki memutar tubuh dan gulungan sinar itu pun menyelimuti seluruh tubuhnya! Sampai belasan jurus Liong Ki mengandalkan senjata yang istimewa itu untuk menghalau semua serangan, sama sekali tidak mengelak lagi.
"Awas, jaga senjata kalian!" Tiba-tiba Liong Ki berseru dan gerakan sabuknya berubah, kini berlenggak-lenggok seperti gerakan ular. Tiba-tiba seorang pengeroyok berteriak kaget. Pedangnya terlibat ujung sabuk dan begitu ditarik, pedang itu pun terlepas dari pegangannya! Coa-ciangkun cepat menerjang dengan pedangnya, membacok ke arah sabuk untuk merampas kembali pedang anak buahnya yang terampas.
"Tranggg "..!" Hampir saja pedang itu terlepas dari tangan Coa-ciangkun ketika ujung sabuk itu membalik dan pedang rampasan itu menangkis pedang ini. Kemudian, sekali ujung pedang bergerak, pedang rampasan itu telah terbang ke arah rak senjata dan menancap di papan rak! Dan kini sabuk itu mengamuk. Bagaikan seekor ular besar atau seekor naga, sabuk itu menyambar-nyambar dengan amat cepatnya sehingga para pengeroyok yang tinggal lima orang itu terkejut dan menggerakkan senjata melindungi diri. Akan tetapi bertutur-turut empat orang anak buah Coa-ciangkun berteriak dan senjata mereka satu demi satu beterbangan karena dirampas ujung sabuk dan semua senjata itu menancap pada papan rak senjata! Tinggal Coa-ciangkun seorang!
Coa-ciangkun yang merasa penasaran cepat menerjang dengan nekat. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti dan tubuhnya sudah terbelit-belit sabuk sutera sehingga kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi, juga pedang di tangannya! Dia hanya dapat berdiri tegak dengan mata terbelalak!
"Ciangkun, maafkan aku!" kata Liong Ki dan sekali menggerakkan tangan, sabuk itu pun melepaskan libatannya. Cang Sun dan semua orang bertepuk tangan memuji dan Coa-ciangkun mau tidak mau harus mengakui kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu. Dia memberi hormat kepada Menteri Cang dan berkata dengan sungguh hati.
"Harap paduka ketahui bahwa kepandaian Liong-sicu ini benar-benar amat tangguh dan dapat dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi paduka."
Tentu saja Menteri Cang girang sekali, terutama Cang Sun juga merasa gembira karena dua orang penolongnya itu di terima oleh ayahnya. Bahkan Cang Hui juga merasa gembira. Ia mendekati Liong Bi dan berkata, "Enci, engkau harus mengajarkan ilmu silatmu yang lincah tadi, dan cara engkau merampas senjata dan melemparkan ke rak senjata! Aku tidak akan menyebut engkau subo (ibu guru). Engkau masih terlalu muda untuk menjadi ibu guru. Biar kusebut engkau enci (kakak) saja!"
Liong Bi menjura dengan hormat. "Jangan khawatir, Siocia. Aku akan mengajarkan semua ilmu yang kuketahui kepadamu ".."
"Aku juga, Enci Liong Bi ?"" kata Teng Cin Nio.
Liong Bi merasa ragu karena ia belum tahu siapa gadis cantik pendiam ini. Melihat keraguan wanita itu, Cang Sun segera berkata, "Ia juga, Enci. Ia bernama Teng Cin Nio, adik misanku dan ia pun merupakan anggauta keluarga kami, bahkan calon anggauta dekat sekali."
Liong Bi mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, akan kuajarkan kepada kalian berdua."
Liong Ki dan Liong Bi lalu berpamit untuk mengambil pakaian di rumah penginapan, juga untuk menjumpai tunangan Liong Ki yang di tinggalkan di rumah penginapan. Menteri Cang menyetujui dan mereka pun meninggalkan gedung itu dengan hati dipenuhi kegirangan karena cita-cita mereka tercapai.
*** () *** Para pembaca tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalam Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain. Wanita itu memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi, usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, ia pun menyusun siasat untuk bersama pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw!
Sim Ki Liong yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang di rumah Mayang dan keduanya segera keluar untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi ke danau. Dua orang petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk "mendekati" keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap rumah gedung itu. Mereka melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, epat Su Bi Hwa mengatur siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok, menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang!
Mayang menyambut mereka dengan cemberut. "Dari mana saja kalian?" tegurnya kepada mereka.
Ki Liong menjawab dengan wajah berseri. "Ah, kami beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak dapat menduga apa yang telah kami capai."
"Hemm," Mayang menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. "Kalian baru pulang dari rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan di sana?"
Dua orang itu terkejut dan terbelalak. "Ehh" Engkau sudah tahu" Mayang, kami ". Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat, dan hidup kita terjamin!"
"Benar, adik Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga. Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?"
Akan tetapi mayang masih mengerutkan alisnya. "Hemm, bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu" Kalian menipunya untuk mencari pahala!".
Kembali Ki Kiong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main, " Mayabf, jadi engkau tahu semuanya?"
"kau kira aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja" Sejak kalian pergi hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh keheranan dan penasaran!"
"Adik Mayang , maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang ku kenal itu telah pindah. Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcudan kami membayangi dia ke danau." Kata Bi Hwamembela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu.
"Benar, Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami.Menteri Cang merupakan pembesar yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara san memperoleh kedudukan yang baik."
"Tapi, kalau hendak bekerja kepada nya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura menculk puteranya kemudian di bebaskan?" Mayang membantah, masih marah.
"Adik Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak bersalah. Dan aku pun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng menerima kami" Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil di terima menjadi pengawal-pengawal keluarga."
"Benar, Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu menghadap ibumu dan subomu."
Karena di bujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga. "Baiklah, akan kulihat saja bagaimana perkembangannya di sana nanti," katanya.
Ki Liong girang bukan main. "Dan untuk membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi, adikku."
"Aku tidak mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!" kata Mayang, kembali mengerutkan asisnya. Diam-diam Ki Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap iyarat ini dan ia pun berkata sambil melangkah keluar.
"Kalian bicaralah, aku akan mengemasi pakaian."
Setelah Bi Hwa pergi, Ki Liong berkata, "Mayang lupakah engkau siapa aku ini" Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, engkau berusaha untuk kembali ke jalan benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!"
"Kalau hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?"
"Aih, Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan satu tujuan, agar aku diterima di sana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar" Aku terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia akan mau memberi pekerjaan kepadaku" Berikaplah adil, Mayang ?", semua ini kulakukan demi engkau!"
Mayang mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alas an pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan dan kedudukan yang baik, apa salahnya"
"Baiklah, akan kulihat perkembangannya nanti," katanya mengulang pendapatnya tadi. Ki Liong merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu.
"Mari kita berkemas! Dan di sana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu."
Dengan senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati seorang puteri dan berkata, "Baik, tuan puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!"
"Cih, tak usah merayu!" Mayang berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran.
Ketika Bi Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka akan kagum akan kecantikan khas dari gadis pernikahan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang sudah banyak pengalaman, lalu bertanya.
"Liong Ki, apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?"
Liong Ki atau Sim Ki Liong memberi hormat, "Ia adalah peranakan Tibet, Taijin."
Cang Hui mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik. "Siapa namamu dan berapakah usiamu?"
Melihat gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh namun enak di dengar, "Namaku Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri Cang Taijin bukan" Nona cantik sekali!"
Jawaban ini seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan Mayang. "Aku memang Cang Hui, dan engkau pun cantik sekali, Mayang. Apakah engkau pun ahli silat seperti kakak-beradik she Liong itu?"
Mayang tersenyum. "Aku tidak sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona." Untung bagi Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain, akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau melakukannya.
"Mayang, engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui saja!" kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang.
Mayang tersenyum dan entah bagaimana, ia pun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan yang berwatak polos ini. "Terima kasih," katanya.
"Enci Hui, apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?" kata Cin Nio. "Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya taanpa melukai kami. Snaggupkah kau melakukan itu?"
"Cin-moi, rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu."
"Memang tidak perlu diuji lagi, aku pun sudah percaya," kata Cang Sun yang sejak tadi kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum. Gadis ini mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat melawannya dengan ingatan bahwa gadis pernakan Tibet ini telah menjadi calon isteri Liong Ki!
"Hemm, kalau begitu kruang adil!" Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa. "Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kamisekeluarga melihatnya." Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung wibawa dan perintah.
"Baik, Taijin," kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang sipit namun bersinar tajam itu. "Siapa yang akan mengujiku?"
Cang Hui yang merasa suka kepada Mayang, berkata, "Aku sudah lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak mengujinya?"
Cin Nio menunduk dan mukanya kemerahan. "Mana aku berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?"
"Tidak perlu bertanding," kata Menteri Cang. "Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu."
"Baik, Taijin," kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk. Pecut atau cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kir, melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat.
"Taijin beratkah arca singa itu?" tanyanya kepada Menteri Cang. Caranya bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan etringat akan sikap Cia Kui Hong.
"Tentu saja berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu menggotongnya," katanya.
"Adik Hui, aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk mengangkatnya," katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan ini terkejut.
"Ihh, jangan main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat menimpamu dan membuatmu terluka!"
"Kita lihat sajalah!" kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil karena ia telah memainkan cambuknya. Ia bersilat dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa kuningan. Ujung cambuk itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking, singa-singaan itu pun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu bertepuk tangan.
Mayang bukan seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin di anggap lemah. Setelah tepuk tangan berhenti, ia pun memberi hormat ke arah suami isteri pejabat tinggi itu dan berkata, "Taijin, saya lihat banyak lalat disini. Bolekah saya membunuh mereka?"
Menteri Cang mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi bintang kecil yang amat gesit itu dengan cambuknya" Akan tetapi dia mengangguk gembira.
"Boleh, bunuhlah lalat-lalat itu!" katanya.
Mayang menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar. Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor lalat! Melihat bangkai itu tidak hancur, dapat di mengerti betapa hebatnya permainan camuk itu, yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan cambuk itu!
Kembali semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka di ajak melakukan penyelewengan, berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab.
"Mayang, engkau saja yang mengajarku ilmu silat!" Cang Hui berseru gembira sambil merangkul gadis peranakan Tibet itu. "Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti itu!"
Demikianlah, mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama Mayang dan Bi Hwa. Mereka sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab. Di dalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong!
Karena maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang. Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar itu.
Mereka segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa berbisik, "Ssssttt, aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat."
Biarpun kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani! Bi Hwa merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun, sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui!
"Kalau kita berdua, atau diantaranya seorang di antara kita dapat menjadi mantu Menteri Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat," katanya.
"Engkau bisa mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku" Bagaimana mungkin" Di sana ada Mayang ?"" kata Ki Liong meragu.
"Aih, lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang isteri" Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah saja."
"Jangan pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan celaka?"
"Bodoh, ia tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia akan mentaati semua perintahmu."
"Hemm, justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau kalau kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya dan subonya!" Ki Liong berkata kesal.
"Itu perkara kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi, andaikata ia menyadarinya pun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan taat."
Wajah Ki Liong menjadi berseri. "Engkau dapat melakukan itu?"
Bi Hwa mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka segolongan! "Tidak percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw," kata wanita itu. "Pendeknya, urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!"
Bi Hwa dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih tinggi lagi.
Mereka bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu mengetahui pertemuan rahasia mereka.
Sementara itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang kaku. Dengan adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong, mereka duduk mengaso dan bercakap.
"Adik Hui, engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apa pun juga. Pelayan cukup banyak, pengawal pun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat yang melelahkan" Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang halus lunak itu menjadi kasar?" Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa.
"Heh-heh, engkau ini ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!"
"Ehh" Pendekar wanita siapakah itu?"
"Enci Kui Hong. Cia Kui Hong ?""
Sepasang mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali.
"Ketua Cin-ling-pai "..?" ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang dimaksudkan Cang Hui.
"Benar, engkau sudah mengenalnya, Mayang?"
Mayang mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya. "Aku pernah bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?"
Pada saat itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio pergi, Cang Hui berkata lirih. "Kasihan, Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui Hong."
"eh,kenapakah?" Mayang tentu saja merasa heran sekali.
"Mayang, setelah beberapa hari tinggal di sini, engkau kuanggap sebagai keluarga
sendiri, maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika enci Kui Hong tinggal di sini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci Kui Hong."
"Hemm, menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga baik budi pekertinya."
"Ehh" Bagaimana engkau tau dia baik budi?"
"Meliaht penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah," kata Mayang, lalu membelokkan percakapan, "Lalu, bagaimana perjodohan itu?"
Cang Hui menggeleng kepalanya. "Agaknya Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain."
Dikiranya aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu Tang Hay!
"Dan sejak saat, itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain, membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio ke sini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi jodoh Sun-koko."
"Baik sekali ".," kata Mayang.
"Apanya yang baik!" Cang Hui mengerutkan alisnya. "Sun-koko sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya."
Mayang diam saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendir jatuh cinta kepada Sim Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat!
"Engkau beruntung, Mayang." Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru Mayang sadar.
"Apa" Mengapa?" tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi.
"Hik-hik, kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya pendekar!"
"Hemm, mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui," kata Mayang dengan pikiran melayang jauh. Kembali ia melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa. Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya.
"Aih, kalau saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!"
Wanita cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan oleh seorang gadis yang genit dan "ada apa-apanya"! Maka, mendengar akan pujian dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu!
"Engkau melamun lagi, Mayang!" tegur Cang Hui.
"Ah, maaf ". Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui."
"Eh" Apakah itu, Mayang" Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!" Gadis bangsawan itu tersenyum.
"Aku hanya ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi"."
"Hemm, adik tunanganmu itu?"
Ingin ia meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pesannya. "Ia seorang wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu. Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu."
Cang Hui terbelalak dan tersenyum. "Aih, Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang ". Bagiku ia terlalu genit. Aku pun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya. Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu. Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan kusampaikan kepada kakakku."
Biarpun hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya, pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di rumah keluarga Cang. Ia segera melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat! Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya, terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk.
Sampai menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan perondaan. Mereka bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar di bagian belakang. Mendadak ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang dicintanya itu. Tak dapat di tahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar melalui jendela, ke dalam taman.
Tiba-tiba ia berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta Ki Liong, betapa ia amat merindukannya" Kenapa ia seperti di dorong-dorong untuk menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya"
"Hemm, ini tidak wajar! Begitu pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya, mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika perasaan yang mendorong-dorongnya itu pun lenyap! Seolah angin malam semilir mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki Liong di kamarnya! Sungguh mustahil!
"Keparat, siapa berani main-main dengan aku" tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!" tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya. Namun, sepi dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal ia pun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main dengannya" Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia mau menyerahkan dirinya malam itu" Ataukah memang dorongan itu datang dari perasaan cinta dan rindunya"
Ia tidak tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala dengan kecewa. "Sialan," gerutunya dalam hati. "Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan sihirku!" Ia menyelinap pergi dan mengomel, "Harus kupergunakan cara lain untuk menundukkan bocah itu!"
Pada keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas. Akan tetapi bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya. Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam cintanya terhadap Cia Kui Hong.
*** () *** Kita tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita meninggalkan Hay Hay.
Setelah bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang indah dilatarbelakangi warna merah redup. Pada saat itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan. Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang di sana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar.
Hay Hay ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat, melihat matahari telah menjadi bole besar merah yang mulai tenggelam di balik kaki langit. Dan dia pun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak, lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu! Baru terasa olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesautu, tidak dapat bebas lepas seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan bersatu dengan alam, perasaan bebas!
Kenapa dia biasanya hidup di antara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini" Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka, lebih banyak dukanya dari pada sukanya.
"Siancai (damai) ".! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga ?".!"
Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua, gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke tempat Hay Hay berdiri. Melihat ini, otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan dia pun cepat menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya. Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itu pun bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuah pun, membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak!
Hay Hay memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. "Maaf, Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal di mana?"
"Ho-ho, orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya, aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama."
"Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)" Itukah sebutan untuk kakek?" Hay Hay bertanya.
"Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah di mana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru, heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini" Adakah lauk yang lebih lezat dari pada lapar" Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk" Adakah yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?"
Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!
"Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kakek di sini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa memperolehnya?"
Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali. "Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya" Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu" Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?"
Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itu pun lewat begitu saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia"
"Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi di lain saat perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia ataukah bukan"
"Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!"
"Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?"
Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat. "Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita mengenalnya" Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya" Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu" Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian" Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah senang pun hanya bayangan palsu belaka."
"Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"
"Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau di lain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik dan menyenangkan, di lain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"
Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti, "Kita sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?"
"Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak pernah makan garam" Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan, heh-heh-heh."
"Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."
"Engkau juga, orang muda?"
"Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?"
"Di sanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!"
"Ehh" Kenapa begitu, Kek?"
"Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya."
"Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"
"Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?"
Hay Hay menjadi bengong dan bingung. "Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?"
"Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan" Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?"
Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa" Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan" Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab, "Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!"
"Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu" Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih" Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat" Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu" Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan kesehatan" Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan" Yang mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum."
Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum maklum. "Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"
"Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku."
"Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak merasakannya" Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa yang mengganggu?"
"Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah penghancur kebahagiaan. itu sendiri."
"Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk memerangi nafsunya sendiri."
"Siapa yang berhasil" Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari gelimangan nafsu" Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri, berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia."
"Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek" Nafsu mencelakakan kita, akan tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?"
"Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan."
"Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang nafsu" Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat atau pelayan?"
"Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula, hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di dunia."
"Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan menjadi jahat?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa " Segala yang ada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?"
"Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?"
"Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?"
"Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu, kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan."
Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan pertanyaan. "Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apa pun, benarkah itu?"
"Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup, bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran. Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?"
"Hei, manusia jahat penyebab kesengsaraan kami, hendak lari ke mana engkau?" bentakan ini terdengar dari bawah puncak dan tak lama kemudian orangnya pun muncul.
Ketika Hay Hay melihat orang itu dia terbelalak kaget dan heran. Yang muncul itu adalah laki-laki sebaya dia yang cebol, bermuka hitam, matanya sipit, hidung besar dan bibir tebal, orang muda buruk rupa yang pernah dijumpainya, suami wanita yang cantik manis dan lincah itu! Tentu saja dia merasa heran mengapa laki-laki itu mendaki puncak dengan sikap marah-marah, dan dengan gerakan gesit laki-laki itu melocat dan berdiri tak jauh dari situ dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busur dan beberapa batang anak panah! Kini dia mengamangkan busur dan anak panah itu kepadanya.
"Heh, pengecut mata keranjang! Bersiaplah engkau untuk mampus! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawamu dengan anak panah ini, agar engkau tidak lagi meracuni hati wanita!"
Hay Hay menoleh ke kanan kiri dan belakang. Tidak ada orang lain di situ kecuali dia dan kakek tua renta tadi yang masih duduk di atas batu. Tidak mungkin kakek itu dimaki perayu mata keranjang yang meracuni hati wanita! Jadi, dialah yang dimaki! Makian mata keranjang bagi dia tidak menjadi soal. Dia sudah terbiasa dengan itu, bahkan dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang oleh banyak tokoh persilatan. Akan tetapi, sekali ini dia penasaran. Dia tidak merasa mengganggu dan merayu wanita, kenapa si buruk rupa ini datang-datang memakinya " Ketika dia bertemu dengan isteri si buruk rupa itu, dia pun tidak merayunya walaupun dia sempat bercakap-cakap sejenak.
"Heii, saudara yang baik. Siapakah yang engkau maki-maki itu?" tanya Hay Hay sambil melangkah maju.
"Siapa lagi kalau bukan engkau" Masih pura-pura bertanya lagi?"
"Ehh" Apa salahku?"
"Manusia ceriwis, mata keranjang! Engkau telah menggoda isteriku, merayu isteriku dan meracuni hatinya!"
"Bohong! Aku tidak melakukan hal itu. Kami hanya bercakap-cakap biasa saja!" bantah Hay Hay. Dalam keadaan biasa, tuduhan seperti itu tentu hanya akan dihadapi dengan sikap main-main. Akan tetapi, sekarang di situ terdapat kakek tua renta yang baru saja memberi penerangan pada batinnya. Dia merasa malu mendengar tuduhan itu yang dilakukan di depan kakek tua renta yang arif bijaksana itu!
"Engkau masih hendak membantah! Begitu isteriku bertemu denganmu, ia telah sama sekali berubah! Ia tidak lagi mau melayaniku dengan manis budi, ia selalu cemberut, marah-marah dan setiap kali membicarakan engkau matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri dan ia mengatakan bahwa engkau amat menarik hatinya, menimbulkan kegembiraan hatinya dan sebagainya lagi. Huh, tentu engkau telah mempergunakan ilmu hitam guna-guna untuk merayu dan menjatuhkan hatinya."
"Tidak sama sekali! Bohong itu ".!" kata Hay Hay, akan tetapi laki-laki pendek muka hitam yang amat cemburu itu, sudah memasang tiga batang anak panah pada busurnya.
"Engkau mampuslah!" bentak laki-laki itu dan sekali menarik busur dan melepaskan tali busurnya, tiga batang anak panah itu meluncur dengan amat cepatnya ke arah tubuh Hay Hay. Hay Hay tahu bahwa laki-laki itu memiliki tenaga besar. Pernah dia mendemonstrasikan tenaganya ketika mereka saling bertemu. Laki-laki itu menekankan jari-jari tangannya, pada batu dan telapak tangannya meninggalkan bekas sedalam dua sentimeter pada batu itu! Maka, kini serangan anak panah itu tentu saja mengandung tenaga yang hebat, melihat cepatnya tiga batang anak panah itu menyambar seperti kilat cepatnya.
Namun, tidak terlalu cepat bagi Hay Hay! Dengan mudah saja, Hay Hay meloncat ke kiri dan bahkan masih sempat menendang ke arah anak panah yang menyambar tadi sehingga dua batang di antaranya terlempar ke atas.
"Auhhhh .....!" terdengar keluhan lirih dan ketika Hay Hay menengok matanya terbelalak. Ternyata, tanpa diketahuinya, kakek tua renta yang tadi duduk di atas batu, telah turun dari batu dan agaknya melangkah menghampirinya. Oleh karena itu, ketika sebatang di antara anak panah yang menyambarnya tadi luput, anak panah itu meluncur terus dan tahu-tahu kini menancap dada kakek tua renta itu! Kakek itu mengeluh lirih dan terjengkang, roboh telentang di atas tanah!
Bukan hanya Hay Hay yang terbelalak dan terkejut. Juga laki-laki pendek muka buruk yang melepas anak panah, terbelalak dan berseru, "Ya Tuhan .....!" dan dia sudah berlari menghampiri kakek itu dan berlutut di dekatnya. Muka yang hitam itu nampak kelabu, tanda bahwa dia pucat sekali melihat betapa anak panahnya menembusi dada sampai ke punggung!
"Duhai ?" kakek..... ah, aku tidak sengaja ?". aih, kenapa begini jadinya" Kakek ?". aku menyesal sekali, aku mohon ampun, Kek ?"." Laki-laki muka buruk yang tadi marah-marah, kini menangis dan merintih minta ampun kepada kakek itu. Hay Hay menghampiri dan sekali lihat saja dia pun tahu bahwa tidak mungkin sama sekali mengobati kakek itu yang dadanya sudah tertembus anak panah! Dia pun berlutut dengan prihatin sekali.
Kakek itu tersenyum! Senyum yang ikhlas dan tenang. Dengan matanya yang masih bersinar, dia memandang kepada laki-laki muka buruk itu dan berkata lemah. "Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Aku". aku maafkan engkau ?""
Hay Hay merasa terharu bukan main. Selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan orang seperti kakek ini. Begitu lemah lembut, begitu arif bijaksana, begitu sabar dan begitu pasrah kepada kekuasaan Tuhan!
"Kek ".." panggilnya lirih sambil mendekat. Kakek itu menoleh kepadanya.
"Kau, orang muda. Kau ".. tolong ambilkan segulung tulisan yang berada di saku jubahku sebelah kiri ?"" Dia bergerak lemah. Hay Hay segera memenuhi permintaannya dan benar saja, di saku jubah sebelah kiri dia menemukan segulung kertas berisi tulisan huruf-huruf yang indah halus. Ujung gulungan kertas itu sudah bernoda darah.
"Orang muda, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir "..?" kata pula kakek itu.
Si muka buruk cepat berkata, "Kakek, serahkan tugas itu kepadaku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi pesanmu untuk menebus dosaku kepadamu, Kek!"
Kakek itu menoleh kepadanya dan tersenyum. "Asal engkau tidak lagi pencemburu dan pemarah, dosamu akan tertembus." Lalu dia memandang lagi kepada Hay Hay. "Kau simpanlah gulungan kertas ini, dan kelak ?". kalau ada kesempatan atau kalau kebetulan engkau lewat di Nan-king kau berikan kertas-kertas ini kepada seorang di antara dua menteri bijaksana, yaitu Menteri Yang atau Menterj Cang ?"" suara kakek itu melemah, lehemya terkulai dan dia pun! menghembuskan napas terakhir.
"Kakek ?"!" Pemuda pendek i tu menangis menggerung-gerung seperti anak kecil. "Ampuni aku, Kek ?"! Aku tidak sengaja membunuhmu ?", ampuni aku ?"."
Hay Hay bangkit berdiri dan menyimpan gulungan kertas ke dalam saku bajunya sebelah dalam. Kemudian dia memandang kepada laki-laki yang masih berlutut dan menangisi kematian kakek itu.
"Hemm, apa gunanya kau tangisi lagi" Menangis pun tidak akan menghidupkannya kembali, juga tidak akan dapat mencuci darah dari anak panahmu itu!"
Mendengar ini,,laki-laki itu makin mengguguk. Tiba-tiba dia meloncat dan menghadapi Hay Hay dengan air mata masih berlinang. Telunjuk kirinya menudmg ke arah muka Hay Hay. "Kau ?"! Kaulah biang keladinya sehingga aku membunuh kakek yang sama sekali tidak kukenal dan tidak bersalah ini! Engkau yang mula-mula meracuni isteriku, membuat aku marah. Kemudian, ketika aku menyerangmu, kembali engkaulah yang mengelak sehingga anak panahku mengenai kakek ini!" ,
Hay Hay rnerasa betapa perutnya menjadi panas. Orang ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya. Kalau hanya dia dituduh mata keranjang dan merayu isterinya, hal itu dapat dia hadapi sambil main-main. Akan tetapi sekali ini lain. Cemburu yang tak berdasar dari orang ini telah menjadi sebab kematian kakek yang arif bijaksana dan luhur budi itu! Dia pun mulai marah.
"Hemm, kalau menurut engkau, ketika engkau memanahku, aku harus menerima anak panahmu itu tanpa mengelak agar dadaku ditembus dan aku mati konyol, begitukah" Engkau sungguh seorang yang tolol, kepala batu, pencemburu besar. Sungguh mati, aku heran sekali mengapa isterimu dapat mencinta seorang laki-laki tolol macam engkau!"
Laki-laki cebol yang mukanya buruk itu melototkan matanya yang sipit dan hidungnya yang besar itu berkembang, mengamangkan busurnya yang terbuat dari baja dan menghardik.
"Mata keranjang busuk! Sebelum bertemu denganmu, isteriku amat sayang kepadaku, akan tetapi sekarang ia berubah, pemarah dan sikapnya tidak manis lagi. Engkau tentu telah mengguna-gunainya! Sekarang, engkau pula yang menyebabkan aku membunuh kakek tidak berdosa ini, maka kalau tadinya aku hanya hendak membunuhmu, sekarang aku harus membunuhmu dua kali!" Setelah berkata demikian, dia menerjang dengan busurnya dan terdengar suara berdesing saking kuat dan cepatnya busur itu dia gerakkan.
"Singgg"..!" Busur itu menyambar ke arah kepala Hay Hay yang bergerak mundur dengan tenang sehingga busur itu menyambar tempat kosong. Kini kakek yang pendek itu menyusul, menendang ke arah pusar. Kembali Hay Hay mengelak ke samping, dan sekali ini kakinya mencuat, tepat menendang pinggir sambungan lutut kanan lawan dan si pendek itu pun terpelanting. Akan tetapi dia meloncat bangun kembali dan menjadi semakin marah.
"Engkau mata keranjang, engkau jai-hwa-cat (penjahat cabul), kubunuh engkau!" teriaknya dan dia menyerang kalang-kabut dengan penuh kebencian.
Sebetulnya Hay Hay juga marah sekali karena orang ini telah membunuh kakek bijaksana, walaupun dia tahu tidak sengaja. Akan tetapi dia teringat akan isteri di pendek ini, wanita yang manis budi dan lincah jenaka, dan dia pun merasa kasihan kepada si pendek ini. Betapa sengsaranya si buruk rupa ini memiliki isteri secantik itu. Tentu selalu tersiksa hatinya oleh cemburu karena merasa rendah diri, merasa bahwa isterinya terlalu cantik baginya, tidak sepadan. Dia dapat membayangkan betapa si buruk rupa ini setiap saat akan dibakar cemburu, setiap kali isterinya bicara dengan pria lain, bahkan setiap kali isterinya dipandang pria lain! Dan semakin besar cemburu dan pemarahnya, isterinya tentu akan semakin berani bersikap genit dan manis kepada pria lain, walaupun hal itu hanya dilakukan untuk memancing cemburu suaminya!
Dengan tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, beberapa kali Hay Hay merobohkan lawan tanpa melukainya. Si cebol buruk rupa itu diam-diam terkejut dan kagum sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda yang dianggapnya penjahat cabul mata keranjang dan yang akan dibunuhnya itu sedemikian lihainya sehingga busurnya tak pernah dapat menyentuhnya, bahkan sebaliknya berulang kali dia roboh, walaupun tidak sampai terluka parah. Namun, teringat akan isterinya yang disangkanya tergila-gila kepada pemuda itu, setiap kali roboh, dia bangun kembali dan menyerang lebih dahsyat!
Hay Hay merasa jengkel juga akan kekerasan hati lawannya. Sungguh tak tahu diri. Seharusnya orang itu tahu bahwa dia telah bersikap lunak dan tidak melukainya, kenapa masih nekat terus menyerang seperti babi buta" Diam-diam Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya, kemudian membentak dengan suara nyaring.
"Heh, cebol pemarah, lihat isterimu datang! Engkau masih berani marah-marah?"
Si cebol terkejut dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Ketika dia memandang lagi kepada lawan, dia terbelalak. Kiranya yang berada di depannya adalah isterinya, dan pemuda tadi sudah lenyap entah ke mana" Seketika tubuhnya menjadi lemas dan busur itu terlepas dari tangannya. Dia memandang isterinya dengan bingung dan mulutnya hanya mampu berkata heran. "Kau?", kau ?" disini ?"?" Dia tadi meninggakan isterinya tanpa memberitahu ke mana. Siapa tahu isterinya telah menyusul. Isterinya yang cantik itu lalu mengambil busur yang dilepaskannya tadi. Wajahnya cemberut marah. "Engkau ini suami tolol, selalu cemburuan dan marah-marah, sungguh menyebalkan hatiku!" Dan isteri yang cantik itu lalu memukul-mukulkan gendewa itu kepada suami!
"Plak! Plak! Plakk!"
Si cebol berusaha menangkis dan mengelak, sama sekali tidak berani melawan walaupun dia tahu isterinya tidak pandai silat. Akan tetapi sungguh mengejutkan hatinya. Biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja gendewa itu mengenai tubuhnya, di kepala, di pundak, di punggung, paha dan mendatangkan rasa nyeri yang cukup membuat dia berteriak-teriak.
"Sudah ?"! Sudahlah "..! Aku mengaku bersalah maafkan aku?"!" teriaknya sambi1 berusaha melindungi kepalanya. Akan tetapi isterinya terus saja memukulnya sampai dia babak belur.
"Aku isterimu yang selalu setia, akan tetapi engkau menuduh yang bukan-bukan! Bersumpahlah engkau bahwa engkau tidak akan menuduhku lagi!"
"Aku bersumpah ?"" aku bersumpah?".!" Laki-laki cebol itu berkata.
Tiba-tiba, setelah pemukulan dengan busur itu dihentikan, terdengar suara ketawa
bergelak dan ketika suami itu mengangkat muka memandang, isterinya sudah lenyap dan di depannya berdiri pemuda tadi yang melemparkan busur ke depan kakmya! "
"Ehhh?"" Bagaimana ini" Di mana isteriku ..... ?" Dia menjadi bingung sekali, melupakan semua rasa nyeri di tubuhnya yang babak belur dan dia memandang ke sekeliling mencari-cari isterinya.


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hay Hay menghentikan tawanya. "Isterirnu tidak pernah berada di sini, kenapa engkau mencari-carinya?"
"Tapi ".. tapi tadi ia marah-marah dan memukul aku "..!"
"Tentu saja, karena engkau bersalah. Ia muncul dalam angan-anganmu untuk menghukummu dan menyadarkanmu."
Laki-laki itu kini memandang kepada Hay Hay dengan bengong. "Jadi?"
engkaukah tadi" Engkau menggunakan sihir! Orang muda, siapakah engkau sini" Pendekar dari mana dan siapa namamu, dari perguruan mana?" Dia mulai merasa kagum dan juga gentar .
"Aku hanya ingin menyadarkanmu dari kesalahanmu, Toa-ko (kakak). Isterimu seorang wanita yang hebat, cantik manis, lincah jenaka dan mencintamu. Akan tetapi engkau akan merusaknya dengan cemburumu yang tidak ketulungan itu! Tentang diriku, namaku bukan hal penting bagimu. Bukankah engkau telah memberi nama Mata Keranjang kepadaku" Nah, julukan itu baik sekali, katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi aku bukanlah jai-hwa-cat! Aku tahu, isterimu itu amat baik dan amat sayang kepadamu. Kalau engkau melanjutkan sikapmu yang mempunyai cemburu yang berlebihan, sekali waktu mungkin saja ia akan berubah dan akan benar-benar memilih pria lain!"
Wajah itu menjadi pucat. "Aihhh?" aku telah bersalah?". aku tidak mau
kehilangan isteriku, sama saja dengan kehilangan nyawaku"."
"Hemm, kalau begitu, hilangkan atau kurangi cemburumu. Wanita memang ingin suaminya cemburu karena bagi wanita, sikap cemburu suaminya itu membuktikan bahwa suaminya cinta kepadanya dan tidak ingin kehilangan dirinya. Akan tetapi, sikap cemburu itu jangan berlebihan karena ini menimbulkan anggapan bagi wanita bahwa suaminya tidak percaya kepadanya, dan hal itu berbahaya! Engkau harus memperlihatkan sikap melindungi, memiliki akan tetapi jangan mengekang dan membatasi. Engkau harus selalu memujinya, menyenangkan hatinya, bahkan memanjakannya akan tetapi jangan selalu menuruti keinginannya secara membuta sehingga engkau diperbudak olehnya. Engkau harus kelihatan kuat dan berkuasa, akan tetapi jangan menindas. Dengan demikian, isterimu akan selalu memujamu. Wanita ingin dipuji, ingin dimanja, ingin diperhatikan. Kalau engkau bersikap demikian, tentu engkau yang selalu dibayangkannya."
Pria cebol itu bengong, lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Wah-wah-wah, orang muda, engkau benar-benar mencengangkan! Engkau bukan
saja berkepandaian tinggi, lihai ilmu silatmu, juga pandai ilmu sihir, akan tetapi juga ahli dalam soal wanita! Aku mengerti sekarang mengapa isteriku kelihatan tertarik kepadamu, karena engkau pandai memuji dan menyenangkan hatinya. Engkau sungguh?" berbahaya bagi wanita-wanita!"
Hay Hay tersenyum. "Jangan khawatir, kawan. Aku memang suka memuji kecantikan wanita, akan tetapi dalam pujian itu tidak terkandung pamrih ingin merayu dan menggoda, apalagi memilikinya. Aku selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi yang sudah bersuami. Nah, kembalilah kepada isterimu, aku akan mengubur jenazah kakek yang bijaksana ini."
"Aku akan membantumu!" kata si cebol dan mereka lalu sibuk bekerja menggali lubang dan mengubur jenazah kakek yang hanya dikenal oleh Hay Hay sebagai kakek tak bernama itu. Setelah selesai dan memberi penghormatan terakhir kepada makam kakek itu, si cebol meninggalkan Hay Hay untuk kembali kepada isterinya dengan hati gembira karena telah memperoleh "bekal ilmu" dari Hay Hay untuk membahagiakan isterinya. Hay Hay sendiri lalu meninggalkan puncak bukit itu, menuju ke Nan-king. Tanpa disengaja, tanpa disangka, dia telah menerima tugas dari seorang kakek yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang amat dihormatinya, yaitu untuk mengantar segulung surat dan menyerahkan kepada seorang di antara dua menteri terkenal, yaitu Menteri Yang Ting Hoo atau Menteri Cang Ku Ceng.
*** () *** Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) merupakan sebuah lembah yang amat indah pemandangannya, subur tanahnya dan sejuk nyaman udaranya di pegunungan Heng-tuan-san bagian timur. Lembah itu sendiri sunyi dan hanya ada sebuah pondok yang cukup besar di situ. Perkampungan penduduk yang tidak begitu besar berada di sana-sini sekitar lembah, merupakan penduduk pegunungan yang bertani. Banyak buah-buahan dan bunga-bunga dihasilkan di tempat itu, oleh penduduk lalu dibawa turun ke kota dan dusun di bawah lembah dan itulah penghasilan penduduk pegunungan yang hidupnya bersahaja itu.
Pondok besar yang berada di lembah itu menjadi tempat tinggal sepasang suami isteri yang bagi para penduduk di sekitarnya dianggap sebagai dua orang pertapa yang budiman karena seringkali membantu para penduduk dengan pengobatan. Akan tetapi, biarpun bertahun-tahun kedua orang tokoh itu bersembunyi atau setidaknya mengasingkan diri dari dunia ramai, para tokoh kang-ouw mengenal mereka sebagai dua orang yang sakti. Yang pria bernama siangkoan Ci Kang, berusia empat puluh tujuh tahun, sedangkan isterinya yang berusia empat puluh enam tahun bernama Toan Hui Cu.
Siangkoan Ci Kang adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan berwibawa. Pakaiannya sederhana longgar, seperti pakaian pendeta, dan yang menarik adalah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Pria ini sejak kecil terbiasa dengan kehidupan yang keras, karena mendiang ayahnya adalah seorang datuk di dunia kang-ouw yang ditakuti, berjuluk Si Iblis Buta dan disebut Siangkoan Lojin. Biarpun.engan kirinya buntung, namun Siangkoan Ci Kang memiliki kepandaian tinggi. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu tongkat dari mendiang ayahnya yang buta, akan tetapi dia juga murid Ciu-sian Lokai dan telah mewarisi kitab ilmu yang sakti, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut yang tangguh. Selain itu,bersama isterinya yang sama saktinya dia telah menciptakan sebuah ilmu silat di lembah itu, yang mereka beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas).
Isterinya juga seorang wanita sakti. Ayah dan ibu dari Toan Hui Cu lebih terkenal lagi karena mereka adalah suami isteri datuk besar dunia sesat yang berjuluk Raja Iblis dan Ratu Iblis! Toan Hui Cu mewarisi ilmu-ilmu yang aneh dari mendiang ayah ibunya, Juga bersama suaminya ia mewarisi ilmu Kwan Im Sin-kun. Ia seorang wanita yang dalam usia empat puluh enam tahun masih nampak cantik dan anggun seperti wanita bangsawan, walaupun latihan ilmu sesat orang tuanya membuat wajahnya agak kepucatan.
Mereka mempunyai seorang anak saja, bernama Siangkoan Bi Lian yang kini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Juga baru-baru ini mereka menerima seorang murid bernama Tan Hok Sen seorang bekas perwira di kota raja yang sebelumnya telah memiliki kepandaian cukup tangguh. Tan Hok Seng ini ternyata kemudian bernama Tang Gun, seorang perwira yang melakukan penyelewengan, putera kandung mendiang penjahat cabul besar Ang-hong-cu. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu akan hal itu, bahkan mereka mengijinkan puteri mereka untuk menemani suhengnya itu ke kota raja.
Dan kini, beberapa bulan kemudian, puteri mereka itu pulang, bukan bersama Tan Hok Seng, melainkan bersama Pek Han Siong murid mereka yang pertama dan ditemani pula oleh Pek Hong, ketua Pek-sim-pang atau ayah Pek Han Siong, dan Pek Ki Bu, kakek dari Pek Han Siong. Tentu saja, suami isteri penghuni Lembah Ayam Emas itu menjadi girang dan juga heran melihat puterinya pulang bersama murid pertama mereka, ditemani ayah dan kakek murid itu. Mereka menyambut dengan gembira dan setelah diperkenalkan kepada ayah dan kakek murid mereka, suami isteri itu mempersilakan mereka semua memasuki ruangan dalam dan mereka duduk dalam suasana akrab dan gembira.
Toan Hui Cu yang diam-diam merasa girang sekali melihat betapa puterinya nampak demikian akrab dengan muridnya, dan ia dapat melihat kasih sayang dalam sinar mata mereka kalau saling pandang, segera berkata dengan lantang.
"Aihhh, kepulanganmu sekali ini sungguh membuat kami menjadi bingung dan kaget, biarpun juga amat bergembira, Bi Lian. Sebelum engkau ceritakan hal-hal lain, jawab dulu pertanyaanku. Di mana suhengmu Tan Hok Seng?"
Gadis itu memandang kepada ibunya, menoleh kepada Han Siong yang juga suhengnya, memandang lagi kepada ibunya dan ayahnya, dan tersenyum. Gadis ini memang manis sekali. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya panjang hitam dan saat itu rambutnya dikucir panjang sampai ke pinggul. Matanya tajam, hidungnya mancung kecil dan mulutnya merah basah. Bentuk wajahnya bulat telur dan semua kecantikan itu bertambah manis dengan adanya tahi lalat di dagunya. Gadis ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, akan tetapi ketika remaja, ia pernah menjadi murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-heh-kwi, dua di antara Empat Setan, datuk-datuk yang amat lihai dari golongan sesat.
"Ibu dan Ayah. Ketika kami berangkat, aku pun percaya sepenuhnya kepada orang yang mengaku bernama Tan Hok Seng dan berhasil menjadi suhengku, bahkan mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibu. Akan tetapi ternyata kita telah kebobolan Ibu!"
"Kebobolan" Apa maksudmu?" tanya ibunya dengan heran.
"Dia tidak bernama Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun dan dia adalah seorang jahat, perwira yang menyeleweng dan menjadi buruan pemerintah. Dia bahkan kemudian diketahui sebagai putera penjahat besar Ang-hong-cu!"
"Ahhh......!" Suami isteri yang sakti itu terkejut bukan main mendengar keterangan puteri mereka itu. Mereka telah menerima seorang jahat menjadi murid!
"Akan tetapi jangan khawatir, si jahat Tang Gun itu bersama ayahnya dan sekutunya telah dapat ditumpas dan dihancurkan. Tang Gun yang kita kenal sebagai Tan Hok Seng itu pun telah tewas. Aku bertemu dengan suheng Pek Han Siong dan para pendekar lainnya, bekerja sama dan menumpas para penjahat itu."
Suami isteri itu mengangguk-angguk dan merasa lega. Biarpun mereka telah kebobolan dan mengambil murid seorang penjahat, akan tetapi penjahat itu telah tewas. Mereka memandang kepada murid mereka, Pek Han Siong dan Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Dan bagaimana pula sekarang Bi Lian dapat pulang bersama engkau, Han Siong" Dan ditemani pula oleh ayahmu dan kakekmu yang terhormat ini?"
Pemuda itu mengangkat muka memandang kepada suhunya dengan warna muka berubah agak kemerahan. Pemuda ini memmki kulit muka yang putih, maka kini nampak sekali perubahan warna itu. Alisnya yang tebal agak berkerut, matanya yang agak sipit itu ditundukkan. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan juga memiliki kekuatan sihir dan tak pernah merasa gentar menghadapi apa pun. Namun kini, menghadapi pertanyaan suhunya itu, dia merasa bingung dan malu. Dia memandang kepada ayahnya dan kakeknya, seperti minta bantuan dari mereka.
"Suhu dan Subo, seperti diceritakan sumoi tadi, kami bertemu ketika bersama para pendekar kami, menghadapi Ang-hong-cu dan dua orang anaknya yang jahat. Kemudian ?" sumoi dan teecu (murid) pergi ke Kong-goan, menghadap ayah teecu dan ?" dan sekarang ayah dan kakek teecu ikut ke sini untuk menghadap Suhu dan Subo dan untuk?" untuk bicara?" " Han Siong tidak dapat melanjutkan, hanya memandang kepada ayahnya dan kakeknya dengan sikap tidak berdaya dan menyerah!
Siangkoan Ci Kang dan isterinya tentu saja sudah dapat menduga apa maksud kunjungan keluarga murid mereka itu, dan melihat kecanggungan murid mereka, mereka hanya tersenyum saja. Melihat keadaan puteranya, Pek Kong ketua Pek-sim-pang lalu bangkit dan memberi hormat kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
"Sebelumnya harap ji-wi (anda berdua) suka memaafkan kami kalau kami dianggap lancang. Akan tetapi atas desakan putera kami dan juga nona Siangkoan Bi Lian, maka kami terpaksa memberanikan diri untuk datang menghadap ji-wi. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk memenuhi permintaan putera kami, yaitu untuk mengajukan pinangan atas diri nona Siangkoan Bi Lian."
Mendengar ucapan yang penuh sopan santun itu, dan sikap Pek Kong yang nampak sungkan, suami isteri itu saling pandang lalu mereka berdua tertawa dengan gembira.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh terdengarnya, Saudara Pek." kata Siangkoan Ci Kang. "Sebelum Saudara datang hari ini, kami yang lebih dulu bertindak lancang. Ketahuilah bahwa telah lama sekali kami berdua menjodohkan murid kami dan puteri kami ini! Dan sekarang Saudara datang untuk mengajukan pinangan, tentu saja kami setuju sepenuhnya!"
Mereka semua bergembira dan tidak seperti gadis-gadis lain, Bi Lian tidak menjadi malu-malu walaupun kedua pipinya berubah kemerahan. Ia tidak lari ke dalam dan ia bahkan melayani ketika orang tuanya menjamu tamu-tamu itu dengan hidangan yang dubuatnya sendiri bersama ibunya.
Atas persetujuan kedua pihak, maka pernikahan antara Han Siong dan Bi Lian dilangsungkan dua bulan kemudian, di lembah itu. Perayaannya sederhana saja, dihadiri keluarga Pek yang terdiri dari belasan orang, dan tamu yang diundang hanyalah penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Heng-tuan-san. Perayaan itu sungguh sederhana namun cukup meriah dan menggembirakan, dirayakan pada malam hari.
Sebagai tuan rumah, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menerima para tamu dengan gembira dan mempersilakan para tamu untuk mengambil tempat duduk. Ketika pesta dimulai dan para tamu memberi selamat kepada sepasang mempelai sehingga suasana menjadi meriah gembira, dan Siangkoan Ci Kang bersama isterinya yang mengira bahwa tentus sudah tidak ada tamu baru datang sudah duduk di dekat sepasang mempelai, muncullah dua orang berpakaian pertapa yang tentu saja membuat semua orang merasa heran. Juga Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu heran melihat datangnya dua orang tamu aneh itu, akan tetapi mereka cepat menuju ke depan untuk menyambut.
Mereka adalah dua orang yang berjubah kuning, pakaian yang biasa dipakai para hwesio. Usia mereka enam puluh tahun lebih. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan kepalanya gundul, akan tetapi yang amat menyolok adalah warna kulitnya, yaitu hitam kehijauan! Bukan hanya warna kulit muka, melainkan juga kulit tangan dan leher, juga mungkin warna kulit seluruh tubuhnya. Matanya mencorong dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek ke dua juga berpakaian jubah kuning, akan tetapi kepalanya tidak gundul, melainkan berambut putih yang tipis dan rambut itu digelung ke atas seperti kebiasaan seorang pertapa atau tosu. Orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus dan mukanya selalu muram dan mulutnya cemberut.
Siangkoan Ci Kang dan isterinya menyambut dengan sikap hormat, mengangkat tangan di depan dada dan Siangkoan Ci Kang berkata dengan lembut. "Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan ji-wi Suhu (guru berdua). Dapatkah kami mengetahui nama yang mulia ji-wi?"
Dua orang kakek itu tidak membalas penghormatan tuan dan nyonya rumah, suatu hal yang sungguh membuat mereka yang melihat menjadi penasaran. Biasanya, para pendeta amatlah sopan dan halus budi, akan tetapi kenapa dua orang ini demikian tidak sopan" Bahkan kini yang gendut perutnya itu menyeringai dan bertanya, "Apakah engkau yang bernama Siangkoan Ci Kang?" Suaranya terdengar parau dan besar, seperti gerengan binatang buas. Sementara itu, yang kurus tinggi hanya memandang saja dengan mulut cemberut.
Melihat sikap dua orang tamu itu tentu saja Siangkoan Ci Kang dan terutama sekali Toan Hui Cu merasa tak senang. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka adalah tuan rumah yang sedang merayakan pernikahan puteri mereka dan harus bersikap ramah terhadap semua tamu, Sioangkoan Ci Kang menahan perasaan hatinya dan dia pun mengangguk.
"Benar sekali, Lo-suhu. Aku adalah Siangkoan Ci Kang," katanya dan dia melihat betapa kakek gundul itu memandang ke arah lengan kirinya yang buntung sebatas siku.
"Omitobud ?".! Bagus kalau begitu, tidak sia-sia perjalanan kita jauh-jauh ke sini, Ban-tok (Selaksa Racun)!" kata si gendut kepada kawannya yang nampak semakin murung.
"Sudah kukatakan, kita tentu berhasil. Akan tetapi mereka sedang merayakan pernikahan, sebaiknya lain kali saja kita datang lagi." kata si kurus tinggi. "Tidak enak mengganggu orang yang sedang berpesta, Hek-tok (Racun Hitam)!"
Mendengar percakapan itu, Siangkoan Ci Kang segera berkata, "Marilah, jiwi Suhu, silakan masuk dan menjadi tamu kehormatan kami, menerima hidangan kami dan menambah doa restu untuk putri kami yang sedang melangsungkan pernikahannya."
"Silakan, ji-wi Losuhu, " kata pula Toan Hui Cu dengan ramah walaupun di dalam hatinya, nyonya ini merasa penasaran sekali dengan sikap dua orang kakek itu yang aneh dan tidak sopan.
Kakek gendut itu tertawa. "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian menjamu kami. Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang, kedatanganku ke sini adalah untuk menangkapmu!"
Tentu saja Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang duduk dekat pintu mendengar ini dan mereka pun berbisik-bisik, sehingga bisikan itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke pintu. Demikian pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamatan pesta pernikahan itu.
Dengan sikap tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu laru berkata, "Lo-cian-pwe siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?"
Biarpun kini di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, di antaranya sepasang mempelai dan keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan dia pun bicara dengan lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa.
"Siangkoan Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?"
Pendekar yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan tegas. "Tentu saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio."
"Omitohud "..! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwaa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!" Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong.
Siangkoan Ci Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya.
"Lo-cian-pwe, bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio, bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia telah merunggal dunia."
"Heh-heh, kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio di sana, kami mendengar tentang kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu?""
"Akulah Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!" tiba-tiba Toan Hui Cu berkata dengan nada ketus.
"Aha, kiranya keduanya berada di sini dan menjadi suami isteri, ya" Omitohud, ini memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri, bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian harus menebus dosa!"
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu. Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio. Mereka diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa. Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan dendam. Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan mengharuskan mereka "bertapa" di ruangan terpisah selama dua puluh tahun. Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat terhapus! Mereka berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka. Akan tetapi kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang sudah tua!
"Lo-cian-pwe, kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?"
"Omitohud ?"..! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!"
"Penasaran ?"!" Tiba-tiba kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan dia pun menghampiri dua orang pendeta itu.
Si gendut memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis. "Hem, siapa pun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan celaka."
"Hemm, hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku, Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?"
"Akulah saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!" Tiba-tiba Pek Han Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu.
Si gendut melemparkan senyumnya. "Dan siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin.
"Benar. Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung ke sana setelah suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan subo!"
Siangkoan Ci Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur. "Biarlah kami yang akan menghadapi semua urusan ini," katanya. Lalu dia menghadapi dua orang pendeta itu dan berkata. "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami."
"Sebut saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan" Ceng Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita dapat berhadapan."
Siangkoan Bi Lian sejak tadi hanyamendengarkan saja,akan tetapi kini ia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut itu.
"Kalian pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama, tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu iblis!"
Bentakan Bi Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan.
"Kalian mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang menghadapinya," katanya.
"Benar, orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua orang iblis berjubah pendeta ini!" kata pula Toan Hui Cu dan d
Bentrok Rimba Persilatan 3 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bara Naga 1
^