Pendekar Pemetik Harpa 1

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Pendekar Pemetik Harpa
(KHONG LING KIAM)
Karya : Liang Ie Shen
Saduran : Gan KH
Mentari sudah lewat pucuk langit, hari sudah lewat lohor, berdiri di pucuk Cit-sing-giam, In Hou menikmati pemandangan alam semesta nan permai dan molek, sejak beberapa jam tadi dia elah berada di atas Cit-sing-giam yang terletak di Pu-tho-san di wilayah Kwi-lin yang terkenal itu.
Sebagai pendekar kenamaan yang tersohor di empat lautan, dari keluarga besar persilatan, ayahnya In Jong dulu pernah meraih Bu-cong-goan di kala Dynasti Bing-ing-cong bertahta.
Sejak lama memang dia sudah mengagumi keindahan alam semesta di daerah Kwi-lin, namun baru kini dia berkesempatan berkunjung kemari, tapi kedatangannya kali ini bukan lantaran ingin bertamasya di daerah Kwi-lin. Tapi maksudnya hendak bersua dengan seorang bekas kenalannya dan berkenalan dengan seorang sahabat baru.
Kawan lama yang di maksud adalah Tam Pa-kun yang sudah dikenalnya baik sejak 20 tahun yang lalu. Tam Pa-kun berjuluk Kim-to-thi-ciang, terkenal dengan 64 jalan Phoanliong- to dan Tay-kin-na-jiu yang meliputi 72 jurus itu. Meski sudah dua puluhan tahun bersahabat dengan Tam Pa-kun, tapi pertemuan terakhir juga terjadi pada lima tahun yang lalu.
Justru karena telah lama tidak bertemu itulah, maka kali ini begitu Tam Pa-kun engundangnya ke Kwi-lin, maka dari tempat jauh ribuan li dia datang kemari memenuhi undangan temannya.
Sahabat baru yang hendak dikenalkan padanya adalah penduduk Kwi-lin, walau ketenaran namanya tidak segemilang Tam Pa-kun di Tionggoan, tapi di lima propinsi di daerah Saylam dia merupakan tokoh yang diagulkan dalam kalangan bulim, orang memberi julukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Tunggu punya tunggu sang kawan belum juga kunjung tiba, lambat laun lenyap juga selera In Hou menikmati panorama di depan matanya, dengan risau dia berpikir: "Orang yang hendak dikenalkan oleh Tam-toako tentunya bukan tokoh yang bernama kosong. Pernah kudengar cerita orang, bahwa Lui Tin-gak suka royal membuang uang untuk membantu sesama kaum persilatan, tidak sedikit tamu-tamu kaum persilatan yang bermukim di kediamannya. Sayang kali ini aku mengemban tugas yang cukup berat, kalau tidak, ingin juga aku beristirahat beberapa lama di tempat kediamannya."
Teringat bahwa tidak lama lagi dia bakal diperkenalkan kepada Lui Tin-gak oleh Tam Pa-kun. hatinya menjadi bergairah. Tapi kenapa sejauh ini Tam Pa-kun belum juga tiba" Pada hal tahari sudah doyong ke barat, sebentar lagi magrib baka! tiba. Dalam suratnya Tam Pa-kuri mengatakan supaya aku berada disini sebelum lohor dan bersama-sama tamasya dulu ke Cit-sing-giam. Tapi kini beberapa jam telah berselang, kenapa Tam Pa-kun belum kunjung tiba"
Sebagai teman akrab yang telah berhubungan selama 20 tahun. In Hou cukup tahu watak temannya itu, kecuali dia tidak pernah mengatakan, tapi sekali janji pasti dilaksanakan.
Tapi kenapa kali ini dia ingkar janji" "Mungkinkah di tengah jalan dia mengalami sesuatu diluar dugaan?" mau tidak mau gundah pikiran In Hou, tapi lebih jauh dia membatin: "Tahun lalu Tam-toako baru kembali dari Thian-san, belum lagi sampai di rumah sudah berangkat pula menuju ke Liang-san.
Mungkin kali ini dia langsung datang kemari dari Liang-san. Pada hal betapa jauhnya perjalanan ini, kalau dia tertunda satu dua hari di perjalanan juga jamak. Sesuatu mungkin memang terjadi atas dirinya, tapi belum tentu membahayakan keselamatannya, apalagi dengan bekal ilmu silatnya yang tinggi, buat apa harus berkuatir bagi dirinya?" setelah menghibur diri terasa lega dan lapang perasaannya.
Di kala pikirannya melayang?layang itulah, tiba-tiba didengarnya suara petikan kecapi yang ayup-sayup sampai dibawa semilirnya hembusan angin lalu, suara "tang, ting' itu
4 mengalun tinggi rendah tidak menentu, kadang-kadang
terdengar jelas, tiba-tiba lenyap tak terdengar. Kalau In Hou
tidak pernah meyakinkan ilmu senjata rahasia semacam Bwehoa-
ciam, sehingga pendengarannya jeli dan tajam, lain orang
tentu mengira itu suara percikan air.
In Hou mendekam di atas tanah mendengarkan dengan
seksama, seolah-olah irama kecapi berkumandang dari perut
bumi, dipantulkan oleh gema suaranya yang terpendam di
lapisan bumi sehingga irama kecapi ini kedengarannya agak
misterius. Semula In Hou keheranan dan bingung, tapi
akhirnya dia mengerti: "Ya, pasti ada seseorang tengah
memetik kecapi didalam
Cit-sing-giam." tanpa terasa In Hou beranjak turun dari
puncak gunung menuju ke arah datangnya irama kecapi.
Tengah dia mengayun langkah, tiba-tiba didengarnya
seseorang berteriak: "Tuan ini, apakah kau ingin tamasya
kedalam Cit-sing-giam?" In Hou tersentak sadar dari
lamunannya, waktu dia berpaling dilihatnya seorang laki-laki
kampungan yang memegang sebatang obor tengah menyapa
dirinya di samping gunung sana. Pada saat itu pula irama
kecapi itu ternyata berhenti dan lenyap tak terdengar lagi. Citsing-
giam memang sering dikunjungi wisatawan, oleh karena
itu penduduk setempat banyak yang mencari nafkah sebagai
petunjuk jalan untuk mencari sesuap nasi. Belum lagi In Hou
bersuara, orang kampung penunjuk jalan itu sudah berkata
pula: "Hari sudah menjelang senja, kalau tuan ingin
bertamasya kedalam Cit-sing-giam harus sekarang juga."
Dalam hati In Hou berpikir: 'Entah Tam-toako apakah bakal
datang hari ini" Pemetik kecapi yang liehay dalam gua sana
patut diajak berkenalan," memangnya dia seorang penggemar
musik, selama ini belum pernah dia mendengar petikan kecapi
semerdu ini, setelah mendengar ucapan petunjuk jalan ini,
tergerak hatinya, maka segera dia berseru: "Baiklah, kau
tunggu sebentar."
5 In Hou memutar badan membelakangi petunjuk jalan itu,
dia ulur jari tengahnya lalu menggores ke dinding gunung di
tempat yang menyolok pandangan, menggores sebuah garis
tanda panah ke arah mana dirinya akan pergi. Tenaga
dikerahkan ke jarinya, seketika amblas tiga mili dan serbuk
batupun bertaburan. Tapi petunjuk jalan itu kebetulan berdiri
di bawah lamping gunung sana, maka dia tidak melihat apa
yang dilakukan In Hou.
Dalam hati In Hou membatin: "Tam-toako pasti kenal Kimkong-
cay-latku ini, melihat tanda panah yang kugores ini,
dengan kecerdikannya, tentu dia bisa menduga bahwa aku
sedang tamasya kedalam Cit-sing-giam."
Setelah meninggalkan tanda goresan jarinya, dengan lega
In Hou lantas minta petunjuk jalan itu mengantar dirinya serta
bertanya: "Apakah kau baru keluar dari dalam gua?"
"Betul, kira-kira sesulutan dupa saja, baru saja aku
mengantar dua wisatawan," demikian jawab petunjuk jalan
itu. "Apa kau dengar seseorang memetik kecapi didalam gua?"
Petunjuk jalan itu heran, katanya: "Ah, tidak, apa kau
mendengar?"
In Hou menjadi bingung, katanya: "Takkan salah, baru saja
suara kecapi berhenti, bagaimana kau tidak mendengarnya?"
Petunjuk jalan itu berpikir sejenak, akhirnya dia tertawa
geli. "Apa yang kau tertawakan?" demikian tanya In Hou.
"Mengerti aku sekarang,"' demikian ucap petunjuk jalan,
"didalam Cit-sing-giam ada terdapat sebuah rawa-rawa yang
tak terukur dalamnya, konon rawa itu
bisa tembus ke Le-kiang, suara arus airnya bergema dalam
gua mirip irama kecapi, maka apa yang kau dengar tadi pasti
suara air."
6 In Hou bingung, pikirnya: "Suara air masa begitu merdu?"
Tapi keajaiban dalam dunia ini memang tak terukur oleh akal
sehat manusia, biar setelah berada didalam nanti kuperiksa
dengan seksama."
Tanpa terasa mereka sudah tiba di ambang pintu gua Citsing-
giam. Ternyata mulut gua amat lebar, tingginya ada dua
puluhan tombak, lebar tujuh puluhan tombak. Karuan In Hou
berjingkat kaget, pikirnya: "Gua sebesar ini, selama hidup
baru pertama kali ini aku melihatnya."
"Konon menurut cerita orang-orang tua," demikian tutur
petunjuk jalan. "Untuk menghindari peperangan yang
berkecamuk, seluruh penduduk kota Kwi-lin mengungsi
kedalam Cit-sing-giam, ternyata Cit-sing-giam cukup muat
ribuan penduduk." Lebih lanjut dia berkata pula, "Cit-singgiam
ini terbagi atas enam gua dan dua ruangan. Sejak dari
gua pertama bisa terbagi dua jalur untuk memasuki gua yang
lain, ke sebelah kiri masuk ke Toa-giam, sebelah kanan masuk
ke Ci-giam, pada masing-masing tempat itu memiliki
pemandangan dengan bentuknya yang berbeda pula, kedua
jurusan ini akhirnya bisa bersua kembali pada lapisan gua
kedua yang terletak di bawah Si-mi-san. Lalu keluar dari gua
ketiga yang dinamakan Hoa-koh-san. Tuan, waktu sudah tidak
mengidzinkan, mungkin hari ini kau takkan sempat
bertamasya ke seluruh obyek yang ada didalam gua ini. lalu
ke arah mana kau ingin pergi?"
"Boleh terserah kepadamu, tunjukkan saja jalannya,"
demikian ucap In Hou.
Tahu orang baru pertama kali ini berkunjung ke Cit-singgiam,
maka petunjukjalan itu berkata: "Baiklah, kutunjukkan
jalan utama dari gua permulaan yang menembus ke Toa-giam
saja, nanti akan keluar dari Giok-khe-tong-hu."
Baru saja mereka beranjak memasuki gua, petunjuk jalan
itu berkata pula sambil tertawa lebar: "Tuan, mari kuceritakan
7 pemandangan aneh yang ada dalam gua ini, harap kau tidak
salah mengerti."
"Ah, kenapa salah mengerti?" tanya In Hou heran.
"Baiklah, silahkan kau angkat kepalamu," kata petunjuk
jalan. Dengan heran In Hou mendongak, didengarnya petunjuk
jalan itu berkata: "'Inilah bagian pertama dari pemandangan
yang mempesona dari Cit-sing-giam yang bernama 'kura-kura
angkat kepala'."
Waktu In Hou mendongak dan melihat ke arah yang
ditunjuk, memang mirip dan sesuai namanya, hampir saja dia
tertawa geli. Setelah beranjak kedalam gua lebih lanjut,
betapapun luas pengalaman In Hou, sebagai pelancongan
yang sering bertamasya ke berbagai obyek turispun seketika
takjub dan terpesona menghadapi keajaiban alam di depan
matanya, terasa seolah-olah dirinya kini berada di dunia
mithos. Didalam gua penuh dengan beraneka warna stalaktit yang
bercahaya menyilaukan mata, seperti karang merah, jamrut,
amber atau batu giok, bentuknyapun aneh-aneh, seperti tiang
penahan langit-langit gua, ada juga yang seperti rumpun
rebung bambu. Seluruh gua itu seolah-olah terbentuk dari
ratna mutu manikam.
Petunjuk jalan itu tuding sana tunjuk sini sambil
menerangkan dengan lancar dan hafal sekali, dimana ada Lokun-
tai, disini adalah ikan le lompat ke pintu naga, dan disana
adalah Lohan penunggu mulut gua, dan tiang batu yang
berbentuk seperti rebung bambu itu dinamakan Loh-ti-ciokkek,
memang bentuk-bentuk stalaktit yang satu lebih aneh
dan ajaib dari yang lain, siapapun takkan bosan dan segan
untuk menikmatinya.
Agaknya petunjuk jalan ini memang sudah berpengalaman
dan tahu seluk beluk Cit-sing-giam, sembari bercerita dan
8 menjelaskan dia mengeluarkan beberapa biji permen,
katanya: "Tuan, coba kau cicipi permen buatan Kwi-lin ini."
"Oh, ya, terima kasih, rikuh juga menerima suguhanmu,"
ucap In Hou tertawa.
'Suguhan apa, kan tidak seberapa harganya" Sekeping
uang tembaga juga mendapat beberapa bungkus. Meski
permen ini murah harganya, tapi rasanya memang enak dan
nikmat. Permen inipun dapat menahan lapar. Sering kali
tengah hari tak sempat aku makan, maka permen inilah ganti
penangsel perutku."
Memang In Hou sering dengar akan permen buatan Kwi-lin
yang termashur ini, maka dia menerimanya sebungkus sambil
menyatakan terima kasih, permen yang empuk ini kiranya
dibungkuji oleh daun bambu bagian dalamnya dan dibungkus
kertas kaca pula di bagian luarnya, begitu kertas dibuka,
terangsang bau harum yang menyejukkan. Petunjuk jalan
itupun membuka sebungkus terus di masukkan kedalam mulut
sertu dikunyah dengan lahapnya. In Hou meniru perbuatan
orang, semakin dikunyah terasa semakin lembut, rasanya
wangi tapi juga sedikit kecut, tanpa terasa dia memuji:
"Memang enak rasanya."
Petunjuk jalan tertawa, katanya: "Orang luar daerah hanya
tahu kalau Kwi-lin ada tiga macam makanan yang terkenal,
yaitu Ho-yok (susu kental), Be-thi (buah-buahan) dan Samhoa-
ciu (arak sari tiga kembang), tapi jarang orang tahu akan
permen ini."
"Betul, permen inipun boleh terhitung nyamikan yang
menyegarkan dari Kwi-lin," ujar In Hou.
Agaknya petunjuk jalan ini merasa senang karena In Hou
menyukai permen yang diberikan, katanya: "Tuan, syukurlah
kau menyukainya, silahkan ambil lagi sebutir."
9 "Makan enak tidak boleh makan terlalu banyak supaya tidak
muak. Hari ini kau belum makan siang bukan" Biarlah kau
makan sendiri saja." demikian kata In Hou.
Petunjuk jalan tertawa: "Aku masih punya banyak, silahkan
makan saja. makan dua bungkus juga belum terhitung
banyak." Merasa rikuh untuk menolaknya, terpaksa In Hou makan
lagi sebungkus.
Dalam pada itu mereka tengah membelok ke sebelah kiri,
tiba-tiba pandangan mata menjadi benderang, tampak dinding
merah di bagian depan sana muncul sekelompok ukiran batu
yang berwarna putih susu,, di bagian luar kelompok ukiran
batu putih ini ditutupi kain gordyn sutra merah Jingga dilempit
bundar rriembundar kedua samping. Setelah dekat kelompok
ukiran batu putih itu, petunjuk jalan mengangkat obor serta
berkata dengan tertawa: "Silahkan kau saksikan tokoh di balik
gordyn itu."
Waktu In Hou melongok kedalam sebelah atas, seketika dia
berdiri melongo, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn
bila dibanding ukiran batu di bagian luarnya bedanya laksana
langit dan bumi, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn
adalah palung seorang wanita cantik rupawan seayu bidadari,
duduk dengan gaya lembut dan seperti manusia hidup
layaknya di atas sebuah singgasana yang terbuat dari kursi
batu putih pula, pakaiannya melambai lembut terurai ke
bawah, begitu anggun dan asri sekali.
Sekian lama In Hou mematung diam, batinnya: "Konon
dahulu Kokoh (Bibi) adalah perempuan tercantik di seluruh
bulim,. sayang aku tidak pernah melihat Kokoh di masa
mudanya." mendadak dia terkenang akan putrinya In San,
tahun ini putrinya genap 16 tahun, diapun termasuk gadis
rupawan, selama hidup ini In Hou hanya dikaruniai seorang
anak perempuan yang satu ini, bukan kepalang dia sayang
dan memanjakan putrinya:
10 "Ayah sering bilang bahwa anak San mirip duplikat Kokoh
di masa mudanya dulu, mungkin anak San tidak secantik
perempuan batu putih ini, betapapun dia hanya seonggok
patung besi saja, tidak selincah dan senakal anak San yang
menyenangkan." ....teringat akan putrinya yang nakal dan
Jenaka, tanpa terasa In Hou mengulum senyum dan
terkenang kampung halaman serta keluarganya.
Petunjuk jalan itu tampak terperanjat, lekas dia pegang
lengan In Hou serta digoncangkan, serunya: "Tuan, kenapa
kau?" In Hou tersentak sadar, katanya: "Ah, tidak apa-apa, kau
kira aku..."
Lega hati petunjuk jalan, katanya tertawa: "Tuan, kukira
kau jadi linglung saking pesona. Dulu beberapa kali pernah
terjadi pelancongan yang tergila-gila kepada patung batu ini."
"Masakan diriku kau samakan mereka. Kalau kau kuatir,
hayolah ke lain tempat."
"Memang di sebelah depan masih banyak keanehan yang
dapat kau nikmati."
Sembari jalan otak In Hou berputar: "Patung gadis ini
memang mulus, tapi kecantikannya paling menimbulkan rasa
agung dan suci, memangnya siapa yang bakal timbul pikiran
jahat terhadapnya" Tapi bicara soal cinta sejati. Kohu (paman)
boleh terhitung laki-laki sejati yang jarang ada bandingnya
dalam dunia ini. Dulu entah betapa besar siksa deritanya
sebelum dia menjadi suami isteri dengan Kokoh. Setelah
Kokoh meninggal, seorang diri dia menyepi di hutan batu,
selama belasan tahun belakangan ini belum pernah dia keluar
dari hutan batu itu, kerjanya sehari-hari hanya memperdalam
ilmu silat dan ilmu pedang. Em, kalau kali ini aku bisa bertemu
dengan Tam-toako ingin rasanya aku menunaikan pesan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paman." 11 Bahwa In Hou memang seorang pendekar gagah perkasa
yang tersohor di empat lautan, tapi kalau dibanding
pamannya, peduli soal nama atau kepandaian Kungfunya,
masih terpaut jauh sekali. Karena pamannya itu adalah Thio
Tan-hong yang diakui secara aklamasi oleh seluruh lapisan
kaum persilatan sebagai jago nomor satu di seluruh dunia.
Sejak 40 tahun yang silam bersama isterinya In Lui. ilmu
pedang gabungan mereka berdua sudah tiada bandingan di
kolong langit ini.
Murid Thio Tan-hong yang tertua Toh Thian-tok merupakan
seorang genius persilatan pula, bukan saja dia memperoleh
ajaran murni gurunya, malah dengan kepintarannya sendiri
diapun mencipta dan mengkombinasikan ajaran gurunya serta
membuka aliran baru yang lain dari yang lain. Toh Thian-tok
bersemayam di Thian-san, demi menyempurnakan cita-cita
muridnya serta demi kejayaan alirannya di kelak kemudian
hari. Thio Tan-hong malah mengangkat muridnya yang satu
ini sebagai cikal bakal suatu aliran tersendiri, aliran baru
dengan bekal ilmu pedang hasil ciptaan baru pula ini akhirnya
dinamakan Thian-san-pay. Di bawah pimpinan dan asuhan
Toh Thian-tok selama dua puluhan tahun, sehari demi sehari
Thian-san-pay maju pesat dan menjulang semakin tenar dan
disegani, meski Thian-san-pay bercokol jauh di daerah barat,
namun murid-murid didiknya sama berkepandaian tinggi,
sehingga cukup setimpal untuk berjajar dengan Siau-lim, Butong,
Go-bi dan Ceng-seng empat partai besar di daerah
Tionggoan. Tapi lantaran letaknya yang jauh di daerah barat
itu pula, sehingga nama Thian-san-pay tidak setenar ke empat
partai besar yang ada di Tionggoan. Mending bagi Thio Tanhong
yang dapat hidup bebas berlanglang buana kemana dia
suka. Isterinya In Lui paling suka akan hutan dan batu di
daerah Kwi-lin ini, maka setelah isterinya meninggal, seorang
diri Thio Tan-hong lantas bersemayam disini, pertama untuk
mengenang isteri tercinta, kedua karena letak hutan batu ini
yang terasing dari dunia luar, maka dia bisa lebih tekun
12 memperdalam ilmu pedang. Jarak antara Thian-san dengan
hutan batu di Kwi-lin ini entah berapa laksa li jauhnya, setelah
mengasingkan diri di Ciok-lin (hutan batu), belum pernah dia
pulang ke Thian-san.
Tahun lalu In Hou pernah datang ke hutan batu menemui
pamannya, Thio Tan-hong yang memberitahu kepadanya
bahwa dia tengah memperdalam semacam ilmu pedang
tingkat tinggi, ilmu pedang yang diciptakannya ini tidak
membawakan gerakan dan jurus yang menentu, juga tidak
mengikuti teori ilmu pedang umumnya, tapi merupakan
himpunan dari sari pedang berbagai aliran yang aneh-aneh
dan menembus ke suatu aliran yang menyimpang. Waktu itu
pernah In Hou bertanya apa nama ilmu pedang yang bakal
diciptakannya itu. Thio Tan-hong tertawa, katanya: "Kalau toh
tanpa jurus tipu yang menentu, maka tidak perlu harus
memberikan nama kepadanya Kalau kau suka, boleh
dinamakan Bu-bing-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa nama) saja.
Sayang meski sudah sepuluh tahun aku menyelaminya,
rangkaian ilmu pedang ciptaanku ini belum juga selesai.
Semoga Thian memberkati, kira-kira dalam jangka tiga tahun
lagi, kemungkinan baru aku bisa menyempurnakan seluruh
ajaran ilmu pedang ciptaanku ini."
Waktu itu belum jadi seluruhnya ilmu pedang ciptaannya,
tapi In Hou beruntung dapat melihat demontrasi secara
petilan yang ditunjukkan Thio Tan-hong, meski masih
merupakan petilan yang belum lengkap tapi apa yang
dilihatnya betul-betul membuatnya kagum dan memuji tak
terhingga. Pada hal saat mana Thio Tan-hong sudah berusia
tujuh puluh tahun lebih, mau tidak mau In Hou berpikir:
"Kalau Thio Tan-hong mengalami sesuatu kejadian diluar
dugaan, bukankah Bu-bing-kiam-hoat ini bakal putus
turunan?" -maka dengan rendah hati dia utarakan isi hatinya,
dia tanya kenapa Thio Tan-hong tidak memanggil muridnya
kemari" 13 Thio Tan-hong berkata: ''Waktuku sendiri mungkin tidak
banyak lagi, setua ini lagi mana mungkin meluruk ke Thiansan"
Thian-tok sudah menjadi Ciangbunjin dari suatu aliran,
tak mungkin dia meninggalkan kedudukannya untuk datang
kemari Dan lagi bila minta tolong orang lain untuk
menyampaikan kabar, susah juga mencari orangnya yang
dapat dipercaya." Oleh karena itu In Hou mengajukan dirinya,
dia suka terima tugas untuk menyampaikan kabar ini ke
Thian-san. Thio Tan-hong berkata: "Aku tahu urusanmu
sendiri juga banyak, pergi ke Thian-san bukan suatu kerja
yang mudah. Palagi Bu-bing-kiam-hoat yang kuciptakan juga
belum sempurna, lebih baik begini saja, rangkaian yang telah
kususun sebagian ini biar nanti kubuatkan duplikatnya
untukmu. Kelak bila telah lengkap seluruhnya, sementara
Thian-tok tetap tak berada di dampingku, biar kusembunyikan
didalam Ciok-lin di pucuk Kiam-hong (puncak pedang) di
pinggir danau itu.
Waktu In Hou pamitan maka Thio Tan-hong serahkan
duplikat jurus-jurus ilmu pedang ciptaannya yang masih
merupakan petilan itu kepadanya, di samping itu diapun telah
beritahukan kirarkira dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh
jerih payahnya dengan lukisan sebuah peta sederhana.
Katanya: "'Soal ini kau tidak perlu tergesa-gesa untuk
menyelesaikannya, cukup asal ada kesempatan pergi ke
Thian-san serahkan kepada muridku, duplikat yang kubuat ini
boleh dijadikan bukti dan tanda pengenalmu, begitu
melihatnya Thian-tok pasti tahu bahwa ilmu pedang ini adalah
hasil ciptaanku selama ini."
Ternyata Bu-bing-kiam-hoat ciptaannya ini bukan saja
ruwet dan banyak ragamnya tapi juga aneh dan menakjubkan,
ada gambar tapi tiada gaya jurusnya, kalau bukan seorang
tokoh silat yang betul-betul sudah punya dasar latihan dan
pengetahuan tinggi, meski membaca dan mempelajari buku
pelajaran ilmu pedang ini, mungkin bisa dianggapnya sebagai
hasil tulisan guru silat kelas kampungan belaka. Setelah
14 mendapat titipan Thio Tan-hong sebetulnya In Hou sudah
akan berangkat sendiri ke Thian-san, tapi isi hatinya dapat
diterka oleh Thio Tan-hong, maklumlah sebagai pendekar
kenamaan, masih banyak urusan yang menyangkut kaum
bulim di Tionggoan yang harus segera dibereskan, tak
mungkin dia memecah diri untuk menunaikan dua tugas
sekaligus. Tam Pa-kun sudah bersahabat puluhan tahun dengannya,
bagaimana karakter Tam Pa-kun sudah dikenalnya baik dan
dapat dipercaya, palagi Tam Pa-kun adalah kenalan baik Toh
Thian-tok lagi. tahun lalu baru saja dia kembali dari Thian-san.
Oleh karena itu mumpung kali ini Tam Pa-kun
mengundangnya kemari, dia hendak titip tugas yang
diserahkan Thio Tan-hong ini kepada Tam Pa-kun untuk
menyelesaikan. Maklum Tam Pa-kun bebas kelana, laki-laki
bujangan lagi boleh sesuka hati kemana dia mau pergi, untuk
berangkat Thian-san jelas jauh lebih gampang dari dirinya.
Berada didalam Cit-sing-giam tak bisa melihat cuaca
matahari, tapi dapat diduga bahwa sekarang kira-kira sudah
menjelang magrib, sambil mendengarkan penjelasan petunjuk
jalan, dalam hati dia berpikir: "Entah Tam-toako sudah datang
belum, bila dia melihat tanda panah yang kugores di atas
dinding, pasti sudah masuk ke gua ini. Katanya dia pernah
beberapa kali datang didalam Cit-sing-giam ini, tanpa petunjuk
jalan pasti juga sudah tahu jalan. Ha, jikalau mendadak dia
muncul dari balik gua sana, sungguh mengagetkan dan
menggirangkan."
Tiba-tiba didengarnya suara air bergema, ternyata memang
mirip irama harpa. Petunjuk jalan segera berkata: "Hati-hatilah
tuan, jangan sampai terpeleset. Di bawah adalah telaga rawa
yang tak terukur dalamnya." In Hou coba melemparkan
sebutir batu, betul juga ditunggu sekian lama baru terdengar
suara batu kecemplung kedalam air.
15 Petunjuk jalan ini memang pandai bercerita dan suka
ngobrol seperti mulutnya tak pernah kering. Tiba-tiba terasa
oleh In Hou perutnya rada mules, pada hal lwekangnya cukup
tinggi, selama dua puluh tahun tak pernah jatuh sakit, mau
tidak mau dia menjadi heran, pikirnya: "Mungkinkah aku
terkena hawa beracun" Tapi gua ini rasanya tiada hawa
beracun, kalau ada mana mungkin kaum pelancongan mau
tamasya kemari?" Untung hanya mules sedikit saja, jadi bukan
sakit seperti dipelintir, setelah dia menarik napas dan
mengatur jalan darah semangatnya seketika pulih kembali.
Tanya In Hou: "Apakah dasar rawa ini ada mengeluarkan
hawa beracun?"
"Di tempat pelancongan seperti ini mana mungkin ada
hawa beracun?" ujar petunjuk jalan, "setiap hari boleh dikata
aku sering mondar-mandir di pinggir rawa, tuan apa kau
merasa ada sesuatu yang ganjil" Mungkin kau tidak biasa dan
terlalu lama didalam gua, dada terasa sesak dan mual?"
In Hou tidak berani memastikan bahwa dirinya keracunan,
batinnya: "Dengan bekal latihan lwekangku, umpama makan
racun juga takkan kuasa mencelakai diriku, apalagi hanya
hawa beracun" Mungkin secara kebetulan saja perutku sakit?"
Di kala hatinya bimbang itulah, tiba-tiba didengarnya irama
harpa bergema pula. Kali ini bukan lagi suara air, tapi betulbetul
suara petikan senar harpa, iramanya kalem mengalun
lembut, seolah-olah jari jemari seorang tukang sulap yang
membawa pikirannya tenggelam ke dunia mithos, begitu asyik
dan pesona dia mendengarkan suara harpa, bukankah irama
harpa inikah yang didengarnya tadi"
"Eh, dengarkan," seru In Hou tanpa sadar, "bukankah ada
seseorang sedang memetik harpa" Nah disana itu, disana.
Lekas bawa aku menemui orang itu," belum lenyap akhir
suaranya, mendadak pandangannya menjadi gelap. Ternyata
obor yang dipegang petunjuk jalan mendadak padam. In Hou
berpengalaman menghadapi berbagai peristiwa. meski
16 menghadapi kejadian mendadak dia tetap tenang, mata
kuping dipertajam, maka didengarnya dari arah belakang
menyamber datang senjata rahasia, lekas dia menjentik balik
tangannya, dengan Tam-ci-sin-thong dia menjentik jatuh
sebutir Toh-kut-ting ke dasar rawa di bawah sana.
Tiba-tiba didengarnya petunjuk jalan berteriak: "Hai, siapa
main-main memadamkan oborku" Aduh, tolong, tolong," lalu
terdengar suara terpeleset dan jatuh gedebukan. Kejadian
mendadak dan urusan cukup gawat, tak sempat banyak pikir
bagi In Hou, namun dia tahu bahwa petunjuk jalan itu telah
dikerjai oleh orang. Pada hal jurang rawa di bawah sana
dalamnya luar biasa, kalau sampai terjatuh kesana.
memangnya jiwa tidak melayang" Sebagai pendekar yang
berbudi luhur, sudah tentu In Hou tidak bisa berpeluk tangan
membiarkan petunjuk jalan itu melayang jiwanya secara
percuma. Mendengar suara, In Hou dapat membedakan arah, segera
dia menubruk kesana sambil ulur tangan menangkap tumit
kaki petunjuk jalan serta ditariknya ke atas. Tak nyana
perubahan mendadak terjadi, petunjuk jalan itu ternyata jatuh
kedalam pelukannya, berbareng kedua telapak tangannya
menggempur, karuan In Hou rasakan dadanya seperti dipukul
palu godam, kontan dia terjungkir balik.
Terdengar petunjuk jalan itu terkekeh, katanya: "Turunlah
menjadi santapan ikan,?" kembali kakinya melayang, dia
tendang In Hou supaya terjerumus kedalam rawa.
"Coba lihat kau yang jatuh atau aku yang terjerumus," In
Hou menghardik. Mendadak tubuhnya melejit terbalik sembari
melontarkan Kim-kong-ciang-lat.
"Pyaar", telapak tangan kedua pihak saling gempur
mengeluarkan ledakan bagai bunyi guntur. Kontan In Hou
sempoyongan mundur sambil berkelit ke samping, Demikian
pula petunjuk jalan itu berseru tertahan sekali sambil loncat ke
samping terus menyelinap ke balik batu, agaknya dia apal
17 seluk beluk disini, maka lekas-lekas menyembunyikan diri. Dari
belakang batu dia bergelak tertawa, katanya: "Kim-kong-ciang
keluarga In memang tak bernama kosong, tapi hari ini jangan
harap kau bisa lolos dari telapak tanganku." Suaranya
mendadak juga berubah, logatnya jelas bukan penduduk asli
kota Kwi-lin lagi, kedengarannya suara serak pecah seperti
gesekan benda keras yang menusuk pendengaran. Kini baru
jelas duduknya perkara, kiranya orang ini menyamar sebagai
penduduk setempat menjadi petunjuk jalan In Hou didalam
Cit-sing-giam. Setelah adu pukulan sekaii dengan lawan, seketika In Hou
merasakan dada terasa sesak dan mual, beberapa kali dia
ingin tumpah, lekas dia menarik napas sambil mengerahkan
hawa murni, sehingga pernapasannya segar kembali, serta
bersiaga menanti sergapan musuh.
"In Tayhiap," seru orang itu bergelak tawa. "Kembang gula
yang kuberikan tadi enak rasanya bukan" Sayang kembang
gula itu rasanya semula manis akhirnya pahit getir. Hehe,
sekarang tentu kau sudah mengerti bukan, untuk keluar dari
gua ini dengan nyawa tetap hidup, terpaksa kau harus
mendengar perintahku saja."
Baru sekarang In Hou sadar bahwa kembang gula yang
dimakannya tadi kiranya beracun.
Setelah menghembuskan sekulum napas berat, In Hou
berkata: "Aku tak pernah bermusuhan dan tidak berbuat salah
terhadapmu, kenapa kau membokong aku?"
Orang itu terloroh-loroh pula, suaranya seperti benturan
benda kasar, katanya: "Dengan kau memang aku tidak
bermusuhan, tapi dengan Thio Tan-hong, dendamku justru
sedalam lautan."
"Siapa kau?" hardik In Hou.
18 Sembunyi di belakang batu, kalem suara orang itu: "Kau
belum pernah melihatku, tapi pasti pernah dengar namaku.
Aku bernama Le Khong thian".
In Hou terperanjat, bentaknya: "Jadi kau Le Khong-thian
murid Kiau Pak-bing itu?" dalam hati dia berpikir: "Tak heran


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia mampu membokongku dengan permen beracun."
Perlu diketahui Kiau Pak-bing tenyata adalah Toa-mo-thau
(gembong iblis) yang pernah menggetarkan dunia pada
puluhan tahun yang lalu, bukan saja Kungfunya tinggi dan
liehay diapun mahir menggunakan racun. Dengan bekal
lwekang In Hou sekarang, racun biasa semestinya takkan
mampu mencelakai jiwanya, tapi Le Khong-thian adalah satusatunya
murid Kiau Pak-bing yang mewarisi kepandaiannya,
dia pula yang turun tangan, jelas berbeda sekali perbawanya.
"Betul, sekarang kau sudah tahu siapa aku ini," demikian
seru Le Khong-thian pongah. "Terbayang masa lalu, di kala
guruku te:luka parah di bawah pedang Thio Tan-hong,
jiwakupun hampir saja melayang. Kami guru dan murid tak
kuasa bercokol di Tionggoan, terpaksa ngacir keluar lautan.
Coba katakan dendam kesumat sedalam ini, tidakkah pantas
aku menuntut balas?"
In Hou jadi berpikir: "Mendengar ucapannya ini,
memangnya Kiau Pak-bing iblis tua dan laknat itu belum
mampus?" Kiranya pada empat puluh tahun lalu Thio Tan-hong adalah
ahli pedang nomor satu di seluruh jagat, sementara Kiau Pakbing
gembong iblis nomor satu di kolong langit, yang sesat
jelas tak mau jajar dengan yang lurus, pernah beberapa kali
kedua tokoh besar ini bentrok, masing-masing pernah menang
dan kalah. Akhir kali mereka adu tanding di puncak Lao-san,
dengan Thian-san-kiam-hoat ciptaannya yang baru Thio Tanhong
berhasil mengalahkan Kiau Pak-bing. Beruntun Kiau Pakbing
tujuh kali terluka dan akhirnya jatuh menggelinding ke
lamping gunung, Le Khong-thian ini merebut jenazah gurunya
19 terus lompat turun dan terjun kedalam laut. Pada hal waktu
Kiau Pak-bing roboh terjungkal badannya sudah terluka parah
dan sudah empas-empis, apalagi gelombang lautan sedang
pasang dan mengamuk dahsyat, maka para penonton yang
sebagian besar juga tokoh-tokoh persilatan itu sama
menyangka umpama Le Khong-thian akhirnya lolos dari
renggutan elmaut, Riau Pak-bing jelas pasti mati. Memang
setelah peristiwa besar itu, Kiau Pak-bing guru dan murid tak
pernah terdengar lagi beritanya. Sang waktu berlalu bagai air
mengalir tak pernah kembali, tak nyana hari ini setelah empat
puluh tahun kemudian, bukan saja peristiwa besar itu sudah
sama dilupakan orang, malah nama Kiau Pak-bing dan Le
Khong-thian juga sudah lama dilupakan oleh kaum persilatan,
apalagi tahu dimana jejak mereka selama ini. "
Agaknya Le Khong-thian dapat meraba jalan pikiran In Hou,
katanya setelah tergelak-gelak: "Thio Tan-hong kira guruku
sudah mati, diluar tahunya bahwa guruku panjang umur dan
mendapat karunia Tuhan, sampai sekarang beliau masih hidup
di dunia ini. Biar kuberitahu kepadamu, kali ini aku justru
mendapat perintah guru untuk kembali menuntut balas."
In Hou memaki: "Kalau begitu lebih betul kalau kau
menuntut balas langsung kepada Thio Tan-hong."
"Apakah Thio Tan-hong dia masih hidup?" seru Le Khongthian.
"Dimanakah dia sekarang."
"Umpama tahu juga takkan kuberitahu kepadamu,"
demikian jengek In Hou, "kau ingin menuntut balas, boleh
silahkan cari sendiri. Hm, aku kuatir kau tak punya nyali
meluruk ke tempat kediamannya, perlu diketahui kini Thio
Tan-hong sedang menyelami pelajaran ilmu silat yang belum
rampung dia ciptakan, dalam keadaan segenting ini dia
pantang diganggu oleh orang luar, apa lagi musuhnya.
Andaikata tempat pengasingannya diketahui orang, mungkin
musuh bisa meluruk kesana mencari setori padanya, meski
dengan bekal kepandaiannya sekarang tak takut menghadapi
20 musuh, tapi In Hou tak berani memberitahu tempat itu kepada
lawan." Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya: "Ucapanmu
memang betul. Pertama memang aku tak bisa menemukan
Thio Tan-hong. Kedua umpama benar menemukan dia,
mungkin aku tetap bukan tandingannya, terpaksa sasaran
kupilih dirimu. Siapa suruh kau pernah keponakannya" Hehe,
menurut apa yang kutahu, setelah isteri Thio Tan-hong
mampus, hanya kau seoranglah familinya yang terdekat.
Muridnya Toh Thian-tok jauh berada di Thian-san, jelas dia
tidak lebih dekat dan akrab dari dirimu."
"Mentang-mentang kau ini terhitung seorang tokoh juga,
tidak berani menghadapi Thio Tan-hong, tapi dengan akal licik
dan memalukan membokong diriku malah."
"Untuk menghindari gugur bersama dengan kau," demikian
ujar Le Khong-thian dengan nada tengik, "kan tiada
manfaatnya. Kini kau telah makan kembang gulaku, didalam
kembang gula itu aku sudah mencampur dengan Hap-kut-san.
Tentunya kau juga tahu, setelah makan Hap-kut-san,
tulangmu akan lemas ototpun linu, jelas kau takkan mungkin
adu jiwa pula dengan aku. Nah segalanya sudah kuterangkan,
kini kau ingin hidup atau mau mati terserah kepada dirimu,
asal kau mau tunduk akan segala perintahku, akan kuberi obat
penawarnya."
Memang Le Khong-thian sudah matang dalam rencana, dia
kira pihaknya sudah berada di tempat yang unggul, setelah
menunggu racun bekerja dalam tubuh In Hou, baru dia akan
turun tangan. Tak tahunya diam-diam In Hou juga sedang mengarahkan
hawa muminya menghimpun lwekang, sekaligus mencegah
racun menjalar kumat, maka sengaja dia ajak lawan putar
lidah sekian lamanya. Kini In Hou sudah berhasil kerahkan
hawa murninya berputar tiga keliling dan terhimpun di pusar,
dia yakin dalam jangka sejam, dirinya pasti tidak akan mati
21 keracunan, maka dia lantas tertawa mengejek: "Kau punya
syarat apa, kenapa tidak berani keluar dan bicara berhadapan
dengan aku!" habis berkata mendadak dia bersuit panjang,
suaranya melengking tinggi dan keras bergema didalam gua,
Le Khong-thian sampai pekak dan tergetar jantungnya.
Bahwasanya tujuan In Hou bersuit bukan untuk pamer di
hadapan Le Khong-thian, yang dia harap hanyalah supaya
Tam Pa-kun mendengar suitannya ini. Dalam hati dia
membatin: "Entah Tam-toako sudah datang belum, jikalau dia
sudah berada disini, pasti akan mendengar suaraku ini."
Karena kupingnya pekak dan mendengung, karuan Le
Khong-thian kaget, baru sekarang dia insaf bahwa lwekang In
Hou ternyata tinggi dan diluar perhitungannya. Tapi meski hati
merasa kaget dan waswas, tapi dia masih yakin akan tipu
dayanya, segera dia balas menjengek: "Lwekang gerungan
singamu ini memang hebat luar biasa, tapi jangan kira dapat
menggertak diriku. Baiklah, kalau kau ingin tahu syarat yang
kuajukan, pasang kuping dan dengarkan."
Begitu melihat bayangan orang muncul segera In Hou
menyergapnya. Sejak tadi golok pusaka yang selalu
disandingnya sudah terhunus, dengan-golok di tangan kiri dan
telapak tangan kanan, golok membabat paha lawan,
sementara telapak tangan membelah ke dadanya. "Trang"
terdengar benturan keras, kembang api berptjar dalam
kegelapan gua yang pekat ini.
Ternyata golok pusaka In Hou membacok di atas Tok-kaktong-
jin yang terbikin dari baja murni. To-kak-tong-jin ini
dahulu adalah senjata andalan Kiau Pak-bing, kini diwariskan
kepada Le Khong-thian. Sebelum ini Le Kong-thian sudah
sembunyikan senjatanya itu di balik batu, setelah memancing
In Hou tiba di pinggir rawa baru dia mulai turun tangan, salah
satu sebab yang utama adalah sembarang waktu dia bisa
memungut senjatanya yang disembunyikan di balik batu di
pinggir rawa ini.
22 Bahwa senjatanya mampu menahan bacokan golok pusaka
In Hou, lega juga hati Le Khong-thian, jengeknya dingin: "Inkeh-
to-hoat (ilmu golok keluarga In) memang hebat, tapi
manusia bajaku ini belum tentu terkalahkan oleh golokmu,"
sembari bicara dia dorong manusia baja di tangannya, lengan
panjang manusia baja itu mendadak terjulur keluar menutuk
ke Hian-ki-hiat di depan dada In
Hou, meski gelap gulita, tapi sasaran yang dia incar
ternyata tepat sekali.
Betapa tinggi taraf kepandaian silat In Hou, mana mungkin
dia bisa tertutuk" Meski berada didalam gerombolan batu-batu
yang berserakan dengan gesit dia gunakan langkah Naga
Melingkar Melangkah Kaki, mendengar angin membedakan
arah, maka dengan leluasa dia berkelit sambil balas
menyerang. Le Khong-thian menarikan senjata bajanya sekencang
kitiran, angin menderu kencang terus mengepruk dan
menjojoh. Dengan mengerahkan lwekang, In Hou kerjakan
golok pusaka sekali garis dan iris di atas senjata baja lawan,
maka terdengarlah suara keras bagai gema lonceng dan
tambur, percikan api berpijar, tampak beberapa luka goresan
di atas senjata manusia baja Le Khong-thian bertambah
banyak. Namun demikian, In Hou sendiri juga merasakan
sejalur hawa dingin tahu-tahu merembes kedalam telapak
tangan terus merembes ke Sau-yang-king-meh. Karuan In
Hou terkejut, pikirnya: "Konon Kiau Pak-bing dulu menjagoi
bulim dengan ilmu Siu-lo-im-sat-kang yang telah diyakinkan
sampai ke tingkat sembilan, ilmunya mampu disalurkan ke
senjata untuk melukai lawan, agaknya Le Khong-thian juga
telah mewarisi kedua macam ilmu gurunya yang lichay ini." "
apa yang diduga In Hou memang tidak meleset, tapi
terkaannya hanya betul sebagian, Siu-lo-im-sat-kang yang
diyakinkan Le Khong-thian sejauh ini hanya sampai tingkat ke
tujuh, demikian pula ilmu menyalurkan lwekang melalui
23 senjata hanya separuh dari kemampuan gurunya dulu. Jikalau
sekarang dia sudah memiliki Kungfu setingkat gurunya dulu,
meski kepandaian In Hou sekarang berlipat dua juga takkan
kuasa menghadapinya. Walau demikian ilmu menyalurkan
lwekang dingin melalui senjata yang dilancarkan Le Khongthian
juga sudah cukup membuat In Hou kepayahan, hawa
dingin sudah merembes kedalam Sau-yang-king-meh, celaka
karena In Hou sebelumnya sudah makan Hap-kut-san, kadar
racun yang semula sudah dikeram oleh kemurnian
Iwekangnya, kini jadi buyar dan kumat malah.
Sembari kerahkan lwekang menahan racun, terpaksa In
Hou harus menghadapi serbuan musuh, lambat laun terasa
mata berkunang-kunang, kepalapun mulai pening, batinnya:
"Kalau aku bersemadi didalam sebuah kamar kosong tanpa
gangguan menyembuhkan keracunan ini, paling tidak aku
masih kuat bertahan satu jam lagi, kini di samping harus
melawan racun dalam tubuh harus menghalang serbuan
musuh lagi, paling lama aku hanya mampu bertahan setengah
jam, aku harus lekas mengakhiri pertempuran ini."
"Huuu," tiba-tiba In Hou menghembuskan serumpun napas
dari mulutnya, kontan Le Khong-thian merasakan mukanya
tertiup dingin, tapi begitu rasa dingin lenyap lalu disusul
hembusan angin sepoi hangat seperti di musim semi, seketika
dia menjadi kantuk dan malas rasanya. Karuan Le Khong-thian
berjingkat kaget, pikirnya: "Tak nyana lwekang In Hou
ternyata setangguh ini."
Ternyata hawa dingin yang merembes kedalam tubuh telah
berhasil ditekan dan dihimpun oleh lwekang In Hou terus
dihembuskan keluar melalui mulut. Bahwa Le Khong-thian
pertama merasa dingin lalu merasa hangat, yang dingin
adalah Siu-lo-im-sat-kangnya sendiri yang merembes ke tubuh
In Hou, sedang hembusan hangat itu adalah hawa murni In
Hou sendiri. 24 Maka In Hou sekarang bergerak lebih cepat untuk segera
mengakhiri pertempuran, goloknya bergerak jurus yang satu
lebih cepat dari jurus yang lain, terpaksa Le Khong-thian juga
tarikan manusia baja senjatanya itu sekencang baling-baling
seumpama hujan deras juga takkan tembus membasahi
badan. Terdengarlah dering keras beradunya kedua senjata, gema
suaranya sampai mengalun bergelombang didalam gua. Golok
In Hou itu mampu mengiris emas atau memotong batu giok,
tajamnya luar biasa, hanya sekali iris, maka manusia baja
lawan telah dihiasi goresan memutih yang kelihatan tajam.
Hanya sekejap saja manusia baja itu sudah babak belur dan
gumpil sebagian besar.
Akan tetapi kepandaian Le Kong-thian memang cukup
tangguh, dibanding In Hou paling lebih asor setingkat,
ketambah dia lebih paham seluk beluk Cit-sing-giam, maka
dengan leluasa dia bisa lompat sana nyelinap sini sesuka hati,
tanpa kuatir ketumbuk batu runcing. Meski In Hou berada di
atas angin, sementara tak mampu melukai lawan.
Di kala kedua orang ini lagi bertempur mengadu jiwa
sambil memboyong seluruh kemampuan masing-masing, dari
kegelapan di bawah dasar rawa sana tiba-tiba terdengar suara
"Crang, ering" bergema didalam gua, semula In Hou kira
orang didalam gua itu memetik harpanya lagi, tapi setelah
didengarkan lebih lanjut, jelas itu bukan suara air, juga bukan
irama harpa, melainkan adalah petikan senar gitar, umumnya
petikan gitar yang membawakan lagu apapun cukup
mengasyikan, tapi petikan senar gitar yang satu ini justru
menimbulkan rasa sebal dan bosan dalam hati. In Hou lantas
tahu bahwa pemetik gitar ini pasti seorang jago kosen dari
aliran sesat, dan boleh dipastikan dia pasti komplotan Le
Khong-thian. Yang dia harapkan adalah kawannya Tam Pa-kun
bisa lekas datang tepat pada waktunya, tak kira yang datang
lebih dulu malah bala bantuan musuh. Betul juga belum lagi
25 petikan gitar itu berhenti, cepat sekali mendadak terasa kesiur
angin kencang, dalam kegelapan terasa ada sesuatu benda
menyamber kearah In Hou. Pandangan In Hou terbentang
keempat penjuru, pendengarannya pun dipasang tajam, sekali
tegakkan golok pusaka, "Tring" dia pukul jatuh senjata rahasia
itu, kiranya sebatang Toh-kut-ting, paku penembus tulang.
"Siapa kau, pintarnya main bokong secara licik," hardik In
Hou. Orang itu berkakakan, katanya: "Sia-sia kau diagulkan
sebagai pendekar yang banyak pengalaman, memangnya
masih tidak tahu akan Thi-bi-pa (gitar besi) yang kugunakan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beserta senjata rahasia di dalamnya?"
"Gitar besi, gitar besi?" mendadak In Hou terjngat akan
cerita seorang bulim cianpwe yang menceritakan tokoh-tokoh
aneh dalam kalangan Kangouw, orang ini bernama Siang Hoyang,
tokoh yang sudah kenamaan sebelum Thio Tan-hong
angkat nama, orang ini tidak lurus tapi juga tidak sesat,
setelah nama Thio Tan-hong malang melintang, tahu-tahu dia
sudah menghilangkan jejaknya, Siang Ho-yang menciptakan
ilmu gitar besinya ini dengan gaya permainan yang lebih
khusus, selama ini dia belum pernah menerima murid, apakah
dia pernah bermusuhan dengan Thio Tan-hong, In Hou juga
tidak tahu. Kalau orang ini menggunakan gitar besi, jelas
bukan muridnya yang dia angkat setelah masa tuanya di
waktu dia mengasingkan diri.
Lekas sekali orang inipun telah melejit keluar dari balik
batu, gitar besi di tangannya menderu kencang, dari tempat
yang lebih atas menindih turun terus mengepruk ke batok
kepala ln Hou. Pendengaran In Hou cukup tajam, secara reflek
diapun ayun golok menangkis dan saling bentur dengan gitar
besi musuh, maka terdengarlah suara benturan yang
mengusik pendengaran, terasa rasa sebal dan mual di dada In
Hou bertambah berat. Ternyata golok pusakanya tidak kuasa
membelah gitar besi lawan, tapi gitar besi musuh juga tidak
26 mampu merusak golok pusakanya. Begitu kedua pihak saling
bentur dengan kekuatan lwekang masing-masing, kedua pihak
sama bergontai sempoyongan, jelas taraf lwekang orang ini
masih lebih unggul dari Le Khong-thian, kira-kira setanding
dengan In Hou. Karena itu ln Hou harus melawan keroyokan dua musuh
tangguh, karuan dia semakin kerepotan. Palagi dia sudah
keracunan, sedetik lebih lama, berarti posisinya lebih tidak
menguntungkan. Lambat laun In Hou merasakan dirinya susah bertahan lagi,
kondisinya semakin parah. Seperti umumnya gitar bagian
dalam adalah kosong, dan didalam gitar musuh ini ada
tersimpan pegas rahasia yang menyimpan berbagai senjata
rahasia, seperti Toh-kut-ting, Bwe-hoa-ciam dan lain-lain
senjata rahasia yang berbentuk kecil, dengan cara tempur
berkisar dan berputar kian kemari, tahu-tahu melejit dekat,
kejap lain melompat jauh, senjata rahasiapun bekerja setiap
ada peluang. "Cret" sebatang paku penembus tulang tiba-tiba
menyamber keluar menyerempet pundak, untung hanya
pakaian In Hou saja yang ketembus bolong.
Le Khong-thian membentak: "Jangan kata kau bukan
tandingan kami berdua, meski kuat melawan, racun dalam
tubuhmu juga akan segera bekerja. Memangnya kau tidak
ingin hidup" Tak ada faedahnya kau melawan, lebih baik kau
menyerah dan tunduk akan perintahku."
"Dalam hal apa aku harus tunduk kepadamu?" seru In Hou
dengan suara sumbang.
"Siang-heng," ucap Le Khong-thian, "sudah jelas dia takkan
lolos dari telapak tangan kita, biarlah beri kesempatan untuk
dia menimbang-nimbang."
Orang itu berkata: "Baiklah, jelaskan kepadanya, coba lihat
apakah dia tahu diri." Maka kedua orang ini menarik senjata
27 dan berdiri di kiri kanan In Hou, sikap mereka tetap garang
dan mengepung. Pelan-pelan Le Khong-thian berkata: "Thio Tan-hong tak
berada di Thian-san, pasti dia semayam di suatu tempat untuk
memperdalam dan mencipta ilmu pedang lagi. Aku sudah
memperoleh berita, belakangan ini kau pernah bertemu
dengan Thio Tan-hong, bukankah dia ada menyerahkan buku
pelajaran ilmu pedang kepadamu?"
Baru sekarang In Hou sadar bahwa tujuan mereka adalah
hendak merebut Bu-bing-kiam-hoat. Karuan berjingkat dia
dibuatnya, batinnya: "Bagaimana mungkin mereka bisa tahu
akan hal ini" Tentang kunjunganku ke Ciok-lin mengunjungi
paman hanya pernah kuberitahu kepada Tam-toako saja,
itupun terjadi pada beberapa tahun yang lalu, pada hal
kunjunganku itu pun baru kulaksanakan tahun lalu, umpama
Tam-toako tidak lupa tentang hal ini, yakin dia pasti takkan
membocorkan hal ini kepada orang lain, lalu siapa yang
memberitahu mereka?"
"Bagaimana?" desak Le Khong-thian, "kau hendak
mempertahankan buku pelajaran ilmu pedang itu atau ingin
hidup?" In Hou berkata dengan suara tawar: "Aku kan bukan murid
didik Thian-san-pay, umpama benar dia memiliki buku
pelajaran ilmu pedang yang terbaru, kan lebih pantas kalau
diwariskan kepada muridnya Toh Thian-tok."
Le Khong-thian menyeringai dingin, katanya: "Dia bukan
mewariskan kepadamu, tapi titip dan suruh kau serahkan
kepada muridnya kelak. Soalnya kau adalah keponakannya
yang terdekat, dia pasti mempercayaimu. Jangan kau kira
kami tidak tahu?"
"Bagaimana mungkin dia bisa tahu akan rahasia ini" Pada
hal Tam-toako sendiri juga tidak tahu akan hal ini," mau tidak
28 mau In Hou bingung dan keheranan. Kala itu kepalanya
pening tidak sempat memikirkan soal-soal rumit ini.
Sebetulnya bukan ada seseorang tahu akan rahasia ini,
soalnya Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian guru dan murid
selama hidup bermusuhan dengan Thio Tan-hong, mereka
tahu betul karakter dan wataknya, bahwa Le Khong-thian tahu
kalau In Hou adalah satu-satunya orang yang akhir kali
bertemu dengan Thio Tan-hong, maka dia menduga dan yakin
bahwa Thio Tan-hong pasti titip dan serahkan buku pelajaran
ilmu pedang ciptaannya yang terbaru kepada In Hou untuk
disampaikan kepada muridnya, karena sudah jelas bahwa Thio
Tan-hong pasti tidak akan merelakan pelajaran Kungfu
ciptaannya putus turunan, itu berarti sia-sia jerih payahnya
selama ini. Mendapat kesempatan ini diam-diam In Hou kerahkan
lwekang membendung kadar racun menjalar lebih jauh, maka
sengaja dia berusaha mengulur waktu, katanya: "Peduli
gurumu itu, orang baik atau jahat, konon dulu diapun
mengagulkan diri sebagai jago kosen nomor satu di kolong
langit ini, betul tidak?"
"Ilmu silat beliau memangnya nomor satu di jagat raya ini,
pada pertempuran terakhir dengan Thio Tan-hong dulu itu,
karena terlebih dulu dia sudah menghadapi tiga padri sakti
Siau-lim-pay, maka Thio Tan-hong beruntung dapat menang
setengah jurus."
In Hou menjengek dingin:
"Kalau begitu jadi aku yang salah omong, bukan gurumu
terlalu mengagulkan diri, tapi memang kenyataan ilmu silatnya
nomor satu di dunia ini?"
"Memangnya perlu dijelaskan lagi?" kata Le Khong-thian
dengan angkuh, "dulu kalau dia tidak terluka parah, pasti
sejak lama dia sudah mencari Thio Tan-hong menuntut balas.
Dulu Thio Tan-hong beruntung memperoleh bantuan tiga
29 padri sakti itu baru menang secara kebetulan. Kalau mau
bicara soal latihan dan pelajaran Kungfu sejati bagaimana
mungkin Thio Tan-hong bisa dibandingkan dia orang tua?"
In Hou terbahak-bahak. "Apa yang kau tertawakan?"
Semprot Le Khong-thian murka.
"Aku jadi geli, masakah manusia yang mengagulkan diri
sebagai jago nomor satu di kolong langit ini, mengatur tipu
daya main bokong lagi untuk merebut buku pelajaran ilmu
pedang musuhnya."
"Kau tahu apa?" sentak Le Khong-thian, "maksud beliau
hanyalah mendapatkan buku pelajaran ilmu pedang Thio Tanhong
serta mengoreksi kesalahannya, supaya para orang
gagah di kolong langit ini tahu, hakikatnya Thio Tan-hong
hanya bernama kosong belaka."
In Hou terbahak-bahak lagi, katanya: "Sayang, sayang,
sayang pilumu tak berada disini."
"Kalau berada disini memangnya kenapa?" Le Khong-thian
naik pitam, "memangnya kau berani bertanding dengan
beliau?" "Aku mana berani dibandingkan dengan dia" Tapi jikalau
dia berada disini, kukira dia patut dibandingkan dengan
dinding batu disini, ingin aku saksikan kulit mukanya pasti
jauh lebih tebal dari dinding batu ini."
Dari malu Le Khong-thian jadi gusar, baru saja dia hendak
mengumbar adat, laki-laki she Siang itu tiba-tiba berkata: "Letoako,
jangan kau kena ditipu olehnya, jangan biarkan dia
mengulur waktu lagi."
Le Khong-thian tersentak sadar, katanya: "Betul, mari kita
bicarakan soal di depan mata."
Orang she Siang itu memetik senar gitarnya, mengeluarkan
irama musik yang tidak enak didengar kuping, katanya:
30 "Orang she In, waktunya sudah tiba, kau mau tunduk atau
tidak?" Mendadak suara irama harpa berkumandang pula dari
pojok gua sana, meski suaranya sayup-sayup, namun irama
harpa yang mengalun lembut mengasyikan ini seketika
membuyarkan petikan gitar yang menusuk pendengaran itu,
seketika In Hou seperti dicekoki obat penawar yang
menyejukan perasaan, dada lapang sanubari tentram, kembali
dia berada dalam ketenangan semula.
Le Khong-thian mendadak menghardik: "Jangan memetik
harpa lagi, kalau tidak dengar peringatanku jangan salahkan
kalau nanti kulempar kau kedalam rawa."
Pemetik harpa agaknya jeri terhadap Le Khong-thian, irama
harpa seketika sirap.
Lekas In Hou menarik napas, hawa murni dalam tubuhnya
sudah berputar tiga keliling, katanya tawar: "Soal apa yang
kalian ingin aku tunduk?"
Iblis she Siang itu berkata: "Kuharap kau punahkan Kungfu
sendiri, lalu serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio
Tan-hong itu."
"O, aku harus memunahkan Kungfu sendiri" Syarat yang
kalian ajukan kok bertambah keji dan telengas."
"Punahkan ilmu silat sendiri kan lebih mending dari jiwa
melayang," jengek iblis she Siang itu.
"In Hou," sentak Le Khong-thian, "kau harus tahu diri,
untuk menamatkan jiwamu, segampang aku membalik telapak
tangan. Kau sudah terjatuh di tanganku, ada delapan belas
macam kompesan untuk menyiksamu, setiap macam siksaan
itu jelas lebih menderita daripada kau punahkan ilmu silat
sendiri, kau percaya tidak?"
Iblis she Siang itu berkata pula: "Sekarang mulai kuhitung,
sampai hitungan ketiga, kalau kau belum juga punahkan
31 Kungfu sendiri, biarlah aku saja yang turun tangan. Satu ...
dua ..." dia cukup kawakan bersama Le Khong-thian dalam hal
ilmu silat, betapapun In Hou takkan mampu mengelabui
pandangan mereka dalam soal memunahkan ilmu silat sendiri
ini. Nekad mengadu jiwa dan berkorban atau terima menyerah
memunahkan ilmu silat sendiri In Hou harus lekas ambil
putusan. Katanya setelah menghela napas: "Baiklah, aku
menyerah saja."
"Nah kan begitu," seru Le Khong-thian terloroh-loroh,
"seorang laki-laki harus pandai melihat gelagat."
"Buku pelajaran pedang akan kuserahkan lebih dulu baru
kupunahkan Kungfu sendiri, boleh tidak?" tanya In Hou.
Le Khong-thian berpikir: "Memangnya kau mampu lolos dari
telapak tanganku," tujuan utama memang merebut buku
pelajaran ilmu pedang, maka dia berkata: "Baik, begitupun
boleh, taruh Kiam-boh (buku pelajaran ilmu pedang) itu di
atas tanah."
"Baik, nah ambillah," seru In Hou, mendadak dia ayun
tangan, kelihatannya seperti melempar sejilid buku tipis ke
arah rawa. Keadaan gelap pekat betapapun tinggi lwekang
seseorang serta tajam pandangannya, paling juga bisa melihat
samar-samar saja, karuan Le Khong-thian dan iblis she Siang
itu mengira dia betul-betul melemparkan Kiam-boh itu.
Jarak iblis she Siang itu lebih dekat, dalam gugupnya tak
sempat dia banyak pikir, sigap sekali dia melejit maju hendak
menyamber Kiam-boh itu. Tapi pada waktu yang sama In Hou
juga menubruk maju sambil membentak:
"Turunlah,"
"Wut" telapak tangannya segera memukul satu jurus.
Dalam gugupnya iblis she Siang itu ternyata cukup cermat
juga, agaknya dia sudah siaga dan menduga bahwa In Hou
32 mungkin bisa menyergap dirinya. Tapi sungguh dia tidak
sangka setelah keracunan ilmu silat In Hou masih begini
tinggi. Tangan kirinya segera mengayun ikat pinggang, ujung ikat
pinggangnya berhasil menggulung Kiamboh yang masih
melayang di tengah udara, sementara gitar besi di tangan
kanan menyapu ke pinggang In Hou. Dia kira In Hou pasti
akan melejit ke samping, tak nyana telapak tangan In Hou
tetap menggempur ke mukanya. "Tang", seperti gada
memukul genta, gitar yang terbuat dari besi murni itu ternyata
terpukul dekok oleh In Hou, maka senjata rahasia rahasia
yang tersimpan di dalamnya seketika berhambur rontok
selebat hujan. Betapapun tangguh ilmu si iblis she Siang ini,
dia tetap tak kuat melawan pukulan Kim kong-ciang-lat yang
dahsyat ini, seperti tayangan putus benang badannya seketika
melayang kedalam rawa.
Dalam saat genting yang menentukan mati hidup sendiri,
lekas iblis she Siang ini gunakan ikat pinggangnya menggantol
sebatang batu runcing yang menongol keluar di tengah udara,
maka dirinya bergelantungan di tengah udara, saking gugup
dia berteriak: "Le-heng, lekas, tolong aku."
Pada hal Le Khong-thian sedang mengayun senjata
mengepruk ke batok kepala In Hou, mana dia sempat
hiraukan mati hidup kawannya. In Hou putar golok pusakanya
sekencang angin lesus, Le Khong-thian dicecarnya mencakmencak
dan keripuhan, hanya mampu membela diri tak kuasa
balas menyerang, sekonyong-konyong dia melejit maju lebih
dekat serta menyelinap ke kiri, telapak tangan kiri berbareng


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegak membelah, hardiknya: "Kaupun turunlah."
Jelas pukulannya sudah hampir mengenai Le Khong-thian
dan memukul lawan terjungkal dalam rawa, tak nyana pada
detik-detik yang menentukan ini, mendadak In Hou rasakan
pergelangan tangan mengejang linu, ternyata tenaga tidak
mampu dikerahkan lagi.
33 Ternyata waktu memukul gitar besi lawan tadi, telapak
tangannya pun terkena sebatang Bwe-hoa-ciam, kini di kala
dia kerahkan setaker tenaga yang penghabisan ini, bukan saja
racun didalam jarum itu bekerja, sekaligus Hap-kut-san
didalam tubuh pun kumat. Begitu telapak tangan kedua orang
saling bentur, Le Khong-thian bergontai saja, tapi In Hou
sempoyongan mundur, terasa sekujur badan lemas lunglai,
langkah enteng mengambang, kakipun menginjak tempat
kosong, kontan diapun terjungkal jatuh seperti iblis she Siang
tadi terjerumus kedalam rawa.
Sejenak Le Khong-thian melenggong, akhirnya bergelak
tertawa: "Akhirnya kau yang menjadi umpan ikan didalam
rawa. Sayang sekali buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio
Tan-hong ikut menjadi santapan ikan."
Walau terjerumus kedalam rawa, namun dalam hati In Hou
merasa lega malah, pikirnya: "Betapapun kalian tak berhasil
mendapatkan Bu-bing-kiam-hoat, syukurlah aku tidak menyianyiakan
harapan paman atas diriku." "ternyata yang dilempar kedalam rawa
tadi adalah surat Tam Pa-kun yang menjanjikan dirinya
bertemu di Cit-sing-giam. Tapi tugas yang diserahkan
kepadanya oleh Thio Tan-hong jelas tak mampu diselesaikan
lagi. "Byuuuur", jatuh dari ketinggian puluhan tombak, In Hou
jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, begitu menyentuh
air dan tenggelam, seketika In Hou tidak sadarkan diri.
000OOO000 Entah berselang berapa lama, lambat laun In Hou mulai
siuman, mata tak mampu dipentang, namun kupingnya
mendengar petikan harpa yang mengasyikkan, dan merdu,
itulah irama harpa yang memancingnya untuk masuk kedalam
Cit-sing-giam. 34 In Hou coba menggerakkan kaki tangan namun sedikit
tenagapun tak mampu dikerahkan, sekujur badan seperti kaku
dan keras. Ingin bicara, namun tenggorokan seperti kejang
tak kuasa mengeluarkan suara. Tak terasa In Hou tertawa
getir dalam hati, batinnya: "Keadaanku ini bukankah mirip
orang mati?" namun kesadarannya semakin pulih dan nyata,
kini dia teringat bahwa dirinya terjebur kedalam rawa, namun
sekarang sedang rebah di atas ranjang. Maka dia berpikir:
"Mungkin orang sakti yang menabuh harpa itu telah
menolongku, sayang aku tak kuasa melihatnya, tak kuasa
berbicara pula."
Di dengarnya sambil memetik harpa orang itu
bersenandung pula membawakan syair-syair pujangga dynasti
Tong, ln Hou asyik mendengarkan, pikirnya: "Orang sedih
memang punya dunianya sendiri. Agaknya pemetik harpa ini
seorang tokoh yang punya asal-usul."
Akhirnya kelopak matanya bisa bergerak dan bisa sedikit
terbuka, yang terlihat dalam pandangannya adalah seorang
kakek tua dengan rambut beruban, di sampingnya berdiri
tegak seorang bocah laki-laki berusia lima belasan.
Terdengar bocah itu berkata: "Kakek, agaknya orang ini
sudah siuman, coba lihat, kelopak matanya sedang bergerakgerak."
Kakek jtu berkata: "Mungkin seperti kemarin, walau
matanya terpentang, namun dia tetap tidak sadar dan tak
punya rasa. Mungkin dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya."
Kini In Hou tahu bahwa dirinya sudah sekian hari rebah di
tempat ini, jadi dia pernah membuka kelopak matanya. Dalam
hati dia mengeluh dan tertawa getir: "Aku tahu siapa diriku,
namun tidak tahu siapa kau."
35 "Sungguh menakutkan," suara bocah itu berkata, "Sudah
tiga hari tiga malam dia rebah dalam keadaan seperti ini.
Kakek, kau pandai mengobati, apa kau bisa menolongnya?"
Kakek itu menghela napas, katanya: "Jarum beracun di
tubuhnya sudah kucabuti, tapi jenis racun lain yang berada
didalam tubuhnya, aku tidak mampu memunahkan."
Bocah itu jadi gelisah, katanya: "Kalau demikian, jadi dia
takkan bisa hidup?"
"Entah," ujar kakek itu, "untung dia memiliki Iwekang
tangguh, semoga lambat laun dia bisa sembuh sendiri. Sing-ji,
jangan kau banyak tanya lagi, biar kupetik harpa untuk dia
dengar, irama harpaku mungkin membantunya untuk berjuang
membangkitkan daya hidupnya."
Terdengar musik mengalun hangat dan tentram, itulah
musik yang didengarnya di kala In Hou dalam keadaan
genting melawan keroyokan Le Khong-thian berdua. Tapi yang
didengarnya waktu itu hanya sebagian mukanya saja, Le
Khong-thian sudah melarangnya memetik lebih lanjut.
Perasaan In Hou damai dan sentosa, lambat laun diapun
tenggelam dalam alunan musik dan mencapai taraf semadi,
segala kerisauan hati, seolah menjadi buyar oleh alunan musik
yang menentramkan ini.
Nada lagu tanpa disadari mendadak berubah, berubah lebih
enteng dan riang gembira. Bak sepasang kekasih yang sedang
bercumbu rayu, seperti pula sepasang kawan yang lagi asyik
bicara, bagai pula putra putri yang sedang bersenda gurau di
bawah pelita, sekeluarga hidup bahagia penuh diliputi
kenikmatan ini.
Mendadak irama harpa berhenti, seperti baru sadar dari
impian, kontan terasa oleh In Hou dirinya sudah pulih
perasaannya, sungguh bukan kepalang rasa segar dan
nyaman, hawa murni meski lambat sudah terasa mulai
36 mengalir dalam tubuhnya. Tapi dia tetap tak mampu
bergeming, tetap tak kuasa bersuara, apalagi berbicara.
"Kakek," kata bocah itu, "apakah yang kau petik barusan
adalah Khong-ling-san?"
In Hou terkejut, batinnya: "Apa, mungkinkah Khong-lingsan
belum putus turunan?"
Ternyata Khong-ling-san adalah judul sebuah lagu petikan
harpa, konon sejak lama Khong-ling-san ini sudah lenyap dan
putus turunan, tak nyana kakek ubanan ini ternyata pandai
memetik lagu ini.
"Betul," didengarnya kakek itu berkata, "memang inilah
Khong ling-san."
"Kakek, kenapa tidak kau petik lagu bagian belakang?"
tanya si bocah.
Pada hal ln Hou sedang berpikir: "Sebelum ajalnya pencipta
lagu ini masih sempat membawakan lagu ciptaannya,
tentunya mengandung duka cita yang tak terperikan, namun
kenapa yang dipetik kakek itu barusan bernada riang
gembira?" Belum habis hatinya menerka, didengarnya kakek itu
menjawab pertanyaan cucunya: "Bagian belakang teramat
menyedihkan, bukan saja tiada manfaatnya untuk dia, malah
mungkin menjadikan dia celaka."
"O, kiranya begitu," ucap si bocah, "aku sendiri juga tak
tega mendengar bagian belakang itu. Tapi nada lagunya yang
betul-betul menyentuh sanubari orang terletak di bagian
belakangnya itu. Di kala kau melagukannya, ingin rasanya
tidak mendengarkan, tapi tak kuasa aku pasang kuping juga.
Kakek, kapan kau sudi mengajarkan kepadaku?"
"Biarlah kelak saja," ujar sang kakek, lalu dia menghela
napas. "Yang benar, biarlah Khong-ling-san putus turunan
saja." 37 "Lho, kenapa?" tanya si bocah.
Tidak menjawab pertanyaan cucunya, kakek itu berkata
lebih lanjut: "Kaum pelajar umumnya sama menyangka bahwa
Khong-ling-san pasti memilukan dan merawankan hati, yang
benar bukan demikian seluruhnya. Ada gunung tinggi baru
kelihatan tanah datar, adanya kesenangan baru timbul rasa
duka cita pula. Waktu Pit-khong terbunuh dulu, yang
dikenangnya adalah para sahabatnya, terbayang akan
kehidupan riang bahagia sebelumnya, barulah tercipta pula
nada-nada sedih di bagian belakangnya, itulah sebabnya
kenapa jauh berbeda bagian depan dan belakang dari lagu
harpa ciptaannya itu."
"Eh, kakek, begitu asyik kau bercerita, kenapa tahu-tahu
melelehkan air mata?"
"Meski aku bukan pembunuh, tapi dia mati lantaran aku.
Karena tertarik oleh lagu harpaku, maka hari itu dia meluruk
kedalam Cin-sing-giam. Bila tak kuasa menolongnya, sampai
matipun aku akan menyesal."
"Kakek, aku tidak suka mendengarkan kata-kata yang
menyedihkan ini. Orang bilang kau adalah Dewa Harpa, baru
sekarang aku maklum, ternyata dengan memetik harpa kau
pandai mengobati penyakit orang pula. Kakek setiap hari
boleh kau petik lagu-lagu harpa itu untuk didengarnya,
bantulah dia selekasnya memulihkan kesehatan, dia pasti tidak
akan mati."
"Semoga seperti yang kau harapkan," demikian ucap sang
kakek, lalu dia periksa urat nadi In Hou, sesaat kemudian baru
berkata: "Kelihaiannya lebih baik sedikit, tapi mungkin belum
pulih perasaannya."
"Kakek, kalau kau berhasil menolongnya, dia pasti suka
bersahabat dengan kau."
"Memangnya ada sangkut paut apa dengan dirimu?"
38 "Bukankah tadi kau bilang ilmu silatnya tinggi" Bila kami
bersahabat, akan kuminta dia mengajarkan beberapa jurus
Kungfu kepadaku, kuduga dia pasti meluluskan
permintaanku."
"Kiranya kau punya tujuan," ujar sang kakek tertawa, "tapi
apa kau sudah lupa akan wejanganku, menolong orang jangan
mengharap balas budinya. Apalagi terhadap dia aku tidak
terhitung menanam budi, hanya boleh dikatakan menebus
kesalahan."
"Aku tahu. Karena itu semula aku ingin angkat guru
kepadanya, kini aku tak berani mengharapkan lagi. Tapi
sesama teman, kalau satu sama lain saling membantu, itu kan
lepas dari soal balas budi segala."
Mendengar orang bicara soal persahabatan, tanpa terasa In
Hou teringat: "Entah Tam-toako sudah datang belum" Tapi Itcu-
king-thian Lu Tin-gak adalah penduduk setempat, untuk
mencarinya jauh lebih mudah. Dia paling suka bersahabat,
teman akrab Tam-toako pula, jikalau dia tahu aku sedang
terluka, pasti dia datang kemari merawatku. Sayang sekarang
aku tidak mampu mohon bantuan mereka untuk mengantarku
ke rumah keluarga Lui. Jikalau aku memperoleh perlindungan
keluarga Lui, mereka kakek dan cucu ini tentu takkan
kerembet perkara."
"Ah, omongan bocah," ucap sang kakek tertawa. "Jadi
muridnya saja kau tidak setimpal, apalagi menjadi
sahabatnya."
"Kakek, bukankah kau sering bilang, persahabatan antar
manusia terletak pada saling pengertian yang mendalam" Soal
perbedaan umur, kaya atau miskin dan tinggi rendah
kedudukan seseorang tidak menjadikan halangan
persahabatan sejati."
Diam-diam In Hou membatin: "Bocah ini terlalu Jenaka,
apa yang dikatakan ternyata cukup beralasan dan masuk akal.
39 Pendek kata, bila orang lain mendengar apa yang
diucapkannya barusan, orang pasti tertawa geli."
"Oh, ya kakek," seru si bocah, "kau belum beritahu
kepadaku, siapakah orang ini?"
"Pada waktu berada di Cit-sing-giam hari itu baru aku tahu
siapa dia ini, dia adalah In Tayhiap yang kesohor di kolong
langit itu," demikian sang kakek menjelaskan.
Agaknya bocah itu terkejut, katanya: "Apakah In Tayhiap
yang dulu pernah membantu Kim-to Cecu di Gan-bun-koan
memukul mundur pasukan Watsu itu?"
Kim-to Cecu Ciu Kian sebetulnya adalah komandan besar
pasukan kerajaan Bing yang berkuasa di Gan-bun-koan,
belakangan karena dia difitnah oleh kaum durna, terpaksa dia
tinggalkan jabatan dan membawa pasukan melarikan diri,
diluar Gan-bun-koan dia menduduki sebuah gunung serta
mengangkat dirinya sebagai raja penyamun, tapi dia tetap
setia kepada Dynasti Bing, pernah beberapa kali dia
membantu pihak kerajaan mematahkan serbuan musuh yang
membahayakan keselamatan negara.
Dua puluh tahun yang lalu, In Hou pernah membantunya
memukul dan mengalahkan pasukan Watsu yang menyerbu
tiba. Peristiwa besar itu, boleh dikata banyak diketahui oleh
kaum persilatan. Dalam hati In Hou membatin: "Dia bisa tahu
akan peristiwa besar itu, kuduga kakeknya ini pasti pernah
berhubungan dengan kaum persilatan."
"Kalau bukan In Tayhiap itu memangnya siapa lagi?" ujar
sang kakek tertawa.
"Tak heran kakek ingin menolongnya."
"Aku ingin menolongnya bukan lantaran dia adalah In
Tayhiap." "Memangnya lantaran apa?"
40 "Pertama karena aku sehingga dia menderita dan jiwa
hampir melayang, hal ini- tadi sudah kukatakan. Kedua, ai,
kalau Khong-ling-san boleh putus turunan, tapi Khong-lingkiam
tidak boleh tanpa pewaris."
Bocah itu kebingungan, katanya: "Khong-ling-kiam apakah
itu?" "Aku hanya berumpama saja, seperti juga Khong-ling-san
dalam musik petikan harpa. Bagi kaum persilatan yang
diimpikan dan kuatir putus turunan adalah pelajaran ilmu
pedang tingkat tinggi, oleh karena itulah kuberanikan diri
menamakan Khong-ling-kiam."
'Kakek, aku masih belum paham akan keteranganmu."
Maka sang kakek menjelaskan lebih lanjut: "In Tayhiap
memiliki sejilid buku pelajaran silat yang diwarisi dari jago
pedang nomor satu di jagat raya ini, seperti gajah mati karena


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taringnya, demikianlah keadaannya sekarang, dia terluka oleh
dua musuh tangguh yang hendak merebut buku pelajaran
ilmu pedang itu. Jikalau dia tak tertolong, maka Kiam-boh itu
mungkin betul-betul akan menjadi Khong-ling-kiam."
Terharu In Hou dibuatnya, batinnya: "Yang benar paman
tidak mewariskan Kiam-boh itu kepadaku, tapi demi
menyelamatkan Kiam-boh ini, dia tidak takut kerembet
perkara, jikalau beruntung aku tidak mati, kelak aku harus
berusaha membalas budi kebaikannya," lalu dia berpikir pula:
"Aku kecemplung ke rawa, entah Kiam-boh itu hilang tidak?"
Sayang dia tidak mampu bergerak, juga tidak mampu
bersuara, terpaksa dia tekan rasa kuatirnya ini didalam hati.
Bocah itu bertanya pula: "Apakah kedua orang jahat itu
liehay juga?"
"Sudah tentu liehay. Kalau tidak masakah In Tayhiap
sampai dikerjai mereka?"
41 "Kakek, apakah kedua orang jahat itu tahu kau telah
menolong In Tayhiap?"
"Entah mereka tahu atau tidak, semoga saja mereka kira In
Tayhiap sudah mati."
"Tapi kecuali mereka, didalam Cit-sing-giam hanya ada kau
seorang, seumpama mereka curiga..."
"Kau takut mereka meluruk kesini?"
Si bocah tunduk kepala, sesaat baru berkata perlahan: "Aku
betul-betul merasa kuatir."
In Hou takut kalau urusannya merembet kakek dan
cucunya ini, maka rasa kuatirnya lebih besar dari si bocah,
pikirnya: "Keparat she Siang itu kena sekali pukulanku,
lukanya pasti tidak ringan, Le Khong-thian memang lebih
mending, tapi untuk menyembuhkan luka mereka paling cepat
juga sepuluh hari, namun demikian luka mereka tidak akan
separah lukaku. Jikalau timbul rasa curiga mereka, perduli aku
masih hidup atau sudah mati, mereka pasti akan membuat
penyelidikan, urusan jadi berabe. Cara terbaik sekarang
adalah biar aku berlindung ke rumah keluarga Lui, mereka
kakek dan cucu sekaligus juga akan terlindung. Sayang aku
tak mampu bersuara, tak kuasa memberitahu mereka."
Kedengarannya sang kakek kurang senang, katanya: "Singji,
biasanya bagaimana aku mendidikmu, memangnya sudah
kau lupakan semua" Jadi manusia harus mengutamakan
kesetiaan dan kebenaran, umpama benar elmaut bakal
menimpa, betapapun kita tak boleh berpeluk tangan."
Kontan bocah itu membantah: "Kakek, kau salah paham
akan ucapanku."
"O. lalu bagaimana maksudmu?"
"Kakek, aku tidak takut urusan ln Tayhiap bakal merembet
kita, tapi sebaliknya aku kuatir kita tidak mampu melindungi In
Tayhiap. Kakek, bukankah kau punya teman yang memiliki
42 Kungfu tinggi, meski kepandaian mereka tidak setinggi
InTayhiap, tapi mereka lebih tangguh dari kita, umpamanya..."
Belum habis dia bicara sang kakek telah menukas: "Kau
tidak tahu. urusan ini sekali-kali tidak boleh minta bantuan
orang lain," sikap dan suaranya kelihatan kereng dan bengis,
katanya lebih lanjut: "Sing-ji, kau harus ingat, urusan In
Tayhiap sekali-kali tidak boleh bocor. Walau terhadap seorang
yang paling kau hormati dan kau kagumi, sekali-kali jangan
kau bicarakan soal ini."-rupa-rupanya dia sudah maklum siapa
orangnya yang di maksud oleh cucunya itu.
Si bocah melongo keheranan, tapi melihat sikap kakeknya
yang kereng berwibawa, terpaksa dia simpan unek-unek
hatinya, katanya: "Baik, kakek, kau tak usah kuatir, aku
takkan lupa."
Tiba-tiba sang kakek bertanya: "Khong-ling-san bagian
depan apakah sudah pandai kau memetiknya?"
"Mungkin petikanku masih kurang mahir."
"Biarlah kupetik sekali sebagai contoh, perhatikan liku-liku
ritmenya." Bahwa dia tidak suruh cucunya memperhatikan
gerakan petikan tangan, ini menandakan bahwa kepandaian
memetik harpa si bocah sudah cukup mahir.
Kembali In Hou terhanyut ke alam tanpa bobot dan rasa
oleh merdunya petikan harpa, selesai dia mendengar petikan
Khong-ling-san bagian depan ini, mendadak terasakan di
bagian pusarnya seperti timbul hawa hangat, hawa murninya
lambat laun menjadi lancar, rasa sesak dan mual di dada juga
semakin tawar. Karuan bukan main girang In Hou, dia cobacoba
kerahkan hawa murni menghimpun lwekang, walaupun
teramat sukar untuk menghimpun hawa murni, tapi toh sudah
bisa mengerahkan hawa murni. Akan tetapi sejauh ini dia
tetap tak mampu bergeming dan tak mampu bicara.
"Apa kau sudah mengingatnya?"
43 "Sudah kuingat betul." "Baiklah, sekarang giliranmu, ingin
aku mendengar petikanmu."
Diam-diam In Hou mendengarkan pula petikan harpa si
bocah, meski tidak seindah dan sebagus petikan sang kakek,
namun cukup juga membuatnya terpesona, meminjam nada
irama Harpa inilah sedikit demi sedikit In Hou berhasil
menghimpun hawa murni kedalam pusar. Tanpa disadarinya,
Khong-ling-san bagian depan telah berakhir dipetik oleh si
bocah. Sang kakek menghela napas, katanya: "Meski kurang
mendalam, tapi kira-kira sudah cukup memuaskan, tapi kau
harus lebih giat berlatih"
Agaknya bocah merasa heran, tanyanya: "Kakek, kenapa
kau terburu-buru menyuruhku memetik khong-ling-san bagian
depan ini?"
Sang kakek menghela napas, katanya: "Kejadian dalam
dunia susah diramal, untung rugi manusia sukar diraba, jikalau
aku mengalami sesuatu, maka tugas berat untuk menolong
jiwa In Tayhiap terpaksa harus kau sendiri yang memikulnya."
Si bocah melenggong, katanya: "Kakek, jangan kau berkata
demikian lagi. Siapa tidak tahu kalau kau orang baik,
semogalah Thian selalu melindungi orang baik. Kakek semoga
kau panjang umur, In Tayhiap juga pasti takkan mati.
"Semoga seperti apa yang kau harapkan, tapi tiada ruginya
kau berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.'"
Baru sampai disini pembicaraan mereka, tiba-tiba terdengar
"Tok, tok, tok," suara ketukan pinju diluar. Seketika berubah
air muka sang kakek dan si bocah. Lekas-lekas sang kakek
berkata lirih: "'Biar kutengok siapa tamu yang datang, bila kau
mendengar sesuatu yang ganjil, lekas kau bawa In Tayhiap
sembunyi di kamar bawah tanah, apa pun yang terjadi disini
jangan kau keluar lagi."
44 Sembari mengetuk pintu orang diluar itu pun berteriak:
"Apakah Ki Harpa ada di rumah?"
Sang kakek menghela napas lega, katanya lirih: "Bukan
suara kedua gembong iblis." "Segera dia bersuara: "Ya, ya,
sebentar." " " dia tahu perduli siapa yang datang, mau
sembunyi juga tidak sempat lagi, terpaksa dia keluar
membuka pintu menyambut kedatangan sang tamu.
Sang kakek terima tamunya di ruang tamu di depan,
sementara In Hou dan cucunya berada di kamar belakang.
Mereka mendengar suara daun pintu ditutup, tapi tidak
mendengar percakapan di ruang tamu. Jantung si bocah
berdetak keras, In Hou sendiri juga tidak mampu bergerak,
hatinya pun tegang. Mereka menunggu dengan perasaan tak
karuan, untung tak terdengar suara gaduh atau keganjilan
lainnya. Belum mereka mendengar suara pintu ditutup
mengantar tamu pulang, tiba-tiba sang kakek sudah
melangkah masuk ke kamar.
Lekas si bocah bertanya gugup: "Siapakah tamunya?"
Sang kakek goyang-goyang tangan, katanya lirih:
"'Perlahan dikit, tamunya belum pulang. Dia orang keluarga
Lui Tayhiap.?"
Tampak betapa girang si cucu. hampir saja dia berteriak
kegirangan. Tapi sang kakek melotot kepadanya, baru dia
tersentak sadar. Pikirnya: '"Betul, yang datang hanyalah orang
suruhan, bukan Lui Tayhiap sendiri. Walau orang suruhan Lui
Tayhiap boleh dianggap orang baik, lebih baik kalau aku
berhati-hati, buat apa harus memberitahu kepadanya akan
rahasia kehadiran In Tayhiap disini." Maka dengan suara
tertekan dia berkata: "Kakek, untuk apa Lui Tayhiap suruh
orangnya ke mari?"
Sang kakek menjawab: "Lui Tayhiap mengundangku ke
rumahnya, entah ada urusan penting apa?" sungguh aneh,
45 kalau cucunya kelihatan girang, dia justru mengerutkan kening
seperti ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Dengan masgul si bocah berkata: "Kakek, bukankah
kebetulan malah" Kau boleh memberitahu kepada Lui
Tayhiap..."
Bertaut alis sang kakek, tukasnya dengan suara rendah:
"Setelah berhadapan dengan Lui Tayhiap, aku bisa bertindak
melihat gelagat. Kau harus ingat pesanku, jagalah In Tayhiap
dengan baik. Dan lagi, kau harus ingat dan perhatikan, waktu
aku kembali nanti, ketukan pintu dua cepat satu lambat.
Jikalau bukan ketukan rahasia yang kulakukan ini, kau harus
lekas-lekas bawa In Tayhiap menyingkir," habis meninggalkan
pesannya, sang kakek bergegas mengambil harpa di atas
meja, tapi segera ditaruh kembali di atas meja, katanya:
"Inilah pusaka warisan keluarga kita, biarlah kutinggalkan
untuk kau saja," lalu dia ambil harpa yang lain terus
melangkah keluar.
Tak sempat si bocah bertanya pula kepada kakeknya, tapi
dalam hati dia membatin: "Mungkin Lui Tayhiap mengundang
kakek kesana untuk pertunjukan memetik harpa, tapi orang
suruhannya itu justru anggap bulu ayam sebagai panah
perintah, dikatakan ada urusan penting segala," ternyata
kejadian serupa sudah sering terjadi.
In Hou yang celentang kaku di atas ranjang juga merasa
senang tapi juga heran, dalam hati dia berpikir: "Entah Lui
Tayhiap yang dimaksud apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak"
Tapi di daerah Kwi-lin ini yang pantas disebut Tayhiap kukira
tiada orang lain. Kenapa nada percakapan Ki Harpa ini masih
kelihatan bimbang apakah persoalanku perlu diberitahukan
kepadanya" Apakah dia belum mau percaya kepada Lui
Tayhiap. Kukira dia terlalu berprasangka."
Pepatah ada bilang: "Menghadapi suasana girang semangat
orang akan bergairah." In Hou tahu sang kakek yang
menolong jiwanya ini ternyata bersahabat baik dengan It-cuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
46 king? thian Lui Tin-gak, hatinya senang bukan main, tanpa
disadarinya kelopak matanya kini sudah bisa terpentang
seluruhnya. Waktu dia coba-coba pula, eh, jari jemarinya
ternyata juga sudah bisa bergerak.
Agaknya si bocah melihat gerak geriknya, serunya
kegirangan: "In Tayhiap, kau sudah siuman. Apakah kau
sudah ada perasaan?" tapi lekas sekali dia tepuk jidat sendiri
sambil berkata pula tertawa geli: "Saking senang aku jadi
pikun, aku lupa bahwa kau belum bisa bersuara. Tapi kalau
kau sudah punya perasaan dan teringat akan pengalamanmu,
harap kau berkedip tiga kali"
Beruntun In Hou mengedip tiga kali, si bocah berjingkrak
girang, katanya: "In Tayhiap, ternyata kau sudah sadar benar,
sayang kakek sedang pergi. Lebih baik aku tidak banyak
ngobrol dengan kau, kau sudah sadar, perutmu tentu lapar,
makanlah ala kadarnya dulu," lekas dia lari ke dapur serta
membawa semangkok bubur, lalu dengan sabar dan teliti dia
pentang mulut In Hou serta menyuapi, melihat In Hou mampu
menghabiskan semangkok bubur, senangnya bukan main,
katanya: ?"Apa kau masih lapar" Tapi kakek pernah pesan,
kau dilarang sekaligus makan terlalu banyak, nanti setelah hari
menjadi gelap kusuapi semangkok lagi. Sekarang biar kupetik
harpa untuk kau dengar, aku tidak semahir kakek, kuharap
kau pun suka mendengarkan."
Perasaan enteng, hati girang, maka semangat In Hou jauh
lebih baik, pikirnya: "Bocah ini sungguh baik, usianya paling
baru 15, usianya sebaya dengan putriku, jikalau aku bisa
terhindar dari musibah kali ini, biar kuangkat dia sebagai
murid, supaya anak San punya seorang Sute sebagai teman
bermain. Cuma kakeknya tega tidak menyerahkan cucunya ini
kepadaku?"
Keadaan In Hou tak ubahnya sesosok mayat, meski hanya
makan semangkok bubur, namun daya hidupnya sudah mulai
bersemi, di tengah alunan irama harpa, sedikit demi sedikit dia
47 menghimpun hawa murninya ke pusar, lambat laun hawa
murni sudah berhasil dihimpun dan berjalan lancar.
"Creng" suara harpa berhenti pada petikan lima senar
bersama. In Hou menarik napas panjang, tanpa dirasakan dia
menggeliat serta membalik miring. Si bocah kegirangan,
serunya: "Wah kau betul-betul jauh lebih baik sekarang.
Banyak kejadian pasti ingin kau ketahui, biarlah kututurkan
kepadamu." lalu dia duduk di samping In Hou, katanya
perlahan: "Aku she Tan bernama Ciok-sing, Kakekku bernama
Tan Kiat-gih, tapi kemungkinan ini bukan nama aslinya, siapa
nama aslinya aku pun tidak tahu. Masih ada, dia menamakan
dirinya Ki Harpa, namun orang lain justru menyebutnya Dewa
Harpa." Terkulum senyuman di ujung mulut In Hou, pikirnya:
"Julukan Dewa Harpa memang setimpal buat orang tua ini."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing berkata: "Di samping pandai
memetik harpa, kakekku juga pandai berenang. Tiga hari yang
lalu kau terjerumus kedalam rawa, kakekku yang menolongmu
ke mari, eh, kau sudah sadar, hal ini tidak "erlu kuceritakan
tentu kau sendiri juga sudah ingat. Em, coba kupikir dulu, apa
saja yang harus kuberitahu kepadamu."
Tenggorokan In Hou berbunyi kerutukan,"dengan seksama
Tan Ciok-sing mendengarkan, saking senang dia berjingkrak
berdiri, serunya: "In Tayhiap, kau sudah bisa bicara."
Bibir In Hou bergerak, namun suara yang keluar selirih
bunyi nyamuk, dia sendiri pun tidak mendengar. Lekas Tan
Ciok-sing dekatkan kupingnya ke mulut orang, sesaat
kemudian baru dia paham orang berkata demikian: "Lui, Lui
Tayhiap yang dimaksud itu, apakah It-cu-king-thian Lui Tingak?"
Semakin girang Tan Ciok-sing, katanya: "Betul, apa kau


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga kenal Lui Tayhiap" Apa dia kawanmu?"
48 Hanya beberapa, patah kata tadi, In Hou sudah kehabisan
tenaga, terpaksa dia hanya mengangguk.
"Bagus, kau tidak perlu banyak bicara, biar kuberitahu
kepadamu," demikian kata Tan Ciok-sing. "Lui Tayhiap, adalah
teman karib kakek, dia senang mendengar petikan harpa
kakek. Pada waktu kau ketimpa musibah itu, Lui Tayhiaplah
yang mengundangnya untuk menabuh harpa di Cit-sing-giam."
Tanpa terasa seperti anjlok perasaan hati In Hou. Baru
sekarang dia tahu, bahwa Ki Harpa bukan secara kebetulan
memetik harpa didalam gua pelancongan itu, namun atas
undangan It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Urusan ini sungguh
terlalu aneh dan membingungkan. Kenapa dia mengundang Ki
Harpa memetik harpa didalam gua itu" Justru kedua gembong
iblis itu juga mencelakai dirinya dalam gua.itu. Memang In
Hou sudah berjanji dengan Tam Pa-kun untuk melancong juga
kedalam Cit-sing-giam, tapi andaikata dia hari itu tidak
mendengar suara petikan harpa nan merdu mengasyikkan itu.
In Hou takkan tergesa-gesa masuk kesana sebelum kawan
yang dijanjikan datang. Dia pasti akan menunggunya di
puncak gunung sesuai perjanjian.
Suara harpa, pembokongan, Lui Tin-gak, Le Khong-thian...
tentang kesatria dan perbuatan jahat, antara pendekar dan
gembong iblis, mendadak semuanya ini menjadikan suatu
mata rantai yang menjadi ruwet didalam benak In Hou.
Bahwasanya In Hou sudah tak berani berpikir lebih lanjut. Tapi
urusan besar yang menyangkut nasib dan jiwanya, mau tak
mau In Hou harus memikirkan dan berusaha memecahkan
persoalannya ini.
Terasa betapa dingin perasaannya sekarang, rasa dingin
yang timbul dari lubuk hatinya yang paling dalam, lebih dingin
dan mengenaskan dari pada jatuh kedalam lumpur salju di
jurang es, tanpa terasa dia bergidik seram, tanpa terasa
otaknya bekerja pula: "Mungkinkah semua ini memang
merupakan jebakan yang sudah direncanakan lebih dulu.
49 orang sengaja memancingnya dengan suara harpa sehingga
aku terjatuh kedalam jaringan perangkap mereka?" Terbayang
lagi betapa sedih dan pilu kata-kata Ki Harpa yang penuh
penyesalan tadi, terasa bahwa dugaannya lebih meyakinkan
lagi. Sementara Ki Harpa diperalat tanpa sebelumnya dia
menyadari perbuatannya.
Apakah semua ini mungkin" Sesaat In Hou menjadi
hambar, dia tak berani percaya akan analisanya ini, dalam hati
dia berteriak: "Tidak tidak mungkin, dengan karakter Lui
Tayhiap, bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan
serendah dan hina ini" Apalagi dia kan teman karib Tamtoako."
Dan satu hal lagi, dengan Lui Tin-gak, In Hou hanyalah
teman yang baru kenal nama masing-masing jadi bukan
kenalan karib. "Dari mana dia bisa tahu kalau aku gemar
mendengar musik dan pecandu harpa" Kalau dia tidak tahu,
bagaimana mungkin dia bisa mengatur semua jebakan itu?"
Ai, kalau dipikirkan lebih lanjut, bukankah teman karib sendiri
pun patut dicurigai juga" Tidak dingin tapi In Hou bergidik
sendiri, lubuk hatinya berteriak: "Tidak, tidak, mana boleh aku
mencurigai Tam-toako" Lui Tin-gak adalah orang yang
dikagumi Tam-toako, julukannya adalah It-cu-king-thian,
julukan yang sudah kesohor di kolong langit, memangnya
julukannya itu hanya nama kosong belaka?"
Setelah tenangkan diri, lebih lanjut In Hou berpikir: "Dalam
hal ini pasti ada latar belakangnya, bahwa Tam-toako memuji
Lui Tin-gak sebagai kesatria sejati, mestinya dia bukan laki-laki
rendah yang berbudi rendah." Akan tetapi kenapa Lui Tin-gak
mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam Cit-sing-giam"
Kenapa pula Ki Harpa berkata:
"Walau aku tidak secara langsung membunuhnya, tapi dia
mati lantaran diriku." Apa maksud kata-katanya ini"
50 Melihat wajah orang mendadak pucat pias, bibirnya juga
bergerak, Tan Ciok-sing terkejut, teriaknya: "In Tayhiap, apa
yang ingin kau katakan" Aku tidak mendengarnya."
Tenggorokan In Hou berbunyi, tapi tidak mengeluarkan
suara. Lapat-lapat di antara setengah sadar, tiba-tiba
didengarnya suara harpa berbunyi pula.
Ternyata Tan Ciok-sing kaget dan kebingungan, maka
untuk ketiga kalinya segera dia memetik harpa membawakan
lagu Khong-ling-san. Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir: "Aku
tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, semoga petikan
harpa ini dapat membantu kesehatannya."
Pikiran In Hou yang gundah dan ruwet lambat laun menjadi
tenang dan damai di tengah keasyikkan irama harpa nan
merdu, melihat air muka orang semakin merah dan tidak
seburuk tadi, barulah lega perasaan Tan Ciok-sing.
Habis lagunya, cepat Tan Ciok-sing dekatkan pula kuping
sendiri ke mulut orang, katanya: "in Tayhiap, apakah kau
sudah lebih segar" Tadi apa yang ingin kau katakan?"
In Hou tenangkan diri, batinnya: "Untung aku belum mati,
soal ini pasti akan datang saatnya dapat dibikin terang."
"Golok pusakaku itu, apakah hilang terjatuh kedalam
rawa?" akhirnya In Hou kuasa mengeluarkan suara pula,
suaranya malah terdengar sedikit lebih keras.
Sebetulnya dia ingin tanya tentang Kiam-boh tulisan Thio
Tan-hong yang dititipkan padanya itu, tapi mengingat bila
dirinya tanya hal ini, mungkin si bocah bisa salah paham
menyangka dirinya mencurigai kakeknya, betapa pun dia tidak
suka menyakiti sanubari bocah yang masih hijau dan jujur
serta polos ini.
Menepuk jidat Tan Ciok-sing berseru dengan tertawa:
"Betul, coba lihat betapa cerobohnya aku ini. Sejak tadi
pantasnya sudah kuterangkan padamu. Pakaianmu seluruhnya
51 ada disini, biar kuambil supaya kau periksa, apakah ada
barang milikmu yang hilang."
"inilah golok pusakamu, maaf, karena ingin tahu, pernah
aku meloloskannya keluar, memang tajam luar biasa, pernah
juga kucoba membacok batu, ternyata batu terbelah rata
menjadi dua."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing mengeluarkan sebuah
bungkusan kain, dibuka di hadapan In Hou, katanya: "Inilah
pakaian yang kau kenakan pada hari itu, aku sudah
mencucinya bersih, baju yang kau pakai sekarang adalah milik
kakek, kau tidak usah rikuh. Beberapa tahil uang perak ini
juga tidak hilang."
Setelah memperlihatkan isi buntalan kain Tan Ciok-sing
membuntalnya pula. Lalu dimana Kiam-boh" Melihat orang
tidak menyinggungnya, karuan In Hou menjadi gelisah. Di
saat dia berkuatir itulah tiba-tiba Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Masih ada sebuah kotak kuletakkan di bawah
bantalmu, kakek melarang aku menyentuhnya, aku memang
tidak berani membuka dan melihat isinya." Lalu dari bawah
bantal dia merogoh keluar kotak itu, tanyanya: "Apa kau ingin
aku membukanya untuk kau periksa?"
In Hou menghela napas lega, katanya: "Baiklah. Tapi kotak
ini tak boleh dibuka sembarangan, kau harus kuajarkan dulu
cara membukanya. Letakkan kotak itu di atas meja, ibu jari
menekan tutup kotak, ke kiri kau putar tiga kali, lalu ke kanan
dua kali, setelah itu kau harus lekas minggir."
Tan Ciok-sing bekerja menurut petunjuknya, maka
terdengar suara jeplakan, tutup kotak itu tiba-tiba mencelat
terbuka, dari dalamnya menjulur keluar enam batang pisau
kecil, posisi keenam pisau kecil ini saling silang menjadikan
sebuah jala yang kebetulan menggantikan tutup kotak tadi.
Tan Ciok-sing menjulurkan lidah, katanya: "Liehay betul,
untung aku patuh akan peringatan kakek, tidak berani
52 membukanya secara diam-diam, kalau tidak jari-jariku pasti
sudah protol seluruhnya."
Ternyata kotak milik Thio Tan-hong ini adalah pemberian
Hek-pek-mo-ko, dua teman kakak beradik dari negeri Thiantok,
waktu In Hou meninggalkan Ciok-lin, Thio Tan-hong
gunakan kotak ini untuk menyimpan Kiam-boh tulisannya itu
serta dititipkan kepadanya.
Tan Ciok-sing maju mendekat, tampak dalam kotak
memancarkan cahaya kemilau kuning, ternyata ada beberapa
biji kacang "emas menindih di atas lempitan kertas.
Didengarnya In Hou berkata: "Keluarkan kacang emas itu dan
simpan di tempat lain. Lalu kau putar dan balikkan kotak itu,
tepat pada tengah-tengah kotak kau gunakan tenaga
beruntun mengetuk tujuh kali, tak boleh lebih dan jangan
kurang, pisau-pisau kecil itu akan segera mengkeret masuk.ke
tempat asalnya."
Setelah mengerjakan seperti apa yang ditunjukkan, Tan
Ciok-sing tertawa, katanya: '"Kotakmu ini sungguh
menyenangkan."
"Kalau kau suka boleh kuberikan kepadamu. Kacang emas
itu boleh kau serahkan kepada kakekmu."
Terunjuk rasa kurang senang pada mimik muka Tan Cioksing,
katanya: "In Tayhiap, aku dan kakek sama pandang kau
sebagai kawan, memangnya berani kami mengharap imbalan"
Kau, tindakanmu ini berarti tidak memandang kami berdua."
Lekas In Hou mohon maaf: ?"Adik kecil, jangan kau salah
paham, sekali-kali tak pernah aku berpikir demikian, aku
hanya berpikir, kalian telah berusaha mengobati aku, paling
tidak kan juga memerlukan uang."
"Obat yang digunakan kakek semuanya tersedia lengkap
disini, sementara memetik harpa setiap hari juga tidak perlu
pakai uang."
53 "'Baiklah, kalau kau tidak mau tolong kau simpankan dulu.
Keluarkan beberapa lempitan kertas itu, aku ingin melihatnya."
Didalam kotak ada tersimpan tiga lempitan kertas, kertas
pertama adalah peta lukisan Thio Tan-hong yang
menunjukkan dimana letak pusaka yang dia sembunyikan di
pucuk gunung, sementara dua lempitan yang lain adalah hasil
karya Thio Tan-hong sendiri, yaitu tulisan tangan Bu-bingkiam-
hoat. Di hadapan In Hou, satu demi satu Tan Ciok-sing beber
ketiga lempitan kertas itu. Dalam melempit ketiga kertas itu In
Hou menggunakan cara khusus yang khas pula, sekali
pandang lantas dapat diketahui bahwa lempitan ini belum
pernah dijamah orang. Maka dia berkata dengan tertawa:
"Coba kau lihat, itulah Khong-ling-kiam yang dibicarakan
kakekmu tadi, lantaran kedua benda inilah maka kedua iblis
laknat itu hendak mencelakai jiwaku."
Melihat In Hou mempercayai dirinya, Tan Ciok-sing senang
sekali, katanya: "In Tayhiap, banyak terima kasih bahwa kau
pandang aku sebagai sahabatmu," lalu dia menyambung:
"Jadi sejak tadi kau sudah sadar, pembicaraanku tadi dengan
kakek tentu juga kau dengar bukan. Tapi ketiga huruf Khongling-
kiam tidak boleh sembarang digunakan, itulah pesan
kakek, maklum dia tidak pernah menduga bahwa Kiam-boh
milikmu ini mungkin saja berubah jadi Khong-ling-kiam."
In Hou suruh dia melempitnya pula serta dimasukkan
kedalam kotak, lalu disimpan di bawah bantal pula, katanya:
"Kau ingin jadi muridku bukan?"
Bersinar bola mata Tan Ciok-sing, tapi lekas dia
menggeleng kepala, katanya: "Tidak, kalau aku memohon kau
menerimaku sebagai murid, kakek tentu bilang aku
mengharapkan balas budi."
"Bagaimana kalau sebaliknya, aku yang minta kau jadi
muridku?" ujar In Hou tersenyum.
54 Berpikir sebentar Tan Ciok-sing berkata: "Tetap kurang
baik, aku hanya mengharap kau memandangku sebagai
sahabat." Tergerak hati In Hou, tiba-tiba dia mendapat akal, baru
saja dia hendak bicara. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, dua
kali cepat sekali lambat, saking senang Tan Ciok-sing
berjingkrak, teriaknya: "Kakek kembali."
Waktu Tan Ciok-sing lari keluar membuka pintu, hati In
Hou pun kaget bercampur senang, pikirnya: "It-cu-king-thian
membiarkan dia pulang sendiri, agaknya aku terlalu banyak
curiga." Belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara Tan
Ciok-sing yang penuh ketakutan dan panik: "Kakek, kenapa
kau?" Membelalak mata In Hou, tampak Tan Ciok-sing memapah
kakeknya berjalan masuk dengan sempoyongan, Ki Harpa
tampak pucat pasi, darah pun meleleh keluar dari ujung
mulutnya. "Tidak apa-apa, aku terjatuh di tengah jalan," sahut Ki
Harpa. "Kakek, kau ngapusi aku," teriak Tan Ciok-sing, "air
mukamu seburuk ini, mungkin kau pun terluka dalam?"
Tidak menjawab pertanyaan cucunya, Ki Harpa malah
menoleh ke arah In Hou, katanya: "Ah. agaknya In Tayhiap
sudah jauh lebih baik."
"Kakek, kau memang harus senang. In Tayhiap memang
jauh lebih baik, dia sudah sadar dan punya perasaan, barusan
dia pun sudah bicara. Tapi kakek, kau..."
In Hou berkata dengan suara lemah: "Ki Harpa, budi
pertolonganmu atas jiwaku, sungguh tak terlukiskan besarnya.
Lui Tayhiap juga terhitung kenalanku, entah kenapa, dia
bertindak begini kepadamu?" sebagai ahli persilatan, sekali
55 pandang dia sudah tahu bahwa Ki Harpa terluka dalam yang
cukup parah. Maka dalam hati In Hou berpikir: "Entah dia
terluka di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak" Ai, memangnya
Lui Tin-gak tega turun tangan sekeji ini" Kukira dia terluka di
tengah perjalanan pulang waktu bersua dengan komplotan Le
Khong-thian. Apa pun yang terjadi, bilamana dia menyebut
nama Tam-toako di hadapannya, sehingga Lui Tin-gak tahu
tentang hubunganku dengan Tam-toako, Lui Tin-gak pasti
akan membantu dan mengobatinya?"
Setelah memeriksa urat nadi In Hou. Ki Harpa menghela
napas lega, katanya: 'in Tayhiap kau ada harapan sembuh,
legalah hatiku. Tapi sekarang keadaan cukup genting, bukan
saja kau tidak boleh banyak bicara dan mengeluarkan banyak


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga, aku pun tiada kesempatan lagi menjelaskan
kepadamu. Ada sebuah hal, rasanya perlu segera aku
berpesan kepada cucuku ini."
Tan Ciok-sing belum tahu kalau kakeknya terluka parah,
dengan rasa was-was dia bertanya: "Kakek, sebetulnya
apakah yang telah terjadi?"
Ki Harpa menarik napas panjang, katanya: "Sing-ji, lekas
bersama In Tayhiap kau sembunyi ke ruang bawah tanah,
nanti apa pun yang terjadi di atas, kularang kau keluar."
Baru sekarang Tan Ciok-sing betul-betul kaget katanya:
"Kakek, orang jahat hendak mencelakai kau" Kakek, kalau
tidak kau jelaskan duduk persoalannya, aku takkan
meninggalkan dirimu."
Bengis sikap Ki Harpa: "Secepat ini kau sudah melupakan
pesanku" Umpama aku gugur, kau harus melindungi jiwa dan
raga In Tayhiap, tapi kalau kau tidak patuh akan pesanku,
mati pun aku tidak akan meram. Apalagi dengan kehadiranmu
disini kau takkan mampu membantu apa pun, hayo lekas
masuk." 56 Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing membopong In Hou,
tapi langkahnya terasa berat. Pada saat itulah In Hou sudah
mendengar diluar seperti ada derap langkah kaki orang, tapi
Tan Ciok-sing belum mendengarnya.
Ki Harpa pura-pura tenangkan diri, katanya tersenyum:
"Sing-ji. dengarkan petuah kakek, lekaslah masuk. Kakek tadi
hanya guyon saja, memangnya belum tentu kalau jiwaku
bakal melayang."
Terpaksa Tan Ciok-sing gendong In Hou serta membuka
pintu rahasia di balik dinding. Tiba-tiba Ki Harpa teringat,
lekas dia ambil kotak itu terus dimasukkan kedalam baju In
Hou lalu dorong mereka masuk kedalam kamar rahasia serta
lekas-lekas menutup pula pintunya.
Baru saja mereka masuk ke kamar bawah tanah, diluar
sudah didengarnya suara gaduh, jelas pintu besar rumahnya
telah digedor dan hendak dijebol oleh penyatron. Musuh
memang sudah masuk, yang datang ternyata tidak seorang
saja. Saking kaget serasa jantung Tan Ciok-sing hampir mencelat
keluar dari rongga dadanya, entah dari mana datangnya
tenaga, tiba-tiba tangan In Hou sudah dapat bergerak, dalam
kegelapan dia meraba-raba akhirnya
menggenggam tangan Tan Ciok-sing, katanya lirih: "Jangan
takut, orang baik pasti dilindungi Thian."
Walau In Hou terkena racun jahat tak mampu bergerak,
namun daya latihan ilmu silatnya selama beberapa tahun ini,
pendengarannya masih jauh lebih tajam dari orang biasa,
percakapan orang diluar dia masih bisa mendengarkan dengan
jelas, meski itu suara Ki Harpa yang sudah terluka parah dan
lemah. Terdengar beberapa orang sedang menghardik tanya
kepada Ki Harpa: "Dimana In Hou kau sembunyikan?"
57 "Mana Kiam-boh yang digembol In Hou itu, hayo
serahkan."
"Hm, jangan kau menipuku, aku tahu kau telah
menolongnya, maka Kiam-boh itu pasti terjatuh di tanganmu."
Bukan kepalang sedih hati In Hou, orang-orang itu jelas
sedang mencari dirinya, tapi di antara logat bicara orangorang
ini, tiada suara Le Khong-thian dan iblis she Siang itu.
Dalam hati In Hou tertawa getir, batinnya: "Tak nyana Bubing-
kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong baru saja keluar sudah
menimbulkan bencana, semoga jiwa raga Ki Harpa jangan
menjadi korban karenanya."
Terdengar suara serak dan lemah Ki Harpa berkata:
"Sayang kalian datang terlambat, Kiam-boh itu memang ada,
tapi sudah diambil oleh It-cu-king-thian."
"Apa betul?"
"Untuk apa aku menipu kalian" Coba lihat, bukankah aku
terluka parah?"
"Apa kau dipukul oleh It-cu-king-thian?"
"Aku baru saja pulang dari rumah keluarga Lui, tentunya
kalian sudah tahu. Kalau aku tidak serahkan Kiam-boh itu
kepada It-cu-king-thian, apakah aku bisa pulang dengan
hidup?" Dia tidak menjelaskan apakah benar Lui Tin-gak yang
melukainya, namun maksud perkataannya itu memang mau
mengatakan bahwa Lui Tin-gaklah yang melukai dirinya.
Saking gemas gigi In Hou sampai berkerutukan, pikirnya:
"Sungguh tak kira, Lui Tin-gak yang dijuluki It-cu-king-thian
ternyata adalah manusia berhati binatang."
Di antara orang-orang itu seorang berkata: "Omongannya
memang betul, menurut apa yang kutahu, kakek ini barusan
memang pernah berkunjung ke rumah keluarga Lui. Ada
seorang saudara angkatku yang kupendam di rumah keluarga
Lui." 58 "Lalu dimana In Hou?" bentak seorang yang lain lagi.
"In Hou pun sudah direbut dan dibawa pergi oleh orangorang
utusan Lui Tin-gak."
"Hm, bukan mustahil kakek keparat ini menipu kita, hayo
kita geledah rumahnya."
Di bawah kamar rahasia In Hou membelakangi dinding,
dengan kencang dia pegang tangan Tan Ciok-sing. Tadi dia
suruh Tan Ciok-sing tak usah takut, tanpa terasa hati sendiri
juga gugup. Maklumlah selama hidupnya ini entah betapa
banyak pengalaman tegang dan berbahaya, namun tak pernah
dia mengalami bahaya seperti hari ini. Dia bukan kuatir jiwa
raga sendiri, tapi dia kuatir urusannya merembet keluarga
Tan, kakek dan cucu ini ikut menjadi korban.
Terdengar suara gaduh dan ribut di sebelah atas, jelas
orang-orang itu sudah bongkar sana geledah sini. Dalam hati
Tan Ciok-sing berteriak: "Semoga Thian Yang Maha Kuasa
memberi perlindungan kepada hambanya ini, jangan biarkan
orang-orang jahat itu berbuat keji terhadap kakekku."
Sudah tentu orang-orang itu tak berhasil menemukan
Kiam-boh atau In Hou, seorang yang agaknya jadi pemimpin
mereka berkata: "Agaknya apa yang dikatakan kakek ini
memang tidak bohong, In Hou sudah terluka parah, jelas
takkan mungkin merat sendiri, mungkin memang sudah
direbut oleh It-cu-king-thian."
"Toako," sela seorang lain, "lalu bagaimana kita
selanjutnya?"
Orang yang dipanggil 'Toako' berkata: "Biarlah setelah kita
menemukan Le Khong-thian bicara lebih lanjut, demi Kiamboh
itu, terpaksa kita harus menghapus permusuhan menjadi
sahabat dengan dia untuk menghadapi It-cu-king-thian
bersama." 59 Orang yang bicara tadi mendengus, jengeknya: "It-cu-kingthian
sudah mencelakai In Hou, kini pura-pura jadi orang baik
lagi melindunginya. Kukira rahasia ini sekali-sekali tak berani
It-cu-king-thian bicarakan dengan orang luar, bagaimana
kalau kita bocorkan sedikit rahasia ini, supaya dia tahu bahwa
kita sudah tahu akan rahasianya, dengan alasan ini kita dapat
mengancam dan memerasnya."
"Akal bagus," seru seorang lagi, "Toako, begitu sajalah.
Kalau berintrik dengan Le Khong-thian, siapa tahu diluar tahu
kita diam-diam dia sudah sekongkol dengan It-cu-king-thian"
Kalau betul demikian, bukan saja dia tidak akan bergabung
dengan kita, celakanya kita sendiri yang menjadi kecundang."
Orang yang dipanggil Toako tertawa dingin, katanya:
"Memangnya kau kira It-cu-king-thian gampang diusik" Berani
kau hendak mengancam dan memeras dia?"
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu Toako?" tanya
orang itu. Si Toako berkata: "Sebelum jelas duduknya persoalan,
jangan kita sembarang bertindak. Bagaimana selanjutnya kita
harus bertindak, setelah pulang nanti kita rundingkan lagi,"
agaknya dia sudah tahu kecuali Ki Harpa yang sudah empas
empis menunggu ajal ini, tiada manusia lain di rumah ini, di
samping itu dia juga takut bila di balik dinding ada kuping
yang mencuri dengar percakapan mereka.
Diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas lega. dalam hati
dia berdoa: "Semoga Thian bermurah hati, semoga kawanan
penjahat ini lekas pergi. Syukur mereka tidak menemukan
pintu rahasia di balik dinding ini."
In Hou kawakan Kangouw, pengalamannya luas, setelah
mendengar percakapan kawanan penjahat itu mau tidak mau
hatinya amat kaget, pikirnya: "Semoga Thian memberi
perlindungan, janganlah Ki Harpa dibunuh oleh kawanan
penjahat ini untuk menutup mulutnya."-Baru dia berpikir
60 sampai disini, tiba-tiba didengarnya suara "Bluk" yang cukup
keras, seperti ada seseorang yang roboh ke lantai. Suara serak
Ki Harpa terdengar berteriak: "Mohon kalian suka bermurah
hati, jangan harpa itu kalian rusak."
"Huh, siapa sudi ambil harpamu yang bobrok itu, simpanlah
sendiri dan boleh kau serahkan kepada It-cu-king-thian, hm,
kuatirnya mungkin kau takkan bisa memetik harpamu lagi
untuk dia." Itulah suara sang Toako yang kedengaran ketus
dan bengis. Saking kaget Tan Ciok-sing sudah berjingkrak berdiri dan
hendak menerjang keluar. Entah dari mana datangnya tenaga,
lekas In Hou menariknya, serta berbisik di pinggir telinganya:
"Jangan keluar."
Dari sang kakek sedikit banyak Tan Ciok-sing pernah juga
diajarkan Kungfu, tenaganya jelas jauh lebih kuat dari orang
dewasa biasa, tapi dia toh tidak kuasa berontak karena tarikan
In Hou. Untung Tan Ciok-sing lekas sadar, dengan bekal
kepandaiannya sekarang, keluar hanya mengantar jiwa
percuma, terpaksa dengan lunglai dia duduk di samping In
Hou. Tarikan In Hou juga dilakukan saking gugupnya, gerakan
tanpa pikir secara reflek lagi, sungguh tak nyana bahwa dia
mampu menahan Tan Ciok-sing, karuan hatinya senang dan
kaget pula: "Eh, kenapa mendadak aku sudah punya tenaga?"
tapi waktu dia coba berusaha berdiri, kaki masih terasa lemas
dan lumpuh tak mampu keluarkan tenaga. Sebagai ahli
Kungfu sejenak dia melenggong, lantas dia paham duduknya
persoalan. Ternyata siapa saja bila dalam keadaan gugup atau
berbahaya dapat saja mengeluarkan tenaga besar diluar
sadar. Padahal dia sudah terkena racun jahat, bilamana hawa
murni dalam tubuh sudah buyar dan tak mungkin dihimpun
lagi, tenaga terpendam didalam tubuh jelas takkan mampu
dikembangkan. Kini bahwa dia mampu mengerahkan tenaga
61 terpendam itu, ini membuktikan bahwa lwekang yang dia
kerahkan sudah membawa hasil.
Dalam hati In Hou tertawa getir: "Ternyata aku masih
sebagai orang lumpuh, si lumpuh yang harus dilindungi
seorang bocah. Ai, cukup asal aku dapat memulihkan sedikit
tenagaku, betapa baiknya. Kini hawa murniku sudah ludes,
terpaksa aku harus mulai dari permulaan lagi, tapi untuk
mencapai apa yang kuharapkan paling tidak memerlukan
waktu satu jam. Umpama benar aku dapat mengumpulkan
sedikit tenaga itu, apa pula manfaatnya."
Maklum enam tujuh musuh yang ada diluar semuanya
berkepandaian cukup tangguh, umpama betul In Hou dapat
memulihkan beberapa bagian tenaganya, juga takkan mampu
menandingi mereka. Apalagi tenaga yang dikerahkan In Hou
untuk menarik Tan Ciok-sing hanyalah tenaga alamiah yang
dimiliki juga oleh manusia umumnya, hakikatnya belum
terhitung tenaga lwekang. Maka setelah sekian saat dia
berdiam diri sambil pasang kuping, didengarnya Ki Harpa
sedang merintih-rintih, serta derap langkah orang banyak
yan Harpa Iblis Jari Sakti 21 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 15
^