Pendekar Pemetik Harpa 13

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 13


ib sendiri. Untuk ini kau tidak bisa disalahkan. Bukankah akupun
terlambat datang?"
Han Cin menghela napas katanya: "Syukurlah
kedatanganku masih sempat menemuinya sebelum dia ajal
dan mengantar keberangkatan-nya."
723 "Adakah beliau meninggalkan pesan?"
"Beliau bilang: 'Manusia akhirnya akan mati, usiaku sudah
mencapai tujuh puluh, terhitung berumur panjang, kenapa
pula harus disesalkan menghadapi kematian ini" Apalagi orang
macam aku dari kalangan perwira Gi-lim-kun yang menjadi
kaum persilatan, di hari tuaku aku bisa mati dengan tentram,
aku sendiripun tak pernah menduganya. Satu hal yang masih
menjadi ganjalan hatiku hanyalah merindukan seorang
sahabat muda, dia adalah anak dari seorang sahabatku.' Tantoako,
tentunya kau paham, orang yang dimaksud beliau
adalah engkau."
Berkaca-kaca air mata Ciok-sing, katanya: "Begitu baik
beliau terhadapku, sayang aku tiada kesempatan lagi untuk
membalas kebaikannya."
"Keinginannya yang terakhir sudah kau tunaikan dalam
perjalananmu ke Kwi-lin kali ini, itu berarti kau telah
membalas kebaikannya. Malah aku yang belum sempat
membalas budi kebaikannya."
"Bagaimana dia membicarakan diriku dengan kau?"
"Dia memberitahu janjinya denganmu terhadapku, cuma
belum diketahui kapan kau bakal kembali, umpama kembali
juga sukar untuk mencarinya kesini. Tapi dia mengharap aku
suka menunggu kau disini, walau harapan untuk ketemu
teramat tipis, tapi kan lebih baik dari pada menyia-nyiakan
kesempatan untuk bertemu."
"Selama dua bulan lebih ini apakah kau berada disini?"
"Sebulan lebih aku tinggal di gubuk ini, namun kau tidak
kunjung datang. Aku tidak tahu apakah kau pernah kemari,
atau pernah kemari tapi tidak menemukan-jejak kami maka
kau pergi. Setelah kupikir putar balik, dari pada aku
menunggu saja disini, ada lebih baik aku turun gunung
menyirapi kabar. Kira-kira setengah bulan yang lalu aku turun
gunung." 724 Setelah meneguk secangkir air, dia berkata pula: "Karena
tidak memperoleh berita apa-apa, aku pulang ke tempat
sekolahan ayahku dulu, disana aku tinggal belasan hari, tadi
pagi mendadak kuingat bahwa Gi-hu masih meninggalkan
beberapa buah lukisan dan buku-buku tulisan yang belum
kusimpan, maka pagi-pagi tadi aku buru-buru kemari.
Syukurlah hari ini aku kemari, akhirnya kutemukan kau disini,"
sampai disini tanpa kuasa merah mukanya.
Ternyata ayah angkatnya ada dua cita-cita yang belum
terlaksana dan pernah berpesan kepada Han Cin, cuma dalam
ceritanya tadi dia hanya membeber satu di antaranya. Kecuali
merindukan Tan Ciok-sing, Khu Ti juga menguatirkan masa
depan putri angkatnya ini, dia menyatakan penyesalannya
karena tidak keburu mencarikan jodoh setimpal untuk putri
angkatnya ini. Sudah tentu keinginan Khu Ti ini sukar dia
nyatakan secara berhadapan terhadap Tan Ciok-sing.
Untung Ciok-sing tidak begitu perhatikan perubahan mimik
mukanya, katanya: "Memang untung hari ini kau kemari, kalau
tidak mungkin aku takkan bisa duduk disini berbincang dengan
kau. Tentunya kau mendengar suitanku dan lekas datang
membantu aku bukan?"
"Bukan saja aku mendengar suitanmu, akupun mendengar
senandungmu."
"Itulah syair tulisan kakek di waktu berkenalan dengan
ayah angkatmu dulu."
"Waktu itu aku tengah berada di pusara Gi-hu, kudengar
kau bersenandung dengan tenaga lwekang tinggi, diam-diam
aku sudah duga akan kedatanganmu, maka buru-buru aku
berlari pulang. Lucu adalah Huwan bersaudara itu tiada yang
tahu akan kedatanganku."
"O, jadi kau merias dirimu didalam gubuk ini juga," Cioksing
manggut-manggut.
725 "Ya, aku kenakan pakaian lama Gi-hu. Untung dalam almari
masih ada sisa gandum, kebetulan cukup untuk merubah
bentuk mukaku. Kalau Gi-hu sekali sembur arak dapat melukai
empat musuh sekaligus, aku hanya mampu melukai satu
orang yang berkepandaian paling rendah lagi, jauh sekali
kemampuanku bila dibanding Gi-hu. Untung Huwan
bersaudara ciut nyalinya oleh semburan arak Gi-hu tempo hari
melihat aku menggunakan cara lama, sudah tentu mereka
tidak menaruh curiga lagi."
"Ayah angkatmu tak bisa kutemui lagi, adalah pantas kalau
aku sembahyang di depan pusara beliau, nona-Han sudikah
kau mengantar aku?"
Tiba-tiba Han Cin seperti ingat sesuatu katanya: "Oh, ya,
Gi-hu ada sesuatu benda yang harus kuserahkan kepadamu di
depan kuburannya."
"Barang apa itu?" tanya Ciok-sing.
"Nanti juga kau akan tahu," agaknya pesan Khu Ti memang
menghendaki dia berbuat demikian maka dia tidak boleh
memberitahu kepada Ciok-sing lebih dulu.
Sudah tentu tak enak Tan Ciok? sing banyak tanya,
pikirnya: "Tentunya suatu persoalan yang amat penting, maka
Khu-locianpwe merasa perlu untuk memberikan pesannya ini.
Ai, betapa besar budi kebaikan dan keluhurannya terhadapku,
bila dia meninggalkan suatu pesan yang belum terlaksana,
apakah aku harus menunaikannya dengan segala
kemampuanku?"
Dengan hati yang dirundung tanda tanya akhirnya Ciok-sing
tiba di depan kuburan Khu Ti, teringat betapa besar kasih
sayang Khu Ti terhadap dirinya, serta hubungannya dengan
tiga generasi keluarganya, tanpa kuasa Ciok-sing menangis
sesenggukkan. Sesaat lamanya baru dia angkat kepala dan
berpikir: "Semasa hidupnya beliau paling suka mendengar
petikan harpa kakek, sayang harpaku itu sudah kuhadiahkan
726 kepada orang lain, tak bisa aku memelikkan lagu untuk
menghibur arwahnya di alam baka."
Teringat akan harpa serta meria terbayang pula akan In
San, batinnya: "Khu-locianpwe adalah sababat kakek yang
paling kental, walau hanya sekali aku bertemu, namun dia
lebih akrab dan sayang dari pada sanak familiku sendiri, Kakek
adik San juga adalah pengagum kakekku, meski di masa
hidupnya kakek tidak tahu akan hal ini. Demikian pula akan
adik San, dia adalah temanku yang paling intim dari lawan
sejenis. Ai, tak nyana selanjutnya aku tak akan bisa bertemu
lagi dengan Khu-locianpwe, entah kapan pula baru aku akan
bisa berhadapan dengan adik San pula." Memang lain Khu Ti
lain In San, yang satu kakek ubanan yang lain gadis jelita
yang menjadi idaman hatinya namun dalam pandangan Cioksing
dia pandang kedua orang ini sebagai sanak kadang yang
paling dekat lahir batin dengan dirinya, kalau yang tua kini
sudah tiada, sementara sang pujaan sekarang entah berada
dimana. Kalau yang satu mati dan berpisah, yang masih
hiduppun terpaksa harus berpisah, yang sudah mati memang
patut dibuat duka, tapi yang masih hidup juga memilukan.
Berlutut di hadapan kuburan Khu Ti, dua perasaan
berkecamuk dalam benaknya, tanpa kuasa dia menangis
sejadi-jadinya.
Han Cin tak tahu isi hatinya, segera dia menghibur: "Usia
Gi-hu sudah mencapai tujuh puluh tahun, meninggal dalam
usia selanjut itu memang tidak perlu dibuat sedih. Tan-toako,
tidak perlu kau berduka sedemikian rupa."
Ciok-sing menunduk diam, rasa rawan, masgul dan pilu
masih berselubung dalam sanubarinya, karena tidak
membawa harpa, mendadak dia menepuk-nepuk batu nisan
terus bersenandung.
Suaranya lantang keras penuh dibuai perasaan makna syair
yang dibawakan. Han Cin hanyut oleh senandungnya ini,
pelan-pelan dia mengeluarkan sebatang seruling bambu
727 kuning yang kecil pendek, segera dia iringi senandung Cioksing
dengan tiupan lagu yang sama. Tiupan serulingnya Han
Cin ternyata amat merdu dan mahir sekali, caranya meniup
rasanya tidak lebih asor dari Kek Lam-wi.
Selesai satu lagu Han Cin lantas berkata: "Itulah syair yang
paling digemari Gi-hu semasa hidupnya dulu."
"Ya, aku tahu. Karena melihat syair tulisannya inilah maka
ayah membongkar asal-usul dirinya lalu bersahabat. Nona
Han, kepandaianmu meniup seruling, apakah juga kau pelajari
dari Khu-locianpwe?"
"Bukan, ayah kandungku sendiri yang mengajar kepadaku."
"O, ayahmu sendiri yang mengajar," tiba-tiba tergerak
hatinya, tanyanya: "Tahukah kau ada seorang bernama Kek
Lam-wi?" "Tidak tahu. Orang macam apakah dia?"
"Seorang pemuda yang kenamaan dari daerah Kanglam."
'"Sejak kecil aku masih hidup di gunung, baru musim semi
yang lalu aku pulang kampung halaman, untuk pertama kali
itulah aku keluar pintu ke tempat jauh, jarang aku bertemu
dengan orang luar, apa lagi orang-orang persilatan. Kalau
para pendekar dari generasi tua, Gi-hu sering bercerita
tentang hikayat mereka, tapi untuk kaum muda kukira Gi-hu
sendiri juga tidak tahu. Demikian pula orang she Kek ini,
beliau tidak pernah bicara dengan aku. Tan-toako, kenapa
mendadak kau singgung orang ini terhadapku?"
"Tiupan serulingnya baik sekali, merupakan seorang kosen
dalam bidang ini. Tapi kau ternyata tidak lebih jelek dari dia."
Merah muka Han Cin, katanya: "Tan-toako kau
menggodaku saja. Seenaknya saja aku belajar dari ayah,
mana boleh dibanding seorang kosen."
728 "Pujianku bukan sembarang pujian, tiupan serulingmu
memang bagus. Apa lagi kau seorang gadis belia, namun kau
mampu membawakan sebuah lagu duka nestapa dengan baik
sekali. Kalau aku tidak saksikan kau meniup seruling
dihadapanku, hanya mendengar dengan kuping saja, aku pasti
kira kau adalah Kek Lam-wi."
"Ah, mana aku pantas dijajarkan dengan seorang ternama.
Tapi bahwa tiupan serulingku ternyata mirip dengan
temanmu, akupun merasa heran."
"Kalian tak ubahnya hasil didikan dari satu guru."
"O, makanya tadi kau tanya aku. Mungkin orang yang
mengajar meniup seruling kepada ayah dulu, seperguruan
dengan aliran perguruan temanmu itu. Sayang ayah tidak
pernah menyinggung soal ini terhadapku."
"Kukira memang demikian. Kalau rekaanku ini betul, maka
ahli seruling yang mengajar ayahmu itu, tingkatannya pasti
jauh lebih tinggi dari guru Kek Lam-wi."
Han Cin berkata: "Persoalan yang tidak penting tak usah
kita bicarakan lagi mumpung waktu masih pagi kalau kau mau
turun gunung, kukira sudah tiba saatnya kau berangkat."
"Ya, tadi kau bilang Khu-locianpwe ada titip barang apa
yang hendak kau serahkan padaku di depan kuburannya,
sekarang boleh kau serahkan kepadaku."
Maka Han Cin lantas menjelaskan: "Inilah surat
peninggalan ayah kepadamu."
Ciok-sing terima sampul surat itu serta membukanya,
begitu membaca isi surat seketika dia berdiri melongo. Kiranya
itulah surat yang isinya menyinggung soal jodoh, surat itu
ditulis Khu Ti waktu dia mulai sakit, jadi jauh hari sudah
dipersiapkan lebih dulu. Dalam surat Khu Ti menyatakan
bahwa usianya sudah genap tujuh puluh, begitu terserang
penyakit, dia lantas mendapat firasat dan tahu bahwa dirinya
729 takkan hidup lebih lama lagi, dirasakan hidup ini dia tak
pernah melakukan sesuatu yang baik untuk nusa dan bangsa,
hal ini amat disesalkan. Di kala jiwa sudah di ambang pintu
meninggalkan alam baka ini, hati masih dirundung dua
persoalan yang selama ini masih menjadikan tanggungan
batinnya. Membaca sampai disini lapat-lapat Ciok-sing sudah meraba
kemana juntrungnya isi surat selanjutnya, tanpa kuasa
jantungnya berdetak kencang. Memang betul dalam suratnya
Khu Ti berkata lebih lanjut, kedua persoalan yang masih
menjadikan ganjalan hatinya adalah belum mampu membantu
It-cu-king-thian mencapai cita-citanya, dan soal kedua adalah
masa depan dan perjodohan putri angkatnya.
Setelah dia memperkenalkan nama, riwayat hidup serta
paras perawakan putri tunggalnya, Khu Ti berkata lebih lanjut,
dia yakin keinginannya yang pertama pasti Ciok-sing tidak
menampik harapannya.
Dia bilang dia tahu bahwa Ciok-sing belum menikah dan
belum punya tunangan, dia yakin bahwa putri angkatnya
adalah jodoh setimpal bagi Ciok-sing. Bahwa dulu dia wantiwanti
pesan kepada Ciok-sing supaya lekas kembali menengok
dirinya, tujuannya juga hendak merangkap perjodohan ini.
Sayang waktu tidak mengizinkan, Thian telah memanggilnya
pulang lebih dahulu, sehingga dia tidak sempat menunggu
Ciok-sing kembali menemuinya. Maka dia meninggalkan surat
pesan ini dan diminta Ciok-sing suka menganggap surat pesan
ini sebagai bukti dari ikatan perjodohan itu.
Dua baris terakhir dari tulisan surat itu kelihatan coret
moret dan tenaganya tampak lemah, itulah tulisan tambahan
di kala Khu Ti sudah mendekati ajal. Dia sudah bertemu
dengan putri angkatnya " " Han Cin, juga sudah tahu kalau
ayah Han Cin sudah meninggal. Maka dalam pesannya terakhir
dia menambahkan bahwa mereka berdua kini sudah menjadi
anak sebatang kara, maka dia lebih mengharap akan
730 perjodohan ini, umpama Ciok-sing tidak menyukai putri
angkatnya, dia minta supaya Ciok-sing wakilkan dia
melindunginya. Tapi Khu Ti tidak sempat memberi penjelasan
kepada putri angkatnya, maka dia hanya bisa titip surat pesan
ini kepadanya, supaya putri angkatnya yang serahkan
langsung kepada Ciok-sing. Dua baris kalimat terakhir
nadanya lebih ditekankan lagi: "Aku bersahabat dengan
generasi keluargamu, yakin Hiantit akan mengabulkan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keinginanku terakhir ini dengan senang hati."
Setelah membaca surat ini, ruwet pikiran Ciok-sing. Hatinya
gundah dan bingung. Lama dia berdiri menjublek di depan
kuburan Khu Ti.
Memang dia sudah berkeputusan, yakin dia sudah
memutus tali asmara, memutuskan hubungan cintanya
dengan In San. Tapi bagaimana juga bayangan In San masih
selalu terbayang dalam benaknya, memangnya sedemikian
cepatnya dia lantas mengalihkan sasaran cintanya kepada
orang lain" Apalagi baru hari ini dia berkenalan dengan Han
Cin, berkumpul juga baru satu dua jam" Tapi sesuai apa yang
dikatakan dalam surat Khu Ti, tiga generasi keluarganya
semua berhutang budi terhadapnya, memangnya pantas dia
menyia-nyiakan harapan orang yang luhur"
Melihat sikap orang seperti linglung, Han Cin jadi kuatir,
katanya: "Apa yang dikatakan Gi-hu dalam suratnya" Apakah
tugas yang harus kau lakukan teramat sukar dan berabe?"
Sudah tentu kikuk dan rikuh Ciok-sing dibuatnya, katanya:
"Nona Han, apa kau tidak pernah baca surat ini?"
"Itukan surat Gi-hu untuk kau, mana boleh aku membuka
dan membacanya?" seolah-olah dia merasa heran akan
pertanyaan Ciok-sing ini.
Legalah hati Ciok-sing, katanya: "Kukira dia sudah
tunjukkan kepadamu lebih dulu."
731 "Kenapa dia harus tunjukkan kepadaku dulu" Memangnya
dalam surat beliau menyinggung diriku?"
"Betul, dalam surat beliau menyinggung dirimu."
Tanpa merasa berdebar jantung Han Cin, tanyanya
menunduk dengan suara lirih: "Gi-hu menyinggung soal apa
tentang diriku?"
"Beliau menghendaki kita seperti saudara sekandung, dia
minta aku melindungi dan membimbingmu, dan kaupun harus
membantu aku."
Selama hidup tak biasa dia berbohong, tapi bukan tidak
pernah dia bohong, terhadap orang jahat dia pernah ngapusi.
Tapi terhadap orang baik, terutama terhadap sahabat, baru
pertama kali inilah dia berbohong. Karuan mukanya merah
sendirinya. "Tapi Khu-locianpwe memang menghendaki aku
melindungi dia, kalau dia sebagai anak angkatnya, sebaliknya
aku tak ubahnya sebagai keponakannya, kalau dikata sebagai
kakak adik kan tidak janggal," dengan demikian dia menghibur
diri dalam hati
Lambat laun sirna juga rasa jengah Han Cin, katanya
kemudian dengan suara tawar: "Gi-hu begitu serius,
memangnya beliau hanya berpesan soal-soal ini saja."
"Ya, dalam pandangan Gi-humu, hal ini dirasa amat penting
sekali. Dalam dunia ini beliau hanya punya kau sebagai sanak
kadang. Akupun harus berterima kasih dan membalas budi
kebaikannya, sebelum ajal, beliau sudi pandang diriku seperti
sanak kadang sendiri. Nona Han, sudikah kau mempunyai
engkoh seperti diriku ini?"
"Aku tiada punya ayah bunda atau kakak beradik, kini Gi-hu
yang menjadi sandaranku juga sudah meninggal. Tan-toako,
kalau sudi memandangku sebagai adik, kumintapun belum
tentu bisa tercapai. Cuma aku kuatir adikmu yang tidak
berguna ini bakal menjadikan beban berat bagi dirimu."
732 "Yang tak berguna justru aku, kalau tiada bantuan adik
yang baik seperti dirimu, mungkin sekarang aku sudah mati
atau terluka parah, masakah aku bisa berdiri disini berbincangbincang
dengan kau?" maka keduanya lantas bersembah
sujud di hadapan kuburan Khu Ti saling mengangkat kakak
dan adik. Memang Han Cin tidak pernah membaca surat itu, tapi
sebenarnya dia tahu apa isi surat itu. Walau sebelum ajalnya
Khu Ti tidak memberi penjelasan kepadanya, tapi dari
pembicaraannya dia sudah maklum akan maksud tujuan ayah
angkatnya, yaitu ingin menjodohkan dirinya dengan Tan Cioksing.
"Mungkin ayah juga berpikir, karena aku adalah orang
asing yang belum pernah bertemu dengan dia, jikalau sekali
ketemu lantas bicara soal jodoh, bukankah serba salah
jadinya, maka beliau ingin supaya kami sebagai kakak beradik
dulu. Bahwa Gi-hu menyuruhnya melindungi aku, bukankah
secara tidak langsung sudah menunjukkan maksudnya yang
nyata," demikian batin Han Cin.
Yang benar, setelah dia tahu kemana maksud sang ayah,
hatinya ikut ruwet dan bingung. Pada hal sang ayah memuji
Tan Ciok-sing sebaik itu, betapapun dia adalah laki-laki yang
masih asing untuk dirinya, darimana dia bisa tahu kalau orang
suka atau tidak terhadap dirinya" Umpama sekarang dia
sudah berhadapan dengan Ciok-sing, diapun tidak tahu
apakah dia sudah betul-betul jatuh cinta terhadap sang jejaka
ini" Tadi dia sudah saksikan Kungfu Ciok-sing, apa yang
dipujikan sang ayah memang tidak berkelebihan. Dari
pergaulan permulaan ini, diapun sudah merasakan kalau Tan
Ciok-sing adalah laki-laki sejati yang patut dipercaya dan
dihormati. Dia juga tidak menyangkal, bahwa semakin lama
dia semakin kasmaran terhadap pemuda gagah ini. Tapi bicara
733 soal jodoh, lain pula persoalannya, "suka" belum tentu berarti
"cinta".
"Urusan kelak biarlah dibicarakan kelak. Mungkin aku bakal
jadi isterinya, atau selamanya kita tetap sebagai kakak adik,
itupun tiada ruginya. Apalagi aku menyukai dia, maka diapun
harus menyukai aku. Masakah berdasarkan surat pesan maka
dia harus cinta dan mengawini aku, apa pula artinya?" setelah
Han Cin dapat berpikir demikian, perasaannya menjadi lapang
dan bersyukur bahwa sang ayah ternyata memang punya
perhitungan dalam memegang rol perjodohon ini, dan ini
justeru mencocoki seleranya pula.
"Adik Cin, selanjutnya bagaimana?" tanya Ciok-sing
kemudian. "Entahlah. Ayah sudah meninggal, semula kukira aku dapat
mencari perlindungan kepada Gihu," sikapnya tampak hambar.
"Apakah di kampung halaman kau tidak punya sanak
kadang lagi?"
"Famili dekat tiada, ada juga famili jauh kalau mau
diurutkan satu dengan yang lain, tapi mereka adalah kaum
pedagang kecil, aku tidak ingin bersandar pada mereka."
Merandek sejenak akhirnya Han Cin berkata lebih lanjut:
"Sebetulnya aku bisa pulang ke sekolahan ayah dulu, orangorang
desa itu semuanya jujur dan menyenangkan. Aku yakin
bisa hidup berdampingan dengan mereka. Tapi bicara terus
terang, selama belasan tahun aku hidup di dusun kecil itu,
akhirnya menjadi bosan juga. Dulu ada ayah sebagai teman,
ada pula Gi-hu mengajar Kungfu, memang kehidupan terasa
tentram dan menyenangkan. Ai, tapi selanjutnya lain pula
yang bakal kuhadapi."
Berpikir sejenak akhirnya Ciok-sing berkata: "Kau memiliki
kepandaian, memang tidak pantas memendam diri di
pedusunan selama hidup ini. Adik Cin, marilah kau ikut aku
saja," sebetulnya Ciok-sing sendiri juga belum punya
734 keputusan, namun teringat akan pesan Khu Ti supaya dia
melindungi adik angkatnya ini, maka dia tidak banyak pikir
lagi. Kelihatannya Han Cin agak kikuk dan serba susah, katanya:
"Antara kakak beradik memang tidak perlu sungkan dan main
sembunyi, tapi memangnya aku harus mengikuti kau selalu,"
sebetulnya dia ingin bilang 'memang aku harus ikut kau
selamanya' untung dia sempat membatalkan kata-katanya ini,
namun demikian tak urung merah selebar mukanya.
Ciok-sing mendongak mengawasi gumpalan mega seperti
memikirkan sesuatu, seakan-akan dia tidak begitu perhatikan
perubahan mimik muka Han Cin, mendadak dia berseru: "Nah,
ada." "Ada apa?" tanya Han Cin.
"Apa kau tahu Kim-to Cecu yang bermarkas diluar Gan-bunkoan?"
tanya Ciok-sing.
"O, apakah Kim-to Cecu Ciu San-bin yang kau maksud. Dia
merupakan tonggak utama di daerah Gan-bun-koan, pernah
beberapa kali dia membendung dan malah memukul mundur
invansi pasukan Watsu, sering Gi-hu bercerita tentang
pahlawan tua yang perwira ini. Kau tanya soal dia,
memangnya kau kenal Kim-to Cecu, dan ingin mengajakku ke
markasnya?" demikian tanya Han Cin sambil menjingkrak
girang. "Aku sendiri belum pernah ketemu dengan Kim-to Cecu,
tapi ada kenalan baikku disana. Dalam markasnya ada
detasemen wanita, mereka kini tengah memerlukan tenaga
gadis-gadis militan, jika kau mau membantu mereka, mereka
pasti senang menerimamu."
"Baiklah kalau begitu," Han Cin bersorak girang.
"Tapi kau harus menolong aku lebih dulu," ujar Ciok-sing.
735 "Menolong soal apa, Toako, lekas katakan saja, tak usah
sungkan." "Kepandaianmu merias orang sungguh amat ahli. Kupikir
sukalah kau tolong merubah aku menjadi orang lain. Di kota
Tay-tong aku pernah membuat geger, aku kualir pengusaha
disana mengenali diriku."
"Itu gampang. Kau suka jadi tua" Muda" Gagah, ganteng"
Atau yang jelek rupa?"
"Apa saja bolehlah, jadi jelek seperti badut juga tidak jadi
soal. Yang penting orang lain takkan mengenali diriku lagi."
"Baiklah, mari kita kembali ke pondok Gi-hu. Gi-hu masih
meninggalkan beberapa perangkat pakaian lama, biar nanti
kurobah sedikit, besok baru mulai menyolek dirimu."
Malam itu Ciok-sing tidur di ruang tamu bagian luar,
sementara Han Cin tidur di kamar ayah angkatnya, tapi
sampai kentongan ketiga sinar pelita masih kelihatan
menyorot keluar dan dalam kamar, agaknya Han Cin giat
menjahit pakaian. Sungguh haru dan terima kasih hati Cioksing,
namun dia merasa rikuh untuk mengganggu pekerjaan
orang, terpaksa dia tinggal diam dan pura-pura tidur nyenyak.
Pada hal pikirannya timbul tenggelam, hatinya gundah kalau
bayangan Han Cin tersorot ke jendela kamarnya, adalah
bayangan In San selalu terbayang dalam benaknya, kira-kira
menjelang fajar baru tanpa terasa dia tertidur lelap.
Hari kedua pagi-pagi, Han Cin membangunkannya, katanya
tertawa: "Toako, bangunlah, aku akan merubahmu jadi lakilaki
jelek." Pakaian yang dijahit dan dipermaknya itu seperti telah
diukur dan dicobakan dulu kepada Ciok-sing saja, ternyata pas
dan cocok dengan perawakan Ciok-sing. Setelah Ciok-sing
masuk kamar salin pakaian, mulailah Han Cin merias dia,
setelah rampung Han Cin sodorkan sebingkai kaca kepadanya,
tampak seraut wajah yang tampak didalam kaca adalah orang
736 desa penduduk setempat, memangnya bentuk wajahnya
kelihatan kurus panjang, kini berubah bundar gemuk.
Dengan tertawa Han Cin berkata: "Kini kau pantas menjadi
seorang pedagang kecil yang suka mengkreditkan barangbarang
klontong di antara penduduk pegunungan, kaum
pedagang kecil seperti ini cukup banyak di Tay-tong, kau puas
tidak?" "Teramat puas. Aku sendiri hampir tidak mengenali
wajahku sendiri."
"Sarapan pagi sudah kusiapkan, kutaruh di dapur, kalau
sudah dingin silahkan kau panaskan lagi.
Sebentar kau makan sendiri, aku mau turun gunung."
"Kenapa kau tidak turun gunung bersamaku?"
"Aku akan titipkan buku dan lukisan peninggalan Gi-hu
kepada seorang kenalan baiknya, setelah mohon diri pada
kenalan ayah di desa."
"Apa aku tidak boleh ikut?"
Han Cin tertawa: "Mereka adalah kenalan baikku, kalau
para tetangga berbondong-bondong datang tanya kepadaku
pernah apa kau dengan diriku, cara bagaimana aku harus
menjelaskan?" Merah muka Ciok-sing, seketika dia bungkam.
"Setelah kau turun gunung, tunggulah aku di kedai arak Gihu
dulu, kira-kira setengah jam setelah lewat lohor, aku akan
sudah tiba di tempat itu," lalu dia menjinjing sebuah koper
kulit yang penuh berisi buku dan gambar meninggalkan
gubuk, dengan mengembangkan ginkang dia berlari turun
gunung. Melihat langkah orang ternyata enteng dan lincah,
diam-diam Ciok-sing merasa kagum.
Setelah sarapan pagi Ciok-sing turun gunung, dia berjalan
seenaknya saja, kira-kira menjelang lohor dia sudah sampai di
kedai arak Khu Ti yang terletak di kaki gunung. Kedai arak ini
737 sudah tinggal puing-puingnya saja, dua batang pohon di
samping kedai masih ada, maka Ciok-sing istirahat duduk di
bawah pohon. Setengah jam telah berselang, tapi belum tampak
bayangan Han Cin. Tengah Ciok-sing merasa gelisah,
mendadak tampak seorang pemuda dari penduduk setempat
menghampiri ke depannya, berdiri sejenak lalu mengawasi
dirinya dari kepala sampai kaki. "Tuan, kau datang dari luar
daerah bukan, siapa yang kau tunggu disini?" demikian tanya
pemuda itu. "Aku, aku, darimana kau tahu kalau aku sedang menunggu
orang?" Ciok-sing balas bertanya.
"Kulihat kau duduk disini sudah lebih setengah jam,
bukankah sedang menunggu orang, kalau tidak kenapa tidak
cari kedai minum yang lain. Memang disini dulu ada kedai
arak, tapi sudah dibakar habis oleh tentara," demikian ujar si
pemuda pula. Sudah tentu Ciok-sing jadi serba susah untuk menjelaskan.
Walau dia tahu bahwa pemuda ini tidak mengandung maksud
jahat, tapi mana boleh dia memberirahu secara terangterangan"
Di saat dia kebingungan itulah, si pemuda tiba-tiba
tertawa geli, katanya: "Kau sedang menunggu seorang nona
she Han bukan?"
Ciok-sing berjingkrak kaget dan senang, katanya: "O, jadi
nona Han yang menyuruh kau kemari"
Apakah dia mengalami suatu kejadian apa sehingga tak
keburu kemari?"


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sih sudah datang," sahut si pemuda.
"Dimana?" tanya Ciok-sing sambil celingukan, kecuali
pemuda di hadapannya, di sekitar situ tiada bayangan orang
ketiga. 738 Akhirnya pemuda itu cekikikan, katanya: "Jauh di ufuk
dekat di depan mata," suaranya mendadak berubah, dari
suara laki-laki yang serak dan kasar menjadi suara merdu bak
kicau burung kenari.
Baru sekarang Ciok-sing sadar, katanya tertawa sambil
menepuk paha: "Bagus ya, aku menunggumu dengan gelisah,
kau justru mempermainkan aku."
"Aku ingin coba-coba apa kau masih mengenali aku.
Merubah wajah gampang, aku kuatir suaraku yang gampang
dikenali akan kepalsuanku."
"Pasti orang takkan curiga kepadamu. Tapi kenapa kau
menyamar jadi pemuda?"
"Meski kita kini kakak adik, tapi wajah berbeda, orang luar
kan tidak tahu apalagi laki perempuan seperjalanan, tentunya
menarik perhatian orang."
"Itu aku tahu. Tadi aku kira kau akan menyaru jadi seorang
kakek. Samaranmu menjadi Gi-humu kemarin sungguh bagus
sekali." "Kalau aku menyaru jadi kakek, maka kau akan menjadi
cucuku, bukankah lebih menguntungkan aku malah?"
"Kau memang adik binal, baiklah, tak usah ribut-ribut,
marilah berangkat."
"Aku takkan melakukan kesalahan, sebaliknya kaulah yang
harus selalu hati-hati. Ingat, selanjutnya jangan panggil aku
Hian-moay, tapi panggillah Hian-te, mari."
Mengawasi dandanan Han Cin, tanpa terasa Ciok-sing
teringat pula kepada In San, waktu pertama kali dia bertemu
dengan In San di tengah perjalanan diluar kota Tay-tong, In
San juga sedang menyamar jadi laki-laki. Walau tidak semirip
samaran Han Cin sekarang, waktu itu diapun tidak bisa
membedakannya. 739 "Eh," seru Han Cin, "apa yang sedang kau lamunkan
Toako" Wajahmu tampak lesu, memangnya kau kurang
senang karena kugoda tadi?"
"Memangnya kau kira Toakomu ini suka rewel dan bawel.
Aku sedang terkenang pada ayah angkatmu, terbayang olehku
pada hari perkenalanku di kedai itu dengan beliau. Meski kedai
sudah terbakar, tapi kejadian itu masih tetap semayam dalam
sanubariku," habis berkata tanpa sadar mukanya jengah.
Inilah untuk kedua kalinya dia berbohong kepada Han Cin.
Tapi sekarang dia betul-betul teringat kepada Khu Ti.
Terbayang akan Khu Ti serta merta dia mengawasi Han Cin
di depannya, perasaannya semakin hambar. Selama ini dia
belum membalas kebaikan Khu Ti, memangnya dia menyianyiakan
maksud dan harapan Khu Ti.
Untung Han Cin tidak membongkar rahasia sanubarinya,
selama hidupnya baru pertama kali ini dia seperjalanan
dengan seorang laki-laki kecuali ayah kandungnya sendiri,
walau kadang kala dia membawakan juga watak dan perangai
seorang gadis belia umumnya, tapi ini menandakan betapa
senang dan gembira hatinya. Mungkin belum bisa dikatakan
sudah terjalin cinta di antara mereka, tapi keadaan mereka
sudah layak seperti kakak beradik. Sepanjang perjalanan ini
keduanya sering berkelakar, Ciok-sing sendiri sering juga
terhibur hatinya oleh banyolan Han Cin, sehingga rasa
masgulnya selama ini sirna tanpa terasa. Memang banyak
persamaan antara Han Cin dengan In San, tapi Han Cin lebih
riang dan lincah suka berkelakar dari In San.
Hari itu mereka tiba di Tay-tong. Maklumlah sebagai kota
yang cukup besar dan penting di daerah barat daya, setelah
mengalami petaka peperangan, lekas sekali Tay-tong sudah
sembuh dari kebobrokan perang, pendudukpun telah pulih
juga usahanya. 740 "Toako," kata Han Cin, "apakah kita tidak perlu cari hotel
untuk menginap?" maklum dia kuatir Tay-tong sebesar dan
seramai ini, tentu sulit mencari penginapan. Selama beberapa
hari perjalanan ini, setiap kali menginap di hotel mereka selalu
minta dua kamar, memangnya setelah terjadi peperangan ini,
banyak pedagang yang menghentikan usahanya, sehingga
jarang orang keluar pintu, dengan sendirinya usaha perhotelan
menjadi sepi, kebetulan kalau mereka suka memesan dua
kamar. Tapi setiba di Tay-tong, keadaan jelas berbeda.
Agaknya Ciok-sing tahu maksud hatinya, katanya dengan
senyum simpul: "Kita tak perlu menginap di hotel."
"Kau punya teman-baik di Tay-tong ini."
"Kukenal secara kebetulan saja, mungkin tak terhitung
teman. Tapi aku yakin dia pasti dengan senang hati
menyambut kedatangan kita."
"Kecuali keluarga In, kukira tiada keluarga besar lainnya
yang ternama dalam kota Tay-tong, siapa orang yang kau
kenal ini?"
"Orang ini sedikitpun tidak bisa main silat, tapi usahanya
mirip ayah angkatmu, diapun membuka kedai minuman."
Letak kedai minum itu hanya terpaut satu gang dengan
rumah keluarga In, waktu Tan Ciok-sing datang ke Tay-tong,
tempo hari, diapun mencari tahu berita keadaan rumah
keluarga In dari kedai minum ini. Pemilik kedai kira-kira
sebaya dengan Khu Ti, anak isteri sudah meninggal, namun
dia lebih beruntung dari Khu Ti, karena ada seorang cucu lakilaki
yang menemaninya. Kedai itu berada di sebuah gang
sempit yang nyelempit, waktu mereka masuk kedai, kebetulan
keadaan sepi tanpa seorang pembeli.
Begitu masuk pintu Tan Ciok-sing berkata dengan
tersenyum: "Berikan semangkok air bening, aku sudah cukup
puas. Tak perlu kau merasa rikuh karena tiada daun teh."
741 Sudah tentu Han Cin kebingungan, tidak tahu kenapa Tan
Ciok-sing berkata demikian. Pada hal mereka sudah berada
dalam kedai, sementara orang tua pemilik kedai itu sudah
suruh cucunya menyeduh teh. Sudah tentu begitu mendengar
kata-kata Ciok-sing, kakek dan cucu ini sama melengak saling
pandang, dengan seksama mereka mengamati Ciok-sing dari
atas sampai bawah.
Kembali Tan Ciok-sing berkata: "Adik cilik, apakah kue
kering ini enak rasanya" Sayang kali ini aku tidak bawa oleholeh
kue kering untukmu. Tapi waktu masuk kota tadi di pintu
luar aku ada membeli sebungkus bolu, mungkin bolu ini lebih
enak dari kue kering itu."
Seketika bercahaya sorot mata bocah cilik itu, teriaknya
sambil berjingkrak girang: "Bukankah kau ini paman Tan yang
dulu memberi kue kering untukku itu?"
"Betul," ujar Ciok-sing, "ternyata kau masih ingat."
"Lho, kenapa kau berubah begini" Sedikitpun tidak mirip
paman Tan yang dulu itu" Apa betul kau ini paman Tan?"
"Panjang kalau diceritakan, tapi entah mengganggu usaha
kalian tidak?" ujar Ciok-sing.
Laki-laki tua itu seketika paham, lekas dia mendesis sekali
lalu berkata: "Siau-gu, jangan ribut," lalu dia berpaling dan
berkata kepada Tan Ciok-sing: "Duduklah sebentar," bergegas
dia lari ke meja kasir serta menyobek selembar kertas putih
dia menulis: "Memperbaiki tungku, libur sehari", lalu dia
tempel kertas putih ini di atas daun pintu yang sudah dia
rapatkan lebih dulu. Lalu dengan rasa lega dia berjalan masuk
dan berkata: "Sekarang boleh kita berbincang dengan
leluasa." "Kembali aku mengganggu kalian, sungguh kurang enak.
Inilah adik angkatku. Dia she Han," Ciok-sing perkenalkan Han
Cin. 742 Sikap laki-laki tua tampak ragu-ragu, katanya: "Apa betul
kau adalah tamu kita yang kemari tempo hari, kuingat hari itu
kau datang menunggang kuda."
"Betul, waktu itu Tay-tong baru saja bebas dari jajahan
tentara musuh, toko-toko belum ada yang buka, waktu aku
datang malah ada yang kira aku mata-mata musuh. Untung
kalian baik hati, sudi membuka pintu sehingga aku bisa
istirahat disini. Aku diberi air minum", kudakupun dirawat baik.
Lebih mengharukan lagi adalah kalian mau mempercayai aku,
berita diam-diam dia yang ingin kuketahui kalian sudi
memberitahu padaku."
Laki-laki tua itu berseri, katanya: "Ternyata kau memang
benar Tan-siangkong. Tan-siangkong, samaranmu sebagus ini,
kini kau betul-betul menjadi seorang yang lain, jikalau kau
tidak bicara sejelas ini bagaimana juga aku takkan percaya
padamu." Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "kalau kau belum percaya,
tolong ambilkan sebaskom air dingin, setelah bentuk wajahku
yang asli pulih, boleh kau buktikan sendiri."
"Ah, tak usahlah, walau kita tidak perlu menjaga adanya
kuping di balik dinding, harus juga hati-hati bila tetangga
tahu-tahu ada yang menerobos kemari."
Setelah yakin akan kedatangan Ciok-sing yang menyamar
ini, laki-laki tua itu menjadi sciung dan sibuk, katanya: "Siaugu,
lekas seduh teh lagi," baru saja bocah itu hendak
mencomot daun teh, mendadak dia tarik tangannya, katanya
tertawa: "Coba lihat, aku jadi linglung jadinya, Siau-gu marilah
kita sembah dulu kepada Tuan penolong."
Lekas Tan Ciok-sing tarik mereka, katanya: "Loyacu,
kenapa kau begini sungkan, mana berani aku menerima
penghormatan sebesar ini" Budi kebaikanmu belum lagi aku
membalasnya."
743 "Bantuan kita kecil tak berarti" Justru kau adalah penolong
jiwa raga kami kakek dan cucu. Jikalau kau tidak tinggalkan
rangsum setengah karung itu, mungkin sejak lama kita sudah
mati kelaparan."
"Loyacu, kembaliku ini akan minta pertolonganmu lagi, aku
kuatir mungkin bisa membikin repot dirimu."
Berkerut alis laki-laki tua, katanya: "Tan-siangkong silakan
katakan saja. Jangan kau anggap aku sebagai manusia rendah
yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang lain."
"Teramat berat kata-kata Loyacu. Kejadian malam itu
tentunya kau sudah tahu, jikalau ada yang tahu kau pernah
menerima kedatanganku..."
"Jangan kata tiada orang yang kenal kau, umpama betul
terjadi sesuatu diluar dugaan, akupun tidak akan menyesal.
Silakan katakan."
Seketika lebar tawa laki-laki tua itu, katanya: "Kukira ada
urusan apa, ternyata hanya menginap beberapa hari saja,
biarlah kuanggap kalian sebagai familiku yang datang dari
jauh. Sudah tentu asal kalian tidak merasa kotor dan kurang
memuaskan pelayanan kami."
Tergerak hati Han Cin, batinnya: "Kenapa dia hanya bilang
aku seorang saja?" tapi tidak enak dia langsung tanyakan hal
ini kepada Ciok-sing. Demikian pula laki-laki tua itu kira,
mereka datang bersama, sepantasnya keduanya akan
menginap di rumahnya, maka dia tidak perhatikan tekanan
kata-kata Ciok-sing.
Laki-laki tua berkata: "Bicara soal kejadian malam itu, ada
yang ingin kutanyakan. Malam itu kau pergi ke rumah
keluarga In, kira-kira kentongan ketiga, tahu-tahu rumah
keluarga In dikepung pasukan pemerintah, dan menjelang
fajar rumah itupun dibakar. Kira-kira menjelang kentongan ke
empat kau kembali kesini mengambil kuda, waktu itu aku
belum sempat tanya padamu, apakah kau sudah bertemu
744 dengan In Tayhiap dan putrinya" Apapula yang terjadi malam
itu?" "Malam itu aku bertemu dengan In-hujin. Nona In baru
belakangan kuketemukan," demikian sahut Ciok-sing.
"O, jadi In-hujin betul-betul pulang. Tapi hanya dia seorang
saja yang kembali?"
"Sudah tentu hanya seorang diri saja. In-hujin pulang
hendak menengok putrinya, mana bisa dia membawa orang
luar ke rumah sendiri."
Laki-laki tua itu tahu bahwa Ciok-sing tentu sudah tahu
liku-liku rahasia keluarga In, katanya: "Kalau demikian, kali ini
mereka memang keliru menyalahkan In-hujin."
"Mereka" Siapa yang kau maksud?"
"Orang luar, mereka punya cerita yang lain pula coraknya."
"Bagaimana cerita mereka?"
"Mereka bilang In Tayhiap telah pulang secara diam-diam,
maksudnya hendak membawa pergi putrinya, entah kenapa
rahasia kedatangannya bocor dan diketahui In-hujin. Maka Inhujin
menyusul pulang dengan membawa pasukan, tujuannya
hendak membekuk sang suami dan merebut kembali putrinya.
Mereka juga bilang pernah melihat In Tayhiap dan putrinya
dikepung oleh pasukan besar tapi akhirnya mereka bisa
"terbang" keluar. Tapi ada pula yang mengatakan, hanya
melihat In Tayhiap, tapi tidak melihat putrinya. Perempuan
yang akhirnya "terbang" keluar itu adalah In-hujin, tapi dia
sedang mengudak sang suami dan hendak meringkusnya."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Cerita mereka hakikatnya
tanpa dasar. Malam itu memang betul ada seorang laki-laki
yang "terbang" keluar tapi bukan In Tayhiap, melainkan
adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, sahabat baik In Tayhiap
semasa hidupnya. Dialah yang melindungi In-hujin menjebol
kepungan, jadi pasukan itu bukan In-hujin yang membawanya
745 kemari, malah sebaliknya pasukan itupun hendak menangkap
In-hujin."
Laki-laki tua pemilik kedai terkejut, katanya: "In Tayhiap
sudah menghilang sejak beberapa tahun lalu, ternyata dia
sudah meninggal," mendadak dia awasi Ciok-sing, katanya
dengan tertawa: "Diluar masih ada pula kisah lain yang
berbeda, kedengarannya bukan saja aneh, lucu juga terlalu
dibesar-besarkan."
Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Kisah aneh dan lucu
apa?" "Malam itu ada juga yang melihat seorang pemuda yang
terbang keluar. Mereka bilang pemuda itu adalah murid In
Tayhiap, kelak In Tayhiap akan menjodohkan putrinya dengan
dia."

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciok-sing tertawa geli, katanya:
"Ah, itu hanya obrolan yang mengada-ada saja, pemuda
yang terbang keluar itu adalah aku,"
"Ya, aku sudah duga, tapi aku harap apa yang mereka
katakan..."
Ciok-sing tahu apa yang akan diucapkan orang tua ini,
lekas dia menyeletuk: "kejadian malam itu sudah kujelaskan.
Marilah kita bicarakan persoalan yang lain. Aku ingin tahu
kecuali peristiwa pembakaran rumah keluarga In oleh pasukan
pemerintah, adakah terjadi kasus yang lain?"
"Ya, teringat aku, kira-kira tiga hari yang lalu, ada orang
pernah mampir di kedaiku ini minum teh, dia mencari tahu
berita nona In. Kukira kau tahu akan orang ini."
"Orang macam apa dia?"
"Dia mengaku sebagai pesuruh dari keluarga Toan di Tayli,
katanya dia ditugaskan sang majikan untuk mencari jejak
nona In, bila perlu mengajaknya pulang ke Tayli pula."
746 Waktu Tan Ciok-sing datang tempo hari, diapun mengaku
sebagai pesuruh keluarga Toan yang diminta menjemput In
San ke Tayli. Katanya: "O, ada kejadian ini" Apakah orang itu
sekarang masih ada di Tay-tong?"
"Pernah sekali saja dia kemari tiga hari yang lalu, akhirnya
tidak pernah muncul pula, entah dia sudah pergi belum" Tansiangkong
agaknya kau tidak tahu menahu akan hal ini?"
"Selama ini aku belum kembali ke Tayli, mungkin Siauongya
mengutus yang lain pula, hal itu aku tidak tahu."
Tanpa terasa hari sudah mulai petang, didalam rumah bila
pintu sudah ditutup, keadaan menjadi remang-remang. Lakilaki
tua berkata dengan tertawa: "Coba betapa bodohnya aku
ini, asyik bicara saja, sampai lupa masak nasi untuk makan
nanti." "Tak usahlah, aku belum lapar."
"Bagaimanapun harus makan nasi. Kalian sudah menempuh
perjalanan sehari, tentunya sudah letih. Setelah makan boleh
silakan istirahat saja."
Bicara soal tidur, jantung Han Cin jadi dag dig dug, diamdiam
dia berpikir: "Pemilik kedai ini dari keluarga miskin,
modalnya juga kecil tempatnya sempit, memangnya ada
kamar kosong untuk tempat kami. Bagaimana malam ini aku
harus tidur?"
Setelah makan malam laki-laki tua itu berkata: "Tansiangkong,
ada sebuah kamar kosong, kebetulan untuk tidur
kalian berdua. Siau-gu, hayo bantu kakek membersihkan
kamar kakek itu."
Lekas Han Cin berkata: "Jangan repot-repot Loyacu, aku
bisa tidur di ruang ini, cukup di atas meja yang dijajar saja."
"Mana boleh tamu diladeni sekasar itu" Kamar itu memang
kosong, tidak jadi soal untuk tempat tinggal kalian," setelah
menghela napas, dia menjelaskan: "Kamar itu dulu kamar
747 tidur ayah bunda Siau-gu semasa masih hidup, ibu Siau-gu
meninggal setelah dia lahir tidak lama kemudian, ayahnya
meninggal di medan pertempuran waktu itu pasukan besar
Watsu menyerbu kemari. Sekarang kamar itu kubuat
menumpuk kayu-kayu bakar, namun dipannya tak pernah
diusik. Cukup dibersihkan saja lantas boleh digunakan."
Tan Ciok-sing menguap, katanya: "Ya, memang sudah
capai." "Memangnya," kata laki-laki tua, "sehari penuh kalian
menempuh perjalanan, siapa yang takkan merasa letih" Kalian
tidak usah sungkan, silakan istirahat," dalam pada itu Siau-gu
sudah selesai membersihkan kamar itu.
"Merepotkan kau saja, sungguh rikuh rasanya, kau orang
tua juga silakan istirahat," demikian kata Tan Ciok-sing,
setelah mengucap 'selamat malam' dia lantas masuk ke
kamar. Apa boleh buat terpaksa Han Cin ikut dia masuk ke
kamar. Setelah menutup pintu, seperti tertawa tidak tertawa Cioksing
pandang Han Cin, katanya: "Kau masih belum ngantuk?"
Han Cin jadi uring-uringan, katanya kesal: "Kau betul-betul
letih, aku sih tidak biasa tidur pagi. Ranjang ini boleh kau
pakai, kau sudah ngantuk silakan tidur. Aku cukup samadi di
bawah saja."
"Sebetulnya aku tidak ingin tidur pagi-pagi," kata Ciok-sing
tertawa. "Lalu, kenapa kau buru-buru mengajakku masuk kamar?"
Dengan suara lirih Ciok-sing berkata: "Aku tahu ada
persoalan yang ingin kau tanya kepadaku, akupun ada hal-hal
yang ingin kujelaskan padamu. Di kamar ini lebih leluasa kita
berbicara."
748 Han Cin jadi paham dan sadar, katanya tertawa: "Jadi kau
ngapusi orang tua itu. Agaknya kau memang pandai
membual." "Kalau tidak merugikan orang lain, apa salahnya bila perlu
membual?" "Jadi kau punya hubungan seintim itu dengan keluarga In,
kenapa tidak kau beritahu kepadaku?"
"Kukira ayah angkatmu sudah ceritakan kepadamu."
"Aku tahu ayah In Tayhiap dulu adalah sekolega dengan Gihu,
tapi tak pernah beliau membicarakan hubungan antara
keluarga Tan dan keluarga In. Waktu aku buru-buru pulang
akhir kali itu, beruntung dapat menemuinya sebelum ajal. Aku
tahu banyak yang ingin dia bicarakan dengan aku, sayang
sang waktu sudah tidak memberi kesempatan lagi."
"Perkenalanku dengan In Tayhiap jauh sebelum aku kenal
ayah angkatmu, tapi tentang hubungan kedua keluarga juga
kuketahui setelah aku bertemu dengan ayah angkatmu. Ayah
angkatmu memberitahu, baru aku tahu."
"Kalau demikian keluarga In menanam budi terhadapmu,
keluarga In pun hutang budi terhadapmu. Jadi hubunganmu
dengan keluarga In tentunya luar biasa baiknya. Bagaimana
keadaan In-hujin" Kau pernah menolong suaminya, pasti dia
merasa hutang budi dan amat berterima kasih padamu,
mungkin memandangmu seperti keponakan sendiri" Kenapa
kau tidak ikut dia?"
"In-hujin sudah meninggal, menurut apa yang kutahu
akhirnya dia sudah berada di markas Kim-to Cecu, seperti
keadaan ayah angkatmu, kebetulan dia sempat melihat wajah
putrinya untuk terakhir kali. Aku pernah janji kepada ayah
angkatmu untuk menemui It-cu-king-thian di Kwi-lin, waktu
amat mendesak maka aku tak sempat mengiringi dia pergi ke
markas Kim-to Cecu."
749 Han Cin menghela napas, katanya: "Nasib nona In itu
ternyata juga amat menderita"
"Nasib kita bertiga memang sama, semuanya yatim piatu,
tiada sanak kadang lain lagi dalam dunia ini."
Tak tertahan menyeletuk pertanyaan Han Cin: "Kau kan
senasib sepenanggungan dengan nona In itu, kenapa kau
tidak berada sama dia?"
"Memangnya dengan kau sekarang aku tidak senasib
sepenanggungan?"
"Jangan kau menyeret diriku, mana aku berani dibanding
dengan putri In Tayhiap?" lalu dia bertanya, "kalau dia putri In
Tayhiap Kungfunya tentu amat tinggi, orangnya juga cantik
bukan?" Setelah mendengar pertanyaan ini baru Ciok-sing sadar
barusan telah keliru bicara, sahutnya dengan tawa
dipaksakan: "Memang dia sudah memperoleh didikan murni
ayahnya, seperti juga kau telah memperoleh ajaran langsung
dari ayah angkatmu. Kalian adalah pahlawan-pahlawan gagah
dari kaum hawa yang serba bisa."
Han Cin mencibir, jengeknya: "Jangan kau menyepuh emas
di mukaku, aku cukup tahu diri bahwa aku tidak setimpal
dibanding nona In itu."
"Adik Cin," ujar Ciok-sing sungguh-sungguh, "sekali-sekali
jangan kau berkata-kata demikian lagi."
Agaknya Han Cin merasa direndahkan dan dikesampingkan,
maka unek-unek hatinya seketika memberondong keluar:
"Bukankah pemilik kedai tadi sudah bilang, orang-orang luar
sudah sama anggap kau sebagai menantu keluarga In."
"Adik Cin, kau tidak tahu, aku tidak bisa salahkan kau,"
demikian ujar Tan Ciok-sing perlahan, "Baiklah akan
kujelaskan, nanti kau akan tahu bahwa soal beginian tidak
boleh sembarang dibuat omongan."
750 "Aku tahu apa?" tanya Han Cin tertegun.
"Memang keluarga In sudah punya calon menantu, tapi
bukan diriku, dia seorang sahabatku juga."
"Apa benar" Siapakah dia?"
"Banyak hal telah kau ajukan padaku, kenapa justru
ketinggalan yang satu?"
"Ketinggalan yang satu apa?"
"Persoalan yang menyangkut pribadi Siau-ongya dari
keluarga Toan di Tayli?"
"Oh, ya, dari pembicaraanmu dengan Lo-yaya tadi,
agaknya dia anggap kau pasti kenal baik setiap orang utusan
dari keluarga Toan, apa sih yang terjadi?"
"Waktu pertama kali aku kemari, aku mewakili Siau-ongya
menjemput nona In. Karena tidak ingin orang salah paham
menyangka aku yang jadi calon menantu orang, maka aku
mengaku sebagai pesuruh Siau-ongya."
"Lho, bukankah kau hendak menyerahkan kembali barang
peninggalan In Tayhiap kepada nona In" Kenapa bilang
mendapat titipan dari Siau-ongya segala."
"Apakah kedua persoalan itu tidak dapat dibereskan
bersama?" tanya Tan Ciok-sing.
"Kenapa Siau-ongya keluarga Toan minta kau yang
menjemputnya?" Han Cin balas bertanya.
Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Kenapa tidak bisa
dimengerti" Keluarga mereka kan sudah bersahabat sejak
beberapa generasi. Sejak lama In Tayhiap menjodohkan
putrinya kepada dia. Sekarang mereka sedang berada di Kwilin.
Bila pulang kembali ke Tayli akan segera melangsungkan
pernikahan. Kenapa kau tanya aku tidak bersama dia?"
751 Yang benar meski In Hou ada maksud menjodohkan
putrinya dengan Toan Kiam-ping, namun tujuannya itu belum
menjadi kenyataan.
Analisa Tan Ciok-sing terhadap hubungan mereka
kedengarannya memang masuk di akal. Menurut hematnya,
keluarga Toan dan In memang setimpal berbesanan, sejak
kecil In San tumbuh dewasa bersama Toan Kiam-ping, orang
lain bila setiap hari bergaul bersama suatu ketika pasti akan
timbul asmara, apa lagi hubungan mereka yang sudah
mendapat restu keluarga. Bila Toan Kiam-ping sudah sembuh
berkat rawatan In San, pasti Toan Kiam-ping akan
membawanya pulang dan melangsungkan pernikahan,
umpama In San menolak, pernikahan itupun tinggal
menunggu saja. Ada orang bilang, bila sering berbohong, diri sendiripun
akan percaya. Apa yang diuraikan Tan Ciok-sing sudah tentu
bukan seluruhnya bohong, namun dia angggap apa yang
menjadi anggapannya itu adalah kenyataan, tanpa merasa dia
sendiripun merasa apa yang diceritakan itu memang
sesungguhnya bakal terjadi. Setelah dia menceritakan
"kenyataan" ini kepada Han Cin, meski lahirnya dia masih bisa
tersenyum, tapi dalam hati bukan kepalang sedihnya.
Berbeda adalah perasaan Han Cin, setelah mendengar
cerita Tan Ciok-sing, sesaat dia termangu, mimiknya purapura
berpikir-pikir, namun dalam hati justeru merasa amat
lega, terasa ringan yang sukar dilukiskan. Setelah menghela
napas Tan Ciok-sing berkata pula: "Cin-moay, apa yang
kualami sudah kuceritakan kepadamu, sekarang kau pasti
senang?" Merah muka Han Cin, katanya: "Mereka mau menikah atau
tidak, apa sangkut pautnya dengan aku?"
Api dian sebesar kacang, sinarnya redup menyorot ke muka
Tan Ciok-sing yang diselimuti selapis bayangan gelap. Han Cin
tidak berani menatapnya langsung, namun dia sadar bahwa
752 Tan Ciok-sing sedang mengawasinya seperti tertawa tak
tertawa. Mengira rahasia hatinya diketahui orang, mukanya
seketika semakin merah. Diluar tahunya bahwa senyum Tan
Ciok-sing ini justru merupakan pelimpahan rasa getir
sanubarinya, hakikatnya bukan senyum yang ditujukan
kepadanya. Menghindari tatapan Tan Ciok-sing Han Cin menunduk dan
berpikir pula: "Ai, peduli dia menaruh cinta atau tidak, padahal
baru berapa hari aku berkenalan sama dia, kenapa aku
tergesa-gesa memikirkan nasib masa depanku sekarang?"
Bahwasanya bukan saja Han Cin tidak bisa menyelami isi
hati Tan Ciok-sing, apakah dia sendiri naksir kepada Tan Cioksing
juga dia tidak tahu.
Kedua orang sama memikirkan persoalan masing-masing.
Tan Ciok-sing juga kuatir bila Han Cin menyelami perasaan
hatinya, untuk membuktikan bahwa dirinya betul-betul ikut
senang bagi pernikahan In San, maka di hadapan Han Cin dia
memuji Toan Kiam-ping berkelebihan: "Bukan aku suka
memuji temanku sendiri, tapi pemuda seperti Siau-ongya dari
keluarga Toan ini memang sukar dicari bandingannya. Bukan
saja Kungfunya tinggi, kepandaian sastranyapun serba mahir.
Lebih harus dipuji pula, meski dia turunan keluarga
bangsawan, namun sedikitpun tidak unjuk gengsi dan tahan
harga. Tukang kayu di atas gunung dan para nelayan di atas
sungai, semuanya adalah kenalan baiknya."
Han Cin tertawa, katanya: "Kau sendiri kan juga serba
mahir ilmu silat dan ilmu sastra aku tidak pernah kenal
sahabatmu itu, tapi aku yakin kepandaian memetik harpanya
jelas bukan tandinganmu bukan" Bicara pergaulan bebas dan
teman segala kalangan, kukira temanmu juga tidak sedikit
jumlahnya."
"Mana boleh aku dibanding dia," ucap Tan Ciok-sing,
"begitu dia menampilkan diri, secara langsung aku lantas
merasa diriku teramat kerdil, sebaliknya dia merupakan
753 pemuda ganteng dan romantis serta dikagumi tindaktanduknya,
aku tidak lebih hanya seorang lelaki awam saja."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau orang seperti dirimu juga dianggap "awam", maka di
dunia ini hanya berapa gelintir saja yang ada. Tapi setelah
mendengar pujianmu atas Siau-ongya itu, aku jadi setengah
percaya. Kalau tidak masakah putri In Tayhiap bakal
menyukainya."
Sampai disini pembicaraan mereka di ujung jalan sana
terdengar suara kentongan, tanpa merasa kentongan
ketigapun telah tiba.
Mendadak Han Cin sadar, katanya tertawa: "Sudah jangan
memuji temanmu melulu. Apa yang ingin kuketahui sudah
kutanyakan kepadamu, apa yang ingin kau katakan kepadaku,
sekarang boleh kau utarakan!"
"Betul, kau memang harus tidur. Yang ingin kukatakan
adalah, harap kau tidak duduk di lantai, silakan tidur di atas
ranjang." Merah muka Han Cin, katanya bersungut: "Kukira kau
hendak bicara serius, kiranya kau hanya menggodaku saja."
"Apa yang kukatakan memangnya bukan serius" Seseorang
bila lapar harus makan capai harus tidur. Disini tersedia
ranjang, kenapa kau harus samadi di lantai?"
"Aku tidak mau kau mengalah kepadaku," ujar Han Cin.
Harus diketahui, meski dia percaya bahwa Tan Ciok-sing
pemuda jujur dan lurus, tapi betapa jeleknya bila dia harus
tidur di ranjang di hadapan seorang pemuda.
"Bukan aku mengalah padamu, maksudku..."
"Tan Ciok-sing," desis Han Cin dengan jengkel, "kuanggap
kau laki-laki sejati, kau..."
"Lirih sedikit Cin-moay," tukas Tan Ciok-sing, "jangan kau
salah paham, aku..."
754 "Apa keinginanmu?"
"Aku tidak tidur disini, sekarang juga aku mau pergi."
Baru sekarang Han Cin sadar, kiranya dia yang keliru
menyalahkan Tan Ciok-sing, karuan selembar mukanya merah
seperti tomat, katanya lirih: "Malam selarut ini, kemana?"
"Aku akan mencari Kim-io Cecu. Supaya tidak membuat
kaget, aku tidak memberitahu kepada kakek sebelumnya.
Besok, tolong kau sampaikan permintaan maafku kepadanya."
"Kira-kira kapan kau bisa kembali?"
"Tidak bisa ditentukan. Aku belum tahu dimana sekarang
Kim-to Cecu berada.
"Kau tidak kenal Kim-to Cecu, tidak tahu dimana dia
berada, bukankah sulit mencarinya?"
"Banyak teman baikku berada di markas Kim-to Cecu.
Biarlah aku mengadu nasib. Tapi aku yakin cepat atau lambat
pasti bisa kutemukan."
"Kenapa tidak kau ajak aku kesana?"
"Banyak orang malah kurang leluasa. Apalagi sukar
kuramalkan kapan aku akan bertemu dengan Kim-to Cecu,
kau seorang perempuan, selalu harus tidur di atas
pegunungan bisa mengganggu kesehatanmu. Bila aku sudah
memperoleh tempat tinggalnya yang tetap aku akan kembali
memberitahu kepadamu."
Sebetulnya yang dikemukakan hanyalah alasan yang dicaricari,
yang benar dia kuatir ketemu sama In San. Dia harus
tahu dulu apakah In. San juga berada disana, bila tiada, dia
akan langsung menghadap Kim-to Cecu, kalau tidak dia hanya
akan mencari tahu alamat tetap Kim-to Cecu, lalu berusaha
menghubungi Kanglam Sianghiap, supaya mereka menjemput
Han Cin. 755 Apa yang dikatakan Tan Ciok-sing memang beralasan,
maka Han Cin berkata: "Baiklah, besok akan kujelaskan
kepadanya. Betapa lama kau pergi, aku akan menunggumu
disini. Kakek itu orang baik, yakin dia tidak akan
membenciku."
"Tapi ada satu hal kau perlu hati-hati," kata Ciok-sing.
"Soal apa?"
"Ada seorang yang menyaru sebagai pembantu rumah
tangga keluarga Toan, beberapa hari yang lalu mampir ke
warung ini mencari tahu keadaan keluarga In. Hal ini kau
sudah mengetahuinya."
"O, jadi orang itu menyamar?"
"Betul, belum ada dua bulan, Siau-ong-ya dari keluarga
Toan itu sedang merawat luka-lukanya di Kwi-lin, umpama
luka-lukanya sudah sembuh, tak mungkin secepat itu dia
pulang ke Tayli, apalagi menyuruh orang kemari. Oleh karena
itu kau harus hati-hati, jangan sampai orang itu mengetahui
jejakmu." "Buat apa kau kuatir, orang-orang Kangouw toh tiada yang
kenal aku," ucap Han Cin tertawa, "apalagi aku sudah
merubah bentuk wajahku, tak usah kuatir."
"Meski demikian, kau tetap harus hati-hati," kata Tan Cioksing,
setelah berjabatan tangan Tan Ciok-sing pamitan, hati
terasa hambar. Untuk kepergiannya ini, mungkin dia bisa
pulang tapi juga mungkin tidak akan kembali menberi kabar
kepada Han Cin, kemungkinan besar dia akan menyuruh
orang mengadakan kontak dengan Han Cin. Kalau benar
demikian entah kapan pula dia baru akan bertemu pula
dengan Han Cin.
Letak rumah keluarga In tidak jauh dari kedai minum ini,
sebelum keluar kota tanpa disadari Tan Ciok-sing lewat di
seberang jalan dimana rumah keluarga In berada, timbul
756 keinginannya untuk menyaksikan bagaimana keadaan rumah
keluarga In setelah digerebek tentara negeri dulu. Entah
keinginan apa yang mendorongnya berbuat demikian, Cioksing
sendiri tidak tahu.
Tampak rumah besar keluarga In sudah runtuh separo,
lebih mending dari kedai Khu Ti yang dibumi hanguskan
seluruhnya. Ternyata setelah malam itu In-hujin berhasil melarikan diri,
supaya kelak Liong Seng-bu dapat kesempatan untuk bertemu
lagi dengan In San, maka lekas dia suruh tentara yang
dipimpinnya memadamkan api. Untung yang terjilat api hanya
bagian luar yang tidak begitu penting. Kamar tidur In San, dan
kamar buku In Hou semasa hidupnya masih utuh.
Sembunyi di ujung gang kecil mengawasi rumah keluarga
In yang tinggal separo, Tan Ciok-sing merasa diluar dugaan.
Namun demikian keadaan yang sudah porak poranda ini justru
mengetuk sanubarinya.
Mengenang masa lalu, diam-diam hati Tan Ciok-sing
merana sendiri. Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing berkata
kepada diri sendiri: "Semua itu sudah lalu, kenapa masih
kupikirkan?" Waktu dia hendak meninggalkan tempat itu,
suatu peristiwa diluar dugaannya ternyata telah terjadi.
Tampak sosok bayangan hitam tiba-tiba melompat keluar
dari rumah keluarga In, malam gelap sehingga susah
dibedakan apakah orang itu tua, muda, laki atau perempuan,
tapi ginkang orang itu jelas amat tinggi, dalam sekejap
jejaknya telah menghilang.
Tan Ciok-sing kaget, pikirnya: "Bagaimana kepandaian lain
orang itu aku tidak tahu, namun dinilai ginkangnya sudah
jarang ada dibanding di bulim."
Betapapun tinggi ginkang orang itu, bila Tan Ciok-sing mau
mengejar pasti dapat dicandaknya, namun karena dia tidak
ingin mengunjuk jejak sendiri, terpaksa dia tidak ambil peduli.
757 Melihat seorang yang memiliki ginkang tinggi menyelundup
ke rumah keluarga In, tak urung timbul rasa curiga Tan Cioksing:
"Mungkin orang yang menyamar suruhan keluarga Toan,
jelas dia bukan utusan Toan Kiam-ping, tapi siapakah dia
sebetulnya" Hm, bukan mustahil datang lagi orang seperti Thi
Ciang-hu?" maka tergerak hatinya, batinnya: "Mata kuping
keluarga Liong tersebar luas, berita cepat kabar tajam,
mungkin mereka mendengar kabar, tahu bahwa In San sudah
pulang rumah" Maka~ orang ini menyelundup ke rumahnya
mencari tahu?"
Jantung Tan Ciok-sing berdebar-debar, hampir tak kuat dia
menahan gejolak perasaannya timbul keinginannya hendak
menyelundup juga ke rumah keluarga In untuk menyaksikan
kenyataan, ingin dia membuktikan sendiri, apa benar In San
sudah pulang rumah"
Walau In San harus menunggu kesembuhan luka-luka Toan
Kiam? ping baru meninggalkan Kwi-lin, tapi kemungkinan dia
akan lebih dulu tiba di Tay-tong dari kedatangan Tan Cioksing.
Maklum In San naik kuda yang dapat berlari ribuan li
sehari, sebaliknya Tan Ciok-sing jalan kaki. Luka-luka Toan
Kiam-ping memang tidak enteng, tapi lwekangnya cukup
tangguh, dalam sepuluh atau setengah bulan tentu sudah
sembuh. Timbul perang batin dalam benak Tan Ciok-sing, dia takut
bertemu dengan In San, namun besar pula harapannya bahwa
In San sudah pulang seorang diri.
Angin dingin menghembus kencang, Tan Ciok-sing bergidik
sambil menarik napas panjang, tak urung dia tertawa getir
sendiri, "buat apa aku main teka teki, San-moay pulang atau
tidak, aku harus bantu nona Han menyelesaikan persoalannya,
kenyataan dia sudah angkat saudara dengan aku. Kenapa
lantaran aku takut bertemu dengan San-moay, lantas urung
mencari Kim-to Cecu?" setelah bulat tekadnya, Tan Ciok-sing
tekan perasaan sendiri pergi mencari Kim-to Cecu.
758 Tapi untuk mencari Kim-to Cecu bukan suatu kerja yang
mudah. Daerah luar Gan-bun-koan, ratusan H luasnya tanpa
dihuni seorang penduduk, di tengah pegunungan yang belukar
itu, entah dimana markas besar Kim-to Cecu didirikan. Tempo
hari pernah dia mencari Kim-to Cecu bersama In San, tapi di
tengah jalan mereka bertemu dengan Kanglam Sianghiap
yang mau menjemput In San, dari cerita Kwik Ing-yang dia
tahu bahwa Tam Pa-kun sudah berangkat ke Kwi-lin, diketahui
pula bahwa Kwik Ing-yang sedang berusaha jadi comblang
untuk menjodohkan In San dengan Toan Kiam-ping, maka
saat itu juga dia merubah haluan, di tengah jalan dia putar
balik. Kanglam Sianghiap ada maksud membawanya
menghadap Kim-to Cecu, namun dia tidak menjelaskan
dimana letak markas besar Kim-to Cecu itu.
Tiga hari kemudian dia sudah keluar Gan-bun-koan, selama
tiga hari tak pernah dia ketemu dengan seorangpun, kepada
siapa dia harus mencari tahu. Untung rangsum yang
dibawanya cukup banyak, di jalan dia masih bisa berburu
binatang. Meski dia yakin cepat atau lambat pasti dapat menemukan
Kim-to Cecu, namun menempuh perjalanan di tengah alas
seorang diri, selama tiga hari tidak bertemu dengan manusia,
mau tidak mau dia merasa kesepian dan hampa. "Kenapa
nasibku kali ini begini buruk tempo hari bisa bertemu dengan
Kanglam Sianghiap. Kali ini entah kapan baru aku bisa
bertemu dengan seorang yang tahu letak markas besar Kim-to
Cecu." Tapi untung juga tempo hari dia pernah bertemu dengan
Kanglam Sianghiap yang membawanya menempuh perjalanan
cukup jauh, sehingga kali ini dia tidak salah arah.
Tatkala dia berkeluh kesah akan nasibnya yang jelek hari
ini, tiba-tiba dilihatnya dua orang berjalan keluar dari dalam
hutan. Girang sekali hati Tan Ciok-sing, lekas dia
mempercepat langkah memapaknya ke depan.
759 Untuk mencari tahu tempat tinggal Kim-to Cecu sebetulnya
tidak boleh sembarang tanya orang, apalagi dia tidak tahu
siapa kedua orang ini, demikian pula mereka juga tidak tahu
tentang dirinya, umpama tahu juga takkan mau memberi
tahu. Baru saja Tan Ciok-sing berpikir cara bagaimana dia harus
buka suara, kedua orang itu sudah menyapa dulu kepadanya.
Orang pertama tertawa lebih dulu, katanya: "Nasib hari ini
kiranya cukup baik, akhirnya ketemu seorang disini."
Orang kedua segera bertanya: "Kau pemburu di atas
gunung ini, siapa namamu..." karena melihat Ciok-sing
menjinjing seekor belibis yang baru saja ditembaknya jatuh
dengan krikil, padahal dia tidak membawa gendewa, karuan
mimiknya kelihatan aneh.
Logat kedua orang ini sama dari suatu daerah, namun nada
suaranya kedengaran lucu dan sumbang seperti suara orang
banci, kedengarannya berbeda dengan suara laki-laki
umumnya. Sekilas Tan Ciok-sing melengak, diam-diam dia merasa
kecewa, pikirnya: "Agaknya mereka juga orang dari luar
daerah seperti diriku. Untuk apa mereka datang ke tempat ini"
Mungkin juga mencari Kim-to Cecu?" "Aku she Tan," akhirnya
dia menjawab, "pedagang kecil yang memborong bahanbahan
pegunungan. Kalian she apa?" Tan Ciok-sing coba
mengorek keterangan mereka.
"Aku she Thio, dia she Ong, kami datang dari Tayli. Maaf
ya, kulihat kau menjinjing belibis besar ini, kelihatannya baru
saja kau dapatkan bukan" Kukira kau adalah pemburu.
Kiranya kau seorang juragan, mohon maaf, kami kurang
hormat, Tapi malah kebetulan," demikian kata orang pertama.
Tan Ciok-sing tidak tahu kenapa kalau "juragan" lebih baik
dari "pemburu" tapi dengar mereka dari Tayli, mau tidak mau
timbul rasa curiganya, maka dia berhati-hati.
760 Sengaja Tan Ciok-sing bertanya: "Di Tay-tong aku hanya
membuka toko kecil saja, modalnya kukumpulkan dari
bantuan teman? teman. Mana terhitung juragan segala?"
"Betul, kenapa aku begini bodoh, dari logat suaramu
seharusnya aku sudah tahu bahwa kau penduduk kota Taytong.
Aku tahu banyak penduduk Tay-tong yang berdagang
seperti kau, betul tidak" Peduli besar atau kecil, jelek-jelek kau
ini adalah juragan. Hari ini kita bisa bertemu di atas
pegunungan yang sepi ini, terhitung ada jodoh. Jikalau kau
tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita bersahabat" Kau
menghadapi kesulitan apa boleh jelaskan kepada kami."
Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bahwa cara orang
menyelidik memang pintar, tapi apa yang dikatakan itu semua
adalah bualan belaka. Pertama, mereka mengaku datang dari
Tayli, pada hal logat bicara mereka tidak mirip penduduk Tayli.
Kedua, Tan Ciok-sing hanya bilang dia membuka toko di Taytong,
orang she Ong itu lantas bilang mendengar suaranya
lantas tahu kalau dirinya penduduk kota Tay-tong. Pada hal


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Ciok-sing lahir dan dibesarkan di Kwi-lin, logat orangorang
Kwi-Iin dan Tay tong boleh dikata berbeda amat jauh.
Ketiga, terhadap orang yang baru saja dikenalnya, kenapa
mereka lantas menawarkan diri bilang mau memberi bantuan.
Dalam hal ini pasti ada udang dibalik batu. Orang yang suka
memberi bantuan tanpa diminta kadang-kadang menuntut
imbalan tertentu, dari sini dapatlah Ciok-sing menyimpulkan,
bahwa kedua orang ini pasti punya suatu tujuan tertentu.
Biarlah aku pura-pura bodoh saja, bagaimana mereka akan
membual lagi. Setelah bilang mau memberi bantuan, orang she Ong itu
segera merogoh keluar dua keping uang perak diberikan
kepada Ciok-sing, katanya: "Tan-heng, seratus tahil perak ini,
boleh kau gunakan buat tambah modalmu."
761 Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya: "Sebelum ini kita tidak
kenal dan baru bertemu sekali ini, mana boleh aku menerima
uangmu?" Laki-laki itu tertawa, katanya: "Sekarang kita sudah
sahabat, sesama kawan kenapa harus sungkan. Tan-heng,
tadi kau bilang modalmu dari pinjaman teman-teman, uangku
inipun kupinjamkan untuk menambah modalmu, kalau tidak
cukup, boleh nanti kita berunding lagi."
"Umpama benar kalian anggap aku kawan, tapi pepatah
bilang, tanpa berbuat jasa tidak akan menerima hadiah, tak
berani aku menerima uangmu."
Laki-laki itu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tan-heng,
kau memang seorang laki-laki sejati.
Baiklah begini saja, kaupun boleh membantu kami
melakukan suatu hal, supaya kau tidak canggung menerima
uangku ini."
"Entah bantuan apa yang harus kulakukan?"
Orang she Thio segera berkata lirih: "Dimana tempat
tinggat Kim-to Cecu, maukah kau memberitahu kami?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya: "Aku hanya
pedagang kecil yang hidup bersahaja, tak pernah tahu siapa
itu Kim-to Cecu, atau Gin-to Cecu."
Laki-laki she Ong itu tertawa, katanya: "Tan-heng, kau
tidak usah takut, kami bukan opas, kau takkan ditangkap dan
dijebloskan ke penjara, terus terang, kami ingin mencari
perlindungan kepada Kim-to Cecu,"
"Tapi sungguh mati, aku tidak tahu," ujar Tan Ciok-sing.
Berkerut alis laki-laki itu, katanya: "Tan-heng, kenapa kau
tidak sejujur tadi. Kami ingin bersahabat dengan kau secara
jujur, maka akupun minta kau suka bicara terus terang
dengan kami!"
762 "Apa yang harus kukatakan" Aku, aku betul-betul tidak..."
"Jangan katakan kau tidak tahu," tukas orang she Thio,
"Jikalau kau tiada hubungan dengan markas besar mereka,
mana kau berani keluyuran di pegunungan sepi ini."
"Baiklah, aku bicara terus terang. Memang aku ada kenal
orang dari markas Kim-to Cecu, boleh juga kubawa kalian
kesana, tapi aku harus tahu siapa kalian sebetulnya?"
"Tan-heng," kata orang she Ong, "apa yang ingin kau
ketahui?" "Kalian datang dari Tayli, Siau-ongya dari keluarga Toan,
entah kalian kenal tidak?"
Laki-laki she Ong tertawa besar, katanya: "Terus terang
saja, kami ini adalah tamu-tamu undangan dari keluarga Toan.
Kedatangan kami ke markas Kim-to Cecu inipun sebelumnya
sudah mendapat restu dari Siau-ongya. Sebetulnya Siau-ongya
juga mau datang, tapi kuatir kedatangannya membawa
kesulitan, maka dia tidak berani bertindak serampangan."
Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya: "Jadi kalian
orang-orang kepercayaan Siau-ongya, wah, maaf, aku kurang
hormat." Laki-laki she Ong itu tertawa lebar, katanya: "Tan-heng,
kini kau sudah tahu bahwa kita adalah orang sendiri, bolehlah
kau beritahu kepada kami?"
Tak nyana sebelum gelak tawanya sirap, Tan Ciok-sing
mendadak turun tangan. "Bluk" kontan laki-laki she Thio itu
terjungkal roboh tertutuk hiat-tonya. Lalu dia mencengkram ke
arah laki-laki she Ong.
Ternyata kepandaian laki-laki she Ong ini lebih tinggi dari
temannya, cengkraman Tan Ciok-sing ternyata tidak kena
sasaran, begitu menurunkan tubuh, mendadak dia gunakan
kedua tangan menangkap pundak Tan Ciok-sing lalu
menyerang dengan jurus Jian-jia-sek tipu bantingan dari ilmu
763 gulat hendak membanting Tan Ciok-sing, bila kedua kaki Tan
Ciok-sing terangkat meninggalkan bumi, badannya pasti kena
dibantingnya. Gulat adalah kemahiran busu bangsa Mongol, Tan Ciok-sing
mahir Kungfu dari berbagai aliran di Tionggoan, namun dia
belum pernah belajar gulat, karena tidak menduga, tubuhnya
terangkat oleh lawan.
Akan tetapi walau tubuh Tan Ciok-sing terangkat
meninggalkan tanah, tapi laki-laki itu tak kuasa
membantingnya, tahu-tahu dia merasakan kedua pundaknya
seperti ditindih ribuan kati. Seketika itu pula dia rasakan kedua
pundaknya sakit bukan kepalang seperti ditusuk pisau,
ternyata tulang pundaknya sudah tercengkeram oleh Tan
Ciok-sing. Tan Ciok-sing menghardik keras: "Kalian bukan orang Han,
kalian adalah mata-mata bangsa Watsu."
Bahwa asal-usul mereka dibongkar oleh Tan Ciok-sing,
sudah tentu kedua orang itu amat kaget, air muka mereka
berubah seketika. Tapi laki-laki she Ong itu masih membandel
katanya: "Pandanganmu memang tajam, benar kami bukan
orang Han, tapi kami adalah orang Tayli dari suku Ih-jin.
Soalnya kami tahu Siau-ongya punya hubungan intim dengan
Kim-to Cecu, maka kami menyaru tamu kepercayaannya."
"Masih berani membual, aku baru saja datang dari Tayli,
memangnya kau bisa ngapusi aku" Aku sudah tahu asal-usul
kalian, masih kau tidak mengaku terus terang, itu artinya kau
minta dihajar. Baiklah, biar kau rasakan dulu keliehayanku."
Cengkraman jari-jari Tan Ciok-sing diperkeras, kontan
orang itu merasa seluruh sendi tulangnya seperti dicopoti,
sekujur badan bagai dicocoki jarum, laki-laki she Thio yang
ditutuk hiat-tonya sudah tak tahan lagi, teriaknya: "Ampun
Hohan. Kendorkan siksaanmu, baiklah aku akan bicara terus
terang." 764 Tan Ciok-sing mengendorkan cengkeramannya, dengan
suara gemetar orang itu berkata: "Kami memang datang dari
Watsu, kami sedang menjalankan tugas, jadi terpaksa harus
menunaikan perintah atasan."
"Atas perintah siapa" Dan apa tujuan kalian?" tanya Tan
Ciok-sing. Kalau cengkraman kepada laki-laki she Thio
diperkendor, tapi dia menambah cengkraman pada tulang
pundak laki-laki she Ong, kontan orang itu berkaok-kaok
seperti babi disembelih, teriaknya: "Aku, aku akan terus
terang." Laki-laki she Thio itu berkata: "Kami diperintah oleh Ciangkun
untuk mencari jejak Kim-to Cecu." ternyata tafsiran Tan
Ciok-sing benar, mereka adalah mata-mata yang diutus Watsu
untuk menjadi spion didalam markas besar Kim-to Cecu.
Maka Tan Ciok-sing mendesak lagi: "Jadi di mana
sebetulnya Kim-to Cecu berada, tentunya kalian sudah tahu"
Nah sekarang lekas jelaskan, siapa memberi keterangan
lengkap dan lebih terperinci, hukumannya akan kuperingan."
"Betul, waktu kami datang, pemimpin kami ada memberi
peta untuk kami, tapi..." demikian tutur laki-laki she Thio.
Setelah napasnya yang tersengal mereda, baru laki-laki she
Ong berkata: "Peta itu ada padaku..."
"Baik, lekas keluarkan, kau dulu yang bicara."
Orang ini membuka sabuk kulit, bagian tengah sabuk
kulitnya ini dia bedah dengan ujung belati, dari dalamnya dia
mengeluarkan secarik peta dan diserahkan kepada Tan Cioksing.
Tan Ciok-sing berpikir: "Begitu rahasia cara
menyimpannya, bila aku sendiri yang harus menggeledahnya,
mungkin takkan bisa kutemukan."
Seperti berlomba kedua orang ini memberi keterangan
masing-masing sejelas dan terperinci sekali, dari mulut kedua
orang inilah Tan Ciok-sing tahu bahwa perebutan kekuasaan
765 di Watsu kini sudah mereda, pemberontak telah disapu habis,
kini Pangeran ketiga Melido yang pegang tampuk pimpinan
sebagai raja dengan sebutan Dayan Khan. Setelah berhasil
membangun kembali angkatan perangnya, Dayan Khan
beraktif kembali dalam usahanya untuk menyerbu ke selatan.
Mereka tidak takut terhadap pasukan kerajaan Bing, tapi jeri
menghadapi laskar gerilya Kim-to Cecu. Tempo hari waktu
pasukan besar Watsu mengepung Tay-tong, Kim-to Cecu yang
memutus kiriman rangsum pasukan besar mereka, sehingga
tentara Watsu dibikin kocar kacir. Maka kali ini rencana
penyerbuan lebih disempurnakan, maksud utama harus
menumpas laskar gerilya baru akan langsung menyerbu
kerajaan Bing. Tapi Kim-to Cecu juga Iiehay dalam strategi perang,
dengan perang gerilya, dia tidak mempunyai kedudukan
tertentu. Kekuatan tentaranya tersebar beberapa tempat di
atas pegunungan, markas besar merekapun sering berpindahpindah.
Bukan tugas enteng bagi mata-mata Watsu untuk
menyelidiki keadaan disini.
Kedua orang ini adalah anak buah Jendral Palos yang
berkuasa di perbatasan, pasukan infrantri di bawah pimpinan
Jendral Palos inilah yang ditugaskan sebagai pasukan pelopor
didalam gerakan menyerbu ke selatan menurut rencana
mereka. Setelah diadakan seleksi yang cukup ketat akhirnya
kedua orang ini yang terpilih menunaikan tugas yang cukup
berat ini, bukan karena mereka memiliki kepandaian tinggi,
soalnya di samping mereka cerdik pandai, merekapun fasih
berbahasa Han. Laki-laki she Thio itu berkata: "Kami hanya menjalankan
tugas, mohon Hohan menaruh belas kasihan."
Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Kalian boleh
menyamar jadi orang Han, tapi alasan yang kau kemukakan
tidak bisa kuterima."
766 Laki-laki she Ong segera meratap: "Kami memang matamata.
Mohon Hohan memberi ampun, kami sudah bicara terus
terang." "Tiga hari yang lalu, apakah kalian juga mampir ke
keluarga In," tanya Tan Ciok-sing.
"Terus terang, kami belum pernah ke Tay-tong. Dengan
kepandaian yang kami miliki, betapapun kami takkan berani
mengusik In Tayhiap," demikian kata laki-laki she Ong. Dari
jawaban ini, Tan Ciok-sing menarik kesimpulan bahwa mereka
belum tahu akan kematian In Hou.
Jawaban ini sekaligus menyadarkan Tan Ciok-sing, pikirnya:
"Omongannya memang boleh dipercaya, kalau mereka pernah
ke Tay-tong, seharusnya tahu logat bicaraku tidak mirip orang
Tay-tong."
Tan Ciok-sing berkata: "Hukuman mati tidak perlu, tapi
hukuman fisik harus kalian rasakan," sedikit dia kerahkan
tenaga, tulang pundak kedua orang dia remas sampai remuk,
bentaknya: "Nah Kim-jong-yok kuberikan dan kalian
mengobati sendiri. Kali ini aku ampuni kalian, lekas enyah."
Setelah kedua mata-mata ini ngacir, Tan Ciok-sing
membuka gambar peta itu dan melanjutkan perjalanan ke
arah yang ditunjuk didalam peta, dua hari kemudian dia
memang menemukan markas pusat Kim-to Cecu yang dahulu,
ada puluhan tenda besar kecil yang tersebar didalam hutan
lebat. Tampak seekor musang menerobos keluar dari bawah
sebuah tungku terus lari kedalam hutan, waktu Tan Ciok-sing
berada di tengah-tengah perkemahan kosong itu, puluhan
burung gagak beterbangan ke atas pohon sambil berbunyi
berceloteh. Melihat keadaan disini yang sudah mulai belukar
ini, jelas sudah lama ditinggalkan, diam-diam Tan Ciok-sing
menghela napas.
Kala itu sudah menjelang petang, perkemahan itu tersebar
luas di puncak sebuah perbukitan sejauh beberapa li. Tan
767 Ciok-sing yakin tiada seorangpun yang menghuni perkemahan
disini, maka tiada niatnya untuk memeriksa perkemahan itu
satu persatu. Selama beberapa hari ini dia menempuh
perjalanan terus menerus, badannya betul-betul lelah, maka
sekenanya dia masuk ke salah satu kemah, setelah
dibersihkan, segera dia merebahkan diri. Entah berapa lama
dia tertidur, di saat tidurnya tengah layap-layapj didengarnya
suara kuda meringkik, Tan Ciok-sing tersentak bangun,
sejenak dia menenangkan pikiran dan mendengarkan dengan
seksama, setelah yakin bahwa pendengarannya tidak salah,
rasa senangnya bukan main, pikirannya: "Nasibku hari ini
beruntung, semula kukira akan lama aku menunggu disini, tak
nyana belum semalam aku disini, ternyata ada orang datang
kemari" Ada dua ekor kuda yang mendatangi, langkah kuda pelanpelan,
seperti dituntun oleh orang, arahnya juga menuju ke
timur, jadi semakin jauh dari tempatnya sekarang berada.
Timbul rasa curiga Tan Ciok-sing, pikirannya: "Mungkin
bukan anak buah Kim-to Cecu, mungkinkah pihak Watsu ada
mengutus mata-mata lain?"
Sebelum jelas kawan atau lawan, Tan Ciok-sing tidak mau
unjuk diri, secara diam-diam dia bangun serta menyelinap
keluar terus memburu ke arah datangnya suara.
Ringkik kuda tadi sudah tidak terdengar, tapi setelah dia
melewati beberapa perkemahan, dan berada didalam hutan
yang lebat, tiba-tiba seperti didengarnya seseorang sedang
menghela napas dari kejauhan.
Lekas Tan Ciok-sing mendekam dan mendekatkan
kupingnya ke bumi mendengarkan dengan seksama,
lwekangnya memang sudah tinggi, pendengarannya jauh lebih
tajam dari orang kebanyakan, walau jauh suara itu, namun
masih dapat didengarnya jelas.
768 Didengarnya suara seorang yang agak tua serak berkata:
"Sungguh tak nyana, tetap tak bisa menemukan Kim-to Cecu,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti menunggu kelinci diluar lobangnya begini, entah kapan
baru kita akan bertemu dengan saudara-saudara didalam
markas?" teka teki sudah mulai tersingkap, ternyata orang
inipun setujuan dengan dirinya, yaitu sedang mencari Kim-to
Cecu. Angin malam nan dingin menghembus lalu, Tan Ciok-sing
seperti disadarkan oleh hembusan angin dingin ini, tiba-tiba
tergerak hatinya, "Kedengarannya aku sudah kenal suara
orang ini, siapa dia," di waktu dia hendak pergi kesana melihat
lebih jelas, didengarnya pula suara seorang lain. Suaranya
nyaring dan kecil, itulah suara makian perempuan. "Hm, kau
rase tua ini terhitung besar nyalinya, berani datang kemari
mau menipuku," dari nada perkataannya dapat diduga, bahwa
laki-laki itu seperti mengatakan apa-apa kepadanya, namun
Tan Ciok-sing tidak mendengar jelas.
Segera Ciok-sing kembangkan Pat-pou-kan-sian, ginkang
tingkat tinggi, hanya sekejap saja, percakapan kedua orang
itupun kini sudah didengarnya jelas.
"Apa yang kukatakan tadi semua memang sebetulnya."
"Hm, kau boleh menipu orang lain, tapi jangan harap dapat
menipuku. Sejak mula sudah aku tahu ada orang yang
menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, baru sekarang aku tahu
orang itu adalah kau."
"Aku tidak menyamar, dengarkan penjelasanku..."
Suara perempuan itu agaknya amat jengkel dan gelisah,
tanpa pedulikan penjelasannya "Sret" segera dia membacok
dengan goloknya.
"Nona, jangan main senjata. Kalau kau tidak percaya, boleh
kau tanya kepada Siau-ongya. Aku tahu Siau-ongya sudah
datang ke tempat kalian."
769 Perempuan itu tetap menjengek: "Pembual. Kukira Siauongyamu
itu adalah pangeran dari Watsu bukan?"
"Lho," seru orang itu, "kalau demikian, jadi Siau-ongya kita
belum tiba disini" Kalau begitu tolong kau antar aku menemui
Kim-to Cecu. Kim-to Cecu akan tahu persoalannya."
Perempuan itu tertawa dingin, katanya: "Kau ingin aku
mengantarmu menemui Kim-to Cecu, bolehlah. Kau sendiri
punahkan Kungfumu atau aku yang wakilkan kau?" maksud
perkataannya sudah gamblang, bahwa dia tetap pandang lakilaki
itu adalah mata-mata dari Watsu, bila ingin bertemu
dengan Kim-to Cecu, tulang pundaknya harus diputuskan lebih
dulu, sebagai tawanan sudah tentu dia boleh membawanya
menghadap Kim-to Cecu.
Saat mana Tan Ciok-sing sudah datang dekat, dia sembunyi
di belakang sebuah pohon, untuk sementara dia tidak ingin
menampilkan diri.
Tampak perempuan itu memegang sebilah golok emas
bergagang panjang di tangan kiri, sebatang golok perak
bergagang pendek di tangan kanan, setelah berkata kedua
senjatanya diputar, menari-nari turun naik serta mengancam.
Betapapun tebal kesabaran laki-laki itu, bila tulang
pundaknya putus, dan dirinya dianggap pesakitan hendak
digusur kehadapan Kim-to Cecu, sudah tentu dia naik pitam,
pikirnya: "Biarlah kurampas sepasang gamannya, baru bicara
lebih lanjut."
Begitu turun tangan, mau tidak mau si perempuan kaget
dibuatnya. Ternyata dia mengembangkan Tay-kim-na-jiu yang
amat mahir. Malam itu tanggal tujuh, bulan sabit bercokol di angkasa
raya, dengan udara nan cerah, sinar rembulan redup, hutan
gelap gulita lagi, sehingga keadaan disini remang-remang.
Tapi Tan Ciok-sing sudah kenal siapa laki-laki itu. Dia bukan
770 lain adalah Ling Khong-tik yang pernah bertarung dengan Tan
Ciok-sing di puncak Jong San dahulu.
Ling Khong-tik adalah guru silat dari keluarga Toan yang
tahun lalu diundang sendiri oleh Siau-ongya Toan Kiam-ping.
Dalam perjalanan ke Kwi-lin kali ini Siau-ongya mengajaknya
serta. Tapi waktu Toan Kiam-ping mengadakan pertemuan
dengan Tan Ciok-sing, hari itu juga Ling Khong-tik kebetulan
sudah disuruh pulang lebih dulu ke Tayli. Tan Ciok-sing tidak
duga bahwa dia muncul disini.
Dari tempat persembunyiannya dia saksikan Ling Khong-tik
tengah mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-pek-to (ilmu
tangan kosong merampas senjata), padahal tubuhnya
terbungkus oleh cahaya golok, namun gerak geriknya tetap
gesit dan tangkas, permainannya tetap mendesak dengan
serangan-serangan yang liehay. Gadis itu menggunakan golok
emasnya untuk menyerang deras, sementara golok perak
untuk menjaga diri, jadi antara kedua golok panjang dan
pendek ini masing-masing memainkan jurus tipu yang
berbeda, betapa aneh permainan sepasang golok ini, Ling
Khong-tik yang biasa mengagulkan kepandaian dan
pengalamannya yang luas untuk sementara dibuat kewalahan
juga. Meski kepandaian silatnya jauh lebih tangguh dari si
gadis, untuk sementara jelas dia takkan mampu merampas
gaman lawan. Tan Ciok-sing masih bimbang, apakah dia perlu keluar
memperkenalkan diri untuk melerai pertempuran ini" Di
tengah pertempuran sengit itulah, tiba-tiba dilihatnya
permainan sepasang golok si gadis telah berubah.
Semula dia mengutamakan serangan kencang dengan
golok emas, golok perak menjaga diri atau memperkokoh
pertahanan. Kini dia justru merubah permainan dengan golok
perak membuka serangan, sementara golok emas bertahan.
Golok perak pendek, golok emas panjang. Dalam kalangan
persilatan ada pameo yang bilang, s,ejengkal lebih panjang
771 lebih kuat, sejengkal lebih pendek, lebih berbahaya. Dengan
golok pendek menyerang musuh, jadi merupakan
pertempuran jarak dekat, permainan ini memang tepat untuk
menghadapi rangsakan ilmu tangan kosong merebut senjata
lawan, tapi bahaya yang dihadapi justru lebih berat.
Agaknya Ling Khong-tik ingat sesuatu, sambil bersuara
heran dia lantas berteriak: "Nona, harap tanya apakah Kim-to
Cecu adalah ayahmu?"
Dugaan Ling Khong-tik memang tidak meleset gadis ini
memang putri Kim-to Cecu Ciu San-bin yang bernama Ciu
Kiam-khim. Ciu Kiam-khim adalah nona berwatak keras dan
suka menang sendiri, bahwa mendadak asal-usulnya diketahui
lawan, dia juga tidak pikir bagaimana lawan bisa tahu akan
dirinya, bila dia mau berpikir ke arah ini, maka seharusnya dia
bisa menduga bahwa lawannya ini sebetulnya adalah kawan
dan bukan musuh. Tapi reaksi yang timbul dalam benaknya
adalah: "Dia sudah tahu bahwa aku putri Kim-to Cecu, bila
sepasang golokku tidak mampu mengalahkan sepasang
tangan kosongnya, bukankah aku menjatuhkan pamor ayah?"
karena itu tekad juangnya ingin menang bertambah menyala.
Mendadak sesosok bayangan seperti seorang jenderal
perang yang turun dari angkasa menghadang di tengah
mereka. Pendatang ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing.
Tangannya memegang sebatang pohon kecil yang baru saja
dia petik dari pohon, begitu kakinya hinggap di bumi, segera
dia gunakan jurus Hun-hoa-hud-liu (menyibak kembang
mengebut dahan Liu), dahan pohon menekan golok perak,
sehingga senjata Ciu Kiam-khim kena dituntunnya nyingkir ke
samping, berbareng telapak tangan didorong, secara
kekerasan dia tahan sejurus pukulan Ling Khong-tik.
Tubuh Ling Khong-tik limbung, sementara Tan Ciok-sing
mundur dua langkah, demikian pula Ciu Kiam-khim harus
berkisar sekali dengan tunggak kaki sebagai poros baru bisa
berdiri tegak pula. Kejadian amat mendadak, karuan Ciu KiamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
772 khim dan Ling Khong-tik sama-sama kaget. Tan Ciok-sing
merias diri mengganti rupa, sudah tentu Ling Khong-tik tidak
mengenalnya lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Kalian sama-sama orang-orang
sendiri, kenapa harus bertarung sesengit ini?"
"Berdasarkan apa kau berkata begini?" semprot Ciu Kiamkhim.
"Karena aku tahu ayahmu adalah Kim-to Cecu. Aku juga
tahu Lo-enghiong ini siapa."
Ciu Kiam-khim mendengus, "Lo-enghiong apa, tapi aku
tahu kalau dia menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, matamata
dari Watsu."
"Nona Ciu, kau salah paham," ujar Tan Ciok-sing, "Ling
Suhu ini bukan samaran. Dia betul-betul adalah guru silat dari
keluarga Toan yang tulen."
Ciu Kiam-khim kaget, teriaknya: "Apa, kau bilang dia ini
Ling Suhu" Ada seorang bulim cianpwe yang tersohor dengan
ilmu Eng-jiu-kang yang menggetarkan bulim, Ling Khong-tik
Ling locianpwe, apakah, apakah..."
Dengan kalem Ling Khong-tik menyeletuk: "Mana berani
aku dipanggil Locianpwe, tapi Ling Khong-tik memang benar
adalah aku."
"Apa benar kau ini Ling Khong-tik Ling-locianpwe"
Kenapa aku..." ternyata waktu Kanglam Sianghiap mampir ke
Tayli tahun yang lalu, mereka belum tahu bahwa Ling Khongtik
padahal sudah berada di rumah keluarga Toan. Banyak
pula seluk beluk keluarga Toan di Tayli yang diketahui oleh Ciu
Kiam-khim, namun hatinya masih dirundung curiga, kuatirnya
ada seorang lain yang mahir pula akan ilmu itu menyaru jadi
Ling Khong-tik, dalam hati dia berpikir: "Setahuku Ling Khongtik
tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan di Tayli,
kalau betul dia sudah diangkat sebagai guru silat keluarga
773 kerajaan itu, kenapa Kanglam Sianghiap tidak memberi tahu
kepadaku" Lebih baik aku hati-hati, supaya jangan ketipu
orang."' "Nona Ciu, masih ada yang kau curigai" Boleh silahkan kau
tanya." Sejenak Ciu Kiam-khim berpikir, bukan mengajukan
pertanyaan, mendadak dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing
malah. "Siapa kau, berdasar apa kau berani membuktikan
bahwa dia betul-betul adalah Ling Khong-tik Ling-locianpwe?"
demikian tanya Ciu Kiam-khim.
Sudah tentu Tan Ciok-sing kelakep oleh pertanyaan ini,
tengah dia kebingungan, cara bagaimana harus memberi
penjelasan, tahu-tahu seseorang telah menyeletuk: "Nona Ciu,
biarlah aku yang menjadi saksi bahwa Ling Suhu memang
benar adalah guru silat kita, boleh tidak?"
Orang ini beranjak keluar dari hutan sambil menuntun dua
ekor kuda, dia bukan lain adalah kacung pribadi Tan Kiamping
yang pernah dilihat Tan Ciok-sing waktu masih berada di
Cit-sing-giam dulu.
Semula Ciu Kiam-khim melengak, tapi setelah dia menoleh
dan melihat jelas pendatang ini, seketika dia berseru girang:
"Oh, kaukah Siau-ni-cu. Kau sudah tumbuh sebesar ini."
Kacung Toan Kiam-ping ini dilahirkan di pinggir Ni-hay,
maka Toan Kiam-ping mengambil huruf "Ni" untuk namanya.
Empat tahun yang lalu dia pernah disuruh ke markas pusat
Kim-to Cecu mengantar surat, waktu itu dia baru berusia lima
belas tahun. Toh Ni berkata: "Baru kemarin kami tiba. Karena
kami tidak tahu kemana kalian pindah, maka terpaksa main
tunggu disini, kami yakin suatu waktu pasti ada orang kemari.
Tadi kubawa kedua ekor kuda ini ke sungai untuk dimandikan,
belum lama aku pergi, tak nyana kau sudah kemari."
"Aku dengar ada orang menyaru pesuruh keluarga Toan,
maka sengaja aku turun gunung menyelidik soal itu. Kuduga
774 mata-mata itu pasti bisa menemukan tempat ini, maka aku
kesini." Toh Ni tertawa, katanya: "O, tak heran kau melabrak Ling
Suhu. Baru musim semi yang lalu Ling Suhu berada di Ong-hu
kita." Cepat Ciu Kiam-khim mohon maaf kepada Ling Khong-tik,
katanya tertawa: "Tidak berkelahi takkan berkenalan, harap
maaf akan kelancanganku."
Toh N i bertanya: "Nona Ciu, apakah Siau-ongya kami dan
In Lihiap sudah tiba di markas kalian?"
"Kok belum," sahut Ciu Kiam-khim, "aku memang ingin
tanya, apa sih yang telah terjadi?" Maklum kalau In San
datang mau membantu ayahnya, hal ini tak perlu dibuat heran
tapi bahwa Toan Kiam-ping juga ikut datang, ini benar-benar
diluar dugaannya.
Toh Ni juga heran, katanya: "Lho, mereka menunggang
kuda Kanglam Sianghiap yang jempolan itu, kenapa belum
tiba disini" Soal ini panjang ceritanya..." sampai disini tanpa
merasa dia menoleh ke arah Tan Ciok-sing. Waktu dia tiba tadi
kebetulan didengarnya Ciu Kiam-khim sedang menanyakan
Tan Ciok-sing, dia sendiri juga belum tahu siapa sebenarnya
laki-laki ini, kalau dia orang luar, tak enak dia bicara blakblakan
di hadapannya. Ciu Kiam-khim juga lantas ingat, katanya: "Betul, soal Siauongya
kalian boleh nanti kau tuturkan kepadaku. Coba kau
terangkan dulu siapa dia ini?"
"Aneh," kata Toh Ni, "aku seperti pernah melihatnya, tapi
juga seperti belum kenal."
Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata: "Siau-nicu, apakah kakimu
sudah sembuh?"
Kontan Siau-nicu terbelalak kaget, namun dia segera
berjingkrak senang, teriaknya: "Kau, kau adalah..."
775 Cepat Tan Ciok-sing memberi tanda kedipan mata. Toh Ni
cukup cerdik, dia maklum akan kedipan mata ini, katanya:
"Nona Ciu. Tentang Siau-ongya biarlah Ling Suhu nanti
tuturkan kepadamu. Biar aku bicara sebentar dengan saudara
ini." Mendengar pengakuan Siau-nicu, legalah hati Ciu Kiamkhim,
pikirnya: "Agaknya orang ini punya pantangan yang
tidak boleh diketahui orang lain, buat apa memaksanya,"
maka dia berkata: "Baik, pergilah kau bicarakan urusanmu
dengan sahabat ini, aku akan tunggu disini."
Toh Ni ajak Tan Ciok-sing ke pinggir sungai, katanya: "Tansiangkong,
sungguh tak kira aku bisa bertemu kau disini, kau,
apa benar kau ini dia?" agaknya dia masih ragu-ragu.
Tan Ciok-sing tersenyum, segera dia basahi lengan bajunya
terus membersihkan muka sendiri katanya: "Maaf, aku tidak
boleh menghapus make up ku seluruhnya. Kuyakin kau sudah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenalku bukan?"
Kaget dan girang Toh Ni dibuatnya, katanya: "Tansiangkong,
ternyata memang kau, kenapa kau menyamar
begini?" Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Ya untuk
menghindari kesukaran. Yang tahu akan diriku maklum akan
kerisauanku, yang tidak tahu akan diriku, buat apa aku harus
memohon kepadanya" Hanya Thian yang tahu apa yang
terkandung dalam sanubariku?" kata-kata terakhir ini pernah
disenandungkan oleh Tan Ciok-sing waktu berada di Cit-singgiam,
sebelum dia berlalu serta menyerahkan harpanya
kepada Toh Ni, saat mana Toan Kiam-ping masih belum
siuman dari pingsannya. Mendengar senandung ini, lebih yakin
pula Toh Ni bahwa orang dihadapannya ini memang bukan
lain adalah Tan Ciok-sing, katanya menghela napas: "Tansiangkong,
hari itu sebetulnya tak perlu kau berlalu. Kau, kau
tidak tahu."
776 "Tahu apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Hari itu nona In mencarimu ubek-ubekan sehari suntuk.
Setiap peloksok kota Kwi-lin telah dijelajahinya, malamnya
waktu pulang, wajahnya tampak kuyu dan sedih. Belakangan
Siau-ongya tahu bahwa kau mengantarnya ke rumah keluarga
In, lalu kau berlalu, aku dimakinya, kenapa aku membiarkan
kau pergi."
Pilu hati Tan Ciok-sing, katanya: "Terima kasih akan
perhatian mereka kepadaku. Aku hanya mengharap mereka
hidup bahagia. Yakin bila sang waktu telah berlalu, mereka
pasti akan melupakan aku."
"Tidak," kata Toh Ni tegas, "mereka justru takkan
melupakan kau."
"Siau-nicu," tukas Tan Ciok-sing mengulap tangan, "marilah
bicara soal lain saja. Apakah luka-luka Siau-ongya sudah
sembuh" Apa kau tahu betul bahwa dia kemari bersama nona
In" Kenapa kau tidak bersama dengan mereka" Agaknya sejak
lama Ling Suhu sudah meninggalkan Kwi-lin, bagaimana kau
bisa menemukan dia" Dia kembali ke Tayli bukan?"
"Baiklah, biar kututurkan kejadian sejak kita berpisah dulu,"
ucap Toh Ni, "Siau-ongya memang keracunan cukup parah,
untung dia mendapat perawatan nona In, In Ih memanggil
tabib kenamaan untuk mengobatinya pula. Hari kedua dia
sudah siuman. Beruntun beberapa hari, sambil makan obat
diapun mengerahkan lwekang untuk membantu bekerjanya
obat. Hanya tujuh hari kesehatannya sudah pulih.
"Pagi hari itu, dia suruh aku membawa harpa
pemberianmu, lalu dia memetik sebuah lagu, sudah beberapa
tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat dia
melelehkan air mata. Waktu memetik harpa itu, diam-diam
nona In masuk, namun dia tidak tahu."
Mendengar cerita sampai disini, tanpa terasa air matapun
berlinang di ujung mata Tan Ciok-sing, katanya dengan tawa
777 dipaksakan: "Dia suka harpaku yang kuno itu, sungguh aku
amat senang."
Toh Ni meneruskan ceritanya: "Begitu Siau-ongya selesai
memetik harpa, nona In lantas berkata: "Kiam-ping jalan
pikiranmu sama denganku, waktu itu baru aku tahu akan
kehadirannya. Aku amat heran, Siau-ongya belum pernah
bicara dengan dia bagaimana dia bisa tahu jalan pikiran Siauongya?"
"Irama harpa melimpahkan perasaan, kenapa harus
mengutarakan isi hati dengan perkataan," demikian Tan Cioksing
menjelaskan. Siau-ongya angkat kepala, katanya: "Betul, kita harus
temukan dia."
Bergetar perasaan Tan Ciok-sing, didengarnya Toh Ni
melanjutkan: "Hari kedua, dia lantas meninggalkan Kwi-lin
bersama nona In. Semula aku ingin ikut mereka mencarimu,
tapi Siau-ongya melarangku dengan tegas, malah aku disuruh
pulang memberi laporan palsu. Apa boleh buat, terpaksa aku
jalankan perintahnya."
"Nah, kalau Siau-ongya suruh pulang ke Tayli bagaimana
kau bisa datang kemari secepat ini bersama Ling Suhu?"
"Baru tiga hari aku meninggalkan Kongcu, di tengah jalan
aku bertemu dengan Ling Suhu."
"Bukankah Ling Suhu jauh hari sudah disuruh pulang?"
"Betul, Ling Suhu sudah disuruh pulang waktu Siau-ongya
janji bertemu dengan kau. Waktu aku ketemu dia juga
keheranan," demikian tutur Toh Ni lebih lanjut, "belakangan
baru kuketahui bahwa diapun belum pulang ke Tayli, di
tengah jalan dia ketemu utusan istana raja. Orang itu
diperintahkan oleh permaisuri untuk mendesak Siau-ongya
lekas pulang. Katanya Lo-ongya sakit keras, dia diharuskan
pulang untuk mewarisi jabatan."
778 Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kalau demikian, dia kan
harus lekas pulang."
"Memang, Lo-ongya sakit keras, maka aku tak bisa
membual lagi. Maka dengan kuda lari cepat Ling Suhu
menyusul balik ke Kwi-lin, duduk persoalan yang sebenarnya
kujelaskan kepada Ling Suhu, maka segera kami menyusul
kemari hendak mencari Siau-ongya," cerita sampai disini tibatiba
Toh Ni tertawa sendiri.
"Apa yang kau tawakan?" tanya Ciok-sing heran, "Majikan
tuamu sakit keras, kau masih berani tertawa?"
"Biar kukasih tahu padamu, tapi jangan kau bocorkan.
Padahal Ling Suhu juga menipu."
"Menipu apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Kabar tentang majikan tua sakit keras hanyalah bualan
belaka. Sejak bertemu aku sudah terus terang kepada Ling
Suhu, tapi baru kemarin Ling Suhu bicara sejujurnya dengan
aku. Ternyata Lo-ongya kuatir putranya berdiri sepihak
dengan orang-orang gagah di Kangouw. Utusan dari istana
semula juga tak berani terus terang terhadap Ling Suhu, tapi
karena minta bantuannya, tahu akan kejujuran pula, maka
akhirnya hal itu dijelaskan."
"Tak lama lagi akan terjadi peperangan disini, demi
kepentingan Siau-ongya kalian, memang pantas kalau dia
lekas pulang," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Dari mana kau tahu bakal ada perang disini?" tanya Toh
Ni. "Kedua orang yang menyamar utusan keluarga Toan
adalah matamata Watsu, kebetulan tertangkap olehku, aku
telah mengompres keterangan mereka."
Toh Ni menghela napas, katanya: "Kalau aku seorang diri,
ingin aku melihat peperangan disini. Tapi bisa tidak aku
menemukan Siau-ongya, aku harus pulang memberi laporan.
779 Tan-siangkong, bila kau ketemu Siau-ongya, jangan kau
bocorkan berita bohong itu kepadanya."
"Tak usah kuatir, aku takkan ketemu dia."
Toh Ni seperti paham, sesaat kemudian dia berkata: "O,
jadi kau sengaja menghindari Siau-ongya?"
Tan Ciok-sing diam saja, tapi manggut-manggut.
Toh Ni menghela napas, katanya: "Kau sengaja
menghindari dia, sebaliknya aku pusing mencarinya. Aneh,
tiga hari dia lebih dini berangkat kemari menunggang kuda
yang dapat lari ribuan li sehari, kenapa aku tiba lebih dulu
malah" Aku, aku jadi kuatir."
"Mungkin di tengah jalan mereka tertunda oleh suatu
urusan. Kungfu Siau-ongya dan kepandaian nona In cukup
tinggi, dengan gabungan kekuatan mereka, yakin musuh
takkan mampu berbuat banyak, tak usah kuatir mereka
mengalami sesuatu."
Toh Ni berkata lebih lanjut: "Sebetulnya setulus hati aku
mengharap Siau-ongya dapat mempersunting nona In, bicara
terus terang, waktu itu sedikitpun tidak simpatik kepadamu,
ingin rasanya kau lekas meninggalkan nona In sejauh
mungkin. Tapi pikiranku sekarang berbeda, karena aku sudah
tahu kau adalah orang baik yang sukar dicari keduanya di
dunia ini, aku juga tahu nona In hanya menyukai kau, harap
kau suka mendengar pendapatku..."
"Anggapanmu semula memang tidak salah," demikian tukas
Tan Ciok-sing, "Siau-ongya memang pasangan setimpal
dengan nona In, aku tidak setimpal jadi suaminya."
"Tidak, itu hanyalah pikiranmu seorang. Siau-ongya dan
nona In justeru tidak sependapat dengan kau. Apa kau ingin
tahu bagaimana Nona In membicarakan dirimu?"
Tan Ciok-sing goyang tangan, katanya: "Tidak aku tidak
mau dengar. Mereka begitu baik terhadapku, aku amat haru
780 dan berterima kasih, tapi aku tidak boleh tidak tahu diri, aku
tidak mau ditertawakan orang, dikatakan aku ini kodok buduk
yang menginginkan daging bangau."
Merah muka Toh Ni, katanya: "Tan-siangkong, kau masih
menyindirku akan perkataan yang kulontarkan di hari itu
tentang dirimu" Mulutku memang pantas digampar. Tapi
kuharap kau memaafkan kelancanganku itu," sambil bicara dia
sudah angkat tangannya mau menggampar mulut sendiri.
Lekas Ciok-sing menariknya, katanya: "Aku tidak
menyalahkan kau, aku sendiripun berpikir demikian."
Toh Ni masih mau membujuk, Tan Ciok-sing berkata:
"Siau-nicu, tidak usah dibicarakan, lagi. Aku hanya mengejar
ketentraman batinku saja. Kumohon bantuanmu jangan kau
katakan kepada Siau-ongya dan nona In bahwa kau pernah
ketemu aku disini, jangan pula kasih tahu kepada Ling Khongtik."
"Kau pernah menolong jiwaku, apa kehendakmu pasti
kulaksanakan. Masih ada?"
"Masih ada satu hal, juga mohon bantuanmu."
"Tan-siangkong silakan katakan saja, jangan kata soal
membantu persoalanmu, meski Siau-nicu harus terjun ke
lautan api, juga pasti kulaksanakan."
"Terima kasih akan kesetiaanmu. Kedatanganku kemari
bukan hanya ingin memberitahu jejak Siau-ongya, aku juga
membawa pesan seorang teman," lalu dia tuturkan keinginan
Han Cin yang mau mendarma baktikan tenaganya di markas
Kim-to Cecu, minta Siau-nicu sampaikan hal' ini kepada putri
Kim-to Cecu. Supaya mengutus orang menjemput Han Cin di
kedai itu. "Urusan sekecil ini pasti beres. Tapi maafkan bila aku
cerewet, ingin tanya kepadamu. Apakah kau menyukai nona
Han ini?" 781 Untuk menghindari banyak pertanyaan, maka Tan Ciok-sing
menjawab: "Betul, aku amat menyukainya, kami sudah angkat
saudara." "Sebetulnya aku kuatir bagi nona In. Kau takut menemui
dia, tapi juga tidak suka bertemu dengan dia bersama nona
Han. Ini sudah membuktikan bahwa kau hanya mencintai
nona In saja. Apa yang kau katakan justru kebalikannya."
"Siau-nicu jangan sembarang ngomong. Emm, waktu amat
mendesak, aku harus lekas pergi. Soal itu kutitip padamu
supaya diselesaikan," dia tidak kembali menemui Ciu Kiamkhim,
secara diam-diam dia turun gunung.
000OOO000 Di tengah perjalanan pulang, hatinya justru gundah dan
gelisah. Kata-kata Siau-nicu menimbulkan riak gelombang
dalam sanubarinya: "Nona In hanya mencintai kau, dia tidak
akan melupakan dirimu," kalau bukan cerita Siau-nicu ini,
hakikatnya dia tidak tahu bahwa cinta In San kepadanya
ternyata begitu mendalam. Tapi sedapat mungkin dia
berusaha menekan gejolak hatinya. "Umpama betul dia tidak
akan melupakan aku selamanya, akupun tak perlu menyesal
akan keputusanku ini. Mencintai seseorang harus bisa
memberikan kebahagiaan kepadanya. Kalau dia menjadi
permaisuri Toan Kiam-ping pasti jauh lebih bahagia dari pada
menjadi isteriku." Meski dia berusaha menekan gejolak
perasaannya, tapi hatinya tetap merasa hambar dan kosong.
Akhirnya Tan Ciok-sing kembali pula ke Tay-tong.
Waktu dia masuk kota, penduduk sudah mulai menyulut
lampu. Tay-tong setelah mengalami peperangan, bagi
penduduk yang punya uang, seperti sudah melupakan lukaluka
akibat peperangan itu, mereka tetap mengejar
kesenangan hidup. Malam hari ternyata tidak kalah ramai dari
siang hari, jalan raya tetap berjubel manusia yang berlalu
lalang. 782 Tan Ciok-sing berjalan di tengah keramaian kota,
perasaannya justru sunyi sepi seperti di atas alas pegunungan
yang belukar. Dengan jari-jarinya yang gemetar dia mengetuk
pintu kedai. Seperti murid sekolah yang harus memasuki
arena ujian, hatinya bingung dan kacau: "Bagaimana aku
harus memberi penjelasan kepada adik Cin?"
Diluar dugaannya, dia tidak menemukan Han Cin, begitu
dia masuk laki-laki tua itu lantas berkata kepadanya:
"Kebetulan kau pulang, aku mau beri tahu, hari kedua setelah
kau pergi, Han-siangkong juga meninggalkan kedai kami."
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kenapa tidak menungguku
pulang" Aku sudah berjanji dengan dia, apa kau tahu dia
kemana?" "Kau tak perlu kuatir, dia bilang dia sudah menemukan
Kim-to Cecu."
Karuan Tan Ciok-sing keheranan, katanya: "Bagaimana dia
bisa menemukan Kim-to Cecu" puncak gunung dimana markas
Kim-to Cecu berada pun belum kuketemukan. Memangnya dia
sudah ke Tay-tong ini?"
"Yang kumaksud bukan langsung ketemu dengan Kim-to
Cecu, tapi dia bertemu dengan seorang yang tahu dimana
Kim-to Cecu berada."
"Siapa orang itu?" tanya Ciok-sing, dalam hati dia
membatin: "Padahal dia tidak kenal siapa saja, memangnya
dari mana dia berkenalan dengan orang?" '
"Dia tidak memberi tahu padaku," sahut laki-laki tua, "Tapi
dia meninggalkan sepucuk surat untuk kau. Katanya setelah
membaca suratnya kau akan mengerti."
Ciok-sing terima surat peninggalan Han Cin serta dirobek
dan dibacanya, dimana surat itu berbunyi demikian: "Aku tidak
ingin merepotkan pemilik kedai ini, kedainya ini untuk
berdagang, setiap hari banyak orang pergi datang disini, aku
783 perempuan menyaru laki-laki, lama kelamaan pasti terbongkar


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh orang. Rumah keluarga In kan tiada yang menghuni,
biarlah untuk beberapa hari aku tinggal disana Tinggal di
kamar tidurnya yang serba indah itu jauh lebih enak, lebih
leluasa, tapi tak enak aku terus terang kepada pemilik kedai
ini, yakin kau tidak salahkan aku mempermainkan kau bukan"
Sekembalimu, boleh langsung kau ke rumah keluarga In."
Setelah baca surat ini, baru Tan Ciok-sing tahu Han Cin
sengaja main gara-gara, diam-diam dia menjadi geli, "dia
memang nakal, entah bagaimana dia mendapat akal untuk
pindah tempat. Yang benar tinggal di rumah keluarga In
hakikatnya jauh lebih berbahaya," maka dia bertanya: "Sejak
aku pergi dulu, pernahkah opas atau petugas lainnya yang
memeriksa gedung keluarga In yang sudah terbakar itu?"
"Tidak pernah. Sejak rumah keluarga In digerebek tentara,
rumah itupun sudah disegel, sejauh ini belum dibuka. Tansiangkong,
buat apa kau tanya hal ini?"
"Tidak apa-apa," ujar Tan Ciok-sing. "Soalnya tempo hari
kudengar kau berkata, ada orang yang mengaku utusan
keluarga Toan di Tayli kemari dan mencari tahu tentang
rumah keluarga In kepadamu, maka aku tanya sambil lalu
saja" "'O, kau kuatir mereka masuk ke rumah keluarga In,
sehingga menimbulkan curiga petugas dan mengadakan
pemeriksaan disana" Menurut apa yang kutahu, opas atau
petugas negara lainnya tiada yang pernah masuk kesana, aku
juga tidak tahu. Tapi rumah yang disegel, siapa yang berani
memasukinya."
Legalah hati Ciok-sing, pikirnya: "Untung kalau tidak terjadi
apa-apa. Apa boleh buat terpaksa aku ikut berbohong pada
pemilik kedai ini."
Laki-laki tua berkata: "Siapakah teman Han-siangkong itu"
Apakah dia utusan dari keluarga Toan?"
784 "Bukan, tapi salah seorang anak buah Kim-to Cecu yang
tinggal di kota ini."
Laki-laki tua ini tahu akan pantangan orang-orang
Kangouw, maka dia tidak berani banyak tanya dimana tempat
tinggal Han Cin itu, katanya: "Kalau begitu lekaslah kau pergi
mencarinya."
"Betul, sebentar juga aku akan pergi mencarinya."
Tan Ciok-sing lalu ngobrol dengan pemilik kedai,
diketahuinya sejak dia meninggalkan Tay-tong keadaan disini
ternyata aman saja, lebih lega pula hatinya. Setelah makan
bakmi, tanpa terasa hari sudah menjelang kentongan yang
ketiga. Tan Ciok-sing berkata:
"Aku harus berangkat,"--setelah pamitan kepada pemilik
kedai, diam-diam dia lantas menyelundup ke rumah keluarga
In. Untuk kedua kalinya dia menyelundup ke rumah keluarga
In, terbayang waktu dulu dia bertemu dengan In-hujin,
hatinya amat haru. Pikirnya: "Waktu itu kukira akan bertemu
dengan adik San, tak nyana bertemu dengan ibunya. Tapi kali
ini aku sudah jelas, yang bakal kutemui adalah In San
samaran. Hmm, adik San memang ada sedikit persamaan
dengan adik Cin, memang cocok kalau adik Cin menyamar dia.
Entah sekarang dia sudah tidur atau belum?" tengah o
Seruling Samber Nyawa 9 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 8
^