Pendekar Pemetik Harpa 18

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 18


bantuan yang lebih kuat.
Menekuk pinggang bergaya seperti petani bercocok tanam
di ladang sebat sekali tiba-tiba Ti Nio membresot ke samping,
telapak tangannya menabas melintang setajam golok
tubuhnya berkelebat dari bawah roda rembulan musuh,
tangannya membacok ke lutut Milo Hoatsu. Serangan ini
memaksa lawan membebaskan diri dari ancaman bahaya,
terpaksa Milo Hoatsu tarik roda mataharinya yang menyerang
keluar. Kepandaiannya sudah mencapai taraf sesuka hati
menggunakan senjata, pada hal gempuran roda matahari
sekeras itu, tapi secara mentah-mentah dia kuasa menariknya
mundur, hal ini sungguh diluar dugaan Ti Nio. "Bret" lengan
baju Ti Nio tergores sobek oleh ujung roda yang tajam. Tapi
tidak mundur Ti Nio malah mendesak maju, telapak tangannya
membelah dada lawan, inilah cara bertempur gugur bersama.
Kuatir roda rembulan saja tidak kuasa melawan gempuran
musuh, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda matahari untuk
melindungi badan.
Dengan merangsak Ti Nio membela diri, yakin Milo Hoatsu
tidak berani adu jiwa dan gugur bersama, sehingga orang
memunahkan serangan berbahaya ini, dalam hati padahal
diapun bersyukur. Walau Milo Hoatsu seurat lebih unggul, mau
1033 tidak mau dia merasa kagum juga. "Sungguh tak nyana ada
pula seorang yang mampu melawan sepasang rodaku dengan
bertangan kosong. Pengemis tua itu adalah Kaypang Pangcu,
dia memiliki Kungfu setinggi itu meski berada diluar
perhitunganku, namun tidak perlu dibuat heran. Entah siapa
laki-laki tua ini" Ai, agaknya tidak sedikit orang pandai di
Tionggoan."
Secepat kilat kedua pihak saling berhantam dengan
melancarkan serangan maut, namun tiada salah satu yang
tersentuh luka. Tapi Ti Nio melawan dengan tangan kosong,
bagaimanapun dia di pihak yang dirugikan. Dia tahu dalam
tiga puluhaan jurus, dirinya masih kuat menandinginya, tapi
selewat tiga puluh jurus sukar diramalkan.
Melihat sang Susiok menghadapi bahaya, lekas Kek Lam-wi
memburu tiba, langsung dia timpukkan serulingnya sembari
berteriak: "Susiok, serulingku ini tak bisa rusak, gunakanlah."
Ti Nio tahu Loan-giok-siau ini adalah seruling pusaka,
dengan seruling berada di tangan, semangat tempurnya
membara, dari bertahan lekas dia menyerbu dengan sengit.
Seruling beradu dengan roda menerbitkan rentetan suara
nyaring, meski tajam gigi roda lawan, tapi seruling ternyata
utuh tidak kurang sedikitpun. Tapi ini lantaran Iwekang Ti Nio
setanding dengan lawan, kalau Kek Lam-wi sendiri yang
menggunakan, seruling itu pasti tergetar lepas dari
cekalannya. Setelah masing-masing memakai senjata pertempuran
setanding dan sama kuat. Ti Nio kembangkan ilmu tutuk
tingkat tinggi, seruling digunakan sebagai potlot sekaligus dia
menggebu dan puluhan jurus tanpa ganti napas. Tapi
setapakpun Milo Hoatsu tak mau mundur, kedua" rodanya
berputar dengan kencang dan serasi, membela diri juga balas
menyerang, rangsakan Ti Nio dilawannya dengan gagah dan
berani. 1034 Menghadapi musuh tangguh yang baru pertama kali ini
dihadapi selama hidup, sudah tentu Ti Nio tak sempat
hiraukan persoalan lain, dilihatnya busu Watsu datang
berbondong, lekas dia berteriak: "Kek-hiantit nona Han
kuserahkan kepadamu, lekas kau bawa dia lari, jangan
hiraukan aku."
Kek Lam-wi cerdik dan pandai bertindak, ini diketahui oleh
Ti Nio, dalam keadaan segenting ini dia titip Han Cin supaya
dilindungi, adalah suatu hal yang jamak dan sepantasnya, hal
ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi anehnya nada
perkataannya seolah-olah menganggap Han Cin sebagai putri
kandungnya sendiri.
Tergerak hati Han Cin, tapi mengingat Ti Nio adalah
sahabat baik ayahnya, keadaanpun sedemikian tegang, tiada
waktu dia menelaah perkataan Ti Nio. Pada waktu itulah
kebetulan dia mendengar suitan panjang Tan Ciok-sing,
teriaknya girang: "Agaknya Tan toako telah datang."
Kek Lam-wi pasang kuping mendengarkan, katanya: "Betul
itulah suitan Tan-toako. Nona Han, mari ikut aku," ternyata
suitan Tan Ciok-sing mengalun turun naik mengikuti irama
lagu, Han Cin dan Kek Lam-wi paham ajaran musik maka
sekali dengar lantas mengenalinya.
Han Cin sudah lari ke depan Kek Lam-wi, waktu Kek Lamwi
menoleh dia berseru heran teriaknya: "Adik So, untuk apa
kau masih berdiri disitu, lekas kemari."
Toh So-so tersentak sadar, katanya: "Perhatikan Han-cici
dan lindungi dia, segera aku datang," agaknya waktu
mendengar pesan Ti Nio kepada Kek Lam-wi yang menitipkan
Han Cin, perasaan Toh So-so jadi tidak karuan. "Apa maksud
Ti-locianpwe dengan pesannya itu?" demikian dalam hati dia
bertanya-taya. Lekas sekali Poyang Gun-ngo sudah memburu datang, lebih
dulu dia mencegat Kek Lam-wi serta membentak: "Anak
1035 bagus, tadi kau beruntung dapat lolos, kini jangan harap bisa
lari" Kalau berani hayo lawan aku," dengan jurus Pek-hongkoan-
jit pedangnya itu sungguh mirip bianglala, dalam
sekejap, Kek Lam-wi dan Han Cin sudah terkurung dalam
cahaya pedangnya.
Seruling Kek Lam-wi sudah diberikan kepada Ti Nio, kini dia
tidak bersenjata, dengan bertangan kosong, mana dia mampu
melawan Poyang Gun-ngo" Hanya beberapa gebrak saja
keadaannya sudah terdesak di bawah angin, pernah sejurus
serangan lawan hampir memapas kutung jari-jarinya. Han Cin
mainkan cambuknya bantu menghalau serangan lawan, tapi
tenaganya lemah, bantuannya tidak berarti bagi Kek Lam-wi.
Melihat sang pujaan menghadapi bahaya, Toh So-so tidak
pikirkan lagi soal jelus segala, lekas dia memburu kemari,
Ceng-kong-kiam dia berikan kepada Kek Lam-wi, dia sendiri
menggunakan golok melawan musuh.
Pedang ada di tangan seperti harimau tumbuh sayap,
beruntun Kek Lam-wi lancarkan tiga jurus serangan, ujung
pedangnya mengincar hiat-to mematikan di tubuh Poyang
Gun-ngo, kini situasi agak mending karena dia mampu
melawan dengan mantap. Walau pedang panjang ini tidak
seampuh serulingnya, dengan kekuatan tiga orang sekuatnya
masih bertahan beberapa kejap lagi.
Tapi kalau Kek Lam-wi dibantu dua nona, Poyang Gun-ngo
juga kedatangan bantuan. Hanya menonton sekejap Toa-kiat
lantas tahu kedua nona ini sudah lemah tenaganya, meski
berkepandaian lumayan, yakin mereka bukan tandingan
dirinya. Maka dia suruh kawanan busu lainnya melingkari
arena supaya" lawan tidak melarikan diri dan untuk menjaga
bila lawan kedatangan bantuan, seorang diri dengan tongkat
besarnya dia masuk ke arena.
Toa-kiat bergelak tawa, serunya: "Dua nona secantik ini
mengantar kematian, sungguh harus dibuat sayang. Hehe,
aku orang beribadah mengutamakan kebajikan, biarlah aku
1036 yang membacakan doa mengantar arwah kalian." Tongkatnya
dikeprukan di tengah-tengah pertempuran, sehingga Toh dan
Han dipisahkan dengan Kek Lam-wi. Betapa pun mereka
melabrak dengan nekat sudah tidak mampu lagi bergabung
dengan Kek Lam-wi.
Seorang diri Kek Lam-wi tetap bertahan, namun sepuluh
jurus kemudian dia sudah terdesak di bawah angin. Toh dan
Han berdua melawan Toa-kiat lambat laun merekapun
kepayahan. Han Cin amat gelisah, pikirnya: "Tadi jelas
kudengar suitan Tan-toako, kenapa belum juga dia kemari
bersama ln-cici."
Mana dia tahu Tan Ciok-sing mendatangi sambil menggusur
Liong Seng-bu. Karena dia menelikung tuan muda keluarga
Liong, sudah tentu kawanan wisu itu tiada yang berani
menghadangnya, semua minggir memberi jalan, namun
berjalan menggusur tawanan tidak bisa mengembangkan
ginkang. Semburan kembang api masih terus berledakan di atas
udara taman besar itu, mendadak di ujung taman sana
tampak jago merah berkobar semakin besar.
"Celaka, kawanan rampok membakar rumah."
"Aduh celaka, kelihatannya Bing-cu-khek yang terjilat api,"
para wisu keluarga Liong berteriak-teriak dan semuanya
memburu kesana dengan rasa ketakutan. Maklum Bing-cukhek
adalah tempat kediaman Liong Bun-kong.
Tan Ciok-sing sudah mendatangi sambil menggusur Liong
Seng-bu, karena tangan ditelikung kesakitan Liong Seng-bu
gembar-gembor: "Maknya dirodok, Tan Ciok-sing, mana boleh
kau gunakan cara ini atas diriku" Tahukah kau bila aku mati,
kalian jangan harap bisa hidup." Mendengar makian kotor dan
Liong Seng-bu mogok jalan terpaksa Tan Ciok-sing menutuk
hiat-tonya dan mengempitnya di bawah ketiak.
1037 Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Tuan muda besar, sudah
cukup kau hidup foya-foya, tiba saatnya kaupun harus
mencicipi apa yang dinamakan menderita dan tersiksa. Hanya
tersiksa seringan ini kau tidak akan mampus."
Di tengah cahaya kobaran api tampak dua laki-laki baju
hitam berlari kencang mendatangi. Melihat Tan Ciok-sing
mengempit seseorang, mereka tampak senang dan kaget,
tanpa janji mereka berseru: "Yang kau bekuk apakah Liong
Seng-bu si bangsat kecil itu?"
"Betul," sahut Tan Ciok-sing, "siapa kalian," mulut
menjawab kaki terus memburu kesana membantu Kek Lam-wi
yang terdesak. Pedang Poyang Gun-ngo sedang menusuk ke
ulu hati Kek Lam-wi, gerakan fdan gaya serangannya amat
berbobot dan keras. Tan Ciok-sing segera ayun tubuh Liong
Seng-bu sebagai tameng disodorkan ke ujung pedang musuh,
bentaknya: "Kalau berani, tolong kau bunuh keponakan Liong
Bun-kong ini." Perlu diketahui Liong Bun-kong tidak punya
anak, keponakan satu-satunya ini sudah dipandangnya seperti
anak kandung sendiri, sudah lama dia ingin mewariskan
segala miliknya kepada sang keponakan tersayang ini.
Padahal Poyang Gun-ngo adalah seorang tamu asing, tapi
pihak Watsu masih memerlukan bantuan Liong Bun-kong
untuk mencapai cita-cita, mana berani Poyang Gun-ngo
melukai keponakan Liong Bun-kong" Lekas dia tarik dan
urungkan tusukan pedangnya. Untung permainan pedangnya
sudah amat tinggi dan dikuasainya dengan baik, dalam waktu
singkat dan mendadak lagi, syukur ujung pedangnya hanya
menusuk bolong dan merobek pakaian Liong Seng-bu saja.
Gebrakan ini berlangsung sangat cepat. Setelah
membebaskan bahaya yang mengancam Kek Lam-wi, barulah
dia mendengar jawaban kedua laki-laki baju hitam atas
pertanyaannya tadi: "Kami adalah anak buah Kim-to Cecu."
Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, kedua lakilaki
itu mengenal dia, sembari menjawab pertanyaan Tan
1038 Ciok-sing mereka memburu ke arah Han Cin. "Trang" Tongkat
Toa-siu tahu-tahu kena ditahan oleh golok dan pedang lakilaki
itu, telapak tangan tergetar cekalan hampir terlepas, lekas
dia mencelat jumpalitan. Meski sebat dia mengundurkan diri,
tak urung pedang Toh So-so menggurat luka panjang di
lengan kirinya. Sementara itu In San juga sudah memburu
tiba. Senang dan kejut hati In San, serunya: "Sim-toako, Ciutoako,
kiranya kalian juga datang, sungguh menyenangkan."
Kedua laki-laki bernama Sim Lan dan Ciu Hok, mereka
adalah dua Toa-thaubak dari anak buah Kim-to Cecu yang
berkedudukan paling tinggi. Atas perintah Kim-to Cecu mereka
disuruh menyusul ke kota raja dengan tugas membujuk Wicui-
hi-kiau supaya membatalkan rencananya yang terlalu
berbahaya. Sayang sudah beberapa hari lamanya mereka tak
berhasil mengadakan kontak. Tapi ada juga orang pihak
mereka yang diselundupkan kedalam keluarga Liong, selain
memperhatikan gerak-gerik keluarga Liong. Kegaduhan yang
terjadi dalam gedung keluarga Liong dari jauh bisa terdengar,
maka mereka lantas tahu bahwa Pat-sian sudah angkat
senjata melabrak orang-orang keluarga Liong. Karena gagal
untuk membujuk terpaksa mereka melaksanakan rencana
kedua, yaitu mengumpulkan orang-orang mereka yang ada di
kota raja untuk membantu dan menyambut dari luar.
Kebakaran yang terjadi di Bing-cu-khek adalah perbuatan
mereka yang menyulut api.
Di saat rombongan orang-orang gagah mulai bergabung
dan siap menerjang keluar kepungan mendadak dari luar
terdengar suara sorak sorai yang gegap gempita. Di atas
sebuah gunungan tampak Ciok Khong-goan mengangkat
sebatang obor, dengan suara lantang dia berteriak: "Kalian
tidak usah gelisah, Gi-lim-kun sudah dikerahkan kemari untuk
membekuk kawanan rampok lekas kalian kembali ke posisi
masing-masing, sebagian lekas menolong kebakaran."
1039 Sebetulnya untuk mengerahkan pasukan Gi-lim-kun harus
minta izin dari raja, tapi Liong Bun-kong adalah sekretaris
militer, Kiu-bun-te-tok yang berkuasa lagi, kedudukannya
amat disegani, diketahui pula Duta Watsu sedang bertamu di
rumahnya, hal ini diketahui oleh komandan Gi-Iim-kun, maka
begitu dia mendengar kabar, segera dia kerahkan seribu
pasukan Gi-lim-kun mengepung rumah keluarga Liong hendak
menangkap perampok, prosedur boleh diurus belakangan,
pokoknya musuh harus diringkus dulu.
Tapi komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat adalah laki-laki yang
berpendirian teguh dan kukuh melihat api berkobar dalam
taman, dia menduga pertempuran didalam pasti acak-acakan.
Meski luas taman kembang Keluarga Liong, kalau seribu
pasukan Gi-lim-kun juga dikerahkan kedalam bukan mustahil
orang sendiri bisa saling bunuh dan terinjak-injak. Sebagai
komandan dia pandai memimpin pasukan, sebelum situasi
jelas, terpaksa dia bersikap tenang dan siap bertindak bila
perlu. Maka dia susun barisan diluar gedung keluarga Liong,
bila kawanan brandal keluar satu persatu akan dipanah mati
atau ditusuk mampus. Sudah tentu diapun menyerukan
supaya kawanan brandal meletakkan senjata, menyerah tanpa


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syarat. Ciok Khong-goan meniup terompet yang menyampaikan
perintah, serunya di atas gunungan: "Kalian dengarkan
pasukan Gi-lim-kun sudah kepung taman ini, kalian jelas
takkan bisa melarikan diri. Bok-jongling ada perintah, lekas
kalian letakkan senjata dan menyerah, jiwanya akan diampuni
dan dihukum ringan."
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun segera melompat ke atas
sebuah gunungan lain, serunya lebih lantang: "Kentutmu
busuk, kaupun dengarkan, majikan muda kalian sudah berada
di tangan kita, kalau kami tidak diberi jalan keluar, biar
kugorok dulu lehernya. Baru kita akan adu jiwa, membelek
Liong Bun-kong dan membunuh apa itu Duta Watsu segala."
1040 Lwekangnya amat tangguh suaranya disiarkan dengan ilmu
mengirim suara gelombang panjang sehingga suaranya tersiar
sampai jauh bukan saja menelan suara keributan dalam taman
demikian pula Liong Bun-kong yang buru-buru menyelamatkan
diri dari Bing-cu-khek juga mendengar suaranya.
Kebat kebit hati Liong Bun-kong, pikirnya: "Kawanan
brandal itu tidak tahu aturan berani melawan hukum, bila
nekad dan adu jiwa, perbuatan apa saja yang tidak berani
mereka lakukan, jelas aku takkan bisa tidur tenteram." Waktu
di Bing-cu-khek hampir saja dia tertusuk oleh In San rasa
kejut dan takutnya belum lenyap, maka lekas dia suruh
Lenghou Yong menyampaikan maksud hatinya. Ternyata
Lenghou Yong tampil sebagai penengah, serunya: "Persoalan
bisa dirundingkan, apa kehendak kalian, aku bisa wakilkan
kalian menyampaikan kepada Liong-tayjin."
Liok Kun-lun berkata: "Kupinjam majikan muda kalian
untuk antar kami keluar kota. Gi-lim-kun dilarang menguntit,
setiba diluar kota, kita akan bebaskan dia."
Berkerut alis Lenghou Yong, katanya: "Kalau kalian ingkar
janji, bukankah pihak kita yang dirugikan?"
"Kentutmu busuk," damprat Liok Kun-lun, "memangnya kau
kira kita ini manusia rendah budi macam kalian yang punya
pangkat?" Kuatir sang paman menolak syarat mereka, itu berarti jiwa
sendiri bakal terancam lekas Liong Seng-bu berseru:
"Lenghou-siansing, aku tahu mereka adalah orang-orang
gagah aku membenci mereka, tapi aku boleh percaya
perkataan mereka. Tolong sampaikan kepada paman,
percayalah kepada mereka."
"Aku percaya kalian pasti menepati janji, tapi urusan besar
dan sepenting ini, aku tidak berani ambil putusan sendiri.
Begini saja, kalian mengutus dua orang ikut aku berunding
langsung dengan Liong-tayjin."
1041 Liok Kun-lun undang orang banyak diajak berunding, Coh
Ceng-hun berkata: "Mungkin hanya muslihat mereka, kita
harus waspada, jangan kena tipu."
"Hal itu jelas harus dibuat pikiran. Tapi keponakan bangsat
tua berada di tangan kita, yakin dia takkan berani berbuat
senekat itu. Menurut pendapatku, dikuatirkan pihak Gi-lim-kun
campur tangan, dia minta berunding dari tiga pihak."
"Keparat ini kuringkus bersama Tan-toako," demikian
timbrung In San, "biar kami berdua yang berunding dengan
mereka. Memang kami bertujuan menuntut balas kepada
bangsat tua she Liong, kalau perundingan berjalan lancar ya
sudah, kalau gagal bersama Tan-toako kami pasti akan
melabraknya, bila perlu biar gugur bersama."
Liok Kun-lun tahu hubungan ln San dengan Liong Bunkong,
diapun sudah saksikan wibawa gabungan ilmu pedang
sepasang muda mudi ini, maka dia terima usul mereka.
Lenghou Yong bawa mereka memasuki sebuah ruangan,
tampak Liong Bun-kong bersama Milo Hoatsu sudah
menunggu didalam. Ruang ini amat besar, tapi pajangan amat
sederhana, di tengah hanya terdapat sebuah meja panjang.
Liong Bun-kong duduk di ujung meja yang satu, sementara
Milo Hoatsu dan Lenghou Yong duduk di kanan kirinya, di
belakangnya adalah pintu angin yang dipasangi alat rahasia.
Sementara Tan dan In duduk di tempat yang sudah mereka
tentukan di ujung meja yang lain. Agaknya dia takut
berhadapan dengan Tan Ciok-sing berdua maka perundingan
telah diatur sedemikian rupa, meski dilindungi dua jagoan
kosen tapi hatinya belum lega.
Berhadapan dengan musuh semasa berkobar sorot mata In
San. Beradu pandang dengan sorot matanya lekas Liong Bunkong
melengos dengan hati bercekat, dengan tawa
dipaksakan dia berkata: "Anak San, kau sudah tumbuh
setinggi ini, kau tahu selamanya aku pandang kau sebagai
1042 putriku sendiri kuharap kau tidak terlalu mencari kesulitan
padaku." Dingin suara In San: "Ayahku adalah pendekar besar yang
kenamaan di kolong langit umpama aku tidak kenal bakti,
memangnya sudi aku mengangkat bangsat sebagai ayah. Tapi
kedatanganku sekarang bukan untuk membicarakan soal
pribadi, dendam lama biarlah dikesampingkan dulu. Hm, tapi
kalau kau ingin membicarakan soal dahulu, biar kubunuh dulu
keponakanmu, baru kubuat perhitungan lama dengan kau."
Di samping takut Liong Bun-kong jadi serba runyam,
terpaksa dia alihkan pandangannya, katanya kepada Tan Cioksing:
"Baik, baik, kita hanya membicarakan urusan dinas.
Kabarnya kau adalah cucu Tan Khim-ang, usiamu semuda ini,
tapi nyalimu begitu besar."
"Liong-tayjin terlalu sungkan. Bicara soal nyali masa aku
dapat dibandingkan dengan engkau."
Liong Bun-kong melcngak, dia tidak paham apa maksud
perkataannya, tapi mendengar orang memanggil "Liongtayjin"
padanya, memuji dirinya bernyali besar pula, hatinya
agak senang dan terhibur, dalam hati dia berpikir, kiranya
pemuda ini juga kenal sopan santun.
Diluar dugaan Tan Ciok-sing melanjutkan perkataannya:
"Berintrik dengan musuh menjual negara dan bangsa, pasti
akan dicaci maki oleh jutaan manusia, betapa besar nyali
Liong-tayjin kau berani menjual negara dan bangsa, jangan
kata aku tidak berani dibandingkan, yakin di kolong langit
tiada orang yang berani menandingi Liong-tayjin."
Merah padam muka Liong Bun-kong, tapi kuatir
perundingan ini gagal, tak berani dia mengumbar amarah.
Setelah batuk-batuk kering dia berkata: "Betapa jerih payah
Lohu bekerja demi kepentingan negara, meski kujelaskan
yakin kalian tidak akan mengerti. Tapi sekarang bukan saatnya
1043 perang mulut, bagaimana tujuan dan maksud kalian, marilah
kita bicarakan bersama."
"Nanti dulu," tiba-tiba Milo Hoatsu goyang tangan, lalu
mulutnya nyerocos berbahasa Watsu bicara dengan Liong
Bun-kong. Ternyata Milo Hoatsu memberitahu kepada Liong Bun-kong
bahwa surat perdamaian itu telah terjatuh ke tangan lawan.
Kali ini Liong Bun-kong benar-benar berjingkrak kaget, sesaat
lamanya dia melongo, tak tahu bagaimana harus ambil
putusan. Lenghou Yong memberi tanda kedipan mata lalu dengan
bahasa Watsu dia bicara dengan Milo Hoatsu. In San bisa
mendengar sedikit bahasa Watsu, didengarnya mereka
membicarakan tokoh-tokoh penting dari Pat-sian serta
dikatakan bahwa surat perdamaian itu jelas sukar direbut
kembali. Seperti diketahui Wi-cui-hi-kiau telah meloloskan diri dari
gedung keluarga Liong. Kedatangan Milo Hoatsu kemari
bertujuan mencegah Liong Bun-kong menyerah kepada musuh
terpaksa tidak bisa bertindak apa-apa lagi.
"Kalian sudah habis berunding belum, aku tiada tempo
menunggu lama-lama," desak Tan Ciok-sing.
Setelah mendapat persetujuan Milo Hoatsu, Liong Bun-kong
berkata: "Baiklah, apa syaratmu coba terangkan."
Tan Ciok-sing mengulang tuntutannya serta menjelaskan
pelaksanaannya.
Liong Bun-kong mengerutkan kening, katanya: "Syarat
yang kalian ajukan itu, aku harus mohon persetujuan
komandan Gi-lim-kun yaitu Bok-tayjin," lalu dia suruh
bawahannya pergi memanggil komandan Gi-lim-kun Bok Sukiat.
1044 Sejak tadi Bok Su-kiat sudah masuk ke rumah keluarga
Liong, kini dia sedang menunggu di kamar sebelah, lekas
sekali dia sudah memasuki ruang perundingan. Sekarang dia
sudah jelas siapa saja orang-orang yang dipandang sebagai
kawanan brandal yang menyerbu ke rumah keluarga Liong ini,
diapun tahu Liong Seng-bu sudah menjadi tawanan musuh.
Kawanan brandal ini hakikatnya bukan kaum gelandangan
yang acak-acakan dan tidak terpimpin, mereka adalah
pentolan silat yang punya nama dan kedudukan di kalangan
Kangouw. Tapi berhadapan dengan Tan Ciok-sing yang masih begini
muda, dia menganggapnya sebelah mata. Begitu memasuki
ruang sidang, matanya menjelajah seluruh hadirin, dia purapura
tidak tahu siapa Tan dan In berdua, katanya: "Siapakah
Siocia ini..."
Lenghou Yong memperkenalkan: "In-lihiap ini adalah cucu
almarhum In-conggoan In Jong."
Bok Su-kiat tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kalau
demikian, bukan terhitung orang luar. Nona In, kakekmu dulu
juga pernah menjabat komandan Gi-lim-kun seperti aku
sekarang, hitung-hitung masih terhitung angkatan tuaku. Dulu
akupun sekolega dengan ayahmu."
"Sayang jalan yang ditempuh Bok-tayjin tidak sehaluan
dengan ayah, maaf aku tidak berani,"
Setelah basa-basi ala kadarnya dengan In San, Bok Su-kiat
berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya: "Pemuda gagah ini
adalah..."
Kembali Lenghou Yong menerangkan serta memberitahu
kedudukannya sekarang dalam perundingan ini, dijelaskan
pula bahwa Tan Ciok-sing adalah murid penutup pendekar
besar Thio Tan-hong.
Barulah sikap jumawa Bok Su-kiat agak berubah, katanya:
"Jadi engkoh cilik ini adalah murid Thio Tayhiap, aku kurang
1045 hormat jadinya." Sengaja dia ulur tangan ajak berjabat
tangan. Tahu orang sengaja hendak menjajal dirinya, namun Tan
Ciok-sing tidak gentar, diapun ulur tangan sambil berkata
tawar: "Tayjin terlalu mengagulkan diriku, terus terang dalam
perguruan aku baru masuk satu hari."
Begitu tangan saling genggam kontan Tan Ciok-sing
rasakan segulung tenaga lunak yang kuat menerjang Siauyang-
king-meh di tangannya, karuan hatinya bercekat.
"Keparat ini memang memiliki kepandaian yang boleh
dibanggakan, tak heran dia bisa menjabat komandan Gi-limkun.
Tapi dengan bekal ilmunya ini, jangan harap kau dapat
melukai Ki-king-pat-meh dalam tubuhku."
Saling jajak ilmu secara diam-diam ini, meski Tan Ciok-sing
merasa kaget. Bok Su-kiat ternyata lebih kaget pula. Ilmu
yang diyakinkan Bok Su-kiat adalah Jit-sat-ciang dengan
kekuatan lunak Lwekangnya dia dapat melukai urat nadi
musuh diluar tahu orang yang dilukai, bila kekuatan
dikerahkan, dahsyatnya bagai air bah yang melanda, meski
tidak bersuara dan tidak memperlihatkan tanda-tanda namun
perbawa kekuatannya kira-kira setanding dan dapat
menandingi Tay-Iik-kim-kong-ciang ajaran murni Siau-lim pay,
atau Hong-lui-pi-lik-ciang dari Bu-tong-pay.
Tak nyana begitu telapak tangan saling genggam, tenaga
lunak yang ganas dan jahat itu ternyata seperti tenggelam
kedalam lautan, sirna tanpa bekas. Sikap Tan Ciok-sing tetap
wajar dan tenang-tenang seperti tidak terjadi apa-apa, seolaholah
tidak tahu kalau tenaga lunaknya yang dahsyat itu telah
menerjang kedalam tubuhnya, meski percobaan dilakukan
berulang kali, namun betapa tinggi atau rendah lwekang Tan
Ciok-sing tetap tak berhasil dia selami. Logis kalau dia kaget
dan jeri. 1046 "Anak ini masih begini muda, baru belajar sehari di bawah
petunjuk Thio Tan-hong namun Iwekangnya ternyata sudah
mencapai taraf sehebat ini?" demikian batin Bok Su-kiat, di
samping kaget diapun keheranan, kuatir Tan Ciok-sing balas
menggempurnya, lekas dia lepaskan pegangannya, katanya
dengan mimik kikuk: "Memang tidak malu Tan-heng sebagai
murid pandai Thio Tayhiap kagum, mengagumkan."
Yang jelas bukan lwekang lebih unggul dibanding latihan
Bok Su-kiat, tapi dia gunakan gaya lengket dan tarik dari
ajaran lwekang tingkat tinggi ciptaan Thio Tan-hong,
gempuran dahsyat tenaga lunak lawan kena dilengketnya
sampai sirna tanpa bekas tapi bila serangan diteruskan
berulang kali dan temponya berkepanjangan, mungkin Tan
Ciok-sing takkan kuat memunahkannya terus menerus.
Diam-diam Tan Ciok-sing geli, "Syukur keparat ini tidak
dapat mengukur tinggi rendah bekal kepandaianku. Dengan
sikap tenang dan wajar dia berkata tawar: "Terima kasih akan
pujianmu. Nah sekarang boleh kita lanjutkan perundingan
tadi." "Bagus ingin aku mendengar dulu usul apa yang
dikemukakan Tan-siauhiap," ujar Bok Su-kiat.
"Tadi sudah kukemukakan kepada Liong-tayjin, boleh kau
tanya kepadanya."
Pertama memanggil "engkoh cilik" sekarang Bok Su-kiat
ganti panggilan "Siauhiap" walau Liong Bun-kong orang awam
yang yang tidak bisa main silat, tapi dia bisa meraba dalam
adu kekuatan barusan, jelas Bok Su-kiat di pihak yang
dirugikan. Nyalinya lebih kecil lagi bila perundingan ini gagal
jelas pihaknya akan di pihak yang dirugikan, maka dia jelaskan
tuntutan Tan Ciok-sing tadi kepada Bok Su-kiat, lalu
menambahkan: "Menurut pendapatku lebih baik damai saja,
untuk ini harap Jong-ling suka membantu."
1047 Bok Su-kiat menepekur sesaat lamanya, katanya: "Liongtayjin,
bukan aku tidak mau membantu kau, soal ini kukira
kurang leluasa."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jong-ling menghadapi kesulitan apa, boleh coba
dijelaskan."
"Terus terang, karena memandang muka Liong-tayjin,
maka aku memberanikan diri mengerahkan pasukan Gi-limkun
kemari. Itu aku telah menyalahi prosedur yang
semestinya, melanggar hukum yang berlaku. Celaka adalah
kau sebagai Sekretaris militer justru melanggar hukum yang
harus kau tegakkan, sebaliknya bagi aku baru pertama kali ini
aku melanggar kebiasaan."
Liong Bun-kong tertawa dipaksakan, katanya: "Terima
kasih akan peringatan Tayjin, tapi kalau Tayjin sudi
menyusulkan laporan, yakin Baginda Raja tidak akan
menyalahkan engkau."
"Sudah tentu, Liong-tayjin adalah pembesar kesayangan
dan kepercayaan Baginda, Baginda pasti tidak akan
menyalahkan aku untuk menolong kesulitanmu. Tapi justru
disinilah letak kesulitannya, coba pikir, kalau Baginda sudah
tahu peristiwa ini, tapi seorang penjahatpun tak berhasil
kubekuk, bagaimana aku harus memberi pertanggungan
jawab kepada Baginda?"
Sampai disini dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing, katanya
dengan unjuk tawa: "Tan-siauhiap, harap kau tidak berkecil
hati. Aku tahu kalian bukan penjahat, tapi terhadap Baginda
tidak bisa tidak aku harus bilang demikian. Entah Tan-siauhiap
tahu akan maksudnya?"
"Aku tidak mengerti," sahut Tan Ciok-sing menarik muka.
Bok Su-kiat berkata: "Bila kalian mau memberikan
beberapa orang supaya aku dapat memberi laporan ala
kadarnya urusan tentu lebih mudah dibereskan. Aku boleh
1048 memberi pertanggungan jawabku kepadamu, terhadap temantemanmu
pasti akan dijatuhkan hukuman seringan mungkin."
Tan Ciok-sing menjengek dingin: "Jadi maksudmu hendak
tukar menukar sandera?"
"Jangan kau gunakan istilah "sandera" dalam persoalan ini.
Aku memandang kalian sebagai sahabat baikku."
"Kami tidak setimpal jadi temanmu, sandera adalah
sandera, kenapa harus ditutup-tutupi."
"Baiklah, terserah kau senang mengunakan istilah apa. Lalu
bagaimana maksudmu?"
"Mau tukar menukar sandera juga boleh, akulah
sanderanya dan ikut kau, terserah kau mau bunuh atau di
penjara dua puluh tahun juga boleh. Tapi apapun kualami,
pasti akan dialami juga oleh Liong-kongcu."
Liong Bun-kong kaget, pikirnya: "Kalau menggunakan cara
itu, entah kapan keponakanku bakal pulang dengan selamat?"
Tan Ciok-sing seperti tahu jalan pikirannya katanya dingin:
"Itulah yang dinamakan barter secara adil. Jangan kau kira
harga diriku tidak sebanding dengan keponakan
kesayanganmu itu?"
Terpaksa Liong Bun-kong menyerah, katanya: "Tansiauhiap
jangan berkelakar, kita tetap ingin menyelesaikan
secara damai."
"Damai cara bagaimana?" desak Tan Ciok-sing.
"Baiklah laksanakan menurut tuntutanmu tadi."
"Lalu bagaimana aku harus memberi laporan kepada
Baginda?" "Akulah yang akan bertanggung jawab."
"Bukan aku tidak percaya kepada Liong-tayjin, tapi atas
kemauanku sendiri aku kerahkan pasukan Gi-lim-kun, tidak
1049 kecil kesalahanku, walau kau berjanji mohon keringanan
bagiku, betapapun aku masih tidak lega."
"Apa maksud Jong-ling?"
"Bicara hanya omong kosong tanpa bukti, maka aku minta
tanda bukti hitam di atas putih. Tolong kau buatkan dua carik
tanda buktinya kepadaku."
"O, kau minta dua carik tulisan di atas kertas?"
"Pertama kau harus melaporkan kepada Baginda, bahwa
kaulah yang memberi putusan melepas kawanan penjahat itu
malam ini."
"Dan yang kedua?"
"Sekarang cuaca masih gelap pintu kota belum dibuka.
Tolong dengan cap kebesaranmu sebagai Kiu-bun-te-tok,
tekenlah sebuah surat perintah supaya penjaga pintu
membuka lebar pintu kota."
Sebetulnya sebagai komandan Gi-lim-kun diapun punya hak
mengeluarkan surat perintah ini. Bahwa dia minta Liong Bunkong
yang menulis, tujuannya adalah untuk melimpahkan
tanggung jawab dan kesalahan pada orang lain. Apa boleh
buat terpaksa Liong Bun-kong setujui juga permintaannya.
Liong Bun-kong suruh anak buahnya mengaduk tinta dan
membeber kertas, pensil sudah di tangan, tapi sekian lamanya
dia masih bimbang untuk menulis. Surat perintah itu gampang
ditulis, namun surat laporan kepada Baginda itulah yang
menyulitkan posisinya, kalau dia mengakui membebaskan
kawanan penjahat, bagaimana selanjutnya dia harus
menghadapi raja" Apa pula akalnya" Sudah tentu hal ini
memerlukan pemikiran yang matang.
"Liong-tayjin," jengek Tan Ciok-sing, "kalau sekarang belum
bisa ambil putusan, baiklah kami mohon diri saja," beberapa
patah kata ini diucapkan dengan tegas dan kereng, secara
langsung memperingatkan kepada Liong Bun-kong, kalau dia
1050 masih ragu-ragu, tidak segera menulis apa yang diminta,
biarlah perundingan dianggap berakhir sampai disini.
"Baik, baik, segera akan kutulis, segera kutulis," cepat
Liong Bun-kong menjawab, di mulut mengatakan "segera"
pada hal pensil yang sudah dibubuhi tinta belum juga
dicoretkan di atas kertas.
Tiba-tiba Bok Su-kiat meniup panjang sekali kertas laporan
yang sudah siap hendak ditulis oleh Liong Bun-kong tiba-tiba
tertiup terbang, terasa oleh Tan Ciok-sing kesiur angin
menerpa ke arahnya, kertas putih itu tahu-tahu sudah
melayang ke arah mukanya.
Ternyata karena tidak berhasil menjajaki ilmu silat Tan
Ciok-sing. Bok Su-kiat masih penasaran, maka kali ini
mumpung ada kesempatan dia ingin sekedar pamer
keliehayan dirinya untuk membuat jeri lawan. Dia ada
meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, jangan kira hanya sekali
tiupan mulut, namun selembar kertas itu ternyata ditiupnya
melesat terbang sekencang pisau tajam. Umpama tak dapat
melukai Tan Ciok-sing, sedikitnya dapat membuatnya kaget.
Tapi maksud mendemonstrasikan ilmu yang diyakinkan ini
bukan melulu ingin membuat keder lawan. Tujuan yang utama
adalah hendak mengacau, mengulur waktu supaya Liong Bunkong
punya banyak kesempatan menunda kekalahannya.
Tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa lawan justru
memiliki kepandaian yang lebih mengejutkan lagi. Di kala
kertas itu tertiup terbang lurus ke arah Tan Ciok-sing,
sekonyong-konyong tampak sinar kemilau berkelebat sekali,
kertas itu tahu-tahu terbagi jadi tiga, tiga jadi enam dan enam
jadi dua belas, dua belas kertas persegi kecil-kecil yang
melayang jatuh berjajar di atas meja.
Dalam waktu sekejap itu ternyata Tan Ciok-sing dan In San
telah mengayun sepasang pedang mereka, melancarkan
sejuru ilmu pedang tunggal yang tiada taranya, sejurus tiga
1051 gerakan. Demonstrasi yang menakjubkan dari suatu ilmu
pedang puncak tinggi betul-betul menciutkan nyali komandan
Gi-lim-kun Bok Su-kiat, wajahnya berubah pucat lalu
menghijau akhirnya semu merah saking malu.
Maklum dengan kecepatan gerak pedang untuk membabat
suatu, benda keras bukan suatu yang sulit, selembar kertas
tipis yang enteng sedang melayang lagi, didalam sekejap
waktu itu harus memapasnya menjadi dua belas persegi yang
berbentuk sama adalah karya yang tidak mudah dilakukan.
Bukan saja dalam ilmu pedang harus memiliki kemahiran yang
luar biasa gerak tangannyapun harus mantap dan dilandasi
kekuatan yang terkendali secara pas, dan yang digunakan
harus pedang pusaka yang tajamnya luar biasa.
Milo Hoatsu dan Lenghou Yong pernah merasakan sendiri
betapa hebatnya Siang-kiam-hap-pik Tan dan In berdua, maka
mereka tidak begitu heran dan takjub, tapi Bok Su-kiat baru
pertama kali ini menyaksikan ilmu pedang yang begini aneh
dan mendekati magic, mau tidak mau hatinya amat terkejut.
"Bagaimana lwekang bocah ini aku belum tahu, tapi bila dia
bergabung dengan budak ayu ini melawanku, jelas aku bukan
lawannya," Bok Su-kiat bukan saja tidak berhasil menggertak
dan membuat malu orang, malah dia sendiri yang dibuat malu
dan jeri pula. Gerak pedang Tan Ciok-sing memang melebihi sinar kilat
berkelebat, bila Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melompat
maju mengadang di depan Liong Bun-kong, sinar pedangpun
sudah berkelebat dan pedang sudah kembali kedalam
sarungnya. "Liong-tayjin, agaknya kau tidak mau menggunakan alat
tulismu, baiklah, agaknya persoalan hari ini harus diselesaikan
dengan senjata," demikian ancam Tan Ciok-sing.
Pucat pias saking takut dan kaget Liong Bun-kong, diamdiam
dia membatin: "Bila pedangnya tadi menusuk ke arahku,
meski Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melindungiku dari
1052 samping, jiwaku juga belum tentu bisa selamat." Dalam
keadaan seperti ini, mana dia berani beragu lagi, lekas dia
gerakkan alat tulisnya. Saking gugup dia tidak pikirkan lagi
merangkai kata-kata yang indah untuk menutupi kesalahan
sendiri, akhirnya surat laporan dan surat perintah itupun telah
ditulisnya rampung.
Bok Su-kiat juga tidak merintangi, seterima surat itu,
langsung dia keluar menyampaikan perintahnya kepada
pasukan Gi-lim-kun.
Memegang surat perintah membuka pintu, Tan Ciok-sing
berkata: "Liong-tayjin, mohon kau suka suruh orang
menyiapkan belasan ekor kuda," putusan sudah jadi,
persoalan kecil inipun sudah tidak jadi pikiran lagi bagi Liong
Bun-kong, segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan
apa yang diminta.
Sukses dengan tugas beratnya Tan Ciok-sing kembali ke
tempat semula memberi laporan kepada Kaypang Pangcu
beserta Thong Jian-hong dan lain-lain. Cepat merekapun
berembuk dan memutuskan untuk memberi prioritas bagi
kawan-kawan yang terluka supaya diangkut dengan kereta
dan kuda, rombongan terakhir menggusur Liong Seng-bu
keluar kota. Ternyata pasukan Gi-lim-kun memenuhi janji, sepanjang
jalan mereka tidak merintangi dan mengikuti. Dengan surat
perintah Liong Bun-kong sudah tentu dengan leluasa mereka
membuka pintu kota terus keluar kota. Lenghou Yong
mengikuti tak jauh di belakang, sesuai perlanjian, dia diizinkan
ikut untuk membawa pulang majikan mudanya.
Lenghou Yong berhenti diluar pintu kota, katanya:
'Sekarang boleh kalian bebaskan Liong-kongcu bukan?"
"Kenapa gugup, janji pasti kita tepati," jengek Tan Cioksing.
Lalu dia jinjing Liong Seng-bu dan diturunkan ke tanah,
katanya pula: "kau juga yang beruntung, bila masih kau main
1053 kayu dan juga berusaha mencelakai orang-orang kita, bila
terjatuh ke tanganku lagi, awas jiwa anjingmu."
Rombongan besar kaum pendekar telah keluar kota dengan
selamat, sepanjang jalan mereka berbincang-bincang tentang
pengalaman tadi semua sama mengelus dada lega dan
bersyukur bahwa Thian memang maha adil dan memberi jalan
hidup bagi mereka.
Rumah Coh Ceng-hun berada diluar kota, pada suatu desa
yang terletak di bawah Say-san yang jauh dari keramaian.
Markas besar Kaypang cabang Pakkhia kebetulan juga ada di
Say-san. Setelah semua orang keluar pintu, mereka
sebelumnya sudah berunding, para korban akan dirawat dan
diurus oleh murid-murid Kaypang di markas besar mereka.
Sementara teman-teman Kim-to Cecu kecuali Sim Lan dan Ciu
Hok merekapun menetap di markas Kaypang. Malah Kaypang
Pangcu Liok Kun-lun dan orang-orang gagah lainnya tinggal di
rumah Coh Ceng-hun.
Dalam gerakan besar dan berhasil kali ini yang gugur dari
tokoh-tokoh penting mereka hanya To It-kiau seorang,
sementara Loh Im-hu terluka parah, Sia-cin Hwesio dan Toan
Kiam-ping sudah sedikit pulih kesehatannya, sementara tidak
sedikit murid Kaypang dan kawan-kawan seperjuangan
undangan Sim dan Ciu yang terluka ringan. Setelah
kemenangan tercapai, perasaan semua orangpun tertekan,
namun betapapun hati mereka terhibur juga karena surat
perdamaian itu berhasil direbutnya pula, tapi bagaimana harus
memanfaatkan surat perdamaian ini, mereka masih harus
berunding dengan seksama. Sudah tentu tugas utama yang
sekarang harus mereka laksanakan adalah merawat dan
mengobati para korban.
Tari Ciok-sing, In San dan Han Cin berada di kamar sakit
Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping sudah tidur napasnya enteng
teratur meski masih agak lemah. Han Cin pasang kuping
mendengarkan denyut jantungnya, hatinya amat risau dan
1054 kuatir, meski sekuatnya dia menahan air mata tak urung
matanya sudah merah berkaca-kaca.
Waktu Tan dan In membujuk dan menghiburnya, Ti Nio
beranjak masuk, katanya: "Toan-kongcu meyakinkan lwekang
murni yang punya dasar kuat, sementara jiwanya tidak perlu
dibuat kuatir. Biarlah dia tidur secukupnya. Nona Han, marilah
kau keluar ikut aku ada yang ingin kubicarakan dengan kau."
Han Cin sudah tahu bahwa Ti Nio adalah sahabat lama
ayahnya yang paling karib, memang banyak tanda tanya yang
mengganjel sanubarinya selama ini, dia harap Ti Nio bisa
membuka tabir jawabannya.
Tapi hatinya kini masih menguatirkan keadaan sang
pujaan, meski Toan Kiam-ping sudah tidur nyenyak, dan dia
harus pergi meninggalkannya dalam waktu singkat. Siapa tahu
bisa penyakitnya mendadak memburuk, umpama mendadak
dia siuman, tapi dirinya tiada di sampingnya, bukankah akan
menjadi kekecewaannya"
In San seperti tahu perasaannya, katanya lembut: "Hancici,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

legakan hatimu. Kalau dia bangun, aku bisa bantu kau
merawat dan menjaganya."
Han Cin masih ragu-ragu, mendadak Ti Nio julurkan jari
tengah tangan kiri terus menutuk enteng di Tan-dian-hiat
Toan Kiam-ping. Sudah tentu Han Cin tahu bahwa Ti Nio tidak
bakal mencelakai Toan Kiam-ping, tapi perbuatan Ti Nio yang
mendadak dan tak terduga ini, mau tidak mau membuatnya
kaget juga. Ti Nio tertawa, katanya: "Aku menutuk Tan-dian-hiatnya,
tapi ilmu tutuk tunggal perguruanku ini berbeda dengan ilmu
tutuk umumnya. Ilmu tutukku ini kecuali dapat bantu
mengumpulkan hawa murni, sekaligus membuatnya tidur
pulas sehingga semangat dan tenaganya lekas pulih. Jelas
akan membawa manfaat bukan merugikan," maka legalah hati
Han Cin, dia keluar mengikuti ajakan Ti Nio.
1055 Setelah mereka pergi In San berkata kepada Tan Ciok-sing
sambil tersenyum. "Apa kau tidak menaruh perhatian sikap Tilocianpwe
kepada Han-cici?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya: "Bagaimana
menurut pendapatmu?"
"Kulihat sikap Ti-locianpwe terlalu baik kepada Han-cici."
"Kukira jamak kalau Ti-locianpwe menaruh kasihan dan
sayang terhadap putri teman baiknya, kenapa harus dibuat
heran?" "Tidak, kulihat sikap dan mimik serta tutur kata Tilocianpwe
sedemikian rupa baiknya, tidak mirip perasaan kasih
sayang dan memperhatikan keponakan."
"Lalu perasaan macam apa menurut pendapatmu?"
"Menurut hematku dia seperti mengganggap Han-cici
seperti anak kandungnya sendiri," sedang mereka berbincang,
seorang tua datang dan berkata: "Tan-siangkong, In-siocia.
Liok-pangcu mengundang kalian untuk berunding."
Tan Ciok-sing tahu Toan Kiam-ping baru akan sadar setelah
tidur nyenyak selama beberapa jam lagi, maka tanpa kuatir
sedikitpun dia tinggalkan kamar tidur ini. Bila mereka
memasuki suatu kamar rahasia, tampak beberapa orang telah
menanti kedatangannya. Mereka adalah Liok-pangcu, salah
satu Wi-cui-hi-kiau Lim lh-su, kedua orang utusan Kim-to
Cecu, Sim Lan dan Ciu Hok, demikian pula Coh Ceng-hun
sebagai tuan rumah.
Kecuali tuan rumah, beberapa orang itu mewakili tiga
pihak, mereka adalah orang-orang penting yang berkompeten
dalam persoalan rahasia yang akan mereka rundingkan.
Melihat kehadiran orang-orang penting ini Ciok-sing lantas
tahu yang bakal dibicarakan tentu urusan besar.
Betul juga begitu buka mulut Liok Kun-lun lantas berkata:
"Tan-siauhiap, nona In, semalam telah bikin kalian capai, tapi
1056 aku tetap tidak akan memberi kesempatan untuk kalian
istirahat karena urusan besar masih perlu kita rundingkan
dengan kalian."
"Liok-pangcu terlalu mengagulkan diriku. Entah urusan
besar apa yang akan dibicarakan?" tanya Ciok-sing.
"Surat perdamaian itu sudah berada di tangan kita, yang
harus kita rundingkan adalah cara bagaimana kita
memanfaatkan surat perdamaian itu?" kata Liok Kun-lun.
"Urusan memang genting. Wanpwe belum sempat
memikirkan jalan keluarnya, maka tak berani aku sembarang
mengajukan usul," demikian ucap Tan Ciok-sing.
"Kalau demikian silahkan Lim Tayhiap utarakan maksud
hatinya?" pinta Liok Kun-lun.
Lim Ih-su berkata: "Liong Bun-kong keparat itu berintrik
dengan bangsa asing hendak menjual negara dan bangsa,
dosanya tidak terampunkan, surat perdamaian hasil tulisan
tangannya ini merupakan bukti yang mematikan. Mumpung
kita memperoleh kesempatan, marilah kita beber dosanya di
hadapan umum, sekaligus kita serukan kepada khalayak ramai
untuk angkat senjata dan membangkitkan semangat juang
mereka untuk melawan penjajah."
Ciu Hok bicara: "Gerakan seperti itu memang cukup
menyenangkan, tapi masih harus diselidiki siapa sebetulnya
biang keladinya, mungkin bukan bangsat tua she Liong."
Lim Ih-su sadar, katanya: "Maksudmu, biang keladinya
adalah Baginda Raja sendiri."
"Betul," ujar Ciu Hok, "jikalau tanpa memperoleh
persetujuan Baginda Raja yang berkuasa memangnya
pembesar anjing itu berani terang-terangan mengundang Data
Watsu mengadakan perundingan damai serta menginap di
rumahnya pula. Coba pikir pasukan Gi-lim-kun pun telah
dikerahkan, seluruh pembesar sipil maupun militer kerajaan
1057 memang siapa lagi yang tidak tahu bahwa bangsat tua she
Liong telah melayani Duta-duta Watsu itu di penginapan di
rumahnya."
"Kalau demikian sekalian kita berontak saja kepada Baginda
Raja," demikian usul Lim Ih-su, "pihak kerajaan memang
sudah anggap Kim-to Cecu kalian sebagai pemberontak,
kenapa kalian masih ragu-ragu untuk angkat senjata
menumpasnya?"
"Bukan kita takut memberontak," sela Sim Lan, "tapi yang
penting kita harus dapat menguasai situasi, bila
pemberontakan lebih banyak membawa sengsara bagi rakyat
jelata, lebih baik kita tunda saja gerakan besar ini."
Liok Kun-lun manggut-manggut, katanya: "Betul, urusan
harus dibedakan yang penting dan yang ringan. Bicara soal
situasi yang sekarang kita hadapi, musuh kita yang utama
adalah penguasa yang berkuasa sekarang di Watsu, jadi
bukan Baginda Raja dynasti Bing yang berkuasa di kerajaan
kita." "Lalu bagaimana menurut pendapat Sim-thauling?" tanya
Lim lh-su. "Ini bukan maksudku seorang, tapi aku membawa suara
Kim-to Cecu dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Yang
penting adalah kita harus berusaha supaya pasukan negeri
tidak menggempur kita, justru sebaliknya kita harus berusaha
supaya pasukan kerajaan bergabung dengan laskar rakyat kita
menghadapi serbuan musuh. Kalau kita harus memberontak
juga melawan serbuan Watsu, itu berarti melemahkan
kekuatan kita sendiri, pihak Watsulah yang akan memungut
keuntungan," demikian Sim Lan memberikan uraiannya.
Lim Ih-su geleng-geleng katanya: "Pandangan bagus, tapi
seperti yang tadi kau katakan bahwa Baginda Raja mungkin
adalah biang keladi dari semua kejadian ini, lalu apakah dia
1058 mau bergabung dengan kita melawan penjajah" Bukankah ini
suatu pemikiran yang terlalu muluk?"
Ciu Hok berkata: "Baginda Raja jelas tidak akan mau, oleh
karena itulah kita justeru harus memanfaatkan kesempatan
ini, memaksanya sehingga dia mau bergabung dengan kita."
"Kalau Baginda Raja boleh tunduk dan mau dengar
perkataan setiap orang, dia tidak akan jadi Raja. Justru
sebaliknya rakyat harus tunduk akan perintahnya, lalu dengan
cara apa kau dapat membuatnya tunduk akan omonganmu?"
demikian debat Lim Ih-su.
Sim Lan berkata: "Kukira meski Baginda adalah biang
keladinya, kukira rahasia ini pantang diketahui oleh siapapun,
betul tidak?"
"Betul," seru Liok Kun-lun, "sebagai pihak yang berkuasa
raja boleh melakukan perbuatan apa saja, tapi perbuatan hina
dina seperti takluk dan mohon damai dengan bangsa asing,
jelas akan dia rahasiakan, karena dia pikirkan juga gerakan
rakyat yang tidak kecil artinya. Kalau tidak perlu dia suruh
Liong Bun-kong wakili dia melaksanakan kehendaknya itu
secara rahasia."
Lim Ih-su tertawa dingin, katanya: "Yang benar hal itupun
hanya sekedar menutupi tabir belaka. Sudah setengah bulan
Duta rahasia bangsa Watsu itu berada di kota raja, pembesar
sipil maupun militer kerajaan siapa yang tidak tahu?"
"Itu persoalan lain," bantah Liok Kun-lun, "meski pembesar
sipil maupun militer sama tahu, paling mereka hanya berani
kasak-kusuk saja, siapa berani bicara secara blak-blakan di
depan umum" Baginda Raja duduk tinggi di atas singgasana,
asal kasak-kusuk para pembesar itu tidak masuk kupingnya,
dia boleh tidak usah ambil pusing dan anggap tidak tahu."
"Kalau demikian lalu bagaimana?" desak Lim Ih-su.
1059 "Kalau Baginda tidak ingin orang lain tahu, maka kita harus
cari upaya supaya Baginda tahu bahwa kita telah tahu,"
timbrung Coh Ceng-hun.
"Dengan cara apa?" Lim Ih-su bertanya pula.
"Aku punya seorang paman, kini menjabat pembantu
pencatat sejarah di istana, orangnya jujur dan dapat
dipercaya, selama hidupnya cinta bangsa dan negara,
biasanya teramat tinggi memandang dirinya sebagai pembesar
setia. Biar aku mencarinya dan memperlihatkan surat damai
ini kepadanya, mohon pula bantuannya supaya berusaha
mengadukan Liong Bun-kong. Supaya dirinya tidak terlibat,
yakin Baginda pasti mengorbankan pembesar dorna ini.
Bagaimana menurut pendapat kalian akan akalku ini?"
Perlu diketahui Coh Ceng-hun adalah keturunan pembesar
tinggi sejak beberapa generasi, sampai sekarang beberapa
pamannya masih juga punya jabatan penting dalam
pemerintahan. Sim Lan berpikir sebentar, lalu katanya: "Cara itu memang
baik, tapi terdapat suatu lobang kelemahan yang amat fatal."
"Kelemahan bagaimana?" tanya Coh Ceng-hun.
"Kalau Liong Bun-kong balas bertanya, dari mana kau
memperoleh surat perdamaian ini" Bagaimana dia harus
menjawab" Aku kuatir usaha kita bukan saja tidak akan
berhasil, celaka adalah pamanmu dan keluarganya akan
ketimpa bencana dengan tuduhan sekongkol dengan
pemberontak. Coba pikir sebagai pembesar tinggi yang
terkenal setia pada negara, mana dia mau memikul dosa
seberat itu" Dan lagi Liong Bunkong bisa memungkiri tuduhan
itu, berbalik dia putar persoalan memfitnahnya mau berontak,
atau menyiarkan berita bohong serta mencari gara-gara
selalu." 1060 Coh Ceng-hun geleng-geleng, katanya gegetun: "Akal ini
kurang sempurna, usul itu tidak diterima, ada cara baik apa
pula yang harus kita rundingkan?"
Sim Lan berkata: "Coh-heng jangan patah semangat,
usulmu itu memang amat bagus, cuma orangnya yang
melaksanakan harus diganti orang lain."
"Diganti siapa?" tanya Coh Ceng-hun.
"Kukira tidak perlu memakai prosedur kerajaan, ganti saja
salah satu di antara kita sendiri," Sim Lan berusul.
Lim Ih-su kaget, selanya: "Orang kita serdiri yang
melaksanakan, apakah mungkin?"
Tegas suara Sim Lan: "Asal dapat berhadapan dengan
Raja, maka Raja harus tunduk dan dengar keinginan kita."
"Kenapa?" Lim Ih-su masih bingung.
"Cara kita yaitu menggunakan caranya sendiri untuk
membalasnya," Sim Lan berkata.
"Aku masih tidak paham, tolong kau jelaskan lebih
terperinci," pinta Lim Ih-su.
"Raja menguasai para pembesar bawahannya, bukaukah
cara ini dapat kita gunakan untuk mengancam dan
membujuknya?" Sim Lan menjelaskan.
"O, jadi dengan mengancam dan membujuknya sekaligus
menekan sang raja?" seru Lim lh-su, seolah-olah dia anggap
cara ini terlalu muluk.
Sim Lan seperti tahu jalan pikirannya, katanya kalem: "Ini
bukan akal yang muluk atau berkelebihan. Bagi seorang Raja
apa yang paling penting kecuali dapat menduduki
singgasananya dengan anteng dan abadi, mempertahankan
kedudukan rajanya. Tujuannya minta damai kepada Watsu
bukan lain juga supaya dia dapat mempertahankan
maksudnya ini, coba katakan betul tidak?"
1061 Tanpa merasa Lim Ih-su mengangguk sambil mengiakan.
Sim Lan bicara lebih lanjut: "Kita bisa mengultimatum
kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan kita
melawan serbuan penjajah, akan kita umumkan tentang surat
perdamaian itu ke seluruh negeri, biar rakyat banyak tahu,
bahwa Baginda Raja ingin menyerah dan minta damai, maka
jangan harapkan kerajaan dapat melindungi kehidupan
mereka. Di samping itu kitapun harus bangkitkan semangat
kepahlahwanan bangsa kita untuk menggempur musuh
supaya rakyat tidak tertindas dan menderita karena
peperangan."
Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Cara ini memang dapat
membuat kaget Baginda, memangnya dia sudah jeri pada
Kim-to Cecu kalian, bila kita betul-betul bertindak seperti
akalmu itu, Kim-to Cecu akan mendapat junjungan rakyat
serta mendukungnya, bila pasukan besar telah angkat senjata
memangnya kedudukannya masih bisa tenang?"
Sim Lan berkata lagi: "Bila dia setuju bergabung dengan
kita melawan serbuan musuh kita harus berjanji untuk
mendukung dia jadi Raja abadi, kita bina bersama kedamaian
tanah air kita nan jaya. Tentang permohonan damainya
kepada pihak Watsu harus tetap kita rahasiakan. Setelah
mempertimbangkan untung ruginya, adalah logis bila dia
dapat kita kuasai, kemana dia harus menentukan arah yakin
dia memilih sendiri."
Lim Ih-su masih merengkel, katanya: "Tapi cara itu pun
merupakan paksaan, bukan mustahil dia bisa ingkar."
Sim Lan berkata tandas: "Asal pasukan kerajaan tidak
berani kerja sama dengan Watsu untuk menggempur kita, itu
sudah merupakan peluang baik untuk kita menahan serbuan
penjajah. Yang terang ancaman agresi musuh sudah di
ambang pintu, tentara kerajaan juga berasal dari rakyat jelata,
sembilan di antara sepuluh tentu senang melawan agresi
1062 musuh. Umpama sang Raja ingkar janji juga kita tidak perlu
kuatir lagi."
Akhirnya hadirin menyetujui cara ini, lalu mereka
merundingkan siapa calon yang diutus untuk menunaikan
tugas penting dan rahasia ini.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lim Ih-su berkata: "Orang ini harus punya pengetahuan
luas keberanian yang luar biasa pula. Dia harus memiliki
ginkang yang tinggi, Kungfu yang hebat juga, kalau tidak
bagaimana mungkin dia menyelundup ke istana raja"
Dikuatirkan sebelum bertemu dengan Baginda, jejaknya sudah
konangan oleh kawanan wisu istana."
Di antara hadirin yang datang, terhitung lwekang Liok Kunlun
paling tangguh, Lim Ih-su paling tinggi ginkangnya. Tapi
mereka adalah tokoh-tokoh penting sebagai pimpinan lagi bagi
rombongan masing-masing dan harus pegang kuasa dan
situasi. Pertempuran semalam Lim Ih-su menderita luka dalam
yang cukup berat, hawa murninya sudah jauh berkurang,
untuk memulihkan kesehatannya sedikitnya memerlukan
waktu sepuluh hari, baru ginkangnyapun akan pulih seperti
sedia kala. Akhitnya Tan Ciok-sing mengajukan dirinya, katanya: "Bila
hadirin tidak anggap usiaku terlalu muda dan cetek
pengalaman, berkepandaian rendah lagi, dengan senang hati
aku rela memikul tugas berat ini."
"Tan-siauhiap terlalu sungkan," ucap Liok Kun-lun, "Menilai
bakat dan ilmu silatmu, kau memang calon tunggal yang tiada
bandingannya, tapi kau hanya seorang diri..."
Belum habis dia bicara In San sudah cepat menyela: "Liokpangcu,
mohon persetujuan kau orang tua supaya aku pergi
bersama Tan-toako."
Kepandaian gabungan sepasang pedang mereka hadirin
sudah menyaksikan, ginkang In San juga cukup tinggi, bila
kedua orang ini menunaikan tugas itu umpama usahanya
1063 gagal, untuk meloloskan diri yakin tidak menjadi soal. Maka
Liok Kun-lun orang pertama yang menyatakan
persetujuannya, Lim Ih-su masih bimbang, dia kuatir In San
seorang gadis mungkin kurang setimpal menjalankan tugas
ini. In San berkata lebih lanjut: "Bila aku bertemu dengan sang
raja, sekaligus ada keuntungannya, bila aku menyebut nama
Kakek, yakin sang Raja masih mengingatnya," seperti
diketahui kakek In San yaitu In Jong dahulu pernah merebut
Bu-conggoan di kala Bing-ing-cong masih berkuasa, sebagai
komandan Gi-lim-kun, beliau pernah mendirikan jasa dan
pahala besar untuk negara dan bangsa. Raja yang berkuasa
sekarang Cu Kian-sin adalah putra sulung Bi-ing-cong, di
waktu dia masih pangeran, pernah dia bermain-main ke
rumah keluarga In, jadi hubungannya dengan sang kakek dan
ayahnya amat akrab.
"Betul," ujar Liok Kun-lun, "bila kau bertemu dengan raja
boleh kau singgung nama kakek dan ayahmu, bukan mustahil
dia lebih percaya dan mau menerima keteranganmu," maka
hadirin sepakat mencalonkan Tan Ciok-sing dan In San berdua
untuk menunaikan tugas.
In San berkata: "Menyerempet bahaya aku tidak takut, tapi
ada satu kesulitan yang perlu dibereskan."
"Kesulitan apa?" Tanya Lim ih-su
"Dulu aku pernah tinggal di rumah keluarga Liong, tapi
hampir tidak berhasil aku menemukan tempat
persembunyiannya. Istana raja jauh lebih besar dan ruwet dari
gedung bangsat tua itu, aku belum pernah masuk istana,
kalau hanya mengadu nasib melulu, mungkin takkan bisa
kebetulan."
Liok Kun-lun memeras otak, katanya kemudian: "Soal ini
boleh serahkan padaku. Murid Kaypang ada yang di taman, di
istana dan kenal baik dengan para thaykam, dengan sogokan
1064 uang yang cukup banyak jumlahnya, yakin thaykam itu dapat
diminta bantuannya untuk menggambar sebuah peta tentang
seluk beluk istana. Sudah tentu juga masih memerlukan nasib
mujur, tapi cara ini kukira lebih baik ditempuh dari pada main
untung-untungan."
Setelah segala sesuatunya dirundingkan dan diputuskan
secara aklamasi, karena memikirkan kesehatan Toan Kiamping,
Tan Ciok-sing bersama ln San mohon diri pulang ke
kamar Toan Kiam-ping masih tidur nyenyak, Ti Nio dan Han Cin
juga belum kembali.
000OOO000 Ti Nio ajak Han Cin ke hutan cemara di belakang rumah,
sepanjang jalan saling membisu, seakan ada urusan yang
mengganjel hati dan mengganggu pikiran.
Diam-diam Han Cin mulai curiga. "Apakah yang hendak dia
bicarakan dengan aku" Kenapa tidak bicara didalam rumah
saja?" Setiba didalam hutan yang agak jauh dan sunyi baru Ti Nio
menghentikan langkah, tapi dia tetap membungkam sekian
lamanya. Lama dia mengawasi Han Cin, sikapnya amat aneh
dan ganjil, seperti amat senang, tapi juga amat sedih.
Dengan rasa was-was akhirnya Han Cin memberanikan diri
bertanya: "Ti-locianpwe, kenapakah kau?"
Sebelum buka suara Ti Nio menghela napas dulu, katanya
kemudian, "Wajahmu mirip ibumu."
"Apa iya" Ayah juga bilang demikian."
Ti Nio melenggong, katanya: "Apa mirip wajahmu dengan
ibumu, masa kau tidak tahu, sampai ayahmu yang harus
memberitahu kepadamu?"
"Waktu ibu meninggal, aku belum genap satu tahun."
1065 Tak tertahan bercucuran air mata Ti Nio, katanya: "Ibumu
meninggal di waktu mengungsi?"
"Ya, waktu itu kami belum memperoleh tempat berteduh
yang tetap."
Sungguh tak terperikan sedih Ti Nio, lama sekali baru dia
menahan air matanya, katanya pula: "Semua itu adalah
karena dosaku aku tidak mampu membantu kesulitan ayah
bundamu. Ai, Ibumu memang amat menderita."
Sudah tentu Han Cin pun amat sedih, tapi rasa curiganya
lebih besar. Pikirnya karena perang sehingga ayah bunda harus
mengungsi dan mengalami siksa derita selama di rantau,
kematian ibu memang termasuk suatu kecelakaan, namun itu
jamak dan sering terjadi dalam keadaan huru hara yang tidak
aman, mana bisa menyalahkan seseorang. Walaupun Ti Nio
wajib membantu dan melindungi sahabat baiknya, tapi seperti
apa yang dia katakan masing-masing pihak menuju ke arah
jalannya sendiri, suami istripun bukan mustahil mengalami
kejadian seperti itu, apa lagi hanya sahabat" Umpama dia
tidak sempat dan tidak mampu membantu temannya, tidak
perlu dia begitu sedih seperti menyesali kesalahan sendiri.
"Ti-pepek, kemarin aku ada titip karya peninggalan ayah
kepada pesuruh keluarga Coh, entah kau orang tua sudah
menerimanya?" demikian tanya Han Cin.
Ti Nio menyeka air mata, katanya: "Banyak terima kasih
akan kesudian ayahmu mewariskan karya peninggalannya
kepadaku, hatipun bisa tentram kini. Kau tidak tahu, selama
bertahun-tahun ini, aku paling kuatir bahwa ayahmu tidak sudi
memaafkan aku. Sekarang legalah aku, agaknya ayahmu
sudah mau memaafkan diriku."
Han Cin berkata: "Ti-pepek, dalam hal apa ayah harus
memaafkan engkau" Selama ini aku berprasangka, justru
kaulah yang harus memaafkan ayahku."
1066 "Oh, apa yang dikatakan ayahmu?"
"Dia bilang pernah melakukan suatu kesalahan terhadap
seorang teman baiknya, tapi dia tidak perlu menyesal," sulit
Han Cin menelaah perkataan ayahnya ini, pada hal sifat
ayahnya lurus dan jujur, kenapa setelah melakukan kesalahan
sedikitpun tidak menyesal" Tatapan matanya mengandung
tanda tanya, dia harap Ti Nio bisa memberikan jawabannya.
Ti Nio menghela napas panjang, katanya: "Yang betul
akulah yang salah terhadap ayahmu, akulah yang harus
menyesal."
"Ti-pepek, sebetulnya apakah yang pernah terjadi, boleh
kau menceritakan kepadaku?"
Ti Nio tidak segera menjawab, dengan suara lirih mulutnya
menggumam seperti senandung syair yang memilukan.
Suaranya serak dan tersendat bagai kelu lidahnya,
senandungnyapun tidak dilanjutkan. Han Cin tahu syair yang
disenandungkan Ti Nio adalah ciptaan ayahnya, mendengar
berapa sedih dan pilu suara senandungnya, Han Cin sendiri
tak tertahanpun mencucurkan air mata. Bukan saja hatinya
ikut sedih, makna syair itupun membuatnya tidak habis
mengerti. Ti Nio juga tidak melanjutkan senandungnya setelah
menarik napas panjang dia berkata: "Dulu waktu aku bersama
ayahmu, dia belajar meniup seruling kepadaku, aku belajar
membuat syair kepadanya. Setiap syair yang habis kubuat
pasti kuserahkan kepadanya untuk dikoreksi. Tapi hanya syair
inilah yang kubuat untuk diriku sendiri, belum pernah
kuperlihatkan kepadanya, sekarang biar kudeklamasikan untuk
kau." Hambar rasa Han Cin mendengar syair ciptaan Ti Nio,
setelah Ti Nio habis mendeklamasikan karyanya sendiri. Han
Cin lantas bertanya: "Ti-pepek, maaf akan kelancanganku,
bukankah makna syairmu ini seperti mengenang seorang
1067 gadis pujaanmu" Apakah gadis itu sekarang sudah
meninggal?"
"Betul, dia sudah meninggal. Tapi setelah beberapa tahun
kemudian baru kuketahui."
Bergetar hati Han Cin, katanya: "Waktu kau menulis syair
ini apakah ayah masih berada bersamamu?"
"Waktu itu kita memang sudah berpisah, tapi dia belum
mengungsi, kalau mau aku masih bisa mencarinya."
"Kenapa kau tidak mencarinya?"
"Karena aku ragu dia tidak mau menemui aku, setelah aku
membuat syairku ini sebetulnya ingin aku menyerahkan
kepadanya, tapi akhirnya aku membatalkan niatku, biarlah
untuk kenangan saja."
"Kenapa?" tanya Han Cin.
"Apakah ayahmu sayang kepadamu?" tanya Ti Nio tiba-tiba
tanpa menjawab pertanyaan Han Cin, hal ini kembali diluar
dugaan Han Cin.
Setelah melenggong Han Cin berkata: "Ti-pepek,
pertanyaanmu agak aneh, ayahku sudah tentu sayang
kepadaku, teramat sayang sekali. Setelah ibu wafat kami ayah
beranak terus hidup berdampingan. Bila ada makanan enak
pasti dia berikan dulu kepadaku, kalau membeli kain pasti aku
dibikinkan pakaian baru. Kami memang miskin, tapi hidup
sederhana dan bahagia."
"Ya, tidak pantas aku tanya hal ini kepadamu. Ayahmu
memang orang baik, orang paling baik di dunia ini, hal ini
sudah lama kutahu. Kenapa aku curiga bahwa dia tidak
menyayangi kau?"
Kalau dia tidak curiga adalah Han Cin semakin tebal rasa
curiganya. CWiga kenapa dia mempunyai jalan pikiran yang
tidak pantas mencurigai sesuatu yang dicurigai"
1068 "Aku tidak tahu apakah pantas aku memberitahu
kepadamu, tapi kini setelah kupikir kalau ayahmu tidak
memberitahu kepada kau, lebih baik kalau kau tidak tahu
saja." "Tidak, ayah sebetulnya ingin memberitahu kepadaku
sebelum ajalnya. Sayang waktu sudah amat mendesak dan
tidak sempat lagi, dia hanya bisa bilang sepatah kata."
"Apa yang dikatakan?"
"Beliau bilang: 'Ada sesuatu rahasia perlu kuberitahu
kepadamu,' sikapnya seperti bertekad hendak memberitahu
hal itu kepadaku, tapi setelah maksudnya diutarakan, dia jadi
seperti bimbang dan ragu-ragu, akhirnya hanya itu saja yang
dikatakan lantas putus napasnya. Rahasia yang sudah dia
janjikan hendak diberitahukan kepadaku tetap tidak jadi
dikatakan. Ti-pepek, kau harus memberitahu aku kalau tidak
hidupku ini selamanya tidak akan bisa tentram."
"Selama hidupku takkan bisa tentram". kata-kata ini
seberat bandulan yang menindih sanubari Ti Nio, sekujur
badan seperti gemetar dan keringat dinginpun gemerobios.
Sebetulnya dia tidak ingin membeber duduk persoalan yang
sebenarnya, tapi apakah dia tega membiarkan Han Cin hidup
tertekan lahir batin"
Lama mereka berhadapan saling pandang, akhirnya Ti Nio
seperti berhasil menyingkirkan benda berat yang menindih
sanubarinya, dengan lekat dia pandang Han Cin, dengan nada
pahit dia berkata: "Baiklah akan kukisahkan sebuah cerita,
cerita tentang diriku."
"Keluarga Ti kami adalah keluarga turun temurun di Kimling,
ayahku adalah seorang cikal bakal suatu aliran persilatan,
kenyang belajar dan membaca buku, serba mahir surat dan
sastra, memetik harpa main catur, tulis menulis dan seni lukis
semua adalah keahliannya. Tapi keluarga kami ternyata tidak
banyak, kecuali beberapa pelayan dan kacung, kami hanya
1069 empat orang, kecuali ayah bundaku bersama aku bertiga,
masih ada seorang Piaumoay yang sejak kecil diasuh sampai
tumbuh dewasa di rumahku.
"Piaumoay adalah putri tunggal adik ibuku, sejak kecil
ditinggal mati ayah bundanya. Mengingat hubungan dekat
kakak beradik, ibupun memandangnya seperti anak kandung
sendiri, sejak kecil diasuh, dididik sampai besar."
"Sejak kecil kami tumbuh besar bersama, seperti saudara
kandung sendiri tapi tabiatnya agak berbeda dengan aku,
hobinya sastra dan tidak suka belajar silat, namun sedapat
mungkin dia pernah belajar silat padaku, begitu kembali ke
kamar tidak pernah dia melepas buku yang senang
dibacanya."
"Entah karena ayah bundanya sudah wafat sejak dia masih
kecil, sehingga dia suka menyendiri, sering kali setengah hari
dia tidak pernah bicara sepatah kata kepadaku. Sering aku
mencari kesempatan untuk membuatnya senang dengan
berbagai cara yang kubuat-buat, apa keinginannya selalu
kuturuti, namun jarang aku bisa menyaksikan senyum
tawanya." "Untuk memperoleh jasa simpatiknya, terpaksa aku


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha memenuhi segala kesenangannya. Dalam bidang
sastra, entah itu memetik harpa, menggambar, membuat syair
atau main catur jelas aku bukan tandingannya. Tapi hanya
satu, mungkin karena bakatku lebih mendekati kebutuhan,
aku belajar meniup seruling, ternyata pelajaran yang kucapai
cukup dibanggakan. Kebetulan leluhurku ada meninggalkan
sebatang seruling batu pualam, suara yang kutiup dari
seruling pualam ini ternyata amat empuk dan enak didengar."
"Seruling pualam itu adalah sebuah pusaka konon dibuat
dari pualam dingin yang tumbuh ribuan tahun di dasar laut,
kekuatannya dapat menahan bacokan golok dan pedang.
Kepada ayah aku minta seruling itu, dengan seruling itu pula
ayah mengajarkan ilmu tutuk kepadaku. Dan dengan seruling
1070 itulah aku sering membawakan lagu untuk didengarkan
Piaumoay. Hanya di kala dia mendengar lagu tiupan
serulingku baru kulihat dia mengulum senyum dan tawa. maka
latihanku meniup serulingpun lebih giat dan rajin."
"Karena itu pernah aku dimaki oleh ayah karena latihan
silat terbengkalai, beliau bilang Piaumoay adalah anak
perempuan tidak pandai silat tidak jadi soal, kalau dia tidak
suka juga tidak perlu dipaksa. Tapi lain dengan kau, kau
adalah anak tunggalku, kelak bakal mewarisi seluruh
kepandaianku. Sudah tentu besar harapanku kau pandai
sastra dan silat, tapi aku kuatir kau gagal di bidang sastra,
mengecewakan pula ilmu silatmu. Dari pada keduanya
setengah jalan, maka aku lebih cenderung supaya kau lebih
menekuni pelajaran silat."
"Tapi meski ayah memberi wejangan kepadaku, secara
diam-diam sering pula aku ajak Piaumoay keluar bermainmain.
Di Cong-san kutiup seruling untuk dia dengar."
Sampai disini cerita orang, dalam hati Han Cia diam-diam
berpikir: "Jadi sejak kecil Ti-pepek sudah begitu besar cintanya
kepada sang Piaumoay, namun dari nada ceritanya ini,
cintanya agaknya bertepuk sebelah tangan, entah siapa pula
Piaumoaynya itu, akhirnya menikah dengan siapa?" lapat-lapat
dia sudah merasakan suatu keganjilan, timbul rasa dingin
dalam sanubarinya lekas dia pusatkan perhatiannya tak berani
pikir lebih jauh.
Ti Nio seperti tahu jalan pikiran Han Cin, katanya lebih
lanjut setelah menghela napas. "Memang sejak kecil aku amat
mencintai Piaumoay, selama hidupku ini hanya dia saja yang
pernah kucintai. Sudah tentu waktu kecil aku tidak tahu arti
cinta, namun setelah keduanya tumbuh dewasa, aku semakin
menyadari bahwa aku tidak boleh meninggalkan dan berpisah
dengan dia."
"Tapi aku yakin dia tidak akan meninggalkan aku, bukan
lantaran janji yang diucapkan di waktu kecil, adalah karena
1071 didalam pandangan ayah bundaku, mereka sudah pandang
kami sebagai sepasang suami isteri yang setimpal. Urusan
jodoh jelas tidak perlu dirisaukan lagi, hakikatnya tidak pernah
terpikir dalam benak ayah bundaku untuk minta
persetujuannya, bila kami sudah sama dewasa, boleh tentukan
waktu dan langsung nikah. Aku tahu maksud ayah bundaku,
dia juga tahu. Jalan pikiranku sama dengan maksud orang
tuaku, kukira dia takkan mengetahui, maka hatiku amat lega
dan tentram."
"Tahun demi tahun berlalu, tanpa terasa kami sudah sama
dewasa. Aku meyakinkan Thong-cu-kang, kalau menikah
terlalu pagi akan mengganggu latihan lwekangku. Ayahku
sudah membuat rencana, setelah aku berusia likuran baru
akan melangsungkan pernikahanku dengan Piaumoay. Aku
yakin seyakin-yakinnya bahwa perjodohanku ini jelas takkan
mengalami perubahan apapun, maka akupun turuti saja
kehendak orang tua, tidak perlu buru-buru menikah."
"Tapi peristiwa yang tak pernah terduga akhirnya terjadi
juga." "Tahun itu aku berusia sembilan belas, Piaumoay tujuh
belas. Tahun itu mendadak ayah keluar pintu menyelesaikan
suatu urusan, pulangnya dia membawa seorang pemuda
menetap di rumah kita."
"Pemuda ini adalah putra seorang guru sekolah yang
kenamaan di Hang-ciu, waktu kecil ayah pernah menjadi
muridnya, maka ayah amat patuh dan menghormatinya
seperti orang tua sendiri. Sebetulnya ada maksud ayah
mengajak guru sastra ini menetap di rumah kita, tapi tabiat
guru tua ini memang kaku, beberapa kali ayah utarakan
maksud baiknya, tapi selalu ditolaknya."
"Kepergian ayah kali itu karena dia mendapat kabar bahwa
guru tua sekolah itu menderita sakit parah, sengaja dia pergi
ke Hang-ciu menengoknya, sayang sekali, setiba ayah di
rumah guru sekolah itu, penyakit guru tua itupun kebetulan
1072 kumat dan tidak terobati lagi, sebelum ajalnya dia masih
sempat bertemu muka dan bicara beberapa patah kata."
"Guru sekolah ini hidupnya serba kekurangan, menjelang
setengah umur baru menikah dalam usia lanjut baru
mendapat anak, putranya kebetulan seusia dengan aku.
Sebelum ajalnya dia titip anaknya yang sebatangkara kepada
ayah, sudah tentu ayah berjanji dan dengan senang hati
menerimanya."
"Guru sekolah itu berpesan: 'Jangan kau kukuh akan
tingkatan, dulu kau belajar membaca padaku, kini biar anakku
belajar silat padamu, aku tahu seusianya belajar silat memang
sudah terlambat, tapi tujuanku hanya supaya badannya sehat.
Dia sudah menyembah padaku sebagai pengangkatan guru,
kuharap kau tidak menolaknya.'"
"Ayah tahu maksud sang guru, putranya sebaya dengan
aku, maka dia mengaturnya demikian, kecuali untuk
melicinkan jalan supaya putranya leluasa belajar silat di rumah
gurunya, diharapkan pula didalam hal panggilan satu sama
lain tidak menjadi kikuk. Ini hanya soal kecil, maka ayah
menerimanya. Setelah sang guru memberikan pesannya,
maka beliaupun meram dengan tentram."
"Setelah guru meninggal, ayah mengurus penguburannya,
setelah lewat masa berkabungnya ayah bawa putranya itu
pulang yaitu murid yang baru diterimanya, atau pemuda yang
kusebut tadi."
Mendengar cerita sampai disini, dalam hati Han Cin sudah
dapat menerka beberapa bagian. Sejauh ini, Ti Nio tidak
menyebut nama pemuda itu, maka diapun tak berani tanya.
Perasaannya berat dan tertekan.
Ti Nio melanjutkan: "Putra guru ayah sebaya dengan aku,
tapi dia lebih muda beberapa bulan, setelah dia angkat ayah
sebagai guru maka panggilanpun berubah, dia jadi Suteku."
1073 "Tabiat Suteku ini ternyata mirip Piaumoay, pendiam dan
jarang bicara, tidak suka latihan silat. Maklum usianya sudah
dewasa tidak mudah mempelajari ilmu tingkat tinggi, apalagi
ayahnya juga berpesan supaya dia latihan silat hanya untuk
menyehatkan badan, maka ayahku tidak memaksanya latihan
silat. Kebetulan tahun itu latihan silatku mencapai saat-saat
peralihan, ilmu tutuk perguruan kita teramat sukar untuk
diyakinkan, sehingga seluruh tenaga dan pikiran dan waktuku
disita untuk memperdalam pelajaran ilmu tutuk itu,
pengawasan ayah terhadap latihankupun semakin ketat."
"Tak lama kemudian kusaksikan suatu kejadian, entah
karena belakangan ini aku jarang mendekati Piaumoay serta
menemaninya bermain, atau karena tabiat yang sama,
hubungan mereka ternyata semakin intim dan dekat."
Ti Nio menyambung: "Sisa waktu latihan silatku tetap tidak
bisa dibuang percuma, ayah tidak ingin aku mengabaikan
pelajaran sastra, maka Sute selalu ditunjuk untuk memberi
petunjuk kepadaku, membuat syair, menggambar atau main
catur, sudah tentu akupun ditugaskan mengajarkan dasar
pelajaran lwekang untuk menyehatkan badan Sute."
"Kalau Sute mengajar sastra padaku, aku mengajar silat
padanya. Tak lama kemudian Sute minta ditambah satu mata
pelajaran, dia lebih tekun, lebih rajin mempelajarinya. Coba
kau terka pelajaran apa yang diminta?"
Tergerak hati Han Cin, sepontan dia menjawab: "Dia minta
kau mengajarkan meniup seruling."
"Betul, dia minta aku mengajar meniup seruling Pada hal
ayahku bisa meniup seruling juga ayahnya yang mengajar."
"Bukan dia tidak bisa soalnya dia merasa tiupan serulingku
lebih baik dari padanya, maka dia ingin belajar lebih baik."
"Waktu itu aku memang terlalu bodoh, kukira dia hanya
ketarik oleh seruling saja, tidak pernah terpikir olehku kenapa
dia begitu tekun belajar meniup seruling."
1074 Tanpa merasa Han Cin berkata pula: "Oh, dia belajar
seruling untuk diperdengarkan pada Piaumoaymu."
Ti Nio menunduk diam sesaat, katanya kemudian:
"Sebetulnya umpama dia tidak pandai meniup seruling,
Piaumoayku juga tetap mencintainya. Dia justeru belajar
seruling, tujuannya tak lain untuk lebih memikat hati
Piaumoay saja."
Setelah menghela napas, Ti Nio berkata lebih lanjut: "Suatu
ketika habis latihan silat, sengaja aku mencari Piaumoay,
kemana-mana tidak kutemukan dia. Akhirnya kucari dia ke
danau dimana dulu sering aku mengajaknya main, barulah
disana kutemukan dia."
"Disana dia tidak seorang diri, di dampingnya ada seorang
pemuda yang menemaninya jalan-jalan. Kukira tidak usah
kujelaskan tentu kau sudah tahu, pemuda itu sudah jelas
adalah Suteku."
"Dulu sering aku di tepi danau di bawah pohon meniup
seruling untuk didengar Piaumoay, tapi hari itu kedudukanku
diganti oleh Sute. Lagu yang dibawakan adalah lagu cinta
untuk sang pujaan hati. Piaumoay begitu kesengsem,
mendengar dengan senyum mekar dan asyik sekali,
pandangannya begitu hangat dan mesra."
"Ai, selama kita bersama, belum pernah Piaumoay tertawa
seriang itu kepadaku, bila dia mau memandangku dengan
tatapan seperti itu, meski usiaku harus diperpendek beberapa
tahun juga rela."
"Apapun yang terjadi sekarang aku sudah paham, secara
diam-diam aku mengundurkan diri, dengan perasaan yang
hancur dan hati yang kecewa aku pulang.ke rumah."
Han Cin tidak berpendapat bahwa sang Piaumoay harus
mencintainya, tapi mendengar kisah yang mengharukan ini,
tak urung dia ikut sedih juga. Pikirnya: "Ai, siapa yang salah"
Siapapun tiada yang salah!"
1075 "Malam itu aku melakukan perbuatan salah selama
hidupku." Ti Nio melanjutkan ceritanya. "Tengah malam aku
membangunkan Sute, aku bilang, bukankah kau ingin belajar
meniup seruling, mari ikut aku ke suatu tempat."
"Malam itu terang bulan, cuaca cerah, dia kira malam nan
indah ini menimbulkan seleraku untuk mengajar seruling
padanya, meski hati rada heran, tapi dia ikut kepadaku. Aku
membawanya ke tepi danau, di bawah pohon dimana siang
tadi dia meniup seruling untuk Piaumoay. Aku keluarkan
seruling pemberian ayah."
"Waktu itu agaknya dia sudah tahu maksudku, aku tidak
banyak bicara, diapun tidak tanya, dia hanya berdiri
mematung mendengarkan irama serulingku. Aku tuangkan
seluruh perasaan hatiku melalui irama seruling, kulimpahkan
betapa derita batinku selama aku merindukan cinta sang
pujaan." "Aku yakin tiupan serulingku waktu itu merupakan tiupan
yang pafing mengharukan dan mengetuk hati orang selama
hidupku, habis satu lagu air matapun berlinang. Sute tetap
tidak bicara barang sekecap, tapi aku lihat air matapun
berkaca-kaca di kelopak matanya.
"Lama dan lama sekali baru aku berkata: 'Sebetulnya bukan
maksudku meniup seruling ini untuk kau dengar tapi kutiup
untuk seorang lain, sayang dia sudah tidak suka mendengar
tiupan serulingku lagi, dia hanya suka mendengar tiupan
serulingmu.'"
"Sute menyeka air mata, katanya: 'Suheng, kau tak perlu
kuatir. Aku tahu siapa yang kau maksud, untuk selanjutnya
aku berjanji tidak akan meniup seruling pula di hadapannya."'
"Dua hari kemudian, mendadak ayah tanya kepadaku,
tahukah kau kenapa Sutemu mendadak minta diri hendak
meninggalkan kita?"
1076 "Ayah memberitahu padaku Sute bilang karena dirinya tidak
berbakat belajar silat maka dia ingin pulang ke kampung
halaman untuk bercocok tanam saja, hidup berdikari. Sudah
tentu ayah menampik alasannya, pesan ayahnya dulu tetap
dijadikan pedoman untuk menahannya tinggal di rumahku.
Syukur ayah berhasil membatalkan niatnya. Tapi ayah kira
tabiatnya itu mewarisi watak ayahnya yang suka menyendiri
dan kaku, malu makan gratis di rumah perguruan sehingga
timbul niatnya pulang ke kampung halaman. Ayah malah
kuatir tutur kataku setiap hari mungkin menyinggung
perasaannya, maka aku dipesan wanti-wanti supaya tidak
berlaku kasar padanya. Sudah tentu aku tahu sebab
musababnya, sudah tentu aku tidak berani untuk
memberitahu kepada ayah. Semalam suntuk aku tidak bisa
tidur, otakku bekerja keras, timbul tanda tanya apakah aku
mengharapkan dia meninggalkan perguruan?"
"Terbayang betapa cerah dan manis senyum mekar
Piaumoay kepadanya, serta tatapan matanya yang begitu
birahi, ingin rasanya dia lekas pergi meninggalkanku. Tapi
terpikir pula pergaulan belum genap setahun ini, hubunganku
dengan dia sudah seperti saudara sekandung, bila dia
meninggalkan aku selama hidupku ini mungkin sukar aku
memperoleh teman sebaik itu, aku jadi berat ditinggal pergi."
"Ai, bila aku sudah tahu peristiwa yang terjadi
belakangan..."
Mimik Ti Nio sekarang melambangkan kenangan lama yang
serba salah, serba dosa dan sukar untuk disesalkan, rasa
malu, hambar, sedih serta pilu bercampur aduk. Berbagai
perasaan gado-gado ini terlimpahkan dalam suaranya yang
bergetar terunjuk dalam sorot matanya pula.
Han Cin juga tak kuasa menahan gejolak perasaannya,
tanyanya: "Belakangan apa yang terjadi?"


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1077 Ti Nio menghela napas panjang: "Sejak hari itu tak pernah
kulihat mereka bersama, tapi sejak itu pula Piaumoay tidak
ambil peduli kepadaku."
"Aku duduk tidak tenang, tidur tidak nyenyak, hasratku
latihanpun pudar, pada hal ayah sering memaki aku, latihan
yang sebetulnya makan satu jam, aku hanya setengah jam.
Begitu mengakhiri latihan, aku selalu mencari berbagai alasan
untuk mencarinya."
"Tapi dia selalu juga menggunakan berbagai alasan, selalu
menolak ajakanku, kalau bukan hendak belajar, katanya mau
menjahit, pernah juga bilang badan kurang enak, hari ini tidak
ada minat bermain dan alasan lain.
Terakhir dia malah mengunci diri dalam kamar tidak mau
menemui aku."
"Kesehatannya ternyata semakin menurun, mukanya pucat
badan kurus, entah dia kena sakit, keadaannya memang mirip
orang sakit benar-benar."
Dalam hati Han Cin menghela napas, batinnya: "Memang
Ti-pepek sendiri yang salah, tidak bisa menyelami perasaan
seorang gadis. Bibit cinta yang baru bersemi dalam hati
seorang gadis justru kau cabut mentah-mentah, tidaklah
heran kalau dia merasa keki kepadamu?"
"Setelah berbagai peristiwa itu, sebodoh-bodohnya aku
juga akhirnya paham akan isi hatinya," demikian Ti Nio
melanjutkan ceritanya, "Sekarang aku paham, yang betulbetul
dicintainya adalah Sute bukan aku."
Maka Han Cin berkata: "Hubungan cinta laki perempuan
memang teramat ganjil, cinta hanya boleh dikejar secara
wajar, tidak boleh dipaksakan. Ti-pepek, kejadian sudah lama
berselang, kenapa pula sekarang kau harus menyiksa diri,"
usianya patut menjadi putri Ti Nio, tapi apa yang dia ucapkan
ini, seolah-olah ditujukan kepada seorang yang sebaya
usianya dengan dia. Namun Ti Nio tidak menjadi runyam atau
1078 risi dan kikuk, dengan sorot penuh haru dan terima kasih dia
menatap Han Cin, dengan manggut-manggut dia berkata:
"Ucapanmu memang betul, sayang sekali waktu itu tiada
orang yang bicara seperti kau sekarang kepadaku."
"Akan tetapi umpama waktu itu ada orang berkata
demikian mungkin aku tetap takkan mau mendengar
nasehatnya. Sejak Piaumoay mulai berjalan dan belajar bicara
aku sudah hidup bersama dia. Selama dua puluh tahun ini
hanya dia seorang yang terukir dalam sanubariku, bila dia
riang aku ikut riang, bila dia sedih aku jadi sedih."
"Kini setelah kutahu dalam kalbunya telah terisi orang lain,
dan karena orang itulah sehingga kehadiranku telah
dicampakkan dari relung hatinya, coba kau pikir bagaimanaperasaanku
waktu itu" Aku dibakar rasa cemburu, aku jelus,
hampir aku gila karena cemburu, lama kelamaan badankupun
kurus dan pucat."
Semakin dengar hati Han Cin semakin takut dan kaget serta
tidak tentram, pikirnya: "Dalam keadaan seperti itu, entah apa
saja yang bakal dilakukan Ti-pepek?" lapat-lapat terasa
olehnya, bahwa kejadian itu pasti ada sangkut pautnya
dengan dirinya, namun dia tidak berani tanya, maka dia hanya
menanti, menunggu Ti Nio sendiri yang akan menceritakan.
Setelah istirahat Ti Nio meneruskan: "Setelah aku paham isi
hati Piaumoay, isi hatiku dan perubahanku juga telah diketahui
oleh ayah bunda."
"Suatu hari ibu memanggilku dan ajak aku bicara seorang
diri, dia tanya kepadaku, ayah bilang belakangan ini kau
seperti tiada semangat latihan, kenapa" Aku tidak berani
mungkir, tapi akupun tidak berani menjelaskan sebab
musababnya."
"Ibu bilang, kau tidak usah mencari alasan untuk ngapusi
aku, kau adalah anak kandungku apa yang terpikir dalam
benakku, memangnya aku tidak bisa ikut merasakan?"
1079 "Maka diapun bertanya pula. Belakangan ini agaknya kau
menjauhi Piaumoay, hubunganmu seperti renggang, apa pula
yang terjadi?"
"Aku tetap menjawab. 'Aku tidak tahu." Tapi tak tahan aku
tambahi sepatah kata. 'Bu kalau kau ingin tahu boleh kau
tanya kepada Piaumoay saja.'"
"Seperti tertawa tidak tertawa ibu mengawasiku, katanya,
kau takut dia sudah besar, sudah tumbuh sayap dan bisa
terbang sendiri?"
"Aku diam saja, tapi tak tahan aku menghela napas."
"Ibu juga ikut menghela napas, katanya: 'Anak bodoh,
kalau untuk soal ini kau jadi risau, kukira mungkin kau yang
terlalu banyak curiga.'"
"Ibu bilang, Piaumoaymu memang bukan dilahirkan dari
rahimku, tapi sejak kecil akulah yang mengasuh dan
membimbingnya, tabiat memang lembut dan penurut, aku
tidak percaya kalau dia tidak punya perasaan balas budi.
Seorang lagi, dia mendapat perlindungan pula di rumah kita,
yakin diapun takkan berani melakukan perbuatan yang
mendurhakai kita."
"Agaknya ibu sudah menangkap adanya gejala kurang
sehat di antara kami bertiga, orang lain yang dimaksud dalam
perkataannya sudah jelas ditujukan kepada Sute."
"Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada ibu" Itu menurut
pandangan beliau orang tua, dia anggap bila Piaumoay main
cinta diam-diam dengan Sute itu berarti durhaka dan lupa budi
pekerti. Kalau dia begitu yakin dan percaya kepada mereka,
kenapa aku harus menjelek-jelekkan hubungan mereka?"
"Ibu bilang lebih lanjut. Mungkin usia kalian sudah dewasa,
Piaumoay tahu cepat atau lambat akan jadi menantuku, maka
dia merasa malu dan kikuk terhadapmu, sehingga gerak gerik
dan sikapnya belakangan ini seperti agak terkekang."
1080 "Sebetulnya ayahmu sudah memutuskan untuk menikahkan
kalian di akhir tahun nanti, tapi setelah melihat keadaan
sekarang, lebih baik kalau soal jodoh ini dipercepat saja
supaya tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Anak
bangun, jangan kau banyak pikiran lagi, ibu bisa menguruskan
sampai beres. Mulai besok, kau harus mulai giat latihan lagi
dengan ayahmu."
"Aku tahu apa maksud 'mengurus sampai beres' yang
diucapkan ibu, memangnya aku terlalu gegabah waktu itu, aku
tinggal diam dan tiada pendapat. Ai, mungkin juga karena
egoisku didalam sanubariku pada hal aku juga senang dan
terhibur bahwa ayah bundaku telah mengaturnya?"
"Hari itu akhirnya tiba, ayah bunda melakukan kesalahan,
kesalahanku lebih besar lagi."
"Kesalahan apa yang lebih besar?" Han Cin tidak berani
tanya, terpaksa hanya menunggu cerita sambungannya.
Dalam gemblengan derita masa lalu yang menjadi
kenangan pahitnya sekarang, wajah Ti Nio tampak merah
hijau dan pucat bergantian, seolah-olah dia takut
menceritakan perbuatan salah apa yang menjadikan dia begitu
menyesal dan malu. Melihat betapa sedih dan derita Ti Nio
sekarang, hampir tak tertahan dia hendak berteriak: "Tipepek,
kalau kau tidak ingin membeber masa lalu, janganlah
kau teruskan ceritamu."
Tapi setelah mengertak gigi, akhirnya Ti Nio melanjutkan
ceritanya. "Hari itu adalah hari ulang tahun ayah, dia tidak
memberitahu sanak kadang, hanya membuka sebuah meja
perjamuan, orang sendiri dipanggil untuk merayakan
bersama." "Tahun ini ayah berusia empat puluh sembilan, hidangan
ulang tahun yang disiapkanpun hanya ala kadarnya saja.
Kalau tidak mengundang teman-teman adalah jamak. Tapi
1081 anehnya yang menghadiri perjamuan kali ini ternyata hanya
Piaumoayku seorang tanpa kehadiran Sute."
"Sejak Sute berada di rumah kita, ayah selalu memandang
sebagai keluarga sendiri, kenapa pada hari ulang tahun ayah
kali ini, dia tidak diundang untuk merayakan bersama. Tapi
meski hati merasa heran, lapat-lapat aku sudah menduga apa
yang akan terjadi."
"Betul juga, setelah kami masing-masing minum tiga
cangkir arak, ayah membuka kata lebih dulu: 'Tahun depan
aku sudah genap lima puluh tahun situasi sekarang kurang
aman, kemungkinan peperangan akan geger maka aku ingin
selekasnya menunaikan keinginan hatiku.'"
"Ganti ibu yang bicara: 'Hwi-ji (nama kecil Piaumoay),
ibumu dulu serahkan kau kepadaku, aku adalah bibimu, tak
ubahnya ibu kandungmu juga, bukan saja aku mengangapmu
sebagai putri kandungku akupun ingin kau menjadi
menantuku, perjamuan malam iui di samping merayakan
ulang tahun pamanmu sekaligus untuk mengikat
perjodohanmu dengan anak Nio, sekarang juga kalian boleh
tukar cincin. Perjodohan boleh diresmikan dulu, soal
perjamuan boleh diundur untuk beberapa waktu lagi. Bisa
saksikan kalian menjadi suami isteri, itu adalah cita-cita
pamanmu juga keinginanku. Sejak kecil kalian dibesarkan
bersama, maka kaupun tidak perlu malu.'"
"Ibu kira Piaumoay pasti tidak menolak, apa yang dikatakan
tak ubahnya sebuah perintah belaka, hakikatnya dia tidak
pernah minta pendapat dan persetujuannya."
"Tak tahunya setelah mendengar perkataan ibu, air mata
Piaumoay bercucuran, air mukanyapun berubah."
"Ibu melenggong katanya: 'Lho, kenapa, kau tidak mau"'"
"Sambil menyeka air mata menahan isak Piaumoay
berkata: 'Bibi, terima kasih akan budi kebaikanmu
membesarkan aku, aku suka selamanya menjadi putrimu."
1082 "Ibu bilang, jadi kau tidak mau menjadi menantuku. Sejak
kecil kau bergaul dengan anak Nio hanya kau saja yang terukir
dalam sanubarinya, tentunya kau juga tahu. Memangnya
dalam hal apa anak Nio tidak setimpal jadi suamimu" Umpama
kau tidak mengingat sejak kecil aku mengasuh kau,
seharusnya kau pun tidak menolak cinta murninya."
Ti Nio menghela jiapas, menyambung ceritanya: "Perkataan
ibu mengetuk sanubarinya, tak tertahan aku ikut mencucurkan
air mata."
"Dengan kesima aku mengawasi Piaumoay, kupikir sorot
mataku waktu itu, pasti dapat membuatnya pilu karena terasa
tatapanku yang menyalahkan dia."
"Ai, aku terharu oleh perkataan ibu, namun tak terpikir
olehku, bahwa perkataan ibu telah melukai sanubarinya yang
suci." "Ai, waktu itu aku hanya pikirkan rasa sedihku sendiri,
diluar tahuku dia justru lebih sedih dari aku."
"Keadaan jadi serba runyam, sudah tentu ayah jadi kurang
senang, katanya: 'Kalian mau merayakan ulang tahunku atau
mau mengantar kematianku" Hmmm, kupikir hendak
mendatangkan hari bahagia rangkap, kalian justeru
bertangisan apa-apaan ini" Apa kehendak kalian boleh terus
terang saja kepadaku,' mulutnya mengatakan 'kalian' tapi
matanya justru menatap Piaumoay."
"Ai, sudah tentu Piamoay tidak kuat menerima tekanan
berat ini" Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan ayah ibu,
katanya: 'Bila bibi dan paman tidak merawatku, mana aku bisa
hidup sebesar ini, apapun kehendak kalian boleh terserah
saja, mohon kalian tidak marah. Paman, bukan maksudku
hendak mendatangkan rasa sebalmu, aku hanya terkenang
pada ayah bunda yang telah berada di alam baka, aku hanya
benci pada diriku sendiri kenapa aku bernasib sejelek ini,
kenapa ayah ibu mati sejak aku masih kecil."
1083 "Aku tidak tahu apakah Ayah dan ibu tahu kata-katanya
yang mengandung arti sampingan, tapi aku tahu kemana arah
perkataannya. Bila ayah bundanya masih hidup, tidak
bakal^dia harus tunduk pada perintah ayah bundaku."
"Tapi- kalau dilanjutkan aku harus malu kepada diriku
sendiri, waktu itu bukan saja aku tidak kasihan padanya,
malah rasa cemburuku semakin berkobar. 'Jadi kau dipaksa
menyetujui menikah dengan aku, aku menikah dengan
badanmu, tapi cintamu justeru kau berikan kepada orang
lain.'" "Tapi ibuku amat senang, mungkin memang dia tidak tahu,
atau untuk menghilangkan rasa kikuk dan runyam, dia purapura
tidak tahu. Dia memapah Piaumoay dan berkata: 'Anak
yang baik, aku tahu kau pasti mendengar nasehatku. Kau
terkenang ayah bunda yang telah lama mangkat adalah jamak
dan sepantasnya. Tapi bila mereka tahu hidupmu selanjutnya
sudah tidak akan kapiran, di alam baka yakin ayah bundamu
juga terhibur. Hari ini hari baik, jangan kau bersedih pula,
marilah dengan riang gembira kita habiskan hidangan ini,
habiskan arak bahagia ini.'"
"Piaumoay memaksakan senyum getir menuang arak,
sebaliknya ingin tertawapun aku tidak bisa lagi. Tapi aku
minum arak banyak sekali, arak dapat menghilangkan rasa
kesal, tanpa terasa aku menenggak habis beberapa cangkir
sampai akhirnya aku mabuk."
"Ibu suruh dia memapahku masuk ke kamar tidur, dia
suruh Piaumoay belajar menjadi seorang isteri yang baik,
seorang isteri yang baik harus tahu bagaimana meladeni
suami." "Begitu masuk kamar, berhadapan dengan dia, arak dalam
perutku seperti membakar badan rasa jelusku mendadak
berkobar pula, mataku melotot mengawasinya."
1084 "Sikapku membuatnya kaget. Dia bilang, Piauko, kau
mabuk, lekaslah tidur. Dia bantu aku mencopot baju luar
memapahku naik ke tempat tidur. Agaknya dia mengharap
aku lekas tidur pulas, supaya dia lekas keluar dari kamar."
"Sikapnya yang gopoh ternyata membakar amarahku. 'Aku
kan bukan harimau, memangnya kau takut kucaplok"'
demikian pikirku. Lalu aku berpikir pula: 'kau hendak
menghindariku, karena apa" Bukankah untuk cepat-cepat
menemui gendakmu"'"
"Mendadak aku berjingkrak duduk, mataku melotot makin
besar. Kataku: 'Aku tidak mabuk, siapa bilang aku mabuk. Aku
tahu jelas, kau tak mencintai aku, kau mencintai Sute. Terus
terang saja padaku, sekarang kau ingin berkencan dengan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia" Rasa sedihmu hanya bisa kau limpahkan di
hadapannya"'"
"Dia melenggong, air mata bercucuran, katanya dengan
tersedu-sedu: 'Piauko, maafkan aku, aku menampik cintamu,
tapi, aku, aku tidak kuasa atas diriku..."'
"Angan-anganku yang terakhirpun lenyap, meski aku tahu
dia mencintai Sute, tapi aku masih mengharap dia
menyangkal, umpama dia menipuku juga tidak jadi soal."
"Sekarang, justru terbalik, dia mengaku terus terang, dia
tidak bisa tidak harus mencintai Sute. Hm, berani dia minta
maaf kepadaku."
"Aku tidak berani mendengar perkataannya lagi, aku
menyeringai dingin: 'Sayang sekarang kau sudah menjadi
istriku.'"
"Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang asing, sesaat
kemudian baru berkata lirih: 'Memang aku sudah berjanji
kepada bibi untuk menjadi istrimu, aku pun tidak ingin ngapusi
kau, sekarang aku belum bisa melupakan dia. Setelah
menikah, lebih baik kau membawaku ke tempat jauh. kelak
aku pasti akan melupakan dia.'"
1085 "Dia bicara setulus hati, sayang dia lupa satu hal, aku
sedang mabuk, aku sudah kehilangan kesadaranku, saat
seperti itu aku lebih suka menipu diriku sendiri, mana aku mau
mendengar nasehatnya."
"Aku tidak kuasa menahan gejolak nafsu binatangku yang
meledak. 'Kau tidak akan melupakan dia, aku pun tidak sudi
kau menjadi isteriku karena dipaksa, hatimu tidak dapat
kumiliki, biar aku merasakan kenikmatan tubuhmu.?"
"Aku, aku bukan manusia, aku binatang jalang, aku
melakukan perbuatan hina dan kotor yang tidak dapat
kumaafkan sendiri, perbuatan yang kusesalkan selama hidup."
Hati Han Cin seperti mengejang, bagai diiris-iris, dia ikut
sedih akan nasib Piaumoaynya, diapun ikut kasihan akan nasib
Ti Nio. Setelah menyeka air matanya, lama kemudian Ti Nio
berkata: "Aku mendengar isak tangisnya, rasa mabukku
seketika buyar."
"Aku menyesal, aku malu. kenapa aku bisa melakukan
perbuatan kotor, yang melebihi binatang liar. Langsung aku
gampar mukaku sampai bengkak besar, tapi aku tidak tahu
apa yang harus kukatakan kepadanya."
"Aku tidak berani mohon maaf, akhirnya malah dia yang
bicara dulu. 'Piauko, aku tidak akan membencimu, aku malah
kasihan padamu, tapi sukalah kau maafkan aku, kuharap kau
melupakan kejadian ini, lupakan pula diriku ini."'
"Setelah berkata dia dorong jendela terus lari pergi. Aku
sadar dan mabukku, tapi kakiku lemas lunglai akupun malu
untuk mengejarnya."
"Sejak dia lari itulah untuk selanjutnya dia tidak pernah
pulang lagi."
"Ai, apapun yang telah terjadi, kesalahan ada padaku,
sehingga aku harus berpisah dengannya untuk selamalamanya,
meski hanya perpisahan hidup tapi tak pernah aku
1086 memperoleh kesempatan untuk menyatakan penyesalan
hatinya." "Ternyata Sute lenyap bersama dia. Sejak itu aku tidak
pernah melihat Suteku lagi"."
"Menghadapi peristiwa yang memalukan dan menyedihkan
ini, sudah tentu ayah bundaku amat sedih dan marah sekali.
Tapi entah berpegang pada kejelekan keluarga pantang
tersiar, supaya tidak menyakiti hatiku pula, ayah bunda tidak
mengungkat lagi akan perbuatan mereka yang buron itu.
Bukan ayah bunda saja yang bungkam, pelayan dan kacung
rumahkupun tiada yang berani menyinggung mereka pula."
"Orang mati biasanya masih dikenang, tapi orang-orang
keluargaku justru anggap mereka tidak pernah ada dalam
rumahku, seperti sesuatu yang mendadak lenyap tanpa
bekas." "Meski mereka sudah pergi, walau tiada seorangpun yang
membicarakan mereka lagi, tapi bayangan mereka tetap
terukir dalam sanubariku, sampai sekarang tidak bisa
dihapus." "Piaumoay ada meninggalkan dua patah kata, supaya aku
melupakan peristiwa malam itu, melupakan dia. Tapi dapatkah
aku melupakan dia."
"Aku tak mampu mencari tahu berita dan jejak mereka,
namun benar aku tidak berani mencari tahu mereka. Terpaksa
aku hanya menyiksa diri dengan kehidupan merana dan
menyepi, sering aku mondar mandir di danau, meniup
serulingku, mengenang masa lalu."
Berlinang air mata Han Cin, pikirnya: "Tak heran sebelum
pergi Piaumoaynya bilang tidak membencinya, tapi kasihan
padanya. Tapi aku harus simpati dan kasihan pada siapa?"
Tanpa merasa dia angkat kepala dan memandang dengan air
mata berlinang, serunya: "Ti-pepek.?"
1087 Sejenak Ti Nio memandangnya, sesaat dia bimbang lalu
katanya: "Jangan kau .kasihan padaku, memang pantas aku
memperoleh hukuman ini."
"Sebetuluya aku tiada hasrat melanjutkan cerita ini, tapi
ceritanya belum selesai. Aku merasa aku harus membeber
segala persoalan ini kepadamu."
"Situasi tidak meleset dari dugaan ayahku, agresor Watsu
telah memasuki tanah air kita, dalam pertempuran besar di
Tho-bok-po, pasukan kerajaan dynasti Bing dipukul hancur
berantakan, pada hal raja Ing-cong sendiri yang memimpin
pasukan besar juga akhirnya menjadi tawanan musuh.
Syukurlah sekretaris militer pada masa itu Ih Cian bertindak
tegas, segera mengangkat junjungan baru dan sekuat tenaga
mempertahankan ibu kota melawan serbuan musuh yang lagi
menang, kalau tidak dynasti Bing pasti sudah runtuh dan
musnah sejak dua puluhan tahun yang lalu."
"Bahwa negara dikacau peperangan lekas sekali berhasil
diamankan adalah urusan belakang. Pada hal agresor Watsu
sempat mengeduk harta kekayaan negara dan rakyat, rakyat
jelata tidak sedikit yang menderita oleh peperangan itu,
bahwa raja ditawan dan ibu kota dikepung sudah tersiar luas
sehingga rakyat di daerah Kanglampun sudah ribut dan geger
sendiri, meski pasukan kuda Watsu belum tiba di Kanglam,
tapi anasir-anasir pemberontak dan kaum dorna sudah kasak
kusuk dengan pihak Watsu, mereka siap menyambut serbuan
pasukan Watsu dari dalam."
"Dalam suasana kacau dan geger itu, semua orang sibuk
mengurus harta dan keselamatan dan siap menyambut
perubahan yang bakal terjadi, meski aku amat merindukan
mereka tapi rasa sedihku sudah banyak berkurang."
"Sungguh tak nyana dalam saat-saat genting itulah aku
mendapat berita mereka."
1088 "Suatu hari, tanpa sengaja aku mendengar percakapan
ayah dan ibu, mereka sedang membicarakan Piaumoay."
"Ibu sedang memaki Piaumoay: 'Sia-sia aku mengasuh dan
membesarkan dia, setelah besar dia malah migggat bersama
muridmu, kini sudah ketahuan jejak mereka, coba katakan
tindakan apa yang hendak kau lakukan"'"
"Agaknya ayah jadi ragu-ragu, katanya kemudian: 'Kau lakilaki
tidak punya pendirian, memangnya kau mandah peluk
tangan terhadap manusia yang tidak kenal budi dan cinta
kasih, kau biarkan saja mereka merusak nama baik keluarga
kita"'"
"Ayah menghela napas, katanya: 'Umpama mereka dibekuk
kembali memangnya hukuman apa yang hendak dijatuhkan
pada mereka, apakah kita masih mengharap dia menjadi
menantu kita"'"
"Akhirnya ibu menghela napas, katanya: 'Walau tidak akan
jadi menantuku, aku penasaran kalau kau tinggal diam. Aku
tetap menentang perjodohan laki perempuan cabul itu. Aku
ingin kau menangkap mereka kembali, hukum mereka dengan
aturan keluarga. Apalagi dia satu-satunya keponakanku, kalau
aku tidak memanggilnya pulang, aku akan berdosa pada kakak
yang telah meninggal.'"
"Akhirnya aku berlari masuk dan berteriak: 'Ayah, ibu,
kuharap kalian tidak mempersulit mereka lagi, dalam hal ini
akulah yang salah bukan salah mereka."'
"Ayah menghela napas panjang, katanya: 'Nah, sudah kau
saksikan, umpama mereka ditangkap kembali, kecuali kau
menghukum mati mereka, kalau tidak anak Nio sendiri yang
akan menderita lahir batin. Yakin kaupun takkan tega
menghukum mati mereka bukan" Kalau demikian kenapa tidak
kau biarkan saja mereka mencari jalan hidupnya sendiri.'"
"Ibu geleng-geleng kepala, katanya kepadaku: 'Sungguh
tak kira, kaupun begini tidak becus dan lemah perasaan, dia
1089 mengingkari dirimu, kau justru membela dan melindunginya.
Kalau demikian, mereka memang tidak boleh masuk ke pintu
rumah kita. Baiklah, anggaplah aku yang bertindak kasar,
biarlah mereka mencari hidupnya sendiri.'"
"Aku berkata: 'Bu, bukan aku ingin mengundang mereka
pulang, tapi aku ingin tahu dimana jejak mereka sekarang.'"
"Ibu bilang: 'Apa, kau masih pingin mencari dan bertemu
dengan mereka?""
"Aku berkata: 'Aku boleh tidak bertemu dengan mereka,
tapi aku harus tahu kabar tentang mereka, kalau tidak hatiku
tidak akan tentram.'"
"Apa boleh buat, akhirnya ibu memberitahu: 'Mereka
sembunyi di famili Sutemu dari keluarga miskin. Konon
mereka sudah menikah dan berkeluarga.'"
"Semula aku memang tidak berani mencari mereka, tapi
situasi sehari demi sehari semakin buruk dan tegang
serombongan pemberontak kabarnya merajalela di daerah
Soh-ciu, kabarnya kaum pemberontak inipun katanya akan
menyerbu Hang-ciu,"
"Keluargaku juga sudah siap mengungsi. Aku jadi kangen
dan merindukan mereka, aku ikut gugup dan gelisah akan
keselamatannya. Mereka tidak memiliki Kungfu sejati dan
dalam keadaan rudin lagi, berada di kota yang teracam
peperangan, apakah mereka mampu menyelamatkan diri dari
malapetaka" Dalam keadaan yang sudah kepepet dan kritis
itu, siapa lagi yang mau membantu mereka kecuali aku?"
"Siapa tahu setibaku di Hang-ciu, ternyata aku jadi amat
kecewa." "Mereka tidak mau menemui kau?" tanya Han Cin.
Ti Nio geleng-geleng kepala, katanya: "Bukan."
"O, jadi mereka berdua sudah pergi?"
1090 "Bukan mereka berdua, tapi mereka bertiga sudah
mengungsi."
"Lho," Han Cin bersuara heran, "siapa pula yang satu?"
Ti Nio pandang Han Cin lekat-lekat katanya: "Dengarkan
ceritaku lebih lanjut, nanti kau tahu sendiri."
"Aku berhasil menemukan famili miskin keluarga Sute, dia
memberitahu kepadaku, bahwa Piaumoay sudah melahirkan
orok perempuan, baru saja genap sebulan. Memangnya
kondisinya amat lemah, setelah habis melahirkan lagi, namun
karena situasi sudah amat tegang, kuatir peperangan menjilat
kemari, orok kecil itu akan ketimpa malang. Maka dua hari
sebelum aku datang, mereka sudah mengungsi. Agaknya
Piaumoay sudah menduga aku bakal menyusulnya, maka dia
meninggalkan sepucuk surat minta disampaikan kepadaku."
"Sebelum aku membuka surat itu, aku sudah menduga apa
isi suratnya. Memang tidak meleset, dalam suratnya itu dia
memberitahu kepadaku bahwa putri yang dilahirkan itu adalah
anakku, pernah timbul maksudnya hendak mengembalikan
putriku itu kepadaku, tapi akhirnya dia bertekad untuk
mengasuh dan merawat bocah itu meski apapun yang akan
dihadapinya. Karena diapun mengharap ada nona cantik dari
keluarga ternama yang akan dipersunting olehku, kalau orok
ini ditinggalkan untukku, pasti akan mengganggu
perjodohanku. Maka mereka berkeputusan meski keadaan
serba susah, mereka akan tetap berusaha memelihara anak
itu, sampaipun harus mengorbankan jiwa raga sendiri juga
mereka lakukan demi keselamatan orok itu sehingga tumbuh
dewasa." Saking terharu Han Cin berteriak: "Dia memang tidak
menipu kau, dalam pengungsian itu, akhirnya dia memang
berkorban karena anak itu, saat itu si bocah baru berumur
genap setahun."
1091 "Ceritaku sudah tamat. Aku tidak pernah menikah lagi
sampai sekarang, selama dua puluhan tahun ini aku selalu
mencari anak itu, sekarang aku berhasil menemukan dia,
entah anak ini, dia, dia..."
Dengan mata berlinang Han Cin tatap Ti Nio sekian
lamanya, jantung Ti Nio seperti gelombang badai yang
mengamuk rongga dadanya, seperti seorang tawanan yang
siap difonis hukumannya oleh hakim.
"Aku sudah paham, segalanya sudah kumengerti," ucap
Han Cin kelu, "aku adalah orok itu. Piaumoaymu adalah ibuku,
Sutemu, dia, dia adalah ayahku."
Seperti tenggelam hati Ti Nio, katanya berat: "Apa yang dia
katakan memang tidak salah, hanya Han-sutelah yang pantas
jadi ayahnya, aku, aku tidak setimpal jadi ayahnya."
"Ayah," mendadak Han Cin menjerit serta menubruk
kedalam pelukannya.
"Sekarang aku sudah paham, kenapa selama ini ayah tidak
mau memberitahu padaku, ternyata aku bukan anak
kandungnya. Tapi aku tahu sebelum ajalnya dia ingin
membeber persoalan sebenarnya, kukira di alam baka
arwahnya tentu sudah tahu dan ikut senang bahwa hari ini
aku sudah berkumpul dengan ayah kandungku. Ah, tidak,
salah omonganku. Kau adalah ayah kandungku, diapun
ayahku juga. Ayah, maukah kau maafkan perkataanku ini?"
Dengan air mata bercucuran Ti Nio dengarkan pengakuan
putrinya, betapa lega hatinya, katanya: "Anak Cin, kaulah
yang harus memaafkan aku, vonismu terlalu ringan untuk
menghukum kesalahanku," air mata bercucuran, ingus
mengalir pula, tapi wajah Ti Nio dihias secerah senyum
bahagia, "walau dia bukan ayah kandungmu, tapi dialah orang
yang paling baik terhadapmu selama ini. Dia lebih kandung,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih erat dan dekat dari ayahmu sendiri. Yang harus
disesalkan adalah aku, sebagai ayah kandungmu, tapi kapan
1092 aku pernah memberikan kebaikan kepadamu, kau malah
menderita lahir batin..."
Lekas Han Cin mendekap mulut ayahnya, katanya: "Ayah,
jangan kau menyiksa dirimu, peristiwa masa lalu sukar
dikatakan kesalahan terletak pada siapa, kini aku sudah
berada dalam haribaanmu, buat apa masa lalu dikenang pula"
Ayah, kenapa kau bilang tidak pernah memberi kebaikan
kepadaku, semalam bukankah kau telah menyelamatkan
jiwaku?" Ti Nio menyeka air mata, katanya: "Anak Cin, terima kasih
bahwa kau sudi memaafkan aku. Memang, marilah kita ayah
beranak membuka lembaran baru, mulai hidup dari lembaran
permulaan. Kau boleh tidak usah berubah she, kau paham
maksudku?"
Han Cin juga menyeka air mata, sahutnya: "Anak mengerti.
Aku adalah putri keluarga Han tapi juga putri keluarga Ti. She
apa tidak begitu penting."
"Selama belasan tahun ini, bagaimana kalian ayah beranak
hidup" Ah, terlalu banyak yang ingin kuketahui" Cara
bagaimana kau bisa meyakinkan ilmu setinggi ini, bukan
ayahmu yang mengajar Kungfu kepadamu bukan?"
"Anak belajar Kungfu kepada Gi-hu, ayah belum pernah
menyatakan dia pandai main Kungfu malah."
"O, kau masih punya seorang Gi-hu lagi?"
"Gi-huku bernama Khu Ti, beliau semayam di Ong-gu-san.
Beliau adalah kawan paling karib ayah dalam masa tuanya.
Ayah, soal ini biarlah kelak kuceritakan kepadamu."
"Aku juga ada sebuah cerita yang akan kututurkan
kepadamu."
"Cerita apa?" tanya Han Cin, dirasakan mimik ayahnya agak
aneh, seperti mau bicara tapi sungkan.
1093 "Tentang seruling batu pualam warisan keluarga kita itu."
Sampai disini pembicaraan mereka, mereka mendengar
irama seruling. Seruling yang ditiup oleh Kek Lam-wi.
Ternyata Liok Kun-lun sudah mengatur segala sesuatu
untuk pember Kisah Sepasang Rajawali 18 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 1
^