Pendekar Pemetik Harpa 19

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 19


angkatan Tan Ciok-sing dengan In San, besok
pagi sebelum fajar menyingsing mereka sudah harus masuk
kota dan tinggal di rumah salah seorang murid Kaypang, maka
mumpung waktu masih ada setengah hari mereka diharuskan
menghafalkan gambar peta tentang seluk beluk istana raja,
malam nanti mereka sudah harus masuk ke istana.
Perjamuan perpisahan khusus diadakan tengah malam.
Secara bergantian para hadirin menyuguh arak, waktu tiba
giliran Kek Lam-wi, dia berkata: "Tan-toako, biar kutiup
seruling untuk mengantar pemberangkatanmu, nanti akupun
ingin mendengar petikan harpamu."
"Baiklah, marilah kita sama-sama main sebuah lagu
instrumental seruling dan harpa, lagu apa yang ingin kau
mainkan?" tanya Tan Ciok-sing.
"Inilah lagu ciptaanku sendiri, silahkan kau periksa," ucap
Kek Lam-wi. Setelah membaca lagu ciptaan Kek Lam-wi, Tan Ciok-sing
berkata: "Bagus, gubahanmu teramat bagus," lalu dia
angsurkan lagu itu kepada In San dan berkata: "Adik San,
coba kau yang bernyanyi."
Melihat sikap mereka wajar, riang dan mantap, menghadapi
tugas berat yang kemungkinan menghadapi mara bahaya
seperti berpulang keharibaan orang tua, sungguh haru Kek
Lam-wi bukan main.
Lebih haru lagi setelafi paduan lagu seruling dan harpa
mengiringi nyanyian ln San yang memilukan, hadirin sama
menunduk dan menghela napas rawan, pikiran mereka hanyut
oleh suasana haru yang menusuk kalbu menjelang perpisahan
1094 ini, Tan Ciok-sing curahkan seluruh perasaan hatinya pada
petikan senar harpanya. "Tak" pada ritme terakhir, senar
harpa putus seutas.
Tan Ciok-sing dorong harpanya terus berdiri, katanya:
"Nona Han, tolong kau simpan harpaku ini, kalau aku tidak
kembali, tolong kau serahkan harpaku ini kepada Toan-toako."
"Jangan berpikir begitu Tan-toako," ucap Han Cin, "aku
yakin kau akan kembali bersama In-cici."
Tan Ciok-sing tertawa tergelak gelak, katanya: "Semoga
aku berhasil menunaikan tugas suci ini, mati atau hidup sudah
tidak terpikir lagi olehku," di tengah gelak tawanya itu dia
berputar sambil soja kepada seluruh hadirin, lalu dia ajak ln
San berlalu dengan jalan beradu pundak.
Liok Kun-lun sendiri mengantar mereka keluar kota.
Sementara hadirin yang lain tetap berada di ruang perjamuan
yang terang benderang, rasa haru mereka masih belum
tentram, sehingga tiada seorangpun yang ngantuk dan ingin
tidur. Kek Lam-wi masih berdiri terlongong sambil memegangi
serulingnya, lama baru dia menyadari bahwa entah sejak
kapan Ti Nio dan Han Cin tengah mengawasi seruling pualam
yang dipegangnya seperti sedang melamunkan sesuatu. Kek
Lam-wi jadi heran, batinnya: "Kenapa Susiok dan nona Han
baru sekarang datang?"
"Anak Cin, boleh kau beritahu kepada Kok-suhengmu,"
demikian kata Ti Nio.
Kek Lam-wi melenggong, katanya: "Nona Han, kau angkat
Susiok sebagai guru?"
Ti Nio tersenyum, katanya: "Dia bukan muridku tapi adalah
putriku. Kalau dibicarakan dia boleh terhitung Sumoaymu
juga." 1095 Kaget dan heran Kek Lam-wi, namun lekas sekali dia sudah
mengerti, pikirnya: "Tak heran, malam itu Susiok begitu matimatian
melindungi dan menolong Han Cin."
Ti Nio berkata pula: "Kalian tentu tidak menduga, baru hari
ini aku sendiri tahu bahwa dia sebetulnya adalah putriku.
Keluarga Kek dan keluarga Ti adalah seperguruan, keluarga
yang sudah kental sejak beberapa generasi. Maka Lam-wi
kuanggap sebagai keponakanku sendiri, selanjutnya kalian
boleh akrab .seperti saudara sekandung saja."
Maka Han Cin segera maju memberi hormat kepada Kek
Lam-wi sebagai Suheng, hadirinpun maju mengucap selamat
kepada mereka, kesibukan dan keramaian disini tanpa terasa
telah mengesampingkan Toh So-so malah.
Secara diam-diam dari samping Toh So-so menyaksikan
dan memperhatikan, teringat kejadian malam itu, hatinya
kecut, hambar tidak karuan rasanya.
Han Cin juga teringat akan satu hal, mengawasi seruling
pualam di tangan Kek Lam-wi, diam-diam dia membatin:
"Waktu ayah bercerita, berulang kali dia menyinggung seruling
pualam warisan keluarganya, seruling pualam Kek Lam-wi ini
kalau ditiup juga mengeluarkan lagu yang indah dan merdu,
entah apakah seruling pualam milik ayah itu?"
Yang menjadikan pandangannya terpesona adalah seruling
di tangan Kek Lam-wi, tapi Toh So-so yang memperhatikan
dari samping justru tidak tahu kalau Han Cin memperhatikan
seruling itu, karuan semakin ruwet pikirannya.
Akhirnya Kek Lam-wi menyadari juga bahwa sikap dan
mimik orang agak ganjil, lekas dia berkata: "Han-cici masih
menguatirkan keadaan Toan-toako, marilah lekas kita temani
dia pulang biarlah kabar baik ini dia sampaikan sendiri kepada
Toan-toako," lahirnya dia seperti berolok-olok kepada Han Cin,
yang terang kata-katanya ditujukan kepada Toh So-so.
1096 Waktu mereka tiba di rumah keluarga Coh, kebetulan Toan
Kiam-ping sudah siuman, melihat mata Han Cin merah dan
bengkak habis menangis. Toan Kiam-ping kira orang terlalu
prihatin dan menguatirkan kesehatan dirinya, maka lekas dia
berkata: "Kenyataan koh aneh, setelah tidur pulas, keadaanku
jauh lebih baik. Adik Cin, tak usah kau kuatir akan diriku."
Ti Nio berkata dengan tertawa: "Cara tutukan yang
kugunakan tadi memang khusus untuk membantu pulihnya
kesehatanmu, tanggung dalam sepuluh hari, kau sudah pulih
seperti sediakala."
"Sepuluh hari sebentar juga sudah lalu," ujar Han Cin
senang. "Toan-toako, kau harus beristirahat dengan baik."
"Betul, Ti-locianpwe, kau banyak bekerja demi menolong
jiwaku, maaf aku belum sempat menghaturkan terima
kasihku," demikian kata Toan Kiam-ping.
Ti Nio berkata: "Urusan sekecil ini buat apa ditaruh dalam
hati." "Aku jelas harus berterima kasih kepadamu, apalagi
semalam aku tak sempat melindungi nona Han, demi
pertolonganmu sehingga dia bebas dari mara bahaya, entah
bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."
Ti Nio terkekeh geli, katanya: "Dia ini putriku, sepantasnya
akulah yang harus berterima kasih kepadamu, mana boleh
persoalan diputar balik malah?"
Terbeliak kaget dan senang hati Toan Kiam-ping, katanya:
"O, jadi Ti Tayhiap adalah ayahmu, kenapa kau tidak pernah
ceritakan hal ini kepadaku?"
"Aku sendiri juga baru tahu," sahut Han Cin cekikikan.
Setelah mendengar penjelasan Han Cin, bukan kepalang
senang hati Toan Kiam-ping, katanya tertawa: "Nona Han,
sungguh amat menggirangkan. Baiklah aku terus terang,
beberapa jam sebelum ini, aku tidak tahu kesehatanku bisa
1097 sembuh secepat ini, pernah timbul pikiranku begini, tidak jadi
soal aku mati, tapi kematianku akan menjadikan kau sengsara,
itu berarti aku berdosa terhadap kau. Kita, senasib
sepenanggungan, tiada sanak tiada kadang, setelah aku
berada di alam baka, siapa yang akan mendampingi dan
menghibur kau" Kini persoalan sudah jelas, ternyata kau
masih punya seorang ayah yang baik dan arif hijaksana,
umpama penyakitku takkan sembuh, aku akan berangkat
dengan perasaan lega dan tentram ke dunia lain."
Berlinang air mata Han Cin mendengar limpahan perasaan
Toan Kiam-ping yang blak-blakan ini, katanya: "Toan-toako,
jangan kau berpikir yang tidak genah. Aku yakin kau akan
selamat dan sehat kembali," wajahnya tampak berseri tawa
dengan perasaan lega dan terhibur.
Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Memangnya sekarang
kau tak perlu kuatir untuk diriku, akupun tidak perlu
menguatirkan kau, lalu apa pula yang kau tangisi?"
Diam-diam Ti Nio menyaksikan dan mendengarkan
percakapan muda mudi ini, sebodoh-bodohnya juga dia sudah
menduga bahwa putrinya ternyata sudah cintrong sama Toan
Kiam-ping, dan Toan Kiam-ping juga membalas cintanya
dengan setulus hatinya. Hubungan mereka jelas sudah bukan
merupakan hubungan sesama teman biasa.
Setelah perjamuan usai, perasaan Ti Nio tak bisa tentram,
diam-diam dia berpikir: "Dari pesan Tan Ciok-sing kepada
anak Cin tadi, seolah-olah hubungan anak Cin dengan Toan
Kiam-ping adalah pasangan kekasih yang sudah matang,
entah bagaimana perasaan anak Cin bila dia memang sudah
punya pujaan hati, angan-anganku mungkin tidak bisa
terlaksana." " " lalu dia ajak Han Cin keluar dan berjalanjalan
ke hutan dimana tadi mereka berbincang-bincang.
"Ayah," kata Han Cin membuka suara lebih dulu, "bukankah
kau ingin menceritakan sebuah kisah yang lain?"
1098 "Betul," ujar Ti Nio, "kisah ini harus di mulai dari sebatang
seruling pualam."
Tergerak hati Han Cin, katanya: "Seruling dalam kisahmu
itu, bukankah seruling pualam yang sekarang berada di
tangan Kek Lam-wi itu?"
"Kau memang pintar, sekali tebak kena sasaran. Seruling
pualam itulah dimana masa mudaku dulu kugunakan untuk
didengar ibumu."
"Bukankah seruling itu warisan keluarga kita?"
"Betul, belum ada setahun Lam-wi datang ke Khong-goan
menemui aku sebagai Susioknya. Tapi sejak dia masih orok
dahulu, aku sudah pernah melihatnya sekali. Seruling pualam
itu juga bukan warisan keluarga Ti kita."
"Tapi ayah, kau pernah bilang..."
"Dulu waktu aku minta seruling ini dari ayah aku juga kira
seruling ini adalah warisan keluarga kita, padahal aku belum
tahu asal-usulnya. Baru hari ini..."
Seperti mengenang masa lalu. dia beristirahat sejenak,
barulah memulai menceritakan kisah seruling pualam itu
kepada putrinya.
"Hari itu, sehari setelah aku pulang dari Hang-ciu.
Gerombolan perampok ternyata mulai mengganas di daerah
Soh-ciu dan Hang-ciu, terutama kota Hang-ciu sudah dikuras
habis-habisan, berita buruk tersiar dari utara bahwa agresor
Watsu ternyata telah mengepung kota raja, bila kota raja
sampai diduduki musuh, maka dapatlah dibayangkan apa yang
bakal terjadi."
"Akhirnya ayah berkeputusan supaya aku mengungsi ke
tempat lain, tapi dia hanya menyuruh aku seorang diri pergi."
"Kenapa kakek tidak mengungsi sekalian?"
1099 "Ayah bilang dia harus mengurus harta warisan leluhur,
katanya dia cukup mengusai situasi dan keadaan, banyak
kenalan pula di kota kelahiran sendiri, meski malapetaka bakal
datang, yakin berkat luasnya pergaulannya, kesulitan apapun
pasti dapat diatasi, maka aku disuruhnya pergi sendiri, tak
usah menguatirkan keselamatan ayah bunda." Yang benar ini
hanya alasan ayahnya belaka. Setelah beberapa tahun
berselang baru Ti Nio tahu akan sebab musabab kenapa ayah
bundanya tidak mau mengungsi. Ternyata waktu itu secara
rahasia ayahnya telah bergabung dalam laskar rakyat dan
mengadakan gerakan bersenjata siap melawan agresor
membela tanah air."
"Ayah kuatir karena Kungfuku belum memadai di samping
aku adalah anak tunggal pula, sehingga dia berpikir agak
egois, mementingkan keselamatan diriku untuk menyambung
keturunan kelak."
Ti Nio melanjutkan ceritanya: "Sebelum berangkat, ayah
menyerahkan dua barang kepadaku serta berpesan wantiwanti.
Yaitu sebatang seruling pualam, dan pelajaran Tiamhiat
hasil ciptaannya setelah diperdalam sekian tahun dengan
segala daya dan tenaganya---yaitu gambaran pelajaran Kingsin-
pit-hoat. "Ayah bertanya kepadaku: 'Tahukah kau asal-usul seruling
pualam ini"' Waktu itu akupun bertanya seperti kau tanya
kepadaku tadi: 'Apakah seruling ini bukan warisan leluhur
kita"'"
"Ayah geleng-geleng kepala, katanya: 'Bukan. Seruling ini
pemberian seorang teman kepadaku. Walau aku boleh
mewariskan kepadamu sebagai warisan keluarga, tapi bila
keturunan temanku itu betul-betul memiliki bakat yang tinggi,
aku masih mengharapkan seruling ini akan dikembalikan
kepada yang berhak menerimanya.'"
"Sudah tentu aku tidak habis heran, apakah teman ayah itu
tidak terlalu royal" Seruling pusaka yang diincar setiap insan
1100 persilatan rela diberikan kepada ayah" Siapakah teman ayah
itu" Timbul berbagai tanda tanya dalam benakku."
"Ayah lantas berkata: 'Apa kau masih ingat Kek-supek"
Beberapa tahun lampau pernah dia membawa putranya
bertamu di rumah kita.'"
"Lama aku mengingat-ingat baru akhirnya aku teringat,
kira-kira tujuh tahun yang lalu, memang pernah datang
seorang Kek-supek dengan putranya yang menginap beberapa
lama di rumah kita. Putranya itu sebaya dengan aku, aku juga
ingat namanya Kek Bin-yang. Hanya tiga malam mereka
menginap, waktu itu karena menghadapi persoalan Piaumoay
dan Sute sehingga aku terpukul lahir batin, adalah jamak
kalau aku melupakan teman baik masa kanak-kanak dulu,
kalau ayah tidak menyinggung, terang aku sudah
melupakannya. Sampai disini Han Cin sudah paham beberapa bagian,
tanyanya: "Jadi seruling pualam itu adalah pemberian Keksupek
kepada kakek" Sementara bocah yang waktu itu
bernama Kek Bin-yang, tentu adalah ayah kandung Kek Lamwi
bukan?" "Tepat sekali. Mungkin juga lantaran berjodoh setelah
berjerih payah sekian tahun lamanya, di puncak Sing-siok-hay
di pegunugan Kun-lun, Kek-supek berhasil memetik segumpal


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu pualam hangat serta membuatnya jadi sebatang
seruling."
"Jelas batu pualam itu sukar diperoleh, kenapa dia rela
memberikan kepada kakek."
"Soalnya bakat ayah paling baik di antara sesama saudara
seperguruan, seruling pualam hangat itu bisa membantu ayah
mempercepat latihan ilmu Tiam-hiat yang sedang diyakinkan,
oleh karena itu apapun dia minta ayah menerima hadiah
mahal yang tiada taranya itu. Beliau berkata yang diharapkan
adalah kekayaan perguruan dan memperluas ajarannya, meski
1101 sukses yang dicapai kelak bukan hasil karya kedua tangannya
diapun ikut bangga akan usaha dan perjuangannya lalu apa
arti sebatang seruling pualam ini."
Han Cin menghela napas, katanya: "Kek-supek ayah itu
ternyata berjiwa besar dan berlapang dada."
"Bukan hanya itu saja," kata Ti Nio lebih lanjut. "Ayah
pernah bilang juga bahwa dia pernah mendapat budi
pertolongau Kek-suhengnya itu. Tanpa bantuan dan dorongan
Kek-suhengnya itu, ayah takkan bisa rajin dan tekun
mempelajari serta memperdalam ilmunya, entah berapa kali
pula mara bahaya yang telah dihindarinya selama berada di
damping sang suheng. Tapi cerita sampingan ini bukan
tujuanku yang utama untuk berbincang dengan kau disini,
malam ini secara ringkas saja akan kukisahkan hubungan
kental antara keluarga Ti kita dengan keluarga Kek, tentang
seluk beluknya biarlah ditunda dulu saja pada lain
kesempatan," maka pembicaraan dia putar balik ke malam itu,
bagaimana ayahnya berpesan kepadanya.
Sebelum berangkat ayah berpesan kepadaku: "Aku
memperoleh bantuan dan pertolongan Kek-suheng. sampai
sejauh ini tak mampu membalasnya, waktu dia menyerahkan
seruling ini kepadaku kami ada janji dua hal. Sekarang aku
tiada waktu mencarinya ke Kwa-ciu, terpaksa biarlah kau yang
mewakili aku mencapai keinginanku."
"Aku tanya tentang kedua hal perjanjian itu. Ayah
menjelaskan: 'Waktu itu kami sama-sama tahu istri masingmasing
sudah hamil. Maka perjanjian pertama antara kami
ialah bila anak kita sama-sama laki-laki, mereka harus angkat
saudara, bila sama-sama perempuan, harus jadi kakak beradik
pula. Bila laki dan perempuan, kelak mereka harus menjadi
suami isteri."
"Tahun itu waktu dia bertandang ke rumah kita membawa
anaknya, mengingat usia kalian masih kecil, dia sedang
terlibat urusan penting lagi, maka dia hanya menginap tiga
1102 hari di rumah kita terus pergi ke lain tempat, maka tidak
sempat mengadakan upacara untuk pengangkatan saudara
kalian. Maka aku mengusulkan supaya menunda setelah kalian
dewasa baru akan mengundang sanak saudara untuk
menyaksikan upacara persaudaraan kalian, sekaligus akan
kujelaskan pula seluk beluknya, supaya orang banyak tahu
sepak terjang Kek-suheng selama ini, di samping itu
maksudnya adalah supaya kalian juga tahu hubungan
keluarga kita yang intim."'
"'Dalam situasi seperti sekarang upacara angkat saudara
yang kuharapkan dulu jelas tidak mungkin diadakan lagi. Tapi
asal kau berhasil menemukan Kek-suheng dan anaknya, tak
usah pakai perjamuan segala, secara sederhana boleh kalian
lakukan upacara ala kadarnya saja, maksudnya juga tidak
bakal luntur.'"
"Setelah patah hati, memang aku ingin memperoleh
seorang teman karib sebagai pelepas rindu dan sepi, sungguh
bukan main senang hatiku setelah mendengar penjelasan
ayah, peduli apapun yang bakal terjadi, aku harus mencari
mereka sesuai pesan ayah."
"Lalu ayah menjelaskan hal kedua, beliau amat berterima
kasih dan merasa hutang budi akan kebaikan dan pemberian
seruling Kek-suhcngnya, maka diam-diam dia bersumpah
dalam hati, kapan dia berhasil meyakinkan ilmu sakti, dia akan
ajarkan juga ilmunya itu secara merata kepada putra Keksuheng.
Dulu Suheng mengharap dengan seruling pualam itu
dapat membantu dia sukses mempelajari ilmu Tiam-hiat
tingkat tinggi, kini harapan itu telah terkabul, dia sudah
berhasil meyakinkan King-sin-pit-hoat dengan seruling pualam
itu. maka ayah suruh aku serahkan gambar penjelasan
pelajaran King-sin-pit-hoat hasil jerih payahnya kepada Keksuheng
dan anaknya."
"Ayah bilang: 'Baru tahun lalu aku berhasil menyelami
seluruh pelajaran Kmg-sin-pit-hoat ini dan berhasillah
1103 kupelajari ilmu tutuk tunggal yang tiada taranya. Sayang
situasi semakin gawat, jelas diriku tak mungkin pergi mencari
Kek-suheng dan menyerahkan pelajaran Tiam-hiat itu
kepadanya. Kau sendiri belum sempurna mempelajarinya, kau
juga masih perlu mendapat bantuan seruling pualam itu, tapi
sepanjang jalan kau boleh mempelajari dan mengingat
gambar penjelasan ini, bila mereka ayah dan anak mau
ngungsi bersama kau, kau masih boleh belajar bersama
mereka.'" '"Seruling ini akupun ada maksud dikembalikan kepada
pemiliknya semula. Tapi seruling ini memang barang pusaka,
kau harus tepat menyerahkan kepada yang berhak. Bila putra
Kek-suheng memang punya bakat belajar silat, baru boleh kau
serahkan seruling ini kepadanya, kalau tidak lebih baik jangan
kau kembalikan,' setelah diberi wejangan pula, hari itu juga
aku berangkat membawa seruling dan Pit-kip, mengungsi ke
selatan. Tapi setiba di Kwa-ciu, ternyata situasi disini juga
genting dan tidak aman, dua hari sebelum aku tiba di Kwa-ciu,
aku sudah tahu bahwa aku dikuntit orang. Sayang
pengalamanku cetek tapi sebagai kambing yang baru keluar
kandang tidak takut berhadapan dengan harimau, meski aku
merasa curiga, namun aku tidak ambil di hati."
"Setiba di Kwa-ciu, seperti rencana semula aku bekerja
tanpa membuang waktu mencari Kek-supek. Keluarga Kek
ternyata cukup terkenal dan disegani di daerah Kwa-ciu, sekali
aku mencari tahu pada penduduk setempat lantas kucapai
rumahnya."
"Setiba aku di rumah keluarga Kek, satu peristiwa terjadi
sungguh diluar dugaanku."
Han Cin menyela: "Mungkin mereka juga sudah
mengungsi?"
"Bukan. Aku hanya bertemu dengan Kek Bin-yang."
"Lho, lalu ayahnya?"
1104 "Dengan pakaian blaco (pakaian duka cita) Kek Bin-yang
keluar menyambut kedatanganku, ayahnya, Supekku telah
neninggal."
"Kira-kira tiga bulan yang lalu, gerombolan perampok telah
beroperasi di Kwa-ciu, gerombolan perampok ini ditunjang
oleh pihak Watsu, di antara anggotanya tidak sedikit terdapat
jago-jago silat dari bulim. Demi melindungi rakyat sekota,
Supek kerahkan tenaga yang ada, dia pimpin rakyat melawan
gerombolan perampok itu, sayang seorang diri Supek
kewalahan dikeroyok musuh sebanyak itu, akhirnya dia terluka
parah, penyakitnya tak terobati lagi."
"Ibu Kek Bin-yang masih hidup, dia juga sudah menikah,
punya seorang anak, lahir setelah ayahnya meninggal, waktu
itu usianya sudah genap dua bulan, orok itu bukan lain adalah
Kek Lam-wi yang akhirnya menjadi salah satu anggota Patsian."
"Aku singgung perjanjian Supek dengan ayah tempo dulu,
bibi Kek memberi tahu kepadaku, katanya sebelum suaminya
ajal dia juga memberitahu soal ini padanya. Katanya bila aku
tidak datang di Kwa-ciu, mereka juga akan ke Kim-ling
mencari ayah dan aku."
"Dia amat senang karena aku sudah datang lebih dulu
untuk memenuhi janji itu, malam itu kami bersembayang
bersama, minum tiga cangkir arak sebagai sumpah setia untuk
selanjutnya menjadi saudara angkat seperti saudara
sekandung sendiri. Tapi waktu aku menyerahkan catatan ilmu
silat karya ayah dan kembalikan seruling kepada mereka, ibu
beranak itu menolak dan tidak mau mempelaj arinya."
"Bercerita masa lalu bibi Kek amat sedih dan pilu, tapi juga
amat senang. Dia bilang yang penting hubungan kedua
keluarga tetap terjalin dengan baik, dapat menyaksikan putra
angkat bersaudara dengan diriku, hatinya sudah amat tenang
dan lega. Tapi bila dia menyinggung kenangan lama, dia amat
sendu dan rawan, dia mengatakan..."
1105 Sampai disini Ti Nio berhenti sambil mengawasi putrinya
seperti memikirkan sesuatu. Tak tahan Han Cin bertanya: "Apa
yang dikatakan?" heran dia kenapa sang ayah seperti
bimbang. Akhirnya Ti Nio berkata: "Bibi Kek berkata: Besar
harapannya supaya kedua keluarga kita dapat mencontoh
leluhur kita, dia tanya apakah aku sudah menikah?"
Melonjak jantung Han Cin, tanyanya: "Lho, untuk apa dia
tanya soal ini?"
"Dia harap aku dapat mengikat suatu perjanjian juga
dengan putranya. Bila kelak sama-sama punya anak laki-laki
harus angkat saudara, punya anak perempuan sebagai kakak
seadik, kalau laki perempuan harus jadi suami isteri."
Karuan Han Cin melenggong dan menjublek sekian lama.
Ti Nio melanjutkan: "Dari cerita suaminya bibi sudah tahu
bahwa ayah ada maksud mengawinkan Piaumoay dengan aku.
Bibi berkata dengan tertawa kepadaku: 'Dulu waktu Bin-yang
pulang dari rumahku sering dia mengomel, katanya kau selalu
mengeloni Piaumoay dan sering tidak menghiraukan dia. Kini
Bin-yang sudah punya anak, yakin kaupun sudah menikah
dengan Piaumoaymu"'"
Sudah tentu di samping kaget Han Cin amat gugup, namun
rikuh pula menanyakan apa jawaban sang ayah terhadap bibi
Kek. Ti Nio seperti tahu perasaan putrinya, sekilas dia lirik
putrinya, dalam hati diam-diam dia mengeluh, katanya
kemudian. "Sudah tentu aku malu menceritakan persoalan
Piaumoay kepada bibi, terpaksa aku mencari alasan bahwa
kepandaianku belum sempurna, belum ada pikiran berumah
tangga. Hakikatnya aku tidak pernah menyinggung Piaumoay,
tak pernah pula aku mengutarakan maksudku supaya kelak
kita juga mengikat perjanjian itu, sengaja aku alihkan pokok
pembicaraan. Melihat sikapku yang dingin dan tidak ambil
1106 perhatian, mungkin bibi agak salah paham padaku, maka
selanjutnya diapun tak pernah menyinggung soal ini."
Sampai disini Ti Nio tertawa getir, katanya lebih lanjut: "Ai,
mana dia tahu bahwa mulutku tak mungkin bicara karena
pengalaman pahit yang pernah kuresapi, kalau dia salah
paham, yah, biarlah."
"Terus terang waktu itu aku berpikir begini. Kalau aku bisa
berkeputusan sendiri, sudah tentu aku senang mengikat
perjanjian itu dengan Kek-suheng. Tapi Piaumoay adalah bini
orang lain, putriku juga sudah bukan anakku lagi. Kelak
apakah dia masih sudi mengakui aku sebagai ayah, aku juga
tidak tahu. Kalau aku tidak setimpal jadi seorang ayah, mana
berani aku sembarangan mengikat janji dengan orang lain?"
Mendengar cerita ayahnya yang terakhir ini baru legalah
hati Han Cin, pikirnya: "Syukur ayah tidak menerima tawaran
keluarga Kek kalau terjadi urusan tentu serba runyam. Ai,
ayah bukan kau tidak setimpal jadi ayahku, tapi kau tidak atau
belum bisa menyelami isi hati putrimu," sudah tentu dia juga
rikuh dan malu mengutarakan perasaan hatinya kepada sang
ayah. "Situasi masih genting, tapi setelah mengalami perampokan
besar-besaran itu untuk sementara Kwa-ciu boleh dihitung
agak aman dan tentram. Perhitunganku semula akan
menginap beberapa hari di rumah keluarga Kek, menurunkan
pelajaran Kungfu yang kuterima dari ayah kepada Kek-suheng.
Tak nyana hari kedua, terjadilah bencana yang tak pernah
terbayang sebelumnya."
Han Cin kaget, katanya: "Bencana apa?"
"Kalau dibicarakan kesalahan ada padaku. Maklum waktu
itu aku cetek pengalaman dan tidak pernah berkelana di
Kangouw, kedatanganku ke rumah keluarga Kek sekaligus
memancing kedatangan gerombolan perampok pula."
1107 Han Cin paham seketika, katanya: "O, jadi orang-orang
yang sehari sebelumnya selalu menguntit ayah itu?"
"Betul orang yang menguntit aku itu ternyata juga seorang
ahli, dia tahu seruling yang kubawa adalah barang pusaka,
tujuan mereka hendak merebut seruling pualam."
"Mereka saksikan aku masuk ke rumah keluarga Kek,
mungkin merasa kekuatan sendiri kurang ungkulan, maka
malam itu mereka tidak turun tangan."
"Tapi hari kedua mereka mengundang bantuan yang
berkepandaian tinggi, permulaan yang diundang ialah tokoh
yang tiga bulan lalu pernah dikalahkan Supek, tapi Supek
sendiri setelah memukul mundur kambrat-kambratnya, dalam
keadaan lemah kehabisan tenaga diapun terkena sekali
pukulan dahsyat yang mematikan dari pentolan perampok.
"Bersama Bin-yang aku bahu membahu melawan serbuan
musuh, pertempuran amat sengit dan dahsyat, kawanan
perampok kita babat dan tumpas, tidak sedikit yang kami
bunuh dan lukai tapi karena harus melindungi oroknya yang
masih kecil, Bin-yang juga terpukul parah oleh Toa-cui-pi-jiu
pentolan perampok itu, isi perutnya tcrluka tak mungkin
disembuhkan lagi.
"Bagaimana akhirnya?" tanya Han Cin tegang.
Bercucuran air mata Ti Nio, suaranya sember: "Toa-cui-pijiu
kepala rampok itu memang terhitung ilmu tunggal yang
hebat di kalangan bulim, dinilai lwekangnya pada waktu itu,
jelas aku bukan tandingannya, bahwa aku dapat kalahkan dia
adalah berkat kesaktian seruling pualamku ini, dengan
melancarkan King-sin-pit-hoat aku dapat melawannya sama
kuat. Sayang lwekang dan latihan silat Kek-suheng jauh di
bawahku, pukulan Toa-cui-pi-jiu itu telak mengenai dada lagi,
mana kuat dia bertahan" Sungguh kasihan, setelah terluka
parah, pesanpun tak bisa diutarakan, dengan air mata
bercucuran dia hanya bisa menuding oroknya yang masih
1108

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam gendongan, dengan sorot matanya yang berlinang air
mata dia memohon dan melimpahkan perasaannya, setelah
aku berjanji barulah dia berangkat dengan meram."
Han Cin amat haru, katanya menghela napas: "Sejak kecil
ternyata Kek-suheng juga sudah hidup menderita. Kalau aku
setahun kehilangan ibu, dia baru dua bulan sudah ditinggalkan
ayahnya." Ti Nio berkata: "Betul. Lantaran nasib kalian sama, maka
aku mengharap kalian harus saling berkasih sayang."
Entah sengaja atau tidak kata-katanya, tapi bagi yang
mendengar justru tahu kemana juntrungan kata-kata ini. Han
Cin rasakan perkataan sang ayah mengandung dua unsur,
kontan jantungnya berdetak. Tapi diluar tahunya di balik
hutan sana, ada pula seorang, yang sembunyi dan mencuri
dengar pembicaraan mereka, hatinyapun terketuk mendengar
perkataan Ti Nio terakhir, jantungnya juga berdebar keras.
Orang itu bukan lain adalah Toh So-so.
Memang sengaja dia sembunyi di tempat itu lebih dulu
untuk mendengar percakapan Ti Nio dengan putrinya, karena
sejak malam kemarin, dalam jangka sehari semalam ini,
banyak gejala yang menimbulkan rasa was-was dalam
hatinya, perasaan hatinya yang paling sensitif memberi ingat
padanya, sehingga dia memperoleh suatu fisarat. Bahwa
pertemuan ayah dan anak ini bukan melulu persoalan mereka
berdua, tapi juga menyangkut hubungan langsung dengan
Kek Lam-wi. Kini Ti Nio memang tidak membicarakan hal itu secara
gamblang, namun dia sudah menduga apa yang akan
dikatakan Ti Nio kepada putrinya, mendengar sampai disini,
mau tidak mau timbul rasa jelusnya, dalam hati dia tertawa
dingin: "Memangnya kalian senasib sepenanggungan, biarlah
aku mengalah, silahkan kalian saling berkasih sayang."
1109 Tak kuasa dia menahan rasa haru dan sedihnya, semula dia
sudah ingin tinggal pergi, namun dia masih kuat menahan
emosinya, tempat sembunyinya di semak rumput sejauh
belasan langkah, dia mendekam tanpa berani bergerak serta
mendengar lebih lanjut.
Terdengar Ti Nio sedang berkata: "Setelah Kek-suheng
meninggal semula aku akan bawa ibu dan isteri serta putranya
pindah ke tempat lain, tapi bibi bilang membawa orok kecil
mengungsi amat tidak leluasa, maka dia berkukuh untuk
membawa cucunya pulang ke rumah orang tuanya. Keluarga
bibi tinggal di atas gunung, disana memang tepat untuk
menghindari huru hara. Bibi juga mengajakku kesana, tapi
karena aku masih ada urusan lain, kuharap masih bisa
menemukan ibumu maka aku tolak ajakan mereka."
"Seruling pualam dan buku gambar penjelasan King-sin-pithoat
karya ayah kutinggalkan kepada mereka, sebagai hadiah
untuk keponakan bila kelak dia sudah tumbuh dewasa, bibi
dan Suso (isteri Bin-yang) juga mengerti sedikit Kungfu,
dengan membekal seruling pualam itu, paling tidak mereka
masih mampu membela diri. Apalagi seruling itu memang milik
keluarga mereka, setelah kubujuk dan kujelaskan panjang
lebar, akhirnya mereka mau menerima kedua barang itu."
Baru sekarang Han Cin tahu bahwa seruling pualam itu
setelah mengalami berbagai peritiwa yang rumit dan berbelitbelit
akhirnya terjatuh ke tangan Kek Lam-wi.
Ti Nio melanjutkan ceritanya: "Setelah aku menyerahkan
seruling dan Pit-kip, aku berkata kepada bibi: "Bibi, pesan
yang pernah kau sampaikan pasti takkan kulupakan. Semoga
kelak bila aku kembali kesini, Lam-tit sudah tumbuh dewasa,
masih ada kesempatan untuk aku menunaikan angan-angan
leluhur." Mau tidak mau tergetar pula hati Han Cin mendengar
penuturan sang ayah." Angan-angan apa yang hendak
ditunaikan ayah" Kesempatan apa pula yang dia tunggu
1110 selama ini" Bukan secara tidak langsung perkataan ayah itu
merupakan janji pula terhadap Bibi dan Susonya?" Han Cin
tidak tahu apakah kedua janda keluarga Kek itu maklum akan
tujuan perkataan sang ayah, tapi Han Cin sendiri paham. Itu
berarti, tanpa ditanya lagi diapun sudah tahu apa jawabannya.
Sudah tentu Han Cin tidak berani tanya, tapi Ti Nio sudah
menjelaskan sendiri.
"Aku bertekad untuk melakukan dua hal untuk membalas
budi kebaikan keluarga Kek. Tugas pertama adalah menuntut
balas bagi kematian Kek-supek dan Kek-suheng."
"Lwekang kepala perampok itu teramat tinggi dan lebih
unggul dari aku, maka aku harus menyempurnakan Kungfuku
baru akan dapat mengalahkan dia, maka aku harus latihan
lebih giat dan rajin mempertinggi ilmu, tanpa bantuan seruling
pualam, aku harus dapat mengalahkan kepala rampok itu."
"Pada hal siapa nama dan asal-usul kepala rampok itu,
sedikitpun aku tidak tahu, untuk menuntut balas, aku harus
mencari tahu dan menyelidiki jejaknya. Tidak lama kemudian
gerombolan perampok itupun telah bubar, jejak kepala
rampok itupun tak diketahui parannya."
Han Cin masgul, katanya: "Wah, lalu kemana untuk
menyelidiki nya?"
"Untung walau aku tidak tahu nama dan asal-usulnya, tapi
aku tahu akan Kungfunya, Toa-ciu-pi-jiu yang diyakinkan itu
boleh terhitung ilmu tunggal dalam bulim, setelah beberapa
tahun berselang, yakin kepandaiannya itu tentu telah
diyakinkan lebih sempurna, namanya juga pasti amat tenar.
Dari sini pasti dapat aku menemukan jejaknya, syukurlah
akhirnya aku berhasil menemukan jejak pembunuh Keksuheng
dan Kek-supek."
"Siapakah orang itu?" tanya Han Cin.
"Dia bukan lain adalah jago nomor satu di bawah bangsat
tua she Liong, yaitu Lenghou Yong."
1111 Han Cin tersentak sadar dan paham, katanya: "O, kiranya
dia. Tak heran sengaja jauh-jauh kau dari Khong-goan
menyusul ke kota raja. Kecuali salah seorang keponakanmu
adalah satu di antara Pat-sian, tujuan yang utama adalah
hendak menuntut balas. Entah apakah Kek-suheng sudah tahu
bahwa Lenghou Yong adalah pembunuh kakek dan ayahnya?"
"Dia masih belum tahu."
"Kenapa tidak kau beritahu kepadanya?"
"Karena sebelum kemarin malam aku bertemu dengan
Lenghou Yong, aku belum yakin kalau dialah musuh kita."
"Sebelum ini, aku sudah mencari tahu, tokoh liehay yang
mahir menggunakan Toa-cui-pi-jiu dalam kalangan Kangouw
hanyalah Lenghou Yong, tapi Lenghou Yong sudah disogok
oleh Liong Bun-kong untuk menjadi pengawal
kepercayaannya, apakah betul dia adalah kepala rampok yang
dulu itu, aku harus membuktikan sendiri."
Ti Nio berkata gregeten: "Dua puluh tahun lamanya aku
mencari musuh besar, kemarin malam akhirnya aku dapat
menemukan dia."
"Sesuai dugaan, Toa-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou
Yong jauh lebih hebat dari dua puluh tahun lalu, namun
tampangnya tidak berubah besar bedanya, sekali pandang aku
lantas tahu bahwa dialah memang kepala rampok yang dulu
itu. Ai. tapi aku yakin, dia pasti tidak mengenali diriku lagi."
Sampai disini dia meraba rambut kepalanya yang sudah
beruban, katanya setelah menghela napas: "Dua puluh tahun
lalu aku adalah pemuda yang gagah perkasa dan jauh lebih
muda dari dia, tapi kini aku sudah jadi kakek tua yang
bpruban. Mana mungkin dia masih mengenaliku?"
Mengawasi rambut ayahnya yang sudah beruban, muka
yang sudah berkeriput, Han Cin merasa ikut pilu, pikirnya:
"Usia ayah sekarang paling baru empat puluh lebih, namun
1112 kelihatannya sudah seperti kakek reyot berusia enam puluhan
lebih," Han Cin tahu bukan lantaran kehidupan yang tidak
kenal kasihan ini merubah sang ayah menjadi laki-laki yang
loyo, tapi lantaran teramat sedih dan merana sehingga
ayahnya bak kembang yang layu sebelum saatnya, demikian
batin Han Cin. Dia dapat meresapi betapa rawan perasaan
sang ayah selama ini.
Untuk mengalihkan kepedihan hati sang ayah, dengan tawa
dipaksakan Han Cin berkata: "Kan lebih baik kalau dia tidak
mengenalimu. Bila dia tahu kau adalah musuhnya bukan
mustahil dia sudah bersiap-siap sebelumnya."
"Betul. Lantaran itulah semalam aku tidak membongkar
perbuatannya dulu. Sudah tentu, dalam situasi seperti
semalam, akupun tiada tempo untuk membuat perhitungan
dengan musuh besar itu."
Han Cin tertawa pula. katanya: "Ayah. usiamu belum tua,
Kungfumu juga tidak terbengkalai bukan. Tapi Toa-cui-pi-jiu
Lenghou Yong memang teramat liehay, yakin seperti apa yang
ayah katakan, taraf kepandaiannya sekarang pasti jauh lebih
tinggi dibanding dua puluh tahun yang lalu. Tapi ayah,
Kungfumu sendiri selama dua puluh tahun ini juga pasti sudah
melompat maju, walau pandangan putrimu tidak tajam tapi
aku sudah tahu dan yakin demikian. Semalam waktu kau
melabraknya, bukankah kau berada di atas angin. Sayang
semalam bukan pertarungan satu lawan satu, kalau tidak
dalam jangka seratus jurus, jiwanya pasti terenggut di tangan
ayah." Ti Nio tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Seratus
jurus kurasa terlalu diagulkan, dalam jangka tiga ratus jurus,
yakin aku dapat mengambil jiwanya. Sayang semalam aku
tiada kesempatan untuk menuntut balas padanya. Tapi padri
asing yang menggantikan dia itu, kepandaiannya ternyata
lebih tangguh lagi. Kalau keponakan Lam-wi tidak serahkan
1113 seruling pusaka kepadaku, hampir aku tidak kuasa
menghindari mara bahaya."
Han Cin berkata: "Seorang Kuncu menuntut balas, sepuluh
tahun belum terlambat. Ayah kau sudah menunggu dua puluh
tahun, apa salahnya bersabar beberapa hari lagi. Padri asing
itu datang bersama utusan Watsu, tak lama lagi pasti pulang
ke negerinya. Kapan ayah mau menuntut balas kepada
Lcnghou Yong, memangnya kuatir takkan berhasil?"
Ti Nio manggut-manggut, katanya: "Betul. Akupun berpikir
demikian. Baiklah, soal menuntut balas ini boleh
dikesampingkan dulu. Kini aku akan utarakan keputusanku
yang kedua pada kau."
"Angan-angan yang kedua", mendengar perkataan sang
ayah, serasa berdebar jantung Han Cin. Walau teka teki belum
terjawab, namun dia sudah meraba angan-angan apa yang
hendak dikatakan oleh ayahnya.
Melihat perubahan mimik muka putrinya, Ti Nio menghela
napas, katanya kalem: "Mungkin kau tidak ingin
mendengarnya, tapi aku tetap akan beritahu padamu."
"Itulah angan-angan bersama dua keluarga Kek dan Ti kita,
dua puluh tahun yang lalu meski aku tidak memberi jawaban
tegas kepada Bibi Kek, namun dalam hati kecilku waktu itu
aku sudah berjanji, kuharap kelak bisa meneruskan perjanjian
leluhur kedua keluarga kita."
"Waktu itu aku berpikir begini: Aku yakin suatu ketika pasti
akan bisa menemukan ibumu dan Suteku, akan kusampaikan
maksud hatiku ini dan mohon persetujuan mereka. Waktu itu
aku berpikir, kesalahan yang pernah kulakukan, tak berani aku
mohon maaf kepada mereka, tapi demi masa depan putriku,
apalagi keluarga Kek merupakan keluarga persilatan, umpama
hubungan kedua keluarga tidak intim, perjodohan inipun boleh
dikata setimpal dan sama bobotnya."
1114 Mulut Han Cin sudah terpentang, dia ingin bicara, tapi tidak
tahu dari mana dia harus bicara.
"Anak Cin," kata Ti Nio, "biarlah aku bicara sampai habis,
baru kau boleh utarakan isi hatimu."
"Dua tahun yang lalu, kudengar kabar dalam usia yang
masih muda Kek Lam-wi sudah angkat nama sebagai salah
satu dari Pat-sian, betapa senang hatiku. Tapi belakangan
setelah aku menyaksikan Kungfunya, terus terang, aku amat
menyesal dan gegetun pula. Tapi aku sendiri yang
menyebabkan penyesalan itu."
Mendengar sang ayah tiba-tiba membicarakan Kungfu Kek
Lam-wi, tanpa merasa Han Cin melengak, tapi bila sang ayah
tidak bicara soal jodoh, sikapnya sih tidak begitu kikuk.
Pikirnya: "Kungfu Kek-suheng kan hebat, entah soal apa yang
disesalkan ayah?"
Ti Nio seperti dapat meraba pikiran putrinya, katanya:
"Kalau dibanding jago silat kalangan Kangouw umumnya,
kepandaian Kek-suhengmu memang terhitung kelas wahid.
Tapi sayang dia tidak mempelajari ilmu silat kelas tinggi,
Kungfu kelas tinggi yang betul-betul murni."
Tak tahan Han Cin bertanya: "Bukankah kau sudah
serahkan gambar penjelasan King-sin-pit-hoat kepadanya"
Bukankah ilmu itu sudah terhitung Kungfu kelas tinggi?"
"Waktu aku menyerahkan gambar penjelasan itu taraf
kepandaianku sendiri jelas tidak setinggi latihanku sekarang,
gambar penjelasan itu hanya mengajarkan cara dan
pemecahan ilmu Tiam-hiat, tentang rahasia menyalurkan
hawa murni dan Iwekang, kalau hanya berdasarkan gambar
penjelasan itu saja tetap takkan bisa melatihnya sampai taraf
yang paling tinggi. Apalagi mantra yang harus digunakan
untuk melancarkan ilmu Tiam-hiat berdasarkan gambar
penjelasan itu, baru beberapa tahun belakangan ini berhasil
kuselami."
1115 "Kalau demikian, sekarang juga belum terlambat kau
mengajarkan kepadanya."
"Betul. Aku memang sudah siap mengajarkan kepadanya.
Aku sudah berkeputusan dalam waktu dekat ini akan
kuserahkan dua hadiah kepadanya. Kuharap kau dapat
membantu ayah menunaikan harapanku itu."
Han Cin tersentak kaget, teriaknya: "Ayah..."
Ti Nio goyang-goyang tangan supaya dia tidak ribut dan
biarlah dia bicara habis. "Kedua hadiah itu akan kuserahkan
sebagai mas kawinnya. Hadiah pertama adalah batok kepala
Lenghou Yong kedua adalah ilmu Tiam-hiat tunggal ajaran
keluarga Ti kita. Anak Cin, aku amat senang, kau sudi
mengakui aku sebagai ayah, maka aku harap kau suka
membantu ayah mencapai angan-angan terakhir."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Cin menghela napas, katanya: "Ayah, ada beberapa
patah kata, entah pantas tidak ku utarakan'.'"
"Aku justru ingin mendengar isi hatimu, boleh kau katakan.
Bagaimana?"
"Ayah, bukan putrimu tidak tunduk akan petuahmu, tapi
tindakanmu ini tidak akan membawa kebaikan bagi segala
pihak, termasuk Kek-suheng tentunya."
"Kenapa" Justeru mengingat hubungan turun temurun tiga
generasi dari keluarga Kek dan Ti, maka aku ingin
menjodohkan kau dengan dia. Aku malah akan bantu dia
menuntut balas, akan kuajarkan pula ilmu tingkat tinggi,
bagaimana kau bilang akan tidak menguntungkan dia malah?"
"Ayah, sukalah kau tidak mencampur adukan persoalan
menuntut balas, meyakinkan ilmu dengan perjodohan."
"Baik coba kau jelaskan, kenapa soal jodoh ini tidak atau
kurang baik?"'
1116 "Ayah, maaf bila aku bicara terus terang dan sejujurnya.
Bagi kau tindakanmu ini jelas demi kebaikanmu, untuk
keluarga Kcksupek, tapi bicara dari pihak Kek-supek sendiri,
mungkin dia bisa mengomel dan salahkan kau terlalu banyak
mencampuri urusan anak muda."
Ti Nio sudah tahu apa yang hendak dikatakan tapi dia tetap
bertanya: "Kenapa?"
"Dalam kalangan Kangouw, siapa tidak tahu bahwa Kek
Lam-wi dan Toh So-so, dua di antara Pat-sian ini adalah
sepasang kekasih yang sudah memadu cinta" Ayah, apakah
kau tidak tahu akan hubungan mereka?" Han Cin
menyinggung nama Toh So-so, dia tidak tahu pada hal Toh
So-so sambunyi di semak-semak tak jauh dari tempatnya
berada. Tapi sayang sekali dia tidak lebih dini menyebut nama Toh
So-so, bila sejak tadi namanya disinggung, perkembangan
selanjutnya mungkin berbeda dengan kenyataan yang bakal
terjadi. Ternyata di kala mendengar Ti Nio hendak menyerahkan
dua hadiah besar sebagai pesalin pernikahan putrinya, secara
diam-diam Toh So-so lantas menyelinap pergi.
Semenit yang lalu dia masih dekat di depan mata, namun
kini, meski dia belum pergi jauh, namun percakapan Ti Nio
dan putrinya sudah tidak terdengar lagi olehnya.
"Bukan aku tidak tahu," ujar Ti Nio, "tapi kau hanya tahu
yang satu, tidak tahu yang lain."
"Apanya yang lain?"
"Menurut apa yang kuketahui walau mereka sering
bersama, tapi belum ada ikatan jodoh, apa lagi kulihat watak
mereka berbeda. Nona she Toh itu kulihat suka membawakan
perangai putri bangsawan, suka ngambek dan brengsek,
1117 sebaliknya Kek-suhengmu adalah laki-laki yang tidak suka
dikekang dan dibatasi."
Sebetulnya hati Han Cin dirundung kegelisahan, tapi
mendengar perkataan sang ayah, tak urung dia cekikikan geli.
"Apa yang kau tertawakan, anak Cin?"
"Ayah, kukira itu hanya jalan pikiranmu yang dimabuk
angan-angan belaka."
Ti Nio kurang senang, katanya: "Memangnya menurut
hematmu mereka adalah pasangan yang setimpal?"
"Cinta muda mudi ibarat orang minum air panas atau dingin
dapat diketahuinya sendiri. Apakah mereka cocok satu dengan
yang lain, orang lain sukar memberikan putusannya. Yang
penting bila mereka merasa cocok, pastilah cocok."
Ti Nio berjingkat, pikirnya: "Benar, dulu aku juga
berpendapat aku dengan Piaumoay adalah pasangan setimpal,
Han-sute jelas tidak cocok dengan dia. Tapi akhirnya jalan
pikiran mereka justru jauh berbeda dengan maksudku. Bila
mengenang peristiwa masa lalu, tidak bisa tidak aku harus
mengaku, bila tidak lantaran aku yang membuat mereka
celaka, sekarang mungkin mereka masih hidup sebagai suami
isteri yang bahagia," maka dengan tawa getir dia berkata:
"Mungkin selama hidupku ini terlalu tekun latihan silat,
sehingga tidak banyak yang kuketahui tentang sepak terjang
anak-anak muda sekarang."
Han Cin berkata lebih lanjut: "Asal mereka sudah saling
cinta, meski tanpa ikatan jodoh apa pula halangannya" Watak
berbeda juga tidak jadi soal. Memangnya tiada manusia yang
mirip dalam dunia ini, asal mereka bukan manusia yang berdiri
di bidang yang berlawanan meski perangai berbeda, satu
sama lain bisa saling mengalah dan saling koreksi. Di depan
mata kita sudah ada contohnya. Seperti Tan Ciok-sing Toako
dengan In San-cici, mereka juga tiada ikatan dari orang tua,
pakai mak comblang segala, sudah tentu tanpa perjanjian
1118 nikah segala. Apalagi mereka keturunan dari dua keluarga
yang berbeda, tabiatnya juga berlainan. Tapi siapapun
mengakui bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang saling
cinta setulus hati, memangnya siapa yang akan menentang
dan mengatasi keburukan mereka?" sebetulnya dia sendiri
bersama Toan Kiam-ping juga merupakan contoh teladan, tapi
dia rikuh untuk membicarakan awak sendiri.
Kalau sang putri bicara panjang lebar adalah sang ayah
merasa gundah dan ruwet pikiran.
Maklum Ti Nio adalah seorang Tayhiap, selama hidupnya
paling berpegang pada sumpah dan janji, oleh karena itu
meski dia tahu uraian putrinya masuk akal. Tapi dia juga amat
berat untuk mengingkari apa yang pernah diucapkan maka dia
berkata: "Apakah betul mereka saling cinta setulus hati, aku
tidak enak tanya kepada Lam-wi. Tapi soal jodoh ini adalah
usul nenek dan ibunya di waktu dia masih bayi dulu. Walau
waktu itu aku tidak memberi jawaban positip, namun dalam
hati kecilku sudah berjanji pada diriku sendiri. Bila dia belum
terikat dengan nona Toh itu, kukira apa salahnya katau dia
menikah dengan gadis lain. Lebih baik begini saja, setelah aku
memenggal kepala Lenghou Yong, baru akan kusuruh orang
membicarakan soal jodoh ini. Kala itu bila dia tidak setuju,
akupun tidak akan memaksa, terhitung aku tidak mengingkari
kehendak orang tuanya."
Han Cin berkata: "Kalau ayah berbuat demikian, itu berarti
ayah sengaja melakukan kesalahan. Pertama, kau memberi
bantuan budi kepadanya, untuk membarlas kebaikan budimu
ini, meski dia menjadi menantumu juga terpaksa. Kau sudi
putrimu menikah dengan laki-laki yang dipaksa baru mau
menerima aku sebagai isterinya" Apalagi..."
"Apalagi apa?"
Urusan sudah terlanjur sejauh ini, Han Cin tidak perlu main
malu-malu lagi, katanya: "Apalagi kau belum tanya bagaimana
pendapatku?"
1119 Getir suara Ti Nio. "Tanpa kau jelaskan aku sudah tahu,
kau menyukai Toan-kongcu bukan?"
"Betul, diapun amat menyukai aku."
"Apakah kalian sudah mengikat janji untuk hidup sampai
tua?" Merah muka Han Cin, katanya: "Keluarganya kena
musibah, kedatangannya ke kota raja kali ini untuk menuntut
balas, mati hidup masih sukar diramalkan."
Ti Nio menghela napas lega, katanya: "Kalau demikian,
kalian belum ada janji pernikahan?"
Kalem suara Han Cin: "Semalam waktu kami meluruk ke
gedung keluarga Liong, kami sudah sumpah bersama. Meski
kita dilahirkan bukan pada hari bulan dan tahun yang sama,
tapi biarlah mati pada hari bulan dan tahun yang sama."
Meski bukan sumpah setia menentukan perjodohan, namun
pernyataan itu merupakan sumpah setia untuk sehidup
semati. Maknanya sudah lebih gamblang.
Ti Nio tertunduk diam, lama kemudian baru dia bersuara:
"Bukan Toan Kiam-ping tidak baik tapi dia keturunan keluarga
bangsawan, leluhurnya pernah jadi raja dan dia sendiri adalah
seorang pangeran, aku kuatir dia akan membawa sifat
jeleknya yang suka disanjung dan diladeni."
"Kini keluarganya sudah berantakan, tiada bedanya dengan
kita sebagai insan persilatan yang terlantar. Jangan kata tata
kehidupannya biasa jauh berbeda dengan para pangeran
umumnya, meski betul dulu dia membawa watak anak
bangsawan, kini setelah mengalami musibah dan digembleng
sedemikian rupa, yakin dia akan merubah pandangannya
terhadap kehidupan ini. Apalagi aku justru menyenangi dia
karena dia orang yang berperangai demikian, bukan lantaran
leluhurnya dahulu adalah keluarga kerajaan."
1120 Tahu bahwa urusan tak mungkin dirobah pula, akhirnya Ti
Nio menghela napas, katanya: "Seorang laki-laki sejati harus
menepati janji, mungkin kali ini aku tidak dapat menepati
janjiku dulu, sungguh aku malu terhadap arwah Kek-suheng di
alam baka,"
Tak tahan Han Cin membantah: "Ayah, dahulu ayah
bundamu bukankah juga pernah berjanji kepada nenek luarku,
supaya kau menikah dengan Piaumoay?"
Kata-kata ini bagai godam yang memukul dada Ti Nio
sampai dia berjingkat kaget roman mukanyapun seketika
berubah pucat. "Betul, 'perintah orang tua' itulah penyebab tragedi yang
menyedihkan dahulu. Akupun terlalu tunduk pada perintah
orang tua, justru karena aku merasa adanya perintah itu
sehingga perjodohan itu sudah resmi dan sepantasnya, maka
aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Piaumoay justru
pemberani, dia melawan kehendak orang tua dan menyukai
Han-sute. Kalau demikian, apa pula arti janji para leluhur"
Perkataan anak Cin memang tidak salah, soal jodoh adalah
urusan besar, betapapun jodoh tidak boleh dipaksa, kalau
anak-anak muda sama tidak jatuh cinta kenapa perjodohan
harus dipaksakan. Aku sudah membuat celaka ibu anak Cin,
betapapun tak boleh mencelakainya lagi," ucapan putrinya tadi
memang amat melukai gengsi dan harga dirinya, tapi
sekaligus telah mencegah terulangnya tragedi yang tidak
diinginkan. "Anak Cin terima kasih kau telah menyadarkan aku. Aku
memang bukan ayah yang baik, hampir saja aku melakukan
kesalahan lagi. Baiklah kalau kalian memang sudah sama
cinta, akupun tidak akan memaksamu," luka lama sanubari Ti
Nio kembali ditusuknya sampai darah bercucuran, namun
karena rasa sakit luka lama inilah sehingga dia sadar kembali
dari kesalahan, dengan berlinang air mata dia minta maaf
kepada putrinya.
1121 Senang dan duka hati Han Cin, katanya sambil memeluk
sang ayah: "Ayah, kau adalah ayah yang baik, ayah yang
dapat membedakan kebenaran, putrimu amat berterima kasih
kepadamu. Ayah sebetulnya engkau tidak perlu gelisah, masih
ada cara sempurna untuk menyelesaikan persoalan ini."
Ti Nio melenggong, katanya: "Cara sempurna bagaimana?"
"Bukankah kau ingin membalas kebaikan keluarga Kek yang
telah menahan budi kepada dua generasi keluarga kita?"
"Memangnya, aku ingin melanjutkan perjanjian leluhur kita,
justru karena itu. Tapi kini..."
Han Cin menukas dengan tertawa. "Dua kado yang kau
siapkan untuk kau berikan kepada Kek Lam-wi masih boleh
kau serahkan, malah tetap boleh kau serahkan sebagai
pesalin." "Lho, maksudmu..."
"Boleh kau berikan sebagai kado pernikahan Kek Lam-wi
dengan Toh-cici. Kau sudah anggap dia sebagai keponakan
sendiri, kaupun boleh memungut Toh-cici sebagai putrimu."
Ti Nio sadar, pikiran pepatnya terbuka, katanya: "Betul,
tanpa mengikat perjodohan dengan pihak keluarga sendiri,
aku masih pantas membalas kebaikan keluarga Kek. Memang,
otakku yang bebal ini kenapa tidak bisa berpikir menyimpang,
untung kau memberi ingat kepadaku. Anak Cin, kau boleh lega
hati. Aku pasti bertindak seperti akal tadi."
Saking senang, Han Cin sampai berjingkrak seraya
berteriak: "Ayah, kau memang ayahku yang baik."
"Jangan memuji aku," ujar Ti Nio tertawa sambil mengelus
rambut anaknya, "sekarang mari pulang, kita tengok keadaan
Kiam-ping."
000OOO000 1122 Diluar dugaan Ti Nio dan Han Cin, saat mana ternyata Kek
Lam-wi berada di pinggir ranjang Toan Kiam-ping.
Toan Kiam-ping berkata: "Ti Tayhiap banyak terima kasih
akan bantuanmu, sehingga sakitku sudah sembuh, mana
berani..."
Sebelum dia bicara habis. Ti Nio sudah menukas dengan
tertawa lebar: "Sengaja aku kemari untuk menyampaikan
berita baik."
Toan Kiam-ping sudah menerka dalam hati, seketika sorot
matanya bersinar, tanyanya: "Kabar baik apa?"
Ti Nio tersenyum, katanya: "Anak Cin adalah anak
kandungku, persoalannya dengan kau sudah dia jelaskan
kepadaku. Maka menurut maksudku setelah sakitmu sembuh
biarlah kalian bertunangan dulu. Setelah tiga tahun kau
berkabung, baru adakan upacara pernikahan," lalu secara
ringkas dia ceritakan bagaimana mereka ayah dan anak
bertemu kembali setelah berpisah dua puluh tahun lamanya.
Mendengar berita gembira ini sungguh bukan kepalang
senang hati Toan Kiam-ping, katanya tersipu-sipu. "Banyak
terima kasih pada paman yang sudi menyerahkan putrimu
kepadaku. Mohon maaf karena Siau-tit sedang sakit, tidak bisa
memberi sembah hormat kapada kau orang tua."
"Toan-toako," sela Kek Lam-wi tertawa," kenapa kau
membahasakan diri sebagai Siau-tit lagi, seharusnya kau
menggunakan istilah Siau-say (menantu)," pada hal dalam
hati dia sedang dirundung persoalan, meski memberi ucapan
selamat setulus hati, namun tawanya kelihatan agak
dipaksakan. "Kek-toako," ujar Toan Kiam-ping, "jangan kau
menggodaku melulu aku sih akan menunggu minum arak
bahagia kau bersama nona Toh."
1123 Guram air muka Kek Lam-wi, katanya: "Jangan melibatkan
diriku, aku mana punya rejeki sebesar itu."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toan Kiam-ping melengak, baru dia hendak tanya apa
maksud perkataannya, Han Cin sudah mendahului: "Kek-suko,
ada satu hal ayah hendak memberitahu kepada kau, tapi soal
ini panjang kalau dibicarakan..."
"Baiklah, marilah kita bicara diluar, jangan mengganggu
Toan-toako yang perlu istirahat."
Han Cin mendahului keluar, katanya: "Dimana Toh-cici?"
"Entahlah. Dia meninggalkan sepucuk surat tapi tidak
menjelaskan kemana dia pergi."
Tergetar hati Han Cin, katanya tergagap: "Surat, apa yang
dikatakan dalam surat?"
"Dia suruh aku tanya satu hal kepada kau."
Mendengar hal ini seperti disambar geledek kaget Han Cin,
mukanya seketika merah berubah hijau bergantian, sekuatnya
dia tenangkan diri, tanyanya dengan suara gemetar: "Soal,
soal apa?"
Untung Kek Lam-wi kira karena dia mendengar Toh So-so
menghilang sehingga hati merasa kaget dan gugup, tidak
terpikir akan akibat lain. Katanya: "Dia bilang Ti-susiok dan
kau tahu siapa pembunuh ayahku. Sejak pagi tadi Ti-susiok
diundang Liok-pangcu dan Lim-toako untuk berunding
menyelesaikan urusan besar, pada hal aku ingin lekas tahu
terpaksa aku tanya kau saja."
Sadarlah Han Cin akan duduk persoalannya. "Ternyata
percakapanku dengan ayah di hutan telah dicuri dengar oleh
Toh-cici," setelah tahu akan hal ini, meski dia merasa rikuh
dan kikuk kaget lagi, namun dari nada pembicaraan Kek Lamwi
agaknya Toh So-so tidak menyinggung persoalan yang
menyulitkan bagi mereka yang kini berhadapan, legalah
1124 hatinya, katanya: "Betul, kemarin malam ayah sudah berhasil
menyelidiki dengan betul, siapa pembunuh ayahmu."
Berita ini sementara telah menentramkan perasaan Kek
Lam-wi yang tidak tentram karena kehilangan sang pujaan,
hatinya memperoleh getaran baru yang menambah semangat
jantannya. Lekas dia bertanya: "Lekas beritahu kepadaku
siapakah dia?"
Pelan-pelan Han Cin berkata: "Pembunuh ayahmu dulu
adalah Lenghou Yong."
Kek Lam-wi melenggong sesaat lamanya, katanya
kemudian. "Tak heran So-so bilang demikian. Ai, tapi jalan
pikirannya itu belum tentu pasti benar..."
Tanpa merasa Han Cin melengak, sebelum orang bicara
habis segera dia bertanya: "Apa yang dikatakan Toh-cici,
boleh kau beritahu kepadaku?"
"Dia mendorongku untuk belajar silat lebih tekun dan rajin,
dengan tanganku sendiri menuntut balas kepada musuh. Dia
kuatir kehadirannya di dampingku akan mengganggu
pelajaranku, dia berkeputusan untuk meninggalkan aku."
Ternyata To So-so tidak selesai mendengar percakapan Ti
Nio dengan Han Cin, secara diam-diam dia tinggal pergi
dengan membawa hati yang luka, hati yang rawan. Diam-diam
dia berpikir. "Memang Lam-ko amat mencintai aku, tapi kalau
cintanya dibanding kedua hadiah itu, lalu dia akan memilih
diriku atau mau menerima kedua hadiah itu?" sudah tentu dia
tidak bisa memberikah jawaban Kek Lam-wi, tapi dia bisa
meresapi derita dan goncangan hatinya.
Dendam orang tua sedalam lautan. Hal ini diresapinya
dengan jelas, cita-cita Kek Lam-wi yang terbesar justru
menuntut balas kematian ayahnya. Sering kali Kek Lam-wi
bilang demikian kepadanya. "Sia-sia aku dilahirkan di dunia ini,
siapa pembunuh ayahku, sejauh ini aku masih tak berhasil
menyelidikinya," setiap kali menyinggung persoalan yang satu
1125 ini, selalu dia merasa masgul dan menderita tekanan batin,
seperti hampir gila rasanya.
"Kini siapa pembunuh ayahnya sudah diketahui, tapi
dengan bekal kepandaian Lam-ko sekarang, jelas dia bukan
tandingan Lenghou Yong. Tanpa bantuan sang Susiok, entah
kapan dia baru akan berhasil menuntut balas?"
"Ai, kalau dia sukar berkeputusan memilih yang mana,
biarlah aku saja yang memilih jalan hidupku sendiri."
"Lam-ko memang amat mencintai aku, akupun setulus hati
mencintainya. Demi cintaku kepadanya, aku rela membantu
dia mencapai cita-cita," demikianlah, setelah dia
berkeputusan, dengan berlinang air mata dia menulis sepucuk
surat ditinggalkan untuk Lam-wi, lalu secara diam-diam dia
tinggal pergi. Sudah tentu Kek Lam-wi tidak percaya akan alasan yang
ditulis dalam suratnya itu, setelah dipikir-pikir bolak-balik tetap
dia tidak peroleh jawaban, rasa masgul yang menekan
perasaan hati tak kuasa lagi dilimpahkan di hadapan Han Cin.
"Sungguh aku tidak mengerti, kenapa dalam saat-saat seperti
ini dia justru meninggalkan aku."
Sudah tentu Han Cin tahu sebabnya. Bagaimana jalan
pikiran Toh So-so diapun bisa menyelami. Ai, tapi mungkinkah
dia menjelaskan secara gamblang kepada Kek Lam-wi" Hari
pertama telah pergi, hari kedua telah lalu, hari ketiga juga
sudah berselang. Toh So-so tetap tak kembali. Tan Ciok-sing
dan In San juga tidak kunjung pulang. Toh So-so menghilang
adalah persoalan kecil, padahal menurut rencana Tan Cioksing
dan ln San hari kedua sudah harus pulang, tapi sudah
tiga hari masih tidak melihat bayangan mereka, kemungkinan
mereka telah mengalami musibah di istana raja.
Sambil memindah alamat markas pusatnya, pihak Kaypang
bekerja paling sibuk menyebar anak muridnya mencari tahu,
namun tiga hari telah pergi, hasilnya tetap nihil. Lebih
1126 menguatirkan lagi karena Thaykam kecil kenalan Coh Cenghun
dan biasa mengadakan kontak dengan Kaypang selama
ini tidak muncul. Malam itu Thaykam kecil ini sudah berjanji
akan membantu Tan Ciok-sing dan In San dari dalam,
sebelumnya sudah dijanjikan juga bila terjadi sesuatu diluar
dugaan, dalam jangka tiga hari dia akan berusaha memberi
kabar kepada pihak Kaypang. Sebagai salah satu Thaykam
yang bisa meladeni sang Raja dari dekat, sering dia mencari
alasan disuruh memberi barang keperluan para selir untuk
bolos keluar istana. Thaykam yang menjaga pintu tahu
kedudukannya dalam istana yang telah dipercayai oleh
Baginda maka dia bisa keluar masuk dengan bebas. Tapi
selama tiga hari ini, bayangannya masih tidak kelihatan. Titip
kabar kepada orang lain juga tidak.
000OOO000 Bagaimana keadaan Tan Ciok-sing dan ln San sekarang"
Pengalaman mereka harus diceritakan dari permulaan malam
pertama. Gedung istana raja berada didalam lingkungan Jikcin-
ceng. Jik-cin-ceng ada empat pintu, pintu tengah
dinamakan du-bun, di atas tembok ada dibangun sebuah
gedung berloteng yang dinamakan Ngo-hong-lau, para Wisu
yang berdinas malam sebagian tinggal di atas Ngo-hong-lau
ini, sudah tentu masuk dari pintu tengah ini tidak mungkin.
Pintu timur dinamakan Tang-hoa-bun, pintu barat dinamakan
Say-hoa-bun, semuanya berada dalam lingkungan aliran
sungai pelindung kota, sungainya lebar airnya dalam,
betapapun tinggi Ginkang seseorang tak mungkin bisa
melampauinya. Hanya pintu utara yang dinamakan Sin-bubun,
menghadap ke King-san. Bagi ahli silat yang memiliki
Ginkang tinggi, masih mampu naik dari Sin-bu-bun dan
menyelundup kedalam istana.
Dari petang Tan Ciok-sing dan ln San sembunyi di King-san,
kira-kira menjelang kentongan ketiga baru mereka
mengembangkan Ginkang memanjat ke Sin-bu-bun, padahal
1127 di bawah Sin-bu-bun dijaga Wisu, namun di atas tembok tiada
bangunan apapun, begitu berada di Sin-bu-bun, langsung
mereka melambung ke arah Ni-an-tiam, para Wisu di bawah
mimpi juga tidak mengira ada orang berani menyelundup
kedalam istana, hakikatnya mereka tidak tahu sama sekali
akan kedatangan Tan Ciok-sing dan ln San.
Genteng istana terbuat dari kaca yang licin, untung
Ginkang Tan Ciok-sing dan ln San sudah tinggi, setelah
melampaui beberapa wuwungan istana kaca akhirnya mereka
tiba di Sin-ling-kiong. Di sinilah letak peristirahatan permaisuri
Sia-hoa-wan berada di belakang Sin-ling-kiong. Thaykam kecil
yang berjanji hendak membantu mereka sebelumnya sudah
mengadakan kontak hendak bertemu dengan mereka di Simhiang-
ting. Mendekam di wuwungan Sin-ling-kiong, dengan seksama
mereka perhatikan keadaan di bawah. Malam itu cuaca gelap,
namun lapat-lapat terlihat bayangan para Wisu yang meronda
hilir mudik. Ternyata pintu gerbang Sin-ling-kiong tepat
berhadapan dengan pintu timur dari Giong-hoan didalam Siahoa-
wan, pada setiap pintu masuk adalah pantas kalau selalu
dijaga oleh kawanan Wisu.
Dua Wisu tampak hilir mudik saling berhadapan, betapapun
tinggi Ginkang seseorang, bila dia harus loncat turun dari atap
genting yang tinggi, jejaknya pasti konangan oleh para
penjaga itu. Lalu bagaimana baiknya"
Berkerut alis Tan Ciok-sing, sekilas berpikir akhirnya dia
mendapat akal. Setelah diperhatikan dilihatnya kedua Wisu itu
yang satu ke arah timur yang lain ke arah barat, setelah
melangkah tiga puluhan tindak, lalu sama-sama putar balik.
Tan Ciok-sing diam-diam memelintir dua butir tanah lempung
dari bawah sepatunya, di kala kedua Wisu itu memutar balik
mendadak dia menjentik dengan jari, kedua butir tanah
lempung itu diselentik ke arah dua pucuk pohon yang terletak
di kiri kanan. Ternyata burung yang bersarang di pucuk pohon
1128 itu menjadi kaget dan terbang berhamburan mengeluarkan
suara berisik. Sudah tentu kedua Wisu itu kaget mendengar suara ribut
dari kicau burung yang kaget dan terbang berhamburan di
malam yang gelap ini, sekilas perhatian mereka tertuju
kesana, dan sebelum saatnya membalik, serempak mereka
mendongak melihat burung-burung yang beterbangan itu.
Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Tan Ciok-sing
berdua, sigap sekali mereka melompat turun secepat kilat. Bak
umpama selembar daun jatuh, tanpa mengeluarkan suara, bila
kedua Wisu itu membalik badan, dan melangkah balik secara
berhadapan pula, Tan Ciok-sing berdua sudah menyelinap
kesana sembunyi di balik rumpun kembang.
Salah seorang Wiu ternyata jadi curiga, katanya: "Aneh
tanpa sebab masakah burung-burung di atas pohon bisa kaget
beterbangan?"
Wisu yang lain tertawa, katanya: "Kau ini memang sudah
kenyang dan terlalu nganggur, burung mau terbang biar
terbang, peduli amat dengan kau, buat apa pikirkan sebabnya
mereka terbang."
Walau curiga, tapi mengingat dari pada terembet urusan,
lebih baik bersikap masa bodoh habis perkara.
Dengan merunduk Tan Ciok-sing dan ln San terus
menggeremet maju di antara rumpun kembang, berkat
ketangkasan gerak-gerik mereka, akhirnya mereka berhasil
menyelinap kedalam Sia-hoa-wan.
Setelah diperhatikan disini ternyata tiada Wisu yang
meronda hilir mudik, legalah hati mereka. Sia-hoa-wan
ternyata amat besar dan luas, empat penjuru tidak kelihatan
ujungnya. Pohon-pohon tua banyak terdapat didalam taman
kembang ini, gunung-gunungan yang dibangun serba indah,
telaga buatan, pepohonan yang terawat serta gardu
pemandangan yang dibangun bertingkat tersebar seperti-bijiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1129 biji catur yang sengaja disebar menurut posisi dan kedudukan
yang sudah diperhitungkan. Berada di Sia-hoa-wan yang luas
dan besar, dimanapun kau mudah mendapatkan tempat untuk
sembunyi. Namun di tempat seluas ini cara bagaimana mereka
harus menemui Thaykam kecil itu, jelas ini memerlukan
tenaga dan pikiran.
Mereka terus maju menyibak kembang menyingkirkan
dahan, dengan hati-hati dan penuh perhatian mereka sedang
menggeremet ke arah sebuah belumbang, tiba-tiba dilihatnya
sinar api berkelebat. Tan Ciok-sing sembunyi di tempat gelap,
waktu dia pasang mata, tampak dua Wisu menenteng lampion
sedang mengiringi seorang pemuda yang berpakaian perlente
dengan mantel bulu rase sedang bergontai ke arah sini.
In San kaget, segera dia berbisik di pinggir telinga Tan
Ciok-sing: "Toako, coba kau perhatikan, orang ini seperti bukan orang
Han, seperti sudah pernah kukenal."
"Betul, keparat ini kalau tidak salah adalah seorang Pwecu
yang pernah kita temui di penginapan rumah bangsat tua she
Liong itu."
"Tidak salah," In San juga ingat sekarang, "keparat ini
malam itu pernah bergebrak melawan Wi-cui-hi-kiau Lim
Tayhiap. Menurut Lim Tayhiap Kungfunya cukup liehay, taraf
kepandaiannya malah lebih tinggi dari Poyang Gun-ngo dan ke
empat jago-jago Watsu lainnya."
"Kemarin baru Liok-pangcu berhasil mencari tahu, keparat
ini bernama Tiangsun Co. Konon adalah putra seorang Ongya
di Watsu."
Terdengar Tiangsun Co sedang bicara: "Guruku semestinya
akan datang sendiri, tapi setelah dia berunding dengan Ongya,
dirasakan bahwa aku seorang diri mewakili dia juga sudah
lebih dari cukup. Putusannya ini yakin membuat kalian kecewa
bukan?" 1130 Wisu yang di depan berkata: "Ah kenapa bilang begitu,
kapan kita bisa mengundang Pwecu kemari. Siang tadi Hucongkoan
kebetulan juga ada membicarakan kau Pwecu..."
Agaknya Tiangsun Co ketarik, sebelum orang bicara habis
dia sudah bertanya: "Oh, jadi Hu-congkoan kalian juga
mengenal diriku, apa yang dikatakan?"
"Hu-congkoan memuji Pwecu sebagai tunas muda yang
jarang bandingannya dalam negeri sendiri, usia muda pandai
bekerja, cerdik dan tangkas serta perkasa. Kali ini sebetulnya
dia ingin mengundang Pwecu bersama Milo Hoatsu, namun dia
kuatir Pwecu tidak sudi memberi muka kepadanya. Apalagi
karena hubungan kita baru terjalin sekali ini, maka kami juga
tidak berani bertindak terlalu berani. Tapi kedatangan kau


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang juga sudah cukup. Sungguh tak nyana bahwa Pwecu
sendiri sudi kemari, terus terang kita lebih senang menyambut
kedatanganmu dari pada kedatangan Milo Hoatsu."
Tiangsun Co tertawa bingar, katanya: "Kalian terlalu
menyanjungku, mana bisa aku dibanding guruku?"
"Bukan kami suka berolok-olok, memang begitulah Hucongkoan
mengutarakan isi hatinya."
"Kenapa demikian?"
"Gurumu meski seorang Koksu, jabatan tinggi besar
gengsinya. Tapi bicara soal urusan dinas dan kekeluargaan,
mana dia bisa dibanding Pwecu yang langsung keturunan
kerabat istana, di hadapan Khan Agung, jelas kau lebih mudah
bicara bukan" Banyak persoalan yang tidak mungkin kami
bicarakan dengan gurumu, kita bisa bebas bicara dengan
Pwecu." "Itu memang betul," ucap Tiangsun Co, "banyak terima
kasih akan penghargaan Hu-congkoan kalian kepadaku, terus
terang sudah lama aku juga amat mengagumi Hu-congkoan
kalian." 1131 Diam-diam Tan Ciok-sing membatin di tempat
persembunyiannya: "Kiranya mereka telah tiba di Pakkhia,
namun berani bergerak secara bebas bukan saja berintrik
dengan Liong Bun-kong, kedatangan Tiangsun Co kali ini jelas
ada janji pertemuan rahasia dengan Hu-congkoan yang paling
berkuasa di istana raja, entah muslihat apa pula di belakang
pertemuan mereka nanti" Sayang tugas berat perlu segera
dibereskan, tiada tempo untuk mencari tahu ada intrik apa
pula antara Tiangsun Co dengan Hu-congkoan."
Tan Ciok-sing berkata bisik-bisik: "Orang macam apa Hucongkoan
itu, apa kau tahu?"
"Pernah kudengar paman Ciu membicarakan dia, konon
Congkoan istana dalam bernama Hu Kian-seng, Kungfunya
tidak lebih asor dibanding Bok Su-kiat," sembari menjelaskan
dia gandeng tangan Ciok-sing diajak memutari sebuah
gunungan, menyelinap di antara semak kembang terus
merunduk ke depan. Tak lama kemudian tampak kemilau
cahaya yang timbul dari refleks permukaan air, ternyata
belumbang sudah kelihatan tak jauh di sebelah depan. In San
berbisik di dekat telinga Tan Ciok-sing: "Gardu di depan itu
adalah Sim-hiang-ting. Coba kau periksa lebih dulu, adakah
orang di sekitarnya?" ketajaman matanya melihat di tempat
gelap tidak sejeli Tan Ciok-sing, maka dia suruh Ciok-sing
memeriksanya. Tan Ciok-sing memandang ke depan dengan seluruh
ketajaman matanya, namun tidak kelihatan ada bayangan
seorangpun disana. Diam-diam hatinya kaget, pikirnya:
"Celaka, bila Thaykam kecil itu tiba-tiba ingkar janji, cara
bagaimana kita bisa bertemu dengan Baginda Raja."
Belum habis dia berpikir, tiba-tiba dilihatnya bayangan
seorang muncul di gardu di seberang sana entah dari mana
dia muncul. Waktu Tan Ciok-sing mendongak, dilihatnya
rembulan tepat di tengah cakrawala, waktu kebetulan tepat
kentongan ketiga. Diam-diam dia tertawa geli dan lega,
1132 pikirnya: "Thaykam kecil ini berjanji kentongan ketiga ternyata
dia muncul tepat pada waktunya, agaknya aku malah yang
terlalu gelisah."
Baru saja Tan Ciok-sing mau unjuk diri sambil menberikan
tanda isyarat. Pada saat itulah, mendadak didalam gardu
tahu-tahu sudah muncul pula bayangan seorang. Tampak
tangan orang ini merenggut kuduk Thaykam kecil, katanya
menyeringai: "Tengah malam buta rata, untuk apa kau berada
disini, main sembunyi-sembunyi lagi?"
Gemetar suara Thaykam kecil: "Aku, aku tidak bisa tidur,
kemari mencari angin."
Orang itu mendengus, jengeknya: "Bulan sembilan saatnya
menjelang musim dingin, kau cari angin apa disini" Dan lagi
mencari angin kemari kenapa tidak berjalan terang-terangan
dari pintu, koh malah merangkak keluar dari lobang di bawah
tanah?" Ternyata di samping Sim-hiang-ting terdapat sebuah
gunungan palsu. Di bawah gunungan ini terdapat sebuah gua
yang tembus ke Sim-hiang-ting. Thaykam kecil dan orang itu
sama-sama merangkak keluar dari gua tersembunyi itu.
Sudah tentu Thaykam kecil tak mampu menjawab. Orang
itu berkata: "Terus terang sudah lama aku memperhatikan
dirimu. Kau sering bolos ke pasar di pintu timur dan mampir di
sebuah warung minuman mengadakan pertemuan rahasia
dengan orang-orang yang tidak dikenal asal-usulnya, kau kira
aku tidak tahu" Sayang sejauh ini aku tidak berhasil
mendapatkan bukti. Hehe, malam ini belangmu betul-betul
sudah kubongkar, hayo lekas berterus terang," habis dia
bicara terdengar tenggorokan Thaykam kecil bersuara
berkerutuk. Walau Tan Ciok-sing tidak melihat air mukanya
tapi dia tahu Thaykam kecil itu sedang disiksa supaya
mengaku. "Hayo mengaku terus terang," ancam orang itu.
1133 Di saat memperoleh kesempatan ganti napas, benak
Thaykam kecil sudah berpikir putar balik. Dia teringat akan
keluarganya yang sudah tiada, hidup menyendiri dalam
keadaan melarat dan menderita, teringat betapa manis dan
baik budi orang Kaypang yang telah menolongnya dari
kesengsaraan, dia tahu pula betapa besar arti tugas yang
sedang diembannya ini, maka dengan mengertak gigi pelanpelan
dia mendongak, katanya mendesis: "Aku, tiada yang
perlu kukatakan."
Ternyata sejak kecil dia sudah ditinggal mati ayah bunda,
tiada sanak tiada kadang dia hidup terlunta sejak kecil, suatu
ketika dia ditolong orang Kaypang dan berusaha menanamnya
didalam istana raja, disini dia dikebiri menjadi Thaykam.
Sudah beberapa tahun dia hidup didalam lingkungan istana,
namun sejauh ini hidupnya masih belum tentram, akhir tahun
yang lalu baru dirinya diangkat ke istana dalam untuk
melayani raja, barulah kehidupannya disini lebih mending,
meski sudah hidup serba berkecukupan tapi dia tidak pernah
melupakan kebaikan orang-orang Kaypang, tidak pernah lupa
akan pesan ayah bundanya sebelum ajal mereka dahulu.
Kini dalam benaknya dia berpikir: "Tio-thocu amat percaya
padaku, maka dia menugaskan aku menjadi agen disini,
tugasku berat tapi besar dan penting artinya. Walau aku tidak
tahu untuk apa mereka mengutus orang untuk menemui
Baginda Raja, namun dia menduga urusan besar ini pasti
menyangkut kepentingan rakyat banyak, mana boleh aku
menjual mereka."
Agaknya orang itu yakin dengan mudah dia akan berhasil
mengompres keterangannya, tak nyana dengan tegas dia
menjawab: "Tidak", hal ini betul-betul diluar dugaannya.
Setelah menjengek sekali orang itu tertawa dingin: "Baik, kau
tidak mau bicara, biar kugusur kau kehadapan Hu-congkoan,
di kantornya ada delapan belas jenis alat siksa, setiap jam
boleh diganti alat siksa lain supaya derita yang kau alami bisa
1134 merata, yakin kau akan dilayani dengan puas dan santai. Coba
saja waktu itu, kau mau bicara tidak?"
Waktu dia hendak seret Thaykam kecil itu keluar dari Sim
hiang-ting, baru saja langkah kakinya bertindak, mendadak
dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menyambar
kelenci menubruk ke arah dirinya, belum lagi orang itu sempat
bersuara, mendadak dadanya terasa kesemutan, Hian-ki-hiat
di dada telak tertimpuk oleh tanah lempung timpukan Tan
Ciok-sing. Sudah tentu lemas pegangan orang itu, "Bluk" kontan dia
tersungkur jatuh. Sementara Thaykam kecil terhuyung bebas
lalu menggelendot di lankan dengan pandangan rnenjublek.
Lekas Ciok-sing bebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Thaykam
kecil, tangan kanan terulur, di Yang-ciang dia tekan tiga kali,
lalu menekan pula tiga kali di In-ciang. Inilah isyarat yang
telah mereka janjikan sebelumnya.
Sungguh kaget dan girang Thaykam kecil bukan main,
katanya: "Kau utusan pihak Kaypang syukurlah akhirnya kau
datang juga."
"Maaf, aku datang terlambat selangkah, sehingga kau
menderita," demikian ucap Tan Ciok-sing. "Sekarang tak usah
banyak bicara, beritahu padaku, apakah orang ini wisu yang
bertugas malam ini?"
"Dia ini pimpinan barisan wisu, tapi malam ini bukan dia
yang berdinas," sahut Thaykam kecil.
Ciok-sing tidak perlu kualir, segera ia turun tangan, sekali
remas dia gunakan Jong-jiu-hoat menggetar pecah urat nadi
pemimpin barisan Wisu, tanpa mengeluarkan suara jiwa orang
itu melayang seketika.
"Dimana sekarang Baginda berada, kau tahu?" tak sempat
menyembunyikan mayat orang itu, segera dia tanya kepada
Thaykam kecil. 1135 Thaykam kecil menjawab: "Baginda ada di Long-gak-kek,
tadi aku melihat dia sedang membaca laporan dinas, kudengar
dia berpesan kepada Thaykam yang berdinas di kamar
bukunya, katanya dia malam ini hendak tidur di kamar tulis,
tidak seperti biasanya dia harus tidur bergiliran di kamar
selirnya. Agaknya malam nanti dia akan tidur jauh malam,
mumpung ada kesempatan, kau bisa menemuinya disana. Kau
tahu letak Long-sim-tiam," dalam gambar peta yang dibuat
Thaykam kecil ada diterangkan dengan jelas, karena tempat
itu merupakan gedung bangunan yang cukup besar, Tan Cioksing
yakin tidak sulit untuk mencarinya, katanya: "Aku tahu."
"Kalau demikian maaf aku tidak antar kalian kesana," ucap
Thaykam kecil. Sementara itu In San berada diluar gardu mengawasi
keadaan sekitarnya, Thaykam kecil tahu dia datang bersama
Tan Ciok-sing. Untung dalam jangka waktu yang pendek ini
tiada rombongan ronda yang lewat disini. Thaykam kecil ini
tidak bisa main silat, jikalau dia disuruh mengunjukkan
tempatnya mungkin bisa menambah beban mereka malah.
Maka Tan Ciok-sing berkata: "Baiklah, kau tak usah kuatir, aku
pasti dapat temukan tempat itu. Tolong mayat ini kau yang
mengurusnya." - Dalam hati dia membatin, setengah jam lagi
bakal bertemu dengan Baginda, umpama mayat orang ini
ketemu orang juga tidak jadi soal lagi.
Baru saja Tan Ciok-sing hendak berlalu, Thaykam kecil itu
mendadak berkata: "Hiapsu, tunggu sebentar..."
"Masih ada persoalan apa?" tanya Tan Ciok-sing menoleh.
Sikap Thaykam kecil agak ganjil, sesaat kemudian baru
berkata: "Bila kau bertemu dengan Tio-thocu, tolong
sampaikan kepadanya, katakan bahwa aku tidak pernah
melupakan petuahnya."
Karuan Tan Ciok-sing melenggong, pikirnya: "Dalam saat
segenting ini, kau masih mengoceh kepersoalan yang tidak
1136 perlu," katanya: "Baik, pesanmu pasti kusampaikan," lalu dia
ajak In San berlalu.
Setelah meninggalkan Sim-hiang-ping baru Tan Ciok-sing
menelaah pesan Thaykam kecil yang dirasakan agak ganjil,
serta mimik mukanya yang aneh, mau tidak mau dia menaruh
curiga, belum jauh mereka pergi, sayup-sayup tiba-tiba
didengarnya suara rintihan seseorang.
Tan Ciok-sing . terperanjat, katanya: "Lekas balik, kita lihat
apa yang terjadi?"
"Lihat apa?" tanya In San heran. Maklum pendengarannya
tidak setajam Tan Ciok-sing, meski dia mendengar sesuatu
suara dari Sim-hiang-ting, namun dia tidak bisa membedakan
suara apa itu. "Mungkin Thaykam kecil itu mengalami sesuatu," ujar Tan
Ciok-sing. Tadi mereka melihat Thaykam kecil itu telah menyeret
mayat orang itu kedalam gua di bawah gunungan, maka
begitu tiba di Sim-hiang-ting, langsung mereka juga menyusup
kedalam gua, seketika mereka terbelalak kaget, ternyata
sebatang belati tampak menancap di dada Thaykam kecil,
tubuhnya roboh berdampingan di samping mayat tadi dan
masih kelejetan, ternyata dia menggunakan belati yang
tergantung di pinggangnya mayat itu untuk membunuh diri.
Lekas Tan Ciok-sing menubruk maju serta menutuk
beberapa Hiat-to untuk mencegah darah mengalir keluar, tapi
belati itu menembus jantung, mana mungkin jiwanya ditolong
lagi" Pertolongan pertama yang dilakukan paling hanya
memperpanjang napasnya sehingga dia masih bisa bertahan
hidup beberapa kejap lamanya.
Lambat laun Thaykam kecil membuka mata, katanya lirih:
"Kenapa tidak lekas kau tunaikan tugasmu?"
1137 "Kau, kenapa kau bertindak senekat ini?" ujar Tan Ciok-sing
gugup. "Cepat atau lambat peristiwa ini pasti terbongkar, dan lagi
aku kuatir bila kejadian ini terlalu cepat diketahui mereka, aku
sendiri tidak yakin apakah di bawah siksaan mereka aku kuat
bertahan untuk tidak mengaku."
Tahu jiwanya tak mungkin ditolong lagi, terpaksa Tan Cioksing
berkata: "Adakah pesanmu yang lain?"--Segera dia
dekatkan telinganya di mulut orang, didengarnya suara yang
keluar dari mulut Thaykam kecil selirih bunyi nyamuk: "Aku,
aku sudah tidak punya orang tua, tiada sanak tidak punya
kandang, tiada yang perlu kau repotkan. Tolong saja kau
sampaikan pesanku tadi kepada Tio-thocu," habis bicara
matanya terpejam, napaspun putus.
Tan Ciok-sing menyembah tiga kali terhadap jenazah
Thaykam kecil, katanya: "Walau Thaykam ini tidak pandai
silat, namun dia patut disebut seorang pendekar besar."
In San menghibur: "Sekarang bukan saatnya bersedih,
marilah kita dengarkan pesannya, lekas mengerjakan tugas
kita yang penting."
Mereka segera mengembangkan Ginkang, sepanjang jalan
ini dengan mudah mereka menghindari kawanan Wisu yang
mondar mandir. Lekas sekali mereka sudah mengitari Yongsim-
tiam, Long-gak-kekpun telah tampak di depan mata.
Long-gak-kek merupakan gedung bertingkat dua, mereka
sembunyi di tempat gelap, mendongak ke atas, tampak kamar
di atas loteng memang ada sinar lampu yang menyorot keluar,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan seorang tampak juga di atas jendela sutra, dari
gayanya tampaknya sedang membaca sesuatu, pastilah
Baginda Raja sedang membaca laporan dinas. Di bawah
loteng di depan pintu berdiri dua Wisu.
Dalam hati Tan Ciok-sing mereka: "Kungfu kedua Wisu ini
pasti lebih tinggi, tanah lempung kecil mungkin tak kuasa
1138 menutuk Hiat-to mereka," terpaksa dia menyerempet bahaya,
dengan Kim-ci-piau (mata uang emas) menggunakan cara
menimpuk menutuk Hiat-to. Mata uang itu memang meluncur
secepat kilat, baru saja kedua Wisu itu membuka mulut
hendak berteriak, Hiat-to pelemas di tubuh mereka telah
tertimpuk dengan telak. Kontan tubuh mereka bergetar sekali,
tapi mereka tetap berdiri tegak di tempat masing-masing
tanpa dapat bergerak lagi. Kecuali seorang ahli silat yang
kebetulan lewat di depan mereka, orang lain takkan tahu
kalau mereka sudah dikerjai orang.
Seluruh perhatian Baginda Raja sedang ditujukan pada
laporan yang dibacanya, hakikatnya tidak ambil peduli dan
tidak tahu apa yang terjadi diluar. Tapi diluar kamar bukunya
dijaga pula seorang jago kosen dari istana, dengan jelas jago
kosen ini mendengar luncuran kedua mata uang dan kedua
Wisu yang jaga di bawah seketika bungkam.
Sudah tentu timbul rasa curiga jago kosen ini, tapi mimpi
juga dia tidak pernah menduga ada orang luar yang berani
datang ke istana yang terlarang, sudah tentu tak pernah
terbayang pula olehnya bahwa ada pembunuh hendak
mengincar jiwa junjungannya. Tanpa bersuara atau
mengganggu Baginda, diam-diam dia beranjak dari
tempatnya, dengan berjinjit-jinjit dia turun dari loteng tanpa
diketahui siapapun.
Tan Ciok-sing memang menanti kedatangannya, begitu kaki
orang melangkah keluar pintu, kontan dia persen orang
dengan timpukan sebentuk mata uang. Tak nyana jago kosen
ini memiliki kepandaian tinggi, mata uang itu sempat
dijentiknya pergi. Namun demikian, walau mata uang itu
dijentiknya jatuh, jari tangan sendiripun sakit bukan main,
malah seluruh lengan kanannya pegal dan linu tak mampu
bergerak lagi. 1139 Dalam waktu singkat terasa angin kesiur menerjang tiba,
tahu-tahu Tan Ciok-sing di kiri dan ln San di kanan sudah
menyergapnya bersama.
Walau orang ini boleh terhitung jago kosen, namun bila
dibanding Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat dan kepala
barisan Bayangkari Hu Kian-seng masih kalah jauh, padahal
taraf kepandaian Tan Ciok-sing kira-kira sembabat dengan Bok
Su-kiat, cukup Tan Ciok-sing seorang sudah mampu
membekuk dia, apalagi ada ln San membantunya" Akibatnya
meski dia melawan sekuat tenaga, hanya tiga gebrak dia
mampu melawan, kontan dia terpukul roboh oleh Tan Cioksing,
celakanya diapun tidak sempat bersuara minta tolong.
Tapi waktu tubuhnya jatuh masih mengeluarkan suara
gedubukan, suaranya jelas lebih keras dari mata uang yang
jatuh tadi. Baginda Raja yang sedang asyik membaca di kamar
bukunyapun mendengar suara gedubukan ini. Dengan kaget
dia meletakkan laporan dinas yang dibacanya, tanyanya
kepada seorang Thaykam di sampingnya: "Siau-cu-cu, kau
dengar tidak, barusan Tim mendengar seperti ada benda apa
yang jatuh diluar?"
Siau-cu-cu she Bong bernama Tit, salah seorang Thaykam
berkuasa yang paling dipercaya dan disayang Baginda,
ambisinya besar, pandai menjilat dan berusaha untuk
menyampaikan suatu permintaan tertentu kepada Baginda
Raja. Katanya: "Biar hamba keluar melihatnya, mungkin
sesuatu yang jatuh tertiup angin kencang. Tiga Wisu yang
dinas jaga malam ini di Long-gak-kek semua berkepandaian
tinggi, Baginda tidak usah kuatir apa-apa."
Baginda Raja berkata: "Tim yakin takkan ada sesuatu yang
terjadi, baiklah tak usah kau keluar melihatnya."
"Terima kasih Baginda," ucap Bong Tit.
1140 Baginda berkata pula: "Barusan Tim ada membaca sebuah
laporan, baru aku tahu diluar ternyata telah terjadi sesuatu
yang menggemparkan, tapi Tim masih dikelabui sejauh ini.
Tim jadi ingat rencana yang pernah kau usulkan beberapa hari
yang lalu, jikalau diluar kekuasaan kepala Bayangkari didirikan
lagi sebuah badan yang dinamakan Say-tio, em, ya, rencana
ini, rencana ini..."
"Harap Baginda periksa dengan baik," lekas Bong Tit
mengumpak, "maksud hamba adalah supaya Baginda lebih
banyak memilih orang kepercayaan untuk disebar mata kuping
(mata-mata)..." ternyata Say-tio atau suatu badan intelejen
yang akan dipimpin sendiri oleh Bong Tit. Bukan saja
kekuasaan dan operasinya hendak menandingi kepala
Bayangkari yang paling berkuasa di seluruh bilangan istana,
diapun ingin memiliki kekuasaan besar untuk membunuh dan
menghukum siapa saja yang dinilainya perlu dihukum atau
dibunuh. Belum habis mereka berbicara mendadak "Biang" daun
pintu tahu-tahu menjeplak keras didorong orang dari luar.
Orang yang menerjang masuk jelas adalah Tan Ciok-sing dan
In San berdua. Bong Tit membentak: "Hoan Tiong-cu, keparat gila kau"
Ada urusan apa kau main terjang..." Hoan Tiong-cu adalah
jago kosen yang jaga diluar kamar dan ditutuk oleh Tan Cioksing
dengan timpukan mata uang tadi. Tapi setelah melihat
jelas siapa yang menerjang masuk ternyata muda mudi, yang
laki bukan Thaykam dan yang perempuan juga bukan dayang,
maka mulutnya yang memangnya berkaok itu seketika
melompong lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya.
Waktu Tan Ciok-sing menegas, Baginda Raja ternyata
adalah pemuda yang berusia dua puluh lima atau duapuluh
enam tahun, sementara Thaykam yang dipangil Siau-cu-cu
yang bernama Bong Tit berusia sekitar tiga puluhan.
1141 Baginda Raja kelihatan jauh lebih tenang dan tabah,
bentaknya: "Siapa kalian" Untuk apa main terjang ke kamar
buku Tim?" Perlu diketahui Baginda Raja bernama Cu Kian-sin,
bila dinilai sesungguhnya raja ini tidak begitu jelek. Sejak
umur delapan belas tahun dia dinobatkan sebagai raja (tahun
1465), belum lama setelah dia mencuci bersih nama baik Ih
Cian yang pernah menjabat sekretaris militer di waktu ayah
bagindanya dulu menjadi raja, sayang nasib Ih Cian amat
jelek, akhirnya dia mati oleh komplotan dorna yang
memfitnahnya. Karena Cu Kian-sin (raja) ini pernah melakukan perbuatan
yang mulia ini maka Liok Kun-lun, dan Lim Ih-su mempunyai
kesan yang cukup baik dan menaruh angan-angan kepadanya.
Tapi sayang sekali semakin dewasa dia justru semakin
lemah hati dan mudah dijilat, segan menggunakan otak
sehingga kawanan dorna memperoleh kesempatan untuk
berkomplot dan pegang kuasa untuk
mengelilinginya, dia dianjurkan hidup foya-foya dan
dimabuk kesenangan, sehingga akhirnya dia menjadi raja
bulan-bulanan dan dijadikan boneka oleh kawanan dorna yang
berkuasa. Belakangan setelah dia mengangkat Bong Tit dan
mempercayakan dia mendirikan Say-tio, dia lebih diperalat
untuk memberantas para pembesar yang setia dan jujur,
sehingga pemerintahannya semakin bobrok. Ini terjadi di
belakang hari, disini kami tidak bercerita berkepanjangan.
Meski berwatak lemah, betapapun dia seorang raja sedikit
banyak masih punya wibawa, kini dengan menabahkan hati
dia membentak, padahal jantungnya berdebur keras, sehingga
sikapnya masih kelihatan tenang dan agung sebagaimana
seorang raja, jelas dia jauh lebih tenang dibanding Bong Tit
yang sudah gemetar di pinggir sana.
?"Baginda boleh tidak usah takut," ujar Tan Ciok-sing, "ada
urusan penting yang ingin kami sampaikan kepada paduka,
jadi tak usah dibuat kuatir."
1142 Di kala Tan Ciok-sing bicara, In San sekali berkelebat telah
menubruk ke arah Bong Tit serta menutuk Hiat-tonya. "Bluk"
kontan Bong Tit terkulai roboh tidak ingat diri.
Baru sekarang Cu Kian-sin ambil perhatian, dilihatnya In
San adalah seorang gadis belia yang cantik rupawan, tapi
gadis rupawan ini ternyata tega turun tangan sekeji dan
seliehay ini, mau tidak mau dia kaget dan jeri pula. "Kau, kau
bilang tidak bermaksud jahat, lalu, kenapa kalian melukai
Thaykam yang mendampingiku?" sesaat kemudian baru Cu
Kian-sin kuasa bertanya dengan gelagapan.
Lekas In San berlutut, katanya: "Mohon paduka suka
memaafkan kekurang ajaran hamba, soalnya urusan yang
hendak kami laporkan teramat penting dan hanya paduka saja
yang boleh tahu. Terpaksa hamba bertindak kasar menutuk
Hiat-to penidur Thaykam ini. Setelah dua belas jam, dia akan
siuman sendiri."
Melihat orang menyembah dan memberi hormat
selayaknya, legalah hati Cu Kian-sin, katanya: "Nona memiliki
kepandaian setinggi ini, sungguh jarang terlihat olehku.
Baiklah kuampuni kesalahanmu, silahkan bangun, Nona, kau
belum menjelaskan kepada Tim, siapa kau sebenarnya?"
setelah rasa jerinya sedikit tawar, mau tidak mau dia jadi
kepincut melihat kecantikan In San, diam-diam dia membatin:
"Nona manis ini cantiknya bagai kembang, lebih jelita dari selir
yang beberapa hari yang lalu kugauli."
In San adalah gadis polos dan suci murni, sedikit banyak
dia masih membawakan wataknya yang kekanak-kanakan,
mana dia tahu bahwa sang raja padahal kepincut oleh
kecantikannya, melihat orang kesima mengawasi dirinya tak
tertahan dia cekikik geli, katanya: "Waktu kecil dulu hamba
pernah bertemu dengan Baginda, tapi Baginda pasti sudah
lupa." Cu Kian-sin terheran-heran, katanya: "Kau pernah melihat
Tim, jadi, kau, siapakah kau?"
1143 In San berkata: "Kakekku adalah Bu-conggoan In Jong,
ayahku adalah In Hou pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun.
Waktu kecil pernah ayah membawaku bermain-main di Siahoa-
wan, waktu itu kebetulan Baginda sedang naik perahu
memetik buah teratai di telaga buatan bersama beberapa
dayang, ayah memberitahu padaku bahwa kau adalah Thaycu
(pangeran)."
Cu Kian-sin tertawa, katanya: "O, jadi kau ini cucu In Jong,
putri In Hou. Kakekmu dulu amat berjasa terhadap ayah
Baginda almarhum, sayang ayahmu tidak mau bekerja untuk
Tim. Apakah ayahmu baik-baik saja?"
"Terima kasih akan perhatian Baginda, sayang sekali ayah
telah lama meninggal."
"Sayang, sayang sekali, apakah kau punya saudara?"
"Ayah ibuku hanya melahirkan aku seorang."
"Wah harus disayangkan. Mengingat kau adalah keturunan
pembesar setia, sebetulnya Tim ingin menganugrahi jabatan
dalam kalangan pemerintahan untuk sanak kadangmu, sayang
keluargamu tiada lelaki yang bisa menerima anugrahku ini.
Tapi pembesar perempuan sekarang juga sudah umum,
bagaimana kalau kau tinggal di istana menjadi pembesar
perempuanku yang utama. Apalagi ilmu silatmu amat bagus,
kau boleh menjadi pengawal pribadiku, bila senggang boleh
kau ajarkan kepandaian kepada para dayang dan selirku
supaya mereka pandai menjaga diri."
"Terima kasih atas penghargaan Baginda, aku tidak ingin
jadi pembesar. Bicara soal Kungfu, dibanding Tan-toako ini,
aku masih kalah jauh, bila Baginda ingin dibantu orang yang
berkepandaian tinggi..."
Agaknya Cu Kian-sin tidak senang dan tidak sabar
mendengar In San mengangkat orang lain, segera dia
menukas: "Soal lain biarlah dibicarakan nanti. Tim ingin tanya
1144 padamu, apa kehendakmu" Kalau tidak jadi pengawal, lalu,
kau jadi, jadi..."
Belum terpikir olehnya anugrah apa yang tepat untuk dia
berikan kepada In San, Tan Ciok-sing yang menunggu di
samping sejak tadi juga sudah tidak sabar lagi, pikirnya:
"Baginda lalim ini ternyata suka mengurus tetek bengek,
kenapa tidak dia gunakan otaknya, tengah malam buta rata
kami menyelundup ke tempat kediamannya yang terlarang
dan terjaga ketat, memangnya hanya ingin ajak ngobol sama
kau?" mengingat waktu amat mendesak, dia tidak peduli
apakah tindakannya kurang ajar atau merendahkan derajat
Baginda, segera dia tampil ke muka serta menjura, katanya:
"Siau-bin (rakyat jelata) Tan Ciok-sing, ada urusan penting
ingin lapor kepada paduka yang mulia, mohon maaf akan
kelancangan kami ini."
Dia hanya menjura tanpa berlutut, menurut aturan jaman
itu, pemberian hormat itu ditujukan kepada sesama orang
yang setingkat. Jadi kalau diusut menurut perundangundangan
kerajaan, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah
melanggar aturan yang patut dihukum penggal kepala karena
dianggap kurang ajar terhadap rajanya.
Karuan Cu Kian-sin gusar, bentaknya: "Memangnya
matamu tidak melihat Tim sedang bicara dengan nona In ini"
Kau ada keperluan apa boleh dibicarakan nanti. Kalau tidak
kau keluar saja, biar nona In mewakili kau bicara saja,"--
jikalau ada Wisu di dekatnya, tentu dia sudah suruh
pengawalnya membekuk Tan Ciok-sing.
"Aku tahu," bantah Tan Ciok-sing, "urusanku teramat
penting dan tidak boleh ditunda-tunda, jikalau Baginda tidak
selekasnya memberi putusan dan bertindak membereskannya,
kemungkinan kawanan dorna akan bergerak lebih dulu."
In San berkata dengan tertawa: "Tan-toako ini berwatak
berangasan, Baginda, mohon kau maafkan kelancangannya.
Tapi apa yang dikatakan memang benar."
1145 Cu Kian-sin lantas melirik dingin kearah Tan Ciok-sing,
katanya: "O, jadi kau mau laporan apa terhadap Tim" Siapa
itu pembesar dorna" Coba jelaskan."
Tan Ciok-sing berkata: "Kedatanganku ini demi
memperjuangkan kepentingan rakyat jelata. Bicara soal


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengadu, bolehlah dikata mengadu untuk memperjuangkan
nasib rakyat. Tapi lebih penting lagi adalah demi kepentingan
tanah air dimana sekarang Paduka berkuasa. Seharusnya aku
harus melampirkan surat laporan, namun kuatir kawanan
dorna juga ada kaki tangan di dekat Baginda, maka terpaksa
kami memberanikan diri menghadap langsung kemari.
Pembesar dorna itu adalah..." sampai disini dia ulur jari
tengah tangan kanan, lalu menggores huruf di permukaan
meja tulis raja, nama orang yang ditulisnya dengan gaya
indah dan kuat itu adalah 'Liong Bun-kong'.
Meja yang licin mengkilap terbuat dari kayu cendana yang
keras itu ternyata tergores dalam oleh gerakan jari tangan Tan
Ciok-sing, melihat demontrasi kehebatan ilmu jari Tan Cioksing
ini, Cu Kian-sin seketika berdiri mematung, sekujur badan
menjadi dingin lemas seperti diguyur air dingin, otaknya yang
kepincut oleh kecantikan In San tadi seketika sadar. Diamdiam
dia membatin: "Mereka datang bersama, sikap In San
begitu mesra terhadap anak muda ini, agaknya hubungan
mereka tentu sudah teramat intim. Bocah ini dapat menggores
huruf di permukaan meja, jikalau jarinya yang sekeras baja itu
mengetok tubuh Tim, wah pasti celaka aku ini," mengingat
kedudukan dan situasi yang dihadapinya sekarang, seolaholah
dirinya sudah berada di genggaman bocah she Tan ini,
mana berani dia bertingkah dan unjuk kewibawaan sebagai
seorang raja"
In San tertawa, katanya: "Toako. di meja Baginda kau
menulis nama pembesar dorna itu, apa kau tidak takut dilihat
orang lain" Apalagi meja Baginda ini begini antik, setelah kau
gores dengan huruf-huruf pembesar keparat itu menjadi
1146 lenyap nilai ke antikannya, selanjutnya tentu tak bisa dipakai
lagi, sungguh sayang."
"Kukira tidak jadi soal, biarlah aku hapus saja," ujar Tan
Ciok-sing, sekenanya telapak tangannya menghapus di
permukaan meja, eh, seperti main sulap belaka, ketiga
goresan huruf itu ternyata lenyap tak berbekas lagi, namun di
permukaan meja bertumpuk serbuk halus. Setelah
membersihkannya, Tan Ciok-sing berkata: "Permukaan meja
ini terpaksa kuhapus sedikit dekuk ke bawah dan tidak rata
lagi, untuk ini harap Baginda memberi maaf."
Karuan semakin ciut nyali Cu Kian-sin, cukup lama
kemudian baru dia kuasa bicara: "Itu soal kecil, tak usah
dirisaukan. Entah karena apa Hiap-su (tuan pendekar)
mengatakan Liong-siangsu (sekretaris Liong) adalah pembesar
dorna?" "Secara diam-diam dia mengadakan intrik dan meneken
surat perdamaian dengan pihak Watsu. Duta rahasia utusan
Watsu itu masih berada di rumahnya, apakah Baginda tidak
tahu?" tanya Tan Ciok-sing.
Cu Kian-sin pura-pura kaget, katanya: "O, apa betul ada
kejadian itu" Sungguh Tim tidak tahu sama sekali."
"Kalau demikian nyali Liong Bun-kong sungguh teramat
besar, diluar tahu raja dia berani bertindak diluar garis
kekuasaannya. Mohon Baginda menghukumnya sebagai
penghianat bangsa menjual negara."
"Tapi apakah Hiapsu bukan mendengar fitnah orang lain?"
tanya Cu Kian-sin. "Ketahuilah menghukum pembesar tinggi
merupakan perkara dinas yang luar biasa, apalagi Tim tidak
bisa menerima pengaduan sepihak lalu mempercayainya
demikian saja, bila kau bisa mengunjukkan bukti dan
kenyataan bahwa dia penghianat dan penjual tanah air,
barulah hukuman bisa segera dilaksanakan."
1147 "Baginda menginginkan bukti dan kenyataan, kukira ini
bukan soal sulit, coba Baginda periksa inilah surat perjanjian
permohonan damai yang di tanda tangani oleh Liong Bunkong
sendiri." Cu Kian-sin terima konsep surat permohonan perdamaian
itu serta membaca dan memeriksanya dengan seksama, diamdiam
hatinya amat kaget dan badan menjadi lunglai, mulutpun
terkancing tak mampu bersuara. Dia kaget bukan karena
reaksi surat perdamaian ini terlalu merendahkan derajat dan
martabat bangsa. Pada hal isi dan makna dari surat perjanjian
ini sebelumnya sudah dia ketahui. Surat-surat yang tadi dia
periksa dan baca adalah lampiran surat perjanjian damai dari
laporan rahasia Liong Bun-kong atas hasil kerjanya, jadi isi
yang tertulis di dalamnya kira-kira sama dengan konsep surat
perjanjian yang diserahkan Tan Ciok-sing kepadanya.
Yang membuatnya kaget adalah surat sepenting ini,
bagaimana bisa Liong Bun-kong tidak menyimpannya di
tempat rahasia sehingga terjatuh ke tangan Tan Ciok-sing"
Agaknya In San dapat meraba jalan pikirannya, katanya:
"Beberapa malam yang lalu kami memperolehnya langsung
dari tangan Liong Bun-kong di rumahnya. Dengan mata kepala
kami sendiri kami saksikan duta rahasia Watsu itu menginap di
rumahnya, sayang kami tidak berhasil membekuk Duta rahasia
Watsu itu."
In San berkata lebih lanjut: "Tulisan tangan Liong Bunkong,
tentunya Baginda cukup mengenalnya, jangan dicurigai
bahwa surat yang kami serahkan ini palsu."
Jantung Cu Kian-sin benar-benar berdegup keras, lekas dia
berkata: "Nona In, dua generasi keluargamu adalah pembesar
setia terhadap kerajaan, apa yang kau katakan, masa Tim
tidak percaya."
"Kalau Baginda percaya kami tidak main curang, coba
periksa surat perjanjian itu, apakah tidak terlalu merendahkan
1148 derajat dan martabat bangsa serta negara?" " " lalu dia
serobot surat perjanjian itu dari tangan Cu Kian-sin serta
membaca bagian yang penting: "Pertama: Kerajaan Bing
dilarang menempatkan pasukannya di kota Tay-tong, itu
berarti mengosongi dan membuka pintu membiarkan tentara
Watsu masuk tanpa rintangan menduduki tanah kita. Kedua:
daerah barat kota Yong-ciu dan utara Liong-ciu diserahkan
kepada pihak Watsu, itu berarti menyerahkan tanah dan
rakyat kita kepada musuh di bawah kekuasaan penjajah,
tanpa berperang musuh telah menduduki tanah perdikan kita.
Ketiga: setiap tahun harus mengirim tiga ratus laksa tahil
perak sebagai upeti kepada raja Watsu, itu berarti darah dan
keringat rakyat diperas untukmemperkuat rangsum dan
perongkosan angkatan perang musuh. Keempat: Dynasti Bing
diharuskan menggabung kekuatan pasukannya untuk
membersihkan perbatasan dan tangan kaum..."
Sampai disini sengaja Tan Ciok-sing merandek, lalu
bertanya kepada Cu Kian-sin: "Untuk yang ke empat ini
tentunya Baginda merasa menguntungkan bagi kerajaan di
bawah pemerintahanmu bukan" Entah Baginda tahu atau
tidak siapakah 'kaum pemberontak" yang akan disapu bersih
oleh pihak Watsu dengan kekuatan pasukan kerajaan kita?"
Sudah tentu Cu Kian-sin tahu, tapi mana dia berani terus
terang, terpaksa pura-pura tidak tahu, tanyanya: "Siapa?"
Tan Ciok-sing berkata: "Yaitu Kim-to Cecu Ciu San-bin,
yang menggabung seluruh kekuatan laskar rakyat
membendung beberapa kali intervensi pasukan besar Watsu."
In San ikut memberi penjelasan: "Ayah Ciu San-bin yaitu
Ciu Kian dahulu pernah diangkat sebagai kepala staf pasukan
besar yang berkuasa di Tay-tong di kala ayahmu almarhum
bertahta dulu, belakangan Ciu Kian dipaksa untuk
memberontak oleh kelicikan dan fitnah Ong Tin yang berkuasa
waktu itu, walau akhirnya Ciu Kian menduduki gunung
mengangkat diri sebagai raja penyamun, namun selamanya
1149 dia pantang bentrok dengan pihak kerajaan, sejauh ilu dia
masih setia dan loyal kepada tanah air dan bangsa serta
rajanya. Mereka ayah beranak dua generasi membuka ladang
bercocok tanam demi kesejahteraan laskar rakyat yang
dipimpinnya, belum pernah mereka membegal dan merampas
hak milik pemerintah. Yang diincar selalu adalah milik pihak
Watsu. Baginda, coba katakan, laskar rakyat yang berjuang
demi rakyat dan membela tanah air, bolehkah dianggap
sebagai kaum pemberontak?"
Terpaksa Cu Kian-sin menanggapi: "Kalau seperti apa yang
kau katakan, sudah tentu tidak boleh dianggap kaum
pemberontak."
Tan Ciok-sing meneruskan komentarnya: "Syarat ke empat
ini justru yang paling keji dan jahat, secara langsung Baginda
sendiri harus menghancurkan negara yang dikuasainya."
"Pendek kata," timbrung In San, "bila Baginda menuruti
syarat yang diajukan itu, menanda tangani perjanjian ini, itu
berarti rakyat dan tanah air kita terancam malapetaka dan
kemelut. Maka kami mohon Baginda suka bertindak dan
berkeputusan dengan tegas, jangan kena pengaruh oleh orang
lain." "Baiklah," ucap Cu Kian-sin, "tolong kalian suka memikirkan
cara bagaimana Tim harus bertindak?"
Tan Ciok-sing tidak sungkan lagi, katanya: "Menurut
pendapatku, paduka harus berani bertindak tegas dan
memikirkan kepentingan bangsa dan negara, menyikat
pembesar dorna, membersihkan aparat pemerintah dari
anasir-anasir jahat, angkat senjata melawan serbuan kaum
penjajah."
Cu Kian-sin mendengarkan sambil manggut-manggut,
sesaat dia menunduk menepekur, lalu dia pegang poci teh
kecil di atas meja menuang secangkir kecil terus ditenggak
habis. Seolah-olah minum teh untuk membangkitkan
1150 semangatnya, dengan semangat menyala baru dia bisa
memusatkan pikirannya.
Setelah minum baru Cu Kian-tin seperti teringat sesuatu,
katanya tertawa: "Nona In kau adalah tamuku, kita boleh
tidak persoalkan perbedaan derajat, adalah pantas kalau Tim
menyambutmu sebagai tamuku. Selama ini kau disini, aku
belum sempat menyuguh barang secangkir teh. Inilah daun
teh keluaran Kiu-kang yang diseduh dengan air embun, rasa
dan baunya amat harum, silahkan kaupun minum secangkir,"
lalu dia ambil cangkir yang lain serta hendak mengisinya
dengan air teh.
Sejak magrib tadi setelah memasuki istana, sampai
kentongan ketiga ini In San memang belum minum, apalagi
karena terlalu tegang dan was-was tadi tidak dirasakan, kirii
dia benar-benar merasa haus sekali. Mencium bau teh, dalam
hati dia berpikir: "Entah bagaimana rasanya air teh yang
diminum raja, mumpung ada kesempatan aku dapat
mencicipinya disini," segera dia maju mendekat serta merebut
poci dari tangan Cu Kian-sin serta menuangnya secangkir
penuh. Katanya: "Terima kasih atas pemberian secangkir teh
ini, mana berani menyusahkan Baginda, biarlah aku
mengisinya sendiri."
Jiwa In San memang masih kekanak-kanakan, ingin
merasakan bagaimana rasanya air teh pemberian raja, namun
tak pernah dia mengabaikan kewaspadaan. Namun dia melihat
Baginda sudah minum dulu secangkir, air teh yang dia tuang
sendiri keluar dari poci yang sama, maka dia pikir teh yang
boleh diminum raja, tentu boleh juga dia minum.
"Tan-hiapsu," kata Cu Kian-sin, "kau sudah bicara panjang
lebar, tentunya mulutmu juga sudah kering silahkan kaupun
minum secangkir. Sungguh harus disesalkan, hanya ada orang
Thaykam yang biasa melayani aku di kamar buku ini,
sepantasnya Thaykam yang meladeni kalian berdua."
1151 "Baginda tidak usah sungkan, aku tidak dahaga," sahut Tan
Ciok-sing. Namun In San sudah menuang secangkir penuh, katanya
tertawa: "Toako, In-bu-teh ini memang enak rasanya, Baginda
sudi memberimu secangkir, marilah kau habiskan secangkir
ini." Melihat In San tidak menunjukan reaksi apa-apa setelah
minum secangkir, maka dengan lega hati Tan Ciok-sing segera
habiskan juga secangkir teh itu. Setelah minum Tan Ciok-sing
berkata: "Urusan besar negara sebetulnya aku tidak berani
banyak bicara. Tapi nuraniku memberontak setelah melihat
kenyataan ini, terpaksa aku memberanikan diri menyampaikan
persoalan yang sebenarnya, mohon Baginda berpikir lagi lebih
seksama." "Kau mau bicara apa boleh silahkan katakan saja," kata Cu
Kian-sin. "Menurut pendapatku, damai dengan musuh tak ubahnya
sekandang dengan harimau. Jikalau kita mohon perdamaian
sesuai perjanjian ini, tanpa menempatkan pasukan di
perbatasan dan harus menyerahkan sebagian tanah perdikan
kita, bila kekuatan musuh semakin melebarkan sayap, tentu
lebih sukar kita membendungnya, dan hal itupun hanya
tentram untuk sementara, bila pasukan besar Watsu benarbenar
dikerahkan, maka tanah kekuasaan Baginda yang luas
ini akan dicaplok habis oleh musuh."
Cu Kian-sin menunduk seperti memeras otak agaknya dia
tidak terpengaruh oleh penjelasan Tan Ciok-sing dan masih
mengukuhi pendapat sendiri. Apa boleh buat terpaksa Tan
Ciok-sing menggunakan caranya yang terakhir, katanya: "Bila
paduka tetap tidak mau memberi putusan untuk melawan
intervensi musuh, terpaksa biarlah kita menempuh jalannya
sendiri-sendiri."
1152 Bercekat hati Cu Kian-sin, katanya angkat kepala: "Apa
yang kau maksud dengan menempuh jalannya sendirisendiri?"
Kalem suara Tan Ciok-sing: "Terpaksa kami akan
menyebarluaskan dan mengumumkan surat permohonan
perdamaian ini ke seluruh negeri, akan kami desak Kim-to
Cecu angkat senjatanya mengundang para patriot untuk
membela tanah air dan bangsa. Aku yakin rakyat pasti
mendukung perjuangan kita yang mulia."
Cu Kian-sin betul-betul kaget, pikirnya: "Kalau betul
demikian, mungkin sebelum pasukan Watsu menyerbu tiba,
kedudukanku sebagai raja inipun tak kuasa dipertahankan
lagi," maka tersipu-sipu dia berkata: "Kesetiaan kalian
memang patut dipuji. Baiklah, biarlah Tim memikirkan hal ini
semasak-masaknya."
Cu Kian-sin bertingkah dan pura-pura mengerutkan kening
menepekur dan memeras otak, tak lama kemudian dia
membuka mata dan berkata: "Walau sudah sejak beberapa


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

generasi merupakan ancaman serius bagi kepentingan
kerajaan kita. Sejak peristiwa Tobok, ayah Baginda tertawan
musuh dan kekalahan total merupakan suatu yang
memalukan, memangnya Tim tak pernah berpikir untuk
menuntut balas" Syukurlah kalian dari golongan pendekar sudi
angkat senjata membela tanah air dan bangsa, adalah pantas
kalau Tim menelaah saran-saran kalian dan akan kupikirkan
dengan baik. Tan-hiapsu, kau ingin menjabat apa?"
Tan Ciok-sing girang, katanya: "Kalau demikian, paduka
siap memberantas kaum dorna dan menyikat anasir-anasir
jahat serta melawan serbuan musuh dari luar. Kalau demi
Dendam Iblis Seribu Wajah 10 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Kisah Para Pendekar Pulau Es 8
^