Pendekar Pemetik Harpa 2

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 2


g berlalu tergesa-gesa, lekas sekali suara ribut diluar sudah
tak terdengar lagi.
Musuh akhirnya sudah pergi, namun nasib Ki Harpa
mungkin celaka dari pada selamat. Setelah mendengar musuh
pergi jauh, tapi tidak mendengar suara Ki Harpa minta tolong,
sungguh tak kepalang pilu hati In Hou, lekas dia lepas
pegangan tangan Tan Ciok-sing, katanya: "Lekas, lekas keluar
dan papah kakekmu masuk ke mari."
Waktu Tan Ciok-sing memburu keluar, dilihatnya sang
kakek rebah di antara ceceran darah, harpa kesayangannya
itu masih dipeluknya dengan kencang.
"Oh, kakek," teriak Tan Ciok-sing dengan kalap dan panik,
lekas dia memayang kakeknya. Ki Harpa merintih lemah,
bibirnya berada di pinggir telinga cucunya, katanya lirih:
"Jangan gembar gembor, jagalah kalau penjahat datang lagi,"
62 suaranya lembut seperti bunyi nyamuk, tapi mendengar sang
kakek masih mampu bicara, lega juga hati Tan Ciok-sing, lekas
dia bopong sang kakek masuk kedalam kamar rahasia.
"Sing-ji, sulutlah pelita, biar kulihat keadaan In Tayhiap,
dia, apakah dia sudah baik?"
Begitu masuk kamar rahasia Ki Harpa segara berpesan
demikian. Tan Ciok-sing menurunkan Ki Harpa di pinggir In Hou, lalu
menyulut pelita, katanya: "In Tayhiap sudah jauh lebih baik,
tapi kau kek..."
In Hou pegang tangan Ki Harpa serta meraba nadinya.
Walau In Hou tidak mahir pengobatan, namun mendengar
denyut nadi dia bisa juga, terasa denyut nadi Ki Harpa sudah
kalut, luka-luka yang diidapnya agaknya sukar tersembuhkan
lagi. Karuan seperti tenggelam sanubari In Hou, rasanya lebih
dingin waktu terjatuh kedalam rawa hari itu, yakin bahwa
dirinya pasti mati, namun penderitaan batin sekarang ternyata
jauh lebih menyedihkan.
Tapi Ki Harpa justru mengulum senyum, katanya: "In
Tayhiap, keadaanmu memang jauh lebih baik. Tapi jangan kau
banyak membuang tenaga percuma," suaranya lebih lantang.
Timbul setitik harapan dalam benak Tan Ciok-sing,
tanyanya: "In Tayhiap, apakah kakek masih bisa ditolong?" -
sudah tentu dia tidak tahu bahwa semangat kakeknya
memang kelihatan lebih segar, padahal itulah tanda-tanda
akhir hayatnya.
Menghibur dengan membohonginya atau bicara terus
terang" Di kala In Hou sukar berkeputusan ini, Ki Harpa sudah
tertawa getir, katanya: "Manusia akhirnya pasti mati, kakekmu
sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, mati pun tidak perlu
menyesal."
63 Maka pecahlah tangis Tan Ciok-sing, katanya: "Kakek, kau
tidak boleh mati dan tidak akan mati, jangan kau tinggalkan
aku." Entah dari mana datangnya tenaga tiba-tiba Ki Harpa
membentak: "Sekarang bukan saatnya menangis. Sing-ji,
dengarkan pesanku, setelah aku mati, bakar saja rumah ini,
selekasnya kau harus menyingkir jauh ke tempat lain."
Sambil menahan air mata Tan Ciok-sing meratap: "Kakek,
beritahu padaku, siapakah musuhmu?"
Berkata Ki Harpa dengan suara serak: "Aku tidak tahu, aku
tidak mengharap kau menuntut balas sakit hatiku. Yang
kuharapkan semoga kau dapat menunaikan keinginanku, lekas
tolong In Tayhiap dari tempat bahaya ini bersama harpa kuno
itu," suaranya semakin lemah.
"Tidak, kek," teriak Tan Ciok-sing, "aku ingin tahu, kakek,
kepada mereka kau bilang, It-cu-king-thian yang melukai kau,
apa itu betul?" sebetulnya dia tidak mendengar jelas apa yang
dikatakan kakeknya, tapi dari percakapan orang-orang jahat
itu tahu tentang keadaan kakeknya. Kini dia tahu bahwa Kiamboh
yang dibicarakan kakeknya dikatakan sudah direbut It-cuking
? thian adalah untuk menipu para penjahat, lalu tentang
It-cu-king-thian melukai dirinya, apakah juga bukan untuk
mengelabui musuh"
Seperti teringat sesuatu, sesaat dengan suara terputusputus
Ki Harpa mengeluarkan tiga patah kata: "Bukan, bukan
dia." Legalah hati Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin:
"Kiranya betul hanya untuk menipu musuh. Sebenarnya aku
tidak pantas curiga kepada lt-cu-king-thian.
Memangnya mungkin Lui Tayhiap tega mencelakai kakek?"
Tapi In Hou yang sudah kenyang makan asam garamnya
kehidupan lain pula kesimpulannya, setelah mendengar
64 omongan Ki Harpa bertambah tebal rasa curiganya. Pikirnya:
"Kalau It-cu-king-thian orang baik, kenapa Ki Harpa
memberitahu kepada para penjahat itu bahwa dialah yang
merebut Kiam-boh" Memangnya tujuannya hendak
melimpahkan petaka kepada lt-cu-king-thian?"
"Lalu siapa yang melukai kau waktu kakek pulang dari
rumah keluarga Lui?" tanya Tan Ciok-sing menegas.
Ki Harpa jadi marah, serunya: "Aku tidak ingin kau
menuntut balas, maka kau tak usah turut campur." Tan Cioksing
mengiakan, namun mimik wajahnya masih menampilkan
rasa curiga dan penasaran.
Ki Harpa menjadi luluh perasaannya, agaknya dia ingin
memberi penjelasan, maka rahasia yang ingin disimpannya
terpaksa dia jelaskan setelah menghela napas panjang:
"Memang aku terluka di rumah keluarga Lui, tapi urusan tiada
sangkut pautnya dengan Lui Tayhiap. Ai, sayang sekali, aku
sudah tiada kesempatan menjelaskan kepadamu."
Tan Ciok-sing berkata: "Kakek, apakah aku bersama In
Tayhiap boleh sembunyi ke rumah keluarga Lui?"--Ternyata
dia tidak curiga kepada lt-cu-king-thian, namun hanya merasa
heran, bahwa kakeknya terluka parah di rumah keluarga Lui,
kenapa tidak menyuruh dirinya pergi kesana minta penjelasan
kepada Lui Tayhiap, tapi malah suruh dia membawa In Hou
pergi ke tempat jauh.
Lekas Ki Harpa berkata: "Tidak, jangan. Jangan kita bikin
sengsara orang lain, tak perlu kau mencari keterangan kepada
Lui Tayhiap."
In Hou membatin: "Tadi kau bilang Kiam-boh dan diriku
telah direbut oleh Lui Tin-gak, bukankah keterangan bohong
ini sudah membikin susah mereka?" tapi tidak enak dia
utarakan isi hatinya ini. Apalagi dalam hati dia sudah maklum:
"Dia suruh cucunya pergi ke tempat jauh, pasti kuatir It-cuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
65 king-thian bertindak diluar batas, cucu yang satu-satunya ini
pun dibunuh It-cu-king-thian sekalian."
Agaknya Ki Harpa sudah meraba isi hatinya ini, katanya:
"Kukatakan bahwa Kiam-boh terjatuh ke tangan It-cu-kingthian,
karena memenuhi permintaan Lui Tayhiap sendiri."
Sudah tentu In Hou takkan mau percaya akan keterangan
ini, tapi Tan Ciok-sing cukup tahu akan watak kakeknya, dia
percaya sebelum ajalnya sang kakek pasti tidak akan
mengapusi dirinya, maka dia bertanya: "Kenapa?"
"Lui Tayhiap sudah menduga bahwa peristiwa barusan
pasti akan terjadi selekas mungkin. Kalau dia memaksaku
untuk berkata demikian, terpaksa aku memenuhi pesannya
itu." Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir: "Lui Tayhiap menyuruh
kakek berbuat demikian, mungkin untuk menarik perhatian
para penjahat itu untuk menghadapinya, sehingga orangorang
jahat itu mengendorkan perhatiannya untuk mencari
jejak In Tayhiap?"
Suara Ki Harpa semakin lemah, katanya: "Sing-ji, jangan
kau banyak tanya, aku juga tidak punya banyak waktu untuk
bicara dengan kau. Aku, aku, aku ..." akhir katanya suaranya
sudah lirih dan tidak terdengar lagi.
"Kakek," teriak Tan Ciok-sing dengan tersirap, "masih ada
pesan apa lagi?" Perlahan jari-jarinya mengelus dada sang
kakek, "Huuaah" tiba-tiba Ki Harpa memuntahkan sekujur riak
kental yang berdarah.
Seperti ada sesuatu yang masih belum diselesaikan kalau
tidak dikatakan rasanya hati belum puas, tiba-tiba dia menarik
napas panjang membangkitkan semangat, katanya: "Setelah
aku mati, bakar saja rumah ini, biar aku ikut diperabukan
disini. Dan lagi..."
66 Sampai disini pelan-pelan dia berpaling ke arah In Hou,
katanya perlahan: "In Tayhiap, kau akan segera sembuh,
kumohon sukalah kau merawat cucuku ini."
Menahan sedih In Hou berkata: "In-kong (tuan penolong),
legakan hatimu. Aku tidak punya putra, cucumu akan
kuanggap sebagai putraku sendiri."
Ki Harpa tersenyum simpul, katanya: "Baik, syukurlah,
puaslah hatiku." Pelan-pelan mata pun terpejam.
Lekas Tan Ciok-sing meraba hidung sang kakek,
pernapasannya telah berhenti, badannya pun sudah mulai
dingin. Seketika terasa dunia seperti berputar jungkir balik,
sambil memeluk jenazah sang kakek, ingin menangis tapi tak
keluar suara, sekian lama dia mematung.
"Nak," ujar In Hou tersendat haru, "nangislah, nangislah
sepuas hatimu."
Sesaat lamanya baru Tan Ciok-sing memekik dan meratap
gerung-gerung, air matanya bercucuran menetes di atas jazat
sang kakek, tercampur dengan darah yang berlepotan di
badannya. Betapa haru dan pilu hati In Hou, namun dia tidak
menangis. Dalam hati dia berkata: "Duduk perkara yang
sebenarnya memang belum jelas, tapi It-cu-king-thian tak
terhindar dari kecurigaan. Jikalau Kungfuku bisa pulih kembali,
pasti akan kubuat perhitungan dengan dia, jikalau kodrat telah
menentukan beginilah nasibku selanjutnya, terpaksa
kuturunkan kepandaianku kepada Ciok-sing. It-cu-king-thian
jelas bukan tokoh sembarang tokoh, bukan mustahil seperti
yang dikatakan kawanan penjahat itu, dia memang berintrik
dengan Le Khong-thian untuk mencelakai diriku. Umpama
Ciok-sing dapat belajar setingkat kepandaianku sekarang,
mungkin dia tetap takkan mampu menuntut balas sakit hati
kakeknya. Lalu bagaimana baiknya?"
67 Tiba-tiba didengarnya diluar seperti ada suara orang, In
Hou terkejut, katanya gugup: "Jangan menangis Sing-ji,
seperti ada orang datang."
Maka terdengar seorang bergelak tawa diluar, katanya:
"Ternyata di balik dinding ini ada pintu rahasianya, untung
aku cukup cerdik, diluar tahu Toako diam-diam aku putar balik
ke mari lagi." -kiranya orang ini cukup ahli juga dalam bidang
bangunan, tapi Toako yang dia katakan tadi tidak tahu akan
kemahirannya ini. Sebetulnya tadi dia sudah merasa curiga
bahwa di balik dinding pasti ada apa-apanya, karena tamak
dan ingin mengangkangi Kiam-boh itu, sengaja dia diam saja.
Setelah semua orang pergi, dia mencari alasan meninggalkan
rombongan terus lari balik kesini secara diam-diam.
Sungguh tak terperikan rasa kaget Tan Ciok-sing, setelah
berjingkrak dia sudah siap meniup padam pelita, pikirnya
hendak melabrak penyatron di tempat gelap. Tapi In Hou
mendadak berseru: "Jangan padamkan pelita. Lekas petik
harpa, lekas bawakan irama harpa."
Tan Ciok-sing bingung, tapi dalam keadaan mendesak ini,
dia sudah tidak banyak pikir lagi, nada suara In Hou seperti
membawa tenaga yang tak dapat ditolaknya, dalam keadaan
kebingungan itu, dia hanya menurut petunjuk In Hou.
Lekas petikan senar harpa berkumandang, tapi In Hou
mengerutkan kening, katanya lirih: "Kau harus bersikap
tenang terhadap keadaan sekitarmu, anggaplah kau tidak
melihat dan mendengar apa-apa, pusatkan konsentrasimu
untuk memetik Khong-ling-san bagian pertama."
Tan Ciok-sing tahu dengan bantuan irama harpa baru In
Hou akan dapat mengumpulkan tenaga, lekas dia tenangkan
diri dan pusatkan pikiran, maka petikan harpanya kini jauh
lebih mantap dan lebih merdu.
Di tengah alunan irama harpa yang syahdu itulah
mendadak terdengar suara gedubrakan keras, pintu rahasia
68 yang terpasang di atas dinding dijebol secara kasar oleh orang
jahat itu. "Anak bagus, jangan takut, teruskan petikan harpamu,"
demikian ln Hou memberi dorongan mental.
Langkah kaki dari jauh semakin mendekat, setelah
melewati tujuh tombak lorong di sebelah kiri sana, akhirnya
orang jahat itu melangkah masuk ke kamar rahasia ini.
Sementara itu Khong-ling-san kebetulan tengah membawakan
kisah pertemuan antara dua sahabat yang telah lama dimadu
cinta dan kangen lalu bertamasya dalam suasana manis madu,
iramanya enteng lincah dan jenaka meriangkan hati.
In Hou tenggelam dalam suasana riang terhanyut oleh
merdunya irama harpa, hatinya tenang pikiran mantap,
seolah-olah dia tidak mendengar dan melihat akan kedatangan
orang asing ini, perlahan setitik demi setitik hawa murninya
mulai dihimpun kedalam pusar.
Langkah kaki pendatang itu mengganggu juga ketentraman
hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa dia menoleh ke arah In Hou,
sedikit lena, jari jemarinya kelihatan sedikit gemetar lagi,
maka irama yang semula riang lembut dan cepat itu
mendadak menjulang tinggi seperti melengking.
Semula In Hou mengerutkan kening, tapi lekas sekali dia
unjuk senyum seperti menghibur Tan Ciok-sing, katanya:
"Nak, tak usah takut, teruskan petikanmu."
Tan Ciok-sing tersentak sadar, sadar bahwa detik-detik
genting antara mati hidup ini sekali-sekali dirinya tidak boleh
lena, maka dia menuruti pesan In Hou. Kembali irama
harpanya mengalun lembut dan ringan cepat seperti semula
dalam tempo yang sama.
Begitu masuk ke kamar rahasia, melihat keadaan ini, orang
itu melenggong sejenak, mau tidak mau hatinya ragu dan
was-was. Jazat Ki Harpa, jelas terkapar di atas lantai.
Sementara In Hou duduk membelakangi dinding, tidak
69 bergerak tidak menunjukkan suatu perubahan mimik mukanya
yang pucat, jelas yang satu mampus yang lain luka parah.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi pemuda itu justru setenang itu memetik harpanya seperti
tidak terjadi apa-apa disini.
"Sandiwara apa yang tengah mereka lakukan?" Demikian
batin orang itu. "Apakah kakek ini pura-pura mati" Apakah
luka-luka In Hou tidak separah apa yang kita duga?" Setelah
melenggong sejenak akhirnya dia berpikir pula: "Betapa taraf
Kungfu In Hou, kalau dia tidak terluka parah dan mampu
bergerak leluasa, mana mungkin dia membiarkan aku masuk
ke mari" Hm, agaknya dia sengaja hendak menipu dan
menggertak aku, kenapa aku harus jeri. Umpama kakek
keparat ini betul pura-pura mati, tingkat kepandaiannya jelas
bukan tandinganku, apa yang harus kutakuti?" Dalam keadaan
kebat kebit ini akhirnya bertambah besar nyali orang itu, dua
langkah dia maju, kakinya menendang jenazah Ki Harpa, dia
ingin tahu apakah Ki Harpa pura-pura mati atau betul-betul
sudah mati, sekaligus dia pun ingin melihat reaksi In Hou.
In Hou tetap tidak bergeming, malah akhirnya
memejamkan mata.
Irama harpa tiba-tiba terhenti, Tan Ciok-sing membentak:
"Jangan sentuh kakekku." Agaknya dia tidak kuasa menahan
emosi. Padahal orang itu sudah menendang jenazah Ki Harpa
sampai membalik celentang, sekali coba ternyata sudah
kenyataan bahwa dia sudah mati.
Mendadak Tan Ciok-sing berjingkrak berdiri, hardiknya:
"Bangsat, aku, aku..." dia ingin bilang 'aku akan adu jiwa
dengan kau', tiba-tiba didengarnya In Hou menghela napas
perlahan. Helaan napas perlahan, tapi bagi pendengaran Tan Cioksing
seperti palu godam yang mengemplang kepalanya,
hatinya tersirap, lekas dia membatin: "Apa gunanya aku adu
jiwa dengan dia" Aku berkorban tidak jadi soal, tapi In
70 Tayhiap akan ikut menjadi korban." Sekilas dia menenangkan
pikiran dan hati, lalu duduk kembali mulai memetik harpanya.
Orang itu terbahak-bahak, katanya: "Kau, kau kenapa"
Baik, kau larang aku menyentuh kakekmu, biar aku
menyentuhmu saja."
Kali ini Tan Ciok-sing seperti tidak mendengar gertakan,
dengan sepenuh hati dia lanjutkan petikan lagu Khong-lingsan
bagian pertama sampai ritme terakhir.
Karuan orang itu marah karena merasa disepelekan: "Setan
cilik, apa yang sedang kau lakukan" Berani kau tidak hiraukan
pertanyaanku, biar kucekik kau sampai mampus," kedua
tangan sudah terpentang dengan gaya hendak menubruk
maju dan ma mencekik leher Tan Ciok-sing.
Mendadak In Hou membuka mata, katanya dingin: "Ada
pertanyaan apa boleh kau tanya padaku, kau ingin memiliki
barang yang kau incar, hanya kepadaku saja kau boleh tanya.
Jangan kau sentuh bocah ini, kalau tidak jangan harap kau
bisa berhasil."
Orang itu terbahak-bahak senang, katanya menoleh:
"Bagus, biar kutanya kau saja. Asal kau bicara jujur,
memangnya aku sudi cari perkara dengan setan cilik ini. Nah
katakan, dimana Kiam-boh yang diberikan kepadamu oleh
Thio Tan-hong?"
"Ke marilah dan ambil sendiri," ucap In Hou.
Sudah tentu orang itu tidak menduga bahwa In Hou mau
memberikan Kiam-boh itu segampang ini kepadanya, karuan
hatinya kaget dan senang, pikirnya: "Agaknya kakek keparat
ini memang menipu kita, hakikatnya Kiam-boh itu tidak
dirampas oleh It-cu-king-thian. Tapi kenapa It-cu-king-thian
tidak membunuh dan merebut Kiam-bohnya itu" Menurut
dugaan, kakek ini jelas terluka parah setelah keluar dari
rumah keluarga Lui, terang terluka waktu It-cu-king-thian
71 mengompres keterangannya, memangnya It-cu-king-thian
tidak tahu kalau In Hou berada di rumahnya?"
Beranjak dua langkah orang itu segera menyeringai dingin:
"Ambil ya ambil, memangnya aku takut kau menipuku," di
tengah tawa sinisnya mendadak dia ayun sebelah tangannya,
sebatang Kong-piau tahu-tahu melesat ke arah In Hou.
Terendus bau amis oleh ln Hou, dia tahu piau baja ini
berlumur racun. Karuan mencelos hatinya: "Akhirnya aku tak
mampu melindungi bocah ini."-jelas piau baja itu sudah
hampir mengenai In Hou, dalam jarak yang sudah dekat itu
mendadak menjulang naik melesat ke atas, ujung piau yang
runcing tajam boleh dikata menyerempet hidung In Hou dan
"Trap" menancap di atas dinding. Ternyata sambitan piau ini
hanya bertujuan memancing reaksi In Hou apakah dia masih
memiliki kepandaian sejati. Cara sambitannya tadi pun
menggunakan kepandaian khusus, merupakan timpukan piau
kelas tinggi. In Hou menekan perasaan, kini dia lebih yakin bahwa
taruhan kali ini dirinya telah memungut kemenangan.
Ternyata dia sudah mengira bahwa orang ini pasti takkan
berani segera membunuhnya, karena belum memperoleh
Kiam-boh yang diincarnya.
Mendengar suara "Trap" yang cukup keras itu Tan Cioksing
terkejut, sebelum dia berpaling In Hou sudah keburu
membentak: "Jangan hiraukan dia, teruskan petikanmu."
Orang itu tergelak-gelak, katanya: "In Tayhiap memang
bernyali besar, sungguh kagum, sungguh kagum."
In Hou mendengus ejek, katanya: "Tempat dimana Kiamboh
itu disimpan, hanya aku saja yang tahu, dengan maksud
baik aku ingin berikan kepadamu, kau sebaliknya hendak
mencelakai aku."
72 Orang itu segera unjuk seri tawa ramah, katanya: "In
Tayhiap, aku hanya mencoba keberanianmu, harap maaf dan
tidak berkecil hati."
"Di hadapan orang jujur tidak perlu kau membual," jengek
In Hou pula. "Jelas kau tidak akan membiarkan aku hidup,
memang aku juga sudah berkeputusan untuk mati. Tapi
jangan kau mengusik bocah inj, kalau tidak paling aku mati
lebih cepat dan Kiam-boh itu jangan harap dapat kau miliki."
Orang itu pun sudah cukup berpengalaman sebagai insan
persilatan, semula dia masih menaruh curiga, kenapa seramah
ini ln Hou sudi memberikan Kiam-boh itu kepadanya, setelah
mendengar permintaan In Hou baru dia tahu persoalannya.
Pikirnya: "Jadi Kiam-boh itu ingin dia tukar dengan jiwa si
bocah. He, he, biarlah aku sekedar memberi muka kepadanya,
setelah Kiam-boh berada di tanganku, memangnya bocah ini
mampu terbang ke langit?" dengan tawa dibuat-buat segera
dia berkata: "In Tayhiap, jangan terlalu curiga, aku Oh Lo-Sam
walau bukan tokoh kenamaan, dikalangan Kangouw namaku
cukup cemerlang juga, memangnya aku sudi mengurus
seorang bocah" Dari pada itu hadiah pemberianmu nanti
sungguh tak terhingga nilainya, oleh karena itu aku berjanji
akan bantu mengobati luka-lukamu."
ln Hou pura-pura percaya akan obrolannya, katanya
perlahan: "Kuharap omonganmu dapat dipercaya. Baiklah,
dukunglah aku berdiri, antarkan aku ambil Kiam-boh itu."
Bagi insan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi,
dikala jiwa terancam, secara reflek akan timbul reaksinya
untuk menyelamatkan diri. Tadi pisau baja timpukan orang
boleh dikata menyerempet hidungnya, bukan saja tubuhnya
tidak kelihatan bergeming dia pun tidak berusaha menangkap
piau, maka Oh Lo-sam mengira bahwa In Hou memang sudah
kehabisan tenaga, legalah hatinya, bergegas dia memburu
maju hendak memapah orang. Tak nyana dalam waktu
sedetik saja,tiba-tiba Oh Lo-sam merasa pergelangan
73 tangannya linu pegal, tahu-tahu urat nadinya sudah
dicengkram oleh In Hou. Sekali meronta usaha Oh Lo-sam
gagal membebaskan diri, baru sekarang dia insaf bahwa
dirinya telah tertipu lawan, saking kagetnya, kontan dia
angkat sebelah kakinya terus menendang.
Diam-diam In Hou juga mengeluh: "Celaka, aku memang
tidak berguna lagi."
Mendengar suara pergumulan mereka, Tan Ciok-sing tak
tahan sabar lagi, tanpa merasa petikan jarinya pada senarsenar
harpa menjadi kacau, sehingga nada irama harpanya
meninggi satu nada. Untung In Hou segera berteriak:
"Teruskan petikanmu."
Di tengah alunan suara harpa itulah mendadak In Hou
gerakkan telapak tangan mengenjot, pukulan telapak tangan
ini merupakan sisa-sisa tenaga dalamnya yang terpendam,
bagaimanapun liehaynya Oh Lo-sam, mana dia mampu
menerimanya" Lengking jeritannya terdengar mengerikan,
seperti bola yang dilempar tubuhnya jungkir balik ke belakang.
Tapi tendangan kakinya ternyata juga berhasil mengenai ulu
hati In Hou. Seperti bola yang dilemparkan tubuh Oh Lo-sam melayang
lewat dari atas kepala Tan Ciok-sing.
"Bluk" menumbuk dinding, kepalanya pecah, darah dan
otaknya berceceran, mayatnya rebah celentang di kaki tembok
sana. Tahu-tahu irama harpa pun berhenti. Ternyata pada detikdetik
menentukan ini Tan Ciok-sing berakhir pula
membawakan lagu Khong-ling-san.
Waktu dia menoleh dilihatnya darah meleleh dari ujung
mulut In Hou, mukanya pucat seperti kertas putih. Bergegas
Tan Ciok-sing taruh harpanya terus memburu maju ke depan
In Hou, tanyanya dengan
74 Suara gemetar: In Tayhiap, kenapa kau?"
In Hou menarik napas perlahan-lahan, lalu berkata: "Anak
bagus, dengarkan kata-kataku, jangan banyak tanya," sisasisa
hawa murni yang berhasil dihimpunnya boleh dikata
sudah berantakan, racun yang mengeram dalam tubuhnya
juga sudah kumat, umpama barusan tidak tertendang ulu
hatinya oleh Oh Lo Sam, diapun sudah tahu bahwa jiwanya
takkan dapat ditolong lagi.
"Anak bagus, aku takkan bisa menuntut balas sakit hati
kakekmu. Selanjutnya tergantung usahamu sendiri untuk
menuntut balas."
Mendengar kata-kata ini Tan Ciok-sing terperanjat. Wajah
In Hou mengulum senyum lebar, katanya: "Anak baik,-tak
usah sedih, kini bukan saatnya kau bersedih, dengarlah
pesanku yang terakhir."
"Anak baik, kau adalah sahabatku yang terakhir, sahabat
yang paling dapat kupercaya," sampai disini tiba-tiba teringat
olehnya akan Tam Pa-kun, kalau dua jam sebelum ini ada
orang tanya dia siapa temannya yang terakhir, tanpa raguragu
dia pasti menyebut nama Tam Pa-kun. Tapi setelah dia
mendengar percakapan kawanan penjahat dengan Ki Harpa
tadi, meski kenyataan belum bisa membuktikan bahwa Tam
Pa-kun dan It-cu-king-thian berintrik mencelakai dirinya,
namun kepercayaannya kepada kedua orang ini sudah luntur.
Betapa takkan menyedihkan, bila seseorang di saat-saat
ajalnya mendadak menyadari bahwa kawan yang dianggapnya
paling karib ternyata mengatur tipu daya untuk mencelakai
jiwanya. Pandangan In Hou menjadi gelap, hatinya seperti
disayat-sayat, lekas dia menghirup napas, kepada diri sendiri
dia menghibur dengan pikiran begini: "Tidak, bagaimana boleh
aku mencurigai Tam-toako, Tam-toako pasti bukan manusia
serendah itu. Kalau It-cu-king-thian memang sukar dikatakan."
Lalu dia berpikir pula: "Bagi diriku, soal yang terpenting
Sekarang adalah selekasnya memberi pesan apa yang perlu
75 kupesan kepada anak ini. Jangan kata Tam-toako, meski It-cuking-
thian itu baik atau jahat, sekarang tak perlu aku
menghabiskan tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan hal
ini." "Aku tahu kau ingin belajar Kungfu, tapi aku kurang
setimpal menjadi gurumu, karena umpama benar kau berhasil
belajar setingkat diriku, mungkin kau tetap takkan mampu
menuntut balas," sejenak berhenti dia lalu melanjutkan: "Tapi,
aku bisa mewakili seseorang menerima kau sebagai murid, dia
adalah Thio Tan-hong yang diakui secara mutlak oleh kaum
persilatan sebagai jago nomor Satu ui jagai ini. Dia adalah
pamanku." Tan Ciok-sing sesenggukkan, katanya: "In Tayhiap, aku
hanya ingin kau hidup, biar tak usah aku belajar Kungfu."
In Hou tertawa sedih, katanya: "Siapa tidak ingin hidup"
Tapi kalau aku tidak panjang umur, anak bodoh, kalau kau
tidak mau belajar Kungfu, lalu siapa yang akan menuntut
balas kematian kakekmu" Aku, aku ingin kau mendengar
petunjukku..." tanpa terasa suaranya semakin lemah,
napaspun mulai memburu.
Memeluk badan orang, Tan Ciok-sing menggoyang-goyang
tubuh In Hou, teriaknya: "In Tayhiap sadarlah kau."
Tiba- tiba In Hou membuka mata, katanya lemah: "Tak
usah kuatir, aku tidak akan segera mati. Tadi sampai dimana
aku bicara?"
"Katamu kau hendak mewakili Thio Tan-hong menerimaku
sebagai murid," sementara dalam hati dia membatin: "Siapa
tahu apakah Thio Tan-hong sudi menerima diriku sebagai
murid?" In Hou seperti dapat meraba jalan pikiranya, katanya lebih
lanjut: "Thio Tan-hong semayam di Ciok-lin, kau harus
mencarinya kesana, setelah menghadapinya, tuturkan
kejadian yang menimpa diriku kepadanya, barang-barang
76 peninggalanku juga harus kau tunjukkan kepadanya, pasti dia
percaya kepadamu dan menerimamu sebagai murid. Kau
pernah meyakinkan Iwekang tidak?"
"Kakek pernah mengajarkan cara bersemedhi dan
mengatur napas," sahut Tan Ciok-sing.
"Bagus, itu sudah cukup. Dalam kotak itu terdapat
pelajaran pukulan ilmu golok, di samping itu ada pula
beberapa lembar tulisan tangan Thio Tan-hong, yaitu
pelajaran Bu-bing-kiam-hoat. Didalam buku pelajaran ilmu
pukulan itu, tercantum pula pelajaran inti sari cara
mempelajari Iwekang, kau harus mempelajarinya dengan rajin
dan tekun, baru selanjutnya maju lebih jauh mempelajari ilmu
yang lain."
"Besok juga kau harus meninggalkan tempat ini langsung
menuju ke Ciok-lin," demikian ucap In Hou lebih lanjut, "tapi,
usia Thio Tan-hong sudah lanjut, aku kuatir mungkin kau


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan bisa menemuinya lagi. Oleh karena itu kuminta kau
mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu Iwekang tingkat
tinggi itu seorang diri. Thio Tan-hong juga meninggalkan
sebuah gambar peta yang menerangkan dimana dia bakal
menyimpan Kiam-boh ciptaannya, tadi ada kuselipkan didalam
lempitan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat dan semuanya sudah
kuserahkan kepadamu. Umpama Thio Tan-hong sudah
meninggal, kau boleh mencarinya sesuai petunjuk peta itu.
Dengan bakat dan kemampuanmu, aku yakin tanpa bimbingan
guru kau pun akan dapat menyelami dan mempelajarinya
dengan baik dan berhasil.
Setelah berhasil meyakinkan ilmu dan menuntut balas sakit
hati kakek, bawalah Kiam-boh milik Thio Tan-hong itu ke
Thian-san dan serahkan kepada Ciangbunjin Thian-san-pay
Toh Thian-tok. Dia adalah murid besar Thio Tan-hong, atau
juga Toa-subengmu. Tuturkan kepadanya apa yang terjadi,
aku percaya bahwa dia akan mengakui kau sebagai Sutenya,
77 sampai disini napasnya sudah semakin memburu dan megapmegap,
setelah menguras tenaga baru dia mampu bersuara.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu siapa musuhku?" demikian
dalam hati Tan Ciok-sing berpikir. Melihat In Hou sudah
menderita begitu, walau masih banyak pertanyaan yang ingin
dikemukakan, karena tidak tega dia batalkan niatnya.
Tiba-tiba In Hou gigit ujung lidah sendiri membangkitkan
semangat pula, katanya meninggikan suara: "Ada satu hal
perlu kuperingatkan kepadamu, kau harus selalu ingat, hati
manusia sukar diraba, sekali-kali jangan kau mudah percaya
kepada orang lain, meski dia seorang pendekar besar yang
tersohor di seluruh jagat ini."
Mencelos hati Tan Ciok-sing, teriaknya: "In Tayhiap,
apakah It-cu-king-thian maksudmu?"
"Betul, musuhku sudah jelas yaitu Le Khong-thian dan
seorang gembong iblis she Siang, siapa kawanan penjahat
yang meluruk datang tadi belum diketahui, tapi kedua
kelompok orang itu mungkin punya hubungan dengan It-cuking-
thian, dari pesan kakekmu tadi sebelum ajal, kemungkin
In It-cu-king-thian lah yang menjadi biang keladinya. Tapi
lantaran kuatir kau juga ketimpa bencana, maka dia tidak
berani menjelaskan kepadamu."
Beberapa patah kata ini laksana halilintar yang
menggelegar sampai
Tan Ciok-sing berkunang-kunang, hatinya menjadi risau
dan gundah. It-cu-king-thian kan teman baik kakek, mana
mungkin, mana bisa mungkin" Tapi kakek suruh aku merat ke
tempat jauh, aku dilarang minta perlindungan kepadanya"
Kakek bilang tidak ingin dia terseret dalam peristiwa ini,
apakah ini kata-kata setulus hatinya" Ai, mungkin keterangan
In Tayhiap lebih bisa dipercaya.
Rintihan In Hou seketika menyadarkan lamunan Tan Cioksing,
katanya kaget: "In Tayhiap, kau ..."
78 Dengan suara terputus-putus In Hou berkata: "Golok
pusakaku kuberikan kepadamu, kacang emas itu kau boleh
ambil sebagai ongkos perjalanan, bagaimana juga harus pergi
ke Ciok-lin, yakinilah ilmu, tuntutlah kematian kakek dan sakit
hatiku." "In Tayhiap," teriak Tan Ciok-sing, "aku pasti menuntut
sakit hatimu. Masih ada pesan apa pula kepadaku?" lalu dia
dekatkan kuping di depan bibir In Hou.
Didengarnya suara In Hou selirih nyamuk berkata: "Aku
punya seorang putri, bernama In San, usianya sebaya kau,
kau adalah sahabatku, tak berani aku menganggapmu sebagai
anakku, tapi aku harap kau menganggapnya sebagai kakak,
kalian... kalian..." tiba-tiba suaranya tak terdengar lagi.
"Baiklah, aku akan mencari In-cici," seru Tan Ciok-sing.
Waktu dia meraba hidung In Hou ternyata napasnya sudah
berhenti. Kakek sudah meninggal, In Tayhiap yang harus dia lindungi
atas perintah sang kakek kini juga berangkat menyusul kakek.
Sekian lama Tan Ciok-sing mematung mengawasi kedua sosok
jenazah yang terkapar di hadapannya, seolah-olah sedang
bermimpi buruk yang tidak ada gunanya. Seumpama sebuah
perahu tanpa nakoda yang terombang-ambing di tengah
lautan. Tan Ciok-sing sudah kehabisan akal sehat, tidak tahu
apa yang harus dia lakukan, sampai rasa takut, sedihpun telah
dilupakan, perasaannya hambar, ingin dia menangis, tapi air
mata seperti kering. Sebetulnya kakek menyuruh dia
menolong jiwa In Hou, tapi kenyataan justru ln Hou yang
telah menyelamatkan jiwanya dan berkorban jiwa, pendekar
besar yang kenamaan, demi menyelamatkan jiwa anak
gunung yang miskin ini, rela berkorban jiwa raga, sampai achir
hayatnya dia masih belum tahu siapa sebetulnya biang keladi
yang mencelakainya. Detik-detik terakhir hayatnya, hanya bisa
menganggap dirinya " " bocah yang baru saja dikenalnya -
79 sebagai sahabat karibnya yang terdekat. "Ai, mungkin sampai
akhir hayatnya dia takkan mati dengan meram dan tentram."
"Kakek tugas yang kau serahkan kepadaku tak mampu
kulaksanakan, aku telah menyia-nyiakan harapanmu. Kakek,
makilah aku, hajarlah aku!" memeluk jenazah kakeknya, Tan
Ciok-sing menggoyang-goyangnya sambil meratap dan
menangis. Sungguh kasihan, jazat sang kakek yang sudah
dingin itu, bagaimana bisa mendengar ratapannya dan
memakinya"
"Klotak" tiba-tiba didengar sesuatu benda jatuh di atas
lantai. Ternyata itulah sejilid buku pelajaran lagu Khong-lingsan
yang disimpan dan dipandang sebagai pusaka oleh
kakeknya. Dengan pandangan nanar Tan Ciok-sing jemput buku itu, di
balik beberapa lembar, lalu berkata: "Kakek inilah Gim-boh
(buku harpa) milikmu yang berharga, hanya bagian pertama
yang kau ajarkan kepadaku. Kini aku harus berpisah dengan
kau, selanjutnya tiada orang yang akan mengajar aku
memetik harpa lagi Aku maklum kau tidak ingin mengajarkan
Khong-ling-san bagian belakang, tapi kalau Khong-ling-san
putus turunan, matipun kau tidak akan meram dengan
tenang. Kakek sekarang biar kupetikkan sebuah lagu, lagu
Khong-ling-san bagian belakang inilah untuk mengantar
keberangkatanmu," setelah membetulkan letak harpa, dia
membuka halaman buku serta mulai memetik lagu Khong-lingsan
bagian belakang.
Sang kakek memang tidak pernah mengajarkan tapi dalam
keadaan sedih dan pilu sekarang, hatinya dirundung duka
nestapa lagi, makna lagu Khong-ling-san bagian belakang
justru cocok dan serasi dengan keadaannya sekarang.
Belum pernah belajar tapi dia bisa membawakan lagu itu
dengan baik sekali, mungkin ini merupakan pengalaman yang
mengesankan selama hidupnya. Bila sang kakek masih hidup
entah dirinya akan dipuji atau ditegor. Betapa kontrasnya
80 suasana yang serba terbalik ini, pada hal usianya baru lima
belas, pemuda bak kembang baru mekar. Tapi petikan
lagunya adalah sedemikian mempesona dan mengetuk
sanubari, sehingga seseorang pendatang yang tidak diundang
sampai mendengarkan dengan berdiri kesima. Sedangkan Tan
Ciok-sing tenggelam dalam petikan lagunya yang
mengenaskan, hakikatnya dia tidak tahu bahwa seseorang
telah berada didalam kamar rahasia itu.
Pada bait terakhir dari petikan lagunya tiba-tiba terdengar
suara "Tring" salah satu dari lima senar harpanya putus, Tan
Ciok-sing kaget dan tersentak sadar, waktu dia angkat kepala
baru dilihatnya seorang laki-laki besar dengan jambang bauk
lebat telah berdiri di hadapannya.
Bagai mimpi buruk yang bergelombang, tamu yang tak
diundang ini ternyata adalah It-eu-king-thian Lui Tin-gak.
Sesaat Tan Ciok-sing tercengang, tiba-tiba teringat pesan In
Hou sebelum ajalnya tadi bahwa It-cu-king-thian yang satu ini
kemungkinan sekongkol dengan para penjahat itu, atau lebih
jelasnya dialah biang keladi dari musibah yang menimpa
kakeknya dan In Tayhiap.
"Untuk apa dia ke mari" Mungkinkah dia tidak tahu kalau In
Tayhiap sudah mati dan hendak membunuhnya" Apakah dia
akan melepas dan mengampuni aku?" darah seperti bergolak
dalam tubuh Tan Ciok-sing, emosinya sudah berkobar, hampir
saja dia memaki: "Bagus sekali, kau pendekar besar palsu
yang pura-pura baik hati ini, belum cukup kau mencelakai
kakekku dan In Tayhiap, nah sekarang giliranku, bunuhlah
aku," tapi entah kenapa, mungkin karena terlalu berduka,
seperti mimpi buruk saja, tenggorokannya tersumbat mulut
sudah terpentang tapi suaranya tidak keluar.
It-cu-king-thian sendiri juga berdiri melenggong sekian
saat, seperti dalam alam mimpi yang buruk juga, tiba-tiba dia
tersentak mengawasi tiga jenazah yang menggeletak didalam
kamar ini, lalu menoleh mengawasi Tan Ciok-sing dengan
81 pandangan lengang, dia kenal Ki Harpa, kenal Oh Lo-sam
yang tadi terpukul mati oleh In Hou, tapi dia tidak pernah
kenal siapa In Hou adanya.
Akhirnya Lui Tin-gak dapat menguasai suasana, setelah
perasaannya tenang, pandangannya yang hambar teralih dari
jenazah In Hou ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya dengan suara
gemetar: "Kakekmu sudah mati?"
Tan Ciok-sing tidak menjawab. Dari sorot matanya Lui Tingak
dapat merasakan betapa besar dendam dan rasa
permusuhan bocah ini terhadap dirinya.
Dia menarik napas dingin, sedih dan pilu hati Lui Tin-gak,
"perlukah kujelaskan kepada anak ini?" sesaat dia bimbang,
akhirnya tidak menjelaskan, lalu bertanya: "Apakah orang ini
In Tayhiap" Bagaimana dia bisa mati?"
Akhirnya meledak juga emosi Tan Ciok-sing, serunya
beringas: "Bagaimana kematian In Tayhiap, memangnya kau
sendiri belum tahu?"
Berkaca-kaca mata Lui Tin-gak, "Biang" tiba-tiba dia
memukul dada sendiri keras-keras, teriaknya: "In Tayhiap,
akulah yang salah dan berdosa terhadapmu, aku datang
terlambat. Ki Harpa, langkahku kali ini pun juga salah,
seharusnya aku tidak menyuruhmu pulang, pendekar macam
apa aku ini, sahabat tuaku sendiri tidak mampu aku
melindunginya."
"Kucing menangisi tikus, pura-pura welas asih," dalam hati
Tan Ciok-sing memaki, dilihatnya Lui Tin-gak menghampiri
jenazah kakeknya terus membungkuk, agaknya hendak
membopong kakeknya.
"Jangan kau sentuh kakekku," walau tahu dengan seujung
jari Lui Tin-gak saja orang mampu menamatkan riwayatnya,
tapi entah dari mana datangnya keberanian, dengan tegas dia
larang Lui Tin-gak menyentuh kakek yang dicintainya.
82 Betapa tenar dan besar wibawa It-cu-king-thian didalam
bulim, biasanya hanya dia yang memerintah dan memberi
petunjuk, orang lain tiada yang berani membangkang
perintahnya, kapan dia pernah dibentak seperti ini" Tapi hari
ini dia seperti menciut nyalinya berhadapan dengan sikap
keren dan beringas Tan Ciok-sing, dengan tawa getir dia
menarik balik kedua tangan serta mundur dua langkah.
"Nak, pasti kau menyangka akulah yang mencelakai
kakekmu," dengan tawa kecut It-cu-king-thian berkata.
Tan Ciok-sing menatapnya dengan pandangan mendelik,
jengeknya: "Tak perlu kau menjelaskan padaku, jikalau kau
tidak pernah berbuat kesalahan, tak perlu kau merasa gugup
atau menyesal."
"Bukankah kau ingin menuntut balas sakit hati kakekmu?"
tanya Lui Tin-gak.
Tan Ciok-sing pasrah nasib, serunya membusung dada:
"Betul, aku bersumpah menuntut balas sakit hati kakek, kalau
kau takut kelak aku menuntut balas, sekarang kau bunuh aku,
kalau tidak..."
"Kalau tidak kenapa?" terpukul sanubari Lui Tin-gak, meski
dirundung duka, agaknya dia merasa kagum juga berhadapan
dengan anak yang pemberani.
"Kelak aku akan belajar Kungfu, datang suatu hari dengan
kedua tanganku ini akan kupenggal kepala biang keladi yang
membunuh kakek dan In Tayhiap," demikian sahut Tan Cioksing
lantang. Agaknya Lui Tin-gak hendak berkata, namun dia tampak
ragu-ragu. Sesaat lamanya baru dia berkata: "Bagus, semoga
terlaksana cita-citamu, aku tidak akan membela diri, kalau kau
anggap aku sebagai musuh boleh silakan saja. Tapi untuk
membunuhku tidak akan segampang yang kau kira, oleh
karena itu seperti apa yang kau katakan tadi, belajarlah
Kungfu dengan rajin. Ai..." dari nada bicaranya, terasa masih
83 ada omongan yang ingin di ucapkan,tapi mendadak dia
urungkan, lalu sikapnya kentara seperti tengah pasang kuping
mendengarkan sesuatu.
Memang betul, dia mendengarkan sesuatu, mendengar
suitan panjang yang melengking di kejauhan. Letak rumah
keluarga Tan ini berada di puncak gunung di belakang Citsing-
giam, suitan panjang itu terdengar berkumandang dari
arah Cit-sing-giam.
Suitan keras bak pekik naga gerungan harimau, mengalun
tinggi melampaui puncak gunung melintasi sungai masuk ke
rumah terdengar oleh kuping It-cu-king-thian. Tapi terdengar
dari jarak yang begitu jauh, hanya tokoh macam Lui Tin-gak
yang melatih mendengar angin membedakan benda, memiliki
lwekang tinggi lagi baru bisa mendengarnya dengan jelas. Tan
Ciok-sing hanya menerka-nerka dalam hati melihat sikap
orang yang aneh, namun dia membadek orang tentu
mendengar apa-apa.
Suitan itu sendiri agaknya berada diluar dugaannya, tapi
tidak merasa asing mendengar suitan seperti ini. Sungguh
kaget dan senang hati It-cu-king-thian, pikirnya: "Apakah itu
Say-cu-hong-kang Tam Pa-kun" Kukira dia tidak akan ke mari.
Tapi suitannya itu terdengar bergelombang putus-putus
bernada sedih pula, dengan kadar lwekangnya tidak
sepantasnya sampai begitu" Wah, celaka, mungkin Tam-toako
juga terluka."
Belum habis dia berpikir, terdengar pula suara gelak tawa
gemuruh beberapa orang, letaknya tidak jauh di belakang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah keluarga Tan ini. Lekas sekali langkah kaki orang-orang
ini pun sudah terdengar. Seketika mendelik mata Lui Tin-gak,
air muka pun berubah, tiba-tiba dia menerobos lari keluar.
Gerak gerik Lui Tin-gak yang tenburu-buru secara
mendadak lagi, Tan Ciok-sing kaget dibuatnya. Tapi lega pula
hatinya, agaknya kejadian berada diluar dugaannya Semula
dia sangka Lui Tin-gak takkan membiarkan dirinya hidup,
84 suruh dirinya belajar Kungfu hanyalah kata cemoohan belaka,
bak umpama kucing yang mempermainkan tikus yang hampir
dicaploknya. Tak kira tiba-tiba Lui Tin-gak lari pergi.
"Mungkin mendengar musuh yang lebih liehay akan datang,
maka dia buru-buru melarikan diri, tapi kalau dia hendak
membunuhku, segampang membalik telapak tangan, sedetik
juga jiwaku sudah tamat, kenapa tidak dia bunuh aku dulu
baru pergi?" pikir punya pikir Tan Ciok-sing tidak habis
mengerti, dia menjadi bingung bahwa Lui Tin-gak betul-betul
meninggalkan dirinya dengan segar bugar. Tapi lekas sekali
dia pun sudah mendengar suara banyak orang di belakang
rumahnya. Yang paling menusuk pendengaran adalah gelak tawa yang
keras seperti benda keras beradu. Itulah suara tawa sang
"Toako" yang semalam menggeledah rumahnya itu.
Maka terdengar suara Lui Tin-gak berkata: "Aku sudah
memeriksanya. Ki Harpa sudah mati tapi In Hou tidak
kutemukan, Oh Lo-sam pun tidak ada disana."
Kata-kata Lui Tin-gak dapat didengarnya jelas, tapi
percakapan orang-orang lain justru tidak didengarnya jelas,
yang kedengaran hanyalah gelak tawa mereka. Sudah tentu
Tan Ciok-sing tdak tahu, bahwa Lui Tin-gak sengaja
menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang untuk
didengar olehnya.
Sayang dalam sanubarinya sudah diliputi rasa permusuhan
dan dendam terhadap Lui Tin-gak, sudah tentu tak pernah
terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa Lui Tin-gak telah membantu
dirinya terhindar dari bencana lain yang bakal menimpa
dirinya, sengaja dia memancing para penjahat itu ke tempat
lain. "Hmmm, memang tidak meleset dugaan In Tayhiap, bukti
sudah nyata bahwa It-cu-king-thian ternyata berkomplot
dengan para penjahat pembunuh kakek, hubungan mereka
85 terdengar begitu intim, agaknya memang segolongan,"
demikian pikir Tan Ciok-sing.
Entah apa yang dikatakan sang "Toako", lalu terdengar
pula suara Lui Tin-gak: "Jadi sekarang Tam Pa-kun sudah
kecundang di tangan kalian" Memangnya apa pula yang kalian
takuti atas dirinya" He" Hee, kalian takut balas digigit sebelum
ajalnya" Baiklah, aku ikut kalian kesan a, bekerja lebih baik
hati-hati, jangan sampai dia di tolong orang lagi seperti ln
Hou. Umpama sudah mati, kita harus temukan jenazahnya
baru hati merasa lega," sampai disini percakapan selanjutnya
tidak terdengar lagi. Waktu itu sudah mendekati kentongan ke
empat, suasana malam nan sunyi lengang, terdengar suara
jengkrik dan kodok bersahutan.
"Betapa jahatnya It-cu-king-thian ini," demikian batin Tan
Ciok-sing, "entah siapa pula orang she Tam yang dibicarakan
itu, kalau dianiaya kawanan penjahat ini, pasti dia dari
golongan pendekar sejati. Dari nada suara It-cu-king-thian,
bukan mustahil dia teman baik In Tayhiap."
Urusan selanjutnya yang harus diselesaikan Tan Ciok-sing
sudah cukup merisaukan hatinya, memangnya dia juga tahu
dirinya tidak punya kepandaian untuk mencampuri urusan
orang lain. Setelah menenangkan hati, teringat pesan kakek
dan In Hou dia harus meninggalkan rumah sebelum terang
tanah. "Tugas yang terpenting sekarang adalah mengebumikan
kakek," demikian pikir Tan Ciok-sing, "kakek paling suka dolan
di Cit-sing-giam, aku harus mengebumikan kakek disana."
Tapi masih ada In Hou, tak mungkin sekaligus dia membawa
dua jenazah keluar pintu. Kalau sekarang dia mengubur In
Hou lebih dulu, jelas waktunya tidak keburu lagi. Teringat
pesan In Hou segera dia berjongkok dan menyembah kepada
jenazah In Hou, katanya: "In Tayhiap, mohon maaf bahwa
terpaksa aku merabukan dirimu, abumu kelak akan aku
antarkan ke rumahmu dan kuserahkan langsung kepada
86 putrimu." Setelah jenazah In Hou diperabukan, abu tulang
belulangnya dia simpan didalam sebuah guci kecil, lalu dia
panggul sang kakek dan menyelundup keluar dari jalanan
rahasia lain yang menembus diluar rumahnya. Api masih
berkobar di rumahnya, malah tambah besar, sesuai pesan
kakeknya dia bakar habis rumahnya yang dicintainya.
Tak berani dia berpaling mengawasi kobaran api yang
menyala terang, dengan menggendong sang kakek sambil
memeluk harpa peninggalannya serta membawa abu In Hou,
dia lewat jalanan kecil yang lebih pendek menuju ke Cit-singgiam.
000OOO000 Dugaan Lui Tin-gak memang tidak meleset, orang yang
bersuit panjang dari arah Cit-sing-giam memang Tam Pa-kun
adanya. Kira-kira mendekati tengah malam tadi baru dia tiba
di tempat perjanjian dengan In Hou. Sudah tentu dia tidak
bertemu dengan siapa saja.
Dalam hati Tam Pa-kun tertawa getir: "Aku terlambat tiga
hari, memangnya In Toako harus menunggu terus disini" Hm,
selama hidup baru sekali ini aku ingkar janji, untung terhadap
sahabat karib, In Toako pasti juga menduga bahwa di tengah
jalan mungkin terjadi sesuatu atas diriku, yah apa boleh buat."
Justru hubungannya teramat intim dengan In Hou, walau
orang sudah pergi, dia yakin In Hou pasti ada meninggalkan
tanda apa-apa, supaya dirinya lekas dapat menemukan In
Hou. Waktu dia mengetik batu api, betul juga dilihatnya di atas
dinding karang ada goresan panah yang ditinggalkan In Hou
dengan Kim-kong-cay-lat.
87 Sesaat dia masih belum bisa menangkap arti dari goresan
panah itu bahwa kini In Hou berada didalam Cit-sing-giam,
apalagi percikan api dari goresan batu api itu pun hanya
samar-samar saja sehingga kurang jelas, maka dia kira In Hou
masih meninggalkan tulisan di dinding karang ini, maka dia
maju mendekat dan mengamati.
Baru saja dia tiba di bawah dinding, tiba tiba kakinya
menginjak tempat kosong, kiranya dia menginjak lobang
jebakan yang di atasnya hanya ditutupi rumput-rumput kering,
karena tidak menduga dan kurang waspada maka Tam Pa-kun
terjeblos jatuh kedalam lobang. Tapi Tam Pa-kun memang
jago kelas satu yang liehay, meski kejadian amat mendadak
dan kaget pula, tapi dia tidak menjadi gugup atau bingung,
belum lagi kakinya menyentuh dasar lobang, sebelah kakinya
segera menendang ke samping, "Biang" dengan menjejak
dinding lobang tubuhnya yang sudah amblas itu mendadak
melejit ke atas, di tengah hamburan debu dan pasir, tangkas
sekali dia sudah melompat keluar dari lobang jebakan.
Pada detik-detik yang hampir menentukan mati hidupnya
ini, terasa hawa dan gemerdep sinar dingin menyolok mata,
ternyata di dasar lobang jebakan ada tertancap enam puluh
batang golok yang mengkilap tajam, ujung golok yang runcing
tajam menghadap ke atas siap menyambut badan mangsanya,
kalau Tam Pa-kun betul-betul jatuh ke bawah, bagaimana
akibatnya dapatlah dibayangkan. Tapi meski dia terhindar dari
hutan golok di bawah lobang, namun tak kuasa menghindar
dari hujan panah yang serabutan. Di kala tubuhnya
melambung ke atas keluar lobang itulah belum kakinya
menginjak bumi, dari atas batu-batu cadas sekitarnya telah
berhamburan anak panah selebat hujan. Pada hal tubuhnya
masih terapung, betapapun tinggi kepandaiannya, tak
mungkin menangkis dan menghindar. Namun menghadapi
saat-saat kritis ini Tam Pa-kun jumpalitan mundur ke
belakang, berbareng kedua telapak tangan memukul dan
menepuk, puluhan batang panah kena dirontokkan oleh angin
88 pukulan. Namun demikian, masih ada tiga batang panah yang
mengenai tubuhnya. Sebatang menembus telapak tangan kiri,
sebatang menancap di pundak kanan, daif sebatang lagi lebih
berbahaya, mengincar mukanya, hanya beberapa senti saja
hampir matanya terpanah buta.
Begitu kedua tangan menggentak, panah yang menancap
di pundak tergetar lepas dan mencelat jatuh. Lalu dia cabut
pula panah yang menancap di mukanya, darah bercucuran
membasahi selebar muka dan tubuhnya, hardiknya murka!
"Bangsat keparat rendah, yang punya nyali hayo keluar,"
meski terkena tiga batang panah, lukanya cukup parah,
namun perbawanya masih kelihatan garang dan perkasa.
Dari tengah gerombolan rumput tiba-tiba menjulur
sebatang tombak panjang, seorang membentak: "Orang she
Tam, kematian di depan mata, masih berani bertingkah,"
ujung tombak kontan menusuk ke arah Tam Pa-kun. Sasaran
tusukan tombak adalah pusar, serangannya keji, tenaganya
besar. Tam Pa-kun balas membentak: "Serangan bagus," sekali
pegang dia tangkap ujung tombak lawan. Diluar tahunya di
rumpun pohon sebelah kiri ada seorang musuh pula yang
sembunyi, tanpa banyak mengeluarkan suara tiba-tiba dia
menyergap maju seraya membacok dengan golok, paha kanan
Tam Pa-kun terkena bacokan. Para pemanah yang berada di
atas cadas melihat musuh luka lagi sama bersorak kegirangan.
Di tengah sorak gembira kawanan penjahat itu terdengar
Tam Pa-kun menggerung keras disusul dua kali jeritan orang
yang meregang jiwa. Ternyata dalam keadaan terluka itu,
Tam Pa-kun masih sempat angkat kaki kirinya menendang
penjahat yang bersenjatakan golok itu kena ditendangnya
terjungkel kedalam jurang. Sekali cengkram lagi, penjahat
yang bersenjata tombak kena dijinjing terus dilempar
beberapa tombak jauhnya, untung kawanan penjahat yang
lain sempat menangkapnya beramai-ramai sehingga jiwanya
89 tidak melayang, tapi tulang pundaknya telah teremas hancur
oleh Tam Pa-kun. Sigap sekali Tam Pa-kun juga telah
mengeluarkan golok pusaka, dengan jurus. Me-can-pat-hong
(bertempur delapan penjuru di waktu malam), goloknya
menimbulkan segulungan sinar perak untuk menyampok dan
merontokkan hujan panah terus menerjang ke atas batu
cadas. Sudah tentu kawanan penjahat sama panik dan ribut. Tam
Pa-kun sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw
mengandalkan tujuh puluh dua jurus Kim-na-jiu dan enam
puluh empat jurus Phoan-liong-to-hoat, nama besarnya
memang tidak kosong. Karuan kawanan penjahat itu sama
ketakutan dan berteriak: "Minggir, jangan melawan secara
kekerasan."
"Kurcaci yang hina dina..." hardik Tam Pa-kun, tapi belum
habis dia memaki, terdengar suara "Tang" kembang api
berpijar, ternyata golok Tam Pa-kun membacok batu, untung
dia juga sempat kendalikan diri, kalau tidak hampir saja dia
menumbuk batu. Pentolan penjahat menjadi girang, teriaknya: "Tam Pa-kun,
kau sudah terkena panah kita yang beracun, racun sudah
bekerja dalam tubuh, coba sampai kapan kau masih segarang
ini." Tam Pa-kun menahan emosi dan kendalikan pernapasan
mengerahkan lwekang, betul juga terasa mukanya mulai kebal
dan gatal sekali, pandangannya pun sudah menjadi gelap.
Waktu itu kira-kira sudah menjelang kentongan ketiga, ada
sinar bintang, biasanya mata Tam Pa-kun amat tajam, waktu
dia melompat keluar dari lobang jebakan tadi, lapat-lapat
masih bisa di lihatnya bayangan beberapa orang. Tapi
sekarang segalanya serba gelap. Karuan mencelos hati Tam
Pa-kun: "Mungkinkah mataku sudah buta?"
90 Saking senang pentolan penjahat itu tertawa pula, oloknya:
"Supaya kau tidak menjadi setan gentayangan, mati jangan
penasaran, biarlah kujelaskan. Hehe, Tam Pa-kun, kali ini kau
salah menilai, kita dari Tok-liong-pang meski bukan terhitung
perserikatan besar, namun di kalangan persilatan juga ada
sedikit nama, kenapa kau begitu memandang kami serendah
ini." Tam Pa-kun menyeringai dingin, katanya: "O, kiranya kau
inilah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong-pang" Sungguh aku
kurang hormat."
Thi Ou tergelak-gelak, katanya: "Tidak berani. Tapi orang
she Thi ini bukan terhitung penjahat rendah kelas kambing
bukan?" Tam Pa-kun tertawa dingin, jengeknya: "Aku tahu Tok-
Iiong-pang kalian malang melintang dan banyak membuat
kejahatan di daerah tenggara, belakangan memperoleh tulang
punggung macam Le Khong-thian. Hm, hm, ketahuilah, dalam
pandangan aku orang she Tan, Tok-liong Pangcu macam
tampangmu ini tidak lebih hanya segelintir belut belaka."
Saking gusar Thi Ou malah tertawa bergelak, katanya:
"Tam Pa-kun, matamu sudah picak tak perlu aku memakimu,
kenyataan kau sudah punya mata tidak bisa melihat. Sekarang
biar kau bertingkah beberapa kejap lagi, akhirnya jiwamu toh
tergenggam di tanganku. Bidik dia," anak buah Tok-liong-pang
segera berpencar, maka anak panah kembali beterbangan.
Mendadak Tam Pa-kun membentak: "Apa yang kau
tertawakan" Memangnya tidak terima" Baiklah, diberi tidak
membalas kurang hormat, sekarang sambutlah senjata
rahasiaku. Kalau kau mampu menangkap krikil kecil ini,
kuangkat jempol dan kuakui kau adalah Hohan."
Golok dipindah ke tangan kiri Tam Pa-kun mainkan
senjatanya sekencang kitiran sampai hujan deraspun takkan
91 tembus, berbareng , tangan kanan terayun, sebutir krikil yang
tadi dijemputnya ditimpukkan ke atas pucuk batu cadas.
Puncak batu karang tingginya ada tujuh delapan tombak,
kerikil sekecil itu ditimpukkan dari bawah ke atas, namun daya
luncurnya ternyata menderu kencang. Thi Ou terhitung tokoh
persilatan juga, begitu mendengar deru luncuran krikil kecil
ini, mau tidak mau hatinya terkejut juga, tak pernah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbayang dalam benaknya, bahwa setelah terpanah tiga
batang panah beracun, Tam Pa-kun masih memiliki lwekang
sekuat ini. Dia tahu dengan bekal lwekang yang dimilikinya
sekarang jelas takkan mampu menyambut krikil kecil ini, lekas
dia ayun tameng besi yang dipegangnya, "Tang" krikil kecil itu
kena disampuknya pergi.
Tak nyana daya luncuran krikil kecil itu masih belum
lenyap, ditangkis lagi maka mencelat miring kesana dan
kebetulan mengenai seorang penjahat yang berdiri di samping
Thi Ou. Kepandaian orang ini sebetulnya juga tidak rendah,
jabatannya adalah Toa-thaubak didalam Tok-liong-pang,
namun dia tidak meniru perbuatan sang Pangcu untuk
menyampuk pergi krikil itu, karuan kepalanya seketika bocor
keluar kecap, saking kesakitan dia menjerit sambil
menjengking merintih-rintih. Sudah tentu kejadian ini
menimbulkan kegemparan di antara kawanan penjahat, yang
bernyali kecil seketika mengkeret dan sembunyi di belakang
batu tanpa berani mengintip, apa lagi melongok keluar. Tapi
ada juga seorang penjahat yang menyangka Tam Pa-kun
sudah buta, maka dia membidik serta memanah. Diluar
tahunya, meski matanya sudah buta, namun pendengaran
Tam Pa-kun dapat membedakan datangnya serangan. Begitu
mendengar suara busur dipentang, kontan dia timpuk sebutir
krikil lagi ke arah penjahat itu.
Kungfu penjahat yang satu ini jauh lebih rendah dari Toathaubak
tadi, mana dia mampu menahan Tam-ci-sin-thong
Tam Pa-kun yang dilandasi lwekang tingkat tinggi" Tahu akan
92 datangnya mara bahaya mulutnya terpentang hendak
menjerit, kebetulan dua gigi depannya seketika protol, darah
memenuhi seluruh mulutnya, tapi keadaannya jauh lebih
mending dibanding luka-luka yang diderita Thaubak tadi.
Saking ketakutan, kawanan penjahat itu tak berani lepas
panah lagi, Tam Pa-kun menarik napas, perlahan-lahan dia
memanjat ke lamping gunung, maksudnya pura-pura hendak
menghadang jalan mundur kawanan penjahat itu. Pimpinan
kawanan penjahat segera memberi tanda gerakan tangan
menyuruh anak buahnya lekas mengundurkan diri. Tanpa
perintahnya sebetulnya kawanan penjahat itu sudah sama
ngacir. Pimpinan itu lari sembunyi ke suatu tempat yang
menurut perkiraannya tak mungkin dicapai oleh Tam Pa-kun
terus pentang mulut memaki: "Orang she Tam, silakan kau
main gagah-gagahan disini, sebelum hari terang tanah nanti,
aku akan kembali mengubur tulang belulangmu."
Tam Pa-kun mendengarkan dengan cermat, didapatinya
bahwa kawanan penjahat sudah pergi jauh, tanpa merasa dia
menghela napas lega, namun setelah perasaan longgar,
seketika kepala terasa pusing tujuh keliling, tak kuat dia
bertahan lebih lama lagi.
Untung mengandalkan kekuatan Iwekangnya dia mampu
melindungi jantung supaya tidak keracunan, dalam waktu
singkat terang jiwanya belum ajal. Tapi rasa gatal dimukanya
sungguh sukar ditahan lagi, matapun sudah tak mampu
terbuka. Mau tak mau Tam Pa-kun tertawa getir sendiri, pikirnya:
"Agaknya aku akan jadi buta, jikalau aku dapat bertemu
dengan Lui-toako, mungkin jiwaku bisa tertolong, tapi mataku
sudah buta, bagaimana bisa pergi mencarinya" Hehe, tak
nyana setengah umur aku malang melintang di Kangouw, hari
ini terjungkal dan menemui ajal di tangan penjahat rendah."
Dengan pilu dia tertawa panjang, dia yakin jiwanya pasti
takkan tertolong lagi.
93 Mendadak tei gerak pikirannya, tanpa kuasa dia menjerit
tertahan, "Celaka, goresan arah panah di dinding batu tadi
pasti peninggalan In-toako dengan tenaga jarinya yang hebat,
musuh justru menggunakan tanda goresannya itu untuk
menjebakku masuk perangkap. Bukan mustahil In-toako juga
telah celaka dibokong mereka," lalu dia berpikir pula: "Tak jadi
soal aku mati, namun nasib .In-toako belum kuketahui,
matipun takkan meram. Bagaimana juga aku harus berusaha
memberifahu kepada It-cu-king-thian. Em, kini kira-kira sudah
menjelang kentongan keempat."
Karena tekadnya ini Tam Pa-kun segera mengerahkan, sisa
tenaganya, golok dimasukkan ke sarungnya, dengan golok
panjang sebagai tongkat dia menggeremet turun dari Cit-singgiam,
yang diharapkan sebelum terang tanah, dirinya belum
mati karena keracunan, bila di jalan pegunungan bisa bertemu
dengan penduduk, dia bisa minta bantuan untuk mengantar
dirinya ke rumah keluarga Lui.
Entah berapa lama dan jauh Tam Pa-kun berjalan, yang
nyata tenaganya sudah semakin lemah, untuk melangkah
setindak juga terasa berat dan sukar. Akhirnya dia menghela
napas panjang, pikirnya: "Tak kira akhirnya aku harus mati
dan terkubur di gunung kenamaan ini. Tapi sekarang aku
belum boleh mati, kalau aku mati, siapa akan memberi kabar
kepada It-cu-king-thian" Siapa pula yang bisa mewakili aku
mencari jejak In-toako?" tiba-tiba kupingnya menangkap suara
sesenggukan, entah siapa sedang menangis tak jauh di depan
sana. Karuan hati Tam Pa-kun kaget dan girang, batinnya:
"Thian yang maha kuasa memang adil, akhirnya kutemukan
juga seseorang disini. Tapi entah siapa dia, kenapa menangis
begitu sedih di tempat ini?"
Orang yang menangis ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing
yang sedang mengebumikan kakeknya di bawah Cit-singgiam.
Dengan golok pusaka milik In Hou, dia menggali liang
lahat, dengan cara sederhana dia mengubur kakeknya, lalu
94 berlutut serta berdoa: "Kakek di alam baka semoga kau
melindungiku sehingga berhasil kuyakinkan ilmu tinggi, kelak
aku akan kembali menuntut balas sakit hatimu, waktu itu baru
akan kubangun pula pusaramu."
Sebetulnya dia kuatir bila di atas Cit-sing-giam masih ada
musuh yang ketinggalan, maka dia tidak berani menangis,
namun sebelum berpisah ini, tak kuasa dia membendung duka
nestapa ini, air matapun bercucuran.
Tiba-tiba dia mendengar langkah orang yang mendatangi
ke arahnya, sudah tentu Tan Ciok-sing kaget, bergegas dia
melompat berdiri seraya berpaling, kebetulan didengarnya
pula suara gedebukan, seseorang berlepotan darah roboh
terkapar tak jauh di sebelah sana. Mendadak tergerak benak
Tan Ciok-sing, teriaknya sambil memburu maju: "Apakah she
Tam" Tam Pa-kun sudah tidak tahan lagi, namun mendengar
pertanyaan Tan Ciok-sing, tercekat hatinya, lekas dia meronta
bangun dengan siku menahan badan lalu berduduk melolos
golok melintangkan di depan dada, katanya: "Siapa kau! Dari
mana kau tahu akan diriku?"
Maklum meski Tam Pa-kun amat terkenal di kalangan
Kangouw, tapi dia yakin seorang penduduk pegunungan
takkan mungkin kenal dirinya maka timbul rasa curiganya,
kuatir kawanan penjahat meluruk datang pula, maka dia
bersiaga. "Jawab dulu pertanyaanku. Kau kenal In Hou, In Tayhiap
tidak?" tanya Tan Ciok-sing.
Tam Pa-kun ragu dan bingung, katanya: "Kalau kenal
kenapa, kalau tidak kenal bagaimana" Siapa kau sebetulnya?"
"Aku adalah sahabat In Tayhiap, jikalau kau kenal dia,
sukalah kau percaya padaku, bicaralah sejujurnya."
95 Kaget dan girang hati Tam Pa-kun, namun dia juga tidak
berani percaya seratus persen. Dari suara Tan Ciok-sing dia
yakin bahwa usianya masih terlalu muda, logat suaranya tidak
mirip orang dewasa, pikirnya: "Kedengarannya usianya baru
lima belas, bagaimana mungkin dia adalah sahabat In
Tayhiap?" Namun dalam menghadapi jalan buntu seperti dirinya
sekarang, meski memperoleh setitik harapan juga tak boleh
disia-siakan, mau tidak mau dia harus percaya. Maka katanya:
"Baik, aku
mempercayaimu. Memang aku she Tam bernama Pa-kun,
sahabat In Tayhiap sejak puluhan tahun yang lalu. Siapa
namamu?" Tan Ciok-sing segera menyebut namanya. Tam Pa-kun
melenggong, pikirnya: "Tan Ciok-sing, belum pernah aku
mendengar nama ini."
Tan Ciok-sing berkata: "Tam Tayhiap, apakah kau pun
dibokong dan teraniaya oleh kawanan penjahat itu?"
Kembali Tam Pa-kun kaget dibuatnya, gagang golok
digenggamnya lebih kencang, tanyanya: "Darimana kau
tahu?" "Lukamu parah, aku sendiri tak bisa lama berada disini,
harap sukalah kau percaya kepadaku, turunkan golokmu, biar
kuperiksa apakah aku mampu menolong dan mengobati lukalukamu?"
Mendengar orang bicara secara jujur dan tulus, Tam Pakun
berpikir: "Terang aku takkan bisa mencapai rumah
keluarga Lui, apa boleh buat, biarlah kupertaruhkan jiwaku
ini," lalu dia turunkan golok, katanya: "Tak perlu kau keburu
nafsu mengobati lukaku, kalau kau adalah sahabat In Tayhiap,
lekas kau beritahu kepadaku, bagaimana keadaannya
sekarang?"
96 Serba susah untuk menerangkan, Tan Ciok-sing berpikir:
"Lukanya begini parah, bila kuberitahu In Tayhiap sudah ajal,
mungkin..."
Tidak mendengar jawabannya, Tam Pa-kun membentak:
"Bagaimana keadaan In Tayhiap, kenapa kau tidak bersuara?"
Tan Ciok-sing kertak gigi, katanya: "Seperti keadaanmu
sekarang In Tayhiap juga dibokong dan terluka oleh musuh."
"Dimana dia sekarang?" tanya Tam Pa-kun, bahwa In Hou
juga terbokong memang sudah diduganya, maka dia tidak
begitu kaget dan heran.
"Aku tidak tahu, Tam Tayhiap, sukalah kau beri
kesempatan supaya aku menyembuhkan luka-lukamu dulu,
setelah kau menyembuhkan iuka-iuka ini baru mampu
mencarinya bukan?"
Tam Pa-kun cukup luas pengetahuannya, dia tahu bahwa
Tan Ciok-sing belum bicara sejujurnya, namun kini dia sudah
percaya bahwa Tan Ciok-sing tidak akan mencelakainya,
batinnya: "Mungkin dia tahu bahwa kawanan penjahat itu
memang liehay, maka dia tidak berani banyak bicara," lalu
katanya: "Aku tidak akan segera mati, tolong pergilah kau
mengundang It-cu-king-thian ke mari."
Ganti Tan Ciok-sing yang berjingkat kaget, katanya: "Apa
itu It-cu-king-thian, aku tidak tahu."
"Kalau kau sahabat In Hou, mana mungkin tidak tahu nama
besar It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"
"Kalau kau tidak percaya, yah apa boleh buat. Tapi
bagaimana juga, luka-lukamu harus disembuhkan dulu," tanpa
hiraukan reaksi Tam Pa-kun, lekas dia maju membersihkan
noda-noda darah di muka orang serta membubuhi Kim-jongyok.
Kakek Tan Ciok-sing pernah belajar pengobatan, maka dia
pernah membuat sendiri Kim-jong-yok dan ohat-obat
97 pemunah racun umumnya, walau dalam hal pengobatan Tan
Ciok-sing belum mendapat ajaran langsung dari sang kakek,
sedikit banyak juga sudah pernah menyelaminya, waktu dia
meninggalkan rumah, obat-obatan yang diperlukan juga
dibawanya serta.
Luka-luka Tam Pa-kun sudah membengkak besar dan
berwarna hitam berbau amis lagi, setelah menjejalkan sebutir
pil penawar racun ke mulut orang, Tan Ciok-sing berpikir:
"Semoga racun yang mengeram dalam tubuhnya tidak sejahat
racun yang mengenai In Tayhiap, syukurlah kalau pil penawar
racun bikinan kakek ini dapat menyembuhkan luka-lukanya."
Apa yang diterka Tan Ciok-sing memang tidak meleset,
Tok-liong-pang atau sindikat naga beracun meski
menggunakan nama "racun", betapapun dia perserikatan dari
aliran kelas dua, panah beracun yang mereka pergunakan
terang tidak sejahat racun yang digunakan gembong iblis she
Siang yang digunakan melukai In Hou. Setelah menelan pil
penawar itu, lekas Tam Pa-kun kerahkan hawa murni
membantu khasiat obat bekerja lebih cepat, terasa dada lebih
enteng dan wangi, dia tahu meski pil obat ini bukan obat
penawar yang tepat untuk memunahkan kadar racun panah,
namun jiwanya jelas tertolong, paling tidak dapat
dipertahankan untuk beberapa kejap lagi.
Akhirnya Tam Pa-kun menghela napas lega, katanya: "Adik
cilik, banyak terima kasih. Sekarang sudah terang tanah
belum?" "Belum, tapi tidak akan lama lagi."
"Baiklah, keadaanku sekarang tidak berbahaya lagi,
tolonglah kau pergi mengundang It-cu-king-thian ke mari, aku
yakin kau pasti mengenalnya."
"Tidak, jangan kau mencari It-cu-king-thian," kata Tan
Ciok-sing prihatin.
"Kenapa?" Tam Pa-kun menegasi.
98 Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba dari lereng
gunung sebelah sana terdengar langkah kaki serombongan
orang yang turun ke mari, lekas sekali suara percakapan
merekapun terdengar, dan yang sedang bicara kebetulan
justru It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Lekas Tam Pa-kun merebahkan diri serta menempelkan
telinga di atas tanah, didengarnya It-cu-king-thian Lui Tin-gak
sedang berkata: "Kenapa bayangan setanpun tidak kelihatan,
kemana Tam Pa-kun menyembunyikan diri?"
Bukan kepalang girang hati Tam Pa-kun, pikirnya:
"Sungguh kebetulan, orang yang kuharapkan kebetulan telah
datang." Baru saja mulutnya terpentang dan hendak berteriak
memanggil Lui Tin-gak, mendadak mulutnya didekap tangan
orang sehingga suaranya tak terdengar. Tam Pa-kun boleh
dikata sudah kehabisan tenaga, meronta juga tak berhasil.
Tapi dia tahu yang mendekap mulutnya jelas adalah Tan Cioksing.
Didengarnya Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya:
"Tam Tayhiap, jangan kau bersuara."
"Kenapa" Kenapa?" Timbul tanda tanya dalam benak Tam
Pa-kun, namun lekas sekali dia sudah mendengar suara
seorang yang sudah amat dikenalnya berkata tertawa: "Tak
usah kuatir, Tam Pa-kun terkena panah beracun kita,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memangnya berapa jauh dia melarikan diri, kita cari perlahanlahan
saja." Suara orang ini bukan lain adalah Thi Ou Pangcu dari Tokliong
pang yang membokong Tam
Pa-kun tadi. Karuan Tam Pa-kun jadi bingung dan tak habis
mengerti, sesaat dia melenggong. Tan Ciok-sing berbisik pula
di pinggir telinganya: "Tam Tayhiap, sudah dengar bukan" ltcu-
king-thian sekomplotan dengan kawanan penjahat itu."
Langkah mereka semakin dekat, cepat sekali mereka sudah
berada di bawah gunung, cahaya oborpun telah kelihatan.
Seorang penjahat mendadak berteriak: "Coba lihat, disini ada
99 noda darah, kita ikuti ceceran darah ini, pasti dapat
menemukan jejak Tam Pa-kun."
Detak jantung Tan Ciok-sing seperti bandulan lonceng yang
terayun pergi datang. "Bagaimana baiknya?" Saking kepepet
dan kebingungan dia sampai kehabisan akal, namun dia insyaf
bila jejak mereka disini ketemu oleh musuh maka akibatnya
susah dibayangkan.
Di kala Tan Ciok-sing bimbang dan gemetar inilah,
mendadak Tam Pa-kun meronta menggentak kepalanya,
telapak tangan Tan Ciok-sing yang mendekap mulutnya
terlepas, dengan suara lirih Tam Pa-kun berkata: "Jangan
hiraukan diriku, lekas kau pergi."
Langkah orang-orang itu sudah semakin dekat lagi.
Sekilas Tan Ciok-sing menenangkan pikiran, pikirnya: "Sakit
hati kakek dan In Tayhiap kelak harus aku yang
membalasnya. Dari pada aku disini tidak bisa berbuat apa-apa.
Bukan mustahil Tam Tayhiap juga celaka di tangan musuh,
apalagi aku tentu dengan mudah menyerahkan jiwa raga ini,"
karena itu dia kertak gigi, Tam Pa-kun berusaha dipapahnya
bangun terus diseretnya kedalam semak-semak rumput, lalu
berbisik: "Tam Tayaiap, aku akan pergi. Semoga Thian
melindungimu terhindar dari petaka ini. Ada sepatah kata
perlu kusampaikan kepadamu, In Tayhiap sudah meninggal,
yang mencelakai In Tayhiap juga It-cu-king-thian," habis
bicara segera dia mendekam terus menggeremet kesana
menyusup pergi di antara semak-semak rumput.
Hampir Tam Pa-kun tidak percaya akan pendengarannya.
"Bagaimana mungkin" Lui-toako mana mungkin melukai Intoako"
Tapi apa pula maksudnya mencari aku dengan Tokliong
Pangcu?" Maklumlah Tam Pa-kun dengan Lui Tin-gak adalah sahabat
karib bak kakak beradik, secara mutlak dia percaya kepada Lui
Tin-gak. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing pergi, bukan lantaran
100 kuatir Lui Tin-gak bakal turun tangan keji terhadapnya, tapi
dia kuatir Tok-liong Pangcu yang akan berbuat jahat
kepadanya. Walaupun hakikatnya dia belum lagi sempat
mencari tahu kenapa Lui Tin-gak bisa bergaul dan berada
dalam rombongan Thi Ou.
Tan Ciok-sing menggeremet pergi di tengah semak rumput,
meski dia sudah bertindak hati-hati, betapapun akhirnya
mengeluarkan suara keresekan, begitu Thi Ou pasang kuping
lalu berkata: "Disana seperti ada suara orang, hayo coba kita
periksa kesana," seorang Thaubak berkata: "Pangcu harus
hati-hati. Entah racun dalam tubuh Tam Pa-kun sudah kumat
belum?" Thi Ou tertawa, katanya: "Ada Lui Tayhiap di antara kita,
perlu apa takut?"
"Betul, kalian tidak usah kuatir," terdengar Lui Tin-gak
berkata, "kalau benar Tam Pa-kun sembunyi disini, biar aku
menghadapinya. Kalau dia sudah terluka separah itu, yakin
aku masih dapat melayaninya."
Thi Ou segera mengumpak, katanya: "Umpama Tam Pakun
belum terluka juga belum tentu tandingan Lui Tayhiap.
Kalau Lui Tayhiap harus menghadapinya, itu berarti
membunuh ayam pakai golok kerbau."
Lui Tin-gak tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ah, kau
terlalu memuji," suaranya amat jumawa.
Diam-diam Tam Pa-kun berpikir pula: "Lui-toako pasti
bukan manusia serendah itu, mungkin urusan ini masih ada
latar belakang yang tidak kuketahui?" mendadak dia
berjingkrak berdiri seraya membentak: "Orang she Tam ada
disini, tak usah kalian susah payah mencariku, siapa ingin
membunuhku, silahkan maju."
Dia sudah nekad mempertaruhkan jiwanya, kalau Lui Tingak
tidak seperti apa yang dia duga jelas jiwanya pasti
melayang. Tapi dia sudah bertekad untuk melabrak musuh
101 habis-habisan, tujuannya tak lain demi melindungi Tan Cioksing
melarikan diri.
Melihat Tam Pa-kun mendadak muncul di hadapan mereka,
karuan Thi Ou dan anak buahnya sama kaget, perhatian
semuanya tertuju kepada Tam Pa-kun, tiada yang tahu kalau
di semak rumput sana ada seorang lagi menyembunyikan diri.
Terdengar suara Lui Tin-gak yang berat keren berkata:
"Nah, coba kalian lihat, aku akan membunuhnya," pada akhir
kata-katanya mendadak telapak tangannya terayun balik
memukul ke belakang, "Biang", diluar dugaan orang banyak,
yang jadi sasaran pukulannya itu justru dada Tok-liong
Pangcu. Semula Thi Ou berdiri jajar dengan dia, mimpipun tak
pernah terbayang olehnya bahwa Lui Tin-gak bakal
membunuhnya, kontan tubuh Thi Ou mencelat jauh'seperti
bola tertendang jatuh beberapa tombak jauhnya. Padahal
Bian-ciang yang dilancarkan Lui Tin-gak ini dapat memukul
remuk batu, mana Thi Ou kuat menerima pukulan dahsyat ini"
"Huuaaah..." di tengah jerit lengking yang menyayat hati,
darah berhamburan dari mulutnya, setelah terguling beberapa
kali, akhirnya meringkel diam. Karuan seluruh anak buah Thi
Ou terkesima dan pecah nyalinya.
Tam Pa-kun sendiri juga amat haru dan senang pula,
akhirnya dialah yang menang dalam pertaruhan jiwa ini.
"Tam-toako," seru Lui Tin-gak, "aku datang terlambat."
Baru sekarang anak buah Thi Ou tersentak sadar, tanpa
komando serempak mereka melarikan diri. Hanya seorang
pengawalnya yang memburu maju hendak memapah Thi Ou.
Mendadak Thi Ou membalikkan tubuh, tiga batang panah
beracun tahu-tahvi meluncur mengincar punggung Lui Tingak.
Lekas-lekas Tam Pa-kun berteriak: "Awas Lui-toako, ada
serangan senjata rahasia," karena berhadapan dengan Tam
Pa-kun, berarti Lui Tin-gak membelakangi Thi Ou.
102 "Bagus," bentak Lui Tin-gak, "kebetulan aku bisa pinjam
panah beracun ini," sekali menggapai ke belakang, tiga batang
panah beracun itu kena di tangkapnya, langsung dia
sambitkan pula. Pengawal Thi Ou baru saja sampai di
sampingnya, begitu kena timpukan panah beracun kontan dia
terjungkal roboh binasa.
Dua batang panah lagi melesat ke arah dua penjahat yang
lari paling jauh, seorang lari ke selatan yang lain lari ke utara,
jarak mereka sudah seratusan langkah, tak nyana jiwa mereka
tak terhindar dari renggutan maut.
Sisa beberapa penjahat yang tak mampu melarikan diri
sama meratap minta ampun sambil berlutut. Lui Tin-gak
kebacut gemes, sambil kertak gigi dia membentak: "Tok-liongpang
sudah keliwat batas kejahatannya, matipun kalian
setimpal," mengembangkan ketangkasan gerak tubuhnya, ke
kiri menyapu ke kanan menendang, kepalan disusul
tendangan maut, menutuk dan menjojoh pula, dalam sekejap
saja mayat bergelimpangan, seluruh anak buah Thi Ou habis
dibabatnya. Setelah memberantas kawanan penjahat, It-cu-king-thian
menghela napas gegetun, katanya: "Tuhan memang maha
pengasih, sebetulnya aku tidak ingin membabat habis mereka,
tapi menilai perbuatan mereka hari ini, terpaksa aku harus
bunuh mereka."
Tam Pa-kun tahu meski Tok-liong-pang merupakan sindikat
kelas dua dalam Kangouw, tapi anggotanya rata-rata pandai
menggunakan racun, suka main licik dan sukar dilayani. Kalau
mereka tahu sang Pangcu mati di tangan Lui-toako, pasti
berusaha menuntut batas dengan cara keji luar biasa. "Ai,
demi menyelamatkan diriku, Lui-toako tidak segan mencari
permusuhan, tadi hampir saja aku mencurigainya," sungguh
bukan kepalang haru dan menyesal hatinya, tanpa kuasa air
mata berlinang.
103 "Tam-toako, bagaimana luka-lukamu?" seru Lui Tin-gak
sambil menghampiri. "Haya, kenapa matamu..." setelah dekat
baru dia melihat jelas, kedua biji mata Tam Pa-kun
membengkak besar berwarna merah seperti buah apel.
Tam Pa-kun tertawa sedih, katanya: "Meski menderita aku
terhitung beruntung juga, tadi ada orang yang telah memberi
obat kepadaku, jiwaku mungkin takkan berbahaya."
"Mana orang itu?" tanya Lui Tin-gak melengak.
"Sudah lari pergi," sahut Tam Pa-kun.
Lui Tin-gak semakin heran, tanyanya: "Siapakah dia?"
"Aku tidak tahu siapa dia, tapi soal ini kita bicarakan nanti,
ada urusan penting yang perlu kutanyakan kepadamu."
"Betapapun kedua matamu harus lekas diobati, hayolah
dicuci dulu di sungai sana."
"Mata menjadi buta juga tidak jadi soal, Lui toako, kenapa
urusan penting tidak kau bicarakan dulu?"
Lui Tin-gak tahu soal apa yang hendak dibicarakan, hatinya
perih seperti disayat-sayat, katanya dengan tertawa dibuatbuat:
"Urusan penting apa?"
"In Hou sudah tiba di Kwi-lin, apakah kau sudah bertemu
dia?" "Ya, sudah ketemu."
"Syukurlah. Tadi aku hampir percaya omongan orang lain,
kukira dia betul-betul sudah mati," sesaat dia berdiam tidak
memperoleh jawaban Lui Tin-gak, walau dia tidak bisa melihat
perubahan mimik muka orang, tapi dia sudah merasakan
firasat jelek, tanyanya lekas: "Lui-toako, ada yang tidak
beres?" Tersendat suara Lui Tin-gak: "Orang itu memang tidak
menipumu. In Tayhiap memang sudah mati."
104 Mengejang tubuh Tam Pa-kun, sekujur badan menjadi
dingin, derita batinnya jauh lebih parah dari siksaan racun
panah tadi, lama dia mematung, akhirnya tersentak sadar,
teriaknya tak tertahan: "Sudah mati" Bagaimana matinya?"
"Dia dibokong oleh kawanan penjahat di atas Cit-singgiam."
Tam Pa-kun sudah menduga bahwa In Hou pasti juga
mengalami nasib seperti dirinya, tapi mendapat keterangan
langsung dari Lui Tin-gak, hatinya tetap kaget dan heran,
tanyanya: "Siapakah yang membokongnya?"
"Kabarnya Le Khong-thian dan Siang Po-san."
Gemeretak gigi Tam Pa-kun, katanya: "Kiranya kedua
orang ini, apakah mereka masih berada di Kwi-lin?"
"Entah, kukira mereka belum pergi. Karena belum
mendapatkan barang yang mereka incar, In Tayhiap mati atau
hidup, mereka pasti ingin menyelidiki juga."
"Kalau demikian, jadi mereka juga terluka?"
"Ya, kabarnya mereka juga terluka, beberapa hari ini entah
mereka sembunyi dimana menyembuhkan luka-luka itu."
"Tak heran, waktu kawanan Tok-liong-pang mencelakai aku
semalam, kedua gembong iblis ini tidak muncul, kalau mereka
ikut datang, masakah aku bisa hidup sampai sekarang" Ai, Intoako
aku datang terlambat empat hari, sehingga kau menjadi
korban, tak nyana lagi bahwa jiwaku ini kau pula yang
menolongku."
"Memangnya aku ingin tanyakan Tam-toako," kata Lui Tin?
gak, "biasanya kau paling tepat janji, kenapa kali ini sampai
terlambat empat hari. Dari percakapanmu barusan agaknya
kau sudah menduga bahwa yang mencelakai In-toako adalah
kedua gembong iblis itu, apa pula yang terjadi?"
105 "Di tengah jalan, kudengar berita bahwa kedua gembong
iblis ini datang hendak mencelakai In-toako, maka aku terus
menempuh perjalanan siang malam, pikirku hendak
menghadang mereka. Tak nyana di tengah jalan beruntun
malah aku yang dicegat dan disergap kaki tangan mereka.
Walau beruntung aku dapat lobos, namun aku sudah
terlambat empat hari dari waktu yang dijanjikan."
"Bahwa In Tayhiap hendak datang ke Kwi-lin, cara
bagaimana mereka bisa tahu?" tanya Lui Tin-gak.
"Aku juga heran, selamanya tak pernah kubicarakan hal ini
dengan orang lain, kukira In Hou juga tidak akan sembarang
bicara dengan orang."
"Ya, beberapa tahun yang lalu pernah kudengar bahwa In
Hou ingin tamasya di Kwi-lin, tapi kedatangannya ke Kwi-lin
kali ini kuketahui setelah dia terbokong musuh," lalu dengan
tertawa getir dia melanjutkan: "Kalau dikatakan sebetulnya
sedikit banyak aku juga sudah mendengar kabar angin, tapi
dalam perkiraan In Tayhiap, mungkin dia merasa curiga
kepadaku. Sayang di kala dia masih hidup tak sempat aku
memberi penjelasan kepadanya," waktu berkata mimiknya
kelihatan aneh, sayang Tam Pa-kun tidak bisa melihat
keanehan ini. "Lui-toako, kenapa kau bilang begitu, kau adalah teman
karibku yang paling kental, memangnya aku bakal curiga
kepadamu" Menurut hematku, In Hou juga tidak pantas
bercuriga kepadamu."
Lui Tin-gak geleng-geleng kepala, katanya getir: "Tamtoako,
kau tidak tahu."
"Tidak tahu apa?"
"Aku memang pantas dicurigai, karena terhadap orang
pernah aku mengakui bahwa aku sekongkol dengan kawanan
penjahat untuk mencelakainya."
106 "Kenapa kau bilang demikian?"
"Panjang kalau dituturkan, hayolah sambil jalan sambil
bicara." "Betul, aku juga ingin tanya kepadamu. Katamu kau pernah
melihat In Hou. Kapan dan dimana?" .
"Kemarin malam kira-kira kcntongan ketiga di rumah
seorang teman. Sayang sekali yang kulihat hanyalah jenazah
In Tayhiap."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Temanmu itu bukankah seorang pemuda tanggung
berusia lima belasan, she Tan bernama Ciok-sing?"
"Betul, darimana kau tahu?"
"Sahabat kecil itulah yang tadi mengobati luka-lukaku."
"Apa yang dia katakan terhadapmu?"
"Memang betul dugaanmu, dia memang menaruh
prasangka terhadapmu, dia yakin bahwa kaulah biang keladi
dari kematian In Hou."
Waktu itu mereka sudah tiba di pinggir sungai, Lui Tin-gak
segera membersihkan muka dan badan Tam Pa-kun yang
berlepotan darah, serta membubuhi obat pula. Air sungai yang
bening dingin untuk mencuci mata, Tam Pa-kun merasa jauh
lebih segar dan nyaman, matanya memang bisa terbuka, tapi
yang kelihatan hanya samar-samar.
"Apa kau tahu Dewa Harpa?" tanya Lui Tin-gak.
"Dewa Harpa?" Tam Pa-kun seperti sadar, "apa maksudmu
Tan Kiat-gih locianpwe itu" Apa dia juga berada di Kwi-lin?"
"Sudah dua puluh tahun dia mengasingkan diri di bawah
Cit-sing-giam, tapi dia sudah mengikat janji dengan aku, aku
dilarang membocorkan asal-usulnya, maka sejauh ini aku tidak
pernah bercerita kepadamu tentang dirinya."
107 "Kepandaian memetik harpa cianpwe ini katanya tidak
bandingan di kolong langit ini, sudah lama aku mengagumi
namanya. Tapi untuk apa kau menyinggung dia?"
"Pemuda bernama Tan Ciok-sing yang menolong jiwamu itu
adalah cucunya. In Hou dibokong oleh kedua gembong iblis itu
didalam Cit-sing-giam dan terluka parah jatuh kedalam rawa
untung Ki Harpa inilah yang menolongnya, tapi keadaannya
waktu itu memang amat menguatirkan. Peristiwa ini baru
kuketahui kemarin, maka kusuruh Ki Harpa bersandiwara
bahwa akulah biang keladi pembunuh In Hou, malah kuminta
dia berusaha supaya orang lain percaya."
Tam Pa-kun paham, katanya: "Karena waktu itu mati hidup
In Hou masih merupakan teka teki, kau kuatir ada kelompok
lain yang berusaha mencelakai In Hou pula, maka sengaja kau
terima memikul tuduhan jahat ini, supaya perhatian orangorang
itu teralih atas dirimu. Ai, maksud tujuanmu kiranya
cukup pahit juga..."
"Banyak terima kasih Tam-toako atas pengertianmu
kepadaku. Sayang In Tayhiap sudah mati, jelas aku tak kuasa
mcmbelek hatiku untuk kutunjukkan kepadanya."
"Lui-toako, urusan sudah terlanjur sejauh ini, sedihpun tak
berguna, yang penting sekarang kita harus lekas mengurus
jenazah In Hou."
"Betul, Ciok-sing bocah itu, seharusnya aku memberikan
perlindungan dan tempat berteduh." Lui Tin-gak kira sekarang
Tan Ciok-sing tentu sudah lari pulang, hatinya masih raguragu,
apakah perlu dia menjelaskan duduknya persoalan"
Rumah kediaman keluarga Tan berada di Yau-kong-hong di
sebelah selatan Po-tho-san, Po-tho-san memiliki empat puncak
yang bernama Thian-sut, Thian-bian, Thian-ki dan Thiancwan.
Cit-sing-giam berada di puncak Thian-ki-hong.
Kalau Lui Tin-gak mengira Tan Ciok-sing lari pulang, tak
kira waktu dia mengitari lamping gunung Po-tho-san, tampak
108 di bawah Yau-kong-hong sana, api tampak berkobar-kobar,
tempat kebakaran adalah di rumah keluarga Tan. Sekilas Lui
Tin-gak melengak akhirnya menarik napas panjang.
Walau kedua mata Tam Pa-kun tak terpentang, namun dia
merasakan juga gemeredepnya cahaya panasnya api.
Tanyanya kaget: "Lui-toako, apa yang terjadi?"
"Rumah keluarga Tan sudah di bumi hanguskan."
"Lalu cucu Ki Harpa itu..."
"Ciok-sing bocah itu baru saja melarikan diri dari sini,
padahal rumahnya sudah tinggal puing-puing belaka, agaknya
dia sengaja membakar rumah sendiri sebelum meninggalkan
rumahnya tadi. Tadi aku kira dia bakal lari pulang, kiranya
dugaanku meleset."
"Begitu lebih mending, semoga bocah ini selamat dan
walafiat."
"Tapi aku tidak tahu entah kapan baru akan bisa bertemu
dengan dia, dia tentu menganggap aku sebagai musuh
besarnya."
Tiba-tiba Tam Pa-kun teringat suatu hal, katanya: "Soal ini
mungkin kelak masih bisa dibikin terang, tapi dalam saat-saat
genting ini kukira Lui-toako, kau harus meninggalkan Kwi-lin
sementara. Kedua gembong iblis itu..."
Sebelum habis penjelasannya, Lui Tin-gak sudah tahu
maksudnya, katanya tertawa getir: "Betul, setelah luka-luka
kedua gembong iblis ini sembuh, mereka jelas takkan
membiarkan aku. Tadi waktu aku memberantas orang-orang
Tok-liong-pang memang sudah ambil putusan."
"Putusan apa?"
"Meniru Tan Ciok-sing, membakar rumah tinggal, lalu
pergi." 109 Sedih sekali Tam Pa-kun, katanya: "Sayang mataku sudah
buta, bikin susah kau pula untuk menyembuhkannya, jelas aku
tak mampu membantu kau."
"Harta benda terhitung apa, yang penting asal diri tidak
berbuat salah, setia terhadap kawan sudah cukup dan tak
perlu menyesal."
Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah dalam perjalanan
meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan kampung
halaman dimana dia pernah dibesarkan, berat memang
rasanya, tapi mengingat masa depan, demi menuntut balas
sakit hati kakek dan In Tayhiap, dia harus belajar Kungfu.
Pikirnya: "In Tayhiap suruh aku menemui Thio Tan-hong Thio
Tayhiap yang bergelar pendekar nomor satu di jagat ini,
semogalah Thian memberikan wahyunya supaya cita-citaku
tercapai. Hm, persetan dengan It-cu-king-thian segala, tunggu
saja, setelah aku kembali kelak, sekali tabas akan kupenggal
kepalanya," sudah tentu mimpipun Tan Ciok-sing tidak
menduga, di kala dia bersumpah dalam hati ini, rumah
keluarga Lui juga sudah terbakar habis. It-cu-king-thian Lui
Tin-gak juga tidak akan menunggu dia pulang ke Kwi-lin lagi.
Tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing mulai memasuki
daratan tinggi di perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu. Dalam
perjalanan selama tiga bulan ini, begitu senggang dia lantas
mempelajari ilmu pukulan dan ajaran golok pemberian In Hou.
Dalam ajaran ilmu pukulan juga tertera pelajaran lwekang,
maka setiap pagi dan malam, sehari dua kali Tan Ciok-sing
pasti belajar dan latihan sesuai petunjuk dalam buku. Untung
dari kakeknya dia telah diajarkan dasar latihan pernapasan,
dibekali bakatnya yang baik lagi, untuk belajar lwekang tingkat
tinggi, meski tanpa bimbingan guru, akhirnya dia berhasil
juga. Setelah tiga bulan meski dia baru mencapai kulitnya
dalam pelajaran lwekang tingkat tinggi ini, tapi dibanding
sebelumnya, jelas bedanya teramat jauh. Tapi beberapa jurus
pelajaran ilmu pedang yang tertulis didalam Kiam-boh karya
110 Thio Tan-hong itu, sejauh ini masih belum berhasil
diselaminya. Hari itu dia tiba di sebuah kota kecil, hari sudah mulai
gelap, dalam kota ini hanya terdapat sebuah hotel kecil, maka
Tan Ciok-sing menginap di hotel ini. Waktu meninggalkan
rumah, Tan Ciok-sing hanya membawa dua perangkat pakaian
selama menempuh perjalanan tiga bulan ini, tak sempat dia
membuat atau membeli pakaian baru, maka pakaian yang
dipakainya sekarang bukan saja warnanya sudah luntur, kotor
dan butut lagi. Apa lagi usianya yang masih terlalu muda,
muka kotor kena debu, menggendong sebuah kotak kayu
yang sudah rombeng dan buntalan kecil yang enteng saja,
keadaannya memang rada lucu.
Pemilik hotel seorang yang mata duitan, melihat
keadaannya minta kamar lagi, seketika dia mengerutkan alis,
katanya: "Menurut peraturan hotel kami, uang makan dan
uang nginap harus dibayar dimuka."
"Boleh saja, berapa aku harus membayar," kata Tan Cioksing.
Tak nyana waktu dia merogoh kantong, seketika dia
berdiri tertegun, ternyata uang pecahan yang dibawanya telah
habis, sisanya hanya beberapa keping uang tembaga dan
kacang emas pemberian In Hou.
Pemilik hotel menghitung-hitung: "Tarip kamar biar
kuhitung tiga ketip saja, ditambah ongkos makan dua kali dan
lain-lain biarlah dihitung genap satu tail saja. Hayo segera
bayar." "Aku tidak punya uang perak, tapi..."
Belum habis dia bicara pemilik hotel sudah mendelik gusar,
serunya: "Uangmu hanya beberapa keping tembaga ini,
memangnya kau hendak makan dan nginap gratis. Makanya,
masa ada urusan segampang ini?"
111 "Bukan begitu, walau aku tidak punya uang perak, tapi aku
punya emas," seru Tan Ciok-sing. Pemilik hotel mendelik
kaget, serunya terbeliak: "Kau punya emas, coba keluarkan."
Tan Ciok-sing keluarkan sebutir kacang emas, katanya:
"Nah terimalah kacang emas ini, nilainya kukira lebih dari satu
tail perak?"
Kota ini terletak di dataran tinggi, penduduknya rata-rata
kaum miskin, yang menginap di hotel ini kebanyakan adalah
kaum pesuruh atau pedagang kelilingan, kapan pernah
melihat tamu yang memiliki emas" Demikian pula pemilik hotel
yang kemaruk uang ini, dia pun belum pernah melihat emas.
Sekian lama dia mengawasi pemuda tanggung yang kotor
dan butut ini, mana berani dia percaya bahwa uang yang
dikeluarkan ini emas tulen, segera dia menjengek dingin:
"Sebutir tembaga kuning hendak kau gunakan menipuku, kau
kira aku ini goblok?"
"Ini emas murni, tidak percaya boleh kau bawa ke toko
emas atau tukarkan ke bank."
"Memangnya kau kira aku punya banyak waktu lari ke kota
besar menukarkan tembagamu ini," ternyata kota kecil ini
tiada bank. "Tapi emasku ini betul-betul murni, kalau ada tempo kan
bisa kau pergi menukarnya."
Pemilik hotel mendengus ejek, katanya: "Umpama benar
emas murni, aku kan tidak tahu dari mana kau bisa
memilikinya. Orang kecil seperti kami ingin berdagang secara
halal, jangan nanti kami terembet urusan dengan opas."
Tan Ciok-sing geregetan, katanya: "Kau kira aku mencuri?"
"Kau sendiri yang bilang. Pendek kata aku minta
pembayaran uang perak, kalau tanpa uang perak lekas kau
enyah dari sini, jangan membuat ribut saja."
112 Malu dan jengkel Tan Ciok-sing dibuatnya, namun
mengingat pemilik hotel ini memang manusia kampungan
terpaksa dia menahan amarah, katanya: "Baiklah, kau tidak
percaya bahwa uangku ini emas, biarlah aku pergi saja."
Tiba-tiba seorang berkata: "Engkoh cilik, buat apa kau
marah-marah" Di kota ini hanya ada hotel ini saja, kemana
kau hendak menginap" Penduduk juga takkan mau menerima
orang yang tidak dikenal asal-usulnya. Marilah coba kubantu
membereskan."
Kiranya dua tamu yang sudah menginap lebih dulu keluar
dari kamar mendengar keributan ini, seorang lakilaki,
setengah umur berbadan pendek kekar, seorang lagi
berhidung betet, mata cekung dan berjambang bauk,
perawakannya tinggi keren, dilihat tampangnya jelas dia
bukan orang bangsa Han. Yang bicara tadi adalah laki-laki
setengah umur itu.
"Aku toh bukan pengemis, kenapa harus minta-minta
kepadanya," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Tentu, tentu," ucap laki-laki pendek, "siapa berani
memandang rendah kau" Tapi Laopan tidak mau terima emas,
kau pun tidak boleh memaksanya, betul tidak" Lebih baik
begini saja, kau keluarkan salah satu barangmu sebagai
tanggungan bagaimana" Emasmu itu kan bisa ditukarkan
sembarang waktu untuk menebusnya. Bukankah ini cara yang
paling baik untuk kedua pihak?"
"Aku tidak punya barang apa untuk dibuat tanggungan
disini," ujar Tan Ciok-sing.
"Lalu apa isi kotakmu ini?" tanya laki-laki pendek.
Dalam kotak berisi harpa kuno warisan kakek Tan Cioksing,
mana boleh barang berharga ini untuk barang
tanggungan, maka dia berkata: "Ah, hanya sebuah harpa
bobrok, kukira Toa laopan ini juga tidak akan mau
menerimanya."
113 "Coba dikeluarkan supaya dilihat, kan tidak apa-apa?" pinta
laki-laki pendek.
Betapapun Tan Ciok-sing masih merupakan pemuda
tanggung, gampang dipancing dan suka ngumbar emosi,
pikirnya: "Kalau tidak kuperlihatkan, mungkin mereka kira
yang tersimpan didalam kotak ini barang curian."
Laki-laki brewok seperti orang asing itu menatap tajam
tanpa berkedip pada kotak harpanya ini. Demikian pula
tergerak hati laki-laki pendek, namun mimik mukanya tidak
menunjukkan ketamakan hatinya.
Pemilik hotel mendengus lagi, katanya: "Harpa bobrokmu
ini, paling dinilai belasan keping uang tembaga atau
dimasukkan dapur untuk kayu bakar. Em, lalu apa pula isi
buntalanmu itu"
Barang lain tidak jadi soal, tapi dalam buntalannya ini dia
simpan golok pusaka In Hou. Karena kalau golok digantung di
pinggang bisa menarik perhatian orang, maka sengaja Cioksing
menyimpan dalam buntalannya. "Harpa kuno boleh dilihat
orang, tapi golok pusaka ini sekali-kali tak boleh diketahui
orang," maka sengaja dia pura-pura naik pitam, katanya: "Aku
lebih suka nginap di emperan toko, dari pada kau hina disini.
Batal saja."
Pemilik hotel mengejek: "Buntalanmu itu paling berisi satu
stel pakaian rombeng, memangnya kau kira aku sudi
menerima, enyahlah."
Baru saja Tan Ciok-sing putar badan, laki-laki brewok
hidung betet itu tiba-tiba menahannya, katanya: "Adik cilik,
kenapa kau sepandangan seperti dia?" dia bicara bahasa Han,
cuma logatnya kaku, jelas memang bukan orang Han.
Dalam waktu yang sama laki-laki pendek itu sudah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merogoh kantong mengeluarkan sebutir uang perak terus
disodorkan kepada pemilik hotel, katanya:
114 "Coba kau timbang, uang perak ini tentu lebih setahil"
Kelebihannya boleh untukmu."
"Pemilik hotel tertegun, tanyanya: 'Kau yang mentraktir?"
"Aturan hotelmu ini tentunya tidak melarang orang lain
mentraktir temannya bukan?"
"Tuan ini jangan menggoda, bagi kaum pedagang seperti
kita ini, memangnya menolak rejeki malah?" bahwa dia hitung
uang makan dan penginapan Tan Ciok-sing setahil perak
sudah menggorok beberapa lipat dari tarip biasanya, agaknya
dia memang sengaja hendak mempersulit Tan Ciok-sing.
"Tuan ini justru pembawa rejeki, lekaslah kau panggil dia
kembali, sediakan sebuah kamar untuk dia," demikian kata
laki-laki pendek.
Setelah menerima uang sikap pemilik hotel ternyata
berubah, sambil berseri tawa munduk-munduk lagi, katanya:
"Siangkong mohon maaf akan kekurang ajaranku tadi, harap
tidak berkecil hati. Kebetulan masih ada sebuah kamar kelas
satu, letaknya berdampingan dengan kamar kedua tuan ini,
silahkan masuk dan beristirahat."
Tan Ciok-sing tidak mau terima kebaikan orang, kacang
emas itu dia keluarkan lagi dan berkata pada laki-laki pendek:
"Terima kasih kau membayar rekening hotelku, nah terimalah
uang emasku ini."
"Uang setahil perak terhitung apa?" ucap laki-laki pendek,
"kalau kau kembalikan padaku berarti kau tidak pandang kami
sebagai sahabat."
"Selama ini kita belum kenal, mana boleh merogoh
kantongmu untuk keperluanku," kata Tan Ciok-sing rikuh.
Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya: "Di empat penjuru
lautan semuanya saudara. Setulus hati aku ingin bersahabat
dengan kau."
115 Tan Ciok-sing jadi rikuh untuk paksa orang menerima uang
emasnya, tapi kuatir kedua orang ini terus ajak dia ngobrol,
dia pura-pura menggeliat dan menguap terus minta diri.
Laki-laki pendek itu berkata: "Saudara cilik, sehari ini
agaknya kau menempuh perjalanan, badan tentu sudah penat,
silahkan beristirahat."
Setelah makan malam Tan Ciok-sing tutup pintu kamarnya
terus merebahkan diri di atas ranjang. Waktu makan tadi dia
kuatir kedua orang di sebelah akan datang ajak dia ngobrol
pula, tak kira kedua orang itu lebih pagi menutup pintu
kamarnya, tidak mengganggunya lagi.
Rebah di atas ranjang, Tan Ciok-sing berpikir, "Kedua orang
itu agaknya orang baik hati sekali-kali aku tak boleh menerima
kebaikan orang secara percuma. Nanti setelah mereka tidur
nyenyak, secara diam-diam biar kumasukkan sebuah kacang
emas kedalam buntalan mereka," lebih lanjut dia berpikir pula,
"Tapi apakah caraku itu tidak terlalu kasar. Mereka anggap
aku sebagai sahabat, aku membalasnya dengan cara yang
kurang sportif apakah tidak memalukan."
Karena tak berhasil menyimpulkan cara untuk membalas
kebaikan orang, lama kelamaan Tan Ciok-sing merasa
kelelahan, di saat dia layap-layap hendak tertidur, tiba-tiba
hidungnya mengendus bau wangi, rasa kantuknya seketika
bertambah berat, karuan hatinya kaget, lekas-lekas dia gigit
ujung lidah, rasa sakit membuat semangatnya.bangkit, waktu
dia melongok kesana didapatinya kertas jendela telah
berlobang, diluar lobang tampak setitik sinar api, asap wangi
tampak dihembus masuk melalui lobang kecil itu.
"Kurcaci, kiranya berani bertingkah disini hendak
mencelakai aku si rudin ini," demikian batin Tan Ciok-sing.
Untung Tan Ciok-sing sudah meyakinkan lwekang selama
tiga bulan, meski dupa wangi yang memabukkan ini liehay,
dalam waktu singkat ini masih belum membuatnya pingsan.
116 Setelah menggigit ujung lidah rasa kantuk seketika lenyap,
lekas dia keluarkan sebutir pil penawar racun terus ditelannya.
Pikirnya, "Orang tua sering berwejang harta dan uang jangan
suka dipamer di muka umum, mungkin penjahat ini melihat si
rudin macamku ini memiliki kacang emas, maka mau
menggerayang aku."
Tengah dia membatin tiba-tiba terdengar suara yang sudah
dikenalnya berbisik diluar jendela. "Mengerjai bocah yang
masih berbau pupuk bawang kukira tak perlu banyak susah,
kukira sudah cukuplah."
Seorang lain berkata: "Berhati-hati kan lebih baik, bocah itu
pandai Kungfu, tunggu lagi sebentar," percakapan mereka
amat lirih merubah suara lagi, maka Tan Ciok-sing tidak yakin
apakah kedua orang itu adalah tamu di sebelah yang tadi
membantu dirinya
Sesaat lagi, mungkin kedua penjahat ini sangka Tan Cioksing
sudah pulas, pelan-pelan mereka mendorong jendela
terus melompat masuk. Langkahnya ringan tidak
mengeluarkan suara. Ginkang mereka ternyata tidak rendah.
Golok milik In Hou memang sudah disiapkan di bawah
bantalnya, kalau dengan golok ini secara mendadak dia bacok
kedua maling ini, memang tidak sukar untuk membunuhnya,
dasar dia bocah gunung yang berhati bajik, mana berani dia
membunuh orang, buntalanpun dia dorong ke sebelah dalam,
batinnya, "Kalau betul mereka tamu di kamar sebelah, mereka
pernah membantu aku, cukup bila aku menggertak mereka
saja." Cepat sekali kedua maling itu sudah tiba di depan
ranjangnya, tangan di ulur terus mencengkram ke pundaknya,
tapi cengkramannya luput, tahu-tahu Tan Ciok-sing bangun
berduduk, katanya: "Kawan, kau perlu uang, ada beberapa
kacang emas ini, nah, ambillah," sembari bicara dengan suatu
gerakan cepat yang liehay dan cekatan dia sisipkan ketiga
117 butir kacang emas itu ke telapak tangan sang maling terus
didorongnya pergi.
Kalau dia berhati bajik sebaliknya maling ini bermaksud
jahat padanya. Maling yang lain sebat sekali telah menubruk
maju, kelima jarinya bagai cakar mencengkram ke
tenggorokannya. Maling yang didorongaya pergi itu lebih jahat
lagi, ternyata dia mencabut golok terus membacok.
Karuan Tan Ciok-sing gusar, kontan dia layangkan kakinya,
meski dalam kegelapan tapi tendangannya ternyata telak
sekali, yang ditendang pergelangan musuh, "Trang" golok
lawan mencelat terbang keluar jendela dan jatuh
berkerontang di tanah.
Tak berhasil mencengkram tenggorokannya penjahat yang
lain merubah gerakan terus mencengkram ke pundak, tulang
pundak merupakan titik kelemahan manusia, kalau sampai
diremas hancur, betapapun tinggi ilmu silat orang, tenaga
takkan mampu dikerahkan lagi. Saat mana Tan Ciok-sing
sudah lompat turun dari atas ranjang, sedikit miringkan tubuh
dengan jurus Thi-bun-san (palang pintu besi), lengan lawan
hendak ditelikungnya. Tapi kepandaian penjahat yang itu
ternyata jauh lebih tinggi dari temannya, lekas dia
merendahkan pundak menyurutkan lengan, tahu-tahu
tangannya terbalik melancarkan Kim-na-jiu, "Bret* baju Tan
Ciok-sing kena dicengkramnya robek. Sementara kawannya
yang kehilangan senjata telah menubruk maju pula, "Wut"
sebuah pukulan mengincar punggung Tan Ciok-sing. Sekaligus
menghadapi keroyokan ' dua musuh, bagi Tan Ciok-sing yang
belum punya pengalaman tempur ini menjadi kerepotan juga,
di saat-saat genting itu, penjahat yang berkepandaian lebih
tinggi itu mendadak menjerit "aduh", agaknya terluka.
Tangan Tan Ciok-sing terayun balik dengan telak
menggenjot dada penjahat yang lain, sambil mengeluarkan
gerangan tertahan dia sempoyongan mundur, kebetulan tiba
di depan pintu, sekali tendang daun pintu ditendangnya roboh
118 berantakan, tanpa janji keduanya terus ngacir angkat kaki
seribu. Diam-diam Tan Ciok-sing merasa bersyukur dan beruntung,
pikirnya, "Penjahat yang satu berkepandaian lemah, tapi
kawannya itu tinggi ilmunya, mungkin lebih unggul dariku.
Aneh, aku yakin tadi tidak melukai dia, memangnya ada orang
yang membantuku secara diam-diam?"
Tujuannya memang hanya memukul mundur penjahat,
setelah tujuan tercapai, diapun tidak keluar mengejar. Segera
dia sulut pelita dan memeriksa, apakah ada barangnya yang
hilang. Setelah keadaan jadi terang, pertama dia temukan kotak
kayu terjatuh di lantai, kotak pemberian In Hou dimana
tersimpan Kiam-boh karya Thio Tan-hong. Seperti diketahui
kotak ini ada dipasang alat rahasia, kalau tidak tahu cara
membukanya, tutup kotak bisa menjeplak dan di dalamnya
menjulur enam batang pisau kecil yang berposisi saling silang
merupakan jala pisau. Tutup kotak itu kini juga sudah terbuka,
tapi pisau-pisau kecil itu sudah mengkeret ke tempatnya.
Baru sekarang Tan Ciok-sing paham, "Jadi kotak inilah-yang
telah membantuku," dia duga penjahat itu telah mencuri
kotaknya ini, tapi jari tangannya terluka oleh pisau-pisau kecil
yang dipasang didalam kotak.
Untung Kiam-boh karya Thio Tan-hong dan pelajaran ilmu
golok serta pukulan peninggalan In Hou tiada yang hilang. Tan
Ciok-sing menghela napas lega, setelah ditutup, kotak
dimasukkan kedalam bajunya. Pelita dijinjingnya memeriksa
ranjang, kali ini dia betul-betul kaget, ternyata buntalannya
telah lenyap. Pakaian rombeng dalam buntalan itu tidak jadi soal, tapi
golok pusaka milik In Hou itu berada dalam buntalan juga,
sekali-sekali golok itu tidak boleh hilang.
119 Padahal buntalannya tadi dia dorong ke belakang ranjang
serta ditutupi selimut. Tak nyana meski telah berlaku hati-hati
tetap hilang, lebih baik kalau tadi dia sembunyikan ke bawah
ranjang bersama harpanya. Untung harpa warisan kakeknya
tidak ikut hilang.
Dalam perjalanan dia ada membawa tiga macam barang
pusaka, pertama harpa peninggalan kakeknya, kedua Kiamboh
karya Thio Tan-hong dan ketiga golok pusaka
peninggalan In Hou, bahwa hanya satu yang hilang dari ketiga
pusakanya itu, boleh dikata dia sudah cukup beruntung.
Namun demikian dia sudah merasa sayang dan gegetun.
Sudah tentu keributan ini membuat kaget pemilik hotel dan
tamu-tamu lainnya, beruntun mereka berbondong mendatangi
kamar Tan Ciok-sing. Hotel kecil ini hanya memiliki lima
kamar, hari itu tamu yang menginap hanya lima orang,
ditambah pemilik hotel dan pembantunya seluruhnya ada
tujuh orang, tapi kamar Tan Ciok-sing sudah menjadi sesak
dan bejubel. Para tamu itu seperti berlomba tanya apa yang
terjadi, sudah tentu Tan Ciok-sing segan menceritakan apa
yang terjadi sebenarnya, secara gampang dia memberi
jawaban, sembari melayani mereka diam-diam iapun
perhatikan kedua tamu yang sore tadi membantu dirinya.
Perhatian ini ternyata membawa hasil, tampak laki-laki
brewok berhidung betet itu jari tengah tangan kanannya
dibalut kain putih, darah kelihatan masih merembes keluar.
Sementara laki pendek itu bila bicara napasnya kelihatan
tersengal, setiap beberapa patah kata pasti batuk-batuk
sambil meraba dada.
Rasa curiga Tan Ciok-sing bertambah besar, pikirnya,
"Suara kedua penjahat tadi mirip mereka, perawakannya juga
satu tinggi yang lain pendek, naga-naganya pasti mereka."
Mendengar bahwa dia hanya kehilangan sebuah buntalan
berisi pakaian lama dan barang yang tidak berharga, para
tamu itu lantas tidak ambil perhatian lebih lanjut, malah ada
120 yang berolok. "Sebal juga maling kecil itu, kukira kau
kehilangan barang berharga apa," secara tidak langsung
nadanya seperti mau menyalahkan Tan Ciok-sing hanya
kehilangan barang-barang sepele kok bikin geger.
Pemilik hotel juga tertawa dingin. "Dalam hotel kecil kami
ini selamanya belum pernah terjadi pencurian, kalau benar
ada peristiwa pencurian disini, aneh juga kenapa maling itu
tidak mengincar barang milik siapa yang berharga, tapi malah
mencuri pakaian rombengmu."
Seorang tamu yang baik hati menimbrung, "Mungkin
maling itu datang dari luar daerah, malam-malam dia kesasar
masuk ke hotel ini, mana dia tahu tamu mana punya uang.
Engkoh cilik, coba kau periksa lagi apakah kau ada kehilangan
uang?" Pemilik hotel menyeringai dingin, katanya, "Kalau dia
membawa uang, memangnya perlu orang lain mentraktir dia
makan dan menginap disini," bahwa kejadian kedua tamu tadi
membayar uang penginapan Tan Ciok-sing belum ada yang
tahu, sengaja pemilik hotel membeber keburukannya ini
dihadapan orang banyak.
Mendengar peringatan tamu yang baik hati tadi, maka Tan
Ciok-sing ingat akan kacang emasnya itu, lekas dia merogoh
kantong, ternyata kantong berisi kacang emas itupun telah
terbang entah kemana. Mungkin waktu pencuri tadi sempat
menjambret robek, pakaiannya, kantong kecil itupun kena
direbutnya. Tanpa sadar dia menjerit tertahan, serunya, "Ya,
kacang emasku juga hilang."
Tamu yang baik hati itu melengak, serunya, "Apa" Kau
punya kacang emas" Berapa jumlahnya?" karena Tan Cioksing
berpakaian butut dalam hati dia tidak mau percaya.
"Kira-kira ada dua puluh atau tiga puluh butir," sahut Tan
Ciok-sing. "Berapa kira-kira?" tanya tamu yang baik hati itu.
121 "Aku tidak pernah menghitungnya dengan pasti," sahut Tan
Ciok-sing. Tamu itu mengerutkan kening, katanya, "Kalau demikian,
engkoh cilik ini orang yang pandai menyembunyikan diri.
Belum pernah aku melihat orang yang punya uang suka
berlaku rudin seperti ini," nadanya sudah jelas bahwa dia lebih
tidak percaya akan omongan Tan Ciok-sing.
Pemilik hotel tertawa dingin, katanya, "Kalian dengar" Dia
mana punya kacang emas segala" Tadi dia memang pernah
membayar sebuah kacang warna kuning mengkilap, katanya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kacang emas untuk membayar ongkos menginap. Hehe,
setelah kuperiksa kiranya adalah mainan yang terbuat dari
tembaga." Tan Ciok-sing naik pitam, serunya, "Barangku sudah hilang,
kalau kau katakan itu tembaga, akupun tidak perlu berdebat
dengan kau."
Tamu perawakan pendek menyela, "Kau kehilangan kacang
emas sebanyak itu, apa tidak perlu lapor kepada opas?"
Tan Ciok-sing menatapnya, katanya, "Buat apa aku
laporkan kepada opas, aku hanya mengharap pencuri itu suka
kembalikan barang-barangku itu secara diam-diam. Kacang
emas tidak dikembalikan tidak jadi soal, asal dia kembalikan
buntalanku itu."
"Bagus ya," semprot pemilik hotel, "memangnya aku sudah
tidak sabar lagi, agaknya harus kubongkar tampang aslimu,
kau bocah rudin ini pura-pura kehilangan barang, memangnya
kau hendak memeras aku untuk mengganti kehilanganmu?"
Jengkel dan keki Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya, "Aku
kan tidak minta kepadamu."
"Sebanyak itu uangmu hilang di hotelku, kalau dilaporkan,
memang hotelku ini tidak
Pendekar Cacad 6 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Kisah Pendekar Bongkok 7
^