Pendekar Pemetik Harpa 27

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 27


sa Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang dan nyata
bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang
tulen. Suara seorang yang lain kedengaran amat jelek, seperti
gesekan benda logam: "Kalian sedang apa disini" Hayo
tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm
siapa berani menghadangku?" Yang bicara bukan lain adalah
Koksu negeri Watsu, Milo Hoatsu adanya. Sengaja dia mau
pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya mendengung
keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak
telinganya. Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing sudah termakan oleh Cu
Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya
menjadi gugup dan gelisah. Tapi diapun merasa heran:
"Kemana sih Hu Kian-seng yang membawa mereka kemari?"
In San berkata: "Baginda tidak usah gugup biar kami yang
menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak berani
bertingkah di hadapan Baginda."
000OOO000 Bagaimana In Sah akan melayani utusan Watsu, baiklah
kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu Kianseng.
Mengudak jago kosen yang mempermainkan dirinya, tanpa
terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok Sia-hoa
wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu
Kian-seng adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia
1585 sadar, pikirnya: "Kungfu Tan Ciok-sing pernah kusaksikan.
Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak lemah.
Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba
orang yang mempermainkan aku bukan dia."
Mau tidak mau hatinya jadi tidak tentram. "Walau aku
sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut dipancing dari
tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung
dengan ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-simtiam,
Pek Ting dan Kiang Swan jelas bukan tandingan mereka.
Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah tiba di
Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo
Hoatsu pasti dapat menghadapi mereka."
Tengah dia kebingungan sayup-sayup tiba-tiba didengarnya
suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.
Milo Hoatsu berkaok-kaok sambil berlari, pada hal mereka
belum tiba di Yang-sim-tiam. Tapi Hu Kian-seng dapat
membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo
Hoatsu sedang menuju ke Yang-sim-tiam.
Milo Hoatsu memaki dengan bahasa Mongol sayup-sayup
Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata, karena
pulang pergi dia memaki: "Kurang ajar." Karuan Hu Kian-seng
melengak heran, pikirnya: "Siapa yang berani berbuat kurang
ajar kepada mereka?"
Karena tidak tentram, Hu Kian-seng tidak berani mengudak
jago kosen yang misterius tadi. Tapi baru saja dia putar
badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin
menyamber tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya.
Reaksinya Hu Kian-seng cukup cekatan, secara reflek dia
membalik tangan mencengkram ke belakang.
Suaranya masih dekat di kupingnya, tak nyana
cengkramannya mengenai tempat kosong. Begitu Hu Kianseng
menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap
ke semak-semak kembang. Orang itu sudah menampakkan
1586 diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk wajahnya tapi
akhirnya dia melihat juga bayangannya.
Dia seorang gembong silat, cengkramannya tidak berhasil
namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini sedikit di
bawahnya. Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri
jauh ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin
pihak sendiri yang bakal runyam. Akhirnya dia sadar: "Orang
ini melibatku disini, jelas tujuannya menahanku selama
mungkin, kenapa aku harus ditipunya."
"Setan alas, kau tidak berani keluar, memangnya aku harus
melayanimu disini, biar malam ini kuampuni jiwamu."
Demikian bentak Hu Kian-seng.
Orang itu tertawa, katanya: "Setan alas, kau tidak berani
mengejar, aku justru ingin bermain petak dengan kau."
Kali ini Hu Kian-seng sudah siaga, begitu merasa angin
menyamber kedua tangannya segera bergerak, Pun-lui-ciang
dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.
"Aduh." Orang itu menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu
terluka, hatinya girang. Tak nyana belum lenyap suara
jeritannya, orang itu telah berkata pula: "Syukur aku selamat.
Tidak kena." Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat
bayangan orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun
kembang. Meski berkepandaian tinggi bernyali besar, mau tidak mau
Hu Kian-seng tersirap hatinya: "Gerak gerik orang ini laksana
setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong
olehnya." Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi,
segera dia angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-simtiam.
Baru setengah jalan dia ketemu seorang Thaykam yang
sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal. Hu Kianseng
kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit
1587 mengutus Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu
menghadap kepada Baginda.
Hampir saja mereka bertumbukan, keduanya sama-sama
kaget. "Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak berada di samping
Baginda, koh berada disini malah?"
"Bukankah Bong-kokong mengutusmu menemani utusan
Watsu menghadap Baginda" Kenapa seorang diri kau berlarilari
sipat kuping."
Tanpa berjanji kedua orang sama mengajukan pertanyaan.
Hu Kian-seng berkata: "Semula tujuanku memang hendak
ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi kudengar suara
Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah
menuju ke Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka.
Apakah yang telah terjadi?"
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi," tutur Thaykam itu,
"kejadian memang aneh dan ganjil."
"Baiklah, coba kau jelaskan kejadian yang menimpa dirimu,
nanti kita menganalisa bersama."
"Bukankah Baginda berjanji akan menerima utusan Watsu
pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda setengah jam lagi.
Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."
"Ada kejadian apa?"
"Tak nyana, tiba saat yang ditentukan Tiangsun Pwelek
tidur di ranjang tidak bisa bangun."
"O, dia, dia dibokong orang?"
"Bukan begitu saja, pakaiannya malah dibelejeti orang."
Hu Kian-seng kaget, teriaknya: "Wah celaka, pasti
seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda." Tanpa
banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang
meninggalkan si Thaykam berdiri terlongong.
1588 000OOO000 Dengan marah-marah akhirnya Milo Hoatsu dan Tiangsun
Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada
Tiangsun Co berseru: "Apakah raja kalian ada disini" Lekas
beritahu padanya, aku sudah datang."
Kawanan Wisu yang dinas saling pandang, katanya
seseorang: "Tuan ini..."
Tiangsun Co naik pitam, sentaknya: "Kau ini anggota
bayangkari yang bertugas jaga disini malam ini?"
Wisu itu mengiakan sambil manggut.
Tiangsun Co mendengus, rasa gusarnya makin bertambah.
"Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa tidak tahu siapa
yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini"
Aku inilah Tiangsun Pwelek dari Watsu."
Wan Giap, Wisu tertua tampil ke depan, katanya: "Apa
betul kau ini Tiangsun Pwelek" Lalu kenapa..." Maksudnya
mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi mereka,
karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati,
kedatangan mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam
yang dapat dipercaya dengan membawa lencana tembaga
sebagai tanda dinas.
Memangnya Tiangsun Co sudah marah dan penasaran,
karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi,
semprotnya: "Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu
siapa Tiangsun Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak
genah, malah memeriksa diriku. Minggir, biar aku masuk
sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi
laporan." Wan Giap adalah Wisu tua yang paling setia kepada raja,
mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut
nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya: "Umpama
benar kau ini utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini,
1589 betapapun aku tidak akan biarkan kau kurang ajar terhadap
junjungan kita. Maka dia coba bicara halus: "Maaf, dalam
istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar." Dengan
menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya.
Tiangsun Co berjingkrak gusar. "Tata tertib kentut anjing.
Minggir." Wan Giap memang sudah siap waktu mengadang di depan
orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat di
tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara
sisa tiga jarinya yang lain agak ditekuk, itulah salah satu
gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu. Sebagai ahli silat, sekali
turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi. Mau tidak
mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan
Wan Giap lekas dia menarik tangan.
"Kalau benar tuan adalah utusan Watsu kuharap kau
menjaga harga diri." Demikian kata Wan Giap tawar sambil
menarik gerakan Liong-jiau-jiu.
Tiba-tiba Milo Hoatsu melangkah lebar dalam matanya
seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di depannya.
Jari Wan Giap segera mencengkram, Milo mengebas lengan
baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh tindak, setelah
berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya.
Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah
kerahkan tujuh lapis Liong-siang-kang. Untung yang melawan
adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung sudah jatuh
terjengkang sungsang sumbel.
"Mutiara sebesar beras juga coba memancarkan cahaya."
Demikian jengek Milo Hoatsu, "sudah tahu keliehayanku"
Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"
Pada saat itulah seorang Thaykam beranjak keluar sambil
memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah samaran In
San. Menuding dengan kipasnya In San membentak: "Ada apa
ribut-ribut disini?"
1590 Wan Giap segera menyahut: "Ada orang yang mengaku
sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan Baginda."
"Baginda sudah tahu. Baginda ada perintah suruh orang
yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk menghadap
kepadanya."
"Kurcaci," maki Tiangsun Co penasaran, "aku ini jelas
adalah utusan Watsu, kenapa dikatakan mengakui?"
Milo tahu di belakang kejadian ini pasti ada sebabnya maka
dia berkata: "Pwelek tak usah marah, setelah kita berhadapan
dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."
In San menuding pula dengan kipasnya. "Yang diundang
hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu, Hwesio ini
dilarang masuk."
Milo Hoatsu adalah Koksu negeri Watsu kedudukannya
lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya
mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.
Sementara itu banyak Wisu telah lari mendatangi, Wan
Giap segera memberi tanda Milo Hoatsu segera dikurung
rapat. Melihat dirinya dikurung, otak Milo Hoatsu malah menjadi
jernih, pikirnya: "Tidak sukar aku membunuh habis kawanan
Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam"
Baiklah hari ini aku telan penghinaan demi tercapainya
rencana besar, biar hari ini aku mengalah, biar Tiangsun Co
seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian damai
sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus
tunduk dan melaksanakannya, coba saja apa dia berani
menentang kehendakku untuk menghukum mati kawanan
Wisu ini."
Bahwa Milo Hoatsu tidak berani mengumbar amarah, sudab
tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang
diri dia ikut In San naik ke loteng.
1591 Han Cin yang menyaru Tiangsun Co sementara itu sudah
berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara
Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih
berdiri kaku dengan gaya masing-masing yang lucu.
Tan Ciok-sing memang berpakaian sekolah, kini dia
mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di belakang Cu
Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.
Begitu In San membawa Tiangsun Co masuk ke kamar
dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan
besar itu segera dia tutup dan kunci.
Tiangsun Co tidak tahu kalau Pek Ting dan Kiang Swan
tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin
berkobar, pikirnya: "Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua
Wisu ini petingkah untuk menghinaku, memangnya aku
gampang digertak?" Dengan membusung dada segera dia
berkata lantang: "Khan Agung dari Watsu ada perintah untuk
menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."
"O," Cu Kian-sin mengangguk, "silahkan duduk."
Tak tahan Tiangsun Co menahan emosi serunya keras:
"Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian damai,
tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa,
bertindak..."
"Kurang ajar." Belum sempat dia mengucapkan katakatanya,
Tan Ciok-sing telah menghardiknya: "Tiangsun Co, di
hadapan Baginda Raja kau petingkah."
Tiangsun Co kira dia hanya sebagai pembantu sekretaris


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini, hakikatnya
dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya: "Aku belum
menuding kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini
barang apa, berani kau membacot disini."
Sikap kasar Tiangsun Co sudah diduga oleh Tan Ciok-sing,
bagaimana dia akan menghadapinya juga telah dia rancang
1592 bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada
Cu Kian-sin. Pertama Cu Kian-sin memikirkan keselamatan jiwa sendiri,
kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya keki
maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi,
bentaknya sambil menggebrak meja: "Kau ini utusan Watsu
yang mau minta damai terhadap Tim bukan?"
Begitu dia gebrak meja meski tidak keras tapi Tiangsun Co
sudah dibuat kaget setengah mati, matanya mendelik,
katanya: "Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil
Khan Agung, memangnya Baginda belum tahu?"
"Tim tahu. Tapi apa kau tahu siapakah Tan-haksu ini?"
Tiangsun Co kira, pemuda ini paling adalah pembesar
kesayangannya, tetap angkuh dia berkata: "Dia siapa"
Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"
"Dia inipun sebagai wakil Tim sepenuhnya. Kau ingin damai
boleh kau bicara dengan dia."
Kaget dan gusar pula hati Tiangsun Co, katanya: "Soal ini
menyangkut urusan besar nasib negara, kenapa Baginda
mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda
mengganti seorang lain..."
"Siapa utusan Khan Agung kalian, Tim tidak peduli. Siapa
wakilku yang akan berunding dengan kau kalianpun tidak
perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau
berbicara, disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang
berkuasa." Di bawah pengawasan Tan Ciok-sing dengan
membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing
berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang
lagi menghapal pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga
suaranya sudah agak gemetar. Tapi karena suaranya yang
bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan
emosi saking marahnya.
1593 Mimpipun Tiangsun Co tidak menyangka bahwa Cu Kian-sin
bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan seberani itu,
mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak
bicara lagi. Maka Tan Ciok-sing menimbrung dengan suara dingin:
"Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat
perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu
tidak akan dosa-dosamu?"
Mendelik Tiangsun Co, tanyanya: "Aku punya dosa apa?"
"Sebagai utusan sebuah negara, sepantasnya kau tahu tata
tertib seorang diplomat. Kenapa setelah berhadapan dengan
raja kita, kau tidak segera berlutut?" lalu dia menghardik
dengan suara kereng: "Hayo berlutut." Tangan diulur
menekan tubuh orang.
Umpama Tiangsun Co mau berlutut, dalam keadaan seperti
ini juga pasti melawan karena dipaksa secara kasar, saking
gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk Jiti-
hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan
Ciok-sing dengan tubuh terguling jatuh, supaya tak mampu
merangkak berdiri lagi.
Tak nyana ujung jarinya seperti menumbuk dinding batu
waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing, jelas jarinya
telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan Ciok-sing tetap wajar
tidak berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit
kesakitan. Cepat sekali tangan Tan Ciok-sing sudah pegang
pundaknya. Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi, pundaknya
seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya
tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.
"Bagus, sekarang boleh kau bicara. Bagaimana maksud
damai negerimu?" Pelan-pelan dia melepas pegangan dan
tekanan tangannya di pundak orang.
1594 Kejut Tiangsun Co lebih besar lagi, pikirnya: "Cu Kian-sin
sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang ini, jelas dia
seorangjago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja.
Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah
kubicarakan dulu soal perjanjian damai itu baru nanti
berusaha membuat perhitungan." Dia insaf gelagat tidak
menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu
dicapai namun betapapun harus dicoba.
Maka dia angkat kepala, serunya membantah: "Tiga bulan
yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah dibuat. Kedatangan
kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini
perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."
"Tan-haksu," kata Cu Kian-sin, "lemparkan kembali konsep
perjanjian damai itu kepadanya."
Tan Ciok-sing mengiakan, lalu dia robek konsep perjanjian
damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga bulan yang
lalu serta dibuang di atas lantai.
Saking marah mata Tiangsun Co mendelik merah padam,
katanya: "Apa maksudmu Baginda?"
"Dari pada perang aku memang lebih cinta damai, tapi
bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani, kalian harus
tunduk akan kehendakku."
"Konsep perjanjian damai itukan sudah dirancang bersama
oleh dua pihak setelah redaksinya diganti berulang kali, bila
mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang
dirasa perlu saja," demikian bantah Tiangsun Co.
"Tutup mulutmu!" bentak Tan Ciok-sing, "kau sedang
bicara dengan raja kami, mana boleh bersikap kasar, main
bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum
positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami
sendiri, mana boleh kau mencampuri kehendak kami."
1595 Baru saja Tiangsun Co sudah merasakan keliehayannya,
melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan bersikap
gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian
baru dia menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan
emosi, katanya dingin: "Baiklah lalu menurut pendapat kalian,
bagaimana perjanjian damai ini harus ditanda tangani?"
Cu Kian-sin berkata: "Tan-haksu silahkan kau bicarakan
dengan dia."
Tan Ciok-sing berkata: "Tiongkok adalah negara berbudaya
tinggi, kalian kalah perang dan minta damai, kami mau tidak
menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif
bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh
karena itu cukuplah asal sebetulnya kalian mengirim
pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah dilakukan."
"Apa-apaan, kenapa kami harus menyesal dan minta
maaf?" "Kalian mengerahkan pasukan menyerbu dan menduduki
wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta maaf dan
mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf
malah?" Tiangsun Co berkata: "Memberi sedikit kelonggaran kepada
kalian memang bukan mustahil, tapi kami mengajukan
beberapa syarat yang harus dipatuhi: 1. Dua negeri kita harus
bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2.
Dynasti Bing harus menarik mundur pasukannya dari Taytong.
3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok dan beberapa
daerah. 4...." Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah menggebrak
meja serta menudingnya. "Besar mulutmu, kalian kalah
perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah,
menarik mundur tentara, minta damai segala" Syarat-syarat
itu sepantasnya kalian sendiri yang harus memikulnya. Tapi
1596 sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut kalian
mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh
dianggap rampung, lalu apa pula kehendak kalian?"
"Baginda harus berpikir cermat," Tiangsun Co masih
berusaha putar lidah, "pemerintahmu terlalu mengandal
kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat
gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami
kegagalan tapi bila kami mau mengerahkan pasukan besar."
Tan Ciok-sing menjengek dingin: "Bila Khan Agungmu
masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan,
terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila
kalian berani mengerahkan pasukan besar boleh silahkan
kapan saja akan kami sambut."
Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun Co, pikirnya: "Haksu
yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di depan
junjungannya" Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti
Cu Kian-sin..." Segera dia menarik muka, katanya membusung
dada dengan sikap temaha: "Baginda, kau harus berani
berkeputusan mencari jalan yang benar, jangan mudah kau
dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."
Sikapnya yang sombong dan tengik justru menimbulkan
reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis: "Kalau tidak
kenapa?" "Jikalau pasukan besar kita sudah kerahkan batu jadepun
bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja tidak akan
berlangsung lama lagi."
Walau Cu Kian-sin takut terhadap Watsu kini dia tidak
tahan lagi, serunya gusar: "Kurang ajar! Kau sedang bicara
dengan Tim tahu!"
Tiba-tiba Tan Ciok-sing mencengkram kuduk Tiangsun Co
serta menjinjingnya ke atas, katanya: "Utusan Watsu berani
menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi hukuman,
akan menghilangkan pamor negeri besar kita."
1597 Setelah amarahnya berkobar, diam-diam Cu Kian-sin kuatir
bila bertindak terlampau jauh. Tapi Tan Ciok-sing bertindak
demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada
Tan Cioksing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu
jauh ribuan li diluar perbatasan maka rasa takut terhadap Tan
Ciok-sing sekarang jauh lebih besar bila pasukan besar negeri
Watsu kenyataan menyerbu negerinya. Maka samar-samar dia
berkata: "Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus
dia terima, boleh terserah kepadamu saja."
Tan Ciok-sing mengiakan, pelan-pelan dia gunakan Hunkin-
joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya dia lempar
ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum,
sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya
serak: "Boleh buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..."
Mulutnya masih ingin memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang
digunakan Tan liehay, tenaga yang disalurkan kedalam tulang
sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan
tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski
sudah kertak gigi menahan napas, akhirnya tak tertahan dia
merintih juga, rangkaian kata-kata yang siap dilontarkan tak
kuasa diucapkan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Kau menghina Raja, semestinya
hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini seorang utusan
negara asing hari ini kuampuni jiwamu." Sampai disini sengaja
dia merandek. Meski kesakitan namun dalam hati Tiangsun Co amat
senang, pikirnya: "Memangnya kau berani membunuh aku"
Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas."
Saking kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani
bicara. Tapi rasa bangga dan puas tak urung tampil di
wajahnya. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Hukuman mati boleh
diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah, laksanakan
pukulan empat puluh kali."
1598 In San dan Han Cin mengiakan bersama. Mereka tarik
Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur
tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang
tersedia di kamar buku itu, dengan palang pintu itulah pantat
Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.
Waktu Hu Kian-seng buru-buru kembali ke Yang-sim-tiam,
anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu. Melihat gelagat
jelek ini, sungguh terkejut H u Kian-seng bukan main. Lekas
dia tarik Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan: "Kenapa
hanya Milo Hoatsu yang ada disini" Mana Tiangsun Co?"
"Baginda hanya mengizinkan Tiangsun Co saja yang
menghadap." Sahut Wan Giap.
Hu Kian-seng tahu kedudukan Milo Hoatsu lebih tinggi,
katanya: "Bagaimana mungkin Baginda memberi perintah
begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan
kepadamu?"
"Bukan, seorang Thaykam keluar menyampaikan
perintahnya." Demikian tutur Wan Giap. "Thaykam itu
memegang kipas pribadi Baginda."
"Sebelum ini kalian belum pernah melihat Thaykam itu?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Belum pernah melihatnya."
"Bagaimana dia bisa masuk?"
"Bukankah Bong-kokong yang mengutusnya mengantar
utusan Watsu" Oh ya, hampir lupa aku memberitahu
kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan
memang tidak mirip Tiangsun Co yang belakangan."
Hu Kian-seng kaget, pikirnya: "Ternyata ada orang yang
menyaru." Katanya gugup: "Jangan kalian berbuat salah
kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu
yang tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."
1599 Baru saja Hu Kian-seng beranjak di undakan loteng, dia
sudah mendengar suara palang pintu menghajar pantat, rasa
kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan
bahwa Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia
memburu ke atas serta berteriak: "Baginda, Baginda..."
Ternyata kejadian selanjutnya menambah rasa kejutnya
pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia mohon
supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara
junjungannya sudah membentak: "Siapa berani naik ke atas
tanpa kuperintah?"


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terpaksa Hu Kian-seng menghentikan langkah, serunya
lantas: "Hamba Hu Kian-seng sudah kembali."
Sebagai Komandan pasukan Bayangkari, biasanya selalu
mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia keluar untuk
menyambut kedatangan utusan Watsu. Sekarang sudah
kembali sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya
tidak perlu harus dipanggil. Maka setelah dia berteriak, dia
harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan segera
memanggilnya. Tak nyana didengarnya suara Cu Kian-sin lebih beringas,
bentaknya: "Disini tak perlu tenagamu. Disana tenagamu
diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu
terhadap Tim?"
Saking kaget dan takut lekas Hu Kian-seng berlutut diluar
pintu, serunya: "Mohon Baginda memberi petunjuk."
"Ada apa di bawah loteng, kenapa ribut?" Sentak Cu Kiansin.
"Ada, ada..."
"Jangan membela orang luar, apakah Koksu dari Watsu
yang membuat onar?"
Terpaksa Hu Kian-seng memberi laporan: "Ya, ya, Milo
Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui Baginda."
1600 Kereng suara Cu Kian-sin: "Tim larang dia naik kemari, dia
berani membuat keributan, memangnya dia masih memberi
muka kepada Tim" Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan
disini, tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat
onar!" Sudah tentu apa yang diucapkan Cu Kian-sin telah didikte
oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di
belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan.
Namun demikian, rasa curiganya bertambah besar. Sikap
keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali ini, tidak mirip
keadaan biasanya yang dia ketahui benar.
Setelah pantatnya dihajar keras, meski tidak mampu
bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih. Begitu
mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia
berkaok-kaok kesakitan. In San tidak berani menutuk Hiattonya.
Hu Kian-seng mendengar rintihan, namun dia tidak berani
menerjang masuk. Maklum setiap patah kata yang keluar dari
mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah.
Dengan kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marahmarah
memaki Koksu negri Watsu kalau Koksunya juga
dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa.
Dia pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat
utusan Watsu memang kehendak Baginda sendiri, kalau
dirinya menerjang masuk berarti melanggar aturan, mana
berani dia memikul dosa yang tidak terampun" Karena itu dia
tidak pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri
tidak berbuat salah.
Dan lagi Hu Kian-seng memang seorang yang pandai
menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir bila
Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah
keadaan Cu Kian-sin akan lebih berbahaya" Kalau Baginda
sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah lagi, akibatnya tentu
fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara konyol.
1601 Apa boleh buat terpaksa Hu Kian-seng mengiakan, buruburu
dia lari turun ke bawah. Ternyata keributan semakin
besar di bawah. Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar
rintihan Tiangsun Co yang sedang disiksa di atas.
Melihat Hu Kian-seng keluar, Milo Hoatsu lantas
membentak: "Apa yang dilakukan raja kalian" Kenapa Tiangsun Pwelek
merintih-rintih?"
Hu Kian-seng jeri bila padri asing ini benar-benar
mengamuk, terpaksa dia membual: "Koksu, mungkin kau
salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi
sebentar."
"Apa, jadi kau tidak disuruh mengundangku naik ke atas?"
Semprot Milo Hoatsu, "aku harus menunggu disini pula, kalian,
hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah tidak ingin
hidup?" Wan Giap paling setia kepada sang junjungan, tak tahan
berkobar amarahnya, bentaknya: "Kami menyambutmu
dengan kehormatan, kalianpun harus tahu diri, mana boleh
kau lancang dan petingkah disini," kata-katanya mengobarkan
pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka
bersorak terus merubung maju.
Milo Hoatsu membentak: "Aku, jijik melayani kalian, Hu
Kian-seng, hayo temani aku naik ke atas."
Hu Kian-seng berkata perlahan: "Maaf, atas perintah
Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."
"Apa?" Milo Hoatsu berjingkrak, "kau juga melarang aku ke
atas?" "Bukan aku yang melarang, Baginda ingin supaya kau
menunggu di bawah saja."
1602 "Bedebah, aku justru ingin berhadapan dengan raja dan
akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu
menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya
menggentak, dua Wisu terpental setombak lebih.
Apa boleh buat, urusan sudah terlanjur sejauh ini, terpaksa
Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu mendorongkan
telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu,
pukulan lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang
Lwekangnya, memang setingkat lebih asor dibanding Milo
Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh tenaganya,
akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan
sebagian besar tak urung dia sendiri tergentak mundur
beberapa langkah, setelah berputar satu lingkaran baru berdiri
tegak. Wan Giap membentak: "Berani kau betingkah lagi, biar aku
adu jiwa dengan kau."
Kedua wisu tadi dilempar jatuh hingga kepalanya bocor
tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan
orang segera merangsak maju.
Milo Hoatsu juga seorang ahli, gebrak percobaan dengan
Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum
menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi
pertempuran sengit, Hu Kian-seng dibantu belasan anak
buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.
Terpaksa dia berdiri tegak di tempatnya, bentaknya
beringas: "Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi muka
kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa
yang terjadi di atas?"
"Aku tidak tahu."
"Kau melihat Tiangsun Pwelek tidak?"
"Tidak."
1603 Karuan Milo kaget dan gusar, makinya sambil menuding Hu
Kian-seng: "Hu Kian-seng, lalu apa kerjamu?"
"Apa kerjaku memangnya kau tidak tahu, aku komandan
bayangkari yang berkuasa disini, tahu!" Akhirnya Hu Kian-seng
naik pitam setelah dibentak dan dituding.
"Sebagai Komandan bayangkari yang berkuasa, ada musuh
menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau usut dan
periksa." Hardik Milo Hoatsu.
Bercekat hati H u Kian-seng, tapi dia mengeraskan kepala,
katanya: "Darimana kau tahu ada mata-mata musuh
menyelundup ke istana?"
"Tiangsun Pwelek telah dikerjai orang di penginapannya,
pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba kami disini, anak
buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang
bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah
datang lebih dulu?"
Milo Hoatsu ternyata cukup teliti, walau dia tidak
mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan
Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi
Tiangsun Pwelek sudah dalam dugaannya. Maka dia duga
Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu Kian-seng.
Hu Kian-Seng pentang kedua tangannya, katanya: "Hoatsu,
sabarlah, jangan marah-marah dengarkan penjelasanku."
"Tulen atau palsu sudah jelas, apa pula yang perlu
dibicarakan?" Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya dia bersikap
kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu
Kian-Seng, setelah maju dua langkah dia berhenti pula.
"Seperti apa yang kau bilang," demikian ujar Hu Kian-Seng,
"urusan pasti bisa diusut sampai terang, harap kau tunggu
sebentar" Tiangsun Pwelek segera akan keluar."
Milo Hoatsu mendengus, "Siapa tahu apa yang rajamu yang
bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun Pwelek. Bila kalian
1604 menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya
seumur hidup?"
Wan Giap menyemprot gusar:
"Kata-katamu terlalu kurang ajar terhadap Baginda, jangan
kau menyesal bila kami bertindak kasar terhadapmu."
Diam diam Hu Kian-seng panggil seorang Wisu serta
memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah
mengundang bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan
pula bahwa ada mata-mata musuh berada di Sia-hoa-wan.
Sebelum kawanan Wisu tiba, Tiangsun Pwelek telah keluar.
Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan merintih-rintih dia
terguling jatuh dari atas tangga.
Maklum empat puluh kali pukulan palang pintu cukup
membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah punya
dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih
cukup kuat. Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas
loteng, tujuannya, adalah mau memancing kemarahan Milo
Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.
Melihat keadaannya Milo Hoatsu memang naik pitam,
amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya: "Tiangsun
Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"
Tiangsun Pwelek merangkak, serunya serak: "Siapa lagi
kecuali raja anjing mereka!"
Sambil menggerung Milo Hoatsu lantas menerjang,
bentaknya: "Kalian berani menghina utusan negeri kita, biar
aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."
Mendengar Baginda dimaki "Raja anjing" amarah Wan Giap
lebih berkobar, bentaknya: "Peduli siapa dia, gampar
mulutnya." Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan
amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana
terus meringkusnya. Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang
telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya jungkir balik,
1605 demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya
mencelat. Urusan amat mendesak Hu Kian-seng tidak banyak pikir
lagi, terpaksa dia maju merintangi. "Blang", mereka adu
pukulan. "Huuuaaaah", kontan Hu Kian-seng muntah darah.
Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh, sayang
Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka
dia yang kena rugi.
Melihat pemimpin mereka muntah darah entah bagaimana
luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak
hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya,
ganyang musuh lebih dulu, maka beramai-ramai mereka
merangsak. Milo Hoatsu menanggalkan jubahnya, bentaknya: "Siapa
merintangi aku dia mati. Aku akan membuat perhitungan
dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."
Wan Giap yang terpukul jungkir balik itu, luka-lukanya lebih
parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo Hoatsu
langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula,
amarahnya tak terbendung lagi, entah dari mana datangnya
kekuatan, segera dia meletik bangun, bentaknya: "Hayo
kawan-kawan, kita adu jiwa."
Milo Hoatsu sudah menyendal jubahnya laksana segumpal
mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu
yang menyerbu dirinya.
Kawanan Wisu ini terhitung jago-jago kosen dalam istana,
tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan jauh, pula
dibanding Milo Hoatsu. Maka terdengarlah suara gemerantang
yang ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas
dan jatuh. Di kala jubah Milo menggulung ke depan tiba-tiba terasa
angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata, dari
samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.
1606 Bercekat hati Milo Hoatsu: "Siapa kira anak buah Hu Kianseng
ada juga yang berkepandaian setinggi ini."
Tersipu-sipu dia memutar tubuh menghadapi serangan
orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan disendai
miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut
serangan Hu Kian-seng dan dua orang pembantunya.
Karena itu perhatian terpencar tenagapun tidak seimbang
karena harus melayani dua pihak, "cret" jubah kasanya yang
tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.
Kasanya itu digunakan sebagai senjata setelah dilandasi
kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar.
Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai
lemas seperti ban kempes, sudah tentu kekuatannya seketika
sirna. Tadi Hu Kian-seng tidak gunakan tenaga sepenuhnya
hingga mengalami rugi besar. Kini menghadapi detik-detik
mati hidup, mana berani dia berlaku ayal" Blang, telapak
tangan beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga
langkah. Terasa kerongkongannya anyir, darah yang sudah
menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat.
Maklum sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati,
betapapun dia malu dikalahkan.
Hu Kian-seng berterima kasih kepada Wisu yang telah
menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak sempat
dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki
kepandaian pedang seliehay itu" Kini baru dia ada
kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di sebelahnya. Hatinya
lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak
buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.
Saat mana Wan Giap baru saja melompat berdiri melihat
Wisu ini diapun melengak, tanyanya: "Siapa kau?" Sikap


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir
1607 mampus, maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak
lupa memperhatikan lawan dan kawan.
Wisu ini bukan lain adalah samaran Toan Kiam-ping.
Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang
gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Cioksing.
Mendengar Milo Hoatsu membuat keributan di depan
Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari tempat sembunyinya.
Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kianseng
berhasil ditolong.
Satu hal yang tidak dia kira, dalam keadaan seribut ini,
Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih sempat
memperhatikan dirinya. Seluruh Wisu yang ada di istana
semua kenal baik dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini
yang tidak dikenalnya.
Toan Kiam-ping sudah tahu, masih mungkin dia mengelabui
Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap. Dasar cerdik,
hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana
terus diacungkan, katanya: "Aku disuruh Bok-jongling kemari
untuk membantu melindungi Baginda, inilah lencana
pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan Bong-kokong
sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di
istana, kita harus mengusirnya."
Bok Su-kiat adalah komandan Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah
pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi keselamatan
istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke
daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan
melindunginya. Jadi jelas tugas Gi-lim-kun berbeda dengan
pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu bertugas
didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lim-kun dilarang
sembarang masuk ke istana.
Satu hal lagi, bahwa seragam pasukan Gi-lim-kun berbeda
dengan seragam pasukan bayangkari. Toan Kiam-ping
mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan
seragam pasukan Bayangkari. Sudah tentu Toan Kiam-ping
1608 tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan komandan
pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia
mengaku sebagai anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia
menyaru jadi anggota Gi-lim-kun. Bualannya memang
menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya,
dan tidak sempat perhatikan dirinya lagi. Ternyata dia
berhasil. Bukan Wan Giap tidak melihat kelemahan alasannya, tapi
keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok dengan
kenyataan. Janji pertemuan Cu Kian-sin dengan Tan Ciok-sing
sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga pasukan
bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak
meminta kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago
kosennya bantu bertugas didalam istana. Persoalan ini dia
serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu Kian-seng kurang
senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah
kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang
raja dan tidak memberi tahu kepada Bok Su-kiat. Yang terang
sang raja hanya berpesan secara lisan, tiada bukti hitam di
atas putih. Beberapa hari kemudian, suasana tentram tidak terjadi
apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.
Tapi Wan Giap tahu akan pesan raja, cuma dia tidak tahu
bila Hu Kian-seng menahan pesan secara lisan ini. Karena
terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata
hampir cocok dengan kenyataan. Lenyap rasa curiga Wan
Giap, serta merta matanya melirik ke arah Hu Kian-seng.
Sudah tentu Hu Kian-seng tahu bahwa Toan Kiam-ping
membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya,
sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk
bertindak membalas kebaikan orang dengan membongkar
asal-usulnya. Apalagi dia harus menyimpan rahasia, jikalau
perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar
1609 kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah
salah lebih lanjut. Apalagi dia belum mendapat laporan
tentang asal-usul Toan Kiam-ping, kepandaian silatnya tinggi
lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat memang
mengutus dia masuk ke istana.
Hatinya maklum lirikan mata Wan Giap kepada dirinya
adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya. Tapi dalam
keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak
tahu sementara diam sebagai jawaban.
Melihat Hu Kian-seng diam saja, Wan Giap kira dia
membenarkan. Maka sisa curiganya telah sirna. Apalagi
keadaan segawat ini, mana sempat dia tanya kepada Hu Kianseng.
Pembicaraan beberapa patah kata itu berlangsung amat
singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh Milo Hoatsu
untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.
Pelan-pelan dia mengembangkan kedua lengannya,
terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar
matanya tambah menyala, bentaknya: "Kurang ajar, berani
kau memaki aku gegabah" Hm, baiklah, coba buktikan, siapa
yang akan terlempar keluar dari sini." Belum lenyap suara
bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali ini
membelah ke arah Wan Giap. Jarak mereka ada satu tombak,
telapak tangannya tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi
perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata sedahsyat gugur
gunung. Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan,
dadanya sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.
Toan Kiam-ping bertindak cekatan, "Sret" pedangnya telah
menusuk Lau-kiong-hiat di telapak tangan lawan. Bila Laukiong-
hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila hawa
murni bocor Kungfunya akan punah.
Sudah tentu Milo Hoatsu tidak membiarkan telapak
tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas menjentik.
1610 Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya
tepat dan telak. "Creng" pedang lawan kena diselentiknya
pergi. Telapak tangan Toan Kiam-ping pecah berdarah, getaran
selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat
memegang pedang. Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya
jumpalitan mundur beberapa tombak.
Hu Kian-seng sudah berada di damping Wan Giap,
berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran
Milo Hoatsu berhasil dibendung. Kekuatan tiga jago top
menimbulkan getaran hawa yang cukup dahsyat, jendela tak
jauh di samping mereka tergetar jebol. Beberapa Wisu lain
yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat
tenaga mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak
menerjang ke atas loteng.
Dalam pada itu Toan Kiam-ping sudah berdiri pula, dari
jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat sembunyi
Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang. Tapi
jelas bukan Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin. Han Cin
melambaikan tangan ke arahnya.
Walau dihajar empat puluh kali gebukan di pantatnya, lukaluka
Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja, diam-diam dia
sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu.
Wisu itu tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia
menjerit sekali terus jatuh semaput. Tapi di kala meronta
seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada Tiangsun
Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa
dia menyurut mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.
Toan Kiam-ping mencelat maju, pedang dipindah ke tangan
kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia menusuk ke
arah Tiangsun Co. Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan
tandingannya, apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia
mampu melawan tusukan pedang secepat kilat ini"
1611 Tahu dirinya tidak mampu berkelit, amarahnya malah
berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju, bentaknya:
"Berani kau membunuhku." Dia pikir sebagai utusan negrinya,
dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.
Tapi belum habis dia bicara, dadanya sudah terasa dingin,
serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata tidak
merasa sakit sama sekali. Ternyata ilmu pedang Toan Kiamping
sekarang telah mencapai taraf sempurna, gerakannya
dapat dikendalikan menurut perintah otaknya, begitu ujung
pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah
serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar
adalah Hiat-to pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co
lunglai, seperti menjinjing kucing layaknya, Toan Kiam-ping
merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap,
serunya: "Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah
ini empat puluh kali."
Bukan kawanan wisu itu tidak mikir untuk menyandera
Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka
mereka tidak berani bertindak secara gegabah. Bahwa Toan
Kiam-ping melempar Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa
Wan Giap menerimanya. Begitu Tiangsun Co jatuh ke
tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau,
langkah yang tidak dia lakukan terpaksa juga harus
dihadapinya. Sudah tentu amarah Milo Hoatsu tak tertahankan lagi,
langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak:
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo
turunkan, kupuntir kepalamu."
Berulang kali dirinya dimaki dan terluka pula, akhirnya Wan
Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat terus
diputar sebagai tameng, bentaknya balik:
"Baik, mari, kau puntir, coba buktikan kepala siapa yang
kepuntir patah."
1612 Lekas Hu Kian-seng menerobos ke tengah mereka,
teriaknya: "Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa dibicarakan.
Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek,
lekas turunkan dia." Betapapun Hu Kian-seng adalah
atasannya, karena dibentak terpaksa Wan Giap turunkan
Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya mencengkram
punggungnya. Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri
disandera lawan, Milo Hoatsu tidak berani sembarang
bertindak lagi.
"Kalian berani menghina utusan kita, persoalan apa pula
yang perlu dibicarakan?"
"Kalau kau tidak ribut, sudah tentu kami tidak akan
bertindak kasar." Wan Giap balas membentak.
"Sebetulnya apa kehendak kalian?" Bentak Milo Hoatsu.
"Kami justru ingin tahu apa kehendakmu?" Bantah Wan
Giap pula. "Wan Giap," sentak Hu Kian-seng, "jangan kurang ajar
lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."
"Paling tidak dia harus berjanji dulu tidak akan membuat
keributan, baru aku akan membebaskan orangnya. Tiangsun
Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita
berada disini, mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama
berlaku hormat kan juga harus dipatuhi kedua pihak." Tekad
setianya kepada raja memang harus dipuji, bila dia
mengumbar adat, meski Hu Kian-seng adalah atasannya juga
berani dibantah.
Sudah tentu makin murka Milo Hoatsu mendengar ocehan
Wan Giap. Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang diri
jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thianmo-
ciang-lat yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah
banyak dikorting, jikalau urusan belum beres dan harus
bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang
kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah. Apalagi
1613 umpama dia berhasil lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan
lawan. Begitu menerima Tiangsun Co segera dia membebaskan
tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus beranjak
keluar. "Hoatsu, Pwelek," teriak Hu Kian-seng, "tunggu sejenak,
biar aku menghadap Baginda, nanti kita bicara lagi. Kuyakin
dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."
Hu Kian-seng menduga pasti ada mata-mata musuh yang
sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang
tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo
Hoatsu. Tapi urusan menjadi ribut sebesar ini memang diluar
dugaannya. Segera dia cwlingukan, Wisu yang tadi menolong dirinya
sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham duduknya
perkara. Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini. Wan
Giap tentu menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi
membeber soal ini. Oleh karena itu, dia bertindak menurut
perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan
jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi
penjelasan kepada Milo Hoatsu.
Tapi tak pernah terpikir olehnya, setelah Tiangsun Co
dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah perhitungannya
dapat dapat terlaksana"
Dengan muka merah padam, Milo Hotsu membentak: "Hu
Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau berani hayo
bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini
mendengar penghinaan kalian." Sembari bicara kedua
lengannya bekerja terus menerjang ke depan. Para Wisu yang
dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi.
Setelah Hiat-to dibebaskan, rasa sakit Tiangsun Co
bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak:
1614 "Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar
Watsu kita menyerbu tiba."
"Tiangsun Co," bentak Wan Giap, "mulut anjingmu tidak
tumbuh gading, berani-berani kau bermulut kotor, aku, aku..."
belum habis dia bicara, mulutnya sudah didekap Hu Kian-seng.
Sebetulnya Tiangsun Co juga sudah kapok, namun dia
pura-pura temberang: "Kau berani apa?" Tersipu-sipu
bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam.
Kawanan Wisu tiada yang berani mengadang, terpaksa
mereka dibiarkan pergi.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lega hati Wan Giap, katanya: "Hu-congkoan, mari
kutemani kau menghadap Baginda."
Terbeliak mata Hu Kian-seng, katanya: "Kau kira urusan
sudah beres" Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau kuatir akan
keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku,
kerahkan seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."
"Mata-mata dari . mana datangnya" Macam apa mata-mata
itu?" Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun Co yang datang
duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu
sejauh ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat
apa mengejar jejaknya ke tempat lain"
Saking jengkel Hu Kian-seng membanting kaki, katanya:
"Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga belum
berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana
tampangnya" Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal
ringkus dia."
"Tapi Baginda sendiri..."
"Aku yang akan melindungi Baginda, kau tidak usah kuatir,
lekas, lekas laksanakan."
1615 Setelah komandannya sendiri yang berjanji akan menjaga
keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini baru
merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.
Hu Kian-seng sendiri belum tahu apakah Tiangsun Co
tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan
perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia
naik tangga mendekati kamar buku, di depan pintu dia batukbatuk
beberapa kali. "Siapa diluar." Cu Kiam-sin membentak dari dalam.
"Hamba Hu Kian-seng."
"Kenapa baru sekarang kau datang?"
Hu Kian-seng melenggong, katanya: "Tadi hamba sudah
kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani Koksu dari
Watsu." Cu Kian-sin mendengus hidung, katanya lagi:
"Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang
Tim ingin temui telah kemari."
Setelah melihat Baginda, duduk persoalannya sudah terang
bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih kebat-kebit,
perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi
juga seperti memperoleh sesuatu.
Menurut rencananya semula dia hendak minta damai
dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan Cioksing,
malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi
setelah kejadian ini, rencananya semula mau tidak mau harus
direnungkan kembali.
Dia sudah tahu bahwa Kim-to Cecu telah memperoleh
kemenangan besar diluar Gan-bun-koan. dia sudah menerima
janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah
bila dia angkat senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak
akan memberontak.
1616 Dengan tangannya sendiri dia membuang konsep
perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co,
malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan
mengancam dirinya. Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun
Co itupun atas persetujuannya. Walau dia setuju karena
terpaksa karena dia disandera. Tapi betapapun dia masih
memiliki wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk
membeber kenyataan yang dihadapi di hadapan orang Watsu,
apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.
Apalagi seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, bila Kim-to
Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak kuat
melawan Watsu. Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak,
rakyat banyak pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama
angkat senjata melawan penjajah. Bila hal itu terjadi, maka
singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan
goyah dan bukan mustahil akan terguling.
Satu hal lagi, kepandaian Tan Ciok-sing betul-betul amat
menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In boleh
pergi datang seenak udelnya. Bila gagal menangkap mereka,
pasti akan meluruk datang pula. Bila teringat peringatan.
"ingkar janji menghianati bangsa, Yang Kuasa tidak akan
memberi ampun " hatinya goncang tubuh gemetar.
Apa boleh buat, terpaksa dia harus berani mengorbankan
Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut campur.
Walau Hu Kian-seng tidak turut campur tapi Tan In
berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk
meninggalkan istana.
Waktu itu sudah menjelang pagi, cuaca sudah remangremang
tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur telah
berjaga dan menanti di punggung kuda.
Ternyata pasukan jaga Gi-lim-kun yang berada diluar istana
telah mendengar juga gema lonceng peringatan dari istana,
tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam, tanpa
1617 diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa
mempersiapkan diri, seluruh pasukan yang ada dikerahkan
dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan dijaga ketat.
Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada
di Tang-hoa-bun.
Toan Kiam-ping berkaok-kaok: "Minggir. Atas perintah
Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi jalan." Sembari
berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi.
Tiba-tiba seorang membentak: "Peduli siapa, harus
berhenti." Seorang penunggang kuda tampil dari barisan
berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping
mendengung pekak.
Pembentak ini bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun
sendiri Bok Su-kiat adanya.
Melihat gelagat jelek, lekas Han Cin berteriak: "Sedang
menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh menunda waktu."
Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda tetap
dikeprak menuju ke arah yang berlawanan.
Diluar tahunya, Bok Su-kiat tidak pandang lencana Bong
Tit, mengambil panah memasang busur, "ser, ser, ser".
Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang
anak panah ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua
mengincar ln San, dua lagi membidik Han Cin.
Tidak sukar untuk memukul jatuh kedua anak panah itu,
tapi ln San dan Han Cin, sekarang masih menyaru sebagai
Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa
main silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya
luncuran panah berantai bidikan Bok Su-kiat amat kencang
bidikkannyapun tepat, bila mereka memperlihatkan dirinya
pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar.
ln dan Han memang cerdik dan tangkas tanpa berjanji
mereka berpikir: "Betapapun besar nyali Bok Su-kiat, dia tidak
akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya." Maka
1618 mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak
mengembangkan kepandaian menyambuti anak panah.
Gerakan mereka ternyata tepat. Dua batang panah melesat
terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan
batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun
tidak terluka. Betapa liehay dan menakjubkan kepandaian memanah Bok
Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan
merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari
rongga dada. Tapi untung juga mereka memperlihatkan sikap
gugup dan kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak
berkurang. Toan Kian-ping mengacungkan medali tembaga seraya
berseru: "Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa kami
utusan Bong-kokong?"
"Untuk apa Bong-kokong mengutus kalian keluar?"
"Untuk itu, maaf kami tidak berani menjawab." Sahut Han
Cin. Bok Su-kiat mendengus, katanya: "Kalian tidak mau
menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian keluar."
Tan Ciok-sing menimbrung: "Urusan memang tidak boleh
ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh suruh orang
tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih
dulu." "Tidak boleh. Aku pasti akan suruh orang tanya kepada
Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya disini. Bila
asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian
pergi." "Bok-jongling," ,ujar In San dingin, "kau boleh tidak usah
peduli apakah benar medali ini dikeluarkan oleh Bong-kokong,
memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak pandang
sebelah mata." Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit
1619 emas yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi
baginda. Bok Su-kiat kenal tulisan baginda, semula dia memang
kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap bandel
tidak mau memberi jalan. Dalam hati dia berpikir: "Para
Thaykam dan wisu di istana memang tidak seluruhnya
kukenal, tapi urusan sebesar dalam suasana segenting ini, bila
benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus pasti juga
Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula
Wisu yang dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan
cekatan, kalau benar mereka, mana mungkin aku tiada
satupun tidak kenal."
Tapi karena In San memperlihatkan kipas berkerangka
emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga bahwa mereka
tiruan" "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan tanda
kuasa," kata Bok Su-kiat.
"O, jadi kau ingin melihat surat kuasa dari Baginda?"
jengek Han Cin.
"Betul," ujar Bok Su-kiat, "dalam istana sedang terjadi
keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku
disalahkan baginda surat kuasa itu aku tetap ingin
melihatnya."
Han Cin tertawa dingin, katanya: "kau ingin lihat, boleh
kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan kepadamu. Ini
menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami
tidak membocorkan kepada siapapun." Sembari bicara dia
membeber gulungan kertas yang berisi surat kuasa untuk Tan
Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir jahat kerajaan
termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya. Hanya
sedikit yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan
dan cap baginda. Surat kuasa ini ditulis di atas kertas tebal
yang mempunyai dasar warna biru dengan corak khusus yang
diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan
kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya
1620 Bok Su-kiat sudah percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat
cap dan tanda tangannya, maka dia yakin tidak salah lagi.
Sayang waktu Han Cin sedikit membuka gulungan kertas
itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat, namun
mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di
baris terakhir dari surat kuasa itu ada tercantum nama
Liong Bun-kong.
Hubungan pribadi Bok Su-kiat dengan Liong Bun-kong amat
intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan namanya,
diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang: "Surat kuasa ini
bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"
Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda,
waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang menunggang
kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini
bukan lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.
Dalam kalangan Gi-lim-kun terbatas pada beberapa perwira
saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri Watsu yang
masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu
asal-usul mereka.
Pasukan Gi-lim-kun sekarang dikerahkan atas perintah
komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa identitasnya,
dilarang keluar. Oleh karena itu, meski mereka merasa heran
melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka
maju menghadang, bagaimana juga mereka tidak diijinkan
keluar. Memangnya hati sedang keki, Milo Hoatsu keprak kudanya
terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di depan
barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya: "Siapa berani
merintangi aku" Yang ingin hidup lekas menyingkir."
Seorang perwira yang jujur berangasan segera membentak
gusar: "Hayo turun, peduli kau ini anak kura-kura, siapapun
tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah terlarang
1621 ini." Sembari membentak tombak panjang terangkat terus
menusuk kuda Milo Hoatsu.
Perwira ini hanya memiliki Kungfu biasa mana kuat dia
melawan Milo Hoatsu" Sambil tertawa dingin, sekali raih Milo
Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu
sendiri yang terjungkal roboh dari punggung kudanya
termakan oleh tombaknya sendiri.
Sudah tentu kekasarannya menimbulkan amarah masai,
umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci orangorang
Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu
ditekan oleh atasan, maka rasa dendam mereka sukar
terlampias. Kini mumpung komandan mereka ada perintah,
cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah,
kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai
mereka maju hendak menggasaknya.
Entah siapa yang memberi aba-aba, tiba-tiba anak panah
berhamburan sederas hujan lebat. Hujan anak panah
seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat
itu. Sayang Tiangsun Co tidak memiliki kepandaian setinggi
Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo Hoatsu sedikit lena, paha
Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia tersungkur
ke bawah kuda. Mau tidak mau Milo kaget dan kebingungan, terpaksa dia
berteriak: "Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal kami. Bok Sukiat
kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian
keluar minta maaf kepadaku."
Sebetulnya Bok Su-kiat masih ingin tanya kepada Tan Cioksing,
tapi kejadian mendadak ini lebih menarik perhatiannya,
mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikeprak kesana, serunya: "Berhenti, berhenti. Lekas
hentikan."
Mendengar suaranya baru pasukan Gi-lim-kun
menghentikan aksinya. Karena paha terpanah, ditambah luka
1622 Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi. Untung meski luka luar
cukup berat, tenaganya tidak lenyap seluruhnya.
Mumpung ada keributan, lekas Han Cin gulung pula surat
kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal kuda
keluar dari kota terlarang.
Dalam keadaan seperti itu. Bok Su-kiat tidak sempat
banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat
kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani
perintahkan anak buahnya mencegat mereka pula.
Tapi setelah anak buahnya menghentikan serangannya,
sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa dia
panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat
menyuruhnya lekas pergi ke sekretariat negara menemui
Liong Bun-kong. Bukan dia curiga akan surat kuasa tadi, tapi
karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini
disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh
bekerja mendahului surat perintah itu memberi kisikan kepada
Liong Bun-kong. Ketiga perwira itu cukup cerdik dan tangkas
bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci, mereka juga
sudah maklum. Melihat Bok Su-kiat muncul, baru Milo Hoatsu lega hati,
katanya setelah mendengus: "Kalian memanah Tiangsun
Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan
kuperhitungkan. Sekarang lekas kalian ganti dua ekor kuda,
kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh li."
Sekretariat negara dimana Liong Bun-kong menempati
kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat, itulah
daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya.
Setelah mereka keluar dari pintu barat, tak lama kemudian,
mereka mendengar derap lari kuda yang dibedal, tahulah
mereka bahwa di belakang ada pengejar. Begitu mereka
men6leh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah
mengaburkan kudanya.
1623 Sudah tentu ketiga perwira ini tidak berani menyusul
mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu. Kalau
ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah
atasan, secara diam-diam melindungi utusan raja ke tempat
tujuan, cara itu memang tidak melanggar kedisiplinan.
Tapi walau Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya tidak tahu
tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka. Kalau
putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar
yang lebih besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.
Sebetulnya ketiga perwira itu terus menguntit, entah
kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin jauh.
Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula
ketiga perwira itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Aneh, kuda tunggangan mereka
tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki, kenapa mereka
tidak menyusul pula?"
In San tertawa, ujarnya: "Mungkin mereka insyaf bila
bertindak diluar perintah mereka bisa celaka sendiri, apalagi
kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur
teratur." Yang benar, bukan mereka jeri mengingat surat perintah
Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka yang
roboh tak bangkit lagi.
Setelah mengudak beberapa jauh kemudian, entah kenapa
kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya
mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal
roboh tak berkutik. Tiga orang sama keheranan, tengah
mereka memeriksa kuda masing-masing, tiba-tiba terdengar
suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul
seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga
seorang perwira Gi-lim-kun.
Lekas sekali perwira penunggang kuda ini telah dekat,
ketiga perwira yang duluan ini sama kaget, serempak mereka
1624 berdiri siap memberi hormat. Ternyata Perwira yang duluan ini
pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya,
karena dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di
bawah Bok Su-kiat, namanya Ing Siu-goan.
"Apa yang kalian alami disini?" tanya Ing Siu-goan.
Salah seorang menjawab: "Lapor Tayjin, entah kenapa,
kuda kami mendadak terserang penyakit, mulutnya berbuih
tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."
Seorang lagi berkata: "Atas perintah Bok-tayin, kami
disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak terduga
mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin
memberi petunjuk, bagaimana sebaliknya?"
Seorang lain bertanya: "Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?"
Orang ini lebih teliti dari dua temannya, agaknya dia menaruh
curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan tutur katanya
menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam
mengawasi mimik muka Ing Siu-goan.
Ing Siu-goan mendengus sekali, katanya: "Untung aku
keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai. Bokjongling
memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku
disuruh menyusul kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh
pulang saja, ada tugas lain untuk kalian, temui langsung
kepada Bok-jongling."
Dua perwira di antaranya memang ogah pergi ke tempat
kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing Siugoan,
kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka
berpikir: "Seluk beluk dan lika-liku pemerintahan para
pembesar memang scrb;i membingungkan. Bok-jongling,
suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat
kepada Liong Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok
jongling punya jabatan tinggi, dia tidak perlu kuatir
kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan
1625 konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong,
malapetaka bakal menimpa kami bertiga."
Karena itu dengan senang kedua orang ini berkata: "Terima
kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan kau saja
sampai harus menunaikan tugas sendiri." Meski orang ketiga
agak curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan
petunjuk orang terpaksa dia tidak berani banyak bicara lagi.
Seperti pelari marathon yang lagi berlomba saja, ketiga
perwira ini terpaksa pulang dengan lari. Setelah mereka pergi
jauh Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar
kudanya mengejar rombongan Tan Ciok-sing.
Baru saja Tan Ciok-sing melewati suatu tegalan dan
membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba terdengar lari
kuda yang menyusul datang sekencang angin badai. Waktu
mereka menoleh. tampak yang mengejar tiba hanya seorang
perwira. Tan Ciok-sing heran, katanya perlahan: "Cakar alap-alap
yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang tadi."
Setelah agak dekat In San melihat jelas wajah orang
seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada Tan
Ciok-sing: "Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-limkun,
namanya Ing Siu-goan."
Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa Gi-lim-kun mengutus Ing Siugoan
wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka, gelagatnya
mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya
tidak bisa dihindari lagi, maka dia berkata: "Biarlah nanti aku
melihat dia, kalian boleh langsung pergi ke rumah keluarga
Liong." Lekas sekali kuda Ing Siu-goan sudah dibedal tiba, jaraknya
tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera menarik
kendali serta memutar balik, bentaknya: "Kami adalah petugas
yang sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani
main terjang?"
1626 Ing Siu-goan tidak menjawab, dia malah tertawa tergelakgelak,
tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan. Tan Ciok-sing
kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos
pedang, dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang
berkelebat, dia lindungi tubuhnya. Tak nyana sebelum senjata
rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata rahasia itu sudah
meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju
dan kepala Tan Ciok-sing. Kiranya senjata rahasia adalah
sebutir lempung.
Tergerak hati Tan Ciok-sing, di saat dia melenggong, In
Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tan Siauhiap,
selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya
kau tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk
jalan bukan?"
Kaget dan terbeliak senang Tan Ciok-sing dibuatnya, tapi
hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan Gi-limkun
mau membantu mereka"
Tiba-tiba Han Cin tertawa, katanya: "Ah, aku sudah
mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan Gi-lim-kun
tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir
saja akupun kena kau kelabui."
Ing Siu-goan tiruan tertawa lebar, katanya: "Han Lihiap
memang seorang ahli, sekali pandang lantas tahu kalau aku ini
tiruan." "Sebetulnya akupun tidak bisa membedakan, cuma kulihat
seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak cocok dengan
perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau
kau tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun
tidak yakin bahwa kau ini adalah Ing Siu-goan tiruan."
Orang itu tertawa, katanya: "Semoga tiruanku ini tidak
konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."
1627 Tan Ciok-sing senang, katanya: "Jadi Locianpwe sengaja
menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat tua
she Liong itu."
Mereka bicara sambil jalan, orang itu mendekatkan kuda
tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan berjajar,
katanya tertawa: "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau
dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan
perguruanmu. Mungkin aku lebih tua beberapa tahun, biarlah
aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap saudara Toan Kiamping
sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona
Han Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia harus memanggil
suheng kepadaku."
"Aku sudah tahu usiamu belum tua," ujar Han Cin, "maka
tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku tidak menyangka
bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu
sejelasnya siapakah kau sebenarnya."
Orang itu tertawa, katanya: "Namaku, kusebutkan kalian
juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku, mungkin kalian
pernah mendengarnya."
"Kepandaian saudara setinggi itu, gurumu tentu seorang
cianpwe kosen yang pernah menggetarkan Kangouw."
Demikian ujar Tan Ciok-sing, "Tolong saudara sebutkan siapa
nama besar gurumu."
"Bicara tentang pengalaman berkecimpung di Kangouw,
guruku masih jauh lebih lama dibanding jago pedang nomor
satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau
disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat
puluh tahun beliau memang pernah terkenal di kalangan
Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak mendapat nama
baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku
menampiknya."
1628 Seorang murid memberi komentar sedemikian rupa tentang
gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing
melongo. Orang itu seperti tahu perasaan mereka katanya lebih
lanjut: "Bukan aku sebagai murid berani bersikap kurang ajar
terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak suka
diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi
orang-orang yang seangkatan dengan beliau sama
beranggapan beliau adalah orang yang tidak lurus, tapi juga
tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung
nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan
kening, karena itu Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum
persilatan mengecapnya jelek lantas dia malu diri."
"Sebanyak itu komentarmu," ujar Han Cin, "kukira sudah
saatnya kau menyebut she dan nama gelaran gurumu."
Maka orang itu berkata: "Guruku she rangkap Siangkoan
bernama Ling-hong."
Tengah Tan Ciok-sing berpikir, Toan Kiam-ping sudah
berkata: "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok Tayhiap
yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"
"Betul." Ujar orang itu, "beliau memang maling sakti nomor
satu di masa itu, tapi tiada orang yang pernah memanggilnya
Tayhiap." "Tak heran kau bilang perguruanmu ada sedikit hubungan
dengan perguruan kami." Demikian ucap Toan-Kiam-ping,
"Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin
belum pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini
adalah teman karib gurumu semasa masih hidupnya dulu,
beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang terkenal, yaitu
pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."
"Aku adalah murid penutup guruku, di kala aku masuk
perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah
1629 kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar
cerita orang lain."
"Asal-usulmu aku sudah tahu." Ucap orang itu,
"kedatanganku ini justru karena mengingat hubungan
perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau.
Aku bernama Cin Tay-hun."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Cin-heng, mata singa baja
penindih kertas di meja baginda itu dikorek orang, demikian
pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah
diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini
adalah perbuatanmu?"
"Betul, memang aku yang melakukan. Kepandaian tak
berarti, harap tidak ditertawakan," demikian ucap Cin Tay-bun


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kikuk. Tan Ciok-sing berkata: "Kali ini kau tidak mencuri pusaka
raja, tapi telah memberikan hadiah berharga dari Kim-to Cecu
kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk di
Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari
perguruanmu, memang patut dipuji."
In San ikut menimbrung, katanya: "Cin-toako, jadi atas
perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini" Sejak kapan kau
datang ke markas" Kenapa aku tidak tahu?"
Maka Cin Tay-hun lantas bercerita. Ternyata selama hidup
gurunya Biau-jiu-sin-tho Siangkoan Ling-hong hanya suka
mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda
pusaka tak ternilai harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia
pelajaran silat tingkat tinggi. Sampaipun buku-buku pusaka
pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran
Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya.
Oleh karena itu peduli golongan hitam atau aliran putih,
pembesar, bangsawan atau orang kaya dalam kalangan Bulim,
setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.
1630 Sejak dia mengasingkan diri, hidup di pengasingan
menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari
kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada
muridnya: "Selama hidup terlalu banyak perbuatan jahatku,
jarang berbuat baik dan bajik. Walau perbuatan jahatku tidak
sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi perbuatan
baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."
"Walau kejahatan besar tidak pernah dilakukan, perbuatan
baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau dipertimbangkan antara
yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih besar.
Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap
jelek, oleh karena itu hanya satu permintaan kepada kau,
lakukanlah suatu kerja besar yang mengundang pujian orang
banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus, supaya
aku bisa tentram di alam baka."
Setelah menceritakan pesan gurunya, sengaja Cin Tay-hun
berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam
hati. Toan Kiam-ping berkata: "Gurumu adalah seorang kosen
aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik yang dia
inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia
yang luar biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan
Kim-to Cecu?"
"Betul," ujar Cin Tay-hun, "walau guruku mengasingkan
diri, selama empat puluh tahun lepas dari urusan Kangouw.
Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya dengan
baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan
pasukan kecilnya berulang kali berhasil memukul mundur
serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan juga diketahui
dengan baik. Maka beliau berpesan kepadaku: "Selama hidupku teramat
banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan, aku ini
bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka
mengoleksi. Aku tahu hobbymu. tidak selaras dengan
1631 kesenanganku, maka benda-benda mustika itu tidak
kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan
seluruhnya kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli
rangsum dan senjata. Sementara buku-buku pelajaran silat
hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang bakatku
terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai
tiada satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah
kau mempelajari buku-buku silat itu dapat tekun belajar dan
hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang pernah kucapai. Cuma
aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu
mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat
untuk mendarma baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing memuji: "Tindakan gurumu memang patut
dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri untuk membantu
yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah
melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah
melakukan perbuatan buruk, pesannya kepadamu bila sudah
dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala dosadosanya
itu." Tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah tiba diluar gedung
pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong. Melihat wakil
komandan Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam
datang, sudah tentu orang-orang Liong Bun-kong amat kaget,
lekas mereka berlari masuk memberi laporan.
Tak lama kemudian, pengurus rumah tangga keluarga
Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut. Sa
Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong
Bun-kong, setelah Liong Bun-kong minta cuti, dia melihat
gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon meletakkan
jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bunkong.
Umpama Liong Bun-kong berhasil mempertahankan
jabatan tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk
merehabilitir kedudukannya. Menjadi pengurus rumah tangga
keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman,
1632 sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan
pemerintahan, celaka bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di
copot kedudukannya serta dijebloskan kedalam penjara.
Dengan mimik heran dan kurang percaya dia mengawasi
Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun,
katanya: "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit
perintah raja kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan
kepada Liong-tayjin?" Ternyata hubungannya dengan Ing Siugoan
biasanya amat baik, seperti saudara kakak beradik.
Melihat orang tidak bisa membedakan tiruannya, diam-diam
Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana lazimnya
orang berpangkat, dia berkata: "Surat perintah ini langsung
diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat.
Jangan kata aku tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua
petugas inipun mereka tidak tahu. Lekas kau suruh tuanmu
keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar baik
yang menguntungkan dia."
Sa Thong-hay bersikap serba salah, katanya cemberut:
"Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya. Harap para
Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang
Liong-tayjin keluar."
Dia bilang sebentar, tapi Tan Ciok-sing harus menunggu
hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga
kunjung keluar. Mereka tahu untuk menerima perintah raja
siapapun diharuskan berdandan mengenakan pakaian
kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap semestinya juga
tidak akan selama ini.
Han Cin yang menyaru jadi petugas utama sudah akan
marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.
Han Cin lantas membentak: "Liong Bun-kong, berlutut,
terima firman baginda."
Liong Bun-kong berlutut seluruh tubuhnya mendekam,
mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin: "Aku
1633 ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan"
Kalian suruh aku berlutut malah kebetulan bagi aku."
Waktu kecil In San sering dolan ke rumah Liong Bun-kong,
kini terasa wajah orang jauh lebih kurus " dan tua, namun
bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut
maka In San tidak menaruh perhatian lebih seksama.
Dengan suara lantang Han Cin membacakan firman raja.
Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang
dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.
"Sekretaris negara merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bunkong
ada indikasi sekongkol dengan musuh menjual negara,
membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama
pejabat, korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata,
bersama ini dinyatakan jabatannya dicopot dan harta
bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima
diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri
yang akan memeriksa perkara ini. Selesai."
Habis mendengar firman raja, perlahan-lahan Liong Bunkong
berdiri, katanya gemetar: "Tayjin, bolehkah aku
memeriksa firman raja di tanganmu itu."
Han Cin gusar: "Liong Bun-kong besar nyalimu, berani kau
mencurigai firman Baginda."
"Tidak berani," sahut Liong Bun-kong menjura, "menurut
peraturan istana, sebagai pejabat tinggi aku berhak memohon
grasi kepada junjungan."
Di antara lima orang, hanya In San kira-kira memahami
tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak tahu
apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong
Bun-kong. Dalam hati dia membatin: "Firman raja itu memang
bukan palsu, apa salahnya biar diperiksa olehnya?" Maka dia
berkata: "Baiklah, biar dia memeriksa, Tay-wi, boleh kau
serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh
kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."
1634 In San tahu akan undang-undang ini, tapi kalau Liong Bunkong
tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana ini In
San juga tidak akan ingat lagi. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing
menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang
sudah dalam perhitungannya yang cermat. Andaikata Liong
Bun-kong curiga dan menolak mengembalikan firman, Tan
Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.
Kungfu Tan Ciok-sing sekarang sudah setaraf jago kosen
kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa
dihitung dengan jari. Liong Bun-kong hanya pembesar sipil
yang lemah berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal
runyam. Tak nyana perobahan kejadian selanjutnya justru jauh
diluar dugaannya.
Di waktu serah terima firman dari tangan Tan Ciok-sing
kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing merasa
telapak tangannya kesemutan. Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan
Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh
sekaligus terasa panas. Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat
Lwekang yang paling sukar diyakinkan.
Bahwa Liong Bun-kong mampu menyalurkan Lwekang
melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting di
tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh
luar biasa dan susah dibayangkan.
Mimpipun Tan Ciok-sing tidak pernah menduga bahwa
pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan seperti
Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini,
jangan kata sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga
melawan, umpama dia sudah mempersiapkan diri, juga
mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang hebat
ini. 1635 Kejadian cepat sekali, tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik
keras. Tan Ciok-sing telah diringkusnya terus ditutuk Hiat-to
pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas kepala.
Kejadian diluar perhitungan, karuan In San, Han Cin, Cin
Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.
"Sret" kontan In San mencabut pedang seraya membentak:
"Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar dorna yang akan
dibekuk atas perintah firman raja." Tan Ciok-sing disandera, In
San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah
dicabut, tapi dia tidak berani menusuk.
Baru saja Cin Tay-hun hendak melabrak maju melancarkan
kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja itu, tibatiba
ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok
ke atas kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki
Ginkang tinggi telah dipendam di atas atap, setiap orang
membawa segantang air penuh, di saat-saat menentukan
itulah mereka menyiram air itu ke bawah.
Cin Tay-hun beramai sedang dalam pikiran kalut,
betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa
gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga
tak mungkin dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup.
Demikian pula In San dan lain-lain juga kecipratan muka dan
tubuhnya, sehingga penyamaran mereka terbongkar.
Liong Bun-kong tertawa tergelak-gelak katanya: "Betul, aku
ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi kalian juga Thaykam dan
Wisu palsu."
Baru sekarang In San mengenali orang yang menyamar
jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go,
Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh ln San
bersama Tan Ciok-sing di pesta ulang tahun Ong Goan-tin di
Thay-ouw tempo hari.
Cin Tay-hun membentak: "Sugong Go, kau kira kami
menyamar petugas penyampai firman raja, kau salah. Firman
1636 itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong
Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina
firman raja, meski kelak kalian bisa merat, bukan mustahil
Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh kekayaan dan
keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku
tahu kau sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum
kasep." Hanya sekejap dari dalam memang keluar satu orang, tapi
bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup
besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan
besarmu, bukan mustahil kaupun memalsu firman raja?"
Orang ini bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ing
Siu-goan tulen.
Ternyata pengurus rumah tangga Liong Bun-kong yaitu Sa
Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil
komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong
Bun-kong, bersama Tang-hay-liong-ong mereka berunding
mencari jalan keluar untuk menghadapi persoalan ini, maka
akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong
Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda
kilat mengundang Ing Siu-goan.
Cin Tay-hun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kenyataan
memang sukar dibedakan yang palsu dan yang tulen, ada
baiknya juga kita berkenalan."
Sembari bicara dia melompat maju, secepat kilat tangannya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melancarkan serangan.
Pukulan Cin Tay-hun telak mengenai pundak orang, terasa
pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas,
mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga
perlawanan lawan sontak timbul dengan hebat, sehingga
telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan Siphiong-
kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas
menyerang, dia sudah bersalto beberapa tombak jauhnya.
1637 Sebelum kakinya berdiri tegak, tangannya telah terayun,
katanya tawar: "Firman raja itu dijatuhkan untuk Liong Bunkong,
kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong
Bun-kong saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani
menentang firman raja, atau merasa curiga akan firman itu,
biar dia sendiri yang langsung menghadap baginda, tanyakan
persoalannya supaya jelas."
Benda yang terayun di tangannya itu bukan lain adalah
gulungan kertas yang berisi firman raja yang akan diberikan
Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-bay-liong-ong,
setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong
menyerahkan kepada Ing Siu-goan.
Dalam gerakan secepat kilat menyerang Ing Siu-goan serta
memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin Tay-hun masih
mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik
firman raja itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri
menjublek. Sementara Ing Siu-goan sendiri kaget dan ciut
nyalinya diam-diam dia berpikir: "Bila bocah keparat ini
menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun,
bukankah jiwaku sudah mampus sekarang."
Di kala hadirin menjublek itu, kembali Cin Tay-hun bergerak
tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa Thong-hay,
bentaknya: "Terimalah firman raja."
Saking kagetnya, secara reflek Sa Thonghay angkat kedua
tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya seperti
menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahutahu
gulungan firman raja itu sudah disesepkan ke telapak
tangannya. Karuan Sa Thong-hay gusar: "Anak keparat, berani
kau mempermainkan aku."
Dia tidak berani merusak firman raja, tangannya tak
mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua kakinya
menendang dengan serangan berantai. Sa Thong-hay adalah
murid aliran Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian
tendangan kakinya jauh lebih liehay dari ilmu pukulan.
1638 Meski tendangannya secepat kilat, mana dia mampu
menendang Cin Tay-hun" Hanya membalik setengah lingkar,
kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping
mata uang tembaga ke arah Tang-hay-liong-ong.
Senjata rahasia lempung menutuk Hiat-to yang diyakinkan
merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya, kini dia
ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan
tepat. Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan
gerak-geriknya, kuatir orang tahu-tahu menyerbu dan
menggerayangi dirinya. Kini melihat mata uang menyerang
dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng,
namun harapannya ternyata gagal, ketiga mata uang itu
seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan telak.
Cin Tay-hun sudah kegirangan, tak nyana tiba-tiba
didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak
katanya: "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan
cahayanya." Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu
tiba-tiba secepat meteor melesat balik ke arah pemiliknya.
Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan, ketiga
mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik
dengan daya luncur dan tidak kalah kencangnya. Kiranya
Tang-hay-liong-ong meyakinkan Can-ih-cap-pwe-tiat,
Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing
Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna.
Bukan saja dia sudah melatihnya sampai menyentuh pakaian
kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai Hiat-tonya
ternyata mampu diritul kembali untuk -menyerang pemiliknya.
Kejadian diluar tahu Cin Tay-hun, meski dia memiliki
Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup runyam.
Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya
menggelundung di tanah, ternyata pantatnya tetap terkena
juga oleh mata uangnya sendiri. Untung dia sudah menutup
Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka
apa-apa. 1639 Sebetulnya Tang-hay-liong-ong tengah bergelak tawa,
entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti
tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung
sekeras-kerasnya, Tan Ciok-sing yang sudah menjadi
tawanannya tiba-tiba dilempar.
Lwekang Tan Ciok-sing memang tidak setangguh Tanghay-
liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni
langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki
segi-segi lain yang menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya,
yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to maksudnya tenaga
tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah
ke tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to
yang tertutuk itu pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu
singkat. Ilmu ini tiada bedanya dengan cara mengerahkan
hawa mumi menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan
Hiat-to. Di waktu mata uang Cin Tay-hun mengenai tubuh Tanghay-
liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun
sudah bebas. Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh
Tang-hay-liong-ong. tubuh bagian atas tak mampu
mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan, tapi
kedua kakinya masih bebas bergerak. Sekali ujung kakinya
menendang, dengan telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut
Tang-hay-liong-ong.
Lwekang Tan Ciok-sing sudah tentu jauh lebih tinggi
dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong memiliki
ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak
urung merasa kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan
sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan menabok batok
kepalanya. Kejadian diluar dugaan, sergapan mendadak lagi, demi
menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa pikir,
terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.
1640 Lwekangnya memang teramat tangguh, dalam sekejap,
hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiauhiat
yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di
bagian tubuhnyapun sirna seketika.
Sambil menggerung gusar segera dia menubruk maju,
maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing. Sudah tentu In
San tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong,
Ceng-bing-kiam sudah bergerak menghadang di depan Tan
Ciok-sing. Begitu Tang-hay-liong-ong ulur tangan mencengkram.
"Cret" tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas sobek, di
tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju
itu hancur beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak
lekas menarik tangannya, jari-jarinya pasti sudah terpapas
putus oleh pedang mustika itu.
Kungfu Tang-hay-liong-ong sebetulnya jauh lebih tinggi
dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa, dengan tangan
kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia
pasti tidak akan dirugikan. Tapi baru saja Hiat-tonya bebas,
geraknya kurang leluasa, maka hampir saja dia terluka oleh ln
San. Baru saja Cin Tay-hun gunakan keledai malas
menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan
berantai Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke
tubuhnya. Secara kebetulan, Tan Ciok-sing yang dilempar Tang-hayliong-
ong dengan daya lempar keras itu tepat meluncur ke
arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi. "Blang"
sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran,
mendadak tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan
Ciok-sing, tubuhnya terbanting keras, kepala bocor
membentur lantai.
1641 Tang-hay-liong-ong meraung gusar: "Bawa kemari
senjataku." Dari dalam berlari keluar empat busu keluarga
Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus Tanghay-
liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak
melempar sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong.
Sementara itu Tan Ciok-sing sudah keluarkan senjatanya
berdiri jajar bersama In San.
Setelah menyekal sepasang senjatanya, Tang-hay-liongong
membentak: "Baiklah, dengan sepasang gamanku ini
kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai
keinginan kalian, bertanding secara adil satu babak."
"Kau seumpama seorang jendral yang telah kalah perang di
medan laga, kalau tidak terima, apa halangannya bertempur
sekali lagi?" demikian ejek Tan Ciok-sing.
Tang-hay-liong-ong gusar, dampratnya: "Tempo hari kalian
menang dengan akal licik, masih berani juga bermulut besar"
Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."
Maka terdengarlah dering ramai dari benturan keras antara
sepasang pedang dengan Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong,
benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api
berpijar benderang.
Dengan kertak gigi Tang-hay-liong-ong bertekad merebut
kemenangan untuk membalas kekalahannya di Tong-thing-san
tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul
sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang
pernah dia yakinkan pada sepasang senjatanya dia boyong
seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh lebih hebat dari
dulu. Makin lama pertempuran tiga orang ini makin sengit,
serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka
sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata.
Tanpa terasa dalam arena setombak lebih di sekitar
1642 gelanggang terjalin pusaran angin kencang sehingga orang
lain tidak berani maju mendekat.
Di saat pertempuran kacau balau berlangsung, tiba-tiba
dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan Ciok-sing
kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak
buah Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok
Khong-goan, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay adalah dua
perwira tinggi yang paling setia kepada Liong Bun-kong.
Sikap Ciok Khong-goan kelihatan tegang dan gugup,
katanya: "Sugong-thocu, mengingat nona In ini pernah ada
hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau
supaya hubungan tidak retak, maka diberikan kelonggaran
supaya kau memberi kesempatan untuk mereka pergi.
Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau
dipanggil untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu
dihiraukan lagi."
Sudah tentu Tan Ciok-sing heran mendengar perkataan
Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia teringat
akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun
bubarlah. Setelah bertempur sekian lamanya, tetap tak berhasil
mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Tang-hay-liong-ong
juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan
mengundurkan diri, mendadak dia menggertak sekali terus
putar tubuh. Hawa amarah membakar dada In San, teriaknya: "Bangsat
tua she Liong, kalau berani kau keluar. Keluargaku telah kau
bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias
dendamku."
Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya: "Nona In, lekas kau
pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin adalah..."
1643 Belum habis dia bicara In San sudah melabraknya dengan
menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya
selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.
Lekas gaman 'di tangan kanan Tang-hay-liong-ong diangkat
dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya: "Budak tidak tahu
di untung, kau..." "Trang" api berpijar, dengan gerak burung
dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke
belakang. Tan Ciok-sing kaget, lekas dengan jurus Tiang-hong-kingthian,
sinar pedangnya tampak berkembang memanjang tak
ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara
Tang-hay-Liong-ong dengan In San.
Dalam sekejap itu Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya
silir semilir, ternyata di waktu In San jumpalitan mundur,
dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah
dipapasnya secomot. Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri
menghadapi Tan Ciok-sing, In San bahwasanya tidak
dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap
enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut
di atas kepalanya karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa
banyak bersuara lagi, lekas dia merat kedalam serta menutup
pintu. Waktu Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya ujung kaki In San
baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali, tak usah Tan
Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula. Melihat
kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.
"Adik San, seorang Kuncu membalas dendam sepuluh
tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua itu
sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun
lagi, biarlah kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar
bangsat tua itu hidup lebih lama."
Setelah tenang gejolak perasaannya. In San juga maklum,
untuk menuntut balas seketika terang tidak mungkin. Pikirnya:
1644 "Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua itu,
tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi,
masih menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang
untuk menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat.
Sekarang lebih penting kami meloloskan diri." Maka dia


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka
membuka jalan, setelah bergabung dengan Toan Kiam-ping,
Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang keluar dari rumah
keluarga Liong.
Tengah mereka melarikan diri, tiba-tiba tampak dari depan
datang serombongan barisan kuda membawa panji Gi-lim-kun,
dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda
tinggi gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng.
Jabatan kedua orang ini sejajar dan setingkat, tapi lantaran
tugas masing-masing berbeda, sepantasnya Hu Kian-seng
menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia
pernah keluar istana meninggalkan tugasnya. Kini justru
bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan menuju ke
rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.
Ada pula kejadian yang lebih mengejutkan hati Tan Cioksing,
tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar mengudak
kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di
sawah ladang yang baru saja panen.
Cin Tay-hun membentak: "Apakah Gi-lim-kun memang
digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum jembel)"
Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."
Dandanannya sekarang masih menyamar Ing Siu-goan
sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di
mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga
tampangnya kelihatan lucu dan menggelikan, tapi
perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi
seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun.
Demikian pula Tan Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih
1645 berpakaian wisu, sementara In San dan Han Cin berpakaian
Thaykam. Melihat rombongan mereka, sudah tentu anggota Gi-limkun
merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah ada yang
berteriak: "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."
Tapi lain pandangan Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas
Bok Su-kiat membentak: "Kurcaci bernyali besar, di
hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu
tiruan semuanya, hayo tangkap."
Maksud Cin Tay-hun dan Tan Ciok-sing memang hendak
memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Semalam kami sudah
bertemu, seharusny
Pendekar Cacad 7 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 19
^