Pendekar Pemetik Harpa 30

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 30


mereka men6leh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah
mengaburkan kudanya.
Sudah tentu ketiga perwira ini tidak berani menyusul
mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu. Kalau
ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah
atasan, secara diam-diam melindungi utusan raja ke tempat
tujuan, cara itu memang tidak melanggar kedisiplinan.
Tapi walau Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya tidak tahu
tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka. Kalau
putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar
yang lebih besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.
Sebetulnya ketiga perwira itu terus menguntit, entah
kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin jauh.
Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula
ketiga perwira itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Aneh, kuda tunggangan mereka
tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki, kenapa mereka
tidak menyusul pula?"
In San tertawa, ujarnya: "Mungkin mereka insyaf bila
bertindak diluar perintah mereka bisa celaka sendiri, apalagi
kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur
teratur." 1770 Yang benar, bukan mereka jeri mengingat surat perintah
Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka yang
roboh tak bangkit lagi.
Setelah mengudak beberapa jauh kemudian, entah kenapa
kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya
mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal
roboh tak berkutik. Tiga orang sama keheranan, tengah
mereka memeriksa kuda masing-masing, tiba-tiba terdengar
suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul
seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga
seorang perwira Gi-lim-kun.
Lekas sekali perwira penunggang kuda ini telah dekat,
ketiga perwira yang duluan ini sama kaget, serempak mereka
berdiri siap memberi hormat. Ternyata Perwira yang duluan ini
pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya,
karena dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di
bawah Bok Su-kiat, namanya Ing Siu-goan.
"Apa yang kalian alami disini?" tanya Ing Siu-goan.
Salah seorang menjawab: "Lapor Tayjin, entah kenapa,
kuda kami mendadak terserang penyakit, mulutnya berbuih
tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."
Seorang lagi berkata: "Atas perintah Bok-tayin, kami
disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak terduga
mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin
memberi petunjuk, bagaimana sebaliknya?"
Seorang lain bertanya: "Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?"
Orang ini lebih teliti dari dua temannya, agaknya dia menaruh
curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan tutur katanya
menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam
mengawasi mimik muka Ing Siu-goan.
Ing Siu-goan mendengus sekali, katanya: "Untung aku
keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai. Bokjongling
memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku
1771 disuruh menyusul kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh
pulang saja, ada tugas lain untuk kalian, temui langsung
kepada Bok-jongling."
Dua perwira di antaranya memang ogah pergi ke tempat
kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing Siugoan,
kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka
berpikir: "Seluk beluk dan lika-liku pemerintahan para
pembesar memang scrb;i membingungkan. Bok-jongling,
suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat
kepada Liong Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok
jongling punya jabatan tinggi, dia tidak perlu kuatir
kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan
konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong,
malapetaka bakal menimpa kami bertiga."
Karena itu dengan senang kedua orang ini berkata: "Terima
kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan kau saja
sampai harus menunaikan tugas sendiri." Meski orang ketiga
agak curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan
petunjuk orang terpaksa dia tidak berani banyak bicara lagi.
Seperti pelari marathon yang lagi berlomba saja, ketiga
perwira ini terpaksa pulang dengan lari. Setelah mereka pergi
jauh Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar
kudanya mengejar rombongan Tan Ciok-sing.
Baru saja Tan Ciok-sing melewati suatu tegalan dan
membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba terdengar lari
kuda yang menyusul datang sekencang angin badai. Waktu
mereka menoleh. tampak yang mengejar tiba hanya seorang
perwira. Tan Ciok-sing heran, katanya perlahan: "Cakar alap-alap
yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang tadi."
Setelah agak dekat In San melihat jelas wajah orang
seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada Tan
Ciok-sing: "Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-limkun,
namanya Ing Siu-goan."
1772 Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa Gi-lim-kun mengutus Ing Siugoan
wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka, gelagatnya
mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya
tidak bisa dihindari lagi, maka dia berkata: "Biarlah nanti aku
melihat dia, kalian boleh langsung pergi ke rumah keluarga
Liong." Lekas sekali kuda Ing Siu-goan sudah dibedal tiba, jaraknya
tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera menarik
kendali serta memutar balik, bentaknya: "Kami adalah petugas
yang sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani
main terjang?"
Ing Siu-goan tidak menjawab, dia malah tertawa tergelakgelak,
tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan. Tan Ciok-sing
kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos
pedang, dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang
berkelebat, dia lindungi tubuhnya. Tak nyana sebelum senjata
rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata rahasia itu sudah
meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju
dan kepala Tan Ciok-sing. Kiranya senjata rahasia adalah
sebutir lempung.
Tergerak hati Tan Ciok-sing, di saat dia melenggong, In
Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tan Siauhiap,
selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya
kau tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk
jalan bukan?"
Kaget dan terbeliak senang Tan Ciok-sing dibuatnya, tapi
hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan Gi-limkun
mau membantu mereka"
Tiba-tiba Han Cin tertawa, katanya: "Ah, aku sudah
mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan Gi-lim-kun
tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir
saja akupun kena kau kelabui."
1773 Ing Siu-goan tiruan tertawa lebar, katanya: "Han Lihiap
memang seorang ahli, sekali pandang lantas tahu kalau aku ini
tiruan." "Sebetulnya akupun tidak bisa membedakan, cuma kulihat
seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak cocok dengan
perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau
kau tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun
tidak yakin bahwa kau ini adalah Ing Siu-goan tiruan."
Orang itu tertawa, katanya: "Semoga tiruanku ini tidak
konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."
Tan Ciok-sing senang, katanya: "Jadi Locianpwe sengaja
menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat tua
she Liong itu."
Mereka bicara sambil jalan, orang itu mendekatkan kuda
tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan berjajar,
katanya tertawa: "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau
dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan
perguruanmu. Mungkin aku lebih tua beberapa tahun, biarlah
aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap saudara Toan Kiamping
sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona
Han Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia harus memanggil
suheng kepadaku."
"Aku sudah tahu usiamu belum tua," ujar Han Cin, "maka
tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku tidak menyangka
bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu
sejelasnya siapakah kau sebenarnya."
Orang itu tertawa, katanya: "Namaku, kusebutkan kalian
juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku, mungkin kalian
pernah mendengarnya."
"Kepandaian saudara setinggi itu, gurumu tentu seorang
cianpwe kosen yang pernah menggetarkan Kangouw."
Demikian ujar Tan Ciok-sing, "Tolong saudara sebutkan siapa
nama besar gurumu."
1774 "Bicara tentang pengalaman berkecimpung di Kangouw,
guruku masih jauh lebih lama dibanding jago pedang nomor
satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau
disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat
puluh tahun beliau memang pernah terkenal di kalangan
Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak mendapat nama
baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku
menampiknya."
Seorang murid memberi komentar sedemikian rupa tentang
gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing
melongo. Orang itu seperti tahu perasaan mereka katanya lebih
lanjut: "Bukan aku sebagai murid berani bersikap kurang ajar
terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak suka
diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi
orang-orang yang seangkatan dengan beliau sama
beranggapan beliau adalah orang yang tidak lurus, tapi juga
tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung
nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan
kening, karena itu Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum
persilatan mengecapnya jelek lantas dia malu diri."
"Sebanyak itu komentarmu," ujar Han Cin, "kukira sudah
saatnya kau menyebut she dan nama gelaran gurumu."
Maka orang itu berkata: "Guruku she rangkap Siangkoan
bernama Ling-hong."
Tengah Tan Ciok-sing berpikir, Toan Kiam-ping sudah
berkata: "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok Tayhiap
yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"
"Betul." Ujar orang itu, "beliau memang maling sakti nomor
satu di masa itu, tapi tiada orang yang pernah memanggilnya
Tayhiap." "Tak heran kau bilang perguruanmu ada sedikit hubungan
dengan perguruan kami." Demikian ucap Toan-Kiam-ping,
1775 "Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin
belum pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini
adalah teman karib gurumu semasa masih hidupnya dulu,
beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang terkenal, yaitu
pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."
"Aku adalah murid penutup guruku, di kala aku masuk
perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah
kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar
cerita orang lain."
"Asal-usulmu aku sudah tahu." Ucap orang itu,
"kedatanganku ini justru karena mengingat hubungan
perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau.
Aku bernama Cin Tay-hun."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Cin-heng, mata singa baja
penindih kertas di meja baginda itu dikorek orang, demikian
pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah
diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini
adalah perbuatanmu?"
"Betul, memang aku yang melakukan. Kepandaian tak
berarti, harap tidak ditertawakan," demikian ucap Cin Tay-bun
kikuk. Tan Ciok-sing berkata: "Kali ini kau tidak mencuri pusaka
raja, tapi telah memberikan hadiah berharga dari Kim-to Cecu
kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk di
Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari
perguruanmu, memang patut dipuji."
In San ikut menimbrung, katanya: "Cin-toako, jadi atas
perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini" Sejak kapan kau
datang ke markas" Kenapa aku tidak tahu?"
Maka Cin Tay-hun lantas bercerita. Ternyata selama hidup
gurunya Biau-jiu-sin-tho Siangkoan Ling-hong hanya suka
mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda
pusaka tak ternilai harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia
1776 pelajaran silat tingkat tinggi. Sampaipun buku-buku pusaka
pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran
Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya.
Oleh karena itu peduli golongan hitam atau aliran putih,
pembesar, bangsawan atau orang kaya dalam kalangan Bulim,
setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.
Sejak dia mengasingkan diri, hidup di pengasingan
menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari
kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada
muridnya: "Selama hidup terlalu banyak perbuatan jahatku,
jarang berbuat baik dan bajik. Walau perbuatan jahatku tidak
sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi perbuatan
baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."
"Walau kejahatan besar tidak pernah dilakukan, perbuatan
baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau dipertimbangkan antara
yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih besar.
Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap
jelek, oleh karena itu hanya satu permintaan kepada kau,
lakukanlah suatu kerja besar yang mengundang pujian orang
banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus, supaya
aku bisa tentram di alam baka."
Setelah menceritakan pesan gurunya, sengaja Cin Tay-hun


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam
hati. Toan Kiam-ping berkata: "Gurumu adalah seorang kosen
aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik yang dia
inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia
yang luar biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan
Kim-to Cecu?"
"Betul," ujar Cin Tay-hun, "walau guruku mengasingkan
diri, selama empat puluh tahun lepas dari urusan Kangouw.
Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya dengan
baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan
pasukan kecilnya berulang kali berhasil memukul mundur
1777 serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan juga diketahui
dengan baik. Maka beliau berpesan kepadaku: "Selama hidupku teramat
banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan, aku ini
bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka
mengoleksi. Aku tahu hobbymu. tidak selaras dengan
kesenanganku, maka benda-benda mustika itu tidak
kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan
seluruhnya kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli
rangsum dan senjata. Sementara buku-buku pelajaran silat
hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang bakatku
terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai
tiada satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah
kau mempelajari buku-buku silat itu dapat tekun belajar dan
hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang pernah kucapai. Cuma
aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu
mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat
untuk mendarma baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing memuji: "Tindakan gurumu memang patut
dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri untuk membantu
yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah
melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah
melakukan perbuatan buruk, pesannya kepadamu bila sudah
dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala dosadosanya
itu." Tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah tiba diluar gedung
pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong. Melihat wakil
komandan Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam
datang, sudah tentu orang-orang Liong Bun-kong amat kaget,
lekas mereka berlari masuk memberi laporan.
Tak lama kemudian, pengurus rumah tangga keluarga
Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut. Sa
Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong
Bun-kong, setelah Liong Bun-kong minta cuti, dia melihat
1778 gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon meletakkan
jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bunkong.
Umpama Liong Bun-kong berhasil mempertahankan
jabatan tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk
merehabilitir kedudukannya. Menjadi pengurus rumah tangga
keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman,
sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan
pemerintahan, celaka bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di
copot kedudukannya serta dijebloskan kedalam penjara.
Dengan mimik heran dan kurang percaya dia mengawasi
Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun,
katanya: "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit
perintah raja kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan
kepada Liong-tayjin?" Ternyata hubungannya dengan Ing Siugoan
biasanya amat baik, seperti saudara kakak beradik.
Melihat orang tidak bisa membedakan tiruannya, diam-diam
Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana lazimnya
orang berpangkat, dia berkata: "Surat perintah ini langsung
diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat.
Jangan kata aku tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua
petugas inipun mereka tidak tahu. Lekas kau suruh tuanmu
keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar baik
yang menguntungkan dia."
Sa Thong-hay bersikap serba salah, katanya cemberut:
"Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya. Harap para
Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang
Liong-tayjin keluar."
Dia bilang sebentar, tapi Tan Ciok-sing harus menunggu
hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga
kunjung keluar. Mereka tahu untuk menerima perintah raja
siapapun diharuskan berdandan mengenakan pakaian
kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap semestinya juga
tidak akan selama ini.
1779 Han Cin yang menyaru jadi petugas utama sudah akan
marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.
Han Cin lantas membentak: "Liong Bun-kong, berlutut,
terima firman baginda."
Liong Bun-kong berlutut seluruh tubuhnya mendekam,
mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin: "Aku
ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan"
Kalian suruh aku berlutut malah kebetulan bagi aku."
Waktu kecil In San sering dolan ke rumah Liong Bun-kong,
kini terasa wajah orang jauh lebih kurus " dan tua, namun
bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut
maka In San tidak menaruh perhatian lebih seksama.
Dengan suara lantang Han Cin membacakan firman raja.
Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang
dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.
"Sekretaris negara merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bunkong
ada indikasi sekongkol dengan musuh menjual negara,
membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama
pejabat, korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata,
bersama ini dinyatakan jabatannya dicopot dan harta
bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima
diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri
yang akan memeriksa perkara ini. Selesai."
Habis mendengar firman raja, perlahan-lahan Liong Bunkong
berdiri, katanya gemetar: "Tayjin, bolehkah aku
memeriksa firman raja di tanganmu itu."
Han Cin gusar: "Liong Bun-kong besar nyalimu, berani kau
mencurigai firman Baginda."
"Tidak berani," sahut Liong Bun-kong menjura, "menurut
peraturan istana, sebagai pejabat tinggi aku berhak memohon
grasi kepada junjungan."
1780 Di antara lima orang, hanya In San kira-kira memahami
tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak tahu
apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong
Bun-kong. Dalam hati dia membatin: "Firman raja itu memang
bukan palsu, apa salahnya biar diperiksa olehnya?" Maka dia
berkata: "Baiklah, biar dia memeriksa, Tay-wi, boleh kau
serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh
kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."
In San tahu akan undang-undang ini, tapi kalau Liong Bunkong
tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana ini In
San juga tidak akan ingat lagi. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing
menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang
sudah dalam perhitungannya yang cermat. Andaikata Liong
Bun-kong curiga dan menolak mengembalikan firman, Tan
Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.
Kungfu Tan Ciok-sing sekarang sudah setaraf jago kosen
kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa
dihitung dengan jari. Liong Bun-kong hanya pembesar sipil
yang lemah berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal
runyam. Tak nyana perobahan kejadian selanjutnya justru jauh
diluar dugaannya.
Di waktu serah terima firman dari tangan Tan Ciok-sing
kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing merasa
telapak tangannya kesemutan. Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan
Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh
sekaligus terasa panas. Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat
Lwekang yang paling sukar diyakinkan.
Bahwa Liong Bun-kong mampu menyalurkan Lwekang
melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting di
tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh
luar biasa dan susah dibayangkan.
1781 Mimpipun Tan Ciok-sing tidak pernah menduga bahwa
pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan seperti
Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini,
jangan kata sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga
melawan, umpama dia sudah mempersiapkan diri, juga
mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang hebat
ini. Kejadian cepat sekali, tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik
keras. Tan Ciok-sing telah diringkusnya terus ditutuk Hiat-to
pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas kepala.
Kejadian diluar perhitungan, karuan In San, Han Cin, Cin
Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.
"Sret" kontan In San mencabut pedang seraya membentak:
"Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar dorna yang akan
dibekuk atas perintah firman raja." Tan Ciok-sing disandera, In
San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah
dicabut, tapi dia tidak berani menusuk.
Baru saja Cin Tay-hun hendak melabrak maju melancarkan
kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja itu, tibatiba
ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok
ke atas kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki
Ginkang tinggi telah dipendam di atas atap, setiap orang
membawa segantang air penuh, di saat-saat menentukan
itulah mereka menyiram air itu ke bawah.
Cin Tay-hun beramai sedang dalam pikiran kalut,
betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa
gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga
tak mungkin dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup.
Demikian pula In San dan lain-lain juga kecipratan muka dan
tubuhnya, sehingga penyamaran mereka terbongkar.
Liong Bun-kong tertawa tergelak-gelak katanya: "Betul, aku
ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi kalian juga Thaykam dan
Wisu palsu."
1782 Baru sekarang In San mengenali orang yang menyamar
jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go,
Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh ln San
bersama Tan Ciok-sing di pesta ulang tahun Ong Goan-tin di
Thay-ouw tempo hari.
Cin Tay-hun membentak: "Sugong Go, kau kira kami
menyamar petugas penyampai firman raja, kau salah. Firman
itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong
Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina
firman raja, meski kelak kalian bisa merat, bukan mustahil
Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh kekayaan dan
keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku
tahu kau sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum
kasep." Hanya sekejap dari dalam memang keluar satu orang, tapi
bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup
besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan
besarmu, bukan mustahil kaupun memalsu firman raja?"
Orang ini bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ing
Siu-goan tulen.
Ternyata pengurus rumah tangga Liong Bun-kong yaitu Sa
Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil
komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong
Bun-kong, bersama Tang-hay-liong-ong mereka berunding
mencari jalan keluar untuk menghadapi persoalan ini, maka
akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong
Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda
kilat mengundang Ing Siu-goan.
Cin Tay-hun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kenyataan
memang sukar dibedakan yang palsu dan yang tulen, ada
baiknya juga kita berkenalan."
Sembari bicara dia melompat maju, secepat kilat tangannya
melancarkan serangan.
1783 Pukulan Cin Tay-hun telak mengenai pundak orang, terasa
pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas,
mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga
perlawanan lawan sontak timbul dengan hebat, sehingga
telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan Siphiong-
kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas
menyerang, dia sudah bersalto beberapa tombak jauhnya.
Sebelum kakinya berdiri tegak, tangannya telah terayun,
katanya tawar: "Firman raja itu dijatuhkan untuk Liong Bunkong,
kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong
Bun-kong saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani
menentang firman raja, atau merasa curiga akan firman itu,
biar dia sendiri yang langsung menghadap baginda, tanyakan
persoalannya supaya jelas."
Benda yang terayun di tangannya itu bukan lain adalah
gulungan kertas yang berisi firman raja yang akan diberikan
Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-bay-liong-ong,
setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong
menyerahkan kepada Ing Siu-goan.
Dalam gerakan secepat kilat menyerang Ing Siu-goan serta
memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin Tay-hun masih
mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik
firman raja itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri
menjublek. Sementara Ing Siu-goan sendiri kaget dan ciut
nyalinya diam-diam dia berpikir: "Bila bocah keparat ini
menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun,
bukankah jiwaku sudah mampus sekarang."
Di kala hadirin menjublek itu, kembali Cin Tay-hun bergerak
tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa Thong-hay,
bentaknya: "Terimalah firman raja."
Saking kagetnya, secara reflek Sa Thonghay angkat kedua
tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya seperti
menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahutahu
gulungan firman raja itu sudah disesepkan ke telapak


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1784 tangannya. Karuan Sa Thong-hay gusar: "Anak keparat, berani
kau mempermainkan aku."
Dia tidak berani merusak firman raja, tangannya tak
mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua kakinya
menendang dengan serangan berantai. Sa Thong-hay adalah
murid aliran Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian
tendangan kakinya jauh lebih liehay dari ilmu pukulan.
Meski tendangannya secepat kilat, mana dia mampu
menendang Cin Tay-hun" Hanya membalik setengah lingkar,
kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping
mata uang tembaga ke arah Tang-hay-liong-ong.
Senjata rahasia lempung menutuk Hiat-to yang diyakinkan
merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya, kini dia
ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan
tepat. Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan
gerak-geriknya, kuatir orang tahu-tahu menyerbu dan
menggerayangi dirinya. Kini melihat mata uang menyerang
dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng,
namun harapannya ternyata gagal, ketiga mata uang itu
seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan telak.
Cin Tay-hun sudah kegirangan, tak nyana tiba-tiba
didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak
katanya: "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan
cahayanya." Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu
tiba-tiba secepat meteor melesat balik ke arah pemiliknya.
Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan, ketiga
mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik
dengan daya luncur dan tidak kalah kencangnya. Kiranya
Tang-hay-liong-ong meyakinkan Can-ih-cap-pwe-tiat,
Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing
Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna.
Bukan saja dia sudah melatihnya sampai menyentuh pakaian
kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai Hiat-tonya
ternyata mampu diritul kembali untuk -menyerang pemiliknya.
1785 Kejadian diluar tahu Cin Tay-hun, meski dia memiliki
Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup runyam.
Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya
menggelundung di tanah, ternyata pantatnya tetap terkena
juga oleh mata uangnya sendiri. Untung dia sudah menutup
Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka
apa-apa. Sebetulnya Tang-hay-liong-ong tengah bergelak tawa,
entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti
tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung
sekeras-kerasnya, Tan Ciok-sing yang sudah menjadi
tawanannya tiba-tiba dilempar.
Lwekang Tan Ciok-sing memang tidak setangguh Tanghay-
liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni
langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki
segi-segi lain yang menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya,
yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to maksudnya tenaga
tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah
ke tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to
yang tertutuk itu pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu
singkat. Ilmu ini tiada bedanya dengan cara mengerahkan
hawa mumi menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan
Hiat-to. Di waktu mata uang Cin Tay-hun mengenai tubuh Tanghay-
liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun
sudah bebas. Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh
Tang-hay-liong-ong. tubuh bagian atas tak mampu
mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan, tapi
kedua kakinya masih bebas bergerak. Sekali ujung kakinya
menendang, dengan telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut
Tang-hay-liong-ong.
Lwekang Tan Ciok-sing sudah tentu jauh lebih tinggi
dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong memiliki
ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak
1786 urung merasa kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan
sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan menabok batok
kepalanya. Kejadian diluar dugaan, sergapan mendadak lagi, demi
menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa pikir,
terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.
Lwekangnya memang teramat tangguh, dalam sekejap,
hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiauhiat
yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di
bagian tubuhnyapun sirna seketika.
Sambil menggerung gusar segera dia menubruk maju,
maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing. Sudah tentu In
San tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong,
Ceng-bing-kiam sudah bergerak menghadang di depan Tan
Ciok-sing. Begitu Tang-hay-liong-ong ulur tangan mencengkram.
"Cret" tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas sobek, di
tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju
itu hancur beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak
lekas menarik tangannya, jari-jarinya pasti sudah terpapas
putus oleh pedang mustika itu.
Kungfu Tang-hay-liong-ong sebetulnya jauh lebih tinggi
dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa, dengan tangan
kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia
pasti tidak akan dirugikan. Tapi baru saja Hiat-tonya bebas,
geraknya kurang leluasa, maka hampir saja dia terluka oleh ln
San. Baru saja Cin Tay-hun gunakan keledai malas
menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan
berantai Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke
tubuhnya. Secara kebetulan, Tan Ciok-sing yang dilempar Tang-hayliong-
ong dengan daya lempar keras itu tepat meluncur ke
1787 arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi. "Blang"
sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran,
mendadak tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan
Ciok-sing, tubuhnya terbanting keras, kepala bocor
membentur lantai.
Tang-hay-liong-ong meraung gusar: "Bawa kemari
senjataku." Dari dalam berlari keluar empat busu keluarga
Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus Tanghay-
liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak
melempar sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong.
Sementara itu Tan Ciok-sing sudah keluarkan senjatanya
berdiri jajar bersama In San.
Setelah menyekal sepasang senjatanya, Tang-hay-liongong
membentak: "Baiklah, dengan sepasang gamanku ini
kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai
keinginan kalian, bertanding secara adil satu babak."
"Kau seumpama seorang jendral yang telah kalah perang di
medan laga, kalau tidak terima, apa halangannya bertempur
sekali lagi?" demikian ejek Tan Ciok-sing.
Tang-hay-liong-ong gusar, dampratnya: "Tempo hari kalian
menang dengan akal licik, masih berani juga bermulut besar"
Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."
Maka terdengarlah dering ramai dari benturan keras antara
sepasang pedang dengan Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong,
benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api
berpijar benderang.
Dengan kertak gigi Tang-hay-liong-ong bertekad merebut
kemenangan untuk membalas kekalahannya di Tong-thing-san
tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul
sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang
pernah dia yakinkan pada sepasang senjatanya dia boyong
seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh lebih hebat dari
dulu. 1788 Makin lama pertempuran tiga orang ini makin sengit,
serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka
sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata.
Tanpa terasa dalam arena setombak lebih di sekitar
gelanggang terjalin pusaran angin kencang sehingga orang
lain tidak berani maju mendekat.
Di saat pertempuran kacau balau berlangsung, tiba-tiba
dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan Ciok-sing
kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak
buah Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok
Khong-goan, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay adalah dua
perwira tinggi yang paling setia kepada Liong Bun-kong.
Sikap Ciok Khong-goan kelihatan tegang dan gugup,
katanya: "Sugong-thocu, mengingat nona In ini pernah ada
hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau
supaya hubungan tidak retak, maka diberikan kelonggaran
supaya kau memberi kesempatan untuk mereka pergi.
Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau
dipanggil untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu
dihiraukan lagi."
Sudah tentu Tan Ciok-sing heran mendengar perkataan
Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia teringat
akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun
bubarlah. Setelah bertempur sekian lamanya, tetap tak berhasil
mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Tang-hay-liong-ong
juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan
mengundurkan diri, mendadak dia menggertak sekali terus
putar tubuh. Hawa amarah membakar dada In San, teriaknya: "Bangsat
tua she Liong, kalau berani kau keluar. Keluargaku telah kau
bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias
dendamku."
1789 Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya: "Nona In, lekas kau
pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin adalah..."
Belum habis dia bicara In San sudah melabraknya dengan
menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya
selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.
Lekas gaman 'di tangan kanan Tang-hay-liong-ong diangkat
dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya: "Budak tidak tahu
di untung, kau..." "Trang" api berpijar, dengan gerak burung
dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke
belakang. Tan Ciok-sing kaget, lekas dengan jurus Tiang-hong-kingthian,
sinar pedangnya tampak berkembang memanjang tak
ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara
Tang-hay-Liong-ong dengan In San.
Dalam sekejap itu Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya
silir semilir, ternyata di waktu In San jumpalitan mundur,
dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah
dipapasnya secomot. Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri
menghadapi Tan Ciok-sing, In San bahwasanya tidak
dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap
enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut
di atas kepalanya karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa
banyak bersuara lagi, lekas dia merat kedalam serta menutup
pintu. Waktu Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya ujung kaki In San
baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali, tak usah Tan
Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula. Melihat
kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.
"Adik San, seorang Kuncu membalas dendam sepuluh
tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua itu
sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun
lagi, biarlah kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar
bangsat tua itu hidup lebih lama."
1790 Setelah tenang gejolak perasaannya. In San juga maklum,
untuk menuntut balas seketika terang tidak mungkin. Pikirnya:
"Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua itu,
tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi,
masih menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang
untuk menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat.
Sekarang lebih penting kami meloloskan diri." Maka dia
manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka
membuka jalan, setelah bergabung dengan Toan Kiam-ping,
Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang keluar dari rumah
keluarga Liong.
Tengah mereka melarikan diri, tiba-tiba tampak dari depan
datang serombongan barisan kuda membawa panji Gi-lim-kun,
dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda
tinggi gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng.
Jabatan kedua orang ini sejajar dan setingkat, tapi lantaran
tugas masing-masing berbeda, sepantasnya Hu Kian-seng
menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia
pernah keluar istana meninggalkan tugasnya. Kini justru
bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan menuju ke
rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.
Ada pula kejadian yang lebih mengejutkan hati Tan Cioksing,
tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar mengudak
kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di
sawah ladang yang baru saja panen.
Cin Tay-hun membentak: "Apakah Gi-lim-kun memang
digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum jembel)"
Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."
Dandanannya sekarang masih menyamar Ing Siu-goan
sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di
mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga
tampangnya kelihatan lucu dan menggelikan, tapi
perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi
seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun.
1791 Demikian pula Tan Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih
berpakaian wisu, sementara In San dan Han Cin berpakaian
Thaykam. Melihat rombongan mereka, sudah tentu anggota Gi-limkun
merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah ada yang
berteriak: "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."
Tapi lain pandangan Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas
Bok Su-kiat membentak: "Kurcaci bernyali besar, di


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu
tiruan semuanya, hayo tangkap."
Maksud Cin Tay-hun dan Tan Ciok-sing memang hendak
memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Semalam kami sudah
bertemu, seharusnya kau maklum bahwa petugas seperti
diriku ini bukan tiruan."
Hu Kian-seng melengak, bentaknya: "Omong kosong, hari
ini kau harus diringkus." Di mulut dia bersikap garang, namun
dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak
membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya"
Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima
perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita
harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen
yang harus menjalankan firman raja.
Dalam keadaan kebat kcbit Cu Kian-sin semula masih
bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal
juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co
dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana. Setelah
Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya,
umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar
kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi,
hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah
tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.
1792 Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu
menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu
baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan.
Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian
damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan
semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar,
betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.
Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa
boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya
meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka
siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu.
Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong
Bun-kong. Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong,
bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur
memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondongbondong
menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum
berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar
kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bunkong
secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan
Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong. Sa
Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk
melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan
Ciok-sing pula. Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka,
sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah
kepergok dengan Tan Ciok-sing.
Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan
mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah
mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaokkaok
" terus menyerbu. Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena
orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.
Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocarkacir,
dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara
kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya. Sudah
1793 tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan
setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak
sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.
Bok Su-kiat gusar, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku
ringkus dia."
Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor
kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur. Dari seorang anak
buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun
tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.
Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar
lagi, maka tombak itu mendesing kencang. Cin Tay-hun
sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak
mata dan menyengir hidung, teriaknya: "Haya celaka, kau
tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke
istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu," tiba-tiba
tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda,
tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda.
Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan
berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau
mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu
meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak
amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak
kuda lagi. Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya: "Bangsat cilik, lari
kemana kau," mengeprak kuda segera dia mengudak.
Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor
kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tayhun.
Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiongliong-
jut-hay. Sekuat tenaga dia menusuk. Lwekang Toan
Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis
dengan pedang, "Trang" lelatu api berpijar. Ceng-kong-kiam di
tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung. Melihat gelagat
tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.
1794 Pertempuran berjalan seru alias setanding. Siang-kiam-happik
Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kianseng
lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan
Han terus menerjang keluar dari kepungan.
Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng
membisikinya: "Biarkan mereka pergi."
Bok -Su-kiat melengak, katanya: "Kukira bocah itu sudah
kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan
meringkusnya?"
Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum: "Keluar rumah
harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak
menguntungkan kita, biarlah mereka pergi saja."
Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah
paham maksud Hu Kian-seng, katanya: "Betul juga, kita
mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bunkong,
biarlah bocah-bocah itu pergi saja." Segera dia memberi
aba-aba menarik pasukannya.
Setiba Tan dan In di atas gunung, sementara murid-murid
Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan. Murid
Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk
memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan
mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa
orang yang luka-luka ringan.
Cin Tay-hun tiba-tiba berkata: "Aku ingin pulang ke rumah
keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar
Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."
"Seorang diri terlalu bahaya bagi dirimu," ujar Tan Cioksing.
Cin Tay-hun tertawa, katanya: "Berkelahi dengan orang,
aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani
bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk
diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik
1795 mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bunkong.
Bila jejakku kenangan, aku akan segera lari."
Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya: "Baiklah, kau
harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di
markas lagi."
Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua.
Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu
Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tayhun,
tiba-tiba Liok Kun-lun membentak: "Kalau kawan boleh
silakan masuk," belum lenyap suaranya terasa angin
berkesiur, api lilin bergoyang-goyang.
Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah
berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun"
"Cin-lote, hebat Ginkangmu," puji Liok Kun-lun tertawa.
"Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan
hormat kepada Cianpwe."
Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Gurumu Siangkoan Linghong
setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar
kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun.
Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak berani terima."
Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi
ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain
memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira.
Cin Tay-hun mulai berceritera: "Pasukan Gi-lim-kun itu
ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."
"Apa benar?" Liok Kun-lun kaget, "jadi Liong Bun-kong
telah ditangkap mereka?"
"Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang
memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji
menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya
yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah
1796 hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkapi pasukan
Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung
atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah
membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."
Lim Ih-su berkata: "Kalau demikian mana boleh dikata
mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."
Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa: "Agaknya
mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang
tanggung."
"Kepalang tanggung bagaimana?" tanya Lim Ih-su.
Liok Kun-lun menjelaskan: "Karena terdesak oleh situasi,
terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk
menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung
jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan
firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang
pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kampratkampratnya
bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam
prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian
kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak
terjadi apa-apa."
Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya:
"Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam
membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu
harus kita bekuk."
In San berkata: "Bangsat tua itu adalah musuh besarku,
hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada
aku dan Ciok-sing."
"Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang
adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan
diri?" In San berkata: "Kukira dia tidak akan berani lari ke
kampung halamannya."
1797 Cin Tay-hun berkata: "Aku sembunyi di hutan di belakang
gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari
semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari
paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun
ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa
kedua orang ini?"
"Kurasa dia bukan orang sembarangan." ujar Tan Ciok-sing.
"Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."
"O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah
keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota
raja, dia tetap menyembunyikan diri."
In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian: "Dia
sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjagajaga
menghadapi bencana hari ini."
"Pendapatmu betul," ujar Cin Tay-hun, "Hu Kian-seng dan
Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu
melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas
pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-limkun
yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah
dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."
Lok In-hu berkata: "Sebulan yang lalu keparat Liong Sengbu
kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan
hidup, boleh juga dia."
"Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah,
kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat
lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."
"Kurasa tidak sukar kutebak," ujar Lok In-hu, "justru karena
dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya
meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu
Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang
Gun-ngo?" 1798 "Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah
bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi
Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir
kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri
sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."
Lok In-hu bertanya: "Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Menurut yang kutahu," ujar In San, "biasanya Liong Sengbu
menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."
Liok Kun-lun menimbrung: "Maksudmu Liong Seng-bu
punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak
sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi
yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia
harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus
dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."
"Betul, begitulah dugaanku," sahut In San.
"Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat," ujar Cin
Tay-hun, "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri
selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu,
kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia," lalu
dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang
banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap
dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa
pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan
dengan terperinci.
Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya: "Kecuali
sekongkol dengan bangsa asing, Liong Bun-kong ternyata
sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negara dia memanfaatkari fasilitas maka kekuatan tentara
pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta
militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin
dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."
"Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan
surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku
1799 hanya berhasil mencuri selembar saja," demikian tutur Cin
Tay-hun. "Poyang Gun-ngo memapahnya jalan," demikian ujar Lok
In-hu, "bagaimana kau bisa turun tangan?"
Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang
banyak tertawa terpingkel-pingkel.
Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan,
tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun,
secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo
dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan
diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.
Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada
intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira,
sudah tentu dia menjadi blingsatan,
"Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku,
maka mengutus kemari menemui aku?" Demikian bentak
Poyang Gun-ngo.
Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung,
katanya: "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar
pemimpin kita" Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."
Poyang Gun-ngo berpikir: "Kiranya orang linglung, tak
heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam
mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi." Sekali pukul
dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya: "Aku ini Busu
kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bokjongling
kalian." Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya: "Oh.
ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku
salah mengenalmu," sengaja dia pura-pura mau menjilat
kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia
telah kembangkan kepandaian copetnya.
Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun
berkata: "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira
1800 Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini
tidak kita pikirkan sebelumnya."
Lim Ih-su berkata: "Betul, melihat gelagatnya,
kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."
Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In
pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong
Bun-kong. Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan,
terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin
berat untuk berpisah. Toan dan Han akan kembali ke Tayli,
sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke
Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.
Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata: "Kek-jithiap, Toh Lihiap,
apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu
Jiu-ceng?"
"Betul," Toh So-so menjawab, "putranya Kangouw Longcu
Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"
"Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu
Yau-hong bergelar Yan-Lo-sai bernama Bing Lan-kun, adalah
gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu
memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya
turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian,
kalian harus hati-hati."
"Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hatihati,"
kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia
tertawa, katanya pula: "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu
lagi." Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum
berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian
haripun telah terang tanah.
Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat
naik kuda ke utara.
1801 Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah
mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong
Bun-kong atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu
kota Tay-tong. Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah
lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah
menghentikan usahanya. Setelah malam tiba tentara negeri
yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk
yang melancong di jalanan.
Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah
tentu In San amat rindu dan haru. Rumahnya sudah disegel,
harta peninggalan ayahnya juga disita habis.
Waktu memasuki kota hari mulai petang. Tan Ciok-sing
mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata: "Tak usah
cari penginapan."
Tan Ciok-sing maklum, katanya:
"Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang.
Tapi kemana kita harus berteduh?"
In San tertawa, katanya: "Kau lupa rumahku ada disini?"
"Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang
sudah dilelang."
"Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang
lain, nanti kita cari tempat lain."
Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi
kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu
masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak
dijaga. Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga
terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh
rumput dan alang-alang liar. Waktu In San masuk ke kamar
1802 tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak
ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar
lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.
Kaget dan riang hati In San, katanya: "Agaknya ada orang
sering membersihkan rumah ini."
Tan Ciok-sing berkata: "Rumah yang telah disegel masakah
mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup
mencurigakan."
In San tertawa, katanya: "Kita toh hanya menginap
semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih
mending dari pada menginap di hotel."
Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta
mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah In San. "Eeh,
mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang
bernyali sebesar ini?"
Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara
yang sudah dikenal berkata: "Rumah keluarga In ini kusuruh
walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku
ternyata dipatuhi dengan baik. Ai. tapi sekarang aku..." yang
bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu
Liong Seng-bu. Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah
kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai
muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu,
meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun
secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini
baik-baik. Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak
dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri
akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan
senang. Sekarang In San memang kaget dan senang, rasa
senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang
1803 yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang
yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.
Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu
ketemu tanpa membuang tenaga. Bangsat kecil yang dicari
jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya
sendiri. Maka seseorang berkata: "Buat apa Kongcu susah, musibah
yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di
Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan
pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup
senang dan foya-foya" Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut,
pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka," logat
bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong.
Suara lain yang sudah dikenal bersuara: "Ting-congping
yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang
mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke
markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan
tangan terbuka," orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari
Huwan bersaudara.
Liong Seng-bu tertawa getir, katanya: "Situasi sekarang
beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di
perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat,
kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah
yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan
baik masa lalu?"
Huwan Liong berkata: "Justru karena berita yang dia
peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim
orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli
hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan
nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh
kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar
bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa
baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar
1804 dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau
Kongcu?" "Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang,
kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya
sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir
saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski
melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In
semalam saja."
Huwan Liong tertawa, katanya: "Kongcu memang
berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang
mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada
menginap di hotel," sembari bicara mereka sudah memasuki
ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin
jalan di sebelah depan.
Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang
menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu,
bentaknya: "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, akJiirat
tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu
pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?" tampak In San
berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang.
Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.
"Kongcu lekas lari," teriak Huwan Liong gugup.
Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya, "ting,
ting, ting" secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang
membentuk barisan.
Poyang Gun-ngo berteriak: "Kongcu, kalau kau tidak bisa
lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi
mengundang bantuan," dia kuatir Tan dan In tidak akan
membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa
dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu,
pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di
sakunya. 1805 Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi
sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar
pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang
panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh
sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.
Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima
luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan
pedang Huwan bersaudara yang terpental balik. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah
membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong
lagi. Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, In San
sarungkan kembali pedangnya, katanya: "Inilah ganjaran
setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana
ini patut kalian jadikan contoh."
Tan Ciok-sing menambahkan: "Mengingat kalian hanya
diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka
hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian
tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah
silakan kalian pergi."
Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing
mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura,
katanya: "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap
mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat
siauhiap, selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan
Kangouw lagi."
Hari hampir terang tanah, In San menghela napas,
katanya: "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja," dengan
perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan
kampung halaman tempat kelahirannya.
"Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa
bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar
1806 perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita
mampir ke markasnya memberi laporan."
Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apaapa,
bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah
dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan,
bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya:
"Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku
menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau
membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu,
tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak
terima kasih kepadamu."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya
melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala"
Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang
kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya
dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin
kulaporkan kepada Cecu."
Kim-to Cecu tertawa, katanya: "Sudah logis kalau urusan
tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh
hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah
kita bicara didalam saja."
Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut
kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan
pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda,
serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya
sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.
Kim-to Cecu berkata: "Bukankah kalian hendak meluruk ke
Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana" Aku
tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat
kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira
belum tiba saatnya."
In San berkata: "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian
lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun
1807 tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung
menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah
belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa
bertemu orang yang kenal kami."
Tan Ciok-sing bertanya: "Situasi terakhir bagaimana"
Mungkin terjadi peperangan pula."
Kim-to Cecu berkata: "Watsu baru saja mefngalami
kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai
raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan
menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula
pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu
memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka
selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi
lagi." "Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami
pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio
Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."
"Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan
pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara
seperguruanmu?" tanya Kim-to Cecu.
"Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di
masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru,
kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."
Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya: "Ya, memang
sepantasnya." Lalu menambahkan, "Toa-suhengmu Toh
Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang
menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago
pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu'
meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan
kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang
baik." Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu
teringat seseorang, katanya: "Kebanyakan rakyat Watsu dan
1808 bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang
kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing
menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya
bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik
perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup
berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa
tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian
berusaha menemuinya."
Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan
makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.
Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula
bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir kini mereka
berada di dunia salju.
Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju,
bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya
menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke
langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit,
di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang
memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya
mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak
airnya mengalir. Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau
sungai es. Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang
belum pernah mereka lihat. Di saat mereka menjublek itulah,
tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang
ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula
tunggal berkulit putih. Perawakan badak putih ini jauh lebih
besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Cioksing
lihat. Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu
jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda
berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak
kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.
1809 Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi, "Tar, tar". Dua kali
cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana.
Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul
kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda
itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak
sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya.
Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya
melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar
biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di
tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang
mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik
dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si
badak. Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung
tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang
Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak,
berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga
yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda
itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos
dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk.
Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan
main terjang membabi buta. "Blang" akhirnya menumbuk batu
besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika
mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling
akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting
hancur. Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka
sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas
dan tidak mampu merangkak bangun. Lekas Tan Ciok-sing
memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang
baru saja dipelajari: "Badak liar itu sudah mati, sudah aman,
kau..." tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah
amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang
dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.
1810 Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan
main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing,
katanya dengan bahasa Han yang fasih: "Tan-toako kau masih
ingat padaku" Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara,
sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."
Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang
dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas
sebagai duta rahasia. Hari itu bersama anak buahnya dia
bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan
Tan Ciok-sing kebetulan Tan Cioksing menangkap seekor
burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-liang
(merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi
burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.
"Siau-ongya, kau baik." Sapa In San dengan tertawa.
Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya
berkata dengan tertawa: "Tan-toako, temanmu ini ternyata
seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya
lagi," seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu
In San menyamar laki-laki.
In San keluarkan kipas lenipit gagang emas itu, katanya
sambil diacungkan: "Kado yang kau berikan kepada Tantoako,
dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit
membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."
"Ah, terhitung apa," ujar Siau-ongya, "kipas itu pemberian
raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako." Sejak kecil
dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga
amat lancar. "Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas
pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?" tanya In San.
Siau-ongya bertanya: "Apakah kalian perriah dengar suatu
dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"
1811 "Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu
hanya dongeng saja," ujar Tan Ciok-sing.
"Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan
memang ada."
Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing
jadi heran, tanyanya: "Dari mana kau tahu?"
"Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar
pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar
tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."
Maka dia menceritakan kejadiannya: "Sudah lama aku
mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri,
tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah
aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya
jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang
belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar
luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak
itu aku tak berani menyinggung soal itu. Tapi semakin dilarang
semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri
dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru
datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang,
orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diamdiam
aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi
ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku
mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."
Tan Ciok-sing berkata: "Sekarang kau telah melihat puncak
salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu
memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada
istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau
pulang saja."
Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini
memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela
napas: "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung
salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun
1812 sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi
binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari
penolong" Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku
harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap
suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Umpama kami pergi ke
Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."
Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya: "Iya,
kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman
baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo
Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo,
ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa
tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa
mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."
"Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal
ingin mohon bantuanmu."
"Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku
sedang bingung bagaimana harus membalas budi
pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan,
apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat
kemampuanku."
"Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan
dengan aku disini."
"Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."
Kuda yang ditunggangi siauongya adalah kuda perang yang
sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak,
tampak dia sudah lari keluar dari hutan. Siauongya segera
cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima
kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.
Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua
orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka.
Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh
1813 seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah
dikepung tiga orang berkedok yang lain.
Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian
tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang.
Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak: "Aku tidak
salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa
kalian mengudak dan hendak membunuhku?"
Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi
dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"
Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak
kudanya memburu kesana.
Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia
menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang
menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si
pemuda. Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya
tepat waktunya. Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan
mengadang di depan orang berkedok. Melihat Ginkang orang
ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang
seraya membentak: "Biar kutabas cakar anjingmu."
Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya
sukar menghindar. Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa
melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing
mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti
kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki
menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram
tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya menggunakan
Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh
dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan
ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df
Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh
itu. Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram,
1814 sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe,
sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh
lawan. Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan
Tan Ciok-sing, segera dia kabur. Sayang tusukan Tan-ciok-sing
tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat
keliehayan Kungfunya.
Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat
dia mengudak, teriaknya: "Adik San..." dia ingin supaya In San
mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan
orang itu sudah mati. Mati dibunuh oleh teman si pemuda.
Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya,
entah bagaimana, mendadak dia meraung serta
memperlihatkan kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya
kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka. Orang ke
empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga
dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak:
"Buyung Ka, kau..." "Bles" tahu-tahu pedang sudah menusuk
jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang
itu. Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu
memperkenalkan diri: "Aku bernama A Kian, terima kasih akan
pertolongan Congsu..." belum habis dia bicara, tiba-tiba
dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh
terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri
sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak
sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget:
"Hah, kiranya kau..."
"Siau-ya," sentak temannya itu, agaknya dia berusaha
mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu.
A Kian tertawa, katanya: "Dia tuan penolong jiwaku,
kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas
satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."
1815 "Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu," ujar Tan Cioksing.
"Kau orang Han bukan?" tanya A Kian, "kau juga tahu Yuhian-
ong?" "Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam
negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku
berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu." Dalam hati diamdiam
dia tertawa, "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh
besarnya."
A Kian segera memperkenalkan orang itu: "Dia ini Wisu
ayahku, bernama Buyung Ka."
Buyung Ka berkata: "Terima kasih akan pertolonganmu
kepada Siauya," sembari bicara dia ulur tangan berjabatan
tangan. Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal
Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang. Buyung
Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen,
tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga
tidak kerahkan tenaga balas menyerang. Sebagai ahli silat, dia
insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi,
lekas dia lepas tangan dan berkata: "Kagum, kagum."
A Kian kegirangan, katanya: "Apa kalian mau ke Holin?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Ada urusan apa?"
"Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."
A Kian kegirangan, katanya: "Ayah memang sedang
mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."
Lekas Tan Ciok-sing berkata: "Kebetulan malah bagi aku
yang sedang nganggur ini," dalam hati dia membatin: "Tanpa
membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."
1816 "Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?" tanya A Kian.
"Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu
ternyata Jendral Abu."
"Betul," ujar A Kian.
"Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku
mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana
disini aku bertemu dengan Kongcu."
"Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."
"Dia adikku," Tan Ciok-sing memperkenalkan.
"Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke
rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain,
terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."
Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut
bersikap baik pula.
"Siauya," ujar Buyung Ka, "kejadian hari ini, sepulangmu
nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada
orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."
"Aku tahu," sahut A Kian, "Tan-heng, tolong kalianpun ikut
merahasiakan kejadian ini."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya: "Entah
boleh tidak aku bertanya?"
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan," kata A Kian
"Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau
merasa heran bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut.
"Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia
berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun
merasa diluar dugaan."
1817 Kuda Tan Ciok-sing dan ln San adalah pemberian Kim-to
Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka
adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka
sudah tiba di Holin.
Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang
Han pembantu tuanya keheranan, katanya: "Lo-ciangkun
sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya,
mari kau kutemani mengundang beliau."
"Kenapa susah-susah." Ujar A Kian, "kedua orang Han ini
adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay
pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan,
ayah tidak akan menyalahkan aku." Lalu A Kian menoleh
kepada Tan Ciok-sing, "sepuluh tahun bagai satu hari, bila
ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali," lalu dia
bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.
Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang
memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang
kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun
pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti
disambar lesus.
Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan
golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun
banyak ragamnya, diam-diam dia berpikir: "Jikalau dia bukan
seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh
terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran, "walau belum
pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan
sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat
kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek,
lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski
perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat
dijajaki. Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu, "Cras"
tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh
1818 Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu
batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong.
Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji: "Ilmu golok
bagus." Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya: "A Kian,
kau sudah kembali. Saudara ini..."
"Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak."
Kata A Kian. Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu
pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba: "Anak Kian,
keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang
masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."
"Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama
adikmu ini datang ke Holin?" tanya Abu.
"Bicara terus terang," kata Tan Ciok-sing, "kami adalah
teman baik Kim-to Cecu."
Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya: "Sudah lama
aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada
kesempatan bertemu."
"Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia
membicarakan Ciangkun dengan kami."
"Apa yang dia katakan?"
"Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita
sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan
dan pengetahuan paling luas."
Abu geleng-geleng, katanya ramah: "Kim-to Cecu terlalu
memuji aku."
"Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun,
apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan
1819 antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus
dipuji." "Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para
leluhur kita." Demikian kata Abu, "walau kami belum pernah
datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga
kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa
Han kalian."
Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping
ayahnya, katanya: "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah
ceritakan hal ini kepadaku."
Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya:
"Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang
masih ada keturunannya?"
Tan Ciok-sing melengong, katanya: "Pengetahuan wan-pwe
masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang
ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan
golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum
pernah kudengar."
Jendral Abu menghela napas, katanya: "Kalau begitu tentu
sudah putus turunan." Lalu bertanya pula: "Dalam kalangan
Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah
Hong-in-lui-tian?"
Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio
Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini,
pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Cioksing
tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka
tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang
diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah
tentu belum pernah dengar.
Malah In San yang teringat, katanya: "Kisah Hong-in-luitian
aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago
kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul
tidak?" 1820 "Betul," sahut Abu.
"O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."
"Hong adalah Hong Thianyang, pernah menciptakan Cuihong-
to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan,
terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah
seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui,
Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama
julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini
adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon
Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah
beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin
sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si
Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian)
"Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi
tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"
"Apa dia bukan orang Han" Ayah tidak menjelaskan,
mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."
"In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita,"
demikian tutur Abu.
"In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han,
dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan
keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia
minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang
dicintainya."
Tergerak hati In San dia mengerti, katanya: "Ciangkun,
ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan
Hong Tayhiap?"
"Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah
sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi
tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan.
Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke
Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke
1821 rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong,
selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada
kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus
tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga
kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus
demikian saja."
In San berkata: "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya
kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan
akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai
sekarang masih ada keturunannya."
Abu tertawa, katanya: "Persahabatan antar bangsa yang
kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi
sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita
hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus
Kim-to Cecu?"
"Bukan," ujar In San, "tapi tujuan kami kali ini pernah kami
utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami." "Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana
kedatangan kalian?"
"Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun,"
sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada
Liong Bun-kong sehingga tiba di Holin.
Abu berkata: "mereka memang sudah sampai di Holin, kini
tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua
she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu
undangan Khan Agung untuk menghadapinya."
"Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan
pasukan menyerbu ke Tiongkok."
"Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hianong
adalah orang yang paling getol menyuarakan perang,
kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."
1822 Kata A Kian menggertak gigi: "Manusia rendah yang
menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu
membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di
Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan
bencana oleh peperangan itu."
In San bertanya: "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu
ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa
Ciangkun sudah tahu?"
"Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu
Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin
sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."
"O, lantaran apa namanya begitu tenar?" tanya In San.
"Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh
Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan
Khan Agung."
Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan
perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai
pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang
berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya
tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti
singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan
timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan
binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya
itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.
"Tang-hay-liong-ong telah pamer kepandaiannya yang
hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga
ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil
yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama
pertandingan manusia dan binatang itu diadakan." Demikian
tutur Abu. "Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong
memang tidak perlu membuang banyak tenaga."
1823 "Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia
bertanding satu persatu dengan delapan belas jago
pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang
menang. "Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama
mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang
para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam
kepadanya."
"Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo
Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan
Tang-hay-liong-ong."
"Bagaimana akhir dari pertandingan itu?" tanya In San
ketarik. "Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah
dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar
dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu
Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu
sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada
pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai
pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.
"Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa
bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu,
Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke
Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk
memperdalam ilmu silat."
In San bertanya: "Kalau demikian, sekarang dia tidak
serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hianong?"
"Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari
sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas
dia tidak akan kembali."
"Itu lebih baik," ujar In San tersenyum.
1824 Abu melengak, tanyanya: "Maksudmu akan, akan..."
"Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk
kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua
ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara,
bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus
berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hayliong-
ong yang berkepandaian tinggi tidak berada di
sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."
Abu diam menepekur, A Kian berkata: "Ayah, tadi kau
bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa
bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka,
sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah
menguntungkan kita semua."
"Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya,
kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."
"Kenapa," teriak A Kian, "Ayah, berulang kali dia memfitnah
hendak mecelakai kau, apa kau lupa" Tadi diapun suruh anak
buahnya membunuh aku."
"Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru
perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan
sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat
hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya
secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk
membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi,
mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang
akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hianong
mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku" Aku
tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah
kita bertindak demikian?"
"Analisa Ciangkun memang benar," ujar In San, "kami tidak
akan merembet Ciangkun."
1825 "Jangan kalian berprasangka," ujar Abu, "bukan aku mau
mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara
pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali,
dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau
Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi
hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas,
maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa
menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa
memberi bantuan apa-apa."
"Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak
akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk
membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah
berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."
"Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di
kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di
rumahnya tidak sedikit jumlahnya."
"Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi," kata Tan dan ln
bersama. "Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan
tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu,
umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu.
Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak
tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari
disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh
bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liongong
belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."
Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu
pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar
peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara
terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang selukbeluk
gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.
Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan
ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1826 ong. Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan,
syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga
penyamaran mereka tidak konangan orang.
Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap,
malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai
rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.
Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega
mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk
melaksanakan keinginannya.
Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yuhian-
ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi
dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung
tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari
dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru
masuk dari titik kelemahan mereka itu.
Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan
tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka
meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup
kedalam kebon. Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan
sungguh diluar dugaan Tan dan In. Menurut penjelasan
pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong
bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar
tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir
kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia
menyimpan surat-surat penting.
Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan
banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun
susah dibedakan, kemana mereka harus mencari. Apalagi
tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong,
juga tidak perlu mencarinya.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita mengadu
nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya." Dengan
1827 munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke
belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu
tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar
api menyorot keluar.
Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah
lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi
dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.
Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela,
dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya
mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang
itu adalah Siau-ongya.
Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri:
"Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka
dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini
kepada ayah?" Seorang diri dia menggumam di atas loteng,
suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi,
pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas.
Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In
San: "Mari kita menyerempet bahaya." Dengan gerakan
burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan
hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka,
seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan
menjublek. "Kau, kau adalah..." sebelum dia sempat
mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya,
bisiknya: "Jangan teriak, inilah aku."
Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia
punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada
hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing,
mana dia berani berteriak. Cepat sekali In San sudah
menyusul naik ke atas loteng.
"Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami
sebagai sahabat," demikian ucap Tan Ciok-sing, "bicara terus
1828 terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga
keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi
membantu kami."
Siau-ongya kaget, katanya: "Ada urusan apa" Apakah,
apakah..."
"Apakah, kenapa?"
Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin
ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.
"'Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku
mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak
melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan
kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah
membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"
"Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan,
apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"
"Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak
membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu
malah?" Legalah hati Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, kau adalah
tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku,
urusan apapun aku akan senang membantumu"
"Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah
berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami
akan membunuhnya?"
"Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di
hadapan ayah."
"Siapa orang yang mengadu biru itu?"
"Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku
sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar
suaranya."
1829 "Apa yang dikatakan orang itu?"
"Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi,
katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa
pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih
muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga
pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu
jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako,
mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"
Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga,
katanya: "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus
segera kita laksanakan."
"Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung
kediaman kami?"
"Betul."
"Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga
pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah
menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan,
bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian
sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat
itu adalah..."
"Ketiga tempat itu kami sudah tahu." Tukas Tan Ciok-sing,
"kami bukan ingin membunuh ayahmu. sudah tentu kami juga
harus menghindari bahaya."
Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas
katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"
"Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana
tempat tinggal Liong Bun-kong?"
"Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal
rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya
terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou,
1830 nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila
ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"
"Baiklah, kami akan mencarinya kesana." Tiba-tiba Siauongya
teringat sesuatu, katanya: "Bila lewat kentongan ketiga,
kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali
saja." "Kenapa?"
"Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan
Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga
keluargaku."
"Apa yang mereka rundingkan?"
"Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung,
Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah
mendekati magrib..."
In San bertanya: "Ayahmu menghadap Khan Agung,
apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"
"Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari
kesenangan, tapi
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 14 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 4
^