Pendekar Pemetik Harpa 32

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 32


ara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian
besar pembicaraan mereka orangku itu yang menterjemahkan.
Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh kusuruh memanggil
orangku itu."
Tan Ciok-sing sudah yakin bahwa mereka adalah Kek Lamwi
dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar kabar
1893 tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin
tahu lebih banyak tentang mereka. Katanya: "Kalau tidak
menyulitkan Jongcu, tolong panggilkan orangmu itu supaya
aku bicara langsung dengan dia."
Tuli-bun segera suruh orang memanggil orangnya yang
pandai bahasa Han, katanya: "Jarang ada orang Han yang
datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa
mencari tahu jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan
kupilihkan dua ekor kuda paling bagus untuk kendaraan
perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin
kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan
selamat kepada kalian, mari silahkan habiskan secangkir ini."
In San menenggak habis secangkir penuh, katanya: "Kami
ingin secepatnya dapat menyusul mereka, banyak terima kasih
akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian
dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai
rencana." "Baiklah," ujar Tuli-bun, "aku tidak akan menggondeli
kalian. Nona In, agaknya kau senang minum arak susu kuda
buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."
Tan Ciok-sing heran, pikirnya: "Biasanya adik San tidak
suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum arak.
Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi
aku tak kuat minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan
karena desakan tuan rumah, rasanya aku sudah ingin muntah
saja Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda ini?"
Tuli-bun amat senang, katanya tertawa: "Kapan kau bisa
minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari minum lagi
secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."
Tak lama belum dia bicara habis, mendadak In San berdiri
meninggalkan tempat duduknya terus berlari keluar kemah.
Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar. Tuli-bun
jadi gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.
1894 Begitu keluar kemah, In San sudah tidak tahan lagi, dengan
membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya,
makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang
kembali, cukup lama In San muntah-muntah sampai air
matanya bercucuran.
Setelah reda dengan muka merah In San berkata: "Bikin
kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."
Tuli-bun juga kikuk, katanya: "Memang aku yang salah,
kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak suka
makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku
menyuguh secangkir teh lebih dulu."
Tan Ciok-sing sedikit tahu tentang ilmu pengobatan, segera
dia pegang urat nadi In San, terasa denyut nadinya agak
berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada
penyakit. Tanyanya: "Adik San, kau merasa badan kurang
enak?" "Sukar kukatakan, mungkin minum arak terlalu banyak,
kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu ingin
muntah." Tuli-bun risih, katanya kikuk: "Karena badan adikmu kurang
enak, lebih baik lekas istirahat saja" Lalu dia tepuk-tepuk
tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San
masuk ke kemah yang telah disediakan.
Sudah tentu tuan rumah dan pihak tamu tiada selera lagi
minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada pawang
kudanya: "Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."
Tuli-liang heran, tanyanya: "Ayah, hari sudah malam, kau
mau kemana?"
"Kau temani tamu kita, aku akan mengundang Jalakun."
Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan Ciok-sing: "Jalakun
adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia pernah
1895 ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun
pandai mengobati."
Tan Ciok-sing menjadi rikuh, katanya: "Biasanya badan
adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin, kukira
kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repotrepot."
"Tidak apa-apa, kaukan ingin bertemu dengan dia, akan
kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga tidak jadi soal,
apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku
kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."
Tan Ciok-sing menunggu dengan perasaan tidak tenteram,
karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan Siaujongcu
memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang
memuji: "Bagus sekali petikannya. Belum pernah aku
mendengar petikan lagu harpa semerdu ini." Logat orang ini
agak mendekati penduduk perbatasan diluar Gan-bun-koan,
meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat
didengar oleh Tan Ciok-sing,
Waktu Tan Ciok-sing menoleh. Tampak yang masuk kemah
adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur jenggot
kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang
seperti pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari
tampangnya jelas bahwa dia orang Uighor.
Tan Ciok-sing berkata: "Terima kasih akan pujian tuan.
Mohon petunjuk..."
"Jalakun, kau sudah datang," teriak Tuli-liang, "mana ayah"
Engkoh orang Han, inilah orangnya yang bisa berbahasa Han."
Jalakun berkata: "Ayahmu serahkan kuda api sembraninya
kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia kutinggal di
belakang." Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini
adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu.
Jalakun memberinya nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api.
1896 Lekas Tuli-liang lari keluar menyambut kedatangan sang
ayah. Jalakun berkata: "Kabarnya adikmu setelah minum arak
susu kuda badannya kurang enak bagaimana keadaannya
sekarang" Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau
bukan penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah
aku memeriksa adikmu?"
"Dia sudah pergi tidur, sampai sekarang belum ada orang
keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya baik-baik
saja." Sahut Tan Ciok-sing.
Setelah mendengar sekedar penjelasan Tan Ciok-sing,
Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian: "Kukira adikmu
tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."
Mendengar perkataan orang gerambyang, sukar dipastikan,
Ciok-sing agak bimbang, katanya: "Lalu dia terserang
penyakit, penyakit..."
"Sekarang belum positip. Biarlah tunggu dia siuman, akan
kuperiksa urat nadinya."
Rikuh Tan Ciok-sing bertanya pula. Terpaksa dia alihkan
persoalan: "Kabarnya dua hari yang lalu ada dua orang Han
lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"
"Ya, mereka memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek
Lam-wi, yang perempuan bernama Toh So-so. Sekarang aku
tahu orang yang mereka cari adalah engkau."
Sesuai dugaan Tan Ciok-sing, tapi dia pun merasa diluar
dugaan: "Kenapa Kek-toako mau menyebut nama sendiri dan
arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"
Jalakun seperti dapat meraba isi hatinya, katanya: "Walau
aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau dikatakan
sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa
mereka adalah Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."
1897 Tan Ciok-sing heran, katanya: "Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian," demikian
tutur Jalakun, "syukur mereka sudi memandangku sebagai
teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu terjadi
beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum
keluar kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di
Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap pernah bilang bahwa dia punya
dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena gemar
musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu
hobbynya meniup seruling.
Tan Ciok-sing baru jelas persoalannya, katanya: "Agaknya
kau telah mendengar tiupan seruling Kek Lam-wi, irama
serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka
sekali dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"
"Betul." Ucap Jalakun, "maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau
sama dia, sekali bicara lantas seperti teman lama. Ternyata
dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan Jikonya
dengan aku belasan tahun yang lalu."
"Kenapa mereka mau pergi ke Thian-san, apa kau tahu?"
"Katanya menghindar diri dari musuh besar yang menguber
jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa, apakah
liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu
menghadapinya" Kek Lam-wi bilang, bukan mereka takut
menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang
urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau
Wi-cui-hi-kiau diundang untuk menghadapi mereka, rasanya
terlalu membesar-besarkan urusan. Sudah lama mereka
dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau
adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi,
maka mereka lantas menyusulnya kemari. Sekedar
bertamasya."
Sampai disini Tan Ciok-sing lantas maklum, pikirnya:
"Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu Yau-hong
1898 yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di
hadapan ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek
kepada ibunya supaya menuntutkan balas sakit hatinya
bersama sang ayah."
Jalakun berkata: "Menurut cerita Kek Lam-wi, kedua
musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan, maka
disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru
berangkat."
Sampai disini pembicaraan mereka, tampak seorang
pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi
memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan
untuknya. Langsung pelayan itu berkata kepada Jalakun:
"Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han itu." Jalakun
adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang
Tuli-bun semua mengenalnya baik.
"Kenapa si nona Han itu?" tanya Jalakun.
"Baru saja dia siuman, mendadak mengeluh perut sakit dan
napas sesak, kami memberinya minum kuah Jin-som, tapi
semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."
"Baiklah, sekarang juga akan kuperiksa." Ucap Jalakun
sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk.
Melihat Tan Ciok-sing masuk, In San lantas berkata:
"Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna begini,
kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda
sementara."
"Jangan kuatir, Jongcu telah mengundang tabib pandai
untuk memeriksa keadaanmu, penyakitmu pasti lekas sembuh
dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
Setelah memeriksa urat nadi In San, wajah Jalakun -
menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa.
In San bertanya: "Tay-hu, aku kena penyakit apa?"
1899 Jalakun berpikir sebentar, katanya tertawa: "Tidak apa-apa,
mungkin kau tidak cocok dengan iklim disini. Cukup makan
dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."
In San girang, katanya: "Jadi lusa kami sudah bisa
melanjutkan perjalanan?"
"Betul, kalian cukup menunda perjalanan sehari saja." Ujar
Jalakun. Lalu dia membuat resep dan langsung pergi ke
gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan
memasaknya langsung diminumkan kepada In San dua kali.
Jalakun tertawa, katanya: "Untung kalian berada di rumah
Tuli-bun, dengan biaya besar tak segan-segan dia membeli
bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari orangorang
Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa
begini; setahunpun cukup kau pakai."
Setelah berada diluar perkemahan, secara berbisik Tan
Ciok-sing tanya kepada Jalakun: "Apa betul adikku itu karena
tidak cocok dengan iklim disini?"
"Aku ingin tanya kepadamu. Kalian bukan kakak beradik
sepupu bukan?"
Tan Ciok-sing menduga Kek Lam-wi sudah menjelaskan
asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka
diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia
berkata perlahan: "Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah
mengikat jodoh."
Jalakun tertawa lebar, katanya: "Kalau begitu patut kuberi
selamat kepadamu, nona In tidak sakit, tapi dia sudah
mengandung."
Tan Ciok-sing terbeliak, matanya memancarkan sinar
kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya
tertunduk tak berani bersuara.
Setelah In San minum obat pertama, baru Tuli-bun pemilik
peternakan tiba di rumah.
1900 "Bagaimana keadaan adikmu?" Begitu masuk langsung dia
tanya. "Tidak apa-apa." Sahut Tan Ciok-sing, "tabib bilang
lantaran tidak cocok dengan iklim di daerah sini, setelah
minum obat, besok juga pasti baik."
Hari kedua In San makan dua obat lagi, semangatnya
ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia kala,
juga tidak muntah-muntah lagi. Tapi dia lebih senang makan
barang-barang asam.
Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan In San berpamitan kepada
Tuli-bun. Tuli-bun berkata: "Harap tunggu sebentar." Tak lama
kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masingmasing
menunggang seekor kuda mendatangi.
Tuli-liang berkata: "Kuda ini milik ayah, namanya Hweliong-


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang hari itu
berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku
untuk kalian."
Tan Ciok-sing berkata: "Kuda milik Jongcu mana berani
kami terima" Kuda yang satu ini juga kesukaan Siau-jongcu,
aku, kami..."
Tuli-liang berjingkrak, serunya: "Tidak, kalian harus terima
pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah bilang mau menerima,
kenapa sekarang mungkir" Barang yang diberikan kepada
tamu memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar
artinya, mana ada orang memberikan barang yang dibencinya
kepada orang lain?"
Tuli-bun tertawa, katanya: "Orang Han kalian biasanya ada
pepatah yang bilang, perkataan seorang Kuncu laksana kuda
dipecut sekali, betul tidak" Kedua ekor kuda ini sudah menjadi
milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai
sahabat, maka jangan kau tolak pemberian kami ini."
1901 Melihat orang tulus dan iklas, Tan Ciok-sing jadi sungkan,
terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta mengucapkan
terima kasih. Tuli-bun berkata lebih lanjut: "Sekantong arak susu kuda ini
dan sekantong ransum kering ini untuk bekal kalian di tengah
jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."
Baru saja mereka hendak naik ke punggung kuda, tiba-tiba
Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir, diam-diam dia
memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apaapa.
Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In
San, diam-diam dia merasa heran.
Setelah jauh meninggalkan peternakan, In San bertanya:
"Sebetulnya aku terkena penyakit apa" Tabib itu sudah
menjelaskan kepadamu?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Adik San, biar kujelaskan
sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau sudah mengandung.
Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat kandungan."
In San melenggong, katanya: "Apa betul aku, aku sudah
hamil" Kau tidak ngapusi aku?"
"Kau belum pernah hamil, tapi perempuan hamil tentunya
kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang makan yang
kecut-kecut?"
Merah selebar muka In San dengan malu-malu dia
menunduk, tapi hatinya senang bukan main. "Adik San," kata
Tan Ciok-sing, "aku yang bikin kau sengsara, kau, kau tidak
marah kepadaku bukan?"
In San angkat kepala, katanya tertawa: "Siapa bilang aku
tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak senang."
Tan Ciok-sing melongo, tanyanya: "Kenapa aku tidak
senang?" 1902 In San tertawa: "Kelak aku jauh menyayangi anak kita dari
pada menyayangi kau, apa kau tidak iri?"
"Memang begitulah yang kuharapkan."
"Aku, aku sedang pikir..."
"Apa yang kau pikir?"
Semekar kembang senyuman ln Sanj katanya perlahan:
"Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan yang baru
hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan
menunggang kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam
jangka dua bulan pasti kita bisa mencapai Thian-san, kurasa
aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok Ciangbunjin
Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh
kau mohon kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita.
Sayang mungkin aku tidak bisa menemani pulang ke markas
Kim-to Cecu."
"Kau menunggu kelahiran di Thian-san, disana ada orang
yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa lega
meninggalkan kau disana."
"Aku pun berpikir demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia
angkat guru kepada Suhengmu. Setelah dia berusia dua
belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan. Tapi
jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun
depan atau paling lama dua tahun sudah harus menengokku
ke Thian-san. "Kitakan belum sampai di Thian-san, kenapa kau bicarakan
soal kedatangan kedua kalinya?"
"Tidak, toako, aku minta sekarang juga kau berjanji akan
menepati permintaanku."
"Kau kira aku tega meninggalkan kalian ibu dan anak,
sudah tentu selekasnya aku akan menengok kalian."
1903 Manis mesra hati In San, katanya: "Baiklah, ucapan
seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap kau tidak
lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku."
'Ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk' adalah
kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In San meniru
logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga
dada Tan Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak
mampu bersuara.
In San teringat sesuatu, tanyanya: "Oh, ya, hampir lupa
aku tanya kau, bukankah Jalakun membicarakan perihal Kektoako
dan Toh-cici?"
"Jalakun ternyata adalah sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka
sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama dengan dia.
Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari
tuntutan balas orang terhadap mereka."
"Kuda kita lari cepat, yakin suatu ketika pasti dapat
menyusul mereka."
"Benar, bila ada Toh So-so di dampingmu, banyak
pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia
membantu kau."
Sudah tentu In San tahu apa yang dimaksud Tan Ciok-sing,
seketika merah mukanya, katanya: "Aku sudah cukup
istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kektoako
dan Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."
Tapi sehari sudah lewat, dua hari sudah berselang,
...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil menyusul
Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tengah mencongklang kuda, tiba-tiba
didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu dari
belakang begitu kencang laksana angin lesus yang
mengamuk. 1904 Suara seorang yang sudah dikenal berkata: "Tan-siauhiap,
kau takkan menduga aku bakal menyusulmu bukan" Teman
lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari
kuda, memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"
Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya yang menyusul adalah
Buyung Ka. "Buyung Ka," damprat Tan Ciok-sing gusar, "tidak malu kau
berani menemui aku?"
Buyung Ka tertawa, katanya: "Tan-siauhiap, kenapa kau
bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan tahun yang
diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."
Menggelora amarah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Ho-siu-oh
apa, beruntung aku tidak mati, karena Tok-ing-ji milikmu itu."
"Betul, memang Tok-ing-ji," ujar Buyung Ka tertawa, "aku
kuatir, kau takkan menempuh perjalanan sampai di Thian-san,
bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan mengubur
mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang
merawatnya..."
Saking murka Tan Ciok-sing meraung sambil menubruk.
Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya, katanya:
"Membunuh manusia durjana macam begini buat apa
mematuhi aturan Kangouw."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak katanya: "Kalian tidak
akan mematuhi aturan Kangouw jadi mau mengeroyok aku.
Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi
aturan Kangouw."
Tampak dari dalam hutan menerjang keluar tiga orang
penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di kanan
kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama: "Tan Cioksing.
Kau melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati
guru, maaf sesuai perkataanmu kami tidak akan mematuhi
aturan Kangouw."
1905 Tiga orang ini adalah murid Milo Hoatsu, dua padri Lama,
seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah Toa-kiat,
murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu. Seorang lagi
bersenjata kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling
dibanggakan, yaitu Tiangsun Pwelek, Tiangsun Co. Kuatir Tan
Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka menyusul
datang dan mencegat serta akan membunuhnya.
Ketiga orang ini turun bersatu! dari punggung kuda.
Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka.
Bahwasanya Buyung Ka memang tangan Yu-hian-ong yang
sengaja ditanam di dekat Jenderal Abu sebagai agen rahasia
untuk membunuhnya kuatir rahasianya terbongkar, sehari Tan
Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup tentram.
Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup
mulutnya. Keduanya sama-sama sengit dan bertekad merobohkan
lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas
dan mematikan. Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu,
Tan Ciok-sing malah mendesak maju balas menyerang dengan
jurus Li Khong memanah batu, pedangnya menusuk leher.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang, terdengar "Cret"
tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka terbang
berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak
sempoyongan seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir
padam tertiup angin, setelah mundur beberapa langkah, baru
berdiri tegak pula.
Untung Buyumg Ka berkelit cepat, dia gunakan Hong-tiamthau
menghindar, walau lehernya tidak tertusuk pedang,
namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak. Ujung
pedang Tan Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya
silir dingin. Hanya segebrak, Buyung Ka hampir saja terenggut
nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun
setelah lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang:
1906 "Memang tidak lepas dugaanku, Lwekang bocah ini tidak
setangguh dulu, lekas kalian kemari."
Tiangsun Co mendahului melompat maju, dendamnya
terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia
melabrak maju. Sebelum Tan Ciok-sing berdiri tegak. Tiangsun Co telah
menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai: "Anak
keparat rasakan pembalasanku." Sembari bicara tangannya
bergerak, kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba
terkembang, dengan gerakan Ngo-hing-kiam dia menyerang
gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak Ciok-sing.
Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan
Tiangsun Co, dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.
"Tiangsun Co, luka-luka di bokongmu, karena pukulan
empat puluh kali itu sudah sembuh belum" Jangan karena
sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami
mengampuni jiwamu, pernah kuperingatkan kepadamu, masa
begini cepat sudah lupa," demikian ejek In San dengan tawa
dingin, di tengah ejekannya itu, "Sret", beruntun tiga kali
pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas.
Bahwa In San mengorek boroknya, karuan Tiangsun Co
mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid
tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu,
kalau dinilai kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding
In San, tapi karena diburu hawa amarah, permainannya
menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin
oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali
serangan pedang kilat, kipas lempit di tangan Tiangsun Co
berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia berusaha memutar
balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya
yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya
dapat memunahkan dua jurus terdahulu serangan ln San,
jurus terakhir "Ting" kembang api berpijar, ternyata kipas
lempitnya tertusuk bolong. Ceng-bing-kiam yang dipegang In
1907 San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa
hidupnya. Dalam pada itu Toa-kiat dan Toa-siu juga telah menubruk
tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka kembali
menerjang maju.
Toa-siu menggerung keras toya besinya diayun dengan
jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk. Bertepatan saat itu
In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak
serasi, "Tang" toya kena ditangkis pergi. Kungfu Tan Ciok-sing
memang belum pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar
biasa kekuatannya.
Tan Ciok-sing gentayangan dua kali baru berdiri tegak pula,
sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah mendesak
maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.
Tan Ciok-sing berkata: "Adik San, selama gunung tetap
menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Ada seorang
yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya
memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."
Teringat orok yang masih dalam kandungannya, serasa
diiris-iris perasaan In San, "tapi tegakah dia tinggal pergi,
membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu
menghadapi ke empat musuhnya"
Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu In San telah mati, maka
dia kira "orang yang perlu dijaga dan dirawat" oleh In San
seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak tawa dia
berkata: "Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In
aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku,
sudah tentu ibunya adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap
keluarganya adalah jamak kalau aku ikut merawatnya." Di
tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan
muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak
mencengkram. 1908 "Kunyuk kurang ajar." Mendadak Tan Ciok-sing
menghardik, selicin belut tiba-tiba dia mengegos maju,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toakiat
yang merangsak tiba, "Sret" tahu-tahu pedangnya telah
mengancam muka Tiangsun Co.
Lekas Tiangsun Co menekan dan mengebas kipasnya,
"Cret" kembali kipasnya bolong tertusuk pedang, kalau
Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu
sudah terpapas kutung. Untung dari samping lekas Buyung Ka
memukul sehingga Tiangsun Co didorong mencelat ke
samping. Serangan Tan Ciok-sing masih belum habis tenaganya,
maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus
menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka. Padahal
Buyung Ka sudah kerahkan sembilan bagian tenaganya, tapi
tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya, mau
tidak mau kaget juga hatinya: "Kenapa bocah ini kelihatan
menjadi makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura
untuk menipu aku?"
Melihat In San terancam bahaya, saking gugupnya, tenaga
simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek. Demikian pula
orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa
melakukan sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa
mustahil bisa dilakukan, apalagi sekarang Ciok-sing sudah
pulih tujuh bagian Lwekangnya.
Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih kuat inipun dirasakan oleh
In San, segera dia berteriak: "Betul. Di mata ada musuh,
dalam hati tiada musuh."
Tan Ciok-sing seketika sadar, segala keruwetan dan
kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas sekali
ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin
kemantapan batinnya. Apakah jiwanya bakal segera tamat"
Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu kesulitan
teman baik (Kek dan Toh)" Demikian pula apakah In San dan
1909 bayi dalam kandungannya bisakah selamat" Semua persoalan
yang tadi berkecamuk dalam benaknya, sekarang telah
disapunya bersih sementara.
Bila hati tenang, pikiran jernih dan batinpun bening, tanpa
terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas sekali pulih delapan
bagian. Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin
manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat
pengeroyoknya dalam beberapa lama. Tapi keadaan juga
hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak mungkin
bisa mencapai kemenangan.
Sebaliknya melihat kekuatan kedua muda mudi ini makin
kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar serangan
mereka, tapi hati sudah mulai was-was.
Pertempuran telah berjalan setengah jam tenaga kedua
pihak sudah terkuras, kekuatan mereka sudah lemah.
Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat,
keringat gemerobyos, napas tersengal-sengal.
Suatu ketika Tan Ciok-sing melihat titik kelemahan lawan,
sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci, gaya
pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia
menutulkan pedang di ujung gada Toa-kiat. Dalam gebrak
permulaan tadi. Ciok-sing pernah gunakan jurus ini untuk
menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini
terlaksana keinginannya.
"Trang" keras sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya
besi Toa-siu. Tenaga kedua orang kira-kira sebanding, bobot
senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga benturan keras
yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi,
gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara
toya Toa-siu mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat.
Sepasang saudara seperguruan ini menjerit keras terus roboh
binasa. 1910 Sudah tentu kejut Buyung Ka bukan kepalang, serasa
arwahnya lolos dari raganya, tanpa banyak bicara segera dia
putar tubuh terus ngacir. Tan Ciok-sing gerakan pedang dan
pukulan telapak tangan, pedangnya menabas kulit daging di
pundak orang, sementara telapak tangannya telak
menggaplok punggungnya. Luka pedang agak ringan, celaka
adalah pukulan telapak tangan yang telak mengenai
punggung, "Huuuaah". Darah segar tumpah dari mulutnya.
Tapi Kungfu Buyung Ka memang hebat, meski sudah
terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini,
ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang
tenaga Tan Ciok-sing sudah bertolak kembali, tusukan
pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran, sebelum
sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung
kuda. Kuda itu pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari
negeri Turfan yang mahal harganya, kecepatan larinya tidak
kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing, padahal
kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas
tidak sempat lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari.
Taraf kepandaian Tiangsun Co tidak setinggi Buyung Ka,
larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan dari
Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah
lari mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana
kakinya sudah masuk pedal dan hendak naik ke punggung
kudanya. In San amat benci akan ocehannya yang tidak genah tadi,
alisnya tegak, bentaknya: "Bangsat, terlalu menghina kau,
masih mau lari?" Menggunakan sisa tenaganya dia ayun
lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur
samberan kilat meluncur ke depan. Baru saja Tiangsun Co
duduk di punggung kuda, seketika dia melolong panjang
mengerikan. Pedang mustika tembus dari punggung ke depan
dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas
tanah. Kuda itu tergores luka oleh ujung pedang waktu
1911 Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan lari sipat kuping dan
tak kelihatan lagi.
"Sayang Buyung Ka keparat itu bisa lolos," demikian ujar In
San, "Sing-ko, tolong kau cabut pedangku itu." Waktu bicara
tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh, ternyata waktu
menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya,
untuk jalan sudah tidak mampu lagi.
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Adik San, kenapa kau?"
Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir pedang
tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya
kalau In San terluka perlu segera ditolong dan diobati.
"Tidak apa-apa," kata In San, "hanya kehabisan tenaga
saja, istirahat sebentar juga sudah baik."
Lega hati Tan Ciok-sing, dia genggam tangannya, katanya:
"Coba kuperiksa urat nadimu."
In San kaget, serunya: "He, kenapa telapak tanganmu
sedingin ini" Aku tidak apa-apa, sebaliknya kau..."
Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing sudah lepas
pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di
tanah. Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan
terbukti kesehatannya tidak kurang suatu apa, legalah
hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak kuat berdiri
lagi. In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga
lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling
berpelukan. Lekas Tan Ciok-sing duduk dan berkata: "Jangan kuatir,
duduk istirahat sebentar nanti juga baik."
Perasaan In San tidak karuan, pikirnya: "Mungkin sisa
racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam
mengelabui aku."
Tak lama kemudian tampak uap putih mulai mengepul di
atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah, pelan-pelan
1912 terbuka matanya dan berkata perlahan: "Tenagamu sudah
agak pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita
harus lekas menempuh perjalanan."
In San juga cukup ahli dalam ilmu silat, dia tahu Ciok-sing
sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri luka-luka
dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata:
"Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu
sendiri menjadi tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."
Alasan yang dikemukakan ln San memang beralasan,
terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia
meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia
melompat bangun, katanya: "Sudah selesai."
In San ragu-ragu, katanya: "Apa betul kau sudah baik?"
Tan Ciok-sing membalikkan tangan, sebatang pohon
sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya: "Kapan
aku pernah bohong kepada kau?"
Ternyata Kek Lam-wi dan Toh So-so juga sedang ngacir,
keadaan mereka lebih runyam lagi. Baru mereka memasuki
wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang
mengejar. Hari itu mereka sudah memasuki daerah bersalju, hari ke
sembilan sejak mereka mulai pelarian.
Mendongak mengawasi puncak gunung besar di depan,
lega hati Kek Lam-wi, katanya senang: "Tak terasa kita sudah
sampai di Thian-san."
Toh So-so juga kegirangan, seruaya: "Apa betul" Waktu
kita menginap di perkemahan suku Wana, bila membicarakan
Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak
nyana tahu-tahu sudah di depan mata?"
"Ini hanya cabang gunung Thian-san, namanya Liam-cengtang-
ku-la-san." Ujar Lam-wi.
1913 "O, jadi kau menggodaku supaya senang." Omel Toh So-so.
"Meski bukan puncak Thian-san, tapi terhitung kita sudah
berada di kaki Thian-san. Entah berapa hari lagi kita harus
menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini,
Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah
didalam haribaannya."
"Betul, makin dekat Thian-san, semakin jauh kita
meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu punya nyali
setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa
terhadap kita di Thian-san."
"Bisa bebas dari kejaran mereka memang syukur, tapi yang
lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita makin mendekati
Thiansan.. "
"Sehari kau bisa lebih cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing
dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan mereka, untung
Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah
jelus." Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah
setelah menempuh perjalanan jauh dan susah, "Lam-ko, aku
kepingin mendengar tiupan lagu serulingmu. Sudah sekian
hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan, sekarang
tiba saatnya menghibur diri."
Tak nyana belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar
sebuah lengking suara yang menusuk telinga: "Budak busuk,
coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."
Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah bikin pekak
telinga Toh So-so.
Toh So-so tahu siapa yang memekik keras itu, saking kaget
dia menjerit ketakutan.
Kek Lam-wi kembangkan Ginkang berlari ke atas seperti
terbang. Tampak dari depan "mendatangi dua orang, seorang
kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah
1914 bunda Kangouw Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiamkhek
Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat Bing Lan-kun.
"Liu-locianpwe," teriak Kek Lam-wi, "kau adalah seorang
Cianpwe yang punya nama dan kedudukan tinggi di kalangan
Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran, putramu
itu..." yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi
'kedudukan' tinggi hakikatnya tiada.
Sebelum Kek Lam-wi bicara habis, Bing Lan-kun sudah
membentak: "Orang she Kek urusan tidak menyangkut dirimu.
Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada
dua jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi
menantuku, kalau tidak biar kugores mukamu beberapa jalur,
seperti kau melukai putraku itu."
Meski jeri tak urung membara amarah Toh So-so, serunya:
"Nenek peyot galak, tahukah kau putra kesayanganmu itu..."
"Budak busuk," sentak Bing Lan-kun, "kau sudah melukai
putraku, berani memakiku." Tar, pecutnya kontan terayun.
Lekas Kek Lam-wi mencegat ke depan, teriaknya: "Liulocianpwe,
kau orang ternama, urusan harus dibicarakan dulu
supaya gamblang bukan?"
Membesi muka Liu Jiu-ceng, katanya: "Aku tidak memukul
kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi menantu,
memangnya merendahkan derajatnya?"
Toh So-so jelas bukan tandingan Bing Lan-kun, beberapa
kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi
mendampinginya melawan musuh.
Bing Lan-kun mengembangkan Wi-hong-sau-yap, ilmu
cambuknya yang paling dibanggakan, "Sret, sret" angin
menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolaholah
mendadak timbul pusaran angin lesus menggulung ke
arah Kek dan Toh berdua.
1915 Cambuk lemas panjang itu berputar menjadi beberapa
lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan kecil, didalam
lingkaran ada lingkaran. Begitu hebat dan menakjubkan juga
permainan cambuk Bing Lan-kun. Kek Lam-wi dipaksa untuk
mendemontrasikan King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya
atas petunjuk Ti Nio, namun demikian, tak berhasil dia
memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu. Tak lama
kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam
lingkaran cambuk lawan.
Di tengah kesibukannya itu mendadak Kek Lam-wi bersiul
sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.
Bing Lan-kun menjengek dingin: "Kematian di depan mata
masih bersenandung segala." Padahal dalam hati merasa
heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan
masih sesantai itu berdeklamasi segala.
Tampak permainan seruling Kek Lam-wi, tiba-tiba berobah.
Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar laksana
angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin.
Perbawanya sungguh mirip gunung bersusun dan berlapis
sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi. Herannya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.
Ternyata King-sin-siau-hoat merupakan cangkokan dari
King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya
pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan
deklamasinya membawakan dua bait syair pula, serulingnya
bergerak dari atas ke bawah terus membabat dan menyapu.
Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu
cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap
tak mampu menjebol garis pertahanan lawan. Habis
senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah gerakan,
tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu
ditiupnya sekali, "Suuiiiit" Bing Lan-kun memaki: "Setan, apa
yang kau lakukan?" Mendadak serumpun angin panas
menerjang muka, karuan kagetnya bukan main, dia kira lawan
1916 menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup keluar dari
serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk
melindungi badan. Yang benar yang menerpa mukanya bukan
senjata rahasia tapi serumpun hawa hangat dari tiupan
serulingnya yang panas. Seperti diketahui, seruling Kek Lamwi
itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya
melebihi besi atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari
seruling pualam itu dapat menyerang musuh dan
menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif. Sudah
tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi
kekuatan Lwekang yang cukup tangguh juga. Lwekang Bing
Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi, maka dia tidak terluka
oleh tiupan hawa murni. Tapi muka kesampuk hawa hangat
itu menjadi pedas dan perih.
"Tua bangka," teriak Bing Lan-kun, "anak itu bukan milikku
sendiri, kau biarkan orang menghinaku."
Liu Jiu-ceng takut bini seperti berhadapan dengan harimau,
terpaksa dia menampilkan diri. Begitu dia terjun ke arena,
situasi segera berobah. Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi
telah terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung
menindihnya, bukan saja gerakan seruling terasa berat dan
susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun menjadi
kurang leluasa.
Tengah mereka menghadapi bahaya, tiba-tiba terdengar
irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa angin lalu.
Mendengar petikan senar-senar harpa yang merdu itu,
diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget. "Siapa memiliki
Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin
Thian-san-pay telah datang?"
Maklum pertama irama kecapi itu terdengar, suaranya
mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di
tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah
berkumandang jelas dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas
sudah teramat tinggi. Orang yang bisa memanjat pegunungan
1917 setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi Ginkang
pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu
indah dan merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa
susah diraba dan dirasakan, logis kalau Liu Jiu-ceng curiga
yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.
Pertarungan jago kelas wahid mana boleh terpecah
perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan
serangan pedang yang dikombinasikan pukulan telapak
tangan. "Biang" Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan
Bik-khong-ciang. Liu Jiu-ceng juga tertiup angin hangat dari
seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di dadanya.
Lwekang Liu Jiu-ceng lebih tangguh dari Kek Lam-wi, cukup
tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali dia sudah
segar bugar. Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa
memburu Kek Lam-wi untuk membekuknya.
Di sebelah sana Yam-lo-sat Bing Lan-kun telah menyandak
Toh So-so. Toh So-so menjejak kaki sekuatnya, meloncat
berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat
serambut, "Brett" pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan
lawan. Tapi pada detik-detik berbahaya itu pula, Kek dan Toh
memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka duga, Toh
So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai:
"Budak busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi
setan burik" Lekas katakan, kuhitung tiga kali, kalau kau tidak
menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu dengan pedangku
ini. "Satu, dua..."
Toh So-so merangkak mundur, belum mampu dia berdiri,
sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju
sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung
'tiga'. Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat
menyambar, bersama kilat pedangnya menyambar penyerang
inipun menubruk maju laksana seekor burung besar menubruk
ke arah Bing Lan-kun.
1918 Bing Lan-kun amat kaget, lekas dia mencelat minggir ke
samping sambil mengibas lengan baju. Maka terdengar suara
robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak
mampu menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya
terpapas sebagian. Untung Bing Lan-kun mengeluarkan
cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia
berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.
"Perempuan siluman, berani kau menyakiti Toh-cici, biar
aku adu jiwa dengan kau."
Baru sekarang Bing Lan-kun melihat jelas penyerang
dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain adalah In
San. Bahwa In San sudah tiba, sudah tentu Tan Ciok-sing juga
sudah datang. Kedatangannya juga tepat pada waktunya,
kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul
mencelat dan hampir terjerumus ke dasar jurang.
Untung waktu melancarkan Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng
kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak
sepenuhnya. Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak,
meski pukulan Bik?khong-ciang cukup keras namun Kek Lamwi
tidak terluka sama sekali. Tapi bila Kek Lam-wi menginjak
bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan
lemah lunglai. Melihat orang tidak terluka, legalah hati Tan Ciok-sing,
segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil menjura:
"Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan
tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu
kejadian Wanpwe kebetulan juga hadir. Sudilah kau
mendengar dulu penjelasanku, supaya pertikaian kalian bisa
kudamaikan."
Sebetulnya tak usah dijelaskan oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiuceng
sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak putranya.
Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di
1919 samping didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak
itu, meski tahu di pihak sendiri yang salah, terpaksa dia
berusaha menuntut balas bagi sakit hati anaknya.
Yang dia takuti adalah Ciangbunjin Thian-san-pay Toh
Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda tanggung usia
belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.
Dengan menyeringai dingin Liu Jiu-ceng membentak:
"Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai" Lekas
menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau
tidak, hm, hm, segera kupunahkan ilmu silatmu."
Melihat kawan baiknya dihina, sudah tentu Tan Ciok-sing
amat marah, bentaknya: "Kalau mampu boleh silahkan kau
punahkan ilmu silatku." Pedang tercabut terus diputar balik,
"Tang" kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok
keras, tiada yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih
tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing tertolak pergi,
tubuhnyapun gentayangan dua langkah. "Kena." Tiba-tiba Liu
Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu,
ujung pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan
Ciok-sing. Di luar tahunya Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang
sudah diyakinkan sempurna, permainan sudah selaras dengan
pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan Ihsing-
hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang,
langkahnya gentayangan seperti orang mabuk, tapi pada hal
merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang
mengandung isi kosong susah diraba. Seperti orang mabuk
menggerakkan pedang saja, gerakan pedang seenaknya itu
tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi yang tak
terduga oleh Liu Jiu-ceng.
Kalau yang diserang seorang yang berkepandaian agak
rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan Ciok-sing,
tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali
tusukannya, arena seluas beberapa tombak seperti
1920 terbelenggu didalam kekuatan dalamnya sekokoh tanggul dan
sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci
tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar
pergi oleh kekuatan Lwekang lawan. Tapi, Tan Ciok-sing
berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini, mencelat kesana
bergabung dengan In San. Ternyata In San sedang didesak
mundur oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.
Siang-kiam-hap-pik kekuatannya berlipat ganda, Liu Jiuceng
yang memburu datang dengan serangan pedangnya
kena ditangkis cerai berai. Demikian pula cambuk panjang
Bing Lan-kun seperti terkunci didalam lingkaran sinar pedang,
buru-buru dibetotnya keluar. Padahal cukup tangkas
reaksinya, tapi terdengar "Cras" sekali, ujung cambuknya
terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat
suaminya. Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung
dengan kawannya sendiri.
Tan Ciok-sing menghentikan aksinya, katanya: "Liulocianpwc,
berlakulah murah hati, dimana boleh diampuni,
berilah pengampunan..." dia masih berusaha melerai.
"Bocah keparat." Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar, "kau
kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik kalian?"
Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu
sekeras badai, sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba
melingkup pula, laksana mata rantai saja tahu-tahu menyapu
miring terus melintir-lintir. Jurus ini merupakan serangan
hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan
ke ujung pedang, Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan
Ciok-sing dan In San juga hanya mampu bertahan dan
menahan saja. Pertempuran seru berulang, ujung pedang Liu Jiu-ceng
seperti diganduli barang berat, menuding ke timur menusuk
ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung
pedangnya menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa,
sayup-sayup seperti terdengar gemuruh gcluduk. Kalau dalam
1921 keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I n San,
Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi. Tapi keadaan
Tan Ciok-sing sekarang agak payah. Lwekangnya belum pulih.
luka dalam, keracunan lagi, demikian pula In San sedang
hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi, maka sekuatnya
mereka masih kuat bertahan.
Kek Lam-wi dan Toh So-so menyaksikan pertempuran
diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan
cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan,
kembang sama rontok bertaburan, dalam sekejap saja, daundaun
dan kembang-kembang di atas pohon sekitar
gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal
dahan-dahannya saja. Kek Lam-wi geleng-geleng sambil
menghela napas panjang, bukan saja takjub diapun kagum
dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena
dirinya tidak mampu membantu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang,
bagai pekik naga mengalun tinggi menembus angkasa
menggetar bumi. Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar
siulan itu, perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata.
Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat kaget, pikirnya: "Entah orang itu
kawan atau lawan, Lwekangnya jauh lebih tangguh dari Tan
Ciok-sing keparat ini."
Tan Ciok-sing sedang mengembangkan kekuatan Bu-bingkiam-
hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak memadai,
sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi
kedatangan lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan
Ciok-sing" Karena kaget dan perasaan tergetar, betapapun
hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya
menjadi kacau. Kalau permainannya menurun, sebaliknya cahaya pedang
Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka
terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring
sederas bunyi ledakan mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun
1922 terputus-putus menjadi delapan potong. Pedang Liu Jiu-ceng
memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang
mengancam dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong
oleh pedang Tan Ciok-sing kulit kepalanya menjadi silir.
Memutar tubuh Liu Jiu-ceng terus melarikan diri. Baru
sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya
asing memuji: "Ilmu pedang bagus."
Sekenanya orang itu meraih sekeping es terus tangan
terayun, bentaknya: "Kalian berani bertingkah di Thian-san,
lantas mau lari begini saja" Tinggalkan sedikit tanda mata."
Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua
dan meluncur ke arah dua sasaran. Bing Lan-kun lari di depan
sementara Liu Jiu-ceng di belakangnya, tapi kedua orang
terkena timpukan es itu berbareng.
Kontan Bing Lan-kun menjerit terus menggelinding ke
bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin
meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh
tubuh seperti melepuh dan hampir meledak. Ternyata ilmu
silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga Liu Jiu-ceng
kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan. Untung Liu Jiuceng
masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun
yang menggelundung di tanah bersalju juga tidak terluka
parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong isterinya terus lari
turun gunung tanpa pamitan lagi.
Melihat orang itu mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat
luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu siapa yang datang,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serunya: "Apakah Toh-suheng yang datang" Siaute adalah..."
saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar,
pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup
angin kencang, tubuhnya terombang-ambing.
"Ciok-sing Sute," seru Toh Thian-tok. "Aku sudah tahu kau
adalah murid penutup Suhu. Eh, Sute kau kenapa?"
1923 Tan Ciok-sing sudah tidak tahan, akhirnya meloso duduk di
tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang amat penting.
"Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu
kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiamhoat,
sayang aku tidak sempat menjelaskan kepadamu
panjang lebar."
"Sute," ujar Toh Thian-tok, "jangan kau kuatirkan soal ini
setelah menyaksikan ilmu pedangmu, aku sudah tahu
pedangnya..." sebagai maha guru silat nomor satu di jaman
ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu,
ajal Tan Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Toking-
ji di tubuh Tan Ciok-sing telah kumat sehingga hawa
murninya buyar seketika.
Tan Ciok-sing turunkan harpa, katanya: "Kek-toako, sudah
lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san, belum pernah
ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar,
sekarang biarlah aku penuhi keinginanmu." Sebelum Kek Lamwi
sempat mencegah jari-jarinya sudah mulai memetik senarsenar
harpa. Seperti sepasang kekasih yang sedang asyik memadu cinta,
seperti sesama kawan intim yang melepas rindu. Seperti pula
berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana
berdiri di puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin
laksana siulan merdu... tanpa terasa In San tenggelam dalam
alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke belakang,
akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu
cinta bersama Tan Ciok-sing.
Mendadak bunyi harpa berobah, seperti pekik lutung di
selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang ditinggal
kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya untuk
mencurahkan isi hati dan makna suci dari Khong-ling-san di
saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal. Berpisah dengan
teman, berpisah dengan isteri... mendadak "Creng" senar
harpa putus. 1924 Senar putus jiwapun melayang. Lama In San mematung
seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil memeluk
jenazah Tan Ciok-sing.
TAMAT Ikuti kisah-kisah serial Thiansan sebelum ini:
1. Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
Kisah masa muda Hian Kie Itsoe (Tan Hian Kie), Siangkoan
Thian Ya dan Siauw Oen Lan. Lika-liku kisah kasih di antara
mereka, dan pertentangan di antara mereka.
Dalam cerita ini dapat diikuti kisah hilangnya ilmu pedang
Tat Mo Kiamhoat Boetong pay.
2) Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
Kisah masa muda Thio Tan Hong dan In Loei. Kisah cinta
kasih di antara mereka, yang dilatar belakangi dendam
turunan keluarga. Selain permusuhan dengan keluarga In
Loei, keluarga Thio Tan Hong juga merupakan musuh turunan
dari kaisar yang berkuasa saat itu. Apa yang terjadi, bila
permusuhan dua keluarga bercampur dengan urusan negara"
3) San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga)
Kisah Ie Sin Tjoe, murid Thio Tan Hong. Dua enghiong
yang berbeda sifat mencintai satu liehiap, mana yang dipilih si
Pendekar Wanita Penyebar Bunga"
Perseteruan keluarga kerajaan dengan keluarga Thio Tan
Hong sudah selesai, ganti keluarga Pit yang juga merasa
berhak atas tahta kerajaan yang melakukan pemberontakan.
4) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu)
Setelah menjadi pendekar besar, Thio Tan Hong akhirnya
bertemu dengan musuh terberatnya. Cerita ilmu Sioelo Imsat
Kang dari Kiauw Pak Beng akan muncul kembali dalam cerita
1925 Perjodohan Busur Kumala, bersama dengan turunan Le Kong
Thian. 16 ".dan menangkap kembali kuda yang terlepas, Tan Cioksing
mendengar salah seorang petugas menggerutu: "Malam
ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar, baru
saja mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang telah
terjadi, celakanya aku telah tidur nyenyak."
Belum habis dia menggerutu tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul
merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk Hiat-tonya
oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan:
"Kau, kau siapa?" Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol,
petugas itu kira orang sedang berkelakar dengan dirinya.
Dengan bahasa Mongol Tan Ciok-sing menjawab: "Aku
adalah pembunuh."
Karuan petugas itu ketakutan, ratapnya: "Aku hanya
bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."
"Kalau kau bicara jujur, aku boleh mengampuni kau, kalau
tidak... coba lihat." Begitu dia layangkan kakinya, enam
batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal
kena disapunya runtuh patah enam batang.
"Hohan, kau, kau ingin tahu apa" Hamba akan
menerangkan setahuku."
"Adik San, kau saja yang tanya." Ujar Tan Ciok-sing,
bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka dia minta In
San yang mengompres keterangan.
"Dengan siapa Ongya keluar?"
1926 "Orang itu aku tidak kenal."
"Orang Mongol atau orang Han?"
"Agaknya orang Han."
"Satu di antaranya apakah usianya sudah lanjut?"
"Ada seorang yang sudah beruban rambut dan jenggotnya,
pada hal usianya kira-kira baru enam puluhan."
"Kapan mereka meninggalkan istana?"
"Kentongan pertama."
"Kapan kembali?"
"Entahlah hamba tidak tahu, Ongya tidak memberitahu."
"Cukuplah, orang itu jelas adalah bangsat tua she Liong."
"Baiklah, kau boleh tidur nyenyak." In San tutuk Hiat-to
penidur petugas istal, katanya: "Toako lekas kau pilih dua ekor
kuda." Mencemplak kuda mereka lolos dari pintu belakang, meski
disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu merintangi
Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat
gelagat, siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu
yang lain semua ketimpuk batu sambitan Tan Ciok-sing dan
tertutuk Hiat-tonya.
Di tengah kegelapan mereka menempuh perjalanan, kini
cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap kelip,
berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke
depan. In San berkata: "Entah sudah kentongan ketiga
belum?" Dalam hal melihat cuaca Tan Ciok-sing lebih
berpengalaman, katanya: "Bintang utara sudah berputar
doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."
1927 Tengah mereka mencongklang kuda, tiba-tiba terdengar
derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah kereta
ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana. Di depan
kereta digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu
cukup mewah dan besar, jelas bukan kereta milik keluarga
biasa. In San kegirangan, katanya pelan-pelan: "Pasti itulah
kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu ada tidak
dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."
"Jangan gegabah, kita tetap menyaru pesuruh keluarga
raja, bertindak menurut gelagat." Demikian Tan Ciok-sing
menganjurkan. Kuda mereka berhenti di tengah jalan, kereta besar itupun
dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata:
"Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."
Kerai kereta tersingkap, kepala Yu-hian-ong muncul,
katanya "Siapa namamu, terjadi apa di istana?" Dirasakan
suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah
kepercayaannya, tapi dalam istananya terlalu banyak orang,
tidak mungkin setiap orang dia kenal, maka dia tanya dulu
nama In San. Ciok-Sing dan In San turun dari kuda serta menghampiri ke
depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah berhenti serta
membungkuk memberi hormait kepada Yu-hian-ong, sengaja
In San pura-pura sengal-sengal. katanya tergagap: "Ada
pembunuh membuat onar harap Ongya jangan pulang dulu,
aku, aku adalah. " suaranya makin serak dan lirih sehingga
Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi.
Yu-hian-ong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Sudah
kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku, memangnya
mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang
mengompres mereka, le, siapa namamu, katakan yang
jelas..." 1928 Belum habis dia bicara mendadak Tan Ciok-sing dengan
gerakan kilat telah menubruk ma|u mencengkram ke arah Yuhian-
ong. Mimpipun Yu-hian-ong tidak menduga bahwa budak
keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit
sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing.
Yang duduk di sebelah Yu-hian-ong adalah seorang padri
asing yang berperawakan kekar besar berkasa merah,
gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan, "wut"
tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing.
Merasakan samberan angin kencang, Ciok-sing tahu
penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan
Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke
atas, bentaknya: "Kalau berani, boleh pukul,"
Ciok-sing kira Yu-hian-ong berada di tangannya, betapapun
padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya. Tak nyana
tanpa ayal sambil mendengus dia membentak: "Kenapa tidak
berani." "Blang" telapak tangannya dengan telak menggaplok
punggung Yu-hian-ong.
Begitu padri asing ini bersuara Ciok-sing lantas kenal, dia
bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu, Milo
Hoatsu adanya. Kejadian aneh sekali, pukulan Milo Hoatsu mengenai
punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti
tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti
diterjang arus badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul
godam raksasa. Milo Hoatsu menggunakan Kek-but-thoan-kang, bila jenis
ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya, sekeping tahu
yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh
tapi batu di bawahnya hancur luluh. Meski Kek-but-thoan-kang
Milo Hoatsu belum setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.
1929 Begitu dada seperti digodam, reaksi Tan Ciok-sing ternyata
cukup tangkas juga kontan dia bersalto ke belakang, jarinya
masih mencengkram Yu-hian-ong.
Milo Hoatsu kira sekali pukulan tadi pasti membuat lawan
tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka parah oleh
tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya
Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah. Tak nyana
Tan Ciok-sing masih kuat memegang tawanannya serta
menyeretnya turun dari kereta, hal ini betul-betul diluar
dugaannya. In San juga lompat turun, pedang di tangannya lantas
terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu dia
babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya
roboh terjungkir, lentera angin itupun padam, keadaan
menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan In masih
perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak
kelihatan. Begitu menginjak bumi Ciok-sing kerahkan hawa murninya,
sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika. Bentaknya: "Yuhian-
ong, kau ingin hidup tidak?"
Saking ketakutan Yu-hian-ong menjublek tak mampu
bicara. Begitu melompat turun Milo Hoatsu menjemput batu
menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing.
Bentaknya: "Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah
kalian mampu meloloskan diri."
"Siapa bilang kami mau lari?" jengek Tan Ciok-sing.
Dari sebuah kereta lain yang baru tiba turun orang
mendekati mereka, katanya tergelak-gelak: "Tidak lepas dari
dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang
membuat keributan. Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita
tentukan siapa jantan siapa betina."
1930 Orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go,
Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti dikawal,
tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo
Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing
membatin: "Syukur Yu-hian-ong sudah kuringkus lebih dulu,
kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan ini." Dengan
tertawa dia berkata:
"Sekarang kami tiada tempo melayani kau berkelahi, kalau
mau bertanding boleh setelah urusanku beres, boleh kau
tentukan waktu dan tempatnya."
Jantung Yu-hian-ong masih berdebar, katanya: "Apa
kehendak kalian?"
"Serahkan jiwa Liong Bun-kong, kalau kau masih ingin
hidup, barter dengan jiwa bangsat tua itu."
Selama ini Yu-hian-ong tidak mendengar suara atau melihat
bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat:
"Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."
"Betul, dia memang masuk istana bersama aku, melihat
kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya di
istana," Demikian Yu-hian-ong berbohong. Pada hal dia tahu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bualannya ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya
memang hendak mengulur waktu, dengan kepandaian Milo
Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil
mereka dapat membantunya meloloskan diri.
Tan Ciok-sing setengah percaya setengah curiga, pikirnya:
"Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa, memang bukan
mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja
menahannya di istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya
untuk tidak melukai ayahnya, bagaimana baiknya?" Tengah
hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba menangkap
gerakan Tang-hay-Iiong-ong yang diam-diam mendekati In
San. "Awas adik San." Teriaknya memperingati.
1931 Sebat sekali In San menyelinap ke belakang Yu-hian-ong,
pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong.
bentaknya: "Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera
kuhabisi lebih dulu."
Maksud Tang-hay-liong-ong, hendak membekuk In San
sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan,
terpaksa Tang-hay-Iiong-ong mundur kembali ke tempat
semula. Pedang In San kini mengancam tenggorokan Yu-hian-ong,
jengeknya dingin: "Jangan kira obrolanmu dapat menipu kami.
Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan
menyesal bila kepalamu kupenggal lebih dulu."
Kulit leher Yu-hian-ong sudah terasa perih dingin, nyalinya
serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi ancaman In San
dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak: "Baik, baiklah akan
kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."
Belum habis dia bicara, Liong Bun-kong yang sembunyi di
belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor
kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap: "Liong
Bun-kong, kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau,
hayo kembali, kembali."
Sudah tentu Liong Bun-kong tidak mau kembali, teriaknya
dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut kudanya
supaya berlari lebih kencang lagi.
In San segera berkeputusan, katanya: "Toako, biar aku
mengejarnya, kau tahan tawanan kita."
Tan Ciok-sing cengkeram tulang pundak Yu-hian-ong,
sementara telapak tangan menempel punggung, serunya
lantang: "Sebelum nona In kembali, siapapun kularang
bergerak, kalau tidak terpaksa aku tidak sungkan lagi
menamatkan jiwa Ongya."
1932 "Kalau nona In tidak kembali bagaimana" Memangnya kau
akan menyandera Ongya selamanya?" Jengek Milo Hoatsu
"Paling lama satu jam, peduli dia pulang atau tidak, asal
kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan dia."
Bayangan In San sudah tidak kelihatan, derap lari kuda
juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti diganduli
barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar
cepatnya lari kuda.
Di kala jantungnya berdebar-debar itu, angin lalu
menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing amat
tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia
seperti mendengar jeritan menyayat hati yang terbawa angin.
Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas dia berteriak: "Adik San,
bagaimana kau?" Dia menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada
dalam tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya. In San
mengudak ke atas gunung, jikalau dihitung jarak dalam tanah
datar, dia pergi kira-kira setengah jam lamanya, jarak yang
ditempuhnya kira-kira sejauh itu.
Dengan seksama dia pasang kuping menunggu jawaban In
San. Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya, sungguh
umpama menunggu sedetik seperti setahun. Alam semesta
hening lelap, tidak terdengar reaksi In San.
Bagaimanakah pengalaman In San" Apa yang dialaminya"
Kuda-kuda penarik kereta Yu-hian-ong rata-rata adalah
kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau di siang hari,
betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar.
Untung sekarang malam, baru saja turun hujan. Jalanan
gunung licin dan becek, tidak rata lagi. Walau kuda ini kuda
perang yang sudah dilatih sedemikian rupa, namun lari di
malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya
pun teramat hati-hati. Karena itu daya kecepatannya menjadi
agak berkurang bila dibandingkan berlari di tanah datar.
1933 In San mengembangkan Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan
langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak kedua pihak
makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos
golok peninggalan ayahnya, katanya: "Mohon ayah melindungi
di alam baka, semoga anak dapat menuntut balas dengan
golok pusakamu ini."
Serasa terbang arwah Liong Bun-kong saking ketakutan,
serunya gemetar: "Nona In, mohon kau suka pandang muka
ibumu." In San lebih gusar, semprotnya: "Berani kau mengungkat
ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di atas badanmu."
Karuan nyali Liong Bun-kong serasa pecah, kuda dilecut
berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk, tapi
jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani
menancap gas lari sekencang biasanya di siang hari.
Dalam pada itu dari arah berlawanan yang jauh sama
terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang
dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah
mendengar derap gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu.
In San juga sudah mendengar, lekas dia meraih sebutir batu
terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi
timpukan batunya tidak mencapai sasaran.
Tiba-tiba Liong Bun-kong berteriak sekeras-kerasnya:
"Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas tolong aku." Tibatiba
teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan,
ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting
ke atas terus ambruk dengan keras, menggelundung turun ke
bawah lereng. Ternyata karena dihujani cambuk kuda itupun
menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda yang
sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak
diperintah, padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang
kuda lagi, mana dia bisa pegang kendali. Waktu kuda
melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong
lantas dilempar dari punggungnya.
1934 In San membentak: "Lari kemana." Beberapa kali lompatan
jarak jauh dia mengudak ke arah suara berisik, dimana Liong
Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah. Kala
itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri
malam menongol pula memancarkan sinar peraknya,
meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong Bun-kong
rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas
sebuah batu sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke
bawah lagi. "Bangun." Bentak In San sambil menendang, ternyata
Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San menyulut api,
tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh
luka-luka, darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia
meraba pernapasannya, ternyata jiwanya sudah melayang.
Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng
gunung, jiwanya masih belum mati. Tapi lantaran dia
ketakutan, gugup lagi, setelah jatuh jantungnya pecah dan
jiwanya melayang.
Melihat kematian orang yang mengenaskan, In San jadi
tidak tega menambahi sekali bacokan. Golok dia sarungkan
kembali, katanya: "Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak
usah aku membunuhmu pula."
Akhirnya Tan Ciok-sing memperoleh jawaban In San: "Sakit
hati sudah terbalas, lekas kau kemari."
Dengan mengangkat tinggi Yu-hian-ong di atas kepalanya,
Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya: "Biarlah Ongya
kalian mengantarku dalam jarak tertentu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Ucapan seorang kuncu
laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa, kenapa
ingkar..."
Tang-hay-liong-ong juga gusar, dampratnya: "Jangan
banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo kita
labrak dia bersama."
1935 Tan Ciok-sing sudah mendahului lari puluhan langkah, di
belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak
kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia
tertawa tergelak-gelak katanya lantang: "Janji yang sudah
kuucapkan pasti kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada
kalian, nah terimalah." Di tengah gelak tawanya dia
menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh
ke samping sana.
Tersipu-sipu Milo memburu kesana menangkap tubuh Yuhian-
ong. Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai, tidak bisa
bersuara, tapi napasnya masih ada. Karuan Milo Hoatsu kaget,
saking gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai,
bentaknya: "Kau, kau apakan Ongya?"
"Jangan kuatir," kata Ciok-sing, "aku hanya menutuk Hiattonya
dengan Jong-jiu-hoat, bukan Hiat-tonya yang
mematikan."
Milo Hoatsu seorang ahli silat juga, kini dia sudah tahu Yuhian-
ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum tahu Hiat-to
mana yang tertutuk.
Tan Ciok-sing berkata: "Aku menutuk Hiat-to yang
tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan Lwekang
kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai.
Tapi perlu aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya-harus
segera, walau dia tidak akan mati, kalau terlambat mungkin
bisa cacat."
Tan Ciok-sing sengaja bermain muslihat pula, maklum
kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu dan
Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi
begitu saja. Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang
tertutuk, kedua orang ini harus kerja sama membebaskan
Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus
Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan
Hiat-to yang tertutuk.
1936 Yang benar, walau Ciok-sing menutuk dengan Jong-jiuhoat,
tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu sendiri tidak
akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong,
umpama Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas
jam juga akan bebas sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat
seperti yang dikatakan Ciok-sing, perkataan Ciok-sing tadi
hanya untuk menggertak musuh belaka.
Bagi Milo Hoatsu dia harus percaya daripada mengabaikan
keselamatan jiwa Yu-hian-ong. Kuatir Tang-hay-liong-ong
terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya
katanya: "Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."
Sembari bekerja menembus Ki-keng-pat-meh, Tang-hay-
Iiong-ong menyatakan isi hatinya: "Setiba di negerimu ini,
sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan
kuatir bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa
membuat perhitungan lagi."
Setelah menyarungkan goloknya, In San tendang jenazah
Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah,
serunya berdoa: "Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini,
semoga di alam baka kau bisa tentram."
Baru dia putar badan hendak bertemu dengan Ciok-sing,
tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Budak bangsat,
mau lari kemana kau?"
Lenyap suaranya orangnyapun menubruk tiba, "sret"
senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In San.
Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang
ini seorang tangguh. Lawannya ini bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo. Mendengar jeritan Liong Bun-kong lekas dia
mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh
ketinggalan di belakang.
Dengan gerakan Hong-biau loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit
In San balas menyerang tanpa menoleh, "sret" pedangnyapun
menusuk. Tusukan pedang Poyang Gun-ngo mengenai tempat
1937 kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam
Hian-ki-hiat di dadanya.
Lekas Poyang Gun-ngo menahan napas menarik dada,
gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah
menyerampang kedua kaki In San. Dalam gebrak pertemuan
ini, kedua pihak sudah serang menyerang, sama-sama
menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.
In San cabut golok peninggalan ayahnya, golok di tangan
kiri pedang di tangan kanan, bentaknya: "Biar aku adu jiwa
dengan kau." Permainan goloknya diselingi gerakan pedang,
demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi
rangsakan golok, gerakannya aneh liehay dan mendadak pula
sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur.
Lekas Poyang Gun-ngo berteriak: "Hayo kalian lekas
kemari." Pada saat itulah, suitan nyaring Tan Ciok-sing di puncak
gunung sudah terdengar mereka disini. Tan Ciok-sing
menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu,
Poyang Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti
tergetar pecah, dia kira Tan Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.
Pertarungan jago kosen mana boleh perhatian terpencar,
apalagi gugup dan gelisah" Sekuat tenaga Poyang Gun-ngo
merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan
mundur supaya awak ada kesempatan melarikan diri. Tak
nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan karena
serangan sudah kebacut, "sret" pedang ln San tiba-tiba
menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada
Poyang Gun-ngo tertusuk telak, kembali In San mengetuk
dengan punggung goloknya, kontan Poyang Gun-ngo kena
dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah
Liong Bun-kong.
1938 Terdengar kawanan Wisu di bawah lereng berteriak kaget


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan takut: "Haya, itulah Poyang Ciangkun yang menggelinding
jatuh." "Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas, lekas
keluarkan obat."
"Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang Tayjin sudah
mati." Kawanan Wisu menjadi geger.
Tan Ciok-sing tengah gelisah, tiba-tiba didengarnya In San
berteriak: "Toako, maaf bikin kau menunggu."
Dari suaranya Tan Ciok-sing merasakan hawa murninya
kurang kuat, tanyanya kaget: "Adik San, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa aku sudah menuntut balas sakit orang tua,
Poyang Gun-ngo juga kubunuh." Secepat angin lesus dia lari
ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau
karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan
jatuh kedalam pelukan Tan Ciok-sing.
Pada saat itulah seorang mendadak membentak beringas:
"Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau lari?"
Seorang membentak dengan bahasa Mongol: "Kalian berani
mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi ampun kepada
kalian." Suaranya keras berisi dan memekak telinga, jelas kedua
orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan Milo
Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yuhian-
ong. "Jangan gugup adik San,' biar kita adu jiwa dengan
mereka." Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan perasaan In
San. In San genggam tangannya, katanya tandas: "Aku sudah
menuntut balas, asal berada bersama kau, mati atau hidup
sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."
1939 Lahirnya saja Tan Ciok-jinj menghibur In San, pada hal
hatinya sudah putus asa. Maklum meski Lwekangnya
belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tanghay-
Iiong-ong, apalagi lawan ditambah Milo Hoatsu yang
setaraf dengan Tang-hay-Iiong-ong.
Di kala menghadapi mati atau hidup, timbullah cinta sejati.
In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah besar
untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi
sudah merupakan pernyataan tegas melebihi rangkaian katakata
mutiara yang tiada artinya. Memperoleh dukungan batin,
meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing berani
menantangnya. Diapun genggam tangan In San, katanya
perlahan: "Adik San, kau benar, bila kita bersama, entah mati
atau hidup, hatikupun amat senang." Tang-hay-Iiong-ong
sudah muncul di hadapan mereka sambil menenteng sepasang
senjatanya yang berat. Sementara Milo Hoatsu memilih
kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari
samping, sikapnya santai, yang terang dia sudah mencegat
jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.
Setahun ini Tang-hay-Iiong-ong sudah memikirkan cara
untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini
dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan,
pikirnya: "Sejak mereka menerjang keluar dari Onghu, In San
budak ini baru saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas
banyak terkuras. Titik kelemahan inilah yang akan kucecar,
memangnya tak mampu mengalahkan mereka?" Memang
muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia
berhasil menangkap kedua pembunuh ini dan diserahkan
kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih disegani.
Ternyata Milo Hoatsu juga punya perhitungannya sendiri, di
Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan Tan dan In, dia
tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang
mereka, kali ini dia terima berdiri di samping menjadi
penonton saja, biar Tang-hay-Iiong-ong terjun pada babak
1940 pertama, bila tenaga kedua pihak sudah terkuras, dengan
mudah dirinya akan menyerap keuntungan.
Diluar tahu Tang-hay-Iiong-ong, ternyata perhitungannya
meleset, benar setahun ini ilmu silatnya maju pesat, tapi Tan
dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan Ciok-sing malah
jauh lebih hebat. Permainan sepasang pedang mereka kini
semakin serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing
bersilat sendiri-sendiri, namun permainan mereka menuruti rel
sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan tiada titik
kelemahannya. Sepasang gaman berat Tang-hay-Iiong-ong memang
mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur,
sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala
benderang, bianglala laksana kilat menyamber. Terdengar
"Tring" sekali, kembang apipun berpijar, pedang mustika Tan
Ciok-sing telah membentur gaman di tangan kiri Tang-hay-
Iiong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung
dengan gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar
sehingga Tang-hay-Iiong-ong seperti terbungkus didalam sinar
pedang. Begitu senjata beradu, sebetulnya Tang-hay-Iiong-ong
hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana daya
membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman
kanannya ke arah In San mengenai tempat kosong, karuan
kejutnya bukan main, pikirnya: "Bukan saja Kiam-hoat bocah
ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga maju pesat."
Mendadak Tang-hay-Iiong-ong menghardik, sepasang
senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San, denggn
enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan
Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar
pada posisi lain. Dalam waktu yang sama, pedang Tan Cioksing
laksana pelangi tahu-tahu dari sela-sela sepasang gaman
lawan menusuk dada.
1941 "Serangan bagus." Hardik Tang-hay-Iiong-ong, tusukan dia
robah menjadi menangkis. Sepasang gamannya melintang
dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia
hendak menggempur hancur pedang lawan. Tapi pada detik
itu, In San telah menerjang maju pula, ujung pedangnya
memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk Hong-hu-hiat di
punggung Tang-hay-Iiong-ong.
Mata dan kuping Tang-hay-Iiong-ong dipasang sejeli radar,
sudah tentu dia tidak gampang dilukai. Kungfunya memang
sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik
kembali, begitu merasa punggungnya diserang, secara reflek
gaman di tangan kiri berputar balik dengan jurus Wi-seng-jianjin,
tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa dipencar,
tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan
sendirinya berkurang, pedang mustika itu mengikis naik terus
menusuk, sementara In San melayang lewat, kembali berkisar
ke arah lain menyergap pula dari posisi yang berbeda. Kalau
Tang-hay-Iiong-ong tidak gesit dan tangkas melayani
perobahan, jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh
pedang Tan Ciok-sing.
Setelah berlangsung sepuluh jurus Tan Ciok-sing insyaf
Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang senjata
lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus
kembangkan ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat
tinggi yang akhir-akhir ini berhasil dipahami, gerak gerik
pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih
mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan. In San bisa
mengikuti permainannya dengan cukup baik, berputar
menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di kala
Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan
mereka, jurus-jurus pedang permainan mereka sering
menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar posisi
yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.
1942 Tan dan In merubah permainan pedangnya pula, pedang
dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya
pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin
lincah, wajar dan mantap. Dalam beberapa gebrak sekejap itu,
beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami bahaya, kalau
lawan tidak kuatir akan sepasang gamannya yang berat,
mungkin dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan. Mau
tidak mau terkejut hati Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia
sadar, dalam setahun ini, usahanya mencipta suatu cara untuk
memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum
mampu menandingi kemajuan lawan pula.
Semula Milo Hoatsu berpeluk tangan, pikirnya setelah
kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke arena,
kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir:
"Jikalau aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak
akan kuat bertahan seratus jurus, akhirnya pasti Tang-hayliong-
ong saja yang terluka parah, jadi bukan gugur bersama."
Betapapun dia adalah seorang guru silat kenamaan, malu
kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata:
"Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu
menandingi sepasang pedangnya, jadi aku tidak usah
membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut, menangkap
pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada
Khan besar. Mereka berani membuat keributan di negeriku,
jadi aku menjalankan tugas bukan karena dendam pribadi,
maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala
bukan?" Dia mencari alasan supaya tidak malu terjun ke arena,
sekaligus memberi muka kepada Tang-hay liong-ong pula.
Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang
pedang lawan, pertempuran sedang mencapai puncaknya,
hakikatnya tidak mampu menyambut pernyataannya.
1943 Tan Ciok-sing malah yang menjengek dingin: "Tadi sudah
kutantang kalian maju bersama, berani maju silakan, buat apa
cari alasan. Omong kosong melulu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Bocah sombong, biar kau
tahu keliehayanku." Dari nadanya orang pasti menyangka dia
akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara
di timur menggempur ke barat, mendadak jarinya
mencengkram ke arah In San. Dengan harapan sekali labrak
tujuan berhasil.
Tak nyana perhitungan yang muluk-muluk ternyata gagal.
Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin, gerak pedang
merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik
bahaya, semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan
gabungan pedang.
Begitu jarinya luput mencengkram, kesiur angin dingin
disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya
malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar
Ih-khi-hiat di ketiak kanan kirinya. Agak gugup Milo Hoatsu
menjentik jari tapi pedang In San tidak berhasil diselentik,
namun In San merasa pergelangan tangannya seperti digigit
semut, di samping panas ternyata agak linu. Hanya sedikit
pengaruh saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat
dan setangguh semula. Milo Hoatsu dapat memanfaatkan
kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus
menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang
lawan. Cepat sekali gaya pedang Tan dan In berputar arah,
dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata dirangsak
lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan
gaman Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka
susah dilukiskan dengan kata-kata. Rangsakan Tang-hayliong-
ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah jalan.
"Sret, sret" dua kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu
In San memunahkan sejurus serangan Tang-hay-liong-ong,
1944 dengan perlahan dia berkata: "Di mata ada musuh di hati
tiada lawan." Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tanhong,
maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat
tangguh, jangan ambil dalam hati, lahir batin harus dipusatkan
dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf lupa akan
anlaia musuh dan diri sendiri. Tapi setiap gerak serangan
lawan harus diperhatikan dengan seksama. Kalau diartikan
secara modern pada jaman ini, yaitu di medan laga musuh
dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh harus
dihargai. Lekas sekali In San sudah memadukan lahir dan batin,
dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya semula,
bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik
dikembangkan mencapai puncaknya. Tidak memburu menang
atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama
dan gengsi, segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap
dari benaknya. Karena itu gerak pedang mereka semakin
santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus. Keadaan
yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih
mantap. Pertandingan semakin seru dan seimbang.
Di tengah pertempuran sengit itu mendadak Tang-hay-
Iiong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit seperti
ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum. Kiranya
Tan Ciok-sing menggunakan cara mengumpul tenaga pada
satu titian, menyerang satu titik kelemahan lawan dari ajaran
Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu ujung
pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-butthoan-
kang. Walau Tang-hay-Iiong-ong tidak mengalami lukaluka,
tapi di saat mengalami sergapan tidak terduga ini, di kala
dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga kekuatannya
banyak terpengaruh. Jurus yang seharusnya menyerang In
San itu menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya
berhasil ditangkis pergi oleh In San.
1945 Tapi cara Ciok-sing ini hanya khusus menghadapi Tanghay-
Iiong-ong, maklum gaman Tang-hay-Iiong-ong yang
terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan
tenaga. Sebaliknya Milo Hoatsu menggunakan kasa yang
lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan menandingi tenaga
kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari Tang-hay-
Iiong-ong. Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah
mengukur kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu
punahkan serangan lawan, maka dia tidak perlu menggunakan
caranya itu. Diam-diam Tang-hay-Iiong-ong mengeluh, batinnya: "Kalau
begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan tenaga
dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama
Tan Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keuntungannya." Meski akibat dari pertempuran ini pihak
mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi mana mau dia
sendiri yang dirugikan?"
Pedang Tan Ciok-sing teramat cepat, dengan gerakan kilat
dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung pula
dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal,
dengan mudah rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.
Dalam pertempuran sengit itu, hakikatnya Tang-hay-liongong
tidak berani pecah perhatian untuk bicara, terpaksa hanya
mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat
kepada Milo Hoatsu. Mendadak Milo Hoatsu membentak
dengan bahasa Mongol: "Kerahkan setaker tenagamu
menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."
Tang-hay-liong-ong bimbang, ya berani ya takut,
semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi
kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi
serangan Tan Ciok-sing yang selalu menguras tenaganya, dari
pada akhirnya gugur bersama, lebih baik menerima anjuran
Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak
dirinya sehingga mengalami kerugian yang fatal. Mungkin dia
1946 sudah mempunyai akal yang meyakinkan untuk merobohkan
kedua musuh ini." Demikian batinnya. Segera Tang-hay-liongong
bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan
pedang lawan yang sudah manunggal hakikatnya tidak
dihiraukan lagi.
Tan Ciok-sing boleh tidak pikirkan keselamatan jiwa raga
sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi perhatiannya
juga. Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia
kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu
sasaran di tubuh lawan pula.
Cepat sekali, dalam waktu yang sama Milo Hoatsu pun
sudah melontarkan Toa-jiu-in menggablok punggung Tan
Ciok-sing. Kalau Tan Ciok-sing mau menghindar, sebenarnya dia
masih sempat meluputkan diri. Tapi dia lebih mementingkan
keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri" "Ting"
ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu,
Tan Ciok-siiig kontan melancarkan serangan mematikan
dengan jurus Lam-to-jit-sing, secepat kilat pedangnya
menciptakan tujuh kuntum sinar kembang, kebetulan
bergabung dengan gaya pedang In San pada puncaknya.
Lwekang Tang-hay-liong ong sudah terkuras sedikit demi
sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya dia
pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu
melawan dan menghindar dari tujuh serangan pedang yang
mematikan ini. Terdengar mulutnya menjerit ngeri, didalam
sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liongong
dihiasi tujuh luka-luka pedang. Dua tempat telak
mengenai Hiat-tonya yang mematikan, meski dia memiliki
Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan lagi. Di
tengah jeritan itu badan Tang-hay-Iiong-ong tumbang sekaku
balok terus menggelinding ke bawah lembah.
Tapi di waktu Ciok-sing berhasil melukai Tang-hay-Iiongong,
punggungnyapun menerima gablokan keras Milo Hoatsu.
1947 Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan
memutus Ki-keng-pat-meh. Ternyata Milo Hoatsu sengaja
mengorbankan Tang-hay-Iiong-ong untuk menyergap lawan
merebut kemenangan.
"Huuuaaah". Tan Ciok-sing tumpah darah sebanyakbanyaknya.
Bentaknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau."
Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar.
Kaget In San bukan kepalang, teriaknya: "Toako, kenapa
kau?" Tan Ciok-sing menarik napas panjang, sekuatnya dia
bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka
dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak
gigi: "Tidak apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata
ada musuh, dalam hati tiada lawan."
Kejut Milo Hoatsu lebih besar dari In San, baru sekarang
dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja tangguh
juga murni, jauh melebihi dugaannya.
In San singkirkan segala pikiran, menghimpun semangat
mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan pedang
mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah.
Kalau dulu setiap melancarkan gabungan pedang, Tan Cioksing
selalu menjadi poros utama sebagai soko kekuatan
manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In
San. Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk
gunung, apa daya tenaga tidak sampai, hakikatnya sudah
tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi disini dan kali
ini dalam menghadapi ujian berat, In San membuktikan
kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya
sebenarnyapun mampu berdikari di samping membantu
rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang Tan Cioksing
berhasil ditambalnya. Mau tidak mau Milo Hoatsu
terkejut: "Makin tempur kenapa budak ini makin gagah
malah." 1948 Sayang bekal Lwekang In San betapapun terpaut jauh
dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus
berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha
mengembangkan kekuatan ilmu pedangnya, sukar untuk
memukul mundur musuh. Tapi karena dia nekat dan
merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hiduphidup
Milo Hoatsu memerlukan waktu dan kesabaran, dalam
waktu singkat jelas tidak mungkin.
Tan Ciok-sing masih payah, deru napasnya makin berat dan
tersengal. Di saat genting dan tegang itu, terdengar suara
ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong
memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.
Di bawah lembah Yu-hian-ong menemukan jenazah Tanghay-
Iiong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya: "Tan Cioksing
anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak
mencacah tubuhnya menaburkan abunya, sungguh tidak
terlampias penasaranku. Koksu silahkan mundur." Dia kuatir
Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka dia
berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk
membunuh Tan Ciok-sing berdua.
Harapan In San ialah dapai gugur bersama di pelukan Tan
Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia tidak
takut. Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya
terjatuh di tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat
tangguh, kuatirnya dengan sisa tenaganya bila dia membunuh
diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya, maka dia
nekat, pikirnya: "Untuk menyelamatkan diri jelas tidak
mungkin. Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan
kutunggu Sing-ko dalam perjalanan ke sorga."
Karena putus asa diam-diam dia sudah kerahkan Lwekang
hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah di
saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang
membentak dari atas puncak: "Yu-hian-ong, kau
menginginkan putramu tidak" Berani kau mengusik seujung
1949 rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini
ke bawah jurang." Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hianonij
kaget dan ketakutan, teriaknya. "Koksu harap berhenti
sebentar "
Waktu orang banyak menengadah, tampak di puncak atas
berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas kepalanya
seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra
tunggal Yu-hian-ong.
Siau-ongya berkaok-kaok: "Ayah, bebaskan mereka.
Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh membalas
budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak
mau mati bersama tuan penolongku."
Perobahan yang tidak terduga ini, bukan saja Milo Hoatsu
amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai tidak
percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang
menyandera Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.
"Apakah orang yang memberi laporan rahasia kepada Yuhian-
ong bukan dia?" Demikian batin Tan Ciok-sing. Semula
mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari
kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus
tumbang. Yu-hian-ong seperti tidak kenal Buyung Ka, bentaknya:
"Siapa kau" Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau
mencelakai putraku?"
Mendengar seruan Yu-hian-ong, In San pun ikut bimbang,
bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya: "Mungkin
kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"
"Ongya," seru Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, "kau
suruh orang membunuh putra Jendral Abu, aku hanya
membekuk putramu sebagai sandera saja."
Yu-hian-ong gusar, bentaknya: "Omong kosong, mana ada
kejadian itu."
1950 Siau-ongya tiba-tiba berteriak: "Ayah, urusan sudah sejauh
ini, terpaksa aku bicara sejujurnya. Kau suruh Jik Thian-tek
menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri
mendengarnya. Hari itu secara diam-diam aku menguntit Jik
Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap A
Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku
menguntit mereka di tengah jalan aku kepergok seekor badak
bercula, untung kedua orang Han itu yang telah menolongku
serta membunuh badak itu."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ongya,
puteramu sendiri yang membeber rahasia ini, masih berani
kau mungkir?"
Sudah tentu pasukan yang hadir di sekitarnya amat kaget
mendengar 'pengakuan' Siau-ongya. Mereka adalah anak buah
kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin
mereka berusaha membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi
mereka menguatirkan keselamatan Yu-hian-ong karena
kejahatannya terbongkar. Serta merta dalam hati mereka
membatin: "Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau
dia berhasil meringkus salah satu pembunuh itu dan
menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi akan
kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan
menggemparkan."
Apa yang dipikirkan orang banyak sudah tentu juga terpikir
oleh Yu-hian-ong, katanya: "Baiklah, anggaplah aku mengaku
kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"
"Soal apa yang perlu dirundingkan" Taripku tidak boleh
ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa mereka berdua,
jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu,
cuma asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia
menghadap dan mengadukan persoalan ini kepada Khan
Agung." "Baik, aku setuju untuk menukar mereka dengan puteraku,
kau bebaskan dulu puteraku."
1951 "Kita bebaskan bersama, aku tak takut kau main licik, kau
tak usah kuatir aku bakal mencelakai puteramu. Orangmu
sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati
terhadap kalian."
"Baik, satu, dua, tiga. Kita bebaskan bersama."
Tan Ciok-sing menarik napas menahan sakit terus lari ke
atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya masih
lebih cepat dari Siau-ongya. Yu-hian-ong memang tidak suruh
anak buahnya membidik dengan anak panah.
Di tengah jalan Ciok-sing bertemu dengan Siau-ongya,
katanya lirih: "Siau-ongya kau memang setia kawan, terima
kasih." Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Yu-hian-ong.
Tan Ciok-sing sudah lepaskan tangan Siau-ongya, dengan
cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya: "Dia adalah
tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah
jangan kau terlalu curiga."
Siau-ongya kembali di samping ayahnya, sementara Tan
Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di
atas puncak. "Tan-toako, beratkah lukamu," tanya Buyung Ka.
"Tidak apa-apa, aku bisa lari." Ujar Tan Ciok-sing
"Baiklah, jangan banyak bicara, kalian ikut aku saja." Ujar
Buyung Ka. Tan dan In ikut masuk kedalam hutan, pengurus rumah
tangga Abu ternyata sudah menunggu. Baru sekarang Buyung
Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong
mereka. Ternyata atas perintah Jendral Abu mereka datang
kemari untuk membantu. Melihat mereka terkepung, timbullah
akalnya, segera dia lari ke Onghu.
1952 "Aku membekuk Siau-ongya, ternyata Siau-ongya mau
kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri supaya aku
membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang
panah perintah ayahnya."
Tan Ciok-sing berkata: "Di Onghu kami pun pernah
mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia kawan."
"Hutang budi tahu membalas. Adalah pantas kalau dia
balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau selamatkan."
Haru hati Tan Ciok-sing, katanya setelah menghela napas:
"Buyung-heng, budi pertolonganmu, entah kapan aku bisa
membalasnya."
"Sekarang bukan saatnya basa-basi ambillah panah
perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah hadiah lagi,
Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau." Dia
keluarkan sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti
manusia, mirip orok yang baru lahir, Ho-siu-oh adalah obat
mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat sebesar ini,
jelas sudah ribuan tahun lamanya.
Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Obat mujarab yang jarang
ada, mana berani aku menerimanya."
Timanor pembantu Jendral Abu berkata: "Tan-toako, bicara
terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah
menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku
mengantar Ho-siu-oh ini. Aku tahu kau terluka cukup parah,
Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan luka-luka itu, kau
pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"
"Toako," ujar In San, "setulus hati Ciangkun memberi obat
ini kepadamu, boleh kau terima saja."
Apa boleh buat, setelah dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing
terima Ho-siu-oh itu. Waktu itu fajar hampir menyingsing,
terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.
1953 Panah perintah Yu-hian-ong ternyata besar manfaatnya,
tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka tembus
setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal
mereka orang Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.
Tiga puluh li setelah meninggalkan Holin, sepanjang jalan
ini sudah tiada pos penjagaan lagi. Lega hati ln San, katanya:
"Toako, bagaimana luka-lukamu" Mumpung tidak ada orang,
lekas kau makan Ho-siu-oh ini."
"Kita capai dulu gunung itu baru istirahat, aku masih kuat
bertahan, tak usah segera makan obat."
In San seperti juga Timanor, walau tahu Ciok-siong terluka
parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah teramat
kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah
perasaan lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata.
"Baiklah," katanya kemudian.
Tak jauh mereka berjalan, dari depan mendatangi
serombongan orang berkendaraan unta. Melihat mereka
orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan
pandangan heran dan penuh tanda tanya, tapi tiada yang
mencegat atau menegur. Agaknya mereka juga dirundung
banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang
lain. In San lewat dari samping mereka, didengarnya seorang
berkata: "Kupernah dengar, di atas gunung di depan itu ada
seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya
bukan dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar
menemukan dia."
Seorang lagi berkata: "Kabar angin belum bisa dipercaya,
aku lebih percaya tabib kenamaan di Holin. Kalau betul belum
bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."
Jarak makin jauh maka pembicaran selanjutnya tidak
terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib, ma
Dendam Iblis Seribu Wajah 2 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 9
^