Pendekar Pemetik Harpa 5

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 5


a kesempatan biar kujelaskan kepadamu."
Tan Ciok-sing buang segala kerisauan hatinya, dengan
seksama dia mendengarkan, untung Thio Tan-hong
menjelaskan panjang lebar dan mendetail, cara memberi
penjelasan pun gampang di mengerti. Kata Thio Tan-hong:
"Kalau masih ada bagian-bagian yang masih kurang jelas, asal
kau sudah paham dan hapal teorinya, kelak kau pasti akan
mengerti sendiri."
Kembali Tan Ciok-sing melengak dibuatnya, kenapa Thio
Tan-hong mengharap kelak dia memahaminya sendiri"
"Apakah Suhu hendak meninggalkan Ciok-lin?"
Berkata Thio Tan-hong lebih lanjut: "Aku berhasil
menciptakan Bu-bingrkiam-hoat, kuukir di atas dinding gua
batu. Murid besarku Toh Thian-tok adalah Ciangbunjin Thiansan-
pay, tapi dia belum tahu kalau aku telah menciptakan ilmu
pedang ini. Kelak kau berhasil mempelajarinya, kalau ada
kesempatan bertemu dengan Toa-suhengmu, boleh kau
wakilkan aku ajarkan ilmu pedang ini kepadanya Jikalau tiada
kesempatan bertemu, ya apa boleh buat. Ilmu silatnya kini
merupakan suatu aliran tersendiri, sukses yang dicapainya
kelak jelas masih di atasku, akupun tak perlu kuatir akan
dirinya." Lama Thio Tan-hong termenung seperti mengenang
sesuatu, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya: "Bulan
purnama malam ini sungguh amat indah, sayang tokoh-tokoh
seangkatanku, peduli dia musuh atau kawan, boleh dikata
sebagian besar sudah mendahului aku, tiada orang
241 menemaniku menikmati keindahan bulan. Ai, begini sunyi
dunia ini, aku terang takkan lama di dunia ini lagi."
Bergidik Tan Ciok-sing dibuatnya: "Suhu, selanjutnya Tecu
kan bisa selalu menemanimu."
"Kau memang anak baik, tapi usiamu masih teramat muda.
Bagaimana perasaan seorang tua, yang sebatang kara dan
hidup terasing lagi, jelas kau takkan bisa menyelaminya,"
setelah berkata kembali dia menepekur seperti tenggelam
dalam kehidupan masa lalu, tanpa berkesip dan tidak
bergeming pandangannya lengang ke permukaan danau.
Waktu Tan Ciok-sing hendak membujuknya lekas istirahat,
mendadak Thio Tan-hong keluarkan sebatang pedang panjang
dan sebilah pedang pendek ditaruh di atas meja, katanya:
"Aneh, entah mengapa perasaanku kok terasa agak ganjil,
banyak urusan yang ingin kubicarakan dengan kau. Marilah
kuceritakan riwayat dari sepasang pedang pusaka ini."
Tak ingin mengganggu hasrat orang, maka Tan Ciok-sing
diam saja serta pasang kuping.
"Ibu gurumu bernama In Lui, In Hou memanggilnya Kokoh
(bibi), tentunya In Hou pernah bicara hal ini kepadamu?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut, Thio Tan-hong l.alu
melanjutkan: "Kami adalah Suheng-moay, pedang panjangku
ini bernama Pek-hong (pelangi putih), pedang pendek miliknya
ini bernama Ceng-bing, bersama dia kami berhasil
menciptakan ilmu pedang gabungan, adalah karena ilmu
gabungan tongkat Hek-pek-moko terkalahkan oleh ilmu
pedang gabungan kami, maka dia kami tundukan dan
selanjutnya terima diperintah."
"Ibu gurumu paling menyukai alam permai didalam hutan
batu ini," jari-jari Thio Tan-hong memainkan air danau, seperti
mengenang masa lalu, sesaat kemudian baru dia melanjutkan:
"Usianya lebih muda dari aku, tak nyana dia justeru pergi
mendahuluiku. Karena Bu-bing-kiam-hoat belum berhasil ku
242 rampungkan, terpaksa aku menepati pesannya, sehingga aku
menetap belasan tahun didalam hutan batu ini. Belakangan
kudapati bahwa kesehatanku sudah banyak mundur, badanku
sudah loyo dimakan usia, kemungkinan Thian telah
menentukan nasibku. Maka kira-kira tiga hari yang lalu
sengaja aku mulai Pit-koan-lian-kang pula, harapanku pada
latihan terakhir ini aku bisa hidup beberapa kejap lebih lama
lagi demi mencapai cita-citaku yang terakhir. Pit-koan yang
kuperhitungkan tujuh hari terpaksa hanya tercapai tiga hari
karena kedatangan ketiga gembong iblis itu, celakanya adalah
Hek-pek-moko pun harus gugur karenanya."
"Suhu," ujar Tan Ciok-sing pilu, "inikan bukan
kesalahanmu..."
"Memang bukan kesalahanku." tukas Thio Tan-hong, "yang
benar mereka gugur karena aku betapapun aku amat
menyesal akan nasib buruk ini. Tapi untunglah aku telah
berhasil mendapat ilham tentang jurus terakhir dari Bu-bingkiam-
hoat itu, tadi aku kembali ke gua batu adalah untuk
mcngukii jurus terakhir ini di dinding balu dalam gua itu,"
sampai disim tilu tiba Thio Tan-hong mcnycimgai sedih,
katanya: "Paling ifchvk aku tidak menyia-nyiakan harapku Ibu
guru dan Hek-pek-moko, dan sekarang segalanya boleh dikata
sudah kucapai dengan sukses besar."
"Suhu berhasil dan sukses, memang patut diberi selamat"
"Lebih menyenangkan lagi pada detik-detik ajalku terakhir
ini, aku masih berkesempatan memperoleh seorang murid
penutup, tak perlu aku kuatir bahwa Bu-bing-kiam-hoat
selanjutnya tiada mendapat pewaris," sampai disini mendadak
dia bertanya kepada Tan Ciok-sing: "In Hou punya seorang
anak gadis bernama In San, dia pernah beritahu kepadamu?"
"Sebelum akhir hayatnya In Tayhiap pernah berpesan
supaya aku serahkan buku pelajaran ilmu golok, golok pusaka
dan lain-lain kepada putrinya."
243 "Baiklah, kelak setelah kau berhasil mempelajari ilmu
peninggalanku ini, aku masih ada sebuah pesan supaya kau
sampaikan."
"Silakan Suhu katakan," ujar Tan Ciok-sing.
Thio Tan-hong jemput pedang panjang, katanya: "Pekhong-
kiam ini kuberikan kepadamu, kuharap kau tidak
menyia-nyiakannya."
"Tecu, tecu mana mungkin berani menerima pusaka yang
tidak ternilai ini..."
"Anak bodoh, pusaka dari perguruan kita, kecuali kau
kepada siapa harus kuwariskan, memangnya harus kubawa ke
liang kubur" Toa-suhengmu kini adalah cikal bakal sebuah
aliran tersendiri, taraf kepandaian silatnya, kelak mungkin
masih lebih unggul dari aku, maka dia tidak perlu memakai
pedang ini."
Kalau tetap menolak, itu berarti aieman. Terpaksa Tan
Ciok-sing terima Pek-hong-kiam yang diberikan kepadanya.
Lalu Thio Tan-hong menjemput pedang pendek katanya:
"Ceng-bing-kiam ini, kelak tolong kau serahkan kepada putri
In Hou." Tan Ciok-sing menerimanya dengan hormat, sahutnya:
"Tecu terima perintah."
Dengan wajah berseri Thio Tan-hong berkata lebih lanjut:
"Pedang ini memangnya pusaka warisan keluarga In, In Hou
sudah meninggal, kini tinggal putrinya saja yang masih hidup
dari keluarga ln, maka pedang ini adalah pantas kalau kembali
ke tangannya. Kuharap kau maklum kemana arah tujuan dan
maksudku, jikalau kalian bisa juga bergabung memainkan
sepasang pedang ini, itu jauh lebih baik."
Ceng-bing dan Pek-hong adalah sepasang pedang yang
dipakai Thio Tan-hong suami istri, pedang gabungan mereka
suami isteri pernah menggemparkan Kangouw. Kini Thio TanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
244 hong mewariskan pedang-pedang itu kepada Tan Ciok-sing
dan putri In Hou, malah ditambah serangkaian kata-kata lagi,
karuan Tan Ciok-sing bingung dan bimbang. "Apa maksud
Suhu sebenarnya" Apakah, apakah dia ada maksud... em,
baru saja aku masuk perguruan, dendam sakit hati belum lagi
kubalas, mana boleh berpikiran tidak genah?"
Thio Tan-hong seperti sedang memikirkan sesuatu, sesaat
lamanya mendadak dia berkata: "Bulan purnama malam ini
sungguh bagus sekali Sing-ji, coba kau petikan lagi lagu
Khong-ling-san. Kali ini harus kau lagukan selengkapnya."
Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Bagian belakang Khongling-
san yang mengenaskan, keadaan Suhu kelihatan agak
ganjil, kalau beliau mendengar lagu yang memilukan ini
mungkin tidak menguntungkan."
Agaknya Thio Tan-hong tahu jalan pikirannya, katanya
tersenyum: "Sudah lama Khong-ling-san putus turunan, boleh
dikata lagu ini merupakan ciptaan pujangga besar jaman dulu
yang tak mungkin dibanding oleh manusia kini, jikalau aku
dapat mendengar lagu ini selengkapnya, sungguh merupakan
suatu keberuntungan yang paling besar semasa hidupku ini.
Syukurlah kau pandai memetik lagu ini selengkapnya, biarlah
kau anggap sebagai hadiah kepadaku yang baru saja
kuangkat murid."
Merinding Tan Ciok-sing mendengar kata-kata gurunya,
seolah-olah dia dirambati firasat jelek yang bakal menimpa
gurunya. Tapi Thio Tan-hong sudah kebacut omong, jikalau
dia tidak memetik lagu itu, bukankah kelihatan belangnya
malah" Apalagi Thio Tan-hong menitik berat persoalan pada
"hadiah masuk perguruan".
Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing memetik lagu
Khong-ling-san. Semula perasaannya memang seperti
dipaksakan, tapi begitu irama harpa mengalun, tanpa terasa
dia pun harus memusatkan seluruh semangat dan
perhatiannya, lambat laun dia pun tenggelam dalam alunan
245 musik yang mengasyikan dan mengetuk sanubari. Lama
kelamaan alam sekelilingnya dirasakan seperti kosong dan
hampa, malah seakan-akan dia sudah melupakan bahwa Thio
Tan-hong berada di depannya.
Kepala Thio Tan-hong tertunduk, mata terpejam,
pikirannya terbayang pada kenangan lama, entah itu
kehidupan yang riang gembira atau pengalaman yang
meresahkan atau menyedihkan, suka dan duka sama
terbayang dalam benaknya... "Adik Lui, demi memenuhi
harapanmu, merampungkan Bu-bing-kiam-hoat, sehingga kau
terlalu lama menungguku. Sebetulnya tanpa kehadiranmu di
sampingku, umpama aku berhasil meyakinkan dan
menciptakan Kungfu yang paling top di dunia ini, kesenangan
apa pula yang kuperoleh."
Akhirnya petikan lagu Khong-ling-san berakhir, pelan-pelan
Tan Ciok-sing angkat kepalanya, tampak Thio Tan-hong duduk
tenang seperti padri samadi, ditunggu sekian lama tetap tidak
bergerak. "Suhu," teriak Tan Ciok-sing, setelah tidak melihat
reaksi atau jawaban Thio Tan-hong baru dia terperanjat,
dengan membesarkan hati, dia maju mendekat maksudnya
memapahnya, didapatinya Thio Tan-hong sudah meninggal.
Seorang maha guru besar persilatan, ternyata telah
mangkat dengan tenang setelah menikmati lagu petikan harpa
yang jarang bisa didengar oleh manusia siapa saja dalam
dunia ini, begitu wajar dan bebas Thio Tan-hong pulang
menghadap Yang Kuasa. Tapi Tan Ciok-sing justeru berduka
sekali. Kembang mekar musim semi telah tiba, kembang rontok
musim semipun telaTi berselang, tanpa terasa sudah tiga
tahun Tan Ciok-sing berdiam di Ciok-lin. Selama tiga tahun ini,
dalam jangka tiga bulan dia pasti turun gunung pergi ke kota
yang berdekatan membeli rangsum dan pakaian serta
peralatan sehari-hari yang diperlukan, kota yang berjarak tiga
246 puluhan li ini semakin gampang ditempuh dalam waktu
singkat. Penduduk kota kebanyakan orang-orang gunung yang
hidup sederhana dan jujur, kepada mereka dia membeli
rangsum dan keperluan lain, dari hubungan sekian lamanya
akhirnya dia punya beberapa teman.
Hari itu dia baru saja pulang dari kota, entah mengapa
hatinya amat gundah dan masgul. Dalam hati dia berpikir:
"Tempat ini memang terasing dari dunia ramai, entah apa saja
yang telah terjadi di dunia luar sana, patutkah aku
mengasingkan diri tanpa menghiraukan masyarakat umum"
Pusara kakek mungkin sudah ditumbuhi rumput liar" Ai,
dendam kakek dan In Tayhiap masih menunggu diriku untuk
membalasnya. Entah sampai dimana taraf Kungfuku" Kapan
aku baru tamat belajar?"
Maklum dia belajar tanpa bimbingan, apakah sekarang
Kungfunya sudah tamat, dia sendiri tidak tahu, tapi semakin
belajar dia semakin merasakan ilmu ciptaan Thio Tan-hong
yang satu ini ternyata memang mendalam, luas dan besar
sekali artinya, belajar tiga tahun ini, seakan-akan dia hanya
baru mempelajari kulitnya belaka.
Tapi mengingat tugas menuntut balas, betapa pun dia
harus belajar Kungfu. Sejauh ini dia masih merasa hasil yang
dipelajarinya sekarang masih belum cukup mampu untuk
menghadapi Lui Tin? gak, Siang Po-san dan le Cun-hong,
maka dia merasa perlu untuk belajar lebih tekun dan rajin.
Maka selanjutnya dia menekunkan diri dalam pelajaran
lwekang murni sesuai karya Thio Tan-hong, berhasil juga dia
mempelajari lwekang tingkat tinggi.
Entah berapa lamanya, mendadak dia merasa sekujur
badan panas membara, rasanya amat tersiksa, tak lama lagi
segulung arus panas tiba-tiba timbul dari pusar, dalam sekejap
saja lantas merembes ke seluruh badan. Rasa mual di dada
mendadak lenyap, badan segar dan nyaman sekali. Berhasil
247 meyakinkan ilmu lwekangnya, lekas Tan Ciok-sing berdiri,
hatinya kejut dan girang. Pikirnya: "Menurut uraian dalam
pelajaran, agaknya aku telah berhasil menjebol Ki-king-patmeh.
Memangnya, Iwekangku telah berhasil kuyakinkan?"
Setelah menarik napas dalam pelan-pelan dia berjalan
keluar gua, coba-coba dia berlari turun gunung. Bentuk Kiamhong
amat curam, biasanya dia harus
mengembangkan ginkang, toh juga harus berpegang pada
akar-akar rotan, tapi sekarang dia dapat lari seringan burung
dan tangkas seperti berlenggang di tanah datar tanpa banyak
ganti napas sekaligus dia lari tutun ke tanah datar di kaki
bukit. Sang dewi malam kebetulan bertahta di angkasa raya, air
danau tenang dan mengkilap bagai permukaan kaca. Alunan
gelombangnya yang lembut menggambarkan sinar bulan yang
beraneka bentuk dan warnanya. Keadaan ini tak ubannya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti keadaan tiga tahun yang lalu waktu gurunya
meninggal di tempat ini pula. Di pinggir danau yang sama,
suasana dan waktu yang sama pula. Tapi perasaan Tan Cioksing
sungguh berbeda sekali.
Lama dia termenung-menung, lalu pelan-pelan dia cabut
Pek-hong-kiam pemberian gurunya, sekali sendak berpetalah
ceplok cahaya pedang, mendadak dia jejak kaki badan
melambung tinggi ke angkasa. Di kala tubuhnya meluncur
turun dan hinggap di tanah, tampak ceplok-ceplok kembang
sama rontok berjatuhan di permukaan danau. Ternyata pada
puluhan kuntum kembang yang tumbuh di pinggir danau dia
telah mamapasnya sekelopak setiap kuntumnya, pohon tidak
bergoyang dahan tidak bergeming.
Saking girang Tan Ciok-sing sampai berjingkrak-jingkrak,
teriaknya: "Jurus terakhir dari Bu-bing-kiam-hoat akhirnya
berhasil kupelajari juga." "Besok aku boleh pergi
meninggalkan lembah ini, sekarang aku harus pamitan kepada
Suhu," baru saja dia berniat pergi ke pusara gurunya,
248 memberi laporan hasil yang telah dicapainya ini terhadap
arwah sang guru, mendadak pendengarannya yang tajam
mendengar sesuatu yang ganjil.
Ilmu silat Tan Ciok-sing sekarang sudah jauh berbeda dari
tiga tahun yang lampau, maka pendengaran dan
pandangannya jauh lebih tajam dari orang biasa. Begitu
merasakan ada sesuatu yang ganjil segera dia mendekam
menempel telinga ke bumi mendengarkan dengan seksama.
Betul juga di kejauhan didengarnya langkah dua orang yang
mendatangi. Kedua orang ini belum lama memasuki daerah hutan batu,
jaraknya masih cukup jauh untuk mencapai danau pedang.
Tapi Iwekang kedua orang ini agaknya belum setingkat Tan
Ciok-sing bahwasanya mereka belum atau tidak mendengar
suara tawa Tan Ciok-sing tadi, sebaliknya Tan Ciok-sing sudah
tahu akan kedatangan mereka.
Lekas sekali suara percakapan kedua orang itupun telah
terdengar. Suaranya seperti sudah amat dikenal, sekilas Tan
Ciok-sing melengak, akhirnya dia tahu siapa yang berbicara
itu, seketika hatinya berang.
Kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah Liong
Seng-bu yang mengatur tipu daya mencelakai Tan Ciok-sing
dan hendak merebut pusaka yang dimilikinya, seorang lagi
adalah le Cun-hong yang pernah bergabung dengan Siang Posan
dan Thi-ciang Siansu mengeroyok Hek-pek-moko.
Didengarnya Liong Seng-bu tengah berkata: "le-cengcu,
jikalau Thio Tan-hong belum mati, kita harus bertindak hatihati.
Menurut pendapatmu, apakah perlu aku menyaru jadi
Tan Ciok-sing bocah ingusan itu saja?"
le Cun-hong berkata: "Kalau Thio Tan-hong belum mati,
bocah itu tentu sudah menjadi muridnya, bagaimana kau bisa
memalsukan dirinya?"
249 Liong Seng-bu tertawa kecil, katanya: "Aku kan bisa
memutar balik persoalan, yang benar kukatakan palsu. Aku
kan memiliki kotak kayu dan Kiam-boh karyanya itu."
"Usia Thio Tan-hong memang sudah lanjut dan mungkin
sudah jompo, kurasa sukar kau dapat ngapusi dia."
"Ie-cengcu," ujar Liong Seng-bu, "'kita kan tahu kalau
bukan tandingan Thio Tan-hong, maka akalku ini kurasa perlu
dicoba, meski menyerempet bahayapun juga setimpal."
Sesaat lamanya baru terdengar le Cun-hong berkata:
"Menurut apa yang kutahu, tiga tahun yang lalu, Le Khongthian
bersama Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin pernah
meluruk ke Ciok-lin, tapi sampai sekarang tak pernah dengar
kabar berita mereka. Entah terbunuh oleh Thio Tan-hong,
atau Thio Tan-hong yang berhasil dibunuh mereka" Atau
mungkin pula mereka gugur bersama" Akan tetapi, baiklah
mereka kita perhitungkan yang paling buruk, bila mereka yang
terbunuh oleh Thio Tan-hong, sekarang Thio Tan-hong sudah
tua renta, setelah mengalami pertempuran sengit, sedikit
banyak pasti terluka dalam, yakin dengan golok cepatku, pasti
takkan terkalahkan olehnya?"
"Jadi kita putuskan untuk menggunakan kekerasan?" kata
Liong Seng-bu. Ie Cun-hong berpikir sejenak, katanya: "Tujuan kita hanya
mencari tahu keadaan. Boleh kau masuk memeriksa keadaan
didalam, aku akan sembunyi..." sembari bicara merekapun
telah tiba di mulut jalanan yang menuju ke danau pedang.
Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia melompat keluar
sambil membentak: "Kawanan tikus juga berani mengganggu
guruku." Liong Seng-bu berjingkat, teriaknya: "Saudara cilik, kau..."
-"Sret" pedang Tan Ciok-sing tahu-tahu sudah menusuk tiba.
250 "Trang" sekenanya Liong Seng-bu menangkis, kembang api
berpijar. Tahu-tahu pedang panjang di tangan Liong Seng-bu
sudah kutung menjadi dua. Dalam kerepotan untuk
menyelamatkan diri, lekas dia jumpalitan seperti burung dara
jungkir balik di udara, melompat jauh tiga tombak, seketika
dia merasa kulit kepalanya silir dan dingin. Waktu dia raba,
ternyata sebagian rambut kepalanya tercukur sebagian.
Hanya segebrak bukan saja Tan Ciok-sing mengutungi
pedangnya, hampir saja kulit kepalanyapun dibeset oleh
pedang Tan Ciok-sing, karuan bukan main rasa kaget Liong
Seng-bu. Tapi Tan Ciok-sing sendiri juga merasa diluar
dugaan. Maklum jiwa Tan Ciok-sing jujur dan bajik, tusukannya
tidak bermaksud menamatkan jiwa Liong Seng-bu, maksudnya
hendak menusuk hiat-tonya saja. Tiga tahun yang lalu
kepandaian Liong Seng-bu memang lebih tinggi, tapi juga
tidak terpaut banyak, oleh karena itu, Tan Ciok-sing kali ini
tidak menggunakan jurus mematikan dari Bu-bing-kiam-hoat
yang telah berhasil dipelajarinya. Walau demikian, dia yakin
Liong Seng-bu takkan mampu menahannya. Dia kira Liong
Seng-bu pasti takkan mampu melawan atau menangkis
gerakan pedangnya yang cepat, hiat-to lawan pasti tertusuk
dan menggeletak tak bergerak.
Pedang Liong Seng-bu memang tertabas kutung, tapi
betapapun orang telah menangkis serangannya, meski hanya
segebrak saja, tapi Tan Ciok-singpun tak mampu menusuk
hiat-to orang. "Apakah latihan ilmu pedangnya kini sudah jauh lebih
tinggi" Atau ilmu pedang yang kupelajari hakikatnya belum
tamat dan sempurna?" demikian batin Tan Ciok-sing.
Saking kaget dan jeri seperti copot arwah Liong Seng-bu,
lekas dia berteriak ke belakang serakan batu, teriaknya
melengking: "Bocah ini liehay sekali, Ie-cengcu, le-cengcu,
lekas, lekas kau ke mari."
251 000OOO000 Bahwasanya Ie Cun-hong tidak melihat gebrakan yang
berlangsung di antara mereka barusan. Begitu dia memasuki
mulut jalanan yang menuju ke danau pedang, sorot matanya
lantas ketumbuk pada dua gundukan tanah di sebelah sana.
Gundukan tanah yang pusara ini satu adalah kuburan Hekpek-
moko kawan Thio Tan-hong dari bangsa India. Sebuah
lagi adalah kuburan Thio Tan-hong.
Melihat kedua kuburan ini, girang Ie Cun-hong tak ubahnya
rasa kaget Liong Seng-bu sekarang, keadaannya sama-sama
diluar dugaan. Di kala Liong Seng-bu berteriak-teriak minta
tolong, diapun bersorak seperti orang putus lotre: "Thio Tanhong
sudah mati, sudah mati."
Thio Tan-hong yang paling ditakuti sudah mati, pembantu
utamanya yang amat diandalkan yaitu Hek-pek-moko juga
sama-sama mati, sudah tentu Ie Cun-hong tidak pandang
sebelah mata terhadap Tan Ciok-sing, bocah yang masih bau
pupuk bawang ini" "Hehehe, bocah ini mampu berbuat apa"
Liong-siangkong, jikalau kau takut, silakan menyingkir agak
jauh, biar aku yang bereskan dia," demikian seru Ie Cun-hong
pongah sambil terloroh-loroh.
Sayang Tan Ciok-sing tidak yakin akan diri sendiri, dia tahu
Ie Cun-hong adalah gembong silat yang cukup tinggi
kepandaiannya, jauh lebih hebat dibanding Liong Seng- bu,
pikirnya: "Mungkin aku bukan tandingannya, tapi hari ini aku
harus berani adu jiwa dengan dia."-"Sret" pedangnya segera
melancarkan jurus yang mematikan.
Ie Cun-hong luas pengalaman, melihat serangan pedang
Tan Ciok-sing mengambang, mirip jurus Hong-wi-loh-coan dari
Ceng-seng? pay, tapi juga mirip jurus Tui-jui-hu-ceng dari
Siong-san-pay, gaya pedangnya bergerak melingkar seperti
252 bundaran gelang, dimana letak kehebatannya sukar diraba,
karuan dia tertegun, "Ilmu pedang macam apa ini?" Cepat
sekali ujung pedang Tan Ciok-sing sudah memantulkan setitik
sinar dingin, mendadak sudah menusuk tiba di depan
matanya, cahayanya yang terang menyilaukan mata.
Tiba-tiba Ie Cun-hong menundukkan kepala, berbareng
golok cepatnya membabat, balas menyerang dia berusaha
membela diri, pedang dan golok tidak kebentur, tapi terdengar
suara "Bret" lengan baju Ie Cun-hong terpapas sebagian, tapi
kain ikat pinggang Tan Ciok-sing juga putus oleh babatan
golok lawan. Senjata tidak beradu, masing-masing dirugikan
sedikit, tapi hanya pakaiannya saja yang rusak, maklum
serangan kedua pihak sama cepat.
Sebetulnya jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing dapat
mengakibatkan Ie Cun-hong mati seketika atau luka parah,
sayang dia kurang yakin akan kehebatan ilmu pedang yang
baru saja berhasil diyakinkan, sedikit banyak dia masih gugup
dan tegang, sehingga Ie Cun-hong mendapat angin, gebrak
permulaan ini boleh terhitung seri sama kuat.
Diam-diam le Cun-hong amat kaget, "bocah ini ternyata
sudah terlatih baik," bahwasanya dia belum tahu bahwa Tan
Ciok-sing belum lagi memboyong kemahiran yang
sesungguhnya. Karena lengan bajunya sobek dia naik pitam,
bentaknya: "Anak keparat, berani kau melawan aku. Dalam
jangka sepuluh jurus, aku orang she Ie kalau tidak mampu
membunuhmu, bersumpah aku takkan bercokol di dunia ini.
Setelah kurenggut jiwamu, baru nanti kubongkar kuburan Thio
Tan-hong."
Mendengar orang hendak membongkar kuburan gurunya,
Tan Ciok-sing betul-betul naik pitam, hardiknya: "Berani kau?"
di kala dia bicara dua patah kata ini, sekaligus Ie Cun-hong
telah melancarkan tiga puluh enam jurus bacokan golok, ada
yang satu jurus tiga gerakan, ada pula yang sejurus empat
variasi, pendek kata, jumlah serangannya jelas sudah melebihi
253 sepuluh jurus, Tan Ciok-sing cuma balas menyerang tujuh
jurus, hanya sekali pedangnya beradu dengan golok lawan,
tajam golok le Cun-hong gumpil sebagian.
Tan Ciok-sing tenawa mengejek: "Sudah lewat sepuluh
jurus, bukankah tadi kau bersumpah" Memangnya kau ini
bukan manusia, tak peilu aku menuntut sumpahmu tadi."
Merah padam wajah Ic Cun? hong, sedapat mungkin dia
menekan hawa nafsunya, pikirnya: "Bocah ini memakai
pedang pusaka, aku harus kembangkan ilmu golok cepat
supaya dia tidak bisa mengutungi golokku," maka sambil
kertak gigi dia nekad melawan dengan sengit, permainan
goloknya dikembangkan semakin cepat, deru angin
menimbulkan lesus yang kencang.
Berpedoman pada petunjuk Thio Tan-hong, di mata ada
musuh, dalam hati tiada musuh, dengan membekal keyakinan
ini dimana sorot matanya bekerja, yang dilihatnya hanya
ujung golok lawan saja. Musuh tangguh atau lemah sudah
tidak menjadi perhatiannya lagi.
Bu-bing-kiam-hoat mengutamakan gerakan enteng,
menyesuaikan gelagat dan berubah menurut situasi,
kegunaannya serba lengkap. Begitu lawan membacok tiba,
secara reflek akan merubah gerakan melayani dan
memunahkan serangan lawan dengan gerakan yang wajar dan
tidak menggunakan sistimatis, namun setiap gerak dan
perubahan itu justru mencakup berbagai Kungfu dari segala
aliran. Semakin gencar Ie Cun-hong memberondong semakin
terasa bahwa permainan pedang bocah ini semakin
menakjubkan dan sekokoh dinding baja. Sebetulnya
permainan ilmu goloknya sudah diakui oleh umum merupakan
ilmu golok yang paling ruwet dengan beraneka macam gerak
perubahan dan-variasi, tapi ilmu pedang yang dimainkan Tan
Ciok-sing sekarang justeru beratus kali lebih luas dan rumit,
bukan saja lebih ragam tapi juga hebat dan lebih tinggi
mutunya dibanding ilmu golok sendiri. Sehingga semakin lama
254 keadaan le Cun-hong makin payah, karuan tak kepalang
kaget, bingung dan resah hatinya.
Semula Tan Ciok-sing tidak dilandasi keyakinan pada diri
sendiri, tapi semakin lama, sikap tempurnya semakin tenang
dan mantap. Pikirnya: "Aneh, tiga tahun yang lalu, waktu aku
meyaksikan permainan ilmu goloknya tidak bisa kuikuti
dengan jelas, tapi kini terasa permainannya bukan saja jelas,
tapi juga terasa sepele dan biasa saja, agaknya permainannya
mundur dan tidak lebih cepat dari tiga tahun yang lalu?"
Yang benar bukan karena ilmu silat Ie Cun-hong mundur,
tapi kemajuan yang dicapai Tan Ciok-sing selama tiga tahun
ini yang melampaui lawannya, maka apa yang dibanggakan Ie
Cun-hong sebagai "golok cepat", dalam pandangannya
sekarang hanya biasa saja.
Semakin tempur gerakan kedua pihak semakin keras dan
cepat, Tan Ciok-sing telah kembangkan Bu-bing-kiam-hoat
selengkapnya tanpa terasa permainannya sekarang betul-betul
sudah mencapai taraf yang dapat dibanggakan. Sinar pedang
dan kilat golok saling samber, laksana berpacu. Bagi Ie Cunhong
terasa bayangan Tan Ciok-sing berada di delapan
penjuru. Baru sekarang dia diam-diam merasa menyesal,
kenapa memandang enteng lawan cilik ini. Tapi menyesal pun
sudah kasep, dalam keadaan yang sudah kebacut seperti ini,
ada hasratnya melarikan diri, tapi tak kuasa dia menerjang
lolos dari kepungan jaringan cahaya pedang.
Pada puncaknya mendadak Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing
memelintir balik dengan putaran kencang, kembang cahaya
yang tercipta dari pedang pusaka itu seperti bintang-bintang
di langit beterbangan di udara, sehingga gelombang golok


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang digetarkan oleh permainan golok le Cun-hong semua
ditolak kembali. Sekonyong-konyong Ie Cun-hong berteriak
sekali, tubuhnya melambung jumpalitan sejauh tiga tombak.
Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Dia belum kalah,
kenapa mau lari, mungkin mau menipu aku?" bentaknya:
255 "Kalau berani jangan lari, hayo lawan aku tiga ratus gebrak
lagi," sembari bicara dia melintangkan pedang sambil pasang
kuda-kuda, seluruh perhatiannya tertuju ke arah lawan,
menunggu reaksinya.
Tapi terlihat olehnya Ie Cun-hong berdiri sempoyongan,
darah tampak meleleh dari ujung mulutnya, tiba-tiba "Bluk"
dia terjatuh dan menggeletak. Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak
percaya bahwa Raja Golok yang kenamaan ini, betul-betul
sudah mati terbunuh oleh dirinya, sesaat kemudian Ie Cunhong
tetap tidak bergerak, maka dia maju mendekat, sekali
kaki bergerak dia bikin tubuh Ie Cun-hong terguling dua kali,
baru sekarang dia tahu bahwa Ie Cun-hong memang sudah
mati. . Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, batinnya: "Kalau tahu
dia begini tidak becus, waktu bergebrak tadi seharusnya aku
tidak menggunakan sepenuh tenaga, supaya dia tetap hidup
dan tertawan untuk meminta keterangannya."
Maklum Tan Ciok-sing tidak yakin akan kemampuan sendiri,
kuatir bukan tandingan si "Raja Golok", maka begitu ada
peluang, secara reflek dia merangsak gencar sekuat tenaga.
Malah pada jurus serangan terakhir, ujung pedangnya berhasil
menusuk Hiat to mematikan tubuh lawan, lapi dia sendiri
masih belum tahu.
Menyesal juga Tan Ciok sing, kalau dirinya bisa
mengalahkan lawan, seharusnya ditawan hidup-hidup.
Ternyata dia ingin mengompres keterangan dari mulut le Cunhong
untuk menjawab tanda tanya yang selama ini masih
mengganjel sanubarinya yaitu apakah It-cu-king-thian Lui Tingak
sekomplotan dengan mereka, kini Ie Cun-hong sudah
mati, tanda tanya ini mungkin akan selalu bersemayam dalam
benaknya. Ie Cun-hong sudah mati, kan masih ada Liong Seng-bu.
"Mungkin Liong Seng-bu juga tahu akan rahasia komplotan
mereka?" demikian batin Tan Ciok-sing. "Liong Seng-bu,"
256 teriaknya, "keluar kau, aku tidak membunuhmu. Aku hanya
ingin kau berbicara jujur kepadaku." Suasana hutan batu
hening lelap, hanya suara air mengalir yang gemericik. Tapi
bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi. Tan Cioksing
sudah jelajahi seluruh pelosok hutan batu ini, namun
jejak Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.
"Sudah tiba saatnya aku harus meninggalkan hutan batu
ini. Sebetulnya tak perlu aku mengompres keterangan Ie Cunhong,
meskf kematian kakek bukan langsung di tangan Lui
Tin-gak, jelas pasti dialah biang keladinya. Kalau tidak
masakah kebetulan waktu itu dia berada di Cit-sing-giam pada
peristiwa itu terjadi.
Liong Seng-bu keparat ini biar kesempatan lain kubuat
perhitungan sama dia, masih banyak urusan lain yang perlu
kubereskan," lalu Tan Ciok-sing kembali ke gua batu, dia
benahi bekalnya, sekilas dilihatnya sepasang pentung Hekpek-
moko, sesaat dia jadi bingung, sudah tiga tahun lamanya,
tapi tiada murid keturunan mereka yang datang untuk
mengambilnya. Kedua tongkat coklat, bersama Pek-hong dan Ceng-bingkiam
merupakan senjata pusaka yang jarang ada di dunia ini,
pedang sih gampang dibawa kemana-mana, tapi kedua
tongkat itu agak menyulitkan, dibawapun menarik perhatian
orang, disimpan juga susah. Terpaksa Tan Ciok-sing
memendamnya didalam kamar batu, setelah keluar dia
sumbat mulut gua dengan batu besar. Dipandang dari bawah
Kiam-hong, kalau orang tidak tahu di atas puncak ada gua
batu, orang takkan bisa menemukannya. Apalagi bentuk Kiamhong
cukup curam dan tinggi laksana tonggak, tidak banyak
orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih jarang
pula orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih
jarang pula orang yang bakal menemukan gua itu. Kalau
betul-betul sampai tercuri orang, ya apa boleh buat.
257 Di depan pusara gurunya dia berdoa: "Hari ini Tecu mohon
diri untuk berpisah dengan kau orang tua, pesanmu pasti akan
kulaksanakan. Semoga Suhu di alam baka melindungi Tecu
sehingga berhasil menuntut balas," lalu dia duduk bersimpuh
serta memetik lagu Khong-ling-san sebagai sesajen
perpisahan. Rasa sedih dan senang serta terhibur sama menggelitik
sanubari Tan Ciok-sing, pikirnya: "Khong-ling-san pernah
putus turunan selama ribuan tahun, tapi apakah ilmu pedang
guru tidak bisa menjadi Khong-ling-kiam" Kelak pasti
kuserahkan kepada Toa-suheng biar dia yang
mengembangkan dan mewariskan kepada generasi
mendatang." Dia tahu angan-angan terbesar gurunya setelah
menanjak lanjut usia, yaitu menguatirkan Bu-bing-kiam-hoat
hasil jerih payahnya akan putus turunan seperti Khong-lingsan.
Keluar dari hutan batu, terasa cahaya mentari terang
benderang, cuaca cerah hawa sejuk. Tapi perasaan Tan Cioksing
justeru dirundung kekesalan. Dunia seluas ini, kemana
sekarang dia harus pergi, sesaat dia berdiri menjublek sukar
mengambil keputusan.
"Mati dan perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan.
Kakek sudah lama mati, pulang ke kampung halaman pun aku
tetap takkan bertemu dengan beliau, hanya besar hasrat juga
untuk bersembahyang di depan pusaranya. Sebaliknya nona
In menunggu selama tiga tahun, selama itu sang ayah yang
ditunggu-tunggu tak juga kunjung tiba. Ai, mati hidup sang
ayah masih merupakan teka-teki, menunggu sekian lama ini
betapa hatinya takkan rindu dan kuatir" Yakin penderitaan
lahir batinnya pasti akan lebih berat dari pada ia tahu kalau
ayahnya sudah lama meninggal." demikian batin Tan Cioksing.
"Penduduk kampung kemarin dulu pernah memberi tahu
bahwa pasukan Watsu telah menyerbu perbatasan dan kini
258 mengepung Gan-bun-koan. Kampung halaman In Tayhiap
berada di Tay-tong, letaknya persis di daerah Gan-bun-koan.
Jikalau aku tidak lekas kesana mencari nona In, kalau
peperangan sudah berlangsung, pasti sukar menemukan dia.
Apalagi dia seorang gadis yatim-piatu, sebatangkara lagi,
meski memiliki Kungfu, dalam masa kekacauan yang
berkecamuk ini, keselamatannya tentu selalu mengalami
bahaya. Jikalau terjadi sesuatu atas dirinya, bagaimana aku
harus bertanggung jawab kepada Suhu yang telah berpesan
sebelum ajalnya" Bukankah mengecewakan In Tayhiap pula
yang telah mempercayakan putrinya padaku?"
"Barang warisan In Tayhiap dan Ceng-bing-po-kiam milik
Subo harus secepatnya kuserahkan kepada nona In. Soal
inilah yang harus kukerjakan lebih dulu. Tak boleh aku
membuatnya menunggu lagi lebih lama. Tentang dendam
sakit hati kakek tertunda lagi beberapa lama juga tidak jadi
soal," setelah berpikir-pikir akhirnya Tan Ciok-sing ambil
putusan, soal menuntut balas boleh ditunda, lebih dulu ia
harus menuju ke Tay-tong mencari putri In Hou.
Dari Ciok-lin pergi ke Tay-tong yang terletak di San-he,
lebih jauh dari sini pergi ke kampung halamannya. Setiba di
dusun di bawah gunung, dia membeli seekor keledai sebagai
tunggangan, di tengah jalan sering dia ketemu rombongan
pengungsi, dari mereka dia tanya letak kota Tay-tong serta ke
arah mana dia harus menempuh perjalanan.
Tahu bahwa dia hendak pergi ke Tay-tong, para pengungsi
itu mengunjuk rasa heran dan curiga, tapi mereka memberi
keterangan juga. Jalan raya yang harus ditempuhnya sekarang
adalah menjurus ke selatan, lalu belok ke barat serta menuju
ke utara pula, lewat Jwan-tang masuk Ouw-pak menembus
Ho-lam terus masuk ke San-he. Jalan yang ditempuh ini jauh
lebih aman, cuma jaraknya lebih jauh, untuk mencapai tujuan,
sedikitnya dia harus memakan waktu tiga bulan.
259 Jalan lain yang bisa juga ditempuhnya menuju utara, dari
Tayli masuk ke Jwan-se, menembus Han-tiong, lewat Siampak
lalu langsung menuju ke San-he. Jaraknya lebih dekat
maka akan lekas sampai ke tempat tujuan pula, tapi jalan
yang harus ditempuhnya lebih sukar karena kebanyakan jalan
pegunungan. Sepanjang jalan ini sering diganggu brandal atau
penyamun. Kalau perjalanan ditempuh dengan cepat, kira-kira
dua bulan sudah bisa tiba di tempat tujuan.
Mengingat dia perlu segera tiba di tempat tujuan, maka
Tan Ciok-sing memilih jalan pendek. Dari Ciok-lin dia menuju
ke Tayli, perjalanan sejauh seribu li seluruhnya jalan
pegunungan yang berliku-liku, berbahaya lagi, terutama di
lamping gunung yang jalannya berbatu dan lenggang lenggok,
turun naik pula. Untung keledai yang dibelinya ini sudah biasa
jalan .di atas pegunungan, sehingga perjalanannya tidak
terlalu banyak terganggu.
Sudah lima hari dia menempuh perjalanan, dirinya masih di
tengah pegunungan. Untung In-lan termasuk daerah tropis,
hawanya sejuk cuaca baik.
Hari itu Tan Ciok-sing mencongklang keledainya melalui
sebuah selat gunung yang jalannya merambat ke atas secara
melingkar, tiba-tiba di depan sana kumandang suara seorang
yang bersenandung dengan nada tinggi berisi. Belum selesai
laki-laki ini bersenandung tiba-tiba didengarnya pula suara
gadis tertawa serta berkata: "Piauko selamanya belum pernah
aku melihat kau seriang sekarang. Soal apa sih yang
membuatmu senang?"
Laki-laki itu berkata: "Aku kuatir kau menderita dalam
perjalanan. Tadi bukankah kau masih juga kangen akan
kampung halaman?"
Pada waktu itu keledai Tan Ciok-sing sudah turun dari
pinggang gunung, dilihatnya di bawah pohon besar di pinggir
jalan sana tertambat dua ekor kuda putih, dengan pelananya
serba putih pula terbuat dari perak. Tan Ciok-sing tidak pandai
260 menilai kuda, tapi melihat bentuk kedua kuda putih ini, dia
yakin pasti kuda jempolan.
Melihat ada orang lewat mendekat, si gadis seperti malu
bermanis madu di depan orang yang tidak dikenal, cepat dia
menunduk serta ajak bicara kepersoalan lain: "Orang sering
bilang Thian-cu-bio paling tinggi dan Ang-wa-poh paling
berbahaya, ternyata memang tidak bernama kosong."
"Kiranya aku kini sudah tiba di daerah Ang-wa-poh,"
demikian batin Tan Ciok-sing. Dia tahu, dua hari perjalanan
lagi dirinya akan tiba di Tayli, perjalanan dua hari mendatang
jauh lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang,
semangat yang semula sudah luluh, seketika berkobar pula.
Didengarnya laki-laki itu sedang berkata: "Orang sering
berkata, panorama di Tayli paling memukau. Setelah
menempuh perjalanan jauh yang serba berbahaya ini baru
terasakan kebenarannya. Tuhan Yang Maha Kuasa memang
adil menata semua ini, seseorang harus mengalami derita
kehidupan baru akhirnya menikmati kesenangan nan tentram.
Begitulah gelombang kehidupan manusia umumnya."
Seperti mendengar kotbah saja Tan Ciok-sing manggutmanggut,
diam-diam timbul keinginannya berkenalan dan
bersahabat dengan sepasang muda mudi ini, maka dia bedal
keledainya ke bawah serta membelokkannya ke bawah sebuah
pohon besar lain yang tak jauh dari tempat duduk sepasang
muda mudi itu. Melihat Tan Ciok-sing seperti anak desa yang sederhana,
pakaiannya penuh debu lagi, tapi menggendong sebuah harpa
kuno, diam-diam si gadis menaruh perhatian padanya, tapi
hanya sekilas dia melirik terus berpaling lagi bicara dengan
sang pemuda yang dipanggilnya Piauko. Ternyata sang Piauko
lebih menaruh perhatian terhadap Tan Ciok-sing, tapi diapun
tidak menyapa. Malah sikapnya kelihatan sengaja dingin
terhadap Tan Ciok-sing.
261 Sudah tentu Tan Ciok-sing merasakan juga sikap dingin dan
kaku kedua muda mudi ini.
Kalau mau sebetulnya dia bisa turunkan harpanya serta
memetik sebuah lagu untuk menarik perhatian sang pemuda
sehingga orang akan ajak bicara padanya, tapi dia berpikir:
"Menilai seseorang tak boleh dari sikap lahiriah dan
tampangnya, bukankah Liong Seng-bu kelihatan cakap, ramah
tamah dan terpelajar" Sudah tentu muda mudi ini belum tentu
setype dengan Liong Seng-bu, tapi hanya mendengar
beberapa patah percakapan mereka lantas ingin bersahabat,
bukankah aku ini terlalu Jenaka, apalagi mereka sepasang
kekasih, kehadiranku disini jelas mengganggu kesenangan
mereka?" Benar juga pikirannya, terdengar sang gadis berkata sambil
berdiri: "Piauko, kita berangkat yok."
"Betul," ucap si pemuda, "lebih baik cepat-cepat
menempuh perjalanan, mungkin besok tengah hari kita sudah
bisa tiba di Tayli," mereka mencemplak kuda putih terus
dicongklang dengan pesat.
Tak enak Tan Ciok-sing ikut segera berangkat, dia tetap
istirahat di bawah pohon. Dilihatnya waktu kedua orang itu
hampir membelok ke tikungan di depan sana, entah sengaja
atau tidak si pemuda menoleh ke arah dirinya. Dilihatnya pula
si gadis mendekatkan kudanya serta mengulur leher membisiki
apa-apa di pinggir telinga si pemuda.
Sebetulnya pemuda itu seorang ahli dan berpengalaman
soal Kangouw, jauh lebih teliti dan cermat dari sang Piaumoay,
kalau sang Piaumoay hanya memperhatikan harpa kuno yang
digendong Tan Ciok-sing, tapi si pemuda juga telah menaruh
perhatian pada dua bilah pedang pusaka yang dibawanya.
Belum lama dan tentunya belum begitu jauh kedua muda
mudi ini pergi, tiba-tiba didengarnya suara bunyi tanduk ditiup
panjang seperti terompet, disusul suara suitan nyaring bunyi
dari bidikan panah bersiul. Bila hembusan angin pegunungan
262 tiba, sayup-sayup terdengar suara berisik dan gaduh dari
banyak orang yang sedang berkelahi.
Karuan Tan Ciok-sing kaget, lekas dia melompat ke
punggung keledainya terus dibedal ke depan sana, tampak


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kira-kira tiga li di depan sana tepatnya di bawah sebuah lereng
gunung, sepasang muda mudi itu sedang dikeroyok kawanan
brandal dan terkepung rapat.
Sepanjang pinggir jalan lereng gunung itu penuh ditumbuhi
rumput setinggi manusia, dalam semak-semak itulah kawanan
brandal menyembunyikan diri. Begitu mereka mencongklang
tiba kudanya, dari dalam semak-semak rumput sama
bermunculan gantolan-gantolan panjang, karena tidak
menduga, kaki depan kudanya tergantol sehingga sang kuda
tersungkur ke depan, dan si gadis jatuh dari punggung
kudanya. Tapi si pemuda lebih tangkas, dalam saat-saat
gawat itu, pecut di tangannya mendadak menggeletar, ujung
cambuk membelit naik dari bawah, belum lagi kaki si gadis
menyentuh tanah, tumitnya sudah terbelit cambuk, sekali
sendai lagi tubuh si gadis yang hampir ambruk itu tiba-tiba
melejit mumbul pula dan tepat melayang turun dan duduk di
belakang sang Piauko. Tapi kuda putih tunggangannya sendiri
sudah dibekuk oleh pentolan brandal.
Cepat sekali kawanan brandal itu sudah merubung maju. Si
pemuda menghardik: "Bagus, biar kuberi sedikit persen pada
kalian bangsat kecil ini." Karena tidak membawa senjata
rahasia, terpaksa dia merogoh segenggam uang tembaga,
Terdengar suara gerincing yang ramai, tiga senjata musuh
kena dipukul terbang, dua orang lagi tertimpuk uang tembaga
jatuh terguling-guling.
Tapi ada seorang laki-laki perawakan gagah tampang
bengis ternyata cukup liehay, hanya sekali tangan meraih,
lima keping uang tembaga kena ditangkapnya terus ditimpuk
balik ke arah si pemuda. Sekali pukul dengan Bik-khong-ciang
si pemuda merontokkan uang-uang tembaga yang hampir
263 makan tuannya, tapi ada satu di antaranya menyerempet
pelipis si gadis. Dan sini dapatlah dinilai bahwa tenaga dalam
laki-laki kasar ini sesungguhnya tidak kalah dari si pemuda.
"Piauko," teriak si gadis, "pedang pendekku ..." kiranya
waktu dia terjungkel jatuh dari punggung kuda, pedang
pendek kesayangannya baru saja terlolos keluar, karena tubuh
kebacut terjerembab sehingga dia tak kuasa memegangnya
dan jatuh ke tanah.
Terpaksa si pemuda putar balik tunggangannya, cambuk
terayun ujung cambuknya menggulung pedang pendek yang
menggeletak di tanah, sekali sendai pula pedang pendek yang
tergulung di ujung cambuk yang panjang itu tiba-tiba
meluncur ke depan sana menusuk ke tenggorokan laki-laki
kasar itu, karuan laki-laki gagah bertampang bengis itu
terkejut dan melompat mundur.
Tusukan pedang pendek itupun hanya gertakan saja, lekas
sekali si pemuda sudah tangkap pedang pendek sang
Piaumoay terus cemplak kuda kabur dari kepungan.
Agaknya si gadis masih tidak terima, teriaknya: "Piauko,
kuda tunggangan kita sebetulnya merupakan pasangan
juga..." jelas maksudnya merasa sayang kalau kudanya
terampas oleh kawanan brandal.
Si pemuda tertawa dan berkata lirih: "Piaumoay, asal kita
selalu berdampingan, apa halangannya kuda ini kehilangan
temannya, kelak kita masih bisa merebutnya kembali."
Merah muka si gadis, katanya: "Piauko, memang kau yang
betul hayo kita lekas pergi!" dia maklum dalam keadaan
seperti ini, meski Kungfu sang Piauko tinggi, jelas takkan kuat
menghadapi keroyokan kawanan brandal sebanyak itu,
kehilangan seekor kuda tidak jadi soal dari pada jiwa sang
Piauko melayang, terpaksa dia merelakan kudanya.
Kuda yang memuat dua orang ternyata larinya masih
kencang. Pentolan berandal menimpuk tiga batang Piau
264 terbang, dua batang dipukul jatuh oleh cambuk si pemuda,
piau ketiga jatuh belasan langkah di belakang mereka.
"Sayang, sayang," ujar pentolan brandal, "bakpau yang
sudah di depan mulut terlepas lagi."
Seorang Thaubak segera menghibur: "Untung kita berhasil
merampas kudanya yang bagus ini, tidak sia-sia perjalanan
ini." Seorang laki-laki yang menjadi wakil pentolan brandal itu
tengah menundukkan kuda putih yang berhasil mereka rebut
itu. Paha kuda teriuka oleh gantolan besi, darah meleleh,
lehernya sudah terjirat kencang, tapi dia masih bedal-bedal
dan meronta-ronta. Wakil pentolan brandal itu coba
menungganginya serta dilarikan ke lereng sana, mendadak dia
berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, hampir saja dia
terjungkal jatuh dari punggung kuda.
Berkerut alis kepala brandal, serunya: "Loji, kemarilah, biar
aku yang mencoba."
Jengah selebar muka wakil pentolan brandal, katanya:
"Sifat liar kuda ini sukar di tundukkan, mungkin hanya tenaga
Toako yang hebat itu dapat menundukkan dia."
Baru saja pentolan brandal maju menghampiri, tiba-tiba
didengarnya salah seorang anak buahnya berteriak girang:
"Eh, datang satu lagi."
Waktu kepala brandal ini berpaling, dilihatnya seorang
pemuda tanggung berpakaian orang desa tengah mendatangi
mencongklang keledai kurus kecil. Pemuda ini memanggul
sebuah kotak panjang, entah barang apa isinya. Tapi
pinggangnya kelihatan menonjol, bagi kepala brandal yang
pengalaman ini sekilas pandang lantas tahu bahwa yang
disembunyikan dibalik baju tersebut terdapat dua bilah pedang
panjang dan pendek. "Bocah ini agak aneh kelihatannya,"
demikian pikirnya, segera dia membentak: "Bocah keparat,
siapa kau, untuk apa kau kemari?"
265 "Kalian siapa" Apa kerjanya disini?" Tan Ciok-sing balas
bertanya. Kawanan brandal bergelak tertawa, kata salah seorang:
"Ah, kiranya bocah sinting, Toako, tak usah dihiraukan, sikat
saja sekalian."
Maka berhamburanlah anak panah ke arah Tan Ciok-sing.
Lengan baju Tan Ciok-sing yang longgar dan panjang
dikebutkan kian kemari menimbulkan deru angin kencang,
anak panah rontok dan bertaburan jatuh. Tapi hanya dia
sendiri yang selamat, celaka adalah keledainya yang terpanah
beberapa batang, cepat Tan Ciok-sing lompat turun sebelum
keledainya ambruk binasa. Teriaknya: "Keledai ini adalah harta
kekayaanku, kalian membunuhnya, hayo lekas ganti."
Kawanan brandal sama bergelak geli, serunya: "Kau ini
pura-pura pikun atau memang goblok" Membunuh orang pun
kita tidak perlu ganti jiwa, apalagi membunuh seekor
keledaimu, berani kau minta ganti malah?"
Pentolan brandal membentak: "Baiklah, kau ke mari,
tunjukan beberapa gebrak permainanmu, bila mencocoki
seleraku nanti kuganti berlipat ganda."
Kata Tan Ciok-sing: "Hidupku hanya menangkap burung
memancing ikan, permainan apa pula yang kubisa. Tapi aku
tahu aturan, hutang jiwa bayar jiwa, hutang harta bayar uang,
kalau kau tidak mau ganti, aku akan gugat kalian," dengan
mengembangkan ginkang Pat-pou-kan-sian, dalam jarak yang
dekat ini, larinya melebihi kecepatan kuda kencang, cepat
sekali dia sudah tiba di lereng dimana kawanan brandal masih
bergerombol. Baru sekarang kawanan brandal itu insaf bahwa bocah
kampungan yang tidak terpandang ini ternyata memiliki
kepandaian yang liehay, tapi mengingat dia hanya bocah
ingusan seorang diri lagi, maka mereka tetap tidak
266 memandangnya sebelah mata. Beramai-ramai mereka
merubung maju. Kepala brandal tiba-tiba berteriak: "Awas kalian," belum
lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya cahaya terang kemilau
menyilau mata, kiranya pedang Tan Ciok-sing telah terlolos
keluar. Belum lagi kepala brandal ini melihat jelas, delapan
brandal yang merubung maju itu sekaligus roboh terkapar.
Jumlah kawanan brandal ini kira-kira belasan orang, kini
separoh di antaranya dalam segebrak telah dirobohkan. Tiada
satupun yang kuasa bersuara atau bergerak, tapi tidak pula
tampak badan mereka cidera mengeluarkan darah.
"Celaka," teriak kepala brandal, "bocah ini pandai ilmu
siluman," sudah tentu kepala brandal ini tidak tahu kalau anak
buahnya sekaligus dalam segebrak itu telah tertusuk hiattonya
oleh kecepatan gerak pedang Tan Ciok-sing, maka dia
kira anak buahnya terbunuh oleh ilmu siluman bocah cilik ini."
Kaget dan marah pula kepala brandal ini, tetap bercokol di
punggung kuda putih dia ayun golok besar yang berpunggung
tebal itu terus membacok dengan Lat-pi-hoa-san mengincar
batok kepala Tan Ciok-sing. Cepat Tan Ciok-sing angkat
pedangnya menangkis, "Trang" lelatu api meletik, ujung golok
berpunggung tebal milik kepala brandal ternyata tertabas
kutung. Tapi Tan Ciok-sing juga rasakan pergelangan
tangannya kesemutan, hanpir saja Pek-hong-kiam tak kuat
dipegangnya lagi.
Kepala brandal ini ternyata kepala batu, golok sudah
buntung tapi dia rebut sebatang toya baja, dari salah seorang
anak buahnya, dengan gaya Thay-san-ap-ting kembali
mengepruk ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Kau punya
pedang pusaka aku juga tidak takut. Kalau kau mampu hayo
kutungi pula toya bajaku ini," toya merupakan senjata berat,
betapapun tajam pedang pusaka itu untuk memotongnya jelas
tidak mudah. Apalagi tenaga kepala brandal ini jelas lebih kuat
dari Tan Ciok-sing, berada di atas kuda lagi, Tan Ciok-sing
267 yang ada di bawah jelas kalah posisi, maka setelah dencing
benturan mereda, batang toya itu memang gumpil dan
tergores di banyak tempat. Sementara Tan Ciok-sing tertolak
jatuh terduduk di atas tanah.
Lekas kepala brandal menarik kendali mengeprak kuda
maju, toya di tangannya kembali terayun terus mengepruk
pula ke arah Tan Ciok-sing. Sementara lima brandal lagi yang
juga menunggang kuda mengeprak kudanya menerjang tiba,
pikirnya hendak menginjak-injak Tan Ciok-sing menjadi
pergedel. Ternyata tidak sia-sia Tan Ciok-sing menggembleng
diri selama tiga tahun ini, dalam saat? saat kritis itu,
mendadak dia meletik bangun selincah ikan, kini tiba saatnya
dia pamer kepandaian yang dipelajarinya dari ajaran Thio Tanhong.
Empat ekor kuda yang membedal kencang menerjang
tempat kosong. Cepat sekali dengan gerakan Di Tanah Kering
Mencabut Lobak Tan Ciok-sing sudah mencelat mumbul ke
atas setinggi satu tombak lebih, lebih tinggi dari kepala
brandal yang bercokol di punggung kuda. Bentaknya: "Hutang
jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang, kau harus
mengganti keledaiku yang mati." Sret, dari tengah udara tibatiba
pedangnya menusuk turun. Jurus ini dinamakan Bing-pohkiu-
siau, bukan saja gaya serangannya liehay dan ganas,
perubahannya pun menakjubkan dan sukar diraba. Meski
tinggi kepandaian kepala brandal ini, namun kapan dia pernah
menyaksikan apa lagi melawan ilmu pedang tingkat tinggi
yang liehay ini, belum lagi dia sempat mengerjakan toya
bajanya, pedang Tan Ciok-sing telah menusuk dirinya dengan
telak. Kini posisi berganti, kepala brandal tertusuk roboh dari
punggung kuda, dan kebetulan tubuh Tan Ciok-sing yang
meluncur turun hinggap di punggung kuda, setelah duduk
tegap di atas pelana dia membentak dengan suara dingin:
"Kalau tidak terima hayo kalian maju pula."
268 Kepala brandal ternyata tahu diri, jiwanya selamat karena si
bocah menaruh belas kasihan, kalau tidak jiwanya barusan
sudah amblas di ujung pedang orang, umpama selamat,
tulang pundaknya pasti tertutuk putus, berarti kepandaian
silatnya akan punah pula, karuan ciut nyalinya, tanpa banyak
bersuit lagi lekas dia mencemplak ke punggung kuda yang lain
terus dibedal lari turun gunung. Bahwa kepalanya lari sudah
tentu kawanan brandal lain yang segar lekas-lekas ngacir. Kini
kecuali delapan brandal yang tertutuk hiat-to nya dan tak
mampu bergerak itu masih ada seorang lagi, yaitu wakil
kepala brandal, sebetulnya besar juga hasratnya melarikan diri
sayang kuda putih yang ditungganginya itu tidak mau tunduk
akan kehendaknya.
Berkata Tan Ciok-sing seorang diri: "Kuda ini jelas tidak
sepadan dengan keledaiku, aku tetap dirugikan. Hehe, kuda
putih yang gagah ini sih boleh juga, biarlah kuda putih ini
yang kupilih sebagai gantinya."
Melihat orang menghampiri, sementara kuda yang
ditunggangi tidak mau tunduk hanya terputar-putar saja di
tempat, kini mendadak berjingkrak dan mumbul kaki
depannya, karena tidak menyangka, wakil kepala brandal itu
semakin gugup, dilihatnya Tan Ciok-sing memburu datang
pula, serasa terbang arwahnya, lekas dia berteriak: "Mohon
ampun Hoharl, biarlah kuda ini kuserahkan kepadamu," di kala
dia bicara ini kembali kuda putih melompat tinggi terus
berjingkrak pula, sehingga penunggangnya terlempar jatuh
terguling. "Kuda ini bukan milikmu, memangnya aku berterima kasih,
hayo enyah," bentak Tan Ciok-sing.
Babak belur dan benjut muka wakil kepala berandal, tanpa
hiraukan luka dan rasa sakit lekas dia menggelundung ke
bawah lereng tanpa berani bersuara.
Tan Ciok-sing lompat turun mendekati kuda putih serta
menepuknya perlahan, katanya tertawa: "Jangan kau umbar
269 adatmu kepadaku, mari kuantar kau menemui majikanmu,"
agaknya kuda putih ini memang cerdik dan pandai mendengar
ucapan manusia, sambil meringkik perlahan dia menunduk
dan mengelus kepalanya ke badan Tan Ciok-sing. Segera Tan
Ciok-sing membubuhi obat pada luka-luka di kaki depannya
setelah itu kuda putih menekuk kedua lutut depannya,
lagaknya seperti menyuruh Tan Ciok-sing lekas naik ke
punggungnya. Sebetulnya Tan Ciok-sing masih kasihan untuk
menunggang kuda yang terluka kakinya ini, tapi karena kuda
ini pandai menangkap ucapan manusia, mengingat lukanya
juga tidak parah, maka dengan tertawa dia berkata: "Baiklah
aku tahu kau ingin lekas bertemu dengan majikan, akupun
tidak perlu sungkan lagi."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jarak Ang-wa-poh sampai ke Tayli kira-kira hanya tiga ratus
li, dengan kekuatan lari kuda putih ini dalam satu hari dapat
ditempuhnya. Tapi kuatir luka-luka kakinya tambah berat, maka Tan Cioksing
tidak membedalnya lari kencang dia biarkan saja kuda ini
lari seenaknya maka di tengah jalan dia perlu menginap
semalam. Hari kedua pagi-pagi sekali Tan Ciok-sing sudah menempuh
perjalanan, setelah melewati jalan pegunungan yaug naik
turun dan berbatu-batu, kira-kira tengah hari dia sudah keluar
dari sebuah selat dan nampak di depan nan jauh sana
bayangan sebuah kota yang angker dan megah.
Saat mana sudah mendekati senja, mengingat dirinya harus
menemukan orang di kota Tayli, terpaksa dia abaikan
kesempatan menikmati panorama alam semesta nan indah
permai, kuda dibedal kencang. Mendekati kota, orang yang
berlalu di jalan raya semakin banyak, banyak orang-orang di
jalan sama memuji kuda putihnya yang gagah dan berlari
sekencang angin.
270 Hari sudah gelap Tan Ciok-sing baru memasuki Tayli,
setelah menemukan sebuah hotel dia menginap disini. Hari
kedua dia keluar menyirapi berita, namun karena dia tidak
kenal siapa nama kedua pasangan muda mudi itu, maka
hasilnya nihil, sehari penuh dia keluntang keluntung dalam
kota tanpa berhasil menemukan jejak kedua orang yang
dicarinya itu. Hari ketiga Tan Ciok-sing mendapat akal, pikirnya: "Dari
pada aku ubek-ubekan mencari mereka, kenapa tidak
berusaha supaya mereka yang mencari diriku. Jiang-san dan
Ni-hay merupakan dua obyek tamasya yang termashur di
Tayli, setiba disini kenapa tidak aku melancong kesana." Pagipagi
benar dia sudah menunggang kuda putih, sengaja dia
belak belok melewati jalan raya yang ramai tanya orang-orang
di jalanan minta petunjuk ke arah mana dia harus pergi untuk
menuju ke Jiang-san. Bahwasanya dari pemilik hotel tadi dia
sudah tanya arah dan letak Jiang-san, maksudnya itu bukan
lain hanyalah supaya menarik perhatian orang sehingga
terdengar oleh kedua muda mudi itu serta tahu dimana jejak
dirinya. Naik perahu mengarungi Ni?hay, tibalah dia di kaki Jiangsan,
puncak gunung diselimuti salju, namun di antara warna
putih salju yang mengkilap itu tampak juga warna coklat
kehitaman dari batu-batu gunung serta dahan-dahan yang
sudah gundul. Dari sinilah timbulnya nama tambahan "Tiamjong-
san" yang kenamaan itu.
Hari itu kebetulan hari libur di negeri Tayli, sehingga kaum
pelancongan tidak sedikit yang membanjir datang menikmati
keindahan alam Tiam-jong-san nan molek dan berhawa sejuk.
Setiap pelancong yang melihat kuda tunggangan Tan Cioksing
tiada yang mengunjuk jempol memuji kegagahannya.
"Sudah dua hari aku putar kayun mengelilingi kota dan
tempat-tempat ramai yang di kunjungi pelancongan, jikalau
benar majikan kuda ini berada di Tayli, tentu dia sudah dengar
271 akan diriku, biarlah aku segera pulang saja," demikian batin
Tan Ciok-sing setelah setengah hari menjelajah pegunungan
Tiam-jong-san. Setiba di kaki gunung, di antara lebatnya pepohonan daun
welingi dia berteriak memanggil tukang perahu. Tukang
perahu menyambut kedatangannya dengan tertawa, katanya:
"Siangkong, cepat betul kau kembali,"
"Jong-san sebesar dan seluas ini memangnya bisa
kujelajahi dalam setengah hari ini," ujar Tan Ciok-sing,
"cukuplah asal bisa sekedar menikmati keindahan nan permai
di gunung ini."
Senja telah menjelang, sinar surya yang hampir terbenam
keperaduannya memancarkan cahaya keemasan nan kemilau
di permukaan air, menambah asri, perahu-perahu layar para
nelayan yang berdendang lagu menyambut datangnya senja
kala mulai berlaju kembali ke pangkalan. Di saat Tan Ciok-sing
terpesona memandangi kesibukan para nelayan di tengah
danau ini tampak sebuah perahu pesiar jang dipajang molek
dengan layar lempit tengah berlaju ke arah sini mengikuti
angin buritan. Tukang perahu kelihatan tercengang, katanya: "Siau-ongya
memang suka melancong, hari sudah hampir gelap, dia masih
berada disini. Padahal, kau sudah menjelajah Jong-san dan
pingin pulang."
Tan Ciok-sing tercengang pula, katanya: "Siau-ongya dari
istana Toan maksudmu?"
"Kecuali istana Toan, di negeri Tayli kita ini memangnya
ada Siau-ongya kedua" Lo-ongya hanya mempunyai seorang
anak tunggal ini, namanya Kiam-ping."
"Jadi Siau-ongya ini suka berdarmawisata?" tanya Tan Cioksing.
"Ya, Siau-ongya suka pelesir.
272 Terhadap siapa saja dia ramah tamah, terhadap rakyat
jelata macam kamipun dia suka memberi hormat, tak pernah
dia jual tampang dan berlagak sebagai pangeran.
"O, apa ya, agaknya dia seorang pemuda yang baik," ujar
Tan Ciok-sing "Memangnya Siau-ongya kita ini laki-laki yang jarang ada
bandingannya. Kabarnya ilmu sastra dan ilmu silat sama-sama
tinggi tingkatannya. Dalam Onghu betapa banyak guru-guru
silat, namun hanya beberapa saja yang mampu menandingi
dia. Cuma ada satu hal cirinya."
"Ciri apa?" tanya Tan Ciok-sing. "Sebetulnya juga bukan ciri
jelek. Kita kan rakyat jelata, semua sama menyanjung dan
mencintainya, sayang dia tidak pernah berbuat seperti yang
kita harapkan, karena itulah kita merasa sedikit masgul."
"Soal apa bikin kalian masgul karenanya," tanya Tan Cioksing
pula. "Sampai sekarang dia masih belum menikah," sahut tukang
perahu. "Mungkin Lo-ongya merasa usianya masih kecil, maka
belum mencarikan jodoh baginya. Memangnya soal jodoh
perlu dibuat heran."
"Kita sudah biasa memanggilnya Siau-ongya sebetulnya
usianya tidak kecil lagi, tahun ini dia sudah dua puluh delapan
tahun." "Kalau dia pandai sastra mahir silat, sepantasnya kalau
istrinya itu seorang yang sepadan."
"Soal jodoh kan tidak boleh dipaksakan" ujar Tan Ciok-sing
tertawa. "Ucapanmu memang tidak salah Siangkong," ucap tukang
perahu. "Lo-ongya sangat sayang padanya, maka dia serahkan
soal jodoh kepadanya. Entah berapa banyak comblang yang
273 hilir mudik keluar masuk istana, tapi semuanya ditampik
mentah-mentah."
Di kala mereka bercakap-cakap ini, perahu hias yang
megah itu jaraknya sudah semakin dekat. Tiba-tiba di
dengarnya dering suara senar harpa dipetik dari dalam perahu
hias itu. Karuan Tan Ciok-sing menoleh dengan tertegun.
"Sering Siau-ongnya di kala pesiar di danau, main catur,
melukis atau main musik di atas perahunya," demikian kata
tukang perahu geli melihat sikap dan mimik Tan Ciok-sing
yang lucu seperti orang kampungan.
Bahwasanya Tan Ciok-sing bukan tertegun karena Siauongya
ini mahir memetik harpa. Dia heran karena dia merasa
kenal betul akan irama harpa itu. Siapa saja bila dia pandai
memetik harpa, harpa macam apa saja tentu mudah dipetik,
tapi bagi seorang ahli dia pasti bisa membedakan perbedaan
antara irama harpa yang satu dengan harpa yang lain, apalagi
orang macam Tan Ciok-sing cucu Ki Harpa yang sejak kecil
sudah belajar seni harpa. Sekali dengar lagu petikan harpa
dari perahu hias Siau-ongya dia lantas tahu, bahwa harpa
yang dipetik itu adalah harpa warisan keluarganya itu.
Waktu meninggalkan hotel tadi dia titipkan harpanya itu
kepada pemilik hotel. Pemilik hotel kelihatan seorang yang
jujur dan dapat dipercaya, maka dia yakin harpanya itu tidak
akan hilang, apa lagi bentuk harpa antik itu sudah kelihatan
usang. Tapi disini dia justru mendengar petikan lagu dari
harpa antik miliknya itu.
Apakah pemilik hotel menghadiahkan harpa antik itu
kepada Siau-ongya" Atau secara kebetulan di dunia ini ada
sebuah harpa lain milik Siau-ongya yang mirip harpa antik
dirinya" Melihat dia asyik mendengarkan lagu, tukang perahu
berkata: "Tuan, kiranya kaupun ahli musik juga" Bagus tidak
petikan harpa Siau-ongya kita?"
274 "Bagus, petikan harpa yang bagus," puji Tan Ciok-sing
hambar. Padahal dalam hati dia mereka-reka: "Jikalau betul
harpa antik milikku itu, bagaimana aku harus bersikap?"
Sudah tentu dia segan mencari perkara dengan keluarga
istana, tapi harpa itu adalah warisan keluarganya, betapapun
tak boleh terjatuh ke tangan orang lain.
Kini perahu hias yang berlayar itu berlaju kencang semakin
dekat lagi, kerai tersingkap separoh, maka dari jarak tertentu
masih kelihatan keadaan didalam perahu. Tampak seorang
pemuda berdandan seperti pemuda bangsawan tengah duduk
menghadapi meja pendek, di atas meja inilah terletak harpa
yang lagi dipetiknya itu. Begitu memandang kesana, jantung
Tan Ciok-sing serasa berdebur semakin keras, meski harpa itu
terbakar jadi abu juga tetap dikenalnya baik, dia yakin harpa
di atas meja yang lagi dipetik pemuda itu betul adalah harpa
antik peninggalan kakeknya itu.
Dua gadis pelayan tampak berdiri di kanan kiri si pemuda,
seorang sedang sibuk membakar dupa wewangian, seorang
lagi tengah tertawa sedang berkata kepada si pemuda: "Siauongya,
sukalah kau petik sebuah lagu lagi yang bernada
riang?" "Lagu apa yang kau gemari?" tanya Siau-ongya.
"Lagu kampung halaman saja," sahut pelayan cilik itu.
"Agaknya kau sudah kangen rumah, baiklah, aku yang petik
harpa, kau yang bernyanyi," demikian kata Siau-ongya.
Di kala suara harpa mengalun, lekas tukang perahu
mendorong Tan Ciok-sing ke samping. Sudah tentu Tan Cioksing
melenggong, tukang perahu berbisik di pinggir
telinganya: "Tuan, kau masuk saja ke kabin, jangan kau
pandang pelayan orang begitu rupa."
275 Merah muka Tan Ciok-sing, tanpa bicara lekas dia masuk ke
kabin. Dalam hati masih bingung berpikir: "Harpa antikku itu
bagaimana" Bagaimana baiknya minta kembali harpa itu."
Didengarnya pelayan cilik itu sudah tarik suara berdendang
dan berjoget dengan riang dan mengasyikkan. Di kala sebuah
lagu habis dinyanyikan perahu hias itupun kebetulan merapet
dengan perahu yang di naiki Tan Ciok-sing. Lama Tan Cioksing
terlongong, bukan karena petikan harpa Siau-ongya yang
bagus, meski Siau-ongya ini pandai memetik harpa, tapi bagi
tingkatan seorang ahli harpa seperti Tan Ciok-sing, petikan
harpa Siau-ongya masih dianggapnya biasa adalah karena
petikan harpa dan lagu kampung halaman itulah yang
membuatnya kangen pada kampung kelahirannya.
Percakapan merdu di atas perahu hias itu menyadarkan
lamunannya, di dengarnya pelayan itu berkata: "Eh, Siauongya,
lihatlah kuda putih itu." Kuda putih Tan Ciok-sing
memang ditambat di buritan.
Siau-ongya bersuara heran juga, agaknya dia berbicara
beberapa patah, cuma suaranya rendah tidak terdengar oleh
Tan Ciok-sing yang berada dalam kabin.
Kedua perahu sudah berendeng, tukang perahu
menghentikan perahunya. Tukang perahu di atas perahu hias
berkata: "To-toasiok, Siau-ongya suruh aku memberi salam
kepadamu."
Tertawa lebar tukang perahu saking senang, katanya:
"Banyak terima kasih, tolong sampaikan juga salam hormatku
kepada Siau-ongya."
"To-toasiok," kata tukang perahu hias, "siapakah tamu
didalam perahumu?"
Jantung Tan Ciok-sing berdebur keras, batinnya: "Nah,
menyangkut diriku."
276 Tukang perahu menjawab: "Seorang pemuda
pelancongan."
Tukang perahu hias berkata pula: "Siau-ongya suruh aku
menyampaikan, katanya mohon dimaafkan atas sebuah
permintaannya..."
"Kenapa Siau-ongya begini sungkan, ada perintah apa
sudilah katakan saja," sahut tukang perahu.
Tukang perahu hias berkata: "Siau-ongya ingin
mengundang tamu di atas perahumu untuk berbincangbincang
disini." Kaget dan girang tukang perahu, lekas dia menunduk
kedalam kabin berkata lirih: "Tuan, apakah kau kenal baik
dengan Siau-ongya?"
"Jikalau aku kenal dia, buat apa tadi aku tanya kau tentang
dirinya?" sahut Tan Ciok-sing.
"Tapi Siau-ongya mengundangmu ke atas perahunya..."
"Siau-ongya sudi memberi muka, memangnya aku ini tidak
tahu diri?" ujar Tan Ciok-sing.
"Memangnya, orang lain menyembah lima kali pun takkan
diluluskan permintaannya," ujar tukang perahu, lekas dia
mengambil lemparan papan panjang dipasang sebagai tangga
penyeberangan, lalu dia bantu Tan Ciok-sing menuntun dan
menyebrangkan kuda putih.
Anak buah Siau-ongya telah memberi persen kepada
tukang perahu, katanya: "Tuan tamu ini, nanti akan kami
antar dia pulang, kau tidak usah menunggunya." Tukang
perahu mengiakan sambil munduk-munduk, cepat-cepat dia
kayuh perahunya pergi dengan tertawa riang.
Dalam pada itu Siau-ongya yang bernama Toan Kiam-ping
sudah menyingkap kerai dan berdiri didalam kabin, katanya:
277 "Terlambat menyambut kedatangan tamu dari jauh, mohon
dimaafkan pelayanan yang kurang pantas ini."
Tan Ciok-sing menjura, katanya: "Rakyat jelata kampungan
seperti diriku sungguh berbesar hati mendapat penghargaan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk bertemu. Sebelum ini saling tidak kenal, entah sebab
apa gerangan Siau-ongya mengundangku ke mari?"
Waktu berbicara mata Tan Ciok-sing tidak memandang
Siau-ongya. Harpa antik itu terletak di hadapannya, dengan
seksama dia mengamat-amati memang betul, dia yakin harpa
ini adalah miliknya.
Pelayan cilik itu tertawa cekikikan, katanya: "Siau-ongya,
bicara dengan tamu kenapa begini kolokan, memangnya tidak
berkelebihan?"
"Betul," ujar Toan Kiam-ping, "tamu agung berkunjung,
banyak sungkan memang terlalu berlebihan. Kali ini aku
memberanikan diri mengundang anda, tentunya banyak
pertanyaan dan curiga, biarlah aku mulai saja dengan duduk
persoalannya. Aku bernama Toan Kiam-ping, harap tanya
siapa nama mulia anda?"
Setelah Tan Ciok-sing menyebutkan namanya, Toan Kiamping
berkata: "Tan-heng, tanpa berkedip kau mengawasi
harpa kuno ini, apakah sebelum ini kau pernah melihatnya?"
Diam-diam Tan Ciok-sing sudah berkeputusan, umpama dia
harus berbuat salah terhadap Siau-ongya ini, betapapun harpa
ini harus diminta kembali, maka dia berkata: "Ya, aku merasa
heran." "Apanya yang kau herankan?" tanya Toan Kiam-ping.
"Bicara terus terang, di rumahku terdapat pula sebuah
harpa kuno seperti ini. Sungguh tak nyana bahwa di dunia ada
barang antik serupa ini," sembari bicara dia perhatikan mimik
dan reaksi Siau-ongya.
278 Tidak menjawab pertanyaannya, Toan Kiam-ping malah
tertawa, katanya: "Meski kami baru saling kenal, kalau diusut
mungkin sebelum ini kita sudah ada hubungan. Hubungan ini
kemungkinan menyangkut harpa kuno ini."
Heran dan tidak mengerti, tanya Tan Ciok-sing: "Selamanya
aku tak pernah datang ke Tayli. Entah danmana datangnya
hubungan ini?"
"Terdapatlah seorang guru ahli harpa yang tiada
bandingannya di kolong langit ini, dia she Tan menamakan
dirinya "Ki Harpa", orang banyak memanggilnya Dewa Harpa.
Entah pernah apa ahli harpa ini dengan Tan-heng?"
"Beliau adalah kakekku," sahut Tan Ciok-sing.
"Nah, itulah betul," ucap Toan Kiam-ping, "Tan-heng, kau
belum pernah datang ke Tayli tapi kakekmu dulu pernah
berkunjung ke Tayli."
"Kapan hal itu terjadi?"
"Kira-kira sudah berselang dua puluh tahun. Waktu itu aku
baru berusia tujuh tahun," demikian tutur Toan Kiam-ping.
"Maklum aku tidak tahu, itu waktu aku belum lahir,"
demikian batin Tan Ciok-sing.
Tutur Toan Kiam-ping lebih lanjut: "Meski aku baru berusia
tujuh tahun, tapi ingatanku tajam kesanku mendalam. Begitu
kakekmu mendemontrasikan kepandaiannya seluruh istana
menjadi gempar, semua mendengarkan dengan terlongong
seperti orang mabuk. Waktu itu sebetulnya aku sudah minta
seorang busu menemaniku pergi Jong-san menangkap
burung, tapi mendengar irama harpa kakekmu, terasa begitu
merdu melebihi kicauan burung, sehingga aku lupa akan janji
itu sehingga busu itu kecele. Masih segar dalam ingatanku,
harpa yang dimainkan kakekmu dulu adalah harpa yang ini
pula. Waktu itu pernah aku merabanya, kupikir kayu
rongsokan yang sudah rongsok begini ditambah beberapa
279 senar, di tangan kakek tua ini kenapa bisa memperdengarkan
irama lagu semerdu ini?" lalu dia bergelak tawa, "Tan-heng,
tentunya kau sudah mengerti sekarang?"
Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, katanya: "Jadi harpa
ini adalah, adalah..."
"Betul, harpa ini adalah milik keluargamu," ujar Toan Kiamping,
"tapi legakan saja hatimu, meski aku mengambilnya. Kini
kuundang kau kemari, maksudku hendak mengembalikan
barang ini kepada pemiliknya."
"Kalau Siau-ongya suka pada harpa ini, seharusnya boleh
kuberikan kepada Siau-ongya...!" demikian kata Tan Ciok-sing
dengan ragu-ragu.
Belum habis dia bicara, pelayan cilik tadi cekikikan,
katanya: "Lho, kenapa begitu, kalau kau tidak mengambilnya
pulang, bukankah Siau-ongya menjadi pencuri malah?"
Toan Kiam-ping berkata: "Aku tahu dalam hatimu pasti
masih bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengambil
barangmu dari hotel" Haha, Tan heng, jikalau tadi kau tidak
mendengar petikan lagu harpaku tadi, belum tentu kau mau
bertemu dengan aku?"
"Ini memang betul," demikian batin Tan Ciok-sing. Sudah
tentu dia rikuh mengucapkan, tanyanya: "Masih satu hal yang
belum kumengerti, mohon dijelaskan. Darimana Siau-ongya
tahu aku punya harpa antik ini?"
"Sebelum datang ke hotel penginapanmu, aku memang
tidak tahu," sahut Toan Kiam-ping, "aku memang sengaja
mencarimu."
Tan Ciok-sing sudah membandek beberapa bagian,
katanya: 'Sungguh merupakan suatu kehormatan besar. Tapi
untuk keperluan apa Siau-ongya memerlukan datang ke hotel
mencari diriku?"
280 "Tan-heng, jangan terlalu sungkan. Kalau sungkan
berlebihan, berarti kau tidak menganggapku sebagai kawan.
Panjang kalau diceritakan, tapi boleh secara ringkas
kujelaskan, persoalan terletak pada kuda putih itu."
"Kuda putih ini memang bukan milikku," ujar Tan Ciok-sing
tertawa. "Aku tahu. Kuda ini milik salah satu dari Kanglam Sianghiap
yang bernama Ciong Bin-siu, betul tidak?"
"Kanglam Sianghiap?" Tan Ciok-sing menegas.
"Lho, kau belum tahu asal-usul mereka" Di kota Hangciu
terdapat dua keluarga besar persilatan. Keluarga Kwe dan
keluarga Ciong. Kedua keluarga memangnya punya hubungan
famili. Tuan muda keluarga Kwe bernama Kwe Bi-yang, dia
punya Piaumoay yang bernama Ciong Bin-siu, meski masih
berusia muda, namun di daerah Kanglam sudah angkat nama
besar, maka mereka dijuluki Kanglam Sianghiap."
"Betul, kudengar mereka saling membahasakan Piau-hengmoay.
Tapi kuda ini berhasil kurebut dari kawanan brandal,
panjang juga kalau diceritakan..."
"Duduk persoalannya aku sudah tahu," ujar Toan Kiamping.
"Darimana kau tahu?" tanya Tan Ciok-sing heran.
"Dua hari yang lalu Kanglam Sianghiap juga datang ke
Tayli, mereka sudah bertemu dengan aku, mereka ceritakan di
Ang-wa-poh kehilangan seekor kuda tunggangan, hari ini ada
orang memberitahu kepadaku, katanya ada seorang pemuda
pelancongan dari luar daerah menunggang seekor kuda putih,
menginap di sebuah hotel di sebelah barat kota. Maka aku
datang ke hotel itu mencarimu. Ciangkui bilang kau tamasya
ke Jong-san, mungkin karena dia ingin mengambil hatiku,
maka barang titipanmu diperlihatkan kepadaku. Aku kenal
281 harpa antik ini, aku yakin anak keturunan Ki Harpa pasti tidak
sekomplotan dengan kawanan brandal dari Ang-wa-poh."
Toan Kiam-ping menaruh hormat dan menghargai
kakeknya, maka diapun yakin dan percaya bahwa dirinya pasti
bukan orang jahat, maka timbul rasa kagum dan simpatik Tan
Ciok-sing pada pangeran ini, maka dia lantas berkata: "Siauongya,
ada sebuah hal mohon kau suka membantu."
"Sekali bertemu seumpama sahabat lama, Tan-heng tak
usah sungkan, silakan katakan."
"Kuda putih ini harap Siau-ongya suka merawatnya."
"Aku sudah berikan seekor kuda lain yang jempolan juga
kepada Ciong-lihap, meski tidak sebanding kuda putih ini,
kukira terpautnya juga tidak jauh. Kanglam Sianghiap sudah
pergi kuda putih tertinggal disini tiada gunanya, kau akan
menempuh perjalanan, boleh kau gunakan saja."
"Justru karena mereka sudah meninggalkan tempat ini,
entah kapan baru akan bertemu mereka di Tayli, maka mohon
bantuan Siau-ongya untuk menyerahkan kepada pemiliknya.
Entah kapan suatu ketika mereka toh akan kemari lagi."
"Itu belum tentu, mungkin mereka kembali tanpa lewat
Tayli. Umpama kembali mungkin sudah setahun berselang,"
sejenak Toan Kiam-ping berpikir lalu bertanya: "Tan-heng,
maaf kalau aku kurang hormat, bolehkah aku tahu kemana
tujuanmu?"
"Aku akan pergi ke Tay-tong-hu di San-he," "Sungguh
kebetulan, Kanglam Sianghiap justru juga pergi ke Tay-tonghu."
"Mereka juga kesana" Konon tempat itu kini sedang
berkecamuk peperangan?"
"Bukankah kau hendak kesana?"
282 "Ada urusan pribadi yang harus kuselesaikan, tidak bisa
tidak aku harus kesana."
"Kecuali urusan mereka sendiri, merekapun mengemban
tugas penting, maka mereka harus pergi kesana juga," lalu dia
menjelaskan pula, tentunya kau sudah tahu, pasukan Watsu
sudah menduduki propinsi daerah barat negeri kita. Tapi yakin
gerakan laskar rakyat kita masih kuasa membendung mereka.
Kini pasukan besar Watsu dipusatkan diluar perbatasan Ganbun-
koan, segala saat siap menyerbu ke Tionggoan. Diluar
Gan-bun-koan ada juga laskar rakyat yang dipimpin oleh Kimto
Cecu Ciu San-bin. Tujuan Kanglam Sianghiap adalah
membantu mereka. Kamipun akan hubungan dengan Kim-to
Cecu untuk merancang cara bagaimana bergabung melawan
penjajah."
Berpikir sebentar Tan Ciok-sing lalu berkata: "Kalau
demikian, terpaksa biar kuda ini tetap kubawa ke Tay-tong-hu
untuk mencari mereka. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya Toan Kiam-ping.
"Terus terang, baru kali ini aku berkecimpung di Kangouw,
sama sekali tiada kenalan dengan kaum persilatan, dengan
Kim-to Cecu sama sekali tiada hubungan, umpama aku bisa
menghindari pasukan kuda musuh dan keluar dari Gan-bunkoan,
mungkin tidak gampang uutuk bertemu dengan Kim-to
Cecu." Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Barisan Kim-to Cecu
berada diluar Gan-bun-koan, konon sembarang waktu hijrah
ke lain tempat. Dimana letak markas pusat mereka yang pasti
aku dan Kanglam Sianghiap juga tidak tahu. Tapi, kau tidak
perlu mencari Kim-to Cecu, setiba di Tay-tong, yakin kau
dapat mencari tahu berita mereka."
"Tay-tong-hu tentunya merupakan kota besar dalam situasi
genting bagaimana bisa mencari kabar?"
283 "Ada seorang pendekar yang tersohor bernama In Hou,
tentunya kau pernah mendengar nama besarnya?" tanya Toan
Kiam-ping. Tan Ciok-sing terperanjat, katanya: "Meski aku cetek
pengalaman, namun nama besar In Tayhiap tentu pernah
kudengar."
Berkata Toan Kiam-ping lebih lanjut: "Paman In Hou adalah
jago pedang nomor satu yang diakui dunia sejak tiga puluh
tahun yang lain, namanya Thio Tan-hong. Thio
Tayhiap dulu ada hubungan intim dengan kakekku, pernah
menginap beberapa hari di rumahku. Oleh karena itu setiap
kali In Tayhiap berada di In-lam, beliau pasti berkunjung ke
rumahku. Terakhir kali kira-kira tiga tahun yang lalu, akhirnya
entah kenapa sampai sekarang tak pernah kudengar beritanya
lagi, entah dia sudah pulang ke rumahnya?"
Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bagaimana nasib yang
menimpa In Hou. Tapi karena dia baru saja kenal Toan Kiamping,
maka rahasia kematian In Hou tak berani dia ceritakan.
Toan Kiam-ping berkata lebih lanjut: "Tapi umpama In
Tayhiap belum pulang, putrinya pasti ada di rumah. Oh ya,
aku lupa beritahu padamu, In Tayhiap hanya punya seorang
putri, namanya In San. Nona In pernah beberapa kali
berkunjung ke rumah kami."
Sampai disini pelayan cilik itu tiba-tiba cekikikan pula,
timbrungnya: "Siau-ongya, tentunya kau tak pernah
melupakan nona manis itu."
Merah muka Toan Kiam-ping, semprotnya: "Hus budak cilik
campur bicara, kami sedang berunding tahu!"
Pelayan itu melelet lidah terus mendekap mulut menahan
geli. Toan Kiam-ping berkata pula: "Setiba di Tay-tong. Kanglam
Sianghiap pasti berkunjung dulu ke rumah keluarga In. Syukur
284 bila In Tayhiap ada di rumah, beliau pasti berusaha bantu
kalian menemukan Kim-to Cecu. Jikalau tiada, nona In pasti
punya akal untuk membantu. Hanya yang di kuatirkan bila
disana sudah terjadi peperangan, nona In terpaksa sudah
pindah atau mengungsi. Tapi apapun yang terjadi, setiba kau
di Tay-tong boleh kau berusaha mencarinya. Kuharap kau
dapat menemukan dia, dari dia pasti kau memperoleh berita
Kanglam Sianghiap."
"Baiklah, pasti kuusahakan menemukan nona In, adakah
pesanmu untuk kusampaikan kepadanya?" tanya Tan Cioksing.
Pelayan cilik itu cekikikan pula selanya: "Betul siapa tahu di
tengah jalan Kanglam Sianghiap mengalami sesuatu sehingga
membatalkan keberangkatannya ke Tay-tong. Siau-ongya, kau
pun ada orang lain yang dapat mengirim berita padanya."
Jengah muka Toan Kiam-ping, omelnya: "Kau semakin
tidak tahu aturan, jangan menimbrung lagi," lalu dia berpaling
katanya kepada Tan Ciok-sing: "Baiklah, Tan-heng, aku titip
sebuah pesan untuknya, bila dia ingin ngungsi kami akan
menyambutnya di Tayli."
Entah mengapa tiba-tiba hati Tan Ciok-sing merasa kecut,
batinnya: "O, kiranya Siau-ongya ini sejauh ini tidak mau
menikah karena diam-diam menaksir nona In itu."
Nona In atau putri In Hou boleh dikata tidak pernah
dikenalnya, gadis yang masih asing tapi seperti juga familinya
yang paling dekat. Sebelum ajal In Hou pernah berpesan
supaya dirinya mencari putrinya itu, beliau mengharap dirinya
bisa bergaul rapat dan seintim saudara sepupu sendiri, malah
gurunya Thio Tan-hong mewariskan Pek-hong-kiam dan Cengbing-
kiam yang dulu merupakan senjata andalan mereka
suami istri, kepada dirinya dan putri In Hou, harapan beliau


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang tidak diutarakan secara gamblang, tapi Tan Ciok-sing
maklum kemana juntrungan gurunya.
285 Tapi sekali-kali Tan Ciok-sing tidak berani mempunyai
pikiran yang tidak genah atau muluk-muluk, tapi kini setelah
tidak sengaja tahu bahwa Siau-ongya ini menaksir In San,
mau tidak mau hatinya menjadi hambar. Sukar menjelaskan
perasaan ganjil ini, entah itu iri, cemburu atau jelus, tapi
terselip pula perasaan senang, kesadarannya lebih menang
memerangi batinnya. "Putri In Tayhiap merupakan pasangan
setimpal dengan Siau-ongya. Sepantasnya aku menghaturkan
selamat pada mereka, jikalau hal ini kelak betul-betul menjadi
kenyataan, pasti di alam baka In Tayhiap akan senang dan
terhibur hatinya."
Melihat orang melongo, Toan Kiam-ping bertanya: "Tanheng,
apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, kupikir tidak akan pulang ke hotel lagi.
Siau-ongya, tolong kau bayarkan rekening hotelku," sembari
bicara dia merogoh kantong hendak mengambil uang.
Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Sudah kulunasi
seluruhnya, ongkos tidak seberapa, tidak usah kau sungkan.
Cuma kenapa kau begini tergesa-gesa meninggalkan Tayli"
Marilah mampir ke rumahku menginap barang dua malam."
"Tidak usahlah, perang tengah berkecamuk di perbatasan,
pesan Siau-ongya juga tidak boleh tertunda, biarlah aku
segera berangkat saja," maklum dia ingin selekasnya
merampungkan pesan In Hou dan gurunya.
"Begitupun baik," kata Toan Kiam-ping sesaat kemudian,
"kuharap sekembalimu kelak, kau bisa ngobrol beberapa hari
denganku," laju perahu masih tetap kencang, daratan sudah
kelihatan tak jauh di depan sana Toan Kiam-ping berkata pula:
"Tan-heng, sebelum berpisah sudikah kiranya kau
membawakan sebuah petikan lagu supaya aku bisa menikmati
petikan harpamu?"
"Kalau Siau-ongya suka mendengarkan, baiklah aku pamer
sedikit kebodohanku, mohon tidak ditertawakan," lalu Tan
286 Ciok-sing duduk bersimpuh dan mulai menyetem senar serta
mulai memetik harpanya.
Lagu yang dibawakan adalah lagu perjuangan bangsa
melawan penjajah, begitu asyik dan semangatnya dia
membawakan lagu dengan sepenuh hati dan pikiran. Baru saja
habis petikan lagu harpanya mendadak terasa dadanya
kesemutan. Maklum di Ang-wa-poh dia melabrak kawanan
brandal, dia sendiri juga terkuras hawa murninya, sampai kini
belum pulih seluruhnya, karena tenggelam dalam petikan lagu
perjuangannya sehingga darah bergolak pikiran berkobar
semangatpun menyala, hati dan irama lagu berpadu, sehingga
tanpa disadari darahnya mendidih dan menggumpal di rongga
dada sehingga napas menjadi sesak.
Tanda-tanda jelek ini harus lekas diusahakan
penyembuhannya, kalau terlambat mungkin membawa akibat
yang fatal kelak. Baru saja Tan Ciok-sing hendak bersemadi
mengerahkan hawa murni, mendadak terasa punggung leher,
pundak dan dadanya sekaligus kesemutan. Jari Toan Kiamping
bergerak secepat angin dengan kemahiran ilmu tutuknya,
tiga hiat-to di tubuhnya dalam sekejap telah ditutuk. Toa-ciuhiat
di punggung leher, Kin-gan-hiat di pundak dan Hian-kihiat
di dada. Bukan main kejut Tan Ciok-sing, dia kira Siau-ongya
membokong di kala dirinya dalam keadaan kritis. Tak nyana
rasa kesemutan tadi hanya sebentar saja, tahu-tahu dari hiatto
yang tertutuk ini timbul arus hangat yang mengalir ke
seluruh badan sehingga segar dan nyaman.
"Maaf Tan-heng akan tindakanku yang gegabah ini," kata
Toan Kiam-ping, "kulihat hawa murnimu seperti tersumbat,
urat nadi harus segera diperlancar jalannya, maka tak sempat
memberitahu lebih dulu, aku memberanikan bantu kau
menyembuhkan luka-lukamu dengan It-ci-sian-kang. Tanheng
tak usah kuatir It-ci-sian-kang ajaran keluargaku ini jauh
berbeda dengan ilmu Tiam-hiat dari aliran umumnya, kalau
287 ilmu tutuk aliran lain peranti melukai orang, adalah It-ci-siankang
warisan keluargaku ini khusus untuk menyembuhkan
penyakit, jelasnya untuk menolong orang. Bermanfaat bagi
kesehatan badan."
Sesaat lagi terasa oleh Tan Ciok-sing badannya memang
semakin fit, semangatnya berkobar lebih menyala dari
sebelumnya. Ternyata penjelasan Toan Kiam-ping memang
bukan bualan belaka sudah tentu hatinya amat senang dan
berterima kasih. Diam-diam dia kagum juga akan ilmu Tiamhiat
orang yang begini hebat. Bahwasanya dengan bekal
kepandaian Tan Ciok-sing, sekarang jikalau dia bersiaga, tak
mungkin Toan Kiam-ping dapat menutuk hiat-tonya, namun
karena kejadian diluar dugaan, dalam sesingkat itu Toan
Kiam-ping mampu sekaligus menutuk tiga hiat-to, jelas
kepandaiannya pun boleh dibanggakan. "Tak heran didalam
memberikan komentar dan analisanya tentang berbagai aliran
persilatan, Suhu menonjolkan ilmu Tiam-hiat dari keluarga
Toan di Tayli sebagai ilmu nomor satu yang tiada
bandingannya memang tidak bernama kosong," demikian
batin Tan Ciok-sing.
It-ci-sian-kang ternyata memang mujijat dan menakjubkan,
bukan saja dirinya terhindar dari bahaya luka dalam,
semangat dan kesehatan badannya malah berlipat lebih
meyakinkan. Maklum setelah hawa murninya terganggu, meski
dapat bersemadi mengerahkan Iwekang, mengontrol
pernapasan mengendalikan arus tenaga menembus urat nadi,
maka kesehatannya takkan banyak terganggu. Tapi dia sendiri
tidak yakin apakah dengan cara penyembuhan ini
kesehatannya dapat pulih seluruhnya umpama dapat
disembuhkan takkan secepat ini. Saking kagum kembali Tan
Ciok-sing menghaturkan terima kasih.
"Tan-heng memang tidak malu sebagai murid didik dari
guru kenamaan, petikan harpamu ternyata tidak asor
dibanding kakekmu dulu. Meski badan kurang sehat kau masih
288 sudi memetik harpa untuk menghibur hatiku, justru akulah
yang harus berterima kasih padamu. Tiada sesuatu yang
dapat kuberikan sebagai balasan, untuk ini harap Tan-heng
suka terima tanda kenang-kenangan yang tidak berarti ini,"
sembari bicara dia mengeluarkan secarik kertas yang penuh
ditulisi huruf-huruf kecil.
"Di atas kertas ini ditulis cara bagaimana menyembuhkan
luka atau penyakit dengan It-ci-sian-kang, harap Tan-heng
suka menerimanya. It-ci-sian-kang sebetulnya juga dapat
untuk melukai orang, tapi dengan bekal kepandaian Tan-heng
tentunya takkan sudi mempelajari kepandaian yang tidak
berarti ini, maaf kalau aku tidak mencatatnya di atas kertas
ini." Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Mana berani aku terima
tanda kenang-kenangan sebesar ini dari Siau-ongya?"
"Banyak bahaya yang harus kau hadapi dalam perjalanan
ini Tan-heng," kata Toan Kiam-ping, "umpama tidak
diperlukan, untuk menolong orang juga baik. Tan-heng
pertemuan kita kali ini memang terlambat, sukalah kau dengar
perkataanku, apalagi kau mau terima titipan pesanku. Barang
tak berarti begini sebagai tanda penghargaanku kepadamu.
Kalau kau tak mau terima, sungguh aku kurang enak hati
malah." Melihat sikap tulus orang terpaksa Tan Ciok-sing
menerimanya. Sementara itu perahu sudah merapat dermaga.
"Seribu li mengantar sahabat akhirnya berpisah juga,"
demikian ucap Toan Kiam-ping, "kini biarlah aku pinjam
harpamu untuk mengantar keberangkatan Tan-heng dengan
sebuah lagu perpisahan. Harap Tan-heng memberi petunjuk."
"Siau-Ongya terlalu sungkan," kata Tan Ciok-sing.
Toan Kiam-ping mulai memetik harpa, pelayan cilik itu
bernyanyi. 289 Rawan dan masgul perasaan Tan Ciok-sing menjelang
perpisahan ini, meski baru beberapa jam berselang
persahabatan mereka, namun terasa betapa luhur dan tinggi
budi pekerti persahabatan sepasang pemuda yang sama-sama
gagah perkasa berjiwa patriot ini.
Setelah naik di daratan Tan Ciok-sing mohon diri terus
cemplak kuda putih berpisah dengan Toan Kiam-ping. Toan
Kiam-ping berdiri mendelong mengawasi kepergian orang.
Perjalanan dari Tayli di In-lam ke Tay-tong sungguh
merupakan jarak yang tidak dekat, naik gunung menyebrang
sungai masuk selat keluar dari daerah rawa-rawa, kalau orang
biasa mungkin harus ditempuh setahun lamanya. Untung kuda
putih ini memang kuda jempolan, dalam jangka satu bulan dia
sudah memasuki Jwan-se, lewat Han-tiong masuk Siam-pak
terus memasuki propinsi Sian-he. Setelah tiba di Gin-lin,
sepanjang jalan sering dia bertemu dengan kelompokkelompok
pengungsi. Dari penjelasan para pengungsi itu Tan Ciok-sing mendapat
tahu bahwa pasukan besar Watsu sudah semakin mendekati
Gan-bun-koan, tapi Tay-tong-hu masih berada di tangan
pemerintah, legalah hati Tan Ciok-sing.
Beberapa hari perjalanan lagi, kaum pengungsi yang
ditemui semakin jarang, mungkin mereka yang bisa lari sudah
habis mengungsi ke tempat lain, tetap tinggal hanyalah
nenek-nenek atau kakek dan bocah-bocah kecil yang tidak
mampu berbuat apa-apa untuk menunggu nasib yang bakal
menimpa di rumah sendiri.
Hari itu dia mulai beranjak di daerah Yan-ji-san,. Yan-ji-san
terletak di barat daya Tan-hong, setelah melewati gunung ini,
kira-kira tujuh puluh li lagi akan tiba di tempat tujuan. Karena
ingin cepat-cepat sampai, sengaja Tan Ciok-sing menempuh
jalan pegunungan yang banyak menyingkat waktu dan
memperpendek perjalanan, dengan kekuatan lari kuda putih
ini, yakin sebelum petang nanti dia sudah akan tiba di TayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
290 tong. Di kala dia mencongklang kudanya di jalan pegunungan
yang tidak rata ini, tiba-tiba dilihatnya di kaki gunung sana
ada sebaris tentara, jumlahnya hanya belasan saja, semua
menunggang kuda.
Barisan kuda ini mencongklang kuda mereka di padang
rumput nan luas dan lapang, mereka berdendang dan
bernyanyi lagu perjuangan yang terdengar gagah dan berpadu
penuh semangat, namun Tan Ciok-sing tak tahu lagu
perjuangan apa yang mereka nyanyikan. Setelah agak dekat
baru kelihatan seragam pakaian dan bendera yang; berkibar.
Ternyata mereka bukan barisan tentara kerajaan Bing, tapi
barisan tentara asing.
Tan Ciok-sing betul-betul kaget, sungguh tak nyana disini
kesampok dengan sepasukan kuda Watsu, "Mungkinkah Taytong
sudah diduduki musuh?" apakah kali ini dia dapat
menunaikan tugas dengan baik, hal ini membikin hatinya
kebat-kebit. Tak kira masih ada pula kejadian yang lebih mengejutkau
lagi. Mendadak barisan kuda itu menghentikan kudanya serta
berpencar, lagu tidak dinyanyikan lagi, ada beberapa orang
melompat turun dari punggung kuda.
Dari ketinggian Tan Ciok-sing dapat saksikan kejadian di
bawah sana dengan jelas, kini didapatinya bahwa barisan
Watsu ini ternyata tengah mengudak seorang Han, kini
mereka sudah mcnyandak yang dikejarnya, maka beberapa
orang Watsu itu lompat turun hendak membekuknya.
Orang itu berperawakan kecil sedikit kurus, usianya
kelihatan masih muda, dari kejauhan kurang jelas. Tapi jelas
keadaannya bagai burung yang sudah ketakutan melihat
bidikan panah, dia lari sana trobos sini. Orang-orang Watsu itu
berkaok dan membentak gusar, cepat sekali mereka telah
mengepungnya dan akan membekuknya hidup-hidup.
291 Disini kelihatan betapa besar jiwa patriotik Tan Ciok-sing
melihat bangsa sendiri terancam dan menjadi bulan-bulanan
kaum penjajah, darah terasa mendidih di dada, segera dia
kempit perut kuda serta membedalnya turun gunung. Kuda
putih meringkik panjang, laksana angin lesus cepat sekali
sudah berpacu di tanah datar. Tapi dalam jangka waktu
singkat ini situasi di bawah sana ternyata sudah berbeda
sekali. Hampir Tan Ciok-sing tidak berani percaya akan apa
yang dilihat matanya.
Orang Han itu adalah pemuda bertubuh kecil agak kurus
bermuka kotor, pakaiannya masih terhitung rapi. Agaknya dia
sengaja mengotori muka sendiri supaya tidak menjadi
perhatian orang sehingga mudah untuk lari atau mengungsi.
Pemuda yang mirip pelajar ini ternyata memegang golok dan
kini sedang memutarnya kencang. Di waktu Tan Ciok-sing tiba
di kaki gunung, kebetulan dia melihat pemuda itu tengah
membacok roboh seorang tentara Watsu yang bertubuh kekar
dan gagah. Di bawah kakinya kelihatan dua sosok mayat pula
tiga orang Watsu yang lain tampak berlari menyingkir dengan
membawa luka. Tampak oleh Tan Ciok-sing gerakan bacokan
tadi begitu lincah mantap dan tangkas sekali.
Tapi yang membikin Tan Ciok sing heran bukan karena
permainan golok si pemuda yang liehay seperti ini, tapi ilmu
golok yang di mainkan itu amat hapal dan dikenalnya dengan
baik. Bacokan golok si pemuda tadi didalam jurus sembunyi
tipuan, didalam gerakan ketambah variasi, tidak mengejar
kemenangan dengan serangan membabi buta tapi lebih dulu
bertahan membela diri, jelas jurus yang dimainkan pemuda ini
adalah salah satu jurus dari ilmu golok keluarga In yang
bernama Yan-can-pat-hong-ciang-to-sek, jurus ini peranti
menghadapi keroyokan musuh yang berjumlah banyak, tapi
jurus Ciang-to-sek yang berhasil dipelajari Tan Ciok-sing dari
buku peninggalan In Hou, ternyata sedikit berbeda dengan
jurus yang dimainkan oleh si pemuda. Ciang-to-sek didalam
buku lebih keras dan merupakan serangan gencar, sebaliknya
292 permainan Ciang-to-sek si pemuda ini kelihatan lebih lembut
dan kurang tenaga, didalam permainan ilmu goloknya seperti
dikombinasikan dengan gerakan jurus pedang nan lincah dan
gesit, jelas berbeda dari kemurnian ajaran ilmu golok keluarga
In.

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Ciok-sing hanya tahu bahwa In Hou punya seorang
putri, tanpa murid seorangpun. Kini mendapat melihat
pemuda ini pandai juga memainkan jurus yang amat
dikenalnya ini, karuan dia melongo keheranan. Diam-diam dia
lantas membatin: "Mungkin pengetahuanku ini yang masih
cetek, dunia yang sebesar ini, bukan mustahil suatu aliran
persilatan memiliki ilmu golok yang hampir mirip dengan ilmu
golok keluarga In, atau kemungkinan pula merupakan
kembangan yang berhasil dicangkok dari ilmu golok keluarga
In?" Maklum In Hou adalah pendekar besar yang tersohor di
segala penjuru angin, adalah logis kalau ilmu goloknya pernah
disaksikan orang banyak. Maka masuk di akal juga kalau Tan
Ciok-sing mempunyai analisa begini.
Enam tentara Watsu yang mengeroyok si pemuda sudah
tiga mati luka-luka, dua orang lagi masih bercokol di atas kuda
melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, lekas mereka
keprak kuda berpencar arah, seorang memapak kedatangan
Tan Ciok-sing, seorang lagi menerjang ke arah pemuda. Di
kala Tan Ciok-sing tertegun itulah, mendadak dirasakan angin
bersiur di belakang kepalanya, tahu-tahu Long-ge-pang
perwira Watsu itu sudah mengemplang tiba. Sekilas masih
sempat dilihat oleh Tan Ciok-sing, sekali membacok balik si
pemuda kembali berhasil membacok roboh seorang musuh,
sekali raih dia rampas pula sebatang Ceng-tong-cian terus
ditimpuk kc arah perwira yang membokong Tan Ciok-sing,
teriaknya memperingatkan: "Awas saudara." Tujuan Tan Cioksing
hendak menolong orang, kini berbalik orang yang
menolong dirinya malah.
293 Meski takjub mengawasi permainan ilmu golok si pemuda
sehingga perhatian Tan lok-sing terpecah, namun bekal
kepandaiannya sekarang sudah termasuk tinggi dibanding
tokoh silat kelas satu, meski dibokong secara reflek dia masih
mampu bertahan dan balas menyerang. Pada detik-detik yang
gawat itu, terdengar "Trang" yang nyaring diseling suara
"Cras" pula. Suara "trang" yang nyaring itu karena Seng-tongcian
timpukan si pemuda dengan tepat membentur Long-gepang
si perwira, sementara suara "Cras" itu adalah hasil
tabasan pedang Tan Ciok-sing yang memenggal kepala si
perwira, darah menyembur tinggi ke angkasa.
Kuda putih tunggangan Tan Ciok-sing ternyata cerdik
pandai gagah pula, dalam sekejap itu, Tan Cok-sing menjepit
perutnya pula, agaknya tahu maksud majikannya, kuda putih
segera menerjang maju dengan lompatan jauh ke depan
laksana panah meluncur mengudak ke arah si perwira yang
menerjang ke arah si pemuda. Baru saja si pemuda berpaling
hendak memenggal kepala si perwira ini, dilihatnya bayangan
putih berkelebat, kuda putih sudah melesat di samping
tubuhnya, tahu-tahu perwira itu pun sudah terjungkal jatuh
tanpa kepala lagi. Dua tentara Watsu yang masih selamat
karuan ketakutan setengah mati, lekas mereka angkat langkah
seribu. Si pemuda tidak hiraukan musuh yang melarikan diri,
kedua mata menatap Tan Ciok-sing lekat-lekat.
Tan Ciok-sing kira orang memperhatikan kuda
tunggangannya, maka dia melompat turun serta memberi
hormat, katanya: "Kepandaian saudara sungguh liehay, Siaute
tidak tahu diri, bikin tertawaan saudara saja."
"Kepandaianmu juga hebat," ujar si pemuda tawar,
"pedangmu itu lebih hebat lagi." sikapnya yang tawar serba
kaku lagi, bukan saja tidak nyatakan terima kasih, diapun
tidak membalas hormat.
294 Heran Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya: "Maaf kalau aku
kurang hormat, mohon tanya siapa nama besar saudara,
apakah kau lari dari Tay-tong?"
Tidak menjawab, si pemuda malah balas bertanya: "Siapa
kau?" "Aku she Tan bernama Ciok-sing, tolong tanya..."
Mendengar nama Tan Ciok-sing seketika berobah air muka
si pemuda, belum selesai dia bicara, tahu-tahu: "Sret" golok si
pemuda telah menabas dirinya.
Mimpipun Tan Ciok-sing tidak mengira si pemuda malah
membalas kebaikannya dengan serangan golok yang
mematikan ini, karena tidak menduga dan tiada siaga hampir
saja lehernya tertabas.
Untung reaksinya cukup cekatan dia masih sempat berkelit.
Teriaknya dengan darah tersirap: "Sebelum ini aku tidak
pernah mengenalmu, umpama aku terlalu campur tangan,
maksud kan baik terhadapmu, kenapa kau hendak
membunuhku?"
Sekali tabasannya luput, menyusul si pemuda
memberondong lagi tiga jurusan serangan terpaksa Tan Cioksing
kembangkan permainan Khong-jiu-jip-pek-to untuk
melayaninya, namun dia tidak pecah perhatian untuk ajak
bicara lagi. Sekejap mata mereka telah saling labrak lima puluhan
jurus, sejauh ini Tan Ciok-sing tidak mampu merebut golok
orang, pemuda itu juga tidak mampu melukai Tan Ciok-sing.
Diam diam Tan Ciok-sing menaruh perhatian, terasa
permainan golok orang memang mirip ilmu golok keluarga In.
Lama kelamaan tergerak hati Tan Ciok-sing, tiba-tiba dia
menyerempet bahaya menyelinap maju dengan gerakan
berani ujung jari tengahnya menyentik punggung golok si
pemuda di kala gerakan si pemuda belum dilancarkan cepatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
295 cepat dia melompat keluar kalangan, katanya: "Berhenti,
berhenti. Pernah apa kau dengan In Tayhiap?"
Tapi si pemuda tidak mau berhenti, mukanya tampak
beringas, sorot matanya pun menyala bengis, bentaknya:
"Berani kau menyebut nama besar In Tayhiap, kalau hari ini
bukan aku yang gugur, kaulah yang mampus."
"Ke... kenapa?" tanya Tan Ciok-sing gelagapan dan
bingung, tahu-tahu sinar golok menyilaukan mata, serangan
golok si pemuda semakin ganas setiap serangan mengincar
tempat mematikan di tubuhnya.
Karena sibuk melayani rangsakan di pemuda Tan Ciok-sing
tidak sempat berusaha lagi.
"Perbuatanmu sendiri masa kau tidak tahu," hardik si
pemuda, badan berputar mengikuti gerakan golok, "Cret"
dimana goloknya menyamber pakaian Tan Ciok-sing kena
ditabasnya sobek memanjang. Diam-diam si pemuda merasa
"Sayang", tabasannya ini dia kira bisa melukai tulang pundak
Tan Ciok-sing. Situasi semakin gawat dan berbahaya bagi
dirinya, terpaksa Tan Ciok-sing harus melolos pedang untuk
membela diri. Setelah pedang di tangan, lebih leluasa dan santai saja,
Tan Ciok-sing melayani serbuan lawan, dengan sejurus Samcoan-
hoat-lun, dengan mudah dia punahkan serangan
berantai si pemuda.
Tan Ciok-sing membawa dua bilah pedang Pek-hong-kiam
dan Ceng-bing-kiam, Pek-hong-kiam tadi sudah dia gunakan
menabas mati si perwira, kini entah sengaja atau karena
keripuhan menghadapi serangan golok lawan, dia mencabut
Ceng-bing-kiam. Si pemuda tadi sudah perhatikan Pek-hongkiam
yang dia pakai, kini melihat dia melolos Ceng-bing-kiam,
maka perhatiannya semakin besar, setelah lebih diteliti, Cengbing-
kiam ini seperti pedang yang sudah dikenalnya baik,
karuan hatinya semakin kejut dan gusar.
296 Kepandaian si pemuda ternyata memang cukup tinggi, tapi
cukup bagi Tan Ciok-sing mengembangkan Bu-bing-kiam-hoat,
adalah gampang kalau dia mau mengalahkan si pemuda. Tapi
Tan Ciok-sing masih bimbang, dia kuatir bila kurang hati-hati
bisa melukai si pemuda. Semula dia balas menyerang untuk
mempertahankan diri maksudnya supaya si pemuda tahu diri
dan mundur teratur. Tak nyana si pemuda justru tidak
hiraukan lagi mara bahaya yang mengancam. Apa boleh buat
terpaksa Tan Ciok-sing patahkan saja semua serangan lawan.
Sedapat mungkin dia berusaha tidak melukai lawan tapi juga
harus berjaga supaya tidak dilukai, maka dapatlah
dibayangkan betapa sukar dan berat usahanya ini. Beberapa
kejap lagi Tan Ciok-sing berpikir: "Sebodoh-bodohnya
mestinya dia tahu aku menaruh belas kasihan padanya. Aneh,
kenapa dia seperti mau adu jiwa dengan aku?"
Si pemuda tidak bodoh, diapun tidak gegabah, dia pun
sedang berpikir: "Aneh, kenapa bangsat ini menaruh belas
kasihan padaku" Ya, mungkin sengaja dia masih berpura-pura
jadi orang baik untuk menipuku."
Setelah punahkan serangan orang Tan Ciok-sing berkata:
"Saudara, aku tidak tahu kau pernah apa dengan In Hou, tapi
kalau kau memanggilnya In Tayhiap, umpama bukan murid
didiknya, tentunya kaupun seorang yang pengagumnya.
Kenapa tidak kita bicara blak-blakan saling menerangkan"
Bicara terus terang, aku ada sedikit hubungan dengan In
Tayhiap." "Kau ada hubungan apa dengan dia?" jengek si pemuda.
"Beritahu dulu apa hubunganmu dengan In Tayhiap, nanti
kujelaskan apa yang aku tahu kepadamu."
Pemuda itu menjengek: "Apa yang pernah kau lakukan aku
sudah tahu, tidak perlu kaujelaskan lagi padaku."
"Kau tahu tentang apa?" tanya Tan Ciok-sing heran.
297 Tiba-tiba si pemuda mencabut keluar sebatang pedang,
dengan pedang di tangan kanan golok di tangan kiri dia
menusuk dan menabas ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya:
"Aku tahu kau adalah keparat yang mencelakai In Tayhiap
dengan racun."
Enteng gerakan pedang, golok bergaya berat dan keras,
dua tangan memainkan dua macam senjata yang berbeda
dengan jurus permainan yang berlainan pula, sebetulnya
merupakan permainan kombinasi yang amat sukar, tapi
pemuda ini justru dapat menggabungkan keras dan lunak
dalam gerakan yang serasi. Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing
memang peranti untuk menghadapi serangan yang banyak
perubahan dan variasinya, namun dia toh hampir kecundang.
Terpaksa dia tumplek perhatian, serangan lawan dia punahkan
secara enteng, katanya: "Bukan aku ingin mengagulkan diri,
tapi apa yang kulakukan justru terbalik dari tuduhanmu. In
Tayhiap memang terbunuh oleh oYang jahat yang licik, tapi
akulah orang yang pernah menolongnya. Walau aku sudah
berusaha sekuat tenaga hendak menolong jiwanya, sayang
usahaku tidak berhasil."
Mendengar Tan Ciok-sing menyinggung kematian In Hou,
amarah si pemuda memuncak sampai tidak kuasa bicara,
akhirnya dia mendamprat dengan suara gemetar: "Kau
keparat ini, kau bisa menipu orang lain, jangan harap kau bisa
menipuku. Memang, dengan bekal kepandaianmu secetek ini
tak bakal dapat mencelakai jiwa ln Tayhiap, tapi kau justru
memungut keuntungan di kala dia dalam keadaan susah,
membantu musuh berbuat kejahatan, itu berarti pula yang
mencelakai jiwanya," mulut bicara tangan tak pernah kendor,
pedang menusuk golok menabas, serangannya merabu
semakin keji. "Aku membantu kejahatan?" dengus Tan Ciok-sing gusar,
"aku mencelakai In Tayhiap" Siapa yang bilang kepadamu?"
sedikit lena "Cret" kembali bajunya tergores sobek, hampir
298 saja pundaknya tertusuk pedang lawan. Melihat sedemikian
besar rasa permusuhan si pemuda terhadap dirinya, diamdiam
dia mencari akal: "Kujelaskan juga dia takkan mau
percaya," tiba-tiba tergerak pikirannya, golok pusaka milik In
Hou segera dia keluarkan, katanya: "Baiklah biar kugunakan
ilmu golok keluarga In mohon pengajaranmu," dia meniru
permainan si pemuda, golok di tangan kiri pedang di tangan
kanan, maka terjadilah serang menyerang yang sengit.
Melihat golok pusaka itu, mendelik membara bola mata si
pemuda, bentaknya: "Bangsat keparat, katamu bukan kau
yang mencelakai In Tayhiap, bagaimana golok In Tayhiap bisa
berada di tanganmu?"
"Dia sendiri yang menyerahkan kepadaku, dia titip supaya
aku menyerahkan kepada sanak keluarganya. Tentunya kau
tahu seluk beluk keluarganya..."
"Siapa percaya obrolanmu?" damprat si pemuda murka,
sebelum Tan Ciok-sing bicara habis kembali dia mendesak
dengan serangan gencar pula.
Sejauh ini Tan Ciok-sing mulai menduga bahwa pemuda ini
pasti ada hubungan erat dengan keluarga ln, asal dia bisa
menyebut nama putri In Hou, tak jadi soal aku serahkan golok
ini kepadanya supaya disampaikan. Tak kira setelah melihat
golok pusaka ini, si pemuda malah semakin beringas dan
memandangnya seperti musuh buyutan. Apa boleh buat
akhirnya Tan Ciok-sing berkeputusan untuk mengalahkan dia
lebih dulu. Selama tiga tahun menggembleng diri di Ciok-lin,
Bu-bing-kiam-hoat tingkat terakhir pun telah berhasil
diyakinkan, adalah jamak kalau taraf permainan ilmu golok
keluarga In yang dipelajarinya juga sudah keliwat matang.
Kalau diukur jelas lebih unggul dari si pemuda.
Dengan golok melawan golok, pedang menghadapi pedang,
Tan Ciok-sing berhasil menekan rangsakan kedua senjata
lawan. Belasan jurus kembali telah lewat, si pemuda jelas
sudah ditekannya di bawah angin hanya mampu membela diri
299 tak kuasa balas menyerang. Mendapat angin Tan Ciok-sing
tertawa dingin, katanya: "Golok dapat kurebut atau kucuri,
tapi ilmu golok ini memangnya bisa kucuri. Ketahuilah, karena
ingin membalas budi kebaikanku yang telah menolong
jiwanya, maka In Tayhiap sudi mengajarkan ilmu golok ini
kepadaku?"
"Ajaran ilmu golok memang tidak bisa dicuri, memangnya
buku ajaran ilmu goloknya itu tidak bisa kau curi" Sayang,
berdasar ajaran buku ilmu golok itu kau belajar sendiri tanpa
izin, memangnya kau kira permainan golokmu ini boleh
dibanggakan," entah karena terlalu banyak bicara, gerakan
goloknya ternyata menunjukkan sebuah titik lobang
kelemahan. Tan Ciok-sing sudah naik pitam, punggung golok tiba-tiba
membalik dengf Bentrok Para Pendekar 2 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 8
^