Pendekar Pemetik Harpa 6

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 6


tn gerakan serupa dia merangsek maju
menekan turun golok perak si pemuda, jengeknya: "Cara
bagaimana baru terhitung mahir dan patut dibanggakan?"
Dalam jangka sepercikan api ini, golok perak si pemuda
tiba-tiba membalik turun, gerakan Siang-jiu-to yang
sebetulnya menjojoh ke atas tiba-tiba dia tabaskan ke bawah
dalam tiga jalan dengan tipu He-jiu? to, bentaknya:
"Perubahan ini kau tidak mampu, masih berani kau ngapusi
aku bilang In Tayhiap mengajar langsung kepadamu?"
Tajam golok menabas secepat kilat, tahu-tahu Tan Cioksing
rasakan lututnya silir, ternyata celananya terpapas
sebesar mulut cangkir, kalau dia tidak menyurut mundur,
hampir saja lututnya tertabas kutung.
Dalam detik-detik berbahaya ini, Tan Ciok-sing tidak
sempat banyak pikir lagi, pedang di tangan kanan segera
balas menyerang, secara reflek dia lancarkan tipu pedang
yang paling liehay dari Bu-bing-kiam-hoat untuk mematahkan
serangan lawan tanpa hiraukan keselamatan lawan lagi.
"Trang" golok perak si pemuda tahu-tahu kutung jadi dua,
gerakan pedang Tan Ciok-sing ternyata masih terus melaju,
300 sekali pelintir dan sendai Ceng-kong-kiam yang dipegang si
pemuda kena diketuknya lepas dan terbang ke tengah udara.
Kalau si pemuda amat kaget, tak kalah kagetnya pula Tan
Ciok-sing sendiri. Untung pemuda itu tidak terluka, baru lega
hati Tan Ciok-sing, lekas dia menarik golok dan pedang lantas
dimasukan ke sarungnya, bentaknya: "Siapa kau sebetulnya?"
Setelah mendapat warisan murni ajaran Kungfu Thio Tanhong
baru Tan Ciok-sing berhasil mempelajari ilmu golok
keluarga In secara menyeluruh. Bicara soal kemahiran
memang dia lebih unggul, tapi dinilai kemurnian ajarannya,
jelas pemuda ini lebih matang. Ini dapat dibuktikan dari
permainannya pada jurus terakhir barusan.
Tidak menjawab si pemuda mendadak melejit tinggi,
dengan gerakan Yan-cu-sam-jau-cui Tiga Kali Burung Walet
Menutul Air, beberapa kali lompatan berjangkit tahu-tahu dia
mencemplak ke punggung kuda putih. Semula Tan Ciok-sing
kira orang hendak melarikan diri, setelah melihat
menunggang' kudanya baru dia terkejut, lekas dia bersiul
pikirnya hendak mengundangnya kembali. Biasanya kuda
putih ini amat penurut pada dirinya, kini entah mengapa, dia
tidak lagi tunduk akan perintahnya. Tanpa melawan dia diam
saja si pemuda menunggang di punggungnya terus kabur
secepat angin malah.
Heran dan rasa curiga berkecamuk dalam benak Tan Cioksing,
pikirnya: "Pemuda ini pasti anak didik langsung dari In
Tayhiap. Tapi suhu pernah bilang bahwa dia hanya
mewariskan ilmu goloknya kepada putrinya saja, memangnya
siapa dan darimana pemuda ini mempelajari ilmu golok itu"
Mungkinkah murid penutupnya" Hal ini belum juga diketahui
oleh Suhu" Aneh, biasanya kuda itu binal dan galak terhadap
orang lain, kenapa dia mau tunduk pada pemuda itu." Tan
Ciok-sing tetap tidak habis mengerti, sementara si pemuda
sudah jauh mencongklang kuda putih itu.
301 Untung kuda tunggangan tentara Watsu yang jadi korban
itu masih berada di sekitarnya. Tan Ciok-sing tangkap salah
satu di antaranya, pikirnya: "Apapun yang terjadi, umpama
Tay-tong sudah diduduki musuh, aku akan tetap kesana
mencari kabar."
Karena kesampok barisan tentara Watsu ini, maka
selanjutnya Tan Ciok-sing tak berani lewat jalan raya. Jalan di
atas pegunungan bukan saja lebih selamat diapun dapat selalu
mengamati keadaan di padang rumput nan luas terbentang
sunyi itu. Sepanjang jalan ini dia tempuh dengan perasaan kebat
kebit, kira-kira dua jam perjalanan dia tetap tak menjumpai
seorang manusia. Memang aneh, pasukan musuh tidak pernah
dilihatnya lagi, di padang rumput nan jauh di bawah sana pun
tiada gerakan apa-apa.
Tengah Tan Ciok-sing masgul, mendadak didengarnya
suara berisik agak jauh di semak-semak rumput di depan
sana. Jaraknya masih ratusan langkah, orang biasa tak
mungkin mendengar keresekan ini, tapi kepandaian Tan Cioksing
sudah tinggi. Lwekangnya tangguh, pendengarannya
tajam, dia tahu di semak rumput sana ada orang sembunyi.
Tiba-tiba di dengarnya dari semak-semak itu seorang
berbisik-bisik: "Aneh, entah dari mana datangnya bocah ini,
seorang diri menunggang kuda, berani menuju ke utara,
memangnya dia hendak pergi ke Tay-tong malah?"-seorang
lagi berkata, "Peduli siapa dia dari mana, kebetulan kita bisa
merampas kudanya."
Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Aneh, kedua bangsa
asing ini kok pandai berbahasa Han selancar ini?" tengah
berpikir, "ser, ser" dua batang panah tahu-tahu sudah
menyamber ke arah dirinya.
Kedua panah ini mana dapat melukainya" Sekali raih Tan
Ciok-sing tangkap sebatang, sebatang yang lain sasarannya
302 jauh menceng ke samping. Agaknya bidikan panah tentara
Watsu ini terlalu rendah.
Cepat Tan Ciok-sing keprak kudanya, bentaknya: "Siapa itu
yang membokong, hayo menggelinding keluar."
Dua orang yang mendekam dalam semak-semak itu segera
melompat keluar, sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing,
mereka memang tentara, tapi bukan tentara Watsu,
sebaliknya tentara kerajaan Bing dari bangsa Han tulen.
Begitu melompat keluar kedua tentara ini menjinjing
tombak terus menusuk, seorang lagi mengayun golok besar
menghadang di depan terus membacok kepala kuda. Yang
bersenjata golok ini tentara yang sudah berusia lanjut, lekas
Tan Ciok-sing tarik tali kekang sehingga kepala kuda terhindar
dari bacokan, karena terlalu bernafsu mengayun golok,
tentara tua ini sampai terjerembab jatuh bergulingan.
Sungguh geli dan jengkel pula Tan Ciok-sing dibuatnya,
sekenanya dia ayun dan sendai pecutnya, sekali gulung dia
rampas tombak panjang tentara muda itu, "pletak" langsung
dia putuskan tombak itu jadi dua, bentaknya: "Kalian tidak
berani melawan kepada musuh penjajah, tapi berani menindas
rakyat jelata melulu?" kutungan tombak dibuang segera dia
melompat turun.
Saking ketakutan kedua tentara itu berlutut dan
menyembah sambil minta ampun.
"Aku bukan rampok, aku adalah rakyat jelata. Hayo berdiri
dan jawab pertanyaanku dengan betul, nanti kuampuni jiwa
kalian." Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk. Tanya
Tan Ciok-sing: "Bagaimana keadaan Tay-tong?"
"Sudah diduduki musuh," jawab kedua orang seperti
berlomba omong.
"Kalian baru lari dari Tay-tong?"
303 "Betul, kita rombongan terakhir yang meninggalkan Taytong."
Jauh hari sebelum ini Tan Ciok-sing sudah menduga cepat
atau lambat Tay-tong pasti direbut musuh, tapi mendapat
bukti dari mulut kedua tentara ini, mau tidak mau dia merasa
merinding dan dongkol pula. "Tak nyana dari laksaan li dirinya
ke mari, Tay-tong sudah di depan mata, namun kota yang
dituju sudah terinjak-injak di bawah tapal kuda musuh.
"Kenapa tidak kulihat rombongan besar pasukan
pemerintah yang melarikan diri?" tanya Tan Ciok-sing.
"Komandan kita takut mati, sebelum musuh tiba dia sudah
melarikan diri diam-diam. Setelah musuh tiba di bawah
tembok wakil komandan kita bersama seluruh stafnya
beramai-ramai lari, sudah tentu kaum keroco seperti kita tak
lagi berani bertahan menjaga kota. Kita tak berani lari ke
negeri sendiri, tak berpakaian seragam tentara pula, terpaksa
lari pura-pura sebagai pengungsi."
"Pasukan pemerintah takut melihat musuh seperti
berhadapan dengan harimau, tak heran kaum penjajah
bertingkah dan mengganas," demikian ujar Tan Ciok-sing
"Hohan," kata tentara tua, "kau tidak akan ke Tay-tong
bukan"!"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku memang hendak ke
Tay-tong."
Orang tua itu terkejut, katanya: "Dalam situasi seperti ini,
kau masih mau pergi ke Tay-tong" Hohan, walau kau
berkepandaian tinggi. Jangan seorang diri pergi ke sarang
harimau lho."
"Pepatah mengatakan tidak masuk sarang harimau, mana
dapat menangkap anak harimau" Kau tak usah menguatirkan
diriku. Semoga kalian selamat dan lekas sampai di rumah,"
habis bicara segera dia keprak kudanya berlari ke arah Utara.
304 Sehari penuh Tan Ciok-sing menempuh perjalanan, heran
selama ini tak pernah dia kesamplok lagi dengan seorangpun,
jejak musuh juga tidak kelihatan. "Mungkin setelah pasukan
besar musuh menduduki Tay-tong, mereka perlu istirahat
beberapa lama, maka tidak berlaju ke arah barat, pasukan
kecil yang terbunuh di jalanan tadi mungkin hanyalah barisan
ronda yang bertugas menyirapi situasi musuh?"
Hari kedua menjelang tengah hari, Tay-tong sudah
kelihatan tak jauh di depan sana. Tan Ciok-sing berada
dipuncak gunung seberang mengawasi keadaan musuh dari
tempat tinggi. Dilihatnya tembok kota yang biasa ramai dan
mengibarkan bendera kini kelihatan sepi dan lenggang, jangan
kata bayangan manusia, bayangan binatangpun tak kelihatan.
Lama dia mendekam mendengarkan suara apa-apa, tapi tiada
terdengar derap kaki kuda atau adanya tanda-tanda
pertempuran. Diam-diam Tan Ciok-sing menaruh curiga,
pikirnya: "Memangnya kota dikosongkan sebagai muslihat
menjebak musuh?"
Semula dia bermaksud masuk ke kota setelah malam tiba,
kini melihat keadaan yang sepi ini timbul nyalinya, maka dia
bedal kudanya turun dari gunung langsung berpacu ke bawah
kota. Semakin dekat, keadaan tetap sunyi, tiada tentara yang
keluar menghalanginya, agaknya kota ini memang sudah
kosong. Pintu gerbang kota juga terbentang lebar, tiada
seorangpun penjaga. Tan Ciok-sing keprak kudanya masuk
kedalam kota. Jalan raya sunyi senyap rumah-rumah sama
tutup pintu, entah ada tidak penghuninya.
Setelah putar kayun menyusuri dua tiga jalan raya, barulah
Tan Ciok-sing melihat sebuah warung teh yang setengah
menutup pintu, seorang bocah bemsia dua belasan tengah
longok-longok ke arah sini, lalu berpaling kedalam dan
berkata: "Kek, bukan tentara asing, seorang Han yang
menunggang kuda."
305 Tan Ciok-sing baru paham, pikirnya: "Kiranya mereka kira
aku ini tentara Watsu," maka dia mendekat dan turun terus
mengetuk pintu katanya: "aku datang dari selatan, mohon
suka diberi air minum."
Bocah itu berkata: "Kek, sudah lama kita tidak buka
warung, kebetulan ada tamu datang. Perutku memang sudah
kelaparan, hayolah kita layani," maklum usianya masih kecil,
dia maklum kalau berdagang pasti mendapat uang, ada uang
baru bisa beli nasi.
Seorang tua membuka daun pintu yang sudah keropos,
katanya dengan tawa getir: "Berdagang pula" Tuan ini, terus
terang, meski sebelum ini kami buka warung, tapi sekarang
daun teh pun kami tidak punya lagi. Kau minta minum,
terpaksa aku hanya bisa menyuguh segelas air putih saja."
"Sehari ini aku tidak minum barang setetes air. Rasa
dahaga tak tertahan lagi, terima kasih kalau Lo-tiang sudi
memberi segelas air minum."
Orang tua ini memang baik hati, segera dia membawa
keluar semangkok penuh air putih, katanya. "Siau-ko, kenapa
dalam keadaan seperti ini kau masih datang ke Tay-tong"!"
"Hubungan putus berita tidak sampai, waktu aku
berangkat, tidak tahu kalau disini sudah perang. Tapi masih
untung, Tay-tong kan masih belum direbut musuh."
"Beberapa hari ini sungguh berbahaya, musuh sudah
berada di bawah tembok, pasukan pemerintah sudah lari
semua, pada detik kita menunggu serbuan musuh kedalam
kota. Entah kenapa dalam semalam saja, musuh yang berjejal
di bawah tembok ternyata sudah pergi semuanya. Ada yang
bilang karena Kim-to Cecu turun gunung memutus jalan
mundur mereka, mereka tidak tahu kalau pasukan pemerintah
sudah merat seluruhnya, kuatir terkepung dan di tekan dari
depan belakang, maka lekas-lekas mereka mengundurkan diri.
306 Ada pula yang bilang dalam negeri mereka terjadi perebutan
kekuasaan, entah mana yang betul."
"Peduli mana yang benar, kenyataan nama besar Kim-to
Cecu memang menggetar nyali musuh. Pasukan musuh
agaknya memang dipecah dalam jumlah banyak untuk
mundur, ada juga yang terputus jalan mundurnya maka main
bunuh dan mengganas terhadap penduduk."
"Betul, pasukan kecil musuh yang terpencar itu banyak
yang mengganas didalam kota setelah tahu kota ini tidak
terjaga, rakyat jelata menjadi korban mereka, harta benda
dan rangsum mereka rampas seluruhnya," demikian tutur si
kakek. "O, kiranya begitu, banyak terima kasih akan pelayanan
kakek, tiada yang dapat kubuat balasan, silahkan terima
setengah karung rangsum kering ini," lalu dia buka kantong
rangsum dan berkata: "Adik cilik, nah cobalah kamu akan ini."
Bercahaya mata bocah yang sudah kelaparan ini, teriaknya:
"Waduh wanginya. Hore, aku dapat kue bolu, aku dapat kue
bolu Kek, kau pun makanlah setengah."
"Air semangkok terhitung apa," ucap si kakek. "Siau-ko,
mana berani aku terima kebaikanmu ini?"
"Terus terang, rangsum kering ini sebetulnya bukan
milikku," ujar Tan Ciok-sing geli.
Si kakek melengak, hati curiga tapi dia tidak berani tanya,
adalah si bocah yang tidak tahu urusan segera berdiri dan
tanya: "Wah, jadi hasil rampasan" Kalau kau merampas milik
orang lain, tak berani aku memakannya."
"Bukan hasil rampasan," kata Tan Ciok-sing, "di tengah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan ada kesamplok pasukan kecil musuh, tapi musuh yang
sudah mati maka rangsum mereka aku ambil."
"Siapa yang membunuh mereka?" tanya si bocah
terbelalak. 307 "Entahlah, kulihat ada delapan mayat musuh menggeletak
di tanah berumput, kuda mereka berpencar makan rumput.
Setelah mengumpulkan rangsum mereka, aku ambil seekor
kuda untuk melanjutkan perjalanan."
Bocah itu berjingkrak sambil tepuk tangan: "Pasti anak
buah Kim-to Cecu yang mengganyang mereka."
"Jadi barang milik Watsu, hayolah kita sikat saja," seru si
bocah lalu mengganyang kue bolu itu dengan lahapnya.
"Siau-ko, sungguh baik hati, entah bagaimana aku harus
membalas kebaikan ini. Adakah sesuatu yang perlu kubantu"
Oh, ya, aku belum sempat tanya, logatmu dari luar daerah,
untuk apa kau menempuh bahaya datang ke Tay-tong?"
"Aku mendapat pesan dan titipan seorang kenalan untuk
mencari seseorang disini."
"Entah siapa yang Siau-ko cari?"
"Di kota Tay-tong ini ada seorang In Tayhiap In Hou,
apakah Lo-tiang kenal dia?"
"Mana mungkin kita tidak kenal In Tayhiap," sela si bocah,
"waktu kecil pernah aku melihatnya. Rumah mereka tidak jauh
dari sini, belok ke kiri di ujung jalan raya itu lalu tiba di
persimpangan jalan di depan pintunya terdapat sepasang batu
singa besar, nah itulah rumahnya. Aku bisa antar kau kesana."
"Jadi kau hendak mencari In Tayhiap" Sayang sudah tiga
tahun In Tayhiap tidak pulang."
"Apakah In-hujin tak di rumah?"
"In-hujin?" si kakek melengak, "In-hujin yang kau
tanyakan" Masa kau belum tahu?"
"Tahu apa?" balas tanya Tan Ciok-sing.
"Maaf akan kelancangan Lo-han, siapa yang suruh kau
kemari mencari In Tayhiap"!"
308 "Aku adalah salah seorang pembantu yang bekerja di istana
keluarga Toan di Tayli atas perintah Siau-ongya, aku disuruh
menyambut keluarga In Tayhiap untuk mengungsi ke Tayli."
Kakek ini tahu bahwa keluarga In memang ada hubungan
keluarga dengan keluarga Toan di Tayli, tapi hubungan tidak
sering, maka dalam hati dia membatin: "Mungkin keburukan
keluarga pantang tersiar keluar, soal itu tentu tak pernah
dibicarakan In Tayhiap dengan keluarga Toan. Atau mungkin
juga pernah dibicarakan, namun Siau-ongya itu tentu takkan
memberi penjelasan pada bawahannya. Setiba disini setelah
tahu In Tayhiap tiada di rumah, adalah jamak kalau dia
menanyakan In-hujin."
"Jadi In-hujin juga tidak di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.
"Sejak beberapa tahun lalu In Tayhiap sudah berpisah
dengan istrinya," demikian ujar kakek tua.
"Lho, kenapa"!" tanya Tan Ciok-sing kaget.
Kakek itu geleng-geleng, katanya: "Aku mana tahu. In
Tayhiap sering minum-minum di warungku ini, urusan
pribadinya sudah tentu tidak aku tanyakan," seakan-akan
dalam persoalan ini ada rahasia tertentu yang pantang
diucapkan. Sebelum ajal In Hou berpesan supaya Tan Ciok-sing pulang
ke rumah memberi kabar kepada puterinya, sejauh itu tidak
pernah menyinggung isterinya. Demikian pula suhunya Thio
Tan-hong juga berpesan supaya Ceng-bing-kiam diserahkan
pada putri In Hou, tidak membicarakan isteri In Hou. Maklum
hanya setengah hari Tan Ciok-sing kumpul dengan gurunya
yang sudah dekat ajal. Adalah logis, kalau dia tidak tahu apaapa
tentang seluk beluk keluarga In. Kini melihat sikap dan
tutur kata laki-laki tua ini ada sesuatu yang kurang beres,
maka dia tidak mendesak lebih lanjut. Tapi tujuan
kedatangannya ini adalah mencari In San, maka jejak dan
berita mengenai In San harus diselidiki.
309 "Kabarnya In Tayhiap punya seorang putri, entah adakah
dia di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.
"Tak pernah kudengar bahwa nona In pernah
meninggalkan rumah, selama belasan hari ini semua
penduduk sama menutup pintu, mana berani mencampuri
urusan orang lain. Apa dia masih ada di rumah, kami juga
tidak tahu."
"Apa susahnya untuk cari tahu dia di rumah atau tidak,"
sela si bocah, "hayo kuantar kau ke rumahnya kan beres."
"Terima kasih adik cilik akan kebaikanmu, tak usah ikut
repot-repot, alamat sudah kau jelaskan, aku bisa mencarinya
sendiri. Cuma titip kuda ini dan sukalah kalian merawatnya
baik-baik."
"Itu mudah," ujar si kakek, "makanan untuk manusia
memang kami tidak punya, tapi di kebun pun banyak tumbuh
sayuran dan rumput liar, soal makan untuk kuda tidak perlu
dikuatirkan."
Setelah pamitan Tan Ciok-sing segera meninggalkan
warung teh dan menuju ke alamat seperti yang diterangkan si
bocah. Pada persimpangan jalan di ujung jalan raya pada
putaran kedua memang terdapat sebuah rumah gedung
dengan pintu gerbang lebar diluar pintu terdapat sepasang
batu singa besar. Cuma letak dan arah sepasang batu singa ini
kelihatan rada ganjil.
Umumnya sepasang singa ini ditaruh dalam posisi yang
sama dengan arah yang sama pula tapi sepasang singa yang
dilihat Tan Ciok-sing sekarang justeru agak aneh. Kepala batu
singa sebelah kanan tertuju ke tengah jalan, sebaliknya singa
batu di sebelah kiri justru terbalik, pantatnya yang terarah ke
jalan raya, kepalanya terarah ke pintu besar.
Tan Ciok-sing berjingkat, pikirnya: "Siapa yang berbuat
segila ini" Tapi tenaganya sungguh luar biasa, bahwa dia
berani unjuk kekuatan di depan rumah In Tayhiap, tentunya
310 bukan ingin melakukan tantangan belaka," lalu dengan
seksama dia maju memeriksa, singa batu sebelah kanan
memang tetap pada letaknya, tapi pada badan singa batu
terdapat dekukan cap telapak tangan, memang tidak dalam
tapi kelihatan cukup jelas. Tan Ciok-sing curiga dan ragu-ragu,
pikirnya pula: "Bahwa orang ini berani pamer kepandaian di
depan seorang ahli, pasti maksudnya tidak baik. Apakah nona
In kini sudah dikerjai musuh?"
Saat mana hari sudah menjelang magrib. Tan Ciok-sing
mendekati pintu menggedor cukup keras, tapi ditunggutunggu
tiada orang membuka pintu. Maka hati Tan Ciok-sing
semakin gelisah. "Nona In, aku mendapat titipan dari ayahmu.
Kubawa golok pusaka ayahmu sebagai bukti, harap kau suka
buka pintu," demikian teriaknya menggunakan Iwekang tinggi,
suaranya tidak keras tapi dapat tersiar cukup jauh, kalau
didalam ada orang pasti mendengarnya. Tapi beruntun tiga
kali berkaok-kaok, didalam tetap sunyi dan tiada reaksi.
Kuatir putri In Hou mengalami musibah, dia tidak hiraukan
adat istiadat lagi, segera dia kembangkan ginkang melompat
ke atas tembok terus melayang kedalam hendak memeriksa
keadaan didalam.
Didalam sepi tak tampak bayangan seorangpun, tapi tak
kelihatan ada mayat disini, diam-diam lega juga hati Tan Cioksing.
Setelah memeriksa ruang tamu, kamar buku dan sebuah
kamar tidur yang mungkin di tempati I n Hou semasa masih
hidupnya, keadaan rumah dalam keadaan rapi dan teratur
baik, tiada tanda-tanda keributan. Akhirnya dia tiba di depan
sebuah kamar yang mungkin di tempati oleh nona In. Daun
pintu hanya dirapatkan, masih tercium bau harum dari sisasisa
asap dupa yang keluar dari sela-sela pintu. Pikir Tan Cioksing:
"Pasti inilah kamar tidur nona In, pantaskah aku masuk
kedalam?" pelan-pelan dia mengetuk pintu, tetap tiada
jawaban. 311 Tan Ciok-sing membesarkan hati, pelan-pelan dia dorong
daun pintu lalu melongok kedalam kerai di belakang pintu
setengah tergulung, kelambu menjuntai turun, seprei dan
kemul serta bantal guling tetap rapi, meja dan jendeia bersih
mengkilat tiada debu. Meja bundar di bawah jendela itu
terbuat dari batu marmer hijau mulus, di atas meja terdapat
pedupaan, sisa api masih menyala. Melihat gelagatnya
penghuni kamar ini belum lama keluar dan sebentar lagi akan
kembali. Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Kalau musuh In
Tayhiap kemari, pasti ada tanda-tanda perkelahian didalam
rumah. Demikian pula bila nona In ketangkap musuh,
sedikitnya dia pasti melawan dan keadaan kamar tentu moratmarit."
Di kala Tan Ciok-sing kebingungan dan bertanya-tanya
dalam hati, mendadak didengarnya suara seorang perempuan
memanggil dengan tertahan: "San-ji, San-ji, San-ji."
Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, batinnya: "Mungkinkah
ln-hujin telah kembali" Bila dia melihat aku berada di kamar
putrinya, wah, berabe..." sesaat dia jadi melongo
kebingungan, apakah dia harus lari keluar atau sembunyi saja.
Belum lagi dia berkeputusan, didengarnya perempuan
diluar itu menghela napas panjang, katanya rawan: "San-ji,
apa kau tidak hiraukan ibumu lagi aku datang minta
pengampunanmu," memang tidak salah dugaannya, yang
datang memang ibu In San. Setelah memasuki kamar In San,
Tan Ciok? sing hanya merapatkan daun pintunya saja.
Langkah perempuan itu semakin dekat akhirnya berada di
depan kamar. Tapi dia tidak segera mendorong pintu.
"Kembali In-hujin berkata dengan suara lirih: "San-ji, kau
membenciku, aku tidak menyalahkan kau, dulu memang aku
yang salah. Tapi setiap detik aku selalu merindukan kau. Kini
sengaja aku kemari mencarimu, apa kau tidak sudi keluar
menemuiku?"
312 Tan Ciok-sing memang belum tahu akan seluk beluk
kehidupan keluarga In, namun sedikit banyak dia tahu adalah
pantang dirinya mencari tahu rahasia keluarga orang lain.
Jikalau sampai konangan bahwa dirinya tahu liku-liku
kehidupan keluarga lain bisa-bisa dirinya celaka. "Tak heran
kakek penjual teh itu ragu-ragu waktu membicarakan tentang
In-hujin, agaknya perpisahan antara In Tayhiap dengan
isterinya, memang berlatar belakang jelek." Demikian pikir Tan
Ciok-sing karena itu dia sadar dirinya tidak boleh keluar.
Tidak mendengar jawaban, In-hujin berpikir: "Biar
kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada dia,"
maka dia berkata pula: "San-ji, aku membawa berita ayahmu,
terserah kau mau mengakui diriku atau tidak, kau akan
kubawa pergi dari sini. Karena ayahmu sudah tidak bisa
merawatmu lagi," tiba-tiba dia kertak gigi terus mendorong
pintu. Di saat In-hujin mengutarakan isi hatinya ini, benak Tan
Ciok-sing sudah berputar bolak-balik, semula dia hendak
sembunyi, tapi akhirnya dia berpikir: "Dia tahu berita apa
tentang suaminya" Aku harus tanya jelas kepadanya. Dan lagi
tujuanku kemari adalah mengembalikan barang peninggalan
In Tayhiap, tidak ketemu putrinya kuserahkan kepada
isterinya kan juga sama saja. Walaupun dia sudah berpisah
dengan In Tayhiap, kenyataan kan dia tetap ibu In San," di
kala dia hendak bersuara itulah tiba-tiba daun pintu sudah
didorong terbuka.
Mendadak melihat seorang pemuda sembunyi di kamar
putrinya, karuan In-hujin kaget. Baru saja Tan Ciok-sing
sempat berucap "aku", tiba-tiba dilihatnya cahaya kemilau
dingin sudah menyamber tiba, In-hujin telah menusuknya
dengan pedang. Sebat sekali Tan Ciok-sing mengegos ke samping, di saat
In-hujin melengak, sebat sekali dia berkelebat lewat samping
tubuhnya. Gerakannya boleh dikata cukup cepat sementara
313 perasaan In-hujin juga tergoncang, tapi dimana ujung pedang
menyamber, lengan bajunya tak urung terpapas sebagian,
untung tidak melukai kulit dagingnya.
Tersipu-sipu Tan Ciok-sing berseru: "Aku bukan orang
jahat, aku kemari atas perintah In Tayhiap."
Belum habis dia bicara bagai bayangan mengikuti bentuk
aslinya In-hujin sudah memburu tiba, "Sret" kembali
pedangnya menusuk, dampratnya:
"Memangnya In Hou suruh kau masuk ke kamar putrinya"
Sekarang waktu apa" Kau masuk ke rumah orang tanpa
permisi, kalau bukan rampok pasti pemerkosa," di kala bicara
In-hujin melancarkan delapan jurus serangan, sinar
pedangnya menembus ke kanan menyelinap ke kiri, sedikit
lengah Tan Ciok-sing pasti dihiasi lobang pada tubuhnya.
Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing melolos golok
pusaka In Hou: "Harap Pek-bo mendapat tahu..."
"Siapa Pek-bomu?" hardik In-hujin.
Tan Ciok-sing memutar golok mengetuk pedang orang,
katanya: "In-hujin, kau tidak percaya akan diriku, tentunya
kau percaya akan golok ini, inilah golok pusaka milik In
Tayhiap, tentunya Hujin mengenalnya baik. In Tayhiap suruh
aku membawanya ke mari sebagai tanda pengenal."
Mendengar perobahan panggilan Tan Ciok-sing, seketika
merah muka In-hujin, pikirnya: "Apa yang kuucapkan tadi,
tentunya sudah didengar seluruhnya oleh bocah ini," tiba-tiba
alisnya tegak matanya mendelik, hawa nafsu berkobar dalam
benaknya, dengan jurus Giok-li-coan-so, mendadak dia
menusuk dari arah yang tak pernah diduga oleh Tan Ciok-sing.
Bagaimana juga Tan Ciok-sing takkan berani menggunakan
golok pusaka untuk memapas pedang lawan, tapi jurus
serangan mendadak ini bukan saja keji tapi juga liehay, demi
menyelamatkan diri, tak sempat dia banyak pikir menguatirkan
314 segala sesuatunya lagi. Untung dia sudah meyakinkan Bubing-
kiam-hoat, ilmu pedang yang khusus diciptakan untuk
menghadapi segala perubahan situasi. In-hujin melancarkan
serangan mematikan ini dia kira Tan Ciok-sing takkan mampu
meloloskan diri, tak nyana pada detik-detik ujung pedangnya
hampir menusuk tubuh orang tahu-tahu "Cret" Ceng-kongkiam
di tangannya telah kutung jadi dua, pada hal Tan Cioksing
hanya berputar sambil menggerakkan golok pusaka itu,
maklum Tan Ciok-sing telah melansir gerakan Bu-bing-kiamhoat
kedalam permainan golok.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Harap Hujin suka memaafkan," ucap Tan Ciok-sing.
"Sesungguhnya memang In Tayhiap yang menyuruhku
kemari..."
"Nanti dulu, siapa namamu?" tanya In-hujin.
Tan Ciok-sing kira orang sudah mau mendengar
laporannya, maka dia masukkan golok kedalam sarungaya,
katanya: "Wanpwe Tan Ciok-sing, bertempat di Kwi-lin..."
Berubah air muka In-hujin, bentaknya: "Ternyata memang
benar kau keparat ini."
"Wut" pedang kutung di tangannya tahu-tahu ditimpuk
dengan deru angin kencang menerjang ke dada Tan Ciok-sing.
Untung Tan Ciok-sing cepat berkelit, dengan gerakan
Hong-tiam-thau, pedang kutung itu menyamber lewat
serambut di atas kepalanya. Teriaknya dengan tersirap: "Inhujin,
aku sudah bicara baik-baik, kenapa kau, kau..."
Beringas pucat wajah In-hujin, beruntun dia batuk-batuk,
sambil batuk sambil berkata putus-putus: "Kau keparat ini,
kau kira aku tidak tahu" Kau sudah membunuh In Hou, berani
ke mari hendak menipu aku. Hm, goloknya itu sudah kau curi
dan kini kau gunakan pada diriku, memangnya kau kira aku
takut, nah rasakan kelihayanku."
315 Bingung dan heran Tan Ciok-sing dibuatnya, batinnya:
"Kemarin pemuda itu seketika naik pitam setelah aku
memperkenalkan diriku, menuduhku sebagai pembunuh In
Tayhiap. Sekarang demikian pula sikap In-hujin. Siapakah
yang memfitnahku" Kenapa pula mereka begitu percaya akan
fitnah pada diriku, hakikatnya aku tidak diberi kesempatan
membela diri?"-Lekas sekali dia pun sudah tahu duduk
perkaranya: "Agaknya In-hujin memperoleh kabar bahwa
akulah yang mencelakai jiwa In Tayhiap."
Batuk In-hujin tidak berhenti, seperti orang yang sedang
sakit umumnya, keadaannya sebetulnya lemah, tapi
gerakannya teramat cepat, di tengah batuknya itu dia
mencopot kain ikat pinggang, bagai ular sakti ikat
pinggangnya ini berputar menari dan bergulung-gulung,
sambil memaki kain sutra merah di tangannya itu berusaha
membelit golok Tan Ciok-sing, maksudnya hendak
merebutnya. Jangan pandang enteng kain lemas panjang ini, karena di
bawah permainan In-hujin ternyata mengeluarkan deru angin
yang kencang bagai lesus, perbawanya tidak kalah dari
sebatang ruyung lemas, malah lebih lincah dan sukar dilayani.
Dua jurus serangan dapat dihindarkan, tapi jurus ketiga
gerakan Tan Ciok-sing sedikit ayal, ujung kain menyerempet
ujung hidungnya, rasanya pedas dan panas. Apa boleh buat
terpaksa Tan Ciok-sing tarikan goloknya untuk menangkis.
Tapi kain selendang lemas itu justru bergerak mengikuti
gerakan goloknya, naik turun seperti burung hong terbang,
sedikitpun tidak kuasa untuk membendung gerakannya.
Bahwasanya golok pusaka ini tajamnya dapat mengiris besi,
tapi sekarang tak kuasa memapas selendang sutra ini, lebih
sulit dihadapi lagi karena permainan selendang sutra In-hujin
mengkombinasikan tenaga lunak dan keras, sesekali dia harus
waspada jikalau tidak mau kepalanya kena dikemplang.
316 Apa boleh buat Tan Ciok-sing keluarkan pula Pek-hongkiam
pemberian Thio Tan-hong, dengan golok di tangan kiri
pedang di tangan kanan, dia melibat dirinya didalam cahaya
pedang dan sinar golok, kini keadaannya agak mending, tapi
paling hanya mampu bertahan membela diri, hakikatnya tak
mampu balas menyerang.
In-hujin menjengek dingin: "Kiranya kau keparat cilik ini
juga berhasil menipu pedang pusaka Thio Tan-hong."
Kecut tawa Tan Ciok-sing, katanya: "Cara bagaimana baru
kau mau percaya padaku" Ketahuilah Thio Tayhiap adalah
guruku, Pek-hong-kiam ini adalah pusaka perguruan yang
diwariskan padaku, masih ada sebatang Ceng-bing-kiam..."
"Untuk putrimu", belum sempat dia ucapkan, tahu-tahu
pergelangan tangan terasa kesemutan, golok pusaka di
tangan kiri sudah tergulung lepas dari cekalannya, sekali
sendai dan dorong golok yang tergulung di ujung
selendangnya dia timpuk balik, karena sibuk mempertahankan
diri, Tan Ciok-sing tidak sempat berbicara lagi.
"Trang" golok dan pedang beradu, sama-sama senjata
pusaka maka meletiklah kembang api, untung pedang dan
golok tiada yang gumpil. Golok berkerontangan jatuh di lantai,
selendang In-hujin kembali hendak membelit pedang
pusakanya. Hanya bersenjata pedang, meski ilmu pedangnya
liehay, karena kurang pengalaman, lambat laun Tan Ciok-sing
semakin kerepotan.
Di tengah pergulatan antara permainan pedang melawan
selendang sutra lemas itu, Tan Ciok-sing mendengar batuk Inhujin
semakin keras dan memanjang, agaknya keadaannya
juga semakin payah.
Terpaksa Tan Ciok-sing boyong seluruh kepandaiannya,
beberapa jurus dia berhasil punahkan serangan In-hujin,
sedikit peluang segera dia berseru: "In-hujin, kau sedang sakit
317 bukan" Sukalah kau berhenti dulu, biar aku bicara beberapa
patah" Jelas aku takkan bisa lolos, kaupun bisa beristirahat."
Maksudnya baik, tak tahunya mendadak In-hujin
menyerang lebih gencar dan berantai, "Tang" akhirnya Pekhong-
kiam di tangan kanan Tan Ciok-sing kena dibelit dan
terlepas dari cekalannya. Begitu pedang dikipatkan dan
terlempar di pojok kamar, sekali membalik pergelangan
tangan pula, ujung selendang itu selincah ular tahu-tahu
membelit leher Tan Ciok-sing, seperti ular hidup saja lilitan
selendang sutra atas lehernya ini semakin mengencang, hanya
sekejap Tan Ciok-sing sudah megap-megap hampir putus
napas. Diam-diam Tan Ciok-sing mengeluh: "Tak nyana hari ini
jiwaku amblas di tangan In-hujin secara penasaran," meski dia
sudah dalam keadaan kepepet, secara reflek adalah jamak
kalau dia berusaha membebaskan diri.
Sekejap lagi pandangan Tan Ciok-sing sudah mulai gelap,
kepalanya berkunang-kunaang pusing tujuh keliling, tenaga
untuk merontapun sudah tiada lagi. Insaf bahwa jiwa sendiri
bakal melayang, tiba-tiba di dengarnya In-hujin batuk-batuk
pula beberapa kali, entah mengapa, selendang yang membelit
lehernya perlahan-lahan mengendor.
Sukma Tan Ciok-sing boleh dikata sudah putar balik dari
sorga dunia pula, agak lama baru dia bisa memulihkan
kesadarannya, waktu dia membuka mata, dilihatnya In-hujin
juga mendeprok di lantai, wajahnya pucat pias, darah meleleh
di ujung bibir, darah tampak pula berceceran di lantai.
Lekas Tan Ciok-sing tenangkan diri, hawa murni dikerahkan
berputar tiga lingkaran, lekas sekali dia sudah memulihkan
beberapa bagian tenaga dan semangatnya, lalu perlahanlahaan
menghampiri In-hujin.
"Kau, kau bunuh aku saja," desis In-hujin geram.
318 "Aku kemari bukan untuk membunuhmu," sahut Tan Cioksing.
"Barusan hampir saja aku membunuhmu, kini aku sudah
tiada tenaga melawan, kenapa tidak kau membunuhku?"
"Hujin hendak membunuhku, mungkin karena salah paham.
Memangnya aku juga harus bertindak semberono tanpa
memandang baik buruk dan benar salahnya?"
Sudah tentu In-hujin tidak percaya akan ketulusan hatinya,
jengeknya: "Muslihat apa pula yang hendak kau lakukan?"
Tan Ciok-sing tidak banyak bicara lagi, dia pungut dulu
golok dan pedang pusaka dimasukan ke sarung lalu
mengangsurkan golok pusaka itu ke tangan In-hujin, setelah
orang menggenggam gagang golok pelan-pelan dia
menariknya bangun.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya In-hujin.
"Mari kubimbing Hujin rebah di atas pembaringan, lantai ini
lembab dan dingin, tidak baik untuk kesehatan."
Meski tidak percaya bahwa Tan Ciok-sing ternyata sebaik
ini hatinya, namun dia sendiri toh harus pikirkan kesehatan, di
luar sadarnya dia genggam gagang golok lebih erat lalu
beranjak ke pembaringan dengan golok sebagai tongkat.
In-hujin rebah di atas pembaringan putrinya, katanya:
"Baiklah, ada omongan apa boleh kau katakan kepadaku
sekarang," dalam hati dia membatin: "Biar kudengar obrolan
manis apa yang hendak dia sampaikan untuk menarik
simpatikku?"
"Jangan tergesa-gesa, sekarang kau belum boleh banyak
pikir, setelah keadaanmu lebih baik saja. In-hujin sukalah kau
beritahu padaku, penyakit apakah yang kau idap" Apa kau ada
membawa obat?"
319 Melihat sikap orang jujur dan bicara setulus hati, bukan
pura-pura dan munafik, rasa curiganya dengan sendirinya
mulai berkurang, katanya setelah menghela napas:
"Penyakitku ini tak kan bisa diobati lagi, kau tidak perlu
memeras keringat."
"Sukalah kau ulurkan tanganmu," pinta Tan Ciok-sing.
"Untuk apa?" tanya In-hujin melengak.
"Wanpwe pernah belajar ilmu pengobatan, meski masih
cetek, maksud Wanpwe hendak memeriksa nadi Hujin."
Pikir In-hujin: "Kalau dia mau bunuh aku sejak tadi jiwaku
sudah melayang, buat apa pakai main sandiwara segala,"
maka dia ulurkan tangannya, tiga jari Tan Ciok-sing segera
menekan urat nadi pergelangan tangannya. Bagi kaum
persilatan bila urat nadi penting ini sampai tercengkeram oleh
lawan, itu berarti menyerahkan jiwa raga sendiri kepada
musuh. Meski In-hujin yakin Tan Ciok-sing tidak bermaksud
jahat, namun hatinya kebat-kebit juga.
Agak lama Tan Ciok-sing memeriksa urat nadi lalu
memejam mata menepekur. In-hujin berkata: "Aku tahu
penyakitku ini takkan bisa sembuh dan tinggal menunggu
waktu saja, untuk ini boleh kau berterus terang kepadaku
saja." Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya: "Kau adalah
angkatan tuaku, untuk menyembuhkan penyakit ini, maaf
kalau aku tidak memakai peradatan lagi." Pelan-pelan dia
membalikkan tubuh In-hujin. Sudah tentu In-hujin kaget,
serunya dengan suara berat: "Kau, apa yang kau lakukan?"
Tan Ciok-sing tidak bicara, tangan kanan diulurkan
menempel di punggung orang terus menyalurkan Iwekang ke
tubuh orang, bantu melancarkan jalan darah yang terganggu
dan tersumbat, Tan Ciok-sing sudah memperoleh ajaran murni
Iwekang Thio Tan-hong, meski terbatas waktu sehingga
latihannya belum sempurna, tapi Iwekang murni dari aliran
320 lurus ini sungguh luar biasa. Sebentar saja terasa oleh In-hujin
segulung hawa panas timbul dalam pusarnya. Sebagai ahli
silat sudah tentu dia tahu babwa Tan Ciok-sing sedang
mengobati penyakitnya secara jujur dan bajik.
Diam-diam dia menyesal akan kecurigaan dirinya terhadap
kebaikannya. Pikirnya: "Baru saja dia bertempur dengan aku,
hampir tercekik mati pula, namun dia masih sudi menguras
hawa murninya untuk membantu aku menembus urat nadi
yang buntu, sungguh memalukan kalau aku curiga padanya
malah," tanpa terasa air matanya bercucuran, katanya
sesenggukan: "Kau sudah berusaha sekuat tenaga, tapi
usahamu tak kan berhasil. Jangan kau menguras hawa
murnimu demi diriku."
"In-hujin kau masih ada harapan sembuh. Jangan banyak
pikiran, lekas himpun hawa murni kedalam pusar."
Beberapa kejap lagi didengarnya, In-hujin merintih-rintih
kesakitan, teriaknya: "Panas, panas, mampus aku karena
kepanasan, aku, aku tidak kuat lagi." Ternyata hawa murni
yang dihimpun In-hujin tidak bisa disalurkan secara
semestinya sementara Tan Ciok-sing hanya mengandalkan
kekuatan Lwekang sendiri juga tak kuasa menembus Ki-kingpat-
meh. Pikiran In-hujin tidak tenang lagi, maka hanya hawa
api semakin membara dalam tubuh.
Setelah bertempur tadi Tan Ciok-sing juga kehabisan
tenaga, kini harus menguras lwekang untuk menyembuhkan
penyakit In-hujin pula, keadaannya boleh dikata sudah lunglai.
Di kala Tan Ciok-sing kehabisan daya, tiba-tiba dia teringat
cara kakeknya dulu waktu menyembuhkan In Tayhiap pernah
mempergunakan petikan lagu Khong-ling-san bagian pertama,
meski belakangan In Tayhiap mati karena serbuan kawanan
penjahat, bahwasanya usaha penyembuhan dengan irama
musik itu semestinya berhasil, karena mendapat bantuan
petikan harpa itu In Hou berhasil memulihkan beberapa
bagian tenaganya.
321 "Kenapa tidak kucoba?" demikian batin Tan Ciok-sing,
"walaupun kemampuanku belum memadai kakek, mungkin,
aku masih mampu menenangkan gejolak perasaannya." Lekas
Tan Ciok-sing menyulut dupa wangi, lalu menaruh harpa antik
di atas toilet, irama musik nan merdu seketika bergema seiring
dengan jarinya yang bergerak lincah di atas senar harpa.
Laksana hembusan angin sepoi di musim panas, seperti
menemukan air di tengah padang pasir nan panas terik.
Mendadak In-hujin merasa seperti diguyur air dingin,
badannya kepanasan lekas sekali terhembus lenyap oleh
semilirnya alunan musik, bara didalam hatipun seketika padam
tersiram oleh sumber air nan dingin.
Bagian pertama Khong-ling-san mengisahkan kenangan
terhadap seorang sahabat baik. Tapi In-hujin justeru
terkenang pada masa lalu, masa remajanya nan riang dan
gembira, terkenang pada malam pertama dirinya menikah
mengecap kebahagiaan rumah tangga. Waktu itu dia puas
bahwa sang suami adalah seorang gagah, meski sesewaktu
dia pun teringat pada seorang pemuda lain yang pernah juga
mengetuk sanubarinya.
000OOO000 Layar kenangan mulai tersingkap. Delapan belas tahun
yang lalu, dirinya masih sebesar putrinya sekarang. Ayahnya
adalah wakil komandan dari pasukan bayangkari, sedang In
Hou adalah putra In Jong yang pernah merebut Bu-conggoan.
Kedua keluarga sembabat berhubungan intim 'agi, maka pada
waktu dirinya berusia enam belas, atas putusan kedua orang
tuanya, mereka dinikahkan.
Tapi ada pula seorang laki-laki lain yang memuja dan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar-ngejar dirinya. Dia bernama Liong Bun-kong, putra
tunggal Liong Yau-wa yang berpangkat sekretaris militer.
322 Seperti juga In Hou, Liong Bun-kong berperawakan gagah,
tampan dan romantis, ilmu silatnya memang bukan tandingan
In Hou, tapi dia lebih pandai main aksi dan merayu
perempuan. Ayahnya sebagai sekreteris militer, pada hal dia
lulusan sekolah sastra.
Kedua laki-laki ini sama-sama sudah dikenalnya baik
sebelum pertunangan diresmikan. Tapi dinilai keadaan waktu
itu, dia lebih cenderung untuk mencintai In Hou. Pada usia
delapan belas dia menikah, betapa riang gembira pada harihari
pertama sejak pernikahan itu, sampai hari ini setelah
delapan belas tahun berselang, hatinya masih merasakan
manis mesra. Tahun kedua dia melahirkan seorang orok mungil
perempuan, bayangan Liong Bun-kong hakikatnya sudah
tawar dan lenyap dari benaknya. Dia sudah cukup puas hidup
dalam ketenangan sebagai nyonya muda yang diladeni,
dengan sepenuh hati dia merawat dan mengasuh putrinya
yang masih kecil. Hanya ada satu hal yang kurang
memuaskan hatinya, yaitu suaminya tidak berusaha untuk
mengejar kedudukan di kalangan pemerintahan, meski
ayahnya seorang Bu-conggoan, namun dia tidak sudi
memperjuangkan pangkat dan kedudukan di bawah naungan
kebesaran nama ayahnya atau dengan bekal kepandaian
sendiri. Sayang sekali kehidupan romantis nan bahagia ini tidak
berlangsung lama, terjadi suatu perubahan pada keluarga In,
sementara dia sendiripun mulai merasakan ujian nan berat
didalam gelombang perjalanan hidup yang penuh liku-liku ini.
Karena amat kecewa dan menentang kemerosotan wibawa
kerajaan, In Jong tidak mau menaruh dirinya didalam
kalangan dorna yang berkuasa di istana, sehingga suatu ketika
dia dianggap menyalahi Ong Tin, thaykam yang paling
berkuasa pada waktu itu, insaf bahwa dirinya sewaktu-waktu
mungkin terancam bahaya In Jong tahu dirinya takkan lama
323 lagi berpijak di istana, maka dia meletakkan jabatan pulang ke
kampung halaman Karena selalu memikirkan keselamatan
negara serta keselamatan keluarga, di hari tuanya dia jatuh
sakit sampai akhir hayat loyalitasnya terhadap kerajaan tak
pernah luntur. In Hou suaminya setelah kematian sang ayah, tiada
minatnya meneruskan cara perjuangan ayahnya, dia lebih
senang menggunakan caranya sendiri bergaul dengan kaum
pendekar dalam kalangan Kangouw, lebih celaka lagi di antara
sekian banyak kawan-kawan Kangouwnya itu, ada seorang
yang bernama Ciu-San-bin justru dicap "pemberontak" dan
menjadi buronan pemerintah.
Bahwa In Hou bergaul dengan kaum persilatan, adalah
jamak kalau dia sendiri harus berkecimpung di Kangouw pula.
Dia merupakan pembantu utama dari Kim-to Cecu Ciu Sanbin,
mengemban tugas berat sebagai kurir untuk menarik
simpatisan dan para patriot bangsa, maka jarang dia berada di
rumah, lebih banyak waktunya berada diluar menunaikan
tugas. Mengikuti perubahan kehidupan ini, hubungan mesra
suami istripun mulai renggang. Adalah logis kalau dia tidak
senang hati karena suami jarang di rumah. Meski dalam hati
dia maklum bahwa sang suami masih amat mencintainya
seperti malam pertama pernikahan mereka dulu. Dan yang
lebih penting lagi adalah dia tidak suka hidup didalam suasana
kebat-kebit yang selalu diburu dan dibayangi ketakutan, sudah
tentu dia lebih tidak suka ikut suami keluntang-keluntung
dalam kehidupan Kangouw. Hatinya selalu was-was, bila suatu
ketika pihak kerajaan tahu bahwa suaminya merupakan duta
penting Kim-to Cecu, akan datang suatu hari, mereka suami
istri akan dipaksa mengembara di kalangan Kangouw.
Maka timbullah kenangan masa lalu dimana kehidupan nan
tenang di kota raja serba berkecukupan lagi, mau tidak mau
bayangan Liong Bun-kong yang romantis dan tampan itu
kembali timbul dalam benaknya, dalam impiannya pula.
324 Bahwa sebagai istri dia menentang jalan hidup yang
ditempuh suaminya, apalagi ayahnya yang semakin berkuasa
dan gila harta dan pangkat ini, dia lebih kurang senang
mempunyai seorang menantu yang tidak suka maju malah
terima menjebloskan diri kedalam lumpur kenistaan. Maka
pada suatu hari waktu dia pulang ke kandang orang tuanya,
ayahnya tak mau melepasnya pulang ke rumah suaminya. Dan
apa boleh buat dia sendiripun suka rela menetap di rumah
orang tuanya. Selama ini Liong Bun-kong masih membujang, mendapat
tahu bahwa dia kembali ke rumah orang tua, dua tiga hari dia
pasti datang berkunjung. Kini ayahnya sudah naik pangkat
lebih tinggi pula, di kalangan militer Liong Bun-kong juga
sudah memperoleh pangkat yang tidak rendah di bawah
naungan orang tuanya.
Ternyata ayah bundanya ketarik dan sering memuji Liong
Bun-kong di hadapan putrinya, sementara sikap Liong-kongcu
tak pernah luntur, dia tetap ramah dan menaruh hati serta
memperhatikan segala kebutuhannya.
Setelah meninggalkan suami sudah tentu merasa kesepian,
terhibur juga akhirnya setelah ada pemuda tampan kaya raya
dan romantis lagi selalu menghibur dirinya. Lambat laun
hubungan mereka semakin intim, pergi tamasya, berlatih silat
bersama pula. Walau hubungannya dengan Liong Bun-kong semakin
intim, tapi dia tidak pernah melupakan suaminya, dan tak
pernah dia melanggar tata susila atau melakukah sesuatu
yang mendurhakai suami. Bahwa ayah bundanya selalu
memuji Liong-kongcu setinggi langit di hadapannya, mereka
tak pernah memaksa atau menganjurkan dirinya untuk
menikah lagi. Tanpa terasa dua tahun dia hidup di rumah orang tuanya,
kini putrinya sudah berusia tujuh tahun. Dalam dua tahun ini
pernah beberapa kali timbul niatnya untuk pulang ke rumah
325 suaminya, tapi ayah bundanya selalu menahannya dengan
berbagai alasan. Ibunya berkata: "Kalau suamimu masih
mencintaimu, sepantasnya dia datang menjemput kau pulang.
Kenyataan dia tidak pernah datang, berarti dia tidak hiraukan
dirimu lagi."
Dipikir-pikir memang beralasan, dia ingin menguji suami,
maka dia berkeputusan menunggu suaminya datang
menjemput dirinya. Tapi dua tahun lamanya, suaminya tidak
pernah datang menjemput. Tapi dia juga pernah pikir,
mungkin sang suami takut bila kerajaan tahu akan hubungan
dirinya dengan Kim-to Cecu, maka dia tidak berani masuk ke
kota raja" Sudah tentu tak pernah dia utarakan rahasia
suaminya ini terhadap kedua orang tuanya, pernah juga dia
coba-coba mengorek keterangan ayahnya, agaknya beliau
belum tahu bahwa suaminya ada hubungan dengan Kim-to
Cecu. Namun dia berpikir pula, bila suaminya masih mencintai
dirinya, meski menempuh bahaya pasti juga datang. Umpama
kata amat berbahaya, paling tidak kan mengirim kabar atau
surat. Maklum kalau dia ngambek dan amat dongkol, akhirnya
tak pernah terbetik pikiran lagi untuk pulang ke rumah
suaminya. Tapi sebab utama akan keputusannya ini adalah
karena dia tidak rela meninggalkan kehidupan yang serba
makmur dan berkecukupan di kota raja ini.
Akhirnya datang suatu hari. Hari itu dia di ajak Liong Bunkong
menikmati pemandangan daun merah di Say-san, sehari
penuh mereka melancong dengan riang dan gembira.
Malamnya setelah dia pulang ke rumah baru diketahui bahwa
putrinya sudah tiada.
Waktu dia tanyakan kepada sang ibu, tanpa menjawab
ibunya mengeluarkan sepucuk surat. Begitu melihat tulisan di
sampul surat seketika dia mengenal gaya tulisan sang suami.
Tapi waktu dia buka surat itu, kenyataan itu surat perceraian.
Sungguh dongkol dan kaget pula, hampir saja dia semaput.
326 Apa yang sebetulnya terjadi" Setelah dia puas menangis, baru
ibunya datang dan memberi tahu: "Dia tadi kemari, Siau-san
dibawanya pergi!"
"Kenapa dia menceraikan aku?" tanyanya hambar.
"Katanya, sifat kalian berbeda. Dia lebih suka hidup kelana
di Kangouw, kau takkan mau mengikuti jejaknya. Setelah
dipikir dua tahun ini, dia rasa lebih baik berpisah saja."
"Dan lagi," tutur ibunya dengan suara lirih, "ada sebuah hal
selama ini memang kusembunyikan terhadapmu, menurut
berita yang berhasil kami serapi, dia kini sudah punya
simpanan. Konon perempuan itu she Ciu, adik perempuan
seorang yang dinamakan Cecu entah apa. Sudah tentu dia
tidak mengaku, tapi aku yakin lantaran perempuan inilah yang
menjadi biang keladinya. Kamipun belum mencari tahu
dengan jelas, bila kau ingin tahu kami bisa menyuruh orang
menyelidiki hal ini."
Dia tahu Kim-to Cecu Ciu San-bin memang punya seorang
adik perempuan, katanya: "Ma, suruhlah ayah tak usah repot.
Kalau dia sudah menceraikan aku, memangnya aku masih
mengharap untuk rujuk kembali dengan dia" Peduli dia akan
menikah lagi dengan siapa?"
Ibunya menyeka air matanya, katanya tersenyum: "Nah itu
betul, kau memang putriku yang punya pendirian teguh.
Bicara terus terang, aku pun tidak senang punya mantu
seperti itu. Kalau dia sudah menceraikan kau, masih banyak
laki-laki yang lebih baik dari dia mau mempersunting dirimu."
"Ma, jangan kau berkata demikian" Meski aku tidak akan
rujuk, tapi selama hidupku ini, aku tidak akan menikah lagi,"
tanpa terasa dia menangis gerung-gerung lagi. Dia membenci
suami, dia dongkol pula bahwa sang ibu tak dapat menyelami
perasaannya. Diluar tahunya bahwa siang tadi suaminya datang setulus
dan penuh rasa rindu serta kecintaan yang tak pernah luntur
327 untuk menjemputnya pulang. Kalau dia tahu duduknya,
persoalan, pasti dia akan membenci ayah bundanya, takkan
menyalahkan sang suami yang telah menulis surat cerai ini.
Persoalannya adalah, ayah bundanya sudah lama tahu kalau
mantunya ada hubungan dengan Kim-to Cecu. Selama dua
tahun ini sering suaminya mengirimi surat, tapi semuanya
dirampas oleh ayah bundanya.
Waktu In Hou datang hari itu, ayahnya lantas
mengancamnya atas hubungan rahasia In Hou dengan Kim-to
Cecu. Ayahnya bilang bahwa putrinya yang memberitahu
rahasia ini kepada dirinya.
Diluar tahu In Hou bahwa pihak kerajaan sejak lama sudah
menanam spionnya didalam markas Kim-to Cecu, maka
hubungan intimnya dengan Ciu San-bin sudah tentu diketahui
jelas, mau tidak mau In Hou percaya akan gertakannya ini.
"Jangan kau bawa anakku kedalam lumpur kenistaan,"
demikian kata ayahnya kepada In Hou siang tadi, "kalau kau
ingin membawa putrimu, boleh kau bawa. Mengingat
hubungan sebelum ini sebagai mertua dan mantu, hal ini tidak
akan kulaporkan. Tapi kau harus menulis surat perceraian,"
akhirnya sang mertua memaksanya untuk menceraikan
isterinya. Sudah tentu peristiwa buruk ini merupakan pukulan berat
bagi In Hou, dia tidak percaya kalau sang istri sudah berubah
terhadapnya, katanya: "Boleh, suruhlah anakmu keluar,
dihadapannya langsung akan kubuat surat cerai itu," dia ingin
tahu bagaimana reaksi istrinya.
"Kukira tidak perlu," kata mertua, "seorang laki-laki harus
berani berkeputusan tanpa pamrih, urusan yang berbuntut
kepanjangan takkan membawa untung kedua pihak."
Kata In Hou menahan gejolak perasaannya, "Umpama
selanjutnya harus putus hubungan suami isteri, pertemuan
terakhir toh harus diberi kesempatan."
328 Mertuanya menjengek: "Kuharap kau jangan menemuinya
saja. Disini kau tidak akan bisa melihatnya."
In Hou ragu-ragu, katanya: "Dimana dia sekarang?"
"Baiklah kalau kau ingin tahu, kuberitahu padamu," kalau
suara sang mertua, "sejak pagi tadi Liong-kongcu telah
mengajaknya tamasya ke Say-san. Sekarang masih sempat
kau pergi kesana melihatnya. Tapi surat cerai itu harus kau
tulis lebih dulu."
Seorang pelayan sudah mempersiapkan tinta dan alat tulis
serta kertas. Seorang pelayan lain keluar membopong putrinya
In San, In San yang baru berusia tujuh tahun amat senang
melihat sang ayah, segera dia minta turun terus berlari
kedalam pelukan ayahnya, teriaknya: "Yah, kau bawa aku
pulang, aku tidak senang tinggal di rumah nenek, ibu jarang
mengajak aku bermain."
Seperti disayat perasaan In Hou, tanyanya dengan suara
tersendat: "Mana ibu?"
"Sejak pagi-pagi ibu sudah pergi jalan-jalan bersama
paman Liong, dia sering pergi sendiri, aku tidak dihiraukan
lagi." Mendengar omelan putrinya, sungguh jengkel dan
penasaran serta sedih pula hati In Hou, menahan air mata
segera dia angkat pena terus menulis surat cerai itu. Tapi dia
masih belum putus asa, dia masih ingin melihat isterinya.
Setelah menitipkan putrinya pada seorang kenalan dia
menyusul ke Say-san. Memang dia melihat isterinya, tapi dia
tidak berani unjuk diri untuk berpisahan dengan sang isteri.
Apa yang dikatakan sang mertua memang kenyataan isterinya
ternyata bersama Liong Bun-kong.
Waktu itu mereka sedang jalan berendeng turun gunung,
isterinya tampak mekar bersemangat, senyum selalu dikulum,
kelihatannya lebih riang dan bahagia di waktu mereka baru
menikah dulu. 329 Perlukah dia bicara lagi dengan isterinya" Maka dengan
perasaan luluh dan kecewa, diam-diam dia mengundurkan diri.
Hari kedua dia bawa puterinya pulang ke rumah.
Sedikitpun In-hujin tidak tahu bahwa suaminya pernah
mengintip dirinya secara diam-diam.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak sampai tiga bulan In-hujin tahu-tahu sudah berubah
jadi Liong-hujin, semula dia tidak ingin menikah pula, sayang
dia bukan perempuan yang punya tekad baja, di kala
kesedihan masih dirundung badan, akhirnya dia tak kuasa
melawan bujuk rayu sang jejaka.
Duduk persoalan sesungguhnya baru diketahui, setelah
ayah bundanya meninggal. Ibu inangnya yang memberi tahu
padanya. Bu inangnya berkata: "Siocia, waktu Hujin masih hidup aku
tidak berani bicara. Dia pernah mengancam aku, bila aku
bocorkan rahasia ini aku akan dibunuhnya. Hari itu Lo-hujin
suruh aku membawa Siau-san keluar dan diserahkan kepada
Ko-ya (babah mantu), pembicaraan mereka kudengar
semuanya. Siocia, orang lain takkan ada yang bisa menyelami
isi hatimu, tapi aku tahu, kau masih merindukan Ko-ya. Ko-ya
memang orang baik, akupun ikut penasaran karena dia
difitnah." Bu inang ini mengasuhnya sejak kecil, hanya dia
seorang yang simpatik terhadap nasib In Hou, meski nona
asuhannya ini kini sudah menjadi Nyonya Liong, tapi dalam
percakapan ini dia tetap memanggil In Hou sebagai babah
mantu. Supaya tidak membingungkan biar*selanjutnya kita
tetap mengistilahkan In-hujin terhadap Liong-hujin baru ini.
Panjang lebar bu inang menceritakan apa yang
didengarnya hari itu, ingin menangis tapi air mata tak kuasa
menetes, perasaan In-hujin memang sukar dilukiskan pada
saat mana, akhirnya dia mengertak gigi, tanyanya:
"Bagaimana dengan perempuan she Ciu itu" Apakah
perempuan itu betul-betul sudah menikah dengan dia?"
330 "Tiada kejadian itu, semua itu hanya cerita bohong Lohujin.
Dua hari yang lalu seorang keponakanku baru kembali
dari desa, katanya selama ini Ko-ya tidak menikah lagi,
seorang diri dia rawat mengasuh dan mendidik Siau-san,
meski tetap sehat tapi badannya jauh lebih kurus. Selama
beberapa tahun dia tidak pernah keluar rumah pula. Kini Siausan
sudah menanjak besar, dia titipkan kepada salah seorang
kakak misannya untuk menjaganya, baru tahun ini dia boleh
keluar rumah."
"Tahun ini Siau-san sudah berusia tiga belas tahun bukan?"
ucap In-hujin mengada-ada.
"Betul, memang berusia tiga belas. Keponakanku pernah
melihatnya, katanya Siau-san amat mirip dirimu, orang' sama
memuji dia sebagai kembangnya kota Tay-tong." demikian
tutur bu inang.
Kabar putrinya dan suami yang dahulu sudah diperoleh,
memangnya dia dapat berbuat apa" Kini statusnya adalah
Liong-hujin. Pangkat Liong Bun-kong ternyata menanjak terus,
karirnya semakin maju dalam kalangan pemerintah, selama
enam tahun menikah dengan dirinya, kini pangkatnya sudah
sebagai Kiu-bun-te-tok yang menguasai keamanan kota raja.
Demi gengsi, martabat dan demi kekuasaan dan jabatan
sang suami, sudah tentu dia tidak ingin pecah hubungan
dengan suaminya sekarang, malah diapun merahasiakan diri
bahwa dia telah tahu akan berita suaminya dulu dan
puterinya. Adalah mending kalau soal-soal yang menyedihkan bisa
terlampias, kalau sampai mengganjel hati, itulah merupakan
siksa derita yang paling berat di dunia ini. Selama belasan hari
sejak dia berbincang-bincang dengan bu inang tak pernah dia
tidur tenang, siang seperti lazimnya dia ngobrol ala kadarnya
dengan sang suami sebelum menunaikan tugas, maka tak
lama kemudian dia mulai terserang penyakit hati yang
memusingkan. 331 Kalau dulu dia mendambakan kehidupan makmur dan serba
kecukupan di kota raja ini, tapi kini dia sudah bosan akan
kehidupan sebagai nyonya agung yang dipuja. Kepada
suaminya dia memohon supaya diberi kesempatan pulang ke
kampung halaman menyembuhkan penyakit.
Sudah tentu Liong Bun-kong juga tahu bahwa tidur
seranjang dengan sang isteri tapi dia tidak pernah memiliki
hatinya, karirnya sedang menanjak, sebagai pejabat tinggi
sudah tentu dia lebih bernafsu mengejar harta dan pangkat
dari pada mengejar nafsu birahi terhadap isteri yang kaku dan
semakin berpenyakitan ini. Maka dengan senang hati dia
meluluskan permintaan sang isteri, kini dia lebih bebas lagi
diluar pengawasan sang isteri.
"Kau pulang saja ke desaku," demikian kata Liong Bunkong,
"disana aku punya seorang ponakan bernama Seng-bu,
dua tahun yang lalu waktu dia kemari kau pernah melihatnya.
Kepandaian sastra dan silatnya cukup lumayan, tahun lalu
diapun sudah lulus Ki-jin tapi dia lebih suka mengejar karir di
kalangan militer. Di rumah kau bisa wakilkan aku mengajar
silat padanya. Kita tidak punya anak, sejak lama aku ingin dia
menjadi pelanjut dari keluarga kita. Tapi soal ini biar ditunda
bila kelak dia sudah betul-betul punya kedudukan tinggi."
Rumah keluarga Liong berada di Hoa-gi di daerah Kui-yang,
itulah sebuah desa yang hijau permai. Dia meninggalkan
kehidupan kota yang ramai dan gaduh, menetap di desa yang
aman tentram dan sejuk ini, maka kesehatannya lambat laun
semakin baik. Ilmu silat yang telah terlantar sekian tahun ini
kembali dia latih lagi, bila senggang dia mengajar juga pada
ponakan suaminya. Liong Seng-bu memang anak cerdik,
pandai mengambil hatinya lagi, lama-kelamaan dia merasa
senang juga hidup di desa ini. Tapi terasa pula bahwa
keponakan yang satu ini sering bermuka-muka melucu dan
ceriwis. 332 Kehidupan di desa memang lebih sederhana lebih senggang
pula, sehingga sering dia melamun mengenang dan
merindukan suami yang dahulu dan putrinya. Rasa rindu ini
tambah mendalam berikut berselangnya sang Waktu, di kala
malam tiba seorang diri dia suka melamun: "Hou-ko selama ini
tak pernah menikah lagi, apakah dia masih merindukan cinta
kita dulu"
San-ji sudah dewasa, apakah dia masih mengingatku?"
Beberapa kali hampir dia tidak kuasa menahan gejolak
perasaannya, ingin pulang ke rumah suaminya yang secara
diam-diam untuk menengok putrinya. Hidup di desa ini jauh
dari jangkauan kekuasaan suaminya yang sekarang, dia
memiliki kepandaian, kemana dia ingin pergi, siapapun takkan
bisa menghalangi. Tapi apakah dia boleh membawa keinginan
hati secara serampangan" Kini dia adalah isteri Liong Bunkong,
Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di kota raja, mana
boleh dia rujuk kembali dengan suaminya yang dahulu"
Kesalahan di pihak sendiri, menyesal juga sudah kasep. Lebih
merisaukan lagi, apakah In Hou dan putrinya sudi memaafkan
kesalahannya" Kalau ganjalan hati ini tak dapat dilenyapkan,
maka sakit hati inipun sukar disembuhkan. Ai, kini dia sudah
meninggalkan suami, keadaannya tetap tak berubah laksana
burung kenari yang terkurung didalam sangkar.
Suatu kejadian yang tak pernah terpikir sebelumnya, suatu
hari dia bertemu secara mendadak dengan suaminya
terdahulu In Hou. Dalam kehidupan di desa, secara pasti tiap
pagi adalah latihan silat di hutan cemara di belakang
rumahnya. Ada kalanya sang keponakan mengiringi dia
latihan, tapi lebih banyak waktu dia latihan sendiri. Maklum
pemuda yang suka royal sudah biasa kehidupan malam. Liong
Seng-bu selalu bangun siang, bila ingin mencuri kesenangan
hati sang bibi saja baru dia bangun pagi menemaninya
berlatih. Lambat laun dari seminggu tiga empat kali semakin
berkurang cuma satu kali dan akhirnya satu bulan dua tiga kali
saja. Hari itu dia hanya latihan sendiri.
333 Setelah dia berakhir berlatih ilmu pedang, lapat-lapat
seperti didengarnya seorang mengheia napas. Suara lembut
yang hampir tak terdengar oleh siapapun, tapi justru bagi
pendengarannya suara helaan ini sudah amat dikenalnya,
malah helaan yang lirih ini laksana bunyi guntur di pinggir
telinganya. Sekejap ini hatinya gundah, risau dan resah, tapi sudah
tiada kesempatan banyak pikir lagi, sekilas tertegun lekas dia
berlari ke arah datangnya suara. Di bilahan hutan sebelah
dalam, memang dia menemukan seseorang yang sudah amat
dikenalnya. Sungguh mimpi juga tak pernah dia bayangkan"
Dia coba menggigit jari, tapi rasaaya sakit, jelas ini bukan
mimpi. Hampir dia tidak percaya akan apa yang disaksikan,
orang yang berdiri di depannya memang bukan lain adalah
suaminya yang terdahulu, In Hou. In Hou sendiri tampak
melenggong juga karena jejaknya mendadak konangan dan
tidak sempat sembunyi.
"Hou-ko, sungguh tak kira aku masih bisa bertemu dengan
kau. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memang kasihan padaku
yang selalu merindukan dikau, sengaja kau diantarnya ke mari
untuk menemuiku" Tapi Hou-ko, aku, aku berdosa padamu,
tiada muka aku menemuimu," lama baru In-hujin buka suara
sambil sesenggukan.
Sudah tentu dia tidak tahu bahwa bukan Tuhan yang
pengasih terhadapnya juga bukan secara kebetulan, tapi
adalah usaha In Hou sendiri yang telah memeras keringat dan
pikiran, sehingga hari ini berhasil bersua disini.
In Hou sudah mencari tahu bahwa dia sudah meninggalkan
kota raja dan tinggal di desa Hoa-gi ini, selama beberapa
tahun terakhir ini tiga kali dia menempuh perjalanan lewat
Kwi-yang, tiga kali sengaja dia mampir ke Hoa-gi dan
sembunyi di sekitar rumah keluarga Liong, bukan harapannya
ingin bertemu muka dan berbincang-bincang dengan bekas
isterinya, kalau bisa mengintipnya secara diam-diam sudah
334 lebih dari cukup puas untuknya. Tapi karena setiap kali dia
disibukkan oleh tugas penting, tak mungkin tinggal lama di
Hoa-gi, apalagi sebagai orang asing di desa itu tak enak dia
selalu mundar-mandir di sekitar rumah keluarga Liong. Oleh
karena itu setiap kali datang paling dia hanya berdiam sehari,
datang tergesa-gesa pergi terburu-buru.
Pertama tidak ketemu, kedua memang sudah melihatnya,
dia berada sama ponakan Liong Bun-kong, sudah tentu In Hou
tidak berani unjuk diri. Ketiga kali yaitu sekarang ini dan yang
terakhir, tadi dia melihat bekas isterinya sedang berlatih
pedang seorang diri. Melihat wajahnya nan sayu dan kurus,
tanpa terasa dia mengheia napas panjang.
"Tidak pantas aku menemuimu," ujar In Hou, "kalau dilihat
orang, mungkin kau akan terlibat kesulitan. Aku hanya ingin
tahu, selama beberapa tahun ini apakah kau baik-baik saja"
Jikalau kau hidup bahagia, hatikupun lega dan tiada yang
kupikirkan lagi."
Perasaan yang sekian lama tak terlampias ini kini bagai air
bah yang menjebol tanggul tak tertahankan lagi, In-hujin
memeluk suaminya, katanya sesenggukan: "Bicara soal
bahagia segala" Coba lihat penyakit kini meradang tubuhku,
tinggal menunggu waktu saja untuk berpulang ke alam baka.
Hou-ko, kejadian dulu..."
"Kejadian dulu jangan disinggung lagi. Katakan saja apa
keinginanmu sekarang?"
"Tidak, betapapun aku harus bicara soal dulu, Hou-ko
bukan maksudku hendak mengingkari dirimu. Soalnya aku
ditipu oleh ayah bundaku."
"Bu inangmu sudah suruh keponakannya menjelaskan
kepadaku. Kini aku hanya ingin tahu isi hatimu."
In Hou mendesak jawabannya, karuan hatinya gundah
pikiran ruwet. Memang dalam keadaan sekarang dia ingin
kembali keharibaan suami dahulu, namun banyak pula soalTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
335 soal yang dia kuatirkan dari akibat putusannya ini, meski
hubungan boleh rujuk kembali, betapapun hubungan sudah
pernah retak, umpama keretakan dapat ditambal, betapapun
pasti ada bekas-bekasnya. Memangnya mudah soal rujuk ini
diselesaikan"
Akhirnya In Hou menghela napas, katanya: "Aku ini laki-laki
yang sudah kebacut kelana di Kangouw, sekarang kau adalah
istri Kiu-bun-te-tok, sebetulnya tidak pantas, tidak pantas..."
Bercucuran air mata ln-hujin, katanya terisak-isak: "Hou-ko,
kau masih belum tahu perasaanku, tentang kejadian dulu itu,
sungguh aku amat menyesal, bahwa kau tidak menyalahkan
aku, aku sudah amat berterima kasih, memangnya aku harus
menyalahkan kau malah?"
"Segala persoalan masa lalu anggaplah sudah himpas sama
sekali. Kalau kau tidak merasakan kerendahan diriku sekarang,
apa pula yang harus kau ragukan, ayolah ikut aku."
In-hujin menunduk kepala, katanya lirih: "Hou-ko, berilah
kesempatan untuk kuberpikir?"
Terunjuk mimik kecewa pada sorot mata ln Hou, katanya
kemudian: "Ya, kini kau sudah menjadi milik orang lain,
memang tidak pantas kau pergi bersamaku. Waktu amat
mendesak, tak boleh aku lama-lama disini. Begini saja, setelah
kau pikirkan masak-masak, bila kau memang ingin ikut aku,
boleh kau menyusulku di Kwi-lin."
In-hujin tertegun, katanya: "Jadi kau tidak akan pulang,
tujuanmu ke Kwi-lin dan sengaja mampir ke mari" Belum
pernah aku ke Kwi-lin, disana kepada siapa aku harus mencari
tahu jejakmu?"
Kata In Hou: "Aku sudah berjanji untuk bertemu di Kwi-lin
dengan Tam Pa-kun, setiba di Kwi-lin, boleh kau mencari Itcu-
king-thian Lui Tin-gak. Bersama Tam-toako kemungkinan
aku menginap di rumahnya. Umpama tidak disana, pasti dia
akan membantumu mencari aku. It-cu-king-thian Lui Tin-gak
336 cukup terkenal di Kwi-lin, gampang kau menemukan
alamatnya."
Ada dua sebab kenapa In Hou menyuruh isterinya
menyusul dia ke Kwi-lin. Pertama karena dia tidak tahu kapan
dirinya bisa kembali. Kedua, jikalau isterinya pulang ke rumah
di Tay-tong menunggu dirinya pulang, suaminya sekarang,
yaitu Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong tahu alamat rumahnya,
bukan mustahil dia mengutus anak buahnya meluruk ke
rumahnya untuk membawanya pulang, hal ini akan
menimbulkan banyak kesulitan. Kwi-lin terletak jauh dari kota
raja, kekuasaan Liong Bun-kong di kota raja takkan
menjangkau sejauh ini. Apalagi di Kwi-lin It-cu-king-thian Lui


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tin-gak bisa membantu dan melindunginya.
In Hou percaya pada bekas isterinya ini, meski telah
mengalami berbagai pertikaian, namun dia masih berani
membocorkan rahasia jejaknya kepada sang isteri. Malah
dengan penuh keyakinan dia sudah siap untuk rujuk kembali
di Kwi-lin. Siapa tahu kepergiannya ini justeru merupakan perpisahan
untuk selamanya. Inilah pertemuan mereka suami isteri yang
terakhir. Karena rahasia jejaknya ini dibocorkan tanpa
sengaja, sehingga mengakibatkan dirinya mengalami peristiwa
fatal dan rahasia ini bahwasanya bukan In-hujin yang
membocorkan. Baru saja In-hujin mau bicara, tiba-tiba In Hou berkata
lirih: "Seperti ada orang datang. Ingat pesanku, pergilah ke
Kwi-lin menemui aku, sekarang aku harus berlalu."
In-hujin tersentak sadar, lekas dia manggut-manggut,
katanya lirih: "Berangkatlah, pesanmu pasti kuingat baik-baik,"
hakikatnya dia tidak memberi jawaban pasti kepada In Hou,
bahwa dia akan menyusul In Hou ke Kwi-lin. Sayang In Hou
pergi terburu-buru, tak mungkin dia menelaah nada
perkataannya. 337 Gerakan In Hou sungguh amat cepat dan tangkas, hanya
sekejap saja dia sudah menghilang. Sungguh girang tapi juga
menyesal hati In-hujin. Senang karena: "Oh, kepandaiannya
ternyata sudah jauh lebih maju, dengan ginkangnya yang
tinggi ini, seharusnya dia bisa menghindari diriku, bahwa dia
mau bertemu dengan aku, agaknya memang ada maksudnya
rujuk kembali denganku," diapun menyesal karena sampai
detik ini dia tidak atau belum berani ambil putusan entah
kemana dirinya harus menentukan arjh.
Dikala pikiran kalut inilah, langkah orang itu pun sudah
terdengar semakin dekat, waktu In-hujin menoleh, dilihatnya
keponakannya Liong Sc-bu tengah mendatangi. Seperti
biasanya Liong Se-bu cengar-cengir untuk senyum kepadanya,
katanya memberi hormat: "Bibi, hari ini aku terlambat bangun
lagi, kebiasaan buruk bangun siang ini sungguh sukar kuatasi,
ai, agak rikuh aku."
Diam-diam In-hujin perhatikan sikap dan mimiknya,
agaknya dia belum tahu akan rahasia dirinya barusan.
Jantungnya yang kebat-kebit lambat laun tenang kembali.
Pikirnya: "Tingkat kepandaian Liong Seng-bu kutahu betul,
dengan bekal lwekangnya sekarang, tak mungkin dia bisa
mencuri dengar pembicaraanku barusan dengan In Hou,"
maka dia tekan gejolak perasaannya, katanya lembut: "Kau
memang tidak biasa bangun pagi, tidak usah dipaksakan.
Yang benar, kalau kau ingin berjuang di kalangan kemiliteran,
dengan bekal kepandaianmu sekarang sudah lebih dari cukup.
Pamanmu juga akan membantu, memangnya apalagi yang
kau kuatirkan?"
Liong Seng-bu mengunjuk sikap hambar dan gugup,
katanya: "Aku tahu paman pasti akan mengangkat diriku, tapi
aku ingin mengandal tenagaku sendiri untuk angkat nama.
Walau pun aku bukan dari kaum persilatan, tapi senang aku
bergaul dengan mereka. Kalau banyak bekal kumiliki, tentu
diriku takkan dipandang rendah orang. Bibi, kuharap kau tidak
338 kecewa dan jangan karena aku terlalu malas sehingga tidak
sudi mengajar padaku."
"Kau suka belajar silat, aku akan berdaya sekuat tenaga.
Tapi, kenapa tadi kau bilang suka bergaul dengan kaum
persilatan?"
"Pertama kaum persilatan umumnya orang-orang gagah,
aku suka mereka. Kedua kelak bila aku sudah memperoleh
pangkat, toh aku bisa menarik bantuan mereka untuk bekerja
bagi kerajaan."
"Jauh juga rencanamu. Tak heran pamanmu sering memuji
dikau. Katanya hanya kau kelak yang mampu mewarisi
kebesaran keluarga Liong."
"Terima kasih akan pujian paman dan bibi, untuk ini mohon
bibi suka membimbingku."
Terpaksa In Hu-jin mengajarkan beberapa jurus ilmu
pedang, melihat orang berlatih secara rajin dan patuh akan
petunjuknya, malah hasil yang dicapainya hari ini jauh lebih
bagus dari biasanya. Adalah hati In-hujin yang ruwet ini,
beberapa kali bergebrak latihan selalu dia yang melakukan
kesalahan. Bahwa Liong Seng-bu hari ini berlatih dengan rajin dan
tekun sekali, hal ini sudah melegakan hati In-hujin. Begini dia
berpikir, jikalau Liong Seng-bu sudah tahu pertemuan rahasia
dirinya dengan In Hou tadi, pasti dia tidak setenang dan
sesabar ini sikapnya. Agaknya
In-hujin menilai orang lain atas ukuran diri sendiri, diluar
tahunya bahwa Liong Seng-bu yang masih berusia muda ini
ternyata berotak cerdik dan banyak muslihatnya. Yang betul
pembicaraannya dengan In Hou tadi sudah dicuri dengar
seluruhnya. Sudah lama Liong Seng-bu mendekam di semaksemak
rumput, setelah mendengar habis percakapan mereka,
secara diam-diam dia menggeremet keluar ke tempat jauh,
lalu dengan langkah berat putar balik. Waktu mendekam di
339 semak-semak rumput tadi Liong Seng-bu tidak berani
bernapas keras-keras, sementara In Hou dan In-hujin samasama
dibuai oleh curahan perasaan mereka, sudah tentu
mereka tidak begitu cermat untuk memeriksa keadaan
sekelilingnya. Setelah berlatih beberapa jurus ilmu pedang. In-hujin
berkata: "Belajar silat tidak boleh terlalu rakus, hari ini cukup
sampai disini saja."
"Bibi," tiba-tiba Liong Seng-bu berkata, "ada apa sih kau
hari ini?"
Mencelos hati In-hujin, katanya: "Ah, tidak apa-apa.
Kenapa kau bertanya begini padaku?"
"Hari ini agaknya bibi tidak sesabar biasanya mengajarku,
atau mungkin aku yang terlalu bodoh."
"Hari ini latihanmu cukup baik, memang badanku yang
rasanya kurang enak."
"Ooo, kiranya begitu. Bibi, kau tiada persoalan, biarlah
keponakan memberi sedikit berita padamu!"
"Soal apa?"
"Besok aku ingin ke kota raja. Ada pesan apa bila perlu biar
kukerjakan?"
"Ah, pesan apa. Katakan saja pada pamanmu, aku baikbaik
saja di desa ini, tak usah dia kuatir akan diriku."
"Ada pesan lainnya?"
"Tiada lagi."
Liong Seng-bu seperti tidak mendengar omongannya,
katanya seorang diri: "Jikalau ada apa-apa dan bibi tidak
leluasa suruh orang lain, keponakan bisa melakukan."
Berubah air muka In-hujin, katanya: "Ada urusan apa yang
perlu aku minta bantuan orang lain" Apa maksudmu?"
340 "Bibi jangan salah paham, paman dan bibi memandangku
seperti anak kandung sendiri, bibi sudi membimbing dan
mendidik setekun ini, aku anggap kau sebagai ibu kandungku
sendiri Untuk ini harap bibi sudi menyelami ketulusan
perasaanku."
"Pamanmu memang ada maksud memungutmu sebagai
anak. Aku sih tak punya rejeki sebesar ini."
Tersipu-sipu Liong Seng-bu berlutut serta menyembah,
katanya: "Paman dan bibi sudi mengambilku sebagai anak,
sungguh merupakan rejeki besar bagiku," setelah menyembah
dengan suara lembut dia memanggil "ibu".
"Setelah pamanmu mengangkatmu secara resmi, boleh kau
memanggilku demikian. Sudahlah, kalau tiada urusan lain kau
boleh pulang dulu."
"Bu, masih ada persoalan yang akan anak sampaikan."
"Baru kukatakan, jangan memanggilku demikian. Panggil
bibi saja."
"Ya, ya, bibi, harap tunggu sebentar."
"Masih ada urusan apa yang hendak kau bicarakan?"
"Bi, meski ada sesuatu yang tidak enak kau bicarakan
dengan orang lain, tapi paman ada satu hal yang tidak enak
dibicarakan dengan kau, tapi dia pernah bicara dengan aku."
Berubah air muka In-hujin, katanya: "Oo, ada kejadian itu"
Apa perlu kau sampaikan kepadaku?"
"Paman memang ingin supaya kau tahu, maka aku disuruh
tanya kepada bibi."
"Baiklah, coba katakan tentang soal apa?"
"Dua tahun yang lalu bibi pulang ke kampung untuk
menyembuhkan penyakit, paman tahu hatimu selalu murung.
341 Tempo hari waktu aku ke kota raja, paman bilang bila bibi
suka membawa San-moay kemari untuk tinggal bersamamu."
Pucat wajah ln-hujin, katanya gemetar: "Apa betul dia
punya maksud begitu?"
"Kuatir kau marah dan menyinggung perasaanmu, maka
paman tak berani buka suara. Kalau San-moay dibawa ke kota
raja memang berabe, tapi kalau diajak kemari, orang luar
pasti tidak tahu," lalu dia merendahkan suara dan berkata
lebih lanjut: "Paman bilang, terhadap In Tayhiap diapun amat
mengagumi, sayang tabiat kalian berbeda, sehingga
perjodohan tidak terjalin abadi, hal ini tak boleh menyalahkan
dia, bahwasanya paman tidak pernah cemburu terhadap In
Tayhiap." "Tidak usah kau katakan lagi," teriak In-hujin.
"Ya, paman hanya ingin supaya kau tahu maksudnya,
sebetulnya dia bukan orang berjiwa sempit atau suka jelus.
Keberangkatanku ke kota raja akan lewat Tay-tong, kalau bibi
suka menjemput San-moay kemari, sekembalinya nanti
kuselesaikan juga soal ini."
Kalut pikiran In-hujin, katanya sesaat kemudian: "Usianya
sudah besar, terserah kepadanya saja."
"Kalau begitu biar aku menengoknya dulu, tanya dulu
maksudnya. Bibi, sukalah kau menulis surat untuk dia."
"Berapa lama kau pergi?"
"Paling cepat empat puluh hari, tapi takkan keliwat dua
bulan." "Surat tidak perlu kutulis, kau bawa tusuk kundai ini, dia
mengenal barang-barangku. Katakan bahwa aku amat
merindukan dia, kalau dia mau boleh kau membawanya
kemari. Aku tahu kau pandai putar lidah, jauh lebih baik dari
pada tulis surat."
342 Seperti tertawa tidak tertawa mimik Liong Seng-bu,
katanya: "Bibi, jangan kau memujiku, semoga saja aku tidak
mengecewakan harapan bibi," segera dia terima tusuk kundai
itu. Hari kedua segera berangkat.
Di rumah In-hujin hidup sehari bagai setahun pikir yang ini
merisaukan yang itu. Hari-hari berlalu secara berlarut-larut
berkepanjangan, sejauh ini dia tetap sukar ambil keputusan.
Di gunting tidak putus, dibetulkan tetap tidak bisa.
Perasaannya waktu ini sungguh seruwet benang pintal yang
sudah gubat menggubat tak mungkin diluruskan lagi.
Mungkinkah dia rebah kembali keharibaan suami yang
terdahulu" Walau dia tahu In Hou jujur, bijak dan setulus
hatinya ingin rujuk kembali. In Hou adalah pendekar gagah
yang tersohor di kalangan Kangouw, dirinya adalah wanita
yang sudah hina dan nista, kalau dia kembali kedalam
kalangan keluarga In, apakah ada muka dia bertemu dengan
kawan-kawan In Hou yang simpatik" In Hou mungkin tidak
takut ditertawakan orang, tapi dirinyalah yang akan menjadi
buah bibir orang banyak. Bagaimana dia bisa angkat kepala
ditatap oleh lirikan mata yang menghina dan mencemooh"
Akan tetapi dia sudah kenyang merana dalam kehidupan yang
serba munafik dan kesepian ini, hidup yang tiada arti ini, tidak
mungkin berkumpul dengan orang yang paling dekat dan
dicintainya, meski makan tidur berkecukupan, tak ubahnya
dirinya seperti mayat hidup melulu. Perhitungan yang paling
bijaksana adalah, mengambil In San untuk kumpul bersama
dirinya, dari sini dia akan leluasa minggat bersama puterinya
menjemput In Hou, sekeluarga hidup dalam pengasingan yang
tidak mungkin dikenal orang pula.
Apakah In Hou sudi berbuat demikian" Dia tahu bagaimana
watak suaminya, jelas In Hou takkan mau melakukan
perbuatan yang dianggapnya memalukan ini, biarlah, umpama
rencana ini tak bisa terlaksana, ada sang puteri tunggal
343 didampingnya, hidupnya tidak akan menderita dan tersiksa
seperti ini. Dilandasi oleh perasaan yang serba kalut, ini, maka dia
menyetujui maksud Liong Seng-bu yang akan pergi
menjemput puterinya. Bahwa putusan masih belum positip
biarlah hal ini diputuskan begini sementara, segala sesuatunya
biar diputuskan setelah Liong Seng-bu kembali saja.
In-hujin tidak pergi ke Kwi-lin mencari suami, tapi dia
mengutus seorang pelayan pribadinya, dengan menyaru lakilaki
mengantar suratnya ke rumah keluarga Lui di Kwi-lin,
supaya In Hou tahu tekad dan putusannya, tahu gejolak
perasaannya. Pelayan pribadi ini sudah pulang sebelum Liong Seng-bu
pulang. Kabar yang dibawa pulang adalah berita buruk yang
jauh berada diluar dugaannya. Rumah It-cu-king-thian
terbakar ludes secara aneh, kini sudah tinggal puing-puingnya
saja, orang-orang Iceluarga Lui entah sudah pindah kemana
lagi. Bahwa It-cu-king-thian tidak ditemukan, sudah tentu
suaminya terdahulu In Hou juga tidak bisa ditemukan.
Tiga bulan lebih, jauh lebih lama dari janjinya baru Liong
Seng-bu pulang. Seperti berangkatnya tempo hari, pergi
seorang diri, pulang juga seorang diri, hakikatnya dia tidak
membawa In San pulang.
"Bibi, maaf kali ini aku tak mampu menunaikan tugas yang
kau bebankan padaku, sungguh aku merasa malu dan
menyesal," begitu sampai di rumah Liong Seng-bu segera
lapor kepada sang bibi.
In-hujin amat kecewa, tanyanya: "Apa kau tidak bertemu
dengan Siau-san?"
"Ketemu, tapi dia tidak mau ikut kemari. Nah lihatlah tusuk
kundai ini," tanda mata itu dia kembalikan kepada sang bibi
sambil menunduk kepala.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

344 Tusuk kundai itu sedikit gumpil, tanpa dijelaskan oleh Liong
Seng-bu, In-hujin juga sudah maklum bahwa tusuk kundai itu
dibanting oleh puterinya.
"Ternyata begitu benci Siau-san kepadaku," bagai disayatsayat
perasaan In-hujin, tanpa kuasa air matanya bercucuran,
tapi ada persoalan lain yang membuatnya lebih kaget, lebih
menyakitkan hati lagi.
"Bibi, harap kau tenangkan diri, masih ada yang
kusampaikan. Cuma agak sulit juga aku membicarakan soal
ini." Bergetar pula perasaan In-hujin, sekuatnya dia
membendung air mata, katanya: "Boleh kau katakan saja."
"Perjalanan kali ini terlambat satu bulan dari waktu yang
kurencanakan, karena aku mendengar kabar yang agak aneh
dan ganjil. Demi mencari tahu kebenaran dari berita itu,
pernah aku mencari beberapa orang yang punya sumber
penyelidikan luas di kalangan Kangouw."
"Berita aneh dan ganjil apa?" tanya In-hujin.
"Tentunya kau tahu betapa besar rasa kagum paman dan
aku terhadap ln Tayhiap, meskipun terhadap paman mungkin
dia masih sirik dan tidak senang hati, tapi paman tetap
memperhatikan dirinya."
"Adakah dia kena perkara apa?" In-hujin mendesak.
"Betul," sahut Liong Seng-bu manggut, "di Kwi-lin ada
seorang pendekar besar yang berjuluk It-cu-king-thian Lui Tingak,
apakah bibi pernah mendengar namanya?"
"Pernah, dia kenapa?"
"Konon beberapa bulan yang lalu In Tayhiap pernah janji
bertemu dengan dia di Kwi-lin, waktu dia kesana, mungkin
saatnya aku berangkat ke kota raja itu."
345 Timbul rasa curiga In-hujin: "Dari mana dia bisa
memperoleh kabar secepat ini" Mungkinkah pembicaraanku
dengan Hou-ko tempo hari dicuri dengar olehnya" Tapi
melihat gelagatnya waktu itu, tidak mungkin."
Liong Seng-bu seperti dapat menebak isi hatinya, katanya
lebih lanjut: "Bibi kan tahu ayah paman sebagai sekretaris
militer, maka kaum persilatan ternama diberbagai daerah
semuanya masuk dalam daftar hitamnya."
Penjelasan ini memang masuk akal, untuk sementara Inhujin
anggap obrolannya dapat dipercaya, tanyanya: "Di kota
raja, kabar apa yang kau dengar?"
"Tidak lama setelah aku di kota raja, kebetulan ada sebuah
surat laporan yang dibawa oleh kuda yang dapat lari delapan
ratus li sehari dari Kwi-lin, konon rumah It-cu-king-thian Lui
Tin-gak secara aneh terbakar habis, di kala rumah itu terbakar
ada orang melihat In Tayhiap lari keluar dengan luka parah."
Bahwa rumah keluarga Lui sudah tinggal puing-puingnya
saja, hal ini sudah diketahui oleh In-hujin. Tapi In Hou terluka
parah sejauh ini dia masih belum tahu, karuan dia kaget dan
berubah air mukanya, tanyanya: "Bagaimana akhirnya?"
"Berita itu singkat saja, waktu aku tetap berada di kota
raja, tiada surat laporan susulan lagi dari Kwi-lin. Kejadian
selanjutnya dapat kuberitahu setelah berada di kalangan
Kangouw, tapi apa kabar itu benar atau salah juga tidak
berani aku memastikan."
"Peduli benar atau salah, lekas jelaskan." desak In-hujin.
"Konon It-cu-king-thian Lui Tin-gak diagulkan sebagai
pendekar besar, namun dia adalah manusia munafik yang
berhati keji dan telengas, entah karena apa dia berusaha
mencelakai jiwa ln Tayhiap. In Tayhiap lari keluar dengan luka
parah dan sembunyi di rumah seorang teman, tak nyana
temannya ini juga sekongkol dengan Lui Tin-gak."
346 "Jadi dia dicelakai orang" Bagaimana selanjutnya?"
Malam itu, rumah temannya itu juga terbakar habis secara
aneh. Ada orang melihat dia masuk, tapi tiada yang melihat
dia lari keluar."
"Siapa temannya itu?"
"Kabarnya seorang kakek she Tan guru musik harpa
bersama cucunya. Malam itu hanya mereka berdua saja yang
kelihatan lari keluar, seperti juga keluarga Lui Tin-gak, entah
kemana jejak mereka berdua yang terang mereka lenyap dari
Kwi-lin secara misterius."
"In, In Hou bagaimana" Adakah orang yang menemukan
mayatnya?"
"Rumah keluarga Tan tinggal puing-puingnya, tapi jenazah
atau tulang belulang In Tayhiap sih tidak ditemukan. Tapi
sejak malam itu tiada orang pernah melihatnya lagi," dari
penuturan ini dapat diraba bahwa jiwa In Hou lebih banyak
celaka dari pada selamat. Gelap pandangan In-hujin, seketika
dia semaput sayup-sayup masih sempat didengarnya Liong
Seng-bu berteriak-teriak memanggil "Bibi".
Sejak hari itu, In-hujin tidak pernah menyinggung tentang
In Hou lagi, penyakitnya bertambah parah, dua tiga hari
kumat sekali semakin lama semakin parah dan rumit. Untung
dia masih merindukan puteri tunggalnya, maka dia harus
berontak untuk bertahan hidup. Oleh karena itu setiap hari dia
tetap berlatih silat untuk menambah tenaga kondisi badannya.
Sejak itu pula Liong Seng-bu tak berani menyinggung tentang
In Hou juga, sampai kira-kira tiga tahun kemudian, kira-kira
sebulan lebih yang lalu suatu hari dia pulang tergesa-gesa.
"Belakangan ini terjadi sesuatu peristiwa aneh di Kangouw..."
begitu masuk rumah, setelah memberi selamat pada bibinya
lantas dia bercerita panjang lebar.
"Kejadian aneh apa?" tanya In-hujin, karena iseng ingin
juga dia tahu berita apa yang terjadi diluar.
347 "Di kalangan Kangouw baru saja muncul seorang pemuda
yang berusia belum genap 20 tahun, dia pandai memainkan
ilmu golok keluarga In."
In-hujin kaget katanya. "Dia pandai main ilmu golok
keluarga In," In-hujin tahu, ln Hou hakikatnya tidak pernah
menerima murid, ilmu golok itu hanya khusus dia ajarkan
kepada putri tunggalnya.
"Masih ada yang lebih aneh lagi, pemuda ini pun memakai
sebilah golok pusaka yang tajam sekali, menurut orang-orang
yang kenal baik dengan In Tayhiap, golok pusaka itu adalah
golok warisan keluarga In Tayhiap."
"Siapa nama dan she pemuda itu" Bagaimana asalusulnya?"
tanya ln-hujin, seketika pucat pias air mukanya.
"Semula tiada orang yang tahu asal-usulnya, akhirnya
seorang teman In Tayhiap yang suka membantu mencari tahu
kian kemari, syukur usahanya ternyata berhasil. Pemuda itu
she Tan bernama Ciok-sing, asal dari kota Kwi-lin."
Gemetar suara In-hujin, katanya: "Kau, dulu kau pernah
bilang, pada malam hilangnya In Hou tiga tahun yang lalu, dia
sembunyi di rumah seorang sahabatnya. Sahabatnya itu she
Tan. Pada malam itu juga rumah keluarga Tan juga terbakar
habis, keluarga mereka juga lenyap tak berbekas."
"Betul," ujar Liong Seng-bu menghela napas, "Keluarga Tan
itu terdiri kakek dan cucu, sang kakek adalah ahli harpa,
cucunya waktu itu berusia lima belasan. Pemuda yang pandai
main ilmu golok keluarga In muncul di Kangouw ini kecuali
membawa golok pusaka In Hou, diapun selalu membawa
sebuah harpa, petikan harpanya juga cukup ahli. Usianya kirakira
sebaya dengan cucu keluarga Tan itu. Ai, kukira nasib In
Tayhiap tentu celaka."
Sebetulnya In-hujin juga sudah menduga ke arah ini, dalam
hati dia menerka: Pasti It-cu-king-thian bersekongkol dengan
Tan Ciok-sing mencelakai In Hou, buku pelajaran ilmu golok
348 dan golok pusaka itu dirampas mereka. Bagaikan ribuan panah
mencocok jantung, tak terperikan sakit hati In-hujin, kedua
matanya membelalak merah, desisnya sambil mengolak gigi:
"Baik, nama Tan Ciok-sing akan kuukir didalam benakku,"
habis bicara diapun meloso roboh semaput.
000OOO000 Sungguh tak kira tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing yang
dianggapnya pembunuh bekas suaminya ini, kepergok di
rumah sang suami pada malam pertama dia tiba-tiba ada
disini. Meski sudah cerai selama delapan belas tahun, namun
selama ini dalam sanubari In-hujin masih tetap pandang In
Hou sebagai suaminya, maka dia harus menuntut balas atas
kematian suami, golok pusaka milik sang suami harus direbut
kembali, dengan golok pusaka milik suaminya itu itu dia akan
membunuh Tan Ciok-sing.
Tak nyana pada detik-detik yang menentukan itu
mendadak penyakitnya kumat. Lebih diluar dugaannya lagi
bahwa Tan Ciok-sing yang semula dianggap sebagai
pembunuh suami dan hampir dia cekik sampai mati ini,
sekarang berbalik menolong djiwanya dari renggutan elmaut.
Pemuda sejujur, bijak dan rela berkorban sendiri demi
menolong orang lain, mungkinkah dia sampai hati benar
membunuh suaminya yang sedang celaka serta merebut
goloknya" Kepada pihak mana dia harus percaya" Percaya pada Liong
Seng-bu atau percaya pada pemuda di hadapannya ini"
Hatinya yang rawan ini menjadi hambar, seakan-akan jalan
pikirannya berhenti sama sekali. Di tengah alunan irama harpa
yang lembut ini, tanpa merasa dia memejam mata, apapun
tidak dipikir, dengan lelap dia pulas tanpa terasa.
349 Waktu dia siuman hari sudah pagi pada hari kedua esok
harinya, tampak Tan Ciok-sing masih menunggu di pinggir
pembaringan, "In-hujin, kau sudah baik?" tanya Tan Ciok-sing
melihat dia membuka mata.
Sungguh haru dan menyesal pula hati In-hujin, katanya:
"Lebih baik sedikit. Apa semalam suntuk ini kau tidak tidur"
Banyak terima kasih akan kebaikan dan jerih payahmu."
"Ini memang sudah menjadi kewajiban Wanpwe," ucap Tan
Ciok-sing, "sudah kumasakkan bubur, kau tunggu sebentar,
biar kuambil di dapur."
Semangat In-hujin sudah jauh lebih segar, perutnya
memang sedang lapar Tan Ciok-sing membawa semangkok
bubur yang masih mengepul panas, eh, masih menyediakan
dua macam lauk pauk lagi. Waktu makan bubur itu, tak urung
berkaca-kaca kedua bola mata In-hujin. "Bikin kau repot saja,
hayolah kau pun makan." Kata In-hujin.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dalam kota sudah sukar
menemukan makanan, untung di dapur masih ada disimpan
segentong besar, kira-kira cukup untuk makan tiga hari. Aku
sendiri membawa rangsum kering, barusan aku sudah
makan." Pikiran kalut masih berkecamuk dalam hati, terasa oleh Inhujin
banyak persoalan yang dia ingin tanya kepada pemuda
ini, tapi tak tahu dari hal apa dia harus mulai bicara.
Dengan teliti Tan Ciok-sing meladeni In-hujin sampai habis
makan, katanya: "Semangatmu baru saja pulih jangan terlalu
banyak bicara, istirahatlah sebentar lagi,"
"Baiklah, ceritakan dulu persoalanmu kepadaku," kata Inhujin.
"Memang akan kulaporkan kepada Hujin tentang
pertemuanku dengan In Tayhiap. Tiga tahun yang lalu..."
350 "In-hujin tersenyum, katanya ramah: "Aku tidak senang
dipanggil Hujin, kau panggil bibi saja kepadaku," pada hal
semalam dia melarang Tan Ciok-sing memanggilnya "bibi".
Tan Ciok-sing bercerita dari sejak kakeknya menolong In
Hou, sampai kematiannya secara mengenaskan, bicara sampai
pesan In Hou yang terakhir, lalu diceritakan pula
pengalamannya di Ciok-lin yang akhirnya diangkat jadi murid
penutup Thio Tan-hong, sebelum sang guru meninggal, Pekhong-
kiam dan Ceng-bing-kiam diwariskan padanya. Dari
mulut Tan Ciok-sing In-hujin memperoleh kepastian akan
kematian suaminya, sungguh bukan kepalang rasa pedih Inhujin.
Untung hal ini sebelumnya sudah dia ketahui, meski hati
merasa perih, dia masih kuat menerima pukulan batin ini.
Tan Ciok-sing dapat menyelami rasa sedih seperti ini takkan
terbujuk dengan kata-kata manis apapun, maka diapun diam
saja berdiri di samping tanpa berbicara.
Sesaat kemudian, setelah In-hujin menyeka air mata,
katanya: "Wanpwe memang tidak punya rejeki, pada hari aku
diterima murid oleh Suhu, pada hari itu pula Suhu meninggal
dunia, hanya dua jam aku berkumpul dan bicara dengan
beliau, hanya beberapa soal penting saja yang dia bicarakan
kepadaku."
"Dia suruh kau menyerahkan Ceng-bing-kiam kepada
putriku, adakah dia pesan apa-apa."
"Katanya pedang ini semula memang milik keluarga In."
"Benar ini memang milik Sunio (Ibu guru) atau bibi ayah
San-ji yang dipakainya dulu. Lalu Pek-hong-kiam?"
"Beliau menyerahkan kepadaku, dipesan supaya aku
menggunakan pedang ini secara baik-baik."
In-hujin seperti memikirkan sesuatu, katanya sesaat
kemudian: "Apa dia tidak menceritakan asal-usul kedua
pedang ini?"
351 "Aku hanya tahu bahwa kedua bilah pedang dulu adalah
senjata yang dipakai Suhu dan Sunio."
"Kecuali itu, seharusnya gurumu memberitahu persoalan
lain, apa dia tidak sempat berpesan padamu?"
Merah muka Tan Ciok-sing, sahutnya tergagap: "Ya, beliau
tidak bilang apa-apa."
Mendengar kata memperhatikan mimik, segera In-hujin
tahu karena malu Tan Ciok-sing tidak berani memberitahu,
pada hal dia sudah tahu kemana maksud tujuan gurunya,
namun di hadapan In?hujin dia tidak berani berbincang terus
terang. Pek-hong-ceng-bing merupakan dua pedang berpasangan,
merupakan senjata pengikat perjodohan Thio Tan-hong
dengan isterinya di waktu muda. Dalam hati In-hujin berpikir:
"Agaknya Thio Tan-hong ada maksud menjodohkan San-ji
kepada anak ini, waktu Thio Tan-hong bertemu dia
sebelumnya sudah tahu bahwa Hou-ko sudah meninggal,
sebagai sanak kadang tertua dari keluarga In, adalah menjadi
kewajibannya untuk memutuskan perjodohan anak San. Houko
menyuruhnya pulang menyerahkan golok dan buku ajaran
ilmu goloknya mungkin sebelumnya dia juga sudah punya


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maksud yang sama?" tanpa terasa In-hujin memandangnya
terlongong sekian lamanya, pikirnya lagi: "Kungfu bocah ini
amat baik, jujur, tulus dan bajik. Tapi soal lain yang dikatakan
Seng-bu itu entah betul atau tidak" Jikalau anak San sudah
punya simpanan dalam hatinya, perjodohan ini jelas tidak
mungkin dibicarakan."
Dia teringat persoalan yang pernah dibicarakan Liong Sengbu.
Waktu itu dia rebah di atas ranjang setelah penyakitnya
kumat, seperti anak kandung sendiri Liong Seng-bu dengan
teliti meladeninya, setiap hari masak obat dan mengajak
ngobrol. Meski merasakan sang keponakan ini agak bermukamuka,
namun dalam hati dia berterima kasih akan
kebaikannya yang sudi merawat dirinya.
352 Suatu hari kesehatannya jauh lebih baik dari biasanya, tibatiba
Liong Seng-bu datang dan berkata kepadanya: "Bibi,
sebetulnya masih ada sesuatu hal yang hari itu ingin
kusampaikan kepada kau orang tua, mengingat penyakit bibi
masih berat, maka kutunda sampai hari ini. Kupikir lebih baik
kalau hal ini kubicarakan dengan kau orang tua."
Bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah,
jantung In-hujin berdetak pula, katanya dengan rasa kaget:
"Apakah kabar buruk?"
"Untuk ini bibi boleh lega hati, meskipun bukan kabar baik,
tapi juga bukan kabar buruk."
"Baik coba katakan. Soal apa?"
"Waktu aku pulang dulu pernah aku mampir ke Tay-tong.
Untuk kedua kalinya aku bertemu dengan adik San."
Menegang perasaan In-hujin, tanyanya: "Dia bagaimana?"
"Adik San baik-baik saja," ucap Liong Seng-bu tersenyum,
"kini dia sudah tumbuh dewasa, merupakan gadis cantik
rupawan." "Yang ingin kuketahui, apa saja yang dia bicarakan dengan
kau?" "Kini dia sudah tahu urusan.
Waktu aku memberitahu bahwa kau amat merindukan dia,
dia menunduk, katanya: "Akupun merindukan ibu, tapi aku
ingin menunggu ayah pulang, setelah mendapat izinnya baru
aku mau menemui dia."
Senang dan duka pula hati In-hujin, katanya: "Bahwa dia
masih menganggapku sebagai ibunya, matipun aku bisa
meram. Tapi dia ingin menunggu ayahnya pulang, harapan ini
jelas takkan terkabul selamanya."
"Kuatir dia tidak kuat menghadapi pukulan batin, maka
peristiwa yang menimpa In Tayhiap tak berani kuceritakan
353 padanya. Tentang pemuda yang muncul di kalangan Kangouw
serta pandai memainkan ilmu golok keluarga In kuketahui
belakangan. Maka akupun tak berani kasih tahu padanya."
In-hujin menghela napas, katanya: "Aku tak berani
mengharapkan lagi. Betapapun aku tidak tega meninggalkan
dia sebagai yatim piatu yang harus hidup sebatang kara."
"Memangnya, paman juga berpikir demikian."
"Lho, apa pamanmu juga menyinggung anak San
terhadapmu?"
"Paman bilang, bila ayahnya mengalami sesuatu, dia masih
punya ibu, paman dengan senang hati menjadi ayah tirinya.
Paman juga bilang adalah jamak kalau kita memanggilnya
pulang kesini, kalau sudah saatnya dinikahkan supaya yang
jadi orang tua tidak kapiran memikirkan nasibnya kelak."
"Usianya masih kecil, soal menikah boleh kelak dibicarakan.
Syukur kalau dia mau berada di dampingku saja."
"Mungkin bibi tidak tahu, soal perjodohan adik San, paman
memang punya cukup alasan untuk membicarakan hal ini."
"Alasan apa?" tanya In-hujin melengak.
"Paman ada mendengar kabar, katakan ada sebuah
keluarga yang akan meminang adik San, apakah adik San
mencintai orang itu, paman sendiri belum tahu, tapi kalau hal
ini tidak lekas dicegah, kemungkinan bisa menjadi kenyataan.
Paman amat menguatirkan hal ini, ai, orang itu, orang itu..."
Tak urung In-hujin ikut kaget pula, tanyanya: "Siapakah
orang itu" Bagaimana asal-usulnya?"
Liong Seng-bu menenggak habis secangkir teh baru bicara
pula: "Orang itu bernama Toan Kiam-ping, asal-usulnya
memang cukup tinggi dan agung, dia adalah pangeran dari
keluarga Toan di Tayli."
354 Lega hati In-hujin, pikirnya: "Kenapa aku melupakan
keluarga Toan, selama ini keluarga Toan dan In punya hubungan
yang intim. Waktu aku berada' di rumah keluarga In, pernah
In Hou membicarakan pangeran raja ini terhadapku. Konon
pangeran ini amat cerdik pandai, baru berusia belasan tahun
sudah mempunyai dasar Kungfu dan ilmu sastra yang tinggi.
Sayang aku tak pernah melihatnya. Dihitung-hitung usianya
mungkin 10 tahun lebih tua dari anak San, asal orangnya baik,
10 tahun lebih tua dari sang isteri juga tidak jadi soal. Tapi
kenapa paman Seng-bu malah menguatirkan hal ini?"
Seperti merasakan kekuatiran In-hujin, Liong Seng-bu
bercerita lebih lanjut: "Toan Kiam-ping kenyataan memang
seorang pangeran raja, bahwa keluarga In dapat berbesanan
dengan keluarga agung ini sungguh merupakan suatu
kehormatan yang tak terhingga..."
In-hujin mengerutkan kening, katanya: "Ayah anak San
bukan laki-laki yang kemaruk harta dan pangkat, bilamana
anak San memang mencintai orang itu, kupikir pasti bukan
lantaran dia itu seorang pangeran. Sejak kecil wataknya mirip
sang ayah. Letak persoalannya hanya pada Siau-ongya itu
apakah dia seorang baik?"
"Omongan bibi memang betul, persoalan justeru timbul
pada sang pangeran ini."
"Apa pamanmu sudah mengutus orang menyelidiki hal ini"
Apa sepak terjangnya tidak genah?"
"Mungkin lebih parah dari sepak terjang yang tidak genah."
"O, soal apakah yang sedemikian gawatnya?"
"Bibi tidak usah gugup, biar ku jelaskan dengan jelas,
Pangeran ini tahun ini berusia 27, belum menikah. Konon
orangnya romantis dan suka main perempuan, di rumahnya
banyak pelayan perempuan cantik-cantik. Bagi keluarga
355 bangsawan tidaklah dibuat heran kalau dia punya tiga isteri
lima gundik, tapi yang membuat paman kuatir adalah
persoalan lain."
"Persoalan apa pula?" In-hujin, menegas. "Keluarga Toan
menjadi raja di Tayli sejak dinasti Song. Rakyat Tayli terdiri
dari suku bangsa minoritet, bangsa Han kita jarang yang bisa
hidup disana. Keluarga Toan juga dari suku minoritet, karena
sudah bertahun-tahun mereka bergaul dan berhubungan
dengan bangsa Han kita, maka peradaban mereka lebih ' maju
dan adat istiadatpun mengikuti perilaku bangsa Han kita. Dan
letak persoalannya justru keluarga Toan ini bukan suku
bangsa Han. Keluarga Toan memang punya wibawa besar di
kalangan rakyat Tayli, maka sejauh ini, Baginda Raja masih
membiarkan mereka menjabat kedudukan tapi tanpa
kekuasaan berarti, jadi kedudukan mereka boleh dikata sudah
senin kemis. Jadi 'pangeran' inipun hanya nama kosong
belaka." Berkerut kening In-hujin, katanya: "Untuk apa kau bicara
soal ini padaku" Peduli Toan Kiam-ping itu pangeran atau
orang biasa, asal ayahnya setuju dan dia sendiri juga suka,
tidak jadi persoalan bagi aku."
Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Betul omongan bibi.
Akupun tidak suka memandang tinggi jabatan dan kekuasaan.
Tapi lebih mending kalau dia seorang rakyat jelata, celaka
adalah kalau dia dicurigai sebagai kaum pemberontak, kalau
adik San menikah dengan dia bukankah dia bakal ketimpa
mara bahaya?" sampai disini Liong Seng-bu melirik In-hujin
lalu meneruskan dengan merendahkan suara: "Kali ini paman
ada memberi kisikan sebuah rahasia kepadaku. Katanya
kerajaan sedang siap-siap turun tangan kepada keluarga
Toan, waktunya tidak akan lama."
"Lebih celaka lagi, Toan Kiam-ping sang pangeran ini tidak
tahu diri, dia bergaul dengan berbagai aliran kaum persilatan,
malah secara diam-diam juga ada mengikat hubungan dengan
356 Kim-to Cecu yang bercokol diluar Gan-bun-koan. Baginda
sedang memerintahkan paman untuk mengutus jago-jagonya
pergi kesana mengumpulkan data-data dan bukti bahwa
keluarga Toan memang nyata berkomplot dengan kaum
pemberontak. Tapi lantaran agresi Watsu sehingga situasi
cukup genting di perbatasan, mungkin persoalan ini tertunda
untuk sementara waktu lagi.
"O, jadi karena perintah rahasia Baginda itu, maka
pamanmu kuatir mungkin aku juga bisa keserempet perkara,"
demikian ujar In-hujin.
"Paman ada maksud untuk menjemput adik San pulang
saja dan cepat-cepat dinikahkan lebih baik. Dari omongan
paman dapat kurasakan bahwa dia sudah punya calon
pilihannya."
"Siapa calon pilihannya?" "Paman tidak jelaskan, aku tidak
enak tanya. Tapi paman ada menulis sepucuk surat untuk bibi,
mungkin dalam surat dia ada menyinggung soal ini. Apa bibi
ada maksud untuk membaca surat itu?"
"Baiklah, mari serahkan aku. Tolong suruhlah pelayan
memasak kuah untukku, kau tak usah repot-repot meladeniku
lagi," tampak sikap kikuk dan risi Liong Seng-bu, dengan tawa
lucu segera dia mengiakan terus mengundurkan diri.
Waktu In-hujin buka surat itu dan membacanya, isi surat
memang membicarakan soal pernikahan In San, tapi calon
menantu yang dia penujui jusreru berada diluar dugaannya.
Ternyata suaminya atau paman Liong Seng-bu berpendapat
supaya putrinya In San dikawinkan dengan keponakannya
Liong Seng-bu. Dikatakan dalam surat itu, bahwa In San
memang puterinya, dalam arti kedudukan sekarang terhitung
adik Liong Seng-bu, tapi betapapun mereka dari dua marga
yang berbeda, jadi berikutnya mereka masih boleh juga terikat
sebagai suami isteri. Dikatakan pula bahwa sang ponakan
yang satu ini, kelak akan mewarisi kedudukannya, betapa
357 baiknya kalau hubungan famili ini lebih dekat lagi dengan
ikatan pernikahan ini.
Tapi dalam pendapat In-hujin justeru berbeda, dia tidak
merasakan kebaikan dari pernikahan ini, bukan karena dia
kuatir melanggar peradatan atau tingkatan, tapi dari
pengalaman hidupnya sendiri yang serba merana ini, dia
merasakan soal pernikahan ini tidak boleh terjadi.
Didalam keluarga Liong, lahir batinnya boleh dikata
terpukul amat berat. Apalagi watak puterinya menuruni sifat
bapaknya, sebagai seorang ibu dia cukup tahu perangai
puterinya ini. Sungguh tak berani dia membayangkan apa
jadinya bila puterinya betul-betul menjadi nyonya muda
keluarga Liong. Apalagi puterinya itu katanya sudah punya
idaman hati. Setelah In-hujin sudah menghabiskan semangkok bubur,
dengan alasan memberi salam Liong Seng-bu datang pula dan
ajak ngobrol pula padanya. Tanyanya: "Apakah bibi sudah
membaca surat paman?"
"Sudah," sahut in-hujin tawar, "tiada apa-apa hanya surat
biasa." Karena tadi bilang tidak tahu apa isi surat itu, maka Liong
Seng-bu hanya menyengir saja mendengar jawaban In-hujin,
sudah tentu dia tidak berani membongkar jawabannya yang
bohong. Tapi dasar mukanya tebal dia masih berkata:
"Mengenai soal adik San, paman ada memberi petunjuk
kepadaku."
"Petunjuk apa?" "Paman ada bilang, bila bibi mau pergi
sendiri membawa adik San pulang, diapun setuju. Beliau
malah suruh aku menemani bibi. Kalau bibi merasa ripuh,
boleh tulis surat saja anak buah paman akan membawanya
kesana bersamaku menjemput adik San kemari."
"Aku masih sakit, tak mungkin menempuh perjalanan,
biarlah tunggu setelah penyakitku sembuh saja."
358 Liong Seng-bu tidak berani terlalu mendesak, katanya:
"Setelah penyakit bibi sembuh juga baik, tapi... dua tiga hari
lagi keponakan akan keluar, paman memberi tugas
kepadaku."
"Kau boleh pergi, sekembalimu nanti mungkin penyakitku
juga sudah sembuh."
Maka hari kedua, Liong Seng-bu meninggalkan rumah.
Sang waktu berselang dengan cepat tanpa terasa sebulan
telah lalu, kabar yang tersiar diluar semakin kalut, konon
pasukan Watsu sudah menduduki Gan-bun-koan, sementara
Tay-tong sudah dikepung musuh.
Kini In-hujin membuang segala kekuatiran, hatinya yang
gugup malah menambah baik kesehatannya, entah itu untuk
sementara, tapi dia sudah bisa berjalan cepat, maka seorang
diri dia terjun pula di Kangouw, berangkat ke Tay-tong yang
dilanda kecamuk peperangan. Tak nyana di rumah In Hou dia
tidak menemukan puterinya, tapi bersua dengan Tan Ciok-sing
yang membawa barang peninggalan dan warisan In Hou
kepada puterinya.
Mengawasi golok dan pedang pusaka yang ditaruh di meja
oleh Tan Ciok-sing, pikiran In-hujin melayang-layang terutama
Ceng-bing pokiam, teringat akan cerita Liong Seng-bu
mengenai pangeran keluarga Toan, hatinya semakin risau.
"Terima kasih, kau telah membawa barang peninggalan
ayah San-ji kemari," ujar In-hujin, "Akupun datang
mencarinya. Sayang kita terlambat, entah kemana dia
sekarang. Lalu bagaimana sebaiknya?"
"Ingin aku mohon Pek-bo wakilkan putrimu menerima golok
pusaka, pedang pusaka dan buku pelajaran ilmu golok ini.
Pasukan musuh sudah mundur, Tay-tong boleh dikata untuk
sementara akan aman, cepat atau lambat putrimu pasti akan
kembali," demikian pendapat Tan Ciok-sing.
"Lalu kau mau kemana?" tanya In-hujin.
359 "Kupikir hendak mencari Kim-to Cecu."
"Kau mau mencari Kim to Cecu" Apa kau kenal dia?"
"Ada seorang teman yang kenal dia. Dia berpesan padaku,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jikalau tidak berhasil menemukan puterimu, boleh aku pergi ke
markas Kim-to Cecu untuk berteduh disana sementara waktu.
Kemungkinan Kim-to Cecu bisa membantu untuk mencari tahu
jejak putrimu."
"Siapakah temanmu itu?" tanya In-hujin melenggong.
"Darimana dia tahu kalau kau datang ke Tay-tong hendak
mencari putriku?"
"Bukan aku memberitahu kepadanya, malah dia yang
memberitahu kepadaku. Dia tahu aku bertujuan ke Tay-tong,
maka dia tanya padaku apakah tahu kalau di Tay-tong ada
orang In Tayhiap. Kukatakan aku tahu, tapi aku tidak
ceritakan padanya bahwa aku pernah bertemu dengan ln
Tayhiap. Maka dia lantas titip pesan itu untuk puterimu."
In-hujin menjadi heran, pikirannya tergerak segera dia
bertanya pula: "Apa dia teman anak San" Kau belum kasih
tahu siapa she dan namanya?"
"Dia bernama Toan Kiam-ping, seorang pangeran dari
keluarga Toan di Tayli. Dalam perjalanan aku lewat
Golok Halilintar 4 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 7
^