Pendekar Pemetik Harpa 8

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 8


empat orang sekaligus turun tangan, kekuatannya
sama dengan enam belas orang jago kosen sekaligus
menyerang pada titik sasaran yang sama.
Kini Tan Ciok-sing seorang diri melawan tiga orang, berarti
dia melawan delapan musuh kelas satu, meski bersenjata
pedang pusaka, namun pedangnya sering tertolak pergi oleh
getaran tenaga gabungan ketiga lawannya, sehingga sukar dia
membentur putus senjata, lawan, sejauh ini tak mungkin dia
membuat keuntungan. Terpaksa Tan Ciok-sing kembangkan
kegesitan tubuhnya, gerakannya enteng dan lincah secara
cekatan lagi supaya tidak sampai terbokong dan kecundang.
Lima puluh jurus kemudian, lingkaran kepungan lawan
semakin mengetat, gerakan cepat Tan Ciok-sing semakin
sukar dikembangkan. Bahna gugupnya lekas dia berteriak:
"Nona In, lekas kau pergi. Tolong sampaikan kabarku kepada
Tam Tayhiap, tak usah kau menungguku disini."
419 Anehnya bukan saja In San tidak segera mengeluarkan
senjata maju membantu, dia pun tidak segera tinggal pergi.
Tan Ciok-sing suruh dia lari, dia seakan-akan tidak mendengar
peringatannya itu.
Dasar kepincut paras ayu, Liong Seng-bu berpikir: "Pasti dia
sudah mendapat tahu duduknya persoalan dari mulut bocah
keparat itu. Tapi aku yakin dia masih setengah percaya."
Dilihatnya Tan Ciok-sing yang dikepung Huwan bersaudara
tidak akan bisa lolos lagi, maka legalah hatinya, segera dia
maju dua langkah, katanya: "Adik San, jangan kau kena
kepelet bocah keparat itu, dia betul-betul adalah musuh
pembunuh ayahmu. Apa kau tidak ingin menuntut balas dan
membunuhnya?"
In San bersikap pura-pura bimbang, sorot matanya guram
dan melirik kearah Liong Seng-bu, katanya: "Liong kongcu,
silakan kau kemari aku ingin bicara dengan kau."
Huwan Pau yang ada di samping Liong Seng-bu berbisik:
"Hati-hati Kongcu."
Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Apa tidak bisa kau
katakan disini saja?"
In San mendengus, katanya: "Persoalan ayah bundaku
ingin kutanya supaya jelas, baru nanti aku percaya padamu.
Hmm, kau tidak percaya padaku, memangnya aku harus
percaya padamu. Kau tidak mau kemari, ya sudah."
Persoalan ayah bunda In San menyangkut urusan keluarga,
sebagai anak perempuan sudah tentu dia pantang
membicarakan keburukan keluarga di hadapan umum, hal ini
memang jamak dan masuk di akal. Mengingat hal ini diamdiam
hati Liong Seng-bu senang, pikirnya: "Asal timbul rasa
curiganya terhadap bocah she Tan itu aku akan berhasil
membujuknya sehingga dia percaya padaku." Maka tanpa
pedulikan peringatan Huwan Pau, dia mengulap tangan sambil
berkata: "Tak usah kau ikuti aku. Nona In adalah adikku, kami
420 bersaudara ingin omong urusan pribadi, memangnya aku
harus hati-hati apa," sembari bicara diam-diam dia memberi
lirikan kepada Huwan Pau terus melangkah ke arah In San.
Meski terkepung dan sedang berhantam dengan sengit,
tapi mata kuping Tan Ciok-sing selalu memperhatikan keadaan
sekelilingnya, maka setiap perkataan In San dapat juga
didengarnya jelas. Karuan hatinya semakin gelisah, teriaknya:
"Nona In, jangan kau ketipu lagi oleh anak jadah itu."
Sedikit lena karena bicara, pedang panjang Huwan Liong
meluncur tiba menusuk lurus dari depan mengincar dada,
sementara kedua pedang Huwan Hou dan Huwan Kiau juga
berendeng dalam satu garis melingkar satu bundaran
membendung gerakan pedang Tan Ciok-sing. Walau secara
lincah dan pas-pasan Tan Ciok-sing masih sempat
menghindari tusukan pedang Huwan Liong, tapi terdengar
suara "Bret" pakaiannya bolong oleh tusukan pedang Huwan
Liong, untung tidak sampai melukai kulit dagingnya, apa boleh
buat menyelamatkan diri lebih penting, maka dia tidak
hiraukan lagi keadaan In San.
Mendekati In San, Liong Seng-bu cengar-cengir, katanya:
"Adik San, soal apa yang ingin kau tanyakan?"
Pada saat itulah mendadak tampak bintik-bintik sinar
bintang kemilau sama meluruk datang, tahu-tahu In San
timpukkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Jarak sedemikian dekat,
mana Liong Seng-bu bisa meluputkan diri" Sebisa mungkin dia
memutar tubuh sambil menundukkan kepala, belum lagi dia
angkat langkah melarikan diri, terdengarlah suara berisik
lembut, jarum-jarum lembut itu seluruhnya sudah menancap
di punggung Liong Seng-bu.
Girang hati In San, jengeknya dingin: "Bangsat keparat,
justru kaulah yang membantu mencelakai ayahku, kau kira
aku bisa kau tipu lagi?" "Sret" dia mencabut golok terus maju
hendak menggorok leher Liong Seng-bu.
421 Mendadak Liong Seng-bu menoleh: "Adik San, kenapa kau
berkelakar denganku?" wajahnya berseri tawa, sedikitpun
tidak tampak dia terluka.
Rasa girang In San berubah jadi kaget, hatinya ragu-ragu:
"Memangnya bocah ini sudah memiliki Iwekang kebal senjata
rahasia" Waktu dia menemui aku tempo hari kepandaiannya
masih keroco, memangnya tiga tahun ini kemajuan sepesat
ini?" Tapi dendam kematian orang tua sedalam lautan, meski
hati merasa bimbang tangannya segera bekerja cepat, dengan
jurus Yan-loh-ping-sa, golok pusakanya segera membelah.
Dia cepat ternyata Liong Seng-bu juga tidak lambat, lekas
dia mengayun balik pedang, gaya pedangnya ternyata cukup
liehay dan ganas. Jurus ini mengincar balik musuh sehingga
lawan dipaksa melindungi tubuh sendiri lebih dulu sebelum
melukai lawan. Secara reflek In San sudah tentu harus
menghindar, tapi gerakannya amat cekatan, goloknya sudah
merabu pula dengan jurus Pek-ho-liang-ji. "Trang" kembang
api berpijar, pedang Liong Seng-bu terketuk gumpil sedikit
oleh golok In San. Tapi Liong Seng-bu sempat melompat
minggir sejauhnya, tetap segar tidak terluka sedikitpun. Cepat
sekali Huwan Pau sudah lompat maju menolong.
Ternyata Liong Seng-bu memakai kaos kutang yang tidak
mempan senjata, jarum-jarum itu tembus pakaian luarnya,
namun tidak kuasa menembusi kaos kutangnya itu. Di
samping itu, Bu-bing-kiam-hoat yang diperolehnya meski
hanya petilan dan tidak lengkap, namun selama tiga tahun
belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini juga memperoleh
kemajuan. Tergantung kedua keuntungan inilah, maka dia
berani maju kedepan In San tanpa dikawal.
Baru sekarang Tan Ciok-sing sadar akan sikap In San yang
pura-pura dungu tadi, maksudnya adalah memancing Liong
Seng-bu mendekatinya supaya leluasa membunuhnya. Walau
usaha itu gagal, namun rasa kuatir Tan Ciok-sing seketika
tersapu bersih. Segera dia mengempos semangat, beruntun
422 dia lancarkan tiga jurus serangan, kepungan ketat Huwan
bersaudara yang mengetat tadi kini didesaknya mundur
melebar. Disana In San sudah melabrak. Huwan Pau seorang diri
melawan In San. Huwan Pau jelas kalah setingkat, namun
karena hanya lebih rendah setingkat maka untuk mengalahkan
lawannya agak sukar juga bagi In San, malah dia kena dilibat
sehingga tak kuasa terjang kesana mengejar dan membunuh
Liong Seng-bu. "Nona In," teriak Tan Ciok-sing, "selama gunung tetap
menghijau, tak usah takut kehabisan kayu bakar, lekaslah kau
pergi ke markas Kim-to Cecu memberi kabar."
Tapi In San gertak gigi tanpa bersuara, sekaligus dia
kembangkan tiga puluh enam jurus ilmu goloknya, Huwan Pau
didesaknya mundur puluhan langkah. Memang tujuan Huwan
Pau memancing kemarahan In San dengan serangan gencar
ini sehingga dia bisa mundur ke dekat para saudaranya, meski
hanya mampu menangkis dan membela diri, gerak pedang
dan langkah kakinya masih tetap tenang dan teratur.
Tan Ciok-sing sudah tahu bila ke empat saudara ini
bergabung jadi satu, maka barisan pedang ini akan bertambah
kokoh sukar ditembus lagi, bahwa In San mendesak maju ke
arahnya ini bukankah ibarat masuk jaring sendiri. Tapi dia
tahu In San takkan mau mendengar peringatannya, apa boleh
buat dia hanya bisa menghela napas gegetun belaka.
Betul juga Huwan Liong yang menjadi pimpinan barisan
segera memberi aba-aba merubah posisi dari barisan pedang
ini, kini In Sanpun digulung dalam barisan. Empat orang
bergabung perbawanya berlipat pula. Empat batang pedang
memetakan sebuah jaringan sinar pedang, Tan Ciok-sing dan
In San berdua seperti dibungkus di dalamnya, baru sekarang
In San merasakan gerak-geriknya seperti terkekang, ilmu
goloknya tak kuasa dikembangkan, beruntun dia terancam
tusukan dan tabasan pedang musuh.
423 Melihat Tan Ciok-sing dan In San berdua meski tumbuh
sayap juga takkan bisa meloloskan diri, baru lega dan lenyap
rasa kaget Liong Seng-Bu, segera dia main tingkah lagi
dengan mengudal ocehan: "Kalau tidak bisa membekuk hiduphidup
bocah she Tan ini, yang mati juga boleh. Tapi nona In
adalah adikku, sekali-kali kalian jangan melukainya."
Huwan Liong mengiakan, pedang panjangnya tiba-tiba
menusuk keluar dari urutan lingkar besar menusuk ke Hian-kihiat
di depan dada In San. Sebagai saudara tertua dari ke
empat bersaudara ini, ilmu pedangnya terhitung paling
sempurna, dengan ujung pedang dia mampu menusuk hiat-to
lawan tanpa melukai seujung rambut si korban.
Kerja sama gerak pedang ke empat bersaudara memang
benar-benar rapat tanpa cacat sedikitpun di kala Huwan Liong
menusukkan pedangnya, tiga pedang yang lain serempak juga
menyerang Tan dan In berdua, bukan saja menekan dan
menutup gaya permainan pedang Tan Ciok-sing, golok pusaka
In San juga kena ditindih.
Dalam menghadapi saat-saat kritis ini Tan Ciok-sing
menjadi nekat, tanpa hiraukan keselamatan awak sendiri
mendadak dia mendesak maju seraya lancarkan serangan
mematikan, memangnya Bu-bing-kiam-hoat yang dipelajari
amat berguna untuk menghadapi segala perubahan seperti ini,
maka jurus Sing-han-hu-jay ini tahu-tahu menyelonong masuk
ke pusaran lingkaran sinar pedang lawan dan ternyata betulbetul
membawa akibat luar biasa. Maka terdengar suara
bentrokan yang nyaring dan panjang, tiga pedang musuh
sekaligus kena dibentur pergi. Golok In San tegak kokoh di
depan dada berhasil membentur pergi pedang Huwan Liong
yang menusuk datang.
Huwan bersaudara sekaligus turun gelanggang, kekuatan
mereka seumpama enam belas jago-jago silat kelas tinggi
turun tangan bersama meski Tan Ciok-sing dapat
mengembangkan perbawa Bu-bing-kiam-hoat mencapai taraf
424 kejayaannya, namun kekuatannya masih belum dapat
melampaui rangsakan para musuhnya. Memang ketiga pedang
lawan kena dibentur pergi, namun demikian tidak urung
pundak kirinya tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, untung
hanya luka luar dikulit badannya saja.
"Nona In, bocah she Tan ini laksana golekan lempung yang
takkan mampu menyebrang sungai, jiwa sendiri sedang
terancam memangnya dia mampu melindungi dirimu,"
demikian bujuk Huwan Liong, "tentunya kau juga tahu Liongkongcu
kami merasa kasihan dan menaruh hati padamu, jelas
dia tidak akan membikin susah padamu. Harap kau letakan
senjata dan mundurlah keluar gelanggang, supaya kami tidak
sampai melukai kau," untung mereka tidak berani melukai In
San, sehingga sejauh ini In San masih kuat bertahan.
Mendadak In San tertawa dingin, jengeknya: "Terlalu pagi
kalian takabur, nah lihatlah keliehayan nonamu," di tengah
jengek tawanya itu tiba-tiba Ceng-bing-kiam sudah tcrlolos
dari sarungnya, dengan tangan kiri pegang golok tangan
kanan main pedang, golok untuk menjaga badan sementara
pedang panjang menyerang musuh
Memang aneh bin ajaib tusukan pedang In San yang miring
seperti sembarangan ini, ternyata serasi dan cocok pula
dengan gerakan jurus pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing,
rangkaian sinar pedang lawan laksana jala itu seketika tercerai
berai. Ternyata sekarang Tan Ciok-sing dan In San sama
menggunakan pedang jantan dan betina, dua permainan ilmu
pedang tergabung menjadi satu, kekuatannya ternyata
dahsyat sekali. Dahulu Thio Tan-hong suami istri tak lama
setelah menikah, berdasar ajaran ilmu pedang tingkat tinggi,
berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan yang tiada
bandingan tarapnya. Siang-kiam-ho-bik (dua pedang
gabungan) yang diciptakan ini bukan melulu mengutamakan
setiap jurus pedang bergerak secara serasi, namun gaya
425 pedangnya yang harus serasi, cukup asal kedua pihak samasama
menghafal kunci rahasianya cukup sebuah tusukan
pedang biasa saja, namun dapat bergabung mencapai puncak
kehebatan dengan gerakan pedang kawan sendiri.
Hakikatnya In San belum pernah melihat Thio Tan-hong
begitulah menurut ingatannya tapi ilmu pedang yang
dimainkan ini secara tidak langsung memang Thio Tan-hong
yang mengajarkan padanya, dalam hal ini memang ada
kisahnya tersendiri.
Dikatakan didalam ingatannya selamanya belum pernah dia
melihat Thio Tan-hong juga kurang tepat. Yang benar dia dulu
pernah melihatnya, tapi itu terjadi tiga hari setelah dia
dilahirkan dari rahim ibunya, sebagai orok yang belum tahu
apa karena baru saja dilahirkan, bahwa ayah bunda sendiripun
belum bisa membedakan sudah tentu siapa saja yang pernah
dilihatnya di masa kecilnya dulu jelas tiada kesan apa-apa
dalam benaknya.
Waktu itu istri Thio Tan-hong yaitu bibi In Hou yang
bernama In Lui sudah meninggal beberapa tahun, Thio Tanhong
sudah berniat mengasingkan diri ke Ciok-lin, mendengar
isteri In Hou melahirkan seorang bayi perempuan maka dia
hadiahkan pelajaran ilmu pedang ini sebagai kado, diminta
kelak setelah sang bayi menanjak dewasa mengajarkan ilmu
pedang ini kepadanya. Waktu itu Thio Tan-hong sudah
jelaskan dimana manfaat dan kegunaan kedua ilmu pedang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gabungan ini kepada In Hou, malah diapun menambahkan
pesan: "Inilah ilmu pedang gabungan yang biasa dimainkan
aku bersama bibimu, bibimu tidak melahirkan putra putri,
maka perlu aku meninggalkan warisan ilmu pedang jerih
payahnya ini kepada keponakan perempuannya. Kelak bila kau
mendapatkan menantu bagus, ilmu pedang jantan akan
kuturunkan kepadanya. Kuharap kelak dia adalah muridku,
426 tapi umpama dia bukan muridku, ilmu pedang gabungan ini
juga pasti akan kuajarkan kepadanya."
Setelah In San tumbuh dewasa sang ayah lantas ajarkan
ilmu pedang ini kepadanya, malah sering dia berkelakar
menggoda putrinya: "Murid Thio Tayhiap jauh lebih tua dari
kau sejauh ini dia belum menerima murid penutup, kukira
harapannya kelak k;m menikah dengan murid didiknya bakal
menjadi angan-angan kosong belaka. Tapi kado pemberian
Thio Tayhiap terhadapmu ini boleh dikata merupakan hadiah
yang tak ternilai harganya, coba siapa jejaka yang punya
rejeki sebesar ini dapat mewarisinya."
Kini di kala kepepet dan jiwa terancam bahaya, tanpa sadar
In San lantas teringat akan pelajaran ilmu pedang gabungan
yang liehay ini, kebetulan Tan Ciok-sing juga sedang
menggunakan Pek-hong-kiam, maka tanpa banyak pikir secara
reflex tangannya bergerak menurut ajaran ilmu pedang
gabungan yang diperoleh dari Thio Tan-hong.
Perbawa ilmu pedang gabungan ternyata mampu
mengatasi kekuatan gabungan ilmu pedang Huwan
bersaudara, malah didalam perkembangan gaya pedangnya
jauh di atas ilmu gabungan ke empat musuhnya.
Bahwa barisan pedang mendadak tercerai berai, karuan
bukan kepalang kejut Huwan bersaudara, lekas mereka
berputar posisi merubah kedudukan, kaki melangkah menurut
Ngo-hing-pat-kwa menyurut mundur, pikirnya hendak ganti
napas lalu serempak meronta serta balas menyerang.
Sudah tentu kejut dan girang Tan Ciok-sing bukan main,
segera dia pegang kencang kesempatan baik ini, tanpa
memberi kesempatan ke empat musuhnya ganti napas,
pedang dimainkan sekencang kiliran, dia rabu musuh dengan
tusukan dan tabasan pedang.
Ilmu golok warisan keluarga In terkenal di seluruh jagat ini
dan tiada bandingan, kini dia ganti memakai pedang yang
427 bobotnya lebih enteng untuk merangsak musuh, maka daya
kecepatannya ternyata mampu menyamai gerakan pedang
Tan Ciok-sing. Hakikatnya dia tidak usah peduli jurus
permainan apa yang dilancarkan Tan Ciok-sing, cukup asal dia
bekerja sesuai teori ilmu pedang dan dipraktekkan secara fasih
dan betul, ternyata setiap gerak dan jurus permainannya
cocok dan serasi satu dengan yang lain
"Trang", pergelangan tangan Huwan Riau tertusuk pedang
lebih dulu, senjatanya mencelat jatuh. Maka beruntun
terdengar pula suara berisik dari senjata-senjata yang
kebentur patah, pedang panjang Huwan Hou dan Huwan Pau
tertabas kutung, sementara pedang panjang Huwan Liong
yang berkepandaian tinggi juga gumpil delapan tempat,
selanjutnya jelas takkan bisa dipakai lagi.
Karuan bukan kepalang kaget dan jeri Huwan bersaudara,
serempak mereka menjerit bersama terus ngacir ke empat
penjuru. Liong Seng-bu si kurcaci ini lebih takut mati pula,
begitu melihat gelagat jelek siang-siang dia sudah menyingkir
ketempat jauh dan melarikan diri lebih dulu.
Kuda tunggangan mereka adalah kuda-kuda perang yang
sudah terlatih baik, mendengar tanda suitan para majikannya
lekas mereka lari mendatangi. Tapi ada seekor larinya agak
terlambat, malah sering berpaling kemari seperti ada sesuatu
yang berat ditinggalkan. Sekali cemplak Tan Ciok-sing
mencelat ke punggungnya terus ditarik kekangnya dan
ditundukkan kembali.
Huwan Liong, Huwan Hou dan Huwan Pau sudah
mencemplak kuda tunggangan masing-masing, kuda yang
dirampas Tan Ciok-sing adalah kuda tunggangan Huwan Kiau,
sudah tentu dia tak berani merebutnya lagi, saking ketakutan
lekas dia berlari ke arah sang Toako dan mencemplak di
belakang punggung saudaranya, dua orang satu tunggangan
terus ngacir sipat kuping, cepat sekali mereka sudah lari jauh
tak kelihatan lagi.
428 Kuda putih yang dinaiki In San itu tampak lari keluar dari
dalam hutan, kuda yang ditunggangi Tan Ciok-sing semula
masih meronta-ronta, namun begitu melihat kuda putih itu,
sikapnya seketika lembut dan menurut, tanpa dikuasai dia
berlari menghampiri kearah kuda putih lalu saling menggosok
kepala dan mendengus-dengus dengan mesranya. Kiranya
kuda putih In San ini kuda jantan, kuda yang dirampas Tan
Ciok-sing adalah kuda betina, maklum laki dan perempuan
saling berkasih mesra. Agaknya kedua kuda ini sekali bertemu
hati lantas terpaut dan jatuh cinta.
Sudah tentu jengah muka I n San, katanya menarik kuda
putih: "Kudaku ini bisa lari cepat, masih sempat aku kejar
bangsat she Liong itu."
"Mereka sudah lari, tak perlu dikejar," ucap Tan Ciok-sing,
"kuda yang baru kurampas ini mungkin belum mau tunduk
padaku, biarlah mereka berkasih mesra sebentar."
In San juga tahu kuda tunggangan Tan Ciok-sing takkan
bisa menandingi kecepatan lari kuda putih, seorang diri dia
takkan mampu membekuk Liong Seng-bu, terpaksa dia
batalkan niatnya.
Teringat adegan berbahaya tadi sungguh jantung Tan Cioksing
masih berdebar, katanya: "Nona In, tak nyana ilmu
pedangmu ternyata juga seliehay itu."
Semakin merah wajah In San, katanya: "Memangnya hanya
ilmu pedang ini yang pernah kuyakinkan, setelah dimainkan
secara serampangan, tak kira berhasil menggempur mundur
musuh. Yang benar ilmu pedangmu yang liehay, aku toh
hanya memperoleh bantuanmu."
Saat mana hari sudah gelap, tapi di ujung barat di kaki
langit sana masih kelihatan selarik sinar kemerahan, rona
jengah di wajah In San jadi kelihatan berpadu, diam-diam
bergetar hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Anak perempuan
memang aneh, sedikit bicara juga mesti merah mukanya.
429 Katanya tertawa: "Nona In, kenapa kau jadi begini sungkan"
Justeru aku yang mendapat bantuan sepenuh tenagamu baru
berhasil lolos dari bahaya. Nona In, kau tidak menyalahkan
aku bukan?"
In San melongo, katanya: "Menyalahkan kau apa?"
"Tadi kuatir musuh terlalu kuat, aku tidak ingin kau ikut
mengalami bahaya dan terancam jiwamu, maka kuminta kau
lekas lari lebih dulu. Untung kau tidak mendengar nasehatku.
Tapi bukan maksudku hendak memandang rendah dirimu,
tentunya kau tidak salah paham bukan?"
Sungguh malu dan haru pula hati In San mendengar
perkataan Tan Ciok-sing yang tulus ini, katanya: "Kau selalu
memikirkan diriku, berterima kasih toh aku belum sempat,
mana aku berani menyalahkan kau?" dalam hati dia
membatin: "Memangnya dia belum tahu asal-usul dari ilmu
pedang gabungan ini, atau sengaja hendak memancing
reaksiku?"
Tan Ciok-sing berkata: "Hari sudah hampir gelap, marilah
kita menempuh perjalanan sejauh mungkin, atau kau ingin
istirahat disini saja?" tiba-tiba dia berhenti bicara karena
mendapatkan In San tengah mengawasinya mendelong.
Baru saja Tan Ciok-sing merasa heran, tiba-tiba,
didengarnya In San berteriak: "Haya."
Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, tanyanya gugup: "Nona
In, kenapa kau?"
"Aku tidak apa-apa," sahut In San, "Tan-toako, pundakmu
terluka, apa kau tidak tahu?"
Pundak Tan Ciok-sing tadi tergores luka oleh pedang
Huwan Kiau, sementara lengannya juga tergores luka panjang
tiga dim oleh pedang Huwan Liong, darah masih merembes
keluar, lengan baju kirinya sudah basah dan lengket, baru
430 sekarang dia sadar akan luka-luka ini setelah diingatkan oleh
In San. "Luka-luka ringan, terhitung apa," ucap Tan Ciok-sing.
"Luka-luka meski ringan tak boleh diremehkan, hentikan
dulu darah yang mengucur keluar," demikian kata In San,
"aku membawa Kim-jong-yok, Tan-toako, silakan duduk, biar
kubantu kau membubuhi obat dan membalutnya."
Waktu bertempur tadi Tan Ciok-sing tidak merasakan lukaluka
di lengan dan pundaknya ini. Kini setelah diingatkan oleh
In San baru dia merasakan, katanya: "Begitupun baik, biarlah
merepotkan kau nona In."
"Tan-toako, kau sudah membantu sebesar itu pada ayah
bundaku, urusan sekecil ini, kenapa kau malah sungkan
terhadapku?"
Tapi setelah dia mengeluarkan Kim-jong-yok, dia sendiri
jadi bimbang, maklum untuk membubuhi luka dan membalut
luka Tan Ciok-sing dia harus membuka baju luar dan merobek
lengan bajunya itu, sebagai seorang gadis perawan, kapan dia
pernah bergaul dan bersentuhan kulit dengan jejaka" Mau
tidak mau dia jadi malu dan serba kikuk lagi.
Agaknya Tan Ciok-sing tahu maksud hatinya, sambil kertak
gigi segera dia robek lengan bajunya, katanya: "Nona In,
serahkan Kim-jong-yok itu padaku, aku sendiri bisa
membubuhi luka ini."
Karena Tan Ciok-sing merasa rikuh, In San malah tak enak
hati, katanya: "Tan-toako, dengan sebelah tangan saja mana
bisa kau membubuhi obat dan membalutnya" Dengarlah
kataku, rebahkan."
Pelan-pelan Tan Ciok-sing turunkan harpa yang digendong
di punggungnya, lalu dia duduk berpunggung dahan pohon,
katanya: "Terima kasih nona In. Banyak peristiwa dalam dunia
ini yang tak pernah diduga sebelumnya, beberapa jam yang
431 lalu kau masih menganggapku musuh, kini kau justru begini
baik terhadapku," hatinya sungguh amat senang, maka tanpa
dirasakan dia utarakan isi hatinya.
Merah muka In San, katanya: "Iya, ya memang banyak
persoalan yang sukar diduga sebelumnya. Tan-toako, kau
tidak menyalahkan kecerobohanku bukan?"
"Aku sendiri juga belum sempat berterima kasih kepadamu,
kenapa menyalahkan kau. Em, obatmu memang lebih
mujarab, rasa sakit sudah tak terasakan lagi."
"Masakah begitu cepat kasiat obat ini," ucap In San
tertawa, "hari sudah gelap, bocah she Liong itu sudah pecah
nyalinya, tanggung dia lari ke Tay-tong dan tak berani balik
kesini lagi. Kita tak perlu buru-buru melanjutkan perjalanan,
marilah istirahat disini saja. Kau boleh tidur lebih dulu, biar
aku jaga malam."
"Yang benar aku tidak pernah merasa lelah, malam ini tidak
tidur juga boleh."
"Tan-toako," kata In San lembut, "kepandaianmu amat
tinggi, namun badanmu bukan tulang besi otot kawat,
dengarlah perkataanku, istirahatlah dulu."
"Paling sukar menerima kebaikan perempuan cantik,"
memangnya kapan Tan Ciok-sing pernah memperoleh
perhatian gadis selembut ini" Seketika badan seperti segar
dan semangat serta semilir dihembus angin sepoi-sepoi,
hatinya manis mesra. Katanya: "Baiklah aku mendengar
nasehatmu. Tapi sekarang aku belum ngantuk."
"Tan-toako, bolehkah aku melihat harpamu!" "Sudah tentu
boleh." Kata In San mengelus harpa: "Harpa antik yang tak
ternilai harganya, pastilah ini warisan keluargamu."
Mendengar harpanya dipuji, hati Tan Ciok-sing semakin
senang. Ternyata dia cukup ahli juga mengenali nilai-nilai
barang antik," katanya: "Ya, warisan kakekku. Mungkin dia
432 belum terhitung harpa antik yang tak ternilai, namun 'didalam
pandanganku, dia memang jauh lebih berharga dari benda
mana saja."
"Apa betul tidak ada?" tanya In San tertawa.
Tan Ciok-sing tersentak sambil tepuk dahi, katanya: "Ya,
betul, memang ada sesuatu yang jauh lebih berharga dari
harpa ini." "Sesuatu apakah itu?" "Persahabatan dari kawan
terdekat," demikian ucap Tan Ciok? sing di kala mengucapkan
kata-katanya ini, tanpa terasa dia teringat kepada Toan Kiamping,
dalam hati dia pernah berjanji hendak menghadiahkan
harpa ini kepada Toan Kiam-ping.
Tapi In San salah mengartikan perkataannya, dan kira katakata
ini ditujukan kepada dirinya, karuan mukanya jengah dan
panas, katanya: "Tan-toako, kakekmu adalah guru harpa
nomor satu di kolong langit ini, tentunya kau cukup ahli juga
main harpa?"
"Terlalu jauh aku dibanding kakek. Sayang lenganku
terluka, nanti setelah luka-lukaku sembuh kupetik beberapa
lagu untuk kau nikmati. Nona In, kau juga suka memetik
harpa bukan?"
"Petikan harpaku bukan merupakan irama, waktu kecil
pernah aku belajar beberapa hari. Aku punya seorang teman,
dia senang memetik harpa."
"Apakah Siau-ongya?"
"Ya, Toan Kiam-ping. Dari mana kau tahu?"
"Di Tayli pernah aku mendengar dia memetik harpa,
memang bagus petikannya."
"Beberapa tahun lalu pernah dia tinggal sebulan di
rumahku, sering dia memetik harpa untukku. Tapi aku tahu
dan yakin petikannya tidak akan lebih bagus dari kau."
433 "Kau toh belum pernah mendengar aku memetik harpa,
darimana kau berani mengambil kesimpulan ini?"
"Kenapa harus pernah dengar" Seorang guru ahli pasti
menelorkan murid teladan, apalagi kakekmu adalah Ki Harpa
yang diakui seluruh jagat, eh, apa yang sedang kau pikirkan
Tan-toako?" tiba-tiba dia memperhatikan Tan Ciok-sing .yang
sedang melongo seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Tiada yang kupikirkan, aku hanya ingin lekas sembuh
supaya dapat memetik beberapa lagu untukmu," yang benar
dalam hati dia sedang berpikir: "Bila mereka menikah kelak,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harpa ini akan kuhadiahkan sebagai kado untuk mereka suami
isteri, kurasa kadoku ini cukup luar biasa. Em, yang satu
pangeran suatu kerajaan, yang lain adalah putri seorang
pendekar besar, mereka memang setimpal, sungguh
merupakan perjodohan yang bahagia."
Mekar seri tawa In San laksana sekuntum bunga, katanya:
"Kalau begitu terima kasih lebih dulu. Toako, konon irama
harpa dapat menenangkan pikiran orang, apa betul?"
"Pernah aku mendengar cerita kakek, bila kepandaian
memetik harpa seseorang telah mencapai tingkatan yang
paling tinggi, rasa senang dan duka seseorang dapat kau
kendalikan dengan alunan irama harpa."
"Sayang aku kurang ahli, kalau tidak ingin aku memetik
sebuah lagu untuk menina bobo kau supaya lekas tidur. Tantoako,
sehari ini kau sudah cukup lelah, sudah saatnya kau
beristirahat."
"Petikan harpa Toan-kongcu amat bagus, kau sebagai
muridnya dalam hal ini, kenapa merendahkan diri" Silahkan
kau petikan lagunya, ingin aku pulas di tengah alunan
harpamu," In San tertawa, katanya: "Yang benar aku ingin petunjuk
dari kau sang guru yang ahli ini, baiklah kupetikan sebuah
lagu, tapi jangan kau tertawakan diriku," lalu dia letakan harpa
434 di pangkuannya, sambil memetik, diapun tarik suara
bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu yang
mengisahkan seorang gadis yang merindukan sang jejaka,
lagu yang cukup populer di kalangan rakyat jelata di Tay-tong.
Lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping di kala In San berusia
lima belas, yaitu kali terakhir Toan Kiam-ping bertemu di
rumahnya. Waktu itu dia masih kecil dan belum tahu makna
lagu ini, cuma dirasakan lagunya enak dan merdu dinyanyikan.
Kini waktu dia tarik suara di hadapan Tan Ciok-sing, habis
lagunya mukanyapun merah jengah dan lekas-lekas
menunduk. Begitu asyik Tan Ciok-sing mendengarkan alunan lagu nan
merdu dan empuk ini, tiba- tiba dia berpikir: "Pasti lagu ini
diajarkan oleh Toan Kiam-ping, supaya kelak dalam malam
penganten mereka bisa hidup rukun bahagia, eh kenapa aku
ngelantur." Mendengar lagu ini hati Tan Ciok-sing dirundung
kesedihan, tapi lebih banyak ikut bahagia dan mesra. Tanpa
terasa dia betul-betul tenggelam dalam alunan lagu merdu ini
dan lelap. Di alam mimpi dia nampak senyum In San bak
kembang mekar tengah bergandengan tangan menghampiri
dirinya, harpa antik segera dia persembahkan sebagai tanda
kenang-kenangan bagi pernikahan mereka.
Dalam mimpi Tan Ciok-sing bertemu dengan Toan Kiamping.
Diam-diam In San memperhatikan dia memejam mata
dan akhirnya lelap, tanpa terasa diapun terkenang kepada
Toan Kiam-ping.
Selama ini dia tidak pernah berdekatan dengan jejaka
siapapun, kecuali Toan Kiam-ping. Pernah beberapa kali Toan
Kiam-ping bermain di rumahnya, sejak dia masih kecil dia
sudah berkenalan. Tapi di kala dia berusia lima belas itu Toan
Kiam-ping lantas berpisah selama tiga tahun sampai sekarang
belum pernah bertemu lagi.
Dalam jangka tiga tahun kini kecuali dia menunggu
kedatangan sang ayah yang tidak kunjung pulang, sering juga
435 dia terkenang padanya selalu membawa kesan-kesan dan
menggembirakan.
Malam ini menghadapi Tan Ciok-sing yang sedang pulas di
hadapannya, tanpa terasa dia terkenang pula kepada Toan
Kiam-ping. Namun perasaan yang mengisi sanubarinya
sekarang jelas berbeda lagi dengan kesan yang dirasakan
pada saat-saat dulu bila dia terkenang kepada Toan Kiamping.
"Tak kira pemuda yang baru saja kukenal ini sedemikian
baiknya terhadapku. Sebaik Toan-toako terhadapku," demikian
batin In San. Dia adalah anak tunggal, tiada kakak tak punya adik, maka
didalam sanubarinya selamanya dia pandang Toan Kiam-ping
sebagai kakak kandung sendiri. Padahal Tan Ciok-sing baru
dua kali bertemu dengan dia, jadi kalau dinilai secara tepatnya
belum ada satu hari dia berkenalan. Walau baru berkenalan
tapi hubungan mereka sekarang tidak layak diumpamakan
baru berkenalan. Betapa mendalam hubungan Tan Ciok-sing
terhadap keluarganya, mungkin jauh melebihi hubungan
baiknya dengan Toan Kiam-ping. Dia pernah menolong
ayahnya, setelah ayahnya ajal, dari tempat ribuan lie jauhnya,
tanpa mengenal lelah berani menyerempet bahaya datang ke
Tay-tong untuk mengembalikan barang ayahnya. Diapun tuan
penolong ibundanya segala persoalan keluarganya diapun
sudah jelas, malah mungkin lebih jelas dari apa yang dirinya
ketahui. Masih ada satu hal yang sering membikin dia merasa
jengah dan malu. Thio Tan-hong adalah gurunya, Thio Tanhong
sudah menyerahkan pedang jantan dan betina itu
kepada mereka berdua.
Bila sekarang dia terkenang kepada Toan Kiam-ping, tak
lain hanya merupakan kenangan sang adik terhadap sang
kakak belaka. Kenangan itu memangnya menyenangkan,
menyejukkan sanubari, namun asal-usul rasa senang ini tak
lebih hanya merasa puas pernah mendapat perlindungan dan
kasih sang kakak.
436 Dinilai dari kejadian yang dialaminya sehari hari ini,
pemuda yang baru dikenalnya ini ternyata tak bedanya
dengan Toan Kiam-ping, membela dan melindungi dirinya
dengan penuh kasih sayang. Namun kasih sayang yang
diterimanya dari Tan Ciok-sing agaknya berbeda dengan kasih
sayang yang pernah diperolehnya dari Toan Kiam-ping,
perasaan yang peka ini sudah tentu sukar dijelaskan dengan
kata-kata. Bila dia terkenang pada Toan Kiam-ping mukanya takkan
merah jengah, kini berhadapan dengan Tan Ciok-sing tanpa
merasa wajahnya terasa panas. Tan Ciok-sing sudah tidur,
tidak enak dia menunggui laki-laki asing yang sedang pulas
dengan gayanya yang lucu ini, maka dengan langkah ringan
dia beranjak lewat dari samping orang. Didalam sanubarinya
mulailah timbul perbedaan pendapat tentang laki-laki asing di
hadapannya ini dengan Toan Kiam-ping yang sudah lama
dikenalnya. Toan Kiam-ping berwatak lemah lembut sebagai mana
seorang sekolahan dari keluarga bangsawan, sikapnya ramah
dan terbuka, bukan saja ilmu silatnya tinggi, main harpa,
catur, membuat syair dan menggambar juga serba bisa.
Pernah dirinya diajar memain harpa, mengajar dirinya menulis
serta menggambar dirinya serta membuatkan syair lagi. Bicara
sesungguhnya, dia amat suka dan senang kepada "Toantoako"
ini. Walau belum sehari dan berkenalan dengan Tan Ciok-sing,
tapi perasaan sudah jelas menunjukkan bahwa dia bukan
sejenis laki-laki seperti Toan Kiam-ping. Kepandaian memetik
harpa Tan Ciok-sing mungkin lebih tinggi dari Toan Kiam-ping,
tapi meski petikan harpanya tiada bandingan, sikap dan tindak
tanduknya sebagai pemuda kampungan tetap terlalu
menonjol. Akan tetapi bahwasanya
437 Tan Ciok-sing tidak pernah berusaha untuk
menyembunyikan ke kampungan dirinya, dia tetap
menampilkan keaslian dirinya di hadapan In San.
Memang dia amat menyukai Toan Kiam-ping, senang akan
sikapnya yang ramah dan romantis, senang akan wataknya
yang terbuka dan suka mengambil dirinya, tapi kemurnian dan
keaslian Tan Ciok-sing yang serba kampungan dan sederhana
ini justeru menimbulkan kesan yang mendalam, kesan yang
mantap dan dapat dipercaya. Sukar dia memberi jawaban
pada tanda tanya hati sendiri, apakah setelah dia bergaul lama
dengan Tan Ciok-sing dirinya akan menyukainya pula seperti
dirinya menyukai Toan Kiam-ping, tapi dia yakin bahwa Tan
Ciok-sing pasti akan membencinya.
Pikir punya pikir tanpa merasa merah pula muka In San.
Angin malam yang berhembus semilir menyegarkan badan,
sesaat dia melongo lalu berpikir: "Kenapa aku harus
membandingkan ke dua orang ini" Toh aku tidak ingin
menikah dengan Toan-toako, meski Tan Ciok-sing membawa
pedang jantan, memangnya aku harus kawin dengan dia.
Usiaku toh masih muda, kenapa harus bikin susah diri sendiri"
Untuk apa aku pikirkan persoalan tetek bengek ini sepagi ini?"
Selamanya dia belum pernah memikirkan soal nikah, soal
masa depannya, malam ini baru pertama kali. Dia tidak akan
memikirkan lagi, namun perasaan hatinya tetap gejolak tak
mau tenang. Tanpa merasa dia beranjak semakin jauh
kedalam hutan, semakin jauh pula meninggalkan tempat Tan
Ciok-sing mendengkur.
Kuda putih dan kuda rampasan Tan Ciok-sing itu entah
berada dimana, mungkin pergi mencari rumput segar,
sebagaimana sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara,
entah kemana mereka sedang bermain cinta di malam nan
permai ini. Tiba-tiba sayup-sayup seperti didengarnya suara ringkik
kuda. Semula dia kira kuda putihnya itu menemukan kembali
438 tempat istirahat majikannya. Tapi sesaat lagi kuda putih tidak
kunjung muncul, malah dia mendengar langkah kaki orang.
In San sembunyi di belakang sebuah pohon besar, malam
ini bulan purnama, di bawah penerangan bulan purnama
tampak dua bayangan orang muncul di balik lekukan gunung
sebelah sana dari bentuknya kelihatan mereka laki dan
perempuan. Keduanya jalan berendeng, tidak menunggang
kuda. Lekas In San mendekam sambil pasang kuping,
didengarnya yang perempuan sedang berkata: "Aneh, entah
kenapa kuda putih kita punya ini tadi kelihatan gelisah dan
tidak tenang, tidak tunduk perintah lagi, tahu-tahu kita
dibawanya kesini.
In San terperanjat, suara perempuan ini seperti sudah amat
dikenalnya. Disusul seorang laki-laki berkata: "Sudah sehari penuh dan
setengah malam ini kita berkelana, umpama kuda tidak lelah
manusia yang akan keletihan. Siau-moay kau memang harus
beristirahat."
"Ing-piauko." kata perempuan itu, "kau tidak tahu kenapa
aku menguatirkan adik dari keluarga In itu, bahaya yang
mengancam kota Tay-tong sudah tiada, ingin rasanya aku
tumbuh sayap terbang kesana menemuinya."
"Memang aku juga mendapat titipan Toan Kiam-ping untuk
cepat-cepat disampaikan padanya," demikian kata laki-laki itu,
"kuda putih kita berlari secepat terbang, yakin besok juga kita
sudah bisa sampai di Tay-tong, kaupun tidak perlu terburuburu.
Marilah cari tempat yang bersih supaya kau bisa
beristirahat. Aku akan berjaga malam, besok pagi, aku akan
bangunkan kau."
Mendengar pembicaraan mereka sungguh kejut dan girang
hati In San, kini dia sudah tahu siapa kedua orang laki
perempuan ini. Mereka bukan lain adalah Kanglam Sianghiap
439 Kwik Ing-yan dan Ciong Bin-siu yang ingin ditemuinya di
markas Kim-to Cecu. Tak kira sebelum dia sampai ke tujuan,
kedua orang ini sudah mencarinya juga.
"Mereka menempuh perjalanan malam hanya ingin
selekasnya menemukan aku," demikian batin In San, "biar aku
diam dulu, nanti akan kugoda mereka." Kedua muda-mudi itu
sudah memasuki hutan, jaraknya tidak jauh dari tempat In
San sembunyi. Begitu mereka dekat In San sudah siap untuk
muncul secara mendadak supaya kedua orang itu terperanjat
dan kesenangan.
Ternyata langkah mereka berhenti, agaknya sedang
celingukan mencari sesuatu tempat cocok dan bersih. Melihat
mereka tidak maju lebih lanjut, In San sudah siap melompat
keluar memberi kejutan, tiba-tiba didengarnya Ciong Bin-siu
tertawa, katanya: "Cara bagaimana kau hendak
menyampaikan isi hati Toan Kiam-ping kepada adik keluarga
In itu." Kali ini berbalik In San yang terkejut, "Toan Kiam-ping
hendak menyampaikan isi hati apa terhadapku" Kenapa pula
harus melalui mereka untuk menyampaikan kepadaku?" sesaat
ini jantung In San berdebar keras, hatinya juga bingung dan
gelisah. Terdengar Kwi Ing-yang berkata dengan tertawa: "Dia
rikuh mengatakan kepadaku, aku sendiri juga rikuh untuk
menyampaikan pesannya itu kepada adik keluarga In. Adik
Ciong, untuk hal ini terpaksa aku memohon bantuanmu.
Bukan membantu untuk kepentinganku, tapi membantu untuk
kepentingan Toan-toako."
"Memang Toan-toako harus dikasihani meski namanya dia
seorang pangeran, hidup makmur dan serba berkecukupan,
namun dia kurang mendapat seorang teman sejati, hingga
sampai sekarang dia masih jejaka. Beberapa tahun lagi Siauongya
yang selalu disanjung puji rakyatnya ini bukan mustahil
akan menjadi Lo-ongya, memang pantas kita membantu dia."
440 "Betul, hanya kau yang bisa membantu dia untuk ini kau
tidak bisa menampik lagi."
Agaknya Ciong Bin-siu juga ingin memuaskan rasa ingin
tahunya, katanya tertawa: "Bukan soal bagiku untuk
membantu kesulitannya itu, nah coba kau tuturkan persoalan
pribadi apa yang pernah dia bicarakan dengan kau."
"Terhadapmu boleh aku katakan terus terang tapi jangan
nanti lantas menggoda dia. Mungkin kau belum tahu Pangeran
kita yang satu ini biasanya bergaul bebas dan terbuka, namun
waktu ia bicara soal isi hati sendiri, eh, lucu sekali sikapnya
malu-malu kucing, mukanya merah seperti nona jelita
layaknya."
Ciong Bin-siu cekikikan, katanya: "Tak usah kau ngelantur
sejauh itu. Ceritakan saja bagaimana dia utarakan isi hatinya
padamu?" "Hari itu aku membujuknya supaya lekas menikah,
kukatakan sekarang kau sudah tiba saatnya untuk
berkeluarga, adalah pantas kalau dia sekarang sudah punya
calon permaisuri. Dia hanya diam saja sambil menunduk.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kukatakan kau Bun-bu-coan-cay (serba pandai silat dan
sastra) adalah pantas kalau pandanganmu terlalu tinggi,
perempuan biasa pasti tidak masuk dalam hitunganmu. Tapi
untuk menemukan perempuan yang cocok memang sukar,
bolehlah untuk ini kau sedikit mengalah saja."
"Eh setelah kuolok-olok begini, dia malah mau bicara. Coba
terka apa yang dia katakan?"
"Nama pujaan hatinya lantas dia beritahukan kepadamu?"
"Dia justru tidak sewajar itu dalam bicara soal ini. Dia
menghela napas lebih dulu, lalu dengan suara selirih nyamuk
dia berkata: "Terbalik perkataanmu, bukan aku memandang
orang terlalu tinggi, adalah aku sendiri malah yang kuatir tidak
sesuai menjadi suaminya."
441 "Mendengar jawabannya ini saking senang aku berjingkrak
sambil keplok tangan, kataku: "Jadi kau punya pujaan hati,
lekas kasih tahu padaku, nona dari keluarga mana dia."
"Sesaat lamanya dengan suara tersendat baru dia berkata:
"Kaupun sudah kenal nona ini, ayahnya adalah pendekar besar
yang tersohor di kolong langit ini, sejak kecil dia sudah
kelihatan cerdik pandai dan lincah Jenaka, ayu diluar iembut
didaiam, sejak beberapa generasi kedua keluarga kita sudah
ada hubungan erat, selama ini dia memandangku sebagai
Toako-nya. Waktu kecil dulu pernah aku berkelakar sama dia,
kukatakan kelak aku pasti akan mengawini dia, waktu itu
hanya bermain saja, tapi pada terakhir kali aku bertemu
dengan dia, dia sudah merupakan gadis yang sudah mekar
dan jelita, sesampai di rumah aku jadi terserang sakit mala
rindu, tak bisa aku melupakan wajahnya, baru sekarang aku
sadar bahwa aku sudah tidak boleh berkelakar lagi, aku betulbetul
ingin mengawininya."
"Sesaat aku masih belum tahu dan tak teringat siapa nona
yang dimaksud, sambil berpikir kukorek pula keterangannya,
tanyaku: "Keluarga kalian sudah berhubungan turun menurun
kenapa tidak kau suruh comblang untuk meminangnya,
dengan kedudukan sebagai pangeran memangnya kuatir pihak
perempuan menampik?"
"Dia menghela napas pula, katanya: "Usiaku belasan tahun
lebih tua, selama ini kuanggap dia sebagai adik cilik,
bagaimana tidak rikuh untuk bicara soal jodoh."
"Kukatakan tak perlu kau sendiri yang menyampaikan isi
hatimu, cari seorang comblang untuk meminang kepada orang
tuanya, kan beres."
"Dia bilang ayah si gadis sudah hilang sejak tiga tahun
yang lalu kini dia hanya sebatang kara tinggal di rumah."
442 "Sampai disini baru aku sadar dan tahu, teriakku sambil
berjingkrak: "O, jadi yang kau maksud adalah putri In
Tayhiap, kita punya adik dari keluarga In itu."
Kalau Ciong-Bin-siu merasa diluar dugaan, In San sendiri
juga tidak mengira sama sekali, diam-diam dia mencuri dengar
pembicaraan kedua muda-mudi ini, sampai disini tak terasa
jengah dan panas wajahnya, hatinya gundah dan bingung, tak
tahu entah apa yang harus dilakukan.
Kelakar Toan Kiam-ping terhadap dirinya dulu sebenarnya
sudah lama dia lupakan, kini tiba?tiba mendengar orang
menyinggung kejadian lucu itu masa lalu kembali menggelitik
sanubarinya. Waktu itu usianya baru sembilan tahun, masih nona cilik
yang suka ingusan, hari itu dia ditemani Toan Kiam-ping turun
ke kali menangkap ikan, maklum kali kecil yang tidak dalam
airnya, airnya warna kuning, berlumpur lagi, sebagai seorang
pangeran kapan Toan Kiam-ping pernah bermain di tempat
sekotor ini" Tapi demi menyenangkan hati In San, dengan
rasa was-was dia menggandeng In San turun ke kali yang
berlumpur itu menangkap ikan, pakaiannya yang mewah dan
serba baru itu kuatir kotor, dasar In San memang gadis nakal
sengaja dia menciprati pakaian baru orang dengan air dan
lumpur, hingga pakaian orang berlepotan lumpur. Siangnya In
Hou memanggil pulang makan, kebetulan dia saksikan In San
membuat kotor pakaian Toan Kiam-ping, dengan tersenyum
dia memberi nasehat kepada putrinya: "Kau budak liar ini
begitu nakal, kelak siapa berani menjadi suamimu" Hm, kalau
kau masih nakal juga kelak bagaimana kau bisa memperoleh
suami." Setelah mendapat tegoran ayahnya ini memang In
San merasa takut, setelah makan diam-diam dia bertanya
kepada Toan Kiam-ping:
"Apakah anak perempuan harus menikah" Bagaimana kalau
aku tidak bisa memperoleh suami?" Waktu itu Toan Kiam-ping
443 terpingkal-pingkal, katanya: "Adik cilik, kau tidak usah kuatir,
kelak akulah yang akan mengawini kau."
Sungguh tak nyana kelakar Toan Kiam-ping di masa kecil
dulu, sekarang sikapnya menjadi serius. Kalau dulu masih
kecil, setelah ditegor ayahnya dia pernah tanya kepada Toan
Kiam-ping bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan
suami. Kini setelah tahu bahwa Toan Kiam-ping betul-betul
hendak mempersunting dirinya diapun tidak tahu bagaimana
baiknya, memangnya kepada siapa sekarang dia harus
merundingkan hal ini"
Karena gelisah In San berdiri terlongong. Tadi dia sudah
siap melompat keluar hendak membuat kaget Kwik Ing-yang
berdua, kini karena malu dia malah menyembunyikan diri tak
berani mengunjuk diri. Dia takut Ciong Bin-siu betul-betul
menyinggung soal pernikahan ini, cara bagaimana dia harus
menjawab nanti"
Di kala dia kebingungan itulah tiba-tiba didengarnya ringkik
tiga ekor kuda yang bersahutan. Kwik Ing-yang berjingkrak
kaget serunya: "Didalam hutan ada
Ciong Bin-siu juga melompat berdiri teriaknya senang:
"Kwik-piako, coba kau dengar agaknya ringkik kuda putihku
itu." "Betul, suaranya memang mirip," sahut Kwik Ing-yang.
"Lekas kita tengok kesana."
Ciong Bin-siu sudah lari lebih dulu ke arah datangnya
suara. Lekas Kwik Ing-yang menyusul kencang, tinggal In San
seorang yang masih berdiri menjublek di tempat.
Tak lama kemudian terdengar suara benturan senjata dan
bentakan serta makian dari dalam hutan. In San yang
terlongong tiba-tiba tersentak kaget, pikirnya: "Celaka,
mungkin mereka sudah bertarung dengan Tan-toako,
bagaimana aku harus bertindak" Ai, kenapa keadaan semakin
berabe begini?"
444 Jejaka dan perawan sama-sama bermalam di hutan nan
sepi dan jauh dari keramaian, meski mereka sama-sama suci
bersih dan bergaul secara terang-terangan, betapapun akan
menimbulkan kesan jelek di mata umum. Apalagi kedatangan
Kwik dan Ciong justru hendak menyampaikan kabar bahagia
akan pinangan Toan Kiam-ping terhadap dirinya. "Bila mereka
menemukan aku bersama Tan-toako di malam nan gelap ini di
hutan, entah bagaimana mereka memperkirakan diriku?"
tanpa kuasa merah dan panas pula muka In San.
Tapi jikalau dia tidak segera mengunjuk diri, mungkin
urusan bisa lebih payah dan tak karuan jadinya, terpaksa In
San buang segala pikiran yang tidak enak, dengan
mengeraskan kepala lekas dia berlari ke arah datangnya
suara. Apa yang dia tebak memang tidak salah, Kanglani
Sianghiap memang sudah berhantam dengan Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing juga terjaga oleh suara ringkik kuda, dia kira
ada orang hendak mencuri kudanya, maka bergegas dia
bangun, belum lagi dia menemukan kudanya, jejaknya sudah
ditemukan oleh Kanglam Sianghiap. Malam ini bulan purnama
memancarkan sinarnya yang redup; baru saja dia kucek-kucek
mata dan belum melihat siapa kedua pendatang ini, mereka
sudah mengenali Tan Ciok-sing lebih dulu. Kebetulan di kala
mereka berhadapan inilah tampak kedua kuda putih itu juga
muncul dari dalam hutan begitu melihat kuda putih miliknya
itu tanpa banyak bicara "Sret" Ciong Bin-siu segera menusuk
ke arah Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing juga sedang membentak: "Maling kuda
bernyali besar. Hanya kau, kau kiranya kau...!"
Ciong Bin-siu menghardik: "Kau maling cilik ini tak nyana
kebentur dengan pemiliknya bukan?" mulut bicara pedang tak
berhenti. Terpaksa Tan Ciok-sing cabut pedang menangkis,
dengan jurus Hian-niau-hoat tiba-tiba dia balas menusuk dari
posisi yang tidak terduga oleh Ciong Bin-siu. Jurus serangan
445 ini memaksa lawan untuk membela diri lebih dulu, sehingga
Ciong Bin-siu harus menarik pedang kalau tidak pasti
pedangnya tertabas kutung.
Tan Ciok-sing menarik napas lega, teriak-teriaknya lekas:
"Ciong-lihiap, jangan kau salah paham, aku sengaja hendak
mengembalikan kuda putihmu itu."
Melihat ilmu pedang Tan Ciok-sing begitu liehay, kejut Kwik
Ing-yang bukan main, kuatir sang Piaumoay kecundang, lekas
diapun mencabut senjata. Kungfu Kwik Ing-yang jauh lebih
tinggi dibanding Ciong Bin-siu, begitu ilmu pedang
dikembangkan, tipu-tipu serangannya ternyata bergelombang
deras susul menyusul tak kenal putus. Walaupun permainan
ilmu pedangnya ini dalam pandangan Tan Ciok-sing hanya
sepele saja, tapi karena dia tidak bermaksud jahat dan tidak
ingin melukai lawan supaya tidak menimbulkan salah paham
lebih mendalam apalagi dia tak boleh memapas kutung
senjata lawan, sehingga Tan Ciok-sing harus sedikit memeras
keringat menghadapi kedua lawan ini." Bahwa dirinya hampir
saja kecundang, sudah tentu Ciong Bin-siu tidak mau percaya
akan seruan Tan Ciok-sing. Serunya gusar: "Kau bangsat cilik
ini, waktu di Ang-wa-poh tempo hari, aku sudah curiga akan
tindak-tandukmu yang jahat ini, kuda putihku cara bagaimana
bisa terjatuh ke tanganmu" Jelas kau adalah sekomplotan
dengan pembegal di Ang-wa-poh itu. Masih berani kau
membual mengudal mulut manis hendak menipuku lagi."
Belum habis dia mengamuk, mendadak didengarnya
sebuah suara nyaring berteriak: "Siu-cici (kakak Siu), dia tidak
menipu kau, apa yang dia katakan memang benar."
Karuan Kwik dan Ciong berdua melengak dan berhenti
sambil berpaling, lekas Tan Ciok-sing melompat jauh ke
belakang seraya mengembalikan pedang kedalam sarung,
katanya: "Nah, kalau kalian tidak percaya padaku memangnya
kalian tidak percaya kepada nona In?" bahwa dirinya dituduh
semena-mena sebagai anak muda adalah jamak kalau hatinya
446 agak dongkol, cepat dia menyingkir tanpa bersuara, biar In
San yang membela dirinya.
Sejenak Ciong Bin-siu tenangkan diri, melihat yang berdiri
di depannya benar-benar adalah In San, sesaat dia melongo
tak percaya akan penglihatannya, In San tertawa, katanya:
"Kak Siu, kau sudah tidak mengenalku lagi?"
"Haya," teriak Ciong Bin-siu kegirangan, "adik San,
memang kau ini. Kukira dari mana munculnya pemuda
setampan ini."
"Aku hendak mencari kalian di tempat Ciu-pepek, kuatir
kurang leluasa di perjalanan, maka terpaksa aku menyamar."
"Kami juga hendak mencarimu di Tay-tong. Dia, siapa dia?"
tanya Ciong Bin-siu. Melihat In San menyaru pemuda
seperjalanan dan bermalam di hutan ini, karuan timbul rasa
curiganya. "Seperti juga kalian, Tan-toako ini adalah teman baik Toan
Kiam-ping pula, sengaja dia datang ke Tay-tong mencariku,"
demikian tutur In San. "Tapi baru hari ini juga kami
berkenalan," lalu dengan tertawa dia menambahkan, "Tidak
berkelahi tidak akan kenal, terus terang akupun pernah salah
paham padanya, malah melabraknya tak karuan. Malah kalian
kuperkenalkan."
Tanda tanya mengganjel dalam benak Kwik dan Ciong,
terpaksa mereka memberi hormat kepada Tan Ciok-sing, kata
Ciong Bin-siu: "Kudaku ini tempo hari dirampas oleh kawanan
pejahat di Ang-wa-poh, entah bagaimana bisa berada di
tangan Tan-heng?" dalam hati dia membatin: "Kalau dia
teman Toan Kiam-ping, kenapa tidak pernah diceritakan pada
kami"!"
Sementara mereka bicara kedua ekor kuda itu sudah
datang menghampiri, kuda putih itu meringkik perlahan dan
mengelus mukanya ke muka Ciong Bin-siu sejenak lalu berlari
pula ke arah Tan Ciok-sing dan bermesraan. Kuda putih ini
447 memang cerdik dan pandai, tingkahnya ini seakan ingin
memberitahu kepada majikan lamanya bahwa dia bersahabat
baik dengan Tan Ciok-sing.
Kuda putih milik Kwik Ing-yang juga berlari datang, Kwik
Ing-yang berkata dengan tertawa: "Tak heran sampai disini
kau tidak mau pergi, kiranya kau menemukan pasangan disini.
Baiklah, pergilah kalian bermesraan jangan mengganggu aku
disini," kedua kuda ini dapat menangkap perkataan
majikannya, berendeng segera mereka berlari masuk kedalam
hutan. Kuda rampasan Tan Ciok-sing baru sekarang
mendatangi dengan lesu dan tunduk kepala, dia tidak berani
ikut kesana terpaksa dia menyingkir kesana sendirian, kasihan
melihat keadaannya yang kelihatan sedih.
Kecut hati Tan Ciok-sing melihat keadaan kudanya, diamdiam
dia membatin: "Melihat kawan lama adalah jamak kalau
dia melupakan teman baru. Demikian sang kuda, begitu pula
manusia." "Adik Siu," ujar Kwik Ing-yang,
"kudamu itu juga mesra terhadap Tan-heng, bila Tan-heng
tidak pernah menolongnya, pasti dia takkan bersikap
demikian," mau tidak mau dia sedikit percaya akan omongan
Tan Ciok-sing. "Kak Siu, memang Tan-toako yang merebut kembali kuda
putihmu itu dari tangan kawanan brandal di Ang-wa-poh.
Kudamu itu sedikit terluka, Tan-toako pula yang
menyembuhkan. Begitu baik Tan-toako terhadapnya, adalah
jamak kalau dia juga bersahabat terhadapnya. Demi
mengembalikan kuda itu kepada pemiliknya, sepanjang jalan
dia mengejar dan menguntit jejak kalian dari Tayli sampai
disini." Ciong Bin-siu jadi rikuh, katanya: "Tan-toako tadi aku
menuduhmu, mohon dimaafkan."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

448 "Ah, tidak apa." sahut Tan Ciok-sing tawar, "syukur kuda-ini
sudah kukembalikan kepada pemiliknya, terhitung tercapainya
keinginanku."
"Tan-toako," ucap Ciong Bin-siu cekikikan, "Kau memang
orang baik, pantas adik cilik dari keluarga In kita ini baru saja
kenal sudah begitu percaya padamu."
Sebagai gadis cilik sudah In San merasakan duri tajam
pada perkataan Ciong Bin-siu, seketika merah wajahnya,
katanya tertawa dipaksakan: "Kak Siu, salah omonganmu, aku
sendiri juga pernah kapiran orang baik. Waktu pertama kali
aku bertemu dengan Tan-toako, hampir saja aku membalas
budi kebaikannya dengan serangan-serangan mematikan."
Kwik dan Ciong sama melengak, kata Ciong Bin-siu: "O,
jadi Tan-toako juga tuan penolongmu?"
"O, ya, tadi kau bilang pernah melabrak Tan-toako, apakah
yang telah terjadi"!" tanya Kwik Ing-yang.
Maka In San ceritakan pengalaman yang menimpa ayahnya
kepada mereka, lalu ditambahkan bahwa demi melaksanakan
pesan ayahnya. Tan Ciok-sing menempuh perjalanan yang
jauh, mengalami berbagai rintangan dan ancaman bahaya
sampai di Tay-tong serta menyerahkan barang peninggalan
ayahnya kepada dirinya. Tapi tentang pertemuan Tan Cioksing
dengan ibunya tidak diceritakan.
Mendengar betapa gagah perkasa sepak terjang Tan Cioksing,
tak ubahnya sebagai kaum pendekar umumnya, timbul
rasa kagum dan hormat Kwik dan Ciong terhadap Tan Cioksing.
Tapi dalam hati mereka juga menguatirkan nasib teman
mereka Toan Kiam-ping. Mereka pikir betapa erat dan
mendalam hubunganTan Ciok-sing dengan keluarga In,
mungkin demi membalas budi kebaikan orang, In San bisa
jatuh hati dan kelak jadi isteri Tan Ciok-sing malah.
449 Kini mereka bicara terpencar, Ciong Bin-siu tarik In San ke
samping sana, katanya lirih: "Toan-toako amat merindukan
kau, sebetulnya dia titip pesan pada kami supaya kau
mengungsi ke Tayli soalnya waktu kami tiba disini Tay-tong
sudah aman, maka kami putar jalan langsung menuju ke
markas Kim-to Cccu lebih dulu."
"Ya aku sudah tahu," ujar In San.
"Lalu kau mau kemana" Pergi ke Tayli atau mau menemui
Kim-to Cecu?"
"Sudah tentu aku akan ajak kalian menemui Ciu-pepek
lebih dulu. Beliau adalah saudara angkat ayahku, kuduga dia
pasti juga merindukan aku."
"Memang dia amat merindukan kau. Kalau tidak setelah
tahu Tay-tong sudah aman, beliau lantas suruh kami kemari
mencari jejak dan beritamu. Tapi bila dia tahu kau selamat
saja pasti lega hatinya, bukan maksudnya supaya kau kesana
membantu dia. Bila kau pergi ke Tayli dulu bukan saja dia
tidak akan menyalalahkan kau, malah dia akan ikut girang." Di
hadapan Tan Ciok-sing sudah tentu tak enak Ciong Bin-siu
menjadi mak comblang bagi Toan Kiam-ping, maka secara
samar-samar saja dia menyampaikan keinginan sang
pangeran. "Aku tahu Ciu-pepek tidak membutuhkan bantuanku, tahu
harus kesana secepatnya. Ciong-cici, kapan kau meninggalkan
markas?" "Baru kemarin dulu?" "Kalau begitu tahukah kau Tam
Tayhiap dengan ibuku apakah sudah sampai di markas?"
Ciong Bin-siu melengak, katanya: "Jadi kau sudah tahu
bahwa Pek-bo, Pek-bo sudah meninggalkan, meninggalkan..."
tak enak dia meneruskan perkataannya.
"Benar, aku sudah tahu ibu sudah meninggalkan keluarga
Liong. Bagaimana aku bisa tahu kelak akan kujelaskan
450 padamu. Sekarang beritahu padaku, apakah beliau sudah tiba
di markas Ciu-pepek dengan aman?"
"Sebetulnya ingin aku memberitahu kepadamu, cuma...
entah..." agaknya dia kuatir bila In San tidak senang dirinya
menyinggung perihal ibunya.
"Ibuku ditipu orang sehingga dia berpisah dengan ayah.
Tapi betapapun dia adalah ibu kandungku."
Maka legalah hati Ciong Bin-siu, lebih leluasa pula dia
bercerita: "Satu jam sebelum kami meninggalkan markas
kebetulan Tam Tayhiap dan ibumu telah tiba, aku juga belum
sempat bicara dengan beliau. Diapun tidak tahu bahwa aku
adalah temanmu."
"Ibuku memang sengsara dan banyak menderita, sudah
belasan tahun berpisah dengan dia, kini dia sudah berada di
ambang mata. Kakak Ciong, coba kau pikirkan, tidak
pantaskah aku menemuinya?"
Karena Ciong Bin-siu belum tahu bahwa In San sudah
memaafkan kesalahan ibunya, maka tadi dia membujuk In San
uatuk pergi ke Tayli saja, kini setelah tahu duduk
persoalannya, maka tidak pantas kalau dia mendesaknya
supaya pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.
Tanpa terasa hari sudah menjelang fajar.
"Manusia menghadapi urusan bahagia pasti bangkit
semangatnya, pemeo ini memang tidak salah," demikian kata
Ciong Bin-siu tertawa, "semalam aku tidak tidur, setelah
bertemu kau, kita berangkat sekarang, malam nanti kau akan
bertemu dengan ibumu," bersama In San berdua mereka
menunggang satu kuda jalan di depan.
Tan Ciok-sing mencemplak kuda yang dirampasnya dari
pasukan Watsu, bersama Kwik Ing-yang mereka jalan
berendeng. Dalam perjalanan Kwik Ing-yang sengaja bicara
tentang Toan Kiam-ping, katanya: "Toan-toako memang
451 teman sejati yang patut dipuji, sebagai seorang pangeran,
bukan saja serba pandai Kungfu dan sastra, terhadap teman
pun dia tidak pandang bulu, jiwanya besar dan lapang dada
tak pernah dia mengagulkan sebagai keturunan bangsawan."
Tan Ciok-sing berkata tawar: '"Betul orang macamku yang
golongan kroco ini, diapun sudi bersahabat denganku."
"Tan-heng terlalu sungkan, orang yang memiliki Kungfu
setinggi kau, kami dapat berkenalan adalah keberuntungan
kami. Seperti juga Toan-toako, kau memang kawan yang
sukar dicari bandingannya,"
Getir suara Tan Ciok-sing: "Mana aku bisa dibanding
dengan Siau-ongya?"
"Memang keseluruhannya Toan-toako serba baik, hanya
ada satu bagi kami para temannya ikut merasa menyesal."
"Soal apa yang harus disesalkan?" tanya Tan Ciok-sing."
Kata Kwik Ing-yang: "Usianya sudah hampir tiga puluh, tapi
sejauh ini dia belum menikah."
"Betul, rakyat jelata Tayli bila memperbincangkan Siauongya,
pasti juga menyinggung soal ini."
Kwik Ing-yang cukup tahu diri, tak enak dia bicara secara
sendirian, maka dia berpikir. "Kelihatannya dia juga cukup
cerdik, kurasa dia sudah dapat merasakan juntrungan katakataku."
Tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar pokok pembicaraan:
"Tadi seperti kudengar Ciong-lihiap mengatakan, bahwa Kimto-
thi-ciang Tam Tayhiap sudah sampai di markas Kim-to
Cecu, apakah Kwik-hcng sudah bertemu dengan Tam
Tayhiap?" Teringat sesuatu Kwik Ing-yang lantas tanya: "Tan-heng,
apakah kau juga kenal dengan Tam Locianpwc?"
452 "Kenal sih tidak. Tapi dua hari yang lalu pernah aku
bertemu dia di rumah keluarga In Tayhiap, dia pernah
menyuruhku menemui dia."
"Betullah kalau begitu, jadi pendekar muda yang dia
ceritakan itu kiranya kau Tan-heng."
"Ah, jadi dia pernah menyinggung diriku terhadap Kwikhcng,
apakah dia ada pesan untuk aku?"
"Waktu itu kebetulan aku sudah siap turun gunung hanya
sekejap aku bicara dengan beliau. Dia suruh aku perhatikan di
sepanjang jalan seorang pemuda she Tan yang menggendong
harpa. Tapi bila Tan-heng tiba di markas nanti mungkin takkan
ketemu dia."
'"Lho, kenapa?"
'"Tam Tayhiap bilang, dia masih ada janji dengan It-cuking-
thian Lui Tayhiap yang belum dia tepati, kemarin setelah
dia mengantar In-pekbo sampai di markas, lantas pamitan
dengan Kim-to Cecu, hanya menginap semalam, hari ini dia
sudah berangkat ke Kwi-lin untuk menemui Lui Tayhiap."
"Konon It-cu-king-tliian sudah menghilang sejak tiga tahun
lalu, rumah tinggalnya di Kwi-lin juga sudah di bumi
hanguskan. Apakah dia titip kabar untuk Tam Tayhiap, atau
Tam Tayhiap mendengar kabar beritanya dari lain tempat, kini
diketahui bahwa dia sudah kembali ke Kwi-lin?"
"Waktu itu aku sudah siap meninggalkan markas, jadi tak
sempat banyak bicara dengan Tam Tayhiap. Tapi kudengar
pembicaraannya dengan Kim-to Cecu, katanya tiga tahun yang
lalu sebenarnya dia sudah pernah janji dengan Lui Tayhiap
karena kematian In Tayhiap, sehingga janjian pertemuan kali
itu gagal. Maka janji diperbarui lagi untuk bertemu tiga tahun
yang akan datang."
Tan Ciok-sing diam saja tanpa bersuara, hatinya bingung
dan pikiran kalut.
453 "Tan-heng, apa yang kau pikirkan?"
"Tiada apa-apa, aku hanya mengharap bertemu sekali lagi
dengan Tam Tayhiap. Entah Tam Tayhiap ada titip omongan
untukku tidak?"
"Ya, dia ada titipan omongan untuk disampaikan padamu,
dia bilang: 'Bila di tengah jalan kau bertemu pemuda yang
menggendong harpa, katakan padanya, aku akan kembali
kesini, setelah menepati janji pertemuan dengan Liu Tayhiap.
Suruh dia menunggu di markas saja." Tan-heng agaknya dia
hanya tahu kau she Tan tapi tidak tahu namamu."
"Betul, dua kali aku bertemu dengan dia dalam waktu
singkat dan tergesa-gesa, belum aku memberitahukan
namaku kepadanya," tiba-tiba dia menarik tali kendali memutar
balik kudanya. "Tan-heng, apa yang kau lakukan?"
"Tolong sampaikan kepada nona In, katakan aku tidak bisa
mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."
Kebetulan waktu itu In San sedang menghentikan kudanya
karena mereka berdua tertinggal jauh di belakang, teriaknya
sambil berpaling: "Hai lekas kalian kemari."
Kwik Ing-yang segera tarik suara: "Nona In. Tan-toako
bilang tidak akan pergi ke markas."
In San kaget, teriaknya: "Tan-toako, tunggulah sebentar."
Kwik Ing-yang tersenyum katanya: "Tan-toako, umpama
benar kau ingin pergi, sepatutnya pamitan dulu kepadanya."
In San dan Ciong Bin-siu keprak kudanya putar balik: "Tantoako
kau hendak kemana?"
"Aku akan kembali ke Kwi-Iin."
454 "Tiada angin tidak hujan kenapa tiba-tiba hendak pulang ke
rumah" Bukankah kau pernah bilang rumahmu sudah tiada?"
"Kedatanganku kali ini mengemban tiga tugas. Pertama
mengembalikan barang warisan In Tayhiap. Kedua membawa
pesan Toan Kiam-ping untuk nona In. Ketiga mengembalikan
kuda putih ini kepada Ciong-lihiap. Tiga tugas kulaksanakan
kupikir aku harus segera pulang dulu saja."
Berkerut alis In San, katanya: "Sudah tiba disini, tinggal
sehari perjalanan lagi, kenapa tidak kau menemui Kim-to Cecu
lebih dulu toh kau tiada urusan penting?"
"Justeru baru saja kuketahui adanya sebuah urusan, maka
perlu segera pulang ke rumah. Disini hakikatnya tiada
keperluan lagi untukku."
"Urusan apa yang baru saja kau ketahui?" tanya In San.
Kwik Ing-yang segera menyela: "Kim-to-thi-ciang Tam
Tayhiap pergi ke Kwi-lin untuk menemui It-cu-king-thian Lui
Tayhiap, pagi hari ini dia berangkat kesana. Baru aku ketahui
akan berita ini."
"O, jadi kau hendak pulang ke Kwi-lin menemui mereka?"
"Betul, ingin aku selekasnya bertemu dengan Tam
Tayhiap," sahut Tan Ciok-sing.
"Tapi Tam Tayhiap kan akan kembali kesini bukan?" In San
mendesak lagi. "Ya, betul," sela Kwik Ing-yang pula, "tadi sudah kujelaskan
tentang ini. Tam Tayhiap jelas akan pulang kesini, kenapa
tidak tunggu dia sampai pulang" Paling menunggu sebulan,
dari pada susah payah kau mencarinya ke Kwi-lin kan belum
tentu ketemu."
"Justeru aku kuatir takkan sabar menunggu selama satu
bulan," tegas perkataan Tan Ciok-sing.
455 Melihat sikap keras Tan Ciok-sing, In San tahu meski
ditahan juga takkan bisa membatalkan niatnya, kalau dia
menahannya secara getol, mungkin bisa menimbulkan salah
paham Ciong Bin-siu, terpaksa dia berkata: "Baiklah, banyak
terima kasih atas bantuanmu kali ini, kalau kau punya urusan
penting, akupun tak enak mengganggumu lagi. Semoga
kaupun akan datang kemari."
Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya, "manusia hidup ada
kalanya kumpul ada saatnya berpisah, aku juga mengharap
bisa bertemu dengan kalian pula, apakah bisa terkabul kelak
sekarang tak bisa kupastikan."
Ciong Bin-siu cekikikan, katanya: "Jangan bicara seperti itu,
yang pasti kau harus kembali kesini."
Tan Ciok-sing membalikkan kudanya pula, tiba-tiba Kwik
Ing? yang berbisik kepada Ciong Bin-siu: "Mari kita memberi
sebuah kado kepadanya?"
Ciong Bin-siu seketika sadar, segera dia berteriak: "Tantoako
tunggulah sebentar."
"Ada apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Marilah saling tukar kuda tunggangan dengan aku," kata
Ciong Bin-siu. In San sampai melengak oleh tindakan ini.
"Ah, mana boleh, sengaja aku kembalikan kepadamu
kenapa harus kuterima pula kuda kesayanganmu ini?" ujar
Tan Ciok-sing. "Anggaplah aku meminjamkan untukmu," kata Ciong Binsiu,
"kalau bukan kau yang merebutnya dari tangan kawanan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjahat, sekarang dia juga bukan milikku lagi. Sekarang kau
memerlukan dia, adalah pantas kalau aku meminjamkan
padamu. Em, Tan-toako, memangnya kau saja yang boleh
membantu orang, tapi menampik bantuan orang lain
kepadamu?"
456 Segera Kwik Ing-yang ikut bicara: "Ciu Cecu pasti juga
meminjamkan kuda jempolan untuk tunggangan Tam Tayhiap
ke Kwi-lin, dengan menunggang kuda putih ini, kemungkinan
kau bisa menyusulnya di tengah jalan."
"Maksud mereka baik Tan?toako, lekaslah kau terima saja,
toh hanya kau pinjam sementara kelak kan bisa kau
kembalikan," demikian In San ikut membujuk.
"Itulah tujuan kami meminjamkan kuda ini kepadamu
dengan harapan supaya kau lekas kembali kesini," demikian
seru Ciong Bin-siu, "supaya adik kecil kita ini tidak cemas
mengharapi kedatanganmu." Kata-kata ini terlalu polos tapi
juga menusuk perasaan, karuan Tan Ciok-sing dan In San
sama merah mukanya.
Kata Tan Ciok-sing: ?"Kejadian dalam dunia ini sukar
diramal sebelumnya, belum tentu aku bisa kembali kesini.
Markas Kim-to Cecu kan juga sering berpindah..."
"Hal itu tak perlu kau buat kuatir," tukas Ciong Bin-siu,
"kalau kau tidak sempat pulang kesini, boleh kau titipkan kuda
putih ini kepada Toan-ongya di Tayli saja. Dia takkan pindah
rumah. Tak lama lagi aku juga akan ajak adik San kesana."
In San tidak pernah bicara soal ini dan berjanji akan ke
Tayli, karuan dia melengak. Tapi tak enak dia menyangkal di
hadapan orang banyak.
Tapi lain bagi perasaan Tan Ciok-sing, segera dia cemplak
kuda putih, katanya: "Baiklah, banyak terima kasih akan
kebaikan kalian meminjamkan kuda ini padaku, kalau aku tak
sempat pergi ke Tayli, pasti akan kusuruh orang
mengantarkannya kesana," segera dia keprak kuda putih terus
mencongklang kencang ke depan, cepat sekali bayangannya
sudah lenyap. "Ciong-cici," kata In San cemberut, "kapan aku pernah janji
akan pergi ke Tayli dengan kau."
457 "Kukira setelah kau menyampaikan sembah sujudmu
kepada Pek-bo, kau akan kesana. Baiklah anggap aku salah
menangkap perkataanmu. Tapi Toan-toako begitu kangen
padamu, adalah pantas kalau kau kesana menemuinya."
"Cukup kalau kau beritahu padanya bahwa aku selamat dan
sehat walafiat. Betapa susah payahnya usaha ibu untuk
datang kesini sehingga bisa berkumpul dengan aku, beliaupun
tak pernah kelana di Kangouw, aku pingin lebih lama merawat
dan meladeninya."
"Soal ini boleh dibicarakan pelan-pelan. Piauko, berikan
kudamu kepadaku," mereka tetap berdua menunggang kuda
putih milik Kwik Ing-yang, beberapa kejap kemudian Ciong
Bin-siu berkata pula lirih: "Kita adalah kaum persilatan yang
harus mengutamakan perbedaan budi dan dendam, tapi untuk
membalas budi juga harus ada batasnya bukan. Umpamanya
aku meminjamkan kuda putih itu kepada Tan-toako, itupun
termasuk balas budi..."
In San melongo, pipinya jadi merah seketika katanya: "Kak
Siu, apa maksud perkataanmu?"
"Aku membalas budi dan kesetiaan kawannya terpaksa
hanya meminjamkan kuda putih padanya, tapi jiwa ragaku kan
tak mungkin kuserahkan pula. Adik In, kau seorang gadis yang
pintar, perumpamanku ini tentunya kau dapat merabainya?"
Seperti kepiting direbus merah muka In San, katanya
aleman dengan malu-malu: "Aku tidak tahu, tidak tahu, tak
usah bicarakan lagi, perumpamaanmu itu aku juga tidak mau
dengar lagi."
"Baiklah tak usah omong, jangan kau marah. Nanti setelah
pikiranmu jernih, kelak kita bicarakan lagi."
Kuda segera dibedal berlari kencang naik turun, demikian
pula pikiran In San ikut timbul tenggelam tidak menentu.
458 Kim-to Cecu menyambut kedatangan In San dengan riang
gembira, katanya tertawa: "Tak kira secepat ini kaupun
datang," ditariknya tangan orang lalu tanya ini dan itu.
Hati In San amat gelisah, segera dia bertanya: "Ciu-pepek,
soal lain biar bicarakan nanti. Kabarnya ibuku sudah kemari..."
"O, kau sudah tahu?" tanya Kim-to Cecu.
"Dia tidak menyalahkan ibunya, maka aku yang
memberitahu," sela Ciong Bin-siu.
"Syukurlah kalau begitu In-hujin sedang kuatir bila putrinya
tidak mau memaafkan kesalahannya. Sebetulnya aku akan
menunda sementara baru akan kujelaskan kepadamu..."
Tak sabar In San bertanya pula:
"Mana ibuku" Kenapa tidak kelihatan?"
"Badannya kurang sehat, dia sedang istirahat didalam, tapi
kau tidak usah kuatir penyakit tidak begitu gawat," Kim-to
Cecu menerangkan.
"Harap Pepek lekas bawa aku menemui beliau," pinta In
San. Berpikir sejenak Kim-to Cecu lantas memanggil seorang
tentara perempuan, tentara perempuan ini yang disuruh
mengantarkan In San katanya tertawa: "Kalian ibu dan anak
memang harus berbincang-bincang, aku tidak akan
mengganggu," sebagai orang tua yang cukup makan garam,
dia tahu pertemuan ibu dan anak yang sudah sekian tahun
berpisah ini pasti banyak persoalan pribadi yang akan
dibicarakan dan pantang diketahui orang luar. Maka Kim-to
Cecu tetap tinggal menemani Kanglam Sianghiap.
Dalam pada itu In-hujin memang belum tidur, dia sedang
memikirkan putrinya: "Pemuda yang pandai memainkan ilmu
golok keluarga In yang ditemui Tan Ciok-sing itu pasti anak
San adanya, memang sejak kecil dia senang berpakaian lakiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
459 laki. Kalau dia muncul di sekitar Tay-tong, suatu hari pasti
akan menyusulku kesini. Ai, entah sudikah dia memaafkan
ibundanya yang sudah hina apa ini?" lalu dia berpikir pula:
"Tan Ciok-sing memang pemuda idaman, bukan saja
perangainya baik, hatinya jujur dan berilmu silat tinggi, sayang
dia keturunan dari keluarga awam, bila kelak anak San
berjodoh dengan dia, lega juga hatiku. Tapi Siau-ongya dari
keluarga Toan di Tayli itu juga calon suami pilihan yang sukar
ditemukan bandingannya, jikalau anak San menjadi isterinya
mungkin dia akan lebih bahagia. Tapi Tan Ciok-sing menanam
budi begitu besar terhadap keluarga kami, membawa pedang
Thio Tayhiap sebagai ikatan jodoh pula..." hatinya menjadi
risau dan sukar berkeputusan, akhirnya dia menghela napas
dan berpikir pula: "Pernikahan hanya mengutamakan jodoh,
kenapa aku harus kapiran memikirkan soal 'jodoh' putriku,
terserah dia suka mana dan menikah dengan siapa. Apalagi
kemungkinan dia tidak akan mau mengakui aku sebagai
'ibunya', memangnya aku kuasa memberi putusan soal
pernikahannya?"
Dada terasa sakit lagi. In-hujin tahu ini tanda-tanda
penyakitnya bakal kumat, sakit hati sukar diobati, obat yang
paling mujarab adalah mempertahankan ketenangan hati dan
pikiran. Dia berusaha menekan gejolak pikirannya, namun tak
kuasa mengendalikan, hatinya telah mulai sakit dan penyakit
hampir kumat. Di kala pikirannya kacau dan ruwet ini, tiba-tiba
didengarnya suara pintu didorong orang perlahan. In-hujin
kira Kim-to Cecu suruh pelayan membawakan obat untuk
dirinya, tak nyana waktu dia menoleh dilihatnya yang masuk
adalah seorang pemuda yang cakap.
Meski berpisah sudah belasan tahun. Walau waktu berpisah
puterinya baru berusia 7 tahun, walau sekarang puterinya ini
berpakaian laki-laki... peduli ada berapa banyak walau
hubungan ibu dan anak sudah mendarah daging, umpama
460 laut kering dan batu membusuk, benda berubah bentuk,
seorang ibu betapapun takkan bisa melupakan dan pangling
terhadap puterinya sendiri.
Sesaat lamanya In-hujin sampai menjublek di depan
puterinya. Demikian pula In San berdiri terlongong didepan
ibunya, ribuan kata laksaan omongan, tak tahu dari mana dia
harus mulai bicara.
"San-ji, betulkah kau ini. Ini, ini, apakah ini bukan mimpi?"
Segera In San menubruk kedaiam pelukan ibunya, anak
dan ibu saling berpelukan dengan kencang, keduanya saling
bertangisan. "Bu, jangan kau menangis, selanjutnya kita
takkan berpisah lagi."
In-hujin menyeka air mata, katanya: "San-ji, kau tidak
membenciku" Aku, aku salah..."
"Yang sudah lalu anggaplah sebagai impian, tak usah
disinggung lagi Bu, yang kubenci adalah orang lain, aku tidak
pernah menyalahkannya kau."
"San-ji," kata In-hujin sesenggukan. "Aku tahu kau pasti
memaafkan aku. Aku pernah pulang ke rumah mencarimu."
"Bu, aku tahu. Sayang hari itu aku kebetulan tak di rumah.
Bu, kali ini kau bertindak setegas ini untuk pulang ke rumah,
aku amat senang," dengan erat dia menggelendot dalam
pelukan ibunya, tanpa terasa air matapun bercucuran.
In-hujin tertegun sejenak, katanya: "Ah, kau sudah tahu.
Jadi kau sudah pulang ke Tay-tong?"
"Bu, rumah kita itu sudah dibakar oleh pasukan pemerintah
yang dibawa Liong Seng-bu bocah kurcaci itu."
Mendengar puterinya menyinggung keponakan suaminya
yang tiri, kembali hati In-hujin merasa dongkol dan perih pula,
hatinya penuh penyesalan, katanya: "Binatang cilik itu, jangan
461 kau menyinggung nya lagi. Aku ingin bicara tentang seorang
yang lain."
"Siapa?"
"Seorang yang punya hubungan kental dengan keluarga In
kita, ayahmu pernah mendapat budi pertolongannya, akupun
pernah ditolong jiwaku. San-ji, ayahmu, ternyata sudah
meninggal duuia..."
"Bu, semua peristiwa itu sudah kuketahui jelas, tak perlu
kau jelaskan lagi. Bila ayah tahu kini kau sudah pulang, di
alam baka beliau pasti akan senang juga," demikian In San
menghibur ibunya sambil menyeka air matanya.
Kembali In-hujin terlongong, pikirnya: "Bagaimana dia bisa
tahu semuanya" lalu berkata lebih lanjut: "Orang itu bernama
Tan Ciok-sing, dia seorang pemuda yang baik, bukan saja
Kungfunya tinggi, orangnya pun baik dan mengagumkan..."
"Bu, aku tahu," tukas In San, mendengar ibunya memuji
Tan Ciok-sing, manis mesra rasa hati ln San, tanpa kuasa
merah mukanya, kembali dia mengulang perkataan: "aku
tahu." In-hujin berhenti bicara, dengan seksama dia perhatikan
putrinya, baru sekarang dia dapati putrinya sudah
menggembol pedang dan golok pusaka. Karuan kejut dan
girang hatinya, serunya: "San-ji, kau sudah bertemu dengan
Tan Ciok-sing?"
In San haturkan golok pusaka ayahnya, katanya: "Bu, golok
pusaka ayah sudah dia kembalikan."
"Pedang pusaka ini, bukankah ini pedang betina yang
bernama Ceng-bing-kiam itu."
Jengah muka In San, dengan suara lirih dia mengiakan.
"Atas perintah Thio Tayhiap dia menyerahkan pedang ini,
kepadamu?"
462 "Betul," sahut In San, kepalanya tertunduk semakin rendah.
Tak kuasa In-hujin menekan rasa senangnya, katanya:
"Asal-usul pedang mustika ini, tentunya ayahmu pernah
menjelaskan kepadamu, maksud tujuan Thio Tayhiap
menyuruhnya menyerahkan pedang mustika ini, kukira juga
sudah kau ketahui?"
In San menjawab tahu, tapi juga tidak menyangka! Tidak
tahu. Sesaat lamanya baru dia berkata lirih: "Bu, bicaralah
soal lain saja. Putrimu ingin mendampingimu untuk
selamanya."
"Anak bodoh," ujar In-hujin tertawa, "bagaimana mungkin
kau mendampingi kuselamanya, sampai disini tiba-tiba
mukanya berubah pucat, batuk dua kali.
"Bu adakah kau merasa kurang enak. Rebahlah istirahat."
"Tidak apa-apa," ucap In-hujin setelah mengatur napas,
katanya lebih lanjut, "Dua hari ini aku menguatirkan dua hal.
Pertama entah selagi aku masih hidup ini apakah masih
sempat melihatmu, sekarang syukurlah keinginanku terkabul.
Kedua aku amat merindukan Tan Ciok-sing, apakah dia dapat
lolos dari bahaya. Dimanakah kau bertemu dia?"
"Kemarin dulu bertemu di tengah jalan. Semula kukira
jahat, malah pernah aku melabraknya. Akhirnya dia ceritakan
duduk persoalannya dan bicara pernah bertemu dengan ibu
baru aku mau percaya."
"Dia tidak kau ajak kemari untuk menengok aku?"
"Dia tidak mau datang kesini." "O, dia tidak datang. Dia
kemana?" "Dia pulang ke Kwi-lin." In-hujin tertegun, katanya: "Dia
sudah tahu tentang perjanjian Tam Tayhiap dengan It-cuking-
thian?" 463 "Ya, Ciu-pepek suruh Kanglam Sianghiap ke Tay-tong
mencari jejakku, kebetulan juga petang hari itu kami bertemu.
Setelah tahu tentang berita ini Tan-toako segera putar haluan,
katanya mau pulang ke Kwi-lin saja. Kami sudah
membujuknya untuk kemari lebih dulu, tapi dia tetap tidak
mau. Kutanya dia kenapa dia terburu-buru, bilang suruh aku
tanya kepada ibu."
"O, jadi demikian, kalau demikian tidak boleh menyalahkan
dia," ucap In-hujin. Dia ingin lekas pulang untuk menyelidiki
siapa musuh pembunuh kakeknya. Dia pernah mencurigai ltcu-
king-thian, tapi dia tetap ragu-ragu."
"Betul, ayah memang sering menyinggung It-cu-king-thian
kepadaku. Walau ayah hanya mengagumi orangnya dan
belum pernah bertemu, tapi dia sudah jelas karakternya. Yakin
pasti bukan dia yang turun tangan sejahat itu."
"Tapi bicara dari sudutnya itu, adalah pantas kalau untuk
menyelidiki peristiwa ini sampai terang. Dari apa yang dia


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uraikan akan kejadian itu, kuduga meski It-cu-king-thian
bukan biang keladi di belakang layar yang mencelakai
ayahmu, kemungkinan dia sudah tahu siapa sebetulnya yang
menjadi tulang punggung peristiwa itu." Sampai disini
mendadak In-hujin menghela napas.
"Bu, masih ada persoalan apa yang menyedihkan kau?"
"Entah kau sudah tahu belum, demi menyelamatkan
ayahmu sehingga kakeknya itu dicelakai musuh. Terlalu
banyak hutang budi kita terhadapnya."
Kata In San rawan: "Tak kira nasibku serupa dia, sama
kehilangan orang yang paling dicintai, padahal dia tidak
berdosa, tapi kerembet oleh keluarga kita. Aku yakin musuh
yang membunuh kakeknya."
"Itu jelas sudah pasti. Umpama bukan karya satu orang,
pasti mereka ada hubungan satu dengan yang lainnya."
Sampai disini In-hujin batuk-batuk lagi sambil menekan dada.
464 "Bu," seru In San kuatir, "istirahat saja, jangan terlalu
membuang tenaga."
"Aku tidak apa-apa, tapi ada satu hal perlu aku berpesan
kepadamu." Demikian kata in-hujin dengan wajah serius.
Melihat sikap ibunya yang sesungguhnya, lekas In San
bertanya: "Soal apa pula yang harus kukerjakan, Ibu boleh
kau katakan saja."
In-hujin menghela napas, katanya: "Walau penyakitku tidak
jadi soal, entah kapan baru akan sembuh. Dendam kematian
ayahmu, hanya kepadamulah kuserahkan untuk
membalasnya."
"Itu sudah menjadi kewajiban untuk menuntut balas,
selama hayat masih di kandung badan, aku bersumpah pasti
membalas sakit hati ayahku. Bu, kau tidak usah kuatir."
"Musuhmu bukan kaum sembarangan, dua gembong iblis
yang mencelakai ayahmu di Cit?sing-giam itu, apa kau sudah
tahu siapa mereka?"
"Kabarnya mereka bernama Le Khong-thian dan Siang Posan."
"Kedua orang ini adalah jagoan tangguh dari kalangan
sesat, seorang lagi yang tak kalah liehaynya bergelar raja
golok Ie Cun-hong," belum diketahuinya bahwa Le Khongthian
sudah mati di tangan Thio Tan-hong, demikian pula Ie
Cun-hong sudah terbunuh oleh Tan Ciok-sing.
Diam-diam In San berpikir: "Yang benar biang keladinya
sembunyi di belakang layar adalah paman dan keponakan dari
keluarga Liong. Bu, meski kau tidak menjelaskan, kelak aku
pasti akan membuat perhitungan dengan mereka."
In-hujin seperti tahu jalan pikirannya: "Memang di belakang
ketiga orang ini masih ada pula biang keladinya. Tapi aku
minta setelah aku mati baru kau boleh pergi membunuhnya."
465 Luluh hati In San mendengar pesan ibunya, batinnya: "Ibu
berkata demikian, maksudnya supaya aku tidak membunuh
Liong Bun-kong dan keponakannya," dia kira ibunya pernah
kawin dengan Liong Bun-kong, mengingat hubungan suami
isteri selama belasan tahun ini, betapapun dia tidak tega.
Sudah tentu *hal ini membuat In San kurang senang.
Tapi tidak enak dia membongkar kelemahan jiwa ibunya ini.
Dengan menggigit bibir akhirnya dia berkata perlahan: "Bu,
tak usah kau bicara soal yang menyedihkan."
"Baiklah mari kita bicara soal penting saja. Ilmu golok yang
kau pelajari meski sudah memperoleh ajaran murni ayahmu,
bekal Kungfu yang kau miliki sekarang masih terlampau jauh
dibanding gembong-gembong iblis itu, kalau kau ingin
menuntut balas dengan tanganmu sendiri, hanya ada satu
cara." In San melongo, tanyanya: "Cara apa?" Pernah juga dia
memikirkan soal ini, tapi menurut pikirannya ia harus lebih
tekun menggembleng diri mencapai tingkat tinggi, paling
cepat juga harus makan waktu sepuluh tahun.
Kata In-hujin: "Bila kau berhasil meyakinkan ilmu setingkat
ayahmu, mungkin musuhmu sudah mati berusia lanjut. Jikalau
kau ingin lekas berhasil menuntut balas, kau harus
menggabung sepasang ilmu pedang dengan Tan Ciok-sing."
Merah muka In San, kepalanya tertunduk tanpa suara.
"Untung musuhnya adalah musuhmu juga, kukira umpama
dia tidak mempcrsunting kau dia pasti akan bergabung
dengan kau."
"Bu' apa kau ingin supaya sekarang juga aku menyusulnya
ke Kwi-lin," tanya In San.
In-hujin menghela napas, katanya: "Pikiranku ruwet sekali,
aku harap secepatnya kau menuntut balas sakit hati ayahmu."
466 "Menuntut balas memang penting, bu kau sedang sakit,
aku harus merawatmu dulu. Biarlah anak mendampingmu
untuk beberapa waktu lamanya."
In-hujin tertawa getir, katanya: "Sekarang aku sudah tahu,
tak perlu aku membuat kau banyak susah, bahwa aku bisa
bertemu dengan kau terakhir kali ini, sudah puas hatiku. Hari
ini adalah hari yang paling menggembirakan aku, hahaha
hahaha..." gelak ketawanya mendadak terputus.
In San kaget, teriaknya: "Bu, kau, kenapa kau?" tidak
mendapat jawaban dan tidak melihat reaksi ibunya lekas dia
memburu maju meraba pernapasan hidungnya, terasa badan
ibunya sudah mulai dingin, seketika dia menjublek saking
kaget. Selama beberapa tahun ini yang selalu dibuat ganjalan hati
In-hujin hanyalah putrinya dan ingin selekasnya bertemu dan
berkumpul, kini setelah keinginan terlaksana, semangat dan
kesehatannya sudah terlalu lemas, seumpama tanggul yang
sudah jebol. Senang, penyesalan, gembira dan sedih serta pilu
pula... berbagai perasaan yang saling bertentangan seketika
menggejolak sanubarinya, sehingga penyakit hatinya
mendadak kumat di tengah gelak tawanya malah mendadak
napasnya putus.
Lama sekali In San mematung, akhirnya dia sadar akan
kenyataan ini, barulah dia berteriak dan menangis gerunggerung.
000OOO000 Tan Ciok-sing tengah dalam perjalanan menuju ke Kwi-lin,
pikirannyapun gundah-gulana. Betapapun dalam perjalanan
menuju ke kampung halaman, hatinya merasa senang dan
hasrat untuk lekas sampai mengobar semangatnya, tapi di
467 antara semangat yang berkobar ini, hatinya diselingi perasaan
hambar pula. Perubahan tiga tahun yang dialami sungguh terlalu besar,
terutama dua bulan terakhir ini. Nasib memang selalu
mempermainkan orang, sebetulnya dirinya tiada sangkut paut
apa-apa dengan keluarga In yang jauh letak rumahnya
dengan tempat kelahirannya. Tapi kini kedua keluarga seakan
telah bergulat didalam satu arena kehidupan yang saling ikat
mengikat, seumpama benang ruwet yang tidak mungkin
dibenarkan digunting tidak akan habis, disebutkan takkan bisa
lurus. Terbayang percakapannya dengan In-hujin yang panjang
lebar, teringat akan perkenalannya dengan In San yang
semula melabraknya sebagai musuh, nasib keluarga In seolaholah
sudah mendarah daging dengan kepribadiannya.
Terbayang olehnya petikan harpa In San yang menina
bobokkan dirinya didalam hutan, perpisahan di tepi jalan serta
pesan In San masih terngiang di telinganya, diharapkan
dirinya lekas pulang menyusulnya ke markas Kim-to Cecu...
sungguh senang tapi juga sedih pula hati Tan Ciok-sing,
akhirnya dia hanya tersenyum pahit belaka.
"Dengan Toan-siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli
memang dia pasangan yang setimpal, memangnya siapa aku
ini, memangnya masih berani memikirkan dia. Paling aku
hanya bisa berdoa dan menyampaikan selamat bahagia untuk
pernikahan mereka, bila berita bahagia ini kelak kuterima, biar
kuhadiahkan harpa antik ini sebagai kado. Ai, kenapa aku
selalu memikirkan dirinya" Sekenanya Tan Ciok-sing
mengayun pecutnya membedal kuda putih itu supaya berlari
lebih cepat. Seakan dia ingin menghilangkan bayangan In San
dari kelopak matanya, sayang bayangan In San masih terus
menggelitik sanubarinya, dia sudah berusaha untuk tidak
memikirkan dia, tapi tidak kuasa dia melupakannya.
468 Kuda putih memang berlari kencang, hanya tiga hari Tan
Ciok-sing sudah keluar dari wilayah San-he, kini dia mulai
memasuki propinsi Ho-lan.
Hari itu dia tengah mencongklang kudanya di bawah Ongju-
san yang berliku-liku, kira-kira tengah hari, baru dia merasa
lapar dan dahaga, kebetulan dilihatnya tak jauh di depan
terdapat sebuah kedai minuman.
Kedai minuman di pinggir jalan umumnya menyediakan
hidangan bagi kaum pedagang atau para pelancongan yang
menempuh perjalanan jauh, bukan saja menyediakan
minuman juga menghidangkan arak dan nyamikan. Maka Tan
Ciok-sing menghentikan kudanya, kebetulan tak jauh di
samping kedai terdapat tanah lapang berumput. Dengan
tertawa Tan Ciok-sing berkata: "Aku bisa makan di kedai,
kaupun boleh makan rumput sekenyangmu," dia beri
kebebasan kuda putihnya mencari makan di tanah lapang
berumput subur.
Tan Ciok-sing memesan seporsi daging sampi katanya:
"Ada arak apa yang tersedia boleh keluarkan saja, bawakan
dulu setengah kati."
Umumnya kedai minuman di tengah jalan hanya
menyediakan minuman dan makanan yang bertarip rendah,
adalah jamak kalau arak yang dihidangkan juga murahan,
nyamikan paling juga kacang goreng. Tak nyana seteguk dia
menghirup arak yang dihidangkan terasa harum dan segar,
ternyata arak bagus yang belum pernah dia rasakan, sudah
tentu senang hati Tan Ciok-sing, serunya memuji: "Arak
bagus, arak bagus. Apa nama arak ini?"
Pemilik kedai adalah laki-laki tua renta, sahutnya: "Arak
kampungan yang bikin sendiri, masa diberi nama segala.
Syukurlah tuan suka menikmatinya, silahkan minum beberapa
cangkir lagi."
469 Melihat pemilik kedai ramah dan supel, segera Tan Cioksing
mengajaknya minum.
"Orang sehobi sukar ditemukan, kau pandai menikmati
arakku, adalah pantas kalau aku yang traktir kau minum,
mana boleh terbalik malah?"
Tan Ciok-sing tertawa tergelak-gelak, katanya: "Siapa yang
harus mentraktir bukan soal, hayolah minum sepuasnya."
Pemilik kedai ternyata laki-laki tua yang suka kelakar,
katanya: "Hayolah, biar kuiringi kau sampai mabuk," lalu dia
masuk mengeluarkan seguci arak, katanya: "Inilah arak tua
yang sudah tersimpan sekian tahun, rasanya tentu lebih kecut,
coba kau rasakan."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku masih harus
menempuh perjalanan, kalau banyak minum mungkin
mengganggu."
"Boleh minum sekuat ukuranmu saja," ucap pemilik kedai,
dia penuhi dua cangkir lalu ditenggaknya habis.
Semula Tan Ciok-sing masih ragu-ragu melihat orang
menghabiskan dua cangkir, dengan lega hati tanpa curiga
segera diapun ikut minum.
"Tuan muda, siapa she-mu?" tanya pemilik kedai setelah
menghabiskan beberapa cangkir.
"Aku yang rendah she Tan, Lopan, siapa nama besarmu?"
tanya Tan Ciok-sing.
"Terima kasih. Aku she Khu bernama Ti."
"Khu-losiansing fasih berbahasa, tentunya dulu seorang
sekolahan juga?"
"Waktu kecil memang pernah belajar membaca beberapa
tahun, sayang aku terlalu gemar arak sehingga pelajaran
terbengkalai, sampai setua ini aku tidak memperoleh gelar
470 apa-apa. Oleh karena itu ganti nama 'Ti' (terlambat),
maksudku untuk peringatan akan ketidak becusanku sendiri."
Timbul rasa hormat Tan Ciok-sing, katanya: "Kiranya Lopek
adalah seorang pujangga yang mengasingkan diri disini,
sungguh kurang hormat."
Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya: "Karena aku tidak
pintar mencari nafkah, hobiku hanya minum dan suka bikin
arak sendiri, maka kubuka kedai minuman di pinggir jalan
untuk sesuap nasi. Soal pujangga apa segala, tuan ini jangan
menggodaku."
"Khu-losiansing, kau terlalu rendah hati."
"Tan-heng, kau membawa harpa, tentunya kau seorang
ahli dalam bidang ini?"
"Ahli sih tidak, hanya bisa sedikit petikan belaka. Khulosiansing
pernah sekolah, tentu kaupun mahir memetik
harpa?" "Kau terlalu sungkan. Memetik harpa aku tidak bisa, tapi
dulu aku pernah kenal seorang guru harpa yang kenamaan.
Secara kebetulan guru harpa itupun she Tan."
"Siapakah guru harpa itu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Konon kepandaian memetik harpa guru harpa ini tiada
bandingan di kolong langit, orang banyak menyebutnya Siankhim
(Dewa Harpa) tapi dia sendiri menamakan dirinya Ki
Harpa." "Yang di maksud ternyata kakek," demikian batin Tan Cioksing.
Kata Khu Ti lebih lanjut: "Pernah aku sekali bertemu
dengan dia, jadi belum boleh dianggap sahabat baik. Seperti
kau suatu hari dia lewat sini dan mampir di kedaiku minum
arak, setelah merasakan arakku timbul rasa senangnya maka
dia memetik harpa sambil bersenandung, begitu indah dan
471 mengasyikan sekali petikan harpanya itu, selamanya takkan
bisa kulupakan. Em, dihitung-hitung kejadian itu kira-kira
sudah dua puluh tahun berselang."
Tan Khim-ang memang guru harpa yang suka kelana di
Kangouw, tidak perlu dibuat heran kalau dia pernah mampir di
kedai ini dan pamer sekedar keahliannya. Karena baru kenal
sudah tentu pantang bagi Tan Ciok-sing untuk menjelaskan
tentang dirinya.
Ternyata semakin berkobar semangat Khu Ti, katanya:
"Beruntung hari ini Tan-heng berkunjung dan membawa harpa
pula, bagaimana kalau kaupun petikkan sebuah lagu dengan


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iringan harpa seperti kejadian dua puluh tahun yang lampau
itu?" "Petikan harpaku yang rendah ini mana berani dibanding
dengan Dewa Harpa?" ucap Tan Ciok-sing.
"Tan-heng tidak usah menampik, nah kusuguh secangkir
penuh untuk menambah seleramu."
Tan Ciok-sing memang sudah terpengaruh oleh air katakata
(arak), katanya: "Baiklah untuk membalas suguhan
arakmu, biarlah aku sekedar pamer kejelekan sendiri,"
demikian ujar Tan Ciok-sing. Lalu dia membuka kotak
mengeluarkan harpa.
Seketika terbeliak bola mata Khu Ti mulutpun bersuara
heran, katanya: "Tan-heng, harpa milikmu ini kok mirip sekali
dengan harpa yang dibawa Ki Harpa dulu."
"Manusia ada yang mirip adalah jamak kalau bendapun
serupa, meski lagu yang dipetik sama, tapi dengan harpa yang
berbeda petikan lagunya pasti berbeda pula."
Dasar Tan Cok-sing sedang kasmaran, segera dia memetik
lagu yang menggambarkan seorang pemuda yang sedang
sakit mala rindu. Lagunya mengalun lembut, tapi juga
memilukan. Lagu sudah habis, tapi perasaan Tan Ciok-sing
472 masih belum tentram, lama dia duduk terlongong seperti
melupakan kehadiran pemilik kedai di depannya.
Mendadak derap kaki kuda yang dicongklang pesat
mendatangi dengan suara gemuruh, Tan Ciok-sing tersentak
dari lamunannya oleh suara gaduh ini, sebuah suara yang
sudah dikenal dan menusuk kuping berkata: "Petikan harpa
yang mengasyikkan. Hm, kau bocah kampung ini umpama
kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau."
Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak lima ekor kuda
sudah tiba di tanah lapang berumput di samping kedai, yang
bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di kanan kirinya
berjajar Huwan bersaudara.
Kalau Liong Seng-bu memperhatikan petikan harpa Tan
Ciok-sing, adalah Huwan Liong dan saudara-saudaranya
memperhatikan kuda putih itu. Katanya: "Bocah ini takkan
lolos, Liong-kongcu, sudikah kau menghadiahkan kuda itu
kepadaku."
Segera Tan Ciok-sing bersiul pendek, kuda putih itu
memang cerdik segera dia lari masuk hutan. Karuan Huwan
Liong gusar, bentaknya: "Majikanmu takkan lolos, memangnya
kau bisa melarikan diri," sebelah tangannya terayun, sebatang
panah segera meluncur kencang mengejar kuda putih.
Tan Ciok-sing jemput sebatang sumpit, dengan gerakan
melempar dia susul timpukan panah kecil orang dengan
sambitan sumpitnya, panah timpukan itu kena dipukulnya
jatuh di tengah jalan. Kuda putih itupun sudah lenyap di balik
pohon. Sudah tentu Huwan Liong gusar dan malu, hardiknya:
"Bocah bernyali besar, berani kau bertingkah. Hehe, mana
budak liar keluarga In itu" Kau sudah dilempar dan tak
dipedulikan bukan" Hm, hehe, dengan budak itu kalian
menggabung sepasang pedang, mungkin kami memang bukan
tandingan. Tapi kini kau sendirian, memangnya kau bisa lolos
473 dari tangan kami?" Huwan bersaudara serempak melompat
turun terus berbaris memasuki kedai.
Omongan Huwan Liong memang bukan gertakan, Tan Cioksing
pernah merasakan keliehayan barisan pedang mereka,
dia insaf tanpa kehadiran In San tak mungkin dia memainkan
ilmu pedang gabungan, jelas dirinya bukan tandingan mereka.
Tapi urusan sudah terlanjur, gugup juga tak berguna. "Paling
adu jiwa, Liong Seng-bu bocah keparat itu betapapun akan
kupersen lobang tusukan di badannya," demikian batin Tan
Ciok-sing. Maka dia tidak hiraukan lagi mati hidup awak
sendiri, perasaan yang gejolak tadipun menjadi tentram dan
tenang tanpa takut lagi. Pedang melintang, kaki pasang kudakuda,
seluruh perhatian tumplek di ujung pedangnya
menunggu reaksi para musuhnya.
Liong Seng-bu terakhir masuk kedai, melihat sikap Tan
Ciok-sing yang tegang dan bersiaga, hatinya amat senang dan
puas. Katanya setelah bergelak tawa: "Tan-heng, kau
memang pemuda romantis. Irama harpa mengirim rasa rindu,
kau belum bisa melupakan nona In yang jelita itu bukan"
Sayang untuk selanjutnya, mungkin kau takkan bisa bertemu
dengan dia."
Pemilik kedai itu tiba-tiba tampil ke depan katanya dengan
tertawa: "Kapan kedaiku yang bobrok ini pernah dikunjungi
tamu sebanyak ini, nah silakan tuan-tuan tamu duduk,
minumlah dulu beberapa cangkir. Kalian ada pertikaian apa
sukalah memandang mukaku, bagaimana kalau aku jadi
penengah?"
"Urusan kami tak usah kau turut campur," semprot Liong
Seng-bu. Huwan Liong malah tertawa, katanya: "Kongcu, araknya
memang wangi. Marilah kita minum dulu sampai puas, baru
nanti kerjai dia."- maklum Huwan bersaudara semua setan
arak, mereka pikir Tan Ciok-sing takkan bisa lolos, maka
sengaja mereka hendak mempermainkannya lebih dulu.
474 Tanpa permisi Huwan Liong mengangkat meja kursi
memindahkannya kesana kemari menjadi formasi segi tiga,
jalan mundur Tan Ciok-sing berarti sudah dicegat. Mereka
berempat berpencar, Tan Ciok-sing di tengah. Sementara
Liong Seng-bu duduk di meja kursi yang dekat pintu.
Khu Ti berkata: "Tuan-tuan tentunya masih akan
menempuh perjalanan, bagaimana kalau kusuguh setiap orang
dua poci dulu?"
Melihat guci di atas meja Tan Ciok-sing, Huwan Liong yang
setan arak ini sudah tentu tak mau kalah, katanya: "Jangan
kuatir, ambilkan setiap orang satu guci."
Liong Seng-bu segera menyela: "Aku tidak minum, cukup
empat guci saja."
Khu Ti mengiakan terus berlari masuk, tak lama kemudian
dia sudah keluar menjinjing empat guci arak, setiap guci
beratnya sepuluh kati, bersama gucinya, berat kotornya
sedikitnya ada enam puluhan kati. Setiap tangan Khu Ti
menyanggah dua guci, mulut guci kecil dan sempit, pantatnya
lebar, maka guci bagian atas kelihatan bergoyang-goyang.
Tapi langkah Khu Ti kelihatan mantap dan berat, mengangkat
seberat itu seperti menjinjing barang enteng.
Dalam hati Huwan Liong berpikir: "Tenaga kedua tangan
kakek ini ternyata besar," mereka empat bersaudara termasuk
jagoan kelas satu, meski merasa sedikit janggal akan pemilik
kedai ini, namun mereka tidak ambil di hati.
Dengan enteng Khu Ti letakkan guci-guci itu satu persatu
tanpa kelihatan napasnya memburu, katanya tertawa:
"Untung Kongcu-ya ini tidak mau minum, sisa arak yang
kusimpan kebetulan tinggal empat guci saja."
Memangnya sudah ngiler Huwan Liong segera serobot satu
guci terus dibuka tutupnya, setelah dicium berkata: "Arak mi
memang bagus, Kongcu, apa kau tidak ingin mencicipi?"
475 "Nanti dulu," tiba-tiba Liong Seng-bu berteriak.
Guci sudah terangkat di atas kepala, karuan Huwan Liong
melengak, tanyanya: "Ada apa Kongcu?"
"Suruh dia minum dulu, setelah dia mencicipi semua guci
itu baru kalian boleh minum," demikian Liong Seng-bu
memberi penugatan.
Huwan Liong sadar katanya: "Betul, adalah pantas kalau
kita berjaga-jaga. Kakek tua, setiap guci ini lekaslah kau
minum secangkir lebih dulu."
Khu Ti kurang senang, katanya dingin: "Kalian takut aku
menaruh racun dalam arak" Meski kecil kedaiku, modalnya
juga sedikit, tapi sudah puluhan tahun aku membuka kedai
memangnya kau kira kedaiku ini warung gelap yang biasa
merampok dan membunuh orang."
Liong Seng-bu membentak: "Suruh kau minum, kenapa
cerewet," ternyata waktu datang tadi melihat Khu Ti duduk
semeja dengan Tan Ciok-sing mengiringinya minum arak,
dasar suka curiga maka selalu bertindak keliwat hati-hati.
Tanpa bicara Khu Ti segera angkat guci pertama .terus
dituang di atas kepala, mulut terbuka arak seperti dicurahkan
kedalam mulutnya, tanpa berhenti satu guci arak telah
ditenggaknya habis. Kapan Huwan Liong dan adik-adiknya
pernah melihat orang minum arak cara demikian sesaat
mereka melongo di tempat duduk masing-masing.
Khu Ti tidak berhenti, segera dia angkat guci kedua dengan
cara yang sama dia habiskan pula guci kedua, sambil
menepuk perut dia berkata dingin: "Kalian takut isi guci arak
beracun, biarlah seluruhnya kuhabiskan saja," lalu dia
menghampiri guci ketiga serta diangkat terus dituang juga
kedalam perutnya.
Bersama Tan Ciok-sing tadi sedikitnya menghabiskan
setengah guci, kini menghabiskan pula dua guci, paling sedikit
476 Khu Ti sudah menghabiskan dua puluh lima kati arak keras.
Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut dan girang, pikirnya:
"Kiranya bukan saja dia orang sekolahan, diapun seorang jago
kosen yang menyembunyikan dirinya."
Tiba-tiba Huwan Pau teringat bahwa dalam kedai tinggal ke
empat guci arak ini, maka lekas dia berteriak: "Jangan
dihabiskan, aku tidak takut arakmu beracun, celaka kalau kau
mati karena mabuk."
"Memangnya kau kira begini saja ukuranku, manusia
akhirnya pasti mati, peduli mati sakit, atau mati karena apa,
mati kan sama saja?" meletakkan guci kosong ketiga dia
menghampiri pula guci ke empat.
Timbul rasa ingin tahu Huwan Liong, katanya: "Jangan
dicegah biarkan saja, berapa banyak dia kuat minum?" Perut
Khu Ti sudah melembung seperti perut kerbau.
Huwan Pau setan arak paling berangasan, teriaknya sambil
membanting kaki: "Kalau dihabiskan kita akan minum apa?"
tangan diulur sudah hendak merebut.
Di kala mereka terpesona melihat demontrasi minum arak
Khu Ti, mendadak Tan Ciok-sing melompat tinggi ke atas
bagai seekor burung langsung menubruk ke arah Liong Sengbu
yang duduk membelakangi pintu luar. Di tengah udara
pedang sudah terlolos, dengan jurus In-kik-tiang-khong, dari
atas pedangnya menusuk ke bawah.
"Brak" terdengar suara keras, ternyata pada detik-detik
berbahaya ini Liong Seng-bu selulup ke bawah meja sambil
angkat meja menangkis sehingga tusukan pedang Tan Cioksing
menusuk tembus permukaan meja. Memang sejak tadi
tetap bersikap tenang dan waspada, akan sergapan mendadak
yang dilancarkan Tan Ciok-sing.
"Celaka," tiba-tiba Huwan Liong berteriak serempak Huwan
Hou dan Huwan Kiau menendang meja di depannya ke arah
Tan Ciok-sing. Sementara Huwan Liong sudah mencabut
477 pedang terus menyerang dengan jurus pedang lilitan,
sebelumnya dia sudah perhitungkan dimana kira-kira Tan
Ciok-sing akan tancap kaki di lantai, ke sanalah pedangnya
membabat. 'Tan Ciok-sing cabut pedangnya, di tengah udara dia
jumpalitan laksana burung dara, begitu kedua kaki terpentang,
"Biang, biang" dua meja yang melayang ke arahnya
ditendangnya balik keluar pintu. Dimana ujung pedangnya
menutul, secara tepat dia tangkis babatan pedang Huwan
Liong yang mengincar kedua kakinya. Sementara sambil
menyunggi meja tersipu-sipu Liong Seng-bu sudah lari keluar
pintu. Huwan bersaudara segera membentuk barisan pedang
mengepung dalam posisi segi empat.
"Disini bukan tempat berkelahi, hayo diluar saja," tantang
Tan Ciok-sing. Huwan Liong mengejek: "Kau masih ingin lari, jangan
mimpi di siang bolong," serempak empat pedang mereka
bergerak, serangan bertubi-tubi dengan gencar dan
mematikan. "Baik," seru Tan Ciok-sing, "disini ya disini, memangnya aku
takut mati. Aku hanya kuatir merusak perabot didalam kedai
ini." Khu Ti menghela napas, katanya: "Ya, aku pasrah nasib
saja. Yang terang harta bendaku ini hanya berharga berapa
peser saja, besarkan saja nyalimu, kalau minta ganti akan
kutuntut pada mereka pasti tidak akan merogoh sakumu."
"Kau ini barang apa, berani menuntut kepada kami?"
damprat Huwan Kiau gusar, "nanti jiwa tuamu biar kumampusi
sekalian."
Khu Ti menggeleng kepala, katanya: "Wah, kau ini memang
seekor kerbau dungu, agaknya kau dibesarkan tanpa makan
nasi." 478 Huwan Kiau mencak-mencak gusar, dampratnya: "Kakek
sontoloyo, kau memaki aku sebagai binatang."
"Lha, kau sendiri yang bilang, kapan aku pernah memakimu
demikian," debat Khu Ti.
Tanpa merasa mengerutkan kening Huwan Liong, lekas dia
berkata: "Samte, kenapa sih kau, urusan kan harus dibedakan
mana yang lebih penting, buat apa kau ribut dengan tua
bangka ini?"
Dalam pertempuran sengit itu tusukan pedang Huwan
Liong mengenai tempat kosong, kepalan mendadak menjotos
dari bawah pedang dengan deras, boleh dikata Tan Ciok-sing
sudah hampir mepet tembok, jalan mundur sudah tiada,
terpaksa dia menggeser langkah dua tindak sambil berputar,
"Biang", tembok di belakangnya kena dijotos ambrol dan
berlobang oleh kepalan Huwan Liong. Untung tembok bukan
dibangun dari batu marmer, namun kepalannya sudah cecel
dan berlumuran darah. Dengan gusar Huwan Liong
membentak: "Coba saksikan berapa lama bocah keparat ini
kuat bertahan lagi, bila ketangkap nanti, pasti kubeset kulitmu
kupatahkan tulang kakimu."
Khu Ti yang sejak tadi sembunyi di pojok sana dengan
badan gemetar, kini mendadak berjalan keluar sempoyongan,
seperti langkah orang mabuk yang gentayangan hampir
roboh, teriaknya: "Wah, wah mati aku, mati aku saking
jengkel. Sebelum tulang tuan tamu ini kalian patahkan, salahsalah
rumah reyotku ini sudah kalian bongkar lebih dulu."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lekas Tan Ciok-sing memperingatkan: "Lopek, lekas kau
menyingkir," walau dia tahu Khu Ti mungkin memiliki
kepandaian silat, tapi barusan pedang pihak musuh terlalu
liehay bagaimana juga dia tidak akan membiarkan Khu Ti
menerobos masuk ke jaring barisan pedang.
Mendadak Khu Ti memukul perutnya yang gendut seperti
gentong itu seraya berteriak-teriak: "Aduh, celaka, arak
479 harum, arak wangi, empat guci arak bagus, kau sudah masuk
kedalam perutku, aku kan tidak bersalah terhadapmu, kenapa
kau mau berontak?"
"Setan pemabukan," bentak Huwan Liong, "menyingkirlah
ke tempat jauh kalau sudah mabuk gila."
"Haya kenapa tidak kau tunggu sebentar, kenapa ingin
terjang keluar saja," demikian teriak Khu Ti pula. Mendadak
dia pentang mulutnya, segumpal arak panas seketika
menyembur dari perutnya. Huwan Liong yang berdiri paling
dekat keterjang lebih dulu, sekujur badan dari kepala muka
sampai ke tubuhnya basah kuyup, lekas dia pejam mata terus
melompat mundur.
Empat guci arak dihabiskan berarti ada empat puluhan kati,
sekali ditekan dengan tenaga dan menyembur keluar, sungguh
derasnya bagai hujan lebat. Karuan Huwan bersaudara
menjadi kalang kabut, memutar pedang meninju menimbulkan
deru angin sambil berlompatan kian kemari, tapi hujan arak
tetap berjatuhan di atas mereka. Kejadian memang aneh,
mereka berempat semuanya ada meyakinkan kekebalan
badan, tapi air arak itu mengenai tubuh rasanya ternyata
pedas dan sakit seperti ditusuk jarum. Lebih celaka lagi
pakaian mereka sama berlobang-lobang kecil kena semprotan
arak mirip sarang tawon. Bila lwekang mereka sedikit rendah
lagi, pasti kulit dagingpun terluka dan berdarah. Yang
dikuatirkan Huwan bersaudara hanyalah mata maka mereka
sama memejam kencang tidak berani main ngintip, karuan
satu dengan yang lain jadi saling tumbuk. Semula Tan Cioksing
terkepung di tengah mereka, anehnya arak Khu Ti seperti
punya mata dan memilih sasaran, meski ada yang menyiprat
ke arahnya, tapi ilmu pedangnya dimainkan sekencang kitir
Golok Yanci Pedang Pelangi 7 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Jodoh Rajawali 16
^