Golok Yanci Pedang Pelangi 7

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bagian 7


osok bayangan manusia pun. Pang Goan coba mengintip melalui jendela, betul juga, sebuah meja perjamuan
dengan aneka hidangan lezat tersedia di sana.
Arak telah memenuhi cawan, sayur masih mengepulkan asap panas, tapi hanya dua
orang yang duduk berhadapan di meja perjamuan ini.
Si tuan rumah adalah Tong-popo, sebaliknya tamunya adalah Hui Beng-cu.
Suasana dalam ruangan amat hening, tidak tampak orang ketiga.
Setelah menyaksikan semua itu, Pang Goan jadi agak bingung, sebab tubuh Hui
Beng-cu tidak diringkus dengan tali, tidak kelihatan seperti tertutuk jalan darahnya,
sekalipun hanya duduk membungkam di situ, ternyata sikapnya sangat tenang, bahkan
sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.
Tong-popo sendiri duduk dengan mata setengah terpejam, sikapnya tampak
bersungguh-sungguh sedang melayani tamunya, sikap ini jauh berbeda dengan sikap
kerengnya ketika di sidang pengadilan tempo hari, bahkan seperti dua orang yang
berlainan. Ho Leng-hong mengernyitkan alis, jelas iapun bingung oleh apa yang dilihatnya ini.
Pang Goan segera menuding diri sendiri, lalu menuding ke ruang dalam dan
membuat kode tangan, maksudnya Ho Leng-hong diminta menunggu di luar ruangan,
sementara dia akan masuk untuk menolong orang.
Leng-hong menggeleng kepala sambil memberi tanda pula, artinya ia telah
memahami rahasia golok Ang-siu-to-hoat, jadi lebih baik dia yang masuk ke dalam
untuk menolong orang, sedangkan Pang Goan diminta menunggu di luar saja.
Kedua orang itu tahu bahwa tenaga dalam Tong-popo amat sempurna, sebab itu
mereka hanya bertukar pendapat dengan isyarat tangan, sama sekali tidak berani
menimbulkan suara, meski demikian, ternyata perbuatan mereka tak dapat
mengelabui ketajaman pendengaran Tong-popo.
Mendadak nenek itu membuka matanya sambil menengadah, kemudian tersenyum ke
arah luar jendela, katanya, "Silakan kalian masuk ke sini, sayur dan arak sudah
dingin!" Pang Goan dan Leng-hong sama-sama terkejut, mereka saling pandang sekejap
dengan perasaan tergetar, akhirnya terpaksa mereka mendorong pintu dan masuk ke
dalam. Buru-buru Beng-cu berdiri, katanya dengan tersenyum, "Pang-toako, Ho-toako, kita
benar-benar dungu, padahal Tong-popo sama sekali tidak bermusuhan dengan kita,
coba lihatlah, ketika mendengar kita kelaparan seharian, buru-buru dititahkan orang
menyiapkan makanan dan arak untuk kita, kemudian menyuruh pula Hoa-toanio
untuk menjemput kalian, apakah kalian tidak berjumpa?"
Setelah gadis itu selesai berkata baru Pang Goan mendapat kesempatan untuk buka
suara, katanya, "Aku suruh kau mencari berita, kenapa kau malah memperlihatkan
jejakmu?" "Pang-toako, jangan kaumarah," kata Hui Beng-cu sambil tertawa, sesungguhnya
jejak kita sudah diketahui oleh Tong-popo, bahkan ia mengirim orang-orangnya
menjaga pintu taman, oleh karena pada siang hari kurang bebas untuk mengadakan
pertemuan, maka begitu aku dan Yu Ji-nio keluar dari taman kami segera diundang
kemari." "Benar!" kata Tong-popo sambil tersenyum, "sesungguhnya gerak-gerik kalian
semalam telah kuketahui semua dengan jelas, lagipula akupun menduga kalian tak
akan sanggup menerobos keluar lewat mulut lembah, untuk itu hanya tempat inilah
yang bisa dibuat bersembunyi, karena itulah sengaja kutitahkan orang untuk
membuka pintu masuk sehingga dengan leluasa kalian bisa sampai di taman bunga di
timur gedung ini." "Hm, jadi semua perbuatan kami sudah dalam perhitungan Popo?" dengus Pang
Goan. "Bukannya berada dalam perhitungan," jawab Tong-popo sambil tertawa, "tapi
perkembangan situasilah yang memaksa kalian berbuat demikian, atau dengan
perkataan lain takdir telah mengatur segala sesuatu menjadi begini. Saudara berdua,
sayur dan arak sudah hampir dingin, mengapa tidak duduk dan makan, kemudian baru
bicara lagi." Pang Goan memandang sekejap ke arah Ho Leng-hong, akhirnya mereka duduk di
sebelah kiri dan kanan Tong-popo sambil menggenggam gagang golok.
Rupanya Tong-popo tidak menghiraukan sikap mereka itu, sambil mengangkat
cawan katanya dengan tersenyum, "Tentunya kalian sudah lapar bukan" Bila perut
dalam keadaan kosong, janganlah bicara masalah besar, bagaimana kalau
pembicaraan dilanjutkan setelah makan kenyang nanti?"
"Betul juga perkataanmu," jawab Pang Goan, "bagaimanapun seorang manusia hanya
membunyi selembar nyawa, setelah kenyang baru ada kekuatan untuk beradu jiwa.
Mari, kita keringkan dulu secawan!"
Disambarnya cawan arak di hadapannya, lalu sekali tenggak dihabiskan isinya.
Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu memang sudah lapar, maka tanpa sungkan mereka
lantas bersantap dengan lahapnya. Rupanya Tong-popo tidak lapar, namun ia mengiringi para tamunya minum arak dan
makan, sekalipun tiada gelak tertawa selama perjamuan berlangsung, suasananya
ternyata damai dan tenang. Tak lama kemudian, Hoa Jin dan Yu Ji-nio telah kembali ke situ, cuma karena
kedudukan yang berbeda, mereka hanya melayani di samping, anehnya selama inipun
tidak nampak orang luar masuk ke ruangan tersebut.
Setelah perjamuan berlangsung sekian lama, baru Tong-popo angkat bicara lagi,
katanya, "Aku rasa kalian pasti kurang begitu paham dengan situasi dalam lembah
Mi-kok bukan" Kokcu yang sekarang, Tong Siau-sian, tentu menjelek-jelekkan pihak
Tiang-lo-wan kami, di hadapan kalian tentu dikatakan para Popo hendak merebut
kekuasaan dan mengincar Kokcu. Mengenai persoalan ini harus kuberikan penjelasan
lebih dulu secara ringkas, bagaimana kalau sambil bersantap kalian dengarkan
kisahku tentang persoalan yang mengakibatkan persengketaan kami dengan Kokcu?"
Waktu itu mulut Pang Goan sedang penuh dengan makanan, bersampur dengan suara
kunyahan katanya, "Katakan saja, akan kami dengarkan dengan saksama."
Tong-popo lantas bercerita, "Menurut peraturan leluhur kami, Kokcu harus dijabat
oleh anggota keluarga turun temurun, dan lagi dia harus seorang gadis, maka sebelum
Kokcu itu menginjak dewasa ia harus menuruti petunjuk pihak Tiang-lo-wan, bila ia
sudah dewasa nanti baru diselenggarakan upacara cari jodoh, itupun pihak Tiang-lowan
yang menyelenggarakan. Tegasnya, meskipun kedudukan Kokcu berasal dari
keluarga yang turun-temurun, hakikatnya kekuasaan tetap dipegang oleh Tiang-lowan,
hanya setelah menikah atau sebelum Kokcu yang akan datang menginjak dewasa
dan menduduki jabatan tersebut, Kokcu baru memegang hak penuh terlepas dari
kekuasaan Tiang-lo-wan . . . ."
Selama ini Pang Goan hanya makan minum dengan kepala tertunduk, seakan-akan
sama sekali tidak memperhatikan keterangan tersebut, kini tiba-tiba ia menyela, "Apa
yang dinamakan upacara cari jodoh?"
"Cari jodoh adalah memilihkan suami untuk Kokcu, yang berarti pula sebagai
persiapan untuk kelahiran Kokcu generasi penerus, agar kedudukan yang turuntemurun
itu jangan sampai terputus di tengah jalan."
"Siapa pula yang berhak dipilih menjadi suami Kokcu?"
"Setiap lelaki yang belum menikah yang menetap dalam lembah ini berhak ikut serta
dalam pemilihan ini, tentu saja pemilihan tersebut mencakup soal raut wajah,
perawakan, kecerdasan . . . dan lain sebagainya. Tiang-lo-wan berhak melakukan
penelitian sebelum pemilihan berlangsung, kemudian bila cocok baru orang itu boleh
ikut serta dalam kontes pemilihan tersebut."
"Bagaimana pula kontes pemilihan itu dilangsungkan?"
"Sangat sederhana sekali, bila Kokcu menginjak dewasa, Tiang-lo-wan mulai
memperhatikan pemuda-pemuda tampan dan pintar yang berada dalam lembah ini
sebagai persiapan untuk turut serta dalam kontes yang akan diselenggarakan, bila
pemuda yang cukup memenuhi syarat sudah mencapai sepuluh orang ke atas, kami
baru menyelenggarakan upacara pemilihan untuk Kokcu, pada saat itu seluruh
penduduk lembah akan berkumpul, bernyanyi dan menari bersama, jika Kokcu
tertarik kepada salah seorang, dia akan mengalungkan karangan bunga yang telah
disiapkan pada leher orang itu, dan orang yang terpilih pun akan menjadi Mi-kok
Huma (menantu Mi-kok), malam itu juga pesta perkawinan diselenggarakan, tapi
Huma hanya diperkenankan berkumpul selama tiga hari dengan Kokcu, hari keempat
dia harus pindah dari gedung itu untuk menunggu perintah selanjutnya."
"Mengapa begitu?" tanya Pang Goan.
"Sebab penghuni gedung hanya kaum wanita, sedang Huma Cuma bertugas memberi
keturunan, bila bulan kedua Kokcu masih belum mengandung, ia diperbolehkan
menginap tiga hari lagi dalam gedung, tapi jika setahun kemudian belum hamil juga,
maka pemilihan terpaksa diselenggarakan sekali lagi."
Rupanya Pang Goan mulai tertarik oleh cerita tersebut, kembali ia bertanya,
"Seandainya mengandung, ternyata bukan bayi perempuan yang dilahirkan, lalu
bagaimana?" "Jika dalam tiga kali kandungan bukan bayi perempuan yang dilahirkan, maka harus
diselenggarakan pemilihan lagi, anak laki-laki yang dilahirkan akan dipelihara oleh
pihak suami, bila bayi yang dilahirkan Kokcu adalah perempuan, maka Huma dan
Kokcu baru boleh meneruskan hubungan suami isteri selamanya."
"Wah, aku jadi teringat kepada kehidupan semut dan lebah," kata Pang Goan sambil
tertawa. "Ya, apa boleh buat" Untuk melaksanakan peraturan nenek moyang kami, terpaksa
kami harus berbuat demikian, meski begitu, terhadap perempuan lain dalam lembah
ini tidak ada pembatasan apapun."
"Apa maksudmu memberitahukan hal ini kepada kami?"
"Aku memberitahukan semua ini dengan harapan agar kalian memahami proses
terjadinya Kokcu dalam lembah kami, atau dengan perkataan lain ingin kubuktikan
bahwa pihak Tiang-lo-wan tidak bermaksud merebut kekuasaan Kokcu, sebab meski
Tong Siau-sian adalah Kokcu, sebelum kawin dia masih di bawah pengawasan Tianglo-
wan, ucapannya hanya bermaksud menghasut karena ia hendak mengelabui kalian
serta mempergunakan tenaga kalian untuk kepentingannya mencapai maksud
pengkhianatannya terhadap peraturan nenek moyang kami."
"Dia seorang Kokcu" Masa mengkhianati lembah sendiri?" kata Pang Goan
tercengang. "Seperti kuterangkan tadi, Kokcu hanya namanya saja, padahal tidak banyak
kekuasaan yang dimilikinya, jangan kaulihat usia Tong Siau-sian masih kecil, tapi
ambisinya besar sekali. Ia tidak puas dengan peraturan yang ditinggalkan nenek
moyang kami, ia menganggap kekuasaan Tiang-lo-wan melampaui kekuasaan
seorang Kokcu, maka Tiang-lo-wan hendak dibubarkan agar kekuasaan terpusat di
tangannya seorang, untuk mencapai tujuan ini tak segan-segannya bersekongkol
dengan kekuatan luar untuk menindas sesama anggota sendiri."
"Kukira masalah ini tak ada sangkut pautnya dengan kami, persoalan itu hanya
urusan rumah tangga kalian sendiri," kata Pang Goan sambil tertawa, "lagipula
kamipun tak mempunyai kekuatan cukup untuk membantu, lebih-lebih tak kami
kehendaki mencampuri urusan ini."
"Bila Pang-tayhiap berdiri di luar garis, hal ini lebih baik lagi, tapi tidak seharusnya
kalian serahkan golok mestika Yan-ci-po-to tersebut kepada Tong Siau-sian, sebab
hal ini sama dengan membantu mereka untuk menentang Tiang-lo-wan."
Pang Goan menggeleng kepala, "Kami hanya ingin menukar Yan-ci-po-to dengan
rahasia Ang-siu-to-hoat serta meninggalkan lembah ini dengan selamat, tidak terlintas
ingatan dalam benak kami untuk memusuhi pihak manapun."
"Kalau begitu, seandainya Tiang-lo-wan dengan syarat yang sama ingin menukar
golok itu dengan kalian, tentu kalian setuju bukan?"
"Sayang golok mustikanya cuma satu," kata Pang Goan sambil angkat bahu, "kami
telah memberikan selembar peta tempat menyimpan golok untuk Tong Siau-sian, tak
mungkin memintanya kembali." "Ah, kalau cuma begitu, apa susahnya" Pang-tayhiap kan bisa membuatkan selembar
peta lagi untuk kami, kujamin Ang-siu-to-hoat pasti akan kuberikan kepada kalian,
dan kalian pun akan kami antar keluar lembah ini dengan selamat."
"Sungguhkah perkataanmu?"
"Memangnya cuma main-main?"
"Jadi kalau kubuatkan selembar peta lagi untukmu, kau akan mengantar kami
meninggalkan lembah ini?" "Benar!" Tampaknya perasaan Pang Goan agak "tertarik", ia berpikir sebentar lalu berkata,
"Bisa saja kukabulkan permintaanmu, cuma kami harus tinggalkan lembah ini lebih
dahulu, setibanya di luar lembah peta tersebut baru kuserahkan kepadamu, setuju?"
"Tentu saja setuju, cuma kalau tanpa bukti, cara bagaimana kami bisa percaya kau
tak akan ingkar janji setibanya di luar lembah" Lagipula darimana kami bisa tahu peta
penyimpanan golok itu asli atau tidak?"
"Lantas bagaimana pendapatmu?"
"Kala menurut pendapatku, tentu saja aku berharap bisa mendapatkan golok mestika
Yan-ci-po-to lebih dahulu baru kemudian mengantar kalian keluar dari lembah, untuk
ini tentu juga kalian tak akan percaya kepadaku, maka lebih baik kita mencari suatu
cara yang sempurna agar kedua belah pihak sama-sama aman."
"Betul, memang tepat sekali perkataan Popo, coba katakan!"
"Bicara terus terang, menurut peraturan lebah kami, tiada kesempatan sama sekali
buat kalian untuk meninggalkan Mi-kok, sekalipun aku ada maksud mengantar kalian
pergi, itupun tak bisa kulakukan secara terang-terangan, aku hanya bisa membantu
secara diam-diam." "Soal ini aku dapat memahaminya!"
"Aku pikir yang paling kalian takuti terhadap Mi-kok adalah Ang-siu-to-hoat kami,
seandainya kalian berhasil menguasai ilmu golok itu, sekalipun tak usah kami
lindungi juga dapat menerjang keluar sendiri, maka tak ada salahnya kalau kita tukar
peta tersebut dengan To-hoat lebih dahulu, bila golok mestika itu sudah kudapatkan
dan kalian pun sudah menguasai ilmu Ang-siu-to-hoat tersebut, waktu itu aku bisa
mengatur kesempatan baik untuk kalian pergi dari lembah ini, entah setujukah kalian
dengan usulku ini?" Pang Goan termenung sebentar, lalu berkata, "Popo akan menyiapkan kesempatan
yang bagaimanakah untuk kami" Dapatkah kauungkapkan dulu kepada kami?"
"Setelah peta kudapatkan, kalian akan kuantar dulu ke suatu tempat yang aman,
rahasia dan tenang agar kalian bisa melatih Ang-siu-to-hoat dengan bersungguh hati,
bila golok mestika telah kami dapatkan, Tiang-lo-hwe akan mengundang penduduk
untuk menyelenggarakan pesta pemilihan suami buat Tong Siau-sian, nah, tatkala
semua rakyat lembah itu sedang berpesta pora, secara diam-diam kalian bisa
tinggalkan lembah ini dengan selamat."
"Akal bagus!" sorak Pang Goan sambil bertepuk tangan, "kita tetapkan begini saja,
sekarang ambilkan kertas dan pit!"
Tak terlukiskan rasa girang Tong-popo, cepat ia siapkan sendiri kertas dan pit,
bahkan Hoa Jin dan Yu Ji-nio pun disuruh pergi agar rahasia tak sampai bocor.
Setelah sekeliling tak ada orang, Ho Leng-hong baru berbisik, "Lotoako, jangan
buru-buru kaubuatkan peta itu, jelas nenek ini mempunyai rencana keji . . . . ."
"Peduli amat, sahut Pang Goan dengan suara lirih, "bagaimanapun tempat itu cuma
sebuah liang tinja, biarkan saja mereka saling berebutan tahi."
Tak lama kemudian peta telah selesai dibuat, Tong-popo memeriksanya sejenak,
kemudian menyatakan rasa puasnya, hari itu juga ia siapkan burung merpati untuk
mengantar peta itu keluar lembah. Kemudian kepada Hoa Jin pesannya pula, "Cepat siapkan barang-barang kebutuhan
untuk Pang-tayhiap, akan kuantar sendiri mereka bertiga ke tempat berlatih ilmu
golok itu." Tak lama kemudian Hoa Jin datang melapor, "Semua barang keperluan telah siap!"
Dengan wajah berseri Tong-popo segera mengulapkan tangan seraya berkata,
"Saudara bertiga, mari ikut padaku!"
Keluar dari ruangan, ada empat orang perempuan dengan "benang biru" pada
gaunnya telah menanti, di tangan masing-masing membawa sebuah bungkusan besar.
Menyusuri kegelapan malam mereka berputar keluar dan menuju ke timur sana,
sepanjang perjalanan tak ada yang berbicara, mereka tidak membawa lampu, jelas
hendak menghindari pengintaian pihak Tong Siau-sian.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar perkampungan bagian belakang, arah yang
dituju ternyata adalah dasar lembah, lagipula makin ke depan perjalanan makin sulit,
pemandangan di sekitar sana pun makin gersang, jangankan bangunan rumah,
pepohonan pun jarang. Suatu perasaan waswas tiba-tiba muncul dalam hati Ho Leng-hong, segera bisiknya,
"Toako, tampaknya keadaan semakin tak beres, coba perhatikan tanah lumpur ini!"
Pang Goan menunduk, air mukanya kontan berubah.
"Kenapa dengan tanah lumpur itu?" tanya Hui Beng-cu tercengang, rupanya ia tidak
menemukan sesuatu yang aneh. "Tanah di sini jauh berbeda dengan tanah di depan lembah sana," Leng-hong
menerangkan, "makin ke dalam warna tanahnya makin gelap, coba lihat, bukankah
tanahnya sekarang berwarna hitam pekat" Lagi pula dasar lembah ini kecuali batu
karang hampir boleh dibilang tiada tumbuhan lain...."
"Lalu apa artinya semua itu?" tanya Hui Beng-cu belum juga mengerti.
"Itu berarti tempat yang akan kita tuju kemungkinan besar adalah istana es dan liang
api." Sekujur badan Hui Beng-cu bergetar keras, akhirnya ia mengerti,
Urusan telah jelas, dan merekapun sampai di tempat tujuan.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Di bawah tebing terjal di dasar lembah berdiri sederetan rumah batu, dalam rumah itu
berdiri tiga orang perempuan.

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang perempuan itu telah berusia lanjut, kedudukan mereka pun amat tinggi,
dua diantaranya berpangkat "benang biru", sedang yang ketiga ternyata berpangkat
"benang perak", berarti diapun seorang Tianglo.
Tianglo tersebut berusia delapan puluh tahun lebih, meski rambutnya telah beruban,
wajahnya wajah bocah, sayang matanya buta, kelopak matanya mencekung, kelihatan
dua lekukan yang dalam. Kedua nenek lainnya yang berpangkat "benang biru" berusia sekitar lima puluhan,
ternyata mereka pun orang buta. Ketika Tong-popo membawa rombongan itu sampai di depan rumah batu, ketiga
nenek buta itu lantas mendengar suara kedatangan mereka dan menyongsong di depan
pintu. Hampir semua orang buta memiliki suatu keistimewaan yang sama, yakni
pendengaran yang tajam. Sikap Tong-popo terhadap nenek buta yang paling tua menghormat sekali, dengan
hangat dan tertawa ia menyapa, "Enci Po, sudah lama aku tidak berkunjung kemari,
baik-baikkah kau selama ini?" "Seperti biasa," jawab nenek buta she Po itu ketus, "asal bisa makan dan minum,
rasanya juga sudah cukup puas."
"Itulah baru dinamakan Hok-ki," kata Tong-popo sambil tertawa, "tidak seperti
diriku ini, dari pagi sampai malam sibuk selalu, padahal juga tidak kuketahui sibuk
apa, sehingga ingin makan atau minum pun tak punya waktu......"
Tiba-tiba nenek she Po itu memotong, "Ada keperluan apa kaudatang ke lembah
belakang ini?" "Aku mengantar tiga orang tamu kemari."
"Tunjukkan lencana nomor kuncimu!" perintah nenek Po sambil ulurkan tangannya.
Dari sakunya Tong-popo mengeluarkan sebuah lencana tembaga kecil, lalu sambil
tersenyum diserahkan ke tangan salah seorang nenek "benang biru", oleh perempuan
itu baru diserahkan kepada nenek Po.
Bentuk lencana tersebut tidak jauh berbeda dengan lencana biasa, cuma di atas
lencana ini terdapat lubang sehingga kelihatan agak istimewa.
Dengan teliti nenek Po meraba sekeliling lencana tersebut, kemudian miringkan
kepala sambil bertanya, "Berapa orang?"
"Tiga orang!" "Berapa orang lelaki dan berapa orang perempuan?"
"Dua tamu lelaki dan seorang gadis remaja!"
"Perlu dibagi menjadi berkelompok?"
"Tidak usah, mereka berasal dari satu rombongan."
"Baik!" kata nenek Po kemudian, "tinggalkan semua barang keperluan dan kau boleh
segera kembali!" "Enci Po, ketiga orang tamu kita memiliki kungfu yang lumayan, kau kudu baik-baik
melayani mereka." "Hmm! Jangan kuatir," sahut nenek Po sambil mendengus, "sekalipun sepasang
mataku sudah buta belum pernah ada seekor belut yang bisa lolos dari sela-sela jari
tanganku." Mendengar ucapan tersebut, Ho Leng-hong bertiga saling pandang dengan terkesiap.
Tong-popo segera menitahkan orang untuk menyerahkan bungkusan kepada mereka
bertiga, lalu katanya sambil tertawa, "Saudara bertiga, aku hanya mengantar kalian
sampai di sini saja, urusan selanjutnya akan diatur nenek Po, moga-moga kalian bisa
berlatih ilmu golok dengan tekun dan bersungguh hati, barang-barang ini pasti kalian
butuhkan nanti, silakan kalian menerimanya."
"Tapi tempat apakah ini," seru Hui Beng-cu, "apa yang hendak kaulakukan terhadap
kami?" "Sambil angkat bahu Tong-popo tertawa, "Bukankah kalian bertiga ingin mencari
suatu tempat yang sepi untuk berlatih Ang-siu-to-hoat" Nah, di sinilah tempat paling
baik untuk berlatih ilmu golok tersebut."
Sehabis berkata ia lantas mengajak anak buahnya meninggalkan tempat itu.
Dengan suara tertahan Hui Beng-cu berkata, "Pang-toako, Ho-toako, kita tertipu,
ternyata nenek she tong itu tidak bermaksud baik!"
Pang Goan tidak menjawab, buru-buru ia membuka salah satu bungkusan itu dan
diperiksa isinya. Ternyata kecuali sebungkus ransum kering ada pula beberapa setel pakaian tebal anti
dingin. Ketika bungkusan yang lain dibuka, ternyata isinya sama.
Sekarang Ho Leng-hong baru menghela napas panjang, keluhnya, "Berlatih ilmu
golok di istana es. Ya, pasti tempat inilah Peng-kiong!"
"Benar!" sambung nenek Po mendadak, "tempat ini adalah istana es!"
-------------------- Udara di dalam istana es dinginnya bukan kepalang, dalam rumah batu itupun tak
kurang dinginnya. Ho Leng-hong bertiga mengenakan pakaian tebal anti dingin. Lalu di bawah
"kawalan" nenek Po dan kedua orang petugas "benang biru" mereka digiring ke
dalam rumah batu itu. Wajah tiga orang perempuan itu lebih dingin daripada udara dalam ruangan tersebut,
pakaian yang mereka kenakan juga sangat tipis.
Dari sini dapat diketahui bahwa ketiga perempuan buta itu pasti memiliki tenaga
dalam yang luar biasa hebatnya. Oleh sebab itu Pang Goan bertiga sangat tahu diri, mereka menurut perintah tanpa
membantah, merekapun tidak mengatur rencana untuk kabur, apalagi keadaan dalam
lembah tersebut memang tidak memungkinkan orang untuk melarikan diri.
Setelah masuk ke dalam rumah batu, nenek Po menanyai dulu nama mereka bertiga,
lalu sambil memberi tiga butir pil ia berkata, "Bila kalian tahu nama istana es tentu
pernah mendengar juga nama liang api" Nah, agar kalian memiliki kesempatan untuk
mempertahankan hidup secara adil, terlebih dahulu akan kuterangkan segala sesuatu
yang menyangkut keadaan kedua tempat itu . . . . ."
Ketiga orang itu tidak bersuara, rupanya mereka sama sekali tidak tertarik untuk
mempertahankan hidup. Nenek Po melanjutkan perkataannya, "Istana es dan liang api adalah tempat aneh
dalam lembah kami, tempat itu merupakan gudang penyimpan pusaka pemberian
alam, dalam istana es itulah kitab ilmu golok Ang-siu-to-hoat disimpan, suhu dalam
istana es dingin luar biasa, tiap titik air akan segera beku menjadi es, sekalipun ilmu
silat seseorang amat lihay juga jangan harap akan hidup lebih enam jam di tempat itu .
. . . . ." Setelah berhenti sebentar, sambil menuding ketiga biji obat itu, lanjutnya pula,
"Cuma untuk memberi kesempatan kepada kalian agar bisa mendalami rahasia Angsiu-
to-hoat tersebut, maka barang siapa memasuki istana es akan diberi hadiah sebuti
obat kuat, setiap orang yang makan pil itu bisa memperoleh kekuatan untuk menahan
rasa dingin selama enam jam, atau dengan perkataan lain kalian mempunyai
kesempatan untuk hidup dua belas jam dalam istana es, dalam waktu yang tersedia ini
bukan saja dapat kalian gunakan mempelajari rahasia ilmu golok, kalian pun bisa
memikirkan cara meloloskan diri dari situ."
Ketiga orang itu tidak bersuara, tapi mereka mendengarkan keterangan itu dengan
saksama, akhirnya dapat disimpulkan bahwa mereka masih ada kesempatan untuk
lolos dengan selamat. Terdengar nenek Po berkata lebih jauh, "Pintu istana es hanya bisa masuk dan tak
bisa keluar, satu-satunya jalan bagi kalian untuk mencari hidup adalah menerobos
liang api, tempat itu pun harus dilewati dalam waktu dua belas jam. Antara liang api
dengan istana es hanya terbatas oleh sebuah gua, tapi suhu udara di kedua tempat
sama sekali bertolak belakang, dalam liang api terdapat api alam yang sepanjang
tahun menyemburkan api dahsyat, jangankan manusia, sebatang baja pun akan
meleleh, maka jika kalian bisa menemukan cara bagus untuk menembus liang api
tersebut, bukan saja dapat memperoleh ilmu Ang-siu-to-hoat yang maha sakti itu,
kalian akan disambut pula oleh segenap rakyat lembah dengan segala kehormatan,
kalau perempuan akan diangkat menjadi Kokcu, bila pria akan menjadi Huma . . . . .
tentu saja semenjak lembah ini didirikan hingga kini belum pernah ada orang yang
berhasil melintasi istana es dan liang api dengan selamat, sebaliknya jumlah yang
tewas si situ justru tak terhitung banyaknya."
Berbicara sampai di sini tiba-tiba ia tertawa bangga, katanya lagi, "Nah cukuplah
keterangan ini, apa yang harus kukatakan telah kuucapkan, jika kalian masih ada
pertanyaan boleh diajukan sekarang kepadaku, dengan senang hati akan kuterangkan,
kalau tak ada pertanyaan, maka kalian akan kuantar masuk ke istana es."
Hui Beng-cu hanya memandang Pang Goan dan Leng-hong dengan sedih, tiba-tiba
air matanya jatuh bercucuran. Pang Goan menepuknya pelahan dan berkata pelahan dan berkata dengan suara getir,
"Siau-cu, jangan takut, manusia akhirnya akan mati, bukan sembarangan orang bisa
mendapatkan kuburan yang panas-dingin komplit semacam ini, biasanya tempat yang
mengandung unsur api dan air dikatakan Heng-sui yang baik, keturunan kita kelak
tentu akan makmur." Hui Beng-cu tak dapat menerima kata-kata gurauan seperti itu, isak-tangisnya tak
terbendungkan lagi, air matanya jatuh dengan derasnya.
Ho Leng-hong tetap bersikap tenang dan sedikitpun tanpa emosi, selang sejenak baru
ia berkata, "Nenek, bolehkah kuajukan dua pertanyaan?"
"Katakan!" "Pertama, benarkah ketiga biji obat pemberian nenek ini sangat manjur?"
"Tentu saja sangat manjur, aku dapat menghadiahkan obat itu kepada kalian, buat apa
bohong" Kalau kau tidak percaya, setelah masuk ke dalam istana es nanti makanlah
obat ini, dalam waktu dua belas jam kau takkan merasa kedinginan."
Ho Leng-hong manggut-manggut, katanya lagi, "Kedua, aku ingin bertanya,
andaikata nasib kami lagi mujur dan bisa lolos dari istana es dan liang api dalam
keadaan hidup, benarkah akan memperoleh sanjungan dan penghormatan dari segenap
rakyat lembah?" "Betul, ini sudah merupakan peraturan nenek moyang kami, jadi bukan peraturan
ciptaan kami." "Baik! Asal kami tidak mati pasti akan berkunjung pula ke lembah ini," selesai
berkata ia masukkan ketiga biji obat itu ke dalam sakunya.
Nenek Po segera membuka sebuah pintu di ruang belakang, lalu melangkah masuk
lebih dulu. Tanpa ragu Ho Leng-hong menyusul di belakangnya.
Pang Goan memayang Hui Beng-cu menyusul di belakangnya, sedangkan kedua
perempuan tua berbenang biru berjalan paling belakang.
Di balik pintu adalah sebuah gua yang sangat gelap, di situ tak ada cahaya lampu,
yang ada hanya hawa dingin yang merasuk tulang.
Sekalipun matanya buta, ternyata langkah kaki nenek Po sangat cepat, untungnya
permukaan gua amat datar dan tiada tikungan, tak lama kemudian sampailah mereka
di depan sebuah pintu batu. Lambat-laun Ho Leng-hong sudah mulai terbiasa dengan kegelapan, ia menghimpun
segenap kekuatannya untuk memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu.
Ternyata pintu batu itu sangat tebal dan beratnya ribuan kati, gelang pintu terbuat
dari baja dan tampaknya terdapat pula sebuah lubang kunci raksasa.
Nenek Po memasukkan lencana tembaga tadi ke dalam lubang kunci, setelah itu baru
menggunakan sebuah anak kunci untuk membuka kunci pintu, pelahan pintu batu itu
ditarik. Setelah pintu terbuka, segulung angin dingin pun berembus keluar, tanpa terasa Ho
Leng-hong bertiga bergidik. "Silakan masuk saudara bertiga!" kata nenek Po kemudian.
Leng-hong melongok ke dalam, di balik pintu merupakan sebuah gua karang, cuma
dari kejauhan sana lamat-lamat kelihatan selapis cahaya putih seperti lapisan kabut.
Ia menarik napas panjang-panjang, lalu melangkah masuk ke dalam gua itu.
Pang Goan bermaksud membimbing Hui Beng-cu masuk pula ke dalam gua, siapa
tahu mendadak gadis itu meronta dan melepaskan diri dari pegangan Pang Goan, ia
cabut golok panjang di pinggang orang she Pang itu, sambil memutar badan terus
melancarkan serangan kilat ke arah kedua orang perempuan buta berbenang biru di
belakangnya. Perubahan kejadian ini sangat tiba-tiba, dalam kejutnya Pang Goan ingin mencegah,
sayang tak sempat. Jangan kira kedua orang perempuan itu buta, ternyata perasaannya tajam sekali, baru
saja Hui Beng-cu melolos golok, kedua orang itu segera menubruk maju dari kanan
dan kiri. Sambil membacok, Hui Beng-cu berteriak, "Aku tak mau ke istana es, kalau ingin
nyawa cepat me . . . ." Kata "menyingkir" belum selesai, pergelangan tangannya tahu-tahu kaku dan gadis
itupun dicengkeram oleh salah seorang perempuan buta tadi.
Perempuan buta yang lain dengan cekatan merampas goloknya, lalu mendorong Hui
Beng-cu ke dalam pintu. Buru-buru Pang Goan menyambutnya, dengan sempoyongan mereka berdua
terdorong masuk ke dalam gua. "Blang!" pintu batu tertutup rapat memisahkan gua tadi menjadi dua bagian.
Sambil menutup wajahnya Hui Beng-cu menangis tersedu-sedu, pekiknya, "Pangtoako,
Ho-toako, habislah riwayat kita, tak bisa tidak kita pasti mati dalam istana es
ini." "Sekalipun harus mati, apa gunanya menangis?" jawab Leng-hong dengan tenang.
Hui Beng-cu mendongakkan kepalanya sambil berseru, "Ho-toako, kenapa kau tidak
takut" Apakah sudah kautemukan akal untuk meloloskan diri?"
Leng-hong menggeleng kepala berulang kali, "Aku tidak takut karena takut tak dapat
menyelamatkan jiwa kita, melawan juga bukan cara yang baik, maka tidak perlu kita
lakukan perlawanan yang tak bermanfaat, kita harus menggunakan segenap kekuatan
yang kita miliki untuk mencari jalan keluar."
"Tapi istana es dan liang api jelas adalah jalan kematian, tidak mungkin kita bisa
keluar dalam keadaan hidup," keluh sang gadis sambil terisak.
"Sampai sekarang kita belum mencobanya, darimana kautahu jalan ini adalah jalan
kematian?" "Tidakkah kau dengar perkataan mereka" Sejak lembah Mi-kok ini ada, belum
pernah ada orang berhasil lolos dari istana es dan liang api dalam keadaan hidup."
"Itu kan perkataan mereka, kan tidak berarti dulu tak pernah ada orang yang berhasil
dan seterusnya juga tak ada, aku yakin pasti ada orang yang berhasil menerobos kedua
tempat itu." "Darimana kautahu?" "Bila tak pernah ada orang yang berhasil melewati istana es dan liang api, darimana
bisa diketahui bahwa istana es dan liang api bisa menembus ke luar lembah"
Darimana diketahui bahwa di belakang lembah adalah satu-satunya jalan keluar?"
Hui Beng-cu tertegun dan berhenti menangis, sesudah berpikir sebentar, katanya
pula, "Mungkin tak pernah ada orang yang berhasil" Siapa tahu ucapan tersebut hanya
mereka gunakan untuk membohongi orang lain?"
"Kalau bohong, tak mungkin nenek moyang lembah Mi-kok menetapkan peraturan
untuk mengelu-elukan orang yang berhasil lolos dari dasar lembah ini!"
Hui Beng-cu jadi bungkam dan tak dapat membantah lagi.
Selanjutnya Ho Leng-hong berkata pula, "Dari sini dapat diketahui bahwa istana es
dan liang api bukan jalan buntu yang mematikan, tempat itu hanya bisa disebut
sebagai jalan keluar yang sangat berbahaya, jika orang dulu bisa menembusnya,
kenapa kita tak berusaha menembusnya pula?"
"Masuk akal," kata Pang Goan, "mari kita coba sekarang juga!"
Tapi Ho Leng-hong menggoyangkan tangannya dan berkata, "Tunggu sebentar, jelas
kita harus cari dan coba, cuma kita tak boleh bertindak ceroboh."
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?"
"Pertama kita harus mengendalikan sisa waktu hidup secermatnya, semakin lama
waktu hidup kita, semakin besar pula harapan kita untuk lolos dari bahaya...."
"Betul!" Pang Goan manggut-manggut.
"Sejak kini kita hanya mempunyai waktu selama dua belas jam untuk hidup, dalam
waktu ini di samping mencari jalan keluar kitapun harus berusaha mempelajari
rahasia ilmu golok Ang-siu-to-hoat, jadi dua pekerjaan ini lebih baik dilaksanakan
oleh dua orang, sementara seorang lainnya tetap tinggal di sini, tak boleh bergerak,
tempat ini pasti jauh lebih hangat dibandingkan di dalam istana es, jadi orang yang
tetap tinggal di sini tidak perlu makan obat, dengan tersisanya sebutir pil berarti akan
memperpanjang waktu bergerak bagi kedua orang yang lain."
"Daya ingatanmu tajam, tugas mengapalkan rahasia ilmu golok itu adalah bagianmu,
sedang mencari jalan keluar serahkan saja kepadaku," kata Pang Goan dengan cepat.
"Tidak!" seru Beng-cu, "kaum perempuan lebih teliti dan saksama, tugas mencari
jalan keluar biar kulakukan untukmu, sedang Pang-toako beristirahat lebih dulu . . . .
." "Tidak, kau adalah seorang gadis, kau lebih pantas beristirahat, biar segala pekerjaan
diselesaikan oleh kaum pria saja."
"Kalian tak usah berebut," kata Leng-hong, "mencari jalan keluar adalah tugas yang
berat, orang yang tetap tinggal di sini pun tak boleh minum obat, dia harus
mengerahkan hawa murninya untuk melawan hawa dingin, keadaan semacam itu
bukan perasaan yang nikmat." "Tak perlu berbuat demikian," kata Pang Goan, "Siau-cu boleh minum obatnya, biar
sebutir obatku yang disimpan, dapat menemukan jalan keluar atau tidak dalam waktu
enam jam kukira sudah lebih dari cukup."
"Masalah ini menyangkut mati-hidup kita, jangan kita menuruti perkiraan saja, pada
umumnya untuk mengapalkan rahasia ilmu golok tidak perlu membutuhkan waktu
sampai enam jam, tapi tugas ini sangat memeras pikiran dan tenaga. Sekalipun


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian tugas mencari jalan keluar tetap merupakan tugas terpenting, kalau jalan
keluar tidak ditemukan, sekalipun ilmu golok sakti ini berhasil diapalkan, lalu apa
gunanya" Menurut pendapatku, obat itu sepantasnya diberikan semua untuk Pangtoako."
Hui Beng-cu tertawa getir, katanya, "Paling banyak kita cuma ada waktu sehari untuk
hidup, buat apa persoalan itu diributkan" Sungguh perbuatan yang tak ada harganya,
sedikitnya kita harus tinjau dulu keadaan dalam istana es sebelum perundingan
dilanjutkan, bagaimana pendapat kalian?"
"Betul!" kata Pang Goan, "sekalipun kita bakal mampus di sini, paling tidak harus
kita tinjau dulu tempat kubur kita ini. Mari berangkat!"
Tanpa makan obat, berangkatlah ketiga orang itu menyusuri gua itu.
Gumpalan cahaya putih itu makin lama makin cemerlang dan menyilaukan mata, tapi
suhu udaranya makin lama makin dingin.
Baru sampai di tengah jalan, ketiga orang itu sudah mulai merasakan sekujur
badannya kaku, mau-tak-mau terpaksa mereka harus mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melawan rasa dingin yang luar biasa itu.
Semakin mendekati mulut gua, biji mata semua orang seolah-olah ikut menjadi beku.
Tapi, pada saat itulah suatu pemandangan aneh tiba-tiba muncul di depan mata....
Gua itu terletak dalam perut gunung, tingginya berpuluh tombak dengan lebar tiga
sampai empat puluh tombak, bentuknya mirip sebuah tangkupan mangkuk besar.
Dalam gua tiada cahaya lampu, tapi suasana terang benderang bagaikan di siang hari,
sebab seluruh permukaan dinding gua itu berlapiskan es yang tebal sekali, sementara
dalam gua yang tingginya lebih lima kaki di depan sana api berkobar dengan keras.
Ketika cahaya api itu menimpa permukaan dinding es yang tebal, maka terpancar
sinar refleks yang menyilaukan mata, keadaan ini ibaratnya sebuah cermin besar
dalam ruangan yang tertimpa sinar matahari, hal ini membuat pemandangan dalam
gua itu bagaikan sebuah dunia kaca, pemandangannya aneh, indah mempesonakan.
Rahasia Ang-siu-to-hoat yang dikatakan tiada tandingannya di dunia ini justru
tersimpan dalam istana es yang indah, aneh dan fantastik ini.
Bukan kitab pusaka atau kertas bergambar penjelasan yang berada di sana, melainkan
manusia sungguhkan yang memperagakan berbagai jurus serangan.
Ilmu golok itu semuanya terdiri dari sembilan jurus yang diperagakan oleh sembilan
orang gadis berbaju merah, dan semuanya terbingkai dalam es beku di sekeliling gua.
Tentu saja kesembilan gadis itu bukan orang hidup, tetapi kendati pun mayat itu
sudah berusia ratusan tahun, oleh karena berada dalam lapisan es yang tebal, maka
bukan saja tidak membusuk, malah bentuknya masih tetap utuh seperti hidup.
Selain kesembilan sosok mayat itu, masih ada dua puluhan sosok mayat lain yang
tersebar di sekeliling gua, ada di antaranya yang sedang duduk bersila, jelas sedang
memusatkan perhatiannya untuk mempelajari intisari ilmu golok tersebut, ada yang
berbaring sambil melingkarkan badan, jelas tidak tahan melawan hawa dingin dan
lapar, ada pula yang bermata melotot dengan wajah gusar, seakan-akan tidak rela mati
dengan begitu saja, tapi ada pula yang bersikap tenang seakan-akan puas menghadapi
kematian dalam keadaan seperti itu . . . .
Mereka semua adalah kawanan jago persilatan yang berdatangan ke Mi-kok untuk
belajar ilmu golok, tentu saja tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu termasuk di
antaranya. Pang Goan bertiga berdiri tertegun di depan pintu istana, pemandangan aneh itu
membuat mereka terbelalak dan melongo, untuk sesaat tak tahu apa yang mesti
dilakukan . . . . . Tiba-tiba Ho Leng-hong bergidik, serunya cepat, "Cepat pejamkan mata dan mundur
keluar!" Bentakan itu dengan cepat menyadarkan Pang Goan dan Hui Beng-cu, buru-buru
mereka kabur keluar dari gua tersebut.
Sesudah mengatur pernapasan sejenak, Pang Goan menggeleng kepala sambil
menghela napas, "Bahaya . . . sungguh teramat berbahaya!"
"Pemandangan tersebut sungguh merupakan pemandangan aneh yang sukar ditemui
di dunia," kata Hui Beng-cu pula, "ditambah lagi jurus-jurus ilmu golok yang indah
dan memesona, membuat aku terkesima hingga lupa mengatur pernapasan. Ai, coba
jika Ho-toako tidak membentak tepat pada saatnya, nyaris akupun mati kedinginan di
situ." "Orang-orang itu justru mati dalam istana es lantaran kejadian demikian," kata Ho
Leng-hong dengan wajah serius, "sering kali orang terkesima bila menjumpai
pemandangan seaneh itu, ketika mereka sadar akan bahaya, hawa dingin telah
menyerang dan mereka sama mati kaku di situ, jangankan lolos dari tempat ini,
mungkin kesempatan untuk mencari jalan keluar pun belum sempat dilakukan."
Pang Goan manggut-manggut, "Untung kita masuk bertiga, coba kalau sendirian,
mungkin tak seorangpun bisa lolos dari tempat ini dengan selamat."
Leng-hong tertawa, katanya, "Cuma setelah ada pengalaman ini, berarti menambah
kesempatan hidup kita." "Kenapa?" tanya Hui Beng-cu tercengang.
Leng-hong tidak menjawab, dia mengeluarkan obat itu dan ditelan sebutir, lalu
sisanya yang dua butir diberikan kepada Pang Goan sambil berpesan, "Tunggulah di
sini, aku akan masuk lebih duluan!"
"Kau hendak ke mana?" seru Hui Beng-cu.
Leng-hong tidak menjawab melainkan masuk lagi ke dalam istana es.
Tak lama kemudian, ketika pemuda itu muncul kembali, tangannya membawa sebuah
bungkusan kain, ketika bungkusan itu dibuka, ternyata isinya adalah ransum kering
serta belasan butir pil. Ransum kering itu ada sebagian yang telah berubah warna dan tak bisa dimakan, tapi
pil-pil itu sama bentuknya seperti pil yang diberikan nenek Po kepada mereka untuk
melawan hawa dingin, bahkan bentuknya sama sekali belum berubah.
"Hei, darimana kau peroleh barang-barang itu?" seru Hui Beng-cu dengan mata
terbelalak. "Peristiwa barusan telah menimbulkan suatu pikiran dalam benakku," tutur Lenghong
sambil tertawa, "Kupikir orang-orang yang mati dalam istana es pasti membawa
ransum kering dan diberi pil, tapi sewaktu masuk ke istana es lantaran mereka
mengira dengan tenaga dalam sendiri pasti mampu bertahan selama enam jam, pil-pil
itu tidak mereka makan, ketika tubuhnya dirasakan mulai beku, tak sempat lagi untuk
minum obat, sebab itulah sengaja kugeledah saku mereka, ternyata sebagian besar
memang belum pernah menggunakan ransum serta obat mereka, dengan persediaan
kita sekarang, paling sedikit kita bisa tahan hidup tiga-empat hari lagi lebih lama."
Beng-cu sangat girang, cepat ia hitung barang-barang tersebut, ternyata masih ada
enam-tujuh bagian ransum kering itu yang masih bisa digunakan, sedang pil penahan
dingin berjumlah tiga belas biji, jadi kalau dibagi untuk tiga orang bisa digunakan
untuk bertahan selama empat hari. Dengan kelebihan waktu empat hari mereka tidak sulit untuk mencari jalan keluar,
rasa percaya diri sendiri seketika tambah kuat.
"Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?" tanya Pang Goan kemudian.
"Bila Lotoako janji tidak akan berebut denganku, bagaimana kalau aku yang
membagi tugas?" "Baik, akan kuturuti perkataanmu," kata Pang Goan sambil tertawa.
"Seperti semula, aku bertanggung jawab mengapalkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat,
Lotoako bertugas mencari jalan keluar, sedang Beng-cu tinggal di sini mengurusi obat
dan ransum, cuma ada beberapa hal harus diperhatikan dan dipatuhi oleh kita
bersama." "Apa itu" Katakan saja!"
"Pertama, perhatian kita harus tertuju pada tugas yang sedang dilaksanakan dan tak
boleh bercabang pikiran pada soal lain, misalnya saja Toako yang bertugas mencari
jalan keluar, maka kau tak boleh pencarkan perhatian untuk mempelajari ilmu golok."
"Baik! Aku pasti dapat melakukannya!"
"Kedua, demi menjaga kekuatan tubuh kita maka semua orang harus makan obat
pada saatnya, termasuk juga Beng-cu, kita tak boleh melawan hawa dingin dengan
tenaga dalam, setiap tiga jam kita makan ransum sekali, setiap enam jam makan obat
sekali, kita tak boleh berdiam terlalu lama dalam istana es ini, mengenai perhitungan
waktu kita tugaskan Beng-cu untuk melakukannya, dan lagi setiap saat harus
meninggalkan tanda, begitu waktunya sampai kau harus memanggil kami agar
mengundurkan diri dari istana es untuk beristirahat."
Hui Beng-cu mengangguk tanda setuju.
Sayang dalam gua sukar untuk membedakan siang atau malam, jadi sulit untuk
menentukan waktu secara tepat, terpaksa Beng-cu membagi ransum kering itu
menjadi beberapa bagian dengan bobot yang sama, dengan perkiraan setiap bagian
ransum itu cukup mengisi perut selama dua-tiga jam, dengan rasa lapar inilah ia
menentukan waktu, sekalipun tidak cocok tapi masih bisa digunakan sebagai ancerancer
untuk menentukan pagi harikah atau malam harikah waktu itu" Dan beberapa
hari sudah dilewatkan" Setelah makan kenyang, Pang Goan dan Leng-hong masuk ke istana es untuk
melaksanakan tugas masing-masing, tiga jam kemudian sewaktu mengundurkan diri
untuk mengisi perut pertama kalinya, air muka mereka tampak murung.
Leng-hong menyatakan bahwa ilmu golok Ang-siu-to-hoat meski hanya terdiri dari
sembilan jurus, namun setiap jurus mengandung macam-macam perubahan, untuk
mengingat gerakannya saja memang tidak sulit, tapi untuk meresapi intisari dari tiap
gerakan, setiap jurusnya paling sedikit membutuhkan waktu dua-tiga jam.
Oleh sebab itu ia putuskan untuk mengapalkan jurusnya lebih dulu, kemudian bila
sudah lolos dari bahaya baru akan diselami lagi gerak perubahan rahasianya.
Kendatipun demikian, dalam tiga jam ia hanya berhasil mengingat empat jurus
belaka, itu berarti belum mencapai setengah dari seluruh ilmu golok Ang-siu-to-hoat
yang ada. Sebaliknya Pang Goan hanya mengembalikan kertas putih alias kosong. Menurut
hasil penelitiannya selama tiga jam, hakikatnya tiada jalan keluar di tempat tersebut.
Sekeliling dinding istana es hanya terdiri dari es yang tebal, jangankan manusia, lalat
pun tak bisa menerobos keluar dari situ, dua jalan tembus yang ditemukan di situ
hanya terdiri dari jalan menuju pintu istana es ini serta jalan tembus menuju ke liang
api. Liang api itu hanya diketahui lima kaki tingginya, tapi berapa dalam liang tersebut
dan berapa panjangnya ia tak tahu. Api yang menyembur keluar dari liang itu berlangsung tiada hentinya, antara liang
api dengan istana es terpisah oleh sebuah kolam, ternyata air dalam kolam itu
separuhnya dingin dan separuh lagi panas, perbedaan itu menyolok sekali dan ternyata
tidak membaur menjadi satu. Pang Goan pernah mencoba untuk melemparkan kepingan perak ke dalam liang api,
tapi begitu kepingan perak itu masuk api segera sirna dan tidak menimbulkan suara
apa-apa, jelas perak itu segera meleleh dan lenyap tak berbekas.
Selesai mendengar uraian tersebut, terpaksa Ho Leng-hong harus menghibur mereka,
katanya, "Jangan putus asa, kalau jalan keluar itu mudah ditemukan niscaya tidak
terjadi banyak orang mati dalam istana es, ilmu golok Ang-siu-to-hoat tentu juga
sudah lama tersebar luas dalam dunia persilatan, carilah pelahan dan perhatikan
tempat-tempat yang mencurigakan, asal nasib kita tidak ditakdirkan tamat di sini, akal
untuk lolos dari sini pasti akan kita temukan, sebaliknya kalau memang sudah takdir,
kitapun tak usah menyesal." Pang Goan menggeleng kepala tanpa menjawab, mukanya tampak sedih.
"Pang-toako," tiba-tiba Beng-cu menyela, "kau telah memeriksa keadaan dalam
istana es, apa salahnya kalau beristirahat dulu dan memikirkan suatu akal untuk
melepaskan diri dari sini, sementara kesempatan ini biar kugunakan untuk melakukan
pemeriksaan pula, bagaimanapun jalan pikiran satu orang tak akan menangkan hasil
pemikiran dua orang." Leng-hong termenung sebentar, kemudian jawabnya, "Ya, hal ini memang bisa
dicoba, tapi harus ada satu orang tinggal di sini untuk siap sedia menolong rekannya,
bila ilmu golok Ang-siu-to-hoat telah berhasil kuapalkan, kita bersama-sama
melakukan pencarian lagi di sekitar tempat ini."
Tiga jam kembali sudah lewat, Hui Beng-cu kembali dengan wajah murung dan
putus asa. Berbeda dengan Ho Leng-hong, dengan penuh kegirangan ia berseru, "Kita tidak siasia
makan obat kuat, lumayan juga hasil yang kita capai."
"Hasil apa?" tanya Beng-cu.
"Pang-toako, bukankah kau pernah berkata bahwa Ang-ih Hui-nio pernah delapan
kali mengalahkan To-seng (nabi golok) Oh It-to, sedang kedelapan jurus ilmu golok
To-seng bukan lain adalah Poh-in-pat-tay-sik dari Thian-po-hu dewasa ini?"
"Benar!" "Kalau begitu, seharusnya jurus ilmu golok yang ditinggalkan Ang-ih Hui-nio juga
terdiri dari delapan jurus, tapi di dinding es itu kenapa terdapat sembilan jurus."
"O, ini memang rada aneh, kenapa bisa kelebihan satu jurus?" seru Pang Goan
keheranan. "Mula-mula Siaute juga heran," ujar Leng-hong sambil tertawa, "sebab itu akupun
menaruh perhatian khusus terhadap jurus terakhir, itulah sebabnya aku bilang
perjalanan kita kali ini tidak sia-sia, ternyata dalam jurus terakhir itulah tercantum
seluruh intisari dan kekuatan dari segenap jurus serangan Ang-ih Hui-nio, dan di situ
pula tercantum segenap kepandaian dahsyat yang diciptakan oleh Oh It-to sepanjang
hidupnya." "Kenapa bisa begini?" tanya Pang Goan tercengang.
"Sebab setelah kalah delapan kali, Oh It-to memeras otak untuk mencari akal untuk
memecahkan kehebatan ilmu golok Ang-ih Hui-nio, sayang niat tersebut rupanya
tidak berhasil diwujudkan, tapi rahasia itu justru akhirnya berhasil dipecahkan sendiri
oleh Ang-ih Hui-nio." "Jangan-jangan jurus kesembilan yang kaumaksudkan itu?" tanya Pang Goan kaget.
"Benar, jurus kesembilan justru merupakan jurus tandingan untuk mematahkan
kedelapan jurus lainnya, jadi asal jurus ini berhasil kita kuasai, maka secara gampang
ilmu golok Ang-siu-to-hoat akan kita patahkan, dan kitapun tak perlu takut lagi
menghadapi ilmu golok sakti dari Mi-kok ini."
Pang Goan tertegun sejenak, kemudian seperti baru memahami sesuatu ia berseru,
"Ya, pantas tong Siau-sian dan Tong-popo berusaha dengan segala akal untuk
mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to, kiranya di sinilah letak alasannya."
"Tahu begini, mestinya Siaute apalkan dulu jurus tersebut, sedang kedelapan jurus
lainnya tak ada artinya lagi."
"Ah, kupikir tak bisa dikatakan demikian, sebab setiap jurus ilmu golok Ang-siu-tohoat
terkandung intisari ilmu golok, kendatipun jurus kesembilan bisa mematahkan
ilmu golok Ang-siu-to-hoat, ini tidak berati jurus tersebut adalah jurus yang tak
terkalahkan." Sementara kedua orang itu terlibat dalam pembicaraan serius tentang ilmu golok
Ang-siu-to-hoat, dengan ogah-ogahan Hui Beng-cu menyela dari samping, "Bisa atau
tidak bisa mematahkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat tetap sama saja jika kita gagal
meninggalkan tempat ini, apa gunanya semuanya itu?"
"Akal adalah hasil pemikiran manusia," kata Leng-hong sambil tertawa, "kalau ilmu
golok Ang-siu-to-hoat bisa dipecahkan, masakah hanya sebuah istana es tak mampu
diatasi?" Perkataan yang gagah ini pun tidak bisa dikatakan salah, sayang kenyataannya justru
tidak segampang apa yang mereka bayangkan.
Ho Leng-hong telah berhasil mengapalkan kesembilan jurus Ang-siu-to-hoat, namun
Pang Goan dan Hui Beng-cu belum berhasil juga menemukan jalan keluarnya.
Bahkan Ho Leng-hong akhirnya ikut mencari, meneliti dan pemikiran, tapi jalan
keluar tetap merupakan tanda tanya besar.
Persediaan pil dan ransum kian menipis, tanda waktu yang diukir di atas dinding
makin bertambah banyak, bekas telapak kaki ketiga orang itu hampir menjelajahi
setiap jengkal tanah dalam istana es itu, namun tiada sesuatu yang berhasil ditemukan.
Kecuali pintu istana di mana mereka datang, serta gua menuju ke liang api, dalam
istana es itu tidak ditemukan lubang lain, pun tidak ditemukan jalan keluar ketiga.
Pintu istana telah terkunci dari luar, mustahil bagi mereka untuk mendobrak pintu
dan kabur dari situ, kini satu-satunya jalan keluar bagi mereka hanya liang api dengan
semburan api yang dahsyat itu. Api yang menyembur keluar dari dasar bumi tak pernah padam, baik diguyur dengan
air, ditutup dengan salju, ternyata sama sekali tak ada gunanya.
Bahkan Ho Leng-hong telah mendorong sesosok mayat ke dalam liang api sebagai
percobaan, hasilnya . . . dalam sekejap mata mayat itu hangus dan lenyap, termasuk
tulang-belulangnya lenyap begitu saja.
Berhadapan dengan kobaran api yang begini dahsyat, wajah mereka menjadi pucat.
Untuk mengirit persediaan pil dan ransum yang makin menipis, terpaksa ketiga orang
itu harus beroperasi secara bergilir, dan lagi merekapun berusaha memperpanjang
waktu untuk mengisi perut, bagi mereka yang tidak beroperasi, maka orang itu harus
berhenti makan pil dan mesti mengerahkan hawa murni sendiri untuk melawan hawa
dingin. Waktu berlalu dengan cepatnya, kini pil penahan dingin tinggal empat biji saja.
Dengan perasaan apa daya terpaksa Ho Leng-hong menghentikan operasi pencarian,
mereka bertiga duduk berdempet dalam gua, di samping mengerahkan tenaga untuk
melawan hawa dingin, merekapun harus putar otak untuk mencari akal guna
meloloskan diri dari situ. Menyusul ransum yang mereka miliki mulai habis.
Orang bilang, lapar dan dingin saling bergandengan. Artinya barang siapa berada
dalam keadaan lapar, maka dia juga akan sulit melawan hawa dingin yang main
mencekam. Setelah ransum habis, suasana dalam istana es seolah-olah berubah menjadi neraka,
hawa dingin kian menghebat, sekalipun mereka bertiga telah melingkarkan tubuh
untuk menahan rasa dingin, namun rasa dingin tetap merasuk tulang sumsum.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Leng-hong meronta bangun berdiri, serunya, "Kita benar-benar amat
bodoh, kenapa hanya duduk terpekur di sini" Apa salahnya kalau kita pergi mandi air
panas?" "Mandi?"serentak Pang Goan dan Hui Beng-cu memandang ke arah Ho Leng-hong
dengan tercengang. Leng-hong tertawa ewa, katanya lagi, "Masa kalian lupa" Meskipun tempat ini sangat
dingin di samping liang api kan terdapat setengah kolam air yang hangat."
Dengan cemas Pang Goan menghela napas, "Lote," katanya, "jangan kaulakukan
perbuatan bodoh itu, dengan kelas kautahu air kolam itu separuhnya dingin dan
separuh lagi panas, yang dingin bisa membekukan badan, dan yang panas dapat
mematikan orang." "Hanya berduduk di sini, cepat atau lambat juga mati, daripada mati kedinginan
enakan mati kepanasan, malam mampusnya bisa lebih cepatan," kata Leng-hong.
Habis berkata, ia tarik napas panjang dan dengan sempoyongan melangkah masuk ke
istana es. Buru-buru Pang Goan melompat bangun dan berseru, "Jangan pergi, aku masih ingin
bicara lagi!" "Tak usah bicara lagi Lotoako," kata Leng-hong sambil berpaling, "hanya duduk
belaka sambil menanti kematian, akhirnya tetap mati, setelah kupergi nanti gunakan
keempat biji pil itu untuk bisa hidup dua belas jam lagi, hal ini jauh lebih baik
daripada mampus semuanya." Selesai berkata ia percepat langkahnya dan masuk ke dalam gua.
Gerak tubuh Pang Goan jauh lebih cepat lagi, sekali melompat ia menerjang tubuh
Ho Leng-hong, serta merta mereka berdua bergumul menjadi satu.
"Hei, ingatlah waktu apa ini, masa kalian masih ada tenaga untuk berkelahi?" seru
Beng-cu dengan suara gemetar, "simpan saja tenaga kalian agar bisa bertahan lebih
lama, bukankah hal ini jauh lebih baik?"
Dengan sepenuh tenaga Pang Goan menindih tubuh Ho Leng-hong, lalu dengan
napas tersengal katanya, "Bila obat itu habis daya kerjanya, akhirnya kita toh mati
juga, tapi kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, mau mati biar mati bersama,
apa bedanya antara enam jam dengan dua belas jam" Siau-cu, bawa kemari obat itu,
ayo kita makan bersama sebutir obat dan bersama melewati sisa enam jam yang
terakhir ini." Hui Beng-cu angsurkan obat itu ke tangannya, tanpa banyak bicara Pang Goan
menjejalkan sebutir pil ke mulut Ho Leng-hong, sementara ia dan Beng-cu juga
menelan sebutir, kemudian melepaskan pemuda itu dari tindihannya.
Setelah obat itu masuk ke dalam perut, hawa hangat seketika menjalar ke seluruh
tubuh. Ho Leng-hong menggeleng kepala dan tertawa getir, ia berkata, "Lotoako, buat apa
kau berbuat demikian . . . . . ." Tanpa terasa air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya. "Hei, apa yang kau tangisi" Jangan bersikap tak becus seperti itu, masa tidak takut
ditertawai Siau-cu?" Air mata berderai membasahi wajah Ho Leng-hong, sambil menahan isak tangisnya
ia berkata, "Aku menangis bukan lantaran takut mati, tapi apa yang kita alami tadi
justru mengingatkan aku akan ibuku yang telah tiada . . . ."
"Mengapa dengan ibumu?" tanya Pang Goan tercengang.
"Sewaktu kecil dulu watakku sangat keras kepala, masih kuingat suatu ketika tatkala
kau jatuh sakit, ibu suruh aku minum obat tapi aku tak mau, ibu memaksaku untuk
menghabiskan obat itu, akhirnya kejadian seperti tadi, obat itu tumpah ke tanah
sedang ibuku kena kutendang waktu mencekoki obat ke mulutku . . . ."
Kejadian itu merupakan pengalaman pada masa kecil yang mudah menimbulkan
gelak tertawa, tapi entah mengapa, Pang Goan dan Hui Beng-cu tak mampu tertawa.
Ho Leng-hong terbuai lagi dalam lamunannya, "waktu kecil nakalku tidak
ketolongan lagi, sampai ibuku kehabisan akal padaku, suati hari seorang kakek
tetangga mati, keluarganya mengeluarkan sebutir mutiara untuk dijual guna membeli
peti mati, ibu merasa senang dengan mutiara itu tapi tak mampu membelinya, waktu
itu aku berada di sisinya dan berkata, "Ibu, apa yang menarik dengan benda itu, bila
aku dewasa nanti dan kaya, bila ibu meninggal pasti akan kubelikan sebuah peti mati
kaca . . . ." Belum habis perkataannya, mendadak mencorong sinar matanya.
Tiba-tiba ia melompat bangun dan lari masuk ke dalam istana es.
Pang Goan dan Hui Beng-cu kuatir ia mengalami kejadian di luar dugaan, buru-buru
mereka mengejar ke dalam. Ketika itu daya kerja obat telah menyebar, setelah berada dalam istana es, mereka
tidak merasa kedinginan. Ho Leng-hong langsung menghampiri kolam di tepi liang api itu, dengan mata
melotot ditatapnya dua sosok mayat di tepi kolam tersebut dengan termangu.
Mayat tua dan muda itu mungkin terdiri dari seorang ayah dengan puteranya, anak
berbaring di atas sebuah panggung es setinggi dua tombak, sedang ayahnya
berjongkok di tepi kolam seperti sedang mengambil air, entah mengapa mereka
berdua sama-sama mati kedinginan di situ.
Pang Goan dan Hui Beng-cu berdiri saling pandang, mereka sama tercengang dan
tidak mengerti. Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, "Coba kalian lihat, bukankah kematian kedua
orang ini sangat aneh?" "Benar, memang aneh, cuma makna apakah yang terkandung di balik keanehan itu?"
ucap Pang Goan. "Coba kauterka, apa yang sedang mereka lakukan?"
Pang Goan berpikir sejenak, lalu sahutnya, "Mungkin puteranya membeku karena
kedinginan, maka ayahnya ingin mengguyur tubuhnya dengan air panas, sayang dia
sendiripun tidak tahan hingga akhirnya ikut mati di tepi kolam . . . ."
"Betul!" jawab Ho Leng-hong sambil mengangguk, "ia memang sedang menolong
puteranya, sebab kematian puteranya dalam keadaan beku adalah karena salah
perhitungan." "Darimana kautahu?" tanya Pang Goan terkejut.
"Coba kalian perhatikan dengan saksama, di sini terdapat dua bagian tempat yang
pantas diperhatikan secara khusus. Pertama, di mana puteranya berbaring terdapat
sebuah panggung es yang tingginya mencapai dua kaki, sesungguhnya di situ tiada
bentuk tanah semacam itu. Kedua, telapak tangan ayahnya hancur, ini menunjukkan
air yang diambil adalah air panas dan bukan air dingin."
"Tapi apa artinya semuanya itu?" kembali Pang Goan bertanya.
"Kupikir mereka telah berhasil menemukan cara untuk meloloskan diri, sayang
karena suatu kekeliruan kecil mengakibatkan usaha mereka gagal total, bahkan harus
mati secara penasaran," tutur Leng-hong.
Berdetak keras jantung Pang Goan dan Hui Beng-cu setelah mendengar perkataan
itu, serentak mereka berseru, "Bagaimana caranya itu?"
"Menyembunyikan orang di dalam es!" jawab Leng-hong dengan serius.
"Menyembunyikan orang di dalam es?" seperti baru sadar akan sesuatu Pang Goan
segera berseru, "maksudmu, kita simpan orang di dalam balok es, lalu
meneroboskannya lewat liang api?"
"Benar. Keadaan ini persis seperti peti mati kaca yang tadi kubicarakan, kurasa hanya
dengan cara ini saja orang bisa melewati liang api tanpa kuatir terbakar tubuhnya!"
"Kalau begitu mari kita coba sekarang juga...." seru Hui Beng-cu dengan girang.
Tapi Pang Goan segera menggoyang tangan dan mencegah gadis itu berbicara lebih
jauh, kepada Ho Leng-hong ia berkata, "Apakah kau berhasil menemukan sebabsebab
kegagalan mereka?" "Ya!" jawab Leng-hong sambil mengangguk, "mereka gunakan air dingin untuk
membuat panggung es lebih dulu, kemudian menyuruh puteranya berbaring di atas
panggung itu, lalu ayahnya menyirami tubuh anaknya dengan air dingin, karena udara
dalam ruangan ini sangat dingin maka dalam waktu singkat sekeliling tubuh
puteranya sudah dilapisi oleh es beku, cara ini memang sempurna, sayang mereka
telah melupakan suatu hal kecil, yakni setelah air itu membeku maka lapisan es itu
akan melengket menjadi satu dengan lantai dan tak mungkin bisa di gerakkan lagi,
jelas ayahnya menjadi gelisah, dalam keadaan begini, maka ia ingin menggunakan air
panas untuk melumerkan lapisan es, sebab itu tangannya menjadi melepuh dan luka
parah, akibatnya mereka berdua mati di tepi kolam."
Sambil mendengarkan uraian tersebut, Pang Goan mengangguk, katanya kemudian,
"Mungkin juga tenaga dalam puteranya tidak cukup kuat dan tak sanggup bertahan
lama dalam es, akibatnya ia mati sesak di situ."
"Padahal kalau ingin menghindari pembekuan antara balok es dengan lapisan es di
lantai, asal kita lapisi secarik kain lebih dulu di tanah sebelum pembentukan balok es,
hal ini akan beres dengan sendirinya, kendati demikian masih ada dua hal yang
merupakan kekurangan besar yang sulit untuk diatasi."
"Dua hal bagaimana itu?" "Pertama, cara ini terlalu menyerempet bahaya, sebab siapapun tidak tahu berapa
panjang jarak liang api itu dengan daerah aman, kalau jaraknya lebih jauh dari
perkiraan, akibatnya balok es itu habis cair lebih dulu sebelum sampai di tempat
tujuan, dalam keadaan demikian kita bakal mati konyol."
"Ya, kecuali cara ini tak ada jalan lain yang lebih baik lagi, tapi tetap berharga untuk
menempuh bahaya ini. Coba sebutkan pula kekurangan kedua!"
"Kedua, untuk mewujudkan cara ini kita harus korbankan seseorang untuk tetap
tinggal di sini, selain itu datarkah liang api itu" Tiadakah tikungan lainnya" Hal ini
masih bergantung pada nasib mujur masing-masing, jelas tak mungkin diselidiki
sebelumnya." Pang Goan menengadah dan menarik napas panjang, "Tiada sesuatu cara yang
sempurna, kurasa inilah satu-satunya cara yang bisa kita coba sekalipun tetap harus
menyerempet bahaya. Bahwa seseorang harus berkorban dan tetap tinggal di sini,
kurasa jauh lebih baik daripada semua orang mampus sekaligus, biar aku saja yang
tinggal di sini." "Tidak bisa, Toako adalah pemilik Cian-sui-hu, kalau dibilang siapa yang harus
berkorban maka sepantasnya akulah yang tetap tinggal di sini," kata Leng-hong.
"Tidak, orang yang tinggal harus memiliki tenaga dalam yang sempurna, dengan
demikian baru bisa cepat mendorong kedua rekannya melewati liang api itu, tenaga
dalammu tak dapat menandingi kelihaianku, buat apa kau berebut denganku?"
"Tapi cara ini akulah yang mendapatkan, aku berhak untuk membagi tugas kerja
untuk kalian." "Dalam hal ini jangan dibicarakan soal hak, kita mesti berbicara mengikuti keadaan
umumnya, di antara kita bertiga, Siau-cu adalah kaum perempuan, jelas ia tak boleh
tinggal di sini, sedang kau adalah satu-satunya orang berhasil menguasai ilmu golok
Ang-siu-to-hoat, maka kaupun tak boleh tinggal di sini."
"Di antara kalian berdua, yang seorang adalah pemilik Cian-sui-hu, sedang yang lain
adalah puteri kesayangan dari Hiang-in-hu, kematian kalian berdua sangat
mempengaruhi keadaan orang banyak, jadi kalian sama-sama tak boleh tinggal di sini,
hanya aku seorang yang hidup sebatang kara tanpa sanak tanpa keluarga, maka pantas
kalau aku yang ditinggal di sini . . . . ."
"Cukup! Cukup!" teriak Hui Beng-cu dengan suara lantang, "kalian dua orang lelaki
selalu ribut setiap menghadapi persoalan, sungguh menjemukan! Menurut
penilaianku, yang tinggal di sini justru paling aman, sedang orang yang pertama yang
harus melewati liang api itu justru paling berbahaya, sekarang kalian saling berebut
sendiri, apakah kalian sama-sama takut mati?"
"Darimana kautahu yang tetap tinggal di sini justru yang paling aman?" tanya Lenghong
dengan penasaran. "Kenapa tidak?" jawab Beng-cu, "coba bayangkan sendiri, bila tidak berhasil
melampaui liang api, orang yang disimpan dalam balok es pasti akan mati lebih dulu,
sebaliknya kalau berhasil, maka orang yang lolos itu masih bisa berusaha untuk
mengadakan pertolongan pada temannya lewat pintu istana sebelah depan, bukankah
yang tinggal di sini paling aman?"
Ho Leng-hong dan Pang Goan menundukkan kepalanya dan berpikir, mereka tidak
bicara lagi. Ucapan Hui Beng-cu memang masuk diakal, tapi juga belum tentu benar, karena
orang yang berada dalam balok es meski termasuk menyerempet bahaya toh ia masih
ada harapan untuk hidup, sebaliknya mereka yang tinggal dalam istana es dengan
ransum yang sudah habis, paling banyak Cuma bisa bertahan selama dua belas jam
saja, padahal keadaan dalam Mi-kok amat kacau, siapa yang berani menjamin yang
sudah lolos itu akan memberi pertolongan dengan lancar dalam sehari semalam yang
amat singkat" Kalau pertolongan datangnya terlambat, niscaya orang itu akan tewas juga.
Berputar pikiran Pang Goan, tiba-tiba ia berkata, "Lote, begini saja. Salah seorang di
antara kita berdua harus dapat menembus liang api ini meski menyerempet bahaya,
sedangkan yang lain tetap tinggal di sini, untuk adilnya, marilah kita undi saja?"
Leng-hong termenung agak lama, akhirnya ia setuju juga.
Dari sakunya Pang Goan mengambil keluar beberapa keping uang perak, sambil
digenggam dalam tangan katanya, "Mari kita bertaruh jumlah kepingan perak dalam
genggamanku ini, kita bertaruh dalam jumlah ganjil atau genap, yang salah menebak
dia harus menyerempet bahaya untuk menerobos liang api, sedang yang menebak
dengan jitu tetap tinggal di sini, taruhan hanya berlangsung sekali dan tak boleh
menyesal. Nah, tebaklah lebih dulu."
"Uang perak itu milikmu, tentu saja kau tahu jumlahnya," kata Leng-hong.
"Sebab itulah kupersilakan kepadamu untuk menebak lebih dulu, dengan demikian
baru adil namanya." Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, "Baiklah, aku tebak ganjil!"
Pang Goan segera membuka telapak tangannya sambil tertawa, "Maaf, tebakanmu
keliru, perak ini berjumlah enam keping, jadi genap!"
Ho Leng-hong mencoba untuk memperhatikan keenam keping uang perak itu, empat
di antaranya berwarna lusuh, jelas sudah lama, sedang dua keping lainnya berwarna
agak baru, jelas secara diam-diam Pang Goan telah meremukkan kepingan perak yang
agak besar menjadi dua keping kecil.
Ditatapnya Pang Goan dengan rasa haru, ia tak tega membongkar rahasia itu,
terpaksa katanya dengan menghela napas, "Legakan hatimu Toako, bila aku
beruntung bisa lolos dengan selamat, dalam waktu dua belas jam kami pasti akan
kembali ke sini untuk menolongmu."
"Kaupun jangan kuatir," sahut Pang Goan dengan tertawa, "sepergi kalian nanti, aku
akan tidur sekenyangnya di sini, siapa tahu begitu mendusin dari tidurku nanti, pintu
istana telah terbuka lebar." Habis berkata ia mulai membentang selembar pakaian di tanah dan membuat
panggung es. Pang Goan dan Hui Beng-cu segera bekerja sama menyiramkan air kolam ke atas
tubuh Ho Leng-hong, air yang diambil dari kolam segera membeku, tak lama
kemudian sebatas dada Ho Leng-hong ke bawah sudah dilapisi oleh lapisan es yang
tebal. Akhirnya bagian kepala pun dilapisi es, ia harus menahan napas hingga keluar dari
liang api itu, otomatis pembentukan lapisan es dilakukan dengan lebih cepat.
Sesaat sebelum mengguyurkan air dingin ke wajah Ho Leng-hong, tiba-tiba Pang
Goan berbisik, "Golok mestika Yan-ci-po-to yang didapatkan Ci-moay-hwe adalah
golok yang asli, tapi mata golok telah kupoles dengan air raksa sehingga kelihatan
amat tumpul, asal golok itu kau garang sebentar di atas api, ketajamannya akan segera
pulih kembali . . . . Cian-sui-hu dan Thian-po-hu kuserahkan kepadamu, semoga kau
melindungi Wan-kun dan menyayangi anaknya . . . . . "
Jelas ucapan itu merupakan pesan terakhirnya sebelum berpisah, ini membuktikan
pula tekadnya untuk mengorbankan diri sendiri serta tidak ada niat untuk melanjutkan
hidup. Ho Leng-hong merasa darah dalam rongga dadanya bergolak keras, hampir saja ia
melompat bangun. Tapi sebelum ia sempat berusaha, bahkan sebelum ia mengangguk atau melakukan
gerakan yang lain, air dingin telah diguyurkan pada wajahnya . . . . .
Ho Leng-hong memejamkan mata dan menutup pernapasan, telinganya sudah tak
dapat mendengar apa-apa lagi, ia hanya merasa tubuhnya seakan-akan berada dalam
sebuah peti mati besar yang amat dingin, iapun merasa sekujur badan bagaikan diikat
kencang-kencang oleh tali yang kuat sehingga sama sekali tak berkutik.
Namun ia tahu dengan jelas, justru dalam detik-detik yang singkat inilah matihidupnya
akan ditentukan, kalau usahanya meloloskan diri gagal, maka kemungkinan
besar tidurnya ini akan berlangsung untuk selamanya, atau mungkin juga badannya
akan hancur lebur terbakar menjadi abu.
Ia bukan seorang laki-laki pengecut yang takut mati, tapi ia selalu berharap dapat
hidup lebih lama karena tanggung jawab yang berada di pundaknya teramat berat,
semua ini membuatnya tak boleh mati dan juga tak berani mati . . . .
Mendadak ia merasakan sekujur badan bergetar keras dan seperti melayang di udara .
. . hawa dingin di sekelilingnya lenyap dengan cepat, disusul kemudian udara yang
amat panas menyerang tubuhnya. Sudah pasti lapisan es yang membungkus tubuhnya mulai cair tertimpa panasnya api.
Udara yang panas membuat anak muda itu teringat pada api yang berkobar dalam
liang api, dalam detik yang amat singkat ini, kemungkinan besar tubuhnya akan
terbakar lenyap tak berbekas.... Segala apapun tak berani dibayangkan Ho Leng-hong lagi, ia hanya berharap semoga
tubuhnya yang sedang melayang dapat berhenti dengan cepat.
Asal sudah berhenti maka mati-hidupnya akan diketahui, jika berada di luar liang api
berati umurnya masih panjang, kalau berada dalam liang maka jangan harap akan
hidup terus. Tapi justru guncangan tersebut dan gerakan melayang belum juga berhenti,


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya hawa panas yang menyengat badan kian lama kian sukar ditahan, seakanakan
berada dalam sebuah kukusan raksasa yang airnya mendidih.
Dia ingin melihat keadaan itu, namun matanya tak sanggup dibuka, ingin berteriak
namun tiada suara yang keluar, ingin meronta namun tiada tenaga, dalam keadaan
serba susah ia merasa seakan-akan sekujur badan menjadi kaku, seperti terbakar, dan
berubah menjadi abu, berubah menjadi asap . . . .
Blang! Terjadi getaran yang dahsyat, lalu ia tak sadarkan diri.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***--
Rasanya baru terjadi dalam sekejap, tapi juga seakan-akan sudah berlangsung sangat
lama. Ho Leng-hong membuka matanya, pertama-tama ia lihat langit yang biru, kemudian
ia merasa sekelilingnya berbau belerang yang amat tebal.
Reaksinya yang pertama adalah ingin melompat bangun dan duduk, tapi sebuah
tangan segera menekan tubuhnya, menyusul bergema suara nyaring merdu di sisi
telinganya, "Jangan sembarangan bergerak, apakah kau ingin membuat terbalik
perahu ini agar semua orang berubah seperti ayam kucemplung kali?"
Itulah tangan seorang perempuan, suara perempuan, bahkan kedengaran seperti sudah
dikenalnya. Mula-mula Ho Leng-hong mengira perempuan itu adalah Hui Beng-cu, tapi setelah
berpaling baru diketahui bahwa ia berbaring di atas sebuah perahu kecil, orang yang
sedang mendayung perahu itu adalah seorang gadis asing.
Perahu itu kecil sekali, si nona masih amat muda, sekilas pandang bisa diketahui
bahwa usianya baru dua puluh tahunan, mukanya bulat telur dengan mata yang besar
dan jeli, bajunya berwarna hijau dengan gaun berwarna biru, separuh gaunnya basah
kuyup. Leng-hong mencoba untuk duduk, sayang sampan itu terlampau kecil, baru saja ia
bergerak segera menimbulkan guncangan keras.
Buru-buru nona berbaju hijau itu menghentikan dayungnya, dengan setengah
mengomel dan setengah tertawa katanya, "Eh, bagaimana kamu ini?" Suruh jangan
bergerak, kenapa kau tidak mau menurut perkataanku" Coba lihatlah, lantaran ingin
menolongmu, gaunku menjadi basah kuyup, atau kau baru puas bila melihat sekujur
badanku menjadi basah?" Terpaksa Leng-hong berbaring kembali, dengan menyesal katanya, "O, maaf, aku
tidak bermaksud demikian, aku hanya ingin . . . ingin . . . ."
Nona berbaju hijau itu kembali mendayung, tukasnya, "Bukankah kauingin bertanya
padaku, seorang kawan perempuanmu apakah juga sudah tertolong, begitu bukan?"
"Benar! apakah nona melihatnya?" seru Leng-hong gelisah.
Nona berbaju hijau itu tertawa, "Tentu saja telah kulihat dia, kalau tidak, darimana
kutahu kau masih mempunyai seorang kawan?"
"Sekarang ia berada di mana" Bagaimana keadaannya?"
"Jangan kuatir, ia baik-baik saja dan berada di perahu lain, mungkin sudah berangkat
pulang duluan, taciku yang membawa perahu tersebut."
"Terima kasih banyak nona . . . ."
Demi mengetahui Hui Beng-cu juga sudah tertolong, ia tak tahu haruskah bergirang
atau sedih" Girang karena mereka berdua akhirnya berhasil lolos dari liang api dengan
selamat, sedih karena meski Hui Beng-cu berhasil lolos dan tertolong, ini
membuktikan pula bahwa di antara mereka berdua tentu terpaut suatu jarak waktu
yang cukup lama, hal ini kemungkinan besar mempengaruhi keselamatan jiwa Pang
Goan yang berada di dalam istana es.
Tempat ini merupakan sebuah telaga kecil di atas gunung, luasnya tidak seberapa
besar, berhubung letaknya dekat kawah, maka air telaga pun menjadi panas dan
mengandung belerang. Ho Leng-hong sangat menguatirkan keselamatan Pang Goan, segera ia tanya pula,
"Nona, tahukah kau sudah berapa lama aku tercebur ke dalam telaga?"
"Hahaha, lucu amat pertanyaanmu," kata si nona baju hijau sambil tertawa, "masa
kausendiri tidak tahu sudah berapa lama tercebur ke dalam telaga?"
"Terus terang, ketika tercebur ke dalam telaga aku berada dalam keadaan tak sadar,
hakikatnya aku tidak tahu soal waktu."
"Apa sebabnya kau sampai tercebur ke dalam telaga?"
"Tentang ini . . ." Ho Leng-hong tak ingin menyinggung masalah lembah Mi-kok,
terpaksa bohongnya, "aku dengan nona Hui sedang mencari obat di atas gunung,
karena kurang hati-hati kami berdua terpeleset jatuh ke bawah."
"Mencari obat" Mencari obat apa" Gunung ini tandus dan gersang, rumput pun tak
bisa tumbuh, apalagi tumbuhan obat segala?"
Seketika Leng-hong tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Memang betul,
bukit belakang dekat Mi-kok memang sebuah bukit yang gersang dan gundul, hanya
di seberang telaga saja ada tumbuh-tumbuhan.
Untung otaknya dapat berputar cepat, buru-buru katanya lagi sambil tertawa, "Obat
yang kami cari bukan sembarangan rumput obat, melainkan sejenis benda yang
tertanam dalam tanah, bila digali keluar akan bisa dipakai untuk bahan mesiu."
"O, tahulah aku sekarang, kalian pasti sedang mencari belerang."
"Bukan, bukan belerang, tapi sejenis benda yang hampir mirip dengan belerang."
Ia merasa gadis berbaju hijau ini mempunyai daya pikir yang bagus, terutama bila
menghubungkan persoalan yang satu dengan lainnya, nona itu pun suka tanya macammacam,
maka ia tak berani bicara secara pasti.
Ternyata kali ini si nona tidak mendesak lebih jauh, sambil tertawa katanya, "Ah,
pokoknya aku tahu kalian bukan datang untuk mencari obat, persoalan ini tidak
menyangkut diriku dan akupun tak ingin banyak bertanya, dulu ibu sering berkata
kepadaku, "Kalau bertemu orang, bicaralah tiga patah kata saja, agar jangan disangka
yang bukan-bukan oleh orang." Rupanya kalian mempunyai jalan pikiran seperti itu?"
"Nona salah paham . . . ." kata Leng-hong sambil tertawa getir. Cepat-cepat dia
alihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, "Terima kasih banyak atas bantuan nona.
Bolehkah kutahu siapa namamu?"
"Kautanya namaku" atau juga keluargaku?"
"Tentu saja menanyakan semuanya, sebab sebenarnya kita akan berkunjung ke
rumahmu serta mengucapkan terima kasih langsung kepada ibumu."
"Tidak usah, ibuku sudah lama tiada, di rumah hanya ada tiga orang kakak beradik,
kami dari keluarga Kim, Toaci bernama Lam-giok, aku bernama Lik-giok dan adikku
bernama Hong-giok, maka panggil saja namaku Lik-giok!"
Sementara itu perahu sudah menepi dan berlabuh di sebuah selat yang menyorok ke
dalam. Setelah menambat perahunya, Kim Lik-giok melompat ke daratan lebih dulu,
kemudian menjulurkan tangannya seraya berkata, "Turunlah dengan pelahan, jangan
sampai membuat sampan terbalik."
Pelahan Ho Leng-hong berduduk dan mengatur napas, ternyata isi perutnya tidak
terluka, hanya sekujur badan terasa pegal, keempat anggota badannya lemas dan tak
bertenaga, maka di bawah bimbingan Lik-giok iapun naik ke darat.
Tak jauh di depan sana berlabuh pula sebuah sampan kecil, papan geladaknya basah,
tapi tak nampak manusia, rupanya Hui Beng-cu benar-benar sudah tertolong dan
mendarat duluan. Ketika Lik-giok melihat langkah Leng-hong amat susah, serta merta dipayangnya
pemuda itu sambil berkata, "Tangga batu ini tinggi, mari kubimbing kau ke atas."
Buru-buru Ho Leng-hong mengucapkan terima kasih, di bawah bimbingan Lik-giok
selangkah demi selangkah ia naiki tangga batu itu.
Tangga batu itu mencapai seratus undak lebih, pada ujung tangga tersebut berupa
sebuah tanah lapang berumput yang luas, beberapa tombak di sebelah depan sana
berdirilah tiga buah rumah gubuk berpagar bambu.
Ketika mencapai tepi pagar bambu, Ho Leng-hong sudah kepayahan hingga napas
tersengal, dengan susah payah ia memasuki rumah tersebut, suasana di situ amat
hening dan tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Lik-giok membimbingnya masuk ke dalam sebuah kamar di samping kanan, lalu
katanya, "Lepaskan dulu pakaianmu yang basah, akan kubawa untuk dijemur, setelah
kering nanti dikenakan kembali."
Leng-hong coba memperhatikan sekejap sekeliling ruangan, ditemuinya kecuali
sebuah selimut di atas pembaringan, di situ tidak ditemukan secuwil kain pun, hal ini
membuatnya ragu. "Ayo, cepat lepas pakaianmu," desak Lik-giok lagi, "jangan sampai masuk angin
karena memakai baju yang basah kuyup."
Leng-hong tertawa jengah, katanya, "Nona, apakah kaupunya pakaian untuk lelaki"
Pinjamkan untukku!" "Wah, sulit, di rumah hanya terdiri dari tiga orang perempuan, darimana datangnya
pakaian lelaki" Lebih baik berbaringlah dalam selimut, bagaimanapun toh tak ada
orang lagi, jangan kuatir ketahuan orang lain."
"Aku rasa . . . hal ini kurang baik!"
"Kenapa tidak baik" Itu pembaringanku, aku rela digunakan olehmu, siapa yang
berani mengatakan tidak?" Gadis itu ternyata tidak banyak pikir, sebaliknya Ho Leng-hong merasa malu untuk
melepaskan pakaian dan berbaring dalam keadaan telanjang bulat di atas pembaringan
si nona. Bukannya dia tidak berpengalaman dalam keadaan demikian, tapi gadis itu tak
pernah dikenalnya, tak pernah mempunyai hubungan apa-apa, lagi telah menolong
jiwanya, kendatipun ia bukan seorang Kuncu (gentleman), tapi dia tak ingin
melakukan sesuatu yang melanggar tata susila, apalagi berduaan saja dalam sebuah
kamar dengan seorang gadis muda. Tapi dalam kamar tidak tersedia pakaian kering sebagai penggantinya, bagaimana
pun mustahil baginya untuk berbaring di atas pembaringan dalam keadaan basah
kuyup . . . . Sementara ia merasa serba susah, dengan tidak sabar Lik-giok berkata, "Mengakunya
seorang lelaki sejati, tapi tidak tegas menghadapi persoalan, sekarang kusediakan dulu
makanan untukmu, bila aku kembali nanti ternyata bajumu belum dilepas, jangan
menyesal jika aku yang akan mencopot bajumu."
Sepeninggal Lik-giok, Ho Leng-hong merasa kehabisan akal, terpaksa ia lepaskan
baju yang basah dan buru-buru menyusup ke dalam selimut.
Tak lama kemudian Lik-giok telah kembali sambil membawa semangkuk besar
bubur hangat, katanya sambil tertawa, "Kutahu perutmu tentu lapar, cepat habiskan
bubur ini sementara kujemurkan pakaianmu yang basah ini."
Leng-hong memang sangat lapar, baru saja Lik-giok keluar kamar, separuh mangkuk
bubur sudah berpindah ke perutnya. Manusia adalah besi, nasi adalah baja.
Setelah semangkuk bubur habis dimakan, Ho Leng-hong merasa semangatnya pulih
kembali, rasa linu pegal berkurang banyak, iapun ingin cepat-cepat bertemu dengan
Hui Beng-cu dan berusaha lekas kembali ke Mi-kok untuk menolong Pang Goan.
Siapa tahu Lik-giok sudah pergi lama sekali dan belum juga kembali, suasana di
sekeliling sana amat sepi tak terdengar suara apapun, seakan-akan rumah itu kokang,
tak berpenghuni. Lambat laun, cahaya matahari di luar jendela pun condong ke barat.
Makin ditunggu Leng-hong merasakan keadaan semakin tidak beres, sebenarnya ia
ingin bangun untuk memeriksa, apa daya, tubuhnya dalam keadaan bugil, beberapa
kali ia mencoba berteriak, namun tak seorang pun yang menjawab.
Tak lama kemudian sang surya telah tenggelam di balik bukit, senja pun tiba.
Leng-hong jadi teringat kembali akan suara Lik-giok yang seperti sudah dikenalnya,
menyusul kemudian iapun teringat bahwa Lik-giok tak pernah tanya nama dan
alamatnya, padahal di sekitar lembah tak ada penduduk, mana mungkin ada orang luar
yang bertempat tinggal di dekat Mi-kok . . . . .
"Wah, celaka, aku tertipu!"
Dengan terperanjat Ho Leng-hong melompat bangun, baru saja dia hendak merobek
selimut untuk menutupi bagian tubuhnya yang terlarang agar bisa keluar dari situ,
mendadak bayangan seorang muncul di depan pintu.
Dia adalah seorang nona berbaju merah, entah sedari kapan nona itu sudah berdiri di
luar pintu sambil memandangnya dengan senyum dikulum.
"Ho-tayhiap, masih kenal padaku?" sapa gadis itu sambil tertawa cekikikan.
Warna pakaian yang sudah dikenalnya dengan suara yang amat dikenal pula.
Rasa ngeri muncul dari lubuk hati Ho Leng-hong, tanpa terasa ia berseru,
"Samkongcu!" Cepat-cepat ia menyusup lagi ke dalam selimut dan menutupi tubuhnya yang bugil
itu. Sambil tertawa cekikikan Samkongcu melangkah ke dalam ruangan, kemudian
katanya, "Tak kusangka Ho-tayhiap masih ingat padaku, cuma Samkongcu hanya
sebutan yang berlaku dalam organisasi Ci-moay-hwe, namaku sekarang adalah Kim
Hong-giok!" "O, kalau begitu Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok adalah Toakongcu dan Jikongcu
dari Ci-moay-hwe?" pekik Ho Leng-hong dengan kaget.
"Ho-tayhiap memang tak malu disebut sebagai orang pintar," goda Samkongcu
sambil tertawa, "aku berurutan nomor tiga, tentu saja di atasku masih ada dua orang
kakak, sudah lama sekali kami bertiga dari Ci-moay-hwe menanti kedatangan Hotayhiap
di sini." "Mau apa kalian menantikan kedatanganku?"
"Bersahabat, membicarakan transaksi dagang dan kedua belah pihak akan sama-sama
mendapatkan untung." Ho Leng-hong tertawa dingin, "Hehehe, kalian telah memperalah diriku sebagai Nyo
Cu-wi, lalu mencuri golok Yan-ci-po-to, kemudian memfitnah kami agar ditangkap
pihak Mi-kok . . . tidak cukupkah kalian membikin celaka kami ini" Apa lagi yang
perlu dibicarakan" Maaf, aku tidak berminat lagi."
Samkongcu tidak menyangkal semua tuduhan tersebut, dengan wajah masih dihiasi
senyuman ia berkata, "Urusan yang sudah lewat lebih baik jangan dibicarakan lagi,
yang perlu dibicarakan adalah masalah sekarang, masalah yang menyangkut tiga
nyawa, kupikir Ho-tayhiap pasti masih berminat."
Karena ucapan yang penuh keyakinan itu mau-tak-mau Ho Leng-hong harus
memperhatikan, tanyanya, "Tiga nyawa yang mana?"
"Kau, Hui Beng-cu serta Pang Goan yang masih tertinggal dalam istana es dan
menunggu pertolonganmu." "Kau mengetahui semuanya?" desis Leng-hong.
Samkongcu manggut-manggut, "Bagaimanapun Hui Beng-cu masih muda dan lebih
jujur dibandingkan dirimu, ia telah menceritakan semua kejadian kepada kami. Nah,
bagaimana" Waktu tidak banyak, bersediakah kau melakukan suatu barter yang adil?"
Menyinggung soal waktu, Leng-hong merasa gelisah sekali, teringat pada Pang Goan
yang sedang menunggu dalam istana es ditambah lagi cuaca mulai gelap, kendatipun
gemas, tapi apa daya?" Akhirnya dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang, sedapatnya ia
bersikap tenang, katanya sambil tertawa, "Baiklah, anggap saja kau yang menang,
pertukaran apa yang kauinginkan?"
"Tiga nyawa ditukar dengan rahasia ilmu golok Ang-siu-to-hoat, adil bukan?"
"Kim Hong-giok, kau jangan keliru, aku Ho Leng-hong bukan anggota lembah Mikok."
"Aku tahu," rupanya Kim Hong-giok sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia
berkata lebih jauh, "aku tahu baru saja kau menerobos istana es dan menembus kawah
api, baru lolos dari kematian, tidak mungkin kau keluar dengan tangan hampa
bukan?" Leng-hong tertawa getir, "Kalau sudah tahu kami baru lolos dari kematian, mestinya
kau juga harus tahu bahwa kami tak punya waktu untuk mempelajari ilmu golok
tersebut." "buat orang lain mungkin ucapan ini benar, tapi tak berlaku bagimu," kata Kim
Hong-giok dengan tertawa. "Tapi aku kan sama saja, juga seorang manusia."
"Benar, kau memang manusia, tapi bukan manusia goblok, kau adalah seorang
manusia cerdas yang tak akan melupakan apa yang pernah kaulihat."
Kemudian ditatapnya wajah Ho Leng-hong dengan serius, katanya lebih jauh,
"Menurut apa yang kuketahui, sewaktu berada di Tiang-lo-wan dalam Mi-kok, cukup
menyaksikan jalannya pertarungan antara Pui Hui-ji dengan Yu Ji-nio, beberapa jurus
ilmu golok mereka tentu berhasil kausadap, kukira hal ini pernah terjadi bukan?"
"Tapi bukankah kausendiri pernah juga menyadap To-kiam-hap-ping-kiam-hoat
Pang-toako dengan cara menyuruh keempat perempuan Ainu itu mengerubutinya?"
"Sebab itulah lebih baik kita bicara blak-blakan, apapun tak usah membohongi yang
lain," kata Kim Hong-giok sambil tertawa.
Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, "Bukankah kau telah bersekongkol
dengan orang-orang dari Mi-kok" Untuk mencuri belajar ilmu golok mereka
sesungguhnya bukan pekerjaan yang sulit, mengapa kau harus mengincar aku orang
she Ho?" "Ini disebabkan oleh dua alasan, pertama mengenai untung-rugi kedua pihak, jadi tak
mungkin berhubungan secara jujur, kedua, aku ingin membuktikan apakah ilmu golok
yang mereka pelajari adalah ilmu golok yang komplit" Ataukah masih ada bagian
yang sengaja mereka rahasiakan?"
Ho Leng-hong tak ingin membuang waktu percuma, setelah termenung sebentar,
jawabnya, "Baiklah, kukabulkan permintaanmu, tapi ada syaratnya yang harus
kaupenuhi dulu." "Katakan!" "Bukankah kaubilang akan bertukar syarat denganku dengan jaminan tiga nyawa,
diantaranya termasuk juga Pang-toako" Oleh karena itu, kau harus membantu
menolong Pang-toako lebih dahulu sebelum ilmu golok Ang-siu-to-hoat
kuberitahukan kepadamu." "Maksudmu aku harus membantumu menyerbu ke Mi-kok, membuka pintu istana es


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mempersilakan Pang Goan keluar dengan terang-terangan?"
"Betul!" "Maaf, aku tidak memiliki kekuatan tersebut. Bila istana es bisa kumasuki
sekehendak hatiku, apa perlunya aku bertukar syarat denganmu?"
"Sekarang Pang-toako belum lolos dari bahaya, jadi kau tidak dapat melaksanakan
syarat kita, lalu apa gunanya kaubicara pertukaran kepadaku."
"Soal ini . . . . . ." Kim Hong-giok berpikir sejenak, "Yang bisa kulakukan hanya
mengantarmu kembali ke Mi-kok, di samping itu kuberikan pula perlindungan serta
keleluasaan untuk bergerak, mengenai pertolongan atas Pang Goan adalah urusanmu
sendiri, maaf bila aku tak dapat membantu apa-apa."
"Padahal dua masalah tersebut tak perlu bantuanmu, kauanggap aku tak bisa pergi
sendiri ke Mi-kok?" seraya berkata ia lantas bangkit dan duduk di pembaringan . . . . .
. . . Tapi baru setengah badan terangkat, cepat ia mengkeret lagi, tiba-tiba ia menemukan
dirinya memang benar-benar tak bisa pergi lagi ke Mi-kok.
Pertama, tentu saja karena ia berada dalam keadaan bugil dan tak mungkin turun dari
pembaringan. Kedua, ia merasa dalam dadanya seperti ada gumpalan hawa dingin yang menyumbat
jalan pernapasannya dan membuat ia tak mungkin mengerahkan tenaga dalamnya.
Terhadap kesulitan yang pertama, ia masih sanggup untuk melakukannya dengan
tebalkan muka, tapi terhadap kesulitan yang terakhir, mau-tak-mau ia terkejut juga,
jelas dalam bubur panas tadi telah dicampuri sesuatu obat tertentu.
Kim Hong-giok tertawa genit, ucapnya dengan lembut, "Ho-tayhiap, sekarang apa
mau bertukar syarat denganku" Aku tak terburu-buru ingin mengetahui Ang-siu-tohoat,
tapi kukuati Pang-tayhiap tidak memiliki waktu yang cukup untuk menunggu
kedatanganmu." "Orang she Kim, kau benar-benar manusia rendah yang tak tahu malu," damprat
Leng-hong gemas. Kim Hong-giok tidak menyangkal, mala ucapnya dengan tertawa, "Terhadap seorang
yang telah belajar Ang-siu-to-hoat harus di hadapi seperti menghadapi seekor harimau
ganas, mau-tak-mau kami harus waspada."
"Baik! Aku mengaku kalah," jawab Leng-hong sambil memejamkan mata, "beri aku
pakaian dan obat penawar, segera kudemonstrasikan ilmu golok Ang-siu-to-hoat di
hadapanmu." "Tahu begini, kita tak usah banyak bicara," kata Kim Hong-giok sambil tersenyum.
Ia bertepuk tangan tiga kali, seorang perempuan setengah umur mengiakan dan
melangkah masuk, di tangannya membawa pakaian Ho Leng-hong serta sebutir pil.
Kim Hong-giok meletakkan pakaian dan pil itu di ujung pembaringan, sambil
berbangkit berdiri katanya, "Waktu lebih berharga daripada emas, aku tak ingin
mengganggumu lebih lama, harap kau lakukan seperti apa yang dijanjikan agar tidak
mendatangkan kesulitan lagi bagi nona Hui. Nah, akan kutunggu jawabanmu di luar."
Seperti seekor ayam jago yang kalah bertarung, terpaksa Leng-hong menuruti
perintah si nona. ------------------- Ci-moay-hwe tidak malu disebut sebagai sebuah organisasi yang amat rahasia,
hingga kini setiap langkah mereka selalu diatur dengan masak, setiap persolan selalu
berada dalam perhitungan mereka, seolah-olah setiap urusan yang dicampuri Cimoay-
hwe pasti akan terjatuh dalam cengkeraman mereka, bahkan keadaan dalam
lembah Mi-kok pun tidak terkecuali.
Akan tetapi, kendatipun Kim Hong-giok amat cerdik, tapi ia melalaikan sesuatu yang
justru sangat penting artinya. Yakni ia tidak tahu bahwa ilmu golok Ang-siu-to-hoat sesungguhnya terdiri dari
sembilan jurus. Setiap orang yang pernah mendengar kisah mengenai Ang-ih Hui-nio dengan Oh Itto
tentu mengetahui bahwa sejak suami-isteri ini berpisah, mereka telah bertarung
sebanyak delapan kali dari setiap kali bertarung hanya terdiri dari satu jurus, yaitu asal
mulanya ilmu golok Poh-in-pat-tay-sik dan ilmu golok Ang-siu-to-hoat.
Oleh sebab itu ketika Ho Leng-hong hanya memainkan delapan jurus, dan jurus
kesembilan yang merupakan jurus terpenting sengaja dirahasiakan, Kim Hong-giok
sedikitpun tidak merasa curiga. Kendatipun hanya delapan jurus, ternyata sudah menarik segenap perhatiannya,
secara beruntun dia paksa Ho Leng-hong berlatih tiga kali lagi baru garis besar ilmu
golok itu berhasil di apalkan olehnya, tentu saja belum mencakup intisarinya.
Kim Hong-giok memang cerdik, kalau Ho Leng-hong membutuhkan waktu dua-tiga
jam untuk memahami satu jurus, maka Kim Hong-giok seluruhnya hanya perlu duatiga
jam untuk memahami delapan jurus tersebut.
Ketika delapan jurus serangan itu selesai dilatih, tengah malam pun sudah lewat.
"Hanya ini saja yang kuketahui," demikian Leng-hong berkata kemudian, "kini Pangtoako
sedang menunggu pertolongan dalam istana es, aku tak bisa membuang waktu
lebih lama lagi, semoga perkataanmu bisa dipercaya dan berusaha membantu aku
masuk kembali ke Mi-kok." "O, tentu! Bukan Cuma membantumu kembali ke lembah saja, kami pun berharap
setelah Pang Goan berhasil diselamatkan, kita masih bisa menjadi sahabat untuk
seterusnya, maka kuputuskan untuk menemani kauberangkat ke Mi-kok."
Leng-hong tercengang, ia tahu keberangkatan si nona ke Mi-kok pasti mengandung
maksud tertentu, tapi untuk mengejar waktu ia tak sempat berpikir panjang lagi, dia
hanya berharap bisa segera berangkat.
Agaknya Kim Hong-giok telah mengadakan persiapan, ketika gaun merahnya diberi
sedikit perubahan dan ditambah jubah luar, maka berubahlah menjadi dandanan
seorang pengawal "berbenang putih", diajaknya Ho Leng-hong meninggalkan rumah
gubuk itu. Dari rumah gubuk menuju ke mulut lembah ternyata tidak jauh, Kim Hong-giok juga
apal dengan daerah ini, tak sampai setengah jam mereka telah tiba di tempat tujuan.
Ketika tiba kembali di tempat lama, teringat pengalamannya ketika lolos dari bahaya,
sungguh ngeri rasa hati Ho Leng-hong, ia berhenti di tempat kejauhan sambil
bisiknya, "Hei, kita akan masuk secara terang-terangan ataukah secara diam-diam?"
"Jangan kuatir," jawab Kim Hong-giok sambil tertawa, "sudah kuatur segala
sesuatunya." Ia menyulut api, kemudian obor itu digoyangkan ke atas tiga kali.
Tak lama kemudian dari mulut lembah muncul segerombolan bayangan manusia
yang bergerak mendekat dengan cepat.
Mereka adalah lima gadis bergolok dan seorang utusan "berbenang biru", sekilas
pandang Ho Leng-hong kenal utusan tersebut sebagai Hoa Jin.
Kim Hong-giok membisikkan sesuatu kepada Hoa Jin, kemudian membaukan diri ke
dalam kelompok perempuan pengawal itu.
Hoa Jin seperti tidak percaya dan terkejut, buru-buru ia maju ke depan dan
mengamati wajah Ho Leng-hong dengan saksama, kemudian serunya tercengang,
"Ah, rupanya benar-benar kau, sungguh tak pernah kusangka!"
"Akupun tak menyangka, tentu kemunculanku ini akan sangat mengecewakan nenek
Tong dan saudara sekalian," sahut Leng-hong dengan tertawa.
Hoa Jin tidak menjawab, dia memberi tanda dan berseru, "Pasang obor, bunyikan
terompet penyambut tamu agung!"
Enam batang obor segera dipasang, menyusul kemudian suara terompet bergema
nyaring. Dalam waktu singkat bunyi terompet bersahut-sahutan dari dalam lembah, cahaya
obor bermunculan di mana-mana disusul gemuruh suara manusia.
"Hei, apa-apaan kau?" tegur Leng-hong tercengang.
Sambil memberi hormat, jawab Hoa Jin, "Ho-tayhiap berhasil menerobos istana es
dan melewati kawah api dengan selamat, itu berarti kau telah menjadi tamu terhormat
lembah kami, kedatanganmu akan disambut oleh segenap anggota masyarakat kami."
Tidak banyak berbicara lagi, mereka lantas mengiringi Ho Leng-hong menuju ke
mulut lembah. Sepanjang jalan tampak cahaya obor sambung-menyambung bagaikan ular panjang,
sejak mulut lembah sepanjang jalan penuh berjejal manusia baik lelaki maupun
perempuan, tua dan muda, saling berebut melihat kedatangan tamu agung tersebut.
Bunyi terompet yang sahut menyahut agaknya telah membangunkan semua
penduduk lembah dari tidurnya. Gerak-gerik Ho Leng-hong menjadi tak bebas, sepanjang jalan ia dielu-elukan oleh
masyarakat lembah, ia digiring menuju ke depan perkampungan di mana cahaya
lampu pun terang benderang, Kokcu Tong Siau-sian beserta para Popo dari Tiang-lowan
menyambut kedatangannya di pintu perkampungan.
Air muka Tong Siau-sian lebih banyak diliputi rasa kejut daripada rasa girang, gerakgeriknya
tampak kikuk, sebaliknya para Tianglo tampak diliputi rasa gembira dan
bangga. Ketika Ho Leng-hong tiba di tempat tujuan, serentak bunyi mercon digelar.
Tong Siau-sian mengalungkan sehelai selendang merah ke atas bahu Ho Leng-hong,
kemudian bisiknya, "Semenjak berdirinya Mi-kok, Ho-tayhiap adalah orang pertama
yang berhasil keluar dari istana es dalam keadaan hidup, dengan inilah kami
mengucapkan selamat padamu." "Tidak berani," sahut Leng-hong sambil menjura, "semua ini berkat nasibku yang
mujur, juga berkat bantuan Kokcu."
Entak mengapa, tiba-tiba air muka Tong Siau-sian bersemu merah.
Tong-popo tertawa bergelak, "Hahaha, sungguh pandai bicara, mungkin takdir yang
menghendaki Ho-tayhiap mencapai sukses."
Diiringi orang banyak Ho Leng-hong dibawa masuk ke ruang tengah, Tong Siau-sian
segera mempersilakan tamunya menempati kursi utama dengan didampingi para
Tianglo di kedua sisinya, pelayan segera menghidangkan teh wangi.
Dulu sebagai tawanan dan kini sebagai tamu terhormat, ternyata Ho Leng-hong sama
sekali tidak merasa senang, apa yang dipikirkan sekarang hanya bagaimana caranya
memasuki istana es untuk menolong Pang Goan, cuma sayang ia tak punya
kesempatan untuk buka suara. Para pengawal berbenang putih belum berhak masuk ke dalam ruangan menemani
tamu, jadi Kim Hong-giok pun tidak diketahui ke mana perginya.
Setelah air teh dihidangkan, Tong Siau-sian kembali menitahkan orang untuk
menyiapkan arak, sementara ia sendiri mohon diri untuk meninggalkan ruangan.
Begitu Tong Siau-sian pergi, Tong-popo lantas berkata dengan tertawa, "Ho-tayhiap,
sejak kedatanganmu di lembah ini, aku sudah tahu bahwa kau bukan manusia
sembarangan, buktinya memang demikian. Nah, aku ingin minta suguhan secawan
arak darimu." "Popo terlalu sungkan, aku orang she Ho adalah manusia tak becus, keberhasilanku
tak lebih lantaran nasib lagi mujur," sahut pemuda itu.
Di luar ia berkata demikian, dalam hati pikirnya, "Mau minum arak boleh minum
sepuasnya nanti, yang penting sekarang lekas buka istana es dan menjemput Pangtoako
keluar dari situ . . . . ." Di dengarnya Tong-popo berkata lagi sambil tertawa, "Ho-tayhiap adalah naga di
antara manusia, semua Popo telah membuktikan sendiri, menurut pendapatku,
persoalan inipun tak usah dirundingkan lagi, kita tentukan besok sebagai hari baik
saja, entah bagaimana pendapat Cici sekalian?"
"Bagus sekali! Bagus sekali!" sahut para Tianglo serentak.
Lalu Tong-popo berkata kepada Ho Leng-hong, "Inilah rejeki Ho-tayhiap dan juga
merupakan peraturan dari lembah kami, kukira Ho-tayhiap tak akan mengajukan
pendapat lain bukan?" Apa yang dipikirkan Ho Leng-hong sekarang bagaimana caranya masuk ke istana es,
hakikatnya ia tidak menaruh perhatian terhadap apa yang mereka bicarakan, maka
seenaknya saja ia mengangguk. "Popo sekalian tak usah terlalu berlebihan, sudah kukatakan keberhasilanku adalah
karena nasibku lagi mujur . . . ."
Karena kurang memperhatikan, dia mengira orang sedang berunding untuk
mengadakan pesta keesokan harinya untuk merayakan peristiwa besar ini.
"Baik!" ujar Tong-popo girang, "kita putuskan besok tengah hari sebagai saat
bahagia, segera siarkan ke seluruh lembah agar bersiap mengadakan pesta."
Ketika berita tersebut disiarkan, serentak semua anggota masyarakat lembah itu
menyambutnya dengan sorak-sorai gembira, dentuman mercon segera berbunyi di
mana-mana menambah semaraknya suasana.
Ho Leng-hong masih menyatakan terima kasih dengan senyum dikulum, setelah
bunyi mercon mereda, ia baru memperoleh kesempatan untuk berkata,
"Sesungguhnya kalian tak perlu merayakan kejadian ini secara besar-besaran, bila
Popo sekalian ingin merayakannya, lebih baik kabulkan saja suatu permintaanku,
untuk mana selamanya aku akan berterima kasih."
Tong-popo tertawa, "Kini kita adalah orang sendiri, apa permintaanmu, asal dapat
kulakukan pasti akan kukabulkan, buat apa sungkan-sungkan?"
"Popo tentu tahu bukan, aku mempunyai seorang teman she Pang yang masuk ke
istana es bersamaku?" "Benar, kaumaksudkan Pang Goan, Pang-tayhiap pemilik Cian-sui-hu" kenapa dia?"
"Karena harus membantuku lolos, ia sendiri tak mampu meninggalkan tempat
tersebut, hingga kini masih tertinggal di dalam istana es . . . ."
"O, sayang sekali," tukas Tong-popo, "padahal aku selalu menaruh hormat kepada
Pang-tayhiap, ia rela membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, jiwa
besarnya itu sungguh mengagumkan."
"Popo telah salah mengartikan kata-kataku," ucap Leng-hong sambil menggeleng
kepala dan tertawa, "maksudku, hingga kini Pang-toako masih hidup dalam istana es,
ia belum mati." Tong-popo melengak, tiba-tiba ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Jangan tertawa Popo, aku bicara sesungguhnya," kata Leng-hong.
Sambil tertawa Tong-popo berpaling ke arah para Tianglo lainnya seraya berkata,
"Percayakah kalian" Ia bilang Pang Goan masih hidup dalam istana es, dan katanya ia
tidak bohong" Hahaha....."
Beberapa nenek itupun ikut menggeleng kepala sambil tertawa, "Mungkin itulah
harapan Ho-tayhiap, tentu saja kamipun berharap ia masih hidup, tapi harapan tinggal
harapan, kenyataannya hal ini tak mungkin terjadi."
"Ketika kumasuk ke istana es, bukankah kalian pun tidak percaya bahwa aku akan
keluar dalam keadaan hidup?" kata Leng-hong serius, "tapi kenyataannya sekarang
aku bisa keluar dengan selamat, ini kan juga suatu kenyataan!"
"Kami hanya mengakui kenyataan dan bukan khayalan, kecuali Pang Goan pun bisa
keluar dengan selamat, siapapun tak akan percaya perkataanmu itu."
"Kalau tidak percaya, boleh kita buka istana es dan memeriksanya?"
Tong-popo menggeleng kepala berulang kali, "Tidak mungkin! Menurut peraturan
lembah hanya satu orang yang boleh masuk ke istana es, dan lagi diapun harus
mempunyai alasan khusus, itupun harus memperoleh persetujuan dulu dari dewan
para Tianglo." "Siapakah orang itu?" buru-buru Leng-hong bertanya.
"Kokcu!" "Baik! Sekarang juga akan kutemui dia, kuharap Popo sekalian mengizinkan ia
masuk ke istana es . . . ." Sambil tertawa kembali Tong-popo menggeleng kepala, "Ho-tayhiap, tak usah ke
sana, sebelum tengah hari besok, Kokcu takkan menjumpai dirimu."
"Kenapa?" tanya Leng-hong.
"Sebab kalian belum melakukan upacara nikah secara resmi, masa calon pengantin
boleh bertemu muka dulu?" Leng-hong tertegun, ia termangu-mangu.
Sambil tertawa kembali Tong-popo berkata, "Jangan terburu napsu, untuk
menghormati kau sebagai orang pertama yang bisa keluar dari istana es, kami
putuskan akan mengizinkan Kokcu masuk ke istana es satu kali guna melakukan
pemeriksaan, akan tetapi itupun harus dilakukan seusai upacara nikah kalian tengah
hari esok, harap kau bersabar dulu."
"Tidak!" teriak Leng-hong sambil melonjak, "aku tidak mau menjadi Huma dari Mikok,
lebih-lebih tidak ingin menetap di lembah ini, kembaliku kemari hanya
bermaksud menolong Pang-toako...."
Air muka Tong-popo berubah masam, katanya dingin, "Ho-tayhiap, sebelum bicara
hendaklah pikirkan dulu tiga kali. Inilah peraturan lembah dan kaupun telah
menyetujuinya, kini berita perkawinan telah tersiar luas di seluruh lembah, kenapa
kau malah mengucapkan kata-kata semacam itu?"
"Hei, sejak kapan aku menyetujui?"
"Bukankah tadi kau telah setuju, malahan kau minta agar jangan terlalu meriah, masa
ucapanmu itu cuma omong kosong saja" Kami menjodohkan Kokcu kepadamu, meski
hanya untuk memenuhi peraturan nenek moyang, itupun karena menghormati dirimu,
masa kau bersikap plin-plan?" "Bila kalian menghargai diriku, aku rela melepaskan kesempatan untuk kawin
dengan Kokcu, aku hanya mohon agar Pang-toako diizinkan meninggalkan istana es."
"Ah, perkataan apakah itu?" kata Tong-popo tak senang hati, "betapa terhormatnya
seorang Kokcu, masa kauanggap perkawinan sebagai permainan kanak-kanak"
Lagipula antara soal perkawinan dengan mati-hidup Pang Goan hakikatnya
merupakan dua masalah yang tidak ada hubungannya, jika kau tidak tahu adat lagi,
jangan menyesal bila kamipun tak akan sungkan-sungkan."
Diam-diam Ho Leng-hong mengeluh, kini ia baru sadar bahwa dirinya telah terjebak
oleh perangkap lawan. Persekongkolan antara Samkongcu Kim Hong-giok dengan Tong-popo untuk
memaksanya kawin jelas suatu intrik yang busuk dengan tujuan tertentu, soal ini bisa
tidak diurus, apakah dirinya mengawini Tong Siau-sian atau tidak juga bukan masalah
penting, tapi Pang Goan yang menanti pertolongan dalam istana es jelas tak bisa


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditunda-tunda lagi, betapapun tak dapat menunggu usainya upacara perkawinan
tengah hari besok, persoalan ini justru masalah yang palin
Seruling Samber Nyawa 11 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 5
^