Pendekar Pemetik Harpa 9

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 9


an, setetespun dia tidak kecipratan.
Karena memejam mata, Huwan bersaudara hanya
mengandal ketajaman pendengaran, sambil berkelit mereka
harus mainkan pedang pula. Sejauh ini meski mereka orang
480 dungu juga sudah tahu bahwa pemilik kedai ini kiranya juga
seorang jagoan Kungfu yang memendam diri apa lagi dalam
pandangan Huwan Liong sebagai kawakan Kangouw" Lekas
dia memberi aba-aba pada adik-adiknya: "Angin kencang,
lekas menyingkir."
Khu Ti berteriak: "Wah, kasihan arak wangi seperut ini,
sungguh sayang. Tapi rasanya segar juga, perutku tidak sakit
lagi," mendadak tangannya mencengkeram ke baju kuduk
Huwat Pau yang lagi lari keluar pintu. Bentaknya:
"Perabotanku yang rusak belum kalian ganti, mau lari" Tadi
kan sudah kubilang, kalian harus mengganti kerugianku,"
dicengkram kuduknya ternyata Huwan Pau mati kutu tak
kuasa berontak.
Huwan Liong sudah lari keluar pintu, lekas dia putar balik
seraya menusuk ke belakang, bentaknya: "Lepaskan adikku,"
kepandaiannya memang paling tinggi, Khu Ti tidak berani
memandang rendah, sedikit menggunakan tenaga dia dorong
dan putar Huwan Pau ke suatu arah sehingga tubuhnya
menerjang ke ujung pedang Huwan Liong yang sedang
menusuk tiba, bentaknya: "Tidak kau ganti, aku tidak akan
lepas tangan," maka terdengarlah suara membrebet yang
panjang, pakaian Huwan Pau tertusuk sobek sehingga isi
kantong bajunya berantakan kocar-kacir di lantai.
Untung Huwan Liong bertindak cukup sigap, sembari
menarik pedang, dia tarik adiknya itu ke samping. Cepat sekali
Tan Ciok-sing juga sudah memburu tiba seraya menusuk
dengan pedang, serangan tetap menggunakan jurus Samcoan-
hoat-lun, seorang diri sudah tentu Huwan Liong tidak
kuasa melawan, sekali pelintir dan sendai kedua pedang saling
tindih terus mencelat terbang dan "Trap" pedangnya
menancap di atas belandar. Tapi Huwan Liong berhasil
menolong adiknya terus diseret lari keluar.
481 Khu Ti berteriak: "Biar kuperiksa dulu, apakah uang-uang
yang tercecer ini cukup untuk mengganti kerugianku, wah
masih kurang sedikit."
Entah takut dikejar oleh Khu Ti, atau karena tidak
membawa senjata rahasia, kontan dia ayun tangan
menyambitkan sekerat uang perak seharga sepuluh tahil ke
arah Khu Ti yang tengah berdiri di samping pintu.
Uang perak ini meluncur dengan menderu kencang, tapi
Khu Ti hanya menggape sekali terus ditangkapnya, serunya
tertawa riang: "Ketambah uang perak ini, kira-kira cukuplah
uang ganti kerugianku, nah lekaslah kalian enyah dari sini."
Kuatir dikejar dan dihajar babak belur sudah tentu Huwan
bersaudara seperti berlomba melarikan diri naik kuda.
Sementara Liong Seng-bu sejak tadi sudah ngacir lebih dulu.
Memunguti pecahan uang yang berserakan di lantai Khu Ti
gelak tertawa, katanya: "Tak kira hari ini aku bisa ketiban
rejeki nomplok. Perabotku yang sudah bobrok ini paling
seharga dua tahil, tapi aku memperoleh ganti dua puluh tahil,
wah menyenangkan."
Kejut dan girang Tan Ciok-sing, lekas dia memberi hormat,
katanya: "Maaf Wanpwe punya mata tidak melihat tingginya
gunung Taysan, harap Lopek tidak berkecil hati, dan banyak
terima kasih akan bantuan Lopek."
"Kau kan tamuku, tamu mengalami kesulitan, adalah jamak
kalau aku sebagai tuan rumah membantu, kenapa harus
terima kasih" Hehe, sekarang sudah beres, segala persoalan
tidak perlu diperdebatkan, tadi kau hendak mentraktir aku, ini
kau sudah memperoleh rejeki, nah minumlah sepuasmu,
tanggung gratis tak usah bayar."
"Mungkin mereka akan kembali pula," ucap Tan Ciok-sing,
"Lopek, kedaimu ini salah-salah bisa bangkrut karena
kedatanganku."
482 "Memangnya sudah lama aku pingin menutup kedai ini,
ongkos pindahku juga sudah tersedia sekarang, apa pula yang
kukuatirkan" Lebih baik aku cari tempat mengasingkan diri.
Sebetulnya aku tidak akan buru-buru pindah, apa kau tidak
perhatikan, mereka lari balik ke arah datangnya semula?"
"Pemuda itu adalah putra Kiu-bun-tek-tok yang berkuasa di
kota raja, sejak dari Tay-tong mengejarku sampai disini. Nyali
mereka sudah pecah oleh kegagahan paman tadi, yakin dia
pasti pulang membawa pasukan pemerintah untuk
menggerebekmu."
"Sedikitnya dua hari baru mereka akan tiba disini, maka
kau boleh tak usah buru-buru, hayolah temani aku minum
sepuasnya."
Tan Ciok-sing mengiakan, dalam hati dia memang ada
sebuah tanda tanya, kalau ada kesempatan sebentar dia ingin
tanya kepada Khu Ti biar jelas.
"Kalau ilmu pedangmu tidak seliehay itu, arak yang
semayam dalam perutku tadi juga tidak akan kuasa
membubarkan barisan pedang mereka. Oh ya, tadi belum
sempat kutanya, harpa antikmu ini..."
"Untung tidak apa-apa."
"Syukurlah. Meja kursi rusak tidak jadi sesal, tapi harpamu
ini sudah barang antik yang tak ternilai harganya. Terus
terang, tadi aku terpaksa ikut turun tangan bukan lantaran
kau ini adalah tamuku saja, sebab yang utama adalah karena
harpa antik ini."
"Maaf Lopek, untuk ini belum sempat tadi aku memberitahu
padamu, Ki Harpa atau guru harpa yang diceritakan Lopek
tadi, beliau adalah kakekku."
Khu Ti terbahak-bahak karanya: "Memangnya sejak tadi
sudah kuduga kau pasti cucu Tan Khim ang, kecuali keturunan
Tan Khim-ang, memangnya siapa lagi yang mahir memetik
483 harpa sebagus itu" Nah, mari, mari, lekas bantu aku
membereskan rumah yang berantakan ini, nanti kita minum
lagi sampai mabuk."
Meja kursi yang patah dan remuk segera disingkirkan ke
pinggir, Tan Ciok-sing segera menyapu bersih ruang kedai,
sementara Khu Ti masuk kedalam membawa keluar seguci
arak pula, katanya tertawa: "Inilah arak tua yang sudah
kusimpan selama 30 tahun. Tapi aku katakan empat guci
terakhir, maksudku hendak ngapusi mereka," mangkok piring
dia singkirkan kedalam lalu membawa mangkok besar untuk
minum arak bersama Tan Ciok-sing.
Setelah menenggak dua cawan, Khu Ti berkata: "Dua puluh
tahun sudah aku berpisah dengan kakekmu, selama ini tak
pernah kudengar beritanya, beberapa tahun ini, dia..."
"Sejak aku dilahirkan, aku diasuh dan dibimbing kakek
sampai sebesar ini, bertempat tinggal di Cit-sing-giam di Kwilin.
Empat tahun yang lalu kakek sudah mangkat."
"O, lalu ayah bundamu?"
"Sejak dilahirkan aku sudah yatim piatu, ayah malah
meninggal sebelum aku lahir. Karena sukar melahirkan ibu
juga meninggal.
Mungkin dosaku terlampau besar sehingga ayah bunda
menjadi korban..."
Khu Ti mendadak menggebrak meja, katanya keras sambil
menghela napas: "Sayang, sayang sungguh kasihan, sungguh
menyebalkan."
Tan Ciok-sing kaget, tanyanya hambar: "Khu-losiansing,
apa maksudmu?"
Kalau Khu Ti merasa sayang karena kematian ayah bunda
Tan Ciok-sing sejak dia masih kecil, ini dapat dimaklumi, tapi
kenapa pula harus dibuai kasihan dan menyebalkan"
484 Khu Ti melengak, katanya: "Apa kakekmu selamanya tak
pernah menerangkan padamu?"
Semakin bingung Tan Ciok-sing dibuatnya, tanyanya:
"Menerangkan soal apa"'" diam-diam dia mereka dalam
hati: "Memangnya ayah bundaku juga mati dicelakai orang?"
Sejak kecil dia hidup bersama sang kakek, jarang kakeknya
bicara soal ayah bundanya, dia kira karena sejak kecil dia tidak
pernah melihat ayah bundanya, maka kakek tidak ingin dia
bersedih hati. Kini mendengar omongan Khu Ti barulah timbul
rasa curiganya.
Seperti tahu isi hatinya, Khu Ti berkata: "Mungkin ayah
bundamu tidak langsung dicelakai orang, tapi jikalau bukan
lantaran pengalaman pahit yang pernah mereka alami itu, aku
yakin mereka takkan mati semuda itu."
"Pengalaman pahit apakah yang pernah dialami ayah
bundaku, kakek tak pernah menerangkan, Apakah Lopek
boleh memberitahu padaku?"
"Kejadian sudah dua puluh tahun berselang, bahwa
kakekmu tidak mau menerangkan padamu pasti ada
alasannya sendiri. Orang yang menjadikan keluargamu
berantakan dan mengalami bencana itupun sudah lama mati,
maka kupikir kaupun boleh tak usah mengusut soal ini."
Tan Ciok-sing berdiri lalu berlutut di hadapan Khu Ti,
katanya: "Meski urusan sudah lama berselang, sebagai
seorang putra yang harus berbakti terhadap orang tua, adalah
menjadi hak dan kewajibanku untuk tahu duduknya
persoalannya, kalau tidak betapa hatiku bisa tenang..."
Lekas Khu Ti memapahnya berdiri, katanya menghela
napas: "Memang sudah kebacut kubicarakan, kau tahu sedikit
adalah logis kalau ingin tahu sejelasnya. Baiklah sebentar
kututurkan padamu," sampai disini dia mengisi secawan penuh
lalu ditenggaknya habis, lalu katanya pula: "Dengan ayahmu
aku hanya pernah bertemu sekali, tapi persahabatan kami
485 sungguh teramat kental dan keliwat intim. Tadi kau tanya
padaku mengapa mengasingkan diri di desa yang sepi dan
terpencil ini, kejadiannya sebetulnya juga ada sangkut
pautnya dengan peristiwa yang menyangkut kakek dan kedua
orang tuamu."
Kejadian yang dibicarakan Khu Ti separoh di antaranya
sudah direka oleh Tan Ciok-sing, tapi separoh kelebihannya
benar-benar diluar dugaannya. Yang sudah diduga adalah Khu
Ti pasti pernah berkenalan dan berhubungan yang intim
dengan kakeknya, tapi bahwa Khu Ti juga ada sangkut
pautnya dengan kedua orang tuanya, ini sungguh amat
mengejutkan hatinya, lekas dia tanya tentang seluk beluknya.
Mengenang masa lalu perasaan Khu Ti kelihatan masgul,
setelah menghabiskan secangkir lagi, perlahan-lahan dia
bicara: "Dua puluh tahun yang lalu, adalah seorang perwira
dari pasukan Gi-lim-kun. Orang sering bilang kalangan pejabat
kerajaan merupakan sumber kantong yang paling subur,
demikian pula dalam kalangan kemiliteran. Orang yang
berwatak nyentrik sepertiku ini, ternyata dapat hidup dan
berkecimpung sekian tahun lamanya disini. Lote mungkin
kaupun takkan pernah menyangkanya?"
Tan Ciok-sing ikut menghabiskan secangkir arak, katanya:
"Ya, memang tak terduga."
Khu Ti melanjutkan: "Waktu itu kakekmu sudah tersohor
sebagai guru harpa nomor satu di dunia ini, tahun itu
kebetulan dia berada di kota raja, tetapi sebelumnya aku tidak
tahu." "Aku punya seorang kawan, bicara soal kedudukan dan
Kungfu dia jauh lebih tinggi dari aku, untungnya pambek dan
hobi serta sepak terjangnya ternyata selaras dengan watakku,
dalam kalangan militer hanya dia seoranglah terhitung
temanku yang paling dekat. Kalau kubicarakan kemungkinan
kau pun sudah tahu siapa orang ini."
486 "Aku terlambat dilahirkan, tokoh-tokoh gagah generasi
yang dahulu banyak yang tidak kukenal. Entah siapa yang
Lopeh maksudkan?"
"Dia adalah In Jong. Bu-conggoan yang amat tersohor di
masa lalu. Umumnya tiga tahun sekali diadakan pemilihan Buconggoan,
tapi jabatan Bu-conggoan yang digondol In Jong
lain dari yang lain. Bukan saja dia pernah membebaskan
Baginda Raja yang terdahulu dari tawanan bangsa Watsu,
diapun mendorong ke Ie Kiam untuk angkat senjata melawan
serbuan pasukan besar
Watsu sehingga negara terhindar dari jajahan bangsa
asing, betapa besar pahala yang direbutnya tapi belakangan
dia membuang pangkat menyibak harta benda, meletakkan
jabatan mengundurkan diri kembali ke kampung halaman
terima hidup bercocok tanam sampai akhir hayatnya."
Senang dan kaget hati Tan Ciok-sing, serunya: "Bukankah
In-conggoan yang Lopeh ceritakan ini adalah ayah In Tayhiap
In Hou dari Tay-tong?"
"Betul. Kuduga kau pasti kenal dengan keluarga In,
ternyata tidak meleset," demikian ujar Khu Ti lebih lanjut.
"Pada suatu malam tiba-tiba In Jong datang ke rumahku, dia
bilang apakah aku sudi melakukan suatu hal bagi seorang
yang belum pernah kukenal, resiko tugas yang kukerjakan
kemungkinan bisa mengakibatkan aku kehilangan jabatan dan
pangkatku di kalangan pemerintah?"
Waktu itu aku bilang tugas yang kau serahkan padaku pasti
kerja yang harus ditegakkan kebenarannya, jangan kata hanya
kehilangan pangkat dan kedudukan, umpama kepalaku harus
berkorban juga tidak jadi soal. Tapi boleh kau beritahu
kepadaku, siapa orang yang harus kubantu itu?"
Sampai disini pun Tan Ciok-sing pun sudah mengerti,
katanya: "Orang yang dimaksudkan oleh In-conggoan pasti
kakekku adanya."
487 "Betul, memang kakekmu."
Tan Ciok-sing heran, katanya: "Kakek hanya guru harpa,
kesulitan apa yang melibatkan dirinya di kota raja, sampai Inconggoan
harus menampilkan diri minta bantuan orang lain?"
"Kalau peristiwa ini menyangkut diri orang lain, malahan
merupakan urusan baik yang sukar diperoleh, tapi bagi
kakekmu justeru kesulitan yang paling sulit. Waktu itu ada
seorang thaykam Ong Ceng, tentunya kau juga pernah dengar
cerita orang-orang tua tentang dorna jahat itu?"
Tan Ciok-sing berkata: "Konon dialah biang keladinya yang
paling berdosa atas kekalahan besar peristiwa To-bok-po dulu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Karena mendengar hasutannya maka Baginda yang
berkuasa waktu itu hampir saja tewas dan negara hancur."
"Betul, karena katanya berbuat salah terhadap dorna yang
berkuasa ini sehingga kakekmu mengalami kesulitan."
"Kakek adalah guru harpa yang kelana di Kangouw,
memangnya ada sangkut paut apa dengan dorna durjana itu,
kenapa kesulitan bisa nomplok pada dirinya."
"Setiba kakekmu di kota raja, entah bagaimana
kedatangannya diketahui Ong Ceng. Mendengar dia adalah
ahli harpa nomor satu di dunia ini, maka Ong Ceng
mengundangnya ke rumah pribadinya ingin mendengar
permainan harpanya."
"Kakek paling benci kalangan berkuasa, apalagi pejabat
korup dan dorna, dia pasti menolak undangan Ong Ceng.
"Dugaanmu memang tidak meleset, kakekmu sembunyi di
sebuah hotel kecil, karena tidak berhasil mengundang
kakekmu, maka dia lantas mengutus Kim-ih-wi hendak
menangkapnya. Malahan ayah bundamu juga hendak
ditangkapnya pula. Begitu dia mengeluarkan perintah Kim-ihwi
segera melaksanakan tugas. Berita ini bocor diketahui oleh
In Jong, kedudukan ln Jong amat tinggi, setiap tindak
488 tanduknya selalu di awasi dan menjadi perhatian orang
banyak, maka tidak leluasa dia bertindak atau bergerak untuk
memberi kabar kepada kakekmu."
Sampai disini Tan Ciok-sing sudah paham katanya: "O,
kiranya begitu, maka In-conggoan minta tolong kepada
Lopek." "Betul, sebetulnya In Jong juga tidak kenal kakekmu. Tapi
dia mengagumi watak keras kakekmu yang patriotik pula
maka dia merasa simpati dan tidak tega melihat kakekmu
menjadi bulan-bulanan Ong Ceng."
Haru hati Tan Ciok-sing, katanya: "Betapa perkasa dan baik
hati In-conggoan dan Lo Pek, sungguh merupakan teladan
bagi kaum muda."
Setelah menenggak arak Khu Ti berkata pula: "Waktu itu
sudah mendekati kentongan ketiga, urusan tidak boleh
ditunda, maka aku berkata pada In Jong, baik soal ini kau
serahkan padaku untuk kukerjakan, lekas kau pulang saja,
supaya kaki tangan Ong Ceng tidak mengetahui jejakmu."
"Setelah In Jong pergi, secara buru-buru aku menulis
sepucuk surat yang kutujukan kepada kakekmu, maksudnya
bahwa Ong Ceng hendak menangkap dia, supaya dia lekas
melarikan diri. Waktu aku tiba di hotel kecil itu kakekmu
sedang duduk melamun menyanding dian agaknya dia tidak
bisa tidur. Maka aku gunakan kebiasaan orang Kangouw
mengirim kabar dengan sambitan belati, surat kutusuk di
ujung belati terus kusambitkan kedalam menancap di atas
meja?" "Setelah melihat suratku, kakekmu tampak kaget dan raguragu,
lekas dia membangunkan ayah bundamu, mereka lantas
berunding. Mereka menempati dua kamar yang
berdampingan, ada pintu penghubung. Ayahmu bilang Ong
Ceng jahat telengas, siapapun tahu akan keganasannya. Soal
ini lebih baik dipercaya dari pada kapiran. Syukurlah ada
489 pendekar yang sudi memberitahu dan menolong kesulitan kita
ini adalah lebih baik kalan kita melarikan diri saja."
"Tapi kakekmu bilang kesehatan isterinya sedang
terganggu, harapan semula kalian bisa beristirahat disini, kini
harus pergi secara tergesa-gesa pula, mungkin dia bisa
terserang penyakit yang lebih parah."
"Tapi ayah bundamu tahu gelagat urusan harus dibedakan
yang gawat dan yang ringan, jikalau masih ragu, bila kaki
tangan Ong Ceng datang hendak menangkap mereka, kita
bertiga jelas takkan sudi dihina, memangnya jiwa raga terima
dikorbankan secara percuma, bagaimana kita bisa
menyelamatkan diri pula?"
"Kakekmu menghela napas, katanya: "Apa boleh buat,
baiklah segera kita berangkat."
"Melihat mereka pergi, legalah hatiku. Tak nyana baru saja
kaki mereka melangkah keluar dari pintu belakang, kaki
tangan utusan Ong Ceng juga telah melangkah masuk dari
pintu depan."
"Pimpinan kaki tangan Ong Ceng ternyata seorang yang
sudah punya kedudukan tinggi dan berkepandaian Iiehay, dia
adalah pimpinan barisan Kim-ih-wi bernama Ciang Thi-hu,
meyakinkan Thi-sa-ciang, dia terhitung salah satu jago kosen
di antara anak buah Ong Ceng. Dua orang laki yang
dibawanya juga pandai menggunakan senjata rahasia.
"Kupikir bila mereka mendapatkan kakek dan ayah
bundamu melarikan diri, apalagi kakekmu belum lari jauh,
pasti bisa terkejar, menolong orang harus menolongnya
sampai selamat, supaya kakek dan ayah bundamu bisa lolos
dengan selamat, maka aku perlu mengulur waktu. Maka
secara diam-diam aku menyusup masuk ke kamar kakekmu,
kupakai baju kakekmu yang tidak sempat dibawanya lalu
merebahkan diri di atas ranjang, seluruh tubuh kututup kemul
dan pura-pura tidur menggeros.
490 Ciang Thi-hu ternyata termakan muslihatku, begitu datang
dia menjebol pintu terus membentak: "Tan Khim-ang, diberi
arak suguhan tidak mau, memangnya kau minta dihukum
pancung. Hayo bangun, menyerahkan diri dan ikut aku."
Begitu dia menyingkap kemul, kontan aku memberinya sebuah
pukulan. "Thi-sa-ciang yang diyakinkannya ternyata memang liehay,
tapi dia terpukul juga sampai jungkir balik keluar pintu,
kepalanya bocor hidungnya ringsek."
Tan Ciok-sing keplok tangan seraya berjingkrak senang,
segera dia isi arak penuh dua cangkir, mereka sama-sama
tenggak habis, teriaknya: "Sungguh menyenangkan."
Khu Ti bercerita pula: "Sungguh menggelikan, dua anak
buah Ciang Ti-hu ternyata berani mati turun tangan serempak
menyerangku dengan senjata rahasia ini. Terpaksa kugunakan
cara mereka untuk menghajar mereka, senjata rahasia mereka
kupukul balik, bukan aku yang terluka, tapi senjata rahasia itu
makan tuannya malah. Tanpa pedulikan mereka mati atau
hidup segera aku tinggalkan hotel itu. Waktu itu merekapun
tak berhasil menemukan jejak kakekmu."
"Apa mereka tahu akan perbuatanmu?" tanya Tan Cioksing.
"Malam gelap gulita, hakikatnya mereka tidak melihat dan
tidak tahu akan diriku, tapi aku tahu Ciang Ti-hu seorang ahli,
bahwa Thi-sa-ciangnya terpukul pecah olehku, cepat atau
lambat pasti dia tahu akan perbuatanku," sampai disini Khu Ti
tertawa tergelak-gelak, lalu menambahkan: "Begitulah, dari
seorang perwira Gi-lim-kun akhirnya aku berubah jadi pemilik
kedai minum di dusun yang sepi dan terpencil ini, setiap hari
aku minum arak buatanku sendiri, senang dan bebas juga
kehidupanku disini."
"Demi keluargaku sampai Khu-lopek kehilangan jabatan
dan masa depan yang gemilang, meski kau menanam budi
491 tanpa pikirkan balasannya, betapapun Wanpwe merasa rikuh
dan hutang budi."
Khu Ti mengerutkan kening, katanya: "Kenapa kau bicara
demikian, masa depan apa segala, hidup dalam kalangan
pemerintahan yang serba kotor itu, memangnya bisa
mengembangkan bakat, pambek dan cita-citaku" Melakukan
kerja yang melanggar hukum Tuhan" Memang sejak lama aku
sudah ingin meletakkan jabatan. Kehidupan sekarang yang
kurasakan ini, ternyata jauh lebih menyenangkan, bebas dan
wajar dari pada menjadi perwira Gi-lim-kun. Hanya satu yang
masih kusesalkan, aku tidak sempat pamitan kepada In Jong.
Malam itu juga secara diam-diam aku meninggalkan kota
raja." "Sayang sekali kehidupan serba sederhana dan bebas ini
hari menjadi berantakan pula lantaran diriku."
"Kau tidak usah menguatirkan diriku, walau aku tidak
membuka warung minuman, arak bikinanku sendiri setiap hari
tetap bisa kuminum dan kujual."
Lain katanya lebih lanjut: "Sejak itu tak pernah aku
bertemu dengan In Jong. Tapi diluar dugaanku, belum ada
setengah tahun, aku malah bertemu dengan kakekmu."
Seperti sedang mengingat-ingat kejadian masa lalu,
beruntun dia menghabiskan tiga cangkir lagi, baru
meneruskan ceritanya: "Belum lama setelah aku membuka
kedai minum ini, hari itu datang tiga tamu yang bicara dengan
logat daerah lain, mereka minta arak, selintas pandang lantas
aku mengenali kakekmu. Waktu di hotel dulu aku tidak sempat
melihat wajahnya, tapi dia memanggul harpanya itu. Dua
pengikutnya adalah sepasang suami istri yang masih muda,
merekapun membawa peralatan musik. Adik cilik, entah kau
tahu tidak bahwa ibu kandungmu sebenarnya juga seorang
ahli musik yang pandai memetik harpa. Dan kau, dulu
sebetulnya pernah kemari, cuma kau tak tahu."
492 Tan Ciok-sing melenggong, katanya: "Dua puluh tahun
yang lalu, akukan belum lahir,"
"Betul, kau memang belum lahir, tapi kau sudah berada
dalam kandungan ibumu."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Betul, usiaku tahun ini
memang sembilan belas."
"Hari itu, mereka datang bersama dan minta arak, aku
betul-betul dibuat kaget."
"Kenapa?"
"Kakek dan ayahmu kelihatan kurus, pucat dan lesu aku
dapat melihat keadaan mereka, ayahmu malah terluka dalam
yang cukup parah. Demikian pula ibumu sudah mengandung
tiga bulan, wajahnya juga kelihatan berpenyakitan."
Sedih hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Mereka diburu-buru
oleh menteri dorna itu, meski dunia ini cukup luas, tapi
mereka pasti kehilangan akal dan tak tahu kemana mereka
harus menyingkir, adalah jamak kalau mereka patah semangat
dan putus asa, badan sehat dan kekarpun akhirnya pasti jatuh
sakit karena kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat, hati
selalu was-was lagi. Ai, tak nyana sebelum aku lahir, ayah
bunda ternyata sudah harus menderita sedemikian rupa."
"Adik cilik, rakyat jelata masa itu, memangnya siapa yang
tidak merasa ditindas oleh kaum penguasa, kejadian sudah
berselang dua puluh tahun, kau tidak perlu bersedih
karenanya," setelah menghela napas panjang, kembali dia
menuang secawan penuh lalu ditenggak habis, katanya pula:
"Aku silakan mereka duduk, dalam hati diam-diam aku
menjadi bimbang, apakah perlu aku memperkenalkan diri dan
menjelaskan duduk persoalannya" Tak kira sebelum aku
sempat bicara, ternyata kakekmu sudah mengenali siapa aku
ini." 493 Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Malam itu kakek kan
tidak melihatmu, dari mana dia bisa tahu akan dirimu?"
"Dari seorang perwira Gi-lim-kun aku berubah jadi menjual
minuman, adalah jamak kalau aku sering petingkah. Waktu
aku membuka kedai ini, aku sendiri menulis sebuah syair dari
pujangga Liok Yu untuk hiasan tempel dinding."
Tan Ciok-sing lantas tahu, katanya: "P, kakek mengenali
gaya tulisanmu?"
"Betul, pandangan kakekmu ternyata tajam dan liehay,
surat peringatan yang kutulis itu selama ini dia simpan baikbaik,
padahal berapa huruf saja surat peringatan itu, namun
dia sudah begitu paham dan mengenal gaya tulisanku. Setelah
asal-usul diriku terbongkar, terpaksa aku mengaku terus
terang." "Waktu di kota raja malam itu, hakikatnya kami tidak
pernah bertemu, baru sekarang kami berkenalan secara akrab.
Begitu kenal seperti sahabat lama saja layaknya, kami terus
mengobrol panjang lebar."
"Dalam percakapan itu baru aku tahu, ternyata kakekmu
sekeluarga, bukan saja tak kuasa tinggal di kota raja karena
diburu oleh Ong Ceng, ingin kelana di Kangouw juga selalu
mengalami kesukaran, dua hari sebelumnya, mereka kepergok
pula oleh anak buah Ong Ceng yang masih terus mengejarngejar
mereka." "Jadi ayahku terluka dalam karena bertempur melawan
anak buah Ong Ceng," ucap Tan Ciok-sing.
"Untung mereka bukan kepergok jagoan Kim-ih-wi, dia
hendak membekuk kakekmu, ayahmu segera melabraknya,
akhirnya dia terluka, tapi musuh dapat digebah pergi. Tapi
karena peristiwa ini ibumu kaget dan jatuh sakit. Sebetulnya
ingin aku menahan mereka untuk menetap beberapa hari,
setelah kesehatan pulih baru berangkat pula. Tapi mereka
kuatir bila anak buah Ong Ceng memburu datang pula,
494 apapun mereka tidak mau membuat susah aku lagi, maka hari
itu kami hanya makan minum sepuasnya, sebelum berpisah
kakekmu memetikkan sebuah lagu untukku."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Tak heran ayah
bunda meninggal di masa muda, kiranya gara-gara Ong Ceng
si durjana itu penyebabnya."
"Setelah peristiwa To-bok-po, tak lama kemudian Ong Ceng
sendiri juga mampus. Mungkin karena kejadian sudah lama
berselang, maka kakekmu tidak pernah menyinggung soal ini
terhadapmu."
"Sayang menteri dorna itu sudah lama mati, aku tidak bisa
menuntut balas sakit hati orang tua dengan tanganku sendiri.
Lalu bagaimana dengan Ciang Thi-hu?"
"Sampai sekarang Ciang Thi-hu masih hidup. Tapi konon
dia sudah berganti seorang majikan lain. Majikannya yang
sekarang adalah Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong."
Tan Ciok-sing berkata geram: "Liong-kongcu yang datang
barusan, bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong.
Sayang kali ini dia hanya membawa Huwan bersaudara,
mending kalau Ciang Thi-hu."
Khu Ti menghela napas, katanya: "Orang baik di dunia ini
takkan habis dibunuh, orang jahatpun takkan habis
diberantas. Adalah pantas kalau selanjutnya kau berkelana
sambil mendarma baktikan dirimu bagi kepentingan umum,
jangan selalu kau dirundung sakit hati orang tuamu melulu. Ai,
pamor kerajaan yang semakin guram, pemerintahan yang
kacau balau ini, tak ubahnya seperti dua puluh tahun yang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu?" setelah menghela napas, dia melanjutkan: "Sebelum
kakekmu pergi, diapun pernah menulis sebuah syair sebagai
kenang-kenangan, apa kau mau melihatnya?"
"Dimana?" tanya Tan Ciok-sing.
495 Maka Khu Ti menurunkan sebuah lembar kain sutra yang
sudah luntur warnanya, di atas kain sutra ini bertuliskan syairsyair
Liok Yu yang lain pula, gayanya kuat tulisannya tegas
Tan Ciok-sing kenal betul akan tulisan kakeknya ini.
Khu Ti berkata: "Waktu itu kakekmu sudah terpengaruh
oleh air kata-kata, pernah ia menyatakan ingin mencari suatu
tempat untuk mengasingkan diri, seperti makna dalam syair
Liok Yu ini, bahwa akhirnya dia bersemayam di bawah Citsing-
giam, agaknya sudah terlaksana juga keinginannya,"
sampai disini dia lantas tanya, "Tan-siheng, ada sebuah hal
yang masih belum jelas bagiku, mohon penjelasanmu."
"Lopek tak usah sungkan, entah soal apa yang ingin kau
tanyakan?"
"Ilmu pedangmu amat liehay dan menakjubkan. Agaknya
bukan ajaran keluarga bukan?"
"Ilmu pedangku memang kupelajari dari seorang guru ahli,
pujian paman tak berani kuterima."
"Belakangan In Jong juga meletakkan jabatan
mengasingkan diri, entah dia pernah bertemu dengan
kakekmu tidak?"
"Seingatku, mereka tak pernah bertemu," demikian sahut
Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin: "In Tayhiap In Hou
adalah putra In Jong, kematian kakek justru disebabkan oleh
In Hou." Seperti ada sesuatu yang dipikirkan sesaat lamanya baru
Khu Ti berkata pula: "Aneh kalau begitu."
"Soal apa yang paman rasakan aneh?"
"Entah betul tidak rabaanku, ilmu pedangmu itu bukankah
kau pelajari dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong" Thio Tayhiap
adalah adik ipar In-conggoan aku pernah menyaksikan ilmu
pedangnya itu."
496 "Pandangan Lopek memang jitu aku memang mendapat
pelajaran dari Thio Tayhiap."
"Ha, jadi Thio Tayhiap masih hidup?" tanya Khu Ti
terbelalak girang.
"Suhu sudah meninggal bertepatan dengan
pengangkatanku sebagai muridnya," lalu Tan Ciok-sing
menceritakan kematian In Hou dan Thio Tan-hong serta
pesan-pesan mereka kepada dirinya.
Khu Ti menenggak pula secangkir arak katanya: "Dulu In
Jong tidak kenal kakekmu demi menolong kakekmu dia rela
mengorbankan kedudukan melawan menteri dorna yang
berkuasa, kakekmu juga tidak kenal putranya In Jong, tapi
sama-sama pula demi orang yanq tidak dikenalnya rela
berkorban sehingga keluarga hancur berantakan. Walau tidak
berhasil menolong orang tapi jiwa patriot dan keperkasaan
mereka patut dipuji."
"Khu-lopek, kau sendiri juga seorang lain yang tidak tahu
apa-apa ikut terjerumus kedalam pertikaian ini, sepak
terjangmu yang gagah dan budiman ini, Wanpwe patut kagum
dan memujamu. Bukan lantaran paman pernah menanam budi
untuk keluargaku baru Wanpwe bilang demikian."
"Memangnya kau sendiri tidak demikian?" ujar Khu Ti
tertawa. "Kau membantu kesulitan yang menimpa keluarga In,
sebelum ini kau kan tidak tahu bahwa In Jong pernah
menanam budi keluargamu. Hehehe, kalau dibicarakan lebih
jauh, jadi saling mengumpak belaka. Hayo minum, minum."
"Aku sudah tak kuat minum. Waktu amat berharga, aku
harus segera melanjutkan perjalanan."
"Tunggu lagi sebentar. Aku ingin mencari tahu seseorang
padamu." "Siapa?"
497 "It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah penduduk Kwi-lin,
tentunya kau tahu?"
"Tahu Kakek pernah punya hubungan cukup baik dengan
dia. Apa Khu-lopek kenal dia?"
"Sudah lama kukenal namanya, tapi belum pernah ketemu.
Tapi aku tahu dia seorang gagah yang suka royal merogoh
kantong, maka aku merasa sedikit heran."
"Apa yang mengherankan?"
"Tadi kau bilang kakekmu berhubungan baik dengan dia,
kini baru kuingat, dulu kakekmu bilang tidak mau mencari
perlindungan pada keluarga Toan di Tayli, dia lebih percaya
pada kawan-kawan Kangouw, kawan yang dia maksud
mungkin adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap. Waktu kalian
kebentur peristiwa yang menimpa In Hou itu, kenapa kalian
tidak minta pertolongannya?"
Tawar jawaban Tan Ciok-sing: "Mungkin kakek tidak ingin
merembet orang lain."
"Bicara soal Lui Tayhiap, aku jadi ingat akan janjiku yang
belum terlaksana dulu, selama ini amat gegetun menyesal
sekali." "Bukankah Khu-lopek tidak pernah mengenalnya?"
"Betul, aku memang tidak pernah bertemu muka dengan
dia, tapi pernah aku berjanji untuk membantu sesuatu hal
baginya, selama ini belum bisa aku menepati janjiku itu."
"Maaf kalau Siautit kurang hormat, mohon tanya soal
apakah itu?"
"Dua puluh tahun yang lalu, waktu itu Lui Tin-gak belum
lama keluar kandang, di kalangan Kangouw dia masih
terhitung angkatan muda. Sudah tentu niasa itu diapun belum
memperoleh julukan It-cu-king-thian. Pada suatu ketika dia
pernah membantu Kim-to Cecu Ciu Kian (ayah Ciu San-bin,
498 Kim-to Cecu yang sekarang) menghadang serbuan pasukan
Watsu menjaga sebuah selat penting, seluruh laskar rakyat
berjuang bersamanya semuanya gugur, seorang diri dengan
golok emas dia membunuh delapan belas busu musuh, terus
bertahan sampai titik darah penghabisan, sehingga bala
bantuanpun tiba sehingga musuh berhasil dipukul mundur,
sejak itulah dia terangkat namanya. Julukan (t-cu-king-thian
pun dia peroleh sejak pertempuran besar itu."
"O, kiranya demikian. Semula kukira hanya memujikan
dirinya ibarat Tok-siu-hong yang terkenal di daerah Kwi-lin
itu." "Boleh juga dikata demikian. Sejak dia berdiam di Kwi-lin,
karena kedermawanannya tidak sedikit orang-orang yang tak
kuasa berdiam pula di Tionggoan dan lari di Kwi-lin mendapat
perlindungannya, maka tidak sedikit pula yang berpandangan
sepertimu tadi menjulukinya It-cu-king-thian. Tapi asal mula
julukan itu sendiri jelas dari pertempuran besar melawan
pasukan Watsu itu.
"Kira-kira tiga bulan setelah pertempuran besar itu, aku
memperoleh tugas untuk menyelesaikan urusan dinas di
Tan?tong karena selama ini aku amat mengagumi Kim-to
Cecu, setelah aku menunaikan tugas dinasku secara diamdiam
aku lari ke Gan-bun-koan menemuinya. Hubungan In
Jong amat intim dengan Kim-to Cecu, dari In Jong Kim-to
Cecu sudah tahu akan diriku meski baru pertama kali bertemu
hubungan kami sudah seperti saudara lama, tiada persoalan
yang tidak menjadi topik pembicaraan kami.
"Waktu itu Lui Tin-gak sudah lama meninggalkan markas
Kim-to Cecu, tak urung kami memperbincangkan soal dirinya
juga. Kim-to Cecu bilang Lui Tin-gak punya sesuatu keinginan
dia mengharap suatu ketika dapat berkenalan dengan Thio
Tan-hong yang memperoleh gelar jago pedang nomor satu di
dunia. Dia tidak berani mengharapkan Thio Tan-hong sudi
499 menerimanya sebagai murid dia hanya ingin mohon sedikit
petunjuk beberapa jurus ilmu pedang dari Thio Tan-hong."
"Setelah mendengar hal ini aku lantas bilang kepada Kim-to
Cecu, bahwa cita-citanya yang luhur ini, kemungkinan aku
bisa membantu dia. Waktu itu aku berpikir begini, Thio Tanhong
adalah suami dari adik perempuan In Jong, mengingat
hubungan baikku dengan In Jong, mohon bantuannya supaya
dia membantu kemungkinan bisa memohon pada Thio Tanhong
untuk menerimanya sebagai murid."
"Tak kira setiba aku di kota raja dan menemui In Jong,
baru tahu bahwa Thio Tan-hong sudah menghilangkan
jejaknya di Kangouw. In Jong sendiri juga tidak tahu dimana
sekarang Thio Tan-hong berada.
Walau aku tidak pernah berjanji kepada Lui Tin-gak secara
langsung, tapi aku sendiri pernah berjanji kepada Kim-to Cecu
sampai sekarang aku belum bisa melaksanakan janjiku itu,
maka terasa olehku masih merasa hutang terhadap It-cu-kingthian,"
sampai disini Khu Ti menenggak habis secawan arak
terakhir katanya: "Lote, aku mohon bantuanmu."
Tan Ciok-sing sudah dapat meraba beberapa bagian tapi
dia tetap berkata: "Lopeh adalah tuan penolong keluargaku,
adakah sesuatu tugas yang perlu Siautit lakukan, boleh
silahkan perintahkan saja. Kalau Lopeh main sungkan. Siautit
jadi rikuh dan tak enak memikulnya."
"Kelak bila kau bertemu dengan It-cu-king-thian sukalah
kau mendemontrasikan ilmu pedang ajaran Thio Tan-hong ini
di hadapannya, supaya keinginannya itu terkabul."
Kakek Tan Ciok-sing adalah sahabat baik It-cu-king-thian,
tapi Tan Ciok-sing sendiri, hakikatnya tidak pernah kenal dan
tidak tahu liku-liku kehidupannya. Kini setelah mendengar
kisah masa lalu It-cu-king-thian dari Khu Ti, hatinya jadi
bingung, pikirannya ruwet: "Ternyata dia pernah berjuang
500 berdampingan dengan Kim-to Cecu, seorang pahlawan bangsa
yang patriotik lagi, mungkin aku salah mencurigainya. Tapi
hati manusia siapa bisa menduga, seorang gagah atau
pahlawanpun mungkin saja melakukan kesalahan. Sesuai apa
yang diceritakan paman Khu, Lui Tin-gak gemar belajar silat,
cita-citanya yang terbesar adalah memperoleh ajaran ilmu
pedang suhu. Kejadian itu bukan mustahil lantaran dia tahu
bahwa ln Hou membawa Kiam-boh karya Suhu sementara In
Tayhiap menyembuhkan luka-lukanya di rumahku, karena
ingin merebut Kiam-boh maka mengatur tipu daya sehingga
kakekpun ikut menjadi korban" Biarlah aku menyelidiki soal ini
lebih dulu, kalau betul dia adalah musuhku, akan kutantang
dia berduel setelah kukembangkan pelajaran ilmu pedang
Suhu di hadapannya baru kubunuh dia, berarti aku telah
menunaikan permintaan paman Khu."
Khu Ti menggulung kain centel yang bertulisan syair-syair
Liok Yu itu terus diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya:
"Seguci arak terakhir telah habis kuminum tiada sesuatu
benda dalam kedai ini yang perlu kubawa lagi. Setelah
kuserahkan padamu, aku boleh pergi dengan lega hati."
Mereka beranjak keluar bersama, Tan Ciok-sing bersiul
panjang, lekas sekali kuda putih itu sudah berlari mendatangi.
Khu Ti memuji: "Kudamu ini bagus sekali, cerdik pula."
"Kemana selanjutnya paman akan mengasingkan diri,
semoga Siautit masih ada kesempatan mohon petunjukmu."
"Di belakang gunung aku membangun sebuah gubuk,
semoga aku dapat melewatkan sisa hidupku ini di tengah
lebatnya awan."
Segera Tan Ciok-sing menjatuhkan diri menyembah
berulang kali setelah pamitan cemplak kuda putih terus
melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan tiada kejadian apa-apa, tujuh hari
kemudian dia sudah memasuki propinsi Kwi-siu, hari itu dia
501 memasuki sebuah kota kecil, pemandangan kota seperti sudah
amat dikenalnya, ternyata di sinilah letak kampung halaman
Liong Seng-bu, waktu pertama kali dia datang dulu, pernah
bentrok dengan kawanan penjahat hampir saja dia terlantar di
perantauan, untung waktu itu dia bertemu dengan Liong
Seng-bu. Waktu hari sudah malam, sebetulnya Tan Ciok-sing tidak
ingin menginap di kota ini, terpaksa dia mencari hotel. Liong
Seng-bu keparat itu masih ada di Tay-tong, kukira tidak akan
terjadi kesulitan atas diriku, apa salahnya kalau aku pergi ke
tempat dulu yang pernah kudatangi, coba apa mereka masih
mengenalku!" demikian pikir Tan Ciok-sing.
Dia menginap di hotel dimana dulu dia menginap, pemilik
hotel ternyata masih mengenalnya. Begitu melihat
kedatangannya, sekilas pemilik hotel melongo tapi lekas sekali
dia sudah berseri tawa sambil menyambut dengan mundukmunduk:
"Bukankah kau Tan-siangkong yang tahun lalu
menginap di hotel kami" Angin apa yang meniupmu kemari,
sungguh tamu agung, silahkan, silahkan," seperti ketiban
rejeki dari langit saja, sikap hormatnya yang berkelebihan ini
membikin Tan Ciok-sing merasa risi malah.
Tan Ciok-sing yang sekarang sudah tentu jauh berbeda
dengan empat tahun yang lalu, naiknya kuda jempolan, meski
pakaian yang dia kenakan tidak mewah, warnanya masih baru
dan model mutahir lagi, tapi perubahan sikap dan pelayanan
pemilik hotel ini justru jauh lebih berbeda dari dulu, ini
sungguh membuatnya heran dan diluar dugaan. Diam-diam
dia tertawa geli dan merasa kasihan pula, katanya: "Terima
kasih, ternyata kau masih ingat diriku, apa kau tidak kuatir
aku tak mampu membayar rekeningku."
Kikuk dan menyengir kuda pemilik hotel, katanya tersipusipu:
"Beruntung Tan-siangkong sudi mampir pula,
memohonpun belum tentu dapat diterima. Semoga Tansiangkong
mengizinkan kami menyuguhkan hidangan yang
502 paling kami banggakan, berapa lama Siangkong suka menetap
disini, boleh tak usah bicara soal rekening segala."
"Lha, kan aku ini jadi buaya yang suka makan tidur gratis"
Mana boleh?"
"Ah, mungkin pelayanan kami tidak memuaskan sehingga
Siangkong marah. Terserahlah berapa Siangkong suka bayar."
Dasar anak pegunungan, Tan Ciok-sing tidak suka main
nakal, maka dia berkata: "Baiklah, berikan sebuah kamar yang
bersih pendek kata aku tidak akan makan minum gratis."
Pemilik hotel mengiakan munduk, segera dia bawa Tan
Ciok-sing ke sebuah kamar, katanya: "Inilah kamar kelas satu
yang paling baik dari hotel kami, entah mencocoki selera Tansiangkong?"


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Tak ada urusan lagi untukmu, kau boleh keluar."
Tapi pemilik hotel tidak segera berlalu, katanya malu-malu:
"Tan-siangkong maaf kalau hamba cerewet, mohon tanya
apakah Siangkong pulang sendirian?"
Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Kau kira dengan siapa
aku akan kembali?"
"Waktu Siangkong menginap di hotel kami tahun lalu, maaf
kalau kami punya mata tidak bisa membedakan orang, kami
tidak tahu kalau kau adalah sahabat Liong-kongcu. Sejak hari
itu Liong-kongcu meninggalkan desa bersamamu, sampai
sekarang belum pulang. Kami duga, dalam dua hari ini dia
pasti sudah kembali."
"Oo, kau kira aku pulang bersama Liong-kongcu.
Bagaimana kau bisa menerka kalau dalam dua hari ini dia
bakal pulang?" tanya Tan Ciok-sing.
Pemilik hotel agaknya jadi heran, katanya: "Apakah Tansiangkong
belum tahu bahwa Liong-tetok Liong-lotayjin
sedang cuti dan kembali ke kampung halaman?"
503 Selama beberapa tahun ini pengalaman dan pengetahuan
Tan Ciok-sing sudah banyak maju maka dengan tawar dia
berkata: "O, kiranya Liong-tayjin sedang cuti, aku tidak
menduga kalau dia sudah tiba di kampung halaman. Kira-kira
setengah bulan yang baru lalu aku bertemu dengan Liongkongcu,
jadi belum tahu bahwa pamannya sudah
meninggalkan kota raja."
Berkata pemilik hotel setelah berpikir sejenak: "Konon
karena bahaya Tay-tong sudah lenyap maka Liong-tayjin
sengaja pulang ke desa untuk membersihkan pusara
leluhurnya. Tan-siangkong kau adalah teman baik keponakan
Liong-tayjin, perlukah kuutus orang pergi ke rumah keluarga
Liong." "Kalau aku mau mencari Liong-tayjin, aku akan pergi
sendiri," demikian tukas Tan Ciok-sing, "tak usah kau
mencapaikan diri," sampai disini dia merogoh keluar dua butir
kacang emas dan berkata pula: "Malam ini aku ingin tidur
sepuasku, jangan ada siapapun yang mengganggu aku.
Jikalau ada orang mencari tentang diriku, jangan kau katakan
kalau aku ada disini."
Setelah menerima pembayaran kedua butir kacang emas,
sudah tentu pemilik hotel kesenangan, usaha Tan Ciok-sing
membungkam mulutnya memang berhasil, sementara pemilik
hotel sendiri memang juga tidak ingin mencampuri urusan
orang lain. Setelah mandi dan makan malam, Tan Ciok-sing lantas
tutup pintu kamarnya. Kuatir sesuatu terjadi, dia tidak berani
tidur. Kira?kira kentongan kedua didengarnya derap lari kuda
berhenti di depan pintu hotel. Ban Liong-tin yang kecil ini
penduduknya tidak banyak, bukan kota penting yang menjadi
pusat perdagangan lagi, penduduknya serba sederhana saja,
begitu petang mendatang semua lantas tutup pintu, tapi
malam sudah selarut ini siapa pula yang datang ke kota kecil
ini" Demikian batin Tan Ciok-sing. Kamar yang di tempati
504 kebetulan membelakangi sebuah taman, maka, pembicaraan
orang di ruang tamu luar tak bisa didengarnya, namun diamdiam
dia bersiaga. Tapi tak lama kemudian, derap lari kuda terdengar pula,
ternyata tamu penunggang kuda itu sudah pergi puia, hal ini
betul-betul diluar dugaannya, agaknya sang tamu hanya
bertanya beberapa patah kata saja dengan pemilik hotel.
Karuan Tan Ciok-sing keheranan, di saat dia kebingungan,
didengarnya pintunya diketuk dari luar, suara pemilik hotel
berkata: "Tan-siangkong tolong buka pintu."
Begitu Tan Ciok-sing membuka pintu, pemilik hotel berkata:
"Maaf aku mengganggu, kulihat masih ada sinar pelita dalam
kamar, kukira Tan-siangkong belum tidur, maka berani aku
mengetuk pintu."
"Apa ada urusan?" tanya Tan Ciok-sing.
"Ingin kulaporkan suatu hal. Memang seperti yang diduga
Siangkong, tadi ada seorang yang mencari tahu tentang diri
Siangkong."
"Siapa dia?"
"Logatnya luar daerah, seorang asing yang belum pernah
kulihat." "Orang luar daerah?"
"Betul, aku jadi heran, semula kukira utusan keluarga Liong
yang hendak menjemputmu. Tapi aku yakin orang yang dia
cari pasti Siangkong adanya."
"Bagaimana bentuk dan wajah orang itu, apa dia menyebut
namanya?" "Seorang pemuda sebaya dengan Siangkong, dia tidak
memberitahu namanya. Tapi kuda putih yang dia naiki itu, eh
aneh juga kalau dikatakan, kudanya itu mirip sekali dengan
kuda tunggangan Siangkong."
505 Tan Ciok-sing terperanjat, serunya: "masa begitu
kebetulan?"
"Dia tanya padaku, adakah tamu she Tan yang sebaya
dengan dia, menunggang kuda putih yang menginap di
hotelku" Dia bilang hendak mencari temannya itu."
"Bagaimana kau menjawab?"
"Semula aku jadi serba susah, jikalau dia betul-betul
temanmu, kalau aku tidak bicara sejujurnya, mungkin kau
akan menyalahkan aku."
"Kan sudah kupesan padamu, peduli siapa yang datang,
malam ini aku takkan menemuinya. Maka jangan kau katakan
kalau aku menetap disini."
Mendengar ini pemilik hotel lega dan bersyukur bahwa apa
yang dilakukan memang betul, lekas dia bersikap mengumpak,
katanya sembari tawa: "Memangnya, mana aku melupakan
pesanmu. Maka..."
"Maka kenapa?" tanya Tan Ciok-sing dalam hati dia merasa
was-was. "Maka kukatakan padanya bukan saja aku tidak pernah
melihat orang yang dia cari, juga kukatakan hotel kami sudah
penuh, sehingga dia tidak jadi menginap disini. Entah betul
tidak tindakanku ini?"
"Bagus, tindakanmu memang tepat," lalu dirogohnya dua
butir kacang emas pula, "nah uang ini untuk persen jasamu."
Dengan cengar-cengir pemilik hotel berkata: "Ah, rikuh
juga untuk menerimanya," tapi mulut-bicara tangan sudah
disodorkan untuk menerima kedua butir kacang emas itu,
"Siangkong masih ada pesan lainnya?"
"Kuingat dalam kota ini ada dua hotel bukan?"
"Betul- Ingatan siangkong memang tajam. Masih ada
sebuah lagi adalah Hun-lay-khek-tiam, letaknya di pojokan
506 jalan di seberang sana. Siangkong apakah kau ingin mencari
tahu siapa pemuda tadi, besok pagi bisa kucari tahu pada
pemilik hotel Hun-lay, mungkin dia menginap disana."
Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya: "Tidak jangan kau
lakukan itu."
"Baiklah, silahkan Siangkong istirahat, aku mohon diri."
Setelah pemilik hotel pergi, Tan Ciong-sing menutup pintu
kamarnya. Hatinya menjadi bingung dan resah. Siapakah
pemuda dengan logat luar daerah, menunggang kuda putih"
Kalau di mulut pemilik hotel pemuda itu dianggapnya 'asing'
tapi dalam benak Tan Ciok-sing sudah terbayang bentuk
wajah seseorang yang sudah amat dikenalnya baik. Bentuk
wajah In San yang menyamar jadi laki-laki.
Pelan-pelan dia membuka daun jendela, bulan sabit
bergantung di atas langit, sinarnya redup, bintang kelap-kelip
tersebar tidak menentu. Kini sudah mendekati kentongan
ketiga. Cuaca seperti ini memang mencocoki selera orang
untuk berjalan malam.
"Biar aku pergi menengoknya, apakah dia In San adanya?"
tak kuasa Tan Ciok-sing menahan gejolak hatinya, akhirnya
dia berpakaian ketat, terus berangkat.
"Kalau betul In San, lalu bagaimana baiknya" Ai, cukup asal
aku melihatnya sekali saja, lebih baik kalau dia tidak sampai
melihatku," hati Tan Ciok-sing gundah pikiran ruwet, sulit dia
berkeputusan, dalam keadaan apa boleh buat ini, sementara
dia tidak berkesimpulan, biarlah bekerja melihat gelagat saja.
Di bawah cahaya bulan yang remang, diam-diam dia
ngeluyur keluar hotel, segera dia kembangkan ginkang
langsung lari menuju ke hotel yang lain di pojok jalanan sana.
Baru saja dia tiba di pengkolan jalan di seberang hotel,
tiba-tiba didengarnya suara lambaian pakaian orang, sebagai
seorang yang sudah berpengalaman, sekali dengar Tan CiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
507 sing lantas tahu banwa seorang pejalan malam segeia akan
muncul. Lekas dia sembunyi ke tempat gelap, tapi pejalan
malam itu tidak melihat dirinya. Kesiur angin lekas sekali
berkelebat di atas kepalanya. Gerakan pejalan kaki ini ternyata
sebat dan enteng sekali, hanya sekejap saja dia sudah
melayang jauh melampaui beberapa wuwungan rumah
penduduk. Namun dalam sekejap itu Tan Ciok-sing yang bermata jeli
sudah melihat jelas. Walau dia tidak melihat wajah orang, tapi
dari bayangan punggung orang, Tan Ciok-sing yakin dia bukan
lain adalah In San yang menyamar laki-laki. Hampir saja Tan
Ciok-sing menjerit tertahan, untung dia sempat mengerem
suaranya. "Aneh," demikian pikirnya, "kenapa dia lari ke hotel
tempatku menginap itu" Memangnya dia tidak percaya
jawaban pemilik hotel, aku kemari mencarinya, diapun kesana
mencariku?"
Maka secara diam-diam Tan Ciok-sing lantas menguntitnya,
ginkangnya jauh lebih tinggi dari In San, jaraknya
dipertahankan seratusan langkah maka In San tidak tahu dan
tidak menyadari bahwa dirinya dibuntuti. Setiba di hotel
dimana Tan Ciok-sing menginap, In San lantas berhenti, Tan
Ciok-sing kira orang akan melompat masuk, t."k kira hanya
berhenti sebentar, tiba-tiba dia angkat langkah pula berlari
lebih kencang, ke arah depan.
Hal ini betul-betul berada diluar dugaan Tan Ciok-sing pula.
"Kemana dia mau pergi?" waktu dia mendongak, rembulan
sudah bercokol di tengah langit, sementara bayangan In San
sudah jauh ratusan langkah di depan. Tergerak hati Tan Cioksing,
tiba-tiba dia teringat: "Bukankah rumah keluarga Liong
terletak di sebelah barat kota ini?" dan In San kini jelas berlari
ke arah barat. Yang satu berlari kencang mengejar waktu, yang lain
menguntit dengan ketat, tanpa terasa keduanya sudah keluar
kota, akhirnya tiba di bawah sebuah bukit. Di bawah
508 keremangan cahaya rembulan, tampak pagar tembok yang
berliku-liku di kejauhan depan sana, memang itulah bentuk
bangunan rumah keluarga Liong seperti yang pernah
dilukiskan oleh pemilik hotel.
Baru sekarang Tan Ciok-sing mengerti, kiranya tujuan In
San ke rumah keluarga Liong.
"Pulangnya Liong Bun-kong ke kampung halaman pasti
merupakan berita besar untuk kota kecil ini In San tentu
sudah mendapat tahu dari berita orang di hotelnya. Liong
Bun-kong adalah musuh besarnya, tak heran kalau dia
meluruk kemari hendak menuntut balas," demikian batin Tan
Ciok.sing. "Sebagai Kiu-bun-te-tok, betapa banyak jago kosen
Liong Bun-kong" Seorang diri nona In hendak menutut balas,
apakah dia tidak terlalu-menyepelekan kekuatan lawan?"
tengah dia mereka-reka dilihatnya dari arah hutan lebat sana
tiba-tiba muncul sesosok bayangan kebetulan mencegat jalan
In San, kontan dia ulur cakar tangannya terus mencengkram
pundak. Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah mempercepat
langkahnya, lalu sembunyi di balik pohon tak jauh di belakang
In San, begitu melihat orang itu melancarkan Kim-na-jiu-hoat,
dia tahu meski In San tidak bakal kalah, tapi orang itu akan
melibatnya cukup lama juga, bukan mustahil jejak kedatangan
In San bisa konangan. Maka timbul keinginan Tan Ciok-sing
untuk membantu secara diam-diam, sekenanya dia meraih ke
tanah menjemput sebutir krikil terus dijentik ke depan.
Orang itu ternyata terlalu membanggakan kepandaiannya,,
dia kira sekali cengkram lawan pasti berhasil dibekuknya. Dia
pikir dengan berhasil membekuk mata-mata musuh, setelah
dikompres baru diserahkan pada majikan, supaya pahalanya
tidak direbut orang lain, maka dia diam saja tidak bersuara
memanggil teman.
Tak nyana cengkramannya meleset, tahu-tahu golok In San
sudah mengancam mukanya, cahaya golok yang kemilau
509 menyilaukan matanya, tapi kepandaian orang ini memang
lumayan juga, dalam keadaan kritis ini, lekas dia menekuk
pinggang sambil membungkuk seperti petani yang bercocok
tanam di tengah ladang, cuma gerakannya terbalik ke
belakang sehingga mirip jembatan besi, secara kekerasan dia
hindarkan dirinya dari bacokan golok, terpaut serambut
hidungnya terpapas hilang. Sebat sekali kaki orang ini kembali
berkisar serta menendang, begitu golok lawan berkelebat
tubuhnyapun sudah melejit, ujung kakinya tahu-tahu
menggantil berbareng sebelah tangannya menjojoh ketiak kiri
In San dari arah yang tak terduga.
Kepalan lawan belum lagi mengenai tubuh In San, demikian
pula golok In San juga belum membelah tubuh orang itu, tibatiba
tubuh orang itu sempoyongan dan "Bluk" jatuh
tersungkur. Kuatir orang main tipu, kontan In San layangkan kakinya,
tanpa bersuara lagi orang itu terguling, tak bangun lagi. Sudah
tentu In San menjadi heran dan curiga, pikirnya: "Menilai
kepandaian orang ini, kenapa pada detik yang genting tadi
tahu-tahu bisa roboh sendiri?" dia tidak berani menyalakan api
untuk memeriksa keadaan orang, terpaksa dia tambahi sekali
tutukan pula, memangnya sudah semaput, ditutuk lagi sudah
tentu keadaan orang itu lebih parah lagi. Padahal tanpa
tutukannya ini jelas orang ini takkan mampu bergerak karena
terkena tutukan sambitan krikil Tan Ciok-sing, maka pada
detik-detik yang genting tadi tahu-tahu dia roboh tak berkutik.
Setelah memilih arah In San menggeremet maju lewat
kebon belakang, dilihatnya di depan pintu kebon ada dua


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang penjaga yang berjalan mondar-mandir, tapi kepandaian
kedua orang ini ternyata jauh lebih rendah dari seorang yang
tadi, tiba-tiba In San melompat keluar dari tempat
sembunyinya pada waktu yang tepat, di kala kedua orang
berjalan saling berhadapan, sekaligus dia gunakan kiri kanan
membentang gendewa, dengan gerakan secepat kilat
510 menyambar sehingga sang korban tak kuasa menutup telinga,
dia tutuk hiat-to kedua orang ini. Sebat sekali tanpa hiraukan
kedua korbannya dia melesat masuk laksana seekor burung
melampaui pagar tembok.
Setiba didalam baru In San insaf bahwa dirinya menilai
situasi di depannya terlalu ringan. Kebon bunga ini ternyata
luas dan besar sekali, gardu, bangunan loteng serta menara
pemandangan dibangun secara tersebar laksana pion-pion
catur entah berapa banyak" Bangunan didalam pagar ternyata
jumlahnya lebih banyak dan mentereng dibanding rumah
penduduk didalam kota. Karuan In San menghirup napas
dingin, di antara sekian banyak bangunan rumah hendak
mencari jejak seseorang, betapa sukarnya" Jikalau satu demi
satu menggeledahnya, mungkin tiga hari tiga malam juga
takkan selesai.
Di kala dia kebingungan dan tak tahu dari mana dia harus
mulai bekerja tiba-tiba didengarnya langkah kaki orang di
sebelah sana. Lekas In San sembunyi di belakang gununggunungan,
dilihatnya dua dayang cantik jelita yang membawa
keranjang sedang mendatangi.
Keranjang bambu itu ada tutupnya, dibuat oleh seorang
ahli kerajinan sehingga kelihatan bagus dan antik, biasanya
keranjang macam itu diperuntukkan mengisi makanan bagi
kaum bangsawan, agaknya dayang-dayang cantik ini malam
ini bertugas menyediakan sarapan tengah malam.
Terdengar seorang dayang berkata: "Jay-ci, bikin susah kau
saja. Terus terang, aku agak takut, begini besar kebon ini,
jauh lebih luas dari taman bunga kita di kota raja, siang hari
saja terasa seram, apa lagi malam hari bikin jantung orang
dak dik duk saja, kalau tidak ditemani, seorang diri aku takkan
berani mondar mandir disini."
Dayang yang dipanggil Jay-ci berkata: 'Kita kan kakak adik
sendiri, kenapa harus bicara sesungkan ini. Bukan mustahil
besok malam menjadi giliranku untuk menyediakan sarapan
511 malam seperti kau ini, memangnya aku tidak akan
menyeretmu ke mari juga?"
"Loya memang keterlaluan, tengah malam buta rata masih
minta dibuatkan kuah Jinsom segala, celaka adalah kaum
rendah seperti kita ini?"
Jay-ci itu menghela napas, katanya: "Siapa suruh kita
dilahirkan sebagai budak" Tapi Loya setiap malam harus
minum kuah Jinsom, ini memang ada sebabnya, apa kau
tahu?" "Sebab apa?"
Kebetulan kedua orang ini lewat di bawah gununggunungan,
Jay-ci berbisik: "Semula Hujin juga tinggal di
rumah tua ini, kedatangan Loya kali ini konon hendak
menjemputnya pulang ke kota raja," sampai disini temannya
itu menyeletuk: "Selamanya belum pernah aku melihat Hujin,
kabarnya sejak lima tahun yang lalu dia sudah pulang kesini,
apa betul?"
Jay-ci mengiakan.
Dayang yang satu berkata: "Kenapa setiba kita disini,
seluruh penghuni rumah ini tak ada seorangpun yang pernah
menyinggung Hujin" Sudah sekian lamanya, belum juga
pernah kulihat nyonya besar itu?"
Jay-ci berkata lirih: "Setengah bulan yang lalu, sebelum
Loya tiba disini, Hujin sudah meninggalkan rumah seorang
diri." Dayang itu kaget, katanya: "Jadi Hujin minggat?"
"Betul, maka tiada orang yang berani bicara soal ini."
"Kenapa Hujin minggat?"
"Mana aku tahu, kalau dia sudah minggat, tentu karena
persoalan yang memalukan."
512 Dayang itu tertawa dingin, jengeknya: "Siapa nyana kaum
bangsawan juga ada yang melakukan perbuatan yang
memalukan."
"Ssssstt. Jangan sembarang omong, kalau didengar orang,
celakalah kau."
"Tempat ini begini sepi mana ada orang" Penjaga malam
juga berada diluar sana."
"Lebih baik hati-hati, siapa tahu di balik dinding atau di
bawah semak-semak bunga sana ada orang pasang kuping,"
demikian kata Jay-ci, "karena kejadian minggatnya Hujin inilah
maka Loya amat marah dan jatuh sakit, kesehatannya jauh
menurun dibanding waktu di kota raja, malam tidak bisa tidur,
maka setiap malam kitalah yang harus menyiapkan kuah
Jinsom." Bahwa mendengar kedua dayang ini membicarakan ibunya,
sudah tentu tak karuan perasaan In San, tapi dia memperoleh
hasil diluar dugaan juga, kini dia yakin "Loya" yang dimaksud
dalam pembicaraan kedua dayang ini pasti adalah musuh
besarnya Liong Bun-kong.
Maka In San lantas melompat keluar, dia tutuk hiat-to Jayci
baru mencengkram kuduk dayang yang lain, tajam goloknya
yang kemilau dibuat ngancam di tenggorokan orang, katanya
mendesis rendah: "Berani kau berteriak, kugorok lehermu."
Saking ketakutan serasa arwah terbang, kaki si dayang
sampai lemas lunglai hampir tak kuat berdiri kalau tidak
dijinjing In San, tapi dia masih kuasa bersuara: "Boleh kau
membunuhku saja. Cuma mohon kau tidak melaporkan
diriku." -dia kira In San adalah penjaga malam dalam gedung
ini yang mencuri dengar pembicaraan mereka, kini dirinya
diringkus dan hendak diserahkan kepada Loya untuk terima
hukuman, derita siksaan yang cukup berat pernah dia
saksikan, maka dia pilih jalan pendek saja.
513 In San tahu watak dayang cilik ini lebih keras dan tegas
dari pada Jay-ci, diapun menaruh rasa dendam dan kurang
senang terhadap sang Loya, maka tak tega dia
menggertaknya, golok segera dia turunkan, katanya: "Bukan
aku ingin membunuhmu, aku hendak membunuh Loyamu itu."
Bukan main kaget si dayang, sekian lama dia melongo
mengawasi In San, tanpa kuasa mengeluarkan suara. In San
lantas berbisik di pinggir telinganya: "Jangan takut, kau tidak
akan kerembet. Tapi kau harus menunjukkan jalan, setiba di
tempat tinggal Loyamu, kau akan kubebaskan. Tidak jadi soal
kau agak terlambat membawa kuah Jinsom itu, supaya
Loyamu tidak curiga terhadapmu. Tapi kalau kau tetap hendak
melindungi Loyamu, tidak mau menunjukkan tempatnya,
terpaksa aku membunuhmu."
Bingung juga si dayang, akhirnya dia berkeputusan,
katanya mengertak gigi: "Kenapa aku harus melindungi Loya,
ayahku mati karena dia tekan dan dihajar sampai luka parah
karena tak kuat membayar pajak. Setelah ayah meninggal,
aku diseretnya kemari untuk melunasi hutang-hutang pajak
ayah. Baiklah, mari kutunjukkan tempatnya."
Jalanan didalam kebon berliku-liku dan berputar-putar kian
kemari, agaknya dayang ini sudah hapal betul akan seluk
beluk kebon besar ini, tanpa banyak mengeluarkan suara
mereka sudah tiba di bilangan kebon yang lain. Tampak
gunungan yang dibangun cukup besar terdiri dari batu-batu
karang lautan menjulang di depan sana, di sekeliling
gunungan dipagari batu-batu beraneka ragam, sehingga
bentuk bangunan gedung di sebelah dalam tidak kelihatan,
agaknya didalam kebon besar ini ada pula taman kembang
yang lain, setelah berada di sebelah dalam baru ketahuan
bahwa disini lain pula bentuk dan corak bangunannya.
Di tengah taman didalam kebon ini terdapat sebuah
bangunan gedung berloteng, di pojok sana, jendela yang
dihiasi kain paris tampak sinar lampu menyorot keluar. Tak
514 jauh di samping gedung berloteng tampak sepucuk pohon
besar menjulang tinggi ke angkasa, daunnya lebat, dahandahannya
yang bercabang menjulur jauh ke arah loteng,
sehingga pandangan In San teraling karenanya.
Dayang cilik itu berkata lirih: "Loya bertempat di atas
loteng yang ada lampunya itu."
In San mengangguk, katanya: "Baiklah, kau keluar dulu
dan sembunyi sebentar. Aku akan bertindak, setelah kau
mendengar suara ribut-ribut di atas loteng, baru kau boleh
keluar." Pohon tua yang rimbun itu kebetulan cocok untuk tempat
sembunyi, In San segera kembangkan ginkangnya yang tinggi,
melompat naik ke atas pohon, dahan tidak bergeming, daun
tidak goyang. Orang didalam loteng ternyata sedikitpun tidak
tahu. Memandang kedalam melalui jendela yang terbuka, tampak
seorang laki-laki tua kurus tengah sibuk membalik-balik dan
membaca surat-surat di bawah penerangan lampu. Sesaat
lamanya In San melongo, hampir-hampir dia tidak percaya
akan apa yang dilihatnya, dia kira dirinya salah mengenali
orang. Belasan tahun yang lalu, waktu In San baru berusia lima
enam tahun, dia ikut ibunya tinggal di rumah neneknya.
Waktu itu meski ayah bundanya hidup berpisah, tapi belum
cerai. Liong Bun-kong masih berkedudukan rendah, belum
menjabat Kiu-bun-te-tok. Demi mempersunting ibunya, dua
tiga hari sekali dia pasti datang, usia Liong Bun-kong kira-kira
sebaya dengan ayahnya, waktu itu baru dua puluh tahun,
boleh dikata adalah pemuda cakap ganteng yang romantis.
Usianya masih kecil dan tidak tahu apa-apa pernah juga dia
merasa senang dan punya kesan baik terhadap paman Liong
yang satu ini. 515 Tak nyana pemuda ganteng dan gagah serta romantis yang
dulu dikenalnya, kini sudah berubah jadi kakek reyot yang
buruk rupa lagi.
Terdengar Liong Bun-kong menghela napas,' katanya
seorang diri: "Belasan tahun sebagai suami isteri, ternyata
selama ini tak pernah aku memiliki hatinya."
In San sudah menggenggam sebatang Toh-kut-ting, entah
kenapa hatinya tidak tega turun tangan, dia akan lebih senang
bila musuh besarnya ini adalah laki-laki kasar yang jahat dan
berwajah bengis, tapi kenyataannya orang adalah kakek kurus
yang lemah dan takkan kuat sekali tonjok.
Tapi rasa tidak tega ini hanya sebentar saja terbayang
olehnya akan keluarga si dayang yang ditindas dan diperas
oleh kakek kurus kering she Liong yang jahat ini, pikirnya:
"Musang berbulu ayam akan lebih keji dan telengas dari pada
musang yang menyeringai buas dan liar, bahwa dayang cilik
itu saja sedemikian dendam terhadapnya, memangnya
penderitaanku dan petaka yang menimpa keluargaku tidak
lebih parah dari dayang itu, mana boleh aku mengampuni
jiwanya, sehari dia masih hidup, orang lain akan ketimpa
bencana oleh perbuatan jahamya."
Sambil kertak gigi dia sudah siap menyambitkan Toh-kutting
(paku penembus tulang), tiba-tiba sebuah suara serak
yang lain terdengar berkata: "Liong-tayjin tidak usah gelisah,
nanti setelah Kongcu keponakan kembali dari Tay-tong pasti
bisa diperoleh sedikit berita."
Ternyata di kamar itu masih ada seorang lain, karena dia
duduk di pinggir sebelah sana tanpa bersuara, dari arah In
San tidak kelihatan. Maka In San urungkan niatnya,
didengarnya Liong Bun-kong berkata: "Ciang-suhu, kemarilah
kau, nih kutunjukan sesuatu padamu."
Orang itu duduk di depan Liong Bun-kong, baru sekarang
In San dapat kelihatan jelas, dia adalah laki-laki tua berusia
516 enam puluhan, tapi perawakannya jauh lebih gagah dan kekar
dari Liong Bun-kong, meski usianya lebih tua tapi paras dan
semangatnya kelihatan lebih muda dari Liong Bun-kong.
Orang itu bermata juling berhidung elang, Thay-yang-hiat di
kedua pelipisnya tampak menonjol, suara perkataannya mirip
kicauan burung kokok beluk, sehingga risi bagi pendengaran
orang lain. Tersirap batin In San pikirnya: "Orang ini agaknya ahli
lwekang yang tangguh. Tapi ilmu yang diyakinkan pasti ajaran
lwekang dari aliran sesat, sudah mencapai taraf yang cukup
tinggi." Liong Bun-kong menarik laci, dari dalamnya mengeluarkan
sebatang golok yang sudah terkutung jadi tiga, katanya:
"Inilah golok pusaka yang pernah dipakai Raja Golok Ie Cunhong
semasa hidupnya."
In San tahu raja golok Ie Cun-Hong adalah salah seorang
yang pernah mencelakai ayahnya, keruan hatinya kaget pula:
"Ternyata Ie Cun-hong sudah mampus, julukannya Raja Golok
meski belum tentu betul-betul raja golok, tapi ilmu goloknya
yakin sudah amat tinggi dan liehay, namanya sudah cukup
terkenal di Kangouw. Entah siapa yang membunuhnya?"
Agaknya dia belum tahu bahwa Tan Ciok-singlah yang telah
membunuh Raja Golok ini, Sayang waktunya bergaul dengan
Tan Ciok-sing terlalu pendek sehingga peristiwa ini belum
pernah dia dengar.
"Selama beberapa tahun ini," demikian Liong Bun-kong
bercerita lebih lanjut, "Ie Cun-hong adalah salah satu
pembantuku yang paling setia dan banyak pula jasanya,
jarang orang tahu asal-usul dan kedudukannya sebagai
pembantuku, malah banyak orang mengira dia adalah
tokoh persilatan yang sudah lama mengasingkan diri. Tak
nyana tahun lalu dia terbunuh di Ciok-lin."
517 Ciang-suhu itu tampak terkejut, katanya: "Dia terbunuh di
Ciok-lin?"
"Betul, maka aku ingin bantuan pandangan matamu yang
tajam," ujar Liong Bun-kong. "Golok pusakanya ini tertabas
kutung oleh pedang lawan, kemarin dulu sudah kuutus
seorang pergi ke rumahnya menyelidiki hal ini, kabarnya
putranya yang mengambil pulang jenazah ayahnya tiga hari
setelah peristiwa itu terjadi, menurut cerita putranya, di tubuh
Ie Cun-hong terdapat tujuh luka-luka, dilihat bentuk lukalukanya,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas terluka oleh sejurus ilmu pedang lawan yang
teramat cepat gerakannya. Coba kau periksa apakah senjata
lawan bukan sebilah pedang pusaka yang tajam luar biasa"
Dalam jurus permainan dapat melukai tujuh tempat di tubuh
musuhnya, memangnya ilmu pedang apakah itu?"
Semakin kaget Ciang-suhu mendengar penuturan Liong
Bun-kong, katanya: "Kabarnya Thio Tan-hong mengasingkan
diri di Ciok-lin untuk menghabiskan masa tuanya. Walau
belum pernah aku melihat ilmu pedangnya, tapi dia adalah
jago pedang nomor satu di kolong langit ini, menurut apa
yang kutahu dia memang memiliki sebilah pedang pusaka
yang dapat mengiris besi memotong emas."
"Jadi kau berkesimpulan bahwa yang membunuh Ie Cunhong
adalah Thio Tan-hong?"
Ciang-suhu manggut, katanya: "Kecuali Thio Tan-hong,
yakin tiada tokoh kosen lainnya yang mampu membunuh Ie
Cun-hong semudah itu."
"Ciang-suhu, konon Gun-goan-it-cu-kang yang kau
yakinkan sudah berhasil. Pada hal Thi-sa-ciang yang kaulatih
itu sudah terhitung nomor satu di dunia, kini ketambahan
Gun-goan-it-cu-kang, boleh dikata kau sudah sempurna diluar
dan didalam, keduanya sama-sama mencapai tarap tertinggi
pula. Tentunya kau tak perlu gentar menghadapi Thio Tanhong?"
518 Karena diumpak, kakek she Ciang ini menjadi girang
mendapat muka, seketika dia' menyeringai senang seperti
kera yang memperoleh buah manis. Tapi In San yang mencuri
dengar diluar betul-betul kaget dan luar biasa, batinnya:
"Ciang-suhu ini bukankah yang dulu sekolega dengan kakekku
dulu, namanya Thi-hu" Kukira dia sudah mati, ternyata dia
masih hidup dan kini menjadi pengawal pribadi Liong Bunkong."
Terkaan In San menang tidak keliru, laki-laki tua ini
memang bukan lain adalah Ciang Thi-hu yang pernah digenjot
oleh Khu-Ti. Setelah Ong Ceng ambruk, dia kehilangan
Cukong, maka terpaksa dia mencari Liong Bun-kong sebagai
majikannya yang baru.
Walau Ciang Thi-hu senang diumpak, tapi dia masih sadar
dan dapat mengukur kekuatan awak sendiri. Setelah lenyap
rasa senangnya, diam-diam hatinya merasa jeri juga. Yang
ditakutkannya adalah bila Liong Bun-kong menyuruhnya pergi
menghadapi Thio Tan-hong. "Takut sih tidak," demikian kata
Ciang Thi-hu, "Tapi ilmu pedang Thio Tan-hong tiada
tandingannya di kolong langit ini, walau aku sudah berhasil
menyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, belum tentu dapat
mengalahkan dia. Kalau Tayjin ingin membunuhnya, sukalah
kau bersabar beberapa waktu lamanya pula, biar kucari
beberapa orang untuk membantu."
Liong Bun-kong tertawa, katanya: "Kau tak usah kuatir,
Thio Tan-hong sudah meninggal?"
Ciang Thi-hu terbelalak senang, katanya: "Jadi bukan Thio
Tan-hong yang membunuh Ie Cun-hong?"
"Sudah tentu bukan. Aku sudah mendapat berita yang
positif, empat tahun yang lalu Thio Tan-hong sudah mati,
padahal kematian Ie Cun-hong belum ada satu tahun."
Lega hati Ciang Thi-hu, segera dia menyeka keringat
dingin, katanya: "Selama belasan tahun aku mendampingi
519 Tayjin, belum pernah aku keluar dari kota raja, ternyata sudah
empat tahun Thio Tan-hong mati, tapi aku masih belum tahu,"
sampai disini timbul rasa ingin tahunya, tanyanya: "Lalu
siapakah yang membunuh Ie Cun-hong" Tentunya Tayjin juga
sudah berhasil menyelidikinya?"
Seperti tertawa tidak tertawa Liong Bun-kong berkata:
"Ciang-suhu, jikalau kau menghadapi Thio Tan-hong mungkin
kau tidak punya keyakinan, tapi bagaimana kalau kau harus
menghadapi murid Thio Tan-hong?"
Kembali Ciang Thi-hu kaget dibuatnya, katanya: "Murid
Thio Tan-hong bernama Toh Thian-tok, sekarang adalah cikal
bakal yang menjadi Ciang-bunjin Thian-san-pay..."
"Memangnya kenapa?" tanya Liong Bun-kong.
"Konon Toh Thian-tok mencipta sendiri Thian-san-kiamhoat,
kemungkinan belum mencapai tingkatan seperti
gurunya, tapi dia tak boleh dipandang ringan. Apalagi Toh
Thian-tok jauh berada di Thian-san, jika Tayjin ingin menuntut
balas sakit hati Ie Cun-hong, kukira bukan satu pekerjaan
yang mudah," dia kira setelah Toh Thian-tok tahu gurunya
meninggal, tahun lalu dia berziarah ke Ciok-lin, kebetulan Ie
Cun-hong si Raja Golok juga tiba disana, maka jiwanya
melayang. Tapi sebagai Ciang-bunjin Thian-san-pay, jelas Toh
Thian-tok takkan lama lagi tinggal di Ciok-lin, maka dapatlah
diduga bila sekarang dia pasti sudah pulang ke Thian-san.
Melihat orang begitu takut terhadap Thio Tan-hong, hal ini
masih dapat dimaklumi oleh Liong Bun-kong, tapi Ciang Thi-hu
juga jeri menghadapi Toh Thian-tok, hal ini membuat dia
kurang senang. Katanya tawar: "Bukan Toh Thian-tok yang
membunuh Ie Cun-hong."
"Memangnya siapa pula?" tanya Ciang Thi-hu melenggong.
"Seorang murid Thio Tan-hong yang lain."
520 "O, Thio Tan-hong masih punya seorang murid lagi"
Kenapa aku tidak tahu?"
"Hal ini sudah kuselidiki, dia bernama Tan Ciok-sing,
usianya kukira belum genap dua puluh, dia adalah murid
penutup Thio Tan-hong."
Ciang Thi-hu menghela napas lega, batinnya: "Kiranya
bocah ingusan yang masih berbau pupuk bawang, kenapa aku
harus jeri padanya. Umpama bocah itu sudah memperoleh
ajaran murni Thio Tan-hong, memangnya dia kuat
menghadapi lwekangku yang sudah kuyakinkan puluhan tahun
ini." "Bahwa bocah itu dapat membunuh Ie Cun-hong, kukira dia
juga bukan lawan enteng. Ciang-suhu, kau..." Liong Bun-kong
gunakan cara mengumpak lalu menghasut, dia yakin hasilnya
akan lebih mantap, meski dia merasa kurang senang,
betapapun Ciang Thi-hu adalah salah satu anak buahnya yang
berkepandaian paling tinggi.
Betul juga Ciang Thi-hu segera berseru: "Ah, hanya bocah
yang masih ingusan jikalau aku tidak mampu membekuknya,
betapa malunya untuk menghadap Tayjin lagi," sembari bicara
tangannya menjemput salah satu kutungan golok di atas
meja, begitu kedua telapak tangan terangkap lalu pelan-pelan
dia menggosok naik turun, lekas sekali dia sudah membuka
kedua telapak tangannya, tampak kutungan golok itu sudah
menjadi bubuk di telapak tangannya dan jatuh berhamburan
di lantai. "Kukira batok kepala bocah itu tidak akan lebih keras
dari besi ini," demikian ucap Ciang Thi-hu.
In San yang mencuri dengar diluar ikut terkejut, batinnya:
"Kiranya Tan-toako yang membunuh raja golok Ie Cun-hong.
Tua bangka ini memiliki tenaga tangan yang begini liehay,
mungkin Tan-toako bukan tandingannya" Semoga selekasnya
aku dapat menemukan Tan-toako supaya dapat kuberitahu hal
ini padanya sehingga dia dapat bersiaga," diluar tahunya
bahwa Tan Ciok-sing kini juga berada di tempat itu.
521 Setelah melihat Ciang Thi-hu mendemonstrasikan ilmunya,
barulah Liong Bun-kong berseri tawa, katanya tergelak-gelak:
"Ciang-suhu ternyata memang belum kropos karena usia yang
tua. Apakah itu Gun-goan-it-cu-kang yang baru berhasil kau
yakinkan" Mataku betul-betul melek hari ini."
Ciang Thi-hu tersenyum senang dan bangga, katanya
sambil membusung dada: "Kepandaian yang biasa saja, harap
Tayjin tidak mentertawakan. Entah dimana bocah she Tan itu
sekarang, biar segera kucari dia menuntut balas kematian Loie."
"Tak perlu terburu-buru," ujar Liong Bun-kong tertawa,
"masih ada yang ingin kubicarakan dengan kau."
Ciang Thi-hu mengiakan, "Silakan Tayjin jelaskan."
"Ada berita dari Tay-tong?"
Ciang Thi-hu tahu "berita" yang dimaksud Liong' Bun-Kong
adalah persoalan yang menyangkut keponakannya. Maka
dengan munduk-munduk segera dia menjawab: "Berita sih
belum ada. Tapi Tayjin tidak usah kuatir, Ciok Khong-goan
dan Sa Thong-hay juga berada di Tay-tong, belakangan
kuutus Huwan bersaudara menyusul pula kesana, kukira Titsauya
(tuan muda keponakan) takkan kurang suatu apa.
Sudah kupesan wanti-wanti kepada mereka, begitu ada
perobahan harus segera mengirim berita kilat kepada Tayjin."
"Kerjamu memang amat rapi," puji Long Bun-kong, "bukan
aku menguatirkan keselamatan dan tugas yang kubebankan
kepada Seng-bu, betapapun tinggi kepandaian budak she In
itu, memangnya tarafnya bisa melebihi bapaknya -- In Hou,
kalau Huwan bersaudara sudah membantu Seng-bu, pastilah
budak jelita itu dapat dibekuknya dan digusur kemari."
Diam-diam In San menyeringai dingin: "Kau kira aku tak
kuasa lolos dari tangan mereka, sekarang aku justeru sudah
lari ke mari. Hm, kini jiwamu sendiri yang berada di
tanganku." --Tadi begitu melihat Liong Bun-kong yang kurus
522 kering pernah dia merasa iba, kini setelah melihat tindak
tanduknya yang keji dan jahat, berkobar pula rasa
dendamnya. "Lalu soal apa yang Tayjin kuatirkan?"
Liong Bun-kong menghela napas, katanya: "Aku tidak tahu
bagaimana maksud Seng-bu sebenarnya, dia justru kepincut
budak keluarga In itu, pada hal dia tahu itu putri musuh besar
kita." "Tapi nona In belum tentu tahu kalau ayahnya mati di
tangan Tayjin."
"Ya, tapi kertas takkan bisa membungkus api, bila Seng-bu
kejadian mengawini budak she In itu, lama kelamaan, bukan
mustahil rahasia ini terbongkar olehnya. Bukankah itu berarti
menyimpan bibit bencana bagi keluargaku sendiri?"
Gemeratak gigi In San, pikirnya: "Kau kira aku tidak tahu"
Hm, aku justru sudah tahu sejak beberapa waktu lamanya.
Keponakanmu ibarat kodok buduk yang kepingin mencaplok
burung bangau, ingin rasanya aku dapat membelek hatinya,
hm, kau malah kuatir bila aku kawin dengan keponakanmu,"
pada hal paku penembus tulang sudah disiapkan sejak tadi,
sayang Ciang Thi-hu berdiri di depan Liong Bun-kong,
terpaksa dia menunggu kesempatan.
Agaknya Ciang Thi-hu tidak mau mencampuri urusan
pernikahan Liong Seng-bu, maka dia hanya berdiri diam saja
tanpa memberi komentar.
Setelah menghela napas, Liong Bun-kong berkata pula:
"Sudah tentu aku tidak akan membiarkan budak she In itu
menjadi menantu keponakanku, tapi aku tidak punya
keturunan, aku jadi kuatir tiba suatu ketika Seng-bu dicelakai
oleh budak she In itu. Tapi persoalan keponakan tak mungkin
aku terlalu banyak campur. Maka apa yang kubisa lakukan
hanya berusaha sekuat mungkin untuk melenyapkan bibit
523 bencana di kelak kemudian hari. Ciang-suhu, ingin aku mohon
bantuanmu, sukalah kau berangkat ke Kwi-lin."
"Pergi ke Kwi-lin?" Ciang Thi-hu menegas agaknya dia
merasa diluar dugaan.
"Bocah she Tan yang membunuh Ie Cun-hong itu, asalnya
kelahiran Kwi-lin."
"Apakah bocah itu sekarang tetap ada di rumah?"
"Itu aku tidak tahu. Tapi Kwi-lin adalah tempat
kelahirannya, cepat atau lambat dia pasti akan pulang."
"Tidak sukar menangkap bocah itu, tapi jikalau nasibku
jelek, entah kapan baru bisa pulang memberi laporan kepada
Tayjin." "Waktu tidak akan kubatasi. Apalagi tugasmu bukan melulu
membekuk bocah itu saja."
Kembali Ciang Thi-hu melengak, tanyanya: "Masih ada
orang lainnya?"
"In Hou masih punya seorang teman, konon kedatangan In
Hou ke Kwi-lin dulu itu adalah atas undangan pertemuan
temannya itu. In Hou sudah mati, tapi orang itu lolos dari
pengejaran kita."
"O, jadi yang Tayjin maksudkan adalah Kim-to-thi-ciang
Tam Pa-kun?"
"Betul, Kungfu orang ini amat tangguh, tidak lebih asor dari
In Hou. Kalau dia tidak dilenyapkan, makan tidur aku tidak
akan tentram."
"Tapi Tam Pa-kun kan bukan penduduk asli Kwi-lin?"
"Aku tahu. Tapi takkan lama lagi dia pasti akan datang ke
Kwi-lin." 524 In San yang mencuri dengar diluar diam-diam terperanjat,
pikirnya: "Paman Tam hendak ke Kwi-lin, bagaimana dia bisa
mendapat kabar ini begitu cepat?"
Bahwa dirinya bertugas pula menghadapi Kim-to-thi-ciang
Tam Pa-kun, diam-diam perasaan Ciang Thi-hu tidak tentram,
diam-diam dia membatin: "Konon 72 jurus Kim-na-jiu-hoat
dan 64 jalan Phoan-liong-tonya amat liehay, walau aku sudah
meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, tidak yakin aku dapat
mengalahkan dia."
Walau hati merasa kebat-kebit, tapi lahirnya dia tetap
bersikap mengumpak kepada Liong Bun-kong, katanya:
"Berita yang diterima Tayjin memang cepat dan tajam, meski
jarang keluar pintu, tapi kejadian di dunia Kangouw dapat
diketahui jelas. Tayjin tak usah kuatir, asal dia berada di Kwilin,
dia takkan lolos dari cengkramanku."
Liong Bun-kong tersenyum sambil mengelus jenggot
kambingnya, katanya: "Tak usah kau pergi seorang diri
mengadu jiwa, akupun sudah
mempersiapkan untukmu," lalu dia mengeluarkan secarik
kertas daftar, katanya lirih: "Yang terdaftar di sebelah kanan
ini adalah orang-orang kita, yang terdaftar di sebelah kiri
adalah musuh-musuh kita. Kali ini tugas pimpinan kuserahkan
kepadamu, mumpung ada kesempatan, babatlah seluruh
musuh-musuh kita itu. Kirimlah kabar kepada orang-orang kita
dalam daftar ini supaya bantu mencari jejak bocah she Tan
itu. Nah periksalah dulu daftar ini, coba berapa banyak yang
sudah kau kenal" Atau siapa kiranya yang kau curigai?"
Terbakar dada In San, pikirnya: "Kau bangsat tua ini,
bukan saja membuat keluargaku berantakan, orang lain yang
tidak berdosa juga akan kau celakai."
Mumpung mendapat kesempatan baik ini, di kala Ciang Thihu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunduk memeriksa daftar itu, sekali ayun tangan
525 menimpuk paku yang digenggamnya sejak tadi ke arah
jendela, sasarannya adalah Thay-yang-hiat Liong Bun-kong.
In San yakin paku penembus tulangnya itu pasti akan
menamatkan jiwa Liong Bun-kong, tak nyana belakang kepala
Ciang Thi-hu seakan tumbuh mata, tanpa menoleh begitu
merasa angin kesiur di belakang kepala, segera dia menjentik
balik, ke belakang, "Cring" tepat dia selentik paku yang
menyamber tiba mencelat balik keluar jendela, dan meluncur
kembali ke arah In San pula.
In San menggelantung di atas pohon, ujung kakinya
menggantol dahan pohon, sehingga tubuhnya jungkir balik
dan mendekat ke jendela sambil menimpuk senjata
rahasianya. Lekas In San kerahkan tenaga di ujung kakinya sehingga
dahan dimana dia bergelantung tak kuat menahan berat
badannya begitu tubuhnya anjlok ke bawah dahan pohon
itupun patah seketika, pada hal tindakan In San inipun hanya
untung-untungan belaka, dia sendiri tidak tahu apakah cara
yang ditempuhnya ini dapat dihindarkan samberan paku yang
menyerang balik ini, tapi keadaan memang sudah mendesak,
tiada cara lain terpaksa dia gunakan akalnya ini.
Begitu dahan patah paku itupun sudah menyambar tiba
dan menyerempet di atas kepala In San, tapi sasarannya
menceng ke samping In San selamat tidak kurang suatu
apapun. Cepat sekali Ciang Thi-hu sudah menubruk keluar,
bentaknya: "Pembunuh bernyali besar, masih ingin lari?"
Ginkang In San memang sudah tinggi, di kala tubuhnya
meluncur lurus ke bawah dan hampir menyentuh tanah,
mendadak dia gunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan,
dengan enteng dan tanpa mengeluarkan suara kakinya
hinggap di muka bumi.
526 Begitu pukulan Ciang Thi-hu menyerang tiba, golok pusaka
In San juga sudah tercabut, dengan jurus Ki-hwe-lau-thian,
dia memapak kedatangan lawan serta menyerang pergelangan
tangannya. Deru angin yang kencang menyapu jatuh topi di atas
kepala In San sehingga rambutnya yang panjang terurai,
melihat dia seorang gadis jelita, mau tidak mau Ciang Thi-hu
tertegun. Sudah tentu In San sendiri juga tidak kurang
kagetnya, bukan saja golok pusakanya tak mampu menabas
musuh, malah topi sendiri tersapu oleh angin pukulan lawan,
untung dia sudah cukup mahir menggunakan golok ini, lekas
dia memelintir pegangan goloknya berputar setengah
lingkaran, tapi hampir saja dia tergores luka oleh golok sendiri.
Gerakan golok In San yang lincah dan gesit ini juga
membuat Ciang Thi-hu heran pikirnya: "Aneh, permainan
golok ini agaknya pernah aku melihatnya?" Dan lebih
mengherankan lagi lwekang In San ternyata jauh lebih rendah
dari pada sebelum dia tahu bahwa In San adalah perempuan
tadi, kiranya paku yang dijentiknya balik itu di tengah jalan
dipukul jatuh oleh timpukan sebutir lempung orang lain, In
San tidak tahu akan kejadian ini, tapi Ciang Thi-hu tahu. Tadi
dia kira penimpuk lempung tadi pasti adalah jagoan bulim
yang kosen dan jago kosen ini pasti juga seorang laki-laki,
betapapun tinggi kepandaian seorang perempuan, tak
mungkin memiliki lwekang setangguh ini.
"Haya, celaka, diam-diam Ciang Thi-hu mengeluh dalam
hati setelah teringat masih ada seorang kosen lagi disekitar
sini, secara diam-diam telah membantu In San. Setelah
berhamil meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, Ciang Thi-hu yakin
dirinya boleh mencalonkan diri dalam deretan 10 jago tangguh
di masa ini, bahwa orang itu dapat memukul jatuh jentikan
paku besinya hanya dengan sebutir lempung kecil, jelas
lwekangnya tidak rendah, tapi diapun yakin orang belum tentu
dapat mengalahkan dirinya. Bahwa dia mengeluh bukan
527 karena takut menghadapi orang itu, tapi bila orang itu ada di
sekitar gelanggang, betapapun dia harus hati-hati dan
waspada, karena itu, mending bagi In San, dia masih kuat
bertahan untuk beberapa kejap lamanya.
Lekas sekali belasan jurus telah berlalu, taraf kepandaian
Ciang Thi-hu betapapun memang berlipat ganda lebih tinggi
dari In San, meski hati merasa was-was dan harus pasang
mata kuping terhadap jago lain yang sembunyi, In San toh
sudah kepayahan dan terdesak oleh rabuannya yang gencar.
In San tetap mengandalkan ketajaman goloknya, sekuatnya
dia bertahan membela diri.
Di saat-saat genting itu, '"wut" mendadak Ciang Thi-hu
memukul pergi golok In San, diluar dugaan dia memperlambat
gerakannya lalu menghentikan gerakannya, bentaknya: "Kau
ini putri In Hou bukan" Lekas bicara terus terang, supaya aku
tidak kesalahan tangan."
Hanya belasan jurus Ciang Thi-hu sudah meraba permainan
golok In San, maka dia lantas tahu asal-usul In San.
Maklum selama beberapa tahun dia pernah sekolega
bersama In Jong didalam Gi-lim-kun maka ajaran ilmu golok
keluarga In jelas takkan bisa mengelabui matanya. Tapi
lantaran sudah terlalu lama, baru sekarang dia teringat.
Sebaliknya In San sudah berlaku nekad hendak mengadu jiwa,
bentaknya: "Betul, malam ini hendak kutuntut balas kematian
ayah, kau rela menjadi antek Liong Bun-kong si anjing itu, biar
kubunuh kau dulu." Setelah tahu asal-usul In San, Ciang Thihu
malah tidak berani membunuhnya, gerak serangannya pun
diperhitungkan. Setelah In San didesaknya mundur dua
langkah, dia berseru lantang: "Liong-tayjin, pembunuh gelap
ini adalah putri In Hou, bagaimana aku harus membereskan
dia, harap Tayjin memberi petunjuk."
Suara Liong Bun-kong kumandang dari atas loteng:
"Bujuklah dia supaya mau menyerah. Beritahu padanya, aku
tetap akan memandangnya sebagai putri kandungku sendiri."
528 Ciang Thi-hu segera menekan suaranya, katanya: "Nona In,
jangan kau tidak tahu kebaikan. Bila kau ikut Liong-tayjin,
kalian ibu beranak akan hidup berkumpul, bukankah itu lebih
baik?" dia kira In San belum tahu bila ibunya sudah minggat
dari rumah keluarga Liong. Diluar tahu Ciang Thi-hu pula
bahwa In San sudah bertemu dengan ibunya, malah ibunya
sudah mangkat di malam pertemuan yang menyedihkan dan
memilukan itu. Kalau Liong dan Ciang tidak menyinggung ibunya masih
mending, seolah-olah bara yang disiram minyak, karuan
berkobar amarah In San dengan jurus Hing-to-it-hong,
goloknya bergerak secepat kilat terus membacok, bentaknya:
"Kalau aku tidak berhasil membunuh keparat she Liong itu,
jadi setanpun aku tetap akan menuntut balas," serangan golok
yang ganas dan nekat ini diluar dugaan Ciang Thi-hu, walau
tidak sampai melukai dirinya, tapi dia kaget dan berjingkrak
mundur. Ciang Thi-hu cukup mengeluarkan tiga bagian tenaga Gungoan-
it-cu-kang, kembali dia sampuk golok In San lalu
berteriak: "Liong-tayjin, budak ini tidak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi, dia tegas menolak kebaikan Tayjin,
bagaimana baiknya?"
Liong Bun-kong tidak berani membuka jendela, sembunyi
didalam kamar dia tarik suara: "Lebih baik kau bekuk dia
hidup-hidup, kalau tidak bisa membekuknya hidup, kau bunuh
diapun aku tidak akan salahkan kau."
Setelah mendapat persetujuan hilang keraguan Ciang Thihu,
maka serangannya lantas bertambah gencar dan kuat,
begitu menyelinap maju jari tangannya segera mencengkram.
Gerak cengkraman ini adalah tipu liehay dari Hun-kin-joh-kutjiu,
dilandasi tiga puluh persen kekuatan Gun-goan-it-cu-kang,
maka perbawanya lebih dahsyat lagi, jikalau sasarannya kena
telak, tulang pundak In San pasti teremas hancur. Umpama
memiliki kepandaian setinggi langit, bila tulang pundak sudah
529 diremas hancur, berarti Kungfunya sudah punah dan
selanjutnya takkan bisa bermain silat lagi. Tapi Ciang Thi-hu
masih kuatir bila dirinya disalahkan oleh keponakan Liong Bunkong,
maka dia pikir hanya ingin memunahkan ilmu silatnya
saja, kalau tidak bila dia tambah tenaga serangannya, jiwa In
San sudah bisa ditamatkan sejak tadi.
Cengkraman ini kelihatan ganas, tapi daya kerjanya
ternyata lamban. Dia pikir hendak menggertak In San supaya
dia takut dan mundur teratur bukan mustahil akan merubah
haluannya, mau menyerah dan tunduk pada keluarga Liong.
Hun kin-joh-kut yang diyakinkan ini sudah mencapai taraf
sempurna, walau gerakan kelihatan lamban, jelas In San
takkan bisa berkelit. Pada hal golok In San sudah terkunci oleh
telapak tangan kirinya, untuk menangkis atau balas
menyerang jelas tidak mungkin, di saat-saat kritis dimana jarijari
tangan Ciang Thi-hu sudah dekat tulang pundak In San. Ciang Thi-hu
masih sempat membujuk: "Nona In, urusan sudah kebacut
sejauh ini, kenapa kau masih kukuh pendapat" Semutpun
ingin hidup, lekas kau minta maaf kepada Liong-tayjin dan
memanggil Liong-tayjin..."
Sebelum dia menyebut "ayah", sesosok bayangan orang
mendadak melompat keluar dari balik gunungan.
Semula tujuan Tan Ciok-sing hanya akan membantu secara
sembunyi, tapi setelah menyaksikan beberapa jurus, dia lantas
tahu bahwa kepandaian Ciang Thi-hu benar-benar tinggi,
tanpa menggunakan ilmu pedang gabungan, kalau dirinya
hanya membantu secara menggelap, bantuannya tidak akan
berarti bagi In San. Di kala cengkraman tangan Ciang Thi-hu
hampir menyentuh pundak In San itulah Tan Ciok-sing dipaksa
untuk menerjang keluar.
Karena tahu ada musuh tangguh lain yang berada di sekitar
gelanggang, Ciang Thi-hu selalu pasang mata kuping, sejak
tadi dia sudah bertindak waspada dan penuh perhitungan,
530 begitu merasa angin kesiur menyambar dari belakang, dia
tahu bahwa musuh tangguh yang tersembunyi itu tengah
membokong dirinya, kuatir dirinya kecundang, mana berani
dia meremas tulang pundak In San"
Lekas dia gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit sambil
melancarkan serangan susulan lainnya, kedua telapak tangan
tergabung menimbulkan suatu rumpun tenaga tiga tambah
tiga berarti enam puluh persen tenaga Gun-goan-it-cu-kang
terhimpun dalam serangan tangannya ini.
Maka terdengarlah suara "Cret", lengan baju Ciang Thi-hu
tertusuk bolong oleh Pek-hong-po-kiam Tan Ciok-sing, tapi
ujung pedang Tan Ciok-singpun menceng dan tergetar pergi
oleh pukulan Gun-goan-it-cu-kang lawan, hanya terpaut dua
mili hampir menusuk hiat-to Ki-ti-hiat. Diam-diam Tan Cioksing
merasa sayang akan kegagalan serangan ini.
Sudah tentu bukan kepalang senang dan kaget In San,
seketika dia menjublek di tempatnya. Padahal pertempuran
jago-jago silat kelas tinggi, mana boleh berlaku lena. Walau
Gun-goan-it-cu-kang yang dilontarkan Ciang Thi-hu bukan
ditujukan ke arahnya, namun dia terserempet juga oleh
gelombang angin pukulannya. Seketika dia keterjang mundur
sempoyongan, golok yang dipegang sampai jatuh
berkerontang di atas batu.
"Tan-toako, ternyata kau. Tahukah kau, aku sedang
mencarimu," saking girang In San tidak pikirkan hendak
menjemput goloknya.
Dengan ujung kakinya Tan Ciok-sing menjungkit golok
serta ditangkapnya, tapi tidak dia berikan kepada In San,
teriaknya: "Lekas cabut Ceng-bing-po-kiam."
In San tersentak sadar serunya: "Betul, menghadapi
keparat tua ini, memang pantas kita menghadapinya dengan
Siang-kiam-hap-pik."
531 Begitu Siang-kiam-hap-pik dijalankan, situasi seketika
banyak berubah. Ciang Thi-hu seketika terkurung di tengah
kilatan sinar pedang, gerak-geriknya yang lincah tak ubahnya
seperti tikus yang terjebak didalam kurungan dan lari kian
kemari. Insaf akan keadaan dirinya yang semakin terdesak,
demi keselamatan sendiri sudah tentu Ciang Thi-hu tidak sudi
mati konyol, maka diapun bermain tidak kenal kasihan lagi.
Tiba-tiba dia berputar ke kiri, In San langsung dihadapinya.
Kedua telapak tangan bergerak membundar seperti gelang,
lalu dirubah gaya seorang pemusik yang memeluk gitar,
telapak tangan kiri pura-pura mencengkeram, sementara
telapak tangan kanan membelah miring Gun-goan-it-cu-kang
dia tambah sampai lima puluh persen kekuatannya sendiri.
Kalau dia tahu diri sejak tadi melancarkan kekuatan Gungoan-
it-cu-kang untuk menghadapi In San, umpama tidak
mati In San pasti terluka parah, tapi kini keadaan sudah
berubah tambah kekuatanpun sudah terlambat.
Bukan saja permainan Siang-kiam-hap-pik teramat serasi
dan tepat serta ketat, perbawa yang dikembangkanpun tiga
lipat lebih besar dari pada permainan secara individu. Maka
lima bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan
Ciang Thi-hu paling hanya mampu menggeser sedikit ujung
pedang In San, sehingga dirinya tidak sampai tertusuk, tapi
pedang lawan tak mampu diputarnya terlepas apalagi hendak
balas melukainya.
Maka Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing segera menyelinap
masuk arena, sudah tentu dia takkan memberi peluang bagi
Ciang Thi-hu untuk melancarkan serangan susulan untuk
melukai In San" Dalam sekejap itu dua larik sinar pedang
tahu-tahu tertabur menjadi selarik cahaya pelangi, untung
Ciang Thi-hu lekas mengundurkan diri, terlambat sedetik saja
tubuhnya sudah terbabat menjadi dua.
Lekas Ciang Thi-hu kerahkan tenaga terus mendorong,
Gun-goan-it-cu-kang mencapai tujuh bagian, gerakan Tan
532 Ciok-sing berhasil dibendungnya sebentar, bentaknya: "Anak
bagus siapa kau" Kalau pemberani sebutkan namamu."
Tan Ciok-sing tertawa dingin, jengeknya: "Kalau tidak
kukatakan, mungkin kau mati takkan meram. Seorang laki-laki
tak perlu takut menyebutkan namanya, aku bukan lain adalah
duri dalam kulit daging kalian Tan Ciok-sing adanya. Hehehe,
bukankah Liong Bun-kong menyuruhmu ke Kwi-lin untuk


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi aku" Sekarang aku datang kemari, tak usah tuan
besar macam tampangmu ini susah payah mencari jejakku."
Keruan Ciang Thi-hu kaget, tanpa merasa bulu kuduknya
berdiri, pikirnya: "Ternyata bocah inilah murid penutup Thio
Tan-hong, tak heran ilmu pedangnya begini liehay," cepat
sekali gerakan kedua pedang gabungan Tan dan In sudah
merabu kembali Ciang Thi-hu terkurung didalam libatan
cahaya pedang. Ciang Thi-hu dipaksa mengerahkan seluruh
kemampuannya, namun dia tetap bertahan saja tak mampu
balas menyerang, diam-diam dia mengeluh, pikirnya: "Kalau
aku tidak nekad menguras hawa murni, mungkin aku bisa
kecundang oleh pedang bocah-bocah keparat ini," akan tetapi
meski dia terkurung seperti binatang dalam perangkap, tapi
kekuatan pukulannya masih kelihatan dahsyat dan
mengejutkan, setiap kali pukulan dilontarkan, sayup-sayup
terdengar gemuruh seperti guntur menggelegar di kejauhan,
deru anginnya yang kencang seperti amukan angin lesus,
dalam arena pertempuran seluas beberapa tombak, debu pasir
beterbangan. Lekas sekali beberapa busu sudah diundang datang oleh
suara keributan disini, sekitar gedung berloteng dimana Liong
Bun-kong tinggal telah dijaga ketat, tidak sedikit di antara
para busu itu yang berkepandaian cukup lumayan, tapi
mereka hanya mampu menonton tiga tombak diluar kalangan,
berdiripun tak tegak, sering terdesak mundur sempoyongan.
533 Kilatan pedang menyambar simpang siur menyilau mata,
deru angin pukulan juga laksana bunyi guntur yang memekak
telinga. Kalau bukan jago silat kelas tinggi, mana mampu
menerjunkan diri kedalam arena" Para busu itu lambat laun
didesak mundur semakin jauh dari kalangan pertempuran,
mereka hanya menyaksikan dengan pandangan mendelong
dan kesima. Tiba-tiba terdengar suara genta bertalu-talu ternyata dari
tempat sembunyinya Liong Bun-kong memerintahkan seorang
busu membunyikan genta tanda bahaya. Maklum dia kuatir
Ciang Thi-hu seorang diri bukan tandingan kawanan
penyatron, maka diam-diam dia sudah melarikan diri melalui
jalan rahasia di bawah tanah.
Tak lama kemudian, taman kembang yang luas ini sudah
benderang disinari cahaya obor, bayangan orang tampak
berlari berbondong-bondong mendatangi. Sambil kertak gigi
Tan Ciok-sing membentak: "Bunuh dulu bangsat tua ini," tibatiba
Pek-hong-kiam menuding ke timur menusuk ke barat,
sekaligus dia melancarkan tujuh jurus serangan mematikan.
Begitu mengembangkan Siang-kiam-hap-pik hati In San
dan Tan Ciok-sing bersatu padu, pikiran sejalan gerakanpun
serasi. Begitu Tan Ciok-sing mempergencar serangan, serta
merta In Sanpun segera mengimbangi. Dalam sekejap mata
lingkaran pertahanan Ciang Thi-hu ditekan sedemikian rupa
menjadi semakin menciut. Dalam keadaan terdesak ini Ciang
Thi-hu sudah maklum, sebelum jago silat tangguh dari
pengawal Liong Bun-kong datang tubuhnya pasti sudah dihiasi
tusukan pedang kedua musuhnya ini.
Seperti serigala yang mengamuk dalam kepungan, bola
mata Ciang Thi-hu sudah melotot membara, napasnya
mendengus saperti banteng mengamuk, bentaknya: "Bocah
bagus, kau ingin membunuhku, memangnya segampang
keinginanmu. Hem, rasakan keliehayan Gun-goan-it-cu-kang,"
berbareng kedua telapak tangannya menari turun naik,
534 membalik ke kiri memutar ke kanan. Sekonyong-konyong
segulung tenaga dahsyat terlontar keluar dari kibasan kedua
telapak tangannya sedahsyat gugur gunung.
Perbawa Siang-kiam-hap-pik memang aneh, semakin
dahsyat menghadapi serangan semakin hebat pula daya tahan
dan perlawanannya, di kala menghadapi rangsangan hebat
dari serangan Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu ini, Siangkiam-
hap-pik pun memperlihatkan perbawanya yang paling
dahsyat. Maka terdengarlah rentetan suara keras dan
memekak, tampak sepasang lengan baju Ciang Thi-hu koyakkoyak
beterbangan seperti kupu-kupu yang menari di tengah
udara, sehingga kedua lengannya yang kurus legam kelihatan
telanjang. Pedang yang tajam memang tidak mampu melukai
tubuhnya, tapi hawa pedang yang simpang siur menggencet
dan mengoyak hancur lengan bajunya.
Dalam gebrak ini kedua pihak sama-sama mengerahkan
puncak kekuatannya, bahwa keadaan Ciang Thi-hu kelihatan ,
serba mengenaskan, tapi In San sendiripun sedikit menderita
oleh getaran angin pukulan lawan sehingga langkahnya
sempoyongan. Kebetulan ada beberapa busu berlari tiba, melihat
kesempatan yang menguntungkan ini, mereka hendak
menyerang In San dari belakang. Tak nyana belum lagi In San
turun tangan beberapa busu itu sudah sama roboh gedebukan
sambil mengeluh kesakitan.
Ternyata pada gebrak terakhir ini Ciang Thi-hu sudah
kerahkan sepuluh bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang,
perbawa Siang-kiam-hap-pik memang masih mampu
menahannya. Tapi beberapa busu yang masih rendah
Kungfunya ini mana kuat menahan getaran dahsyat ini"
Seperti diketahui Gun-goan-ii-cu-kang yang diyakinkan
Ciang Thi-hu baru saja berhasil dilatihnya sempurna, jikalau
sekaligus sekarang dia harus kerahkan setaker
kemampuannya, akibatnya pasti menguras habis hawa murni
535 dan itu berarti luka dalam yang cukup parah. Oleh karena
inilah, dalam pertempuran tadi dia hanya menambah kekuatan
setahap demi setahap, tak berani sekaligus mengerahkan
kekuatannya sampai sembilan bagian tenaga sendiri. Kini
terpaksa Ciang Thi-hu lontarkan serangan sepenuh tenaga
meski berhasil meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang
lawan, tapi dia sendiri juga sudah lemas lunglai kehabisan
tenaga. Lekas dia memutar tubuh membelakangi musuh,
"Huuuaaah" tanpa kuasa dia menyemburkan sekumur darah
segar, tapi dia tidak berani memperlihatkan kepada Tan Cioksing
bahwa dirinya sudah terluka.
Situasi semakin tidak menguntungkan, Tan Ciok-sing juga
tak berani bertempur terlalu lama di sarang musuh, lekas dia
memburu ke samping In San, katanya: "Adik San, bagaimana
kau?" Sebelum dia memapahnya In San sudah dapat berdiri tegak
pula, katanya lirih: "Tidak apa-apa, sayang gelagat agaknya
tidak bisa mengijinkan hari ini kita menuntut balas."
"Syukurlah kalau tidak apa-apa," ujar Tan Ciok-sing,
"seorang laki-laki menuntut balas sepuluh tahun belum
terlambat. Hayolah kita pergi."
Meski banyak jumlah busu dari keluarga Liong, mana
mampu menahan atau merintangi mereka" Apalagi beberapa
busu sudah roboh dan menjadi contoh, mana mereka berani
berkorban pula. Pada hal mereka tidak tahu bahwa kawankawannya
itu roboh karena Gun-goan-it-cu-kang yang
dilancarkan Ciang Thi-hu, mereka menyangka kedua
penyatron ini memiliki kepandaian tinggi semacam Can-ih-cappwe-
tiat yang aneh, serta menakjubkan. Di tengah teriakan
para busu yang hanya berkaok-kaok tanpa bertindak ini,
dengan leluasa Tan dan In berdua melesat terbang ke atas
wuwungan terus lari meninggalkan gedung keluarga Liong.
Setelah jauh berada diluar, Tan Ciok-sing menoleh ke
belakang, melihat musuh tidak mengejar baru legalah hatinya,
536 katanya: "Nona In mimpipun aku tidak menduga bahwa kau
bisa berada disini."
In San menghela napas, katanya: "Tan-toako aku justru
yang tidak menyangka, di saat kritis, di waktu jiwaku
terancam bahaya, mendadak kau muncul dari atas langit."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Mana aku bisa
membiarkan kau masuk ke sarang harimau seorang diri" Kalau
kau sudah kemari, memangnya aku harus berpeluk tangan"
"Semalam aku pernah mampir ke hotel dimana kau nginap
untuk mencari kau, pemilik hotel mengatakan tiada tamu
macam kau ini, ternyata dia ngapusi aku."
"Jangan kau salahkan dia, akulah yang suruh dia begitu,
aku tidak tahu kalau kau bakal datang. Menurut perhitunganku
semula, ingin menghilangkan jejak supaya orang-orang
keluarga Liong tidak tahu akan kedatanganku."
"Aku tidak menyalahkan dia, tapi aku menyalahkan kau
malah. Kalau kau tahu aku sudah datang, kenapa kau tidak
mau menemui aku" Tahukah kau aku sengaja hendak
mencarimu?"
"Justru karena itu, mimpi juga aku tidak sangka kalau kau
yang datang."
"Ibu sudah tiada. Aku tahu kau pulang ke Kwi-lin hendak
menuntut balas, musuhmu adalah musuhku juga, memangnya
aku boleh berpeluk tangan membiarkan kau menempuh
bahaya." "Terima kasih akan perhatianmu, tapi aku tetap tidak duga
kau bakal menyusulku."
"Kenapa tetap tidak menduga" Nasib kita sudah terjerat
menjadi satu. Kau kira aku bisa berpeluk tangan menyaksikan
usaha penuntutan balasanmu dan mengharap kau yang
menuntut balas bagiku?"
537 "Bukan, bukan begitu maksudku..."
"Lalu apa maksudmu" Katakan."
Ruwet pikiran Tan Ciok-sing, tak tahu dengan alasan apa
dia harus menjelaskan. Sementara itu mereka sudah mulai
memasuki kota kecil. "Mari kita ambil kuda kita dan segera
meninggalkan kota ini. Nanti bicara saja di tengah jalan,"
demikian kata Tan Ciok-sing.
"Baik. Nanti kita bertemu di perjalanan. Tempatnya di
gardu pinggir jalan diluar kota sana, siapa tiba lebih dulu dia
harus menunggu. Tapi watakku kau sudah tahu, kau tadi
berjanji hendak memberi penjelasan, jangan kira setelah kau
mengulur waktu lantas anggap persoalan ini tiada begitu
saja." Fajar sudah hampir menyingsing, di ufuk timur cahaya
mentari sudah mulai menongol dengan secercah cahayanya
yang remang-remang, namun toko-toko dalam kota belum ada
yang buka. Setelah mengambil kudanya Tan Ciok-sing terus
mengepraknya kencang, baru saja terang tanah dia sudah tiba
di gardu diluar kota. Ternyata In San sudah menunggunya
disana. "Nah katakan, kenapa kau bilang tidak menduga kalau aku
sengaja mencarimu kemari?" In San betul-betul menuruti
adatnya, begitu bertemu lantas mengajukan pertanyaan
ulang. Apa boleh buat, terpaksa Tan Ciok-sing melontarkan isi
hatinya: "Kukira kau pergi ke Tayli lebih dulu."
"Untuk apa aku ke Tayli?" In San tahu maksud orang, tapi
sengaja dia bertanya.
Karena didesak sedemikian rupa, tak mungkin Tan Cioksing
menghindar lagi, katanya kemudian: "Bukankan Siauongya
dari keluarga Toan dari Tayli menginginkan kau
mengungsi kesana. Ibumu sudah meninggal, kukira..."
538 "O, kau kira setelah aku yatim piatu, tiada orang yang
menjadi tulang punggungku, tidak punya rumah lagi, adalah
pantas kalau aku mencari pelindung di rumah keluarga Toan
begitu?" "Bukan begitu maksudku. Keluarga kalian sudah turun
temurun punya ikatan yang intim, Toan-toako juga sudah
kangen padamu."
Tegak alis In San, katanya: "Jadi dalam pandanganmu, aku
ini perempuan yang tidak bisa melihat gelagat dan tidak punya
martabat?"
"O, tidak, nona In, kau adalah pahlawan gagah kaum
wanita, mana berani aku memandang rendah dirimu?"
"Kenapa kau punya kesan seburuk itu padaku" Memang
Toan-toako baik terhadapku, kalau aku tidak punya kerja,
setelah peperangan ini berakhir mungkin aku bisa kesana
menengoknya. Tapi sekarang, jangan kata aku harus
menuntut balas kematian ayah bunda, umpama tidak, aku
juga takkan sudi pergi ke Tayli. Bukankah tenagaku lebih
bermanfaat di markas besar Ciu-pepek yang memerlukan
bantuan dan tenaga kaum muda seperti kita?"
Lama Tan Ciok-sing bungkam seribu basa, akhirnya dia
tertawa menyengir: "Aku memang lugu, mungkin aku salah
omong, harap maaf dan jangan kau berkecil hati."
Tiba-tiba In San berkata'dengan suara lirih: "Toan-toako
baik terhadapku, tapi kau lebih baik lagi terhadapku. Aku
menghargai Toan-toako, aku lebih menghormatimu. Jangan
karena asal-usul kelahiranmu sebagai rakyat biasa lantas kau
merasa rendah diri, memang Toan-toako, keturunan
bangsawan, tapi ketahuilah didalam sanubariku, martabatmu
kuanggap lebih tinggi dan lebih agung dari dia, kau tidak akan
asor dibanding dia."
Pertama kali ini In San mencurahkan sikap dan isi hatinya,
meskipun belum boleh dianggap sikap dan penuangan rasa
539 cintanya, tapi hal ini sudah cukup membuat jantung Tan Cioksing
berdetak dan jengah mukanya, tapi hatinya juga senang
luar biasa. Lama sekali baru Tan Ciok-sing angkat kepala dan
berbicara: "Nona In, terima kasih akan penghargaanmu
terhadapku."
In San tersenyum, katanya: "Tan-toako, kita senasib
sepenanggungan, aku sudah memanggilmu Toako, kenapa
kau masih begitu sungkan kepadaku" Anggaplah aku sebagai
adikmu?" "Adik San, semalam aku mencuri dengar diluar, tidak jelas
kudengar seluruhnya, kalau tidak salah Liong Bun-kong
pernah menyinggung Tam Pa-kun dengan Ciang Thi-hu?"
"Betul, Liong bangsat itu sudah tahu bahwa Tam Pa-kun
pergi ke Kwi-Iin, dia menyuruh Ciang Thi-hu kesana untuk
membekuknya."
"Adakah dia juga menyinggung It-cu-king-thian?"
"Agaknya tidak. Tapi, ya, ada suatu hal sekarang kuingat,
sayang aku terburu nafsu turun tangan."
"Soal apa?"
"Liong bangsat itu menyerahkan secarik da?ar kepada


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciang Thi-hu, didalam daftar itu tercantum nama-nama kawan
dan lawan mereka yang ada di Kwi-lin."
"O, daftar itu amat berguna bagi kita. Kawan mereka
adalah musuh kita, bila kita bisa merebut daftar itu, kita bisa
berhati-hati dan sikat mereka satu persatu."
In San berkata: "It-cu-king-thian adalah tokoh kenamaan di
Kwi-lin, kukira nama It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti
tercantum didalam daftar itu. Waktu itu Ciang Thi-hu sedang
memeriksa daftar itu, sayang aku buru-buru turun tangan,
kalau tidak mungkin dia bisa menyinggung It-cu-king-thian."
540 "Kalau Ciang Thi-hu sudah menerima tugas itu dari Liong
bangsat, cepat atau lambat pasti akan mengikuti jejak kita
mengejar ke Kwi-lin, semoga daftar itu tidak dibuang, kelak
bila ketemu dia, masih ada kesempatan kita merebutnya,"
demikian kata Tan Ciok-sing.
"Setelah melontarkan serangannya terakhir semalam,
agaknya Ciang Thi-hu kehabisan tenaga dan luka cukup parah,
kalau dia berani datang ke Kwi-lin juga, dia pasti bukan
tandinganmu."
Sunguh-sungguh sikap Tan Ciok-sing, katanya: "Gun-koanit-
cu-kang yang diyakinkan Ciang-Thi-hu tidak boleh
diremehkan. Dengan taraf latihannya sekarang, meski
lwekangnya menurun tiga bagian, aku tetap belum pasti dapat
mengalahkan dia. Tapi bila kita tetap Siang-kiam-hap-pik,
kurasa lain pula persoalannya."
Lirih suara In San: "Lalu apa pula yang kau kualirkan, aku
tidak akan berpisah dengan kau. Kapan saja, dimana saja
Siang-kiam-hap-pik tetap boleh kita kembangkan."
Bukan kepalang rasa senang dan terhi
Jodoh Si Mata Keranjang 2 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Cacad 17
^