Pendekar Riang 2

Pendekar Riang Karya Khu Lung Bagian 2


ompat-lompat dengan kerasnya, sampai gadis itu
sudah lenyap ditikungan jalan sana, ia masih berdiri ditempat dengan termangu-mangu.
Entah lewat berapa saat lagi, ia baru menghela napas panjang, segera gumamnya.
"Yaaa, betul, betul, tempat ini memang betul-betul sarang naga gua harimau...."
"Aaah, keliru besar" goda Yan lit sambil tertawa, "bukan sarang naga, yang betul adalah
sarang burung hong."
"Betul ! Betul ! Betul sekali. Orang kuno bilang, setiap sepuluh langkah tentu ada gadis cantik,
perkataan ini memang tepat sekali"
Kemudian sambil membusungkan dada ia berkata lagi: "Coba kau lihat, bagaimana
tampangku?"
Dari atas sampai ke bawah Yan Jit memperhatikannya beberapa kejap, kemudian menjawab:
"Lumayan juga, perawakanmu tinggi besar, matamu besar, hidungmu mancung, senyumanmu
simpatik, memang pantas untuk menjadi buaya darat....!"
"Seandainya kau seorang gadis, apakah kau tertarik padaku?"
"Mungkin...." jawab Yan Jit sambil tertawa geli.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa senyuman rekannya bukan cuma genit, lagi pula mirip seorang
gadis, maka tak tahan serunya sambil tertawa:
"Jika kau seorang gadis, mungkin tiada lelaki didunia ini yang bakal tahan."
"Gadis yang bisa tahan menghadapi kau juga tidak seberapa." balas Yan Jit.
"Kenapa" Barusan kau toh masih memuji tampangku ganteng, badanku gagah hidungku
mancung, senyumanku simpatik ?"
"Tapi kau jorok, malas dan tak bisa dipercaya, perempuan paling benci dengan laki-laki
macam begitu."
"Yaa, itulah dikarenakan kau bukan gadis, padahal setiap gadis suka dengan tampang seperti
aku ini, sebab tampang macam beginilah baru bisa disebut tampang seorang lelaki."
Yan Jit seperti mau tumpah setelah mendengar perkataan itu, sambil termuram kecut serunya:
"Jadi kau mengira gadis tadi tertarik kepadamu ?"
"Tentu, kalau tidak kenapa ia tertawa kepadaku ?"
"Senyuman gadis ada banyak ragamnya" Yan Jit menerangkan sambil tertawa geli, "sewaktu
mereka menjumpai seorang yang bertampang blo'on atau tolol, mereka akan tertawa, sewaktu
melihat seorang yang bertampang seperti katak budukan atau bercongor seperti babi, merekapun
akan tertawa."
"Oooohhhh, jadi kau anggap tampangku seperti...."
Saking marahnya hampir saja Kwik Tay-lok berteriak keras, tapi tiba-tiba ia membungkam,
sebab gadis tadi telah muncul kembali dari balik tikungan sana.
Keranjang yang sebenarnya kosong, tapi kini sudah penuh berisi barang, maka ia kelihatan
seperti kepayahan, macam jalanan penuh lumpur lagi, ini membuat kakinya terpeleset dan
tubuhnya terjerembab ke depan, keranjang yang berada ditangannya juga ikut terbang.
Untung ia berjumpa dengan Kwik Tay-lok serta Yan Jit.
Reaksi Yan Jit selamanya memang cepat, reaksi Kwik Tay-lok juga tidak terhitung lambat, baru
saja kakinya terpeleset, secepat anak panah mereka sudah menyusup ke depan.
Belum lagi keranjang itu terjatuh ke tanah Yan Jit telah menyambutnya, belum lagi gadis itu
terjerembab memcium tanah, Kwik Tay-lok telah merangkul pinggangnya.
Dengan napas terengah-engah gadis itu bersandar di tubuh Kwik Tay-lok, sampai setengah
harian kemudian ia baru bisa menenangkan kembali hatinya, tapi ketika melihat ada seorang lelaki
asing sedang merangkulnya, kontan merasa paras mukanya berubah menjadi merah padam
lantaran jengah, jantung Kwik Tay-lok juga berdebar keras, agak tergugup ia bertanya lirih:
"Nona tidak apa-apa bukan ?"
Dengan wajah memerah dan kepala tertunduk, gadis itu menjawab:
"Aku.... aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada kalian?"
Sementara itu Yan Jit telah menemukan bahwa isi keranjang tersebut semuanya adalah
makanan, ada ayam panggang, ada daging sapi, masih ada pula pear besar yang berwarna
kuning. Kalau boleh, dia ingin sekali berkata demikian: "Gampang sekali jika kau ingin berterima kasih
kepada kami, cukup dengan seekor ayam panggang dan dua biji pear besar"
Tapi setelah menyaksikan sikap Kwik Tay-lok yang begitu kesemsem, begitu terpesona oleh
kecantikan orang ia merasa tak tega untuk membuat malu temannya.
Selain itu, Kwik Tay-lok juga sudah buru-buru berseru.
"Aaah, itu mah urusan kecil, tidak mengapa".
Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, lalu sambil
tertawa katanya:
"Kalian betul-betul orang baik."
Meskipun ia mengucapkan "kalian" namun sepasang matanya hanya menatap Kwik Tay-lok
seorang. Kwik Tay-lok betul-betul terkesima, seperti orang mabuk arak, bagaikan orang yang terserang
penyakit secara tiba-tiba, sahutnya dengan terbata-bata:
Jilid 03 "EEEH . . . . NONA . . . EEH . . . KAU kau eeh. . . kau tak usah sungkan-sungkan . . . . eeh. . .
heehhhh. . . hhehh. . . "
Gadis itu telah menerima kembali keranjangnya, setelah berpaling dan tertawa lagi dengan
manis, ia baru melanjutkan langkahnya dengan kepala tertunduk.
Kalau dibilang sukma Kwik Tay-lok masih ada dalam raganya, maka senyuman itu benarbenar
telah membetot selembar jiwanya.
Sekalipun orangnya masih terpantek ditempat, tapi sukmanya seakan-akan sudah terbawa
berikut keranjang itu.
Sampai orang itu pergi jauh, Yan Jit baru menggerutu: "Bertemu dengan kesempatan sebaik
ini, kenapa kau tidak cepat-cepat mengejarnya dari belakang ?"
"Kau anggap aku benar-benar adalah seorang setan perempuan ?" kata Kwik Tay-lok sambil
menghela napas.
"Sekalipun bukan, cuma sudah hampir."
Gadis itu sesungguhnya memang belum pergi jauh, tiba-tiba ia berhenti sambil berpaling, lalu
tertawa dan katanya:
"Kebetulan aku membeli banyak sayur, bersediakah kalian berdua untuk memberi muka
kepadaku dan ikut minum barang secawan?"
Permohonan semacam ini yang diucapkan seorang gadis cantik untuk dua orang lelaki yang
sedang kedinginan dan kelaparan, mungkin disambut sepuluh kali lipat lebih hangat daripada
mendengar irama musik yang paling indah sekalipun di dunia ini.
Jika masih ada orang menampik permohonan semacam ini, orang itu kalau bukan seorang
dungu baru aneh namanya.
Yan Jit bukan orang dungu, Kwik Tay-lok lebih-lebih bukan seorang dungu, meskipun begitu di
bibir mereka masih berkata:
"Aaaah . . . apa tidak mengganggu ketenangan nona ?"
Tapi sepasang kakinya sudah maju kemuka dengan langkah lebar, malah kalau bisa cepatcepat
sampai ditempat tujuan.
Aaai, kenapa setiap lelaki tak dapat menghindarkan diri dari soal perempuan "
Apalagi seorang perempuan yang cantik jelita baik bidadari dari kahyangan "
Kenapa Kwik Tay-lok tidak memutar otak lebih dulu untuk memikirkan niat gadis itu "
Atau paling tidak, sepantasnya kalau ia bertanya dulu kepada gadis itu, hendak diajak
kemanakah mereka berdua "
Benarkah mereka akan diajak ke rumahnya untuk dijamu"
Tampaknya jangan toh baru diajak ke rumahnya untuk diajak bersantap dan minum arak,
sekalipun mereka bakal dijualpun Kwik Tay-lok tak akan menampik.
Yaa, lelaki siapakah di dunia ini yang bisa menampik ajakan seorang gadis "
Apalagi gadis cantik seperti itu "
- 0000000 - ADA orang bilang: "Perempuan adalah sumber dari segala bencana."
Ada pula yang berkata : "Tanpa perempuan dunia serasa sepi, ada perempuan dunia menjadi
kacau." Tentu saja, kata-kata semacam ini keluar dari mulut kaum lelaki, tapi apapun yang di katakan
kaum lelaki, perempuan memang makhluk yang tak bisa kekurangan di dunia ini.
Dari sepuluh ribu orang lelaki, paling tidak ada sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh
sembilan orang lelaki yang rela hidup sepuluh tahun lebih pendek daripada hidup tanpa
perempuan. Ada orang bilang : "Uang bisa dipakai untuk membeli dunia."
Ada pula yang berkata : "Uang adalah sumber dari segala keonaran."
Tapi bagaimanapun juga, setiap orang memang tak bisa kekurangan uang.
Jika seseorang tak punya uang, sakunya kosong melompong seperti baru keluar dari penatu,
maka selamanya dia tak akan mampu berdiri tegak.
Akibat dari kedua macam hal tersebut, orang yang paling pintar pun bisa menjadi bodoh, orang
yang paling akrabpun bisa menjadi musuh bebuyutan.
Bila diantara empat orang pria jejaka tiba-tiba bertambah dengan seorang gadis perawan,
maka keadaan tersebut ibaratnya seperti sebuah sumpit yang tiba-tiba berada dalam sebuah
mangkuk berisi empat butir telur ayam, mana yang dituju lebih dulu mana yang belakangan, pasti
akan merupakan suatu persoalan yang memusingkan kepala. .
Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay-lok dan Lim Tay-peng empat orang, sesungguhnya melewatkan
kehidupan mereka dengan bebas merdeka tanpa rintangan apa-apa, sebab mereka tak punya
uang, tak punya pula perempuan.
Setiap pagi setelah bangun tidur, mereka selalu merasa riang dan gembira, karena "kemarin"
yang sial sudah lewat, dan hari ini yang penuh harapan telah tiba.
Tapi secara tiba-tiba, dua macam barang tersebut telah datang berbarengan, bayangkan saja
bagaimana paniknya mereka "
Ong Tiong mungkin sudah lama bangun dari tidurnya, tapi ia masih berbaring di tanah,
bergerak sedikitpun tidak.
Ia membuat dulu sebuah gulungan bulat dari gulungan selimutnya yang dekil, kemudian pelanpelan
menerobos masuk ke dalam, membuat seluruh tubuhnya terbungkus didalam tabung bulat
itu tanpa terhembus angin barang sedikitpun.
Sang tikus berlarian kesana-kemari melalui sisi tubuhnya, mula-mula masih rada takut, tak
berani menaiki tubuhnya, tapi lambat laun kawanan tikus itu telah menganggapnya sebagai orang
mati, hampir saja mereka menaiki kepalanya.
Ong Tiong masih belum juga bergerak.
Lim Tay peng sudah lama memperhatikannya, tapi lama kelamaan ia tak tahan pelan-pelan ia
mendekatinya, menempelkan jari tangannya dekat lubang hidung dan ingin memeriksa apakah dia
masih bernapas atau tidak.
"Aku belum mampus!" tiba-tiba Ong Ting berteriak.
Dengan terkejutnya Lim Tay-peng menarik kembali tangannya, kemudian berkata:
"Kau toh merasa kalau ada tikus menaiki badanmu, kenapa kau tidak ambil perduli?"
"Aku tak pernah bertegur sapa dengan tikus-tikus itu, aku enggan berurusan dengan mereka....
hanya kucing yang suka bertengkar dengan tikus!"
Jawaban ini membuat Lim Tay-peng tertegun, katanya kemudian:
"Tempat ini memang seharusnya memelihara seekor kucing !"
"Sebenarnya tempat ini ada seekor kucing, Yan Jit yang membawanya kemari"
"Kemana larinya kucing itu?".
"Minggat ke bawah bukit bersama si kucing jantan".
Lim Tay-peng membelalakkan matanya lebar-lebar, lama, lama sekali ia mengawasinya tanpa
berkedip. Salju telah berhenti turun, rembulan te1ah muncul di atas awang-awang.
Cahaya rembulan telah menyorot masuk lewat depan jendela dan menyoroti wajah mereka.
Paras mukanya terlihat amat jelas, keningnya lebar dengan hidung yang mancung sekalipun
tidak terhitung seorang lelaki yang terlalu tampan, paling tidak ia bersifat kelaki-lakian.
"Orang ini tidak mirip orang sinting, tapi tidak pula seperti orang dungu, kenapa otaknya justru
rada miring?"
Lim Tay-peng menghela napas panjang, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu
tegurnya: "Kemana perginya kedua orang temanmu itu ?"
Dia ingin mencari orang yang tidak sinting otaknya untuk diajak berbicara: "Lagi turun gunung
untuk berburu"
"Berburu" Dalam cuaca begini mereka masih berburu ?"
"Ehmm !!"
Lim Tay-peng tak mampu berbicara lagi, tiba-tiba ia berhasil menarik suatu kesimpulan.
Teman seorang sinting sudah pasti adalah orang sinting pula.
Lewat sesaat kemudian, tiba-tiba dari balik kegelapan berkumandang suara aneh....
"Kruuuk...!" menyusul kemudian suara itu berbunyi sekali lagi, "Kruuuk....!"
"Heran !" Ong Tiong segera bergumam, "kenapa jerit tikus pada hari inipun berbeda dari harihari
biasa." Merah padam selembar wajah Lim Tay-peng lantaran jengah, sahutnya tergagap:
"Bukan suara tikus, suara itu adalah suara.... suara......"
"Suara apa ?"
"Suara nyanyian dari perutku !" teriak Lim Tay-peng keras-keras, "apakah kalian tak pernah
bersantap ?"
Ong Tiong segera tertawa:
"Kalau ada yang dimakan tentu saja makan, kalau tak ada yang dimakan ya terpaksa cuma
menikmati nyanyian perut yang merdu."
Sekali lagi Lim Tay-peng tertegun dibuatnya, ia benar-benar tidak habis mengerti, kalau
seseorang untuk makanpun tak punya, mengapa ia masih kelihatan begitu riang gembira "
"Tapi aku lihat nasibmu hari ini masih agak mujur" tiba-tiba Ong Tiong berkata lagi.
"Aku " Nasibku lagi mujur?" bisik Lim Tay-peng sambil tertawa getir.
"Hari ini aku seperti mendapat firasat bahwa hasil buruan mereka lumayan sekali, barang yang
dibawa pulangpun mungkin bisa membuatmu......" sebetulnya dia ingin berkata "makan besar", tapi
belum lagi ucapan tersebut dilanjutkan, ia sendiri sudah "dibuat terkejut".
Kwik Tay-lok telah kembali, sewaktu masuk pintu, ia memang membawa semacam barang,
semacam barang yang bisa lari bisa melompat bisa memanjat pohon, bahkan masih bisa "cit, cit"
berkaok-kaok tiada hentinya.
Barang itu tak lain adalah seekor monyet !
Kalau dibilang paras muka Ong Tiong ada saatnya berubah pucat, maka sekaranglah saatnya
! Menyaksikan mimik wajah Ong Tiong, hampir meledak gelak tertawa Kwik Tay-lok, sambil
tertawa berderai-derai katanya:
"Kau tak usah takut, monyet ini seekor monyet jantan, bukan betina !"
"Temanmu takut dengan monyet betina?" serentetan suara yang merdu dan lembut segera
berkumandang dari belakang.
Gelak tertawa Kwik Tay-lok semakin keras: "Dia memang agak takut" sahutnya: "coba
bayangkan sendiri, ada berapa orang di dunia yang tidak takut dengan bininya?"
"Lucu, sungguh amat lucu !" teriak Ong Tiong sambil menarik muka, "Heran, kenapa di dunia
masih ada manusia sinting semacam dia " Betul-betul mengherankan."
Lim Tay-peng tak tahu persoalan apakah yang begitu menggelikan, diapun tak ingin tahu.
Dia hanya merasa pandangan matanya menjadi silau, ruangan yang gelap seolah-olah
diterangi oleh beribu-ribu lentera secara tiba-tiba.
Seluruh cahaya tajam itu memancar keluar dari tubuh seseorang. Orang itu mengenakan baju
yang kasar dengan membawa dua buah keranjang, ia sudah masuk ke dalam ruangan mengikuti
di belakang Kwik Tay-lok.
Di belakangnya mengikuti tiga orang manusia, seorang dewasa dan dua orang anak-anak.
Kanak-kanak itu memakai baju yang amat rapi, sedang si orang dewasa hanya mengenakan
kulit harimau yang menutupi sebagian tubuhnya.
Beberapa orang ini sudah cukup untuk diperhatikan semakin lama, tapi mereka masih belum
komplit. Selain itu masih terdapat dua ekor anjing, sebongkot golok dan tombak yang diikat
menjadi satu, tiga-empat buah gembrengan dan lima-enam batang bambu.
Melihat kesemuanya itu, Ong Tiong segera bergumam:
"Aku tahu kau selalu ingin beradu kepandaian dengan Yan Jit, kau ingin melihat siapa yang
paling banyak membawa pulang barang, tapi paling tidak kau harus memberi sedikit muka
kepadanya, mau mengalahkan dia juga tak usah mengalahkannya secara begini mengenaskan."
Yan Jit yang bersandar di pintu segera menanggapi sambil tertawa:
"Sekalipun kekalahanku suatu kekalahan yang tragis, tapi aku kalah dengan perasaan puas,
barang yang kubawa pulang dalam dua puluh kali kepergianku masih belum bisa melebihi hasil
yang di dapat sekali perjalanannya."
Sambil tertawa Kwik Tay-lok cepat-cepat menukas:
"Beberapa orang temanku ini meski busuk dimulut, baik hati. Mari, kuperkenalkan kalian
kepadanya, nona ini adalah....."
"Lebih baik aku memperkenalkan diriku sendiri" sela si nona sambil tertawa, "aku bernama
Swan Bwe-tong (kuah bwe kecut), dia adalah engkoh tongku yang bernama Hui Pa-cu (macan
tutul terbang), sedangkan mereka berdua adalah adik misanku, yang seorang bernama Siau Linglong
(si kecil mungil), sedang yang lain bernama Siau Kim-kong ( orang kuat kecil)"
Siapakah Hui Pa-cu itu, sekalipun tidak ditunjuk orangnya, setiap orang bisa mengenali dalam
sekejap mata. Berbeda dengan kedua orang bocah itu, paras muka mereka berdua ibaratnya pinang di belah
dua. Bukan saja wajahnya sama, potongan badannya sama, biji matanya sama besar, rambutnya
di kepang dua, sewaktu tertawa kedua-duanya punya sepasang lesung pipi yang sangat dalam.
Malah lesung pipi mereka bukan yang satu di kiri yang lain di kanan, lesung pipi mereka
berdua sama-sama berada di pipi sebelah kanan.
Tak tahan Ong Tiong bertanya:
"Mana yang bernama Siau Ling-long " Mana yang bernama Siau Kim-kong ?"
"Coba kau terka !" seru dua orang bocah itu bersama.
Ong Tiong mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian katanya:
"Disamping Siau Kim-kong adalah Siau Ling-long, disamping Siau Ling-long adalah Siau Kimkong,
betul bukan?"
Dua orang bocah itu segera tertawa cekikikan.
Tiba-tiba salah seorang diantaranya lari mendekat dan membisikkan sesuatu di sisi telinga
Ong Tiong, setelah itu sambil tertawa katanya:
"Itu rahasia kami berdua, jangan diberitahukan kepada orang lain yaa.....?"
Gelak tertawa bocah itu amat merdu, rupanya dia adalah seorang bocah perempuan.
Kwik Tay-lok segera menarik tangan seorang bocah yang lain, kemudian katanya:
"Siau Ling-long adalah cicimu bukan?" Bocah laki-laki itu segera menggeleng.


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan, dia adalah adikku!" sahutnya.
Baru habis dan berkata, Siau Ling-long sudah berteriak mendongkol.
"Telur busuk, goblok kau! Aku memang sudah tahu, bocah laki semuanya tolol, baru ditipu
orang, rahasia sendiri sudah ketahuan!"
Merah padam selembar wajah Siau Kim kong karena jengah, segera bantahnya:
"Kalau kau tidak goblok, kalau kau pintar, kenapa kau musti menyaru sebagai bocah pria?"
Perkataan bocah itu betul-betul ibaratnya sekali tusukan darah meleleh keluar. . . "orang
perempuan selalu memandang enteng kaum lelaki, mereka menganggap lelaki adalah orang
goblok, tapi mereka sendiri justru berharap dirinya bisa menjadi seorang laki-laki, inilah penyakit
yang terutama dari kaum perempuan.
Lim Tay-peng menatap terus wajah Swan Bwe-tong lekat-lekat, tiba-tiba ia berkata:
"Semua nama tersebut tentunya bukan nama mereka yang asli bukan ?"
Si Kuah bwe kecut menghela napas panjang, sahutnya dengan pedih: "Bagi kami orang-orang
yang bekerja sebagai pemain akrobatik, nama baik nenek moyangpun sudah kami jual, mana
mungkin masih memiliki nama asli ?"
Lim Tay-peng ikut menghela napas: "Apa jeleknya sebagai pemain akrobatik yang berkelana
dalam dunia persilatan" Ada sementara orang yang ingin berkelana dalam dunia persilatanpun tak
bisa". Swan Bwe-tong memandang sekejap lagi ke arahnya, kemudian berkata: "Aku lihat kau seperti
mempunyai banyak rahasia dalam hati kecilmu. . ."
"Orang ini memang mirip sekali dengan seorang gadis" tukas Kwik Tay-lok tiba-tiba.
Lim Tay-peng segera melotot sekejap ke arahnya, paras mukanya ikut pula berubah.
"Aaah, masa cuma kaum gadis yang boleh mempunyai rahasia dalam hati...." Kata Swan Bwetong
sambil tertawa, "kalau memang begitu, bukankah semua laki-laki akan menjadi telur-telur
busuk goblok yang tak punya perasaan?"
Lim Tay-peng memandang sekejap ke arahnya, pancaran rasa terima kasih menyorot dari
balik matanya. Melihat itu Kwik Tay-lok mengangkat bahunya seraya berkata:
"Sekalipun setiap laki-laki tak punya hati dan perasaan, paling tidak mereka masih punya
perut" "Oya, kalau tidak kau ingatkan, hampir saja aku lupa..." seru Swan Bwe-tong, sambil tertawa
cekikikan. Cepat-cepat ia menurunkan keranjangnya, menyingkap kain penutup dan merobek dulu
sebuah paha ayam, setelah itu katanya sambil tertawa:
"Padahal perut kaum wanitapun tidak lebih kecil dari perut kaum laki-laki, cuma ada kalanya
mereka enggan untuk makan terlalu banyak, takut kegemukan !"
"Tapi, kenapa kau tak pernah merasa takut untuk makan banyak-banyak ?" sela Siau Kimlong.
Swan Bwe-tong segera mengetuk kepala bocah itu dengan paha ayam tersebut, Siau Kimkong
segera merebut separuh ekor ayam dan dibawa kabur.
Sang monyet di tanah berlompat-lompat tiada hentinya, sedang kedua ekor anjing itu
menggonggong amat ramai.
Menyaksikan kesemuanya itu, Ong Tiong menggelengkan kepalanya sambil bergumam:
"Tempat ini sudah ada belasan tahun lamanya tak pernah seramai ini."
"Tak usah kuatir" seru Kwik Tay-lok, "tempat ini bakal ramai selama beberapa hari"
"Beberapa hari ?"
"Yaa, beberapa hari..." Kwik Tay-lok manggut-manggut sambil mengawasi bayangan
punggung Swan Bwe-tong yang menjauh, "ketika aku mendengar kalau mereka sedang mencari
tempat pemondokan, maka akupun lantas menyewakan sederet ruangan yang terdiri dari lima
kamar di sebelah belakang itu kepada mereka."
Hampir tumpah arak yang baru diminum Ong Tiong, serunya cepat-cepat:
"Berapa uang sewanya ?"
Kwik Tay-lok segera melototkan matanya bulat-bulat.
"Kau anggap aku ini manusia apa?" teriaknya, "si setan pelit" Masa aku tega minta uang sewa
darinya " Coba kalau bukan lantaran aku, untuk mengundang datang tamu seperti merekapun tak
mungkin bisa."
Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, lama, lama sekali, ia baru menghela napas panjang,
serunya sambil tertawa getir:
"Dalam satu hal, makin lama aku merasa semakin tidak mengerti."
"Dalam hal apa?"
"Rumah ini sebetulnya kepunyaanmu" Atau kepunyaanku?"
Kalau ditanya persoalan apakah di dunia yang bisa membuat seorang lelaki yang jorok dan
malas menjadi rajin dan bersih, maka jawabnya adalah perempuan.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali, ketika Ong Tiong masih berbaring dalam "tabungnya" Kwik
Tay-lok sudah pergi menimba air, sedang Lim Tay-peng sedang mencari sesuatu di dalam kamar.
"Hey, apa yang sedang kau cari ?" tak tahan Ong Tiong segera menegur.
"Baskom untuk mencuci muka, handuk pencuci muka dan cangkir untuk mencuci mulut"
Ong Tiong segera tertawa.
"Barang-barang yang kau sebutkan itu bukan saja sudah lama tak pernah kujumpai,
mendengarpun belum pernah"
Bagaikan tubuhnya dicambuk orang secara tiba-tiba, Lim Tay-peng membelalakkan matanya
dengan mulut melongo, lalu bisiknya agak tergagap:
"Kaa..... kalian tak pernah mencuci muka?"
"Tentu saja mencuci, cuma tiap tiga hari mencuci kecil satu kali, tiap lima mencuci besar satu
kali." "Bagaimana yang dimaksudkan mencuci kecil" Bagaimana pula mencuci besar ?"
"Yan Jit, praktekkan untuknya !" seru Ong Tiong segera.
Yan Jit segera menggeliat malas, lalu ujarnya:
"Kemarin aku baru saja mencuci, hari ini adalah giliranmu."
"Aaai. . . kalau begitu, paling tidak kau harus bawa kemari semua alat untuk mencuci muka"
kata Ong Tiong sambil menghela napas.
Kebetulan Kwik Tay-lok sedang memikul masuk dua gentong air, Yan Jit segera mengambil
setengah mangkuk air, lalu dari atas tembok mengambil pula selembar kain yang berwarna yaa
kuning yaa hitam, entah apa warna sesungguhnya.
Saat itulah dengan aras-arasan Ong Tiong bangun berduduk, diteguknya sedikit air, lalu jari
tangannya dibungkus dengan kain kumal itu, setelah digosok-gosokan atas giginya keras-keras, ia
menyemburkan air dalam mulutnya itu ke atas kaki, disekakan seenaknya di atas wajah sendiri.
Sesudah itulah sambil menghela napas ia baru berkata: "Nah, selesai !"
Bagaikan melihat setan disiang hari bolong, saking kagetnya paras muka Lim Tay-peng
berubah menjadi hijau membesi.
"Ini..... inikah yang dinamakan mencuci kecil?" bisiknya terbata-bata lantaran gugup.
"Bukan mencuci kecil, ini sudah terhitung mencuci besar,kalau mencuci kecil mah tak usah
repot-repot begini".
Sepasang bibir Lim Tay-peng sudah berubah agak menghijau, tampaknya dia segera akan
jatuh tak sadarkan diri.
Lewat lama, lama sekali, ia baru menghembuskan napas panjang, katanya pelan:
"Jika masih ada orang lain yang lebih jorok daripada kalian semua, aku bersedia untuk
menyembah di hadapannya".
"Kalau begitu menyembahlah sekarang juga" kata Ong Tiong sambil tertawa, "sebab orang
yang lebih jorok daripada kita banyaknya tak terhitung!"
"Aku tidak percaya!" Lim Tay-peng sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Walaupun kami orang jorok, hati tak jorok, bukan saja tidak jorok bahkan bersih sekali. Bila
hati seseorang telah menjadi jorok, maka sekalipun setiap hari dicuci dengan sabun sebanyak
sepuluh kali juga tak akan menjadi bersih."
Sambil melirikkan kepalanya Lim Tay-peng termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba sambil
berkeplok tangan serunya:
"Masuk akal, masuk akal, jika seseorang bisa hidup dengan riang gembira tanpa melakukan
kesalahan yang malu diketahui orang, makan tidak makan tak menjadi soal, cuci muka atau tidak
juga tak menjadi soal."
Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, lalu lari ke halaman, menjatuhkan
diri bergelindingan di tanah dan berseru:
"Sekarang aku sudah mengerti, sekarang aku sudah mengerti.... dulu kenapa aku tak berhasil
memahami teori ini ?"
Ong Tiong dan Yan Jit hanya memandang tingkah lakunya sambil tersenyum, seakan-akan
mereka ikut bergembira atas keberhasilannya memahami teori tersebut, karena merekapun dapat
melihat bahwa dalam hati kecil orang itu sesungguhnya tersimpan suatu rahasia hati yang berat
sekali. Selama ini ia selalu tak tahu apakah perbuatannya betul atau salah, sekarang baru diketahui
bahwa ia sama sekali tidak salah.
Seseorang kalau ingin hidup senang di dunia, maka dia harus berhati bersih tanpa melakukan
sesuatu perbuatan yang bisa membuatnya malu kepada orang lain, sebab disinilah letak kunci
yang paling utama.
Waktu itu Kwik Tay-lok sedang mencuci muka, sementara mulutnya masih bergumam seorang
diri: "Tidak cuci muka tidak mengapa, mencuci muka juga tidak mengapa, betul bukan ?"
Selesai mencuci muka, dia menggosok badannya dengan kain, lalu menggosok pula
sepatunya dengan kain.
Dengan pandangan dingin Yan Jit menatap sekejap ke arahnya, lalu berkata:
"Kenapa kau tidak melepaskan sepatumu, kemudian mencuci kaki !"
Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Aku memang bermaksud untuk melakukan hal itu, sayang waktu sudah tidak mengijinkan."
Tiba-tiba ia menerjang keluar dari pintu sambil berseru kembali:
"Mereka tentu sudah mendusin semua, biar kutengok orang-orang itu ke belakang."
"Aku ikut !" sera Lim Tay-peng.
Kedua orang itu bersama-sama menerjang keluar dari pintu, demikian terburu-burunya se
akan-akan sedang pergi menolong kebakaran.
Ong Tiong segera melirik sekejap ke arah Yan Jit, lalu katanya sambil tertawa:
"Gadis cantik incaran setiap pria, kenapa kau tidak ikut ?"
"Aku bukan seorang lelaki sejati" jawab Yan Jit menarik muka.
"Aku lihat kau seperti rada tak suka dengan nona Swan Bwe-tong itu ?"
Yan Jit termenung beberapa saat lamanya: tiba-tiba ia bertanya:
"Menurut pendapatmu, apa yang hendak mereka lakukan ?"
"Bukankah mereka rombongan penjual akrobatik yang mencari uang dalam dunia persilatan?"
Ong Tiong balik bertanya sambil memutar biji matanya.
"Kalau kaupun menganggap mereka sebagai penjual akrobatik yang mencari uang dalam
dunia persilatan, itu berarti kau juga seorang manusia tolol yang tak punya otak"
"Kenapa ?"
"Masa tidak lihat bahwa si monyet dan kedua ekor anjing itu sedikitpun tidak menuruti
perkataan mereka" Jelas binatang-binatang itu diperoleh secara mendadak sebagai pelengkap
penyaruan mereka. Masih ada Hui Pa-cu itu, ia sengaja mengenakan dandanan yang aneh dan
eksentrik, padahal yang betul adalah seorang lelaki yang tahu aturan serta sopan santun,
bicarapun tak berani banyak bicara, ditambah pula sepasang tangannya putih lembut, mana
mungkin mirip sepasang tangan yang tiap hari kerjanya menggotong peti dan menuntun anjing?"
Dengan tenang Ong Tiong mendengar semua perkataan itu, akhirnya dia manggut-manggut.
"Tidak kusangka kau begitu teliti. Tapi kalau mereka bukan rombongan penjual akrobatik yang
berkelana dalam dunia persilatan, apa pekerjaan mereka?"
"Siapa yang tahu" Siapa tahu kalau mereka adalah perampok?"
"Kalau mereka sungguh-sungguh rombongan perampok, tak nanti akan mengunjungi tempat
ini" kata Ong Tiong sambil tertawa "barang apa di sini yang bisa menarik perhatian mereka untuk
di rampok?"
Belum sempat Yan Jit berkata, mereka sudah menangkap jeritan kaget yang berkumandang
datang dari belakang sana.
Jelas suara jeritan dari Kwik Tay-lok.
Bagi manusia macam Kwik Tay-lok, sekalipun bertemu dengan setan belum tentu dia akan
menjerit kaget seperti ini.
Mungkin hanya sedikit persoalan didunia yang bisa membuatnya menjerit kaget seperti itu.
Yan Jit pertama-tama yang menerjang keluar lebih dulu.
Ong Tiong yang malas bergerakpun kini telah bergerak.
Halaman di belakang sana jauh lebih kecil daripada halaman depan, ditengah halaman penuh
tumbuh pohon bambu. Dulu, setiap malam musim panas tiba, tuan rumah tentu akan pindah ke
situ untuk menikmati suara mendesisnya daun-daun bambu.
Oleh karena itu halaman inipun seperti pula halaman lain yang penuh ditanami pohon bambu,
disebut Ting-tiok-siau-wan (halaman kecil pendengar bambu), sedang lima buah ruangan yang
berderet itu dinamakan serambi Ting-tiok-sian.
Tapi setelah Ong Tiong menjadi tuan rumah tempat itu, ia telah merubah namanya menjadi
Yu-tiok-bo-bak-sian (serambi ada bambu tiada daging), karena ia merasa meski nama Ting-tiok
(pendekar bambu) cukup berseni, tapi sekarang sudah usang rasanya.
Ia merasa, meski orang pertama yang menggunakan nama "Ting-tiok" adalah seorang
seniman yang pintar, tapi orang ke delapan puluh yang menggunakan pula nama "Ting-tiok" bagi
halamannya tak lebih cuma seorang manusia goblok yang sudah ketinggalan jaman.
Itulah sebabnya dalam halaman itu bukan saja Bo-bak (tiada daging), pohon bambunya pun
hampir sudah habis ditebas.
Bambu bisa digunakan sebagai tiang jemuran, bisa dipakai untuk membuat tenda, maka
seringkali Ong Tiong menggunakan bambu, untuk ditukar dengan daging.
Jika seseorang sudah lapar, seringkali dia akan lupa apa yang dinamakan seni.
Swan Bwe-tong, Hui Pa-cu dan dua orang bocah mungil itu semalam tinggal di situ, tapi
sekarang manusia berikut anjing dan monyetnya sudah angkat kaki dari situ, yang masih tertinggal
di sana hanya Kwik Tay-lok serta Lim Tay-peng yang masih berdiri termangu-mangu.
Disamping kaki mereka masih terdapat beberapa buah peti besar, peti-peti yang masih baru.
"Tamumu sudah pergi tanpa pamit ?" tegur Ong Tiong.
Kwik Tay-lok manggut-manggut.
"Pergi yaa pergi, kenapa musti berteriak-teriak macam orang ketemu setan saja," seru Yan Jit
ketus. Kwik Tay-lok tidak berkata apa-apa, dia hanya mengangsurkan selembar kertas kepada
mereka. Di atas kertas itu tertera beberapa huruf yang ditulis dengan arang.
"Lima buah peti sebagai ganti ongkos kamar, harap diterima dan sampai jumpa"
Seusai membaca tulisan itu, Yan Jit segera berkata:
"Menyewa kamar memang wajar kalau di bayar, tiada sesuatu yang patut diherankan."
"Mengherankan mah tidak, tapi bayarannya terlampau banyak" ujar Kwik Tay-lok sambil
menghela napas.
"Apa isi peti itu ?" tanya Ong Tiong.
"Tak ada yang lain, cuma beberapa peti barang bau !"
Kalau dibilang uang adalah barang yang bau, maka isi lima peti tersebut sudah cukup untuk
membuat kelengarnya tiga puluh ribu delapan ratus orang lebih.
Isi empat buah peti yang pertama tak ada yang lain kecuali uang emas. Besar kecil dan
beraneka ragam emas yang tak terlukiskan dengan kata-kata, setiap kepingnya paling sedikit
berbobot sepuluh tahil lebih, sekalipun tak sampai mampuskan orang karena baunya, paling tidak
bisa menindih orang sampai mampus.
Sedang isi peti peti yang kelima ternyata intan permata serta mutu manikan yang beragam,
ada mutiara, ada Ma-nau, ada berlian ada pula aneka macam batu mulia lain yang tak bisa
disebutkan namanya satu-persatu.
Isi peti yang manapun dari kelima buah peti tersebut, sudah cukup untuk dipakai membeli
seluruh perkampungan Hok-kui-san-ceng tersebut.
Ong Tiong dan Yan Jit sama-sama tertegun setelah menyaksikan semua benda itu.
Lewat lama sekali, Yan Jit baru menghembuskan napas panjang, ujarnya:
"Semalam, ketika mereka datang kemari rasanya tidak membawa kelima buah peti ini."
"Yaa, memang tak ada," jawab Kwik Tay-lok.
"Lantas dari mana datangnya peti ini?" tanya Lim Tay-peng keheranan.
Yan Jit segera tertawa dingin.
"Dari mana lagi, kalau bukan hasil merampok tentu hasil mencuri !"
"Tapi catatan yang ada di belakang Goan-po tersebut tak ada yang sama...."
"Tentu saja tidak sama, dalam rumah siapa saja tak akan tersimpan uang emas sebanyak ini,
mereka tentu berhasil mendapatkannya dengan mencuri dari beberapa rumah sekaligus."
"Bisa mencuri banyak rumah dalam semalaman, kepandaian mereka betul-betul luar biasa"
ujar Ong Tiong sambil menghela napas.
"Aaah, itu tidak mengherankan, buat seorang pencuri ulung, dalam sehari mencuri dalam
seribu rumah juga bukan suatu kejadian yang mencengangkan."
"Dengan susah payah mereka mencuri barang-barang itu, tapi kemudian memberikan kepada
kita semua, belum pernah kujumpai ada seorang pencuri yang begini budiman."
"Huuh, siapa tahu kalau tujuan mereka hanya ingin memfitnah kita."
"Memfitnah?" seru Kwik Tay-lok tidak percaya: "kenapa harus memfitnah kita" Toh kita tak
punya ikatan dendam atau sakit hati dengan orang-orang itu?"
"Kau anggap dia benar-benar tertarik padamu" Dan sengaja menghantar lima peti tersebut
sebagai mas kawinnya ?"
"Soal itu mah kita tak usah menggubrisnya dulu" tukas Lim Tay-peng dengan cepat,
"persoalannya sekarang, apa yang harus kita lakukan dengan kelima buah peti tersebut?"
"Apa yang musti dilakukan" setelah orang lain menghadiahkan kepada kita, tentu saja harus
kita terima" kata Kwik Tay-lok.
"Aku lihat orang ini mempunyai suatu kepandaian yang paling besar, betapapun rumit dan
kalutnya suatu persoalan, setelah diucapkan olehnya segera urusannya berubah menjadi begitu
gampang dan sederhana " kata Yan Jit sambil menghela napas.
"Siapa bilang kalau persoalannya tidak gampang ?"
"Aku! Aku bilang urusannya tidak sesederhana itu" kata Ong Tiong.
"Apanya yang tidak sederhana?"
"Mereka tak mungkin menghantar harta yang begini banyak untuk kita tanpa sebab, pasti
mereka mempunyai tujuan atau maksud-maksud lain."
"Yaa, apalagi kalau barang-barang itu didapatkan dari jalan mencuri, jika kita menerimanya,
bukankah secara otomatis kita akan menjadi tukang tadah"
"Pekerjaan apapun boleh kita lakukan.. hanya menjadi pencoleng tak boleh kita pikirkan.
Sekali kau menjadi pencoleng dan merasa kan enaknya hasil yang diperoleh, selanjutnya jangan


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harap bisa melakukan pekerjaan baik lagi, sepanjang masa kau akan menjadi pencuri terus."
"Yaa, betul ! Kalau punya anak besok, anaknya juga menjadi pencuri, pencuri tua melahirkan
pencuri besar, pencuri besar melahirkan pencuri kecil."
Kwik Tay-lok segera tertawa, "Kau tak usah menyindir diriku...." serunya, "betul aku pernah
menjadi pencuri, tapi bukan saja tak pernah merasakan hasilnya, malah pedangku yang
terakhirpun ikut kugadaikan."
"Untuk menjadi seorang pencuri harus mempelajari pula teori dan pelajarannya" kata Ong
Tiong, "kalau bukan begitu, "setiap orang tentu bisa menjadi pencuri ulung."
"Aku lihat lebih baik kita mengembalikan saja semua barang itu kepada orang lain" Lim Taypeng
mengusulkan. "Kembalikan kepada siapa ?" tanya Kwik Tay-lok, "Siapa tahu barang-barang ini dicuri dari
mana ?" "Sekalipun tidak tahu, kita kan bisa mencari info" ujar Yan Jit.
"Mencari info dimana?"
"Bawah gunung. Kalau memang benar barang-barang itu merupakan hasil curian semalam,
sudah pasti mereka mendapatkannya dari bawah bukit sana."
Kwik Tay-lok memandang sekejap kepingan-kepingan emas yang menggunung dalam peti,
lalu sambil menghela napas katanya:
"Perkataanmu memang benar, tempat ini memang bukan suatu tempat yang miskin.... setiap
tempat yang kedapatan begini banyak uang emas, jelas bukan suatu tempat yang miskin."
Tiba-tiba sambil tertawa dia berkata lagi: "Oleh sebab itu perkampungan Hok-kui-san-ceng
paling tidak hari ini benar-benar merupakan perkampungan Hok-kui-san-ceng sungguhan."
Sekalipun nama Hok-kui-san-ceng sesuai dengan kenyataan tidak berlangsung terlalu lama,
tapi mereka masih bisa hidup dengan riang gembira....
Sebab mereka telah melakukan suatu pemilihan yang paling pintar.
Mereka meninggalkan harta kekayaan dan menahan liangsim sendiri.
Mungkin itulah saat yang paling dekat Hok-kui (kaya dan terhormat) dari mereka, tapi mereka
tak akan kemaruk oleh harta kekayaan serta kehormatan, merekapun tak ingin menggunakan cara
yang licik, rendah dan terhina untuk meraih kekayaan dan kehormatan, oleh sebab itu mereka
selalu riang gembira, seperti rumput dan bebungahan yang mandi ditengah sinar matahari musim
semi. Mereka tahu kegembiraan dan kebahagiaan jauh lebih menyenangkan daripada kekayaan
serta kehormatan.
* * * Moay Lo-kong. Moay Lo-kong adalah nama sebuah warung makan yang amat kecil, juga nama orang.
Daging sosis bikinan "Moay Lo-kong" konon sedemikian lezat dan harumnya sehingga
manusia maupun anjing yang berada sepuluh li disekitar tempat ini pada tertarik semua.
Moay Lo-kung juga tauke dari warung makan itu, dia merangkap menjadi koki merangkap pula
sebagai pelayan.
Kecuali menjual sosis, Moay Lo-kong hanya menjual nasi putih serta bubur. Bila ingin minum
arak, mereka harus pergi membeli sendiri di warung penjual arak Yan-biau-goan yang terletak
beberapa rumah dari warung tersebut, atau langsung minum di warung Yan-biau-goan.
Ada orang menganjurkan Moay lo-kong, kenapa tidak sekalian menjual arak, bukankah akan
mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
Tapi Moay Lo-kong adalah seorang yang keras kepala, "Lo-kong" kebanyakan memang
orangnya kuno, keras kepala dan kaku, oleh sebab itu bila ingin minum arak, terpaksa kau harus
pergi membeli sendiri, kalau kau tidak puas dengan tempat itu, maka tiada tempat yang lain lagi."
Sebab Moay Lo-kong bukan cuma lezat masakannya, dia merupakan satu-satunya warung
yang berada disekitar tempat itu.
Penduduk kota itu membeli minyakpun harus mengirit, bagaimana mau menghamburkan uang
untuk bersantap diluar" Oleh sebab itu, sekalipun ada orang ingin merampas dagangan Moay Lokong,
lewat beberapa hari kemudian serta merta mereka menutup sendiri pintu besarnya.
Terhadap Ong Ting dan Kwik Tay-lok sekalian, Moay Lo-kong tak pernah menaruh kesan
jelek, dia tahu meskipun beberapa orang itu miskin, mereka tak pernah menunggak rekening.
Setiap kali mereka berkunjung ke warungnya, beberapa tahil perak tentu siap dalam saku
mereka, lagi pula setiap kali bersantap tentu makan dalam jumlah yang amat banyak.
Pemilik warung makan manapun tak akan menaruh kesan jelek terhadap tamunya yang suka
makan banyak. Tepat di sebrang warung Moay Lo-kong terletaklah tempat tinggal "mertua" Ong Tiong
sekalian. "Mertua" adalah istilah untuk rumah pegadaian.
Setiap kali sebelum berkunjung ke warung makannya Moay Lok-kong, hampir boleh dibilang
mereka selalu berkunjung dulu ke rumah "mertua" sebelum dengan gaya gagah dan bersemangat
melangkah masuk kewarung makan itu.
Tapi hari ini mereka bertindak di luar kebiasaan.
Sewaktu lewat dirumah "mertua" ternyata mereka sama sekali tidak berhenti, malah dadanya
dibusungkan tinggi-tinggi.
Ditinjau dari cara mereka berjalan, bisa diduga kalau saku mereka tak mungkin berada dalam
keadaan kosong.
Moay Lo-kong merasa lega juga keheranan, segera pikirnya:
"Heran, jangan-jangan mereka sudah menjadi pembegal " Kenapa secara tiba-tiba punya
uang ?" Kali ini yang berkunjung tiba ada empat orang, belum lagi melangkah masuk ke dalam
ruangan, Moay Lo-kong telah menyambut kedatangan mereka sambil menyapa dengan dialek
Kwang-tongnya yang tidak hapal:
"Hari ini datang pagi benar?"
Beberapa orang ini tidak takut langit, tidak takut bumi, mereka hanya takut kalau ada orang
mengajak berbicara dengan dialek Kwang-tong.
Untung saja Kwan Tay-lok sudah terbiasa mendengar dialek semacam itu, sekalipun tidak
mengerti, ia juga dapat menduganya.
Maka sahutnya sambil tertawa:
"Bukan orangnya datang terlalu pagi, adalah uangnya yang datang lebih awal, buatkan dulu
dua ekor itik panggang, lima kati daging dan dua ekor ayam goreng."
"Minum arak?" tanya Moay Lo-kung sambil mengedipkan matanya.
"Tentu saja, ambilkan dulu sepuluh kati, nanti sekalian diperhitungkan !"
Nada suaranya juga ikut bertambah nyaring, sebab dalam sakunya sekarang paling tidak
mengantongi uang emas seberat sepuluh tahil.
Bukankah tujuan mereka untuk mencari kabar rumah siapa yang kebobolan pencuri semalam"
Apa salahnya untuk menghamburkan uang seberat sepuluh tahil emas"
Bila perut lagi lapar, mau bicarapun malas, bagaimana mungkin bisa mencari berita "
Oleh sebab itu, dalam liangsim mereka sedikitpun tidak terasa ada beban sekalipun telah
mempergunakan uang hasil curian.
Tapi setelah arak dalam guci mulai mengalir lewat tenggorokan, perasaan tanggung jawabpun
pelan-pelan mulai muncul pula dalam hati mereka.
Setelah minum arak orang, sudah sewajarnya kalau mereka bekerja untuk orang.
Mereka enggan untuk makan kepunyaan orang dengan begitu saja.
Maka Kwik Tay-lok mulai buka suara: "Dalam dua hari belakangan ini, apakah kau berhasil
mendengar sesuatu berita besar ?"
Ternyata tak ada.
Berita yang paling menggemparkan seluruh kota adalah Ong Toa-nio dari toko kelontong telah
melahirkan sepasang bayi kembar.
Semua orang mulai keheranan.
"Mungkin mereka bukan beroperasi disini" Kwik Tay-lok mulai mengemukakan dugaannya.
"Sudah pasti di sini !" Yan Jit membantah.
"Kalau memang di sini, kenapa tak ada orang yang mengaku kecurian " Dalam semalam ada
beberapa ratus rumah kecurian, ini berita besar, sepantasnya kalau seluruh kota sudah menjadi
gempar." "Bukannya tidak ada, cuma tidak diutarakan, mereka tak berani mengutarakannya."
"Kecurian bukan suatu kejadian yang memalukan, kenapa tak berani diutarakan?"
"Kalau sumber harta situ datangnya secara lurus, jujur, orang tentu berani bicara, tapi kalau
datangnya tidak jujur, secara curang, korupsi atau mencuri, ibaratnya orang bisu yang makan
empedu, sekalipun kepahitan, rasa pahitnya hanya bisa dipendam didalam hati."
Mendengar perkataan itu, Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Kalau memang begitu, urusan tidak menyangkut diri kita lagi, toh kita sudah berusaha dengan
sekuat tenaga, bukan begitu ?"
Waktu itu, seguci arak sudah hampir seluruhnya berpindah ke dalam perut mereka, rasa
tanggung jawabnyapun dengan cepatnya sudah hampir terlupakan.
Tiba-tiba ia merasa hatinya begitu enteng, begitu santai, dengan suara keras segera serunya:
"Lo-kong, ambilkan sepuluh kati arak lagi buat kami !"
Belum lagi Moay Lo-kong melangkah keluar dari warungnya, tiba-tiba dari luar pintu berjalan
masuk tiga orang.
Orang pertama berperawakan tinggi, memakai baju berwarna emas dan kelihatan sangat
perlente. Orang kedua lebih tinggi perawakannya, tapi cekingnya bukan kepalang.
Tapi sayang bagaimanakah tampang mereka berdua, orang lain tak sempat melihat dengan
jelas. Sebab sinar mata semua orang sudah tertarik oleh orang ketiga.
Orang itu sekujur badannya berwarna hitam, bajunya hitam, celana hitam, sepatu hitam,
tangannya memakai sarung tangan hitam, kepalanya memakai topi lebar warna hitam yang
dikenakan rendah sekali hingga menutupi wajahnya.
Padahal sekalipun topi lebarnya tidak dikenakan rendah-rendah, orang juga tak dapat melihat
wajahnya, sebab kepala berikut wajahnya dibungkus pula oleh sebuah kain berwarna hitam, yang
tampak hanya sepasang matanya yang lebih tajam dari sembilu.
Dandanan untuk berjalan malam ini hanya cocok untuk dipakai ditengah malam buta dan
melakukan pekerjaan yang takut diketahui orang, tapi secara terang-terangan ia telah
mengenakannya untuk melalui jalan raya.
Bagaimanakah tampang mukanya"
Sebenarnya manusia macam apakah dia "
Siapapun tidak melihat, siapapun tidak tahu, dari atas sampai ke bawah pada hakekatnya tak
seinci pun tubuhnya yang bisa dilihat orang.
Tapi entah mengapa, ternyata dari sekujur tubuh orang itu, dari tiap inci badannya seakanakan
penuh mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan.
Yang paling berbahaya sudah barang tentu pedang yang tersoren di pinggangnya.
Sebilah pedang bersarung hitam yang panjangnya empat jengkal tujuh inci.
Jarang ada orang yang menggunakan pedang semacam ini, karena pedang yang kelewat
panjang susah untuk dicabut, kecuali orang itu memiliki kepandaian khusus dan cara mencabut
yang istimewa. Orang yang bisa mempergunakan pedang semacam ini, jelas bukan seseorang yang bisa
dihadapi dengan gampang. Setelah ia meloloskan pedang dengan bersusah payah, tentu saja tak
akan melepaskan korbannya dengan begitu saja.
Ketika pedangnya di sarungkan kembali, biasanya mata pedang sudah basah oleh darah.
Tentu saja darah orang lain!
Setelah masuk ke dalam ruangan, tiga orang itu lantas menempati sebuah meja yang letaknya
di sudut paling belakang ruangan itu, agaknya mereka tak ingin mengganggu orang lain, lebih tak
ingin diganggu orang.
Pesanan mereka: "Hidangan apa saja yang ada."
Ini menandakan kalau mereka datang ke situ bukan untuk "makan", dan tidak terlalu
mementingkan soal "makan".
Yang tidak terlalu memperhatikan soal makan biasanya kalau bukan hatinya sedang bermuram
durja, tentunya disebabkan lagi memikirkan persoalan lain.
Perduli apapun yang sedang mereka pikirkan, sudah jelas persoalan itu adalah suatu
persoalan yang tidak menyenangkan hati.
Lim Tay peng memperhatikan terus pedang orang yang berbaju hitam itu, kemudian
berguman: "Pedang belum lagi diloloskan, hawa pembunuhan yang terbawa sudah begini tebal"
"Bukan hawa pembunuhan dari pedangnya, melainkan hawa pembunuhan dari manusianya!"
Ong Tiong membenarkan.
"Tahukan kalian, siapakah orang ini?"
"Tidak tahu?", Kwik Tay-lok menghela napas panjang, "aku cuma tahu, sekalipun berada
dalam keadaan mabok hebat, aku tak akan mencari orang ini untuk diajak berkelahi".
"Aku kenal dengan dua orang lainnya." tiba-tiba Yan Jit berbisik.
"Tapi mereka tidak kenal dengan kau."
Yan Jit segera tertawa, katanya dengan hambar:
"Aku ini terhitung manusia apa, sudah barang tentu orang-orang kenamaan seperti mereka tak
akan kenal dengan aku."
"Mereka sangat ternama ?"
"Yaa, orang yang duduk dibagian luar, bertubuh jangkung lagi ceking itu bernama Sia-kun
(tongkat penjepit), dinamakan pula Kun-cu (si tongkat) !"
"Si tongkat" Ehmm, memang mirip dengan perawakannya, tapi Sia-kun rada istimewa."
"Sia-kun atau tongkat penjepit adalah semacam alat siksaan yang sangat hebat,
bagaimanapun licik dan bandelnya pencoleng, bila sudah berada dalam tongkat penjepit ini, apa
yang kau katakan akan dikatakan pula oleh mereka, sekalipun kau suruh dia menyebut nama
nenek moyangnya, dia tak akan berani membangkang."
"Demikian hebatkah kepandaiannya ?" Kwik Tay-lok tidak percaya.
"Yaa, konon siapa saja yang bertemu dengannya, tak bisa tidak harus bicara terus terang,
sekalipun orang mati, dia pun punya kepandaian untuk mengorek keterangan darinya."
"Cara kerja orang ini pasti ganas dan kejam." kata Ong Tiong.
"Dia masih mempunyai julukan lain yang disebut Kun-cu atau si tongkat, ini diartikan Kian-jinciu-
to (bertemu dengan orang lantas memukul). Siapa saja yang terjatuh ke tangannya, tak ayal
hidung dan matanya mesti akan bengkak-bengkak diberi bogem mentah dulu olehnya. Sobatsobat
golongan hitam yang bertemu dengannya, pada hakekatnya seperti bertemu dengan setan
perenggut nyawa atau Raja akhirat saja."
"Apa pekerjaannya?"
"Polisi dari keresidenan Cing-ho-sian."
"Keresidenan Cing-ho-sian bukan suatu tempat yang terlampau besar, bukankah hal ini sama
halnya dengan memendam sebuah bakat bagus untuk pengadilan?"
"Oleh karena cara kerjanya ganas dan kejam, maka ia tak pernah naik pangkat. Tapi
bagaimanapun besarnya persoalan yang tak terselesaikan ditempat lain, orang pasti akan datang
ke keresidenan Ching-ho-sian untuk meminta bantuannya"
"Siapa pula saudara yang berbaju kuning warna emas itu!" tanya Kwik Tay-lok kemudian.
"Dia she Kim dan suka warna emas, maka orang sebutnya sebagai Kim-say (singa emas), tapi
di belakang orang lebih suka memanggilnya sebagai Kim-mao-san-cu-kau (Anjing buldog berbulu
emas)!" Mendengar nama itu Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Yaa, kalau suruh aku berbicara yang jujur, tampang orang ini memang mirip dengan anjing
Buldog !" "Kau pernah melihat anjing buldog?"
"Segala macam anjing pernah kulihat !" jawab Kwik Tay-lok dengan bangga.
"Tentu saja, kan bangsa anjing serumpun dengannya !" sela Ong Tiong.
Kontan saja Kwik Tay-lok melotot besar tapi urung marah.
Yan Jit segera berkata kembali: "Coba kalian bayangkan, bagian mana dari anjing buldog yang
paling besar?"
"Hidungnya paling besar!" Lim Tay-peng segera menyela.
"Bagian mana yang terkecil ?"
"Mulut !"
Setelah tertawa, Lim Tay-peng menjelaskan lebih jauh: "Bukannya aku juga seperti saudara
Kwik, serumpun dengan mereka, melainkan secara kebetulan diwaktu kecil dulu, aku memelihara
beberapa ekor anjing buldog."
"Nah, sekarang coba kalian saksikan kembali tampang orang itu !"
Kalau menengok dari sebelah sini, kebetulan tampang si "anjing buldog" itu kelihatan amat
jelas. Siapa saja yang memandang wajahnya, tak seorangpun yang tidak berhasil melihat
hidungnya. Kalau boleh diambil perbandingan, maka hidung orang itu sudah menduduki sepertiga dari
luas permukaan wajahnya.
Bibir, siapapun tentu akan lebih lebar dari hidung, tapi hidungnya justru lebih besar dari
bibirnya, ini menyebabkan jika kita tengok dari atas kepalanya, sudah pasti bibirnya tak akan
terlihat, karena bibir itu terhadang oleh hidungnya yang besar.
Hampir meledak gelak tertawa Kwik Tay lok, sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
"Yaa, benar, dia memang mempunyai hidung ukuran king-size!"
"Matanya tentu tidak-tajam!" kata Ong Tiong.
"Darimana kau bisa tahu ?" tanya Kwik Tay-lok dengan keheranan.
"Karena sepasang matanya terhadang oleh hidungnya yang besar, maka mata yang sebelah
kiri cuma bisa melihat barang-barang di sebelah kiri, sedangkan mata yang kanan cuma bisa
melihat barang-barang yang ada di sebelah kanan"
Baru selesai berbicara, bahkan Yan Jit pun tak tahan untuk ikut tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi sampai sekarang aku masih belum berhasil menemukan letak bibirnya" kata Kwik Taylok
kemudian. Sambil menahan geli Yan Jit menerangkan:
"Coba kau perhatikan lagi, di bawah hidungnya bukankah ada lubang kecil " Nah, itulah
bibirnya" "Ooooh.... lubang kecil itu bibirnya " Aku masih mengira kalau lubang hidung"
"Aaah, kau ini juga aneh, masa di atas lubang hidung bisa tumbuh kumisnya ?" seru Lim Taypeng.
"Siapa tahu kalau bulu itu bukan kumis tapi bulu hidung ?"
"Itulah sebabnya, dikala ia sedang makan, kadangkala orang lain tak tahu makanan itu hendak
ditelan lewat mana"
Walaupun mereka berusaha menahan rasa gelinya, tak urung meledak juga gelak tawa
mereka berempat.
Saking terpingkal-pingkalnya, hampir saja Kwik Tay-lok terpeleset jatuh ke kolong meja.


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba si anjing buldok itu berpaling dan memandang sekejap ke arah mereka.
Tapi hanya sekejap saja, ia segera berpaling kembali.
Walaupun cuma sekejap, tapi lebih dari cukup.
Setiap orang merasakan bahwa sorot matanya begitu tajam bagaikan pisau belati, kalau
hendak dibandingkan maka mata itu seperti mata singa jantan, bahkan biji matanyapun berwarna
kuning. Suara pembicaraan mereka sebenarnya sudah amat rendah, sekarang bertambah rendah lagi.
"Apa pula pekerjaan orang ini?" tanya Kwik Tay-lok kemudian.
"Dia juga seorang opas, dua tahun berselang masih menjadi opas di ibukota, tapi belakangan
ini konon sudah naik pangkat menjadi komandan opas untuk sembilan propinsi di utara sungai
besar." "Jika dilihat dari dandanannya macam laki-laki hidung bangor, ia tidak pantas untuk menjadi
seorang opas kenamaan".
"Kau sendiripun tidak mirip si rudin" Ong Tiong menimpali.
"Dimanakah letak kehebatannya ?" tanya Lim Tay-peng pula.
"Pada hidungnya !"
"Pada hidungnya ?"
"Meskipun hidungnya besar, bukan berarti besar tapi tak berguna. Konon daya penciumannya
jauh lebih tajam daripada anjing, bila seseorang kena diendus bau-bau badannya, maka
bagaimanapun kau menyamar, jangan harap bisa lolos dari daya penciumannya."
"Waaah.... kepandaian semacam ini memang terhitung hebat sekali"
"Kedua orang ini boleh dibilang merupakan jago-jago kelas satu dari pihak pengadilan, kalau
bukan lantaran suatu peristiwa besar, tak mungkin mereka bisa sampai di sini, oleh sebab itu...."
"Oleh sebab itu kau merasa heran, kenapa secara tiba-tiba mereka bisa sampai di sini ?"
sambung Ong Tiong.
"Yaa, aku memang merasa sangat keheranan, kalau dibilang mereka datang lantaran peristiwa
pencurian yang terjadi semalam, kenapa mereka bisa menerima kabar dengan begitu cepat?"
Pada saat itulah, tiba-tiba dari tengah jalan berkumandang suara jeritan lengking seorang
perempuan, suaranya seperti ayam yang kena diinjak tengkuknya.
Kemudian merekapun menyaksikan ada seorang perempuan yang rambutnya terurai tak
karuan menerjang keluar dari rumah di seberang jalan sana, seorang laki-laki yang gemuk pendek
sedang menariknya dengan sepenuh tenaga.
Sampai pada akhirnya, perempuan itu duduk di atas tanah sambil menangis meraung-raung,
sambil menangis teriaknya keras-keras:
"Uangku untuk membeli peti matipun sudah dicuri orang, kenapa aku tak boleh berbicara..."
Kenapa aku harus membungkam" Aku sengaja hendak berkata."
Semakin berbicara ia semakin sedih, akhirnya sambil membentur-benturkan kepalanya di atas
tanah serunya seraya menangis tersedu-sedu:
"Oooh... Thian, kenapa kau begitu tak adil, oooh bajingan yang kejam, hatimu betul-betul hitam
seperti hati serigala, kenapa kau tidak meninggalkan sedikit untukku...." Tiga ribu tahil emas murni
ditambah dengan seluruh perhiasanku telah kau larikan.... Ooh, jika kau adalah seorang yang
berhati baik, kembalikanlah semuanya kepadaku, aku rela membagikan separuh untukmu."
Paras muka laki-laki gemuk pendek itu berubah menjadi merah sejenak, pucat sejenak,
dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya ia baru berhasil menyeretnya masuk ke
dalam rumah, kemudian sambil tertawa paksa katanya:
"Secara tiba-tiba biniku kambuh penyakit gilanya, mana mungkin kami memiliki uang emas tiga
ribu tahil" Apalagi dicuri orang?"
Kwik Tay-lok dan Yan Jit saling berpandangan sekejap, baru saja mereka hendak bertanya
kepada Moay Lo-kong:
"Siapakah orang itu ?"
Rupanya si tongkat penjepit jauh lebih cepat daripada mereka.
Suaranya beret tapi pelan, seakan-akan untuk mengucapkan setiap kata itu dia harus
mengerahkan tenaga besar.
Hal mana mendatangkan kesan bahwa lebih baik kau perhatikan secara serius setiap
perkataannya. Moay La-kong segera menerangkan:
"Konon sepasang suami istri ini berasal dari kota Kay-hong, sebenarnya berdagang kain di
situ, setelah berhasil menabung beberapa tahil perak, mereka bermaksud untuk hidup menghemat
dan sederhana sampai tua. Kalau dari rumah mereka bisa dicuri tiga ribu tahil emas, ini baru suatu
berita aneh namanya."
Sebenarnya ia bukan seorang yang banyak bicara, tapi mulutnya sekarang seakan-akan telah
berminyak, bahkan dialek Kwang-tongnya yang tidak karuanpun sekarang kedengaran lebih tepat
dan enak didengar.
Si Tongkat penjepit mendengar dengan seksama.
Sewaktu berbicara tadi ia bisa bicara perlahan, maka sekarang ia dapat pula mendengarkan
dengan seksama, seakan-akan setiap patah kata yang didengar dikunyah lebih dulu dalam
bibirnya kemudian ditelan ke dalam perut.
Bahkan sekali ditelan ke dalam perut, maka selamanya tak akan ditumpahkan kembali.
Menanti Moay Lo-kung telah selesai berkata, ia baru bertanya kembali dengan suara dalam:
"Mereka dari marga apa?"
"Yang lelaki dari marga Ko, yang perempuan agaknya berasal dari keluarga Lo."
Tiba-tiba si tongkat penjepit bangkit berdiri dan berjalan keluar dengan langkah lebar.
Sejak awal sampai akhir, manusia berbaju hitam itu tak mengucapkan sepatah katapun, saat
itulah tiba-tiba ia bertanya:
"Apakah tengah hari sudah lewat ?"
"Baru saja lewat !" jawab Moay Lo-kong.
"Bawa kemari!" manusia berbaju hitam itu segera berseru.
Si anjing buldok seperti rada sangsi, bisiknya: "Aku pikir tempat ini kurang leluasa!"
"Siapa yang bilang?"
Si anjing buldok itu seperti menghela napas panjang, dari sakunya dia lantas merogoh keluar
sekeping emas murni yang beratnya kira-kira dua puluh tahil, setelah diletakkan di meja lantas
pelan-pelan didorong ke muka.
Manusia berbaju hitam itu segera mengambil dan menyimpannya, ia tidak berbicara lagi.
Si anjing buldok menghembuskan napas panjang, setelah memandang sekejap cuaca di luar
jendela, ia bergumam:
"Sehari sungguh cepat berlalu !"
Jilid 04 TAPI BAGI SEMENTARA ORANG, sehari seakan-akan setahun, waktu seakan-akan
merambat seperti siput, mau dilewatkan juga susahnya bukan kepalang.
Tongkat, bukan suatu benda yang disukai setiap orang.
Tapi tongkat justru besar sekali kegunaannya.
Tongkat lebih menguntungkan daripada pedang, jika sebuah tongkat diayunkan ke bawah,
kadangkala akan dilihat dulu apa yang dipukul.
Jika pedang diloloskan dari sarung, biasanya dia akan mengincar bagian lemah yang
mematikan. Terutama pedang tersebut.
Sewaktu pedang itu diloloskan keluar, dia ada harganya, sewaktu di sarungkan kembali,
diapun ada harganya.
Harga sewaktu dicabut adalah uang, sedang harga sewaktu di sarungkan adalah darah!
Satu jam sudah lewat, si anjing buldok dan manusia berbaju hitam itu, masih duduk di situ, Kwi
Tay-lok sekalian juga masih duduk di tempat.
Mereka enggan pergi, juga tak bisa pergi.
Bila Kwik Tay-lok mengeluarkan uang mas itu untuk membayar rekening, bukankah hal ini
sama artinya dengan memberitahukan kepada orang lain bahwa dirinya adalah penyamun.
Akhirnya si tongkat penjepit kembali juga, sekarang Kwik Tay-lok bisa melihat wajahnya
dengan jelas. Raut wajahnya ibarat tinggal kulit pembungkus tulang, tiada perasaan tiada luapan emosi,
tiada pula daging.
"Bagaimana ?" tanya si anjing buldok.
"Orang itu bukan she Ko, dia she Song, sebetulnya adalah kasir dari perusahaan Liau-tanggou-
yo-hau milik keluarga Thio, setelah berhasil menggaet sejumlah uang milik majikannya, ia
melarikan diri kemari, oleh sebab itu meski uang emasnya dicuri orang, mereka tak berani
berkaok-kaok."
Si anjing buldok segera tertawa dingin, katanya:
"Tampaknya cara ini merupakan cara yang lazim dia pergunakan, menangkap dulu titik
kelemahan orang kemudian baru turun tangan"
"Yaa, sewaktu beroperasi pun cara yang dipergunakan juga sama, lagi pula cara kerjanya
bersih dan indah, tanpa membuka pintu atau jendela, emasnya sudah terbang."
"Kapan terjadinya peristiwa itu?"
"Semalam !"
"Asal dia sudah turun tangan, paling tidak ada tiga belas buah peristiwa yang dilakukan secara
bersamaan, biasanya ini adalah peraturannya...."
"Kecuali orang she Song itu, aku telah memeriksa pula lima keluarga lagi." si tongkat penjepit
menerangkan lebih jauh.
"Apakah kelima keluarga itupun pernah berbuat kriminil sehingga kehilangan tersebut tak
berani diluarkan kepada orang ?"
"Betul, malah salah satu diantaranya dulu adalah bekas komandan regu anak buah Liok-sanliong-
ong sebelum cuci tangan dulu, sekarang ia telah berbini dan punya anak."
"Mereka bisa bertemu dengan orang itu, boleh dibilang itulah kesialan mereka, lepaskan saja
orang-orang itu"
Si tongkat penjepit tidak berbicara, dia hanya memperhatikan tangan sendiri sambil tertawa
dingin. Sambil tertawa si anjing buldok berkata:
"Padahal aku juga tahu kalau kau tak akan lepas tangan, setiap orang yang pernah
berhubungan dengan Liok-sang-liong-ong, bila sampai bertemu dengan kau berarti dia lagi naas.
Tapi kau sendiripun harus berhati-hati, jika benar-benar sampai berjumpa dengan Liok sang-liongong
serta ular beracun itu, orang yang sial waktu itu kemungkinan sekali adalah kau sendiri."
Si tongkat penjepit masih tertawa dingin, ia tidak berbicara apa-apa.
"Bagaimanapun juga, kabar yang kita terima agaknya tidak keliru" ujar si anjing buldok lagi,
"rupanya selama banyak tahun ini dia selalu bersembunyi disini."
"Orang yang memberitahukan kabar ini kepadaku memang dapat dipercaya, kalau tidak
kenapa aku suruh kau membayar sepuluh ribu tahil kepadanya?"
"Kalau betul ia sudah bercokol selama tujuh-delapan tahun di sini, kenapa secara tiba-tiba
turun tangan lagi ?"
"Itulah yang dinamakan tangan gatal."
Semua pembicaraan tersebut diucapkan dengan terang-terangan, sedikitpun tidak kuatir
didengar orang, tentu saja Kwik Tay-lok dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.
Bagaimanapun juga, mau tak mau dia harus mengakui bahwa si tongkat penjepit memang
betul-betul punya kepandaian.
Tapi, siapa yang mereka maksudkan dengan "Dia" itu "
Tiba-tiba si tongkat penjepit kembali tertawa dingin, katanya lagi:
"Kalau betul ia masih melakukan pencurian disini semalam, berarti sampai sekarang ia masih
mengendon di sini. Setiap orang yang ke luar kota pagi ini telah kuperiksa semua, kecuali
serombongan penjual akrobatik yang agak mencurigakan, yang lain boleh dibilang adalah orangorang
yang tahu aturan".
"Mungkinkah hasil perampokan itu berada pada penjual akrobatik itu, dan diangkut keluar kota
?" "Tidak mungkin, kalau dilihat dari debu yang dibawa oleh alas kaki mereka, paling banter uang
yang mereka bawa cuma tak lebih dari sepuluh tahil perak".
Tiba-tiba si anjing buldok itu memperlihatkan sekulum senyuman bengis yang menyeramkan,
kemudian katanya:
"Jadi kalau begitu, dia pasti masih berada dalam kota !"
Setelah mendengar sampai di situ. Kwik Tay-lok betul-betul tak tahan untuk bertanya kepada
mereka: "Dari mana kau bisa tahu kalau ia tidak kabur melalui jalan setapak " Darimana pula kau bisa
tahu kalau ia tidak kabur pada saat ini ?"
Tentu saja Kwik Tay-lok tak bisa mengajukan pertanyaan itu.
Untung saja tanpa ditanya olehnya si tongkat penjepit telah mengatakannya sendiri.
"Sekali turun tangan, hasilnya paling tidak diatas sepuluh laksa tahil emas, aku telah
menyebarkan penjagaan di sekeliling tempat ini, bagaimanapun juga, jangan harap ia akan
berhasil kabur dari sini dengan membawa uang sebesar sepuluh laksa tahil emas".
"Sudah barang tentu dia juga bukan seseorang yang mau menumpahkan hasilnya setelah
ditelan ke perut. Orang ini selalu memandang uang bagaikan nyawa sendiri, dia tersohor sebagai
seorang yang menelan sekulit setulangnya, sekali sudah ditelan, sampai matipun tak akan
ditumpahkan kembali"
Si tongkat penjepit segera tertawa dingin.
"Itulah penyakit lamanya" dia berkata, "aku tahu sendiri dulu, suatu ketika penyakitnya itu pasti
akan merenggut selembar jiwa sendiri!"
"Tapi orang ini betul-betul terlalu licik, ilmu penyamarannya juga sangat lihay, ditambah lagi
pandai mengecilkan tulang, bahkan tinggi rendahnya perawakanpun dapat dirubah, belum tentu
kita mampu untuk membongkar sarangnya"
Tiba-tiba si tongkat penjepit menggebrak meja sambil berseru:
"Kalau sampai kali ini dia bisa kabur lagi, aku akan menukar nama margaku"
"Kau sudah menemukan jalannya ?"
"Sekalipun harus bertanya satu per satu, sekalipun harus berkorban selama tiga bulan, aku
bersumpah akan menggusurnya keluar dari sarang serigalanya".
Si anjing buldok mengerling sekejap ke arah manusia baju hitam itu, kemudian dengan alis
yang berkerenyit katanya:
"Apakah kau akan menanyai setiap orang yang berdiam dalam kota ini ?"
"Akupun tahu kalau caraku ini adalah cara seorang bodoh, tapi cara yang bodoh kadang kala
malah akan mendatangkan hasil"
"Kau bersiap-siap akan mulai dari mana ?" tanya si anjing buldok kemudian setelah menghela
napas. "Dari sini !"
Tiba-tiba matanya, melotot ke arah wajah Kwik Tay-lok.
Seandainya berganti orang lain, apalagi kalau dalam hatinya memang ada yang tak beres, bila
dipelototi semacam ini meski tidak ketakutan setengah mati, paling tidak paras mukanya akan
berubah hebat. Si tongkat penjepit tetap adalah si tongkat penjepit, barang siapa bertemu dengannya maka
jangan harap kau tak akan bicara jujur.
Tetapi Kwik Tay-lok masih tertawa haha hihi tanpa berubah sedikipun wajahnya seakan-akan
ia sama sekali tak ambil peduli.
Sesungguhnya dia memang seseorang yang acuh tak acuh, apalagi dalam perutnya sekarang
sudah dipenuhi arak Tiok-yap-cing dari warung Yan-biau-gwan yang berusia tua.
Paras muka si tongkat penjepitpun amat tawar, tanpa emosi, sepasang matanya melototi mata
Kwik Tay-lok tajam-tajam, pelan-pelan ia bangkit kemudian pelan-pelan berjalan menghampirinya.
Dengan mukanya yang hijau menyeramkan, setiap orang yang bernyali kecil tentu tak akan
berani berjumpa dengannya, jangan toh baru di suruh mengaku terus terang, mungkin celana
dalampun sudah basah lantaran terkencing-kencing.
"Orang ini tidak pantas disebut tongkat penjepit, ia lebih pantas kalau dinamakan si mayat
hidup" Perkataan tersebut hampir saja meluncur keluar dari mulut Kwik Tay-lok, hampir saja
diucapkan dengan lantang... jangan kau anggap ia tak berani berbicara, asal arak sudah masuk
keperut, kata "tidak berani" mungkin sudah menjauhinya sejauh sepuluh laksa delapan ribu li.
Ong Tiong sekalian juga tidak ambil perduli: "Sekali kau bersahabat dengan Kwik Tay-lok,
maka setiap saat kau harus bersiap-siap untuk berkelahi baginya."
Berkelahi bagi mereka tak lebih hanya suatu kejadian yang lumrah, seperti tiap manusia harus
makan setiap hari.
Sekalipun sepasang mata si tongkat penjepit tidak melototinya, tapi sepasang matanya justru
melototi si tongkat penjepit dengan penuh rasa gusar.
Agaknya, baik Kwik Tay-lok yang salah berbicara, atau si tongkat penjepit yang salah
berbicara, suatu pertarungan setiap saat bakal terjadi.
Siapa tahu, pada saat itulah tiba-tiba sianjing buldok berseru:
"Beberapa orang itu tak usah ditanyai."
"Kenapa ?"
"Kalau dalam perut mereka ada suatu yang tak beres, mana mungkin ada kegembiraan untuk
membicarakan soal hidungku ?" katanya sambil tertawa lebar.
Ternyata orang ini bukan cuma daya penciumannya tajam, telinganya juga tajam sekali.
"Oooh, jadi semua pembicaraan kami telah kau dengar?" tak tahan lagi Kwik Tay lok menegur
sambil tertawa geli.
"Bagi kami yang pekerjaannya begini, bukan cuma pandangan matanya harus luas, telinganya
juga musti mendengarkan suara yang berada di delapan penjuru."
"Kau tidak marah?"
"Kenapa harus marah?" si anjing buldok tertawa, "sekalipun hidung yang kegedean tak sedap
didengar, toh hal itu bukan suatu kejadian yang memalukan."
Kesan Kwik Tay-lok terhadap orang ini segera membaik, ujarnya kemudian sambil tertawa:
"Bukan saja tidak memalukan, juga tidak terlalu jelek. Hidung orang lelaki harus besar,
semakin besar semakin baik, perempuan yang tahu urusan pasti menyukai orang lelaki yang
berhidung besar"
"Aku lihat hidungmu juga tidak termasuk kecil" seru si anjing buldok sambil tertawa keras.
Kwik Tay-lok segera meraba hidungnya sendiri, lalu katanya sambil tertawa:
"Yaa. kalau cuma dipaksakan mah memang masih rada lumayan"
"Apakah kalian tinggal didalam kota ?"
"Ooh tidak, tidak di dalam kota, diatas bukit sana"
"Banyakkah yang tinggal diatas bukit itu?"
"Kalau orang hidup mah cuma kami berempat, kalau orang mati tak terhitung banyaknya"
"Orang mati ?"
"Yaa, tempat tinggal kami dekat tanah pekuburan, tempat itu dinamakan Hok-kui-san-ceng,
kalau ada kesempatan mampirlah kesana"
"Kami pasti akan berkunjung ke situ"


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba ia bangkit berdiri sambil berseru:
"Ciangkwe, mana rekeningnya, rekening beberapa orang ini dihitungkan sekalian dalam
rekeningku."
"Aaaah, hal ini mana boleh jadi" seru Kwik Tay-lok sambil melompat bangun, "kami adalah
tuan rumah, kau harus membiarkan kami menjadi tuan rumah yang baik"
Dia bukan cuma gemar berteman, ia lebih gemar menjamu orang.
Tak ada orang yang lebih cepat berteman daripadanya, tak ada pula orang yang lebih cepat
membayar rekening daripadanya. Tapi setelah tangannya merogoh ke dalam saku, ia tak dapat
menariknya lagi.
Bagaimanapun juga ia tak bisa mengeluarkan kepingan emas itu di hadapan orang banyak.
Ternyata si anjing buldok juga tidak berebut untuk membayar, malah katanya sambil tertawa:
"Kalau begitu, biarlah kami menurut saja, terima kasih, terima kasih."
Tiba-tiba si tongkat penjepit menepuk-nepuk bahu Kwik Tay-lok sambil berkata dengan dingin:
"Selama dua hari ini situasi dalam kota pasti kacau, kalau tak ada urusan lebih baik
mengendon dalam rumah saja, dari pada mencari kesulitan sendiri."
Kemudian tanpa memberi kesempatan berbicara untuk Kwik Tay-lok, dia menekan bahunya
keras-keras, terusnya:
"Kau tak usah repot-repot menghantar kami, silahkan duduk!"
Hiihhhhh.... hiihhhhh.... hiihhhh.... aku tidak lelah, masih pingin berdiri lagi", jawab Kwik Tay-lok
sambil cekikikan.
Padahal si tongkat penjepit telah menggunakan tenaganya sebesar delapan bagian, tapi
sedikitpun tidak menghasilkan apa-apa, dengan mata melotot dia mengawasi pemuda itu dari atas
sampai ke bawah, beberapa kejap kemudian tanpa berpaling lagi dia berlalu dari situ.
"Kenalkah kalian dengan orang yang ada di seberang jalan itu ?" tiba-tiba si anjing buldok
bertanya. Yang dimaksudkan adalah seorang kakek kurus yang rambutnya telah beruban, ia sedang
membawa seember air kotor dan keluar dari pintu rumahnya, kemudian menuangkan air itu
ketengah jalan.
"Tentu saja kenal" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa, "dia adalah pemilik pegadaian Lip-gwan,
kami semua memanggilnya sebagai Hoat-po-pi (si penyayat kulit hidup)"
Mencorong sinar tajam dari balik mata si anjing buldok, diawasinya kakek itu tanpa berkedip.
Menanti kakek itu sudah membalikkan badan dan berjalan masuk, ia baru berkata sambil
tertawa: "Kalian tak usah repot-repot, kami hendak memohon diri lebih dulu"
Ia lantas menyusul si tongkat penjepit, membisikkan sesuatu ke sisi telinganya dan kemudian
bersama-sama menuju ke rumah pegadaian tersebut...."
Saat itulah, si orang baju hitam baru pelan-pelan bangkit berdiri dan pelan-pelan berjalan
melewati hadapan Kwik Tay-lok sekalian.
Semua orang masih minum arak sambil menundukkan kepala, tak seorangpun yang
memperhatikannya. Karena setiap kali berjumpa dengannya, mereka seakan-akan melihat seekor
ular berbisa, suatu perasaan tak enak yang sukar dilukiskan dengan kata-kata tentu akan muncul
di dasar hati setiap orang.
Si orang berbaju hitam itu sama sekali tidak berhenti, hanya secara tiba-tiba ia menyapa:
"Ui Giok-ji, baik-baikkah engkau ?"
Semua orang tertegun, siapapun tak tahu dia sedang menegur siapa.
Dalam pada itu, si orang berbaju hitam itu sudah keluar dari warung tersebut dengan langkah
lebar. Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya:
"Heran, jangan-jangan pikiran orang ini kurang waras ?"
Lim Tay-peng memperhatikan pula pedang yang tergantung di punggung orang itu lalu,
gumamnya pula: "Pedang itu paling tidak panjangnya empat jengkal tujuh inci !"
"Aku lihat ketajaman matamu cukup hebat" kata Yan Jit, "agaknya kau adalah seorang ahli
dalam ilmu pedang?"
Lim Tay-peng seakan-akan tidak rnendengar perkataan itu, kembali dia berkata:
"Menurut apa yang kuketahui, hanya tiga orang dalam dunia persilatan yang bisa
menggunakan pedang sepanjang itu."
"Oooh, siapa saja ?" seru Kwik Tay-lok.
"Orang pertama bernama Ting Gi-long, konon dia adalah anak haram dari seorang
petualangan yang berasal dari negeri Hu-sang (Jepang) Mitsu Hanada dengan Hong-san-li-kiamkek
(jago pedang perempuan dari bukit Hong-san) Ting Li, menurut kata orang, Mitsu Hanada
adalah seorang samurai terkenal dinegeri Hu-sang yang berjulukan Samurai kilat, oleh sebab itu
ilmu pedang yang dimiliki Ting Gi-long merupakan kombinasi antara ilmu pedang aliran Hong-san
dengan aliran negeri Hu-sang."
Yan Jit menatapnya lekat-lekat, lalu serunya:
"Tak kusangka pengetahuanmu tentang dunia persilatan jauh lebih banyak daripada diriku."
Lim Tay-peng agak sangsi sejenak, kemudian katanya:
"Aku sendiripun mengetahuinya dari orang lain."
"Lalu siapakah dua orang lainnya?" Kwik Tay-lok segera menyela.
"Orang kedua adalah satu-satunya ahli waris dari Kiong Tiang-hong, ia bernama Kiong Honghun."
"Kiong Hong-hun " Seperti nama seorang perempuan!"
"Dia memang seorang perempuan" Yan Jit menerangkan, "apakah kau menganggap
perempuan tak dapat menggunakan pedang sepanjang itu ?"
Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Aku hanya merasa bahwa orang berbaju hitam itu besar kemungkinan bukan seorang
perempuan."
"Konon Ting Gi-long telah berangkat ke negeri Hu-sang beberapa waktu berselang, katanya
hendak pergi mencari ayah kandungnya, oleh sebab itu si orang berbaju hitam ini jelas bukan dia"
"Siapa orang ketiga?"
"Orang itu bernama Kiam-te-yu-hun (sukma yang lolos dari ujung pedang) Lamkiong-Cho."
"Sukma yang lolos dari ujung pedang " Jelas kata-kata itu merupakan suatu kata ejekan,
kenapa dia malah memakainya sebagai nama julukan kebanggaan ?"
"Banyak tahun berselang, dalam dunia persilatan muncul seorang manusia aneh yang
bernama Kong-bong-sip-ci-kiam (pedang sepuluh kata kalap), setiap orang yang bertemu
dengannya tak seorangpun berhasil lolos dalam keadaan hidup, malah See-san-sam-yu (tiga
serangkai dari see-san) serta Kanglam Tit-it-kiam (pedang nomor wahid dari Kanglam) yang
termashur namanya ketika itupun terbunuh olehnya, Lamkiong Cho berhasil lolos dalam keadaan
hidup. Sebab itulah Lamkiong Cho merasa bangga dengan prestasinya itu, diapun menamakan
dirinya sebagai Sukma yang lolos dari ujung pedang"
"Sudah kalah diujung pedang orang masih merasa bangga, orang ini betul-betul menarik" kata
Kwik Tay-lok sambil tertawa.
"Orang ini bukan saja tidak menarik, bahkan tidak menarik sekali" Lim Tay-peng
membenarkan. "Kenapa ?"
"Konon orang ini gemar sekali membunuh orang, ada kalanya ia membunuh orang cuma
lantaran dirinya lagi senang, adakalanya dia pun bisa menbunuh orang lantaran uang. Sekalipun ia
berhasil lolos dari ujung pedang Sip-ci-kiam, sebuah codet berbentuk huruf silang empat
menghiasi wajahnya, oleh sebab itu dia tak pernah mau menjumpai orang dengan wajah aslinya".
"Kalau begitu, besar kemungkinan orang berbaju hitam itu adalah dia...."
"Belum tentu demikian" tiba-tiba Ong Tiong menyela.
"Belum tentu?"
"Darimana kalian bisa tahu kalau dia bukan seorang perempuan, bukan Kiong Hong Hun ?"
"Tentu saja bukan !"
"Kenapa " Kau sudah melihat wajahnya" Sudah melihat tangannya " Sudah melihat kakinya."
Bahkan seinci tubuhnya saja belum kau lihat, apa yang bisa kau saksikan tak lebih hanya pakaian
berwarna hitam, masa pakaian yang bisa dipakai orang lelaki tak bisa dikenakan oleh
perempuan?"
Kwik Tay-lok tertegun, lama sekali ia baru berkata sambil tertawa:
"Kalau dia seorang perempuan, ini lebih menarik lagi, aku ingin melihat bagaimanakah raut
wajahnya."
"Agaknya asal perempuan, kau pasti merasa tertarik sekali ?" seru Yan Jit kesal.
Kwik Tay-lok tertawa terbahak-bahak..
"Bagaimanapun juga perempuan memang jauh lebih menarik daripada lelaki, tentu saja yang
terlalu jelek dan terlalu tua dikecualikan."
Yan Jit segera menghela napes panjang, katanya:
"Aaai...! Manusia macam dia kalau tak mau mengaku sebagai setan perempuan, siapa yang
mau mengaku ?"
"Paling tidak aku punya sedikit kemiripan pula dengan setan perempuan...." sela Ong Tiong
sambil menguap.
"Kemiripan dalam hal apa ?"
"Setiap waktu, setiap saat aku selalu teringat dengan ranjang."
* * * Pembaringan. Ke empat buah peti yang berisi emas dan permata itu berada di kolong pembaringan.
Sekalipun seseorang yang kaya raya di dunia ini, tak nanti akan menyimpan empat buah peti
yang berisi emas intan dan mutu manikam yang tak terhitung jumlahnya itu di bawah kolong
ranjang, apalagi tanpa mengunci pintu meninggalkan rumah.
Tapi mereka telah berbuat demikian, sebab kecuali mereka sendiri, mimpipun orang lain tak
akan menyangka kalau di bawah kolong ranjang yang rongsok dan dekil itu bisa terdapat harta
karun sedemikian besarnya, apalagi rumah itu dasarnya memang kosong melompong, kecuali
kolong ranjang, memang tak ada tempat lain yang bisa dipakai untuk menyimpan ke empat buah
peti itu lagi. "Kenapa tidak ditanam saja ke dalam tanah?" Yan Jit pernah mengajukan usul tersebut, tapi
Ong Tiong yang pertama-tama menampik.
"Sekarang dengan susah payah kita menanam peti-peti itu ke dalam tanah, dua hari kemudian
dengan susah payah menggali kembali, kalau toh akhirnya harus digali keluar, apa sebabnya kita
memendamnya sekarang ?"
Orang malas selalu mempunyai alasan yang cukup untuk menolak melakukan suatu
pekerjaan. Alasan dari Ong Tiong tentu saja cukup kuat.
Sekarang, tentu saja ia telah berbaring kembali di atas ranjangnya.
Kwik Tay-long sedang berlatih tekun minum arak sambil berjungkir balik, ketika diketahui
bahwa minum arak ada banyak ragamnya, ia bertekad untuk menguasai dulu cara minum sambil
berjungkir balik.
Seandainya di dunia terdapat orang yang bisa minum arak dengan mata, sekalipun cuma
seorang, dia tak akan pantang menyerah, baik buruk dia pasti akan berlatih dari orang itu sampai
berhasil. Lim Tay-peng duduk di atas undak-undakan pintu sambil bertopang dagu, entah sedang
melamun" Entah sedang memikirkan persoalan yang memenuhi benaknya"
Sekalipun usianya jauh lebih muda dari pada siapapun, tapi persoalan yang dihadapinya justru
lebih banyak dari yang lain.
Yan Jit entah sudah kemana lagi" Gerak-gerik orang ini selalu diliputi oleh kemisteriusan,
sering kali dia ngeloyor pergi seorang diri, siapapun tak tahu apa yang sedang dilakukan olehnya.
Malam seakan-akan sudah larut, seakan-akan pula masih pagi.
Orang bilang: "Waktu adalah pokok dari semua benda di alam semesta, hanya waktu yang
selamanya langgeng."
Tapi ditempat ini, kata-kata tersebut boleh dibilang tidak terlalu cocok.
Walaupun orang-orang disini tak pandai memanfaatkan waktu, merekapun tak mau diperbudak
oleh waktu. Ketika Kwik Tay-lok menghabiskan arak cawan ketiga, tiba-tiba Lim Tay-peng bangkit berdiri
dari undak-undakan.
Paras mukanya begitu riang juga begitu serius, seakan-akan seorang panglima perang yang
hendak mengumumkan suatu berita penting kepada anak buahnya.
Cuma, bagaimanapun seriusnya wajah seseorang, bila dilihat secara terbalik maka wajah itu
tentu kelihatan sangat lucu dan menggelikan.
Secawan arak yang baru saja diteguk Kwik Tay-lok, hampir saja menyembur keluar dari
hidungnya. "Aku hendak mengatakan sesuatu !" kata Lim Tay-peng.
"Aku telah menduganya !" sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa.
"Dalam kota terdapat seseorang yang bukan saja kungfunya sangat tinggi, akhli pula dalam
menyaru serta ilmu menyusutkan tulang, ia pernah melakukan banyak kasus pencurian yang
membuat para pejabat pengadilan pusing kepala."
"Agaknya persoalan itu bukan cuma diketahui olehmu seorang, agaknya akupun pernah
mendengar persoalan itu", kata Kwik Taylok sambil mengerdipkan matanya.
"Bukan cuma kau yang tahu, Swan Bwe-tong juga tahu !" Lim Tay-peng menyambung.
"Oya ?"
"Dia bukan saja tahu, lagi pula pasti ada dendam dengan orang ini !"
"Ada dendam ?"
"Cuma diapun sama seperti kami, hanya tahu kalau orang itu bersembunyi dalam kota, tapi tak
tahu bersembunyi dimana" Melindungi dirinya dalam indentitas apa " Sekali pun dia ingin
membalas dendam, namun tak berhasil menemukannya, maka...."
Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa tidak segeli tadi lagi, sambil berjumpalitan turun ke bawah, dia
berseru: "Maka kenapa?"
"Maka dia menggunakan akal untuk meminta orang lain yang mencarikan orang itu baginya"
"Tentu saja dia tahu kalau orang yang paling pandai mencari orang di dunia ini adalah si
tongkat serta si anjing buldok"
"Diapun tahu kalau mereka sudah berada disekitar tempat ini, maka dicarinya akal untuk
mengabarkan berita ini kepada mereka, bahwa penyamun ternama itu bersembunyi di kota ini"
"Yaa, kemudian ia sendiri mendahului mereka dengan melakukan pencurian berganda dalam
semalam, bahkan sengaja menirukan cara kerja pencuri ulung itu, agar si tongkat dan si anjing
buldok mengira peristiwa ini adalah hasil perbuatannya"
"Kesemuanya itu masih bukan bagian yang paling penting"
"Lantas yang terpenting apa ?"
"Dengan peristiwa tersebut, si tongkat dan si anjing buldok baru percaya kalau pencuri ulung
itu benar-benar berada dalam kota ini, dengan demikian mereka baru mencarinya dengan
bersungguh-sungguh. Manusia semacam mereka, tentu saja tak akan menjual tenaga sedikit
berita yang belum pasti kebenarannya".
"Tapi dia masih ada sebuah persoalan lagi!" sambung Kwik Tay-lok.
"Yaa, persoalan itu menyangkut harta curian yang tak mungkin bisa dibawa keluar kota,
merekapun tak sanggup menyembunyikannya, sebab dia tahu kalau si tongkat dan si anjing
buldok telah datang".
"Betul, barang yang begitu menyolok dan begitu menyengat tangan memang tidak gampang
untuk disembunyikan !"
"Bukan tidak gampang saja, lagipula sangat makan tenaga dan pikiran, oleh sebab itu...."
Kwik Tay-lok segera tertawa getir, katanya:
"Oleh sebab itu diapun mencari seseorang yang bisa membantunya untuk menyembunyikan
barang-barang itu, tapi kenapa ia tidak mencari orang lain sebaliknya justru mencari diriku ?"
"Tentu saja dia tahu kalau kau berdiam di sini, dia juga tahu kalau setanpun enggan
mendatangi tempat ini, kalau barang curian tersebut disembunyikan disini, maka ibaratnya....
ibaratnya...."
"Ibaratnya arak yang disimpan dalam perut, aman dan bisa dipercaya".
"Aku pikir hal itu bukan merupakan alasan yang terpenting" tiba-tiba Ong Tiong menyela.
"Oya ?"
"Yang paling penting, orang yang dicari untuk melakukan perbuatan semacam ini harus
seorang yang acuh tak acuh dan seorang telur busuk goblok yang ketemu kucing bersahabat
dengan kucing, bertemu dengan anjing bersahabat dengan anjing."
Ong Tiong bukan saja jarang bergerak diapun jarang berbicara. Kadangkala apa yang dia
katakan merupakan suatu kesimpulan, Tapi orang yang membuat kesimpulan kali ini bukan dia,
melainkan Kwik Tay-lok sendiri:
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir:
"Berjumpa dengan kucing bersahabat dengan kucing, bertemu dengan anjing bersahabat
dengan anjing mah bukan menjadi soal, lebih celaka lagi kalau bertemu dengan gadis cantik lantas
tak mampu berjalan, itu baru betul-betul telur busuk yang dogol"
"Hey, siapa yang kau maksudkan ?" tegur Lim Tay-peng mengerutkan dahi.
"Yang kumaksudkan adalah diriku sendiri!" sahut Kwik Tay-lok sambil menunjuk hidung
sendiri. Padahal Kwik Tay-lok bukan sungguh-sungguh tolol, dia cuma merasa enggan untuk
memikirkan banyak persoalan secara serius, andaikata dia mau saja, mungkin jauh lebih pintar
dari siapapun. Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata lagi:
"Kau masih melakukan sebuah kesalahan lagi !"
?"Aaaai.... Kwik sianseng salah melakukan perbuatan bukan suatu kejadian aneh, kalau
berbuat betul baru berita yang aneh!"
"Tadi kau tidak seharusnya membayar dengan kepingan uang emas tersebut."
"Kalau tidak membayar dengan uang emas itu, apakah aku harus membayar dengan jari
tanganku " Jangan lupa, arak yang kau minum tadi tidak lebih sedikit dariku !"
"Kalau si tongkat dan si anjing buldok tahu kalau kita membayar rekening dengan uang emas,
dia pasti akan keheranan, dari mana si setan miskin itu peroleh uang emas sebesar itu" Nah,
kalau sampai begini, kitalah yang bakal berabe."
"Bolehkah aku memberitahukan pula beberapa hal kepadamu ?" seru Kwik Tay-lok kemudian.
"Boleh saja !"
"Pertama, si tongkat dan si anjing buldok tak akan tahu, karena Moay Lo-kong bukan seorang
yang cerewet !"
"Setelah ada nomor satu, tentu ada nomor dua bukan, apa nomor yang kedua?"
"Nomor dua, kalau dalam saku Kwik sian seng kedapatan beberapa tahil perak, kejadian ini
bukan suatu kejadian yang aneh dan tidak diherankan. Apalagi di atas kepingan uang emas itu tak
ada tandanya, aku telah memeriksanya dengan teliti, siapa berani menuduh aku pencuri, akan
kutampar dulu bibirnya"
"Masih ada yang lain ?"


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih, setiap orang harus makan, kita kalau ingin makan maka uang emas itulah yang akan
kita pakai untuk membayar rekening"
"Hal inilah yang paling penting" tiba-tiba seseorang menanggapi, "orang yang dicari Swan
Bwe-tong bukan saja seorang ulat tolol yang suka perempuan, lagi pula dia juga seorang miskin
yang edan, seekor ulat tolol yang menjadi sinting lantaran kelaparan!"
Inipun suatu kesimpulan.
Yang membuat kesimpulan kali ini bukan Ong Tiong, melainkan Yan Jit.
Setiap kali munculkan diri, gerak-geriknya selalu misterius dan tidak dirasakan oleh siapa pun,
seperti halnya sewaktu dia melenyapkan diri....
Kwik Tay-lok gelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa getir:
"Kalau orang ini sedang berbicara dengan siapapun, suaranya tentu sedap didengar, tapi
entah apa sebabnya dia justru paling suka menyindir diriku."
"Andaikata kau bukan temanku, sekalipun kau suruh aku menyindirmu, belum tentu aku mau
mengabulkan permintaanmu itu" jawab Yan Jit sambil tertawa.
"Ong Tiong toh sahabatmu juga, kenapa itu kau tidak menyindir dirinya."
"Kata-kata yang bisa dipakai untuk menyindir diriku sudah habis kau pakai, buat apa orang lain
musti berbicara lagi ?" kata Ong Tiong sambil tertawa.
Kwik Tay-lok ikut tertawa, ia menghampiri Yan Jit dan menepuk-nepuk bahunya.
"Kali ini kau ngeloyor kemana lagi?" tegurnya.
"Aku.... aku pergi bermain."
Ia seperti tidak suka orang lain menyentuh tubuhnya, setiap kali Kwik Tay-lok menyentuhnya,
ia menunjukkan sikap seakan-akan tidak terbiasa, mungkin hal ini dikarenakan kecuali Kwik Taylok,
jarang ada orang yang menyentuh dirinya.
Asal melihat pakaian yang dikenakan itu, nasi yang dimakan semalampun mungkin akan
tertumpah keluar.
"Kau bermain kemana ?" kembali KwikTay-lok bertanya.
"Ke bawah bukit, dalam kota"
"Apanya yang bagus dilihat dalam kota"
"Siapa bilang tak ada?"
"Jadi ada?"
"Semalam bukankah kau telah menyaksikan seorang gadis cantik membawa dua buah
keranjang besar ?"
"Malam ini, apa yang telah kau lihat?"
"Penjagalan manusia"
"Penjagalan manusia" Siapa yang melakukan pembunuhan itu ?" tanya Kwik Tay-lok kuatir.
"Si tongkat !"
"Si tongkat membunuh orang " siapa yang dibunuh !"
"Semua orang yang dicurigai"
"Siapa yang dicurigai " apa yang perlu di curigai?"
"Si tongkat sedang mencari seorang lelaki berusia lima puluh tahunan lebih yang sudah
sepuluh tahun datang kemari, maka semua lelaki yang pindah kemari pada sepuluh tahun
berselang adalah orang yang mencurigakan, kemungkinan sekali dialah Hong Si-hu".
"Siapakah Ho Si-hu itu?"
"Hong Si-hu adalah orang yang sedang dicari si tongkat"
"Hong Si-hu yang kau maksudkan apakah Thi-hu-gut-siu (ayam dan anjing tak tersisa) Hong
Si-hu?" tiba-tiba Lim Tay-peng menyela.
"Yaa, betul orang itulah yang dimaksudkan."
Sambil tertawa Kwik Tay-lok berseru:
"Orang yang mempunyai nama sebagus itu, kenapa justru memilih julukan yang tak sedap
didengar?"
"Sebab setiap kali turun tangan, ia pasti akan menguras seluruh harta yang dimiliki korbannya,
kadang kala uang setengikpun tidak disisakan, sering kali orang yang menjadi korban
keganasannya harus mengakhiri nyawanya di atas tiang gantungan, oleh karena itulah walaupun
dia tak pernah membunuh orang, tak sedikit orang yang dipaksa mati akibat ulahnya..."
"Konon orang itu bukan saja berhati hitam dan bertangan keji, diapun memandang uang lebih
berharga dari pada nyawa sendiri, uang hasil curiannya tak pernah dipakai untuk berfoya-foya"
kata Lim Tay-peng.
"Siapa tahu kalau semua hasil curiannya dipakai untuk menolong orang lain, atau berbuat
kebajikan?" sela Kwik Tay-lok.
"Orang ini, sepanjang hidupnya sering kali melakukan perbuatan jahat, perbuatan apapun
pernah dilakukannya, hanya tak sekalipun ia berbuat kebaikan."
"Kalau begitu dia simpan dimanakah semua harta kekayaannya itu ?"
"Tak seorangpun yang tahu."
Kwik Tay-lok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia bertanya lagi:
"Dalam kota, ada berapa banyak manusia macam begini yang dicurigainya...?"
"Sebetulnya tidak banyak, sekarang lebih sedikit lagi."
"Berapa banyak yang telah dibunuh si tongkat?"
"Lima atau enam orang, mungkin juga tujuh orang."
"Dia membunuh orang, kau cuma menonton dari samping?" teriak Kwik Tay-lok dengan mata
melotot. "Sekarang kalau suruh aku menonton lagi pun segan".
Kwik Tay-lok kontan saja melotot besar, tiba-tiba ia melompat bangun dan menerjang keluar
dari situ. Ong Tiong menghela papas panjang, gumamnya:
"Heran, sejak berkenalan dengannya, kenapa setiap kali dia bergerak aku selalu merasa harus
bergerak pula?"
Meskipun Kwik Tay-lok bukan seorang yang dungu, tapi dia berangasan sekali.
Sebenarnya dia harus bertanya dulu kepada Yan Jit:
"Sesungguhnya manusia-manusia macam apa yang telah dibunuh oleh si tongkat?"
Ia tidak bertanya, karena dia tahu manusia-manusia yang dibunuh si tongkat sudah pasti
bukan manusia-manusia baik.
Ia memahami, tapi tak tahan untuk mengendalikan emosi. Walaupun hal ini bukan merupakan
suatu kebiasaan yang baik, paling tidak jauh lebih baik daripada mereka-mereka yang
berperasaan sedingin es atau perasaan kaku.
Si orang berbaju hitam itupun mempunyai suatu kebiasaan... selamanya dia tak mau untuk
berjalan mendahului siapapun.
Tentu saja hal ini bukan disebabkan ia terlalu ketat memegang adat istiadat atau tata
kesopanan, sebaliknya karena ia lebih suka memandang orang dengan matanya bukan dengan
punggung. Walaupun kebiasaan semacam inipun tidak terlalu baik, paling tidak telah memberi
kesempatan hidup selama beberapa tahun kepadanya.
Sekarang, dia masih berjalan di belakang si tongkat dan si anjing buldok.
Kedua orang itu tak pernah kuatir kepadanya, sebab mereka tahu pedangnya tak pernah
menusuk dari punggung orang!
Walaupun wajahnya ditutup dengan selembar kain hitam, tapi dia jauh lebih menjaga muka
dari pada kebanyakan orang.
Jalanan dalam kota amat sepi, cuma ada dua tiga rumah yang masih memancarkan sinar
lampu yang redup.
Ketika tiba di rumah ke empat di sebelah kiri jalan, merekapun berhenti...
Gedung rumah itu seperti juga rumah-rumah lain dalam kota itu, bangunannya sederhana dan
jelek, pintu yang sempit lagi tebal dengan jendela yang kecil lagi tinggi, kertas jendela yang tebal
serta sinar lentera yang redup.
Pintu dan jendela semuanya berada dalam keadaan tertutup rapat.
"Rumah ini ?" tegur si anjing buldok dengan suara dalam. Si tongkat mengangguk.
Tiba-tiba si anjing buldok itu melejit ke udara. Meskipun perawakan tubuhnya tinggi besar,
gerak-geriknya gesit sekali, ilmu meringankan tubuhnya juga tidak lemah, baru saja ujung kakinya
menutul di atas wuwungan rumah, ia sudah melewati bangunan rumah tersebut dan lenyap dari
pandangan mata.
Si tongkat berpaling dan memandang si orang berbaju hitam itu sekejap, kemudian dengan
suara lantang ia berseru:
"Kami adalah petugas pengadilan yang hendak melakukan pemeriksaan, semua rakyat diminta
tetap ditempat, barang siapa membangkang segera dibunuh sampai mati!"
Baru selesai seruan itu, cahaya lentera dalam ruang rumah itu telah padam.
Kemudian: "Blam !" agaknya ada orang sedang menjebol jendela belakang dan berusaha
melarikan diri.
Sayang si anjing buldok telah berjaga-jaga atas kejadian itu.
Kembali terdengar jeritan kaget.
"Mau lari kemana kau....!" bentak si anjing buldok dengan suara nyaring.
Menyusul kemudian terlihatlah sesosok bayangan manusia melompat naik ke atas wuwungan
rumah, meskipun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah si anjing buldok, namun
perawakan tubuhnya jauh lebih kecil dan ceking.
Setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ia lantas melarikan diri ke arah tenggara.
Si tongkat tidak bergerak.
Si orang baju hitam itu seperti juga tidak bergerak.
Tapi secara tiba-tiba ia sudah berada di atas wuwungan rumah dan menghadang jalan pergi
bayangan manusia itu.
Agaknya orang itu merasa terperanjat, sepasang kepalanya, segera diayunkan bersama ke
depan. Agaknya si orang berbaju hitam tidak melakukan gerakan apa-apa, tapi tahu-tahu orang yang
melepaskan pukulan itu sudah terguling dari atas atap rumah dan terjatuh ke atas jalanan.
Pada saat itulah pelan-pelan si tongkat baru menghampirinya, sambil bergendong tangan ia
menunduk dan mengawasi wajahnya.
Angin dingin berhembus kencang, suasana terasa amat menyeramkan.
Dari balik kegelapan malam, sepasang matanya bagaikan sepasang gurdi, sepasang gurdi
yang telah dilapisi salju.
Sudah lama Kwik Tay-lok mengikuti jalannya peristiwa itu dari sudut jalanan, sebenarnya
sedari tadi ia sudah bermaksud untuk menerjang keluar.
Tapi setelah menerjang keluar dari sana, apa pula yang hendak dilakukan "
Ia sendiripun tak tahu apa yang dilakukan. Semisalnya orang yang ditangkap si tongkat adalah
seorang penyamun berhati kejam, apakah dia harus membantu seorang penyamun untuk buron
dari atas bukit sampai ke dalam kota, sepanjang jalan sudah cukup angin dingin yang menerpa
wajahnya, kobaran api dalam dadanya telah jauh lebih mengecil.
Oleh sebab itu dia masih menunggu dibalik tikungan jalan.
Orang yang terbanting ke tengah jalan itu masih berbaring melingkar disitu, ia seperti
seonggokan lumpur, bergerakpun tidak.
Tiba-tiba si tongkat menariknya bangun, lalu sambil mencengkeram kerah bajunya, sepatah
demi sepatah dia berseru: "Pandanglah aku !"
Walaupun orang itu telah berdiri, kepalanya masih terkulai lemas.
Si Tongkat segera mengendorkan tangan kanannya, kemudian dengan suatu kecepatan luar
biasa menempelengnya beberapa puluh kali.
Darah mulai meleleh keluar dari ujung bibirnya, tapi orang itu masih menggertak gigi menahan
diri, mendenguspun tidak.
"Bagus, punya semangat!" puji si tongkat sambil tertawa dingin.
Lututnya segera diangkat kemudian di tumbukkan ke tubuh orang itu keras-keras.
Saking sakitnya paras muka orang itu berubah hebat, dia ingin membungkukkan badannya,
namun tak bisa membungkuk lagi.
Hanya tubuh bagian bawahnya yang berkerut, sekujur badannya berkerut menjadi satu
gumpalan dan tergantung ditangan si tongkat, sekujur badannya gemetar keras seakan-akan
semua tulangnya telah terlepas.
"Aku mempunyai banyak cara untuk menghadapi orang yang tidak penurut" kata si tongkat,
"barusan adalah salah satu diantaranya yang paling sederhana, kau ingin mencoba cara yang
kedua?" Akhirnya orang itu mendongakkan kepalanya dan menatap wajah si tongkat tajam-tajam, sorot
matanya penuh memancarkan api kemarahan dan rasa dendam kesumat yang tebal.
Tiba-tiba sikap si tongkat berubah kembali, ia berubah menjadi lebih ramah dan halus.
?"Kau bukan Hong Si-hu ?" tegurnya.
Sambil menggertak giginya keras-keras, orang itu menjerit:
"Kalau sudah tahu kalau aku bukan, kenapa kau masih menghadapi diriku dengan cara ini ?"
"Karena aku masih belum yakin, kecuali kau memberitahukan siapakah dirimu yang
sesungguhnya, dengan begitu aku baru bisa membuktikan kalau kau bukan Hong Si-hu".
"Aku bukan siapa-siapa, aku tidak lebih hanya seorang pedagang kecil yang menjual barang
kelontong"
Si tongkat segera menarik muka, katanya setelah tertawa dingin:
"Kalau kau bukan orang lain, terpaksa aku akan menganggapmu sebagai Hong si-hu !"
Orang itu menggigil semakin keras.
"Kau takut salah menangkap orang, takut disalahkan atasanmu, maka walaupun kau sudah
tahu kalau aku bukan Hong Si-hu, tapi kau tak mau juga melepaskan aku. Cara kerjamu itu sudah
lama kuketahui".
"Kau keliru" ujar si tongkat dengan wajah lembut. "yang kucari kali ini hanya Hong Si-hu
seorang, urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan orang lain, asal kau bersedia untuk
mengucapkan asal usulmu yang sebenarnya, aku segera akan melepaskan dirimu".
"Melepaskan aku" kau bisa melepaskan aku ?"
Si tongkat kembali tertawa.
"Kenapa aku tak dapat melepaskan" Sekalipun kau pernah melakukan suatu peristiwa di
tempat lain, apa sangkut pautnya dengan aku " kenapa aku musti mencari banyak urusan dengan
mencampuri urusanmu ?"
Orang itu berpikir sampai lama sekali, akhirnya sambil menggigit bibir katanya:
"Aku she Han, orang yang menyebutku It-ceng-hong (segulung angin)"
"Segulung angin" Apakah kau yang telah membunuh Ui wangwe sekeluarga pada musim semi
tahun berselang?"
"Kau toh sudah berjanji, asal aku bukan Hong Si-hu, urusan yang lain tak akan kau campuri"
protes si gulung angin.
"Tentu saja aku tak akan mencampuri, tapi dari mana aku bisa tahu kalau kau adalah si gulung
angin, bukan Hong Si-hu ?"
"Diatas badanku terdapat tato...."
"Sreet" pakaiannya segera terobek, betul juga diatas dadanya terdapat tato yang berbentuk
segulung angin puyuh.
Itulah lambang khas dari si Segulung angin.
"Si gulung angin tak mungkin dapat menyaru sebagai Hong Si-hu, sebaliknya Hong Si-hu
dapat menyaru sebagai si segulung angin" kata si tongkat hambar.
"Apa yang harus kuperbuat sehingga kau bisa mau percaya?"
Si tongkat termenung dan berpikir sejenak, lalu jawabnya:
"Konon, Ui wangwe mati lantaran tertusuk oleh pedang"
"Tidak, aku tak pernah menggunakan pedang"
"Lantas apa yang menyebabkan kematiannya?"
"Kugunakan obat racun untuk meracuninya sampai mati, kemudian melemparkan tubuhnya ke
dalam sumur"
Si tongkat segera tertawa.
"Kalau begitu, kau memang betul-betul si segulung angin" katanya.
"Aku memang!"
"Bagus, bagus sekali...."
Tiba-tiba ia mengeluarkan tangannya, kemudian membacok tengkuk si segulung angin.
Dalam waktu singkat, si segulung angin berubah menjadi segumpal tanah liat.
Sinar kebencian dari bola matanya pelan-pelan menongol keluar, mukanya beringas penuh
rasa benci dan dendam yang tebal, seakan-akan ia sedang bertanya:
"Kau toh sudah setuju untuk melepaskan aku " Kenapa kau bunuh diriku sekeji ini ?"
Meskipun si tongkat tidak berkata apa-apa tapi sorot mukanya seolah-olah menjawab
pertanyaan itu.
Sorot mata tersebut penuh pancaran sinar bangga, seolah-olah sedang berkata demikian:
"Inilah cara kerjaku, kalau toh aku tidak mempercayai dirimu, kenapa kau harus percaya
kepadaku ?"
Sinar mata, Kwik Tay-lok sudah mulai berapi-api.
Tapi dia hanya menonton saja, sebab si Segulung angin memang pantas dibunuh.
Petugas hukum membunuh penyamun, hal ini sudah merupakan suatu kejadian yang lumrah.
Kedengaran seseorang berbisik di belakangnya:
"Oooh, kiranya kaupun cuma menonton belaka disaat ia sedang membunuh orang."
Tanpa berpalingpun Kwik Tay-lok sudah tahu siapa yang barusan berbicara itu.
Dia cuma menghela napas panjang belaka, sebelum bisiknya:
"Tapi aku masih harus menonton lebih lanjut."
"Kau suka melihat dia membunuh orang?" tanya Yan Jit.
"Aku hendak menunggu sampai dia salah membunuh orang."
"Kenapa ?"
"Saat itulah aku baru punya alasan untuk membunuhnya".
"Kau ingin membunuhnya ?"
"Sekalipun si Segulung angin pantas mati, dia lebih pantas lagi untuk mati."
"Kau anggap dia telah melakukan kesalahan ?"
"Perbuatan yang dilakukan siapapun tak dapat mengatakan salah, tapi caranya turun
tangannya terlalu rendah, terlalu menggemaskan!"
"Kalau selamanya ia tak pernah salah membunuh ?"
Kwik Tay-lok menjadi tertegun.
Yan Jit segera tertawa, ujarnya lagi:
"Ada sementara persoalan memang kadang kala tak mungkin bisa dicampuri orang lain,
Apalagi meski si tongkat jahat, ia sangat berguna, ada sementara orang memang harus dihadapi
oleh manusia-manusia semacam dia".
Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa pula:
"Kau kira manusia semacam dia itu tak ada yang bisa menghadapinya ?"
"Siapa yang bisa menghadapinya" Kau ?"
"Mungkin aku, mungkin orang lain, siapa pun itu orangnya tak menjadi soal, aku hanya tahu
kalau hukum karma itu selalu berlaku cepat atau lambat pasti ada orang yang akan
menghadapinya".


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah Kwik Tay-lok, itulah jalan pemikirannya.
Ia bukan saja menaruh rasa sayang terhadap sesama manusia, lagi pula menaruh
kepercayaan penuh.
Ia percaya kebenaran selamanya tak akan berubah, keadilan selalu akan tetap utuh.
Iapun percaya kebenaran tentu bisa menangkan kejahatan, bagaimanapun pukulan batin yang
akan dihadapinya, rasa percayanya pada diri sendiri tak akan berubah.
Si Anjing buldok sedang menepuk bahu si tongkat dan berkata sambil tertawa:
"Kionghi, kionghi, lagi-lagi ada sebuah kasus misteri yang berhasil kau bongkar, dalam
semalam tujuh kasus berhasil dibongkar, kecuali kau, siapa lagi yang bisa membuat rekor sebesar
itu?" "Kau !"
Si Anjing buldok segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhhh... haaahhhhhh... hahhh... aku tak bakal mampu, hatiku kurang keji, makin lama
pekerjaan seperti ini sudah semakin tak bisa dipertahankan lagi"..
Paras muka si tongkat segera berubah, tapi luapan emosi tersebut berhasil juga diatasi.
"Berikutnya rumah siapa?" tanya si anjing buldok kemudian.
Si tongkat mendongakkan kepalanya, sorot matanya yang tajam segera tertuju ke atas sebuah
papan nama di seberang sana.
Sebuah papan nama yang berdasar warna hitam dengan tulisan berwarna emas.
Rumah pegadaian Lip-gwan.
Tauke dari rumah pegadaian Lip-gwan meski amat menyayat kulit, namun ia tidak terlalu
menggerogoti tulang, bahkan seringkali masih meninggalkan sedikit daging diatas tulang untuk
diberikan kepada orang lain.
Selama ini Kwik Tay-lok mempunyai kesan yang cukup baik terhadap orang itu, ketika
dilihatnya si tongkat dan si anjing buldok memasuki rumah pegada
Harpa Iblis Jari Sakti 10 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 8
^