Pendekar Riang 4

Pendekar Riang Karya Khu Lung Bagian 4


ok menatap itik panggang tak berkulit itu lekat-lekat, kemudian jawabnya:
"Kita sudah terlalu lama mengendon di sini, hari ini kita harus pergi melemaskan otot, kalau
tidak tulang-tulang kita bisa mulai karatan dan tua."
"Tulang kami tidak seperti tulangmu, baru ada sedikit uang lantas tangannya menjadi gatal."
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, kembali ia tertawa, katanya lebih jauh.
"Sekalipun tulangku ini tulang kere, paling tidak harus digerakkan juga agar lebih bergairah."
"Apakah kau hendak melemaskan otot seorang diri?"
"Ehmm!"
Yan Jit segera tertawa dingin.
"Aku sudah tahu kalau ada sementara orang cuma berkawan disaat masih miskin, begitu
punya uang, permainannya lantas banyak."
"Apakah kau tak pernah melemaskan otot seorang diri?" seru Kwik Tay-lok dengan mata
melotot. Yan Jit melengos ke arah lain.
"Kalau ingin pergi, pergilah sendiri, toh tak ada orang lain yang akan menahanmu !" serunya.
Kwik Tay-lok yang sudah berdiri, segera duduk kembali, katanya sambil tertawa:
"Aku tak lain cuma ingin pergi satu setengah hari saja, besok malam kita bersua kembali."
Tak seorangpun yang menggubrisnya.
Kwik Tay-lok mengangkat bahu, katanya: "Sekarang Moay Lo-kong sudah ditangkap, disini tak
ada rumah makan lain, aku tahu di kota keresidenan terdapat sebuah rumah makan Gwe-goankoan
yang lumayan juga masakannya, untung saja kota Sian-sia tak jauh dari sini, bagaimana
kalau kita bersua kembali di sana besok..." Aku akan mentraktir kalian!"
Masih belum ada orang yang menggubrisnya.
Kwik Tay-lok menjadi sangat gelisah, serunya lagi:
"Apakah aku ingin berjalan-jalan seorang diri barang seharipun tak boleh ?"
"Siapa bilang tak boleh?" seru Ong Tiong sambil membalikkan matanya.
"Kalau begitu, besok kau akan pergi atau tidak?"
"Apakah kau tak bisa membeli arak dan sayur itu dari rumah makan Gwee-goan-koan
kemudian membawanya pulang dan mentraktir aku di sini?"
"Aku mohon kepadamu, janganlah begini malas, mau bukan" Kau juga harus membeli
beberapa stel pakaian baru, pakaian semacam itu kalau dipakai terus menerus, bahkan kau
sendiripun mungkin akan ketimpa naas. . . mengerti ?"
Pelan-pelan Ong Tiong bangkit berdiri, kemudian pelan-pelan berjalan keluar dari situ.
"Kau hendak kemana?" Kwik Tay-lok segera menegur.
"Ke ranjangnya Moay Lo-kong,"
"Mau apa ?"
"Ong Tiong menghela napas panjang.
"Kalau keatas ranjang mau apa" Tentu saja tidur, kalau kau naik keranjang, apakah hendak
melakukan pekerjaan lain?"
Kwik Tay-lok tertawa, dia memang ingin melakukan pekerjaan lain, lagi pula pekerjaan itu
memang harus dilakukan di atas ranjang.
la bangkit berdiri, lalu ujarnya sambil tertawa:
"Kalau ingin tidur di sana juga boleh, bah bagaimanapun besok masih harus ke Sian-sia,
daripada bolak balik, berangkat separuh jalan dulu memang tak ada salahnya."
"Tepat sekali!"
Kwik Tay-lok melirik Yan Jit sekejap kemudian katanya:
"Besok, apa kalian juga ikut Ong lotoa?"
Lim Tay-peng mengangguk, sedang Yan Jit berkata hambar:
"Hari ini juga aku berangkat bersamamu!"
"Tapi aku." Kwik Tay-lok agak tertegun.
"Kenapa ?" seru Yan Jit sambil melotot, "apakah setelah punya uang, temanpun tak maui lagi
?" Sepanjang jalan, sambil melakukan perjalanan Kwik Tay-lok menghela napas, tiada hentinya.
Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, lalu menegur:
"Hey, apa yang terjadi" Adakah sesuatu yang tidak enak dengan kesehatan badanmu?"
"Agaknya aku sudah salah makan, perutku mendadak mulas dan kurang enak." kata Kwik Taylok
sambil meringis menahan sakit.
"Hmm, aku lihat yang kurang enak bukan perutmu." ujar Yan Jit dengan nada dingin.
Tiba-tiba ia tertawa, kembali ujarnya:
"Padahal bagian mana dari tubuhmu yang kurang enak, telah kuketahui sedari tadi dengan
amat jelas."
"Kau mengetahui dengan jelas ?"
Yan Jit memutar sepasang biji matanya, lalu berkata:
"Setiap orang yang berpengalaman tentu mengetahui akan sepatah kata yang mengatakan:
"Bermain pelacur sendirian bermain judi berduaan, mengapa aku tidak tahu dengan jelas?"
Untuk sesaat lamanya Kwi Tay-lok merasa tertegun, akhirnya ia cuma bisa tertawa, tertawa
getir. "Jadi kau kira aku sengaja menyingkir dari kalian, hanya dikarenakan aku ingin ngeloyor
sendirian mencari perempuan ?"
"Memangnya kau tidak bermaksud demikian?" Kwik Tay-lok tidak bisa berbicara lagi.
"Padahal masalah semacam ini juga bukan suatu kejadian yang terlalu memalukan" kata Yan
Jit lagi, "setiap lelaki yang punya uang siapa yang tak ingin pergi mencari perempuan"."
"Apakah kau sendiri tidak bermaksud demikian?" Kwik Tay-lok balik bertanya sambit
mengerdipkan matanya.
"Terus terang kuberi-tahu kepadamu, aku berharap kau bisa membawaku, aku tahu dalam
bidang ini kau pasti sangat berpengalaman bukankah demikian?"
Kwik Tay-lok mendesis, tiba-tiba ia terbatuk-batuk.
"Lelaki yang romantis dan sok-aksi semacam kau pasti tahu ditempat mana kita bisa mencari
perempuan yang terbaik."
Setelah mengerling sekejap wajah Kwik Tay-lok, katanya lebih jauh: "Kita kan sama-sama
teman, bagaimanapun juga kau harus memberikan sebuah petunjuk kepadaku bukan?"
Agaknya paras muka Kwik Tay-lok berubah agak merah, gumamnya kemudian:
"Tentu saja, tentu saja...."
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Tentu saja... tentu saja kita harus ke kota lebih dulu. . . ."
Yan Jit lagi-lagi tertawa lebar, katanya:
"Padahal seharusnya kau juga mengajak serta Ong lotoa sekalian, agar merekapun bisa
membuka matanya lebar-lebar serta menyaksikan pelbagai atraksi menarik, aku betul-betul tidak
habis mengerti mengapa kau harus mengelabui mereka?"
Kwik Tay Lok sedikitpun tidak bermaksud mengelabui orang lain, ia selalu beranggapan bahwa
mencari perempuan bukan suatu perbuatan yang memalukan.
Tidak berhasil menemukan perempuan, itu baru memalukan namanya.
la mengelabui orang lain, karena ia sama sekali tak tahu harus pergi ke mana untuk mencari
perempuan. Pada hakekatnya ia belum pernah mencari perempuan, justru karena ia tak pernah maka dia
ingin mencari, maka dia baru merasa ingin sekali, suatu keinginan yang luar biasa.
Dalam waktu yang cukup singkat, kota Sian-sia telah dicapai.
Begitu masuk ke kota. Yan Jit lantas bertanya:
"Sekarang apa yang harus kita lakukan" Kita akan menempuh jalan yang mana?"
Kata orang: "Dalam setiap sepuluh langkah, pasti ada rumput yang tumbuh. Setiap jengkal
tanah tentu ada perempuan yang lewat."
Kwik Tay Lok mendehem beberapa kali, kemudian menjawab:
"Lewat jalan yang manapun saja"
"Sama saja ?"
"Yaa, toh di setiap jalan pasti ada perempuan"
Yan Jit segera tertawa, ujarnya:
"Aku juga tahu kalau di setiap jalanan tentu ada perempuan, tapi perempuanpun terdiri dari
beberapa macam, persoalannya sekarang di jalanan yang manakah perempuan yang kau cari itu
baru bisa ditemukan?"
Kwik Tay Lok menyeka keringat yang telah membasahi tubuhnya, tiba-tiba terlintas satu
ingatan dalam benaknya, sambil menuding sebuah warung teh di tepi jalan, katanya:
"Kau boleh menunggu sejenak di situ, aku akan pergi mencarikan bagimu. . ."
"Kenapa aku harus menunggu di sini, apakah kita tak boleh berjalan bersama ?" kata Yan Jit
sambil mengerdipkan matanya.
Dengan serius Kwik Tay-lok menjawab:
"Soal ini kau tak akan memahami, tempat tersebut amat rahasia sekali, semakin rahasia
tempatnya semakin menyenangkan kita, tapi kalau melihat kedatangan orang asing, boleh jadi
mereka lantas tidak mau."
Mendengar perkataan itu, Yan Jit segera menghela napas panjang.
"Baiklah !" ia berkata, "bagaimanapun kau memang lebih berpengalaman dari padaku, baiklah,
aku akan menuruti semua perkataanmu"
Setelah menyaksikan Yan Jit masuk ke dalam warung teh, Kwik Tay-Lok baru
menghembuskan napas lega.
Siapa tahu Yan Jit kembali berpaling, lalu berteriak keras:
"Aku akan menunggu kedatanganmu di sini, kau jangan kabur lho !"
"Tentu saja aku tak akan kabur !" jawab Kwik Tay Lok dengan suara yang tak kalah kerasnya.
Dia memang tidak bermaksud kabur, cuma dia harus mencari berita lebih dulu, agar Yan Jit
merasa kagum kepadanya.
"Manusia romantis yang gagah dan ganteng seperti aku ini, kalau sampai tempat semacam
itupun tak bisa menemukan, bukankah Yan Jit akan tertawa kegelian sampai gigipun ikut copot "
Siapa tahu dia akan kegelian lima tahun lamanya ?"
Dengan mempergunakan suatu gerakan yang paling cepat dia berbelok ke dalam sebuah
tikungan jalan, ternyata jalanan di depan sana seperti pula jalanan pertama, disitu ada warung teh,
toko, ada laki-laki, tentu saja ada perempuan.
"Tapi perempuan yang manakah baru merupakan perempuan yang sedang kucari ?"
la meneliti satu per satu, namun tak seorangpun yang mirip, ia merasa semua perempuanperempuan
itu seperti perempuan dari keluarga baik-baik.
"Orang yang melakukan pekerjaan semacam itu, masakah memasang papan nama di atas
wajahnya ?"
Setengah harian lamanya Kwik Tay-lok berdiri termangu-mangu di tepi jalan, tak hentinya dia
memberi semangat kepada diri sendiri diapun menghibur terus diri sendiri.
"Asal ada uang, masa kau takut tak bertemu perempuan ?"
Ia bermaksud untuk membeli satu stel pakaian baru lebih dulu.
Orang bilang, "kalau manusia adalah pakaiannya, kalau Budha adalah jubah emasnya"
Asal ia berpakaian perlente dan necis, paling tidak gengsinya akan naik tiga tingkat lebih
dahulu. Yang aneh, ternyata tokoh penjual pakaianpun seakan-akan tidak terlalu gampang di temukan.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga menemukan sebuah toko pakaian, tiba-tiba ia
menyaksikan ada seseorang sedang memilih pakaian di situ, ketika di dekati ternyata orang itu
adalah Yan Jit.
"Ternyata bocah itu tidak menunggu aku di warung teh!"
Terdengar Yan Jit yang berada dalam ruangan sedang berkata sambil tertawa:
"Aku menginginkan pakaian yang paling baik, harganya mahalan sedikit tak menjadi soal, hari
ini aku punya janji dengan seorang cewek cakep, aku musti memakai yang agak bagus"
Diam-diam Kwik Tay-lok mengerutkan dahinya sambil berpikir:
"Masakah bocah muda ini berhasil mendahului diriku dengan menemukan tempat tersebut?"
Menyaksikan wajah Yan Jit yang berseri-seri, Kwik Tay-lok merasa yaa mendongkol, yaa
jengkel. "Kalau toh kau curang lebih dulu, kenapa aku musti pegang janji " Sekarang kau tak bisa
mengatakan kalau aku berusaha kabur dari sisimu.
Setelah mengambil keputusan, tanpa tukar pakaian lagi, dia bertekad untuk meninggalkan Yan
Jit lebih dulu.
"Para gadis menyukai yang ganteng, para germo menyukai uang, asal aku cukup ganteng dan
punya uang, tukar pakaian atau tidak toh bukan persoalan ?"
Di jalan raya itupun terdapat warung teh, seseorang yang membawa sebuah sangkar burung
sedang berjalan keluar dari warung teh itu.
Usia orang itu tidak terlalu besar, tapi sepasang matanya tak bersinar dan wajahnya hijau
kepucat-pucatan, mukanya keletihan dan kuyu, lagi pula setiap orang tahu pekerjaan apa yang
membuat orang itu kelihatan lemas dan pucat.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok menghampirinya, setelah menjura katanya sambil tertawa:
"Aku she Kwik, aku tahu kau tidak kenal aku, akupun tidak kenal kau, tapi sekarang kita telah
berkenalan."
Sebelum melakukan suatu pekerjaan ia suka mengemukakan cara yang berterus terang.
Untung saja orang itu agaknya sudah terbiasa melakukan pergaulan di luar, setelah tertegun
sejenak, katanya pula sambil tertawa:
"Sobat Kwik, kau ada urusan apa?"
"Kalau orang tidak romantis sia-sialah masa mudanya, kau tentu mempunyai perasaan yang
sama dengan kata-kata tersebut bukan"
"Oooh.... kiranya saudara Kwik ingin berpelesiran !"
"Benar aku memang bermaksud demikian sayangnya aku tak tahu jalan mana yang harus
kutempuh untuk mencapai tujuan"
"Saudara Kwik bisa ketemu aku, boleh di bilang sudah menjumpai orang yang benar" kata
orang itu sambil tertawa, "tapi untuk berpelesiran, kau harus punya uang, kalau tak punya uang
bisa jadi sebelum mendapat kenikmatan, badanmu sudah digebuki orang lebih dulu"
Kwik Tay-lok ternyata sudah digebuk orang.
Tiba-tiba ia merasa bahwa para perempuan tidak suka dengan ketampanan.
Yang disukai perempuan-perempuan itu hanya uang.
Sesungguhnya Kwik Tay-lok bukan seseorang yang gampang dipermainkan orang, diapun tak
akan sudi digebuk orang dengan begitu saja. Tapi bagaimanapun juga bagaimana mungkin
baginya untuk berkelahi dengan perempuan-perempuan semacam itu "
Lengannya kena digigit dua gigitan, kepalanya digebuk sampai keluar benjolan, sekarang ia
sedang mengelus benjolan di kepalanya dengan tangan sebelah sedang tangan yang lain
merogoh sakunya.
Saku itu kosong, jauh lebih kosong daripada perutnya yang lapar, Uang yang jelas berada
dalam sakunya ternyata telah lenyap dengan begitu saja.
Kulit itik yang dimakan pagi tadi, sudah tak berbekas, arak yang di minumpun sudah berubah
menjadi keringat.
Menanti malam hari tiba, keringatpun telah mengering.
Terpaksa Kwik Tay-lok mencari sebuah kuil bobrok, duduk di depan altar dia menendang
patung sambil termangu-mangu, patung Pousat itupun seakan-akan sedang memandang pula ke
arahnya sambil termangu-mangu.
Sebenarnya ia sudah menyusun rencana yang matang ia bermaksud makan dulu sekenyangkenyangnya,
kemudian mandi dulu sepuas-puasnya, bahkan ia membayangkan pula bagaimana
sebuah tangan yang halus sedang menggosok-gosok punggungnya.
Tapi sekarang "
Sekarang yang menggosok-gosok punggungnya cuma beberapa ekor kutu busuk, mungkin
bukan cuma seekor, kasur duduknya seakan-akan merupakan markas besar pasukan kutu busuk,
seakan-akan kutu busuk dari seluruh dunia pada berkumpul menjadi satu di sana, satu regu
menyerbu punggung, regu lain menyerbu dada, seakan-akan seluruh badannya merupakan
tempat mereka untuk berpesta pora.
Dengan jengkel Kwik Tay-lok menghantam punggungnya keras-keras, kalau bisa sekali gaplok
mampus. "Apakah aku memang sudah ditakdirkan untuk miskin terus" Masakah aku harus kelaparan
terus menerus, seharipun tak boleh kenyang?"
Tiba-tiba ia teringat kembali akan kebaikan teman.
"Mengapa aku harus berpergian seorang diri" Kenapa aku harus kabur dari sisi Yan Jit?"
Terbayang berapa mereka sedang berpesta pora sekarang, ia merasa sedemikian kelaparan
sampai-sampai kutu busukpun nyaris ditelan.
"Hidup sebagai seorang manusia memang tidak sepantasnya menjauhi teman, entah apapun
yang hendak dilakukan, ada baiknya kalau berada bersama-sama teman, kecuali teman, masih
ada apa lagi di dunia ini yang bisa disayangkan?"
Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasakan betapa pentingnya arti teman dalam hati kecilnya.... Siapa
saja yang ada di dunia ini, jika ia sedang berada dalam keadaan miskin dan kelaparan, ia pasti
akan berubah menjadi begini.
Untung saja besok mereka akan berjumpa lagi, sekarang dia hanya berharap waktu bisa lewat
dengan cepat, makin cepat semakin baik.
"Sekarang, aku demikian memikirkan mereka, siapa tahu mereka telah melupakan aku, Ong
Tiong pasti sudah tidur sambil mendengkur, Yan Jit mungkin sedang berpacaran dengan cewek
cakep" Terbayang sampai di situ, tak tahan lagi Kwik Tay-lok menghela napas panjang, tiba-tiba ia
merasa bahwa dirinya adalah seorang yang amat mementingkan arti persahabatan, ia merasa
sikapnya terhadap teman, jauh melebihi sikap teman terhadap dirinya.
Maka diapun merasa agak terhibur, meski dibalik rasa terhibur itu terselip juga rasa sedih.
Perasaan semacam ini membuat dia melupakan segala yang lain untuk sementara waktu.
Tiba-tiba ia terlelap dan tidur pulas.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali.
Begitu terbangun dari tidurnya, Kwik Tay-lok lantas mengambil keputusan untuk berangkat
dulu ke rumah makan Gwee- goan-lo dan menunggu teman-temannya di sana.
la bertekad untuk makan dulu sekenyang-kenyangnya, kemudian menunggu teman-temannya
membayarkan rekeningnya itu.
Diapun mengambil keputusan untuk mencari madu yang agak baik, untuk mengganti
energinya yang terbuang dengan percuma sepanjang malam.
Ia merasa setiap orang harus baik-baik menjaga kondisi sendiri, karena dia hampir melupakan
betapa ia sampai tersiksa semalam, kenapa harus menderita dengan sia-sia.
Mungkin hal ini dikarenakan rasa lapar yang luar biasa, dalam sadar tak sadar, ia seakan-akan
merasa telah mengorbankan segala sesuatunya demi teman.
Ia amat menaruh simpatik terhadap diri sendiri.
Sayang tauke rumah makan "Gwee-goan-koan tidak berpikir demikian. Bukan saja pintu belum
terbuka, jendelapun belum terbuka.
Tentu saja Kwik-Tay-lok tak akan menyalahkan dirinya yang datang terlalu awal, dia hanya


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyalahkan orang-orang itu terlalu malas, kenapa sampai sekarang belum membuka pintu,
apakah ia memang sengaja hendak menyusahkan dirinya.
Seorang yang sudah kelaparan biasanya memang tidak terlalu memikirkan soal cengli.
Baru saja dia hendak mengetuk pintu tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang
sambil menyapa.
"Selamat pagi !"
Yan Jit dengan mengenakan pakaian baru berdiri di situ dengan wajah berseri ia menunjukkan
wajah yang segar karena makan yang kenyang dan tidur yang nyenyak.
Dengan penuh rasa mendongkol dan mencibir bibir Kwik Tay-lok bergumam:
"Huuh, sekarang masih dianggap pagi" Lihatlah, mataharipun sudah bersinar sampai ke
pantat !" "Waktu itu lebih berharga dari seribu kati emas, kalau memang merasakan kenikmatan
semalaman suntuk, mengapa kau tidak berbaring dalam pelukan sang bidadari sampai tengah hari
?" kata Yan Jit sambil tertawa lebar.
"Di situ banyak kutu busuknya"
"Kutu busuk" Masa di ranjang sang bidadari pun banyak kutu busuknya" Lucu amat!"
Kwik Tay-lok menyadari kalau ia telah salah bicara, maka setelah mendehem beberapa kali,
katanya lagi sambil tertawa paksa:
"Bukan kutu busuk sungguhan, cuma tangannya yang selalu bergerak-gerak di badanku itu
lebih menjemukan dari pada kutu busuk."
Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian sambil menggelengkan
kepalanya dan menghela napas katanya:
"Yang paling sukar ditahan adalah kehangatan tubuh sang bidadari, kau benar-benar tidak
pandai menikmati keadaan, aku yang ingin mencari seekor kutu busuk di badanku saja tidak
berhasil menemukannya. . . !"
"Hahahaha... hahaha...." Kwik Tay-lok ingin tertawa seriangnya, tapi suaranya justru seperti
keledai yang lagi cegukan, mana suaranya parau, tidak enak lagi didengar.
Yan Jit segera memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian katanya lagi.
"Apakah perutmu sedang merasa kurang enak" Yaa, pasti semalam kekenyangan."
"Ehmm . . . ."
Yan Jit kembali tertawa cekikikan ujarnya:
"Kalau toh nona itu bersikap begitu baik kepadamu, mungkin juga menyiapkan hidangan yang
paling baik agar membantu kesehatan badanmu . . . . betul tidak ?"
Kwik Tay-lok melirik sekeyap ke arahnya, kemudian sahutnya:
"Sungguh tak kusangka secara tiba-tiba kaupun berubah menjadi begitu berpengalaman."
"Aaai. . . mama mungkin aku bisa memiliki rejeki sebagus dirimu itu. . ." keluh Yan Jit sambil
menghela napas lagi.
"Semalam kau pergi kemana ?"
"Hmmm . . . kau tidak rikuh untuk bertanya kepadaku " Sampai pusing kepalaku semalam
menunggu kedatanganmu di warung teh itu, tapi jangan toh kau datang menjemputku, bayangan
setan pun tidak nampak, terpaksa aku bergelandangan seorang diri kesana kemari, hampir saja
tempat untuk tidurpun tidak kutemukan"
"Kiranya bocah ini pandai berpura-pura" pikir Kwik Tay-lok.
Saking gemasnya gigi serasa bergemerutukan keras, apa mau dikata ia justru tak bisa
membongkar rahasianya itu, terpaksa sambil tertawa paksa katanya:
"Siapa suruh kau tidak sabar menunggu?"
"Aaaai. . . akibatnya aku yang kepayahan setengah mati, habis sekaligus harus melayani
beberapa orang nona cantik"
Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali, bahkan menghela napas panjang pendek
seolah-olah merasa menyesalnya setengah mati.
Kwik Tay-lok kembali merasakan hatinya agak terhibur, katanya lebih jauh:
"Padahal kau juga tak usah bersedih hati, bila ada kesempatan lagi di kemudian hari aku pasti
akan mengajakmu. Terutama sekali terhadap seorang nona cilik diantaranya, waaah... bukan
cuma wajahnya cantik, pandai memberi kesenang buat kita, malahan apa yang kau pikirkan dihati
tanpa kau katakan, ia sudah menyiapkannya bagimu."
"Waaahhh...... kalau begitu dia kan seperti seorang Puosat batu yang suka menolong kaum
miskin yang sedang kesusahan?" teriak Yan Jit dengan mata melotot besar.
Kwik Tay-lok agak tertegun.
"Pousat batu " Dari mana datangnya Pousat batu ?" serunya.
Tiba-tiba ia teringat kembali, bukankah dalam kuil yang di tempatinya semalam juga ada
sebuah patung Pousat batu "
Yan Jit telah berkata lagi sambil tertawa:
"Oooh . . . . . maksudku adalah seorang Li-Pousat, seorang pousat perempuan yang senang
menolong kaum lelaki"
Kwik Tay-lok baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, dasar kalau tidak jujur, apa
saja yang dikatakan orang bisa membuat jantung berdebar keras.
"Pagi tadi, hidangan lezat apa saja yang telah disiapkan Li-pousat itu untukmu ?"
Sambil menelan air liurnya Kwik Tay-lok kembali mengibul.
"Kalau dibilang amat lezat sih tidak, dia cuma membuatkan Yan-oh, kuah ayam, bak mi,
bakpao, daging ham, telur. . . ."
Hampir semua makanan yang dia inginkan dan sedang dipikir dalam hatinya disebutkan satu
persatu, kendatipun belum sampai mencicipi, paling tidak bisa mengurangi rasa laparnya yang
semakin menghebat itu .. . .
Sayang sekali dia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya, sebab bila ucapan tersebut
dilanjutkan, bisa jadi air liurnya akan bercucuran dengan derasnya.
Yan Jit segera menghela napas panjang, katanya:
"Wah, tampaknya bukan saja kau sedang mujur dalam soal perempuan, mujur pula dalam soal
makanan, padahal aku sudah kelaparan setengah mati, kalau bisa aku ingin mencari tampat untuk
bersantap."
Belum habis dia berkata, Kwik Tay-lok telah menyela dengan cepat.
"Haah ! Mau makan. Hayo, kita berangkat sekarang juga, aku bersedia menemanimu!"
"Bah, tidak usah, kau toh sudah kenyang, aku jadi rikuh kalau kau yang menemani."
Kwik Tay-lok mana gusar, gelisahnya setengah mati, kalau bisa dia hendak bicara terus
terang, untung saja pada saat itulah pintu depan rumah makan Kiu-goan-koan telah di buka orang,
menyusul seseorang melongok ke luar dengan mata setengah terpejam, agaknya masih
mengantuk dan sudah setahun lamanya tak pernah tidur.
Sambil melirik ke arah mereka berdua, orang itu berseru:
"Kalau ingin makan, rumah makan kami menyediakan aneka macam hidangan, mengapa tuan
tidak memilih yang dekat sebaliknya malah mencari yang jauh . . . . ?"
Melihat orang itu, Yan Jit dan Kwik Tay lok segera tertawa terbahak-bahak, ternyata orang itu
adalah Ong Tiong.
Sambil tertawa lebar Kwik Tay-lok berseru:
"Cara kerjamu sungguh luar biasa hebatnya, sedari kapan sih kau sampai di sini " Sedari
kapan pula kau menjadi pelayannya rumah makan Kui-goan-koan?"
"Hari ini Kwik toa-sauya kan mau mentraktir kami, kalau sampai tidur kesiangan sehingga
kehilangan kesempatan sebaik ini kan penasaran rasa hatiku " Maka dari itu, aku lantas
mengambil keputusan untuk berangkat semalam sebelumnya dan tidur di sini, sembari tidur
sembari menanti, mana nyaman tidak takut terlambat lagi, kan sip namanya?"
"Betul!" sambung Yan Jit sambil tertawa, "selamanya cara kerja Ong Lo-toa memang selalu
dapat dipercaya, bisa mengundang kedatangan seorang tamu yang bersungguh hati seperti kau,
yang menjadi tuan rumah pasti akan merasa terharu sekali"
Sesungguhnya seisi perut Kwik Tay-lok telah dipenuhi oleh sumpah serapah yang tak mampu
dilampiaskan keluar, seandainya di situ ada tali gantungan, mungkin ia sudah bunuh diri sedari
tadi. Dalam keadaan demikian, terpaksa dia cuma bisa tertawa serak sambil bergumam.
"Yaa, aku memang sangat terharu, sampai maknya pun ikut terharu. . . .!"
"Sekarang mah belum sampai waktunya kau merasa terharu" kata Ong Tiong, "bila kami sudah
mulai bersantap nanti, nah waktu itulah kau baru akan terharu."
"Betul!" sambung Yan Jit sambil tertawa, "Bukan cuma dia saja yang akan terharu, mak nya
juga akan turut terharu sehingga air mata ikut jatuh bercucuran"
Rumah makan Kui-goan-koan tidak terhitung rumah makan kecil, rumah makan itu terbagi
menjadi loteng bagian atas loteng bawah, untuk bawah lotengpun paling tidak terdiri dari tujuh
delapan belas buah meja.
Kalau malam sudah tiba, biasanya meja-meja itu akan digabungkan menjadi satu, pelayan
rumah makanpun akan menggelar tikar dan tidur di atas meja tersebut.
Dalam rumah makan itu ada tujuh-delapan orang pelayan yang bekerja disitu, sekarang
mereka semua sedang merangkak bangun dengan mata yang masih mengantuk, masing-masing
pelayan dengan ramah dan hangat menyapa kepada Ong Tiong.
"Apakah orang-orang Ong toako telah datang semua ?"
"Mengapa tidak cepat bangun untuk melayani tamunya Ong toako ?"
Sepasang mata Kwik Tay-lok terbelalak lebar-lebar, dia ingin bertanya kepada Ong Tiong,
sedari kapan ia telah menjadi toakonya orang-orang itu "
Mendadak ia menyadari bahwa Ong Tiong bukan cuma cara kerjanya saja yang serba rahasia,
diapun pandai bergaul dan menjadi teman, seperti misalnya dia selama hidup jangan harap bisa
bersahabat dengan para pelayan dari rumah makan.
Yan Jit sudah tidak tahan untuk bertanya: "Dulu, apa kau seringkali berkunjung ke sini ?"
"Tidak, kali ini baru pertama kalinya !" jawab Ong Tiong.
Sepasang mata Yan Jit pun terbelalak lebar, dalam hati kecilnya benar-benar merasa kagum,
dalam semalaman saja ia sudah sanggup untuk menaklukan semua pelayan yang bekerja dalam
rumah makan tersebut, sesungguhnya kejadian semacam ini amat jarang terjadi.
"Kalian ingin makan apa ?" tanya Ong Tiong, "hayolah pesan, akan kusuruh mereka
menyiapkan hidangan."
"Aku ingin semangkuk mi ayam yang di beri tiga biji telur dan dua kerat daging baykut, tapi
kedua potong bay-kut itu musti banyak dagingnya dan empuk,"
"Aku juga memesan semangkuk mie yang sama." kata Ong Tiong, "bagaimana dengan
saudara Kwik ?"
Belum lagi berbicara, air liur Kwik Tay-lok serasa sudah menetes keluar, katanya agak
tergagap: "Aku. . . ."
Belum sempat dia mengucapkan kata-katanya, Yan Jit telah menyerobot dari samping,
teriaknya: "Dia tidak perlu dipesankan, pagi tadi ia sudah sarapan beraneka macam hidangan lezat,
saking kenyangnya hampir meledak perutnya yang buncit itu."
Kwik Tay-lok merasa gelisah yaa gemas, sampai giginya saling beradu, tangannya menjadi
gatal, kalau bisa ia ingin menyumbat si mulut cerewet itu dengan kepalan tangannya.
Yan Jit memutar biji matanya seperti sedang tertawa geli, tiba-tiba ia bertanya:
"Kemana perginya Lim Tay-peng " Apakah ia sudah datang ?"
"Datangnya mah sudah datang, dia masih tidur di atas loteng."
"Tampak diapun jago tidur, tidak kalah hebatnya dengan kepandaianmu !" seru Yan Jit sambil
tertawa. Di atas loteng bukan cuma tak ada orang, bayangan setanpun tidak nampak.
Di sudut ruangan tampak beberapa buah meja yang dijajarkan menjadi satu, selimut masih
ada di atas meja itu tapi orangnya entah ke mana perginya . . .. .?"
"Dimana orangnya ?" seru Yan Jit.
Ong Tiong juga tampak tertegun, serunya:
"Ketika aku turun dari loteng tadi, dia masih tertidur di sini, kenapa dalam waktu sekejap
bayangan tubuhnya bisa lenyap tak berbekas ?"
"Kau tidak melihatnya turun dari loteng?"
Ong Tiong menggelengkan kepalanya, sementara matanya menatap daun jendela di seberang
sana lekat-lekat.
"Tampaknya cara kerja orang inipun serba rahasia dan aneh, toh ia tak usah membayar
rekening " Kenapa musti ngeloyor pergi?" omel Yan Jit sambil tertawa.
Matanya juga mengikuti arah pandangan Ong Tiong mengawasi daun jendela di hadapannya
sana. Di atas loteng ini semuanya terdapat delapan buah daun jendela, salah satu diantaranya
berada dalam keadaan terbentang lebar kini.
"Apakah jendela itu terbuka sedari tadi?" kembali Yan Jit bertanya.
"Tidak, aku paling benci tidur dengan jendela terbuka, aku takut kedinginan"
Pelan-pelan dia berjalan ke tepi jendela.
Di bawah jendela tersebut merupakan pintu belakang rumah makan Kui-goan-lo, di seberang
pintu adalah sebuah sungai kecil, di atas sungai terbentang sebuah jembatan.
Walaupun air sungai itu kotor lagi bau, walaupun jembatan kecil itu bobrok dan kuno, tapi
sekarang fajar baru menyingsing, sinar matahari yang lembut menyinari air sungai dan
memantulkan sinar tajam yang menyilaukan mata.
Kabut tipis meliputi permukaan tanah, angin berhembus lewat menggoyangkan pohon liu,
sayup-sayup sampai kedengaran bunyi ayam berkokok, betul-betul merupakan suatu
pemandangan yang sangat indah.
Sayangnya di seberang sungai sana tampak seorang nyonya yang membopong anaknya
sedang mencuci tong berisi tinja di tepi sungai.
Yan Jit mengerutkan dahinya lalu mengerutkan pula hidungnya, kemudian dengan suara
lantang teriaknya:
"Toaso, barusan ada orang melompat turun dari jendela dan lari ke sana, apakah kau
melihatnya atau tidak"
Nyonya itu mendongakkan kepalanya dan melotot sekejap ke arahnya, kemudian sambil
menundukkan kepalanya kembali dia bergumam:
"Pagi saja baru menjelang, jangan-jangan orang ini sudah ketemu setan . . . sialan !"
Ketanggor batunya, Yan Jit bisa cuma tertawa getir, gumamnya:
"Entah kemana perginya bocah itu " Jangan-jangan tenggelam di sungai itu dan mampus ?"
Kwik Tay-lok yang perutnya sudah kosong lagi lapar makin mendongkol dibuatnya, kalau bisa
rasanya dia ingin mencari sasaran yang tepat untuk melampiaskan rasa marahnya itu.
Mumpung ada kesempatan, sambil menarik muka dia lantas mendamprat:
"Cerewet amat kau ini, mana bawel lagi! Biar saja kalau ada yang tenggelam di sungai, biar
mampus sekalian agar mengurangi jatah, takutnya justru dia tak akan mampus tenggelam di
sungai !" "Waduh, hebat betul orang ini" gumam Ong Tiong sambil mengerling sekejap ke arahnya.
"Sepagi ini hawa amarahnya sudah begitu gede, mungkin semalaman suntuk rasa mendongkolnya
belum ada tempat penyaluran ?"
Yan Jit segera tertawa terkekeh-kekeh serunya cepat:
"Aaah, mana mungkin, semalam mana dia digigit kutu busuk, ketemu dengan li-pousat pula,
sekalipun mendongkol juga semua rasa mendongkolnya sudah tersapu lenyap"
"Li-pousat ?" Kutu busuk " Jangan-jangan semalam ia tidur dalam kuil bobrok" Wah, kan lebih
enakan tidur di atas meja ditempat lain ini"
Kontan saja air muka Kwik Tay-lok berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus,
untung saja sang pelayan telah datang menghidangkan dua mangkuk bakmi.
Dua mangkuk besar bakmi kuah ditambah dengan dua piring daging bay-kut yang gemuk dan
harum. Ketika mengendus bau harum semerbak yang terbawa oleh angin, Kwik Tay-lok pingin
menerjang bakmi itu dan melahapnya dengan rakus.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok memusatkan semua perhatiannya ke bawah meja, seolah-olah di
bawah meja sedang terdapat beberapa orang siluman kecil bermain sandiwara.
Yan-Jit dan Ong Tiong meski sedang makan bakmi, tanpa terasa matanya juga turut di alihkan
ke bawah meja. Kesempatan baik semacam inilah yang sesungguhnya sedang di tunggu oleh Kwik Tay-lok,
secepat kilat tangannya menyambar ke atas sepotong daging bay-kut yang ada di meja.
Siapa tahu baru saja tangannya hendak mencomot daging tersebut, sepasang sumpit telah
melayang datang dari tengah udara dan....
"Plak !" menghantam punggung tangannya keras-keras.
Sambil mengerling ke arahnya dan tertawa Yan Jit berseru:
"Barusan kau toh sudah makan tujuh belas macam sayur, kenapa masih ingin mencuri daging
orang" Apakah kau benar-benar kelaparan setengah mati ?"
Bocah ini betul-betul memiliki sepasang mata pencoleng yang kelewat tajam.
Merah padam selembar wajah Kwik Tay1ok karena jengah, dengan tersipu-sipu ia menarik
tangan kembali sembari bergumam:
"Kalau orang bermaksud baik, jangan di tuduh yang jelek, aku toh bermaksud untuk mengusir
lalat yang hinggap di atas daging itu" Bukan berterima kasih, kau malah menggigit aku ?"
"Aaah, hari ini udara dingin sekali, dari mana datangnya lalat?"
"Walaupun lalat tak ada, paling tidak kutu busuk mah masih ada beberapa ekor." kata Ong
Tiong. Hari ini, entah kedua orang itu sedang angot atau kambuh penyakit edannya, setiap saat
setiap waktu selalu berusaha menyusahkan diri Kwik Tay-lok, agaknya kalau belum memusuhinya,
hati serasa belum puas.
Terpaksa Kwik Tay-lok tidak melayani olok-olokan orang, seorang diri duduk tertegun setengah
harian lamanya, tiba-tiba ia berkata sambil tertawa:
"Tahukah kalian apa yang sedang kupikirkan sekarang?"
Tak seorangpun berbicara, sebab mulut mereka sedang tersumbat penuh oleh daging bay-kut.
Terpaksa Kwik Tay-lok melanjutkan sendiri perkataannya:
"Aku sedang berpikir, rasanya semangkuk mie campur daging bay-kut tentu lezaat ..!"
Yan Jit menghirup setegukan kuah dan menelan daging bay-kut yang telah dikunyah itu ke
dalam perut, kemudian sambil tertawa sahutnya:
"Tepat sekali jawabanmu, kami memang amat jarang mencicipi bakmi seenak ini".
"Tahukah kalian, apa sebabnya bakmi ini luar biasa lezatnya kalau dimakan ?"
"Kenapa ?" Yan Jit balik bertanya sambil mengerdipkan matanya.
"Sebab bakmi ini di masak dengan air sungai di belakang sana, air yang bekas dipakai
mencuci tong berisi tinja tentu saja luar biasa lezat baunya....!"
Paras muka Yan Jit sama sekali tidak berubah, malahan sambil tertawa cekakakan dia
berkata: "Jangan toh baru air sungai bekas dipakai mencuci tong berisi tinja, sekalipun bakmi ini di
masak dengan air bekas cuci kaki pun rasanya tentu lebih lezat daripada harus menahan lapar
setengah mampus."
Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia melompat bangun, sambil
membentangkan tangannya dia berteriak:


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin makan, harus makan. . . . siapa melarang aku makan lagi, aku bersumpah akan
beradu jiwa dengannya."
Lim Tay-peng sedang duduk termangu-mangu.
Ia pulang sudah cukup lama, termangu-mangu juga cukup lama, seolah-olah sedang
menunggu orang bertanya kepadanya:
"Mengapa kau hilang secara mendadak" Kemana saja kau pergi" Apa saja yang telah kau
lakukan?" Tapi sayang justru tak seorangpun yang bertanya, seolah-olah mereka menganggap ia tak
pernah pergi meninggalkan tempat itu.
Terpaksa Lim Tay-peng mengatakannya sendiri, mula-mula dia melirik sekejap ke arah Kwik
Tay-lok, kemudian pelan-pelan baru berkata:
"Tadi aku telah melihat seseorang, selama hidup jangan harap kalian bisa menduga siapakah
dia." Betul juga, Kwik Tay-lok segera tak kuat menahan diri, cepat dia bertanya:
"Kenalkah aku dengan orang itu?"
"Sekalipun tidak kenal, paling tidak pernah bersua!"
"Siapa sih orang itu"
"Aku sendiri juga tak tahu siapakah dia, sebab aku sendiripun tidak kenal dengannya"
Kwik Tay-lok kembali tertegun, sesudah tertawa getir katanya:
"Dialek yang dipakai orang ini adalah dialek dari negeri mana sih" Apakah kalian mengerti apa
yang sedang ia ngebacotkan sekarang ?"
Lim Tay-peng sama sekali tidak menggubris dirinya, ia berkata lebih jauh:
"Walaupun aku tidak kenal dengan orangnya, tapi kenal dengan pakaian yang dikenakannya
itu" "Pakaian apa yang dia kenakan?" tak tahan kembali Kwik Tay-lok bertanya.
"Baju berwarna hitam !"
Mendengar itu Kwik Tay-lok segera tertawa lebar.
"Tak terhitung jumlah orang berbaju hitam yang berjalan di atas jalan raya, setiap saat pun aku
bisa menjumpai puluhan orang."
"Kecuali bajunya, aku masih kenal juga dengan pedangnya".
Sekarang Kwik Tay-lok baru merasakan sedikit keanehan, segera ia mendesak lebih jauh:
"Macam apakah pedang itu?"
"Pedang yang panjangnya satu jengkal tujuh inci dikombinasikan dengan sarung pedang yang
empat jengkal panjangnya"
Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas:
"Kapan kau bertemu dengannya" ia berseru.
"Ketika kalian datang tadi !"
"Apakah kau anggap kejadian ini aneh sekali?" tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa lebar.
"Apakah kau tidak merasa heran?"
"Dia toh memang sedang pergi ke kota Sian-sia untuk memberi laporan, bila kita tidak
menemuinya di sini, itu baru aneh namanya"
"Dia seharusnya membawa si anjing buldok, si tongkat dan Hong Si-hu serta barang rampokan
itu menuju ke kantor pengadilan bukan?"
"Benar?"
"Tapi dari pihak pengadilan justru tidak mendengar tentang peristiwa itu, bahkan dalam dua
hari belakangan ini sama sekali tak ada buronan yang digusur kemari."
Sekarang Kwik Tay-lok baru merasa rada terkejut, serunya:
"Darimana kau bisa tahu?"
"Aku telah berkunjung sendiri ke pengadilan untuk mengecek kebenaran dari berita ini."
Kwik Tay-lok segera berpikir sejenak, kemudian katanya:
"Mungkin saja dia bermaksud untuk membawa para tawanan itu ke kota lain ?"
"Tidak ada tawanan atau orang hukuman!"
Kwik Tay-lok segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian setelah termenung sejenak
katanya: "Hei, apa maksudmu" Apa yang kau maksudkan dengan tidak ada orang hukuman itu?"
"Tidak ada orang hukuman artinya ialah si anjing buldok, si tongkat dan Hong Si-hu telah
lenyap tak berbekas bagaikan air yang menguap ke udara, sedangkan barang rampokan yang
dikatakan akan dipakai sebagai barang bukti pun turut lenyap tak berbekas, secara diam-diam aku
menguntil terus di belakangnya sampai ia tiba di tempat pondokannya, tapi di situpun tak kujumpai
orang-orang tersebut, karena dia hanya berdiam seorang diri di sana !"
Kali ini Kwik Tay-lok dibikin tertegun, malah mulutnya sampai melongo dan matanya terbelalak
lebar-lebar. Bukan cuma dia, Yan Jit dan Ong Tiong pun turut tertegun seperti sepasang patung arca.
Lim Tay-peng berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang agak tersengkal, kemudian
setelah meneguk habis arak yang berada di depan Kwik Tay-lok itu, katanya lagi dengan hambar:
"Sekarang kau merasa kejadian ini rada aneh atau tidak?"
"Yaa, aneh sekali !" teriak Kwik Tay-lok.
Yan Jit dan Ong Tiong juga turut manggut-manggut.
Meja sudah ditarik ke tengah ruangan, selimut juga sudah di gulung.
Tamu-tamu yang akan bersantap dirumah makan kui-goan-koan sebentar lagi akan
berdatangan. Tapi saat itu di atas loteng cuma ada mereka berempat. Empat orang itu duduk tak
berkutik ditempat semula, bagaikan empat buah patung kayu.
Patung-patung kayu yang bisa minum arak tentunya.
Arak didalam teko sudah lenyap tak berbekas seperti menguap mereka meneguk secawan
demi secawan tanpa hentinya, memenuhi secawan sendiri dan meneguknya sampai habis,
siapapun enggan untuk mengurusi rekan-rekan lainnya.
Kemudian Yan Jit, Ong Tiong dan Kwik Tay-lok seakan-akan telah berjanji sebelumnya,
bersama-sama mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Sekalipun mereka semua goblok, sekarang pun tahu kali ini mereka lagi-lagi ditipu orang.
Sudah pasti manusia berbaju hitam itu bukan opas atau pegawai pengadilan, diapun bukan
mata-mata yang diutus wali kota untuk menyelidiki tingkah laku si anjing buldok dan si tongkat.
Rupanya diapun seseorang yang hitam makan hitam.
Bila ada orang ditipu mentah-mentahan oleh orang lain bahkan rugi besar, rasa mendongkol
dan rasa mangkel yang berkobar dalam dadanya tentu besar sekali.
Tapi mereka tidak marah ataupun mendongkol, mereka malahan merasa kejadian ini
menggelikan sekali.
Yan Jit sambil menuding ke arah Kwik Tay-lok berkata seraya tertawa tergelak:
"Perkataan Ong lotoa sedikitpun tak salah, sewaktu kau harus pintar sebaliknya malah berbuat
goblok, bukan cuma goblok saja, bahkan gobloknya setengah mati."
"Bagaimana dengan kau sendiri?", kata Kwik Tay-lok pula sambil menuding ke arahnya dan
tertawa, "kau sendiripun tidak lebih cerdik daripada diriku !"
Lim Tay-peng hanya duduk tenang disamping sambil mengawasi mereka, menunggu semua
orang telah berhenti tertawa, dia baru bertanya:
"Sudah habiskah tertawamu itu?"
Kwik Tay-lok menghembuskan napas panjang, sahutnya:
"Belum habis tertawaku, cuma aku sudah tak punya tenaga lagi untuk tertawa lebih jauh"
"Apakah kalian menganggap kejadian ini sangat menggelikan?" seru Lim Tay-peng lagi.
Tiba-tiba Ong Tiong membalikkan matanya, kemudian berseru:
"Kalau tidak tertawa lantas bagaimana" Apakah harus menangis?"
Dia memang selalu beralasan kalau sedang berbicara, inilah kesimpulan yang diambilnya.
Mereka bisa tertawa, mereka berani tertawa, merekapun mengerti untuk tertawa.
Tertawa bukan saja dapat membuat orang merasa girang, diapun bisa menambah rasa
percaya serta keberaniannya terhadap orang lain.
"Bila orang tertawa terus, dia akan punya rejeki besar, karena kehidupan akan menjadi milik
kita" Lim Tay-peng tampaknya tak sanggup untuk tertawa.
"Mengapa kau tidak turut kami untuk tertawa tergelak ?" Kwik Tay-lok bertanya.
"Bila hanya tertawa bisa menyelesaikan persoalan, aku pasti akan tertawa lebih keras
daripada kalian."
"Sekalipun tertawa tak bisa menyelesaikan persoalan, paling tidak bisa menghilangkan
kemurungan dalam hatimu."
Setelah tertawa, dia berkata kembali:
"Apalagi bila kau belajar menggunakan tertawa untuk berhadapan dengan orang asing, lambat
laun kau akan merasa bahwa dalam kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya tidak terdapat
persoalan yang tak dapat diselesaikan".
"Bagaimanapun riangnya kalian tertawa, toh sama saja sudah tertipu orang . . ." kata Lim Taypeng.
"Kau tidak tertawapun juga sama saja sudah tertipu orang, kalau toh sama-sama sudah
tertipunya, mengapa kau tidak tertawa saja?"
Lim Tay-peng tidak berbicara lagi.
"Sebetulnya persoalan apakah yang sedang kau hadapi?" tanya Kwik Tay-lok kemudian.
"Mengapa sih kau begitu menaruh perhatian terhadap persoalan ini?" seru Yan Jit pula.
Lim Tay-peng termenung beberapa saat lamanya, kemudian menjawab:
"Karena orang itu adalah Lamkiong Cho!"
"Darimana kau bisa tahu ?"
"Pokoknya aku tahu !"
"Apa pula hubungannya Lamkiong Cho dengan dirimu ?"
"Tak ada hubungan apa-apa.... justru karena tak ada hubungan apa-apa, maka aku baru..."
"Kau baru apa?"
"Aku baru membunuhnya!"
Kwik Tay-lok memandang Yan Jit, kemudian memandang kearah Ong Tiong, sesudah itu
serunya: "Dengarkan kalian apa yang barusan dia katakan ?"
Ong Tiong sama sekali tidak berkutik, sebaliknya Yan Jit cuma manggut-manggut.
"Bocah ini mengatakan dia hendak membunuh orang !" kata Kwik Tay-lok lagi, Ong Tiong
masih belum juga berkutik sedangkan Yan Jit kembali manggut-manggut.
(Bersambung jilid 07)
Jilid 07 PELAN-PELAN KWIK TAY-LOK berpaling dan menatap wajah Lim Tay-peng lekat- lekat.
Paras muka Lim Tay-peng amat tenang, sedikitpun tanpa perubahan emosi apapun.
"Tadi kau telah berjumpa dengannya?" tanya Kwik Tay-lok lagi.
"Yaa !"
Tiba-tiba pemuda itu tertawa, serunya lagi:
"Lantas mengapa kau tidak membunuhnya tadi?"
Paras muka Lim Tay-peng masih belum menunjukkan perubahan apa-apa, seakan-akan
wajahnya seperti menggunakan sebuah topeng saja.
Topeng berwarna hijau membesi, sehingga tampaknya agak menakutkan sekali.
"Karena aku telah membunuhnya!" akhirnya sepatah demi sepatah dia menjawab.
Poci arak yang kosong itu telah diisi dengan arak baru, sebab Ong Tiong telah berpesan:
"Jika menjumpai poci arak kami kosong, cepat penuhi dengan segera !"
Ternyata pelayan-pelayan dari rumah makan Kui-goan-koan tersebut amat menurut sekali
dengan perkataan Ong Tiong.
Setiap orang membelalakkan matanya lebar-lebar untuk memperhatikan poci arak itu.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa lebar katanya:
"Arak bukan diminum dengan mata, mengapa harus dilihat terus dengan mata melotot?"
"Sebab mulutku sedang repot!" jawab Yan Jit.
"Repot apa?"
"Repot untuk menelan kembali kata-kataku yang sudah keluar lewat tenggorokan."
Tamu sudah mulai berdatangan, tempat itupun sudah tidak leluasa lagi untuk digunakan
sebagai tempat berbicara.
Kwik Tay-lok mengangkat cawan araknya untuk meneguk setegukan, lalu sambil
meletakkannya kembali ke meja, dia berkata:
"Kwik toa-sauya memang jarang sekali bisa mentraktir orang...."
"Yaa, anggap saja kau yang beruntung kali ini, hayo kita pergi dari sini !"
Lim Tay-peng yang pertama-tama bangkit berdiri, ternyata Ong Tiong juga ikut bangkit.
Kwik Tay-lok telah menyodorkan tangannya ke depan matanya.
Ong Tiong memandang sekejap ke arahnya lalu bertanya:
"Hey, apa yang ingin kau lakukan" Apakah hendak suruh aku untuk meramalkan nasibmu ?"
Kwik Tay-lok tertawa paksa, sahutnya:
"Tak usah diramalkan lagi, aku juga tahu kalau nasibku sudah ditakdirkan miskin sepanjang
waktu, yang lebih payah lagi adalah aku cuma ingin mentraktir orang, tapi uang dalam saku
rasanya sudah terbang semua meninggalkan tempat."
"Ooooh.... rupanya kau hendak meminjam uang kepadaku untuk membayar rekening?"
Kwik Tay-lok mendehem beberapa kali. lalu berkata:
"Tahukah kau, semalam aku telah melakukan suatu pekerjaan yang amat menghamburkan
uang ?" Sebenarnya Ong Tiong ingin tertawa, tapi setelah memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng,
dia menghela napas panjang, katanya:
"Kau sudah salah mencari orang !"
"Jadi uangmu juga habis ?" seru Kwik Tay-lok dengan wajah tertegun.
"Ehm......!"
"Uang..... uangmu habis dimana ?"
"Semalam akupun telah melakukan suatu perbuatan yang sangat menghamburkan uang."
"Apa yang telah kau lakukan?"
"Apakah di dunia ini ada pekerjaan lain yang jauh lebih menghamburkan uang daripada berjudi
?" "Apa" Kau telah habis berjudi " Kalah kepada siapa ?"
"Dengan pelayan dari rumah makan ini."
Kwik Tay-lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian tak tahan lagi dia tertawa
tergelak. "Haaahhh....haaahhh... haaahhh... tak heran kalau mereka begitu tunduk kepadamu, sudah
barang tentu pelayan-pelayan ini selalu akan melayani orang yang setor uang kepada mereka
dengan munduk-munduk, apalagi jangankan orang lain, sekalipun uang itu kau kalahkan di
tanganku, akupun bisa melayanimu dengan baik"
"Tapi yang kalah bertarung bukan cuma aku seorang."
"Lantas siapa lagi ?"
Ong Tiong memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, kemudian memandang juga ke arah
Yan Jit. Kwik Tay-lok segera melompat bangun, teriaknya:
"Apakah uang kalian sudah kalah semua di meja judi ?"
Tak seorangpun menjawab, membungkam berarti membenarkan.
Kwik Tay-lok segera menjatuhkan diri duduk di kursi, kemudian tertawa getir, serunya:
"Kalau begitu, bukankah pelayan-pelayan itu telah menjadi kaya mendadak?"
"Merekapun tak bakal kaya, cepat atau lambat mereka bakal kalah ditangan orang lain."
Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk, lalu gumamnya:
"Benar, apa yang datangnya terlalu mudah biasanya juga akan pergi dengan gampang."
"Itulah sebabnya kita harus menyumbangkan sedikit derma bakti kita bagi masyarakat."
"Mendarma baktikan apa ?"
"Biar uang itu mengalir lebih cepat, biar pasaran kota menjadi bertambah ramai, dengan begitu
masyarakatnya baru akan maju dengan cepat."
Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian tertawa getir.
"Tampaknya apa yang kau katakan itu masuk diakal juga !" gumamnya.
"Itulah sebabnya kau juga tak perlu bersedih hati."
"Kenapa, aku musti bersedih hati" Aku toh tidak kalah...."
"Maaf, kamilah yang telah membawa uangmu masuk meja judi dan akhirnya ludas pula
ditangan mereka."
Kwik Tay-lok tertegun. Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Ong Tiong berkata lagi:
"Sekalipun pousat tanah liat dalam kuil bobrok harus menemani orang tidur, dia pun tak akan
menarik ongkos."
Pelan-pelan sepasang mata Kwik Tay-lok berubah menjadi bundar, serunya tertahan:
"Jadi kalian sudah tahu semua...." Jadi kalian telah bersekongkol...." Kalau begitu si pencopet
yang mencopet uangku adalah..."
Tiba-tiba ia menuding hidung Yan Jit sambil berteriak keras:
"Kau !"
Kwik Tay-lok segera meraih kerah bajunya dan dicengkeram keras-keras, sambil menggigit
bibir teriaknya:
"Mengapa kau lakukan perbuatan semacam ini?"
Yan Jit tidak menjawab, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi agak semu merah.
"Sesungguhnya ia berbuat demikian demi kebaikanmu" kata Ong Tiong hambar, "dia tak ingin
temannya kejangkitan penyakit sipilis!"
Pelan-pelan Kwik Tay-lok melepaskan cengkeramannya, lalu duduk di atas bangku, sambil
meraba kepala sendiri gumamnya:
"Ooh Thian.... ooh Thian, mengapa kau membiarkan aku bertemu dengan orang-orang
semacam ini?"
Tiba-tiba ia melompat bangun kemudian sambil menggigit bibir jeritnya melengking:
"Kalau kalian sudah tahu bila kantong kita berempat sudah ludas semua, mengapa masih
makan minum sepuasnya di sini ?"
"Agar kau senang !"
"Agar aku senang?" Kwik Tay-lok tidak tahan lagi untuk menjerit sekeras-kerasnya.
"Tentu saja, bila seseorang sedang mengadakan pesta, dia pasti luar biasa senang, bukan
begitu ?" "Yaa, yaa, yaa... aku memang sangat gembira, aku betul-betul gembira sekali maknya....
saking gembiranya aku betul-betul ingin bunuh diri?" teriak Kwik Tay-lok sambil memegang
kepalanya agar tidak turut berputar lantaran pening.
Tiba-tiba seorang pelayan berjalan menghampiri mereka, kemudian katanya dengan ramah:
"Ong toako, kau tak usah risau karena soal rekening, rekening kalian sudah ada yang
membayar."
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Aaaai... sungguh tak kusangka di sini masih ada seorang yang punya liangsim juga!"
Pelayan itu merah padam pipinya, sambil tertawa ia berseru:
"Sebenarnya aku ingin sekali membayarkan rekening Ong toako, sayang ada orang yang


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berebut untuk membayar rekening itu lebih dahulu."
"Siapakah orang itu ?" tanya Ong Tiong.
"Itu dia yang duduk di ujung sana !"
Sambil berkata dia lantas menunjuk ke depan sana, siapa tahu dengan cepat ia menjadi
tertegun. Sayur dan arak masih berada di atas meja, malah masih utuh, tapi orangnya sudah lenyap tak
berbekas. Kwik Tay-lok berjalan dipaling belakang, baru berjalan beberapa langkah ia berpaling lagi,
kemudian ditepuk-tepuknya bahu si pelayan yang menghantar mereka turun ke loteng. itu seraya,
berkata: "Ada satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu !"
"Tanya saja !"
"Kau sudah menang begitu banyak, apa yang hendak kau lakukan dengan uang tersebut?"
"Aku tidak bermaksud menggunakannya!"
Kwik Tay-lok mengawasinya dengan mata melotot, seolah-olah ia bertemu dengan seorang
malaikat suci. Tiba-tiba pelayan itu tertawa, katanya lagi:
"Aku bermaksud menggunakannya sebagai pokok, aku ingin menang lebih banyak lagi, sebab
belakangan ini nasibku agak mujur"
Kwik Tay-lok masih melotot ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa tergelak, tertawa terpingkal-pingkal
sampai hampir saja jatuh terguling dari atas loteng.
Sambil tertawa tergelak dia menepuk bahu pelayan itu seraya serunya:
"Suatu ide yang amat bagus, suatu ide yang sangat bagus, justru karena ada manusiamanusia
semacam kau, umat manusia baru bisa maju, aku mewakili semua orang di dunia ini
mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu"
"Mengapa berterima kasih kepadaku ?" pelayan itu masih bertanya.
Tapi dengan langkah lebar Kwik Tay-lok sudah turun dari loteng itu.
Menghela napaslah pelayan tersebut, sambil menggelengkan kepalanya ia bergumam:
"Tampaknya beberapa orang ini bukan cuma penjudi, bahkan otaknya rada sinting"
Dulu ada seorang yang sangat pintar pernah mengucapkan sepatah kata yang amat pintar
juga: "Bila dianggap seseorang sebagai orang sinting, sesungguhnya hal ini merupakan suatu
kejadian yang menggembirakan, bahkan jauh lebih menggembirakan daripada dianggap sebagai
seorang enghiong atau Nabi sekalipun....!"
Pelayan itu bukan seorang yang cerdik, tentu saja tak pernah mendengar perkataan semacam
itu, sekalipun pernah mendengar juga tak akan mengerti.
Sesungguhnya teori dari ucapan tersebut amat jarang yang dapat memahaminya.
Di dunia ini terdapat dua macam manusia.
Semacam adalah orang yang selamanya berbuat dengan teratur dan tahu peraturan,
pekerjaan apapun yang mereka lakukan selamanya bisa ditebak orang dan bisa pula dimengerti
orang. Berbeda sekali dengan manusia dari jenis yang lain, mereka paling suka melakukan segala
macam perbuatan yang sok rahasia dan sok misterius, bukan saja orang lain tidak memahami apa
yang mereka lakukan, bahkan mereka sendiripun mungkin juga tidak mengerti.
Ong Tiong adalah manusia seperti ini.
Lim Tay-peng juga.
Tapi di dunia ini ternyata masih ada semacam benda yang jauh lebih rahasia dan misterius
dari pada manusia macam ini.
Benda tersebut tak lain adalah uang.
Dikala kau tak ingin uang, kadangkala tanpa alasan dan tanpa diketahui dari mana datangnya,
ia akan muncul sendiri.
Tapi bila kau sedang membutuhkan sekali, kadangkala bahkan bayangannyapun tidak
kelihatan. Bagaimana rasanya membunuh orang "
Mungkin jarang sekali ada yang tahu jawabannya!
Dari sepuluh ribu orang, belum tentu kau bisa menentukan seorang saja diantaranya yang
pernah membunuh orang.
Ada orang bilang begini:
"Perduli membunuh orang itu bagaimana rasanya, paling tidak pasti jauh lebih aneka daripada
dibunuh orang"
Orang yang mengucapkan kata-kata seperti ini, sudah pasti merupakan orang yang tak pernah
membunuh orang.
Ada pula yang berkata begini:
"Rasanya waktu membunuh orang jauh lebih menakutkan daripada sewaktu mati"
Orang yang mengucapkan kata-kata tersebut, sekalipun dia belum pernah membunuh orang,
paling tidak itu sudah lebih dekat dengannya.
"Pernahkah kau membunuh orang ?"
"Dengan cara apa kau membunuhnya?"
"Mengapa kau membunuhnya?"
Lim Tay-peng selalu menantikan tiga pernyataan tersebut dari rekan-rekannya.
Tapi tak seorangpun yang bertanya.
Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay-lok, tiga orang itu seakan-akan telah bersepakat untuk tidak
mengajukan sebuah pertanyaanpun.
Sepanjang jalan, tiga orang itu pada hakekatnya tak pernah membuka suara.
Jarak antara kota Sian-sin dengan kota San-sin sesungguhnya tidak terlalu jauh, tapi disaat
tidak berbicara, jarak yang dekatpun akan terasa amat jauh.
Sepanjang perjalanan pulang, Kwik Tay lok membawakan senandung lagu yang lirih, mungkin
iramanya sudah lama beredar dalam masyarakat, tapi syairnya adalah gubahan dia sendiri.
Sebab kecuali manusia semacam dia, tak mungkin ada orang yang bisa menggubah syair
semacam itu. "Sewaktu datang sok gaya, sewaktu pulang badan lemas. Sewaktu datang kantong padat
berisi, sewaktu pulang saku kering kerontang, Sewaktu datang...."
"Hey, nyanyian apa sih yang sedang kau bawakan?" tiba-tiba Yan Jit menegur.
"Lagu ini bernama pergi-datang, yaa pergi yaa datang, sebentar pergi sebentar datang...."
Tiba-tiba Yan Jit menirukan gayanya dan membawakan pula sebait lagu yang berirama sama.
"Yang terlepas tidak tembus, yang tembus tidak dilepas, lepas tembus, satu lepas satu
tembus." "Hey, apa pula yang dilepas ?" tanya Kwik Tay-lok.
"Kentut anjingmu. Lagu ini dinamakan melepas kentut anjing !"
Kwik Tay-lok segera menarik muka, serunya:
"Kau tak usah menyindir aku, dulu ada orang yang mohon kepadaku untuk menyanyipun aku
masih segan untuk menyanyi."
"Yaa, aku tahu, manusia-manusia mana saja yang berbuat demikian !" kata Ong Tiong sambil
manggut-manggut, gayanya seakan-akan dia betul-betul tahu.
"Manusia macam apa saja sih ?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya yang jeli.
"Itu, orang-orang yang tuli!"
Kwik Tay-lok ingin menarik muka, tapi ia sendiri tak tahan untuk tertawa geli.
Tiba-tiba Lim Tay-peng tertawa dingin, katanya:
"Orang tuli paling tidak jauh lebih baik daripada manusia-manusia yang berlagak bisu dan tuli".
"Siapa yang berlagak bisu dan tuli?"
"Kau !" seru Lim Tay-peng mendongkol.
Setelah menuding wajah ketiga orang itu satu-persatu, dia berkata lebih jauh:
"Padahal dalam hati kalian ada pertanyaan yang diajukan, mengapa tidak diutarakannya
keluar ?" "Bukannya tidak ditanyakan, adalah tak perlu dinyatakan maka kami tidak bertanya" Ong Tiong
menerangkan. "Kenapa tak perlu ditanyakan?"
"Manusia semacam itu daripada dibiarkan hidup memang lebih baik kalau dibikin mati."
"Betul, betul, makin banyak manusia semacam itu yang mampus semakin baik untuk kita"
sambung Kwik Tay-lok.
Setelah menepuk bahu Lim Tay-peng, katanya lagi sambil tertawa:
"Kalau toh kau tidak pernah salah membunuh, mengapa kami musti menanyakannya?"
Sambil menggigit bibir tiba-tiba Lim Tay peng berkata lagi:
"Kalian pernah membunuh orang ?"
Kwik Tay-lok memandang Ong Tiong, sedang Ong Tiong memandang ke arah Yan Jit.
Yan Jit segera tertawa getir, katanya:
"Aku tak pernah membunuh orang, aku hanya sering dibunuh orang"
Tiba-tiba Lim Tay-peng melompat ke sisi jalan raya, baru tiba di belakang pohon sudah
terdengar suara isak tangis yang amat sedih.
Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay-lok, sedangkan Kwik Tay-lok memandang ke
arah Ong Tiong.
"Dulu ia pasti belum pernah membunuh orang !" kata Ong Tiong.
Kwik Tay-lok manggut-manggut tanda membenarkan.
"Yaa, kali ini pasti untuk pertama kalinya dia membunuh orang."
"Aaai.... ternyata rasanya membunuh orang jauh lebih tersiksa" kata Yan Jit sambil menghela
napas panjang. "Yaa, ketika Lamkiong Cho tahu kalau-kalau ia sedang dikuntit, disangkanya ia sudah
mengetahui rahasia hitam makan hitamnya, maka ia lantas turun tangan lebih dulu ingin
membunuhnya melenyapkan saksi hidup." kata Ong Tiong.
"Siapa tahu sebelum ia membunuh orang, dirinya malah kena dibunuh lebih dulu" Kwik Tay-lok
menambahkan. "Tapi aku lihat ilmu silat yang dimiliki Lim Tay-peng agaknya jauh lebih hebat daripada
kepandaian kita, malah lebih kuat ketimbang Lamkiong Cho."
"Aaai.... itulah yang dinamakan menilai orang jangan menilai dari wajahnya, dalamnya lautan
sukar diukur, ketika bertemu dengannya dulu, aku masih mengira dia adalah seorang lelaki yang
untuk memegang ayampun tak mampu"
Ia belum juga berhenti, "Siapa yang membunuh orang lain tak sanggup, meski ia sudah
berhasil membunuh orang, namun sesungguhnya tak ingin membunuh siapapun" kata Yan Jit.
"Bagaimana kalau kita hiburnya agar jangan menangis ?"
"Jangan !" cegah Ong Tiong.
"Mengapa ?"
"Meskipun menangis tidak lebih baik dari tertawa, tapi bila seseorang bisa menangis
sepuasnyapun tak menjadi soal"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya:
"Kalau aku mah lebih suka tertawa dari pada musti menangis, sebab bila sedang tertawa
paling tidak kita tidak usah bersembunyi di belakang pohon...."
Yan Jit juga menghela napas panjang.
"Ya, sewaktu kau sedang tertawa, paling tidak kaupun tak usah kuatir ditonton orang banyak."
Bila kau takut ada orang yang datang menonton keramaian, maka semakin banyak orang yang
datang menonton keramaian itu.
Sekarang langit belum lagi gelap, banyak orang yang masih berlalu-lalang di jalan raya itu,
sekarang ada diantara mereka yang menghentikan perjalanannya dan melongok kemari, malah
ada diantara mereka yang sudah datang menghampiri mereka.
Kwik Tay-lok segera menyeka keringatnya dan tertawa getir, bisiknya lirih:
"Aku cuma berharap agar orang jangan menaruh curiga kalau dia menangis lantaran dianiaya
kita bertiga!"
Memang tak ada orang yang "curiga" karena mereka sudah merasa yakin pasti begitulah
kejadiannya. Menyaksikan sorot mata orang-orang itu, tanpa terasa Yan Jit ikut menyeka keringat yang
membasahi tubuhnya, ia berkata:
"Cepatlah mencari akal untuk membujuknya agar cepat pergi meninggalkan tempat ini".
Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Aku tidak memiliki kepandaian sebesar itu, paling banter aku cuma bisa menggalikan sebuah
lubang." "Menggali lubang buat apa ?"
"Untuk tempat persembunyian, agar tidak dipelototi orang sebanyak ini....!"
"Kalau begitu galilah agak besar!"
Dengan gemas Kwik Tay-lok berkata:
"Seandainya kalian kalah sedikit saja dan uang tak sampai ludas semua, paling tidak kita
masih bisa menyewa kereta, agar dia duduk di dalam kereta dan menangis sepuasnya"
Baru saja ia selesai berkata, benar-benar saja ada sebuah kereta kuda yang sangat indah
lewat dari samping dan berhenti tepat di hadapan mereka.
Yan Jit segera mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian bisiknya:
"Permainan kita yang terakhir tadi memang tidak seharusnya dilangsungkan, kalau toh kalah
melulu, janganlah kita punya pikiran untuk berusaha mencari balik kekalahan kita"
"Bila orang yang berjudi tidak ingin mencari balik modal kekalahannya, mungkin orang yang
menggantungkan makannya dari berjudi sudah mati kelaparan sejak dulu, tentunya kau tak ingin
menyaksikan ada orang mati karena kelaparan bukan?"
Sang kusir kereta kuda itu tiba-tiba melompat turun dari keretanya, tiba di hadapan mereka
katanya sambil tertawa paksa:
"Yang manakah yang bernama Kwik toaya?"
"Siapa mencari aku" Mau apa mencari aku?"
"Silahkan Kwik toaya naik kereta ?" kata kusir itu dengan hormat.
"Aku tidak suka naik kereta, aku lebih suka berjalan kaki"
Kusir itu segera tertawa paksa, katanya:
"Kereta ini adalah teman Kwik toaya yang sengaja mencarternya, uang carter sudah dibayar
lunas" "Siapa yang mencarter?" tanya Kwik Tay lok tertegun.
Kusir itu segera tertawa:
"Orang itu adalah teman Kwik toaya, jika Kwik toaya sendiripun tidak kenal, dari mana siaujin
bisa kenal?"
Kwik Tay-lok berpikir sejenak, tiba-tiba ia mengangguk.
"Yaa, aku sudah teringat sekarang siapa gerangan orang itu, dia adalah anak angkatku!"
Setelah naik ke dalam kereta, Lim Tay-peng berhenti menangis, cuma ia masih duduk di sudut
kereta sambil termangu-mangu.
Kwik Tay-lok juga tertegun.
"Kau benar-benar punya anak angkat?" tidak tahan Yan Jit bertanya.
Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Yaa, aku memang punya seorang anak angkat yang macam setan. Sialan, aku yang kepingin
menjadi anak angkat orang saja, orang lain masih menganggap aku terlalu miskin, mana ada
orang yang mau menjadi anak angkatku....?"
"Lantas siapakah yang mencarterkan kereta untuk kita?" tanya Yan Jit dengan kening berkerut.
"Delapan puluh persen pastilah orang yang telah membayarkan rekening untuk kita sewaktu
ada dirumah makan Kui- goan-koan tadi"
"Apakah kau telah melihat tampang orang"
"Aaai... !" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, "waktu itu orang lain tidak melihat kepadaku
sudah terima kasih kepada langit terima kasih kepada bumi, mana berani aku melihat kepada
orang lain?"
Jika seseorang harus membayar rekening dan kebetulan sakunya lagi tongpes, dia memang
tak berani mendongakkan kepalanya.
"Dan kau ?" tanya Yan Jit.
Ia tidak bertanya pada Lim Tay-peng, yang ditanya adalah Ong Tiong.
Tentu saja pada waktu itu Lim Tay-peng tidak mempunyai perhatian untuk memperhatikan
orang lain. Ong Tiong segera tertawa, katanya:
"Ketika itu aku hanya memusatkan semua perhatianku untuk memperhatikan perubahan mimik
wajah Kwik Toa-sau, belum pernah kujumpai wajahnya begitu menawan daripada ketika itu."
Kontan saja Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya dengan gemas dan mendongkol:
"Aku hanya merasa sayang mengapa tak sempat menyaksikan mimik wajahmu ketika,
uangmu ludas di meja judi tadi, waktu itu mimik wajahmu tentu juga menarik se-kali"
Maka Yan Jit mulai tertegun, dia sendiripun tak sempat menjumpai si pembayar rekening itu.
"Kusir itu mencari Kwik Toaso, itu berarti orang tersebut sudah pasti adalah temannya" kata
Ong Tiong. Kwik Tay-lok menghela napas panjang.
"Aaai... aku tidak memiliki teman sesosial itu, diantara teman-temanku kaulah yang paling
sosial" "Aku sangat sosial ?"
"Paling tidak kau masih punya rumah, meskipun orang lain muak terhadap rumahmu itu, tapi
rumah toh tetap adalah rumahmu."
"Kalau kau senang, biarlah kuhadiahkan untukmu saja" kata Ong Tiong hambar.
"Aku tidak mau"
"Kenapa tidak mau?"
Kwik Tay-lok tertawa lebar.
"Sekarang aku tak punya apa-apa, sakupun tong-pes, tanpa beban dalam saku dan benak
berarti aku bisa luntang lantung semauku, tidak seperti kalian, masih harus kuatir karena urusan
lain, apalagi mereka yang berduit, mau pergi takut, takut kalau uangnya dirumah dibongkar orang."
"Ong lotoa mungkin masih kuatir sebab dia masih punya rumah, sedang aku " Apa yang musti
kukuatirkan ?" sela Yan Jit.
Kwik Tay-lok memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian katanya sambil
tertawa: "Paling tidak kau masih punya baju baru sewaktu bekerja sedikit banyak kau akan kuatir kalau
baju barumu itu robek atau kotor, waktu hendak duduk juga tak urung memeriksa dulu apakah
lantai ada lumpurnya atau tidak, sedang aku" Tak pernah urusan semacam itu memenuhi
benakku, tentu saja aku lebih bebas daripada dirimu".
"Benarkah di dunia ini tak ada yang kau pikirkan" Tak ada urusan yang kau murungkan?" kata
Yan Jit sambil menatapnya tajam-tajam.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok tidak berbicara lagi, agaknya dari balik sorot mata itu terpancar sinar
kesedihan. Tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa orang ini mungkin tidak seriang dan secerah wajahnya
bila berada di depan mata orang, mungkin diapun mempunyai persoalan yang menyedihkan


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya, hanya saja kesedihan tersebut berhasil dia simpan secara baik-baik, sehingga tak pernah
orang lain mengetahuinya.
Ia cuma memperlihatkan kegembiraannya di hadapan orang, agar orang lain ikut merasakan
pula kegembiraannya. Tak pernah membagikan kesedihan dan kemurungannya kepada orang lain
agar direnungkan bersama.
Yan Jit menatapnya tajam-tajam, mendadak sepasang biji matanya memancarkan cahaya
yang lebih jeli.
Semakin lama ia bergaul dengan Kwik Tay-lok, ia semakin merasa bahwa Kwik Tay-lok
sesungguhnya adalah seorang yang menyenangkan.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ong Tiong menghela napas panjang, katanya:
"Kita sudah hampir tiba, sudah hampir tiba di rumah"
Dibalik helaan napasnya itu kedengaran nada riang gembira dan kepuasannya.
Melongok lewat jendela kereta, mereka dapat melihat bukit kecil nun jauh di sana.
Kwik Tay-lok juga tak tahan untuk menghela napas panjang, katanya:
"Aaai... agaknya perduli sarang emas atau sarang perak, tak sebuahpun yang bisa menang
nyamannya dari pada sarang anjing mu itu !"
"Sarang anjingku?" seru Ong Tiong dengan mata melotot.
Kwik Tay-lok segera tertawa lebar.
"Maksudku, sarang anjing kita ?"
Senja telah menjelang tiba, sinar matahari sore telah tenggelam dibalik bukit.
Angin masih berhembus lembut, burung masih berkicau dan jangkrik masih mengorek,
perpaduan suara tersebut menciptakan serangkaian irama yang amat merdu, ibaratnya bisikan
sang kekasih di sisi telingamu.
Bau harum semerbak dari aneka bunga yang tumbuh disekitar sana menambah pula
semaraknya suasana, begitu harum semerbak bagaikan harumnya tubuh kekasih.
Kwik Tay-lok menarik napas panjang-panjang, kemudian sambil tertawa katanya.
"Sekarang aku baru tahu kalau miskinpun sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang
menarik" "Kejadian menarik ?"
"Dari sekian banyak orang kaya, berapakah diantara mereka yang bisa menikmati keindahan
alam seperti ini " Berapa pula yang bisa menghirup bau harumnya uang " Mereka cuma bisa
menghirup bau busuknya uang yang sudah kumal"
Yan Jit ikut tertawa.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok menemukan bahwa tertawa orang itu lebih cerah dari pada sinar
matahari senja, tak tahan dia berseru:
"Sekarang aku baru merasakan bahwa kau sama sekali tidak jelek, cuma kadangkala rada
dekil !" Kali ini Yan Jit tidak membantah, malah sebaliknya menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Sebetulnya ia memang bukan seorang yang suka dipermainkan orang seenaknya, apakah ada
sesuatu yang telah membuat sikapnya berubah"
Sinar matahari senjakah" Apakah embusan angin lembut" Atau mungkin senyuman Kwik Taylok
yang cerah"
"Punya uang juga bukan suatu keadaan yang terlalu jelek," tiba-tiba Ong Tiong ikut berkata.
"Bagaimana dengan miskin?"
"Miskin juga tidak jelek!"
"Lantas apa yang jelek?"
Tak ada yang jelek, baik-buruknya tergantung pada si manusia itu sendiri, pandaikah dia
menikmati keadaan yang sedang dihadapinya.
Kwik Tay-lok mencoba untuk meresapi kata-katanya itu, mendadak ia merasa hatinya sangat
bahagia dan puas.
Dia puas karena ia masih bisa hidup sampai kini. Dia masih hidup karena itu masih bisa
menikmati kehidupan, kehidupan yang sangat indah sekali. Itulah sebabnya, janganlah kau sekalikali
murung karena punya uang, lebih tak boleh murung lagi bila kau sedang miskin.
Asal kau pandai menikmati keadaan, maka kehidupanmu di dunia ini baru terasa tidak sia-sia.
Sehingga andai kata kau mati pada suatu hari, kau bisa mati dengan hati gembira. Sebab paling
tidak kehidupanmu jauh lebih menyenangkan daripada kehidupan orang lain, sekalipun orang
yang kaya raya pun.
Kereta itu tak dapat naik ke atas bukit maka mereka pun naik ke atas bukit dengan berjalan
kaki. Mereka berjalan pelan sekali. Karena mereka tahu bagaimanapun pelannya kau berjalan,
akhirnya toh akan sampai di tempat tujuan.
Lambat laun udara semakin gelap, tapi mereka tak akan kuatir, sebab mereka tahu sehabis
gelap akan terbit terang. Oleh karena itu hati mereka selalu diliputi oleh riang gembira, bahkan Lim
Tay-peng sendiripun ikut menjadi cerah.
Akhirnya mereka dapat melihat rumah tinggal milik Ong Tiong itu, meskipun hanya sebuah
rumah yang kuno dan bobrok, tapi di bawah sorot matahari senja yang masih sempat mengintip
dari balik bukit itu, rumah itu tampak lebih indah daripada sebuah keraton.
Setiap orang tentu memiliki istana yang amat indah, istana yang indah itu ada dalam hati
setiap orang. Aneh, justru ada sementara orang yang tak berhasil menemukannya.
Wajah Ong Tiong yang kaku sudah mulai menjadi lembut kembali, tiba-tiba sambil tertawa ia
bertanya: "Coba tebaklah, apa yang akan kulakukan setibanya di rumah nanti ?"
"Naik keranjang dan tidur !" jawab Kwik Tay-lok dan Yan Jit hampir berbareng.
"Tepat sekali! "
Tapi dalam kehidupan manusia ini, seringkali bisa juga terjadi hal-hal di luar dugaan.
Ketika mereka dalam rumah tersebut, tiba-tiba sudah menyaksikan sinar lampu yang
memancar keluar dari balik jendela.
Mula-mula dari balik jendela yang tepat menghadap ke arah mereka, kemudian dari setiap
balik jendela lainnya.
Mereka mulai tertegun, tak tahan Yan Jit berseru:
"Dalam rumah ada orang!"
"Mungkin temanmu yang datang menjengukmu ?" tanya Kwik Tay-lok pula.
"Sebenarnya kemungkinan selalu ada, tapi semenjak aku menjual kursi yang terakhir, tiba-tiba
semua temanku lenyap tak berbekas."
Setelah tertawa-tawa, terusnya:
"Mungkin mereka semalas aku, kuatir setelah tiba di sini lantas tak ada tempat untuk duduk !"
Senyuman yang hambar itu merupakan perlambang akan bagaimana mendalamnya dia
memahami perasaan orang, itulah sebabnya ia tak pernah mengajukan permohonan yang terlalu
besar kepada orang lain.
Ketika ia memberikan sesuatu kepada orang, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk
menantikan balas jasa..... mungkin itulah merupakan salah satu alasan mengapa ia bisa hidup
jauh lebih menyenangkan daripada siapapun.
"Lantas, siapa yang memasang lampu-lampu itu?" tanya Yan Jit sambil mengerutkan dahi.
"Buat apa kita musti menebak secara sembarangan?" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "asal
kita masuk ke dalam ruangan toh segala sesuatunya akan menjadi jelas ?"
Sebetulnya sikap tersebut memang merupakan suatu sikap yang amat tepat, tapi kali ini
ternyata keliru.
Sekalipun mereka sudah masuk ke dalam, toh tetap tidak tahu.
Dalam ruangan itu tak ada orangnya.
Lampu lentera yang ada di sana seakan-akan menyulut sendiri.
Lampu tersebut merupakan sebuah lentera tembaga yang memancarkan cahaya berwarna ke
emas-emasan. Lentera tembaga yang masih baru itu berada di atas meja kecil, meja itu berada di atas
permadani dari persia, dan disamping lentera ada bunga segar.....
Pokoknya benda apapun dapat ditemukan di sana.
Semua benda yang dapat kau lihat dalam sebuah kamar, sekarang dapat kau temukan pula di
sana. Tempat itu seakan-akan baru saja mengalami suatu peristiwa yang sangat ajaib.
Satu-satunya yang tidak mengalami perubahan adalah ranjang besar milik Ong Tiong.
Tapi di atas ranjang itupun terdapat sebuah selimut baru, selimut dengan sulaman bunga
besar. Kwik Tay-lok yang berdiri di depan pintu hampir melompat keluar sepasang biji matanya
dengan wajah tercengang dia bergumam seorang diri:
"Jangan-jangan kita sudah salah masuk rumah orang ?"
Yan Jit segera tertawa getir.
"Tidak, tak bakal salah masuk, ditempat lain tak akan kau jumpai pembaringan dengan ukuran
sebesar ini."
"Aaaai.... tampaknya tempat ini seperti baru dikunjungi dewa, entah dewanya itu dewa lelaki
atau perempuan ?"
"Waah.... tampaknya Ong lotoa kita ini adalah seorang anak berbakti, dia telah membuat haru
dewa-dewi di langit sehingga melimpahkan segala sesuatunya kepada dia."
"Aaaah.... mungkin yang dicari dewi itu adalah aku, sebab aku juga seorang anak yang
berbakti." sambung Kwik Tay-lok cepat.
"Kau bukan anak yang berbakti, kau muka seorang tolol" seru Yan Jit cepat.
Walaupun dimulut mereka berkata demikian, namun dalam hati kecil masing-masing juga
mengerti. Pasti ada orang yang menghantar barang-barang itu ke sana, besar kemungkinan orang
itu adalah orang yang telah membayarkan rekening mereka sewaktu ada dirumah makan Kuigoan-
koan tadi. Mereka berkata demikian tak lebih hanya bermaksud untuk menutupi perasaan tak tenang dan
curiga yang mencekam mereka semua.
Sebab semua orang tak bisa menebak siapa gerangan orang itu " Mengapa ia berbuat
demikian "
Ong Tiong berjalan menghampiri pembaringannya dengan langkah pelan, kemudian
melepaskan sepatunya dan dengan cepat membaringkan diri.
Dalam melakukan pekerjaan apapun, dia selalu melaksanakannya dengan lamban dan sopan,
sedikitpun tidak kelihatan terburu napsu, hanya sewaktu membaringkan diri di atas ranjang, dia
melakukannya dengan cepat bahkan cepat sekali.
"Apakah kau akan tidur dengan begitu saja?" tanya Kwik Tay-lok sambil mengerutkan dahinya.
Ong Tiong menguap lebar-lebar sebagai tanda atas jawabannya.
"Tahukah kau siapa yang telah menghantar barang-barang itu kemari...?" tanya Kwik Tay-lok
lagi. "Tidak tahu! Aku hanya tahu jika sudah lelah harus tidur ?"
Barang-barang itu mau pemberian dari dewa juga boleh, pemberian setan juga tidak mengapa,
pokoknya dia tak ambil perduli, sekalipun semua dewi dan setan berdatangan semua, mereka juga
tak akan menyuruhnya tidak tidur.
Asal matanya sudah dipejamkan, seakan-akan dia segera akan tertidur.
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya:
"Berbicara sesungguhnya, aku benar-benar merasa amat kagum kepadanya."
"Akan kuperiksa ke halaman belakang sana, mungkin orangnya masih berada di situ," kata
Yan Jit pula sambil menggigit bibir.
Di belakang sana memang terdapat sederetan ruang itulah tempat yang pernah ditinggali
Swan-bwe-tong tempo hari.
Dalam gedung bangunan ini, selain ruang utama dan ruang tengah, masih terdapat tujuh
delapan buah kamar lagi, kecuali ruangan yang dipakai Ong Tiong untuk tidur sekarang, dalam
tiga buah kamar yang lainpun masing-masing tersedia pula sebuah pembaringan yang empuk dan
nyaman. Kembali Kwik Tay-lok bergumam:
"Heran, ternyata mereka masih tahu kalau yang tinggal di sini berempat, sungguh teliti amat
jalan pemikirannya"
Tiba-tiba terdengar Yan Jit berteriak-teriak dari halaman belakang sana:
"Kalian cepat kemari, kalian cepat kemari, di sini ada.... ada sebuah.... sebuah....."
Sebuah apa" Ternyata dia tidak melanjutkan.
Kwik Tay-lok yang pertama-tama menerjang ke luar, disusul kemudian oleh Lim Tay-peng.
Halaman belakang amat bersih dan rajin, entah sedari kapan di sana tahu-tahu sudah tumbuh
beberapa batang pohon bambu dan segerombol bunga matahari, waktu itu Yan Jit sedang berdiri
diantara bunga aneka warna itu sambil memandang sesuatu benda dengan wajah termangu.
Ternyata benda yang sedang dipandang itu adalah sebuah peti mati.
Sebuah peti mati yang masih baru.
Di ujung peti mati itu seperti tertera sebaris tulisan, ketika diamati ternyata tulisan itu berbunyi
begini: "Peti jenazah dari Lamkiong Cho"
Mendadak sekujur badan Lim Tay-peng menjadi dingin seperti es, mukanya pucat pasi,
bibirnya juga ikut berubah menjadi kebiru-biruan.
Kwik Tay-lok agak bergidik juga hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, tak tahan dia lantas
bertanya: "Dimanakah kau membunuhnya?"
"Di... di luar...."
"Di luar mana ?"
"Di luar rumah tinggalnya".
"Setelah kau membunuhnya, apakah jenazah itu kau pendam ke dalam tanah?"
Sambil menggigit bibir, Lim Tay-peng menggelengkan kepalanya berulang kali.
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Aaaai...! Rupanya kau cuma tahu membunuh, tak tahu cara mengubur jenazahnya"
Lim Tay-peng semakin pucat, wajahnya seperti orang mau menangis, mengenaskan sekali.
"Maklumlah", kata Yan Jit sambil menghela napas, "barang siapa belum pernah membunuh
orang, tak urung hatinya akan gugup juga dikala ia membunuh orang untuk pertama kalinya,
mungkin saja sehabis membunuh tanpa diperiksa lagi korbannya dia sudah lari sipat telinga."
"Waah.... kelihatannya kau sudah berpengalaman sekali dalam soal bunuh membunuh".
"Jangan lupa, meski aku belum pernah membunuh, paling tidak aku sudah pernah dibunuh."
Kwik Tay-lok menghela napas, kembali tanyanya:
"Sewaktu kau membunuhnya, apakah disekitar situ tak ada orang lain....?"
Lim Tay-peng kembali menggelengkan kepalanya.
Kwik Tay-lok lantas berkata:
"Kalau tak ada orang lain, lalu siapa yang memasukkan jenazahnya ke dalam peti mati" Siapa
pula yang mengirim peti mati itu kemari....?"
Tiba-tiba sambil tertawa lanjutnya:
"Jika tak ada orang lain yang membantu, toh tak mungkin ia melompat masuk sendiri ke dalam
peti mati dan mengirim peti mati tersebut ke tempat ini bukan".
Kwik Tay-lok mempunyai semacam penyakit, yakni berada dalam keadaan apapun dia selalu
tak tahan untuk bergurau.
Padahal ia sendiripun tahu kalau gurauan semacam itu sesungguhnya kurang tepat pada
tempatnya. Paras muka Lim Tay-peng kontan saja berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, sambil
menggigit bibir sahutnya agak tergagap:
"Aku.... sebenarnya aku tidak...."
Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak dari dalam peti mati itu kedengaran suara
benturan keras..."
"Pluuuk !" kemudian berkumandang sekali lagi..... "Pluuuk !"
"Tak usah takut, selagi masih hidup saja kita tidak takut, setelah mampus apa pula yang harus
kita takuti ?"
"Kalau memang tidak takut, hayolah kita buka peti mati ini agar dia bisa keluar". Yan Jit segera
mengusulkan. Kalau dilihat dari lagaknya, dia seakan-akan sudah bersiap-siap untuk membuka peti mati itu.
"Nanti dulu !" tidak tahan Kwik Tay-lok berseru.
"Apakah kau juga ketakutan ?" sindir Yan Jit.
Paras muka Yan Jit dan Kwik Tay-lok turut berubah hebat.
"Jangan-jangan jenazah dalam peti mati ini telah bangkit kembali?" pekik mereka hampir
berbareng. Tapi kemudian sambil tertawa paksa, Kwik Tay-lok menepuk-nepuk bahu Lim Tay-peng seraya
berkata: "Oooh, tentu saja aku tidak takut, cuma saja.... cuma saja. . . ehm . . . . cuma. ."
"Blaam.... Blaaaammm......! Blaaam..... kali ini suara benturan keras yang beruntun
berkumandang kembali dari dalam peti, bahkan suaranya kali ini jauh lebih keras dari pada tadi,
seakan-akan mayat hidup itu telah bersiap-siap untuk keluar dari dalam peti mati tersebut.
Kalau di situ kebetulan ada orang yang bernyali kecil, mungkin nyalinya pada waktu itu sudah
pecah, bahkan bisa jadi dia akan melarikan diri terbirit-birit.
Mendadak Lim Tay-peng berkata:
"Biar aku saja yang membuka peti mati ini, toh yang dia cari adalah aku"
"Tidak, kau tak boleh pergi, biar aku saja!" seru Kwik Tay-lok cepat.
Sementara mulutnya masih berbicara, tubuhnya sudah melompat ke depan....
Sesungguhnya dia merasa ketakutan setengah mati, mungkin rasa takutnya itu melebihi orang
lain, andaikata persoalan itu adalah masalah pribadinya, mungkin saja sedari tadi dia sudah
melarikan diri terbirit-birit.
Tapi Lim Tay-peng adalah sahabatnya, asal perbuatan itu dilakukan demi teman, kendatipun
nyawa bakal lenyap dia juga akan tetap melakukannya tanpa gentar.
Yan Jit memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba sinar matanya berubah menjadi lembut dan
hangat, katanya mendadak:
"Kau tidak kuatir ditangkap setan?"
"Siapa bilang aku tidak kuatir?"
Ketika ucapan terakhir meluncur keluar dari mulutnya, penutup peti mati itu sudah disingkap
olehnya. "Weess......!" semacam makhluk hidup tiba-tiba melompat keluar dari dalam peti mati itu.
Bagaimanapun besarnya nyali Kwik Tay1ok, tak urung ia menjerit pula saking kagetnya.
Makhluk hidup yang baru saja melompat keluar dari peti mati itupun mulai tarik suara, cuma
bukan suara pembicaraan yang muncul, sebaliknya adalah serentetan suara gonggongan yang
amat nyaring. Ternyata makhluk hidup itu adalah seekor anjing, seekor anjing hitam, seekor anjing hitam
yang masih hidup.
Kwik Tay-lok berdiri tertegun di situ, menyeka keringat dan ingin tertawa, tapi suara tertawanya
tak mau juga keluar, sampai lama, lama sekali akhirnya dia baru menghembuskan napas panjang
dan tertawa getir, katanya:


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gurauan semacam ini sesungguhnya sangat tidak tepat, cuma orang goblok yang akan
bergurau seperti ini."
"Dia pasti bukan seorang yang goblok, diapun tidak berniat untuk bergurau"
"Kalau bukan bergurau lantas apa namanya"
Orang ini bukan saja tahu kalau Lim Tay peng telah membunuh Lamkiong Cho, bahkan dia
juga tahu kalau Lim Tay-peng tinggal disini"
Kwik Tay-lok segera menghela napas.
"Aaaai.... tampaknya persoalan yang dia ketahui tidak sedikit jumlahnya, tapi mengapa dia
harus berbuat demikian?"
Yan Jit turut menghela napas.
"Mungkin dia mempunyai maksud lain, mungkin dia berbuat demikian saking menganggurnya
tak ada pekerjaan lain selain makan, pokoknya entah apa tujuannya, yang pasti dia telah
melakukannya dan ini berarti dia tak akan menghentikan perbuatannya ditengah jalan"
"Kau menganggap dia pasti sudah akan melakukan perbuatan yang lain ?"
Yan Jit mengangguk.
"Itulah sebabnya kita hanya bisa menahan diri, asal kita bisa menunggu dengan sabarkan diri,
dia pasti akan menunjukkan batang hidungnya"
Kemudian setelah menepuk bahu Lim Tay peng, terusnya lagi sambil tertawa:
"Oleh karena itu, lebih baik kita pergi tidur saja sekarang, kalau membiarkan ranjang yang
nyaman itu tetap kosong, yang tak mau tidur baru goblok namanya !"
"Tepat sekali !" suara dari Ong Tiong berkumandang dari dalam ruangan jauh di depan sana.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwik Tay-lok sudah dibangunkan dari tidurnya oleh suara
keleningan yang amat ramai.
Setelah ia mendusin, suara keleningan itu masih saja berbunyi tiada hentinya. Suara tersebut
seakan-akan berasal dari dalam ruangan tengah di sebelah depan sana.
Biasanya hawa kemarahan seseorang yang baru bangun dari tidurnya jauh lebih besar dari
pada di masa lain, apalagi jika dibangunkan oleh suara yang ribut.
Tak tahan lagi Kwik Tay-lok segera berteriak keras-keras:
"Hei, siapa yang lagi membunyikan keleningan itu" Tangannya lagi gatal yaa ?"
Ketika ia sedang berteriak tadi, dia pun seakan-akan mendengar Ong Tiong juga sedang
berteriak. Keleningan itu masih berbunyi terus tiada hentinya.
Kwik Tay-lok segera melompat bangun, dengan bertelanjang kaki dia menyerbu keluar, lalu
gumamnya: "Sudah pasti perbuatan dari Yan Jit si bocah muda itu, agaknya setiap saat tangannya selalu
akan merasa gatal saja."
"Apa" tanganku merasa gatal, tapi gatal karena ingin memukul orang, bukan untuk
membunyikan keleningan" seseorang menyahut sambil tertawa lebar.
Yan Jit juga turut keluar, bajunya ternyata masih tetap rapi dan bersih.
Orang ini seakan-akan tiap hari selalu tidur dengan berpakaian lengkap.
Kwik Tay-lok mengucak matanya sambil tertawa getir, kemudian dengan kening berkerut
katanya: "Sudah pasti bukan perbuatan dari Lim Tay-peng bukan" Kecuali kalau ia benar-benar sudah
kerasukan roh jahat!"
Keleningan itu masih berbunyi tiada hentinya.
Sekarang mereka dapat mendengar dengan jelas bahwa suara keleningan tersebut benarbenar
berasal dari ruang depan.
Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, kemudian bersama-sama menyerbu ke dalam.
Lim Tay-peng memang berada di situ, tapi bukan dia yang menyembunyikan keleningan
tersebut. Dia tak lebih hanya berdiri termangu di sana, yang sedang membunyikan keliningan adalah
seekor kucing. Sudah barang tentu, kucing itupun seekor kucing hitam.
Sebuah keleningan digantung pada sebuah tiang dengan seutas tali, sedangkan ujung tali
yang lain diikatkan pada kaki kucing hitam tersebut.
Dengan demikian, dikala kucing hitam itu melompat tiada hentinya, bunyi keliningan pun
bergema tiada hentinya pula.
Di atas meja ditengah ruangan tertera aneka macam hidangan, semuanya adalah hidangan
yang lezat seperti ayam panggang, itik pangggang, bakpao, kueh, bahkan ada pula seguci arak.
Rupanya kucing hitam itu membunyikan keleningan untuk membangunkan mereka agar
sarapan pagi. Kwik Tay-lok tak tahan untuk mengucak matanya sambil berseru:
"Mungkinkah mataku sudah mengidap penyakit?"
"Matamu itu baru mengidap penyakit bila melihat perempuan!" Yan Jit menyambung.
Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Mungkin saja kucing hitam ini adalah kucing hitam betina, maka mataku jadi penyakit"
"Tidak, jelas kucing ini kucing jantan!"
"Dari mana kau tahu?"
"Sebab tampaknya dia tidak terlalu menyukai dirimu!"
"Sekalipun dia itu betina, juga tak akan menyukai aku, yang disukainya pastilah Ong lotoa"
"Kenapa?" kali ini giliran Yan Jit yang tidak mengerti, maka tak tahan ia bertanya.
"Biasanya kucing betina cuma suka dengan kucing malas !"
"Yaa, aku lihat kucing itu pasti kucing betina" tiba-tiba terdengar suara Ong Tiong
berkumandang dari belakang.
(Bersambung jilid 08)
Jilid 08 KWIK TAY - LOK MAUPUN YAN-JIT menjadi melongo dan tidak habis mengerti, hampir pada
saat yang bersamaan mereka bertanya bersama:
"Kenapa ?"
"Sebab dia bisa menanakkan nasi untuk kita !"
Tentu saja kucing tak bisa membuat nasi, Kwik Tay-lok merobek sebuah paha ayam dan
dijejalkan ke dalam mulutnya, kemudian dikeluarkan lagi, serunya:
"Ayam ini masih panas !"
"Bak-paunya juga masih panas" Yan Jit menambahkan.
"Tampaknya hidangan ini belum lama dihampiri kemari"
"Suatu jawaban yang tepat sekali !"
"Tapi siapa pula yang mengirim makanan ini" Masakan orang yang membayarkan rekening
buat kita sewaktu dirumah makan Kui-goan koan itu?"
"Aaah, lagi-lagi jawabanmu benar!"
"Mengapa ia begitu melihat pantat kita berempat, Masakah dia benar-benar adalah anak
angkatku ?"
"Meong. . . meong. . . . "
Kwik Tay-lok membelalakkan matanya lebar-lebar, sambil mengawasi wajah Yan Jit serunya:
"Hei, sedari kapan kau berubah menjadi seekor kucing" Aku mah tak akan memahami bahasa
kucing!" Yan Jit tertawa lebar, sahutnya:
"Aku sedang mengajak anak angkatmu ini bercakap-cakap!"
Dia mengambil sedikit setiap hidangan yang berada di meja, kemudian diletakkan di baki dan
disodorkan ke hadapan sang kucing.
Dengan cekatan kucing hitam itu melompat ke depan dan melahap hidangan tersebut.
Sambil membelai rambutnya yang halus, Yan Jit berkata:
"Kaulah yang mengantar semua hidangan itu untuk kami, maka kupersilahkan kau
mencicipinya lebih dulu"
Kwik Tay-lok turut tertawa tergelak, katanya:
"Kau benar-benar amat berbakti, seakan-akan kau sudah menjadi anak angkatnya kucing itu
saja!" Padahal diapun tahu bahwa Yan Jit sengaja berbuat demikian hanya ingin mencoba apakah
dalam hidangan itu ada racunnya atau tidak.
Yan Jit memang selalu kelewat teliti dalam melakukan pekerjaan apapun, tapi potongannya
justru tidak mirip seseorang yang teliti.
Biasanya orang yang teliti tak akan jorok tapi dia pada hakekatnya seperti tak pernah dekat
dengan air. Ternyata hidangan itu tak ada racunnya, paha ayam di tangan Kwik Tay-lok pun sudah
berpindah ke dalam perutnya.
"Tampaknya orang itu tidak menaruh maksud jahat apa-apa terhadap kita..." ujar Yan Jit,
"cuma ada sedikit penyakitnya saja."
"Bukan cuma sedikit penyakitnya, tapi banyak sekali, kalau penyakitnya tidak banyak, mana
mungkin dia bisa melakukan perbuatan seperti ini...?" seru Kwik Tay-lok.
Setelah melahap sebiji bakpao, tiba-tiba katanya lagi:
"Orang ini pasti seorang gadis !"
"Darimana kau bisa tahu ?"
"Sebab cuma perempuan yang bisa melakukan perbuatan gila-gilaan seperti ini".
Sambil menggigit bibir ternyata Yan Jit mengangguk, sahutnya:
"Yaa, dia berbuat demikian mungkin saja karena tertarik kepadamu, ingin membaikimu
sebab...."
"Sebab apa?" tukas Kwik Tay-lok sambil tertawa tergelak, "karena aku mempunyai jiwa
kesatria seorang lelaki" Atau karena tampangku terlalu ganteng ?"
"Semuanya bukan !"
"Lantas karena apa ?".
"Karena dia adalah seorang gadis sinting, yang tidak waras otaknya, sebab hanya gadis yang
sinting dan tidak waras otaknya baru akan jatuh cinta kepadamu"
Kwik Tay-lok ingin menarik muka, tapi tak tahan akhirnya dia ikut tertawa juga, katanya:
"Mendingan ada perempuan sinting yang menyukaiku, toh paling tidak ada juga perempuan
yang mau denganku!"
Sang surya memancarkan sinarnya di luar jendela, berada dalam cuaca secerah ini dia
enggan untuk marah kepada siapapun, apalagi marah kepada Yan Jit.
Sebab berbicara yang sebenarnya, dia amat menyukai Yan Jit.
Lambat laun dia mulai merasa bahwa diantara sekian banyak teman ternyata Yan Jit lah yang
paling disukai.
Anehnya, Yan Jit justru selalu memusuhinya, bahkan setiap saat berusaha mencari akal antuk
menyindirnya. Yang lebih aneh lagi, semakin Yan Jit mengejeknya, semakin suka pula dia kepada Yan Jit.
Ong Tiong selalu menjadi pendekar yang baik dalam sindir menyindir itu, bila ia sedang
memandang ke arah mereka, sinar matanya selalu mengandung senyuman yang penuh arti...
Baru saja tangan Kwik Tay-lok menjejalkan sisa bakpao ke mulut, tangan yang lain telah
menyambar cawan arak.
Yan Jit segera mendelik ke arahnya.
"Setan arak !" makinya, "apakah kau tak dapat menunggu sampai hari gelap nanti baru minum
arak ?" Kwik Tay-lok tertawa, ternyata ia meletakkan kembali cawannya ke meja, gumamnya:
"Siapa bilang aku hendak minum arak " Aku tak lebih hanya ingin memakai arak untuk
mencuci mulut".
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar gedung terdengar seseorang sedang bersenandung:
"Gunung berbatu karang nun jauh di sana dibalik awan ada rumah, kereta berhenti menikmati
hembusan angin, bulan dua bunga berkembang. . . . sungguh pemandangan yang indah !
Sungguh sebuah rumah yang nyaman!"
"Waaah. . . kedatangan seorang pelajar rudin lagi !" seru Kwik Tay-lok cepat sambil tertawa.
"Bukan seorang, mereka bertiga ?" Ong Tiong membenarkan.
"Dari mana kau bisa tahu ?"
Belum lagi Ong Tiong menjawab, benar juga, di luar sana kedengaran seseorang yang lain
sedang berbicara:
"Kalau kongcu memang senang dengan tempat ini, lebih baik kita beristirahat dulu, kakiku
sudah pada linu"
Seorang yang lain cepat menambahkan:
"Entah siapakah tuan rumah gedung ini" Bersedia tidak membiarkan kita masuk ?"
Suara kedua orang yang terakhir ini jelas adalah suara kanak-kanak, tapi kanak-kanakpun
manusia, jadi yang datang benar-benar adalah tiga orang.
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, pujinya kemudian:
"Telingamu sungguh amat tajam, sekalipun kau tak lebih cuma seekor kucing malas, ternyata
telingamu masih jauh lebih tajam dari manusia biasa."
"Ngeong. . . !". tiba-tiba kucing hitam itu melompat keluar.
Ketajaman pendengaran sang kucing ternyata memang tajam sampai Ong Tiong sendiripun
tak tahan turut tertawa.
Terdengar kongcu itu berkata:
"Pintu gerbang ditutup tanpa di kunci, budak cerdas pun sudah keluar menyambut tamu
kelihatannya tuan rumah di sini selain suka menerima tamu lagi pula sangat tahu akan seni. . . ."
Kwik Tay-lok tak tahan untuk tertawa tergelak, serunya dengan cepat:
"Seninya meski tidak, suka menerima tamu memang benar ?"
Dialah yang pertama-tama munculkan diri untuk menyambut kedatangan tamunya.
Sang surya bagaikan bakpao yang baru keluar dari kukusan mendatang pesanan hangat dan
nyaman didalam hati setiap orang.
Berada dalam udara secerah ini, siapa saja pasti akan berubah menjadi lembut dan hangat
bersahabat. Kwik Tay-lok dengan wajah membawa senyum persahabatan menengok ke wajah tiga orang
yang berdiri di luar pintu itu.
Dua orang bocah laki-laki, seorang membopong kotak buku, yang lain membawa pikulan
berdiri di belakang majikan mereka, dua lembar wajah kecil mereka merah dadu seperti buah apel
yang sedang matang.
Majikan mereka adalah seorang sastrawan yang lemah lembut, usianya tidak begitu besar,
wajahnya sangat tampan, bahkan halus berbudi dan sangat sopan.
Tiga orang manusia semacam ini, siapapun tak akan merasa muak untuk memandangnya.
Kwik Tay-lok segera tertawa, sapanya:
"Apakah kalian datang untuk berpesiar" Cuaca secerah ini memang merupakan saat yang
tepat untuk berpesiar"
Sastrawan itu segera menjura dalam-dalam, katanya:
"Bila kedatangan aku yang muda telah mengganggu ketenangan tuan rumah, harap sudilah
memaafkan !"
"Aku bukan tuan rumah, aku juga tamu, tapi aku tahu kalau tuan rumah ditempat ini sangat
gemar menerima tamu"
"Entah tuan rumahnya berada dimana ?" tanya sastrawan itu sambil tertawa.
"Dapatkah aku yang muda menjumpainya?"
"Sekalipun tuan rumah di sini gemar menerima tamu, tapi sayang mengidap semacam
penyakit."
"Oooh. . . penyakit apakah yang dideritanya " Aku yang muda sedikit tahu soal ilmu
pertabiban, biar kuperiksakan keadaannya."
Kwik Tay-lok tertawa.
"Penyakit yang dideritanya itu mungkin tak akan bisa kau sembuhkan, sebab penyakit itu
adalah penyakit malas, Bila kau ingin bertemu dengannya, terpaksa harus masuk dan
menjumpainya sendiri."
"Kalau begitu akan kuturuti saja perkataanmu itu !"
Caranya berjalan amat halus dan sopan, malahan tampak seperci amat lembut, tapi peti buku
dan pikulan yang dibawa kedua orang bocah tersebut justru tampak tidak terlalu enteng.
Bocah yang memikul pikulan itu berjalan dipaling belakang, sambil berjalan pikulannya
berbunyi ting-tang ting-tang tiada hentinya.
Kwik Tay-lok segera meraba kepalanya, kemudian menegur:
"Apa sih isi dari pikulanmu itu " Berat tidak ?"
"Tidak terlalu berat !" sahut bocah itu dengan mata berkedip, "cuma beberapa botol arak saja,
arak Mao-tay tentunya. Kongcu kami gemar minum arak sambil membuat syair, aku tidak bisa
membuat syair, aku hanya bisa minum arak."
"Kau juga pandai minum arak ?" tanya Kwik Tay-lok sambil tertawa, "berapa sih usiamu ?"
"Empat belas, tahun depan lima belas. Aku bernama Tiau-si (pemancing syair) sedang dia
bernama Sau Su ( penyapu kekolotan ), sedangkan kongcu kami she Ho, kami datang dari Taymia-
hu. Oleh karena majikan kami sangat gemar berpesiar maka sepanjang tahun kami jarang
tinggal di rumah. . ."
Setiap pertanyaan yang diajukan Kwik Tay-lok, paling tidak bocah ini menjawab tujuh delapan
patah kata. Kwik Tay-lok yang semakin memperhatikan bocah itu merasa semakin tertarik, akhirnya
sengaja ia menggoda bocah itu sambil bertanya lagi:
"Mengapa kau bernama Tiau-Si (memancing syair) bukan bernama Tiau Hi (memancing ikan)
" Memangnya syair bukan ikan, mana mungkin bisa dipancing ?"
Tiau Si segera mencibirkan bibirnya seperti tidak pandang sebelah mata terhadap pemuda itu,
sahutnya: "Ini cuma satu pepatah saja, mengertikah kau" Oleh karena nama lain dari arak adalah Tiausi-
kou, sedangkan aku selalu membawakan arak buat kongcu, maka akupun dinama-kan Tiau Si,
oleh karena bersekolah bisa menghilangkan hawa kekolotan orang, maka dia pun dinamakan Sau
Su (penyapu kekolotan)!"
Diawasinya Kwik Tay-lok dari atas sampai bawah, kemudian ujarnya lebih jauh:
"Aku lihat agaknya kau belum pernah bersekolah ?"
Haaahhh . . . haaahhh. . . haaahh. . . bocah bagus, rupanya di bawah panglima yang kosen
tiada prajurit yang lemah, bukan cuma pandai minum arak, rupanya kau juga berpengetahuan luas
!" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah tergelak kembali, katanya lebih jauh.
"Sekalipun buku yang kubaca tidak banyak, arak yang kuminum justru banyak sekali, inginkah
kau minum beberapa cawan arak denganku ?"
"Bila takaran arakmu benar-benar baik, mengapa tidak berani menantang kongcu kami untuk
minum arak ?"
Sekarang Kwik Tay-lok baru menemukan bahwa Ho kongcu tersebut sudah berada dalam
ruangan dan mulai bercakap-cakap dengan Ong Tiong, dilihat dari luar jendela, ia bisa merasakan
bahwa Ong Tiong maupun Lim Tay-peng menaruh kesan yang baik kepadanya.
Sedangkan Yan Jit tampak sedikit acuh tak acuh, bahkan seringkali melemparkan


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangannya keluar jendela.
Begitu Kwik Tay-lok menengok ke arahnya, dia lantas bangkit berdiri dan diam-diam memberi
kode tangan kepada pemuda tersebut setelah itu diapun berjalan menuju ke tempat luar.
Ketika ia keluar dari ruangan, Kwik Tay-lok segera menyongsongnya seraya menegur:
"Kau ada-urusan apa mencariku ?"
Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya sambil menegur:
"Mengapa kau selalu seperti tak pernah menjadi dewasa" Apalah enaknya bergurau dengan
anak-anak seperti itu ?"
Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Kau mana tahu, mulut bocah itu justru lebih pandai berbicara daripada orang dewasa,
kadangkala bila aku sedang bergurau dengan anak-anak, aku akan merasakan diriku seakan-akan
menjadi lebih muda lagi."
Yan Jit tidak berbicara, dia menyelusuri serambi panjang dan pelan-pelan berjalan menuju ke
halaman belakang.
Terpaksa Kwik Tay-lok mengikuti di belakangnya, tapi lama-kelamaan habis sudah
kesabarannya, dia lantas bertanya:
"Ada sesuatu yang ingin kau di bicarakan denganku ?"
Yan Jit tidak langsung menjawab, kembali ia berjalan beberapa saat, setelah itu sambil tibatiba
berpaling tanyanya:
"Bagaimana pendapatmu tentang Ho kongcu itu ?"
"Kelihatannya mah seperti orang yang tahu seni, katakanlah seorang seniman, malah konon
diapun pandai minum arak!"
Yan Jit termenung sebentar, kemudian katanya lagi:
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia adalah...."
"Orang yang membayarkan rekening kita sewaktu dirumah makan Kui-goan-koan?" sambung
Kwik Tay-lok cepat dengan mata mencorong sinar tajam.
Yan Jit mengangguk.
"Menurut kau, mungkinkah hal ini bisa terjadi ?"
"Ehmm, sesungguhnya aku tak berpikir sampai ke situ, tapi sekarang kalau dipikirkan lagi,
makin ku pikir rasanya kemungkinan itu makin besar"
"Di sekitar tempat ini toh tidak terdapat banyak pemandangan alam yang indah, mengapa
seorang pelancong bisa ke sasar sampai di sini" Bahkan cepat tak mau datang, lambat tak mau
datang, kebetulan pagi ini baru datang."
"Yaa, sekalipun peristiwa yang kebetulan sering kali terjadi dalam dunia ini, tapi kejadian
tersebut memang kelewat kebetulan."
"Dulu, pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Belum pernah !"
"Coba pikir sekali lagi."
"Tak usah dipikir lagi, seandainya aku pernah bertemu dengan orang semacam ini, sudah pasti
wajahnya akan teringat selalu dalam benakku..."
"Dilihat dari sikap Ong lotoa maupun Lim Tay-peng, rupanya merekapun tidak kenal
dengannya", kata Yan Jit lebih jauh sambil menggigit bibir menahan emosi.
"Siapa namanya ?"
"Dia mengakui dirinya bernama Ho Sia-hong, tapi kemungkinan besar nama itu palsu"
"Mengapa dia harus menggunakan nama palsu " Apakah kau beranggapan bahwa dia
menaruh maksud jahat terhadap kita ?"
"Hingga detik ini, aku belum menjumpai maksud jahat apa-apa pada dirinya."
"Bukan saja tiada maksud jahat, hakekatnya boleh dibilang terlalu baik terhadap kita, baiknya
sampai kelewat batas bukan?" terus Kwik Tay-lok.
"Justru dia kelewat baik kepada kita, maka aku menjadi curiga.... bila seseorang kelewat baik
kepada orang lain, kebanyakan dia pasti punya tujuan".
Tiba-tiba Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" tegur Yan Jit.
"Aku lagi berpikir, untuk menjadi "orang baik" rasanya sulit amat, jika kau kelewat baik kepada
orang lain, orang akan curiga kalau kau punya tujuan, sebaliknya kalau kau kelewat jahat kepada
orang, orangpun akan mengatakan kau bajingan tengik."
Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya, lalu mengomel:
"Sudah kuduga, kau pasti akan membantunya berbicara ?"
"Kenapa?"
"Sebab dia juga pandai minum arak, setan arak selalu akan menganggap orang yang bisa
minum arak sebagai teman, masa kau anggap dia orang jahat ?"
Kwik Tay-lok segera tertawa:
"Ucapanmu itu ada benarnya juga, orang yang senang minum arak biasanya dia akan periang,
tentunya kau tak pernah menyaksikan seorang yang sedang mabuk mengincar harta dan nyawa
orang lain bukan ?"
"Tapi dia belum mabuk !"
"Sebentar pasti mabuk.... sekarang juga aku punya rencana untuk masuk ke dalam dan
melolohnya sampai mabuk!"
Setelah tertawa terusnya:
"Asal sudah mabuk, masa dia tak akan berbicara terus terang ?"
Tiba-tiba Yan Jit ikut tertawa:
"Hei, apa yang kau tertawakan ?" Kwik Tay-lok segera menegur.
"Aku sedang berpikir, kau ini paling tidak masih mempunyai kelebihan bila dibandingkan orang
lain" "Oooh, kelebihanku paling tidak masih ada tiga ratus macam lebih, entah kelebihan manakah
yang kau maksudkan ?"
"Setiap waktu setiap saat kau dapat memanfaatkan kesempatan."
"Kesempatan apa ?"
"Kesempatan minum arak !"
Kwik Tay-lok telah salah menduga satu hal.... dikala manusia sedang sadar dia terdiri dari
beraneka ragam, maka sewaktu sedang mabukpun keadaannya tak jauh berbeda, tidak seperti
apa yang dia katakan tadi, asal sudah mabuk maka semua rahasia hatinya diutarakan semua.
Ada sementara orang suka mengibul setelah minum arak, suka mengucapkan beraneka
macam perkataan yang ngaco belo, bahkan dia sendiripun tidak tahu apa ya
Istana Pulau Es 22 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa 2
^