Pendekar Sadis 1

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


"AUTHOR: Kho Ping Hoo
TITLE: Pendekar Sadis
PAGI yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan den kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa diri!
Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan.
Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya.
Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu" Dia pun masih muda, bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw.
Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis.
Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu.
Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar. Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak.
Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, "...mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..." dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu.
"Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini...." Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali.
"Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?"
Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan Ciauw Si dan mengangguk-angguk. "Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan..."
Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.
Siapakah kakek ini" Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan senyum saja.
Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk.
"Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan..."
"Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa..." Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah.
"Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur, di meja itu..."
Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?" Dia menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat.
Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun. "Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang."
Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah dan obat-obatan.
"Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?" dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.
"Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya."
"Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih..." Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya timbul kembali. "Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya..."
"Apamukah dia itu?"
"Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..."
"Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu" Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara."
Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali.
Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini, melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di sampingnya" Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak.
Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si den mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur den minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja den ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang den dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.
Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun den akar obat. Ciauw Si menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.
"Engkau sudah makan?"
Ciauw Si mengangguk. "Terima kasih Locianpwe."
Ketika Kakek itu memasuki pondok den melihat pondoknya bersih den rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw, "Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya..."
"Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe..."
Kakek itu memandangnya dengan heran. "Apa maksudmu" Mengeluarkannya bagaimana?"
"Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya..."
"Ah, engkau selihai itu" Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!"
"Mengapa, Locianpwe?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh."
"Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe," kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.
"Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai sedemikian rupa?"
Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.
"Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai..."
"Ahhh...! Kiranya begitu" Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu."
"Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata.
Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar. "Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu."
Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian" Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu"
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian" Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan" Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.
Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya" Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan" bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang" Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang" Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK!
Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.
Dan apakah artinya semua "kemajuan" lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita" Dunia sekarang membuktikannya. Semua "kemajuan" yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju?" Betapa menyedihkan!
Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.
Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar.
Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu" Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari.
Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa.
"Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe," katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
"Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?"
"Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?" kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata, "Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini."
Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, "Ah, tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?"
"Ah, jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya. "Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya."
Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, "Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera..."
Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera"
"Tapi... tapi..." katanya ragu."
"Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi..." Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.
"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Ciauw Si khawatir.
"Inilah kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga."
"Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?" Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
"Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu ditang melalui keluarga. Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga."
Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya" Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.
Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu.
Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.
Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.
Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai!
Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas den harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.
Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat den sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan den bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.
"Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini?" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.
"Benar, dugaanmu, sahabat kecil."
"Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu.
"Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini."
"Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan makanan."
"Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng," Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Anak baik... Anak baik..." Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu.
Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat berkata, "Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!"
Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. "Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut" Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah" Engkau kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang hwesio minta sumbangan."
"Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!" Dia memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya.
Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.
"Dia she Lie" Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?" Ciauw Si termangu-mangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang.
Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.
"Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?"
"Seng-koko...!" Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil sesenggukan. "Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?" Ciauw Si menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang.
"Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah..." kata hwesio itu yang kemudian berdoa. "Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu...?"
Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya.
"Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng" Kenapa dia seorang hwesio?" anak itu sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa.
"Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku..."
"Ceng...?" Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran. karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini.
Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio! Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!
Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw!
Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.
Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka.
Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. "Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko."
Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.
"Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio" Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng?"
Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini tidak lagi membekas. "Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini." jawabnya lembut.
"Ahhh...!" Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. "Dan... sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?"
"Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian, permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi" Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia."
Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. "Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh daripada segala macam kekerasan dan permusuhan."
Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. "Anak baik... anakmu ini baik sekali..." dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio!
"Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi..."
"Ceng Han Houw adalah suamiku, koko." jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu.
"Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga." Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun.
"Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini."
Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!
"Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana adanya suamimu?"
"Dia sedang mencangkul di sawah tadi." kata Ciauw Si.
Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
"Itu ayah pulang...!" Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul.
"Eh, ada tamu" Siapa tamunya" Seorang hwesio...?" Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran.
Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi hormat. "Selamat bertemu, Pangeran," katanya hormat.
"Eh, siapakah... suhu...?" Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio itu.
"Dia ini adalah kakakku Lie Seng," Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini setelah keharuan mereda, cepat memperkenalkan.
"Lie Seng...?" Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. "Pendekar Cin-ling-pai itu...?"
"Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong San Hwesio sambil menjura.
Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya. "Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!"
Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.
"Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu" Bagaimana ini?" tanya Han Houw bingung.
"Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku" Tidak, engkau panggil saja dia Toako."
"Bolehkah itu, Lie-toako?" tanya Han Houw.
Hong San Hwesio tersenyum. "Apakah artinya nama" Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako."
Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali.
Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan. "Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!" kata Ciauw Si dengan suara menuntut.
"Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri." kata Han Houw.
"Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku." Hong San Hwesio menolak halus.
Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya.
"Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya.
"Sun Eng siapa...?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio.
Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang. "Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati."
Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya!
"Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya.
Dengan suara terharu Ciauw Si berkata. "Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita..."
Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap yang jujur dan suara gemetar, "Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa dirimu..."
Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud, kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!"
PELARIAN dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan" Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini!
Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun.
*** Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya.
"Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku" Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?"
Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya.
"Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan hidup menyendiri di sini?"
Han Houw menarik napas panjang, "Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemi dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya."
Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi... mendiang Yok-sian..."
"Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya" Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?"
Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara!
Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri. Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia.
Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya.
Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata, "karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu."
Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi.
Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya.
Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw. Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu. Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu!
Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun. Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian.
Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya, "Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.
"Kami memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata Juling.
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah, "Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah.
Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Juga ayah bundanya tidak pernah merasa keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai "Ceng-siauwya" atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja.
"Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co." katanya sambil menyerahkan panci kecil.
"Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam." kata pemilik warung sambil tersenyum ramah.
Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya, "Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu."
Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi.
"Hemm, bertanya tentang apakah?" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguk pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.
"Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"
Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak"
"A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di mana rumah pangeran pemberontak itu?" kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi.
A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran. "Apakah ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula" Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!"
Tiba-tiba Si Mata Juling, yang kelihatan lemah lembut itu, menggebrak meja.
"Krakk!" Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling.
"Kau berani mengatakan kami gila" Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan sepert ujung meja itu?" Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.
"Maaf... maafkan saya..." katanya gugup.
"Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!" Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri.
"Plak! Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. "Hayo katakan!"
Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu.
"Dukk!" Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam!
"Eh, bocah setan, siapa kau?" bentaknya.
"Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus, kulit mukanya halus seperti kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sin-kang!
Siapakah dua orang kakek itu" Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa.
Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang mereka hendak selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget.
SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain.
"Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!" kata Si Tinggi Besar muka hitam. "Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?"
"Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?"
Dua orang itu girang bukan main. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!" Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah banyak.
Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian, Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi marah. "Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!" Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
"Plakk!" Lengan tangan Thian Sin yang kecil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin menggunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini dan Si Tinggi Besar berteriak kaget, tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat di sambungan siku bawah dan tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!
"Bocah setan!" Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main dan sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu telah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Namun anak itu sukar sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran. Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.
Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah dengan cukup sempurna untuk orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan kini dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!
"He-he-heh, kau hendak lagi ke mana, anak pemberontak?" Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. "Hayo ajak kami ke rumah orang tuamu!"
Biarpun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, "Aku tidak sudi!"
"Eh, bocah setan! Apa kau sudah bosan hidup?" Si Mata Juling mengancam dan memperkuat cengkeramannya.
"Siapa takut mampus?" Thian Sin juga membentak.
Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di depan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, "Harap ji-wi tidak mengganggu dia... kalau ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar..."
"Paman A-coan!" Thian Sin membentak, akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman.
"Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!" Dan dia mengerahkan sedikit tenaga, membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
"Baik... baik... tidak bohong... tidak bohong..."
Dua orang kakek itu lalu keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, sedangkan Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, seperti orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lalu mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi ada pula yang mencegah niat ini melihat betapa pemilik warung dan anak itu sudah berada dalam kekuasaan dua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata marah, karena tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.
Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini tiba di pekarangan rumah Han Houw, nampak seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan dicengkeram pundaknya. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah kepada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan, "Inikah rumah pangeran pemberontak itu?"
"Saya... saya tidak tahu pangeran mana... tapi inilah rumah orang tua anak itu..." A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar sehingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lalu tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang kini berdiri nonton di luar pekarangan.
Tiba-tiba nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya!
Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia menggunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat betapa tangan kanan kakek itu tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
"Dukkk!" Sepatu kecil itu dengan tepatnya menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.
"Auhhh...!" Si Mata Juling terkejut, cengkeramannya terlepas dan Thian Sin sudah meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.
"Ngekk!" Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.
"Aduhhh...!" Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.
Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
"Sratt! sratt!" Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.
"Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!" Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu.
Ciauw Si terkejut. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat, pikirnya, sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang. "Kau mundurlah," bisiknya dan kini dia menghadapi dua orang kakek itut memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.
"Siapakah kalian" Dan apa keperluan kalian datang ke sini?" dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu.
Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagaimanapun juga, mereka masih terlalu memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di depan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Sebaliknya mereka malah mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan! Para penghuni dusun tentu saja memandang dengan muka pucat. Biarpun mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukan orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat "terbang" seperti burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang!
Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan mudahnya mengelak dari sambaran dua batang golok yang merupakan dua gulung sinar putih itu. Ke manapun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlampau gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat daripada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar dan juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in-kun-hoat yang delapan jurus, Thai-kek-sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan telah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan dua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya, setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak kelihatan oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok di tangan itu terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang!
"Isteriku, jangan bunuh orang...!"
Tiba-tiba terdengar suara mencegah dan Ciauw Si yang sudah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin telah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang dua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
"Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit kesalahpahaman."
Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka setelah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.
Setelah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apalagi kini suaminya telah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik dan fihak atasan telah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!
"Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?"
Dua orang itu sudah mati kutunya dan tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar. "Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan... apakah... apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw...?"
"Hemm, kalau betul mengapa" Kalian mau apa?" tanya Han Houw sambil memandang tajam.
"Ampun... ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini... dan... ah, hamba berdua telah lancang karena tidak mengira bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar... mohon ampun..."
Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng menyelidikinya" Dia mengerutkan alisnya. "Mengapa kalian disuruh menyelidiki?"
"Hamba... hamba tidak tahu... hanya ada utusan dari kota raja yang memerintah kami berdua untuk menyelidiki..."
Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
"Pergilah kalian!" katanya dan dua kali kakinya bergerak, tubuh dua orang itu telah terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka cepat bangkit dan merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul!
Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. "Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!"
Han Houw memegang lengan puteranya dan ditariknya masuk ke dalam rumah. "Thian Sin, ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sesungguhnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami hidup menderita dahulu, dan engkau, ingat baik-baik, jangan sekali-kali menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?" Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk.
Pada malam hari itu, setelah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap tentang peristiwa itu, "Aku khawatir akan terulang peristiwa belasan tahun yang lalu," kata Ciauw Si sambil menarik napas panjang. "Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu" Apa yang menimbulkan bencana ini?"
Ceng Han Houw mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian."
"Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita."
Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, ketika mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya.
Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tidur nyenak, dan dia duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, di arah ruangan depan seperti ada orang bertempur, dia lalu cepat membangunkan puteranya.
Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benarg sepasang matanya menatap wajah ibunya dan telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
"Apa yang terjadi, ibu" Apa yang terjadi di luar itu?"
"Sstt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini." Ciauw Si lalu menggandeng tangan puteranya dan mereka lari keluar.
Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu.


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada yang menyembunyikan ekornya. Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak memperoleh obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ.
Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw mencabut pedang dan dengan beherapa kali gerakan pedangnya, enam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biarpun Han Houw telah kehilangan sebagian besar tenaga sin-kangnya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apalagi dia memegang sebatang pedang.
"Wirrr...! Siuuuuuttt...!" Han Houw memutar pedangnya. "Tringg! Tringg...!"
Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang di ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut dan berkata lantang, "Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!"
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dahulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar. Perkumpulan ini dahulunya didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam.
Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu seorang murid Jeng-hwa Sian-jin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apalagi ketika ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw.
Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan munculnya seorang tosu bernama Tok-siang Sian-jin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.
Kini, melihat munculnya orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.
Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras dan dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu sudah mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.
Han Houw terkejut juga menyaksikan ketangkasan dan kerapian gerakan mereka yang begitu teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.
"Siapa kalian?" dia membentak.
Seorang di antara mereka yang berada di depannya, menjawab dari balik perisainya, "Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang" Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!" Setelah berkata demikian, tujuh orang itu lalu bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul.
Melihat ini, Han Houw menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, dan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang telah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang telah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja" Akan tetapi, mengapa" Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung" Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik kalau dia berada di tempat yang sempit, maka dia lalu menerjang ke kiri dengan maksud membobolkan kepungan itu dan dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saia tujuh buah perisai membentuk benteng baja dan tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat!
Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
"Keparat, kalian datang mengantar nyawa!" bentak Ciauw Si dan dia pun menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu.
Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, Han Houw menjadi tenang hatinya dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin itu.
Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali.
"Crokkk... aughhh...!" Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!
"Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?" bentak Ciauw Si.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri!
"Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!" kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
"Apa" Pamanmu sendiri?" Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
"Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!" katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.
"Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar," kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.
"Maksudmu?" Ciauw Si bertanya.
"Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka."
"Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini" Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik."
"Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku."
"Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!" kata Ciauw Si. "Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar."
"Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!" kata Han Houw dengan marah.
"Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian..."
Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.
"Aku pun tidak takut!" kata anak itu.
Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. "Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin."
"Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana...?" Han Houw berkata dan suaranya terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempu
Golok Halilintar 4 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Cacad 13
^