Pendekar Sadis 19

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


a!" "Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku."
Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. "Dan aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku."
"Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu."
Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan diapun agaknya tidak keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang disangkanya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya"
"Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?" kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium. Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biarpun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.
Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. "Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?"
"Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!" kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.
"Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kila bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan daripada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian."
Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api berahi yang bernyala-nyala, kini berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!
Thian Sin tersenyum. "Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab." Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit tipis sekali dan ada rambut putih di bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.
"Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?" kata Thian Sin.
"Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu." Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar.
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.
"Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!" perintah Nenek Lam-sin. "Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota."
Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggauta Bu-tek Kai-pang berkumpul. Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin" Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan, hadir pula. Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan mata mendelik dan muka marah. Merekapun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.
"Para anggota kai-pang sekalian." terdengar "nenek" itu berkata, suaranya lantang berwibawa dan semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, "dengarkan baik-baik segala perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!"
Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir" Apa maksud datuk itu"
"Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan tanpa adanya aku di sini, kalian akan dibancurkan golongan lain. Kalian boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang main curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan namaku lagi, dan semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!"
"Pangcu...!" Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada beberapa orang anggota kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!
Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak
"Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini."
"TAPI... tapi, locianpwe..." kata Ang-i Kai-ong. "Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?"
Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, "Dia datang untuk membalas kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis sudah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!"
"Ahhh...!" Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.
"Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?"
Tiga orang ketua itu berkata. "Kami mengerti!" dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti. Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.
Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, "Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal."
Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, "Ke manakah kita pergi?"
"Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita," jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.
Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia. Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka. Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan di antara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.
Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.
Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali. "Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!" Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali.
"Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!" Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.
Lam-sin mengelak. "Nanti dulu," katanya. "Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!"
"Eh... kenapa begini" Bukankah... bukankah..."
"Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!"
"Apa... apa maksudmu...?" Thian Sin semakin kaget.
Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di situ hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bisa tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata, "Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?"
"Membuat api unggun" Untuk apa..." Tapi baiklah..." Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun" Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita tua. Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya.
"Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!"
Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu.
Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. "Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!"
"Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!" kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya. Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya.
"Nanti dulu, engkau belum mengenalku!" bisiknya.
"Siapa bilang" Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam..." Thian Sin tersenyum.
"Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku."
"Perlukah itu" Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku..." Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.
"Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!" tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.
"Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu," kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.
Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih, "Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah..." Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!
Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!
"Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong..."
"Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!"
"Aku she Toan..."
"Ehh...?" Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.
Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. "Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kaubunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong."
Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat!
"Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali."
"Aku tidak peduli akan hal itu!" Gadis itu berkata dengan suara kesal. "Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!"
"Ahhh...!"
"Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar."
"Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar..."
"Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan."
"Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya," Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.
Kim Hong mengangguk. "Akupun berpendapat demikian." Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!
Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.
Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong. Namung kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong. Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).
Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.
Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini ia menceritakan kepada suaminya.
"Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!" kata isteri itu dengan girang sekali.
Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya. "Habis, mengapa" Apa bedanya bagiku?" katanya dingin.
"Eh" Apa bedanya" Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan seorang pangeran" Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran..."
"Tidak...!" Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. "Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!"
"Tidak mungkin!" Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah. "Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu."
"Minta hak dan kedudukan" Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran."
"Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!"
Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi!
Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri. Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!
Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!
Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang "cinta" yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih sayang masing-masing, dengan ringan kata-kata "aku cinta padamu" meluncur keluar dari mulut mereka, pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata, bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!
Begitukah cinta kasih" Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka" Dan setelah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya" Kemudian setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta" Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain"
Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja" Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini" Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku" Dan dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku" Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku" Apakah cinta hanya seperti ini, seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya" Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih"
Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.
Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat den suaminya tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.
Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun den ketika Kim Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih lihai jari ibunya sekarang! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.
"Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah."
Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. "Dan muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang."
"Tidak begitu mudah," jawab Kim Hong. "Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku latu turun tangan, membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin."
"Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?"
"Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapit Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku."
"Dan sekarang?"
"Sekarang" Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kaulihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas..."
"Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin..." kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.
"Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya."
"Dengan sepenuh hatiku," kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.
Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.
Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu.
Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.
"Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?" tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.
Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. "Tentu saja! Mengapa tidak" Bukankah kita berbahagia di sini" Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?"
Thian Sin merangkul. "Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?"
Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.
"Eh-eh...!" Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja. "Byuuuuurrr...!" Thian Sin berenang menghampiri lagi.
"Kim Hong, mengapa engkau?" tanyanya sambil memegangi batu.
"Kau bilang sudah bosan denganku" Ah, pergilah, jangan mendekat!" Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh.
"Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu" Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!" Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.
"Kenapa kau tadi bilang bosan?"
"Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?" Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. "Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan" Apakah engkau hendak meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong" Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu melihat dunia ramai!"
Kim Hong termenung, lalu mengangguk. "Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu" Aku menurut saja."
"Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!"
"Ihhh! Kau gila" Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!"
"Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?"
Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. "Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!" katanya.
"Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?"
"Terdengamya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?"
"Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan" Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi." Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.
Kim Hong termenung. "Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku."
"Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana" Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?"
Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan. "Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?"
Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu" Dia menarik napas panjang. "Kim Hong, terus terang saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain." Dia mencium mulut itu. "Dan engkau bagaimana?"
Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis. "Mana aku tahu" Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!"
"Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu" Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana" Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau."
"Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut" Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi."
"Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!" Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.
"Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja" Aku sih sudah lapar!"
"Lapar" Wah, setelah kauingatkan, akupun merasa lapar sekali!"
"Tunggu apa lagi" Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!" Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.
Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu" Tidak punya malukah mereka itu" Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah" Harus malu terhadap siapakah" Dua orang yang sudah seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.
Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.
*** Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.
Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!
Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.
"Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula."
"Ihhh! Sihir" Ilmu apa sih itu" Mana bisa mengalahkan aku?"
Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.
"Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?" Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.
"Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kaugerakkan. Tidak percaya" Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!"
Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.
Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, "Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!" Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!
Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, "Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!"
Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. "Ilmu siluman apakah ini?" bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar.
"Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu."
"Thian Sin, kauajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!"
"Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin" Akan tetapi, di dalam perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu."
Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat, maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan.
Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning. Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.
Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.
Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini. Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biarpun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka. Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk "membereskan" urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu.
Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.
"Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui." Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya.
"Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!" kata So Cian Ling kepada gurunya.
"Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad," jawab gurunya. "Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta."
Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya.
Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.
"Bagus!" kata See-thian-ong. "Usulmu memang baik sekali." See-thian-ong tertawa. "Memang dugaanmu tepat. Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kausuruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kausuruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru" Nah, ketika mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!"
"Lalu bagaimana rencana suhu?" tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.
"Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan selanjutnya."
Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.
"Engkau kenapa?"
Cian Ling menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa."
"Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?"
Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. "Laki-laki jahanam itu!"
"Engkau cemburu?"
"Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilanga kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!" kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pclukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh kebencian suhunya terhadap pemuda itu!
"Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi."
"Tugas apakah, suheng?" Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan bubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan subengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.
"Begini, sumoi, seperti kauketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kauusahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian."
Cian Ling mengangguk-angguk. "Baiklah, akan kulakukan itu."
"Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu."
Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan!
Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling!
"Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?"
"Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong."
Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka.
"Kau mau membacanya?"
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!"
"Ha-ha, kau cemburu?"
Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. "Siapa bilang cemburu" Biar kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!"
Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.
"Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kaubacalah suratnya, atau kaudengarkan, kubacakan. Ada jalan yang baik sekali untok menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling." Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu.
Ceng Thian Sin,
Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan.
Tertanda : So Cian Ling.
"Hemm, agaknya ia rindu padamu," kata Kim Hong, tersenyum mengejek.
"Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui."
"Sesukamulah!" jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di datam hatinya. Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama" Inikah yang dinamakan cemburu"
Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang!
Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang ia marah kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya.
AKAN tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu!
Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu dapat bertahan selama hidup!
Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah terikat secara batiniah. "Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!" Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini"
Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu!
"Siapa?" tanyanya sambil menghentikan kakinya.
"Saya, toanio, pelayan."
Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.
"Ada apa?" tanyanya tidak senang.
"Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio," kata pelayan itu.
Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak, "Siapa tadi yang memberi surat yang kauberikan... suamiku?"
"Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa..." Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa.
"Siapa yang mencariku di luar" Wanita pengirim surat tadi?"
"Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya."
Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu metangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang, telah menantinya. Laki-laki itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah engkau" Ada keperluan apa mencariku?" Kim Hong bertanya.
"Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?" pria ini bertanya.
"Benar. Siapa kau dan ada apa?"
Pria itu memandang ke kanan kiri. "Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh."
"Ehh...?"
"Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya." Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik.
"Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?"
"Nanti dulu, siapakah engkau?"
Pria itu menjura dan berkata, "Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang penting, Ceng-taihiap telah terjebak dalam perangkap musuh..."
"Musuh siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya" Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuh dengan datuk itu..."
Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya omongan orang. Ia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali. "Lalu apa maksudmu memberitahukan hal itu kepadaku?"
"Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini dan kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang telah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk bersama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap."
Diam-diam Kim Hong terkejut sekali dan jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya membuat hatinya gelisah bukan main. Ia mengangguk. "Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar."
Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker. "Mereka telah berkumpul menanti kita di ruangan belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah..."
Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan ke samping gedung dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu dan mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Sunyi sekali, tidak terdengar suara seorangpun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup, lalu berkata kepada Kim Hong.
"Nona, silakan masuk, mereka berkumpul di ruangan dalam," berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya.
Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, "Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja."
Orang itu menarik napas panjang. "Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah sahabat-sahabat yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu." Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah kamar atau ruangan yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubong pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu sudah melangkah masuk, Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu telah meloncat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat iapun meloncat, namun tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana ia masuk tadi tertutup, tubuhnya sudah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu dan mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar.
"Desss...!" Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras dan tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi ketika gadis itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan kedua tangan mendorongnya kembali. Kim Hong marah dan iapun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya.
"Dukkk...!" Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakangg sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan... tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah.
"Haiiiiittt...!" Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi. "Dukk!" tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan kini tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi. Maklum bahwa ia telah terjebak, Kim Hong mengerahkan gin-kangnya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, ternyata di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga ia dapat mendarat dengan selamat. Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai ia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah kamar yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Ia meloncat dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang amat kuat. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi ia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama ia masih hidup, ia tidak akan kehilingan harapan.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap behingga ia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiripun tidak nampak, apalagi benda lain. Dan tiba-tiba ia mencium bau yang harum dan keras. Celaka, keluhnya karena ia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Ia tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya, membuang tenaga sia-sia belaka. Kalau ia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya ia akan tidak dapat lolos pula dari asap yang ia duga tentu mengandung obat bius itu. Kalau ia melawan dan menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik ia menyerah kepada keadaan yang tak mungkin dapat dilawannya lagi, untuk menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai dan melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat sarafnya agar jangan menegang. Karena ia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh. Kim Hong yang sudah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan ia jatuh pingsan dengan hati tenang.
*** "Cian Ling...!"
"Thian Sin, ah, Thian Sin...!" Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis. Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang di langit itu.
"Engkau kurus..." kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.
"Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku." Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih.
"Ah, maafkan aku, Cian Ling." Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. "Engkau menderita karena aku."
"Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya" Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?"
"Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu" Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kaubicarakan denganku?"
"Apa pertemuan antara kita ini tidak kauanggap penting?"
"Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kausampaikan kepadaku."
"Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmiu di Si-ning" Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?"
Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. "Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang begini kepadaku?" Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.
"Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin" Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini."
"Cian Ling, kenapa kaulakukan ini semua" Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?" Than Sin bertanya, terharu juga.
"Aku... ohhh..." Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya.
"Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita."
"Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan."
Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai. "Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?"
"Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku."
"Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?"
"Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu."
"Ah, aku khawatir sekali!"


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri."
"Selamat berpisah."
Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak!
Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah" Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.
"Engkau melihat nona?" tanyanya kepada pelayan itu.
"Tidak, tuan..."
Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu. "Baikiah," katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki kamarnya. Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.
"Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya..."
"Baik, kami akan menjemputnya," kata seorang di antara tiga orang itu. Thian Sin cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan.
"Tok-tok-tokk!"
Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, "Siapa di luar?"
"Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!"
Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan.
"Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja."
Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orangnya itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.
"Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!" kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.
"Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku."
"Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?" Sikap Thian Sin tetap tenang saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar.
Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh.
"Pendekar Sadis," kata seorang yang pertama tadi. "Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut."
Thian Sin tersenyum. "Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga" Apa sukarnya bagiku?"
Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. "Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati..."
"Wanita...?" Thian Sin pura-pura bodoh.
"Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!" Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. "Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!"
Thian Sin masih bersikap tak acuh. "Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?"
Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan melemparkannya ke arah Thian Sin sembil berkata. "Lihat ini!"
Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah sampai ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh.
"Hemm, di manakah ia?"
Orang pertama tertawa, suara ketawanya seperti suara burung hantu, lalu berkata, "Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau menghendaki ia selamat!"
Thian Sin berpikir sejenak. Diapun tahu bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti tidak mengenal bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, melainkan dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru dimengerti bahwa So Cian Ling telah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu dapat menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri. Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan" Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya kalau dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini dan tidak muncul sampai besok pagi, tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka.
"Baiklah, aku ikut dengan kalian!" katanya sambil bangkit berdiri.
"Ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis," kata orang pertama. "lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, karena di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu."
"Kami harus melucutimu dulu," kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin dan mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang.
"Mari kita berangkat!" kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu. Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, seperti seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus dan para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu.
Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka.
"Setelah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha!" kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya.
Hemm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di mana" Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tidak percuma berjuluk datuk kaum sesat.
Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakitkan hatinya. Tiba-tiba Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakitkan hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan alau demikian halnya, maka TIDAK MUNGKIN kalau Kim Hong akan dibebaskan setelah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya!
Mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota sekarang dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu amat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit-apit sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya."
Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya. "Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu agar kau... hukkk!" Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan diapun terjengkang memegangi perut. Dua orang kawannya terkejut sekali dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat daripada tangan mereka yang mencabut golok dan gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin. Mereka hanya pingsan dan tidak mati, karena memang Thian Sin belum hendak membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan, Thian Sin sengaja menanti sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang akan dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu.
Ketika tiga orang itu siuman mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki tangan mereka lumpuh sama sekali dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin lalu menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut ketika kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis.
"Jangan takut," bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, "dia tidak mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita."
Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan.
"Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!" kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman.
Si Codet menelan ludahnya, akan tetapi dia teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam yang membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan. "Hemm, kaukira aku takut dengan ancamanmu" Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan kalau sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis."
"Begitukah" Kita lihat saja nanti!" Thian Sin berkata dan dengan cekatan lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lalu dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk dan orang itupun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu.
"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak. Thian Sin tidak menjawab, terus menyalakan api unggun dan asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi semakin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup! Dia mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan melihat sedikitpun tidak, melainkan menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak.
"Ahhhhh... akhhh... aku... ah, lepaskan aku... Pendekar Sadis..."
Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Akan tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya dan memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah sudah ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah.
"Aduuhhh... panas... aughhh... dengar Pendekar Sadis... gadismu itu... berada di... pesanggrahan... auhhhhh, lekas turunkan... aku akan mengaku..."
Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu.
"Jelaskan, di mana ia ditahan?"
Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong kalau dia berani mengkhianatinya, kalau dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan.
"Aku tidak mau tawar-menawar lagi kalau engkau tidak mau mengaku, api akan kubesarkan dan tidak ada apapun yang akan dapat mengubah keadaanmu!"
"Nanti... nanti dulu... ia... ia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami..." Orang itu merintih dan menangis, tahu bahwa dia telah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andaikata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tidak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Akan tetapi, karena api unggun tidak begitu besar lagi dan biarpun masih mendatangkan panas dan asap namun tidak begitu menyiksanya lagi, diapun akhirnya menghentikan tangisnya, apalagi ketika melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu dan menyeretnya keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang.
Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka diapun mendahului dengan suara ketawa. "Ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tidak akan bicara, dan biar engkau membunuh kami sekalipun, engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!"
Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan cepat menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sin-kangnya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lalu ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang memasuki lubang dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi ketika Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang menimbuninya dari kaki ke atas dan berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak. "Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya gemetar.
Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang disengaja menimbuninya sampai ke dada saja membiarkan bagian muka itu terbuka.
"Katakan di mana adanya gadis itu!" katanya, suaranya halus dan tenang saja, namun mengandung sikap dingin yang mengerikan. Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, walaupun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap.
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, suara ketawanya memang agaknya tidak takut mati. "Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku" Pendekar Sadis, biar kaubunuh sekali kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak ikut bersama kami menghadap See-thian-ong! Ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!"
Thian Sin mengerutkan alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia menahan diri, lalu mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis, akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walaupun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mah mengaku. Biarpun orang pertama sudah mengaku, namun Thian Sin masih belum puas, dan masih belum yakin benar hatinya. Orang-orang macam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya makin kurang ketika mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup dan Si Codet memejamkan matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup daripada harus mengaku
Harpa Iblis Jari Sakti 1 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 8
^