Pendekar Sadis 2

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


nyai siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya.
"Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?" tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.
"Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa" Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!"
"Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana," kata Ciauw Si.
"Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!" Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.
"Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!" bentak Han Houw.
"Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?" Thian Sin merengek.
Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus, "Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?"
"Siapa yang akan mati" Kita tidak akan mudah mati begitu saja!" Han Houw berkata keras. "Pendeknya, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini."
Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis.
Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam. "Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya."
"Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita" Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?"
Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. "Tidak!" Akan tetapi dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan pucat. "Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri" Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri" Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini."
Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.
"Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku."
"Tidak!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. "Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian" Ah, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?"
Han Houw cepat memeluknya. "Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup terus... demi anak kita..."
Ciauw Si balas merangkul. "Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya."
Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.
Pasukan berbuda itu datang dari sebelah timur, memasuki pintu gerbang berbondong-bondong dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.
Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar dari Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja. Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali akan tetapi leher dan kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suhengnya.
Hwa-i Kai-pang dahulunya adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik daripada Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi dapat dipergunakan.
Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam terkejut sungguhpun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah sekali melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.
Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dari pintu gerbang sebelah barat nampak debu mengepul disusul masuknya puluhan orang perajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang perajurit itu merupakan perajurit-perajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, dan dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Kini semakin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat.
"Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?" Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang. Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng maupun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini! Menurut kabar, satu-satunya orang yang mampu mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Maka, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apalagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.
AKAN tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, juga Tok-ciang Sian-jin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, kini melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!" kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.
"Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kaubayar, sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!" Kata Tok-ciang Sian-jin sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar. Cambuk itu terbuat dari baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang amat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini apalagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang amat keji. Memang, Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.
Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. "Hemm, kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian" Kalau memang ada kepandaian dan berani, kalian majulah!"
Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi marah dan dia mengeluarkan teriakan nyaring Lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu mematuk ke arah ke dua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!
Namun, biarpun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sin-kangnya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal inipun sudah diduga oleh Han Houw, maka diapun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.
"Tringgg...!" Terdengar suara nyaring ketika pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggauta pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kang-kiam dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu dan sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu mainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang menjadi andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagah Ciauw Si lalu menghadapi mereka dan mainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang amat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.
Seperti namanya, Siang-bhok Kiam (Pedang Kayu Harum) sebetulnya merupakan ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw. Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, biarpun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut dan seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang meeka lalu maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok. Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dan pertempuran yang sesungguhnya berat sebelah, akan tetapi juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk seperti sepasang naga sakti. Ke manapun pedang mereka berkelebat, robohlah seorang pengeroyok dan sebentar saja pekarangan di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan. Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu dan sepasang suami isteri itu sendiripun tidak ter1uput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih dapat bertahan terus dan hanya menderita luka-luka ringan saja.
Andaikata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sin-kangnya, kiranya kalau hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, dia dan isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sin-kangnya sudah banyak hilang ketika dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang amat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Biarpun ilmu silatnya masih lihai, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya lemah hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang amat tinggi ilmunya, bahkan dibanding dengan Ciauw Si dia masih menang setingkat! Biarpun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja! Kini, biarpun dia dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biarpun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini!
Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas daripada suaminya. Dia sudah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Ketika dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si mengeluh.
"Suamiku, jangan kautinggalkan aku...!" dia berseru lirih dan seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, sungguhpun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir.
"Ciauw Si... isteriku..." Han Houw merintih ketika pundaknya untuk kesekian kalinya tertusuk tombak lawan, dia membabat dan seorang perajurit yang menusuknya itu roboh.
"Pangeran... suamiku..." Ciauw Si juga merintih dan kembali pahanya kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya. Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia membalik dan robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi.
"Si-moi...!" Han Houw berseru dan dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas.
Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar dan membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus. Akan tetapi tentu saja tenaga mereka makin lama makin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi dan mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan terpukul oleh tongkat beberapa kali. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi. Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.
Setelah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggauta pasukan, baik pasukan Kerajaan Beng maupun pasukan Raja Agahai, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa "pembersihan" seperti itu. Mereka memasuki rumah-rumah para penduduk dusun dan senjata mereka berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa! Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di situ semua dianggap kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka permainkan dan perkosa. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya tenang dan tenteram itu.
Lewat tengah hari, pasukan-pasukan itu telah pergi meninggalkan dusun, membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.
Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek dan wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin para kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis.
Pada keesokan harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata anak itu setelah tiba di tengah jalan, tak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.
Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar panjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, "Ayaaah...! Ibuuu...!" Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.
"Ayaaaah...! Ibuuuuu...!" Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat di dalam rumah orang tuanya itu berantakan dan nampak darah di sana-sini dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar lagi sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lalu berteriak kepada mereka dengan suara parau, "Di mana ayah dan ibuku?"
Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. "Ayahmu... Ibu..." Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.
Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip memandang kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidakpercayaan, "Ayahku... Ibuku... mereka... mereka tewas...?"
Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang mengerikan sekali karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat, dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan!
Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka"
Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu"
Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.
Tidak dapatkah kita "mati" selagi hidup ini" Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini" Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat.
Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di "sana"!
Akibat dari guncangan batin yang amat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.
"Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!" katanya berkali-kali.
Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarnya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan.
"Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kaubawa serta," kata kakek Lai Sui yang sabar.
Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang telah diberikan ayahnya kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.
"Rumah dan semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek." kata Thian Sin kepada Lai Sui. "boleh kaupakai dan kau tinggali sampai aku kembali."
Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang amat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.
Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapapun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sudah digembleng sejak kecil oleh ayah bundanya itu.
Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah. Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluhan tahun yang sedang membersihkan pekarangan di sebelah kanan kuil, segera melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang dikiranya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walaupun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.
"Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak bersembahyang?" tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati suaranya halus dan sopan. Melihat sikap ini saja Thian Sin sudah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh terhadap mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah yang ramah dan sikap yang sopan, dan agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.
"Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, melainkan mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang," kata Lan Sui.
Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. "Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi."
Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul. "Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa)," kata Lai Sui.
"Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk samadhi."
"Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami." jawab Lai Sui sambil tersenyum.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.
"Omitohud...! Sepagi ini sudah datang tamu yang mencari pinceng?" kata Hong San Hwesio. "Entah dari mana gerangan mereka?"
"Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka kelihatan lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya."
"Omitohud...! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang amat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja." kata hwesio itu dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat sedemikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.
Tak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio memandang penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini.
"Paman, apakah paman lupa kepada saya" Saya Thian Sin yang malang menghadap paman memenuhi pesan ayah..." kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.
Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio, terkejut, "Ah, kiranya engkau..." dia meragu.
"Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami..."
"Ah, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu" Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?"
Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu dan dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa malapetaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.
"Mereka telah merasa akan datangnya malapetaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini," Kakek itu mengakhiri ceritanya. "Dan ternyata surat ini merupakan pesah terakhir mereka."
Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu dia memejamkan kedua mata sejenak sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu. Anak itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan jelas di wajahnya terbayang kekerasan dan dendam yang hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dibacanya surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan adik iparnya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat dan mendidik Thian Sin untuk sementara waktu karena mereka berdua terancam bahaya. Minta kepadanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.
Setelah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Ketika menulis surat itu, biarpun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, namun adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata, "Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat."
Lai Sui cepat memberi hormat. "Terima kasih, suhu. Akan tetapi setelah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena selain dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?"
Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di dekatnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa amat terharu. "Terima kasih, Lai-pek, engkau sungguh baik sekali dan aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Kau tolong... tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?"
"Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, jangan khawatir... nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang."
Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang telah tertimpa malapetaka itu. Dia sendiri karena tidak berkeluarga maka tidak mengalami kehancuran keluarganya. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat maka dia ingin lekas-lekas pulang.
Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat pada wajah keponakannya itu lalu berkata. "Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?"
Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, dan dia menggeleng kepalanya. "Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak akan saya selidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!" Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang.
"Omitohud...! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tidak pernah berpikir dan bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?"
Ketika anak itu menggeleng kepala, Hong San Hwesio dengan suara lembut dan sabar lalu menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat daripada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau. Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar.
"Nah, sekarang engkau mengerti, Thian Sin. Tiada perbuatan tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan belaka, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang kelak akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri."
"Tapi... tapi... ayah bundaku dibunuh orang... mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?"
Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu-satu dan jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.
"Tiada yang lebih panas
daripada nafsu tiada yang lebih ganas
daripada kebencian
tiada yang lebih menjerat
daripada kebodohan
tiada yang lebih menghanyutkan
daripada keserakahan,
Kesalahan orang lain mudah nampak
kesalahan diri sendiri sukar terlihat
orang menyaring kesalahan orang lain
seperti menampi dedak
namun kesalahannya sendiri disembunyikannya
seperti penipu menyembunyikan
dadu lemparannya
terhadap penjudi lainnya."
Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun lalu membantah, "Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau tidak kuberantas perbuatan mereka itu, kalau tidak kubasmi orang-orang kejam seperti itu, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?"
Hong San Hwesio masih memejamkan kedua matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.
"Omitohud... hatimu penuh dendam kebencian, tentu saja tidak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kaudengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci." Hwesio itu tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, lalu bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada.
Segala keadaan kita adalah hasil
dari apa yang telah kita pikirkan
didasarkan atas pilihan kita
dan dibentuk oleh pikiran kita
Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran jahat,
penderitaan akan mengikutinya,
seperti roda gerobak
mengikuti jejak kaki lembu
yang menariknya.
Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran murni
kebahagiaan akan mengikutinya,
seperti bayang-bayang
yang tak pernah meninggalkannya
Dia mencaci maki saya, memukul saya,
mengalahkan saya, merampok saya,
yang menyimpan pikiran ini,
kebencian takkan berakhir,
yang tidak mmyimpan pikiran ini,
dendam kebencian akan berakhir.
Karena kebencian tak dapat dipadamkan
oleh kebencian,
kebencian hanya musnah
oleh cinta kasih
inilah suatu aturan yang abadi..."
Entah bagaimana, suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang memejamkan matanya itu terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini seperti hanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!
Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio delam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu.
Di samping setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, juga Thian Sin diberi pelajaran kesusastraan oleh Hong San Hwesio, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dahulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.
Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastra dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali.
Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar. Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka "perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.
Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!
Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang" Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan" Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah" Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!
Demikian pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia telah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam" Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.
*** Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar. Dahulu sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang amat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apabila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai.
Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan yang amat menyeramkan itu kini sebaglan telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar ketika mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah lagi mengambil korban.
Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini, ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Sungguh kini suasananya jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu ketika istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi benteng di mana terjadi keributan dan sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lain. Setelah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya dan sampai sekarang menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di situ banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat, hanyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan dan pulangnya mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.
Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat inipun terkenal sebagai istana tempat tinggal Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini telah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun.
Semenjak kecil, Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari orang tuanya, bukan pemanjaan, melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidupnya sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apabila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlalu menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguhpun tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, akan tetapi wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, mulutnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memiliki sinar yang bening tajam, kalau dia bicara, suaranya tenang halus dan jelas, dan apablia dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.
Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja semenjak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, di waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu riang, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walaupun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak bicara kalau tidak perlu sekali.
Bentuk tubuhnya juga sedang saja, sikapnya sederhana sungguhpun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan dan dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justeru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.
Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbul kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biarpun selama ini puteranya memperlihatkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat. Betapa banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, memiliki kekuasaan atas orang lain dan karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa" Apakah hendak dibawanya sampai mati"
Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Di dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya. Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih amat mudah menyeleweng, apalagi orang-orang yang memiliki kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!
Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.
"Lalu apakah yang dapat kita lakukan?" Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. "Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita" Siapa yang dapat menolong kita...?"
"Aku ingat," tiba-tiba Sin Liong berkata, "ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak."
"Siapa dia?" Bi Cu bertanya penuh gairah.
"Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai."
"Siapa sih?"
"Dia Kanda Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja."
"Ah, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri."
"Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlampau dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun, setelah dasarnya kuat, baru kita bahwa dia pulang."
"Aku setuju, biarpun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita," kata isterinya.
"Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam saja di tempat sunyi ini."
"Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?"
"Tidak, kesempatan ini kita pergunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko."
Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus diakuinya bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa bahagia sekali di samping suaminya yang amat dicintanya, apalagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni dusun-dusun yang jujur dan bersahaja, amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia dan putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main dan nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, sungguhpun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu," katanya. "Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit" Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?"
Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, "Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang amat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa memandang terlalu tinggi diri sendiri amatlah berbahaya, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain."
Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasa, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. "Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?"
Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai ke pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya tentang mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya. "Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di Su-couw. Telah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku ingin mengajak ibumu dan engkau perg mengunjungi mereka pula di Su-couw. Sedangkan Pamanmu Lie Seng itu sekarang telah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Diapun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itu engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong."
Menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu dan dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak" Ah, sungguh lucu rasanya membayangkan adik-adiknya itu mempunyai anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.
Akan tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka.
Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu. Kebetulan sekali, puteranya, atau kakak seayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, yang bernama Beng Sin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciook Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga.
Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena Bi Cu dirawat sejak kecil dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.
Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Sedangkan Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah.
Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sukar memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang). Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apalagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja amat cocok, sesuai dengan kepandaiannya.
Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang amat lihai, jauh lebih lihai daripada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng-piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkioknya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri.
Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar dan kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Setelah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, mereka dapat saling berkunjung setiap hari dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat daripada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan.
NAMUN kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaanpun tidak kekal adanya, sungguhpun segala peristiwa itu merupakan akibat daripada ulah manusia itu sendiri. Khai Sun yang merasa "ditolong" oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Semua barang kiriman yang berharga, apalagi yang melalui tempat-tempat berbahaya, dikawalnya sendiri dan beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa. Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.
Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat, memperoleh kepercayaan para bangsawari dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu setahun saja Khai Sun sudah dapat membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur.
Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, dan dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda menggeram dalam sanubari Na Tiong Pek. Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.
Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin. Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandang matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang hampir setiap hari kedua orang saudara kembar ini saling mengunjungi, bahkan kalau Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.
Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tiada ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi, tetap saja bagi Tiong Pek, Kui Lan lebih menggairahkan! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat daripada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan daripada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.
Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang "lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.
Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, seperti bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan. Namun, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak mempunyai sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan ramah!
Dorongan nafsu berahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayarigkart betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya. Hawa pada siang hari itu agak panas dan isterinya, Kui Lin, sedang tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak-gerak cekatan sekali menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini menggigit bibir bawahnya. Kadang-kadang dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak Kuiit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu.
Dia sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apalagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja! Kebetulan sekali Kui Lan memakai pakaian yang sama dengan yang dipakai isterinya! Memang semenjak Kui Lan tinggal sekota, apalagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama.
Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga untuk "menguji" hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan dan akal ini timbul di waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja! Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan, pertama karena wanita ini memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apalagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan main! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.
Dengan hati-hati sekali, dan berindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya karena tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang, hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, kemudian dengan tiba-tiba saja dia merangKui leher yang berKuiit putih mulus itu, kedua tangan merangKui pundak dan dia berbisik mesra, "Lin"mol, isteriku sayang... ah, betapa aku cinta padamu..."
Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia mengangkat muka, akan tetapi sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek telah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara! Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya kepada dada Tiong Pek dan meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.
"Aih, isteriku... aku... aku ingin sekali..." Tiong Pek bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi.
"I-thio... ini aku... Kui Lan...!" Kui Lan akhirnya bisa berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang telah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.
Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Kui Lan!
"Ahh... Lan-i... maafkan aku... ampunkan aku... ah, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku... ah, sungguh aku menyesal sekali..."
Kedua kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapapun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini telah keliru sangka dan salah mengenal orang. Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang-kadang mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik "Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra..." dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri.
Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali inipun Tiong Pek telah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, lenyaplah kemarahannya, sungguhpun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andaikata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek!
"I-thio (sebutan untuk summi saudara perempuan), lain kali jangan engkau begitu ceroboh!" tegurnya.
"Maaf, I-i... maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta... akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain..."
"Tentu saja... asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio." Kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu.
Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar! Dianggapnya bahwa ketidakmarahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Makin dibayangkan, makin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih daripada itu!
Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan memupuk dan bahkan membumbui dengan khayal sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.
Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbullah keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas daripada pikiran yang mengenang-ngenang itu" Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati, merajuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita.
Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorongnya untuk memperoleh yang lebih dari itu! Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya dan kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir maupun mata batin. Yang nampak hanya bayangan kesenangan itu saja, yang amat menyilaukan. Apa lagi karena isterinya telah beberapa pekan ini sering kelihatan tidak senang dan marah-marah kepadanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah.
Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan mengira dia Kui Lin, tentu dia sudah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang" Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan selain itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya, telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya! Dan juga, kalau sampai peristiwa yang terjadi tadi, peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya karena kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakitkan hati adik kembarnya itu" Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak! Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andaikata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu amat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya.
Betapapun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan maka sehabis makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Dia tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya dan Kui Lin yang amat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya. Andaikata dia pada siang harinya tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, kalau mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja! Demikianlah, sore-sore dia telah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, sedangkan Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tidak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah dan tidak dapat tidur sama sekali di samping isterinya. Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang sejak siang tadi dia sudah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan menerimanya dengan girang walaupun di luarnya kelihatan marah! Semua ini terbayang di benaknya sejak siang tadi dan diam-diam dia pun sudah mengatur rencana sebaik-baiknya.
Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dia lalu turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar dari lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.
Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya dan menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebetulnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu berahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini. Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan dan mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itupun telah tidur. Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia lalu mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, kemudian dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Tiong Pek memegangi ujung biting dupa itu di luar jendela sambil tersenyum simpul dan matanya berkilat-kilat, bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.
Sebetulnya, Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia memperoleh hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya. Kini Tiong Pek, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu berahi, mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis dan dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar semakin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar! Maka dia pun Lalu membuka jendela itu, dan menggunakan saputangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar.
Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia menutupkan lagi daun pintu dan dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja. Kamar itu gelap, hanya mendapatkan penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan rebah terlentag dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Peristiwa yang kotor dan menjijikkan terjadilah di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya.
Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi daripada yang telah didapatkannya! Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia telah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh, akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu.
Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika dia melihat wajah pria yang merangkulnya itu di dalam cuaca yang remang-remang, dia menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi!
"Jahanam! Keparat hina-dina... ouhhh, engkau jahanam laknat...!" Kui Lan menjerit-jerit dan tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum ketika melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi betapa kagetnya, melihat reaksi wanita ini.
"I-i... eh, Kui Lan... sssttt, jangan ribut... sudah terlanjur... aku... aku cinta padamu..."
"Jahanam...!" Kui Lan menyerang lagi ketika pria itu mengelak dan kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian!
"Ssst, Kui Lan... kau akan mengejutkan semua orang... kita berpakaian dulu..." Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus menyerangnya sambil menangis.
"Dukk!" Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek dan pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya.
"Bukk!" Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan kini karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.
"Kui Lan... aduhhh, Kui Lan... sudah terlanjur... mengapa engkau mengamuk...?" Tiong Pek menjadi takut sekali.
"Brakkkkk...!" Tiba-tiba daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya pucat karena dia tadi terkejut bukan main mendengar suara ribut-ribut dan cepat dia mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, dia cepat lari keluar dan mendengar suara perkelahian di dalam kamar encinya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biarpun cuaca remang-remang, namun Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh encinya yang juga bertelanjang bulat!
"Apa... apa yang terjadi...?" tanyanya dengan suara gemetar. "Enci Lan... apa yang telah terjadi...?" Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan diduganya.
Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. "Hu-huu-huuuhh... dia... dia membiusku dan... dan... menodaiku... hu-hu-huuuhh..."
Pengakuan ini seperti sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.
"Kau... kau... jahanam busuk...!" Dan Kui Lin sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya!
"Eeiiiiitt... sabar dulu, Lin-moi...!" Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya" Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!
"Sabar" Manusia berhati binatang, engkau telah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!" Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, lalu terpaksa balas menyerang. Melihat betapa pria yang telah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia suka berlatih pedang dengan adik kembarnya. Kini tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!
Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung sekali dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, diapun lalu melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya, membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!
"Aduhhh...!" Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya.
Melihat ini, dua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, "Ya Tuhan... kita... kita telah membunuhnya..."
Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. "Dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!" katanya. Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya, sedangkan Kui Lin dengan air mata bercucuran juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.
Setelah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.
Tiba-tiba Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, "Aku layak mati..." Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!
"Enci Lan...!" Kui Lin dengan cepat sekali sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. "Apa yang akan kaulakukan ini?" bentaknya.
Kui Lan menangis. "Untuk apa aku hidup lagi..." Aku sudah ternoda... dan aku telah membunuh suamimu... aku telah menghancurkan kebahagiaanmu... aku layak mati, jangan kauhalangi aku..." Kui Lan meronta, akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak membiarkan encinya melepaskan diri.
"Enci Lan, jangan... jangan kaulakukan itu..."
"Apa gunanya aku hidup" Dia... dia membiusku dengan asap harum... dan dalam keadaan tidak sadar dia... dia menodaiku... Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?"
"Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang kaupikirkan?" Tiba-tiba Kui Lin melepaskan rangkulannya. "Engkau hendak membunuh diri sekarang setelah apa yang telah terjadi" Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku" Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, dan aku" Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri" Enci Lan, sekejam itukah hatimu kepadaku" Apa kaukira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini" Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, kehilangan kebahagiaan" Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri" Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang... hidup... merana dan menanggung semua aib...!" Kui Lin menangis tersedu-sedu dan Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat daripada dia!
"Lin-moi...!" Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.
Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lalu merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, "Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?"
Kui Lan mengangguk pasrah.
"Kalau begitu, serahkan segala-galanya kepadaku," bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Ketika para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.
Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.
"Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu nmnangkapnya."
Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya den seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah tidak akan ada habisnya sumber air matanya.


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.
Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.
Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata. "Siapa yang melakukan itu" Siapa..." Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!"
Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.
"Ada... ada apakah...?" Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara"
Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya. "I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam saja..." Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.
Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng-piauwkiok yang setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa amat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tidak diganggu dan tidak ada pula barang berharga yang dilarikan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tidak mungkin kalau ada penjahat yang menaruh dendam kepada Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya akan hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa penasaran sekali sungguhpun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.
Dapat dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam, dia melihat Kui Lin segera menutupkan semua pintu dan jendela, sedangkan isterinya, Kui Lan kem
Jodoh Si Mata Keranjang 1 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Golok Halilintar 6
^