Pendekar Sadis 3

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


bali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Setelah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ.
Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus diakuinya bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, dan lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang ikut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua itu hendak menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain!
"Lan-moi, ada apakah" Kau tenanglah dan ceritakan kepadaku." Akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di depannya itu dan mencoba untuk membangunkan Kui Lan.
Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, "Sun-koko... kau... kaubunuhlah saja aku..."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya dan merangkul isterinya yang masih berlutut. "Ahh... apakah yang telah terjadi" Mengapa engkau... berkata demikian, isteriku?"
"Koko... dia... dia itu..." Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, "...akulah yang... membunuhnya..."
"Aihhh...?" Khai Sun merasa seperti disambar kilat kepalanya dan dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang menunduk itu.
Kui Lin cepat menghampiri encinya dan juga berlutut merangkul encinya lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami encinya. "Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!"
Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, "Apakah kalian sudah menjadi gila" Kalian... kalian yang membunuh Na Tiong Pek" Apa artinya ini?"
Melihat keadaan pria yang tinggi besar dan gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan encinya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak mienangis, "Bukan kami... melainkan dia yang gila... dia layak mati... dia telah memperkosa Enci Lan...!"
"Ohhhhh...?" Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya dan dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya menatap ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah yang hebat sekali membakar hatinya, akan tetapi dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa, maka tanpa disadari tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat daripada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata nanar dia membuka tangannya dan memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya seperti terapung dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.
Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya menjadi terang dan tenang, dan terdengarlah suaranya yang parau dan berat, "Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku."
Akan tetapi Kui Lan tidak dapat mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, sehingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun sambil berkata dengan suara gemetar, "Enci Lan, duduklah... biar aku yang akan menceritakan..."
Kui Lin membawa encinya duduk di atas bangku di depan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping encinya, merangkulnya kemudian menggunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan hatin yang amat mendalam.
"I-thio Khai Sun, harap kaudengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu... dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya dan akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan... untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat..."
Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isteri sendiri!
Melihat keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan setelah mendengar penuturan itu, Kui Lan menjerit lirih dan dia sudah menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. "Suamiku... kau...kaubunuhlah saja aku... aku tidak dapat membunuh diri... karena... karena Lin-moi..." Dia menangis tersedu-sedu.
Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia bertanya. "Mengapa kau minta kubunuh?"
Kui Lan menengadah, memandang kepada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. "Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini... aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor... aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu... dan aku... aku telah membunuh suami Lin-moi... aku telah merusak hidup Lin-moi..."
"Tidak... tidak...!" Kui Lin berseru sambil terisak. "Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tidak berdaya melawan... dan tentang pembunuhan itu... kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati...! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, akupun tidak sudi hidup lagi di dunia ini...!"
"Lin-moi...!"
"Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!"
Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi semakin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah dapat membayangkan apa yang telah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.
"Sudahlah, Lan-moi... aku... aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar... peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain." Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.
Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. "Kau... kau tidak benci kepadaku?"
Khai Sun menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Apakah aku sudah gila" Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu."
Kui Lan masih meragu. "Tapi... tapi aku... aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi..."
"Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu amat bijaksana, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat."
"Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar," kata pula Khai Sun. Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdepat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Ketika mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia cepat berangkat ke Kun-ting dan tiba di situ sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.
Kurang lebih satu bulan setelah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu nampak sunyi dan masih dalam suasana berkabung, sungguhpun pekerjaan Ui-eng-piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.
Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana sudah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biarpun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, namun mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andaikata ada orang berdiri di luar kamar itupun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.
"Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila" Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan aku!"
"Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan" Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali... kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku."
"Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!"
"Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan" Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi."
"Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu."
"Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku."
"Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunub suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?"
"Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikirain semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak..."
"Kalau tidak, mengapa, Enci?"
"Kalau engkau tidak mau... aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku."
"Enci Lan...!"
"Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbapgkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini."
"Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku bingung, Enci..."
"Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku."
Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.
"Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri" Aku... aku rindu padamu, Lan-moi..." kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Akan tetapi Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.
"Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina..."
"Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta" Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan..."
"Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau..."
"Kecuali apa, isteriku?"
"Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi..."
"Aahhh...! Sudah gilakah engkau?"
Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.
Kui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku."
"Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana" Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?"
Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku."
"Tapi... tapi..."
"Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati."
"Tapi... Lin-i..."
"Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta. Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini."
"Tapi, kaukira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi" Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu..."
"Aku tahu, akan tetapi Lin"moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua."
Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali. "Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam..."
"Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku."
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.
Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.
Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani "biasa" karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.
CIA SIN LIONG adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!
Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.
Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti.
Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong.
Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masing ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!
Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.
Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dart puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.
Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.
Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.
"Selamat datang di Cin-ling-pai," kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu. "Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?" Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!
"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai," jawab Sin Liong dengan ramah pula.
Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata. "Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?"
Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata.
"Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar..."
"Kami datang dari Lembah Naga!" sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.
"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!" kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.
Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.
"Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?"
Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, "Benar, itulah namaku."
"Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..." kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.
Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.
Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.
"Ayah...!" Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.
"Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!" kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.
"Inikah putera kalian?" Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.
"Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan" Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!" kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.
Ketika Cia Bun Houw mendengar
penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."
"Benarkah itu, Ayah" Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw."
Ayahnya menarik napas panjang. "Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat.
Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali.
"Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?" tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.
Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. "Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam."
"Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?"
"Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja."
Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga, amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat. Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di sebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengm ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di tepi pentai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Adapun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki kepandaian yang hebat, menilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
"Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!" kata Sin Liong terkejut.
"Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?"
Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.
Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi. Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Kemudian, sesuai dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri.
Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.
Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.
"Apa" Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?" Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. "Siapa yang membunuhnya" Bagaimana terjadinya dan kapan?"
Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka. "Sudah lama sekali terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu."
Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu.
"Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu." Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.
"Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya," kata Sin Liong.
"Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu."
Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?" tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.
Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. "Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja."
Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.
"Beng Sin, apakah yang hendak kaukatakan kepadaku" Engkau bersikap demikian rahasia."
Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi" Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya."
"Ahhh...!" Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun" Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri"
"Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?" tanya Sin Liong.
Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang."
"Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang," kata Sin Liong.
Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.
Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok.
Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.
Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!
Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.
"Liong-ko...!" Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka.
"Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!" kata Kui Lin.
"Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?" tanya Kui Lan.
Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. "Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!"
Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.
Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata, "Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali."
"Duduklah, koko," kata pula Kui Lin.
"Cia-taihiap, silakan duduk," Ciu Khai Sun juga menyambung.
Biarpun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. "Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin..." dia berkata, suaranya dingin.
Khai Sun dan dua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, "Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan" Apa yang kaudengar darinya?"
Sin Liong kini memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, "Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami encinya. Benarkah ini?"
Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.
"Brakk! Lin-moi, benarkah ini" Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?" Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar itu yang maklum akan kemarahan kakak mereka menangis dan seperti hendak saling melindungi.
"Ciu Khai Sun, apa artinya ini" Engkau, yang memiliki kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, mengapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu" Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?" Pertanyaan ini penuh teguran dan penyesalan, dan kini pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan.
Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, sepasang matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata, "Cia-taihiap, biar akan kaubunuh sekalipun diriku ini, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri."
Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya!
"Liong-ko, jangan kausalahkan suami kami, dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini..." kata Kui Lan.
"Akulah yang bersalah, Liong-ko." kata Kui Lin.
"Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!"
Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Dua orang wanita itu kini tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!
"Apa pula ini" Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati" Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah..."
"Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!" tiba-tiba Kui Lin menjawab dan jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak dan dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali.
"Kalian... kalian sudah gila...?" tanyanya gagap.
"Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua mengeroyoknya dan membunuhnya!"
"Ohhh...!" Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri!
"Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?" Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, "Aku telah ternoda, walaupun itu terjadi di luar kesadaranku, namun hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan dan melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tidak dikenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tidak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko" Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang" Adakah yang lebih tepat daripada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?"
Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masukiah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang laki-laki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin!
Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan, dan merangkul pangkuan wanita ini sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka memang berlumba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin.
"Mereka anak-anak kalian...?" Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya.
Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, Khai Sun menjawab sambil tersenyum. "Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua." Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justeru puteri Kui Lan!
"Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!" kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguhpun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.
"Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!" kata anak lakl-laki itu dengan sikap gagah.
"Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!" sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja.
Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. "Anak-anak yang baik..." katanya terharu. Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun tak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut" Mereka berdua telah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak.
Karena mereka masih akan bicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.
"Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!" kata anak laki-laki itu.
"Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!" bantah adiknya.
Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing mempunyai dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini agaknya sedikitpun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua!
"Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?" Kui Lin bertanya.
"Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen."
"Ah" Kenapa di losmen" Kenapa tidak diajak ke sini?" Kui Lin menegur.
Wajah Sin Liong menjadi merah. "Karena tadinya... eh, kupikir... tidak enaklah dengan adanya urusan... tapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biar kuambil mereka."
Keluarga Ciu merasa girang sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka, maka ketika Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.
Dengan hati lapang melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen"
Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Dan sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul panjang yang ditulis dengan huruf-huruf merah!
PAK-SAW-KUI MENGUNDANG
PENDEKAR LEMBAH NAGA
UNTUK DATANG BERKUNJUNG!
Sin Liong terbelalak memandang sampul itu dan teringatlah dia akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menceritakan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya"
Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu dan suaranya berwibawa ketika dia bertanyap "Ke mana perginya isteri dan puteraku" Apa yang terjadi dengan mereka" Hayo ceritakan yang sebenarnya!"
Pengurus losmen itu nampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. "Maafkan kami semua, sicu..." Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ.
Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, yang ditinggal di losmen oleh Sin Liong sedang duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
Suara keras membentak-bentak pengurus losmen. "Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?"
Tentu saja mendengar ini Bi Cu terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap, "Ada... ada... tapi dia sedang keluar."
"Ke mana" Hayo katakan ke mana!"
"Tidak... tidak tahu..."
"Plak! Plak!" Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.
"Sungguh mati, dia keluar tanpa memberitahu ke mana... ampunkan saya... ampunkan saya..."
"Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?" bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan diapun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah menghadapi tontonan yang menyenangkan.
"Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.
Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai.
"Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?"
"Hemm, engkau orang kasar mangapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.
"Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?" tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu, sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu telah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ.
"Han Tiong, mundurlah!" Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.
"Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?" Bi Cu membentak.
"Ha-ha-ha, tuan besar kami mengundang Pendekar Lembah Naga, akan tetapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanya isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulur tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tertawa ha-ha-he-he oleh para temannya.
"Keparat jahanam kau!" Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlalu cepat atau memang laki-laki itu memandang rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!
"Plakkk!" Orang itu terkejut, terhuyung dan mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah, karena bibirnya pecah.
"Serbu! Tangkap!" bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu. Namun nyonya ini dengan mudah saja mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, "Lepaskan aku!"
Bi Cu terkejut dan menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.
"Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!" bentak orang yang menangkap Han Tiong.
"Hemm, apa maksud kalian?" bentak Bi Cu, sedikit pun tidak takut sungguhpun diam-diam dia mengkhawatirkan puteranya. "Sedikit saja kauganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!"
Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jerih juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, tentu akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya kalau mereka sampai berani mengganggu puteranya.
"Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus maupun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, kamipun tidak berani bersikap kasar."
Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia dan puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.
"Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!" katanya dengan tegas dan diapun lalu menghampiri puteranya. Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lalu keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata di luar telah menanti sebuah kereta. Bi Cu dan puteranya dipersilakan naik kereta yang lalu dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.
Demikianlah keterangan yang diperoleh Sin Liong dari pengurus losmen yang masih biru-biru mukanya. Mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.
"Di manakah rumah Pak-san-kui ini?" tanyanya kepada pengurus losmen.
Pengurus losmen itu menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadipun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara."
Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Kenapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagaimana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, dan mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu" Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ah, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, dan memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya!
Setelah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mergka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.
"Liong-koko, mana dia" Mana isterimu dan puteramu?" tanya Kui Lin.
"Mari kita bicara di dalam," kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan.
Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu. "Inilah sampul undangan itu," katanya sebagai penutup dan memperlihatkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka.
"Sungguh kurang ajar!" seru Kui Lan.
"Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?" seru Kui Lin.
Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut. "Hemm... Pak-san-kui..."
"Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?" tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu.
Ciu Khai Sun menggeleng kepala. "Aku tidak pernah bertemu dengan dia akan tetapi namanya amat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga besar sekali. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main dan terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?"
"Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Dia sudah pasti berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota," kata Sin Liong.
"Ah, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali kalau dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?"
"Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu" Aku akan menyelidiki ke sana."
"Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!"
"Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, amat tidak baik kalau sampai engkau tersangkut, apalagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulan saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku."
Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong lalu berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh kekhawatiran dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin.
Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biarpun istana kaisar sekalipun akan dimasuki kalau perlu!
Beberapa orang perajurit penjaga segera maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, "Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?"
Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, "Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!"
Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.
"Tunggulah... tunggulah kami melapor..." kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam.
Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak isterinya berada di dalam gedung itu" Masih dalam keadaan selamat"
Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.
"Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?" tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.
Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si pembesar itu sendiri!
Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu" Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.
Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. "Benar, aku bernama Cia Sin Liong."
"Hemmmm..." Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. "Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?"
Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.
"Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kauikuti kami untuk menghadap beliau!" setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.
"Pendekar Lembah Naga, mari kauikuti kami! Pendekar Lembah Naga" Ha-ha-ha!" Si Cambang Bauk tertawa bergelak.
Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.
Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin Liong maka mereka tertawa makin keras. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria tu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua di antara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu" Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang" Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.
"Nah, di mana adanya Pak-san-kui?" tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.
"Ada... ada..., mari silakan masuk..." kata Si Cambang Bauk kini sikapnya ayak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih daripada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan" Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.
Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat, "Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!"


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia. "Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!"
Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung, pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah, kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil tersenyum lebar.
Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya, dan dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.
Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.
"Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk..." Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.
"APAKAH wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?" tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya. Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat. Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.
"Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali."
Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, "Apa yang locianpwe maksudkan?"
Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa), karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.
"Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?" Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia tertawa. "Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguhpun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba di sini, karena kebetulan sekali akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu."
Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.
"Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?"
"Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, eh, siapa tadi namamu?" tanya kakek itu kepada Han Tiong.
"Namakti Cia Han Tiong," jawab anak itu.
"Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat."
Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata, "Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!"
Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini" Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian di sini diperlakukan dengan hormat!
"Terima kasih," katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.
"Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kauanggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu."
Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong. "Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku."
"Cara aku mengundang anak isterimu, bukan" Ha-ha-ha!"
Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang memiliki kecerdikan. "Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?"
"Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kaukira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?"
"Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?" tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.
Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di acara para pepgawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata, "Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!"
"Mengujiku?"
"Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku."
Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata, "Locianpwe, kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini."
Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. "Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kiia telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap" Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.
"Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah," katanya sambil menjura. Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri" Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!
"Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?" Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata "kebaikan" itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.
"Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan," sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.
"Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!" katanya sambil menggerakkan huncwenya dan tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.
"Teecu bertiga mentaati perintah suhu." kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong.
"Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!"
Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan.
Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. "Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung." Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.
"Hemm, kalian hendak maju berbareng?" Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jerih dan ragu.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang." kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut.
Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.
Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.
Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!
"Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!" bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.
Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah "mengoper" tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang dialah sekarang tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.
Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.
Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.
Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin Liong terdetak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Lioing menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, hal itu akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat" Bantuannya tentu tidak berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Biarpun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Hebat juga kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.
Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar ini sendiripun terguling roboh!
"Ayah!" Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.
"Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah," katanya sambil menghampiri isterinya dan begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!
Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.
Maka diapun cepat menjura. "Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dari menjadi sahabat sicu!"
Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini.
Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong.
Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, ketika meninggalkan taman itu, Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan membenarkan ayahnya.
Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja.
"Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?"
Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu."
"Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku."
Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.
"Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu a
Pendekar Cacad 2 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 5
^