Pendekar Sadis 4

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


nugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekaii jangan kauanggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikitpun tidak mengapa."
"Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka" Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman."
"Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas."
"Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?" Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.
"Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga."
Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. "Benarkan, paman" Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?"
"Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai..."
"Ahhh...!" Thian Sin berseru heran. "Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?"
"Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu."
"Bentrok" Antara saudara misan dan saudara angkat?"
"Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka..."
"Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!"
kembali hwesio itu menarik napas panjang. "Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal, sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu..."
"Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!" Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, "Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!"
"Hal itu bukan tidak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia."
Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To.
"Kata-kata bijasana tidak berbunga
kata-kata berbunga tidak bijaksana,
sang budiman tidak melawan
yang melawan tidak budiman,
sang arif bijaksana tidak terpelajar
yang terpelajar tidak arif bijaksana!"
Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu, disambut suaara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.
"Bagus sekali...!" Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka. "Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?"
Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio, "Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka" Aku mempelajari kata- kata nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya."
"Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?"
Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.
"Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya."
"Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?" Orang itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.
"Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan."
Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. "Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi : Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?"
Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. "Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?"
"Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?"
Thian Sin menggeleng kepala. "Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti."
"Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?"
"Namaku Thian Sin, she Ceng..."
"She Ceng?" Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.
"Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna..."
"Lie Seng Koko...!" Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.
"Apa" Siapa..." Omitohud...!" Dia merangkapkan kedua tangan depan dada den memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, "Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!"
"Pendekar Lembah Naga...!" Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata torbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.
"Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw..."
Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan "mendiang" itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main. "Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku..." demikian bisiknya.
"Ayah, siapakah dia?" Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.
Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya, "Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu."
Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.
"Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam."
Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di situ. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata, "Engkaupun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!" Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan diapun ikut masuk bersama-sama.
Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.
Hong San Hwesio menarik napas panjang. "Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa..."
Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.
"Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini." Hwesio itu mengakhiri penuturannya.
Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya, hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!
Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!
"Akan tetapi mengapa" Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?" Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.
"Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?" Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apablia diingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga).
"Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan" Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?"
Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.
"Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian..." kata Hong San Hwesio sambil menghela napas.
"Aku... aku tahu..." Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!
Sin Liong merangkul pundak anak itu. "Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu."
Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur. "Dulu ayah dan ibu pernah memberi tehu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai." Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. "Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!"
"Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!" Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan. Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Ah... paman... ampunkan saya...!"
Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.
"Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan" Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!"
"Omitohud... itu baik sekali...!" kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik! "Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya."
Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan kepada Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.
Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang bahwa Thian Sin telah memperoleh "tempat" yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.
"Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati."
"Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku," jawab pendeta itu dengan gembira.
Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. "Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini."
"Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian" Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!"
Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.
"Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian." demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu. Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.
Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.
"Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin." Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam.
Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.
Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengaiarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan. Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga" Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.
Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.
Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amal lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang. Kalau sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.
Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang aseli dan kokoh kuat.
Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali, terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa.
Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!
Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan. Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya!
Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata, "Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka."
Sin Liong merasa girang sekali. "Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka."
"TENTANG Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni."
"Dan bagaimana dengan Thian Sin?" tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.
"Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan lengan Han Tiong. Justeru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia pandai menyeilmuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya."
Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi! "Baiklah, twako. Akan kuperhatikan dia."
"Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kauamati hal itu."
Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu.
Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.
"Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka."
Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya seperti terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu.
Di sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan girang mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu. Dia pun amat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng daripada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu.
*** Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini" Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini" Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu. "Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun."
Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.
"Selamlat datang, Cia-kongcu!" Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. "Apa kabar" Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!"
Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras!
Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi" Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!
"Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?" tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya.
Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan. "Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini kokoh kuat dan... menyeramkan!"
"Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir..."
Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu!
Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu.
Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin. Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri.
Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Apalagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan hati penuh kagum. Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini.
Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu -malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda. Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong. Han Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar.
Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga!
Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini"
Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya" Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita"
Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu" Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya.
Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu.
Bagaimana haslinya" Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup!
Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu" Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari" Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung" Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu" Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu" Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu" Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.
Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!
Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.
Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang amat cepat, apalagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka dan memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang amat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh.
Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersamadhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersamadhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, melainkan untuk melatih pernapasen dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja.
"Pada saat-taat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mujijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan samadhi di saat-saat seperti itu," demikian antara lain Sin Liong berkata. Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka, di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (samadhi). Ketika mereka dididik oleh Hong San Hwesio mereka secara terpaksa hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam makanan ini pun terdapat perbedaan antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, sungguhpun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak, sungguhpun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja. Memang sudah nampak perbedaan besar antara dua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terialu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya.
Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka. Dalam usia seperti ini pada umumnya berahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati kalau melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinat mata lain, dengan denyut jantung berbeda daripada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya.
Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah sesuatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah berahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin. Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam mayapada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembangbiakan di setiap jenis mahluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini.
Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dulu terlanda gairah berahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnyalah yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Kini dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau kalau dia, yang suka bermain-main adu jengkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jengkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau di waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak dan kemudian lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu dalam hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali dalam renungan!
Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan berahi ini. "Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti dalam tubuh," demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. "Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin."
Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Dan memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembangbiakan manusia dan untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembangbiakan manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada dalam diri setiap orang, gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah.
Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini, dengan jalan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci, berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara!
Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan maupun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut. Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan, merupakan suatu kewajaran" Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan anugerah yang berlimpah" Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Dan seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka, bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan!
Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan.
Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka diapun cepat-cepat bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah berahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan pada suatu malam, dalam mimpi, gairah berahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah ketika melihat betapa celananya menjadi basah! Teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio sudah memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu dan dia menasihati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apalagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri!
Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, ditambah khayalan-khayalan tentang hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batin dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan tentang hubungan sex, maupun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani.
Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu mengatakan bahwa perbuatan itu jahat, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu.
Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan.
"Sin-te, apakah yang terjadi padamu" Engkau nampak begitu lesu dan muram?" tegurnya dengan halus dan penuh perhatian.
Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya.
"Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi... aku bermimpi dan... dan aku telah... celanaku basah..." Dia menerangkan dengan gagap, sungguhpun biasanya dia tidak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkatnya yang amat disuka dan dihormatinya itu.
Berkerut alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Betapapun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasihat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah mimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga.
"Aih, Sin-te... bagaimana dapat terjadi itu" Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?"
Thian Sin mengangguk. "Kemarin aku bicara dengan beberapa orang teman di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan kakak isterinya melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah datangnya khayalan dan kenangan yang terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Semalam aku sudah melakukan samadhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah..."
Han Tiong sendiri tidak pernah mengalami hal itu, maka diapun bingung. "Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasihat ayah."
"Ah, aku... aku takut, Tiong-ko..."
"Kenapa takut" Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah."
"Tapi aku... aku malu..."
"Mengapa harus malu" Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini."
Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam.
Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali.
Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?"
Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab, "Aku... aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat)."
Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh. "Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?"
Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.
"Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti dalam tubuh."
Cia Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kaualami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu.
Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran satera, mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan natsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu."
Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung. "Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah."
Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onanipun banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.
Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai "penyakit" ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi di samping itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya.
Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya. Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga "pertahanan" yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku, yang mengejar kesenangan itu tidak ada, ying ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu.
Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.
Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya.
Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanyapun semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini "alim" bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin.
Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu.
"Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kaupun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang."
Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali.
Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini membuat mereka ingin mengaso.
"Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te," kata Han Tiong. Adiknya setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila di antara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya.
Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena dua orang itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi.
Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengah hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat! Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun, sgdikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan selelah mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih.
Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru. "Ada orang mengintai kita!"
Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang!
Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapaa adik angkatnya masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.
"Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?" Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat.
"He" Suara apa" Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa..." kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.
"Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!" kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri.
Semenjak terjadinya periatiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita" Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun!
Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannyapun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih "hijau" maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang.
Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat melihatnya.
"Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!" terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.
"He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!"
"Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!" bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali.
"Mana bisa" Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?" goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya.
"Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?" goda pula seorang lain.
Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut. "Aiihh, pertanyaan macam apa yang kaukatakan ini" Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku" Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?"
"Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?"
"Dan engkau tergila-gila kepadanya?"
"Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?"
Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, "Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang."
Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa, lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai.
Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata, "Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu..."
Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, "Aku pergi dulu, hi-hik..."
"Hi-hi-hik..."
"Hi-hik..."
Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri.
"Nona Cu Ing..."
Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.
"Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu..." kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali!
"Cu Ing... mengapa kau lari dariku" Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padamu..." kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu.
Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa diri. "Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?"
"Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. Kauraba jantungku ini..." Dia membawa tangan itu menempel dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya.
"Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut..." bisiknya.
"Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta" Aku cinta padamu dan aku tahu babwa engkaupun cinta padaku..."
"Bagaimana kongcu tahu...?" Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.
"Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu..."
"Aku... aku takut, kongcu..."
"Takut apa" Takut kepada siapa" Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing" Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!"
"Aihhh... kongcu..."
"Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara..."
Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. "Kongcu...! Jadi kau... kau tadi... kembali engkau mengintai..." wajah yang manis itu menjadi semakin merah.
Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu..."
"Ihh, kau nakal... kongcu!" Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang.
Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran sinar yang mersa. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara.
"KONGCU... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku."
"Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing..." kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya.
Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah.
Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, agak berdekatan.
"Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?"
Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum.
"Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!" Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.
Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada saling sentuh dan saling genggam tangan saja!
Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya. Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati!
Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.
Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat.
Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiripun menemaninya.
Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu.
Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.
"Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?" tanyanya dengan suara ramah.
Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kausampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap mendengarkan." Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya.
Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata. "Maafkan saya, Cia-taihiap, saya... saya datang untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu..."
Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. "Tentang Thian Sin" Apakah yang terjadi?" tanya Sin Liong.
Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara, "Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut." Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya.
"Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah." Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.
"Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?" Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.
"Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu..." Kembali dia berhenti.
Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, "Aih, Bhe-twako, apa salahnya dengan itu" Antara kami dan twakopun terjalin hubungan akrab, bukan" Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?"
"Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima kasih, akan tetapi..."
"Akan tetapi bagaimana?" Bi Cu mendesak.
"Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran..."
"Berpacaran" Apa maksudmu?" Sin Liong bertanya kaget dan heran.
"Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya khawatir sekali, taihiap..."
"Huhhh!" Bi Cu mendengus.
"Hemmm...!" Sin Liong menggeram.
Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.
"Lalu sekarang, apa yang bendak kaulakukan Bhe-twako?" tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus, sungguhpun kini bercampur nada prihatin.
"Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa..."
"Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kaulakukan sekarang?"
"Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan."


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. "Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasihatinya."
Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu.
"Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami taihiap..."
"Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako," jawab Sin Liong.
Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih, "Salahkah dia...?"
Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.
"Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta" Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain."
Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya.
Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu.
Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik, "Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?" Memang semenjak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang kepada pemuda itu.
"Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?"
"Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?"
"Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin."
Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.
"Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutken hati Thian Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.
"Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah." jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu.
Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, "Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?"
Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis
Pendekar Kembar 12 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Pendekar Laknat 1
^