Pendekar Satu Jurus 13

Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Bagian 13


melangkah pergi.
Tapi sebelum ia sempat bergerak, diiringi suara dentingan sesosok bayangan mengadang di
depannya. "Mau pergi," jengek Siang It-ti.
Hui Giok mengerling sekejap, "Aku tak boleh pergi?"
Baik sikap maupun waktu bicara sikap Hui Giok tetap tenang, begitu berwibawa dan demikian
yakin pada diri sendiri. hal ini membuat Kim-keh Siang It-ti jadi tertegun.
Dja tak menyangka pemuda lemah lembut yang berpisah dalatn beberapa tahun saja sekarang
sudah demikian gagah dan kerengnya.
"Mau pergi" Tentu boleh saja." katanya kemudian setelah merenung sebentar, "cuma aku
ingin tanya dulu kepadamu. kesalahan apakah yang di perbuat anak buahku si jengger ayam Pau
Siau-thian sehingga kau menjatuhken hukuman mati kepadanya."
Hui Giok melongo setelah mendengar tuduhan "Pau Siau-thian telah mati?" desisnya dengan
tergagap. "Ya, dia mati terbunuh di lereng bukit Hok lan san" sahut Siang It-ti dengan gusar, "seandainya
tidak cepat kutemukan, mungkin jenazahnya sudah habis diganyang binatang buas . ."
Hui Giok terkesiap, "Apakah di sampingnya juga terdapat mayat Sin-lu tui-hong?" tukasnya.
"Hehehe, nyata kau sudah tahu, bila sekarang tidak memberi penjelasan yang memuaskan,
hm hari ini kau harus ganti nyawanya," seru Kim-keh Siang It-ti sambil tertawa dingin.
Dengan kening berkerut tongkatnya mengetuk tanah sehingga salju muncrat berhamburan
menodai baju Hui Giok yang berwarna hijau itu.
Hui Giok menghela napas, seakan-akan tidak melihat akan perbuatan orang ia berkata dengan
nada berat, "Sungguh tak nyana Sin jiu Cian Hui membinasakan juga mereka berdua"
"Hehehe, kau hendak melimpahkan kesalahan ini kepada Cian Hui?" Siang It-ti tertawa dingin.
"Kau kira aku jeri terhadap Cian Hui" Hari ini akan kujagal dulu dirimu, kemudian baru kubikin
perhitungan dengan Cian Hui!"
Belum selesai perkataannya, tongkat langsung diayun ke depan, dengan deru angin keras ia
hantam batok kepala Hui Giok.
Suasana jadi gempar lagi, jeritan kaget menggema di sana sini, kawanan jago sama tertegun
mereka tak mengerti mengapa Kim-keh Siang It-ti yang tergabung dalam Perserikatan orangorang
Kanglam berani menyerang Bengcunya.
Hui Giok mengegos lalu menyelinap di belakang lawan.
"Kau sudah gila?" hardiknya.
"Jangan urus aku gila atau tidak, hari ini kau harus bayar dulu nyawa Pau Siau-thian" jawab
Siang It-ti seperti orang kalap.
Di antara deru angin serangan yang dahsyat secara beruntun dia lancarkan tiga kali serangan
mengincar kepala, pinggang dan kaki.
Begitu hebat serangan tersebut, tampaknya dia benar-benar bernapsu membinasakan Hui
Giok. Seringan daun Hui Giok melayang kian kemari, meski hebat ketiga serangan itu toh
semuanya dapat dihindarkannya dengan manis.
Tak kusangka Kim-keh Siang Tt ti adalah seorang laki-laki berdarah panas. demikian pikir Hui
Giok, "untuk membalaskan kematian seorang anak buahnya ia berani bertarung dengan nekat!"
Setelah ingatan tersebut terlintas, timbul rasa simpatinya kepada orang itu maka iapun enggan
membalas serangan lawan, dengan lincah dia mengegos ke sana kemari, pemuda itu berharap
lawan akan tahu diri dan mundur teratur.
Siapa sangka Kim-keh Siang It-ti seperti tidak paham maksud baik lawannya, bukan
menghentikan serangannya dia malah mencecar lebih gencar.
Suasana semakin gempar, malah ada di antara kawanan jago itu mulai mencaci-maki.
"Tak tersangka si Ayam Emas adalah orang gila" Hanya seorang anak buahnya dia berani
menyerang Bengcunya sendiri?"
Watak manusia umumnya banyak yang lebih suka menjaga diri dan tidak mencampuri urusan
orang, demikian pula dengan kawanan jago persilatan, walau ada di antara mereka berteriak, tapi
jumlahnya kecil sekali, lebih banyak yang diam dan menjadi penonton belaka.
Apalagi semua orang juga melihat sejak tadi Hui taysianseng hanya bersikap mengalah,
seandainya sungguh2 berkelahi tak nanti Kim-keh Siang it-ti mampu bertahan dalam sepuluh
gebrakan. Di mana deru angin serangan menyambar bunga salju berhamburan ke mana2 tapi saat itu
jangankan tongkatnya, percikan bunga salju pun tak mampu menempel baju Hui Giok dengan
gerakan yang indah dan tenang pemuda itu bergerak kian kemari di antara bavangan tongkat.
Seandainya ia tidak menjabat Bengcu, umpama ia tidak di hadapan kawanan jago yang begitu
banyak, sungguh pemuda itu ingin pergi saja dari situ ingin menghindari tindakan nekat si Ayam
Emas yang mirip orang gila itu.
Selama pertarungan berlangsung, Leng kok mg-bok hanya berpeluk tangan menonton jalan
nya pertempuran tapi akhirnya Leng Han liok berbisik juga, "Lebih baik kita yang mewakili anak
Giok menyelesaikan pertarungan ini!"
"Jangan!" Leng Ko bok menggeleng, "biar ia taklukkan sendiri orang ini, agar di kemudian hari
dapat dijadikan tangan kanannya."
Sementara mereka ber-bisik2, Kim-keh Siang It-ti telah melancarkan lagi tiga kali serangan
berantai, agaknya ia sudah menyadari kemampuan sendiri, ia tahu kungfunya tak mampu
menundukkan lawan, sekilas rasa cemas dan gelisah melintas di wajahnya, matanya celingukan
ke sana kemari seperti sedang menantikan sesuatu, jangan2 ia telah siapkan bala bantuan, hanya
tak tahu siapa yang diundangnya itu.
Kegaduhan tiba2 terjadi di bagian luar kerumunan sana, menyusul bagaikan gulungan ombak
mereka sama menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.
"Aneh, kenapa Na Hui-hong juga datang?" bisikan segera ramai tersiar di sekitar arena.
Begitu terpisah, gelombang manusia itu segera merapat kembali, Jit-giau tui-hun Na Hui hong
benar-benar telah muncul di situ, dia mengenakan pakaian ketat, sebuah kantung kulit tergantung
di pinggangnya, isi kantung itu jelas adalah senjata rahasia andalannya.
Melihat dandanannya itu, hati semua orang tergerak mereka tahu kedatangan orang she Na ini
jelas siap untuk bertempur melawan seseorang.
Melihat kehadiran si jago itu, Leng Han-tiok berkerut dahi, bisiknya: "Jika orang ini berniat
turun tangan..."
"Memangnya kubiarkan dia berbuat sesukanya?" sambung Leng Ko-bok dengan cepat
Betul juga, Kim-keh Siang It-ti memang sedang menunggu bala bantuan, terbukti wajahnya
lantas berseri begitu Na Hui-hong muncul di situ, setelah melancarkan tiga kali serangan berantai,
teriaknya: "Na-toako, kau sudah datang" Bagus, bagus sekali! Coba lihat, bajingan cilik yang buas ini,
masa pantas kita jadikan Bengcu, orang-orang Kanglam" Ayo kita basmi saja kunyuk kecil ini dari
muka bumi" Diam-diam Hui Giok menghela napas, pikirnya "Aku mengira dia adalah seorang lakilaki
sejati yang berjiwa panas, demi anak buahnya yang mati terbunuh ia jadi kalap, Ai, tak
tahunya dia hanya menggunakan peristiwa itu sebagai alasan saja, kenapa manusia ini
mempunyai jiwa yang sempit dan tabiatnya yang rendah?"
Sedingin es air muka Jit-giau-tui hun Na Hui-hong mendengus dan pelahan masuk ka tengah
arena. "Jit-giau tui-hun memang benar bala bantuan yang diundangnya," bisik Leng Han-tiok.
Leng Ko-bok hanya mengawasi Na Hui-hoag, tidak berkata juga tidak bergerak.
Pada saat itu, Kim-keh Siang It-ti tiba-tiba merasakan pancaran tenaga pukulan kuat dari
telapak tangan lawan, ia terkesiap dan segera berseru, "Na toako..."
"Bukankah kau tidak setuju Hui-taysianseng menjadi Bengcu Perserikatan orang-orang
Kanglam?" tanya Jit-giau tui-hun Na Hui-hong dengan dingin "Benar, ia tak pantas," jawab si Ayam
Emas sambil menahan serangan Hui Giok.
"Hehehe, bagus sekali, bagus sekali" sahut Jit giau-tui-hun sambit tertawa dingin. Mendadak
tangannya diayun ke depan, segumpal cahaya perak segera terpancar "Awas! Senjata rahasia"
seru Leng Ko-bok cepat baru saja ia hendak menerjang maju, tiba2 terdengar jeritan ngeri
menggema di angkasa bayangan manusia lantas terpencar.
Para jago terkejut Leng-kok-siang-bok juga terkesiap.
Tampak Kim-keh Siang It-ti maupun Hui Giok masih berdiri berhadapan, keduanya sama-sama
tak bergerak. Akhirnya senyuman menyeringai yang memedihkan hati menghiasi bibir Kim-keh Siang It-ti.
dengan tangan gemetar ia menuding Na Hui hong, lalu berseru dengan tcrputus-putus, "Kau... kau
sungguh keji..."
"Trang", belum habis perkataannya tongkat bajanya terjatuh ke tanah, menyusul tubuhnya
bergontai ke sana kemari seakan-akan hendak menabrak ke arah Jit-giau tui-hun.
Na Hui-hong tertawa dingin bentaknya "Hm kau tidak taat pada peraturan dan berani
mengkhianati Bengcu dosamu tak terampunkan, apa lagi yang kau pikirkan di sini"
Suatu pukulan dahsyat mendadak dilontarkan Kim-keh Siang It-ti yang sedang melangkah
maju terhajar telak, tubuhnya tergelepar di tanah diiringi jeritan kesakitan setelah bergulingan ke
samping lalu tak bergerak lagi.
Perubahan ini jauh di luar dugaan siapapun, saking kagetnya kawanan jago itu berdiri
terkesima, tak seorangpun mengeluarkan suara.
Lebih7 Hui Giok, ia ^termangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo
Selesai membereskan rekannya, Jit-giau-tm hun bertepuk tangan, lalu menyepak satu kali
mayat Siang It ti, setelah itu, sambil tersenyum dia menyapa, "Bengcu, apakah engkau kaget?"
"Kau...kau..."
"Mengkhianati persekutuan sama dosanya seperti menghianati perguruanku" ujar Jit-giau-Tui
hun Na Hui-hong dengan suara berat, "manusia berdosa macam begini wajib dibunuh oleh siapa
pun di dunia persilatan ini, Bengcu, walaupun engkau berhati mulia dan bajik, tapi tidak
sepantasnya kau ampuni manusia bejat yang dosanya tak terkirakan besarnya ini."
Hui Giok tertegun, ia tak mampu menjawab. sambil menghela napas, bisiknya, "Tapi tidak per
kau bertindak seganas itu" Jit-giau-tui-hun tidak berbicara lagi, ia berpaling sambil menggapai dan
kerumunan orang lantas muncul dua lelaki kekar yang segera menggotong pergi jenazah Kim-keh
Siang It-ti. Seorang jago persilatan yang selama hidupnya berwatak angkuh, suka mencari nama akhirnya
harus tewas dalam keadaan yang mengenaskan diam2 semua orang ikut gegetun, tapi tentu saja
tiada seorangpun yang berani buka suara, karena siapa saja yang berani mengucapkan sepatah
kata yang membantu si Ayam Einas berarti pula memusuhi Perserrkatan orang-orang Kanglam
yang berpengaruh itu.
Pihak Hui liong-piaukiok serta konco-konconya sudah tentu merasa gembira dengan terjadinya
peristiwa ini, sebab bila antara sesama anggota Perserikatan orang-orang Kanglam sampai terjadi
saling membunuh, yang bakal menarik keuntungan adalah pihak Hui liong-piaukiok.
Leng-kok siang-bok kembali saling pandang muka, masih sangsi dan curiga, mereka tahu Jit
giau tui hun masih mempunyai rencana lainnya, hanya saja kedua orang itu merasa kurang
leluasa untuk ikut campur urusan rumah tangga" Perserikatan orang orang Kanglam.
Diiringi senyuman Jit-giau-tui-hun mengawasi anak buahnya menggotong pergi jenazah Siang
It ti sementara itu kerumunan manusia mulai bubar, tiba-tiba sebilah pedang tanpa menimbulkan
suara menusuk ke bahu orang she Na itu.
Dengan terkejut Na Hui-hong berputar badan sambil membentak, "Siapa?"
Apa yang dilihatnya adalah Tonghong Kang dan Tonghong Ouw dengan pedang terhunus dan
tersenyum dingin berdiri berjajar di belakangnya.
Melihat itu, Hui Giok menghela napas, ia tahu urusan belum selesai, terpaksa ia batalkan
niatnya untuk pergi.
"Hehehe, kukira siapa" Rupanya Tonghong saauhiap berdua?" seru Jit-giau tui-hun sambil
terisi dingin, "sejak kapan kalian belajar melukai orang dengan cara menyergap dari belakang"
Kepandaianmu ini sungguh sangat mengagumkan." nadanya keras, ucapannya tajam. memang
tak malu dia disebut seorang kawakan Kangouw.
Sedingin salju air muka Tonghong-hengte mereka tidak terpengaruh oleh sindiran itu.
"Hm, masih terhitung sungkan caraku menghadapi manusia yang suka main licik, kalau tidak
apa kaukira ada kesempatan bagimu untuk bercakap-cakap dengan kami berdua?" kata Tonghong
Kang ketus. "Hahaha, kalau begitu, aku harus berterima kasih atas kemurahan hati kalian!" Jit-giau-tui hun
Na Hui liong tertawa lantang.
"Kurangi sikap tengikmu itu di hadapan kami tak perlu bersilat lidah," kata Tonghong 0uw.
"coba terangkan apa maksudmu memerintahkan anak buahmu menyebarkan kata-kata busuk"
jika tidak kau terangkan, hm, boleh kau rasakan ujung pedangku, aku tak akan bersikap sungkansungkan
lagi seperti tadi."
Jit-giau-tui-hun Na Hiu-hong seolah-olah bingung dan menunjukkan wajah tidak mengerti.
"Hei, persoalan apa yang kau maksudkan" serunya, "aku tidak mengerti akan perkataanmu
itu." Tonghong Kang tertawa dingin "Hehehe, di depan anak buahmu kau telah mengaku terus
terang sekarang kau mau mungkir lagi" Ayo jawab, bukan kah mereka yang mencaci maki kami
dari tempat persembunyiannya adalah anak-buahmu?"
Jit giau-tuj-hun Na Hui-hong menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia
mengangguk. "Benar, mereka adalah anak buahku dan akulah yang memerintahkan mereka
berbuat demikian!"
Pengakuan yang terus terang ini malah membuat semua orang melengak, siapapun tidak
menyangka dia akan bersikap demikian.
Tonghong-hengte saling pandang sekejap kemudian Tonghong Kang menggetarkan pedangku
dan berseru dengan marah. "Bagus, kalau memang engkau yang menjadi dalangnya, ada dua
cara boleh kau pilih, Pertama, berlutut di depan kami dan minta maaf, kedua, cabut senjatamu dan
berduel dengan kami!"
Air muka Jit-giati-tui-hun sama sekali tidak berubah, dia malah bertanya. "Ke mana perginya
orang-orang itu" Sudah mati semua di ujung pedang kalian?"
"Mereka kan cuma menjalankan perintahmu, tentu saja kami tak bisa menyalahkan mereka"
kata Tonghong Kang.
"Tapi aku juga hanya menjalankan perintah orang, apakah kau akan menyalahkan diriku?"
Mencorong sinar mata Tonghong Kang, hardiknya "Perintah siapa" siapa yang memberi
perintah padamu" Apakah Sin-jiu Cian Hui, atau..."
Tiba-tiba ia membungkam seperti tak sengaja mengerling sekejap ke arah Hui Giok. Jit-giau tui
hun Na Hui-hong menengadah dan terbahak-babak "Yang memberi perintah kepadaku bukan
orang lain, ialah ayahmu sendiri, Tonghong-pocu!"
Mula-mula Tonghong hengte tertegun menyusul sambil menggetarkan pedang mereka
membentak gusar "Keparat, kau berani mempermainkan kami! Cabut pedangmu dan bersiaplah
menerima kematianmu."
Jit giau tui-hun kembali menengadah sambil tertawa tergelak "Hahaha! kalau kalian percaya
pada perkataan orang lain, kenapa tidak percaya pada perkataanku Aneh benar!"
Setelah berhenti tertawa, lalu katanya lagi "Nah masa kalian boleh percaya setiap perkataan
tanpa bukti" Memangnya aku Na Hui-hong adalah manusia macam begitu?"
Dengan tertegun kedua saudara Tonghong kemudian saling pandang sekejap, pelahan
pedang mereka diturunkan.
Leng Han-tiok tertawa dingin, "Tajam benar mulut orang ini!"
"Ya, manusia begini memang tak bisa melakukan pekerjaan baik, justeru pekerjaan busuk tak
habisnya dilakukan, memang paling sulit melayani orang seperti ini," sambung Leng Ko bok.
Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara nyaring, tapi Jit-giau-tui-hun pura-pura tidak
mendengar, sementara itu kedua saudara Tonghong sudah menyimpan kembali pedangnya
dengan tersipu-sipu setelah melirik sekejap ke sekeliling tempat itu, tanpa mengucapkan sepatah
katapun mereka berlalu dan situ.
Na Hui-hong terbahak-bahak, kesempatan itu di gunakan mengejek lagi "Tonghong-siauhiap,
lain kali bila hendak menuduh orang, jangan lupa memberi kabar dulu kepadaku."
Tonghong Ouw putar badan dengan marah tapi cepat ditarik pergi Tonghong Kang,
Bagaimanapun mereka berdua memang anak murid golongan putih, cuma sayang
pengalamannya masih cetek.
Seperginya kedua orang itu, Na Hui-hong juga berhenti tertawa, katanya seraya berpaling
"Bengcu akan berdiam di sini ataukah akan melanjutkan perjalanan?"
"Aku bermaksud mencari rumah penginapan" jawab Hui Giok setelah berpikir sebentar.
Na Hui-hong tersenyum, katanya., "Jangan harap Bengcu akan mendapatkan rumah
penginapan, bukan saja semua hotel di kota Han ko sudah penuh, penginapan di kota Han yang
pun tak ada kamar kosong"
"Lantas. . " dengan dahi berkerut Hui Giok melirik sekejap ke arah kedua Leng bersaudara.
Na Hui-hong tersenyum "Di luar kota sana ada sebuah rumah kosong apakah Bengcu
bersedia menginap di sana" Bagaimanapun jua dalam beberapa hari semua urusan tentu akan
beres." "Bagus, Cuma. . ."
Sebelum selesai ucapan Hui Giok, mendadak nampak empat ekor kuda berlari datang, semua
orang yang berkerumun di jalan raya segera menyingkir ke samping.
Keempat penunggang kuda itu adalah laki-laki kekar berwajah kereng, terutama laki-laki yang
berada paling depan, pada tangan kanannya memegang sebuah panji besar berhuruf kuning
dengan dasar hitam panji itu berkibar terembus angin.
Hui Giok mundur beberapa langkah, ia lihat panji itu bersulamkan delapan ekor naga emas
yang saling bergumul, di tengahnya tertera sebuah huruf "Tham" yang besar.
"Pantas semua jago persilatan memberi jalan" batinnya, "rupanya orang kepercayaan Liongheng
put-ciang yang datang."
Begitu merapat ekor kuda itu berada di tengah jalan raya, penunggang yang berada paling
depan itu lantas berseru dengan lantang, "Tham-congpiau-tau ada perintah, semua saudara yang
tergabung di bawah komando Hui liong-ki harap segera bebenah setiap saat siap menanti perintah
untuk berangkat. Kegaduhan kembali terjadi ada yang dari jalan raya segera lari masuk ke rumah,
ada pula yang dari dalam rumah lari ke jalan, banyak suara berkumandang di sana-sini.
Perintah diteruskan ujung jalan yang lain, k lainnya lagi hingga d^" garan seruan itu "BemgcuP
fcatn ngan mata berki1 kt muna?"
***********************
Hal 39 robek sebagian
***********************
dunia persilatan, katanya Bengcu mempunyai sakit hati yang amat besar pada Tham Beng,
entah bagaimana rencana Bengcu selanjutnya" Apakah membutuhkan bantuan Siaute?"
***********************
Hal 40 robek sebagian
***********************
Ia tertawa parau, "Bagaimana pun perkenankanlah Siaute membawa Bengcu ke tempat
peristirahatan"
Baru selesai ia berkata. sudah ada belasan laki-laki yang berkerumun dan empat penjuru,
mereka menjura seraya berkata, "Hamba pun anggota Perserikatan orang orang Kanglam, karena


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedudukan yang rendah selama ini tak berani berbicara dengan Bengcu. kalau Bengcu bermaksud
menginap disini, hamba rela memberikan kamar kami untuk Bencu."
Sikap orang2 itu bukan saja sangat menghormat, bicaranya juga gugup dan takut, seperti
seorang murid yang berbicara dengan gurunya yang kereng.
Kembali sinar mata Jit-giau tui-hun berkilat, tampaknya ia heran mengapa orang2 itu begitu
hormat terhadap Hui Giok.
"Tidak perlu, aku telah menyiapkan tempat penginapan untuk Bengcu toako!" katanya dengan
tersenyum. Belasan orang itu menghela napas panjang, seolah-olah merasa kecewa karena tak dapat
menyumbang baktinya bagi Hui-taysianseng.
Hui Giok sangat terharu, dengan rasa terima kasih yang meluap dia berkata, "Terima kasih
banyak atas perhatian saudara sekalian, terima... terima kasih."
Sekalipun hanya dua patah kata yang sederhana, tapi lantaran diutarakan oleh seorang Bengcu
seperti Hui Giok, kata-katanya itu menimbulkan perasaan puas dalam hati orang-orang itu.
Diam-diam Leng kok siang bok menghela napas. mereka merasa bangga dan gembira.
Selama hidup kedua orang ini tak pernah menikah, apalagi punya anak, juga tak punya murid
dan tak punya teman, tapi sekarang mereka telah menganggap Hui Giok sebagai putranya,
muridnya, sanaknya dan kawannya. Tentu saja mereka ikut gembira menyaksikan orang lain
bersikap menghormat kepada Hui Giok, tapi teringat keadaan sendiri yang sengsara dan selama
hidup belum pernah mengalami keadaan seperti itu timbul juga rasa sedihnya.
Habis Hui Giok bicara, belasan orang itu serentak memberi hormat, sampai lama sekali
mereka masih berdiri di situ
"Menyingkir!" tiba-tiba Leug Han-tiok membentak berbareng itu terdengar desingan angin
tajam mendesir-desir, puluhan anak panah bagaikan hujan menyambar tiba, ada yang mengarah
Hui Giok ada yang mengincar Na Hui-hong, malah ada pula yang mengarah belasan orang yang
sedang memberi hormat itu.
Hui Giok terkesiap, ia berpekik nyaring, bukan menghindar dia malah menerjang ke arah
datangnya hujan anak panah itu.
Baginya bukan saja sulit untuk menghindari serangan anak panah ini, tapi kawanan laki-laki itu
pasti akan terluka oleh serangan anak panah sekarang ia menyongsong datangnya serangan itu,
sudah tentu tindakan ini sangat membahayakan jiwanya sendiri.
Begitulah, dalam sekejap mata puluhan batang anak panah yang meluncur tiba itu
mengancam sekujur badannya
Tanpa pikir panjang Leng-kok-siang-bok ikut menerjarg ke muka, sementara kawanan laki-laki
itu ada yang berguling ke samping untuk menyelamatkan diri ada pula yang ikut menerjang maju
untuk menyelamatkan Hui Giok dengan mengumpankan diri di depan pemuda tersebut.
Pekikan Hui Giok terasa menggema diangkasa, secepat kilat ia lepaskan pakaiannya, di antara
deru angin yang menyambar-nyambar, sebagian besar anak panah itu berhasil disapu rontok,
sedang sisanya karena terpengaruh oleh daya tolak bajunya dengan mudah bisa dihindari.
Perubahan ini terjadi tanpa pertanda sebelumnya dan berakhir dalam sekejap, saat itulah
jeritan kaget baru terdengar di sana sini.
Sekilas perasan terima kasih terlintas pada wajah jit-giau-tui-hun, sementara itu dari atap
rumah tampak ada puluhan orang laki-laki bertengger di sana, di antaranya ada dua orang berbaju
hijau, sedang lainnya memakai baju berwarna kuning tangan masing-masing memegang busur,
tapi entah bagaimana tak seorang pun membidikan panah lagi, semuanya hanya memandang ke
arah Hui Giok dengan tercengang.
Keadaan Hui Giok kini cukup mengenaskan bukan saja jubah panjangnya koyak-koyak karena
digunakan untuk menghalau anak panah, malah baju yang menempel di tubuhnya juga robek
karena terburu-buru membuka baju tadi.
Ujung baju yang robek berkibar terembus angin, meski rasa kaget masih nampak menghiasi
wajahnya, tapi dalam pandangan semua orang, tiada orang seagung dia pada saat itu.
Na Hui-hong membentak dan segera hendak melompat ke atap rumah, tapi sebelum berbuat
demikian laki-laki yang berada di atas atap rumah telah melompat turun dan semuanya berlutut.
Perlahan Hui Giok menghela napas, "Ai, mengapa kalian berbuat demikian" sekalipun merasa
dendam kepadaku, buat apa melukai orang lain yang tak berdosa?"
Na Hui liong memburu maju, serunya dengan lantang "Mereka semua adalah anak buah Kim
keh-pang, dua orang yang berbaju hijau adalah Pembantu Siang It-ti, Keh-gan (mata ayam) Put
keh-hengte (Pui bersaudara)."
Seperti memahami sesuatu, Hui Giok manggut-manggut dan menghela napas, "Rupanya
kalian ingin balas dendam bagi Pangcumu Ya, aku tidak menyalahkan kalian, meski usahamu
gagal tapi, Ai pergilah kalian, lain kali toh masih ada kesempatan untuk mewujudkan keinginan
kalian ini."
Tak seorang pun di antara anggota Kim keh-pang itu berani menengadah, wajah mereka ratarata
memancarkan penyesalannya yang tak terhingga, bahkan ada di antaranya mereka
meneteskan air mata saking terharunya, mereka menyembah dan minta maaf.
Pui It-ji, salah seorang dari dua Pui bersaudara yang termasuk dalam kelompok Keh-gan (muta
ayam) berkata dengan kepala tertunduk, "Hamba sekalian tak tahu Hui-taysianseng ternyata
begini mulia, begini bijaksana, hingga kami berani melakukan perbuatan semacam ini. Kami tahu
salah dan bersedia menerima hukuman dan Bengcu."
Pui It-oh, saudaranya, juga berkata, "Bengcu begini bijaksana, hamba sekalian tak berani
berkhianat lagi, setelah menjalani hukuman, sekalipun Bengcu tak sudi, hamba tetap siap
mengabdi dan berbakti bagi Bengcu."
Hui Giok menghela napas panjang, "Ai, kalau memang begitu, cepat kalian bangun, salju amat
dingin, jangan sampai merusak kesehatan kalian".
Angin memang dingin dan berembus kencang baju Hiu Giok yang compang-camping tertiup
berkibaran bagaikan bunga2 salju, seorang laki-laki itu cepat melepaskan jubah panjangnya dan
diangsurkan ke hadapan Hui Giok.
Tak seorang pun di antara mereka yang bersuara, sebab rasa terharu yang bergolak dalam hal
mereka tak terkatakan dalam keadaan begtu jangankan cuma melepaskan jubah luar, sekalipun
kepala mereka dipenggal pun tak akan ada yang menolak.
Dengan termangu Hui Giok mengawasi laki2 di hadapannya serta anggota Kim-keh-pang
lainnya yang masih berlutut di tanah, serunya dengan terharu, "Kalian... kalian.."
Tenggorokannya seperti tersumbat dan tak sanggup berucap pula, semua orang menyaksikan
adegan ini dan menghela napas terharu, hanya Jit giau tui-hun yang diam2 tundukkan kepalanya
entah merasa sedih atau timbul rasa menyesalnya"
o o-o Hujan salju sebentar turun dengan derasnya |dan sebentar berhenti, lapisan salju yang
menyelimuti permukaan tanah sudah menumpuk sangat tebal.
Lapisan salju di luar kota jauh lebih tebal daripada di dalam kota empat penjuru yang terlihat
hanya warna putih belaka.
Bila senja tiba, dunia yang berwarna putih keperak-perakan lantas berubah menjadi putih
kelabu kalau tengah malam, yang tertampak bahkan hanya kelabu yang suram, dalam keadaan
begini sukar untuk membedakan manakah tanah ladang, manakah pepohonan dan manakah
perumahan. Keheningan menyelimuti seluruh penjuru dunia, di depan sebuah kuil yang kecil berdiri
seorang anak perempuan berusia empat-lima belas tahunan yang bertubuh ramping. Dalam
keheningan malam yang dingin ia tampak begitu kesepian dan sebatangkara.
Dalam ruangan kuil tergantung sebuah lentera kecil yang tak pernah padam, cahaya lentera
menyinari tubuhnya dan mencetak bayangannya di atas permukaan salju, namun bayangan itu
mana dapat membebaskan dia dari kelaparan, kedinginan serta kesepian"
Hanya sepasang matanya yang besar dan jeli ibaratnya bintang di cakrawala yang
memancarkan sinarnya yang berkelip-kelip. Tapi, sinar mata itu memperlihatkan pula kegelisahan
penantian. Apakah yang dinantikannya"
Tanpa berkedip dia mengawasi sederetan bangunan ramah nun jauh di sana, mendengarkan
suara manusia di balik bangunan itu yang makin lama makin sunyi, melihat sinar lampu yang
terang benderang yang makin lama makin suram.
Segulung angin dingin berembus lewat, ia bergidik dan bersin, akhirnya seperti tak tahan, ia
menggigit bibir dan menjura ke dalam seraya berkata dengan lembut "Toh-te-kong (Toapekong)
terima kasih banyak!"
Kemudian dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan ia berjalan menuju ke deretan
bangun itu. Gerak tubuhnya tidak gesit, juga tidak cepat, jelas dia tak pernah berlatih kepandaian apapun,
tapi di balik sinar matanya yang jeli dan lembut terpancar keteguhan hati serta kebulatan tekad
yang tebal. Dia menuju ke kaki dinding bangunan, menengok dinding yang tingginya hampir dua tombak,
melompat sekuatnya ke atas, tangannya meraih tembok, sayang tidak berhasil dan merosot ke
bawah. Tapi dia tak putus asa, gagal yang pertama dicoba untuk kedua kalinya, merosot lagi-diulang
untuk ketiga kalinya.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil setelah demi selangkah bocah itu merambat ke
atas. Ketika berhasil sampai di atas dinding, dia menghembus napas lega, matanya yang jeli
memandang ke halaman rumah yang hening dan diliputi kegelapan itu.
Ia menghela napas dan bergumam, "Oh, Toa koko, engkau berada di mana?"
-00000-- -OOXO0- -O0O0ODi
halaman rumah yang penuh salju Hui Giok sedang berdiri termangu di bawah pohon Yang
yang telah layu.
Udara berwarna kelabu, tiada bintang, tiada rembulan memandangi tumpukan salju yang
tersebar di empat penjuru, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, seperti juga embusan
angin puyuh yang melanda tanah ladang, sukarlah ia mengendalikan perasaannya yang bergolak.
Pada malam yang sama seperti ini, dia pernah berdiri di bawah pohon Yang dalam perumahan
Hui-liong piaukiok sambil menyesali kebodohan sendiri, membenci kebebalannya yang tak mampu
mempelajari pelbagai ilmu silat pelbagai kepandaian.
Ketika itu, ia pernah mengucurkan air mata karena sedih, mengenang kehidupannya yang
sengsara, pengalamannya yang pahit lalu beralih ke halaman rumah yang lain, iapun mengagumi
kebaikan halaman yang berada di sana, mengenang bayangan Tham Bun-ki yang ramping,
kerlingan matanya yang menakjubkan.
Dalam keadaan mengelamun demikiant sering kali muncul sebuah tangan kecil yang halus,
yang menyekakan air matanya, kemudian dengan perasaan terhibur diajaknya masuk ke dalam
rumah. Tapi di manakah tangan yang lembut itu sekarang" Masihkah menderita dalam perumahan
Hui-liong-piaukiok" Merasakan kesepian dan penghinaan"
Dengan penuh kepedihan ia menghela napas, bersumpah akan menyeka air mata yang
meleleh dari mata yang besar itu dengan tangannya. Tiba tiba ia teringat kembali mata jeli yang
muncul di antara kerumunan manusia itu. tapi dengan segera pula anak muda itu menghela napas
"Tak mungkin dia. Kalau dia, mengapa ia tinggalkan aku?" demikian gumamnya.
Juga di tengah malam dingin yang sama, ia pernah berbaring di bawah emper rumah yang
asing hanya dengan badan penat dan kecapaian setelah seharian penuh bekerja berat, ketika itu
dia harus menahan rasa dingin, lapar dan rasa sedih serta kecewa yang mencekam perasaannya
dan perasaan yang sukar ditahan, rasa rindu yang kuat dapat dilupakan. Rasa rindu yang masih
terdalam hatinya.
Tapi perasaan itu harus ditambah dengan penderitaan yang menyayat hati, sebab sasaran
yang dirindukannya telah dipisahkan oleh selapis baja yang sukar ditembusnya, dia hanya dapat
menyesali takdir yang mempermainkan dirinya kenapa ia mencintai gadis yang mestinya tidak
boleh dicintainya. Dalam pergolakan perasaan itu, tiba-tiba ia teringat kembali pada suatu kejadian
lama, itupun terjadi di tengah malam yang sangat dingin seperti sekarang ini, ketika ia terjaga
bangun dan suatu impian buruk dan tak bisa tidur lagi, didengarnya kabar tentang kematian ayah
serta pamannya. Rasa sedih dan penderitaan yang dialaminya ketika itu kini seakan-akan
berkumpul lagi dalam lubuk hatinya. Segala sesuatunya meski sudah terpisah amat jauh pada saat
ini, namun semuanya seolah-olah muncul kembali di depan matanya, meskipun malam yang
dingin di manapun adalah sama tumpukan salju pun berwarna sama, tapi...
Perubahan yang terjadi dalam dunia ini teramat ajaib, teramat besar, pemuda yang lemah,
yang hidup sebatangkara dan penuh penderitaan serta siksaan itu, benarkah adalah diriku
sekarang" ia tidak percaya, ia tak akan mempercayainya, tapi bagaimanapun jua ia tak dapat tidak
mempercayainya.
Kebahagiaan dan kebanggaan bagaikan kelebatan sinar kilat di udara. tiba-tiba menjadi terang
di depan mata, datang mendadak dengan begitu cepatnya.
Tapi, ada pula yang terasa sayang baginya merasa sayang karena semua itu datangnya
terlambat. Tiba-tiba ia merasa mukanya jadi dingin. kiranya entah sejak kapan dia telah
melelehkan airmata ia tidak melihat seorang sedang berjalan pelan menghampirinya di tengah
kegelapan halaman orang itu sebentar berjalan. lalu berhenti bernapas, berhenti lagi.
Dan akbimya, tiba-tiba dia di samping pemuda.
Tiba-tiba ia merasakannya dan berpaling, sebuah tangan kecil halus sedang diulurkan kemuka
dengan gemetar, seperti juga kejadian dahulu di tengah malam yang dingin dalam kenangan yang
tak terlupakan itu.
Rasa kejut dan gembira yang muncul secara tiba-tiba membuat anak muda itu tertegun
membuatnya termangu dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tangan yang kecil dan mungil itu gemetar makin keras..
Dari kelopak matanya yang jeli meleleh butiran air mata rasa sedih dan gembira, butiran air
mata meleleh melalui pipinya yang halus dan menetes di permukaan salju yang beku.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Hui Giok berseru: "Tin-tin", kau... kau..."
Toakoko... Toakoko... " suara anak perempuan itu pun tersendat.
Entah berapa kali ia memanggil "Toakoko." akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan "Toakoko"
nya dan menangis tersedu-sedu
Di tengah kegelapan kembali muncul dua sosok bayangan manusia, mereka adalah Leng-kok
siang bok yang menginap bersama Hui Giok di halaman belakang itu.
Dengan termangu mereka memandang adegan tersebut beberapa saat lamanya, kemudian
menghela napas dan pelahan kembali lagi ke kamarnya.
"Mungkin anak perempuan itu adalah Wan Li tin yang sering disinggung anak Giok," bisik Leng
Han tiok kemudian tak tahan, "Sungguh tak tersangka, dia . . "
"Ssst, biarkan mereka bergembira, biarkan mereka mengucurkan air mata bagi pertemuan itu"
bisik Leng Ko-bok "Anak Giok.... ai dia meman harus dihibur, dia memang pantas dihibur,
bukankah begitu?"
Hui Giok memeluk Wan Li-tin erat-erat, entah berapa lama sudah lewat baru melepaskan
pelukannya agar ia dapat memandangnya dan supaya si dia memandang padany.
"Kau... kau telah dewasa," bisiknya sambil tertawa pedih.
Nona itu tertunduk, bulu matanya yang panjang menutup kelopak matanya "Pagi tadi kulihat
kau" katanya
"Tak kusangka kau telah menjadi seorang pahlawan besar, seperti apa yang pernah kita
impikan waktu masih berkhayal bersama, tapi aku tak berani munculkan diri", begitu banyak
orang-orang Hui-liong-piaukiok di jalanan, aku takut ditangkap, aku takut mereka laporkan hal ini
kepada.... kepada paman Tham."
Walaupun agak keberatan dia mengucapkan, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung
bertahun-tahun mungkinkah diubah dalam sekejap" Hui Giok betul-betul tertawa meski tertawa
dengan air mata yang meleleh, katanya "Mulai sekarang, kau tidak perlu takut lagi, apapun yang
akan terjadi aku akan selalu melindungimu."
Wan Li-tin menengadah, memandangnya seperti seorang gadis yang memandangi pangeran
dalam khayalannya, begitu kagum dia.
Ia menanyakan penghidupannya selama dua tahun ini, dan anak dara itu bercerita dengan air
mata bercucuran disamping senyum gembira, bahwa penghidupannya adalah penghidupan yang
sederhana, penghidupan yang penuh penderitaan, penghidupan yang kesepian tapi sekarang
semua itu sudah berlalu.
Maka pemuda itupun memberitahukan kepadanya pengalamannya yang penuh keanehan
selama itu, pengalamannya yang juga penuh penderitaan serta kesedihan.
Dengan terbelalak anak dara itu mendengarkan penuturan itu
Tiba-tiba dari balik matanya yang jeli terpancar rasa marah, rasa dendam yang membara, ia
mengepal tangannya, sambil menengadah katanya: "Diam-diam kudengarkan orang bicara di
jalanan, di Piaukiok, bahkan di manapun aku selalu dengar, benarkah ayah kita dibunuh... dibunuh
orang itu?"
Sambil menggigit bibir Hui Giok mengangguk dengan berat, begitu keras ia menggigit bibirnya
hingga darah merembes keluar.
Wan Lu-tin kembali menangis, sambil mendekap dalam pelukan Hui Giok dia mengeluh, "O
Toakoko, kau... kau harus membalaskan dendam ayah kita"
Hui Giok menepuk bahunya dan bergumam: "Membalas dendam, membalas dendam!"
Tiba-tiba gadis itu berhenti menangis ia menengadah, sinar matanya yang bening itu
memancarkan rasa iba, simpati, kasihan dan sedih.
"Ai, kasihan... yang paling kasihan adalah enci Tham! Tahukah kau... demi engkau, dia begitu
menderita, seorang diri bersembunyi dalam kamarnya, sebentar tertawa, sebentar menangis
sebentar mengatakan kau berbuat salah kepadanya sebentar lagi bilang dia yang bersalah
padamu seringkali dia mengajak aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap tapi kecuali kau, soal
apapun tak pernah dibicarakan sambil berbicara ia menangis habis menangis bicara lagi!"
Setelah menghela napas sedih Lu-tin menundukkan kepalanya, seketika itu juga Hui Giok
merasa darah menggelora dalam dadanya, ia terkesima dan tak tahu apa yang mesti
dilakukannya. Lama sekali, Lu-tin berkata lagi "Kemudian ketika mengetahui ayahnya hendak menjodohkan
dia dengan Tonghong hengte, ia melarikan diri dari rumah, tapi segera dapat ditangkap kembali
oleh ayahnya, perasaannya baru bisa tenang ketika ayahnya menolak pinangan Tonghonghengte,
tapi ketika aku kabur dari sana kudengar lagi dia akan dijodohkan dengan Tonghonghengte
Ai, entah apa yang terjadi setelah ia mengetahui kabar tersebut."
Hui Giok berdiri bagaikan patung "Benarkah dia... dia mencintai aku?" gumamnya
Wan Lu tin menghela napas sedih, pelahan dia mengangguk.
Hui Giok merasa telinganya seperti mencincang pesan Leng goat siancu Ay Cing sebelum
ajalnya seakan akan berkumandang lagi ditepi telinganya.
Mulai detik mi selama hayat masih di kandung badan, selamanya kau tak boleh membohongi
perempuan manapun selamanya tak boleh membuat sedih gadis, baik engkau mencintai atau
tidak kau harus baik kepadanya, kau harus melindungi dia, dalam persoalan apapun tak boleh
melukai perasaannya. Lebih.... lebih lagi jangan kau biarkan dia dilukai orang lain."
Dengan termangu ditatapnya salju yang membeku, kembali ia bergumam, "Sekali aku sudah
bersumpah mana boleh kulukai hatinya" Betapapun dia, . dia mencintaiku aku... aku... "
Dengan pedih ia menggigit bibir sendiri "Tapi sakit hati orang tuaku lebih dalam dari lautan
haruskah kuabaikan kewajibanku ini" sebaliknya, bila kubalas sakit hati mi, kubunuh ayahnya,


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti kulukai perasaannya, bukankah perbuatanku ini berarti pula melanggar sumpah !"
Ya, dendam ayahnya, sumpah beratnya keduanya ternyata saling bertentangan antara cinta
dan dendam sukar dipisahkan, tanpa terasa ia terbayang kembali perkataan Leng-goat-siancu
yang gemetar dan penuh penyesalan itu.
Persoalan ini meski gampang diucapkan, pada hakekatnya sukar untuk dilaksanakan sebab di
dunia ini selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh, yang membuat kau mau tak mau harus
me lukai perasaan orang yang kaucintai!"
Pelbagai alasan yang aneh... pelbagai alasan yang aneh.... orang yang kaucintai... orang yang
kaucintai."
"Toakoko," tiba-tiba Wan Lu-tin menjerit kaget, kau... mengapa kau darahmu..."
Dengan tangan yang halus ia bantu Hui Giok mengusap darah yang meleleh dari bibirnya,
meski di tengah malam yang dingin, tapi darah Hui Giok rasanya panas bagai api yang membara.
Dengan terharu dipegangnya tangan gadis itu, diusapnya dengan penuh kasih sayang, setelah
menghela napas, berkatalah Hui Giok, "Bagaimanapun juga, usiamu masih terlalu kecil, banyak
persoalan ai tak akan kau pahami"
Dengan menurut Wan Lu-tin mengangguk sekalipun dia enggan dianggap anak kecil, tapi
perkataan itu diucapkan oleh "Toakoko" nya, betapapun dia menganggapnya pasti benar.
Lama sekali ia termangu, tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu segera ia berkata lirih "Orang
yang paling akhir bersamamu tadi apakah bernama jit giau tui hun?"
"Darimna kau tahu?" Hui Giok heran.
"Dia bukan orang baik" Aku pernah melihatnya di kantor Hui-liong-piaukiok kulihat dia masuk
lewat halaman belakang dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan entah apa yang
dibicakannya dengan Tham... Tham Beng, hingga malam hari kedua dia baru pergi dengan gerakgerik
yang aneh, bahkan naik kudapun tak berani."
"Benarkah itu?" Hui Giok terkejut, "kau melihatnya dengan jelas?"
Dengan penuh keyakinan Wan Lu-tin mengangguk
Tiba-tiba dari belakang sepotong batu gunung tak jauh sana berkumandang suara helaan
napas menyusul seorang menanggapi dengan nada yang berat, "semuanya benar!"
Air muka Wan Lu-tin berubah hebat, dengan terkejut Hui Giok segera membentak, "Siapa?"
Selagi ia hendak menerjang ke sana tak terduga sesosok bayangan orang lantas muncul, dia
tak lain tak bukan adalah Jit-giau-tui hun Na Hui hong.
"Benar.... benar, semuanya memang benar," demikian gumamnya pula.
Tersembul senyuman rasa menyesal di ujung bibirnya, ia berkata lagi dengan lirih, "Bengcutoako,
maafkanlah perbuatanku yang telah mencuri dengar pembicaraan kalian ini, sejak adik cilik
ini masuk ke halaman, aku lantas mengetahuinya sebab itulah akupun keluar dan kamarku."
Wan Lu-tin berdebar keras, dia mengira gerak-geriknya sudah cukup hati-hati, tak tahunya toh
masih diketahui orang lain, sekarang dia mulai paham, ketajaman pendengaran orang-orang
persilatan memang luar biasa, Yang mana tak pernah dipercayai sebelumnya sekarang ia mulai
percaya di samping itu iapun mulai berduka bagi mereka.
"Seorang yang hidup di luaran dan banyak mengikat permusuhan pasti seperti mereka
keadaannya, makan tak enak tidur pun tak nyenyak, setiap waktu setiap saat selalu kuatir akan
diserang orang lain."
Sementara itu, dengan tatapan mata yang tajam dan mulut membungkam Hui Giok mengawasi
orang she Na itu tanpa berkedip.
Jit-giau-tui-hun yang tersohor karena kebuasan dan kelicikannya itu sekarang berdiri dengan
wajah malu dan penuh penyesalan.
"Ya, Bengcu," katanya tergegap, "Terus terang aku memang mengadakan persekongkolan
dengan Liong-heng pat-ciang, dia bantu aku membasmi Perserikatan orang-orang Kanglam, bantu
aku membunuh Kim-keh Siang It-ti dan bunuh Sin-jiu Cian Hui serta hehehe . . serta engkau
Bengcu, bila pekerjaan ini berhasil maka dia akan bantu aku membentuk Perserikatan baru serta
mengangkat diriku sebagai Bengcunya"
Hui Ohok hanya mendengarkan dengan seksama tidak emosi, tidak marah ataupun merasa
benci. Jit-giau-tui-hun berdehem pelahan, kemudian berkata lagi "Kematian Siang It ti tadi ai pada
hakikatnya adalah hasil karyaku sendiri ku anjurkan dia memusuhi Bengcu dan akupun
menyanggupi akan datang untuk membantunya."
Mendengar sampai di sini, Hui Giok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menghela napas
panjang "Ai, kau.... kau memang kelewat kejam!" desisnya kemudian.
Dengan bungkam Na Hui-hong menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Hui Giok berkata lagi. "Kalau begitu, laki-laki yang memaki Tonghong hengte dari
tempat gelap juga merupakan hasil karyamu" Kalau tidak, kenapa mereka mengucapkan kata kata
yang tidak menguntungkan Tham Beng"
Semakin rendah Na Hui-hong tertunduk, "Ya orang-orang itu adalah suruhanku, akulah yang
memerintahkan mereka berbuat demikian, sebab ku... kuatir jika Tham Beng sampai berbesanan
dengan Tonghong-hengte, pengaruhnya pasti akan besar dan kemudian andaikata dia ingkar janji,
bahkan membunuh aku tentu aku tak bisa berbuat apa-apa?"
Terkesiap juga hati Hui Giok mendengar keterengan itu, dia menghela napas panjang "Ai,
demikiankah keadaan dunia persilatan yang sebenarnya" Mengapa setiap orang harus tipu
menipu?" "Ai, pada hakikatnya dunia persilatan adalah dunianya kaum kuat menindas kaum lemah" kata
Jit-giau-tui hun Na Hui hong sambil menghela napas "Semula kupikir orang yang berhati bajik
tentu tak akan mampu hidup di dunia persilatan ini, tapi ai, sekarang aku baru tahu bahwa
pikiranku itu keliru, di manapun jua orang baik selamanya tak akan kesepian."
Sesudah berhenti sebentar dengan kepala yang tertunduk rendah sambungnya lebih jauh,
"Kesemua ini tak lain adalah berkat watak Bengcu yang mulia dan bijaksana, tabiatmu telah
mengharukan hatiku! Aku sebenarnya setelah Bengcu berhasil kupancing sampai di sini, makanan
dan arak yang kuhidangkan kepadamu hendak kucampur dengan racun yang paling jahat racun itu
bahkan sudah kusiapkan, racun itu adalah sejenis racun jahat yang tak berwarna maupun berbau,
tapi ai aku benar-benar merasa tak tega untuk melaksanakan niat jahatku ini!"
Hui Giok terkesiap, baru sekarang ia sadar jiwanya tadi sebenarnya telah berada di ambang
pintu akhirat. Ia menghela napas panjang, sebetulnya dia hendik mengucapkan sesuatu, tapi sebelum
niatnya terlaksanakan, tiba-tiba dari luar halaman, dan balik kegelapan berkumandang suara
tertawa dingin yang menyeramkan.
Malam sudah hampir berakhir embusan angin terasa makin dingin suara tertawa dingin itu
terasa menggidikkan.
Baik Hui Giok maupun Na Hui hong serta Wan Lu-tin serentak terperanjat "Siapa itu?" bentak
Na Hui-hong "Tahu kesalahan dan bersedia bertobat itu menandakan kau masih bisa dididik, bila rencana
busukmu itu kau laksanakan, kau kira nyawamu masih bisa hidup sampai sekarang?" suara itu
muncul dari kegelapan, nyaring, tegas dan menggetar perasaan.
Terbawa oleh embusan angin dingin, sulit bagi Hui Giok dan Na Hui hong untuk menentukan
darimanakah suara itu berasal, se akan2 jauh tapi terasa dekat, padahal sepuluh tombak di
sekeliling halaman itu tak nampak bayangan manusia.
Hati Hui Giok tergerak, cepat teriaknya, "Suhu... Locianpwe " - Berbareng itu juga ia melayang
ke udara, ujung kakinya menutul di atas ranting pohon, dengan dua-tiga kah lompatan ia sudah
berada di luar halaman.
Tapi suasana tetap hening, angin berembus kencang, memandang jauh ke depan, yang
tertampak hanya keheningan belaka dengan tanah bersalju yang lapang, seakan2 sejak dulu
sampai sekarang tak pernah ada manusia yang muncul di situ.
Hui Giok celingukan memandang ke sana ke mari, kemudian teriaknya lagi suhu! Locianpwe.."
Sekeras geledek teriakan itu sampai salju di ranting pohon pada gugur ke tanah, seekor
burung bersuara kaget dan terbang dengan ketakutan, dalam sekejap mata lenyap pula di balik
kegelapan. Hui Giok berdiri dengan termangu, setelah menghela napas ia berkelebat kembali ke dalam
halaman Waktu itu Wan Lu-tin sedang menanti dengan penuh pengharapan matanya yang jeli menatap
wajah pemuda itu tanpa berkedip sinar matanya adalah sinar mata penuh rasa kagum.
Jit giau-tui-hun Na Hui-hong berdiri dengan tangan terjulai ke bawah, mukanya pucat, matanya
terbelalak dan mulutnya melongo, peluh sebesar kacang kedelai membasahi jidatnya.
Menyaksikan keadaan orang, tersenyumlah Hui Giok.
"Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian, Siaute pantas mengucapkan
selamat untuk saudara Na." katanya menirukan sabda Budha.
"Ya, mulai sekarang mungkin tidurmu akan bertambah nyenyak dan makan pun akan
bertambah nikmat." sambung Wan Lu tin tiba2 sambil tertawa manis.
Dengan tangan yang gemetar Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong menyeka peluh dingin yang
membasahi jidatnya, ia merasa jantungnya berdebar keras, di dalam hati ia berguman,
"Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian."
Mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, serunya lantang, "Hahaha... sungguh
tak kusangka, jadi orang bajik jauh lebih menyenangkan daripada menjadi orang jahat."
Sebagai seorang yang berasal dari golongan hitam, yang biasa membunuh dan merampok,
tentu saja ia tidak menyadari bahwa ucapan yang sederhana itu sebenarnya mengandung makna
yang luas mengandung filsafah yang tidak sederhana.
Diam-diam Hui Giok berpikir dalam hati "Entah berapa malam dia tidak tidur berapa besar
penderitaan batinnya sebelum mengucapkan kata-kata sederhana yang sebenarnya tidak
sederhana ini, semoga semua orang jahat yang ada di dunia ini dapat hadir di sini dan
mendengarkan kata-kata yang timbul dan hati sanubarinya itu."
Mereka bertiga saling pandang sekejap tiba2 taman yang sepi dan dingin itu seakan-akan
berubah jadi hangat dan nyaman, sebab taman tersebut sekarang penuh dengan watak kebaikan
asli kemanusiaan.
Jalan raya di dalam kota Han-ko ketika berada dalam keheningan dengan udara yang dingin.
Banyak laki-laki berpakaian ringkas dengan sepatu kulit mereka yang berat tiada hentinya melewat
tanah bersalju itu sambil mengawasi kereta-kereta barang kawalan di tepi sungai.
Meski masih banyak orang yang ingin tahu dan sok mencampuri urusan orang lain, demi
menyelidiki awal dan suatu pertarungan sengit yang akan berlangsung, mereka harus berdiam
semalam suntuk di kedai-kedai minum. Namun. keheningan serta hawa dingin yang menerkam
empat penjuru masih tetap begitu berat, sedemikian beratnya sehingga terasa menekan perasaan
setiap orang, menindih dada mereka hingga sukar rasanya untuk bernapas.
Kadangkala meledak gelak tertawa yang keras memecah keheningan yang mencekam malam
yang gelap itu. tapi berapa banyak pun gelak tertawa yang terdengar tidak akan berhasil
menyingkirkan perasaan berat yang menekan hati orang-orang itu.
Tiba2 dari ujung jalan raya sebelah sana berkumandang jerit ngeri yang menyayat hati.
Entah berapa banyak orang yang segera berlari menuju ke tempat datangnya suara jeritan itu,
tapi yang dijumpai hanya gumpalan darah kental yang mulai membeku di atas permukaan salju
yang putih. Disamping gumpalan darah beku, seorang anak buah Hui-liong-piaukiok tergelepar dengan
badan telentang, wajah sang korban diliputi rasa kaget dan ketakutan, matanya yang kaku masih
memandang ke angkasa dengan pandangan yang kosong.
Sebilah belati yang tajam menancap di atas dadanya yang bidang dan darah yang menetes
keluar segera akan membeku bersama kengerian yang menyelimuti suasana di tengah malam
dingin itu. "Cian Sin-jiu mulai beraksi!" Teriakan demi teriakan yang penuh kegembiraan segera tersiar ke
mana2, tersebar di balik jalan raya yang sepi.
Suara jeritan lain tiba2 berkumandang dari sudut jalan yang lain.
Delapan ekor kuda tiba-tiba menerjang keluar dari sebuah bangunan besar di tepi jalan, dua
orang yang berada paling depan membawa terompet yang segera ditiup keras-keras.
Di tengah denging suara terompet yang susul menyusul rombongan penunggang kuda itu
segera bermunculan dan setiap sudut jalan di kota itu.
Mengikuti derap kaki kuda yang ramai seorang laki-laki dengan suara yang kuat segera
berteriak keras, "Semua saudara yang tergabung di bawah panji Naga Terbang, hendaknya
berkumpul di tempat penyeberangan sungai Tiang-kang, jangan sampai terpencar!"
Teriakan itupun sambung menyambung tersebar ke seluruh pelosok kota yang gelap itu.
Dalam waktu singkat suasana dalam kota jadi kalut, ketenangan segera terenggut, keamanan
tersita, keadaan jadi kacau balau.
sekalipun ada sekawanan opas bersenjata lengkap yang melakukan perondaan dengan
perasaan apa boleh buat, tapi penglihatan mereka se-akan-akan tidak menghiraukan cahaya golok
dan genangan darah.
Mereka menganggap semua ini sebagai berjangkitnya penyakit menular, sebagai wabah.
Penyakit menular memang tak bisa dilawan dengan kekuatan manusia tapi penyakit menular pada
suatu ketika tentu akan berakhir.
Tapi jeritan ngeri masih berkumandang tiada intinya kadangkala muncul di sebelah timur, lain
saat timbul di sebelah barat.
Seorang laki-laki mabuk berjalan dengan sempoyongan mencari tempat kencing, celakanya,
sebilah golok tak bersarung terselip di pinggangnya, lebih celaka lagi kebetulan ada delapan
penunggang kuda itu berlari lewat di sampingnya.
Maka penunggang kuda itupun membentak nyaring dan cahaya golok pun berkilat di angkasa.
Laki-laki pemabuk yang sempoyongan itu hanya merasakan kepalanya dingin dan sakit, lalu
dengan mengenaskan roboh terkapar di atas permukaan salju dan membiarkan tubuhnya diinjakinjak
oleh kaki kuda yang lalu di atas tubuhnya.
oOo oOo oOo Angin berhembus makin kencang. Sebuah perahu yang berlayar hitam menyeberang dari balik
kegelapan dan berlabuh di tepi sungai yang sunyi.
Sebelum perahu mencapai tepian, beberapa sosok bayangan hitam lantas melayang turun dari
perahu itu, kemudian tanpa berhenti berkelebat ke depan dan lenyap dalam kegelapan.
Gerak gerik mereka sangat misterius ibaratnya sukma gentayangan yang datang den neraka.
Siapakah mereka?"
~ oOo - - oOo -
Lima ekor kuda jempolan mengiringi sebuah kereta besar muncul dari balik kegelapan dan
berlari sepanjang jalan raya kota yang sepi, yang paling depan adalah seorang laki-laki berambut
dan berjenggot putih, bermata tajam dan bertampang keren. Entah siapa yang mulai dulu,
mendadak ditepi jalan berkumandang teriakan kaget.
"Liong heng pat-ciang datang!"
Baru saja suara itu berkumandang tahu-tahu sebuah telapak tangga yang kuat menutup
bibirnya dan menyeret orang itu ke tempat gelap di celah emper rumah.
Maka, tak ada orang yang berteriak lagi.
Kereta itu berhenti di depan sebuah bangunan besar di tepi jalan, sebenarnya di depan pintu
terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan "Kantor cabang perusahaan Hui-liong piaukiok"
Tapi entah mulai kapan papan nama itu sudah dicopot orang.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng yang berada paling depan segera melompat turun dari
kudanya. Dengan satu lompatan enteng ia menyelinap ke depan kereta lalu serunya dengan suara
perlahan "Anak Ki, ayo turun!" Tabir tersingkap, Tham Bun-ki yang pucat dan bermata pudar
pelahan turun dari kereta itu.
Mukanya waktu itu tampak layu, tidak beremosi, bahkan matanya yang jeli kini tampak buram.
Dengan pandangan kosong dan pikiran hampa dia melangkah di atas tanah bersalju dan masuk
ke gedung megah itu, matanya tidak melirik, kepalanya tidak berpaling bahkan terhadap ayahnya
juga tak memandangnya sekejap pun.
Liong-heng pat-ciang Tham Beng menghela napas sedih tanpa bicara dia ikut masuk ke dalam
rumah itu. Pintu gerbang yang tebal dan berat segera tertutup dengan menimbulkan suara yang keras,
memotong pandangan orang banyak tapi tak dapat memotong bisikan orang banyak.
Liong heng pat ciang datang... Liong heng pat-ciang telah datang..."
Udara malam berubah semakin kelam dan berat. Entah berapa lama lagi waktu fajar"
--o- O-fo+O -o-
Bangunan yang megah tapi suram itu segera diterangi cahaya lampu.
Namun langkah kaki yang kacau berubah menjadi ringan, enteng hampir tak menimbulkan
suara Liong-heng-pat-ciang Tham Beng dengan wajah sedingin es buru-buru berjalan menuju ke
ruangan sebelah barat.
Baru saja dia melangkah masuk ke pintu halaman, bentakan tertahan segera berkumandang
dari balik ruangan, "Siapa?"
Tham Beng berdehem pelahan, cahaya lampu segera menerangi seluruh ruangan dan
Tonghong ngo kiam yang berpakaian tidur menyambut kedatangan Piautau itu di depan pintu.
"Paman Tham, mengapa engkau menyusul kemari di tengah malam buta begini" sapa
Tonghong Tiat sambil tersenyum.
Senyuman menghiasi wajah Liong~heng~pat ciang Tham Beng yang suram, jawabnya.
"Seharusnya sejak kemarin aku sudah sampai di sini untuk menantikan kedatangan Hiantit
sekalian, tak tersangka karena keterlambatanku menyebabkan kalian mesti makan hati oleh
karena kaokan manusia liar yang tak karuan itu."
Tonghong Kang terbahak-bahak, "Hahaha, berita paman Tham sungguh luar biasa cepatnya."
Diiringi gelak tertawa mereka lantas masuk keruangan, tapi benarkah gelak tertawa itu timbul
dari lubuk hati yang tulus dan murni"
Setelah berlangsung pembicaraan ringan, tiba2 Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menghela
napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke pokok persoalan yang sebenarnya.
"Aku jadi teringat kembali pada lamaran yang pernah Hiantit ajukan pada tahun yang lalu,"
demikian ia berkata, "waktu itu, berhubung usia putriku masih kecil, lagipula merasa tak berani
menerima penghargaan setinggi ini maka lamaran tersebut belum kuputuskan.
Tonghong Ouw tersenyum, dia seperti mau mengucapkan sesuatu tapi dijawil ujung bajunya
oleh Toakonya, maka kata-kata tersebut urung diucapkan.
Liong heng-pat-ciang mengalihkan pandangannya entah melihat atau tidak sikap orang, ia
berkata lebih jauh, "Tapi sejak peristiwa di perkampungan Long bong-san ceng, dimana putriku
sudah mendapat bantuan yang besar dan keponakan Ceng, sungguh tak tersangka dia.... Dia.... ai
ternyata diapun menaruh hati terhadap keponakan Ceng!"
Air muka Tonghong Ceng tetap kelihatan kaku, sedikitpun tidak emosi.
Sebaliknya Tonghong Tiat lantas berseru sambil tersenyum "Wah, rupanya Samte yang punya
rejeki besar!"
"Ya, selama kumalang melintang dalam dunia persilatan, dia satu-satunya putri yang kumiliki!"
ujar Tham Beng lebih lanjut "Sebab itu kalau dia sendiri juga mau, maka terpaksa baru kutebalkan
muka dan menyinggung kembali urusan lama dengan kalian."
Tampaknya ia sengaja menekankan "urusan lama" tersebut, seakan-akan dengan demikian
persoalan itu bukan kehendaknya melainkan keluarga Tonghong yang mengemukakan lebih dulu.


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tonghong-hengte saling pandang sekejap sebelum berkata, Tham Beng telah bersuara pula:
"Cuma ai, keluargaku adalah keluarga yang rendah, entah derajat kami setimpal dengan derajat
keluarga Tonghong atau tidak?"
Air muka Tonghong Ceng masih tetap tanpa emosi, namun juga tidak bermaksud
menghindarkan diri.
Tonghong Tiat segera tersenyum "Nama besar paman Tham termashur sampai ke manamana,
dalam sepuluh tahun akhir ini belum pernah ada jago persilatan yang dapat menjajarkan
namanya dengan nama besar paman Tham. Kalau paman Tham mengatakan derajat keluarga
terlalu rendah, maka hal ini malahan membuat keponakan sekalian jadi tak enak hati."
"Ah. keponakan terlalu memuji." sambil tertawa Liong heng-pat-ciang mengelus jenggotnya
"Kalau memang begitu, apakah saat ini keponakan Ceng membawa sesuatu benda yang bisa
digunakan sebagai tanda ikatan perjodohan ini?"
-Cuma......" tiba-tiba Tonghong Tiat menukas
"Apa lag?" tanpa terasa air muka Liong-heng pat-ciang rada berubah. Mencorong sinar mata
Tonghong Tiat, kemudian berkata dengan tersenyum "Apakah paman Tham tidak merasa bahwa
keputusan yang kau ambil ini tak terlampau terburu napsu" Bagaimana pun juga persoalan ini
menyangkut kebahagiaan hidup Samte kami, maka sudah sepantasnya kalau kami bersaudara
harus menimbang persoalan ini dengan sedikit lebih serius."
Liong heng pat ciang mengerling, otaknya juga berputar memikirkan persoalan ini, kemudian
katanya: "Persoalan ini.... Meskipun betul pendapat kalian, tapi keadaan saat ini luar biasa,
terpaksa kita mengambil keputusan dengan cepat. Ya, untunglah kita orang persilatan, soal adat
istiadat rasanya juga tidak perlu kita hiraukan lagi... Hahaha, begitu bukan?"
Dia berpikir sambil bicara, maka kata-kata pembukaan tadi diucapkan dengan sangat lambat,
begitu keputusan diambil, kata-kata selanjutnya diutarakan dengan lancarnya.
"Situasi sekarang tampaknya luar biasa" Tonghong Kang dengan berlagak tidak mengerti.
Kembali Liong-heng-pat-ciang memeras otak, lalu menghela napas panjang, "Ai, terus terang
saja kukatakan, dewasa ini Hui-liong-piaukiok kami telah bertemu dengan musuh tangguh padahal
aku cuma mempunyai seorang puteri saja, maka hatiku baru bisa tenang setelah ia mendapat
perlindungan yang dapat dipercaya."
Pelahan Tonghong Tiat mengangguk "Ya, paman Than memang terlampau sayang pada
puteri satu-satunya, perkataanmu memang ada benarnya."
Sebagai seorang pemuda yang jujur, perkataan tersehut timbul dan lubuk hatinya yang murni.
Tonghong Ouw yang selama ini membungkam tiba-tiba berkata dengan dahi berkerut "Akhirakhir
ini berita dunia persilatan mengatakan bahwa paman Tham mempunyai hubungan yang erat
dengan peristiwa berdarah yang berlangsung belasan tahun yang lalu, numpang tanya kabar ini
benar atau tidak?"
Jilid ke- 18 Dasar pemuda berdarah panas, apa yang ingin diketahui dalam hati segera pula diutarakan
tanpa tedeng aling-aling.
Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah hebat, tiba-tiba ia menengadah lalu tertawa terbahak2:
"Haha. fitnahan kaum bandit yang berjiwa kotor tak perlu kugubris, apakah keponakan sekalian
percaya pada kabar tersebut?"
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw saling pandang sekejap, tapi sebelum mereka bicara lagi,
Tonghong Tiat menjela lebih dulu sambil tertawa: "Selama mengembara di dunia persilatan,
paman Tham memang sukar menghindarkan permusuhan dengan orang, Ngo-te mana boleh
kau... " "Hahaha, keponakan Ouw masih muda dan berparah panas, memang begitulah watak
seorang muda yang normal jangan salahkan dia!" cepat Liong-heng-pat-ciang berseru sambil
tertawa. Kemudian, sinar matanya tertuju ke arah Tong-hong Ceng tapi berkata terhadap Tonghong
Tiat. "Keponakan Tiat, menurut adat, kakak tertua bisa mewakili ayah. Apabila keponakan Tiat
dapat mengambil keputusan dan Setuju, kuyakin Tonghong loyacu"
Belum habis ucapannya mendadak dari luar terdengar suara langkah orang yang ramai,
dengan dahi berkerut Liong heng-pat-ciang segera berbangkit.
"Ada apa?" bentaknya dengan gusar.
Dengan tangan yang terjulai ke bawah dan kepala tertunduk rendah, Pat kwa-ciang Liu Hui
berdiri munduk-munduk di bawah undak-undakan, ketika Tham Beng muncul ia lantas berkata
dengan prihatin, "Ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah kemari apakah Congpiautau hendak
melihatnya?"
Air mukanya tampak diliputi rasa kaget dan ketakutan, ketenangan yang dimilikinya pada hari2
biasa kini lenyap tak berbekas, Tham Beng cukup tahu bahwa anak buahnya yang ini selalu
tenang, maka perubahan sikapnya itu membuktikan ada suatu kejadian besar telah berlangsung,
ia termenung sebentar baru saja akan melangkah pergi, tiba2 Tonghong Kang berseru sambil
tersenyum "Bila ada sesuatu yang kurang leluasa silakan paman Tham berlalu lebih dulu."
Ruang tengah penuh diliputi suasana yang menyeramkan Liong heng-pat-ciang Tham Beng
berdiri kaku di hadapan tiga buah batok kepala dengan muka sepucat mayat dan tubuh gemetar
karena embusan angin dingin di luar.
Hui-liong-sam-kiat, tiga orang gagah dari Hui-liong-piaukiok yang namanya tersohor di dalam
dunia persilatan, ternyata telah terbunuh dengan mengenaskan!
**************************
Hal 5 robek sebagian
**************************
kan tekanan batin yang berat, meski kedua tangan Pat-kwa-ciang Liu Hui mengepal kencang,
namun masih kelihatan juga tangan itu gemetar tiada hentinya.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Tong hong Kiam menjerit kaget "He, di mana Samte"
Ke mana dia?"
Dengan kaget semua orang berpaling, betul juga Tonghong Ceng yang sejak tadi hanya berdiri
kaku membungkam, kini sudah lenyap tak berbekas.
**************************
Hal 6 robek sebagian
**************************
Dengan wajah yang murung dan sedih Tham Bun ki seorang diri duduk di bawah lampu,
cahaya lampu yang mirip impian menyinari sepasang matanya yang sayu dan rambutnya yang
hitam. Seluruh tubuhnya, jiwanya, perasaannya seolah-olah berada di alam mimpi, impian yang
penuh penderitaan, penuh penyesalan.
Kegembiraan dan senyuman suka dukanya di masa lalu kini sudah jauh meninggalkan dia,
sebab tubuh dan jiwanya telah berubah jadi kaku, seperti orang linglung.
Dalam hati dia sudah mengambil keputusan selama hayat masih dikandung badan, dalam
hidupnya ini dia tak akan kenal lagi apa artinya "cinta kasih" sebab "cinta kasih" adalah sesuatu
yang amat menakutkan.
Dia buang jauh-jauh segala kenangan lama, ia buang jauh-jauh segala kerinduan, dia hanya
tahu hidup bagaikan sesosok mayat hidup, terserah, masa bodoh. kapan ayahnya mengaturkan
saat pernikahannya, kapan pula dia akan mengenakan pakaian pengantin, lalu...
Lalu bagaimana"
Diapun buang jauh-jauh segala pikiran selanjutnya, sebab dia percaya kehidupan yang serba
kaku ini akan membuat dirinya cepat mati atau sebelum kekakuan membinasakan dirinya dia akan
bunuh diri sendiri.
Tiba-tiba . terdengar suara pelahan di luar jendela, ia tidak menggubris, tidak menegur ataupun
bergerak, seakan-akan suara itu tak didengar olehnya. Tapi dari luar jendela segera
berkumandang suara orang menegur dengan suara tertahan "Nona Tham!"
Dengan pikiran yang kosong ia mendekati jendela, membuka dan melongok keluar.
Meski dalam hati kecilnya waktu itu timbul juga sedikit rangsangan tapi ia segera buang jauhjauh
segala pikiran, menolak segala kesedihan atau pun kegembiraan.
Bayangan hitam berkelebat di luar jendela, seperti sedang menggapai padanya.
Ketika bayangan di luar jendela itu menggapai lagi untuk ketiga kalinya! secara di bawah sadar
gadis itupun melayang keluar jendela.
Ilmu meringankan tubuh Tham Bun ki masih tetap indah dan mempesona, di tengah
keheningan malam yang dingin ia meluncur keluar dengan entengnya.
Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang di depan sana ternyata jauh lebih hebat
lagi, hal ini membuat Tham Bun-ki! rada terperanjat.
Tapi dengan cepat dia buang jauh-jauh semua pikirannya
Sekejap kemudian, secara beruntun kedua orang itu sudah melayang keluar halaman
belakang, melintasi rumah yang berderet dan menuju ke pinggiran kota yang sepi,
Di bawah pohon Pek-yang yang sudah layu tiba-tiba bayangan manusia di depan itu berhenti.
Dengan enteng Tham Bun ki berkelebat ke depan dan melayang turun tepat di hadapan orang
tampaklah orang itu bertubuh jangkung bermata tajam, bermuka pucat dengan alis mata yang
bekernyit penuh kemurungan.
Bun-ki cukup kenal siapa gerangan orang ini dia tahu orang-orang ini adalah pemuda yang
paling tampan dan disanjung puji orang dalam dunia persilatan, Tonghong Ceng dari Tonghong
ngo-kiam, dia pun tahu orang ini tak lain adalah bakal suami sendiri yang dipilihkan oleh ayahnya.
Meski demikian mukanya tetap hambar, tetap kosong, tidak kelihatan kaget juga tidak
kelihatan malu, malah dengan nada dingin ia menegur "Ada urusan apa?"
Ketenangan dan keketusan yang luar biasa ini, seketika membuat Tonghong Ceng jadi
tertegun. Lama sekali ia berdiri kaku, dia ingin mengubah seluruh perasaannya menjadi kekuatan yang
dapat menenangkan hatinya, setelah air mukanya kembali tak beremosi, pelahan ia baru
menjawab "Aku cuma ingin menanyakan satu hal kepadamu."
"Katakan"
"Apakah kau bersedia kawin dengan aku" TongHong Ceng mengepal tangannya kencang2
"Yaa."
Tonghong Ceng menggigit bibirnya dengan kuat, lama sekali baru bertanya lagi dengan dingin.
"Apakah kesedianmu itu timbul dari hati sanubari mu sendiri?"
"Tidak."
Tonghong Ceng terkesiap, hawa dingin terasa menyusup naik dari alas kakinya hingga
menembus hulu hatinya, matanya memandang ke tempat kegelapan dengan tatapan kosong,
lama sekali ia baru berkata lagi: "Lalu persoalan apakah yang memaksa kau menerima perjodohan
ini?" Tham Bun-ki mengalihkan pandangan dan melirik sekejap ke arahnya, tatapan yang kaku,
seakan akan Tonghong Ceng hanya sepotong balok kayu belaka.
"Bila kawin dengan kau, maka selamanya ayah tak akan mencelakai jiwa Hui Giok lagi."
sahutnya kemudian dengan tak acuh.
Berbicara sampai di sini, tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, senyuman
yang penuh ejekan, senyuman menghina.
"Sudah pahamkah kau! Sudah puaskah kau! lanjutnya sejenak kemudian
Tonghong Ceng berdiri kaku seperti patung, ia merasa pipinya seakan-akan baru ditampar
orang keras-keras, mukanya sebentar berubah jadi pucat dan sebentar menghijau, pikirannya jadi
kusut dan bergolak, tiba-tiba teriaknya, "Baik, baik, kau tak perlu kawin dengan aku! aku akan
pergi, segera aku pergi!"
Sekali melompat, seperti orang gila dia berlari menuju ke tempat kegelapan, yang tertinggal
hanya gema suaranya yang gemetar tadi terbawa embusan angin.
Kegelapan malam menyelimuti wajah Tham Bun-ki yang pucat, di balik kelopak matanya
tampak butiran air mata dan membuat matanya berkaca-kaca, ia tahu bahwa perbuatannya telah
melukai perasaan seorang pemuda, diapun sadar beberapa patah katanya yang singkat tapi dingin
dan kaku itu ibaratnya berjuta-juta batang anak panah yang menghunjam hulu hati pemuda itu,
mencabik-cabik perasaannya.
Tapi, segera ia membuang jauh-jauh semua pikiran itu.
Sejak itu dunia persilatan akan kehilangan seorang pendekar muda yang bermasa depan
cemerlang, upacara pernikahan yang diidam-idamkan ayahnya juga selamanya tak akan
terselenggara, hari bahagia yang telah diatur itu pun akan terus terkatung-katung.
Tapi, apa sangkut pautnya segala sesuatu itu dengan dia"
Kembali dia menolak untuk memikirkannya.
Apapun tak dipikirkan lagi olehnya, seperti kejadian apapun seakan-akan tak pernah
berlangsung. Dengan langkah yang tenang ia berjalan kembali ke kamarnya.
Belum beberapa langkah ia berjalan, tiba2 nona itu merasa ada sesosok bayangan orang
mengadang di hadapannya.
Bayangan manusia itu muncul secara mendadak, ibaratnya segumpal kabut yang tlba-tiba
mengambang tiba, cepat Tham Bun-ki menghentikan gerakan tubuhnya dan memandang ke
depan. Entah sedari kapan, tahu-tahu di depan telah berdiri seorang perempuan berbaju seputih salju,
bersanggul tinggi dan mempunyai perawakan tubuh yang tinggi dan besar begitu besarnya
sehingga agak mengerikan.
Yang paling aneh, di punggung perempuan itu menggendong sebuah keranjang berwarna
kuning emas, dalam keranjang berduduk seorang pria berbaju kuning emas pula.
Laki2 itu bertubuh cebol. perawakannya persis seperti seorang anak kecil. tapi bajunya
perlente seperti seorang raja muda.
Jenggotnya panjang sekali, ketika terembus angin ber-goyang2 mengibas sanggul si
perempuan yang tinggi, sementara kedua matanya yang tajam menatap wajah Tham Bun-ki tanpa
berkedip. Terkesiaplah gadis itu, segera teringat olehnya siapa gerangan kedua orang aneh yang
dihadapinya ini.
Dengan air muka sedingin es dan tanpa emosi ia lantas menjura, lalu bertanya dengan suara
hambar, "Ada urusan apa?"
Kim tong menghela napas panjang, "Ai, rupanya kecuali anak Giok mati di hadapannya,
persoalan apapun di dunia ini mungkin tak akan bisa menggerakkan hatinya lagi"
Giok-Ii juga menunjukkan perasaan kasihan bercampur kuatir, ujarnya, "Anakku, usiamu masih
muda, masa depannya masih panjang, kenapa pikiranmu tak bisa terbuka?"
Tham Bun-i" tertawa pedih: "Bila urat sutera telah menjadi kepompong, serat sutera baru bisa
diambil. Lilin sudah meleleh air mata sudah mengering, segala sesuatu kejadian di dunia ini
laksana bunga dalam cermin dan bulan dalam air, siapa bilang jalan pikiran Wanpwe belum
terbuka?" "Sungguhkah itu?" tanya Kimtong sambil mengelus jenggotnya dan tertawa.
Giok-li berpaling sekejap ke arah suaminya lalu mengomel "perasaan orang sudah menjadi
begini masa dia membohongi lagi dirimu?"
"Hahaha. ." Kim-tong terbahak-bahak, "Nak. terus terang kuberitahukan kepadamu, ulat
suteramu belum menjadi kepompong, lilinmu juga belum meleleh, selama masih ada kami suami
isteri, di dunia ini tak akan ada bibit cinta yang mati sebelum bersemi."
Mencorong sinar mata Tham Bun-ki, tak tahan lagi ia menengadah dan melirik sekejap ke arah
berdua orang tokoh persilatan itu.
Giok li tertawa ringan, sambil membelai rambutnya iapun berkata, "Nak, usaha yang
bersungguh-sungguh dapat membuat batu dan emas jadi meleleh, di dunia ini tak ada persoalan
yang tak bisa di tundukkan oleh cinta yang sejati, teringat kembali peristiwa masa lalu, ketika aku
dan dia..."
Dengan pandangan penuh kasih sayang diliriknya Kim-tong sekejap, tiba2 pada wajahnya
yang kasar tersungging senyuman yang lembut.
"Rintangan dan kesulitan yang kami hadapi waktu itu berpuluh kali lipat lebih hebat daripada
apa yang kalian alami sekarang," sambungnya perlahan, "tapi. . coba kau lihat, bukankah sampai
sekarang pun kami masih tetap dua sejoli dan selalu berada bersama?"
Dengan termangu Thani Bun-ki memandang potongan tubuh mereka yang aneh, memandang
kelembutan dan kasih sayang mereka yang hangat. Tiba-tiba ia merasa di balik perasaannya yang
kaku dan dingin timbul lagi setitik rasa kasih sayang yang lembut dan hangat.
Di hadapan kedua orang tokoh persilatan yang aneh ini, segala sesuatu yang "tak mungkin" di
dunia ini seakan-akan berubah jadi "mungkin". Segala cinta kasih yang khayal seakan-akan
berubah jadi keyakinan" Segala sesuatu "impian" yang ada di dunia ini seakan-akan berubah jadi
kenyataan. Dan segala "air mata" bisa berubah menjadi "senyuman"
"Tekad yang bersungguh dapat membuat batu dan emas pun meleleh, benarkah hal ini?" ia
mulai bergumam dengan lirih.
Senyuman yang semula menghiasi wajah Kim tong tiba-tiba lenyap, dengan serius dia berkata
"Tentu saja sungguh, asal cinta kasihmu dapat lolos dari ujian yang penuh penderitaan, maka
cinta murnimu itu pada suatu ketika pasti akan mendapat imbalan yang semestinya."
"Ya anakku," ujar Giok h dengan lembut.
"Meskipun kau memiliki cinta sejati, namun kau tidak memiliki kepercayaan maka perasaanmu,
berubah menjadi kaku dan menderita Nak, bersediakah kau mendengarkan nasehat kami?"
Tiba-tiba Tham bun-ki merasakan hatinya bergolak keras, butiran air mata yang sudah lama
mengering mendadak meleleh kembali, ia menengadah dan mengangguk.
Kim-tong tertawa nyaring, "Hahaha!, . Bagus sekali, asal kau sudah memiliki cinta yang sejati
dan rasa percaya pada diri sendiri, maka berarti akupun berhasil menggembleng sebentuk batu
yang akan bersinar cemerlang."
"Nah, anakku sayang! ikutlah kami pergi," bisik Giok-li lembut. meskipun perjalanan di depan
masih amat jauh dan penuh kesulitan, tapi jangan takut! coba lihatlah, walaupun kegelapan
ditengah malam itu cukup panjang, bukankah fajar pun tetap akan menyingsing?"
Sekali lagi Tham Bun-ki mengangguk, lalu mengikuti di belakang kedua tokoh persilatan itu,
berangkatlah gadis itu menuju ke arah timur di mana sinar pertama segera akan terbit.
Oo- oO Oo - oO Betapapun malam yang gelap dan panjang, akhirnya fajar pasti juga menyingsing
Angin tetap berembus kencang, salju kembali turun dengan lebatnya, musim dingin terasa
makin membekukan badan.
Namun gerombolan manusia yang berkumpul di kota Bu han sama sekali tidak menghindari
cuaca yang membekukan, mereka masih berkerumun di sepanjang jalan raya yang ramai itu.
Sekalipun semalam suntuk mereka tidak tidur, namun pagi ini mereka semua masih tampak
segar bugar. Liong-heng-pat-ciang telah datang mungkinkah hujan badai masih jauh"
Beratus-ratus pasang mata, baik yang beradu jauh ataupun yang berada dekat, terpusat dan
tertuju ke arah pintu gerbang berwarna hitam pekat yang tertutup rapat itu.
Berita sensasi, desas-desus, bisikan berbisa tiada hentinya mengalir dan tersiar dalam kota itu.
"Engkau tahu, Cian Sin jiu juga sudah sampai di kota ini?"
"Kemarin malam, kulihat ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah besar untuk Liong heng
pat ciang kau tahu benda apakah itu?"
Eh, kabarnya si puteri naga Tham Bun-ki juga sudah datang mungkin kedatangannya adalah


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dikawinkan dengan Tonghong Ceng dari Tonghong-ngo kiam. Wah kalau begini keadaan
Liong heng-pat-ciang ibaratnya harimau bertumbuh sayap, kedudukannya jelas bertambah kuat"
Aku berani bertaruh, sebelum tengah hari nanti, Hui taysianseng pasti juga akan sampai di sini
untuk menuntut balas terhadap Tham Beng"
Menurut taksiranmu, kepandaian siapa lebih tinggi di antara kedua orang itu" Kalau masa jelas
menjagoi Tham Beng."
Di antara kawanan jago itu, anak buah Sin jiu Cian Hui juga membaurkan diri di tengah
mereka, bahkan ikut aktip menyiarkan berita dan sas-sus, baik yang sungguhan maupun hanya
isapan jempol belaka.
"Kalian tahu siapakah Kongsun Tay-liok, Siang Hui ki dan Si Beng bertiga jagoan yang disebut
Hui liong sam kiat" Ternyata balok kepala mereka sudah dipotong oleh Cian Sin jiu, tiga kotak
hadiah besar yang dikirimkan kepada Liong heng pat-ciang kemarin malam tak lain adalah
berisikan..."
"Kau tahu, meskipun Tham Beng sudah membawa puterinya kemari, tapi belum tentu
Tonghong-hengte bersedia menikah dengan dia sehingga merusak nama baik sendiri."
"Walaupun usia Hui Taysianseng masih muda tapi dalam silatnya benar-benar sudah
mencapai tingkatan yang sukar diukur, asal dia turun tangan niscaya Liong heng~pat~ciang bukan
tandingannya"
Berita sensasi, gosip, suara burung dan masing2 memenuhi seluruh kota, membuat suasana
tambah heboh. Waktu berlalu sangat lambat rasanya bagaikan siput yang merangkak, begitu lambat sehingga
membikin orang jadi tak sabar. Sampai tengah hari, baik di kota Bu han maupun di kota Han-ko
masih belum tampak bayangan Hui-taysianseng, Sin jiu Cian Hui, Tonghong-ngo-kiam, Lionghcng-
pat cjang maupun Jit-giau-tui hun.
-o0o~~ -X- -o0p-
Walaupun dalam kota tidak turun salju, di luar kota penuh bertaburan bunga-bunga salju.
Hui Giok berdiri di bawah emper rumah sambil memandang bunga salju yang beterbangan di
udara, pikirannya waktu itu amat kalut, sekalut bunga salju yang berhamburan.
Musuh besar pembunuh orang tuanya kini berada di kota Han-ko tapi gadis yang paling dicintai
justeru berada pula di samping musuh besarnya itu.
Mulai sekarang hingga akhir hayat, selamanya janganlah membuat sedih seorang gadis yang
mencintaimu. Kata-kata tersebut entah sudah berapa kali dia ulangi, bunga-bunga salju yang bertaburan di
hadapannya seakan-akan semuanya telah berubah menjadi raut wajah Leng-goat-siancu yang
pucat sedih dan terukir dalam2 di lubuk hatinya.
Ia tak tega untuk mengingkari janjinya kepada perempuan itu, tapi diapun tak dapat melupakan
sakit hatinya yang lebih dalam dan lautan itu.
Ia tak dapat melupakan sakit hati yang sedalam lautan, namun iapun tak dapat melupakan
cinta kasih Tham Bun-ki yang sulit dijajaki itu.
"Bagaimanapun juga aku tak dapat membiarkan arwah ayah dan paman menanggung
penyesalan di alam baka!"
Akhirnya dia mengambil keputusan!
Ketika berpaling, diluarnya Wan Lu tin yang duduk di depan jendela sedang menghela napas
panjang dengan sedihnya .
"Salju turun dengan derasnya, entah bagaimanakah keadaan enci Bun-ki" bisiknya lirih.
Hati Hui Giok terasa bergetar keras. Tapi sebelum ia bicara apa apa, Jit-giau-tui-hun Na Hui
hong telah bersuara duluan, "Ai sampai kini Liong heng-pat-ciang masih belum melakukan
tindakan apa-apa, penantian ini sungguh terasa lebih tersiksa daripada melakukan pekerjaan
apapun! Aku... bagaimanapun juga dia belum tahu kalau pikiranku telah berubah dan berkiblat
kepada orang lain, bila aku yang pergi mencari berita, mungkin keadaan mereka yang sebenarnya
akan dapat diketahui."
Hui Giok menghela mpas sambil menggeleng kepala.
"Saudara Na" katanya, "perbuatan yang merugikan orang tak nanti bertahan lama, kalau kita
tak ingin ditipu orang dengan muslihat yang licin dan keji, kenapa kita sendiri harus membodohi
orang dengan akal busuk?"
Jit-giau tui hun tertegun ia merasa kata-kata itu mengandung makna yang dalam, kata-kata
semacam itu tak boleh diabaikan dengan begitu saja.
Dalam pada itu, Leng kok-siang-bok yang duduk di dekat jendela sebelah sana, tiba-tiba Leng
Han-tiok berseru, "Ah, itu dia. beritanya sudah datang!"
Belum habis perkataannya, seorang laki-laki, berbaju ringkas telah berlari masuk dengan
tergesa-gesa, mimik: wajahnya yang aneh menunjukkan seakan-akan orang yang menemukan
harta karun mendadak, Ketika dibentak Na Hui-hong, buru-buru orang itu berkata, "Suasana
dalam kota pada saat ini amat kalut berita sensasi tersebar dimana-mana menurut berita yang
tersiar dari mulut para jago Hui-liong piaukiok katanya Hui-liong-sam kiat benar-benar sudah
tewas." Na Hui liong hanya menyahut pelahan dengan berlagak tak acuh.
Maka orang itu berkata lebih lanjut, "Yang paling penting adalah pada kemarin malam ternyata
Tonghong Ceng dan si puteri naga Tham Bun-ki telah menghilang bersama, dan karena itulah
Tham Beng masih berada dalam keadaan gelisah, maka hingga kini ia tidak melakukan gerakan
apa-apa," Mendengar berita itu Wan Lu-tin menjerit kaget, sementara Hui Giok berubah air mukanya Jitgiau-
tui-hunNa Hui-hong juga melenggong entah kaget, entah girang oleh kabar itu. Sampaisampai
Leng-kok-siang-hok pun ikut bangkit berdiri saking kagetnya setelah mendengar berita itu.
"Apakah kabar itu bisa dipercaya" Na Hui hong bertanya dengan nada berat.
Dengan napas terengah laki-laki berpakaian ringkas itu mengangguk.
Siapa tahu belum lenyap rasa kaget mereka selagi mereka masih bingung mendadak dari luar
halaman kembali berlari masuk seorang sambil berteriak keras-keras
"Di luar pintu ada kedatangan seorang pembawa bendera dari Hui-liong piau kiok, katanya
ingin berjumpa dengan Hui-taysianseng," lapor orang itu "ilmu silatnya sangat lihay, Tio Peng-hui
dan Ong Tek ki yang bermaksud menangkap orang itu untuk digusur ke hadapan Bengcu telah
dirobohkan dalam sekali gebrakan saja."
"Apakah kau lihat jelas bagaimana tampang orang itu?" tanya Jit-giau-tui hun Na Hui-bong
dengan wajah masam.
Laki-laki itu berpikir sebentar, lalu menjawab "Orang itu berwajah kuning pucat, seperti baru
saja sembuh dari sakit parah, pakaian yang dikenakan adalah seragam pembawa panji Hui liong
piaukiok, sebuah topi lebar yang terbuat dan anyaman bambu hampir menutupi sebagian
wajahnya, sukar bagi orang lain untuk meneliti sorot matanya, tentang sepatu apa yang dia pakai,
hamba tidak melihat jelas!"
"Hmm, Apakah ia membawa senjata?" tanya Jit-giau tui-hun sambil mendengus.
"Perawakannya hampir sama dengan potongan badanku, ia tidak membawa senjata, tapi
dibalik pinggangnya terselip sebuah senjata sejenis Lian-ci tong (tombak) atau senjata sebangsa
ruyung Juan-pian."
"Dalam perusahaan Hui liong piaukiok mana ada manusia macam begitu?" kata Jit~giau-tuihun
dengan kening berkerut, "Bengcu, biar Siaute periksa dulu!"
"Tak usah!" jawab Hui Giok dengan wajah dingin, "kalau kedatangannya jelas untuk mencari
aku, biarlah aku sendiri saja yang menghadapinya." Belum habis perkataannya ia lantas berlari ke
luar dan menerobos dengan cepat, setelah melewati ruang tengah tertampaklah di luar pintu
gerbang belasan orang laki-laki kekar berkerumun di depan pintu sambil mengadang seorang pria
di depannya. Hui Giok merentangkan tangannya menyingkirkan orang banyak dan menerobos ke tengah,
tertampaklah seorang laki-laki persis seperti apa yang dilukiskan tadi berdiri tenang di depan pintu
gerbang, dilihat dan sikapnya yang seenaknya itu seolah-olah dia tak pandang sebelah mata
terhadap belasan orang laki-laki yang merintanginya itu.
Dengan dahi berkerut, Hui Giok segera menegur, "Sobat, siapa kau" Ada urusan apa mencari
aku orang she Hui?"
Laki-laki itu masih tetap menunduk, melirik Hui Giok sekejap pun tidak.
"Apakah semua perkataanku tidak kau dengar?" tegur Hui Giok pula dengan dahi berkerut.
Laki-laki itu berdehem lalu dengan suaranya yang parau menjawab, "Tham congpiautau
memerintahkan aku datang kemari untuk menasehati dirimu agar segera menyerah kepada Huiliong
piau-kiok, kalau tidak... Hmm Hmm!"
Air muka Hui Giok berubah tertawa dingin lalu katanya, "Lebih baik segera kau pulang."
Tapi sebelum ucapan itu berlanjut, tiba-tiba laki-laki itu menengadah sambil terbahak-bahak
menyusut topi nya yang lebar itu dilepas sehingga tertampaklah matanya yang besar.
Tiba-tiba Hui Giok berteriak "Hah, kiranya kau!" - Sekali lompat dia menubruk maju dan
menggenggam erat-erat bahu orang itu, di bawah hujan salju yang lebat mereka menegadah dan
bergelak tertawa.
Leng-kok-siangbok. Jit-giau tui-hun dan Wan Lu-tin yang baru saja melangkah keluar dari pintu
gerbang sama tertegun menyaksikan adegan tersebut.
Di tengah gelak tertawanya yang nyaring, terdengar Hui Giok berkata, "Hai selama ini kau
pergi ke mana saja" Mengapa tidak mengirim berita kepadaku?"
"Hahaha! gerak-gerikku selama ini boleh dibilang misterius sekali, sudah tentu rahasianya ini
boleh sampai terbocor." sahut laki2 tadi sambil tergelak. "Lalu ia membimbing Hui Giok dan
bersama2 naik ke atas tangga batu.
Tiba2 Wan Lu-un merasa kenal dengan orang ini, dia berseru tertahan, "Hai Li Yau-bin"
Kenapa kau sampai di sini?"
"Li Yau-bin?" Hui Giok tertegun dan menghentikan langkahnya "Siapakah Li Yau-bin?"
Sementara itu Jit-giau-tui hun yang juga ikut mengawasi orang itu dengan teliti tiba2
merasakan bahwa mata orang sudah sangat dikenalnya, setelah merenung sekian lama, akhirnya
ia teringat kembali.
"Wahai Jit-giau-tongcu, kenapa kaupun muncul di sini?" sapanya.
"Hei. siapakah Jit-giau-tongcu?" Wan Lu-tm berseru keheranan, "Jelas dia adalah Li Yau-bin
seorang pegawai pembawa bendera Hui-liong piau kiok, mana bisa jadi Jit-giau-tongcu segala"
Hati hati kalian jangan sampai tertipu oleh muslihatnya."
Hui Giok berpikir sebentar, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha" Tentunya selama ini
kau telah bermain gila, betul tidak" Tapi, bagaimana ceritanya sehingga Jit giau-tongcu Go Bengsi
bisa berubah menjadi Li Yau-bin?"
Jit-giau tongcu Go Beng si tertawa tuturnya. "Hahaha! Yang dimaksudkan "Li-yau-bin" adalah
"minta nyawamu", artinya minta nyawa Tham Beng" Hahaha . . ceritanya panjang sekali, tak
mungkin kujelaskan dalam sekejap saja. Ayo hidangkan arak dulu, sambil minum kita bercerita
lagi." Maka sambil bergelak tertawa kedua orang ini lantas menuju ke halaman belakang sambil
bergandengan tangan, sekalipun kedua sahabat senasib dan sependeritaan serta sehidup semati
ini sudah lama tak berjumpa, namun dalam soal hubungan batin ternyata sama sekali tidak
menjadi renggang.
Sejah masuk ke dalam ruangan, Na Hui hong segera menghidangkan arak, pada kesempatan
itulah Jit giau tongcu Go Beng si berkata sambil tertawa, "Saudara Na, selamat atas keputusanmu
untuk kembali ke jalan yang benar! Untuk memeriahkan hari besar ini, Siaute ingin menghormati
cawan arak khusus kepada saudara Na."
Mendengar perkataan itu, baik Hui Giok maupun Na Hiu-hong jadi tertegun, tanpa terasa
mereka berseru berbareng, "Hei, darimana kau tahu?"
Tersenyumlah Go Beng-si,
Saudara Na" demikian katanya terus terang kuberitahukan kepadamu, pada hakekatnya Ong
Tek ki dan Tio Peng-hui yang barusan kurobohkan itu tak lain adalah mata-mata yang sengaja
kuatur untuk menyusup ke dalam tubuh perkumpulanmu sejak setahun yang lalu, sebab itu segala
gerak-gerik saudara Na dapat kuketahui dengan amat gamblang sekali."
Mula-mula Jit-giau tui-hun masih tertegun, kemudian dengan perasaan ngeri ia berdiri
termangu peluh dingin terasa membasahi telapak tangannya. Dulu ia selalu menganggap
kecerdikannya luar biasa dan tiada tandingannya di dunia ini, tapi sekarang ia baru tahu bahwa
pikirannya itu keliru patas saja dia merasa kaget, ngeri dan juga malu.
Setelah perjamuan dimulai, Jit-giau-tongcu Go Beng si mulai mengisahkan semua
pengalamannya yang berliku liku selama beberapa waktu ini.
Lebih dulu ia berkata, "Sejak kudengar saudara Hui mengisahkan asal-usulnya, tahulah aku
bahwa Liong-heng-pat-ciang pasti menyimpan suatu intrik besar terhadap dia, sebab barang siapa
mengatakan manusia berbakat bagus seperti dia ini sebagai seorang goblok, maka orang itu
sendiri kalau bukan sinting pastilah maha tolol, padahal kita semua tahu Tham Beng bukanlah
orang sinting atau orang tolol, maka kuyakin dia pasti mempunyai maksud-maksud tertentu."
"Sebab itulah, sejak mula aku sudah mengubah wajahku dengan obat rias aku berusaha
menyusup ke tubuh Hui liong piaukiok untuk memperhatikan secara diam-diam apakah Tham
Beng ada sesuatu rahasia yang dapat kubongkar, kemudian tanpa sengaja akupun berhasil
menemukan si kusir yang bernama Ko-put-ki itu, kudengar juga igauannya dalam mimpi, maka
kugunakan pelbagai cara dan akal untuk memancing orang itu agar secara sukarela dan tanpa
paksa mau mengungkapkan rahasia tersebut!"
Kisah ini diucapkan dengan singkat dan terburu-buru, seolah-olah dia masih ada urusan maha
penting lainnya yang harus segera dilaksanakan.
Sekalipun singkat dan terburu-buru, namun keterangan ini sudah cukup membuat semua
orang merasa terkejut bercampur heran.
Begitulah, sambil tersenyum ia bertutur lebih lanjut, "Dari saudara Hui sering kudengar
ceritanya tentang nona Wan ini, maka secara diam-diam akupun sering memperhatikannya, atau
mencari kesempatan untuk bercakap-cakap dengannya, lalu dalam percakapan itu seperti sengaja
dan tak sengaja kuberitahukan pula banyak urusan kepadanya?"
Mata Wan Lu-tin terbelalak lebar-lebar, serunya kemudian "He, pantasan! . Sungguh tak
kusangka kau... kau begini cerdik!"
Go Beng-si tersenyum, ia berkata pula kepada Hui Giok, "Ketika saudara Na berkunjung ke
Hui-liong-piaukiok tempo hari, akulah yang memancing nona Wan agar sengaja atau tak sengaja
berjumpa muka dengannya, kemudian akupun memberitahukan hubungan antara Tham Beng
dengan peristiwa berdarah pada belasan tahun yang lalu kepada nona Wan, setelah itu kupancing
pula dia untuk ke luar mencari dirimu."
Hui Giok segera menepuk jidat sendiri sambil menghela napas, "Waktu itu aku sendiripun
merasa heran, kenapa seorang anak perempuan yang selalu terkurung dalam rumah bisa
mengetahui begini banyak rahasia" jadi kau rupanya Jit-giau tongcu!
"Namamu sepantasnya diubah menjadi Sip-giau tongcu (si anak serba pandai)"
Tiba-tiba Wan Lu tin membelalakkan matanya yang jeli sambil bertanya, "Ketika aku melarikan
diri dan rumah, hampir saja diriku tertangkap kembali oleh mereka, apakah engkau pula yang
secara diam-diam membantuku dengan memancing pergi mereka?"
Sambil tersenyum Go Beng-si mengangguk "Ya waktu itu keadaanku sendiri juga berbahaya,
hampir saja kedokku ketahuan, untung orang-orang itu goblok semuanya"
"Ai, bukan orang2 itu yang terlalu goblok, tapi saudara Go yang cerdik. Ai, kecerdasanmu
memang tiada tandingannya di dunia ini," kata Jit-giau tui-hun Na Hui-hong sambil menghela
napas. "Ah. saudara Na terlalu memuji, rasa bangga terlintas pada wajahnya dan berkatalah lebih
jauh "semua itu masih belum apa-apa, dewasa ini Siaute telah meninggalkan tulisan yang patut
dibanggakan dalam kota Han-ko, sebelum senja nanti, bila kita semua tiba di kota tersebut dan
hahaha..."
Ia tertawa ter-bahak2 dengan bangganya, lalu mengangkat cawan di depannya dan pelan
tenggak menghabiskan isinya.
Dengan rawan Wan Lu tin menghela napas, ujarnya. "Aku benar2 merasa tidak mengerti
bagaimana caramu melakukan semua itu, tapi kau bilang hal itu belum apa2, Toako, tak kusangka
engkau mempunyai seorang sahabat sepintar ini, agaknya ia jauh lebih pintar daripada dirimu"
"Sejak dulu dia memang lebih pintar daripada aku," jawab Hui Giok sambil tersenyum.
sekalipun ucapan yang bernada kagum dan sekadar melengkapi sopan santun, tapi nadanya
dengar betapa tulus dan jujurnya perkataan terdengar.
Go Beng-si menggeleng kepala berulang kali "Keliru, keliru! sekalipun aku lebih cerdik juga tak
lebih hanya daun-daun hijau belaka, aku hanya cocok menjadi pembantu, tak dapat jadi
pemimpin."
Senyuman yang menghiasi bibirnya mendadak lenyap, lalu dengan wajah serius lanjutnya:
"Saudara Hui, kau harus tahu, bunga Bo-tan yang sebenarnya adalah kau. Meskipun dunia
persilatan telah kalut, engkaulah yang berkewajiban menyelesaikan semua ini, Thian menciptakan
engkau untuk "umum" janganlah disebabkan soal cinta dan dendam mengakibatkan kau patah
semangat, ketika kulihat semangatmu amat menurun tadi, hatiku benar2 sedih ketahuilah, dewasa
ini beribu bahkan berjuta pasang mata umat persilatan sama tertuju kepadamu, seluruh harapan
mereka telah ditumpukan di atas bahumu, bila kau patah semangat dikarenakan urusan pribadi
semua sahabat persilatan tentu akan bersedih hati."
Terkesiap hati Hui Giok setelah mendengar perkataan itu, ia merasa kepalanya seakan-akan
diguyur dengan sebaskom air dingin, seketika itu juga pikirannya jadi terang, semua cinta "pribadi",
dendam "pribadi" segera tersapu lenyap dari benaknya.
"Hui Giok, wahai Hui Giok!" jeritnya dalam hati, "kau memang pantas mampus, apakah masa
depan sahabat persilatan di dunia tidak lebih penting daripada cinta dan dendam pribadimu?"
Berpikir sampai di sini, dengan perasaan menyesal dan terima kasih ia bangkit berdiri dan
menjura kepada Go Beng si, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti dkatakan!
Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, ujar Leng Han tiok kemudian, "Dia adalah
seorang sahabat yang baik."
"Ya, seorang sahabat yang sangat baik!" sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas.
"Ai, barang siapa dapat bersahabat dengan kedua orang seperti mereka, nasib orang itu
sungguh mujur sekali," kata Jit-giau tui-hun Na Hui hong pula.
"OXO -0 + 0-
Lewat tengah hari, awan yang gelap mulai buyar dan sinar matahari pun memancarkan
cahayanya menyinari jalan raya di kota Han-ko.
Manusia yang berlalu lalang di jalanan itu hampir saja meluap, kecuali rumah makan dan
rumah penginapan hampir seluruh warung dan toko telah tutup pintu, semua pertemuan perayaan
perkawinan, kematian, hubungan dagang, hubungan uang . . semua macet.
Kereta2 berpanji Hui-liong-piaukiok yang berada di tepi sungai masih tetap diparkir di tempat
semula, namun air muka para piausu yang berjaga di sekeliling kereta mereka tampak murung
bercampur sedih.
Semua kabar yang tersiar, semua berita yang terdengar, nadanya serupa, nadanya tidak
menguntungkan bagi Liong heng-pat-ciang, hal ini membuat semua jago persilatan merasa kaget
bercampur heran.
Bukankah posisi Hui-liong-piaukiok sebenarnya berada di atas angin" Mengapa keadaannya
sekarang bisa berubah seburuk ini"
Sepanjang jalan raya penuh dengan suara pembicaraan orang, mereka yang sebenarnya
ketakutan sekarang berani berbicara dengan suara lantang seluruh kota Han-ko bergolak seakan2


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekuali air yang mendidih.
Hingga kini, pintu gerbang berwarna hitam itu masih tertutup rapat, tapi manusia yang
berkumpul di depan pintu rumah itu makin lama semakin banyak, seakan-akan penonton yang
sedang menunggu mainnya wayang.
Tiba2, terdengar suara gembreng dibunyikan bertalu-talu.
Beratus pasang mata segera beralih ke arah suara itu, tertampaklah beratus orang laki2
berbaju hitam berbaris datang dengan tertibnya, paling depan adalah empat orang yang menabuh
gembreng kemudian puluhan orang di belakangnya bersenjatakan golok, lalu puluhan orang lagi
yang membawa busur dan anak panah, paling belakang adalah seorang pemuda berpakaian
berkabung dengan wajah yang sedih.
Kemunculan orang2 itu mengejutkan semua orang, sementara mereka masih memandang
dengan terheran-heran, kelihatan kawanan laki-laki berbaju hitam itu menaikkan pemuda tadi ke
atas sebuah meja di bawah emper rumah, lalu para laki2 yang bersenjata golok mengelilingi di
sekitarnya, kemudian para laki2 yang membawa busur dan anak panah itu mengelilingi seputar
para jago yang bersenjata golok.
Gembreng sekali lagi di bunyikan bertalu-talu, maka pemuda berbaju berkabung itupun
mengisahkan kembali pengalamannya dan penderitaan selama hidup diiringi lelehan air mata dan
luapan emosi. Tentu saja pemuda itu bukan lain adalah keturunan Piausu yang terbunuh dalam peristiwa
berdarah belasan tahun yang lalu.
Penuturannya yang mengibakan hati seketika juga mendapatkan simpatik dan luapan emosi
dari beratus-ratus orang.
Akhirnya, pemuda berbaju berkabung itu berlutut di tanah, lalu dengan suara keras berteriak.
"Sejak kecil penghidupanku sengsara, aku harus menanggung dendam dan lagi disiksa pula oleh
bajingan itu, sampai sekarang aku tak lebih hanya seorang lemah yang tak punya tenaga untuk
membunuh seekor ayam pun, dendam berdarahku ini terpaksa harus kugantungkan kepada para
paman dan saudara2 sekalian untuk memberi keadilan demi tegaknya kebenaran dalam dunia
persilatan! Seruan itu segera mendapat sambutan yang ramai dari kawanan jago silat yang berkumpul di
situ. Entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba di tengah kerumunan orang banyak terdengar seorang
berteriak, "Bajingan munafik, bunuh saja Tham Beng-si anjing munafik yang terkutuk itu."
Teriakan itu ibaratnya percikan api di tumpukan jerami, seketika itu juga membakar dan
mengakibatkan suasana menjadi panas.
Seketika itu suara makian dan kutukan berkumandang memenuhi udara jalan raya.
Pada waktu yang hampir bersamaan dari empat penjuru kota Han-ko bermunculan pemudapemuda
berkabung yang sama-sama menuturkan kisah sedih mereka yang memancing
kemarahan dan luapan emosi khalayak ramai.
Seperti diketahui kawanan jago persilatan itu pada umumnya adalah manusia berangasan
yang berdarah panas, setelah melewati masa penantian yang penuh kejenuhan, mereka hampir
saja sukar mengendalikan perasaan sendiri, tentu saja sedikit pancingan akan segera merangsang
emosi mereka yang meluap.
Bukan begitu saja, bahkan mereka yang semula hanya bermaksud ikut menonton keramaian,
kini telah melepaskan posisi mereka yang cuma berpeluk tangan belaka itu, dengan marah dan
penuh emosi mereka ikut berteriak-teriak.
Yang lebih hebat lagi ternyata piausu dari Hui liong-piaukiok yang semula bersitegang kini ikut
tergerak juga hatinya oleh kisah cerita itu sehingga dari sikap aktif kini mereka berubah pasif.
Tentu saja ada pula yang masih setia kepada Tham Beng, tapi melihat umum yang sedang
meluap amarahnya, sudah barang tentu mereka tak berani sembarangan turun tangan.
Hanya satu harapan mereka, yakni pintu gerbang hitam itu cepat-cepat terbuka!
Tiba-tiba ada puluhan orang menyerbu ke tepi sungai, menerjang kawanan Piausu yang
sedang murung itu dan mendorong kereta-kereta kawalan tersebut ke dalam sungai yang deras
arusnya. Tindakan yang mengejutkan itu segera memancing ratusan orang lainnya untuk menirukan
cara yang sama, beratus orang menyerbu dan mendorong beratus buah kereta yang lain ke dalam
sungai. Air yang muncrat membasahi pakaian kawan manusia yang sedang kalap itu, namun air yang
dingin itu bukannya tak mampu memadamkan kobaran api amarah mereka, sebaliknya ibarat api
di siram minyak, kemarahan mereka tambah membara.
Berbondong-bondong mereka menyerbu ke depan pintu gerbang hitam yang tertutup rapat itu
lalu mencaci maki dengan marahnya: Tham Beng keluar kau" Beri keadilan untuk kami semua"
Diiringi caci maki yang ramai, batu ikut di sambitkan pula ke pintu.
Maka batu, buah-buah busuk, bahkan cawan teh dan mangkok ikut disambitkan ke arah pintu
gerbang yang hitam dan dinding pekarangan yang kelabu itu.
Tentu saja semua rencana yang masak itu adalah hasil pekerjaan Jii giau-tongcu Go Beng-si
yang amat cerdik itu, ia mengadakan kontak dengan semua ahli waris Piausu yang terbunuh itu
serta mengirim mereka ke kota Bu-han, kemudian berusaha pula mengadakan kontak rahasia
dengan Sin-jiu Cian Hui untuk mengerahkan segenap jago dari perserikatan orang-orang Kanglam
agar melakukan demonstrasi serta mengobarkan luapan amarah umum yang tak terpadamkan.
Akibatnya, semuanya berlangsung menurut rencana serta pengaturan yang seksama, dan
semua rencananya yang bagus mendatangkan hasil yang luar biasa.
Oo - oO Oo - oO
Secara teratur Jit-giau-tongcu Go Beng si masuk ke kota, sepanjang jalan ia membeberkan
semua rencananya yang matang, kemudian sambil tersenyum-senyum, katanya, "lnilah ilmu jiwa
memperalat emosi umum."
"Sungguh hebat!" puji Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong sambil menghela napas.
Hui Giok yang sejak tadi membungkam dengan wajah dingin ikut berbicara setelah lama
termenung, "Apakah kau tidak merasa tindakanmu ini sedikit kebangetan?"
"Ya, aku juga merasakan kelewat batas!" bisik Wan Lu-tin sambil menghela napas sedih.
Jit-giau-tongcu Go Beng si menghela napas katanya. "Keadaan sudah mendesak mau apa lagi
kita, sekalipun perbuatanku ini kuning bijaksana tapi terhadap manusia seperti Tham Beng, kukira
cara inilah yang paling cocok "
"Dalam pertarungan ini, bila Tham Beng menang. maka nama kebesarannya akan semakin
cemerlang, sementara kesampingkan dulu soal dendam berdarah itu dan bicara menurut keadaan
dunia persilatan, kejadian inipun merupakan suatu kejadian yang menyedihkan, selama hidup dia
selalu menghadapi orang lain dengan kelicikan dan kebusukan hatinya, maka bila kugunakan pula
cara yang licik untuk menghadapi dia, jelas hal ini suatu tindakan yang adil Hui heng, hidup
sebagai seorang Enghiong (pahlawan) di dunia ini janganlah memiliki sifat orang perempuan
sehingga karena urusan kecil mengakibatkan kalutnya rencana besar!"
Lama sekali Hui Giok termenung, akhirnya ia menghela napas panjang "Ai, Enghiong,
Enghiong..."
Oo - oO Oo - oO
"Enghiong, Enghiong .."
Tham Beng yang duduk di kursi besar dalam ruang tengah juga sedang bergumam seorang
diri Enghiong" Enghiong, siapakah Enghiong" Kalau Enghiong, lantas bagaimana?"
Tokoh persilatan yang gagah dan menjagoi dunia persilatan selama berpuluh tahun itu merasa
betapa sedih, dan hampanya hati.
Kejayaan yang dimulai dari remang-remang lalu bersinar, dari bersinar jadi cemerlang, tapi
sekarang ia mulai merasakan suramnya kejayaan.
Kepergian Tham Bun-ki yang secara tiba-tiba mendatangkan penderitaan batin bagi orang tua
ini, ia merasa kegagahannya punah, ambisinya lenyap.
Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghoog Ouw, keempat orang jago
muda itu duduk di ruang tengah dengan wajah hijau, caci maki yang mendengung dari luar pintu
membuat mereka sukar menahan dir, sambitan batu, pecahan cawan yang berhamburan di luar
halaman semakin membuat perasaan mereka bergolak namun sebagai seorang pendekar,
sebagai keturunan dan keluarga kaum orang gagah, mereka tak tega berlalu dengan begitu saja
dalam keadaan seperti ini.
Siapa pun di antara mereka tak ada yang bisa menebak ke mana perginya Tonghong Ceng!
Merekapun tak tahu mengapa secara tiba-tiba ia pergi tanpa pamit"
Mengapa ia menghilang bersama dengau lenyapnya Tham Bun-ki"
Dalam sebuah ruang samping di sisi ruang tengah, Paf-kwa-ciang Liu Hui, Koay-be-sin-to
Kiong Cing yang serta Pian Sau-yan dan Lo Gi sekalian sedang duduk berkerumun sambil
membicarakan sesuatu dengan suara bisik-bisik.
Apa yang sedang mereka bicarakan" Perundingan rahasia apa yang sedang berlangsung"
-ooO x 0oo- - oo O x 0oo-
Jejak Sin-jiu Cian Hui paling sukar dilacaki orang.
Waktu itu ia sedang mengeram di rumah hiburan Pek-lin-wan, dalam sebuah kamar yang
mungil milik Siau-pek-lan seorang pelacur terkenal di kota Buhan.
Kaitan emas menyantol kelambu di sisi pembaringan, dengan alas seprei yang penuh sulaman
indah, Sin-jiu Cian Hui rebah di pembaringan yang empuk itu.
Siau pek-lan yang duduk termenung di hadapannya sedang memandang tercengang tamunya
yang banyak emos
Jodoh Si Mata Keranjang 3 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 14
^