Amanat Marga 7

Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 7


a celaka kalian."
"Cayhe sendiri ialah Lamkiong Peng," tiba-tiba
Lamkiong Peng memperkenalkan diri.
Keruan Ih Hong melengak, mendadak ia
melangkah maju, sebelah tangannya terus
menghantam dada Lamkiong Peng.
Serangan ini di luar dugaaan siapa pun, juga
dilakukan secepat kilat, terlihat lengan bajuanya
yang longgar itu berkibar, tahu-tahu telapak
tangannya sudah dekat dada sasarannya.
Lamkiong Peng membentak pelahan, telapak
tangan berjaga di depan dada, jari tangan kanan
balas menutuk Kik-ti-hiat bagian iga lawan.
Serangan ini sekaligus juga berjaga diri, inilah
salah satu jurus andalan pergruannya yang
disebut Ciam-liong-su-ciau (empat jurus naga
bersembunyi) yang biasanya jarang diperlihatkan
jika tidak kepepet.
Tak tersangka belum lagi saling beradu tangan,
serentak I hong melompat mundur, katanya
dengan gegetun, ternyata benar murid Sin-liong
dan putra Lamkiong. Bagus Lo-lo-si, kcenakan
bagimu hari ini."
Sekali ia memberi tanda, segera bergema pula
suara sempritan, lalu ramailah suara mendesis,
kawan ular hijau yang berputar-putar di depan
garis kuning itu serentak melejit ke dalam lengan
baju kawanan pengemis
"Nanti dulu, Ih Pangeu," seru Lamkiong Peng.
"Setelah kalah bertarung dengan sendirinya
harus angkat kaki," kata Ih Hong, "meski kawanan
setan kelaparan biasanya suka minta-minta secara
paksa, tapi selamanya juga pegang janji. Bahkan
ular hijau yang dibunuh tua bangka itu juga tidak
perlu kutuntut ganti rugi lagi."
Gerak-gerik Kawanan pengemis badan halus ini
benar-benar serupa setan, hanya sekejap saja
mereka sudah menghilang.
Yap manjing tertawa, katanya, "Meski kawanan
pengemis ini suka berlagak setan dan main gertak,
tapi kelakuan mereka pun tidak terlalu jahat."
Lamkiong Peng sendiri sedang berpikir,
"Kawanan pengemis ini pasti ada hubungan erat
dengan suhu, kalu tidak masakah hanya bergebrak
satu kali saja lantas ,mengenali asal-usul
perguruanku?" "Meski Go-kui-pang (gerombolan
setan lapar) ini tidak menentu baik jahatnya, tapi
sasaran yang mereka incar biasanya pasti manusia
kaya yang tidak berhati baik, "ujar Ban Tat sambil
menatap kakek botak tadi.
Kakek itu ternyata sedang memandang
Lamkiong Peng dengan terkesima, tampaknya
kagum dan juga iri, mendadak ia menjura kepada
anak muda itu. Cepat Lamkiong Peng memeblas hormat,
katanya kemdian. "Ah, hanya urusan kecil begini,
buat apa Lotiang (bapak) memberi hormat sebesar
ini?" "Ya memang urusan kecil, mestinya aku tidak
perlu banyak adat, penghormatan sekedar saja
sudah cukup, "kata kakek botak itu, "Tapi yang
kau selamatkan adalah harta bendaku dan bukan
menolong jiwaku, sebab itulah penghormatanku
harus kuberikan dengann sepenuhnya."
Yap manjing dan Lamkiong Peng saling pandang
dengan bingung.
Si botak lantas menyambung, "Keluarga
Lamkiong kaya raya menjagoi dunia, jika engkau
benar Lamkiong kongeu, pasti engkau terlebih kaya
dari padaku, sebab itulah penghormatanku ini juga
harus kulakukan dengan sebesar-besarnya."
"O, apakah penghormatanmu ini ditujukan
kepada uangnya?" ujar Manjing.
"Memang betul, malahan penghormatanku ini
juga ditujukan kepada ayahnya yang kaya itu,"
ujar si kakek botak.
Lamkiong Peng melongo oleh uraian orang yang
luar biasa ini.
"Jadi yang kau hormati adalah kekayaan
seorang, bagimu uang di atas segalanya, begitu
bukan?" tanya Manjing.
Dengan serius si kakek botak menjawab, "Benda
apa pun di dunia ini tidak ada yang lebih penting
daripada uang. Di dunia ini tidak ada yang
berharga selain sepotong uang perak, dengan
sendirinya dua potong uang perak akan lebih
berharga lagi, dan yang lebih berharga daripada
dua potong uang perak adalah tiga...."
"Tiga potong uang perak, begitu bukan"....."
tukas Mnjing, mendadak ia mendekap di pundak
Lamkiong Peng dan tertawa geli.
"Jika begitu, tentu engkau ini sangat kaya,
rupanya Yu-leng-kun-kai itu memang tidak salah
lihat," kata Ban Tat dengan tertawa.
Air muka si kakek botak berubah seketika,
sahutnya sambil merangkul erat karung goni yang
dibawanya, "O, tidak, tidak! Mana aku punya
duit........."
Karena gugupnya, tanpa terasa ia bicara dengan
logat kampungnya.
Lamkiong Peng menaha rasa gelinya dan
berkata, "Lotiang ternyat tahu cara sayang
terhadap duit, sungguh aku sangat kagum......."
"Saat ini orang yang minta duit padamu sudah
pergi, tentu kaupun boleh pergi saja," sela Manjing.
Tiba-tiba teringat kepada urusan sendiri, pelahan
ia berkata pula, "Dan aku pun akan pergi."
Ban Tat berdehem, "Setelah bertemu dengan
kongeu dan ternyata tidak berkurang suatu apa
pun, sungguh aku sangat gembira. Segera aku
akan menuju ke Kwangwa, entah kongeu akan
pergi kemana?"
"Aku......." tiba-tiba timbul rasa kesepian dalam
hati Lamkiong Peng, "Aku ingin pulang rumah
dulu, kemudian....." ia memandang jauh ke depan
dengan hampa. "Jika begitu...." sela Manjing tidak melanjutkan
ucapannya, dia masih memegang surat tinggalan
Put-si-si-liong, sesungguhnya di sangat berharap
sepatah kata Lamkiong Peng saja dan dia rela
mendampingi anak muda itu selamanya.
Akan tetapi hati Lamkiong Peng terasa pedih dan
tidak sanggup berucap.
Diam-diam Ban Tat menghela nafas, katanya,
"Jika nona Yap tidak ada urusan, apa alangannya
berangkat ke Kanglam bersama Lamkiong kongeu,
semoga kalian menjaga diri dengan baik, kumohon
diri dulu."
Ia memberi hormat terus melangkah pergi.
"Tik Yang keracunan dan menjadi gila, kemana
perginya juga tidak jelas, apakah engkau tidak
mau ikut mencarinya bersamaku?" tanya Lamkiong
Peng. Seketika Ban Tat berhenti dan berpaling
kembali. Tiba-tiba si kakek botak berkata, "Tik Yang yang
keumaksudkan itu apakah seorang pemuda
berpedang dan keracunan parah itu?"
"Betul," jawab Ban Tat dengan girang.
"Dia sudah ditolong Yan-pek (arwah cantik) Ih Lo
dari kawanan setan lapar itu serta dikirim ke Kwan
Gwa," tutur Kakek botak itu.
"Untung mendadak ia muncul mengganggu,
kalau tidak mana bisa kulari sampai di sini.
Tampaknya Ih-jinio itu rada menaksir padanya dan
tentu takkan membikin susah dia, kukira kalian
tidak perlu kuatir baginya."
Lamkiong Peng menghela nafas lega, tanyanya,
"Dan entah perempuan macam apakah Ih-jinio
yang berjuluk arwah cantik itu?"
"Orang baik tentu akan selamat, setiba di
kwangwa nanti tentu akan kucari jejak Tik
Kongeu," kata Ban Tat, "Menurut pandanganku,
Ih-jinio pasti bukan orang jahat, apalagi dia
menaksir Tik kongeu, kalau tidak mustahil dia
mau pulang ke kwan gwa secepat itu. Setiba disana
tentu dia akan berdaya sebisanya untuk menolong
Tik Kongeu. Kalian tahu, ketulusan hati dan
kemumian cinta terkadang menimbulkan kekuatan
yang sukar dibayangkan."
"Kemumian cinta terkadang menimbulkan yang
sukar dibayangkan," ucapan ini terus menyelimuti
benak Yap manjing. Waktu ia mengangkat kepala,
dilihatnya Ban Tat sudah pergi jauh.
Sekian lama Yap manjing berdiri terkesima,
dilihatnya muka Lamkiong Peng rada pucat dan
diam saja. Mendadak si nona menggentak kaki dan
melengos. Ditunggunya sekian lama dan Lamkiong
Peng tetap tidak bicara apa pun padanya, akhirnya
gadis yang berhati keras ini pun melangkah pergi.
Dengan terkesima Lamkiong Peng memandangi
bayangan si nona, ucapan Ban Tat tadi pun
berkecamuk dalam benaknya, samar-samar
muncul berbagai bayangan orang, tiba-tiba di
rasakan sebagai bayangan Bwe Kiam soat, tapi
dirasakan pula seperti bayangan sebagai bayangan
Bwe Kiam soat, tapi dirasakan pula seperti
bayangan Yap manjing.
Kelelahan dan kelaparan selama beberapa hari,
pertentangan batin dan kusut memikirkan cinta,
semua itu memeras tenaga dan
pikiran..........mendadak dirasakan tangan dan kaki
lemas, seperti menginjak tempat kosong, terus
roboh. Si kakek botak menjerit kaget.
Yap manjing sedang melangkah ke sana,
melangkah lambat, demi mendengar suara jeritan
itu, tanpa terasa ia berpaling. Ketika diketahuinya
Lamkiong Peng menggeletak di tanah, secepat
terbang ia berlari kembali, kekuatan apap pun di
dunia ini tidak dapat mencegahnya untuk tidak
menghiraukan anak muda itu.....
********** Di ufuk timur sudah mulai remang-remang
terang, hawa sejuk.
Sebuah kereta berkabin tampak dilarikan
menuju ke Sun yang dari kota Se-an. Kakek aneh
yang berdandan aneh dan botak kelimis itu
setengah berebah di depan kabin sambil tetap
merangkul erat karung goni yang dibawanya.
Dari dalam kereta terkadang ada suara rintihan
dan keluhan sedih dua orang.
Tiba-tiba si kakek botak mengetuk dinding kabin
dan berseru, "Hei nona cilik apakah kaubawa uang
perak!?" "Bawa," jawab suara orang perempuan dengan
marah dari dalam kereta.
Dengan sungguh-sungguh si kakek berkata
pula, "Kemana pun pergi, duit tidak boleh
kekurangan."
Ia tersenyum puas, lalu memejamkan mata dan
mengantuk. Setiba di Sunyang, hari sudah gelap, lampu
sudah dinyalakan sana-sini.
Mendadak si kakek membuka mata dan
mengetok dinding kabin lagi sembari bertanya, "Hei
nona cilik, banyak tidak uang yang kau bawa?"
"Cukup banyak," jengek suara di dalam kereta.
Si kakek melirik kusir kereta sekejap dan
berpesan,"Carilah sebuah hotel paling besar,
sebaiknya hotel merangkap restoran."
Pasar malam di kota Sunyang sangat ramai.
Setiba di hotel, dengan lagak tuan besar si kakek
memerintahkan kusir dibantu pelayan hotel
menggotong Lamkiong Peng ke dalam kamar,
Manjing turun dari kereta dengan lesu.
"Nona cilik, berikan lima tail perak dulu untuk
sewa kereta," kata kakek botak.
Kusir kereta sangat senang, ia pikir sekali ini tip
yang akan diterimanya cukup untuk minum arak
sepuasnya. Siapa tahu setelah si kakek menerima sepotong
perak lima tail dari Yap manjing, baru saja
disodorkan kepada si kusir, mendadak ditarik
kembali lagi sembari berkata,"Berikan kembalinya
dua tail dahulu."
Tentu saja si kusir melenggong, terpaksa ia
memberi uang kembalian, lalu tinggal pergi dengan
menggerutu. Dengan berseri-seri si kakek botak masuk ke
hotel, dua tail perak uang kembalian tadi diberikan
kepada pelayan dan berkata, "Siapkan semeja
makan seharga sepuluh tail perak harus
disuguhkan sekaligus!".
Tidak kepalang gembira si pelayan, ia pikir
biarpun pakaian tamunya serupa pengemis, tapi
persennya ternyata tidak sedikit. Dengan ucapan
terimakasih pelayan lantas mengiakan.
Dengan lagak tuan besar si botak masuk ke
ruangan restoran, dengan karung goni tetap


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirangkulnya ia pilih sebuah meja besar dan duduk
di situ. Pelayan sibuk mengantarkan teh panas dan
memberi handuk wangi, tidak lama kemudian
santapann semeja penuh pun selesai di siapkan
dengan tertawa yang dibuat-buat si pelayan
menyapa," Apakah tuan ingin minum arak?"
Si kakek menarik muka, ucapnya ketus, "Minum
arak bisa membikin runyam urusan, kalau mabuk,
biarpun badan digeryangi orang juga tidak tahu,
kan rugi. Padahal kau tahu, mencari uang tidaklah
mudah." Si pelayan melenggongg, terpaksa mengiakan.
"Eh dimana uang pemberianku tadi?" tanya si
kakek mendadak.
"Masih ada," cepat si pelayan menjawab.
"Tukarkan mata uang tembaga seluruhnya dan
lekas bawa kemari."
Keruan si pelyan melongo. Dua tail perak itu
disangkanya tip, tak tahunya Cuma titipan untuk
menukarkan mata uang. Sambil menggerutu
terpaksa ia melangkah pergi.
SI kakek memandang santapan lezat yang
tersedia di depannya dengan menggosok-gosok
tangan serupa orang putus lotre, berbareng ia
berseru, "He nona cilik, jika kau perlu menjaga
orang sakit, biarlah kumakan sendiri!"
Terdengar suara jawaban Manjing tak acuh di
kamar pojok sana.
"Hm, bilamana keluarga Lamkiong bukan orang
kaya, biarpun kau pikat dengan segala macam
bujuk rayu juga aku tidak mau menempuh
perjalanan bersamamu," demikian si kakek botak
bergumam sendiri, lalu ia taruh karung goni di
pangkuannya dan menyikat hidangan yang
tersedia. Caranya makan sungguh rakus dan juga besar
takarannya, semeja penuh hidangan itu disapu
bersih tanpa sisa.
Pada saat itulah pelayan baru kembali dari
menukar mata uang. Si kakek menghitung dengan
teliti mata uang itu, akhirnya ia comot tiga buah
mata uang. IA ragu sejenak, akhirnya jari mengendur dan
dua buah mata uang dijatuhkan kembali, hanya
sisa sebuah mata uang saja ditaruh di atas meja
dan berkata dengan rasa berat, "ini untukmu!"
Si pelayan melongo, katanya kemudain dengan
mendongkol, "Kukira boleh tuan simpan simpan
untuk dipakai sendiri saja."
Si kakek tertawa senang, "Haha, betul juga, biar
kupakai sendiri!"
Sebiji mata uang tembaga itu benar-benar
diambilnya kembali, lalu angkat karung goninya
dan masuk sebuah kamar dan menutup pintu
rapat. Dengan gemas si pelayan menuju ke halaman
dan mengomel panjang pendek.
********* Di dalam kamar Manjing lagi memegangi
semangkuk air obat yang baru diseduhnya dan
disuapkan ke mulut Lamkiong Peng dengan tangan
agak gemetar. Meski perkenalannya dengan anak muda itu
belum lama terjadi, namun aneh, rasanya sudah
timbul semacam perasaan yang sukar dilupakan
terhadap pemuda yang berjiwa luhur dan berdarah
panas ini. "Persahabatan harus dipupuk dengan pelahan,
cinta justru timbul dalam sekejap," ia jadi teringat
kepada ucapan seorang pemikir, pemah dia
mencemoohkan filsafah ini, tapi sekarang baru
dirasakan kebenaran ucapan tersebut.
Ia teringat kepada Koh-ih-hong, Tik Yang dan
juga pendekar muda congkak "Boh-in-jiu" itu, dia
pemah berkumpul dengan mereka di puncak
Hoasan yang tinggi dan sepi itu, ia kenal watak dan
ketahanan mereka.
Tapi terhadap Lamkiong Peng, pada pertemuan
pertama itu juga lantas timbul rasa sukanya, tapi
kemudian terpaksa ia meninggalkan Hoasan
dengan kenangan indah terhadap anak muda itu.
Ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah gubuk di
puncak Hoasan itu, serupa halnya ia tidak dapat
meraba sebenarnya bagaimana perasaan Lamkiong
Peng terhadap dia.
Sudah tiga hari dia melayani anak muda yang
sakit dan tak sadar itu. Dia enggan bicara dan
berdekatan dengan oarng tua itu, tapi ia pun tidak
dapat mencegahnya tinggal bersama di sebuah
hotel. Di dengarnya di kamar sebelah kakek botak itu
asyik menghitung mata uang tembaga, sudah larut
malam dia masih sibuk dengan duit, sungguh
kakek yang mata duitan.
Esok paginya, sakit Lamkiong Peng sudah agak
sembuh, petangnya dia sudah dapat turun dari
pembaringan. Memandangi Manjing yang agak letih
dan kurus itu, perasaan Lamkiong Peng menjadi
tidak enak, ucapnya dengan menyesal, "Aku sakit,
engkau yang repot."
"Asalkan kau sembuh, apapun kukerjakan
dengan senang hati," ujar si nona.
Terharu hati Lamkiong Peng, tak terduga
olehnya selama tiga hari ini telah sebanyak ini
perubahan sikap nona itu terhadapnya. Tanpa
terasa ia memandangnya lagi sekejap dengan
penuh rasa terimakasih.
Ketika melihat Lamkiong Peng muncul dalam
kamarnya, segera si kakek botak yang sedang
menghitung uang itu menegur dengan tertawa,
"Aha, agaknya sakit mu sudah sembuh"!"
"Terimakasih atas perhatian Lotiang," jawab
Lamkiong Peng dengan tersenyum.
"Bila aku menjadi dirimu, aku tentu ingin sakit
lebih lama lagi," kata si kakek dengan tertawa.
Lamkiong Peng melenggong.
Si botak lantas menyambung, "jika bukan
lantaran sakitmu, mana anak dara ini mau
mentraktirku makan minum di sini, bila bukan
karena kau sakit, mana nona ini mau
memperlihatkan perhatiannya kepdamu. Maka
kalau engkau sakit lebih lama lagi beberapa hari,
tentu aku dapat makan enak lebih lama dan
kaupun akan mendapat pelyanan lembut, kita jadi
sama-sama gembira, kenapa tidak mau?"
Dia mencerocos terus hingga ludahnya
berhamburan, namun setiap katanya memang
tepat. Manjing menunduk malu, meski seperti orang
sinting, namun ucapan kakek itu memang kena di
hatinya. Dengan tersenyum Lamkiong Peng berkata, "Jika
Lotiang ingin makan minum. Setelah kusehat nanti
tentu akan kutraktir."
"Haha, bagus," seru si kakek. Tapi dengan serius
ia menambahkan, "Tapi biarpun kalian telah
traktir makan padaku, tidak perlu kuterima kasih
padamu. Kutahu, sebabnya kalian
memperbolehkan aku berada bersama kalian
adalah demi kcuntungan kalian, tapi aku.....haha,
boleh juga kugunakan kesempatan baik ini untuk
makan minum sepuasnya."
Kata-kata ini kembali kena di hati Lamkiong
Peng dan Yap manjing.
"Tapi kalau Lotiang ada keperluan lain, dapat
juga kubantu........."
"Hah, memangnya kaukira aku suka menerima
sedekah orang?" jawab si kakek dengan kereng.
"Umpama pakaian Lotiang, dapat kubelikan
beberapa potong baju........."
"Eh selamanya kita tidak bermusuhan, kenapa
sengaja kau bikin sudah padaku?" cepat si kakek
menjawab. Lamkiong Peng jadi melenggong, "Bikin susah
padamu?" "Coba kau lihat," si kakek berdiri dan menuding
bajunya yang serupa karung itu, "betapa enak
bajuku ini, sama sekali tidak perlu kurisaukan
kemungkinan akan robek........."
Lalu ia menuding kepala sendiri yang botak,
"Dan ini kau tahu, demi untuk membuat botak
kepalaku ini betapa jerih payahku selama ini.
Sekarang aku tidak perlu sibuk merawat rambut,
juga tidak perlu keluarkan duit untuk memotong,
inilah cara yang paling baik untuk hidup hemat.
Tapi sekarang kau mau memberi pakaian baru
kepadaku, jika kukenakan baju pemberianmu,
tentu setiap saat kuperlu memikirkan baju baru,
itu berarti membuang waktu dan mengurangi
kesempatan untuk mencari duit. Bukankah semua
itu hanya membikin susah padaku?"
Lamkiong Peng dan Yap manjing saling pandang
sekejap, logika si kakek botak ini sungguh luar
biasa, tapi juga membuat mereka sukar
membantah. Si kakek lantas mendengus dan duduk kembali,
sembari makan ia menggerutu pula, "Maka bila
kalian ingin kuiringi kalian, selanjutnya jangan
bicara lagi tentang hal-hal ini. Hm, jika tidak
mengingat kcuntungan yang akan kuraih, bisa jadi
sudah sejak tadi kutinggal pergi."
Yap manjing mendengus dan melengos ke arah
lain. Sedangkan Lamkiong Peng hanya menghela
nafas menyesal, katanya, "Masa urusan duit bagi
lotiang sedemikian pentingnya?"
Kakek botak juga menghela nafas, "Ai, rasanya
sukar bagiku untuk menjelaskan kepada putra
hartawan seperti dirimu ini akan betapa
pentingnya duit. Tapi bilamana engkau sekali
tempo menghadapi kesulitan, tanpa penjelasanku
baru kau tahu pentingnya duit."
Tiba-tiba timbul juga perasaan hampa dalam
hati Lamkiong Peng, pikirnya, "Semoga aku juga
dapat mencicipi rasanya miskin, tapi alangkah
sulitnya untuk membuat aku miskin."
Ia tertawa ejek terhadap diri sendiri.
"Setiap kataku cukup beralasan, memangnya
apa yang kau tertawakan?" oemel si kakaek.
"Yang kutertawai adalah karena sejauh ini belum
lagi kuketahui nama Lotiang," jawab Lamkiong
Peng. "Ah, apa artinya nama?" ujar si kakek. "Cukup
kausebut diriku Ci TI saja."
"Ci Ti (gila uang)?" Lamkiong Peng menegas
dengan heran, "Tapi yang kutertawai bukan soal
ini, lotiang......."
"Siapa pun tidak berhak mengurus jalan pikiran
orang lain," kata si kakek, "Apa yang kau pikirkan
tentu juga tidak ada sangkut paut dengan ku.
Bagiku, asalkan tingkah laku dan tutur kata orang
cuckup baik terhadapku, biarpun dalam hati dia
benci kepadaku juga masa bodoh. Apabila setiap
hari selalu kupikirkan apa yang dipiikir orang lain
terhadapku, bisa jadi aku akan berubah linglung
atau sinting."
Ucapan ini serupa cambuk yang memecut lubuk
hati Lamkiong Peng. Ia tertunduk dan melamun
hingga lama. Dalam pada itu si kakek botak alias Ci Ti sudah
kenyang makan, ia mengulet kemalasan dan
memandang Yap manjing sekejap, lalu berucap
hambar, "Nona cilik, kuberi nasehat padamu,
janganlah suka mengusut pikiran orang lain,
dengan begitu tentu engkau akan jauh dari
kekesalan."
Manjing juga sedang termenung, ketika ia
angkat kepala, dilihatnya si kakek telah melangkah
ke halaman dalam.
Tiba-tiba dari luar masuk belasan lelaki berbaju
ringkas dan bersenjata golok, seorang lelaki kekar
lain dengan punggung menyandang sehelai panji
wama merah, memanggul sebuah peti kayu masuk
ke halaman sana.
Langkah beberapa orang itu tampak gesit dan
cekatan, sorot mata orang terakhir itu pun
bercahaya tajam, ia melirik sekejap kepada si
kakek botak, masuk ke pintu bulat yang
membatasi halaman itu.
Sinar mata si kakek mendadak mencorong
terang, dengan tersenyum ia bergumam, "Angkipiaukok
(perusahaan pengawalan panji
merah)........" lalu ia menguap dan berkata pula,
"Ai, makan banyak, suka kantuk, lebih baik tidur
saja." Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Setelah termenung sekian lama, akhirnya
Lamkiong Peng juga berbangkit dan masuk ke
kamar. Manjiing merasa kesepian, dipandangnya pintu


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar Lamkiong Peng dan memandang pintu
kamar si kakek, ia menghela nafas, lalu ia
melangkah pelahan ke halaman.
Suasana sunyi, cahaya lampu sudah padam.
Entah berapa lama Manjing berdiri di halaman,
dari kejauhan terdengar suara kentongan
menandakan sudah lewat tengah malam.
Selagi perasaannya diliputi rasa kekosongan,
tiba-tiba dari balik wuwungan rumah ada orang
tertawa pelahan, seorang mendesis, "Untuk apa
berdiri termenung di tengah malam?"
Manjing terkejut, "Siapa"!" bentaknya dengan
suara tertahan sambil melompat ke atas rumah.
Dilihatnya sesosok bayangan secepat terbang
melayang ke kegelapan sana, sungguh sangat
mengejutkan kecepatan orang.
"Berhenti!" bentak pula Manjing sembari
memburu ke sana.
Akan tetapi meski ginkangnya juga sangat tinggi,
ternyata tetap tidak dapat menyusul orang, ia terus
memburu dan mencari di sekitar situ, namun
bayangan orang sudah menghilang.
Lamkiong Peng lagi duduk terpekur di atas
tempat tidur, ia berusaha menenangkan pikiran,
tapi rasanya kusut dan sukar diatasi. Ia tidak tahu
Yap manjing melamun di halaman dan juga tidak
tahu nona itu melompat keluar untuk memburu
seorang. Entah sudah berapa lama, ketika pikiran
Lamkiong Peng melayang-layang tak menentu,
tiba-tiba di dengarnya suara seperti daun jatuh
diluar jendela, cepat ia melompat bangun dan
membuka daun jendela.
Di tengah keremangan malam dilihatnya Yap
manjing berdiri di luar dengan rambut kusut.
"Engkau belum tidur?" tanya Manjing dengan
pandangan sayu.
Lamkiong Peng menggeleng, tanyanya, "Apakah
nona Yap melihat sesuatu?"
"Baru saja kulihat seorang Ya-heng-jin (orang
pejalan malam), telah kususul dia tapi tidak dapat
menemukannya," tutur si nona.
"Sungguh hebat orang itu, dengan ginkang nona
saja tidak sanggup menyusulnya," kata Lamkiong
Peng dengan terkesiap.
Muka Manjing menjadi merah, ucapnya, "ya, tak
terduga di tempat ini juga terdapat tokoh selihai
ini. Anehnya kedatangan orang seperti tidak
bermaksud baik, tapi juga tidak bemiat jahat.
Sungguh sukar dimengerti dia kawan atau lawan
dan apa maksud kedatangannya?"
"Mungkin dia memang tidak bermaksud jahat,
kalau tidak, kenapa dia tidak berbuat sesuatu?"
ujar Lamkiong Peng.
Walaupun di mulut dia bicara demikian, tapi
dalam hati ia menyesal juga. Ia tahu banyak orang
kangouw sekarang memusuhinya. Hanya karena
membela Bwe kiam soat sehingga mendatangkan
banyak persoalan ruwet ini. Ia sendiri tidak
sanggup memberikan penjelasan mengapa dia
bertindak demikian.
"Fajar hampir tiba, silahkan nona masuk saja ke
dalam," kata Lamkiong Peng kemudian.
Mereka tidak tidur lagi melainkan menuju ke
ruangan tengah, keduanya duduk berhadapan,
seketika tidak tahu apa yang perlu dibicarakan.
Terdegar suara ayam berkokok di kejauhan,
ufuk timur sudah mulai remang-remang dan
membangkitkan berbagai berisik di dunia ini.
Mandadak si kakek botak alias Ci Ti yang gila
uang itu melongok keluar pintu kamar, dengan
matanya yang masih sepat ia menegur, "Eh, kalian
sungguh iseng, ternyata mengobrol sepanjang
malam, haha, dasar orang muda!"
Tiba-tiba seorang muncul pula dari balik pintu
sana dengan mata yang masih belekan, kiranya si
pelayan, dengan tertawa ia menyapa, "Selamat
pagi!" Buru-buru ia mengambilkan air teh, lalu
berkata," Maaf rekening tuan tamu........"
Mendengar urusan rekening hotel, si kakek
botak segera menghilang lagi di balik pintu
kamarnya. Lamkiong Peng tersenyum, katanya, "Tidak
menjadi soal, boleh hitung saja seluruhnya."
Dengan tertawa cerah si pelayan menjawab,
"Sebenarnya juga tidak banyak, Cuma tuan besar
itu makan minum terlalu banyak, maka
seluruhnya menjadi 93 tail lebih........"
Jumlah ini sebenarnya tidak sedikit, tapi bagi
pandangan Lamkiong Peng tentu saja tidak berarti.
Tapi segera teringat olehnya di atas tubuh sendiri
sekarang tidak membawa sepeser pun, cara
bagaimana akan mampu membayar rekening hotel
dan makan minum sebanyak itu.
Terpaksa ia berpaling dan berkata dengan
tertawa kepada Manjing, "Dapatkah nona Yap
membayarkan dahulu?"
Tapi Yap manjing lantas tersenyum, jawabnya,
"Selamanya aku jarang membawa uang."
Baru sekarang Lamkiong Peng melenggong,
dilihatnya mata si pelayan menatapnya dengan
rasa sangsi. Terpkir pula oleh Lamkiong Peng bahwa dirinya
sekarang sudah tidak membawa lagi sesuatu benda
berharga, terpaksa ia berkata kepda pelayan, "Coba
ambilkan alat tulis, biar kubikin secarik surat dan
segera dapat kau pergi ambil uang."
Meski dengan ogah-ogahan, terpaksa si pelayan
,mengiakan. Selagi dia hendak melangkah pergi. Sekonyongkonyong
pintu si kakek botak terbuka lagi,
kelihatan dia melongok keluar sambil berkata,
"Jangan kuatir, pelayan, memangnya kau tahu
siapa kongeuya ini" Jangankan Cuma sekian
puluh tail perak, biarpun sekian ribu laksa tail,
cukup dengan secarik bon saja, kongeuya ini dapat
menarik dengan kontan."
Dengan sendirinya si pelayan kurang percaya, ia
melirik Lamkiong Peng dengan sangsi.
Si kakek botak alias Ci ti atau gila uang itu
terbahak, serunya, "Supaya kau tahu, biar
kujelaskan, dia tak lain tak bukan ialah Lamkiong
kongeu keluarga hartawan Lamkiong dari
kanglam!" Seketika air muka si pelayan berubah.
Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala,
pkirnya, "Ai, dasar manusia rendah, asal
mendengar nama......."
Tak terduga, mendadak si pelayan bergelak
tertawa, habis itu ia lantas menarik muka dan
menjengek, "Hm, meski banyak juga kulihat orang
yang menipu makan minum, tapi tidak pemah
kulihat perbuatan sebusuk dan sebodoh seperti ini,
masa....."
"kau bilang apa?" bentak Manjing dengan
mendelik. Si pelayan menyurut mundur setindak, tapi
lantas menjengek pula, "hm, masa tidak kalian
ketahui bahwa berpuluh kota di sekitar daerah ini,
dimana terdapat cabang perusahaan keluarga
Lamkiong, hanya dalam waktu beberapa hari
terakhir ini seluruhnya telah dipindah tangankan
kepada orang lain. Segenap bekas pegawai
perusahaan Lamkiong itu sudah dibubarkan dan
telah mencari jalan hidup sendiri-sendiri, tapi
ternyata ada orang berani lagi mengaku sebagai
Lamkiong kongeu yang maha kaya raya itu, hmk,
hmk.........."
Begitulah pelayan itu mengakhiri ucapannya
sambil mendengus berulang dengan tangan
bertolak pingggang dan mata mendelik.
Dengan sendirinya keterangann ini membuat
Lamkiong Peng melenggak, Yap manjing juga
merasa bingung.
Perubahan yang mengejutkan ini sungguh luar
biasa, sukar untuk dipercaya hal ini bisa terjadi
mendadak begitu, masakah keluarga Lamkiong
yang maha kaya raya itu, sampai menjualkan
berpuluh cabang perusahaannya dengan tergesagesa
begitu dan mengapa bisa terjadi pula dalam
waktu sesingkat itu"
Sungguuh sukar diduga mengapa sungai yang
membeku itu dapat cair dalam sekejap"
Uacapan si pelayan tadi juga di dengar oleh si
kakek botak yang berdiri di samping pintu, ia pun
melongo heran. Mungkin baru pertama kali ini selama hidup
Lamkiong Peng mengalamai kekikukkan seperti
sekarang. Selagi merasa bingung cara bagaimana
menghadapi sikap si pelayan yang tidak sungkan
itu, sekonyong-konyong dari halaman dalam
berkumandang suara ribut-ribut.
"Wah....celaka!........celaka!........." demikian
terdengar teriakan ramai orang banyak.
Pelayan tadi terkejut, cepat ia berlari ke sana
dan lupa mengurus Lamkiong Peng lagi.
Mendadak Lamkiong Peng teringat kepada
keluhan singkat yang didengarnya serta bayangan
yang dikejar Yap manjing itu.
"Jangan-jangan terjadi sesuatu pembunuhan di
halaman sebelah semalam" Demikian timbul rasa
curiganya. Karena ingatan itu, serentak ia pun, melangkah
ke halaman sana disusul oleh Yap manjing. Dalam
demikian mereka tidak memperlihatkan lagi
terhadap gerak-gerik si kakek botak.
Di halaman sebelah sudah berkerumun orang
banyak, ada orang berteriak kaget dan berlari
masuk keluar. "Sungguh aneh, mengapa semalam tidak
terdengar sesuatu suara apapun?" demikian ada
orang berkata. Segera ada yang menanggapi, "Anehnya hal ini
bisa terjadi atas orang Angki-piaukiok yang
termashur, entah orang lihai macam apa sehingga
berani merecoki panji merah yang disegani itu?"
Suara ribut dan komentar oarng yang yang kaget
itu membuat hati Lamkiong Peng tidak tentram
karena belum tahu duduknya perkara.
Sesudah dekat, dilihatnya di pintu bulat yang
membatasi halaman ini terpancang panji merah
yang berkibar tertiup angin.
Semula disangkanya panji ini adalah panji
pengenal Angki-piaukiok, tapi setelah di
perhatikan, kiranya merah panji ini karena
lumuran darah, di tengah wama merah darah itu
bersemu biru-hitam, sehingga membuat orang
merasa ngeri. Ia masuk ke halaman situ, suasana dalam
hiruk-pikuk, tapi ruangan kamar sana sunyi
senyap. Seorang lelaki berbaju panjang, tampaknya
seperti kasir atau kuasa hotel berdiri di luar pintu
kamar yang tertutup rapat.
Waktu Lamkiong Peng mendekat, segera lelaki
itu mengadangnya dengan membentangkan tangan
dan berucap, "Tempat ini dilarang..."
Belum lanjut ucapannya, sekali dorong
Lamkiong Peng membuatnya sempoyongan dan
hampir jatuh terjengkang.
Meski Lamkiong Peng baru smebuh dari
sakitnya, namun tenaganya tentu lain dari pada
orang bisa, apalgi dalam keadaan mendongkol,
tentu saja cukup kuat untuk membuta orang itu
jatuh. Waktu ia menolak daun pintu, begitu terbuka,
seketika detak jantungnya hampir berhenti demi
mengetahui apa yang terjadi dalam kamar.
Cahaya sang surya pagi menembus masuk
melalui celah jendela yang tertutup rapat sehingga
remang-remang di lanati kamar kelihatan
bergelimpangan belasan mayat. Segera dikenali
Lamkiong Peng sebagai kawanan lelaki berbaju
hitam yang berdandan ringkas kekar itu, sekarang
semuanya sudah menggeletak tak bernyawa.
Kematin kawanan ellaki kekar ini ternyata tidak
serrupa. Seorang yang brewok dengan mata
melotot mencengkram kusen jendela sehingga jari
pun amblas ke dalam kayu, ia mati dengan
setengah bersandar di dinding.
Pada dadanya yang bidang tertancap miring
sehelai panji merah, tangkai panji yang terbuat
dari besi itu hampir ambles seluruhnya ke dalam
dada, darah pun membasahi bajuanya yang hitam.
Seorang lagi yang beralis tebal dan bermulut
besar rebah terlentang dengan wajah beringas
penuh rasa ngeri, tangannya menggenggam cawan
arak yang sudah pecah, daanya juga tertancap
panji merah.

Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan begitulah beberapa kawannya yang lain, ada
yang mati duduk di kursi, ada yang binasa
bersandar di kaki meja, ada yang bajunya tidak
rapi, bahkan ada yang telanjang kaki, tampaknya
ia ngin lari, tapi belum sempat keluar sudah roboh
binasa. Cara kematian orang-orang iu tidak sama. Tapi
yang membuat mati mereka ternyata sama yaitu
dada tertancap oleh panji merah pengenal yang
mereka bawa sendiri, sekali serang membuat
mereka binasa. Dari sikap orang-orang yang mati ini agaknya
belum lagi sempat mereka melolos senjata dan
balas menyerang, tahu-tahu mereka sudah
terbunuh. Pelahan Lamkiong Peng memandangi mayat itu
satu-persatu, aliran darah sendiri serasa mau
beku. Lamkiong Peng Mengenali kawanan lelaki
barbaju hitam ini adalah anak buah Suma Tiongthian
dari Angki-piaukiok. Padahal para jago
pengawal dari panji merah ini biasanya terkenal
berkungfu tinggi dan disegani, namun sekarang
belasan jago pengawal ini sama tergeletak menjadi
mayat di hotel kecil ini, kematiannya juga tampak
mengerikan, sungguh kejadian yang sukar
dibayangkan. Siapakah yang berani merecoki Angki-piaukiok
pimpinan Suma Tiong-thian yang terkenal dengan
julukan "Ang-ki-thi-cian-cin-tiongeu" (panji merah
dan tombak baja menggetarkan daratan tengah)
itu" Siapa pula yang mempunyai kependaian
setinggi ini, tanpa bergebrak dapat membinasakan
jago sebanyak ini"
Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng Coba
masuk ke dalam kamar, dilihatnya di belakang
kelambu juga menggeletak sesosok mayat, agaknya
orang ini ingin lari atau bersembunyi, tapi
akhirnya terpantek mati juga.
Orang ini juga mati terpantek oleh gagang
bendera pada dadanya.
Lamkiong Peng berjongkok dan mengangkat
mayat itu, mendadak hatinya tergetar,
dirasakannya tubuh orang masih hangat, ia coba
mengurut hiat-to orang, ternyata hiat-tonya tidak
tertutuk, juga tidak ada tanda keracunan, sungguh
sukar dimengerti mengapa orang ini mandah
terbunuh begitu saja tanpa balas menyerang,
apakah lawannya begitu lihai sehingga satu gebrak
pun tidak mampu menangkis"
Selagi Lamkiong Peng merasa sangsi dan ngeri,
tiba-tiba mayat yang dipegangnya bergetar sedikit,
tentu saja Lamkiong Peng sangat girang, pelahan ia
bertanya,"Kuatkan dirimu, kawan!"
Orang itu membuka matanya sedikit, ucapnya
dengan lemah,"Sia......siapa kau?"
"Aku Lamkiong Peng, sahabat perusahaan
piaukiok kalian, siapa yang mencelakai kalian,
harap katakan........."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng segera
muka orang itu berkerut dan bergumam lemah,"
Lamkiong Peng.......Lamkiong........habis.......ha........"
"Habis apa maksudmu?" seru Lamkiong Peng
terkejut, dilihatnya pandangan orang menatap
ujung rumah dengan kaku, belum sempat "bis"
terucpakan, kepala lantas miring ke samping dan
tak dapat bicara lagi untuk selamanya.
Lamkiong Peng menghela nafas, ia coba menoleh
ke arah sana, dilihatnya ujung rumah sana kosong
tanpa sesuatu benda, waktu ia mengawasi lebih
lanjut baru dirasakan tempat itu sebelumnya
pemah dibuat menaruh barang sebangsa peti dan
sebagainya, tapi sekarang sudah hilang.
"Perampokan!" demikian kesimpulan yang dapat
ditarik Lamkiong Peng bila melihat keadaan ini,
namun peristiwa ini cukup misterius dan
mengerikan. Lamkiong Peng tidak tahu ucapan orang tadi,
apakah mungkin urusan ini ada hubungannya
dengan keluarga Lamkiong"
Waktu ia berpaling, dilihatnya Yap manjing juga
sudah berdiri di belakangnya dan tampak sedang
termenung. "Lamkiong........... habis.........." demikian
Manjing bergumam, mendadak ia tanya Lamkiong
Peng. "Apakah Angki piaukiok sering mengantar
harta benda lagi keluargamu?"
"ya," jawab Lamkiong Peng sambil mengangguk.
"Jika begitu, barang kawalan mereka sekali ini
mungkin juga harta milik keluarga Lamkiong
kalian, sebab itulah tadi dia menyebut nama
keluargamu dan merasa malu untuk
menjelaskannya."
Lamkiong Peng berpikir sejenak, akhirnya
menghela nafas panjang.
"Apa yang kau sesalkan?" tanya Manjing. "Meski
sedikit harta benda keluarga Lamkiong Peng kalian
dirampok, jumlah sekian tentu juga tidak artinya
bagi kekayaan keluargamu."
"Mana aku menyesal?" ujar Lamkiong Peng, "Aku
hanya merasa bodoh karena memikirkan urusan
yang yang cukup jelas ini dengan ruwet."
Pada saat itulah mendadak di luar bergema
suara anjing yang menyalak, suaranya galak dan
berbeda denagn anjing biasa.
Menuyusul cahaya emas berkelebat, seekor
anjing berbulu kuning emas mulus dengan tubuh
panjang serupa busur, mata mencorong terang,
kuping kecil, kuping kecil dan moncong panjang,
sekilas pandang serupa seekor kuda kecil, dengan
langkah cepat anjing emas itu lari ke dalam kamar.
Anjing galak ini bukan Cuma suara
menyalaknya saja, gerak-geriknya juga tidak sama
dengan anjing umumnya.
Pada lehernya penuh dihiasi mutiara dan rantai
emas, hidungnya mengendus-endus ke sana "sini,
sikapnya buas. Seorang berbaju hitam dengan mata elang dan
hidung betet, tangan memegang rantai emas yang
mengalung di leher anjing kuning itu ikut masuk
ke dalam kamar, mungkin orang itu adalah pawang
anjing kuning emas itu.
Diluar terdengar suara ribut orang banyak, ada
yang sedang bicara, "Tak tersangka detektif ulung
dari saiho "Kim-sian-loh" (budak si dewa emas) hari
ini bisa berada di Sunyang.
Dengan kehadirannya, peristiwa perampokan
yang terjadi ini pasti akan terbongkar dengan
segera." Dalam pada itu si baju hitam alias Kim sian-loh
memandang Lamkiong Peng dan Yap Manjing
sekejap dengan kening bekerut lalu ia menoleh dan
bertanya,"Juragan Lim, sebelum kutiba, kenapa
kauperbolehkan sembarangan orang masuk ke
sini?" Juragan hotel yang berdiri di luar tampak gugup,
jawabnya takut,"O, ini....ini........."
Kim sian-loh mendengus kurang senang.
Melihat anjing kuning emas itu sangat menarik,
sungguh Yap manjing ingin mengelusnya, siapa
tahu belum lagi tangannya menyentuh, mendadak
anjing itu menggerang dengan bulu emas menegak.
"Lekas mundur, anak perempuan, apakah kau
ingin mampus"!" seru si baju hitam alias Kim sianloh.
Alis Manjing menegak, segera ia hendak
mengumbar rasa gemasnya, tapi Lamkiong Peng
lantas menarik lengan bajunya sehingga makian
yang hampir dilontarkan ditelannya kembali.
Dilihatnya Kim sian-loh lagi berjongkok dan
mengelus punggung anjingnya sambil
berkata,"Jangan marah, mereka tidak berani
menyentuhmu lagi!"
Sikapnya itu serupa budak terhadap tuannya.
Segera orang itu berdiri dan membentak, "Siapa
kalian" Untuk apa lagi berdiri di sini?"
"Aku mau berdiri di sini, peduli apa dengan
kau?" jawab Manjing dengan ketus
"Hm, sungguh anak perempuan yang tidak tahu
diri," jenegk Kim sian-loh. "Apakah kau tahu siapa
aku" Berani kau ganggu tugasku?"
"Huh, memangnya kau kira aku tidak tahu siapa
dirimu" Paling-paling kau Cuma budak seekor
anjing saja," ejek Manjing.
Ia bicara lantang tanpa tedeng aling-aling, setiap
orang yang berada diluar kamar sama mendengar,
keruan semua orang sama berkuatir baginya.
Kiranya anjing bebrbulu kuning emas itu diberi
nama "kim-sian" atau dewa emas, seekor anjing
yang sangat cekatan dan juga sangat galak, jago
persilatan umumnya sukar menahan tubrukannya
yang kuat. Yang paling hebat adalah daya ciumnya,
segala perkara pembunuhan asalkan anjing ini
dibawa ke tempat kejadian tepat pada waktunya,
dengan sedikit bau yang tertinggal di situ anjing ini
sanggup mengusut dan mengejar ke mana larinya
atau tempat sembunyi penjahat.
Sudah sekian tahun entah banyak perkara yang
telah dibongkar berkat ketajaman indra penciuman
aning berbulu emas ini. Pemilik anjing yang
berbaju hitam itu juga ikut terkenal karena
anjingnya sehingga diberi julukan kim sian loh
atau budak dewa dan jadilah dia detektif terkenal
di beberapa propinsi daerah utara.
Meski dia jaya berkat anjingnya, bahkan
mengaku kim sian loh, tapi dia justru pantang
orang menyinggung hal ini. Sekarang tanpa tedeng
aling-aling Yap manjing mengejek boroknya itu,
seketika ia naik darah, segera ia berteriak, "Mana
orangnya, tangkap perempuan kurang ajar ini."
Manjing mendengus, "Hm, seharusnya anjing
budak manusia, tapi ada manusia justru mau
menjadi budak anjing.........Hmk!"
Dengan sikap menentang ia tatap empat petugas
yang membawa borgol yang menerjang masuk itu
sambil membentak,"Jika kalian berani maju lagi
selangkah, segera akan kubinasakan!"
Kim sian loh menjadi gusar, diam-diam ia
mengendurkan rantai yang dipegangnya dan
mendengus, "Apa betul begitu lihai kau?"
Cepat Lamkiong Peng mengadang di depan
manjing dan berkata, "Nanti dulu!"
Melihat pemuda yang mengadang di depan ini
meski bermuka agak kurus, namun sikapnya
gagah dan anggun, tanpa terasa Kim sian loh
menyurut mundur.
Semula dia bermaksud melepaskan anjingnya,
tapi sekarang dia tidak berani semabrang
bertindak lagi, bentaknya, "Siapa kau" Apakah kau
pun........."
Lamkiong Peng tersenyum dan memotong,
"Sudah lama kudengar anda seorang detektif
ulung, masa orang baik atau jahat juga tidak dapat
kau bedakan?"
"Kalian sembarangan berada di tempat
pembunuhan dan pencurian, dapatkah kalian
terhindar dari prasangka?" ujar kim sian loh.
"Jika begitu, jadi Kim pohtau menganggap kami
ikut tersangkut dalam perkara ini" Memangnya
kami berdiam di sini untuk menunggu ditangkap
oleh Kim pohtau?" jawab Lamkiong Peng.
Kim sian loh mendengus, "Saat ini belum dapat
dipastikan, tapi sebentar lagi segala suatunya
tentu akan ketahuan dengan jelas."
Segera ia mengendurkan pegangannya dan
menepuk anjingnya, katanya "Kim-loji bikin repot
padamu lagi."
Begitu rantai dilepaskan, segera anjing si dewa
emas melompat ke depan, hanya sekejap saja dia
telah mengitari empat ruangan, lalu menyalak tiga
kali dan melompat lagi kebawah kaki Lamkiong
Peng dan Yap manjing sambil mengendus beberapa
kali, habis itu mendadak melompat pergi lagi
Kembali ia mengitari beberapa kali ruangan itu
dengan cepat, kemudian berlari menyusur kaki
dinding, makin lari makin lambat.
Semula Kim sian loh merasa bangga dan penuh
keyakinan akan kemampuan anjingnya tapi ketika
anjingnya mengitari ruangan untuk kedua kalinya,
tertampaklah rasa gelisah dan herannya.
Setiap kali anjing itu mengitar lagi satu kali, rasa
heran dan cemasnya juga bertambah, sampai
butiran keringat pun menghiasi dahinya. Tanpa
terasa ia pun ikut mengitari rumah sambil
bergumam,"He, masa belum kautemukan sesuatu,
Loji.......masa tidak............."
Manjing tertawa dingin dengan sikap mengejek.
Mendadak terlihat anjing malangkah keluar,
serentak perhatian semua orang yang berdiri di
luar pintu terpusat kepada anjing dan memberi


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan padanya. Kim sian loh menghela nafas lega, ia yakin
anjingnya telah menemukan petunjuk baru, ia
melirik Lamkiong Peng dan Yap manjing, katanya,
"Awasi mereka berdua, jangan sampai kabur."
Lalu ia mengikuti anjing itu keluar.
"Jika benar dia dsapat menemukan
pembunuhnya, aku justru sangat berterima kasih
padanya," ucap Lamkiong Peng pelahan.
"Mari kita ikut ke sana," ajak Manjing.
"Mau kemana?" bentak empat opas yang
memegang rantai sambil mengadang dengan
borgolnya. Tapi sekali tangan Manjing bekerja, terdengarlah
suara gemerantang yang nyaring, borgol dan
pentungan yang dipegang keempat opas itu sama
jatuh ke lantai.
Keruan beberapa opas itu terperanjat, belum
pemah mereka melihat kungfu selihai ini, mereka
sama melenggong dan menyaksikan Manjing
berdua melangkah keluar dan tidak mencegahnya
lagi. Sementara itu anjing emas kim sian sudah
sampai di halaman, sesuda mengitar sebentar
mendadak ia melompat melintasi pagar tembok,
tanpa ayal Kim sian loh ikut melintasi pagar
tembok itu, dilihatnya anjingnya sedang menyalak
ke kamar yang terletak di halaman itu.
Sikap Kim sian loh menjadi tegang, segera ia
membentak, "Siapa yang tinggal di sini?"
Orang banyak pun sudah membanjir ke dalam
halaman, mendengar bentakannya, semua orang
sama memandang ke belakang, tertampak
Lamkiong Peng dan Manjing sedang mendatangi
menyongsong tatapan berpuluh pasang mata.
"Jadi kalian berdua yang tinggal disini" ?"
bentak kim sian loh pula.
"Mau apa jika kami tinggal di sini ?" Jawab
Manjing ketus. "Jika begitu, jadi kalian ini penjahat yang
merampok dan juga pembunuhnya," teriak kim
sian loh. Suasana menjadi panik seketika, pemilik hotel
lantas menyingkir dengan ketakutan, semua orang
sama menjauhi Manjing berdua.
" Kau harus bertanggung jawab atas ucapanmu,"
jengek Lamkiong Peng.
"Selama belasan tahun entah berapa banyak
yang telah kuringkus dan tidak ada satu pun yang
keliru tangkap, maka lebih baik kalian menyerah
saja." Lamkiong Peng melirik sekejap anjing yang
sedang menggonggong itu, tiba-tiba teringat
olehnya si kakek yang gila uang yang misterius dan
tamak harta itu, tanpa terasa berubah air
mukanya, ia memburu maju dan mendorong pintu
kamar, ternyata kamar sudah kosong, mana ada
bayangan si kakek.
Kim sian loh terbahak-bahak,"Haha, meski
begundalmu sudah minggat, asal kubekuk kalian
mustahil jejak begundalmu takkan ketahuan."
Segera ia mengeluarkan senjata tombak berantai
yang melilit di pinggangnya, sekali menyendal,
tombak berantai menegeluarkan suara
gemerincing, pelahan ia mendekati Lamkiong Peng
berdua dan membentak,"Ayolah, lekas kalian
menyerah saja untuk dibekuk."
Para penonton sama menyingkir ketakutan, si
pemilih hotel bahkan sudah kabur. Dengan kening
berkerut Lamkiong Peng berkata, "Sebelum terang
duduk perkaranya masakah kau.........."
"Dengan hidung Kim sian, mustahil urusan bisa
salah?" kata kim sian loh.
Begitu tombak berantai bergerak, kontan ia
sabet kepala Lamkiong Peng.
Kuatir anak muda yang baru sembuh dari
sakitnya itu belum kuat, cepat Manjing memburu
maju dengan membentak.
Tak terduga dari belakang lantas terdengar angin
menyambar tiba, rupanya si anjing bulu emas yang
sejak tadi hanya menyalak saja kini telah
menubruk ke arahnya dengan buas.
Anjing ini memang bertubuh tinggi besar, setelah
berdiri menegak dengan taring menyeringai, segera
leher Manjing hendak digigit.
Keruan semua omang menjerit kuatir,
tampaknya dalam sekejap anak perempuan yang
cantik molek ini akan menjadi mangsa anjing buas.
Namun Manjing semapat mengegos, dengan gesit
ia menggeser ke samping. Tak terduga anjing itu
memang sangat tangkas, sekali luput menubruk,
segera ia membalik dan menerkam pula.
Manjing terkejut, diam-diam ia mengakui
kelihaian anjing yang tidak kalah dibandingkan
jago silat biasa ini.
Dia memenag tidak ingin melukai anjing itu,
sekarang ia tambah sayang kepada binatang cerdik
ini. Hanya sebelah tangannya menabas dan tepat
mengenai kuduk anjing itu sambil berseru kepada
Lamkiong Peng,"Lekas kau mundur saja!"
Dilihatnya Lamkiong Peng cukup tangkas
menghadapi tombak berantai Kim sian loh meski
kesehatannya belum puilih seluruhnya. Dengan
gerakan yang lincah ia menghindar kian kemari
sehingga tombak lawan sukar menyentuhnya.
Semua orang tercengang melihat ketangkasan
kedua muda mudi ini, tampaknya mereka memang
benar penjahat yang merampok dan membunuh
ini, kalau tidak masakah menguasai kungfu
setinggi ini. Tapi ketika untuk kedua kalinya Kiam sian
hendak menerkam Yap manjing lagi, tanpa terasa
mereka menjerit kuatir pula.
"binatang!" bentak Manjing sambil menabas,
namun anjing itu tidak kurang gesitmya, ia sempat
menghindar dan mendekam di tanah dan siap
menubruk maju lagi.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh dari
luar berlari masuk lagi berpuluh petugas
bersenjata. Bekernyit kening Lamkiong Peng,
dihindarkannya sekali serangan Kim sian loh, lalu
bentaknya, "jika engkau tidak segera berhenti bikin
jelas dulu persoalannya, jangan menyesal bila
aku........."
Belum habis ucapannya mendadak seorang
membentak, "Berhenti semua!"
Menggelegar suara bentakannya, menyusul
angin tajam lantas menyambar dari uadara,
sebatang tombak dengan ujung terikat sehelai
panji merah meluncur tiba dan "crat", tombak
menancap di halaman.
Kim sian loh tekejut dan melompat mundur dari
kalangan. Terdengarlah suara seorang tua sedang menegur
dari jauh, "Kim-pohtau, apakah penjahatnya sudah
kau temukan?"
Begitu lenyap suaranya, muncul juga seorang
kakek berambut ubanan dan berpakaian perlente,
dahi lebar dan mulut besar.
"Hah, suma-lopiauthau datang, urusan menjadi
mudah diselesaikan, " seru kim sian loh girang.
Berbareng ia menuding Lamkiong Peng berdua,
"Penjahatnya berada di sini."
"Kau bilang dia penjahatnya?" tanya si kakek
dengan dahi bekernyit, jelas dia kurang senang.
"Betul, selain keduua muda mudi ini adalagi
begundalnya........"
"Tutup mulut!" bentak si kakek sebelum Kim
sian loh berucap lebih lanjut.
Kim sian loh tercengang dan menyurut mundur.
Sebaliknya si kakek lantas menyongsong ke
depan Lamkiong Peng, sapanya dengan menyesal,
"Ku datang terlambat sehingga Hiantit (keponakan
baik) mendapat perlakuan tidak pantas, harap
dimaafkan."
Lamkiong Peng tertawa sambil memberi hormat,
jawabnya, "Tak tersangka hari ini paman pun
datang kemari."
Si kakek alias suma tiong-thian menarik tangan
Lamkiong Peng dan berkata kepada Kim sian loh,
"Kim pohtau coba kemari."
Dengan bingung kim sian loh mendekati mereka.
"Kau bilang dia ini penjahatnya" Tanya si kakek.
Detektif yang biasanyan sangat angkuh ini
sekarang menjadi melenggong oleh sikap kakek
yang kereng ini, seketika ia tidak dapat menjawab.
"Sungguh aku merasa kuatir caramu
memecahkan setiap perkara, bila begini cara
kerjamu." Kata Suma tiong thian.
Kim sian loh memandang anjing kesayangannya
sekejap, sekarang anjing ini juga tampak jinak
setelah berhaapan dengan si kakek perlente.
"Wanpe sebenarnya juga tidak percaya,
kenyataannya........."
"Hm, kenyataan apa?" jengek si kakek, sebelum
lanjut jawaban kim sian loh, "Memangnya kau
tahu siapa dia?"
Ia merandek sejenak, lalu menyambung dengan
pandangan tajam, "Dia tak lain tak bukan adalah
putra kesayangan keluarga Lamkiong yang
termashur, murid sanjungan Put-si-sin-liong,
namanya Lamkiong Peng."
Keterangan ini membuat muka Kin sian loh
berubah pucat dan memandang Lamkiong Peng
dengan melongo.
Lamkiong Peng tersenyum, katanya,
"Sebenarnya urusan ini......."
Belum lanjut ucapnya, sekonyong-konyong
selarik sinar hitam menyambart tiba dari
kerumunan orang banyak.
Cepat Lamkiong Peng mengegos, si kakek pun
membentak dan menghantam, sinar hitam
terpental ke samping, berbareng ia terus memburu
kesana. Manjing tidak bersuara, segera ia pun melayang
ke tengah kerumunan orang banyak, tempat
menyambarnya senajta rahasia. Hampir bersama
saatnya dia dan Suma Tiong-thian tiba di situ.
Anjing si dewa emas juga menguntit di belakang
si kakek. Namun tiada seorang pun yang pantas
dicurigai, agaknya penyergap itu sudah menyelinap
pergi. "Apakah Locianpwe ini Thi-cian-ang-ki Suma-
Locianpwe?" sapa Manjing dengan tersenyum.
"Betul," jawab Suma tiong thian sambil
memandang si nona, "dan nona inikah Khong-jiok
Huicu yang termashur itu?"
Manjing hanya menggeleng sambil tersenyum.
Pada saat itulah terdengar seorang lelaki berbaju
panjang menuding keluar sambil berseru, "Itu dia
sudah pergi!.........sudah pergi!....sudah
pergi!........Ai, sungguh keji caranya
menyerang.........."
Belum habis ucapannya segera Suma tiong-
Thian dan Yap manjing memeburu ke arah yang
ditunjuk. Gemerdep sinar mata lelaki berbaju panjang ini
dengan semyuman licik, diam-diam ia hendak
menyusup pergi dari kerumunan orang banyak.
Tak terduga mendadak Lamkiong Peng sudah
mengadang di depannya sambil menegur, "Hm,
apakah sahabat mau pergi begitu saja?"
Terkejut juga orang itu.
"Selamanya kita tidak kenal dan juga tidak
bermusuhan, mengapa kau serang diriku dengan
senjata rahasia?" tanya pula Lamkiong Peng,
pelahan ia memperlihatkan saputangan yang
dipegangnya, pada saputangan itu ada sebatang
senjata rahasia berbentuk aneh, seperti jarum,
tajam kedua ujungnya, dan bercahaya hitam gilap.
"Am-gi (snejata rahasia) sekeji ini, kalau bukan
terhadap musuh besar mana boleh
digunakannya?" kata Lamkiong Peng pula.
"Kau .........kau bilang apa" Aku sama..... sama
sekali tidak paham" Ujar orang itu dengan muka
pucat. Berbareng itu kedua tangannya terus menyodok
ke dada Lamkiong Peng.
"Hm," Lamkiong Peng mendengus sambil
berkelit. Orang itu mengannggap lawan cuma seorang
pemuda lemah, segera ia mendesak maju dan
menghantam lagi.
Tak terduga, belum lagi hantamannya
dilontarkan, tahu-tahu kuduk bajunya dicengkram
orang dari belakang.
Keruan ia terkejut, sekilas melirik dilihatnya
Suma tiong-thian berdiri dibelakangnya dengan
muka kereng dan membentak, "Kaum tikus


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celurut, berani main gila di depanku!"
Sekali angkat kontan orang itu dilemparkan jauh
kesana. Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala,
pikirnya, "Sudah lanjut usia orang ini mengapa
perangainya masih keras begini." Bilamana orang
ini terbanting mati, kepada siapa lagi akan dikorek
keterangan pembunuhan di sini?"
Pada saat itulah mendadak bayangan orang
berkelabat lagi, orang yang dilemparkan Suma
tiong-thian itu telah dilempar kembali ke sini.
Cepat Suma tiong-thian menangkapnya kembali,
waktu ia mengawasi, ternyata Yap manjing telah
berdiri di depannya dengan tersenyum.
"Hebat amat ginkang nona. Jangan-jangan
murid Tan hong siancu" Kata si kakek.
Manjing tersenyum, "Sungguh tajam pandangan
Locianpwe, wanpwe memang murid Tan hong
adanya." "Hahaha, memang sudah kuduga, kecuali anak
murid Tan hong siancu, siapa pula yang dapat
mendidik murid dengan ginkang setinggi ini," seru
Suma tiong-thian dengan tertawa.
"Haha, sungguh menyenangkan, anak muda
memang selalu melampaui angkatan tua, inilah
kemajuan zaman."
Pelahan ia lemparkan tawanannya ke tanah,
dilihatnya muka orang sudah pucat pasi.
Lamkiong Peng memburu maju dan menegur,
"Sesungguhnya sebab apa sahabat menyerangku"
Siapa yang menyuruhmu" Asalkan mengaku terus
terang, tentub takkan kubikin susah padamu."
Orang itu menghela nafas, dipandangnya
sekeliling, mendadak sinar matanya menampilkan
rasa takut, lalu tutup mulut tanpa berucap
sepatah pun. Dengan kikuk Kim sian loh melangkah maju,
katanya, "hamba mempunyai cara untuk membikin
dia mengaku terus terang, entah bolehkah
kucoba?" Suma tiong-thian mendengus, "orang ini pasti
tidak ada sangkut paut dengan perkara
perampokan ini, hal ini tidak perlu kau ributkan.
Betapa bodohnya kaum penjahat di dunia tentu
juga tidak mau berdiam di sini setelah berbuat
kejahatan. Mengenai urusan lain, hm, kukira tidak
perlu Kim pohtau ikut campur, aku sendiri
mempunyai cara untuk mengorek keterangannya."
Kim sia loh mengiakan dan mengundurkan diri
dengan kikuk. Suma tiong-thian menjengek, mendadak
mencengkram tulang lemas pundak orang itu, lalu
bertanya dengan suara tertahan, "Atas suruhan
siapa, lekas mengaku!"
Kontan butiran keringat merembes di dahi orang
itu, namun dia tetap tutup mulut tanpa bersuara
apa pun. Waktu suma Tiong-thian memperkeras
remasannya, tak tertahan lagi orang itu merintih
kesakitan, namu tetap tidak mau bicara.
"Aku tidak terluka, jika dia tidak mau mengaku,
biarkan saja," ujar Lamkiong Peng.
"Hiantit tidak tahu, keluarga Lamkiong kalian
saat ini sedang menghadapi ujian berat bahwa
orang ini sengaja menyerang dirimu secara
menggelap, jelas pasti ada dalangnya di belakang
layar, mana boleh disudahi begini saja?"
"Ujian berat apa?" tanya Lamkiong Peng.
Suma tiong-thian menghela nafas sedih,
tuturnya, "Urusan ini agak panjang untuk
diceritakan, untung Hiantit sudah akan pulang ke
rumah........Ai, tiba saatnya tentu engkau akan
tahu sendiri."
Lamkiong Peng tambah bingung dan entah
terjadi apa dengan keluarganya. Ia menunduk dan
termenung, mendadak dilihatnya kabut tipis
mengambang dari permukaan bumi, hanya sekejap
saja sudah menyelubungi telapak kaki orang
banyak. Tergerak hatinya, waktu ia menengadah, sang
surya terang benderang di langit, cepat ia
membentak, "Lekas mundur, kabut berbisa!"
Segera ia mendahului menyurut keluar.
Suma tiong-thian melenggong bingung,
tanyanya, "Ada apa?"
Tanpa terasa remasannya mengendur,
kesempatan itu segera digunakan orang itu untuk
meronta sekuatnya, lalu berguling ke sana dan
menghilang di balik kabut.
Seketika terjadi kekacauan, segera Suma tiongthian
mengejar sambil membentak, "Hendak lari
kemana"!"
Cepat Lamkiong Peng berseru pula, "Lekas pergi
dari sini!"
Tanpa pikir Yap manjing menahan pundak
Lamkiong Peng terus melompat ke atas wuwungan,
waktu memandang ke sana, orang tadi agaknya
sudah mencampurkan diri di tengah kerumunan
orang banyak. Janggut panjang Suma Tiong-thian berkibar, ia
pun menyelinap kian kemari di tengah orang
banyak untuk mencari.
Kim sian loh lantas menarik rantai emas namun
anjing yang terantai itu seperti tidak mau tunduk
lagi pada perintahnya melainkan terus mengikut di
belakang Suma tiong-thian sambil menggonggong
pelahan. "Kau tinggal disini, biar kubantu Suma
lociacpwee membekuk kembali orang tadi" pesan
Manjing kepada Lamkiong Peng.
"tidak perlu lagi," ujar anak muda itu.
"Tentang asal-usul orang itu sudah kuketahui.
Yang tak tersangka adalah dalam waktu sehari dua
hari saja orang-orang ini sudah dapat memupuk
kekuatan seluas ini."
"Orang siapa maksudmu?" tanya Manjing
dengan bingung.
Dilihatnya air muka Lamkiong Peng mendadak
berubah dan berseru, "Wah, celaka!" Segera ia
membalik tubuh dan berlari kesana , karena badan
masih lemah, hampir saja ia jatuh keserimpet.
Cepat Manjing memburu maju untuk
memegangnya sambil bertanya, "Hendak ke mana
kau" Ai, ada sementara urusan mengapa tidak
kaukatakan terus terang padaku?"
"Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu sampai di
mana perkembangan urusan ini.......Ai, saat ini
sungguh kuharap bisa tumbuh sayap untuk
terbang pulang ke rumah," demikian ucap
Lamkiong Peng dengan sedih.
Tiba-tiba timbul semacam firasat yang tidak
enak, seperti berbagai macam malapetaka akan
menimpa keluarga Lamkiong, terutama bila
teringat kepada gerombolan "hong-uh-biau-hiang"
(dupa mengambang di tengah hujan angin) yang
begitu luas pengaruhnya, sungguh tambah besar
rasa kuatirnya.
"Apakah engkau mau pulang?" tanya Manjing
dengan hampa. "Ya dan engkau....." jawab Lamkiong Peng ragu.
"Apakah perlu kutemanimu?" Mencorong sinar
mata si nona. Lamkiong Peng mengangguk dengan pikiran
kusut, selain sedih terhadap urusan yang dihadapi
keluarganya, kini bertambah lagi dengan
keruwetan benang cinta.
"Jika begitu marilah kita lekas berangkat," seru
Manjing girang. Segera ia menarik anak muda itu
dan diajak berlari pergi.
Asalkan berada bersama Lamkiong Peng, urusan
lain sama sekali tidak terpikir lagi olehnya.
Kabut makin tebal, orang banyak menjadi kacau
dan akhirnya bubar.
Dengan muka masam dan mengepal tinjunya
Suma Tiong-thian mengentak kaki dengan geram.
Selama hidupnya malang melintang di dunia
kangouw, tak terduga sesudah tua berbalik banyak
mengalami macam-macam gangguan, sekarang
seorang kroco malahan dapat kabur di bawah
tangannya. Tentu saja ia dongkol dan juga heran.
Waktu ia berpaling, dilihatnya Kim-sian-loh
masih berdiri di belakang dan sedang
memandangnya dengan bingung. Anjing berbulu
emas si dewa emas jugga mendekam di samping
kakinya dengan jinak.
IA menghela nafas pelahan dan mengelus kepala
anjing itu, katanya, "Dunia kangouw memang
banyak gelombang badai, apakah engkau tidak
ingin pensiun saja, Kim pohtau."
Kim-sian-loh menunduk dan menjawab dengan
tergagap,"Wanpwee........."
"Kukira anjing ini pun sudah waktunya
kaupulangkan," kata Suma Tiong-thian pula.
"Tapi sudah belasan tahun Kim-sian ikut
padaku, sungguh aku.......aku tidak......."
"Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak
bubar," ujar suma Tiong thian dengan gegetun."
Apalagi, tentunya kau tahu majikannya saat ini
jauh lebih memerlukan dia daripadamu."
Kim-sian-loh berdiri termangu dengan
termenung. Tiba-tiba dari balik kabut sana muncul lima
sosok bayangan, seorang lantas menegur dengan
suara lembut, "Suma-cianpwee, apakah engkau
masih kenal padaku?"
Waktu Suma tiong-thian memandang ke sana,
tertampaklah seorang nyonya cantik baju merah
dan bermata jeli sedang melangkah tiba dengan
lemah gemulai, dengan girang ia menjawab, "Hah,
biarpun tua mataku belum lagi rabun, masakah
tidak kenal lagi padamu" Wah, bagus sekali.
Ternyata Ciok-heng juga datang. Eh dimana Liong
hui, mengapa dia malah tidak ikut kemari?"
Kiranya nyonya cantik itu ialah Kwee Giok he,
dengan menyesal ia berkata pula, "Ai, aku pun
sedang mencarinya kian kemari, tapi tidak.........ai,
salahku juga, mungkin aku berbuat sesuatu yang
membikin marah dia, kalau tidak, entah mengapa
dia........."
Mendadak senyumnya lenyap dan berubah
menjadi sangat sedih.
Kening Suma Tiong-thian bekernyit, katanya,
"Dan dimanakah So-so" Mungkinkah dia ikut
bersama Liong hui?"
Giok he mengangguk pelahan.
"Ah, anak ini........." gumam Suma tiong thian.
Yang berdiri di samping Ciok Tim yang ebrwajah
kaku itu terdapat pula Yim hong peng yang tampak
bersikap santai, ia berdehem lalu berucap, "Anda
ini mungkin ialah Thi-cian-ang-ki yang termashur
itu" Cayhe Yim hong peng."
"Yim hong peng"..........Ah bagus sekali, tak
tersangka dapat bertemu dengan Yim taihiap
disini?" kata Suma tiong-thian.
Sekilas dilihatnya jauh di belakang mereka
berdiri lagi dua orang serupa kaum budak ikut
dibelakang majikannya, jelas dikenalnya kedua
orang ini adalah kedua elang hijau dan kuning dari
Jit-eng-tong, gembong perusahaan pengawalan
yang termashur dahulu.
Dengan girang Suma tiong thian mendekati
mereka sambil menyapa, "Wi-heng dan Leng-heng,
masa kalian sudah pangling padaku?"
Siapa tahu si elang kuning Wi leng thian dan
elang hijau Leng Gin thian hanya saling pandang
sekejap seperti samasekali tidak mengenalnya,
mereka tetap berdiri diam dan kaku.
Suma tiong thian jadi melenggong sendiri,
katanya pula dengan mendongkol, "Hah, meski
ang-ki-piaukiok dan Jit-eng-tong perusahaan
sejenis, namun jalan yang ditempuh memang tidak
sama. Tak tersangka begini sempit jalan pikiran
kalian." Leng Gin thian dan Wi leng thian tetap diam saja
seperti tidak mendengar.
Yim hong peng dan Kwe giok he saling pandang
sekejap dengan sorot mata mengandung senyuman
puas, sedangkan Ciok Tim kelihatan merasa
kasihan kepada kedua jago pengawal tua itu.
Pelahan Giok he lantas menarik ujung baju
Suma tiong thian dan berbisik kepadanya, "Suma
cianpwee, ada sementara orang takkan menjadi
soal dijadikan kawan atau tidak.........Eh, betapa
gagah anjing ini, tentu inilah Kin sian yang
termashur itu?"
Kim sian loh memberi hormat dan menjawab,
"Betul, dan cayhe Kim sian loh, apabila nyonya ada
keperluan..........."
"Oya, hampir lupa kuberitahukan padamu," seru
Suma tiong thian mendadak, "Peng-ji juga berada


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disini!" "Gote Lamkiong peng maksud Cian pwee?" tanya
Giok-he. "Netul," jawab Suma tiong thian, waktu ia
berpaling, kabut tadi sudah mulai menipis, namun
di halaman sana kosong sepi tiada seorang pun.
"Peng-ji! Peng-ji!" cepat Suma tiong thian
berteriak. "Mungkin dia sudah pergi," ujar Giok he dengan
tersenyum. "Pergi?" heran juga Suma tiong thian.
"Akhir-akhir ini entah mengapa, bila melihat
diriku dan samte dia lantas menyingkir jauh,
padahal.....ai, umpama dia berbuat sesuatu
kesalahn, antra sesama saudara seperguruan tentu
juga akan kami maafkan." Giok he merandek
sejenak, lalu menyambung lagi dengan menyesal,
"Anak ini........pintar lagi cekatan, semuanya baik.
Kuharap kelak dia dapat melakukan sesuatu
pekerjaan besar, siapa tahu..........Ai!"
"Memangnya dia kenapa?" tanya Suma tiong
thian melenggak.
"Betapapun dia masih muda belia, hanya
lantaran seorang perempuan bejat dia tidak sayang
bermusuhan dengan orang banyak, "tutur Giok he.
"Demi membela Bwe-leng-hiat dia telah membunuh
Hui-goan Wi loenghing."
"Hah apa betul?" teriak Suma tiong thian terkeju
dan gusar. Giok he tidak menjawab melainkan menunduk
dan menghela nafas.
Yim hong peng juga menggeleng, ucapnya,
"Maklum anak muda!"
Dengan geram Suma tiong thian bergumam,
"Keluarga Lamkiong sendiri sedang gawat dan dia
masih bebruat demikian.........." mendadak ia
berpaling dan bertanya, "Apakah kautahu
perempuan she Bwe itu telah memperalat kemala
tanda pengenal Peng-ji untuk menarik harta benda
dari berbagai cabang perusahaan Lamkiong di
sekitar Se-an?"
Giok he melirik Yim hong peng sekejap, lalu
berucap dengan lagak terkejut, "Apa betul?"
"Berpuluh laksa tail perak memangnya bukan
urusan besar bagi keluarga Lamkiong, tapi
sekarang........" ia memandang ke depan dan
menghela nafas panjang.
Gemerdep sinar mata Giok he, katanya, "Apakah
keluarga Lamkiong mengalami sesuatu?"
"ya sesuatu yang luar biasa, bisa..bisa
bangkrut........" gumam si kakek.
Mendadak terlihat seorang lelaki berbaju hitam
berlari masuk dengan membawa sehelai panji
merah, rambut semerawut, nafas ngos-ngosan,
begitu masuk segera ia berlutut dan menyembah
sambil melapor, "Wah celaka
Ciongpiauthau!"..........."
"Ada apa?" tanya Suma tiong thian dengan
bengis. Orang itu melapor pula, "Beberapa cabang
perusahaan keluarga Lamkiong di Buwi, Tioya,
Kolong, Engting dan Lanciu, semuanya telah
dilelang, manjadi seratus lima puluh tail perak,
semuanya diringkas menjadi batu permata, selagi
diangkut sampai di Thayan
lantas........lantas..........."
"Lantas bagaimana?" bentak Suma tiong thian.
"Lantas dirampok orang tanpa meninggalkan
bekas, sambung orang itu, "kecuali hamba yang
merintis jalan di depan, saudara yang lain
seluruhnya..........seluruhnya telah terbunuh oleh
panji merahnya sendiri, melihat gelagatnya, tiada
seorang pun diantaranya sempat membela diri."
Belum habis ucapannya, tahu-tahu Suma tiong
thian berteriak terus roboh terkulai, jatuh pingsan.
Wajah Giok he dan Yim hong peng tampak
menampilkan rasa kejut juga, seperti sama sekali
tidak tahu menahu atas urusan perampokan ini.
********** Dari Sunyang lewat Pekho sampai di Ansia,
sepanjang jalan hanya ladang luas, jarang
kampung dan sedikit penduduk.
Waktu senja, di sebuah dusun kecil di luar kota
Ansia yang tenang, asap dapur mengepul sana-sini,
nyata sudah dekat orang makan malam.
Beberapa orang lelaki dengan baju robek dan
telanjang kaki tampak berdiri di depan satusatunya
penjaja makanan di dusun ini sedang
membeli kacang goreng dengan satu duit, atau
membeli siopia dengan dua duit sebiji, tiga duit
dapat memebeli secawan arak putih, empat duit
dapat dapat setahil daging rebus. Lalu
menongkrong di atas bangku panjang dan
menikmati makanan itu sambil minum arak serta
mengobrol ke timur dan ke barat.
Mendadak salah seoarang itu melenggong dan
mendesis sambil memandang ke depan sana,
"Lihat alangkah cakapnya sepasang muda mudi
ini. Wah juragan, tampakanya daganganmu akan
laris!" Penjaja makanan itu menoleh, terlihat dari ujung
jalan sana melangkah tiba sepasang muda mudi,
meski kelihatan letih akibat perjalanan jauh,
namun sikapnya tetap gagah dan anggun.
Penjual makanan yang sudah ompong itu
tertawa dan berkata, "Ah, mana orang sudi jajan di
tempat seperti ini........"
Tak terduga, tahu-tahu kedua muda mudi itu
langsung menuju ke tempatnya, si gadis berbaju
hijau yang cantik itu lantas mengeluarkan empat
duit dan berkata, "Beli siopia dua biji."
Dengan gugup kakek penjual makanan itu
membungkuskan dua siopia.
Sambil menerima bungkusan siopia, si nona
bertanya, "Sudah dekat Ansia bukan?"
Serentak beberapa orang menjawab, "Ya, sudah
dekat di depan!"
Gadis jelita itu memngucapkan teriamkasih dan
melanjutkan perjalanan bersama si pemuda.
Sambil berjalan si nona membagi siopia kepada
pemuda itu, katanya, "Lekas dimakan, biarpun
penganan udik juga perlu untuk menambah
tenagamu agar dapat menempuh perjalanan lebih
jauh, setiba di Ansi dapatlah kita mengambil dua
ekor kuda di cabang perusahaanmu, juga perlu
tambah sangu."
"Beberapa hari ini syukur bersamamu,
kalau........kalau tidak.........."gumam si pemuda
dengan gegetun.
Si nona menatapnya dengan sinar mata
mencorong terang serupa kerlip lampu di
kejauhan. Tidak lama kemudian mereka sudah memasuki
kota Ansia yang telah bermandikan cahya. Mereka
coba mencari cabang perusahaan keluarga
Lamkiong. Akan tetapi seorang di tepi jalan yang
ditanya memperlihatkan rasa heran.
"Kalian mencari toko milik keluarga Lamkiong?"
jawab orang itu. "Di kota ini sebenarnya ada
sebuah toko hasil bumi milik keluarga Lamkiong
yang terkenal, tapi ebberapa hari yang lalu toko itu
telah dioperkan kepada orang lain, semua
pegawainya juga telah dibubarkan. Kejadian ini
memang sangat mengherankan penduduk di sini."
Bagi Lamkiong Peng, bukan Cuma heran saja,
tapi juga gelisah dan cemas karena tidak tahu apa
yang telah terjadi.
Si nona berbaju hijau, Yap manjing, juga
melenggong, tapi segera ia tertawa dan berkata,
"Ah, untuk apa diherankan, bisa jadi Tunan besar
Lamkiong kita mendadak tidak mau berdagang lagi
dan ingin pensiun saja di rumah."
Tanpa pikir ia ajak Lamkiong Peng meneruskan
perjalanan keluar kota.
Hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda tanya,
"Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
Ia tidak dapat menerka, juga sukar mendapat
penjelasan. Hawa malam mulai dingin, waktu ia
menengadah, tertampak bayangan lereng gunung
memanjang di depan.
Itulah lereng gunung Butong, disana pula
terletak pusat ilmu silat perguruan temama, Bu
tong Pai yang termashur.
Sementara itu mereka sudah berada di kaki
gunung dengan pepohonan yang rimbun.
"Tentu engkau sudah lelah, biarlah kita mengaso
saja disini." Kata Manjing.
Mereka lantas mencari suatu tempat teduh dan
berduduk, untuk sejenak suasana terasa sunyi
senyap, tiba-tiba terdengar perut Lamkiong Peng
berkeruyukan. Manjing tertawa, "Hah, kau lapar lagi!"
Segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa
sepotong siopia, katanya pula, "ini, makanlah!"
Lamkiong Peng terharu, katanya dengan
kerongkongan serasa tersumbat, "Engkau
sendiri..........."
"Baiklah, kutahu engaku takkan mau makan
sendiri," ucap manjing dengan tersenyum sambil
merobek siopia itu menjadi dua dan separoh
diberikan kepada Lamkiong Peng.
Sambil makan siopia, Lamkiong Peng merasa
panganan ini jauh lebih lezat daripada makanan
apapun. Jika bukan dalam keadaan begini dan
penganan pemberian kekasih, mana dapat
dirasakan nikmatnya siopia itu.
Dcangan tersenyum Manjing berucap, "Pantas
kakek botak itu kemaruk harta, kiranya uang
memang pegang peranan sedemikian penting
dalam kehidupan manusia.........Eh, menurut
pendapatmu, apakah perampokan itu dilakukan
olehnya?" "Haya tenaga satu orang saja mana dapat
membunuh kawanan jago pengawal Ang-kipiaukiok
itu?" ujar Lamkiong Peng.
"Jika begitu, mengapa mendadak ia kabur tanpa
sebab?" "Ya, akupun tidak mengerti," jawab si anak
muda. Selagi manjing mau bicara lagi, mendadak
Lamkiong Peng menarik tangannya dan mendesis,
"Ssst, jangan bersuara!"
Terdengarlah suara orang tertawa
berkumandang dari atas lereng sana, seorang
tertawa sambil berkata, "Jika tidak ada urusan
penting, mana berani sembarangan kuganggu
ketenangan keempat totiang?"
Berubah air muka Maniing, bisiknya, "Coba
dengarkan, suara siapa ini?"
Tanpa pikir Lamkiong Peng menjawab, " siapa
lagi, jelas si tua gila uang itu!"
Logat kampung aslinya dari propinsi Soasai
memang sukar dilupakan oleh orang yang pemah
mendengar suaranya.
"Mengapa ia pun berada di sini........."
"Sssst!" desis Lamkiong Peng.
Rupanya beberapa orang itu sudah makin dekat,
terdengar suara seorang berucap dengan nada
berat, "Ada urusan, harap lekas bicara."
"Sepanjang jalan kukuntit di belakang Totiang
selama dua hari, tujuanku justru ingin mencari
suatu tempat bicara yang terahasia." Kata Ci Ti
alias gila uang.
Agaknya lawan bicaranya melenggak, lalu
berkata, "Bagaimana kalau kita bicara di atas
tebing sana?"
"Bagus sekali." Seru Ci Ti.
Terkesiap Lamkiong Peng berdua segera
terdengar suara angin mendesir, beberapa orang
itu telah melompat ke atas.
Ternyata keempat orang tepat berdiri di suatu
tebing yang mencuat di depan tempat sembunyi
Lamkiong Peng dan Yap manjing, Cuma mereka
berada di bawah pohon dan teraling oleh akar
tertumbuhan yang rimbun, maka mereka dapat
melihat pihak lawan dan lawan tak dapat melihat
mereka. Tertampak jelas empat tojin berjubah hijau dan
berkaos kaki putih, rambut disanggul tinggi dia
atas kepala, pedang tergantung di pinggang, di
punggung masing"masing menggendong sebuah
bungkusan kuning. Usia mereka rata-rata sudah
lebih 50an, sikapnya kereng berwibawa, jelas
mereka bukan orang sembarangan.
Seorang di antaranya berwajah kelam dan
berjenggot sehingga sikapnya terlebih gagah,
dengan berkerut kening ia lantas berkata, "Nah,
apa yang ingin Sicu bicarakan sekarang dapatlah
kaukatakan saja."


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silahkan duduk, silahkan duduk dulu," ujar si
kakek botak alias Ci Ti, lali ia mendahului duduk
bersila. "Selama ini kami tidak suka bergurau dengan
siapa pun, " ujar Tojin bermuka kelam itu.
Mnedadak si botak juga bicara dengan serius,
"Tempo sama dengan uang, aku pun tidak pemah
membuang-buang waktu untuk bergurau."
Keempat tojin saling pandang sekejap, lalu ikut
duduk bersila. Seorang tojin lain yang berwajah dingin meraba
tangkai pedang dan berucap, "Sesungguhnya apa
yang hendak dibicarakan Sicu?"
Ci Ti memandang cuaca sekejap, lalu berkata,
"Saat ini seperti sudah tengah malam, bukan?"
Selagi tojin bermuka kelam mendengus dongkol,
segera Ci Ti menyambung, "Tengah malam
kemarin........."
Baru selesai bicara demikian, serentak air muka
keemapt tojin itu berubah hebat, teriaknya, "Apa
katamu?" berbareng mereka pun meraba pedang
masing-masing. Selagi Lamkiong Peng terkesiap, terdengar Ci TI
terbahak dan berkata pula, "Tengah malam
kemarin, ketika keempat totiang memperlihatkan
ketangkasan kalian, mungkin tak pemah tersangka
ada orang menonton permainan kalian di
samping." Ia merandek sejenak, tanpa menunggu jawaban
ia meneruskan, "Tapi sebelumnya juga tidak kudga
bahwa kawanan permapok berkedok yang turun
tangan keji itu tak lain tak bukan adalah jago Bu
tong pai yang terkenal dan dipandang sebagai
pimpinan dunia persilatan, bahkan tidak ada yang
menyangka hal itu bisa dilakukan oleh Bu tong su
bok (empat pohon dari Butong) yang merupakan
para tertua andalan Bu tong pai."
Mendengar ini, jantung Manjing hampie
melompat keluar dari rongga dadanya, Dirasakan
Tangan Lamkiong Peng yang memegangnya juga
bergemetar. Bahwa kawanan tojin Bu tong pai bisa
menjadi perampok, sungguh berita yang amat
mengejutkan. Baru slesai Ci Ti berucap, serentak terdengar
suara bentakan, bayangan orang berkelebat, sinar
pedang pun menyambar, dalam sekejap Bu tong su
bok telah mengepung Ci Ti di tengah, ujung pedang
mereka pun mengancam di depan leher kakek
botak itu. Namun kakek botak yang aneh alias si mata
duitan itu tetap duduk bersila di tempatnya tanpa
bergerak, sikapnya tetap tenang, katanya, "Lebih
baik kalian tetap duduk saja, memangnya kalian
sangka urusan ini dapat diselesaikan dengan main
senjata?" Si tojin bermuka kelam membentak, "Omong
kososng, sembarangan memfitnah orang! Masa
kaukira Butong su bok tidak mampu
membinasakan kakek sialan macam dirimu ini?"
Ci Ti mendengus, "Memfitnah" Hm, numpang
tanya bungkusan apa yang kalian panggul itu?"
Ujung pedang yang mengancam leher si kakek
tampak bergetar, air muka Bu tong su bok juga
berubah hebat. "Hah, keempat totiang adalah orang cerdik dan
pintar, coba pikir saja, hanya aku saja sendirian,
kalau tidak ada bala bantuan yang telah kuatur,
masa kuberani sembarangan merecoki Bu tong su
bok yang termashur ini?" ejek si kakek botak.
Pendek kata, apabila malam ini kalian mencederai
diriku, maka dalam waktu lima hari saja setiap
orang Bulim pasti akan athu bahwa keempat tokoh
Bu-tong-pai yang temama dan disegani
sesungguhnya tidak lain adalah perampok belaka."
"Meski tersiar juga tidak ada orang mau percaya,
pada hakikatnya di sini tidak ada orang lain lagi,"
jengek si tojin muka kelam.
Kalau tidak ada api, dari mana datangnya asap,
sesuatu kejadian tentu ada sebabnya, apakah ada
orang lain yang tahu atau tidak, perlu kukatakan
lagi bahwa sebelum kudatang kemari sudah kuatur
segala kemungkinannya. Maka menurut
pendapatku, akan lebih baik jika kalian
meletakkan senjata saja dan coba bicara lagi."
Benar juga, pelahan keempat pedang yang
mengancam itu lantas diturunkan.
"Nah silahkan duduk, segala apa kan dapat
dirundingkan secara baik, aku si gila uang juga
bukan manusia tak tahu malu," ucap si kakek.
Tidak ada pilihan lain, perlahan Bu tong su bok
duduk kembali dengan air muka agak merah.
Nyata biarpun kungfu mereka cukup mengejutkan,
namun pengalaman kangouw mereka terlalu
dangkal. Segera si kakek mata duitan berkata pula,
"Sudah lama kudengar orang bilang Bu tong su
bok adalah tokoh saleh dan tinggi agamanya, kalau
tidak menyaksikan sendriri sungguh aku pun tidak
percaya kalian dapat berbuat demikian. Agknya
kalian baru pertama klai ini berbuat sehingga
sangat tegang, kalau tidak dengan ketajaman mata
telinga kalian tentu dapat mengetahui penonton
yang tak diundang serupa diriku ini."
Bu tyong su bok tertegun dan tidak dapat
menjawab. Ci Ti tersenyum, katanya pula, "Kerena kalian
baru pertama kali berbuat sungguh aku tidak mau
merusak nama baik yang kalian pupuk dengna
susah payah selama ini, asal saja kalian menerima
dua syaratku, selamanya akan kurahasiakan
kejadian ini."
Si tojin bermuka kelam adalah kepala Bu tong
su bok, namanya Ci pek tojin, si cemara ungu,
dengan kening bekernyit ia berkata, "Apa
syaratmu?"
"Urusan ini sebenarnya tidak sulit,
asalkan........."
Belum si kakek botak selesaikan ucapannya,
mendadak Ci pek tojin memotong, "Urusan apa
pun, asal sanggup kulakukan pasti akan kami
terima. Tapi entah cara bagaimana akan kau jamin
bahwa seterusnya kau pasti akan menutupi rapat
urusan ini dan takkan disiarkan!"
Ci Ti berpikir sejenak, katanya kemudian,
"Tentang ini.........." mendadak ia berbangkit,
telapak tangan kiri melindungi dada, telapak
tangan kanan terangkat ke depan, jari besar dan
jari telunjuk membuat lingkaran dan sisa ketiga
jari lain terjulur miring ke depan, sedikit ia
menarik nafas, serentak tubuhnya memanjang
lebih setengah kaki, lalu berucap, "Nah, apa yang
kukatakan tentunya dapat kalian percaya bukan?"
Lamkiong Peng dan Yap manjing sama terkesiap,
hampir berteriak. Sungguh mereka tidak menduga
si kakek botak yang semula kelihatan loyo dan
mata duitan itu mendadak bisa berubah gagah
perkasa.. Bu tong su bok juga kaget, Ci pek tojin lantas
bertanya, "Apakah Cian pwe ini salah seorang
tokoh ajaib yang termashur di dunia kangouw pada
30 tahun yang lalu dan konon sudah lama
mengasingkan diri, Hong tun sam yu adanya?"
Ci Ti alias si mata duitan hanya tersenyum saja,
dalam sekejap ia sudah keliahatn lagi keadaannya
yang konyol tadi.
Ci pek tojin menghela nafas, katanya, "Jika
benar Cianpwe adalah tokoh Hong tun sam yu
yang dahulu pemah menumpas kawanan iblis, apa
pula yang perlu kukatakan, cianpwee ingin
memberi petunjuk apa., terpaksa kami hanya
menurut saja."
Nyata keempat tojin andalan Bu tong pai yang
namanya disegani serupa ketuanya, Komg tiok
Tojin, kini ternyata juga jeri terhadap Hong tun
sam yu yang biasanya jarang muncul di dunia
persilatan itu. Maka dapat dibayangkan betapa
jayanya ketiga Hong tun sam yu ketika masih aktif
dulu. Manjing saling pandang sekejap dengan
Lamkiong Peng dengan heran.
Terdengar Ci Ti berkata pelahan, "Nah,
dengarkan pertama, hendaknya kalian serahkan
bungkusan yang kalian panggul itu kepadaku."
Bu tong su bok Melenggak dan saling pandang dengan serba
susah. Akhirnya Ci pek tojin menghela nafas,
pedang dimasukkan kembali ke sarungnya,
bungkusan yang dipanggulnya ditanggalkan,
dengan hormat ketiga kawanannya, jing tiong,
tokgo, dan koh tong tojin juga menirukan
perbuatan Ci-pek.
"Keempat bungkusan itu diikat menjadi satu",
kata Ci Ti. Segera Bu tong su bok membuka bungkusan
mereka, tertampaklah cahaya mengkilat
menyilaukan mata, ternyata isi keempat
bungkusan itu adalah batu permata yang tak
temilai jumlahnya. Sejenak kemudian isi keempat
bungkusan itu telah diringkas menjadi satu.
Ci Ti menerima satu kantungan besar itu lalu
berkata, "Harta benda ini adalah milik keluarga
Lamkiong yang diserahkan dalam pengawalan Angki-
piaukiok bukan?"
Bergetar tangan Lamkiong Peng.
Dilihatnya mata Ci Ti menampilkan cahya yang
aneh, lalu berkata pula, "dan urusan kedua, ingin
kutanya, sesungguhnya lantaran apa kalian
berempat rela mengorbankan nama baik untuk
merampas harta benda ini?"
Air muka Bu tong su bok berubah hebat, cipek
tojin menyapu pandang sekitarnya, suasana
malam sunyi, hanya angin mendesir dingin.
"Selain aku kukira tiada orang lain lagi," kata Ci
Ti. Lamkiong Peng menggenggam tangan Manjing,
tangan kedua orang terasa sedingin es.
Terdengar Ci pek tojin menghela nafas dan
berkata, "Apakah Cianpwe pemah mendengar
nama Kun mo to (pulau kawanan iblis)?"
"Kun mo to?" Ci Ti menegas dengan melenggak,
suaranya juga mengandung nada terkejut.
"Ya, entah sudah beberapa puluh tahun yang
lalu cerita tentang Kun mo to telah tersiar luas di
dunia kangouw," tutur Ci Pek pula. "Entah mulai
kapan dan entah bagaimana duduk perkaranya,
diam-diam Kun mo to telah mengadakan perjanjian
rahasia dengan ketujuh perguruan besar dunia
persilatan, yaitu pihak Kun mo to berjanji takkan
ikut campur urusan ketujuh pergruruan besar,
juga takkan mengganggu anak muridnya.
Sebaliknya Jit-toa-mui-pai (ketujuh perguruan
besar) harus berjanji akan mengerjakan sesuatu
rusan bagi Kun mo to, kapan dan apa pun."
Ia menghela nafas, lalu menyambung lagi,
"Perjanjian rahasia ini turun temurun diketahui
oleh para ketua dan beberapa tokoh terkemuka Jittoa-
mui-pai kami, yakni siau-lim, kun-lun, kongtong,
Tiam-jong, Gobi, Hoa-san dan Bu-tong pai
kami. Sudah lama perjanjian rahasia ini
berlangsung turun temurun, tapi sejauh ini Kun
mo to tidak pemah melaksanakan haknya, baru
akhir-akhir ini.........."
Ia menghela nafas lagi sambungnya, "Kira-kira
lebih sebulan yang lalu, medadak datamh kurir
pihak Kun mo to, kami diminta bilamana
mengetahui ada harta benda keluarga Lamkiong
yang dikirim lewat jarak ratusan li, di sekitar Bu
tong san, maka orang Bu tong pai kami
diharusakan merampasnya, juga wajib membunuh
setiap orang yang mengawal harta benda itu
dengan tanda pengenal merak sendiri, adapun
harta bendanya boleh terserah kepada kami untuk
diatur bagaimana baiknya."
Gemerdep sinar mata Ci Ti, katanya, "meski
perusahaan keluarga Lamkiong sudah bersejarah
ratusan tahun, tapi selian ada hubungan denga
perusahaan pengawalan umumnya tidak pemah
terdengar ada hubungan lain dengan orang
persilatan, mengapa keluarga Lamkiong bisa
bermusuhan dengan pihak Kun mo to?"
"Kami juga merasa heran," ucap Ci pek.
"mengingat perjanjian rahasia pihak Kun mo to
dengan Jit-toa-mui-pai kami sudah berlangsung
sekian lama dan sejauh ini tidak pemah
menggunakan hakknya, dapat diduga karena
mereka memandang hal ini sangat penting dan
tidak mau sembarangan menggunakan haknya.
Siapa tahu sekarang mereka justru menggunakan
hak ini untuk bertindak terhadap keluarga
Lamkiong yang tidak ada sangkut pautnya dengan


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia persilatan. . Cuma lantaran pejabat ketua
kami juga harus patuh kepada perjanjian leluhur,
juga tidak ingin bermusuhan dengan Kun mo to,
dalam keadaan terpaksa kami lantas di tugaskan
melakukan tindakan yang tak terpuji ini."
Jing siong tojin lantas menymabung, "Bukan
Cuma Bi tong pai kami saja yang bertindak,
kuyakin Gobi, Kunlun, Kongtong dan pergururan
lain pasti juga berbuat yang sama. Sungguh harus
disesalkan, entah ada permusuhan apa antara Kun
mo to dengan keluarga Lamkiong, biarpun keluraga
lmakiong kaya raya, tapi mana tahan bermusuhan
dengan Jit-toa-mui-pai?"
C Ti duduk termenung tanpa memberi
tanggapan, suasana menjadi sunyi.
Mendadak terdengar di bawah pohon yang
rimbun sana ada seruan orang tertahan, "Hei,
kau........."
Tahu-tahu muncul seorang pemuda cakap
dengan muka pucat dan mendekati Bu tong su
bok. Serentak Bu tong su bok berbangkit,. Ci Ti juga
berseru, "lamkiong Peng!"
"hah, Lamkiong Peng"!" Ci pek tojin bersuara
kaget. Langsung Lankiong Peng mendekati Ci pek tojin,
mendadak ia membentak dan melancarkan
pukulan. Ci-pek berkelit, lengan bajunya mengebas.
Karena dia menyesali perbuatannya, maka
kebasan lengan bajunya hanya digunakan untuk
menagkis saja, tak terduga Lamkiong Peng ternyata
tidak tahan oleh tenaga kebasannya, kontan ia
roboh terejngkal.
Sekonyong-konyonh bayangan orang berkelebat,
seorang gadis jelita melayang tiba dan menubruk di
atas tubuh Lamkiong Peng sambil menjerit, "Hei
kau........." segera ia mendongak dan memaki,
"Sebenarnya ada permusuhan apa antara keluarga
Lamkiong dengan Bu tong pai kalian" Kenapa
kalian bertindak sekeji ini?"
Bu tong su bok saling pandang dengan gugup
dan tak dapat menjawab.
Ci Ti memnadang Lamkiong Peng sekejap,
katanya, "jangan kuatir, dia tidak parah, hanya
karena tubuhnya masih lemah dan dirangsang
rasa murka, ditambah lagi rasa cemas, gusar dan
lelah, maka mendadak ia jatuh pingsan dan bukan
terluka dalam, asal mengaso dua hari dan makan
sedikit obat tentu akan sembuh."
Pelahan Manjing mengangkat tubuh Lamkiong
Peng, ucapnya dengan gemas, "Hm, baru sekarang
kutahu wajah asli Bu tong pai, ternyata semuanya
Cuma manusia rendah dan tidak tahu malu
belaka. Tunggulah pembalasanku."
Habis berkata ia lantas melangkah pergi.
Tapi bayangan orang lantas berkelebat, Bu tong
su bok telah mengadang di depannya, "Nanti dulu
nona !" "Kau mau apa lagi?" bentak Manjing.
Ci pek menghela nafas, "Kami bertindak
demikian sesungguhnya juga terpakasa, mohon
nona dapat memahami kesulitan kami."
"Hm, kesulitan apa?" jengek manjing.
"Demi kepentingan pihak sendiri lantas
mengadakan perjanjian rahasia dengan kaum iblis
dan sembarangan berbuat tanpa menghiraukan
kepentingan orang kangouw, sungguh rendah dan
memalukan."
Bu tong su bok melongo oleh maikan si nona.
Ci Ti berdehem dan coba menyela, "Nona...."
"Peduli apa denganmu?" damprat Manjing
dengan melotot, "Bagimu, asal ada duit, habis
perkara, apa yang perlu kaukatakan?"
Ci Ti melenggong juga.
"Nah, kalau kalian mau, boleh silahkan cincang
saja diriku di sini, kalau tidak hendaknya lekas
menyingkir dan memberi jalan." Bentak Manjing.
"Maaf nona, kami tidak ingin membikin susah
nona, juga tidak dapat membiarkan nona pergi dari
sini, terpaksa mesti minta nona suka tinggal
sementara di suatu tempat, nanti kalau..............."
"Nanti apa?" bentak Manjing sebelum lanjut
ucapan Koh tong tojin, "Barangkali kalian sedang
mimpi, kalian kira nonamu dapat kalian
perlakukan sesukanya" Biarpun Bu tong su bok
terkenal di dunia kangouw juga aku Yap manjing
tidak jeri."
Pada saat itulah mendadak seorang tertawa
nyaring dan mendengus, "Hm, empat orang tua
mengerubut seorang nona cilik, terhitung orang
gagah macam apa?"
"Siapa"!" bentak Bu tong su bok dengan kaget.
Segera suara orang itu tertawa pula, "Hihi
jangan takut, adik cilik, Tacimu datang
membantumu!"
Belum lenyap suaranya sesosok bayangan orang
lantas malayang tiba dari bawah tebing.
Diam-diam Bu tong su bok terkesiap oleh
ginkang orang yang hebat.
Ternyata kedua pendatang seorang lelaki dan
seorang perempuan, yang lelaki gagah tampan,
Cuma sikapnya rada angkuh, yang perempuan
cantik molek mempesona.
"Bwe kiam soat!" seru Manjing. Kedua pendatang
ini memang Bwe kiam soat dan Cian tong lai
adanya. Bu tong su bok terkejut.
Dengan tertawa genit Kiam soat berucap, "Adik
cilik, coba beritahukan padaku, apakah beberapa
tosu brengsek ini hendak mengerubut dirimu" Biar
kuhajar adat kepada mereka."
Manjing menarik muka dan mendengus,
"Urusanku tidak perlu kau ikut campur."
"Ahh, masih juga kau bicara segalak ini?" uajr
Kiam soat dengan tertawa. "Kau pondong seorang
lelaki sebesar ini, mana bisa kau lawan keempat
tosu ini. Kalau aku tidak kebetulan pergoki
kejadian ini, bukan mustahil nona jelita seperti
dirimu ini akan dikerjai orang."
Sembari bicara ia pun tertawa terkial-kial serupa
tangkai bunga bergoyang tertiup angin.
Muka Ci pek tojin yang kelam itu tambah gelap,
katanya , "Nama kebesaran nona Bwe sudah lama
kami kenal, namun caramu bicara itu hendaknya
tahu aturan sedikit di hadapan kami."
"Eh tong-lai, coba kaudengar, cara bicara tosu
tua ini bukanlah terlampau latah?" tanya Kiam
soat kepada pemuda yang berdiri di sebelahnya.
"Hehe, memang, kukira memang agak terlalu
latah," Cian tong lai mengangguk seperti orang
linglung. "Bukan urusan kalian, lekas kalian pergi..........."
jengek Manjing.
"Urusan kami atau bukan, yang pasti akan
kuikut campur, kukira akan lebih baik jika kau
pergi saja membawa dia lebih dulu," ujar Kiam soat
dengan tertawa.
"Baik, biar ku pergi," kata Manjing dan segera
hendak melangkah.
"Nanti dulu!" bentak Koh-tong Tojin.
"Eh, apa macamnya seorang tosu tua main
adang seorang nona cara begini?" segera Bwe kiam
soat mengejek. Waktu Bu tong su bok berpaling, ternyata si
kakek botak alias Ci Ti entah sudah menghilang ke
mana. Koh tong tojin berkata pula, "Sudah lama kami
dengar ilmu silat nona meliputi intisari berbagai
aliran temama dan sukar diukur dalamnya.
Sekarang nona bersikap segarang ini terhadap
kami, agaknya engkau sengaja hendak pamer
kepandaian di sini?"
Serentak Jing siong dan Tok go tojin berputar
dan siap di belakang Bwe kiam soat, hanya Ci pek
saja dengan muka kelam tetap berdiri di depan
lawan. Kiam soat tersenyum tak acuh, katanya sambil
melirik kawannya, Tong-lai, coba ada orang berani
bicara kasar padaku, masa engkau tidak memberi
hajar adat kepada mereka?"
Alis Cian tong-lai tampak menegak, serunya,
"Orang beragama bersikap sekasar ini, memang
pantas diberi hajar adat!"
"Huh, anak ingusan juga berani bicara tentang
hajar adat terhadap Bu tong su bok?" jengek Koh
tong tojin dengan gusar.
"Bu tong su bok?" melenggak juga Cian tong-lai.
"Ya, itulah kami berempat!" sahut Koh tong
sambil melolos pedang.
"Hm, memangnya mau apa jika Bu tong su bok?"
bentak Cian tong-lai mendadak, sekali melangkah
maju, segera telapak tangannya menabas iga Koh
tong. Sebenarnya antara Bu-tong pai dan Kun-lun pai
perguruan Cian tong-lai ada hubungan erat, tapi
pemuda yang angkuh dan biasanya suka bertindak
menuruti watak sendiri ini sekarang tidak
menghiraukan hubungan baik segala demi
membela si cantik.
"Kurang ajar!" bentak Koh tong tojin sambil
menggeser ke samping, berbareng pedangnya balas
menabas pergelangan tangan Cian tong-lai.
Gerak menghindar yang cepat dan serang
balasan yang lihai.
Tak terduga Cian tong-lai lantas mendesak maju
malah sambil menghantam lagi, dengan tangan
yang lain ia tolak tangan lawan yang berpedang.
Koh tong terkejut, cepat ia melompat mundur
dan membentak, "Apakah kau murid Kun-lun pai?"
"Kalau murid Kun-lun pai lantas mau apa?"
jawab Cian tong-lai sambil melancarkan pukulan
tiga kali di tengah berkelebat sinar pedang lawan.
"bagus serangan hebat!" seru Kiam soat memuji,
"apabila ditambah lagi jurus Sam kun ce hoat (tiga
pasukan menyerang bersama), tosu brengsek ini
pasti akan kelabakan."
Kiranya dalam waktu beberapa hari yang singkat
ini, demi merebut hati si cantik, tanpa pikir Cian
tong-lai telah memberitahukan padanya segenap
intisari kungfu kun lun pai.
"Hm, boleh coba!" jengek Koh-tong Tojin sambil
berputar, secepat kilat pedangnya juga menusuk
tiga kali, tapi saking cepatnya scakan-akan hanya
satu jurus saja.
"Bu tong kiam hoat yang hebat!" puji Kiam soat.
"tapi coba rasakan jurus Sam kun ce hoat orang !"
DI tengah tertawa nyaringnya, dilihatnya Cian
tong-lai melompat ke atas, sebelah kaki
menendang pergelangan tangan lawan yang
memegang pedang.
Ketika Koh-tong tojin menarik peadngnya tahutahu
tangan Cian tong-lai menerobos masuk di
bawah cahaya pedang dan menusuk hiat-to maut
pada pelipisnya.
Mendadak Koh-tong tojin tarik pedang ke
samping, segera Cian tong-lai menerobos maju dan
menutuk Ki-bun dan Ciang-tai-hiat di dadanya.
Cepat Koh-tong putar pedangnya untuk
menabas, tapi Cian tong-lai lantas melompat ke
samping dan menghantam iga lawan.
Dengan terkejut Koh-tong mengelak, menyusul
pedang menusuk lagi. Tak terduga kedua tangan
Cian tong-lai lantas mengatup dan tepat menjepit
batang pedangnya dengan kuat.
Dalam kaget dan gusarnya koh-tong menarik
sekuatnya. Akan tetapi pedang serasa melengket di
tangan lawan dan sukar terlepas.
"Hehe, bagaimana, aku tidak berdusta, bukan?"
terdengar Bwe kiam soat berucap dengan tertawa.
Cian tong-lai tampak senang, bentaknya
mendadak, "Lepas!"
Tahu-tahu pedang Koh tong tojin tergetar
mencelat, cepat Koh tong melompat juga ke atas
untuk meraih kembali pedangnya.
Pada saat yang sama, Jing-siong Tojin telah
memburu maju, kontan pedang menabas
pergelangan tangan Cian tong-lai. Tok-go Tojin juga
tidak tinggal diam, berbareng ia pun menusuk iga
kiri musuh. "Hm, tidak tahu malu..........." jengek Bwe kiam
soat. Mendadak dirasakan angin tajam menyambar
tiba, pedang Koh tong tojin telah menabasnya
dengan cepat. Tapi Bwe kiam soat tidak berkelit atau
mengegos, tentu saja Koh-tong bergirang. Tak
terduga mendadak Bwe kiam soat menyurut
mundur, pedang Koh-tong menyambar lewat dan
mengenai dinding karang "trang", lelatu api


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

munerat dan membuat tangan Koh tong
kesemutan sendiri.
Di antara Bu-tong-su-bok meski masing-masing
mempunyai kungfu andalan, tapi bicara tentang
ginkang dan kiam hoat tiada yang dapat
menandingi Koh-tong.
Sekarang dia ternyata tidak sanggup melawan
Cian tong-lai, juga tidak mampu, mengalahkan
Bwe kiam soat, tentu saja ia malu dan gusar,
sedikit bergeser,, sebelah kakinya menendang dada
Kiam soat. "Hm, apakah ini pun jurus serangan seorang
tojin?" jengek Kiam soat sambil menghindar ke
samping. Di sebelah sana Jing-siong dan Tok-go berdua
telah mengurung Cian tong-lai di tengah sinar
pedang mereka, ilmu pedang mereka Liang-gikiam-
hoat dapat bekerja sama dengan sangat
rapat, meski sangat lihai kungfu Cian tong-lai juga
rada kerepotan.
Sementara itu Ci-pek Tojin berdiri menghadapi
Yap manjing, ia juga ghengsi, asal Manjing tidak
bergerak, ia pun tidak mau turun tangan.
"Apa benar kau larang aku pergi?" tanya
Manjing. "Urusan menyangkut nama baik perguruan
kami, terpaksa aku bertindak demikian," jawab Cipek.
Manjing menunduk memandang Lamkiong Peng
sekejap, muka anak muda itu kelihatan pucat dan
mata terpejam, nafas sangat lemah.
Ia kuatir dan mendongkol pula, tapi juga tak
berdaya, terpaksa ia berkata, "Bila aku bersumpah
takkan menyiarkan kejadian yang kulihat ini, tentu
aku boleh pergi bukan?"
Ci-pek tojin berpikir sejenak, tiba-tiba dilihatnya
sisutenya sudah diatasi Bwe kiam soat, pikirannya
berubah, katanya segera, "Nona berasal dari
perguruan temama, tentu saja dapat kupercayai
janjimu." Mendadak ia mnyingkir ke samping dan
memberi tanda, "Silahkan!"
Manjing jadi melenggak karena urusan berakhir
semudah ini, tapi mengingat keselamatan
Lamkiong Peng, tanpa bicara lagi segera ia angkat
kaki. Dalam pada itu dengan mengancam Hiat-to
maut punggung Koh-tong tojin segera Bwe kiam
soat berseru, "nah, ketiga totiang dapat berhenti,
barang siapa sembarangan bergeral lagi, terpaksa
ku............."
Sampai di sini sekilas dilihatnya Yap manjing
sedang melangkah pergi dan melompat terjun ke
bawah tebing. Tapi lantaran keadaannya juga
sangat lemah, mendadak terdengar jeritan Manjing
yang jatuh di bawah.
Tanpa pikir Kiam soat mendorong Koh-tong dan
ikut melayang turun ke bawah.
Cepat Ci-pek bertiga membangunkan Koh-tong
yang terluka itu. Sedangkan Cian tong-lai segera
menyusul Bwe kiam soat ke bawah tebing,
serunya, "Nona Bwe, kita pun dapat pergi saja."
Rupanya berhubungan selama beberapa hari ini
di antara mereka sudah tambah akrab, Cian tonglai
jadi semakin terpikat.
Dilihatnya Bwe kiam soat sudah berada di
samping Yap manjing dan ingin menariknya
bangun, tapi Manjing sedang mendengus, "Tidak
perlu, aku dapat berdiri sendiri."
Cian tong-lai memburu maju, jengeknya, "Hm,
sungguh orang yang tidak tahu budi, baru saja kita
membebaskan dia dari kesukaran, sekarang dia
tidak tahu terimakasih lagi."
Meski jatuh terduduk karena lompat dari
ketinggian, namun Lamkiong Peng masih tetap
dalam rangkulannya, sekarang Manjing lantas
melompat bangun dan menjawab, "Hm,
memangnya kalian yang membebaskanku dari
kepungan musuh?"
"Ya, kau sendiri yang tinggal pergi," ujar Kiam
soat dengan tertawa, "Eh, adik cilik, kau mau
kemana?" "Ku pergi kemana, apa sangkut pautnya
denganmu?" jengek Manjing.
"Siapa yang peduli," sela Cian tong-lai dengan
gemas sambil menarik lengan baju Bwe kiam soat,
"Jika dia tidak tahu diri, marilah kita pergi saja."
Tapi Bwe kiam soat tidak menghiraukannya,
katanya pula kepada Manjing, "Adik cilik, kau
gendong seorang sakit, tenagamu lemah di sekitar
sini juga sukar mencari tempat pondokan, hanya
seorang diri ke mana kau mau pergi?"
Manjing menjadi ragu juga, tubuh sendiri
memang lemah, tidak membawa biaya pula, apalagi
tidak kelihatan rumah penduduk di sekitar situ.
Jika tidak mendapat pertolongan sungguh keadaan
Lamkiong Peng memang menguatirkan.
Sejenak kemudian barulah ia menjawab, "Habis
bagaimana?"
"Marilah kita meneruskan perjalanan bersama
dan menyembuhkian penyakitnya dahulu," kata
Kiam soat. "Kau mau pergi bersama mereka?" seru Cian
tong-lai, "Bukankah kita akan pergi bersama."
"Berdasarkan apa kau ikut campur urusanku"
Jengek Kiam soat mendadak.
"Bukankah .......segala apa sudah kuberitahukan
padamu, mengapa kau..........."
"Semua itu kau lakukan dengan sukarela,
apakah pemah kujanjikan sesuatu kepadamu?"
jawab Kiam soat dengan ketus.
Cia tong-lai melenggong, mendadak ia berteriak,
"Tapi..........tapi engkau tak dapat pergi........jangan
tingggalkan aku............."
Segera ia menubruk maju dan bermaksud
merangkul Bwe kiam soat.
Sambil bekernyit kening Kiam soat membentak,
"Lelaki hina!"
Kontan sebelah tangannya menghantam. Sama
sekali Cian tong-lai tidak mengelak dan
menghindar, "plak", pukulan itu tepat jatuh
mengenai dadanya dan mencelat jauh ke sana,
roboh dan pingsan seketika.
Kiam soat mencibir, katanya kepada Manjing,
"Marilah kita pergi!"
Manjing hanya menoleh sekejap, akhirnya ikut
pergi tanpa bicara.
Diam-diam Manjing membatin, "Pantas setiap
orang bilang dia berdarah dingin, tingkah lakunya
memang keji dan dingin. Tapi........terhadap
Lamkiong Peng tampaknya dia tidak dingin."
Dalam pada itu terdengar Bwe kiam soat lagi
berkata, "Ada sementara lelaki di dunia ini
memnag menggemaskan, asalkan kau beri sedikit
kebaikan, dia lantas ingin menarik kcuntungan
darimu. Untung sekarang, bilamana terjadi belasan
tahu lalu, hm, jiwa orang she Cian itu tentu sudah
melayang."
***************
Lamkiong Peng berbaring di tempat tidur dan
tampak bergulang-guling dengan keringat
memenuhi dahinya. Ia sednag bermimpi buruk,
seperti beratus senjata lagi menghunjam
kepalanya, seperti api hendak membakarnya,
serupa setan iblis yang tak terhitung jumlahnya
hendak mengerubutnya.
Mendadak ia berteriak dan bangun, waktu ia
membuka mata, mana ada api, senjata dan setan
segala. DI bawah cahya lampu hanya kelihatan dua
raut wajah cantik molek yang sedang
memandangnya dengan cemas.
Setelah menenangkan diri, ia pandang Bwe kiam
soat dengan tercengang, katanya, "Engkau
.........engkau berada di sini?"
Kiam soat tersenyum manis, sebaliknya Manjing
menunduk sedih, pelahan ia meninggalkan kamar
Lamkiong Peng kembali ke kamar sendiri.
Sungguh kusut pikirannya, sampai jauh malam
ia tidak dapat tidur, pikirnya, "Yang dicintainya
ialah Bwe kiam soat, untuk apa ku bikin susah
sendiri dengan menyelipkan diri di tengah
mereka?" Setelah dipkir lagi pulang pergi, akhirnya ia
menghela nafas, ia membuka daun jendela dan
bergumam, "Ku pergi saja, semoga kalian hidup
bahagia selamanya dan aku pun........" tak tertahan
menitiklah air matanya.
Ia tidak tahu bahwa pada saat yang sama Bwe
kiam soat juga sedang termenung-menung di
kamarnya, ia pun sedag memikirkan nasibnya dan
berkeluh kesah, "Wahai Bwe kiam soat mengepa
engkau menjadi lupa daratan seperti ini, masa kau
lupa pada usiamu yang sudah tidak muda lagi,
dirimu pun berlumuran dosa, mana setimpal
dirimu baginya. Dia sudah sembuh, dia juga sudah
didampingi seorang gadis jelita yang pantas
baginya, untuk apa lagi kau tinggal di sini?"
Ia menghela nafas dan berbangkit, gumamnya, "
Biarlah ku pergi saja, kalau aku tidak pergi
sekarang, bisa jadi sebentar lagi aku tidak sanggup
pergi." Dengan sedih ia membuka daun jendela, dengan
perasaan berat ia memandang ke arah kamar
Lamkiong Peng, gumamnya pelahan "Ku pergi saja,
jangan kau sesalkan diriku, semua ini demi
kebaikanmu, padahal........masa aku tidak ingin
mendampingimu selamanya".........."
Tanpa terasa air matanya berderai, dengan
mengeraskan hati akhirnya ia melompat keluar
jendela dan meninggalkan kamar hotel.
Tidak ada yang tahu hampir pada saat yang
sama, di kamarnya Lamkiong Peng juga sedang
bingung memikirkan kedua nona itu, selama dua
tiga hari ini ia berbaring sakit di tempat tidur, ia
sedih akan malapetaka yang menimpa
keluarganya, juga murung bagi persoalan diri
sendiri yang terlibat di tengah cinta kasih dua nona
itu. Ia pikir keluarganya sedang menghadapi ujian
berat, hari depannya sukar diramalkan, betapapun
ia tidak dapat membikin susah kedua nona itu.
Akhirnya ia pun mengambil keputusan akan
tinggal pergi saja demi kebahagiaan kedua nona
itu. Ia ingin pulang dulu ke Kanglam untuk
menjenguk orang tua dan mencari tahu
sesungguhnya apa yang terjadi.
*********** Beberapa hari kemudian, di suatu malam yang
pekat dengan hujan angin, sebuah pintu gapura
megah berdiri tegak dalam kegelapan malam.
Dibalik gapura itu adalah jalan yang panjang
berliku diapit oleh pepohonan yang bergoyang
tertiup angin. Guntur menggelegar, cahaya kilat berkelebat,
sesosok bayangan orang tampak merandek dan
agak ragu untuk meneruskan langkahnya. Sekujur
badannya basah kuyup, bajunya tak teratur,
rambutnya semerawut dan mencucurkan air, entah
air hujan atau air keringat.
Kening orang itu bekernyit, ia menyapu pandang
sekelilingnya dengan sinar matanya yang tajam.
Nyata dia inilah Lamkiong Peng, malam ini juga
dia sudah pulang sampai di rumah disambut oleh
hujan angin yang keras. Kepulangannya membawa
tanda tanya yang belum terjawab, yang
membuatnya gelisah dan cemas.
Sepanjang jalan dari utara sampai ke selatan,
segenap cabang perusahaan keluarga Lamkiong
ternyata sudah ditutup seluruhnya, hal ini
membuatnya bingung dan juga kapiran sepanjang
perjalanan. Maklumlah, selama ini ke mana pun dia pergi
tidak pemah kekuarangan sesuatu. Tapi sekarang
dia tidak punya segalanya, dia tidak pemah
membawa sangu, untuk makan saja harus menjual
baju. Syukurlah sekarang dia sudah tiba di rumah
sendiri. Ia membusungkan dada dan mengusap air
yang membasahi mukanya , ia melangkah lagi ke
depan. Mendadak dari balik pohon di tepi jalan itu ada
orang yang membentak, "Berhenti!"
Di bawah sinar kilat dua sosok bayangan
melompat keluar dari kanan kiri jalan. Lamkiong
Peng berhenti dengan melenggak.
Dilihatnya dua lelaki berbaju hitam dan
memakai kedok, yang seorang bersenjata pedang
dan yangn lain memakai sepasang senjata potlot
baja, keduanya mengadang di depan dan menegur,
"Sahabat berani menerobos ke dalam Lamkiong
san ceng di tengah malam buta begini, apakah


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau sudah tidak sayang lagi pada nyawamu?"
Segera orang yang berpedang itu menusuk leher
Lamkiong Peng. Serangannya cepat, jurusnya lihai,
sekali serang segera hendak merenggut nyawa
orang. Lamkiong Peng melenggong, cepat ia berkelit
sambil membentak, "Berhenti dulu! Apakah kalian
tidak kenal siapa diriku".........."
Orang yang bersenjata potlot baja segera
menutuk dua hiat- to di dada V sambil
membentak, "Tidak peduli siapa pun, selama 30
hari ini dilarang masuk kes ini."
Lamkiong Peng melompat mundur dan berseru
pula, "Berhenti dulu, aku inilah Lamkiong Peng!"
Orang itu merandek sejenak, mendadak ia
tertawa keras dan berakata, "Haha, Lamkiong
Peng, dari mana datangnya Lamkiong Peng
sebanyak ini, termasuk kau sudah ada empat
orang memalsukan nama Lamkiong Peng untuk
masuk ke sini."
Sembari bicara pedangnya menyerang pula tiga
kali sekaligus.
Mau tak mau gusar juga Lamkiong Peng,
teriaknya, "Jika kalian tidak percaya, terpaksa
harus kuterobos secara paksa."
Sekali menghantam ia desak mundur orang
berpedang itu. "Saat ini Lamkiong san ceng sudah berada di
bawah lindungan 17 tokoh terkemuka, biarpun
setinggi langit kepandaianmu juga jangan harap
akan memasuki perkampungan ini!" teriak orang
bersenjata potlot.
Berbareng potlot bajanya lantas menutuk.
Serangan orang ini sangat lihai, setiap tempat
yang di arah selalu bagian yang mematikan.
Tentu saja hati Lamkiong Peng penuh diliputi
tanda tanya, sungguh kalau bisa ia ingin terbang
masuk untuk menemui ayahnya. Tapi apa daya,
kedua orang ini ngotot merintanginya dan sukar
memberi penjelasan. Menghadapi kerubutan
mereka, seketika Lamkiong Peng tidak mampu
melepaskan diri.
Terdengar angin berkesiur, kembali tiga sosok
bayangan melayang tiba.
Sekilas lirik lelaki berpedang lantas berseru,
"Ciok-loji, kedatangan musuh lain lagi lekas kau
papaki mereka!"
Lelaki berpotlot yang disebut Ciok-loji itu
berkerut kening, katanya, "Ketiga pendatang ini
tampaknya tidak lemah, lekas kau lepaskan isyarat
tanda bahaya saja."
"Hm, jika malam ini kita tidak mampu
mempertahankan pos penjagaan kita ini,
selanjutnya apakah kita ada muka utnuk menemui
orang?" Jengek lelaki berpedang.
Mendadak tangannya bergerak, tiga larik sinar
perak langsung menyambar ketiga sosok bayangan
yang melayang tiba di bawah hujan itu. Ciok-loji
tertegun sejenak, segera ia pun menubruk ke sana.
Dilihatnya seorang di antaranya mengayun
tangannya, kontan ketiga larik sinar perak tergetar
balik. Cepat Ciok-loji memukul, angin pukulan
menyambar, ketiga senjata rahasia itu dapat
dipukulnya jatuh.
"Siapa sahabat yang menerobos Lamkiong san
ceng di tengah malam buta ini, lekas mundur
kembali!" bentaknya.
Dilihatnya ketiga sosok bayangan itu berseragam
sama, baju hitam dan pakai kedok, kedua orang
kanan kiri bersenjata golok,
Harpa Iblis Jari Sakti 14 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Petualang Asmara 8
^