Petualang Asmara 8

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


kebebasan dalam arti kata yang selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram
sepenuhnya setiap saat oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja
takkan pernah berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku
dan selamanya kita bergerak demi aku masing"masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk aku masing-
masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara kelompok, antara ras,
antara bangsa! Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini" Bukan hanya
untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka, mengekor yang
sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa mencuri adalah tidak
baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah tidak baik. Namun dia tetap
mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia MENGERTI, dalam arti kata mengerti
sampai ke akarnya, mengenal diri dan keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan
menghapus semua itu sehingga lenyap tanpa bekas!
"Subo," Bi Kiok berkata lagi, "teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah
benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin mencari sebuah
bokor emas dan sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang" Biar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
207 membuang waktu seratus tahun, mana mungkin dapat memeriksa daerah Huang"ho
sampai habis"
"Engkau benar, Bi Kiok. Agaknya bocah itu berada di tangan orang lain. Suami isteri
yang lihai itu mencurigakan. Akan tetapi berat untuk melawan mereka seorang diri.
Biarlah sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi"ouw yang tidak jauh dari sini."
Bi Kiok mengerutkan alisnya yang hitam panjang kecil. "Telaga Kwi"ouw" Bukankah di
sana sarang Kwi"eng"pang?"
"Benar. Aku hendak menemui Kwi"eng"pangcu (Ketua Kwi"eng"pang), yaitu Kwi"eng
Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya ada
lima orang yang diakui sebagai tokoh"tokoh yang mewakili kelima penjuru. Aku mewakili
selatan, Kwi"eng Niocu mewakili barat, Ban"tok Coaong mewakili utara, Hek"bin
Thian"sin mewakili timur, dan Toat"beng Hoatsu mewakili daerah di tengah daratan.
Kabarnya mereka itu semua condong untuk bersekutu dengan Pek"lian"kauw dan
bersama"sama menyusun kekuatan untuk menghadapi pemerintah. Dengan bergabung
bersama mereka, tentu kelak akan terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu."
"Akan tetapi... Subo telah membunuh orang"orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai
tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala
yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka."
"Heh-heh, memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar
mereka membuka mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Orang-orang itu
berani menentangku, bukan" Sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti oleh
para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai murid Kwi-eng
Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!"
"Akan tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan
Subo atas diri para anggauta Pek-lian-kauw itu" Subo tidak hanya membunuh mereka,
akan tetapi makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan itu
untuk memperkuat diri Subo, dan biarpun teecu sendiri tidak suka karena jijik untuk
melakukannya, akan tetapi teecu tidak menentang. Hanya yang teecu sangsikan, apakah
pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat menerimanya?"
"Mereka sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti."
"Jadi mereka sudah mengerti" Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum
mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja."
"Hal itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok."
"Mengapa tidak Subo ceritakan kepada teecu?"
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku tidak suka
menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun kelak
engkau akan mengetahui.
Daripada mendengar dari orang lain yang mungkin memutarbalikkan kenyataan, baiklah
kaudengarkan riwayat singkatku yang menjadi pendorong mengapa aku hanya suka
mengganyang jantung pria."
Iblis Betina Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda
sekali, dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria.
Bu Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik bajak laut Jepang, karena
ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian ibunya dipaksa
menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia. Kemudian, dalam usia
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
208 empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang laki-laki tua bangsa Jepang dan
tinggal di Jepang. Biarpun tua, laki-laki itu adalah seorang pendekar samurai yang
kenamaan. Hanya sayang, kakek itu hanya memperisterinya untuk melayaninya dalam
keperluan sehari"hari belaka dan semenjak menjadi isterinya, jago samurai itu tidak
pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi siksaan dan barulah diketahui bahwa
jago samurai yang dalam istilah dunia persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar
pedang) itu pantang untuk tidur dengan wanita. Maka terjadilah hal yang wajar dalam
keadaan seperti itu. Seorang pemuda, tetangga mereka, seorang pemuda Jepang yang
tampan, menarik hatinya. Mereka saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya.
Namun pendekar Jepang itu, bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci
untuk menjadi lateri pemuda itu.
Namun, masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan saja
bagi Leng Ci. Suaminya, pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya,
segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi seorang
wanita yang disia-siakan oleh suami!
Pada waktu itu, Leng Ci pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang
pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke dua ini
bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi bajak laut.
Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke
dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta,
akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Belasan orang pria yang
sudah dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia betul-betul jatuh cinta kepada
seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup
bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!
Betapa menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar"benar dicintanya ini pun
tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia
kaum sesat, dan pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia
tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia telah "dijual" oleh suaminya kepada lima laki-
laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam
keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh
lebih dari sepuluh orang laki"laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak
uang! Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya telah terhina dan suaminya telah kabur
membawa uang hasil penjualan dirinya dan semua barang berharga dalam rumah. Bu
Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan
suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup"hidup! Itulah
pertama kalinya makan jantung pria semenjak itu, setiap membunuh seorang pria, dia
selalu makan jantungnya. Makin lama Bu Leng Ci makin lihai, apalagi ketika kemudian
dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu
Lam"hai Sin"ni (ibu Sie Biauw Eng) yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat
tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia memperdalam pula ilmu
pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka
hati menggemblengnya.
Selama Lam"hai Sin"ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani menjagoi di
daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya.
Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik
bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Dia telah mendengar akan kematian
Lam"hai Sin"ni, barulah dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di
daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia menjadi datuk dari kaum sesat
untuk daerah selatan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
209 "Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai
alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang"dengungkan, yang
diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya dipergunakan sebagai umpan
untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu berahinya terpenuhi, maka mulailah matanya
melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu,
aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!"
Biarpun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang
membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu
tengkuk Bi Kiok.
Maka berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai
Sungai Huang-ho menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di
barat. Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka
bertemu dengan lima orang laki-laki yang keluhatannya gagah perkasa dan yang
melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini
mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-
pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu
yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci. Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci
menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan!
Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau kaget, bahkan
tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata, "Aihh, sungguh beruntung sekali
dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe."
Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek, "Apakah kau membawa teman untuk
membalas pukulanku dahulu itu" Kalau hendak membalas, mengapa bukan gurumu
sendiri saja yang datang?"
Biarpun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-
hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar. "Maaf,
maaf... mana saya berani" Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami
diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk
hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan
dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw."
Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman "kartu nama" darinya itu
berhasil. Dia telah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapapun juga, dia
menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata,
"Apakah kalian mengenal seorang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan
Cu?" Kian Ti dan teman"temannya saling pandang. Mereka berlima adalah tokoh-tokoh Kwi-
eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan sudah mempunyai
pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap
Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tak pernah terjun ke
dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.
"Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe."
"Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya kalau kalian mencari mereka yang
berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawa ke Kwi-ouw. Aku dan
muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw."
Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi dan kelima orang itu lalu melanjutkan
perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan Bu Leng Ci. Sedangkan Bu
Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan diam-diam dia
mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
210 "Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh
lima orang itu?" Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
"Heh"heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat
menangkap suami isteri itu biarpun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya.
Akan tetapi peduli apa" Kalau lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu
menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri
itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang
bernama Kun Liong itu."
Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar
ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok
telah dapat menguasai perasaannya sehingga biarpun dia kaget bukan main, namun
tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.
Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu tidak lengkap. Yang hadir dalam
pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja.
Sedangkan dua orang datuk yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai
datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak
muncul. Hal ini mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw, maka atas persetujuan
bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan
diundang. Melihat sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio
menjadi ketuanya, Bu Leng Ci merasa iri hati sekali. Sebagai seorang perantau dan
petualang, melihat keadaan "rekannya" yang makmur ini, hatinya ingin sekali seperti
rekannya itu. Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang
letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dikurung hutan-hutan
pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang
tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini
disebut Telaga Setan. Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah
gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan
rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggauta Kwi-eng-pang yang
jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki"laki dan wanita. Pekerjaan para anggauta Kwi-
eng-pang, selain berlatih silat, juga sebagai nelayan di telaga, ada yang bercocok tanam
di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, ada pula yang berburu binatang di dalam
hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur
adalah "sumbangan-sumbangan" dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau
"pajak" yang diberikan baik secara sukarela karena takut atau dengan paksaan!
Telaga itu sendiri sebetulnya amat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi
semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan
telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali, Di sekeliling pulau, di dalam air
telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah
banyak penduduk sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga tewas dalam
kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.
Hanya para anggauta Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas
telaga karena mereka telah hafal akan rahasia di situ. Dengan demikian, selain
memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau
itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja
layaknya! Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
211 Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih.
Selamanya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tidak suka kepadanya
mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua!
Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biarpun usianya sudah mendekati enam
puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali, matanya masih terang dan
giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja!
Pakaiannya selalu bersih dan rapi, seperti pakaian seorang nyonya bangsawan, juga
rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal. Melihat
orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai
berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang
yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.
Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang
berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena sudah terkenal di mana-mana
nama ini, sudah diketahui semua orang bahwa wanita yang tak pernah keluar dari pulau
itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya. Hebatnya, setiap kali dia
turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya,
hanya melihat bayangannya saja dan mendengar suara ketawanya yang halus. Karena
sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu).
Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang
tampak hanya bayangannya.
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu!
Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari
dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.
Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak
angkat, juga merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu
Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah
tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi
putera seorang bangsawan, dan mengherankan kalau pemuda setampan ini menjadi
putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu! Wajah pemuda ini tampan dan
bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan
wajahnya selalu berseri. Akan tetapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu
terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri. Tidak ada seorang pun


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggauta Kwi-eng-pang sendiri
hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu datang-datang membentuk Kwi-eng-pang
sudah membawa seorang anak laki-laki bernama Liong Bu Kong yang menurut
pengakuannya adalah anak angkatnya.
Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apabila timbul iri dan ingin di dalam hati
Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang
Hwi Nio, hidup dalam kernewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus
orang lebih, disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.
"Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini," kata Bu Leng Ci
ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio
di tepi telaga, dalam sebuah taman buatan yang indah, di bawah pohon yangliu yang
bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!
"Engkau suka dengan tempat ini?" Kwi"eng Niocu bertanya tanpa mengangkat muka
karena dia sedang asik memeriksa kuku jari"jari tangannya. Kukunya panjang"panjang
dan terpelihara baik-baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing.
Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang
kang-ouw tangan dengen kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak
tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu
di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
212 sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa
lawan ke neraka! "Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?"
Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.
"Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?" tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
"Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan menyuruh aku menjadi kaki
tanganmu atau anak buahmu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik dan senyum yang menghias bibirnya amat
menyeramkan. "Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li" Kita adalah rekan
dan kedudukan kita setingkat, sungguhpun aku menjadi seorang pangcu dan engkau
hanya seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada
tempat ini dan aku menawarkan kepadamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak
buah, bukan pula sebagai pembantuku karena engkau memang bukan anggauta Kwi-
eng-pang."
"Habis, sebagai apa" Tamu" Mana ada tamu tinggal terus-menerus?"
"Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?"
Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk
mendengarkan dan menonton, diam saja namun diam-diam dia merasa tegang juga
karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan
main akibatnya. "Kwi-eng-pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan taat
kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal
kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada
sesuatu yang dingin dan menyerannkan di balik suara ketawa ini, seperti suara ketawa
seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang kurang kuat
batinnya. "Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati
dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau
kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, sedikitnya sepuluh tahun
lebih tua" Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang
Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?"
"Betapapun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini
sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan usia."
"Hemmm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia" Kaumaksudkan
kepandaian" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa
kepandaianku lebih tinggi daripada kepandaianmu?"
"Ah, aku tidak percaya!"
Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan dan Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio
sudah lupa akan kukunya, kini memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh
perhatian. "Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!"
"Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, aku diundang ke sini untuk
menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau
menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
213 kepadamu dan akan ditertawakan orang kalau aku sekarang bertanding melawanmu
sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan
bersekutu seperti yang direncanakan semula?"
Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. "Hi-hi-hih, Bu Leng Ci, engkau benar-
benar keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian kauanggap bertempur seperti
musuh! Dikalahkan dengan usia kau tidak mau, maka jalan satu-satunya untuk
menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur
kepandaian masing-masing!"
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Kini dia mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-
eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap ragu-ragu biarpun dia akan suka sekali
tinggal di tempat yang indah itu.
"Tetap saja tidak baik, Pangcu" Dia menggeleng kepala. "Kalau aku kalah atau menang,
tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat
ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang."
"Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah
indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong dan dapat dijadikan tempat
tinggal seorang di antara kita."
Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang
agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon"pohon.
"Hemm, kalau begitu, lain persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian
masing-masing" Dengan bertanding" Besar kemungkinan yang kalah akan tewas
seketika!"
Ang Hwa Nio mengangguk. "Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan
menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam
ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlumba, siapa
yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku."
"Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku"
Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, masih tidak apa, bagaimana kalau sampai jari
tanganmu ikut putus?"
"Hi-hi-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka, kataku tadi. Kita
bukan bertanding, melainkan berlumba. Llhat di permukaan air telaga itu, banyak ikan-
ikan kecil bukan" Nah, kita berlumba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan
itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang
lebih lihai kalau bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai
untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik."
Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlumba seperti itu. Betapapun
juga, samurainya lebih paniang dan tentu dia lebih cepat.
"Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?"
"Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah
menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara."
Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci.
Andaikata kalah sekalipun, bukan hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat
Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang
lebih rendah tingkat kedudukannya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
214 Betapapun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini
selalu penuh prasangka dan amat hati"hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas
dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi
sebabnya maka Ang Hwa Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai
saudara. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak
ada perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan
diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tidak
mungkin, atau tidak lumrah!
"Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apakah sebabnya engkau ingin
menjadi saudara angkatku?"
"Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, bukan hanya untuk
kepentinganku pribadi, melainkan juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai
wanita-wanita yang sama membenci pria."
"Eh" Apa maksudmu?"
"Dengar baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk,
bukan" Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut
pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat
kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, agak lebih
tinggi. Sekali waktu tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu yang
akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang.
Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di
antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kami" Mengertikah kau?"
Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang
itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang
datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Melawan seorang diri akan berat
sekali. "Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?"
"Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana" Maukah
engkau menjadi saudara angkatku?"
"Baik, mari kita mulai berlumba!"
Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepi pulau, memandang ke arah air telaga,
menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang-kadang tenggelam, bermain-main di
permukaan air. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biarpun
diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya. Dia pun sudah bosan diajak
merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya. kadang-kadang tidur di atas pohon, di
kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwa Nio berkata lirih. "Nah,
kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!"
Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Bu Leng Ci sudah mencabut
samurainya dengan gerakan kilat, setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-
ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang
Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan kedua lengannya bergerak cepat sehingga
sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
215 Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dua orang wanita sakti itu
dengan gerakan berputar di udara, dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan
mereka seperti burung walet beterbangan, indah dan cepat sekali membuat Bi Kiok
terbelalak kagum.
"Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!" Bu Leng Ci berkata bangga
dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
"Satu-dua-tiga... aihh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu hebat, Moi-
moi. Aku akan berpikir panjang dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!"
Kata Ang Hwi Nio setelah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di
permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
"Apa" Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!" Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio tertawa halus dan memperlihatkan kedua tangannya yang tadi dia
sembunyikan di belakang tubuhnya. Bu Leng Ci memandang terbelalak melihat betapa
kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing telah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan
itu telah berubah mengering seperti dibakar!
"Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya dapat membunuh sepuluh
ekor, tidak lebih banyak dan aku!" Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya dan kesepuluh ekor ikan itu terlempar
kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai
Bu Leng Ci. "Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa
ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke
darat" Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan
denganmu, Moi-moi?"
Bu Leng Ci tak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia lalu menjura dan
berkata, "Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku
senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo kau memberi hormat kepada bibi
gurumu!" Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju
menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata,
"Su"i!"
Ang Hwi Nio tertawa girang. "Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapa
namamu?" "Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i"
"Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kauterimalah hadiahku ini, Bi Kiok."
Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk
burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan
menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu dan
memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa. "Giok-hong-cu (Burung
Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di
dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
216 Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok.
Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.
"Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!"
Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena
kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi
seorang di antara datuk, yang manapun juga!
Sebuah rumah yang cukup indah dibangun di pulau kecil di sebelah timur untuk tempat
tinggal Bu Leng Ci dan muridnya, dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu
menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menceritakan
tentang bokor emas dan tentang suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai
Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.
Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggauta
Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia terheran dan
menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah
dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat
ibunya! Lebih girang lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja ltu
telah menjadi saudara misannya, biarpun hanya saudara angkat! Akan tetapi sikap Bi
Kiok yang selalu berwajah dingin dan pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga
pemuda ini pun membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main
dengannya. Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan empat temannya yang mentaati permintaan Bu
Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali
ke pulau dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang
dicarinya itu. Mereka juga girang sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang
terkenal itu kini menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan
mereka lebih kuat lagi biarpun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggauta
Kwi-eng-pang. Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci
itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggauta Kwi-eng-pai
karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tidak ada yang berani
mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat. Hanya Kwi-
eng-pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan kalau ada keperluan
mengantarkan sesuatu, Kwi-eng-pangcu selalu mengutus pelayan atau anggauta Kwi-
eng-pang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci
mati-matian seperti Bu Leng Ci. Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi
muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan taat
kepadanya. Yang tidak disukainya adalah kalau pria itu menguasainya atau lebih tinggi
tingkatnya daripada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai
adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.
Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau
kecil itu. Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas
tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang pendiam.
Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda
kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci yang
menyayang dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan seperti anak sendiri,
menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga dara itu setelah selama tujuh
tahun lebih menjadi muridnya, kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
217

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PADA suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan
ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera datang menumpang
perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.
"Seorang anggauta kita telah menemukan suami isteri yang pernah kausebut dahulu
itu!" Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberitahuan ini,
suaranya penuh ketegangan. "Dan isterinya yang menurut katamu dahulu terkena Siang-
tok-soa, ternyata tidak mati"
"Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap
Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!"
"Perlukah itu" Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan
perlu apa menawan orang tuanya?"
"Kalau kita tawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah
setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci."
"Mungkin karena kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa
mencarinya?"
"Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan
mengenal mukanya."
Diam"diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si
gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya
tidak tahu bahwa anak itulah yang mereka kini cari"cari. Entah bagaimana, dia tidak
tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong
hendak ditawan, dia merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia diam saja, hanya
menjawab karena kedua orang wanita sakti itu memandangnya penuh pertanyaan.
"Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong."
"Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus
menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang"orang yang
tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau,
barulah orang"orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik mereka
kini tinggal di Puncak Cemara di Lu"liang"san."
Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi
dia tidak membuka mulutnya karena tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia
sendiri tidak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan
sendiri setelah mengirim murid-muridnya.
Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala
dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak
jauh dari Kwiouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.
Seperti kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya berada di Puncak Cemara di
Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu telah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir
beracun, dan tak lama kemudian telah sembuh sama sekali, dia mengandung sehingga
terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dulu di tempat yang indah
menyenangkan itu.
Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu
sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke
bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
218 "Ah, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana," Yan Cu menarik napas panjang.
"Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng.
Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh..."
Cong San meraih pundak isterinya dan memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa
kasihan sekali kepada isterinya. "Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal di sini sampai
engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau
melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan adanya banyak bahaya di tengah jalan.
Setelah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita berangkat meninggalkan
tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san."
"Ke tempat Suheng?"
"Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal bersama isterinya, sedangkan
aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan
bantuannya, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu."
Yan Cu menarik napas lega. "Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau
Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau
berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini..."
Tiba"tiba tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu
merasakan ini dan keduanya menoleh. "Ada orang..." bisik Cong San. Mereka telah
berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.
"Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" Seorang di antara mereka
bertanya, suaranya kasar dan nyaring. Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira
bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka
berhubung dengan urusan Ma-taijin di Leng-kok tujuh tahun yang lalu.
"Saya bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan
Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?" jawab Cong San dengan sikap masih
tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik. Kalau benar
mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar.
Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja setelah lewat tujuh tahun masih akan
dibesar-besarkan.
"Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan pangcu kami untuk mengundang Ji-wi
menghadap pangcu."
Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Kalau bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi
hal yang gawat.
"Siapa pangcu (ketua) kalian?" Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia
bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.
"Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap
Pangcu sekarang juga!"
"Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah
ketua kalian dengan kami?"
"Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian,"
jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
219 Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin
kalau dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah amat
terkenal di dunia kang-ouw itu.
Pula, dia tidaklah demikian bodoh untuk datang memasuki guha harimau.
"Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng-pangcu dan tidak mempunyai urusan
dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang
saja ke sini untuk bicara."
Tiba-tiba enam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka
mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka berseru, "Manusia sombong!
Berani membantah perintah Pangcu?"
"Kawan-kawan, maju!"
"Kalian mau apa?" Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.
"Perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami
pergunakan kekerasan menawan kalian!"
"Singggg! Keparat, kalian mengira begitu mudah?" Yan Cu sudah mencabut senjata
pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh
lengannya. "Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka bergerak, kita lihat saja sampai di mana
kepandaian manusia-manusia sesat ini."
Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walaupun mereka
marah sekali. Yan Cu berdiri dengan siap dengan pedang di tangan sedangkan Cong San
sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangan.
Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena amat tidak baik bagi kandungan isterinya
kalau banyak mengerahkan sin-kang.
Enam orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara
menyeramkan ketika mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka
macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan
hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka. Ketua
mereka hanya memberi perintah untuk menangkap, tidak memberi tahu bahwa suami
isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan
menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Sekarang mereka mendapat
kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan
itu setelah melukai mereka. Betapapun juga, enam orang itu bukanlah orang
sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka sudah
berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu
menghadapi mereka, mereka dapat menduga bahwa suami isteri itu "berisi", maka tanpa
sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak
maju berenam, mengeroyok!
Terdengar suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya
senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka penuh
kekagetan karena dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar ke
sana-sini, juga mereka roboh malang-melintang, empat orang roboh terluka oleh
sepasang pit di tangan Cong-Sai, sedangkan dua orang lagi roboh dan terluka paha dan
pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami
isteri itu pindah dari tempat mereka!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
220 Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka
memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu
menghendaki, di lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah.
Mengertilah sekarang mereka, bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, biar
menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam takkan mampu menang!
"Pergilah kalian dari sini!" Cong San membentak dengan sikap keren. "Dan katakan
kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka
kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah
cepat!" Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa sukur karena tidak dibunuh,
mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Cong San dan Yan Cu saling pandang masih merasa penasaran dan juga terheran-heran
mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum
pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan bertemu pun belum dengan
ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum
sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.
"Kita harus pergi dari sini sekarang juga," kata Cong San. "Mereka itu berbahaya. Kalau
tadi mereka tidak memandang rendah kepada kita, agaknya belum tentu kita dapat
mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh."
"Aku tidak takut!" kata Yan Cu. "Masa kita harus melarikan diri dari mereka" Biarpun
Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!"
Cong San merangkul isterinya. "Aku percaya, isteriku. Memang kita tidak usah takut
menghadapi kaum sesat. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa selagi kau mengandung,
tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu
berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li
seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apalagi kebarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat
den lihai. Bukan aku takut, akan tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan
keadaanmu, sebaiknya kita mengalah kali ini. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-
eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang."
Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biarpun hatinya penuh dengan
rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu,
menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan hati-
hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini
Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.
Seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih menyambut kedatangan mereka
dengan ramah. Kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun ini tinggi kurus den
rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit den kuat. Dia ditemani oleh
seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, dan seorang laki-laki suami nyonya itu
yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek
Rambut Putih segera berseru girang, "Ah, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biarpun
hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!"
Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kebaikan Theng-
ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi
tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya."
Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, "Ahh, Nyonya Muda, kau
kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kauajaklah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
221 Nyonya Yap beristirahat di dalam." Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai
puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.
Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan
diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong
San duduk di ruangan dalam menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah
hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang
lalu berkata, "Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Sekali ini terpaksa saya hendak minta
bantuan Ciangkun, yaitu agar memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini
sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan."
Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang
hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai yang hanya dikenalnya
sepintas lalu akan tetapi yang telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa
pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang
dikaguminya. Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab, "Tentu saja boleh dan sama sekali
tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri,
anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya
ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan
kami menyambut kedatanganmu dengan gembira. Saya bukan seorang perwira
pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena sudah tua. Akan
tetapi... kalau boleh saya bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di
sini dan... dan... selama ini tinggal di mana" Sudah lama saya tidak pernah bertemu pula
dengan Cia Keng Hong-taihiap yang kabarnya berada di Cin-ling-san sehingga tidak
dapat bertanya pula tentang keadaanmu."
Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat dan menceritakan
riwayatnya yang malu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya
hilang, dan betapa dalam mencari puteranya mereka mengalami banyak hal berbahaya,
sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.
"Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa
kira, muncul malapetaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang." Dia menceritakan
tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan, "Kalau tidak
pergi cepat-cepat, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan
ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung,
maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat
kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun."
Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang-kadang mengangguk-angguk
adakalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Harap engkau
menenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai
melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini,
hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng
Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!"
Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan
bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia
sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan
masih menjadi raja muda di utara. Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata
ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya,
biarpun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang
gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini
mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang
menyerangnya di Lu-liang-san.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
222 Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas
perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih
sekali. Kakek Theng amat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri
Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan
Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap
menyenangkan. Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu
silat kepada Tan Cui Lin yang tentu saja sebagai cucu tunggal kakek Theng, sudah
mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut "suhu" kepada
Cong San, dan "subo" kepada Yan Cu.
Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga
Cong San mulai "membuka praktek" pengobatan di Tai-goan, yang mula-mula
diperkenalkan kepada sahabat-sahabat Kakek Theng sehingga dalam waktu beberapa
bulan saja namanya telah terkenal dan setiap hari ada saja yang datang minta resep


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena
dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung
mereka. Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan
seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi
nama Yap In Hong kepada anak itu. Atas bujukan dan nasihat Kakek Theng, karena
pekerjaan Cong San mulai maju dan banyak sudah penduduk yang menjadi
langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah
simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San
membeli sebidang tanah di Tai-goan. Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan
tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia
membangun kembali rumah itu dan tiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk
memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk
tinggal di Tai-goan!
Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula
membantu, mengatur ini itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah,
menanami bunga-bunga.
Membangun kembali rumah yang rusak itu memakan waktu berbulan-bulan, dan In Hong
telah menjadi seorang anak yang mungil dan hebat berusia setengah tahun lebih ketika
akhirnya rumah itu siap untuk ditempati. Pada hari terakhir itu, Cui Lin membantu
suhunya membersihkan rumah baru dan mengatur perabot rumah sederhana dengan
penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subonya, dan merasa
beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar
setahun lebih saja, dia telah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara
jujur oleh kakeknya sendiri.
"Ketahuilah, cucuku. Gurumu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yeg berilmu tinggi,
murid dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang. Dan subomu juga bukan orang
sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini
menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa
tahun lagi, kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu."
Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subonya mengambil keputusan untuk
tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu
suhunya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok
pagi keluarga suhunya sudah aku pindah ke rumah baru ini.
"Cui Lin, kaulanjutkanlah membereskan kamar ini bersama Phoa-ma (nama pelayan
wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
223 "Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti sudah
selesai," jawab dara itu gembira.
Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru
itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada
dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan
hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di
sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.
Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada
saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan dan
pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat
sekali! Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi
mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana
di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota
besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar daripada di
Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia
akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk minta bantuan suhengnya, Cia
Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong. Betapa akan bahagianya kalau
Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu
puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan
betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!
Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng, "Nyonya mantu! Lari..."
Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diaku
sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar teriakan yang penuh kegelisahan dari
kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu tiba-tiba terhenti, hatinya
khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia
menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan
dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke
ruangan dalam. Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika
dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher
hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di
ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di
tangannya. Agaknya kakek ini melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi
berteriak menyuruhnya lari.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk
matanya dia melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti
tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil
tersenyum-senyum menyeringai. Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu
Leng Ci! Yang empat orang lainnya dia tidak kenal, yaitu seorang wanita setengah tua
yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang
keadaannya menyeramkan.
"Apa... apa yang telah kalian lakukan?" Dia membentak, sedikit pun tidak merasa takut
biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini
tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.
"Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu," kata Bu Leng Ci.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
224 Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka. "Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau
dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?"
Yan Cu makin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang
Hwi Nio. "Hem, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat
Kwi-eng-pang?"
"Huh! Huhh!" Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan
ketawanya. "He-he-he!" Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. "Kalau dia tidak
takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang
datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!"
Gui Yan Cu memandang kakek bermuka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia
terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, "Jadi kalian berlima
inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?"
Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan
sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk"batuk, menggumam, "Dan engkau kabarnya
sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?"
"Benar! Aku dan suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, mengapa
kalian mengganggu kami dan membunuh orang"orang yang tidak berdosa ini" Beginikah
sepak terjang tokoh"tokoh besar yang mengaku sebagai para datuk" Seperti kelakuan
bajingan"bajingan kecil saja!" Yan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan
orang"orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut
karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan"pelayan
terbunuh seperti itu.
"Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri
oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu kami
perpanjang beberapa lamanya."
Mendengar ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri. Pertanyaan itu
membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan. Selamanya aku belum pernah mendengar
tentang bokor emas dan andaikata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan
memberitahukan kepada kalian?"
"Perempuan sombong! Kalau begitu mampuslah!" Kwi"eng Niocu sudah hendak
menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu
terbatuk"batuk, dan melangkah maju menghalangi Kwi"eng Niocu sambil berkata, "Nanti
dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba
Thi"ki"i"beng."
Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin
dia menghindarkan diri dari pertandingan mati"matian, segera mengelebatkan
pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan
menyamping ketika kakek itu mengelak.
Tiba"tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri,
kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan
menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini cepat sekali maka terpaksa Yan Cu
menganglcat tangan kiri menangkis.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
225 "Plakkk!"
Yan Cu terhoyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek it kelihatan kecewa,
tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel, "Mana itu Thi"khi"i"beng yang disohorkan
orang" Kalau hanya sedemikian saja kepandaian perempuan ini, tidak cukup pantas
melayani aku!"
Diam"diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali
dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biarpun dia memegang pedang, agaknya sukar
sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang
berjuluk Toat"beng Hoat"su, datuk yang penuh rahasia dan yang mungkin sekali paling
lihai di antara lima orahg itu.
"Aku pun ingin mencoba!" kata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek"bin
Thian"sin Louw"Ek Bu. Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat
sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar
pedangnya menangkis.
"Tranggg...!"
Kembali Yan Cu terkejut karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking
kuatnya tenaga yang terkandung di golok itu. Namun dia tidak menjadi jerih dan sudah
membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah. Sambil
tertawa"tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu menyambut dengan golok besarnya
dan terjadilah pertandingan yang seru, namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu
sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat membuat
pedangnya hampir terlepas dari tangannya. Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Bukan
mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini ia
dengar menangis di dalam kamarnya! Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi
bagaimana nasib puterinya yang belum ada satu tahun usianya itu kalau terjatuh ke
dalam tangan iblis"iblis ini" Mengapa suaminya belum juga pulang"
"Hek"bin Thian"sin, aku ikut berpesta, ha"ha"ha!" Suara ini keluar dari mulut Ban"tok
Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan.
Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek"bin Thian"sin yang membuat
tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu kini bertemu dengan pedang ular yang
didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan
pedangnya terlepas dari tangannya.
Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang wdah menyambar pedang
itu dan pada saat itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan
membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan
teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang
dimaksudkan untuk memanggil suaminya. Guratan kuku jari tangan Kwi"eng Niocu yang
mengenai pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung den pening
kepalanya. Namun ia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul
sebelum Kwi"eng Niocu menarik tangannya.
"Dukkk!!"
Biarpun Kwi"eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai
pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya
seperti lumpuh sejenak.
Dia marah sekali, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia
menubruk maju, tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
226 menangkis sebuah tamparan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi
tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya. Dia terpekik dan
terjengkang. Sebelum tubuhnya mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan
pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita
perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh telentang dengan dada tertembus
pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.
Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat
rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya den cepat sekali dia lari ke dalam
rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan
lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat.
Disambarnya puterinya itu dan dibawanya lari keluar. Ketika dia melihat mayat"mayat
bergelimpangan, mayat Kakek Theng, puterinya, mantunya den dua orang pelayan, Cong
San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus lari ke arah suara
pertempuran di ruangan dalam dan pada saat dia muncul di ambang pintu ruangan itu
dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!
"Yan Cu...!" Dia memekik dan meloncat ke dalam. Sejenak dia seperti terpesona
memandang jenazah isterinya, kemudian dia menyapu dengan pandang matanya kepada
lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum"senyum. Air mata mengalir di
sepanjang kedua pipi pendekar itu akan tetapi sepasang matanya tidak pernah berkedip
ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh
kepada jenazah isterinya.
"Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!" Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap
In Hong, anak kecil dalam pondongannya.
Tiba"tiba Cong Son membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu
Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu.
Biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, akan tetapi dia sudah
mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat. Biarpun kemarahan den
kedukaan menyesak dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat
menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan
mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.
"Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?" tanyanya dengan suara terdengar aneh
sekali, agak parau den nadanya bercampur tangis dan kemarahan.
"Hi"hi"hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?" Bu Leng Ci tertawa
mengejek. "Mengapa kalian memusuhi kami?"
"Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas
kaukatakan di mana dia dan di mana bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan
menyusul isterimu!"
Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat
orang berduka den sengsara. Bukan hanya dia, bahkan empat orang kawannya pun
demikian juga, pandang mata mereka seperti mata kanak"kanak melihat seekor cacing
menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan
gembira dan puas!
Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini,
bahkan bertanya lagi, "Siapa yang membunuh isteriku?"
"Aku yang membunuhnya, kau mau apa?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
227 belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan
senjata pit hitam di tangan kanannya.
"Siuuuuttt... wesss!"
Cepat bukan main serangan itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam,
menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak
sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan kaget sekali untuk
menyelamatkan dirinya.
"Brettt!" Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
"Keparat!" Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh
serangan itu tadi. "Srattt!" Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang
kabut. "Tring-tring-tranggg!"
Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu
adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundah Cong San, akan
tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya berkelebat menyambut untuk menotok
sambungan siku Si Bayangan Hantu. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati,
kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa
dengan dada tertembus pedang, agaknya melipatgandakan tenaga dan kecepatannya. Si
Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San
telah dikeroyok oleh empat orang diantara Lima Datuk itu. Hanya Toat-beng Hoat-su
seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan. Biarpun demikian, Cong
San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat
dikalahkannya. Betapapun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati"matian,
biarpun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya memondong puterinya yang
menangis nyaring.
Pertandingan yang berat sebelah, Yap Cong San adalah murid Tiang Pek Ho"siang. Dia
telah menguasai ilmu silat Siauw"lim"pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan
seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk"datuk
kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali dan beberapa belas jurus kemudian
dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja. Apalagi karena
empat orang lawannya adalah orang"orang sakti golongan hitam yang tidak pantang
melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok
sambil tertawa"tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang
Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan
pendekar itu. Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali.
Baru sekarang dia yang tadi dilanda kedukaan teringat bahwa puterinya yang masih kecil
dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya
pertahanannya untuk melindungi puterinya.
"Huh! Memalukan!" Toat"beng Hoat"su mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan
betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya belum juga mampu
merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok. Baru pengeroyokan itu saja sudah
menjengkelkan hati kakek ini. Disebut datuk"datuk akan tetapi masih melakukan
pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan
yang memalukan ini, tiba"tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah
kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
228 Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke
arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang
dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya! Tidak ada jalan lain baginya
kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik
sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit"nya untuk menyambut
datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
"Bretttt...! Desss...!"
"Suhu...! Subo...!" Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil
berteriak, "Cui Lin, bawa lari In Hong...!"
Hantaman jubah di tangan Toat"beng Hoat"su tadi hebat sekali. Memang pitnya mampu
merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh
dengan tulang patah"patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan
siap menghadapi lawan"lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena kedua kakinya menggigil ketika dia melihat
subonya mati, apalagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan,
hampir dia roboh pingsan dan berlutut sambil memeluk In Hong dan menangis!
Biarpun lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di
tangan kirinya, namun Cong San masih mengamuk hebat sehingga pitnya berhasil
melukai pundak Hek"bin Thian"sin, sungguhpun dia sendiri telah menerima
pukulan"pukulan dengan senjata lawan yang membuat pakaiannya robek"robek dan
penuh darah. "Jahanam Yap Cong San, mampuslah!"
Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San,
menggerakkan tangan kirinya dan sinar hijau menyambar. Pada saat itu, Cong San
sedang terhimpit karena Toat"beng Hoat"su yang marah karena jubahnya robek sudah
mendesaknya, maka pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran
Siang"tok"soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.
"Aduhhh...!" Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya. Hidungnya mencium bau
yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Dengan sekuat
tenaga dia menyambitkan pitnya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban"tok Coa"ong.
Begitu hebat sambitan ini sehingga biarpun Ban"tok Coa"ong meloncat ke atas, tetap
saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu
masih menembus betisnya!
"Auuuww... setan kau!" Ban"tok Coa"ong menubruk dan pedang ularnya membacok.
Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat dan pinggangnya robek. Dengan luka
parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya
dan memeluk isterinya.
"Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!" Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar
ini menghembuskan napas terakhir! Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling
mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam
keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.
"Huh, menjemukan!" Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San.
Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa, ternyata bahwa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
229 pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah"olah sampai mati pun dia tidak mau
melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.
"Ha"ha"ha, mesra"mesra... auggghh..." Ban"tok Coa"ong mencabut pit dari betisnya dan
mengobati lukanya.
"Suhu...! Subo...! Uhuhuhuhhh...!" Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong
menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai. Di luar pintu tampak Phoa"ma
berlutut, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak den mulutnya mewek"mewek
menahan tangis saking ngeri den takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari"lari pulang
ketika mendengar laporan seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar
ribut"ribut seperti orang berkelahi.
"Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!" Bu Leng Ci berkata den samurainya
sudah menggetar di tangannya.
"Mo"li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan kepadaku sebelum
dibunuh!" Yang berkata demikian adalah Hek"bin Thian"sin Louw Ek Bu.
Bu Leng Ci membuang ludah. "Cuhh! Laki"laki kotor!"
"Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku" Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah,
akan tetapi sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata
keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia"siakan dan dibunuh tanpa
dimanfaatkan, sungguh amat sayang."
Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua
orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini meresa
muak den kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.
Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang
kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan
percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong. Perintah gurunya
terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia tidak dapat lari
dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan putera
gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sukar
untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi, yang
terpenting adalah menyelamatkan In Hong. Dia bangkit berdiri dengan In Hong di
pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,
"Ampuni anak kecil yang tak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar
disuruh mati sekalipun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma."
"Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menurut
kehendakku?" Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.
"Asal adikku dibebaskan." Cui Lin mengangguk.
"Anak itu tentu anak mereka. Orangku dahulu mengatakan bahwa ketika mereka
menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak
hanya akan mendatangkan kerepotan saja," kata Kwi-eng Nio-cu.
Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya dan berkata nyaring dengan nada
mengejek, "Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut
kalau kelak membalas dendam" Tak kusangka kalian penakut seperti itu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
230 "Budak hina!" Kwi-eng Nio-cu menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin
Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.
"Nio-cu, tidak boleh dia dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya."
"Kau... hendak membelanya" Kaukira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?" Kwi-eng
Nio-cu membentak.
"Takut atau tidak bukan urusanku, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak
ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja."
"Kalau begitu, majulah!" Si Bayangan Hantu menantang.
"Uh-uhh!" Toat-beng Hoat-su terbatuk-batuk. "Apakah kalian ini anak"anak kecil yang
karena urusan sepele saja hendak saling hantam?"
Ditegur demikian oleh orang tertua di antera mereka, keduanya mundur lagi, dan
Hek"bin Thian"sin bekata kepada Cui Lin, "Dara manis, siapa takut kepada bocah itu"
Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek"bin
Thian"sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi" Entah kalau yang lain
takut!" "Sombong! Aku pun tidak takut!" Si Bayangan Hantu membentak.
"Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin
aku melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!" kata pula Bu Leng Ci.
Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak. "Nah, begitulah sikap orang gagah! Tak takut dan
pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau akan
menurut segala perintahku kalau kami membebaskan becah itu?"
"Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali
bicara tidak akan ditarik kembali!" Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk
menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.
"Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kautanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang
bulat di depan kami!" Hek-bin Thian-sin memerintah.
Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui
Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir pingsan membayangkan betapa dia
harus menanggalkan semua pakaian di depan mereka. Penghinaan yang tiada taranya
bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan
melihat semua orang yang dikasihinya tewas, dia menjawab dengan suara tenang,
"Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Eh, Phoa-ma, bawa pergi In
Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia."
Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin,
memondongnya lalu bergegas pergi keluar dart rumah itu dengan tubuh gemetar.
Setelah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan
perlahan"lahan, jari"jari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu.
Dia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian
mereka dan memberi kesempatan kepada Phoa"ma untuk lari jauh di tempat yang
aman. Tidak akan sukar bagi Phoa"ma untuk bersembunyi dan andaikata iblis"iblis ini
melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa"ma di kota sebesar Tai-
goan. Andaikata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai
mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
231 perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain"lain,
yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan duka
dan sengsara. Kwi"eng Nio"cu dan Siang"tok Mo"li membuang muka.
"Menyebalkan, perempuan hina!" Siang"tok Mo"li Bu Leng Ci berkata.
"Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!" Kwi"eng Nio"cu juga memaki. Akan tetapi
Hek"bin Thian"sin Louw Ek Bu mononton pertunjukan itu dengan mata melotot. Makin
lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, makin menarik dan menggairahkan,
menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar.
Toat-beng Hoat-su hanya terbatuk"batuk sama sekali tidak tertarik, juga tak membenci pertunjukan yang baginya
sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu. Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga
tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh
dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu"
Akhirnya Cui Lin telah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang
bulat. Seperti seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja
yang masih mentah ini dan yang menjadi matang karena himpitan duka itu mencabut
tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua
pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi makin menggairahkan.
"Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!" Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu
dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin. Dara itu
hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum
pernah dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu
menciumnya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia mengeraskan hati,
memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.
"Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhh!!" Hek-bin Thian-sin berteriak den cepat
mengerahkan sin-kang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring
menghantam kepala Cui Lin.
"Trakkk!" Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting
dan roboh dengan kepala retak den tewas seketika. Hek"bin Thian-sin menyumpah-
nyumpah ketika dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu dari ulu
hatinya. Untung dia cepat mengerahkan sin-kang sehingga tusuk konde itu hanya masuk
sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.
"Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu" Harus dibunuh sekali!!" teriaknya
sambil mencak-mencak.
Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.
"Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!" Bu Leng Ci bersorak.
"Wah, sayang. Kalau tidak mati, mau rasanya aku mngambil dara ini sebagai murid!"
kata Si Bayangan Hantu.
Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh
ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di
luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih,
"Pembunuhan...! Pembunuhan...!" tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan
orang, melainkan terus melarikan diri, memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, mika
orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
232 keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya. Setelah
lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.
Dapat dibayangkan betapa gegernya ketika mereka melihat bahwa rumah itu penuh
dengan darah dan mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali,
terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah! Banyak
yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut
karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang cepat
lari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu. Setibanya di luar, tidak ada nampak
bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang
menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera lari melapor kepada yang berwajib dan
gegerlah kota Taigoan, apalagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat,
bekas pengawal kaisar!
"Kejam sekali!"
"Bukan manusia!"
"Lebih kejam daripada iblis!"
Demikian komentar para penduduk Taigoan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang
memberi komentar seperti itu.
Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu" Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita
menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini dengan cara masing-
masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga merupakan orang-orang yang
kejam" Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia ini penuh dengan
segala macam kejahatan" Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena
perkelahian, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan
sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang. Perang antar bangsa yang
pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar
perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing!
Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan"
Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia"
Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak terusik
sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat
tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan" Tidak kejamkah kita kalau untuk sebuah
kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling
bunuh" Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal
keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita
pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk
memperebutkan uang, kedudukannya, nama dan juga memperebutkan... kebenaran
bukan lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi
kebenaran palsu.
Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua
nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut terkena
penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk
kita makan bangkainya. Tidak kejamkah kita" Apakah alasan bahwa "semua itu sudah
umum" dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini"
Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman" Dengan ilmu apa pun tidak dapat!
Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
233 Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik! Usaha
menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha
dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang kesemuanya bersumber
kepada keuntungan lahir maupun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus
apabila kita mengerti sampai ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal
keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.
Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik.
Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin mengubah namun
perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita membuka mata, waspada penuh
kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita. Apa kemarin"
Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok"
Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran
dan ketakutan. Yang panting sekarang, saat ini!
Mari kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu
yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir
kepada jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio.
Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia mau membantu sampai upacara
pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah
bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-
lim-si. Tiang Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil kalau ayahnya tidak datang
mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena
berita ini tentu tersiar luas di dunia kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-
tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.
KASIHAN sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya
yang dirindukannya itu telah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu! Kun Liong merasa
gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia telah menjadi
seorang pemuda ber-usia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang
penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan ke-pala gundulnya sama sekali
tidak me-nyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang
khas! Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak,
kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang
lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya
mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja.
Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti
orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan
kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak. Karena
dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri
menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang
disebutkan namanya setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh besar,
utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan
yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang
sudah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau
yang datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya kecewa sekali
karena dia tidak melihat ayah bundanya.
"Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?" Akhimya dia tidak sabar lagi,
bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.
Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. "Ayahmu bukan lagi murid
Siauw-lim-pai, andaikata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, Cia-taihiap
datang!" Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri. Mendengar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
234 disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat dia mengangkat
muka memandang.
Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya ketika dia mengenal dara cantik
jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana
mungkin dia pangling" Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh
kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi"
Dan dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat
dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu, sepasang mata yang
jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang
dengan alis berkerut! Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia ter-ingat akan
pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu
tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan
membuka rahasianya dahulu akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan
kurang ajar! Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada se-
suatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar
seperti dahulu, memandang rendah kepadanya!
Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si" Seperti telah diceritakan di bagian
depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja,
sehari kemudian sete-lah ayah bundanya pergi, dia tak dapat menahan keinginannya
untuk pergi. Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan cepat, maka
tiga hari kemudian dia dapat me-nyusul mereka.
Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.
"Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita."
"Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau,
Keng-ji!" Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, "Maaf, Ayah. Saya ingin
sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah penga-laman."
"Hemm...!" Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-
lim-si bertiga.
Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Ketua Siauw-lim-pai
mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas
kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, suami isteri dan puteri-nya itu lalu
memberi hormat dengan me-masang hio (dupa wangi) dan bersembah-yang di depan
peti mati. Kemudian me-reka dipersilakan duduk di tempat kehor-matan sejajar dengan
beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-
muridnya. Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat
dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seorang laki-laki sebaya
dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali
tidak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-
bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa
bersama isteri dan puterinya, pakaiannya seperti sastrawan sederhana atau lebih tepat
se-perti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja.
Tubuhnya memang tegap berisi, wa-jahnya tampan dan kumis serta jenggot-nya
pendek, masih hitam semua. Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang
alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya keren.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
235 Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera
berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam,
ikat pinggangnya juga kuning tua. Sungguh di luar persangkaan Kun Liong yang
membayangkan supeknya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya
seorang yang seder-hana sekali, baik pakaian, gerak-gerik maupun sikapnya.
Isterinya lebih istimewa. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan
hiasan warna merah dan biru di sana-sini, sikapnya agak dingin namun menambah
kekerenannya. Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang
membuat orang merasa sungkan dan jerih untuk berurusan dengannya. Sam-baran sinar
matanya penuh wibawa. Me-lihat wajah nyonya ini, Kun Liong men-dapat kenyataan
betapa Giok Keng mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan
penuh keberanian.
Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan menghampiri Cia Keng Hong
yang duduk dengan tenang memandang para tamu yang baru datang dan
bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok kepadanya dan
kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini
terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu
mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan
lega! "Maafkan kalau teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa
berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo." Dia
berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.
Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika
pemuda itu herlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang
gundul licin saja!
"Apa..." Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?"
Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah
kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!
"Supek, teecu bukan hwesio biarpun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong..."
Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat
betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.
"Engkau putera Yan Cu...?" Biauw Eng juga berseru lirih.
Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian bangkit berdiri.
"Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara."
Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua
Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa
pentingnya pertemuan antara paman guru dan murid keponakan itu. Setelah tiba di
tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar
mata tajam. "Benarkah engkau Yap Kun Liong" Di mana ayah bundamu?"
Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya
yang gundul, "Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepulu
Bentrok Rimba Persilatan 20 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 21
^