Anak Berandalan 1

Anak Berandalan Karya Khu Lung Bagian 1


___________________________________________________________________________
Petualangan Siauw cap it long (Siau Shiyi Lang), karya Gu Long, disadur oleh O.P.A.
Sebanyak 15 jilid, diterbitkan tahun 1970. Diketik ulang dengan menggunakan Ejaan Yang
Baru. Jilid 1________
Sinar Matahari pagi menmbusi kertas tipis tutup lobang daun jendala sebuah kamar mandi,
menyinari tubuh seorang wanita muda yang putih halus licin bagaikan gading.
Suhu air panas yang digunakan untuk merendam tuibuhnya, mungkin sama dengan suhu sinar
matahari pagi itu. Ia dengan malas malasan terlentang di dalam bak mandi berisi air panas,
sepasang kakinya yang runcing halus diletakkan tinggi tinggi diatas pinggiran bak,
membiarkan telapak kakiknya disoroti oleh sinar matahari pagi....ia membayangkan, itulah
tangan kekasihnya yang sedang mengelus elus kakinya.
Tampaknya ia sangat senang dan gembira sekali dengan cara mandi demikian. Setelah
melakukan perjalanan hampir setengah bulan lebih lamanya, cara mandi demikian telah
membuat ia melupakan segala keletihan selama dalam perjalannya yang panjang itu. Sekujur
tubuhnya semua terendam dalam air hangat, hanya bagian kepada dan mukanya dengan
sepasang matanya yang setengah terbuka saja yang berada diatas permukaan air, dengan
matanya itu memandang kearah kakinya yang indah.
Sepasang kaki itu pernah mendaki gunung yang tinggi, pernah menyebrangi sungai yang
dalam, pernah melakukan perjalanan tiga hari tiga malam berturut turut digurun pasir yang
panas, juga pernah melakukan perjalanan diatas air sungai yang sudah membeku menjadi
salju. Sepasang kaki itu pernah menendang sampai mati tiga ekor srigala kelaparan, seekor kucing
liar, pernah menginjak sampai mati entah berapa banyak ekor ular berbisa, pernah juga
menendang diri seorang kepala berandal yang banyak tahun mengganas digunung Kie lian
san, hingga terjatuh kedalam jurang yang dalam.
Tetapi sekarang, sepasang kaku itu tampak dan masih tetap demikian runcing dan indah,
demikian halus dan putih bersih, sedikit cacatpun tidak dapat ditemukan. Biarpun seorang
gadis pingitan yang belum pernah melangkah keluar dari dalam kamarnya, belum tentu
memiliki kaki yang demikian indah sempurna.
Dalam hatinya ia merasa puas.
Diatas perapian masih terdapat air panas. Ia lalu menambah lagi air panas kedalam bak
mandinya. Meskipun airitu sudah cukup panas, tapi ia masih perlu menambah panas sedikit
lagi, sebab ia paling senang dirinya dipanasi demikian rupa.
Ia suka sekali dengan berbagai jenis dan berbagai cara yang mengandung ketegangan.
Ia suka menunggang kuda yang bisa lari paling cepat, mendaki gunung yang paling tinggi,
makan hindang yang paling pedas, minum arak yang paling keras, mainkan senjata yang
paling tajam, membunuh orang yang paling jahat.
Orang lain sering berkata: "Ketengangan urat syaraf paling mudah membuat orang perempuan
lekas tua"
Akan tetapi pepatah kata itu tidak berlaku baginya. Matanya, buah dadanya masih tetap
membusung tinggi dan padat. Pinggangnya masih tetap ceking langsing, perutnya pun masih
tetap rata, sepasang kaki dan pahanya padat kuat. Pendeknya, sekujur tubuhnya dari atas
sampai kebawah, semua menunjukkan tubuh indah, dan padat sekali, kulitnya putih bersih
bagaikan sutera.
Sepasang matanya jernih, kalau tertawa lesung pipitnya yang dekik itu dapat menggerakan
hati setiap laki laki yang melihatnya. Siapapun mungkin tak akan percaya kalau ia adalah
seorang wanita muda yang sudah berusia tigapuluh tiga tahun.
Selama tigapuluh tiga tahun itu, wanita muda yang bernama Hong Sie Nio ini dapat menjaga
dirnya benar benar. Ia mnengerti di dalam keadaan dan suasana bagaimana harus mengenakan
pakaian macam apa, ia mengerti terhadap orang bagaimana harus mengucapkan perkataan
apa, ia mengerti kalau makan sesuatu barang hidangan yang paling cocok harusnya ditimpali
dengan arak yang bagaimana, ia juga mengerti harus menggunakan gerak tipu macam apa
untuk membunuh lawan yang bagaimana!
Ia mengerti seluk beluknya penghidupan, ia juga mengerti bagaimana harus menikmati hidup.
Orang seperti dia, didalam dunia ini tidak banyak jumlahnya. Ada banyak orang yang mengiri
terhadapnya. Tak kurang orang dengki padanya; tetapi ia sendiri sudah cukup merasa puas.
Cuma ada satu hal yang belum bisa membuat ia puas benar benar.
Hal itu adalah kesepian.
Tidak peduli hal hal apa yang menegangkan urat syarafnya juga tidak dapat menghapuskan
rasa kesepiannya itu.
Sekarang perasaan letihnya yang terakhir juga lenyap didalam air. Waktu inilah ia baru
menggunakan handuk putih, menyeka tubuhnya. Handuk yang halus puith telah menyeka
tubuh dan kulitnya, tentunya membuat orang merasakan kenikmatan yang tidak dapat
dilukiskan. Tetapi, ia sesungguhnya ingin sekali merasakan, yang menyeka tubuhnya itu
adalah tangan seorang laki laki.
Tangan laki laki yang dicintainya.
Betapapun halus lembutnya handuk sutera juga tidak dapat dibandingkan dengan tangan dari
kekasih, dalam dunia ini tiada sebuah bendapun yang dapat menggantikan tangan seorang
kekasih. Termangu mangu ia memandang tubuhnya sendiri yang licin putih bersih, hampir tidak ada
sedikitpun nodanya, dalam hatinya sekonyong konyong timbul perasaan sedih.
Mendadak, di jendela, pintu dan dinding dinding kamar mandi itu, dalam waktu bersamaan
terdapat tujuh delapan lobang. Disetiap lobang tampak menojol kepala orang, setiap muka
kelihatan sepasang matanya yang rakus.
Ada yang tertawa cekikikan, ada yang memandangnya dengan mata terbuka lebar sampai
tidak sempat tertawa. Tapi yang terang kebanyakan orang laki laki kalau sudah menyaksikan
tubuh seorang perempuan yang cantik dalam keadaan telanjang bulat, dalam waktu singkat
saja bisa berubah seperti anjing, anjing kelaparan!
Lubang diatas lubang jendela itu yan gletaknya paling baik, terpisah paling dekat, hingga bisa
melihat paling jelas nyata. Orang yang menongolkan kepalanya dilubang ini, adalah seorang
laki laki yang mukanya penuh daging menonjol, demikianpun kepalanya juga terdapat sebuah
daing lebih yang besar, tampaknya seperti mempunyai dua kepala yang ditumpuk menjadi
satu, orang semacam ini sebetulnya sangat memuakkan.
Yang lainnya juga tidak lebih baik dari pada orang ini, sekalipun seorang laki laki kalau
sedang mandi dan mendadak dilihat begitu banyak orang, barangkali juga akan merasa
terkejut dan ketakutan setengah mati.
Akan tetapi bagi Hong Sie Nio, seorang wanita yang lain dari pada yang lain, ia sedikitpun
tidak menjukkan perobahan sikap apa apa, bahkan masih dengan tenangnya duduk setengah
badang didalam bak mandinya dengan handuknya yang halus dan putih menyeka tubuh dan
tangannya sendiri.
Ia sedikitpun tidak menghiraukan orang orang itu, sedikitpun tidak mau angkat muka
menegornya. Ia hanya memerhatikan jari jari tangnnya yang runcing halus. Perlahan lahan jari
tangan itu diseka kering, barulah ia unjuk tertawanya yang hambar, dan setelah itu disusul
oleh kata katanya, "Apakah tuan tuan selamanya belum pernah melihat orang perempuan
mandi?" Tujuh delapan orang laki laki itu semua tertawa dengan berbareng. Seorang laki laki yang
baru mangkat dewasa, yang mukanya penuh jerawat, matanya dibuka paling lebar, tertawanya
paling senang, ia yang mendahului kawan kawannya berkata, "Aku bukan saja sudah pernah
lihat orang perempuan mandi, bahkan memandikan seorang perempuan, itu adalah
keahlianku. Apakah kau suka kiranya kalau kuseka punggungmu dengan handuk halus itu"
Kutanggung kau nanti akan merasa puas"
Hong Sie Nio juga tertawa, kemudian berkata sambil unjukkan senyumnya: "Punggungku
justru sedang gatal sekali, kalau kau suka, lekaslah masuk!"
Sepasang mata pemuda itu sudah seperti lubang celengan, sambil tertawa besar ia mneggedor
daun jendela hingga terbuka, ia sudah ingin lompat masuk, tetapi baru saja badannya
bergerak, sudah ditarik oleh lelaki yang banyak tumbuh daign lebih dikepala dan mukanya.
Tertawa pemuda tadi jadi lenyap seketika, dengan wajah pucat pasi dan membelalakkan lebar
kedua matanya ia berkata kepada laki laki yang mencegahnya: "Kay Lo Jie, kau sudah
mempunyai banyak istri, perlu apa masih hendak merebut orang lain punya?"
Kay Lo Jie tidak menunggu habis ucapannya, sudah membalikkan tangannya dan menampar
sekeras kerasnya, sampai tubuh anak muda tadi terpental jauh.
Hong Sie Nio lalu berkata padanya: "Jikalau kau menggosok punggungku dengan caramu
seperti memukul orang demikian keras, aku tidak sanggup menerima"
Kay Lo Kie mendelikkan mata kepadanya. Sepasang matanya mendadak beruba demikian
buas dan kejam, seperti seekor ular berbisa yang hendak menerkam mangsanya. Suaranya
juga demikian tidak enak, ia berkata sepatah demi sepatah: "Tahukah kau ini tempat apa?"
"Jikalau aku tidak tahu, bagaimana aku bisa datang kemari?" demikian Hong Sie Nio balas
bertanya. Ia kembali perdengarkan suara tertawanya kemudian baru berkata lagi: "Disini adalah gunung
Loan ciok san juga dinamakan gunung berandal, sebab orang yang berdiam digunung ini
semua adalah kawanan berandal, sehingga pemilik rumah penginapan kecil ini yang
nampaknya jujur, sebetulnya juga kawanan berandal"
"Kalau kau sudah tahu ini tempat apa, mengapa kau masih berani datang kemari?" kata pula
Kay Lo jie dengan bengis. "Kedatanganku toh tidak mengganggu kalian, bukan" Aku hanya
ingin meminjam tempat ini untuk mandikan diriku saja. Apa itu salah?" "Dimana saja kau toh
bisa mandi. Apa sebanya kau sengaja datang disini untuk mandi?"
Sepasang mata Hong Sie Nio bergerak gerak. Katanya dengan suara lemah lembut: "Mungkin
aku senang membiarkan diriku ditonton leh kawanan berandal, bukankah itu merupakan satu
hal yang menegangkan urat syaraf"
Kay Lo Jie mendadak membalikkan tangannya, menghajar tiang jendela, hingga kayu kayu
itu telah terpukul hancur olehnya, jelas bahwa pukulan tangan kosongnya sudah mencapai
ketaraf yang cukup tinggi. Hong Sie Nio sebaliknya tetap berlaga seperti tidak pernah melihat,
ia hanya menghela napas perlahan, dan katanya seperti menggumam sendiri: "Masih untung
aku tidak suruh orang ini menggosok punggungku, tindakannya demikian kasar...."
Kay Lo Jie marah dan bentaknya dengan suara keras: "Dimata seorang bajingan tidak perlu
kau berlaga, kau datang kemari sebetulnya ada keperluan apa" Lekas kau jawab dengan terus
terang!" Hong Sie Nio kembali tertawa dan kemudian baru berkata: "Kau benar benar tidak salah, aku
dari tempat ribuan pal jauhnya dari sini datang kemari, sudah tentu tidak hany lantarang
hendak mandi saja"
Sepasang mata Kay Lo Jie bergerak dan memancarkan sinar berkilauan, katanya: "Apa bukan
ada orang yang mengutusmu kemari untuk mencari berita?" "Sekali kali tidak, aku hanya
ingin menengok seorang kawan lama saja" "Tapi disini mana ada kawanmu?" "Bagaimana
kau tahu kalau aku tidak punya kawan" Apakah aku tidak boleh berkawan dengan berandal"
Mungkin aku sendiri juga berasal dari orang berandal yang belum kau ketahui"
Wajah Kay Lo Jie berubah seketika, tanyanya: "Siapakah kawanmu itu?" "Aku juga sudah
lama tidak ketemu dengannya, kabarnya selama beberapa tahun ini keadaanya boleh juga, ia
sudah menjadi toako dari kawanan berandal di daerah Koan tiong, cuma masih belum tahu
kau kenal orang yang kumaksud itu atau tidak"
Wajah Kay Lo Jie kembali berubah, tanyanya: "Kawan kawan golongan hitam di daerah
Koan tion, semua berjumlah tiga belas golongan. Setiap golongan ada seorang toako, tidak
tahu siapa yang kau maksudkan itu?" "Ia seperti sudah menjadi pemimpin besar dari tiga
belas golongan berandal kalian" jawab Hong Sie Nio dengan hambar.
Kay Lo Jie kini tercengang, tak lama kemudian tiba tiba ia tertawa besar, dan berkata sambil
menunding Hong Sie Nio, "Dengan perempuan seperti kau ini, juga apakah pantas berkawan
dengan seorang pemimpin besar?" "Mengapa aku tidak bisa berkawan dengannya" Tahukan
kau aku ini siapa?"
Tertawa Kay Lo Jie berhenti dengan mendadak, sepasang matanya berputaran lama diatas diri
Hong Sie Nio, lalu katanya dengan nada suara dingin: "Kau siapa" Tidak mungkin kau Hong
Sie Nio perempuan siluman itu?"
Hong Sie Nio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia balas bertanya: "Kau ini
bukankah seorang yang bernama Kay Put Tek yang mempunyai nama julukan ular kepala
dua?" Diwajah Kay lo Jie saat itu menunjukkan rasa bangga, katanya sambil tertawa: "Benar, tidak
perduli siapa, kalau melihat aku siular kepala dua semua harus mati!"
"Kalau kau benar memang ular kepala dua, aku terpaksa mengaku adalah Hong Sie Nio."
Jilid 1-2. Tangan Hong Sie Nio (Anak Berandalan)
Kepala ular kepala dua seperti pecah dengan mendadak, menjadi berkeping keping.
Perempuan yang duduk dalam keadaan telanjang bulat didalam bak mandi, benarkah Hong
Sie Nio yang namanya menggemparkan dunia persilatan, dan yang setiap orang yang
melihatnya pasti menjadi pusing kepala"
Ia benar benar tidak percaya, tetapi juga tidak bernai tidak percaya. Kakinya sudah melangkah
mundur, sudah tentu yang lainnya sudah mundur lebih cepat lagi.
Dengan sekonyong konyong terdengar suara bentakan perlahan yang keluar dari mulut Hong
Sie Nio: "Jangan bergerak!"
Setelah semua orang itu benar benar tidak bergerak, dari wajahnya barulah tampak pula
sedikit senyumnya, senyumnya itu masih tetap demikian lemah lembut, dan demikian
menggiurkan. Kemudian ia berkata sambil tertawa: "Kalian sudah mengintip orang
perempuan mandi, dengan begitu saja kalian kira bisa pergi?" "Lalu...kau mau apa?" bertanya
si ular kepala dua.
Meskipun suaranya sudah agak gemetaran, tetapi sepasang matanya masih terbelalak lebar,
sewaktu menyaksikan dada terbuka dari Hong Sie Nio yang tubuhnya padat, nyalinya
mendadak menjadi besar lagi" katanya sambil tertawa dingin: "Apakah kau masih ingin kami
menyaksikan tubuhmu lebih jelas lagi?" "Oh...kiranya kau menghina aku karena tidak
berpakaian" Apakah kau kira aku tidak berani melompat mengejar kalian?" "Benar, kecuali
sewaktu kau mandi ada juga membawa senjata, sekalipun kau duduk didalam bak mandi juga
bisa membunuh orang" berkata ular kepala dua sambil perdengarkan suara tertawanya yang
aneh. Hong Sie Nio menghela napas, ia mengangkat tangnnya dan berkata: "kalian lihat....apakah
tanganku ini mirip dengan tangan seorang pembunuh?"
Jari jari sepasang tangan itu, tampakanya demikian putih halus seperti tidak bertulang, juga
seperti bunga yang indah. "Tidak mirip" jawab ular kepala dua. "Aku lihat juga tidak mirip,
tetapi yang aneh, ada kalanya tangan ini justru bisa membunuh orang!"
Kedua tangannya itu digerakkan dengan perlahan, dari sela sela jari tanganya tiba tiba melesat
keluar sepuluh lebih sinar berkilauan.
Selanjutnya baru ketahuan, bahwa itu adalah serentetan suara jeritan, maka setiap orang, telah
tertancap sebatang jarum perak, siapapun tidak melihat dengan nyata jarum jarum itu
dilancarkan dari mana.
Maka siapapun juga tidak ada yang mengelak.
Hong Sie Nio kembali menghela napas, katanya seperti menggumam sendiri: "Mengintip
orang perempuan mandi, bisa tumbuh jarum dimatanya, apakah ucapan ini kalian belum
pernah dengar?"
Tujuh delapan orang itu semua dengan menggunakan tangannya untuk menutupi mata masing
masing, rasa sakit membawa mereka bergelimpangan di tanah.
Suara jeritan tujuh delapan orang itu yang diperdengarkan dengan berbareng ternyata masih
belum membuat hong Sie Nio menutup telinganya, sebab ia masih sedang memeriksa
sepasang tangannya sendiri.
Lama ia memeriksa tangnnya, barulah menutupi matanya dan berkata sambil menghela napas.
"Sepasang tangan yang baik baik tidak digunakan untuk menyulam, sebaliknya digunakan
untuk membunuh orang, benar benar sangat sayang...."
Dengan mendadak suara jeritan itu berhenti semua, seolah olah dalam waktu sekejap mata
berhenti dengan berbareng, Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, memanggil dengan suara
perlahan. "Hoa Peng?"
Di luar tidak ada suara, hanya suara angin yang meniup daun daun diatas pohon hingga
memeperdengarkan suara bekeresekkan.
Lama telah berlalu, baru terdengar suara golok masuk kedalam sarungnya.
Bibir Hong Sie Nio tersungging senyuman, katanya pula: "Aku tahu kau yang datang!
Kecuali kau, siapa lagi yang dapat membunuh tujuh delapan orang itu dalam waktu sekejap
mata" Siapa lagi yang bisa menggunakan golok demikian cepat?"
Diluar masih tetap tidak terdengar suara orang menjawab.
Hong Sie Nio berkata lagi: "Aku tahu kau yang membunuh mereka, disebabkan supaya
mereka tidak terlalu lama menderita, aku tidak tahu sejak kapan hatimu berubah demikian
lemah?" Sesaat kemudian dari luar baru terdengar suara orang berkata perlahan: "Hong Sie Nio kah
yang ada didalam?" "Syukur kau masih mengenali suaraku, ternyata kau masih belum lupa
padaku." menjawab Hong Sie Nio sambil tertawa. "Kecuali Hong Sie Nio, didalm dunia ini
masih ada siapa lagi diwaktu mandi juga mebawa bawa senjata rahasia?" berkata Hoa Peng.
Hong Sie Nio tertawa terkekeh kekeh, kemudian berkata: "Kiranya kau juga sedang
mengintip aku yang sedang mandi, ya" Kalau tidak, darimana kau bisa tahu kalau aku sedang
mandi?" Hoa Peng seolah olah tidak mendengar ucapannya.
Hong Sie Nio berkata: "Kalau kau sudah melihat, mengapa kau tidak mau masuk terang
terangan saja?" "Kau pergi meninggalkan daerah ini enam tujuh tahun lamanya, bukankah
kau sudah merasa aman" Mengapa sekarang kau kembali lagi?"
"Sebab aku memikirkan kau"
Hoa Peng kembali bungkam. "Apakah kau tidak percaya kalau aku memikirkan kau" jikalau
aku tidak memikirkan kau, mengapa aku sampai datang kemari ini untuk mencarimu?"
Hoa Peng kembali bungkam, hanya terdengar suara elahan napasnya. "Mengapa kau terus
menerus menghela napas" Apakah kau kira aku datang mencarimu itu artinya mesti aku
membawa urusan tidak baik" Seorang sudah menjadi jaya, kawan lamanya juga tidak ingin
meelihat lagi?" "Pakailah pakaianmu, sebentar aku tengok kau" "Aku sudah berpakaian,
masuklah!"
Orang yang dipanggil Hoa Peng tadi akhirnya kini sudah berada diambang pintu. Wajahnya
yang memang banyak guratan, ketika melihat Hong Sie Nio masih duduk didlam bak
mandinya dalam keadaan telanjang bulat, wajahnya dengan mendadak seperti bertambah
banyak guratannya.
Hoa Sie Nio tertawa terkekeh kekeh kemudian berkata: "Ada orang sengaja mengintip aku


Anak Berandalan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandi, maka aku lalu membunuhnya, sedang kau yang tidak ingin melihat, sebaliknya aku
membiarkan kau menyaksikannya"
Hoa Peng sebetulnya perperawakan pendek, tetapi siapapun semua tidak ada yang
menganggap ia seorang pendek, sebab ia bertubuh kekar dan ototnya tampak sangat kuat,
tampaknya bertenaga besar.
Waktu itu ia mengenakan mantel panjang warna hitam, namun diatas punggungnya masih
tampak gagang goloknya yang diselubungi dengan kain warna merah.
Hoa Peng bisa menjadi kepala semua berandal didaerah Koan tiong, justru disebabkan
goloknya itu. "Kudengar kabar beberapa tahun berselang kau telah membunuh mati Koo Hui, si jago
pedang didaerah Tay goan, apakah itu benar" bertanya Hong Sie Nio. "Ya\\\" menjawab Hoa
Peng. "Kabarnya sepasang golok gunung Tay heng san dua saudara Teng juga kalah dibawah
golokmu. Itu juga betul?" "Ya!" jawab Hoa Peng.
Orang she Hoa ini bukan saja tidak berani memandang Hong Sie Nio, bahkan bicarapun tidak
suka banyak. "Koo Hui dan dua saudara Teng semua adalah orang orang terkuat dalam rimba persilatan,
kau ternyata bisa membunuh mereka, suatu bukti bahwa ilmu golokmu sudah semakin cepat
lagi" berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Kali ini sepatah katapun tidak keluar dari mulut Hoa Peng.
Hong Sie Nio bekrata lagi: "Aku kemari, sebabnya ialah hendak melihat ilmu golokmu yang
cepat!" Wajah Hoa Peng mendadak berubah, katanya dengan suara berat "Benarkah kau hendak
melihat?" "Kau tidak usah panik, aku bukan mencari kau untuk bertanding, sebab aku tidak
suka mati dibawah golokmu, juga tidak tega membunuh kau" berkata Hong Sie Nio sambil
tersenyum. Perobahan wajah Hoa Peng tadi lama sekali baru pulih seperti biasa, lalu katanya dengan nada
suara dingin: "kalau begitu, kau tak usah melihat lagi sajalah" "Mengapa?" "Sebab golokku
ini hanya dapat digunakan untuk membunuh orang, sama sekali bukan buat ditonton!"
Sepasang biji mata Hong Sie Nio yang jelita tampak berputaran, katanya sambil tertawa:
"Tetapi bagaimana kalau aku justru hendak melihatnnya?"
Hoa Peng yang sejak tadi hanya dia saja, tiba tiba berkata: "Baik, kau lihatlah!"
Jilid 1-3. Tangan Hoa Peng (Anak Berandalan)
Ucapan Hoa Peng itu meskipun sangat perlahan, tetapi seluruh ucapannya hanya itu saja, bagi
orang lain siapa saja, kalau mengucapkan perkataan yang demikian singkat, kiranya tidak
perlu menggunakan waktu demikian lama, akan tetapi setelah kata kata yang diucapkan
sangat lambat itu selesai, goloknya sudah keluar dari sarungnya dan kemudian dimasukkan
lagi. Orang hanya melihat berkelebatnya sinar golok, sebuah bangku yang berada diambang pintu
didepan sana tahu tahu sudah terbelah menjadi dua potong.
Kecepatan Hoa Peng main golok benar saja sangat mengejutkan dan mengagumkan sekali.
Tetapi Hong Sie Nio yang menyaksikan itu sebaliknya malah jadi tertawa cekakakan,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala: "Yang kuingin saksikan ialah ilmu golokmu
untuk membunuh orang, bukan untuk membelah bangku! Dihadapan kawan lama, kau masih
mau menyimpan rahasia?" "Menyimpan rahasia?" "Ya, ilmu golokmu meskipun
menggunakan tangan kiri dan kanan, bahkan bisa menggunakan kedua duanya dalam waktu
berbareng tetapi dalam kalangan Kang-ouw siapakah yang tidak tahu bahwa kalau kau
bertempur melawan musuh kau selalu menggunakan tangan kiri" Golok yang kau gunakan
dengan tangan kiri, sedikitnya lebih cepat dari tangan kananmu berlipat ganda, bukankah
begitu?" Wajah Hoa Peng kembali berubah, ia berdiam lama, kemudian baru berkata dengan suara
berat: "Apakah kau musti hendak menyaksikan ilmu golok tangan kiriku?" "Tentu" Hoa Peng
menghela napas, kemudian berkata: "Baik, kau lihatlah!"
Dengan mendadak ia membuka kerudung mantelnya yang hitam.
Hong Sie Nio waktu itu sedang tertawa. Tetapi pada saat mantel Hoa Peng terbuka suara
tertawanya itu mendadak berhenti. Ia tidak bisa tertawa lagi.
Golok sakti tangan kiri terkenal dikalangan Kang-ouw dan orang yang mempergunakan golok
itu sampai mendapat nama julukan golok tercepat dalam daerah Tionggoan seperti Hoa Peng
ini, tapi siapa tahu sebelah tangan kirinya sebatas bahu ternyata telah dipotong orang.
Lama kedua orang itu tidak bisa berkata apa apa. Hong Sie Nio lalu menarik napas panjang,
baru berkata: "Ini....ini apakah terkutung oleh tangan orang":" "Ya" jawab Hoa Peng singkat.
"Lawanmu itu menggunakan pedang ataukah kampak": "Menggunakan golok!" "Golok"
Siapa lagi orang yang dapat menggunakan golok lebih cepat dari padamu?" "Hanya satu
orang!" jawab Hoa Peng sambil memejamkan mata.
Sikapnya itu meskupun sedih, tetapi rupanya ia penasaran, jelas terhadap ilmu golok orang
yang mengutungi lengannya, ia sudah merasa tunduk. Ia merasa bahwa terkutung lengannnya
dibawah ilmu golok orang itu, sedikitpun tidak harus sampai disesalkan terlalu. Hong Sie Nio
agak heran, lalau bertanya kepadanya: "Siapakah orang itu?" Hoa Peng dengan pandangan
mata ditujukan ketempat jauh menjawab sepatah demi sepatah: "Siauw cap it long!"
"Siauw cap it long!" Ketika nama itu tercetus dari mulut Hoa Peng, diwajah Hong Sie Nio
segera terjadi semacam perobahan yang sangat aneh. Ia sendiri juga tidak dapat mengatakan
itu entah perasaan marah, girang ataukah duka.
Sementara itu Hoa Peng sudah berkata seperti menggumam sendiri: "Siauw cap it long...Kau
seharusnya kenal padanya" Hong Sie Nio menganggukkan kepala lambat, katanya: "Benar,
aku kenal dia...sudah tentu aku kenal dia!"
Pandangan mata Hoa Peng kini beralih ke wajah Hong Sie Nio, katanya: "Kau ingin mencari
dia atau tidak?"
Hong Sie Nio mendadak mendelikkan matanya, katanya dengan suara keras: "Siapa kata aku
hendak mencari dia" Menagapa aku harus mencari dia?"
Hoa Peng menghela napas, kemudian berkata: "Cepat atau lambat kau nanti toh akan mencari
dia" "Kentutmu!" kata Hong Sie Nio marah. "Sebetulnya itu juga tidak perlu membohongi
kau, aku sudah lama tahu bahwa kali ini kau datang kembali ialah lantaran hendak melakukan
suatu pekerjaan." "Siapa kata?" bertanya Hong Sie nIo sambil mendelikkan matanya.
"Meskipun aku tidak tahu, urusan apa yang kau hendak lakukan, tetapi setidak tidaknya aku
tahu bahwa urusan itu pastilah urusan besar, kau karena takut dengan tenaga sendiri tidak
cukup, maka kau hendak mencari pembantu."
Dengan hati pilu Hoa Peng tertawa, kemudian berkata lagi: "Oleh karena itu maka barulah
kau bisa datang mencari aku, namun sayang sekali kau ternyata sudah salah alamat."
"Taruhlah bahwa dugaanmu itu sama sekali tidak salah, tapi aku toh masih boleh pergi
mencari orang lain" Mengapa musti mencari Siau cap it long" Apakah orang orang kuat dan
pandai dalam rimba persilatan ini sudah mati semua?" "Akan tetapi kecuali dia, siapa lagi
yang masih bisa membantu kau?"
Dengan keadaan masih telanjang bulat Hong Sie nio lompat keluar dari bak mandinya,
katanya dengan suara keras: "Siapa kata tidak ada" Aku sekarang justru hendak mencari
seorang yang akan segera kuperlihatkan padamu!"
Hoa Peng buru buru memejamkan matanya, katanya lambat lambat: "Kau hendak mencari
siapa" Apakah si tabib terbang yang kau maksudkan?" "Benar, aku justru sedang hendak
mencari dia!"
Mata Hong Sie Nio kini memancarkan sinar terang, katanya pula: "Si tabib terbang itu, dalam
hal mana yang tidak sebanding dengan Siau cap it long" Bukan saja kepandaian ilmu
meringankan tubuhnya sangat tinggi, dan ilmu jari tangannya yang hebat, sepuluh Siau cap it
long barangkali juga tidak dapat dibandingkan dengannnya"
Menurut cerita orang orang dunia Kang-ouw, sitabib terbang yang bernama Kongsun Leng
itu, hanya dengan menggunakan kekuatan tenaga satu jari tangannya, dapat menahan larinya
kuda. Ilmunya meringankan tubuhnya boleh dikata menjagoi dalam rimba persilatan,
ditambah lagi dengan ilmunya obat obatan dan tabibnya yang luar biasa, maka dalam rimba
persilatan banyak orang menjunjung tinggi padanya.
Sitabib terbang Kongsun Leng ini kediamannya juga sangat ganjil. Kediamannya itu ialah
merupakan sebuah kuburan yang dibuat dari batu marmer, tempat tidurnya juga merupakan
sebuah peti mati.
Ia anggap dengan cara begini paling mudah, nmati atau hidup tidak perlu menukar tempat
lagi. Dalam rumahnya didalam kuburan itu tidak ada barang lain, hanya seorang anak yang
menjaga pintu, anak kecil itu juga sangat aneh bentuknya, ketika Hong Sie Nio tiba
dikediamannya, ia mengajukan pertanyaan kepada anak penjaga itu: "Kongsun sianseng
adakah didalam atau tidak?" Karena tidak mendapat jawaban, ia terpaksa bertanya lagi:
"Kongsun sianseng pergi kemana?"
Namun ia masihn tetap tidak mendapat jawaban, maka ia lalu bertanya lagi: "kongsun
sianseng hari ini pulang atau tidak"Kapan ia pulang?" Ditanya hingga tiga empat kali, anak
itu barulah menjawab dengan singkat: "Tidak ada"
Hong Sie Nio sangat mendongkol sekali, hingga ia ingin sekali menamparnya barang dua kali
saja. Sebetulnya ia juga tahu bahwa sitab terbang kalau keluar pintu hanya mempunyai satu tugas
saja: ialah memeriksa orang sakit. Adat tabib terbang itu meskupun sangat aneh, tetapi hatinya
baik. Ia juga tahu sebab tabib terbang diwaktu malam tidak mungkin tidur dilain tempat, ia sudah
pasti akan tidur didalam peti matinya. Maka itu sekalipun tidurnya itu tidak akan mendusin
lagi, juga tidak perlu repot repot pindah kelain tempat.
Hong Sie Nio sebetulnya boleh duduk menunggu hingga tabib itu pulang tetapi seorang
seperti Hong Sie Nio yang suka bergerak ini duduk didaerah perkuburan apalagi duduk diatas
peti mati sebetulnya sangat tidak menyenangkan baginya.Maka itu, ia lebih suka duduk
menunggu ditepi jalan.
Hari perlahan lahan mulai gelap, aingin meniup sudah mengandung rasa dingin.
Tempat Hong Sie Nio duduk menunggu ialah diatas sebuah bukit kecil, ia mencari ke suatu
tempat yang lebih enak untuk merebahkan diri, dengan mata memandang jauh keatas angkasa,
menantikan munculnya bintang yang pertama.
Sedikit sekali jumlahnya orang yang dapat melihat bagaimana bintang pertama itu mucul
diatas angkasa.
Demikianlah orangnya dan sifatnya Hong Sie Nio, tidak perduli didalam keadaan
bagaiamanapun, ia selalu dapat mencari pekerjaan yang menyenangkan baginya, sedikitpun
tidak mau menyia nyiakan hidupnya. Dalam dunia ini ada berapa orang yang mengerti dan
dapat menikmati penghidupan"
malam telah larut, bintang bintang dilangit pada bermunculan.
Dalam cuaca yang gelap itu akhirnya terdengar suara langkah kaki yang berat, segera nampak
oleh Hong Sie Nio, dua orang memikul sebuah tandu kecil berjalan melalui jalanan
pegunungan, diatas tandu duduk seorang tua kurus kering berpakaian jubah kain kasar yang
berwarna hijau.
Sikap orang tua itu sangat tenang, tampaknya letih sekali, ia memejamkanmata mungkin
untuk menghilangkan letihnya.
Dua orang laki laki yang memikul tandu itu tampaknya letih sekali,napasnya memburu seperti
napas kerbau sehabis membajak, ketika berjalan dihadapan bukit kecil dimana diatasnya
rebah Hong Sie Nio, tukang tandu yang ada didepan berpaling dan berkata kepada kawannya:
"Didepan merupakan suatu jalanan gunung yang amat panjang, mari kita berhenti sebentar
disini, baru mendaki gunung" Kawannya yang berada dibelakang lalu menyahut: "Dua hari
ini semangatku menurun nanti kalau kita mendaki gunung, kita tukar tempat saja"
Memang kalau mengusung tandu, orang yang memikul dibelakang sudah tentu menggunakan
tenaga lebih banyak.
Sang kawan yang ada didepan berkata sambil memaki dan tertawa: "Enak saja kau, kembali
mau enaknya sendiri, Apakah tadi malam kembali kau main pacar pacaran dengan
pacarmu"Kulihat cepat atau lambat satu hari kelak nanti kau mampus diatas perutnya"
Dua tukang tandu itu berkata kata dan tertawa tawa, sedang langkah kaki mereka sudah mulai
lambat, sedang orang tua yang diatas tandu itu juga tahu entah benar benar tidur, entah tidak
atau pura pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan mreka. Namun demikan matanya itu
sama sekali belum pernah dibuka.
Tiba didepan tanah pegunungan, tukang tandu itu berhenti, dan perlahan lahan meletakkan
tandunya. Dengan mendadak, dua orang itu dalam waktu besamaan dari tiang tandu masing masing
menghunus dua bilah pedang yang panjang dan kecil, dua bilah pedang menikam kedepan ulu
hati siorang tua, sedang dua bilah pedang yang lain menikam belakang punggung orang tua
itu! KAKI SITABIB TERBANG
Orang itu adalah sitabib terbang Kongsun Leng. Sedang dua tukang tandu tadi sungguh tidak
disangka sangka ternyata adalah orang orang rimba persilatana yang berkepandaian tinggi
namun tidak ditunjukkan, cepatnya mereka bergerak, benar benar sangat mengagumkan.
Empat bilah pedang itu bergerak dengan berbareng, menikam dari depan belakang, atas dan
bawah, dalam waktu sekejap mata saja, sudah menutup semua jalan mundur sitabib terbang,
biar bagaimana hendak mengelak, ditubuhnya pasti tidak terhindar dari dua buah lubang.
Hong Sie Nio meskipun merupakan seorang Kangouw kawakan tapi tidak menduga akan
terjadinya hal demikian, ia ingin memburu dan coba mencegah juga sudah tidak keburu lagi,
ia mengira kali ini sitabib terbang barangkali akan mati ditangan mereka.
Siapa sangka pada saat yang sangat berbahaya itu tubuh sitabib terbang mendadak
dimiringkan, dua bilah pedang telah lewat disamping tubuhnya, dua bilah yang lain baru
mengenakan bajunya, tetapi sudah berhasil dijepit oleh dua jari tangan kiri dan dua jari tangan
kanan, jari tangan itu bagaikan tangan besi yang menjepit sangat kuat.
Dua tukang tandu itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya juga tidak dapat bergerak
sama sekali. Sesaat kemudian, terdengar suara "tak!!" dua kali, dua bilah pedang tajam tadi sudah
dipatahkan oleh jari tangan sitabib terbang.
Dua tukang tandu itu dalam keadaan terkejut, lalu lompat mundur dan jumpalitan sejauh dua
tombak. Sitabib terbang masih memejamkan mata tapi kedua matanya menyambit keluar, dua potong
ujung pedang yang tergenggam ditangannya melesat dan berubah menjadi dua benda
berkeredipan. Kemudian disusul oleh dua kali suara jeritan ngeri.
Darah segar muncrat keluar dari tenggorokkan dua tukan tandu tadi, meskipun dua orang itu
sudah mati, namun gerak melesatnya mereka masih tetap hingga darah merah berceceran
ditanah. Ketika suara jeritan itu berhenti, suasana kembali berubah menjadi sunyi senyap seperti
semula belum ada kejadian itu.
Dalam suasana sunyi itu, tiba tiba terdengar suara tepuk tangan nyaring.
"Siapa?" bertanya sitabib terbang dengan suara bengis. Sepasang matanya selalu terbuka lebar
lebar, memancarkan sinarnya yang tajam, ditujukan ketempat dimana Hong Sie Nio sedang
tempatkan diri, ia segera menampak wajah Hong Sie Nio yang sedang memandangnya dengan
berseri seri. Sitabib terbang mengerutkan alisnya, katanya: "Oh, kiranya kau"
"Sudah banyak tahun kita tidak ketemu, tak disangka Kongsun Sianseng masih tetap gagah
dan lincah seperti dahulu kala, tampaknya kepandaian ilmumu semakin banyak maju lagi"
berkata Hong Sie Nio sambil tersenyum.
Sepasang alis sitabib terbang semakin dikerutkan, katanya: "Sie Nio, kau demikian
meerendahkan diri terhadap aku situa bangka, apakah kedatanganmu ada maksud?"
Hong Sie Nio menghela napas, katanya menggumam: "Jikalau aku berlaku baik kepada
orang, orang mengatakan aku datang hendak minta pertolongan, jikalau berlaku tidak baik
terhadap orang, orang mengatakan aku tidak sopan. Aiiih! Jaman ini benar benar tidak mudah
menjadi orang"
Sitabib terbang mendengarkan dengan tenang diwajahnya tidak menunjukkan sikap apa apa.
"Sebetulnya aku hanya kebetulan lewat di tempat ini, tiba tiba kuingat dan ingin menengok
kau, bagaimana juga, kita toh masih terhitung kawan kawan lama" berkata Hong Sie Nio.
Sitabib terbang masih tetap mendengarkan dengan tenang, tidak ada reaksi sedikitpun juga.
Hong Sie Nio mengawasi padanya sejenak, lalu menepok nepok pakaiannya sendiri dan
berkata: "Kau lihat, aku toch tidak sakit, tidak terluka, untuk apa aku harus minta
pertolonganmu?".
"Sekarang bukankah kau sudah melihat aku?".
"Ya".
"Baik sampai ketemu lagi".
Hong Sie Nio mengedip-ngedipkan matanya, dengan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, dan
berkata: "Benar saja kau ini seperti rase tua, siapapun tidak dapat menipumu".
Kini sitabib terbang barulah tunjukkan tertawanya, kemudian berkata;
"Ketemu siluman perempuan seperti kau ini, aku juga terpaksa menjadi rase tua".
Sepasang mata Hong Sie Nio berputaran lalu berkata sambil menunjuk jenasah dua orang tadi
yang ada ditanah:.
"Tahukah kau siapa dua orang ini" Apa sebab ia hendak hendak membunuh kau?".
"Aku situa bangka seumur hidupku malang melintang didunia Kang ouw, membunuh orang
tak terhitung jumlahnya, kalau ada orang membunuh aku, itu juga merupakan satu hal yang
wajar, perlu apa aku harus mencari keterangan asal-usul mereka?", menjawab si tabib terbang
hambar. "Aku sudah tahu bahwa kau tidak takut mati jikalau kau dibunuh oleh seorang tingkatan muda
secara tidak terang, bukannya itu sangat mengecewakan" Apakah kau kau tidak takut namamu
yang sudah kesohor itu akan hancur lebur?".
Sepasang biji mata sitabib terbang tampak bergerak-gerak menatap wajah Hong Sie Nio lama
sekali, dan lalu berkata dengan suara berat.
"Kau sebetulnya hendak suruh aku berbuat bagaimana?".
Hong Sie Nio dengan sikap tenang dan sambil berpeluk tangan berkata:
"Jikalau kau mau membantu aku, aku nanti akan membantumu mencari keterangan tentang
musuh-musuhmu. Kau harus tahu mencari keterangan itu adalah keahlianku".
Sitabib terbang menghela napas, katanya sambil tertawa getir:
"Aku memang sudah lama tahu, kau mencariku tidak mungkin ada urusan baik".
"Tetapi kali ini benar-benar mengenai soal yang sangat baik", berkata Hong Sie Nio sungguhsungguh.
Ia berjongkok dihadapan tandu sitabib terbang, katanya pula:
"Bukan saja mengenai urusan baik, tetapi juga urusan besar, setelah urusan ini berhasil, kau
dan aku semuanya akan mendapat kebaikan semua".


Anak Berandalan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sitabib terbang berdiam agak lama, diwajahnya tiba-tiba menunjukkan senyum getir, katanya
lambat-lambat: "Sudah tentu dikutung orang", jawabnya sitabib terbang sambil tertawa getir.
"Siapakah yang berbuat demikian kejam?", bertanya Hong Sie Nio.
"Aku sebetulnya juga suka membantu tenaga kepadamu, tetapi sayang kedatanganmu sudah
agak terlambat".
"Sudah terlambat" Kenapa?", bertanya Hong Sie Nio sambil mengerutkan alisnya.
Sitabib terbang tidak menjawab, sebaliknya ia membuka selimut yang menutupi bagian
kakinya, Hong Sie Nio saat itu seperti dengan mendadak diguyur air dingin, sekujur tubuhnya
menjadi kaku. Ternyata sepasang kaki sitabib terbang sudah dipotong orang sebatas lulut.
Kepandaian ilmu meringankan tubuh sitabib terbang itu sudah terlalu tinggi sekali, itulah
yang mendapat dia julukan tabib terbang. Kalau ilmunya yang dinamakan burung walet
terbang diatas air ia keluarkan, benar-benar ia dapat menyambar burung terbang dengan
tangannya, tetapi sekarang sepasang kakinya sudah dikutungi oleh orang.
Hong Sie Nio benar-benar lebih terkejut daripada menyaksikan tanga Hoa Peng yang sudah
terkutung juga oleh orang, maka ia lalu bertanya dengan sepasang mata yang membelalak:
"Apa artinya ini?"
"Siauw cap-it-long!" menjawab sitabib terbang, sepatah demi sepatah.
Hong Sie Nio mendengar disebutnya nama itu napasnya serasa berhenti, lama sekali ia dalam
keadaan begitu, lalu dengan mendadak ia lompat bangun dan berkata sambil membanting
kaki; "Aku tidak memikirkan dia, mengapa kalian hendak menyebut dia?".
"Kau seharusnya pergi mencari dia, hanya asal ia membantumu, urusan yang bagaimanapun
besarnya tak usah takut tak akan berhasil?", berkata sitabib terbang.
"Dan kau" apakah kau tidak ingin mencari dia untuk membalas dendam?", bertanya Hong Sie
Nio. Sitabib terbang menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Meskipun ia menganiaya aku, tetapi aku tidak sesalkan dia".
"Kenapa ?".
Sitabib terbang memejamkan sepasang matanya, tidak menjawab lagi.
Lama Hong Sie Nio berdiam, baru terdengar suara elahan napasnya yang panjang katanya:
"Baik, kalau kau masih tidak mau membuka mulut juga, aku nanti akan ajak kau pulang saja".
"Tak usah".
"Mana boleh kau kata tak usah" Dengan keadaanmu seperti ini, dapat kau turun gunung ?".
"Laki-laki perempuan ada batasnya, aku tidak berani minta pertolonganmu, Sie Nio silahkan
kau lanjutkan perjalananmu!".
"Apa laki-laki dan perempuan ada batasnya" Aku selamanya juga tidak anggap aku sebagai
orang perempuan, aku selamanya tidak perdulikan hal-hal semacam itu", berkata Hong Sie
Nio sambil mendelikkan matanya.
Ia juga tidak perduli sitabib terbang itu mau tidak, sudah memondong dia dari tempat duduk
diatas tandunya.
Terhadap perempuan seperti Hong Sie Nio, sitabib terbang hanya bisa tertawa getir, tidak bisa
berbuat apa-apa.
Malam semakin larut, tanah kuburan itu tampaknya semakin menyeramkan, dikuburan
dimana sitabib terbang berdiam, meskipun terdapat sinar lampu tetapi tampaknya seperti
kelap-kelipnya api setan.
"Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa kau suka berdiam diri ditempat semacam ini?",
bertanya Hong Sie Nio.
"Bertetangga dengan setan adakalanya lebih aman daripada berkawan dengan manusia",
menjawab sitabib terbang.
"Itu memang benar, setan setidak-tidaknya tidak bisa mengutungi kedua kakimu", menjawab
Hong Sie Nio dingin.
SEPATU PEMBUNUH
Dalam kuburan itu meskipun ada pelita, tetapi tidak ada orangnya, kacung yang adatnya aneh
luar biasa, yang oleh sitabib terbang ditugaskan menjaga pintu, kini juga entah kemana
perginya. Yang paling mengherankan ialah, peti mati tempat tidur sitabib terbang itu juga
tidak tertampak lagi.
Apakah ditempat semacam itu juga ada pencuri yang datang menganggu"
Hong Sie Nio yang menyaksikan itu semua tertawa sendiri:
"Pencuri ini juga lucu sekali, ia apapun tidak mengambil, hanya mencuri peti mati, sekalipun
dia sedang kematian, juga tidak perlu datang kemari......"
Ia tidak menghabiskan ucapannya itu, sebab dengan tiba-tiba ia menampak tubuh sitabib
terbang sedang gemetaran, dan ketika ia memperhatikan mukanya, juga sedang mengucurkan
keringat dingin.
Hong Sie Nio segera merasakan bahwa urusan ini agak tidak beres, maka lalu bertanya sambil
mengerutkan alisnya:
"..., Peti matimu apakah ada rahasianya apa-apa?".
Sitabib terbang menganggukkan kepala.
"Kukira kau tidak mungkin seorang pengumpul harta, sudah tentu tidak mungkin kau
menyimpan harta bendamu yang berupa uang atau barang permata yang disimpan dalam peti
matimu, kalau begitu......"
Matanya mendadak membelalak dan berkata lagi: "Aku tahu kau tentunya mengira bahwa
dalam dunia ini tidak akan ada orang yang berani peti matimu, maka kau menyimpan kitab
ilmu tabib dan pelajaran ilmu silatmu didalam peti mati, supaya kalau kau mati bisa ikut
dikubur bersama-samamu".
Sitabib terbang kembali menganggukkan kepala, ia agaknya tidak mau mengatakan lagi.
Hong Sie Nio menghela napas dan berkata:
"Aku benar-benar tidak mengerti, kalian orang-orang ini mengapa selalu egoistis, mengapa
tidak mau menurunkan pelajaran sendiri...."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas kacung penjaga pintu
yang aneh itu sudah kembali berdiri di ambang pintu.
Akan tetapi sekujur tubuhnya sudah penuh darah, lengan tangan kanannya juga terkutung,
sepasang matanya memandang sitabib terbang seperti sudah tidak bercahaya, dengan suara
serak dan terputus-putus ia mengucapkan nama seseorang:
"Siauw Cap it-long!".
Setelah mengucapkan perkataan itu, orangnya rubuh kekiri, sedang tangannya masih
memegang sebuah sepatu, ia menggenggam demikian eratnya, sehingga matipun belum mau
melepaskan. Siauw Cap it-long, kembali nama Siauw Cap it-long disebut oleh kacung tadi.
Hong Sie Nio menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas:
"Tak disangka dia..... dia telah berubah menjadi orang demikian. Aku selamanya juga tidak
menduga ia bisa melakukan perbuatan demikian".
"Ini tidak mungkin perbuatannya!", berkata sitabib terbang.
Pandangan mata Hong Sie Nio kini ditujukan kepada sepatu itu.
Sepatu itu terbuat dari kulit sapi buatannya sangat indah dan halus, tetapi juga tidak
sembarang orang yang dapat memakai sepatu semacam itu, biasanya hanya orang-orang
sopan saja yang mengenakannya. Sedangkan pendekar-pendekar rimba persilatan yang
mengenakan sepatu semacam itu jumlahnya juga tidak banyak.
Hong Sie Nio menghela napas panjang katanya:
"Dia sebetulnya tidak pernah memakai sepatu semacam ini, tetapi setan yang tahu dia
sekarang sudah berubah bagaimana macamnya!".
"Siauw Cap it-long selamanya tidak bisa berubah", kata sitabib terbang.
Waktu itu meskipun Hong Sie Nio sedang cemberut mukanya, tetapi dibibirnya masih
tersungging senyuman, katanya: "Ini benar-2 suatu kejadian yang sangat aneh, ia telah
mengutungi kedua kakimu, mengapa kau sebaliknya malah masih membela padanya dengan
mengucapkan perkataan baik begitu?"
"Dia datang mencari aku dengan cara yang sopan dan seperti laki-2 jantan, ia melukai aku
secara jantan, aku tahu dia juga seorang jantan, tidak mungkin melakukan perbuatan serendah
ini." berkata si tabib terbang.
Hong Sie Nio menghela napas, baru berkata:
"Kalau demikian halnya, kau seolah-olah lebih mengerti padanya dari padaku. Akan tetapi,
bocah ini sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, mengapa
menyebutkan namanya?"
"Bocah ini tidak mengenal siapa Siauw Cap It Long, tetapi sebaliknya kau mengenal dia,
jikalau kau dapat mengejar pembunuh itu kau nanti akan tahu siapa adanya dia."
"Bolak balik toh kau masih ingin minta aku pergi mengejar bangsat itu."
Si tabib terbang menundukkan kepala dengan sikap duka mengawasi ke arah pahanya yang
tidak mempunyai sambungan lagi ke bawah.
Di wajah Hong Sie Nio menunjukkan sikap simpatik, katanya:
"Baik aku nanti akan pergi mengejar hanya semata-mata untukmu, tetapi dapat menyandak
atau tidak, aku sekarang tidak berani memastikan, kau tentunya tahu bahwa ilmu meringankan
tubuhku tidak seberapa hebat, bukan?"
"Orang itu mengusung peti mati, pasti tidak bisa berjalan cepat, kalau tidak bocah ini juga
tidak sampai mati. Bocah itu tentunya sudah dapat mengejar dan menyandak orang itu bahkan
sudah berhasil memeluk kakinya."
Hong Sie Nio berkata sambil menggigit bibir:
"Apa sebab dia mau mengaku bernama Siauw Cap-it-long" Apa sebab ia telah membunuh
bocah ini" Jikalau tidak demikian sekalipun dia telah mencuri delapan ratus perti mati aku
juga tidak akan pergi mengejar."
Malam gelap keadaan dan suasana di tanah pegunungan sepi sunyi angin meniup kencang.
Hong Sie Nio selamanya tidak suka menggunakan ilmu lari pesatnya sambil melawan angin
kencang, sebab ia takut angin meniup di mukanya bisa-bisa membuat kulitnya jadi keriputan.
Tetapi sekarang dia malah berlari sedemikian pesat sambil melawan angin kecang ini
bukanlah disebabkan ia hendak atau ingin cepat-2 dapat menyandak pembunuh dari kacung si
tabib terbang melainkan hendak menggunakan angin dingin dan kencang itu untuk
menghapuskan bayangan orang di dalam hatinya.
Waktu pertama kali ia bertemu dengan Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long masih
merupakan seorang pemuda yang baru meningkat dewasa, sewaktu itu Siauw Cap-it-long
dalam keadaan setengah telanjang, melawan derasnya air yang mengalir, ia coba menerjang
air yang turun dari air terjun.
Ia mencoba berkali-kali, tapi entah sudah berberapa kali mengalami kegagalan, sampai satu
kali ia sudah hampir berhasil, tetapi kemudian terpukul oleh air yang terjun dengan derasnya
sehingga tubuhnya menumbuk sebuah batu, dan darah mengalir dari kepala dan tubuhnya.
Namun demikian, luka-luka itu tidak dihiraukannya, bahkan dibalutpun tidak, sambil
menggertak gigi ia kembali menerjang air deras itu dah kali ini ternyata berhasil, ia dapat
mendaki sampai di puncaknya gunung, berdiri diatas bukit sambil tertawa dan tepuk-tepuk
tangan. Sejak saat itu, dalam hati Hong Sie Nio selalu ditempati oleh bayangan Siauw Cap-it-long
Betapapun kencangnya angin meniup, juga tidak dapat membuyarkan bayangan Siauw Cap-itlong.
Hong Sie Nio mengigigt bibir, hingga bibirnya dirasakan sakit, ia tidak ingin memikirkan
orang itu, tetapi semakin ia tidak ingin memikirkan, bayangan itu semakin keras
mengganggunya. Dalam keadaan demikian, dengan tiba-tiba ia tampak bayangan orang sedang bergoyanggoyang
tertiup angin. Hong Sie Nio yang sedang terganggu pikirannya, apapun juga tidak melihat, ia lari sambil
menundukkan kepala, dengan tiba-tiba seperti berpapasan dengan sebuah muka orang, dan
yang aneh muka itu ternyata muka seorang yang melihat kebawah, dan dagunya menunjuk
keatas, sepasang matanya yang penuh darah hampir melotot keluar, waktu itu sedang
mengawasi padanya tidak berkesip, keadaan demikian benar-benar sangat menakutkan.
Betapapun besar nyalinya seseorang, kalau sudah menyaksikan muka yang demikian
menakutkan, pasti akan terperanjat juga. Hong Sie Nio dalam keadaan terkejut mundur
sampai tiga langkah, dan buru-buru angkat kepala.
Waktu itu ia baru liat bahwa orang tadi ternyata digantung sepasang kakinya diatas pohon,
sekarang entah dalam keadaan masih hidup ataukah mati.
Baru saja Hong Sie Nio hendak menggunakan tangannya untuk meraba lubang hidungnya,
sepasang biji mata orang itu sudah bergerak berputaran; sedang dari tenggorokannya
mengeluarkan suara gelopakan seperti ingin bicara.
Hong Sie Nio lalu menegornya.
"Apakah kau dibokong orang?" Orang itu hendak menganggukan kepala juga tidak bisa,
hanya kedip-kedipkan matanya dan berkata dengan suara terputus-putus:
"Berandal....berandal...."
"Kau ketemu dengan berandal?" bertanya pula Hong Sie Nio
Orang itu kembali mengedip-ngedipkan matanya:
Orang itu usianya belum tua, kumis dan jenggot diwajahnya habis dicukur, dibadannya
mengenakan pakaian sangat perlente tapi wajahnya menunjukkan ia seorang buas dan jahat.
"Aku lihat kau sendiri mirip dengan berandal, jikalau aku menolongmu barangkali aku nanti
malah kau rampok." berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sepasang mata orang itu memancarkan sinar buas, namun ia masih berkata sambil tersenyum:
"Asal nona mau menolong aku nanti akan beri hadiah besar padamu."
"Kau sendiri sudah dirampok habis-habisan, barang apa yang akan kau hadiahkan padaku?"
Orang itu tidak bisa membuka mulut lagi, sedang keringat dingin dikepalanya sudah
mengucur keluar.
Hong Sie Nio tertawa dan berkata:
"Mengapa dalam pandanganku kau ini tidak mirip dengan orang baik" Tetapi aku juga tidak
dapat melihat orang yang mau mati, tidak memberi pertolongan."
Orang itu tampaknya sangat girang, katanya:
"Terima kasih......terima kasih....."
"Aku juga tidak minta kau mengucapkan terima kasih padaku. Asal setelah aku menolong
kau, kau jangan pikir bermaksud jahat terhadap diriku, itu saja sudah cukup."
Orang itu masih tidak hentinya mengucapkan terima kasih, tetapi sepasang biji matanya terus
berputaran ditujukan ke dada Hong Sie Nio yang menonjol tinggi.
Hong Sie Nio juga tidak marah, sebab ia tahu bahwa kaum laki-laki kebanyakan memang
bermata keranjang.
Ia segera lompat melesat keatas pohon, selagi hendak membuka tali yang mengikat sepasang
kaki orang itu, dengan tiba-tiba ia melihat bahwa sepasang kaki orang yang diikat diatas
pohon itu, yang satu hanya mengenakan kaos kaki, tidak ada sepatunya, bahkan diatas
kakinya itu masih terdapat tanda darah.
Ketika ia melihat lagi, satu kakinya yang lain hanya mengenakan sebuah sepatu.
Sepatu yang terbuat dari kulit sapi itu, sama benar dengan sepatu yang dibawa oleh kacung si
tabib terbang. Hong Sie Nio tercengang.
Ia mendengar orang itu berkata: "Nona, sudah berjanji hendak menolongku, mengapa tidak
lekas bertindak?"
Mata Hong Sie Nio berputaran, tampaknya sedang berpikir, kemudian berkata:
"Kupikir bolak-balik, masih merasa kurang tepat tindakanku ini."
"Mengapa kurang tepat?"
"Aku hanya seorang perempuan, melakukan apa-apa tak boleh tidak harus berhati-hati,
sekarang ini malam sudah larut, sudah tidak mungkin ada orang berjalan lagi, Jikalau aku
sehabis menolong kau, lalu kau......., nanti timbul hati jahat, bagaimana aku harus berbuat?"
"Nona jangan khawatir, aku bukanlah seorang yang jahat. Apalagi, kulihat gerakan nona tadi
naik keatas pohon tadi, juga bukanlah seorang yang mudah dipermainkan." berkata orang itu
sambil tertawa dibuat-buat.
"Tetapi sebaiknya aku berlaku hati-hati sedikit, sekarang kuperlu menanyakan padamu lebih
dulu beberapa soal"
Orang itu jelas sudah merasa tidak sabaran, katanya:
"Kau hendak menanya apa?"
"Aku belum tahu siapakah namamu, dan darimana kau datang?"
"Aku seorang she Siauw, aku datang dari utara."
"Dan berandal yang menggantung kau disini, orangnya bagaimana macamnya?"
"Dengan terus terang, bagaimana macam orangnya itu sendiri aku sendiri juga tidak melihat,
dan tahu-tahu sudah digantung disini oleh mereka" berkata orang itu sambil menghela napas.
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, katanya lagi:
"Dan dimanakah kau taruh peti mati yang kau curi itu" Apakah juga sudah dirampok oleh
kawanan berandalan itu?"
Wajah orang itu mendadak berubah, namun ia masih pura-pura tertawa dan berkata:
"Peti mati apa" ucapan nono ini aku sungguh tidak mengerti semua?"
Hong Sie Nio mendadak melompat turun, dan menampar kedua pipi orang itu demikian
kerasnya, hingga mukannya kini menjadi bengap giginya juga rontok dan darah mengalir
keluar dari mulutnya, sehingga orang itu menjadi marah dan bertanya:
"Kau sebetulnya siapa" Apa sebab kau memukul aku?"
"Hong Sie Nio tertawa hambar, katanya:
"Aku justru hendak menanya padamu, kau ini sebetulnya siapa" Mengapa kau mencuri peti
mati si tabib terbang" Siapa yang menyuruh kau datang kemari" Apa maksudnya kau
menggunakan nama Siauw Cap-it-long?"
Orang itu seperti dibacok, oleh Hong Sie Nio, kulit mukanya berkenyit, matanya
memancarkan sinar buas, memandang Hong Sie Nio, giginya berkeretekan. Hong Sie Nio
berkata lagi dengan suara lebih terang :
"Kau tidak mau percaya betul tidak" Kalau begitu kuberitahukan padamu aku adalah Hong
Sie Nio, barang siapa yang suda terjatuh di dalam tanganku tiada seorangpun yang tidak akan
berbicara terus terang."
Orang itu kini baru menunjukkan sikapnya terkejut dan ketakutan, dari mulutnya
mengeluarkan seruan.
"Hong Sie Nio! Kiranya kau ini adalah Hong Sie Nio ?"
"Kalau kau sudah mendengar namaku, seharusnya kau tahu bahwa ucapanku ini tidaklah
bohong." Orang itu menghela napas panjang, gumamnya:
"Tidak disangka hari ini aku telah bertemu dengan kau siluman perempuan. Baik, baik, baik
........ "
Setelah berkata demikian, dengan mendadak ia mengertek giginya sendiri.
Sepajang mata Hong Sie Nio terbuka lebar ia masih ingin memegang dagunya tetapi sudah


Anak Berandalan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak keburu lagi. Kini tampak mata orang itu mendelik, wajahnya sudah menjadi hitam tetapi
ujung bibirnya menunjukkan senyum misteri biji matanya melotot keluar seolah-olah
mengawasi Hong Sie Nio katanya dengan suara hampir tidak kedengaran :
"Apakah kau sekarang masih ada akal minta aku bicara?"
Orang itu ternyata lebih suka habiskan jiwanya sendiri dengan menelan obat racun, juga tidak
mau menceritakan asal usul dirinya. Jelas kalau dia pulang dalam keadaan hidup, derita dan
siksaan yang akan diterimanya dari orang yang menyuruhnya tentu akan lebih celaka dari
pada mati. Urusan semacam ini memang bukan tidak ada, Hong Sie Nio sendiri juga sudah pernah
melihatnya, tetapi obat racun yang bekerja demikian keras, ia masih jarang melihatnya.
Hong Sie Nio menjejak-jejakkan kakinya, katanya sambil tertawa dingin :
"Kau mati juga baik, bagaimanapun juga kau menyebutkan atau tidak, dengan aku tidak ada
hubungannya sama sekali ..."
Dalam hatinya waktu itu hanya tinggal satu persoalan: Siapakah yang menggantung penjahat
ini" Dan kemana dibawanya peti mati si tabib terbang"
SUARA NJANYI DITENGAH MALAM
Ketika Hong Sie Nio kembali kekediaman sitabib terbang, peti matinya ternyata sudah berada
didalam kuburannya lagi.
Apakah peti mati itu bisa terbang kembali sendiri" Sudah tentu tidak. Hong Sie Nio hampir
tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lompat maju dan bertanya dengan suara keras:
"Dengan cara bagaimana peti mati ini bisa kembali ?"
Sitabib terbang yang ditanya hanya tertawa saja kemudian baru berkata :
"Sudah tentu ada orang yang mengantarkannya kemari."
"Siapa ?"
Tertawa sitabib terbang agaknya semakin misteri katanya lambat-lambat:
"Siaw Tjap-it-long !"
Hong Sie Niio kembali menjejak-jejakkan kakinya katanya dengan suara gemas :
"Lagi-lagi dia ! Kalau begitu orang itu tentunya dia juga yang menggantungnya ! Mengapa ia
tidak menanyakan asal-usul oran gitu?"
"Ia tahu ada orang yang tidak mau menceritakan asal usul dirinya ditanyapun tidak ada
gunanya," berkata sitabib terbang hambar.
"Kalau begitu mengapa ia masih meninggalkan orang itu dijalanan dalam keaddan tergantung
kedua kakinya " Apakah dia sengaja meninggalkan untuk aku lihat ?" bertamya Hong Sie Nio
marah. Sitabib terbang hanya tertawa tidak menjawab.
Mata Hong Sie Nio menyapu keadaan sekitarnya, kemudian berkata :
"Sekarang di mana dia ?"
"Sudah pergi."
"Kalau ia tahu aku disini, mengapa ia tidak mau menunggu aku ?" bertanya Hong Sie Nio
sambil mendelikkan matanya.
"Aku kata kau tidak suka menemui dia, maka ia terpaksa pergi."
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya sambil tertawa dingin :
"Benar, aku begitu melihat oran gitu lantas merasa sangat mendongkol ....... kemana ia pergi ?"
"Kalau kau tidak mau menemui dia perlu apa kau tanya dia pergi kemana ?"
Hong Sie Nio tercengang, mendadak mendadak mengangkat kakinya dan menendang meja,
hingga terbalik, katanya dengan suara keras :
"Kau sirase tua ini, kuharap ia datang lagi untuk mengutungi kedua tanganmu !"
Sehabis berkata demikian, orangnya juga sudah lari kabur keluar dari kediaman sitabib
terbang yang berupa kuburan.
Sitabib terbang menghela napas panjang, mulutnya menggumam sendiri :
"Seorang wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun tapi masih seperti kanak2 saja lakunya,
ini benar-benar juga merupakan suatu hal yang sangat aneh ........"
Arak yang bernama daun bambu hijau, berada dalam cangkir keramik berwarna biru muda,
hingga tampaknya seperti sepotong batu giok yang bening.
Bulan purnama berpancang diangkasa bagaikan piring perak bunda, rembulan sudah bundar,
tapi mana orangnya " Wajah Hong Si Nio sudah menjadi merah, agaknya sudah sedikit
mabok, sinar rembulan menembusi lubang jendela, ia lalu angkat muka, memandang
rembulan yang bundar dan terang, hatinya terkejut.
"Apakah hari ini sudah tanggal limabelas?" demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri. Tanggal limabelas bulan tujuh, itu adalah hari ulang-tahunnya, selewatnya malam ini, berarti
usianya sudah tambah lagi satu tahun.
Usia tiga puluh empat tahun, bagi seorang wanita merupakan suatu jumlah angka yang sangat
menakutkan. Sewaktu ia masih berusia limabelas enambelas tahun, pernah memikirkan bahwa seorang
wanita apabila sudah hidup tigapuluh tahun lebih, kalau hidup lagi juga tidak ada artinya,
wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih, seperti bunga seruni bulan sebelas yang
sudah layu, hanya menunggu rontoknya saja.
Akan tetapi ia sendiri sekarang tanpa disadari sudah berusia tigapuluh empat tahun. Ia mau
tidak percaya, namun tentunya tidak bisa lagi tidak percaya. Sang waktu mengapa demikian
cepat berlalu"
Di satu sudut dinding kamarnya ada sebuah cermin, ia memandang bayangan orang dalam
cermin seperti patung, berdiri tanpa bergerak.
Bayangan orang dalam cermin itu tampaknya masih demikian muda, bahkan kalau tertawa, di
ujung matanya juga tidak terdapat keriput, siapa pun tidak percaya bahwa ini adalah seorang
perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Akan tetapi, sekalipun ia bisa menipu mata orang lain, tetapi yang terang ia tidak bisa menipu
dirinya sendiri.
Ia memutar diri, menuang araknya ke dalam cangkirnya penuh-penuh, sinar rembulan telah
membuat bayangannya yang di tanah seperti panjang sekali, dalam hati dengan sekonyongkonyong
teringat dua bait syair.
Syair itu demikian bunyinya:
"Mengangkat cawan mengajak rembulan minum arak, menghadapi bayangan menjadi tiga
orang." Dahulu ia selamanya tidak pernah merasakan betapa dalamnya maksud yang terkandung
dalam syair itu.
Di luar rumah tiba-tiba terdengar suara tangisan anak.
Dahulu ia paling benci kepada suara tangisan anak, akan tetapi sekarang betapakah besarnya
kerinduannya untuk mendapatkan seorang anak! Ia benar-benar sangat mengharap bisa
mendengar suara tangisan dari anaknya sendiri.
Sinar rembulan menyinari wajahnya, entah dari mana datangnya air mata di kedua pipinya"
Selama beberapa tahun terakhir ini, ia pernah beberapa kali ingin mencari seorang laki-laki
sebagai suami, akan tetapi ia tidak bisa. Laki-laki yang dijumpainya sebagian menjemukan
bagi dirinya. Demikianlah usia remajanya telah berlalu, lewat beberapa tahun lagi, laki-laki yang dahulu
menjemukan itu, barangkali juga tidak mau lagi kepadanya. Aih! Beginilah nasibnya
perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Di luar pintu kembali terdengar suara tertawa dari seorang laki-laki.
Suara tertawa itu demikian kasar dan kerasnya, bahkan siapa pun yang mendengarnya dapat
segera tahu bahwa orang itu sedang mabuk.
"Laki-laki ini entah bagaimana macamnya?" demikian ia coba bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri. Laki-laki itu pasti sangat kasar, jorok dan penuh bau arak.
Akan tetapi apabila laki-laki itu masuk ke dalam dan meminang dirinya, mungkin ia bisa
menerima...... Seorang wanita yang sudah mencapai usia tigapuluh empat, pilihannya terhadap laki-laki
tidak bisa sekeras seperti kalau ia memilih pria pujaannya pada usia duapuluh tahun.
Dalam hati Hong Si Nio bertanya-tanya kepada diri sendiri, di ujung bibirnya tersungging
senyuman getir.
Malam semakin larut, di luar berbagai macam suara semua sudah tidak kedengaran lagi,
kembali menjadi sunyi senyap.
Dalam kesunyiannya itu, dari jauh terdengar suara kentongan yang kedengarannya sangat
menjemukan, tapi begitulah keadaan dalam desa pada setiap malamnya.
"Sudah waktunya harus tidur," demikian Hong Si Nio berkata lagi kepada dirinya sendiri.
Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, baru saja hendak menutup daun jendela, angin malam
dengan tiba-tiba meniup masuk membawakan suara nyanyian seseorang, suara nyanyian itu
kedengaran memilukan hati dan juga telah dikenal baik olehnya.
"Siauw Cap-it-long!"
Ia ingat, setiap kali bertemu dengan Siauw Cap-it-long, di mulutnya selalu menyanyikan lagu
ini sangat perlahan dengan irama yang sama, waktu itu sikapnya bisa berubah demikian
mengenaskan. Dalam hati Hong Si Nio merasa terganggu, ia tidak ingin apa-apa lagi, secepat kilat ia sudah
mengambil keputusan dan dengan tangan menekan meja, orangnya bagaikan anak panah
sudah melesat keluar dari lubang jendela, meluncur ke arah dari mana datangnya suara
nyanyian tadi. Jalan raya yang panjang tampak sunyi senyap.
Didepan setiap pintu rumah hampir semua ada setumpukan abukertas yang habis dibakar,
sewaktu angin meniup abu itu berterbangan mengikuti arah kemana angin berhembus dalam
keadaan gelap itu juga tidak diketahui ada berapa banyak setan gentayangan yang berebutan
abu kertas sembahyang itu.
Tanggal lima belas bulan tujuh menurut kepercayaan bangsa Tionghoa itu adalah saatnya
setan-setan pada keluar dan sekarang pintu setan sudah terbuaka lagi, benarkah di dunia ini
ada berbagai jenis setan"
Hong Sie Nio mengertek gigi mulutnya menggumam sendiri:
"Siauw Tjap-it-liong kau juga seperti setan keluarlah sekarang!"
Akan tetapi satu bayangan setanpun tidak ada dan suara nyanyian tadi juga sudah lenyap
kembali. Hong Sie Nio berkata sendiri dengan suara gemas:
"Orang ini benar-benar seperti setan. Ia tidak suka melihat aku tapi membiarkan aku
mendengar suara nyanyiannya?"
Pikiran Hong Sie Nio mendadak berubah kesepian tenaganya seperti sudah lenyap seketika,
adal ia pulang minum beberapa cawan arak, mungkin bisa tidur hingga esok hari.
Dan besok, mungkin segala2nya sudah berubah semua.
Sebabnya seseorang bisa hidup terus, mungkin lantaran selalu ada harapan di hari esok.
SIAUW TJAP-IT-LONG
Ketika Hong Sie Nio melihat sinar lampu dari jendela rumah, dalam hatinya timbul perasaan
hangat yang tidak diketahui apa sebabnya, ia merasa seolah2 sudah pulang kerumahnya
sendiri. Seseorang pulang kerumah, lalu menutup pintu, itu seolah2 seperti sudah meninggalkan
segala penderitaan harinya diluar pintu..... mungkin inilah arti utam dari apa yang dinamakan
rumah tangga. "Tetapi benarkah ini rumah tanggaku" ini hanya sebuah kamar dari satu rumah penginapan
saja." demikian Hong Sie Nio berkata kepada dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang, ia belum pernah tahu kapan baru mempunyai rumah tangga, huga
belum pernah tahu kapan rumah tangganya nanti bakal dibangun.
Baru saja ia berjalan kebawah jendela, sudah terdengar suara orang didalam kamarnya.
"Keluar dari Yang-koan tiga ribu li jauhnya, selanjutnya pandang Siauw-long sebagai orang
jalanan ..... Hong Sie Nio Hong Sie Nio, kupikir kau sudah melupakan diriku!" demikian
suara dari dalam kamarnya itu.
Sekujur tubuh Hong Sie Nio mendadak dirasakan panas, tanpa banyak berpikir lagi lantas
lompat melesat masuk kedalam kamar, dan berkata dengan suara nyaring:
"Kau setan ini ....akhirnya kau toh unjuk muka juga!"
Secawan arak diatas meja ternyata sudah kosong. Diatas pembaringan nampak rebah
terlentang seseorang, dengan menggunakan bantal menutupi mukanya sendiri.
Orang itu menggunakan pakaian berwarna biru, tetapi sudah mulai agak keputih-putihan.
Dipinggangnya terdapat ikat pinggang kain warna biru tua, diikat pingganggnya itu
tergantung sebilah golok.
Golok itu bentuknya lebih pendek dari golok biasa, sarung golok terbuat dari kulit berwarna
hitam, sudah terlalu lama hingga warnanya tidak begitu terang lagi, tetapi masih agak baru
tampakanya kalau dibandingkan dengan sepasang sepatunya.
Kakinya diangkat tinggi2, dibawah sepatunya terdapat dua lubang.
Dengan kakinya Hong Sie Nio menendang sepatu orang itu, katanya dengan raut muka
cemberut: "Setan malas dan mesum, siapa suruh kau tidur ditempat tidurku?"
Orang diatas pembaringan itu menghela napas, katanya menggumam:
"Bulan yang lalu aku baru mandi, orang ini ternyata masih mengatakan aku mesum......."
Hong SIe Nio tidak tahan rasa gelinya, hingga ia jadi tertawa lebar, tetapi secepatnya ia
kembali cemberutkan muakanya, bantal yang tadi digunakan untuk menutup muka orang tadi
ditariknya dan dilemparkan jauh2, katanya:
"Lekas bangun, supaya aku bisa liahat selama beberapa tahun ini kau sebetulnya sudah
berubah jadi bagaimana rupamu?"
Bantal sudah dilemparkan, tapi orang diatas pembaringan itu menggunakan tangannya
menutup lagi mukanya.
"Benarkah kau sudah tidak berani melihat orang?" bertanya Hong Sie Nio.
Orang diatas pembaringan itu cuma merenggangkan sela2 jari tangannya itu tampak sepasang
mata yang penuh mengandung ejekan, katanya sambil tertawa:
Seorang perempuan yang sangat galak, pantas kau tidak laku kawin, tampaknya selain aku
sudah tidak ada orang lain yang berani mengawini kau......"
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah menampar dengan tangannya.
Orang di atas pembaringan itu mengerutkan tubuhnya, seluruh tubuhnya dengan mendadak
pindah dan menempel di dinding tembok, seperti orang-2-an yang dibuat dari kertas berada di
dinding, namun ia tidak bisa jatuh ke bawah.
Sepasang matanya yang bersinar tajam masih tetap mengandung maksud mengejek, orang itu
beralis tebal, hidungnya mancung, di bawah hidungnya ada tumbuh kumis yang indah.
Orang laki itu sebenarnya tidak terhitung golongan orang tampan, namum sepasang matanya,
bibirnya tersungging senyum mengejek, benar-2 penuh daya penariknya sebagai seorang laki-laki
Hong Sie Nio menghela napas perlahan, katanya sambil menggelengkan kepala:
"Siauw Cap-it-long, kau masih belum berubah, benar-benar sedikitpun juga tidak berubah....
kau masih tetap seperti seorang bajingan besar...."
"Aku selalu masih mengira kau hendak menikah dengan aku si bajingan besar ini, tampaknya
dugaanku itu telah keliru" kata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Wajah Hong Sie Nio menjadi merah, katanya dengan suara keras:
"Menikah denganmu" Aku bisa menikah denganmu" .... Orang-2 dalam duniah sudah mati
semua, aku juga bisa menikah denganmu!"
Siauw Cap-it-long menghela napas panjang, katanya:
"Kalau begitu, aku sudah tidak perlu khawatir lagi!"
Tubuhnya merosot dari dinding tembok dan duduk kembali di atas pembaringan, katanya
sambil tertawa:
"Dengan sejujurnya, ketika aku mendengar kabar kau mencari aku, aku sebetulnya benarbenar
ada sedikit takut; aku kini baru berusia dua puluh tujuh tahun, andaikata aku hendak
kawin, aku juga akan mencari seorang gadis kecil yang beru berusia enam belas tahunan,
orang seperti kau yang sudah nenek-nenek....."
Hong Sie Nio lompat bangun dan berkata dengan marah:
"Aku seorang nenek-nenek" Berapa tuaku coba kau katakan...."
Secepat kilat, ia sudah menghunus sebilah pedang pendek dari pinggangnya.
Sesaat kemudian, ia sudah menyerang Siauw Cap-it-long tujuh delapan kali.
Siauw Cap-it-long kembali harus melesat ke dinding tembok, kemudian melesat ke atas
genteng, lalu seperti cecak raksasa menempel di atas genteng, katanya sambil menggoyanggoyangkan
tangan: "Jangan, jangan kau turun tangan, aku hanya main-main saja denganmu! Sebetulnya kau
sedikitpun belum tampak tuanya, paling banyak baru empat puluh tahun usiamu!"
Hong Sie Nio berusaha hendak cemberutkan mukanya, namun ia tidak tahan rasa gelinya
hingga jadi tertawa lagi, katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Masih untung aku tidak sering-sering melihatmu, jikalau tidak, aku benar-benar bisa mati
kaku." "Orang yang menyanjung-nyanjung kau sudah banyak jumlahnya, kalau ada seorang yang
bisa membikin kau mendongkol hatimu, bukankah itu merupakan suatu hal yang cukup
menyenangkan?" berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Sementara itu orangnya sudah melayang turun kembali, namun sepasang matanya terus
ditujukan kepada pedang di tangan Hong Sie Nio.
Itu adalah sebilah pedang pendek yang hanya satu kaki saja panjangnya, ujung pedangnya
sangat tipis, dan memancarkan sinar berkilauan, pedang semacam ini paling cocok digunakan
kaum wanita. Jago pedang wanita Kong-sun Toa Nio yang terkenal namanya pada jaman
kerajaan Tong, pedang yang digunakan olehnya juga adalah pedang semacam ini.
Siauw Cap-it-long mengawasi pedang pendek yang tajam itu, sedangkan Hong Sie Nio
sebaliknya mengawasi terus sepasang mata Siauw Cap-it-long. Tapi sekonyong-konyong ia
membalikkan tangannya, dan membabat cangkir arak di atas meja.
Terdengar suara nyaring cawan arak keramik berwarna biru muda telah terbelah menjadi dua.
Siauw Cap-it-long berseru dengan pujiannya:
"Pedang bagus sekali."
Hong Sie Nio seperti tertawa namun bukan tertawa, katanya hambar:
"Pedang ini meskipun tidak bisa digunakan benar-benar untuk memotong besi sebagai tanah,
tetapi masih terhitung boleh juga. Pedang pusakaku ini terlalu disayang oleh Siao-yao-hauw
bagaikan benda pusaka yang sangat berharga, sekalipun untuk diperlihatkan saja kepada
orang lain juga ia bisa merasa keberatan."
Siauw Cap-it-long mengedip-ngedipkan matanya, tanyanya sambil tertawa:
"Tapi, dia akhirnya toh memberikan juga pedang ini padamu. Betul tidak?"
"Sedikitpun tidak salah" menjawab Hong Sie Nio sambil angkat muka.
"Jikalau demikian halnya dia ternyata sudah menaksir dirimu"
"Apakah dia tidak boleh menaksir aku" Apakah aku benar-benar sudah sedemikian tua?"


Anak Berandalan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Cap-it-long menghela napas dan berkata:
"Orang perempuan bisa menarik perhatian orang seperti Siauw-yao-hauw itu, sesungguhnya
tidaklah mudah. Entah ia hendak mengambil kau akan dijadikan gundik yang keberapa?"
"Kentutmu......" berkata Hong Sie Nio marah.
Pedangnya kembali diangkat, namun Siauw Cap-it-long cepat cepat sudah mengkeretkan
kepalanya. Hong Sie Nio perlahan lahan menurunkan kembali pedangnya, matanya melirik kepada Siauw
Cap it long seraya berkata:
"Kalau kau benar benar pintar seharusnya tahu asal usul pedang ini"
"Tampaknya pedang ini seperti pedang Na giok (batu giok biru) yang digunakan oleh murid
kepala Kongsun Toa Nio Sin Beng Lan" jawab Siauw Cap it long.
Hong Sie Nio mengangguk anggukkan kepala dan berkata:
"Kau bermata tajam"
"Tetapi pedang Na giok ini adalah sebilah pedang betina, kau sudah memiliki Na giok,
seharusnya ada pedang timpalannya yang bernama Cek hee (batu giok warna merah) baru
betul, kecuali..."
"Kecuali apa?"
Siauw Cap it long tertawa dahulu, kemudian baru berkata:
"Kecuali Siao yao hauw berat memberikan dua bilah pedang kepadamu"
"Jangankan dua bilah pedang ini, sekalipun aku menghendaki batok kepalanya ia juga akan
menyerahkan dengan kedua tangannya" berkata Hong Sie Nio sambil pendelikkan mata.
"Kalau demikian halnya, pedang Cek hee itu dimana sekarang berada?"
"Biar kau membuka mata juga tidak halangan"
"Sebetulnya aku juga bukan benar benar ingin melihat, tetapi kalau aku tidak melihatnya
kutakut kau kembali akan menjadi marah" Siauw Cap it long tertawa lagi, lalu meneruskan:
"Ingatkah kau pada bulan sepuluh tahun itu" Hawa udara masih panas sekali, tapi kau
mengenakan pakaian dingin datang menengok aku. Meskipun hawa panas sekali dan kau
masih bersikap keras mengatakan bahwa kau masuk angin, hingga mau memakai pakaian
yang tebal sediki..." berkata Siauw Cap it long pula sambil tertawa cekikikan.
Hong SIe Nio marah, katanya:
"Kentutmu! apa kau kira aku hendak menyerahkan barang pusaka kehadapanmu?"
"Ada barang pusaka untuk dipersembahkan, bagaimanapun juga itu baik sekali, orang seperti
aku ini yang tidak mempunyai barang pusaka untuk dipersembahkan, terpakasa
mempersembahkan barang pusaka apa saja"
"Kau benar benar seperti pusaka hidup" berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sambil berkata demikian dia memutar diri, dari pinggangnya mengeluarkan sebilah pedang
lagi, disarung pedangnya dihiasi dengan batu giok warna merah jambu.
SIauw Cap it long menyambut pedang itu, katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepala:
"Barang barang yang dipakai oleh orang perempuan benar saja tidak lepas dari warna merah
jambu" Mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menghunus pedang pusaka itu.
Sebilah pedang keluar dari sarungnya, sesaat itu dia berdiri tercengang.
Ternyata pedang Cek hee adalah sebilah pedang kutung.
Hong Sie Nio sebaliknya tidak menunjukkan perubahan sikap, dengan tenang dia mengawasi
padanya, kemudia bertanya:
"Kau merasa heran?"
"Barang tajam demikian rupa bagaimana bisa terkutung?"
"Terkutung malah oleh golok!"
"Golok apakah itu" Mengapa demikian tajamnya?"
"Aku tahu kau begitu dengan ada golok baik, lalu hatimu lantas tertarik. Tetapi kali ini, aku
justru tidak memberitahukan kepadamu, juga supaya jangan kau anggap aku menghadiahkan
barang pusaka"
Biji mata SIauw Cap it long berputaran terus, lalu mendadak ia bangkit dan berkata:
"Melihat kau, aku lantas menjadi lapar, Jalan, aku undang kau makan malam."
GOLOK CIE TAY SU
Diujung jalan raya, ada sebuah warung bakmi kecil.
Kabarnya warung bakmi itu sudah dibuka sejak beberapa puluh tahun berselang, bahkan tidak
peduli hujan angin deras, tidak peduli tahun baru atau harian sembahyang apa saja, tukan mie
itu belum pernah mengaso satu hari saja.
Oleh karena itu, maka orang orang yang suka pesiar diwaktu malam, semua tak usah khawatir
akan kelaparan, disebabkan seandainya benar sampai pulang tak dapat pintu dari istri, setidak
tidaknya masih bisa makan diwarung mie kecil itu sehingga kenyang.
Tukang mie seorang she Thio benar-benar sudah lanjut usianya, kumis jenggot dan rambutnya
semua sudah berwarna dua, saat itu sedang duduk di bangkunya, dan minum mie kuahnya
sambil menundukkan kepala, lenteranya yang terbuat dari kertas sudah menjadi berwarna
kuning dan kehitam-hitaman, hal ini mirip sekali dengan wajahnya.
Langganan-langganan lama yang datang ke situ, semua sudah tahu bahwa orang tua itu
selamanya tidak pernah menunjukkan sikap apa-apa kecuali jikalau ia sedang minta uang,
juga sedikit sekali mendengar ia mengucapkan kata-kata.
Ketika Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio tiba di warung kecil itu, Siauw Cap-it-long lalu
berkata: "Mari kita makan mie di sini saja?"
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, lalu berkata:
"Baiklah"
"Kau tak usah mengerutkan alis, mie daging sapi di sini kutanggung kau selamanya belum
pernah makan."
Ia lalu mengambil tempat duduk di belakang sebuah meja yang sudah hampir rubuh, katanya
dengan suara keras:
"Lao Thio, hari ini aku ada membawa tamu agung, bikinkan mie yang agak baik."
Si orang tua she Thio menolehpun tidak, ia hanya melirik Siauw Cap-it-long dengan mata
yang tidak menunjukkan sikap apa-apa, seolah-olah mau berkata:
"Tak perlu kau tergesa-gesa, tunggu aku habiskan dulu mie kuahku ini."
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
"Orang tua ini adalah satu makhluk yang aneh, jangan kita ganggu dia"
Siauw Cap-it-long yang namanya menggemparkan rimba persilatan tidak berani mengganggu
seorang tua penjual mie, ucapan ini keluar dari mulutnya sendiri, siapakah yang mau percaya"
Maka itu Hong Sie Nio merasa geli juga mendongkol.
Lama mereka menunggu si tukang mie tua she Thio barulah mengeluarkan dua piring sayur
sepoci arak diletakkan di atas mejanya yang butut, setelah itu ia berjalan pergi lagi tanpa
menoleh juga. Hong Sie Nio tidak tahan rasa gelinya, ia berkata:
"Kau barangkali masih ada hutang arak padanya!"
Siauw Cap-it-long membusungkan dada, katanya sambil tertawa:
"Aku sebetulnya masih hutang padanya serenceng uang, tetapi kemarin dulu aku sudah
lunasi...."
Hong Sie Nio memandang padanya lama sekali, baru menghela napas perlahan dan berkata:
"Orang-orang dunia Kang-ouw semua mengatakan bahwa Siauw Cap-it-long adalah seorang
Kang-ow merangkap berandal besar yang turun tangan paling cepat dan padangan mata paling
jitu selama lima ratus tahun ini, ada siapa yang tahu bahwa Siauw Cap-it-long hanya
mengundang kawannya makan mie dengan daging sapi, bahkan ada kemungkinan masih perlu
hutang" Siauw Cap-it-long tertawa besar, katanya:
"Ada aku yang tahu, juga ada kau yang tahu, apakah itu masih belum cukup".... Mari, minum
secawan" Begitulah orangnya Siauw Cap-it-long, ada orang memaki dia, ada orang membenci dia, juga
ada orang yang suka dia, tetapi sedikit sekali orang yang mengerti jiwanya.
Ia juga tidak mengharapkan orang bisa mengerti akan dirinya, selamanya belum pernah
memikirkan untuk diri sendiri.
Jikalau anda sebagai Hong Sie Nio, maka anda suka padanya atau tidak"
Hong Sie Nio memiliki suatu kelebihan yang paling baik. Kalau orang lain minum banyak
bisa menjadi mabok seperti orang sinting, atau sepasang matanya bisa menjadi lamur, tapi dia
tidak. Semakin banyak dia minum, sinar matanya sebaliknya semakin terang, siapapun tidak bisa
mengetahui ia sudah mabuk atau belum. Sebetulnya ia tidak terlalu kuat minum, tetapi sedikit
sekali orang yang berani bertaruh minum dengannya.
Dan sekarang, sinar matanya demikian terang seperti lampu pijar, sepasang matanya terus
menatap Siauw Cap-it-long, suatu ketika mendadak ia berkata:
"Kisah tentang golok itu, apakah kau tidak ingin dengar?"
"Aku sudah tidak ingin dengar lagi" menjawab Siauw Cap-it-long.
Lama juga Hong Sie Nio mengendalikan perasaannya, akhirnya ia tidak sabar lagi dan
bertanya: "Mengapa kau tidak ingin dengar?"
"Sebab jikalau aku bilang mau dengar, kau bisa lantas tidak mau menceritakan. Sebaliknya
jikalau aku kata tidak ingin dengar mungkin kau bisa menceritakannya sendiri kepadaku."
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah tidak dapat menahan rasa geli dihatinya, hingga
ia tertawa besar, sedang mulutnya memaki-maki:
"Kau ini benar-benar setan.... orang lain sering mengatakan bahwa aku adalah siluman
perempuan, tetapi aku siluman perempuan ini jikalau bertemu dengan kau setan laki-laki ini
juga tidak berdaya sama sekali."
Siauw Cap-it-long hanya menenggak araknya saja tidak menjawab. Ia tahu bahwa saat itu ia
tidak bisa menjawab. Apabila ia menjawab sepatah saja, ada kemungkinan Hong Sie Nio
tidak mau bercerita atau mengatakan apa-apa lagi.
Terpaksa Hong Sie Nio menyambung ucapannya sendiri, katanya:
"Sebetulnya, tidak perduli kau ingin dengar atau tidak aku tetap akan menceritakan juga
padamu. Golok itu namanya Kwa liok to!".
"Kwa liok to?".
"Benar Kwa liok to!".
Nama ini sunguh aneh dan baru pula, dahulu aku belum pernah mendengar nama semacam
itu?". "Sebab golok ini baru keluar dari perapian belum sampai setengah tahun".
"Sebilah golok yang baru saja dibuat ternyata sudah dapat mengutungkan benda pusaka kuno,
kekuatan tenaga dalam orang yang membuatnya, apakah dibandingkan dengan seorang tukan
membuat senjata tajam pada jaman perang?".
Hong Sie Nio tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya:
"Sesudah beberapa pembuat golok kenamaan seperti Kan Tjiang, Bo Gee, Auw-tie Tju dan
lain-lannya, masih ada satu tukang membuat pedang dan golok kenamaan yang tidak pernah
muncul didunia Kang ouw. Tahukah kau siapa dia?".
"Apakah dia bukan Cie hujin?".
"Benar, tidak kusangka kau benar-benar mempunyai sedikit pengetahuan?".
"Cie Hujin bukanlah seorang wanita, ia hanya seorang she Cie bernama Hujin. Pedang yang
digunakan Keng Ko untuk membunuh raja Cin, adalah pedang buatan dari Cie Hujin ini.
Sekarang mata Siauw Cap-it-long bergerak-gerak, tiba-tiba berkata:
"Golok Kwa liok to itu apakah dibuat oleh Cie lu Ci Cie taysu?".
"Kau juga tahu", bertanya Hong Sie Nio heran.
Siauw Cap-it-long hanya tertawa saja kemudian baru berkata:
"Cie Lu Cu adalah keturunan dari Cie Hujin, kau sekarang mendadak mengatakan tentang diri
Cie Hujin, sudah tentu ada sedikit hubungannya dengan golok Kwa liok to itu".
Sinar mata Hong Sie Nio menunjukkan sikapnya yang memuji, katanya:
"Benar, golok Kwa liok to itu memang buatan Cie taysu. Lantaran golok itu, ia hampir saja
menggunakan waktu dan tenaganya seumur hidup. Nama Kwa liok itu diambil dengan
maksud: "Kerajaan Cin kehilangan liok atau manjangan, orang-orang seluruh dunia pada
mengejar, hanya yang menang dan mendapatkan manjangan dan memotongnya. Maksudnya
juga, hanya seorang pendekar nomor satu yang dinamakan Kwa liok to ini!. Ia terhadap
goloknya ini terlalu bangga, disini kita dapat membayangkan sendiri".
Sepasang mata Siauw Cap-it-long memancarkan sinar terang, tanyanya cemas:
"Kau tentunya sudah pernah melihat golok itu?".
Hong Sie Nio memejamkan mata, menghela napas panjang dan berkata sambil tertawa:.
"Itu benar-benar sebilah golok pusaka, pedang Cek-hee ketemu dengannya seolah-olah
berubah menjadi besi karatan".
Siauw Cap-it-long lebih dulu mengeringkan arak dalam cawannya, kemudian berkata sambil
menepuk meja: "Golok pusaka seperti itu, entah aku ada jodoh melihatnya atau tidak?".
"Kau sudah tentu masih ada kesempatan dapat melihatnya".
Siauw Cap-it-long tiap-tiap menghela napas kemudian berkata:
"Aku tidak kenal dengan Cie-taysu, dengan cara bagaimana ia mau memperlihatkan golok
pusakanya kepada orang yang belum pernah dikenalnya?".
"Golok itu sekarang tidak berada ditangan Cie Lu cu".
"Lalu ada dimana?".
"Aku sendiri juga tidak tahu".
Siauw Cap-it-long kali ini benar-benar tercengang, ia mengangkat cawan araknya, lalu
diletakkan kembali, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan berputaran kemudian duduk
lagi, lalu mengambil sepotong daging sapinya, sudah lupa dimasukkan kedalam mulutnya.
Hong Sie Nio tertawa geli, katanya:
"Tak kusangka aku juga bisa mendapat kesempatan menyaksikan kau demikian cemas.
Bagaimanapun juga, kalau masih muda tentu tidak dapat menahan kesabarannya".
Siauw Cap-it-long mengawasi Hong Sie Nio sambil kedip-kedipkan matanya, kemudian
berkata: "Kau kata aku seorang muda" Aku ingat kau masih muda dua tahun daripadaku".
Hong Sie Nio memaki-maki sambil tertawa:
"Setan kecil, kau jangan coba menyanjung-nyanjung aku lagi!, Aku lebih tua daripadamu
lima tahun, empat bulan dan tiga hari, kau seharusnya panggil aku enci baru benar".
"Enciku, kau ingat demikian jelas?", berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
"Adik, kau masih tidak lekas menuangkan arak untuk encimu?".
"Ya ya ya ya ku akan tuangkan arak".
Hong Sie Nio melihat menuangkan arak, baru berkata sambil tertawa:
"Ha..... itulah baru namanya adikku yang baik".
Ia sedang tertawa, tapi dimatanya toh masih menunjukkan sikap sedih, sehingga air matanya
seolah-olah hendak mengalir keluar, ia mengangkat kepala dan minum kering arak
dicawannya, baru berkata lagi lambat-lambat:
"Golok Kwa-liok-to itu kini sedang dalam perjalanan menuju kedaerah ini".
Siauw Cap-it-long panik mendengar ucapan itu, hampir saja araknya tertumpah diatas meja,
tanyanya pula dengan sikap cemas:
Disepanjang jalan ada orang yang melindungi golok itu atau tidak?".
"Golok pusaka yang demikian kesohor, mana bisa tidak ada orang melindunginya?".
"Siapakah orang yang melindunginya?".
"Thio Bu Kek......".
Baru saja Hong Sie Nio mengucapkan nama itu, Siauw Cap-it-long sudah merasa tertarik, lalu
memotongnya : "Thio Bu Kek ini, apakah bukan ketua golongan Bu kek dahulu?".
"Kalau bukan dia siapa lagi?".
Siauw Cap-it-long diam sesaat lamanya barulah perlahan-perlahan menganggukkan kepala,
agaknya sudah menetapkan suatu rencana dalam hatinya.
Hong Sie Nio terus menatap wajahnya, memperhatikan perubahan sikap pada wajahnya,
kemudian berkata pula:
"Kecuali Thio Bu Kek, masih ada lagi Koan tong tayhiap To Siao Thian, satu-satunya tokoh
jago pedang golongan Hay lam yang bernama Hay leng cu......".
"Sudah cukup, tiga orang ini saja sudah cukup".
"Tetapi mereka masih belum anggap cukup, maka mengundang lagi Su-khong Koan yang
mendapat nama julukan raja garuda lengan satu dengan satu tangan dahulu pernah
membinasakan delapan penjahat besar, yang membuat namanya jadi tekenal".
Siauw Cap-it-long tidak berkata apa-apa lagi.
Hong Sie Nio masih terus menatap wajahnya, katanya pula:
"Ada empat orang ini yang melindungi golok pusaka itu, dalam dunia rimba persilatan pada
dewasa ini, barangkali sudah tidak ada orang yang berani merampas golok itu lagi".
Siauw Cap-it-long mendadak tertawa besar katanya:
"Bolak-balik kau berkata, ternyata cuma ingin memanaskan hatiku supaya dapat merebut
golok itu untukmu".
"Apa kau tidak berani?".
"Kalau aku merebut golok untuk kau, golok itu selanjutnya akan menjadi milikmu, dan aku
masih tetao bertangan hampa!".
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya:
"Mereka memasuki benteng ini dengan membawa dan melindungi golok itu, tahukah kau apa
sebabnya?".
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
"Tidak tahu, dan aku juga tidak perlu tahu. Sebab, biar bagaimana mereka tentunya tidak akan
mungkin mau memberikan golok itu kepadaku."
"Taruhlah kau tidak berani merampas golok itu, apakah kau juga tidak ingin melihatnya
saja?" "Tidak!"
"Kenapa?"
Jilid 2_________
"Jikalau aku sudah melihat golok itu, mau tidak mau akan tergerak dan tertarik hatiku. Dan
kalau sudah begitu, mau tak mau tentu akan timbul juga pikiran jahat untuk merampasnya.
Kalau tidak berhasil, maka akibatnya akan kehilangan nyawa."
"Dan bagaimana jikalau berkasil kau rampas ?"
"Jikalah ku berhasil merampasnya, kau tentunya akan minta padaku. Meskipun aku merasa
berat, juga tidak enak tidak kuberikan kepadamu. Maka itu, sebaiknya aku tidak usah
melihatnya saja." kata Siauw Cap-it-long sambil menghela nafas.
Hong Sie Nio berbangkit sambil menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas
bercampur dongkol :


Anak Berandalan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kiranya kau demikian tidak ada gunanya. Aku benar-benar salah ukur terhadap dirimu, Baik,
kalau kau tidak mau, biarlah aku sendiri yang pergi, biar tidak ada kau, kau boleh lihat aku
bisa mati atau tidak."
"Sifatmu yang setelah melihat barang baik, lantas ingin dapatkan, benar-benar aku tidak tahu
sampai kapan bisa kau rubah." berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
Raja garuda lengan satu.
KOTA ITU tidak besar, tetapi cukup ramai, sebab kota itu merupakan pusat yang harus di
lalui oleh para pedagang yang pergi atau pulang, dari daerah luar benteng dengan daerah
Tiong-goan. Pedagang-pedagang kolesom, kulit dan kuda dari daerah Koan-tong, pedagangpedagang
mas yang hendak mendatangkan barang mas dari gurun pasir kedaerah Tiong-goan,
hampir semuanya singgah satu atau dua malam di tempat itu.
Justru lantaran banyaknya pedagang yang lalu lintas dan singgah di kota itu, barulah
menjadikan kota itu luar biasa ramainya.
Di kota itu ada dua hal yang paling ter.
Satu ialah soal makan, kaum pria di dalam dunia ini jarang sekali yang tidak suka makan
enak. Disini terdapat berbagai macam makanan yang berbeda-beda jenisnya, untuk memenuhi
selera para tamunya.
Daging kambing dikota itu bahkan lebih gemuk dan lebih murah dari daging kambing yang
terdapat di kota raja, rumah makan Ngo-hok-lauw terkenal dengan hidangannya apa yang
dinamakan kepala singa dimasak asam manis, hidangan dari rumah makan itu tidak kalah
dengan hidangan di kota Hang-ciu yang terkenal.
Sekalipun tamu yang paling cerewet, disini juga akan merasa puas.
Kedua sudah tentu soal perempuan, perempuan yang dimaksudkan disini ialah perempuan
golongan "P", kaum pria di dunia ini sedikit sekali jumlahnya yang tidak suka perempuan,
Disini terdapat berbagai tingkat kaum wanita golongan "P". Orang boleh pilih sesukanya,
yang sesuai dengan keinginannnya.
Disuatu kota hanya mempunyai dua rupa hal yang terkenal, meskipun tidak terhitung banyak,
tetapi kedua hal itu sudah cukup menarik perhatian buat banyak kaum lelaki yang singgah
disitu. Satu rumah makan yang bernama In-tek-goan, pemiliknya bernama Ma Hwe Hwe bukan saja
bisa membuat daging dari seekor sapi, bisa di jadikan sebanyak seratus delapan macam
sayuran yang berlainan rasa, tetapi juga merupakan salah seorang terkenal sebagai jago gulat
di daerah luar bentengan.
Rumah makan In-tek-goan tidak terlalu besar, hiasan dan perlengkapannya juga tidak terlalu
indah. Tetapi pemiliknya Ma Hwe-Hwe, dengan ikat pinggang kulit sampingnya yang lebar,
dengan batok kepalanya yang botak, berdiri di depan pintu sambil memegang perutnya yang
gendut, merupakan reklama hidup dari rumah makan tersebut.
Orang-orang kalangan kang-ouw yang melalui kota itu, jikalau tidak berkunjung ke rumah
makan In tek-goan untuk minum secangkir dua cangkir arak, dengan Ma Hwe-Hwe seolaholah
kurang berarti.
Pada hari-hari biasanya meskipun Ma Hwe Hwe juga selalu menunjukan wajahnya berseriseri
semangatnya yang selalu segar tetapi hari itu Ma Hwe Hwe lebih gembira.
Hari belum lagi terlalu terang, Ma Hwe Hwe sudah tidak henti-hentinya berjalan keluar
rumah makannya, matanya selalu ditujukan ke jalan raya seolah-olah sedang menantikan
kedatangan tamu agung.
Hampir menjelang hari petang, dari jalan raya benar saja mincul sebuah kereta kuda yang di
cat hitam, kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, larinya pesat sekali berjalan di jalan
raja yang banyak orang lalu lalang juga tidak mengendurkan lari kudanya. Untung kusir
kereta tampaknya cukup pandai mengendalikan kudanya. Juga lantaran empat ekor kuda yang
menarik kereta itu merupakan kuda-kuda jempolan yang disah terlatih dengan baik, maka
meskipun kereta itu larinya pesat, tapi tidak sampai menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Di jalan raya itu meskipun tidak sedikit jumlahnya kereta kuda yang mondar-mandir tetapi
kereta kuda yang demikian besar dan mewah masih jarang tampak, sudah tentu menarik
banyak perhatian dari penduduk dan tamu dari luar kota yang berada di kota itu, mereka pada
keluar menyaksikan dengan perasaan terheran-heran.
Kereta mewah itu baru berhenti di depan rumah makan In tek-goan, Ma Hwe Hwe sudah
maju menyongsong, dan dengan wajah berseri-seri membuka pintu keretanya.
Orang-orang yang menyaksikannya, pada merasa heran, meskipun Ma Hwe Hwe seorang
pedagang, tapi biasanya tidak mau merendahkan derajat sendiri, untuk menyongsong setiap
tamunya, hari ini mengapa kelakuannya demikian hormat terhadap tetamu yang di dalam
kereta itu "
Orang pertama yang turun dari atas kereta ialah seorang laki laki setengah baya bermuka
putih dan di bawah hidungnya tumbuh kumis yang jarang, mukanya yang bulat sering-sering
unjukkan senyumnya, tubuhnya yang sudah mulai gemuk mengenakan jubah panjang sutera
hijau berkembang-kembang yang sepadan sekali dengan tubuhnya, sikap orang ini tampak
ramah, tampaknya seperti keturunan raja-raja atau kongcu yang sedang pesiar dalam pakaian
preman. Ma HWe Hwe segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat, seraya berkata sambil
tersenyum : "Thio tayhiap datang dari tempat yang jauh, tentunya sudah letih sekali, silakan dulu
didalam." Laki-laki setengah baya itu juga membalas hormat sambil tersenyu, dan berkata :
"Tuan Ma terlalu merendahkan diri, silakan."
Orang banyak, terutama orang-orang dari kalangan Kang ouw yang pada berdiri berjubal
menonton di tepi jalan, ketika mendengar ucapan Ma Hwe Hwe dan sebutannya kepada
terhadap orang itu, dalam hari samar-samar sudah dapat menduga siapa adanya laki-laki
setengah baya itu, hingga mata mereka tampak terbuka semakin lebar.
Apakah orang ini adalah ketua dari golongan Bu-kek, Thio Bu Kek yang dengan satu tangan
dengan ilmunya Sian-thian-bukek, dan ilmu pedang Bu-kek-kiam pernah menggemparkan
rimba persilatan "
Dan siapakah orang kedua yang akan turun dari kereta itu "
Orang kedua yang turun dari kereta itu adalah seorang tua berambut putih, orang tua ini
dandanannya sederhana, hanya baju atas berwarna abu-abu, bagian bawah mengenakan
pakaian berwarna biru, selain dipinggangnya dengan ikat pinggang warna putih, ditangannya
membawa pipa rokok panjang, tampaknya seperti orang desa yang sangat bodoh, tetapi kalau
sepasang matanya bergerak, memancarkan sinar yang menakutkan.
Ma Hwe Hwe segera membungkukkan badan dan tertawa sambil berkata :
"To loya, beberapa tahun tidak lihat, keadaan loya tampaknya semakin sehat."
Orang tua itu mengangkat kepala dan tertawa terbahak-bahak :
"Semua ini adalah berkat kawan-kawanku yang masih hidup."
Orang tua itu seorang she To, tentu dia adalah orang yang berdiam di Koan-tong selama
empat puluh tahun, pipa panjang ditangannya itu selain berfungsi sebagai pipa rokok, tetapi
juga khusus digunakan untuk menotok jalan darah ditubuh manusia, di kalangan Kang-ouw
mendapat julukan Koan-tong tayhiap tukang totok jalan darah, nama yang sebenarnya ialah
To Siao Thian! Dalam kereta ada dua orang yang terkenal namanya itu, mungkinkah orang
ketiga adalah seorang lemah "
Orang banyak pada kasak kusuk, membicarakan kedatangan orang-orang itu, perhatian
mereka menjadi besar.
Orang ketiga yang turun dari kereta adalah seorang imam jangkung dan kurus kering. sedang
hidungnya seperti hidung betet dan pelipisnya tampak menonjol.
Dia seorang beribadat, tetapi pakaiannya sangat mewah, pada jubahnya yang berwarna ungu,
terdapat sulaman benang emas, di belakang punggungnya mencoren sarung pedang yang
terbuat dari kulit ikan paot, di bagian atas dilapis dengan mas,pedangnya juga merupakan
sebilah pedang panjang yang bentuknya aneh.
Sepasang matanya yang sipit selalu memandang ke atas, seolah-olah tidak pandang mata
kepala semua orang.
Ma Hwe Hwe menunjukkan sikapnya yang lebih menghormat, katanya sambil
membongkokkan badan:
"Boanpweh sudah lama dengar nama besar Hay totiang, hari ini bisa bertemu sebetulnya
merasa sangat beruntung sekali!"
Imam tua itu memandangpun tidak, hanya mengangguk-anggukkan kepada dan menyahut
dengan seenaknya: "Hm, hm!"
Hay hotiang" apakah imam itu yang mendapat julukan Hat leng cu"
Ilmu pedang dari golongan Hay-lam, terkenal dengan gerakannya yang cepat dan aneh, jago
pedang golongan Hay-lam, semuanya juga mempunyai sifat yang aneh-aneh, selamanya tidak
suka mengadakan perhubungan dengan orang-orang golongan lain.
Dalam pertempuran di pulau tong-ya pada tujuh tahun berselang, yang pernah
menggemparkan rimba persilatan. pocu pulau itu dengan tiga belas muridnya, semua terbinasa
di bawah pedang golongan Lam-hay, akan tetapi sembilan tokoh golongan Lam-hay juga mati
hanya tinggal Hay-leng-cu seorang yang masih hidup, sejak pertempuran itu, nama Hay-lengcu
semakin kesohor, tetapi juga semakin tidak pandang mata orang lain.
Mengapa hari ini ia bisa datang bersama-sama dengan Thio Bu kek dan thio Siao Thian"
Yang paling mengherankan ialah, tiga orang itu setelah turun dari keretenya tidak ada satu
yang langsung masuk ke dalam, semuanya pada berdiri di pinggir pintu, rupanya mereka
masih menunggu turunnya orang keempat.
Lama sekali, dari dalam kereta baru tampak turun seorang lagi.
Orang itu begitu turun dari keretany6a, semua pada terkejut.
Orang itu sesungguhnya terlalu aneh.
Tinggi tubuhnya tidak cukup lima kaki, namun kepalanya besar sekali, rambut diatas
kepalanya yang awut-awutan dengan alisnya yang tebal hampir menjadi satu garis, mata
kirinya memancarkan sinar berkilauan, namun mata yang kanan tampaknya tidak bercahaya
seperti mata ikan yang sudah mati. Di atas bibir kumisnya tumbuh seperti rumput tak karuan
tebal dan merah bagaikan darah.
Lengan kanannya sudah terkutung sebatas bahu, yang tinggal hanya sebuah lengan kiri yang
panjangnya sangat menakutkan, jikalau diluruskan mungkin dapat mencapai ujung kakinya.
Tengannya itu masih menenteng sebuah bungkusan panjang yang terdiri dari kain berwarna
kuning. Kali ini Ma Hwe Hwe tidak berani mengangkat muka sama sekali, dengan sikap yang sangat
hormat sekali, ia berkata sambil tertawa:
"Dengar kabar locianpwe hendak datang maka teecu sengaja memilih seekor sapi jantan ..."
Dengan sikap kemalas-malasan orang berlengan satu itu mengangguk-anggukkan kepalanya
dan berkata: "Sapi jantan lebih baik dari pada sapi betina, tetapi entah dalam keadaan mati, ataukah masih
hidup?" "Sudah tentu masih hidup. teecu sengaja tingglkan untuk locianpwe dahar dalam keadaan
segar." menjawab Ma Hwe Hwe dengan muka berseri-seri.
"Bagus, bagus! Mempunyai cucu seperti kau ini, masih boleh juga, masih mengerti caranya
menghormati orang tua" berkata orang berlengan satu itu sambil tertawa besar.
Ma Hwe Hwe dianggap sebagai cucu, ternyata masih menunjukkan sikap yang sangat girang,
orang yang tidak mengetahui asal usul orang tua berlengan satu itu, dalam hati sedikit banyak
tidak habis mengerti.
Tetapi ada sebagian orang yang sudah menduga siapa adanya orang tua berlengan satu itu,
dalam hati sebaliknya anggap Ma Hwe Hwe sangat beruntung, sebab bisa dianggap cucu oleh
orang yang mempunyai nama julukan raja garuda lengan satu, sebetulnya bukan suatu soak
yang sangat mudah.
Dibagian belakang rumah makan In tek goan, ada sebuah pekarangan kecil, disediakan khusus
untuk tamu-tamu agung, didalam pekarangan itu ada sebuah gunung-gunungan itu ada
beberapa pohon besar.
kini dibawah pohon besar itu ada seekor sapi yang dicancang dengan tambang besar.
Sapi itu luar biasa besarnya, sepasang tanduknya besar dan runcing, seolah-olah dua bilah
golok. Bungkusan kuning ditangan raja garuda lengan satu tadi, kini entah emana disimpannya, saat
itu ia sedang berputaran mengitari sapi jantan itu, sedang mulutnya mengeluarkan suara
cericisan, berkata tidak berhentinya:
"Bagus, bagus, ......."
To Siao Thian yang menyaksikan itu berkata sambil tersenyum:
"Saudara Su-khong, kalau sudah merasa puas, mengapa masih belum turun tangan?"
"Kau si tua bangka tidak berguna ini, apa ingin menonton pertunjukkanku?" berkata si raja
garuda berlengan satu sambil tertawa cekikikan.
Kemudian dengan tiba-tiba ia melambaikan tangannya di depan mata sapi jantan itu. Keruan
saja sapi itu yang mendadak dikejutkan, menundukkan kepala, dengan kedua tanduknya yang
runcing menyeruduk perut si raja garuda.
Si Raja Garuda membentak sambil tertawa besar:
"Bagus!"
Sementara itu, tubuhnya yang pendek mengelak, entah dengan cara bagaimana, ia sudah
berada di perut sapi, sedang satu tangannya yang panjang bergerak, ternyata sudah masuk ke
dalam perut sapi besar tadi.
Sapi jantan yang merasa kesakitan, lompat-lompatan ke atas, sehingga tambang besar yang
mengikat lehernya telah terputus, sapi itu menerjang ke depan, darah segar mengucur keluar
dari bawah perutnya dan dalam keadaan kalap sudah menubruk dinding tembok pekarangan.
Dinding tembok itu diseruduk sehingga terjadi sebuah lubang, sebagian tubuh sapi jandan itu
masuk ke lubang tadi. Sapi itu meronta-ronta seperti kalap, tapi karena darahnya mengucur
terlalu banyak, akhirnya tidak bisa bergerak lagi.
Pada saat itu, hati sapi besar tadi sudah berada di tangan si Raja Garuda lengan satu. Ia
tertawa besar dan membuka mulutnya, hati sapi yang baru dirogoh dari perutnya itu telah
dimakan begitu saja.
Suara mengunyah hati sapi yang baru dikeluarkan dari dalam perutnya itu kedengarannya
begitu keras, benar-benar dapat membuat bulu roma orang yang melihatnya.
Hay leng cu yang menyaksikan perbuatan si Raja Garuda Lengan Satu, mengerutkan alisnya,
ia berpaling tidak berani mengawasi lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu tampaknya sangat bangga sekali, ia berkata sambil tertawa
cekikikan: "Kau tidak perlu mengerutkan alismu, dengan orang seperti kau, jikalau ingin makan hati sapi
hidup-hidup secara demikian, barangkali tidak mudah, sedikitnya kau masih perlu melatih
ilmu cengkeraman kaki garuda sepuluh tahun lamanya."
Di wajah Hay leng cu yang angkuh tampak marah, katanya dingin:
"Aku tidak perlu melatih segala ilmu cengkeraman kuku garuda."
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya dan berkata:
"Kau tidak perlu mempelajari atau melatih, apakah kau tidak pandang mata ilmu
cengekeraman kuku garuda loyamu ini?"
Sebelah tangannya yang masih berlumur darah segera sudah menyambar kepada Hay leng cu.
Hay leng-cu lompat mundur hingga delapan kaki, parasnya semakin pucat.
Si Raja Garuda Lengan Satu mendongakkan kepala dan tertawa besar, katanya:
"Imam kecil, kau tak usah takut, aku si loya hanya main-main menggertak kau saja. Aku
dengan imam tua gurumu itu adalah sahabat baik, bagaimana aku boleh menghina kau si
bocah ini?"
Hay leng-cu sudah berus
Bara Naga 8 Pendekar Cacad Karya Gu Long Istana Pulau Es 18
^