Angrek Tengah Malam 1

Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 1


" Seri Pendekar Harum
Angrek Tengah Malam
WU YUE LAN HUA Karya : Gulong BAGIAN PERTAMA SI BUTA .........Tabib tradisional penjual obat ini meraba jalan dengan sebatang tongkat putih,
melangkah memasuki kota kecil yang tenang dan damai ini, lalu dia mulai menabuh gembreng
kecil kuningan, namun tanpa diduga...
Bab 1 Tie Da Ye (Tuan Besar Tie)
Angin menderu-deru.
Angin bertiup dari arah barat, derunya seperti setan mengayunkan cambuk, melecut hati yang
ingin pulang, juga melecut pergi arwah para musafir.
Mujurnya di sini tidak ada yang pulang, juga tidak ada musafir yang lewat.
Segalanya tidak ada di sini.
Dijalan tidak ada keledai, kuda, kereta atau pun tandu. Di toko juga tidak ada transaksi. Di
dalam tungku tak ada abu bakar dari nyala baru. Di dalam kuali dan belanga tidak ada nasi atau
lauk pauk. Di dalam kamar juga tak terdengar suara desahan bisik perayu, dan tidak tercium bau
dan terlihat warna gincu serta bedak, dan tidak ada juga bau harum rendaman bunga.
Karena di sini sudah tidak ada orang lagi, bahkan tidak ada seorang pun yang masih hidup.
Suasana hening, sepi, mati.
Entah sejak kapan, angin mendadak berhenti. Di atas jalan panjang itu, mendadak terlihat
seekor anjing putih sedang menyeret ekor menaiki jalan panjang yang dilapisi lempengan papan
batu hijau. Ada orang di belakang anjing itu.
Ada satu orang yang buta.
kecil yang dulunya ramai dan makmur ini, kini, karena sesuatu sebab yang misterius, justru
mendadak sudah berubah menjadi satu kota mati.
Tidak tahu apa-apa adalah salah satu penyebab paling penting yang membuat orang
merasakan kengerian.
Dia berhenti, cakar depan anjingnya mengais-ngais tanah, tapi badannya malah menyurut ke
belakang terus.
Tidak ada orang.
Dijalan tidak ada orang, di dalam rumah tidak ada orang, di depan, di belakang, di dalam dan di
luar tidak ada orang. Jika tidak ada orang, seharusnya tidak ada bahaya, karena di dunia ini, yang
paling membahayakan justru adalah orang.
Di dunia ini, masih ada binatang apa lagi, yang lebih banyak membunuh orang daripada
'manusia'"
Maka, si buta mulai maju berjalan ke depan kembali, bahkan sudah mulai memalu gembreng
kecil kuningan itu lagi.
Selang sejenak saja, anjingnya juga mulai berjalan maju ke depan. Sekali ini, dia justru berjalan
di belakang tuannya.
Anjing tetap saja anjing.
Apa penyebab sesungguhnya yang sudah membuat kota kecil, yang semula sangat makmur
sentosa serta tenang damai, ini bisa berubah mendadak menjadi sebuah kota kecil tanpa jejak
manusia" Si buta tentu saja merasa heran.
Tapi, seandainya matanya bisa melihat, pasti dia akan menjadi semakin keheranan.
Sebab, sekali pun kota kecil ini tampak berserakan dan sepi mati ditinggal tanpa orang, tapi
sebetulnya, masih sangat 'baru segar dan bersih". Di sudut-sudut rumah belum juga ada sarang
laba-laba, perkakas dari besi pun belum berkarat, minyak dalam lampu belum kering, pakaian,
selimut dan kasur belum juga berbau tengik karena berjamur. Bahkan meja dan kursi belum
terlapisi debu tebal.
Apa sebabnya penduduk di sini mendadak tergesa-gesa pindah dalam satu malam"
Mengapa mereka begitu panik dan segera pergi"
Orang buta ini, mengenakan pakaian kembang-kembang, yang sudah memutih karena
kebanyakan dicuci dan kemudian menguning oleh debu yang tertiup angin. Dia menggunakan
tongkat putih penunjuk jalan, yang sudah lusuh sehingga jadi kelabu. Dengan tongkat ini,
diketuknya batu jalan, terdengar satu suara "tok". Lalu terdengar suara "pluk" yang teredam,
tongkatnya menyentuh tanah kuning dasar jalan panjang itu.
Angin bertiup kembali.
Papan merk toko terayun-ayun ditiup angin. Gelang besi bergesekan dengan kait
penggantungnya, menimbulkan suara seperti menarik gergaji, deritnya membuat akar gigi terasa
ngilu. Sang anjing putih melolong, suaranya parau. Jendela kertas yang sobek, ditiup angin sampai
seperti suara rintihan dan helaan nafas.
Si buta sudah menabuh gembreng kecil kuningan yang suaranya nyaring jernih. Tapi,
mendadak dia berhenti.
Ke mana perginya suara-suara yang menggembirakan itu"
Suara sedang tawar menawar harga dari pelayan toko dengan nenek tua atau ibu rumah
tangga, suara gemerincing sodet penggorengan dengan seroknya di dalam wajan untuk
menyangrai, menggoreng dan mengukus pangan. Suara ibu memukul pantat anaknya yang agak
bandel, suara tangis anak kecil, kikik tertawa gadis kecil. Suara dadu menggelinding di dalam
mangkuk. Suara tertawa pemabuk. Serta suara sinden yang meniru-niru langgam dan gaya
tembang dari Jiang Nan.
Suara yang menyenangkan dan meramaikan itu, kini entah sudah pergi ke mana"
Gembreng sudah berhenti bertahi, suara gonggong anjing juga sudah berhenti.
Tangan si buta sudah diturunkan ke bawah, palu pemukul gembreng di tangannya mendadak
menjadi berat seolah-olah berbobot ribuan kati, dan di kedalaman hatinya mendadak timbul suatu
perasaan ngeri dan gentar yang tidak bisa diungkapkan.
Karena dia tidak tahu ada apa.
Dulu dia pernah datang ke sini, tapi dia tidak tahu kota
Si buta terus berjalan maju pelan-pelan, sambil memalu gembrengnya pelan-pelan.
Angin bertiup, awan senja rendah tergerai, bayangan badan orang mengurus bagaikan batang
bambu. Di antara langit dan bumi ini, suasananya tawar dan suram, setawar dan sehitam air tinta.
Mendadak sontak, ada suara terdengar dari kejauhan.
Ada derap kaki kuda, ringan saja, pelan-pelan, seperti suara tongkat si buta mengetuk dasar
jalan. Biar bukan sedang iseng betulan, tapi terasa sangat berhati-hati.
Yang datang sudah pasti bukan orang yang mau pulang, juga bukan musafir yang lewat.
Hati orang yang ingin pulang, tentu sangat tergesa-gesa, menyesal tidak bisa lebih cepat tiba
kembali ke dalam kehangatan kasih sayang isteri dan anak-anaknya. Musafir tergesa-gesa di jalan,
mana mungkin bisa setenang itu"
Derap kaki kuda semacam ini, biasanya hanya bisa terdengar terjadi pada hari-hari baik di
musim semi dan di musim gugur, di tempat-tempat wisata yang indah.
Waktu ini, dan di sini, waktunya bukan kesempatan hari baik, tempatnya juga bukan tempat
wisata. Tapi saat ini justru terdengar ada derap langkah kuda semacam ini, bahkan, yang datang
sepertinya bukan cuma satu ekor kuda dengan satu penunggangnya, malahan tidak akan kurang
dari sepuluh or?ang.
Siapa yang datang" Dan buat apa datang"
Si buta pelan-pelan mundur ke belakang, dan anjingnya pun mengikuti dia pelan-pelan mundur
ke belakang, mundur dan memasuki kegelapan di bawah bayangan naungan atap rumah.
Yang berhasil didengar telinganya, jumlahnya paling sedikit juga di atas 30 penunggang kuda,
bahkan sangat mungkin di atas jumlah 50 kuda.
Karena dia itu buta, seperti biasanya, telinganya yang senantiasa sangat tajam. Karena, jika
seseorang matanya tidak bisa melihat, bukankah cuma bisa diganti dengan memakai hati dan
telinga saja"
Betul saja, orang yang datang lima puluh penunggang kuda, tepatnya menunggang lima puluh
satu ekor kuda.
Lima puluh satu ekor kuda sembrani tangkas, ras kuda pilihan, ras kuda yang masih murni,
larinya cepat, cepat dan tahan lari lama, yang dipilih seekor di antara seribu ekor, harganya ibarat
perak murni. Jika dikatakan, kuda-kuda ini, kuda sembrani cepat yang mampu lari seribu li dalam sehari,
juga bukan hal yang dibesar-besarkan.
Akan tetapi, sekarang, kuda-kuda ini jalannya sangat lambat.
Di punggung lima puluh satu ekor kuda sembrani itu, terlihat lima puluh satu laki-laki perkasa,
ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang tua, ada yang
remaja, akan tetapi paling sedikit terdapat lima puluh satu orang yang mempunyai beberapa ciriciri
khusus bersamaan.
Mereka semuanya sehat kuat, gagah perwira dan pemberani. Mereka sudah mengalami sendiri
ratusan pertempuran, karena itu mereka seharusnya juga sangat tenang dan berkepala dingin,
tapi sekarang kelihatan sekali mereka juga sangat tidak sabaran serta cemas risau tidak tenang.
Dengan kondisi mental serupa ini, seharusnya bukan masalah kalau kudanya mati kelelahan
dan bahkan penunggangnya yang mati kelelahan, jika mereka mencambuki kudanya supaya
berlari kencang ibarat terbang.
Kudanya, kuda yang sehat perkasa, orangnya, laki-laki jantan perwira, bisa berlari seberapa
paling kencangnya, mereka akan berusaha lari secepat itu.
Akan tetapi, mengapa justru mereka membiarkannya sebegitu lamban"
Lima puluh satu ekor kuda, lima puluh orang, mereka begitu lambat, apakah dikarenakan orang
yang lain itu"
Sama sekali bukan begitu.
Sepertiga meter.
Penunggang kuda yang kelima puluh satu itu, baik semangatnya, postur tubuhnya kekar, mimik
raut wajahnya yang cerdik, pancaran keganasan dan keberaniannya, kekuatan dan potensi tenaga
yang mencorong keluar dari dlrinya, sama sekali tidak bisa ditandingi oleh kelima puluh orang
yang lain itu. Tetap tidak bisa menandingi dia seorang, sekali pun kelima puluh orang itu digabungkan
menjadi satu. Karena pada jalur barat daya ini pun Tie Da Ye (tuan besar Tie), merupakan tiang penyangga
utama dari masyarakat para Pendekar dan pahlawan, yang bermarkas komando di ibu kota chang
An. Tie Da Ye, tidak punya nama lain, nama marganya memang Tie, dan namanya disebut Tie Da
Ye. Postur tubuh Tie Da Ye, setinggi tujuh chi (ukuran kira-kira sepertiga meter) dan sembilan
setengah cun (ukuran kira-kira sepertiga desimeter), dan berat badannya seratus tiga puluh
sembilan jin (ukuran berat kira-kira setengah kilogram). Menurut cerita orang, perempuan yang
paling disayanginya Yang Yu, pernah meminta dia melakukan suatu pekerjaan.
Dia meminta Tie Da Ye melepas seluruh pakaiannya dan mengerahkan tenaga ototnya, supaya
dia bisa menghitung berapa banyak ototnya yang timbul menonjol.
387 buah. Yang Yu memberitahu teman baik sekamarnya: "Betul ada 387 batang otot, satu pun tidak
kurang, tiap batang otot arasnya seperti besi.
Tie Da Ye adalah pakar yang paling terkenal dalam 'Ilmu Bela Diri tenaga luar (gwa kang)
melalui latihan keras seperti Jin Zhong Zhao (Jaket Genta Emas), Tie Bu Shan (Baju Kain Besi) dan
Shi San Tai Bao (Tiga Belas Jagoan)'.
Tidak ada orang yang tidak tahu, selir kesayangannya adalah Yang Yu, yang dikatakan orang
sebagai 'Lembut seperti domba, lemas licin seperti yade (giok)'.
Yang sangat disayangkan, justru teman sekamar dan pal?ing akrab gadis Yang ini, bukannya
seorang gadis remaja yang lemah lembut seperti dia sendiri, melainkan seorang remaja pria yang
juga sangat lemah lembut.
Dari suatu sudut tertentu, lelaki jantan yang ahli ilmu silat keras tenaga luar tanpa ada
lawannya, secara mutlak tidak bakal bisa menandingi dan mengalahkan satu remaja pria yang
betul-betul manis dan lembut segalanya.
Tie Da Ye mutlak bukan seseorang yang lemah lembut.
Adatnya kasar berangasan dan mudah marah, wataknya seperti bara api yang menyala-nyala.
Selamanya belum pernah mau menunggu siapa pun. Sekarang ini, semakin terlihat, betapa dia
semakin terburu nafsu dibandingkan para pengiringnya. Akan tetapi dia juga sedang berjalan
dengan lambannya.
Apa sebabnya" Tie Da Ye yang berangasan seperti bara api berkobar, sejak kapan dia
mempelajarinya, sejak kapan dia tahu bersikap sabar" Mengapa dia begitu mampu mengalah
terhadap orang lain"
Karena sebuah tandu.
Anehnya, di antara kelima puluh satu pengendara kuda sembrani, terdapat empat orang
pemuda remaja tampan yang bertelanjang dada, memakai celana kembang-kembang berkaki
rumbai-rumbai, yang melangkah bagaikan sedang menari-nari, mengusung sebuah tandu, dan
berjalan di samping kuda sembrani yang ditunggangi oleh Tie Da Ye.
Tandu berhenti di depan 'SI HAI JIU LOU' (Hotel Empat Lautan = hotel sedunia), hotel paling
megah dan mewah di kota kecil ini. Tie Da Ye segera membongkokkan badan turun dari kuda.
Kelima puluh pengendara kuda yang lain, hampir dalam waktu yang bersamaan dan dengan sikap
yang sama, turun dan kuda masing-masing.
Para remaja yang mengusung tandu meletakkan tandu, dan menyingkap tirai tandu. Selang
agak lama, baru pelan-pelan terulur sebuah tangan dari dalam tandu, menyandar pada bahu
remaja ini. Tangan ini ramping panjang, indah gemulai dan putih bersih, dengan kukunya yang digunting
sangat teliti dan rapi. Tangan dengan kulit halus licin seperti tangan gadis itu, menggantung pada
bahu hitam, yang kekar dari remaja ini, sehingga tampak sangat kontras menarik perhatian orang.
Tak diragukan, tangan ini milik seorang gadis. Tiga bentuk cincin permata yang sangat indah,
hasil kerja dari tukang perhiasan emas halus, menghiasi tangan ini. Setiap cincin ini harganya di
atas ribuan liang (tail) emas.
Sudah barang tentu gadis ini kekasih yang paling dimanjakan Tie Da Ye, karenanya dia
sanggup menunggunya, maka dia juga sanggup dan mampu mengenakan cincin semacam ini.
Yang paling tidak terduga, yang melangkah keluar dari tandu justru seorang kakek bertubuh
kecil yang tuanya sudah cuma menunggu ajal menjemput saja.
Seorang kakek bertubuh kecil, yang mengenakan baju panjang dari satin bunga warna wami
dengan dasar hijau, yang penuh dihiasi sulaman kelinci kecil warna putih.
Seorang kakek bertubuh kecil, yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa muak
setengah mati. Akan tetapi, di dalam sepasang matanya yang kecil itu, sepertinya ada sepasang belati tajam.
Badannya masih berada di dalam tandu, sepasang belati ini sudah mengincar badan si buta.
Si buta sudah berjongkok, berjongkok dalam bayangan gelap di bawah naungan atap, bagai
seekor keong yang mengerutkan badan ke dalam batok tempurungnya. Dikiranya bila dia tidak
melihat orang, maka orang lain juga tidak melihat dirinya. Akan tetapi, orang tua yang
mengenakan baju panjang dari satin bunga warna-warni ini sudah berjalan sampai di hadapannya,
sepasang mata belatinya sudah lekat menatap ke arah wajahnya.
Langkah kaki orang tua ini ringan seperti kelinci. Mata si buta betul-betul buta seperti
kelelawar, akan tetapi badan anjingnya sudah melengkung seperti busur, tegang tertarik penuh.
Si buta, tidak tahu.
Dia tidak melihat ancaman bencana di sekelilingnya, tidak melihat mata tajam orang tua itu,
dan juga tidak mendengar langkah kaki seperti kelinci licik itu.
Orang tua itu menatapnya, sesudah lama sekali baru membalikkan kepala perlahan-lahan, Tie
Da Ye ada di tempat dia membalikkan kepala.
Dia tidak bicara apa-apa, tapi matanya sedang bertanya:
"Dibunuh" Atau tidak dibunuh?"
Sebetulnya dia tidak perlu bertanya lagi, 'lebih baik salah membunuh seratus orang, bagaimana
pun tidak meloloskan satu orang juga'. 'Bunuh', seharusnya menjadi jawaban satu-satunya. Cuma
perlu satu isyarat sederhana saja, maka si buta ini akan segera dibantai habis dengan senjata
tajam. Jiwa itu sangat berharga, mengapa justru seringkali bisa berubah menjadi begitu hina dina.
Matahan terbenam, senja datang, kegelapan makin pekat, suasana malam sudah datang
berkunjung. Si buta sudah berjalan memasuki sebuah gang kecil di kota yang lain, di kedalaman
gang itu, lapat-lapat seperti masih terdengar ketukan kayu berbentuk ikan-ikanan pelafal sutra
Buddha (bok hie), monoton dan kesepian, seolah-olah ketukan tongkat si buta di tanah dasar
jalan. Lalu, apa salahnya kesepian" Hanya manusia yang masih hidup, baru bisa merasakan kesepian.
Hanya manusia yang masih hidup, baru bisa merasakan sensasi yang dingin menyusup dalam
darah dan sumsum. Dan itu, paling tidak jauh lebih baik daripada tidak punya perasaan apa-apa.
Si buta memang ternyata belum mati, dia jadi heran sendiri, mengapa orang-orang itu tidak
membunuh dirinya"
Di ujung gang kecil itu, ada satu daun pintu, pintu yang sempit. Dia mengetuk daun pintu
sempit itu. Ketuk satu kali, berhenti, lalu mengetuk kembali empat kali, tiga kali cepat dan sekali
lambat, berhenti, lalu ketuk dua kali. Sebisa-bisanya, mau menjejalkan ketujuh ketukan daun pintu
itu dalam satu kesan ritmis aneh yang menarik.
Dan, daun pintu sempit itu dibukakan.
Orang yang membukakan pintu, sepertinya memang dilahirkan untuk membukakan daun pintu
jenis ini, daun pintu yang sempit, orang yang juga sempit, menjinjing sebuah lentera yang redup
dan suram, sangat biasa sekali. Akan tetapi, di antara yang sangat biasa sekali itu pun, justru
malah menampakkan wujud wajah yang serba berbau misterius.
Di belakang daun pintu sempit itu, terhampar satu halaman taman yang terlantar, rumput
ilalang menutupi jalan, bunga dan pohon sudah mengering layu, seorang nyonya tua beruban
seputih embun beku, yang pinggangnya sudah melengkung seperti busur panah, sedang duduk
sendirian di bawah naungan atap sedang merangkai bunga dari batang tong cao (tumbuhan
Tetrapanax papyriferus) yang memang berwarna putih.
Bunga imitasi, bunga buatan kecil-kecil yang berwarna putih.
Bunganya belum terbentuk, memang mati.
Rumah besar, langit-langit yang tinggi, serambi yang panjang, lampu tunggal, nenek tua,
pekarangan rumah tua, warna malam yang dingin, suara angin di kejauhan seperti tangisan
malam seorang isteri yang diterlantarkan.
Si buta berhenti, membungkuk hormat kepada wanita tua itu.
"Bibi ketiga, kau baik?"


Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku baik, aku baik, kau juga baik, kau juga baik."
Dari atas wajah kering nyonya tua itu menyembul satu senyuman yang jarang terlihat.
"Kita semua baik, masih hidup, bagaimana bisa tidak baik."
Waktu berkata sampai di sini tepat dia selesai merangkai sekuntum bunga, walaupun putih
pucat tanpa warna, tapi halus indah sekali, bagus sekali dipandang.
Melihat bunga yang dirangkai sendiri ini, senyum di wajah nyonya tua ini mendadak beku,
seperti orang yang paling takut ular, mendadak melihat tangannya sendiri menggenggam seekor
ular. Ini bukan ular, melainkan sekuntum seruni (krisantemum) yang berwarna putih.
Menyaksikan sekuntum bunga buatan yang dirangkainya sendiri, mengapa nyonya tua ini jadi
begitu ngeri ketakutan"
Si buta tidak melihat perubahan yang mendadak itu, cuma bertanya:
"Tuan muda misan?"
"Dia juga lumayan, juga baik," sekali lagi senyuman tersungging di wajah nyonya tua ini.
"Agaknya dalam waktu dekat ini juga tidak bakal mati."
"Baik sekali kalau begitu," pun ada senyum di wajah si buta.
"Bolehkah aku masuk menengoknya?"
"Boleh, boleh," kata nyonya tua. "Masuklah , dia memang sedang menunggumu."
Si buta menaiki undak-undakan batu hijau yang ada bekas lumut tebal itu, menaiki serambi
panjang, tongkat penunjuk berwarna putih itu menyentuh lantai ubin tua, Tok, Tok, Tok" dia
berputar melewati samping badan nyonya tua itu, memasuki sebuah pintu.
Dia mendengar nyonya tua itu terus terengah-engah tidak berhenti-hentinya batuk, tapi dia
tidak melihatnya dan mendadak dia mulai menangis.
Air matanya menetes di atas kelopak bunga, bening jernih bagaikan embun.
Tak peduli air mata wanita tua, atau air mata gadis, semuanya sama tulusnya, suci dan bersih.
Air mata ya air mata, air mata semua sama, tapi wanita tua yang kelihatannya sudah lama mati
hatinya itu, mengapa bisa mendadak menangisi sekuntum bunga buatan"
Kamar ini sudah lama dan tua sekali, seharusnya di mana-mana bisa disaksikan sarang labalaba,
onggokan debu, serangga dan tikus. Akan tetapi, kamar ini dibersihkan sampai sebersih
seperai yang baru diangkat keluar dari air sabun cuci oleh wanita yang sangat rajin. Bahkan papan
kayu Huai (pohon pagoda Jepan-sophora japonica) sebagai pelapis lantai pun sudah dicuci sampai
keputih-putihan.
Tapi di dalam rumah tidak ada apa pun, meja kursi, perabot penghias ruang, kaligrafi dan
lukisan, cawan dan cangkir, segala barang yang umumnya ada di tiap rumah lain, di sini semuanya
tidak ada. Yang ada dalam rumah ini, cuma satu lampu, satu dipan, dan tiga orang.
Dari tiga orang, ada dua yang berdiri, kedua orang ini memakai baju berwarna biru yang lurus
panjang sampai menutupi telapak kakinya, lengan baju yang panjangnya sampai bisa menutupi
tangan, bahkan wajahnya pun ditutupi cadar berwarna biru. Selain sepasang matanya, bagian
badan lainnya tidak terlihat.
Akan tetapi, seorang yang matanya jeli dapat melihat bentuk badan dan gerakannya, masih
bisa dilihat mereka adalah gadis yang sangat teliti dan cermat sekali.
Seorang yang lain, bersandar pada dipan empuk, lelaki yang sangat rupawan, usianya sangat
muda, punya dua belah alis yang sangat tebal, dengan sepasang mata besar, matanya bening
cemerlang seperti danau besar di puncak Tian Shan, di dalam sorot matanya, masih dipenuhi
semacam semangat keriang gembiraan, kelihatannya juga mirip dengan pemburu yang baru saja
menang besar sebagai juara lomba berburu.
Kehidupan yang berusia muda, semangat yang berkobar, gaya hidup yang penuh padat, rasa
percaya diri yang tiada taranya, wajah lahiriah yang luar biasa menonjol, latar belakang harta
keluarga yang bisa menandingi kekayaan negara, akan tetapi...
Si buta berjalan masuk, dia memberi hormat kepada remaja itu. Sang remaja hanya tertawa
lebar memperlihatkan gigi saja, dan tidak membalas hormatnya
Cuma tertawa, walaupun tidak membalas hormatnya, tapi mimik tawanya sabar dan tenang.
"Paman kesepuluh, apakah kau sudah ke sana" Apa sudah berjumpa dengan si kepala gentong
itu?" Suara sang remaja bukan hanya sabar, tapi juga ceria.
"Apa si kepala gentong itu melihatmu?"
Si buta tersenyum.
"Bukankah Tie Da Ye tidak buta, bagaimana mungkin dia tidak melihatku?"
"Akan tetapi, biarpun dia melihatmu, pasti juga seperti tidak melihatmu saja. Karena mustahil
dia bisa menduga kau siapa," sang remaja bertanya kepada si buta dengan nada sangat gembira.
"Betul tidak?"
"Memang betul."
Sang remaja tertawa terbahak.
"Bagaimana mungkin, bangsat yang punya biji mata tapi tidak mampu melihat itu bisa
mengenali si buta ini, justru adalah Liu Xian Sheng (tuan Liu)?"
Si buta juga ikut tertawa.
"Kau tidak bisa mempersalahkan mereka, kemampuanku menyaru sebagai orang buta, sejak
dulu juga sudah termasuk kelas satu."
"Katakanlah kau menyarunya tidak mirip, tapi mereka tetap tidak bakal bisa menduga," kata
sang remaja. "Si mata jeli nomor satu di kolong langit ini, Liu Xian Sheng, Liu Ming Qiu yang dikatakan orang
sebagai Ming Cha Qiu Hao, yang dapat melihat hal-hal sampai yang sekecil-kecilnya dan dapat
menyelami sesuatu sampai ke detail-detailnya, ternyata juga sebagai satu orang yang buta, siapa
yang bisa menduga?"
Sorot matanya mendadak meredup dan suram, seperti rembulan pagi di musim gugur.
"Masalah yang banyak di dunia ini memang demikian juga, sebagai misal, siapa yang menduga
tuan muda generasi keempat jaman ini dari keluarga bermarga Mu Rong dari Jiang Nan (selatan
sungai Yang Ce), ternyata bisa..."
Beruang Jiang Xi, tidak bakal miskin dimakan, tidak bakal jatuh miskin diminum.
Mu Rong dari Jiang Nan, mungil, cerdik, tak kehabisan akal dengan seratus kali perubahan.
Kemarahan orang Guang Dong (propinsi di timur laut Tiongkok), biar sekali, bisa membuat
jenasah tak terhitung bergelimpangan, marah sekali lagi, mayat pun bisa ditemukan di manamana.
Seorang bermarga Liu dari Jiang Dung (timur sungai Yang Ce), yang jurus pedangnya patut
dikagumi, tidak ada tandingan di dunia ini.
Gong Zi (kong cu, sebutan untuk putera hartawan) nomor satu dari Jiang Nan ini, belum
menghabiskan kalimatnya ini, mendadak wajahnya berubah lagi, mendadak menanyai si buta.
"Si kepala gentong itu apakah masih sama seperti dulu" Senantiasa membawa dan dikelilingi
satu rombongan besar anak-anak muda yang cuma sedap dipandang, tapi tak punya kemampuan
apa-apa?" "Kali ini, sepertinya agak berbeda dari dulu," jawab si buta yang tidak buta.
"Orang-orang yang dibawa kali ini, paling sedikit ada dua puluh tujuh orang yang ada gunanya,
bahkan sangat berguna."
"Sangat berguna?", tanya Mu Rong Gong Zi. "Berguna sekali?"
Liu Ming Qiu bertanya sendiri.
"Karena Gong Zi memang orang Jiang Nan, seharusnya juga sudah tahu, dalam rumah jabatan
para tokoh bangsawan tinggi yang paling terkenal dari propinsi-propinsi Hu Nan, Hu Bei, Guang
Dong, Guang Xi, dan Fu Jian, ada satu rombongan sandiwara (Xi Ban Zi) yang paling terkenal,
bernama rombongan Long Yu."
"Aku tahu," Mu Rong tertawa. "Aku sudah lama mengetahuinya."
Tertawanya sepertinya agak kurang wajar, sepertinya juga dengan maksud kurang baik. Karena
rombongan sandiwara ini memang demikian gaya hidupnya, lebih berharap para Gong Zi yang
banyak uangnya, bisa bermaksud kurang baik terhadap mereka.
Umumnya mereka sejak usia 4-5 tahun sudah bergabung ke dalam (Long Yu Ban). Sejak kecil
mereka menerima latihan yang sangat keras, harus bisa menyanyi, bisa menari, bisa minum arak
dan bisa memainkan alat musik, bukan saja punya kemampuan serba bisa, bahkan sangat pandai
memahami maksud orang.
"Keahlian mereka sesungguhnya, bukan hal-hal yang demikian," kata Liu Ming Qiu.
"Kalau bukan hal-hal ini, terus apa pula?"
"Membunuh orang," kata Liu Ming Qiu. "Harus tahu bagaimana caranya membunuh sasaran
pada waktu yang paling tepat, dan menguasai kesempatan yang paling menguntungkan, memakai
cara yang paling efektif, dan setelah terlaksana, masih bisa meloloskan diri secara utuh."
"Ini adalah tujuan terakhir para aktor laki-laki yang cakep dari Long Yu Ban menerima pelatihan
itu." "Apakah semua anak laki-laki kecil yang imut-imut itu juga pembunuh bayaran yang sangat
mengerikan?", tanya Mu Rong GongZi.
"Betul," kata Liu Xian Sheng. "Bukankah harga membunuh orang biasanya lebih tinggi
dibandingkan dengan harga mengambil hati dan menyenangkan orang lain?"
"Betul," Mu Rong tidak bisa tidak menyetujuinya. "Pada umumnya, biasanya memang
demikian."
"Karena itu, memang resminya mereka adalah aktor pemberi inspirasi, tapi sesungguhnya sejak
usia kecil mereka sudah menerima latihan sangat keras untuk melakukan pembunuhan kejam,"
kata Liu Xian Sheng.
"Sesudah menerima latihan jenis ini selama sepuluh sampai dua belas tahun, setiap orang dari
mereka sudah terlatih menjadi seorang pembunuh yang paling efektif."
"Apakah ada orang yang tidak bisa menerima?"
"Ada," kata Liu Ming Qiu. "Tidak mampu menerima, berarti digugurkan."
"Yang digugurkan, berarti cuma mati?"
"Betul."
Kata Liu Ming Qiu: "Sesudah dilakukan pengguguran satu tahun satu kali, maka orang yang
tersisa sudah tidak banyak lagi. Orang-orang sejenis ini, setiap orangnya akan dingin, kejam dan
tidak punya perasaan, punya kegesitan dan kelicikan seperti ular beracun, licin seperti rase, daya
tahan seperti unta, bahkan semua sangat ahli mengerutkan tulang, mengubah wajah, melakukan
serangan pembokongan, serangan dadakan, serangan dengan menusuk, terlebih di antaranya
yang dinamakan sebagai orang 'sutera'."
"Sutera?", tanya Gong Zi. "Suteranya sutera dan satin?"
"Ya."
"Apa sebabnya mereka dinamakan sutera?"
"Karena mereka memang sudah hasil seleksi pemilihan khusus, setelah pelatihan dalam
rombongan sandiwara Long Yu Ban, mereka masih dikirim kembali ke kepulauan Jepang yang
dinamakan Yi He Gu. untuk menerima latihan dalam daya tahan penderitaan."
Liu Xian Sheng menerangkan lebih lanjut.
"Sesudah mengalami latihan daya tahan yang lebih keras dan lebih kejam semacam ini, setiap
orang dari mereka mampu mengubah bentuk badannya seperti ular yang menekuk dan
melengkung, bersembunyi di dalam tempat yang tidak mungkin diduga dan dilakukan orang lain,
dan mampu menunggu sampai suatu kesempatan yang paling menguntungkan, baru menerjang
keluar seperti angin, mencegat dan menyerang secara mendadak, membunuh orang dalam waktu
hanya sekejap saja."
"Ooohhh!"
"Ada kalanya mereka, mampu tidak makan dan tidak minum, tidak tidur dan tidak bergerak,
bergelung dua tiga hari di suatu tempat yang sangat sempit, tapi asalkan bergerak, maka
sasarannya biasanya pasti mati," kata Liu Xian Sheng lagi.
"Keberadaan serupa mereka ini, sama halnya dengan jenis 'ular sutera hijau' yang paling
beracun dari jenis ular beracun."
"Lalu, mengapa mereka tidak dikatakan saja 'ular sutera hijau'?"
"Karena warna penyamaran (kamuflase) mereka belum tentu hijau, dan bentuk mereka tidak
tampak sama seperti ular."
Mu Rong tertawa.
"Masuk akal, sangat masuk akal," dia memuji setulus hatinya. "Sutera, biar sutera saja, mana
ada nama lain yang lebih baik?"
Ahli waris keluarga marga Mu Rong dari Jiang Nan, daya penilaiannya senantiasa sangat tinggi,
dalam hal ini, sejak dulu tidak pernah ada orang yang mampu menyangkal...
Bab 2 Jalan Sutera Malam. Malam ini. Malam ini ada bulan, bukan hanya bulan, tapi juga ada lampu.
Yang ini, entah apa yang menjadi penyebabnya, mendadak saja kota kecil yang hari-hari ini
sudah mati, malam ini juga mendadak hidup kembali. Jalan-jalan panjang yang mati dan gelap,
malam ini mendadak hidup kembali. Lampu-lampu semua menyala, terang benderang seperti
siang hari. Orang-orang yang dibawa Tie Da Ye, bahkan di awal senja menjelang tiba, sudah menyalakan
sebuah "Lampu Kong Ming" (Lampu Khong Bing, sejenis lampion yang terbungkus kertas dan
tahan tiupan angin) yang bisa "membikin sang angin mati kesal", di setiap tempat yang bisa
digantungi lampion di dalam kota kecil ini..
Masih tetap ada angin, juga sudah ada lampu, tapi masih belum ada suara orang. Segala suara
yang bisa mencerminkan pusaran kehidupan, masih tetap sama sekali tidak ada.
Jalan panjang masih tetap sama dengan jalan kuburan yang murung seperti sediakala, cuma
ada satu orang yang melangkah diam-diam tanpa bicara, berjalan dari pangkal sampai ke ujung
jalan. Tidak ada suara.
Kelima puluh orang penunggang kuda yang dibawa Tie Da Ye, sekali pun semua gesit dan
tangkas dalam gerakan melayang atau pun melompat, yang sepertinya tidak bisa ditahan siapa
pun, tapi sekarang semuanya diam dan tenang berdiri di sana, memperhatikan orang tua yang
mengenakan baju panjang warna hijau zamrud dengan sulaman kelinci kecil putih itu sedang
melangkahkan kakinya di jalan.
Orang dan kuda, semua sama, diam dan tenang memperhatikan dia, bahkan tidak terkecuali
Tie Da Ye yang selama ini selalu menggebu-gebu bersemangat.
Orang tua yang memakai jubah hijau, dengan sikap yang membuat siapa pun merasa tidak
nyaman, berjalan mondar-mandir entah sudah berapa kali melintasi jalan panjang ini, sebentar
jalan dan sebentar berhenti, lihat sana dan lihat sini, menerobos keluar masuk rumah-rumah dan
toko-toko yang berada di kedua sisi jalan. Tidak seorang pun tahu dia sedang mengerjakan apa,
dan siapa pun akan merasakan sikapnya yang tidak wajar.
Tapi sedikit pun dia tidak peduli.
Di dalam pandangan mata orang lain, paling banter dia dianggap hanya satu orang tua yang
membuat orang menjadi sangat muak, tapi dalam pandangan matanya, semua orang-orang ini
cuma orang yang sudah mati.
Akhirnya orang tua ini berhenti, berhenti di depan Tie Da Ye. Mata tajam yang nyaris seperti
pisau itu dipincingkan sampai selebar benang.
"Dua puluh tujuh."
Orang tua itu cuma mengucapkan tiga kata ini, tiga kata yang mudah dan sederhana.
Mendengar tiga kata yang sangat biasa ini, wajah Tie Da Ye, yang sepanjang perjalanan
hidupnya sudah banyak menempuh prahara dahsyat dan gelombang mengejutkan sudah
mengalami ratusan pertempuran hidup dan mati, mendadak memperlihatkan mimik wajah yang
sangat tidak biasa. Tampak sekali seperti penjudi yang tegang, gembira, dan bergairah sebelum
siap-siap melontarkan taruhannya yang paling besar selama hidup mendadak mendapatkan 'kabar'
rahasia dari seseorang yang misterius.
Satu berita pasti, yang bakal membuatnya pasti menang, tidak kalah.
"Dua puluh tujuh?" Tie Da Ye segera bertanya dengan nada terburu nafsu dari seorang penjudi.
"Apakah kau sudah memastikan betul dua puluh tujuh?"
Orang tua itu tidak menjawab, hanya kepalanya manggut dengan sikap paling 'ahli'.
Jawaban seorang ahli biasanya memang cuma satu kali.
Jawaban satu kali ini, biasanya tentu sangat tepat.
Tie Da Ye menengadahkan kepalanya ke langit, menarik nafas panjang-panjang. Di langit ada
bulan, bulan seperti lampu, Tie Da Ye meniupkan nafas panjang.
Tangan putih halus orang tua itu, sudah menyandar ke bahu seorang remaja yang gagah
perkasa. Dia berjalan menuju tandu, dengan gaya seperti seorang perempuan cantik dari
lingkungan mulia terhormat yang sedang segan-segan manja merangkul bahu sang jantung hati
yang melayani untuk keluar dari kolam mandi air hangat.
Gairah semangat Tie Da Ye seperti busur yang ditarik siap melepaskan anak panah. Mendadak
dia berteriak keras.
"Ke sini, datang ke sini."
"Siaaap!"
Dari lima puluh penunggang kuda, ada tiga belas yang segera menjawab, duduk mantap di atas
pelana berukir, wajahnya seperti papan kayu, lehernya seperti tongkat besi, bahunya rata seperti
timbangan, punggungnya seperti batok kura-kura, dan pinggangnya seperti pohon tua, bergeming
pun tidak, dan sama sekali tidak bergerak.
Ketiga puluh tujuh penunggang kuda yang lain, begitu naik, segera turun dari kuda kembali.
Kala turun dari kuda pinggangnya lemas seperti gemulai pohon liu (willow) musim semi, melingkar
seperti ular bertapa. Umumnya berumur sekitar dua puluhan. Dalam sepasang matanya yang
muda bercahaya, mengandung juga sinar yang licin, laksana kekejaman dan keganasan ular
beracun yang paling telengas, disertai suatu daya tahan yang keras dan dingin yang tidak
terungkapkan. "Dua puluh tujuh," kata Tie Da Ye. "Hanya dua puluh tujuh."
Suaranya rendah tapi tegas. "Yang sakit, mundur dulu, yang punya ikatan cinta dan
kemasgulan juga mundur."
Tidak ada orang yang mau mundur.
Tie Da Ye jadi marah besar, teriaknya gusar: "Apakah kalian semua ingin mati di sini?"
Tidak ada yang membuka mulut. Tidak buka mulut sama dengan membenarkan. Sekalipun
setiap wajah semuanya sangat tampan, tetapi di wajah yang tampan itu terbayang mimik wajah
'tiap saat siap mati'.
Tie Da Ye menatap mereka dengan sorot mata tajam, akhirnya menghela nafas dan berkata:
"Kalau begitu kalian lebih baik mati sekarang saja!"
Tiga puluh tujuh orang, tiga puluh tujuh bilah pedang.
Pinggang setiap orang menyandang pedang, dengan satu suara "sreengg", dua puluh sembilan
pedang semuanya dihunus keluar dari sarungnya.
Masih ada delapan orang tangannya sudah menggenggam tangkai pedang, tapi masih
menggenggam. Pedangnya masih di dalam sarung.
Kemudian, dalam sekejap saja, kedelapan orang itu sudah menjadi delapan sosok mayat.
Mendadak saja, sudah ada satu bekas irisan berdarah di leher setiap orang.
Persis seperti seseorang yang kurang hati-hati dalam mencukur janggut dan teriris pisau cukur,
serta meninggalkan semacam bekas irisan tipis berwarna merah.


Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, begitu benang merah terlihat, darah segar segera menyembur keluar seperti pancuran air.
Waktu beberapa orang ini jatuh tumbang, darahnya menyemprot ke atas, dan ketika darahnya
sampai di bawah, sudah tidak mengenai mereka.
Apakah ini kemujuran mereka" Atau justru kesialan"
Darah panas mereka jatuh memasuki tanah yang dingin, tanah dingin yang sesungguhnya,
dingin yang bahkan bisa membuat mati kaku kedinginan pada angin musim gugur dan hujan
musim salju itu.
Delapan berkas sinar halus laksana bulu bulir padi, delapan irisan pedang seperti benang sutera
merah, darahnya seperti menyemprot mendadak, sinarnya seperti kilatan listrik.
Tepat di saat orang tua yang mengenakan jubah hijau bersulamkan kelinci putih itu memasuki
tandu, tirainya baru diturunkan, saat dua puluh sembilan orang masih menggenggam tangkai
pedang belum dicabut keluar, tepat saat ada delapan orang yang masih menggenggam tangkai
pedang, tapi belum dicabut keluar juga.
Di dalam waktu sekejap saja, dari dalam tandu mendadak sudah terlihat seberkas kilatan
cahaya yang terbang ke luar dengan kecepatan yang tidak bisa dibayangkan.
Sangat mendadak, cuma sekejap, sudah terbang keluar.
Sangat mendadak, cuma sekejap, sudah menyembur keluar, darah delapan orang kurang nyali
itu, sama seperti pancuran air mancur, menyembur setengah langit tingginya.
Tidak peduli orang ini orang baik atau bukan orang baik, bahkan orang yang jahat, yang punya
nyali. Bahkan orang yang tidak punya nyali, asalkan orang saja, dan darahnya masih darah yang
sama, ketika menyembur keluar, tetap sama bisa menyembur sampai setinggi setengah langit.
Apakah ini keberuntungan jenis manusia" Ataukah malah kesialan saja"
Para suci maha bijaksana dan bijak, serta orang kasar dan biadab, para ksatria pemberani serta
pengecut dan penakut, yang menjumpai suatu masalah yang sama dalam sesuatu keadaan
tertentu, akibatnya tidak akan jauh berbeda. Jika mereka ditebas pedang oleh orang lain, darah
mereka akan sama-sama menyembur keluar, para suci maha bijaksana dan bijak serta orang kasar
dan biadab, semuanya sama saja.
Karena mereka semua memang cuma manusia, dan yang dinamakan 'orang' memang cuma
demikian. Dalam kehidupan di dunia ini, banyak masalah di dunia memang sangat tidak adil.
Delapan orang tumbang, masih ada dua puluh sembilan orang tegak berdiri. Yang tidak punya
nyali sudah tumbang, yang punya nyali belum tumbang.
Maksud dari "yang punya nyali' ialah, cukup berani membela keadilan dan kebenaran, punya
keberanian, tidak takut mati, pada saat pilihan hidup mati, dia tidak akan mengernyitkan alis dan
dahi, bahkan pada saat harus menghunus pedang dia akan menghunus pedangnya.
Dalam medan tempur, pada saat penentuan hidup mati, maka orang yang paling takut mati
malahan justru paling cepat mati. Tepat seperti di atas meja judi, orang yang karena uangnya
cuma sedikit, makin takut kalah umumnya justru yang paling banyak kalahnya.
Di atas dunia ini, banyak perkara justru memang demikian adanya.
"Aku sudah memeriksa setiap sudut tempat ini," kata or?ang tua berbaju hijau itu. "Dalam
jarak tujuh puluh zhang ( kira-kira 3,3333 meter/zhang ), paling banyak cuma ada dua puluh tujuh
tempat untuk bersembunyi."
Ditambahkannya lagi: "Maksudku, hanya ular sutera macam ini yang bisa bersembunyi selama
tiga hari dan tiga malam di tempat ini."
"Aku mengerti."
"Karena itu, juga hanya dua puluh tujuh orang yang boleh tahu tempat persembunyian ini."
"Aku mengerti."
"Sekarang aku menghendaki mereka masuk bersembunyi ke dalamnya," kata orang tua berbaju
hijau itu. "Sebelum hari pertempuran penentuan antara kau dan Mu Rong itu tiba, tempat
persembunyian mereka, selain aku, kau dan kedua puluh tujuh orang itu, mutlak tidak boleh
diketahui orang yang kedua puluh delapan."
"Hal ini, sudah barang tentu aku juga mengerti," Tie Da Ye hati-hati menghela nafas. "Yang
sangat disayangkan, jika cuma aku seorang saja, akan belum mencukupi."
Ketika dia menghela nafas, matanya sudah memancarkan niat membunuh yang setajam mata
pedang. Kepada orang-orang lain yang tersapu mata pedang itu dia bertanya kepada mereka
dengan suara bernada pilu: "Apakah kalian juga mengerti maksud dari Gao Shi Ye (pembantu
pribadi pejabat lokal di zaman dinasti-dinasti Ming dan Qing, penasihat pribadi) kita ini?"
Sudah barang tentu dia tidak perlu menunggu jawaban mereka, seorang yang menggenggam
kekuasaan besar menentukan hidup mati, setiap saat selalu menetapkan nasib orang lain,
biasanya hanya mengeluarkan perintah, tidak boleh menerima perintah, hanya bertanya, dan tidak
mendengarkan jawaban.
Karenanya juga pertanyaan Tie Da Ye segera disusul dengan pertanyaan lain.
"Jika kalian sudah mengerti maksud Gao Shi Ye, maka sekarang juga tahu harus melakukan
apa." Bagaimana, selain 'mati", apakah masih ada cara lain lagi.
Karena hanya orang yang sudah mati, yang jadi penjamin terpeliharanya suatu rahasia, masih
adakah orang yang bisa membuat Gao Shi Ye yang sangat mudah curiga menjadi percaya"
Membuat Gao Shi Ye mempercayai, mungkin sedikit lebih mudah, mau membuat Tie Da Ye
yang menjadi penguasa mutlak, yang sudah sangat berhasil dan bernama tenar, untuk
mempercayai, tentunya akan lebih sulit.
Tanpa punya rasa curiga, bagaimana bisa menjadi penguasa mutlak program ambisius.
Tanpa program ambisius, buat apa punya rasa curiga juga.
Kelima puluh penunggang kuda yang datang bersama Tie Da Ye ini, adalah pengikut setianya,
entah sudah berapa tahun mengikutinya. Jika dia mau terjun masuk air mendidih, mereka juga
akan ikut terjun masuk air mendidih. Jika dia mau masuk nyala bara api, mereka pasti akan ikut
masuk nyala bara api. Akan tetapi, bahkan, ketika sedang berada di peraduan kemesraan dan
harumnya asmara sekali pun. mereka juga ada.
Tie Da Ye senantiasa adalah seorang yang paling pandai memakai tenaga orang untuk
kepentingan dirinya, senantiasa dia adalah 'kakak tertua' yang baik, karena itu dia bisa menjadi Da
Ye (kakak dari bapak atau pak tua).
Oleh karenanya, para saudaranya, sesudah mendengar apa yang dikatakannya, segera
memberikan reaksi bermacam-macam.
Umumnya beranggapan, Tie Lao Da (Tie lotoa, kakak besar Tie) cuma mau bergaya dan
berlagak, untuk menakut-nakuti Wang Ba kecil (sebutan kura-kura untuk laki yang istrinya berbuat
serong). Itu pikiran orang yang baru dua atau tiga tahun ikut dia.
Ini semua sengaja diungkapkan Da Ye, maju untuk mundur, dengan mundur malah maju, agar
si setan-setan kecil ini dengan sangat suka rela mau menjual nyawa untuk dia.
Ini pemikiran orang yang sudah lima atau enam tahun ikut dia, mereka beranggapan yang
dikatakan Lao Da tidak lebih dari sekedar gayanya saja!
Tapi orang-orang yang ikut dia sejak kecil, waktu mendengar kata-katanya macam itu, maka
semua bulu roma mereka akan menyembul keluar, merinding.
Hanya orang-orang ini yang paling mengerti dia.
Untuk mencapai tujuan, segala cara boleh dipergunakan.
Sejak mereka masih kecil, kala masih kecil dan kecil sekali, mereka berulang-ulang
mendengarkan petunjuk ini, 'petunjuk' yang akan membuat mereka tidak melupakannya seumur
hidup. Jika kau menghendaki suatu rahasia tidak bocor keluar selamanya, maka caranya ialah cuma
dengan membuat setiap orang yang mendengar rahasia ini semuanya mati.
Selam kedua puluh sembilan utas sutera tadi, setiap or?ang tahu, hari ini mereka cuma punya
satu jalan untuk ditempuh.
Bukan 'jalan sutera', tapi jalan kematian. (Dalam bahasa Tionghoa kedua kata 'si':sutera, dan
'si':mati, terdapat persamaan bunyi, sekali pun hurufnya berlainan, karenanya, seringkali
persamaan bunyi-suara: sering jadi 'permainan' kata dengan arti berlainan.)
'Jalan sutera' Mu Rong sebetulnya sudah begitu lemah, sehingga nyaris tidak mampu berbicara lagi, sekarang
baru bertanya: "Jalan sutera, apakah yang kau maksudkan memang jalan sutera?"
"Betul," kata Liu Xian Sheng. "Ada sutera, maka ada jalan sutera"
"Yang kau maksudkan jalan sutera itu, apakah yang sudah dibuka sejak zaman dinasti Han
(206 SM - 220 M), yang dibuka dan ditembus pada puncak jayanya zaman Dinasti Tang (618-907),
dari kota Chang An (nama lama kotaXi An), lewat koridor barat Sungai Kuning, melewati Jia Yu
Guan, memasuki Hei Shui Yu, tiba di Dun Huang, apakah yang dimaksudkan ini?"
"Apa bisa yang lain?"
"Jalan sutera ada dua, sudah barang tentu juga dimulai dari Chang An, jalan ke utara, keluar
dari gapura tembok besar, memasuki daerah Ha Mi di Xin Jiang, makan semangka Ha Mi, sehabis
makan semangka Ha Mi, lalu dengan melalui Tong Hua, Yi Li, Pegunungan Altai, terus berjalan ke
negara asing yang tidak kita kenal," kata si buta yang tidak buta itu. "Yang ini ialah jalan utara."
Dia menerangkan: "Pergi ke negeri asing, membawa sutera dan satin, ketika pulang, membawa
aneka cendera mata, permata dan segala barang aneh dari negeri asing itu. Ha Qin (instrumen
gesek dua dawai), tempat tidur dari Asia Tengah, wanita cantik bermata biru, inilah semua yang
bisa membuat orang yang mengerjakannya bisa mendapatkan laba keuntungan luar biasa besar
dalam satu kali perjalanan, jalan ini yang disebut sebagai jalan selatan Tian Shan."
"Tidak peduli jalan selatan ataupun jalan utara, apa keduanya disebut jalan sutera?" tanya Mu
Rong. "Betul."
"Yang kau katakan jalan yang mana?"
"Semuanya bukan," Liu yang tidak buta berkata.
"Jalan sutera yang kumaksudkan ini, bukannya berupa jalanan, tapi satu orang, seseorang."
"Mengapa?"
"Karena orang ini, di dalam hati 'manusia sutera' yang mengganggap nyawa sebagai
permainan, sudah bukan seorang manusia lagi, tapi sebuah jalan," kata Liu Xian Sheng. "Karena
tanpa orang semacam dia ini, mereka sudah tidak punya jalan untuk ditempuh."
"Karena itu orang ini disebut sebagai jalan sutera."
"Betul."
"Bagus, bagus sekali," Mu Rong memuji.
"Sutera, jalan sutera," dia mengeluh.
"Biar, bahkan sekali pun kamu menodongkan pedang Si Men yang bisa dipakai meniup salju
pada tenggorokanku, aku tetap tidak bisa menemukan nama yang lebih baik lagi."
Bab 3 Orang Sutera dan Orang Mati
Kelima puluh penunggang kuda yang dibawa Tie Da Lao Ban, sekarang sudah tinggal tiga puluh
satu orang saja.
"Cuma orang mati yang mutlak bisa menutup rahasia," kata Tie Da Ye. "Ini merupakan katakata
yang sangat tepat dan kata-kata yang sangat cerdas, aku bukan orang pertama yang
mengucapkan kalimat ini, aku masih belum secerdas itu," katanya. "Tapi sekarang, kalimat ini
sudah diterima secara umum sebagai kalimat yang sangat bijak, kalian pasti juga sudah mengerti."
Memang benar, semua sudah mengerti, Yang dimaksudkan Lao Da, ialah menghendaki
kematian mereka.
Selain dua puluh tujuh orang yang pada hari pertempuran penentuan, yang akan melakukan
serangan mendadak yang tidak terduga dari tempat persembunyiannya, orang-orang lain,
semuanya harus mati. Siapa pun tidak ingin mati, tapi mereka sudah tidak punya pilihan selain
dari mati. Sekarang ini, mengapa ada tiga puluh satu orang yang masih hidup" Ataukah perintah Tie Da
Ye sudah tidak seperti dulu efektifnya"
Para manusia sutera, penyerang tersembunyi untuk hari pertempuran penentuan hidup mati
itu, masih harus dipilih dua puluh tujuh dari antara dua puluh sembilan orang.
Orang yang terpilih belum diputuskan, karena itu masih ada dua puluh sembilan orang yang
hidup. Bagaimana dengan dua orang yang lain itu"
Dua orang, satu tua dan satu remaja, yang tua, enam tujuh puluh tahun, yang remaja, 16-17
tahun. Dan mata kedua orang itu, sama-sama terpancar tekad bertempur tanpa takut mati.
Yang tua sudah akan mati, dan mati hidup cuma suatu urusan sentilan jari tangan. Apa
gembiranya hidup, apa pula takutnya mati" Mengapa tidak memilih mati dengan suatu bentuk
lebih bangga dan terhormat"
Yang remaja, belum tahu rasa takut mati, mau mati ya mati saja, si maknya, setidak-tidaknya
aku akan bertempur habis-habisan dulu sebelum mati!
Tie Da Lao Ban (Bos Besar Tie) sepertinya sudah tidak tertarik mengurusi masalah ini.
Menjadi seorang Da Lao Ban (Bos Besar), biasanya sudah tahu kapan kesempatan yang tepat
menyerahkan sesuatu perkara kepada orang lain penggantinya, apalagi ketika perkara itu sudah
memasuki tahap terakhir, bahkan sudah mulai terasa sedikit merepotkan.
Yang berani menentang Da Lao Ban, sudah barang tentu adalah orang yang sedikit merepotan,
dan biasanya yang merepotkan bukan hanya sedikit saja.
Saat ini dan kesempatan ini, kerepotan yang paling besar ada dua hal, satu hal ialah
pengalaman bertempur mati hidup dari yang tua, dan satu hal lagi ialah keberanian remaja untuk
bertempur mati hidup.
Yang tua Wang Zhong Ping, namanya, hanya biasa-biasa saja, modelnya juga biasa-biasa saja,
tapi dalam kehidupan sekali ini, dia sudah membunuh sembilan puluh sembilan orang, semuanya
dalam keadaan tanpa bunyi sedikit pun, yang dibunuh dengan suatu cara yang sangat biasa saja,
setelah membunuh, bahkan tidak punya dampak akibat apa pun.
Coba kau katakan, orang sejenis ini, jika mau dibunuh, bukankah bisa cukup merepotkan"
Si remaja marganya Lu, seorang anak yatim piatu, tidak punya nama, julukannya 'A Gan',
maksudnya, asal 'ketemu', tidak peduli siapa pun kau ini, maka kau akan kugarap, akan kugarap
sampai kau mati dan aku hidup, baru kita bicara.
Dia tidak punya rumah.
Paling sedikit ada dua puluh kali lebih, orang lain mengganggap dia pasti mati, tapi dia belum
juga mati. Coba kau katakan orang semacam apa dia, tidakkah sedikit merepotkan juga"
Orang tua berbaju hijau itu tidak memedulikan satu orang tua dan satu remaja ini, hanya
menatapi kedua puluh sembilan sutera 'Si' saja.
Matanya juga seperti sutera, sutera itu terang, sutera juga ringan dan lemas, sutera pun lemah
lembut, akan tetapi sutera ini juga ulet setengah mati.
"Yang aku inginkan dua puluh tujuh orang, kini malahan yang ada dua puluh sembilan," helaan
nafasnya juga seringan dan selemas sutera. "Coba kalian katakan, apa yang harus kulakukan
sekarang ini?"
Tidak ada yang menjawab, tidak ada yang tahu harus menjawab bagaimana. Malam makin
larut, angin malam makin dingin saja, semua dan setiap orang merasakan bulu romanya sudah
berdiri, karena siapa pun tidak tahu, siapa dua orang yang harus mati itu. Apakah tidak mungkin
yang satu itu adalah diri sendiri"
Masalah ini, bahkan dalam keadaan yang sangat aneh tapi juga sangat sederhana, telah
mendapatkan pemecahan dengan cepat.
Sebab, beberapa orang di antaranya, malahan bisa berdesakan dengan 'rekan'nya, tanpa peduli
tempat persembunyiannya sekecil apapun juga, tetap bisa menyusup masuk ke dalamnya.
"Karena biasanya kami sering berdesakan menjadi satu," kata mereka. "Bahkan kami suka
berdesakan berduaan."
Maka masalah yang tertinggal sekarang ialah dua orang saja.
"Jalan sutera sesungguhnya bukan jalan, kelompok bersaudara itu suka beranggapan, tanpa dia
tidak ada jalan, tapi ada dia, sebetulnya juga tidak ada jalan yang bisa ditempuh", Liu Xian Sheng
memberitahu Mu Rong Gong Zi (Tuan Muda Mu Rong). "Jika dikatakan, betul dia itu adalah
sebuah jalan, maka jalan ini pasti disusun dengan tumpukan mayat orang lain."
Kata si buta yang tidak buta: "Aku berani mengatakan, di antara kelima puluh penunggang
kuda itu, paling sedikit sudah mati sembilan belas orang."
"Lima puluh, dikurangi sembilan belas, masih sisa tiga puluh satu."
Mu Rong bertanya: "Kedua puluh tujuh tempat persembunyian, dua puluh tujuh orang,
mengapa sekarang masih ada tiga puluh satu orang yang masih hidup" Apakah Tie Da Ye dan
jalan itu sama-sama tidak tahu hanya orang mati yang bisa menutup mulutnya."
Sudah barang tentu dia juga tahu mereka mengerti, hanya saja dia suka mendengar jawaban
orang yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya, jawaban yang masuk akal
baru bisa mewakili kecerdasan, moralitas, intelektual dan daya analisis seseorang. Mu Rong
senantiasa berharap ada orang sejenis ini di samping dirinya.
Karena itu dia baru disebut sebagai Mu Rong.
Liu Xian Sheng di samping dia.
"Di antara para pembunuh ini ada beberapa pasangan yang sangat akrab bagaikan kaki dan
tangan, saudara kandung atau suami isteri, terutama di antaranya ialah kakak beradik Lin dan
kakak beradik Qing Shan, sama sekali tidak terpisahkan, oleh karena itu, sekali pun hanya dua
puluh tujuh tempat persembunyian, tetap masih mungkin untuk dipakai oleh dua puluh sembilan
orang " "Tiga puluh satu, dikurangi dua puluh sembilan, sepertinya masih ada dua lagi."
Mu Rong bertanya: "Betul tidak?"
"Betul."
"Masih dua orang lagi, siapa" Mengapa masih bisa hidup sampai sekarang?"
"Sebetulnya biar pun tidak kukatakan, kau harusnya juga sudah tahu."
"Mengapa?"
"Karena kau sejak awal sudah mengetahui kedua orang ini."
Mu Rong berpikir.
"Kelima panglima kesayangan Tie Wu Gui (si kura-kura besi), Gu (kering), Lao (tua), Da
(besar), Nu (perempuan) dan Shao (remaja), tidak mungkin muncul dalam kesempatan ini."
Mu Rong berpikir-pikir kembali.
"Paling banter cuma dua yang bisa muncul "
Dia kembali mengangkat gelas.
"Satu tua satu remaja, jika aku salah menerangkan, aku didenda minum arak, didenda tiga
gelas " Liu Xian Sheng tersenyum menghela nafas, juga mengangkat gelas, tidak hanya mengangkat
gelas, bahkan minum, sudah minum tiga gelas.
Dia kalah, dia harus minum, sesudah minum, baru dia bicara.
"Wang Lao (Pak Tua Wang) sudah mengalami ratusan pertempuran, sudah mengambil
pelajaran semacam teknik bertempur yang paling efektif, dari pengalaman membunuh orang
berkali-kali yang tidak terbilang banyaknya, dia sendiri memberikan nama 'Seratus kali menusuk,
sembilan puluh sembilan kali kena sasaran'. Sudah barang tentu dia tidak takut."
Liu Xian Sheng berkata: "Dia sudah berumur enam puluh sembilan tahun, bahkan mati pun
sudah tidak takut, maka masih mau takut apa lagi?"
Mu Rong menyetujuinya.


Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika aku sudah berumur enam puluh sembilan, aku pal?ing takut satu perkara."
Dia menjawab sendiri. "Pada waktu itu, aku paling takut masih belum mati"
"Ketika kau berumur enam, tujuh, delapan, sembilan belas tahun?"
"Waktu itu aku takut mati," Mu Rong sangat jujur. "Waktu itu kalau aku sempat melihat ada
yang mati, aku bisa mengangis."
"Karena kau adalah Gong Zi yang hidup serba kecukupan dan bermewah-mewah, sejak kecil
kau sudah hidup sangat gembira," Liu Ming Qiu Xian Sheng berkata. "Kukira, waktu kau berumur
dua belas atau tiga belas tahun, maka semua gadis pelayan di rumahmu sudah kenyang
diperlakukan sangat sewenang-wenang."
Seorang laki-laki yang mampu berbuat sewenang-wenang terhadap banyak gadis cantik,
bagaimana mungkin bisa memikirkan dirinya bisa mati"
"Tapi banyak orang yang tidak demikian," kata Liu Xian Sheng. "Mereka semua berbeda
denganmu."
"Apa bedanya?"
"Kau belum berpikir mati, tapi kau takut mati, jika kau mati, ayah yang baik, ibu yang baik,
kakak yang baik, adik yang baik, pakaian yang baik, makanan yang enak, mainan yang
menyenangkan, sekaligus semuanya tidak ada lagi, maka kau mau berpikir tidak takut mati pun
sudah tidak mungkin, sebab kau punya begitu banyak barang yang baru bisa dinikmati hanya
apabila kau masih hidup."
Liu Xian Sheng bertanya: "Tapi bagaimana dengan sebagian orang yang lain" Mengapa mereka
juga tidak takut mati?"
Pertanyaan ini, dia bukan menanyai orang lain, dia menanyai diri sendiri.
Karena itu, dia menjawab sendiri pula.
"Mereka tidak takut mati, hanya karena mereka tidak punya sesuatu apa pun."
"Anak laki-laki kecil yang dinamakan 'A Gan' itu memang demikian keadaannya, kata Liu Xian
Sheng. "Dia tidak punya ibu bapak, tidak punya teman, tidak punya cinta kasih, tidak takut mati,
dia cuma paling takut hidup sendiri di dunia ini, tanpa sekelumit asa harapan apa pun, ada orang
yang memaksa dia, maka dia akan berusaha keras untuk mengerjakannya," kata si buta yang
tidak buta itu.
"Menurutku dia tentunya punya beberapa kemampuan untuk berjuang mati-matian," katanya.
"Jika si kecil ini bisa hidup sampai umur dua puluh tahun, aku berani berkata, dia lebih mampu
dari pada siapa pun juga, bahkan dibandingkan dengan Chu Liu Xiang kala berumur dua puluh
tahun." Mu Rong sangat terkejut.
"Kau bandingkan dia dengan Chu Liu Xiang."
"Ya" "Yang kau bandingkan apakah Chu Liu Xiang yang itu?"
"Di kolong langit memangnya ada berapa orang Chu Liu Xiang?"
"Satu."
"Yang kumaksudkan ya yang satu ini."
Mendadak wajah si buta yang tidak buta itu menunjukkan mimik wajah sedih
"Di dunia ini, yang jenius memang tidak banyak, kalau hidupnya tidak sampai dua puluh tahun,
betul-betul sangat disayangkan."
"Apakah kau sedang mengatakan si A Gan?" Mu Rong bertanya.
"Apakah kau sudah menghitung umurnya tidak bakal sampai dua puluh tahun?"
"Betul."
A Gan menggenggam kepalannya keras sekali, matanya memancarkan sorot mata seperti
serigala lapar yang ganas dan kejam sekali.
Dia merupakan orang yang punya ciri sangat istimewa, luar biasa ganas dan kejam, namun
juga sangat dingin hati dan tenang pikiran, sangat cekatan dan tangkas, luar biasa dalam
kemampuan menahan derita sengsara, berita yang tersebar di kalangan pengelana Jiang Hu
(dunia persilatan), bahkan cerita orang, di waktu kecilnya dia dipelihara oleh anjing serigala.
Oleh karena itu, dia juga luar biasa cepat matang dewasa. Menurut cerita orang, kala dia
berumur sembilan tahun, dia sudah punya kemampuan fisik seperti lelaki dewasa, malahan sudah
punya perempuan yang pertama.
Seorang gadis petani berumur tujuh belas tahun, menggulungkan kaki celananya sampai
terlihat sepasang betis dan kakinya yang putih, sedang mencuci pakaian di parit pegunungan,
mendadak didapatinya ada seorang anak kecil di seberang sedang mengincar dengan sembunyisembunyi
seperti binatang buas sedang mengintai mangsanya.
Kedua kepalan A Gan digenggam keras, mengamati orang tua berbaju hijau itu, matanya ganas
seperti serigala.
Tie Da Lao Ban memandang seperti tidak melihat, orang tua berbaju hijau itu sama sekali tidak
memperhatikannya, Wang Zhong Ping memperingatkan bahaya dengan isyarat matanya, tapi A
Gan sudah berketetapan hati untuk menggarapnya.
Tepat sesaat setelah dia bertekad dan memutuskan mau menggarapnya, segera saja dia sudah
terbang melayang menerkam, bagaikan seekor serigala kelaparan mendadak terbang menerkam
kambing, dia mempergunakan cakarnya untuk mengoyak leher dan jantung orang tua itu.
Gerakan menerkamnya, mirip benar dengan seekor serigala.
Orang tua baju hijau itu, bukannya seekor kambing.
Bayangan badannya mendadak mundur bagaikan hantu dan iblis, para pelayan setianya segera
muncul mendadak dari segenap penjuru, kilau keperakan sinar sutera yang di tangan sudah
membentuk sebuah jaring.
Mendadak A Gan menyadari dirinya sudah berada di dalam jaring, dan jaring itu terus
menyusut, orang tua berbaju hijau itu melesat terbang keluar kembali seperti hantu iblis, di
tangannya mendadak terlihat sebatang jarum berwarna perak, mendadak sekali sudah menyusup
ke dalam jaring dan menusuk ke dalam mulut A Gan.
A Gan ingin berteriak keras-keras, tapi jarum duri itu telah masuk ke tenggorokannya, terus ke
dalam mulut dan keluar dari tengkuk di belakang lehernya, jarum perak itu berubah menjadi
benang sutera, berbalik mengikat ke belakang kepala.
Kepala belakangnya hancur, bunga darah muncrat beterbangan.
A Gan tumbang jatuh ke tanah.
Dia belum genap dua puluh tahun, jeritan yang mengerikan dan memilukan seperti lolongan
seekor serigala, sampai dia mati.
Jaring sutera sudah disimpan, diam-diam orang tua berjubah hijau itu membalik badan, diamdiam
dia menghadapkan muka kepada Wang Zhong Ping.
Dia belum bergerak, Wang Zhong Ping juga belum bergerak.
Mendadak, seorang anak kecil yang mengenakan baju merah dan bercelana putih, dengan
rambut kuncir kecil tegak ke atas, entah muncul dari mana, sekali membalik tangannya sudah
menggengam sebilah pisau yang berkilauan cahayanya, mendadak dalam sekejap saja sudah
menubruk ke depan mayat A Gan yang baru roboh, dipegangnya konde di atas kepalanya, dengan
satu irisan saja putuslah kepala itu, dan sekali jungkir balik ke angkasa, sambil menjinjing kepala
itu, hanya sekelebat sudah tidak terlihat lagi.
Apakah anak kecil ini betul anak-anak yang masih kecil" Atau malahan setan kecil"
Orang tua berbaju hijau itu tetap belum bergerak. Wang Zhong Ping juga tidak bergerak, tapi
wajah kedua orang itu sudah ada sedikit perubahan.
Melihat dengan mata sendiri si setan kecil memotong kepala orang, melihat sendiri si setan
kecil itu melayang pergi menjauh, mereka tidak bisa bergerak, karena mereka tidak bisa bergerak,
siapa yang bergerak lebih dahulu, maka dialah yang memberikan kesempatan kepada lawan
terlebih dahulu, kesempatan mematikan.
Tie Da Lao Ban dan kedua puluh sembilan orang benang sutera, mengapa juga tidak bergerak"
Apakah karena si setan kecil itu bergeraknya terlalu cepat"
Si setan kecil yang serupa anak kecil itu, mengapa mau datang ke tempat yang penuh dengan
kegawatan maut ini untuk memenggal kepala mayat orang mati"
Orang tua berbaju hijau itu menatap Wang Zhong Ping, mendadak menghela nafas panjangpanjang,
berkata dengan nada luar biasa pedih: "Wang Lao Xian Sheng (Pak Tua Wang),
kelihatannya kau sudah tidak cocok lagi, sampai-sampai "setan kecil pemenggal kepala' juga tidak
mau kepalamu lagi."
"Ooohhh?"
"Jika dia mau kepalamu, dia pasti menunggu kau mati dulu, baru memenggal kepala."
Dia melambai-lambaikan tangan.
"Kau pergilah," kata orang tua berbaju hijau. "Jika sampai setan kecil saja sudah tidak mau
kepalamu, bagaimana aku si setan tua ini masih mau nyawamu?"
Wang Zhong Ping, pelan dan halus, menghelas nafas panjang-panjang.
"Baiklah, aku kelihatannya memang seperti sudah terlalu tua," katanya "Kepala orang tua
seperti badan perempuan yang buruk wajahnya, biasanya sudah tidak ada siapa pun yang
menghendakinya."
Orang tua berbaju hijau itu juga menghela nafas.
"Kelihatannya, di dunia ini sepertinya memang banyak masalah yang selalu begitu."
"Sedikit pun tidak salah," kata Wang Zhong Ping.
Dia membenahi pakaiannya, memberi hormat, memberi hormat kepada si tua, memberi hormat
kepada Da Lao Ban, juga memberi hormat kepada kedua puluh sembilan orang jalan sutera itu.
Sikapnya memberi hormat, lembut dan santun, akan tetapi setiap orang bisa memperkirakan, di
dalam gerakannya yang lembut dan santun itu, setiap saat dalam sekejap mata juga mengandung
suatu kemungkinan terjadinya serangan mematikan, karena dia juga tahu orang tua berbaju hijau
itu mustahil betul-betul membiarkan dia pergi.
Seratus tusukan, sembilan puluh sembilan kena sasaran.
Satu tusukan ini, siapa yang dipilih, siapa yang dipilih menemani dia mati"
Yang dipilih pasti ialah orang yang diyakini mutlak mampu dibunuh, hal ini bagaimana pun tidak
memerlukan pertanyaan apa pun lagi.
Masalahnya ialah, tidak peduli dia mau menghadapi siapa pun di antara orang yang berada di
sini, sepertinya sudah sangat diyakininya.
Karena itu, setiap orang sudah sangat siap sedia penuh kewaspadaan tinggi, tidak ada yang
bergerak, semuanya menunggu dia bergerak terlebih dahulu.
Yang sangat aneh, dia juga tidak bergerak, sepertinya betul-betul percaya orang tua berbaju
hijau itu akan membiarkan dia pergi. Begitulah semua pelan-pelan dan berlamban-lamban, dengan
santai berjalan terus maju ke depan. Kelihatannya, sudah segera akan keluar dari kota kecil ini.
Tie Da Lao Ban memandang sepertinya tidak melihat, or?ang tua berbaju hijau ini, bahkan
dengan mata terbuka lebar-lebar menyaksikan dia pergi menjauh. Seolah-olah tidak takut dia
bakal membocorkan rahasianya, juga sepertinya ada sesuatu kunci yang berada dalam
genggamannya. Apa alasan sesungguhnya" Siapa tahu"
Pada waktu ini, cuma kelihatan satu bayangan perempuan yang sangat tinggi, perempuan yang
semampai, berjalan keluar dan kegelapan tiada batas di luar kota kecil itu, berjalan ke arahnya,
mengulurkan kedua belah lengannya, dan berpelukan sangat erat dengannya.
"Bagi orang kebanyakan, arti jalan sutera, ialah jalan kematian, sekali pun sekali waktu dia
memberikan satu jalan hidup bagi orang lain, dan jalan itu tetap selembut jalan sutera tadi," kata
Liu Xian Sheng kepada Mu Rong. "Karena itu, A Gan sekarang seharusnya sudah orang mati."
"Pasti?"
Tie Da Lao Ban yang menghendaki dia mati, makhluk aneh tua yang berbaju hijau itu juga mau
dia mati, bahkan kita sepertinya juga tidak ingin dia hidup terus, di dunia ini, masih ada siapa yang
bisa menolong dia?"
"Sepertinya masih ada satu orang," kata Mu Rong. "Di dunia ini, tidak peduli terjadi sesuatu apa
pun yang tidak terbayangkan, dan tidak bisa diselesaikan, sepertinya selalu ada semacam orang
yang bisa menyelesaikannya."
"Orang sejenis ini siapa pula dia?"
Mu Rong tertawa. "Orang jenis ini sepertinya justru adalah orang yang kau sebutkan tadi, yakni
Chu Liu Xiang."
Chu Liu Xiang. Namanya menggemparkan dunia, diceritakan semua keluarga, disebarkan tiap
rumah tangga, kekasih dalam impian setiap gadis, idola pujaan setiap remaja, calon menantu
harapan setiap ibu yang gadisnya belum kawin dan yang sudah mencapai umur menikah untuk
berkeluarga, tokoh sahabat yang akan diakrabi dalam mata setiap lelaki jantan di dunia Jiang Hu,
pelanggan yang paling ingin ditarik-tarik setiap bos pasar emas dan kesenangan, orang yang
paling diharapkan bisa ditemui orang yang miskin sengsara, 'sahabat baik' yang sangat disukai
teman-teman yang suka minum arak.
Selain itu, sudah barang tentu dia juga pelanggan yang paling mengerti masakan dari para koki
terkenal di dunia, dia juga pesolek yang paling mengerti berbusana di mata para penjahit terbaik
di dunia, pelanggan judi yang paling royal bagi pemilik kasino di dunia.
Bahkan di kota Yang Zhou yang sesak dengan para pedagang hasil tambang garam dan
hartawan kaya raya, kota Yang Zhou yang dikunjungi orang dan dilukiskan dengan sajak
'pinggang diikat dengan tiga puluh ribu liang (tail), menunggang bangau turun ke Yang Zhou',
arah mata memandang dan puncak kemewahan kegiatan, siapa pun akan lenyap sirna
menghadapi dia, Chu Liu Xiang.
Siapa pun sama saja.
Bos besar peternakan kuda dari Guang Dong (propinsi di Tiongkok Timur Laut), pedagang
besar Ren Shen (Jin Som) dari Chang Bai Shan, para ketua tertinggi dari semua gunung, semua
pintu jalan masuk dan semua jalan raya, yang sehari-hari biasanya kin memeluk yang merah dan
kanan merangkul yang hijau, yang sekali mengeluarkan uang sampai selaksa liang (tail) emas pun
wajahnya tak berubah.
Akan tetapi, orang yang melihat dia, barangkali raut wajahnya pasti akan mengalami beberapa
perubahan. Karena dia adalah Chu Liu Xiang.
Seorang Chu Liu Xiang, yang hampir sama sekali tidak mungkin ada lagi, di bawah langit dan di
atas bumi, satu-satunya dan tidak ada yang kedua, kalau dia mendadak 'tidak ada' lagi, maka
tidak mungkin ada orang yang bisa menggantikannya.
Orang semacam ini, kalau bukan membuat orang lain mengagumi dan menghormati, tentunya
akan membuat or?ang gembira.
Akan tetapi, ketika Liu Xian Sheng mendengar 'nama ini', wajahnya segera menunjukkan
sesuatu yang tidak bisa diterangkan, rasa duka yang tidak bisa dikatakan, tidak bisa dituliskan
sampai tuntas. Melihat wajah yang aneh, ajaib dan tidak bisa diterangkan, Mu Rong tidak tahan untuk tidak
bertanya. "Kau sedang apa?" dia bertanya pada Liu. "Kelihatannya, kau sedang bersedih hati."
"Sepertinya ada sedikit."
"Mengapa kau bisa bersedih?"
"Karena aku tahu, sekali pun Chu Liu Xiang, juga tidak bisa menolong A Gan."
"Mengapa?"
"Karena Chu Liu Xiang, pada tiga bulan yang lalu, sudah mati."
Perempuan yang sangat tinggi dan sangat ramping ini, memakai pakaian terusan panjang
warna putih. Angin bertiup, pakaian panjangnya yang putih berkibar, dia memeluk erat-erat Wang
Zhong Ping, persis seperti seorang gadis perasa yang mendadak berjumpa kembali dengan
kekasih pertamanya, begitu emosional, begitu menggelora.
Tapi, pelukan tangannya mendadak mengendur, mendadak seperti hantu putih tertiup lenyap
oleh angin malam yang dingin dan lembut, tertiup ke dalam kegelapan yang semakin jauh dan
semakin kelam. Wang Zhong Ping masih berdiri dengan gaya semula, berselang lama, baru dia bergerak.
Sekali ini, dia bahkan tidak berjalan ke depan lagi, malahan membalik badan berjalan kembali
ke tempat semula.
Jalannya sangat lambat, gaya jalannya pun sangat aneh, waktu berjalan sampai ke tempat
cahaya lampu sudah bisa menerangi dia, semua orang baru melihat wajahnya juga sangat aneh,
setiap organ dan setiap batang otot di wajahnya sudah kejang dan berubah bentuk.
Ketika berjalan makin ke depan, semua orang baru bisa melihat warna wajahnya telah berubah
menjadi seperti warna bunga anggrek.
Banyak warna bunga anggrek, tapi setiap warna selalu mengandung semacam warna utama
kepucatan. Warna wajahnya juga warna begini, bahkan matanya pun mengandung warna semacam ini.
Selanjutnya, dia mendadak rontok seperti selembar daun bunga anggrek yang layu.
Ketika dia jatuh roboh, matanya menatap jalan sutera, dengan rasa gembira yang menjadi
celaka, serta dengan semacam nada dendam kesumat merasuk ke dalam tulang sumsum, dia
berkata: "Tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada gunanya!"
Dia mengucapkan satu kata demi satu kata:
"Terserah kalian mau mendesain rencana apa saja, tapi sekali ini tanpa keraguan, kalian pasti
masih tetap gagal."
"Mengapa?"
"Karena si buta itu, jika kalian tahu siapa dia, bukan mustahil kalian sekarang juga
membenturkan kepala sampai mati."
Batang otot wajahnya yang dipenuhi oleh dendam kebencian, mendadak menggeliat menjadi
semacam senyum misterius yang tidak terungkapkan, "Karena kalian selamanya juga tidak bakal
tahu dia itu siapa."
Sekali pun sutera dan jalan sutera sudah menjadi alat pemeras informasi yang terbaik, tapi
sekarang sudah tidak bisa lagi memeras satu kata pun darinya.
Karena dia sudah mati, begitu selesai mengucapkan kalimat itu, dia segera mati. Waktu dia
mati, wajahnya, kelihatannya seperti kelopak bunga anggrek yang setiap waktu bisa berubah
warna. Perempuan berjubah putih seperti hantu itu, waktu melayang terbawa angin memasuki angkasa
malam, seolah-olah juga melambai-lambaikan tangan kepada Tie Da Lao Ban dan jalan sutera,
lengan bajunya yang putih melambai-lambai dalam kegelapan malam, sehingga kelihatan juga
seperti sekuntum bunga anggrek.
Saat ini, sudah tengah malam, dan hembusan angin malam itu, seolah diantar semerbak halus
yang ringan bau harum bunga anggrek.
"Betulkah Chu Liu Mang sudah mati?"
"Betul."
"Apakah kau yakin?"
"Aku yakin."
Dengan nada redup Liu Xian Sheng berkata: "Sebetulnya aku juga tidak yakin dia bisa mati,
orang semacam Wu Hua He Shang (Hwe Sio Tanpa Bunga) dan Nan Gong Ling (Nan Gong-nama
marga) yang licin, licik dan jahat, serta yang kemolekan dan pengetahuannya seperti Shui Mu
(ubur-ubur) dan Shi (batu) Guan Yin saja tidak bisa mengharapkan kematiannya, maka masih ada
siapa lagi yang sanggup melakukannya?"
Sepertinya dalam sepasang mata si buta yang tidak buta, yang bola mata putihnya banyak dan
hitamnya sedikit itu, sudah terlihat ada cahaya air mata.


Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tapi dia memang sudah betul-betul mati, mati di tangan seorang perempuan, seorang
perempuan yang cantiknya ibarat bidadari turun dari langit, tapi yang sesungguhnya berhati
seperti iblis," kata Liu Kian Sheng.
"Namanya disebutkan sebagai Lin Huan Yu."
"Lin Huan Yu?"
"Betul," kata Liu Xian Sheng. "Mengembalikan mutiara mustika bercahaya pada suami dan air
mata mengucur dari sepasang matanya, ketika mengembalikan Po Yu (kumala mustika) suaminya
pun sudah mati. Suami mati dan isteri berduka, maka cinta pun putus sudah, sekali pun di surga
dan di neraka, selamanya tidak bakal bisa berkumpul kembali?"
Mu Rong juga orang yang punya kelembutan terhadap lawan jenis. 'Suami mati dan isteri duka,
selamanya tidak bakal bisa berkumpul kembali'. Termenung dia mencerna makna kalimat sajak
pilu itu, entah apa yang jadi pikirannya" Juga tidak tahu apa rasa hati dan indra pengecapnya"
Dia cuma berkata: "Yang ini pasti juga sebuah cerita paling mesra yang membuat orang jadi
ikut mencintai habis-habisan antara hidup dan mati, mujurnya aku sekarang ini tidak ingin
mendengarkannya."
"Sekarang ini," lanjutnya, "aku sama sekali tidak punya minat mendengarkan cerita kentut
anjing macam jumpa setan di siang hari bolong ini."
Mu Rong Gong Zi yang biasanya lemah lembut dan sopan santun, ternyata juga mampu
memaki-maki orang, hanya ketika dia sudah memaki-maki, hatinya baru bisa merasa sedikit lebih
lega. Sudah barang tentu hanya di kala hatinya paling tidak senang dia baru bisa memaki-maki.
Tengah malam. Bau harum bunga anggrek yang disebarkan angin, makin jelas, makin ringan dan makin tipis,
namun belum lenyap.
Justru manusianya yang sudah hilang.
Orang yang membunuh orang, angin yang membekukan or?ang, perempuan berjubah putih
yang seperti roh halus, semuanya sudah lenyap dalam kegelapan malam, yang tertinggal
sementara itu hanya satu mayat yang belum lenyap. Dan satu mayat yang sudah dipenggal
kepalanya. Tie Da Lao Ban menghirup nafas dalam-dalam.
"Wangi, wangi sekali," katanya. "Maka, tidak aneh jika semua orang yang terpelajar
mengatakan, hanya harumnya bunga anggrek baru merupakan harumnya sang raja."
"Masa iya, semacam harumnya bunga tulip Chu Liu Xiang yang terkenal di dunia, juga tidak
bisa menandinginya?"
"Sudah barang tentu tidak bisa menandinginya."
"Mengapa?"
"Karena bau harum semacam itu, kini sudah tidak ada lagi." "Apakah bukan juga karena Chu
Liu Xiang itu sekarang sudah tidak ada lagi"," Si Lu (jalan sutera) sengaja bertanya.
"Benar."
Oleh karena itu Tie Da Lao Ban dan Si Lu bersama-sama tertawa besar, seperti betul-betul telah
lupa kalimat yang diucapkan Wang Zhong Ping tadi, 'Tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada
gunanya. Terserah kalian mau mendesain rencana apa saja, tapi sekali ini, tanpa keraguan, kalian
pasti masih tetap gagal, karena si buta itu.........."
Wang Zhong Ping dan dulu tidak pernah bohong, Tie Da Lao Ban selalu percaya terhadap apa
yang diucapkannya, demikian juga yang dikatakannya kali ini, mustahil sama sekali tanpa alasan.
Tapi sekali ini, Tie Da Lao Ban seolah-olah, sepertinya sama sekali tidak mendengar apa yang
dikatakannya, bahkan sepertinya sama sekali lupa pada seorang buta yang tadi dilihat.
Waktu ini rembulan sudah hampir bulat penuh, hari ini ialah tanggal tiga belas bulan delapan,
malam kedua menjelang malam Zhong Qiu.
Pertempuran penentuan antara Tie Da Lao Ban dan Mu Rong Gong Zi, adalah pada malam
terang bulan di tengah musim gugur.
Bab 4 Menjelang Pertempuran Penentuan
Mu Rong duduk. Duduk di atas alas sebuah bantalan bundar yang terbuat dari bermacammacam
serat sutera dan satin dari Jiang Nan, di depan meja pendek bergaya antik dinasti Han.
Dia sudah tidak berada di rumah tua dengan pekarangan terlantar lagi, melainkan berada di
atas sebuah panggung tinggi.
Panggung di lokasi tinggi, setinggi sembilan belas 'zhang' (zhang=3 1/3 mtr), tinggi di atas
awang-awang, dibangun dari bambu gombong yang sangat besar, di atas kemiringan lereng bukit,
sampai bisa melihat sinar lampu di kejauhan.
Sinar lampu kota kecil di kejauhan itu.
Di dekatnya juga ada sinar lampu, berada di bawah panggung tinggi ini.
Menjelang senja, baru lewat maghrib. Mendadak saja, suasana malam tanpa batas dan tanpa
ujung, di musim gugur yang dingin, sudah menyelimuti keseluruhan bukit ini.
Kemudian, lampu menyala.
Lampu, aneka rupa bentuk dan gaya, segala macam ukuran besar dan kecil: cahaya api aneka
rupa bentuk dan gaya, yang terang, yang suram, yang berkilauan, yang kelap-kelip, menyala di
depan aneka macam kumpulan tenda lapangan, aneka rupa bentuk dan gaya yang tidak sama,
menerangi wajah-wajah aneka rupa bentuk dan gaya dari para lelaki dan perempuan, tua dan
muda, yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Satu-satunya yang menjadi persamaan ialah, pada setiap raut wajah, terpancar satu ekspresi
yang sama mencerminkan rasa letih dan lesu, dan ketidakberdayaan.
Karena mereka dipaksa meninggalkan rumahnya.
Rumah mereka, justru berada pada kota kecil yang seperti mendadak mati itu.
Rumah mereka, biarpun miskin, tapi tetap mengandung suatu kehangatan, tungku dapur yang
sering panas piring mangkuk yang setiap hari dicuci bersih, selalu memasak makanan nasi dan
lauk pauk yang membuat suami dan anak-anaknya makan sampai betul-betul kenyang, pada
ranjang yang biasa dipakai tidur, selimut yang tebal dan empuk, dalam kaleng atau toples
mungkin masih ditemukan sedikit manisan atau kembang gula yang bisa membikin wajah anakanak
mengembangkan senyuman, bahkan mungkin dalam guci masih tersisa sedikit arak, dan di
bawah bantal masih ada satu dua jilid buku yang bisa membuat malam yang diiewatkan lebih
manis. Mengapa mereka harus meninggalkan rumah mereka itu"
Karena mereka tidak mungkin tidak pergi, karena mereka tidak berdaya apa pun, karena tidak
mampu menghadapi kekerasan yang memaksakan kehendak, dan sama sekali tidak mampu
mengadakan perlawanan.
Oleh sebab itulah, mereka hanya bisa pergi.
Waktu mereka mendengar berita 'bahwa ada dua gerombolan orang yang sangat besar
kekuatannya, sudah memutuskan untuk memilih kota kecil, yang sesungguhnya milik mereka ini,
sebagai medan pertempuran mau hidup' mereka hanya bisa meninggalkan rumah mereka itu.
Karena mereka terlalu lemah, juga terlalu baik hati.
Orang yang baik hati, mengapa selalu lebih lemah"
Bayi yang baru dilahirkan, membenamkan kepalanya dalam buah dada ibunya, anak-anak kecil
berpelukan satu sama lain untuk mencari kehangatan, anak-anak yang lebih besar sudah tertidur
memeluk satu buntalan, para perempuan tua dan lelaki tua, duduk atau berbaring, entah tidur,
entah sadar, cahaya api di kejauhan dan di dekat, berkedipan nyala dan padam tidak menentu,
menyinari keriput wajah mereka yang nampaknya jadi semakin dalam. Dan para orang
dewasanya"
Pemikul tanggung jawab berat satu keluarga, para ibu rumah tangga yang setiap hari harus
menghitung dengan teliti biaya kebutuhan keluarga, lelaki usia pertengahan yang sudah
menemukan isterinya bakal minggat meninggalkan dirinya, perempuan muda yang sudah
mendapatkan bahwa suaminya sudah mencuri-curi melakukan hubungan zinah dengan adik
iparnya, pemuda dan pemudi yang saling mencintai, tapi juga masih belum bisa berkumpul,
seorang diri duduk di bawah langit malam, apa lagi perasaan hati mereka"
Rumah dan taman masih ada, namun belum tentu masih jadi milik mereka lagi" Kembali hidup
setelah musibah bencana dan celaka, apakah kehidupan hari-hari mendatang masih bisa seperti
sebelumnya" Sesudah melewati musibah, bencana dan celaka sekali ini, apakah mereka masih
bisa hidup seterusnya"
Ya Tuhan, entah berapa banyak orang sudah menyesalkan, dan berharap dirinya sendiri tidak
melakukan berbagai kesalahan dan dosa dalam kehidupan sebelumnya.
Mu Rong mengamati orang-orang ini dari atas panggung tinggi itu, Liu Xian Sheng berada di
sampingnya, kedua perempuan bercadar biru dengan baju panjang yang lurus menutupi badan itu
juga ada di sana, semua sedang memperhatikan gerakan mimik wajahnya.
Wajahnya tanpa mimik apapun.
Matanya seolah-olah menyatakan sekilas rasa duka dan iba kasihan, tapi segera saja
pandangannya dialihkan ke tempat yang jauh.
Di kota kecil yang jauh itu masih ada cahaya api dan lampu. Rasa duka dan kasihan dari dalam
matanya mendadak berubah menjadi kemurkaan.
"Kau katakan kedua kura-kura itu sudah pergi, sekarang mengapa malah belum pergi?"
Dia tanya Liu Ming Qiu.
"Kau sudah melihat mereka masih berada di mana?"
"Belum."
"Kau cuma sudah melihat di sana masih ada lampu saia."
"Betul."
"Orang bukan lampu," Liu Xian Sheng berkata dengan sabar. "Orangnya sudah pergi, tapi
masih boleh menyalakan lampu di sana."
"Mengapa mereka mau menyalakan lampu di sana?"
"Sebab mereka berharap kau menganggap mereka masih menunggumu di sana," kata Liu Xian
Sheng. "Mereka ada, sudah barang tentu kau tidak bakal ke sana, pada saat menjelang terjadi
pertempuran penentuan, kedua puluh sembilan orang itu bisa bersembunyi dengan tenang di
sana," Sebelum tiba waktu mereka diperlukan, orang-orang ini sudah barang tentu tidak bakal bisa
ditemukan, jika tiba waktu mereka diperlukan, mereka baru segera akan melakukan satu serangan
yang paling mematikan.
Liu Xian Sheng, bukan saja matanya tidak buta, hatinya pun tidak buta.
"Kau sudah melihat lampu di sana, hatimu jadi tidak tenang, maka mereka baru bisa pulang
untuk merawat badan, dengan tenang menantikan musuh sudah penat, dengan diam tenang
mengendalikan gerakan," Liu Ming Qiu berkata. "Jika kau pergi, seandainya menemukan satu
lokasi persembunyian mereka, maka masih adakah kesenangan bermain bagi mereka?"
Sikap Mu Rong mendadak sudah berubah, segera mengakui: "Buat mereka, itu sudah tidak
menarik sebagai permainan lagi."
Mendadak dia tertawa lagi, bertanya kepada Liu Xian Sheng kembali: "Ketika mereka merasa
permainannya jadi tidak menarik lagi, seharusnya adalah waktu di mana kita merasa paling
senang dan tertarik bermain, bukankah betul begitu?"
"Betul."
"Kalau begitu apa berarti kita harus segera pergi?"
"Ya."
"Baiklah, aku dengar kata-katamu," Mu Rong berkata. "Pergilah kau sekarang, bawa dua puluh
sembilan jago, tumpas kedua puluh tujuh tempat persembunyian, cabut sampai ke akarnya."
"Itu juga tidak perlu."
"Tidak perlu?" Mu Rong tampak terperanjat. "Mengapa tidak perlu?"
"Aku bahkan tidak perlu membawa dua puluh sembilan or?ang ke sana."
"Mengapa?"
"Karena tempat persembunyian yang dua puluh tujuh itu, ada jarak tertentu satu kepada yang
lain, malahan semuanya sangat tersembunyi. Kita tidak tahu mereka punya tanda sinyal yang
diperjanjikan sebelumnya, siapa pun tidak berani lancang bergerak, memunculkan diri sendiri,"
kata Liu Xian Sheng. "Jika kita menyerang lokasi persembunyian kesatu, maka tempat
persembunyian yang lain sama sekali tidak bakal mengetahuinya."
"Ooohhh?"
"Ketika aku menemukan persembunyian mereka, cukup satu jurus saja, pasti bisa merenggut
nyawanya, itu cuma urusan sekejap waktu," Liu Xian Sheng berkata dengan hambar.
"Aku bisa menjamin, kedua puluh sembilan orang di dalam dua puluh tujuh tempat
persembunyian ini, sampai menjelang mati juga tidak akan mengeluarkan suara apapun juga,"
katanya. "Jika aku membawa dua puluh sembilan orang, malahan bisa menggegerkan mereka, itu
namanya memukul rumput mengejutkan ular, malahan menjadikan segalanya rusak."
"Masuk akal!"
"Maka aku hanya mau bawa satu orang saja."
"Dua puluh tujuh tempat persembunyian, dua puluh sembilan orang, di antaranya paling sedikit
ada dua tempat persembunyian yang berisi dua orang," kata Liu Xian Sheng.
"Dengan satu melawan dua, biar pun tidak sulit, dengan dua melawan dua, baru sama sekali
tidak meleset."
"Betul."
"Apakah aku perlu membawa satu orang jago paling andal?" tanya Liu Xian Sheng kepada Mu
Rong. "Sudah barang tentu," kata Mu Rong.
"Kau perlu membawa satu jago paling handal, bahkan pasti harus jago paling handal dari yang
paling handal."
Liu Xian Sheng melihat dia, matanya mengandung tawa.
"Anak buah Gong Zi, jagoannya sangat banyak, tapi seorang yang ingin kubawa ini, tidak tahu
apakah Gong Zi betul-betul mau melepaskannya pergi?"
"Siapa yang ingin kau bawa?"
Wajah Mu Rong sepertinya jadi agak tegang, dalam mata Liu Ming Qiu senyumnya makin
kental. "Dia yang perempuan itu," Liu Xian Sheng berkata sambil menunjuk seseorang.
"Yang akan kubawa betul dia yang perempuan itu."
Di samping Mu Rong selalu ada dua orang, dua orang yang memakai cadar biru, yang
mengenakan baju terusan lurus panjang, sekali pun tidak tampak wajah dan bentuknya, tapi bisa
diketahui bahwa mereka perempuan. Mereka selalu membimbing dan mengasuhnya.
Di antara keduanya, jika ada alat pengukur, yang satu agak tinggi, karena lehernya agak
panjang, pinggangnya juga agak panjang.
Yang satunya lagi agak lebih pendek, tapi seperti kelihatannya agak lebih tinggi. Karena kakinya
panjang. Panjang kedua kakinya, hampir meliputi dua pertiga keseluruhan badannya. Pinggangnya ya
halus, ya lemas, ya tinggi.
Yang dimaksud Liu Xian Sheng ialah dia yang perempuan itu.
Mu Rong sepertinya tercengang, juga seperti setiap saat bisa melompat, tapi akhirnya dia
hanya menarik nafas panjang-panjang.
"Kau si buta yang tidak buta ini, kau juga punya cara yang bagus, kau bukan saja punya pikiran
dan otak, malah punya pandangan yang baik," kata Mu Rong.
"Aku memujimu, tapi sedikit pun aku tidak menyukaimu."
"Tahu," senyum tipis Liu Ming Qiu. "Di dunia ini, orang yang menyukaiku memang tidak
banyak." "Mengapa?"
"Karena semua menganggap aku terlalu pintar," kata Liu Ming Qiu. "Orang yang kukenal,
semua orang pintar, jika dia menganggap aku lebih pintar danpadanya, bagaimana dia bisa
menyukaiku?"
Ini sepenuhnya benar.
Seorang pintar, biasanya juga tidak suka orang lain lebih pintar daripadanya. Mu Rong juga
tertawa. "Mujurnya ini bukan yang paling penting, orang mau menyukaimu atau tidak, sama sekali tidak
masalah. Sebab kau berguna," Mu Rong berkata.
"Orang yang betul-betul berguna, meskipun orang lain tidak akan menyukainya, dia tidak bakal
peduli semua itu."
"Benar," kata Liu Xian Sheng. "Aku juga berpikir begitu."
Menyaksikan gadis berkaki panjang, berpinggang ramping dan berbaju panjang lurus itu
menuruni bukit, wajah Mu Rong terus dihiasi senyum gembira, bukan saja gembira, bahkan puas.
Karena dia percaya Liu Ming Qiu adalah orang yang betul-betul berguna, bahkan kali ini dia
tepat dalam memakai or?ang yang benar ini.
"Margaku Su dan orang lain memanggilku Xiao Su (Su kecil)."
"Aku tahu."
"Kau tahu" Bagaimana kau bisa tahu?"
"Masalah yang kutahu, mungkin jauh lebih banyak daripada yang kau bayangkan," kata Liu
Xian Sheng. Sinar bulan seperti perak, ketenangan malam juga seperti perak. Perak tidak ada bahasanya,
juga tidak ada suaranya, hanya bisa menyinarkan cahaya.
Liu Ming Qiu Xian Sheng berjalan di depan, Xiao Su mengikuti dari belakang, mereka
berjalannya tidak cepat, bulan masih tetap di tengah langit, menjelang fajar baru bisa meredup,
waktu itu barulah tepat untuk bergerak.
Mereka diam-diam melalui sepotong jalan, Liu Ming Qiu mendadak berkata: "Apakah sekarang
kau sudah bisa membiarkanku melihat wajahmu"."
"Melihat apa?"
"Melihatmu."
Kata Liu Xian Sheng: 'Yang sekarang bisa kulihat, hanya selembar kain hijau penutup wajah,
dan selembar baju yang lurus membungkus badan."
"Kau masih mau melihat apanya?"
"Melihatmu, orangnya."
Liu Ming Qiu berkata: "Aku tahu kau dan kakak misanmu sama-sama tidak boleh dilihat Mu
Rong, karena dia sudah tidak boleh menerima rangsangan apa pun juga, bagi dia, seorang gadis
muda dan cantik sudah merupakan rangsangan yang mencabut nyawa, apa lagi dua."
Dia mendadak membalik badan, menghadapkan wajah kepada Xiao Su. "Aku bukan Mu Rong,
aku masih dapat menahan. Si mata buta, bukan saja tidak buta, matanya malahan menyala
seperti api obor. "Karena itu sekarang kau harus memperlihatkan diri kepadaku."
Mengapa" Gadis muda yang cantik, mengapa bisa menjadi perangsang pencabut nyawa bagi
Mu Rong" Di hadapannya, mengapa harus menutup wajah mereka" Menutupi bentuk badan
mereka" Di sini apakah masih terkandung suatu rahasia lain yang tidak boleh diketahui orang lain"
Dengan tenang Xiao Su memperhatikan orang buta yang tidak buta dan misterius serta ajaib
ini, kedua bola mata yang terlihat di bawah kain cadar birunya, seperti sepasang batu amber biru,
bening dan tenang dingin.


Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dingin sekali, elok sekali, bersih sekali.
Apakah mata macan tutul juga demikian"
Dia tidak melepas cadar penutup wajahnya malah membuka bajunya, persis seperti seorang
penganut suatu ajaran agama mistis yang paling patuh, lebih baik orang lain menyaksikan
badannya yang telanjang, tapi juga tetap tidak boleh melihat wajahnya.
Karena tubuhnya suci bersih dan tubuhnya sempurna tanpa sesuatu cacat apapun.
Dia memang benar.
Leher dan bahunya, punya garis yang halus dan elok, dadanya penuh berisi dan padat,
pinggangnya halus dan lemas, pahanya bulat dan panjang serta kenyal, kaki dan telapak yang
getas namun indah. Kulitnya berkilau-kilau di bawah sinar bulan.
Dia bertelanjang bulat di hadapan orang buta yang asing ini, sedikit pun tidak ada tanda rasa
malu. Karena badannya sungguh mirip dengan buatan tukang paling terkenal yang mengecor dari
bahan emas murni, yang jika dipamerkan di hadapan siapapun, dapat membanggakan, dan tidak
perlu merasa malu.
Liu Ming Qiu tenang-tenang melihat badan yang sudah hampir mendekati sempurna ini,
sepasang matanya yang lebih banyak putih dari pada hitamnya, dan yang di dalamnya dari dulu
sangat sedikit menunjukkan perasaan, sudah memperlihatkan sedikit pujian, bahkan sampai tidak
tahan mengeluarkan helaan nafas ringan.
"Kau tahu tidak, kau punya sesuatu barang yang tidak dimiliki kebanyakan perempuan lain?"
tanyanya kepada Xiao Su.
"Aku tahu," kata Xiao Su. "Bahkan aku juga tahu kalau yang kumiliki tidak hanya satu."
"Ooohhh?"
"Kupunya badan yang bagus, punya kulit yang bagus, aku juga memiliki semacam daya tarik
yang bisa membuat jantung lelaki berdegup!"
"Kau tahu tidak, apa yang kau miliki ini, semuanya juga senjata?" tanya Liu Ming Qiu.
"Kutahu," Xiao Su menjawab. "Apalagi untuk menghadapi laki-laki, di atas dunia ini, senjata
semacam ini jauh lebih tajam daripada senjata tajam apa pun juga."
Matanya mendadak mengisyaratkan semacam nada penuh senyum sinis.
"Seorang perempuan jika mau memakai pisau dan pedang menghadapi laki-laki, maka
perempuan semacam ini bukan saja sangat buruk wajahnya, tapi sekaligus juga bodohnya bukan
main," kata Xiao Su. "Masa bodoh dengan laki-laki yang mengira hanya dengan uang bisa
menundukkah perempuan manapun."
"Kau sepertinya sangat memahami diri sendiri."
"Aku selalu sangat memahami diriku sendiri, bahkan sebisa mungkin membuat diriku
memahami diri sendiri," kata Xiao Su. "Karena jika seorang perempuan tidak memahami diri
sendiri, maka dia bakal tertipu laki-laki."
Liu Xian Sheng tertawa. Dengan wajah yang sangat lucu dia bertanya: "Karena itu, apakah kau
tahu juga, bagaimana dan dengan cara apa mempergunakan senjata ini sebaik-baiknya?"
"Benar. Ketika aku melakukan serangan mendadak bersamamu, aku pergi begini saja, telanjang
bulat." Seorang lelaki jantan dan kekar dan bersembunyi di tempat rahasia, mendadak melihat seorang
gadis cantik rupawan berkaki panjang, berpinggang halus lemas, yang sekujur tubuhnya
memancarkan daya tarik, mendadak tampil di hadapannya, kau akan memberikan reaksi apa"
Aku tidak tahu apa reaksi orang lain, yang kutahu hanya, jika aku dalam kondisi ini, melihat
perempuan semacam ini, jika ada orang menebas kepalaku, aku tidak akan merasa sakit.
Liu Xian Sheng tertawa lagi.
"Pantas saja Mu Rong berkata, aku adalah orang yang berpandangan jauh, dan aku memang
tidak salah melihatmu. Kau memang tidak membuatku kecewa."
Di bawah panggung tinggi, rakyat yang dalam satu malam tercerai berai dan kehilangan rumah
serta kampung halaman, sekarang ini sudah sedikit lebih gembira dibandingkan tadi, karena di
hadapan mereka tersaji satu mangkuk besar kuah daging sapi yang masih mengepulkan asap,
bahkan tersedia kaldu kental dan mie putih yang ukurannya tiga empat kali lebih tebal daripada
lonjoran emas batangan, bahkan tersaji kuah yang dimasak dengan seekor sapi utuh.
Mereka semua tahu daging sapi dan kuah adalah pemberian orang yang duduk di atas
panggung tinggi itu, akan tetapi mereka sama sekali tidak tahu, dia juga, orang yang membuat
mereka mendadak kehilangan rumah tinggal, hanya dalam satu malam.
Maka mereka semua sangat gembira.
Ada kalanya 'tahu', jadi derita, sebaliknya "tidak tahu' malah gembira.
Karenanya 'sama sekali tidak tahu', apakah juga berarti paling gembira"
Mu Rong di atas panggung tinggi.
Ada orang yang hampir selalu berada di atas panggung tinggi, sehingga kelihatannya selalu
berada di atas awang-awang, tinggi tidak terjangkau, karenanya juga jarang ada orang menanyai:
"Kau dingin tidak?"
Mu Rong tidak dingin, paling tidak sekarang dia tidak dingin, karena saat ini ada sepasang
tangan sedang memijat-mijat urat dan persendian tulangnya.
Sepasang tangan ini adalah tangan yang sangat indah, ada orang bilang sepasang tangan ini
seperti 'bawang daun musim semi', maka pasti orang ini babi, karena di dunia ini bagaimana pun
juga mustahil ada bawang daun yang sebagus ini, tidak peduli musim semi, musim panas, musim
gugur atau musim salju, mustahil bisa ditemukan daun bawang yang begitu ramping, panjang,
indah dan putih bersih.
Pada pergelangan sepasang tangan ini, ada sepotong lengan baju yang tergulung, lengan baju
berwarna biru. Xiao Su ikut pergi bersama Liu Xian Sheng, tapi kakak misannya "Xiu Xiu" masih ada, di
samping Mu Rong. Mu Rong tidak bisa tanpa ada orang di sampingnya.
Betapa lemas dan halus tangan Xiu Xiu itu, jari-jarinya panjang dan kuat, dengan pijatan jarijarinya,
urat kejang jadi mengendur, pembuluh darah juga akan lancar, dan yang pal?ing penting,
suasana hati juga jadi ringan dan santai lemas.
Mu Rong kelihatannya begitu ringan dan lemah mendekati lemas dan lumpuh, tapi dilihat dari
mimik wajahnya, kelihatannya seolah-olah ada sedikit rasa sakit.
Dia merintih di bawah jari jemari yang lemas dan empuk.
"Aku salah." Katakanlah dia bukan sedang merintih, kedengarannya juga: "Sekali ini pasti aku
sudah membuat kesalahan. Aku patut mati, Xiu Xiu, sekarang ini aku cuma menyesali kau yang
belum membunuh aku."
Suaranya nyaris sudah mendekati tangisan meraung-raung, tapi Xiu Xiu malah dengan
semacam nada suara yang sabar dan dingin serta sangat tegar berkata kepadanya.
"Kau tidak salah, juga tidak salah melihat orang, apa pun yang kau lakukan, selalu benar." Dia
memberitahu Mu Rong, "Aku bisa menjamin, rencanamu kali ini, pasti bisa berhasil."
Mu Rong mendadak kempes. Cuma perempuan yang ini, cuma dia.
Siapa dia"
Dia dinamakan Xiu Xiu, bukan Hong Xiu, tapi Lan Xiu.
Sinar bulan seperti perak.
Xiao Su masih seperti tadi bertelanjang bulat berdiri di hadapan si buta yang tidak buta, dia pun
tahu kalau dia itu tidak buta, bukan saja tidak buta, malahan daya pandangnya jauh lebih baik
dibanding dengan kebanyakan orang di dunia ini.
Dia tahu setiap posisi sekujur badannya dari atas sampai ke bawah, bahkan lokasi yang paling
halus pun, tidak bisa luput dari sorot matanya.
Pikiran serupa ini, mendadak membuat dia mengalami semacam rangsangan yang tidak bisa
diterangkannya sendiri.
Mendadak dia merasa dirinya sedang mengkerut, sekujur badan, setiap cun bagian kulitnya.
Sesungguhnya dia mengharapkan terjadi sesuatu yang lain.
Yang disesalkannya, justru tidak terjadi apa-apa, si buta yang tidak buta ini seolah-olah betulbetul
orang buta. Tidak hanya tidak melihat tubuhnya yang bertelanjang bulat, juga tidak melihat
bagaimana sensasi dan respons dirinya.
Bahkan dia seperti sama sekali tidak punya perasaan, dia hanya berkata kepadanya: "Asalkan
kau cukup pandai mempergunakan senjata yang kau miliki, maka aksi kita kali ini, tidak akan
gagal." "Apakah kita mulai sekarang juga?"
"Baiklah," bahkan Liu Xian Sheng sudah membalik badan. "Kita berangkat sekarang."
Sikapnya dingin, sedikit-dikitnya sudah membuat dia agak marah, karena itu diputuskannya
agar si buta ini mendapat sedikit pelajaran.
"Mengapa kita tidak bisa menunggu sebentar lagi?" Xiao Su juga bicara dingin-dingin.
"Tunggu sampai saat menjelang fajar menyingsing."
"Mengapa kita tunggu?"
"Karena setiap orang berpengalaman tentu tahu, saat menjelang fajar menyingsing adalah
saat-paling gelap, juga saat paling lelah bagi orang yang sudah menunggu dalam ketegangan."
Xiao Su sengaja bertanya: "Melakukan serangan mendadak waktu begini, apa lebih besar
kesempatan berhasilnya?"
"Betul."
"Saat menjelang fajar juga gairah nafsu lelaki paling tinggi, aku bahkan bisa membayangkan,
bahkan beberapa orang di antara mereka melakukan masturbasi pada saat itu."
Xiao Su sengaja tertawa, tawa dalam samar dan ragu yang penuh ejekan.
"Aku seorang perempuan yang sangat cantik, aku sering berhubungan dengan sejumlah lelaki
sehat yang normal. Agaknya aku lebih banyak tahu mereka dibandingkan denganmu?"
Kau tidak memahami mereka, karena kau bukan hanya kurang sehat, juga kurang normal, jika
tidak, mengapa kau tidak menunjukkan reaksi apapun menghadapi diriku"
Kata-kata ini memang tidak diucapkan Xiao Su, karena dia yakin, sekali pun tidak
diucapkannya, si buta ini juga mengerti apa yang dimaksudkan.
Tapi dia salah, Liu Xian Sheng bahkan tidak memberikan reaksi apa pun, sampai sepertinya dia
sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.
"Kata-katamu masuk akal," dia malah masih memujinya. "Sangat masuk akal."
"Maka, kenapa kita tidak menunggu sebentar dulu?"
"Kita tidak menunggu."
"Mengapa?"
"Karena jika kita menunggu lagi, aku khawatir bisa melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya
dikerjakan." Liu Xian Sheng sudah membalikkan badan sepenuhnya. "Sebelum bergerak, kita
sebaiknya jangan menghambur-hamburkan tenaga lagi!"
Wajah Xiao Su mendadak memerah. Merah dan merahnya merah sekali, mujurnya Liu Xian
Sheng tidak sempat melihatnya.
Dia cuma membelakanginya.
Akan tetapi hal ini sepertinya juga bukan yang paling utama, dia tidak melihat wajahnya,
karena di hadapan matanya mendadak hanya diselimuti suatu tebaran kegelapan.
Sebidang kegelapan yang hitam pekat, segalanya juga jadi tidak tampak jelas, bahkan dari
tenggorokannya terdengar suara tangis erangan seperti tangis erangan hewan menjelang ajal, dan
wajahnya mendadak kejang, mengerut, memelintir.
Dia bahkan sudah roboh.
Dalam waktu ini, mendadak ada seorang anak kecil yang memakai pakaian merah dan celana
putih, dengan rambut dikuncir menjadi satu menghadap langit di atas kepalanya, entah datang
dari mana, dengan membalikkan tangan men
Pendekar Pemetik Harpa 15 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Istana Pulau Es 20
^