Pendekar Pemetik Harpa 15

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 15


Kau tidak usah kuatir,
aku takkan mencari jalan pendek. Sayang di waktu para cakar
alap-alap itu datang aku kebetulan tidak di rumah, kalau tidak
apapun yang bakal terjadi pasti kulabrak mereka habishabisan,
akan kutentang ayah melakukan tindakan yang
bodoh itu."
"Laki-laki sejati menuntut balas sepuluh tahun belum
terlambat, Ling Suhu berpesan supaya kau bergabung dengan
laskar rakyat Kim-to Cecu, kau harus lekas berkeputusan."
Toan Kiam-ping seka air mata sambil angkat kepala,
katanya: "Aku tidak akan lari. Kelak mungkin aku akan
bergabung dengan Kim-to Cecu, tapi sekarang belum
waktunya."
Toh Ni membujuk lagi, "Siau-ongya jangan kau bertindak
gegabah, sakit hati ini mungkin takkan bisa kau balaskan
sekarang."
"Aku tahu Sudah tentu aku takkan meluruk kesana dan
melabrak mereka sekarang."
"Jadi maksudmu sebetulnya..."
"Siau-ni-cu, kau mau menemani aku pergi ke kota raja?"
"Apa kau ingin masuk jaring sendiri seperti harapan
mereka?" "Aku tidak akan lari, tapi juga tidak akan menyerahkan diri.
Kita menyamar menguntit kereta pesakitan itu, bila ada
kesempatan, berusaha menolong ayah. Dari Tayli sampai kota
849 raja, sedikitnya kereta pesakitan itu akan menempuh sebulan
perjalanan. Kemungkinan besar dapat kita peroleh
kesempatan untuk turun tangan."
"Ada enam jago yang mengawasi secara ketat. Bila usaha
kita gagal, jejakmu malah konangan mereka..."
"Meski gagal juga harus dicoba. Siau-ni-cu, bila kau takut,
aku akan berangkat seorang diri."
"Siau-ongya, selama ini kau tidak memandangku sebagai
orang luar, kepandaian yang kumiliki sekarang juga kau yang
mengajarkan. Meski harus terjun ke lautan golok dan gunung
berapi, Siau-ni-cu takkan mengerutkan alis. Aku hanya
memikirkan dirimu, kata-katamu tadi hanya memandang
rendah aku Siau-nicu."
Terharu Toan Kiam-ping akan kesetiaan kacungnya,
katanya merangkulnya: "Siau-ni-cu, kau memang saudaraku
yang baik. Untuk selanjutuya baik rejeki maupun maut biar
kita hadapi bersama. Tak perlu aku banyak bicara lagi. Tapi
ada satu hal kau harus ingat."
"Silahkan Siau-ongya memberi petunjuk."
Toan Kiam-ping melotot, katanya: "Hal itulah yang akan
kukatakan. Justeru karena orang banyak memanggil ayah
Ongya sehingga hari ini dia ketimpa malang mana boleh kau
masih memanggilku Siau-ongya" Dan lagi selanjutnya kau
bukan kacungku lagi boleh kita saling membahasakan saudara
saja." Untuk pulang ke Tayli dari Jong-san harus menyebrangi Nihay,
tukang perahu juga kerabat keluarga Toan, di atas
perahu Toan Kiam-ping merias diri berdandan dengan bentuk
lain, katanya: "Untung tujuan kita hanya menguntit
rombongan alap-alap itu, jarak tidak boleh terlalu dekat, asal
tidak muka ketemu muka di siang hari, sepanjang perjalanan
ini yakin tidak akan menarik perhatian orang lain," lalu dengan
menghela napas dia menambahkan, "sayang nona Han tidak
850 disini, bila ada dia, kita bisa merubah diri jadi bentuk lain,"
perahu dibawa ke suatu tempat yang sepi dan belukar, Toan
Kiam-ping dan Toh Ni turun disitu, tampak seorang menuntun
dua ekor kuda mendatangi. Orang ini adalah kacung pribadi
Toan Kiam-ping yang lain, bernama Siau-an-cu. Salah satu
kuda itu berbulu putih, yaitu milik Kwik Ing-yang yang
dipinjamkan Toan Kiam-ping. Setelah keluarga mengalami
petaka dan berantakan, kini mendadak melihat kuda putih itu,
karuan hatinya kaget dan senang.
Toh Ni berkata: "Di saat Ling Suhu melabrak musuh, diamdiam
aku suruh Siau-an-cu menuntun kuda itu lari dari pintu
belakang."
"Siau-ni-cu, kalian memang pandai bekerja, aku amat
berterima kasih akan bantuan kalian. Tapi selanjutnya aku ini
seorang pedagang kecil, bila naik kuda putih ini, tentunya
tidak setimpal."
"Kalau bukan seorang ahli, orang biasa takkan tahu bahwa
kuda ini kuda mustika. Asal sepanjang jalan kita hati-hati,
tidak melarikan terlalu cepat, yakin tidak akan menarik
perhatian orang."
Walau Toan Kiam-ping tidak membedal kuda putih, tapi
daya larinya memang jauh lebih pesat dan kuat dari kuda
umumnya. Sebelum magrib, mereka telah meninggalkan Tayli
sejauh empat lima puluhan li, kereta pesakitan itupun telah
mereka susul. Mereka menguntit dari kejauhan dalam jarak
satu li, dari kejauhan tampak yang memegang kendali kereta
adalah Sa Thong-hay yang menyaru jadi kusir, sementara Ciok
Khong-goan bersama ayahnya duduk didalam kereta
pesakitan. Huwan bersaudara menunggang kuda memencar
diri di empat perjuru, sementara Ling Khong-tik juga naik kuda
mengintil tak jauh di belakang rombongan itu.
Diam-diam Toan Kiam-ping menarik napas dingin,
batinnya: "Mereka menjaga seketat itu, merampas kereta
851 secara kekerasan jelas tidak mungkin, terpaksa harus mencari
kesempatan menolong dengan akal."
Untunglah tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kota
kecil. Toan Kiam-ping biarkan rombongan di depan itu masuk
kota, setelah mereka menemukan hotel dan menetap, baru
dia bersama Siau-ni-cu menginap di hotel yang lain. Ayah dan
anak berada disatu tempat, namun jarak mereka seperti di
ujung langit dan di bumi: berhadapan tapi tidak bicara, betapa
pahit getir perasaan Toam Kiam-ping, sungguh harus
dikasihani. Toh Ni seperti tahu maksud hati sang majikan, setelah
makan malam dia berkata: "Mereka hanya pernah bergebrak
dengan Ling Suhu, tiada yang tahu akan diriku yang kacung
ini. Biar aku kesana mencari tahu."
"Baiklah, tapi kau harus hati-hati."
Menjelang tengah malam Toh Ni telah kembali, katanya:
"Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay menjaga Loya tidur
dalam satu kamar, sementara Huwan bersaudara terpencar di
dua kamar di kanan kirinya. Ling Suhu tidur di kamar paling
ujung. Penjagaan sedemikian ketat, bila kita beraksi, mereka
pasti akan menyakiti Loya?"
"Apa kau melihat Ling Suhu?"
"Teraling jendela diam-diam aku ada kontak dengan dia,
namun hanya beherapa patah kata belaka. Dia tetap
menganjurkan kau lari ke tempat jauh, jangan menempuh
bahaya yang tiada artinya. Dia kuatir bila jejakmu konangan
mereka. Lo-ongya akan dibuat sandera untuk mengancam
kau." "Bagaimana tega hatiku meninggalkan ayah, betapapun
besar bahayanya, aku tetap akan menempuhnya."
Dengan hati was-was selama itu telah lewat tanpa kejadian
apa-apa, entah karena Sa Thong-hay dan rombongannya
852 tumplek seluruh perhatiannya untuk menjaga Lo-ongya, atau
mereka tidak menduga bahwa dirinya bakal menguntitnya,
pada hal dalam kota kecil ini hanya ada tiga hotel, mereka toh
tidak mengutus orang untuk memeriksa hotel-hotel yang lain,
apakah ada orang yang patut dicurigai.
Hari kedua baru saja terang tanah, mereka sudah
berangkat menempuh perjalanan.
Diam-diam Toh Ni perhatikan jejak mereka lalu pulang
memberi laporan kepada majikan mudanya: "Mungkin aku
terlalu curiga sehingga aku menaruh prasangka. Ada sesuatu
mau tidak mau menimbulkan rasa curigaku."
"Ada kejadian apa?"
"Pagi-pagi benar rombongan alap-alap itu sudah berangkat
menggusur kereta pesakitan itu, penduduk kota kecil ini
banyak yang belum bangun. Di kota kecil ini ada tiga hotel,
kecuali rombongan mereka, belum ada tamu lain yang
berangkat sepagi ini."
"Lalu apa keanehannya?"
"Setelah rombongan alap-alap itu membawa kereta
pesakitan menempuh perjalanan dijalan raya, aku melihat
seorang penunggang kuda keluar dari kota. Kuda tunggangan
orang itu berlari amat pesat dari kejauhan, kulihat setelah dia
hampir meyusul kereta pesakitan itu, mendadak berhenti
jaraknya kira-kira tetap dalam seratus langkah, seperti yang
kita lakukan kemarin."
"Kau curiga bahwa orang itu juga tengah mengikuti kereta
pesakitan itu?"
"Aku tidak mengharap bantuan orang lain, aku hanya kuatir
orang yang tidak kita ketahui asal-usulnya ini akan tidak
menguntungkan bagi kita."
"Selanjutnya kita harus lebih hati-hati, tak perlu kau
menduga-duga sebelum terbukti."
853 "Bukan aku terlalu curiga, kau tidak tahu, tampang orang
itu siapapun yang melihatnya akan muak, jelas dia bukan
manusia baik-baik."
Sebetulnya Toan Kiam-ping juga banyak curiga, tapi
mendengar penuturan Siau-ni-cu tanpa terasa dia tertawa geli,
katanya: "Manusia tidak boleh dinilai dari tampangnya, kukira
kau memang terlalu banyak curiga, terlalu prasangka. Sudah
jangan berpikir yang bukan-bukan, sarapan dulu, segera
kitapun harus berangkat."
Setelah sarapan pagi, mereka cemplak kuda melanjutkan
perjalanan, kira-kira menjelang tengah hari, dari kejauhan
mereka telah melihat rombongan kereta pesakitan itu,
keadaan seperti kemarin. Sa Thong-hay tetap pegang kendali,
Ciok Khong-goan duduk dalam kereta bersama ayahnya.
Huwan bersaudara terpencar di sisi kereta. Ling Suhu berada
paling belakang, seperti kemarin mereka menguntit dalam
jarak satu li. Tak jauh setelah mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba
didengarnya suara derap tapal kuda di belakang, ada seekor
kuda mencongklang dari belakang. Waktu Toh Ni menoleh,
seketika dia kaget, teriaknya tertawa: "Aneh."
"Apanya yang aneh?"
Toh Ni jalan berendeng dengan dia, katanya lirih: "Orang di
belakang itu adalah tamu yang tadi pagi kukatakan, dia
berangkat satu jam lebih dini, kenapa sekarang berada di
belakang malah?"
Toan Kiam-ping hendak menoleh, orang itupun sudah
mendekat di belakang mereka. Pada saat itulah, kuda
tunggangan Toan Kiam-ping tiba-tiba berjingkrak-jingkrak
sambil meringkik-ringkik. Kalau Toan Kiam-ping tidak mahir
menunggang kuda, tanggung dia sudah terlempar dari
punggung kuda. Tapi kuda tunggangan orang itupun
854 berjingkrak dan bebenger. Mau tidak mau Toan Kiam-ping
heran dibuatnya.
Pada hal dia tahu betul tabiat kuda putih ini tanpa sebab
tak mungkin tiba-tiba dia berjingkrak-jingkrak, pasti ada
sebabnya sehingga dia berjingkrak-jingkrak kesenangan.
Diam-diam tergerak pikiran Toan Kiam-ping: "Layaknya seperti
melihat kawan lama senangnya?" setelah dekat, tampang
penunggang kuda di belakang itupun dia sudah melihat jelas,
mau tidak mau hatinya ikut merasa sebal dan kecewa.
Orang itu kira-kira berusia empat puluhan, mukanya
kuning, memelihara kumis pendek, tampangnya yang jelek
memang amat memuakkan seperti yang dilukiskan Siau-ni-cu.
Tapi lain dengan tampang kuda tunggangannya, bukan saja
gagah tapi juga perkasa, namun bulunya kuning, pelana juga
biasa, berharga murah.
Setelah beradu muka, tak urung Toan Kiam-ping
mentertawai diri sendiri, pikirnya: "Tadi aku menggoda Siauni-
cu, kenapa aku sendiri juga mencurigainya, kuda putih
Ciong Bin-siu sekarang berada di markas Kim-to Cecu yang
berjarak ribuan li, mana mungkin berada disini?" seperti
diketahui kuda tunggangan Kanglam Sianghiap yang laki dan
betina itu berbulu putih mulus, tapi kuda tunggangan laki-laki
setengah umur ini berbulu kuning, maka curiga Toan Kiamping
jelas tidak masuk alasan.
Orang itu mendekati langsung menyapa lebih dulu: "Aneh
ya, kuda kita ini seperti ada jodoh, coba lihat mereka seperti
kenalan lama yang sudah berpisah sekian lama?" suaranya
sumbang dan mengecil seperti suara seorang banci.
"Iya, ya," ucap Toan Kiam-ping, "akupun heran. Saudara
kau she apa?"
"Aku she Khu. Dan kau?"
855 Toan Kiam-ping berpikir: "Kalau dia sengaja menguntit aku
siapa diriku pasti dia sudah tahu," maka sejujurnya dia sebut
nama aslinya. Ingin dia menyaksikan bagaimana reaksinya.
Muka orang itu kaku tidak memperlihatkan perubahan apaapa,
seolab-olah dia tidak kenal siapa sebenarnya Toan Kiamping,
katanya tawar: "Selamat bertemu, Toan-heng, kau mau
kemana?" "Aku suka tamasya menikmati pemandangan alam, maka
seenak dan sesenangku aku pergi kemana saja, jadi tanpa
tujuan pula."
"Agaknya Toan-heng seorang pecinta alam. Sayang Siaute
selalu sibuk dengan pekerjaan, harapanku melulu mencari
sekedar untuk ongkos hidup, tak mungkin menemani saudara
bertamasya. Kudamu dapat lari cepat, boleh silahkan lebih
dulu." "Jangan sungkan," kata orang itu, "aku sih tidak perlu
buru-buru. Em, kebetulan kita bertemu di tengah jalan..."
Tak nyana sebelum dia habis bicara, tiba-tiba Toh Ni
menyela: "Kau tidak perlu buru-buru, kami justru harus lekas
menempuh perjalanan, maaf ya, kami berangkat lebih dulu."
Sengaja mereka menikung ke jalanan kecil untuk
menghindari orang itu, dengan tertawa Toh Ni berkata:
"Tanpa mendengar habis perkataannya, aku sudah menduga
apa yang bakal dia katakan. Dia bilang bertemu di tengah
jalan segala, tujuannya sudah jelas adalah ingin berteman


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kita sepanjang perjalanan. Bila sudah habis
menyatakan maksud hatinya, kurang enak untuk
menampiknya. Karena kuatir dia berbelit-belit, maka buruburu
aku mengajakmu berangkat. Tampangnya yang kuku
pucat seperti mayat hidup kalau tertawa juga tidak bergeming
kulit daging mukanya, suaranyapun sumbang seperti orang
banci, aku jadi merinding dibuatnya."
856 "Sikap dan tutur katanya iiu kukira sengaja dia lakukan
Wajahnya memang kelihatan kaku dan lesu, namun sepasang
bola matanya ternyata sebening kaca dan bercahaya lagi.
Menilai orang matanya lebih dulu, aku yakni orang itu pasti
bukan orang jahat "
"Tadi kau sendiri bilang menilai orang tidak boleh dari
tampangnya, kini melihat sorot matanya kau lantas
berkeyakinan bahwa dia bukan orang jahat, bukankah kaupun
menilainya dan tampangnya?"
"Aku tidak ingin berdebat dengan kau, yang terang kita
sudah tidak campur sama dia, peduli amal dia baik atau
buruk?" padahal dalam hati dia membatin: "Aneh. sorot
matanya seperti pernah kukenal baik. Tapi bila kuutarakan
rasa curigaku, mungkin Siau-ni-cu akan balik mencemooh aku
yang serba curiga pula."
Toh Ni sudah apal jalanan disini, dia tahu tak jauh di
sebelah depan ada sebuah kota kecil, kereta pesakitan dan
rombongan orangnya pasti akan bermalam di kota kecil itu,
kalau tidak mereka harus menempuh perjalanan sejauh empat
puluhan li lagi baru akan tiba di sebuah kota lain yang agak
besar. Maka dia memperhitungkan tepat waktunya, seperti
kemarin, setelah rombongan itu masuk kota dan mendapatkan
sebuah hotel, setengah jam kemudian baru mereka masuk
kota dan menginap di hotel lain. Kota ini sedikit lebih besar
dan ramai dari kota yang semalam mereka menginap, tapi
disini juga cuma ada empat hotel, hotel yang dipilih Siau-ni-cu
terletak tak jauh dari hotel yang di tempati rombongan itu.
Toan Kiam-ping minta sebuah kamar kelas satu kepada
pemilik hotel dia berpesan wanti-wanti supaya merawat dan
memberi makan kudanya yang baik, untuk memperoleh
pelayanan istimewa dia menyogok lebih satu tahil perak.
Harga pangan dan barang di kota ini cukup murah, maka
setahil perak itu cukup besar artinya.
857 Setelah terima uang pemilik hotel tertawa lebar, katanya:
"Tuan tak usah kuatir, akan kusuruh orang khusus
mengurusnya. Kecuali kalian hari ini tiada tamu yang datang
naik kuda," belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar derap
tapal kuda di jalan raya, ternyata seorang tamu menunggang
kuda berhenti di depan hotelnva.
Karuan Toh Ni membelalakkan mata dan melongo sekian
lamanya, ternyata tamu yang datang ini adalah laki-laki yang
dibencinya itu.
Lekas sekali laki-laki yang menyebalkan itu sudah beranjak
masuk, katanya dengan tawa lebar: "Manusia hidup dimana
saja bisa ketemu, tak nyana disini kita bertemu."
Pemilik hotel segera menyambut, katanya: "'Kiranya kalian
teman yang sudah kenal baik, itu lebih baik. Kami masih
menyediakan sebuah kamar kelas satu, kebetulan untuk tuan,
letaknya sebelah kamar Toan-siangkong."
Dengan tawar Toh Ni segera menimbrung: "Baru hari ini di
tengah jalan tadi kami berkenalan."
Tamu yang mengaku she Khu berkata: "Baik kamar itu
berikan kepadaku," setelah membayar rekening kamar, dia
rogoh pula setahil perak, katanya: "Tiam-keh, tolong kau
rawat baik-baik kudaku itu," seperti apa yang dilakukan Toan
Kiam-ping tadi, diapun memberi pesan dan memberi uang
sogok sejumlah yang diberikan Toan Kiam-ping. Kala itu kuda
tunggangan orang itu tengah berhadapan saling gosok
menggosok kepala, sikapnya begitu mesra seperti pasangan
saja. Pemilik hotel tertawa, katanya: "Seperti majikannya, kuda
kalianpun mendapatkan teman juga. Biasanya kuda yang binal
begitu didekati pasti ajak berkelahi, aku yakin kedua ekor
kuda ini akan berkumpul dengan damai, lebih gampang
diurus." 858 Pemilik hotel lalu antar mereka memasuki kamar masingmasing,
kuatir laki-laki sebal ini datang merecoki, maka dia
sengaja berkata kepada pemilik hotel: "Sehari penuh kami
menempuh perjalanan, badan penat, semangat luluh, setelah
makan kami akan tidur. Khu-heng, selamat bertemu besok
pagi," lalu dia masuk kamar serta menutup pintu.
Entah sikap Toh Ni yang kasar itu membawa reaksi, yang
terang laki-laki menyebalkan itu betul-betul tidak mengganggu
mereka lagi. Tak lama setelah makan malam, lapat-lapat Toan
Kiam-ping sudah mendengar dengkur orang di kamar sebelah.
Dengan merendahkan suara Toh Ni berkata: "Betapapun
kita harus hati-hati terhadapnya kukira dia sengaja hendak
memata-matai kita. Bukan mustahil dia pura-pura tidur. Malam
ini kita harus lebih waspada, jangan sampai kecundang tanpa
sadar," lalu dia menambahkan. "Laki memuakkan itu agaknya
menaruh perhatian pada kuda putihmu itu. Heran, kenapa
kedua ekor kuda itu kelihatan begitu mesra."
"Malam nanti kau harus sering memeriksa istal, bukan aku
kuatir dia mencuri kuda kita, tapi harus berjaga-jaga, siapa
tahu cakar alap-alap itu mengenali kuda itu dan kemari
memeriksanya."
Toh Ni mengiakan, segera dia merebahkan diri memupuk
semangat mengendorkan urat tanpa terasa waktu sudah
menunjukkan kentongan ketiga. Toh Ni bangun diam-diam
lalu keluar memeriksa istal. Waktu dia lewat belakang jendela
di kamar sebelah, didengarnya dengkur napasnya masih
bersuara. Diam-diam dia menggeremet maju serta mengintip
kedalam lewat celah-celah, dilihatnya tiada suatu keganjilan
dalam kamar. Hotel kecil seperti ini tiada jaga malam, ginkang Toh Ni
cukup bagus, langkahnya enteng tidak mengeluarkan suara,
tanpa diketahui siapapun dia berada di istal, dilihatnya kedua
kuda itu tidur pulas saling bersender dengan mesranya. Toh Ni
jadi berpikir: "Sungguh aneh, dua binatang sekali bertemu
859 lantas saling jatuh cinta, seperti sepasang kekasih layaknya,"
tanpa menimbulkan suara diam-diam dia tinggalkan istal.
Maksudnya mau kembali ke kamar, tapi tiba-tiba didengarnya
suara "tok, tok, tok" tiga kali ketokan pintu, ada_orang
mengetuk pintu belakang hotel kecil ini.
Timbul rasa heran Toh Ni, pikirnya: "Malam selarut ini, tak
mungkin ada tamu menginap, kalau tamu juga tidak mungkin
lewat pintu belakang, entah siapa orang ini, mungkin ada
gejala-gejala yang kurang benar."
Tengah dia membatin, kacung yang tidur di kamar
belakang dapur telah terjaga bangun, letak pintu belakang
memang berada di sebelah dapur, maka cepat sekali si kacung
sudah membuka pintu sambil menggerutu: "Siapa" Malam
selarut ini main gedor pintu segala?"
"Utusan dari karisidenan, lekas buka pintu," teriak orang
diluar dengan suara kereng.
Karuan si kacung kaget, lekas dia menyalakan obor, lalu
membuka pintu, dilihat sikap dan gerak-geriknya si kacung
kenal baik pengetuk pintu.
Orang itu berkata: "Bawa aku menemui juraganmu, jangan
berisik. Aku tidak ingin membuat kaget para tamu disini."
Kacung itu mengiakan sambil munduk-munduk.
Diam-diam Toh Ni berpikir: "Utusan karisidenan, mungkin
seorang opas. Memangnya tujuannya mencari perkara dengan
Siau-ongya?" lalu dia menunggu setelah si kacung membawa
tamu tak diundang itu memasuki kamar juragannya, lalu diamdiam
dia mendekat untuk mengintip. Sinar lampu tampak
telah dinyalakan didalam kamar, kacung itupun telah keluar
pula. Dengan ginkang Toh-Ni yang tinggi dia gunakan gerakan
menggelantung dia gantol kakinya di atas payon, sementara
tubuhnya jungkir balik mengintip kedalam kamar.
860 Tampak si juragan dengan sikapnya yang gopoh dan gugup
berkata: "Ong-puthau, tengah malam buta kau orang tua
datang kemari entah ada keperluan apa?" dugaan Toh Ni
memang tidak meleset, tamu tak diundang ini memang orang
opas utusan dari karisidenan.
Opas she Ong itu berkata: "Tiada urusan aku takkan
datang malam-malam begini. Terus terang karena suatu
urusan dinas yang cukup penting, aku minta juragan suka
membantu."
Juragan she Thio terkejut, katanya: "Jangan Ong-puthau
berkata demikian, hotelku kecil tapi selamanya tak berani
melanggar aturan..."
"Urusan ini tidak menyangkut dirimu, aku hanya ingin tahu
tentang dua orang tamu yang menginap disini, jangan kau
bikin keributan dan tidak usah gugup."
Dugaan Toh Ni ternyata tepat pula, dua orang yang
dicurigai menurut apa yang dilukiskan opas she Ong kepada
juragan she Thio memang Toan Kiam-ping dengan dirinya.
Sikap juragan Thio tampak gelisah dan tidak tentram,
tanyanya: "Siapakah mereka" Apakah begal besar?"
"Aku juga tidak tahu siapa mereka, kedatanganku ini juga
bukan hendak menangkap mereka."
"Lalu bantuan apa yang harus kulakukan"' tanya juragan
she Thio. "Kacung yang tadi membawaku masuk kemari, apakah dia
setia kepadamu?"
"Dia anak yatim piatu, sejak kecil aku mengasuhnya.
Kusuruh dia ke timur, dia takkan berani ke barat."
"Kulihat kacung cilik iini memang cerdik dan cekatan, kukira
dia tidak akan bikin urusan iini kapiran."
861 Juragan she Thio berkata. "Kedua tamu itu besok pagi-pagi
sudah akan berangkat, tugas apa yang harus diserahkan
kejraida kacung cilik itu?"
"Aku tahu. Tentunya mereka akan berangkat setelah
sampan pagi?"
"Aku tidak berani memastikan. Apakah kau orang tua ingin
menaruh sesuatu dalam makanan mereka?"
"Umpama mereka tidak sarapan pagi juga tidak jadi soal.
Setiap orang bila bangun pagi pasti akan minum teh hangat.
Nah aku diberi sebungkus obat oleh Sa-tayjin, katanya adalah
Soh-kut-sun buatan istana raja, boleh kau seduh didalam air
teh yang kau suguhkan mereka, yakin mereka tidak akan
tahu. Dan lagi kadar obat ini cukup enteng, si peminum tidak
akan seketika kumat, tapi kira-kira sejam kemudian baru akan
terkulai lemas. Kau cukup mencampuri sedikit saja, setelah
minum mereka masih bisa melanjutkan perjalanan. Kejadian
selanjutnya kau boleh tidak usah kuatir. Tapi obat ini boleh
kau sendiri yang mencampurnya didalam air teh, cuma
sebagai juragan jangan kau sendiri yang menyuguh air teh ini,
tapi suruhlah kacungmu melayani permintaan mereka, kalau
berhasil, pasti kalian bakal dapat persen besar."
"Yang kuharapkan hotelku selamat dan tidak berani
mengharapkan persen segala. Urusan sekeci!l ini gampang
dilakukan, tentang rahasia ini si kacung tidak usah diberitahu."
Sampai disini pembicaraan mereka, kebetulan kacung cilik
itu masuk membawa sepoci teh, setelah mengisi secangkir
penuh dia haturkan dulu kepada Opas Ong, katanya: "Kau
orang tua silakan cicipi dulu secangkir teh panas ini."
Opas itu tertawa, katanya: "Memangnya kau anggap aku ini
tamu yang perlu dilayani segala."
"Kau orang tua memang jarang datang, kapan kami dapat
mengharap kehadiran kau orang tua. Semoga kau orang tua
862 tidak menyalahkan kami para hamba ini berlaku kasar dan
kurang hormat."
Opas itu tertawa, katanya: "Bagus, kau memang pandai
bicara." Setelah mencicipi seteguk, tak terasa opas Ong memuji:
"Panas dan wangi, wah sungguh wangi, segar dan teh bagus,"
pelan-pelan dia taruh cangkirnya pula dan siap berdiri hendak
pergi, mendadak dia berseru heran, bentaknya: "Lothio, kau,
Liong-kin-tehmu ini..." sekali jambret dia mencengkram baju
di depan dada juragan Thio.
Karuan juragan she Thio kaget, serunya: "Aku tidak
berdosa terhadap kau orang tua, ada apa dengan Liong-kinteh?"
belum habis dia bicara, cengkraman opas Ong tiba-tiba
mengendor dan "Bluk" kontan dia meloso jatuh tidak sadarkan
diri. Karuan juragan she Thio kaget setengah mati, lama sekali
dia melongo, mulutnya menggumam: "Apakah yang terjadi,
apakah Liong-kin-teh itu yang jadi penyebabnya" Siau-siong-ji,
Siau-siong-ji..." waktu dia menoleh, kacung cilik tadi sudah tak
kelihatan lagi.
Toh Ni yang mencuri dengar dan mengintip diluar jendela
sudah bertindak lebih dulu, diam-diam dia sudah mengeluyur
keluar sana, di gang kecil yang menjurus ke dapur dia
temukan kacung cilik tadi menggeletak di lantai, namun baju
luarnya ternyata diblejeti. Toh Ni menggoncang tubuhnya, tapi
dia tidak bergerak, namun napasnya masih teratur, demikian
pula denyut nadinya masih berjalan seperti biasa. Walau
Kungfu Toh Ni belum mencapai tingkatan yang tinggi, namun
dia tahu bahwa kacung ini tertutuk hiat-to pelemasnya.
Karena kuatir jejaknya konangan si juragan, lekas Toh N i
lari kedalam kamarnya. Toan Kiamping segera tanya: "Kenapa
begini lama baru pulang?"
863 "Kejadian amat aneh..." kata Toh Ni, lalu dia tuturkan apa
yang dilihatnya barusan, akhirnya dia menambahkan:
"Kelihatannya ada seorang kosen dalam hotel ini juga yang
diam-diam membantu kita."
Toan Kiam-ping tersentak sadar, katanya: "Aku sudah tahu
siapa dia. Kau tunggu disini, segera aku mencari orang itu."
Diam-diam dia mengeluyur keluar mendekati jendela kamar
sebelah serta mendongkelnya pula pelan-pelan tanpa
mengeluarkan suara, setelah daun jendela terbuka dia
melompat masuk, hatinya kebat kebit, entah dugaannya betul.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat dia melompat masuk itulah pelita dalam kamar itu
mendadak menyala.
Dilihatnya laki-laki setengah umur yang dipandang
menyebalkan oleh Toh Ni kelihatan duduk bersila di pinggir
ranjang, suaranya sumbang menjengek dingin: "Tengah
malam buta rata, kau main menggerayang di kamarku mau
apa?" Bukan kepalang kikuk dan runyam keadaan Tban Kiamping,
katanya tersendat-sendat: "Maaf, aku, aku kira..."
Baru saja dia mau minta maaf laki-laki bertampang
menyebalkan itu tiba-tiba cekikik geli, katanya: "Toan-toako,
aku sengaja menggodamu, aku tahu kau pasti kemari,"
suaranya yang semula sumbang kini berubah merdu dan enak
didengar. Karuan kaget dan senang Toan Kiam-ping bukan kepalang,
serunya: "Adik Cin, betulkah kau."
"Bagaimana kau bisa meraba akan diriku?"
"Kacung yang menyuguh air teh itu jelas adalah samaran
orang lain, kecuali kau siapa orangnya dalam dunia ini yang
mampu menyaru semirip itu" Pada hal waktu ketemu kau
siang tadi, aku sudah curiga akan dirimu. Soalnya kuda
tungganganmu berbulu lain, sehingga aku bimbang."
864 "Bagaimana kau bisa curiga atas diriku" Memangnya
samaranku ini ada lobang kelemahannya?"
"Samaranmu tiada yang mencurigakan, tapi sorot matamu
secara wajar menampilkan rasa perhatianmu terhadapku, bola
matamu yang jernih dan jeli itu takkan bisa dirubah lagi bila
memandang daku."
Manis mesra hati Han Cin, katanya: "Tak nyana kau seteliti
ini, aku; aku..."
"Kau kenapa?"
Lirih suara Han Cin, "Aku senang, kau tidak memakiku
seperti Siau-ni-cu memakiku laki-laki menyebalkan," tanpa
tetasa dia cekikikan geli sendiri, "sekarang boleh kau panggil
Siau ni-cu kemari."
Siau-ni-cu segera mengiakan dan masuk, katanya: "Siau-nicu
punya mata tapi tidak dapat mengenali orang, harap nona
Han tidak berkecil hati."
"Kali ini pandanganmu tidak setajam Toan-toako," kata Han
Cin tertawa. "Pertama aku tidak perhatikan sorot matamu, kedua kuda
tungganganmu itu yang mengaburkan perhatianku," demikian
ujar Toh Ni. "Sebetulnya kuda tungganganku itu juga kupinjam dari
Ciong-cici."
"Lho, bukankah kuda itu berbulu putih?"
"Kan gampang bulunya itu kusemir dengan warna lain, tapi
kalau kehujanan warna semir itu bisa luntur sendiri."
"O, kau punya semir sebagus itu, lekas kau semir juga kuda
kami supaya tidak dicurigakan orang."
"Tadi sudah kusemir bulu kuda Toan-toako dengan warna
coklat hitam. Baru saja aku kembali dari istal. Sekarang
865 mumpung belum terang tanah, marilah kurias kalian dengan
bentuk lain pula."
Toh Ni teringat sesuatu, tanyanya: "Nona Han, dengan
obat bius kau membius opas she Ong itu, mungkin juragan
hotel ini bisa lapor kepada penguasa setempat, apa kita bisa
menunda waktu dua jam lagi disini?"
"Semuanya sudah kubereskan, memangnya kau perlu
peringatkan lagi?"
"O, jadi kaupun bikin juragan itu pulas juga?"
"Aku menutuk hiat-to penidurnya, kira-kira dua belas jam
lagi baru akan siuman."
Legalah hati Toh Ni, katanya: "Nona Han, kau hendak
merobah aku jadi orang apa?"
"Kembali pada wajah kalian semula."
Toan Kiam-ping kaget, katanya: "Kembali pada wajah
semula" Bukankah jejak kami lebih gampang konangan?"
"Pendapatku justru terbalik. Kau harus tahu, sebetulnya
kau ini pemuda bangsawan, dengan menyamar pedagang
kecil, meski bentuknya cukup menyerupai, tapi sikap dan
tindak tanduk serta tutur katamu tak mungkin dirubah. Bagi
orang Kangouw yang. berpengalaman, sekali pandang sudah
tahu akan kepalsuan dirimu. Lebih baik kau menyamar
pemuda perlente dan keluarga hartawan yang mau ujian ke
kota raja, Siau-ni-cu tetap sebagai kacung pengiringimu.
Bedanya tidak jauh dari keadaan kalian yang asli, maka sikap
dan tutur kata kalian tidak perlu dibuat-buat. Yakin kawanan
cakar alap-alap itu takkan menduga bahwa kalian menyamar
pemuda hartawan yang mau ujian negara. Kalau mereka
curiga pada para pedagang atau golongan lain, yakin tidak
akan curiga pada orang-orang sekolahan."
Toan Kiam-ping maklum dan mengerti, serunya sambil
keplok: "Bagus, akal bagus. Inilah akal bagus dari timbal balik
866 antara isi kosong dan kosong isi. Tapi kami tidak membawa
pakaian untuk keperluan ini."
"Sudah kusiapkan," ucap Han Cin. "Mari kalian coba pas
tidak dengan perawakanmu."
Senang tak terhingga Toan Kiam-ping dibuatnya, katanya:
"Nona Han, kau umpama seorang dewi sakti" Darimana kau
tahu kami bakal ketiban malang, di kala kami memerlukan
tenaga dan pikiranmu, tahu-tahu kau muncul di hadapanku.
Segalanya sudah kau siapkan lagi."
Han Cin tertawa, katanya: "Silahkan ganti pakaian dulu,
setelah salin nanti kuterangkan."
Setelah mendengar ceritanya Toan Kiam-ping menghela
napas, katanya: "Begitu besar perhatian orang banyak
terhadapku, sungguh harus kusesalkan. Tapi nona Han, satu
hal yang paling ingin kuketahui belum kau jelaskan kepadaku."
"Soal apa?"
"Apakah Tan Ciok-sing dan In San sudah tiba di atas
gunung?" "Belum, kami kira, mereka berdua sudah menuju ke kota
raja." "Kenapa merekapun mau ke kota raja?"
"Wi-cui-hi-kiau kawan-kawannya pergi ke kota raja hendak
membunuh Liong Bun-kong pembesar anjing durjana itu.
Mungkin mereka tidak termasuk orang yang diundang, tapi
merekapun punya permusuhan dengan pembesar anjing itu,
kini setelah tahu pembesar anjing itu ada intrik dengan duta
Watsu, tanpa diundang Wi-cui-hi-kiau juga pasti mereka
meluruk ke kota raja, jadi maksud tujuannya seperti Wi-cui-hikiau."
Toan Kiam-ping manggut-manggut, katanya: "Dugaan
kalian pasti tidak salah. Tentang utusan Watsu dan
867 terbunuhnya Ui-yap Tojin, sudah diketahui oleh In San. Satu
hal belum sempat kuberitahu kepadamu, Ui-yap Tojin
terbunuh oleh jago-jago Watsu yang mengiringi Dutanya,
sementara Sia-cin Hwesio terluka parah dan berhasil
meloloskan diri, di tengah jalan aku bersama nona In pernah
bertemu dan menolong Sia-cin Hwesio yang terluka parah itu."
"Kim-to Cecu tidak menyetujui sepak terjang Wi-cui-hi-kiau
yang hendak membunuh Liong Bun-kong dengan cara
demikian, akupun kuatir mereka bakal menemui kesulitan dan
bahaya di kota raja."
"Kuharap sebelum tiba di kota raja sudah bisa menolong
ayah. Tapi, umpama usahaku ini berhasil, aku tetap akan
berangkat ke kota raja. Siau-ni-cu boleh menghantar ayah ke
markas Kim-to Cecu. Nona, masih aku mengharap
bantuanmu."
"Toan-toako, soal bantuan tidak usah kau ucapkan lagi.
Bukan saja Tan Ciok-sing teman baikmu, diapun saudara
angkatku. Bicara terus terang, semula aku ada maksud supaya
Kim-to Cecu mengirimku ke kota raja untuk kerja sama
dengan dia, namun mengingat urusanmu lebih genting, maka
aku mendahulukan ke Tayli. Bila leluasa dan berhasil
menolong ayahmu, kukira tiada halangan kita lanjutkan ke
kota raja."
Sembari bicara Han Cinpun sudah selesai merias mereka,
waktu Toan Kiam-ping berkaca, wajahnya ternyata sudah
berubah lebih ganteng, tak ubahnya pelajar lemah lembut
yang getol membaca, bentuknya jelas jauh berbeda dengan
muka aslinya, tak urung dia memuji: "Nona Han,
kepandaianmu merias orang memang amat menakjubkan,
jangan kata kawanan cakar alap-alap itu, umpama ayahku
sendiri yakin takkan mengenaliku lagi."
Toh Ni tertawa, katanya: "Nona Han, aku kuatir kau bakal
merubahku jadi orang yang menjijikkan, banyak terima kasih
868 akan make upmu yang merubahku menjadi lebih cakap dari
Siau-ni-cu yang sesungguhnya."
Mereka perhitungkan sebelum matahari tenggelam, dengan
kecepatan jalan kereta pesakitan itu, pasti mereka akan
menginap di sebuah kota kecil di depan sana, maka mereka
mendahului singgah di kota kecil ini menunggu kedatangan
mereka. Tak nyana dugaan mereka meleset, rombongan
pesakitan itu ternyata tidak lewat kota kecil ini.
Kuatir mereka menempuh jalan lain, maka Toan Kiam-ping
suruh Toh Ni putar balik menyusuri arah datangnya tadi
memeriksa lebih cermat. Hampir tengah malam baru Tob N i
pulang ke hotel dan memberitahu kepada Toan Kiam-ping:
"Mereka menginap di kota kecil sebelah belakang itu, bukan
menempuh jalan putar lainnya."
Hari kedua mereka memasuki kota yang sudah ditentukan
untuk menginap disini. Tiba-tiba Han Cin berkata: "Kalian
pergi cari hotel lebih dulu, aku akan menyusul dan bekerja
menurut situasi."
Penantian mereka kali ini tidak sia-sia. Hotel yang dicari kali
ini adalah penginapan terbesar dalam kota ini, makan
malampun dipercepat dari waktu biasanya. Kira-kira hampir
petang rombongan kereta pesakitan itupun memasuki kota
dan menginap di hotel besar itu pula.
Semula rombongan kereta pesakitan ini ada 8 orang
termasuk Lo-ongya dan Ling Suhu, tapi kali ini ketambahan
satu orang lagi, yaitu seorang tabib kelilingan yang masih
asing membawa kotak obatnya, dengan muka lesu dia
menginti! di belakang Ciok-Khong-goan dan Sa Thong-hay.
Setiba di halaman hotel Sa dan Ciok berdua membimbing ayah
Toan Kiam-ping turun dari atas kereta, wajah ayah Toan
Kiam-ping tampak pucat dan lusuh, mungkin karena
menempuh perjalanan jauh, sehingga dia tidak tahan dan
jatuh sakit. 869 Toan Kiam-ping mengarti, pikirnya: "Kiranya sakit, tak
heran dua hari ini mereka berjalan amat lambat. Ai, ayah
sudah biasa hidup mewah dilayani, mana kuat menempuh
perjalanan jauh yang menyiksa ini" Aku harus cepat
menolongnya dari kesusahan ini."
Begitu rombongan ini memasuki hotel, Khong-tik lantas
ribut dengan mereka.
Toh Ni mengintip dari celah-celah pintu lalu memberitahu
Toan Kiam-ping: "Kedua pembesar anjing itu membimbing
ayahmu masuk ke kamar seberang yang tengah itu. Em, tabib
itu juga ikut masuk."
Maka terdengar suara gedoran pintu Ling Khong-tik di
kamar seberang, serunya: "Kalian larang aku merawat Toanlosiansing,
apakah aku tidak boleh masuk."
Agaknya Ciok Khong-goan segan bentrok dengan dia,
katanya: "Baiklah, kau masuk boleh masuk. Tapi kau dilarang
dekat-dekat dengan Toan-siansing."
Begitu Ling Khong-tik masuk kedalam kamar suaranya ribut
terdengar semakin keras. Terdengar dia tanya kepada tabib:
"Kau yakin dapat menyembuhkan penyakit Lo-siansing?"
"Terus terang," sahut tabib itu, "aku ini hanyalah tabib
kampungan, penyakit ringan kutanggung tidak akan mati,
kalau penyakit berat, ya serahkan saja kepada Thian yang
maha kuasa."
Ling Khong-tik mendengus, katanya: "Kalau tahu dirimu
tidak mampu, buat apa kau masih berdiri disini?"
Kata si tabib dengan muka meringis: "Bukan aku yang mau
kemari, merekalah menyeretku kemari."
"Ciok-tayjin, menolong jiwa lebih penting, lekaslah kau cari
tabib lain yang lebih pandai."
870 "Di kota sekecil ini kemana mau cari tabib pandai" Yang
diundang paling juga tabib kampungan yang tidak mampu
berbuat apa-apa."
"Tapi bukan mustahil dapat mencari tabib yang lebih
pandai apa salahnya kalau kau undang sekaligus dua tiga
tabib, mumpung belum terlalu malam, kalian masih bisa lari ke
kota karesidenan mengundang tabib dari sana."
Sa Thong-hay tertawa dingin, jengeknya: "Kau ingin kami
menyempatkan salah satu orang untuk cari tabib, kalau terjadi
sesuatu bagaimana" Kau sendiri kenapa tidak mau?"
Bahwa kawanan cakar alap-alap itu tidak mau berusaha,
Ling Khong-tik sendiri juga kuatir bila dirinya pergi mencari
tabib, bukan mustahil mereka main muslihat, di saat dia
kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara kelinting yang
diayun maju mundur, lalu terdengar seorang bersenandung
"Say-hoa-tho Khu Pan-sian, khusus menyembuhkan penyakit
aneh, siapa makan obatku, tanggung sakit hilang sebalpun
lenyap, jangan kuatir raja neraka akan mengundangmu."
Ciok Khong-goan segera menyela sama tengah, katanya
tertawa: "Baru saja kita bicara soal tabib, tabib pandai segera
datang. Orang itu berani mengagulkan diri, mungkin memang
punya kepandaian, baiklah undang dia supaya memeriksa
sakit Toan-losiansing."
"Tabib keliling macam jual kecap, memangnya dia punya
kepandaian apa?" jengek Ling Khong-tik.
"Kalau kau pintar kenapa tidak kau sendiri mengobati. Hm,
tidak ada tabib kau ribut, sekarang ada tabib datang, kau
anggap dia bodoh tidak becus segala. Hehehe, di kampung
sering aku mendengar pameo, tidak ada kuda kerbaupun
boleh ditunggangi, belum tentu di kota ada tabib pandai,
kenapa tidak mengundang tabib kelilingan itu untuk coba
memeriksanya."
871

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski tidak yakin tabib kelilingan ini mampu
menyembuhkan penyakit junjungannya, tapi apa boleh buat,
dari pada tidak diperiksa dan diobati, terpaksa Ling Khong-tik
berkata: "Baiklah, biar dia mencobanya."
Tabib yang datang duluan berkata: "Tabib baru sudah
datang, aku boleh pergi bukan" Terus terang, aku memang
tidak mampu mengobatinya."
Sa Thong-hay segera membentak: "Kau tabib gentong nasi,
enyahlah," lalu dia tarik suara berteriak kepada Huwan Pau
yang berjaga diluar supaya mengundang tabib kelilingan itu.
Mendengar tabib kelilingan berjuluk Say-hoa-tho dan
bernama Khu Pan-sian (Khu setengah dewa), tergerak hati
Toan Kiam-ping yang sembunyi di kamarnya lekas dia
mengintip dari celah pintu. Dilihatnya Huwan Pau membawa
seorang tabib yang membawa kotak obat dan sebatang
pentung masuk kedaiam kamar. Di ujung pentung itu terikat
sebuah kelintingan dengan ronce kain warna warni. Wajah
tabib kelilingan ini jauh berbeda dengan samaran Han Cin
waktu menjadi laki-laki setengah umur yang bertampang
menyebalkan itu. Diam-diam timbul rasa curiga Toan Kiamping,
dalam hati dia menerka bahwa tabib ini adalah samaran
Han Cin. Begitu tabib ini masuk ke kamar mengintil di belakang
Huwan Pau, Sa Thong-hay lantas berkata: "Apa betul kau
punya kepandaian seperti yang kau agulkan sendiri?"
"Menyembuhkan penyakit menghidupkan jiwa adalah
kemah iranku. Tapi aku baru mau turun tangan bila penderita
betul-betul mau percaya padaku, kalau mengundangku tapi
masih juga curiga padaku maka obatku takkan mujarab lagi."
"Jarang kulihat tabib seaneh kau, masa sama-sama
obatnya, kenapa kau yakin bahwa obatmu pasti lebih mujarab
bila kami percava kepadamu?"
872 "Penyakit badan mudah diobati, tapi penyakit batin susah
disembuhkan; Demikian pula keadaan si sakit dengan lahir
batinnya amat besar sangkutnya, bila si sakit percaya akan
pertolongan si tabib baru penyakitnya akan sembuh, dia
besar-benar akan terhindar dari kesulitan."
Mendengar rangkaian kata-kata si tabib ini, Toan Kiam-ping
yang mengintip di kamarnya tergerak pikirannya: "Bukankah
kata-kata ini seperti ditujukan kepadaku?"
"O, ya, memang masuk akal, baik silakan kau periksa.
Toan-siansing ini adalah orang penting, bila penyakitnya
malah parah setelah makan obatmu, kau harus bertanggung
jawab seluruhnya," demikian kata Ciok Khong-goan sambil
menepuk pundak si tabib kelilingan.
Tepukan ini untuk menjajal apakah tabib kelilingan ini
pandai silat atau tidak, tepukan itu tepat pada tulang
pundaknya yang penting, bila tenaga dalam dikerahkan,
tulang pundak akan tertepuk pecah, betapapun tinggi
kepandaian silat seseorang pasti punah dan menjadi orang
cacad. Bila tabib ini pandai main silat, tentu dia tahu bahwa
tepukannya ini mengancam tulang pundaknya, maka dia pasti
berusaha menghindar atau menangkis.
Tabib kelilingan berkata: "Tayjin aku mau menyembuhkan
penyakitnya, tapi kau menggertakku, aku jadi ragu-ragu untuk
menggunakan obatku."
Lenyap rasa curiga Ciok Khong-goan, katanya tergelakgelak:
"Periksalah dengan seksama, kami ada menyediakan
persen, persen untuk yang berhasil tapi juga persen untuk
yang gagal. Bila penyakitnya sembuh, kupersen kau seratus
tahil perak."
"Kalau begitu banyak terima kasih dulu," sahut tabib
kelilingan, baru saja dia menghampiri ayah Toan Kiam-ping
873 yang rebah di atas ranjang, tiba-tiba Sa Thong-hay berseru:
"Tunggu sebentar."
Tabib itu melengak, tanyanya: "Masih ada petunjuk apa
Tayjin?" "Waktu kau memeriksa tentunya tidak suka diganggu
keributan bukan?"
Tabib kelilingan itu melongo, batinnya: "Mungkin
menjajalku lagi" Kalau aku turuti keinginannya, menyuruh
mereka keluar semua, tentunya aku bisa dicurigai," maka
setelah pura-pura berfikir sebentar dia berkata: "Bagi si sakit
memang perlu ketenangan, tapi kalau hanya seorang diri
memeriksa penyakit Lo-siansing ini, aku tak berani tanggung
bila terjadi sesuatu atas dirinya. Lebih baik satu di antara
kalian menemani aku disini."
"Betul, baiklah begitu saja," seru Sa Thong-hay, "nah Ling
Suhu, silakan keluar."
"Kenapa aku yang harus keluar?" teriak Ling Khong-tik.
"Tabib tolong tanya, bukankah orang sendiri yang harus
menjaga si penderita?"
"Biasanya memang demikian," sahut si tabib, "perasaan si
penderita akan lebih tenang kalau dijaga orang yang dekat
padanya." "Nah, dengar tidak, meski aku tidak terhitung sanak
familinya, tapi aku lebih dekat daripada kalian," demikian Ling
Suhu berkata. "Tapi jangan kau lupa, disini bukan di istana, di rumahnya
kau adalah orang kepercayaannya, adalah kewajibanmu untuk
melayani junjungan. Tapi disini, kami yang berkuasa, kami
sebagai pelaksana perintah harus lebih dekat dengan Loongya,
peduli dia membenciku atau tidak, terpaksa dia harus
anggap aku orang dekatnya."
874 Ling Khong-tik naik pitam, serunya: "Kalian sebanyak ini,
memangnya takut aku berkomplot dengan tabib ini menculik
Toan-losiansing?"
"Peduli amat dengan jalan pikiranmu," jengek Sa Thonghay,
"pendek kata silakan kau keluar."
Apa boleh buat, akhirnya Ling Khong-tik melangkah keluar.
Lo-ongya menghela napas, katanya lemah: "Sebetulnya
tidak perlu diperiksa lagi, penyakitku ini takkan bisa
disembuhkan lagi."
"Lo-siansing jangan kuatir, penyakitmu pasti dapat
kusembuhkan," di bawah pengawasan Sa Thong-hay tabib itu
mulai memeriksa nadi.
Rekaan Toan Kiam-ping memang tidak meleset, tabib
keliling ini memang samaran Han Cin. Seperti diketahui Khu Ti
atau ayah angkat Han Cin bukan saja pandai tata rias diapun
pandai ilmu pengobatan, meski Han Cin tidak mewarisi kedua
ilmu ini secara sempurna, tapi kepandaiannya sudah cukup
lumayan dan tinggal menambah pengalaman dalam praktek.
Setelah dia memeriksa urat nadi, diam-diam hatinya amat
kaget, ternyata penyakit Lo-ongya memang cukup parah,
"penyakitnya timbul karena penasaran dan kemarahan yang
tidak terlampias, maklum sejak lama dia hidup dalam
kebesaran dengan gengsi dan pamor yang dijunjung tinggi,
kapan pernah dia mengalami siksa derita sebagai tawanan
yang dihina begini. Umpama dapat meloloskan diri, mungkin
penyakitnya tetap takkan bisa disembuhkan," demikian pikir
Han Cin. "Bagaimana?" tanya Sa Thong-hay dari samping.
"Tuan ini kehilangan kontrol pada dirinya sendiri, sehingga
peredaran darahnya kurang lancar, hawa mengeras dalam
perut sehingga menimbulkan serangan angin luar dan desakan
hawa dalam," lalu dia sebutkan pula beberapa penyebab si
penderita jatuh sakit yang ternyata jitu. Mendengar
875 penjelasannya lancar dan tepat, diam-diam Sa Thong-hay
berpikir: "Agaknya kepandaiannya memang lebih tinggi dari
tabib yang kuundang kemarin," maka dia berkata: "Apa kau
yakin dapat menyembuhkan penyakitnya" Harus berapa hari?"
"Penyakitnya memang tidak ringan, tapi masih ada setitik
harapan, cuma harus berapa hari baru dapat kusembuhkan
sukar kuramalkan. Baiklah kubuka resep obatnya."
"Baik, silakan tabib membuka resepnya dengan baik," kata
Sa Thong-hay. Dari kotak obatnya Han Cin keluarkan alat-alat tulisnya
diletakkan di atas meja, Sa Thong-hay duduk di depannya
secara berhadapan. Dia bantu mengaduk tinta, sementara Han
Cin menunduk memejam mata seperti memikirkan obat.
Setelah tintanya diaduk kental, Sa Thong-hay berkata:
"Sudah tabib pikirkan obatnya yang tepat?"
"Sudah kudapatkan," ujar Han Cin. Mendadak tangannya
menggebrak meja, gebrakan meja ini dia gunakan tenaga
dalam, maka tinta yang diaduknya itu tahu-tahu muncrat dan
menyembur ke muka Sa Tong-hay.
Kejadian amat mendadak, karuan Sa Thong-hay amat
kaget, baru saja mulutnya terpentang dan sempat menjerit
sekali, cepat sekali Han Cin sudah mencengkram urat nadinya.
Segera Ciok Khong-goan sudah menerjang masuk seraya
membentak: "Apa yang kau lakukan?" melihat Sa Thong-hay
dibekuk orang, dia tidak hiraukan temannya, tapi langsung
memburu ke arah ranjang.
Tujuan Han Cin hendak membekuk Sa Thong-hay sebagai
sandera untuk meloloskan diri, tak kira Ciok Khong-goan tidak
hiraukan ancamannya, malah dia sendiri sekarang yang
diancam: "Lekas lepaskan Sa-tayjin, Kalau tidak biar kubunuh
dulu Lo-ongya," demikian bentak Ciok Khong-goan. Belum
876 habis dia bicara, "Bret" kelambu telah ditariknya sobek dan
rontok berhamburan.
Walau tahu Ciok Khong-guan hanya main gertak, namun
mau tidak mau Han Cin kaget juga. Dalam keadaan segenting
ini tak sempat dia banyak pikir, sekali jinjing dia lempar tubuh
Sa Thong-hay ke arah Ciok Khong-goan. Lekas Ciok Khonggoan
lompat menyingkir, terdengar "Wut", cambuk lemas di
pinggang Han Cin sudah terlolos dan menyapu datang dengan
tipu Wi-hong-sau-yap (angin lesus menyapu daun), kedua kaki
Ciok Khong-goan dijadikan sasaran.
Sekenanya Ciok Khong-goan membalikkan tangan, tapi
ujung cambuk tidak kena ditangkap, namun gerakan
tangannya menimbulkan deruan angin yang menyibak cambuk
itu ke samping, namun demikian diapun merasakan tulang
pergelangan tangannya kesakitan, terpaksa dia menyurut
mundur, teriaknya: "Gasak dia..."
Dalam pada itu Sa Thong-hay jatuh terjengkang dengan
kaki tangan di atas, pantatnya kesakitan, bentaknya
merangkak sambil memegang pantat: "Anak kura-kura, berani
kau membokong aku, kalau tidak kugayang kau, aku
bersumpah tidak jadi manusia."
Han Cin kembangkan ilmu cambuknya bertahan di depan
ranjang, tapi sepasang kepalan susah melawan empat tinju,
hanya beberapa jurus keadaannya sudah kepepet dan
terdesak di bawah angin. Terpaksa Han Cin berteriak: "Toantoako,
lekas kemari," belum lenyap suaranya, mendadak
terdengar suara "Blang" jendela ditendang ambrol, Toan
Kiam-pingpun telah mencelat masuk.
"Minggirlah kalian," hardik Toan Kiam-ping, dimana kedua
jarinya terjulur, tiba-tiba mengancam muka Ciok Khong-goan,
bola mata orang menjadi sasaran cakarnya. Ciok-Khong-goan
kira Pangeran raja ini adalah pemuda lemah yang biasa hidup
mewah, betapa tinggi kepandaiannya" Sungguh tak terpikir
olehnya bahwa gerak serangannya ternyata setangkas ini,
877 baru saja daun jendela tertendang ambrol, tahu-tahu
serangan orangpun telah tiba di depan matanya.
Pandangannya menjadi kabur, dilihatnya jari lawan tahu-tahu
sudah hampir menyentuh kelopak matanya.
Serangan ini memaksa lawan untuk menyelamatkan diri
sendiri, bila Toan Kiam-ping menekuk jari dan mencukilnya,
tanggung kedua biji mata Ciok Khong-goau akan dicukil nya
buta, betapapun besar nyali Ciok Khong-goan, sudah tentu
tidak rela matanya buta, lekas dia melompat mundur.
"Ayah, jangan takut," teriak Toan Kiam-ping, "anak datang
menolongmu," menyingkap kelambu dengan sebelah tangan
dia memeluk ayahnya.
Tapi Ciok Khong-goan telah menyerbunya lagi seraya
membentak: "Anak keparat, inilah yang dinamakan di sorga
ada jalan kau tak mau kesana, neraka buntu justru kau
terjang, lebih baik kalian ayah beranak kumpul bersama di
hadapan Giam-lo-ong," mulut memaki sepasang telapak
tangan memukul. Jurus serangan ini dinamakan Ban-liongsiang-
jong-ciang, salah satu jurus yang terliehay dari ilmu
pukulan Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkannya.
Dengan enteng seperti tidak menggunakan tenaga Toan
Kiam-ping menepuk sekali, kekuatan pukulan Ciok Khong-goan
yang dahsyat itu seketika dipunahkan dengan seenaknya saja,
terasa olehnya tenaga lunak lawan ternyata tidak sirna begitu
saja, daya pantulnya masih terus menerjang maju dengan
tenaga lengket yang sangat kuat, sehingga tanpa kuasa dia
berputar satu lingkar baru mampu kendalikan gerak gerik
sendiri, karuan kagetnya bukan main, lekas dia cabut golok
yang terselip di pinggangnya untuk berjaga di depan dada.
Dengan napas memburu Lo-ongya berteriak: "Anak Ping,
apa betul kau yang datang. Ai, kenapa kau menempuh bahaya
sebesar ini" Usiaku sudah lanjut, apa gunanya kau
menolongku. Lekas, jangan hiraukan aku, larilah sendiri.
Keluarga Toan kita tinggal kau seorang yang harus
878 melanjutkan keturunan. Selama gunung tetap menghijau,
jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Dengarkan nasehatku.
lekas lepaskan aku."
"Ayah," kata Toan Kiam-ping, "pejamkan mata dan jangan
saksikan apa yang terjadi. Anak pasti dapat menolongmu,"
dengan sebelah tangannya dia kembangkan
Tay-kim-na-jiu melawan rangsakan golok baja Ciok Khonggoan,
ternyata Ciok Khong-goan tidak mampu mendesak
maju, tapi dalam waktu dekat diapun tak mampu menerjang
keluar. Terdengar Ling Khong-tik menghardik keluar: "Jangan
rintangi aku, mati atau hidup kalian sendiri yang menentukan,"
lalu terdengar suara "Blang", kedengaran seorang telah
dipukulnya roboh, belum lagi langkahnya memasuki kamar,
pukulan jarak jauhnya sudah menerjang ke tubuh Ciok Khonggoan.
Lekas Toan Kiam-ping kempit badan ayahnya terus
menerjang keluar pintu. Han Cin ikut keluar di belakangnya,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena membawa ayahnya yang sedang sakit, Toan Kiam-ping
tidak berani lari kencang dan lompat naik turun, baru saja dia
tiba di pintu belakang hotel itu, dirinya sudah terkejar oleh
kawanan cakar alap-alap. Di belakang pintu ternyata adalah
tegalan yang berumput liar yang cukup luas, cepat sekali
Huwan bersaudara sudah berancang dengan posisi masingmasing,
Toan Kiam-ping terkepung di tengah barisan mereka.
Sa Thong-hay biarkan Ciok Khong-goan melabrak Han Cin,
sementara dia sendiri memberi aba-aba, katanya bergelak
tertawa: "Ling Khong-tik, kami hanya membekuk pelanggar
hukum, kini mereka ayah beranak sudah berada di tangan
kami, terus terang aku tidak ingin mempersulit dirimu. Nah
tahulah diri, lekas menyingkir yang jauh," lalu dia membentak
kepada Toan Kiam-ping: "Kalau kau ingin menyelamatkan jiwa
ayahmu, lekas menyerah."
879 Pada saat itulah, sesosok bayangan orang yang kurus kecil
entah menerobos dari mana tahu-tahu sudah berada di
samping Toan Kiam-ping. Kejut dan girang Toan Kiam-ping
teriaknya: "Siau-ni-cu, kenapa kau masih ada disini" Kau.
lekas kau..."
Ternyata yang menerobos mendadak ini adalah kacungnya
Toh Ni, perawakan Toh Ni memang kurus kecil, perhatian
Huwan bersaudara hanya terpusat pada Toan Kiam-ping,
mimpi juga mereka tidak mengira bahwa pemuda ini sebesar
itu nyalinya, mendadak menerobos masuk kalangan dari
samping mereka.
Toh Ni menukas perkataan Toan Kiam-ping: "Serahkan Loongya
kepadaku."
Di saat Toh Ni menerjang masuk kalangan, kebetulan Ling
Khong-tik juga menerjang datang, Sa Thong-hay membentak:
"Kau tua bangka ini memang tidak tahu diuntung."
Ling Khong-tik juga menghardik: "Meski harus pertaruhkan
jiwa tuaku ini, biar aku adu jiwa dengan kalian," di tengah
gerungannya beruntun dia melontarkan tiga kali pukulan jarak
jauh. Melihat kelakuan orang yang kalap seperti harimau
mengamuk, Sa Thong-hay jadi jeri dan tidak berani
melawannya dengan kekerasan, terpaksa dia terdesak masuk
dalam kalangan barisan Huwan bersaudara.
Toan Kiam-ping yang berada dalam kurungan barisan
sudah tidak banyak pikir lagi, melihat kesempatan baik ini,
segera dia serahkan ayahnya kepada Toh Ni, katanya pilu:
"Saudaraku yang baik, kalau mampu lari berusahalah
meloloskan diri, kalau tidak mampu lolos biar kita gugur
bersama." Tanpa menggendong ayahnya Toan Kiam-ping tidak
menguatirkan apa-apa, dengan tekad untuk gugur bersama,
mendadak dia bersiul panjang dan nyaring, pedang pusakapun
880 telah dilolosnya. Dengan jurus Liu-sing-kan-gwat (meteor
mengejar bulan), ujung pedangnya bergetar menimbulkan
gambaran berlapis-lapis, sekaligus tiga kuntum sinar pedang
berpencar menyerang ketiga jurusan, ke kiri menusuk Hiathay-
hiat di bawah lambung Huwan Liong, ke kanan menusuk
Ji-toh-hiat di dada Huwan Pau dan di tengah menusuk Hian-kihiat
di ulu hati Huwan Hou. Satu jurus mengincar tiga hiat-to
di tiga tubuh musuhnya, hanya Huwan Kiau yang posisinya
agak jauh tidak menjadi sasaran serangan ini. Karuan Huwan
bersaudara amat kaget. Tak pernah mereka bayangkan bahwa
Toan Kiam-ping anak raja yang disangkanya lemah dan
lembut ini memiliki ilmu pedang seliehay dan seganas ini,
namun barisan pedang mereka berempat hakikatnya juga
amat tangguh dan tidak kalah hebatnya, meski serempak
menghadapi serangan balasan yang ampuh, tapi mereka tidak
berusaha secara individu untuk menyelamatkan diri sendiri,
tapi saling bantu dan tolong menolong, sehingga rangsakan
pedang Toan Kiam-ping berhasil dipunahkan, malah Ling
Khong-tik yang hendak menerjang masuk kalanganpun
berhasil dibendung di garis luar.
Ling Khong-tik seperti banteng ketaton, menubruk seraya
mengayun jotosannya merabu gencar ke arah Sa Thong-hay,
tahu-tahu telapak tangannyapun menempiling ke arah Huwan
Kiau yang paling dekat. Pukulannya sungguh seperti kampak
yang mampu membelah gunung dahsyatnya, atau palu godam
yang menghancurkan batu raksasa. Sudah tentu Sa Thonghay
tidak berani melawan, lekas dia menyingkir ke samping
terus menerjang kesana, sehingga Ling Khong-tik mendapat
peluang melangkah satu tindak lebar. Tapi tempilingannya ke
arah Huwan Kiau ternyata dapat dipunahkan oleh tusukan
pedang Huwan Liong.
Untung lwekang Ling Khong-tik sudah cukup tinggi, di saatsaat
kritis itu, begitu merasa ujung pedang mengancam
tangan, lekas dia menarik napas mengempeskan dada dan
perut sehingga tusukan pedang ini tidak mengenai ulu
881 hatinya, namun demikian, dada di bawah teteknya sebelah kiri
tergores luka oleh pedang musuh.
"Blang" ternyata Ling Khong-tik yang berkelit dengan
lompatan menyingkir ini sempat pula menumbuk Huwan Hou
sehingga orang jatuh terguling setombak jauhnya, sayang
karena tumbukan ini sehingga gerakannya sedikit tertunda
sehingga dadanya terluka kulitnya.
Barisan pedang yang rapat dan dapat bekerja sama itu,
karena Huwan Hou tertumbuk jatuh, seketika pecah dan
berantakan, betapa cerdik otak Toh Ni, segera dia menerjang
keluar dari arah yang bobol ini. Disusul Toan Kiam-ping, Han
Cin dan terakhir Ling Khong-tikpun telah lolos dari kepungan
barisan pedang.
Di tengah jalan Han Cin membubuhi obat di luka Ling
Khong-tik, lwekangnya tangguh, dengan bantuan pentung Han
Cin dia masih dapat berlari bagai terbang. Lekas sekali mereka
sudah lari memasuki hutan. Toan Kiam-ping segera berteriak:
"Siau-ni-cu."
Maka didengarnya suara Siau-ni-cu, tapi bukan jawaban
kepada dirinya, tapi berkata kepada majikan tuanya: "Loongya,
coba buka matamu, siapa yang datang. Siau-ni-cu
tidak ngapusi kau bukan?"
Dengan langkah lebar Toan Kiam-ping memburu ke dekat
ayahnya, pelan-pelan Lo-ongya membuka matanya, karuan
dia kejut dan senang, teriaknya keras: "Anak Ping, betul-betul
kaulah. Aku, aku tidak sedang mimpi?"
Toan Kiam-ping berlutut, katanya dengan sesenggukan:
"Anak tidak berbakti, sehingga ayah menderita."
Lo-ongya menggigit jari sendiri, rasanya sakit, jelas ini
bukan dalam mimpi, katanya dengan suara getir: "Terima
kasih pada yang kuasa, kita ayah beranak dapat bertemu lagi.
882 Aku dapat lolos dari cengkraman iblis, meski takkan hidup
lama lagi di dunia fana ini, cukup puas juga hatiku."
"Ayah, jangan ngomong yang tidak baik, kau akan kuat
bertahan hidup."
Ling Khong-tik juga menghampiri dan memberi salam
hormat, melihat darah membasahi pakaiannya, Lo-ongya amat
kaget, tanyanya: "Ling Suhu, kau, kau terluka?"
"Ayah, kali ini Ling Suhu yang nekat menolong anak keluar
dari bahaya."
"Luka seringan ini terhitung apa, sungguh aku amat
menyesal tak mampu menolong Lo-ongya, bicara sejujuraya
kita harus banyak terima kasih kepada tabib Khu ini."
Sorot mata Lo-ongya beralih ke arah Han Cin, Toan Kiamping
sedang bingung cara bagaimana dia harus
memperkenalkan Han Cin kepada ayahnya, tapi ayahnya
sudah berkata: "Aku tahu, diapun mempertaruhkan jiwanya
untuk menolongku. Tapi aku jadi curiga dan ingin tanya
kepadamu."
Han Cin sudah menerka soal apa yang ingin ditanyakan,
katanya: "Apa yang Lopek ingin ketahui?"
"Bahwa Ling Suhu menolongku karena dia mengingat
hubungan kami sebelum ini, tapi kau belum pernah kukenal,
kenapa kaupun rela mengorbankan diri untuk menolongku?"
Toh Ni tiba-tiba tertawa geli, katanya: "Lo-ongya belum
tahu bahwa dia..."
"Dia kenapa?"
"Dia kini sudah termasuk orang kita sendiri."
Maka Han Cin mencopot topinya sehingga rambutnya yang
panjang terurai, katanya: "Siau-Ii Han Cin pernah mendapat
budi pertolongan putramu, aku sedang berusaha membalas
kebaikannya."
883 Toh Ni segera berjongkok dan berbisik-bisik sekian lama di
pinggir telinga Lo-ongya, dia ceritakan bagaimana perkenalan
Toan Kiam-ping dengan Han Cin serta hubungannya sejauh
ini, sudah tentu dia bumbui dengan ceritanya sendiri, secara
tidak langsung dia sudah memberi kisikan kepada majikan
tuanya bahwa kedua muda mudi ini sudah saling jatuh cinta,
Han Cin adalah calon menantunya.
Kaget dan senang Lo-ongya, katanya: "Nona Han, demi
pertolonganmu sehingga aku tidak terhina di cengkraman iblis,
aku amat berterima kasih kepadamu. Tapi masih ada sebuah
permintaanku kepadamu, supaya selanjurnya kau baik-baik
menjaga anak Ping."
Han Cin menunduk tanpa bersuara. Lo-ongya berkata pula:
"Nona Han, sudikah kau menerima permohonanku" Ah, ya,
anak Ping, sepantasnya kau yang melamarnya secara
langsung."
Toan Kiam-ping berdiri, katanya: "Nona Han, aku tahu aku
tidak setimpal jadi jodohmu, tapi sudi kiranya kau memandang
muka ayahku, terimalah..."
Merah muka Han Cin, katanya: "Bukan aku tidak menerima,
sebaliknya aku yang tahu bahwa aku tidak setimpal jadi
pasanganmu. Lo-ongya, aku harus terus terang kepadamu,
aku anak rakyat jelata yang sudah sebatang kara. Selanjutnya
hidupku sebagai perempuan Kangouw yang mungkin selalu
keliaran di dunia persilatan, mungkin tidak cocok dengan
keluarga kalian yang bangsawan."
Lo-ongya batuk-batuk, katanya perlahan: "Jangan berkata
demikian nona Han. Perkataanmu membuatku amat menyesal.
Memang dulu aku kuatir kena perkara, maka aku larang
anakku bergaul dengan orang persilatan. Kini setelah
mengalami pahit getir ini, aku jadi sadar, urusan justru
mencari perkara kepadamu. Kelak kalian suami istri senang
melakukan apa boleh terserah dengan keinginan kalian. Boleh
884 kalian kelana di Kangouw, lakukan perbuatan bajik dan
berantas sebanyak mungkin kaum lalim."
Setelah mendengar penjelasan Lo-ongya, baru Han Cin
mengangguk. Lo-ongya. tertawa tergelak-gelak, katanya: "Nona Han
sudah terima lamaranmu, anak Ping, selanjutnya kau harus
melayaninya baik-baik sebagai istrimu tercinta. Semoga kalian
hidup rukun dan bahagia sampai hari tua, banyak anak
tambah rejeki," di tengah gelak tawanya itu dia mangkat
dengan tenang. Maklum selama ini dia sebagai raja tanpa mahkota yang
dijunjung dan dipandang agung oleh rakyat Tayli, biasanya
hidup senang dan berkecukupan, kapan pernah mengalami
derita dan siksa seburuk ini, kesehatannya semakin memburuk
selama digusur dalam kereta, kini boleh dikata tinggal api
yang sudah kering kehabisan minyak, setelah keinginan
tercapai, maka jiwanyapun melayang.
Toan Kiam-ping menangis gerung-gerung. Han Cin
membujuknya: "Ping-ko, ingatlah pesan ayah, masih banyak
urusan yang harus kita bereskan."
Toan Kiam-ping sadar, lekas dia seka air mata, katanya:
"Ayah berpesan supaya kita lebih banyak memberantas kaum
dorna. Liong Bun-kong bangsat keparat itu adalah pembunuh
ayah tidak langsung, setelah membereskan jenazah ayah, mari
kita ke kota raja."
Dengan berlinang air mata Ling Khong-tik berkata: "Ada
maksud aku membantu apa daya tenaga tidak sampai.
Semoga Kongcu leluasa di kota raja, dengan tangan sendiri
kau penggal kepala musuh supaya arwah Lo-ongya tentram di
alam baka. Ai, tapi..."
"Tapi kenapa?" tanya Toan Kiam-ping melengak.
885 "Perasaanku sekarang serba kontras, ada beberapa patah
kata ingin kusampaikan kepada Kongcu."
"Ling Suhu, kupandang kau adalah angkatan tuaku sendiri,
ada pesan apa boleh kau katakan saja."
"Di samping mengharap kalian sukses dengan menuntut
balas kematian ayah bunda, tapi aku juga kuatir, keluarga
Toan tinggal kau seorang yang harus meneruskan keturunan,
hatiku tidak lega membiarkan kau menempuh bahaya. Coba
pikir pembesar anjing she Liong itu sebagai sekretaris militer
dan merangkap Kiu-bun-te-tok sekelilingnya dijaga jago-jago
kosen yang tidak terhitung jumlahnya. Meski menuntut balas
amat penting artinya, tapi kalian jangan bertindak secara
gegabah." "Nasehat Ling Suhu pasti selalu kuperhatikan," demikian
ucap Toan Kiam-ping.
"Aku punya seorang teman, semula dia tinggal di Gun-bing
dalam keluarga Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun, karena
leluhurnya dulu pernah menjabat pangkat di kota raja,
sekarang masih punya peninggalan disana. Aku tahu
alamatnya di kota raja, menurut apa yang kuketahui dia ada
hubungan juga dengan Bu-limpat-sian, maka boleh setiba di
kota raja kau mengadakan hubungan dengan dia," lalu dia
menulis nama dan alamat di atas secarik kertas dandiberikan
kepada Toan Kiam-ping, tak lupa diapun mencopot sebentuk
cincin dari jari manisnya yang berbentuk aneh warna hijau
bonteng, cincin ini sebagai tanda pengenal.
Dengan bercucuran air mata Toan Kiam-ping memberi
hormat serta menerima cincin itu, sudah tentu tidak lupa dia
menghaturkan banyak terima kasih. Setelah mengubur
jenazah ayahnya, bersama Han Cin dia melanjutkan
perjalanan ke kota raja. Kali ini mereka sama-sama berdandan
sebagai pelajar, anak sekolahan yang mau menempuh ujian di
kota raja. 886

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari itu mereka sampai di kota raja, di waktu memasuki
kota, tampak oleh Toan Kiam-ping Han Cin seperti termenung
memikirkan sesuatu, tanyanya: "Eh, adik Cin, apa yang
sedang kau pikirkan?"
Han Cin menoleh, katanya: "Ping-ko, seharusnya kau tahu
apa yang kupikirkan, semoga setelah kita berada di kota raja,
selekasnya bisa bertemu mereka."
"O, jadi kau merindukan Tan Ciok-sing dan In San?"
"Memangnya kau tidak merindukan mereka" Ping-ko,
tempo hari waktu kau mengantarku ke markas Kim-to Cecu
kau tidak mau tinggal di atas gunung, apakah pada waktu itu
kau sengaja hendak menghindari mereka" Sekarang tentunya
kau tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka?"
Merah muka Toan Kiam-ping, katanya: "Adik Cin, secara
resmi kau kini adalah istriku tercinta, hatiku hanya kuberikan
kepadamu seorang, seperti juga kau ingin selekasnya bertemu
dengan mereka, supaya mereka tahu tentang pernikahan kita.
Kuyakin setelah mereka tahu pasti mereka juga ikut senang."
"Ping-ko aku hanya berkelakar, kenapa kau jadi serius ini"
Sudah tentu aku percaya padamu, semoga merekapun
membawa kabar baik untuk kita, entah sekarang mereka
sudah tiba disini belum?"
000OOO000 Kalau Toan Kiam-ping dan Han Cin merindukan Tan Cioksing
dan In San. Sebaliknya Tan Ciok-sing dan ln San juga
sedang merindukan mereka. Sudah beberapa hari lebih dulu
Tan Ciok-sing dan ln San tiba di kota raja.
In San dilahirkan di Pakkhia, tujuh tahun lamanya dia hidup
di kota raja di masa kecilnya, setelah tujuh tahun ayahnya
baru membawanya pulang ke Tay-tong.
Kenangan masa lalu sukar terlupakan, meski dahulu dia
masih kecil, namun lapat-lapat masih dikenal olehnya dimana
887 letak gedung tempat tinggal kakek luarnya, diapun masih
ingat dimana alamat keluarga Liong, suatu hari dia mencari
tahu, ternyata kakek dan nenek luarnya sudah lama
meninggal. Seorang adik ibunyapun sudah lama meninggalkan
Pakkhia, jadi tiada sanak kadangnya lagi di kota besar ini.
Maka bersama Tan Ciok-sing, In San menyewa sebuah rumah
bobrok yang terletak di belakang taman, letaknya tidak jauh
dari gedung keluarga Liong.
Semasa In San masih di Pakkhia dulu, ibunya belum
menikah pula, tapi Liong Bun-kong sering datang ke rumah
kakeknya, diapun pernah ikut ibunya main-main ke rumah
keluarga Liong dan menginap disana. Maka seluk beluk rumah
keluarga Liong itu sekarang masih hapal diluar kepala.
Sayang malam pertama mereka menyelundup ke rumah
keluarga Liong tidak menemukan bayangan Liong Bun-kong,
bayangan Liong Seng-bu juga tidak kelihatan.
Dari percakapan penjaga malam yang mereka curi dengar
baru diketahui bahwa Liong Bun-kong sedang menghadiri
undangan Duta Watsu yang mengadakan perjamuan dan
ramah tamah, dua hari dia menginap disana. Hari ketiga baru
Duta Watsu itu akan membalas kunjungan mertamu di rumah
keluarga Liong. Seluruh penghuni gedung keluarga Liong
tampak sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk
menyambut kedatangan Duta Watsu itu, karena kemungkinan
Duta Watsu itu akan menginap dua malam disini.
Tentang Liong Seng-bu ternyata sedang keluar entah
kemana dan belum kembali, tapi dari percakapan penjaga
malam itu dapat dipastikan, dalam dua hari ini pasti Liong
Seng-bu akan pulang juga. Di bawah petunjuk In San,
bersama Tan Ciok-sing mereka menyelidiki gedung keluarga
Liong tanpa menemui rintangan apapun, bahwa mereka
pulang pergi tanpa menemui halangan sedikitpun sungguh
diluar dugaan. 888 Setiba di tempat kediaman, Tan Ciok-sing tertawa, katanya:
"Siapa nyana jago-jago pelindung gedung keluarga Liong
semuanya tidak becus, kukira kita bakal kepergok oleh jagojago
kosen mereka."
"Anak buah bangsat tua yang paling lichay adalah Lenghou
Yong. Pernah kau bilang kau pernah bergebrak melawannya."
"Dia ditugaskan menangkap Khu Ti, kebetulan dia kepergok
aku di Ong-gu-san, kepandaian keparat itu memang tidak
lebih asor dari Thi Ciang-hu. Kalau semalam dia ada di gedung
keluarga Liong, mungkin kita takkan leluasa keluar masuk."
"Mungkin bangsat tua she Liong itu menyuruhnya
mengawal selama kepergian ini. Tapi kenapa Huwan
bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay koh tidak
kelihatan."
"Ke enam orang ini kemungkinan diutus pergi ke Tayli."
"Dari mana kau tahu?" "Apa kau tidak ingat pembicaraan
kedua penjaga malam di pinggir gunungan semalam" Waktu
itu mereka sedang membicarakan kenapa Liong Seng-bu
keluar di saat duta-duta Watsu itu bakal berkunjung ke rumah
pamannya."
"Aku hanya dengar akhir pembicaraan mereka. Peronda
yang bertubuh tinggi waktu itu berkata: "Sungguh aku tidak
habis mengerti, kenapa Tit-siauya begitu memandang mereka
sedemikian pentingnya" Peronda bertubuh kurus itu berkata:
"Kukira Tit-siauya sudah tidak sabar menunggu, maka dia
ingin cari tahu sendiri. Maksud Tit-siauya adalah ingin dua hari
lebih cepat memperoleh kabar positip, kau kira dia
memandang kerja mereka yang berjerih payah itu lalu pergi
menyambutnya?" dari pembicaraan ini dapat disimpulkan
bahwa orang yang diutus dan dikata hendak disambut itu
hakikatnya berkedudukan kira-kira sepadan mereka, maka
mereka merasa uring-uringan.
889 Dari membayangkan percakapan kedua peronda itu, ln San
lantas sadar, katanya: "Bukan mustahil yang disambut oleh
bangsat kecil itu adalah Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan
dan Sa Thong-hay berenam."
"Kukira memang demikian."
"'Sebelum itu, mereka membicarakan apa?"
"Kudengar dua patah kata lebih banyak dari kau," ternyata
waktu itu Tan Ciok-sing berjalan di depan, lwekangnya lebih
tinggi juga, maka pendengarannya lebih tajam.
"Soal apa yang dibicarakan?"
"Patah pertama diucapkan si gendut, dia bilang: "Mereka
sudah pergi sebulan lebih selayaknya sudah pulang dari Inlam."
"ln-lam?"
"Si kurus itu lalu berkata: "Mungkin terjadi sesuatu pada
mereka?" Diam-diam In San kaget, "Kalau demikian, buronan yang
hendak ditangkap kawanan cakar alap-alap itu adalah Toantoako."
"Keluarga Toan mendapat junjungan rakyat setempat, mata
kupingnya luas, Kungfu Toan-toako tidak lemah, kukira
kawanan cakar alap-alap itu takkan mudah berhasil. Beberapa
hari lagi bangsat kecil itu toh akan pulang, tiba waktunya kita
pasti dapat memperoleh kabar yang positip juga."
"Benar, setelah bangsat cilik itu pulang baru kita turun
tangan, bangsat tua dan kecil sama-sama diringkus, sebelum
membunuh mereka tak terlampias dendamku."
"Lebih baik di saat bangsat cilik itu pulang, Duta Watsu
itupun berada di rumah keluarga Liong."
890 "Dijaring sekalian sudah tentu memang baik. Tapi itu
berarti lawan yang harus kita hadapi lebih banyak dan
tangguh." "Memangnya aku sudah bertekad untuk berjuang sampai
titik darah terakhir, aku tidak pikir pulang dengan hidup, aku
tahu kaupun sependapat dengan aku. Diundur beberapa hari
juga tidak jadi soal bukan?"
Kedua orang seia sekata. In San berkata tertawa: "Kita bisa
berkumpul beberapa hari lagi, sudah tentu aku amat senang.
Dan lagi, kau belum pernah ke Pakkhia, biarlah aku menunjuk
jalan, beberapa hari ini kita boleh bertamasya seriang
mungkin." "Benar, aku sedang kuatir tidak sempat menikmati daerah
pariwisata di Pakkhia, kini agaknya keinginan bakal terkabul,"
lalu Ciok-sing menambahkan, "Tempat lain tidak dikunjungi
tidak jadi soal, tapi Ban-li-tiang-shia harus," tiba-tiba dilihat
mimik In San guram seperti memikirkan sesuatu, dengan
kaget Ciok-sing bertanya: "Adik San, apa yang sedang kau
pikirkan" Kau tidak senang tamasya di tembok besar?"
"Tidak apa, aku sedang pikir, akupun belum pernah ke
tembok besar, kebetulan bisa kesana bersama kau," ternyata
waktu kecil dia masih berada di Pakkhia, ibunya sering
bertamasya bersama Liong Bun-kong, namun dia tidak pernah
diajak. Sekali ayahnya membawanya pulang ke kampung
halaman, ibunya sedang bertamasya di tembok besar
bersama Liong Bun-kong. Terkenang akan masa lalu, dia lebih
sedih dan kasihan pada ibunya yang tertipu, semakin besar
pula rasa kebenciannya terhadap Liong Bun-kong sehingga
sejak kecil dirinya tidak pernah mengecap cinta sejati seorang
ibu terhadap putrinya.
"Baiklah akan kuatur jadwal bertamasya, tapi tamasya ke
tembok besar akan kuatur pada acara terakhir. Aih, bicara
kurang pantas, setelah tamasya ke tembok besar itu, tidak siaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
891 sialah perjalanan dan tujuan kedatangan kita terakhir kali ini,"
demikian ujar In San rawan.
000OOO000 Ban-li-tiang-shia dibangun mulai dari Kia-kok-koan sampai
San-hay-koan, tembok besar ini berliku dan seperti merambat
di pegunungan sejauh dua belas ribu li, sepanjang itu tak
sedikit terdapat pos-pos penjagaan yang letaknya amat
berbahaya. Ki-yong-koan dan Pat-tat-nia adalah dua di
antaranya. Bagi pelancongan yang datang dari Pakkhia dan
ingin tamasya di tembok besar kebanyakan lewat Pat-tat-nia,
bagi kalangan militer Pat-tat-nia dianggap sebagai pos
terdepan dari Ki-yong-koan yang strategis, tembok besar di
sepanjang pegunungan ini kira-kira sejauh belasan li dari Kiyong-
koan. Tembok besar yang terletak disini merupakan
yang tertinggi dari sepanjang tembok yang dua belas ribu li
itu. Berada di atas Pat-tat-nia akan tampak tembok besar yang
legak legok seperti naga merambat. Sebelum berada di
tembok besar, mereka sudah melewati Ki-yong-koan, letaknya
di utara Lam-gau, dua sisinya diapit gunung tinggi di tengah
merupakan sebuah selat sempit yang menyerupai selokan
lebar. Kala itu adalah permulaan musim semi, kembang
sedang mekar semerbak di tanah pegunungan yang belukar,
seluas mata memandang seperti permadani hijau yang dihiasi
kelompok kembang mekar, alam permai hawa sejuk.
Tangan bergandeng tangan mereka berdua terus menanjak
ke tembok besar yang paling tinggi, dari ketinggian ini mereka
bisa melepas pandang ke empat penjuru, tampak tembok
besar terus menjalar turun ke kaki bukit dan selulup timbul di
atas pegunungan, di arah kota Pakkhia sana, asap tampak
mengepul, lapat-lapat tampak puncak sebuah menara putih di
tengah kepulan asap, itulah puncak menara putih yang berada
di Pak-hay. 892 ln San melihat cuaca, katanya: "Sudah hampir tengah hari,
marilah kita pulang."
"Lho, koh sepagi ini sudah pulang?"
"Kalau kita menunggang kuda milik Kanglam Sianghiap,
menjelang magrib juga belum terlambat. Tapi kini kita
berjalan kaki."
"Pulang lebih dini juga baik, boleh memupuk semangat
untuk mempersiapkan aksi nanti malam."
"Dalam perjalanan pulang nanti, bisa kita lewati beberapa
obyek yang bisa kita nikmati."
Mendengar In San menyinggung kuda putih milik Kanglam
Sianghiap, secara langsung Tan Ciok-sing terkenang akan
Toan Kiam-ping, katanya: "Kuda putih yang dipinjamkan aku
oleh Kwik Ing-yang sudah kutitipkan Toan-toako untuk
dikembalikan. Entah kuda itu sekarang masih berada di
tangannya?"
Sudah tentu mereka tidak tahu, teman yang sedang
mereka rindukan bersama kedua ekor kuda itu kini sedang
berada di pegunungan ini pula.
Ternyata Toan Kiam-ping dan Han Cin juga sudah tiba di
kota raja, mereka sudah kontak dengdn Liong-bun-kiam-khek
Coh Ceng-hun, hari dan waktunya sudah dijanjikan untuk
membunuh pembesar dorna. Merekapun punya tekad yang
sama dengan Tan Ciok-sing, sebelum melaksanakan tugas
bakti ingin mereka tamasya dulu di tembok besar.
In San membawa Tan Ciok-sing pulang lewat jalan lain.
Kira-kira tengah hari, mereka sudah melihat Ki-yong-koan,
yang bertenggci gagah di pegunungan. Tengah berjalan tibatiba
didengarnya suara tang ting yang merdu dan
mengasyikkan, suaranya bak irama musik dewata yang
bergema diangkasa, amat jelas dan lengang "Eh, darimana
893 datangnya suara kecapi," demikian Tan Ciok-sing bersuara
heran. In San tertawa geli, katanya "Ahli musik macammu
ternyata juga terkecoh kali ini, itu bukan suara kecapi."
"Aku tahu itu bukan sutra kecapi, tapi suara dan nadanya
amat mirip."
"Tempat ini dinamakan Sian-khim-sia (selat menabuh
kecapi), gemericik air yang bergema didalam selat
menimbulkan reflek suara yang menyerupai kecapi. Aku tahu
hobimu adalah musik, maka kuajak kau lewat sini supaya
dapat menikmati irama kecapi alam."
Lama Tan Ciok-sing mematung sambil menggendong
tangan menikmati irama kecapi alam yang merdu sehingga
hampir lupa daratan.
Tiba-tiba In San berkata: "Tan-toako, sudikah kau
melakukan sesuatu untukku?"
"Jangan kata sesuatu, sepuluh kali juga aku rela melakukan
untuk dikau."
"Tempat ini bernama Sian-khim-sia, aku pingin mendengar
petikan kecapimu."
"Harpa warisan leluhurku ini, dari Toan Kiam-ping sudah


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikembalikan padaku, sejak itu belum pernah kupakai lagi.
Coba biar kupikir, lagu apa yang pantas kupetik untuk kau?"
Pandangannya nanar ke tempat jauh, lama sekali seperti
mengenang sesuatu, akhirnya dia berkata perlahan: "Toantoako
pernah minta aku memetik Khong-ling-san, karena lagu
ini membawa firasat yang kurang baik, maka tidak pernah aku
mau memetiknya. Sekarang kita tidak perlu kuatir akan segala
pantangan, biarlah kupetik lagu ini."
Khong-ling-san adalah buah karya Hoat Khong yang paling
top menjelang dia menjalani hukuman matinya, musikus
894 genius ini melimpahkan segala perasaan kemanusiaan didalam
buah karyanya ini, entah itu rasa riang gembira, sedih pilu
atau kebahagiaan hidup dan kerawanan hati menjelang mati,
dan itu mencocoki keadaan Tan Ciok-sing sekarang.
In San senang, katanya: "Jadi kau juga dapat memetik
Khong-ling-san yang sejak dahulu sudah putus turunan,
sungguh baik sekali. Mati atau hidup apa bedanya, paling
penting dapat menikmati lagu yang satu ini, sudah tentu aku
tidak peduli segala pantangan segala."
Perlahan dan mengalirkan petikan harpa dari gerakan jari
jemari Tan Ciok-sing, bagian depan Khong-ling-san melukiskan
suasana riang gembira, mengenang betapa senang di kala
bertamasya dengan kawan, bagi pendengaran In San seperti
keasyikan nan mesra antara sepasang kekasih yang sedang
menikmati kebesaran alam nan permai ini, tanpa terasa dia
berdiri pesona, arwah seperti tersedot ke alam bebas yang
memabukkan. Tiba-tiba nada lagu berubah, seperti dari musim
semi dimana kembang tengah mekar semerbak mendadak
musim rontok nan gersangpun telah tiba, suasana menjadi
dalam keadaan hampa dan serba menyedihkan. Bila lagu
dinikmati lebih lanjut, suasana seperti didalam pegunungan
nan liar belukar mendengar pekik orang hutan, isak tangis
seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Sebelum
habis lagu ini dipetik, In San sudah tidak kuasa mengendalikan
emosi, air mata bercucuran.
000OOO000 Suara harpa mengalun bebas di alam pegunungan tersiar
luas terbawa angin, Tan Ciok-sing kira tiada orang lain di
pegunungan ini, tak nyana ada juga orang yang mendengar
petikan harpanya, orang itu adalah Toan Kiam-ping. Walau
tidak jelas, namun dia sudah mulai curiga.
Saat mana Toan Kiam-ping tengah berada di panggung Bok
Kwi-ing menginspeksi pasukan bersama Han Cin, tengah dia
membayangkan betapa gagah perwira patriot perempuan
895 jaman dahulu memimpin pasukannya menggempur penjajah.
Letak panggung ini teraling sebuah lekuk gunung dengan
Sian-khim-sia dimana sekarang Tan Ciok-sing tengah memetik
harpanya. Lwekang Toan Kiam-ping sudah tinggi,
pendengarannyapun jauh lebih tajam dari orang lain,
hembusan angin seperti membawa imbauan musik harpa yang
sayup-sayup sampai.
Melihat Toan Kiam-ping mendadak menghentikan langkah,
seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu, Han Cin
tertegun, tanyanya: "Apa yang sedang kau dengarkan Pingko?"
"Apa kau tidak dengar, seperti ada orang memetik harpa?"
ujar Toan Kiam-ping.
Han Cin tertawa, katanya: "Baru saja kita meninggalkan
Sian-khim-sia, yang kau dengar mungkin gema suara gericik
air yang menyerupai senar-senar harpa itu?"
"Tidak, yang kudengar kali ini yakin adalah petikan senar
harpa tulen. Ah, begitu merdu mengasyikan sekali, mungkin
Tan Ciok-sing sedang memetik harpanya disana."
Maka Han Cin juga pasang kuping, sayang saat mana Tan
Ciok-sing sudah memetik sampai ritme terakhir, suara
harpapun telah berhenti, sudah tentu Han Cin tidak
mendengar apa-apa lagi.
Han Cin tertawa, katanya: "Siang dipikirkan, malam bisa
mimpi, walau sekarang kau tidak dalam mimpi, mungkin
karena kau terlalu merindukan Tan-toako sehingga timbul
kayalan dalam benakmu?"
Toan Kiam-ping masih bimbang, tiba-tiba pikirannya
tergerak, katanya: "Adik Cin, Tan Ciok-sing pernah mendengar
tiupan serulingmu bukan?"
"Benar, kenapa kau tanya hal ini?"
896 "Aku pingin mendengar tiupan serulingmu. Petikan harpa
Tan-toako tak bisa kunikmati, apa bedanya menikmati tiupan
lagu serulingmu."
Han Cin cukup pintar, dia tahu kemana maksud tujuan sang
suami, katanya tertawa: "Kau mengharap Tan Ciok-sing
mendengar serulingku" Semoga tidak akan mengecewakan
dirimu." "Jangan kau anggap meniup seruling untuk Tan Ciok-sing,
tapi untuk aku dengar. Seribu kali mendengar lagu serulingmu
aku juga tidak akan bosan, cuma sayang setelah hari ini
berlalu, mungkin selanjutnya takkan bisa mendengar tiupan
serulingmu lagi."
Gejolak perasaan Han Cin katanya: "Baiklah, kutiup sebuah
lagu untuk dikau," maka seruling batu jade dia keluarkan lalu
pelan-pelan meniupkan lagu yang bernada sentimentil.
Baru saja Tan Ciok-sing memasukkan harpanya ke
kotaknya dan siap-siap meninggalkan dia berdiri
melenggong. "E, eh, apa yang sedang kau pikir Toako" Kenapa
berhenti?" tanya In San.
"Aku seperti mendengar suara seruling. Kalau bukan Kek
Lam-wi pasti Han Cin yang meniup seruling."
In San tertawa, katanya: "Han-cici jauh berada diluar
perbatasan, tanpa sebab mana mungkin bisa berada di kota
raja" Kek Lam-wi adalah salah satu tokoh dari Pat-sian
kemungkinan besar dia bisa datang. Tapi mungkinkah dia
punya waktu senggang untuk tamasya ke tembok besar ini?"
Tan Ciok-sing diam saja, sesaat kemudian baru berkata:
"Dengan seksama kuselami kekuatan nada dasar seruling itu,
kemungkinan besar seruling itu ditiup oleh Han Cin."
"Dapatkah kau mengukur berapa jauh kira-kira tempat
seruling itu berada?"
897 "Kalau tidak salah hanya teraling oleh lekuk gunung itu."
"Aku sih tidak percaya bahwa Han-cici bisa mendadak
berada disini dan meniup serulingnya, tapi kalau kau sudah
menduga demikian, tiada halangannya kita kesana
membuktikan."
Baru saja In San hendak melangkah, tiba-tiba Tan Ciok-sing
bersuara tertahan: "Nanti dulu, ada orang datang."
Lwekang In San tidak setinggi Tan Ciok-sing, suara seruling
yang teraling sebuah lekuk gunung tidak dapat didengarnya,
tapi derap langkah kaki yang agak dekat tentu dapat
ditangkap ketajaman pendengarannya, diapun sudah
mendengar suara orang.
"Tidak benar," tiba-tiba Tan Ciok-sing menggumam sambil
mengerutkan kening.
"Apanya yang tidak benar?" tanya In San melengak.
"Ada empat orang yang mendatangi, suara salah seorang
seperti sudah kukenal."
"Siapa dia?"
"Belum teringat olehku. Eh, lebih tidak benar lagi, di antara
empat orang ini seperti ada orang Watsu."
Selanjutnya mereka tidak bicara, keduanya sama
mendekam mendengarkan suara dari bumi. Kini In San juga
sudah mendengar jelas ada empat orang yang mendatangi,
tapi jarak mereka paling dekat masih satu li jauhnya.
Terdengar oleh Tan Ciok-sing suara yang dikenalnya itu
sedang berkata: "Siau-ongya, itu bukan suara harpa. Tempat
di depan itu bernama Sian-khim-sia, yang kau dengar itu
adalah gemericik air didalam selat itu."
Dengan tertawa In San berbisik di pinggir telinga Tan Cioksing:
"Siau-ongya memang benar Siauongya, tapi Siau-ongya
yang satu ini bukan Siau-ongya yang dulu itu."
898 "Benar sudah tentu bukan Toan-toako. Tadi kudengar Siauongya
ini bicara dua patah kata, entah apa yang dia katakan,
tapi .aku tahu dia menggunakan bahasa Watsu. Beberapa kali
aku pernah bertemu dengan tentara Watsu di luar Gan-bunkoan,
meski tidak paham apa yang dibicarakan, tapi aku dapat
membedakan logat dan bahasa mereka."
Tengah bicara, tiba-tiba tampak seekor burung terbang
lewat di atas kepala mereka, burung ini berbulu putih bagai
salju, tapi kaki dan paruhnya ternyata berwarna merah
menyala. Timbul sifat kekanak-kanakan Tan Ciok-sing,
katanya: "Indah benar burung itu, suara kicauannyapun
merdu. Waktu kecil sering aku menangkap burung untuk
hiburan, sayang sekarang tiada tempo lagi."
"Burung ini dinamakan Soat-li-ang (merah dalam salju),
konon setiap musim rontok pasti akan terbang ke selatan,
musim semi tahun depan baru terbang balik ke utara. Burung
jenis lain suka bergerombol, hanya burung ini yang suka hidup
menyendiri, maka sukar orang menangkap burung jenis ini."
Belum habis percakapan mereka, tiba-tiba langkah orang
banyak itu sudah semakin dekat, jelas tujuannya ke arah
mereka. Mereka diam dan mendengarkan dengan seksama,
terdengar Siau-ongya itu berkata: "Sayang." Lalu disusul suara
yang sudah dikenal Tan Ciok-sing berkata: "Siau-ongya,
agaknya suka burung itu, kenapa tidak bilang sejak tadi"
Kalau kutahu tentu tadi kutembak jatuh. Tapi di pegunungan
ini pasti banyak burung jenis itu, nanti kalau kelihatan lagi,
biar kutembak seekor untuk kau."
Tak lama kemudian, betul juga tampak seekor Soat-li-ang
terbang mendatang. Tan Ciok-sing dan In San masih setengah
li di sebelah depan rombongan empat orang itu, sudah tentu
Soat-li-ang harus terbang lewat di atas kepala mereka dahulu.
Tiba-tiba tergerak akal Tan Ciok-sing, lekas dia mencomot
secuil lempung terus dijentikan, Soat-li-ang kena ditembaknya
899 telak dan jatuh tak berkutik. Lekas In San lari kesana
memungutnya dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya
memuji: "Toako, tembakkanmu sungguh telak dan tepat,
burung ini tidak terluka scdikitpun."
Terdengar Siau-ongya itu tengah berkata pula: "Aneh, baru
saja kudengar kicau burung tadi, pasti teman burung putih
tadi, kenapa tidak kelihatan bayangannya?" sembari bicara dia
mempercepat langkah, lekas sekali rombongan orang itupun
telah tiba di Sian khim-sia. Mereka memang empat orang.
Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya seorang
pemuda berusia enam belasan berpakaian mewah perlente,
tentu dia inilah Pangeran cilik itu, dua lelaki yang berlari di
belakangnya meski berpakaian bangsa Han tapi jelas dari
tampang mereka bahwa kedua orang ini bukan orang Han.
Tapi orang ke empat ternyata cukup mengejutkan hati Tan
Ciok-sing. Ternyata orang ini bukan lain adalah Lenghou Yong,
setengah tahun yang lalu Tan Ciok-sing pernah melabraknya
waktu berada di Cui-hwi-hong tempat kediaman Khu Ti di
puncak Ong-gu-san.
Untung Tan Ciok-sing sudah ganti rupa sehingga Lenghou
Yong tidak mengenali dirinya, namun melihat perawakannya,
dia merasa seperti pernah mengenalnya. Tergerak pikiran
Lenghou Yong, segera dia maju bertanya: "Hay, apakah kalian
yang memetik harpa disini?"
"Tidak. Kami hanya duduk disini menikmati irama kecapi,"
jawab ln San. "Kecapi petikan siapa, mana orangnya?" tanya Lenghou
Yong. In San tertawa katanya: "Petikan kecapi dari air yang
mengalir."
Sementara itu Siau-ongya melihat Soat-Ii-ang yang
terpegang di tangan Tan Ciok-sing, segera dia memburu maju
900 seraya berseru senang: "Oh, ternyata burung ini tertangkap
olehmu, boleh aku melihatnya?"
Setelah pegang dan mengawasi Soat-li-ang yang
diterimanya semakin senang Siau-ongya, senyumnya lebar,
katanya: "Dengan cara apa kau menangkapnya" Sedikitpun
dia tidak terluka."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak tahu bahwa orang adalah
pangeran raja katanya: "Agaknya Kongcu suka pada burung
ini, biarlah kuberikan kepadamu."
"Aku baru mengenal kau, mana boleh menerima
barangmu," ujar Siau-ongya rikuh.
"Hanya seekor burung, kan hanya mainan saja, tak
terhitung apa-apa bukan?"
Betapa riang hati Siau-ongya sampai dia berjingkrakjingkrak,
katanya: "Kau begini baik, siapakah namamu, tinggal
dimana?" Sekenanya Tan Ciok-sing sebutkan sebuah nama palsu,
dikatakan dia di rumah seorang teman, sudah tentu
alamatnyapun ngawur saja, namun nama tempat itu memang
ada diluar kota Pakkhia.
Siau-ongya itu berkata: "Lui-heng, aku ingin bersahabat
dengan kau, tapi ayahku menjagaku amat ketat, hari ini aku
hanya diperbolehkan kelayapan sebentar, mungkin tak bisa
mampir ke rumahmu, lebih baik kau saja yang mencariku?"
Lekas Lenghou Yong dan kedua laki-laki Watsu memberi
kedipan mata kepada Siau-ongya kuatir Siau-ongya yang
masih muda tidak tahu urusan ini, membeber asal-usul
alamatnya kepada orang luar. Bahwa pemuda ini memang
benar seorang pangeran, tapi dia pangeran Watsu.
Kiranya Duta Watsu yang datang secara rahasia ini adalah
paman dari Khan agung yang berkuasa di Watsu sekarang.
Pangeran ini adalah anak bungsunya yang paling disayang.
901 Siau-ongya minta tamasya ke tembok besar, terpaksa
Lenghou Yong ditugaskan sebagai petunjuk jalan, sekaligus
ikut melindunginya, untuk tidak menarik perhatian orang dan
supaya tidak tahu bahwa pemuda itu seorang pangeran, maka
mereka sengaja berpakaian seperti orang Han.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski Siau-ongya ini tidak begitu paham urusan, tapi dia
juga tahu tempat penginapan ayahnya di Pakkhia tidak boleh
sembarangan diketahui dan didatangi orang luar, setelah
berpikir akhirnya dia berkata: "Tahukah kau di kota Pakkhia
ada seorang Liong Bun-kong Liong-tayjin?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya: "Maksud Kongcu
Liong-tayjin dari Kiu-bun-te-tok itu?"
"Betul," ujar Siau-ongya. "Liong-tayjin adalah teman
baikku, boleh kau mencariku di rumahnya. Kalau aku
kebetulan keluar kau ada urusan apa yang ingin bantuanku,
boleh kau minta kepada Liong-tayjin. Kipasku ini kuberikan
kepadamu sebagai tanda kepercayaanku melihat kipasku ini,
yakin apanya permintaan pasti dia senang membantu kau,"
lalu dia keluarkan sebatang kipas, gagangan kipasnya ternyata
terbuat dari batu jade. Di atas kipas ada tulisan dan lukisan
karya Mi-lam-kiong yang terkenal pada dynasti Song dulu.
Liong-bun-kong mendapat hadiah kipas ini dari Baginda, kini
dia .hadiahkan kipas itu kepada Siau-ongya, sekarang Siauongya
memberikan kepada Tan Ciok-sing
Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, batinnya: "Yang
kuhendaki adalah batok kepala Liong Bun-kong." Tapi supaya
Siauw-ongya tidak curiga, dan lagi dia merasa sayang bila
buah karya Mi-lam-kiong yang termashur itu jatuh ke tangan
orang Watsu, maka tanpa sungkan dia menerimanya, katanya
dengan pura-pura kegirangan: "Banyak terima kasih akan
hadiah Kongcu, mana berani aku menginginkan pemintaan
lain" Waktu sudah siang, rumah kami jauh, sebelum petang
sudah harus sampai rumah mohon pamit saja."
902 "Diberi harus membalas kan jamak," ujar Siau-ongya,
"setiba di Pakkhia jangan lupa langsung mencariku, beberapa
hari lagi aku sudah akan pulang," sejak kecil bapaknya
mengundang guru sastra orang Han untuk mengajar
membaca dan menulis bahasa Han, maka logat perkataannya
cukup fasih. Lenghou Yong tiba-tiba tampil ke depan, katanya cengar
cengir: "Kau bocah ini sungguh ketiban rejeki, seekor burung
ditukar barang pusaka, masa depan gemilang masih
menunggumu lagi, hidupmu akan senang berkecukupan.
Sebetulnya kau ini siapa, aku belum tanya kau?"
"Aku yang rendah dengan temanku ini adalah pelajar yang
mau ujian di kota raja."
"Kalau kau mau menghadap Liong-tayjin, mohon sekedar
jabatan segampang membalik tangan, buat apa ikut ujian
segala?" "Kami kaum pelajar yang dikejar adalah kerja yang akan
membawa kami ke masa depan nan jaya. Maaf kami betulbetul
ingin lekas pulang ke Pakkhia, hari ini sudah membuang
banyak waktu untuk tamasya ke tembok besar. pelajaran jadi
terbengkelai."
Tawar perkataan Lenghou Yong: "Lui-kongcu giat dan rajin
belajar, memang harus dipuji. Kelak yakin kau pasti dapat
merebut Conggoan," di mulut dia mengumpak dan memuji,
padahal dalam hati dia sudah berniat berbuat jahat. Sembari
bicara dia maju dua langkah mendekati ke depan Tan Cioksing,
mendadak dia berkata: "Barang apa yang kau gendong
ini?" Yang digendong Tan Ciok-sing adalah harpa warisan
keluarganya itu, disimpan dalam kotak panjang dari kayu,
dengan sikap ketarik Lenghou Yong memberi tekanan
suaranya dengan tepukan tangan, dia kerahkan tenaga dalam
tepukan telapak tangannya ini.
903 Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak membiarkan orang
merusak harpa warisannya" Lekas dia berpura-pura kaget
serta tergopoh ketakutan, tubuhnya limbung ke depan dan
hampir terperosok jatuh. In San lekas memburu maju dengan
laku yang gugup dan memapahnya sehingga kedua orang
gentayangan. Tempat dimana Tan Cok-sing berdiri adalah di pinggir
selokan yang berlumut dan licin, karena pura-pura kaget
langkahnya sengaja dibuat terpeleset sehingga orang lain
tidak menaruh curiga akan tingkah lakunya. Pada hakikatnya
dengan pura-pura terpeleset itu sebetulnya dia telah
mengembangkan gerakan Ih-sing-hoan-wi tingkat tinggi.
Karena tepukannya mengenai tempat kosong, tanpa merasa
kaki Lenghou Yong sendiri juga ikut terpeleset, namun dia
lekas menggunakan Jian-kin-tui sehingga tubuhnya tegak
berdiri pula. Permainan sandiwara Tan Ciok-sing memang
mirip sekali, ternyata Lenghou Yong yang banyak pengalaman
dan luas pengetahuan inipun kena dikelabui, namun hatinya
ragu-ragu: "Bocah ini terpeleset betul-betul atau sengaja
menghindari tepukanku" Mungkinkah dia memiliki Kungfu
tinggi, sengaja ingin membikin aku terpeleset jatuh sendiri?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget dan marah, katanya:
"Kotakku ini ada beberapa jilid buku dengan beberapa keping
uang pecahan, apa kau hendak menggeledah barang milikku"
Tapi aku harus tahu siapa kau sebenarnya, apa kau opas"
Keluarkan surat tugasmu, apa betul kau ada hak memeriksa
aku. Kalau tidak sebagai pelajar mematuhi hukum jangan
dikira kalau kami dapat dihina dan dipermainkan."
Siau-ongya kurang senang katanya: "Lenghou-siansing
kenapa menggertaknya?" lalu dia berpaling dan berkata
kepada Tan Ciok-sing: "Lui-loheng, tidak apa kalian boleh
lekas pergi. Ingat sekembali ke Pakkhia, selekasnya mampir ke
tempatku menginap."
000OOO000 904 Dalam pada itu Toan Kiam-ping dan Han Cin masih berada
di panggung Bok Kwi-ing, cukup lama mereka menunggu, tapi
orang yang ditunggu tidak kunjung tiba.
Han Cin berkata: "Kalau benar Tan-toako berada di Siankhim-
sia, begitu mendengar serulingku, pasti dia menyusul
kemari, Ping-ko, apa kau masih mau menunggunya?"
Toan Kiam-ping jadi bimbang, katanya: "Mungkinkah aku
tadi salah dengar?"
"Kukira kejadian begitu kebetulan jarang terjadi di dunia ini.
Tanpa berjanji mana mungkin Tan-toako berada di tembok
besar seperti kita hari ini."
"Tunggu sebentar, lihat apa itu?" seru Toan Kiam-ping.
Mereka di tempat tinggi, dari atas lihat ke bawah, dilihatnya
di lereng bukit sana bermunculan bayangan beberapa orang,
karuan Han Cin terkejut katanya: "Aneh, waktu kita datang,
tiada seorangpun pelancongan dari mana datangnya orang
sebanyak ini?"
"Langkah orang-orang itu tangkas dan enteng, kukira
semuanya memiliki Kungfu yang baik," demikian kata Toan
Kiamping. "Betul," uiar Han Cin setelah meneliti, "mereka bukan
pelancongan, tapi kawanan wisu yang menyamar."
Pendapat Han Cin menyadarkan Toan Kiam-ping, dilihatnya
orang-orang itu seperti selulup timbul di antara semak rumput
yang tumbuh subur dan tinggi namun mereka hanya bergerak
di daerah itu tiada yang naik ke atas gunung. Pola mereka tak
ubahnya sepasukan ronda yang sedang mondar mandir.
Kini Han Cin melihat lebih jelas dari tempatnya yang tinggi,
katanya: "Ada empat orang datang kesini dari arah Sian-khimsia,
tapi Tan-toako tidak ada di antara mereka."
905 "Ya, empat orang ini bukan manusia sembarangan, coba
lihat..." Demikian kata Toan Kiam-ping sambil menuding kesana.
Tampak kawanan wisu yang sembunyi di semak itu kini
bermunculan seperti memapak kedatangan ke empat orang
itu, Toan dan Han mendekam mendengarkan suara,
didengarnya seorang memanggil "Siau-ongya".
Han Cin terkejut, dengan tertawa dia berbisik di pinggir
telinga Toan Kiam-ping: "Dari mana datang pula seorang Siauongya?"
Terdengar Siau-ongya itu sedang memaki: "Kalian lupa lagi,
sudah kukatakan jangan panggil aku demikian, sebut saja
Kongcu?" Orang itu tersipu-sipu, katanya: "Lapor, lapor, Kongcu,
disini tiada orang luar."
Salah seorang dari empat orang itu lalu berkata: "Di atas
ada orang tidak?"
Mendengar suara orang ini, seketika Han Cin berubah air
mukanya. Toan Kiam-ping bertanya perlahan: "Kau tahu siapa dia?"
"Sekarang belum jelas, tapi suaranya seperti pernah
kukenal entah dimana," kejap lain setelah Han Cin melihat
muka orang itu dia betul-betul kaget, katanya: "Itulah
Lenghou Yong jago kosen nomor satu anak buah Liong Bunkong."
"Lenghou Yong yang pernah bergebrak dengan kau di Onggu-
san dulu itu?"
"Waktu itu hanya Tan-toako yang melabraknya, betapa
tinggi kepandaian Tan-toako diapun terdesak di bawah angin.
Akhirnya aku tampil dengan menyamar sebagai Gi-hu
906 sehingga dia lari ketakutan, walau belum pasti dia dapat
mengenaliku, lebih baik kita lekas menyingkir saja."
Meski mengharap dapat bertemu dengan Tan Ciok-sing,
tapi keadaan cukup mendesak terpaksa Toan Kiam-ping
mengundurkan diri. Kuda mereka makan rumput di tegalan
sana, sekali Toan Kiam-ping bersiul kuda tunggangan itu
segera lari mendatangi, begitu mencemplak ke punggung
kuda mereka putar haluan terus dibedal ke arah yang
berlawanan dari arah datangnya rombongan di bawah sana.
Lenghou Yong tidak melihat wajah mereka, namun dia lihat
dua ekor kuda berlari kencang bagai angin lalu, hanya sekejap
telah lenyap. Adalah Siau-ongya menghela napas, katanya: "Dua ekor
kuda itu sungguh jempolan, di Mongol belum pernah aku
melihat kuda sebagus itu."
"Biar kukejar," kata tenghou Yong.
Poyang Gun-ngo berkata dingin: "Lenghou-siansing, meski
ginkangmu bagus, yakin kau tak akan mampu mengejar kedua
kuda itu?" sebagai jago kosen yang jarang ketemu tandingan
di Watsu, sudah tentu dia merasa sirik kepada Lenghou Yong.
"Kalau begitu, mari silahkan lihat-lihat di sebelah atas," ujar
Lenghou Yong. "O, ya, tadi kau bilang di atas masih ada peninggalan
jaman kuno" Aku tidak pingin merebut kuda orang lain, dikejar
juga belum tentu kecandak. Marilah kita bermain-main di atas
saja." Lenghou Yong mengendorkan langkah, katanya: "Lapor
Siau-ongya peninggalan kuno di atas itu dinamakan panggung
Bok Kwi-ing."
Berubah air muka Siau-ongya, serunya: "Bok Kwi-ing apa"
Apakah pahlawan perempuan bangsa Han kalian di jaman
kuno dulu yang bernama Bok Kwi-ing itu?"
907 "Ya, benar," sela Poyang Gun-ngo, "Bok Kwi-ing adalah
jenderal perempuan dari marga Nyo yang terkenal, konon dulu
pernah memukul hancur Thian-bun-tin pasukan Liau yang
kesohor itu. Bok Kwi-ing disanjung puji sebagai pahlawan
pembela tanah air oleh bangsa Han mereka."
Siau-ongya menarik muka, katanya: "Lenghou-siansing lalu
apa maksudmu hendak membawa kami ke panggung Bok Kwiing?"
Baru sekarang Lenghou Yong sadar, membawa pangeran
kerajaan Watsu ke panggung Bok Kwi-ing adalah merupakan
suatu penghinaan bagi mereka, karuan dia tertawa nyengir
lekas dia minta maaf: "Siau-ongya, agaknya kau tidak suka
pemandangan alam disini, marilah kita pindah ke tembok
besar di sebelah sana."
Toan Kiam-ping dan Han Cin mencongklang kudanya
secepat terbang, sepanjang jalan tidak jarang mereka
mendengar para wisu yang berpakaian preman itu membentak
dan memaki, ada yang kagum melihat kuda mereka, ada pula
yang berniat merampas kuda mereka, tapi mana mereka
mampu merintangi. Cepat sekali mereka sudah tiba di bawah
gunung. Toan Kiam-ping berkata setelah menghela napas:
"Sayang kesempatan bertemu dengan Tan-toako terpaksa
diabaikan."
000OOO000 Dengan membawa kipas pemberian Siau-ongya, dengan
leluasa Tan Ciok-sing berdua turun gunung, para wisu tiada
yang berani mempersulit mereka. Waktu mereka tiba di
Iamping gunung tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda membedal
kencang turun gunung, lapat-lapat kelihatan namun cepat
sekali tinggal dua titik bayangan dan lenyap tanpa bekas.
ln San berseru memuji: "Kuda bagus, kuda putih milik
Kanglam Sianghiap itupun belum tentu lebih unggul dari kedua
ekor kuda itu."
908 Tan Ciok-sing menepekur sesaat lamanya, katanya
kemudian: "Mungkin kedua kuda itulah milik Kanglam
Sianghiap."
"Kau tetap mengira Toan-toako dan Han-cici yang
menunggang kedua kuda itu?"
"Aku memang agak curiga. Tiupan seruling orang itu
memang mirip sekali dengan gaya tiupan seruling nona Han,"
"Pandanganku memang kurang tajam, tapi dapat kulihat
jeias bahwa kedua ekor kuda tadi bukan berwarna putih."
Karena ragu-ragu akhirnya Tan Ciok-sing tertawa getir
katanya: "Apa benar mereka toh kita tidak bisa membuktikan.
Biarlah buat apa susah-susah memikir mereka."
Untung mereka jarang ketemu orang, walau tidak berani
mengembangkan ginkang, namun langkah mereka jauh lebih
pesat dari orang biasa berlari, sebelum matahari terbenam
mereka sudah kembali ke rumah sewa di kota Pakkhia. Rumah
di tengah kebun ini sudah setengah bobrok tidak diurus dan
lama tidak di tempati, jauh dari bangunan rumah-rumah lain,
maka dalam rumah mereka lebih leluasa bicara.
"Tan-toako," kata In San, "menurut dugaanmu, siapakah
Siau-ongya itu?"
"Memangnya perlu dijelaskan lagi. Jago nomor satu dari
bangsat tua she Liong itu rela menjadi kacung penunjuk
jalannya, jelas ada sangkut pautnya dengan Duta rahasia
Watsu itu. Bukan mustahil dia putera dari Duta rahasia itu."
"Menurut hematmu, apakah Lenghou Yong sudah menduga


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan dirimu?"
"Dari kejadian tadi, kukira dia memang sudah menaruh
curiga, tapi belum tentu dia yakin akan diriku."
"Jelasnya mereka sudah menaruh curiga maka penjagaan
malam ini tentu keras sekali. Anak buah Duta rahasia itu
909 mampu membunuh Ui-yap Tojin, tentu tidak sedikit jago
kosen di antara mereka."
"Betul, busu Watsu yang mengikuti Siau-ongya itu
kepandaiannya jelas tidak lebih rendah dari Lenghou Yong.
Adik San, aku tahu malam nanti bakal menghadapi mara
bahaya lebih besar, namun meski tahu di atas gunung ada
harimau, kita justru akan terjang ke atas gunung, mumpung
Duta rahasia Watsu berada di rumah keluarga Liong, aku
sudah bertekad untuk meluruk gunung harimau itu."
Tiba-tiba In San mengusulkan: "Kau memiliki kipas
pemberian Siau-ongya, bukankah dengan kipas ini kau bisa
mohon menghadap kepada Liong Bun-kong lalu cari
kesempatan membunuhnya?"
"Cara ini kukira kurang baik, pertama Lenghou Yong sudah
menaruh curiga pada kita, permohonanku menemui Liong
Bun-kong belum tentu bisa terlaksana dan itu berarti kita
masuk perangkap sendiri. Kedua, aku tidak sudi menggunakan
barang pemberian orang lain demi keuntungan pribadiku
sendiri." In San melenggong, katanya:
"Apa kau sudah anggap Siau-ongya itu sebagai kawan"
Kalau dugaanmu tidak meleset, ayahnya adalah Duta rahasia
itu, bukankah kita adalah musuh ayahnya."
"Ayahnya sudah tentu adalah musuh kita. Tapi pemuda
berusia belasan tahun itu belum tentu sebagai musuh, paling
tidak sekarang masih belum. Kawan ada banyak macam, Siauongya
yang satu ini tentunya berbeda dengan kaum pendekar
kita, tapi bila dia mau memandangku sebagai kawan, meski
hanya karena memburu kesenangannya, akupun harus
membalasnya setulus hati, dengan tegas menggaris bawahi
antara dia dengan ayahnya. Bukankah kita berpedoman
kebenaran dan keadilan, jelas antara hitam dan putih."
"Komentarmu memang agak mirip analisa Ciu-pepek (Kimto
Cecu). Baiklah, teorimu yang serba benar dan adil itu, jelas
910 aku tidak mampu mendebatmu, malam nanti bila aku ketemu
Siau-ongya itu, aku tidak akan membunuhnya."
"Bila kau menyinggung Kim-to Cecu, aku jadi amat
menyesal, aku sudah berada diluar Gan-bun-koan, tapi tiada
jodoh untuk menemuinya."
"Gerakan Jit-sian ke kota raja kali ini, yakin Kim-to Cecu
pasti juga sudah mendapat kabar, dia pasti mengutus orang
kemari." "Satu hal lagi yang membuatku menyesal, tadi kehilangan
kesempatan untuk bertemu dengan Toan-toako dan nona
Han." " "Agaknya rasa curigamu belum juga padam" Mungkin
hanya angan-anganmu saja bahwa Toan-toako dan Han-cici
berada di kota raja. Tapi Jit-sian jelas pasti datang, mungkin
sudah tiba sebelum kita sampai disini. Sayang kita tidak bisa
mengadakan kontak."
"Akupun merindukan mereka, terutama Kek Lam-wi yang
pandai meniup seruling. Tapi kupikir sebelum gerakan kita
dilakukan, ada baiknya kita tidak bertemu dengan mereka.
Setelah malam nanti, bila kita beruntung masih hidup, barulah
nanti kita cari mereka."
Dasar berotak encer, semula In San masih melenggong,
tapi cepat sekali dia sudah paham maksudnya, katanya:
"Betul, jikalau aksi kita berhasil itu berarti Jit-sian dan lain-lain
tidak perlu banyak berkorban," tak tertahan air matanya
berlinang saking haru, katanya pula: "Tan-toako, kau sungguh
baik." Tan Ciok-sing menyeka air matanya, kata
Seruling Samber Nyawa 15 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 12
^