Durjana Dan Ksatria 2

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 2


tindakan Nyo Yam itu pasti
ada maksud tertentu, tapi di depan kedua murid keponakan ia
kena di-tutuk orang, biarpun orang yang mengerjainya ini
adalah kemenakan sendiri, tetap dirasakan malu dan juga
gusar. Maka sambil berteriak segera ia menerobos keluar
melalui jendela.
Dengan tindakannya tadi, Nyo Yam yakin Song Peng-ki dan
Oh Lian-kui pasti tidak akan ikut tersangkut perkara lagi, maka
dapat ditinggal pergi tanpa kuatir.
Dugaannya memang tepat, setelah suasana tenang
kembali, tidak lama kemudian dua penjaga yang tidak tahu
apa yang terjadi coba melongok mereka
Meski Peng-ki dan Lian kui juga tertutuk dan belum dapat
bergerak, namun sekarang mereka sudah dapat bicara. Kedua
anak buah Bin Sing-liong juga bukan orang bodoh, segera
mereka tahu Peng-ki berdua tertutuk hiat to kelumpuhannya,
mereka saling pandang tanpa berdaya.
Peng-ki berlagak malu, katanya, "Ai, sungguh runyam,
sama sekali kami tidak mampu membantu kesukaran
Toasuheng, sebaliknya malah kena dikerjai bangsat cilik itu.
Bagaimana dengan bangsat cilik itu, apakah kalian dapat
membekuknya?"
"Kami pun harus merasa malu, sudah banyak dirobohkan
tetap tidak dapat merintangi bangsat cilik itu, malahan
majikan kami pun diculik olehnya," tutur kedua penjaga itu.
Mereka mengira Peng-ki berdua sudah lebih dulu tertutuk
sehingga tidak tahu diculiknya Bin Sing-liong.
Maka Peng-ki menjawab, "Syukurlah Sukoh kami sudah
mengejar ke sana, mungkin akan dapat menyelamatkan
Toasuheng. Dan bagaimana dengan majikan muda kalian?"
"Majikan muda kemi juga tertutuk hiat-tonya oleh bangsat
cilik itu, saat ini dia belum lagi sadar," tutur penjaga itu. "Kami
pun tidak mampu membuka hiat-tonya dan sebenarnya ingin
..." Bicara sampai di sini, tanpa terasa kedua orang itu saling
pandang dengan menyengir.
Kiranya mereka bermaksud minta tolong Peng-ki berdua
untuk membuka hiat-to majikan mudanya yang tertutuk,
sekarang melihat Peng-ki berdua juga mengalami musibah
yang sama, dengan sendirinya mereka urung minta tolong.
Namun Peng-ki berdua tahu maksud mereka, katanya,
"Mungkin dalam waktu tidak lama hiat-to kami akan lancar
dengan sendiri. Tapi bila kalian dapat menolong dan kami bisa
bergerak lebih cepat, mungkin kami pun dapat menolong Binsutit."
"Tapi . . . bagaimana caranya?" kata kedua penjaga.
"Bagaimana caranya dapat kuajari kalian," kata Peng-ki.
Benar juga, setelah diberi petunjuk dan dicoba, hiat-to
Peng-ki yang tertutuk segera lancar kembali. Lalu Peng-ki
membuka juga hiat to Oh Lian-kui.
Dalam pada itu centeng keluarga Bin telah membawa
datang Bin Ting-kau yang tidak bisa berkutik itu.
Setelah diperiksa, Peng-ki tahu Ting-kau ditutuk dengan
Liok-yang-jiu oleh Nyo Yam, pikirnya, "Rupanya Nyo-sute
sengaja memberi jasa baik kepada kami, bila dia
menggunakan cara menutuk lain tentu kami tidak berdaya."
Maka dengan gampang saja dapatlah ia membuka hiat to
Bin Ting kau yang tertutuk. Dengan sendirinya anak muda itu
sangat berterima kasih. Lantaran gerak-geriknya masih kaku,
terhadap anak buahnya yang tidak becus itu ia pun kehilangan
kepercayaan, terpaksa ia memberitahukan tempat tinggal Nyo
Bok kepada Peng-ki dan minta bantuan kedua Su-siok itu lekas
menyampaikan berita kepada kakek gurunya itu.
Mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa bangsat cilik yang
menyerangnya tak lain tak-bukan adalah putra kakek gurunya,
bahkan juga ingin mencari tempat tinggal sang kakek guru.
---ooo0dw0ooo---
Sementara itu cuaca sudah gelap, bulan sudah menongol di
ufuk timur dengan cahayanya yang terang.
Namun perasaan Nyo Yam justru tertutup oleh bayangan
gelap. Ia mempunyai Soh-kut-san. Bin Sing-liong juga takkan
pengaruhi ginkangnya yang tinggi. Namun Bin Sing-liong
sendiri ditambah botol Soh-kut-san yang kecil itu justru
membuat tekanan berat bagi perasaannya.
Terpikir olehnya, "Jika apa yang dikatakan Bin Sing-liong
betul, bukankah ayahku menjadi lebih ganas dan keji daripada
bibi yang berjuluk Kwan-im bertangan pedas. Padahal ayah
pernah berkata padaku, lantaran menghindari pencarian
musuh, maka beliau terpaksa menjadi jago pengawal istana.
"Tapi bila apa yang dikatakan Bin Sing-liong itu benar, itu
berarti ayah memang sengaja hendak menjadi budak setia
raja bangsa asing ini. Sungguh aku tidak percaya bahwa ayah
adalah manusia serendah ini, sampai darah-daging sendiri
juga tidak diakui lagi dan akan dicelakai"
"Apakah bibi orang baik atau orang buruk, yang jelas ayah
sendiri utang budi atas mendidik dan membesarkannya, mana
boleh ayah menyuruh muridnya mengerjai kakak Se-kiat
dengan Soh-kut-san, bahkan dengan cara yang sama aku pun
hendak dikerjai juga."
Seperti kata pribahasa, seganas-ganasnya harimau juga
tidak makan anak sendiri, sungguh Nyo Yam tidak percaya
ayah kandungnya itu bermaksud keji terhadapnya.
Akan tetapi intrik ayahnya yang keji itu didengarnya
langsung dari mulut murid ayahnya, hal ini membuatnya mautak-
mau percaya juga beberapa bagian. Karena itu ia ingin
menemui ayahnya, ingin menguji orang tua sendiri. Untuk
menemui ayahnya ia peria mencari jalan melalui Bin Singliong.
Inilah yang menjadi alasannya mengapa dia
"meyelamatkan" Bin Sing-liong.
Begitulah ia membuka kantung kulit itu di tepi kolam dan
membebaskan Bin Sing-liong serta membuka hiat-to yang
ditutuknya tadi.
Sing-liong seperti habis mimpi buruk, dengan mata
terbelalak ia pandang Nyo Yam.
"Engkau mungkin terkejut, Bin-taijin?" sapa Nyo Yam
dengan tertawa. 'Engkau masih kenal diriku?"
'Siapa kau ini" Tempat apakah ini?" tanya Sing-liong.
"Apa yang baru saja terjadi, rasanya tidak sampai kau
lupakan sama sekali," ujar Nyo Yam. "Aku inilah orang yang
menyelamatkan dirimu dari tangan Loa-jiu kwan-im. Engkau
kan penduduk kota ini, lihat gardu pemandangan di tepi kolam
itu, masa tempat ini tidak kau kenal lagi" Eh, Bin-taijin, jangan
takut, sekarang engkau sudah bebas dari bahaya."
Dengan sendirinya Bin Sing-liong masih kenal dia, sesudah
menenangkan diri, Umpama pun dikenalnya. Yang tidak habis
dimengerti adalah mengapa orang yang asing baginya ini mau
menolongnya" Kalau menolongnya kenapa meski menutuk
hiai-to dan memasukkannya ke dalam kantung dan dibawa ke
sini" Dengan penuh rasa curiga terpaksa ia mengucapkan terima
kasih kepada Nyo Yam, katanya, "Terima kasih atas budi
pertolonganmu, dan entah bagaimana keadaan di rumahku
tadi?" "Aku pun tidak tahu," jawab Nyo Yam. "Cuma menurut
perkiraanku, meski Sukohmu berjuluk Kwan-im bertangan
pedas, yang dibencinya cuma dirimu saja, kukira dia tidak
akan membikin susah anggota keluargamu."
"Walaupun kegitu, hatiku tetap tidak tentram karena tidak
berada di rumah," ucap Sing liong.
"Apakah engkau menyesal caraku memaksamu
meninggalkan rumah?"
"Ah, mana kuberani. Cuma ada satu hal tidak jelas bagiku,
untuk itu ingin kuminta penjelasanmu."
"Silakan bicara," kata Nyo Yam.
"Bila perempuan jahat itu bukan tandingan Anda, kenapa
Aada berbalik menghindari dia?" tanya Siug liong.
"Hah, kukira engkau tidak cuma ingin tahu hal ini saja,
tentu masih banyak tanda tanya lain Umpamanya mengapa
kututuk hiat-tomu dan memasukanmu ke dalam kantung kulit"
Dari mana kutahu hari ini engkau ada kesulitan. lalu datang ke
rumahmu untuk menolong mu" Kenapa pula hanya dirimu saja
yang kutolong dan tidak menolong sekalian anakmu dan
sebadainya, begitu bukan?"
Yang sedang dikuaiirkan Bin Sing-liong memang cuma
keselamatan anaknya, maka cepat ia menjawab, "Betul, pada
waktu perempuan jahat itu melabrakku dapat kudengar suara
jeritan di luar, rasanya seperti terjadi sesuatu atas diri
putraku. Bilamana Anda tahu apa yang terjadi, mohon
memberi penjelasan."
"Akan kuberitahukan semuanya, dan yang pertama hendak
kukatakan adalah engkau salah tindak," kata Nyo i am.
Sing-liong terkejut, "Masa Anda menganggap ada sesuatu
perbuatanku yang tidak benar?"
"Engkau setia kepada guru, setia kepada kerajaan, engkau
orang yang memenuhi kewajiban, caramu bekerja sangat
baik." kata Nyo Yam. "Yang kumaksudkan bukan berbuat
salah melainkan dugaanmu yang salah. Mengapa kausangka
Loa-jiu kwan-im bukan tandinganku" Bukankah engkau terlalu
menilai rendah kepada Sukohmu?"
Hati Sing-liong agak lega, pikirnya, "Dari nada ucapannya,
bilamana dia bukan jago istana yang baru datang tentu
adalah sahabat Suhu."
Maka ia menjawab, "Kutahu Sukoh berjuluk Loa-jiu-kwanim
dan pasti bukan cuma bernama kosong belaka. Tapi kungfu
Anda terlebih hebat daripadanya, meski cuma kulihat satu
jurus saja, namun melulu satu jurus pun engkau sudah
mengungguli dia, kuyakin pandanganku pasti tidak keliru."
Diam diam Nyo Yam merasa geli, katanya dengan tertawa,
"Terima kasih atas penghargaanmu kepadaku. Tapi hendak
kukatakan terus terang padamu, bilamana pertarungan
berlanjut lebih lama, meski aku tidak bakalan kalah, untuk
menangkan dia juga tidak mudah-Satu jurus seranganku tadi
hanya berhasil secara kebetulan sehingga dapat
menyelamatkanmu dari keganasannya. Bahwa aku segera
kabur pula dengan membawa dirimu adalah karena dia juga
membawa begundalnya."
"Apa kaumaksudkan kedua Suteku itu?" tanya Sing liong.
Nyo Yam menjawab, "Song dan Oh berdua sangat ingin
menjadi wakil Cungpiauthau Cin-wan-piaukiok, untuk itu
diperlukan dukunganmu, mustahil mereka berani tidak setia
kepadamu. Mereka hanya takut kepada Sukoh kalian, kalau
dibilang sekomplotan dengan Sukohmu rasanya mereka belum
memenuhi syarat. Apalagi cuma mereka berdua, biarpun
benar mereka membela Loa-jiu-kwan-im juga tidak perlu
kutakuti,"
Diam-diam Bin Sing-liong merasa heran mengapa
sedemikian jelas orang mengetahui urusan yang diaturnya"
Tapi dasar manusia licik yang suka mengukur orang lain
dengan diri sendiri, disangkanya kedua Sutenya juga serupa
dirinya, melulu mengutamakan kepentingan pribadi, pihak
mana yang menguntungkan, ke sana pula akan mendoyong.
Sebab itulah ia pun tidak sangsi lagi setelah diberi penjelasan
oleh Nyo Yam. "Habis siapa pula yang kau maksudkan sebagai komplotan
perernpuan tua?" tanya Sing liong kemudian
"Masa tidak dapat kau terka" jawab Nyo Yam dengan
tertawa. "Orang ini tidak boleh tidak harus membantu
Sukohmu, seharusnya dapat kau duga siapa dia?"
"Jika Anda saja merasa perlu menghindari dia. rasanya
kepandaiannya pasti berada di atas Sukoh kami," kata Singliong.
"Memang betul," ujar Nyo Yam.
Sing-liong menjadi tambah sangsi, katanya, "Apakah
mungkin Han Wi-bu" Namun rasanya Han Wi-bu tidak nanti
berani bertindak demikian."
"Tentu saja bukan dia," kata Nyo Yam. "Kungfu orang ini
justru lebih tinggi lagi daripada Han Wi-bu."
"Wah, tidak dapat kuterka," kata Sing-liong.
"Dia bukan lain daripada putra Sukoh-mu sendiri," tutur Nyo
Yam dengan tertawa.
Sing liong melenjak. katanya, "Masa Ce Se kiat sudah
berada di kotaraja?"
"Orang yang menutuk hiat-to anakmu ialah dia," kata Nyo
Yam. "Mereka ibu dan anak sekaligus mendatangi rumahmu."
Baru sekarang Sing liong tahu duduknya perkara, pikirnya,
"Pantas anak Kau tidak sempat bersuara sama sekali dan kena
dikerjai orang, kiranya perbuatan bocah she Ce itu.
Jika Utti Keng saja gentar kepada bocah itu, dengan
sendirinya kungfunya lebih tinggi daripada ibunya.
Karena itu ia tidak sangsi lagi terhadap bualan Nyo Yam.
Segera Nyo Yam menyambung, "Aku bukan tandingan Ce
Se-kiat, terpaksa sebelum dia muncul lekas kubawa lari dirimu.
Dalam keadaan terburu-buru tidak sempat kuberi penjelasan
kepadamu, pula kuatir engkau berteriak, terpaksa kututuk
dirimu, untuk itu harap engkau jangan marah."
Penjelasannya cukup beralasan, tentu saja Bin Sing-liong
tidak berani marah kepadanya, sebaliknya dia mengucapkan
terima kasih pula.
"Sekarang mereka ibu dan anak mungkin sudah
meninggalkan rumahmu, tapi segala urusan akan lebih baik
bila berlaku hati-hati, engkau tidak terburu-buru pulang
bukan?" tanya Nyo Yam.
Betapapun hati Bin Sing-liong masih kebat kebit, mana dia
berani menyerempet bahaya, katanya, "Betul, sementara ini
jangan pulang dulu. Dan entah Anda hendak menuju ke
mana?" "Engkau ingin ke mina, boleh ku pergi bersamamu," jawab
Nyo Yam. Sing liong diam saja.
Maka Nyo Yam berkata pula, "Sukohmu hendak mencari
perkara padamu, jika engkau tidak sanggup melayaninya, lalu
siapa orang pertama yang hendak kau cari, masa belum kau
pikirkan"*'
Hal ini sengaja ditanya, padahal jelas diketahuinya yang
hendak diberi lapor oleh Bin Sing-liong pasti gurunya, yaitu
Nyo Bok. Nyo Bok adalah jago pengawal istana, tempat kediamannya
tidak boleh sembarangan diketahui orang luar. Bin Sing-liong
sendiri tidak berani membawa orang asing ke sana sebelum
mendapat izin sang guru.
Maka Sing-liong menjawab dengan gelagapan, "Aku . . .
aku .... "


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tempat itu tidak leluasa bagimu membawaku ke
sana?" tanya Nyo Yam dengan tertawa.
"Juga tidak mutlak tidak boleh pergi ke sana," jawab Singliong
ragu. "Cuma, nama Anda yang mulia saja belum
kuketahui sampai saat ini."
"Namaku tidak perlu kau tanya," ujar Nyo Yam, "Tapi dapat
kukatakan padamu, aku dan gurumu mempunyai hubungan
yang erat, kita boleh dikatakan orang sendiri."
Ucapannya memang tidak omong kosong, jelek jelek Bin
Sing liong kan murid ayahnya.
"Entah Anda bekerja di mana" Maaf, jika kutanya macammacam,
sebab . . . sebab . . . ,"
"Tidak perlu kau jelaskan juga kutahu sendiri," ujar Nyo
Yam dengan tertawa. "Asal-usul dan kedudukan diriku bila
tidak kukatakan sedikit, tentu engkau merasa waswas."
Sing-liong merasa lega, jawabnya, "Anda memang seorang
bijaksana."
"Ya, ada beberapa pertanyaan belum lagi kujawab, biarlah
sekarang kujelaskan seluruhnya. Pertama hendak kukatakan
padamu, kedudukanku rada-rada mirip dengan gurumu."
"Hahh, engkau juga Si-wi-taijin (tuan besar jago pengawal
istana)?" tanya Sing-liong dengan terkejut.
"Meski aku bukan jago pengawal istana, tapi aku mendapat
tugas khusus dari Tai-lwe-congkoan (kepala rumah tangga
istana). Malahan dapat kuberitahukan padamu, Pang Tai-yu
yang mengundang diriku atas perintah Tai-Iwe-congkoan.
Sebulan yang lalu aku bertemu dengan Pang Tai-yu di Tioya,
mestinya dia hendak pulang ke kotaraja bersamaku, cuma
sayang ia terluka, saat ini mungkin sedang merawat lukanya.
Siapa itu Pang Tai-yu kukira engkau cukup tahu."
Pang Tai-yu yang disebut Nyo Yam itu adalah jago
pengawal istana yang tidak diumumkan secara terbuka, hal ini
diketahui Bin Sing-liong. Bahwa Nyo Yam dapat menyebut
nama Pang Tai-yu, mau-tak-mau Sing-liong tambah percaya.
"Urusan Cin-wan-piaukiok juga sangat diperhatikan
Congkoan taijin," kata Nyo Yam pula. "Tugas pertama yang
diberikannya kepadaku adalah supaya diam-diam kuawasi
gerak-gerik Cin-wan-piaukiok."
Sing-liong berkeringat dingin, pikirnya, "Jangan jangan
Congkoan-taijin juga ingin ikut campur urusan Cin-wanpiaukiok"
Pantas orang ini sangat kenal seluk-beluk piaukiok.
Perlu kuingatkan Suhu agar jangan lupa memberi sedikit
manfaat bagi Congkoan-taijin."
Didengarnya Nyo Yam menyambung lagi,
"Diam diam kuawasi Cin wan piaukiok, setiap orang yang
keluar masuk piaukiok tidak lolos dari pengamatanku, serupa
tokoh ternama Loa-jiu-koan-im itu tentu saja terlebih menarik
perhatianku."
"Hm, kiranya di luar tahuku Han Wi-bu mengundangnya,
langkah ini sungguh tidak kuduga," jengek Sing-liong.
"Aku juga tahu Loa-jiu-kwan-im adalah sahabat baik Han
Wi-bu, kedatangannya ke Cin-wan-piaukiok adalah urusan
biasa, cuma kedatangannya ternyata begitu kebetulan, hal
inilah yang menimbulkan rasa sangsiku. Dari nada ucapanmu,
agaknya kaupun mencurigai mereka mempunyai maksud
tertentu?"
"Kutahu Han Wi-bu tidak ingin membiarkanku menjadi
Congpiauthau," kata Sing-liong dengan gemas, "la
mengundang Sukoh kemari, jelas ditujukan untuk menghadapi
diriku. Apakah kau dengar pembicaraan mereka?"
"Aku tidak berani terang-terangan masuk ke piaukiok untuk
mendengarkan pembicaraan mereka, aku hanya mengikuti
jejak mereka secara diam-diam," tutur Nyo Yam. "Tidak lama
setelah Nyo Toa-koh dan anaknya masuk ke dalam piaukiok,
lalu kau panggil kedua Sute-mu, kemudian Han Wi-bu
menyediakan kereta bagi kedua Sutemu, dari situ dapat
kutemukan suatu rahasia."
"Rahasia apa"'' tanya Sing-liong.
"Yaitu pada waktu kedua Sutemu belum keluar, lebih dulu
Ce Se-kiat telah menyusup ke dalam kereta, bahkan ibunya
sudah mendahului meninggalkan piaukiok," tutur Nyo Yam.
"Jelas kulihat Ce Se-kiat naik ke dalam kereta, tapi kemudian
waktu kereta diberangkat-nya, penumpangnya yang kulihat
hanya Song Pengki dan Oh Lian-kui saja.
"Hal itu disebabkan kereta itu memang dipasang lapisan
rahasia, bocah she Ce itu bersembunyi di situ," kata Singliong,
"Melihat gelagatnya, tentang Han Wi-bu mengundang
kedatangan mereka ibu dan anak juga dilakukan di luar tahu
kedua Suteku. Selama ini Peng-ki dan Lian-kui memang
kurang mendapat kepercayaan Han Wi bu, bisa jadi rahasia
dalam kereta itu juga tidak diketahui mereka."
Nyo Yam mengarang cerita, apa yang diperbuatnya sendiri
dikatakan sebagai perbuatan Ce Se-kiat, rasa sangsi Bin Singliong
terhadap Peng-ki berdua lantas lenvap, bahkan cerita
karangannya itu dipercaya sepenuhnya.
Maka Nyo Yam menyambung lagi, "Urusan ini sangat aneh,
diam diam aku lantas membuntuti kereta itu dan langsung
sampai di rumahmu, tentu sekarang dapat kupahami mengapa
mendadak aku dapat muncul di sini, bukankah kedatanganku
tepat pada waktunya" Ini bukan kebetulan, juga bukan
lantaran aku dapat meramal apa yang belum terjadi."
Sing-liong memandangnya sekejap seperti lagi berpikir, tiba
tiba ia berkata, "Kupaham sskarang. Engkau datang dari
tempat yang jauh bukan" Maksudku sebelum engkau sampai
di Tioya semula engkau tinggal di suatu tempat yang jauh dari
daerah Tionggoan, bukan?"
Berderak juga hati Nyo Yam, tanyanya dengan tersenyum,
"Dari mana kau tahu?"
"Jika tidak salah dugaanku, Anda ini datang dari Pek-tohsan
bukan'" tanya Sing-liong.
Nyo Yam berlagak tak acuh, tidak mengaku, juga tidak
menyangkal, ia memandang ke atas dan balas bertanya, "O,
kaupun tahu Pek-toh-ian segala?"'
Diam-diam Sing liong merasa tenang karena mengira
dugaannya tidak keliru, dengan berseri ia berkata pula,
"Guruku terhitung juga orang kepercayaan Congkoan-taijin
dan Congkoan-taijin sering bicara dengan guruku tentang
Ubun sancu dari Pek-toh-san."
"O, kiranya begitu," ucap Nyo Yam. "Engkau adalah murid
pertama kesayangan gurumu, pantas kau tahu berbagai
urusan." Sing-liong tambah gembira, katanya, "Kutahu hubungan
baik Sancu dan Congkoan-taijin adalah suatu urusan rahasia,
jago pengawal umumnya tidak nanti mengetahui rahasia ini.
Tapi engkau jangan kuatir, tidak nanti kubocorkan rahasia ini."
---ooo0dw0ooo---
Jilid 3 "Tampaknya engkau ini seorang yang biasa bekerja hatihati,"
kata Nyo Yam. "Terima kasih atas pujianmu," jawab Sing-liong. "Setelah
bertugas sekian tahun, sudah lama menjadi kebiasaanku untuk
menjaga rahasia. Kutahu apa yang tidak boleh kukatakan pasti
takkan kusinggung di depan orang lain."
"Bagus," ucap Nyo Yam, "Tapi ingin kutanya pula, dari
mana dapat kau terka bahwa aku ada hubungan dengan Pek
toh san?" "Usia Anda masih muda belia dan kung-fumu selihai ini.
kecuali anak murid Ubun-sancu, dari golongan dan perguruan
mana lagi yang mempunyai tokoh muda serupa Anda ini?"
kata Sing-liong.
Ada alasan lain lagi yang tidak diutarakannya, yaitu ia tahu
Pang Tai-yu adalah penghubung rahasia antara Ubun-sancu
dari Pek-toh-san dengan Tai-lwe-congkoan, ia pun tahu ada
utusan Pek toh san yang ikut hadir dalam pertemunn di Tioya.
Meski Nyo Yam pernah melihat Pang Tai yu di Tioya,
bahkan orang she Pang itu yang menyampaikan undangan
Tai-lwe-congkoan kepadanya (sebagaiman keterangan Nyo
Yam tadi), maka menurut kesimpulan Bin Sing-liong anak
muda ini pastilah anak mund Pek-toh-san.
Nyo Yam tidak menyangka kebohongannya yang dikarsng
sekenanya dapat menimbulkan salah paham demikian, diam
diam ia merasa geli, segera ia menambahi sekalian, "Eh, kau
kira aku ini siapa dan ada hubungan apa dengan dia?"
"Melihat kepandaian Anda setinggi ini, jangan jangan
engkau inilah Siaucecu dari Pek-to-san. Ubun-kongcu, Ubun
..." Rupanya Bin Sing Hong mengira Nyo Yam adalah Ubun Lui
dari Pek to-san, yaitu kemenakan Ubun Pok, namun dia tidak
kenal Ubun Lui dan juga tidak tahu berapa usianya.
Padahal saat ini Ubun Lui sudah berumur di atas 30, sudah
terhitung orang setengah baya.
Diam diam Nyo Yam berpikir tidak sudi mengaku bangsat
tua Ubun Pok sebagai orang tua, kalau mau memalsu juga
tidak sudi mengaku sebagai Ubun Lui.
Maka sebelum ucapan orang selesai, segera ia mendelik
dan mendengus. "Hm, jika kau tahu ada yang tidak boleh
dikatakan, hendaknya jangan kau katakan lagi. Maka hal yang
tidak perlu kau tanya tentu juga tidak boleh kau tanya."
Keruan Bin Sing liong ketakutan, cepat ia menjawab, "Ya,
ya." benar juga ia tidak berani banyak tanya lagi dan segera
membawa Nyo Yam ke rumah gurunya.
Ketika Nyo Yam ikut Sing liong memasuki Kamar rahasia
ayahnya, hampir saja ia mendengar detak jantung sendiri.
Sesungguhnya orang macam apakah ayahnya, sebentar lagi
tentu dapat diketahuinya.
Ia masih menyimpan surat wasiat pemberian kaisar Khonghi
yang diterimanya dari Liong Leng-cu itu, diam diam ia
berpikir, "Demi usahaku agar ayah dapat mengundurkan diri
dari jabatannya dengan aman, dengan susah payah kami telah
berdaya dan membuat rencana rapi baginya. Bilamana beliau
tetap mabuk pada kedudukan dan tidak mau sadar sehingga
hubungan darah daging sendiri pun tidak dipikirkan lagi, lalu
apa dayaku dan apa yang harui kulakukan?"
Sungguh ia tidak berani membayangkan apa yang akan
terjadi, maka ia pun tidak berani berpikir lagi.
---ooodwooo--- Sementara itu Nyo Toa-koh sudah kembali sampai di Cinwan
piaukiok. Han Wi-bu telah memberitahukan padanya bahwa tamu
yang aneh itu tidak pernah datang lagi.
Song Peng ki dan Oh Lian kui ternyata juga belum pulang.
Toa koh tidak tahu bahwa Song dan Oh telah pergi mencari
adiknya, tapi ia tahu setelah tindakan Nyo Yam itu, anggota
keluarga Bin tentu menganggap mereka sebagai orang sendiri,
maka keselamatan mereka tidak perlu dikuatirkan.
Namun Han Wi-bu sangat terkejut ketika mendengar cerita
Toa-koh tentang apa yang terjadi di rumah Bin Sing-liong.
"Tidak perlu kau takut. Han tua," kata Toa koh dengan
gagah berani serupa masa mudanya. "Akulah yang berbuat.
tentu segalanya aku yang bertanggung jawab. Bilamana
adikku yang tidak genah itu berani datang mencari perkara
padamu. biarlah aku yang akan tampil menghadapi dia."
Han Wi-bu tersenyum getir. katanya. "Paling-paling
kuserahkan piaukiok ini kepadanya, masakah dia berani
membunuhku" Cuma ada sesuatu, entah pantas kukatakan
padamu atau tidak?"
"Bicara saja. dengan hubungan baik kita ini, masa ada yang
perlu dirahasiakan?" kata Toa-koh. "Kutahu maksudmu, kau
kira dalam pandangannya aku sebagai tacinya tidak lebih
dekat daripada muridnya si Bin Sing-liong sehingga mungkin
dia takkan memikirkan hubungan antara taci dan adik dan
akan bertindak keji padaku."
"Sesungguhnya aku tidak berani berprasangka demikian,
cuma kalau berlaku lebih waspada kan juga baik," kata Han
Wi-bu. "Terima kasih atas perhatianmu," Toa-koh tertawa. "Cuma
ada suatu hal kaupun tidak tahu."
"Oo Urusan apa?" tanya Wi-bu.
"Ada lagi seornng yang tersangkut dalam urusan
mempunyai hubungan terlebih dekat dengan dia daripada
diriku," tutur Toa-koh.
"He. siapa dia?" tanya Wi-bu terkejut. "Yaitu orang aneh
yang minta barangnya dikawal Peng-ki dan Lian-kui itu," kata
Toa-koh. "O apakah dia dan adikmu ..."
"Dia adalah putra adikku," tutur Toa-koh- "Nah, hubungan
antara anak dan ayah bukankah jauh lebih dekat daripada
hubungan antara taci dan adik?"
"Apakah kalian sudah bertemu secara terbuka antara bibi
dan kemenakan?" tanya Wi-bu.
"Belum, malahan dia telah menutuk hiat-toku," ucap Toakoh.
"Lantas darimana kau tahu dia adalah putra adikmu?"
"Dia menggunakan kungfu keluarga Nyo, bahkan tempo
hari sudah pernah kulihat dnia satu kali. Meski sekali ini dia
dalam keadaan menyamar, sedikit banyak dapat kukenali raut
wajahnya."
Nyo Toa-koh memang mempunyai suatu kepandaian khas,
yaitu barangsiapa asal pernah dilihatnya satu kali, biarpun
berselang berapa lama pun tetap akan dikenali wajah dan
suara orang itu. Sekalipun orang itu menyamar dan ganti
rupa, asalkan sedikit memperlihatkan cirinya pasti sukar
terhindar dari pandangannya.
Baru sekarang Wi-bu paham duduknya perkara. katanya.
"Pantas engkau membiarkan Sutitmu bicara terus terang
kepadanya. bahkan menyiapkan sebuah kereta baginya
Rupanya apa yang terjadi selanjutnya juga sudah berada
dalam perhitunganmu."
Toa-koh tertawa, "Ya sudah kuduga dia akan ikut Peng-ki
dan Lian-kui pergi mencari Bin Sing-liong. Tapi kemudian dia
membantu Bin Sing-liong melawanku, hal ini sama sekali di
luar dugaanku."
"Tapi menurut ceritamu, meski dia bergebrak denganmu,
agaknya dia tetap rada mengalah," ujar Wi-bu.
"Betul. bilamana dia menutukku dengan cara yang keras.
tentu aku tak dapat lagi pulang ke sini," kata Toa-koh.
"Makanya sesungguhnya dia kawan atau lawan. sampai saat
ini belum dapat kuraba. Aku hanya dapat menyatakan orang
ini sangat mungkin ialah Nyo Yam dan tidak berani
memastikannya."


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut dugaanku, apa yang diperbuatnya di rumah Bin
Sing-liong meski sukar untuk dimengerti, tapi pasti ada
alasannya. Kelak dia pasti akan memberi penjelasan kepadamu."
"Kupulang ke sini justru berharap dia akan datang lagi,"
kata Toa-koh. "Tapi sekarang malam sudah tiba dan belum
nampak jejaknya, agaknya harapanku ini akan sia-sia belaka."
"Masih ada suatu arusan tadi belum sempat kubicarakan
denganmu," kata Wi-bu tiba-tiba. "Meski pernuda aneh itu
tidak datang lagi, tapi kawannya sudah datang."
"Sahabatnya?" Toa-koh menegas. "Orang macam apakah
sahabatnya itu?"
"Seorang pemuda yang berusia sebaya dia," tutur Wi-bu.
"Dia datang ke sini mencari keterangan apakah kawannya itu
sudah pergi atau belum."
"seorang pemuda?" tukas Toa-koh dengan heran.
Han Wi-bu juga melengak, "Enci tua, apakah kau tahu siapa
orang itu?"
"Tidak. aku tidak tahu," jawab Toa-koh. "Tapi sedikitnya
engkau tahu dia menyembunyikan wajah aslinya, kalau tidak
masakah engkau bertanya demikian. Pada hakikatnya dia
bukan pemuda segala."
"O, maksudmu dia gadis yang menyamar sebagai pemuda?"
Toa-koh menegas.
"Betul, namun kepandaiannya menyamar sungguh sangat
bagus, bilamana tidak dibantu Li si burik sama sekali tidak
dapat kulihat penyamarannya itu."
"Li burik adalah seorang ahli menyamar pada jaman ini,
bahkan dia fasih berbagai bahasa daerah, dengan sendirinya
bocah yang menyamar ini sukar mengelabui matanya. Tapi
entah ada apa lagi yang dapat dilihatnya?"
"Ia bilang wajah asli nona itu pun tak dapat diketahuinya,"
tutur Wi-bu. "Cuma menurut perkiraannya, usia si nona
mungkin terlebih muda daripada pemuda samarannya,
mungkin sekali belum ada 18 tahun. selain itu meski logat
bicaranya berbau daerah Kolam, namun dapat dipastikan dia
adalah orang Han yang dibesarkan di benua barat."
"Aha, sudah kutahu siapa dia," kata Toa-koh dengan girang.
"Oo, siapa dia?" tanya Wi-bu.
"Ialah si perempuan siluman cilik yang datang bersama Nyo
Yam itu," tutur Toa-koh. "Han tua, adakah jejaknya sudah kau
ketahui sekarang?"
"Sudah kuketahui," jawab Wi-bu "Begitu bocah itu pergi,
segera Li burik memberi-tahukan padaku bahwa bocah itu
adalah samaran anak perempuan. Segera juga kukirim orang
membuntuti dia. Sekarang kedua orang yang kukirim
menguntitnya itu baru saja pulang."
Pada saat Nyo Toa-koh pergi mencari Liong Leng cu,
sementara itu Nyo Yam juga sudah bertemu dengan ayahnya.
Cuma Nyo Bok seperti sama sekali tidak dapat melihat
samaran Nyo Yam itu, ia tidak tahu yang berhadapan dengan
dia ini adalah putranya.
Dengan melenggoug ia tanya, "Anda ini..."
"Dia adalah sahabat yang diundang Cong koan-taijin dari
Pek-to-san," sela Bin Sing-liong.
Nyo Bok terkejut, katanya, "Hah. apa Congkoan taijin
hendak menyampaikan sesuatu persoalan padaku?"
"Tapi kedatanganku ini bukan atas perintah Congkoantaijin."
kata Nyo Yam. Nyo Bok tambah terkejut, katanya, "Jika demikian tentu
karena ada urusan pribadi Anda sendiri" Dan eulah ada
persoalan apa yang perlu kukerjakan?"
"Bukan persoalanku melainkan urusan muridmu," Nyo Yam.
"Hanya tanpa sengaja ku-pergoki kejadian ini."
Kejut dan sangsi Nyo Bok. ia pandang Bin Sing-liong
dengan penuh tanda tanya,
"Lapor Suhu." ucap Seng-Hong deugangu-gup "Sukoh . ..
dia . . . . "
"Dia kenapa?" sela Nyo Bok.
"Sukoh . . . mendadak beliau datang ke rumah Tecu dan
hendak membunuhku. syukur sahabat dari Pek-to san ini telah
menyelamatkanku," tutur Sing-liong.
Nyo Bok mengamati Nyo Yam sekejap, lalu berpaling dan
berkata kepada Bin Sing-liong, "o, bisa terjadi urusan begitu,
coba tuturkan lebih jelas."
Dengan perasaan tidak tentram Sing-liong bertutur, "Tecu
telah bekerja menurut pesan Suhu, tapi entah tepat atau tidak
hasilnya, maka Tecu datang untuk mohon petunjuk kepada
Suhu." "Betul, betul. pekerjaanmu sangat tepat," kata Nyo Bok.
"Kita adalah abdi Hong Siang, dengan sendirinya harus setia
kepada beliau. mana boleh mementingkan keluarga sendiri."
Bin Sing-liong merasa lega, katanya pula, "Terima kasih
atas pujian Suhu."
Sebaliknya perasaan Nyo Yam tambah tertekan setelah
mendengar ucapan Nyo Bok itu.
Lalu Nyo Bok berkata kepada putranya, "Sahabat, banyak
terima kasih atas bantuanmu kepada muridku yang tidak
becus ini."
Pedih hati Nyo Yam, namun pada lahirnya ia berlagak
tenang, ucapnya, "Kita kan orang sendiri, kenapa pakai terima
kasih segala?"
Ia bertekad akan menguji sang ayah lagi.
Terdengar Nyo Bok berkata pula, "Sahabat, engkau adalah
orang kepercayaan Congkoan-taijin, segala sesuatu kuharap
engkau sudi bicara yang baik di hadapan Congkoan taijin agar
kami tidak ikut tersangkut urusan ini."
"Nyo taijin telah menujukkan kesetiaan dan kejujuran tanpa
menghiraukan anggota keluarga sendiri, dengan sendirinya
akan kulaporkan kepada Congkoan-taijin segala apa yang
kulihat dan kudengar. Tentang perbuatan taci dan
kemenakanmu, tidak nanti sampai Nyo-taijin disangkut
pautkan." "Jika begitu lebih dulu kuhaturkan terima kasih," kata Nyo
Bok, "Tapi kupikir kedatangan Anda ini tentu tidak melulu
untuk urusan itu saja. Muridku ini bukan orang luar, ada
urusan apa silakan bicara saja."
Ia mengira kedatangan Nyo Yam adalah atas perintah
Congkoan yang ingin membagi rejeki yang diperoleh dari Cin
wan-piaukiok. Malahan setelah menyaksikan kejadian di rumah
Bin Sing Liong itu, bukan mustahil orang akan memerasnya
pula. Didengarnya Nyo Yam menjawab, "Dugaan Nyo-taijin
memang tepat. Terus terang, kedatanganku ini selaia
nienemui Nyo taijin memauy ada lagi urusan lain, yaitu
mengcnai suatu hnl yang perlu minta petunjuk padamu."
"Ah, jangan Anda bicara demikian, mana berani kuterima
kata petunjuk segala?" cepat Nyo Bok merendah. "Ada pesan
apa, silakan bicara saja."
Tiba-tiba Nyo Yam berkata, "Taijin boleh tidak memikirkan
hubungan keluarga dengan taci dan kemenakanmu, tapi
bagaimana terhadap anak kandung Nyo-taijin sendiri?"
Nyo Bok terkejut, katanya, "Apa artinya ucapan Anda ini"
Maaf akan kebodohanku, dapatkah Anda bicara dengan lebih
jelas?" "Nyo Yam itu putramu bukan" Urusan yang hendak
kukatakan justru ada sangkut pautnya dengan putramu itu,"
tutur Nyo Yam. Ia bicara dengan suara yang dibuat serak,
ketika menyebut nama sendiri tidak urung suaranya rada
gemetar. Nyo Bok memandangnya lagi sejenak dan seperti merasa
soal ini tidak dapat mengelabui orang, terpaksa ia menjawab,
"Ya, betul, Nyo Yam adalah putra kandungku, namun kami
ayah dan anak selamanya belum pernah bertatap muka.
Memangnya apa yang telah diperbuatnya?"
Ia bicara dengan sebagian benar dan sebagian palsu.
Sebagian yang palsu itu dikemukakannya dengan tepat.
Diam-diam Nyo Yam berpikir, "Ia menyangka aku adalah
orang kepercayaan Congkoan- taijin, dengan sendirinya ia
tidak berani mengaku pernah berjumpa denganku."
Dengati sengaja ia bertanya, "Meski engkau tidak pernah
berjumpa dengan putramu ini, tapi perasaan antara darah
daging sendiri tentu ada bukan?"
"Sebagai manusia, siapakah yang tidak mempunyai
perasaan antara darah-daging sendiri" Apa lagi aku hanya
mempunyai seorang anak ini saja," ucap Nyo Bok. "Cuma
bilamana urusannya demi Hongsiang dan Congkoan-taijin,
dengan sendirinya tidak boleh lagi kupikirkan hubungan darah
daging sendiri."
Semakin tenggetam perasaan Nyo Yam, namun ia berlagak
tak acuh dan berkata pula, " Soalnya juga tidak begitu gawat,
cuma kutahu putramu kini sudah berada di kotaraja, juga
kutahu dia tidak menghendaki engkau menjadi antek kerajaan.
Hehe, kata-kata ini ku-pinjam dari ucapan putramu dan bukan
sengaja hendak kumaki dirimu."
"Masa . . . masa dia berani berontak?" tanya Nyo Bok
dengan rada gemetar.
"Apakah dia berani memberontak atau tidak belum
kuketahui dengan pasti, tapi kutahu dia dan Ce Se-kiat adalah
sehaluan. Bagaimana, kau anggap dosanya masih dapat
diampuni, begitu?"
"O, tidak, bukan," cepat Nyo Bok menjawab. "Jika ada
niatnya memberontak terhadap kerajaan, dosanya itu pantas
dihukum mati."
"Baik, jika kaupun anggap putramu pantas dihukum mati,
apakah sekarang kau mau membantuku?" tanya Nyo Yam.
"Bantu urusan apa?" tanya Nyo Bok.
"Membantuku menghadapi putramu," tutur Nyo Yam.
"Sudah kuketahui tempat tinggalnya, tapi aku tidak sempat
memberi lapor kepada Congkoan-taijin."
"Maksudmu minta bantuanku memb . . . . membunuh
binatang kecil itu!" tanya Nyo Bok dengan suara gemetar.
Diam diam Nyo Yam berpikir apapun juga hati sang ayah
toh tidak tega membunuh anaknya sendiri. namun hal ini
masih belum cukup, segera ia mengujinya lagi. "Tanpa kau
ikut turun tangan juga belum pasti kubunuh dia."
Tampaknya Nyo Bok rada lega, katanya, "Habis kau minta
kubantu apa?"
"Soalnya kepandaianku tidak dapat menandingi putramu,
pula aku tidak sempat melaporkannya kepada Congkoan-taijin
untuk minta bala bantuan." kata Nyo Yam. "Tapi kutahu
engkau menyimpan Soh-ku-san yang lama terdapat di dalam
istana. kumohon di-beri setitik obat bubuk itu dan ada caraku
sendiri akan meracuni dia. Cuma ingin kukatakan di muka,
penangkapan putramu ini hendak kupersembahkan kepada
Congkoan-taijin, bila nanti Congkoan-taijin memberi hukuman
mati kepadanya. hal ini tidak ada sangkut-pautnya denganku
dan jangan kau sesalkan diriku. Nah, hendaknya kau pikirkan
dulu, akan kau beri Soh-kut-san kepadaku atau tidak?"
Ia pandang sang ayah dengan dingin dan menunggu
jawabannya. "Wah, ini . . . ini ..." Nyo Bok gelagapan dan ragu.
"Ini dan itu apa?" jengek Nyo Yam "Hendaknya jawab terus
terang saja. Soh kut-san akan kau berikan padaku atau tidak?"
Betapa duka hatinya, asalkan Nyo Bok memberikan Sohkut-
san padanya, seketika juga ia akan memperlihatkan wajah
aslinya dan memutuskan hubungan antara ayah dan anak.
Didengarnya Nyo Bok lagi menjawab, "Baik, akan kuberi.
Cuma silakan tunggu sebentar, ada sedikit urusan harus
kubicarakan lebih dulu dengan muridku ini."
"Baik, akan kutunggu," jawab Nyo Yam. "Hendaknya cepat
sedikit." Nyo Bok berpaling dan berkata, "Sing-liong, muridku yang
baik, setelah berjasa sebesar ini, sungguh harus kuberi hadiah
padamu." Sing-liong melengak, jawabnya cepat, "Ah, adalah pantas
tecu bekerja bagi Suhu, mana berani kuminta hadiah segala."
"Selamanya aku tegas membedakan antara yang salah dan
berjasa, hasil kerjamu sesuai dengan kehendakku, tidak boleh
tidak harus kuberi hadiah sebesarnya padamu," kata Nyo Bok
pula. Sampai di sini mendadak sebelah telapak tangan
menghantam sambil membentak, "Inilah hadiahku, kamu
harus mati!"
Yang digunakan adalah pukulan maut Liok-yang-jiu, ilmu
pukulan andalan keluarga Nyo yang lihai.
Tindakan mendadak ini sama sekali di luar dugaan Nyo
Yam. bahkan mimpi pun tak terpikir oleh Bin Sing-liong.
Umpama dia bersiap sebelumnya juga tidak mampu
menangkis, apalagi sama sekali tidak siap siaga.
Maka terdengarlah suara "bluk" yang keras, kontan tubuh
Bin Sing-liong mencelat keluar pintu, tanpa bersuara langsnng
ia binasa. "He. Nyo . Nyo taijin, kenapa kau bunuh muridmu sendiri?"
tegur Nyo Yam dengan melenggong juga.
"Bukan dia saja yang kubunuh, juga akan kubunuhmu!"
bentak Nyo Bok, berbareng itu susul menyusul ia menghantam
pula tiga kali, semuanya pukulan maut Liok-yang-jiu. terpaksa
Nyo Yam menangkis. Kekuatannya memang di atas sang ayah,
maka dengan enteng dapatlah ia mematahkan semua pukulan
Nyo Bok, namun caranya menggunakan tenaga diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai mencederai sang
ayah. "Nyo Bok, apa kau gila?" bentak Nyo Yam. "Masa engkau
tidak percaya aku ini utusan Congkoan-taijin?"
Ia ingin menguji sang ayah lagi
"Justru kamu orang kepercayaan Congkoan, maka tidak
boleh tidak harus kubinasakanmu," teriak Nyo Bok.
"Sebab apa?" tanya Nyo Yam.
"Sebab apa?" Nyo Bok menukas. "Hm, memangnya kau kira
aku benar mau membantumu mencelakai putra kandungku"
Jika tidak kubunuhmu, tentu anakku yang akan kau bunuh."
"O, jadi maksudmu hendak membunuhku untuk
menghilangkan saksi?" kata Nyo Yam. "Tapi seharusnya
kaupun tahu dengan kepandaianmu saja belum mampu
membunuhku."
"Kutahu tidak dapat menandingimu," jawab Nyo Bok
dengan mengertak gigi. "Tapi biarpun mati di tanganmu juga
akan kulabrak-mu dengan mati-matian."
Ucapannya sesuai dengan perbuatannya, dia benar-benar
terus menyerang terlebih gencar serupa orang kalap tanpa
menghiraukan jiwa sendiri.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semakin kalap serangan Nyo Bok, semakin senang pula Nyo
Yam. Pukulan sang ayah tidak sampai mengenai tubuhnya,
namun beban berat yang menekan perasaan anak itu telah
terpukul lepas.
Pada suatu kesempatan, Nyo Yam menggunakan daya
lengket, ketika keempat tangan beradu, seketika dua pasang
tangan saling tahan tak terpisahkan.
Dengan mata merah Nyo Bok membentak, "Bangsat cilik
Ubun. boleh kau bunuh saja diriku untuk lapor kepada
Congkoanmu."
Baru sekarang Nyo Yam bergelak tertawa serunya, "Ayah,
maaf atas kekurang-ajaran anak!"
Keruan Nyo Bok terkejut, serunya, "Apa katamu" Kau . . .
siapa kau?"
"Masa ayah tidak kenal padaku lagi?" jawab Nyo Yam
dengan tertawa. "Aku bukan Ubun Lui melainkan anak Yam "
Segera ia mengendurkan tenaganya sehingga keempat
tangan yang melengket itu terlepas.
Nyo Bok masih sangsi, kembali ia menegas, "Apa . . . apa
benar kau anak Yam?"
Nyo Yam tidak lantas menjawab, ia ambil teko dan mencuci
mukanya dengan air teh sehingga kelihatan wajah aslinya.
"Ah, engkau memang benar anak Yam," seru Nyo Bok.
"Kenapa tidak kau katakan sejak tadi, sungguh aku kaget
sekali." "Ayah, dari cerita Bin Sing liong. katanya ayah hendak
membikin susah Se-kiat Piauko...."
Kening Nyo Bok bekernyit dan memotong ucapannya, "Anak
Yam, masa sampai sekarang engkau belum lagi percaya
kepadaku?"
"Jika demi membela diriku Toa suko saja ayah bunuh, mana
kuberani lagi meragukan ayah" Cuma Piauko - . . . "
"Anak Yam," sela Nyo Bok, "pantas juga kau sangsi padaku.
Tapi hendaknya kau paham, yang tahu jelas jalan pikiranku
hanya engkau saja. Selama aku masih menjabat sebagai
pengawal kerajaan, selama itu pula tidak boleh kukatakan isi
hatiku kepada orang lain, biarpun Bin Sing-liong juga tidak
terkecuali. Bahwa pernah kuberi Soh-kut-san padanya dan
menyuruhnya mengerjai Se-kiat, namun tujuanku
sesungguhnya demi kebaikan Se-kiat. Kukuatir begitu dia tiba
di kotaraja segera jatuh dalam cengkeraman mereka, sebab
itulah sengaja kuatur demikian untuk menyelamatkan Se-kiat,
sebab kalau Se-kiat terperangkap, tentu Sing-liong akan
membawanya kepadaku, di sini barulah akan kulepaskan dia
secara diam diam.
"Namun Sing-liong ternyata mempunyai niat lain, ia juga
berambisi dan baru tadi kuketahui jelas. Kutahu biarpun dia
tunduk kepada perintahku, tentu dia juga akan memberi
laporan rahasia kepada Tai-lwe-congkoan, sebab, itulah tidak
sayang kubinasakan dia, tindakan ini tidak seluruhnya lantaran
membelamu, alasan lain adalah karena aku ingin
menyelamatkan Se-kiat. Nah, kau paham sekarang?"
Nyo Yam seorang yang emosional, setelah terjadi
percobaan ini, kini dia tidak sangsi sedikit pun terhadap sang
ayah, ditambah lagi penjelasan Nyo Bok tadi, tanpa terasa ia
mencucurkan air mata terharu, serentak ia memeluk sang
ayah dan berkata, "O, ayah, aku telah salah paham padamu,
mereka juga salah sangka terhadapmu."
"Asalkan kau tahu jalan pikiranku sudah cukup bagiku,"
kata Nyo Bok dengan tertawa. "Sekarang kupergi dulu
membereskan urusan Sing-liong, nanti kita bicara lagi.
Hendaknya jangan kau tinggalkan kamar ini."
Nyo Yam tersadar, katanya, "Betul. bila anak buah ayah
melihat mayat Suheng tentu .... "
"Jangan kuatir," sela Nyo Bok dengan tersenyum. "Tanpa
izinku anak buahku tidak berani sembarangan masuk ke
ruangan belakang sini. Apa yang kulakukan juga mereka tak
berani sembarang omong di luar. Namun segala sesuatu kan
lebih baik berlaku hati-hati. Boleh kau tunggu sebentar di sini."
Tidak lama kemudian ia sudah kembali lagi ke kamar dan
berkata, "Mayat Sing-liong sudah kulemparkan ke dalam liang
dan telah kumusnahkan dengan obat bubuk. Sekarang boleh
kau tinggal di sini tanpa kuatir lagi."
Meski Nyo Yam tidak suka terhadap pribadi Bin Sing-liong,
tapi mendengar kematiannya yang mengerikan itu, tanpa
terasa ia pun merinding.
Cuma tindakan sang ayah adalah demi keamanannya,
dengan sendirinya ia tak dapat menyalahkan orang tua itu.
"Apa yang kau pikir, anak Yam?" tanya Nyo Bok tiba-tiba.
"Oo, tidak apa-apa, cuma anak merasa tidak dapat tinggal
di sini," jawab Nyo Yam
"Sebab apa?" tanya Nyo Bok.
"Anak harus pulang."
"Pulang" Pulang ke mana?"
"Anak datang ke kotaraja bersama seorang kawan dan
tinggal di suatu tempat di barat kota, kupikir akan pulang ke
sana sebelum fajar."
Bekernyit kening Nyo Bok, katanya, "Kita ayah dan anak
baru saja berjumpa kembali, banyak urusan yang hendak
kubicarakan denganmu, seharusnya kan juga banyak yang
harus kau katakan padaku."
"Ya, memang ada suatu urusan penting hendak kubicarakan
dengan ayah, tentu saja kupergi setelah kujelaskan urusan
ini," jawab Nyo Yam.
Diam-diam ia heran mengapa sang ayah tidak ingin lekas
mengetahui hasil perjalanannya ke Cadam, yaitu sesuai tujuan
Nyo Bok yang menyuruhnya ke Cadam untuk membawa
pulang kepala Bong Goan-ciau, pemimpin pasukan peberontak
di sana. Baru sekarang Nyo Bok berlagak seperti baru ingat urusan
itu, katanya "Aha, betul, saking senangnya karena dapat
bertemu lagi denganmu, hampir saja kulupakan urusan
penting ini. Padahal bagiku masakah ada urusan lain yang
lebih penting daripada berkumpulnya serta saling mmgertinya
kita ayah dan anak. Jika dibandingkannya urusan kepala Beng
Goan-ciau menjadi tidak terlalu panting lagi. Walaupun begitu
tanpa kepala orang she Beng itu mungkin kita ayah dan anak
tetap tidak dapat berkumpul untuk selamanya."
"Ayah, kepala Beng Goan-ciu tidak berhasil kubawa
pulang," kata Nyo Yam.
Nyo Bok melengak, "Sebab apa" Sudah kau katakan . . . . "
"Betul, pernah kukatakan takkan pulang sebelum
mendapatkan kepala Beng Goan-ciau, namun . . . ."
Begitu mengucapkan perkataan tadi Nyo Bok lantas merasa
tidak enak dan berusaha memperbaikinya, maka sebelum
habis ucapan Nyo Yam segera ia memotong. "Anak Yam,
jangan kau salah paham. Asalkan kita sudah berkumpul,
biarpun tidak dapat kulepaskan diri dari lingkungan seperti ini
hatiku tetap sangat senang. Beng Goan-ciau terkenal nomor
satu ilmu goloknya, sejak mula memang tidak kuharapkan
engkau akan membunuhnya."
"Betul, kepandaian Beng Goan-ciau memang terlampau
tinggi dan sukar kutandingi dia," cepat Nyo Yam menukas.
"Maka urusan ini biarlah kita tunda dulu. Cuma anak
mempunyai sesuatu barang lain, bagi ayah mungkin barang ini
jauh lebih berguna daripada kepala Beng Goan-ciau"
Seperti diketahui. berhubung sengketa pribadi, antara Nyo
Bok dan Beng Goan-ciau terjadi permusuhan yang tak
terselesaikan. Biarpun Nyo Yam bersimpatik kepada ayahnya,
tapi setelah psngalamannya di Cadam, salah pahamnya
terhadap Beng Goan-ciau telah banyak berkurang, cuma ia
tidak dapat bicara terus terang bahwa dia tidak dapat lagi
membunuh Beng Goan-ciau bagi sang ayah, sebab itulah
terpaksa ia berdusta dan merahasiakan pengalamannya di
Cadam. Tentu saja Nyo Bok itu tidak tahu pertentangan batin
anaknya itu, sesudah mendengar penuturan Nyo Yam itu, ia
terkejut dan girang. Cepat ia tanya pula, "Ada barang lain apa
yang lebih penting daripada kepala Beng Goan ciau?"
"Sepucuk surat wasiat tinggalan kaisar Khong hi pada 70
tahun yang lampau," tutur Nyo Yam. "Ayah, sudah belasan
tahun engkau menjadi jago pengawal istana, tentu engkau
pernah mendengar cerita tentang surat wasiat ini dan paham
betapa besar nilainya."
Habis berkata ia lantas mengeluarkan surat wasiat yang
selalu dibawanya itu dan di serahkan kepada sang ayah.
Nyo Bok menerimanya dan membacanya dengan teliti,
dilihatnya surat wasiat ini memang asli dan bukan palsu.
saking senangnya sampai kedua tangannya bergemetar.
"Ayah, bukankah surat wasiat ini sangat berguna bagimu?"
tanya Nyo Yam dengan tertawa.
"Ya. kutahu, sangat berguna," jawab Nyo Bok. "Meski
urusan sudah berselang 70 tahun, tapi kutahu Sri Baginda
sekarang tetap ingin menemukan surat ini."
"Jika begitu, bila ayah berjasa besar bagi raja bangsa asing
itu, apa yang ayah mintakan dapat diluluskan?" ujar Nyo Yam.
"Ya, kukira beliau pasti akan meluluskan permintaanku,"
kata Nyo Bok dengan tertawa.
"Lantas, apa sekiranya ayah akan memohon kepada raja?"
tanya Nyo Yam. Saking senangnya sampai Nyo Bok tidak dapat segera
menjawab, sejenak kemudian barulah ia berkata, "Dengan
sendirinya akan ku mohon agar aku diperbolehkan pensiun
dan pulang kampung. sejak itu kita ayah dan anak dapatlah
berkumpul selamanya."
Diam-diam Nyo Yam merasa lega, sebab sang ayah
ternyata belum melupakan janjinya dahulu.
"Jika begitu, harap ayah lekas menyelesaikan urusan ini,"
pinta Nyo Yam. "Tentu, tidak perlu kau gelisah bagiku," ujar Nyo Bok
dengan tertawa. Tiba-tiba ia tanya, "Anak Yam, cara
bagaimana engkau memperoleh surat wasiat ini?"
"Surat wasiat ini kuterima dari sahabatku yang kusebut
tadi," tutur Nyo Yam. "Mengenai siapa sahabatku ini dan cara
bagaimana pula dia mendapatkan turat wasiat ini, kuharap
sementara ini ayah jangan tanya. Nanti kalau ayah sudah
pensiun, pada waktu kita berangkat meninggalkan kotaraja
barulah akan kuceritakan padamu."
"Baik," kata Nyo Bok. "Jika rahasia ini tak dapat kau
beberkan sekarang. aku pun tidak perlu tanya lagi. Terhadap
Hongsiang tentu dapat kukarang suatu cerita."
Padahal tidak perlu lagi dia tanya siapa sahabat Nyo Yam ini
juga sudah cukup diketahuinya.
Sudah lama ia tahu tentang Nyo Yam dan kawannya
siluman perempuan cilik itu menolak penangkapan di Ki-liansan
dahulu, sedangkan mongenai kakek siluman perempuan
cilik itu adalah keturunan Lian Keng hiau juga sudah diketahui
dari Tai-hwe congkoan belum lama ini.
Nyo Yam lantas berkata pula, "Nah, silakan ayah
menyelesaikan urusan ini, sekarang anak mohon diri dulu."
"Engkau terburu-buru pulang karena sahabatmu itu?" tanya
Nuo Bok. "betul," jawab Nyo Yam. "sejak pagi kukeluar sehingga
sudah hampir sehari semalam lamanya. Bila aku tidak pulang
tentu akan membuatnya kuatir dan cemas."
"Ai, belum ada satu hari engkau berpisah dengan dia dan
sudah terburu-buru ingin menenemui dia," ucap Nyo Bok
dengan gegetun, "Sedangkan kita justru sudah berpisah pada
waktu engkau belum lagi lahir, dan baru saja kita ayah dan
anak bertemu, sekarang juga engkau juga meninggalkanku
begitu saja?"
"Aku masih akan kembali lagi ke sini, ayah," kata Nyo Yam.
"Kutahu beberapa keluarga yang tinggal di sini sama
kedudukannya sebagai jago pengawal seperti diriku, maka
tempat ini sebenarnya tidak boleh sembarangan didatangi
siapa pun."
"Ya, anak sudah diberi lahu oleh Bin Sing liong," kata Nyo
Yam "Jika sudah tahu. apakah pernah kau pikir bahwa orang lain
tahu kau datang bersama Bin Sing liong, sekarang cuma kau
sendiri yang keluar, apakah hal ini takkan menarik perhatian
orang lain?"
"Biarpun akan dikuntit orang juga aku tidak takut," ucap
Nyo Yam "Kutahu engkau cukup mampu menandingi mereka," kata
Nyo Bok. "Soalnya, bila sampai terjadi keributan, kan rencana
kita bisa kacau-balau" Kukira lebih baik kita tinggalkan tempat
ini secara terang-terangan, bilamana Hong-siang sudah
meluluskan permintaanku untuk pensiun. lalu kita pun dapat
meninggalksn kotaraja bersama sahabatmu itu. Tatkala mana
semua pembesar kawan sejawat sama tahu aku telah berjasa
besar bagi Hongsiang, biarpun asal-usulmu dan hubungan
ayah dan anak kita diketahui orang, kuyakin mereka pun tak
berani lagi banyak urusan."
Nyo Yam merasa gagasan sang ayah cukup masuk akal, ia
menjadi serba salah Pikirnya, "Jika sekarang aku pergi begitu
saja mungkin akan membikin susah ayah. Tapi sampai
kapankah baru urusan ini akan diselesaikan ayah" Jika aku
diharuskan menunggu lama, tentu Leng-cu akan menyangka
terjadi sesuatu atas diriku. lalu betapa akan cemasnya dia,
sungguh sukar kubayangkan."
Belum habis pikirnya, terdengar ayahnya lagi menghela
napas dan berkata, "Sebelum kau lahir kita ayah dan anak
sudah terpisah, kuharapkan siang dan malam semoga pada
suatu hari ayah dan anak dapat berkumpul Kembali seperti ini.
Sejak kau lahir hingga sekarang, bagaimana pengalamanmu,
sedikitpun tidak kuketahui, betapa ingin kutahu semua itu.
Banyak juga yang hendak kubicarakan denganmu, masa
engkau tidak sudi menginap semalam saja di sini agar dapat
bercengkerama denganku."
Nyo Yam adalah seorang pemuda yang emosional, mudah
terangsang perasaannya demi mendengar perkataan sang
ayah, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Dengan lagak terharu Nyo Bok juga menitikkan air mata,
katanya pula, "Ya, hal ini pun tidak dapat menyalahkanmu.
seorang anak kalau sudah besar. dalam pandangannya
kedudukan sahabat terkadang terlebih penting daripada ayahibu.
Apalagi antara kita belum pernah tinggal bersama, tentu
saja aku terasa asing bagimu."
"Sudahlah ayah, jangan bicara lagi, anak tidak jadi pergi,"


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap Nyo Yam dengan pedih. "Ayah bilang tinggal semalam
saja, lantas besok boleh kupergi?"
"Esok pagi segera kuhadap Hongsiang di istana, bilamana
urusan berjalan lancar, mungkin besok juga kita dapat
meninggalkan kotaraja, tentu kawanmu tidak beralangan
menunggu lebih lama sehari lagi," kata Nyo Bok.
"Hendaknya urusan bisa lancar seperti ucapan ayah," ujar
Nyo Yam. "Yang jelas bila, malam ini aku tidak pulang ke
sana, tentu kawanku itu akan gelisah sekali."
"Tadi kau bilang kalian tinggal di barat kota. tempat macam
apa itu?" tanya Nyo Bok.
"Kami menyewa rumah penduduk setempat," tutur Nyo
Yam. Nyo Bok sengaja berkerut kening dan berkata, "Ai, kalian
juga terlampau gegabah, apakah penduduk itu dapat
dipercaya?"
"Kami menyewa rumah kosong bekas keluarga petani kaya,
tidak ada yang tinggal bersama kami."
"Bolehkah kau katakan di mana lefak tempat itu, kukuatir
kawanmu tidak sabar menunggu dan ingin mengirim orang
menyampaikan kabar kepadanya."
"Watak kawanku itu rada aneh, dia tidak suka bertemu
dengan orang yang tidak di kenalnya."
Diam-diam Nyo Bok berpikir "setelah kau beri petunjuk
tempat padaku, mustahil tidak dapat kutemukan tempat itu
mengingat di barat kota tidak padat penduduknya dan sedikit
sekali rumah petani kaya, sekali cari pasti dapat kutemukan."
Maka ia lantas berkata, "Baiklah, jika begitu biarkan saja.
Sekarang perlu kukirim orang ke rumah Sing-liong unluk
memberi suatu alasan bahwa malam ini dia tidak bisa pulang
agar anaknya tidak ribut."
Nyo Yam merasa kasihan bagi putra Bin-Sing-liong, ia pikir
meski dosa Bin Sing-liong pantas diberi ganjaran setimpal,
namun belum sampai pada hukuman mati. Anaknya yang tidak
tahu urusan pun harus dikasihani.
Ia tidak tahu bahwa Bin Sing-liong sesungguhnya tidak
mati, bahkan sudah sejak tadi meninggalkan rumah sang
guru, cuma dia tidak pulang ke rumah sendiri melainkan
langsung pergi melapor kepada Tai-lwe congkoan Kiranya
pukulan Nyo Bok itu menggunakan tenaga pas yang cuma
untuk membuat terpental saja tanpa mencelakainya. Sebelum
menghantam Nyo Bok sudah mengedipi Bin Sing-liong lebih
dulu. Sing-liong adalah murid yang paling tahu jalan pikiran sang
guru, tentu saja ia tahu apa maksud Nyo Bok dan tidak
bersuara meski dipukul. Kemudian Nyo Bok berlagak keluar
untuk membereskan mayat Bin Sing-liong, yang benar dia
justru memberi tugas rahasia kepada muridnya itu.
Dalam pada itu setelah Nyo Toa koh mengetahui tempat
pondokan Liong Leng-cu dari Han Wi-bu, ia justru mendahului
mendatangi nona itu daripada Nyo Yam.
Meski watak Toa-koh sudah jauh lebih sabar dari pada
waktu mudanya. tapi setelah kecundang oleh kemenakan
sendiri, betapapun ia mendongkol.
Demi menemukan kemenakan ini dia telah banyak
membuang tenaga dan pikiran, setelah berhadapan, bukannya
kemenakan ini segera mengakuinya sebagai bibi, sebaliknya
malah menutuk hiat-to dan menyerangnya.
Namun mengingat Nyo Yam adalah satu-satunya keturunan
keluarga Nyo, biarpun keki terhadap anak muda itu tetap
dapat memaafkannya.
Jika gemasnya terhadap Nyo Yam cuma sebagian kecil.
gemasnya terhadap "siluman perempuan kecil" itu justru
tambah besar. Soalnya bukan lantaran "siluman perempuan kecil" itu
pernah bersikap kasar padanya, bahkan hampir saja
menamparnya dahulu. dianggap sebabnya Nyo Yam sampai
bertindak demikian adalah gara-gara salah bergaul dengan
"siluman cilik" itu, maka dia ingin melampiaskan rasa
gemasnya terhadap Liong Leng-cu.
Sementara itu sudah hampir sehari semalam Liong Leng-cu
menunggu dan belum nampak Nyo Yam pulang. Tentu nona
itu geiisah serupa semut di dalam wajan yang panas, tidur
tidak pulas, duduk atau berdiri pun tidak tenang.
"Sudah lama dia meninggalkan Cin-wan-piaukiok, kenapa
sampai sekarang belum lagi pulang?" demikian pikirnya
dengan cemas. Malam gelap tanpa bintang dan bulan, ia berdiam di dekat
pintu dan memandangi kegelapan yang pekat itu. Ia sangsi
dan kuatir, apa yang terjadi atas diri Nyo Yam"
Tengah termenung, tiba-tiba didengarnya suara kresek
seperti daun jatuh.
"Ah, engkoh Yam sudah pulang . . . . " belum habis berpikir
didengarnya suara itu bukan suara ginkang Nyo Yam yang
tinggi. "Siapa?" segera ia membentak, dengan waspada ia lantas
melepaskan ruyung lemas yang membelit pinggangnya.
"Jangan gugup nona Liong," terdengar seseorang bersuara.
"Meski kami bukan Nyo Yam, tapi kami sengaja
menyampaikan berita atas permintaan Nyo Yam."
Segera dua orang muncul di hadapannya, seorang berbaju
kuning dan yang lain berbaju hijau.
Karena berkepandaian tinggi, hati Liong Leng-cu pun tabah,
tanpa gentar ia menegur, "Kalian mengaku datang atas
permintaan engkoh Yam. apa buktinya?"
Dengan suara yang sengaja ditahan si lelaki berbaju hijau
mendesis, "Nona Liong, hadiahmu kepada Nyo Yam itu sudah
disampaikannya kepada ayah kandungnya."
"Hadiah apa maksudmu?" tanya Leng-cu. "Ai, nona ini
sudah tahu sengaja tanya lagi," ujar si baju hijau. "Yang
kumaksudkan adalah surat wasiat kaisar Khong-hi itu."
Bahwa orang ini dapat mengungkap rahasia demikian,
Leng-cu tidak curiga lagi akan kebohongan orang, ia coba
tanya lagi, "Mana surat engkoh Yam?"
"Tidak ada surat tertulis, Nyo-kongcu menyuruh kami
menyampaikan surat lisan." jawab si baju hijau.
"Bagaimana pesannya?" tanya Leng-cu pula. "Nyo kongcu
minta nona menemui dia," tutur orang itu. "Pesan yang minta
kami sampaikan hanya pesan selamat saja. Urusan lain tentu
akan diceritakan setelah kalian bertemu."
"Kalian akan membawaku ke sana?" tanya Leng-cu.
Si baju kuning merasa pertanyaan si nona rada aneh,
jawabnya, "Betul, silakan nona segera berangkat saja."
"berapa orang rombonganmu?" tiba-tiba Leng-cu tanya lagi.
Dalam sekejap itu dilihatnya kedua orang itu sama
melengak. malahan air muka si baju kuning rada berubah.
Terdengar si baju hijau menjawab "Hanya kami berdua."
Ia berlagak tenang, namun karena lagak yang dibuat-buat
itu lantas menambah rasa curiga Leng-cu.
"Apa betul?" sambil berkata mendadak Liong Leng-cu
melompat keluar jendela.
Keruan kedua orang itu terkejut dan membentak, "He, Siauyau-
li (siluman perempuan cilik), mau lari ke mana?"
Serentak yang satu menghamburkan senjata rahasia dan
yang lain menyabatkan senjata ruyungnya.
Dengan tindakan mereka ini tentu saja pemalsuan mereka
sebagai utusan Nyo Yam lantas terbongkar.
Padahal meski Leng-cu sudah menaruh curiga, namun dia
masih percaya kepada mereka dan bukan bermaksud hendak
kabur. Rupanya karena kungfu Leng cu jauh di atas perkiraan
orang-orang itu, maka ketika ia bicara dengan kedua orang itu
sudah didengarnya di luar jendela ada orang lain lagi.
Semula Leng-cu tidak berani memastikan orang yang
mengintai di luar itu adalah komplotan kedua orang ini, ketika
melihat perubahan air muka mereka barulah timbul rasa
curiganya, maka mendadak ia menerobos keluar hendak
membekuk musuh.
Kedua orang itu mengira rahasia mereka telah diketahui
Leng-cu, serentak si baju hijau menghamburkan segenggam
jarum Bwe-hoa-ciam dan si baju kuning menyabat kaki si nona
dengan ruyung. Syukur Leng-cu juga sudah siap siaga, ruyung emas sudah
dipegangnya, kontan ia balas menyabet ke belakang sehingga
kedua ruyung saling melibat. berbareng itu lengan bajunya
mengebut sehingga serangkum jarum musuh tersampuk jatuh.
Mestinya tenaga Leng-cu terlebih kuat daripada lawan, tapi
lantaran satu melawan dua sehingga dia terseret ke dalam
lagi. "Bagus, kalian berani menipuku," bentak Leng cu. "Lekas
mengaku, sesungguhnya siapa kalian" Kalau tidak, jangan
menyesal bila aku tidak kenal ampun lagi."
"Ai, nona cilik jangan omong besar," kata si baju hijau
dengan tertawa, "Biarpun kau-mau lari pun sukar lolos dari
cengkeraman kami. Cuma dapat kukatakan terus terang
padamu, kami sesungguhnya memang kawan Nyo Yam dan
tidak berdusta."
"Hmm, kaukira aku ini anak kecil umur tiga"!" jengek Liong
Leng-cu dengan gusar, "memangnya dapat kupercaya
ocehanmu. Baiklah, boleh coba lihat aku yang tak bisa lolos
dari cengkeraman kalian atau jiwa kalian yang akan melayang
di bawah ruyungku. Eh, kaupun memakai ruyung, nah,
rasakan dulu ruyungku."
Leng-cu memakai ruyung terbuat dari benang perak yang
lemas, dapat berputar cepat dan lincah, jurus serangannya
aneh, tenaganya di atas lelaki baju kuning, maka ruyung
orang itu tidak berani berlibatan dengan ruyung Leng-cu.
Lelaki berbaju hijau bertangan kosong dan segera
menghantam dengan telapak tangan, angin pukulannya
menderu, meski tak-dapat memotong putus ruyung Leng-cu
tapi nona ini pun sukar membelit tangan orang. Tampaknya si
baju hijau lebih tangguh dari-pada kawannya, bukan saja
senjata rahasianya lihai, ilmu pukulannya juga hebat.
Dengan satu lawan dua Leng-cu labrak mereka tanpa kenal
ampun. Mendadak terdengar suara "Tring", orang ketiga yang
mengintai di luar itu menyambitkan sebuah Tau-kut-ting, paku
penembus tulang.
Dia tidak memperlihatkan mukanya, namun pandangannya
seperti dapat menembus dinding, bidikan senjata rahasianya
cukup jitu Kiranya dia mahir mendengarkan suara angin untuk
membedakan senjata, meski seorang kawannya juga memakai
ruyung lemas, namun ruyung kawannya jauh lebih berat
sehingga suara yang ditimbulkannya juga berbeda daripada
suara ruyung Leng-cu. Sedang tenaga pukulan kawannya yang
lain jelas terlebih mudah lagi dibedakan,
Sampai sekian lama satu lawan dua keadaan masih sama
kuat, ketika dikacau oleh senjata rahasia orang ketiga, Lengcu
menjadi agak kerepotan, walaupun paku lawan dapat
dikebut jatuh oleh lengan bajunya, naman dia terpaksa
perhatiannya harus terpencar.
Sejauh itu orang di luar hanya menyambitkan senjata
rahasia saja dan tidak ikut menyerbu ke dalam. Meski usia
Lang-cu belum banyak, namun pengalaman kangouwnya
cukup luas, dari keadaan ini ia tahu orang di luar itu pasti
bertugas juga mengawasi kemungkinan di luar, kalau tidak
terpaksa tidak nanti ikut menerjang ke dalam.
Tiba-tiba Leng-cu mendapat akal, segera ia geser ke ke
sana dengan ccpat, sekali ruyungnya menyabat dari jauh,
lentera di dalam kamar seketika dipadamkannya.
Keruan kedua lelaki tadi menjadi kelabakan. jika satu lawan
satu jelas mereka bukan tandingan Leng-cu, dalam keadaan
gelap gulita mereka tidak berani lagi sembarangan bergerak.
Leng-cu juga berdiam di pojok ruangan untuk menunggu
kesempatan baik bila mendadak dapat menyerang lawan.
Dalam keadaan begitu orang yang di luar itu tentu saja
terlebih tidak berani masuk ke situ, Sebab kalau dia menerjang
masuk begitu saja akan berarti menjadi sasaran lawan yang
berada di tempat gelap.
Oleh karena itulah suasana seketika berubah menjadi sunyi,
semuanya diam saja menanti kesempatan baik.
Dalam keadaan begitulah Nyo Toa-koh sampai di tempat
pondokan Liong Leng-cu ini.
Di luar tiada cahaya bulan dan bintang, di dalam rumah
juga tidak ada sinar lampu.
Kepandaian Toa-koh tinggi dan nyali besar, tanpa pikir ia
depak pintu rumah terus menerjang ke dalam-
Cuma sayang, ia hanya berjaga kemungkinan disergap
musuh di dalam rumah dan tidak menyangka di luar rumah
juga ada musuh.
Ketika mendadak terasa angin tajam menyambar tiba,
sekali pukul ia bikin rontok secomot jarum yang disambitkan
oleh si baju hijau Tapi pada saat yang hampir sama, tahu tahu
dari belakang juga menyambar tiba angin tajam. ingin
menghindar sudah tidak keburu lagi, lengan terkena sebuah
Tau kut-ting. Dengan murka Toa-koh mernbentak, "Keparat, berani kau
sergap diriku!"
Segera ia putar balik dan menubruk keluar. Sekali hantam,
orang yang mengintai di luar itu digenjotnya hingga terpental.
Tangkas juga orang itu, begitu melompat bangun kembali ia
menyambitkan tiga buah paku maut.
Dengan sendirinya sekali ini Nyo Toa-koh sukar berjaga,
kedua tangan menghantam sekaligus, angin pukulannya
menggetar senjata rahasia musuh sehingga mencelat balik.
Orang itu lantas berteriak, "Maaf, Nyo toa-koh, aku salah
serang, kita ."
"Jika sudah tahu siapa aku, kenapa kau serang terus
menerus" Siapa kau?" bentak Toa-koh.
Mestinya orang itu hendak menyatakan sebagai "orang
sendiri", tapi mengingat antara Nyo Bok dan tacinya saja
sudah bukan lagi orang sendiri, mana dia berani menerangkan
siapa dia. Terpaksa ia menghamburkan lagi Tau-kut-ting
sambil berteriak, "Nyo Toa koh. engkau sudah terkena senjata
rahasiaku yang berbisa, jika ingin selamat lekas duduk tenang
dan merawat lukamu dengan baik. Kalau tidak. bila banyak
mengeluarkan tenaga, racun pasti akan menjalar terlebih
cepat." Sehabis bersuara ia terus lari.
Ternyata Toa-koh tidak menghiraukan gertakannya, tahutahu


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sudah melayang ke sana dan menghadang di depan
orang. "Biarpun keracunan juga akan kubinasakanmu!" bentak
Toa-koh sambil menubruk maju serupa elang menyambar
kelinci. Sebenarnya kepandaian orang itu juga tidak lemah, kalau
melawan dengan cermat mungkin takkan kalah dalam sepuluh
jurus. Tapi sekarang ia sudah keder lebih dulu, maka satu
jurus pun tidak mampu melawan.
Terdengar suara "krak", begitu kedua tangan beradu,
kontan tangan orang itu terkilir, cepat ia berteriak minta
tolong kepada kedua kawannya.
"Hm, baru sekarang kau minta tolong kan sudah terlambat,
mampus kau!" bentak Toa-koh, serentak ia melancarkan
serangan Liok-yang-jiu pula.
Tanpa ampun orang itu menjerit ngeri, tulang rusuk
dadanya sama patah dan roboh terkapar bermandi darah.
sehabis membinasakan lawan, Nyo Toa-koh sendiri pun
merasa lemas lunglai serupa habis sakit berat, kepala terasa
pusing dan mata berkunang-kunang.
Mendingan cuma lemas saja, lengan yang terkena Tau-kutting
itu terasa kaku dan mati rasa, dalam waktu singkat rasa
kaku itu sudah menjalar hampir setengah badan.
Ternyata benar paku orang memang beracun.
Cepat Toa-koh mengatur napas dan mengerahkan tenaga
dalam untuk menahan menjalarnya racun. Tapi ia tahu cara
demikian hanya dapat tahan sementara, tenaganya sekarang
sisa sedikit saja, tanpa serangan dari luarpun sukar baginya
untuk mengadakan penyembuhan diri sendiri.
Sebagai seorang kangouw kawakan. meski tahu bahaya
sedang mengancam, sedapatnya mengambil risiko dengan
main gertak. Ia hentikan melawan menjalarnya racun, dengan sisa
tenaganya ia membentak, "Ayo, Keparat, masih ada berapa
kawanmu. lekas menggelinding keluar semua! Biar
kumampuskan kalian satu per satu! Hehe, jangan coba lari!"
Ketika mendengar jeritan ngeri kawannya idi, kedua orang
yang berada di dalam telah sama ketakutan setengah mati.
Mereka tidak tahu antara Liong Leng-cu dan Nyo toa-koh juga
ada pertengkaran, mereka cuma tahu Leng-cu pacar Nyo Yam,
sedangkan anak muda itu juga kemenakan iblis perempuan
yang berjuluk Loa-jiu-kwan-im ini. Setelah kawannya
dibereskan di luar, bila Nyo Toa-koh masuk lagi ke dalam
rumah. jelas mereka berdua akan mati kutu.
Karena itulah kedua orang lantas lari keluar dengan
menyerempet bahaya, pada saat itulah kebetulan Nyo Toa-koh
lagi membentak menyuruh mereka menggelinding keluar.
Toa-koh tidak tahu dengan pasti mereka lari keluar karena
ketakutan, maka ia tetap main gertak dengan lagak hendak
menubruk maju sambil membentak, "Jangan lari!"
Entah karena tegang atau memang tidak kuat lagi, baru
saja ia melangkah kaki lantas terasa kaku, hampir saja ia jatuh
terjungkal. Sebenarnya kedua orang itu hendak melarikan diri, melihat
keadaan Toa-koh itu. mereka kegirangan dan segera
menyerangnya. Namun pukulan Toa-koh tetap sempat
dilontarkan, tampaknya hendak menghantam si baju kuning,
di tengah jalan mendadak berubah arah dan memukul dada si
baju hijau. Dengan sendirinya si baju hijau tidak mudah diserang,
cepat ia pasang kuda-kuda dan iut pukulan itu sambil
membentak, "Tua koh, kalau bukan engkau yang mampus biar
aku yang binasa."
Berbareng ia pun melancarkan pukulannya. Rupanya ia
menjadi nekat, ia pikir Toa-koh sudah keracunan, baru saja
juga kelihatan mau jatuh, diduganya tenaga orang sudah
banyak berkurang, ia harap sekali pukul dapat merobohkan
Toa-koh dan dapatlah mereka melarikan diri.
Jika dalam keadaan biasa, dengan kepandaian Nyo Toa-koh
itu, cara mengadu jiwa si baju hijau ini tentu akan cari
mampus sendiri.
Sekarang racun sudah menjalar dalam tubuh Toa-koh, sisa
tenaganya tidak ada tiga bagian lagi, jelas dia tidak sanggup
menahan pukulan si baju hijau.
Menyadari keadaan sendiri, cepat Nyo koh ganti siasat,
pukulannya berubah menjadi tutukan, dengan cepat jarinya
menutuk jalan darah tik-hiat di punggung tangan lawan. si
baju hijau merasa tangan seperti di gigit nyamuk, meski cuma
merasa sakit pegal itu dan daya pukulannya tetap dilontarkan,
namun gerakannya sedikit lebih lamban.
Rupanya tangannya berkulit kasar dan berdaging tebal,
karena tenaga dalam Nyo Toa-koh sudah habis sehingga
tutukannya kurang kuat, maka sukar membuat lumpuh lawan.
Si baju hijau bergirang, cepat ia berseru kepada kawannya,
"Lekas maju, jangan takut, tua bangka ini sudah keracunan!"
Sembari mendesak kawannya ia terus ganti serangan, dari
pukulan berubah menjadi tebasan telapak tangan untuk
memotong jari Nyo Toa-koh.
"Baik, kau mau adu jiwa biarlah kulayani kau!" bentak Toakoh.
Ia pun ganti serangan menjadi pukulan dahsyat.
Si baju hijau terkejut, ia pikir jangan-jangan perempuan tua
ini sengaja main licik. Ia bermaksud ganti serangan lagi, tapi
sudah terlambat, terpaksa ia pentang tangan yang lebar itu
untuk mencengkeram kepalan lawan.
Karena kepepet, Toa-koh telah mengerahkan segenap sisa
tenaganya pada serangan terakhir ini, si baju hijau tergetar
mundnr tiga tindak dan hampir saja terjungkal. Baru berdiri
tegak, tenaga pukulan Nyo Toa koh membanjir tiba pula, tapi
sekali ini ia cuma tergetar mundur dua tindak.
Merasakan gejala demikian, rasa takut si baju hijau seketika
lenyap, teriaknya, "Tenaga perempuan tua ini memang betul
sudah lemah, kenapa takut padanya, ayo lekas gunakan
ruyungmu membelit lehernya!"
Sebagai teman sejawat Nyo Bok, meski tidak menguasai
kungfu Liok yang-jiu, namun ia cukup kenal cirinya ia tahu
jurus serangan Nyo Toa koh itu seharusnya susul menyusul
menghantam tiga kali dan satu lebih kuat daripada yang lain.
Akan tetapi sekarang diketahuinya tenaga pukulan Toa-koh
justru bertambah lemah pada pukulan berikutnya.
Karena seruan si baju hijau, segera teman-ya si baju kuning
melihat juga kelemahan Toa-koh itu, tanpa ayal ia terus
memutar ruyungnya dan melancarkan jurus serangan maut,
yaitu ruyung membelit leher.
Mana bisa Nyo Toa koh membiarkan lehernya dijerat,
mendadak ia menunduk, berbareng lengan baju kiri terus
mengebut. Cuma sayang tenaga kurang, kebutan maut ini tidak
berhasil. Walaupun lehernya tidak sampai terjerat ruyung
musuh, tidak urung pergelangan tangannya terbelit.
Tangan Toa-koh kesakitan, tapi si baju kuning juga tidak
mampu menariknya roboh. Dengan sisa tenaga sekuatnya
Toa-koh bertahan dan tetap tak dapat melawan dua orang.
yang satu menarik kepalannya, yang lain menyeret
pergelangan tangan.
Diam-diam Toa-koh mengeluh sekali ini pasti akan celaka,
tiba-tiba terdengar orang tertawa dan menyindir, "Hehe, Loajiu-
kwan-im rupanya juga kewalahan menghadapi dua orang
kroco, kenapa tanganmu yang pedas tidak kau gunakan
sekarang?"
Ternyata Liong Leng cu sudah di samping dan sedang
menonton pertarungan mereka dengan tertawa.
Mendelik Toa-koh saking gemasnya, bentaknya, "Siau-yauli"
"Hah, masih berani kau maki diriku" Lihat ruyung!" jengek
Leng-cu sambil ayun ruyungnya.
"Betul, nona Liong." seru si baju kuning dengan girang.
"Akan lebih baik kau bantu kami saja. Bicara terus terang,
kami dan ayah Nyo Yam adalah teman sejawat, kami samasama
jago pengawal istana. Nyo Yam telah . kenapa . . . . "
Ia mengira Liong Leng-cu hendak melabrak Nyo Toa-koh,
tak tersangka ruyung Liong Leng-cu mendadak menyabet ke
arahnya dan tepat membelit lehernya.
"Haha, kau gagal menjerat lehernya, sekarang lehermu
yang kujerat, bagaimana, enak bukan rasanya?" jengek LengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
cu sambil nenarik ruyungnya terlebih erat, karena tak bisa
bernapas, seketika si baju kuning tercekik mampus.
Biasanya si baju kuning suka membunuh lawannya dengan
cara begitu, tak tersangka sekarang ia pun mati dengan cara
yang sama. Di sebelah sana karena tekanan lawan hilang satu, segera
Nyo Toa-koh menghantam sekuatnya, kontan tulang rusuk si
baju hijau digenjotnya hingga remuk, sambil menjerit orang
itu terpental dan binasa.
Toa-koh sudah kehabisan tenaga sehingga sekujur badan
lemas lunglai, teriaknya. "Siau-au-li, boleh . . . boleh kau
bunuh aku saja!"
"Kenapa harus kubunuhmu?" ujar Leng-cu.
"Masa tidak kau ketahui untuk apa kudatang kemari?"
"Kau datang mencari Nyo Yam bukan?" tanya Leng cu.
"Betul, kudatang mencari kemenakanku, tapi juga bukan
melulu untuk menyuruhnya pulang saja."
"Kutahu, maksudmu menyuruh dia jangan bergaul
denganku, bukan?"
"Hm, rupanya kaupun tahu aku tidak suka padamu." kata
Toa-koh. "Jika kau ingin menjadi istri Nyo Yam tanpa
rintangan, kenapa tidak kau bunuh diriku sekarang?"
"Bicara terus terang, aku juga jemu padamu," ucap Leng-cu
dengan tertawa.
"Hm. tidak kau katakan juga kutahu, ayolah lekas turun
tangan," seru Toa-koh.
"Aku tidak sama dengan watakmu, bila kubenci seorang
tidak harus kubunuh dia."
"Engkau tidak ingin lagi kawin dengan Nyo Yam?"
"Belum kupikirkan hal itu. Cuma, kalau aku ingin kawin
dengan dia, biarpun hendak kau rintangi juga kakak Yam
takkan menurut kepadamu."
Sampai mendelik Nyo Toa-koh saking marahnya,
damperatnya, "Anak Yam sudah terpikat oleh siluman cilik
seperti kau ini, pandangan dia juga berubah menjadi busuk."
"Aku yang menolong jiwamu, tapi engkau berbalik memaki
diriku?" tegur Leng cu dengan tertawa.
Nyo Toa-koh berteriak parau, "Aku tidak terima
kebaikanmu, aku lebih suka mati tanganmu."
Mendadak Leng-cu juga menarik muka, katanya, "Baik.
rupanya engkau ini memang orang yang tidak tahu kebaikan,
jika begitu mari kusempurnakan kehendakmu,"
Sembari bicara ia terus pencet mulut Nyo Toa-koh sehingga
terbuka, lalu menjejalkan sebiji obat ke dalam mulutnya,
dalam keadaan lemas Toa-koh tidak sanggup melawannya.
Disangkanya obat itu pasti racun sudah keracunan dilolohi
racun lagi, tentu matinya akan tambah cepat.
Siapa tahu, begitu obat itu tertelan masuk ke dalam perut,
segera terasa hawa segar mengalir keseluruh tubuh, rasa kaku
kemang tadi lantas lenyap dan dapatlah dia bergerak dengan
bebas. "Obatmu ini ... " tanya Toa koh dean ragu.
"Engkau tidak mau terima kebaikanku, aku justru hendak
memaksamu menerima kebaikanku," kata Leng-cu dengan
tertawa. "Obat itu terbuat dari teratai salju yang hanya
tumbuh di Thian-san, khasiatnya dapat menawarksn segalu
macam racun. Pada waktu kemenakanmu meninggalkan
Thian-san dahulu gurunya memberi tiga biji pil ini kepadanya,
sekarang tersisa satu biji ini saja dan diberikannya kepadaku,
kini kugunakan untuk menyelamatkan jiwamu. Jika engkau
tetap tidak mengaku menerima budiku, anggaplah aku
mewakili kemenakanmu yang menolongmu."
Penuturan ini membuat Nyo Toa-koh tidak dapat bersuara
lagi. Dengan tertawa Leng-cu menyambung, "Bila mana engkau
tetap ingin mati, ya terserah padamu. Bila perlu boleh kau
benturkan kepalamu di dinding, umpamanya, atau boleh kau
jerat lehermu dengan ruyung di tanah ini. Jika kau takut sakit,
silakan gantung diri atau terjun ke sungai. Pendek kata
sekarang tenagamu sudab pulih dan sanggup membunuh diri
sehingga tidak perlu minta kubunuhmu lagi."
"Hm, kau ingin kumati, aku justru tidak mau mati," terpaksa
Toa koh mencari alasan.
Leng-cu tertawa, katanya, "sebenarnya kita pun ada
kepentingan bersama, buat apa mesti saling bermusuhan."
"Ada kepentingan bersama apa antara kita?" tanya Toa-koh
dengan mendongkol, tampaknya sekarang ia tidak memaki si
nona sebagai "Siau-yau-li" lagi.
"Sedikitnya ada suatu persamaan," kata Leng-cu, "yaitu kita
sama-sama memperhatikan Nyo Yam dan berharap dia akan
kembali dengan selamat. Betul tidak?"
Mau-tak-mau Nyo Toa-koh harus mengaku, "betul. Memang
hendak kutanya padamu, adakah dia kembali ke sini?"
"Aku pun hendak tanya padamu, dia telah mengunjungi
Cin-wan-piaukiok, masa engkau tidak bertemu dengan dia?"
jawab Leng cu. Berdebar hati Toa-koh, katanya, "Jika demikian, jadi engkau
belum lagi mengetahui bagaimana hasil kepergiannya ini. Baik
akan kukatakan padimu, bukan saja sudah kulihat dia di
piaukiok, bahkan sudah kulihat dia di rumah Bin Sing-liong."
Terkejut juga Leng-cu, "Oo, dia pergi ke rumah Bin Sing
liong" Ia pernah bicara tentang orang she Bin itu kepadaku,
katanya Bin Sing-liong adalah satu di antara keenam murid
ayahnya yang terbusuk."
"Ketika melihat dia, aku lantas tahu siapa dia," sambung
Toa-koh. "Tapi dia justru tidak mau mengaku bibi padaku-"
Dengan tak sabar Leng-cu tanya lagi, "Lalu bagaimana
setelah kau lihat dia berada di rumah Bin Sing-liong."
Toa-koh menjadi marah pula, jawabnya, "Dia membantu
Bin Sing-liong memusuhiku."
"Cara bagaimana dia memusuhimu?" tanya si nona.
Sebenarnya Toa-koh tidak mau menjelaskan, tapi lantaran
dia ada permintaan kepada nona itu, terpaksa ia bicara,
"Pendek kata aku telah kecundang olehnya, ketika hendak kubunuh
Bin Sing-liong dia justru menutuk hiat-toku dan
membawa lari orang she Bin itu."


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu. apakah engkau curiga aku yang menyuruhnya
berbuat begitu?" tanya Leng-cu dengan tertawa.
"Jika bukan lantaran suruhanmu, maka jelas dia hanya
kenal ayah kandungnya dan tidak mau tahu masih ada
seorang bibi seperti aku ini," kata Toa-koh.
"Memangnya apa arti ucapanmu ini?" tanya Leng-cu.
"Meski ayahnya adalah satu-satunya saudaraku, tapi karena
tamak harta dan serakah pangkat, dalam banyak hal
saudaraku ini menganggap aku suka merintangi hari
depannya," tutur Toa-koh. "Maka ingin kutanya padamu,
Apakah Nyo Yam sengaja hendak menempuh jalan serupa
ayahnya?" "Justru terbalik." jawab Leng-cu. "Kedatangannya ini adalah
ingin membujuk ayahnya agar jangan mau lagi menjadi antek
kerajaan Boanjing."
"Jika begitu, mengapa dia bertindak begitu kepadaku"
Kenapa pula dia membantu Bin Sing-liong jika sudah jelas
mengetahui yang juga antek kerajaan yang busuk?"
"Ah. kupaham sekarang!" seru Leng-cu mendadak.
"Kau paham apa?" tanya Toa-koh.
"Kakak Yam tentu . . . tentu berada di rumah ayahnya,"
kata Leng-cu. "Ai, sayang, sungguh sayang!"
Karena seruan si nona, Toa-koh lantas menyadari juga apa
yang dimaksudkan si nona, katanya. "Betul juga, dia tidak
sengaja membantu Bin Sing-liong melainkan cuma menipu
orang she Bin itu agar membawanya menemui ayahnya.
Mungkin begitu pula maksud tujuannya dia mencari Oh Lian
kui dan Song Peng ki di piaukiok. Cuma aku tidak tahu apa
maksud yang yang kau katakan?"
Leng-cu lantas bertutur, "Tadi waktu kedua keparat yang
mampus itu datang dengan mengaku orang suruhan kakak
Yam, dia bilang padaku bahwa kakak Yam cudah bertemu
dengan ayahnya, dengan sendirinya tadi aku menyangsikan
keterangan mereka."
"Adalah tepat jika engkau tidak mau terperangkap oleh
mereka, sekalipun benar mereka membawamu ke rumah
ayahnya mungkin juga bukan mempertemukan kalian
melainkan justru akan membikin celaka padamu," tanpa terasa
ucapan Toa-koh ini sudah bernada membela Leng-cu.
"Sayang yang kumaksudkan adalah kita telah terlanjur
membunuh mereka sehingga tidak diperoleh keterangsn lain
yang kita perlukan," kata si cona.
Sampai di sini, mendadak ia tertawa dan berseru, "Ah,
sungguh aku ini sudah lingiuug. Engkau adalah kakak Nyo
Bok, tentunya kau-tahu tempat tinggalnya. Hendaknya lekas
kau katakan alamatnya, biar kususup ke rumahnya untuk
mencari kakak Yam."
"Tidak, aku tidak tahu," jawab Toa koh.
"Masa engkau tidak tahu tempat tinggal adik sendiri?" Leng
cu menegas. "Tentunya kau tahu saudaraku itu adalah jago pengawal
istana dengan sendirinya tempat tinggalnya harus
dirahasiakan."
Maka Leng-cu tidak dapat tertawa lagi.
Sebaliknya hati Nyo Toa koh merasa lebih tentram, katanya,
"Ayahnya mungkin ingin membunuhmu, bahkan sangat
mungkin juga takkan sungkan terhadapku sebagai kakaknya
namun terhadap putra sendiri masa juga akan dicelakainya?"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 4 "Ai, tidak. tidak betul!" seru Leng-cu tiba-tiba
"Tidak betul apa" Kata pribahasa, sebuas-buasnya harimau
juga takkan makan anak sendiri, masa kaukira . . . "
"Aku tidak bilang ayahnya membunuhnya, cuma tujuannya
semula adalah hendak membujuk sang ayah agar jangan lagi
menjadi antek kerajaan. Tampaknya sekarang bukan saja
ayahnya tidak mau menurut nasihatnya, sebaliknya hendak
memperalat dia malah. Jika begitu halnya, aku menjadi kuatir
bila kakak Yam berada di rumah ayahnya."
Mau-tak-mau Nyo Toa-koh gelisah juga mendengar
keterangan ini, ia pikir sekarang adiknya sudah telanjur
kemaruk harta dan pangkat, bukan mustahil Nyo Yam bisa
dicelakainya jika tidak mau tunduk kepada ayahnya. Umpama
sang ayah tidak sampai hati membikin susah padanya, rasanya
kawanan jago pengawal istana yang lain juga takkan
melepaakan dia jika mengetahui siapa dia.
Maka Toa-koh lantas berkata, "Nona Liong aku ingin mohon
sesuatu padamu."
Bahwa Loa-jiu-kwan-im yang terkenal berwatak keras ini
sekarang juga menyatakan mohon bantuan padanya, hal ini
sungguh di luar dugaan Liong Leng-cu.
"Kuterima kasih engkau tidak menganggap-ku sebagai Siauyau-
li lagi, mengingat hal ini, urusan apa yang dapat
kulakukan pasti akan kubantumu, silakan bicara saja," kata
Leng-cu dengan tertawa.
"Kumohon engkau lekas pergi menolong kemenakanku itu,"
kata Toa-koh. Leng-cu melengak, tapi lantas bergelak tertawa, "Haha,
justru urusan inilah akan kubicarakan denganmu. Kita kan
tidak tahu dimana tempat tinggal ayahnya, jadi tidak ada
gunanya kuminta bantuanmu atau kau minta bantuanku."
"Dengarkan dulu," ucap Toa-koh. "Orang lain mungkin tidak
tahu alamat adikku, namun Bin Sing-Hong dan anaknya pasti
tahu. Bin Sing-liong sudah dibawa pergi oleh anak Yam,
putranya kan masih tertinggal di rumahnya?"
Terbeliak mata Leng-cu, "Hah, maksudmu kau minta kucari
putra Bin Sing-liong dan memaksa dia membawaku ke rumah
Nyo Bok?" "Betul", sahut Toa-koh. "Tenagaku belum pulih. terpaksa
kuminta engkau suka melakukan perjalanan ini. Biar
kuberitahukan tempat tinggal Bin Sing-liong . . . . "
Belum habis ucapannya mendadak seorang menukas,
"Sudahlah, tidak perlu banyak repot lagi!"
Cukup cepat reaksi Liong Leng-cu, ruyung bergerak lurus
menyabat. Ia sudah tertipu sekali, disangkanya orang ini pun serupa
kedua lelaki tadi hendak menipunya. bukan mustahil Nyo Yam
telah memberitahukan tempat pondokannya ini. Dan orang ini
dapat mencari kemari, besar kemungkinan orang ini teman
sejawat Nyo Bok.
Dari kecepatan orang yang muncul itu, Leng-cu menduga
kepandaian pendatang ini jauh lebih tangguh daripada kedua
lelaki tadi, sebab itulah sekali serang segera menggunakan
jurus serangan maut andalannya.
Akan tetapi dengan cekatan sekali pendatang ini dapat
mematahkan tiga kali serangan Liong Leng-cu, malahan
tenaga pukulannya sempat mengguncang ruyung si nona
sehingga melingkar balik.
"Permainan ruyung bagus!" seru orang itu.
Mendadak Nyo Toa-koh juga berteriak, "hei, Han tua,
kiranya kau!"
Waktu Leng-cu mengawasi, kiranya Han Wi bu adanya.
pemimpin Cin-wan-piaukiok yang sudah pernah dilihatnya.
"Jangan kuatir, Lo toaci, (enci tua)," seru Wi-bu. "Eh,
engkau kenapa?"
Rupanya dapat dilihatnya Nyo Toa-koh seperti terluka.
"O, tak apa-apa," jawab Toa-koh. "Cuma terkena sebiji
jarum kecil yang tak berarti dan sudah diberi obat oleh nona
Liong ini. Eh, lekas katakan, alamat adikku yang busuk itu
sudah kau dapatkan bukan?"
"Betul, baru saja kutahu," jawab Wi-bu.
"Darimana kau dapat tahu?" tanya Toa-koh dengan girang.
"Peng-ki baru saja pulang," tutur Wi-bu.
Seketika Toa-koh tidak tahu apa yang terjadi, ia tercengang
dan bertanya, "Kenapa kalau Peng-ki sudah pulang" Dia kan
juga tidak tahu alamat gurunya?"
"Sekarang dia sudah tahu, justru dia baru pulang dari
rumah gurunya itu," tutur Wi-bu pula.
"Cara bagaimana dia bisa pergi ke rumah gurunya" Dia
bertemu dengan anak Yam tidak?" tanya Toa-koh.
"Anak Bin Sing-liong minta mereka menyampaikan berita
kepada kakek gurunya, maka ia memberitahukan alamatnya
kepada mereka," tutur Wi-bu. "Anak Bin Sing-liong baru
ditolong oleh Peng-ki berdua dari tutukan Nyo Yam, karena
ketakutan, maka dia minta bantuan kedua paman gurunya . . .
. " "Nanti dulu. Kau bilang mereka, lantas bagaimana dengan
Lian-kui?" sela Toa-koh.
"Lian-kui masih tinggal di rumah gurunya, hanya Peng-ki
sendirian yang pulang ke piau-kiok, yang jelas Peng-ki telah
melihat Nyo Yam di sana."
"Lantas di mana Peng-ki sekarang, kenapa tidak ikut
kemari?" tanya Toa-koh.
"Ia terluka," jawab Wi-bu.
"Hah, terluka" Kenapa bisa terjadi begitu?" Toa-koh terkejut
dan kuatir. "Mereka sampai di rumah gurunya, pengurus rumah tangga
adikmu yang menerima mereka," tutur Wi-bu pula. "Peng-ki
berdua ditanya apa keperluannya, mereka mengaku atas
permintaan putra Bin Sing-liong ingin menyampaikan urusan
penting kepada sang guru."
"Pengurus rumah tangga itu menyatakan rasa herannya, ia
bilang Bin Sing-liong sudah datang lebih dulu, kenapa
putranya perlu menyampaikan berita apa pula" Maka ia minta
Peng-ki berdua menunggu sebentar, ia lantas melaporkan hal
itu kepada Nyo Bok.
"Untung juga pengurus rumah tangga itu menyebut tentang
kedatangan Bin Sing-liong di situ, seketika Peng-ki merasa
curiga dan segera timbul pikirannya untuk meninggalkan
rumah adikmu itu, hanya Lian kui yang ditinggalkan di situ."
"Dia tersusul orang suruhan gurunya sehingga dilukai?"
tanya Toa koh. "Bukan, dia dilukai oleh dua orang yang tak dikenal," sahut
Wi-bu. "Umpama bukan orang suruhan gurunya tentu juga
antek kerajaan. Orang yang bertempat tinggal di sana
memang kebanyakan adalah tokoh serupa adikmu itu."
Toa-koh tambah terkejut, "Wah, melihat gelagatnya,
tampaknya urusan sudah cukup gawat, adikku yang busuk itu
rupanya tidak segan bertindak juga terhadap anaknya sendiri.
Lekas kau katakan tempat tinggalnya kepadaku."
"Sabar dulu, Lo toaci," ujar Wi-bu. "Tenagamu belum lagi
pulih, mana boleh engkau pergi ke sana, lebih baik . . . . "
Mestinya ia hendak bilang "lebih baik aku Saja yang pergi",
tapi bilamana teringat kepergiannya berarti mentaruhkan
segenap harta benda dan jiwa sendiri dan anggota keluarga,
bahkan Cin-wan-piaukiok juga akan menjadi korban, seketika
ia rada tergegap.
Toa-koh lantas memotong ucapannya, "Aku memang belum
sanggup pergi, nona Liong inilah yang akan menggantikanku
ke sana." "Hah, nona Liong yang menggantikanmu pergi?" Wi-bu
menegas dengan melenggong.
Nyata hal ini sama sekali tak terduga olehnya, tapi juga
membuatnya merasa lega.
Dengan tertawa Leng-cu berkata, "Aku tidak menggantikan
dia melainkan aku sendiri yang mau pergi ke sana. Cuma, bila
kuminta Han-congpiautiau memberitahukan alamat Nyo Bok,
mungkin engkau belum mau percaya padaku."
"Belum tentu," jawab Wi-bu dengan tertawa. "Tadi begitu
kau datang ke piaukiok segera kulihat perhatianmu terhadap
Nyo Yam pasti tidak kurang daripada perhatian Lo toaci kami
ini terhadap kemenakannya."
"Sudahlah, jangan bicara bertele-tele lagi, lekas kau
beritahukan padanya," kata Toa-koh.
Wi bu tahu Liong Leng-cu tidak paham jalan kotaraja,
sembari bicara ia lantas melukiskan sebuah peta di tanah.
Dengan penuh perhatian Leng cu mengikuti penjelasan orang
dan diingatnya dengan baik.
Kemudian peta di tanah itu dirusak, katanya, "Semuanya
sudah kuingat di luar kepala. Dengan mendapat penjagaan
Han-congpiauthau aku pun tidak perlu kuatir lagi atas
keselamatan Toa-koh. Sekarang marilah kita menuju ke
tempat masing-masing, maaf!"
Habis bicara ia terus angkat kaki.
"Setelah bertemu dengan Nyo Yam hendaknya kalian
menemuiku di piaukiok," seru Toa-koh.
"Kutahu," jawab Leng-cu, suaranya berkumandang dari
jauh, hanya sekejap saja bayangannya sudah menghilang.
"Sungguh luar biasa anak muda jaman sekarang," ucap Wibu
dengan gegetun. "Melulu ginkang anak dara ini saja harus
diakui tak-dapat kutandingi dia."
"Makanya kubilang kepergiannya jauh lebih baik daripada
aku yang pergi, sekarang engkau tidak perlu kuatir lagi
bukan?" kata Toa koh.
"Bukankah semula engkau hendak membikin perhitungan
dengan Siau-yau-li ini?" Wi-bu berseloroh. "Tapi tampaknya
sekarang ada maksudmu hendak memungut Siau-yau-li ini
sebagai menantu kemenakan"
"Kau heran bukan?" jawab Toa koh "Bahwa urusan bisa
berakhir begini sungguh sukar untuk dimengerti. Cuma,
rasanya masih terlampau dini bila kau bilang aku ingin dia
menjadi menantu kemenakanku."
"Meski heran, tapi apa yang terjadi ini membuatku
kegirangan," kata Wi-bu. "Sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana kalian bisa berdamai seperti ini."
"Kau tahu perhatiannya terhadap Nyo Yam tidak di
bawahku, maka apa yang terjadi sekarang kan tidak perlu
diherankan?" ujar Toa-koh dengan tertawa. lalu ia pun
menceritakan pengalamannya tadi.
Sembari bicara sambil jalan, tanpa terasa mereka sudah
sampai di Cin-wan-piaukiok.
Pekerjaan pertama dengan sendirinya memeriksa luka Song
Peng-ki. Luka Peng-ki tidak terhitung parah, tapi juga tidak ringan.
Sesudah dibubuhi obat luar, kini sudah dapat duduk dan
bicara. Begitu melihat Toa-koh segera ia berseru. "Wah.
Sukoh, sayang engkau pulang terlambat sedikit."
"Memangnya terjadi peristiwa apa?" Toa-koh terkejut.
"Peristiwa menyenangkan dan bukan urusan jelek." tutur
Peng-ki.

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Urusan menyenangkan apa, lekas ceritakan, tidak perlu
duduk, berbaring saja," kata Toa-koh.
"Baru saja adik Se-kiat datang kemari. bilamana kalian
datang lebih cepat setengah jam yang lalu tentu dapat
berjumpa dengan dia."
"Hih, untuk apa dia datang ke kotaraja?" seru Toa-koh
terkejut dan girang.
"Dia telah mengunjungi Cadam, tentang ini, dia minta
kumintakan maaf kepadamu," tutur Peng-ki. "Ia tahu engkau
tidak suka dia pergi ke tempat itu?"
Karena terburu-buru ingin tahu berita anaknya, Toa-koh
tidak sabar, katanya, "Sudahlah, toh dia sudah pergi ke sana.
Lekas ceritakan, untuk apa dia datang kemari?"
"Ia ingin mencari Nyo Yam," tutur Peng-ki. "Menurut
ceritanya, sebelumnya ia sudah tahu kedatangan Nyo Yam ke
kotaraja sini, tapi dia tidak sempat bicara lebih lanjut."
"Dan sempat kau ceritakan padanya apa yang dilakukan
Nyo Yam di sini?" tanya Toa-koh.
"Sudah. Alamat Suhu juga sudah kuberitahukan padanya.
Begitu mendengar keteranganku segera ia pergi. Apakah salah
tindakanku ini, Sukoh?"
"Tidak, engkau tidak salah, justru salah apa yang kulakukan
sebelum ini " ujar Toa-koh.
Belum pernah Peng-ki melihat sang bibi guru ini mengaku
salah, keruan ia melenggong dan tidak berani tanya
persoalannya. Segera Toa-koh berkata pula, "Han tua, harap sediakan
sebuah kamar, aku perlu menghimpun tenaga, siapa pun
jangan mengganggu."
Sungguh kalau bisa ia ingin sekarang juga menyusul ke
rumah adiknya. Nyata ia tidak ingin anak sendiri mendatangi
rumah adiknya dan menyerempet bahaya, akibatnya antara
paman dan kemenakan pasti akan cekeok. Tapi sekarang jelas
ia tidak dapat lagi mencegah pertengkaran antara putranya
dan adiknya, bahkan ia pun tidak segan-segan bertindak
terhadap adiknya itu.
Saat itu di rumah ayahnya Nyo Yam justru telah
mendapatkan kegembiraan yang belum pernah diperoleh
selama hidup ini.
Fajar sudah hampir menyingsing dan anak muda iti belum
lagi tidur sanking gembiranya. Sebab ayahnya telah berjanji
padanya, esok juga akan pulang dari istana dengan membawa
berita menyenangkan baginya.
Pada waktu sebelum ayahnya pulang, ia harus taat kepada
pesan orang tua itu, tidak boleh sembarangan keluar
melainkan harus tetap tinggal di dalam kamar rahasia yang
sempit itu. Namun begitu hatinya sudah terbang jauh ke sana.
Maklumlah, rasa girangnya itu ingin dinikmatinya bersama
dengan sanak familinya, dengan sahabat baiknya, dengan
orang yang memperhatikan dia dan orang yang sayang
padanya. Orang pertama yang terpikir olehnya untuk diberitahu berita
baik ini ialah Ling Peng-ji.
"Akan kukatakan kepada Ling-cici bahwa ayah tidaklah
sebusuk sebagaimana dikatakannya. Tentu saja kutahu Lingcici
tidak sengaja menyebarkan desas-desus, ia hanya
mendengar dari orang lain dan apa yang didengarnya di
sangkanya benar. Akan kukatakan padanya bahwa ayah
memang telah berbuat busuk, tapi apa yang dilakukannya
juga ada alasannya.
"Orang yang menyiarkan kebusukan ayah mungkin sengaja
membumbui lagi, atau mungkin mereka juga salah mengerti
terhadap ayah. Ai, ini pun tak dapat menyalahkan orang.
bukankah aku sendiri pun pernah salah paham terhadap ayah"
"Antara manusia dan manusia memang tidak mudah saling
mengerti, bukankah antara aku dan Ling-cici juga telah disalah
pahami orang" Bilamana kugunakan contoh antara
hubunganku dengan Ling-cici dan kubicarakan dengan dia,
kuyakin Ling-cici juga akan menyadari jalan pikirannya yang
salah." "Cuma sayang Ling-cici telah mengadakan janji tujuh tahun
denganku, sekarang dia tidak mau menemuiku. lantas
bagaimana baiknya" Ayah dan Leng cu mungkin takkan
mengizinkan kucari dia. Tapi, ai, biarpun tak dapat melihat dia
tentu ada jalan untuk menyampaikan berita gembira ini
kepadanya."
Orang kedua yang terpikir olehnya adalah ayah angkatnya,
yaitu Ki Tiang-hong.
Untuk memperoleh pengertian ayah angkatnya rasanya
terlebih sederhana, sebab sang ayah angkatnya pernah bilang
asalkan ayahnya mau kembali ke jalan yang benar, tentu saja
diharapkan hubungan antara kami ayah dan anak dapat akrab
Ayah angkat juga menjamin takkan mengusut lagi perbuatan
ayah yang lalu, soalnya sekarang ayah masih tetap
memandang Beng Goan-ciau sebagai musuh, ayah juga pasti
takkan setuju kutemui mereka kecuali kepergianku ke sana
untuk memenggal kepala Beng Goan-ciau. Ai, untuk
membujuk ayah mungkin akan makan waktu cukup panjang.
bahkan bisa jadi takkan berhasil untuk selamanya."
Menyusul yang terpikir olehnya adalah "kakek" dan Liong
Leng-cu. Bila dirinya disuruh memilih, terpaksa untuk
sementara ia harus meninggalkan ayah angkat. Ayah sudah
bilang ingin mengasingkan diri di tempat jauh dan hidup
berkeluarga dengan tenang tanpa macam macam persoalan
lagi dengan dunia kangouw Umpamanya dapat kuajak ayah
tirakat di Tai-kiat-nia bersama kakek. Leng-cu juga sudah
setuju untuk pulang bersamaku. Dengan demikian anggota
kedua keluarga jadi akan berkumpul dengan baik."
Begitulah selagi terbayang kehidupsn selanjutnya yang
muluk muluk, tiba-tiba didengarnya di luar jendela seperti ada
sesuatu suara pelahan.
"Apakah ayah sudah pulang" Tapi ginkang ayah kan tidak
setinggi ini"!" demikian pikir Nyo Yam.
Selagi ia hendak berseru menegur, terdengarlah orang itu
sudah bicara, yang digunakan adalah semacam lwekang untuk
mengirim gelombang suara sehingga kedengaran serupa
orang berbisik di tepi telinganya.
Orang itu berkata padanya, "Jangan bersuara, aku adanya!"
Begitu mendengar suara orang ini, teketika hampir saja Nyo
Yam berjingkrak kegirangan.
Kiranya orang ini tak-lain-tak-bukan adalah Ce Se-kiat yang
diharapkannya. Sedapatnya Nyo Yam menahan perasaan sendiri, pelahan ia
membuka pintu kamar dan menyilakan orang masuk. Ia pun
balas tanya dengan ilmu gelombang suara, "He, kenapa dapat
kau susul kemari?"
"Aku sudah mengunjungi Cin-wan-piaukiok dan sudah
bertemu dengan Song Peng-ki," tutur se-kiat.
Selagi Nyo Yam hendak tanya dari mana Song Peng-ki
mengetahui dia datang ke tempat tinggal ayahnya ini, lebih
dulu Se-kiat sudah bicara lagi, "Kutahu banyak yang hendak
kau-tanyakan, tapi ceritanya terlalu panjang, sekarang bukan
waktunya untuk kita bicara. Biarlah kubawamu melihat
berbagai urusan dan barang aneh, mari ikut."
Timbul rasa ingin tahu Nyo Yam, ia coba tanya lagi, "Ke
mana" Urusan aneh apa?"
"Aku cuma tahu akan terjadi hal aneh, tentang tempatnya
masih harus kita cari," jawab se-kiat. "Bilamana kita dapat tiba
tepat waktunya mungkin masih dapat melihatnya."
Jawaban demikian sudah cukup aneh, malahan Se-kiat
lantas menambahkan. "Jika kau-percaya padaku boleh kau
ikut pergi."
Dengan sendirinya Nyo Yam percaya padanya, maka tanpa
tanya lagi ia lantas ikut berangkat.
Belum seberapa jauh. di bawah remang bulan Nyo Yam
melihat di tengah semak bunga sana bersembunyi satu orang,
serupa patung, hanya berdiri saja tanpa bergerak.
"Orang ini mungkin diperintahkan mengawasi dirimu, sudah
kututuk kaku dia," kata Se-kiat, "Penghuni beberapa rumah di
sekitar sini juga sudah kututuk hingga tertidur pulas, sebelum
siang esok mereka pasti takkan sadar kembali. Cuma bukan
mustahil masih akan datang jago kelas tinggi, peronda malam
juga entah akan berganti jaga kapan, maka kita perlu hati hati
sedikit." Bahwa Se-kiat telah menutuk orang itu tidak membuat Nyo
Yam heran, menurut dugaannya mungkin anak muda itu tidak
suka kedatangannya diketahui orang. Tapi bahwa sekian
banyak orang yang ditutuknya, ini membuat Nyo Yam
terheran-heran juga.
Ayah Nyo Yam, yaitu Nyo Bok, terhitung Kuku (paman. adik
ibu) Ce Se-kiat. Mengapa Se-kiat merasa seperti mengunjungi
tempat musuh terhadap tempat kediaman sang paman"
Ia pun merasa kurang sonang terhadap ucapan Se-kiat tadi
bahwa orang yang ditutuknya ini sedang mengawasi dia atas
perintah orang. Memangnya atas perintah siapa" Masa ayahku
juga perlu mengirim orang untuk mengawasi gerak-gerikku"
Karena percaya sang ayah pasti akan cuci tangan dan
kembali ke jalan yang benar. bila-mana yang bicara begitu
bukan Ce se-kiat, tentu dia akan mencurigai orang sengaja
hendak memecah belah mereka ayah dan anak. Tapi yang
bicara demikian adalah Se-kiat, mau tak mau membuatnya
sangsi juga. Ia tahu Se-kiat adalah pemuda yang suka
bertindak cermat, jika dia bicara demikian tentu ada
alasannya. Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan sebuah gardu
di samping gunung gunungan yang setengah tersembunyi. jika
bukan tamu yang biasa mengunjungi rumah keluarga Nyo
pasti takkan tahu di sini ada sebuah gardu taman.
"Apakah pernah kau datang ke sini?" Nyo Yam coba tanya.
"Tidak pernah," jawab Se-kiat.
Nyo Yam tambah heran. Namun Se-kiat sudah lantas
mendahuluinya masuk ke gardu itu
"Apakah gardu ini tempat rahasia yang kau maksudkan?"
tanya Nyo Yam. "Betul," jawab se-kiat. "Di mulai dan sinilah kita akan
mencari rahasianya selangkah demi selangkah."
Nyo Yam tidak tahu apa arti ucapannya. Ia coba mengawasi
gardu itu, terlihat di tengah ada sebuah meja batu. di atas
meja tertaruh papan catur dengan biji catur yang belum
selesai dimainkan.
Papan catur itu diukir di permukaan meja. lantai gardu juga
terbuat dari batu dan kaki meja batu itu itu pun seperti
lengket dengan lantai.
Dengan sangsi Nyo Yam berkata. "Bayangan setan pun
tidak ada di sini, yang ada cuma permainan catur yang belum
selesai, memangnya teka-teki apa yang kau simpan"!"
"Sebentar mesti kau tahu," jawab Se-kiat. "Sekarang
hendaknya kau teliti permainan catur ini dan ingat dengan
baik letak setiap biji caturnya."
Walaupun agak ruwet letak biji catur itr, untung daya ingat
Nyo Yam sangat bagus. ia mengawasi sebentar dan dapatlah
diingat seluruhnya dengan baik.
Di dalam gardu masih ada semacam barang aneh, yaitu
pada pilar batu tergantung dua buah gelang besi. entah apa
gunanya. Lantaran harus mengingat baik posisi catur yang
belum selesai termainkan itu. Nyo Yam tidak begitu menaruh
perhatian terhadap gelang besi pada pilar itu.
"Sudah ingat betul?" tanya Se-kiat kemudian.
Dengan cepat Nyo Yam memandang lagi sekali, lalu
menjawab, "Ya, rasanya dapat ku-pasang kembali pada
tempatnya bilamana biji catur ini diangkat."
"Dipasang kembali mungkin tidak perlu, paling-paling cuma
beberapa biji saja yang bergeser," kata Se-kiat dengan
tertawa. Selagi Nyo Yam merasa bingung, tiba-tiba dilihatnya Ce Sekiat
menarik tiga kali gelang besi sebelah kiri pada pilar batu
tadi. Lalu gelang besi sebelah kanan juga ditariknya empat
kali. Menyusul meja batu berikut batu landasannya mendadak
bergerak sehingga kelihatan sebuah liang.
Kiranya di sinilah letak sebuah jalan masuk ke bawah tanah.
Kejut dan girang Nyo Yam, tapi juga rada heran, tanyanya
"Dari mana kau tahu rahasia pesawat ini?"
Se-kiat hanya tertawa saja tanpa menjawab, sebaliknya
berkata, "Coba lihat papan catur tadi."
Waktu Nyo Yam memeriksa papan catur itu setelah meja
batu bergeser, ternyata benar ada beberapa biji catur di
atasnya juga berubah tempat. Dengan sangat mudah Nyo
Yam lantas mengembalikan biji catur itu ke tempat semula
sebagai telah diingatnya tadi. Sebagai anak muda yang cerdik
segera ia tahu duduknya perkara.
Rupanya catur yang dipasang di atas meja ini adalah
semacam penjagaan bilamana pesawat rahasia ini diketahui
orang. Bahwa sekarang Ce Se-kiat tahu caranya membuka
lubang rahasia di bawah tanah ini tentu karena dia pernah
mengintip rahasia ini.
Benar juga, segera didengarnya Se-kiat berkata, "Kau tahu,
sebabnya aku dapat membuka lubang rahasia ini adalah
karena kebetulan saja kulihat. Cuma sesudah membuka jalan
masuk rahasia ini segera orang itu masuk dan meja batu ini
pun segera kembali pada tempat semula, biji catur pada
papan catur ini juga tidak ada yang bergeser. Meski kutirukan
dia caranya membuka lubang rahasia ini, tapi aku tidak tahu
betapa keras tarikan pada gelang besi supaya tidak membuat
biji caturnya bergerak pada waktu meja batu bergeser.
makanya kuminta kau ingat betul letak biji catur semula."
Bicara sampai di sini, meja batu tadi kembali bergerak lagi
pelahan. "Mari kita lompat ke bawah, cuma harus hati-hati bila
terdapat perangkap di bawah," pesan Se-kiat.
Nyo Yam mengiakan. Segera mereka siap siaga dan
melompat ke bawah. Namun mereka dapat mencapai
permukaan tanah di bawah tanpa terjadi sesuatu.
Nyo Yam merasa lega, pikirnya, "Ayah membuat lorong di
bawah tanah ini mungkin disediakan bilamana terancam
bahaya dan segera dapat menyelamatkan diri. Dengan
memasang catur di atas meja itu, jika ada orang menyusup ke
sini, sekali lihat perubahan biji catur segera akan
diketahuinya."
Teringat demikian, segera ia tanya Se-kiat, "Siapa oiang
yang kau katakan tadi" Apakah ayahku?"


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan," jawab Se-kiat. "Cuma dia juga sudah kau kenal
dengan baik."
"Siapa?" Nyo Yam menegas.
"Sabar dulu," ucap Se-kiat. "Sebentar lagi tentu kau tahu
sendiri. Aku hanya ingin kau lihat kejadian yang sebenarnya."
Setelah meja di atas menutup kembali, keadaan di bawah
menjadi gelap gulita. Apa di depan ada lagi pesawat rahasia
juga tidak diketahui oleh Se kiat.
Dengan hati-hati keduanya lantas merambat maju dalam
kegelapan, setelah melalui sebuah lorong panjang, untung
tidak menemukan sesuatu perangkap.
"Sebentar tidak peduli apa pun yang kau lihat atau dengar,
hendaknya engkau menahan diri dan jangan bersuara," bisik
Se kiat. Belum Bukit Pemakan Manusia 10 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 7
^