Durjana Dan Ksatria 5

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 5


ya saja, apa yang
diucapkan Han-toako barusan membuatku bingung."
"Bingung bagaimana?" tanya Wi-bu.
"Kau bilang Cin-wan-piaukiok bukan milik kita lagi, apa
artinya ini?" tanya Koai-hoat Thio.
"Sebab aku tidak menjabat Congpiauthau lagi," tutur Han
Wi-bu. "Hari ini secara resmi aku mengundurkan diri, tentu
sudah kau ketahui."
"Justru lantaran Lau toako hendak mengundurkan diri,
maka sengaja kupulang kemari," ujar Koai-hoat Thio, "Cuma,
biarpun tidak menjabat Congpiauthau lagi, setengah bagian
dari Cin-wan-piaukiok kan tetap milikmu. Mengapa kau bilang
bukan lagi milik kita?"
Ia sengaja menandaskan kata-kata "kita" sehingga
membuat Han Wi-bu merasa sangsi, ucapnya dengan
tersenyum getir, "Tapi sudah kuputuskan takkan mengurus
lagi setengah bagian saham Cin-wan-piaukiok milikku itu, ada
maksudku hendak kuberikan . ..."
Kiranya dia menjadi putus asa, setelah menantunya kalah
bertanding, sudah diputuskannya sahamnya hendak
diserahkan sekalian kepada Congpiauthau baru, yaitu Ubun
Lui, hanya saja maksud ini belum sempat dikemukakannya.
Tak terduga Koai-hoat Thio lantas menukas, "Lautoako,
jangan sekali-kali kau berikan sahammu kepada orang lain.
Piaukiok ini adalah usaha bersama orang tua kedua keluarga
kita, betapapun aku tidak mau berkongsi dengan orang lain."
Keruan Han Wi bu terperanjat dan melongo, pikirnya, "Dari
nada ucapan Tc Sin ini agaknya dia bermaksud merebut
setengah bagian sahamnya. Dahulu dia kabur karena takut
ditangkap, mengapa hari ini dia seberani ini malah?"
Sungguh ia merasa sahabat lama ini telah berubah sama
sekali, entah mengembara ke mana saja selama 20 tahun ini,
bukan cuma suaranya rada berubah, bahkan wataknya juga
berubah. Kiranya Koai-hoat Thio ini masih mempunyai kepintaran
lain, yaitu mahir menirukan suara orang, hanya saja tidak
semahir Li si burik. Namun hanya sahabat lama saja seperti
Han Wi-bu yang pernah tinggal bersama yang dapat
mengenali suaranya.
Ubun Lui mendongkol karena tak diacuhkan, ia tidak tahan
dan akhirnya bersuara, "Kutahu Te-siansing ini mempunyai
hubungan erat dengan Cin-wan-piaukiok. Cuma, sebaiknya
urusan penting di-selesaikaa dulu baru nanti bercengkerama
lagi antara kenalan lama."
Segera Koai-hoat Thio menukas, "Betul kedatanganku ini
justru demi urusan penting piaukiok kita. Selama 20 tahun aku
tidak berjasa apa pun bagi piaukiok, sungguh harus
disesalkan. Tapi sekarang Han-toako sudah menyatakan
mengundurkan diri, urusan penting yang menyangkut jaya dan
runtuhnya piaukiok mau-tak-mnu aku harus ikut campur,"
Bicara sampai di sini, tangan Hui Thian-lan dipegangnya
dan berkata pula, "Orang yang menjabat Congpiauthau
memang penting ilmu silatnya harus tinggi, tapi yang lebih
penting kepribadiannya harus baik pula, harus dihormati dan
disegani sahabat kangouw. Kalau tidak, siapa yang mampu
menjelajahi seluruh negeri itu tanpa gangguan hanya dengan
sehelai panji pengenalnya" Maka itu Hiu-hiantit, aku tidak tahu
sebab apa engkau bertanding dengan orang, tapi kutahu
kungfumu tidak rendah, kepribadianmu pun terpuji, jika kalah
seketika juga tidak menjadi soal. Apakah engkau akan berhasil
menjadi Congpiauthau atau tidak, pendek kata kuminta
engkau tetap tinggal di Cin-wan-piaukiok."
Hiu Thian-lan tenenyum getir, ucapnya "Paman Te, sayang
Cin-wan-piaukiok tidak dapat dipimpin olehmu, kalau tidak,
kami rela menjadi anak buahmu."
Mendadak Ubun Lui mendengus, "Hm, apa yang diucapkan
Te-siansing cocok juga dengan pikiranku. Aku pun berharap
Hiu-piausu suka tetap tinggal di sini, cuma untuk ini kukira
tidak perlu minta jasa baikmu untuk bicara melainkan harus
kukatakan sendiri."
Koai-hoat Thio berlagak melengak dan memandang Ubun
Lui dengan terbelalak, sahutnya, "Wah, kalau aku tidak berhak
bicara bagi Cin-wan-piaukiok, memangnya engkau berhak"
Engkau ini ada sangkut-paut apa dengan piaukiok ini?"
Dengan tegak angkuh Ubun Lui menjawab, "Maaf, aku ini
pemegang enam bagian sero Cin-wan-piaukiok."
Kiranya dahulu waktu terjadi kasus Cin-wan-piaukiok, Nyo
Bok selain mencaplok setengah bagian saham yang dimiliki
keluarga Te, bahkan atas prakarsa komandan Han-lim-kun
dahulu, yaitu Lamkiong Bang, Han Wi-bu didesak untuk
memberikan satu daripada lima bagian saham yang
dipegangnya kepada Nyo Bok sebagai balas jasa
diselamatkannya Cin-wan-piaukiok. Sekarang seluruh saham
yang menjadi milik Nyo Bok itu dipindahkan kepada Ubun Lui,
makanya dia berani mengaku memegang enam bagian saham.
We Tiang-jing merasakan gelagat tidak enak, tapi ia pikir Te
Sin juga belum tentu bertindak melampaui batas, maka ia
coba menengahi, "Te" siansing, engkau baru saja pulang dan
belum tahu duduknya perkara. Ubun-siansing ini sekarang
adalah pemegang saham terbesar Cin-wan-piaukiok, bahkan
dalam pertandingan tadi dia telah mengalahkan Hiu-piausu
yang dipandang kungfunya paling kuat di antara anggota
piaukiok. atas persetujuan Han-lopiauthau dan kawan piausu
yang lain. Ubun-siansing telah menjabat Congpiauthau yang
baru." Koai-hoat Thio tidak merghiraukan keterangan We Tiangjing
itu sebaliknya bicara terhadap Han Wi-bu, "Hei, Hantoako,
jika demikian halnya, maka engkaulah yang salah.
Perusahaan yang didirikan leluhur kita dengan susah payah
mana boleh dipersembahkan kepada orang lain begitu saja?"
Begitulah Koai-hoat Thio berlagak kurang senang dan
mengomel, Han Wi-bu jadi mcLenggong. katanya, "Aku . . .
aku tidak ..."
"Saham yang dipegang Ubun-siansing bukan diberikan
olehmu?" tanya Koai-hoat Thio.
"Sebenarnya tadi mamang ada niatku seperti itu, tapi belum
terjadi," ujar Wi-bu
"Itu kan aneh," kata Koai-hoat Thio. "Baru saja ia bilang
memegang enam bagian dari seluruh saham Cin-wan-piaukiok,
lantas dan mana dia memperoleh enam bagian saham
tersebut?"
"Tentang itu aku pun tidak tahu," terpaksa Han Wi-bu
menjawab dengan menyengir.
Mendadak Ubun Lui berdiri, katanya, "Saham yang kumiliki
ini adalah pemberian Nyo-taijin ini kepadaku dengan We-taijin
sebagai saksi."
"Wah, itu tambah aneh lagi," seru Koai-hoat Thio. "Cinwan-
piaukiok didirikan bersama oleh keluarga Te dan keluarga
Han. Jika saham yang dipegang keluarga Han masih tetap
berada pada Han Wi-bu, lantas dari mana orang lain bisa
memegang saham Cin-wan-piaukiok" Seumpama saham
keluarga Han diserahkan seluruhnya kepadanya juga tidak
mungkin berjumlah enam bagian, apalagi Han-toako
menyatakan tidak pernah memindahkan sahamnya kepada
orang lain."
"Saham atas namaku hanya ada satu bagian kuberikan
kepada Nyo-taijin ini," tukas Han Wi-bu.
"Jika demikian, paling banyak Nyo-taijin ini kan cuma
memiliki satu bagian saham piaukiok ini, darimana pula dia
dapat menyerahkan enam bagian saham kepada Ubunsiansing"
Sungguh aneh!"
Muka Nyo Bok tampak merah padam, katanya, "Te Sin,
tampaknya engkau ini memang sengaja mencari perkara tanpa
sebab?" "Huh, tidak kutuduh engkau sengaja mengangkangi hak
orang lain, sekarang berbalik engkau mencela diriku?" jengek
Koai-hoat Thio. "Coba, ingin kutanya padamu, di mana
kebenaranmu dalam urusan ini?"
"Begini, pada waktu engkau pergi dulu, aku lantas masuk
Cin-wan-piaukiok dan menjabat wakil Congpiauthtau," jawab
Nyo Bok. "Beberapa tahun aku bertugas, lalu mengundurkan
diri. Setiap anggota piaukiok ini tahu aku adalah pemegang
saham merangkap menjadi wakil Congpiauthau."
"Apa yang kau katakan itu adalah dua urusan yang
berlainan," ujar Koai-hoat Thio. "Aku tidak peduli berdasarkan
apa engkau menjadi wakil Congpiauthau piaukiok ini, tapi
engkau sebagai pemagang saham Cin-wan Piaukok, untuk itu
harus ada buktinya. Dan bukti apa yang dapat kau perlihatkan
padaku?" Hendaknya dimaklumi, dahulu waktu Te Sin melarikan diri
bersama keluarga dari kota raja, sahamnya tidak pernah
dipindahkan kepada orang lain secara resmi, sebab itulah
menurut keadaan nyata, hak sahamnya hanya boleh dikatakan
"beku untuk sementara" dengan hak milik tetap dipegang
olehnya. Bahwa Nyo Bok diberi hak saham untuk menggantikan Te
Sin, hal ini hanya berdasarkan usul komandan Han-lim-kun
waktu itu. yaitu Lam kiong Bang, sebagai syarat pertukaran
takkan mengusut tersangkutnya Cin-wan-piankiok dengan
perkara pengkhianatan.
Perkara yang dituduhkan kepada keluarga Te waktu itu juga
tidak pernah di usut oleh pihak kerajaan secara terbuka, maka
apa yang menjadi hak milik keluarga Te lantas dicaplok begitu
saja masuk saku pribadi Lamkiong Bang,
Sungguh tidak ada yang menyangka bahwa nggota
keluarga Te masih berani lagi pulang, maka tanpa gentar Nyo
Bok lantas menganggap dirinya pemegang saham terbesar
Cin-wan-piaukiok, siapa tahu sekarang bisa timbul kericuhan.
Jika Nyo Bok hendak menggunakan alasan "feit acompli"
untuk memperkuat haknya, yaitu menurut kenyataan yang
sudah telanjur terjadi, maka Koai-hoat Thio justru
menggunakan kelemahan lawan yang korupsi dan manipulasi
itu dan minta orang memberi bukti. Keruan seketika Nyo Bok
tidak dapat omong.
We Tiang-jing berdehem, lalu berkata, "Te-siansing,
kejadian 20 tahun yang lalu mungkin engkau tidak ingat lagi
seketika. Tapi kuingat waktu itu seperti . seperti ditangani oleh
pemerintah .. , ."
Di balik ucapannya sebenarnya dia hendak memperingatkan
agar "Te Sin" jangan melupakan perkaranya dan supaya
mundur teratur.
Tak terduga Koai-hoat Thio justru berlagak tidak mengerti
akan maksudnya, ia berbalik menjengek, "Ya, kuingat waktu
itu We-taijin juga belum dinas di kotaraja, entah dari mana
Taijin mengetahui urusan Cin-wan-piaukiok. Kalau tidak salah,
waktu itu We-taijin seperti .... seperti masih menjadi ."
Kiranya pada 20 tahun yang lalu We Tiang-jing adalah
tokoh kalangan hitam, dengan sendirinya ia kuatir orang
membeberkan boroknya itu.
Ia tidak menyangka orang berani berbantah terangterangan
dengan dia, keruan ia mendongkol, dengan muka
merah ia berkata, "Urusan Cin-wan-piaukiok kudengar dari
komandan Han-lim-kun dahulu, yaitu Lamkiong Bang."
"Tapi aku tidak tahu apa betul Lamkiong-taijin pernah...."
Belum lanjut ucapan Koai-hoat Thio. dari malu We Tiongjing
menjadi gusar, jengeknya "Hm, Lamkiong-tongling sudah
lama meninggal, apakah maksudmu hendak menuduh aku
berdusta dan sengaja menjadi saksi palsu?"
Nyata ia hendak menakuti "Te Sin" dalam kedudukannya
sebagai wakil komandan pasukan pengawal istana.
Akan tetapi Koai-hoat Thio tetap tidak gentar, katanya, "Ah,
mana kuberani. Maksudku jika hanya menunjukkan saksi
bicara saja tanpa bukti nyata, inilah yang tidak dapat
kuterima."
Sampai di sini, pelahan ia lantas membuka bungkusannya
dan berkata pula, "Nah, coba lihat, tiap jual beli tentu harus
ada buktinya. Beli rumah ada kuitansi, beli tanah ada
sertifikat. Jual-beli saham piaukiok terlebih harus melalui
kantor pemerintah yang berwenang membuat kontrak jual-beli
secara resmi dan terdaftar di jawatan yang bersangkutan."
Begitulah ia mengeluarkan semua bukti dokumen yang
dibawanya dan ditaruh di atas meja, lalu katanya pula, "Inilah
akte pendirian Cin-wan-siaukiok antara keluarga Te kami dan
keluarga Han dengan saham-sahamnya, semuanya terdaftar
secara resmi dan dibuat rangkap dua, masing-masing
dipegang oleh keluarga Te dan Han. Sekarang kalau Ubunsiansing
menyatakan dia memiliki enam bagian dari
keseluruhan saham Cin-wan-piaukiok, maka kuminta dia juga
memperlihatkan semua buktinya."
Tentu saja We Tiang-jmg sangat gemas karena orang tak
dapat digertak, ia pikir, "Baik, sementara ini engkau boleh
mentang-mentang, selang hari ini bilamana engkau tetap
berada di Cin-wan-piaukiok tentu ada caraku akan
mengerjaimu."
Menghadapi daging yang tinggal dimakan dan mendadak
terlepas, tentu saja Ubun Lui tidak tahan, segera ia berteriak,
"Aku tidak peduli apa buktimu, yang jelas saham yang kubeli
dengan berpuluh laksa tahil perak ini kulakukan secara sah
dengan saksi mata We-taijin."
"Itu kan urusan jual-beli antara Nyo-taijin denganmu, aku
terlebih tidak peduli," jengek Koai-hoat Thio.
Seorang jago tua dari Hui-ma-piaukiok bernama Be Thianhoa
ikut bicara, "Ubun-siansing, hendaknya engkau jangan
gelisah. Di kotaraja yang merupakan pusat pemerintahan ini
segala urusan tentu harus menurut undang-undang. Jika
penjual tidak dapat menyerahkan barangnya engkau ada hak
untuk minta uang kembali dan ganti rugi. Apalagi jual-beli
disaksikan oleh We-taijin, masa perlu kuatir?"
"Apa katamu" Kau anggap aku jual kosong tanpa memiliki
sesuatu barang?" mendadak Nyo Bok berteriak dengan muka
merah. "Ah, kukira ada sedikit salah paham dalam urusan ini, aku
sendiri pun tidak jelas." sela We Tiang-jing. "Cuma, apa pun
juga Nyo-taijin tak dapat kau anggap menjual barang yang
tidak ada, sedikitnya dia kan memegang satu bagian saham
pemberian Han-lopiauthau, satu bagian saham ini jelas
dibuktikan dengan surat resmi."
Ubun Lui disadarkan oleh ucapan We Tiang-jing itu, segera
ia ngotot lagi, katanya, "Betul, mengenai lima bagian saham
yang lain sesungguhnya hak milik siapa, sengketa ini biarlah


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti saja diputuskan oleh pihak yang berwajib. Namun aku
jelas memiliki satu bagian saham paling sedikit, maka aku
tetap pemegang saham Cin-wan-piaukiok ini."
"Baiklah, boleh kuakui engkau adalah pemegang saham
kecil, lalu apa yang hendak kau-kemukakan?" kata Koai-hoat
Thio. "Tentang calon Congpiauthau tentu aku berhak ikut
menentukan," jawab Ubun Lui. "Tadi Han-lopiauthau sudah
menyatakan hal ini dan disetujui orang banyak, bahwa jabatan
Congpiauthau harus diserahkan kepada orang piaukiok yang
paling tinggi kungfunya."
"Betul, aku setuju," seru Koai-hoat Thio. "Aku kan
pemegang saham terbesar, tentu aku terlebih ingin
mendapatkan Congpiauthau andalan sehingga piaukiok ini
akan tambah maju dan jaya."
We Tiang-jing berdehem, katanya, "Baiklah, jika soal ini
sudah disepakati semua orang, maka urusan akan mudah
diselesaikan. Baru saja Ubun-siansing ini telah mengalahkan
Hiu-piausu, anggota piaukiok yang lain juga menyerah. Cuma
semua itu terjadi sebelum Te-siansing muncul di sini, entah
sekarang engtau juga ingin bertanding dengan Ubun-siansing
atau engkau akan mengajukan seorang jagomu untuk
bertanding dengan dia?"
"Bicara terus terang, bukan maksudku anti Ubun-siansing
menjadi Congpiauthau bila dia memang menguasai kungfu
tinggi," kata Koai-hoat Thio. "Untuk mengujinya, akan kusuruh
muridku bertanding dengan dia, jika dia dapat mengalahkan
muridku, tentu dapat kupercayai dia."
Tanpa disuruh lagi segera Ce Se-kiat tampil ke depan, ia
memberi hormat kepada hadirin dan berseru, "Selamat para
Cianpwe. Jabatan Congpiauthau sebenarnya tidak berani
kuharapkan. Tapi atas perintah guru, terpaksa kuminta
petunjuk beberapa jurus kepada Ubun Siansing."
Terhadap Te Sin sedikit banyak Ubun Lui masih gentar,
sekarang murid orang yang disuruh maju, seketika hati
merasa lega, pikirnya, "Bocah ini baru berumur likuran,
umpama dia mulai berlatih sejak berada dalam rahim ibunya
juga takkan melebihiku."
Ia tidak membantah, diam-diam ia merasa senang, mengira
dirinya telah berhasil membantu Ubun Lui.
Ubun Lui juga cukup cerdik, ia dapat menangkap maksud
ucapan We Tiang-jing, segera ia pasang kuda-kuda dan
berseru, "Bagus, sudah lama kudengar kelihaian Liok-hap-kun
keluarga Te, silakan Nyo-heng memberi petunjuk dengan Liokiap-
kun!" "Nanti dulu!" tiba-tiba Koai-hoat Thio mencegah dengan
tersenyum. "Te-siansing ada petunjuk spa?" tanya Ubun Lui dengan
melengak. "Apakah engkau ingin menjadi pemegang saham terbesar?"
tanya Koai-hoat Thio.
Ubun Lui kurang senang, jawabnya ketus. "Menanya apa
maksudmu?"
"Aku ingin bertaruh sedikit denganmu," kata Koai-hoat Thio.
"Begini, jika muridku dapat kau kalahkan, segera akan
kuberikan lima bagian saham Cin-wan-piaukiok milikku
kepadamu. Sebaliknya jika muridku menang, satu bagian
sahammu itu pun harus kau berikan kepada muridku."
Ubun Lui yakin pasti akan menang, maka ia tergelak sambil
mendongak, katanya, "Ah, cara begini apakah tukik tidak
terlampau menguntungkan diriku."
"Haha, terimu kasih atas penghargaanmu terhadap Liokhap-
kun kami, untuk itu harus ku balas maksud baikmu,"
sahut Koai hoat thio dengan tertawa. "Berbareng itu
pertaruhan ini boleh dikatakan menambah sedikit dorongan
kepada muridku. Meski Liok-hap kun yang di latihnya belum
cukup sempurna, tapi bila beruntung dia menang adalah satu
kejutan baginya. Pendek kata, apakah engkau akan
mendapatkan lima bagian sahamku atau sebagian sahammu
akan jatuh kepada muridku, yang jelas aku telah memberi
jasa-jasa baik kepada kedua pihak. Betul tidak?"
"Hm, bagus, kuterima jasa baikmu ini," jengek Ubun Lui.
"Nah, tidak perlu banyak omong lagi, suruh muridmu maju
saja." Tanpa disuruh Se-kiat lantas tampil ke depan, katanya,
"Tadi engkau sudah bertanding, biarlah kuberi tiga jurus
padamu." Ubun Lui menarik muka, ucapnya dengan menyeringai,
"Hm, besar amat suaramu."
Meski bicara demikian, ia pun tidak sungkan lagi, kontan ia
menghantam. Dengan enteng Se-kiat mengegos sehingga pukulan Ubun
Lui mengenai tempat kosong.
Diam-diam We Tiang-jing terkejut, ia pikir, "Ginkang bocah
ini ternyata jauh lebih hebat daripada Te Sin. tapi tampaknya
belum setinggi Nyo Yam."
Te Sin yang dikenalnya 20 tahun yang lalu memang hebat,
tapi ginkang "Te Sin" sekarang apakah jauh lebih maju
tidaklah diketahuinya. Sebab itulah meski curiga ia tetap tidak
berani menuduh Se-kiat memalsukan diri sebagai murid
keluarga Te. Karena pukulannya mengenai tempat kosong Ubun Lui juga
terkesiap, diam-diam ia mengakui lawan muda ini tidak boleh
dipandang ringan.
Mendadak gerak tubuhnya berubah, ia menyerang dengan
kepalan dan telapak tangan bergantian, dikeluarkannya jurus
serangan maut Pek-toh-san.
---ooo0dw0ooo---
Jilid ke - 8 Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba Ce Se-kiat
menggeser ke samping sehingga pukulan Ubun Lui tidak
mencapai sasaran.
Walaupun begitu, saking cepatnya, tangan Ubun Lui
tampaknya seperti menyerempet pundak Se-kiat. Diam-diam
Se-kiat merasa lega setelah terhindar dari serangan maut
lawan. Ma Thian-hoa, pemimpin Hui-ma-piaukiok, merasa
penasaran melihat serangan Ubun Lui itu, jengeknya, "Hm,
orang sengaja mengalah tiga jurus-padamu, tapi kau serang
sekeji itu, sungguh tidak tahu malu."
Maklumlah, tulang pundak adalah bagian yang penting,
bilamana remuk, selama hidup sukar lagi berlatih ilmu silat.
Ubun Lui berlagak tidak mendengar ejekan Ma Thian-hoa
tadi, kembali ia menyerang lagi dengan cepat, tetap dengan
pukulan telapak tangan dan kepalan sekaligus, malahan
bertambah aneh gerak perubahannya.
Maka terdengarlah suara "blang" yang keras, dengan cepat
punggung Ce Se-kiat terkena pukulan.
Kiranya ginkang Se-kiat meski cukup tinggi, tapi belum
mencapai tingkatan kelas satu, jangankan tidak dapat
membandingi Nyo Yam, dibandingkan Liong Leng-ca juga
masih kalah. Betapa lihai tenaga pukulan Ubun Lui sudah disaksikan
orang banyak ketika menempur Hiu Thian-lan tadi.- Sekarang
Ce Se-kiat terkena pukulannya, hal ini membuat semua orang
sama terkejut, mereka mengira andaikan Se-kiat tidak mati
juga pasti akan terluka parah.
Siapa tahu tubuh Se-kiat hanya bergeliat sedikit. Sebaliknya
Ubun Lui malah tergetar mundur dua tindak.
Rupanya meski Ce Se-kiat tidak balas menyerang, namun
ilmu sakti pelindung tubuhnya cukup kuat untuk menggetar
mundur Ubun Lui.
"Kalau menerima tanpa memberi kurang sopan," bentak Sekiat
mendadak. "Tiga jurus sudah kuberikan, sekarang akan
kubalas serang. Nah, awas!"
Habis berkata ia melancarkan suatu pukulan yang sangat
umum. Dengan sendirinya Ubun Lui dapat menangkisnya
dengan mudah. Berturut-turut Se-kiat menyerang lagi
beberapa jurus yang jamak dari berbagai aliran.
Tampaknya Ubun Lui tidak sabar, bentaknya, "Aku ingin
belajar kenal dengan Liok-hap-kun. kenapa Nyo-heng tidak
berani memainkannya" Apa barangkali Liok-hap-kun kalian
malu diperlihatkan kepada orang?"
Hendaknya maklum, setelah saling gebrak, Ubun Lui sudah
merasakan kekuatan lawan berada di atas sendiri, ia pikir bila
lawan menggunakan Liok-hap-kun yang belum masak terlatih,
tentu dirinya ada kesempatan untuk mengalahkannya.
Tiba-tiba Se-kiat mendengus, "Hm, potong ayam masakah
perlu pakai golok jagal" Cuma, jika benar kau ingin belajar
kenal Liok-hap-kun baik, akan kuperlihatkan padamu."
Habis bicara sekaligus ia melancarkan tiga jurus "Kim-kehtoat-
bi" (ayam emas berebut beras), "Beng-hou-tiau-kan"
(harimau buas melompati sungai) dan "Su-ih-hok-pin"
(menjelajah segenap penjuru menaklukkan musuh), semuanya
memang benar jurus serangan Liok-hap-kun.
Kiranya Liok-hap-kun adalah sejenis ilmu silat yang sangat
popiler pada waktu itu, meski Se-kiat tidak pernah
mempelajarinya secara khusus, tapi gerak tipunya pernah
dilihatnya. Sekarang ditirunya begitu saja dan ternyata cukup
memadai juga. Cuma para jago yang menyaksikannya sama bekernyit
kening, mereka sama pikir mengapa ahli waris keluarga Te
sedemikian konyol" Namun begitu permainan Ce Se-kiat itu
memang benar Liok-hap-kun dan takdapat disangkal oleh
siapa pun juga.
Tapi lantaran dia hanya memainkan secara lahiriah tanpa
menghayati intisarinya, maka Se-kiat harus lebih banyak
mengeluarkan tenaga dan banyak juga kesempatan untuk
menang diabaikannya.
Untung dasar lwekangnya didukung oleh ilmu sakti Liongsiang-
kang tingkat kedelapan yang telah dilatihnya, biarpun di
sana-sini ada titik kelemahan Liok-hap-kun yang
dimainkannya, namun sukar juga begi Ubun Lui untuk
menjatuhkannya.
Ubun Lui sangat cerdik, sedapatnya ia menghindari
bentrokan keras lawan keras, tapi mencari peluang untuk
menyerang dengan Beng-toh-ciang-hoat yang lihai. Ia terus
berputar kian kemari, selalu mengincar tempat maut di tubuh
Se-kiat, bilamana terpukul dengan telak, biarpun Se-kiat
memiliki ilmu sakti pelindung badan juga akan terluka parah.
Diam-diam bekas sahabat Te Sim dulu sama berkuatir bagi
guru dan murid itu, mereka sama pikir, "Te tua ini sungguh
terlalu tinggi hati, jika ia maju sendiri mungkin ada
kesempatan untuk menang. Tapi permainan Liok-hap-kun
muridnya ini jelas sangat jelek, mana bisa mengalahkan Ubun
Lui?" Dalam pada itu Han Wi-bu sudah dapat meraba sedikit
maksud tujuan Ce Se-kiat, demi mendengar keluhan jago-jago
tua itu, ia sengaja tanya Te Sim gadungan, "Eh, Te-laute, dari
mana kau -dapatkan murid yang sudah punya dasar ilmu silat
ini?" We Tiang-jing juga ikut tanya, "Dahulu dia dari perguruan
mana?" "Ah, dari perguruan apa?" jawab Te Sim ga dungan alias
Koat-hoai Thio. "Dia memang pernah belajar beberapa jurus
cakar kucing dari beberapa orang, tapi semuanya cuma jurus
yang sering terlihat di dunia kangouw, dia belajar dengan guru
silat kampungan saja."
"Oo, kiranya begitu, pantas ..."
"Pantas apa?" sela Koai-hoat Thio sebelum lanjut ucapan
Han Wi-bu. Ma Thian-hoa, pemimpin Hui-ma-piaukiok itu juga seorang
yang berwatak lugu, ia ikut bicara, "Maafkan jika kubicara
terus terang. Te tua, tampaknya latihan Liok-hap-kun
muridmu ini belum cukup masak. Jika benar dia berguru
padamu dengan membawa dasar ilmu silat golongan lain,
kenapa sekarang tidak kau suruh dia mengeluarkan segenap
kemahirannya?"
Koai-hoat Thio bicara dengan lagak serius, "Sekali bicara
seorang lelaki sejati betapapun tidak boleh dijilat kembali.
Betapapun dia sekarang adalah muridku, mana boleh dia
bertanding dengan orang lain tanpa menggunakan Liok-hapkun
ke hiarga Te kami?"
"Bagus, memang tepat!" seru We Tiang-jing sambil
memperlihatkan ibu jari. "Seorang Piauthau terkemuka tetap
berjiwa ksatria. Pertandingan muridmu ini boleh dikatakan
demi nama baik perguruan, juga berusaha berebut kembali
saham Cin wan-piaukiok yang jatuh di tangan orang luar.
Bilamana dia menang dengan menggunakan kungfu perguruan
lain, apa pun tidak gemilang kemenangannya itu."
Sembari bicara, sikapnya jelas memperlihatkan ejekan.
Ma Thian-hoa sangat mendongkol, segera ia bermaksud
menyindirnya, namun Han Wi-bu keburu mencegahnya.
"Ehh, apakah We-taijin juga merasa Liok-hap-kun muridku
ini terlampau di bawah ukuran?" tanya Koai-hoat Thio
"Ah, masa begitu?" jawab We Tiang-jing. "Kutahu
permainan muridmu itu adalah Liok-hap-kun tulen, baru
setahun ia belajar dan sudah sehebat ini. sungguh harus
dipuji." Ia kuatir Ce Se-kiat akan terdesak hingga ganti ilmu silat
kemahirannya, maka ia sengaja memuji Liok-hap-kun yang
dimainkannya. Tapi karena pujiannya ini sama juga dia telah mengaku Ce
Se-kiat memang benar murid Te Sim.
Selagi mereka bicara itulah orang lain juga ramai
membicarakannya.
Meski para tamu itu kebanyakan adalah sahabat karib Han
Wi-bu dan Te Sim, tapi sebagian juga manusia yang suka
mengekor menurut arah angin.
Orang-orang mi hendak pamer pengetahuan sendiri dalam
hal ilmu silat, sekaligus juga memberi angin kepada Ubun Lui,
maka ramai menyebut berbagai kelemahan Liok-hap-kun yang
dimainkan Ce Se-kiat itu, malahan ada yang memberi contoh
gerakan tangan untuk menyatakan cara permainan yang
benar. Padahal Liok-hap-kun pada waktu itu adalah ilmu silat yang
sangat umum, setiap orang yang bekerja di piaukiok
kebanyakan pernah mempelajarinya. Mereka tidak tahu bahwa
pada hakikatnya Ce Se-kiat tidak pernah belajar Liok-hap-kun
segala, apalagi belajar pada Te Sim.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sendirinya olok-olok mereka itu kebetulan malah
bagi Ce Se-kiat.
Mendadak Se-kiat tertawa panjang dan berseru, "Haha, ada
yang memuji kebagusan Liok-hap-kun yang kumainkan, tapi
ada juga yang mengejek. Aku sendiri tidak tahu apakah
permainanku memang bagus atau jelek, yang jelas telah
kukeluarkan segenap kemampuanku sebagai tanda terima
kasihku atas perhatian hadirin padaku."
Sembari bicara, sekaligus ia menghantam tiga kali dan
menahas tiga kali pula dengan telapak tangan sehingga Ubun
Lui dipaksa mundur beberapa tindak.
Seketika orang-orang yang mengoceh tadi sama cep-klakep
alias bungkam, mereka sama pikir. "Bocah ini sungguh rada
aneh. Sekalipun dia menirukan petunjukku, sedikitnya kan
perlu berlatih dulu, kenapa begitu saja meniru lantas berhasil
dengan baik?"
Mereka tidak tahu bahwa Ce Se-kiat mempunyai dasar
Liong-siang-kang (ilmu sakti gajah dan naga) tingkat ke
delapan, meski dia memainkan Liok-hap-kun secara biasa saja
Ubun lui tidak mampu mengalahkannya, apalagi sekarang dia
menyerang dengan mengerahkan tenaga dalam, kutu saja
Ubun Lui semakin kewalahan,
Akhirnya Ubun Lui merasa gemas juga, mendadak ia
melompat ke atas dan menghantam batok kepala Se-kiat dari
atas. Cepat Se-kiat menggeser ke samping, tangan kanan
menangkis dan tangan kiri balas menabas.
Melihat kelihaian Se-kiat, mau-tak-mau We Tiang-jing
berkerut kening, beberapa jago tua juga bersorak tanpa
terasa. Tipu serangan Ubun Lui tadi sebenarnya masih ada
beberapa gerak ikutan, tapi karena tangkisan dan serangan
Se-kiat, semua gerak ikutannya menjadi buyar, bahkan
tergetar mundur dan hampir saja jatuh terjungkal.
Segera Jui Lip-sing berdehem, serunya, "Eh, katanya
pertandingan ini akan berakhir bilamana salah satu pihak
tersentuh jatuh, tampaknya sekarang sudah dapat diakhiri
saja." Mendadak Ubun Lui melompat maju lagi sambil berteriak,
"Siapa bilang aku kalah?"
Berbareng We Tiang-jing juga berkata, "Dalam
pertandingan adalah jamak bilamana terdesak selurus dua.
Bahwa sampai sekarang Nyo-laute ini baru lebih unggul satu
jurus, kukira belum waktunya untuk diputuskan sudah
menang. Betul tidak, Te siansing?"
"Siapa yang bilang pertandingan berakhir bila mana salah
satu pihak tersentuh saja?" tanya Koai-hoat Thio.
"Tadi hal ini telah dikemukakan orang ketika menantu
kesayangan Han-lopiauthau bertanding dengan Ubun Lui,"
kata We Tiang-jing, ia mempertegas "telah dikemukakan",
artinya belum mendapat kesepakatan bersama sebagai
peraturan pertandingan.
Koai-hoat Thio menggeleng kepala dan berucap, "Watakku
suka berterus terang dan lugas, kalau mau bertanding, maka
biarlah berhantam secara tuntas dan menentukan kalah
menang dengan jelas, masa pakai berakhir bila tersentuh
segala, kan terlampau bertele-tele seperti orang perempuan
saja. Aku tidak setuju!"
"Hahahaha!" We Tiang-jing tergelak. "Ucapan Te-siansing
sungguh menyenangkan. Memang betul, jika pertandingan
harus dibatasi dengan macam macam peraturan, jelas banyak
kungfu sejati yang tidak dapat dikeluarkan. Bicara terus
terang, tadi aku pun tidak setuju. Cuma aku orang di luar garis
sehingga tidak enak untuk ikut bicara "
Maksud Jui Lip-sing sebenarnya ingin membla Te Sim, tak
terduga "Te Sim" sendiri malah bicara demikian, keruan ia
mendongkol. Dalam pada itu Ubun Lui sudah mulai mendahului
menyerang lagi, meski tidak sampai kelabakan, namun jelas
Ce Se-kiat lebih banyak bertahan daripada balas menyerang.
Selagi Jui Lip-sing gemas terhadap keceroboh dan Te Sim
dan juga berkuatir bagi Ce Se-kiat, tiba-tiba tercium olehnya
semacam bau harum yang aneh.
Kiranya pada waktu ia melompat mundur tadi, ketika
bergerak hampir roboh, di luar perhatian orang diam-diam ia
mengeluarkan dua biji "Sin-sian-wan" yang berkadar tinggi
dan digenggam erat. Setelah melancarkan beberapa kali
pukulan, suhu panas genggamannya telah mencairkan kedua
biji obat itu. Dengan demikian biarpun yang di latihnya bukan
pukulan berbisa, namun tangannya serupa sudah dipoles
racun. Sin-sian-wan atau pil malaikat dewata itu berbau yang
membuat orang mengantuk. Orang yang langsung mencium
baunva seketika akan merasa lemas.
Segera Jui Lip-sing bersuara heran, " Hei, bau apa ini"
Apakah kalian juga menciumnya?"
Ma Thian-hoa juga berkerut kening, katanya, "Ya, bau ini
serupa bau obat yang biasa digunakan orang Pek-toh-san
untuk meracuni orang. Meski aku tidak pernah makan pil
semacam itu, tapi pernah kudengar orang bercerita, katanya
kadar racunnya serupa candu, bahkan jauh lebih lihai daripada
candu." "Hah, itu namanya Sin-sian-wan!" seorang jago tua yang
berjuluk "serba tahu" berseru, "Konon obat ini dibuat dari
sejenis tumbuhan bernama ganja, dan lebih keras daripada
candu. Di Pek loh-san banyak tanaman ganja, ada sekawanan
penjahat bersembunyi di sana dan khusus membuat obat
racun semacam ini untuk mencari keuntungan dan membikin
celaka manusia. Sejak tahun yang lalu di dunia Kangouw
sudah beredar obat racun buatan kawanan penjahat dari Pektoh-
san ini." Meski orang piaukiok biasanya berpengalaman luas juga,
tapi cuma sedikit yang kenal Pek-toh-san dan Sin-sian-wan
yang disebut-sebut itu, maka beramai beberapa orang lantas
tanya, "Eh, di manakah letak Pek-toh-san" Siapakah pemimpin
kawanan penjahat itu?"
Si "serba tahu" tampik gembira, jawabnya dengan tertawa,
"Aku pun baru mendengar akhir akhir ini, kabarnya Pek-tohsan
adalah sebuah gunung yang terletak antara perbatasan
Tiongkok dan India, penguasa pegunungan itu bernama Ubun
Pok." Ma Thian-hoa berlagak terkejut, lalu pura-pura baru tahu
duduknya perkara, katanya, "Orang yang she Ubun sangat
sedikit, kiranya Pek-toh sancu itu juga she Ubun?"
Ia sengaja menekan kata "juga", maka biarpun orang yang
berpikiran lamban pasti juga akan berpikir mengenai Ubun Lui
yang sedang bergebrak dengan Ce Se-kiat ini.
Tentu saja We Tiang-jing kurang senang, ia menarik muka
dan menegur si "serba tahu", "Memangnya kau sendiri pernah
makan Sin-sian-wan" Pernah kau lihat Pek-toh-sancu?"
Biarpun serba tahu, namun nyalinya kecil, apalagi
bermusuhan dengan pembesar, tiba-tiba teringat olehnya
Ubun Lui datang bersama We Tiang jing, jika benar Ubun Lui
orang Pek-toh-san, jelas We Tiang-jing juga ada hubungan
erat dengan Pek-toh-san.
Karena pikiran itu ia menjadi gugup, dengan gelagapan ia
menjawab, "O, kan sudah sudah kukatakan, aku cuma
mendengar cerita orang saja!"
Dalam pada itu Ubun Lui sedang terdesak oleh serangan Ce
Se-kiai, namun semua percakapan orang itu dapat
didengarnya dengan jelas, mau tak-mau ia pun rada gugup.
Segera ia gunakan Iwekang untuk menahan hawa berbisa
obatnya itu agar tidak buyar.
Sin-sian-wan itu serupa candu, termasuk racun yang
bekerja lambat, kalau dimakan akan membuat orang
ketagihan, lama-lama orang yang sudah keracunan ini menjadi
sampah yang tak berguna, cuma tidak keracunan dengan
segera. Setelah dia menghentikan buyarnya bau Sin sian-wan, rasa
mengantuk orang lantas banyak berkurang, ketika
mengerahkan tenaga juga tidak ada tanda keracunan, maka
legalah hati mereka. Malahan sebagian orang lantas
meragukan keterangan si "serba tahu" tadi dan
menganggapnya cuma membual belaka.
We Tiang-jing lantas mendengus, "Hm, kabar-nya, cuma
kabarnya lantas kau anggap sungguhan" Apakah ada kawanan
penjahat Pek-toh-san seperti ceritamu tadi tidak jelas bagiku,
aku cuma tahu Ubun-heng ini adalah sahabat Congkoan-taijin
kami. Dan sahabat Cong-koan-taijin apakah mungkin
penjahat?"
Dengan kening bekernyit Jui Lip-sing menanggapi, "Dengan
sendirinya kami percaya penuh kepada Congkoan-taijin dan
juga We-taijin, mustahil sahabat Congkoan adalah kaum
penjahat. Hanya saja tadi aku memang mencium semacam
bau yang sangat aneh."
"Hm, mungkin hidangmu jauh lebih tajam daripada orang
lain, padahal aku tidak mencium bau apa pun," jengek We
Tiang-jing. "Kalau ada bau, kukira paling-paling cuma bau
keringat orang banyak."
"Betul, aku pun tidak mencium bau apa pun." timbrung
Koai-hoat Thio tiba-tiba.
"Nah, betul tidak," seru We Tiang-jing deng girang. "Tesiansing
juga tidak mencium sesuatu bau, bilamana benar
Ubun-siansing memakai Sin sian-wan segala, masa Te-siansing
tidak kuatir muridnya akan keracunan?"
Sungguh bingung dan tambah mendongkol Ji Lip-sing
karena berulang-ulang "Te Sim" justru bicara membela pihak
lawan. Dengan gemas ia mendengus terhadap Koai-hoat Thio,
"Hm, setelah berpisah berpuluh tahun, apakah baik-baik saja
engkau?" "Baik, baik sekali, aku senantiasa sehat walafiat," jawab
Koai-hoat Thio.
"Tapi aku meragukan jangan-jangan engkau mengidap sakit
linglung." ucap Jui Lip-sing dengan mendongkol.
"Ah, jangan Jui-toako bercanda," ujar Ke hoat Thio. "Bicara
terus terang, jika benar muridku sampai keracunan, rasanya
aku pun tak menyalahkan orang yang menggunakan racun !"
"Oo, dalil macam apakah itu" Coba jelaskan" sela Ma Thianhoa.
"Cukup sederhana," kata Koai-hoat Thio. "Bila mana engkau
kepergok bandit yang merampas barang kawalanmu, apakah
engkau dapat melarang bandit itu menggunakan racun?"
"Tapi yang sedang bertanding kan orang piau-ok sendiri?"
ujar Ma Thian-hoa.
"Apa tujuan pertandingan ini?" tanya Koai hoat Thio
mendadak "Bukankah karena kita ingin encari seorang yang
paling cocok untuk menjadi congpiauthau" Maka pertandingan
ini bebas untuk berbuat apapun, boleh menggunakan am-gi
(senjata hasia), boleh juga memakai racun, kalau calon
congpiauthau kita sanggup menahan semua serangan itu
bukankah terlebih bagus buat kita?"
"Tapi tadi kita sudah menyatakan di muka umum bahwa
tidak boleh menggunakan racun," Ma sian-hoa.
"Yang kau maksudkan tadi apakah waktu terjadi
pertandingan antara Hiu Thian-lan dengan Ubun-siansing?"
tanya Koai-hoat Thio
Betul," jawab Ma Thian-hoa. " Haha, tadi urusan tadi,
sekarang urusan sekarang," seru Koai-hoat Thio dengan
tertawa. "Sekarang yang bertanding adalah Ubun-siansing
dengan muridku, yang kuharapkan adalah Cin-wan-piaukiok
akan dipimpin seorang Congpiauthau perkasa, maka menurut
pendapatku, biarkan saja meereka bertanding secara bebas."
"Haha, tepat sekali ucapan Te-lopiauthau, sungguh
bijaksana, haha . . " mendadak suara tertawa We Tiang-jing
terhenti dan terbatuk-batuk.
Rupanya selagi bicara mendadak ia mencium bau harum
yang menusuk hidung dan napas pun terasa sesak.
Saat itu Ubun Lui sedang menghimpun gas racun dari pil
yang digenggamnya itu dan menyerang Ce Se-kiat secara
langsung. Bau Sin-sian-wan ini sangat harum dan memabukkan,
cukup terisap sedikit saja akan membuat orang kemalasan
serupa mabuk arak, bila terisap banyak bahkan bisa
menimbulkan khayalan serupa terbang ke surga dan membuat
orang menjadi gila.
Akan tetapi sudah sekian lamanya Ce Se-kiat tetap
bertempur dengan bersemangat, sedikit pun tidak kelihatan
keracunan atau terpengaruh oleh bau Sin-sian-wan.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa Ce Se-kiat sudah
punya obat penawarnya, yaitu obat penawar berasal dari Nyo
Yam yang diperoleh dari In-tiong-siang-sat.
In-tiong-siang-sat atau kedua elmaut dari Inlam, masingmasing
bernama Ma Kiu dan Dian Keng, keduanya adalah
pengedar racun buatan Pek-toh san itu.
Dahulu waktu Nyo Yam berusaha menolong seorang yang
kecanduan ganja itu, di Ki-lian san dia dapat membekuk Ma
Kiu yang sedang beraksi, dari Ma Kiu berhasil digeledah
sebotol Sin sian-wan bersama obat penawarnya.
Obat penawar itu sebenarnya cuma obat pencegah racun
bagi orang yang terlampau banyak minum Sia-sian-wau dan
bukan obat penawar mujurab, tapi untuk menyembuhkan
orang yang cuma terbius oleh bau Sin-sian-wan saja masih
cukup efektif. Ketika Ce Se-kiat mengetahui asal-usul Ubun Lui dari cerita
Liong Leng-cu, sebelum turun ke kalangan tadi dia sudah
mengulum sebiji obat penawar. Sisa obat penawar juga telah
diserahkan kepada Koai-hoat Thio.
Tadi waktu Koai-hoat Thio berlagak menyuguh arak, diamdiam
sebenarnya arak telah ditaruhi obat penawar. Sebagai
seorang copet nomor satu di dunia ini, sedikit permainan itu
tentu bukan soal baginya sehingga tidak diketahui siapa pun.
Waktu Ce Se-kiat berdiam di dalam gua es selama tiga
tahun, dia pernah mendapat ajaran lwekang maha sakti dari
paderi Hindu, dengan lwekang itu dapatlah dia menggunakan
tenaga pukulan lawan untuk dialihkan untuk menyerang pihak
ketiga. Sekarang juga Se-kiat telah menggunakan IWekang sakti
yang bernama "Tai-nah-ih-sin-kang" itu untuk mengalihkan
gas racun yang dilancarkan Ubun Lui itu untuk menyerang We
Tiang-jing. We Tiang-jing duduk di ujung yang paling dekat dengan


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat bertanding, namun Iwekangnya lebih kuat daripada
Ubun Lui sehingga daya serangan Se-kiat tidak dirasakan
olehnya, tapi bau harum yang diisapnya itu yang membuatnya
tidak tahan. Mestinya dia dapat menghalau gas racun itu, tapi dengan
berbuat demikian akan terbukti Ubun Lui menggunakan racun,
padahal baru saja ia mengaku tidak mencium sesuatu bau
Begitulah dia telan pil pahit tanpa bisa bersuara, terpaksa ia
mengerahkan lwekang untuk melawan.
Sekonyong-konyong pikirannya terguncang, kedua orang
yang sedang bertanding itu dalam pandangannya sekarang
seakan-akan berubah menjadi dua wanita cantik yang sedang
menari. Cawan arak di atas meja dan sumpit juga berubah
serupa benda emas, tanpa terasa ia tertawa cengar cengir
sendiri, Nyo Bok yang duduk di sebelahnya merasakan gelagat tidak
enak, dengan kuatir cepat ia berseru, "We-taijin!"
Betapapun We Tiang-jing memang, seorang tokoh kelas
tinggi, pada detik pikirannya hampir terpengaruh oleh obat
bius itu, karena seruan Nyo Bok, meski tidak sadar seketika,
sedikitnya pikiran behat memberi reaksi. Segera ia menggigitlidah
sekerasnya, rangsangan rasa sakit membuatnya tersadar
"Wah, celaka, aku terkena racun Sin-sian-wan!"
Setelah merasakan gelagat jelek, seketika bayangan
khayalnya lenyap sehingga terlepas dari pembiusan.
Demi menjaga gengsi, ia tetap tidak mau mengaku
keracunan, ia berbalik tanya Nyo Bok, "Ada apa?"
Nyo Bok pan serupa We Tiang-jing, belum lagi minum arak
yang mengandung obat penawar itu. Syukur Se-kiat
mengingat dia adalah pamannya sendiri, maka gas racun yang
telah dipindahkan arahnya itu melulu ditujukan kepada We
Tiang-jing dan sedapatnya menghindari menyerang Nyo Bok.
Walaupun begitu, sedikit banyak Nyo Bok mencium juga
bau harum tadi, sekarang ia buka mulut berbicara, gas racun
yang terisap bertambah banyak, cepat ia berkata, "Lihat Wetaijin.
betapa sengit pertarungan mereka, pertarungan antara
dua harimau pasti ada satu yang akan cedera!"
Waktu bicara sudah dirasakan kepala pening, ia cuma
sanggup bertahan hingga menyelesaikan ucapannya.
We Tiang-jing memang licik dan licin, segera ia tahu
maksud ucapan Nyo Bok, ia sengaja tanya. "Ah, betul juga.
Aku tidak hitung teliti, sampai sekarang sudah berlangsung
berapa jurus?"
"Wah. paling sedikit mungkin sudah ada seratus jurus,"
jawab Nyo Bok. "Ya, kulihat keduanya sama kuat, supaya tidak cedera
bersama, bolehlah pertandingan ini disudahi sampai di sini,"
kata We Tiang-jing. "Eh. Te-siansing kan pemegang saham
terbesar, maka bolehlah Ubun-laute mengalah saja kepada
muridnya untuk menjadi Congpiauthau, setuju?"
Dalam keadaan demikian yang diharapkannya adalah
pertandingan kedua orang itu segera dihentikan agar dirinya
tidak terserang lagi oleh gas racun, tentang rencana merebut
Cin-wan-piaukiok boleh ditunda sementara.
"We-taijin," segera Koai-hoat Thio menanggapi, "Bukankah
engkau sendiri menyatakan tidak setuju pertandingan harus
diakhiri bilamana salah satu pihak sudah tersentuh, maksudmu
pertandingan harus jelas ada yang kalah dan menang. Maka
kukira boleh berlangsung terus, tampaknya sebentar lagi juga
akan ketahuan siapa yang unggul dan Siapa yang asor."
Mendadak Ce Se-kiat berteriak, "Tidak, aku tidak ingin
menarik keuntungan sebagai pemegang saham terbesar, apa
yang sudah kukatakan tidak nanti kujilat kembali!"
Di balik ucapannya seakan-akan menyindir We Tiang-jing
yang mencla-mencle. Keruan muka We Tiang-jing menjadi
merah, tapi ia pun tidak sudi minta kelonggaran kepada Te
Sim dan muridnya, yang diharap adalah Ubun Lui mau
mengaku kalah dengan sendirinya.
Ia tidak tahu bahwa waktu itu biarpun Ubun Lui ingin
mengaku kalah pun tidak dapat lagi.
Sembari bicara serangan Ce Se-kiat tidak mengendur, ia
tambah tenaganya sehingga digunakan tenaga Liong-siangkang
tingkat kedelapan secara penuh.
Tentu saja Ubun Lui terdesak hingga sukar bernapas,
jangankan hendak bicara, Sekuatnya ia berusaha bertahan,
ingin menyudahi pertandingan dan menyerah kalah pun sukar.
Makin sengit pertarungan mereka, tambah kuat juga gas
racun yang menyerang We Tiang-jing. Rasa sakit lidah yang
digigitnya hanya membuatnya bertahan sadar sejenak, akan
tetapi rasa pusing kepala dan mata bcrkimang tambah hebat.
Meski tidak banyak gas racun yang diisap Nyo Bok, tapi
lwekangnya kalah tinggi daripada We Tiang-jing, sekarang ia
pun mulai merasakan napas sesak dan mengantuk, ia pikir
sebentar lagi dirinya pasti juga akan roboh keracunan. Segera
ia berdiri. "Eh, Nyo-taijin mau apa?" tanya Han Wi-bu.
"Oo, aku hendak buang air," jawab Nyo Bok pelahan.
"Pertarungan mereka tampaknya segera akan berakhir,"
ujar Han Wi-bu.
"Wah, sayang, aku tidak tahan lagi," kata Nyo Bok.
Ucapannya memang tidak bohong, hanya saja bukan tidak
tahan kebelet saja. Habis berkata cepat ia melangkah keluar.
Karena semua orang asyik mengikuti pertarungan di tengah
kalangan sehingga tidak ada orang lain yang
memperhatikannya.
Setelah mengeluyur keluar dan menyelinap ke halaman
belakang, legalah hatinya melihat tidak ada orang yang
mengawasinya, cepat ia mengerahkan lwekang untuk
mengembus hawa racun yang diisapnya dan menarik udara
segar. Tiba-tiba ada orang menepuk pelahan pundaknya sambil
menegur dengan tertawa, "Eh, Nyo-taijin, kamar kecil tidak di
sebelah sini. Kan dulu engkau pernah tinggal lama di sini,
masa sampai kesasar?"
Kedatangan orang ini tanpa suara dan tanpa tanda, meski
cuma tepukan pelahan, namun cukup membuat Nyo Bok
berjingkat kaget. Waktu ia menoleh, terlihat "Te Sim" sudah
berdiri di situ.
Keruan Nyo Bok terkejut, pikirnya, "Tak tersangka
kepandaian Te Sim ternyata jauh lebih lihai daripada apa yang
pernah kudengar. Barusan jika dia bermaksud mencelakaiku,
sekali tepuk tadi mungkin dapat menghancurkan tulang
pundakku. Kedatangannya ini tentu juga tidak berniat baik."
"Ada apa engkau menguntit diriku, Te Sim?" segera Nyo
Bok bersikap garang sebagai seorang pejabat.
Agaknya Koai-hoat Thio dapat meraba jalan pikirannya,
jawabnya dengan tertawa, "Nyo-taijin, janganlah engkau
sembarang curiga. Sesungguhnya aku memang bermaksud
baik. Sengaja kudatang mencarimu supaya pulang."
"Masa aku sampai tersesat, tidak perlu bikin repot padamu,"
jengek Nyo Bok.
Dengan tersenyum aneh Koai-hoat Thio berkata pula, "Aku
justru kuatir Nyo-taijin akan tersesat, bahkan bisa jadi akan
memasuki jalan buntu, kan susah!"
Berubah air muka Nyo Bok, "Apa artinya ucapanmu ini, Te
Sim" Sudah lama engkau menjadi buronan, kepulanganmu ini
kan sama dengan masuk jaring sendiri?"
"Haha, dulu urusan dulu, sekarang urusan sekarang, jaman
selalu berganti, sekarang kukira engkau juga akan meniru
jalanku dulu," kata Koai-hoat Thio dengan tertawa.
"Sesungguhnya apa maksudmu?" tanya Nyo Bok pula.
"Maksudku memberi jalan hidup padamu, jika engkau tidak
mau pulang, lebih baik kabur saja sejauhnya," sambung Koaihoat
Thio. "Urusanmu sekarang mungkin jauh lebih gawat
dibandingkan diriku dahulu, sekali ini rencana perebutan Cinwan-
piaukiok kalian gagal, jelas Ogotai akan minta
pertanggungan jawab kepadamu, mungkin hukuman yang
akan kau terima tidak cuma dicambuk saja."
Diam-diam Nyo Bok terkejut, ia heran dari mana orang tahu
tentang hukuman cambuk yang diterimanya dari Ogotai itu"
Maka bicaranya sekarang tidak berani garang lagi, katanya
pula, "Dahulu engkau dituduh berkhianat, kesalahanku paling
banter cuma tidak melaksanakan tugas dengan baik, masa
perlu kuatir?"
"Huh, engkau sengaja berlagak pilon barangkali"
Memangnya tidak kauketahui siapa orang yang sedang
bergebrak dengan Ubun Lui sekarang?"
Terkesiap Nyo Bok, "Hah, dia bukan muridmu?"
"Muridku itu barang palsu, tapi dia adalah sanak
keluargamu, ini jelas tulen," kata Koai-hoat Thio.
Sejak tadi Nyo Bok memang menyangsikan Ce Se-kiat
adalah putranya sendiri, yaitu Nyo Yam, maka ucapan Koaihoat
Thio ini membuatnya mengeluh. Ia tidak tahu bahwa
yang dimaksudkan Koai-hoat Thio adalah Ce Se-kiat, bahwa
kemenakan juga terhitung sanak keluarga, dalam hal ini Koaihoat
Thio memang tidak salah omong.
Maka Nyo Bok berkata dengan suara agak gemetar,
"Sekalipun benar binatang kecil itu, tapi dia adalah dia dan aku
adalah aku ...."
"Haha, jangan kau tipu diri sendiri," tukas Koai-hoat Thio
dengan tertawa. "Tentunya kau-tahu, Ubun Lui adalah
kemenakan Ubun Pok, Pek toh-sancu, dan Ubun Pok adalah
sahabat Congkoan-taijin kalian. Adapun tujuan muridku yang
palsu ini tidak melulu hendak menggagalkan ambisi Ubun Lui
yang ingin menjadi Congpiauthau, bahkan juga akan
membongkar rahasia pribadinya. Jika tidak percaya boleh kau
tinggal sebentar lagi di sini dan segera akan kau saksikan
permainan lucu. Hehe, mendingan kalau Ubun Lui hanya
dihajarnya setengah mati saja, tapi -kalau rahasia
hubungannya dengan Congkoan-taijin kalian terbongkar, coba
pikir, apakah Congkoan-taijin kalian takkan marah padamu"
Engkau tidak lebih hanya budaknya Ogatai, sedangkan Pektoh-
sancu adalah sahabat baribnya. Memangnya kau kira dia
akan mengampuni kesalahanmu yang tidak melaksanakan
tugas dengan baik" Hm, jangan engkau berpikir seperti anak
kecil." Diam-diam Nyo Bok merasa ngeri juga bilamana urusan ini
meluas. Walaupun begitu ia tetap merasa sangsi, katanya,
"Terima kasih atas penjelasanmu ini, tampaknya engkau
memang bermaksud baik padaku. Tapi aku tidak mengerti,
aku adalah orang yang telah mengangkangi sahammu, kenapa
engkau bertindak baik malah padaku."
Mendadak Koat-hoat Thio berganti suara aslinya, ucapnya
dengan tersenyum, "Haha, muridnya palsu, gurunya juga
palsu. Coba lihat . . . . "
Bicara sampai di sini. tahu-tahu ia memperlihatkan
semacam barang, yaitu sepotong pening tanda pengenal Nyo
Bok sebagai jago pengawal istana, benda itu dicurinya dari
saku Nyo Bok. Keruan Nyo Bok tercengang, serunya, "Hah, engkau Koaihoat
Thio" "Betul, mengingat Cicimu, maka sengaja kuberitahukan hal
ini padamu," kata Koai-hoat Thio.
"Mengingat Ciciku?" Nyo Bok menegas.
"Antara Cicimu denganku sudah damai dan menjadi
sahabat, masa antara dirimu dengan Cicimu malah akan
berubah menjadi musuh?"ujar Koai-hoat Thio.
Pada saat itulah mendadak Nyo Toa-koh memperlihatkan
diri, katanya, "Ucapan Koai-hoat Thio padamu adalah katakata
emas, apa pula yang kau sangsikan" Ayo lekas pulang
dan tunggu aku di sana!"
Sebenarnya Nyo Bok merasa kuatir sang Taci tak mau
mengampuni kesalahannya, ucapan Nyo Toa-koh ini membuat
hatinya lega, pikirnya, "Biarlah sementara ini aku menghindar
dulu, jika urusan sudah selesai barulah aku bertindak menurut
arah angin. Jika Congkoan mau memakai tenagaku lagi akan
kuterima kalau dia hendak menangkapku, dapat kugunakan
Cici sebagai pelindung dan mengasingkan diri di dunia
Kangouw, rasanya kawanan pendekar Kangouw pun sungkan
mempersulitku lagi."
Dalam pada itu terdengar suara gemuruh sorak-sorai di
ruang bertanding, Nyo Bok tahu sebagian besar tetamu yang
hadir di sana berdiri di pihak Han Wi-bu dan Te Sim, begitu
riuh suara sorak-sorai itu, tidak perlu ditanyakan lagi pasti
"putra" sendiri segera akan menang.
Maka ia tidak berani ayal lagi, cepat ia kabur melalui pintu
belakang. "Semoga seterusnya dia akun kembali ke jalan yang benar,"
ucap Nyo Toa-koh dengan menghela napas.
Tapi Koai-hoat Thio tidak yakin hal itu akan terjadi, namun
ia pun tidak ingin menyinggung perasaan Nyo Toa-koh,
katanya, "Lakon adikmu sudah selesai, permainan putramu
mungkin juga mendekati tutup layar. Sekarang tiba giliranku
untuk naik pentas."
Dugaannya ternyata tidak meleset, tidak berapa Isma
sandiwara baru sudah mulai main.
Waktu itu Ubun Lui sudah terdesak oleh Ce Se-kiat
sehingga tiada jalan mundur lagi, jangankan balas menyerang,
ingin menangkis pun tidak sanggup lagi.
Benak We Tiang-jing serasa disumbat sepotong timbel,
terasa tertekan dengan berat. Ia tahu tidak ringan dirinya
keracunan. Namun meski pandangannya sudah terasa kabur,
pikirannya masih rada sadar, dari suara sorak-sorai orang
banyak ia tahu Ulun Lui pasti akan kalah.
Pertama dia memang tidak mau menyaksikan Ubun Lui
kecundang di depan orang banyak, pula ia sendiri memang
tidak tahan lagi, terpaksa ia berdiri dan berkata, "Maaf,
rasanya aku kurang sehat, biar kumohon diri dulu"
Pads saat itulah terdengar suara "bret". baju Ubun Lui telah
terobek oleh Ce Se-kiat, "trang". sebuah botol perak jatuh ke
lantai. Dengan langkah terhuyung Ubun Lui bermaksud memungut
kembali botol perak itu, tapi dia keburu dicengkeram oleh Ce
Se-kiat sehingga tidak dapat berkutik lagi. Dengan tongan
yang lain Se-kiat lantas memungut botol perak itu.
Pada saat itulah Koai-hoat Thio juga muncul di depan orang
banyak. Serentak orang bersorak gembira dan mengucapkan
selamat kepada Koai-hoat Thio. "Te lopianthau, selamat atas
murid lihaimu ini, dia telah berhasil merebut kedudukan


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Congpiauthau dari saingannya."
Han Wi-bu kuatir urusan merembet menjadi besar, dengan
sangsi ia berseru, "Nyo-seheng, engkau sudah menang, boleh
lepaskan Ubun-siansing saja."
Tapi Se-kiat lantas mengacungkan botol perak ke atas,
serunya lantang, "Tidak, dia tidak boleh dibebaskan. Apakah
kalian tahu apa isi botol ini?"
Dengan rasa kuatir We Tiang-jing saat itu bermaksud
menyelinap keluar, mendadak Koai heoi Thio menariknya
sambil berseru, "Hei, We taijin, Ubun-siansing adalah
sahabatmu, jual-beli saham antara dia dan Nyo Bok juga atas
perantaraanmu, kukira engkau tidak boleh tinggalkan dia di
sini." "Oo, aku aku kurang sehat," We Tiang-jing berlagak
mengeluh "Ya, kutahu engkau kurang sehat, tapi demi kawan kan
pantas menderita sedikit, kuharap engkau suka menunggu
dulu sampai urusan beres seluruhnya," kata Koai-hoat Thio
tanpa menghiraukan kedudukan We Tiang-jing, tanpa sungkan
ia memegangnya dengan erat.
Kungfu We Tiang-jing sebenarnya di atas Koai-hoat Thio,
tapi sekarang ia keracunan obat bius dan hilang tenaga, mana
ia mampu melepaskan diri"
Ubun Lui juga tidak dapat meronta dan sedang memohon
kepada Ce Se-kiat, "Nyo-seheng, biarlah kuserahkan sahamku
kepadamu dan harap kembalikan botol itu."
"Hm, saham itu memang milik kami, siapa yang minta
pemberianmu?" jengek Se-kiat. "Boleh saja kukembalikan
botol ini, tapi harus kau katakan dulu teras terang apa isi botol
ini." Tentu saja Ubun Lui tidak berani menjawab.
"Hm, kutahu takkan kau katakan, biarlah kukatakan
bagimu," jengek Se-kiat pula. "Isi botol ini adalah Sin-sianwan,
racun buatan Pek-toh-san kalian yang biasa digunakan
untuk membikin celaka orang."
"O, tidak, bukan, ini . . . ini cuma obat kuat saja," seru
Ubun Lui dengan suara agak gemetar-
Ce Se-kiat memencet mulut Ubun Lui sehingga mau-takmau
harus mengap, lalu jengeknya pula, "Baik, jika benar ini
obat kuat, maka boleh kau-minum seluruh belasan biji obat
kuat ini."
Habis bicara segera ia bergerak seperti hendak menuang
belasan biji obat itu ke dalam mulut Ubun Lui, namun
pencetannya agak dikendurkan upaya orang dapat bicara.
Padahal kadar Sin-sian-wan itu sangat kuat, satu biji saja
sudah dapat membuat orang kehilangan kesadaran, apalagi
belasan biji diminum sekaligus, bisa amblas nyawanya.
Meski Ubun Lui membawa obat penawar, tapi dalam
keadaan tak berdaya di bawah cengkeraman lawan, mana
mungkin Ce Se-kiat membiarkan dia mengambil obat
penawar" Dalam detik yang menentukan mati dan hidup ini, dengan
sendirinya mencari selamat lebih penting, ia pikir dirinya
mendapat dukungan Ogotai. biarpun mengaku mengedarkan
obat racun dan akan diusut oleh pihak yang berwajib nanti
tentu juga akan dibela oleh Ogotai.
Maka ia lantas mengaku. "Ya, memang betul Sin-sian-wan."
"Pek-toh-sancu Ubun Pok itu pamanmu bukan?" tanya Sekiat
pula sambil mengerakan tenaga pencetannya.
Karena kesakitan, terpaksa Ubun Lui mengaku lagi, "Betul,
dia pamanku."
"Nah, We-taijin, sudah kau dengar sendiri bukan?" tukas
Koai-hoat Thio mendadak. "Dia kan sahabatmu, urusan ini
tidak boleh tidak harus kau selesaikan."
Jika Koai-hoat Thio cuma menghadapi We Tiang-jing, orang
banyak sudah lantas mencaci-maki, meski yang dimaki adalah
Ubun Lui, tapi sama halnya memaki We Tiang-jing.
Karena tubuhnya memang tidak tahan lagi oleh racun Sinsian-
wan, pula ia menyadari kemarahan umum sukar dihadapi,
cepat ia berkata, "Wah, Te-siansing, engkau mungkin salah
dengar. Aku pernah menyatakan Ubun Lui adalah sahabat
Congkoan-taijin, soalnya dia adalah sahabat atasanku, pula dia
datang menemuiku bersama teman se-jawatku Nyo Bok,
makanya aku mau menjadi saksi bagi transaksi mereka."
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia berusaha mengelakkan
tanggung jawab.
"Baik, jika begitu marilah kita coba tanya langsung kepada
Congkoan-taijin," kata Koai-hoat Thio.
"Silakan kalian tanya kepada beliau, Aku benar-benar
kurang sehat, maaf kuingin pulang istirahat dulu dan tak dapat
mengiringimu," kata We Tiang-jing.
"Beliau sudah datang kemari, tidak pergi lagi menemuinya
ke sana," ujar Koai-hoat Thio.
Benar juga, segera terdengar suara orang melapor di luar,
"Congkoan-taijing berkunjung tiba!"
Pada saat itu juga terlihat Ogotai sudah melangkah masuk
dengan muka masam serupa orang yang menahan rasa gusar.
"Aha, kebetulan kedatangan Congkoan-taijin kita, menurut
cerita wakilmu, katanya Ubun Lui, kemenakan Pek-toh-sancu
ini adalah sahabatmu. Sekarang ia membikin onar di sini, kami
minta perkara ini dapat diselesaikan olehmu." seru Koai-hoat
Thio. Kejut dan gugup We Tiang-jing, karena itulah racun yang
tershiap bekerja lebih keras, kontan ia Jatuh pingsan.
"Apakah kau ini Te Sim?" tanya Ogotai.
"Betul," jawab Koai-hoat Thio.
"Kudatang memenuhi janji undauganmu." kata Ogotai pula.
"Kukira janji pertemuan kita ini tentu bukan untuk urusan
Ubun Lui yang terjadi sekarang ini?"
Semua orang sama merasa heran demi mendengar bahwa
kedatangan Ogotai ini adalah untuk memenuhi janji
pertemuan dengan Te Sim, mereka tidak mengerti mengapa
Te Sim sedemikian berani, masa seorang buronan berani
berjanji bertemu dengan komandan jago pengawal istana,
bahkan sang komandan benar-benar memenuhi undangannya.
Terdengar Koai-hoat Thio manjawab, "Betul, maksudku
memang ingin berunding suatu urusan dengan Congkoantaijin.
Untuk itu apakah Congkoan-taijin berminat?"
"Baik, boleh kita bicara bisnis kita dulu, habis itu baru urus
soal kecil ini, sekarang kuharap kalian membebaskan dia
dulu," kata Ogotai.
Se kiat berlagak minta persetujuan sang guru, katanya,
"Suhu, keparat ini membuat racun dan membikin susah orang,
dengan susah payah dapat kutangkap tangan dia dengan bukti
nyata, mana boleh . . . ."
"Ya, kutahu," kata Koai-hoat Thio, lalu ia bicara kepada
Ogotai, "Congkoai-taijin, jika kita mau bieara bisnis, urusan
bisnis harus dirundingkan secara cermat, bila ada sesuatu
yang kurang jelas kan boleh kutanya terus terang?"
"Kau mau tanya apa?" jawab Ogotai dengan menahan rasa
dongkol. "Numpang tanya Congkoan-taijin, jika engkau minta kami
membebaskan dia. bebas yang kau maksudkan adalah
dilepaskan dengan segera supaya dia pergi atau cuma
menyuruh muridku melepaskan cengkeramannya" Hendaknya
Taijin bicara yang jelas."
Dengan menyatakan harapannya supaya Ubun Lui
dibebaskan saja sudah cukup menurunkan pamor Ogotai,
siapa tahu Koai-hoat Thio malah sengaja mempersoalkan
istilah "bebas" segala, jelas orang sengaja hendak membikin
kikuk padanya. Tapi karena dia memang ada permintaan, terpaksa ia
bersabar, jawabnya dengan kurang senang "Bukankah sudah
cukup jelas ucapanku Sehabis berunding bisnis baru bicara
urusan kecil ini. Dengan sendirinya bukan maksudku
menyuruh, kalian melepaskan dia supaya pergi sekarang
juga," "Ah, jika begitu urusan jadi cukup jelas," kata Koai-hoat
Thio. "Nah, muridku, Congkoan*-taijin sedemikian ramah
padamu, betapapun harus kau ingat kehormatan Congkoantaijin
kita." "Perintah Suhu tentu akan murid turut," jawab Se-kiat.
"Baiklah, takkan kubikin susah padanya, meski kulepaskan dia
kukira dia juga takkan mampu kabur."
Habis bicara ia lantas melepaskan cengkeramannya. Tapi
sebelumnya diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam, dengan
lwekang tingkat delapan Liong-siang-kang ia serang tiga hiatto
Ubun Lui sehingga membuatnya lumpuh. "Bluk", Ubun Lui
jatuh terkulai dengan megap-megap.
Ogotai mendengus, "Hm, baik juga hatimu, marilah kita
berkawan!"
Mendadak ia menepuk pilahan pundak Ce Se-kiat, lagaknya
seperti orang tua yang sayang kepada anak muda.
Cepat Se-kiat mengangkat sebelah tangan untuk
menangkis, katanya, "Terima kasih atas kebaikan Taijin."
Begitu kedua tangan beradu, seketika tangan Ogotai terasa
panas pedas, sebaliknya Ce Se-kiat merasa dada sesak.
Keruan Ogotai terperanjat, sungguh tak terpikir olehnya
bahwa murid Te Sim saja selihai ini. apalagi sang guru"
"Han-lopiaathu," katanya segera. "Bolehkah kuminta sebuah
kamar tersendiri?"
"Tentu saja boleh," jawab Han Wi-bu. "Apakah We-taijin
perlu kusuruh orang mengantarnya pulang dulu?"
Rupanya sampai saat itu We Tiang-jing belum lagi siuman
dari pingsannya.
Dengan mendongkol Ogotai menjawab, "Tidak perlu, tentu
dia akan dilayani pengiringku."
Kiranya masih ada dua pengiring yang datang bersama,
cuma keduanya berjaga di luar dan tidak ikut masuk.
Han Wi-bu lantas membawa Ogotai dan Koai-hoat Thio ke
sebuah kamar sunyi, lalu mengundurkan diri.
Begitu Han Wi-bu keluar, seketika Ogotai menarik muka
dan berkata, "Te Sim, besar amat nyalimu, berani kau datangi
rumahku dan mengacau?"
"Kurasa Congkoan-taijin juga tidak kurang keberanianmi,
barang yang sudah dicari kerajaan selama 70 tahun ternyata
berani kau sembunyikan di rumah tanpa dipersembahkan
kepada Sri baginda yang sekarang?" jawab Koai-hoat Thio
dengan ketus. Hati Ogotai tergetar, meski dia berlagak tenang tidak urung
suaranya rada gemetar juga, "Baik, biarlah kita bicara secara
blak-blakan saja. Surat wasiat tinggalan kaisar Khong-hi itu
apakah dicuri olehmu?"
Kiranya surat wasiat tinggalan kaisar Khong-hi itu
menyangkut Keputusan putra mahkota yang diangkatnya,
urusan ini sangat penting dan menyangkut kerukunan
keluarga kerajaan, ada maksud Ogotai bilamana Liong Leng-cu
sudah tertangkap barulah dia akan melaporkan kepada kaisar
tentang surat wasiat itu. Kalau dia cuma mempersembahkan
surat wasiat itu saja, bila kaisar tanya dari mana surat wasiat
itu diperoleh,, hal ini tentu akan sulit dijawab olehnya.
Meski, dia dapat berdusta bahwa surat wasiat itu direbut
dnri keturunan Lian Keng-hiau (kisah Lian Keng-hiau yang
jenius dapat dibaca, dalam .."Tiga Dara Pendekar").,.tapi
tanpa berhasil menangkap buronan kerajaan tetap merupakan
sesuatu yang harus disesalkan, bahkan bisa jadi akan diomeli
Sri Baginda karena tidak melaksanakan tugas dengan baik.
Surat wasiat itu olehnya disembunyikan di dalam sebuah
peti besi yang ditambah dengan gembok lagi dan ditaruh di
kamar tidurnya, tapi pagi tadi waktu dia bangun tidur
diketahui di atas meja menancap sebilah belati kecil dengan
sehelai surat yang tertulis: "Harap datang ke Cin-wan-piaukiok
untuk bertemu Te Sim".
Bahwa ada orang berani menyusup ke rumahnya, bahkan
meninggalkan surat dengan belati, hal ini sudah cukup
membuatnya terkejut, malahan waktu ia membuka peti besi
dan diketahui surat wasiat itu pun sudah terbang tanpa bekas,
keruan ia tambah terkejut.
"Jangan kuatir, Congkoan-taijin," demikian ucap Koai-hoat
Thio dengan tertawa. "Meski sudah kubaca isi surat wasiat itu,
tapi tidak kucuri surat itu dan masih tertinggal di rumahmu."
Habis berkata ia sengaja membaca di luar kepala isi surat
wasiat itu dengan tepat, malahan ia melukiskan pula bentuk
kertas surat dan stempelnya segala untuk membuktikan
bahwa dia memang benar telah membaca surat itu dan tidak
membual belaka.
Air muka Ogotai tampak berubah pucat, sedapatnya ia
berlagak tenang, katanya, "Aku tidak menyangsikan surat itu
sudah kau baca, tapi kuragukan ucapanmu tadi. Kau bilang
surat itu tidak kau curi, mengapa tidak kutemukan meski
sudah kucari."
"Ya, hal itu lantaran kukuatir orang lain akan mencurinya
juga, maka telah kusembunyikan di suatu tempat yang sangat
dirahasiakan dalam lingkungan kediamanmu," kata Koai-hoat
Thio dengan tertawa. "Sudah tentu, hanya aku sendiri yang
tahu tempat itu. Tapi bilamana Congkoan-taijin hendak
mencarinya dengan teliti bukan mustahil akan dapat
kautemukan juga. Cuma untuk itu kukira diperlukan banyak
tenaga dan pikiran."
Ogotai merasa sangsi dan setengah percaya, ucapnya
sambil menatap orang dengan tajam, "Bilamana engkau sudah
sengaja mencuri surat wasiat itu, mengapa tidak sekalian
kaubawa lari?"
"Kautahu aku biasa berkelana kian kemari, bilamana
kubawa benda sepenting itu, kan harus kukuatirkan kalaukalau
dicuri lagi oleh orang yang terlebih pandai daripadaku,
bahkan juga harus kukuatirkan akan hilang sehingga hatiku
senantiasa diliputi rasa kuatir, lalu dapatkah aku, tidur
nyenyak dan makan kenyang" Sebaliknya kalau
kusembunyikan di tempat Congkoan-taijin tentu lain halnya,
sebab hanya aku sendiri yang tahu tempat sembunyinya, satusatunya
orang yang kukuatirkan hanya Congkoan-taijin saja.
Namun untuk ini aku bersedia bertaruhan untung-untungan
denganmu. Kalau saja engkau membongkar setiap jengkal
tempat kediamanmu, akhirnya surat wasiat itu pasti akan kau
temukan juga, meski akan makan waktu cukup lama."
Dengan sendirinya tidak mungkin Ogotai membongkar
rumahnya sendiri, jangankan bukan cara yang baik, malahan
kalau ketahuan kaisar dan ditanya, lalu cara bagaimana akan
memberi penjelasan"


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itulah muka. Ugotai berubah pucat lagi, sejenak
kemudian baru berkata, "Sebenarnya apa arti perbuatanmu
ini?" "Tidak ada arti apa-apa, hanya kuminta Congkoan-taijin
suka rela mengadakan suatu bisnis denganku," kata Koai-hoat
Thio. "Kalau aku tidak mau, lantas bagaimana?" tanya Ogotai.
"Jika begitu, terpaksa akan kulaporkan kepada Hongsiang
(sri baginda) tempat sembunyi surat wasiat itu, kukira kau
percaya akan kemampuanku ini," kata Koai-hoat Thio. "Maka
dapat kau pikir sendiri bagaimana akibatnya dan apa yang
akan kau terima."
"Jika kuterima permintaanmu, apakah surat wasiat itu akan
segera kau kembalikan kepadaku?" tanya Ogotai.
"Wah. tidak bisa," jawab Koai-hoat Thio sambil
menggeleng. "Lantas terhitung bisnis macam apa" kata Ogotai dengan
gusar Aku berjanji takkan melaporkan kepada Hongsiang untuk
selamanya," tukas Koai-hoat Thio. "Selama Hongsiang tidak
tahu kejadian ini, tentu engkau pun bebas dari dosa, ku bicara
terus terang saja padamu, soalnya kukuatir engkau tidak
pegang janji, begitu surat wasiat itu kukembalikan padamu,
mungkin engkau akan terus bertindak lain. Padahal bisnis
yang akan kita lakukan ini bukan untuk sekali jual-beli saja
melainkan harus ditaati bersama dalam jangka panjang."
"Baiklah, coba katakan, sesungguhnya bisnis apa dan
bagaimana perjanjiannya?" tanya Ogotai.
"Aku hanya ingin kembali menjadi pemegang saham Cinwan-
piaukiok dan tidak boJeh pihak pemerintah mencari
kesulitan padaku," kata Koai hoat Thio.
Karena terdesak, meski mendongkol terpaksa Ogotai
menjawab, "Cin-wan-piaukiok asalnya memang milik keluarga
Te dan Han kalian, belasan tahun yang lalu Nyo Bok hanya
mewakili keluargamu memimpinnya untuk sementara,
sekarang sudah sepantasnya pulang kandang. Cuma
perjanjian yang kau sebut juga tidak boleh hanya
menguntungkan satu pihak saia, apakah sudah kau bawa
konsepnya?"
"Syarat perjanjian cukup sederhana sehingga tidak gerlu
konsep segala," kata Koai-hoat Thio. "Cukup engkau berjanji
setelah keluarga Te kami memimpin piaukiok ini engkau tak
mencari perkara padaku. Dengan sendirinya aku pun takkan
sengaja membikin susah padamu."
"Baik, kuterima, cuma kaupun harus menyanggupi
permintaanku, yaitu urusan Ubun Lui biar kuselesaikan sendiri
dan kalian tidak boleh mencari perkara lain lagi," kata Ogotai.
"Baik, setuju." kata Koai-hoat Thio. Meski mendongkol,
terpaksa Ogotai tersenyum dan serupa sahabat lama saja
mereka berjalan keluar.
Melihat kemunculan mereka dengan tersenyum dan serupa
dua sahabat lama yang baru bertemu, semua orang terheramheran.
Dalam pada itu Ubun Lui yang tak berkutik itu karena tiga
tempat hiat-to terserang oleh lwekang Liong-siang-kang Ce
Se-kiat tadi, tambah lama tambah menderita dia, keringat
dingin mengucur dan napas megap-megap.
Dengan muka masam Ogotai mendekati Ubun Lui, "plakplok",
digamparnya dua kali sambil men-damperat, "Keparat!
Siapa kau" Tidak pernah kukenal orang seperti kau, mengapa
kau berani mengaku sebagai sahabatku, pula ada sangkaan
kau-bikin dan mengedarkan obat racun, mana boleh diampuni.
Mana orangnya, gusur dia untuk diusut lebih lanjut."
Padahal belum lama berselang di depan umum dia telah
memintakan kelonggaran kepada Koai -hoat Thio bagi Ubun
Lui, sekarang dia menyatakan tidak kenal, jelas saling
bertentangan. Dengan sendirinya semua orang tahu hal itu. mereka hanya
merasa geli saja.
Waktu menggampar Ubun Lui tadi diam-diam Ogotai
mengerahkan lwekang untuk membuka hiat-to orang yang
tersumbat, siapa tahu Liong-siang-kang memang lain daripada
yang lain, usaha Ogotai hanya berhasil sebagian saja, Ubun
Lui hanya sekadarnya sanggup berdiri, karena darah belum
berjalan lancar, dia belum dapat berjalan.
"Buka saja hiat-to yang kau tutuk muridku," kata Koai-hoat
Thio. "Suhu," jawab Se-kiat, "kalau tidak salah Congkoan-taijin
pernah menyatakan urusan ini adalah soal kecil, tapi kita tidak
dapat memandangnya sebagai soal kecil . . . , "
"Betul, soal kecil ini bila dalam keadaan biasa tentu takkan
dipikir oleh Congkoan-taijin, tapi mengingat hubungan baiknya
dengan gurumu, beliau jadi ingin mengurusnya, maka
hendaknya kau menurut saja," kata Koai-hoat Thio.
"Ah, maafkan murid tidak tahu Suhu adalah sahabat baik
Congkoan-taijin," tukas Se-kiat. "Jika begitu, tentu saja murid
menurut saja."
Habis itu ia lantas menepuk tubuh Ubun Lui dan membuka
ketiga hiat-to yang ditutuknya tadi.
Dengan muka masam Ogotai memberi tanda kepada
pengiringnya agar membawa pergi Ubun Lui, lalu ucapnya.
"Hah, engkau ternyata mempunyai seorang murid yang hebat,
sungguh aku ikut senang bagimu. Oya, mengenai urusan 20
tahun yang lalu, mumpung berada di sini. biarlah kujelaskan
sekalian di depan orang banyak."
Ucapan ini sangat menarik, seketika seluruh ruang menjadi
senyap, semua orang sama pasang telinga ingin tahu apa
yang akan dibicara oleh Ogotai.
Pelahan Ogotai lantas berkata, "Rasanya tidak perlu
kurahasiakan lagi urusan ini. 20 tahun yang lalu. Tai-lwe-
Congkoan yang lama, yaitu Saifudin, dan komandan pasukan
pengawal kotaraja yang lama, Pakkiong Bang, keduanya
pernah mencurigai Te-heng berkongkol dengan pemberontak
di Siau-kim-joan. waktu itu aku cuma menjabat seorang
pengawal biasa sehingga tidak dapat bicara apa pun bagi Teheng.
Syukurlah persoalannya kemudian dapat diselidiki
dengan jelas bahwa Te-heng tidak tersangkut dalam urusan
itu. Sayang selama ini aku tidak bertemu dengan Te-heng
sehingga belum sempat kusampaikan berita baik ini
kepadanya."
"Hah, jika begitu, sekarang Te-lopiauthau sudah pulang, Ocongkoati
juga sudah naik pangkat menjadi Congkoan,
perkara ini tentu sudah dapat dihapus," tukas Ma Thian-hoa.
"Haha, sudah tentu," seru Ogotai dengan tertawa. "Saham
atas nama Te-heng pada Cin-wan piaukiok ini dengan
sendirinya harus dikembalikan kepadanya."
Semua orang sangat girang, beramai-ramai mereka
mengucapkan selamat kepada Te Sim gadungan alias Koaihoat
Thio. Han Wi-bu ikut berkata, "Jika demikian, pejabat
Congpiauthau baru secara resmi sekarang juga dapat kuserah
terimakan kepada Te-heng. Entah bagaimana pendapat Teheng
sendiri, apakah akan dijabat oleh muridmu atau..."
Cepat Se-kiat memotong, "Ah, kepandaianku belum
sempurna,, aku ingin belajar lebih banyak dengan Suhu. Pula
aku kan orang luar, jabatan Congpiauthau seyogianya harus
dipegang oleh Te-suheng saja."
Keterangan ini membuat semua orang melenggong, dengan
girang Han Wi-bu lantas berkata, "Aha, jadi putra Te-heng
juga sudah ikut pulang?"
"Betul," jawab Koai-hoat Thio alias Te Sim palsu. "Putraku
Te Keng saat ini sedang bicara dengan Nyo Toa-koh di ruang
belakang.!"
Lalu ia hertepuk tangan dan berseru, "Anak keng, ayolah
keluar!" Terdengar Te Keng mengiakan dan muncul dari belakang.
Usianya sekarang baru 31, waktu kabur bersama ayahnya 19
tahun yang lalu dia baru berumur 12, maka para paman dan
mamak yang hadir di sini lamat-lamat masih kenal wajahnya.
Bahwa dia adalah Te Keng tulen tidak ada yang sangsi lagi.
Tapi Ogotai sengaja hendak menguji tulen dan palsunya,
katanya, "Eh, Te-seheng, apakah masih ingat padaku. Waktu
kecilmu pernah kita bertemu."
"Kebaikan Taijin masa dapat kulupakan." ujar Te Keng.
"Ketika usiaku baru sepuluh tahun, dalam upacara
mengangkat pamam Jui sebagai ayah angkat, hari itu Taijin
sudi berkunjung ke rumah ayah angkat, di situ aku disuruh
memperlihatkan ilmu pukulan Hok-hou-kun yang kulatih. Betul
tidak?" Habis bicara ia lantas memberi hormat kepada Jui Lip-sing,
ayah angkatnya yang menjabat sebagai pemimpin Yang-wi
piaukiok."
"Haha, bagus sekali ingatanmu," seru Ogotai dengan
tertawa. "Te tua, selamat engkau mempunyai seorang putra
baik, juga mendapatkan murid pilihan."
Jui Lip-sing juga kegirangan dan berseru, "Ah, anak baik.
Hanya sekejap saja sudah berpisah selama hampir 20 tahun,
tak tersangka sekarang kita dapat bertemu lagi di sini."
Tiba-tiba Ogotai berseru pula, "Eh, katanya Nyo Toa-koh
juga berada di sini" Han-lopiauthau, kenapa tidak kau
pertemukan dia denganku" Betapapun dia adalah angkatan
tua dunia persilatan, juga kakak teman sejawatku."
Koai-hoat Thio yakin Ogotai tidak berani mempersulit Nyo
Toa-koh, maka sekalian ia lantas membeberkan rahasia
kedatangan Nyo Toa-koh ke kotaraja ini.
Padahal Ogotai memang juga sudah tahu Nyo toa-koh
sembunyi di Cin-wan-piaukiok, sebelum ini dia malah sedang
berpikir cara bagaimana akan menghadapi Nyo Toa-koh. Tapi
sekarang tentu saja ia tidak berani mencari perkara lagi dan
berlagak baru saja mendengar kabar tentang datangnya Nyo
Toa-koh. "Eh, kukira tak dapat kau salahkan Han tua ..." demikian
lantas terdengar Nyo Toa-koh berseru dan muncul dari
belakang. "Soalnya aku memang sungkan bergaul dengan
orang kalangan atas, apalagi pembesar seperti Congkoantaijin,
tentu saja aku tidak berani menampilkan diri dan
terpaksa bersembunyi di belakang."
"Ai, jangan loa-koh berkelakar" ucap Ogatai "Hari ini adalah
hari bahagia Han- lopiauthau, sahabat mana di kotaraja ini
yang tidak hadir untuk mengucapkan selamat kepadanya, eh
baru saja adikmu juga berada di sini. mengapa sekarang tidak
kelihatan lagi?"
"Tidak perlu mencari dia lagi," ujar Nyo Toa koh "Jika aku
ingin bertemu dengan dia tentu aku sudah muncul sejak tadi."
"Entah mengapa terhadap saudara sendiri saja Toa-koh tak
mau menemuinya?" tanya Ogotai.
"Bukankah sudah kukatakan," ucap Toa-koh, "betapapun
dia kan juga seorang pembesar, maka aku tidak mau
menemuinya. Jika dia menemuiku selaku saudaraku tentu saja
kuterima dengan baik. Eh, Te tua, perlu kutegur padamu,
tidak pantas kau bongkar jejakku di depan orang banyak."
Koai-hoat Thio berlagak minta maaf padanya, "Toa-koh,
engkau cuma tahu satu dan tidak tahu dua."
"Dua apa?" tanya Toa-koh.
"Meski O-congkoan adalah seorang pejabat tinggi, tapi dia
juga seorang sahabat, bilamana ada urusan minta bantuannya
tentu dia akan membantumu," kata Koai-hoat Thio.
Diam-diam Ogotai terkesiap, ia tidak tahu Koai-hoat Thio
hendak memberi soal sulit apa padanya, terpaksa ia berkata,
"Ya, belum kutanya kepada Toa-koh, entah ada keperluan apa
kedatanganmu ke Peking sekali ini selain menghadiri pesta
Han-lopiauthau ini?"
"Terus terang, kudatang untuk mencari suatu kabar kepada
adikku," tutur Toa-koh. "Tapi di mana tempat tinggalnya tidak
kuketahui, tadi aku batal menemuinya, terpaksa harus
kuminta keterangan kepada orang lain."
"Tak dapat kau salahkan saudaramu," ujar Ogotai. "Orang
yang menjadi pengawal istana memang harus dirahasiakan
tempat tinggalnya. Cuma engkau memang bukan orang luar,
bila engkau ingin tahu dapat kuberitahu."
"Tidak perlu lagi," kata Toa-koh. "Engkau adalah sahabat
Te tua, asalkan engkau mau membantu, kan lebih baik
kutanya padamu. Apalagi engkau adalah atasan saudaraku,
apa yang kau ketahui tentu jauh lebih banyak daripada dia."
"Toa-koh ingin tahu urusan apa?" tanya Ogotai. "Selaku
Tai-lwe-congkoan. jika mengenai urusan dinas ..."
"Jangan kuatir, takkan kutanya urusan pemerintah, aku
cumu ingin tahu sedikit urusan yang menyangkut pribadiku,"
kala Toa Koh. "Jika begitu silakan bicara saja." kata ogotai.
"Kuingin mencari tahu urusan anakku " tutur Toa-koh.
"Bulan yang lalu di Poting ada yang menanyai ke mana
perginya, hal ini kutahu dari seorang kawanku, siapa kawanku
itu janganlah kau tanya. Pendek kata, menurut kawanku itu,
orang yang menyelidiki jejak anakku itu datang dari kotaraja."
Ogotai berlagak tidak paham, katanya, "O. bisa terjadi
begitu" Aku tidak tahu menahu."
"Jika begitu, jadi bukan petugas yang kau-kirim?" Toa-koh
menegas. "Tentu saja bukan, jika perlu kucari anakmu, tentu akan
kusuruh adikmu," ujar Ogotai.
"Kalau betul begitu, aku tidak perlu kuatir lagi," kata Toakoh.
"Tadinya kukira anakku berbuat salah dan Taijin hendak
menangkapnya."
"Dari uraian Toa-koh barusan, tampaknya putramu tidak
berada bersamamu lagi?" tanya Ogotai pula.
Ia tidak tahu bahwa putra Nyo Toa-koh sekarang justru
berada di samping sang ibu.
"Dia pergi mencari sahabatnya, segera akan pulang dalam
waktu singkat," jawab Toa-koh. "Tentu saja berbeda dengan
saudaraku yang sudah pembesar itu, sampai sanak keluarga
pun sukar menemuinya."
"Sahabat apa yang dicari putramu?" tanya Ogotai.
"Kawan orang muda tentu golongan muda, nenek reyot
macamku tidak perlu tahu urusan orang muda," kata Toa-koh,
"Taijin tanya sejelas ini mengenai putraku, apakah kau curigai
dia berkomplot dengan orang jahat?"
"Oo, bukan begitu maksudku, cuma anak muda memang
gampang tertipu, memilih kawan harus lebih hati-hati," kata
Ogotai. Diam-diam ia menggerutu terhadap sikap Nyo Toa-koh
yang berlagak pilon itu, masakah tidak tahu putra sendiri


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semalam saja bikin onar di rumah adiknya.
Pada saat itu Ce Se-kiat telah memberi tanda kepada Ki
Kiam-hong, maka pengemis tua itu lantas berkata, "Aha,
sudah waktunya aku harus berangkat. Eh, Te tua, sekian lama
kita berpisah, marilah mempir ke tempat kami untuk
berkumpul sebentar. Nyo Toa-koh, apabila engkau sudi
mampir tentu akan kami sambut juga dengan senang hati."
"Nenek rudin macam diriku memang tidak banyak bedanya
dengan kaum pengemis seperti kalian ini, jika engkau sudi
mengundangku, bolehlah kumampir ke sana," seru Nyo Toakoh
dengan tertawa.
Liong Leng-cu menyamar sebagai anggota Kai-pang,
dengan sendirinya terus ikut pergi bersama Ki Kiam-hong.
Han Wi-bu mengantar mereka keluar piaukiok, ia jabat
tangan Koai-hoat Thio dan berucap, "Te-heng, hendaknya
lekas2 engkau pulang ke sini."
"Mungkin aku takkan pulang lagi untuk selamanya," ucap
Koai-hoat Thio.
Han Wi-bu memang sudah dapat menerka siapa Koai-hoat
Thio sebenarnya, katanya pula, "Ya, kutahu Te-heng sudah
biasa hidup bebas dan gembira, mana sudi pulang kemari lagi
untuk urusan tetek-bengek ini."
Ketika rombongan pulang ke markas cabang Kai-pang,
sementara itu hari sudah dekat magrib.
Kedua gembong Kai-pang, yaitu Honghu Ko dan Suma Hian
menyambut kedatangan mereka, melihat koai-hoat Thio,
mereka melengak, sebab mereka tahu sudah lama Te Sim
meninggal dunia.
"Inilah sahabat yang sudah lama kalian kenal namanya tapi
belum pernah berjumpa," tutur Ki Kiam-hong dengan tertawa.
Setelah diperkenalkan barulah Honghu Ko dan Suma Hian
tahu siapa Koai-hoat Thio. Beramai-ramai mereka lantas
masuk ke ruang tamu. di situ Ki Kiam-hong menceritakan
secara ringkas apa yang telah terjadi di Cin-wan-piaukiok dan
membuat para gembong Kai-pang itu ikut merasa senang.
"Tapi sekarang obat-obatan itu menjadi tambah sulit untuk
diangkut keluar," kata Honghu Ko kemudian.
"Sepergiku, apakah ada sesuatu gerak-gerik pihak musuh?"
tanya Kiam-hong.
"Terlihat bertambah banyak antek kerajaan yang muncul di
pegunungan ini," tutur Honghu Ko. "Agaknya mereka sudah
dapat meraba markas cabang kita terletak di sini."
"Bisa jadi pada waktu kuberangkat, jejakku telah dipergoki
mereka," kata Kiam-hong, "Tapi kukira sementara ini mereka
pun tidak berani mengganggu kita."
Maklumlah, Kai-pang adalah organisasi terbesar di dunia
dan selama ini pun tidak berbuat sesuatu yang melanggar
undang-undang. Jika tidak menemukan bukti kejahatan, pihak
kerajaan tentu juga tidak berani sembarangan memusuhi
organisasi kaum jembel itu.
"Tapi di bawah pengawasan cakar alap-alap kerajaan, untuk
memindahkan kedudukan cabang kita saja sulit, apalagi
hendak mengangkut pergi obat-obatan itu," ujar Honghu Ko.
"Selain itu, Kai Hong bertiga juga masih sembunyi di sini, bila
waktunya berlarut mungkin . mungkin . . ."
"Hahaha," mendadak Koai-hoat Thio tergelak. "Apakah
urusan ini yang kalian risaukan" Kukira kalian tidak perlu
kuatir, serahkan saja padaku, aku ada akal bagus."
"Silakan Thio-taihiap memberi petunjuk," pinta Ki Kiamhong
dengan girang. "Rahasia alam tidak boleh dibocorkan." ujar Koai-hoat Thio
dengan tertawa. "Sekarang silakan kalian menyiapkan kuda
dan keledai, isi obat-obatan itu di dalam peti, selain itu
siapkan pula belasan kereta kosong dan pekerja yang dapat
diandalkan, Suruh tunggu di bawah gunung, esok juga kita
dapat berangkat."
Ki Kiam-hong masih ragu, katanya, "Soai kuda dan kereta
dapat disediakan berapa pun diperlukan, pekerja juga dapat
diambilkan dari anggota Kai-pang kami. Tapi cara bagaimana
rombongan kita akan mengelabuhi pihak musuh?"
Koai-hoat Thio tertawa, "Asalkan kalian percaya padaku,
tidak nanti kugunakan urusan sepenting ini untuk permainan.
Esok tentu akan ketahuan terlebih jelas."
Karena tidak tahu persis apa maksud Koai-hoat Thio,
terpaksa Ki Kiam-hong menurut.
Esok paginya, ketika segala sesuatu sudah siap, tapi entah
mengapa, mendadak Koai-hoat Thio menghilang. Padahal dia
tinggal sekamar dengan Ce Se-kiat. menurut keterangan Sekiat,
ketika bangun Koai-hoat Thio sudah tidak terlihat lagi.
Menurut anggota Kai-pang yang dinas jaga juga tidak ada
yang melihat Koai-hoat Thio turun ke bawah gunung.
Selagi semua orang merasa bingung ke mana perginya
copet sakti itu, tiba-tiba ada orang membentak, "Hai, uutuk
apa kawanan pengemis kalian ini sembunyi di sini" Apa kalian
hendak memberontak?"
Waktu Ki Kiam-hong berpaling, dikenalinya pendatang
adalah We Tiang-jing. Keruan ia terkejut, seketika ia pun tidak
tahu apa yang mesti diperbuatnya.
Dalam pada itu kedua Hiangcu andalannya, yaitu Honghu
Ko dan Suma Hian segera menubruk ke sana.
Honghu Ko adalah murid keluaran Siau-lim-pai, sedangkan
Suma Hian adalah ahli waris Liok hap-to, namun pukulan dan
golok mereka sama sekali tidak berhasil menyentuh musuh.
Tergerak hati Ki Kiam-hong, cepat serunya, "Berhenti, dia
We Tiang-jing palsu!"
"Palsu?" serentak Suma Hian berhenti menyerang dengan
melenggong dan tetap sangsi, sebab sudah beberapa kali ia
pernah bertemu dengan We Tiang-jing, biarpun orang
terbakar menjadi abu juga dikenalnya, masa bisa palsu"
Tapi Honghu Ko lantas menyadari duduknya perkara,
serunya, "Ah, kiranya Thio-siansing adanya. Sungguh
kepandaian menyamar yang hebat. sampai kami pun dapat
dikelabui."
"Apa katamu" Dia Koai-hoat Thio?" Suma Hian menegas
dengan terkejut.
"Thio-siansing bukan saja copet sakti nomor satu di dunia,
kepandaiannya menyamar juga nomor satu, masa tidak
pernah kau dengar?" kata Ki Kiam-hong dengan tertawa.
"Tajam benar pandangan Ki-tocu," ucap Koai-hoat Thio
yang menyamar itu. "Maafkan jika kedua Hiangcu telah tertipu
olehku." Setelah dia bicara dengan suara aslinya barulah Suma Hian
percaya. ---ooo0dw0ooo---
Jilid ke - 9 Selagi Koai-hoat Thio hendak memberi penjelasan. tiba-tiba
seorang penyelidik datang melapor bahwa secara ajaib
kawanan antek kerajaan menghilang secara mendadak.
Kim Kiam-hong tertawa, katanya, "Thio-sian-sing, semua ini
agaknya hasil perbuatanmu?"
"Betul, akulah yang menyuruh mereka pulang." jawab Koaihoat
Thio. "Sepulang mereka ke kotaraja, bukankah sandiwaramu
akan segera tersingkap?" kata Henghu Siong.
"Sedikitnya tiga hari lagi baru mereka dapat bertemu
dengan We Tiang-jing," ujar Koai-hoat-Thio.
"Mengapa bisa begitu?" tanya Honghu Siong.
"Kemarin banyak gas racun yang terisap oleh We Tiangjing,
meski dia tidak sampai gila karena Iwekangnya tidak
lemah, tapi untuk memulihkan kejernihan pikirannya juga
perlu tiga atau lima hari," tutur Koai-hoat Thio. "Sebagai wakil
komandan pasukan pengawal istana, tentu dia menjaga
gengsi, sepulang di rumah, kukira dia pasti akan pesan anak
buahnya agar menjaga rahasia tentang keadaannya yang
payah keracunan itu. Dengan waktu tiga hari iai dapatlah
kupalsukan dia untuk bergerak ke kotaraja, maka soal
pengangkutan keluar obat-obatan itu tentu akan berjalan
dengan lancar."
"Tapi bila tiga hari kemudian kepergok penjaga dan
diperiksa, lalu bagaimana?" tanya Ki Kiam-hong.
"Ogotai seorang yang tahu urusan," ujai Koai-hoat Thio.
"Biarpun dia mendapat laporan tentang pemalsuan We TiangTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
jing tentu juga tidak berani melakukan penangkapan wakilnya
yang gadungan, sebab ia pasti juga dapat menerka
pemalsunya adalah diriku. Mengenai prajurit atau penjaga
setempat yang jauh dari kotaraja kukira terlebih mudah untuk
dilayani. Cuba kau lihat."
Segera ia mengeluarkan sebuah pening yaitu tanda
pengenal jago pengawal istana
"Apakah barang milik Wi Tiang jing?" tanya Ki Kiam-hong.
"Aha, kutahu benda itu bukan milik We tiang jing melainkan
kepunyaan adikku yang durhaka itu, betul tidak?" tukas Nyo
Toa-koh mendadak-
"Ya, betul, barang ini memang milik adikmu!" jawab Koaihoat
Thio dengan tertawa. "Toa-koh tentu takkan marah
karena tindakanku yang membikin susah adikmu ini."
"Kupaham maksud tujuanmu!" ujar Toa-koh "Sekali ini
engkau telah banyak membantuku, sungguh aku sangat
berterima kasih, masa dapat kumarah padamu?"
Liong Leng-cu tidak mengerti percakapan mereka, ia tanya,
"Pening yang dicurinya ini sangat bermanfaat bagi angkutan
obat-obatan kalian, hal ini berarti bantuan besar terhadap
orang banyak, mengapa Toa-koh menyatakan sangat
berterima kasih padanya."
"Soalnya selain membantu orang banyak, tapi juga khusus
membantu kesulitanku, sebab ia tahu aku ingin menolong
adikku yang durhaka itu kembali kejalan yang benar," kata
Toa-koh Baru sekarang Leng-cu menyadari persoalannya, "Ah,
pahamlah aku. Setelah kehilangan tanda pengenal ini, adikmu
terlebih harus buron
"Kata 'terlebih' itu menimbulkan tanda tanya.
"Aku menjadi ingin tahu, bolehkah memberi penjelasan?"
kata Suma Hian.
"Sebab pamanku itu mengira aku putranya," tukas Ce Sekiat
dengan tertawa.
Lalu Koai-hoat Thio menceritakan cara bagaimana mereka
mempermainkan Nyo Bok sehingga semua orang sama
tertawa geli. "Identitas seorang jago istana tidak dikenal orang luar,"
tutur Koai-hoat Thio. "Sebab itulah bila seorang jago istana
dinas keluar dan perlu minta bantuan pembesar setempat,
yang dikenalnya cuma pening tanda Pengenalnya saja."
"Jika begitu, dengan memegang pening ini, kita tidak perlu
kuatir akan terjadi kesulitan lagi di tengah jalan," ujar Kai
Hong dengan gembira
"Walaupun begitu, tetap kita harus berjaga akan segala
kemungkinan, pendek kata, sebaiknya sedia payung sebelum
hujan," kata Koai-hoat Thio.
"Sedia payung sebelum hujan bagaimana, coba jelaskan,"
pinta Nyo Toa-koh.
"Pengiriman obat-obatan ke Cadam kali ini jelas Ki-tocu dan
kedua Hiangcu tidak leluasa ikut tampil ke muka," tutur Koaihoat
Thio. "Meski ada dirimu bersama kedua Sutitmu,
ditambah Kai-heng dan aku, namun kekuatannya terasa belum
cukup. Maka paling baik cari tambaban seorang pembantu lagi
yang berkepandaian tinggi. Untuk itu, Toa-koh, kupikir.."
Sebelum orang memaparkan permintaannya Nyo Toa-koh
sudah paham maksudnya, segera ia menukas, "Kalian telah
membantu kesulitanku, mana boleh kutinggal diam melihat
kalian menghadapi kesukaran. Cuma orang kangouw yang
kenal aku sangat banyak, kepandaianku juga belum dapat
dikatakan tinggi"
"Ah, Lotoaci jangan rendah hati," ujar Koai-hoat Thio
dengan tertawa. "Sudah berpuluh tahun engkau malang
melintang di dunia kangouw, baik kalangan hitam maupun
golongau putih tiada seorang pun yang tidak kenal Loa-jiukoan-
im. Cuma kutahu engkau sendiri sudah bosan menjadi
Loa-jiu-koan-im, maka kami tidak berani merepotkanmu."
Nyo Toa-koh tergelak oleh ucapan orang, katanya, "Koaihoat
Thio, mulutmu yang jahil ini bilakah baru bisa berubah"
Aku cukup kenal diriku sendiri, maka umpakanmu takkan
berlaku bagiku. Tentang orang yang dapat diandalkan untuk
membantu kalian, bukan maksudku memuji putraku sendiri,
anak Kiat kini sudah jauh lebih tangguh daripadaku, biarpun
belum tergolong jago top, untuk membantu kalian kukira
masih sanggup. Nah, anak Kiat, boleh kau wakilkan diriku
mengiringi perjalanan mereka"
Biasanya Nyo Toa-koh suka melarang anaknya bergaul
dengan kaum pendekar yang anti kerajaan, dahulu waktu Ce
Se-kiat meninggalkan rumah juga berulang-ulang
diperingatkan agar jangan pergi ke Cadam dan mencari Ling
Peng-ji. Siapa tahu sekali ini dia yang melanggar
pantangannya sendiri.
Tentu saja Se-kiat sangat girang, katanya, "Ai, sungguh ibu
yang baik, sesungguhnya memang ada maksudku hendak
mohon izin ibu, tak terduga ibu sudah buka suara lebih dulu."
Nyo Toa-koh menghela napas, katanya. "Dahulu selain
sayang padamu, aku juga suka membela adikku satu-satunya
itu. Tapi sekarang aku tidak boleh lagi memikirkan
kepentingan pribadi saja melainkan harus kepentingan orang
banyak." Koai-hoat Thio berusaha mengalihkan pokok bicara,
katanya dengan tertawa, "Demi kepentingan orang banyak Lo
toaci rela melepaskan kepergian putramu. kebaikan Lotoaci ini
pasti akan mendapatkan ganjaran yang baik, kelak putramu
tentu akan pulang dengan membawa seorang istri baik."
Ucapan ini menyentuh pula perasaan Nyo toa-koh. ia
pandang Liong Leng-cu sekejap, katanya tiba-tiba, "Eh, nona
Liong, apakah kaupun akan ikut pergi ke Cadam bersama
mereka?" Liong Leng-cu ragu sejenak, lain menjawab. "Jika Ce-toako
sudah bantu mengawal. kukira aku tidak perlu lagi ikut."
"Oo, apakah engkau ada urusan lain?" tanya Toa-koh.
"Ya, kupikir akan pergi ke Thian-san," tutur Leng-cu.
"Untuk apa kau pergi ke Thian-san?" tanya Toa-koh pula.
"Agaknya ibu belum tahu," sela Se-kiat dengan tertawa.
"Dengan sendirinya dia ingin mencari kemenakan ibu, yaitu
adik misanku. Nyo Yam."


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka Leng-cu menjadi merah dan menunduk. semua ini
dapat dilihat Nyo Toa-koh dengan jelas dengan sendirinya ia
tahu apa artinya
Rupanya sejak dari lawan berubah menjadi awan, Nyo Toakoh
merasa suka kepada liong Leng-cu, ucapan Koai-hoat Thio
tadi telah menyentuh perasaannya sehingga timbul semacam
pikiran alangkah baiknya jika nona Liong ini dapat menjadi
menantunya. Cuma sayang, pikiran muluk itu segera terbukti tidak
mungkin terlaksana ketika mendengar nada ucapan Se-kiat
dan sikap Liong Leng-cu, segera juga ia paham bahwa orang
yang dicintai "Siau-yau-li" ini adalah kemenakanaya, yaitu Nyo
Yam. Begitulah sambil terbahak Nyo Toa-koh memegang tangan
Liong Leng-cu, katanya, "Eh, ingin kutanya padamu, setelah
bertemu dengan Nyo Yam, mengapa kalian tidak berada
bersama, sebaliknya membiarkan dia pergi sendirian ke Thiansan?"
Liong Leng-cu tertawa, jawabnya, "Kan sudah
kusanggupimu akan pulang lagi ke piaukiok, mana boleh
kuingkar janji?"
"Terima kasih atas maksud baikmu, namun anak Yam tidak
mau lagi kembali ke sini untuk menemui bibinya ini," ucap
Toa-koh dengan muram.
"Hendaknya bibi jangan salah paham," cepat Leng-cu
menjelaskan. "Ia minta kusampaikan salam dan permintaan
maaf padamu, soalnya dia terkenang kepada budi kebaikan
mendiang gurunya dan ingin cepat-cepat pulang ke Thian-san
untuk menghadiri upacara sembahyang ulang tahun wafatnya
sang guru "
Padahal guru psrtama Nyo Yam, yaitu Tong Keng-thian,
ketua Thian-san-pai, sudah wafat selama setabun, Ia tidak
ingin Nyo Toa-koh ikut sedih bagi Nyo Yam bila mengetahui
sebab sesungguhnya kepulangan Nyo Yam ke Thian-san itu.
Untunglah Nyo Toa-koh tidak tahu persis kapan wafatnya
Tong Keng-thian, maka ia cuma manggut-manggut atas
keterangan Liong Leng-cu itu,
"Oo, kiranya begitu, tapi engkau.."
"Aku bukan murid Thian-san-pai, dengan sendirinya tidak
enak untuk pulang bersama dia, sengaja kuberangkat dua tiga
hari lebih lama," kata Leng-cu.
Nyo Toa-koh dapat menerima alasan Liong Leng-cu itu,
sebab kalau kepulangan Nyo Yam dengan membawa "Sianyau-
li" ini bisa jadi akan menimbulkan keraguan saudara
seperguruan dan omong iseng orang lain serta menganggap
dia tidak menghormat gurunya.
Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba Nyo Toa-koh berkata
pula. "Nona Liong, Ingin kubicara beberapa hal pribadi
denganmu."
Lalu ia menarik Leng-cu ke samping dan bertanya dengan
suara lirih, "Konon ada murid perempuan Thian-san-pai yang
bernama Ling Peng-ji, tentunya kau kenal dia?"
"Bukan cuma kenal saja," jawab Leng-cu dengan tertawa,
"bahkan kami sahabat karib."
"Bagus sekali," kata Toa-koh. "Maka ingin kuminta sesuatu
bantuan padamu."
"Apakah urusan yang berhubungan dengan nona Ling itu?"
tanya Leng-cu. Nyo Toa-koh mengiakan.
"Jika begitu, kenapa bibi malah bicara berputar-putar?" ujar
Leng-cu dengan tertawa.
Toa-koh melenggong, "Apa artinya ucapanmu ini?"
"Sebelum kenal diriku justru putramu sudah kenal dia lebih
dulu," tutur Leng-cu. "Malahan hubungan antara kami tidak
lebih erat daripada hubungan putramu dmgan dia."
Toa-koh menghela napas. katanya. "Ya, ku tahu, justru
lantaran itulah kuminta bantuanmu "
Segera Leng-cu dapat menangkap maksud orang, pikirnya,
"Ai, rasanya siapa pun tak dapat membantumu dalam urusan
ini. Tidak kau ketahui justru aku sendiri sedang risau karena
urusan ini."
Maka dengan sungguh-sungguh ia menjawab, "Silakan
bicara saja, asalkan dapat kukerjakan tentu akan
kulaksanakan sebisanya."
"Kuyakin pasti dapat kau lakukan," kata Toa koh. "Kuminta
bantuan jasa-baikmu."
"Jasa baik apa?" Leng-cu sergaja tanya.
Toa-koh merasa kikuk, terpaksa ia bicara terus terang,
"Soalnya aku pernah berbuat sesuatu kesalahan. Mestinya Sekiat
suka kepada nona Ling itu, akulah yang tidak pantas
sembarangan omong hingga melukai hati nona Ling itu dan
membuatnya kabur. Untuk itulah kuminta jasa-baikmu agar
mintakan maaf bagiku, bilamana dia dapat damai kembali
dengan putraku tentu aku akan sangat berterima kasih."
"Ah, kiranya engkau minta kujadi comblang dan mencarikan
menantu baik bagimu," kata Leng cu dengan tertawa. "Cuma,
menjadi comblang memang bukan pekerjaan yang enak.
Urusan jodoh harus suka sama suka, melulu jasa baik
comblang itu tidak bisa jadi."
Toa-koh sudah kenal perangai Ling-cu. disangkanya si nona
lagi berkelakar, tak tahunya ucapan Leng-cu itu memang
timbul dari lubuk hatinya.
Dengan tertawa Toa-koh berkata pula, "Ai, nonaku yang
baik, janganlah kau guraui nenek reyot ini. Kutahu mereka
saling suka, ia pernah menyelamatkan jiwa putraku, anakku
juga pernah menolak perjodohan yang kuatur baginya
lantaran nona Ling itu."
Diam-diam Leng-cu merasa gegetun akan pikiran Nyo Toakoh
yang sederhana itu. Bahwa putranya suka kepada orang,
tapi apakah orang juga suka kepada putranya. inilah yang
masih menjadi pertanyaan.
Cuma ia tidak enak untuk bicara terus terang. ia sengaja
tanya. "Jika kau tahu mereka saling mencintai, mengapa
semula engkau tidak mau Ling Peng-ji menjadi menantumu?"
"Bukannnya tidak suka, tapi disebabkan pamannya . . . . "
"Ah, kupaham sekarang," tukas Leng-cu. "Karena
pamannya, Ling Thi-jiau yang menjadi pemimpin pasukan
pemberontak di Cadam itulah, maka engkau kuatir
tersangkut."
"Ya, sekarang kusadari kekeliruanku," kata Nyo Toa-koh.
"Sekarang akan kusuruh putraku ikut bantu mengawal obatobatan
ke Cadam, akan kugunakan bukti nyata untuk
memperlihatkan penyesalanku, dengan demikian mungkin
akan mendapatkan pengertian nona Ling."
Walaupun Ling Peng-ji belum tentu dapat menerima
penyesalan Nyo Toa-koh ini, namun Leng-cu tidak enak untuk
bicara terus terang, katanya, "Bila Ling Peng-ji tahu apa yang
kau lakukan sekarang, tentu akan pulih rasa hormatnya
kepadamu, untuk ini kukira engkau tidak perlu kuatir dan akan
kujelaskan padanya. Cuma jasa-baikku dapat terlaksana atau
tidak sukar kupastikan. Yang kuharapkan semoga dia belum
mendapatkan pacar lain."
Nyo Toa-koh merasa senang oleh jawaban si nona, katanya
dengan tertawa, "Dengan sendirinya kutahu perjodohan tak
dapat dipaksakan. Cukup bagiku asalkan kau sampaikan isi
hatiku tadi kepadanya."
Menurut jalan pikirannya, biarpun bidadari juga mau
diperisiri oleh putranya, asalkan dia mau menerima Ling Pengji
sebagai menantu, mustahil nona itu tidak mau.
Ketika melihat Nyo Toa-koh muncul lagi dengan berseri-seri,
sebaliknya Liong Leng-cu berkerut kening, tentu saja Ki Kiamhong
dan lain-lain sama diliputi tanda tanya karena tidak tahu
apa saja yang dibicarakan mereka. Hanya Ce Se-kiat saja
lamat-lamat dapat menduga beberapa bagian.
Akhirnya konvoi pengangkutan obat-obatan itu pun
berangkat. Ce Se-kiat pamit pada ibunya, "Jaga diri baik-baik,
ibu. Pui-suheng, Pui Ho, bukanlah manusia baik-baik,
hendaknya waspada padanya dan jangan berhubungan
terlampau erat dengan dia."
Nyo Toa-koh tertawa, katanya, "Jangan kuatir, sebagai
orang tua, siapa baik dan siapa busuk cukup jelas bagiku.
Cuma tidak pernah kukatakan terus terang saja."
Waktu iring-iringan sudah turun gunung, benarlah tidak
terlihat tanda mencurigakan dari antek kerajaan. Setelah iringiringan
sudah meninggalkan kotaraja, Liong Leng-cu lantas
mohon diri juga dengan rombongan.
"Nona Liong, biarlah kuantar dirimu?" kata Se-kiat sambil
melarikan kudanya di samping si nona. "Setahuku, ayah
angkat Nyo Yam juga sudah pulang ke Thian-san, maka setiba
di Thian-san hendaknya lebih dulu kau cari dia. Dia tinggal di
belakang gunung, bentuk tebing di situ serupa kcpala naga
sehingga bernama Liong-un-giam. (Tebing naga
bersembunyi), sangat mudah dikenali."
Liong Leng-cu tahu maksud anak muda itu, jawabnya,
"Terima kasih atas maksud baikmu, ku-tahu semuanya."
Se-kiat tanya pula, "Apa saja yang dibicarakan antara ibu
denganmu?"
"Ia minta kujadi comblang bagimu," tutur Leng-cu dengan
tertawa. "Apakah kau mau tahu nona mana yang dipenujui
ibumu?" Se-kiat menggeleng, katanya, "Ai, ibu sungguh sudah
linglung, jangan kau turuti perkataannya."
"O, tampaknya engkau sudah tahu siapa nona yang
dimaksudkan," kata Leng-cu. "Apakah engkau tidak suka
padanya?" Se-kiat raenghela napas. "Nona Liong, kita tidak perlu main
teka-teki lagi, biarlah kita bicara blak-blakan saja. Bukan aku
tidak suka kepada nona itu, soalnya yang disukai nona itu
bukanlah diriku. Yang kuharapkan hanya orang yang ku sukai
mendapat kebahagiaan, maka kuminta engkau tidak perlu lagi
banyak urusan. Ai, jangan kau sesalkan aku bicara terus
terang, kita boleh dikatakan senasib, semoga engkau pun
mempunyai pikiran serupa diriku. Nah, sampai di sini saja,
selamat jalan dan sampai berjumpa pula."
Liong Leng-cu sampai melengak oleh ucapan Se-kiat itu.
"Yang kuharapkan hanya orang yang kusukai mendapat
kebahagiaan", ucapan ini serupa air dingin yang menyiram
kepala Liong Leng-cu dan seketika membuat pikirannya yang
kacau itu menjadi sadar. Pikirnya, "Betul, tanpa pikir apa pun
kakak Yam memburu pulang ke Thian-san, memangnya apa
sebabnya" Tidak perlu ditanya lagi, jelas lantaran memikirkan
Ling-cicinya. Dia rela berkorban, biarpun nama rusak juga
ingin hidup bahagia bersama Ling-cici, kalau ada kesulitan
juga ingin dipikulnya bersama dari sini dapat diukur betapa
mendalam cinta-kasih mereka.
Ada cinta murni barn ada bahagia, dan bahagia atau tidak
hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Asal mereka
merasa bahagia baru benar-bener mencapai bahagia. Dan
setelah kutahu mereka saling mencintai dengan hati murni,
maka adalah kewajibanku untuk membantu mereka dan tidak
boleh merintangi mereka."
Setelah tertegun sejenak, katanya kemudian, "Ce-toako,
terima kasih atas uraianmu yang berharga ini, aku akan selalu
ingat kepada ucapanmu. Cuma perjalanan Nyo Yam ke Thiansan
mungkin akan menghadapi bahaya, kami berkenalan baik,
apabila dia dihukum oleh perguruannya, rasanya aku pun tidak
dapat melepaskan tanggung jawab, maka aku pasti takkan
tinggal diam."
Se-kiat tahu si nona sudah paham maksudnya, dengan
gembira ia berkata, "Kupaham kesukaranmu. Bilamana bukan
karena tugas pengawalan obat yang penting ini, tentu aku
akan pergi bersamamu."
"Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, biarpun
kau pergi ke Thian-san juga tak dapat memberi bantuan apa
pun kepada mereka," ujar Leng-cu.
"Ya, kutahu. Makanya terpaksa bikin repot padamu," kata
Se-kiat. "Baiklah, kita berpisah saja di sini." ucap Leng-cu.
"Nanti dulu!" seru Se-kiat mendadak. Leng-cu melengak,
"Ada urusan apa lagi, Ce-toako?"
"Aku tidak ingin bicara apa-apa lagi, hanya ingin kuberi
sesuatu padamu." kata Se-kiat.
"Sesuatu apa?" tanya Leng-cu.
"Pemberianku ini juga bukan tanpa bersyarat, justru
kuminta tukar menukar denganmu," kata Se-kiat.
Tentu saja Leng-cu merasa bingung, tanyanya "Tukar
menukar apa?"
Se-kiat terus melompat turun dari kudanya dan berkata,
"Tukar menukar kuda!"
Kiranya kuda tunggangan Ce Se-kiat ini adalah pemberian
Kang Siang-in, seekor kuda yang sangat gagah dan perkasa,
sungguh kuda pilihan yang sukar dicari.
"Ah, hadiahmu ini terlampau besar bagiku, tak berani
kuterima," kata Leng-cu.
"Terus terang, kuda ini pun pemberian seorang sahabatku,"
tutut Se-kiat. "waktu itu justru lantaran ada urusan penting
yang mendesak. maka ia memberikan kuda ini padaku.
Sekarang engkau juga ada urusan penting yang mendesak,
kan boleh kutirukan dia memberikan kuda ini padamu. Maka
kuharap kau sudi menerimanya."
Leng-cu juga kuatir sukar menyusul Nyo Yam dalam waktu
yang mendesak ini, maka ia menjawab, "Baiklah, apapun demi
kepentingan Nyo Yam, aku tidak sungkan lagi padamu."
Kuda se-kiat ini berbulu suri warna merah, sedang keempat
kaki berbulu putih, sejenis kuda balap terkenal keluaran
Toawan. Dengan kuda bagus itulah Leng-cu terus membedal secepa
terbang, pada hari kedua ia sudah lebih 500 li meninggalkan
kotaraja. Tengah ia melarikan kudanya dengan cepat, tiba-tiba
dilihatnya di depan ada sebuah kereta yang ditarik empat ekor
kuda, larinya juga secepat terbang. Yang hebat adalah
keempat kuda itu semuanya berbulu putih mulas, keempatnya
sama besarnya serupa kuda kembar
Tentu saja Leng-cu sangat tertarik, pikirnya, "Kecepatan
keempat kuda putih itu tampaknya tidak mau kalah dengan
kudaku ini, biarlah aku mengujinya siapa yang lebih unggul."
Agaknya penumpang kereta itu pun sudah menaruh
perhatian terhadap kuda berbulu suri merah yang menyusul
dari belakang ini, mereka


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Golok Yanci Pedang Pelangi 4 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 22
^