Durjana Dan Ksatria 6

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 6


sama menyingkap tirai dan
melongok keluar.
Begitu melihat kedua penumpang kereta ini seketika Liong
Leng-cu terkesiap.
Kiranya kedua orang ini sudah dilihatnya di Ki-lian-san
dahulu, mereka bukan lain daripada kedua murid Pek-tohsancu,
yaitu Sikong Ciau dan Buyung Sui.
Jika Liong Leng-cu kenal mereka, Sikong Ciau dan Buyung
Sui sebaliknya tidak kenal dia.
Bahwa Leng-cu terkesiap, Sikong Ciau berdua juga terkejut.
"He, kuda tunggangan anak dara ini seperti jauh lebih
bagus daripada keempat ekor kuda pemberian O-congkoan
kepada kita ini," demikian kata Sikong Ciau.
"Ya, jarang ada anak dara yang mampu menunggang kuda
sebagus ini, agaknya nona ini mempunyai asal-usul," ujar
Buyung Sui, sembari bicara ia pandang sang Suheng dan
minta petunjuknya apakah kuda orang perlu dirampas atau
tidak, Dengan sendirinya Liong Leng-cu dapat menangkap
maksud ucapan orang, ia pikir kedua orang ini pernah dihajar
oleh Nyo Yam dalam belasan jurus saja, dirinya tentu juga
tidak perlu gentar kepada mereka, umpama tidak dapat
melawan mereka juga dapat melarikan diri mengingat lari
kudanya terlebih cepat daripada kereta mereka.
Selagi ia bedal kudanya lebih cepat untuk melampaui
kereta, tiba-tiba terdengar suara seorang yang sudah
dikenalnya berkata, "Anak dara macam apa, coba angkat
bangun, biar kulihat siapa dia?"
Leng-cu tambah terkejut mendengar suara orang yang
dikenal ini. Dalam pada itu orang sudah menyingkap tirai dan
melongok keluar. Siapa lagi dia kalau bukan Ubun Lui.
Rupanya hiat-to Ubun Lui terganggu oleh, pukulan Liongsiang-
kang Ce Se-kiat sehingga gerak-geriknya tidak leluasa,
jangankan berlari dengan ginkang, menunggang kuda pun
terasa payah. Ogotai takut akan timbul kesulitan sehingga tidak berani
menahan Ubun Lui merawat lukanya di rumah, kebetulan Pektoh-
sancu mengirim dua orang muridnya ke kotaraja untuk
mencari berita. maka Ogotai lantas menyuruh mereka
membawa Ubun Lui pulang ke Pek-toh-san dengan
menghadiahkan kereta dengan empat ekor kuda bagus-
Ubun Lui juga terkejut dan bergirang melihat anak dara
yang dimaksud ialah Liong Leng-cu, segera ia berseru, "He,
kalian tidak tahu siapa budak cilik ini" Dia bukan lain adalah
Siau-yau-li yang hendak ditangkap Sancu."
Mendengar keterangan itu, tanpa disuruh lagi serentak
Sikong Ciau dan Buyung Sui menubruk kearah Liong Leng-cu
sambil membentak.
Leng-cu sedang melarikan kudanya dengan cepat, saat itu
sudah hampir menyusul kereta mereka. dalam keadaan
membedal cepat sukar lagi menghindar, segera Leng-cu
mencambuk kuda dan membiarkan kudanya menerjang
terlebih cepat ke depan.
Sikong Ciau dan Buyung Sui menubruk dari atas kereta,
mereka hendak menjatuhkan Leng-cu dari kudanya. Saat itu
cambuk Leng-cu menyabet pantat kuda dan membuat
binatang itu meringkik kaget dan berjingkrak, tampaknya
Sikong Ciau berdua bisa terinjak olehnya.
Pada saat yang sama itulah Leng-cu mendengar angin
berkesiur, ia tahu ada serangan senjata rahasia, cepat cambuk
berputar untuk menyampuk, "cring", sebuah mata uang
terpukul jatuh, tangan Leng-cu sendiri pun pegal linu
Nona itu terkesiap oleh tenaga dalam orang, pada saat
yang hampir sama terdengarlah kuda merah itu meringkik dan
mendadak roboh.
Kiranya meski gerak-gerik Ubun Lui tidak leluasa, tapi
tenaga dalamnya tidak banyak terganggu, setelah istirahat
dua hari di dalam kereta tenaganya sudah hampir pulih
seluruhnya. Dengan sendirinya lwekangnya lebih tinggi
daripada Liong Leng-cu, dan kedua senjata rahasia mata uang
itu disambitkan olehnya
Leng-cu keburu menyelamatkan diri sendiri, tapi tak dapat
melindungi kudanya, begitu kuda roboh, kontan Leng-cu
terlempar. Untung ginkangnya sangat hebat, sekali melejit
dapatlah ia melompat bangun.
Dalam pada itu bagai elang menyamber kelinci, segera
Buyung Sui menubruk si nona dengan telapak tangannya yang
lebar. "Biar putus kuku anjingmu!" bentak Liong Leng-cu, begitu
melompat bangun segera pedang sudah dihunusnya dan tepat
mengancam hiat-to di tengah telapak tangan musuh.
Buyung Sui terkejut, hiat-to bagian telapak tangan terhitung
hiat-to penting, kalau tertusuk pedang tentu bisa celaka.
Untunglah Sikong Ciau lantas membentak "Jangan garang
Siau-yau-li!"
Berbareng ia menghantam, sebelum tiba orang-nya, Liong
Leng-cu tergetar mundur oleh angin pukulannya yang dahsyat.
Karena itulah tusukan pedang si nona tidak mengenai
sasaran, "bret", tidak urung lengan baju Buyung Sui terobek
sebagian. Dalam pada itu Sikong Ciau sudah memburu rnaju dengan
senjata terhunus. Cepat pedang Leng-cu menyabat ke
belakang dan tepat ditangkis oleh senjata Sikong Ciau yang
berbentuk Boan-koan-pit atau potlot baja.
"Trang", lelatu api muncrat. Bicara tentang tenaga dalam
jelas Sikong Ciau lebih kuat, tapi soal ilmu pedang memang
Liong Leng-cu lebih lihay. Begitu pedang terguncang ke
samping, sekalian ia tarik untuk menabas.
Terpaksa Sikong Ciau tidak dapat menyerang lebih lanjut
dan harus tarik kembali potlot baja untuk bertahan.
Di pihak lain Buyung Sui yang hampir tertusuk pedang
terkejut hingga berkeringat dingin, ia tidak berani
meremehkan lawan lagi, cepat ia pun mengeluarkan senjata
andalannya dan bergabung dengan sang suheng untuk
mengerubut Liong Leng-cu
Senjata Buyung Sui juga khusus untuk menutuk hiat-to,
yaitu berbentuk cundrik, dan lebih panjang daripada Boankoan-
pit Sikong Ciau.
Keduanya sudah terlatih dengan baik sehingga dapat
bekerja sama dengan rapat. Untung Liong Leng-cu pernah
berkumpul cukup lama dengan Nyo Yam dan sering bertukar
pikiran sehingga banyak mendapat tambahan pengetahuan
ilmu silat kepandaiannya sekarang bukan lagi seperti dulu,
maka sekuatnya ia masih sanggup bertahan.
Diam-diam Ubun Lui terkesiap menyaksikan pertarungan
mereka, ia heran baru berpisah selama setengah tahun,
mengapa kungfu Siau-yau-li ini maju sedemikian pesat. Bila
sekarang ia sempat lolos, sehingga beberapa tahun lagi tentu
Pek Toh San akan bertambah lagi seorang lawan tangguh.
Liong Leng-cu tahu tenaga sendiri takkan tahan lama, maka
ia menggunakan siasat main putar. dengan kelincahannya ia
menghindari serangan lawan dan tidak mau menangkis
dengan keras lawan keras. Walaupun begitu ia tetap payah,
selang lima puluhan jurus, lambat-laun ia mandi keringat juga.
Ubun Lui sudah menyiapkan senjata rahasia mata uang,
cuma belum digunakaunya secara sembarangan. Maklumlah,
pertarungan ketiga orang itu sangat cepat, terutama Liong
Leng-cu terus berputar kian kemari sehingga ketiga sosok
bayangan seolah-olah lengket menjadi satu, betapapun Ubun
Lui kuatir senjata rahasianya bisa salah timpuk kawan sendiri.
Selain itu dapat dilihatnya juga kedua tangannya sudah
mulai di atas angin. meski musuh tidak dapat segera
dirobohkan, namun tanpa dibantu pun akhirnya dapat juga
membekuk nona itu.
Mendadak Liong Leng-cu melancarkan serangan kilat tiga
kali, selagi Buyung Sui mengelak, peluang itu segera
digunakan Leng-cu untuk menerobos keluar.
"Lari ke mana, Siau-yau-li!" bentak Sikong Ciau, serupa
bayangan saja segera ia mengejar.
Kuda merah Liong Leng-cu menggeletak tak-bisa berkutik,
entah sudah mati atau masih hidup. Leng-cu menyadari
tenaga sendiri sudah lemah, untuk lari jelas tidak sanggup,
apalagi pihak lawan berkuda bagus, terpaksa ia harus
bertempur lagi mati-matian.
Cepat ia melepaskan cambuk benang perak yang terikat di
pinggang. Tadi karena dikerubut ia tidak sempat
menggunakan cambuk ini, padahal permainan cambuknya
tidak kurang lihainya daripada ilmu pedangnya.
Panjang cambuk itu ada dua tombak lebih, sekali berputar,
debu pasir dalam jarak lingkaran beberapa tombak sama
berhamburan. Nyata dalam hal senjata sekarang ia sudah
lebih untung. Senjata Sikong Ciau berdua berukuran pendek. untuk
melawan sabetan cambuk yang panjang itu tentu saja rada
kerepotan, seketika mereka pun tidak jelas bagaimana gerak
serangan si nona, terpaksa mereka hanya sanggup bertahan
dan tidak berani sembarangan mendekat.
Dengan demikian Liong Leng-cu dapat mengubah keadaan
menjadi sama kuat, sayang tenaga si nona sudah banyak
berkurang, kalau tidak tentu dia bisa unggul dengan
memanfaatkan cambuknya yang panjang itu.
Bekernyit juga kening Ubun Lui, sebagai seorang ahli, ia
tahu lama-lama tenaga Liong Leng-cu pasti habis dan akhirnya
akan dikalahkan oleh kedua sutenya, tapi untuk itu masih
diperlukan waktu cukup lama, meski tempat ini tampak sepi,
tapi jalan raya, bukan mustahil sebentar lagi ada orang lalu.
Dengan menggunakan cambuk panjang yang
menguntungkan itu, kebalikannya juga ada ruginya bagi Liong
Leng-cu, sebab sekarang dia harus bertempur dari jarak jauh
dan hal ini akan memberi peluang kepada Ubun Lui untuk
menggunakan senjata rahasianya.
Begitulah karena kuatir terjadi hal-hal di luar dugaan,
segera Ubun Lui menyambitkan lagi mata uang, sekarang ia
tidak kuatir akan salah menimpuk kawan sendiri lagi.
Leng-cu putar cambuknya dengan kencang, terdengar
suara "cring-cring" beberapa kali, mata uang yang
dihambutkan Ubun Lui sama tersampuk jatuh, walaupun
begitu, saking pedas juga tangan Leng-cu, karena harus
menghadapi hujan senjata rahasia, pertahanannya menjadi
tidak seketat tadi.
Ubun Lui masih terus menghamburkan senjata rahasia mata
uang, sedikit meleng pergelangan tangan kiri Leng-cu
tersambit, meski bukan tempat hiat-to, tangan kesakitan juga
dan tidak sanggup memegangi senjata lagi, "trang", pedang
jatuh ke tanah.
Leng-cu menyerang dengan cambuk dan bertahan dengan
pedang. Sekarang pedang jatuh, daya tahannya banyak
berkurang. Kesempatan ini segera digunakan Sikong Ciau
untuk mendesak maju-Apalagi karena tangan kiri kesakitan,
gerak cambuk Leng-cu menjadi agak kacau. kecepatan pun
tidak sekuat tadi.
Sikong Ciau mengincar suatu kesempatan dan mendadak
membentak, "Lepas tangan!"
Serentak kedua jarinya mencepit ujung cambuk sekuat
tanggam. Ia pernah belajar tanaga jari sakti, sebaliknya Leng-cu
sudah hampir kehabisan tenaga. mana ia sanggup bertahan.
Benar juga, kontan cambuknya terampas.
Cepat Leng-cu melompat mudur, lalu kabur sreepat
terbang. Dengan sendirinya Buyung Sui tidak tinggal diam, segera ia
memburu sambil membentak. "Mau lari ke mana, Siau-yau-li?"
Tampaknya kejar mengejar itu sudah dekat, tiba-tiba suara
dingin seorang membentak, "Hei henti! Siau-yau-li ini bagian
kami. orang lain di larang ikut campur!"
Suara itu berkumandang dari jauh. padahal orangnya belum
kelihatan dan suaranya sedemikian keras, Sikong Ciau terkejut
dan berteriak, "Awas, Sute!"
Buyung Ciau juga tahu kelihaian lawan, tapi ia mempunyai
deking Pek-toh-san, pula wataknya juga pemberang, mana dia
mau mengalah hanya karena ucapan orang dan musuh yang
segera akan dibekuknya itu dilepaskan begitu saja" Karena
itulah ia tetap mengejar tanpa peduli.
Liong Leng-cu juga kaget mendengar suara orang yang
memekak telinga itu, ia merasa seperti sudah kenal suaranya.
Karena harus menyelamatkan diri, ia tidak sempat
merenungkan pendatang itu kawan atau lawan. Dan karena
sedikit lengah, kembali belakang kaki tersambit sebuah mata
uang, kontan ia terhuyung-huyung dan hampir jatuh
tersungkur. Pada saat itulah terdengar suara derap kuda lari yang
ramai, pendatang ini seluruhnya empat penunggang kuda.
Yang paling depan adalah seorang lelaki berusia 30-an,
mendadak ia melompat dari atas kudanya, serupa elang
menyamber kelinci saja langsung ia menubruk ke arah Liong
Leng-cu yang terhuyung hampir jatuh itu.
Pada saat yang sama, dengan cepat sekali Buyung Sui juga
sudah menyusul tiba, "blang", kedua orang saling beradu
pukulan satu kali. Sedang Liong Leng-cu sempat berguling,
lalu melompat bangun dan segera kabur lagi.
Dengan sendirinya Buyung Sui dan orang tadi sama
menubruk tempat kosong.
"Siapa kau" Berani mengganggu urusanku"!" bentak
Buyung Sui dengan gusar.
Tak terduga orang itu terlebih kasar daripada Buyung Sui,
tanpa bicara, hanya kerongkongannya mengeluarkan suara
"grak-grok" yang aneh, langsung ia menghantam pula.
Buyung Sui menangkis dan keduanya lantas saling labrak.
Buyung Sui menang tenaga. sebaliknya ilmu pukulan orang itu
terlebih lihai, seketika sukar menentukan kalah dan menang.
"Sesungguhnya siapa kau" Kenapa tidak bicara" Apa kamu
gagu?" damperat Buyung Sui dengan mendongkol.
Dalam pada itu tiga penunggang kuda yang lain juga sudah
menyusul tiba. Buyung Sui melihat gclagat tidak menguntungkan, ia
berharap dapat menggertak pihak lawan dengan nama Pektoh-
san, untuk ini pihak lawan perlu dipancing menanggapi
pertanyaannya. Namun orang itu hanya mengeluarkan suara
aneh dari kerongkongan tanpa bicara apa pun.
Kiranya orang itu memang benar gagu alias bisu.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah terlepas dari cengkeraman pendatang itu, sekarang
Liong Leng-cu juga sudah tahu siapa dia.
Kiranya dia bukan lain daripada murid Thian san-pai yang
lidahnya dipotong oleh Nyo Yam dulu, yaitu Ciok Jing-coan
yang pernah melamar Ling Peng-ji, tapi tidak berhasil.
Tentu saja Liong Leng-cu mengeluh, sekuat tenaga ia kabur
secepatnya. Ia berharap berhasil meloloskan diri selagi kedua
orang itu saling labrak dengan seagit.
Akan tetapi ketiga penunggang kuda yang baru menyusul
tiba itu sempat menghadang jalan larinya.
Waktu Leng-cu mengawasi, ketiga orang ini dikenalnya
semua. Yang pertama adalah ayah Ciok Jing-coan, yaitu Ciok Thianhing,
seorang lagi adalah Ting Tiau-min yang pernah
bergebrak dengan dia dahulu. Orang ketiga adalah Liok Kamtong,
murid Ciok Thian-hing.
Ciok Thian-hing dan Ting Tiau-min adalah tokoh Thian-sanpai,
tergolong dua di antara keempat murid utama. Kungfu
Liok Kam-tong agak lemah, tapi kalau dibandingkan Liong
Leng-cu juga selisih tidak jauh.
Keruan Leng-cu mengeluh, ia sadar sekali ini pasti sukar
lolos. "Berhenti, Siau-yau-li!" demikian Ciok Thian-hmg
membentak, suaranya melengking nyaring menusuk telinga.
Nyata yang bersuara dari jauh tadi adalah dia.
Untuk lari terang sukar, Leng-cu sengaja berhenti sesuai
kehendak orang, lalu mendengus, "Hm. selaku tertua Thiansan-
pai dan tidak mampu menandingi Sutit sendiri lalu hendak
melampiaskan rasa gemas terhadapku, huh, tidak malu!
Ayolah maju jika ingin menganiayaku, asal saja tidak takut
mulutmu akan digampar lagi oleh Nyo Yam."
Bahwa berhubung cekcok urusan perguruan. Ciok Thianhing
pernah digampar oleh murid kemenakan sendiri, yaitu
Nyo Yam, hal ini dirasakannya sebagai suatu penghinaan bcsar
selama hidupnya. Kini hal itu disinggung oleh Liong Leng-cu,
keruan meluap amarah Ciok Thian-hing tanpa pikir tua
melawan muda segala, kontan ia memaki, "Siau-yau-li, kamu
banyak berbuat kejahatan. justru akan kebekuk dirimu, siapa
ingin bicara tentang peraturan kangouw padamu?"
Sambil membentak ia terus melompat turun dari kudanya
dan bermaksud menangkap Liong leng-cu.
Nona itu hanya menggeser ke samping, lalu menyongsong
maju malah untuk menggampar muka orang.
Dengan sendirinya Leng-cu tahu dirinya bukan tandingan
Ciok Thian-hing, tindakannya ini bisa jadi akan mendatangkan
maut baginya. Namun dia justru berbuat nekat, ia pikir
asalkan dapat menggampar orang satu kali saja, biarpun mati
juga puas. Gerak tamparan Liong leng-cu itu sangat lihai, pula
dilakukan tanpa menghiraukan diri sendiri, dalam keadaan
biasa pun Ciok Thian hing mungkin sukar mengelak.
Cuma sayang, keadaan Leng-cu sekarang sudah lemah,
meski jurus tamparannya sangat bagus, namun gerak
tangannya agak lamban sehingga Ciok Thian-hing sempat
menghindar. Namun begitu tidak urung angin tamparan si
nona dirasakan mernbuat mukanya panas pedas.
Dalam gusarnya Ciok Thian-hing terus mencengkeram
tangan Liok Lcug-cu sambil membentak, "Siau-yau-li, kamu
yang cari mampus sendiri, biarlah kubereskanmu . . . . "
Dalam keadaan begitu, asalkan ia mengerahkan tenaga,
kontan lengan Leng-cu pasti akan dipuntir patah. Ia tidak ingin
mencelakai jiwa Leng cu, tapi ingin membuatnya cacat.
Apalagi dalam keadaan marah, ia sudah serupa orang gila
yang kalap. Syukurlah Ting Tiau-min keburu berteriak "Tahan dulu,
Suheng. Meski Siau-yau-li ini musuh perguruan kita, tapi dia
ada hubungan erat dengan Nyo Yam, kita pun masih perlu
mendapatkan pengakuannya. Kukira seharusnya kita bawa dia
pulang ke gunung dulu untuk dimintakan keputusan Ciangbunsute
(adik seperguruan pejabat ketua) kita, dengan begitu
barulah terlihat Thian-san-pai kita yang mengutamakan
keadilan dan kebenaran setiap urusan sehinggga takkan
dijadikan omongan iseng orang luar."
Di balik kata-katanya itu seakan-akan hendak menonjolkan
bahwa Thian San pay adalah perguruan yang terkenal berbudi
luhur dan tidak akan bertindak sewenang-wenang
Ciok Thian-hing adalah kepala dari keempat murid utama
Thian-san-pay malahan baru saja diangkat sebagai "tianglo"
atau sesepuh, Dengan dirinya ia cukup paham peraturan
perguruan sendiri.
Maka ucapan Ting Tiau-min tadi mau tidak mau harus
dipertimbangkannya. Betapapun dia benci kepada "Siau-yau-li"
ini juga tidak boleh kehilangan kehormatan sebagai seorang
Suheng merangkap sesepuh perguruan yang pantas memberi
suri tauladan, apalagi melanggar peraturan sendiri.
Begitulah ia lantas urungkan niatnya mematahkan tangan
Liong Leng-cu, jengeknya, "Heee, biar sementara ini
kuampunimu!"
Tidak urung ia tutuk hiat-tu kelumpuhan Liong Leng-cu,
untuk ini perlu menunggu 12 jam kemudian baru akan punah
dengan sendirinya dan dapat bergerak bebas.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang menjengek,
"Wah, Kungfu bagus... cuma segala urusan tidak terlepas dari
kebenaran. kalau hanya mengandalkan ketinggian kungfu saja
tidak nanti dapat menaklukkan orang."
Suara orang ini serupa suara benturan barang logam,
sangat menusuk telinga.
Ciok Thian-hing terkesiap, ia pikir Iwekang orang ini
mungkin tidak di bawahku.
Yang bersuara itu ialah Ubun Lui, sejak tadi ia sudah
menggulung tirai kereta dan duduk di situ
Liok Kam-tong, murid Ciok Thian-hing, pernah ikut pergi ke
Ki-lian-san, waktu itu tokoh dari berbagai golongan sama hadir
di sana hendak menangkap "Siau-yau-li" alias Liong Leng-cu,
meski di sana Liok Kam-tong tidak bertemu dengan Ubun Lui,
tapi pernah dilihatnya Sikong Ciau dan Buyung Sui berdua.
"Anda ini dari golongan mana?" begitulah Ciok Thian-hing
lantas berpaling ke arah Ubun Lui dan bertanya.
Maka Liok Kam-tong mendahului menjawab, "Awas, Suhu!
Meski orang ini belum kukenal, tapi kedua kawannya iui
kutahu berasal dari Pek-toh-san. Bila tidak keliru dugaanku,
mungkin sekali orang ini adalah kemenakan Pek-toh-sancu
yang bernama Ubun Lui."
Orang Pek-toh-san suka memakai racun, kedudukan Ubun
Lui di Pek-toh-san hanya di bawah pamannya saja, semua ini
sebelumnya sudah diketahui oleh Ciok Thian-hing.
Maka ia lemparkan Liong Leng-cu kepada Liok Kam-tong
dan berseru, "Jaga Siau-yau-li ini, biar aku yang bicara dengan
mereka." Dalam pada itu pertempuran antara Ciok Jing-coan dan
Buyung Sui sudah sama menggunakan senjata. Dengan ilmu
pukulannya tadi Ciok Jing-coan agak di atas angin, dengan
senjata ternyata tidak lebih hanya sama kuat saja dengan
lawan. Sikong Ciau lebih cermat, sekarang ia pun tahu siapa pihak
lawan, ia pikir Ciok Thian-hing adalah sesepuh Thian-san-pai,
kabarnya berwatak angkuh, nama suheng mungkin sukar
menggertaknya. Kalau bicara menurut aturan. mungkin sukar
juga mencapai kata sepakat. Dan bila pakai kekerasan, jelas
aku dan sute sukar meloloskan diri.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia mengambil risiko,
mendadak ia melompat maju sambil berteriak, "Mundur Sute,
biar aku yang belajar kenal dengan tokoh Thian-san!"
Tidak perlu dijelaskan juga Buyung Sui tahu maksud sang
suheng bukan menyuruhnya mundur sungguh-sungguh, maka
ia berlagak tidak keburu berhenti, sementara itu Sikong Ciau
sudah menerjang maju, langsung Boan-koan-pit menutuk hiatto
di punggung Ciok Jing-coan.
Menghadapi Buyung Sui saja tidak bisa menang, mana Ciok
Jing-coan tahan ditambah lagi seorang Sikong Ciau yang lebih
tangguh dan di -kerubut dari muka-belakang. Maka cuma duatiga
jurus saja ia sudah kelabakan dan berkaok-kaok.
Orang yang lidahnya terpotong dengan sendirinya tidak
jelas suara yang dikeluarkan, orang lain tidak tahu apa yang
diucapkan, tapi ayahnya dapat menangkap perkataannya yang
memanggil "ayah"
Segera Ciok Thian-hing berseru, "Sute." Belum lanjut
ucapannya Tiang Tiau-min sudah memburu maju dan berkata,
"Jangan kuatir Suheng, kedua orang ini serahkan saja
padaku." Sementara itu Boan-koan-pit Sikong Ciau sudah dekat
punggung Ciok Jing-coan, namun Ting Tiau-min juga sangat
cepat, tahu-tahu Sikong Ciau merasa angin tajam menyambar
tiba, ujung pedang Ting Tiau-min telah mengancam iganya.
Sikong Ciau tidak mau menyerempet bahaya,
menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting baginya, Cepat ia
tarik kembali serangannya untuk bertahan. Walaupun cepat
gerak perubahannya, hampir juga iganya tertusuk, untung
cuma baju luar saja yang terobek dan tidak sampai terluka.
Keadaan Buyung Sui terlebih runyam, rambutnya terpapas
sebagian. Sekali serang dua gerakan, hampir berbareng Ting
Tiau-min menyerang dua lawan tangguh, betapa cepat dan
ganas ilmu pedangnya sungguh sukar dilukiskan.
Melihat putranya sudah terbebas dari bahaya, Ciok Thianhing
yakin Sute nya pasti akan menang dengan gampang,
maka tanpa sangsi ia lantas mendekati Ubun Lui.
"Apakah kamu ini Ubun Lui dan Pek-toh-san?" tanya Ciok
Thian-hing dengan ketus.
Ubun Lui tetap duduk di dalam kereta, jawab nya, "Betul,
aku inilah Ubun Lui. Agaknya Lo-Chianpwe ini Ciok-tianglo dari
Thian-san?"
Melihat sikap dan nada ucapan orang rada menghormat,
rasa jenuh Ciok rhian-hing kepadanya rada berkurang,
jawabnya dengan pongah, "Ya, mau apa?"
"Nama Ciong-tianglo termashyur diseluruh jagat, sudah
lama kukagumi," kata Ubun Lui. "Maafkan karena lagi sakit
sehingga tidak turun untuk memberi hormat."
Sembari bicara ia mengangsurkan tangan untuk menjabat
tangan orang. Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Ciok Thian-hing
tahu orang memang tidak leluasa untuk berjalan, pikirnya.
"Apakah dia benar sakit atau tidak belum kuketahui, tapi
melihat keadaannya, umpama bukan sakit tentu juga karena
belum lama baru saja dicederai oleh lawan tangguh. Mm,
untung baginya, aku menjadi tidak bebas untuk
membunuhnya."
Maklumlah, selaku seorang tokoh terkemuka suatu aliran,
bila lawan kurang sehat dan tidak mampu memberi
perlawanan, dengan sendirinya tidak enak baginya untuk
membunuh orang yang sakit.
"Ah, jangan sungkan," demikian kata Ciok Thian-hing
akhirnya. ia pun menjulurkan tangan untuk menjabat tangan
orang. Meski gerak-geriknya kurang leluasa, namun tenaga dalam
Ubun Lui tidak terganggu. Setelah mengadu tenaga dalam,
Ubun Lui merasa Iwekang sendiri yang dikerahkan serupa
kecemplung ke laut, hilang tak berbekas, sebaliknya pihak
lawan tetap tampak biasa saja.
Keruan Ubun Lui terkejut, cepat ia lepas tangan dan
berkata, "Pantas nama Ciok-taihiap termasyur, ternyata benar
tidak bernama kosong, kagum, sungguh kagum!"
Dia sebentar memanggil "Locianpwe" dan lain saat
menyebut "Ciok-taihiap", keruan Ciok Thian-hing sangat
senang Tak diketahuinya bahwa bukan cuma Ubun Lui saja yang
terkejut, Ciok Thian-hing juga tidak kurang herannya ketika
dirasakan tangan sendiri pun panas pegal, kungfu lawan yang
khas ternyata juga sangat lihai, hanya saja rasa kaget Ciok
Thian hing itu tidak tertampak dari luar.
Namun ia cukup menyadari bahwa Iwekang masing-masing
sama mempunyai keunggulannya sendiri dan sukar dinilai
siapa lebih hebat. Dan kalau lawan dalam keadaan kurang
sehat saja sehebat ini, apalagi kalau dalam keadaan biasa,
nyata kungfu Pek-toh-san memang tidak boleh diremehkan
Tapi pihak lawan sedemikian segan padanya, ia sengaja
berlagak congkak dan menjengek, "Nah, apa yang akan kau
bicarakan denganku."
Dengan tenang Ubun Lui menjawab, "Terus terang,
biasanya Pek-toh-san juga tidak suka banyak bicara dengan
siapa pun, tapi terhadap sesepuh Thian-san-pai mau-tak-mau
harus diperlakukan lain. Apalagi kutahu orang Thian-san-pai
tentu juga suka bicara menurut aturan."
"Bicara menurut aturan apa?" tanya Ciok Thian-hing, "Coba
katakan saja!"
Selagi Ubun Lui hendak bicara, sekonyong konyong
terdengar suara teriakan diseling suara benda logam patah.
Rupanya pertempuran di sebelah sana sudah berakhir.
Ilmu pedang Ting Tiau-min ternyata paling lihai, meski dia
murid ketiga dari keempat murid utama Thian-san-pai.
Dengan jurus "Pai-in-kah-tian" atau awan meluncur kilat
menyambar, suatu jurus paling lihai dari Tui-hong-kiam-hoat
(ilmu pedang pengejar angin) dari Thian-san-pai sekaligus ia
telah menusuk Buyung Sui dan Sikong Ciau.
Pergelangan tangan kedua orang itu serentak merasa
seperti tertusuk jarum, potlot baja Sikong Ciau mencelat dari
cekalan dan cundrik Buyung Sui juga terlepas dan menjatuhi
kaki sendiri sehingga sudah luka ditambah luka lagi.
Kejadian ini tidak cuma membuat orang yang bersangkutan
ketakutan, bahkan Ubun Lui juga terperanjat, ia pikir ilmu
pedang selihai ini bila aku yang diserang tentu juga sukar
mengelak. Maka cepat ia berseru, "Ciok-locianpwe, harap suruh
Sutemu memberi . ."
Ciok Thian-hing tersenyum. serunya, "Ting sute, kita dari
golongan terkemuka dan tahu aturan, kalau sudah unggul
bolehlah ampuni orang. Boleh kau lepaskau mereka, biar
kubicara dengan Siau sancu mereka."
Ting Tiau-min mengiakan dan menyimpan kembali
pedangnya. Sedang Sikong Ciau dan Buyung Sui juga
memungut kembali senjata masing-masing dan mengundurkan


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri dengan menahan rasa sakit.
"Nah, Ubun-siausancu, apa yang ingin kau bicarakan,
silakan," kata Thian-hing.
Setelah menenangkan diri, dengan tergagap Ubun Lui
berucap, "Menurut peraturan kangOuw, Siau-yau-li ini tadi
sudah akan kami tangkap, maka sepantasnya harus . .
diserahkan kepada kami."
"Wah, apa tidak keliru ucapanmu ini," ujar Thian-hing.
"Jelas aku yang menawan Siau-yau-li ini, mengapa kau bilang
kalian yang menangkapnya?"
Setelah dipikir barulah Ubun Lui menyadari salah omong,
cepat ia berkata pula. "Ya, betul. Siau-yau-li memang
ditangkap sendiri oleh Ciok -locianpwe, cuma sebelum Cioklocianpwe
tiba tadi kami sudah hampir membekuknya.
Umpama Ciok locianpwe tidak muncul, Siau-yau-li ini pasti
juga tidak dapat lolos dari cengkeraman kami."
"Oo, jadi maksudmu kami ambil barang yang seharusnya
sudah menjadi milikmu?" jengek Ciok Thian-hing.
"Ah, bukan begitu maksudku, cuma...."
"Cuma apa?" sela Thian-hing. "Hendak ku-tanya padamu,
bilamana sejak mula Siau-yau-li menghadapiku, apakah aku
tidak mampu menawannya?"
"Biarpun tiga orang Siau-yau-li juga bukan tandingan
Locianpwe," jawab Ubun Lui.
"Jika begitu, kenapa kau banyak omong lagi?"
"Tapi sedikit banyak kami kan juga keluar tenaga," kata
Ubun Lui. "O, jadi maksudmu ingin minta bagian, begitu?" tanya
Thian-hing. "Sayang, golongan kami tidak mau bicara menurut
peraturan kalangan hitam bahwa setiap orang yang ikut lihat
akan mendapatkan bagian. Apalagi yang menjadi soal
sekarang adalah manusia dan bukan barang. Barang dapat di
bagi, manusia kan tidak bisa"!"
"Ucapan Locianpwe memang benar," jawab Ubun Lui.
"Dengan sendirinya bukan maksudku ingin minta bagian rejeki
kepada Locianpwe, kami hanya mohon kebijaksanaan bahwa
Siau-yau-li ini adalah musuh kami, atas perintah Sancu kami
hendak menangkapnya dan membawanya pulang."
"Ada permusuhan apa antara kalian dengan dia?" tanya
Ciok Thian-hing.
"Aku pun tidak begitu jelas, agaknya seperti orang tua Siauyau-
li itu pernah berbuat salah terhadap Sancu kami sehingga
terikat permusuhan yang sukar didamaikan," tutur Ubun Lui.
"Jadi, ada permusuhan antara ayahnya dengan
pamanmu"." Thian-hing menegas.
"Ya, begitulah," kata Ubun Lui.
"Setahuku ayah Siau-yau-li ini sudah lama mati," kata Ciok
Thian-hing. "Menurut adat, orang mati habis perkara, apalagi
permusuhan itu berasal dari orang tuanya dan bukan pribadi
Siau-yau-li ini."
"Ucapan Locianpwe memang juga betul, tapikan juga ada
pepatah yang menyatakan membabat rumput harus seakarakarnya?"
Ting Tiau-min tidak tahan dan ikut bicara, "Ucapanmu tidak
tepat! Untuk membabat sampai akar-akarnya perlu ditimbang
apa kesalahan yang diperbuatnya" Terns terang, aku sendiri
pernah terluka akibat muslihat licik Siau-yau-li ini, tapi aku
tetap menganggap kesalahannya belum perlu dihukum mati."
Yang dimaksudkannya adalah peristiwa Liong Leng-cu
merampas Nyo Yam dari dia dahulu, ucapannya ini
sesungguhnya sengaja diperdengarkan kepada Ciok Thianhing.
Keterangan Ting Tiau-min ini kebetulan dijadikan alasan
untuk mundur teratur oleh Ubun lui, katanya, "O, kiranya
Ting-taihiap juga ada permusuhan dengan Siau-yau-li ini,
maafkan aku tidak tahu."
"Urusan Thian-san kami mestinya tidak perlu diberitahukan
kepada orang luar, tapi sengaja kami katakan agar kau tahu
duduk perkara yang sebenarnya." kata Ciok Thian-hing. "Nah,
permusuhan kalian dengan dia berawal dari orang itu,
sedangkan permusuhan kami dengan dia justru terhadap dia
sendiri, coba katakan sendiri, siapa yang lebih berhak
membereskan dia?"
Ubun Lui memang tidak berharap akan dapat merebut
"Siau-yau-li" itu, dia ajik berunding hanya sekadar untuk
menutupi rasa malu dan jaga gengsi saja. Sampai di sini ia
berlagak menyerah lahir batin, katanya, "Baiklah, jika begitu
silakan Ciok locianpwe membawanya pergi, kami mohon diri."
Tiba-tiba Liok Kam-tong menukas, "Suhu!! nama Pek-tohsan
terkenal busuk, masa kita biar kan mereka pergi begitu
saja?" "Sudahlah, tidak perlu banyak urusan lagi," kata Thian-hing,
lalu ia berpaling dan berkata kepada Ubun Lui, "Nah yang
tidak tahu tidak perlu disalahkan, bolehlah kalian pergi saja."
Ubun Lui tidak menyangka urusan akan selesai begini saja,
dengan girang ia memberi hormat dan berkata, "Cioklocianpwe
sungguh bijaksana, sungguh kagum. Sampai
bertemu!" "Suheng, kuda merah itu . . . . " tiba-tiba Buyung Sui
mengincar lagi kuda tunggangan Liong Leng-cu itu.
Ciok Thian-hing adalah seorang yang paham kuda bagus, ia
menjengek, "Kuda ini kepunyaan Siau-yau-li itu, memangnya
hendak kau bawa?"
Ubun Lui juga merasa sutenya terlalu suka cari perkara,
cepat ia menjawab, "Ah, jangan salah paham, Ciok-locianpwe.
Soalnya kuda itu telah kulukai dengan senjata rahasia, maksud
Suteku mungkin minta kuobati dulu kuda itu."
"Tidak perlu, kami sendiri sanggup msngobati-nya," ucap
Thian-hing. Sesudah rombongan Ubun Lui pergi, Ciok Thian-hing
berkata, " Hing-sute, kuda ini tampaknya bukan kuda biasa,
Coba kau periksa."
Rupanya pengetahuan Ting Tiau-min dalam hal perkudaan
terlebih mahir daripada Ciok Thian-hing.
Ternyata Ting Tiau-min tidak menjawabnya, waktu Thianhing
menoleh, baru diketahuinya sang sute sedang mengawasi
Ciok Jing-coan - yang gagu itu.
Saat itu Ciok Jing-coan sedang melototi Liong Leng-cu yang
menggeletak tak bisa berkutik di tanah.
Leng-cu adalah teman perempuan Nyo Yam, Jing-coan jadi
teringat kepada Nyo Yam yacg telah menganiayanya, kerena
sekarang belum dapat menuntut balas kepada Nyo Yam, rasa
dendamnya jadi tertuju kepada Liong Leng-cu.
Ia tidak dapat bicara, digunakannya mata sebagai ganti
lidah, matanya yang merah membara memperlihatkan rasa
gusarnya yang penuh dendam, ia angkat tangannya dan
bermaksud menghantam muka Liong Leng-cu, ia tahu anak
perempuan paling sayang akan wajahnya, sekali pukul tentu
muka si nona bisa dirusaknya.
Tentu saja Leng-cu cemas dan juga gemas, tapi apa daya,
sama sekali ia tidak dapat melawan, karena itulah ia menjadi
nekat dan menganggap orang sebagai binatang buas yang
mengganas, ia sambut pandangan orang dengan sorot mata
menghina. Sebaliknya hati Ciok Jing-coan jadi terguncang oleh sorot
mata si nona yang angkuh dan juga menghina itu. Sorot mata
ini lamat-lamat dirasakan seperti sudah dikenalnya.
"Siau-yau-li" di depannya sekarang dalam khayalnya
mendadak seperti berubah menjadi Ling Peng-ji yang pernah
dicintainya dan juga dibencinya itu.
Selama sekian tahun ia memburu cinta Ling Peng-ji, tapi
anak dara itu tidak pernah menggubrisnya. Suatu kali ia
memergoki pertemuan gelap antara Nyo Yam dan Ling Pengji,
ia pikir dapat memeras anak dara itu agar mau menerima
cintanya, sikap dan sorot mata Ling Peng-ji pada waktu itu
persis seperti sorot mata Liong Leng-cu sekarang. Pada waktu
itu pula lidahnya dipotong oleh Nyo Yam.
Sikap dan lorot mata yang khas itu sukar di-lupakannya,
akan tetapi juga merangsang dendamnya yang semakin
berkobar. Dengan tatapau yang penuh rasa benci ia sedang berpikir,
"Nyo Yam telah rebut gadis yang kucintai, mengapa sekarang
tidak kurebut juga gadisnya" Hehe, gadis cantik molek begini,
kalau tidak kunikmati sepuasnya kan terlalu bodoh!"
Maka tangan yang sudah terangkat tidak jadi memukul
melainkan cuma mencoleknya saja sekali sambil tertawa
terkekeh aneh. "Jangan sembrono anak Jing," bentak Ciok Thian-hing.
"Bagaimana hukuman yang setimpal bagi Siau-yau-li ini harus
diputuskan oleh pejabat ketua kita, tidak boleh kau langgar
peraturan perguruan kita."
Ia sangka putranya hendak melakukan penyiksaan terhadap
Liong Leng-cu, kuatir hal ini disaksikan Ting Tiau-min,
terpaksa ia bertindak selaku sesepuh dan mencegah
perbuatan Ciok Jing-coan.
Biasanya Jing-coan memang takut kepada paman guru
yang kereng ini, karena bentakan sang ayah, kemudian
diketahui sang paman guru juga sedang melotot padanya,
seketika ia tidak berani bertindak lancang lagi.
Setelah pikirannya jernih kembali, ia pikir Siau-ya-li ini
sudah serupa daging di depan mulut, masa kukuatir dia akan
kabur" Tiba-tiba ia mendapat akal, Leng-cu lantas dilepaskannya,
lalu berkaok-kaok sambil memberi tanda kepada sang ayah,
maksudnya menjelaskan ia cuma menakut-nakuti si nona saja
dan tidak bermaksud jahat.
"Jing-ji telah dibikin cacat oleh si binatang cilik Nyo Yam,
sedangkan Siau-yau-li ini adalah sekomplotan dengan Nyo
Yam, pantas juga dia benci kepada Siau-yau-li ini, tentunya
Sute dapat memaklumi perasaannya," demikian kata Thianhing
kepada Tiau-min.
Ting Tiau-min mengiakan. ia sangka tindakan ciok Jing-coan
tadi hanya terdorong oleh emosi lantaran dendamnva saja,
sama sekali tak terpikir olehnya pemuda gagu itu mempunyai
niat jahat lain.
"Sute." kata Thian-hing pula. "engkau mahir mengobati
kuda, boleh coba kau periksa kuda tunggangan Siau-yau-li ini.
Kuda ini sungguh jarang ada bandingannya, bila sampai cacatkan
sayang." Ting Tiau-min coba mendekat dan memeriksanya dengan
teliti, katanya kemudian, "Betul, kuda ini memang sangat
jarang terdapat, mendingan hanya salah urat saja, selekasnya
dapat kusembuhkan dia "
Lalu Tiau-min mengeluarkan sebatang jarum panjang untuk
mencocok hiat-to bagian paha kuda serta dibubuhi obat, benar
juga, tidak sampai setengah jam kuda ini sudah dapat berdiri
dan bergerak leluasa.
Kuda ini memang cerdik, ia mendekati Ting Tiau-min dan
menggosok-gosok bahu orang dengan moncongnya, lalu
mendekali Liong Leng-cu sambil meringkik sedih, tampaknya
seperti ingin memohon Ting Tiau-min juga suka menolong
majikannya. Dengan tertawa Ting Tiau-min berkata, "Majikanmu tidak
terluka, boleh kubiarkan dia menunggangimu."
Tiba-tiba Ciok Jing-coan mendekati kuda merah, ia tepuktepuk
dada sendiri, lalu menuding Liong Leng-cu dan berkaokkaok
terhadap ayah-nya sembari memberi isyarat tangan.
Dengan sendirinya Ciok Jing-coan paham maksud putranya,
katanya, "Maksudmu ingin langsung mengawasi Siau-yau-li
dan menunggang kudanya ini?"
Jing-coan mengangguk, lalu memandang ke arah Ting Tiaumin.
"Sute, apakah setuju gagasannya ini?" tanya Thian-hing.
"Dia dan Siau-yau-li dapat menyamar sebagai suami-istri dan
bersama menunggang kuda merah itu, dengan demikian tentu
takkan menimbulkan curiga orang dalam perjalanan."
Sebenarnya ada maksud Ting Tiau-min menyuruh Liok
Kam-tong membawa Liok Leng-cu, karena ucapan sang
suheng, tidak enak baginya untuk membantah. Ia pikir tujuan
Jing-coan mungkin hendak membalas dmdam terhadap Siauyau-
li itu, tapi di depan orang banyak mungkin anak muda itu
tidak berani sembarang bertindak.
Ting Tiau-min tergolong seorang ksatria berhati bersih,
sama sekali tidak tersangka olehnya Ciok Jing-coan
mempunyai maksud jahat lain, maka ia pun mengangguk
setuju. Jing-coan lantas angkat Leng-cu ke atas kuda.
"Nanti dulu!" mendadak Ciok Thian-hing berseru, lalu ia
mendekati Leng-cu dan menekan sekali pada punggung si
nona. Kiranya ia kuatir Liong Leng-cu dapat membuka hiat-to
sendiri yang tertutuk, maka ia sengaja menguji kekuatan si
nona, ia merasakan Leng-cu tidak mempunyai tenaga
perlawanan lagi, maka legalah hatinya.
"Suheng sungguh sangat teliti," ujar Ting Tiau-min dengan
tertawa. "Bukan soal teliti, hanya kita tidak mau mengulangi kejadian
kaburnya Nyo Yam dahulu," jawab Thian-hing.
Dahulu Nyo Yam tertutuk oleh Bing Hoa dan dibawa Ting
Tiau-min ke Cadam, tak terduga Nyo Yam maropu
melancarkan sendiri hiat-to yang terkutuk, lalu kabur lersama
Liong Leng-cu yanr datang menolongnya.
Muka Ting Tiau-min menjadi merah karena urusan dahulu
disinggung sang suheng, katanya, "Tenaga dalam Siau-yau-li
ini mana dapat di bandingkan Nyo Yam."
"Tapi ilmu tutukanku juga tidak selihai Bing Hoa, maka kan
lebih baik berlaku agak hati-hati," ucap Thian-hing.
Dengan sendirinya ia tidak tahu bahwa sekarang Liong
Leng-cu sudah mendapatkan ajaran Iwekang untuk
membuyarkan tenaga tutukan dari Nyo Yam.
Hanya sayang, meski kungfu itu sudah dipelajari, namun
Iwekang Liong Leng-cu sendiri belum sanggup digunakan
untuk membuka hiat-to yang tertutuk itu.
Karena itulah Leng-cu menjadi kecewa dan juga
mendongkol. Itu saja belum, justru masih ada kejadian lain
yang membuatnya terlebih gemas dan dongkol.
Rupanya Ciok Jing-coan telah merangkul pinggangnya
dengan erat, kepalanya hampir saja dempet dengan pipinya.
Tentu saja Leng-cu sangat gemas tapi apa daya, ia tidak bisa
bergerak dan tidak sanggup melepaskan diri dari tindakan
bangor orang. Ciok Thian-hing anggap tidak tahu saja perbuatan anaknya,
apakah Ting Tiau-min memperhatikan atau tidak, umpama


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihatnya juga dia takkan menganggap kelakuan Ciok Jingcoan
itu sebagai bangor. Sebab Liong Leng-cu tak bisa
berkutik, kalau tidak dipegangi, jelas nona itu akan terperosot
ke bawah kuda. Hanya Leng-cu sendiri saja yang sangat mendongkol, diamdiam
ia bersumpah bila dapat meloloskan diri. katak buduk ini
pasti akan dibunuhnya.
Rombongan Ciok Thian-hing terus melanjutkan perjalanan
siang dan malam, hanya lima hari saja mereka sudah melintasi
propinsi Hopak, Soa-sai dan masuk ke wilayah Siamsai.
Selama lima hari ini setiap 12 jam sekali Ciok Thian-hing tentu
menambahi tutukan pada hiat-to Liong Leng-cu sehingga
sejauh itu si nona tetap tidak bisa berkutik.
Hari itu mereka sampai di Ji-lim-koan di timur laut propinsi
Siamsai. Tiba-tiba Ting Tiau-min teringat sesuatu, katanya, "Suheng,
hari ini bukankah tanggal 16 bulan delapan?"
"Ya, semalam adalah malam Tiongciu, sayang kita tidak
sempat makan kue rembulan," kata Thian-hing dengan
tertawa. "Dan hari ini dengan sendirinya tanggal 16.
Memangnya ada apa, Sute?"
"Tanggal 16 bulan delapan adalah hari ulang tahun Kuitaihiap
dari Ji-lim, masa Suheng lupa," jawab Tiau-min.
Di daerah Ji-lim ada suatu keluarga persilatan turun
temurun, yaitu keluarga Kui dengan perkampungan Hwe-inceng.
Cengcu atau kepala kampung sekarang bernama Kui
Goan, seorang pendekar pedang yang terkenal di daerah
barat-laut. Keluarga Kui ada hubungan akrab turun temurun dengan
Thian-san-pai, lantaran hari ulang tahunnya sehari sesudah
pesta Tiongciu, maka sangat mudah diingat, sebab itulah
begitu sampai dl Ji-lim-koan segera Ting Tiau-min teringat
kepada Kui Goan.
Serentak Ciok Thian-hing juga ingat, jawabnya, "Aha, betul,
hari ini memang ulang tahun ke-60 Kui-taihiap, apakah
maksudmu hendak berkunjung ke sana untuk mengucapkan
selamat?" "Adat kebiasaannya jangan kita lupakan," ujar Tiau-min.
"Jika kebetulan kita lalu di sini, kalau tidak mampir dan
menyampaikan selamat. bila kelak ketahuan, kan rikuh?"
"Tapi di tengah pesta pora ulang tahun Kui -taihiap itu tentu
banyak tamu yang hadir, kan tidak leluasa kita pergi ke sana
dengan membawa Siau-yau-li ini?"
"Mengingat hubungan Kui-taihiap dengan kita, apa pun juga
kita berdua harus mampir ke sana," ujar Tiau-min. "Begini
saja, biar Jing-coan dan Kam-tong tetap melanjutkan
perjalanan dan menunggu kita di depan sana, mereka orang
muda, tidak mampir ke Hwe-in-ceng juga takkan dipersoalkan
oleh Kui-taihiap. Di bawah pengawasan mereka berdua, kukira
takkan terjadi apa-apa dengan Siau-yau-li itu."
Ilmu silat Ciok Jing-coan sudah hampir menuruni segenap
kemahiran sang ayah, sesudah menjadi bisu, ia tambah giat
berlatih kungfu
Diam-diam Ciok Thian-hing berpikir, "Anak Coan tergolong
jago terkemuka di antara murid angkatan ketiga. Kam-tong
juga murid kesayanganku, dibandingkan anak Coan juga
selisih tidak banyak, jangankan Siau-yau-li itu tidak bisa
bergerak, umpama dalam keadaan biasa pun anak Coan dan
Kam-tong sanggup melawannya. Kalau sekarang cuma
ditinggal beberapa jam saja mungkin takkan terjadi sesuatu."
Setelah termenung sejenak, akhirnya Thian-hing
mengangguk, "Baiklah, begitu juga boleh. Mari kita
berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Kui-taihiap
sekadar memenuhi kewajiban sesama kawan. Berapa jauh
jarak Hwe-in-ceng dari sini?"
Rupanya ia belum pernah berkunjung ke tempat Kui Goan,
sebaliknya Ting Tiau-min ada hubungan erat dengan Kui Goan
dan pernah be berapa kali berkunjung ke sana.
"Kira-kira belasan li saja dari sini, dengan kuda kita yang
cepat, pulang pergi juga tidak sampai satu jam," tutur Ting
Tiau-min. "Termasuk waktu berada di Hwe-in-ceng, ku-kira dua jam
pun sudah cukup," kata Ciok Thian hing. "Nanti kita pakai
alasan akan lekas-lekas pulang ke gunung, tentu Kui Goan
takkan menahan kita. Cuma mereka tidak leluasa menunggu di
sini . . . . "
Tanpa diberi penjelasan Liok Kam-tong dapat memaklumi
maksud sang guru. Jika mereka menunggu di sini dengan
menjaga Liong Leng-cu, hal ini tentu akan menarik perhatian
orang lalu lalang. Selain itu, jika hari ini ada pesta ulang tahun
di rumah Kui Goan, tentu banyak orang kaug-ouw akan
datang kemari melalui jalan ini, kalau kebetulan ada kenalan
menegur mereka kenapa tidak ikut pergi ke Hwee-in-ceng,
tentu mereka sukar untuk menjawab.
Karena itulah ia lantas menjawab "Suhu, biarlah kami
meneruskan perjalanan dengan perlahan, akan kami tunggu
Suhu didepan sana."
Tapi Thian-hing lantas memberi pesan: "Tidak perlu, terus
saja meninggalkan wilayah Ji-Lim Koan ini, sesudah itu
barulah memperlambat perjalanan kalian. Hanya 20-an li saja
sudah lepas dari wilayah Ji-lim koan, selekas kami akan
menyusul. kukira tidak sampai tiga jam kemudian kita dapat
bergabung lagi."
Saat ini belum lagi lohor, Leng-cu ditutuknya pada waktu
pagi ketika hendak berangkat, maka diperkirakan petang
nanti barulah hiat-to nona itu akan bebas dengan sendirinya,
maka ia pikir tidak perlu menguatirkan kemungkinan kaburnya
orang. Hanya untuk menjaga bilamana datangnya terlambat, maka
ia pesan Jing-coan agar menjelang petang nanti menambahi
tutukan pada Hiatto Liong Leng cu.
Tentu saja Jing-coan berharap ayah dan paman gurunya
lekas-lekas pergi, maka berulang ia mengangguk.
Kalau Ciok Jing-coan bergirang, diam-diam Liong Leng-cu
juga senang. Selama beberapa hari ini ia telah mengerahkan tenaga
murni dengan latihan Iwekang ajaran Nyo Yam, meski
hasilnya tidak dapat membebaskan hiat-to yang tertutuk itu
dalam 12 jam, namun setiap hari dirasakan ada kemajuan,
misalnya sejak kemarin kaki dan tangannya sudah mulai dapat
bergerak, cuma hal ini disembunyikannya dan tidak diketahui
oleh Ciok Jing-coan.
Dari percakapan Ciok Thian-hing tadi, ia me naksir kalau
cuma ada waktu tiga jam, betapapun kemajuan Iwekangnya
hari ini tetap juga tak dapat membebaskan hiat-to yang
tertutuk. Hanya saja dengan kepergian Ciok Thian-hing dan
Ting Tiau min, sedikit banyak ada harapan untuk meloloskan
diri. Begitulah setelah berpisah dengan ayahnya, segera Ciok
Jing-coan melarikan kudanya dengan cepat meninggalkan
wilayah Ji-lim-koan. Sesuai pesan sang ayah barulah ia
memperlambat lari kudanya.
Tanpa terasa dua-tiga jam sudah barlalu, namun ayah dan
paman gurunya belum lagi kelihatan menyusulnya.
Bagi Ciok Jing-coan, keterlambatan pulangnya ayah dan
paman gurunya justru bebetulan malah. Hanya Liok Kam-tong
saja yang agak cemas.
Sementara itu sang surya sudah mulai terbenam, setelah
melanjutkan perjalanan sebentar lagi, hari pun mulai gelap,
sedangkan Ciok Thian-hing dan Ting Tiau-min masih juga
belum kelihatan muncul.
"Sedikitnya sudah lewat empat jam, mengapa Suhu belum
kembali?" demikian kata Liok Kam tong. "Apakah perlu kususul
ke Hwe-in-ceng untuk mencari kabar?"
Hendaknya maklum, meski Ciok Jing-coan berubah gagu,
tapi tidak tuli, masih dapat mendengar secara normal. Selaku
Suheng, maka Liok Kam-tong pasti minta pendapatnya.
Dilihatnya Ciok Jing-coan menggeleng geleng kepala sambil
bersuara "ah-uh" yang tidak jelas dan memberi isyarat tangan.
"Pendapatmu memang betul," ujar Liok Kim tong. "Mungkin
Kui-taihiap menahan tetamunya makan-minum terlalu lama.
sehingga Suhu rikuh untuk mohon diri. Cuma, segala
kemungkinan juga bisa terjadi, maka lebih baik kususul saja ke
sana " Kepergian Liok Kam-tong sebenarnya kebetulan bagi Ciok
Jing-coan, tapi bila sang paman guru disusul pulang, inilah
yang tidak diharapkannya. Biasanya ia paling takut kepada
Ting Tiau-min kalau cuma Liok Kam-toug saja masih dapat di
kuasainya, malahan dapat digunakan sebagai penjaga
bilamana perlu.
---oo0dw0oo--- Jilid ke - 10 Karena pertimbangan untung rugi begitu, kembali ia
menggeleng sambil menuding ke atas gunung.
"Maksudmu supaya bermalam di atas gunung?" tanya Liok
Kam-tong. Ciok Jing-coan melolos pedang dan menulis di atas tanah,
"Kutahu di atas gunung ada sebuah kelenteng kosong."
Liok Kam-tong memandangnya dengan seperti tertawa tapi
tidak tertawa, agaknya paham maksud tujuannya, ia pikir,
"Malam ini agaknya Suheng ingin menghindari ayahnya, tapi
aku hanya dapat menuruti sebagian keinginannya."
Maka ia lantas berkata, "Baik, malam ini boleh kita
menginap di kelenteng kuno itu. Akan ku tinggalkan kode,
supaya kalau Suhu dan Susiok kembali ke sini dapat
menemukan kita."
Menyusul itu ia pun melolos pedang dimulai dari kaki
gunung, ia memberi tanda rahasia sepanjang jalan. yaitu
tanda panah yang mengarah ke atas gunung
Meski Ciok Jing-coan merasa tidak senang atas perbuatan
kawannya, namun tidak enak untuk mencegahnya.
Setiba di kelenteng yang dimaksud, Ciok Jing-coan
menurunkan Liong Leng-cu, dipandangnya dengan sorot mata
yang nanar, keruan Leng-cu ketakutan, sekuatnya ia
mengerahkan tenaga dengan harapan sedikit banyak tenaga
dalamnya dapat dipulihkan.
Jing-coan menyuruh sang sute membersihkan lantai
kelenteng, lalu memberi isyarat tangan menyuruhnya
mengambilkan air.
Liok Kim-tong cukup kenal watak Jing-coan, bukan cuma
isyarat tangannya dapat dimengerti maksudnya, arti yang
tidak terisyarat juga di pahaminya.
Ia tahu Suhengnya itu menghendaki dia mengawasi
keadaan, bila Suhu dan Susiok datang harus segera memberi
tanda. Suruh dia mengambilkan air hanya sebagai alasan
belaka. Maka tertawalah Liok Kam-tong, katanya,
"Jangan kuatir. Suheng, akan kukerjakan dengan baik, dan
pasti takkan salah."
Melihat kepergian Liok Kam-tong, Ciok Jing-Coan tertawa
dan menatap Liong Leng-cu dengan sorot mata yang penuh
nafsu binatang.
Waktu itu Leng-cu sedang mengerahkan tenaga dalam
sebisanya, selagi hiat-to terasa hampir terbuka, saat itulah
serupa binatang buas mendadak Ciok Jing-coan menubruk
maju. Ia menyangka "siau-yau-li" ini serupa daging di depan
mulut, tinggal dicaplok saja, tak terduga baru saja menyentuh
tubuhnya, seketika ia didorong si nona dan hiat-to di bawah
dada terasa kemang.
Kiranya hiat-to Liong Leng-cu yang tertutuk sekarang sudah
tujuh bagian dapat dilancarkan, kalau mau berdiri sekuatnya
sudah sanggup. Hanya sayang tenaga belum pulih, biarpun ia
mendorong sekuatnya tetap tidak membuat Ciok Jing-coan
terguling. Thian-tut-hiat di bawah dada yang didorong Leng-cu
sebenarnya merupakan hiat-to maut, tapi lantaran tenaganya
belum pulih, biarpun hiat-to tertolak hanya membuat Ciok
Jing-coan merasa pegal sedikit saja.
Setelah terkejut, segera Ciok Jing-coan merasakan kekuatan
Liong Leng-cu tidak lebih cuma sekian saja dan belum mampu
melawannya. Sebenarnya ia ingin menggunakan tenaga keras untuk
menambahi sekali tutukan pada Liong Leng-cu, tapi segera
terpikir olehnya tidak ada artinya bermesraan dengan seorang
gadis cantik yang serupa patung, kan lebih menyenangkan jika
nona itu tetap dapat bergerak.
Karena itulah ia urung memberi tambahan tutukan kepada
si nona melainkan cuma mencengkeram kedua tangan Lengcu,
menyusul ia merobek sebagian baju atasnya.
Tampaknya Leng-cu pasti sukar terhindar dari perbuatan
tidak senonoh, syukurlah pada saat itu juga mendadak
terdengar ringkik kuda merah di luar.
Leng-cu tahu kuda itu sangat cerdik, ia pikir jangan-jangan
binatang itu mengetahui dirinya terancam bahaya, maka ingin
menolongnya. Namun sekarang ia sudah berada dalam cengkeraman iblis,
biarpun kuda itu lari masuk juga sukar baginya untuk
melepaskan diri dan naik kuda itu. Apalagi kepandaian Ciok
Jing-coan juga berlebihan untuk menaklukkan kuda itu.
Ternyata kuda merah itu tidak lari masuk ke dalam
kelenteng melainkan terdengar detak larinya menuju ke
bawah gunung malah.
Leng-cu merasa heran, namun dalam keadaan, gawat tidak
sempat baginya antuk memikirkan sebab apa kuda itu lari
pergi. Sementara itu Ciok Jing-coan sudah menindih di atas
tubuhnya serupa binatang liar yang kalap, sambil menyeringai
ia berusaha mencium si nona.
Untung juga Ciok Jing-coan menganggapnya seperti tikus
dalam cengkeraman kucing, ia ingin bertindak seperti kucing
mempermainkan tikus, Leng-cu akan dibuat mainan dulu
sepuasnya. Ketika melihat kuda merah itu mendadak kabur, Liok Kamtong
yang pasang mata di luar juga sangat heran.
Kuda itu disembuhkan oleh Ting Tiau-min, pula sangat cinta
kepada majikan lama. Selama beberapa hari ini Liok Kam-tong
sudah dapat menyelami watak binatang itu, diketahui kuda itu
sangat cerdas, tidak nanti meninggalkan sang majikan,
makanya ia berani melepaskan kuda itu makan rumput sendiri


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di hutan tanpa ditambat.
Sebab apakah kuda merah itu "kabur", sungguh sukar
dimengarti Ciok Kam-tong. Ia merasa berat bila kuda merah
itu sampai hilang, tanpa pikir ia terus mengejarnya sambil
bersuit memanggil kuda itu.
Tak terduga mendadak terdengar juga suitan panjang,
sesosok bayangan hitam muncul dengan kecepatan luar biasa.
Kuda merah Itu tepat menyongsong ke arah datangnya orang
itu sehingga dalam sekejap manusia dan kuda telah bertemu.
Saat itu sudah menjelang senja, keadaan sudah remangremang.
Lari pendatang itu sangat cepat sehingga sama sekali
Liok Kam-tong tidak dapat melihat jelas wajahnya.
Mendadak orang itu membentak, "Dari mana kau dapatkan
kuda ini" Lekas mengaku!"
Belum lagi Liok Kam-tong bersuara, mendadak jeritan
melengking minta tolong Liong Leng-cu sudah berkumandang
lebih dulu. Kiranya hiat-to yang tertutuk kini sudah sebagaian besar
terbuka, sejak tadi ia sudah sanggup bicara. Meski dia tidak
tahu siapa pendatang itu, tapi serupa seorang yang hampir
tenggelam di dalam air, asalkan ada setitik harapan, sebatang
rumput pun akan diraihnya untuk menyelamatkan nyawa.
Maka sama sekali tak terpikir olehnya apakah pendatang ini
dapat menolongnya atau tidak. yang penting baginya menjerit
sekerasnya untuk miata tolong.
Uutung nasibuya memang lagi mujur, pendatang ini
ternyata bukan sembarang orang melainkan seorang tokoh
dunia persilatan terkemuka.
Rupanya dia menemukan kode yang ditinggal kan Liok
Kam-tong di kaki gunung, hal ini menimhulkan rasa ingin
tahunya, segera ia mengikuti arah panah petunjuk dan
akhirnya sampai di atas gunung.
Benar juga lantas dipergokinya kejadian aneh ini, malahan
jauh lebih aneh daripada dugaannya. Lebih dulu kuda merah
itu berlari menyongsong kedatangamiya, hal ini cukup
membuatnya kejut dan heran, malahan menyusul lantas
terdengar jeritan perempuan muda minta tolocg. hal ini
terlebih di luar dugaan.
Menolong manusia serupa memadamkan api, Ia tidak
sempat tanya lagi, segera ia cemplak ke atas kuda merah.
Kuda itu seperti paham juga tujuannya, tanpa disuruh
segera membedal balik ke arah kelenteng kuno tadi.
Jika pendatang itu terkejut heran, tentu saja Liok Kam-tong
terlebih terkejut. Dia memasang mata bagi sang suheng,
mana boleh pendatang ini dibiarkan mengganggu keasyikan
sang suheng"
Sebenarnya ketika orang ini membentak menegurnya tadi
sudah dirasakan orang ini seperti pernah dikenalnya, namun
dalam keadaan mendesak tidak sempat baginya untuk
berpikir, malahan kalau pendatang ini benar sudah kenal,
tentu urusan bisa tambah runyam. Karena itu segera timbul
hasratnya untuk membunuh.
"Kau berani ikut campur urusan orang lain, kau sendiri yang
cari mampus!" sambil membentak Liok Kam-tong terus
menyambitkan tiga batang senjata rahasia.
Suara mendenging senjata rahasia itu membuat orang tadi
terkesiap juga. Cuma yang membuatnya terkejut bukanlah
kepandaian menyambitkan senjata rahasia Liok Kam-tong
melainkan senjata rahasia itu sendiri.
Kiranya senjata rahasia yang digunakan Liok Kam-tong itu
adalah Thian-san-sin-bong, yaitu sejenis tumbuhan-tumbuhan
yang berbentuk seperti duri yang cuma tumbuh di lereng
Thian-san saja. Bentuk duri ini seperti anak panah kecil,
namun sangat keras serupa batu.
Lantaran senjata rahasia ini teramat lihai, maka ada suatu
larangan Thian-san-pai yang tidak tertulis, yaitu pada waktu
sang guru mengajarkan kepandaian am-gi atau senjata
rahasia ini, si murid berulang diperingatkan agar jangan
sembarang menggunakannya. Pula tidak setiap murid Thiansan-
pai diajari ilmu am-gi ini melainkan cuma murid terpilih
dengan budi pekerti baik saja yang dapat diajarinya.
Sekarang sekali timpuk Liok Kam-tong meng-hamburkan
tiga biji Thian-san-sin-bong, bahkan semuanya mengarah hiatto
maut, ia menduga cukup ialah satu sin-bong itu mengenai
sasarannya tentu akan membuat lawan roboh terluka parah.
Siapa tahu kepandaian pendatang ini ternyata jauh di atas
dugaannya, meski sin-bong itu menyambar ke arahnya,
namun dia masih terus melarikan kudanya tenpa berhenti,
hanya lengan bajunya saja mengebut, kontan dua biji sinbong
tersampuk balik ke sana. Sin-bong ketiga tergulung oleh
lengan bajunyg dan terpegang olehnya.
Kedua sin-bong yang menyambar balik ke sana itu hampir
menyerempet lewat kanan-kiri kepala Liok Kam-tong, keruan
ia sendiri terkejut sekali, kaki terasa lemas dan "bluk", jatuh
terkulai. Ia cukup mafhum orang sengaja bermurah hati
padanya, kalau tidak mustahil jiwanya tidak melayang"
Masih ada lagi yang lebih mengejutkan dia, yaitu ketika
berpapasan sekejap itu, seketika teringat olehnya siapa
gerangan pendatang ini.
"Kang . . . Kang-jikongcu . . maafkan kelancanganku, kukira
. . . kukira . . . . " begitulah Liok Kam-tong berteriak dengan
suara gemetar sambil merangkak bangun.
Orang itu entah mendengar ucapannya atau tidak, yang
jelas ia terus membedal kuda merah itu ke atas gunung.
Meski dia tidak bersuara namun asal-usulnya memang tepat
diterka oleh Liok Kam-tong.
Kiranya orang ini adalah putra kedua Kang Hai-thian, Kang
Siang-hun, yaitu pemilik lama kuda merah itu.
Kang Hai-thian adalah pendekar besar yang paling
terhormat di jaman ini, meski ada orang bilang ilmu pedang
sutenya, yaitu Kim Tiok-liu, sudah melampaui dia, namun
kebanyakan orang kangouw tetap mengakui kungfunya nomor
satu di dunia (Kisah Kang Hai-thian dan Kim Tiok-liu dapat
dibaoa dalam "Sungai Es" dan "Pendekar Jembel").
Kang Hai-thian mempunyai dua orang putra dan seorang
putri, putra pertama Kang Siang-hoag berperangai polos dan
sederhana, sangat jarang bergerak di dunia kangouw.
Justru putra kedua, Kang Siang-hun berperangai
kebalikannya, gemar berkelana menjelajah dunia dan
membela keadilan. Setiap manusia durjana dunia Langouw
terhadapnya boleh dikatakan pecah nyalinya bila mendengar
nama Kang Siang-hun.
Adapun putrinya bernama Kim Pik-ih, diperistri oleh Beng
Hoa yang terhitung murid tidak resmi Thian-san-pai.
Keluarga Kang ada hubungan erat turun temurun dengan
Thian-san-pai, maka Liok Kam-tong pernah melihat Kang
Siang-hun satu kali, cuma suhengnya, yaitu Ciok Jing-coan
justru tidak pernah kenal siapa Kang Siang-hun.
Setelah mengenali siapa pendatang ini, keruan Liok Kamtong
terkejut dan mengeluh urusan pasti akan runyam, jiwa
sang suheng mungkin bisa melayang.
Cuma, walaupun sangat takut, demi untuk menyelamatkan
jiwa suhengnya, terpaksa ia memburu juga ke atas gunung.
Karena hubungan erat keluarga Kang dengan Thian-sanpai,
dengan sendirinya Kang Siau-hun juga sudah tahu Liok
Kam-tong adalah murid Thian-san, soalnya bukan karena dulu
mereka pernah bertemu melainkan dari senjata rahasia yang
di-sambitkan Liok Kam-tong itu.
Setelah menangkap Thian-san-sin-bong dan coba
diremasnya, diam-diaim Kang Siang-hun merasa gegetun, ia
heran mengapa Thian-san-pai mempunyai murid yang
berkelakuan buruk begini" Caranya menyerang tanpa kenal
ampun jelas melukiskan pribadinya yang berwatak jahat.
Apalagi merintangiku naik ke atas gunung, bukan mustahil di
sana sedang terjadi hal-hal yang tidak boleh dilihat orang"
Karena pikiran itulah, ia membedal kudanya terlebih cepat
ke atas. Saat itu di dalam Kelenteng kuno itu keadaan Ciok Jingcoan
sudah berada dalam keadaan kalap, Leng Liong-cu
diterkamnya dengan beringas, Leng-cu meronta dan menjerit,
hal ini semakin merangsang nafsu berahinya, sebelah
tangannya mencekik leher Leng-cu, tangan yang Iain terus
meraba dan merobek baju si nona.
Setelah menjerit dan memaki dua-tiga kata, akhiinya Lengcu
tidak sanggup bersuara lagi.
Pada detik paling berbahaya itulah sekonyong konyong
terdengar suara "blang" yang keras, pintu kelenteng yang
hanya dirapatkan itu mendadak didepak Kang Siang-hun
hingga terpentang. Seketika perbuatan Ciok Jing-coan yang
kotor itu terlihat dengan jelas oleh Kang Siang-hun.
"Bangsat yang tidak tahu malu," damperat Kang Siang-hun
dengan gusar. "Lekas lepaskan dia, kalau tidak segera ku . ."
Belum lanjut ucapannya, benar juga Ciok ling coan telah
lepaskan Liong Leng-cu. Tapi lepasnya itu bukan lantaran
menyadari kesalahannya melainkan bermaksud menghadapi
Kang Siang-hun. Sebelum Kang Siang-hun bertindak padanya
dia justru ingin mengincar nyawa orang.
Maklum, perbuatan kotornya kepergok orang, tentu saja ia
malu dan kalap, "sret"', segera pedang berputar terus
menusuk ke tenggorokan Kang Siang-hun.
Meski dalam keadaan kalap, namun serangannya ternyata
teratur dengan jitu dan cepat, sungguh lihai luar biasa, inilah
jurus Pek-hong-koan-jit (pelangi melingkari cahaya matahari),
suatu jurus lihai dari Tui-hong-kiam-hoat (ilmu pedang
pemburu angin) dari Thian-san-pai.
Namun betapa lihai jurus serangannya, jika ditujukan
kepada Kang Siang-hun hanya akan membikin susah dia
sendiri. Ilmu pedang keluarga Kang berasal dari suatu sumber
yang sama dengan Thian-san-pai, tentang kekuatan dan
kehebatan gerak perubahan sarangan juga Ciok Jing-coan tak
dapat menandingi Kang Siang-hun, maka serangannya itu bagi
Kang Siang-hun serupa permainan anak kecil saja.
Hanya sedikit bergeser saja, berbareng lengan baju Kang
Siang-hun mengcbut. kontan pedang Ciok Jing-coan terbelit.
"Trang", pedang Jing-coan laiitas terlepas dan jatuh ke
tanah. Waktu Kang Siang-hun memeriksa lengan bajunya, terdapat
juga sebuah lubang kecil, diam-diam ia gcgetun, "Di antara
murid Thian-san angkatan ketiga, orang ini terhitung jago
menonjol, cuma sayang dia ternyata seorang pemuda
bermoral rendah seperti ini."
Untung juga sekali serang Ciok Jing-coan lantas
mengeluarkan jurus serangan asli Thian-san-pai sehingga
Kang Siang-hun tidak jadi mencabut nyawanya.
Ketika Kang Siang-hun memukul dan hampir mengenai
batok kepala orang, tiba-tiba teringat olehnya hubungan baik
turun temurun antara keluarga Kang dengan Thian-san-pai, ia
pikir biarkan orang Thian-san-pai saja membersihkan
perguruannya sendiri dan aku tidak perlu bertindak melampaui
batas wewenangku.
Karena pikiran itu, pukulannya dibelokkan, Ciok Jing-coan
hanya digampar saja sekali dengan keras.
Kontan Jing-coan jatuh terkapar dan tepat rebah di samping
Liong Leng-cu yang saat itu baru merangkak bangun. Karena
rasa gemasnya terhadap perbuatan Ciok Jing-coan, tanpa pikir
Leng-cu menyambar pedang Jing-coan yang dipukul jatuh
Kang Siang-hun tadi. "cret", langsung ia tusuk punggung Ciok
Jing-coan. Tanpa ampun Jing-coan menjerit ngeri dan menggeletak
bermandi darah.
Kang Siang-hun terkejut dan tidak dapat bersuara.
Pada saat itulah Liok Kam-tong menyusul tiba sambil
berteriak, "Kang-taihiap, mohon . . . mohon kemurahan
hatimu dan memberi ampun!"
Tapi ketika melihat keadaan sang suheng, seketika ia
melenggong kesima.
Tenaga Leng-cu belum pulih, sekuatnya ia menusuk
punggung Ciok Jing-coan, habis itu ia pun merasa lemas dan
bermaksud menarik kembali pedangnya, namun lengannya
serasa tidak mau menuruti perintah lagi dan berlumuran darah
pula. Setelah melenggong sejenak, mendadak Liok Kam-tong
meraung murka dan menubruk maju sambil membentak,
"Siau-yau-li, berani kau bunuh suhengku, biar
kubinasakanmu!"
Namun Kang Siang-hun lantas melompat maju dan
menghadang di depan Liong Leng-cu. sekali lengan baju
mengebas, seketika Liok Kam-tong terpental serupa bola.
Untung Kang Siang-hun menggunakan tenaga lunak sehingga
Liok Kam-tong tidak terluka parah, ia berjumpalitan dua kali di
udara, lalu hinggap di tanah.
Meski dia tidak terluka, namun serangan Kang Siang-hun itu
membuat pikirannya menjadi sadar.
Dalam pada itu Kang Siang-hun terus bekerja cepat,
serentak ia tutuk beberapa tempat hiat-to di tubuh Ciok Jingcoan,
berbareng ia tarik Leng-cu ke samping,
ia menutuk hiat-to Ciok Jing-coan untuk menghentikan
aliran darahnya dan berusaha menyelamatkan nyawanya.
Terdengar Ciok Jing-coan merintih pelahan, Kang Siang-hun
merasa lega. Pada saat itulah Liok Kam-tong baru hinggap
kembali di tempatnya. "Hm, jadi penjahat tidak senonoh ini
adalah suhengmu?" bentak Kang Siang-hun kepada Liok hingtong.
"Dosa suhengmu tidak cukup ditebus dengan kematian,
jika kamu saudara seperguruannya, jelas kaupun tak terhindar
dari perbuatan jahatnya." .
Keruan Liok Kam-tong ketakutan dan cepat berteriak,
"Kang-taihiap, kami . . . kami bukan orang jahat, kami anak
murid Thian-san!"
"Omong kosong!" bentak Kang Siang-hun pula. "Thian-sanpai
adalah perguruan ternama dan aliran lurus, mana mungkin
mempunyai anak murid cabul seperti kalian?"
"Kami betul anak murid Thian-san-pai," tutur Liok Kamtong.
"Guru kami adalah Ciok Thian-hing, tiga tahun yang
lampau pernah kuikut Suhu ke Cadam, dalam pertemuan para
ksatria di sana pernah kulihat Kang-taihiup. Namaku Ciok Kam
tong, Suhengku ini bernama Ciok ling-coan, putra satusatunya
guruku." Kang Siang-hun agak terkejut, pikirnya "Kabarnya watak
Ciok Thian-hing memang suka membela anak murid sendiri
tanpa membedakan salah atau benar, tampaknya karena


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyakitnya itu maka putranya ini menjadi sebusuk ini. Bila
Ciok Thian hng mengetahui kematian putranya tiada ubahnya
seperti dibunuh olehku, tentu dia takkan menyudahi urusan ini
denganku. Cuma perbuatau putranya yang tidak senonoh ini
memang pantas dihukum mati, andaikan sebelumnya kutahu
siapa dia juga tetap akan kutindak. Tapi mengingat hubungan
baik keluarga Kang dengan Thian-san-pai, biarlah aku berdaya
sebisanya untuk menyelamatkan nyawa putranya."
Ia berpaling dan menatap Liok Kam-tong dengan sinar mata
tajam, serupa memeriksa pesakitan ia tanya, "Biarpun
pangeran, kalau berbuat salah juga akan dihukum, Terlepas
dari urusan suhengmu apakah putra Ciok-taihiap atau bukan,
yang jelas dia hendak memperkosa gadis, perbuatan ini tidak
boleh diampuni. Cuma sekarang dia sudah mendapatkan
ganjaran yang setimpal, bila kalian benar anak murid Ciok
Thian-hing, bolehlah mengingat hubungan baik kita akan
kuberi kelonggaran padanya."
Liok Kam-tong pikir suhengnya sudah mati, pakai memberi
kelonggaran apa segala" Cuma sekarang dia bukan lagi
memohon kelonggaran Kang Siang-hun terhadap suhengnya
melainkan kelonggaran terhadap dirinya.
Maka cepat ia berkata pula, "Kang-taihiap, mana berani
kudusta padamu, kami memang betu anak murid Ciok Thianhing
dari Thian-san. Sebenarnya kami datang bersama Suhu
dan Ting susiok, terus terang, lantaran Siau-yau-li ini adalah
musuh perguruan kami, malahan Suhu kami sendiri yang
menawannya dan hendak dibawa pulang ke Thian-san."
"Nanti dulu," kata Kang Siang-hun. "Kamu mengaku datang
bersama Ciok-taihiap dan Ting-susiok kalian, mengapa mereka
tidak tampak berada di sini" Jika benar nona ini musuh Thiansan-
pai seperti keteranganmu, masa Ciok-taihiap
menyerahkan kepada kalian begitu saja untuk menggiringnya
pulang ke Thian-san?"
"Agaknya Kang-taihiap tidak tahu, hari ini adalah ulang
tahun Kui-taihiap, maka Suhu dan Ting-susiok mampir ke sana
untuk mengucapkan selamat kepadanya," tutur Liok Kamtiong.
"Bila Kang-taihiap tidak percaya, silakan cari keterangan
ke Hwe-in-ceng, tentu segalanya akan menjadi jelas."
"Hm, masa aku tidak tahu" jengek Kang Siang-hun. "Aku
justru baru pulang dari tempat Kui-taihiap, tapi di sana tidak
kulihat adanya Ciok Thian-hing dan susiok kalian Ting Tiaumin."
Keruan Ciok Kam-tong terkejut, "Hah, bilakah Kang-taihiap
meninggalkan Hwe-in-ceng?"
Tapi Kang Siang-hun berbalik tanya malah, "Dan kapan
gurumu dan paman gurumu berangkat ke Hwe-in-ceng?"
"Kira-kira dekat lohor," jawab Liok Kam-tong.
"Berapa jauhnya tempat keberangkatan mereka ke Hwe-inceng?"
tanya Kang Siang-hun pula.
"Dari tempat sejauh tiga puluh li jaraknya," tutur Kam-tong.
"Menunggang kuda?"
"Betul," jawab Giok Kam-tong
"Jika begitu, seharusnya tidak sampai satu jam mereka
akan tiba di Hwe-in-ceng," jengek Kang Siang-hun. "Padahal
dua jam setelah lewat lohor aku baru meninggalkan tempat
Kui-taihiap itu."
Tentu saja liok Kam-tong tambah terkejut, "Wah, mengapa
mereka terlambat sampai di Hwe-in-ceng, sungguh aneh. Tapi
apa yang Kukatakan memang betul adanya."
Kang Siang-hun juga heran, ia pikir lebih baik tidak bertemu
dengan Ciok Thian-hing agar tidak menimbulkan kesulitan,
maka ia berlagak termenung, lalu berkata pula, "Sementara
kupercaya kepada keteranganmu, tapi apakah nona ini benar
musuh Thian-san-pai kalian atau bukan. jelas perbuatan kalian
yang hendak menodai kesuciannya adalah perbuatan yang
tidak pantas."
Cepat Liok Kam-tong menjawab. "Ya, ya, mohon
kelonggaran Kang-taihiap."
"Meniang sudah kukatakan akan kuberi longgaran, tapi
seharusnya lebih dulu kau minta ampun kepada nona ini.
kalau dia tidak mau mengampuni aku pun tidak dapat
memaksanya,."
Karena terpaksa Liok Kam-tong lantas menjura kepada
Liong Leng-cu dan minta ampun. "Maaf, nona Liong, sudikan
engkau mengampuni kesalahan kami."
"Jiwaku telah diselamatkan Kang-taihiap. maka apa
keputusan Kang-taihiap terserah kepadanya." kata Leng-cu.
"Nah, Kang taihiap, kupasrahkan kepadamu."
Ia pikir Ciok Jing-coan toh sudah terbunuh olehnya, biarlah
kawannya diberi kelonggaran.
Kang Siang-hun mengangguk. katanya tiba-tiba "Liok Kamtong,
apakah ingin kau toloug jiwa suhengmu?"
Liok Kam-tong terkejut, sahutnya cepat. "Apakah jiwa
suheng dapat . . . dapat diselamatkan?"
"Sepantasnya dia mati, cuma kalau dia juga mau mengaku
dosa, mungkin ada caraku dapat menyelamatkan jiwanya,"
kata Kang Siang-hun "Untuk itu kamu harus berjanji akan
menjadi saksi."
"Tak berani kuambil keputusan bagi suheng namun bila
suheng sendiri setuju, tentu saja aku mau menjadi saksi,"
jawab Kam-tong. Ia pikir cari selamat paling perlu, umpama
harus mewakili suheng mengaku dosa mungkin juga takkan di
marahi suhu. Terdengar Kang Siang-hun berkata, "Baik. sekarang biar
kutanyai dia."
"Tapi . . tapi suheng tak dapat bicara," kata Kam-tong.
"Oo, apakah dia gagu?" tanya Kang Siang bun.
"Ya, lidahnya dipotong oleh murid murtad perguruan kami
yang bernama Nyo Yam." tutu Liok Kam-tong. "Urusan ini ... "
"Tidak perlu kau ceritakan, aku tidak urus hal tersebut,"
kata Kang Siang-hun. "Sekalipun di dapat bicara, kalau cuma
omong tanpa bukti juga tidak dapat kuterima. Caraku
mengharuskan dia mengaku dosa adalah dengan
menandatangani surat pengakuan."
Sembari bicara ia lantas merobek sepotong kain baju Ciok
Jing-coan, ia gunakan jari untuk mencelup darahnya yang
mengucur itu sebagai tinta, lalu menulis "surat pengakuan
dosa" secara singkat tentang perbuatannya hendak
memperkosa Liong Leng-cu, tapi gagal dan berbalik hampir
terbunuh oleh si nona. Karena merasa bersalah. maka dengan
surat pengakuan ini menyatakan sumpahnya selanjutnya
takkan membikin susah lagi kepada Liong Leng-cu.
Di bawah "surat pengakuan" itu ditulis yang berjanji Ciok
Jing-coan dan yang menjadi saksi Ciok Kam-tong, sebagai
pengawasnya ialah Kang Siang-hun.
Lebih dulu Siang-hun menyuruh Liok Kam long
membubuhkan tanda tangannya, lalu ia menyalurkan Iwekang
sendiri melalui punggung Ciok Jing-coan, keadaan Jing-coan
sudah mulai sadar. karena saluran Iwekang itu tangan pun
dapat bergerak Ia tahu jiwa sendiri tcrgenggam di tangan orang, Kang
Siang-hun menyuruhnya membubuhkan tanda tangannya,
terpaksa sekuatnya ia gunakan jari untuk mencelup darah dan
diberi garis silang sebagai tanda tangan
"Nah, sekarang boleh kau cabut pedang itu," kata Sianghun
kemudian kepada Liok Kam-tong.
Untung bagi Ciok Jing-coan, karena tenaga Liong Leng-cu
tadi terbatas, maka pedang itu tertusuk sebagian kecil saja
dan tidak sampai mengenai jantungnya. Namun sesudah
pedang dicabut, tidak urung darah lantas mengucur, bilamana
darah keluar terlampau banyak tentu jiwanya juga akan
melayang. "Apakah darahnya dapat mampet?" tanya Liok Kam-tong
kuatir. "Jangan kuatir, percaya padaku," kata Siang hun.
Dengan agak gemetar Liok Kam-tong lantas memegang
tangkai pedang dan ditarik, terlihat darah merembes keluar,
tapi tidak mengucur deras sebagaimana dlbayangkannya, baru
sekarang ia merasa lega.
Diam-diam Liong Leng-cu merasa kagum akan kesaktian
Kang Siang-hun yang dapat membikin mampet darah yang
mengalir itu dengan tutukannya yang lihai, ternyata bangsat
keparat ini benar-benar dapat diselamatkan.
Walaupun darah sudah mampet, tidak urung Ciok Jing-coan
mengerang kesakitan setengah mati, kembali ia jatuh pingsan
lagi. Kang Siang-hun lantas mengeluarkan sebiji pil dan
dijejalkan ke mulut Ciok Jing-coan, katanya kepada Liok Kamtong,
"Inilah Siau-hoau-tan yang kudapatkan dari tokoh Siaulim-
si, khasiatnya dapat menguatkan tenaga dan memulihkan
kesehatan. Ilmu silat suhengmu mungkin sukar dipertahankan
tapi dengan pil pemberianku ini jiwanya tidak perlu dikuatirkan
lagi. Mengenai obat luka luar tentu kau sendiri juga bawa,
bukan?" "Ya, ada," jawab Ciok Kam-tong.
"Jika begitu aku pun tidak perlu banyak urusan lagi," kata
Kang Siang-hun. "Jika kalian memang anak murid Thian-san,
obat luka perguruan kalian jelas jauh lebih bagus daripada
obatku. Tutukanku untuk membikin mampet darahnya hanya
untuk sementara saja, sebentar boleh kau bubuhi obat luka
lagi." Liok Kam-tong coba periksa denyut nadi sang suheng,
dirasakan tiada ubahnya seperti orang biasa, jelas masa
kritisnya sudah lewat dengan girang ia mengucapkan terima
kasih kepada Kang Siang-hun.
Kuda merah mendekati mereka dengan kaki depan berlutut,
berjongkok ditengah antara Kang Siang-hun dan Liong Lengcu
serta mengeluarkan suara ringkikan yang gembira.
Waktu Leng-cu tertawan, rangsal yang dibawanya terikat di
pelana kuda. Teringat kepada baju sendiri telah dirobek Ciok
Jing-coan, muka Leng-cu menjadi merah, cepat ia ambil
rangsal dan berkata, "Kang-taihiap, tunggu sebentar, aku akan
ganti baju."
Segera ia berlan ke belakang altar pemujaan untuk ganti
pakaian. Kang Siang-hun tepuk-tepuk leher kuda merah itu,
tanyanya kepada Liok Kam-tong, "Dari mana kalian
mendapatkan kuda ini?"
Tadi ia sudah tanya tentang kuda ini, meski Liok Kam-tong
tidak tahu Kang Siang-hun adalah bekas majikan kuda merah
ini, namun ia menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres,
apalagi dia baru saja menanda tangani surat pengakuan dosa,
Leng-cu berada di samping pula, tentu saja ia tambah tidak
berani dusta. "Kuda ini berasal dari nona Liong," demikian tuturnya terus
terang. "Setelah Suhu menawan dia, kuda ini baru diserahkan
kepada suheng."
"Hm, bukan aku tidak percaya kepada janji kalian, tapi
setelah perbuatan suhengmu yang tidak senonoh itu. dengan
sendirinya nona Liong tidak bebas lagi untuk pergi bersama
kalian," jengek Kang Siang-hun. "Maka boleh begini saja,
sementara ini kubawa pergi nona Liong, mengenai
persengketaan Thian-san-pai kalian dengan dia. kelak boleh
kalian menyelesaikan dengan dia. Apa permusuhan dia dengan
kalian dan apa yang kalian perlakukan terhadapnya adalah
dua hal yang berdiri tersendiri, kau paham maksudku,
bukan?". Mana Liok Kam-tong berani menjawab tidak, cepat ia
berkata. "Ya, paham, urusan hari ini memang salah Cioksuheng,
banyak terima kasih atas kemurahan hati Kangtaihiap.
Bahwa engkau sudi ikut mengawasi no . . nona cilik
ini, sungguh sangat baik."
"Hm, jangan kau anggap kuawasi dia bagi kalian, aku hanya
dapat menjamin dia takkan kabur." jengek Kang Siang-hun.
Sementara itu Liong Leng-cu sudah selesai ganti pakaian
dan muncul kembali.
"Marilah kita berangkat, nona Liong," kata Kang Siang-hun
dan menyilakan Leng-cu naik ke atas kuda.
Setiba di dalam hutan sana barulah ia menyuruhnya
berhenti, katanya, "Sekarang boleh kita bicara dulu di sini.
Ingin kutanya padamu, dari mana kau dapatkan kuda ini?"
"Terus terang, kuda ini bukan milikku," jawab Leng-cu.
"Kuda ini pemberian Ce Se-kiat, apakah Kang-taihiap tahu Ce
Se-kiat?" "Tahu," kata Kang Siang-hun. "Apa yang dikatakannya
waktu dia memberikan kuda ini padamu?"
"Ia bilang kuda ini bukan miliknya melainkan pemberian
seorang sahabatnya bernama Kang Siang-hun," tutur Leng-cu.
"Konon Kang Siang-Hun itu adalah putra kedua Kang Haithian,
Kang taihiap. Waktu itu Kang Siang-hun mengetahui Sekiat
hendak cepat-cepat menuju ke Cadam, maka diberinya
kuda bagus ini."
"Tepatlah jika begitu," kata Siang-hun tersenyum. "Dan
apakah kau tahu siapa diriku" Aku inilah Kang Siang-hun."
Padahal Leng-cu sejak tadi sudah tahu siapa dia, ia sengaja
menjawab, "Pantas kuda ini sedemikian mesra denganmu.
Kang-taihiap, terima kasih atas pertolonganmu kepadaku. Tapi
tak dapat kubikin susah padamu sehingga menimbulkan sakit
hati Thian-san-pai. Bukankah engkau hendak menggusurku ke
Thian-san?"
"Apakah kau mau pergi ke Thian-san bersama-ku?". tanya
Siang-hun. "Kubilang pergi bersama dan bukan kugusurmu ke
sana sebagai tawanan."
Leng-cu kegirangan, serunya, "Kang-taihiap, mengapa
engkau sedemikian percaya padaku" Masa tidak kau tanya
padaku mengapa aku bermusuhau dengan Thian-san-pai?"
"Baik, sekarang juga kutanya padamu, lantaran apa kamu
dibenci orang Thian-san?" tAnya Siang-hun.
"Sebenarnya bukan maksudku sengaja mencari perkara
kepada mereka, semua gara-gara ku bela Nyo Yam, lalu
mereka menumplekan segala gusarnya padaku."
Lalu ia menuturkan cara bagaimana Nyo Yam dianggap
sebagai murid murtad Thian San Pay dan sebagainya.
Kang Siang-hun menghela napas, katanya "Kejadian ini
memang juga pernah kudengar selentang-selentingnya, hanya
tidak sejelas apa yang kau ceritakan sekarang. ya, Dalam hal
ini meski Nyo Yam juga salah, tetapi perbuatan jahat Ciok Jing
Coan jelas terlebih jahat daripada dia."
Leng-cu tambah girang, katanya "Ah, kiranya engkau sudah
tahu. Jadi engkau pun mau membantu kesukaran Nyo Yam
itu?"

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perkara ini sudah terlalu meluas, selaku tetua Thian-sanpai,
Ciok Thian-hing berkeras ingin membikin bersih anak
murid perguruannya, aku sendiri ragu apakah dapat
membantu kesukaran Nyo Yam atau tidak, biarlah kita tunggu
dan lihat saja setelah sampai di Thian-san."
"Apakah Kang-taihiap sebenarnya memang hendak pergi ke
Thian-san?" tanya Leng-cu.
"Bukan, yang hendak kutuju adalah Cadam," kata Kang
Siang-hun. "Justru Ce Se-kiat sedang mengawal satu partai obatobatan
ke sana," tutur Leng-cu.
"Kutahu, malahan dia dibantu juga oleh Koai-hoat Thio.
Lantaran kutahu mereka berdua yang mengawal barang
kiriman itu, maka tanpa kuatir dapat kutemanimu ke Thiansan."
"Dari mana kau tahu, Kang-taihiap" Jangan-jangan engkau
sudah bertemu dengan Ce Se-kiat?" tanya si nona.
"Aku belum bertemu dengan Ce Se-kiat. hanya ibunya,
yaitu Loa-jiu-koan-im Nyo Toa-koh memang kulihat dalam
perjalanan. Selain itu, ketika di kota raja telah kutemui juga
ketua Kai-pang cabang kotaraja, Ki Kiam-hong dan pemimpin
Cin-wan-piaukiok yang lama, Han Wi-bu."
Kiranya kedatangan Kang Siang-hun ini mewakili ayahnya
menghadiri pesta pengunduran diri Han Wi-bu. Kebetulan ia
datang terlambat satu hari, saat itu Se-kiat sudah berangkat.
Cuma di tengah jalan kebetulan ia memergoki Nyo Toa-koh
yang terburu-buru hendak pulang ke kampung asli" nya,
yaitu Poteng. Karena itulah mengenai urusan Nyo Yam dan
Liong Leng-cu sedikit banyak juga didengarnya dari tokohtokoh
tersebut tadi. Dan justru karena dia sudah tahu selukbeluk
urusan itu, maka ia mau percaya kepada keterangan
Liong Leng-cu. "Sekarang kuda merah ini boleh kukembalikan kepada
pemilik aslinya, harap Kang-taihiap menerimanya kembali,"
kata Leng-cu. Kang Siang-hun tertawa, "Kuda ini diberikan psdamu oleh
Ce Se-kiat, barang yang sudah kuberikan mana boleh kuamhil
kembali. Maka bolehlah kau gunakan dia, aku sendiri masih
mempunyai kuda lain."
Ia lantas bersuit memanggil kudanya. Rupanya pada waktu
mendaki gunung ini, kuatir kedatangannya diketahui orang,
maka sengaja kuda ditinggalkan di kaki gunung. Meski
kudanya tidak lebih bagus dari pada kuda merah, namun juga
terhitung kuda pilihan.
Mestinya tidak enak bagi Leng-cu untuk membawa kuda
merah itu, tapi setelah dipikir, kuda ini mungkin berguna
baginya, maka ia tidak menolak lagi, katanya dengan tertawa,
"Baiklah, bila dalam perjalanan nanti kepergok Ciok Thianhing,
dengan kuda ini tentu lebih leluasa bagiku untuk kabur."
"Tidak perlu kau kabur, masa kutakut kepada Ciok Thianhing?"
ujar Siang-hun.
"Dengan sendirinya engkau tidak perlu gentar terhadap
orang she Ciok itu, namun aku tidak ingin mempersulit Kangtaihiap,"
ujar Leng-cu dengan tertawa. "Maka bila kebetulan
kepergok dia, lebih baik kulari saja."
Ucapan Liong Leng-cu ini kena di hati Kang Siang-hun,
sebab ia cukup kenal watak Ciok Thian-hing, maka diam-diam
ia pun siap siaga menghadapi Ciok Thian-hing bilamana perlu,
tapi kalau bisa tentu akan lebih baik tanpa terjadi kekerasan.
Dalam perjalanan pertama turun ke bawah gunung paling
besar kemungkinan akan kepergok Ciok Thian-hing untung
sejauh itu tidak bertemu. Selang tiga hari kemudian juga tidak
kepergok. Dengan kecepatan lari kuda mereka, umpama Ciok Thianhing
mengejar mereka dari belakang juga takkan tersusul lagi.
Baru sekatang hati Kang Siang-hun-merasa lega.
Yang tertinggal dalam benaknya sekarang cuma suatu
tanda tanya, yaitu mengapa tidak melihat Ciok Thian-hing dan
Thing Tiau-min di Hwe-in-ceng, ke manakah pergi mereka"
Ya, ke mana perginya Ciok Thian-hing"
Hal ini tidak cuma ingin diketahui Kang Siang-hun, Liok
Kam-tong terlebih-lebih ingin mengetahuinya,
Dari kepandaiannya mendengarkan dengan mendekam di
tanah diketahuinya Kang Siang-hun dan Liong Leng-cu sudah
pergi jauh, ia merasa senang dan juga sedih. Senangnya
karena bahaya sudah lepas, sedihnya adalah mengenai
suhengnya yang terluka parah itu.
Ia membubuhi luka sang suheng dengan obat luka, meski
darah sudah mampet, namun tubuh Ciok jing-coan masih
sangat lemah, bergerak saja tidak bisa.
Maklumlah, meski tusukan pedang Liong Leng-cu tidak
sampai mengenai hulu hatinya dan Kang Siang-hun telah
menyeretnya kembali dari pintu neraka, namun lukanya cukup
parah, bilamana tidak mendapat perawatan yang memadai
setiap saat masih ada kemungkinan menuju ke akhirat.
Memandangi sang suheng yang rebah di tanah serupa
orang mati itu. mau-tak-mau Liok Kam tong merasa sedih.
Bilamana sang guru dan paman guru tidak datang seterusnya,
cara bagaimana ia sendirian mampu membawa sang suheng
pulang ke Thian-san"
Jangankan sang guru dan paman guru pergi tak kembali
lagi, umpama terlambat kembali beberapa hari pun akan
membikin repot padanya Umpamanya sekarang, ia sendiri
kehausan, mulut terasa kering seperti dibakar, namun ia tidak
berani meninggalkan sang suheng untuk mencari air.
Sementara itu sang dewi malam sudah menghiasi
cakrawala, gurunya serta paman guru belum kelihatan
muncul. Cahaya bulan sangat terang, ia pikir suhu dan susiok adalah
tokoh kawakan kangouw, mustahil tidak melihat kode rahasia
yang kutinggalkannya di sepanjang jalan. Kelenteng di atas
gunung ini pun diketahui mereka, sekalipun tidak sempat
melihat tanda yang kutinggalkannya pasti juga mereka akan
teringat kepada kelenteng ini dan mencari ke sini.
Tanpa terasa rembulan sudah mulai doyong Ke barat,
sudah tepat tengah malam, dan Ciok Thian-hing serta Ting
Tiau-min tetap belum kembali.
Ia heran apakah Kui-taihiap sengaja menahan guru dan
paman gurunya agar tinggal semalam di sana, kalau tidak,
jarak 30-40 li dari Hwe-in-ceng ke sini masakah tak dapat
dicapainya setengah malam.
Cuma kemungkinan demikian sangatlah kecil, umumnya bila
sang tamu masih ada urusan penting tidak nanti tuan rumah
berkeras menahannya.
Rembulan semakin doyong ke barat, pikiran Ciok Kam-tong
juga semakin gelisah.
Mengapa sang guru belum lagi kembali, sungguh sukar
dimengerti oleh Ciok Kam-tong, lamat-lamat ia merasakan
firasat tidak enak.
Tiba-tiba terdengar detak lari kuda dari bawah gunung,
waktu didengarkan dengan cermat, agaknya pendatang ada
lima-enam penunggang kuda. Rasanya tidak mungkin guru
dan paman gurunya membawa orang luar kembali" Habis,
apakah masuh yang datang"
Ia serupa burung yang sudah kapok terhadap pelintang,
asal mendengar suara jepretan lantas ketakutan. Ia tidak
berani bersuara memanggil, terpaksa tiarap untuk
mendengarkan. Ia mendengar suara sang guru, cuma tidak jelas apa yang
dikatakan gurunya, suaranya terasa gugup dan juga samarsamar,
seperti sedang memaki orang.
Menyusul luntas terdengar serentetan suara tertawa orang,
suara tertawa orang perempuan yang kegirangan, angkuh dan
congkak, mengandung nada menggoda dan mengejek.
Kiranya Ciok Thian-hing dan Ting Tiau-min memang
terjungkal di tangan perempuan ini.
Hal ini terjadi ketika mereka sudah dekat dengan Hwe-inceng,
kira-kira lima li sebelum tempat tujuan itu mereka
kepergok orang yang sama sekali tak tersangka.
Meski tak tersangka, tapi tiga di antara empat orang itu
belum lama berselang baru dilihatnya, Mereka ialah Ubun Lui,
Suma Ciau dan Buyung Sui. Selain itu masih ada seorang
nyonya yang tidak dikenal.
Usia nyonya ini antara 30-an, bergelung besar dihiasi tusuk
kundai bermutiara, kepala memakai ikat rarabut emas,
bajunya dirangkap dengan mantel merah bersulam, matanya
besar. alisnya lentik, sinar matanya memikat, belum bicara
sudah tertawa sungguh sukar dilukiskan genitnya.
"Darr mana datangnya perempuan siluman seperti ini?"
kening Tiau-min bekernyit melihat rombongan orang itu.
Belum habis terpikir, dilihatnya sang suheng sudah
membedal kuda ke depan untuk menyapa mereka.
Meski Ciok Thian-hing juga rada jemu terhadap nyonya
genit tadi, tapi ia juga rada suka terhadap sikap hormat Ubun
Lui kepadanya, maka ketika Ubun Lui turun dari kudanya dan
memberi hormat padanya, terpaksa ia pun turun dari kudanya
untuk pasang omong.
Karena sang suheng sudah turun dari kudanya, terpaksa
Ting Tiau-min mengikuti jejaknya.
Setelah memberi hormat, Ubun Lui menyapa dulu, "Orang
hidup di mana-mana selalu bertemu. kembali kita berjumpa
pula di sini. Eh, bibi cilik, kedua inilah Ciok-tianglo dan Tingtaihiap
dari Thian-san yang pernah kuceritakan itu. Silakan
berkenalan."
"Huh, bibi cilik apa?" nyonya muda itu berlagak kurang
senang. "Memangnya aku tidak setimpal menjadi bibimu yang
benar?" "Eh, jangan salah paham, bibi cilik," kata Ubun Lui. "Justru
mengingat engkau masih muda dan cantik, jika kupanggil
dengan kata lain kan engkau akan kelihatan tua."
Mendengar percakapan mereka. segera Ciok Thian-hing
tahu siapa perempuan itu, pikirnya, "Kiranya psrempuan ini
adalah bini muda Pek-toh-sancu. Konon Pek-toh-sancu
mempunyai seorang istri dan dua bini muda. Kedua bini muda
itu yang seorang berasal dari kalangan hiburan (pelacuran),
yang lain bekas tukang jamu kelilingan. Pek-toh-sancu sendiri
sangat jarang turun gunung, tapi kedua bini mudanya sering
berkeluyuran di dunia kangouw. Melihat lagak lagu perempuan
ini, mungkin dia si bini muda yang berasal dari dunia hiburan."
Nyonya muda tadi merasa senang karena sikap merendah
Ubun Lui tadi, ia tertawa, lalu tampil untuk bicara dengan Ciok
Thian-hing, katanya, "Ciok-tianglo, lakiku sering bicara tentang
dirimu, aku sendiri sangat suka berkenalan dengan tokoh
ternama, sebab itulah sengaja kutunggu kedatanganmu di sini,
hehe, sudah cukup lama kutunggu. Terus terang, Ciok-tianglo.
Semula kusangka kamu sudah kakek-kakek, ternyata engkau
masih muda dan kuat, kukira usiamu belum lebih dari 50.
Dalam usia setengah baya demikian sudah diangkat menjadi
sesepuh Thian-san-pai, sungguh aku sangat kagum."
Ia bicara mencerocos seperti mitraliur, Ciok Thian-hing
menjadi serba kikuk, tidak enak untuk memperlihatkan rasa
jemu, juga tidak tahu cara bagaimana pasang omong dengan
perempuan semacam ini. Tapi dari ucapannya Ciok Thian-hing
dapat memahami satu hal, yaitu pernyataan Ubun Lui yang
bilang kebetulan bertemu lagi adalah tidak benar melainkan
mereka sengaja menunggu kedatangannya.
Semula Ciok Thian-hing melenggong, tapi segera ia paham
duduknya perkara, bisa jadi mereka bukan mengetahui lebih
dulu jejaknya melainkan karena hari ini adalah ulang tahun Kui
Goan, mereka yakin aku dan Ting-sute tentu akan datang juga
memberi selamat. Hanya saja entah sebab apa mereka
sengaja mencegat diriku di sini"
Meski perangai Ciok Thian-hing suka diumpak orang, tapi
dia bukan orang bodoh, pula ia seorang yang suka gengsi,
lantaran timbul curiga, ia pun tidak sudi berbasa-basi dengan
perempuan yang dipandangnya tidak terhormat ini.
Dengan ketus ia lantas menjawab, "Maaf, kami masih harus
mengunjungi Kui-taihiap, tidak sempat banyak bicara dengan
kalian." Dia tidak sudi bicara dengan perempuan itu, maka ia bicara
dengan berpaling ke arah Ubun Lui.
Namun perempuan itu ternyata tidak tahu diri, Ia malah
melangkah maju dengan berlenggok dan menukas ucapan
Thian-hing, "Ah, kiranya engkau hendak menyampaikan
selamat kepada Kui Goan yang berulang tahun. Sungguh
bagus, aku juga lagi hendak berkenalan dengan dia. Cioktianglo,
bagaimana kalau kuminta engkau memperkenalkan
kami kepadanya" Jika nama suamiku disebut, ku -kira Kui
Goan juga tahu."
Ciok Thian-hing hanya mendengus saja, ucapnya ketus
sambil menengadah tak acuh, "Menurut peraturan kangouw,
pergaulan setiap orang bebas kepada kesukaan masingmasing,
nama Sancu kalian cukup termasyhur, masakah perlu
kuperkenalkan segala?"
"Aduh, jadi Ciok-tianglo tidak sudi membantu," kata nyonya
itu. "Jika begitu, baiklah kita mohon diri, aku pun tidak ingin
berkenalan dengan Kui-taihiap apa segala."
Dengan sendirinya Ciok Thian-hing tahu orang merasa
mendongkol, namun ia tidak peduli, katanya, "Maaf, jika ada
sikapku yang kurang pantas."
Mendadak nyonya itu terkikik, "Hihi. masa engkau kurang
pantas apa padaku" Hanya saja, hehe . . . hanya saja ."
Waktu ia bicara, tiba-tiba Thian-hing mengendus semacam
bau harum yang meresap hati, rasanya sangat nikmat.
Sebagai seorang tokoh kangouw ulung segera ia tahu
dirinya telah kena disergap lawan. Ia meraung gusar,
langsung ia menerkam ke depan.
"Hehe, hanya saja Siau-yau-li yang kau rampas itulah yang
bersalah kepada suamiku," demikian perempuan itu
menyambung ucapannya tadi, habis itu ia pun menghindari
terkaman Ciok Thian-hing yang serupa singa kalap itu.
Tiba-tiba Thian-hing merasakan gerak tubuhnya tidak
segesit biasanya, padahal ginkang perempuan itu juga cuma
biasa saja, jika pada waktu biasa, tentu dapat dibekuknya
dengan mudah, tapi sekarang tubrukannya justru mengenai
tempat kosong, Tanpa pikir ia terus melolos pedang sambil membentak,
"Perempuan siluman, kalau bukan kamu yang mampus biarlah
aku yang gugur!"
Selagi ia hendak menyambitkan pedang untuk menghabisi
nyawa perempuan itu namun Ubun Lui keburu melompat


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju, pedang Thian-hing terpukul jatuh.
"Hehe, tempo hari karena aku kurang sehat, terpaksa aku
mengalah padamu, hehe, memangnya kau kira aku takut
padamu" Biarlah sekarang boleh kau rasakan kelihaianku!"
jengek Ubun Lui sambil melancarkan serangan, tenaga
pukulannya membuat Ciok Thian-hing tergetar dan hampir
jatuh. Sebenarnya Thian-hing berharap dengan Iwekangnya yang
sempurna sedapatnya merobohkan musuh sebelum racun
bekerja. Tapi sekarang baru dirasakan racun yang terisap
olehnya ternyata jauh lebih lihai daripada perkiraannya, sebab
tenaganya mendadak habis.
Kiranya yang digunakan perempuan itu adalah Soh-kut-sinhiang
(dupa sakti pelemas tulang) buatan khusus Pek-toh-san.
Sin-sian-wan atau pil dewa alias candu juga mengandung
racun semacam ini. Hmya saja kadar Sin-sian-wai itu sangat
sedikit, kadar racun seratus biji Sin-sian-wan saja juga cuma
setitik saja, padahal obat bius yang diisapnya tadi jauh lebih
keras daripada kadar yang terkandung seratus biji Sin-sianwan,
keruan ia tidak tahan.
Dugaan Ciok Thian-hing mengenai pribadi nyonya genit itu
memang tidak salah, ia bernama Bok Him him, gundik kedua
Pek-toh-sancu yang berasal dari rumah hiburan. Lantaran ia
sendiri menyadari soal ilmu silat dirinya baru mulai belajar
pada usia sudah dewasa, pondasinya kurang kuat, betapapun
berlatih tetap sukar mencapai tingkatan sempurna, maka
terpaksa ia mengambil jalan lain, khusus belajar menggunakan
racun. Dia memang cerdas dan trampil, tidak lebih sepuluh tahun
ia sudah menjadi tokoh nomor satu Tek-toh-san dalam hal
menggunakan racun, bukan saja melampaui Ubun Lui, bahkan
melebihi suaminya sendiri, yaitu Pek-toh-sancu Ubun Pok.
Tadi waktu ia memberi hormat, di luar tahu lawan Soh-kutsin-
hiang telah disebarkan dari lengan bajunya, sekalipun Ciok
Thian-hing berpengalaman luas juga kena dikerjai olehnya.
Kekuatan racun Soh-kut-sin-hiang melebihi kadar seratus
biji Sin-sian-wan. maka dalam sekejap saja tenaga Ciok Thianhing
lantas lenyap, kepala pun terasa berat seperti mabuk dan
ingin tidur. Namun biarpun Soh-kut-sin-hiang jauh lebih lihai daripada
Sin-sian-wan, tapi lantaran berbeda cara meraciknya, akibat
keracunan juga tidak sama.
Bila minum Sin-sian-wan kelewat takaran. lama-lama yang
keracunan dapat mencapai keadaan serupa terbang, bahkan
serupa orang gila. Sedangkun cara bekerja Soh-kut-sin-hiang
sangat cepat, tapi tidak dapat membuat orang kalap, pikiran
orang tetap sadar, hanya seluruh tubuh terasa lemas seakanakan
tak bertulang, sedikit pun tidak bertenaga.
Demi merasakan tenaga sendiri lenyap sama sekali, kejut
dan gusar pula Ciok Thian-hing, jengeknya, "Hm, lihai benar!
Kungfu Pek-toh-san yang hebat baru sekarang kukenal,
ternyata cuma sebangsa kungfu kotor begini."
"Haha. peduli kungfu kotor atau bersih, yang penting harus
berguna menaklukkan musuh," seru Ubun Lui dengan
tergelak. "Percuma berpuluh tahun kamu berlatih, masa tidak
paham dalil ini?"
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong cahaya dingin
menyambar tiba, kiranya pedang Ting Tiau-min telah
nienusuknya sambil membentak, "Boleh kau belajar kenal juga
dengan Thian-san-kiam-hoat!"
Cepat Ubun Lui menangkis dengan pedangnya, tapi belum
lagi kedua pedang beradu, dirasakan lengan kiri nyes dingin,
Ting Tiau-min tahu-tahu melayang lewat di sebelahnya lalu
lengan terasa sakit, nyata kulit daging terpapas sebagian.
Rupanya semula Ting Tiau-min bermaksud menusuk hiat-to
Ubun Lui, tapi kemudian dirasakan Ubun Lui bukan lawan
empuk meski ilmu pedang lawan tidak lebih kuat daripadanya,
sebab itulah sctelah melukai lengan lawan segera ia ganti
sasaran dan menerjang Bok Him-him.
Cuma sayang dia salah sasaran, bilamana sejak mula ia
menyerang Bok Him-him dahulu sangat besar kemungkinan
nyonya genit itu dapat dibekuk-nya, tapi sekarang sudah
terlambat. Mendadak Bok Him-him bergeser dengan cepat, tusukan
Ting Tiu-min tidak sampai menyentuh sasarannya.
"Hehe, cepat amat pedangmu," kata Bok Him-him dengan
tertawa genit. "Ilmu pedang pemburu angin Ting-taihiap
terkenal sangat cepat dan bergelar jago pedang nomor satu
dari Thian-san, ternyata memang tidak bernama kosong,
cuma, hehe . . . . "
Ting Tiau-min tidak sanggup menjawab lagi, sebab diamdiam
ia sendiri lagi mengeluh karena dirasakan tenaga sendiri
sedang lenyap dengan cepat.
Di tengah tertawa ejek Bok Him-him, mendadak ia
membalik dan cambuknya menyabat, kontan pedang Ting
Tiau-min terpukul jatuh.
"Hehe, sayang kamu sudah serupa arsak panah yang
hampir jatuh di tempat sasaran, betapa lihai pedangmu juga
tidak ada gunanya, lebih baik kamu menyerah saja," ejek Bok
Him-him. "perempuan siluman, boleh kau bunuh saja diriku!" teriak
Ting Tiau-min dengan suara parau.
Kembali Bok Him-him terkekeh, katanya, "Ting-taihiap,
jangan marah dulu. Maksudku hanya ingin bersahai?at dengan
kalian dan tidak ingin mencelakai kalian. Lantaran kuatir kalian
tidak sudi berkawan dengan kami. terpaksa kugunakan cara
demikian."
Dalam pada itu Ciok Thian-hing baru berdiri tegak, namun
tenaga tetap sukar dikerahkan, terpaksa ia cuma memaki saja
dengan gusar, "perempuan siluman, setelah kujatuh di
tanganmu, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak omong.
Hm, kawanan siluman Pek-toh-san kalian masa setimpal
bersahabat dengan kami"!"
"Ciok-tianglo, kuharap engkau jangan sembarang memaki
orang," kata Bok Him-him. "Jika tetap bandel, terpaksa akan
kusuguh kau makan sesuatu dulu. Nah, Buyung Sui ."
Sambil mengiakan Buyung Sui tampil ke depan, tanyanya,
"Jinio ada perintah apa?"
"Coba lihat kudamu itu, agaknya baru saja berak, bukan?"
tanya Bok Him-him.
"Betul," jawab Buyung Sui.
"Nah, jangan takut kotor, ambil sebungkus tahi kuda,
bilamana Ciok-tianglo ini masih terus mencaci orang sebagai
siluman segala boleh kau sumbat mulutnya dengan kotoran
kuda itu."
Kejut dan marah Ciok Thian-hing, ucapnya. "Seorang lelaki
sejati boleh dibunuh tapi tidak mau dihina, ka . . kalian ..."
Ia tidak berani mencaci maki lagi.
"Nah, sekarang boleh kita bicara secara baik-baik, kita jualbeli
secara adil, bicara tentang sesuatu bisnis," kata Bok Himhim
dengan tertawa. "Perundingan sesuatu harus didasarkan
kepada saling menghargai, kamu menghormati kami, dengan
sendirinya kami pun menghormatimu."
Dalam keadaan lemas tak bertenaga, ingin membunuh diri
pun sulit bagi Ciok Thian-hing, terpaksa ia berkata, "Kalian
ingin berunding apa?"
"Asal kau serahkan Siau-yau-li itu kepadaku, segera
kubebaskan kalian," jawab Bok Him-him. "Seorang perempuan
siluman cilik ditukar dengan dua jago Thian-san-pai, satu di
antaranya malahan baru saja diangkat menjadi sesepuh, bisnis
ini tentu jauh lebih menguntungkan kalian bukan?"
"Siau-yau-li itu memang sudah berada di tangan kami," kata
Thian-hing. "Eh, Ciok-tianglo, janganlah kau lupa, Siau-yau-li itu kan
dirampas olehmu dari tangan kami," jengek Ubun Lui.
"Sudahlah, tidak perlu berdebat dengan dia," sela Bok Himhim.
"Yang kita bicarakan sekarang adalah bisnis dan bukan
tentang pihak mana yang benar atau salah. Cukup kita tanya
dia, dia terima tawaran kita atau tidak?"
"Kalau tidak kuterima, lantas bagaimana?" tanya Thianhing.
"Juga tidak apa," sahut Bok Him-him. "Engkau kan hendak
mengunjungi Kui Goan untuk mengucapkan selamat" Nah,
tetap boleh kau pergi ke sana, malahan kami akan ikut
mengantarmu ke sana."
Thian-hing melengak, ia pikir perempuan siluman ini tadi
minta kuperkenalkan dia dengan Kui-taihiap dan telah kutolak,
jangan-jangan dia mengulangi permintaannya ini. Hm, selaku
sesepuh Thian-san-pai mana boleh berkawan dengan
perempuan siluman yang berasal dari kalangan rendah ini.
Jika kuperkenalkan dia kepada Kui-taihiap, akulah yang akan
kehilangan pamor. Cuma, jika inilah syaratnya boleh dikatakan
mendingan juga, bila ditanya oraug dapat kuberi alasan tidak
kukenal asal -usulnya, karena bertemu secara kebetulan
sama-sama hendak menuju Hwe-in-ceng.
Begitulah ia berpikir yang baik-baik saja, siapa tahu ucapan
Bok Him-him selanjutnya serupa menyiram air dingin
kepadanya dan menyadarkan impiannya.
Bok Him-him seperti tahu maksudnya, ia berkata pula,
"Jangan kuatir. Ciok-tianglo, bukan maksudku minta kau
perkenalkanku kepada Kui-taihiap, justru kebalikannya, akulah
yang akan memperkenalkan dirimu kepada Kui-taihiap dan
para tamunya."
"Sudah lama kami bersahabat dengan Kui-taihiap, masa
perlu diperkenalkan olehmu?" jawab Thian-hing.
"Ciok-tianglo, engkau memang tidak paham atau pura-pura
tidak mengerti?" tanya Bok Him-him. "Persahabatanmu
dengan Kui-taihiap sebelum ini adalah dalam kedudukanmu
sebagai sesepuh Thian-san. Tapi sekarang kedudukanmu
sudah lain, justru akan kuperkenalkan kedudukanmu yang
baru ini kepada para ksatria dunia."
Apakah "kedudukan baru" yang dimaksud, tanpa dijelaskan
juga Ciok Thian-hing tabu, yaitu sebagai "tawanan".
Tergetar hati Thian-hing, ia pikir bila aku digusur ke Hwein-
ceng sebagai tawanannya, lalu mukaku akan kutaruh di
mana selanjutnya"
Tak tahunya tidak cuma begitu saja, dengan tergelak Bok
Him-him menyambung lagi, "Maksudku supaya Ciok-tianglo
yang hebat dapat dikenal lebih luas oleh umum, berbareng itu
aku pun dapat unjuk beberapa jurus cakar kucing yang ku
latih itu di depan para ksatria. . . ."
Tiba-tiba ia jemput pedang Ciok Thian-hing yang dipukulnya
jatuh tadi, ia selentik batang pedang dan berkata pula, "Tentu
kau ingin tahu kungfu apa yang kulatih tapi tidak berani
bertanya, bukan" Baiklah, akan kucoba satu-dua jurus di
depanmu, tampaknya pedangmu ini cukup tajam juga."
Sekali sinar pedang berkelebat. seketika Ciok Thian-hing
merasa bibirnya agak semilir, lalu terlihat Bok Him-him meniup
ujung pedang, beberapa utas janggut bertebaran tertiup.
"Ilmu pedangku tentu saja jauh dibandingkan kalian," kata
Bok Him-him pula. "Aku hanya ingin memotong janggut Cioktianglo,
lalu mencukur ke-limis alismu, bisa jadi lantaran ilmu
pedangku kurang tinggi dan akan melukaimu. Namun kuyakin
pasti takkan terluka parah, engkau pun tidak perlu kuatir."
Thian-hing menjadi gusar, tcriaknya, "Kau .... kau
perempuan siluman kcji, seorang lelaki sejati lebih baik mati
daripada dihina olehmu!"
"Cuma sayang, biarpun sekarang kau minta mati pun tidak
dapat lagi," jengek Bok Him-him.
Thian-hing sudah kehilangan tenaga sehingga tidak mampu
membunuh diri, umpama berusaha membenturkan kepala
pada batu gunung rasanya juga kurang tenaga, apabila gagal
membunuh diri dan cuma meiiimbulkan luka ringan saja, kan
malah menjadi buah tertawaan orang"
Terdengar Bok Him-him berkata puitis kepada-nya, "Cioktiang-
lo, engkau ingin pergi ke Hwe-in-ceng atau rela
menyerahkan saja Siau-yau-li itu kepada kami?"
Akhirnya Ciok Thian-hing mengertak gigi dan menjawab,
"Baiklah, boleh kalian ikut padaku, akan kuserahkan Siau-yauli
itu kepada kalian."
"Suheng ..." belum lanjut ucapan Ting Tiau-min, tahu-tahu
hiat-to bisunya sudah tertutuk oleh Ubun Lui.
"Ting-taihiap, biarkan suhengmu saja yang memutuskan
bisnis ini," kata Ubun Lui. "Nah, Ciok-tianglo, meski tidak
bertenaga, untuk menunggang kuda kukira tidak menjadi soal.
Silakan naik ke atas kuda."
"Sute," ucap Thian-hing dengan pedih, "kata pribahasa,
selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir tidak ada kayu
bakar. Sementara biarlah kita terima nasib saja."
Habis berucap ia mendekati sang sute dan menyeretnya ke
atas kuda. Watak Ting Tiau-min cukup keras, betapapun pantang
menyerah, tapi dalam keadaan tak berdaya, terpaksa ia
menuruti kehendak sang suheng.
"oo0dw0oo--
Harapan Liok Kam-tong akan lekas kembalinya sang guru
dan paman guru akhirnya terkabul juga.
Tapi tak tersangka olehnya bahwa datangnya mereka justru
di bawah gusuran orang Pek-toh-san.
"Engkau sudah kembali, Suhu!" baru saja ia menyongsong
maju kontan ia dipersen sekali cambukan oleh Bok Him-him.
Bok-Him-him menoleh dan tanya dengan dingin, "Kau main
gila apa, Ciok-tianglo" Kau bilang akan menyerahk
Jodoh Rajawali 11 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bukit Pemakan Manusia 9
^