Durjana Dan Ksatria 8

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 8


epulanganku."
Kiranya perwira ini bernama Alcu Yung bekas pacar Bok
Him-him yang hendak dicarinya itu.
Dengan tertawa Alcu Yung berkata, "Kukira kamu sudah
punya pacar baru lagi, maka auhh, jangan main pukul Baiklah
anggap aku salah omong, kuminta maaf padamu. Tapi aku
tetap tidak percaya ..."
"Huh, orang sudah memberikan segalanya, padamu, tapi
masih kurang terima, sungguh tidak punya perasaan," omel
Him-him. "Jangan marah, aku hanya bergurau saja denganmu," kata
Alcu Yung. "Cuma aku tidak mengerti, mengapa kamu tidak
mencariku di markas tapi lari ke sini" Memangnya kamu dapat
meramal apa yang belum terjadi dan tahu aku berada di sini?"
"Kepandaianku meramal sesuatu yang belum terjadi sama
pintarnya denganmu," kata Bok Him-him.
Alcu Yung melenggong, tanyanya, "Apa arti-nya
ucapanmu?"
"Cara bagaimana kau datang kemari, lantaran itu pula
kudatang ke sini," kata Him-him dengan tertawa.
"Kudatang kemari karena menenma laporan dari pengintai
kami bahwa terlihat seorang perempuan lari menuju ke jalan
sini, lari kudanya sangat cepat dau sukar disusul, maka aku
sendirilah yang mengejar kemari."
"Tentu sudah kau duga, besar kemungkinan perempuan
yang melarikan kudanya dengan cepat tentu si Siau-yau-li
itu?" "Ya, kalau tidak buat apa aku mengejar sendiri?" kata Alcu
Yung. Sampai di sini baru ia tahu duduknya perkara, serunya,
"Ahh, jadi kamu juga...."
"Memang betul. Mestinya hendak kucari dirimu di
markasmu, tapi di tengah jalan kulihat pengintaimu itu dan
kutanyai, katanya melihat seorang perempuan lari ke jurusan
sini, maka aku lantas menguntit ke sini."
"Wah, jika begitu memang sangat kebetulan, uutung
kaupun bertemu dengan pengintai kami, kalau tidak tentu aku
bisa mati konyol," ujar Alcu Yung. "Sekali ini kita dapat
bertemu lagi, kita harus berkumpul beberapa hari dengan
baik." "Cuma sayang Siau-yau-li itu sempat kabur." kata Him-him.
"Dengan kecepatan kudanya, mungkin saat ini dia sudah
memasuki daerah pertahanan bangsa Kazak."
"Kenapa Sancu kalian begitu ingin menangkap Siau-yau-li
itu?" tanya Alcu Yung.
"Rupanya engkau tidak tahu, ayah Siau-yau-li itu adalah
Giok-liong-thaycu Tian Leng-kun dan kakeknya adalah Giokbin-
liong-ong Tian Lam-an."
"Memangnya kenapa jika punya ayah dan kakek begitu?"
tanya Alcu Yung.
"Kau tahu, Giok-bin-liong-ong (si raja naga berwajah putih)
adalah raja bajak laut beberapa puluh tahun yang lalu, konon
dia meninggalkan harta karun yang tak terhitung jumlahnya di
suatu pulau karang. Tempat harta karun ini hanya diketahui
putranya saja. Tapi sekarang Giok-bin-liong-ong sendiri dan
putranya Giok-liong-thaycu sudah mati semua."
"Ah, kutahu sekarang," kata Alcu Yung dengan tertawa.
"Tentu Sancu kalian mengira yang tahu rahasia harta karun itu
sekarang tinggal Siau-yau-li itu saja, maka dia sangat ingin
menangkapnya. Padahal kamu kan tidak perlu ikut terburuburu
seperti Sancu kalian. Jika aku menjadi dirimu, biarpun
ada kesempatan untuk membekuk Siau-yau-li itu juga akan
kulepaskan dia lari, selang beberapa tahun lagi baru tangkap
dia." "Sebab apa?" tanya Him-him.
"Bukankah kamu ingin menjadi suami istri abadi dengan
Ubun Pok (Pek-toh-sancu)?"
"Kaukira selama hidupku ingin menjadi bini mudanya?"
omel Him-him. "Soalnya aku belum tahu rasa bagaimana
untuk melepaskan diri dari dia."
"Baik juga kalau bukan begitu halnya "
"Lantas ada sangkut paut apa dengan urusan menangkap
Siau-yau-li itu?"
"Kamu kan orang cerdik, masa tidak terpikir" Ubun Pok
sudah lanjut usia, dengan sendirinya ia berharap pada waktu
masih hidup dapat menemukan harta karun itu, sebab itulah
dia ingin lekas-lekas menemukannya. Sebaliknya usiamu
masih muda kan masih dapat menunggu lagi."
"Ahh, maksudmu tunggu setelah dia meninggal..."
"Begitulah, sesudah dia mati, kita berdua dapat bergabung
dan tentu tidak sulit menangkap Siau-yau-li itu. Tatkala mana
-harta karun tinggalan Giok-bin-liong-ong akan seluruhnya
menjadi milikmu."
"Kiranya demikian maksudmu," kata Him-him. "Milikku kan
sama juga milikmu."
"Ya, tidak perlu lagi kita membedakan antara milikmu atau
milikku." "Tapi engkau tidak tahu, kecuali harta karun masih ada
alasan lain Ubun Pok ingin lekas membekuk Siau-yau-li itu."
"Alasan apa?" tanya Alcu Yung.
"Kabarnya kakek luar Siau-yau-li itu mempunyai semacam
barang yang sangat ingin diperoleh kaisar sekarang. Kakek
luarnya cuma mempunyai seorang anggota keluarga saja,
yaitu Siau-yau-li itu sendiri, bila dapat menangkapnya tentu
dapat digunakan sebagai alat pemeras untuk memaksa kakek
luarnya menyerahkan benda mestika itu. Ubun Pok dan Tailwe-
congkoen Ogotai adalah sahabat baik. meski Ubun Pok
tidak kemaruk pangkat. tapi dia sangat berharap dapat
membantu maksud tujuan Ogotai itu sebab hal ini akan
bermanfaat bagi Pek-toh-san. Apa manfaatnya kukira kaupun
tahu tanpa kujelaskan."
"Ya, kutahu," kata Alcu Yung. "Jika diam-diam Ogotai
memberi bantuan, paling tidak perdagangan racun pihak Pektoh-
san akan banyak berkurang rintangannya."
"Rasanya engkau pernah bilang bahwa dahulu engkau
pernah kecundang oleh seorang kakek yang tinggal di Tai-kiatnia,
sekarang sudah kuketahui dengan jelas. kakek inilah
engkong dari Siau-yau-li itu."
"Betul. Urusan yang menyangkut kakek Liong ini mungkin
kutahu terlebih jelas daripada Sancu kalian. Kakek Liong ini
malahan juga buronan kerajaan. Terus terang, tujuanku
menangkap Siau yau-li itu justru hendak kugunakan sebagai
umpan untuk memancing keluarnya Liong tua itu."
"Jika begitu, maksudmu sekarang hendak melepaskan Siauyau-
li itu?" tanya Him-him.
"Agaknya kamu belum paham seluruh maksud-ku. Aku
cuma tidak menghendaki kau tangkap Siau-yau-li itu. Bila
penangkapan ini tidak sampai diketahui Ubun Pok, tentu saja
kuharap sekarang juga dapat menangkapnya."
"Kau kuatir Ubun Pok akan minta orangnya padamu jika
urusan ini diketahuinya?"
"Ya, ilmu silatnya lebih tinggi dari padaku, hubungannya
dengan Ogotai juga lebih erat daripadaku, betapapun aku
harus mengalah padanya. Jika ia tahu Siau-yau-li itu telah
kutangkap, biar-pun dia tidak berani berebut jasa denganku,
paling tidak dia tentu akan minta bagian harta karun itu."
"Jika engkau dapat membekuk Siau-yau-li itu, ada akalku
untuk memancing pengakuannya tentang harta karun itu,
bahkan dapat mengelabuhi Ubun Pok."
"Oo, apa akalmu?" tanya Alcu Yung.
"Dapat kupancing pengakuannya dengan Bi-hun-tai-hoat
(semacam ilmu sihir). Soal jangan sampai diketahui Ubun Pok
juga tidak sulit, asal saja engkau sendiri tidak kemaruk harta
dan ingin naik pangkat."
"Maksudmu, bila sudah berhasil mengorek pengakuannya,
lalu secara diam-diam membunuhnya untuk menghilangkan
saksi?" "Betul, dan bila kita sendiri tidak memberi tahukan kepada
Ubun Pok, dari mana pula ia bisa tahu?"
"Haha, untuk mendapatkan kedua-duanya rasanya sulit,
terpaksa harus pilih satu saja di antaranya. Bila harta karun
Giok-bin-liong-ong dapat kita temukan, untuk apalagi aku
memikirkan pangkat segala?"
"Tapi sebelum berhasil hendaknya jangan berpikir mulukmuluk,
untuk menangkap Siau-yau-li itu mungkin masih perlu
banyak membuang tenaga lagi," ujar Him-him dengan
tertawa. "Kukira dia kabur ke tempat Lohai, asalkan pasukanku
berhasil menduduki ibukota Lodan tentu ada harapan dapat
menawannya."
"Beium tentu dia mau tinggal di sana dan menunggu
sampai datangnya pasukan kita."
"Ia kan kekasih Nyo Yam," kata Alcu Yung. "Sedang Nyo
Yam adalah murid murtad Thian-san-pai, antara Siau-yau-li itu
dengan Thian-san-pai juga ada permusuhan, kuyakin dia tidak
berani kabur ke Thian-san. Sebab itulah kukira lebih besar
kemungkiuan dia tetap tinggal di sana untuk membantu Lohai.
Umpama dia tidak di sana, kita masih tetap dapat melacak
jejaknya, soalnya hanya waktu saja "
"Memangnya harus menunggu sampai kapan?" ujar Himhim
dengan kesal. "Hah, apakah kau terburu-biuu ingin pulang untuk
berkumpul dangan Ubun Pok?"
"Kembali kau bicara yang tidak-tidak lagi," omel Him-him.
"Habis apakah ada urusan penting lain?"
Him-him menunduk tanpa menjawab, agaknya sedang
merenungkan sesuatu.
Tergerak hati Alcu Yung, katanya dengan suara lembut,
"Kita kan kenalan lama, memangnya ada urusan apa yang
tidak boleh kuketahui?"
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Him-him berkata, "Baik,
biar kukatakan padamu. Kemarin kupergoki seorang pemuda
Kazak, dari bajunya dapat kugeledah sesuatu, barang ini
adalah titipan orang lain yang minta disampaikan kepada Siauyau-
li itu." "Oo, barang apa, bolehkah kulihat?" tanya Alcu Yung.
"Barang ini sangat penting urusannya, coba beri
pendapatmu setelah kau lihat," kata Him-him sambil
menyerahkan "surat pengakuan dosa" yang ditulis Ciok Jingcoan
itu. Habis membaca surat itu, Alcu Yung kegirangan, serunya,
"Hah, barang ini jauh lebih berharga daripada Siau-yau-li itu."
Him-him tertawa, katanya, "Melihat rasa gembiramu,
memangnya barang ini terlebih bernilai daripada harta karun
tinggalan Giok-bin-liong-ong?"
"Ya, memang begitu," jawab Alcu Yung.
"Kutahu benda ini sangat bermanfaat bagi kita, cuma tidak
kupikirkan sedemikian besar nilainya, untuk itu coba beri
penjelasan."
"Ini kan surat pengakuan dosa Ciok Jing-coan sendiri, kau
tahu Ciok Jing-coan adalah putra satu-satunya Ciok Thianhing,
sedangkan Ciok Thian-hing adalah sesepuh Thian-sanpai
yang berkuasa, betul tidak?"
"Betul, lalu ada apa?"
"Dengan memegang surat pengakuan dosa ini kan dapat
kita gunakan untuk memeras Ciok Thian-hing?"
"Apa yang akan kita peras dari dia?"
"Baik urusan pribadi maupun urusan umum dapat kita
pojokkan dia."
"Wah, dari ceritamu ini, agaknya rahasia ini juga ada
hubungannya dengan urusan politik kenegaraan kalian?"
"Memang hetul. Coba dengarkan. Penyerbuan kami ke
wilayah Sinkiang sekali ini adalah untuk melaksanakan tipu
sekali timpuk dua burung. Kawanan bandit di Cadam yang
memberontak terhadap kerajaan itu bersekutu dengan ke-13
ke-lompok suku yang dikepalai Lohai. Jika kita menghancurkan
Lohai akan berarti memotong jalur bantuan perbekalan bagi
kawanan bandit di Cadam itu."
"Tapi Lohai juga mempunyai sandaran kuat, yaitu Thiansan-
pai. Meski jumlah orang Thian-san-pai tidak banyak, tapi
setiap orangnya berkepandaian tinggi, bila Thian-san-pai
membantunya tentu peperangan ini sulit. untuk mencapai
kemenangan. Nah, sekarang kau paham?"
"Soal politik aku tidak paham," jawab Him-him tertawa.
"Tapi dari uraianmu ini aku mengerti akan maksudmu.
Rupanya engkau bermaksud memojokkan Ciok Thian-hing,
dan bila Lohai minta bantuan kepada Thian-san-pai, dapat kau
minta Ciok Thian-hing berusaha merintanginya. Umpama
gagal merintangi, dapat pula menyabotnya secara diam-diam.
Tidak berhasil menyabot, sedikitnya dia dapat mengirim berita
rahasia kepada kita."
"Kamu memang cerdik, semuanya telah dapat kau terka
dengan jitu," kata Alcu Yung dengan tertawa.
"Dan selanjutnya Ciok Thian-hing terpaksa akan menjadi
budak kita, bila kita minta dia ke timur, tidak nanti dia berani
ke barat," sambung Him-him. "Bukankah Thian-san-pai
mereka ingin menangkap Nyo Yam" Siau-yau-li itu pun
terhitung orang yang perlu dibekuk juga, maka dapat kita
peralat Ciok Thian-hing agar dia menyerahkan Siau-yau-li
kepada kita. Dengan bantuan Thian-san-pai, harapan untuk
menangkap Siau-yau-li itu menjadi tambah besar. Setelah
Siau-yau-li tertangkap, serupa uraianmu tadi, dengan
sendirinya harta karun itu pun akan jatuh ke tangan kita."
"Wah, kiranya surat itu sedemikian besar manfaatnya,
tampaknya engkau bisa segera naik pangkat dan dapat rejeki,"
ucap Him-him. "Betul, makanya surat ini boleh kau berikan saja kepadaku,
akan kujadikan bukti agar Bu Ek mau memberi tugas luar
kepadaku, kalau tidak, dalam keadaan genting begini sukar
bagiku untuk meninggalkan pasukan dan mencari Ciok Thianhing."
"Jika surat itu sedemikan berharga, kukira akan lebih baik
kusimpan sendiri saja," kata Him-him. "Aku pernah kenal Bu
Ek, dapat kita temui dia. Kuyakin dia akan percaya kepada
keterangan-ku"
Melihat orang sangsi, Alcu Yung tidak berani memabsa, ia
pikir nanti kalau urusan sudah selesai baru berdaya
melepaskan diri dari perempuan ini. Maka dengan tertawa ia
berkata. "Baiklah! Terserah bagaimana keputusanmu. Yang
penting, seterusnya kita tetap bersama dan tidik perlu
berpisah lagi."
"Ai, jangan merayu dulu, marilah kita menemui atasanmu


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu," ajak Him-him.
"Nanti dulu," kata Alcu Yung tiba-tiba. "Tampaknya ada
seorang sedang datang kemari."
"Apakah prajurit pengintai yang hendak mencarimu," ujar
Him-him. "Agaknya bukan," kata Alcu Yung.
Sejenak kemudian, dari balik bukit pasir sana muncul
seorang. "Ahh, kiranya seorang pengemis cilik," kata Him-him.
"Di tengah kekacauan peperangan ini dan di pegunungan
sunyi bisa muncul seorang pengemis cilik, sungguh aneh.
Coba kita lihat dulu orang macam apakah pengemis cilik ini."
"Mungkin orang yang telantar karena perbuatan pasukan
kalian yang merampok dan membunuh sepanjang jalan,
seorang anak yang kehilangan rumah dan keluarga."
"Tidak, bukan." kata Alcu Yung.
"Tidak bukan bagaimana?"
"Pengemis cilik ini orang Han dan bukan suku Kazak. Jika
anak gelandangan seperti ucapanmu tentu dia seorang
Kazak." Sementara itu pengemis cilik itu sudah mendekat. Meski
mukanya kelihatan dekil. tapi jelas kelihatan dia memang
bangsa Han. Tergerak hati Alcu Yung, ia pikir pengemis clik itu seperti
sudah pernah dikenalnya, cuma seketika tidak teringnt di
mana pernah melihatnya. Segera ia mengedipi Bok Him-him,
maksudnya supaya jangan turun tangan dulu dan coba cari
tahu apa mabsud kedatangan pengemis cilik ini.
Dengan napas terengah pengemis cilik itu sudah
berhadapan dengan mereka dan memohon, "Kasihan tuan dan
nyonya, berikan sedikit air minum kepadaku."
"Mengapa kamu tidak mengemis makanan?" tanya Alcu
Yung. "Bilamana tuan sudi memberi makanan, tentu saja melebihi
daripada harapanku," kata pengemis cilik itu. "Cuma dahaga
terlebih menyiksa daripada lapar, kerongkonganku sangat
kering dan tidak tahan lagi, maka mohon diberi seteguk air
minum dulu."
"Kukira kamu habis makan dua biji ubi bakar, betul tidak?"
tanya Him-him mendadak.
Terkesiap hati pengemis cilik itu, diam-diam ia mengakui
ketajaman hidung perempuan bejat ini, ternyata dapat
mengendus bau ubi bakar. Ia tidak tahu pertanyaan Him-him
itu hanya gcrtak sambel belaka untuk memancingnya.
Maka ia menjawab, "Betul, kucuri makan dua biji ubi bakar
di rumah penduduk, tapi tidak mendapatkan air minum, maka
kerongkonganku tambah kering habis makan ubi bakar."
"Kamu kelihatan kasihan, baiklah, akan kuberi air minum,"
kata Him-him dengan tertawa.
Sambil bicara ia sudah membuka kantung airnya dan setitik
obat bubuk yang tersembunyi di antara kukunya diselentikkan
ke dalam kantung air. Obat bubuk ini adalah obat bius yang
dapat membuat orang lantas lunglai.
Terhadap seorang pengemis cilik begitu mestinya dia tidak
perlu menggunakan racun, tapi lantaran Alcu Yung sudah
memberi isyarat lebih dulu, maka dia menaruh perhatian
khusus. "Ia pikir biarpun kamu tokoh kelas satu, bila mana sudah
minum seteguk airku, mustahil kamu takkan roboh di bawah
telapak kakiku."
Terdengar pengemis cilik itu mengucapkan terima kasih.
Pada saat yang sama mendadak seorang berteriak dan
seorang pun menyerang.
Yang berteriak ternyata Alcu Yung dan yang menyerang
adalah si pengemis cilik.
"Awas, bocah ini adalah Nyo Yam!" teriak Alcu Yung.
Dan pada saat orang belum menyebut namanya, serentak
pengemis cilik itu telah mencengkeram tulang pundak Bok
Him-him. Kiranya kedatangan Nyo Yam ke sini adalah karena
mengikuti jejak Liong Leng-cu. Di rumah penduduk sana ia
menemukan jarum yang ditebarkan Leng-cu itu, dilihatnya
jarum sama hancur, sekali pandang saja ia lantas tahu uona
itu telah ketemukan lawan tangguh.
Ia lantas menyamar sebagai pengemis dengan ilmu rias
ajaran Leng-cu, karena memang belum cukup mahir, pula
tergesa-gesa cara penyamarannya, maka untuk sementara
saja ia dapat mengelabui Alcu Yung, tapi sebentar kemudian
penyamarannya lantas ketahuan.
Sebelumnya Nyo Yam sudah siap siaga, begitu pula Bok
Him-him, meski Nyo Yam tidak sampai terjebak oleh racun,
sebaliknya Him-him juga tidak tertawan.
Waktu jari tangan Nyo Yam menyentuh pundak Him-him, ia
merasakan licin dan sukar terpegang. Kiranya meski kungfu
Bok Him-him tidak tinggi, tapi dia mempunyai semacam ilmu
bela diri yang tidak diketahui Nyo Yam, yaitu Ni-jiu-kang, ilmu
belut. Reaksi kedua pihak sama cepat sekali, begitu terlepas dari
cengkeraman Nyo Yam, serentak Him-him ayun tangannya,
sebuah granat meletus di udara dan menaburkan asap tebal
disertai hujan jarum lembut.
Asapnya beracun, jarumnya juga berbisa, ia yakin sekalipun
Nyo Yam dapat menghindarkan jarum berbisa juga akan
mengisap asap beracun.
Begitu menaburkan senjata rahasia tersebut, serentak Himhim
melompat ke sana sambil berseru, "Nah, rebahlah,
pengemis cilik! Hm, kau-berani menyergap diriku, itu sama
halnya main gila dengan uyonya besar!"
Tak terduga, Nyo Yam sama sekali tidak rebah bahkan
berkelit pun tidak. Terlihat hujan jarum itu bertebaran ke
samping, tanpa susah dapatlah Nyo Yam menerjang keluar
dari kurungan asap tebal.
Kiranya sebelumnya Nyo Yam sudah berjaga kemungkinan
lawan akan menggunakan racun. maka sebelum granat asap
itu meletus ia sudah tahan napas. Mengenai jarum berbisa itu
telah sama terpental oleh getaran Iwekangnya yang kuat.
Apa yang terjadi ini tidak cuma membuat kejut Bok Himhim,
Alcu Yung juga tidak kurang kagetnya, diam-diam ia
mengakui kelihaian pengemis cilik ini dan tidak boleh
diremehkan. Setelah menerjang keluar dari tebaran asap barulah Nyo
Yam bersuara, "Hm, kepandaian setan Pek-toh-san kalian
sudah kukenal. Sekarang silakan kau sendiri yang rebah saja,
perempuan siluman!"
Begitu selesai bicara, serentak pukulan dahsyat lantas
dilancarkan sehebat gugur gunung, ketika tersampuk oleh
angin pukulan, napas Him-him segera terasa sesak.
Tadi Nyo Yam bermaksud menawan Him-him untuk
dijadikan sandera, tapi sekarang pukulannya dilontarkan tanpa
ampun sehingga daya serangnya sangat berbeda.
Ilmu belut Bok Him-him yang licin itu tiada gunanya
terhadap pukulan dahsyat ini, jangankan sampai terkena
pukulan dengan telak, cukup ke-serempet angin pukulannya
saja dapat membuat isi perutnya hancur.
Cuma Him-him juga tidak roboh, sebab baru saja pukulan
Nyo Yam dilancarkan, saat itu juga Alcu Yung memburu tiba
dan masih dapat menangkiskan baginya.
"Blang", kedua tangan beradu, Nyo Yam tergeliat, diamdiam
ia terkejut, ia heran mengapa keparat ini juga mahir
Liong-siang-kang" Bahkan terasa lebih kuat daripada Ce Se
kiat. Ia tidak tahu bahwa ibu Alcu Yung juga orang Thian-tok
(India), ayahnya adalah orang Han yang dibesarkan di Tibet.
Ia sendiri pernah menjadi hwesio beberapa tahun di Lan-to-si,
gurunya yang mengajarkan Liong-siang-kang adalah salah
seorang ketiga paderi sakti Lan-to-si, yaitu Boro Hoat-su,
cuma Liong-siang-kang andalannya memang masih kalah
setingkat daripada Ka siang Hoat-su. yaitu guru Ce Se-kiat.
Begitulah Alcu Yang merasa senang karena lebih unggul,
segera ia mengerahkan tenaga dalam untuk melengketi
tangan Nyo Yam, bentaknya, "Hm, jangan harap kamu dapat
terlepas dari tanganku. Jika kau ingin selamat, lekas menyerah
saja!" Waktu Nyo Yam menolak sekuatnya, kontan ia terdesak
mundur dua-tiga langkah.
Pada saat itu Him-him baru sempat menenangkan diri,
dirasakan dada rada kesakitan. Teringat keadaan bahaya tadi,
bila Alcu Yung terlambat sedetik tentu jiwanya sudah
melayang. Setelah mengatur napas dan terasa tidak terluka barulah ia
merasa lega. Namun rasa gusarnya tak terlampias, segera ia
berteriak. "Jangan kau-bunuh pengemis cilik ini, tinggalkan dia
untukku." "Untuk apa kau minta dia?" tanya Alcu Yung dengan
tertawa. "Mukanya tidak jelek, akan kukebiri dia untuk meladeni
diriku," kata Him-him.
"Haha, kiranya kau penujui dia, justru takkan kuberikan dia
padamu," kata Alcu Yung dengan tertawa.
Tanya jawab mereka menganggap Nyo Yam seakan-akan
sudah menjadi isi saku mereka, tentu saja Nyo Yam sangat
mendongkol. Rupanya mereka sengaja membuat gusar anak
muda itu, dengan demikian Alcu Yung akan lebih mudah
menundukkannya.
Namun Nyo Yam cukup sabar dan menghadapi lawan
dengan tenang. Dirasakan oleh Alcu Yung kekuatan lawan
seperti makin lemah, tapi justru sukar merobohkannya, hal ini
membuatnya heran.
Maiahan mendadak dirasakan Nyo Yam mulai melancarkau
serangan balasan dengan tenaga dalam yang kuat, dalam
kejutnya cepat Alcu Yung lepas tangan.
"Boleh lihat siapa yang bisa lepas dari siapa" Lihat pedang!"
bentak Nyo Yam tiba-tiba.
Begitu Alcu Yung tergetar mundur, serentak Nyo Yam
melolos pedang dan menubruk maju, beberapa gerakan
dilakukannya sekaligus. tenaga pukulannya terlebih sebat
daripada serangan Alcu Yung tadi.
kiranya yang menyebabkan dia kewalahan atas pukulan
Alcu Yung tadi adalah karena dia baru saja menahan napas
untuk menolak asap berbisa yang ditebarkan oleh Him-him.
Sekarang tenaganya sudah pulih, lebih dulu ia perlihatkan
tenaga sendiri sudah lemah, tapi mendadak melancarkan
serangan balasan yang dahsyat.
Sehabis mengadu tenaga, kini Nyo Yam pun tahu lwekang
sendiri dibanding Alcu Yung mempunyai keunggulan masingmasing,
jika keras lawan keras dilanjutkan, akibatnya kedua
pihak pasti akan gugur bersama. Sekarang ia ganti memakai
pedang, dengan ilmu pedang Thian-san-pai yang hebat
menundukkan musuh.
Namun Alcu Yung memang hebat juga, meski terkejut tidak
menjadi bingung. Mendadak ia berputar, golok melengkung
juga lantas dilolosnya, bentaknya, "Jangan membual, kau kira
Thian-san-kiam-hoatmu dapat menggertak diriku?"
Di tengah serangan goloknya terseling pula pukulan. Akan
tetapi Nyo Yam juga tidak kalah lihainya, ia pun mengeluarkan
ilmu pedang "dewa mabuk" keluarga Liong, ilmu pedang ini
banyak ragam perubahannya sehingga seketika Alcu Yung pun
tidak memperoleh keuntungan sedikit pun meski keduanya
sudah saling serang berpuluh jurus, berbalik ia malah berulang
menghadapi serangan maut anak muda itu.
Sambil menyurut mundur Alcu Yung membentak, "Huh,
Thian-san-kiam-hoat macam apa ini" Masa Thian-san-kiam
hoat dimainkan secara kacau balau seperti ini?"
Nyo Yam tertawa, "Masa kamu setimpal untuk kulayani
dengan Thian-san-kiam-hoat" Kau ingin minta petunjuk
padaku, lebih dulu perlu menyembah dan mangangkut guru
padaku, kalau tidak, buat apa menerima murid goblok
semacam dirimu?"
Sembari bicara serangannya membuat Alcu Yung rada
kerepotan dan melompat mundur.
Kebat-kebit juga Bok Him-him menyaksikan pertarungan
sengit itu, ia mengeluarkan tiga buah piau kupu-kupu dan
disambitkan ke arah Nyo Yam. Ia pikir sekalipun senjata
rahasia itu tidak dapat melukai anak muda itu, asalkan dapat
membuatnya lengah tentu Alcu Yung ada kesempatan untuk
memperoleh kemenangan.
Siapa duga, segera. terdengar suara "tring tring-tring" tiga
kali, ketiga piau kupu-kupu itu terpental balik, untung Bok
Him-him cukup cepat mengelak, kalau tidak hampir saja ia
terluka oleh senjata rahasia sendiri.
Cepat Alcu Yung berseru, "Jangan ikut campur, kusanggup
hadapi bocah ini. Bila perlu boleh kau pulang dulu dan
menyampaikan berita ke markas."
"Tapi engkau sendiri .... "
"Jangan kuatir, biarpun tidak dapat kubinasakan bocah ini
juga takkan dikalahkan olehnya. Bisa jadi pada waktu kau
kembali ke sini nanti sudah dapat kubekuk dia."
"Huh, tanpa kugunakan Thian-san-kiam-hoat saja sudah
membuatmu kerepotan, tapi masih berani membual"!" jengek
Nyo Yam sambil mendesak maju, pedang terus menusuk
tengorokan lawan.
Alcu Yung sedang melangkah maju untuk menyerang,
karena tusukan Nyo Yam itu, tampaknya sukar baginya untuk
menghindar, saking kagetnya sampai Bok Him-him menjerit
kuatir. Nyo Yam juga tidak mengira serangan akan berhasil
semudah itu, tapi mendadak lawan menunduk dan ujung
pedang Nyo Yam seperti menyerempet lewat pundaknya.
Hampir pada saat yang sama, golok melengkung lawan
ternyata dapat berputar ke belakangnya untuk menyabit
belakang lehernya.
Menurut aturan, golok melengkung Alcu Yung lebih pendek
dari pada pedang Nyo Yam. mestinya tidak mungkin dapat
terjulur sepanjang ini sehingga dapat menyabit dari belakang,
hal ini sungguh sangat di luar dugaan Nyo Yam.
Kiranya ilmu silat Alcu Yung memang bukan kungfu daerah
Tiongkok, ia pernah berlatih ilmu yoga dari Hindu, sekujur
badan dapat berubah lunak serupa tak bertulang, otot daging
di seluruh tubuh dapat mulur mengkeret sesukanya. Dalam
sekejap tadi ia telah menarik dada dan mendekuk perut


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga tubuh menyurut beberapa senti ke belakang dan
tusukan Nyo Yam dapat terhindar, sebaliknya lengannya yang
memegang golok sabit mendadak terjulur beberapa senti
terlebih panjang.
Justru setelah memahami gaya serangan ilmu pedang
"dewa mabuk" yang dilancarkan Nyo Yam barulah mendadak
Alcu Yung menggunakan ilmu andalannya, ia mengira
serangan aneh. sekali ini pasti akan berhasil, maka sembari
menabas ia pun berteriak dengan tergelak. "Hah, kan sudah
kukatakan kamu bukan tandinganku, coba . . "
Siapa tahu, perubahan di luar dugaan berturut-turut lantas
terjadi. Alcu Yung hanya sempat gembira sebentar saja
tertawanya lantas beku mendadak.
Kiranya ilmu yoga Alcu Yung meski tak terduga oleh Nyo
Yam, tapi bukannya anak muda itu sama sekali tidak waspada,
begitu tergerak pikirannya seketika tipu serangannya berubah
di tengah jalan. Walau tangan Alcu Yung dapat mulur
beberapa senti lebih panjang secara mendadak, namun gerak
pedang Nyo Yam terlebih cepat, bahkan menusuk dari arah
yang sama sekali tak terpikir oleh Alcu Yung.
"Nah, kau ingin belajar kenal dengan Thian-san-kiam-hoat,
sekarang boleh kau lihat," bentak Nyo Yam.
Rupanya permainan ilmu pedang "dewa mabuk" kini telah
berubah menjadi Thian-san-kiam-hoat, yaitu ilmu pedang
pemburu angin, sesuai namanya, gerak pedang Nyo Yam
secepat angin, sambil membentak sekaligus ia melancarkan
belasan jurus serangan.
Terpaksa Alcu Yung bertahan sekuatnya, ia keluarkan
Liong-siang-kang bergabung dengan ilmu yoga, jurus
serangannya juga aneh dan lihai sehingga serangan Nyo Yam
dapat dipatahkan.
Begituldh keduanya sama mengeluarkan segenap
kepandaiannya sehingga terjadi pergulatan sengit. Cuma
Liong-siang-kang terlebih banyak makan tenaga, diam-diam
Alcu Yung menyadari bila berlangsung lama pertarungan
mereka, akhirnya diri sendiri pasti akan kecundang.
Selagi pertarungan berlangsung dengan sengitnya, tiba-tiba
terdengar suara detak kuda lari cepat mendatangi. Terdengar
penunggang kuda itu berseru heran, "He, saudara Yung,
engkau berkelahi dengan siapa?"
Alcu Yung yang sedang repot menangkis serangan Nyo Yam
sehingga tidak sempat menjawab. Tapi Bok Him-him lantas
berseru, "Hah, kebetulan sekali kedatanganmu, Toan-kongcu,
coba lihat siapa pengemis cilik itu" Tentunya kau kenal dia
bukan?" Kiranya pendatang ini bukan lain daripada Toan Kiam-jing,
Sudah lama Him-him kenal Toan Kiam-jing dan tahu
hubungannya dengan Nyo Yam pada masa lampau, yaitu
keduanya sama di-anggap sebagai murid durhaka Thian-sanpai.
Karena ucapan Bok Him-him tadi, Toan Kiam-jing coba
mengamati Nyo Yam, dirasakan pengemis cilik ini memang
seperti dikeaalnya. segera ia tahu juga siapa dia.
Maklumlah, dahulu waktu Nyo Yam masih tinggal di Thiansan,
lantaran dia sangat disayang oleh penjabat ketua Thiansan-
pai, demi untuk menyenangkan hati sang ketua, sering
Toan Kiam-jing mengajar membaca dan menulis kepada Nyo
Yam. selain Leng Peng-ji, orang yang paling erat bergaul
dengan Nyo Yam boleh dikatakan Toan Kiam-jing. Sebab
itulah betapa bagus kepandaiaa menyamar Nyo Yam tetap tak
dapat mengelabuhi dia.
Setelah tahu penyamaran Nyo Yam, dengan tergelak Toan
Kiam-jing berkata, "Haha, kukira siapa, rupanya si bocah she
Nyo ini. Hehe, bukan saja kenal, malahan dia pernah
memanggilku sebagai Toako."
Him-him tahu maksud orang, ia sengaja main sandiwara
dengan dia, meski tahu ia sengaja tanya. "Oo, ia pernah
memanggilmu sebagai Toako, memangnya kapan kalian
pernah mengangkat saudara."
"Bukan angkat sandara, tapi adik seperguruan," jawab Toan
Kiam-jing. "O, kiranya kalian saudara seperguruan," kata Him-him.
"Jika begitn, kukira agak keterlaluan Sutemu iai. Sudah jelas ia
dengar kau panggil saudara kepada kakak Yung, mengapa dia
masih terus melawannya. Hendaknya kau beri pengajaran
kepadanya!"
Tengah bicara Toan Kiam-jing sudah berada di antara
mereka. Waktu ia mengawasi, tertampak pertarungpn antara
Nyo Yam dan Alcu Yung berlangsung seru, ia pikir permainan
pedang Nyo Yam sudah kelihatan lamban dan berat, "selang
sebentar lagi baru kubekuk dia tentu tidak perlu banyak buang
tenaga." Maklumlah, pernah beberapa kali ia bergebrak dengan Nyo
Yam, ia merasa tidak pasti akan mengalahkan anak nuida itu.
Padahal biasanya ia suka mengagulkan kungfu sendiri,
wataknya sombong, apalagi dia mengaku sebagai suheng Nyo
Yam, jika ia mengerubuti Nyo Yam bersama Alcu Yung,
biarpun menang juga kurang gemilang. Toan Kiam-jing lantas
melompat turun dari kudanya, katanya pelahan, "Bocah ini
memang pantas diberi hajar adat, cuma lebih dulu akan
kucoba membujuknya."
"Engkau kan suhengnya, masa perlu pakai bujuk segala?"
ujar Him-him tertawa.
"Dahulu aku memang suhengnya, sekarang bukan lagi,"
kata Toan Kiam-jing.
Him-him sengaja tanya pula, "Sebab apa?"
"Dia serupa diriku, sekarang sudah dipecat oleh Thian-sanpai."
"Hah, salah ucapanmu ini," kata Him-him dengan tertawa.
"Salah bagaimana?" tanya Kiam-jing.
"Jika kalian sama-sama murid pemberontak dan senasib,
kan sebarusnya hubungan kalian bisa lebih erat serupa
saudara sekandung?"
"Betul, ucapanmu cukup beralasan," kata Kiam-jing. "Nah,
Nyo Yam, kamu bukan anak becil lagi, seharusnya kau
gunakan pikiranmu."
Nyo Yam mencurahkan segenap perhatian untuk
menghadapi musuh. kedatangan Toan Kiam-jing sama sekali
tak dihiraukannya. Diam-diam ia memperhitungkan cara
bagaimana akan meloloskan diri.
Ia pura-puia kehabisan tenaga. maksudnya hendak
menjebak Alcu Yung, siapa tahu lawan berpengalaman luas
dan tak mau tertipu. Malahan cara bertempur Alcu Yung
sangat tenang dan mantap, betapapun Nyo Yam mencari
kesempatnn untuk meloloskan diri tetap sukar.
"Kan perlu kau pikirkan, dahulu kamu adalah murid buncit
kesayangan Ciangbunjin, sekarang kita sama-sama murid
murtad Thian-san yang tak terampunkan," demikian Toan
Kiam-jing coba membujuk lagi. "Meski banyak perbuatanmu
yang tidak baik padaku, tapi aku bersedia memaafkanmu. Jika
Thian-san-pai tidak mau menerimamu lagi, dunia seluas ini
adakah tempat berpijak bagimu" Satu-satunya jalan terbaik
adalah ikut padaku saja, bergabung dengan pasukan yang
kupimpin. Asalkan kau panggil Toako padaku, segala apa
kubela bagimu."
"Kentutmu busuk!" damperat Nyo Yam dengan gusar.
"Dasar budaknya budak. memangnya kau-bangga" Huh,
dalam pandanganku kamu tidak lebih berharga dari pada
binatang, tidak perlu banyak bacot."
Ia berlagak seperti meleng karena berbicara dan tidak
dapat menahan serangan balasan Alcu Yung, ia terdesak
mundur dan mendadak sempoyongan dan jatuh terjengkang.
Kejadian ini sangat di luar dugaan Alcu Yung, Toan Kiamjing
juga tidak menyangka. Ia tidak tahu Nyo Yam cuma purapura
kehabisan tenaga, disangkanya paling tidak masih
sanggup bertahan untuk sementara waktu. Diam-diam ia
menyesal telah memberi kesempatan kepada Alcu Yung untuk
berjasa dengan menangkap Nyo Yam.
Namun Alcu Yung justru melenggong oleh jatuhnya Nyo
Yam, ia heran mengapa anak muda itu jatuh begitu saja tanpa
terpukul" Ia pikir bocah ini banyak tipu akalnya, jangan
sampai aku tertipu olehnya.
Seketika ia menjadi ragu dan tidak berani menubruk maju
untuk menangkap Nyo Yam.
Ia tidak tahu, karena sedikit ragunya justru kebetulan bagi
Nyo Yam. Meski jatuhnya cuma pura-pura saja, tapi bilamana
kesempatan itu di-gunakan oleh Alcu Yung untuk membacok
dengan goloknya, dalam keadaan telentang tentu Nyo Yam
tidak sanggup menangkisnya, andaikan tidak mati tentu juga
akan terluka parah.
Perbuatan Nyo Yam itu sungguh merupakan pertaruhan
terakhir. Tapi karena keraguan Alcu Yung itu telah memberi
kesempatan untuk melepaskan diri. Begitu dia berguling,
sebelum berdiri lagi senjata rahasianya lantas disambitkan
lebih dulu. Selarik cahaya hitam segera menyambar dengan
membawa suara mendenging.
Keruan Toan Kiam-jing terkejut, serunya, "Awas, inilah
Thian-san-sin-bong!"
Thian-san-sin-bong adalah senjata rahasia semacam duri
tumbuhan yang cuma terdapat di pegunungan Thian, kerasnya
serupa besi, daya serangnya lebih kuat daripada senjata
rahasia lain. Dahulu waktu meninggalkan Thian-san sempat
Nyo Yam membawa tiga biji duri sakti itu, tahun yang lalu
sebuah digunakan untuk melukai Toan Kiam-jing, sebuah lagi
tidak mengenai sasaran sehingga tersisa sebuah yang
sekarang digunakan ini.
Karena jaraknya sangat dekat, senjata rahasia itu
menyambar secara mendadak, betapa tangkas jago kelas satu
serupa Alcu Yung juga kelabakan dibuatnya.
Mestinya Alcu Yung hendak menubruk maju, untung Toan
Kiam-jing keburu memperingatkan dia. Begitu nundengar
nama Thian-san-sin-bong daya terjangnya seketika berubah
menjadi lompatan ke samping.
Gerak perubahan ini tidak mudah dilakukan oleh sembarang
orang. Meski Alcu Yung sangat tinggi ginkangnya, tidak urung
agak kerepotan juga, cepat ia putar golok untuk melindungi
tubuhnya. Terdengar suara "tring" yang nyaring, golok
sabitnya terbentur Thian-san-sin-bong dan memercikkan lelatu
api. Daya sambit sin-bong itu belum lagi lemah dan
menyerempet lewat pundaknya dan membuat lecet kulit
dagingnya. Untung dia dapat menghadapi dengan tangkas, bilamana
Toan Kiam-jing terlambat memperingatkan dan dia bertindak
gegabah, mungkin tulang pundaknya sudah dttembus oleh
senjata rahasia sakti itu.
Dalam pada itu secepat terbang Toan Kiam-jing telab
memburu maju, Alcu Yung sendiri juga bermaksud menerjang
lagi sehingga keduanya hampir saja saling tabrak. Cepat Toan
Kiam-jing mengegos dan memegang Alcu, katanya, "Engkau
tidak terluka bukan, saudara Yung?"
Alcu Yung mendengus, "Hm, terima kasih atas perhatianmu.
Cuma lecet sedikit, tidak berhalangan."
Ia tidak puas terhadap sikap Toan Kiam-jing yang cuma
menonton saja tanpa membantu sehingga ia kecundang.
Cuma Toan Kiam-jing juga berjasa telah memperingatfean dia,
maka tidak enak baginya untuk mengumbar marah.
Toan Kiam-jing tidak sempat lagi memikirkan nada ucapan
orang yang marah itu, ia meraga lega melihat orang tidak
terluka, katanya, "Baiklah, boleh engkau mengaso saja, biar
kubekuk bocah itu."
Ia yakin setelah mengalami pertarungan sengit ini, keadaan
Nyo Yam tentu sudah lemah, biarpun punya Thian-san-sinbong
yang ampuh juga tidak perlu ditakuti lagi.
"Bocah yang tidak tahu diri, mau lari ke mana?" demikian ia
lantas membentak. "Di wilayah kekuasan pasukan pemerintah
ini memangnya kamu dapat kabur?"
Sembari berteriak ia terus mengejar, ia pikir ginkang sendiri
cukup mampu menyusul anak muda itu. Tapi untuk menjaga
segala kemungkinan, segera ia melepaskan panah berapi ke
udara untuk memanggil regu bala bantuan yang berpangkalan
di sekitar itu.
Siapa tahu Nyo Yam tidak melarikan diri, in bergaya lari ke
depan, tapi mendadak berputar balik malah.
Ia menerjang Bok Him-him yang berdiri sendiri di samping.
Dengan ginkangnya yang tinggi, hanya dua-tiga kali lompatan
saja sudah sampai di depan nyonya genit itu.
Bok Him-him juga tidak menduga anak muda itu sedemikian
beraninya putar balik lagi, ia menjerit terkejut, "Tolong, lekas
kalian kemari!"
Namun sudah agak lambat selangkah.
"Hm . perempuan busuk, tadi kau bilang hendak mengebiri
diriku, sekarang kucukur dulu rambutmu supaya menjadi nikoh
(paderi perempuan)." jengek Nyo Yam dengan pedang
menabas secepat kilat.
Seketika Him-him merasa kulit kepalanya dingin, taha-tahu
rambutnya yang panjang sudah terpapas bersih.
Dengan cepat Nyo Yam lantas merampas kudanya sambil
membentak, "Tiada harganya ku-bikin kotor pedangku dengan
darahmu. biarlah jiwamu kuampuni sekali ini."
Caranya memapas rambut orang dan merampas kuda untuk
lari, cepatnya sungguh sukar dilukiskan. Tapi karena sedikit
merandek itulah Toan Kiam-jing pun memburu tiba.
Namun selisih sedikit itu sudah memberi kesempatan
kepada Nyo Yum untuk melompat ke atas kuda, jengeknya,
"Toan Kiam-jing, kalau berani ayolah kejar kemari! Setiba di
tempat sepi nanti boleh kita bertarung satu lawan satu, coba
saja siapa yang lebih unggul dan siapa asor?"
-ooo0dw0oo- Jilid 13 Bok Him-him meraba kepalanya yang gundul, takut dan
berduka, juga marah, dengan muka memelas ia memohon,
"Toan-kongcu, selama hidupku tidak pernah dihina seperti ini,
hendaknya mengingat suamiku, sukalah . ."
Toan Kiam-jing tidak sempat menghiburnya, cepat selanya,
"Ya. kutahu, tentu akan kubalaskan sakit hatimu."
Sementara itu satu regu pasukan Boanjing sudah datang.
Toan Kiam-jing lantas mencemplak ke atas kuda sendiri dan
memimpin pasukan ini untuk mengejar Nyo Yam.
Saat itu Nyo Yam lagi sibuk putar pedangnya merontokkan
panah yang menyambar tiba bagai hujan, meski ia tidak
terluka, namun jaraknya dengan pengejar menjadi makin


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat. Dan karena makin dekat, ancaman hujan panah itu
tentu juga tambah gawat.
Nyo Yam dapat melindungi tubuh sendiri dan sukar
menyelamatkan kudanya, beberapa panah hampir saja
mengenai kudanya, sungguh sangat berbahaya. Jika kuda
roboh, sedang tenaganya belum pulih, tentu sukar menandingi
Toan Kiam-jing.
Selagi keadaan tambah gawat, tiba-tiba tampak debu
mengepul, dari depan muncul juga sepasukan tentara. Diamdiam
Nyo Yam mengeluh, jika digencet dari muka dan
belakang tentu dirinya bisa celaka.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru, "Hei. bukankah
engkau ini si pengemis cilik itu?"
Waktu Nyo Yam mengawasi, kiranya pasukan dan depan ini
bukan pasukan Boanjing melainkan laskar berkuda suku
Kazak, perwira yang memimpin di depan adalah ajudan Lohai,
namanya Sali. "Ah, terima kasih bahwa engkau masih ingat padaku," seru
Nyo Yam dengan tertawa.
Setahun yang lalu, di Lodan pernah Toan Kiam-jing hendak
melakukan pembunuhan terhadap Lohai, samar-samar Sali
pernah melihat bayangan tubuhnya sehingga rasanya masih
kenal padanya, segera ia tanya Nyo Yam, "Siapa pembesar
anjing ini .... "
"Siapa lagi dia kalau bukan si pembunuh yang dulu pernah
kau halau itu, namanya Toan Kiam-jing," tutur Nyo Yam.
"Aha, kiranya bangsat keparat itu," kata Sali.
Tengah bicara. pasukan Toan Kiam-jing pun sudah
mendekat. Dengan gusar Sali lantas membentak, "Bangsat she Toan,
kau berani melakukan pembunuhan terhadap pemimpin kami,
sekarang kau datang lagi mengganggu kawan kami. Beiklah,
kita sama-sama main panah, boleh kita coba-coba siapa lebih
tangkas!" Sekali memberi perintah, serentak anak buah-nya
menghamburkan panah bagai hujan.
Suku Kazak terkenal ahli menunggang kuda dan main
panah, kepandaian panah mereka jauh di atas prajurit
Boanjing. Jumlah prajurit Kazak yang dipimpin Sali ini
berjumkih lebih 30 orang hampir sekali lipat daripada prajurit
Boanjing. Terpaksa pasukan Boan-jing balas memanah, Toan Kiamjing
sendiri berkepandaian tinggi sehingga tiada terluka, tapi
belasan prajurit yang dipimpinnya itu dalam sekejap saja
sudah binasa terpanah, tinggal sendirian tentu saja Toan
Kiam-jing tidak tahan. cepat ia putar kuda dan kabur.
Sali bermaksud mengejar, tapi wakilnya yang bernama Kasi
mencegahnya, "Pasukan induk musuh berkemah tidak jauh
dari sini, jangan sampai kita terjebak musuh. Kita sudah
menang, biarlah kita gempur musuh lagi besok. Biarkan
keparat she Toan ini sempat kabur, lain kali bila kepergok lagi
pasti akan kita bekuk dia. Sekarang kita kedatangan tamu
agung, marilah kita layani tamu dahulu."
"Ah, aku kan cuma seorang pengemis cilik tamu agung
apa?" ujar Nyo Yam dengan tergelak.
"Tetapi pengemis seperti dirimu ini lain dari-pada kaum
jembel umumnya," ujar Sali dengan tertawa. "Eh, ya, saudara
Nyo, ingin kutanya padamu, mengapa dalam suasana kacau
begini engkau datang kemari?"
"Dari mana kau tahu aku she Nyo?" tanya Nyo Yam dengan
melenggong. "Malam itu di tempat pemimpin meski tidak kulihat
mukamu, tetapi kudengar suaramu," tutur Sali. "Waktu itu kau
gunakan semacam senjata rahasia aneh untuk menyerang
bangsat she Toan tadi, ada sebuah senjata rahasia itu jatuh ke
tanah dan kutemukan. Kemudian kutahu senjata rahasia itu
bernama Thian-san-sin-bong."
"Siapa yang memberitahukan padamu?" tanya Nyo Yam.
"Tidak lama seielah kejadian malam itu, Ling Peng-ji, Linglihiap
dari Thian-san datang ke tempat kami, dari dia kami
mendapat penjelasan tentang Thian-san-sin-bong itu."
"O, kiranya dia yang bercerita, kemudian apakah kalian
melihat dia lagi?" tanya Nyo Yam.
"Kira-kira sebulan yang lalu, Ling-lihiap pulang dari Cadam
bersama Ki Tiang-hong Ki-taihiap, mereka lalu di sini dan
bilang hendak menuju ke Thian-san," tutur Sali.
"Sekarang aku pun hendak pulang ke Thian-san," kata Nyo
Yam. "Di tengah jalan tadi aku bertemu dengan menantu
pemimpin kalian, yaitu Sindal, maka ada sedikit persoalan
ingin kubicarakan dengan kepala suku kalian."
"Bagus sekali, marilah kita pulang bersama," seru Sali
gembira. "Ingin kutanya lagi padamu tentang seorang," kata Nyo
Yam pula. "Tentang siapa?" tanya Sali.
"Seorang nona she Liong, usianya sebaya denganku, entah
dia sudah sampai di Lodan atau belum?"
"Kami berangkat kemarin pagi-pagi, waktu di rumah tidak
kulihat nona yang kau maksudkan," tutur Sali.
Karena ingin tahu seluk-beluk apa yang terjadi, segera Nyo
Yam bersama rombongan meneruskan perjalanan dengan
cepat, menjelang petang mereka pun sampai di ibukota
kelompok Lodan.
Menerima kabar, Lohai sendiri menyambut keluar, ia
pegang tangan Nyo Yam dan berseru, "Aha, adik cilik, kiranya
engkaulah tuan penolong jiwaku, namun sama sekali aku tidak
tahu dan tetap menganggap dirimu cuma seorang pengemis
cilik, sungguh terlalu."
"Engkau juga banyak membantu kesukaran-ku, Coktiang
(kepala suku)," jawab Nyo Yam. "Tadi waktu aku dikejar
pasukan musuh juga berkat pertolongan ajudanmu ini."
"Pemimpin pasukan musuh tadi bukan lain daripada orang
she Toan yang malam itu hendak membunuh Coktiang itu,
sayang tadi dia keburu kabur," tutur Sali. "Nyo-siauhiap bilang
bertemu dengan Sindal dalam perjalanan dan ada urusan
perlu dibicarakan Coktiang, maka terpaksa kami putar kembali
ke sini." "Kalian hanya ditugaskan patroli saja, memang tidak perlu
mengejar musuh yang sudah kabur," ujar Lohai. Lalu ia tanya
Nyo Yam, "Apakah Sindal menitip sesuatu pasan kepada Nyosiauhiap
untuk disampaikan padaku?"
"Dia menyelamatkan seorang Han bernama Kang Sianghun,
ia tahu Kang Siang-hun itu juga kenal Coktiang," tutur
Nyo Yam. Seketika Lohai kelihatan bersemangat, seru-nya, "Hah, tidak
cuma kenal saja, Kang-taihiap ini pun serupa dirimu, juga
banyak membantu perjuangan kami. Memangnya terjadi apa
atas dirinya?"
"Kabarnya ia terluka ringan dan tidak berhalangan," tutur
Nyo Yam. "Ia minta menantumu untuk menyelidiki seorang,
kebetulan bertemu denganku di tengah jalan, kubilang akan
menggantikan dia melaksanakan tugas penyelidikan itu karena
aku pun akan datang kemari, dia kusuruh kembali ke sana
untuk menjaga Kang-taihiap."
Ia tidak bercerita tentang Sindal yang keracunan agar Lohai
tidak kuatir. "Siapakah orang yang hendak diselidiki Kang-taihiap?"
tanya Lohai. "Kukira Coktiang juga mengenalnya, yaitu nona cilik yang
dahulu pernah kita pergoki di-pandang rumput itu. Waktu itu
dia hendak menemui putrimu dsngan nama samaran, tapi
kebetulan dia telah membantu kita malah."
"Betul, bicara tentang peristiwa dulu, aku memang telah
salah lihat," ucap Lohai tertawa. "Waktu itu engkau menyamar
sebagai pengemis cilik, sedikit pun aku tidak menyangka
engkau memiliki kepandaian tinggi. Datang-datang nona Liong
itu lantas bercanda dengan Romana, kuanggap dia nona cilik
yang nakal. Pada saat itulah seorang antek kerajaan Jing yang
memiliki kungfu tinggi menculik Romana, berkata bantuan
kalian dapat-lah penculik itu diusir."
"Tidak, aku tidak bertindak apa-apa pada kejadian itu,"
ucap Nyo Yam. "Sebab malam sebelumnya meski kulukai si
pembunuh gelap itu dengan Thian-san-sin-bong, tetapi aku
pun terkena pukulannya dan terluka."
"Ah, jangan engkau rendah hati," kata Lohai dengan
tertawa. "Kutahu meski tenagamu waktu itu belum pulih. tapi
diam-diam engkau telah memberi bantuan kepada nona Liong
itu." Kembali Nyo Yam melengak, ia heran dari mana kepala
suku ini tahu hal itu, waktu itu Leng-cu juga berangkat dengan
tergesa gesa, dari mana pula orang tahu si nona she Liong"
Namun ia tidak sempat tanya, katanya pula, "Nona Liong itu
bersama Kang Siang-hun kepergok pasukan musuh, Kang
Siang-hun terluka dan berhasil lolos dari kepungan musuh,
entah nona Liong itu lolos atau tidak, aku merasa kuatir
baginya." "Haha, nona Liong pun lolos dengan selamat, saat ini dia
bersama kami sedang mencari keterangan tentang jejak Kang
Siang-hun," seru Lohai dengan tertawa.
"Hah, jadi nona Liong berada . berada di sini?" tanya Nyo
Yam dengan girang.
Bicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara lengking alat
tiup. Kasi masuk melnpor, "Di kaki gunung Gotu di luar kota
terjadi pertempuran dua pasukan, tampaknya seperti pasukan
kita terkepung oleh pasukan Boanjing. Selain itu asap tebal
tampak mengepul di beberapa puncak bukit, agaknya pasukan
Boanjing bermaksud menyerang secara besar-besaian."
"Baik, kita membagi pasukan menjadi tiga jurusan, bagian
tengah membantu pasukan sahabat, kedua barisan kanan dan
kiri menyerang sayap musuh," kata Lohai. "Nah, Sali, lekas
kau pimpin 500 pemanah sebagai pasukan pelopor."
"Coktiang, biar kujadi pengawalmu," kata Nyo Yam.
"Rasanya kami belum perlu minta tamu ikut perang," kata
Lohai tertawa. "Betapa kekuatan pasukan Boanjing sudah
kuketahui, kuyakin kami pasti dapat mengatasi mereka."
"Kalian sibuk perang, mana boleh kutinggal diam saja?"
kata Nyo Yam. "Kita tidak perlu sungkan, bilamana kami memerlukan
bantuanmu tentu kami akan minta terus terang," lalu Lohai
memberi perintah, "Panggil keluar Keke (tuan putri). Bila NyoTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
siauhiap ingin tahu urusan nona Liong, sebentar Romana
dapat memberitahukan padamu."
Karena terburu-buru ingin tahu kabar Liong Leng-cu,
terpaksa Nyo Yam menerima maksud baik tuan rumah.
Dan baru saja rombongan Lohai berangkat masuklah
Romana.. Begitu masuk segera si nona berkata, "Nyosiauhiap,
sayang engkau datang terlambat selangkah."
"Mengapa kau bilang kedatanganku terlambat selangkah?"
tanya Nyo Yam dengan hati bergetar.
"Sudah kuketahui engkau datang untuk mencari nona
Liong, dia sudah berangkat siang tadi," tutur Romana.
Rada lega hati Nyo Yam, katanya, "Mengapa dia pergi
dengan tergesa gesa?"
Romana tertawa, "Apalagi kalau bukan lantaran dirimu"
Urusan kalian sudah diceritakannya kepadaku. Ia kuatir
ketinggalau olehmu, tak terduga engkau justru tertinggal di
belakangnya."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Urusan Kang
Siang-hun juga sudah diceritakan kepada-ku. Ia bilang
menyaksikan Kang Siang-hun lolos dari kepungan musuh,
dengan kepandaian Kang Siang-hun yang tinggi ia yakin dapat
lolos dengan selamat. Yang dikuatirkan dia justru adalah
dirimu. maka ia tidak menunggu Kang Siang-hun lagi."
Nyo Yam merasa terharu dan juga kuatir, katanya, "Dia
menuju ke Thian-san sendirian, ku rasa tidak akan
menyelesaikan urusan, sebaliknya mungkin akan membikin
susah dia sendiri."
"Saudara Nyo, jangan kau kuatir takkan dapat menyusul si
nona kekasihmu, engkau takkan tertahan di sini," kata
Romana. "Ayah bilang dapat menang dalam peperangan ini,
tentu hal ini akan terlaksana dengan tepat. Dan begitu ayah
pulang, bolehlah engkau berangkat esok. Akan kuminta ayah
menyediakan seekor kuda terbagus."
"Ai, kalian sedemikian baik kepadaku, sungguh aku merasa
malu," kata Nyo Yam menyesal.
"Oo, malu apa?" tanya Romana.
"Malu karena tidak dapat membantu kalian," kata Nyo Yam,
padahal malu yang dirasakannya tidak cuma hal ini saja.
"Ah, bangsa Han kalian memang suka bicara sungkan
semacam ini, padahal engkau sudah banyak membantu
kesukaran kami," sampai di sini, tiba-tiba Romana tanya
dengan tertawa, "Eh, saudara Nyo, begitu tergesa nona Liong
menyusulmu. dari ucapannya dapat dibayangkan seakan-akan
engkau akan tertimpa bahaya bila pulang ke Thian-san.
Sesungguhnya ada persoalan apa sehingga engkau lari turun
Thian-san tanpa izin?"
"Bukan begitu urusannya, soalnya aku berbuat salah, ia
kuatir aku akan mendapat hukuman," tutur Nyo Yam.
"Kuyakin takkan terjadi urusan gawat, andaikan engkau
berbuat salah kan juga serupa perbuatan anak kecil saja," ujar
Romana dengan tertawa.
Nyo Yam tidak menyangka orang akan berpikir begitu, tapi
bila dibayangkan, tindak-tanduk sendiri memang mirip
perbuatan anak kecil, katanya kemudian dengan tersenyum
getir, "Kesalahan yang kulakukan memang tidak besar, tapi
juga tidak kecil. Namun ada sementara orang yang
menganggap kesalahanku tak dapat diampuni. Apakah eugkau
ingin kuceritakan?"
"Tidak perlu," sahut Romana. "Pendek kata, apa pun
pendapat orang lain, kutetap percaya eagkau adalah orang
baik." "Dari mana pula kau tahu aku orang baik" Apakah lantaran
tempo dulu kubantu ayahmu mengusir pembunuh gelap itu?"
tanya Nyo Yam dengan tertawa. "Terus terang, kejadian dulu
itu sebenarnya bukan maksudku hendak membantu ayahmu
melainkan karena pembunuh gelap itu adalah orang yang
kubenci." "Kutahu," ucap Romana dengan serius. "Bangsat she Toan
itu pun pernah membikin susah padaku. Dia adalah manusia


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling busuk di dunia ini. Bahwa kubilang engkau orang baik
juga melulu karena kejadian dulu itu."
Kembali Nyo Yam melenggong, "Habis ada sebab apa lagi?"
"Sebab Ling-cici bilang engkau orang baik," jawab Romana.
"Ah, aku tidak percaya. Masa Ling-cici sendiri yang berkata
demikian padamu?"
"Tidak perlu ia ucapkan sendiri. Kutahu dia pernah
mencarimu ke mana-mana, dulu juga dia datang kemari
beberapa hari sesudah engkau bantu ayah mengusir
pembunuh gelap itu. Dua bulan yang lalu Ling-cici bersama
ayah angkatmu Ki-taihiap lalu di sini, ia pun bicara denganku
mengenai dirimu. Cuma sekali ini dia kelihatan sedih. agaknya
ia pun serupa nona Liong, kuatir engkau menerbitkan
keonaran dan akan dihukum bila pulang ke Thian-san. Cuma,
baik suka atau duka, dia tetap sangat memperhatikan dirimu.
Ling-cici adalah orang baik, engkau tentu tidak menyangkal
bukan?" "Dia memang orang paling baik di dunia ini," sahut Nyo
Yam. "Itu dia, jika jelas dia orang baik, maka orang yang
diperhatikan orang baik masakah tidak baik?"
"Terhadap anak nakal, seorang Cici (kakak) tetap akan
sayang padanya," ujar Nyo Yam tertawa.
Tiba tiba Romana menggeleng, dengan mata yang bening
ia tatap Nyo Yam, katanya, "Ia tidak sama denganku. Aku
boleh menjadi Cicimu, tapi dia tidak memandAnginu sebagai
adik belaka. Meski kutahu pada waktu berada di Thian-san
kalian pernah tinggal bersama serupa kakak dan adik."
Hati Nyo Yam terkesiap, tanyanya, "Mengapa timbul
tafsiranmu seperti ini?"
"Sebab aku dan dia sama-sama orang perempuan," jawab
Romana. "Ketika dia bicara tentang dirimu, begitu kulihat sinar
matanya dan mendengar suaranya segera kutahu perasaannya
terhadapmu tidak terbatas antara kakak dan adik belaka.
Cuma, mungkin ia sendiri tidak menyadari akan hal ini. atau
mungkin ia tahu, tapi sengaja menipu diri sendiri dan tidak
mau mengaku bahwa dalam lubuk hatinya telah
mencintaimu."
Terguncang perasaan Nyo Yam, ia pikir Romana ini suci
bersih bagai butiran embun di puncak es, tak tersangka
pandangannya sedemikian terang dan dapat menerawang
jalan pikiran Ling cici sejelas ini. Beberapa kali Ling-cici ingin
menghindariku, aku sendiri tidak dapat menyelami
perasaannya. Bilamana isi hati Ling-cici memang betul seperti
apa yang dikatakan Romana, maka legalah hatiku.
Tapi apakah benar "lega" hatinya" Ketika mendadak
bayangan Liong Leng-cu timbul dalam benaknya, tanpa terasa
pikirannya kusut lagi.
"Kau tahu apa yang kukuatirkan?" tanya Romana tiba-tiba.
"Kau kuatir apa?" Nyo Yam merasa bingung.
"Aku tidak kuatir kesalahan yang pernah kau-lakukan, tapi
kuatir kelak engkau akan berbuat salah."
"Aku akan berbuat salah apa?" tanya Nyo Yam
Romana menatapnya tajam, katanya, "Hendaknya terus
terang kau katakan padaku, sesungguhnya engkau suka
kepada nona Liong atau Ling-cici?"
"Ini . . ini ."
"Kau rasakan sulit untuk menjawab?"
"Ya, aku tidak tahu cara bagaimana harus kukatakan,"
jawab Nyo Yam. "Rasanya Ling-cici seperti sanak keluargaku,
ia pernah banyak mengalami kemalangan. aku ingin
membuatnya bahagia."
"Jika demikian, jadi engkau mau memperistrikan dia?" tanya
Romana. Muka Nyo Yam berubah merah dan mengangguk.
"Lalu bagaimana pikiranmu terhadap nona Liong?" tanya
Romana pula. "Tidak pernah terpikir olehku akan memperistrikan dia,
cuma aku pun sangat suka berada bersama dia."
"Jika demikian, Sebenarnya kau sendiri pun tidak tahu
dengan pasti sesungguhnya siapa di antara mereka yang kau
sukai," ucap Romana dengan gegetun. "Namun kutahu
mereka sama-sama suka padamu. Tak dapat kupaksa dirimu
harus menyukai yang mana, cuma ingin kukatakan padamu,
ada papatah bangsa Kazak kami bahwa sebuah anak kunci
hanya dapat membuka sebuah gembok. Maka mereka samaTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
sama nona yang sukar dicari dan pantas dicintai olehmu,
namun engkau juga cuma boleh mencintai satu di antaranya."
"Sebuah anak kunci hanya untuk sebuah gembok"!" gumam
Nyo Yam. "Ehm, Cici yang baik, akan selalu kuingat kepada
ucapanmu ini."
"Asalkan jangan lupa saja, adik cilik," ucap Romana. "Kalau
tidak, bisa jadi engkau akan berbuat kesalahan bssar."
Bicara sampai di sini, lamat-lamat terdengar suara perang di
kejauhan. Nyo Yam mendengarkan dengan cermat, sangsi dan kuatir
dia. "Kau kira pasukan Boanjing menyerbu kemari?" ucap
Romana dengan tertawa. "Tidak, itu suara pasukan yang
mundur dan bunyi tambur itu tanda kemenangan. Pejuang
kami telah pulang dengan kemenangan,"
"Hah, begitu cepat mereka menang perang, sungguh tidak
terduga," seru Nyo Yam dengan gembira.
"Maka lekas kau ganti baju, sebaiknya mandi dulu," ucap
Romana dengan tertawa. "Sebentar engkau harus ikut hadir
dalam pesta kemenangan, bila seorang pengemis cilik yang
duduk di tempat tamu agung. meski kita tidak menjadi soal,
bagi pandangan umum kan kurang sedap."
Muka Nyo Yam menjadi marah, katanya, "Tapi aku tidak
mempunyai baju lain."
"Sudah kusiapkan," kata Romana. "Perawakan Sindal kan
tidak banyak berbeda daripadamu."
Lalu ia tepuk tangan dan menyuruh seorang pelayan
membawa Nyo Yam pergi mandi.
Setelah mandi dan berganti baju, benar juga kelihatan
Lohai dan Sali sudah pulang dari medan perang dengan
kemenangan besar.
Dengan berseri-seri Lohai bercerita peperangan tadi,
kiranya dari suku Thian-long (serigala) dan suku Ki-him
(beruang) datang pula bala bantuan.
Kedua kelompok suku ini mahir perang di tanah bersalju.
Gabungan kedua bala bantuan itu cuma enam-tujuh ribu
orang pasukan, yang jaga kota juga cnma selaksa lebih,
namun pasukan Boanjing yang berada di luar ada 30 laksa
jumlahnya. Panglima tentara Boanjing bernama Ting Hian-bu. usianya
kurang-lebih 30, sebabnya dia dapat menjabat panglima
perang bukan lantaran dia tangkas dan perkasa melainkan
karena dia mempunyai seorang ayah yang baik. Ayah nya
adalah panglima panjaga tapal batas yang berkedudukan di
Seling, yaitu Ting Tiau-yong.
Ting Tiau-yong adalah seorang prajurit karir, mulai dari
prajurit hingga menjadi panglima, semua itu hasil
perjuangannya di medan perang. Meski dia tidak tergolong
panglima maha pintar, sedikitnya dia adalah panglima yang
sudah kenyang asam garam di medan perang.
Tetapi putranya itu adalah seorang pemuda yang cuma
belajar ilmu militer di belakang meja saja, sama sekali belum
ada pengalaman praktek.
Pernah terjadi lelucon di tengah pasukan, katanya nama
mereka ayah dan anak mestinya harus saling tukar. Sebab
Ting Hian-bu artinya pamer ketangkasan, sedang Ting Tiauyong
arti-nya Ting si bodoh.
Sekali ini Ting Tiau-yong sendiri telah mengatur siasat
perang terhadap Lodan dan akan menyerbunya secara
mendadak, ia yakin sekali gempur pasti akan berhasil, sebab
itulah ada maksudnya hendak memupuk jasa bagi putranya
dan sengaja memberi kesempatan kepada anaknya itu untuk
memimpin pasukan.
Panglima bawahannya yang sudah berpengalaman dan
dapat diandalkan, yaitu Bu Ek, malahan cuma ditugaskan
menjadi wakil Ting Hian-bu. Cuma meski Bu Ek resminya cuma
wakil komandan, namun prakteknya dia yang memimpin
pasukan. Hal ini memang sudah dibicarakan oleh Ting Tiauyong
di depan Bu Ek dan Ting Hian-bu.
Dengan sendirinya Bu Ek mafhum Ting Tiau-yong sengaja
hendak membantu anak sendiri, bila dia mendapat
kehormatan yang layak dan memegang kekuasaan menurut
kenyataannya, maka ia pun tidak merasa terhina menjadi
wakil komandan.
Dasar nasib pasukan Boanjing memang harus mengalami
kekalahan, ketika bala bantuan kedua suku Thian-long dan Kihim
sampai di kaki gunung di luar kota Lodan, hal ini diketahui
oleh Ting Hian-bu. ketika mendapat laporan bahwa bala
bantuan musuh cuma berjumlah enam-tujuh ribu orang,
timbul pikirannya meremehkan musuh.
Menurut perhitungan Ting Hian-bu,- pada waktu bala
bantuan musuh itu melalui selat gunung, di situlah dia akan
menggempurnya dengan separoh dari jumlah pasukaunya
yang dipimpinnya sendiri.
Pasukan Boanjing berjumlah 30 ribu jiwa, meski cuma
separoh juga jumlahnya lebih banyak sekali lipat dan pada
bala bantuan kedua kelompok suku itu.
Sisa pasukan Boanjing yang separoh dibagi lagi menjadi
tiga jurusan, dua jurusan berlagak menyerang kota dengan
berteriak-teriak, satu barisan lagi menjaga markas. Menurut
perhitungan Ting Hian-bu, cukup berteriak-teriak saja
pasukannya di luar kota sudah cukup membuat pasukan
musuh kuncup dan tidak berani keluar. Dengan begitu separoh
pasukan yang dipimpinnya itu tentu takkan sukar untuk
menumpas pasukan musuh yang cuma berjumlah enam-tujuh
ribu jiwa itu. Meski Bu Ek diberi kekuasaan mutlak dalam praktek oleh
Ting Tiau-yong, tapi resminya Ting Hian-bu tetap
komandannya, karena tidak dapat mencegahnya, terpaksa Bu
Ek masa bodoh. Menutut teori memang siasat Ting Hian-bu itu tidak salah,
cuma sama sekali ia tidak memperkirakan semangat perang
prajurit lawan jauh lebih kuat, juga geografis lebih paham
daripada pasukan Boanjing, berperang di tempat yang khas
juga lebih tangkas daripada dia. Yang paling celaka adalah
perkiraannya pasukan penjaga Lodan yang tidak berani
menerjang keluar itu justru di-kerahkan oleh Lohai untuk
menyerbu keluar sehingga pasukan Boanjing menjadi kalang
kabut. Perang di selat gunung bersalju. meski jumlah pasukannya
sekali lipat dari lawan ternyata berbalik terdesak di pihak
terserang melulu. Terpaksa Bu Ek harus mengerahkan
cadangan pasukan yang berjaga di markas itu baru sanggup
menahan serbuan musuh
Pasukan Boanjing yang cuma berteriak-teriak itu tidak
menyangka musuh berani menerjang ka luar, keruan seketika
mereka pun kacau-balau di-serbu pasukan Lohai. Dalam
keadaan gawat, mana mereka mampu merintangi pasukan
musuh, langsung Lohai membawa pasukannya menuju ke
selat gunung. Waktu itu sebagian pasukan Bu Ek baru masuk selat
gunung, tapi pasukan berkuda suku Ka-sik di bawah pimpinan
Sali sudah menyusup dari samping, orang Kazak ini semuanya
ahli panah, serentak sebagian pasukan Ba Ek yang berada di
belakang meajadi karban hujan panah dan ekor nya dapat
dipatahkan. Dengan bergabung dengan bala bantuan dari kedua
kelompok suku, pasukan Lohai lantas balas msnggencet
pasukan musuh dari luar-dalam, hanya dalam setengah jam
saja pasukan Boanjing dibuat kocar-kacir.
Begitulah Lohai bercerita tentang kemenangannya yang
gemilang ini, katanya, "Setelah mengalami kekalahan ini,
kutaksir kerugian mereka sedikitnya ada separoh yang mati
dan luka. Sekali pun mereka dapat minta bala bantuan lagi
dari Seling, hal itu baru akan terkabul sedikitnya tiga bulan
kemudian. Cuma ..."
Sampai di sini, mendadak nadanya berubah berat, sikap
gembiranya tadi mendadak lenyap.
"Cuma apa?" tanya Romana cepat.
"Cuma kita juga mengalami berugian yang tidak terduga,"
tutur Lohai. "Sebuah pos pengintai kita di lereng Angin Hitam,
dari 30-an saudara kita hanya seorang saja yang lolos dengan
selamat." Nyo Yam coba menghiburnya, "Musuh rugi sekian ribu dan
pihak sendiri cuma kehilangan sekian orang, di medan perang
memang sukar terhindar dari korban. Apalagi kerugian kita
boleh dikatakan tidak ada artinya dibandingkan korban
musuh." "Dalam jumlah kerugian memang tidak ada artinya, tapi kau
tahu, ke-30 orang itu adalah saudara yang kubawa dari
kampung halaman, pejuang suku bangsa Wana yang paling
tangkas. Sebab lereng Angin Hitam adalah tempat strategis
maka kusuruh mereka berjaga di sana."
"Pegunungan bersalju tempat pertempuran itu bukankah
terletak belasan li di selatan kota?" tanya Romana mendadak.
"Betul," jawab Lohai.
"Sedang lereng Angin Hitam terletak belasan li di utara
kota, mengapa begitu cepat pasukan Boanjing menyerbu ke
sana" Sepanjang jalan pe-gunungan sampai lereng itu adalah
daerah pertahanan kita, sepantasnya pasukan musuh tidak
mungkin tiba di sana sebelum kota diduduki mereka."
"Mereka tidak menyerang lereng Angin Hitam dengan
pasukan. mereka cuma terdiri dari dua orang, seoraag lelaki
dan seorang perempuan."
"Hanya dua orang saja dapat menyikat 30 orang pejuang
kita yang terbaik?" tanya Romana dengan heran.
"Yang-perempuan itu seorang Han. Menurut bintara yang
jaga lereng itu, katanya ada seorang nona Liong datang ke
tempat kita, cuma ia sendiri tidak melihat nona Liong, hanya
diketahui nona Liong itu serupa Ling-lihiap, juga sahabat yang
pernah membantu kesukaran kita."
"Ia kira orang perempuan itu adalah nona Liong?" tanya
Romana.

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia tidak memperhatikan siapa mereka, cuma lantaran
melihat mereka adalah bangsa Han, maka ia menaruh hormat
kepada mereka, dianggapnya orang baik seperti nona Liong
dan Ling-lihiap."
"Ah, orang Han ada yang baik dan juga ada yang busuk,"
ujar Nyo Yam. "Apakah perempuan bangsa Han itu berkepandaian tinggi?"
tanya Romana. "Katanya selain tinggi ilmu silatnya juga mahir ilmu sihir,"
tutur Lohai. "Ilmu sihir?" Romana melengak. "Masa di dunia ini benar
ada ilmu sihir?"
"Sesungguhnya juga bukan ilmu sihir, ia hanya mahir
menaburkan semacam asap berbisa," tutur Lohai. "Cuma
pejuang kita tidak kenal senjata rahasianya yang aneh itu,
maka disangkanya ilmu sihir."
"Coba ceritakan senjata rahasia yang digunakan itu?" Nyo
Yam ikut tanya.
"Menurut cerita pejuang kita yang berhasil lolos, konon
perempuan itu berusia 30-an, berpupur tebal, dandanannya
genit," tutur Lohai pula. "Setiba di pos pengintai kita di lereng
terjal itu, dia tetap tertawa saja, tapi mendadak ia
melemparkan sesuatu yang meletus di udara, seketika asap
bertebaran dan pejuang kita sama roboh pingsan, yang tidak
pingsan juga merasa sekujur badan lemas tak bertenaga.
Hanya seorang pejuang kebetulan sedang buang air di balik
batu, begitu mengendus bau tidak enak, segera ia tahu
gelagat jelek, cepat ia menggelinding ke bawah lereng
sehingga terlepas dari maut."
"Apakah yang lelaki itu bersenjata golok melengkung?"
tanya Nyo Yam. "Betul," jawab Lohai. "Eh, tampaknya engkau sudah tahu
siapa mereka?"
"Ya, yang lelaki itu adalah musuhku," kata Nyo Yam dengan
gregetan. "Kemarin baru kuketahui dia adalah salah seorang
perwira yang memimpin pasukan Boan-jing . itu, namanya
Alcu Yung. Dan yang perempuan itu adalah bini muda Pektoh-
sancu." "Pek-toh-sancu itu orang macam apa?" tanya Lohai.
"Seorang gembong iblis yang selalu memusuhi kaum
pendekar, juga diam-diam menjadi antek kerajaan Boanjing
dan bekerja baginya."
"Aneh juga, mengapa seorang perwira Boanjing membawa
minggat bini muda orang?"
"Dari mana ayah tahu mereka minggat?" tanya Romana.
"Pada waktu mereka minggat sampai lereng Angin Hitam,
pertempuran di pegunungan sana belum lagi terjadi, tapi pada
saat itulah dia meninggalkan pasukannya bersama seorang
perempuan dengan mengitar kota, apa maksud mereka kalau
bukan sengaja minggat bersama?"
"Mereka memang orang busuk semua, andaikan benar
minggat juga tidak mengherankan," ujar Romana.
"Ilmu silat perwira itu sangat tinggi, pangkat-nya tentu juga
tidak rendah," kata Lohai lagi-
"Dia punya pangkat dan berkuasa, prajurit Boanjing
biasanya juga tidak mengutamakan disiplin, bila dia main gila
dengan bini muda orang kan juga tidak perlu membawanya
minggat segala."
"Ah, buat apa ayah mengurus perbuatan kotor begitu," kata
Romana dengan muka merah.
Nyo Yam juga merasa heran, tapi ia tidak dapat menerima
penjelasan Lohai itu. Sebab ia tahu pada perempuan siluman
itu terdapat sepucuk surat pengakuan dosa Ciok Jing-coan.
Meski ia tidak mengerti untuk apa mereka merampas surat
pengakuan dosa itu, namun dapat diduganya pasti tidak
menguntungkan Liong Leng-cu. Apalagi mereka katanya
menuju ke utara, sedang letak Thian-san kan di utara sana.
"Sendirian Leng-cu menuju ke Thian-san, bila ia tersusul
oleh Alcu Yung dan perempuan siluman itu, tentu bisa celaka,"
demikian Nyo Yam berpikir dari arah yang paling buruk, hal ini
membuatnya cemas.
Lohai sedang bercerita lagi tentang suatu berita baik yang
menarik, lebih dulu ia tanya putri-nya, "Romana, bukankah
nona Liong hendak mencari kabar Kang Siang-hun, dia sudah
pergi atau belum?"
"Sudah pergi siang tadi, karena kesibukan ayah, maka
keberangkatannya tidak kuberitahukan," jawab Romana.
"Apakah ayah mendapat kabar baru mengenai Kang-taihiap?"
"Ya,-menurut kabar yang kuterima, besok juga dia akan
datang kemari," tutur Lohai.
Romana kegirangan, "Bukankah dia terluka parah?"
"Ia terluka panah, lukanya memang tidak ringan, untung
tidak mengenai tempat fatal, setelah dirawat dua hari, kemarin
sudah dapat bergerak. inilah berita yang baru kuterima,
katanya Sindal juga sudah pulang ke kampung dengan
selamat." "Memangnya Sindal juga mengalami sesuatu bahaya?"
tanya Romana kaget.
"Ya, dia mengalami bahaya apa, boleh kau-tanya saja
kepada saudara Nyo," ucap Lohai.
"Tadi saudara Nyo bilang padaku bertemu dengan Sindal
dalam perjalanan dan menggantikan dia ke sini, sebab ia
minta Sindal kembali ke sana untuk menjaga Kang-taihiap,"
kata Romana. "Dia kuatir kita cemas, maka bilang begitu," ujar Lohai.
"Betul, menurut tabiat Sindal, jika hendak melaksanakan
sesuatu tugas tidak nanti di tengah jalan diwakilkan kepada
orang lain. Lekas katakan padaku, saudara Nyo, Sindal terluka
tidak?" tanya Romana kuatir.
"Tidak, seujung rambutnya saja tidak terganggu," tutur Nyo
Yam. "Ia cuma dikibuli orang, sempat minum arak susu kuda
yang dicampur Sin-sian-wan."
"Sin-sian-wan itu barang apa?" tanya Romana.
"Kau tahu candu, ganja dan sebangsanya?" tanya Nyo Yam.
Romana menggeleng kepala.
"Jika begitu biarlah kujelaskan sebagai berikut," kata Nyo
Yam dengan tertawa. "Sin-sian-wan adalah barang yang dapat
membuat manusia menjadi makhluk tak berguna, cuma hal itu
baru akan terjadi bila orang meminumnya dalam jangka
panjang, bila cuma minum sedikit saja tentu tidak bahaya."
Romana merasa lega, tanyanya, "Apakah kau tahu siapa
yang mengerjai dia?"
"Menurut ceritanya, seorang perempuan setengah umur
dengan dandanan genit," tutur Nyo Yam. "Maka menurut
dugaanku, besar kemungkinan adalah perempuan siluman
yang muncul di lereng Angin Hitam itu."
"Sungguh keji amat perempuan siluman itu," omel Romana
dengan gemas. "Cuma aneh juga, jika Sindal sampai pingsan
dikerjai dia, mengapa dia tidak menawan Sindal sekalian."
"Ya! aku pun tidak mengerti," kata Nyo Yam.
"Masakah perempuan siluman itu mempunyai maksud baik"
Tidak perlu kita menerkanya lagi," kata Lohai. "Kau tahu
berita. yang dikirim Sindal, katanya besok ia bersama Kangtaihiap
akan pulang ke sini."
"Yaah, bagus sekali, sungguh kabar baik," kata Romana
gembira. "Nyo-siauhiap, engkau jangan terburu-buru pergi, petang
esok pada saat sekarang mereka tentu akan datang kemari."
kata Lohai pula.
"Tapi aku - . . aku . " seketika Nyo Yam sukar memberi
ala?an. "Engkau masih ada urusan lain?" tanya Lohai.
"Sudahlah, jangan ayah menahannya, ia justru gelisah dan
ingin lekas pergi." sela Romana dengan tertawa.
"Apakah betul?" tanya Lohai
Nyo Yam mengangguk.
"Tinggal satu hari lagi juga tidak bisa" Besok juga engkau
dapat bertemu dengan Kang-taihiap," kata Lohai.
"Ai, rupanya ayah sama sekali tidak dapat meraba isi hati
orang," ujar Romana dengan tertawa.
"Oo. Nyo-siauhiap ada isi hati apa?" tanya Lohai.
Muka Nyo Yam menjadi merah, jawabnya tergagap, "Ah.
Keke bercanda denganku."
"Jika kau anggap aku bercanda, baiklah kuminta kau tinggal
sehari lagi di sini," kata Romana dengan tertawa.
Muka Nyo Yam tambah merah dan tidak bersuara.
"Sudahlah, Romana, jangan kau goda orang lagi, coba kau
jelaskan baginya," kata Lohai.
"Ayah tahu, jika Nyo-siauhiap tinggal lagi di sini untuk
menemui Kang-taihiap, hal ini berarti dia tidak dapat menyusul
dan bertemu dengan nona Liong," tutur Romana. "Barangkali
ayah tidak tahu bahwa kedatangan nona Liong adalah karena
ingin mencari Nyo-siauhiap, sebabnya nona Liong tidak mau
menunggu Kang-taihiap di sini juga ingin menyusul Nyosiauhiap
yang disangkanya sudah berada di depan sana, tak
tahunva Nyo-siauhiap justru tertinggal di belakang, sekarang
nona Liong sudah berangkat, dengan sendirinya sekarang ia
yang harus menyusul nona Liong."
"O, kiranya begitu, hal ini seharusnya ku-pikirkan sejak tadi,
sungguh aku sudah pikun," seru Lohai sambil mengetuk dahi
sendiri. "Sebenarnya aku pun tidak terlalu kenal Kang Siang-hun,"
kata Nyo Yam "Jika dia sudah lolos dari bahaya, dapatlah aku
merasa lega. Kalian telah menang perang, dalam waktu tiga
bulan pasti tidak akan terjadi apa-apa lagi. Sebab itulah
peluang ini akan kugunakan untuk pulang dulu ke Thian-san,
kelak aku pasti akan datang lagi untuk membantu kalian."
"Baik, jika begitu aku tidak menahan dirimu lagi," kata
Lohai. "Nah, Romana, lekas siapkan santapan. biar kita
ucapkan selamat jalan kepada saudara Nyo."
Esok paginya, Romana menyediakan seekor kuda pilihan
bagi Nyo Yam, ia antar sendiri keberangkatan anak muda itu
sampai di luar kota
Nyo Yam terus berangkat dengan cepat, enam tujuh hari
kemudian ia sudah sampai di lorung selatan pegunungan
Thian. Lereng Thian-san memanjang sejauh tiga ribu li lebih,
meski puncak gunung yang terlihat oleh-nya termasuk lereng
pegunuagan Thian itu, namun jaraknya dengan puncak utara
tempat Thian-san-pai itu masih tujuh-delapan ratus li jauhnya.
Memandang pegunungan Thian itu dari kejauhan di padang
rumput dapat melihat pemandangan aneh dengan berbagai
jalur es yang malang melintang serupa naga perak.
Meski masih harus menempuh perjalanan jauh, demi
melihat pemandangan pegunungan es yang indah dan cukup
dikenalnya itu, di atas kudanya yang dibedal secepat terbang
di padang rumput. dirasakan oleh Nyo Yam seakan-akan
sudah berada di rumah.
Cuma di antara rasa senangnya juga ada rasa kuatir,
sepanjang jalan Liong Leng-cu tidak tersusul dan juga tidak
diperoleh kabar beritanya.
Teringat kepada Liong Leng-cu, tanpa terasa ia pun
terkenang kepada Ling Peng-ji.
Tiba-tiba telinganya serasa mendenging ucapan, "Ingat,
sebuah anak kunci hanya untuk sebuah gembok!"
Itulah pesan Romana kepadanya waktu mengantar
keberangkatannya.
Dipandang dari padang rumput, di kaki gunung sana bunga
hutan sudah sama mekar, di pinggang gunung juga sudah
mulai mengalir air sungai yang mulai cair meski di atas
gunung bunga salju masih bertebaran. Suasana pada sebuah
pegunungan ternyata membawa pemandangan tiga musim.
Dalam benak Nyo Yam juga timbul dua bayangan anak dara
yang membuat bimbang pikirannya.
Tiba-tiba dilihatnya di semak rumput tepi jalan ada bangkai
kuda, daging kuda sudah hampir bersih dimakan elang, namun
masih terlihat bahwa kuda ini mati belum lama, bisa jadi baru
mati kemarin saja.
"Entah musafir pengelana mana yang kehilangan kuda ini"
Saat ini apakah dia masih melanjutkan perjalanan atau sudah
istirahat selamanya serupa kudanya ini?"
"Ai, sejak lahir aku tidak mempunyai rumah, Meski sekarang
kupulang ke Thian-san, tetap tak dapat kuanggap Thian-san
sebagai rumahku. Aku memang ditakdirkan menjadi seorang
musafir pengelana."
Begitulah teringat kepada nasib sendiri dan suasana
setempat, tanpa terasa Nyo Yam berduka, dengan pelahan ia
bernyanyi kecil membawakan sebuah lagu rakyat gembala
yang berjudul "nyanyian kaum pengelana".
Selesai berdendang. dirasakan di jagat raya ini seakan-akan
cuma tinggal dia sendiri yang sedang melangkah.
"Ai, Ling-cici, di manakah dikau sekarang" Apakah kau tahu
saudaramu ini telah pulang mencarimu?"
"Ah, adik Leng-cu, di manakah dikau" Tahukah saat ini aku
sedang menyusulmu?"
Begitulah sekaligus ia terkenang kepada dua orang,
mendadak bayangan khayal kedua nona itu lenyap sekaligus
dari benaknya. Ia coba mendengarkan dengan cermat, sayup-sayup
terdengar di kejauhan ada orang sedang meniup seruling. dari
suaranya yang melengking tajam itu dapat diketahui suara
tiupan dari seruling batang gelagah.
Seruling gelagah itu dibuat dari semacam tetumbuhan khas
yang cuma tumbuh di tepi danau es di puncak Thian-san.
Meski gelagah di Thian-san ini sejenis dengan gelagah yang
tumbuh diperairan umumnya, namun seruling yang dibuat dari
batang gelagah Thian-san yang juga berbentuk serupa
bumbung itu akan mengeluarkan suara terlebih nyaring,
terkadang suaranya dapat berkumandang sampai beberapa li
jauhnya. Nyo-Yam hanya mendengar suara seruling dan tidak
melihat peniupnya, maka sukar diketahui orang berada berapa
jauhnya dari situ, Ia pikir lwekang orang ini sungguh tidak
lemah, entah paman guru mana yang sedang meniup
seruling" Tiba-tiba tergerak hatinya, sebab lagu yang dibawakan
suara seruling itu tiada lain adalah lagu "nyanyian kaum
pengelana."
Seketika Nyo Yam melonjak girang, teriaknya, "Ling-cici,
Ling-cici! Ya, dia pasti Ling-cici!"


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara itu lagu "nyanyian kaum pengelana" sudah
selesai dibawakan oleh suara seruling, menyusul lantas
terdengar suitan panjang serupa lengking naga.
"Hah, itu dia Gihu (ayah angkat)," seru Nyo lam. "Gihu.
Ling-cici, dapatkah kalian mendengar suaraku?"
Ayah angkat Nyo Yam, Ki Tiang-hong, bersuit dengan
Iwekang "Sai-cu-hong" atau auman singa, suara suitannya
dapat mencapai beberapa li jauhnya, lwekang Nyo Yam sendiri
masih belum mencapai setaraf itu.
Karena itulah suara teriakannya tidak dapat mencapai jauh,
segera ia pun menyadari suaranya takkan didengar mereka,
terpaksa ia harus menyusulnya dengan membedal kudanya
terlebih cepat. Sementara itu suara di kejauhan sudah lenyap.
Nyo Yam tidak salah lihat, bangkai kuda yang dilihatnya tadi
memang baru mati kemarin, penunggangnya tak-lain-takbukan
adalah Liong Leng-cu.
Pada waktu nona itu membedal kudanya dengan cepat,
mendadak kuda itu jatuh terjungkal, setelah meringkik
panjang lalu binasa.
Meski berlari sepanjang hari, namun kuda ini jelas bukan
mati kelelahan, sebab sebelumnya tidak ada tanda larinya
yang semakin lambat.
Keruan Leng-cu terkejut dan melompat ke samping.
Untung apa yang terjadi keburu diketahuinya, sebab segera
dilihatnya pada perut kuda yang sudah mati itu hinggap
seekor kalajengking loreng, itulah kalajengking gurun berbisa
yang jarang ada bandingannya, pada perut kalajengking itu
adalah alat pengisap, ketika kuda kebetulan lari di
sampingnya, kalajengking itu terus merambat ke atas perut
kuda. Sekali tuauk dengan pedangnya Leng-cu membunuh
kalajengking itu, namun kudanya tetap tak tertolong lagi. Yang
lebih runyam adalah perbekalannya ikut terlempar ke tanah
berbaur dengan pasir.
Ia kuatir pasir ada sisa racun kalajengking, ia tidak berani
menjemput kembali rangsum yang berserakan itu.
Diam-diam ia menyesali kejadian ini, sungguh sudah jatuh
tertimpa tangga lagi, Kalau melulu mengandalkan jalan kaki,
entah berapa lama baru akan sampai di Thian-san. Tapi
apapun juga dia harus meneruskan perjalanan, sekalipun
harus merangkak juga harus sampai di Thian-san.
Keuntungan di tengah kemalangannya adalah dia sudah
sampai di ujung gurun ini, maju ke sana lagi tidak terlalu jauh
sudah memasuki padang rumput yang ada sumber airnya.
Ia dibesarkan di padang rumput dan gurun pengalamannya
mencari makanan di tempat semacam ini bahkan lebih cekatan
daripada rakyat gembala setempat.
Ia tahu ada beberapa jenis buah hutan sedang berbuah
pada musim demikian, maka dapatlah ia menggunakan buah
liar untuk mengisi perut dan melepas dahaga sehingga sehari
pun lalu. Ia terus berjalan, menjelang lohor esoknya, dari jauh sudah
terlihat puncak salju lereng Thian san.
Selagi ia hendak mengumpulkan buah lagi dan memasuki
lereng gunung, tiba-tiba terlihat di tepi jalan dekat kaki
gunung sana ada sebuah tenda, seorang nenek berdiri di luar
tenda sedang berseru kepadanya dengan bahasa setempat,
"Air manis, kue lapis, juga ada arak susu kuda!"
Kiranya sekarang ini menjelang musim semi, salju
pegunungan mulai cair, kaum pemburu mulai berburu
binatang ke pegunungan. Setelah mengalami musim dingin
yang panjang, binatang yang kelaparan pun ingin keluar
mencari makan, maka pemburu yang masuk gunung pada
musim demikian seringkali akan mendapatkan hasil di luar
dugaan. Pada saat demikian, sementara orang tua yang sudah
lemah tenaga kerjanya lantas pasang tenda di kaki gunung
dan menjual makanan kasar kepada kaum pemburu.
Air manis yang dimaksud adalah air sumber pegunungan
yang juga sangat diperlukan pemburu, sebab meski di padang
rumput tidak kekurangan air minum. tapi sumber airnya
kebanyakan di-benami oleh kotoran sebangsa daun kering dan
ranting lapuk, dengan sendirinya tidak segar lagi serupa air
sumber. cuma karena sasaran jualan merek adalah kaum pemburu
yang tidak banyak jumlahnya, penjual makanan dan minuman
sampai seharian berjalan tidak ada seorangpun.
Semangat Leng cu terbangkit melihat neke penjual
makanan itu, cepat ia mendekat kesana.
Nenek itu menatapnya dengan heran dan sangsi, katanya
"Nona cilik, dimanakah orang tuamu" Kamu juga hendak
masuk gunung untuk berburu bukan?"
Kiranya Lengcu pandai menyamar, ia kuatir dikenali anak
murid Thian-San pai, maka sejak beberapa hari lalu dia sudah
menyamar sebagai gadis dusun setempat, malahan sengaja
berdandan dengan buruk rupa.
Leng-cu menjawab sapaan si nenek dengan bahasa daerah,
"Awak cuma punya seorang kakak, dia masuk gunung dan
berburu, sudah beberapa hari belum pulang, persediaan
makanan dirumah sudah habis, maka ingin kucari kakak. Eh,
apakah nenek melihat kakakku?"
"Bagaimana bentuk kakakmu?" tanya si nenek
Secara ngawur Leng-cu menjawab.
Nenek itu menggeleng kepala, katanya, " Tidak kulihat
orang semacam itu. Apakah kalian bersaudara dan dari daerah
lain?" "Betul, kami datang dari Lodan," kata Leng-cu,
Suku bangsa gembala memang rakyat yang hidupnya
berpindah kian kemari menurut situasi dan kondisi tempat,
seorang pemburu mencari rejeki ke tempat lain adalah
kejadian yang jamak. Apalagi di pegunungan ini memang
banyak binatang langka sebangsa badak bercula satu dan
menjangan loreng. setiap musim semi banyak pemburu dari
daerah lain yang berburu ke sini.
Meski si nenek merasa nona buruk rupa ini agak aneh, tapi
juga tidak curiga lagi, katanya, "O, kiranya kau cari kakakmu
lantaran persediaan makanan di rumah sudah habis. Sungguh
kasihan. Cuma, kamu seorang nona cilik, kan berbahaya jika
sembarangan terobosan di hutan lebat. Begini luas
pegunungan ini, cara bagaimana akan kau cari kakakmu?"
Leng-cu berlagak melenggong bingung, lalu dengan muka
murung ia bergumam. "Wah, lantas bagaimana lagi?"
"Begini saja," kata si nenek, "boleh kau tinggal disini dan
membantuku berjualan, boleh makan tidur di sini, cuma tidak
ada upah."
Leng-cu minum seteguk air manis, lalu berkata, "Wah,
tidak, tidak bisa."
"Mengapa tidak?" tanya si nenek
"Pertama, aku tidak pandai berhitung, hitung lima duit saja
sering keliru," ujar Leng-cu. "Kedua, kakak bilang mukaku
buruk dan kotor, memangnya engkau tidak kuatir pembeli
akan lari bila melihat diriku?"
Ia minum air dengan beberapa jarinya yang kotor terbenam
dalam mangkuk yang dipegangnya, air dalam mangkuk yang
jernih telah berubah kotor, mau-tak-mau kening si nenek
bebernyit juga, ia pikir kalau melihat nona yang kotor ini,
memang pembeli bisa lari dan tidak sudi minum dan makan
barangnya. Begitulah Leng-cu sengaja berlagak bodoh dan pura-pura
tolol, tiba-tiba ia berseru pula, "Ah, betul, betul!"
"Betul apa?" tanya si nenek.
"Di rumahku kehabisan makanan, di tempat ini ini justru
sangat banyak. bila diberikan padaku, biar kumakan setengah
bulan juga takkan habis," kata Leng-cu. "Namun aku hanya
memerlukan persediaan makanan untuk tujuh hari saja.
Biarlah kubawa pulang rangsum untuk tujuh hari saja, selama
itu tentu kakak akan pulang."
"Nona cilik," kata si nenek, "umpama aku mau memberikan
makanan ini padamu, tapi aku sendiri juga orang miskin, jika
kuberikan padamu orang di rumahku tentu juga akan
menderita lapar. Kau paham tidak maksudku?"
"Ya. paham," kata Leng-cu. "Makanan yang kau jual ini
perlu modal, jika kau berikan padaku berarti habislah
modalmu." "Asal kau tahu saja," kata si nenek.
Leng-cu terbahak, katanya, "Tapi engkau jangan kuatir, aku
tidak mau mengambil percuma barangmu. Boleh kau berikan
persediaan tujuh hari semua jenis makanan yang kau jual ini,
dan akan kubayar. Nah. sepotong uang perak ini cukup atau
tidak?" Si nenek terkejut, ia pegang uang perak itu dan ditimbang,
katanya kemudian, "Uang perak ini sedikitnya ada tiga tahil
beratnya, boleh kau bayar uang receh saja."
"Apakah maksudmu tidak cukup" Akan ku-tambah lagi!"
kata Leng-cu sambil mengeiuarkan kantung uang, seluruh isi
kantung dituang keluar semua.
Maka terdengarlah gemerincing riuh, bangku panjang
tempat taruh makanan itu bertambah dua potong lantakan
emas dan beberapa potong pecahan uang perak serta dua
renceng mata uang tembaga. Ada lagi berpuluh mata uang
berhamburan jatuh ke tanah.
Kesemua harta benda itu kalau dijumlah sedikitnya bernilai
belasan tahil perak. Jumlah ini tentu tidak banyak artinya bagi
orang kaya, tapi dalam pandangan orang miskin boleh
dikatakan sejumlah harta yang merangsang.
Si nenek terkejut dan berkata, "Dari mana kau dapatkan
uang sebanyak ini?"
"Pemberian kakak" tutur Leng-cu. "Ini merupakan seluruh
kekayaan kakak. Pada waktu dia mau berangkat berburu, ia
kuatir mati dicaplok binatang buas, maka seluruh harta
kekayaannya diserahkan padaku. Padahal kakak adalah
seorang pemburu yang berkepandaian tinggi, setiap temannya
yang kukenal juga bilang demikian. Kakak tidak pernah
cedera. selama ini aku pun tidak perlu kuatir baginya, aku
cuma kuatir dengan uang sebanyak ini tetap sukar membeli
makanan." "Kiranya kakakmu bukan orang bodoh, dia justru bisa
berpikir panjang, terutama bagi kepentinganmu," ujar si
nenek. "Eh, dengan sejumlah uang ini apakah cukup bagimu?"
tanya Leng-cu. "Bukan demikian maksudku," jawab si nenek.-"Tadi kutanya
apakah kau punya uang receh, soalnya makanan yang kujual
ini tidak berharga, persediaan uatuk tujuh hari paling banyak
cuma berharga tujuh duit saja, sedangkan uang perak yang
kau berikan padaku ini berbobot tiga tahil lebih."
Sembari bicara ia terus bantu Leng-cu memunguti mata
uang yang tercecer tadi.
"Paha rusa asap ini pun dijual saja padaku, boleh" Kubayar
dengan uang perak itu," kata Leng-cu.
"Sebenarnya paha rusa asap ini sengaja ku sediakan untuk
kaum pemburu yang gemar minum arak," tutur si nenek.
Maklumlah, paha rusa asap ini merupakan barang paling
berharga dari seluruh barang yang dijajakannya. Ada seorang
langganannya suka minum arak dengan ham tiruan paha rusa
ini. Sebagai imbalannya si pemburu sering memberikan hasil
buruannya bcberapa kali lipat kepada si nenek daripada paha
rusa yang dimakannya.
Maka-Leng-cu coba membujuk, "Aku sendiri gemar makan
daging rusa, jual saja padaku. akan kubayar berapa saja
menurut permintaanmu."
"Kasihan benar tampaknya kamu ini," kata si nenek dengan
tertawa. "Baiklah, boleh kau bawa pulang, aku pun tidak minta
lebih, satu tahil perak sudah cukup. Sisa uangmu boleh kau
terima kembali."
Bicara sampai di sini, sebagai orang tua ia coba memberi
nasihat, "Harta benda tidak boleh diperlihatkan dengan terlalu
menyolok, mendingan di sini, kalau di tempat lain yang banyak
orang, bisa jadi harta bendamu akan diincar orang jahat"
"terima kasih atas perhatian nenek," kata Leng-cu.
Selagi dia bebenah, tiba-tiba muncul dua penunggang kuda,
seorang lelaki dan yang lain perempuan. Yang lelaki berhidung
bengkok dan bermata cekung, yang perempuan berdandan
berlebihan seperti perempuan nakal.
Melihat kedua orang ini, hati Leng-cu berdetak, sungguh
sial, kembali kepergok mereka di sini, ia berharap orang tidak
kenal lagi padanya.
Kiranya kedua orang ini bukan lain daripada Alcu Yung dan
Bok Him-him adanya.
Dengan kedua orang ini Liong Leng-cu pernah bergebrak.
Dengan langkah lebar Alcu Yung telah masuk ke dalam
tenda dan menegur. "Jual arak tidak"!"
"Ada, ada!" jawab si nenek.
"Potong setengah paha rusa panggang ini untuk minum
arak," kata si nenek sambil menuding paha rusa asap yang
telah dibeli Leng-cu tadi.
"Wah, maaf." jawab si nenek. "Paha rusa ini baru saja dibeli
nona ini."
Alcu Yung melirik sekejap pada Liong Leng-cu.
Saat itu Leng-cu baru saja memasukkan belasan mata uang
terakhir ke dalam kantung, tanpa terasa jarinya rada gemetar
karena lirikan orang.
Pandangan Alcu Yung memang tajam, sekilas lirik sudah
dapat dilihatnya sebuah mata uang yang dipegang Leng-cu
tadi bertuliskan tanda "Mata uang Khong-hi". Padahal mata
uang raja Khong-hi ini tidak mungkin beredar sampai di
daerah Sinkiang, apalagi digunakan sebagai alat pembayaran
di tempat terpencil seperti ini. Sedang nona buruk rupa ini
bukan bangsa Han, dari mana dia pegarg mata uang sebanyak
ini. Sementara itu Bok Him-him sudah ikut masuk, katanya,
"Bagi setengah potong kepada kami, masa tidak boleh?"
"Wah, bukan barangku lagi, silakan kalian berunding
dengan nona ini," kata si nenek.
Alcu Yung mendengus, "Hm, aku justru tidak mau setengah
potong, tapi harus sepotong bulat, berapa kau jual kepadanya,
akan kubayar lipat."
"Maaf, menurut aturan aku tidak berhak menjual lagi
barang yang sudah dibeli orang." jawab si nenek,
"Aku ttdak peduli aturan apa segala, pokok-nya paha rusa


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini tetap kuminta," bentak Alcu Yung sambil menggebrak
meja. Ia menggebrak dengan telapak tangan sehingga ujung
meja sempal sebagian, namun makanan yang tertaruh di atas
meja tiada satu pun yang jatuh.
Habis berbuat demikian, diam-diam ia melirik Liong Lengcu,
ingin tahu reaksinya.
Nona itu memang terkejut, tapi tetap berlagak tidak
mengerti kungfu segala, sikapnya yang kelihatan gugup
dilakukannya sangat mirip, sorot matanya cuma menampilkau
rasa bingung dan bukan terkejut.
Dengan suara gemetar ia berkata, "Sudahlah, nenek. paha
rusa ini tidak jadi kubeli. boleh berikan padanya saja."
Ia tidak tahu bahwa Alcu Yung dan Bok Him-him sudah
merasa curiga, terutama Bok Him-him, kini sudah diketahui
penyamaran Leng-cu.
Maklumlah, Bok Him-him juga ahli rias dan pandai
menyamar, sekali pandang riasan muka Leng-cu dan melihat
lagi perawakannya, segera Him-him tahu orang adalah bangsa
Han yang menyamar.
Setelah minum dan makan kuwe serta bungkusan makanan
yang dibelinya, lalu Leng-cu berkata, "Terima kasih atas
kebaikan nenek, kumohon diri saja sekarang."
Namun sebelum ia bergerak, tahu-tahu bayangan orang
berkelebat, Bok Him-him sudah menghadang di depannya.
"Eh, nona cilik, marilah kita berkawan," ucap Him-him
dengan tertawa. "Siapakah namamu?"
"Aku tidak kenal dirimu, aku mau pulang saja," kata Lengcu.
Lengan baju Bok Him-him lantas mengebas, ia cuma
menggunakan tiga bagian tenaga dalam untuk merintanginya.
Kalau bicara Iwekang, jelas Bok Him-him tidak dapat
menandingi Liong Leng-cu, ia cuma mahir menggunakan racun
dan senjata rahasia berbisa saja. Walaupun begitu, mana
Leng-cu berani memperlihatkan kungfunya di depan mereka
Maka ketika kebasan lengan baju Bok Him-him
menyambarnya, ia berlagak tergetar mundur beberapa
langkah dan menubruk meja sehingga beberapa potong
makanan jatuh berserakan.
Dengan tertawa Bok Him-him berkata lagi "Rasanya pernah
kulihat dirimu entah di mana, umpama belum kenal, kita juga
sama orang Han."
"Nona cilik ini bukan orang Han," tanpa di-minta si nenek
memberi komentar.
"Jangan urus," kata Him-him dengan bengis, lalu bentaknya
kepada Leng-cu, "Nona cilik, hendaknya tahu diri sedikit.
Sekarang ingin kutanya lagi, siapa namamu!!. Supaya kau
tahu, biasa-nya aku tidak pernah tanya untuk ketiga kalinya."
Liong Leng-cu berlagak terpaksa dan menjawab, "Namaku
Marsa." Marsa adalah nama anak perempuan bangsa Kazak yang
sangat umum. "Hm, apa benar namamu Marsa" Kau datang dari mana?"
jengek Him-him.
"Aku . aku . .." Leng-cu berlagak gelagapan.
"Lekas mengaku, kau datang dari mana?"
Alcu Yung ikut membentak. Meski ia tidak pandai urusan
menyamar segala, tapi dari nada ucapan Bok Him-him dapat
diduganya juga gadis udik yang buruk rupa ini tentu samaran
orang Han. Si nenek berhati welas-asih, melihat kebengisan Alcu Yung,
meski takut, tidak urung ia ikut bicara lagi, "Janganlah tuan
menakuti nona cilik ini. Biarlah kukatakan padamu, dia datang
dari Lodan."
Alcu Yung mendengus, "Hm, Daerah Lodan sedang perang,
seorang nona cilik seperti dirimu bisa lari ke sini dari Lodan"!"
Sembari bicara ia lantas mengangkat semangkuk air minum
terus disiramkan ke muka Liong Leng-cu, berbareng itu tangan
yang lain juga memukul.
Cepat Leng-cu berkelit, namun tidak seluruh air siraman itu
dapat dihindarkannya, riasan pada mukanya agak luntur,
meski tidak kelihatan wajah aslinya, namun kulit mukanya
samar-samar kelihatan juga.
Yang lebih runyam adalah hidungnya yang sengaja dibuat
lebih mancung dengan adonan tepung yang mengeras, karena
pukulan Alcu Yung tadi meski tidak terkena tepat, damparan
tenaga pukulannya sempat membuat hidungnya yang
mancung berubah menjadi pesek, untung tidak cedera.
Karena kejadian ini, dapatlah Bok Him-him mengenalnya,
serunya dengan tertawa, "Haha, kukira siapa, rupanya Siauyau-
li ini! Hehe, sungguh kebetulan, dicari-cari tidak ketemu,
tidak dicari kepergok sendiri."
Leng-cu berlagak takut dan meratap, "Aku orang udik
dan..." "Huh, kaukira kami dapat kau kelabuhi?" jengek Alcu Yung.
Selagi ia hendak membekuk Liong Leng-cu, tiba-tiba
terdengar suara orang datang lagi, terdiri dari dua orang.
Seorang di antaranya sedang bicara, "Sialan, nama pembesar
brengsek di Seling itu serupa nama saudaraku, orang yang
tidak tahu bisa jadi akan mengira kami memang saudara sekandung."
Waktu bicara jarak kedua orang itu masih ratusan langkah
dari tenda si nenek, mereka bicara dengan bahasa Han,
suaranya juga tidak keras, tak terduga pembicaraan mereka
dapat terdengar tiga orang yang berada di dalam tenda.
Alcu Yung terkesiap mendengar perkataan orang, ia heran
nama siapa yang serupa dengan nama Ting-taiciangkun?"
Karena itulah pukulan yang akan dilancarkan tidak jadi
diteruskan. Bukannya dia takut kepada kedua pendatang itu
melainkan karena tidak enak untuk turun tangan pada saat
demikian. Mestinya Bok Him-him juga hendak menggunakan asap
bius, sekarang pun tidak jadi, sebab bukan cuma suara orang
itu dikenalnya, bahkan ia sendiri pernah kecundang di bawah
pendatang ini. Sedang Liong Leng-cu merasa girang dan juga kuatir, ia
pikir beruntung kedatangan penolong, celakanya penolong ini
juga musuhku, dia juga ingin menawan diriku. Lantas
bagaimana baiknya"
Belum sempat berpikir banyak, terlihat dua orang sudah
masuk ke dalam tenda.
Ternyata orang yang baru saja bicara itu ialah Ting Tiaumin
dan yang datang bersama dia adalah sute atau adik
perguruannya, Kam Bu-wi
Sebagaimana diketahui, panglima kerajaan Boan yang
berkuasa di Seling. kota tapal batas, bernama Ting Tiau-yong.
Meski asalnya berlainan tempat dengan Ting Tiau-min, juga
sama sekali tidak ada hubungan keluarga. Namun kalau
melulu melihat namanya saja keduanya memang mirip
saudara. Ting liau-min baru pulang dari tempat kelompok suku
Thian-long bersama Kam Bu-wi dan mengetahui pasukan Boan
sedang menggempur suku Lodan, sebab itulah terjadi
prrcakapannya tadi dengan sang sute.
Bok Him-him lantas menyongsongnya dan menegur, "Aha,
sungguh di mana-mana selalu berjumpa, Ting-taihiap, kembali
kita bertemu di sini."
Namun Ting Tiau-min justru sedang memandang Liong
Leng-cu, meski tidak mengenalnya, terasa juga seperti sudah
kenal. Tergerak hatinya, ia berpaling dan menjawab sapaan
Him-him, "Ehm, ya, memang sangat kebetulan!"
"O, jadi Anda ini satu di antara keempat murid utama
Thian-san, Ting-taihiap adanya" Selamat bertemu, dan yang
ini . . . ." Alcu Yung sengaja hendak pamer lwekangnya, meski
cara bicaranya seperti pelahan, namun suaranya menggetar
anak telinga. Diam-diam Ting Tiau-min heran mengapa orang yang
mendampingi perempuan siluman ini bergant1 lagi, malahan
kungfu orang ini tampaknya lebih tinggi dari pada Ubun Lui.
Ia tidak mau kurang adat. maka jawabnya dengan hambar,
"Dia suteku, Kim Bu-wi. Anda sendiri siapa, maaf, rasanya
seperti belum pernah kenal."
"Hahaha, kalau dibicarakan boleh juga dikatakan kita ini
orang sendiri," seru Alcu Yung dengan tergelak
"Oo, bagaimana penjelasannya?" tanya Ting Tiau-min.
"Sebab lain daripada yang lain hubunganku dengan Cioktianglo
kalian, bahwa Ciok-tianglo adalah kepala dari keempat
murid utara Thian-san-pai, dia kan suheng kalian. Jadi kalau
diurutkan, aku dan kalian kan juga terhitung kawan."
"Hm, sudah sekian banyak Anda bicara dan belum lagi
kuketahui namamu," dengus Ting Tiau-min.
"Suhengmu tahu siapa diriku, setelah bertemu dengan
suhengmu bolehlah kau tanya padanya, kan sama saja."
"O, rupanya namamu tidak boleh disebut di tempat terbuka,
jika begitu aku pun tidak perlu tanya lagi kepada Cioksuheng,"
jengek Ting Tiau min. "Sebab selama ini Ciok-suheng
tidak pernah bicara denganku tentang seorang kawan yang
namanya perlu disembunyikan."
Kara Bu-wi ikut bicara, "Bstul, setiap kawan Ciok-suheng
cukup kami kenal, hanya tidak diketahui ada sahabatnya yang
namanya harus di rahasiakan."
Alcu Yung tidak marah, ucapnya tak acuh, "Jika kalian tidak
percaya, ada suatu cara sederhana dapat kuberi bukti."
"Cara bagaimana?" tanya Tiau-min.
"Terus terang, sekarang kami hendak pergi ke Thian-san
untuk mencari suhengmu," tutur Alcu Yung. "Aku tidak pernah
ke sana sehingga agak bingung cara bagaimana dapat
mencarinya. Jika sekarang mendapat kawan seperjalanan
seperti kalian tentu kami tidak perlu susah payah lagi."
Ting Tiau-min merasa sangsi, pikirnya, "Jangan-jangan dia
antek kerajaan Boanjing dan bermaksud mencari informasi
seluk-beluk perguruan kami. Tapi langkahnya ini juga
berbahaya baginya, begitu berhadapan dengan Ciok-suheng
tentu kedoknya akan terbongkar, masakah dia berani
bertindak gegabah begini?"
Agaknya Alcu Yung dapat menerka jalan pikirannya,
katanya pula, "Boleh kau tunjuk suatu tempat dan di sana
akan kutunggu suhengmu. Begitu bertemu dengan suhengmu
segera kupergi tidak perlu kau sangsikan ada maksudku ingin
mencampuri urusan perguruanmu "
Dengan sendirinya Ting Tiau-min tidak mau percaya begitu
saja, seketika ia tidak mengerti maksud tujuan orang.
Melihat Ting Tiau-min seperti ragu dan tidak bisa
mengambil keputusan, Liong Leng-cu menjadi gelisah,
pikirnya, "Biarpun orang she Ting ini juga ingin menangkap
kakak Yam, tapi di antara ke-empat murid utama Thian-san,
betapapun dia paling sayang kepada kakak Yam."
Karena keadaan sudah terdesak, mendadak Leng-cu
mendekati Ting Tiau-min dan membisiki-nya, "Orang ini
adalah musuh besar Nyo Yam, waktu kecilnya Nyo Yam
pernah ditawan dia. Namanya Alcu Yung, seorang alap-alap
kerajaan Boanjing."
Ting Tiau-min terkejut dan bertanya, "Engkau ini siapa?"
Liong Leng-cu mengusap mukanya sehingga kelihatan
wajah aslinya, lalu menjawab, "Aku inilah Siau-yau-li yang
hendak kalian tangkap itu."
"Di mana Nyo Yam?" bentak Ting Tiau-min.
"Mungkin sudan dicelakai mereka," kata si nona.
"Jangan percaya ocehan Siau-yau-li ini, Ting-taihiap, dia
sengaja mengadu domba kita," cepat Alcu Yung menyela.
"Biar kubekuk dia dulu, siapa yang akan membawanya pergi
nanti tidak menjadi soal."
"Apa yang dikatakannya betul atau tidak?" bentak Tiau-min
pula. "Betul," jawab Alcu Yung. "Waktu kecilnya memang Nyo
Yam pernah kutangkap atas perintah, sebab dia adalah putra
pemberontak. Tapi Nyo Yam kan juga murid murtad
perguruau kalian!! Asalkan kalian tidak membangkang
terhadap pemerintah, boleh saja kuserahkan Nyo Yam
kepadamu. Juga Siau-yau-li ini boleh kau bawa pergi."
"Ting-taihiap, aku mau ikut pergi bersamamu, tapi tidak
sudi ikut pergi dengan dia," kata leng cu.
"Baik, Kam-sute, boleh kau berangkat dulu bersama dia,"
kata Tiau-min. "Kan sudah kukatakan boleh ku serahkan dia kepada mu,
marilah kita membawanya bersama ke Thian-san," kata Alcu
Yung. "Apa yang kukatakan tadi pasti kutepati, aku memang
sahabat baik Ciok-tianglo kalian."
"Omong kosong, minggir!" bentak Tiau-min mendadak.
Muka Alcu Yung menjadi merah, "Jadi kalian sengaja
hendak membela Siau-yau-li ini?"
"Kalau betul mau apa?" jawab Tiau-min ketus-
Dari malu Alcu Yung menjadi gusar, bentaknya, "Aku cuma
mengingat atas diri Ciok Thian hing dan ingin bekerja sama
dengan kalian, memangnya kau kira aku takut kepadamu?"
Selagi bicara Tiong Leng-cu sudah lari keluar tenda.
Segera Alcu Yung melancarkan suatu pukulan dari jauh
sambil membentak, "Lari ke mana?"
Kam Bu-wi yang berangkat bersama Leng-cu tidak dapat
menahan tenaga pukulannya, ia tergetar sempoyongan.
"Urusan perguruan kami adaiah urusan kami sendiri, kau
berani mengganggu Nyo Yam, justru aku ingin bikin
perhitungan denganmu," bentak Ting Tiau-min sambil
menyambut pukulan Alcu Yung itu
sekali itu kedua tangan beradu dengan keras, berbeda
dengan adu pukulan dari jauh, bukan saja segera terlihat
pihak yang kuat dan lemah, bahkan seketika bisa
menimbulkan korban jiwa.
"Blang", di tengah suara keras adu pukulan itu Ting Tiau
min tergetar mundur tiga tindak, darah segar yang hampir
tersembur keluar ditelan-nya kembali sekuatnya.
Kiranya di antara keempat murid utama Thian-san-pai, ilmu
pedang Ting Tiau-min memang paling, lihai, namun
Iweekangnya kalah kuat daripada Ciok Thian-Hing dan cuma
setingkat dengan Kam Bu-wi.
Sebaliknya Liong-siang-kang, ilmu tenaga sakti gajah dan
naga yang dilatih Alcu Yung sudah mencapai tingkatan
kedelapan (paling tinggi tingkat kesembilan), sekalipun Ciok
Thian-hing juga bukan tandingannya, apalagi Ting Tiau-min.
Keruan Kam Bu-wi terkejut, cepat ia putar balik dan balas
menyerang. Namun Alcu Yung kembali menghantam pula
dengan dua tangan sekaligus. tangan kanan menendangi Ting


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau-min, tangan kiri melawan Kam Bu-wi.
Sekali ini Ting Tiau-min yang tergetar mundur dua tindak,
sedang Kam Bu-wi dan Alcu Yung sama tergeliat. Hal ini
disebabkan Tiau-min dan Alcu sama-sama sudah
mengeluarkan tenaga tadi, sedangkan Kam Bu-wi baru saja
mulai bertempur.
-ooo0dw0ooo- Jilid 14 Sekuatnya Ting Tiau-min menahan darahnya yang hampir
tersembur, ucapnya dengan parau, "Sute, awasi perempuan
siluman itu!"
Ia berniat menempur Alcu Yung satu lawan satu, maka Kam
Bu-wi disuruh mengawasi Bok Him-him agar tidak
mengganggu konsentrasinya.
"Pada mukaku kan tidak ada belangnya, apa-nya yang perlu
diawasi?" Bok Him-him berolok-olok dengan tertawa.
Mendadak cahaya perak menyilaukan mata, Ting Tiau-min
dan Kam Bu-wi serentak sudah melolos pedang.
Ada kontak batin di antara kedua saudara seperguruan,
yang mereka gunakan sama Tui-hong-kiam-hoat, cuma lawan
yang seharusnya di-tuju Kam Bu-wi telah berlawanan dengan
kehendak sang suheng. Jika pedang Ting Tiau-min terus
menusuk ke arah Alcu Yung, sasaran yang ditusuk Kam Bu-wi
bukan Bok Him-bim melainkan juga Alcu Yung.
Jadi Kam Bu-wi juga mengincar lawan yang sama dituju
Ting Tiau-min, malahan serangannya mendahului sang
suheng. Maklumlah, dengan kedudukan mereka, dalam keadaan
biasa tidak nanti mereka main dua lawan satu. Tapi sekarang
urusan luar biasa. Alcu Yung juga bukan lawan empuk.
Kam Bu-wi sudah tahu kelihaian Alcu Yung, ia merasa kuatir
bila sang suheng sendirian menghadapi lawan tangguh, maka
ia mendahului bertindak dan begitu menyerang lantas
menggunakan jurus "hong-ya-tian-ci" atau angi
Amanat Marga 1 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kisah Sepasang Rajawali 15
^