Elang Terbang Di Dataran Luas 13

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 13


kalau ditambah satu orang lagi?"
Selama ini sebenarnya mata Che Siau-yan belum pernah
bergeser dari teropong di tangannya, tapi sekarang ia
berpaling, menatap tajam wajah Lu-sam, seolah dari
perubahan mimik wajahnya dia ingin menilai benar
tidaknya perkataan itu.
Tapi ia tidak menemukan apa-apa, karena itu tanyanya
lagi, "Dari mana kau bisa tahu Pancapanah membunuh Po
Eng karena persoalan itu" Dari mana kau bisa mengetahui
jalan pikirannya?"
Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, jarang ada
orang bersedia menjawab persoalan yang ada sangkutpautnya
dengan rahasia pemikiran seseorang.
Ternyata Lu-sam bersedia, bahkan menjawabnya dengan
cepat. "Karena perkataanmu tepat sekali, aku dan Pancapanah
memang merupakan manusia sejenis," ujar Lu-sam, "Dulu
aku sendiri pun tidak tahu, tapi setelah diawasi dengan
seksama, akhirnya aku baru menyadari akan hal itu."
"Padahal seharusnya sejak awal kau sudah tahu akan hal
ini, sebab di antara kalian berdua memang banyak terdapat
kesamaan," sela Siau-yan, "Jangankan kau, bahkan aku pun
sudah mengetahuinya sejak dulu."
"O, ya?"
"Kalian berdua sama-sama manusia tangguh dan
berambisi menjagoi dunia persilatan," kata Siau-yan lebih
jauh, "Bahkan kalian berdua sama-sama orang yang suka
menyendiri, meskipun dapat membuat orang lain mati demi
kalian, namun tak memiliki seorang sahabat pun. Karena
selama hidup kalian tak pernah mempercayai siapa pun."
Lu-sam tertawa hambar.
"Mungkin karena alasan itu pula maka kami baru bisa
hidup hingga sekarang."
Che Siau-yan tertawa hambar.
"Mungkin dikarenakan alasan ini pula, meski kalian
masih hidup, walaupun kalian memiliki segalanya, namun
hidup kalian tak pernah gembira, tak pernah bahagia."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Lu-sam balik bertanya
sambil menatap wajah gadis itu lekat-lekat, "Apakah kau
bukan manusia semacam ini?"
Che Siau-yan menghindari pertanyaan ini, dia balik
bertanya kepada Lu-sam, "Sudah cukup lama kau awasi
dia, bahkan mengawasi dengan seksama, apa yang telah
kau lihat?"
Lu-sam pun tidak menjawab pertanyaannya itu, dia
malah balik bertanya, "Bila sepanjang tahun seseorang
hidup mengembara di tengah gurun yang tak berbelas
kasihan, tak ada air, tak ada teman... menurut pendapatmu,
manusia macam apakah dia?"
"Dia pasti seorang berwatak aneh, nyentrik, seperti
binatang buas, penampilannya tentu sangat kurus dan
dekil." Siapa pun tentu berpendapat begitu.
Kekurangan makanan jelas akan menyebabkan tubuh
jadi kurus dan lemah, air minum yang lebih berharga dari
mustika, untuk minum pun harus berhemat, bagaimana
mungkin dia bisa membersihkan badan" Jelas badannya
pasti sangat dekil dan bau.
"Menurut pandanganmu, apakah Pancapanah mirip
seperti orang yang kau lukiskan?"
"Tidak, dia sama sekali tidak tampil seperti itu."
Pancapanah kelihatan tampan, gagah bahkan sangat
sehat, sama sekali tidak tampak seperti seorang yang
kekurangan gizi.
Pakaian yang dikenakan selalu rapi dan bersih,
dibandingkan dengan orang yang sangat perhatian pada
penampilan di kotaraja pun, dia tampak jauh lebih rapi,
necis, dan trendi.
Bahkan rambut dan kuku pun dirawat bersih, rapi dan
berkilat. "Masih ada satu hal lagi yang lebih aneh!"
"Soal apa?"
"Apa yang kau katakan tadi betul," ujar Lu-sam, "Bila
seseorang mengembara sepanjang tahun, sepak terjangnya
pasti mirip binatang buas, perangainya akan berubah jadi
kasar, liar, dan semaunya sendiri."
"Betul."
"Tapi Pancapanah sangat berbeda," kata Lu-sam, "Tadi
aku telah mengamatinya cukup lama, kujumpai semua
gerak-gerik dan tingkah-lakunya amat beraturan, sedikit
keteledoran pun tak dia lakukan, sekalipun seorang
keturunan keluarga ternama pun sewaktu bersantap tak
akan sesopan dan begitu tahu aturan macam dia."
Che Siau-yan menghela napas panjang.
"Ternyata tidak sedikit yang berhasil kau temukan."
"Aku percaya, kau pun pasti dapat melihat hal ini. Tak
perlu menyangkal lagi."
Che Siau-yan tidak menyangkal, dia pun tak dapat
menyangkal. "Sekarang aku ingin bertanya kepadamu," ujar Lu-sam
lagi, "Dari beberapa persoalan kecil tadi, bisakah kau
melihat rahasia Pancapanah?"
"Rahasia apa?" Siau-yan balik bertanya tanpa berkedip.
"Melihat rahasianya dari beberapa hal tadi?"
Lu-sam menatapnya, menatap gadis itu lama sekali,
seolah-olah dia pun sedang melihat apakah nona itu sedang
berbohong. Tapi dia pun tak berhasil melihatnya.
Atas hal itu, jelas dia merasa amat tak puas, tapi
lanjutnya lagi, "Pakaian yang dikenakan bersih dan rapi,
tubuhnya sehat, hal ini membuktikan bahwa sepanjang
tahun dia mengembara di gurun pasir, namun belum pernah
kekurangan rangsum serta air."
Di dataran luas yang kejam dan tak kenal ampun, dari
mana Pancapanah bisa memperoleh rangsum dan air yang
berkecukupan"
Tak disangkal kejadian ini sangat aneh dan
mencurigakan, namun Siau-yan tidak bertanya, dia hanya
mendengarkan dengan tenang Lu-sam melanjutkan
perkataannya. "Tingkah lakunya begitu sopan dan tahu aturan, bukan
saja menunjukkan dia tahu tata krama, bahkan punya
wibawa," ucap Lu-sam lebih jauh, "Semua ini membuktikan
dia bukanlah manusia menyendiri yang kesepian seperti apa
yang dibayangkan orang selama ini."
"O, ya?"
"Di saat orang lain menyangka dia seperti seekor serigala
liar yang sedang bergelandangan, siapa tahu dia justru
sedang berkumpul dengan sejumlah orang."
"Sejumlah orang?"
"Orang-orang yang kagum kepadanya, hidup tergantung
dia, orang yang setiap saat siap mati demi dia."
"Oh?"
"Oleh karena dia harus berkumpul dengan orang-orang
seperti ini, maka semua tindak-tanduknya, semua sepak
terjangnya harus teratur dan penuh disiplin," kata Lu-sam,
"Sebab dia harus menggunakan tingkah-laku sendiri sebagai
contoh untuk orang lain."
"Semua ini menandakan apa?"
"Menandakan bahwa dia pasti memiliki sarang rahasia di
tengah gurun pasir, sarang yang dipakai untuk tinggal."
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, "Di kolong langit
tak ada manusia kedua yang lebih hapal tentang situasi di
wilayah gurun ini selain dia, hanya dia yang bisa
menemukan tempat seperti itu dan cuma dia yang
mengetahui rahasia ini."
"Bahkan Po Eng pun tidak tahu?"
"Tentu saja Po Eng tidak tahu, dia menggunakan tempat
itu untuk melatih sekawanan manusia yang setiap saat rela
mati demi dirinya, di tangan orang-orang itulah Po Eng
menemui ajalnya."
Dia mendongakkan kepala.
"Sekarang dia pasti menginginkan agar aku pun tewas di
tangan orang-orang itu."
Ada semacam orang yang gejolak perasaan dan jalan
pikirannya seolah setiap waktu dapat berubah.
Tak diragukan Lu-sam adalah manusia semacam ini.
Tiba-tiba dia tertawa, benar-benar tertawa.
"Biarpun Pancapanah setiap waktu ingin membunuhku,
tapi aku tak pernah membencinya," kata Lu-sam, "Sebab
aku pun ingin membunuhnya, setiap waktu ingin
membunuhnya."
Tawa Lu-sam kelihatan sangat gembira.
"Dia ingin membunuhku, aku pun ingin membunuhnya,
tapi di antara kita berdua sama sekali tak terikat dendam
sakit hati. Aku tidak membencinya, dia pun belum tentu
membenci aku."
Keinginan membunuh seseorang memang tak selalu
dikarenakan dendam atau sakit hati.
Che Siau-yan sangat memahami hal ini.
"Aku tahu, orang yang kau benci bukan Pancapanah,
orang yang kau benci adalah seorang yang lain."
"Siapa yang kubenci?"
"Siau-hong!" jawab Siau-yan cepat, "Bukan saja kau
membencinya, Tokko Ci pun membencinya, bahkan bisa
jadi Pancapanah pun membencinya."
"Kenapa?"
"Karena kalian tahu ada sebagian orang sangat
menyukainya," kata Siau-yan, "Semua orang tahu, orang
yang patut dikasihani pasti mempunyai bagian yang paling
menjengkelkan, orang yang banyak dicintai orang pasti
banyak pula yang membencinya."
Tentu saja Lu-sam memahami teori ini, perbedaan
antara cinta dan benci memang tipis.
Senyuman yang menghiasi wajahnya mendadak lenyap.
"Aku tahu kau sangat membenci Siau-hong," kata Siauyan
lagi, "Pancapanah pasti mengetahui juga hal ini."
"Hm!"
"Oleh sebab itu ketika Pancapanah menurunkan perintah
untuk melancarkan gempuran, dia pasti akan menggunakan
Siau-hong sebagai motor utama dalam gerakannya kali ini."
"Kenapa?"
"Karena dia tahu, sekalipun kau mengerti bahwa tujuan
penyerangannya kali ini adalah mencari jejakmu, kau tetap
akan masuk perangkap," kata Siau-yan, "Sebab kau pun
seperti dia, ingin menggunakan kesempatan ini untuk
menghabisi nyawa Siau-hong."
Kemudian dengan hambar dia menambahkan, "Karena
itu kali ini Siau-hong pasti bakal mati."
Lu-sam adalah seorang yang cermat dan teliti.
Seseorang bila bangkit dari modal dengkul lalu tumbuh
menjadi orang paling kaya di negeri itu, biasanya dia adalah
seorang yang cermat dan teliti.
Terhadap setiap orang, setiap persoalan yang ada di
sekelilingnya, dia pasti akan memeriksa dan menganalisa
secara amat cermat.
Tapi sekarang dia seakan sama sekali tak menaruh
perhatian terhadap reaksi Siau-yan atas masalah itu, seolah
dia sama sekali tak tahu hubungan perasaan antara gadis itu
dan Siau-hong. Hanya saja secara tiba-tiba dia alihkan pokok
pembicaraan. "Sekarang apakah Siau-hong dan Pancapanah telah
pergi?" "Benar."
"Mereka tidak membunuh Lu Kiong?"
"Tidak."
"Mereka pun tidak membawa Lu Kiong?"
Che Siau-yan menggeleng.
"Sebenarnya kusangka Pancapanah pasti akan membawa
serta Lu Kiong, karena dia anggap Lu Kiong di kemudian
hari masih berguna, sungguh tak disangka ia tidak
melakukan hal itu."
Lu-sam tersenyum.
"Cara kerja manusia macam Pancapanah terkadang
memang tak dapat diduga siapa pun."
"Tapi kau telah menduganya," kata Siau-yan, "Apa yang
hendak dia lakukan, tampaknya hanya kau seorang yang
dapat menduganya."
Senyuman Lu-sam tampak lebih misterius, gembira, dan
cerah. Tiba-tiba ia bertanya kepada Che Siau-yan, "Apakah
semua tindakan yang akan kulakukan dapat kau tebak
seluruhnya?"
Ooo)d*w(ooO Pancapanah tidak mabuk.
Di hari biasa dia jarang minum arak, juga jarang ada
orang melihat dia minum arak, tapi arak yang diminum hari
ini jauh lebih banyak daripada kebanyakan orang, sebagian
besar orang pasti mengira dia bakal mabuk.
Namun ia tidak mabuk.
Dia begitu sadar dan segar seperti baru saja memanjat
pohon kelapa dan menikmati kelapa muda.
Siau-hong tidak sesadar rekannya, di tengah setengah
mabuknya dia nampak begitu murung.
Mereka berjalan menelusuri jalan setapak di sebuah
tanah perbukitan yang sepi, angin yang berhembus
menyiarkan bau harumnya rumput dan dedaunan.
Tiba-tiba Pancapanah mengajukan sebuah pertanyaan
kepada Siau-hong, pertanyaan yang aneh, "Apakah Lu-sam
seekor babi?"
"Bukan," Siau-hong menggeleng, "Dia lebih aneh
daripada setan."
"Mengapa tanpa sebab dia menggunakan banyak pikiran
dan tenaga untuk mengundang kita makan gratis?"
"Aku tidak tahu."
"Sebetulnya aku pun tidak tahu," jawab Pancapanah,
"Tapi sekarang aku sudah mengerti, dia sengaja menahan
kita di situ karena dia ingin mengawasi aku secara tenang.
Ingin melihat manusia macam apakah diriku ini."
"Dia dapat melihat kehadiranmu?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarpun kita tak dapat melihat dia, tapi aku percaya dia
pasti dapat melihat kehadiran kita," ujar Pancapanah,
"Bersembunyi di sebuah tempat yang amat jauh, mengintip
secara diam-diam. Bahkan bukan melihat dengan memakai
matanya." "Bukan melihat dengan mata, lantas melihat dengan
apa?" "Menggunakan semacam cermin yang istimewa."
"Cermin?"
"Tentu saja bukan cermin seperti yang biasa kita pakai,
bahkan kurang cocok kalau dikatakan sebuah cermin."
Setelah menarik napas, terusnya, "Tapi aku hanya bisa
mengatakan begitu, sebab aku tak bisa menemukan istilah
lain yang lebih cocok."
Kemudian kepada Siau-hong tanyanya, "Masih ingatkah
kau, dari mana datangnya orang yang membuat patung lilin
itu?" "Konon berasal dari sebuah negeri yang sangat jauh."
"Aku berani bilang, di negeri yang letaknya sangat jauh
itu, terdapat seorang aneh yang sangat pintar, dia berhasil
menciptakan sebuah cermin sihir yang misterius dan hebat,
yang bisa melihat hal-hal di tempat jauh yang tak mungkin
terlihat orang lain, seperti mata seribu li yang sering kita
dengar dalam dongeng," kata Pancapanah.
Kemudian tambahnya, "Dia pasti sedang melihat kita
secara diam-diam menggunakan cermin sihir itu."
"Buat apa melihat kita?"
"Memperhatikan sikap kita, mengawasi gerak-gerik kita,
melihat manusia macam apakah kita berdua ini?" ujar
Pancapanah, "Sebab tahu sendiri tahu pihak lawan, semua
pertempuran baru bisa dimenangkan, dia pasti telah
menganggap kita sebagai lawan tandingnya."
Kemudian sambil menatap Siau-hong, ujarnya lagi,
"Terutama kau, karena dia sangat membencimu!"
Siau-hong termenung tidak bicara.
"Oleh karena dia membencimu, bersumpah akan
membunuhmu dengan tangan sendiri, maka kali ini dia
pasti akan termakan oleh siasatku, pasti akan
memperlihatkan jejaknya," kata Pancapanah, "Sebab rasa
benci yang membara terkadang bisa membuat orang
menciptakan keteledoran dan kesalahan yang tak bisa
dimaafkan."
"Oh?"
"Lu -sam bukan babi, dia setan iblis, setelah secara
sengaja kita umumkan perintah untuk melakukan
penyerbuan dengan sepenuh tenaga, dia pasti dapat
menduga pula kalau kita hendak menggunakan cara ini
untuk melacak jejaknya."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jangankan dia,
kau dan aku pun semestinya dapat menduga akan hal ini."
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui kebenaran
ucapan itu. "Tapi dia tetap akan masuk perangkap," ucap
Pancapanah, "Sebab dia pun ingin menggunakan siasat ini
untuk menjalankan siasatnya, memanfaatkan kesempatan
ini untuk membunuhmu dengan tangan sendiri."
"Oh?"
"Oleh sebab itu dia pasti telah menghimpun seluruh inti
kekuatannya di sini, dia ingin menunggu kedatangan kita
kemudian meringkus kita."
"Aku pun berpendapat begitu."
"Sayang rasa bencinya terhadap dirimu kelewat dalam,
karena itu tak bisa dipungkiri dia pasti akan melakukan
kesalahan, paling tidak melakukan dua kesalahan."
"Dua kesalahan yang mana?"
"Pertama, dia pasti memandang enteng kekuatan kita,"
ujar Pancapanah dengan penuh keyakinan, "Padahal orangorang
yang telah kulatih secara khusus jauh lebih hebat
daripada apa yang dia bayangkan. Bila kekuatan kami
menyerang secara serentak dan bertarung melawan anak
buahnya, kemungkinan unggul buat kita jauh lebih besar
ketimbang pihaknya."
"Yang kedua?"
"Dia pasti mengira aku ikut pergi, padahal aku tidak ikut.
Sebab kita sudah yakin akan menang, aku justru akan
melakukan pekerjaan lain, mumpung dia sedang
menghimpun seluruh kekuatannya di sini, agar seusai kalah
dalam pertarungan ini, dia tak punya jalan mundur."
"Jadi kau anggap kali ini kita pasti menang?" tanya Siauhong,
"Apakah kau sudah melupakan Tokko Ci?"
Bukan menjawab, Pancapanah balik bertanya, "Masa
kau benar-benar percaya dengan ucapan Lu-sam, mengira
Siau-yan dan Tokko Ci betul-betul sudah bergabung dengan
dia?" Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Lu
Kiong adalah pembantu yang sudah banyak tahun
mengikuti dia, mengapa dia harus memberitahukan rahasia
ini kepada kita" Buat kita, apa kegunaan Lu Kiong?"
Siau-hong termenung tidak menjawab.
"Sebenarnya aku pun pernah berpikir begitu,
kemungkinan besar Tokko Ci telah bergabung dengannya,"
kata Pancapanah lagi, "Tapi setelah mendengar perkataan
Lu Kiong, aku malah tidak berpikir begitu."
Setelah tersenyum, terusnya pula, "Oleh karena itu aku
telah memperhitungkan, kali ini kau pasti berhasil, Lu-sam
pasti mampus."
Baru saja mereka tiba di sebuah simpang tiga, tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda berkumandang datang,
tampak seekor kuda berlari cepat melalui samping jalan.
Masih berada beberapa tombak jauhnya, si penunggang
kuda berbaju hijau itu telah melompat turun dari kudanya.
Kuda cepat yang sudah terlatih itu seketika berhenti
berlari, sedangkan sang penunggang kuda segera berlutut di
hadapan Pancapanah sembari mempersembahkan secarik
kertas. Orang itu mempunyai gerakan tubuh yang lincah dan
cepat, meski memiliki perawakan tubuh yang gemuk.
Siau-hong merasa seakan pernah bertemu orang itu, tapi
merasa juga seolah tak pernah melihat. Menanti ia
mendongakkan kepala, Siau-hong baru teringat bahwa dia
adalah si perempuan gemuk yang membunuh pegawai toko
cita ketika berada di jalan raya tempo hari, hanya saja hari
ini dia tampil dengan dandanan seorang pria.
Tentu saja dia tak lain adalah salah satu pembunuh yang
telah dilatih Pancapanah selama banyak tahun.
Gulungan kertas yang dia sodorkan tak jauh berbeda
dengan peta yang pernah diperlihatkan Pancapanah kepada
Siau-hong, di atasnya tertera letak sarang rahasia milik Lusam,
hanya bedanya dalam kertas gulungan kali ini
tergambar sebuah lingkaran tinta warna merah.
Pada lingkaran itu tertera pula banyak sekali gambar
panah. Semua panah mengarah ke satu titik.
Posisi yang dilingkar dalam peta itu mungkin adalah
sebuah kota besar, tapi mungkin juga sebuah sungai, sebuah
hutan atau sebuah tanah perbukitan.
Pancapanah segera merentangkan gulungan kertas itu.
"Apakah Lu-sam telah menghimpun seluruh kekuatan
intinya di tempat ini?"
"Benar!" jawabannya sangat meyakinkan.
Maka Pancapanah segera memberi perintah, "Kalau
begitu semua orang kita harus tiba pula di tempat itu lusa
pada jam Cu-si (jam 12 tengah malam)."
"Baik!"
"Sebelum jam Cu-si, kalian harus sudah berkumpul di
dalam hutan di luar kota itu," kata Pancapanah lagi,
"Kurang satu orang, aku akan mengambil semacam barang
dari tubuhmu, mungkin hidungmu, mungkin tanganmu,
mungkin juga kakimu."
Kemudian dengan nada dingin lanjutnya, "Mungkin juga
batok kepalamu!"
"Baik!"
Setelah menerima perintah Pancapanah, orang itu
melompat naik lagi ke atas kudanya dan bergerak
meninggalkan tempat itu.
"Di manakah tempat yang dimaksud?" tanya Siau-hong
kemudian. "Sebuah kota kecil yang sangat ramai, disebut kota Ohki,"
Pancapanah menerangkan, "Sebelum jam Cu-si hari
lusa, lebih baik kau pun berkumpul di sana, kalau tidak...."
"Kalau tidak, apakah kau pun akan memungut semacam
barang dari tubuhku?"
Cepat Pancapanah menggeleng.
"Bila kau tidak datang, mungkin akulah yang akan
memungut semacam barang dari tubuhku," kata
Pancapanah sambil tertawa getir, "Dan barang itu
kemungkinan besar adalah batok kepalaku."
Ooo)d*w(ooO BAB 42. LORONG RAHASIA
Langit belum gelap, namun suasana di dalam rumah
kayu yang jelek itu sudah terasa gelap.
Lu-sam duduk di sudut ruangan di balik kegelapan,
wajahnya yang tanpa perubahan tampak sedang terpekur
memikirkan sesuatu.
"Sekarang Pancapanah pasti sudah mendapat laporan
dari anak buahnya, tahu kalau aku telah menghimpun
seluruh kekuatanku di kota Oh-ki," kata Lu-sam perlahan,
"Dia pasti mengira aku pun berada di kota Oh-ki, karena
aku takut Siau-hong maka akan kugunakan siasat melawan
siasat dengan memanfaatkan kesempatan ini untuk
membunuh Siau-hong dengan tanganku."
Setelah tertawa, lanjutnya, "Pancapanah pandai
menganalisa keadaan dan mengatur siasat, tapi kujamin kali
ini dia pasti salah memperhitungkan satu hal."
"Soal apa?"
"Dia pasti tidak percaya kalau Tokko Ci betul-betul
berada di sini."
"Tokko Ci betul-betul berada di sini?"
Tidak menunggu Lu-sam menjawab, Che Siau-yan
bertanya lebih lanjut, "Kau benar-benar akan menjodohkan
aku dengannya?"
"Perkawinan adalah sebuah kejadian yang aneh,
terkadang bukan hanya bertujuan untuk menyatukan lelaki
dan perempuan."
"Lalu karena apa?"
"Karena untuk senjata, anak gadis kaum miskin
menggunakan perkawinan sebagai senjata guna
memperoleh jaminan kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang, sementara anak gadis kaum kaya menggunakan
perkawinan untuk menambah posisi serta kekuasaan
sendiri." Ditatapnya Che Siau-yan dengan sinar mata setajam
jarum, kemudian terusnya, "Kau sendiri seharusnya tahu,
sesungguhnya aku menikahkan dirimu dengan Tokko Ci
demi kebaikan dan keuntunganmu maupun keuntunganku!"
"Tapi hingga sekarang aku belum bertemu dengan dia."
"Kau ingin bertemu dengannya?" mendadak Lu-sam
bangkit, "Baik, ikuti aku."
Di dalam rumah kayu jelek itu terdapat sebuah almari
kayu jelek, ketika almari itu dibuka, lalu menekan sebuah
tombol rahasia, segera muncullah sebuah pintu rahasia.
Setelah memasuki pintu rahasia itu, tibalah mereka di
sebuah dunia lain. Sebuah dunia yang gemerlapan dengan
cahaya emas, sebuah dunia yang bertaburkan emas murni.
Ada tiga orang di dalam ruangan berlapis emas itu,
seorang lelaki muda, seorang lelaki berusia agak dewasa,
dan seorang lelaki setengah umur yang rambutnya telah
memutih. Yang muda bertubuh jangkung dengan pakaian yang
indah dan mewah, bukan saja dia tampak tampan, bahkan
sangat angkuh. Orang yang berusia lebih dewasa kelihatan halus dan
sopan, tak diragukan dia adalah orang yang pernah
mengenyam pendidikan tinggi.
Sedangkan orang berusia pertengahan sangat biasa dan
umum, tak berbeda dengan lelaki mana pun yang pernah
kau jumpai di tengah jalan raya di dunia ini.
Hanya bedanya perawakan tubuhnya lebih kekar dan
berotot, bukan saja kelihatan kekar, bahkan lemak di perut
pun sama sekali tak tampak.
Ketiga orang itu jelas berasal dari latar belakang yang
berbeda, hanya ada satu persamaan di antara mereka.
Ketiga orang itu sama-sama membawa pedang, pedang
yang digembol berada di samping tangannya, dalam sekali
sambar mereka dapat segera melolos senjata itu.
Ternyata Tokko Ci tidak berada dalam ruangan itu,
sedang ketiga orang itu belum pernah dijumpai Che Siauyan
sebelumnya. Lu-sam segera memperkenalkan orang-orang itu.
"Mereka adalah pembantu setiaku, rata-rata merupakan
jago pedang kelas satu dalam dunia persilatan," katanya,
"Sayang di tempatku sini tidak berlaku nama, yang ada
hanya nomor."
Nomor mereka adalah empat, empat belas dan dua
puluh empat. Dibandingkan nomor tiga, tiga belas dan dua puluh tiga,
mereka kalah satu tingkat.
Sebab mereka memiliki banyak persamaan dengan ketiga
orang yang diutus Lu-sam untuk membunuh Siau-hong,
bukan saja watak dan latar belakangnya sama, bahkan
aliran pedang yang dimiliki pun tidak jauh berbeda.
"Aku minta mereka menanti perintahku di sini, karena
aku pun ingin menyuruh mereka pergi membunuh
seseorang."
"Siapa yang akan dibunuh?" tanya Siau-yan.
Lu-sam tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Kembali dia memencet sebuah tombol rahasia dan
terbukalah sebuah pintu rahasia lain.
Di belakang pintu merupakan sebuah lorong panjang
yang gelap dan lembab.
"Berjalanlah lurus ke depan, setibanya di ujung sebelah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana akan kau jumpai sebuah pintu, pintu itu tidak dikunci,
seseorang duduk di belakang pintu, asal kau buka pintu itu,
segera akan kau jumpai dia."
Kemudian Lu-sam pun langsung memberikan
perintahnya, singkat tapi tegas.
"Aku minta kau pergi membunuhnya! Sekarang juga!"
Nomor empat pun seperti anak buah Lu-sam lainnya,
hanya tahu menerima perintah, tak pernah bertanya apa
alasannya. Tentu saja dia pun tak akan bertanya siapakah orang
yang harus dibunuhnya.
"Baik," sahut orang itu, "Sekarang juga aku berangkat."
Selesai mengucapkan perkataan itu, bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya, dia langsung menerobos
masuk ke dalam lorong gelap itu.
Gerak-geriknya cekatan, bahkan amat lincah.
Hanya saja dia nampak sedikit emosi. Hal ini terbukti
dari paras pucatnya yang berubah sedikit memerah karena
gejolak emosi dalam hatinya.
Dengus napas pun kelihatan berubah sedikit lebih cepat
dan memburu daripada waktu biasa.
Inilah untuk terakhir kalinya orang lain menyaksikan
raut muka serta perubahan wajahnya.
Sejak menerobos masuk ke dalam lorong gelap itu, dia
tak pernah muncul lagi.
Sekarang setiap orang sudah tahu kalau dia tak bakal
balik lagi dalam keadaan hidup.
Sudah cukup lama dia pergi, lama sekali, manusia
macam dia seharusnya tidak butuh waktu selama ini untuk
membunuh seseorang, peduli siapa pun korbannya.
Dalam rentan waktu yang begini lama, peduli pekerjaan
apa pun yang harus dilakukan, saat ini hasilnya sudah
seharusnya diketahui.
Mati! Inilah satu-satunya hasil akhir.
Tiada orang yang buka suara, juga tiada rasa duka atau
sedih yang menghiasi wajah semua orang.
Sebab peristiwa semacam ini bukanlah suatu kejadian
yang pantas disedihkan.
Setiap orang pasti akan mati, apalagi bagi manusia
macam mereka. Bagi mereka, "kematian" bagaikan seorang perempuan,
seorang perempuan yang sudah lama mereka anggap
memuakkan, seorang wanita yang meski mereka anggap
memuakkan tapi justru sukar untuk ditinggalkan, karena itu
setiap hari mereka menunggu kedatangannya, menanti saat
itu benar-benar telah tiba, mereka tak akan merasa terkesiap
dan takut, mereka pun tak akan merasa gembira.
Sebab mereka tahu, cepat atau lambat dia pasti akan
datang. Terhadap persoalan semacam ini, mereka nyaris merasa
sudah kaku, mati rasa.
Ternyata Lu-sam kembali menunggu cukup lama.
Entah dikarenakan perasaan kasihannya terhadap
selembar nyawa manusia atau karena dia menaruh hormat
dan takut terhadap datangnya kematian.
Paras Lu-sam tampak jauh lebih serius ketimbang wajah
Che Siau-yan serta kedua orang lainnya.
Malahan dia masih saja mencuci sepasang tangannya
yang sebetulnya sudah sangat bersih dan memasang
sebatang hio di atas tungku terbuat dari emas murni.
Setelah itu dia baru berpaling ke arah nomor empat
belas. Kata Lu-sam, "Karena nomor empat gagal, sekarang
terpaksa kau harus melaksanakannya."
"Baik."
Nomor empat belas segera menerima perintah itu. Dia
selalu berusaha mengendalikan diri, selalu mengendalikan
diri dengan baik.
Namun setelah menerima perintah itu, tubuhnya,
wajahnya, sedikit banyak nampak berubah juga, berubah
karena gejolak emosinya.
Sesuatu perubahan yang tidak mudah diketahui dan
dirasakan orang lain.
Kemudian dia pun mulai bertindak.
Pada mulanya dia bergerak sangat lamban, hati-hati,
cermat, dan amat lambat.
Dia mulai memeriksa diri sendiri.
Pakaiannya, ikat pinggangnya, sepatunya, tangannya,
pedangnya. Dia cabut pedangnya, lalu dimasukkan kembali, dicabut
lagi dan dimasukkan kembali.
Hingga dia menganggap setiap benda yang menempel di
tubuhnya telah siap dan sempurna.
Hingga dia menganggap semuanya sudah memuaskan,
dia baru menerobos masuk ke dalam lorong gelap itu.
Gerak-geriknya tetap lincah dan cekatan, bahkan jauh
lebih terlatih daripada rekannya tadi.
Namun dia pun tak pernah kembali.
Kali ini Lu-sam menunggu jauh lebih lama, kemudian
baru mencuci tangannya di baskom emas dan menyulut
sebatang hio. Bahkan dia menghela napas tiada hentinya.
Berhadapan dengan nomor dua puluh empat, parasnya
berubah makin serius, kembali dia mengeluarkan perintah
singkat. Karena dia tahu, berbicara dengan manusia sebangsa dua
puluh empat, kelewat banyak bicara itu tak ada gunanya,
sebab yang lain akan dianggap sampah.
Dia hanya mengucapkan dua kata, "Kau pergilah!"
Dengan membungkam dua puluh empat menerima
perintah ini, sepatah kata pun tidak bicara.
Tentu saja dia tak akan seperti nomor empat. Begitu
menerima perintah, sikapnya seperti orang yang kebakaran
alis mata. Dia pun tidak seperti nomor empat belas, memeriksa
dulu semua persiapannya, memeriksa apakah semuanya
berjalan lancar, lalu memeriksa pula pedangnya, apakah
mulus sewaktu dicabut.
Sudah ada dua orang yang tak pernah balik lagi setelah
memasuki lorong gelap itu.
Kedua orang itu adalah pembunuh tangguh, jagoan lihai
yang pandai menggunakan pedang.
Kedua orang itu adalah rekannya, sudah lama sekali dia
hidup bersama mereka berdua.
Dia pun tahu mereka bukanlah manusia yang gampang
dihadapi. Tapi setelah menerima perintah itu, dia seperti baru saja
menerima undangan dari orang lain yang mengundangnya
makan, bahkan undangan makan dari seorang sahabatnya
yang paling akrab.
Suasana di balik lorong masih tampak gelap dan lembab.
Tak terdengar suara apa pun, tak terlihat gerakan apa
pun. Bagaikan seekor ular raksasa yang sedang mementang
mulut lebar-lebar, dengan tenang menelan dua orang
bahkan suara sewaktu menelan pun sama sekali tak
terdengar. Nomor dua puluh empat sudah siap berjalan masuk ke
dalam lorong. Sikapnya masih begitu tenang bukan saja parasnya tidak
berubah, dia pun sama sekali tidak melakukan persiapan
apa puin. Dia melangkah tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu
lambat, lagaknya tak berbeda seperti hendak bersantap di
rumah teman yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Pernah dia berpikir, korban yang kali ini bakal ditelan
lawannya tubuh berikut tulang kemungkinan besar adalah
dirinya" Sekarang dia telah berjalan sampai di mulut lorong, siapa
pun pasti mengira dia bakal langsung melangkah masuk ke
dalam. Siapa tahu secara tiba-tiba ia berhenti, perlahan
membalikkan badan, mendongakkan kepala dan menatap
Lu-sam. Pancaran matanya tiada luapan perasaan, juga tiada
perubahan apa pun, dia hanya berkata, "Aku belajar pedang
sejak berusia tujuh tahun, pada usia tiga belas tahun,
sebelum selesai belajar pedang, aku telah belajar membunuh
orang." Suaranya datar tanpa emosi, "Bahkan aku benar-benar
telah membunuh satu orang."
"Aku tahu," Lu-sam tersenyum, "Pada usia tiga belas
tahun, kau berhasil menusuk mati tukang jagal Liok yang
paling buas dan jahat di desamu di tengah jalan pasar yang
ramai." "Tapi sepanjang hidup tidak banyak manusia yang
kubunuh," kata nomor dua puluh empat, "Karena aku tak
pernah suka mencari gara-gara, aku pun tak pernah
mengikat tali permusuhan dengan orang lain."
"Aku tahu."
"Yang lebih penting lagi, sebetulnya aku tidak suka
membunuh."
"Aku tahu."
"Kau membunuh orang tak lebih karena harus hidup
terus." "Aku membunuh orang tak lebih karena harus makan,
setiap orang perlu makan, aku pun manusia," kata nomor
dua puluh empat, "Meskipun membunuh orang demi
sesuap nasi bukanlah suatu kejadian yang menyenangkan,
tapi ada sementara orang yang hidup lebih sengsara karena
demi sesuap nasi mereka harus melakukan pekerjaan yang
jauh lebih menyiksa."
Dengan hambar dia melanjutkan, "Oleh karena aku
membunuh orang demi sesuap nasi, maka setiap kali
melakukan pembunuhan harus ada imbal baliknya, belum
pernah terkecuali satu kali pun."
"Aku tahu."
"Biarpun kau menampung aku di saat identitasku
terbongkar dan dikejar musuh, namun kau pun tidak
terkecuali," kata nomor dua puluh empat lebih jauh, "Kau
seharusnya tahu juga berapa hargaku untuk membunuh
satu orang."
"Aku tahu," Lu-sam tersenyum, "Sudah kusiapkan sejak
tadi." Dia berjalan menghampirinya, lalu menyerahkan batang
emas yang dipegangnya selama ini ke tangan nomor dua
puluh empat. "Aku pun mengetahui peraturanmu, sebelum
membunuh, harus membayar separoh dulu," kata Lu-sam,
"Aku rasa sebatang emas ini sudah cukup, bukan?"
"Sudah cukup," sahut nomor dua puluh empat, "Emas
lantakan ini bukan saja kadarnya tinggi, bahannya juga
bagus, tak mungkin tidak laku dijual, tapi bila seseorang
sudah hampir mati, apa gunanya emas lantakan buat dia?"
Biarpun berkata begitu, dia tetap memasukkan emas itu
ke dalam sakunya. Mendadak ujarnya lagi, "Aku masih
ingin memohon satu hal lagi kepadamu."
"Minta apa?"
"Bila aku mati nanti, tolong jangan cuci tanganmu dan
memasang hio lagi, sebab kau telah membayar lunas."
Perkataan itu seperti belum selesai diucapkan, tapi dia
telah membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam
lorong gelap itu.
Bayangan punggungnya kelihatan lebih panjang dari
perawakan badannya, namun dengan cepat dia lenyap di
balik kegelapan.
Apakah dia pun pergi untuk tak kembali lagi"
Che Siau-yan mengawasi orang itu hingga bayangannya
sama sekali lenyap di balik kegelapan, kemudian ia baru
menghela napas.
"Orang ini benar-benar aneh."
"O, ya?"
"Kelihatannya dia sudah tahu kalau kepergiannya kali ini
pasti mati, bahkan dia pun tahu, bila seseorang telah mati,
emas lantakan berkwalitas tinggi pun tak ada gunanya,"
kata Siau-yan, "Tapi dia justru harus menerima dulu
pembayaran emas itu dari tanganmu, mengapa dia berbuat
begitu." "Karena demi prinsip hidupnya."
"Prinsip hidup?"
"Prinsip hidup adalah peraturan," kata Lu-sam,
"Walaupun dia tahu bakal mati, namun dia tetap harus
melaksanakan tugas ini. Kalau memang harus
melaksanakan, berarti dia harus menerima dulu
pembayaran emas murni itu, karena hal ini merupakan
peraturannya."
Di balik nada ucapannya, sama sekali tak terselip
sindiran atau nada cemoohan.
"Bagi seseorang yang memegang prinsip hidup,
peraturan itu tak boleh dilanggar, peduli dia hidup atau
mati, semuanya sama saja."
Perkataan itu diucapkan serius, bahkan terselip perasaan
hormat dan kagumnya.
"Menurutmu, orang semacam ini terhitung orang bodoh
ataukah orang pintar?" tanya Siau-yan kemudian.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, manusia semacam ini
makin lama semakin bertambah sedikit."
"Kau amat menyukai manusia semacam ini?"
"Benar."
"Mengapa kau tetap memintanya pergi mengantar
kematian?"
"Dari mana kau tahu kalau dia pergi untuk mati?" Lusam
balik bertanya, "Dari mana kau bisa tahu kalau yang
bakal mati pasti dia, bukan orang yang akan dibunuhnya?"
Dia menatap tajam wajah Siau-yan, kemudian lanjutnya,
"Jangan-jangan kau tahu siapa yang aku minta dia untuk
dibunuh?" Che Siau-yan tidak bicara lagi.
Beberapa saat kemudian ia terbungkam, dia murung dan
gelap segelap lorong rahasia itu.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lorong rahasia itu masih tak terdengar sedikit suara pun,
tidak terlihat pula sesuatu gerakan.
Nomor dua puluh empat tak pernah kembali, sampai
lama sekali dia tetap belum kembali.
Tiba-tiba Lu-sam berkata, "Tampaknya kita harus pergi
makan?" "Makan?" Siau-yan seperti terperanjat, "Kau hendak
makan?" "Makan bukanlah sesuatu yang aneh, setiap orang butuh
makan," kata Lu-sam, "Kalau sudah waktunya makan, kita
harus makan, bagaimana pun perkembangan dari suatu
persoalan, kita harus makan dulu sebelum membahasnya
kembali." "Apakah hal ini merupakan prinsipmu?"
"Benar."
Ooo)d*w(ooO Arak berada dalam sebuah poci yang terbuat dari emas,
cawan pun terbuat dari emas murni.
Ketika arak anggur dari Persia dituang ke dalam cawan
terbuat dari emas, meski tidak dapat membiaskan cahaya
terang namun terendus bau harumnya yang semerbak.
Bahkan mendatangkan suatu keindahan yang luar biasa.
Siapa bilang kaya-raya bukan suatu keindahan yang luar
biasa" Hidangan pun diletakkan dalam piring yang terbuat dari
emas murni. Peralatan makan yang serba emas, dikombinasikan
dengan hidangan yang lezat. Bukan hanya indah dan lezat
saja, pada hakikatnya merupakan sebuah kombinasi yang
sempurna. Cara dan gaya Lu-sam ketika bersantap pun mendekati
sempurna. Bisa bersantap malam dengan seorang semacam ini,
seharusnya merupakan satu kejadian yang
menggembirakan.
Namun Che Siau-yan sedikit pun tak punya selera untuk
bersantap. Dia bukan merasa kuatir karena keselamatan si nomor
dua puluh empat. Juga bukan sedang menguatirkan orang
yang akan dibunuh nomor dua puluh empat.
Dia hanya merasa di saat orang lain pergi membunuh
seseorang, sementara kau masih bisa menikmati hidangan
lezat dan arak wangi, kejadian seperti ini benar-benar tak
masuk akal, suatu tindakan yang kelewatan.
Lorong yang gelap masih hening dan sepi.
Akhirnya Lu-sam menyelesaikan hidangan malamnya,
kemudian mencuci tangan dalam sebuah baskom emas.
Air dalam baskom emas itu bukan air biasa, melainkan
air teh. "Hari ini menu kita adalah udang dan kepiting" Lu-sam
menjelaskan, "Untuk menikmatinya, kita harus mengelupas
udang dan kepiting dengan tangan sendiri, dengan begitu
kita baru betul-betul bisa menikmati lezat dan nikmatnya
udang dan kepiting. Karena itu hanya mencuci tangan
dengan air teh, bau amis di tangan kita baru bisa hilang."
"Bagaimana dengan membunuh orang?" tiba-tiba Siauyan
bertanya. "Membunuh orang?" tampaknya Lu-sam masih belum
paham betul maksud perkataan itu.
"Apakah membunuh orang pun seperti menikmati udang
dan kepiting" Harus turun tangan sendiri baru bisa
menikmati kenyamanan dan kenikmatannya?" tanya Siauyan.
Sebuah pertanyaan yang telak, namun jawaban Lu-sam
pun tak kalah hebatnya.
"Kalau soal itu tergantung."
"Tergantung apa?"
"Tergantung siapa yang akan kau bunuh. Ada kalanya
kau cukup menyuruh orang lain pergi membunuhnya, tapi
ada sementara orang kau harus turun tangan sendiri baru
merasakan kenikmatannya."
"Selesai membunuh?" tanya Siau-yan lagi, "Kalau kau
telah membunuh sendiri, selesai membunuh harus mencuci
tanganmu dengan apa agar bau anyir darah bisa hilang?"
Tak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan itu, tak
ada juga yang bersedia menjawab. Lu-sam dengan
menggunakan selembar saputangan putih mengeringkan
tangannya, perlahan-lahan ia bangkit kemudian berjalan
pula memasuki lorong gelap itu.
Dia sama sekali tidak mengajak Che Siau-yan.
Sebab dia tahu, Siau-yan pasti akan mengintil di
belakangnya. Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam lorong itu"
Pintu masuk lorong terbuat dari kayu berbentuk timbangan.
Makin ke dasar semakin mengecil, ketika sampai di pintu
masuk, luas gua tinggal dua kaki.
Siau-yan yang berperawakan tubuh kecil pun perlu
memiringkan tubuh untuk memasukinya.
Oleh karena itulah meski di luar cahaya lentera amat
terang benderang, namun cahaya yang terang tak dapat
menembus hingga ke dasar lorong.
Begitu masuk ke dalam, segala sesuatunya tak terlihat
lagi, bahkan melihat kelima jari tangan sendiri pun susah.
Mengapa Lu-sam harus membangun lorong itu begitu
rahasia" Bayangan tubuh Lu-sam telah lenyap di balik kegelapan.
Baru saja Siau-yan maju sambil meraba kiri kanan,
terdengar Lu-sam berseru, "Lebih baik kau jangan berjalan
lurus ke depan."
"Kenapa?"
"Karena lorong ini tidak lurus. Dalam lorong terdapat
tiga puluh tiga buah tikungan, bila kau berjalan lurus ke
depan, pasti akan membentur dinding hidungmu bisa
ringsek." Setelah berhenti sejenak, terusnya hambar, "Aku tahu,
mungkin saja kau tak percaya, dilihat dari depan, lorong ini
memang kelihatannya lurus hingga ke dasar, bila tak
percaya, silakan saja dicoba sendiri."
Che Siau-yan tidak mencobanya, sebab dia tahu dalam
kegelapan orang mudah melakukan kesalahan, mudah
membuat dugaan yang keliru.
Orang bisa menganggap lurus itu belok, belok itu lurus.
Bisa membuat orang sukar untuk membedakan antara
lurus dan belok, bisa membuat hidung orang jadi ringsek.
Biarpun dia masih muda, tapi gadis ini pun tahu, banyak
kejadian di dunia ini yang tak berbeda dengan ruang yang
gelap. Gampang membuat kau menduga salah, membuat kau
sukar untuk membedakan mana yang lurus, mana yang
belok, mana benar mana salah.
Ooo)d*w(ooO BAB 43. HARTA KARUN
Misalkan saja, jalan pikiran seorang Kuncu gadungan,
benar salahnya selalu sudah diduga.
Tapi gadis ini tak punya ingatan seperti itu, dia tak ingin
melakukan perbuatan seperti itu.
Dia tak ingin membuat hidungnya ringsek, dia pun tak
ingin membuat hidung orang jadi ringsek.
Oleh karena itu dia melakukan sebuah pilihan yang
pintar. Dia mengambil korek api dan membuat obor.
Begitu cahaya menyinari lorong, segera terlihatlah
cahaya emas yang menyilaukan mata.
Ternyata kedua belah dinding lorong itu terbuat dari batu
bata emas yang besar ukurannya.
Tak jauh di depan sana terlihat sebuah belokan.
Lu-sam sedang berdiri di sana, menggunakan semacam
sikap yang aneh sedang mengawasinya.
"Tak kusangka ternyata kau membawa korek api."
"Tentu saja kau tak akan menyangka," sahut Siau-yan
sambil tersenyum, "Walaupun kau telah mengirim orang
untuk menggeledah seluruh barang milikku, sayang orangorangmu
sama sekali tak menyangka kalau sebuah korek
api telah kusembunyikan di dalam tusuk kondeku."
Sebuah tusuk konde yang indah dengan sebuah tabung
lembut tempat untuk menyembunyikan korek api.
Dalam keadaan seperti ini, nilai dari korek api itu
mungkin jauh melebihi nilai tusuk konde itu sendiri.
Lu-sam segera menghela napas panjang.
"Apakah di sakumu masih tersimpan benda-benda lain"
Sejumlah barang aneh yang tak terduga oleh siapa pun?"
"Jika kau ingin tahu, lebih baik geledahlah tubuhku
sekali lagi."
Sambil menatap tajam wajah Lu-sam, dia angkat kedua
tangannya tinggi-tinggi.
Pakaian yang dia kenakan tidak terlalu banyak, padahal
bentuk tubuhnya makin lama sudah makin matang.
Sorot mata yang terpancar dari matanya tidak jelas
mengandung godaan" Ataukah sebuah tantangan"
"Bagaimana pun juga aku dapat memberikan jaminan,"
kata Siau-yan, "Barang paling aneh yang berada dalam
tubuhku saat ini bukanlah sebatang korek api."
Lu-sam tertawa, tertawanya lebih cenderung tertawa
getir. "Aku percaya," kata Lu-sam, "Aku percaya seratus
persen." Tikungan di dalam lorong itu banyak sekali, Lu-sam
kembali melanjutkan perjalanan ke depan, sementara Siauyan
mengikut di belakangnya. Pantulan sinar keemasan
membias dari kedua belah dinding lorong.
Tak bisa disangkal, lorong ini merupakan sebuah lorong
yang termahal di kolong langit saat itu.
Tapi si nona tidak bertanya apa-apa kepada Lu-sam. Dia
tidak bertanya mengapa membangun lorong itu"
Dia tahu di balik lorong itu pasti tersimpan sebuah
rahasia besar yang tak boleh diketahui siapa pun.
Bila Lu-sam tidak mengatakannya sendiri, jangan harap
orang lain bisa mengetahuinya.
Karena itu dia tidak bertanya apa pun, tapi secara tibatiba
ia merasakan tubuhnya sangat tidak leluasa, bahkan
makin lama terasa semakin tak nyaman.
Dia tak habis mengerti darimana datangnya perasaan tak
nyaman itu"
Biarpun lorong itu gelap gulita, namun obor yang berada
di tangannya tidak padam, selama berjalan dalam lorong itu
pun dia merasa napasnya lancar sekali.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa di suatu tempat yang
rahasia dalam lorong bawah tanah itu, pasti terdapat
beberapa tempat untuk pergantian udara yang dikendalikan
oleh semacam cara yang luar biasa.
Itulah sebabnya udara dapat selalu berputar dan berganti,
ruangan tetap kering, dingin bahkan sangat bersih.
Begitu bersihnya seperti sebuah baju yang sudah tiga hari
direndam dalam air sabun dan dicuci sampai enam-tujuh
belas kali. Mendadak Che Siau-yan menemukan kalau perasaan tak
nyaman itu ternyata berasal dari hal itu.
Bersih sebetulnya merupakan satu kebaikan, sebuah
kejadian yang membuat hati orang senang.
Sebetulnya keadaan seperti itu tak akan mendatangkan
ketidak nyamanan, tapi tempat itu benar-benar kelewat
bersih. Pada hakikatnya begitu bersih hingga membuat orang tak
tahan. Apa yang sebenarnya terjadi"
Che Siau-yan tetap tak habis mengerti.
Tiba-tiba Lu-sam bertanya kepadanya, "Apakah kau
merasa sedikit aneh" Apakah merasa sedikit kurang
nyaman?" "Benar."
"Tahukah kau mengapa bisa merasakan begitu?" tanya
Lu-sam lagi. "Tidak tahu," Siau-yan mengakui terus terang, "Aku
betul-betul tak habis mengerti."
Dia sangka Lu-sam pasti akan menjelaskan masalah itu.
Tak disangka ternyata Lu-sam mengajukan satu
pertanyaan lagi, pertanyaan yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan pertanyaan yang pertama.
"Tahukah kau di antara seluruh benda yang ada di
kolong langit, benda apakah yang paling bersih?"
Kali ini Lu-sam menjawab sendiri pertanyaan itu,
"Benda itu tak lain adalah emas. Di antara sekian banyak
benda di dunia ini, tak satu benda pun yang bisa
mengungguli kebersihan emas."
Lorong rahasia itu dibangun dengan emas murni.
Mau tak mau Che Siau-yan harus mengakui, tempat itu
memang luar biasa bersihnya.
Tapi Lu-sam segera mengajukan lagi pertanyaan lain
yang jauh lebih luar biasa.
"Di kolong langit pun terdapat banyak jenis manusia,
tahukah kau manusia jenis mana yang paling bersih?"
Lagi-lagi dia menjawab sendiri, "Orang mati. Manusia
terbersih di kolong langit adalah orang mati."
Kembali Che Siau-yan mau tak mau harus mengakui.
Semua orang mati selalu dimandikan dulu hingga bersih
sebelum dimasukkan ke dalam peti mati.
Walaupun dia adalah manusia terkotor sekalipun.
Dalam hal ini lagi-lagi Siau-yan harus mengakuinya. Dia
pun segera menjadi paham atas persoalan yang tadi tidak
dia pahami. "Kau merasa tempat ini aneh dan tidak nyaman, ini
disebabkan tempat ini kelewat bersih," kemudian Lu-sam
menjelaskan lebih jauh, "Karena tempat ini biasanya hanya
ada emas murni dan orang mati."
Emas memang merupakan benda langka yang sangat
jarang dan sedikit jumlahnya di dunia ini.
Sebuah benda yang sangat bersih, bahkan sebagian besar
orang menganggap benda ini adalah jenis yang paling
menyenangkan. Orang mati pun manusia, betapa pun menakutkannya
dia, setelah mati, tak mungkin dia bisa mencelakai orang


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Sebuah lorong yang dibangun dengan emas murni.
Sejumlah orang mati yang tak mungkin bisa mencelakai
orang lain. Sesungguhnya tak ada bagian yang membuat orang
merasa ketakutan.
Tapi secara tiba-tiba Siau-yan merasakan kengerian yang
luar biasa terhadap tempat itu, lewat lama kemudian dia
baru bertanya, "Apakah tempat ini sebuah kuburan?"
"Kuburan?" Lu-sam tertawa tergelak, "Dari mana kau
bisa membayangkan tempat ini sebuah kuburan" Dari mana
kau bisa berpikir aku membangun kuburan buat orang lain
dengan emas murni?"
Jarang sekali dia tertawa tergelak seperti ini.
Suruh dia membangun kuburan bagi orang lain dengan
menggunakan emas miliknya, jelas kejadian seperti ini
merupakan suatu peristiwa yang sangat menggelikan.
Peduli siapa pun orangnya, membangun kuburan bagi
orang lain dengan menggunakan emas murni jelas
merupakan satu kejadian yang tak masuk akal, suatu
kejadian yang tak mungkin terjadi.
Anehnya, kalau tempat ini bukan kuburan, mengapa
sering ada orang mati di situ"
Lagi-lagi Che Siau-yan tidak habis mengerti.
"Sebenarnya tempat apakah ini?" tanyanya kemudian.
"Sebuah gudang harta!"
Jawaban Lu-sam seketika membuat Siau-yan
terperangah. "Kau mengatakan tempat ini adalah gudang harta?" tegas
nona itu, "Gudang harta untuk menyimpan semua harta
kekayaanmu?"
"Benar," dengan ujung jarinya Lu-sam membelai bata
emas yang menempel di atas dinding lorong.
Belaiannya seperti seorang ibu membelai putra
tunggalnya. Dari mimik mukanya bahkan tampil perasaan puas luar
biasa, perasaan puas karena napsu yang terpenuhi.
"Aku berani jamin, emas murni yang kusimpan di tempat
ini paling tidak tiga kali lipat lebih banyak daripada jumlah
emas di mana pun di dunia ini," kata Lu-sam, "Andaikata
kujual seluruh emasku dalam waktu yang bersamaan, maka
harga emas di setiap negeri yang ada di dunia ini pasti akan
hancur dan turun drastis."
"Aku percaya!" tak tahan Che Siau-yan ikut membelai
bata emas pada dinding lorong itu, "Sepanjang hidupku
belum pernah kusaksikan emas murni dalam jumlah
sebanyak ini."
"Bukan hanya kau seorang yang belum pernah lihat,
orang yang benar-benar pernah melihat emas ini pun
mungkin tak ada beberapa orang."
"Karena orang yang lewat di sini seringkali sudah
menjadi orang mati?"
"Benar, kecuali berada dalam situasi khusus, biasanya
hanya orang mati yang bisa memasuki tempat ini."
"Kau gunakan orang mati untuk menjaga emasmu itu?"
tanya Siau-yan keheranan.
Kembali Lu-sam tertawa, pertanyaan ini memang sangat
lucu dan menggelikan.
"Sejak zaman kuno hingga sekarang, memang hanya
sejenis manusia yang bisa disuruh menjaga emas murni."
"Jenis yang mana?"
"Orang mati! Hanya orang mati yang akan menjagakan
emas murni milik orang mati, karena dia sudah mati; emas
murni itu apakah akan dirampok orang atau tidak, baginya
sudah tak penting lagi."
Jawabannya ini sama sekali tidak menggelikan.
Karena contoh semacam ini, bukan saja dulu pernah
ada, di kemudian hari pun pasti akan muncul lagi.
Dari dulu hingga sekarang, setelah seorang kaisar atau
bangsawan meninggal, biasanya mereka akan dikubur
bersama emasnya.
Kemudian dia akan mengubur juga anak buahnya yang
paling pemberani dan setia untuk menemaninya, untuk
menjaga emas dan arwahnya.
Tentu saja dia sendiri tak akan tahu kalau perbuatannya
itu sesungguhnya sangat bodoh. Karena dia sudah mati.
"Tapi aku belum mati, paling tidak hingga sekarang
belum mati," ujar Lu-sam, "Oleh sebab itu, aku tak akan
melakukan perbuatan seperti itu."
Che Siau-yan ikut tertawa. Tapi tak tahan ia bertanya
lagi, "Kalau memang tempat ini adalah gudang hartamu,
mengapa dalam gudang hartamu seringkali ada orang
mati?" Pertanyaan semacam ini jelas bukan sebuah pertanyaan
yang menggelikan.
Kebanyakan orang dapat mengajukan pertanyaan seperti
ini. Tapi jawaban yang kemudian diberikan Lu-sam sukar
dimengerti oleh sebagian besar orang.
"Karena tempat ini adalah gudang harta," kata Lu-sam,
"Karena itu, di sini baru ada orang mati."
"Kenapa?"
"Karena ada orang mati yang nilainya jauh lebih
berharga daripada emas murni," ujar Lu-sam, "Aku
mempunyai jenis orang mati seperti itu di sini."
Setelah orang mati, mungkinkah masih ada nilainya"
Kalau ada nilainya, lalu untuk apa"
Tampaknya Lu-sam sendiri pun tahu kalau jawabannya
sukar dipahami oleh orang lain.
Tapi tidak menunggu sampai Che Siau-yan bertanya lagi,
tiba-tiba dia sudah mengalihkan pembicaraan ke soal lain.
"Di wilayah sebelah barat terdapat sebuah negeri yang
memiliki sejarah sangat kuno, dalam negeri itu hidup
ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pengetahuan dan
kecerdasan yang luar biasa."
"Aku tahu, aku pun pernah mendengar soal itu. Negeri
itu seperti negeri kita, di sana pun berlaku hukum dan
agama." "Benar," Lu-sam membenarkan, "Dalam agama yang
mereka percaya pun terdapat seorang Tianglo yang
memiliki kedudukan sangat tinggi dan terhormat. Seperti
para Tianglo pelindung hukum dari biara Siau-lim. Aku
mengetahui salah satu di antaranya, dia disebut Tek-tianglo,
seseorang yang memiliki kecerdasan melebihi siapa pun
serta dihormati setiap penduduk negeri, seperti Sim-bi
Taysu, Taysu pelindung hukum dari biara Siau-lim di masa
silam." Tentu saja Che Siau-yan pernah mendengar tentang Simbi
Taysu serta segala sepak-terjangnya.
Terdengar Lu-sam berkata lagi, "Konon suhunya mati
diracun orang, karena itu selain memperdalam agama
Buddha dan ilmu silat, dia pun melakukan penyelidikan
dan percobaan yang mendalam tentang racun dan obatobatan,
bahkan tak segan menggunakan badan sendiri
sebagai kelinci percobaan untuk menjajal pelbagai racun.
Bahkan ada orang berkata, di masa tuanya dia justru
berhasil melatih tubuh yang kebal, bukan saja kebal senjata,
bahkan kebal terhadap segala macam serangan racun."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Keadaan Tek-tianglo
tidak jauh berbeda dengan Sim-bi Taysu, oleh karena itu
aku baru mengungkit tentang orang ini."
"Kenapa?"
"Sebab dia pernah mengisahkan sebuah cerita yang
sangat menarik."
Tidak menunggu Che Siau-yan bertanya lagi, bertanya
apa sangkut-pautnya kisah menarik itu dengan persoalan
ini, dia telah membeberkan ceritanya lebih dahulu.
Ujar Lu-sam, "Tek-tianglo memiliki sebuah kebun buah
yang sangat indah, di dalam kebun itu ditanami berbagai
bunga, buah, dan sayuran, dia pernah melakukan sebuah
percobaan yang menarik di dalam kebun buahnya."
"Di dalam kebun buahnya, dia memilih sejenis sayuran
yang paling sederhana, misalnya sayur kol, kemudian dia
menggunakan air uap dari sejenis racun yang amat jahat
untuk menyinari sayur kol itu, sehari disiram tiga kali, daun
kol pun lambat-laun berubah jadi menguning sebelum
akhirnya layu. "Kemudian dia menggunakan sayur kol itu untuk
memberi makan seekor kelinci, tiga jam kemudian kelinci
itu mati. "Dia pun memerintahkan tukang kebunnya untuk
mengeluarkan isi perut kelinci yang mati itu dan diberikan
pada seekor ayam betina, keesokan harinya ayam betina itu
pun mati. "Di saat ayam betina itu menghadapi maut, kebetulan
terbang lewat seekor burung elang, tempat tinggal Tektianglo
memang banyak berkeliaran burung elang liar.
"Sang elang pun menyambar ayam betina itu dan dibawa
ke atas batu karang, ketika selesai menyantap bangkai ayam
tadi, si burung elang merasa tak enak badan, tiga hari
kemudian ketika sedang terbang di angkasa, tiba-tiba
tubuhnya rontok ke tanah.
"Tek-tianglo pun memerintahkan tukang kebun mencari
burung elang itu dan membuang bangkainya dalam kolam
ikan, kolam itu berisi ikan lele, ikan sepat, dan ikan Lehi,
semuanya rakus sekali, tentu saja bangkai elang itu pun
disantap kawanan ikan itu hingga habis."
"Jika keesokan harinya ada seekor ikan Lehi yang
dimasak dan dihidangkan ke meja tamu agung, maka pada
hari kedelapan atau hari kesepuluh, tamu itu bakal mati
dengan usus membusuk. Tabib yang paling berpengalaman
pun tak nanti bisa menemukan penyebab kematiannya,
terlebih tak akan menyangka kalau dia mati karena diracuni
musuh besarnya."
"Rahasia ini mungkin selamanya tak pernah akan
diketahui orang, kecuali...."
Berbicara sampai di sini, mendadak Lu-sam tutup mulut
dan tidak melanjutkan lagi.
Melihat Lu-sam tidak melanjutkan ceritanya, tak tak
tahan Che Siau-yan segera berteriak, "Kecuali kenapa?"
"Kecuali orang mati itu dikirim kemari," sahut Lu-sam
sambil tersenyum.
"Memangnya kau bisa menemukan sebab kematiannya?"
"Bila aku dapat segera membedah tubuhnya,
menemukan sisa ikan yang tertinggal dalam lambung dan
ususnya, bukan saja aku dapat menemukan penyebab
kematiannya, bahkan bisa menemukan pula siapa yang
telah meracuni dia hingga mati."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Dengan begitu,
bukankah nilai orang mati itu jauh melebihi emas murni?"
Tampaknya Che Siau-yan masih belum begitu paham,
tak tahan tanyanya lagi, "Kenapa bisa begitu?"
"Karena bukan saja aku dapat menemukan sebuah
rahasia yang sesungguhnya tak mungkin diketahui orang
lain, bahkan karena itu aku jadi tahu cara paling hebat
untuk meracuni orang tanpa disadari oleh siapa pun."
"Ketika rahasia meracuni orang itu berhasil kau
temukan, sang pembunuh mau tak mau harus menuruti
perkataanmu," ujar Siau-yan.
"Betul sekali," suara tawa Lu-sam terdengar sangat
gembira, "Pada akhirnya memang itulah hasil yang dapat
kudapatkan."
Kemudian lanjutnya lagi, "Di dunia ini banyak sekali
orang mati dalam keadaan begini, ada yang terkena racun
rahasia, ada yang terkena senjata rahasia, ada pula yang
dilukai orang dengan suatu ilmu rahasia, asalkan mayat
mereka dikirim kemari, aku segera dapat menemukan
rahasia kematian mereka."
Setelah tertawa lebar, kembali ujarnya, "Bagi diriku,
setiap rahasia cepat atau lambat pasti ada gunanya, bahkan
terkadang jauh lebih berguna daripada emas murni."
Che Siau-yan yang mendengar perkataan itu jadi
melengak, tertegun. Tanpa terasa keringat dingin
membasahi tangan dan kakinya.
Ketika mengisahkan cerita itu, cara berbicara Lu-sam
tampak begitu halus dan terpelajar, seakan-akan seorang
penyair tersohor sedang membacakan hasil karyanya yang
paling cemerlang, menyampaikan hasil keringatnya yang
mungkin akan tersimpan hingga akhir zaman.
Tapi dalam pandangan Che Siau-yan, di dunia ini
mungkin tak ada orang kedua yang jauh lebih menakutkan
daripada dirinya.
Lu-sam menatapnya, senyum kelembutan terpancar dari
tatapan matanya, dengan lembut dia tertawa.
"Bersediakah kau pergi menyaksikan harta karunku?"
Tiba-tiba Che Siau-yan ikut tertawa. Sorot mata tajam
mencorong dari matanya, tiba-tiba ia berubah seperti seekor
macan betina. Sorot mata itu terpancar terang, terpancar ketika
menerima tantangan itu.
"Tentu saja aku bersedia!" sahut Che Siau-yan, "Kau
sangka aku tak berani ke sana?"
Bagaimana pun panjangnya sebuah jalan, banyaknya
tikungan sebuah jalan, pada akhirnya pasti akan tiba juga di
ujungnya. Akhirnya mereka telah tiba di ujung lorong itu, di ujung
sana terdapat sebuah pintu.
Sebuah pintu tanpa gelang pintu, tanpa kunci.
Tapi begitu mereka tiba di sana, pintu itu pun segera
terbuka secara otomatis.
Lagi-lagi Che Siau-yan tertegun.
Apa yang kemudian terlihat olehnya ternyata merupakan
sebuah pemandangan aneh yang mimpi pun tak pernah dia
bayangkan. Di belakang pintu merupakan sebuah ruang gua yang
sangat lebar, sepintas tampaknya lebar ruangan itu
mencapai tujuh-delapan tombak dengan panjang tujuhdelapan
puluh tombak pula, tinggi tujuh-delapan kaki, tapi
tak seorang pun bisa tahu secara pasti berapa lebar, panjang
dan tinggi yang sesungguhnya.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keempat dinding ruangan itu dipenuhi dengan
tumpukan bata emas berukuran raksasa.
Sementara dalam ruangan dipenuhi pula dengan peti
mati terbuat dari emas murni.
Siapa pun tak akan menyangka akan melihat begitu
banyak peti mati, bahkan semua peti mati terbuat dari emas
murni. Apakah di dalam setiap peti mati itu terdapat sesosok
jenazah" Sebuah rahasia besar!
Dari lentera minyak yang terbuat dari emas, berkilat
lidah api berwarna kuning.
Begitu pintu terbuka, Che Siau-yan pun memasuki
sebuah dunia gemerlapan yang begitu indah, berkilauan tapi
teresapi perasaan aneh dan misterius yang tak terlukiskan
dengan kata. Sebab tempat itu merupakan dunia emas yang mimpi
pun tak terpikirkan oleh manusia di dunia ini.
Apa mau dikata, dunia ini justru dunianya orang mati
juga. Peti mati yang memuakkan, menyatu dengan emas
murni yang menggiurkan.
Bila kau menyaksikan sebuah peti mati berisi jenazah
yang terbuat dari emas murni, bagaimana perasaanmu saat
itu" Che Siau-yan seolah sama sekali tidak merasakan apaapa,
dia merasa dirinya seolah jadi kaku, mati rasa.
Sebaliknya paras Lu-sam justru makin bersinar.
Dia merentangkan sepasang lengannya, menarik napas
dalam-dalam, seolah di dunia ini hanya suasana di tempat
inilah yang paling dia sukai dan tempat itulah merupakan
tempat idamannya.
Dengan cepat dia membawa Che Siau-yan menuju ke
deretan peti mati paling depan.
Di sebelah kanan berjajar tiga buah peti mati, semuanya
terbuat dari emas murni, peti mati itu belum ditutup.
Ketiga orang yang tadi dikirim kemari untuk membunuh
seseorang, kini sudah berbaring kaku dalam peti mati.
Kematian mereka bertiga tampak begitu tenang,
wajahnya tak nampak ngeri atau kaget, di tubuh mereka
pun tiada mulut luka yang bercucuran darah.
Bahkan pakaian yang mereka kenakan masih tetap rapi
dan bersih, serapi sebelum memasuki lorong rahasia itu,
sewaktu mati mereka pun tidak menunjukkan penderitaan
dan siksaan. Tapi mereka bertiga benar-benar telah mati.
Ooo)d*w(ooO BAB 44. MELIHAT ORANG MATI
Apa yang menyebabkan kematian mereka" Siapa yang
telah membunuh mereka" Mana pembunuhnya"
Lu-sam berdiri di sisi ketiga buah peti mati itu,
memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya mengawasi
ketiga sosok mayat yang membujur kaku dalam peti mati
itu. Jarang sekali parasnya memperlihatkan perubahan
perasaan. Bagi seorang tokoh yang pandai mengendalikan diri,
perubahan perasaan memang tidak sepantasnya
ditampilkan di wajah.
Tapi sekarang di wajahnya justru terlihat perubahan,
perubahan emosi yang dapat dilihat setiap orang.
Anehnya, perubahan yang tampil di wajahnya bukan
kesedihan, bukan kepedihan hati.
Juga bukan kaget, tercengang atau gusar.
Sebaliknya dia justru tampak sangat gembira.
Lewat lama kemudian baru menghela napas panjang,
gumamnya, "Kalian semua adalah orang-orang yang belajar
pedang, bisa mati di ujung pedang manusia semacam ini,
seharusnya bisa mati tanpa menyesal."
Mungkin dia sendiri pun tahu mimik wajahnya tidak
serasi dengan nada ucapannya, oleh sebab itu dia pun
mengalihkan kembali pokok pembicaraan ke soal lain,
ujarnya tiba-tiba kepada Siau-yan, "Dapatkah kau temukan
di mana mulut luka mereka yang mematikan?"
Tentu saja Che Siau-yan dapat melihatnya. Mulut luka
ketiga orang itu pasti terletak di bagian tubuhnya yang
mematikan. Mati karena luka pedang.
Setelah melancarkan tusukan yang mematikan, sang
pembunuh sama sekali tidak menambahi tenaganya barang
sekecil apa pun, itulah sebabnya mulut luka mereka tidak
terlalu lebar, darah yang mengalir keluar pun tidak terlalu
banyak. Tak bisa diragukan lagi, ilmu pedang yang dimiliki sang
pembunuh betul-betul hebat. Tusukan pedangnya bukan
saja sangat mematikan, penggunaan tenaganya pun sangat
tepat, sama sekali tiada sedikit pun tenaga yang diboroskan.
Tak diragukan Che Siau-yan pun sudah tahu siapakah
orang itu. Tapi sebelum Lu-sam mengatakan, dia pun tidak
mengatakannya keluar.
Tiba-tiba Lu-sam mengajaknya menuju ketiga buah peti
mati pada deretan belakang.
Dalam peti mati itu pun berbaring tiga sosok mayat.
Seorang pemuda, seorang dewasa, dan seorang yang
berusia pertengahan.
Bukan saja dandanan mereka hampir sama dengan
ketiga orang itu, bahkan di tubuh mereka pun tak terlihat
mulut luka dengan darah yang berlepotan.
Orang-orang itu mati tanpa menderita, tiada rasa sakit
yang ditampilkan pada wajah ketiga mayat itu.
Jelas sebuah tusukan pedang segera mengakhiri hidup
mereka. Satu-satunya perbedaan adalah ketiga orang itu sudah
mati cukup lama, paling tidak sudah dua hari lamanya.
Che Siau-yan belum pernah bertemu dengan ketiga orang
itu, dia pun tak ingin bertanya siapakah mereka.
Tapi Lu-sam segera memberitahukan kepadanya,
"Mereka pun anak buahku, semasa masih hidup mereka
menggunakan nomor sebagai pengganti nama, nomor tiga,
tiga belas dan dua puluh tiga. Sesungguhnya mereka pun
terhitung jago pedang kelas satu. Itulah sebabnya kukirim
mereka bertiga untuk membunuh Siau-hong."
"Jadi mereka tewas di ujung pedang Siau-hong?"
"Benar."
"Ketika kukirim mereka untuk membunuh Siau-hong,
keadaannya seperti ketika kuutus ketiga orang itu datang
kemari, sudah tahu kalau mereka pasti akan mati."
Perkataan itu diucapkan amat santai, sama sekali tiada
perasaan menyesal barang sedikit pun.
Tak tahan Che Siau-yan bertanya, "Bukankah mereka
adalah anak buahmu yang sangat setia, kalau sudah tahu
mereka bakal mati, mengapa masih tetap meminta mereka
mengantar kematiannya?"
Kembali Lu-sam tertawa hambar.
"Bagaimana pun juga, cepat atau lambat mereka toh
bakal mati demi aku, kenapa pula aku harus bersedih untuk
kematian mereka?"
"Tapi tidak seharusnya tanpa sebab-musabab yang jelas
kau biarkan keenam orang anak buah andalanmu
mengantar kematiannya."
Kedua orang itu saling bertatap mata untuk beberapa
saat, sorot mata mereka sama-sama memancarkan saling
pengertian yang mendalam.
Kembali Lu-sam berganti topik pembicaraan, katanya,
"Dapatkah kau temukan di mana letak mulut luka mereka
bertiga yang mematikan?"
Mulut luka ketiga orang itu pasti berada di bagian
tubuhnya yang mematikan dengan mulut luka sangat kecil,
tidak banyak darah yang mengalir.
"Aku tahu, kau pasti dapat menemukannya, tapi aku
tetap berharap kau bersedia melihatnya beberapa kejap,
coba pandang lebih teliti."
Kemudian tambahnya lagi, "Lebih baik kau perhatikan
mulut luka yang mematikan di tubuh ketiga orang ini, lalu
perhatikan lagi mulut luka di tubuh ketiga mayat yang di
sana, coba perhatikan dengan lebih seksama."
Bagaimana pun juga Che Siau-yan adalah seorang gadis,
sedikit banyak ia merasa muak bercampur ngeri untuk
memperhatikan orang mati. Kendati dalam hati kecilnya
dia tahu, ucapan Lu-sam itu pasti mengandung maksud
yang dalam. Sambil menggeleng katanya, "Aku tak mau melihat, toh
mereka sudah mati, apa bagusnya diperhatikan?"
Lu-sam kembali menghela napas.
"Ai, orang mati di tempat lain tentu saja tidak bagus
dilihat, tapi orang mati di sini sangat menarik, tahukah kau,
ada berapa banyak orang yang ingin datang kemari untuk
melihatnya" Bila kau menampik untuk melihat, satu
kesempatan emas kau lewatkan begitu saja."
Biarpun perkataan itu sedikit tak masuk akal, namun Lusam
mengucapkan dengan bersungguh hati.
Namun Che Siau-yan kembali menggeleng. "Aku tak
percaya," katanya.
"Coba tanyalah pada Tokko Ci, kau pasti akan percaya."
"Kenapa aku harus bertanya kepadanya!"
"Tokko Ci, seperti namanya, bukan saja selalu hidup
menyendiri, dia pun sangat tergila-gila pada pedang, oleh
sebab itu peduli apa hubunganmu dengannya, pernah
terikat hubungan apa dengan dirinya, jangan harap kau bisa
membujuknya melakukan satu pekerjaan kecil sekalipun
bagi dirimu."
"Aku pun pernah mendengar tentang tabiatnya, tapi
kenyataan dia telah melakukan beberapa pekerjaan besar."
"Tahukah kau apa yang menjadi tujuannya?" tanya Lusam
sambil tersenyum.
"Tidak."
"Tujuannya tak lain karena ingin melihat orang mati di
tempatku ini," ucap Lu-sam, "Sebetulnya dia telah pergi
meninggalkan aku, tapi sekarang dia telah balik kembali,
tujuannya pun karena ingin melihat orang mati di sini."
Biarpun dalam hati Che Siau-yan sudah percaya bahwa
apa yang dikatakan tak salah, namun tetap ujarnya, "Aku
tak percaya. Orang mati apa bagusnya" Kenapa dia harus
melihat orang-orang mati itu?"
Untuk kesekian kalinya Lu-sam menghela napas.
"Padahal dalam hati kecilmu kau sudah tahu dengan
jelas, buat apa mengatakan tak percaya?"
Lalu setelah tertawa getir, tambahnya, "Heran, mengapa
kaum wanita selalu suka bicara lain di mulut lain di hati?"
Tiba-tiba Siau-yan ikut tertawa.
"Karena wanita adalah wanita," sahutnya, "Bagaimana
pun pasti berbeda dengan kaum pria, apalagi tak sedikit
lelaki yang suka berbicara lain di mulut lain di hati."
Lu-sam tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, ucapanmu memang masuk
akal." Mendadak dia menarik tangan Siau-yan seraya
berseru, "Mari, kuajak kau menjumpai seseorang."
Orang itu berada dalam peti mati di bagian tengah
urutan ketiga, berwajah muram penuh cambang dan
bertubuh kekar.
Biarpun sudah mati lama, jenazahnya masih tetap utuh.
Dilihat dari tampang mayat itu, dapat disimpulkan
bahwa semasa hidupnya dulu, dia adalah seorang jagoan
yang luar biasa.
Di bawah jenazah itu dipenuhi dengan obat anti
pembusukan dan dupa wangi, sementara di sisi tangannya
tergeletak sebuah senjata gada gigi serigala yang amat besar.
Gada itu begitu besar dengan gigi yang tajam dan putih
seperti gigi serigala, jelas senjata itu merupakan senjata
andalannya semasa hidup dulu.
Hanya sekilas pandang Che Siau-yan dapat menduga
senjata itu paling tidak mempunyai bobot tujuh-delapan
puluh kati, bila lengannya tidak memiliki kekuatan dahsyat,
jangan harap senjata itu bisa digunakan dengan leluasa.
"Tahukah kau siapakah orang ini?" tanya Lu-sam.
Che Siau-yan menggeleng.
"Tentu saja kau tak bakal tahu, usiamu kelewat kecil,"
ujar Lu-sam sambil menghela napas, "Tapi pada sepuluh
tahun berselang, Thian-long si Serigala langit Long Hiong
dengan mengandalkan senjata gada gigi serigalanya telah
malang-melintang di kolong langit, orang persilatan mana
yang tak pernah mendengar namanya" Khususnya mereka
yang menggunakan pedang, asal mendengar namanya,
paras mereka pasti berubah hebat, bahkan kanak-kanak pun
jauh lebih takut mendengar namanya daripada mendengar
nama harimau."
"Mengapa kau mengatakan khusus orang yang
bersenjatakan pedang?" tanya Siau-yan.
"Karena kedua orangnya tewas di ujung pedang orang
lain, maka dia sengaja membuat senjata gada gigi serigala
yang luar biasa beratnya, bahkan berlatih serangkai jurus
serangan khusus, tujuannya tak lain adalah untuk
mematahkan jurus pedang dari berbagai perguruan.
"Karena ilmu pedang mengandalkan kelincahan dan
ringan, maka senjata semacam ini justru merupakan lawan
tandingnya."
Setelah menarik napas kembali Lu-sam berkata, "Dari
lima puluh orang jago pedang yang paling ternama waktu
itu, paling tidak ada sepuluh orang di antaranya yang tewas
terhajar gada gigi serigala itu, bahkan Cing Hong-cu, salah
satu dari empat jago pedang Bu-tong pun menemui ajalnya
di tangan orang ini."
"Aku tak percaya," seru Che Siau-yan, "Kalau dia
memang sangat lihai, kenapa bisa mati di tangan orang
lain?" Lu-sam tidak menjawab, dia membuka kembali sepuluh
buah peti mati yang berada di sisinya.
Terlihatlah sepuluh sosok mayat membujur kaku dalam
peti mati itu, meski semua mayat masih terjaga utuh,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun kematian mereka rata-rata sangat mengerikan.
Sebagian besar batok kepala mereka terhajar hingga
remuk. Ada pula dua mayat yang tulang iganya dihajar hingga
patah, oleh sebab itu mayat itu terlihat paling utuh dan
sempurna, namun justru malah kelihatan sangat
menakutkan. "Inilah kesepuluh orang jago pedang yang tewas di
tangannya," sambil menuding mayat seorang Tosu
berkopiah kuning, kata Lu-sam, "Dialah Cing Hong-cu,
salah satu dari Bu-tong-su-kiam yang memiliki serangan
paling tajam dan paling mematikan."
Kemudian sambil berpaling lagi ke arah Che Siau-yan,
tanyanya, "Sekarang kau sudah percaya, bukan?"
Che Siau-yan menutup mulut rapat-rapat, sepasang
matanya terbelalak lebar, diawasinya mulut luka di atas
tenggorokan si Serigala langit yang mematikan itu tanpa
bicara. Mendadak sambil tertawa dingin, serunya lagi, "Aku
tetap tidak percaya."
"Kenapa kau masih juga tak mau percaya?"
"Kalau gada gigi serigalanya betul-betul mampu
mematahkan berbagai ilmu pedang di kolong langit,
mengapa pada akhirnya dia sendiri pun tewas di ujung
pedang orang lain?"
Tak diragukan mulut luka yang mematikan di
tenggorokan Long Hiong disebabkan oleh luka tusukan
pedang. Jelas dia mati karena sebuah tusukan pedang yang
mematikan. Pertanyaan Che Siau-yan ini sangat telak, membuat
orang sukar untuk menjawabnya.
Mau tak mau Lu-sam harus mengakui.
"Bagus, pertanyaan yang bagus sekali, pertanyaanmu
sangat masuk akal."
"Pertanyaanku masuk akal, jawabannya belum tentu
masuk akal," ejek si nona.
"Belum tentu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Yang masuk akal belum tentu masuk akal, yang tak
masuk akal belum tentu tak masuk akal," kata Lu-sam
sambil tertawa tawar, "Tiada persoalan yang tidak berubah
di dunia ini, oleh sebab itu belum tentu Thian Long yang
mampu mematahkan ilmu pedang di kolong langit tak bisa
mati di ujung pedang orang lain."
"Apa penyebab kematiannya?"
"Dia mati di ujung pedang orang karena di sini telah
kedatangan seorang jago yang gila pedang dia telah
melakukan penelitian hampir tiga tahun lamanya atas
jenazah dari kesepuluh orang jago pedang itu, dari mulut
luka yang mematikan di tubuh mereka, ia berhasil
mempelajari setiap gerakan, setiap jurus dan setiap arah
yang menjadi sasaran serigala langit, kemudian dari
perubahan jurus pedang mereka, ia berhasil menciptakan
cara yang paling jitu untuk menghadapi gada serigala langit.
"Oleh sebab itulah tiga tahun kemudian dia baru
menantang Serigala langit untuk berduel, ternyata tak
sampai sepuluh gebrakan, dia berhasil menghabisi nyawa
Serigala langit di ujung pedangnya."
Che Siau-yan tidak bicara lagi, tentu saja dia tahu
siapakah orang yang dimaksud Lu-sam sebagai jagoan yang
tergila-gila dengan pedang.
Kini dia pun sudah tahu mengapa Tokko Ci khusus
datang ke sana untuk menonton orang-orang mati yang
memuakkan itu. Kembali Lu-sam menambahkan, "Bagi seorang
berpengalaman, tidak sulit baginya untuk melihat jurus silat
yang digunakan lawan dari mulut luka yang mematikan,
bahkan perubahan jurus, posisi waktu menyerang, arah
yang menjadi sasaran, kekuatan maupun kecepatan
serangan pun semuanya dapat diprediksi secara tepat."
Kepada Siau-yan tanyanya kemudian, "Percayakah
kau?" "Aku tak percaya," jawab Siau-yan sambil tertawa.
"Padahal kau sudah tahu kalau di hati kecilmu seribu
bahkan sejuta kali sudah percaya meski di mulut tetap
mengatakan tak percaya, kenapa masih bertanya terus?"
Tokko Ci memang gila pedang.
Bila ia tahu di dunia terdapat manusia seperti si Serigala
langit Long Hiong, tentu saja ia tak segan mengorbankan
segalanya untuk mengalahkan dia, bahkan mengalahkan
dia dengan menggunakan pedang.
Oleh karena itu dia bahkan tak segan melanggar prinsip
hidup sendiri, datang bekerja untuk manusia seperti Lusam.
Tapi begitu selesai dengan tujuannya, dia pun pergi
tanpa pamit. Di tengah badai pasir dua tahun berselang, kiriman emas
hilang dibegal orang, Thi Gi mati dalam pertarungan, Siauhong
pun nyaris terjebak di tengah gurun pasir.
Ketika badai mereda, untuk pertama kali ia bertemu Po
Eng tapi kemudian ditangkap Sui-gin dan Wi Thian-bong
dan diantar ke dalam tenda misterius di tengah oase.
Di situlah untuk pertama kalinya juga ia bertemu Tokko
Ci, saat itu Tokko Ci baru saja terpenuhi keinginannya dan
siap akan pergi, karena itu meski ia selalu hanya menonton
saja tanpa campur tangan, tapi akhirnya tetap turun tangan
menyelamatkan Siau-hong.
Tentu saja Wi Thian-bong dan Sui-gin tak berani
menghalangi, sebab waktu itu mereka sudah tahu orang ini
sangat menakutkan, juga tahu dia tidak termasuk anggota
organisasi Tangan emas pimpinan Lu-sam.
Peduli perbuatan apa pun yang hendak dilakukan, tak
pernah ada orang dapat mengurus dan mengendalikan
dirinya. Waktu itu memang dia telah pergi, mengapa harus balik
lagi" Apa tujuan kebalikannya kali ini"
Benarkah maksud tujuannya demi melihat orang mati di
tempat ini"
Benarkah dia ingin mempelajari perubahan ilmu silat
dari seseorang dengan mempelajarinya dari mulut luka
yang mematikan di tubuh orang-orang mati itu, agar dia
dapat membunuh orang itu.
Kalau tempo hari tujuannya adalah untuk membunuh
Serigala langit, siapa yang akan dibunuhnya sekarang" Siauhong,
Siau-hong yang nekat.
Che Siau-yan memandang Lu-sam, lalu ujarnya sambil
tersenyum, "Padahal kau seharusnya mengerti, biarpun aku
mengatakan tak percaya, padahal dalam hati kecilku, aku
telah mempercayainya seratus persen."
Lu-sam ikut tertawa.
"Jadi kau telah mempercayai perkataanku?"
"Tidak percaya."
Che Siau-yan mengedipkan matanya, senyuman nona ini
tampak lebih manis dan menawan.
"Sepatah kata pun aku tak percaya." Sengaja Lu-sam
menghela napas panjang.
"Kalau begitu kau tak perlu menuruti perkataanku, tak
usah melihat enam sosok mayat lagi."
Che Siau-yan sengaja cemberut.
"Tentu saja aku tak akan melihatnya, tak akan melihat
sekejap pun, karena...."
Setelah tertawa manis, terusnya, "Karena aku telah
melihatnya sangat jelas."
"Sejak kapan kau melihatnya?"
"Di saat mulutku berkata tak akan pergi melihatnya."
"Kenapa aku tak tahu?"
"Ketika seorang gadis ingin melihat orang lelaki, mana
mungkin dia akan membiarkan sang lelaki mengetahuinya."
"Tapi mereka sudah mati."
"Biar sudah mati pun mereka tetap lelaki," Che Siau-yan
tertawa cekikikan, "Dalam pandangan kami kaum wanita,
lelaki tetap lelaki, peduli dia masih hidup atau sudah mati."
Kontan Lu-sam tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, umpatan yang bagus."
Che Siau-yan tidak tertawa lagi, tiba-tiba parasnya
berubah jadi amat serius.
"Aku benar-benar telah meneliti keenam sosok mayat itu,
bahkan telah menemukan sebuah kejadian yang sangat
aneh." "Kejadian apa?"
"Ternyata mulut luka di tubuh keenam sosok mayat itu
sama satu dengan lainnya."
Ketika bicara sampai di situ, dengan cepat Siau-yan
membuat koreksi, "Bukan keenamnya sama, tapi nomor
tiga sama dengan nomor empat, nomor tiga belas sama
dengan nomor empat belas, nomor dua puluh tiga sama
pula dengan nomor dua puluh empat, bukan hanya letak
mulut lukanya sama, bahkan jurus serangan mematikan dan
tenaga yang digunakan pun sama, jelas memakai ilmu yang
sama dan arah yang sama pula."
"Apakah berasal dari orang yang sama?"
"Tidak, bukan dari orang yang sama," lanjut Siau-yan,
"Karena orang yang membunuh bukan berasal dari orang
yang sama, maka aku baru merasa keheranan, maka
sekarang aku baru paham sejelas-jelasnya."
"Apa yang kau pahami?"
"Kau suruh nomor tiga dan rekannya membunuh Siauhong
tak lain karena ingin mempelajari jurus pedang Siauhong."
"O, ya?"
"Kembalinya Tokko Ci kali ini tak lain tujuannya untuk
menghadapi Siau-hong," ujar Siau-yan lebih jauh, "Sebab
aku telah mewariskan seluruh intisari ilmu pedangnya
kepada Siau-hong, padahal dia tidak tahu banyak tentang
ilmu pedang yang dimiliki Siau-hong."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Namun
setelah dia mempelajari mulut luka yang mematikan di
tubuh ketiga sosok mayat itu, keadaan pun jadi berbeda."
"Jadi maksudmu, sekarang dia sudah memahami seluruh
ilmu pedang yang dimiliki Siau-hong?"
Che Siau-yan tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
hanya ujarnya, "Kau mengirim nomor empat dan rekannya
untuk membunuh Tokko Ci karena kelompok ini memiliki
ilmu silat yang mirip dengan kelompok yang kau kirim
untuk membunuh Siau-hong.
"Kini Tokko Ci dapat menggunakan cara yang sama
dengan Siau-hong untuk membunuh kelompok pembunuh
ini, dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak sulit baginya
untuk membunuh Siau-hong."
Selama ini Lu-sam hanya mengawasinya terus tanpa
bicara. Tadi dia telah melihatnya sangat lama, dan sekarang
kembali dia melihatnya lama sekali.
Dia mengawasi dari ujung rambutnya yang hitam pekat,
jidatnya yang lebar hingga sepasang sepatunya yang kecil
mungil, kemudian baru menghela napas panjang.
"Heran, kenapa Siau-hong membiarkan seorang wanita
macam kau pergi meninggalkannya," sambil menggeleng
Lu-sam menghela napas, "Aku tak tahu, sebetulnya dia itu
telur busuk" Atau seekor babi?"
"Sebenarnya aku pun tidak tahu makhluk seperti apakah
dirinya itu," kata Siau-yan masih tertawa.
"Dan sekarang?"
"Sekarang aku telah memahaminya," kata Siau-yan lebih
jauh, "Pada hakikatnya dia bukan makhluk apa-apa, dia itu
orang, orang mati!"
Ooo)d*w(ooO BAB 45. PENUTUP
Dengan suara hambar tambahnya, "Sekarang walaupun
dia belum mati, tapi apa bedanya dengan orang mati?"
"Apakah kau ingin tahu di manakah manusia itu
sekarang?"
"Tidak, aku tak ingin, aku sudah tidak tertarik dengan
orang mati," kata Siau-yan, "Aku hanya ingin tahu di
manakah Tokko Ci sekarang?"
"Dia pun telah pergi."
"Kenapa dia pergi" Apakah tak ingin bertemu aku?"
"Bukan tak ingin, tapi tak berani."
"Memangnya aku menakutkan" Mengapa ia tak berani
bertemu aku?"
"Bukan takut dirimu, tapi takut pada diri sendiri," kata
Lu-sam sambil menatap gadis itu lekat-lekat, "Padahal dia
sendiri pun seharusnya tahu, mengapa dia begitu
ketakutan?"
"Jadi kau pun sudah tahu?" Siau-yan balas menatap Lusam,
"Kau pun sudah tahu kalau dia sudah bukan seorang
lelaki tulen?"
"Aku tahu."
"Lalu mengapa kau ingin menjodohkan dia kepadaku?"
"Karena aku tahu penyakitnya segera akan sembuh."
"Harus menunggu sampai kapan?"
"Sampai dia berhasil membunuh Siau-hong di ujung
pedangnya," kata Lu-sam, "Aku percaya saat ini dia pasti
sudah mempunyai keyakinan untuk menang."
"Dia dapat menemukan Siau-hong?"
"Dia tak perlu pergi mencarinya, cukup baginya duduk di
sini sambil menunggu."
"Kenapa?"
"Karena Siau-hong pasti akan pergi mencarinya."
"Kau yakin?"
"Hahaha, kapan kau pernah melihat aku melakukan
pekerjaan yang tidak meyakinkan?"
"Apakah Siau-hong dapat menemukan dia?"
"Asal Siau-hong tidak terlalu bodoh, dia pasti dapat
menemukannya," kata Lu-sam sambil tersenyum, "Kalau
tidak, dia pasti bukan seorang telur busuk, melainkan seekor
babi." "Ke mana dia harus pergi menemukannya?"
"Kota Oh-ki."
"Mengapa kau sendiri tidak pergi ke kota Oh-ki?"
"Jalan pikiranmu pasti seperti apa yang dibayangkan
Pancapanah, menyangka aku pasti akan pergi ke kota Ohki,
menunggu kedatangan Siau-hong, dan membunuhnya


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan sendiri," kata Lu-sam, "Oleh karena itulah,
dia pun mengatur pertarungan ini, sebab hasil dari
pertarungan ini pasti diakhiri dengan kematian kedua belah
pihak. Pihak yang kalah bakal mati sedang yang menang
pun harus membayar mahal, saat itulah mungkin dia baru
akan turun tangan. Terlepas Siau-hong berhasil mati di
tanganku atau aku mati di tangan Siau-hong, yang tersisa
pada akhirnya akan tewas juga di tangannya."
Kembali Lu-sam berkata, "Sayangnya Pancapanah
seperti kau, jalan pikiran kalian salah semua, karena aku tak
bakal pergi ke kota Oh-ki, tak mungkin aku membunuh
Siau-hong dengan tangan sendiri, bahkan sesungguhnya
aku sama sekali tidak membencinya."
Tentu saja Che Siau-yan merasa sangat keheranan.
"Masa kau lupa bahwa putra kandungmu mati di tangan
siapa?" Pertanyaan itu merupakan sebuah pertanyaan yang
sangat menyakitkan hati.
Dengan pandangan dingin Lu-sam menatap gadis itu,
bukan marah dia malah tertawa.
"Apakah kau sangka Siau-hong benar-benar telah
membunuh Lu Thian-po, putra kandungku?" dia balik
bertanya. Che Siau-yan tertegun. Dia tak menyangka Lu-sam bakal
mengucapkan perkataan seperti itu, dia pun tak mengira
Lu-sam ternyata mengajaknya menengok sebuah peti mati
yang lain. Di dalam peti mati itu berbaring dua sosok mayat, yang
seorang adalah perempuan bertubuh tegap yang memiliki
payudara sangat montok dan sehat.
Di sisi perempuan itu berbaring sesosok mayat bayi yang
baru berusia beberapa bulan.
Bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang pun
pasti tahu bahwa perempuan itu baru saja melahirkan anak,
tapi bayi itu bukan anak yang dia lahirkan.
"Perempuan ini adalah mak inang bocah itu," ujar Lusam,
"Dia makan kelewat banyak, porsinya berlebihan
sehingga begitu tertidur keadaannya tak jauh berbeda
dengan orang mati, karena itu sekarang dia benar-benar
menjadi orang mati."
"Kenapa?" tanya Che Siau-yan.
"Karena bocah ini mati tertindih oleh badannya yang
subur ketika perempuan itu tidur di sampingnya," Lu-sam
menjelaskan, "Dia pun bukan putra kandungku, tapi jika
dia dapat hidup terus, aku pasti akan memanjakan dia
melebihi siapa pun, apa yang dia minta pasti akan
kupenuhi, menanti tujuh-delapan belas kemudian dia pasti
akan mati pula di ujung pedang orang lain, karena waktu
itu dia pasti akan seperti Lu Thian-po, rusak gara-gara
kelewat kumanja!"
Che Siau-yan tidak bertanya lagi, "Anak siapa itu?"
Dia memang tak perlu bertanya lagi.
Tiba-tiba tangan dan kakinya terasa dingin, peluh dingin
telah membasahi seluruh pakaiannya.
Sekarang dia tentu sudah tahu bahwa bocah ini adalah
putra Siau-hong tapi selamanya dia tak bakal tahu bocah itu
berumur pendek. Peristiwa ini merupakan keberuntungan
atau ketidak beruntungan baginya"
"Aku tahu, kau pasti menyangka caraku bekerja kelewat
menakutkan," ujar Lu-sam, "Untungnya hanya kau saja
yang berpikir demikian, sebab kecuali kau, belum pernah
ada orang lain yang tahu bagaimana caraku bekerja, bahkan
mimpi pun tak bakal menyangka."
"Karena itu Pancapanah selalu menyangka kau amat
membenci Siau-hong, berupaya membunuhmu dengan
tangan sendiri."
"Betul, karena itulah dia sengaja mengatur pertarungan
ini, menanti aku dan Siau-hong sama-sama terluka, samasama
menderita kerugian, dia baru akan menjadi nelayan
yang beruntung," ujar Lu-sam, "Sayangnya aku sedikit lebih
pintar daripada apa yang dia bayangkan, oleh karena itu
yang masuk perangkap bukan aku, melainkan dia."
Kemudian Lu-sam menambahkan lagi.
"Sekarang Pancapanah pasti sudah pergi ke kota Oh-ki
untuk menyaksikan hasil akhir dari pertarungan ini."
"Menurutmu dia akan menunggumu di mana?"
"Bukan hanya aku saja yang tahu, Tokko Ci pun tahu.
Menanti Tokko Ci berhasil membunuh Siau-hong, dia pasti
akan pergi mencarinya."
Che Siau-yan tersenyum.
"Saat itu sekalipun Tokko Ci berhasil membunuh Siauhong
dia harus membayar mahal untuk keberhasilannya.
Menanti mereka selesai bertarung peduli Tokko Ci berhasil
membunuh Pancapanah atau Pancapanah yang berhasil
membunuh Tokko Ci, di saat mereka selesai bertarung kau
akan muncul dan sisa dari dua orang yang masih hidup itu
akhirnya bakal mati di tanganmu. Maka peduli siapa
menang siapa kalah, hanya kau seorang yang tak bakal
kalah. Bukan begitu?"
Ooo)d*w(ooO Dalam pandangan kebanyakan orang, kota Oh-ki tak
lebih hanya sebuah kota kecil di pinggir perbatasan.
Menurut catatan pemerintah setempat, kota itu terdiri
dari tujuh puluh tiga kepala keluarga, termasuk kaum
wanita dan anak-anak, semuanya hanya terdiri dari tiga
ratus sebelas orang penduduk.
Di antara mereka, sebagian besar bekerja sebagai
pedagang kecil, karena tanah di sana tak subur untuk
pertanian bahkan letaknya kelewat terpencil, sehingga
untuk tempat itu jauh lebih cocok berusaha di bidang lain
daripada usaha pertanian.
Bahkan sebagian besar orang belum pernah mendengar
nama kota kecil itu.
Padahal kenyataan bukanlah demikian.
Penduduk kota itu jauh lebih banyak daripada data yang
ada di kantor pemerintahan daerah, bahkan jenis manusia
yang berkumpul di sana jauh di luar pemikiran siapa pun.
Kemewahan dan keramaian kota itu pun jauh di luar
jangkauan pemikiran siapa pun.
Oleh karena tempat itu kelewat terpencil, maka tak
pernah menarik perhatian pihak pemerintah, karena itulah
orang-orang yang terdesak, yang tak punya jalan lain lagi,
berbondong-bondong datang ke tempat itu.
Karena terlalu banyak penjahat dan buronan yang
datang dari empat penjuru, padahal orang-orang sejenis itu
terbiasa menghambur uang, tak heran kalau terciptalah kota
yang megah dan ramai di situ.
Dari tujuh puluh tiga penduduk setempat, ada sebagian
besar dari mereka membuka usaha rumah penginapan dan
rumah makan. Jangan dilihat penduduk di sana hanya terdiri dari tujuh
puluh tiga kepala keluarga, jumlah rumah makan dan
penginapan yang membuka usaha di sana sudah mencapai
seratus lima buah.
Di antaranya rumah makan Tat-ki, rumah makan yang
paling ramai. Dari pagi hingga malam rumah makan itu selalu
dipenuhi tamu yang berlalu-lalang.
Konon teh susu dan masakan bawang bikinan rumah
makan ini merupakan hidangan paling baik untuk wilayah
delapan puluh li di seputar situ.
"Rahasia Lu-sam terletak di jalanan teramai di kota ini,"
ujar Pancapanah kepada Siau-hong.
Di sepanjang jalan raya itu terdapat sembilan puluh
enam buah kedai, kecuali sebuah rumah penjual jarum dan
benang, dua rumah penjual beras dan kebutuhan seharihari,
sebagian besar di antaranya merupakan rumah makan
dan rumah penginapan.
"Menurut kau, bangunan rumah mana yang merupakan
sarang rahasia dari Lu-sam?" tanya Pancapanah lagi.
"Pasti rumah makan Tat-ki," jawab Siau-hong tanpa
berpikir panjang.
"Mengapa kau menduga Lu-sam berada di sana?"
"Karena di tempat itulah paling banyak orang
berkumpul."
Jawaban Siau-hong amat sederhana tapi sangat tepat.
Setiap saat Lu-sam perlu mendapat berita yang dikirim
anak buahnya, sedang anak buahnya berasal dari empat
penjuru, karena itu setiap tamu yang datang bersantap di
rumah makan Tat-ki, besar kemungkinan merupakan anak
buahnya, anak buah yang berusaha keras melindungi
keselamatan jiwanya.
Lagi pula "kalau mau bersembunyi, bersembunyilah di
tempat yang ramai", teori semacam ini pasti dipahami Lusam,
begitu pula dengan Pancapanah.
Oleh karena itu ketika masih berkumpul dalam hutan di
luar kota, Pancapanah telah berkata kepada Siau-hong,
"Tengah hari nanti, pergilah ke sana untuk bersantap, asal
kau mendengar ada orang berteriak "teh susu ini bau", kau
segera menerjang masuk ke dalam dapur, singkirkan kuali
besi yang ada di dapur, guyur kuali panas itu dengan air
dingin, kemudian melompat masuk, di samping tungku api
terdapat sebuah gua selebar dua kaki, di tempat itulah kau
akan menemukan Lu-sam"
Kemudian Pancapanah berpesan lagi, "Kau cukup
melakukan tugas itu dan tak usah mengurusi persoalan lain,
biar di luar bakal terjadi huru-hara yang dahsyat pun kau
tak usah ambil peduli, karena meski langit ambruk pun pasti
ada orang yang akan menahannya untukmu."
Melihat dari kejauhan Siau-hong telah melangkah masuk
ke dalam rumah makan Tat-ki dan mendengar ada orang
berteriak "teh susu ini bau", Pancapanah segera
meninggalkan tempat itu, karena setiap perkembangan yang
terjadi kemudian telah dalam perhitungannya, dia sudah tak
perlu lagi mendengarkan dan melihat sendiri.
Dia melalui sebuah jalan setapak yang terpencil,
mengelilingi hutan dimana mereka berkumpul tadi, menuju
ke atas sebuah tebing dan duduk di atas sebuah batu karang
yang menonjol. Jarak tempat itu dengan jalanan di kota
yang ramai cukup jauh, namun secara kebetulan ia dapat
melihat situasi rumah makan Tat-ki dengan jelas.
Meski orang lain tak terlampau jelas, namun dengan
ketajaman matanya ia dapat melihat semua itu dengan amat
jelas. Tentu saja tempat itu pun sudah dipilihnya sejak lama.
Waktu itu terjadi kekacauan yang luar biasa dalam
rumah makan itu, orang yang berada di jalanan berduyunduyung
datang ke situ, ada yang cuma nonton keramaian,
ada pula yang ikut terjun dalam pertarungan.
Tak ampun suasana di jalan itu pun jadi kacau dan panas
seperti bubur yang baru mendidih.
Pancapanah merasa sangat puas, semakin kacau suasana
di luar sana semakin senang dia.
Makin kacau di luar makin tenang di dalam, orang yang
hendak membunuh memang butuh ketenangan, orang yang
bakal dibunuh pun membutuhkan ketenangan, peduli siapa
bunuh siapa, baginya semua itu tak ada bedanya.
Sebab dia merasa posisinya sekarang sudah tak
terkalahkan. Tentu saja semua ini berkat pengaturannya yang cermat
dan seksama, ia telah merencanakannya banyak tahun, dia
percaya setiap bagian dan setiap tindak-tanduknya telah
diatur dengan seksama dan sempurna.
Di saat dia siap berbaring untuk beristirahat itulah tibatiba
dari belakang tubuhnya terdengar seorang dengan nada
amat rahasia, mengucapkan sepatah kata yang sangat aneh.
"Tamat," kata orang itu, "Apakah sekarang sudah
hampir tamat?"
Pancapanah tidak berpaling, sedikit reaksi pun tak ada,
sebab dia sudah mengetahui akan kehadiran orang, juga
tahu siapa yang datang.
"Betul, sekarang sudah hampir tamat," katanya hambar,
"Semua persoalan kini sudah hampir tiba saatnya untuk
penyelesaian."
Orang yang berada di belakang tubuhnya kembali
bertanya, "Kau menginginkan penyelesaian yang
bagaimana?"
"Sebuah penyelesaian yang bahagia, sebuah penyelesaian
yang sempurna," sahut Pancapanah, "Ruang rahasia milik
Lu-sam berada di bawah tanah, meski terdapat tiga buah
jalan keluar, tapi bila kita dapat menyumbat mati ketiga
buah jalan keluar itu, maka tempat ini akan menjadi sebuah
tanah kematian."
Di saat dia baru saja menyelesaikan perkataannya, tibatiba
dari radius tiga puluh li terdengar suara ledakan yang
sangat keras, kemudian terlihat asap tebal mengepul dari
rumah makan Tat-ki, disusul kemudian terjadi dua ledakan
dahsyat lagi di dua tempat yang berbeda diikuti mengepul
lagi asap tebal di kedua tempat itu.
Pancapanah tersenyum.
"Kini ketiga buah jalan keluar itu sudah tersumbat mati,
tak seorang pun di tempat ini yang bisa keluar dalam
keadaan selamat, peduli siapa yang menang siapa yang
kalah dari pertarungan Tokko Ci melawan Siau-hong
mereka pasti terkubur hidup-hidup di sana."
"Hanya Tokko Ci dan Siau-hong" Bagaimana dengan
Lu-sam?" "Lu-sam tak bakal berada di sana," sahut Pancapanah,
"Selama ini hanya dialah lawan tandingku yang
sebenarnya, tahu kalau aku tak bakal datang ke situ, mana
mungkin dia ikut datang."
Orang yang berdiri di belakangnya itu menghela napas
panjang. "Ai, ternyata kau sangat memahami tentang dirinya,
jauh lebih banyak yang kau ketahui daripada yang dia
bayangkan."
"Kini Po Eng dan Pova sudah mati, Soso telah
meninggalkan Lu-sam dan sudah menjadi manusia yang tak
berbobot, mati-hidupnya sudah tak penting lagi.
"Yang-kong adalah penggantiku, dia pasti dapat


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memahami jalan pikiranku, meskipun di hati kecilnya
mungkin dia merasa caraku bertindak kelewat kejam dan
berlebihan, mungkin dia pun merasa sedih karena kematian
Po Eng dan Siau-hong, tapi aku yakin dia pasti akan
berlagak seolah-olah tak tahu masalah apa pun."
Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya,
"Kemungkinan besar di kemudian hari dia bakal kawin
dengan aku."
"Dia pasti akan menikah denganmu," kata orang itu,
"Karena dia pun seorang wanita yang sangat pintar, dia
seharusnya tahu, hanya menikah denganmu merupakan
keputusan yang paling cerdas."
Ternyata dia tidak menanyakan nasib Lu-sam dan Che
Siau-yan, karena orang itu tak lain adalah Lu Kiong, orang
yang paling dipercaya Lu-sam selama ini.
"Kali ini Sam-ya benar-benar telah menghimpun seluruh
kekuatan pasukannya ke tempat ini, dia berbuat begini
karena mempunyai dua tujuan," ujar Lu Kiong.
"Pertama, tentu saja dia ingin kau percaya bahwa dia
telah kemari, minta kau pun menghimpun seluruh kekuatan
yang dimiliki untuk berkumpul di tempat ini.
"Kedua, anak buahnya kebanyakan merupakan buronan
dalam dunia persilatan, dia belum pernah betul-betul
mempercayai mereka, pada hakikatnya dia tak pernah
memikirkan mati-hidup orang-orang itu, karena itu sejak
Wi Thian-bong kehilangan lengannya, dengan cepat orang
itu lenyap tak berbekas, karena dia sudah tak berguna lagi."
"Aku paham jalan pikirannya," sahut Pancapanah,
"Memelihara sekelompok manusia semacam ini, sama
halnya memelihara sekelompok harimau dan serigala,
setiap saat harus mewaspadai ulah mereka, agar jangan
tergigit. Ia memelihara mereka tak lebih hanya ingin
menggunakan orang-orang itu untuk menghadapiku,
sekaranglah saat yang paling tepat untuk menggunakan
kekuatanku untuk melenyapkan mereka, agar mereka
mengadu nyawa denganku, sementara dia sendiri hidup
tenang di kejauhan."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Lu Kiong,
"Apakah jalan pikiranmu pun seperti dia, ingin
menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan orangorang
yang punya masalah dengan dirimu?"
"Benar," Pancapanah mengakui, "Jalan pikiranku sama
dengan jalan pikirannya, hanya saja aku sedikit lebih baik
daripada dia, karena di sampingku tak ada manusiamanusia
seperti kau dan Sah Peng."
"Kau pun mengetahui masalah tentang Sah Peng?"
"Sejak dulu aku sudah perhitungkan dia bakal kabur,"
kata Pancapanah, "Selama beberapa tahun terakhir ini, dia
selalu menyisakan uang untuk ditabung, tabungannya
sekarang sudah lebih dari cukup untuk dinikmati beberapa
generasi, kenapa harus menjual nyawa lagi untuk Lu-sam?"
Tiba-tiba Lu Kiong tertawa, ujarnya, "Bila kau anggap
Sah Peng dapat kabur dari sini, maka dugaanmu itu salah
besar, Sam-ya pun sejak awal sudah menduga dia bakal
kabur seusai persoalan ini, maka di antara ketiga cawan
arak yang dia teguk ketika berada di depan kuburan Oh
Toa-leng tempo hari, satu di antaranya telah dicampuri
racun pemutus usus yang tak ada obat penawarnya."
"Dari mana kau bisa tahu" Apakah kau yang telah
mencampuri arak itu dengan racun?"
"Tentu saja aku," ternyata Lu Kiong tidak menyangkal,
"Hanya aku yang bisa melakukan tugas seperti ini, sebab
aku tak lebih hanya seorang budak yang tak berguna, dalam
dunia persilatan ilmu silatku pun hanya bisa dianggap ilmu
kucing kaki tiga, siapa pun dapat membunuh aku hanya
menggunakan sebuah jari tangan saja, hingga kini tabungan
pribadiku tak lebih dari tiga ratus dua puluh tahil perak,
oleh sebab itu belum pernah ada orang mencurigai aku."
"Tapi sekarang kau telah menjadi seorang yang kayaraya,
uangmu sudah berlimpah," kata Pancapanah, "Aku
telah melakukan semua permintaanmu, mendepositokan
uang sebesar lima puluh laksa tahil perak di dalam delapan
belas rumah uang yang kau tunjuk, surat deposito pun telah
kuletakkan di tempat yang kau tunjuk."
"Aku tahu."
"Bagaimana dengan janjimu padaku?"
Bukan menjawab, Lu Kiong balik bertanya, "Bila
kuberitahukan di mana Lu-sam berada saat ini, yakinkah
kau dapat membunuhnya?"
"Kau seharusnya pun tahu, belum pernah aku
melakukan pekerjaan yang tidak yakin pasti berhasil," sela
Pancapanah, "Dalam pertarungan kali ini, kerugian yang
kuderita memang lebih sedikit dari dirinya, lagi pula aku
pun masih mempunyai seorang pembantu hebat."
Kemudian sambil tersenyum ia menjelaskan lebih jauh,
"Che Siau-yan pun merupakan seorang wanita yang sangat
pintar, ilmu pedang yang dia miliki saat ini tidak selisih
jauh dari kemampuan Siau-hong."
Lu Kiong sama sekali tidak bertanya, dari saku dia
mengeluarkan sebuah gulungan kertas, katanya, "Tanda
yang ada di peta ini merupakan markas besar Sam-ya, ikan
emas merupakan kunci untuk membuka tempat rahasia
itu." Pancapanah menerima gulungan kertas itu, menatapnya
sangat lama, tiba-tiba tanyanya, "Mengapa kau bersedia
menyerahkan rahasia besar itu kepadaku" Apakah kau tidak
kuatir aku membunuhmu?"
Lu Kiong tertawa.
"Delapan belas tanda terima deposito itu telah
kusembunyikan di suatu tempat yang tak mungkin bisa
ditemukan orang lain, sementara ke delapan belas rumah
uang itu pun hanya kenal tanda terima tak kenal orang,
bagimu lima puluh laksa tahil perak tak lebih hanya uang
kecil, apalagi di kemudian hari mungkin kau masih
membutuhkan manusia seperti aku, untuk sukses dengan
urusan besar, buat apa kau mesti membunuh seorang tak
ternama yang tak berbobot sama sekali?"
Setelah berjalan amat jauh, tiba-tiba Lu Kiong berpaling
dan bertanya lagi, "Kau benar-benar yakin persoalan ini
dapat diselesaikan begitu saja?"
Terpancar sinar aneh dari balik mata Pancapanah.
"Aku sudah merencanakan persoalan ini sangat lama,
tentu saja aku sangat yakin."
Dia menggunakan sorot mata yang aneh untuk menatap
wajah Lu Kiong, lama kemudian baru ujarnya lagi, "Hanya
saja aku masih mempunyai sebuah rahasia yang perlu
kusampaikan kepadamu."
"Rahasia apa?"
"Sesungguhnya di dunia ini tak pernah ada urusan yang
pasti, kejadian di kemudian hari tak pernah dapat diduga
oleh siapa pun."
Lu Kiong pun balas menatapnya sangat lama, mendadak
dari matanya terpancar perasaan hormat yang amat tebal.
"Perkataanmu memang tepat sekali," kata Lu Kiong
"Aku pasti akan mengingat terus perkataanmu itu dalam
hati." Selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa berpaling ia
segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Ternyata Pancapanah tidak berusaha menghalangi
kepergiannya, dia hanya menghela napas perlahan seraya
bergumam, "Aku masih mempunyai sebuah rahasia lagi
yang ingin kusampaikan kepadamu."
Setelah terdiam sejenak, katanya, "Terkadang aku benarbenar
ingin sekali menjadi seorang rendah macam dirimu,
karena kehidupanmu sesungguhnya jauh lebih senang dan
bahagia daripadaku."
Pancapanah memang seorang luar biasa, semua
perkataannya selalu aneh dan mempunyai maksud dalam.
Di dunia ini memang tak pernah ada persoalan yang
"pasti", biarpun rencananya matang dan sempurna, sayang
dia masih tetap manusia, tak pernah pikiran dan perasaan
manusia dapat merancang suatu rencana yang tepat dan
sempurna. Khususnya terhadap manusia seperti Siau-hong dan
Tokko Ci. Biarpun kedua orang itu "gila", namun tidak "bodoh",
bila ada orang mengira mereka berdua dapat diperintah
seperti boneka, tak disangka orang itu telah melakukan
kesalahan yang fatal, kesalahan yang mematikan.
Menanti Pancapanah menyaksikan setiap kejadian,
hampir semua berjalan sempurna sesuai rencananya, tibatiba
ia menemukan Siau-hong dan Tokko Ci belum mati,
bahkan sudah muncul di hadapannya.
Saat itulah dia baru sadar bahwa dirinya telah
melakukan kesalahan yang sangat menakutkan.
Tapi dia tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapa pun,
tidak menyalahkan langit maupun bumi.
Sesaat menjelang kematiannya, dia hanya mengucapkan
sepatah kata, "Semua ini muncul dari ulahku, jadi aku mati
pun tak menyesal!"
Dia sendiri yang telah melakukan kesalahan, maka dia
sendiri pula yang menerima akibatnya. Tidak menyalahkan
langit, tidak menyalahkan orang lain, semua resiko dan
tanggung-jawab dilimpahkan ke pundak sendiri.
Sekalipun kesalahan yang dia lakukan tidak sebanyak
apa yang dibayangkan orang lain, dia pun tak perlu
mengumpat, tak perlu mengadu, tak perlu memberi
penjelasan kepada semua orang.
Oleh sebab itu Pancapanah tetap tak malu disebut
seorang hebat, terlepas dia masih hidup atau sudah mati,
paling tidak ia tak pernah melakukan perbuatan
memalukan, membuat orang lain memandang hina dirinya.
TAMAT Dendam Iblis Seribu Wajah 5 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 25
^