Elang Terbang Di Dataran Luas 2

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 2


tidak, apakah aku akan mati di ujung
pedangmu?"
"Benar," perlahan-lahan orang itu melanjutkan, "Tidak
banyak orang yang pantas mati di ujung pedangku, bila kau
dapat mati di ujung pedangku, kematianmu boleh dibilang
terhitung terhormat..."
Ucapan itu diutarakan kelewat latah, coba kalau orang
lain yang mengatakannya, kemungkinan besar Siau-hong
akan tertawa terbahak.
Tentu saja Siau-hong tidak tertawa.
Ia tak bisa menertawakan perkataan itu, sebab ia dapat
melihat perkataan orang itu adalah ucapan yang sejujurnya,
sebuah ungkapan kata jujur yang amat sederhana dan
singkat, tiada yang menonjol, tiada gertak sambal. Sewaktu
dia mengucapkan perkataan itu, dia seolah hanya
mengungkap sebuah kenyataan yang sangat sederhana.
Bagaimana pun bisa mati di ujung pedang orang itu jauh
lebih baik daripada menunggu kematian sambil berbaring di
sana. Bukankah dapat berduel mati hidup melawan seorang
jagoan tangguh macam orang ini merupakan suatu kejadian
yang paling didambakan seorang yang belajar ilmu pedang"
Seluruh tenaga terpendam Siau-hong telah terangsang
keluar, mungkin hal ini merupakan yang terakhir kalinya,
terakhir kali dia menggunakan seluruh tenaga terpendam
yang dimilikinya.
Tiba-tiba saja dia melompat bangun, mencengkeram
pedang miliknya.
"Kapan" Di mana?" teriaknya.
"Menurut kau?"
"Di sini, sekarang juga!"
"Tidak bisa!"
"Sekarang aku berada di sini, pedangku pun berada di
sini, mengapa tidak bisa?"
"Karena meski pedang dan dirimu sudah siap, tenaga
dan kekuatanmu belum siap," suara orang itu masih hambar
tanpa perasaan, "Bila kubunuh dirimu pada saat dan
keadaan seperti ini, sama artinya aku telah membuat malu
pedangku sendiri."
Kemudian dengan hambar dia melanjutkan, "Sekarang,
pada hakikatnya kau belum pantas untuk memintaku turun
tangan sendiri."
Siau-hong menatapnya lekat-lekat, mendadak timbul
perasaan kagum dan hormat yang tak terhingga dari dasar
lubuk hatinya. Dia kagum dan hormat karena dia menghormati diri
sendiri. Rasa hormat ini telah melampaui mati hidup, telah
melampaui segala sesuatunya.
Tiba-tiba Siau-hong mengajukan sebuah permohonan,
sebuah permohonan yang orang lain pasti menganggapnya
latah dan tak tahu diri, "Berikan kepadaku sekantung air,
sekantung arak, sekantung daging, sekantung kue, satu stel
pakaian, selembar selimut, tiga hari kemudian datanglah
lagi mencari aku."
"Boleh!" ternyata orang itu segera menyanggupi.
Wi Thian-bong sama sekali tak bereaksi, dia seakan-akan
tak mendengar perkataan itu.
Sebaliknya Sui-gin, si Air raksa seolah hendak melompat
bangun sambil berteriak, "Apa katamu?"
Orang itu membalikkan badan, memandangnya dengan
sangat tenang, sekujur badannya, dari atas hingga ke bawah
sama sekali tidak memperlihatkan gerakan atau perubahan
wajah apa pun, dia hanya bertanya dengan tenang, "Sudah
kau dengar dengan jelas semua perkataanku?"
"Aku telah mendengar sangat jelas," bukan saja sikap
Sui-gin segera berubah jadi tenang, bahkan ia
menundukkan kepala rendah-rendah, "Aku telah
mendengar dengan jelas."
"Apakah kau masih ada pendapat lain?"
"Tidak ada!"
Air, arak, daging, kue, pakaian, selimut bagi seseorang
yang terkurung di tengah gurun pasir boleh dibilang
merupakan sebuah barang yang tak ternilai harganya,
makna dan manfaat semua itu tak mungkin bisa diurai
dengan bahasa dan tulisan bangsa mana pun.
Siau-hong dengan membawa semua barang
kebutuhannya telah meninggalkan tenda mereka, meski ia
sudah berjalan cukup lama, namun gejolak perasaannya
belum juga bisa tenang. Rasa lapar dan dahaga yang
kelewat lama telah membuatnya berubah jadi lebih lemah
dari keadaan semula, perasaan seseorang yang lemah
memang selalu lebih mudah bergejolak.
Dia sama sekali tidak meminta balik "Ci-hu" dari tangan
si Air raksa, karena dia memang tak berniat pergi kelewat
jauh, dia kuatir tersesat hingga tak dapat menemukan
kembali tenda ini.
Dia pun tak ingin orang lain mengira dia pergi jauh,
karena dia memang bertekad akan balik kembali.
Namun dia tak mungkin bisa tetap tinggal di sana sambil
menunggu pulihnya kesehatannya. Asal dia bertemu orang
itu, segera akan muncul suatu perasaan ancaman yang tak
terbendung, dia merasa ancaman itu membuatnya selalu
tegang, tak pernah bisa mengendorkan diri lagi.
Dalam tiga hari ini dia harus dapat memulihkan seluruh
kekuatan tubuhnya, bahkan kalau bisa, pulih dalam kondisi
puncak, dengan kondisi yang prima, ia baru punya harapan
untuk berduel melawan orang itu, jika ia tak bisa
mengendorkan seluruh syarafnya, berarti dia pasti akan
kalah. Kalah di ujung pedang seorang jago pedang tanpa
perasaan, kalau sampai kalah berarti mati.
Angin dingin berhembus kencang, pasir berwarna kuning
masih beterbangan di angkasa, malam ini sebuah malam
yang membekukan.
Akhirnya ia berhasil melewati malam yang dingin
dengan hembusan angin yang begitu kencang dalam sebuah
liang batu karang yang tahan angin, sambil meneguk air,
minum arak, makan kue, menggigit daging, ia gunakan
selimut untuk menutupi tubuhnya.
Dalam waktu singkat ia terlelap tidur.
Tatkala mendusin dari tidurnya, pada pandangan mata
yang pertama ia telah melihat Po Eng.
Malam yang dingin kembali berlalu, baju putih yang
dikenakan Po Eng tampak bagaikan sukma gentayangan di
remangnya sang fajar, jubah itu seolah terbuat dari bahan
yang telah diberi mantera sakti, hingga selamanya tampil
putih, bersih dan halus.
Siau-hong tidak merasa tercengang akan
kemunculannya, malah sambil tertawa ujarnya, "Tak
disangka kau telah datang."
Padahal kejadian semacam ini bukannya tak bisa diduga,
lagi pula munculnya orang ini di tempat mana pun, kapan
pun, dia tak bakal merasa tercengang atau keheranan.
Mendadak Po Eng mengajukan satu pertanyaan yang
sangat aneh. "Penampilanku sekarang bila dibandingkan
penampilanku saat pertama kali kau berjumpa aku, apakah
terdapat perbedaan?" ia bertanya.
"Tak ada."
"Tapi kau telah tampil beda."
"Di mana bedanya?"
"Kau kelihatan seperti seorang yang kaya mendadak,"
sindir Po Eng dengan suara keras.
Siau-hong segera tertawa, kantung kulit kambing
tergeletak di sisi tubuhnya, dengan ketajaman mata Po Eng,
tentu saja semua benda itu tak akan lolos dari
pengamatannya. Berada di dataran luas yang tak berperasaan semacam
ini, bila ada orang bersedia memberi berbagai barang
kebutuhan untukmu, tentu saja kau harus membayar untuk
semua itu. Dan kini satu-satunya yang bisa dia bayar untuk
semua itu adalah kesadaran serta suara hatinya.
Apakah Po Eng sudah mulai menaruh curiga kepadanya"
Siau-hong tidak memberi penjelasan.
Berada di hadapan manusia semacam Po Eng, memang
tak perlu menjelaskan persoalan apa pun.
Tiba-tiba Po Eng berkata lagi sambil tertawa, "Tapi aku
lihat kau si orang kaya mendadak rasanya tak pernah
melakukan perbuatan yang memalukan."
Terkadang tidak memberi penjelasan justru merupakan
semacam penjelasan yang paling baik.
"Aku tak lebih hanya bertemu seseorang," Siau-hong
menjelaskan, "Sementara waktu ini, dia tak ingin
membiarkan aku mati dahaga."
"Siapakah orang itu?"
"Seseorang yang tiga hari kemudian bersiap akan
membunuhku dengan tangannya sendiri."
"Dia akan membunuhmu dengan apa?"
"Dengan pedang miliknya."
Dengan sorot mata tajam Po Eng memandang sekejap
pedang Siau-hong, lalu ujarnya, "Kau pun mempunyai
pedang, kemungkinan besar orang yang bakal terbunuh
mati bukan kau, melainkan dia."
"Kemungkinan ini memang ada, tapi rasanya tidak
mungkin." "Kau memiliki sebilah pedang bagus, ilmu pedangmu
juga lumayan hebat, seranganmu tidak lambat, tidak
banyak orang yang mampu menghindari serangan
pedangmu."
"Maka kau pun akan pergi?"
"Karena untuk sementara waktu kau tak bakal mati, aku
pun terpaksa harus pergi," suara Po Eng masih dingin dan
tajam bagai mata golok.
Menunggu datangnya kematian ataupun mati di tangan
orang lain, sama-sama merupakan kejadian yang tidak
menyenangkan. Apakah perasaannya juga sedingin ucapannya" Dia pergi
dari situ, apakah karena dia tahu Siau-hong telah lolos dari
ancaman bahaya maut"
Siau-hong meneguk araknya, kemudian meneguk pula
air tawar, baru perlahan-lahan mendorong campuran arak
itu ke dalam perut.
Dia sangat berharap Po Eng pun bisa minum seteguk
dengan cara begitu, sebab minum dengan cara begini selain
amat nikmat, bahkan amat bermanfaat bagi semangat
maupun kesehatan badan.
Ia tidak mempersilakan Po Eng minum, seperti dia tak
akan meminta seorang pejabat yang bersih dan jujur untuk
menerima uang sogokan.
Pemberian dari seseorang terkadang malah dianggap
sebuah penghinaan oleh orang lain.
Tak disangkal Po Eng telah mengetahui pula akan hal
ini, dari balik sorot mata elangnya yang dingin ternyata
muncul secercah kehangatan.
"Kau belum pernah bertemu orang itu?" tiba-tiba ia
bertanya. Siau-hong menggeleng.
"Belum pernah," kemudian setelah termenung, lanjutnya
pula, "Padahal aku mengetahui hampir semua jago pedang
kenamaan yang ada di kolong langit, namun tak bisa
kuduga siapa gerangan orang itu."
"Tentu saja kau tak akan mengetahuinya," dari balik
mata Po Eng terpancar pemikiran mendalam yang
mendekati "tingkat tinggi".
Lewat lama sekali dia baru berkata lagi perlahan-lahan,
"Karena jago pedang yang sebenarnya memang tak punya
nama." Ucapan ini pun sudah mendekati taraf "tingkat tinggi",
Siau-hong masih muda, ia belum dapat mencernanya.
Maka tak tahan dia pun bertanya, "Kenapa?"
Po Eng harus berpikir cukup lama sebelum dapat
memberi penjelasan, "Karena jago pedang yang
sesungguhnya hanya mencari inti sari sebuah ilmu pedang,
yang dipikirkan hanya tingkatan paling tinggi dan dalam
dari sebuah ilmu pedang, kalau bisa mencapai sebuah taraf
yang belum pernah dijamah dan diraih jago pedang lainnya.
Hatinya sudah begitu tergila-gila dengan pedang, tubuh dan
pikirannya telah menyatu dengan pedang, maka musuh
yang dia cari pastilah orang yang bisa membantu dia untuk
mencapai taraf yang sedang dituju."
Mungkin dia merasa penjelasan ini masih belum cukup
membuat orang merasa puas, maka kembali tambahnya,
"Orang semacam ini bukan saja tak akan terjun ke dalam
dunia persilatan untuk mencari nama, bahkan terkadang dia
telah melupakan nama sendiri."
Siau-hong segera menambahkan, "Betul, yang terutama
baginya adalah tidak berharap orang lain mengetahui nama
mereka, sebab bila seseorang mempunyai nama besar, dia
tak akan bisa konsentrasi untuk melakukan perbuatan yang
disukainya."
Tiba-tiba Po Eng menghela napas panjang, ujarnya,
"Ternyata kau memang seseorang yang amat cerdas,
kepintaranmu luar biasa...."
"Tapi sayang orang yang pintar terkadang justru berumur
pendek," cepat Siau-hong menambahkan.
Suara Po Eng mendadak berubah jadi dingin dan tajam,
setajam mata golok, "Oleh karena itu, tiga hari kemudian
aku pasti akan datang untuk mengurus jenazahmu!"
Hari ini sudah bulan sembilan tanggal delapan belas.
Ooo)d*w(ooO Bulan sembilan tanggal dua puluh, hari cerah.
Dalam dua hari belakangan, kalau siang udara amat
panas, sedang malam hari udara dingin membekukan,
sekalipun kondisi badan Siau-hong makin lama semakin
pulih, namun perasaannya justru berubah semakin tegang,
gelisah, dan tak sabar.
Hal ini bukan dikarenakan ia merasa sangsi dan ngeri
menghadapi duel yang segera akan dihadapinya, tapi
karena ia merasa kelewat kesepian.
Sejujurnya dia ingin sekali mencari seseorang dan


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajaknya mengobrol, tapi Po Eng telah pergi dari situ,
wilayah seputar ribuan li tak nampak jejak sesosok
bayangan manusia pun.
Tegang, kepanasan, persediaan daging dan arak yang
berlebihan membuat perasaannya mendadak berubah jadi
lebih bersemangat.
Sudah lama, lama sekali ia tak pernah menyentuh
wanita. Terkadang dia bisa tak tahan untuk membayangkan
kembali tangan itu, tangan halus, lembut yang sedang
meraba setiap inci bagian tubuhnya, menggosok dan
membasuhi setiap bagian badannya, termasuk bagian yang
vital. Ia mulai merasa bara api yang membakar dadanya,
membakarnya hingga nyaris meledak.
Maka di tengah malam bulan sembilan tanggal sembilan
belas, dengan mengikuti posisi bintang di langit sebagai
kompas, dia mulai berjalan balik menuju ke arah tenda itu.
Hari ini sudah bulan sembilan tanggal dua puluh, dari
balik remangnya cahaya fajar, ia sudah dapat melihat
bayangan tenda.
Dia sendiri pun tahu, dengan kondisi badan yang
dimilikinya sekarang, ia belum pantas untuk berduel
melawan orang itu.
Namun dia enggan menghindar, dia pun tak mungkin
mundur dari kenyataan.
Ada begitu banyak orang yang mempercayai takdir,
semua beranggapan takdir akan menentukan jalan hidup
seseorang. Tapi ada banyak orang yang tidak tahu bahwa hal yang
menentukan jalan kehidupan seseorang seringkali justru
watak dan perangai sendiri.
Siau-hong adalah manusia semacam ini, maka dia pun
memilih jalan kehidupan itu.
Dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke dalam
tenda. Tenda kulit kerbau yang besar dan kokoh itu dibangun di
bawah sebuah tebing batu penahan angin.
Ketika tiga hari berselang Siau-hong pergi meninggalkan
tempat itu, dalam tenda bukan saja terdapat orang, di sana
pun terdapat onta dan kuda, tapi sekarang tak satu pun
yang kelihatan. Kemana perginya mereka"
Kemana perginya onta dan kuda yang demi
kelangsungan hidup, telah memikul beban makanan dan
air, setiap hari menderita pecut dan siksaan manusia yang
tak berperasaan"
Mungkinkah di dalam tenda saat ini hanya tersisa si jago
pedang seorang, jago pedang tanpa nama tanpa perasaan
yang sedang menunggu kedatangannya"
Menunggu untuk mencabut nyawanya!
Matahari yang terik telah muncul di tengah angkasa.
Butiran air keringat telah membasahi tubuh Siau-hong,
mengalir hingga ke ujung bibir.
Butiran keringat yang asin bercampur getir, bila dijilat
dengan ujung lidah akan terasa anyir bagaikan darah.
Dalam waktu singkat dia akan benar-benar mencicipi
rasanya darah asli. Darah sendiri!
Selimut, kantong air dan benda lain yang berat telah dia
tinggalkan, semua barang yang bakal mempengaruhi
kecepatan gerakan telah ia tanggalkan, sambil
menggenggam kencang pedangnya ia berjalan masuk ke
dalam tenda, bersiap menghadapi musuh yang paling
tangguh sepanjang hidupnya.
Di luar dugaan, tak terlihat seorang pun di dalam tenda
itu. Jago pedang tanpa nama, mencabut pedang tanpa
perasaan, sekali menyerang seketika mencabut nyawa
lawan, bukan saja tusukan pedang itu mengandung seluruh
inti sari ilmu pedangnya, terkandung juga seluruh
rahasianya. Tentu saja sewaktu turun tangan, dia enggan
ada orang lain menyaksikannya.
Hanya orang mati yang pernah menyaksikan serangan
pedangnya, karena siapa pun yang pernah menyaksikan
serangan pedangnya, dia harus mati.
Oleh karena itu Siau-hong menduga, Wi Thian-bong
serta si Air raksa telah dipaksa meninggalkan tempat itu.
Tapi mimpi pun dia tak menyangka jago pedang tanpa
nama itu pun ikut pergi dari situ, terlebih tak habis mengerti
mengapa dia harus pergi dari tempat ini"
Mereka berasal dari kelompok yang sama, dalam situasi
dan keadaan seperti apa pun tak nanti meninggalkan arena
pertarungan dan melarikan diri.
Mungkinkah di tempat itu telah terjadi sebuah perubahan
yang mengejutkan" Terjadi suatu peristiwa yang
memaksanya mau tak mau harus pergi meninggalkan
tempat itu"
Siau-hong tak dapat menduganya, dia pun tak tahu apa
jawabannya. Segala perabot dan keadaan di dalam tenda masih sama
seperti keadaan pada tiga hari berselang, saat ia tinggalkan
tempat itu, baskom emas masih berada di atas meja, kulit
macan tutul pun masih ada....
Tiba-tiba seluruh otot badan Siau-hong mengejang
kencang, dengan satu gerakan cepat dia menerjang ke
depan, menghampiri ranjang itu.
Ia telah melihat kulit macan tutul itu sedang bergerak.
Dengan tangan sebelah menggenggam pedang, ia
gunakan tangan yang lain, dengan gerakan yang lambat,
lambat sekali... kemudian secepat sambaran kilat
mencengkeram dan menarik kulit macan tutul itu.
Tak salah, di bawah kulit macan tutul ternyata terdapat
seseorang. Dia bukan si Air raksa, bukan Wi Thian-bong, terlebih
bukan jago pedang tanpa nama.
Orang itu adalah seorang perempuan, seorang
perempuan dalam keadaan telanjang bulat.
Sekilas pandang Siau-hong dapat memastikan kalau
sebelum ini dia belum pernah bertemu dengan perempuan
ini, karena perempuan ini memiliki perbedaan dengan
semua perempuan yang pernah dijumpainya selama ini.
Di mana letak perbedaannya"
Sekalipun Siau-hong tak dapat menjelaskan, namun ia
dapat merasakannya, semacam perasaan yang begitu
dalam, begitu kuat, nyaris menyusup masuk hingga ke
tubuh bagian bawahnya.
Dia memang seorang gelandangan.
Tak sedikit perempuan yang pernah dijumpainya, tak
sedikit pula perempuan yang pernah bugil di hadapannya.
Tapi tubuh perempuan ini kalah jauh bila dibandingkan
dengan tubuh mereka, perempuan-perempuan itu memiliki
tubuh yang lebih padat berisi, lebih kenyal, lebih
merangsang napsu birahi.
Ia kelihatan selain pucat-pasi, bahkan kurus dan lemah,
selain itu perkembangan payudaranya kurang sempurna,
namun kesan yang ditimbulkan perempuan ini justru dapat
menyusup hingga menyentuh napsu birahi paling purba dari
manusia. Sebab dia pasrah, sama sekali tak memiliki kekuatan
untuk melawan, bahkan keinginan untuk melakukan
perlawanan pun sama sekali tak ada.
Sebab perempuan ini kelewat lemah, apa pun yang akan
dilakukan orang lain terhadapnya, terpaksa ia harus
menerimanya. Setiap lelaki dapat melakukan apa pun yang ingin dia
lakukan terhadap perempuan itu.
Bila seorang wanita telah memberi perasaan semacam ini
terhadap seorang lelaki, bagi dirinya atau pun bagi orang
lain, jelas keadaan itu merupakan sesuatu yang sangat tidak
menguntungkan. Karena perasaan itu sendiri membawa semacam
rangsangan yang menggiring manusia untuk melakukan
dosa. Siau-hong menerjang keluar, keluar dari tenda itu walau
di luar tenda matahari sedang bersinar terik.
Ia membiarkan tubuhnya terbakar oleh teriknya
matahari, sementara kobaran api birahi masih membara
dalam lubuk hatinya.
Sudah terlalu lama dia mengendalikan gejolak birahinya,
dia tak ingin berdosa lagi.
Butiran keringat mulai mengucur deras, mengendalikan
napsu birahi terkadang jauh lebih susah daripada
mengendalikan gejolak napsu lainnya.
Ia tidak pergi terlalu jauh, karena masih ada beberapa
masalah yang harus dibikin jelas.
Dengan cara apa perempuan itu tiba di situ" Ke mana
perginya Wi Thian-bong sekalian"
Ketika untuk kedua kalinya dia masuk kembali ke dalam
tenda, perempuan itu sudah duduk, tubuhnya telah
dibungkus dengan kulit macan tutul, ia sedang mengawasi
pemuda itu dengan pandangan ngeri, takut, dan seram.
Siau-hong berusaha menghindarkan diri dari tatapan
mata perempuan itu.
Dia masih belum dapat melupakan perasaan yang
dialaminya tadi, juga belum bisa melupakan tubuh bugil
yang tersembunyi di balik kulit macan tutul itu.
Sekalipun begitu, ada beberapa persoalan tetap harus dia
tanyakan, pertama-tama dia harus mencari tahu lebih dulu
siapakah dirinya.
Setiap satu pertanyaan diajukan, ia segera menjawabnya
secara spontan.
Tampaknya perempuan itu belum pernah
membangkang, karena dia tidak memiliki kekuatan untuk
membangkang, juga tak memiliki keinginan untuk
membangkang. "Siapa kau?"
"Aku bernama Pova."
Suaranya halus dan lembut, biarpun dialek yang dipakai
adalah dialek yang biasa digunakan di daratan Tionggoan,
namun terkesan aneh dan lucu.
Tampaknya walaupun dia seorang bangsa Han, tak
disangkal sejak kecil sudah hidup di gurun pasir, nama yang
digunakan pun menggunakan bahasa Tibet.
"Kau adalah anak buah Wi Thian-bong?"
"Bukan!"
"Kenapa kau bisa sampai di sini?"
"Aku datang untuk menunggu seseorang."
"Siapa?"
"Dia bernama Hong, seorang lelaki, seorang lelaki yang
sangat baik."
Siau-hong tidak merasa tercengang dengan
pengakuannya itu, maka segera tanyanya lagi, "Kau kenal
orang itu?"
"Tidak!"
"Siapa yang menyuruh kau menunggu di sini?"
"Majikanku."
"Siapa majikanmu?"
"Dia pun seorang lelaki."
Ketika menyinggung tentang majikannya, dari balik
matanya segera terpancar semacam rasa kagum dan hormat
yang luar biasa, seperti rasa hormatnya terhadap para
dewata. "Tapi dia lebih tangguh, lebih kosen daripada seluruh
lelaki yang ada di dunia ini, asal dia ingin melakukan
sesuatu, tak ada yang tak bisa dia lakukan, asal dia mau, dia
pun bisa terbang ke langit nan biru, terbang ke puncak Cumu-
lang-ma, karena dia seperti seekor burung elang."
"Burung elang?" akhirnya Siau-hong mengerti,
"Bukankah dia bernama Po Eng?"
Perempuan itu datang ke sana karena Po Eng yang
menyuruh dia ke situ.
Wi Thian-bong tak berada di sana, tentu saja hal ini
dikarenakan mereka telah dipaksa pergi oleh Po Eng.
Dia telah mewakili Siau-hong mengusir pergi Wi Thianbong
dan Air raksa, dia pun telah mewakili Siau-hong
mengalahkan jago pedang tanpa nama yang menakutkan
itu. Asal ia bersedia, pekerjaan apa pun dapat ia lakukan.
Tiba-tiba Siau-hong merasa sangat gusar.
Dia semestinya merasa berterima kasih, tapi rasa gusar
yang membara di dalam dadanya sekarang jauh lebih kuat
dari rasa terima kasihnya.
Jago pedang tanpa nama itu adalah lawannya, duel mati
hidup yang bakal mereka berdua langsungkan sama sekali
tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, sekalipun dia
kalah dalam pertarungan, bahkan mati di medan laga,
semuanya tak ada urusan dengan orang lain.
Hampir saja dia ingin menerjang keluar, pergi mencari
Po Eng, pergi memberitahu orang yang luar biasa itu bahwa
ada sementara urusan yang tak boleh diwakilkan siapa pun,
ada pekerjaan tertentu yang harus dia lakukan sendiri...
pertarungannya harus diselesaikan oleh dirinya sendiri,
harga diri serta martabatnya harus dia sendiri yang
lindungi, seperti dirinya melindungi nyawa sendiri.
Peluhnya masih menetes, dia pun masih pirnya darah
untuk mengalir, atas dasar apa manusia yang luar biasa itu
ingin mencampuri urusannya!
Perempuan itu masih mengawasinya tanpa berkedip,
tiada rasa takut lagi di balik sorot matanya, mendadak ia
berkata, "Aku tahu, kau pastilah orang yang sedang
kutunggu."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Aku bisa melihat, kau adalah orang baik," perlahan ia
menundukkan kepala, "Karena kau tidak menjahati aku...."
Sebetulnya manusia itu sama rata sama derajat, setiap
orang berhak untuk "tidak dijahati", tapi bagi perempuan
ini, bisa tidak dijahati orang sudah merupakan sebuah
berkah, sebuah keberuntungan yang langka.
Sudah berapa banyak tekanan, penghinaan dan
perkosaan yang dia alami selama ini" Dari balik perkataan
yang diucapkannya sekarang, terkandung betapa besar


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesedihan dan kepedihan yang pernah dia alaminya selama
ini" Tiba-tiba rasa gusar Siau-hong lenyap seketika, rasa
gusarnya telah berubah jadi rasa kasihan dan iba.
Kembali perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap
pemuda itu lekat-lekat, "Aku pun dapat melihat apa yang
kau butuhkan sekarang, apa yang kau inginkan segera akan
kuberikan semuanya untukmu!"
Detak jantung Siau-hong kembali berdebar keras,
perempuan itu telah bangkit, berdiri di hadapannya dalam
keadaan telanjang bulat.
Ketika Siau-hong ingin kabur, ingin menghindarkan diri,
perempuan itu sudah menubruk ke dalam pelukannya.
Suara tawanya benar-benar sangat riang, jauh lebih riang
daripada seorang pemancing ikan yang memasukkan ikan
hasil tangkapannya ke dalam kuali berminyak panas.
Bagaimana pula perasaan sang ikan"
Ooo)d*w(ooO BAB 5. IKAN DALAM JARING
Perasaan pertama yang muncul dalam benak Siau-hong
adalah "Tidak percaya", dia tak percaya Pova bakal
mengkhianatinya.
Sayang semua ini merupakan kenyataan, seringkali
kenyataan jauh lebih menakutkan, jauh lebih sadis dan
kejam daripada impian buruk.
Tapi akhirnya dia mengerti juga.
Pova menunggunya di dalam tenda bukan atas perintah
Po Eng. Ternyata majikannya bukan Po Eng, melainkan
Sui-gin, si Air raksa.
"Sekarang tentunya kau sudah paham bukan kalau
semua ini hanya sebuah perangkap, semua perkataan yang
dikatakan nona Sui kepadamu tadi tak satu pun yang
merupakan kata sejujurnya, walaupun dia mempunyai
suara yang manis bagai madu, namun di balik
senyumannya tersembunyi golok, golok yang dapat
membunuh tanpa mengeluarkan darah!"
Pova berdiri di samping Sui-gin, apa pun yang dikatakan
Sui-gin, Pova hanya mendengarkan dengan tenang.
Mendadak ia cengkeram rambut Pova, menekan
wajahnya yang pucat-pasi itu ke hadapan Siau-hong.
"Pentang matamu lebar-lebar dan awasi wajahnya, aku
berani bertaruh, hingga sekarang kau pasti tak akan percaya
kalau dia adalah perempuan semacam ini!"
Siau-hong membuka matanya lebar-lebar, rambut
perempuan itu telah mewakilinya menahan cahaya
matahari, rambutnya yang panjang terurai di atas
wajahnya, sepasang mata perempuan itu tampak kosongmelompong,
seakan tak melihat apa-apa, dia pun seolah tak
memikirkan apa-apa.
Pada hakikatnya, orang ini seolah hanya tinggal sebuah
badan yang kosong, tidak memiliki pikiran, tak punya
perasaan, juga tak punya sukma.
Dalam waktu sekejap inilah, Siau-hong telah memaafkan
dirinya. Terlepas dia pernah berapa kali melakukan
perbuatan yang menakutkan, dia telah memaafkannya.
"Orang yang punya janji denganmu telah pergi," kata si
Air raksa lagi, "Karena ia sudah tahu kalau kau pada
hakikatnya tidak pantas untuk bertarung melawannya. Wi
Thian-bong ingin menggunakan kau untuk mencari kembali
uang emasnya, sedang aku hanya menginginkan
nyawamu." Setelah menarik napas, perlahan-lahan ia berkata lebih
jauh, "Aku berani bertaruh, kali ini pasti tidak ada lagi
orang yang datang menyelamatkan dirimu."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa lebar.
"Apa yang kau pertaruhkan" Mempertaruhkan
nyawamu?" katanya.
Sui-gin balas menatap lawannya lekat-lekat, "Aku hanya
menginginkan...."
Perempuan itu tidak menyelesaikan kata-katanya,
mendadak senyuman di bibirnya membeku, karena secara
tiba-tiba dia telah menyaksikan munculnya sesosok
bayangan hitam di atas tanah.
Cahaya matahari memancar masuk dari belakang
punggungnya, bayangan hitam itu justru muncul dari
belakang tubuhnya, bayangan dari seseorang.
Dari mana datangnya orang itu" Sejak kapan muncul di
sana" Ternyata Sui-gin sama sekali tidak merasakannya.
Bayangan itu menempel ketat di belakang tubuhnya,
bergerak sedikit pun tidak.
Sui-gin tak berani bergerak, ia tak berani bergerak secara
sembarangan. Tangan dan kakinya telah dingin membeku, butir
keringat sebesar kacang kedelai telah jatuh bercucuran, butir
demi butir bercucuran membasahi jidatnya.
"Siapa kau?" akhirnya tak tahan dia bertanya.
Bayangan itu tidak menjawab, Siau-hong yang
mewakilinya menjawab, "Mengapa kau tidak berpaling dan
melihatnya sendiri?"
Tentu saja wanita itu tak berani berpaling.
Asal dia berpaling, kemungkinan besar ada sebilah
pedang yang tajam akan segera menggorok lehernya.
Segulung angin berhembus, mengibarkan jubah panjang
bayangan itu. Dia segera dapat melihat ujung jubah berwarna putih
yang jauh lebih putih dari salju di pegunungan nun jauh di
sana. Kembali Siau-hong bertanya, "Sekarang apakah kau
masih akan bertaruh lagi denganku?"
Sui-gin ingin sekali buka suara, namun hanya bibirnya
yang gemetar, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Di saat orang lain menyangka dia sudah hampir runtuh
karena rasa ketakutan yang luar biasa itulah mendadak
perempuan itu melejit keluar lewat samping Pova,
kemudian sambil menginjak di atas kepala Pova, dia melejit
sejauh tiga tombak dari tempat semula kemudian kabur
terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Sampai detik terakhir dia tetap tak berani berpaling
untuk memandang sekejap ke arah bayangan yang berdiri di
belakang tubuhnya, sebab ia sudah dapat menebak siapa
gerangan orang itu.
Di atas puncak Cu-mu-lang-ma yang selalu dilapisi salju
abadi, hanya ada seekor burung elang. Di dataran luas yang
tak berperasaan pun hanya ada seorang, konon orang itu
adalah jelmaan dari siluman elang, seorang tokoh sakti
yang selamanya tak pernah bisa dimusnahkan.
Semua orang yang hidup di tengah gurun pasir, pasti
pernah mendengar kisah cerita tentang dongeng ini, begitu
juga dengan Sui-gin.
Po Eng tidak mengejar perempuan itu, dia masih berdiri
di situ tanpa bergerak, berdiri sambil mengawasi Siau-hong
dengan sepasang mata elangnya.
"Kau sudah kalah," tiba-tiba ujarnya, "Bila ia benarbenar
mengajakmu bertaruh, kau sudah kalah."
"Kenapa?"
"Karena apa yang dia katakan memang benar, kali ini
memang tiada orang yang bakal menolongmu."
"Bagaimana dengan kau?"
"Aku pun bukan datang untuk menolongmu, aku hanya
kebetulan lewat di sini, kebetulan berdiri persis di belakang
tubuhnya."
Siau-hong pun menghela napas panjang.
"Ai, apakah selamanya kau tak pernah mau menerima
rasa terima kasih orang lain terhadapmu?"
Dia tahu Po Eng tak bakal menjawab pertanyaan ini,
maka segera lanjutnya lebih jauh, "Jika secara kebetulan
kau butuh lima lembar sabuk kulit kerbau, kebetulan aku
memiliki lima lembar sabuk kulit kerbau dan bisa
kuhadiahkan untukmu, aku pun tak ingin kau berterima
kasih kepadaku!"
Senyuman mulai nampak dari pancaran mata Po Eng,
sahutnya, "Kebetulan aku memang sedang membutuhkan
sabuk kulit kerbau semacam ini."
Siau-hong segera menghembuskan napas lega, katanya
kemudian sambil tersenyum, "Kalau begitu, bagus sekali."
Kulit kerbau yang terikat di keempat anggota badan serta
tenggorokan Siau-hong sudah dilepas, Po Eng pun
menggabungkan kelima utas sabuk itu menjadi satu, tibatiba
ia bertanya, "Tahukah kau apa yang hendak kuperbuat
dengan benda ini?"
"Tidak."
"Akan kuhadiahkan kepada seseorang."
"Dihadiahkan untuk siapa?"
"Untuk seseorang yang setiap saat kemungkinan akan
menggantung diri, kalau ingin gantung diri, sabuk kulit
kerbau semacam ini paling cocok dipakai," kata Po Eng
hambar, "Aku tak suka membunuh orang, tapi aku pun tak
keberatan jika ada seseorang ingin menggantung diri."
Siau-hong tak perlu bertanya lagi siapakah orang itu, dia
memang tidak terlalu menaruh perhatian atas perkataan
dari Po Eng itu.
Hingga saat ini, dia hanya mengawasi Pova terus tanpa
berkedip. Waktu itu Pova sudah terinjak hingga terbenam dalam
pasir, biarpun rambutnya yang hitam masih berkibar
terhembus angin, namun seluruh wajahnya telah terbenam
di dalam pasir kuning.
Selama ini dia hanya berbaring terus dalam posisi begitu,
sama sekali tak bergerak, sama sekali tak mendongakkan
kepalanya. Apakah hal ini dikarenakan ia tak berani mengangkat
wajahnya lagi untuk berhadapan dengan Siau-hong"
Sebetulnya Siau-hong ingin sekali pergi begitu saja, pergi
tanpa mempedulikan perempuan itu lagi, akan tetapi
perasaannya masih terasa sakit sekali.
"Mana pedangmu?" kembali Po Eng bertanya
kepadanya. "Tidak tahu!" pedang itu memang sudah tidak
berada di sampingnya lagi.
"Masih ingin mendapatkan kembali pedangmu?"
"Tentu saja!"
Mendadak Po Eng tertawa dingin, katanya, "Padahal
kau sudah tak menginginkannya lagi, kecuali perempuan
ini, kau sudah tak menginginkan yang lain...."
Ternyata Siau-hong tidak menyangkal, tiba-tiba dia
mengulurkan tangan, membelai perlahan rambut Pova yang
masih berkibar terhembus angin.
Berada di hadapan Po Eng, sebetulnya dia tak ingin
berbuat begitu.
Tapi sekarang dia telah melakukannya, ia lakukan semua
itu bukan terdorong oleh rasa iba atau simpatik, bukan juga
karena luapan emosi sesaat, melainkan karena suatu
perasaan yang sukar dijelaskan, sukar dilukiskan dengan
perkataan apa pun.
Dia tidak tahu kalau perasaan semacam ini
sesungguhnya tak dapat dipahami oleh Po Eng, dia hanya
mendengar suara tertawa dingin Po Eng, lalu secara tibatiba
suara itu semakin menjauh.
Di kolong langit, di tengah dataran yang begitu luas
seolah-olah kini tinggal mereka berdua, walau begitu Siauhong
sudah tidak merasakan kesendirian dan kesepian lagi.
Cepat dia membangunkan perempuan itu, mengangkat
wajahnya dengan kedua belah tangan, tampak sorot mata
Pova kosong dan hampa, tiada perubahan mimik, tiada
luapan perasaan, tiada air mata.
Bekas air mata masih memenuhi wajahnya yang kini
telah tergesek luka oleh pasir panas, mendadak Siau-hong
mengambil keputusan, dia bertekad akan membuat
perempuan itu memahami perasaannya.
"Semua ini bukan kesalahanmu, aku tidak membencimu.
Terlepas perbuatan apa saja yang pernah kau lakukan dulu,
aku tak peduli, selama aku masih bisa hidup, akan kurawat
dirimu secara baik-baik, tak akan kubiarkan kau diatur
orang, diperintah orang dan dianiaya orang lain."
Pova hanya mendengarkan tanpa bicara, membiarkan air
matanya meleleh membasahi pipinya, bukan saja ia tidak
memberi penjelasan atas kesalahan yang pernah dilakukan,
dia pun tidak menampik kasih sayangnya yang lembut.
Peduli apa pun yang akan dilakukan pemuda itu, dia
bersedia menerimanya, rela menuruti semua kemauannya.
Maka Siau-hong pun membopong tubuh perempuan itu,
berjalan ke depan dengan langkah lebar.
Tapi berapa jauh dia bisa pergi" Berapa lama dia bisa
hidup" Siau-hong tak tahu, dia pun tak peduli.
Belum jauh ia berjalan meninggalkan tenda, tiba-tiba
terdengar suara keleningan onta, suara keleningan onta
yang lebih merdu dari irama dewa-dewi, lebih
membangkitkan semangat daripada genderang perang.
Menyusul dia pun menyaksikan satu rombongan
pedagang yang mengendrai onta yang begitu besar,
rombongan besar yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Begitu banyak onta, begitu banyak barang muatan,
begitu banyak manusia....
Orang pertama yang dia saksikan adalah seorang
bongkok yang timpang kakinya, putus jari tangannya,
berkepala botak, dan bermata satu. Si bongkok ini tampak
tinggi besar dan jauh lebih buas tampangnya daripada
kebanyakan orang.
Terhadap manusia semacam ini, dia tak perlu bicara
berputar-putar.
"Aku dari marga Hong," dia langsung berterus terang,
"Saat ini tak punya air, tak punya makanan, tak punya
uang. Aku sudah tersesat. Karena itu kumohon kalian mau
menerimaku, bawa aku meninggalkan wilayah gurun pasir
ini!" Dengan mata tunggalnya yang memancarkan sinar tajam
si bongkok mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya
dingin, "Kalau kau memang tak memiliki apa-apa, kenapa
kami harus menerimamu?"
"Karena aku adalah manusia, kalian pun manusia."


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena ucapannya itu, maka mereka pun
menerimanya. Rombongan pedagang itu berasal dari berbagai ragam
bangsa, ada orang Tibet dengan dandanannya aneh tapi
indah, ada orang Mongol yang gagah perkasa, ada orang
Bhutan yang gemar memakai baju ungu, ada pula bangsa
Han yang sudah lama meninggalkan kampung halaman.
Barang dagangan mereka terdiri dari bulu domba, kulit
samak, daun teh, garam, obat-obatan, serta dupa wangi.
Adapun tujuan mereka adalah negeri Turfan pada dinasti
Tong, kota Tosiamso yang dalam pandangan orang Tibet
merupakan kota suci mereka, Lhasa!
Sekalipun kelompok yang mereka bentuk sedikit campuraduk,
namun semuanya merupakan kaum pedagang, oleh
karena itu kerja sama antar kelompok berlangsung sangat
baik dan harmonis.
Ada yang bertugas memberi makan onta, ada yang
bertugas mengurus makanan dan minuman, ada yang
bertugas mengobati penyakit, ada pula satu kelompok orang
yang paling kuat dan buas bertugas sebagai pengawal,
pengamat, serta pasukan pemukul serangan musuh.
Si bongkok yang mengizinkan Siau-hong bergabung
dalam rombongan ini adalah salah satu di antara kelompok
itu. Siau-hong mendapat tahu kalau pemimpin mereka
adalah seorang Tibet yang mempunyai julukan sebagai
Pancapanah, sayang selama ini belum pernah
menjumpainya karena dia sering berkelana ke empat
penjuru dunia. Selama dia tak berada di tempat, kelompok ini akan
dipimpin oleh si bongkok serta seseorang bernama Tong
Leng yang berasal dari wilayah Siok (Su-cwan).
Memang bukan pekerjaan gampang untuk mengurusi
serta bertanggung-jawab atas keselamatan rombongan besar
semacam ini! Biarpun si bongkok adalah seorang cacat, ternyata gerakgeriknya
cepat dan lincah, bahkan memiliki kekuatan yang
menakutkan, bungkusan barang seberat beberapa ratus kati
ternyata sanggup dia angkat hanya dengan mengandalkan
sebelah tangan.
Sejak awal perjumpaan, Siau-hong sudah tahu orang ini
adalah seorang jago persilatan yang memiliki kungfu sangat
hebat. Tong Leng adalah seorang lelaki pendiam tapi gerakgeriknya
serius, dia memiliki jari tangan yang panjang
namun penuh bertenaga, kemungkinan besar merupakan
anak murid keluarga Tong dari Su-cwan yang tersohor
karena kelihaian senjata rahasia beracunnya.
Kendatipun begitu, setiap kali menyinggung
Pancapanah, sikap mereka segera akan berubah amat
hormat dan patuh.
Kendati Siau-hong belum pernah bertemu orang itu,
namun bisa membayangkan bahwa dia adalah seorang
lawan yang tak gampang dihadapi.
Perjalanan yang ditempuh rombongan itu tidak terlalu
cepat. Onta memang bukan termasuk jenis binatang yang
gemar berlari, sementara rombongan itu pun tidak punya
kepentingan untuk menempuh perjalanan cepat.
Begitu matahari mulai tenggelam di balik gunung,
mereka akan mengumpulkan semua onta menjadi satu
lingkaran besar, di tengah lingkaran kosong inilah mereka
mendirikan tenda untuk berteduh, Siau-hong serta Pova
mendapat jatah sebuah tenda tersendiri.
Malam kedua, Siau-hong dapat tidur amat nyenyak.
Berada dalam perlindungan keamanan sebuah kelompok
yang begitu ketat dan kuat, tentu saja ia dapat tidur sangat
pulas. Dia berharap Pova pun dapat tidur dengan nyenyak
sekali, tapi sampai ia mendusin pada hari kedua,
perempuan itu masih duduk bodoh di tempat semula,
sekalipun sudah tiada air mata namun ia sudah
memperlihatkan reaksi.
Sorot mata yang terpancar menunjukkan perasaannya
yang hancur-lebur.
Biarpun selama ini dia tak pernah mengucapkan sepatah
kata penyesalan pun, namun sinar matanya telah
memperlihatkan seluruh perasaannya, ungkapan hati yang
jauh lebih gamblang daripada kata-kata.
Biarpun Siau-hong telah memaafkan dirinya, akan tetapi
ia tak dapat memaafkan diri sendiri.
Dia hanya berharap waktu dapat menyembuhkan
seluruh luka yang membekas dalam hatinya.
Sewaktu Siau-hong bangun dari tidurnya, hari belum
begitu terang tanah, saat itu rombongan onta sudah siap
melanjutkan kembali perjalanannya.
Ketika keluar dari tenda, si bongkok telah menantinya.
"Kemarin aku telah menerangkan semua keadaan di sini
kepadamu, tentu saja kau sudah paham bukan, setiap orang
yang berada di sini harus bekerja."
"Aku mengerti."
"Apa yang dapat kau lakukan?"
"Kau menghendaki aku mengerjakan apa, akan
kulakukan."
Si bongkok memandangnya dengan dingin, di antara
kilatan cahaya dari balik mata tunggalnya, mendadak
secepat kilat dia melancarkan serangan.
Tangan kirinya hanya memiliki dua jari tangan, namun
ketika turun tangan, kedua jari itu tiba-tiba saja berubah
seperti sepasang pedang, sebilah gurdi dan seekor ular
berbisa, ular yang langsung menyergap tenggorokan Siauhong.
Menghadapi datangnya ancaman itu Siau-hong sama
sekali tak bergerak, bahkan mata pun sama sekali tak
berkedip, menunggu kedua jari tangan itu sudah berada
lima inci di depan tenggorokannya, ia baru mulai bergeser,
tiba-tiba saja ia sudah menyelinap ke sisi kiri si bongkok.
Waktu itu telapak tangan kanan si bongkok telah
melancarkan pukulan, pukulan inilah baru merupakan
serangan utamanya, angin serangan yang muncul akibat
pukulan itu seketika membuat seluruh tenda bergoncang
keras. Sayang sekali sasaran gempurannya sudah tidak berada
pada posisi yang diperhitungkan semula.
Siau-hong sudah tahu serangannya hanya jurus tipuan,
biarpun anak muda itu bergerak lamban, namun
sesungguhnya cepat luar biasa, arah di mana Siau-hong
bergeser justru merupakan posisi yang paling sulit dicapai
serangan lawan atau dengan perkataan lain merupakan
posisi yang paling lemah dan kosong pertahanannya. Asal
dia melancarkan serangan balasan, niscaya pihak lawan
segera akan roboh.
Siau-hong tidak turun tangan.
Dia membiarkan pihak lawan tahu kalau dirinya tak bisa
dianggap enteng, dengan "tenang mengatasi gerak, dengan
lambat mengatasi cepat, menyerang belakangan tiba
duluan", ia perlihatkan ketangguhan dan kelebihan dirinya.
Si bongkok pun tidak lagi melancarkan serangan.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan, saling
menatap sampai lama sekali, kemudian si bongkok itu baru
berkata perlahan, "Sekarang aku sudah tahu apa yang bisa
kau lakukan."
Sambil membalikkan badan tambahnya, "Mari ikut aku!"
Sekarang, tentu saja Siau-hong pun sudah tahu pekerjaan
apa yang bakal diberikan si bongkok kepadanya.
Demi kelanjutan hidup, demi keluar dari gurun pasir
dalam keadaan hidup, terpaksa dia harus melakukannya.
Dia harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk
memperebutkan hak mempertahankan hidup bagi dirinya
serta Pova. Di saat tak boleh mati, dia akan berusaha sekuat
tenaga untuk tidak mati, di saat harus hidup, dia pun akan
sepenuh tenaga memperebutkannya.
Tong Leng mempunyai perawakan tubuh setinggi lima
kaki sedang berat tubuhnya hanya seratus lima puluh satu
kati, namun setiap inci tubuhnya dipenuhi otot baja dan
tenaga raksasa, setiap otot setiap tulang, setiap syaraf yang
dimilikinya selalu terjaga dalam kondisi sehat dan
sempurna sehingga setiap saat dapat melancarkan serangan
telak yang mematikan.
Biarpun perawakan tubuh anak buahnya rata-rata jauh
lebih tinggi dari tubuhnya, namun selama berdiri di
hadapannya, ternyata tak seorang pun berani memandang
enteng terhadap dirinya.
Di antara kelompok mereka ini, di antaranya bukan saja
terdapat para jago gagah dari dunia persilatan, ada juga
para jago dari luar perbatasan maupun jago-jago dari
bangsa asing. Dan sekarang, mereka telah ketambahan lagi seorang
rekan. "Dia she Hong," si bongkok mengajak Siau-hong ikut
hadir di tempat di mana setiap pagi mereka berkumpul,
"Aku ingin menggunakan dia!"
"Apakah dia berguna?" tanya Tong Leng, hanya satu
pertanyaan. "Ya!"
Tong Leng tidak bicara lagi, dia sangat mempercayai si
bongkok, selamanya tak pernah banyak bertanya.
Sayang belum tentu orang lain berpandangan begitu.
Kelompok manusia ini terdiri dari kawanan manusia
yang sudah terbiasa hidup menyendiri, angkuh, dan enggan
mengaku lemah di hadapan orang lain, sifat mereka masih
liar, siapa pun tak pernah memandang sebelah mata
terhadap orang lain.
Setelah saling bertukar pandang, akhirnya orang pertama
yang tampil ke depan adalah Ma Sah.
Lelaki yang bernama Ma Sah ini berperawakan tinggi
besar dan kasar, ia memiliki tenaga dalam yang luar biasa
kuatnya, termasuk seorang Bu-su kenamaan di wilayah
Mongol dan merupakan jagoan hebat ilmu gulat.
Kalau akan mencari masalah dengan orang lain, dialah
orang pertama yang selalu tampil lebih dulu.
"Biar aku yang mencoba lebih dulu sampai di mana
kehebatan kepandaian silatnya!"
Diiringi suara bentakan nyaring, sepasang tangan
besarnya yang kuat bagai banteng itu langsung
mencengkeram bahu Siau-hong.
Seketika itu juga tubuh Siau-hong terlempar ke tengah
udara. Ma Sah tertawa terbahak-bahak. Tapi baru saja tertawa,
mendadak ia tak dapat tertawa lagi.
Orang yang baru saja dilempar jauh ke belakang, tahutahu
sudah berdiri kembali di posisi semula, bukan hanya
balik ke tempat semula, bahkan seakan sama sekali tak
pernah bergerak.
"Bocah muda, ternyata hebat juga kepandaianmu."
Ma Sah meraung keras, kembali ia gunakan jurus paling
hebat dari ilmu gulatnya. Konon dengan jurus ini dia
pernah membanting mati seekor banteng buas.
Tapi kali ini Siau-hong sama sekali tak bergerak,
sepasang kakinya seolah sudah berakar di dalam tanah.
Kembali Ma Sah meraung keras, suaranya nyaring bagai
auman binatang buas, seluruh kekuatan yang dimilikinya
telah digunakan.
Kali ini Siau-hong mulai bergerak.
Bahunya dikibaskan perlahan, sekonyong-konyong
tubuh Ma Sah yang gede bagai kerbau itu sudah
berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, lalu roboh
terbanting ke atas tanah, begitu kerasnya bantingan itu
hingga nyaris menciptakan sebuah liang besar di atas
permukaan pasir.
Pada saat itulah sekilas cahaya dingin berkelebat di
tengah udara, sebilah golok telah dilolos dari sarungnya dan
langsung dihujamkan ke arah pinggang Siau-hong.
"Coba dulu kehebatan golokku!"
Orang ini menyerang dulu kemudian baru bersuara,
memang begitulah cara seorang pejuang suku Gurkha
ketika hendak membunuh orang, Garda merupakan salah
seorang dalam pasukan mereka yang paling ganas dan buas.
Bagi mereka, membunuh tetap adalah membunuh, asal
dapat membunuh lawan, peduli cara mereka itu gagah atau
tidak. Baru saja suara bentakan bergema, mata goloknya nyaris
sudah menusuk pinggang Siau-hong, sayang pergelangan
tangannya sudah keburu ditahan oleh Siau-hong, menyusul
tahu-tahu golok miliknya sudah berpindah tangan.
"Kau hendak membunuhku, seharusnya aku pun
membunuhmu," ujar Siau-hong dengan suara berat,
"Karena kau tak mampu membunuhku, seharusnya kaulah
yang mati di tanganku."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Apakah cara ini
terhitung sangat adil?"
Saking sakitnya, peluh sebesar kacang kedelai telah
membasahi jidat Garda, ia merasakan pergelangan
tangannya nyaris hancur berkeping, sambil mengertak gigi
sahutnya cepat, "Adil!"
Siau-hong tertawa, tiba-tiba ia kendorkan tangannya dan
menyarungkan kembali golok itu ke dalam sarung kulit
kerbaunya. "Aku tak boleh membunuhmu karena kau adalah
seorang jago pemberani, seorang jago pemberani yang tak
takut mati."
Garda melotot besar, melotot sambil mengawasi
lawannya tanpa berkedip, mendadak ia meleletkan lidah,
meleletkan lidahnya yang panjang, panjang sekali.
Jelas dia bukan sedang membuat muka setan, mimik
wajahnya tampak serius dan sangat menaruh hormat.
Kemudian dari sakunya dia ambil keluar selembar kain
putih yang terbuat dari sutera, dengan kedua belah tangan
dia persembahkan sutera itu dan diletakkan di bawah kaki
Siau-hong. Untung Siau-hong sudah pernah mendatangi banyak
tempat di wilayah seputar sana sehingga tidak sampai salah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengartikan maksudnya.
Meleletkan lidah di hadapan orang lain merupakan
upacara penghormatan paling tinggi bagi orang Tibet,
menandakan mereka menaruh rasa hormat yang luar biasa
terhadap dirimu.
Sementara kain putih sutera itu merupakan "Ha-da",
benda yang amat dihormati bangsa Tibet, jika seorang
mempersembahkan Ha-da kepada orang lain, hal ini
mengartikan dia telah menganggap dirimu sebagai
sahabatnya yang paling terhormat.
Oleh karena itulah paling tidak di tempat itu Siau-hong
sudah mempunyai seorang sahabat yang bisa diandalkan.
Tak ada lagi yang turun tangan, ketika menatap Siauhong
sekarang, sorot mata setiap orang sudah jauh berbeda
bila dibandingkan dengan tatapannya semula.
Siau-hong mengerti, mereka telah menerima
kehadirannya. Selama ini si bongkok hanya mengawasi tanpa bicara,
saat itulah dia baru berkata, "Julukan untuk kelompok kami
adalah 'Panah', sekarang kau sudah menjadi salah satu
anggota kelompok Panah, berarti seperti anggota lain,
setiap hari mendapat giliran sekali untuk meronda dan
piket. Barang dagangan yang kita bawa pulang kali ini tak
ternilai harganya. Asalkan ada orang mencurigakan ingin
datang membegal barang dagangan kita, kau boleh segera
membunuhnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali terusnya,
"Kau bahkan boleh menggunakan cara yang digunakan
Garda untuk membunuhmu tadi untuk membinasakannya."
"Kau akan mendapat tugas piket senja nanti," ujar Tong
Leng kemudian, "Aku akan mengirim Garda untuk tugas
bersamamu, sampai waktunya dia akan pergi
menghubungimu."
"Sekarang kau boleh kembali untuk merawat
perempuanmu itu lebih dulu," si bongkok menambahkan.
Dari balik mata tunggalnya tiba-tiba terlintas senyuman,
tambahnya, "Kelihatannya perempuan itu adalah seorang
perempuan baik, di sini jarang ada perempuan, lebih
banyak kaum lelaki, jadi kau harus menjaganya ekstra hatihati."
Siau-hong hanya mendengarkan dengan mulut
membungkam, kemudian berlalu tanpa bicara.
Belum jauh dia pergi, terdengar Tong Leng bertanya
kepada si bongkok, "Ilmu silat yang dimiliki orang she
Hong itu sangat hebat, tahukah kau asal-usul ilmu
silatnya?"
"Tidak tahu."
"Kau tak bertanya kepadanya?"
"Tidak."
"Kenapa tidak kau tanya?"
"Karena...."
Siau-hong tidak mendengar pembicaraan mereka
selanjutnya, karena secara tiba-tiba si bongkok
merendahkan suaranya, sedang dia pun sudah pergi jauh.
Rombongan onta kembali melanjutkan perjalanannya,
mereka bergerak sangat lamban.
Ada di antara anggota rombongan yang demi sujud
hormatnya terhadap tempat suci, mereka bersujud penuh
dengan ketulusan hati, setiap tiga langkah satu kali
menyembah, lima langkah tiga kali bersujud.
Pova mendapat jatah seekor onta, ia duduk termangu di
atas onta dengan pandangan mata kosong, seolah tak ada
yang dipikirkan selama ini, seolah juga kelewat banyak
yang sedang dia pikirkan.
Sementara Siau-hong sedang memikirkan terus
perkataan yang diucapkan si bongkok tadi.
"Kali ini kami sedang membawa barang dagangan yang
mahal harganya, asal ada orang mencurigakan yang
berusaha mendekat, kau harus segera membunuhnya."
Mau tak mau timbul kecurigaan di hati Siau-hong.
Apakah barang dagangan yang mereka bawa pulang kali
ini adalah emas lantakan senilai tiga puluh laksa tahil"
Mungkinkah orang-orang ini adalah begal kucing"
Menggunakan cara semacam ini untuk mengelabui
identitas mereka meski tak bisa dihitung terlalu baik, namun
untuk mengirim keluar emas sebesar tiga puluh laksa tahil
dari gurun pasir, memang tiada cara lain yang lebih bagus
lagi daripada cara seperti ini.
Bila para Bu-su dari kelompok Panah mengenakan
topeng kepala kucing, bukankah mereka segera akan
berubah menjadi begal kucing"
Sekalipun sepak terjang mereka sangat mencurigakan,
namun di balik hal itu pun masih terdapat persoalan lain.
Kalau ada rombongan yang begitu besar sedang melakukan
perjalanan di gurun pasir, tak mungkin Wi Thian-bong
tidak memperhatikan.
Kenapa hingga sekarang Wi Thian-bong belum
melakukan suatu langkah serta tindakan terhadap mereka"
Jika mereka benar-benar adalah bandit kucing, mengapa
pula mau menerima dirinya sebagai seorang asing yang tak
jelas asal-usulnya"
Siau-hong memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh.
Bagaimana pun juga sikap orang-orang itu terhadapnya
masih terhitung lumayan, bila bukan mereka yang mau
menampungnya, kemungkinan besar saat ini tubuhnya
sudah menjadi santapan elang kelaparan.
Yang paling ketat dan keras pengurusannya adalah
masalah penggunaan air minum.
Orang yang bertanggung jawab atas masalah ini adalah
seorang dari marga Gan, dia bernama Tin-kong, orangnya
jujur, adil, tegas, dan sangat pakai aturan.
Selama menempuh perjalanan, tak terhindar tentu ada
yang menderita sakit atau tak sehat badan.
Orang yang bertanggung-jawab masalah pengobatan
adalah seorang Siucay yang mengembara hingga keluar
perbatasan, tubuhnya kurus, lemah, mukanya penyakitan.
Meski dia tak mampu menyembuhkan penyakit yang ia
sendiri derita, namun semua orang bersikap hormat
kepadanya, mereka memanggilnya Song-lohucu, si tabib
Song. Dalam waktu singkat Siau-hong telah berkenalan dengan
mereka, namun selama ini ia tak pernah bertemu
Pancapanah yang jejaknya penuh misteri itu, dia pun tak
pernah lagi berjumpa dengan Wi Thian-bong.
Tampaknya Wi Thian-bong sama sekali tidak menaruh
perhatian kalau di tengah gurun terdapat rombongan onta
yang begitu besar.
Senja telah menjelang.
Rombongan onta kembali membuat sebuah lingkaran,
tenda-tenda pun mulai didirikan.
Pova kelihatan makin layu, makin lemah dan kusut,
walaupun kadangkala secara diam-diam ia mencuri
pandang sekejap ke arah Siau-hong, namun tak pernah buka
suara. Untung saja perempuan itu sangat penurut, bila Siauhong
memintanya minum, dia langsung minum, bila
memintanya tidur, dia pun langsung tidur.
Justru sikap semacam ini membuat perasaan orang
makin kecut dan pedih.
Dia sebetulnya ingin sekali menemaninya lebih lama,
tapi Garda telah muncul, memanggilnya untuk tugas ronda.
Seluruh barang dagangan telah diturunkan dari
punggung onta dan dikumpulkan jadi satu di tengah arena,
begitu banyak barang bawaan itu hingga tertumpuk bagai
sebuah bukit pasir.
Sejak senja hingga tengah malam, terdapat dua belas
orang yang terbagi dalam enam regu ronda, Siau-hong dan
Garda merupakan salah satu di antaranya.
Siapa pun itu orangnya, asal bungkusan yang ada di
tengah arena dibuka sedikit saja, segera akan diketahui apa
isi barang itu.
Sejak awal Siau-hong memang sudah menampik
memikirkan persoalan itu.
Emas batangan milik Hok-kui-sin-sian memang kelewat
banyak, sudah seharusnya ia membagi sedikit harta
kekayaannya untuk orang lain.
Langit makin lama semakin gelap, mereka melakukan
perondaan di sekeliling barang dagangan.
Garda selalu secara sengaja berjalan selangkah di
belakang, pertanda ia menaruh rasa hormat terhadap Siauhong,
selama anak muda itu tidak berbicara, dia pun tak
akan buka suara.
Akhirnya Siau-hong buka suara terlebih dulu, ujarnya,
"Dapat kulihat Ma Sah adalah seorang jagoan hebat,
apakah dia adalah sahabatmu?"
"Benar," wajah Garda tampak amat berat dan serius,
"Tapi selanjutnya mungkin kita tak pernah akan bertemu
lagi dengannya."
"Mengapa?" tanya Siau-hong terperanjat.
"Ketika tengah hari tadi, dia minta aku menemaninya
pergi berhajat, karena aku tak mau berhajat maka tak jadi
ikut, dia pun pergi seorang diri."
Sekilas rasa sedih dan pedih melintas di wajah Garda,
terusnya, "Siapa tahu sejak kepergiannya itu, dia tak pernah
balik lagi."
Siau-hong cukup memahami perasaan sedihnya.
Penyebab kematian di tengah gurun pasir memang
terlalu banyak, setiap saat kau bisa mati secara mendadak di
tengah pasir panas bagaikan seekor anjing liar, kecuali
sahabat karibnya, tak bakal ada orang lain yang akan
menguatirkannya, terlebih merasa sedih bagi kepergiannya.
Langit semakin gelap, tiba-tiba dari kejauhan
berkumandang suara terompet, kemudian tampak dua ekor
kuda bergerak cepat mendekati rombongan. Rupanya
dalam barisan ini pun terdapat kuda.
"Mereka adalah orang yang dikirim Tong Leng untuk
menemukan jejak Ma Sah," ujar Garda dengan semangat
bangkit kembali, "Ma Sah pasti ikut kembali!"
Cepat dia menyongsong kedatangan kuda-kuda itu. Betul
saja, Ma Sah memang telah kembali, tapi yang kembali
bukan Ma Sah dalam keadaan hidup.
Jago gulat yang tiada duanya di kolong langit, jagoan
yang memiliki tenaga raksasa itu sudah tewas dengan
tulang leher patah, ternyata dia tewas terkena jurus jepitan
mematikan dari ilmu gulat.
Siapa yang telah membunuhnya" Mengapa harus
membunuhnya" Tak ada yang tahu.
Bayangan kematian yang penuh misteri dan menakutkan
itu seakan sudah seperti kegelapan yang menyelimuti langit
saat itu, mengurung dan mencekik rombongan ini.
Ma Sah tak lebih hanya orang pertama yang menemui
ajalnya secara mengenaskan, ketika mereka kembali ke
tempat ronda, segera ditemukan korban kedua.
Terdapat begitu banyak jagoan tangguh dalam kelompok
Panah, ada yang pandai menggunakan golok, ada yang
pandai menggunakan pedang, ada yang menguasai ilmu
gulat, tapi hanya satu yang menggunakan ruyung panjang.
Ruyung panjang yang digunakan Sun Liang adalah
sebuah ruyung ular berbisa sepanjang satu depa tiga kaki.
Dialah orang kedua yang ditemukan tewas secara
mengenaskan, ia mati terlilit oleh ruyung ular milik sendiri.
Hong Hau, rekannya satu regu ikut hilang, hingga
keesokan harinya mereka baru menemukan jenazah orang
itu. Hong Hau adalah anak murid perguruan Kim-to-bun,
gara-gara terlibat kasus pembunuhan, ia melarikan diri
keluar perbatasan.
Senjata yang digunakan adalah sebilah golok pemenggal
bukit berpunggung emas.
Goloknya masih kedapatan berada di sana, namun batok
kepalanya justru sudah lenyap, batok kepala itu terpenggal
oleh golok emas miliknya sendiri.
Dalam satu malam sudah ada tiga orang ditemukan
tewas secara mengenaskan, tapi sayang kematian yang
penuh misteri baru saja memasuki tahap awal.
Malam semakin larut.
Ketika Siau-hong balik kembali ke tendanya, bukan saja
terasa amat lelah bahkan hatinya amat berduka.
Walaupun ketiga orang korban yang tewas secara
mengenaskan itu sama sekali tak ada sangkut-paut dengan
dirinya, namun menyaksikan suasana duka yang mencekam
rombongan itu, sedikit banyak perasaannya ikut tertekan
dan tak leluasa.
Setiap musibah, setiap halangan yang ia alami selama
beberapa hari belakangan ini hampir semuanya membuat
dia merasa kecewa. Pembegalan yang misterius, musibah
yang mengenaskan, kematian yang tiba-tiba, seakan selalu
mengikutinya kemana pun dia pergi.
Dari balik jagat raya yang luas seolah terdapat sebuah
kekuatan jahat yang selalu menyatukan dan mengaitkan
dirinya dengan semua ketidak beruntungan yang
dialaminya selama ini.
Suasana dalam tenda tenang dan gelap, walaupun dia
berharap Pova bisa menghiburnya, namun dia dapat
memahami perasaan perempuan itu, terlepas apakah dia
sudah tidur atau tidak, ia tak berani lagi mengganggunya.
Sambil meraba, ia menemukan selembar permadani,
dengan perlahan ia pun membaringkan diri, dia berharap
bisa tertidur dalam waktu singkat.
Namun ia tidak tertidur.
Tubuh Pova yang halus dan lembut telah bergeser
menempel tubuhnya, bukan saja ia dapat merasakan
kehangatan perempuan itu, dia pun dapat merasakan
tubuhnya yang gemetar tiada hentinya, entah gemetar
karena tegang ataukah karena merasa sedih"
Tampaknya perempuan itu tahu kalau Siau-hong butuh
hiburan, maka dia pun mengantar tubuhnya.
Di kolong langit dewasa ini, belum pernah ada seorang
wanita lain yang bersikap begitu baik dan mesra terhadap
dirinya. Tiba-tiba Siau-hong menjumpai tubuhnya ikut gemetar.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat mereka saling bersentuhan, bukan hanya napsu
birahi saja yang terlampiaskan, rasa cinta pun ikut
meningkat. Dia tak pernah menyangka apa yang
dilakukannya sekarang dapat berubah menjadi begitu indah.
Ooo)d*w(ooO BAB 6. PEDANG PENEMBUS HATI
Ketika semuanya telah berlalu, dalam hatinya masih
penuh dilimuti kehangatan dan kemesraan yang lebih manis
dari madu. Dia pernah memiliki perempuan, namun belum pernah
merasakan suasana yang begitu nikmat seperti saat ini.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba perempuan itu
berkata lirih, "Dia adalah ciciku!"
Ternyata Pova buka suara dan berbicara, namun
perkataan itu kedengaran sangat aneh.
"Siapakah cirimu?" tak tahan Siau-hong bertanya,
"Apakah perempuan keji dan buas itu adalah cirimu?"
Pova manggut-manggut membenarkan.
"Sejak kecil aku sudah ikut dia, apa pun yang dia suruh
aku lakukan, pasti akan kulakukan...."
"Dan kau tak pernah membantah atau melawan?"
"Belum pernah terpikir untuk berbuat begitu."
Bukan saja dia tak berani membangkang, bahkan berpikir
pun tak berani, itulah sebabnya dia baru melakukan
perbuatan semacam itu, akhirnya dia menceritakan semua
kepedihan dan kesedihan yang mengganjal hatinya selama
ini. Persoalan apa pun tak perlu dijelaskan lagi, perkataan
apa pun tak perlu disampaikan lagi.
Tiba-tiba saja Siau-hong merasa semua kedukaan,
kemasgulan, dan semua kemurungan yang mengganjal
dalam hatinya, lenyap bagaikan asap yang buyar di
angkasa, tiada persoalan lagi di dunia ini yang pantas dia
murungkan dan masgulkan lagi.
Dia memeluk tubuhnya erat-erat.
"Mulai hari ini, selama masih hidup, aku tak akan
membiarkan kau dianiaya dan dipermainkan orang lain."
"Biarpun sekarang kau berkata begitu, tetapi...
bagaimana di kemudian hari?"
Penderitaan yang kelewat lama membuat perempuan itu
seolah kehilangan rasa percaya diri.
"Siapa tahu kejadian apa yang bakal kita hadapi di
kemudian hari" Siapa tahu saat itu kau pun akan berubah?"
"Peduli peristiwa apa pun yang bakal terjadi di kemudian
hari, aku tak bakal berubah, kau harus percaya padaku."
"Aku tak yakin," perempuan itu menempelkan pipinya di
wajah pemuda itu, butiran air mata telah membasahi
wajahnya, "Tapi aku percaya!"
Malam yang panjang belum juga lewat.
Cahaya lentera tampak bersinar terang-benderang dari
balik tenda terbesar di tempat itu, Tong Leng telah
mengumpulkan seluruh anggota keamanan yang
dimilikinya, termasuk juga Siau-hong.
Saat itu selisih waktu dengan kematian Hong Hau sudah
terpaut empat jam lebih.
Siau-hong telah tidur sejenak untuk melepaskan penat,
namun orang lain tidak seberuntung dirinya, semua orang
tampak lelah, penat, mengantuk, dan menderita.
Sepasang mata Tong Leng telah dipenuhi dengan jalur
darah, namun sikapnya masih sangat tenang.
"Kita sudah mengirim beberapa rombongan untuk
melakukan pelacakan di sekeliling tempat ini, dalam radius
tiga puluh li tak nampak jejak seorang pun."
Keterangan itu disampaikan dengan penuh keyakinan,
sebab dia tahu setiap orang yang diutusnya merupakan
jago-jago yang sangat ahli dalam bidang ini, apabila mereka
mengatakan dalam radius tiga puluh li tak ditemukan jejak
manusia, siapa pun tak bakal menemukan seorang pun.
"Oleh sebab itu pembunuh yang telah menghabisi nyawa
Hong Hau sekalian pasti masih berada dalam rombongan
kita, sekarang dia pasti berada dalam kelompok ini, satu di
antara kita semua."
Setelah berhenti sejenak, dengan nada sedingin salju
kembali Tong Leng berkata, "Tidak banyak jagoan dalam
rombongan ini yang bisa membunuh mereka berlima
sekaligus."
"Lima orang?" seru Siau-hong tanpa terasa.
"Betul, lima orang," jawab Tong Leng dingin, "Sewaktu
kau tertidur tadi, kembali ada dua orang menemui ajalnya,
kau pasti tertidur sangat nyenyak sehingga jeritan ngeri
menjelang ajal mereka pun tak terdengar."
Siau-hong tidak bicara apa-apa, dia memang tak mampu
berkata apa pun.
Kembali Tong Leng berkata, "Asal-usul mereka berlima
tidak sama, aliran ilmu silat yang mereka miliki pun
berbeda, jadi mustahil mereka bermusuhan dengan orang
yang sama pada saat yang sama, maka kematian mereka
sudah pasti bukan karena balas dendam."
Namun membunuh orang pasti ada alasannya, tentu ada
sumber permasalahannya.
Biasanya sumber permasalahan yang membuat orang
melakukan pembunuhan hanya ada dua jenis, karena harta
atau perempuan.
"Mereka terbunuh pasti dikarenakan ada orang ingin
merampok barang dagangan kita," kata Tong Leng lagi.
Si bongkok yang selama ini hanya membungkam, kini
baru buka suara, katanya, "Barang dagangan sudah pernah
dirampok, bahkan ada belasan bungkusan yang telah
dibongkar orang, mungkin mereka ingin memeriksa dulu
apakah barang dagangan yang kita bawa pantas untuk
dirampok atau tidak."
"Kalau menurut kau, apakah barang-barang itu berharga
untuk dirampok?"
"Tentu saja berharga sekali."
"Walaupun barang dagangan ini tak mungkin bisa
diangkut satu orang, namun jika ia dapat membantai kita
satu per satu, pada akhirnya barang-barang ini akan
menjadi miliknya."
Sorot mata Tong Leng selama ini menatap terus Siauhong
tanpa berkedip, lanjutnya, "Walaupun sekarang kita
belum tahu siapakah orang itu, tapi kita pasti akan berhasil
melacaknya, karena asal-usul setiap orang yang berada
dalam rombongan ini telah kami selidiki hingga jelas."
Bukan mencakup setiap orang, masih ada seorang
terkecuali. Siau-hong adalah satu-satunya orang yang
terkecuali. "Sebelum pembunuh itu berhasil kita lacak, sementara
waktu kita akan tetap tinggal di sini, siapa pun dilarang
meninggalkan barisan," kata Tong Leng lebih jauh.
Mendadak ia berpaling, ditatapnya Siau-hong dengan
sepasang matanya yang memerah, kemudian ujarnya lebih
jauh, "Khususnya kau, lebih baik untuk sementara waktu
jangan meninggalkan tenda walau selangkah pun."
Siau-hong masih tetap tak mampu berbicara.
Semua peristiwa itu baru terjadi setelah keberadaannya
di sini, tak heran bila semua orang menaruh curiga
kepadanya. Kini Tong Leng tidak menutupi lagi perasaan curiganya,
dengan berterus terang ujarnya lagi, "Paling baik bila mulai
sekarang kau sudah balik ke dalam tendamu."
Baru saja Siau-hong akan beranjak pergi, tiba-tiba ada
orang yang mewakilinya berbicara.
Selama ini Garda selalu ingin bicara, tapi dia tak berani
buka suara, baru sekarang ia membesarkan nyali sambil
berseru, "Bukan dia, bukan dia!"
"Bukan apa?"
"Bukan orang yang kalian maksudkan, aku bukan buta,
bila ia membunuh orang, aku pasti melihatnya."
"Kau pasti melihatnya?"
"Aku selalu mengikuti dia, dia pun selalu mengikuti aku,
hubungan kami bagaikan manusia dan bayangan, kami
selalu berada di tempat yang sama."
Tong Leng tertawa dingin.
"Ketika kau membopong jenazah Ma Sah sambil
menangis, apakah kau melihat berada di manakah dirinya?"
Garda tak sanggup bicara lagi.
Dia memang hanya memiliki satu jalur usus, satu jalur
usus dari mulut hingga tembus ke ujung usus, kalau melihat
dia akan mengatakan melihat, kalau tidak melihat dia akan
mengatakan tidak.
Tong Leng menggunakan tangannya yang dipenuhi otot
menonjol untuk mengusap matanya yang memerah,
katanya lagi, "Perkataanku telah selesai kusampaikan,
kalian tentu sudah memahami maksud hatiku."
Kemudian sambil mengulap tangan, dia menambahkan,
"Sekarang kalian pergilah."
Semua orang pun beranjak pergi dari situ.
Siau-hong berjalan paling cepat, karena dia tahu ada
orang sedang menunggunya, dapat menghibur hatinya.
Baru saja dia memasuki tendanya, baru saja melihat
Pova yang tidur melingkar di balik selimut bulu, tahu-tahu
terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan.
Kali ini dia belum tertidur, kali ini ia mendengar dengan
sangat jelas, suara jeritan ngeri yang memilukan itu berasal
dari balik tenda dimana baru saja ia tinggalkan, bahkan itu
adalah suara Tong Leng.
Tong Leng sudah mati, menanti mereka tiba kembali
dalam tenda, Tong Leng telah tewas.
Sebilah pedang yang tajam berkilat telah menghujam
masuk dari depan dadanya hingga tembus ke punggung.
Sebuah tusukan pedang yang langsung menembus
jantungnya. Suasana dalam tenda masih terang benderang
bermandikan cahaya.
Tapi serangan itu sangat mematikan, pedang yang
menembus jantungnya dalam satu kali tusukan masih tetap
tertinggal di atas jenazah Tong Leng.
Cahaya terang yang memantul dari badan pedang,
seterang sepasang mata.
Mata seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh
cinta, mata kucing yang siap menangkap tikus, mata
harimau kelaparan yang siap menerkam mangsanya, mata
elang yang siap menerkam ayam, mata setan dalam impian
buruk. Bila kau dapat membayangkan bagaimana jadinya bila
semua sinar mata itu bercampur-baur jadi satu, maka kau
baru bisa membayangkan seperti apakah kilauan cahaya
yang memantul dari tubuh pedang itu.
Dari permukaan tanah pun memantul cahaya terang.
Bukan cahaya terang seperti cahaya pedang, tapi kerlipan
cahaya tajam yang membawa semacam keremangan,
keseraman, dan ketidak-pastian.
Cahaya kerdipan itu berasal dari tiga belas batang senjata
besi yang memancarkan sinar kegelapan.
Dari semua orang yang dikumpulkan tadi, kini ada
separoh sudah kembali, di antara mereka banyak yang
memiliki ketajaman mata luar biasa.
Namun sayang, walaupun mereka dapat melihat benda
apa yang memancarkan cahaya, namun tak dapat melihat
dengan pasti bagaimana bentuknya.
Di antara mereka segera ada yang berjalan mendekat,
mengambil sebatang di antaranya dan diperiksa dengan
lebih seksama. "Jangan disentuh, tak boleh disentuh!" tiba-tiba si
bongkok membentak keras.
Sayang perkataan itu sedikit terlambat, sudah ada
seorang yang memungutnya.
Baru saja benda itu dipungut dan dilihat sekejap,
mendadak pupil matanya jadi suram, lalu buyar sinarnya.
Diikuti parasnya mulai berubah, berubah amat suram,
berubah jadi warna keabu-abuan yang menyeramkan,
sekulum senyuman misterius yang aneh pun tersungging di
ujung bibirnya.
Dengan perasaan terperanjat setiap orang mengawasi
semua perubahan itu, dia sendiri seakan sama sekali tak
merasakan perubahan itu.
Bahkan dia masih bertanya, "Kenapa kalian mengawasi
aku?" Hanya perkataan itu yang mampu dia ucapkan, begitu
selesai bicara mendadak parasnya berubah dan mulai
mengejang keras, tubuhnya bagaikan sebuah bola yang tibatiba
kehilangan udara, tahu-tahu kempis, layu, dan roboh
terjungkal. Sewaktu roboh ke tanah, parasnya telah berubah jadi
hitam, hitam mati, meski senyuman aneh itu masih
tersungging di wajahnya.
Dia telah mati, namun dia sendiri seolah tak tahu kalau
dirinya telah mati.
Ia seakan masih merasa amat gembira.
Sementara orang lain telah bermandi keringat dingin,
hawa dingin serasa merasuk dari ujung hidung hingga
tembus ke hati, lalu dari hulu hati tembus hingga telapak
kaki. Bagi yang lebih luas pengetahuannya, mereka segera
tahu kalau orang itu sudah keracunan hebat, namun sama
sekali tak mengira kalau dia langsung keracunan begitu
memungut sebuah benda dari tanah, bahkan racun itu
bekerja begitu cepat dan ganas.
Hanya beberapa orang yang tahu kalau benda yang
dipungut orang itu adalah senjata rahasia paling beracun
dari keluarga Tong di wilayah Su-cwan, senjata mematikan
yang selama ini menggetarkan kolong langit.
Apa yang diketahui Siau-hong jauh lebih banyak
daripada orang lain.
Bukan saja dia mengetahui betapa menakutkannya
senjata rahasia semacam ini, dia pun mengetahui asal-usul
pedang itu. "Inilah Mo-gan (Mata iblis)!"
Si bungkuk mencabut pedang yang menghujam di atas
jenazah, tiada bekas darah di ujung pedang itu. Dari balik
mata pedang yang bening bagai air di musim gugur, hanya


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat setitik codet, codet yang berbentuk bagaikan sebuah
mata. "Mata iblis!"
Ada orang tak tahan untuk bertanya, "Apakah Mata iblis
itu?" "Pedang ini bernama Mo-gan, si Mata iblis, merupakan
salah satu di antara tujuh bilah pedang tertajam di kolong
langit dewasa ini."
Pedang mustika ibarat batu permata, tidak seharusnya
terdapat cacat apalagi bekas codet.
Tapi terkecuali pedang ini, bekas cacat yang membekas
di tubuh pedang malah menambah misterius dan
menyeramkan dari pedang itu.
Dengan lembut si bongkok membelai mata pedang, dari
balik matanya terbesit setitik cahaya berkilauan.
"Biarpun Tong Leng hanya murid tak resmi keluarga
Tong di Su-cwan, namun dia masih terhitung salah satu
jagoan paling tangguh di antara beberapa jago keluarga
Tong lainnya. Bukan saja serangannya cepat dan tepat,
bahkan pernah mempelajari ilmu pedang Sian-wan-kiam
(Ilmu pedang dewa monyet) dari Go-bi-pay."
Pedang yang digunakan Tong Leng adalah sebilah
pedang lemas, biasanya selalu dililitkan pada pinggang
sebagai sabuk, kecepatannya mencabut pedang sama
kilatnya seperti dia melepaskan senjata rahasia.
Tangannya selalu terkulai di samping pinggang, asal
tangannya bergerak, pedang lemas yang melilit di
pinggangnya segera akan menusuk ke depan bagaikan
seekor ular berbisa.
Tapi kali ini jangankan melancarkan tusukan maut,
kesempatan untuk melepaskan pedang pun tak ada, tahutahu
pedang lawan telah menembus hulu hatinya.
Tusukan maut itu betul-betul kelewat sadis, kelewat
cepat. Semua orang yang hadir sadar dan mengerti, mereka
tahu, tak seorang pun di antara kawanan jago yang ada
dalam rombongan ini mampu menggunakan ilmu pedang
setajam, seganas, dan secepat ini.
Bahkan dahulu pun mereka belum pernah melihat
pedang setajam ini.
Lalu siapakah pembunuhnya" Pedang itu milik siapa"
Tiba-tiba si bongkok berpaling, menatap tajam wajah
Siau-hong. "Aku rasa kau pasti pernah mendengar asal-usul pedang
ini, bukan?" katanya.
"Betul, aku pernah mendengarnya," Siau-hong
mengakui. "Benarkah pedang ini sudah terjatuh ke tangan seorang
jago pedang muda dari marga Hong?"
"Benar!"
"Dan orang itu apakah bernama Hong Wi?"
"Benar!"
Tiba-tiba mata tunggal si bongkok mengerut kencang,
berubah bagaikan sebatang jarum, sebatang jarum yang
menusuk mata. "Bukankah kau adalah Hong Wi?" sepatah demi sepatah
ia bertanya. "Betul!"
Begitu jawaban itu dilontarkan, pupil mata semua orang
langsung berkerut kencang, detak jantung berdebar makin
kencang, keringat dingin pun mulai membasahi telapak
tangan. Dalam waktu singkat hawa pembunuhan telah
menyelimuti seluruh tenda.
Siau-hong masih tampil tenang, seakan tak pernah terjadi
sesuatu. "Pedang itu memang milikku, seranganku tak
pernah lambat, bukan masalah sulit bagiku untuk
membunuh Tong Leng," katanya perlahan.
Debar jantung semakin kencang, ada beberapa tangan
yang sudah basah oleh keringat dingin, secara diam-diam
mulai menggenggam senjata masing-masing.
Siau-hong berlagak seolah tidak melihat, lanjutnya lagi
dengan hambar, "Hanya saja bila kali ini akulah yang telah
membunuh Tong Leng, mengapa kutinggalkan pedang itu"
Memangnya aku gila" Kuatir orang lain tak tahu akulah
yang telah membunuhnya?"
Setelah menghela napas lanjutnya, "Tidak mudah untuk
mendapatkan pedang itu, tak nanti benda yang kuperoleh
secara susah-payah kutinggalkan begitu saja untuk orang
lain, terlepas orang itu sudah mati ataupun masih hidup."
"Masuk akal!" tiba-tiba si bungkuk berteriak.
Perlahan sorot matanya mulai bergeser dari wajah Siauhong
menatap wajah setiap orang anak buahnya, menatap
mereka satu per satu.
"Bila kalian memiliki sebilah pedang macam begini,
selesai membunuh, apakah akan kalian tinggalkan
senjatamu?"
Tak akan ada orang berbuat begitu, kendatipun baru
pertama kali kau lakukan pembunuhan, tak mungkin orang
akan bertindak begitu gegabah, bahkan goblok setengah
mati. Senjata yang pada mulanya sudah digenggam kencang,
kini mulai dikendorkan kembali.
Siau-hong ikut menghembuskan napas lega, ia
berpendapat si bongkok ini bukan saja amat tegas bahkan
selalu berdiri di sisinya, selalu melindunginya secara diamdiam.
Kembali si bongkok berkata, "Tapi pembunuh itu pun
pasti bukan anggota dari rombongan kita, di sini tak ada
orang yang sanggup membunuh Tong Leng dengan sekali
tusukan, juga tak ada orang yang sanggup merampas
pedang itu dari tanganmu."
Siau-hong tertawa getir.
"Sudah hampir dua-tiga hari lamanya aku tak pernah
melihat pedang itu lagi," katanya, "Seharusnya kau pun
masih ingat, sewaktu pertama kali kau bertemu aku, pedang
itu sudah tidak berada di tanganku lagi."
"Kenapa bisa tidak berada di tanganmu" Lantas di
tangan siapa?" tanya si bongkok cepat.
Siau-hong tidak langsung menjawab.
Tiba-tiba ia teringat akan Wi Thian-bong, teringat Suigin,
si Air raksa, teringat jago pedang tanpa nama yang
menakutkan. Bahkan dia teringat pula Po Eng.
Mereka kemungkinan besar adalah pembunuh Tong
Leng, tapi kemungkinan itu pun seakan tak ada.
Di tengah gurun pasir yang nyaris tiada benda atau
tumbuhan apa pun yang menghalangi, bukan pekerjaan
gampang untuk menyelinap masuk ke dalam tenda secara
diam-diam, lalu setelah membunuh mengeluyur pergi
secara diam-diam, sesuatu kejadian yang mustahil.
Dia pun percaya dengan kemampuan yang dimiliki
kelompok jagoan ini, bila ada orang mendekati tempat itu,
tak mungkin mereka tidak mengetahuinya.
Kecuali sang pembunuh telah menyelinap masuk ke
dalam rombongan itu, bahkan sama sekali tidak
menimbulkan perhatian orang lain.
Tapi hampir semua anggota dalam rombongan ini saling
mengenal bahkan berhubungan sangat akrab, rasanya tidak
mungkin bagi orang luar untuk bisa menyelinap masuk
tanpa mereka ketahui.
Siau-hong merasa tak sanggup menjelaskan semua
urusan itu, karenanya terpaksa dia hanya tutup mulut.
Ternyata si bongkok tidak bertanya lebih lanjut, dia
hanya memberi tahu padanya, "Sebelum pembunuh yang
sebenarnya ketahuan, lebih baik kau jangan meninggalkan
tempat ini, pedang ini pun tak bisa kau bawa pergi."
Kembali Siau-hong menghela napas panjang, sahurnya,
"Sebelum berhasil melacak siapa pembunuh sebenarnya,
biar ada orang mengusir aku pergi pun belum tentu aku
mau pergi."
Dia memang bicara sejujurnya.
Jangankan orang lain, bahkan dia sendiri pun dapat
merasakan bahwa kematian beberapa orang itu sedikit
banyak masih ada hubungan dan sangkut-paut dengan
dirinya. Dia pun ingin mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya.
Kembali si bongkok berpesan, "Besok kita tak akan pergi
dari sini, siapa pun tak boleh meninggalkan rombongan,
semua lelaki berusia di bawah tiga puluh lima tahun, peduli
ia pernah belajar silat atau tidak, harus bergabung dalam
pasukan keamanan."
Kemudian setelah menghela napas panjang, tambahnya,
"Untung besok Pancapanah sudah kembali."
Malam panjang akhirnya telah tiba di ujungnya, secercah
sinar terang mulai muncul dari luar tenda.
Pova masih seperti tadi, tidur meringkuk di sana,
menggunakan selimut untuk menutupi kepalanya.
Kali ini dia benar-benar tertidur, bahkan tidur dengan
begitu nyenyak.
Bagi seorang lelaki mana pun, ketika baru pulang setelah
mengalami kejadian yang menakutkan, di saat melihat ada
seorang wanita semacam itu sedang menanti
kedatangannya, dia pasti merasakan kehangatan dan
kelembutan cinta yang tebal.
Siau-hong telah duduk di sisinya, ingin sekali dia singkap
selimut untuk melihat wajahnya, akan tetapi dia pun kuatir
akan membangunkan perempuan itu, tapi pada akhirnya ia
tak kuasa menahan diri untuk mengulurkan tangannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Garda menyusup masuk ke
dalam tendanya bagaikan seekor tikus tanah, tangannya
menenteng sepasang sepatu laras terbuat dari kulit yang
aneh sekali bentuknya.
Dilihat mimik mukanya, ia tampak serius bahkan tegang,
mendadak sambil menjatuhkan diri berlutut, ia
persembahkan sepasang sepatu laras kulit itu kepada Siauhong.
"Inilah Kapasa," katanya, "Aku hanya memiliki sepasang
Kapasa, seperti kau hanya memiliki sebilah mata iblis."
Biarpun Siau-hong tidak paham apa artinya "Kapasa",
namun ia dapat menduga kalau apa yang dimaksud Garda
adalah sepasang sepatu bot itu.
Dia kurang begitu memahami kebudayaan serta adat
orang Tibet, tapi ia tahu jelas, orang Tibet sangat
menghargai sepasang kaki sendiri. Bila kau ingin
mengetahui tingkat status mereka dari dandanan serta cara
berpakaian orang Tibet, yang paling gampang adalah
memperhatikan sepatu yang mereka kenakan, perbedaan
status tinggi dan rendah tak akan terbayangkan oleh orang
luar. Biarpun Siau-hong tidak tahu kalau "Kapasa" merupakan
jenis sepatu paling terhormat yang dikenakan orang Tibet,
bahkan di wilayah Persia pun dianggap sangat terhormat,
namun dia dapat melihat kalau Garda sangat menaruh
hormat atas sepatunya itu, bahkan telah menjajarkan
sepatunya dengan pedang kenamaan yang menggetarkan
dunia persilatan.
Kembali Garda berkata, "Aku belum pernah
mengenakan Kapasa itu, karena kakiku bau, keringat
kakiku akan mengotori Kapasa, karenanya aku tak layak
memakainya. Biarpun sebetulnya aku pun tak berniat
menyerahkannya kepada orang lain, tetapi sekarang akan
kupersembahkan untukmu."
"Kenapa?" tanya Siau-hong keheranan. "Aku tidak bakal
mempersembahkan pedang mata iblis kepadamu, kenapa
kau harus mempersembahkan Kapasa milikmu kepadaku?"
"Karena kau akan pergi, pergi jauh, jauh sekali, harus
pergi dengan cepat, cepat sekali, untuk itu kau butuh
sepasang sepatu laras yang baik untuk melindungi kakimu."
"Kenapa aku harus pergi?"
"Karena Pancapanah segera akan kembali," sahut Garda
cepat, "Orang lain tak berani mencurigaimu karena mereka
tak berani mengusikmu, karena orang lain takut kepadamu,
takut setengah mati."
Garda menyeka keringatnya dengan ujung baju, lalu
terusnya, "Tapi Pancapanah tak bakal takut, Pancapanah
tak pernah takut siapa pun, tak pernah jeri menghadapi
siapa pun, begitu Pancapanah muncul, kau pasti akan mati,
mati seperti Ma Sah."
Suaranya mulai gemetar karena perasaan ngeri dan takut
yang luar biasa, sungguh aneh, seorang prajurit tempur
macam dia, mengapa bisa menaruh perasaan takut yang
begitu luar biasa terhadap seseorang"
Tak tahan Siau-hong bertanya lagi, "Pancapanah
adalah..."
Belum selesai dia bertanya, tiba-tiba Pova tersentak
bangun dari tidurnya, tiba-tiba ia menerobos keluar dari
balik selimut dan memandangnya dengan perasaan
terkesiap. "Apa yang baru saja kau katakan?"
"Pancapanah," sahut Siau-hong cepat, "Aku baru saja
akan bertanya pada sahabatku ini, manusia macam apakah
Pancapanah itu?"
Tiba-tiba saja tubuh Pova mulai gemetar keras, dilihat
dari mimik mukanya, perempuan ini tampak jauh lebih
ketakutan daripada Garda.
Mendadak dia peluk tubuh Siau-hong erat-erat dan
berbisik, "Apakah Pancapanah benar-benar akan datang"
Kalau begitu kau harus segera kabur, cepat lari dari sini."
"Kenapa?"
"Tahukahkah kau siapakah ksatria nomor wahid di
puncak Cu-mu-lang-ma" Pernahkah kau mendengar Ngohoa-
sin-cian (Dewa panah panca bunga)?" suara Pova
kedengaran makin serak dan gemetar, "Pancapanah tak lain
adalah Dewa panah panca bunga."
Ooo)d*w(ooO Di tengah gurun pasir yang panas bagaikan tungku api,
dari dalam ruangan yang begitu panas hingga susah untuk
bernapas, kau masih dapat menyaksikan lapisan salju yang
putih nun jauh di puncak gunung yang tinggi di depan sana.
Di saat kau sudah hampir mati karena kepanasan,
puncak salju di tempat kejauhan masih dapat kau saksikan
dengan jelas.

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya dari tempat inilah kau bisa menyaksikan
pemandangan aneh semacam ini, maka sekalipun kau
bukan orang Tibet, seharusnya kau akan mengerti mengapa
jalan pikiran orang Tibet selalu begitu romantis, begitu
misterius, begitu penuh khayal.
Pikiran semacam ini tak mungkin bisa terwujud hanya
dalam sehari semalam, tapi sesudah melewati penghidupan
indah yang begitu romantis dan penuh misterius selama
hampir berabad-abad lamanya, tentu saja dari balik semua
itu akan muncul banyak sekali dongeng yang menawan
hati. Di antara sekian banyak dongeng yang paling romantis,
paling misterius, paling indah, salah satunya adalah cerita
tentang Dewa panah lima bunga.
Dalam bahasa Tibet, Dewa panah lima bunga disebut
Pancapanah. Menurut catatan kuno yang tercantum dalam kitab suci
kaum Tibet, catatan paling purba yang pernah ditemukan,
panah dari Pancapanah adalah "Sebuah panah yang tak
pernah meleset, panah yang tajam luar biasa, di balik bulu
panah terkandung perasaan yang penuh penderitaan, ujung
panah yang mengandung perasaan rindu akan seseorang,
sebuah panah yang langsung menembus hulu hati".
Pancapanah mengendalikan kekuatan di alam jagat yang
susah dilawan, kekuatan cinta dan napsu.
Pedangnya penuh dihiasi bunga segar, gendawanya
adalah serat dari madu.
Dia selalu muda dan tampan.
Dia adalah seorang pemuda paling tampan, paling gagah
yang pernah ada di kolong langit.
Ia memiliki lima batang anak panah yang tajam,
sebatang panah keras bagai emas, sebatang panah lembut
bagai musim semi, sebatang panah yang manja dan genit
bagai bunga, sebatang panah yang panas bagai bara api dan
sebatang panah yang tajam bagai gurdi.
Tiada seorang pun mampu melawan kekuatannya.
Tentu saja Pancapanah yang dimaksud Pova serta Garda
bukan dewa, melainkan seorang, seorang pejuang, seorang
ksatria yang sangat dihormati dalam pandangan mereka,
seseorang yang memiliki kekuatan melebihi dewa, kekuatan
yang tak bisa dilawan siapa pun.
Sayangnya, walaupun Siau-hong ingin mengikuti
nasehat mereka dan pergi meninggalkan tempat itu pun
keadaan sudah terlambat.
Tiba-tiba dari luar tenda terdengar suara orang berteriak
penuh kegirangan, "Pancapanah telah kembali, Pancapanah
telah kembali!"
Pancapanah dengan menuntun kuda putihnya yang
tinggi besar telah berdiri di depan tenda, berdiri tenang
sambil menerima sorak-sorai memuji dari kaumnya.
Dia sudah tiga hari meninggalkan rombongannya,
melewati kehidupan yang sepi penuh penderitaan di tengah
dataran luas yang tak berperasaan, namun sorot matahari
yang terik, hembusan pasir yang kencang serta rasa lelah
yang luar biasa sama sekali tak mampu mengubah sikap
maupun penampilan dirinya.
Pakaian yang dikenakan masih tampak bersih dan indah,
dia tetap tampil gagah dan penuh wibawa, lebih gagah dari
matahari di langit.
Tak seorang pun, tak sebuah persoalan pun yang dapat
merobohkan Pancapanah, tak ada pula kesulitan serta mara
bahaya yang tak bisa dia taklukkan.
Selamanya tak pernah.
Suasana di dalam tenda gelap dan tenang, tempik-sorak
di luar sana telah lama berhenti, bahkan kuda serta onta
pun sudah berhenti meringkik.
Karena Pancapanah butuh istirahat, butuh ketenangan.
Biarpun seringkali ia memperoleh pujian dan tempiksorak
dari orang lain, namun dia selalu lebih suka berbaring
seorang diri dalam kegelapan.
Sejak dilahirkan dia suka hidup menyendiri, dia suka
hidup seorang diri, tidak seperti orang lain, suka
kemegahan, kekayaan, dan kehormatan.
Dengan tenang ia membaringkan diri di tengah
kegelapan, kini tiada orang lain yang bisa melihatnya lagi.
Parasnya yang semula tampan bercahaya, tiba-tiba
berubah begitu pucat, begitu lelah, kepucatan yang tak
terlukiskan dengan perkataan.
Namun bila ada seorang asing muncul di hadapannya,
maka cahaya terang seketika akan mulai membara lagi dari
balik mukanya. Dia tak akan membiarkan kaumnya kecewa, dia tak
ingin anggota sukunya kecewa atas penampilannya.
Karena dia seorang bangsa Tibet.
Walaupun dia sudah berulang kali memasuki daratan
Tionggoan, di daratan, di Hui-im, bahkan di wilayah mana
pun dalam daratan Tionggoan, ia pernah hidup dan tinggal
cukup lama di sana, bahkan utara selatan sungai besar pun
pernah dijelajahi dan dijamah olehnya.
Namun dia tetap orang Tibet, mengenakan pakaian
orang Tibet, makan minum dengan hidangan bangsa Tibet,
bahkan sangat menyukai arak dan teh lemak buatan orang
Tibet. Dia selalu bangga karena dilahirkan sebagai orang Tibet.
Kaumnya pun selalu merasa bangga karena memiliki
seorang pemimpin semacam dia.
Kini ia sedang menanti kedatangan Siau-hong.
Semua peristiwa yang terjadi dalam dua hari belakangan
telah diketahui olehnya, secara ringkas si bongkok telah
melaporkan semua kejadian itu kepadanya.
Dugaan dan kesimpulan yang dia ambil pun tak jauh
berbeda dengan kesimpulan orang lain, satu-satunya orang
yang paling mencurigakan hanya Siau-hong seorang.
Pedang "Mata iblis" telah berada dalam genggamannya,
dia telah mencabutnya. Sambil membelai mata pedang yang
tajam tiba-tiba ia bertanya, "Pedang ini milikmu" Kau
adalah Siau-hong si pencabut nyawa?"
Ia belum sempat melihat wajah Siau-hong, tapi dia tahu
ada orang telah muncul di depan tendanya dan dia yakin
orang itu pastilah Siau-hong.
Orang yang sepanjang tahun hidup dalam mara bahaya,
meski seringkali' memiliki reaksi aneh yang melebihi reaksi
seekor binatang buas, namun reaksi dan insting yang
dimilikinya tak disangkal jauh lebih tajam dari siapa pun.
"Betul, pedang itu memang milikku," jawab Siau-hong
sambil melangkah masuk, "Akulah Siau-hong si pencabut
nyawa." Pancapanah yang semula masih berbaring tenang, tibatiba
melompat bangun dan berdiri tegak persis di
hadapannya bagaikan sebuah tiang bendera, sorot matanya
yang dingin terasa berkilat dari balik kegelapan.
"Konon di saat orang lain masih ingusan, kau sudah
mulai mengucurkan darah segar?"
"Biasanya darah yang mengucur bukan darah yang
berasal dari tubuhku."
"Bila ingin orang lain mengucurkan darah, diri sendiri
harus mengucurkan darah terlebih dulu," suara Pancapanah
kedengaran teramat lembut dan hangat, "Kini darah Tong
Leng telah dingin membeku, bagaimana dengan dirimu?"
"Darahku masih mengalir, setiap saat telah siap untuk
mengucur keluar."
"Bagus sekali," suara Pancapanah kedengaran lebih
lembut dan hangat, "Siapa yang telah membunuh, dia harus
mati. Dengan darah membayar darah."
Suaranya kedengaran lebih lembut bagai hembusan
angin di musim semi, namun suara Siau-hong pun tak kalah
tenangnya. "Sayang sekali orang yang tidak membunuh pun
terkadang bisa mati," ucap Siau-hong, "Bila aku harus mati,
sang pembunuh yang sesungguhnya bakal hidup sentosa
sepanjang masa."
"Jadi bukan kau yang melakukan pembunuhan itu?"
"Bukan, kali ini bukan," Siau-hong menggeleng.
Pancapanah memandangnya sampai lama sekali,
memandang dengan penuh ketenangan.
"Kau belum melarikan diri, juga tak ingin melarikan diri,
sikapmu begitu tenang dan tenteram, dengus napasmu pun
lembut dan teratur, kau memang tak mirip seorang yang
telah melakukan perbuatan dosa."
Dia seakan sedang menghela napas panjang.
"Ai, hanya sayang dengan mengandalkan gejala
semacam itu masih belum cukup untuk membuktikan kalau
kau tidak berdosa."
"Lalu bagaimana baru bisa membuktikan?" Siau-hong
segera bertanya.
Ooo)d*w(ooO BAB 7. PANAH SAKTI DEWA PANAH
Pancapanah termenung tanpa bicara, sampai lama
kemudian perlahan-lahan ia baru berkata, "Aku adalah
orang Tibet, orang Tibet biasanya sangat takhayul. Kami
selalu percaya orang yang tidak melakukan kesalahan, dia
tak bakal mati terbunuh secara penasaran."
Kini fajar telah menjelang tiba, secercah cahaya terang
mulai memancar masuk ke dalam tenda, kini dapat terlihat
dengan jelas gendewa serta sekantung anak panahnya.
Tiba-tiba dia mengambil gendawa dan anak panahnya
sambil berjalan keluar dari dalam tenda.
"Kau pun ikut keluar!" katanya.
Sewaktu Siau-hong berjalan keluar dari dalam tenda, ia
jumpai di luar sana telah berkumpul banyak orang.
Setiap orang berdiri tenang di sana bagaikan sebuah
patung batu, menunggu jagoan mereka menyelesaikan
persoalan ini. Dengan gendawanya, Pancapanah menuding ke arah
sebuah tenda lebih kurang lima tombak di hadapannya.
"Sekarang kau berdirilah di sana baru aku mulai
menghitung, bila telah mencapai angka lima, aku baru akan
mulai turun tangan. Hitunganku tak bakal terlalu cepat,
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang kau
miliki, tatkala aku selesai menghitung hingga angka lima,
kau pasti sudah pergi sangat jauh dari sini."
Kemudian sambil menepuk kantung panah yang
tergantung di pinggangnya, ia menambahkan, "Aku hanya
memiliki lima batang panah, bila kau benar-benar tidak
melakukan kesalahan, dapat dipastikan tak sebatang panah
pun akan berhasil melukaimu."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa.
"Dewa panah lima bunga yang tak pernah meleset
bidikannya, ternyata ingin menggunakan cara begini untuk
membuktikan salah benarnya seseorang, hahaha... sebuah
ide yang sangat bagus," katanya.
Pancapanah tidak tertawa, ia balik bertanya, "Bila
kau menganggap cara ini tidak bagus, masih tersedia sebuah
cara lain lagi."
"Apa caramu itu?"
Sebelah tangan Pancapanah masih menenteng pedang
mata iblis milik Siau-hong, tiba-tiba ia menghujamkan
pedang itu di atas pasir, tepat di hadapan anak muda itu.
"Gunakan pedang ini untuk membunuhku," ujarnya
hambar, "Asal kau dapat membunuhku, maka tak perlu lagi
dibuktikan benar salahnya dirimu. Asal kau dapat
membunuhku, peduli perbuatan apa pun yang pernah kau
lakukan, tak bakal ada orang yang akan menanyakannya
lagi." Fajar telah menyingsing, cahaya matahari memancarkan
sinarnya menyinari seluruh jagat.
Mata pedang memantulkan cahaya terang ketika terkena
sinar mentari pagi, begitu juga dengan sepasang mata
Pancapanah. Dia adalah manusia, bukan dewa yang selalu awet
muda, kerutan sudah mulai nampak di sudut matanya.
Namun di bawah cahaya sang surya yang baru terbit, dia
masih nampak bagaikan dewa.
Siau-hong sangat mempercayai perkataannya.
Orang-orang dari sukunya maupun anak buahnya masih
tetap berdiri tenang di sana, peduli apa pun yang dia
katakan, mereka selalu taat dan melaksanakannya tanpa
membantah. Mencabut pedang membunuh orang bukanlah satu
pekerjaan yang susah.
Selama ini Siau-hong selalu yakin dan percaya dengan
kemampuan ilmu pedang miliknya, di saat harus mencabut
pedang, dia tak pernah akan mundur apalagi menghindar.
Terdengar Pancapanah kembali bertanya, "Dari dua cara
yang tersedia, cara mana yang kau pilih?"
Siau-hong tidak menjawab, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun dia mulai bergerak ke depan, berjalan menuju ke
depan tenda, lebih kurang lima tombak di hadapannya dan
berhenti di situ.
Dia telah menggunakan gerakan tubuh untuk menjawab.
Setelah membalikkan badan, ujarnya kepada
Pancapanah, "Sekarang kau sudah boleh mulai
menghitung, lebih baik hitung agak cepatan, aku paling
takut menunggu terlalu lama."
"Baik!" jawab Pancapanah singkat.
Semua yang hadir mulai memencarkan diri,
meninggalkan sebuah lapangan kosong untuk mereka
berdua. "Satu, dua, tiga, empat...."
Perlahan-lahan Dewa panah lima bunga mencabut anak
panahnya yang pertama, gagang panah berwarna kuning
emas dengan mata panah berwarna kuning juga.
Bidikan yang tak pernah meleset, panah sakti yang
langsung menembus hulu hati, lembut bagaikan angin
musim semi, indah bagai sekuntum bunga, panas bagai bara
api, tajam bagai ujung gurdi, kokoh bagai emas.
Hitungannya tidak terlampau cepat, tapi akhirnya ia
telah menghitung hingga genap angka lima.
Ternyata Siau-hong masih tetap berdiri di tempat, sama
sekali tidak bergerak.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepat apa pun Pancapanah menghitung, ketika mencapai
angka lima, paling tidak ia telah berada belasan tombak dari
tempat semula. Namun ia sama sekali tak bergerak, jangankan beberapa
puluh tombak, seinci pun ia tak bergerak.
"Lima!"
Begitu hitungan terakhir diucapkan, semua orang pun
mendengar suara desingan angin tajam menderu di tengah
angkasa, suara itu begitu tinggi dan tajam bagaikan pekikan
serombongan setan iblis.
Setiap orang dapat melihat dengan jelas ketika
Pancapanah mencabut anak panahnya yang pertama,
secara tiba-tiba kotak panahnya telah kosong.
Ternyata pada saat yang hampir bersamaan, kelima
batang anak panahnya telah dibidikkan bersama-sama.
Siau-hong masih tetap tak bergerak.
Desingan angin tajam yang membelah angkasa kini telah
berhenti bergema, kelima batang anak panah berwarna
keemasan itu telah menancap berjajar di bawah kakinya.
Pada hakikatnya dia sama sekali tidak berkelit.
Entah apakah karena sudah diduga olehnya kalau
Pancapanah hanya berniat menjajalnya, maka dia merasa
tak perlu untuk menghindar atau karena dia tahu semisal
ingin berkelit pun, belum tentu ia dapat meloloskan diri.
Terlepas apa pun yang dia pikirkan, kali ini lagi-lagi dia
gunakan nyawa sendiri sebagai barang taruhan.
Dan dalam taruhan kali ini pun dia telah menang.
Akan tetapi bila seseorang tidak memiliki keyakinan dan
rasa percaya diri yang begitu membaja, siapa pula yang
berani bertaruh macam dia"
Tiba-tiba meledaklah tempik-sorak yang gegap-gempita
dari kerumunan orang banyak, dengan cepat Garda
menerjang keluar dari balik kerumunan orang, menjatuhkan
diri berlutut dan mulai menciumi kakinya.
Dari balik mata Pancapanah yang dingin dan kesepian
pun terlintas secercah senyuman.
"Sekarang kau tentu percaya bukan, seseorang yang tak
bersalah tak nanti akan mati terbunuh. Asal kau tak
melakukan kesalahan, kelima batang anak panah itu tak
bakal menembus tubuhmu, terlepas aku adalah Dewa
panah lima bunga atau bukan."
Sudah jelas hal semacam ini bukan termasuk takhayul
tapi suatu ujian yang amat cerdas, hanya orang yang tak
bersalah baru berani menerima ujian semacam ini.
Hanya Siau-hong sendiri yang tahu, seluruh pakaian
yang ia kenakan saat ini nyaris sudah basah kuyup.
Hingga kini keringat dingin masih bercucuran tiada
hentinya. Dengan langkah lebar Pancapanah berjalan mendekat
sambil menepuk bahunya, dengan cepat tangannya
menyentuh peluh dingin yang membasahi punggungnya.
"Hahaha, ternyata kau pun sedikit ketakutan."
"Bukan hanya sedikit rasa takutku," sahut Siau-hong
sambil menghela napas, "Aku ketakutan setengah mati!"
Pancapanah tertawa terbahak-bahak, semua anggota
sukunya, semua anak buahnya ikut tertawa. Sudah terlalu
lama mereka tak pernah melihat senyuman menghiasi
wajahnya. Di saat semua orang sedang tertawa dengan penuh
keriangan itulah mendadak terdengar lagi suara jeritan yang
memilukan, setiap orang dapat mengenali jeritan ngeri itu
berasal dari si bongkok.
Tumpukan barang dagangan yang semula tersusun
sangat rapi, kini telah berubah sangat kacau, banyak
bungkusan yang telah dirobek orang sehingga isinya berupa
bahan obat-obatan yang mahal harganya berserakan di
mana-mana. Yang tampak hanya barang dagangan dan bahan obatobatan,
sama sekali tak ada lantakan emas murni.
Siau-hong telah memperhatikan kejadian ini,
mungkinkah orang yang merobek dan membongkar
bungkusan barang dagangan itu bertujuan untuk
menyelidiki dan membuktikan sesuatu"
Mungkinkah Wi Thian-bong sekalian telah muncul di
seputar sini"
Si bongkok tergeletak di samping sebungkus bahan
wangi-wangian, pakaiannya telah berubah jadi merah
karena cucuran darah segar, tentu saja darah itu berasal dari
darah tubuhnya serta darah rekannya.
Luka tusukan yang mematikan berada tepat di atas
dadanya, senjata yang digunakan pun sebilah pedang.
Seketika itu juga Siau-hong teringat si jago pedang tanpa
nama tanpa perasaan itu.
Ilmu silat yang dimiliki si bongkok bukan saja sangat
tinggi, dari bekas luka yang begitu banyak membekas di
tubuhnya, dapat diketahui dia adalah seorang jago
berpengalaman yang pernah bertarung ratusan kali. Lalu
siapa yang telah membunuhnya"
Kecuali jago pedang tanpa nama, siapa pula yang
sanggup menghujamkan pedangnya dalam sekali tusukan
tepat di atas dadanya"
Walaupun tusukan pedang itu sangat mematikan,
ternyata si bongkok belum menghembuskan napasnya yang
terakhir. Manusia semacam dia bukan saja kekuatan hidupnya
jauh lebih kuat dari orang lain, niat dan keinginannya untuk
berjuang hidup pun melebihi siapa pun.
Si bongkok termasuk jenis manusia semacam ini.
Dia masih terengah-engah, meronta, meronta untuk
kehidupan sendiri, raut mukanya mengejang karena rasa
sakit yang luar biasa dan rasa takut yang mencekam.
Namun dari balik sorot matanya justru memancar
perasaan lain, semacam perasaan kaget, curiga, dan
keheranan yang bercampur aduk.
Hanya seseorang yang telah menyaksikan suatu kejadian
yang dia anggap tak pernah dan tak mungkin terjadilah
yang bakal menunjukkan sorot mata semacam ini.
Lalu apa yang telah dia saksikan"
Pancapanah telah membongkokkan tubuh, menjejalkan
lemak yang oleh bangsa Tibet dianggap sebagai obat yang
mampu menyembuhkan berbagai penyakit ke dalam
mulutnya. "Aku tahu, kau pasti ada perkataan yang ingin
disampaikan kepadaku," ujar Pancapanah sambil menepuk
wajahnya, dia ingin menggunakan tepukan itu untuk
membangkitkan semangat hidupnya, "Kau harus
mengatakannya, katakan segera kepadaku!"
Kelopak mata si bongkok mulai berdenyut, mulai
bergetar, akhirnya dia mengucapkan beberapa patah kata.
"Sungguh tak disangka... sungguh tak disangka...."
"Apa yang tak kau sangka?" tanya Pancapanah cepat.
"Tak kusangka ternyata dialah yang telah membunuh
orang." "Siapakah dia" Di mana ia sekarang?"
Dengus napas si bongkok makin memburu, ia sudah tak
sanggup mengeluarkan suara lagi, tak mampu
menyelesaikan perkataannya.
Hanya mata sebelahnya yang masih bereaksi, terkadang
pandangan mata pun bisa berbicara.
Sorot matanya telah dialihkan ke tempat jauh,
memandang sebuah tenda yang terletak paling jauh dari
sana. Sebuah tenda dengan bulu elang berwarna hitam
tergantung di sudut atasnya, bulu elang berwarna hitam
pekat, hitam perlambang penyakit, musibah, dan kematian.
Penghuni tenda itu kebanyakan adalah orang-orang yang
sudah sakit parah, terluka parah atau mereka yang sudah
sekarat, m Pendekar Laknat 13 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 32
^