Peristiwa Burung Kenari 3

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 3


g tertawa, ujarnya: "Tentunya inilah Lou-ih-teh-kin sumber
air nomor tiga di dunia itu, dulu Li locianpwe ada mengundang tokoh-tokoh
pedang terkenal di seluruh jagat di sini menikmati air teh dan mencuci
pedang serta menilai ilmu pedang masing-masing. Sikap terjang dan
kebesaran wibawa para Cianpwe yang terdahulu, sungguh merupakan
cambuk dan tauladan bagi generasi muda seperti kita."
Sekonyong-konyong terdengar seseorang menghela napas panjang
katanya: "Namun harus disayangkan gunung dan air tetap abadi, para
manusianya justru sudah tak lengkap lagi."
Waktu itu magrib sudah menjelang, tabir malam mualai mendatang, cahaya
matahari menguning guram sudah mulai terbenam, bayangan harimau
mendekam di puncak menara nan tinggi, seekor elang sedang terbang
berputar sehingga pemandangan alam nan permai itu terasa menjadi tawar
dan dingin. Demikian pula helaan napas yang rawan dan mendelu itu, terasa amat
patah semangat dan serba gegetun.
Tampak segulung asap tengah bergulung keluar dan mengepul baik ke
udara dari gardu enam persegi itu. Gardu gunung nan dingin dan sepi,
tampak duduk seorang kakek tua beruban dengan pakaian orang suci dan
bersanggul kepala seperti kaum sastrawan. Seorang diri duduk didalam
gardu menikmati minuman tehnya. Kesunyian yang mencekam dirinya
agaknya mirip benar dengan elang yang sedang berputar-putar di puncak
menara di atas gunungsana .
Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah Lo siansing dulu juga
salah satu orang yang hadir didalam pertemuan besar menikmati teh dan
menilai ilmu pedang di sini itu?"
Orang tua beruban kembali menghela napas ujarnya: "Benar, cuma harus
disayangkan para sahabat itu banyak yang sudah wafat, ketinggalan Losiu
yang selalu kejangkitan penyakit, masih gelandangan di dunia fana ini, bila
ingin mencari orang untuk menemani Losiu menikmati teh dan menilai ilmu
pedang disinipun tak terlaksana lagi."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa beradu pandang, seketika berdiri bulu roma
mereka, hati pun mencelos dingin. Tokoh-tokoh pedang yang dulu pernah
ikut menjajal pedang di sini tiada satupun yang tak mempunyai kepandaian
pedang yang tiada taranya, jika sampai sekarang belum meninggal tentunya
ilmu pedangnya sudah sempurna dan tak ada bandingannya.
Apakah kakek tua ini kebetulan hari ini iseng mengunjungi tempat lama
yang penuh kenangan pahit getir, atau sengaja diundang kemari untuk
menunggu didalam gardu itu" besar kemungkinan bukan secara kebetulan,
memangnya siapa yang sedang dia tunggu"
Oh Thi-hoa segera tampil bertanya: "Entah siapakah nama mulia Losiansing?"
Kakek tua tak berpaling, namun pelan-pelan dia menjawab: "Losiu Swe Iehang."
Terkesiap darah Coh Liu-hiang serunya: "Apakah Jay sing ih-su Swelocianpwe
yang dulu pernah membacok putus nyawa Kwe-thian-sing dan
terkenal dengan julukan It-kiam-tang-sam-san, "pedang tunggal
menggertakan tiga gunung" itu?"
Mendadak kakek tua itu berdiri, menengadah tertawa panjang daun-daun
pohon dimusim rontok disekeliling gardu seketika bergetar rontok
berhamburan seperti kembang salju melayang layang jatuh. Sehabis
tertawa panjang berkata dengan lantang: "Coh Liu-hiang memang luar
biasa, Losiu baru saja menyeduh teh baru, kenapa tuan tidak kemari samasama
menikmati teh wangi ini?"
Tanpa berpaling namun dia sudah tahu bahwa yang datang ternyata adalah
Coh Liu-hiang jelas bahwa sejak lama dia sudah mendapat kabar dari Li
Giok-ham dan menunggu kedatangan Coh Liu-hiang ditempat ini.
Waktu Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa berpaling, Li Giok-ham suami istri
entah sejak kapan sudah menghilang secara diam-diam, tanpa diketahui
kemana perginya.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas namun dia unjuk senyum,
katanya: "Menikmati minuman teh boleh kuiringi, jikalau hendak jajal
pedang, Cayhe terus terang...."
Swe It-hang mendadak berpaling dengan mata mendelik, serunya bengis:
"Terus terang kenapa" Meski usia Losiu sudah lanjut, namun pedang masih
belum loyo!" maka terdengar "Sreng" seperti pekik naga mengalun
diangkasa, tahu-tahu kakek tua ini sudah mencekal sebatang pedang
panjang warna putih sebening air. Coh Liu-hiang yang berdiri beberapa
tombak jauhnya masih merasakan hawa pedang yang dingin mengiris
kulitnya. "Pedang bagus!" tak tertahan Oh Thi-hoa berseru memuji.
"Sudah tentu pedang bagus" ujar Swe It-hang bangga dan angkuh, sorot
matanya lebih tajam dari cahaya pedangnya, katanya melotot kepada Coh
Liu-hiang: "Sudah tigapuluh tahun pedang Losiu ini tidak pernah
meninggalkan sarungnya, hari ini demi kau dia melihat dunia pula, boleh kau
merasa bangga karenanya."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Pedang ternama keluar dari
sarungnya, selamanya pantang kembali dengan kosong. Apakah hari ini
Cianpwe sudah bertekad hendak memenggal kepala Cayhe?"
Beringas muka Swe It-hang, serunya lantang: "Angkatan pendekar sebagai
kaum persilatan memangnya harus berani ajal di bawah pedang, memangnya
kau takut mati?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Kalau Cianpwe
berkukuh hendak memberi pengajaran, Cayhe terpaksa harus melayani tapi
semoga Cianpwe suka memberi penjelasan tentang satu soal, dengan
kewibawaan dan gengsi Cianpwe tentunya tidak akan menyembunyikan
persoalan ini."
"Soal urusan apa?" tanya Swe It-hang.
"Selamanya Cayhe tidak bermusuhan, tiada sakit hati dengan Cianpwe,
sebaliknya Cianpwe berkukuh hendak menamatkan jiwa Cayhe, apakah
mendapat pesan atau diperintah orang lain?"
Bertaut alis tebal Swe It-hang, sahutnya: "Memang tidak salah, tapi
jikalau lawanku bukan Coh Liu-hiang si Maling Romantis, Losiu pun tidak
sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Kalau Cayhe bertanya lebih lanjut
dari siapa Cianpwe mendapat perintah ini, tentunya Cianpwe malu
mengatakannya, tapi meski Cianpwe tak mau menerangkan, Cayhe pun
sudah dapat meraba tujuh delapan puluh prosen."
"Bagus sekali, kalau begitu hayolah keluarkan senjatamu!"
"Baiklah," sahut Coh Liu-hiang belum lagi suaranya lenyap, tiba-tiba
badannya melambung tinggi ke angkasa, melejit ke arah sepucuk pohon
yang tinggi dan besar disampingsana , sekali raih dengan ringan dia
memetik setangkai dahan pohon.
Swe It-hang dijuluki Jay-sing "memetik bintang" betapa tinggi ilmu
Ginkangnya dapatlah dibayangkan dari nama gelarnya ini, tapi melihatgaya
lompatan Coh Liu-hiang ini seketika berubah hebat rona mukanya.
Tampak dengan ringan tanpa mengeluarkan suara Coh Liu-hiang sudah
jumpalitan balik menancapkan kakinya ditempat semula, dahan pohon itu
dia kutungi sepanjang lima kaki di ujung dahan pohon itu masih terdapat
tiga lima lembar daun pupus dengan melintangkan dahan di depan dada
segera ia memberi gaya penghormatan kepada angkatan yang lebih tua,
katanya: "Silahkan Cianpwe."
Bertaut alis Swe It-hang, tanyanya: "Itukah senjatamu?"
"Ya" Swe Ih-hang gusar, dampratnya: "Anak muda terlalu pongah dan takabur,
umpama Li Koan-hu sendiripun tak berani bersikap kurang ajar seperti kau
ini terhadap Lohu."
"Sedikitpun Cayhe tidak takabur dan memandang rendah segala."
"Memangnya apa maksudmu?"
"Asal dipakainya dengan betul, segala benda di dalam mayapada nan luas
ini, semua adalah alat senjata yang dapat melukai orang, tergantung siapa
pemakai dan cara bagaimana menggunakannya, umpama senjata sakti
mandraguna peninggalan jaman kono, kalau si pemakainya tidak becus juga
tidak akan bisa melukai orang. Cianpwe seorang kosen, mengapa tidak
paham akan pengertian ini?" kata-katanya diucapkan secara wajar, enteng
dan tawar namun maknanya betul-betul mengandung sindiran pedas yang
menusuk perasaan.
Diam-diam Oh Thi-hoa bersorak geli dalam hari, dia tahu inilah salah satu
strategi perang Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuhnya, jikalau
musuh terlalu tangguh, maka Coh Liu-hiang pasti menumpas kewibawaan
dan menekan ketabahan hatinya lebih dulu.
Apalagi pedang ditangan Swe It-hang itu, terang adalah senjata sakti
yang dapat mengiris besi seperti mengiris sayur, jikalau Coh Liu-hiang
menggunakan senjata tajam yang terbuat dari logam melawannya, terang
takkan kuat melawan ketajaman pedang lawan.
Kini dia menggunakan dahan pohon yang lemas untuk melawan musuh, yang
diambilnya adalah cara lemas mengatasi kekerasan umpama tidak dapat
merenggut keuntungan paling tidak dirinyapun tidak terlalu besar.
Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul menyadari kecerdikan Coh Liuhiang
didalam menghadapi musuh, memang jarang dan tidak mungkin
ditandingi orang lalu, hampir tak tahan dia ingin membujuk kepada Swe Ithang:
"Kenapa kau begitu getol ingin bertanding dengan Ulat busuk" Jay
sing ih-su julukanmu ini tidak gampang kau peroleh, kenapa kau harus
mempertaruhkan gengsi dan nama baikmu yang bakal runtuh ini?"
Asap yang mengepul dari wedang teh didalam gardu sudah menguap hilang
ditelan angin pegunungan.
Swe It-hang tidak banyak bicara lagi, selangkah demi selangkah dia
berjalan keluar, langkah kakinya mantap dan amat pelan, hanya dua langkah
kakinya beranjak Oh Thi-hoa sudah dibikin kaget dan melongo.
Oh Thi-hoa sendiri sering berkelahi dan suka melabrak musuhnya matimatian,
sejak kecil sampai setua ini wataknya belum pernah berubah,
selama hidupnya setiap kali bertarung dengan lawan, hampir dikata
dianggapnya seperti dirinya makan nasi dan minum air seperti layaknya
kehidupan manusia umumnya.
Selama sepuluh tahun belakangan ini, boleh dikata musuh macam apapun
pernah dihadapinya, sudah bukan mustahil bila diantara sekian banyak
musuh-musuhnya terdapat pula tokoh-tokoh ahli pedang yang kenamaan.
Diantara tokoh-tokoh pedang itu termasuk ahli pedangnya ada pula yang
enteng dan cepat laksana kilat menyambar, ada pula yang amat ganas dan
keji. Tapi peduli siapapun setelahgaya pedang dan jurus serangannya
dilancarkan baru menjadikan ancaman yang fatal bagi musuhnya.
Tapi Swe It-hang yang dilihatnya sekarang bukan saja pedang panjangnya
belum bergerak menyerang, sampaipun badaniahnya seolah sudah diasah
menjadi senjata golok, seluruh badannya dari ujung kaki sampai atas
kepala lapat-lapat mengeluarkan hawa membunuh yang bisa mengecilkan
nyali musuhnya.
Sebagai orang di luar kalangan yang tiada sangkut paut dengan
pertempuran adu jiwa ini Oh Thi hoa sudah merasakan ancaman berat ini,
apalagi Coh Liu-hiang yang berhadapan secara langsung. Siapa akan
menduga kakek tua sebagai sastrawan yang alim dan welas asih dengan
gelaran si suci memetik bintang ini, didalam waktu sesingkat ini bisa
berubah begitu kejam dan menakutkan.
Hembusan angin pegunungan yang menderu keras membuat pakaian
sucinya yang longgar itu melambai-lambai, berbunyi nyaring, langkah
kakinya tak berhenti terus melangkah ke depan tapi orang lain justru tidak
merasakan bahwa badannya sedang bergerak.
Soalnya dia sudah himpun seluruh semangat, kekuatan dan jiwanya ke
dalam segulung hawa pedang yang merupakan tumpuhan ilmu pedangnya,
orang lalu cuma merasakan hawa pedangnya seperti menyesakkan napas
sehingga seolah-olah sudah melupakan kehadiran badan kasarnya.
Badaniahnya sudah menyatu dengan hawa pedang dan bersatu padu,
memenuhi mayapada diantara bumi dan langit, oleh karena itu disaat dia
bergerak, seperti tak bergerak, waktu tak bergerak seolah-olah sedang
bergerak. Akhirnya Oh Thi-hoa betul-betul menemukan kebesaran pambek seorang
Cianpwe kosen ahli pedang ini, betul-betul tak terjangkau oleh nalar dan
pemikiran siapapun. Semula dia berniat membujuk dan menasehati Swe Ithang
sekarang mau tidak mau hatinya gundah dan menguatirkan
keselamatan Coh Liu-hiang malah.
Dia sendiri tidak habis mengerti dengan cara bagaimana baru dia bisa
menggempur dan memecahkan perpaduan hawa pedang yang kokoh itu.
Hembusan angin gunung cukup deras, tapi seluruh mayapada dan isinya
seolah-olah sudah membeku jadi satu.
Terasa oleh Oh Thi hoa keringat dingin sebesar kacang setetes demi
setetes mengalir keluar, seluruh penghuni jagat dalam sekejap ini seolahKoleksi
Kang Zusi olah berhenti bergerak dan mati rasa sampai sang waktu seolah-olahpun
berhenti. Terasa seolah-olah ada sepasang tangan yang tidak kelihatan,
sedang mencekik lehernya. Napasnya hampir sesak dan berhenti sama
sekali. Sukar dia membayangkan betapa tersiksa keadaan Coh Liu-hiang pada
saat itu, tapi pada saat itu mendadak Coh Liu-hiang melejit tinggi ke
tengah angkasa laksana burung bangau raksasa melambung tinggi. Siapapun
takkan menyangka di bawah tekanan tenaga musuh yang begitu hebat, dia
masih kuasa melambung ke angkasa, siapapun takkan menduga kekuatan
dan daya luncur lompatannya itu ternyata begitu cepat laksana samberan
anak panah. Sekokoh batu gunung Swe It-hang berdiri di tempatnya tak tergoyahkan,
cuma pedang di tangannya itu sesenti demi sesenti terangkat naik,
pedangnya itu seolah-olah diganduli bobot laksaan kati, kelihatannya
begitu berat dan lamban sekali.
Tapi dengan jelah Oh Thi-hoa masih bisa mengikuti gerak pedang orang
ternyata dia telah mengikuti gerak-gerik badan Coh Liu-hiang selincah
naga menari diangkasa, namun ujung pedang orang selalu mengincar badan
Coh Liu-hiang dalam jarak dua dim saja. peduli kemanapun Coh Liu-hiang
meluncur turun, terang takkan lolos dari ancaman tusukan pedang lawan.
Tapi akhirnya Coh Liu-hiang meluncur turun dan tancap kaki di tanah.
Waktu melesat tinggi tadi badannya meluncur laksana anak panah, begitu
tiba di atas langit, bergerak seperti kecapung menunggang bola api,
berputar dan menari-nari, perubahannya tak terhitung banyaknya, dan tak
mungkin ditiru serta tak bisa ditandingi.
Pedang Swe It-hang sudah siap bergerak menyerang. Pada saat itulah
dahan pohon ditangan Coh Liu-hiang mendadak bergeming bergerak
membundar, beberapa daun di ujung dahan itu, mendadak meninggalkan
dahannya dan meluncur ke arah muka Swe It-hang.
Swe It-hang bersuit panjang, pedang berubah menjadi tabir cahaya yang
rapat dan seperti gugusan gunung membundar.
Tampak oleh Oh Thi-hoa cahaya pedang orang sudah menelan Coh LiuKoleksi
Kang Zusi hiang bulat-bulat, beberapa lembar daun itu, sudah tertekan hancur lebur
oleh kekuatan hawa peang yang tajam dan dahsyat itu, lenyap tanpa bekas.
Akan tetapi begitu cahaya pedang kuncup, pedang ditangan Swe It-hang
tahu-tahu sudah menjuntai turun lunglai, rona mukanya kaku tidak
menunjukkan mimik perasaan, seluruh kulit badannya seolah-olah didalam
sekejap itu sudah membeku dan dingin.
Kalau dia diibaratkan sebuah golok, maka dia sekarang sudah berubah
sebagai golok kayu, berubah tak bersinar, dan kelam, ketajaman dan
kewibawaan hawa pedangnya pun sudah sirna tak berbekas lagi.
Waktu dia melirik ke arah Coh Liu-hiang, tampak orang sudah meluncur
turun dan hinggap satu tombak di hadapan Swe It-hang, dahan pohon di
tangannya sudah gundul dan terbeset kulit pohonnya karena ketajaman
hawa pedang itu.
Bukan saja Oh Thi-hoa tidak tahu orang bagaimana Coh Liu-hiang lolos dan
menyelamatkan diri dari kepungan cahaya pedang musuh yang dilandasi
hawa pedangnya, diapun tak tahu bagaimana kesudahan dari akhir
pertempuran kedua orang ini, entah siapa menang dan pihak mana kalah.
Entah berapa lama akhirnya Coh Liu-hiang membungkuk badan katanya:
"Ilmu pedang Cianpwe tiada taranya, selama hidup belum pernah
melihatnya."
Dengan hambar Swe It-hang mengawasinya, mulutnya menggumam:
"Bagus, bagus, bagus sekali..." beruntun dia berkata tiga kali, pedang
saktinya itu tiba-tiba berubah jadi selarik bianglala yang melesat terbang


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tengah udara laksana kilat menyambar dicuaca menjelang gelap ini,
terus meluncur ke arah Kiam-ti. Sesaat kemudian, terdengar "Plung". Maka
sejak ini Kiam-ti ketambahan sebatang pedang tajam luar biasa yang sakti.
Dengan hampa Swe It-hang melepas pedangnya ke tempat nan jauh disana
, seluruh badannya seolah sudah luluh, jiwa dan sukmanya seolah-olah
sudah ikut pedangnya itu kecemplung ke telaga pedang.
Tak urung terunjuk rasa prihatin dan mendelu pada muka Coh Liu-hiang
katanya menghela napas: "Cayhe mengambil keuntungan meski untung
berhasil lolos dari pedang Cianpwe, tapi aku sendiri belum bisa menang,
buat apa Cianpwe..."
"Kau tak usah bilang lagi."
Coh Liu-hiang mengiakan dengan tunduk kepala.
Lama Swe It-hang menatapnya pula lekat-lekat, tanpa bicara sepatah
katapun tiba-tiba dia putar badan terus melangkah lebar turun gunung.
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya menghela napas: "Memang
tidak malu orang ini diagulkan sebagai Enghiong, cuma harus disayangkan,
orang seperti ini semakin lama semakin jarang di Kang-ouw."
Tanya Oh Thi-hoa: "Ucapannya terakhir, Apakah maksudnya" Apa kau
benar-benar paham?"
"Dia memberitahu kepadaku, demi membalas budi kebaikan Li Koan-hu,
umpama dia harus mempertaruhkan jiwa raga sendiripun tak menjadi soal,
oleh karena itu meski dia tak tahu kenapa Li Koan-hu ingin membunuh aku,
tidak bisa tidak dia turun tangan."
"Kalau demikian jadi dia mendapat pesan Li Koan-hu mencegatmu di sini?"
"Tentu saja demikian."
"Tapi kenapa Li Koan-hu hendak membunuh kau?"
"Seorang tua demi anak dan menantunya, urusan apapun bisa saja dia
lakukan." "Tadi cara bagaimana kau mengalahkan dia" Bukan saja aku tidak melihat
jelas, kupikirpun takkan terpecahkan."
"Ilmu pedang orang ini memang sudah mencapai taraf yang tiada taranya,
boleh dikata dia sudah membuat pedang yang berwujud itu menjadi
abstrak "tidak berwujud" seluruh tubuhku sudah terkurung, hampir
bernapaspun tak bisa lagi."
"Aku yang berada di luar kalangan saja serasa sesak, apalagi kau?"
"Kalau aku tidak cari akal untuk menjebol keluar dari kurungan hawa
pedangnya lebih dulu, pasti pasrah dan menyerah untuk dipenggal kepalaku
saja oleh karena itu aku terpaksa harus menyerempet bahaya, disaat dua
ganti napas, mendadak aku melejit ke atas" Dengan tertawa getir ia
melanjutkan: "Tentunya kau sudah tahu, menghadapi tokoh kosen seperti
Swe It-hang, bukan saja sedang menghadapi bahaya, bila sekali
seranganmu gagal berarti kau mengantar jiwamu!"
"Memangnya gerakan menyerang dengan cara terapung di udara ini, hanya
bisa dilancarkan bila yang kuat menyerang yang lemah, karena sekali kau
gagal, berarti kau kejeblos ke jalan buntu, maka waktu aku melihat kau
menggunakan jurus seranganmu ini hampir saja mencolot keluar."
"Begitu badanku terapung ditengah udara, maka lebih jelas aku melihat
pusat dari kekuatan hawa murninya yang kokoh dan tak tergoyahkan, oleh
karena itu terlebih dulu aku gunakan daun-daun dari dahan pohon di
tanganku untuk memancing gerakannya sehingga pemusatan hawa
pedangnya itu buyar."
"Teorimu ini aku tak bisa menerimanya."
"Soalnya waktu itu dia sudah kembangkan seluruh kekuatan dan
kemahirannya dalam mengendalikan hawa pedang itu, umpama air gentong
yang luber atau anak panah yang sudah dipentang busurnya tinggal
membidikkan saja cukup tersentuh sedikit saja, maka anak panah itu harus
dilepaskan."
"Em, ya, perumpamaan ini memang tepat."
"Nah, itulah teori yang kupakai."
"Teori apa" Aku masih belum paham."
"Dengan kekuatan tenaga dalam, aku sambitkan daun pohon itu, hawa
pedangnya sudah penuh sesak, begitu tersentuh oleh sesuatu benda dari
luar, seketika menimbulkan reaksi yang hebat luar biasa. Celaka adalah
begitu hawa pedang itu bekerja, tak mungkin dikendalikan lagi, bukan saja
beberapa daun pohon itu hancur lebur seluruhnya, umpama badan
seseorang pun pasti luluh tak berbekas lagi."
"Begitu lihaynya."
"Tapi begitu hawa pedang itu bergolak dan bekerja maka tampaklah titik
lobang kelemahannya."
"Kenapa?"
"Karena seluruh tumpuan kekuatannya terpusatkan pada titik itu, dengan
sendirinya lantas menunjukkan kekosongannya maka aku tak sia-siakan
kesempatan ini, dengan ujung dahan pohon di tanganku itu aku berhasil
sedikit menutul kepalanya." sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa panjang,
katanya pula kemudian: "Namun demikian aku, toh terkena juga oleh
tutulan tenaga hawa pedang yang dahsyat itu, sehingga terpental jauh
beberapa tombak."
Oh Thi hoa menyela keringat katanya tertawa lebar: "Akan tetapi, apapun
yang terjadi kenyataan sejurus kau dapat mengalahkan dia."
"Sejurus ini amat enteng dan gampang dikatakan, bahwasanya amat sukar
dilaksanakan, apalagi walau ujung dahan kayu itu berhasil menutul
kepalanya sekali-kali takkan mampu melukai dia, maka sebetulnya dia tidak
perlu mengaku kalah."
"Kalau demikian, bila waktu itu dia tidak kalah dan melabrakmu lebih
lanjut, bukankah jiwamu bakal amblas?"
"Itupun belum tentu."
"Kenapa belum tentu?"
"Karena tindakanku itu sudah membikin hawa pedangnya pecah tercerai
berai, kalau dia berusaha memusatkan hawa pedangnya lagi dalam waktu
sesingkat itu, akupun tidak akan memberi kesempatan kepadanya, maka dia
merangsek lebih lanjut, kita masing-masing harus berkelahi mengandal
kematangan permainan jurus silat masing-masing."
"Darimana kau tahu bila permainan jurus tipu-tipu silatnya tidak ungkulan
melawan kau?"
"Kalau membicarakan kehebatan jurus tipu-tipu silat yang terlihai, dalam
kolong langit ini, mungkin tiada seorangpun yang bisa menandingi Ciokkoan-
im. Oh Thi-hoa kedip-kedip mata, tanyanya tiba-tiba: "Jikalau Swe It-hang
melawan Ciok-koan-im bagaimana?"
"Ciok-koan-im pasti akan menang."
"Berdasar apa kau berani berkata demikian?"
"Karena Swe It-hang sendiri belum bisa mengendalikan hawa pedangnya
itu sedemikian rupa dan senyawa dengan raganya, dapat dimainkan sesuka
hatinya, diapun belum mampu melebur hawa pedangnya itu ke dalam
permainan jurus tipu-tipu ilmu pedangnya."
"Kalau dia berhasil melebur hawa pedang itu ke dalam jurus tipu
perubahan ilmu pedangnya?"
"Maka kepandaiannya takkan menemui tandingan dikolong langit."
"Aku mengharap dalam dunia ini ada seseorang seperti itu, supaya kaupun
merasakan pahit getirnya, selamanya kau selalu menang perang, jikalau
kalah sekali, mungkin kepandaian silatmu baru bisa mencapai taraf yang
tiada taranya."
Sebetulnya Oh Thi-hoa berkelakar dengan ucapan ini, tak nyana Coh Liuhiang
justru menanggapi dengan serius: "Ya, memang begitulah, disitulah
letak teori ilmu silat yang paling mendalam, harus disayangkan selama
hidup ini aku paling gemar menyerempet bahaya, setiap kali berhadapan
dengan musuh tangguh, tanpa kusadari secara reflek aku menggunakan
jurus permainan yang menyerempet bahaya pula. bila aku kalah maka
jiwaku tanggung mampus, oleh karena itu walau aku tahu akan kelemahanku
ini, namun tetap aku main untung-untungan menyerempet bahaya untuk
menempuh kemenangan."
Oh Thi-hoa malah melongo, katanya: "Sebetulnya tujuanmu bukan melulu
ingin menang dan lagi bila kau tidak menggunakan cara yang menyerempet
bahaya, jelas kaupun bakal mampus karena bila kau tidak membunuh atau
melukai musuh, sebaliknya musuh bakal menamatkan riwayatmu."
"Maka cepat atau lambat, akan datang suatu hari, aku pasti akan mampus
ditangan orang lain."
"Tapi kaupun tidak perlu kuatir, orang yang dapat membunuh kau, kukira
sampai detik ini belum lagi lahir!"
Kabut semakin tebal sehingga tabir malam terasa semakin kelam.
Disongsong datangnya gulita ini mereka naik ke puncak gunung, melewati
Yam yang-sung. Hau-cu-beng, Toan-liau-nam. Kam-kain-swan. Sik-kiam-sek.
Jin-sian-ting dan Sian-jin-tong.
Tapi mereka tidak menemukan jalan yang langsung menembus ke Yong-ciusan-
cheng. Hampir saja Oh Thi-hoa sudah curiga bahwa Yong-cui-sancheng
apa benar terletak di Hou-kin-san ini. Kata Oh Thi-hoa dengan
mengerut kening: "Apa kau sendiripun belum pernah berkunjung ke Yong
cui san-cheng?"
"Belum, aku cuma dengar bahwa Yong cui san-cheng terletak dalam
pelukan gunung jauh dariTay ouw, pulau pasir yang indah permai dengan
layar berkembang, asap mengepul ditengah rumpun bambu, merupakan
tempat yang panoramanya terindah di seluruh gunung ini."
Waktu Oh Thi-hoa hendak bersuara lagi, tiba-tiba dilihatnya
dikejauhansana terangkat tinggi sebuah lampion perak, bergoyang-goyang
terhembus angin, seolah terletak pada suatu puncak gunung yang tinggi.
"Permainan apa pula itu?" ujar Oh Thi-hoa mengerut kening.
"Apapun yang akan terjadi disana kita harus menengok kesana." ajak Coh
Liu-hiang. Cepat sekali mereka kembangkan Ginkang melesat ke atas puncak, setelah
dekat dilihatnya sebuah menara raksasa, bercokol tinggi dengan angkernya
ditengah hembusan angin gunung yang deras, menara ini tujuh tingkat
setiap tingkatnya terdapat genteng wuwungan yang miring menjulur keluar.
Lampion merah itu tergantung di bawah payon genteng, yang paling tinggi,
namun suasana sepi lenggang, hanya pohon cemara yang bergoyang gontai
mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahutan, tiada tampak
bayangan seorangpun di sini.
Siapakah yang menggantung lampion itu di atassana , apa tujuannya"
Cahaya lampion laksana darah, di bawah penerangan cahaya merah darah
ini, tampak pada dinding menara, di bawahnya bertuliskan sebaris hurufhuruf
tapi karena tulisan berada di puncak tertinggi, sehingga tidak begitu
jelas dan tak terbaca dari bawah.
"Matamu lebih jeli dari mataku, apa kau sudah melihat jelas apa yang
tertulis di atas itu?"
Agaknya Coh Liu-hiang seperti memikirkan sesuatu, dia cuma geleng
kepala. "Biar kutengok ke atas sana." kata Oh Thi-hoa. Baru saja dia hendak
melompat, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah menariknya.
"Aku tahu pasti mereka sedang mengatur tipu daya di sini, tapi kalau kita
tidak kesana hati terasa mendelu."
"Biar aku yang naik" kata Coh Liu-hiang. Tanpa menunggu jawaban Oh Thihoa
badannya sudah melambung ke atas, dia sendiripun tahu bukan
mustahil di atassana ada perangkap keji yang menunggu dirinya, maka
gerak-geriknya teramat hati-hati dan waspada.
Sebentar saja tampak badannya seenteng burung walet sudah mencapai
tingkat ke enam, akhirnya dia sudah melihat jelas tulisan di dinding itu
yaitu berbunyi: "Coh Liu-hiang mampus di sini." selintas pandang dia sudah
membaca tulisan ini, mesti hati amat kaget namun sedikitpun dia tidak
menjadi gugup, tanpa banyak membuang waktu langsung badannya meluncur
turun ke bawah.
Siapa nyana pada saat itu pula sekonyong-konyong dari puncak menara
terkembang sebuah jala raksasa.
Selama ini Oh Thi-hoa menengadah mengawasi gerak-gerik Coh Liu-hiang,
dengan jelas dilihatnya sinar kemilau dari benang-benang jala itu, seolaholah
terbuat dari kawat-kawat lemas yang halus, meski bobotnya enteng
tapi daya luncurnya ternyata amat pesat.
Disaat Coh Liu-hiang hampir terbungkus dan terjerat oleh jala besar ini,
tak terasa Oh Thi-hoa menjerit memperingatkan: "Awas!"
Ditengah peringatan Oh Thi-hoa itu, badan Coh Liu-hiang sudah melorot
turun dengan lebih cepat, sehingga jala yang terkembang itu seolah-olah
ketinggalan diatas kepalanya, keruan Oh Thi-hoa menghela napas lega.
Tak nyana dari tingkat kelima menara batu ini, sekonyong-konyong laksana
kilat menyambar keluar sebatang sinar perak yang kemilau pula, agaknya
seperti tombak arit yang melengkung, senjata yang jarang terlihat dan
dipakai oleh kaum persilatan. ujung tombak menggantol kedua lutut Coh
Liu-hiang. Sudah tentu bukan kepalang kaget Coh Liu-hiang, namun dia tetap tenang,
sigap sekali sebelah tangannya menepuk pinggiran wuwungan tingkat
kelima, cepat sekali badannya sudah bersalto mundur ke bawah. Namun
demikian setelah dia terhindar dari gantolan musuh, badannya berarti
masuk perangkap jala lebar itu, seketika seperti ikan besar yang terjaring
seluruh badannya bergelimang didalam jala, terus melayang turun dengan
berputar-putar ditengah-tengah udara.
Tapi tombak gantolan itu cepat sekali terulur keluar pula dan menggantol
jala sehingga jala tak sampai jatuh ke bawah, dengan sendirinya Coh Liuhiang
tergantung ditengah udara dengan tanpa bisa bergerak didalam jala
meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, makin lama benang-benang
jala itu malah mengencang dan menjirat kulit dagingnya.
Selama berdampingan berjuang danmalang melintang, entah berapa lama
Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang mengalami pertempuran antara mati dan
hidup, namun selamanya belum pernah mereka menghadapi alat senjata
serba aneh, perangkap serba licik dan licin seperti ini.
Reaksinya boleh dikata sudah amat cepat, namun perubahan yang
dihadapinya justru lebih cepat lagi, hakikatnya Oh Thi-hoa sendiri tidak
sempat mengawasi cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa terjaring ke dalam
jala musuh. Tampak sinar perak kemilau bergoyang, tahu tahu Coh Liuhiang
sudah tergantung ditengah udara.
Sekali merogoh tangan Oh-Thi-hoa lolos pisau pendek didalam slop
sepatunya, tahu-tahu badannya sudah melejit tinggi, sinar pisaunya laksana
bianglala terbang mengirim kearah jala besar itu.
Namun didengarnya Coh Liu-hiang membentak kepadanya: "Lekas mundur
kedua orang ini tak boleh dilawan..." ditengah bentakannya ini, dari puncak
menara tahu-tahu meluncur sesosok bayangan seperti burung raksasa.
Malam remang-remang sehingga tak terlihat jelas bentuk mukanya, yang
terang orang ini berperawakan tinggi besar, solah-olah seorang didalam
dongeng pada jaman purba dulu.
Terasa pandangan Oh Thi-hoa tiba-tiba menjadi gelap, seolah-olah
menara raksasa ini tiba-tiba runtuh menindih ke atas kepalanya, ke arah
manapun dia berkelit menghindarkan dirinya tetap terkurung didalam
bayangan hitam ini.
Kalau kaum keroco yang menghadapi situasi segawat ini, saking takutnya
mungkin sudah pikirkan keselamatan diri sendiri dan berusaha lari, jelas
dia takkan lari dari tindihan bayangan raksasa laksana gugur gunung ini.
Betapapun nyali Oh Thi-hoa memang berlipat ganda lebih besar dari orang
lain, bukan saja dia tidak lekas melorot turun berusaha menyelamatkan
diri, dengan mengacungkan pisau di tangannya, dia malah menerjang naik
memapak ke arah bayangan raksasa ini. Cara tempur dan serangan yang
ingin mengadu jiwa dengan musuh seperti ini, biasanya dipandang
perbuatan memalukan bagi seorang tokoh kosen, namun ada kalanya dapat
merubah situasi memutar keadaan merebut inisiatif penyerangan lebih
dulu. Soalnya lawan sudah yakin bila dirinya pasti menang, sudah tentu dia
takkan sudi melayani cara tempur yang nekad ini, akan tetapi bagi siapapun
untuk merubah gerakan jurus permainan silatnya didalam waktu sesingkat
itu, jelas bukan urusan yang mudah dilakukan atau boleh dikata tidak
mungkin. Diluar tahunya bayangan besar dari makhluk raksasa ini ternyata
bergerak sedemikian lincah dan gesit sekali, mendadak bayangannya
berputar, ditengah udara badannya melayang menyingkirlima kaki jauhnya.
Tepat pada saat itu pula, tombak gantolan mendadak ditarik mundur,
sudah tentu Coh Liu-hiang yang tergantung ditengah udara dalam jala
besar itu seketika melayang jatuh.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coh Liu-hiang melayang jatuh sementara Oh Thi-hoa menerjang naik,
keruan kedua-duanya saling terjang dengan kerasnya, untuk pisaunya dapat
dia geser ke samping sehingga tidak melukai Coh Liu-hiang, berpaling
seluruh hawa murni yang dia kerahkan, seketika dia buyarkan, dia rela
dirinya keterjang sampai luka-luka, betapapun dia tidak mau membuat luka
Coh Liu-hiang. "Blang" seperti meteor jatuh badan Coh Liu-hiang
menumbuk Oh Thi-hoa dengan dahsyatnya.
Karena tenaga dan hawa murninya tiba-tiba kuncup, keterjang begitu
keras lagi, seketika terasa kepalanya berat, matanya berkunang-kunang,
tanpa kuasa Oh Thi-hoa jatuh semaput. Lapat-lapat masih terasa olehnya
badan Coh Liu-hiang menindih di atas badannya.
Belum lagi musuh bergerak atau menyerang, tahu-tahu pihak sendiri telah
dipukul roboh dan tak bisa berkutik lagi.
Sesaat kemudian terdengarlah seseorang tertawa terpingkal-pingkal,
serunya: "Banyak orang bilang betapa hebat dan lihainya kedua orang ini,
ternyata hanya begini saja." suara orang ini kedengarannya melengking
tajam dan cepat sekali, seperti suara anak kecil yang lagi menanjak
dewasa, tapi setiap patah katanya dapat didengar sampai ketempat jauh,
betapa kuat Lwekangnya, kiranya sudah terlatih beberapa puluh tahun.
Seorang lain segera menjawab: "Memangnya di kalangan Kangouw banyak
kaum keroco yang suka mengagulkan diri, tapi kedua orang ini terhitung
lumayan juga."
Suara orang ini justru seperti genta yang ditalu, dan lagi amat perlahan
dan lamban, dia bilang sepatah kata, orang lain sudah berkata tiga empat
kata. Kuping Oh Thi-hoa terasa pekak waktu dia membuka mata, maka
dilihatnya dua orang tinggi pendek berdiri di depannya.
Umpama orang pendek ini berjinjit paling hanya seperut orang di
sebelahnya, badannya kurus kering seperti genteng, kepalanya
menggunakan topi rumput yang besar sebesar roda kereta. Seolah-olah
mirip benar dengan jamur payung, seluruh badannya yang kurus itu
terselubung oleh bayangan topinya, bahwasanya sukar terlihat raut
mukanya. Orang yang tinggi ini biji matanya seperti kelintingan tembaga,
pinggangnya kira-kira dua pelukan orang dewasa, rambut panjang awutawutan,
sebagian di sebelah belakang dikuncir jadi dua, selintas pandang
mirip benar dengan patung penjaga pintu kelenteng pemujaan.
Pakaian yang dikenakan kedua orang ini amat mewah kalau tidak mau
dikatakan terlalu perlente, jelas tukang jahitpun seorang ahli yang sudah
kenamaan, tapi pakaian perlente ini dipakai oleh orang-orang dengan
perawakan seperti mereka, kelihatannya tidak keruan.
Yang pendek mengenakan jubah sutra yang baru berwarna menyala, namun
dimana-mana berlepotan minyak, terang kancing pertama, namun
dimasukkan ke dalam kancing ketiga.
Orang gede di sebelahnya juga mengenakan jubah panjang warna merah
dengan celana panjang warna biru, sayang ukuran jubahnya ini paling tidak
kurang tiga angka, karena panjangnya kurang dua kaki, dengan badan
sebesar itu mengenakan pakaian ketat dan kependekan seolah-olah
pakaiannya hasil curian saja.
Kedua orang yang aneh dan lucu ini, kenyataan memiliki kepandaian silat
sedemikian tinggi. Oh Thi-hoa hampir tidak percaya akan pandangan
matanya sendiri, tanyanya: "Siapakah namamu" Kenapa..."
Belum habis pertanyaannya si pendek itu sudah berteriak: "Masakah aku
ini tidak kau kenal?"
"Memangnya Oh Thi-hoa Oh Tayhiap seperti aku ini kenal orang macam
kalian ini?"
Si pendek menghela napas gumannya: "Tak nyana setelahmalang melintang
sekian tahun di Kang-ouw, bocah keparat ini sia-sia hidup setua ini,
masakah aku orang tua inipun tidak dikenalnya" sembari bicara topi rumput
di atas kepalanya ditanggalkan, katanya menambahkan: "Coba kau lihat biar
jelas, siapa aku ini?"
Tampak oleh Oh Thi-hoa kepala orang ini gundul pelontos tanpa seutas
rambutpun dan lagi kepalanya ini satu lipat lebih besar dari kepala orang
biasa. Dengan badan yang kurus punya kepala sebesar itu, seperti sumpit
yang diatasnya menusuk sebuah bakpao, sayang keadaan Oh Thi-hoa masih
lemas dan linu bergerakpun tidak bisa, kalau tidak melihat tampangnya ini
tentu tak tahan dia terpingkal-pingkal geli.
Berkata pula si pendek: "Sampai sekarang kau masih belum tahu siapa aku
ini?" "Aku hanya tahu bahwa kau ini adalah si gundul botak saja, memangnya
apanya yang perlu dibuat heran?"
Si pendek pun tidak marah, malah tertawa berseri, katanya: "Kalau gundul
lantas tiada apa-apanya?"
"Tidak ada apa-apanya" sudah tentu tidak punya rambut."
"Tiada rambut berarti Bu-hoat, benar tidak?"
Selamanya belum pernah Oh Thi-hoa berhadapan dengan orang secerewet
ini, malas rasanya meladeni bicara orang.
Si pendek kembali mengenakan topi rumput besarnya ke atas kepalanya,
katanya sambil mendongak: "Dimana langit kenapa langit tidak kelihatan?"
dengan menggunakan topi rumput sebesar itu mesti kepalanya mendongak,
langit memang tidak dilihatnya. Tak tertahan Oh Thi-hoa tertawa, tapi
sekilas otaknya berpikir kulit daging mukanya seketika kaku dan
mengejang secara mendadak.
Si pendek tertawa riang, ujarnya: "Kini tentu kau sudah tahu siapa aku
orang tua ini bukan?"
"Kau..." suara Oh Thi-hoa serak tersendat. "Apakah kau ini Bo-hoat Bothian
To Kau-ang?"
Bo hoat Bo-thian berarti tidak kenal aturan tidak mengenal Thian, To
Kau-ang adalah aki jagal anjing.
Si pendek berjingkrak sambil tepuk tangan serunya: "Kau bocah ini
ternyata pengetahuan juga, boleh dididik, boleh dipelihara!" lalu dia
julurkan tangannya menuding si raksasa itu, katanya: "Kau tahu siapa dia?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya getir: "To Kau-ang dan To Hi-po
selamanya seperti bandulan tidak pernah meninggalkan timbangan, tidak
ketinggalan bandulan, masakah aku tidak tahu?"
"Benar, dia inilah istriku tercinta Thian-lote-hong To Hi-po adanya. Aku
orang tua ini meski Bo hoat-bo thian, tapi begitu masuk kedalam Thian-lote-
hong jangan harap bisa membalikkan badan lagi." Thian-lo te hong
berarti pencakar langit jalan bumi.
Mahluk raksasa sebesar ini ternyata adalah seorang perempuan, hal ini
sudah amat luar biasa, lebih menggelikan lagi bahwa perempuan ini
ternyata adalah istri manusia kurus kerempeng yang kering ini, siapapun
terpingkal-pingkal dan pecah perutnya.
Tapi Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, karena dia cukup tahu meski
kedua orang ini jenaka dan suka humor, namun selama seratus tahun
mendatang ini dalam kalangan Bulim mereka adalah salah satu dari empat
pasangan suami istri yang berkepandaian amat tinggi.
Bukan saja kedua orang ini menggunakan senjata yang jarang dipakai oleh
kaum persilatan umumnya, ilmu silat merekapun luar biasa aneh dan lihai,
sepak terjangnya sudah dirubah itu tangannya. Selamanya tiada orang yang
tahu asal-usul perguruan kedua orang ini. Selamanya tiada orang yang tahu
kapan mereka muncul, ada kalanya kedua orang ini laksana datangnya hujan
badai, mendadak lenyap begitu saja, selama dua tiga puluh tahun
belakangan ini sudah tak terdengar pula kabar berita mereka, maka tiada
orang yang tahu kemana mereka pergi dan dimana mereka berada.
Tapi setiap kaum persilatan sama tahu satu hal, yaitu: Lebih baik kau
berdoa terhadap Thian Yang Maha Kuasa, jangan sekali kali kau berbuat
salah terhadap kedua suami-istri ini, siapapun jikalau berdosa terhadap
kedua orang ini, maka selama hidupnya jangan harap bisa mengecap harihari
dengan tentram dan sentosa.
Tampak To Kau-ang masih tertawa cengar-cengir, begitu lebar tawanya
dan terpingkal-pingkal sampai napasnya memburu tersengal-sengal, tapi
sekilas Toh Hi Po melirik kepadanya, seketika dia hentikan tawanya dan
tidak berani meringis lagi
Jilid 33 Lebih baik kalau dia tidak melerok, sekilas melerok dan marah, seluruh
pakaian ketat yang membungkus badannya seolah-olah melembung hampir
meledak, tapi Oh Thi-hoa terheran heran dan tak habis mengerti, kenapa
perempuan segede ini mengenakan pakaian ketat sekecil itu.
Memangnya diluar tahunya dan tak pernah terpikir oleh Oh Thi-hoa,
umumnya perempuan yang kakinya besar suka mengenakan sepatu kecil,
demikian pula perempuan yang tambun suka mengenakan pakaian ketat dan
kecil bila seorang perempuan tinggi menikah dengan suami kate atau cebol,
maka ingin rasanya dia menggergaji saja kedua kakinya menjadi pendek
supaya sejajar dengan suaminya, namun kalau kaki dipotong menjadi cacat
terpaksa pakaiannya saja yang dipotong dua kaki lebih pendek dari ukuran
semestinya, dalam batin akan terasa nyaman dan tentram.
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa dingin, katanya: "Banyak orang bilang
betapa lihaynya To Kau-ang suami istri, ternyata juga cuma begini saja."
"Aku orang tua tanganpun belum lagi digerakkan, tahu tahu kau sudah
rebah tak berkutik, masakan kau masih belum terima?" olok To Kau-ang.
Oh Thi-hoa berkata beringas: "Jikalau kau berani bertanding secara
terang terangan melawan aku, dapat kau mengalahkan sejurus setengah
tipu, sudah tentu aku akan tunduk dan menyerah tanpa pamrih, tapi kau
menggunakan tipu daya selicik ini, terhitung perbuatan Enghiong macam
apa?" To Kau-ang tertawa besar, katanya: "Ucapanmu ini terlalu ngelantur,
siapapun yang bergebrak bila sepihak dapat merobohkan pihak yang lain,
perduli cara apapun yang dia gunakan merupakan kepandaian yang harus
dipuji jikalau aku orang tua dapat sekali kentut lalu dapat bikin bau
mampus sesak napas, sudah sepantasnya kau tunduk lahir bathin
kepadaku."
Saking dongkol oleh olok-olok orang yang brutal ini Oh Thi-hoa sampai tak
bisa bicara lagi. Mendadak disadarinya, bukan saja saat mana seluruh
badannya linu kemeng, Coh Liu-hiang yang menindih di atas badannyapun
tak bergerak sama sekali, sampai napaspun sudah berhenti. Saking
kagetnya, tak terasa Oh Thi-hoa berteriak melengking: "Lo... Lo coh,
kenapa kau tidak bersuara" Masakah kau."
"Kembali kau bicara ngelantur pula." ejek To Kau-ang setelah terlorok
lorok. "Memangnya tadi kau tak melihat disaat aku mengulurkan tombakku
tadi, sekaligus sudah masuk dua Hiat-tonya." dengan tertawa dia maju
menghampiri sambil menambahkan: "Mungkin turun tanganku tadi terlalu
berat dan cepat, sehingga kau tidak melihatnya dengan jelas, sekarang..."
Belum kata katanya berakhir, baru saja dia tiba di hadapan Coh Liu-hiang,
sekonyong konyong sepasang tangan Coh Liu-hiang secepatnya menjulur
keluar dari dalam jala.
Sudah tentu mimpipun To Kau-ang si jagal anjing ini tidak akan pernah
menyangka, saking kagetnya, tahu tahu kedua kakinya sudah terpegang
oleh Coh Liu-hiang, sekali sentak kontan badan si jagal anjing yang kurus
tinggi seperti genter ini rebah tak berkutik lagi.
Taoh Hi-po si nenek nelayan ini keruan menggerung gusar seperti singa
mengamuk, menubruk maju. "Berdiri ditempatmu!" terdengar Coh Liu-hiang
membentak. "Kalau tidak lakimu takkan hidup lebih lama lagi."
Benar juga Toh Hi-po tak berani melangkah setapak lagi, sorot matanya
menampilkan rasa prihatin dan kuatir akan keselamatan suaminya yang
cebol kate ini.
Tadi si Jagal anjing sudah mengumpat caci.
"Anak jadah menggunakan cara demikian terhitung orang gagah macam
apa kau?" Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Dua orang bergebrak, asal dapat
merobohkan lawannya, peduli cara apa yang digunakan... tadi kau sendiri
berkata demikian, memangnya secepat itu kau sudah lupa?"
Si Jagal anjing melengak, tak tahan Oh Thi-hoa terbahak bahak, serunya:
"Bagus, bagus sekali, itulah yang dinamakan mengangkat batu mengepruk
kaki sendiri, kau kentut dan kau sendiri yang bau."
Tak nyana si jagal anjing malah terpingkal-pingkel juga, katanya: "Baik,
baik, baik Coh Liu-hiang ternyata memang cukup pintar, tak heran banyak
orang sama takut kepada kau."
"Ah, mana berani!" sahut Coh Liu-hiang. "Tapi ada satu hal yang belum ku
mengerti, tadi terang aku sudah menutuk Hiat-tomu sudah kuperhitungkan
didalam satu jam, jangan kata bergerak kentutpun tidak bisa, cara
bagaimana mendadak sekarang kau sudah bisa bergerak?"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Di saat kau menutuk Hiat-toku,
badanku sudah meluncur jatuh."
"Bukan saja kontan melayang jatuh, malah kau menumpuk bocah she Oh
itu, mana ada kesempatan mengerahkan hawa murni membebaskan
tutukan?" "Cayhe memangnya belum mencapai taraf kepandaian untuk mengerahkan
hawa murni membuka tutukan Hiat-to sendiri, tuan terlalu mengagungkan
diriku." "Memangnya cara apa yang kau gunakan?"
"Siapa saja disaat Hiat-tonya tertutuk, pasti masih ada kesempatan
meski hanya seper-seratus detik bergerak benar tidak?"
"Benar, karena meski Hiat-tonya sudah tertutuk, namun dalam badan
masih ada sisa tenaga murni yang masih mengalir, tapi kesempatan itupun
amat singkat dan hanya bergerak sedikit saja."
"Tapi bergerak sedikit saja sudah cukup dan besar sekali manfaatnya."
Bersinar biji mata si Jagal anjing, teriaknya: "O, aku paham sekarang,
waktu itu begitu kau merasa Khi-hiat-nay-hiat tertutuk segera kau
gerakan sedikit badanmu, sehingga bocah she Oh itu menubruk badanmu
sekaligus membobol kedua Hiat-to yang tertutuk itu."
"Ya begitulah kejadiannya." Kejut dan girang bukan main Oh Thi-hoa
serunya tertawa lebar: "Kau tua bangka ini ternyata punya otak yang
pintar juga, patut dibimbing, pantas dididik di kebun binatang!"
Si jagal anjing menghela napas, ujarnya: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang kau
memang setan cerdik, tak nyana tua bangka seusia enam tujuh puluh tahun
seperti aku ini, hari ini terjungkal ditangan bocah cilik yang masih bau
pupuk bawang."
Nenek nelayan segera melotot kepada Coh Liu-hiang, suaranya sember:
"Sekarang apa pula yang kau inginkan?"
Tatkala itu Oh Thi-hoa sudah merangkak bangun dari tindihan badan Coh
Liu-hiang, serta sedang sibuk membuka jala besar yang membungkus badan
Coh Liu-hiang, Nenek nelayan hanya mendelong mengawasi saja tanpa
memperlihatkan reaksi apa-apa."
Coh Liu-hiang mencelat bangun katanya perlahan: "Apa kalian punya
permusuhan dengan Cayhe?"
"Tiada!" sahut nenek nelayan.
"Kalau kalian tidak bermusuhan dengan Cayhe, kenapa kalian bersikap
begini terhadap Cayhe?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya nenek nelayan berkata menghela napas:
"Kami suami istri selamanya membedakan tegas dendam kebencian dan
budi kebaikan, bahwasanya kamipun tiada niat melukai kau, cuma..."
"Cuma dulu kalian pernah mendapat budi kebaikan Li Koan hu maka kalian
hendak membekuk aku diantar ke Yong-cui-san-cheng, benar tidak?"
Belum nenek nelayan bicara, Jagal anjing sudah terbahak-bahak, serunya:
"Benar, aku orang tua sebetulnya hendak membekuk kau untuk dihaturkan
kepada orang sebagai pembalasan budi kebaikannya dulu, oleh karena itu
jikalau sekarang kau hendak membunuh aku adalah suatu hal yang jamak
dan pantas."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Jikalau aku tidak ingin bunuh kau?"
"Lebih baik kau bunuh aku saja, aku ini berjiwa sempit berpandangan
cupat, hari ini aku kecundang oleh kau, umpama kau lepas aku pulang, kelak
bukan mustahil masih belum kapok dan ingin mencari perkara dan membuat
kesulitan kepada kau."
Berubah air muka nenek nelayan serunya: "Kau... kau bujuk orang
membunuhmu malah?"
"Memangnya kenapa, yang terang aku sudah bosan jadi seorang laki-laki,
cepat mati cepat menitis, pada titisan yang akan datang aku pasti akan
jadi perempuan dan kawin sama kau pula, supaya kaupun mengecap rasanya
jadi seorang suami, barulah terhitung seri dan setanding antara kita


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua." Saking marah, hijau membesi rona muka nenek nelayan, suaranya sumbang:
"Berani kau bicara begitu terhadapku?"
"Seorang laki-laki jikalau benar-benar sudah menghadapi kematian,
kenapa pula dia tidak berani bicara?"
Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya: "Jikalau Coh Liu-hiang membebaskan
kau?" "Kenapa dia harus membebaskan aku?" teriak jagal anjing.
"Kenapa dia tidak boleh membebaskan kau?"
"Perbuatanku patut dicela dan memalukan, merugikan dia lagi, jikalau dia
masih mau membebaskan aku, maka dia seorang gila."
"Dia bukan orang gila, sebaliknya adalah seorang Kuncu atau sosiawan,
dengan ukuran jiwa seorang rendah kau menilai dirinya, maka kau kira dia
bakal membunuh kau."
Jagal anjing melengak, katanya: "Jikalau benar dia tidak membunuh aku
sungguh celaka tiga belas."
Jagal anjing dan nenek nelayan sudah pergi, lampion merah masih
bertengger di puncak menara, kabut tebal sudah menyelubungi seluruh
pelosok puncak bukit, cahaya lampion merah yang terbungkus kabut tebal
kelihatannya seperti darah yang muncrat beterbangan.
Tapi sekelilingnya masih dilingkupi tabir gelap yang amat pekat tak
berujung pangkal, seperti waktu kedatangan Coh Liu-hiang tadi. Oh Thihoa
mendelong mengawasi kabut dihadapannya, seolah-olah ingin dia
mengikuti arah kemana kedua suami istri itu pergi ditelan tabir malam.
Sepasang suami istri yang serba aneh dan ganjil ini laksana angin berlalu
dan menghilang, sejak kini, mungkin Oh Thi-hoa takkan bisa melihat
mereka, takkan mendengar kabar berita mengenai kedua orang ini.
Akhirnya Oh Thi-hoa berpaling kepada Coh Liu-hiang, katanya tertawa:
"Sejak tadi aku sudah menduga, kau pasti membebaskan mereka, ternyata
dugaanku tidak meleset."
"Jikalau kau adalah aku, memangnya kau hendak membunuh mereka?"
balas tanya Coh Liu-hiang.
"Sudah tentu tidak akan ku lakukan." sahut Oh Thi-hoa tertawa, "sekalikali
aku tidak akan sudi membunuh laki-laki yang takut bini, karena laki-laki
yang takut bini kebanyakan bukan orang jahat."
"Kenapa?"
"Laki-laki kalau toh bininya saja amat ditakuti, memangnya dia masih
punya keberanian melakukan kejahatan?"
Coh Liu-hiang ditepuk pundaknya, katanya lebih lanjut dengan tertawa:
"Waktu kau membebaskan si jagal anjing tadi, adakah kau melihat rona
mukanya" Aku melihatnya dengan jelas, bahwasanya belum pernah selama
hidupku melihat rona muka sejelek itu dari seorang tawanan yang
dibebaskan, seolah-olah dia malah lebih senang kau bunuh daripada kau
bebaskan dan tidak sudi pulang, kalau dia pulang entah hukuman dan
siksaan apa yang bakal dia alami, sungguh aku tidak berani membayangkan."
"Kau anggap dia sedang tersiksa, sebaliknya dia sendiri justru
menganggapnya sebagai suatu kenikmatan."
"Kenikmatan" Berlutut menyunggi piring atau menyanggah poci arak,
masakah kau katakan sebagai suatu kenikmatan?"
"Kenapa tak boleh dianggap sebagai suatu kenikmatan" Masakah nenek
nelayan bakal menyuruh kau menyunggi poci di atas kepalamu?"
"Sudah tentu tidak."
"Nah itulah, nenek nelayan pasti tidak akan suruh kau menyunggi poci,
karena dia tidak menyukai kau."
"Kalau demikian dia menghukum jagal anjing menyunggi poci, lantaran dia
menyukai suaminya?"
"Benar, itulah yang dinamakan cinta keblinger, semakin besar cintanya
semakin ketat dia menjaga suaminya."
Oh Thi-hoa mendekap kepalanya, katanya merintih: "Jikalau setiap
perempuan mempunyai jiwa eksentrik seperti dia, lebih baik aku cukur
rambut menjadi pendeta saja."
"Kau berkata demikian karena kau tidak menyelami hubungan cinta dan
ikatan batin kedua suami istri ini."
"Kau tahu dan menyelami?"
"Kau kira si jagal anjing benar-benar takut bini?"
"Kenyataan sudah di depan mata."
"Kalau begitu ingin aku tanya kau, kenapa dia mesti takut kepada si dia"
Mengapa kau tidak melihat bahwa ilmu silat jagal anjing lebih tinggi dari
bininya?" Oh Thi-hoa melengak, gumamnya: "Ya meski gerak-gerik nenek nelayan
amat cepat dan aneh, namun Lwekang jagal anjing terang lebih mendalam,
kalau kedua orang ini bertempur, jelas nenek nelayan bukan tandingan
jagal anjing, memangnya kenapa si jagal anjing takut kepadanya?"
"Biar kujelaskan. Soalnya jagal anjingpun amat mencintai bini tuanya,
seorang laki-laki bila dia tidak mencintai bininya, pasti takkan takut
kepadanya, itulah yang dinamakan lantaran cinta lantas tumbuh rasa segan,
jadi bukan takut."
"Janggal, janggal, teorimu ini teramat janggal." kata Oh Thi-hoa geleng
kepala. "Setiap kau punya bini, kau akan tahu bahwa teoriku ini tidak janggal."
Baru saja mereka lolos dari mara bahaya elmaut yang hampir merenggut
nyawa mereka, meski dengan kecerdikan Coh Liu-hiang, mereka berhasil
menang, namun langkah mereka selanjutnya masih dihadang berbagai
malapetaka yang tidak kurang berbahayanya.
Bahwa Li Giok-ham suami istri bisa mengundang Swe It-hang dan tokohtokoh
silat setingkat dan selihai si jagal anjing suami istri, pasti
merekapun dapat mengundang tokoh-tokoh lain yang lebih lihai dan lebih
hebat kepandaiannya. Kenyataan membuktikan Coh Liu-hiang dua kali
berhasil memukul mundur kedua musuhnya dengan kepintaran otaknya,
namun betapapun kekuatan dan kecerdikan seseorang ada batasnya,
hakikatnya berapa besar kuat dan berapa kali pula mereka berdua masih
dapat menang dalam gebrakan melawan musuh yang aneka ragam
banyaknya ini"
Apalagi Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thian-ji dan Mutiara hitam masih
didalam cengkeraman mereka, seolah-olah seseorang yang tenggorokannya
sudah dicekik dan tak berkutik oleh lawan. Titik kelemahan inilah yang
membuat Coh Liu-hiang kewalahan serasa tak bisa bernapas.
Didalam suasana dan situasi serba berbahaya yang memerlukan banyak
perhatian dan energi ini, namun mereka masih begini iseng mengobrol soal
hubungan suami istri, soal suami yang takut bini segala, bila ada orang lain
mendengar percakapan ini tentu mereka mengira kedua orang ini rada
sinting atau kurang waras otaknya.
Bahwasanya justru mereka tahu bahwa tugas berat dan mara bahaya yang
menunggu mereka masih terlalu banyak, maka sedapat mungkin mereka
berkelakar mencari ketenangan hati untuk mengendorkan ketegangan
semangat yang selalu menarik urat syaraf selama ini, sudah tentu hal ini
merupakan usaha mereka pula untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi
muslihat musuh yang lebih berbahaya.
Seseorang bila terlalu tegang urat syarafnya, umpama pula senar biola
atau gitar yang tertarik kencang, sekali petik dan gesek pasti putus.
Sesaat kemudian mendadak Oh Thi-hoa berkata pula tertawa: "Umpama
nenek nelayan menjewer kuping si jagal anjing, sampaipun menjinjingnya
dibawa lari pulang, akupun takkan merasa heran, tapi sungguh aku tak
pernah menduga bahwa dia membawa si jagal anjing pulang dengan
memasukkannya kedalam jalanya."
"Oleh karena itulah si jagal anjing sendiri bilang, begitu Bu-hoat-bu-thian
masuk ke dalam Thian lo te hong selama hidup jangan harap dia bisa
berdiri tegak dan bebas kelana."
"Bagaimana juga mereka adalah sepasang suami istri serba aneh dan
janggal memang menarik dan jenaka sekali."
Sebaliknya menurut pandanganku, Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sepasang
suami istri muda ini, jauh lebih ganjil dan lebih jenaka dan menarik dari
mereka." Fajar sudah menyingsing, alam semesta diterangi cahaya surya nan
cerlang cemerlang, kembang mekar, burung berkicau, sehingga suara pagi
nan sunyi ini terasa tentram dan sentosa.Lima anak laki-laki sedang sibuk
mengulung kerai bambu, mereka sibuk bekerja siap menyambut tamu.
Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang adalah tamu-tamu.
Li Giok-ham suami istri berdiri diambang pintu dengan muka berseri
sedang menunggu kedatangan mereka. Kata Liu Bu-bi setelah mereka
berhadapan: "Jalan punya jalan, tanpa sadar tahu-tahu kita sudah
kehilangan bayangan kalian, tabir malam sudah membuat alam gelap lagi,
dicari kemana-manapun sukar ketemu, sungguh membuat kami gugup dan
gelisah sekali."
Li Giok-ham ikut bicara: "Siaute baru saja hendak mengutus orang
mencari kalian, tak nyana kalian sudah datang, sungguh amat
menggirangkan."
Ternyata kedua orang ini masih bisa bermanis-manis muka, sungguh Oh
Thi-hoa hampir gila dibuatnya saking dongkol dan marah, sebaliknya Coh
Liu-hiang tetap bersikap wajar, katanya tersenyum: "Kami amat terpesona
oleh panorama menjelang gelap, sungguh tak kira bikin kalian gelisah saja."
"Bulan purnama di Hou-kiu memang merupakan pemandangan lain dari yang
lain, untung Coh-heng berdua memang seorang yang berjiwa seni, kalau
tidak masakah begitu asyik tenggelam dalam panorama indah itu sampai
lupa diri?"
Tak tahan Oh Thi-hoa menimbrung: "Sebetulnya kami bukan seniman yang
tergila-gila panorama cuma semalam kami terpulas di bawah Bou-kiu-ta,
disana kami semalam bermimpi amat indah dan mengasyikkan."
"Apakah dalam mimpi Oh-heng bertamasya di Hou-kiu?" tanya Liu Bu-bi
tertawa manis. "Tentu amat menyenangkan sekali."
"Sebetulnya mimpiku itu tidak begitu menyenangkan, lebih celaka lagi
dalam mimpi itu kami kesampok dengan beberapa orang yang hendak
mencabut nyawa kami, dan yang mengasyikkan adalah bahwa pembunuh itu
adalah orang-orang yang kalian undang kemari."
"O, kalau begitu tentu amat menarik." ujar Liu Bu-bi, "sayang sekali kami
kok tak pernah bermimpi seindah itu, kalau kami bisa bertemu didalam
impian itu, bukankah lebih menarik dan menyenangkan?"
Sementara itu mereka sudah melalui serambi panjang dan memasuki
ruang-ruang pendopo yang setiap pintunya bergantung kerai bambu dalam
lima ruang-ruang pendopo besar besar itu, sebelum mereka tiba, anak kecil
itu sudah menggulung kerai-kerai itu lebih dulu, setelah mereka lewat
kerai diturunkan pula, langkah demi langkah mereka terus maju dan
semakin jauh meninggalkan dunia luar yang penuh dengan debu.
Sepanjang perjalanan biji mata Oh Thi-hoa berjelalatan, seolah masih
ingin bicara panjang lebar, namun Li Giok-ham sudah bicara lebih dulu:
"Sebentar kalian akan bertemu dengan orang yang ingin kalian temui."
Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, selanjutnya dia bungkam tak
bersuara, apapun yang perlu dia utarakan, biarlah bicarakan setelah
bertemu dengan Soh Yon-yong dan lain-lain.
Lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang mukanya tersenyum simpul, namun
hatinya gundah dan tegang. Tampak anak-anak kecil itu kembali
menggulung kerai didepan sebuah pintu yang menembus ke sebuah kamar,
bau harum kayu cendana seketika terhembus keluar dari dalam kamar
menyongsong kedatangan mereka.
Ditengah kepulan asap putih dari pedupaan dalam kamar, tampak seorang
tua berambut uban duduk tenang di atas dipan. Rona mukanya yang bersih
kelihatannya sedemikian kurus dan loyo, seperti amat letih, demikian pula
sorot matanya begitu guram dan pudar, seolah pandangannya sudah tidak
berhayat dan tidak bernanar lagi. Badannya sudah kurus kering tinggal
kulit pembungkus tulang tanpa sukma tak berjiwa, hidupnya ini tidak lebih
hanya sedang menunggu ajal belaka. Namun tepat di depan kakinya yang
bersimpur itu terletak sebilah pedang yang bercahaya terang menyolok
mata. Batang pedang gelap mengkilap, sebening air danau, sarung pedang yang
terletak di sebelahnya penuh dihiasi batu-batu jambrud dan berlian serta
mutiara, namun di bawah pancaran cahaya pedang, batu-batu permata itu
sudah kehilangan kemilaunya yang hidup.
Dengan mendelong tanpa berkedip orang tua ini terus mengurusi pedang
itu, badannya duduk kaku tak bergerak. Seakan akan gairah hidupnya
hanya bergantung dari pedang yang disandingnya ini. Apakah orang tua
inikah yang diwaktu mudanya dulu merupakan tokoh pedang nomor wahid di
seluruh jagat Li Koa-hu adanya"
Tanpa merasa Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa menjublek di luar pintu. Hati
mereka kaget heran dan mendelu, orang yang sedemikian kuatnya, kini
jiwanya ternyata sudah begini lemah, sudah lapuk. Jadi bukankah
kehidupannya sendiri merupakan tragedi yang menyedihkan"
Yang amat mengejutkan Coh Liu-hiang adalah bahwa Soh Yon-yong
berempat ternyata tak berada di sini, ingin bertanya tapi Li Giok-ham
suami istri sudah melangkah masuk ke dalam.
Berbareng kedua orang ini menjura hormat, terdengar Li Giok-ham buka
suara: "Anak ada membawa dua sahabat karib dari tempat nan jauh
tujuannya cuma ingin bertemu muka dengan kau orang tua, maka anak
terpaksa membawa mereka kemari."
Orang tua itu tidak angkat kepala tak bergeming, sampaipun sorot
matanyapun tak tertarik.
Berkata Li Giok-ham lebih lanjut: "Ayah sering menyinggung kedua
sahabat anak ini, yang di sebelah kiri adalah Coh Liu-hiang si Maling
Romantis yang kenamaan di seluruh kolong langit, dan yang sebelah kanan
adalah Hou-cu-tiap si kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa yang sejajar dengan
Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa hanya berdiri diam, sedikit membungkuk
badan tanda hormat, namun mereka tidak tahu apa yang mesti diucapkan.
Perlahan-lahan Li Giok-ham beru memutar badan, katanya unjuk tawa
berseri: "Belakangan ini mata kuping ayah rada kurang normal, harap
dimaafkan jikalau beliau tidak dapat menyambut kedatangan kalian."
"Ah, mana berani." ujar Coh Liu-hiang merendah diri.
Oh Thi-hoa justru tak sabaran, katanya: "Wanpwe tidak berani
mengganggu Cianpwee lagi, baiklah kami mohon diri saja."
Walau mereka ingin segera bertemu dengan Soh Yong-yong, ingin menarik
Li Giok-ham ketempat lain untuk menanyakan keadaan mereka, namun
mereka segan bersikap kasar dan tidak patut di hadapan orang tua yang
tinggal menunggu ajal ini. Hormat dan menjunjung peradatan kepada yang
lebih tua adalah bagi jiwa pendekar, Coh Liu-hiang pasti takkan berani
melanggar tata tertib ini.
Bibir orang tua tiba-tiba bergerak, agaknya ingin bicara, namun suaranya
tak keluar dari tenggorokannya, kulit daging mukanya seolah sudah kaku
dan mati rasa. "Sepanjang tahun ayah berdiam dalam rumah sehingga merasa kesepian,
selama ini beliau jarang dikunjungi para sahabatnya yang lama, bahwa
kalian sudi bertandang kemari tidak mau sekedar duduk didalam
melepaskan lelah lagi, maka ayah merasa amat menyesal dan malu diri."
Karena kata-kata ini terpaksa Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Oh
Thi-hoa, akhirnya mereka menduduki sebuah kursi. Walau mereka
mempunyai keberanian menghadapi sebuah laksaan pasukan berkuda,
tertawa menghina terhadap kerabat kerajaan, namun berhadapan dengan
orang tua yang mendekati ajalnya ini mereka patuh dan tunduk tanpa
berani banyak cingcong lagi.
Li Giok-ham tertawa girang katanya: "Kalian begini bijaksana, ayah pasti
amat terharu dan berterima kasih sekali."
Mulut si orang tua kembali bergerak-gerak, sikapnya seperti amat sedih
pilu, tapi juga kelihatan gelisah dan gugup tak sabaran.
Li Giok-ham mengerut kening katanya: "Entah ayah ada omongan apa yang
ingin disampaikan kepada kalian..." sembari bicara dia berdiri terus
menghadap ke depan si orang tua, membungkuk badan mendekatkan kuping
ke depan mulut ayahnya.
Coh Liu-hiang tidak mendengar suara si orang tua, cuma dilihatnya Li
Giok-ham manggut berulang-ulang sambil mengiakan. "Ya.., ya... anak
mengerti."
Waktu dia berpaling lagi, raut mukanya menampilkan rasa pedih dan berat,
namun berkata dengan dibuat-buat: "Sejak beberapa tahun mendatang,


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah cuma punya satu keinginan yang belum terlaksana, kebetulan hari ini
kalian berkunjung kemari, tentunya keinginan ayah bisa terlaksana,
tergantung apakah kalian sudai bantu melaksanakan."
Coh Liu-hiang menahan gejolak hatinya, katanya tersenyum: "Entah
Cianpwe punya keinginan apa" Wanpwe berdua jikalau mampu dan kuat
melakukan kami siap membantu."
"Kalau demikian, baiklah Siaute ajak menghaturkan terima kasih kepada
kalian." Tak tahan Oh Thi-hoa menimbrung: "Tapi kami harus menilai dulu apa
keinginan Cianpwe itu" Apakah kita betul-betul dapat membantu?"
Li Giok-ham tertawa ujarnya: "Hal ini Siaute tentunya cukup paham."
Oh Thi-hoa tergila-gila ujarnya pula: "Sudah tentu akupun tahu Cianpwe
tentu tidak akan memaksa bila menghadapi kesulitan."
Seakan akan Li Giok-ham tidak memahami ucapannya ini, katanya kalem:
"Ayah terkenal lantaran pedang maka beliau pandang pedang sebagai
jiwanya sendiri. Setiap urusan dan persoalan dan menyangkut dengan
pedang beliau selalu ketarik untuk mengetahuinya, oleh karena itu bukan
saja berusaha mendapatkan buku-buku pelajaran ilmu pedang dari jaman
dulu kala, malah beliau pun ada menyelidiki dan menyelami sejarah
kehidupan tokoh-tokoh pedang kenamaan, serta pengalaman tempur
mereka yang dahsyat selama hidup mereka."
Sekilas Coh Liu-hiang melirik ke arah orang tua itu, batinnya: "Betapa
berat dan jerih payah seorang ahli pedang menggembleng diri dalam
latihannya untuk mencapai puncak kemahirannya, bukan saja mereka harus
mengorbankan harta benda dan kedudukan, malah harus hidup dalam
pengasingan yang sepi dan tawar namun apa pula yang mereka hasilkan"
Tidak lebih hanya nama kosong selama puluhan tahun dalam kalangan
Kangouw melulu.
Li Giok-ham bicara lebih lanjut: "Dengan jerih payah ayah selama puluhan
tahun didalam penyelidikannya, sudah tentu dalam ajaran silat beliau
mendapat kemajuan pesat, yang tiada taranya, namun dari penyelidikannya
ini belum menemukan beberapa persoalan yang aneh lucu dan menarik
hati." Wajah Oh Thi-hoa bersikap kurang simpatik, mau tak mau dia terkena
mendengar berita ini tak tahan dia bertanya: "Persoalan apa?"
"Ayah menemukan unsur-unsur keluar-biasaan didalam beberapa ajaran
ilmu pedang sejak dulu kala itu, ternyata bukanlah ilmu-ilmu pedang hebat
dan digdaya, disitulah letak persoalan yang dipandang aneh oleh ayah."
"Artinya... apakah artinya aku tak mengerti." ujar Oh Thi-hoa.
"Umpamanya." Kata Li Giok-ham lebih lanjut. "Jurus Ban hiau bu hong dari
Sip han-toa kiu sek dari ajaran Mo kau, didalam jurus tersembunyi jurus
perubahannya tak terhitung banyaknya sehingga dari satu berubah ke lain
tipu-tipu sampai berjumlah tujuh ratus sembilan puluh dua jurus, dinilai
dari cara geraknya yang enteng seperti melayang dan aneh, kekerasan dan
jurus permainannya yang cepat dan matang, sesungguhnya masih jauh lebih
unggul dari Liang-gi kiam-hoat dari pihak Butong pay."
"Ya, akupun pernah dengar betapa lihai ilmu pedang tunggal pihak Mo Kau,
khabarnya sampai sekarang dalam kolong langit ini, belum ada seorangpun
yang mampu bertahan diri menghadapi sampai tujuh ratus sembilan puluh
dua jurus itu."
"Jangan kata kuat melawan sampai tujuh ratus sembilan puluh dua jurus
penuh, malah mampu melawan tujuh jurus permulaan ilmu pedangnya saja
belum pernah ada. Tapi selama ratusan tahun, kaum persilatan hanya tahu
bahwa Liang-gi-kiam hoat dari Butong pay, tiada bandingannya di seluruh
jagat, maka Biau-biau bu hong dari Siop hun toa kiu sek itu jarang dikenal
lagi oleh khalayak ramai."
"Mungkin karena jarang kaum persilatan yang benar-benar menyaksikan
ilmu pedang yang lihai itu." demikian komentar Oh Thi-hoa.
"Memang tidak banyak orang yang pernah melihat ilmu pedang itu, lalu
berapa banyak pula orang yang pernah melihat Liang-gi-kiam hoat.
Peraturan Bu-tong pay amat ketat dalam memilih calon murid, dulu waktu
jaya-jayanya tidak lebih anggota mereka cuma delapan puluh satu orang
saja, dan lagi ke delapan puluh satu murid-murid Butong itu, bukannya
setiap orang pernah mempelajari dan mahir akan Liang gi-kiam hoat ini."
"Ya, akupun tahu bahwa Liang gi-kiam hoat hanya boleh diajarkan kepada
calon yang dipilih oleh ketuanya sendiri, oleh karena itu, murid-murid Butong
yang benar-benar mahir menggunakan Liang gi kiam hoat paling
banyak hanya empatlima orang diantara sepuluh orang."
"Akan tetapi pihak Mo Kau selalu membuka pintu perguruannya lebarlebar,
malah begitu masuk perguruan lantas boleh meyakinkan ilmu pedang,
murid-murid Butong jarang turun gunung, sebaliknya murid-murid Mo kau
malang melintang dan bersimaharaja di Bulim, maka apapun yang harus
dikatakan, tentunya orang-orang yang pernah menyaksikan Sip-hun-toakiu-
sek, tentunya beberapa lipat lebih banyak dari orang-orang yang
pernah menyaksikan Liang gi kiam hoat. Akan tetapi Sip hun toa kiu sek
justru tidak begitu terkenal dan disegani seperti Liang gi kiam hoat,
apakah sebabnya?"
Tanpa sadar oh Thi-hoa mengelus-elus hidung, mulutnya menggumam: "Ya,
memang suatu hal yang ganjil."
"Sudah tentu merupakan suatu yang ganjil dan aneh, namun ayah sudah
berhasil menyelami dan tahu dimana letak keganjilannya."
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa gelak-gelak, serunya: "Sekarang akupun
sudah tahu!"
"Mohon petunjuk" pinta Li Giok-ham.
"Soalnya ajaran ilmu pedang Bau-biau bu-hong dari Sip-hun-kiu-sek amat
mendalam dan tinggi, maka orang-orang yang benar-benar dapat
mempelajari inti ilmu pedangnya belum pernah ada, belum lagi ajaran ilmu
pedang mereka matang, lantas malang melintang di kalangan Kangouw,
sudah tentu mereka harus sering menghadapi kegagalan dan runtuh total,
oleh karena itu didalam pandangan umum ilmu pedang mereka ini jadi tawar
dan kurang bermutu."
"Memang hal ini merupakan salah satu alasannya, namun bukanlah sebabsebabnya
yang utama." kata Li Giok-ham.
"O! Lalu apakah yang menjadikan sebab yang utama?"
"Soalnya pedang itu sendiri adalah benda mati, sebaliknya manusia
berdarah daging dan punya jiwa, oleh karena itu seseorang yang
menggunakan pedang harus dapat memainkan ilmu pedang dengan hidup dan
senyawa dengan dirinya, barulah betul-betul dapat menampilkan kehebatan
dan intisari ilmu pedang itu."
"Bukankah apa yang kukatakan tadi adalah soal ini juga?" tanya Oh Thihoa.
Mendadak Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Bukan ilmu pedang muridmurid
Mo-kau tidak matang, adalah karena hati mereka yang nyeleweng
dari kebenaran, sepak terjang mereka keluar garis dari batas-batas
perikemanusiaan, oleh karena itu setiap kali tempur tidak dapat berkobar
dari semangatnya, oleh karena itu pula umpama benar ilmu pedang mereka
lebih tinggi dari orang lain, akhirnya toh terkalahkan juga, kata-kata sesat
takkan dapat mengalahkan yang lurus, sejak dahulu kala mengambil teori
dari kenyataan ini." lalu dia berputar menghadapi Liu Bu-bi, katanya lebih
lanjut dengan tetap tersenyum: "Apakah kalian suami istri berpendapat
apa yang ku uraikan barusan masih masuk diakal?"
Liu Bu-bi batuk-batuk ringan dua kali, katanya tertawa: "Benar, dua orang
bergebrak, yang ilmu silatnya tinggi belum tentu menang, seseorang bila
dia punya keyakinan menang, ada kalanya dia benar-benar dapat
mengalahkan musuhnya yang lebih tangguh."
Dengan tatapan tajam Coh Liu-hiang awasi muka orang, katanya tandas:
"Tapi seseorang bila merasa bahwa apa yang dia lakukan benar, barulah dia
punya keyakinan akan menang, benar tidak?"
Sesaat lamanya Liu Bu-bi menepekur katanya kemudian dengan tertawa
lebar: "Tentunya Coh-siansing sendiri amat paham akan pengertian ini,
karena sejak lama aku sudah dengar bahwa Coh Liu-hiang si Maling
Romantis tidak pernah kalah dalam segala medan laga, perduli betapapun
tinggi dan tangguh kepandaian lawannya, dia tetap punya keyakinan bahwa
dirinya takkan terkalahkan."
Berkata Coh Liu-hiang dengan nada berat: "Itulah karena Cayhe percaya
apa yang kulakukan, selamanya tidak pernah merugikan orang lain, kalau
tidak umpama ilmu silatku setinggi langit, entah sudah berapa kali aku
dibikin mampus oleh orang."
Belum Liu Bu-bi sempat bicara, Li Giok-ham sudah mendahului: "Selama
ratusan tahun mendatang entah berapa banyak peristiwa pertempuran
besar dalam Bulim yang kenamaan, sering kali terjadi yang lemah berhasil
menundukkan yang kuat, hal inipun merupakan peroalan yang dibuat heran
pula oleh ayah. Umpamanya, waktu Mokau Kaucu Tokko Jan menempur
Tionggoan Tayhiap Thi Tiong siang di puncak Yam-thang dulu, sebelum
pertempuran itu berlangsung, kaum persilatan sama beranggapan Thi Tiong
siang yang belum genap berusia tiga puluh pasti takkan ungkulan melawan
Tokko Jan yang tinggi ilmu silatnya, mendalam Lwekangnya. Apalagi
kepandaian silat ajaran dari Thi hiat-toa-ki-bun, jelas bukan tandingan dan
tidak setinggi kepandaian orang-orang Mokau, oleh karena itu banyak
orang-orang Kang-ouw yakin bahwa Tokko Jan akhirnya pasti akan menang,
malah ada yang berani bertaruh dengan mengapit satu lawan sepuluh,
dipertaruhkan didalam delapan ratus jurus Tokko Jan mesti berhasil
mengalahkan Thi Tiong-siang."
"Peristiwa itu, aku sendiripun pernah mendengar." ujar Oh Thi-hoa.
"Siapa tahu, kedua tokoh puncak ini ternyata harus bertempur tiga hari
tiga malam, belakangan meski Thi Tiong sian sudah terluka tiga belas
tempat di badannya, seluruh pakaiannya boleh dikata sudah berlepotan
darah, akhirnya dengan Siau-thian-sing-ciang lalu dia berhasil menggetar
putus urat nadi Tokko Jan sampai sebelum ajalnya, Tokko Jan masih belum
mau percaya akan kenyataan yang dihadapinya bahwa dirinya betul-betul
sudah kalah."
Berseri dan bergsirah semangat Oh Thi-hoa mendengar cerita ini,
katanya bertepuk tangan: "Thi Tiong sian Thi Tayhiap itu memang seorang
laki-laki sejati, laki-laki gagah yang tiada taranya, kelak bila ada
kesempatan aku bisa bertemu dengan beliau, apalagi kalau bisa minum
bersama dia tiga hari tiga malam tak sia-sialah perjalananku selama ini."
"Tapi yang betul betul membuat ayah amat heran adalah sejak dulu kala
sampai sekarang dalam kalangan Kang-ouw belum pernah terjadi adanya
Kiam-tin "barisan pedang" yang kokoh kuat dan tak pernah terkalahkan."
"Barisan pedang?" tanya Oh Thi-hoa.
"Tidak salah, barisan pedang. Pak to chit-kiam-tin dari Coan cin-kau, Patkwa-
kiam-tin dari Butong pay, meski sudah lama menjagoi dan kenamaan di
Kangouw namun bila kebentur seorang tokoh kosen yang betul-betul berisi,
seolah-olah barisan pedang ini menjadi tak berguna lagi."
"Benar, sampai sekarang belum pernah aku dengar ada tokoh kosen yang
mana pernah gugur di dalam barisan pedang." ujar Oh Thi-hoa.
"Memang tidak sedikit tokoh-tokoh kosen dalam dunia persilatan ini yang
gugur oleh ilmu pedang Butong pay, namun tiada seorang pun yang pernah
gugur didalam Pat-kwa kiam tin, apakah Oh-heng tidak merasa ganjil dan
heran akan kejadian ini?"
"Setelah mendengar uraianmu, akupun jadi merasa heran. Pat kwa-kiamtin
sedikitnya harus dijalankan oleh gabungan delapan orang, malah harus
sudah dilatihnya dengan matang dan sempurna betul, setiap gerak-gerik
mereka harus bisa kerja sama dengan rapi dan harmonis, maka menurut
teori, menghadapi musuh dengan menggunakan Pat kwa-tin hasilnya
seharusnya jauh lebih gemilang daripada bertempur satu lawan satu."
"Akan tetapi didalam menghadapi musuh tangguh Pat-kwa-kiam-tin, ini
kebalikannya, tak berguna sama sekali, memang boleh dikata tiada suatu
barisan pedang yang betul-betul dapat menunjukkan perbawanya yang
sejati dalam dunia persilatan, memangnya kenapa hal ini bisa terjadi?"
"Oh Thi-hoa menepekur, katanya kemudian: "Itulah kemungkinan karena
setiap barisan pedang dari golongan atau aliran manapun, pasti
menunjukkan titik lobang kelemahannya."
"Umpama benar barisan pedang itu menunjukkan lobang kelemahan, tapi
segala ilmu pedang dalam jagat ini tiada satu ilmu pedang dari cabang
manapun yang tak menunjukkan kelemahannya, memangnya betapa bisa
terjadi ilmu pedang yang dilakukan oleh gabungan tenaga delapan orang
justru tak lebih unggul dari kekuatan ilmu pedang satu orang?"
Tak tertahan, kembali Coh Liu-hiang mengelus-elus hidung, katanya:
"Apakah ayahmu pun sudah memahami akan seluk-beluk dan sebab
musababnya?"
"Sebabnya ialah, meski Pat-kwa kiam-tin itu memang hebat dan dahsyat,
sayangnya didalam murid-murid Butong pay yang sekian banyaknya itu,
justru sulit ditemukan delapan orang yang mempunyai bobot kepandaian
rata, oleh karena itu meski barisan pedang itu sendiri amat lihai, namun
bila pelaku pelakunya tidak mempunyai landasan silat dan Lwekang yang
tinggi dan merata, setiap kali menghadapi tokoh-tokoh sejati, tidak sulit
barisan ini dibikin kocar-kacir. Umpama kata Siaute berhasil mempelajari
ilmu pedang yang tiada taranya sejagat ini, namun kebentur dengan tokoh
kosen dari aliran Lwekeh seperti Coh-heng, terang akupun bakal terjungkal
roboh." "Ah, Li-heng terlalu merendah diri." ujar Coh Liu-hiang tertawa.
"Akan tetapi," ujar Oh Thi-hoa, "sedikitnya adalima anak murid Butong
pay yang memiliki Lwekang tinggi."
"Apakah Li heng maksudkan Bu-tong Ciangbun dan ke empat Hu-hoatnya?"
"Ya, mereka cukup diagulkan."
"Umpama kata kelima orang ini ikut bertempur didalam Pat-kwa kiam-tin,
namun toh masih kurang tiga orang lagi. Jikalau begitu saja mencari tiga
orang untuk menggenapi jumlahnya, maka barisan ini akan menunjukkan
banyak kelemahannya."
"Ya, tidak salah," ujar Oh Thi-hoa menghela napas.
"Begitu barisan pedang menunjukkan kelemahan bila kebentur tokoh silat
yang benar-benar tinggi kepandaiannya, tentu titik kelemahan itu bakal
menjadi incaran serangannya, jika salah satu dari ke delapan orang ini
dirangsek dan sulit balas menyerang, seluruh barisan akan sulit dimainkan
dengan lancar dan sempurna, tatkala itu gabungan delapan orang bakal
lebih konyol dan takkan unggul dari kekuatan satu orang." sampai disini Li
Giok-ham tertawa sambil menelan ludah. "Apalagi ke empat Bu-hoat dari
Butong itu belum tentu mempunyai Lwekang dan kepandaian silat yang
sebanding, belum tentu mereka terhitung tokoh-tokoh yang benar-benar
kosen." Coh Liu-hiang tertawa, kembali dia menimbrung: "Dan lagi tokoh-tokoh
kosen yang sejati sekali-kali takkan gampang mau menceburkan diri
didalam gabungan barisan pedang, karena setiap bertempur mereka
mengutamakan bertanding secara jujur satu lawan satu, mana sudi
bergabung dengan orang melawan musuh?"
"Benar, memang begitulah kenyataannya. Menurut tradisi pihak Butong
pay turun temurun sejak dulu kala, tak seorang pun Ciangbunjin mereka
yang pernah ikut dalam permainan barisan pedang, apalagi golongan pedang
seperti Bu-tong pay yang amat disegani dan mempunyai anak didik yang
begitu banyak, mereka toh sulit untuk menemukan delapan orang benarKoleksi
Kang Zusi benar dapat bekerja sama dan setingkat untuk menggerakkan barisan
apalagi partai atau golongan lain?"
"Sudah ngobrol setengah harian, belum lagi kau jelaskan keinginan
bapakmu yang belum terlaksana itu?" teriak Oh Thi-hoa. "Belum juga kau
jelaskan bantuan apa yang mesti kami lakukan."
"Setelah ayah berhasil menyelidiki dan menyelami berbagai barisan
pedang sejak jaman dulu sampai masa kini, beliau berhasil menciptakan
barisan pedang. Menurut pandangan beliau, dalam kolong langit ini, pasti
takkan ada manusia manapun meski kepandaian silatnya setinggi langit
dapat memecahkan barisan ilmu pedang ciptaannya itu, tapi selama puluhan
tahun tak bisa dibuktikan. Inipun salah satu hal yang paling disesalkan
beliau." setelah menghela napas, lalu menambahkan: "Karena untuk
membuktikan hal ini, kami menghadapi dua persoalan yang maha sulit,
pertama: Walaupun beliau sudah mengurangi person dari barisan pedang ini
menjadi enam orang, namun sulit juga untuk mencari enam tokoh-tokoh
yang mempunyai Lwekang sebanding."
"Entah dalam pandangan beliau, orang-orang macam apa baru terhitung
tokoh kosen yang setaraf untuk melakukan barisan pedangnya itu" tanya
Coh Liu-hiang.

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lwekang orang ini paling tidak harus setanding atau setaraf dengan
kepandaian para Cian-bun dari tujuh partai besar masa kini, dan lagi dia
harus seorang ahli dalam ilmu pedang, umapamanya..."
"Umpamanya Swe It hang" tukas Coh Liu-hiang tawar.
Tampaberubah air mukanya, Li Giok-ham menyambung: "Tidak salah,
sayang tokoh kosen berkepandaian ilmu pedang setaraf Swe cinpwe,
mencari seorang saja sudah amat sulit, apalagi hendak sekaligus
menemukan enam orang, tentu sulitnya seperti manjat ke langit."
Berkilat biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Bagi orang lain memang sesulit
memanjat langit untuk menemukan enam tokoh ahli pedang yang setanding
dan setinggi itu, tapi mengandal gengsi, ketenaran dan kebesaran ayahmu,
bukan suatu hal yang mustahil untuk mengundangnya dengan mudah."
"Benar, diantara para sahabat ayah yang sekian banyaknya, memang ada
beberapa yang boleh dikatagorikan sebagai tokoh kosen tingkat atas
namun para Cianpwe ini semua bebas seperti bangau liar yang suka kelana
atau sama mengasingkan diri, sukar dicari jejaknya, oleh karena itu sampai
hari ini ayah baru berhasil mengumpulkan enam orang yang diperlukan."
Terkesiap darah Oh Thi-hoa, teriaknya: "Kalau demikian, bukankah
keinginan ayahmu sudah terlaksana?"
Li Giok-ham menghela napas, ujarnya: "Oh-heng jangan lupa, dalam
melaksanakan keinginan tadi, masih kebentur oleh kesulitan kedua."
"Masih ada kesulitan apalagi?"
Berkata Li Giok-ham pelan-pelan: "Untuk membuktikan apakah barisan
pedang ini benar-benar tiada kelemahannya, maka diperlukan seseorang
untuk memecahkannya, justru orang ini jauh lebih sulit ditemukan. Karena
bukan saja orang ini harus memiliki kepandaian silat yang tiada taranya,
kecerdikan otak yang luar biasa, harus memiliki rekor tempur yang
gemilang lagi, pernah mengalahkan tokoh-tokoh silat yang berkepandaian
tinggi pula," sampai di sini matanya mengawasi Coh Liu-hiang, serta
menabahkan: "Karena hanya orang seperti itu, baru betul-betul dapat
menguji sampai dimana kesempurnaan barisan pedang ciptaan ayahku itu,
betul tidak" "
Coh Liu-hiang adem ayem, katanya tersenyum: "Entah dalam pandangan Li
heng, orang bagaimana baru setimpal untuk membuktikan kesempurnaan
barisan pedang itu?"
"Setelah Siaute pikir pulang pergi, dalam dunia ini hanya ada seorang
saja" "Siapa?"
"Coh-heng sendiri." katanya sambil menatap Coh Liu-hiang: "Asal Coh-heng
sudi turun tangan, maka keinginan ayah pasti segera bisa terlaksana."
Sikap Coh Liu-hiang tetap tenang, katanya kalem: "Apakah aku diberi
kesempatan untuk memilih?"
"Tiada!" sambut Li Giok-ham.
Oh Thi-hoa berjingkrak beringas, serunya dengan terbelalak: "Kau suruh
dia bertanding dengan enam orang yang berkepandaian setaraf Swe Ihhang,
bukankah kau hendak mencabut jiwanya?"
Li Giok-ham mandah tertawa saja tak bersuara.
Coh Liu-hiang berkata tertawa ewa: "Kau tidak usah gugup, jiwaku ini toh
kupungut kembali, jikalau mati di Yong-cui san-cheng, bukankah boleh
dikata tepat dan sesuai tempat kuburku?"
Oh Thi-hoa melongo tiba-tiba dia meraihnya terus diseret ke samping,
suaranya serak: "Kau... apa kau yakin dan punya pegangan?"
"Tidak."
"Kalau tidak yakin, kenapa kau suruh aku tak usah gelisah?"
"Urusan sudah terlanjur sedemikian lanjut, apa gunanya gelisah?"
Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya dengan nada berat: "Mari
sekarang juga kita terjang keluar bersama, kukira sekarang masih ada
waktu." Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Kukira sudah terlambat."
Kerai bambu tergulung naik pula, beberapa orang beriring beranjak masuk.
Beberapa orang ini sama mengenakan pakaian serba hitam legam, jubah
panjang sutra yang halus dan paling mahal. Jubah sutra hitam yang kemilau
sedemikian lemas melambai laksana air beriak, tapi dikala mereka
bergerak, riak gelombang seperti gerakan air itu sedikitpun tidak
kelihatan, seolah-olah setiap langkah kaki mereka meluncur di permukaan
salju yang licin, seenteng kecapung, selicin belut.
Muka mereka bercadar secarik kain hitam pula, sampaipun biji mata
merekapun tertutup rapat, tiada seorangpun yang bisa mengenal siapasiapa
saja beberapa orang ini. Setiap gerak-gerik mereka secara reflek
menimbulkan wibawa yang tak terasakan, meskipun tiada orang yang tahu
asal usul dan siapa sebenarnya orang-orang ini, namun tiada seorangpun
yang berani memandang enteng mereka.
Orang pertama berbadan kurus tinggi, berdiri tegak laksana tombak,
tangannya menenteng sebilah pedang kuno yang bentuknya aneh kemilau
terbuat dari tembaga.
Orang kedua pendek dan kurus, orang ketiga berperawakan tinggi kekar
dan berdada lebar berpundak tinggi, kedua orang ini berjalan beriring,
kelihatannya amat menyolok bedanya. Pedang ditangan kedua orang ini
sama-sama memancarkan cahaya terang, jelas bukan senjata sembarangan,
tapi bentuk pedangnya tidak luar biasa, siapapun yang melihatnya pasti
dapat menerka bahwa kedua pedang ini pasti punya asal usul yang luar
biasa. Perawakan orang ke empat biasa saja, senjata yang dibawapun Ceng-kongkiam
biasa umpama dia menenteng pedang ke jalan raya, orang lain takkan
melirik dua kali kepadanya.
Orang kelima pendek dan tambun, perutnya gendut seperti keong, pedang
di tangannya seperti besi bukan emas, setelah ditegasi ternyata hanya
sebatang kayu yang dipapas dalam bentuk seperti pedang.
Kelima orang ini beriring masuk tanpa bersuara, tiada menunjukkan
gerakan apa-apa. Tapi kehadiran mereka seketika membuat hawa dalam
kamar ini bergolak, seolah-olah diliputi hawa membunuh yang tebal
mencekam perasaan setiap orang, sehingga bulu kuduk merinding.
Oh Thi-hoa mengkirik seram dan berkuatir bagi keselamatan Coh Liuhiang,
karena sekilas pandang dia sudah tahu, kedudukan tingkat dan
kepandaian silat kelima orang ini, pasti takkan ada seorangpun yang lebih
rendah dari Swe It-hang.
Tapi Coh Liu-hiang tetap tersenyum simpul katanya sambil menjura
kepada kelima orang itu: "Cayhe ada dengar Yong-cui-san-cheng katanya
kedatangan beberapa tokoh kosen, aku sudah mendapat firasat hari ini
pasti aku akan dapat berkenalan dengan kegagahan para Cianpwe, sungguh
harus dibuat girang, siapa tahu para Cianpwe ternyata tidak sudi
memperlihatkan muka asli, masing-masing sungguh harus disesalkan sekali."
Kelima orang serba hitam itu tetap berdiri tidak bergerak tiada yang
buka suara. Kata Coh Liu-hiang pula: "Umpama para Cianpwe segan memperlihatkan
muka aslinya, kenapa pula biji matapun harus diselubungi?"
Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba buka suara: "Kaum kita sudah
menjiwai ilmu pedang, buat apa harus menggunakan mata?" walau hanya
mengucapkan beberapa patah kata saja, namun seluruh bangunan gedung
terasa oleng oleh getaran suara yang bergema keras memekak telinga,
cangkir dan poci di atas mejapun bergemeretak.
"Cayhe tahu, bagi setiap ahli setiap kali turun tangan tentu mempunyai
perhitungan yang matang hakekatnya tidak perlu menggunakan mata, tapi
masakah para Cianpwe tidak ingin mengetahui siapakah sebenarnya dan
bagaimana tampang musuh yang harus kalian hadapi bersama?"
Kali ini tiada orang yang menjawab. Kelima orang tetap diam tidak
memberikan reaksi.
Sesaat kemudian malah Li Giok ham yang bersuara dengan tertawa:
"Kelima Cianpwe ini selama hidupnya belum pernah bertanding melawan
orang secara gabungan setelah hari ini, merekapun takkan mungkin
bergabung melawan musuh, oleh karena itu bukan saja beliau-beliau ini
tidak mau memperlihatkan asal usul dirinya kepada kau merekapun tidak
perlu tahu siapa dan macam apa tampangmu, kelima Cianpwe ini tidak sedih
hanya ingin membuktikan dan melaksanakan keinginan ayah saja."
"Benar" ujar Liu-hiang sinis,:" akupun tahu kedatangan kelima Cianpwe
hari ini, lantaran mereka hutang budi terhadap ayahmu, tapi peristiwa hari
ini sebetulnya memang keinginan ayahmu ataukah melulu keinginanmu
sendiri?" Berubah air mata Li Giok-ham, sahutnya: "Sudah tentu atas keinginan
ayah." Mata Coh Liu-hiang melotot mengawasinya, katanya: "Lalu keinginan
ayahmu hanya ingin membuktikan kehebatan ciptaan barisan pedangnya"
Atau ingin membunuh aku?"
Pucat muka Li Giok-ham, sesaat lamanya dia mati kutu dan tak mampu
menjawab. Liu Bu-bi tertawa riang selanya: "Apapun yang bakal terjadi, kukira kedua
persoalanmu ini tidak bedanya lagi."
"O" Kenapa tak berbeda?" Kerlingan mata Liu Bu-bi yang genit mendadak
berubah begitu kejam, katanya sepatah demi sepatah sambil melotot:
"Karena jikalau barisan pedang ini tak punya kelemahan, maka tuan pasti
akan menjadi tumbal dari terciptanya barisan pedang sakti ini."
"Memangnya bagaimana kalau barisan pedang ini benar-benar ada
kelemahannya?"
"Umpama benar barisan pedang ini ada kelemahannya, tapi di bawah
permainan kelima Cianpwe ini, kukira tuan takkan mampu menerjang keluar
dari barisan."
Coh Liu-hiang tertawa besar sambil menengadah katanya: "Betul, sekali
umpama lobang kelemahan barisan ini seratus banyaknya atau tidak
merupakan barisan pedang yang sesungguhnya, dengan gabungan tempur
kelima Cianpwe yang kosen ini, mungkin tiada seorangpun di kolong langit
ini yang mampu menandinginya."
"Ya. benar, syukur kalau kau mengerti." Ujar Liu Bu-bi.
"Kalau begitu kenapa pula kalian harus pakai embel-embel dengan barisan
pedang segala, perduli bagaimana keadaannya, kenapa tak dikatakan terus
terang saja bahwa jiwaku diinginkan terkubur di sini, bukankah lebih
praktis dan gampang."
"Dalam hal ini jelas harus dibedakan dan memang berbeda." kata Liu-Bubi.
"O, apa bedanya?"
"Kalau kelima Cianpwe ini bergabung menempurmu, meski kau tidak kuat
melawan, tapi kau masih mampu melarikan diri, Ginkang tuan tiada
bandingan di seluruh dunia, hal ini cukup diketahui orang banyak."
"Pujian melulu?"
"Tapi begitu barisan pedang ini bergerak, umpama tuan tumbuh sayappun
jangan harap bisa meloloskan diri sebelum jiwanya ajal!"
Lama Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian pelan-pelan:
"Sebetulnya ada permusuhan apakah aku dengan kalian suami istri, begitu
besar tekad kalian hendak menamatkan jiwaku?"
Berputar biji mata Liu Bu-bi,katanya dingin: "Tadi sudah kami jelaskan, ini
bukan keinginan kamu, adalah keinginan ayah mertua."
Tampak orang tua atau Li Koan-hu itu masih duduk terlongo hampa di
tempatnya tanpa bergerak, matanya redup dan menatap pedang
dihadapannya dengan tatapan kosong.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Perduli apa benar adalah
keinginan beliau" Yang terang toh tiada seorangpun diantara kalian yang
bisa mendapatkan penjelasannya."
Mendadak Oh Thi-hoa menjerit: "Apakah barisan ini harus dibentuk
terdiri enam orang" Tapi kenapa yang hadir hanyalima orang?" Liu Bu-bi
mengiakan. Diam diam bersorak hati Oh Thi-hoa, katanya tertawa: "Tentunya kalian
tidak pernah membayangkan bila Swe lo-hiang akan tinggal pergi begitu
saja tanpa kembali lagi."
"Swe locianpwe datang atau tidak, tidak menjadi soal."
"Tidak menjadi soal?" seru Oh Thi-hoa tertegun. "Kenapa tidak menjadi
soal" Kalau kurang satu orang barisan... " Liu Bu-bi menukas kata katanya:
"Masakah kau belum pernah dengar, orang luarpun boleh saja menggenapi
keadaan?" tanpa menghiraukan Oh Thi-hoa lagi, segera dia membalik
menghadapi kelima Cianpwe serta menjura hormat, katanya: "Wanpwe
pernah ikut latihan barisan ini, sampai sekarang masih segar dalam
ingatanku. Swe locianpwe tidak hadir, terpaksa biar Wanpwe menduduki
posisinya, semoga para Cianpwe suka memberi bantuan dan melindungi, tak
terhingga rasa terima kasih Wanpwe."
Laki laki kurus tinggi yang terdepan itu mendadak bersuara: "Kenapa tidak
kau suruh suamimu turun tangan?"
Liu Bu-bi melengak, sahutnya tersekat: "Itu..."
Laki laki bertubuh pendek itu menimbrung dengan suara bengis:
"Memangnya kau kira bahwa ilmu pedangmu lebih tinggi dari ahli waris
keluarga Li?" ditengah sentakannya, pedang di tangannya tahu-tahu
berubah menjadi caplok bintik-bintik yang tersebar seperti bintang perak
berkembang bertaburan.
Dengan mendelong Liu Bu-bi pandang titik-titik perak itu, badannya
sedikitpun tak bergerak bukan saja tak berkelit diapun tak melawan,
seolah-olah di sudah tahu bahwa gerakan pedang ini hanya gertakan
belaka. Memang bintik-bintik perak yang bertaburan itu setiba di depan mukanya,
secara ajaib tahu-tahu lenyap tak keruan paran.
"Bagaimana?" tanya laki-laki kurus tinggi itu. "Lumayan" sahut laki-laki
kurus kecil. "Terima kasih Cianpwe" seru Liu Bu-bi tertawa senang. Tibatiba
dia berputar menghampiri ke depan Li Koan-hu, katanya menjura
dalam: "Mohon ayah mertua suka meminjamkan pedang ini kepada putrimu."
Jilid 34 Dengan tatapan kosong orang tua itu melirik kepadanya, lalu tertunduk
pula tak memberikan reaksi apa-apa.
Liu Bu-bi langsung meraih pedang itu, lalu menjura pula katanya: "Terima
kasih akan kemurahan kau orang tua." bicara sendiri dijawab sendiri
dengan begitu saja dia terus ambil pedang pusaka di hadapan orang itu.
Kulit daging dimuka orang tua kelihatan berkerut-kerut gemetar, sorot
matanya tiba-tiba memancarkan sinar terang laksana bintang menyala
namun sepatah katapun tak mampu bersuara.
Oh Thi-hoa mendadak memburu maju berdiri jajar disamping Coh Liuhiang
"Apa keinginanmu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Kalau mereka ada enam orang, kenapa kita tidak boleh dua orang?"
"Kenapa harus dua orang?"
"Dua orang tentunya lebih baik daripada seorang diri."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Kalau dua orang mati bersama,
tentunya lebih baik kalau mati seorang saja."
Oh Thi-hoa mengepal kencang jari-jarinya, belum dia buka mulut Liu Bu-bi
sudah mendahului: "Lebih baik kau dengar nasehatnya! Bila dia seorang diri
kemungkinan mempunyai sedikit kesempatan untuk melarikan diri, kalau
bersama kau, jangan kata ada harapan, yang terang kalian pasti akan ajal
bersama." Merah padam muka Oh Thi-hoa, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang:
"Kau... kau tidak mau bergebrak berdampingan sama aku?"
Coh Liu-hiang genggam tangannya katanya pelan-pelan: "Coba kau pikir lagi
lebih seksama, sebentar kau akan paham akan maksudku, mulainya bicara,
jari-jarinya bergerak menulis huruf "lari" ditelapak tangan Oh Thi-hoa.
Maksudnya adalah menganjurkan Oh Thi-ho mengundurkan diri berusaha
menolong Soh Yong-yong dan lainnya.
Karena Li Giok-ham suami istri terang akan tumplek seluruh perhatiannya
di dalam kamar ini, yang pasti kedua orang ini tak akan meninggalkan
tempat ini sebelum urusan disini selesai, maka tempat-tempat lain dari
Yong cui san ceng pasti kosong melompong. Inilah kesempatan paling baik
untuk menolong orang.
Akhirnya Oh Thi-hoa menarik napas panjang katanya: "Ya, aku mengerti."
"Baik sekali, aku tahu selamanya kau tak akan membuat aku kecewa."
sembari bicara kembali jari-jarinya menulis "pergi" di telapak tangan Oh
Thi-hoa. Maksudnya ialah setelah Oh Thi-hoa menolong Soh Yong-yong
berempat harus meninggalkan tempat ini.
Kembali berubah air muka Oh Thi-hoa katanya: "Tapi kau..."
Lekas Coh Liu-hiang meremas jarinya, katanya dengan tertawa: "Jikalau
kau adalah sahabat baikku, maka kau harus beri kesempatan paling baik
supaya aku tekun dan bergebrak sepenuh hati, toh kau juga sudah tahu


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niatku, jikalau ada persoalan lain memberatkan perhatianku, maka
kesempatan untuk sedikit menangpun tiada lagi dalam benakku."
Sebentar Oh Thi-hoa berpikir, akhirnya dia manggut-manggut dengan
rasa berat, terasa jari-jari Coh Liu-hiang masih sedemikian tenang dan
hangat, begitu teguh dan besar tekadnya sebaiknya tangan sendiri
berkeringat dingin.
Tak tahan dia balas menggenggam tangan Coh Liu-hiang kencang, keduanya
berhadapan saling pandang sekian lamanya. Akhirnya Coh Liu-hiang
membalik badan, katanya kalem: "Cayhe sudah siap, silahkan para Cianpwe
mulai!" Oh Thi-hoa bukan seorang pesimis yang gampang putus asa, dan lagi
selamanya dia amat yakin dan menaruh kepercayaan besar terhadap
kebolehan ilmu silat Coh Liu-hiang tapi sekarang, entah kenapa tanpa dia
sadari biji matanya berkaca-kaca dan berwarna merah.
Kata Liu Bu-bi mengawasi Coh Liu-hiang: "Masakah sampai detik ini kau
masih tidak mau menggunakan senjata?"
"Dalam keadaan seperti ini, pakai senjata atau tidakkan sama saja."
Laki-laki kate gemuk itu mendadak terloroh-loroh, katanya: "Nyali orang
ini ternyata tidak kecil."
"Cianpwe terlalu memuji, sebenarnya nyali Cayhe biasanya amat kecil,
setiap kali sebelum bertempur dengan orang, hatiku pasti amat ketakutan,
tapi setelah gebrak dimulai, rasa takut seketika sudah terlupakan sama
sekali" tapi dengan habis kata-katanya, mendadak laksana kilat ia turun
tangan lebih dulu, jarinya terlekuk laksana cakar garuda menyergap
dengan jurus Sian-hong-jiang-cu "sepasang naga berebut mutiara", yang
dituju adalah sepasang mata Liu Bu-bi.
Karena tidak menduga duga dan tidak siaga, saking kejutnya Liu Bu-bi
menarik diri mundur beberapa langkah.
Tak nyana serangan Coh Liu-hiang ini hanya gertak sambel saja, secepat
kilat tangan kirinya ikut bergerak, sementara jari telunjuk dan jari tengah
tangan kananya, tahu-tahu sudah menjepit ujung pedang ditangan Liu Bubi.
Seketika Liu Bu-bi rasakan segulung tenaga dahsyat menerjang datang
menggetar seluruh batang pedangnya dengan keras, saking besar tenaga
getaran lawan, jari dan lengannya terasa linu kemeng, pedang panjang tak
kuasa dicekal lagi, terlepas dan terampas.
Belum lagi dia berdiri tegak didengarnya Coh Liu-hiang berseru lantang:
"Terimakasih akan pinjaman pedang ini. Banyak terima kasih, terima
kasih." ditengah gelak tawanya pedang bercahaya kemilau laksana reflek
sinar matahari di permukaan air itu tahu-tahu sudah berada di tangannya
namun ia tetap memegang ujung pedang itu dengan ketiga jari-jarinya lalu
gagang pedang tahu-tahu ia menjojoh kepada laki-laki tinggi yang berdiri
di ujung kiri. Laki-laki kurus tinggi baju hitam itu berseru memuji: "Gerakan tangannya
yang cepat sekali." berapa patah katanya saja, bukan saja ia sudah
berkelit dari serangan Coh Liu-hiang, malah cahaya pedang di tangannya
berkelebat tahu-tahu ia sudah balas menyerang dua jurus.
Saking kaget tadi serasa arwah Liu Bu-bi terbang ke awang-awang, belum
lagi rasa kejutnya hilang dan hati belum tenang, berdiri melongo di
tempatnya, tahu-tahu barisan pedang di depannya sudah mulai bergerak, Li
Giok-ham membanting kaki, segera dia lolos pedang menerjang maju
menambal lowongan yang masih kosong.
Maka cahaya pedang mendadak bertaburan saling membelit seperti
gugusan gunung terselubung bianglala, angin dingin menyambar tajam
berseliweran. Pedang-pedang itu sudah berubah merupakan tabir cahaya yang
menggulung lenyap seluruh bayangan Coh Liu-hiang. Begitu keras sambaran
angin yang mendampar keluar dari arena pertempuran sampai Liu Bu-bi
terdesak mundur sempoyongan ke pojok dinding, roman mukanya pucat pias
tak berdarah, sesaat lamanya, tetes demi tetes air mata meleleh
membasahi pipinya.
Coh Liu-hiang menyergap, merebut pedang, melancarkan serangan, Liu Bubi
terdesak sempoyongan, Li Giok-ham segera merangsek maju maka
barisan pedang segera bergerak, semua ini terjadi hampir dalam waktu
yang sama. Jantung Oh Thi-hoa sampai berdetak keras seperti hendak mencotot
keluar dari rongga dadanya, melihat pertempuran hebat ini, saking kejut
dan girangnya, hampir tak tertahan dia hendak bersorak dan tepuk tangan,
tindakan yang dilakukan Coh Liu-hiang ini memang patut diberi pujian dan
disoraki. Menang kalah dari hasil pertempuran dahsyat ini meski belum bisa
diketahui, tapi sedikitnya Coh Liu-hiang sudah berhasil merebut inisiatif
penyerangan lebih dulu, sehingga didalam waktu dekat barisan ini sukar
menunjukkan perbawaannya yang hebat.
Dan lagi pengetahuan dan latihan Li Giok-ham akan barisan pedang ini
terang tak sepaham atau lebih mendalam dari Liu Bu-bi, kini dengan dia
yang mengganti kedudukan Liu Bu-bi, sedikit banyak barisan ini akan
kehilangan sedikit keampuhannya.
Menghadapi suatu pertempuran besar yang begini dahsyat, sungguh Oh
Thi-hoa amat berat untuk tinggal pergi, ia tak tega meninggalkan Coh Liuhiang
adu jiwa seorang diri disini. Tapi bagaimana juga dia harus
menyingkir karena dia insyaf bila dirinya tidak berlalu pasti Coh Liu-hiang
akan terpecah perhatiannya, sudah tentu dia cukup tahu didalam
pertempuran sengit yang hebat ini, siapapun bila konsentrasinya terpecah,
kemungkinan dia bakal menggunakan tipu dan jurus permainan yang keliru
dan sedikit kekeliruan ini cukup menamatkan riwayatnya.
Bagi pertempuran tokoh-tokoh kosen, tinggi rendah dan kuat lemah dari
ilmu silat seseorang sudah tentu memegang peranan penting tapi dalam
melancarkan serangan dan gerak geriknya kalau tidak diperhitungkan
dengan seksama dan tepat unsur ini lebih besar akibatnya untuk
menamatkan jiwa sendiri.
Di pojokan kamarsana sebuah jendela yang terpentang lebar-lebar, Oh
Thi-hoa kertak gigi, tiba-tiba dia menerjang keluar darisana .
Pepohonan Harpa Iblis Jari Sakti 15 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Bara Naga 4
^