Peristiwa Burung Kenari 7

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 7


persahabatan ini membuat hatinya nyaman dan segar perasaannya. Karena
arak biasanya membawakan suasana riang ramai dalam kehidupan manusia.
Maka diapun terkenang pula kepada Setitik Merah dan Ki Bu-yong, kedua
orang ini lahiriahnya laksana gunung salju, dingin dan beda tak
berperasaan, namun relung hatinya sebaliknya sepanas api membara. Entah
kemana kedua orang ini sekarang, apakah Setitik Merah masih melanjutkan
pelariannya untuk menghindari cengkeraman sindikat gelap yang dikuasai
oleh si "tangan" yang serba misterius dan menakutkan itu. Dia hanya
berdoa secara diam-diam.
Tatkala itu didalam suasana kosong dan sunyi ditengah pegunungan ini,
terdengar suara gemericik aliran air, suara kicauan burung yang merdu
serta suara serangga yang bersahutan, suara desiran angin yang menarikan
rerumputan, suara daun-daun pohon yang keresekan, dari jauh kedengaran
pula lolong binatang liar yang sedang mencari mangsa.
Waktu Coh Liu-hiang angkat kepala melihat cuaca, tiba-tiba didapatinya
sang surya sudah doyong ke arah barat. Memangnya sering orang
menghabiskan waktu didalam kenangan masa lalu, oleh karena banyak
orang-orang tua sebatangkara yang hanya hidup didalam kenangan melulu,
baru bisa dia menghabiskan waktu hari-hari nan sunyi selama beberapa
tahun. Sekarang masih dua jam kira-kira untuk menunggu hari menjadi gelap, Coh
Liu-hiang ulurkan kaki tangan menggeliat, baru saja ia hendak berdiri
menggerakkan badan melemaskan otot, siapa tahu pada saat itu pula dari
dalam lobang goa di sebelah atas itu menongol keluar seseorang. Orang ini
bukan Hiong nio cu. Kecuali Hiong nio cu ternyata masih ada orang lain yang
berada didalam goa itu, menunggunya sejak tadi, dia memang sudah
menunggu kedatangan Hiong nio cu didalam gua.
Itulah seorang gadis cantik berpakaian serba putih laksana salju, berdiri
di atas batu yang mencuat keluar di pinggir ngarai, rambut panjangnya
yang mayang kehitam-hitaman yang halus sama melambai-lambai tertiup
angin, kelihatannya begitu rupawan bak bidadari dari kahyangan.
Dan itulah Kionglam Yan. Bagaimana Kionglam Yan bisa berada disini" Lalu
kemanakah Hiong-nio cu"
Jantung Coh Liu-hiang mulai berdebar debar tapi setelah dia amat-amati
dengan lebih cermat, baru dia sadar bahwa perempuan ini ternyata bukan
Kionglam Yan, namun sikapnya mirip sekali dengan Kionglam Yan. Sikap,
gerak-gerik, pakaian dan dandanannya, demikian sabuk di pinggangnya itu,
semuanya ini merupakan pertanda dan sebagai pemberian tahu kepada
khalayak ramai bahwa dia orang adalah anak didik dari Sin cui kiong yang
menggetarkan dunia.
Memangnya kenapa dia tiba-tiba bisa berada didalam goa itu" Apakah gua
itu tembus kesalah satu jalan rahasia yang menuju ke Sin cui kiong"
Masakah Hiong nio cu sudah sampai di Sin cui kiong" Mau tidak mau hati
Coh Liu-hiang rada gelisah, tampak gadis itu melayang turun dengan enteng
dari atas ngarai, ilmu Ginkangnya begitu hebat demikian pula gayanya
begitu mempesonakan. Waktu melayang inilah kelihatan sebelah tangannya
menjinjing sebuah kantong kulit.
Ternyata gadis cantik ini bukan lain adalah Hiong nio cu.
Coh Liu-hiang hanya tertawa getir secara diam-diam. Hiong nio cu memang
tidak bernama kosong, ilmu tata-rias serta amarahnya jauh lebih hebat
pula, hampir saja Coh Liu-hiang pun kena dia kelabui. Lebih menakjubkan
adalah, setelah dia menyalin muka menjadi seorang gadis, dari atas sampai
kaki, tiada sedikitpun memperlihatkan gerak-gerik atau gaya seorang lakilaki,
sekejap mata, setiap gerak tangan dan kakinya, demikian gemulai
badannya, seratus persen mirip dengan perempuan asli. Meski Coh Liuhiang
sendiri juga, bisa menyaru naga seperti naga, menjiplak harimau
seperti harimau, tapi menyaru jadi perempuan semirip ini, seumur hidupnya
jangan harap dapat dia lakukan dengan baik.
Setelah tiba di bawah ngarai, Hiong nio cu celingukan pula sekian lamanya,
rada lama dia berdiam di sini tidak segera bergerak. Tiba-tiba terlihat
oleh Coh Liu-hiang, di ujung alis dan di pinggir mata orang sudah dihiasi
banyak keriput, dilihat dari kejauhan memang dia mirip seorang gadis
cantik, tapi usianya terang sudah cukup lanjut.
Apakah ini wajah asli Hiong nio cu"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, tak heran terhadap raut
wajahnya biasanya Hiong nio cu amat bangga, boleh dikata dia memang
seorang laki-laki tampan yang paling cakep di seluruh jagat ini.
Walaupun usianya sudah rada tua, tapi kecantikannya masih jauh lebih
elok dari gadis-gadis muda lainnya, seorang laki-laki ternyata jauh lebih
cantik dari perempuan aslinya, sungguh suatu hal yang luar biasa. Akan
tetapi bila dia toh sudah menyaru jadi perempuan dari perempuan aslinya"
Hal ini membuat Coh Liu-hiang bingung dan tak habis mengerti.
Mimpipun tak pernah terpikir olehnya bahwa Hiong nio cu ternyata mirip
sekali dengan Kionglam Yan. Memangnya antara Hiong nio cu dan Kionglam
Yan mempunyai hubungan kental yang tak diketahui orang luar"
Mungkin pembaca bisa bertanya: "Kalau Hiong nio cu sudah menyaru jadi
murid Sin cui kiong untuk menyelundup ke dalam Sin cui kiong, kenapa
tidak sekaligus dia menyaru jadi Kionglam Yan saja?"
Tapi Coh Liu-hiang tahu jelas pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan
yang paling dogol, karena tata rias ilmu menyamar bukan ilmu gaib dan
menyaru sudah tentu dengan mudah merubah bentuk raut wajahnya sendiri
sehingga orang lain tak mengetahui rahasia samarannya, tapi sekali kali tak
mungkin menyaru menjadi duplikat seseorang, bahwa Coh Liu-hiang pernah
menyaru jadi Thio Sian-lim dengan baik, itulah karena tiada orang disana
yang kenal siapa sebenarnya Thio Siau-lim itu!
Oleh karena itu bila benar Hiong nio cu didalam waktu sesingkat itu bisa
menyaru seperti Kionglam Yan, menyelundup masuk ke dalam Sin cui kiong,
maka orang-orang Sin cui kiong takkan ada seorangpun yang mengetahui,
hal ini bukan merupakan sebuah cerita namun merupakan sebuah dongeng.
Jikalau Hiong nio cu diberikan waktu yang cukup panjang untuk
mempersiapkan diri, menyiapkan diri untuk meniru dan berbuat seperti
gerak-gerik, sikap dan tutur bicaranya, itu sih mungkin saja.
Akan tetapi Hiong nio cu tiba-tiba menggali sebuah liang di tanah bawah
kakinya, isi kantong kulit hitam itu dituang seluruhnya ke dalam lobang
galian ini, dari kantong kulit itu terang adalah bahan-bahan untuk tata rias
itu. Kini tangannya hanya menenteng kantong kulit yang sudah kosong itu.
Kantong kosong apa pula gunanya" Kembali Coh Liu-hiang terheran heran
dibuatnya. Waktu itu meski menjelang magrib, namun sinar matahari masih
memancarkan terang benderang di ufuk barat, Hiong nio cu menengadah
melihat cuaca, kakinya lantas beranjak pelan-pelan. Agaknya dia jauh lebih
gelisah dari Coh Liu-hiang, tak sabar menunggu hari menjadi gelap segera
dia sudah bertindak.
Setelah menunggu orang membelok ke sebuah lekukan gunung, baru Coh
Liu-hiang berani bergerak mengejar ke arah sana, siap tahu setelah dia
sendiri tiba di lekukan gunung itu, ternyata bayangan dan jejak Hiong nio
cu sudah menghilang tanpa bekas.
Yang terang lekuk gunung ini merupakan jalan buntu, kedua sisinya
berdinding tinggi lurus, sementara bagian tengah dihadang sebuah dinding
gunung pula, seolah olah sebuah kotak persegi yang hilang sebagian
pinggirannya. Jikalau Hiong nio cu sudah memasuki kotak dinding ini, cara
bagaimana bisa mendadak hilang" Akan tetapi tempat ini dikelilingi dinding
gunung yang tinggi, umpama tumbuh sayappun jangan harap bisa terbang ke
atas, memangnya dia bisa menyelusup masuk ke bumi"
Sungguh kejadian aneh yang luar biasa, tapi rasa heran dan kejut Coh Liuhiang
cepat sekali sudah hilang, dengan seksama dan teliti selangkah demi
selangkah dia mengamati tanah di sekitarnya, akhirnya dia temukan
dinding sebelah kiri dengan dinding ditengah. Lebar celah-celah dinding ini
hanya satu kaki dan lagi penuh ditumbuhi dan dijalari rumput dan lumut
serta kayu-kayu rotan kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri Coh Liuhiang
saksikan Hiong nio cu menghilang ditempat ini, sudah diduga bahwa
ditempat ini pasti ada jalan rahasia untuk dirinya menghilang umpama dia
mencari dan meraba-raba satu hari penuhpun jangan harap dapat
menemukan celah-celah dinding gunung yang penuh tertutup dedaunan dan
ranting-ranting pohon ini.
Setelah melewati celah-celah gunung, maka suara gemericiknya air
mengalir yang sayup-sayup sampai tadi kedengaran lebih jelas, air
gemerincik bening dan merdu seperti tetesan air dipinggir telinga, kabut
putih masih tebal belum buyar, sehingga seluruh lembah gunung yang
belukar dan belum diinjak manusia ini serasa sepi lenggang dan
menakjubkan. Coh Liu-hiang segera membungkuk badan, dengan merunduk-runduk pelanpelan
dia maju ke arah datangnya suara air, dia insaf setiap langkah
kakinya lebih mendekat berarti selangkah lebih dekat ke arah rahasia yang
bakal dibongkarnya. Akan tetapi selangkah menambah mara bahaya yang
bakal mengancam jiwanya pula.
Jilid 40 Sekonyong-konyong terdengar suara mendesis aneh seperti sesuatu
benda yang semakin melembung. Segera Coh Liu-hiang menghentikan
langkah, pelan-pelan dia rebahkan badan, laksana seekor ular dengan kedua
tangannya dia merambat maju kira-kira dua tiga kaki lagi, dari tempat
sembunyinya dibalik rumput alang-alang, inilah dilihatnya Hiong nio cu.
Suara gemericik air tepat berada di bawah kaki Hiong nio cu, saat mana
kedua tangannya sedang memegangi kantong kulit itu, sementara mulutnya
sedang meniupkan angin sekuat-kuatnya ke dalam kantong kulit itu.
Seperti balon cepat sekali kantong kulit itu sudah melembung besar,
bundar mirip benar dengan sebuah ban dalam sebuah truk.
Baru sekarang Coh Liu-hiang sadar dan paham, batinnya: "Kiranya kantong
kulit itu dia gunakan sebagai rakit, lalu naik rakit kulit ini berdayung ke
dalam Sin cui kiong mengikuti arus air." betul juga dilihatnya Hiong nio cu
sudah menaruh rakit kulit itu diatas air, lalu diulurkan sebelah kakinya
untuk mencoba kekuatan daya tahan rakit kulit ini, lalu pelan-pelan dia
melangkah masuk dan duduk didalamnya.
Kejap lain kulit ini terang akan bergerak mengikuti arus air yang mengalir
cukup deras, disaat Coh Liu-hiang kebingungan dan kehabisan akal, cara
bagaimana dirinya harus menguntit lebih jauh, tak nyana tiba-tiba
terdengar cuara "Cesss" sigap sekali Hiong nio cu mencelat keluar dari
rakit kulitnya, pakaian sarinya yang serba putih laksana salju itu
beterbangan terhembus angin seolah-olah sudah senyawa dengan kabut
putih yang memenuhi udara.
Sementara rakit kulit itu berputar-putar secepat roda di permukaan air,
semakin putar semakin kecil, kira-kira setelah berputar tujuh delapan
belas kali, lalu terdengar "blup" rakit kulit itu mencelat naik ke udara.
Agaknya secara diam-diam ada seseorang yang bertangan jahil menyambit
dengan sesuatu sehingga rakit kulit yang penuh diisi hawa itu bocor,
seperti ban yang bocor maka rakit kulit itu lantas berputar-putar dengan
cepat. Dalam pada itu Hiong nio cu sudah mencelat naik ke daratan, sorot
matanya memancarkan rasa kaget dan keheranan, tiba-tiba dia
membanting kaki, baru saja dia hendak putar tubuh melarikan diri,
ditengah-tengah tebalnya kabut di sebelah depan sana tiba-tiba terdengar
suara tawa yang lirih merdu. Sebuah suara yang genit aleman berkata:
"Kau sudah kemari, kenapa harus berlalu?"
Maka terdengar pula suara air tersiak, tahu-tahu sebuah sampan
meluncur mendatangi melawan arus muncul ditengah-tengah kabut tebal, di
ujung sampan berdiri sesosok bayangan putih yang berperawakan ramping
menggiurkan, di tangannya memegang sebuah galah panjang, cepat sekali
sampan itu sudah merapat ke daratan, maka seringan burung walet
badannya melayang naik kehadapan Hiong nio cu.
Hiong nio cu menghela napas, ujarnya: "Ternyata kau."
Gadis baju putih itu tersenyum, katanya: "Benar, kau tak menduga bukan"
Tapi aku sudah tahu pasti kau akan datang, maka siang-siang sudah
kutunggu kau disini!"
Lembah nan tersembunyi, kabut tebal, air mengalir, seperti perempuan
kenyataan laki-laki, benggolan jahat kalangan Kangouw bangkit kembali
dari liang kuburnya, semua ini sungguh merupakan serangkaian kejadian
yang misterius dan sukar diterima oleh nalar sehat.
Tahu-tahu ditengah kabut tebal itu muncul pula sebuah sampan dengan
perempuan cantik laksana bidadari, sehingga Coh Liu-hiang yang
menyaksikan ditempat sembunyinya merasa kaki tangan menjadi dingin.
Apakah semua yang disaksikan ini kenyataan" Atau khayalan" Siapapun
sukar membedakan. Terasa olehnya perempuan serba putih ini sedemikian
berisi, cantik dan montok gemulai lagi, seolah-olah indah tiada bandingan
lagi keayuannya, tapi kabut terlalu tebal, dari jarak di tempatnya
sembunyi, sukar melihat jelas siapa gerangan gadis jelita ini.
Lama Hiong nio cu berdiam diri, lalu katanya menghela napas. Sebetulnya
aku tak ingin kemari, tapi aku dipaksa untuk datang kemari.
Tiba-tiba gadis itu menghentikan tawanya katanya: "Memangnya kau
sudah lupa akan sumpahmu sendiri pada masa lalu?" Mendengar suara ini
terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sudah kenal betul dengan suara ini.
Maka dilihatnya gadis itu berdiri berhadapan dengan Hiong nio cu yang
sama serba putih, dinilai dandanan, gaya dan kecantikannya dua-duanya
laksana pinang dibelah dua.
"Aku tak pernah lupa." sahut Hiong nio cu rawan. "Tapi aku hanya ingin
menengok kuburan putriku saja."
Gadis baju putih itu berkata: "Apa sih yang patut kau lihat, toh hanya
segundukan tanah kuning melulu, kalau kau ingin melihat pergilah tengok
kuburan-kuburan para gadis yang pernah kau nodai, bukankah kuburan di
kolong langit ini sama saja?" kata-katanya ini mendadak runcing dan
menusuk pendengaran, setelah mendengar kata ini baru Coh Liu-hiang
sadar bahwa perempuan ini ternyata adalah Kionglam Yan, karena mimpipun
Coh Liu-hiang tak pernah membayangkan, perempuan kaku dingin disaat
mengatakan kata-katanya yang pedas itu masih bisa tertawa.
Tak kira didengarnya Kionglam Yan cekikikan lagi katanya lembut: "Maaf
ya, bukan sengaja aku hendak melukai hatimu dengan kata-kata sekasar
itu, jangan kau marah padaku! Aku... selanjutnya pasti takkan kukatakan
lagi!" Kembali Coh Liu-hiang dibuat sangsi akan pendengaran kupingnya.
Betapapun dia takkan percaya Kionglam Yan bakal mengucapkan kata-kata
seperti itu. Tapi perempuan ini terang adalah Kionglam Yan, dengan
langkah gemulai dia mendekati Hiong nio cu, Hiong nio cu hanya berdiri
mematung di tempatnya, entah apa yang sedang berkecamuk didalam
benaknya" Kionglam Yan unjuk senyuman mekar, katanya lembut: "Apakah aku
berhadapan dengan muka aslimu" Tak heran dia selalu mengatakan wajahku
hampir mirip dengan mukamu, malah jauh lebih mirip kau dari putrimu
sendiri." Mendadak Hiong nio cu angkat kepala, tanyanya: "Dia... dia sering
menyinggung diriku di hadapanmu?"
"Hm! Kionglam Yan menjawab dengan suara aleman. Pelan-pelan dia
bergerak jalan mengelilingi Hiong nio cu, satu putaran lalu berhenti di
depannya pula, sepasang mata yang jeli dan bening bundar tanpa berkedip
menatap muka orang, katanya pelan-pelan: "Apa kau pun sering teringat
kepadanya?"
Hiong nio cu menghela napas, katanya: "Beberapa tahun belakangan ini,
siapapun sudah kulupakan semua."
Kionglam Yan cekikikan lagi, katanya: "Tipis sekali cintamu, tidakkah kau
tahu betapa orang memikirkan kau sampai pergi mati datang hidup, kau
sebaliknya melupakan orang sama sekali, memangnya tiada seorangpun
dalam jagat ini yang benar-benar dapat menggerakkan atau menimbulkan
seleramu?"
"Tidak ada." sahut Hiong nio cu. Pelan-pelan dia menggigit bibir, sikap dan
gayanya mirip benar dengan seorang gadis aleman yang malu-malu.
"Baru sekarang aku tahu kau sebetulnya memang seorang siluman yang
pandai memelet orang, tak perlu heran bahwa sekian banyak gadis-gadis
cantik yang rela menjadi korban keisenganmu, sampai aku... akupun..."
agaknya mukanya menjadi merah, kepala tertunduk kedua tangan
mengucek-ngucek ujung bajunya.
Terpancar sinar terang dari biji mata Hiong nio cu, katanya lembut:


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaupun kenapa?"
Tertunduk semakin dalam kepala Kionglam Yan, katanya: "Orang lain
sering bilang kau paling memahami keinginan perempuan, memangnya kau
belum tahu akan keinginanku" Memangnya kau belum tahu akan isi hatiku?"
Pelan-pelan Hiong nio cu menarik tangannya tiba-tiba dia lepas tangan
pula, katanya menghela napas panjang: "Lebih baik kalau aku tidak
mengerti saja."
"Kenapa?"
"Karena kau berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya, aku tidak bisa...
tidak bisa menodai kau."
"Tapi aku inipun seorang perempuan, akupun ingin... ingin..."
"Dalam pandanganku, selamanya kau adalah sedemikian halus, hangat, suci
dan agung begitu molek dan lincah, asal bisa mengawasimu dari kejauhan
hatiku sudah puas."
Umpamanya gadis-gadis remaja sama suka mendengar omongan seperti ini,
setiap gadis pasti mengharap pandangan laki-laki terhadapnya pasti
berbeda dengan pandangan orang lain, semua sama mengharap laki-laki
memuja mencintainya. Gadis remaja yang sedang mekar bila setelah
mendengar bujuk rayu sehalus ini dia masih kuasa menolak keinginannya,
sungguh merupakan suatu kejadian yang aneh. Diam-diam Coh Liu-hiang
merasa beruntung dan terhibur juga, untung bahwa tiada seorang hidung
belang yang sedang mencuri dengar percakapan ini. Jikalau para hidung
belang mencuri belajar kata-kata rayuan selembut itu, entah berapa
banyak gadis-gadis suci dalam dunia ini yang bakal menjadi korban.
Tapi setelah berpikir-pikir lagi, mau tidak mau Coh Liu-hiang tertawa
getir sendiri, pikirnya: "Seorang laki-laki bila dia berbakat dinamakan
hidung belang, dengan sendirinya dia sudah pandai merangkai kata-kata
mutiara yang lebih mengasyikkan, buat apa harus mencuri belajar dari
orang lain?"
Bintang-bintang sudah kelap-kelip di cakrawala. Di bawah pancaran sinar
bintang sesejuk ini, perempuan yang paling kuat imannya pun akhirnya pasti
runtuh, dan menjadi lemas, saat itu Kionglam Yan sudah rebah didalam
pelukan Hiong nio cu.
Sambil mengelus rambutnya berkata Hiong nio cu pelan-pelan: "Tentunya
kau tahu, kita tak mungkin hidup berdampingan selamanya."
"Aku tahu."
"Kau tidak menyesal?"
"Aku pasti tak menyesal, asal bisa menikmati sekali saja, sehingga
meninggalkan kenangan abadi sepanjang masa, umpama aku harus segera
mampus akupun suka rela."
Hiong nio cu tidak banyak kata lagi, jari-jarinya sudah masuk ke dalam
pakaian tipis orang, mulai menggeremet dari satu ke lain tempat,
menyelusuri tanah tandus yang halus terus naik ke lembah hangat
merambat ke atas bukit dan memelintir puting nan bundar kenyal laksana
buah anggur. Coh Liu-hiang meski bukan seorang Kuncu, namun dia tidak tega melihat
adegan romantis yang merangsang ini, pelan-pelan dan hati-hati dia
membalik badan rebah terlentang, bintang-bintang seperti sedang
berkedip-kedip main mata sama dia.
Kionglam Yan gadis yang di pandangannya suci agung ternyata perempuan
cabul yang rela menyerahkan kemurniannya sendiri. Akan tetapi gadis
remaja setelah menanjak dalam usia ini, memangnya siapa pula yang tak
mendambakan buaian asmara"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, mengelus dada, diam-diam
tertawa getir, Seolah-olah dia sendiri amat menyesal, kenapa dirinya dulu
melepas kesempatan yang baik itu.
Tak tahan Coh Liu-hiang menoleh lihat ke arah sana, tampak Hiong nio cu
sedang bangkit berduduk di atas sampan kecil itu, sahutnya menghela
napas: "Akupun merasa berat untuk pergi, tapi waktu amat mendesak, aku
harus pergi."
"Kau hendak mencari kuburan anak King mu...?"
"Bagaimana juga jelek-jelek aku ini ayahnya, adalah pantas aku menengok
keadaannya terakhir kali."
Tak usah kau tergesa-gesa, nanti ku ajak kau kesana, hayolah...
sekarang..." sebuah tangan putih halus tampak terulur keluar dari dalam
sampan, Hiong nio cu tertarik rebah lagi memang sejak tadi dia menunggu
ucapan Kionglam Yan ini.
Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu bahwa Hiong nio cu memang sedang
memperalat dia, sedang memancing kata-katanya ini, tapi bukan saja dia
tak bisa membongkar isi hati orang, diapun tak kuasa mencegah adegan
romantis berlangsung, karena Kionglam Yan sendiri yang menyerahkan diri
secara suka rela.
Dia cukup tahu bila seorang gadis sudah bertekad untuk menjajal atau
menikmati yang ingin dia rasakan itu, siapapun jangan harap bisa mencegah
keinginannya itu, kalau tidak umpama dia tak membunuhmu, maka dia akan
membencimu seumur hidup.
Sampan kecil yang berlabuh itu tiba-tiba bergoyang-goyang, dari pelan
semakin keras seolah-olah ada gempa bumi atau riak air yang gemericik itu
menjadi bergolak, angin malam yang menghembus sepoi-sepoi diselingi
suara rintihan dan keluhan yang merangsang hati dan membaurkan pikiran.
Sinar bintang semakin redup. Terpaksa Coh Liu-hiang sudah memejamkan
mata. Tapi kedua telinganya tak bisa dicegah untuk mendengarkan. Sesaat
kemudian terdengar bisikan Kionglam Yan, berkata: "Kau sungguh... hebat,
tak heran para gadis rela mati untuk kau, tak heran selamanya dia tak bisa
melupakan kau, mungkin sampai ajalnyapun takkan melupakan kau."
Mendengar sampai di sini, Coh Liu-hiang dibuat heran pula, Si dia yang
dimaksud oleh Kionglam Yan sebenarnya siapa" Apakah kekasih Hiong-nio
cu" Deru napas Hiong nio cu semakin memburu terdengar suaranya
mendengus-dengus "Kau pun pintar sekali!"
"Apa aku lebih baik dari dia?"
"Kenapa kau selalu menyinggung dia, memangnya kau dan diapun..."
Tiba-tiba Kionglam Yan tertawa terpingkal-pingkal, katanya: "Tahukah kau
kenapa aku ingin bergaul dengan kau?"
Agaknya Hiong nio cu melengak, katanya: "Memangnya kau lantaran dia?"
"Benar, lantaran dia memilikimu, maka aku pun harus memilikimu." baru
saja lenyap kata-katanya ini, sekonyong-konyong Hiong nio cu
mengeluarkan jeritan yang menyayat hati.
Keruan kaget Coh Liu-hiang bukan kepalang, sigap sekali dia membalik
badan dan melongok kesana, tampak dengan badan telanjang bulat Hiong
nio cu tengah berdiri dari atas sampan, dengan sekujur badan gemetar dia
menyurut mundur keujung sampan.
Dibawah pancaran sinar bintang, ditengah kabut tebal, tampak kulit
dadanya yang putih halus dan bidang itu, berlepotan darah, dan masih
menyembur dengan deras.
Terdengar Kionglam Yan masih tertawa-tawa terkekeh-kekeh, katanya:
"Kenapa kau kaget, aku hanya ingin memiliki hatimu, akan kukorek hatimu
untuk kulihat biar jelas."
Dengan kedua tangan Hiong nio cu mendekap luka-luka di dadanya,
suaranya gemetar: "Kau... kenapa kau harus berbuat demikian?"
"Masa kau belum tahu" Kau masih kira aku betul-betul menyukai kau?"
tanyanya masih terkekeh-kekeh, tiba-tiba diapun mencelat berdiri, di
bawah penerangan bintang, potongan badan gadis yang ramping montok
kelihatannya laksana tembus cahaya seperti terbuat batu jade. Akan
tetapi raut mukanya justru dilumuri hawa siluman yang sadis, pancaran
sinar matanya yang indah penuh diliputi kebencian dan nafsu membunuh
yang sadis, ditatapnya Hiong nio cu lekat-lekat, katanya: "Biar kuberitahu
kepadamu terus terang, sejak lama aku sudah ingin membunuhmu, aku tak
tahan setiap kali mendengar dia menyinggung dirimu di hadapanku,
dikatakan betapa miripku dengan kau setiap kali dia menyinggung dirimu,
serasa aku hampir gila dibuatnya."
Hiong nio cu berkata terputus putus dengan gemetar: "Kau... kau
cemburu" Memangnya kau benar-benar jatuh cinta kepadanya?"
"Kenapa aku tak boleh mencintainya?" sentak Kionglam Yan. "Kenapa tidak
boleh?" Hiong nio cu mengawasinya dengan pandangan kesima dan kaget! Pelanpelan
ia roboh. Kini Coh Liu-hiang lebih kebingungan lagi, si "dia" yang diperbincangkan
oleh kedua orang ini entah lelaki atau perempuan, susah dimengerti oleh
Coh Liu-hiang, kalau dia lelaki, masakah mungkin dia orang adalah kekasih
Hiong nio cu" Memangnya Hiong nio cu juga sering main homoseks"
Sebaliknya kalau dia adalah perempuan, kenapa pula Kionglam Yan bisa
jatuh hati kepadanya" Memangnya Kionglam Yan biasa bermain lesbian
dengan sesama jenis"
Sungguh sukar Coh Liu-hiang untuk menentukan hubungan satu sama lain
diantara kedua orang ini dengan si dia itu. Sungguh hubungan yang
misterius dan rumit serta sukar dijajagi hubungan ketiga orang ini.
Maka terdengar "Byuur!" badan Hiong nio cu yang telanjang itu tercebur
ke dalam air, penyesalan dan bertobat selama dua puluh tahun, akhirnya
tetap tak bisa mencuci bersih dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Betapapun akhirnya dia mampus ditangan seorang perempuan.
Berdiri di ujung sampan, dengan mendelong Kionglam Yan mengawasi aliran
air di bawah penerangan sinar bintang. Dilain saat diapun terjun ke dalam
air, setiap jengkal setiap senti kulit badan dari rambut sampai ke kaki dia
cuci dengan teliti dan bersih, setelah dia mengenakan pakaiannya lagi, dia
kelihatan tetap agung dan suci.
Malam semakin berlarut, kabut malah menipis. Suara air tersiak pula,
sampan kecil itu mulai berlaju di permukaan air terus mengalir cepat
mengikuti aliran air.
Tanpa banyak pikir lagi, dengan hati-hati Coh Liu-hiang sedang
membenamkan diri ke dalam ini, Orang sering bilang ilmu Ginkangnya tiada
tandingan di seluruh kolong langit, dia sendiri sebaliknya berpendapat
kepandaian renang didalam airnya justru jauh lebih sempurna dari ilmu
Ginkangnya di daratan. Umpama ikan-ikan yang pandai berlompatan selulup
ke dalam airpun takkan bergerak selincah dan secepat dia.
Sampan itu berlalu di depan permukaan air, dia selulup didalam air
menguntit di belakang secara diam-diam, dia yakin dan percaya, Kionglam
Yan pada saat dan dalam keadaan seperti ini tak menyadari bahwa dirinya
sedang dikuntit seseorang. Maklumlah siapapun orangnya setelah selesai
menikmati surga dunia perasaannya pasti berobah rada kebal dan kurang
peka. Sepanjang jalan dari pinggiran aliran sungai kecil ini pasti dihiasi
pemandangan yang mengasyikkan ditimpah sinar bintang diselimuti kabut
tebal, meski Coh Liu-hiang berada didalam air, dan tak bisa menikmati
keindahan panorama ini, namun dia bisa membayangkan, memangnya
sesuatu yang dibayangkan itu selamanya jauh lebih cantik, indah dari
kenyataannya itu sendiri.
Entah berapa lama dan betapa jauh kejar mengejar secara diam-diam itu
berlangsung, tahu-tahu didapati oleh Coh Liu-hiang sampan kecil itu
membelok ke sebuah selokan gunung, rumput-rumput air di dasar selokan
gunung ini lebih banyak, malah terasa lebih dingin dan mengeluarkan
semacam bau yang menyeramkan. Sebetulnya ingin dia menongolkan
kepalanya di permukaan air untuk melihat beberapa kejap lagi dia lantas
mendengar suara sampan itu sudah mendekati dermaga dan orangnya pun
sudah mendarat.
Dia tetap tak menongolkan kepalanya, memang Coh Liu-hiang belum pernah
mencoba tahu berapa lama sebenarnya dirinya tahan berada didalam air,
yang terang Song Thiam-ji selalu beranggapan bahwa dirinya bisa
mendunia di bawah air, memang jauh lebih tenang dan tentram daripada di
daratan. Lama pula dia menunggu, masih tetap tak mendengar suatu apaapa.
maka dia mencomot sebongkah rumput air untuk menutupi kepalanya,
pelan-pelan dia pentang kedua matanya yang masih sedikit di bawah
permukaan air untuk melihat keadaan di atas.
Dia akhirnya melihat Sin cui kiong. Ini bukan lembah gunung didalam
kehidupan manusia lebih mirip kalau dikatakan sebuah gambar lukisan
panorama yang paling indah dikolong langit ini.
Teringat oleh Coh Liu-hiang akan cerita Soh Yong-yong, bahwa didalam
lembah gunung ini terdapat ratusan jenis burung-burung besar kecil, kini
burung-burung sedang tertidur, namun orang-orang penghuni lembah ini
justru belum tertidur. Diantara celah-celah dedaunan di dalam hutan
laksana lukisan itu, kelihatan titik titik sinar api yang membayangkan
bentuk bangunan pondok-pondok berloteng dan gubuk-gubuk mini yang
dibangun dengan bentuk yang berseni, pagar bambu dan atap alang-alang,
terbayang pula panorama indah dari curahan air yang tumpah dari langit.
Air terjun itu tumpah dari tempat ketinggian sehingga jatuhnya air yang
berhamburan laksana benang sutra dan butiran-butiran mutiara itu amat
deras, anehnya air terjun yang begitu besar seperti dituang dari langit ini
setelah airnya tumpah memenuhi danau kecil di sebelah bawahnya, getaran
tumpahnya air tak menimbulkan suara berisik, malah kedengarannya
seperti irama petikan harpa yang merdu sehingga amat mengasyikkan dan
menyejukkan kalbu, terang sekali didalam danau itu pasti dipasangi apa
sehingga mengurangi tekanan derasnya air mengerojok dari atas.
Ditengah hembusan angin lalu, sayup-sayup terdengar pula suara
rengketan bambu yang melambai ditiup angin, dikombinasi dengan suara
gemericiknya air, sehingga lembah gunung nan indah laksana sebuah lukisan
gambar ini terasa begitu aman tentram dan sejuk.
Tapi teringat pula oleh Coh Liu-hiang akan peringatan bibi Soh Yong-yong
yang bilang: "Jikalau kau sembarang mondar-mandir didalam lembah ini,
seketika kau akan ketimpa kemalangan" ditempat aman dan tentram
seperti ini, darimana pula datangnya malapetaka"
Lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah mendapat firasat kelihatannya lembah ini
memang tenang dan tentram, hakikatnya Sin cui kiong bukanlah sebuah
tempat suci bersih seperti yang tersiar diluaran. Pasti di lembah ini
tersembunyi suatu rahasia besar yang menakutkan dan mengejutkan
masyarakat umumnya bila segalanya sudah terbongkar.
Kedatangan ini bukan saja hendak memberi penjelasan salah paham
kepada Cui bo "induk air" im ki, diapun sudah bertekad untuk menyelidiki
rahasia yang terpendam itu, maka segala gerak-gerik dan langkahnya harus
amat hati-hati dan perhitungan dengan seksama.
Sampan kecil itu masih terapung di atas air terikat seutas tali yang
ditambatkan pada sebuah pohon. namun Kionglam Yan pula sudah tak
kelihatan bayangannya. Lembah sebesar ini, tenggelam didalam suasana
hening tak kelihatan bayangan seorangpun, Coh Liu-hiang jadi ragu-ragu
dan kebingungan dari mana dia harus mulai bergerak atau turun tangan.
Setelah menimang-nimang sebentar, tiba-tiba teringat akan pengalaman
Bu Hoa seperti yang diceritakan Cay Tok hing menurut buku catatan Bu
Hoa sendiri, setiap persoalan yang terjadi, semuanya bersumber dari
sebuah kuil Nikoh kecil didalam lembah ini. Waktu dia mendongak ke atas
sana, benar juga di kaki bukit sana memang terdapat sebuah kuil kecil.
Apakah Induk Air bersemayam didalam kuil kecil itu" Coh Liu-hiang sudah
bertekad apapun yang terjadi dia akan masuk terlebih dulu ke kuil kecil
itu. Sinar pelita didalam kuil amat guram, mata apinya yang kelap-kelip
sebesar kacang laksana kunang-kunang yang kelap-kelip dimalam hari.
Hampir setengah jam Coh Liu-hiang menghabiskan waktu untuk menyusup
tiba kearah kuil kecil itu, dia yakin dirinya pasti tak mengeluarkan suara
yang lebih keras dari bunyi nyamuk terbang. Meski dari pinggir sungai ke
kuil kecil itu bukan jarak yang jauh, tapi di kolong langit ini kecuali Coh
Liu-hiang seorang, mungkin tiada orang kedua mencapai ke tempat
tujuannya. Kuil kecil ini terbenam di dalam kesunyian tak kelihatan bayangan
seorangpun, segalanya bersih tak berdebu, sampai pun undakan batu di
luar pintu kuilpun tercuci bersih sampai mengkilap laksana kaca, sehingga
orang bisa bercermin di sana. Sebuah pelita dengan mata api sebesar
kacang, kelap-kelip di depan sebuah kain gordyn yang menjuntai turun
menutup pemujaan di sebelah dalamnya. Cukup lama Coh Liu-hiang sudah
memeriksa keadaan sekelilingnya dengan cermat, setelah yakin di
sekitarnya memang tiada orang, baru dia berani mencelat masuk ke dalam.
Dia tahu didalam kuil kecil ini pasti terdapat sebuah jalan rahasia di
bawah tanah, bukan mustahil menembus ke tempat kediaman Induk Air Im


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ki, tapi dimanakah letak dari mulut jalan rahasia itu" Di depan meja
pemujaan terdapat dua buah kasur bundar ini" Dengan hati-hati Coh LiuKoleksi
Kang Zusi hiang memindahkan kedua kasur bundar tempat duduk samadhi itu. tapi
bawah kasur itu dan ini merupakan batu yang rata pula, dengan menghela
napas dia merasa kecewa dan putus asa, pelan-pelan sorot matanya beralih
ke arah tempat pemujaan yang teraling kain gordyn. Tak tahan dia sudah
ulurkan tangan hendak menyingkap kain gordyn itu.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar helaan napas. Helaan
napas ini amat lirih, tetapi bagi pendengaran Coh Liu-hiang sekarang
helaan napas ini laksana guntur yang menggelegar di pinggir telinganya,
ingin dia mundur, tapi dia insaf sudah tak keburu lagi mengundurkan diri.
Di bawah penerangan api kuning itu, tampak olehnya sesosok bayangan
putih laksana sukma gentayangan saja tahu-tahu orang mucul dari bawah
tanah, kini orang sedang berdiri tegak di tempatnya mengawasi Coh Liuhiang.
Terdengar orang menghela napas serta berkata: "Sudah dua puluh
tahun tempat ini tak pernah mengalirkan darah, buat apa kau ingin mati di
sini?" Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang kucek-kucek hidungnya, sahutnya:
"Bicara terus terang, aku sih tidak ingin mati." kini dilihatnya dengan jelas
orang adalah perempuan yang amat cantik, cuma sang waktu yang tak kenal
kasihan sudah meninggalkan bekas yang tak kenal perasan, sungguh amat
kasihan. Walaupun sorot matanya dingin kaku, namun tidak mengandung nafsu
membunuh atau maksud jahat. Apakah dia ini Induk Air Im Ki yang amat
ditakuti oleh tokoh-tokoh silat di seluruh jagat itu" Nyonya cantik
pertengahan umur yang berpakaian serba putih ini tengah berdiri tenang
mengawasinya. Coh Liu-hiang unjuk tawa dibuat-buat, katanya pula: "Kedatangan Wanpwe
kemari tidak lebih hanya ingin berhadapan langsung dan melihat muka
Kiong-cu sekali saja."
Nyonya ayu serba putih itu geleng-geleng kepala, ujarnya: "Aku bukan
orang yang ingin kalian temui, kalau tidak masakah kau sekarang masih bisa
hidup?" Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya : "Lalu Cianpwe adalah..."
"Orang yang sudah dekat ajal, buat apa kau tanyakan nama orang lain?"
"Kalau Cianpwe hendak bunuh aku, kenapa tidak segera turun tangan?"
"Aku tak bisa turun tangan. Didalam dunia ini aku hanya punya seorang
famili, masakah aku tega membunuh lelaki pujaan hatinya?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya: "Cianpwe tahu aku adalah..."
Tertawa getir nyonya ayu itu, ujarnya pula: "Kecuali Coh Liu-hiang si
Maling Romantis, dalam dunia ini siapa yang mampu mendatangi tempat ini"
Memangnya siapa pula yang bernyali begitu besar"
Coh Liu-hiang menjura dengan hormat, katanya: "Sudah lama Wanpwe
dengan Yong-ji mengatakan tentang kau orang tua, hari ini dapat
berhadapan dengan kau orang tua sungguh merupakan keberuntungan dan
nasib baik Wanpwe."
"Akupun pernah dengar Yong-ji bercerita tentang dirimu, jikalau bukan
kau, entah Yon-ji bakal keluyuran kemana dan jadi apa sekarang, untuk
membalas budi kebaikanmu itu maka sekarang akupun tidak akan
mempersulit dirimu." lalu dia celingukan ke sekeliling, katanya lebih lanjut:
"Untung hari ini giliranku berjaga dan meronda, orang lain tidak akan
datang kemari, lekas kau menyingkir."
"Wanpwe sudah berada di sini, betapapun Wanpwe ingin berhadapan
dengan Im-kiong cu."
Nyonya setengah umur itu seketika menarik muka, katanya bengis:
"Selamanya kau takkan bisa menemuinya, kecuali kau memang sudah
bertekad hendak mati disini."
"Mohon kau orang tua suka memberi penerangan jalan, Wanpwe sudah
amat berterima kasih, soal lain, sekali kali Wanpwe takkan berani mohon
bantuan dan mencapaikan Cianpwe."
Bahwasanya nyonya setengah umur tidak hiraukan dirinya, katanya
mengulap tangan: "Lekas pergi, terlambat sedikit, kau tidak akan bisa lolos
lagi, lekas."
Seolah-olah Coh Liu-hiang tidak mengerti apa yang dianjurkan orang,
katanya sambil bersoja: "Wanpwe tahu di sini ada sebuah jalan rahasia."
"Jalan rahasia?" berubah muka nyonya pertengahan umur, "Jalan rahasia
apa?" Melihat dirinya menyinggung "jalan rahasia" muka orang lantas berubah
hebat. Coh Liu-hiang tahu bahwa jalan rahasia itu pasti mempunyai arti
yang amat besar sekali. Maka dia semakin membandel, katanya unjuk tawa:
"Kalau di sini tiada jalan rahasia, kau orang tua muncul darimana?"
Agaknya nyonya pertengahan umur menjadi gusar, dampratnya:
"Memangnya kau sudah bosan hidup?"
"Kalau Cianpwe tak mau menerangkan, terpaksa Wanpwe biar mati di sini
saja." Dengan tajam nyonya setengah tua ini menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat,
sungguh belum pernah dia berhadapan dengan lelaki sekukuh ini, lebih tak
pernah terbayang olehnya dalam keadaan genting ada orang masih dapat
tersenyum simpul seriang itu.
Tapi Coh Liu-hiang memang amat tabah dan berani, orang tak menjawab,
diapun berdiri diam dan menunggu dengan sabar. Pada saat itulah suara
paduan musik yang mengalun sayup-sayup itu seperti menjadi cepat dan
keras laksana butiran air hujan yang berjatuhan di atas daun pisang,
seperti mutiara yang bergelimpangan di atas nampan berderai cepat tak
putus-putus. Rona muka nyonya tua ini seketika berubah pula, tanyanya dengan kereng:
"Siapa lagi yang datang bersama kau?"
"Hanya Wanpwe seorang saja, tiada..."
Gelisah dan gugup air muka nyonya setengah tua ini tukasnya: "Irama
musik memberi tanda ada orang luar yang menerjang masuk ke dalam
lembah, jikalau bukan teman-temanmu memangnya siapa mereka?"
Baru sekarang Coh Liu-hiang betul-betul terkejut, baru sekarang pula dia
tahu betapa kuat penjagaan pihak Sin cui kiong, sampaipun irama musik
laksana lagu-lagu dewata itupun merupakan alat pertanda untuk memberi
isyarat bagi mereka.
Cepat sekali nyonya setengah tua ini melangkah ke ambang pintu, lalu
melongok keluar, cepat sekali dia sudah mundur kembali, katanya bengis:
"Meski sekarang orangnya belum tiba tapi begitu isyarat musik mengalun
tinggi, semua petugas akan segera menempati pos-pos penjagaan masingmasing
siapapun kalau berani masuk selangkah ke dalam lembah, jangan
harap dia dapat kembali pula, kenapa tak lekas kau berlalu, kau tetap
tinggal di sini memangnya kaupun ingin menyeret aku ke dalam jurang
nista?" Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Kalau lembah ini sudah menjadi
lembah buntu, mungkin burungpun takkan bisa terbang lolos, lalu Wanpwe
harus menyingkir kemana?"
"Kau... boleh kau mencari sesuatu tempat dulu untuk sembunyi sementara,
setelah kejadian berlalu, akan ku usahakan bantu kau keluar."
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya sambil mengucek-ngucek
hidung: "Jikalau Wanpwe sembarangan bertindak, mungkin setiap langkah
bakal menghadapi mara bahaya. Wanpwe juga tak tahu kemana
menyembunyikan diri lebih baik, kecuali Cianpwe mau memberitahu jalan
rahasia itu, biarlah Wanpwe sembunyi disana sementara."
"Jalan rahasia, jalan rahasia apa?" dengus nyonya setengah tua
membanting kaki gegetun. "Kau hanya tahu di sini ada jalan rahasia,
tahukah kau sentral daripada jalan rahasia ini berada di kamar tidur
Kiongcu, orang hanya bisa keluar dari dalam, tak bisa masuk dari luar."
Coh Liu-hiang tertegun, seketika hatinya mencelos.
Tatkala itu, irama musik yang cepat mulai lamban lagi tapi Coh Liu-hiang
sudah tahu didalam irama musik yang kalem ini, setiap langkah orang yang
memasuki lembah ini selalu diincar oleh mara bahaya yang menantikan,
diapun tahu sikap gelisah nyonya setengah tua dihadapannya ini jelas bukan
pura-pura belaka, pihak Sin cui kiong bila tahu dia bersekongkol dengan
musuh menghianati perguruan, dapatlah dibayangkan akibat yang harus dia
terima. Maka Coh Liu-hiang tak banyak bicara lagi, katanya dengan menjura:
"Terima kasih akan petunjuk Cianpwe." belum habis ucapannya badannya
sudah berputar, melesat keluar.
Nyonya setengah tua agaknya hendak mengejar keluar, tapi segera dia
hentikan langkah pula, dari sorot kedua matanya yang indah itu terpancar
rasa derita yang tak terperikan, katanya seperti menyesal: "Yong-ji jangan
kau salahkan aku, bukan aku tak ingin menolongnya, sebetulnya aku
sendiripun tak kuasa lagi menolongnya." dia tahu begitu Coh Liu-hiang
melangkah keluar dari kuil kecil ini itu berarti dia melangkah ke arah
kematiannya. Malam sudah berlarut lagi, setiap tempat sama gelap semua kelihatan
adalah tempat baik untuk menyembunyikan diri, tapi Coh Liu-hiang tahu
ditempat tempat gelap itulah bukan mustahil tersembunyi perangkapperangkap
yang bisa merenggut jiwa orang, setiap tempat yang
kelihatannya amat tersembunyi mungkin pula bakal memancing orang masuk
ke dalam jebakan, selangkah saja bila dia salah injak, bukan mustahil jiwa
bakal melayang seketika.
Akan tetapi dia tak bisa berdiri demikian saja, lembah nan indah dan
permai ini, boleh dikata tiada suatu tempat yang cocok untuk dirinya
berpijak. Hembusan angin melambaikan daun-daun pohon, seolah-olah didengarnya
lambaian pakaian orang yang mendatangi terhembus angin tiba-tiba tampak
oleh Coh Liu-hiang dari kejauhan sesosok bayangan putih berkelebat,
tujuannya adalah tempatnya ini.
Bila dirinya sedikit ayal, jejak dan bayangannya pasti dilihat orang itu.
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang bertaburan diangkasa raya,
permukaan air danau yang tenang itu laksana sebongkah cermin besar nan
memutih perak amat semarak.
Cepat sekali tiba-tiba Coh Liu-hiang meluncur kearah danau kecil itu.
Permukaan danau yang tenang itu hanya menimbulkan riak tak berarti dari
pusaran air yang berkembang semakin membesar, belum lagi riak air
kembali menjadi tenang, tahu-tahu sesosok bayangan putih sudah melayang
datang. Bayangan putih ini boleh dikata hampir sama cantiknya dengan Kionglam
Yan gaya luncuran badannya begitu gemulai dan indah, biji matanya yang
bening mengerling tajam sekilas dia mengerut kening, serunya perlahan:
"Sam-ci."
Nyonya setengah tua dalam kuil segera melangkah keluar menyongsong
kedatangannya, sahutnya : "Ada apa?"
"Barusah seperti kulihat ada sesosok bayangan orang, adakah Sam-ci
mendengar sesuatu suara di sini?"
"Lho, kok tidak." sahut nyonya setengah tua tertawa. "irama musik
memberi peringatan jelas orang luar belum lagi masuk lembah mana bisa
tiba di sini."
Berkilat tajam pandangan gadis ini, mulutnya menggumam: "Memangnya
aku yang salah lihat" Aneh juga."
Nyonya tua setengah umur tertawa dingin katanya: "Kio-moay, meski
sepasang mata malammu amat lihay, tapi aku toh bukan orang picak atau
tuli, jikalau di sini ada orang, masakah sedikitpun aku tidak melihat atau
mendengar suara?"
Gadis itu segera unjuk tawa, katanya: "Sam-ci kenapa marah, aku hanya
bertanya sambil lalu saja."
Baru sekarang nyonya setengah tua unjuk tawa juga katanya: "Hati-hati
memang baik, cuma kalau benar disini ada orang luar, kemanakah dia"
Memangnya dia bisa menghilang?"
"Memangnya! Kecuali dia terjun ke dalam danau, kalau tidak kapanpun dia
menyembunyikan diri pasti akan menyentuh tombol peringatan, tapi, bila
benar dia berani terjun ke danau, sedikitnya toh mengeluarkan suara,
kecuali dia memang siluman ikan." lalu dia mengulap tangan kepada nyonya
setengah tua, katanya pula: "Tamunya mungkin segera akan tiba, biar aku
pergi periksa ke tempat lain, Sam-ci boleh kau mulai mempersiapkan diri.
Kalau orang berani menerjang masuk kemari, betapapun kita jangan
mengecewakan mereka." tampak laksana burung bangau melayang cepat
sekali bayangan putihnya sudah melesat lewat dari permukaan danau,
dalam sekejap sudah menghilang tak kelihatan lagi.
Mengawasi permukaan danau nyonya setengah tua ini melongo sekian
lamanya, katanya seorang diri: "Melarikan diri dari kematian, terhitung
nasibmu baik, mara bahaya masih selalu mengintai, hati-hati dan
waspadalah."
Begitu selulup ke dalam air, jantung Coh Liu-hiang masih berdetak dengan
keras. Dalam waktu sesingkat tadi, boleh dikata antara mati dan hidup
sudah tiada jaraknya lagi, tapi sekarang dia sudah selamat, paling tidak
selamat sementara waktu.
Aneh benar air danau ini, luar biasa bening, seolah-olah dirinya berada di
dunia kaca, sinar bintang-bintang diangkasa dengan jelas dapat terlihat
dari dasar danau. Dasar danau ini ditaburi pasir putih seperti berlomba
dengan bintang-bintang diangkasa, pasir-pasir inipun kelap-kelip
memancarkan sinar.
Di dasar danau boleh dikata Coh Liu-hiang sebebas di atas daratan
menghirup hawa nan segar. Entah di lautan teduh, sungai atau kali, danau,
sampaipun danau air asin, serta air keruh di Kanglam, terhadap sifat-sifat
setiap air yang berbeda satu sama lain ini, boleh dikata Coh Liu-hiang
sudah amat paham seperti memahami jari-jarinya.
Dunia indah yang aneh-aneh di dasar air, justru merupakan tempat
tamasya paling disenangi. Setiap tetumbuhan atau binatang yang hidup di
dasar air, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya, sembarang waktu dia
bisa menyebut atau memanggil satu persatu nama-nama yang pernah
dilihatnya. Akan tetapi saat ini didalam relung hatinya seperti mendapat firasat
jelek, hatinya tidak tentram. Danau kecil didalam lembah permai ini
ternyata merupakan danau mati, didalam air ternyata tiada satupun
binatang atau tetumbuhan yang hidup, tiada ikan, udang atau keong dan
sebangsanya, sampaipun rumput-rumput airpun tidak kelihatan.
Coh Liu-hiang merasa seolah-olah dirinya berada di dalam kota yang asing
dan sunyi tak berbentuk meski kota ini serba rapi, bersih dan teratur
namun bayangan seorang pendudukpun tidak kelihatan.
Danau kecil ini sekelilingnya ditaburi atau dipagari batu-batu raksasa
warna putih dan hijau, air terjun yang tercurah dari atas berjatuhan di
permukaan air hingga menimbulkan banyak buih-buih besar kecil yang
berenceng seperti mutiara. Kalau orang lain dapat selulup dan sembunyi
didalam dasar danau yang tenang dan seindah ini pasti merasa dirinya amat
aman takkan mengalami gangguan apapun. Tapi Coh Liu-hiang justru merasa
tempat ini rada ganjil dan menunjukkan gejala-gejala yang kurang benar,
setelah dia berhasil menemukan suatu tempat sembunyi yang dirasa aman
dan terahasia diantara celah-celah batu-batu besar barulah deburan
jantungnya mulai mereda dan legalah hatinya.
Selanjutnya teringat olehnya dua hal yang terasa amat aneh sekali. Kalau
toh rahasia di sini hanya bisa masuk tak bisa keluar, lalu untuk apa Induk
Air Im Ki membikin jalan rahasia di bawah tanah ini" Bertepatan dengan
kehadiran dirinya, ada lain orang pula yang menerjang masuk ke dalam Sin
cui kiong, memangnya siapakah mereka"
Badan Coh Liu-hiang kebetulan persis bisa menyusup masuk ke celah-celah
batu itu, kedua batu raksasa ini masing-masing ada sebagian yang menongol
keluar di permukaan air, tak tahan Coh Liu-hiang juga ingin menongolkan
kepalanya keluar untuk melihat keadaan di daratan. Dengan rebah miring
memiringkan badan hanya kedua matanya saja yang menongol ke luar,
bayangan gelap kedua batu besar ini kebetulan melindungi dirinya, terasa
olehnya bahwa keadaan dan tempat persembunyiannya ini amat tepat dan
baik sekali, orang takkan gampang menemukan persembunyiannya.
Bahwasanya dia memang amat getol ingin tahu siapa sebenarnya orang lain
yang berani meluruk ke dalam Sin cui kiong ini. Suasana dalam lembah
tetap tenang dan tentram, dengan rebah didalam air, hanya
memperlihatkan separo mukanya saja untuk memandang lembah ini,
perasaannya sungguh jauh berbeda dengan perasaan waktu dirinya berada


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didalam lembah tadi. Segala pemandangan yang terlihat dari sini seolaholah
berada ditempat yang jauh, lebih samar-samar, seluruhnya seperti
bukan pemandangan yang nyata, hanya mirip sebuah lukisan, sebuah impian
belaka. Tapi Coh Liu-hiang tiada selera untuk menikmati keindahan panorama
laksana lukisan atau impian ini, dia hanya memperhatikan tempat-tempat
gelap yang amat misterius dan ganas itu. Sampai detik ini, dia masih belum
membayangkan seorang manusiapun.
Agaknya ia tak perlu menunggu terlalu lama, tiba-tiba dilihatnya tiga
sosok bayangan orang laksana anak panah pesatnya dari tempat yang
berjauhan dimulut lembah sana menerjang masuk, ilmu Ginkang ketiga
orang ini sama-sama tinggi dan hebat. Agaknya ketiganya sama-sama nekad
dan merasa tak perlu main sembunyi-sembunyi lagi, langsung mereka
kembangkan kemahiran masing-masing, dengan gesit dan enteng serta
cepat sekali meluncur ke arah air terjun itu.
Di bawah penerangan cahaya bintang, raut muka mereka hanya kelihatan
berkelebat sekejap ditengah kegelapan, tiba-tiba terkesiap darah Coh Liuhiang,
hampir saja dia menenggak sekumur air danau. Ternyata ketiga
bayangan orang itu adalah Ui Loh-ce, Oh Thi-hoa dan Cay Tok-hing.
Bertepatan dengan kedatangan mereka, dari empat penjuru serempak
bermunculan puluhan bayangan serba putih, ada yang berdiri dibawah
pohon, ada pula yang melambai lambai berterbangan terhembus angin
laksana serombongan setan gentayangan.
Agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing bertigapun amat kaget,
cepat sekali mereka anjlok turun dari tengah udara, serempak tancap kaki
di salah satu batu besar yang berada di sisi danau. Tiga orang sama berdiri
beradu punggung, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Tapi orang-orang serba putih itu tidak menubruk maju menyerang mereka,
mereka hanya berdiri dikejauhan dan mengawasi mereka diam saja,
keheningan yang aneh mencekam perasaan sehingga napaspun segera
sesak. Dasar berangasan akhirnya Oh Thi-hoa yang nyeletuk lebih dulu dengan
lantang: "Apakah tempat ini adalah Sin cui kiong?"
Entah siapa yang menjawab dari tempat kejauhan dengan nada dingin:
"Kalau kalian sudah berani masuk kemari, memangnya masih belum tahu
tempat apa di sini sebenarnya?"
Oh Thi-hoa ngakak dulu baru menjawab: "Bagi orang pertama yang datang
bertandang ke tempat orang, adalah jamak kalau pakai basa-basi lebih dulu
apakah tidak salah tempat yang didatanginya."
"Kau tepat mencari tempat yang kau tuju." jawab seseorang.
Seorang yang lain menambahkan: "Kalian orang dari mana" Untuk
keperluan apa dan ada petunjuk apa pula?"
Suara pembicara orang terakhir rada lembut dan tahu sopan santun, dari
tempat persembunyiannya Coh Liu-hiang tahu bahwa suara terakhir ini
diucapkan nyonya setengah umur yang dihadapinya tadi didalam kuil.
Agaknya Oh Thi-hoa masih ragu-ragu. Ui Loh-ce lantas berkata lantang:
"Cayhe Ui Loh-ce dari Liu-ciu yang ini adalah angkatan tertua dari Kaypang
Cay Toh-hing Cay-loyacu dan yang termuda ini adalah Oh Thi-hoa yang
menggemparkan seluruh jagat."
Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli ditempat persembunyiannya,
batinnya: "Memang tidak malu orang ini disebut seorang Kuncu, setiap
kata-katanya jujur dan sesuai dengan kenyataan."
Memangnya Ui Loh ce, Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa masing-masing
merupakan tokoh-tokoh silat yang sama-sama menjagoi didalam bidangnya
masing-masing, mereka adalah para tokoh-tokoh besar yang pernah
menggetarkan dunia persilatan, boleh dikata sebagai orang gagah yang
dapat menggemparkan sebuah kota meski mereka cukup hanya
membanting-banting kaki saja.
Akan tetapi mendengar perkenalan nama-nama mereka, murid-murid Sin
cui kiong itu tiada yang memberikan reaksi apa-apa, nyonya setengah umur
yang serba putih juga hanya mengiakan sekali, katanya: "Bagus sekali,
silahkan kalian menanggalkan senjata, tunggulah hukuman yang kita
putuskan!"
Oh Thi-hoa terloroh-loroh dengan menengadah, serunya: "Meletakkan
senjata terima di hukum" Apa-apaan ucapanmu ini" Sungguh aku tidak tahu
apa maksudmu?"
Berkerut alis nyonya setengah umur itu, katanya menghela napas ringan:
"Semutpun takut mati, memangnya kalian memang ingin mampus?"
Agaknya Ui Loh-ce kuatir Oh Thi-hoa terlalu kurang ajar, segera dia
menyela dengan bersoja: "Kedatangan Cayhe bertiga tak bermaksud jahat,
kami hanya ingin mencari dua teman kami"
"Teman apa?" kedengaran bengis dan berwibawa teriakan nyonya
setengah umur, "Tahukah kau tempat apa ini" Darimana ada dua temanmu
di sini?" "Sudah tentu mereka bukan murid-murid perguruan kalian, namun..."
Berobah rona muka nyonya setengah umur, tukasnya: "Disini terang tak
ada orang luar yang berani kemari, di seluruh kolong langit siapapun tiada
yang punya nyali sebesar gunung seperti kalian berani ditengah malam buta
rata ini menyelundup ke dalam Sin Cui kiong.
Ui Loh-ce dan Oh Thi-hoa beradu pandang sebentar, raut muka mereka
amat prihatin dan rada tegang. Berkata Ui Loh-ce dengan kereng:
"Mungkin mereka belum kemari."
Oh Thi-hoa ikut menimbrung dengan tawa dingin: "Kau kira mereka
seperti kau, ini adalah Kongcu, memangnya mereka mau bicara dengan
jujur dan blak-blakan seperti kau?"
Gadis yang meronda di sepanjang pinggiran danau itu tiba-tiba mencelat
keluar, bentaknya bengis: "Kalian orang-orang yang sudah dekat ajal,
hakekatnya kita tak perlu banyak bicara lagi dengan kalian."
Belum sempat Ui Loh ce buka suara, Cay Tok hing sudah tak kuasa
menahan gusar, bentaknya: "Aku orang tua memangnya malas bicara
dengan kalian, lekas panggil Induk Air Im Ki keluar untuk berhadapan
dengan kami."
Gadis itu tertawa dingin, ejeknya: "Baik setelah mampus, akan kubawa
kalian menghadap kepada Beliau."
Belum lagi gadis ini bicara habis, Coh Liu-hiang sudah tahu perkelahian
takkan dapat dielakkan lagi, karena orang lain mungkin bisa merasa dongkol
dan marah oleh kekasaran pihak Sin cui kiong, tapi Oh Thi-hoa justru
terhadap siapapun dia tidak mau dibikin marah. Betul juga belum lagi
ucapan gadis berakhir, tiba-tiba terdengar dua kali hardikan laksana
geledek. Oh Thi-hoa dan Cay Tok hing tanpa berjanji serentak menerjang
maju. Cay Toh hing menggunakan sebatang pentung pendek, memang bagi muridmurid
Kaypang yang biasa kelana di Kangouw, kecuali bergaman Pak-kaupang
"pentung penggebuk anjing" dilarang menggunakan alat senjata
macam lainnya. Itulah undang-undang dan peraturan tradisi sejak cikal
bakal pendiri Kaypang dulu.
Sementara Oh Thi-hoa bisanya teramat agulkan diri dengan sepasang
telapak tangannya, setiap kali berhadapan bergebrak dengan musuh belum
pernah dia menggunakan senjata, tapi sekarang entah darimana dia
memperoleh sebilah golok lepit. Golok lepit ini selalu tersembunyi dibalik
lengan bajunya kini begitu sinar golok berkelebat, jurus Pat hong hing ih
ternyata dilancarkan dengan perbawa yang hebat luar biasa, jelas
permainan dan tipu-tipu goloknya takkan lebih asor dari tokoh ahli golok
yang manapun dikolong langit.
Coh Liu-hiang tahu orang memang sengaja hendak pamer sekaligus hendak
mengatasi dan menundukkan gerak-gerik gemulai pihak Sin cui kiong yang
lincah laksana air mengalir dengan kekerasan ilmu goloknya yang kuat, jadi
dia menampilkan keunggulan kepandaiannya untuk menandingi ilmu lunak
mengatasi kekerasan pihak Sin cui kiong.
Nyonya setengah tua serba putih itu jadi naik pitam, bentaknya: "Selama
duapuluh tahun, selamanya tak ada orang yang berani main senjata
ditempat ini, sungguh tidak kecil nyali kalian." ditengah seruan aba-abanya,
tahu-tahu tujuh delapan gadis yang serba putih pula serentak terjun ke
dalam gelanggang, masing-masing menyerang kepada Cay Tok hing dan Oh
Thi-hoa. Gerak-gerik mereka ternyata memang sangat lincah dan gemulai
seperti orang sedang menari, tapi kegesitan dengan ilmu Ginkang yang
tinggi sungguh amat luar biasa.
Ui Loh ce lekas berteriak: "Ada omongan marilah dibicarakan, kenapa
harus main kekerasan?" Sayang belum lagi habis kata-katanya tahu-tahu
tiga orang sudah mengelilingi dirinya, bayangan telapak tangan laksana
kupu-kupu yang menari-nari diantara rumpun kembang, dari delapan
penjuru angin serempak sama menepuk dan menghajar ke atas badannya.
Apa boleh buat terpaksa Ui Loh-ce melolos pedangnya, "Sring" laksana
naga berpekik, sebatang pedang panjang yang kemilau dengan sinarnya
yang mencorong terang berubah selarik bianglala. Meski ilmu silatnya
mengutamakan mantap dan berat, tapi tidak malu dia dinamakan sebagai
seorang Sosiawan, tapi jurus dan tipu permainan pedangnya sungguh tak
kalah ganas dan keji. Lwekangnya tinggi pula memang tidak malu dia
dijunjung sebagai maha guru silat yang ahli dalam bidang ilmu pedang pada
jaman kini. Irama musik dikejauhan kembali menjadi cepat, agaknya mereka sudah
insaf, ketiga orang yang mereka hadapi sulit ditundukkan, maka ditengah
irama musik yang sayup-sayup itu hawa pedang dan sinar golok sudah
berkelebatan memenuhi seluruh lembah permai ini.
Empat orang yang menghadapi Oh Thi-hoa agaknya yang paling makan
tenong dan mati kutu, soalnya Ui Loh ce dan Cay Toh hing tahan gengsi dan
anggap kedudukan tinggi dan angkatan tua, maka mereka turun tangan
dengan perhitungan dan tak terlalu keji.
Sebetulnya Oh Thi-hoa menguatirkan keselamatan jiwa Coh Liu-hiang,
besar niatnya hendak merobohkan semua murid-murid Sin cui kiong, maka
serangan goloknya tak mengenal kasihan lagi. Tampak permainan goloknya
laksana naga terbang, golok diputar seperti harimau ngamuk, meski
permainan telapak tangan murid-murid Sin cui kiong mempunyai perubahan
ribuan variasi rumit dan susah dijajagi, namun mereka tetap terdesak di
bawah angin. Maklumlah meski murid-murid perempuan Induk Air Im Ki ini mendapat
didikan langsung dari ilmu kepandaian gurunya yang tiada taranya itu, apa
boleh buat mereka tak punya pengalaman tempur, maka sering mereka
selalu kehilangan inisiatif dan kena didahului oleh Oh Thi-hoa.
Sebaliknya Oh Thi-hoa, Cay Tok hing sama-sama merupakan tokoh silat
yang entah sudah digembleng berapa ratus atau ribuan kali didalam
pertempuran di medan laga, bukan saja mereka pasti tak akan menyianyiakan
kesempatan yang paling baik, malah setiap jurus tipu yang
dilancarkan pasti diperhitungkan dengan tepat dan telak, setiap orang
sama tahu pada detik yang bagaimana harus melontarkan serangan apa,
yang diserang adalah titik kelemahan pihak lawan.
Maka menurut situasi pertempuran sekarang ini, meski pihak Oh Thi-hoa
unggul di atas angin, akan tetapi umpama nanti mereka benar memperoleh
kemenangan, apa pula guna manfaatnya"
Induk air Im Ki sendiri belum lagi unjukan diri, nyonya setengah umur,
Kionglam Yan dan mungkin tenaga-tenaga andalan yang diutamakan dalam
kekuatan Sin cui kiong sekarang belum lagi muncul semua dan ikut turun
tangan. Cepat atau lambat yang pasti pihak Oh Thi-hoa bertiga yang
akhirnya akan kalah.
Saking tegang hampir saja Coh Liu-hiang lupa diri hendak keluarkan
setengah badannya ke permukaan air. Baru sekarang dia benar-benar
menyadari, melihat orang lain atau teman baiknya sendiri bergebrak
dengan orang, sungguh jauh lebih tegang dari diri sendiri yang turun
gelanggang. Maka ingin rasanya segera terjang keluar terjun ke tengah
pertempuran, tapi diapun tahu bila dirinya berbuat demikian, maka mereka
berempat mungkin bakal sama-sama terkubur ditempat ini.
Untuk mengakhiri pertempuran dan membereskan segala persoalan Coh
Liu-hiang berpendapat dia harus selekasnya menemukan titik
kelemahan Induk Air Im Ki lalu secara tak terduga baru menyergap dan
membekuknya. Dia sudah memperhitungkan cepat atau lambat Im Ki
sendiri pasti akan muncul. Asal orang muncul, maka dia pasti muncul maka
dia pasti bisa mencari kesempatan. Kalau Coh Liu-hiang amat gelisah dan
gundah ditempat persembunyiannya, sebaliknya murid-murid Sin cui kiong
jauh lebih gelisah lagi. Biasanya mereka terlalu mengagulkan diri,
selamanya tidak pandang sebelah mata kepada siapapun, mereka sama
berpendapat asal salah satu diantara mereka mau turun tangan, dengan
mudah akan bisa meringkus musuh satu persatu.
Diluar dugaan hari ini mereka justru kebentur tiga tokoh-tokoh puncak
persilatan yang sama memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya, untung
mereka terdiri dari murid-murid Sin cui kiong kalau ditempat lain perduli
dimanapun, pastilah siang-siang sudah diinjak-injak dan diratakan dengan
bumi oleh mereka bertiga. Bila ketiga orang ini bergabung dan berjuang
mati-matian, dikolong langit ini mungkin sulit dicari tandingan yang lebih
kuat dari kekuatan kerja sama mereka bertiga.
Sekonyong-konyong terdengar suara keluhan kaget, seorang gadis baju
putih tiba-tiba bersalto menjerit mundur ke belakang, tangan kirinya
memegangi lengan kanan, darah segar mengucur deras dari celah-celah
jarinya. Oh Thi-hoa terloroh-loroh seperti orang kesurupan: "Kalau tidak pandang
kau ini seorang perempuan, tebasanku ini sudah merenggut jiwanya."
Gadis yang dipanggil Kin moay itu tertawa dingin: "Golokmu, deras tak
bertenaga, berangasan tak punya tipu daya, ilmu silat seperti ini, berani
juga buat jual lagak?"
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Kalau demikian, ilmu silatmu tentu boleh
sekali, hayolah maju, aku ingin melihat."
"Memangnya kau harus melihat kepandaianku." damprat Kin moay.
Ditengah hardikannya tahu-tahu dia sudah terjun ke dalam arena
pertempuran, tiga gadis yang lain sebenarnya sudah serempak melontarkan
serangan, tapi sepasang tangan dengan jari-jari runcing Kiu moay tahutahu
sudah menyelonong tiba di depan mata Oh Thi-hoa lebih dulu.
Oh Thi-hoa menegakkan goloknya dengan punggung menghadap keluar,
tajam goloknya terus membalik dan dipelintir ke arah muka, jikalau
serangan Kiu moay ini tidak segera diurungkan atau ditarik kembali, jarijarinya
yang halus dan manis itu bakal memapak tajam golok dan pasti
protol seluruhnya.
Tapi gerak perubahan permainan tipu-tipu serangannya sungguh hebat
sekali, pergelangan tangan membalik, tahu-tahu tangannya menukik
mencengkeram pipi kiri Oh Thi-hoa. Gerak perubahan serangan ini amat
wajar, sedikitpun tidak dipaksakan dan bergerak dengan lancar, tetapi
justru karena perubahannya ini terlalu lancar dan seperti mengikuti riilnya,
maka Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan dan pengalaman dimedan laga,
siang-siang sudah memperhitungkan dan menduga akan posisi dan sasaran
yang diincarnya. Tahu-tahu sudah menunggu pula serangan jari-jari tangan
orang. Kiu moay sendiri tidak tahu dan menginsafi bahwa pengalaman tempurnya
sendiri yang terlalu cetek, perhitungan dan ketegasan mengincar sasaran
kurang tepat, maka dia mengira lawan sebelumnya sudah amat apal dan
tahu gerak permainan serta perubahan tipu-tipu serangannya, keruan
hatinya jadi amat kaget, maka gerak-gerik selanjutnya perubahan
serangannya tidak selincah dan seganas semula.
Oh Thi-hoa tertawa lebar, katanya: "Tipunya cepat lihai tapi tidak punya
tenaga, ada hati tapi kurang berani, ilmu silat seperti ini juga berani pamer
di hadapanku. jikalau aku tidak kenal kasihan terhadap dara-dara ayu
secantik kau ini, jari-jari landakmu itu sejak tadi sudah protol seluruhnya."
"Jari-jari landak" ibarat ini sungguh amat tepat sekali pemakaiannya,
hampir saja Coh Liu-hiang terpingkal-pingkal didalam air mendengar
banyolah temannya yang satu ini, tapi dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kali ini
bukannya sedang main-main atau kelakar, yang terang dia memang sengaja
hendak membuat lawan gusar, perang batin dengan cara yang dipakainya ini
memangnya sudah lazim dipergunakan oleh Kangouw.
Jilid 41 Sebagai gadis pingitan yang tidak punya pengalaman Kangouw, sudah tentu
dengan gampang Kim-moay ditipunya, saking marah mukanya merah padam,
semakin getol keinginannya merobohkan lawan, permainan silatnya jadi
kurang mantap dan tak bisa bekerja dengan kepala dingin.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walau satu lawan empat, sinar golok Oh Thi Hoa tetap berkelebatan kian
kemari seperti rangkaian kembang-kembang salju yang beterbangan, dia
tetap berada di atas angin.
Sekonyong-konyong terdengar pula sekali keluhan kaget, tampak seorang
mencelat mundur pula, maka terdengar Cay Tok Hing berkata dengan gelak
tawa: "Hati-hati sedikit, jikalau lohu tidak ingat usia yang sudah lanjut nanti
disangka yang tua menindas si kecil, jari jarimu ini mungkin telah kuketuk
jadi untar untar"
"Ha, ha, bagus, bagus sekali !" teriak Oh Thi Hoa tertawa besar. "Golok
menabas jari landak pentung mengetuk ular, kini tinggal pedang Ui-loyacu
yang akan mengirim cakar ayam"
Ui Loh-ce ternyata berkata dengan kereng dan suara berat: "Usia mereka
terlalu muda tak punya pengalaman tempur menghadapi musuh, hati gugup
dan gelisah ingin menang lagi kalau diteruskan pasti ada yang terluka atau
ajal, sukalah suruh Kiong-cu, kalian keluar saja."
Coh Liu hiang diam-diam menghela napas, katanya: "Memang orang ini
seorang sosiawan sejati yang tak mau merugikan orang lain, jujur tak mau
menipu, memang kun cu kiam amat sesuai dengan pribadi dan sepak
terjangnya. Diam-diam hatinya jadi gelisah, karena dia tahu sin cui kiong begitu
disegani dan dipandang sebagai puncak persilatan, pastilah bukan bernama
kosong belaka, kepandaian silat murid yang bergebrak ini sudah termasuk
kelas satu di kalangan Kangouw, Induk Air Im Ki sendiri pasti mempunyai
kepandaian silat yang tiada taranya, begitu dia muncul situasi pasti segera
berubah, mungkin kawan kawannya bisa celaka daripada selamat.
Tapi kenapa sebegini jauh Induk Air Im Ki bekum kunjung keluar"
Pada saat itulah, tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan air danau yang semula
tenang dan tak bergerak itu lambat laun seperti mulai timbul gerakan arus
yang berputar, kedua kakinya lapat-lapat sudah mulai merasakan adanya
suatu tekanan. Perasaan sehalus ini kalau orang lain pasti tak gampang disadari, tapi Coh-
Liu-hiang bisa bernapas melalui lubang pori-pori di kulitnya sudah tentu
perasaan jauh tajam dari segala orang, Cepat dia selulup ke dalam air
menyusup ke lobang sebelah kiri dimana terdapat sebuah batu besar yang
lain, seluruh badannya meringkel, seolah kulit daging dan tulangnya
menyusut kecil, paling tidak satu pertiga lebih kecil dari keadaan badan
biasanya. Selama dirinyamalang melintang berkecimpung didalam Kangouw, bahaya
yang diserempet dan dihadapinya selama hidup, dibanding dengan seratus
orang biasa jikalau reaksinya tidak cepat serta tepat pula menghadapi
segala perubahan entah sudah berapa kali jiwanya melayang. Demikian pula
kali ini, reaksi perubahan yang melebihi orang lain ini kembali menolong
jiwanya pula. Tiba-tiba dilihatnya batu besar yang berada di sebelah kanannya tadi kini
sudah mulai bergerak, tekanan di kakinya tadi adalah karena batu raksasa
ini bergerak dan mendesak air sehingga menimbulkan aliran air yang
berputar itu, jikalau tidak cepat dia pindah tempat dan sembunyi ke
tempat yang sekarang, kedua batu besar di kanan kirinya itu bakal
menggencetnya mampus.
Bahwa batu raksasa ini mulai bergerak terang di bawah dasar danau inipun
pasti ada jalan rahasia, rahasia Induk Air Im Ki jelas terletak di dasar
danau ini, betapa girang perasaan hati Coh Liu-hiang saat mana, sungguh
sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ternyata kedua batu raksasa itu tidak sampai merapat seluruhnya, di
tengahnya masih ketinggalan celah-celah sempit. Dengan miringkan kepala
Coh Liu-hiang melongok keluar, tampak serangkaian buih-buih yang
bergulung mengalir keluar belakang batu besar, disusul muncullah dua
sosok bayangan orang.
Dua orang ini sama mengenakan jubah panjang warna putih, meski berada
si dalam air, pakaian yang basah tidak tampak melekat pada kulit badan
mereka, malah kelihatan seperti melambai lambai ditiup angin ditengah
angkasa. Coh Liu-hiang sudah mengenal satu diantara kedua orang adalah Kionglam
Yan, sorot matanya kelihatan lebih buram, lebih cekung, tapi jauh lebih
indah dan cantik. Lambat-lambat tangannya menuntun seorang yang lain
beranjak keluar, gerak gerik mereka didalam air hampir sama tenang dan
wajar, seperti berjalan gemulai diatas daratan.
Coh Liu-hiang tidak melihat raut wajah seorang yang lain, cuma terasa dia
adalah perempuan yang perawakan tinggi besar, Kionglan Yan hanya
sepundaknya saja berdiri disampingnya, memangnya orang inikah Induk Air
Im Ki yang amat ditakuti dan serba misteri itu.
Tampak Kionglam Yan menggandengnya, tiba-tiba tangan orang yang
digandengnya itu diletakkan pada pipinya serta diletakkan ke kepalanya
dan digosok gosokkan sekuat-kuatnya, sorot matanya memancarkan napsu
birahi yang memuncak. Dengan sebelah tangannya yang lain orang itu
mengelus rambut kepalanya, kelihatannya mirip benar dengan sepasang
kekasih yang sedang bermesra-mesraan, sekali-sekali tidak mirip hubungan
antara murid dan guru yang pantas melakukan adegan-adegan merangsang
seperti itu. Apakah benar Induk Air Im Ki, seorang laki-laki"
Coh Liu-hiang menjadi bingung sendiri, akhirnya Kionglam Yan melepaskan
tangan itu, tapi sorot matanya yang diliputi napsu itu masih menatap muka
orang itu lekat-lekat.
Kini perlahan-lahan orang itu sudah mulai bergerak menengok ke arah sini,
akhirnya Coh Liu-hiang berhasil melihat muka aslinya.
Dia memiliki sepasang mata yang besar, alis yang lentik dan tebal,
hidungnya besar dan mancung, bibirnya yang tipis tertutup rapat,
menampilkan sorot yang teduh dan watak yang ulet serta tegas.
Itulah raut muka yang jarang terlihat pada muka manusia umumnya,
hidungnya yang mancung tegak sehingga kelihatannya dia mempunyai
kewibawaan besar yang angker dan seperti menyedot sukma orang, dari
sikap dan tindak tanduknya jelas menunjukkan biasanya dia amat angkuh
akan kekuasaan dan kebesaran, selamanya tiada orang yang berani melawan
dia kecuali Sin Cui Kiong Cu Induk Air Im Ki, orang lain jelas tak akan
setimpal mempunyai wajah seperti itu.
Akan tetapi muka ini tak sama dengan wajah seorang perempuan, kalau
perawakannya jelas menunjukkan bila dia seorang perempuan, hampir saja
Coh Lui hiang menyangka Induk Air Im Ki adalah seorang lelaki.
Dan anehnya dia tak segera mumbul ke atas, keluar dari danau malah
perlahan-lahan beranjak ke tengah danau, baru sekarang Coh Lui Hiang
melihat ditengah-tengah danausana , terdapat sebuah batu putih, langsung
dia duduk di atas batu putih ini.
Apakah maksud dan tujuannya duduk di atas batu putih itu" Di atas
sedang terjadi kekacauan dengan pertempuran sengit, kenapa dia masih
enak-enakan duduk dalam air"
Baru saja Coh Lui Hiang merasa aneh, Induk Air Im Ki sudah memberi
tanda dengan ulapan tangan kepada Kionglam Yau segera Kionglam Yau-pun
memberi gerakan tangan kearah batu di sebelahsana .
Seketika tampak segulung pusaran air yang berarus tinggi timbul dari
bawah batu putih itu terus membumbung naik keatas menyerupai tonggak
air, badan Im Ki yang besar itu seketika tersanggah naik pelan-pelan.
Permukaan air danau yang semula tenang-tenang itu mendadak
menyemprot keluar sebuah tonggak air yang membumbung setinggi tiga
tombak ke tengah udara lalu muncrat ke empat penjuru, tepat di pucuk
tonggak air mancur ini tampak duduk bersimpuh seorang berpakaian serba
putih. Sinar bintang kelap-kelip, butiran air yang muncrat itupun berkilauan
memancarkan sinar. Dipandang dari kejauhan seolah-olah dari dasar danau
terbang ke atas Dewi Koan-Im yang berpakaian putih duduk tenang di atas
alas berkembang teratai dari kembang-kembang air yang muncrat di
sekeliling itu, suasana menjadi hikmat angker, orang tak berani mendongak
memandang dengan tajam.
Suara musik yang sayup-sayup sampai dikejauhan itu kini berubah kalem
dan gagah. Gadis-gadis baju putih serempak mengundurkan diri, Oh Thi Hoa, Cay Tok
Hing dan Ui Loh Ce sama menengadah mengawasi orang yang duduk di atas
pancuran air itu, walau mereka luas pengalaman dan pengetahuan kini
merasa merinding dan sesak napasnya, serasa terbang arwahnya ke awangawang.
Sementara itu Kionglam Yan-pun sudah mencelat naik ke daratan, sorot
matanya bagai kilat dengan air muka dingin menyapu pandang pada tiga
orang dihadapannya. Katanya dingin: "Badan suci Kiongcu sudah muncul.
tidak lekas kalian berlutut dihadap kepada beliau?"
Oh Thi Hoa lantas tertawa. Dalam suasana seperti ini ternyata dia masih
berani tertawa sungguh tak kecil nyalinya, sampai Kionglam Yan sendiri
mengunjuk rasa kaget dan heran.
Terdengar Oh Thi hoa berkata dengan tertawa besar: "Badan suci"
Menyembah" Memangnya kau kira dirimu dewi atau malaikat?"
"Siapa kau orang kurang ajar ini"!" bentak Kionglam Yan.
Kiu Moay segera tampil ke muka dengan menjura. "Orang ini bernama Oh
Thi Hoa yang datang bersama dia adalah Kung cu Kiam Ui Loh Ce dan Cay
Tok hing dari Kaypang."
Kionglam Yan tertawa dingin: "Kalian mengagulkan diri berkepandaian
tinggi berani sembarang keluyuran ditempat terlarang ini?"
Cay Tok hing bergelak tawa sambil menengadah, ujarnya "Walau
kepandaian cayhe bertiga tak mengejutkan orang, tapi cukup lumayan juga
untuk dinilai."
"Murid siapa orang ini?" tiba-tiba Induk Air Im Ki bertanya.
Pertanyaannya tidak ditunjukkan kepada Cay Tok Hing malah bertanya
kepada Kionglam Yan seolah-olah dia tak sudi bicara langsung dengan lakilaki,
tak urung Cay Tok hing tertawa pula katanya: "Waktu aku orang tua
kelana mencari pengalaman, entah dia malah berada dimana" Kau tanya dia
memangnya dia tahu riwayat dan asal usul hidupku?"
Kionglam Yan menunggu setelah dia pas tertawa baru berkata dengan
dingin: "Semula orang ini adalah begal besar yang biasa beroperasi dengan
mengganas di dua sungai besar setelah tiga puluh tahun baru bertobat dan
menuju jalan lurus, menjadi murid kaypang, resminya adalah murid Lu Lam
Kaypang Pangcu waktu itu, yang terang Cu Bing murid Lu Lam yang
terbesar yang mewakili gurunya mengajar silat kepadanya oleh karena itu
meski dia terlambat masuk perguruan, kedudukannya dan tingkatannya di
dalam Kaypang cukup tinggi."
"Apa ilmu silatnya sudah mendapat didikan murni dari seluruh kepandaian
Cu Bing?" tanya Indu Air Im Ki pula.
"Cu Bing bergelar Kangkun thi ciang "kepalan baja telapak besi" betapa
kuat tenaga dalam dan ilmu pukulannya di kalangan Kaypang mereka tiada
bandingannya, mana bisa orang ini menandinginya" Cuma semula dia
memangnya seorang begal tunggal, maka ilmu ginkangnya setingkat lebih
tinggi dari Cu Bing, dan karena gaman yang dia pakai semula adalah pedang,
maka didalam permainan ilmu tongkatnya dikombinasikan dengan tujuh kali
tujuh empat puluh sembilan jurus Wi-hong bu hu-kiam serta perubahanperubahannya.
Didalam Kaypang jaman ini, boleh terhitung tokoh nomor
satu." Ternyata asal-usul dan ilmu silat Cay Tok Hing seperti menghapal
pelajaran saja dengan nyerocos dibeber secara terbuka karuan Cay Tok
Hing tak bisa tertawa lagi, batinnya: "Murid-murid Sin cui-kiong biasanya
tidak bergaul dengan orang luar, tak kira mereka murid-murid terpelajar
tak keluar pintu, tapi tahu segala urusan dan kejadian di dunia luar,
gelarnya Sin cui-kiong memang luar biasa."
Terdengar Induk Air Im Ki tertawa dingin: "Walau Cu Bing sendiri selama
hidupnya tak berani sembarangan menginjak daerah terlarang Sin cui
kiong, tak nyana besar benar nyali orang ini, agaknya melibih Cu Bing
keberaniannya. "Berhenti sementara lalu Induk Air menuding Oh Thi hoa,
tanya; "Dan orang ini?"
Dengan mendelik Oh Thi-hoa menatap Kionglam Yan, dalam hati membatin:
"Jikalau riwayat hidup dan asal usul ilmu silatku kau ketahui aku benarbenar
tunduk dan kagum padamu."
Kionglam Yan menepekur sebentar seperti mengingat-ingat, katanya
kemudian lebih kalem: "Orang ini seperti pula Coh Lui-hiang, orang-orang
Kangouw dikata tiada orang yang tahu asal usul ilmu silat mereka, yang
diketahui hanya bahwa mereka semua dari keturunan keluarga besar yang
turun temurun dari kakek moyangnya malah sejak kecil hobinya berlatih
silat, maka didalam rumahnya menggandeng banyak sekali guru-guru silat,
tapi karena kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang terang bukan
hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu."
Oh Thi hoa tersenyum sambil angguk kepala katanya: "Ya, sedikitpun tidak
salah." "Oleh karena itu waktu itu banyak orang curiga bahwa didalam keluarga
mereka ada seorang tokoh silat yang amat lihay sembunyi dirumahnya dan
secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka. Tapi ada
pula yang curiga bahwa secara kebetulan mereka menemukan buku
pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana."
Oh Thi hoa tetap tertawa, ujarnya: "Kau bisa tahu begini banyak,
terhitung bukan mudah kau bisa mendapat bahan-bahannya."
Kionglam Yan tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: "Akan
tetapi, meski dia dibesarkan bersama Coh Lui hiang, ilmu silat mereka
justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan
kekerasan, agaknya mirip dengan ilmu silat dari Thi-tiat-tay-ki-bun masa
lalu." Kini Oh Thi hoa tidak bisa tertawa lagi kulit mukanya terasa kaku dan
mulutpun melongo keheranan.
Tapi melirikpun tidak kepadanya, Kionglam Yan meneruskan uraiannya:
"Dulu setelah Thi tiong siang menegakkan perguruan Thi tiat tay bun ki
pula, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang
cianpwe yang bernama Ji cu han, mereka pernah lewat di kampung
kelahiran orang ini maka menurut dugaan teccu ilmu silat yang dipelajari
Coh Lui hiang mendapat didikan langsung dari Ya-te "kaisar malam"
sementara Ji-cu-han menerima orang ini sebagai muridnya."
Oh Thi hoa menghela napas, katanya seperti mengigau: "Tebakanmu mesti
tak tepat juga meleset tak terlalu jauh dari kebenarannya, tak heran
orang-orang Kangouw sama gentar terhadap kalian, agaknya kalian memang
punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain."
Mendengar nama-nama Ya-te dan Thi kiat tay ki bun disebut-sebut
sampaipun Induk Air Im Ki mengunjuk rasa kaget dan haru, sesaat dia
termenung, lalu katanya: "untuk apa tiga orang ini meluruk datang?"
Kiu moay lekas menjura pula, sahutnya: "Teccu sudah beritahu kepada
mereka dalam lembah ini pasti takkan ada orang luar, tapi mereka tetap
tidak mau percaya."
Induk Air Im Ki menjengek hina, katanya: "Memangnya mereka ingin apa?"
"Apa kalian ingin kami bicara terus terang?" seru Oh Thi-hoa.
"Katakan!" sentak Kionglam Yan.
Oh Thi hoa tertawa-tawa dulu, katanya. "Sebetulnya kami kemari hendak
cari orang, kalau orang yang dicari tidak ada di sini, sekarang hendak pergi
saja." Kionglam Yan tertawa dingin, ejeknya: "Agaknya kau memang orang pintar,
sayang sekali selamanya tempat suci ini boleh didatangi tak boleh pergi
lagi, kau sudah masuk dan tiada orang yang merintangi, jikalau kau hendak
keluar lebih sukar dari pada kau manjat ke langit."
Tiba-tiba Induk Air berkata pula: "Beritahu mereka, perduli cara apa
yang mereka gunakan bila mereka mampu mendorong aku jatuh dari altar
teratai air suci ini, mereka boleh berlalu dengan selamat."
"Asal kalian..."
"Kami bukan orang tuli." tukas Oh Thi hoa dengan tertawa besar, "apa
yang diucapkan, kami sudah dengar, tak perlu kau ulangi sekali lagi."
"Tapi harus dicari ketegasan dulu apa ucapannya boleh dipercaya?" sela
Cay Tok hing. Kionglam Yan membesi muka, katanya: "Perintah Kiongcu sekokoh gunung,
apa yang pernah beliau ucapakan tak pernah dirobah dan ditarik kembali."
Oh Thi hoa dan Cay Tok hing beradu pandang, roman mukanya
menampilkan rasa girang.
Tampak olehnya Induk Air duduk angker di pucuk pancuran kembang air


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang muncrat ke sekelilingnya, tenang sekokoh gunung, maka mereka insaf
bukan saja ginkang orang sudah mencapai taraf yang tiada taranya,
Khikang-nyapun sudah amat mendalam, memang mereka bertiga belum
tentu kuasa melawan dan menjadi tandingannya, jikalau mereka menantang,
dengan tingkat dan kedudukan mereka tidak bisa menolak tantangan ini,
malu juga bila satu lawan tiga, kalau demikian gelagatnya hari ini mereka
memang tak mungkin bisa keluar dari Sin cui kiong dengan masih hidup.
Akan tetapi Induk Air ternyata begitu takabur, situasi seratus persen
berubah dan agaknya bakal menguntungkan pihak mereka bertiga.
Maklumlah dengan gabungan kekuatan mereka bertiga yang merupakan
tokoh Kangouw kelas wahid, jikalau tidak mampu mendorong jatuh dari
tempat duduk di puncak pancuran air yang kelihatannya tidak kuat itu,
sungguh merupakan peristiwa lucu dan aneh yang pernah mereka alami
selama hidup. Kuatir orang merubah putusan semula, sengaja Oh Thi hoa tertawa dingin:
"Kalau orang memang demikian keinginannya apa boleh buat kita tinggal
menurut saja bukan?"
"Benar," sela Cay Tok Hing. "Itulah yang dinamakan sang tamu mengiringi
saja keinginan tuan rumah."
Berputar biji mata Oh Thi hoa. katanya: "Tapi kita perlu berunding dulu,
entah boleh tidak?"
Induk air mengulap tangan, Kionglam Yan segera menjengek dingin: "Yang
terang kalian berunding juga takkan berguna, baik silahkan."
Lekas Oh Thi hoa menarik Ui Loh-ce dan Cay Tok hing ke samping, tak
terasa dia tertawa, katanya: "Agaknya Induk Air hari ini pasti akan
kecundang ditangan kita bersama."
Ui Loh-ce sebaliknya mengerut kening. katanya: "Tapi, kalaupun dia berani
sesumbar, ini bukan mustahil diapun akan mengalahkan kita."
Cay tok Hing tertawa ujarnya: "Kau tak usah mengecil artikan perlawanan
kita dengan mengagulkan kekuatan musuh, dengan kekuatan gabungan kita
bertiga sekali terjang berbareng umpama kata tonggak air dan dia orang
itu terbuat dari besi, memangnya kita tidak kuasa menumbuknya roboh?"
Ui Loh-ce pikir pergi datang, memang dia tak habis mengerti dengan cara
apa Induk Air akan melayani terjangan kekuatan mereka bertiga, tapi
dasar wataknya halus dan suka berpikir cermat serta hati-hati maka
katanya dengan nada khawatir: "Manusia besi berani mati dia orang justru
orang hidup yang dapat bekerja dan berdaya upaya, kita bertiga
menerjang dengan segala kekuatan, jikalau dia berhasil menyingkir itu
waktu kita sama-sama terapung ditengah udara, ke atas ke samping ke
bawah tidak ada tempat untuk berpijak, bukan mustahil kita sendiri bakal
terjeblos jatuh ke dalam danau, umpama tak sampai teringkus hidup-hidup
oleh mereka, rasanya malu untuk mengulangi kedua kali dengan cara lain."
Tak urung Cay Tok hing mengerut alis pula, katanya: "Memang uraianmu
masuk akal."
"Oleh karena itu menurut pendapatku yang bodoh," kata Ui Loh-ce lebih
lanjut, "kita bertiga jangan bergerak dan turun tangan bersama, karena
kalau bertiga sama sama maju, meski kekuatannya berlipat ganda, tapi bila
sekali serang tak mengenai sasaran, tenaga bantuan yang diperlukan
belakangan menjadi putus.
"Tapi bila kita bertiga bergerak sendiri-sendiri, bukankah pembawaannya
jauh lebih asor?" Cay Toh hing utarakan pendapatnya.
Jawab Ui Loh ce "Biar aku dengan gerakan "Tiong hong goan jit"
menerjangnya lebih dulu kalian boleh awasi cara bagaimana dia melayani
atau berkelit, Oh-heng harus mengikuti aku dengan ketat, begitu serangan
luput Oh-heng segera susulkan seranganmu kala itu gerakannya sudah
berubah sekali, betapapun kekuatannya sudah berkurang, dengan
sendirinya gerak perubahan selanjutnya menjadi rada kendur, umpama
serangan Oh-hengpun menemui kegagalan, dikala Cay-loyacu menyerang
dengan gelombang ketiga, dia sendiri sudah kehabisan kekuatan, kukira
tidak sulit untuk Cay loyacu merobohkan dia."
Cay Tok hing tepuk tangan serunya: "Benar, cara ini memang amat tepat
dan baik."
Oh Thi-hoa sebaliknya geleng-geleng kepala katanya: "Cara ini kurang
baik." "Kenapa kurang baik?" Cay Tok hing menegas. "Yang terang tenaga
murninya jauh lebih unggul dari kekuatan kita, apalagi disaat kita
menyerang dia, badan harus terapung ke udara tiada tempat untuk kita
mengerahkan seluruh kekuatan, sebaliknya duduk di pucuk pancuran air,
betapapun dia jauh lebih kalah kedudukannya, oleh karena itu bila kita
harus menyerang secara bergelombang, bukan mustahil bisa dipukul jatuh
satu persatu oleh kekuatan pukulan telapak tangannya."
Berubah air muka Ui Loh Ce, katanya: "Benar juga, hakekatnya dia tidak
perlu merubah gerakan, cukup asal duduk di atas dengan kokoh, dengan
siap memancing dan menyerang kita, betapapun kita takkan kuat
melawannya."
Cay Toh Hing mengawasi Oh Thi-hoa, katanya tertawa: "Kalau kau bisa
berkata demikian, tentunya kau punya cara dan akal yang lebih bagus."
Oh Thi-hoa merendahkan suara, katanya: "Cara yang paling baik tetap kita
bertiga menerjang bersama, tapi aku tidak akan menyerang langsung
kepadanya, bagian badanku terapung di tengah udara seketika aku akan
mengalihkan arah membabat ke tonggak air di bawahnya, tidak ada ruginya
kalau pura-pura menerjang dengan nekad dan siapkan tenaga untuk
melindungi dan menutupi gerak-gerikku, sudah tentu kalian bergebrak
benar-benar dengan dia." sampai di sini dia tertawa lalu meneruskan: "Asal
tonggak air itu keterjang bubar dan terputus di tengah-tengah apa dia
masih bisa duduk tenang di tempatnya?"
Begitu mendengar cara yang di usulkan Oh Thi-hoa, seketika Ui Loh Ce
mengunjuk kegirangan. Sementara Cay Tok-Hing menarik tangan Oh Thihoa,
Katanya tertawa:" Sudah puluhan tahun aku mengembara di kangouw
tak nyana otakku sudah tumpul dan tidak secerdik kau bocah anak ini
malah." Ui Loh-ce berkata, "Oh-heng memang cerdik dan berani, serba
pintar sukar ditandingi orang lain."
"Itulah yang dinamakan, hendak menjatuhkan orang harus memanah
kudanya lebih dulu." kata Cay Tok-hing riang, "kalau kudanya roboh
memangnya orangnya masih bisa bercokol terus dipunggungnya?"
Semakin dipikir dan semakin dibicarakan, mereka merasa cara ini amat
bagus dan tepat umpama Induk Air Im Ki punya kepandaian setinggi langit
kalau pancuran air itu diputuskan, betapapun dia akan terjungkal roboh.
Kata Oh Thi-hoa dengan tertawa: "Akal seburuk ini sebetulnya tak bisa
kupikirkan, cuma selama dua bulan terakhir ini aku setiap hari bergaul
bersama si Ulat busuk itu, lambat laun aku jadi ketularan sifatnya yang
buruk itu."
Ui Loh-ce tertegun, tanyanya: "Siapa itu Ulat busuk?"
Cay Tok hing tertawa tertahan, katanya: "Apakah orang itu amat busuk
maka dia diberi julukan sejelek itu?"
"Ulat busuk yang lain memang berbau busuk." ujar Oh Thi-hoa tertawa,
"sebaliknya ulat busuk yang satu ini malah berbau wangi."
xxx Setelah Kionglam Yan ikut mencelat naik ke daratan, Coh Liu-hiang
menunggu sekian lamanya lagi, baru perlahan-lahan dua mendorong sedikit
batu raksasa disampingnya tergeser, lalu separuh badannya melongok
keluar. Tampak di belakang batu itu memang ada sebuah jalan rahasia, arus
air yang mengalir dari jalan rahasia sama dengan air yang berada didalam
danau, sama jernih dan bening laksana kaca, selepas mata memandang, tak
kelihatan bayangan seorang manusiapun.
Meski Coh Liu-hiang amat menguatirkan keselamatan Oh Thi-hoa bertiga
tapi kesempatan yang paling baik ini tidak boleh disia-siakan, agar dirinya
berhasil menemukan rahasia Induk Air Im Ki, dengan gampang dia akan
menolong mereka. kalau tidak, sekarangpun bila dia keluar juga tak ada
gunanya. Jalan rahasia ini merupakan sebuah lorong panjang yang kedua sampingnya
diapit batu marmer, arus air yang mengalir kelihatannya perlahan, selicin
ikan berenang Coh Liu-hiang meluncur ke dalam, belum jauh dia bergerak
segera dia mendapat firasat jelek. Baru sekarang teringat olehnya tadi
Kionglam Yan ada memberi tanda ulapan tangan ke arah sini, maka air
lancar menyemprot keluar dengan deras dan kuatnya, maka di belakang
pintu dari jalan air ini, terang ada orang yang mengendalikan kunci rahasia
dari semprotan air mancur itu.
Sayang sekali dikala Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, dia sudah
terlambat untuk bergerak. Sebuah tombak trisula tahu-tahu sudah
meluncur tiba menusuk ke perutnya.
Sudah tentu serangan ini takkan bisa melukai dia, tapi celakanya, bila
jejaknya sudah konangan oleh salah satu murid Sin-cui-kiong bukan saja
seluruh rencana kerjanya bakal gagal total, nyonya baju putih setengah
umur itupun akan terembet perkara, umpama dia berhasil membekuk atau
membunuh orang yang menyerangnya ini, betapun jejaknya sudah bocor.
Selama ini dia amat hati-hati dengan gerak geriknya, sungguh tak nyana
disaat dirinya hampir mencapai hasil yang gemilang, toh tanpa disadarinya
dia berbuat suatu kesalahan besar yang akibatnya amat fatal, suatu
kesalahan yang mungkin menamatkan nyawanya.
Induk air tetap duduk angker dan tenang di pucuk pancuran air,
bergemingpun tidak, seolah-olah dia kuasa duduk tiga sampailima hari di
tempatnya itu dengan tenang dan kokoh laksana gunung.
Kionglam Yan sebaliknya sudah tidak sabar lagi, katanya dengan mengerut
kening: "Sudah selesai belum kalian berunding?"
"Ya, sudah selesai" sahut Oh Thi-hoa tertawa.
Berkilat sorot mata Kionglam Yan katanya tertawa dingin: "Hanya
mengandal kalian bertiga memangnya bisa merundingkan akal licik apa yang
menguntungkan?" kata-katanya dia tujukan kepada Ui Loh-ce.
Betul juga Ui Loh-ce lantas menjawab: "Cayhe bertiga membicarakan..."
gelagatnya dia hendak menjelaskan terus terang, tanpa berjanji Cay Tokhing
dan Oh Thi-hoa segera menukas dengan keras: "Bukan waktunya untuk
ngobrol lagi, hayolah turun tangan saja!"
Mereka sudah berjanji dengan gerakan tangan masing-masing, maka
begitu Oh Thi-hoa ulapkan tangan, serempak mereka bertiga lantas
melesat maju berjajar adu pundak, sinar golok bersama cahaya pedang
berubah laksana lembayung, melintang miring menyisir permukaan air
danau. Perlu diketahui tonggak air pancuran yang diduduki Induk Air
tingginya ada tiga tombak, sementara letak tonggak air yang ditengahtengah
danau itu berjarak sekitar enam tombak dari pinggir danau,
umpama ilmu Ginkang Cay Tok-hing bertiga memang teramat tinggi sulit
juga dalam sekali lompat bisa mencapai sasaran sejauh enam tombak.
Akan tetapi mereka menggunakan batu loncatan pada sebuah batu besar
di pinggir danau untuk melompat kedepan, kebetulan batu raksasa ini
menongol keluar di atas permukaan air. jaraknya dengan Induk Air kirakira
tinggal tiga tombak. Untuk melompat dengan kekuatan Ginkang sejauh
tiga tombak bagi mereka bukan soal sulit.
Waktu itu mereka sudah yakin benar pasti menang dan berhasil sesuai
dengan rencana, sudah tentu semangat tempur mereka menyala-nyala,
maka masing-masing tumplek seluruh kekuatan dan memboyong seluruh
kepandaian silatnya yang paling diandalkan, dipandang dari kejauhan
tampak ketiga orang ini laksana tiga malaikat yang membawa cahaya
bianglala melesat terbang diangkasa, sampaipun murid-murid Sin cui kiong
yang melihat perbawa kekuatan mereka bertiga sama terbelalak dan mulut
melongo. Induk air sebaliknya tetap duduk bersimpuh tak bergerak. Terang jarak
luncuran ketiga orang sudah mendekat tinggal kira-kira delapan tombak,
sekonyong-konyong Oh Thi-hoa bersiul panjang memberi aba-aba, sigap
sekali selincah burung walet gerakannya tiba-tiba berubah, goloknya
terayun membacok ke tonggak air dari pancuran yang menopang
badan Induk Air. Tapi mendadak tepat pada saat yang bersamaan
badan Induk Air mendadak anjlok turun ke bawah, kedua tangannya
menekan ke tonggak air di bawahnya, tonggak air itu segera terpecah tiga
cabang pancuran air yang lain laksana anak panah menyemprot keluar
memapak ke arah mereka masing-masing.
Semprotan air pancuran itu sendiri sebetulnya sudah cukup keras, kini di
bawah tekanan tenaga dalam Induk Air yang luar biasa besarnya, panah air
yang menyemprot keluar ini dilandasi kekuatan bagai air bah dan
kecepatan kilat menyambar, sudah tentu perbawanya bukan olah-olah
dahsyatnya. Memangnya Oh Thi-hoa bertiga sedang menerjang ke depan dengan
seluruh kekuatan mereka, untuk berkelit sudah tentu tidak sempat lagi,
tampak semprotan cahaya perak tahu-tahu sudah menyongsong tiba ke
depan mata, kontan dada terasa ditumbuk sesuatu yang teramat keras dan
dahsyat dan belum pernah dialami selama hidup ini, seolah-olah puncak
gunung di empat penjuru sama runtuh dan menindih mereka.
Gerak-gerik badan Coh Liu-hiang justru jauh lebih gesit dan lincah berada
didalam air daripada di daratan, cukup meluncur dengan miringkan badan,
dengan mudah dia meluputkan diri dari tusukan tombak trisula itu. Tetapi
kepandaian gadis yang menyerangnya itupun tidak lemah, memangnya
murid-murid Sin cui kiong masing-masing ada digembleng untuk bersilat
dengan ajaran tunggal perguruan mereka didalam air, tombak trisula,
memang salah satu senjata tunggal mereka untuk bergebrak di dasar air.
Cukup tangan ditekan dan ditekuk dengan lincah gadis itu tiba-tiba sudah
merubah arah sasaran tusukannya. Tapi kali ini belum lagi jurus
serangannya sempat dilancarkan, tahu-tahu dari Ki-ti-hiat dibagian sikunya
terasa rasa linu pegal yang terus merangsang seluruh badannya sehingga
tak bisa berkutik lagi. Sungguh tak pernah terpikir olehnya lawan dapat
melancarkan ilmu tutuk didalam air dengan begitu hebat dan lincah, saking
kejutnya, mulutnya sudah terpentang hendak berteriak, namun begitu
mulut terbuka air segera masuk ke dalam tenggorokan.
Dengan kedua tangannya Coh Liu-hiang memapah badan orang, sementara
kedua kakinya bergerak-gerak, naik turun cepat dia berenang masuk
menyusuri jalan rahasia itu. Gadis ini tiba-tiba lenyap kalau Induk Air Im
Ki kembali tentu akan menyadari akan hal ini, maka orang akan segera
menyadari bahwa istananya sudah kemasukan musuh, maka jejak Coh Liuhiang
dengan sendirinya bakal konangan.
Akan tetapi waktu Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, terpaksa dia
harus untung-untungan dan tetap menyerempet bahaya, apalagi tiada
sesuatu pilihan lain yang harus dia laksanakan. Maka sebelum Induk Air Im
Ki kembali ke sarangnya, maka dia harus lekas menemukan letak rahasia
dan titik kelemahannya maka diapun berharap semoga Oh Thi-hoa bertiga
sedapat mungkin bisa bertahan cukup lama untuk melibat orang dalam
pertempuran sengit.
Dalam waktu segenting ini, sedikitpun waktu tidak boleh dihamburkan dan
disia-siakan. Meski cukup panjang lorong air ini, tapi cepat sekali Coh Liuhiang
sudah menyusuri tiga kali belokan, akhirnya ia tiba di ujung
sebelahsana , dari bawah air tampak dipermukaan air ada sorot sinar api
yang menyorot berkilauan.
Coh Liu-hiang sudah menduga di sebelah atas pasti ada orang yang
menjaga, sedikitpun dia tidak membuang-buang waktu untuk berpikir, lekas
dia jinjing gadis yang tertutuk lemas ini ke atas kepala terus didorong ke
atas permukaan air.
Kaum persilatan umumnya sama menaruh berbagai macam bayangan dan
perkiraan terhadap istana terlarang kediaman Induk Air itu lantaran
siapapun belum pernah ada yang memasuki tempat itu, maka Sin cui kiong
didalam mulut-mulut pembicaraan mereka menjadi semakin misterius.
Malah ada orang didalam dongengnya membayangkan Sin Cui kiong sebagai
istana langit. Bahwasanya tempat kediaman Induk Air tak lebih hanyalah
sebuah kamar di bawah tanah yang berdinding batu-batu Tayli yang besarbesar,
jadi tiada pajangan atau perabotan yang serba mewah dan
mentereng. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Induk Air Im Ki bukanlah seorang
yang mengutamakan hidup mewah dan foya-foya, paling dia hanya
mempertahankan kebersihan dan kerapian tempat kediamannya saja, di
pojok manapun didalam kamarnya itu kau takkan bisa menemukan debu
sedikitpun. Oleh karena itu batu-batu Tayli di sekeliling kamar itu seolaholah
batu jade raksasa yang berkilauan hidup tidak menyegarkan.
Mulut jalan rahasia yang terdapat didalam kamar ini merupakan sebuah
empang kecil yang terbuat dari titian batu, batu-batu yang menggarisi


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

empang membundar itupun tidak diukir secara berlebihan, garis-garisnya
yang sederhana kelihatannya malah menyolok dan menyejukkan pandangan.
Tatkala itu dua gadis yang sama ayu sedang duduk di pinggir empang
sedang sibuk memintal benang sebagai bahan pembuatan pakaian mereka.
Waktu mendadak mereka melihat salah satu saudara mereka terapung di
permukaan air, rona mukanya sama menampilkan rasa kaget dan keheranan,
tersipu-sipu mereka sudah biasa hidup didalam suasana yang tawar sunyi
dan tentram, maka begitu dia menghadapi suatu urusan atau kejadian di
luar dugaan sering kelihatan tak tahu bagaimana harus mengatasi atau
menghadapinya, sudah tentu tak pernah terpikir oleh mereka gahwa
didalam air masih ada orang yang mengintai gerak-geriknya.
Dengan gampang tanpa banyak membuang tenaga Coh Liu-hiang berhasil
menutuk Hiato mereka, lalu dia jinjing mereka keluar dari empang, tampak
tiga roman muka mereka sama menampilkan rasa penasaran dan kejutkejut
heran, Coh Liu-hiang segera bersoja dan berkata dengan tertawa:
"Sekali-kali aku tak bermaksud melukai kalian, cukup asal kalian istirahat
sebentar saja."
Senyumannya simpatik dan hangat, kalau mau dikata ada orang laki-laki
dalam dunia ini yang senyumannya dapat membikin hati seorang gadis yang
kaget dan bingung menjadi tentram, maka orang itu adalah Coh Liu-hiang.
Memang air muka ketiga gadis ayu ini pucat namun sedikitnya mereka
lambat laun kelihatan tenang dan lega, walau mereka tidak tahu siapa lakilaki
ganteng yang cakap di hadapan mereka ini, namun terasa setiap patah
kata yang diucapkan dapat dipercaya seluruhnya, memang Coh Liu-hiang
mempunyai semacam wibawa aneh yang dapat menyedot semangat orang,
selalu dia dapat menenteramkan hati siapapun yang dipandangnya sehingga
gadis-gadis inipun merasa dia adalah laki-laki yang dapat dipercaya.
Memang selama itu Coh Liu-hiang tidak pernah mengecewakan harapan
mereka. Didalam kamar batu ini hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah meja,
sebuah almari pakaian yang tidak begitu besar, serta kamran bundar yang
berserakan di atas lantai, kecuali keperluan-keperluan sederhana didalam
suatu kehidupan yang paling minim ini, setiap benda lain yang berada
didalam kamar seolah-olah menjadi berlebihan malah, maka dapatlah
dimengerti bukan saja Induk Air Im Ki menyempitkan ruang gerak
hidupnya, malah boleh dikata teramat sederhana amat keras membatasi
diri akan segala tetek bengek. Terang lebih berbeda dengan Induk Air Im
Ki yang pernah dibayangkan oleh orang-orang persilatan mengenai
kehidupan dan rahasia Sin cui kiong itu.
Orang seperti ini, masakah bisa memiliki sesuatu rahasia dan titik
kelemahan"
Coh Liu-hiang jadi kebingungan sendiri karena tak menemukan suatu
tempat untuk menyembunyikan tiga gadis yang ditutuknya ini setelah
merenung sebentar, tiba-tiba dia buka tutukan Hiat-to salah satu gadis,
katanya tersenyum: "Tahukah kau ditempat mana aku harus
menyembunyikan kalian sementara?"
Kalau orang lain yang menanyakan hal ini sampai matipun gadis ini pasti
takkan mau menjawab. Tapi sikap dan tutur kata Coh Liu-hiang, sungguh
seperti mengetuk kalbu, begitu mesra dan simpatik lagi, sehingga dia
merasa seperti sahabat lama saja yang sedang ajak dia mengobrol.
Terasakan pertanyaan orang seolah-olah
Pendekar Panji Sakti 7 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gelandangan 5
^