Peristiwa Burung Kenari 8

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 8


sedang memperhatikan dirinya,
demi kebaikannya pula, sungguh suatu pertanyaan yang tak mungkin ditolak
untuk dijawab oleh anak perempuan manapun. Dengan tersenyum gadis itu
mengawasinya, seperti tidak disadari dia menjawab "Apa kau lihat lentera
di atas dinding di depan itu?"
"Lentera disamping almari pakaian itu maksudmu" tanya Coh Liu-hiang.
"Benar, asal lentera itu kau geser ke kiri, akan muncul sebuah pintu
rahasia, kalau kau sembunyikan kami kesana, tidak akan ada orang yang
tahu." Coh Liu-hiang menepekur sebentar, tanyanya pula dengan suara lembut:
"Apakah tempat itu aman?"
"Jarang ada orang yang dapat masuk kesana." sahut si gadis.
Coh Liu-hiang tertawa ujarnya: "Terima kasih, kelak bila kau meninggalkan
Sin cui kiong, boleh kau mencariku, pasti kuajak kau ke tempat-tempat
tamasya yang permai."
Tak tahan tersenyum lebar gadis itu, mukanyapun menjadi merah,
katanya: "Terima kasih."
Baru saja sempat dia mengucapkan "terima", tahu-tahu Hiat-tonya sudah
tertutuk lagi. Benar juga dengan gampang Coh Liu-hiang menemukan pintu rahasia itu,
dan satu persatu dia jinjing ketiga gadis itu dan disembunyikan disana .
Sebetulnya dia bisa mengajukan banyak pertanyaan kepada ketiga gadis
ini, tapi dia tahu bila mereka bicara terlalu banyak, bilamana
diketahui Induk Air Im Ki, akibatnya tentu susah dibayangkan. Biasanya
dia tidak tega menyakiti hati seseorang yang menaruh kepercayaan penuh
kepada dirinya. Apalagi diapun tahu jikalau terlalu banyak pertanyaan yang
dia ajukan, mereka juga akan sadar dan waspada akhirnya, lambat-laun
luntur dan hilanglah kepercayaan terhadap dirinya. Selamanya diapun tidak
suka merusak kesan baik seorang gadis terhadap dirinya.
Meja pendek yang sederhana tak menimbulkan kesan luar biasa hanya
sebuah poci air teh dari batu jade saja yang terletak di atas meja dengan
bertatakan batu porselin, tempat duduknya dialasi dengan anyaman rumput
ekor kuda. Umumnya perempuan suka menyembunyikan sesuatu rahasia
pribadinya di bawah seprei tapi apapun yang terlihat sekarang
agaknya Induk Air Im Ki bukan perempuan macam begituan, ranjangnya
tak begitu besar ini tetap sederhana tak menunjukkan sesuatu yang
mencurigakan. Maka hanya almari pakaian di pojoksana itulah satu-satunya
tempat menyimpan sesuatu rahasia yang berada didalam kamar batu ini.
Coh Liu-hiang menggumam seorang diri: "Sungguh harus dimaafkan, bukan
tujuanku hendak menyelidiki rahasiamu, soalnya aku harus menolong jiwaku
sendiri, semoga didalam almari itu aku tak menemukan sesuatu benda yang
membuat mukaku merah malu."
Memang segala benda yang tersimpan dalam almari boleh dibeber dijalan
raya untuk diperlihatkan kepada umum. Kecuali pakaian yang serba
sederhana pula di dalam tiada tersimpan barang apa-apa dan anehnya
diantara pakaian-pakaian sebanyak itu terdapat pula seperangkat pakaian
lelaki. Waktu itu Coh Liu-hiang tengah menenteng sepotong celana pendek dari
kain katun, bagaimanapun dia pikir hatinya tak habis mengerti bahwa di
dunia ini ada perempuan yang menggunakan celana pendek dari kain katun
seperti ini, soalnya celana pendek, celana kolor yang dipegangnya ini tak
ubahnya seperti celana kolor yang dipakainya sendiri.
Memangnya di Sin cui kiong juga disembunyikan seorang lelaki" Apakah
disinilah letak dari rahasia pribadi Induk Air Im Ki" Sungguh Coh Liuhiang
tak berani percaya akan kepercayaan yang dilihatnya ini, tapi mau
tidak mau dia harus percaya.
Tapi siapakah laki-laki itu" Sekarang dimana"
Disaat Coh Liu-hiang ragu-ragu dan menimang-nimang, tiba-tiba dilihatnya
air didalam empang berbatu itu beriak dan bergelombang pelan-pelan,
meski didalam keadaan yang bagaimanapun, Coh Liu-hiang tidak pernah lena
terhadap sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Cepat sekali dia sudah menduga pasti Induk Air Im Ki telah kembali,
tatkala itu sudah tiada tempat lain untuk menyembunyikan diri, terpaksa
dia menyelinap masuk sembunyi didalam almari pakaian. Tapi dia tidak
sempat lagi menutup rapat pintu almari seperti keadaan semula.
Kejap lain Induk Air Im Ki memang sudah muncul dari empang kecil itu,
langkah kakinya seperti diganduli sesuatu barang berat, pelan-pelan
badannya mumbul dan keluar dari dalam air, Lwekang sehebat itu, Coh Liuhiang
yang mengintip dari tempat sembunyinya pun sampai tersirap kaget
dibuatnya. Cukup melihat langkah orang saja, Coh Liu-hiang sudah tahu bahwa ilmu
silat Induk Air Im Ki memang masih lebih tinggi dari Ciok-koan-im, sudah
tentu dirinya terang bukan tandingannya.
Bila saat itu juga dia menyadari tiga orang murid-muridnya hilang, pasti
akan segera mencari dan memeriksa, bagaimana juga dia pasti tidak
ketinggalan memeriksa almari ini. Karena hakekatnya tiada tempat lain
kecuali almari ini yang bisa untuk sembunyi.
Begitu dia menemukan jejak Coh Liu-hiang maka jiwanya pasti melayang,
karena hanya ada seper-selaksa persen saja kesempatan dirinya untuk bisa
mengalahkan Induk Air Im Ki. Saking tegang jantung Coh Liu-hiang serasa
hampir berhenti.
Tak nyana Induk Air Im Ki bahwasanya tidak memperlihatkan bahwa tiga
orang muridnya seolah-olah sudah lenyap ditelan bumi, seolah-olah hatinya
dirundung sesuatu persoalan besar yang menindih sanubarinya, maka dia
tak sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Dari celah-celah pintu almari yang tak dirapatkan Coh Liu-hiang mengintip
keluar, tampak kedua alis orang bertaut kencang, roman mukanya
menunjuk rasa gusar, sorot matanya lurus mengawasi langit-langit kamar,
entah pikiran apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya, bahwasanya
sejak masuk sampai sekarang melirikpun dia tak pernah kearah almari
pakaiannya. Bahaya yang dikuatirkan Coh Liu-hiang kali ini boleh dikata sudah lalu, tapi
segera dia teringat akan keselamatan jiwa Oh Thi-hoa bertiga, mau tak
mau dirinya mendelu dan sedih, gugup lagi. Kalau toh Induk Air sudah
kembali, Oh Thi-hoa bertiga kemungkinan besar sudah terjungkal roboh
dan bukan mustahil sudah ajal.
Coh Liu-hiang sendiri sudah tidak jauh lagi dari renggutan elmaut,
sembunyi di dalam almari bukan saja tak bisa maju, mundurpun sulit, cepat
atau lambat jejaknya akan konangan juga. Kalau orang lain mungkin sudah
menjadi gila saking gugup dan gelisah. Tapi setelah kepepet dalam keadaan
yang menegangkan ini, Coh Liu-hiang malah tak gugup lagi karena dia
menyadari gelisahpun tiada gunanya, yang terang sikap demikian malah
menghilangkan ketenangan hati, mengganggu pikiran dinginnya.
Sekarang dia perlu tenang dan berpikir dengan kepala dingin, sabar dan
bersiaga menunggu kesempatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Sayang sekali kesempatan yang dia nanti-nantikan ini teramat minim dan
sulit tercapai.
Tak lama kemudian Kionglam Yan pun sudah kembali.
Murid perguruan dimanapun dikolong langit ini bisa memasuki kamar tidur
gurunya pasti harus mengetuk pintu atau melaporkan dulu kedatangannya,
serta menyapa atau bertanya akan kesehatannya, meski kaum Bulim tak
mementingkan adat istiadat, tapi sopan santun dan tata kehormatan
antara murid terhadap guru masih tetap dipertahankan dan tak boleh
dilanggar begitu saja, apalagi tata tertib Sin cui kiong yang sudah lama
tersiar di dunia luar adalah begitu keras.
Aneh dan luar biasa, bahwa Kionglam Yan ternyata boleh sembarangan
melangkah masuk begitu saja, tak ubahnya seperti seorang istri memasuki
kamar tidur suaminya sendiri, malah langsung dia maju mendekat dan
duduk di pinggir ranjang.
Im Ki masih tetap rebah tak bergerak, sedikitpun tak memberi reaksi
akan kedatangan muridnya yang kurang ajar ini. Terdengar Kionglam Yan
buka suara: "Tiga orang itu sudah disekap, setelah mereka siuman, Sam-ci
akan segera mengompres keterangannya."
Diam-diam Coh Liu-hiang mengelus dada dan merasa lega, meski keadaan
Oh Thi-hoa bertiga amat berbahaya, betapapun jiwa mereka belum ajal,
asal belum mati, ada kesempatan untuk meloloskan diri.
Terdengar Kionglam Yan berkata lebih lanjut: "Tapi Kiu-moay justru
berpendapat kurang tepat jikalau suruh Sam-ci pergi mengompas
keterangan mereka."
"Tidak tepat!" Induk Air Im Ki menegas.
"Dia berpendapat apa yang dikatakan ketiga orang itu memang tidak
bohong, mereka kemari hendak mencari orang, karena memang benar disini
pernah didatangi orang."
"O." Induk Air Im Ki hanya bersuara dalam mulut.
"Katanya tadi dia pernah melihat sesosok bayangan orang di depan kuil,
tapi Sam-ci yang berjaga didalam kuil malah mengatakan tidak pernah ada
orang disana , maka dia kira di belakang persoalan ini pasti ada apa-apanya
yang ganjil."
Im Ki hanya tertawa dingin sekali, tidak memberi tanggapan apa-apa.
Coh Liu-hiang semakin kuatir, jikalau Im Ki curigai Sam-ci itu ada
sekongkol dengan pihak luar, keselamatan dirinya memang amat
menguatirkan, betapapun Coh Liu-hiang tak tega bila orang sampai
kerembet dan kena perkara gara-gara dirinya.
Sesaat kemudian baru Im Ki buka suara: "Menurut pendapatmu siapa
orang yang mereka cari?"
Kionglam Yan berpikir sebentar, sahutnya: "Mereka sudah lama kelana di
Kang-ouw, temannya tentu banyak, darimana aku bisa tahu siapa yang
sedang mereka cari?"
"Kau tidak kenal Ui Loh-ce itu?"
"Bagaimana aku bisa kenal dia?"
"Tapi dia agaknya seperti sudah mengenalmu?"
"O?" "Memangnya kau tidak tahu Ui Loh-ce adalah sahabat baiknya selama
hidup, dialah sahabat satu-satunya."
Kionglam Yan menggigit bibir katanya tertawa-tawa dingin: "Darimana aku
bisa tahu, diakan bukan kekasihku, memangnya dia mau memberitahu halhal
ini kepadaku?"
Tiba-tiba Im Ki berjingkrak bangun seraya merenggut rambutnya,
katanya dengan suara bengis: "Aku tahu kau pasti mengelabui banyak
urusan kepadaku, benar tidak?"
Dengan kencang Kionglam Yan gigit bibirnya tak bersuara.
"Kemarin malam setelah kau berhadapan sama dia, sebetulnya apakah yang
terjadi" Kenapa sampai pagi hari kau baru pulang?"
Jari-jarinya bergerak-gerak rambut panjang Kionglam Yan dia gubat di
atas tangannya, saking kesakitan hampir saja Kionglam Yan mengucurkan
air mata, tapi ujung mulutnya malah mengulum senyuman manis katanya:
"Kau sedang cemburu agaknya!"
"Aku cemburu apa?" sentak Im Ki.
"Bukankah kau kuatir aku sudah mempunyai hubungan rahasia sama dia,
oleh itulah kau mencemburui aku."
Im Ki tertawa, tawa yang kurang wajar, katanya: "Dengan dia masakah kau
punya hubungan apa?"
"Kenapa tidak bisa?" berkedip-kedip mata Kionglam Yan, "Dia itu laki-laki,
aku ini perempuan, kalau laki-laki berduaan dengan perempuan bukankah
suatu kejadian biasa akan berlangsung?"
Tangan Im Ki terasa mulai bergetar, rambut orang yang direnggutnya
pelan-pelan dilepaskan, suaranya gemetar: "Tapi kau pasti tidak akan
melakukan hal itu, bukan?"
Kionglam Yan kipatkan rambutnya yang terurai ke depan mukanya, pelanpelan
dielusnya dengan kasih sayang, mulutnya menggumam: "Dia memang
seorang laki-laki yang amat aneh dan menyenangkan, tak heran bila kau tak
pernah melupakan dia." lambat laun timbul warna merah pada raut
mukanya, seolah ada aliran panas yang mulai timbul dari relung hatinya
yang sangat dalam.
Im Ki amat kaget, sambil mengawasi suaranya tergagap: "Kau... apa benar
kau..." Kionglam Yan memicingkan mata seperti sedang menikmati sesuatu yang
luar biasa, suaranya halus lembut dan mesra: "Dan anehnya gerakan yang
dia lakukan terhadapku ternyata sama dan tiada bedanya dengan gerakan
yang kau lakukan terhadapku, dikala jari-jarinya mengelus dan merabaraba
badanku, semula kusangka adalah kau, tapi dia terang lebih..."
"Plak" tangan Im Ki tiba-tiba menggampar mukanya, serunya gusar: "Ku
larang kau mengoceh di hadapanku."
Dengan tangan mendekap pipi, Kionglam Yan tiba-tiba tertawa geli,
katanya: "Kau sedang cemburu, memang aku tahu kau sedang cemburu."
tahu-tahu dia pentang kedua tangan memeluk leher Im Ki, dengan giginya
dia lumat kuping Im Ki pelan-pelan, katanya lembut: "Aku senang melihat
kau cemburu, asal kaupun sudi cemburu terhadapku, umpama aku harus
segera mati lantaran kau, akupun tak akan menyesal."
Im Ki duduk kaku mematung, kelopak matanya berkaca-kaca, mulutnya
mengigau, "Kenapa harus berbuat demikian" Kenapa?"
"Karena aku tak tahan lagi, aku sudah hampir gila kau buat, aku harus
balas dendam."
"Balas dendam?"
"Setiap kali kau ajak aku bergaul, aku lantas berpikir, apakah lantaran aku
mirip sama dia baru kau bersikap baik terhadapku" Setiap kali kau
memelukku, aku lantas berpikir, apakah dia pernah menggunakan cara yang
sama memelukmu, maka kaupun gunakan cara itu memelukku" Dikala
memelukku, bukankah hatimu selalu memikirkan dia?"
"Kau... terlalu banyak yang kau pikirkan."
"Bukan saja aku harus menuntut balas bagi diriku sendiri, akupun harus
menuntut balas bagi kau."
"Bagi aku?" suara Im Ki kedengaran gemetar.
"Karena dia meninggalkan kau, tapi kau justru tak bisa melupakan dia, kau
mencintainya, dia malah kemari hendak memeras dan mengancam kau,
mendesakmu supaya kau membiarkan dia pergi... "
Im Ki tak bersuara lagi, namun air mata sudah berderai membasahi kedua
pipi. Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tak habis mengerti, Induk Air Im Ki yang
namanya disegani di Bulim ternyata juga terlibat dalam cintaasmara ,
malah menjadi korban cinta lagi, karena cinta sampai dia berjiwa
eksentrik, lebih tak terduga lagi karena cinta itu pula sehingga jalan
pikirannya tak normal.
Betapapun akhirnya Coh Liu-hiang sudah tahu dan dapat menyimpulkan
apakah sebenarnya yang telah terjadi didalam Sin cui kiong yang oleh
orang-orang luar dipandang tempat agung dan suci.
Memang Im Ki sendiri sebetulnya perempuan yang tidak normal, napsu
birahinya terlalu berkobar dan suka bermain lesbian, dia membenci lakilaki,
namun malah biarkan birahinya yang menyala nyala itu atas diri
muridnya yang berjenis sama. Oleh karena itu dia menerima banyak muridmurid
perempuan yang cantik-cantik, malah dibangunnya pula jalan-jalan
rahasia di bawah tanah yang semua bisa tembus ke dalam kamar murid
muridnya. Bahwa nyonya setengah tua atau bibi Soh Yong-yong itu pernah memberi
peringatan kepadanya, waktu dia berkunjung kepada bibinya ini supaya
jangan sembarang keluyuran, agaknya dia kuatir bila Induk Air Im Ki
sampai melihat wajah Soh Yong Yong yang cantik molek itu, mungkin timbul
juga rasa cinta dengan nafsu birahi yang berkelebihan itu. Memangnya
kalau hal itu sampai terjadi sungguh merupakan bencana yang tak
terperikan dan menakutkan.
Dulu waktu Hiong niocu masuk ke Sin cui-kiong, merekapun mempunyai
hubungan yang gelap yang tak diketahui orang lain, diwaktu Induk Air Im
Ki mengetahui bahwa Hiong niocu bahwasanya bukan perempuan tulen,
namun hubungan mereka sudah berlarut mendalam, dan segalanya sudah
terlambat. Tapi hiong nicou mempunyai kelebihan yang luar biasa, bukan saja
mempunyai sifat sifat dan polah genit sebagai perempuan, diapun punya
watak keras sebagai laki-laki jantan, akhirnya Induk Air sampai jatuh
cinta kepadanya, malah belakangan dia sendiri tidak bisa membebaskan
diri dari belenggu asmara yang tak normal dan hanya didasari nafsu belaka.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, buah dari hasil hubungan gelap ini lahirlah Sun-ouw King.
Akan tetapi dasar manusia bergajul Hiong Niocu tak betah selalu rebah
didalam pelukan Induk Air Im Ki, lama kelamaan timbul rasa bosannya dan
ingin sekali keluntungan di luar pula beroperasi sebagai Maling pemetik
bunga yang durjana, maka dia berkukuh hendak tinggal pergi, sudah tentu
Im Ki amat berat dan tidak mau ditinggal pergi, namun Hiong niocu justru
mengancamnya hendak membeberkan hubungan rahasia ini kepadanya.
Sudah tentu Induk Air malu bila orang lain tahu jikalau dirinya adalah
perempuan aneh yang berjiwa eksentrik, terpaksa dia lepas orang pergi.
Malah selamanya melarang orang kembali ke tempat itu. Akan tetapi dia
toh tak bisa melupakan cintanya, karena orang yang mempunyai kombinasi
dua jenis sifat yang berlawanan dari manusia seperti Hiong niocu tiada
orang keduanya lagi di dunia ini.
Oleh sebab itu, maka Im Ki lantas penujui Kionglam Yang yang perawakan
dan raut wajahnya hampir mirip dengan Hion Niocu, murid perempuan ini
menjadi penghibur lara sebagai pengganti Hiong niocu, sekaligus untuk
menambal kekosongan hatinya.
Dan lantaran hubungan gelap yang dilahirkan dari jiwa yang tak normal
inilah, maka timbul pula berbagai kejadian aneh dan ganjil.
Sekarang terhitung Coh Liu-hiang sudah maklum dan bisa menyelami
rahasia pribadi Induk Air Im Ki.
Tapi pula manfaatnya bagi dirinya setelah dia tahu rahasia ini" apa pula
yang bisa dilakukan" Yang jelas dirinya bukan Hiong-niocu dan tak bisa
meniru perbuatan Hiong-niocu menggunakan rahasia untuk mengancam Im
Ki, betapapun keadaannya tetap berbahaya. Harapan hidup jiwanya
mungkin hanya satu seper-seratus persen saja.
Dengan lidahnya pelan-pelan, Kionglam Yan menjilati air mata yang
membasahi muka Im Ki, dengan dadanya yang montok kenyal untuk
menggosok dada Im Ki yang tidak kalah montoknya, lambat laun
tenggorokannya mengeluarkan rintihan halus serta dengan napas yang
memburu. Tapi Im Ki segera mendorongnya pergi, katanya: "Aku ingin istirahat
seorang diri supaya tenang, kau menyingkirlah."
Kionglam Yan menggigit bibir, katanya: "aku... kau... tak mau... "
"Perasaan hatiku sekarang sedang tak karuan, apapun aku tidak inginkan."
Kionglam Yan menepekur sebentar, mendadak dia putar tubuh terus
berlari kesana menerjunkan diri ke dalam empang itu.
Setelah air empang itu tenang kembali, tiba tiba Im Ki turun dari ranjang
langsung menghampiri almari pakaiannya, agaknya dia hendak menanggalkan
pakaian dan ganti pakaian untuk tidur.
Napas coh Liu-hiang seolah olah hampir berhenti. Tapi setiba didepan
almari Im Ki tidak segera membuka pintunya, sekian saat dia menjublek
didepan almari, entah apa yang tengah dipikirkan, lama kemudian dia malah
menutup rapat pintu lamari serta menguncinya dari luar.
Almari ini terbuat pula dari batu pualam yang tebal, siapapun yang
terkurung didalamnya jangan harap bisa membobol dindingnya meloloskan
diri, kontan hati Coh Liu-hiang seakan akan tenggelam ke dasar lautan.
Apakah Im Ki sudah tahu bahwa didalam almari pakaiannya ada sembunyi
orang" kenapa dia tak suruh dirinya keluar, toh malah dikuncinya dari luar.
Jilid 42 Untungnya bagian atas dari almari ini ada lubang-lubang bikinan yang
mendekuk sehingga orang yang terkurung didalamnya tak sampai mati
kehabisan napas, namun demikian hukuman yang lain dari lain ini sungguh
tak enak rasanya.
Jikalau Im Ki tak mengambil pakaian, Coh Liu-hiang akan selamanya
terkurung didalam almari bagai terkurung didalam penjara batu yang gelap,
sebaliknya kalau Im Ki membuka almari mengambil pakaian, maka jejaknya
bakal konangan.
Disaat Coh Liu-hiang kebingungan tiba-tiba didengarnya Im Ki berkata:
"Kalau toh aku sudah bersumpah takkan kembali ke Sin-cui-kiong, kenapa
sekarang kau kemari lagi" nada suaranya kedengaran penuh diresapi
kebencian, semula Coh Liu-hiang melengak dan kaget, namun cepat sekali
dia sudah maklum ternyata dia sangka yang terkunci didalam lemari ini
adalah Hiong niocu.
Memang Im Ki tak tahu, yang terkunci dalam almari bukan Hiong-niocu
karena dia berpendapat kecuali Hiang niocu, dalam dunia ini pasti takkan
ada orang kedua yang mampu menyelundup masuk kedalam kamar tidurnya.
Coh Liu-hiang sendiri tak tahu apa perlu dirinya memecahkan teka teki ini,
maka dalam waktu dekat dia mandah tutup mulut saja.
"Ternyata kau sudah tahu" demikian Im Ki berkata lebih lanjut. "Aku tak
akan sudi melihatmu lagi."
Coh Liu-hiang membatin "Tak heran" begitu dia tahu dalam almari ada
orang dia lantas menguncinya dari luar, kiranya karena dia sudah tidak mau
berhadapan lagi dengan Hiong Nio-cu."
Im Ki berkata lebih lanjut:
"Tahukah kau kenapa aku suruh Kionglam Yan melihatmu, dia masih bocah
kenapa kau harus menodai dia" Memangnya kau hanya mencelakai dia"
Memangnya belum cukup kau menelantarkan dan membuat aku kapiran?"
Coh Liu-hiang tidak berani bicara, namun dia hanya menghela napas.
"Tak perlu kau menghela napas jangan pula bermain main mulut untuk
menipuku selamanya aku takkan memaafkan kau, tentunya kau sendiripun
maklum." sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah beringas
"Kalau kau sudah melanggar sumpahmu sendiri, berani datang kemari pula,
maka akupun tidak perlu menghargai hubungan kita masa lalu."
Coh Liu-hiang sedang mengingat ingat suara dan nada bicara Hiong Niocu,
akhirnya dia berkata meniru logat orang:
"Kau ingin aku mati didalam sini?" dia tahu tiruannya belum tentu mirip,
tapi Im Ki sudah beberapa tahun tak bertemu dengan Hiong-nicou suara
bicara orang kadang kala bisa berubah mengikuti tumbuhnya usia
seseorang. Maka ia mengharapkan Im Ki tak bisa membedakan akan tiruan
suaranya. Benar juga Im Ki seperti tidak memperhatikan, katanya dengan tertawa
dinging: "Memangnya kau kira aku akan melepasmu pergi begitu saja seperti dulu
itu?" "Tapi... tapi tentunya kau masih sudi memberi kesempatan supaya aku
dapat melihatmu untuk penghabisan kali."
Im Ki menepekur lama, katanya kemudian: "Kenapa kau masih ingin
melihatku?"
"Karena aku ..."
"Tak usah kau omong lagi." damprat Im Ki bengis
"Apapun yang kau katakan aku takkan percaya."
"Apakah kau tahu setelah berhadapan dengan aku, maka kau takkan tega
membunuhku?" setiap patah kata yang diucapkan telah dia pertimbangkan
lebih dulu, tak berani dia mengucapkan sepatah katapun yang keliru. tahu
untuk memancing keinginan Im Ki untuk melihat dirinya, Im Ki semakin tak
mau menemuinya.
Betul juga Im Ki segera menjawab: "Apapun yang kau katakan, aku sudah
berjanji takkan mau menemuimu."
"Paling tidak kau memberitahu kepadaku. cara bagaimana kematian anak
King." Kembali Im Ki termenung agak lama, sahutnya rawan: "Selama ini dia
tetap tak tahu bila aku ini adalah ibu kandungnya."
"Sudah tentu kau takkan membeber rahasia ini karena kau adalah
perempuan suci, perempuan suci mana bisa punya anak" Sebaliknya demi
menepati sumpahku dulu, terpaksa aku ngapusi dia katakan bahwa ibunya
sudah lama meninggal."
"Justru karena sikap kita terlalu berkelebihan terhadapnya, mungkin dia
mengira ibunya terbunuh oleh aku, maka dia berusaha untuk menuntut
balas." "Anak yang harus dikasihani, memangnya tidak tahu bahwa selamanya dia
tidak akan punya kesempatan?"
"Maka dia harus mencari kesempatan" ujar Im Ki, "Sampai Bu Hoa si padri
laknat itu kemari, dia tahu Bu Hoa adalah murid siaulim yang punya
kepandaian tinggi, pergaulannya di dunia persilatanpun amat luas, maka dia
ingin pinjam kekuatan Bu Hoa untuk menghadapi aku, maka tanpa segansegan
dengan kebenciannya dia telah menjual diri kepada Bu Hoa."
Baru sekarang Coh Liu-hiang paham seluruhnya. Memangnya dia sedang
heran, Sutow King paling-paling adalah gadis yang masih hijau, meski sudah
menanjak dewasa dan mekar asmaranya, belum tentu sampai secabul itu,
dengan suka rela dia memasrahkan nasib dirinya menyerahkan kesuciannya
ke dalam pelukan Bu Hoa si gundul itu.
Baru sekarang Coh Liu-hiang tahu ternyata Sutouw King rela menyerahkan
kesuciannya kepada Bu Hoa, memang mempunyai maksud tertentu, jadi
keduanya memang sedang memperalat diri masing-masing untuk
keuntungan sendiri, keduanya tak mempunyai maksud yang baik.
Berkata Im Ki pula: "Siapa nyana Bu Hoa ternyata hendak memperalat dia
untuk mencuri Thian-it-sin-cui, setelah berhasil lantas meninggalkan dia
begitu saja, waktu dia sudah bunting, takut aku akan menghukumnya
dengan tata tertib perguruan, akhirnya dia nekat bunuh diri." sampai di
sini suaranya sudah sesenggukan katanya lebih lanjut lebih pedih: "Dia
justru tak tahu apapun yang telah terjadi, aku tak akan membunuhnya,
sampai menjelang ajalnya dia... dia masih belum tahu bahwa aku adalah ibu
kandungnya sendiri.
Tragedi yang menyedihkan dalam Sin-cui-kiong dan tak diketahui orang
luar ini, sampai sekarang terhitung sudah terbeber dengan jelas dan
gamblang. Coh Liu-hiang menghela napas katanya: "Kalau demikian, jadi kau sejak
mula sudah tahu akan latar belakang kejadian ini." "Sudah tentu aku tahu."
"Lalu kenapa kau harus mencurigai orang lain yang mencuri Thian-it-sincui?"
"Bahwasanya aku tak pernah mencurigai orang lain, cuma rahasia dari
kejadian ini sendiri sekali kali pantang diketahui orang luar, maka terpaksa
aku harus mencari orang lain untuk kujadikan kambing hitam" "Lalu siapa
yang kau cari?" sengaja Coh liu-hiang ujar bertanya.
Im Ki menjawab: "Coh Liu-hiang!" "Memang tepat orang yang kau cari."
Coh Liu-hiang tertawa getir. "memangnya hanya dia satu satunya pilihan,
karena hanya orang seperti dia yang mampu melakukan hal itu, kalau aku
mencari orang lain, orang orang Kangouw mana mau percaya. Nadanya
kedengarannya tak merasa menyesal malah anggap tindakannya itu cukup
memuaskan hatinya.
Tak tertahan Coh Liu-hiang bertanya: "Demi mempertahankan gengsi dan
kesucian Sin-cui kiong tanpa segan-segan kau menjadikan orang lain
sebagai korbannya?" "Demi gengsi dan kesucian nama Sin-cui-kiong,
perbuatan apapun tak segan segannya kulakukan! Tiba-tiba suaranya yang
beringas merandek dan berubah pilu dan menghela napas; "Apa lagi kecuali
kau laki laki lain didalam pandanganku tak ubahnya seperti anjing buduk,
jangan katakan hanya satu Coh Liu-hiang yang menjadi korban, umpama
seratus atau seribu apa pula halangannya?" Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Kalau begitu jadi bukan lantaran dia ingatkan janji maka kau ingin
membunuhnya?"
"Benar ia tak datang terang akan mati, apalagi kalau kemari jiwanya
takkan terampunkan lagi."
Lama Coh Liu-hiang menerawang tiba-tiba dia bertanya: "Kau masih ingat
seorang gadis yang bernama Liu Bu bi?"
"Sudah tentu aku masih ingat, dia murid Ciok-koan-im." Suaranya tibatiba
beringas seperti memburu: "Cara bagaimana kau bisa kenal dia?"
Coh Liu-hiang tertawa: "Tak usah kau merasa cemburu, aku sih tak kenal
dia, soalnya belakangan ini dia telah melakukan suatu peristiwa besar yang
menggemparkan dunia, karena peristiwa itulah aku mendengar namanya."
"Peristiwa yang menggemparkan" Peristiwa apa?" Im Ki menegas "Karena
dia minta kau memunahkan racun dalam badannya, maka dia membunuh Coh
Liu-hiang."
"Memunahkan racun di badannya" Dai terkena racun apa?" "Memangnya
kau tidak tahu?" Coh Liu-hiang melengak. "Yang terang aku tahu dia tidak
terkena racun apa-apa !"
Kini Coh Liu-hiang betul-betul menjublek. Kiranya semua ini hanya
merupakan tipu muslihat Liu Bu-bi sendiri, supaya dirinya kemari masuk
perangkap, ternyata terkaannya memang tidak melesat, Liu Bu bi memang
murid Ciok Koan-im yan diutus ke Tionggoan untuk menjadi mata matanya,
saking naik pitam serasa hampir meledak dan tumpah darah dibuatnya,
semula dia terlalu yakin akan diri sendiri selama hidup ini takkan pernah
tertipu oleh perempuan, sungguh tidak nyana kali ini dirinya benar benar
menjadi korban secara konyol malah.
Tiba tiba Im Ki berkata pula: "Tahukah kau cara bagaimana aku hendak
menghadapimu?" Coh Liu-hiang tertawa getir, sahutnya "Semoga saja kau
tidak tenggelamkan almari ini di dasar danau." "Kau memang orang yang
cerdik, sayang sekali orang pinter sering kebelinger oleh kepintarannya
sendiri sehingga melakukan perbuatan yang paling bodoh."
"Memangnya kau benar-benar sudah bertekad tidak mau melihatku lagi
untuk penghabisan kali?"
Lama Im Ki termenung lagi, akhirnya dia tertawa dingin, jengeknya: "Coh
Liu-hiang tak perlu kau main-main lagi, setelah kau tahu semua rahasiaku,
coba pikir apakah aku bisa melepasmu pulang dengan jiwa masih hidup?"
Sekujur badan Coh Liu-hiang seketika menjadi dingin, perutnya terasa
kecut, katanya menghela napas: "Ternyata kau sudah tahu."
"Sebetulnya kau memang sudah menipu aku, tapi tidak seharusnya kau
katakan bahwa Coh Liu-hiang sudah dibuat mati oleh Liu Bu-bi sudah
membunuh Coh Liu-hiang, meski tak dengan tangannya sendiri, hal ini
takkan berarti dia siarkan sampai diketahui orang luar. Coh Liu-hiang
memang bukan orang baik-baik tapi temannya banyak, memangnya Liu Bu bi
tak takut teman temannya itu menuntut balas kepadanya?"
"Memangnya aku selalu rendah menilai dirimu, kau jauh lebih cerdik dan
pintar dari apa yang pernah kubayangkan.
"Tapi sebaliknya tak menilaimu terlalu rendah, memangnya aku tahu hanya
mengandalkan kekuatan Liu Bu-bi takkan mampu membunuh kau."
Coh Liu-hiang tiba tiba tertawa besar: "Tak heran kau tak berani melepas
aku keluar untuk bertanding sampai mati."
"Tak perlu kau membakar kemarahanku, untuk membunuh kau segampang
aku membalik tangan, tapi buat apa aku harus mengotori tanganku."
"Tapi jikalau kau tidak melepaskan aku keluar ada sebuah urusan selama
hidup takkan bisa kau ketahui lagi."
"Urusan apa?" tak tertahan Im Ki bertanya, agaknya dia ketarik.
"Kalau Hiong niocu tidak berasa didalam almari ini, lalu dimanakah dia"
Kecuali aku tiada orang lain tahu akan rahasia ini." kedengarannya dia
berkata acuh tak acuh, seperti adem-ayem, sebetulnya kedua telapak
tangannya sudah berkeringat dingin.
Memangnya hanya hal inilah satu satunya kesempatannya terakhir, dia
mengharap seperti pula perempuan lain Im Ki sama menaruh rasa ketarik
dan ingin tahu, maka orang akan memaksa dirinya mengatakan rahasia itu.
Asal Im Ki mau melepas dirinya keluar paling tidak dia masih mempunyai
setitik harapan, kalau tidak dia bakal terkurung mampus didalam almari ini,
selamanya takkan bisa melihat cahaya matahari lagi.
Tak nyana bukan saja Im Ki tidak bertanya, malah mulutnya terkancing
rapat, sesaat kemudian didengarnya suara alat rahasia berbunyi, agaknya
Im Ki sedang membuka salah satu pintu rahasia, disusul terdengar
suaranya yang kereng berkata: "Lekas gotong keluar almari itu,
tenggelamkan ke dasar danau."
Sungguh sebuah perintah yang aneh: "Kenapa dia menenggelamkan almari
pakaiannya sendiri ke dasar danau?" meski curiga murid muridnya tiada
yang berani tanya.
Cepat Im Ki mendebarkan: "Suara apapun yang terdengar dari dalam
almari, kalian boleh anggap tidak mendengar, tahu tidak?"
Murid muridnya sama mengiakan saja.
Coh Liu-hiang terpaksa tutup mulut dan tak mau bicara lagi. Karena diapun
tahu perintah Induk Air harus diperhatikan dan segera dilaksanakan,
apapun yang dia katakan, memprotes atau mencak-mencakpun tak berguna.
Dia hanya menyesali nasibnya sendiri yang kurang mujur hari ini.
Perempuan yang tak punya daya tarik atau tak mau mengetahui sesuatu
dalam dunia ini jarang ada, ada kalanya seorang lelaki umpama
menghabiskan masa hidupnya juga sukar menemukan perempuan macam itu,


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun hari ini Coh Liu-hiang justru menemukan.
Almari sudah digotong secara gotong royong oleh murid-murid Induk Air.
Tak lama kemudian air mulai merembes masuk ke dalam almari, lambat laun
seluruh badan Coh Liu-hiangpun sudah terendam didalam air. tapi kali ini
air tak membawakan rasa segar dan nyaman bagi dia, karena dia sudah
insaf tak makan waktu terlalu lama, air ini bakal menamatkan riwayatnya,
kulit dagingnya akan membusuk dan tulang tulangnya akan keropos dimakan
kutu air. Sejak saat ini Coh Liu-hiang yang terkenal itu bakal lenyap dari
percaturan dunia persilatan tenggelam didalam air danau bening ini.
Tak tertahan dia berkeluh kesah dalam hati: "Saudara air, saudara air,
selamanya tak pernah aku berbuat sesuatu yang mengecewakan kau, tapi
kenapa hari ini kau hendak menyalahi diriku?"
Sampai detik ini selamanya belum pernah dia meresapi apa itu yang di
katakan kecewa dan putus asa. Nah pada detik-detik menjelang ajalnyapun
baru dia benar-benar maklum.
Tekanan air dalam almari semakin besar dan berat, walau sekelilingnya
serba gelap apapun tak terlihat olehnya, namun dia merasakan bahwa
almari ini sudah hampir tenggelam ke dasar dan berada ditengah tengah
danau, namun entah mengapa, tekanan air terasa mulai enteng dan
berkurang, disusul air mulai mengalir keluar pula dari dalam almari,
ternyata almari ini digotong lagi ke dalam kamar tidur Induk Air.
Terdengar suara Induk Air memerintahkan murid muridnya:
"Letakkan saja di sini, kalian keluar semua"
"Blang" almari batu tadi itu kembali menyentuh lantai, kontan badan Coh
Liu-hiang bergetar dan tergoncang keras, namun lekas sekali sudah tenang
dan kokoh baru pertama kali ini pula betapa senang hati seseorang bila
kaki menyentuh bumi kembali.
Setelah murid-murid Sin Cui-kiong mengundurkan diri, suasana hening
lelap, lama kelamaan terdengar olehnya deru napas Induk Air yang semakin
memburu seperti gelisah, terang orang sudah tak dapat mengendalikan
emosinya lagi. Coh Liu-hiang tertawa katanya keras: "Memangnya aku tahu kau pasti
akan merubah niatmu, jikalau aku terbenam mampus, selamanya kau tak
akan tahu dimana sebenarnya Hiong niocu sekarang berada?"
Tak tahan Im Ki bertanya: "Dimana dia?" "Mungkin sudah mati, atau masih
hidup, mungkin jauh di ujung langit, kemungkinan dekat matamu, jikalau
kau ingin aku memberitahu kepadamu, hanya ada satu cara saja."
"Agaknya kau ingin supaya aku membebaskan kau?"
"Meski aku ini bukan orang dagang, tapi aku toh tahu untuk berdagang
harus adil walau berita ini amat tinggi nilainya, tapi cukup setimpal untuk
menebus jiwa seorang Coh Liu-hiang sekali kali aku tidak akan menawarkan
harga terlalu tinggi, supaya pembelinya tak usah tawar menawar."
"Kalau kau sudah paham, apa pula yang kau inginkan?"
"Aku hanya ingin kau bebaskan aku, marilah beri kesempatan untuk
bertanding secara terbuka dan adil."
"Kalau demikian jiwamu pasti melayang."
"Kau kira aku takut mati" Aku cuma merasa kematian seperti caraku hari
ini, sungguh keterlaluan dan penasaran, hidupku riang gembira, maka
akupun ingin mati dengan suka rela dengan hati lapang."
Lama Im Ki bungkam, Coh Liu-hiang menunggu jawabannya.
"Tapi jikalau kau memang tidak berani bertanding dengan aku, akupun
tidak memaksa, jikalau aku jadi kau, mungkin akupun tidak akan
membebaskan Coh Liu-hiang begitu saja.
Im Ki tetap tidak bersuara, tapi dari luar almari terdengar suara "klik"
yang lirih, lalu disusul dengan suara Im Ki berkata dengan nada dingin:
"Almari sudah kubuka, silahkan keluar, tapi kau harus ingin betul-betul,
setelah kau keluar, bukan saja kematianmu bakal lebih cepat, malah
kematianmu teramat mengerikan."
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang mulutnya menggumam: "Terima
kasih kepada langit dan bumi, berapapun kau ini adalah perempuan juga,
belum sampai tidak punya sedikit pun daya tarik terhadap sesuatu yang
ingin kau ketahui, jikalau seorang perempuan tidak lagi mau tahu dimana
jejak kekasihnya, mungkin dunia ini bakal selalu geger."
"Sebetulnya dia sudah mati atau masih hidup" Dimana dia sekarang?"
"Kau mengharap supaya dia sudah meninggal" Atau masih berdoa supaya
dia masih tetap hidup" "Kau... " sembari bicara pelan-pelan dia mendorong
pintu almari terus melangkah keluar. Bicara sampai detik itu mendadak
mulutnya merandek dan menjublek di tempatnya, karena dilihatnya Im Ki
yang berdiri dihadapannya sekarang ternyata sudah tidak mirip
dengan Induk Air Im Ki yang pernah dilihatnya tadi.
Induk air Im Ki yang dilihatnya tadi adalah Sin Cui Kiong-cu yang
menggetarkan bulim, setiap gerak geriknya yang dan polahnya mengandung
kewibawaan dan keyakinan yang besar dan tepat, sehingga orang yang
berhadapan dengannya tak berani kurang ajar atau bertingkah laku kurang
hormat." Tapi Im Ki yang dihadapinya ini adalah perempuan lazimnya yang sering dia
lihat di dunia ramai, pada sepasang matanya yang bening terang kini sudah
diliputi rasa bingung dan kalut, wajahnya yang semula berwibawa dan
angker tenang itu kini berubah gugup gelisah, haru dan terlalu emosi,
pakaiannya yang inipun sudah kucal, sampaipun kedua jari jari
tangannyapun sudah mulai gemetar.
Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tak pernah menduga seseorang bisa
mengalami perubahan lahiriah dan batiniah secepat itu dalam waktu
sependek ini, Sin-cui-kiong cu yang menggetarkan sanubari setiap insan
persilatan sekonyong-konyong menjadi perempuan awam yang tak ubahnya
dengan perempuan kebanyakan perempuan.
Perubahan ini sungguh luar biasa, susah dibayangkan oleh siapapun,
didalam waktu sesingkat ini tekanan derita dan siksaan batin yang dialami
mungkin takkan bisa dialami dan dapat dibayangkan oleh orang lain.
Coh Liu-hiang menjadi tak tega, katanya setelah menghela napas:
"Sungguh tak nyana cintamu terhadapnya ternyata sedemikian besar
sedalam lautan setinggi gunung, jikalau dia bisa tahu sejak sebelum
peristiwa ini terjadi, segala kejadianpun takkan berubah begitu cepat,
sayang sekali selamanya dia takkan bisa mengetahui lagi."
Dengan kencang Im Ki merenggut dan menggenggam kedua tangannya
kencang-kencang, suaranya serak gemetar: "Dia.. dia selamanya sudah..."
"Jikalau dia masih tahu dalam dunia ini masih ada orang yang mencintainya
ke pati-pati, mungkin sekarang belum lagi ajal jiwanya, namun demikian,
seorang laki-laki bisa-bisa mendapat kecintaan seperti dirimu kukira
diapun takkan mati penasaran, semoga tentramlah arwahnya dialam baka.
Bergetar sekujur badan Im Ki, tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya:
"Apakah kau hendak membuat kalut pikiran dan gundah hatiku dengan
cerita obrolanmu ini, sehingga aku tak kuasa bergebrak dengan kau?"
"Sebetulnya aku memang punya maksud demikian, apa boleh buat
selamanya aku ini tidak tega menipu perempuan yang sedang dirundung
kesedihan" "Apakah kau yang membunuhnya" bentak Im Ki beringasan.
"Siapakah sebetulnya yang membunuhnya" Apa sampai sekarang kau masih
belum mengerti?"
Kembali badan Im Ki bergetar, seolah-olah berdiripun tak kuat lagi.
Didalam sekejap ini seakan akan dia bertambah tua puluhan tahun katanya
seorang diri dengan suara pilu: "Anak bodoh kenapa kau harus berbuat
demikian" "Kenapa dia harus berbuat demikian tentunya kaupun sudah
maklum" Tangan Im Ki bergetar, tangannya menggepar-gepar seperti hendak
mencari sesuatu benda untuk mempertahankan dirinya kecuali cinta
atauasmara , pukulan batin apa pula yang kuasa membuat sanubarinya
serasa dilukai sampai parah dan tak tertolong lagi" Pengalaman yang tragis
ini memang patut dikasihani, tapi permainan perasaan cinta seperti yang
dilakukan sungguh terlalu brutal. Coh Liu-hiang sendiri bingung dan tak
tahu apa sebenarnya dia ini pantas dikasihani" Atau harus dibenci"
Mungkin pula menggelikan"
Kata Coh Liu-hiang menghela napas: "Sebetulnya aku tak ingin membuat
kalut pikiranmu tapi, sekarang kau memang tidak leluasa dan bukan saatnya
untuk bergebrak dengan orang, aku sendiripun tidak sudi menarik
keuntungan disaat orang mengalami kesulitan."
Tiba tiba setegak tombak kayu badan Im Ki yang gemetar sudah berdiri
lagi, katanya dingin: "Membunuh orang tidak perlu harus menunggu bila
hati merasa senang atau tentram, silahkan kau turun tangan lebih dulu."
"Apa benar kau sekarang mampu bergebrak?"
"Tak kau kuatirkan diriku, lebih kalau kau pikirkan nasibmu sendiri, Asal
kau mampu melawan sepuluh jurus seranganku, tidak sia sia kau sebesar ini
kau mempelajari ilmu silat dari Ya-te." "Agaknya kau memang terlalu
congkak dan takabur." ujar Coh Liu-hiang tertawa. Lenyap suaranya
laksana kilat tiba-tiba badannya menubruk ke arah Im Ki. Soalnya dia
maklum jalan satu satunya untuk merobohkan lawan tangguh ini, hanya
menggunakan "Kecepatan" untuk menyergapnya. Oleh karena itu sedapat
mungkin dia bergerak dengan menggunakan "cepat" asal sejurus dia kuasai
memegang inisiatif penyerangan, kemungkinan dia punya harapan untuk
menang dalam pertarungan jiwa ini.
Memang kecepatan gerak serangan Coh Liu-hiang tak bisa dilukiskan, lebih
cepat dari angin puyuh, lebih hebat dan dahsyat dari sambaran kilat. Siapa
nyana baru saja dia bergerak, telapak tangan Im Ki berbareng bergerak,
kontan dia rasakan adanya selapis tembok tak kelihatan dari tenaga dalam
dari ayunan tangan orang membendung dirinya, lebih celaka lagi karena
kekuatan bendungan ini laksana gelombang ombak samudra yang bergulung
tak putus-putus.
Jangan kata Coh Liu-hiang, hakekatnya tak berhasil merebut kesempatan
bahwasanya dia pun tak berhasil mendekati lawan. Semula dia
mengira Induk Air tak ubahnya dengan Ciok Koan im, ilmu silat orang
mengutamakan permainan aneh dengan gerakan ajaib seperti orang main
sulapan dengan jurus jurusnya yang lincah itu, maka dia sangka mungkin
dirinya masih kuasa menghadapi segala perubahan itu dengan kecerdikan
otaknya untuk mengatasi dan mendahului lawan. Begitulah pertempurannya
dengan Ciok koan im dulu.
Di luar tahunya ilmu silat pelajaran Induk Air Im Ki justru jauh berlainan
golongan dari aliran silat di dunia ini, ternyata ilmu silat Induk Air sama
dengan julukan ini dapat dari gemblengan dari dalam air pula.
Demikian pula kekuatannya seperti juga dengan air, meski kelihatannya
halus dan tenang bahwasanya justru kuat atau melentur tak kenal putus,
tiada barang yang kuat membendungnya kalau setitik air dapat melobangi
batu maka air bah setidaknya bisa membikin gunung jebol dan berubah
bentuk, kontan hanyut tersapu bersih sejak dahulu kala, tiada sesuatu
benda di alam dunia ini yang kuasa melawan kekuatan air.
Baru sekarang Coh Liu-hiang yang bisa tidur didalam air ini menyadari
benar bahwa airlah kenyataan yang paling menakutkan di dalam jagat ini.
Air yang tak kenal kasihan. Tapi cara turun tangan Induk Air justru lebih
tidak kenal kasihan lagi, tidak kelihatan gayanya berubah, pukulan telapak
tangan yang dahsyat laksana amukan ombak samudra tahu-tahu sudah
menindih tiba sehingga Coh Liu-hiang merasa sesak napas dan tak kuat
bernapas lagi. Beruntun mengandal kegesitan dan kelincahan badannya dia sudah
merubah berapa kali gerak perubahan, tapi setiap kali Induk Air mengayun
sebelah tangannya, seluruh serangannya lantas kandas ditengah jalan,
bahwa serangan sehebat dan selihay itu sedikitpun tidak menimbulkan
suatu tekanan sekecil mungkin bagi Im Ki. Akhirnya Coh Liu-hiang
menghela napas, katanya: "Tak heran orang-orang Kangouw sama takut
kepadamu, karena siapapun yang bergebrak dengan kau, memang tiada
harapan mereka bisa mengalahkan kau."
Mulut bicara sementara gerakannya kembali berubah tujuh delapan jurus
pula. Walau dia insyaf perduli serangan jurus apapun yang dia lancarkan
hanyalah sia sia belaka, tapi gerak serangan secepat kilat itu masih terus
berlangsung dan tetap berubah tak kunjung padam, soalnya begitu
gerakannya sedikit lamban atau berhenti, mungkin badannya bisa
tergencet menjadi dendeng oleh tekanan kekuatan yang hebat itu.
Terdengar Induk Air berkata dingin: "Aku sudah mengalah empat puluh
tujuh jurus kepadamu apa kau sudah merasa cukup?"
"Cukup, cukup, lebih dari cukup, silahkan kau membalas!" "Berapa jurus
kau mampu melawan seranganku?"
"Kukira sukar ditentukan, mungkin sejuruspun tak kuat melawan, namun
mungkin pula aku mampu melayani tujuh ratus jurus." "Dengan bekal
kepandaianmu sekarang. bila kau mampu melawan tujuh delapan jurus
kupersilahkan kau pergi."
"Kau tidak akan menyesal?"
"Bocah sombong" hardik Induk Air murka. "Coba dulu kau sambut sejurus
seranganku ini." ditengah bentakannya, tahu tahu serangannya sudah
bergerak menyongsong dengan tepukan ke muka Coh Liu-hiang.
Letak kelihaian dari pukulan telapak tangannya ini, yaitu bukan saja lawan
tak mampu menangkis, tidak bisa berkelit atau mundur, seumpama
seseorang yang sudah kecemplung didalam air bah, kau hanya sekuatnya
meronta dan berenang menanjak keatas, mungkin kau masih mempunyai
setitik harapan, sebaliknya jikalau kau ingin mundur untuk ganti napas,
maka kau akan hancur terbawa oleh air bah, mati tanpa bisa terkubur
secara layak. Coh Liu-hiang ahli berenang dan tahu akan sifat air, sudah tentu dia cukup
maklum akan pengertian teori ini. Akan tetapi begitu Induk Air tepukan
telapak tangannya, dia toh tetap mundur ke belakang. Kelihatannya sudah
dia sudah kecewa, dan putus harapan, maka dia tak berusaha untuk
melawan, tiada keberanian untuk meronta dan berjuang ditengah
gelombang air bah untuk menyelamatkan diri didalam keadaan yang gawat
ini, terpaksa dia pasrah nasib dan menunggu ajal saja untuk mengurangi
derita. Kontan seperti layang-layang putus benangnya badan Coh Liu-haing lantas
terpentang sungsang sumbel terhanyut oleh kekuatan angin pukulan Induk
Air. Agaknya Induk Air sendiripun melengak merasa di luar dugaannya.
Bagi tokoh silat yang latihan ilmunya sudah setaraf kepandaiannya
sekarang mirip juga dengan ahli catur yang sedang main asal lawan
bergerak satu langkah, dia lantas sudah dapat memperhitungkan tujuh
delapan langkah susulan selanjutnya.
Begitu Coh Liu-hiang turun tangan, Induk Air lantas dapat mengukur dan
paham sampai dimana taraf kepandaian ilmu silat Coh Liu-hiang seperti dia
paham menghitung jari jarinya sendiri.
Menurut perhitungannya paling Coh Liu-hiang hanya mampu melawan tujuh
jurus, siapa kira baru jurus pertama, Coh Liu-hiang sudah dipukulnya
mencelat terbang, maka langkah-langkah susulan dari serangan simpanan
yang sudah dia siapkan jadi sukar dia teruskan. Bukan saja hal ini membuat
dia merasa di luar dugaan, juga membuat dia terperanjat dan kecewa,
sungguh dia tidak habis mengerti kenapa penilaian bisa meleset dan salah
besar" Namun meski mengelak dan jalan pikirannya sedikit terpencar, kekuatan
pukulannya masih belum sirna juga, kalau orang lain begitu dirinya
terbelenggu didalam kekuatan pukulan tangannya, jangan harap kau dapat
meloloskan diri. Cuma berapa tinggi ilmu Ginkang Coh Liu-hiang memang
benar-benar tak pernah terpikir olehnya.
"Byuuur!" ternyata Coh Liu-hiang berhasil lolos dari belenggu kekuatan
pukulannya dan menerjunkan diri ke dalam empang, selincah dan selicin
ikan sekali berkelebat badannya lantas lenyap tak kelihatan lagi.
Im Ki tertawa dingin, sekali berkelebat sebat sekali diapun menyusul
terjun ke dalam air.
Dilihatnya gerak gerik badan Coh Liu-hiang didalam air jauh lebih lincah
dan cepat serta tangkas dari pada dia berada ditengah udara. Tapi Im Ki
sendiri juluki Induk Air, betapa pandai dan ahlinya dalam berenang, sudah
tentu jarang ada orang yang bisa menandinginya. Apalagi diwaktu berenang
atau bergerak didalam air, sekujur anggota badannya lantas ikut bergerak
dan kerja sama secara sempurna.
Gerakan kedua kaki terutama yang paling penting, jikalau mengenakan
sepatu, betapapun kau pandai berenang gerak kecepatanmu pasti
terpengaruh. Umpama di belakang ekor ikan kau tambah sirip lagi, maka
ikan itu takkan berenang lebih cepat.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah keadaan Coh Liu-hiang, terasa olehnya sepasang sepatu di
kakinya tiba-tiba menjadi berat seperti bandulan ribuan kati. tapi dia
tidak menjadi gugup atau keripuhan karena dia toh tahu dirinya takkan
bisa melarikan diri. Bahwasanya dia memang tidak ingin pergi, maksudnya
hanya ingin perang tanding dengan Im Ki didalam air.
Di daratan jelas dia bukan tandingan Im Ki, tapi didalam air, walau
kekuatan pukulan telapak tangan Im Ki masih kuasa dikembangkan
betapapun jauh lebih berkurang dengan kekuatannya dibandingkan di
daratan. Memangnya hanya air dalam dunia ini yang mampu memunahkan
kekuatan air itu pula.
Danau yang semula tenang itu, tiba-tiba beriak gelombang laksana kawah
gunung yang mendidih seolah-olah dalam cuaca cerah matahari bersinar di
pinggir laut tiba-tiba terbit angin badai, angin sedang mengamuk air lautan
sedang murka. Seperti pula di dasar danau itu tiba-tiba muncul dua naga raksasa dari
jaman purba sedang bergelut mati matian, dua naga sedang berhantam,
maka airpun bergolak dan berhantam pula.
Murid-murid Sin Cui-kiong sama berlarian keluar menonton dengan kejut
dan jantung berdebar debar, air danau yang biasanya tenang dan jernih
memangnya merupakan danau suci dimata pandangan mereka, kenapa tiba
tiba dapat berubah menjadi danau iblis.
Lama kelamaan air danau malah muncrat tinggi dan bergolak dengan
dahsyatnya, di bawah tingkah sinar matahari yang baru terbit,
kelihatannya reflek sinar matahari sehingga mata silau dan tak terlihat
jelas apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam air.
Tampak air danau tiba-tiba tegak ke atas seperti dinding kaca itu cepat
sekali sudah lenyap, permukaan air timbul gelembung-gelembung air besar
seperti ada banyak siluman-siluman air sedang pesta pora menyalakan api
iblis sehingga air danau mendidih dan bergolak. Pemandangan yang aneh,
hebat dan menakjubkan ini seolah olah terasa membawa bawa situasi yang
tidak normal bagi pernapasan manusia, sehingga orang yang melihatnya
bukan saja merasa berkunang kunang, bulu kudukpun merinding.
Murid-murid Sin cui kong kebanyakan sejak kecil sudah didik masuk
oleh Induk Air mereka tumbuh dewasa didalam suasana seperti yang telah
digambarkan dimuka, sehingga dalam hati kecil masing-masing timbul rasa
tinggi hati dan merasa harga diri mereka jauh lebih suci dan agung dari
orang lain, seakan akan kehidupan mereka dalam Sin-cui-kiong mirip
kehidupan dewata itu jauh sekali dibanding kehidupan masyarakat besar di
dunia pada umumnya, maka tidaklah pantas bila merekapun mempunyai
perasaan biasa seperti manusia umumnya, oleh karena itu meraka tak tahu
apakah itu sebenarnya "cinta", Selamanya tak tahu pula apa pula yang
diartikan "benci" Terutama "Ketakutan" adalah merupakan suatu hal yang
mereka rasa paling lucu dan menggelikan.
Akan tetapi hari ini mau tak mau timbul rasa kaget dan keheranan luar
biasa yang tak mungkin mereka resapi sebelum ini, mereka merasa seakan
akan bakal datang semua bencana yang takkan terlawan akan menerpa atas
badan mereka. Malah ada diantara yang menyangka dunia kehidupan
mereka indah selama ini sudah runtuh dan porak poranda.
Kionglan Yan juga ikut memburu keluar matanya berkaca kaca berlinang
ait mata, tapi melihat keadaan yang aneh dan luar biasa pada permukaan
air danau yang bergolak itu, rasa pedih hanya seketika sirna diganti rasa
kaget dan takut.
Melihat kedatangannya, serempak orang-orang yang lain sama merubung
maju semua sama bertanya: "Apa yang telah terjadi?"
Walau hati Kionglam Yan seperti juga keadaan mereka, kaget dan heran
tapi melihat kelakuan yang ketakutan dan tergopoh itu, terpaksa sedapat
mungkin dia mengendalikan diri, maka dia lantas membujuk mereka malah:
"Tak menjadi soal, mungkin ada angin." "tapi sekarang tiada angin!" "Su
cu," ada orang yang meratap malah:
"lekas kau turun melihatnya, lebih baik kau pergi tanya kepada suhu."
"mana sam-ci?" tanya Kionglam Yan ragu-ragu.
Seseorang segera menjawab: "Samci dan Kin-moay mengompres
keterangan ketiga tawanan itu"
Kionglam Yan menggigit bibir, akhirnya dia ambil putusan, selincah burung
camar tiba-tiba badannya melejit ke pinggir danau, tapi belum lagi dia
terjun ke air, tiba-tiba segulung gelombang ombak besar menerpa ke
arahnya, Belum lagi dia sempat berdiri tegak, kontan dia terdorong
mundur sempoyongan oleh gelombang ombak.
Sekian lamanya dia berdiri menjublek saking kaget, tiba-tiba dia putar
badan lari masuk ke lotengnya sendiri, hanya dari tempat tinggalnya saja
dari bagian luar yang bisa memasuki istana di bawah air.
Empat gadis yang bertugas didalam istana di bawah air sudah pucat pias
ketakutan dari tadi, meski mereka tidak melihat bergolaknya permukaan
air danau yang begitu hebat, tapi getaran air yang menerjang dinding
gunung kedengarannya laksana gugur gunung, seolah-olah sampan kecil yang
terkepung didalam gelombang pasang di lautan samudra raya, suara keras
laksana gempa bumi yang dahsyat itu malah lebih menciutkan nyali orang
lagi, sehingga terasa bumi seperti kiamat dan merekah.
Begitu berlari masuk Kionglam Yan lantas membentak dengan suara
bengis: "Dimana suhu?"
Gadis-gadis itu geleng-geleng kepala, sahutnya gemetar: "Entah dimana"
"Sejak tadi kaliankan berada di sini, kenapa bisa tidak tahu?" "Semula
beliau suruh kami gotong almari pakaian itu ke dasar danau, tapi tiba-tiba
pula suruh mengembalikan ke tempat semula, terus suruh kami menyingkir
keluar, waktu kami mendengar suara gaduh ini dan memburu kemari, beliau
sudah tak kelihatan lagi bayangannya." Kionglam Yan mengerut kening,
setelah berpikir tiba-tiba dia bertanya: "Apakah ada orang lain yang
masuk kemari tadi?"
"Ti... tiada" sahut salah seorang gadis. Sebetulnya dialah salah satu gadis
yang tertekuk oleh tutukan Coh Liu-hiang serta dikompes keterangannya
itu, Hiat-to mereka adalah Im Ki sendiri yang membebaskan. Dalam waktu
dan situasi seperti ini mana dia berani banyak bicara.
Setelah membanting banting kaki tanpa ragu Kionglam Yan segera terjun
diri ke dalam air, suara yang kumandang di lorong bawah tanah semakin
dahsyat, soalnya dinding kedua sampingnya menimbulkan gema suara yang
mendengung dalam air. Belum lagi Kionglam Yan keluar dari lorong didalam
air itu, dari kejauhan sudah dilihatnya dua orang tengah bergelut laksana
dua ekor naga ditengah danau, betapa cepat gerakan kedua orang didalam
air itu jelas tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Luas danau ini ada puluhan tombak, kedua orang yang sedang berhantam
ini seolah-olah sudah menduduki seluruh luas danau kecil ini, pertama kali
Kionglam Yan melihat pertempuran mereka, keduanya masih berada di
sebelah kanan, tapi kejap lain tahu-tahu sudah berada di danau sebelah
kiri. Lantaran gerakan mereka terlalu cepat, maka gerakan badan dan tipu tipu
serangan mereka jadi tak begitu jelas dan seperti tak mengandung
perubahan yang menakjubkan, gelombang pasang yang terjadi didalam
danau bukan lantaran gerak perubahan silat, yang dilandasi kekuatan hawa
murni, kebanyakan adalah karena kecepatan gerak badan mereka yang
terjang sana terjang sini, semakin cepat tenaga pembawaan dari luncuran
badan mereka semakin besar pula tenaganya.
Kalau mereka bertempur di atas daratan perbawa pertempuran ini tentu
tak sedahsyat ini, karena orang yang menerjang air dan air menerjang air
pula, setitik tenaga saling terjang menjadi puluhan tenaga demikian
seterusnya dari kecil bertambah besar.
Dan lantaran air itu sendiri bergerak tak henti hentinya, maka gerakan
badan mereka yang memang cepat menjadi didorong semakin cepat pula,
pertempuran dalam keadaan seperti itu, bukan saja harus menggunakan
setiap titik tenaganya sendiri, kaupun harus bisa memanfaatkan setiap
tenaga gerakan air itu sendiri, ada saat orangnya terdampar oleh kekuatan
gelombang air, sehingga permainan silat dengan tipu-tipunya yang lihay
sudah tak bisa terkendali dan terkontrol pula.
Pertempuran dahsyat itu bukan saja merupakan pertempuran yang tiada
taranya di seluruh jagat sungguh merupakan perkelahian yang
menakjubkan setiap insan manusia yang bisa menyaksikannya, kecuali
mereka yang mengalami sendiri pertempuran ini, siapapun takkan bisa
meresapi kedahsyatan yang nyata.
Demikian keadaan Kionglam Yan, ia berdiri menjublak dalam air, air danau
serasa menyumbat tenggorokannya, namun dia seperti tak merasakan
sungguh tak pernah terbayang didalam benaknya tokoh siapa yang mampu
bergebrak melawan Induk Air Im ki, lebih tak nyana lagi setelah
bertempur sekian lamanya, lawan masih belum kelihatan terdesak di bawah
angin. Didalam pusaran air yang begitu cepat hakekatnya ia sukar membedakan
lagi wajah dan gerakan badan Coh Liu-hiang, cuma didalam matanya lapatlapat
sudah terbayangkan orang macam apa sebenarnya Coh Liu-hiang itu.
Maka terbayang olehnya senyuman gagah seorang laki-laki yang
memabukkan kalbu, serta tingkah lakunya yang bermalas-malas itu. "Coh
Liu-hiang" pasti Coh Liu-hiang adanya, "Kecuali Coh Liu-hiang tokoh macam
apa lagi yang mampu bertanding dengan Induk Air sampai demikian"
Sebetulnya tatkala itu keadaan Coh Liu-hiang sudah payah bukan malu dia
sudah mengeluh dalam hati, kalau bukan karena bekal kecerdikannya dalam
setiap menghadapi perubahan sehingga dengan sepenuh hati dia berhasil
mempergunakan kekuatan pusaran air, mungkin sejak tadi dia sudah
terkubur di dasar danau.
Terasa tekanan yang harus dipikulnya semakin lama semakin berat,
seluruh urat nadi dan jalan darah dalam tubuhnya seolah-olah hampir
meledak, malah darah sudah mulai merembes dari kedua lubang hidungnya.
Baru sekarang benar-benar dia sadari, bergebrak didalam air, sedikitpun
dirinya tetap tak punya harapan untuk mencari jalan hidup.
Memangnya ilmu pukulan Induk iar pasti gemblengan didalam air, kalau
pukulan orang lain tidak bisa menunjukkan perbawanya didalam air,
sebaliknya pukulannya paling hanya sedikit berkurang saja kekuatannya.
Terasa olah Coh Liu-hiang air yang menghimpit dadanya di seluruh
badannya semakin kencang dan rapat, menjadi keras dan kental seperti air
darah, lambat laun gerak-geriknya menjadi lamban dan kaku semakin lama
tak bisa bergerak dan bergeser.
Posisinya sudah terdesak ke pinggir jurang kematian.
Siapa tahu gerak gerik permainan silat Induk Air Im Ki ternyata juga
menjadi lamban serupa angkat tangan atau menggerakkan kaki lambat laun
sudah menunjukkan tenaga tidak memadai keinginan hati pula.
Sudah tentu girang Coh Liu-hiang bukan kepalang, memangnya dia tak
habis mengerti karena Lwekang Induk Air yang besar dan kuat serta
semangatnya yang bergairah tadi bisa begitu cepat terkuras menjadi
lemas, tapi cepat sekali diapun sudah paham akan duduk persoalannya.
Bahwasanya Im Ki bukan kehabisan tenaga, tapi adalah patah semangatnya
karena lambat laun kehabisan pernapasan.. Seperti diketahui Coh Liu-haing
berhasil meyakinkan semacam pernapasan yang serba misterius dan tak
mungkin dimengerti orang lain, di dalam air boleh dikata dia seperti pula
berada di daratan, bebas dan aktif tapi orang lain justru tidak bisa
memadai, keadaan dirinya ini. Apalagi didalam menghadapi suatu
pertempuran dahsyat orang memerlukan pernapasan segar, memang di sini
pula letak kunci kalah atau menang seseorang didalam menghadapi
pertandingan sengit dan lama.
Hawa yang bertahan didalam tubuh Induk Air dengan cepatnya terkuras
keluar, saat mana napasnya sudah hampir berhenti dan amat lemah, dalam
badannya sudah terasakan lelah dan kecapaian yang tak bisa tertahankan
lagi, malah serasa hampir pingsan dan kepala pun sudah pusing tujuh
keliling. Coh Liu-hiang cukup tahu bila dia memberi kesempatan kepada orang
untuk menongolkan kepalanya ke permukaan air menghirup napas, maka
dirinya tentu akan kalah total, karena hawa atau pernapasan bisa berganti
namun tenaga atau kekuatan tak mungkin dibangkitkan pula dengan adanya
pergantian napas ini. Maka betapapun dia tidak akan membiarkan orang
ganti napas. Tampak badan Induk Air tiba-tiba terbalik, badan bagian atasnya
celentang, punggung kakinya terjulur lempang didalam waktu yang amat
singkat beruntun dia sudah melancarkan sembilan kali tendangan maut
meski tendangan kakinya tak mengenai Coh Liu-hiang tapi hasilnya
menimbulkan buih-buih air yang bergulung gulung disekitar badannya dan
mumbul naik ke atas buih air semuanya mengandung kekuatan hawa murni
yang hebat laksana pelor besi menerjang kepada Coh Liu-hiang.
Untuk meluputkan diri dari serangan tendangan buih-buih air ini
sebetulnya bukan soal sulit bagi Coh Liu-hiang, tapi bila dia mundur, badan
Im Ki akan berkesempatan meminjam tenaga jejakkan kakinya didalam air
untuk melesat naik menerjang ke permukaan air. Begitulah kenyataannya
seperti pelor secara otomatis saja buih-buih air itu berbondong bondong
menyerang ke depan sementara badannya laksana roket meluncur ke atas.
Kelihatannya Coh Liu-hiang sudah tak kuasa merintangi aksi orang tapi
dalam gugupnya tahu-tahu tanpa hiraukan segala akibatnya sebat sekali dia
menubruk maju malah memeluk kencang kedua paha orang.
Sudah tentu pimpinan Im Ki tidak pernah membayangkan Coh Liu-hiang
bakal melakukan perbuatan yang rendah dan tidak tahu malu ini untuk
menyerempet bahaya, didalam waktu sesaat karena kebingungan dia tak
tahu cara bagaimana dia harus membebaskan diri, tahu-tahu badannya
malah sudah terseret turun pula ke dasar danau. Saking gusar, kaget dan
malunya, kontan telapak tangannya terayun menepuk ke batok kepala Coh
Liu-hiang. Dengan kedua tangan memeluk kedua paha orang, bukan saja Coh Liu-hiang
tidak bisa menangkis atau berkelit, diapun tak bisa melepaskan orang,
karena begitu tangannya lepaskan pelukannya, maka kaki Im Ki akan
menendang tepat di alat fitalnya. Jalan satu satunya dia hanya sundulkan
kepalanya dengan sekuat tenaga ke perut Im Ki, sehingga badan orang
tersunduk mundur bergerak ke belakang sudah tentu tepukan tangan pun
tak mengenai sasaran.
Permainan Coh Liu-hiang memang terlalu brutal, saking marah Im Ki
rasakan sekujur badannya menjadi linu mengejang. Kecuali Hiong-niocu
selama hidupnya boleh dikata belum pernah badannya dipeluk laki-laki lain,
entah karena memang pernapasannya yang sudah sesak, badannya seketika
menjadi lemah gemulai, sedikitpun tenaga tak mampu dikerahkan lagi.
Sudah tentu Coh Liu-hiang sendiri maklum perbuatan yang dia lakukan
sungguh amat memalukan, tapi bila seorang sedang meronta dalam
bergelut dengan mara bahaya demi menyelamatkan jiwa, masakan dia harus
pikirkan soal malu segala. Betapapun dengan badan Im Ki terjengkang ke
belakang karena sundulan kepalanya tadi, segera dia menerjang naik ke
atas kedua tangan orang dengan badannya dia dekap, sementara kedua
kakinya memegang paha orang.
Mirip dengan ikan gurita dengan kencang seluruh badan Im Ki dia belit
kencang sampai tak kuasa meronta lagi. Dilihatnya kedua bole mata Im Ki
sudah terbalik dan semakin memutih, buih-buih hawa mulai merembes
keluar dari ujung mulutnya, tak berselang lama lagi orang pasti akan
mampus kehabisan napas didalam air.
Terang kemenangan bakal diperoleh pasti oleh Coh Liu-hiang, meski cara
kemenangan yang ditempuhnya kali ini tak boleh dibanggakan, betapapun
menang tetap menang, peduli kemenangan macam apapun, yang jelas jauh
lebih baik dari pada menderita kalah.
Tak Nyana pada saat itu pula, tiba-tiba rasakan adanya segulung kekuatan
besar yang menerjang naik dari bawah badannya sehingga mereka berdua
ke terjang mumbul ke atas. Kiranya tanpa disadari mereka berdua tepat
danau persis diatas batu bundar dimana terdapat mulut semburan air
besar itu. Kionglam Yan segera menekan tombol maka air mancur ditengah
danau itu segera menyemprotkan tenaga semburan airnya ke atas. Kontan
Coh Liu-hiang bersama Im Ki sudah keterjang naik mumbul ke permukaan
air. Coh Liu-hiang tahu asal Im Ki diberi kesempatan menghirup hawa berganti
napas, dia takkan kuat memiting dan menyekapnya lagi, tapi betapapun
kedua kaki tangannya tak boleh lepas atau kendor pelukannya. Tiba-tiba
pandangan matanya menjadi terang, ternyata mereka sudah mumbul ke
permukaan air. Jilid 43

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coh Liu-hiang tidak lagi memikirkan segala sebab dan akibat, mendadak
dia turunkan kepalanya ke dekat muka Im Ki, dengan mulutnya dia lumat
bibir Im Ki, sementara dengan hidungnya dia sumbat pernapasan Im Ki
pula. Apapun yang bakal terjadi, sekali kali dia pantang memberi
kesempatan kepada Im Ki untuk menghirup udara segar.
Murid-murid Sin cui kiong sebetulnya tersebar dimana-mana ada yang di
bawah pohon, ada yang berjajar di pinggir danau, tapi sekarang tanpa
mereka sadari mereka sudah kumpul bersama dalam satu kelompok. Gadisgadis
remaja yang kesepian dan sebatang kara ini hanya merasa perlu
bantuan orang bila mereka dijalari rasa kaget dan ketakutan, memang
kumpul bersama bisa membuat orang-orang menjadi riang gembira. Dan
mungkin di situ pula kenapa kebanyakan manusia sama merasa hidupnya
kurang menyenangkan.
Disaat mereka melihat gejolak air danau mulai mereda, tanpa disadari pula
lambat laun mereka yang berduaan bersyukur bahwa mara bahaya yang
mereka takutkan akhirnya sudah berlalu. Siapa nyana pada saat itu pula air
mancur ditengah danau tiba-tiba menyemprot pula.
Biasanya bila Induk Air Im Ki mau unjukkan diri baru air mancur ini
menyemprot keluar, sudah tentu tidak pernah terbayang oleh mereka bila
di pucuk semburan air mancur itu kali ini sekaligus muncul bayangan dua
orang. Kecuali Induk Air, ternyata masih ada lagi satu orang laki-laki.
Lebih aneh lagi karena lelaki itu sama berpelukan dan berciuman
dengan Induk Air, seolah-olah mereka sedang bermain mesra di atas
ranjang. Saking heran, takjub dan mengkirik seluruh murid-murid Sin cui kiong itu
sama menjublek di tempatnya, umpama dunia kiamat, gunung gugur dan air
laut tumpah, merekapun takkan terkejut seperti ini. Induk Air yang
biasanya amat membenci laki-laki, dan sebagai perempuan suci dan agung
yang tak boleh tersentuh oleh tangan lelaki siapapun, bagaimana mungkin
bisa bermain cinta semesra itu dengan lelaki" Siapa pula lelaki itu"
Mata mereka sama terbelalak.
Ciuman memang nikmat dan meninggalkan kesan mendalam, apalagi ciuman
pertama. Tapi berciuman di bawah sorot pandangan berpuluh puluh pasang
mata, sungguh merupakan suatu hal yang risi dan tak enak dirasakan
apalagi ciuman ini hakekatnya memang tidak mempunyai rasa nikmat, tak
semanis madu. Kalau tak mau dikatakan sebagai ciuman maut, ciuman
kematian. Adasemacam keindahan seni dalam suatu kekejaman, kekuatan kekejaman
yang tak terasakan oleh rabaan tangan. Jikalau kau sendiri tak
mengalaminya siapapun takkan bisa meresapi betapa derita serta berat
siksaan kalbu ini, tapi umpama selaksa manusia siapa pula yang pernah
mengalami hal demikian"
Memangnya demi meronta dari renggutan elmaut dan untuk
menyelamatkan jiwa baru terpaksa Coh Liu-hiang melakukan perbuatannya
itu, tapi saat mana entah mengapa, dalam kalbunya yang paling dalam tibatiba
timbul suatu perasaan aneh yang tak mungkin bisa dia lukiskan dengan
kata-kata. Semburan air yang mengenai badannya laksana semprotan bara.
Sebaliknya badan Im Ki benar-benar sudah lemas lunglai. Selama raut
mukanya sudah jengah dan merah padam, kini lambat laun berubah menjadi
pucat. Coh Liu-hiang tak berani pejamkan mata, setiap gerakan kulit daging
dimuka Im Ki menjadi perhatian yang serius bagi Coh Liu-hiang. Setiap
detak jantungnya dapat terdengar pula oleh Coh Liu-hiang dengan jelas.
Terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa Im Ki memang seorang perempuan yang
punya keyakinan maupun bisa mengendalikan diri sendiri.
Tapi sekarang dia dan dia berjarak begitu dekat, sekonyong-konyong
terasakan olehnya perempuan dalam pelukannya ini berubah menjadi begitu
lembut dan harus dikasihani, tak ubahnya dengan perempuan awam
umumnya. Betapapun agung dan suci perempuan itu, bila berada didalam pelukan lakilaki
maka dia akan menjadi kerdil dan tak berarti lagi.
Sejak dahulu kala pengertian ini seolah-olah sudah menjadi dalil sepanjang
masa, suatu persoalan yang selalu menjadi bahan bicara laki-laki yang
paling menarik, jikalau bukan begitu, mungkin dalam dunia ini takkan ada
peluang bagi laki-laki untuk menguasainya.
Coh Liu-hiang tidak tega melihat orang ajal didalam pelukannya, tapi bila
dia lepaskan belenggu kaki tangannya, itu berarti jiwanya sendiri yang
bakal melayang.
Jikalau jalan pernapasan Im Ki yang sudah tertutup tiba-tiba terbuka dan
lancar pula, betapa besar kekuatannya jelas dengan kekuatan laki-laki
seperti Coh Liu-hiang takkan kuasa membendung atau melawannya, bukan
mustahil dia bakal tergetar hancur seluruh raganya menjadi berkepingkeping.
Memangnya antara mati dan hidup mereka berdua seolah-olah sudah tiada
jaraknya lagi. Dengan nanar Im Kipun sedang mengawasi Coh Liu-hiang.
Semula sorot matanya diliputi kebencian dan dendam yang menyala-nyala,
tapi rasa kematian lambat laun sudah membuatnya lumpuh sama sekali,
untuk membencipun sudah tak kuasa lagi. Akhirnya terunjuk rasa duka dan
pilu yang harus dikasihani. Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang setitik air
mata bergelimang pergi datang di atas kulit mukanya.
Kematian adalah adil, di hadapan kematian, manusia besar yang
terpandangpun dia akan berubah menjadi manusia biasa.
Pelukan kaki tangan Coh Liu-hiang lambat laun mulai lemas dan kendor.
Kalau mau sebetulnya dia bisa lancarkan serangan Jing-jiu-hoat untuk
menutuk dulu Hiat-tonya, karena boleh dikata Im Ki sudah kehilangan daya
tahan dan perlawanannya sama sekali.
Tapi Coh Liu-hiang tak berbuat demikian sungguh bahwa takkan tega
melakukan hal itu terhadap seorang perempuan yang sedang mengucurkan
air mata di hadapannya, selama hidupnya memang tak pernah dia
melakukan perbuatan serendah itu. Bahwasanya Coh Liu-hiang bukanlah
seorang lelaki yang tak kenal kasihan dan kejam seperti yang tersiar
diluaran, tapi diapun tak sepintar seperti yang diagulkan dan dikultuskan
dalam cerita dan dongeng orang-orang Kang-ouw, malah boleh dikata ada
kalanya dia melakukan perbuatan yang paling goblok.
Tapi pada saat itu pula semburan air mancur yang menyanggah badan
mereka tiba-tiba lenyap dan berhenti, kontan badan Coh Liu-hiang dan Im
Ki anjlok dan jatuh kembali dalam danau. "Byuurr" air muncrat kemanamana.
Seakan-akan dia sudah lupa dirinya berada dimana, maka sedikitpun dia
tidak siaga akan keadaan di sekelilingnya, sekonyong-konyong terasa
bergetar hebat dan hampir saja dia jatuh semaput oleh getaran badan
yang tercebur ke dalam air dari ketinggian dua tiga tombak, badan Im Ki
pun sampai terpental lepas dari pelukannya. Maka terasa pula sebuah
tangan tiba-tiba terulur datang, tahu-tahu Hiat-tonya sudah tertotok.
Sekilas sebelum dia jatuh semaput, tiba-tiba dia sadar dan ingat akan
sepatah kata, sudah terlupakan olehnya siapa sebetulnya yang
mengucapkan kata-kata ini, tapi setiap patah kata-katanya dia masih ingat
dengan baik "Air mata perempuan, selamanya adalah senjata terampuh dan
pasti berhasil untuk menghadapi setiap lelaki."
Waktu Coh Liu-hiang membuka mata pula, dilihatnya Kionglam Yan sedang
mengawasinya sambil tersenyum. Ternyata dia terbawa kembali ke kamar
tidur Induk Air. Im Ki pun sudah bersimpuh duduk dihadapannya.
Roman mukanya tak menampilkan sesuatu perasaan hatinya, seolah kini
kembali ke sikap yang semula, dingin, kaku tegas dan berwibawa.
Kionglam Yan berkata dengan suara dingin: "Sudah pernah kuberi tahu
kepadamu tak ada orang yang mampu mengambil keuntungan dari pihak Sin
cui kiong, demikian pula Coh Liu-hiang yang tak pernah terkalahkan
dimedan lagapun tak terkecuali." dengan tajam ditatapnya Coh Liu-hiang,
sambungnya dengan suara lebih tandas: "Sekarang kau sudah mau
mengakui bila kau sudah kalah, bukan?"
Coh Liu-hiang menghela napas ujarnya: "Agaknya aku memang harus
mengakui."
"Apa pula yang masih ingin kau utarakan?"
"Apa pulah yang harus kukatakan" Tiada lagi."
Kionglam Yan tertawa bangga, katanya berpaling kepada Im Ki: "Coba
katakan bagaimana kita harus menghukumnya?"
Sebentar Im Ki berpikir, lalu katanya kalem: "Orang ini kaulah yang
menawannya, sudah pantas kalau terserah kau mau apakan dia."
Terpancar cahaya sadis dalam biji mata Kionglam Yan, ujarnya: "Begitu
pun baik, biar serahkan saja dia kepadaku."
Baru saja dia beranjak kehadapan Coh Liu-hiang, tiba-tiba Im Ki bersuara
lagi: "Apakah kau hendak menghadapinya seperti kau menghadapi Hiong nio
cu?" Kionglam Yan tertegun sebentar, lama kemudian air mukanya berubah,
katanya setelah menghirup napas panjang: "Apakah dia yang
memberitahukan kepadamu?"
Tidak menjawab, Im Ki malah bertanya terlebih jauh: "Apakah kau tak
pernah menduga bila dia bisa melihat perbuatan rahasiamu?"
Kionglam Yan tidak menjawab, namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa
melihat jari-jari tangan orang mulai gemetar, lalu pelan-pelan tergenggam
kencang, kuku jarinya sampai memutih saking kencang genggamannya.
Sesaat kemudian tiba-tiba dia berkata beringas: "Benar, memang akulah
yang membunuh orang itu, jikalau aku salah membunuhnya, tiada
halangannya aku menebus dengan jiwaku, tapi orang yang mencuri lihat
rahasia orang lain, diapun harus mampus." jari-jarinya tiba-tiba terulur
lempeng dan kaku, telapak tangannya tegak berdiri laksana golok, tiba
menebas ke tenggorokan Coh Liu-hiang.
Tapi sebelum telapak tangan ini menyentuh badan Coh Liu-hiang, tiba-tiba
badannya sendiri mencelat terbang, entah kapan tahu-tahu Im Ki sudah
mencelat bangun, roman mukanya tak menampilkan mimik perasaan hatinya.
"Blang" badan Kionglam Yan yang ramping montok itu menumbuk dinding,
lalu perlahan-lahan melorot ke tanah dengan mata terbelalak kaget dia
mengawasi Im Ki, sorot matanya penuh diliputi tanda tanya dan keheranan,
katanya dengan suara gemetar: "Kau..."
"Aku..." Im Ki tak kuasa bersuara.
Tiba-tiba bercucuran airmata Kionglam Yan, katanya: "Kenapa kau... begitu
tega turun tangan terhadapku?"
"Kenapa pula kau tega turun tangan terhadapnya?" balas tanya Im Ki.
"Dia" Siapa" Coh Liu-hiang" ataukah Hiong-nio cu?"
Im Ki tertunduk diam, Coh Liu-hiang juga, membuat jari-jari orang mulai
gemetar. Suara Kionglam Yan seperti meratap gusar: "Ternyata kau masih
mencintai dia. Ternyata aku hanya duplikat yang kau peralat demi kepuasan
dirimu, kau tega membunuhku untuk menuntut balas kematiannya, tapi
tahukah kau kenapa aku harus membunuhnya?"
Im Ki menghela napas, sahutnya: "Aku tahu."
"Kalau begitu kenapa kau masih.... masih...."
"Kalau kau tidak membunuhnya, mungkin aku sendiri yang akan
membunuhnya, tapi jikalau kau membunuhnya, maka aku harus menuntut
balas kematiannya, siapapun yang membunuh dia, akupun akan menuntut
balas kepadanya."
Kionglam Yan berdiam sebentar, katanya kemudian dengan masgul:
"Maksudmu aku sudah mengerti seluruhnya."
Maksudnya tidak sukar dimengerti, umpamanya seorang bocah yang
melakukan perbuatan nakal, ayah bundanya sudah jelas bakal menghukum
atau menghajarnya, tapi jikalau orang lain yang memukulnya, orang yang
jadi ayah bunda pasti merasa sakit hati, bukan mustahil ia akan menuntut
balas dan adu jiwa kepada orang itu, itulah yang dinamakan cinta kasih,
cinta yang selamanya tak bisa diraba oleh manusia, tapi siapapun tak
berani menyangkal akan kehadirannya dalam kehidupan manusia.
Im Ki menghela napas, ujarnya: "Baik sekali kalau kau sudah mengetahui,
memang aku pun mengharap kau mengerti."
"Tapi jangan kau lupa, kalau bukan aku, kau..."
"Aku tahu kau sudah menolongku, tapi menolong dan membunuh adalah dua
persoalan yang berlainan dan tidak boleh dicampur aduk dalam satu
persoalan, aku berjanji akan perlakukan kau baik-baik dalam penguburan
dirimu." Kembali Kionglam Yan termenung lama baru akhirnya tertawa getir,
katanya: "Sekarang benar-benar aku mengerti lantaran apa kau sampai
tega membunuhku pula."
"O!" Im Ki bersuara dalam mulut.
"Kau membunuhku karena aku telah menolong kau."
"O!" "Setelah aku meninggal, maka selamanya takkan ada orang yang tahu
bahwa kau pernah kecundang ditangan Coh Liu-hiang, takkan ada orang lain
yang tahu pula bahwa aku pernah menolongmu, selamanya kau tak sudi
menerima kegagalan dan kekalahan yang memalukan itu, maka kau harus
membunuhku."
Im Ki menarik napas, ujarnya: "Biasanya kau memang pintar, mungkin
terlalu pandai."
Kionglam Yan melengak, mulutnya seperti mengigau: "Sebetulnya aku ini
pintar atau bodoh, aku sendiripun tidak tahu." akhirnya dia menutup mata
tidak bicara lagi, memang dia takkan bisa bicara lagi.
Hening lelap. Kesunyian yang mencekam sanubari sehingga napas terasa
sesak. Coh Liu-hiang pun tidak tega memecahkan keheningan ini atau
mungkin dia tidak berani.
Lama juga Im Ki menatap Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah kau
beranggapan lantaran dia memang menolongku maka aku lantas
membunuhnya?"
"Kukira kau bukan orang macam begituan." sahut Coh Liu-hiang hati-hati.
"Masakah dia tidak lebih jelas mengetahui karakterku dari apa yang kau
ketahui?" "Itulah karena dia memang orang macam itu, maka diapun pandang dan
anggap kau seperti dia pula."
Pandangan hambar dan kosong Im Ki menatap ke tempat jauh, mulutnya
menggumam: "Benar, oleh karena kau bukan orang seperti itu, maka kaupun
mengatakan aku bukan, jikalau kau orang-orang macam begituan, mungkin
dia takkan punya kesempatan untuk menolong aku."
Memang kalau Coh Liu-hiang seorang culas dan keji, jiwanya mungkin sejak
tadi sudah terenggut ditangan Coh Liu-hiang, tapi tidak pernah terpikir
oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sendiri sebetulnya memang sudah tahu juga.
Sudah tentu dia mengharapkan Im Ki bukan seorang seperti itu, karena
kalau Im Ki benar orang yang dikatakan Kionglam Yan, maka sekarang
orang bakal menghabisi jiwanya untuk menutup mulutnya. Tapi apakah
benar Im Ki orang seperti itu" Coh Liu-hiang tak tahu, dia hanya tahu
bahwa mati hidup jiwanya sekarang berada digenggaman tangan Im Ki. Dia
pun sudah merasakan betapa asin rasa keringat dinginnya sendiri.
Beberapa kejap pula, tiba-tiba Im Ki bertanya: "Tahukah kau kenapa kali
ini bisa kalah?"
"Apa pula bedanya bila aku tahu dan tak tahu?"
"Kau harus tahu kekalahanmu kali ini, adalah karena hatimu terlalu
lembek." "Dan kau" Mengapa hatimu selamanya tidak pernah lembut?"
Lama Im Ki menerawang perkataan ini, tiba-tiba dia tertawa dingin,
katanya: "Hatiku! Kau kira aku masih punya hati?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng sambil menghela napas, hatinya serasa
mencelos. Dia kira kini dirinya betul-betul tiada harapan sama sekali. Tak
nyana Im Ki melanjutkan dengan suara rawan: "Lantaran aku sendiri sudah
tidak memiliki apa-apa lagi, oleh karena itu mati hidupmu sekarang sudah
tiada sangkut pautnya pula dengan diriku, aku malah sudah malas untuk
membunuhmu." tiba-tiba dia balikan telapak tangan menepuk badan Coh
Liu-hiang membebaskan tutukan Hiat-tonya.
Keruan Coh Liu-hiang tertegun, sekian lama mulutnya megap-megap: "Kau
apakah, kau sudah..."
Tiba-tiba berubah bengis sikap Im Ki, bentaknya: "Apapun yang kupikir
tiada sangkut pautnya lagi denganku, lekas kau pergi saja, jangan kau
tunggu aku merubah maksudku semula." lalu dipanggilnya seorang muridnya
yang bingung dan ketakutan, katanya: "Bawa orang ini dan dari Sam-cimu,
suruh dia bebaskan sekalian ketiga orang yang ditawannya itu."
Bergegas Coh Liu-hiang merapikan pakaiannya, segera dia menjura:


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih Kiong-cu."
Waktu itu seperti paderi tua yang sudah semedi dan kehilangan
kesadarannya, Im Ki duduk di tempatnya, seolah-olah selamanya dia orang
sudah tak mau bangun lagi.
Pintu baru mulai merapat dan akhirnya tertutup, lambat laun mengalingi
pandangan Coh Liu-hiang, maka Induk Air sekarang sudah terkunci didalam
pintu batu itu. Bukan saja dia sudah terasing dari keramaian dunia, diapun
sudah berpisah dengan jiwa raganya. Tapi pintu itu justru hasil karyanya
sendiri. Coh Liu-hiang menghela napas, dia tahu mungkin selanjutnya takkan ada
orang yang bisa menemuinya lagi, jikalau selamanya dia tak pernah
berhadapan dan melihat Im Ki pasti sedikitpun dia takkan merasa hambar
dan menyesal seperti kehilangan sesuatu. Tapi sekarang entah mengapa,
relung hatinya terasa rada pilu dan sendu.
Berdiri disamping di samping murid Sin cui kiong itu, kelihatannya heran
dan kaget namun juga ketarik dan ingin tahu, agaknya dia masing bingung
dan belum mengerti apa sebenarnya hubungan lelaki ganteng dihadapannya
ini dengan gurunya.
"Marilah kita pergi!" akhirnya Coh Liu-hiang membuka suara sambil putar
badan lebih dulu. Kembali tak pernah terbayang olehnya, belum lagi
ucapannya berakhir, maka dilihatnya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tokhing
sudah beruntun mendatangi dengan langkah terburu-buru. Begitu
melihat Coh Liu-hiang, agaknya merekapun amat kaget.
"Ular busuk." tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak lebih dulu: "Cara
bagaimana kau lari keluar?"
Coh Liu-hiang berteriak tak tertahan: "Cara bagaimana pula kalian bisa
lari kemari?"
Kedua pihak hampir bersama-sama mengajukan pertanyaan, tak tertahan
mereka tertawa geli, apapun yang telah terjadi sekarang kembali bersua
dan kumpul bersama, sudah tentu bukan kepalang senang hati mereka.
"Boleh kau bicara dulu, pengalamanmu pasti jauh lebih menarik untuk
diceritakan, sebaliknya cerita pengalaman kami sungguh rada kurang
menyenangkan."
"Biarlah kau saja yang cerita duluan, ceritaku teramat panjang untuk
diceritakan."
Sekilas Oh Thi-hoa mengerling ke arah Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu
katanya dengan tawa getir: "Kalau dikatakan memang memalukan, kami
bertiga ternyata tetap bukan tandingan Induk Air seorang, jikalau bibi
Yong-ji tidak welas asih dan menaruh belas kasihan mungkin kami takkan
bertemu lagi dengan kau."
"Dia melepas kalian keluar?" Coh Liu-hiang menegas.
"Benar." tutur Oh Thi-hoa, "bersama seorang gadis yang dipanggil Kiu
moay mereka mengompres keterangan kami, sudah tentu kami
membangkang dan tutup mulut tapi budak yang dipanggil Kiu moay itu
memang cewek galak, dia gunakan siksaan hendak mengompres kami,
untung bibi Yong-ji bilang kita ini tokoh-tokoh yang punya kedudukan,
adalah pantas kalau melayaninya dengan sopan santun, tak nyana cewek
galak itu malah marah-marah, dia menuduh bibi Yong-ji sebelumnya sudah
sekongkol dengan kami." dengan dongkol dia menyambung: "Cewek itu galak
mulut, galak pula orangnya, banyak kata-kata kotor yang dia ucapkan lagi,
saking tak sabar lagi dan gemas bibi Yong-ji tiba-tiba menutuk Hiattonya."
"Dia... mana boleh nekad, masa tidak berbahaya?"
"Sudah tentu apa yang dia lakukan membuat kami terperanjat, karena
tata tertib perguruan Sin-cui-kiong amat keras hal ini diketahui setiap
insan persilatan, perbuatannya secara tidak langsung sudah mengakui
bahwa dia memang ada sekongkol dengan kami durhaka kepada guru dan
sekongkol sama musuh sudah tentu dosa kesalahan yang tidak ringan
hukumannya, tapi setelah dia turun tangan, sikapnya malah tenang, cuma
dia suruh kami lekas keluar mencari kau, katanya mungkin kau sudah
terbelenggu ditangan Induk Air, mungkin... mungkin sudah celaka."
"Dan dia sendiri bagaimana?" "Dia... agaknya dia sudah berkeputusan, dia
sudah pasrah nasib dan tak ingat akan selamatkan jiwa, namun dia
memberitahu kepada kami, Nikoh bisu tuli didalam Bo dhi am hu
sebenarnya adalah Toa-sucinya, karena melanggar undang-undang
perguruan maka akhirnya dia ketiban hukuman yang mengenaskan, dia
harap bila ada kesempatan meminta kami untuk sekedar memberi
pertolongan padanya."
Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya: "Kalau begitu agaknya diapun
takut mengalami nasib seperti Toa-sucinya itu, maka dia bertekad untuk
gugur saja..."
"Mungkin demikian setelah kami keluar dia lantas menutup pintu penjara
itu dari dalam, dirinya terkurung didalam penjara batu, waktu kami
menyadari hal itu, dan menggedornya minta pintu dibuka, bagaimanapun dia
tidak mau membuka lagi, hakikatnya dia sudah anggap tak dengar seruan
kami, tak mau menjawab pertanyaan kami."
"Sungguh tak nyana Induk Air dan muridnya punya watak yang angkuh
sampaipun orang lainpun pantang melihat kematian mereka, memangnya
mereka ingin selamanya hidup didalam sanubari orang lain?"
Oh thi-hoa tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksud ucapan Coh Liuhiang,
karena betapapun dia takkan menduga bahwa Induk Air Im Ki
ternyata mempunyai cara kematian yang mirip. Maka katanya dengan
menyengir sedih: "Bagaimana juga, selamanya kita memang harus
berterima-kasih dan hutang budi kepadanya"
Tanya Coh Liu-hiang kemudian: "Bagaimana kalian bisa datang kemari"
Apakah akhirnya Yoong Ji berhasil memberitahu jalan rahasia yang
menembus ke Sin-cui-kiong ini kepada kalian?"
"Setelah kau berlalu, kami lantas minta dia memberitahu, semula dia tidak
mau, tapi sedari kemudian diapun mulai mengisahkan kepadamu."
"Jadi dia ikut kalian datang?" "Dia kuatir bila ikut kami bisa kurang
leluasa/" "Lalu dimana dia sekarang?" "Katanya dia hendak menyusul ke Bo
dhi am untuk kumpul bersama Tuian-ji lainnya lalu melihat gelagat apakah
bisa dari sama menyuruh masuk kemari, semula aku hendak membujuknya
supaya tak usah gelisah, tak nyana malah dia sudah menghibur aku " sampai
di sini Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya lebih lanjut: "Dia amat yakin dan
percaya penuh terhadap kau, katanya berapapun mara bahaya yang kau
hadapi, pasti kau punya cara dan akal untuk meloloskan diri."
Cay Tok-hiang menimbrung dengan tertawa: "Agaknya dia malah rada
menguatirkan kami bertiga, dia pesan wanti-wanti kepada kami supaya
jangan sembarangan turun tangan, tapi begitu kami sampai di sini, semua
pesannya sudah terlupakan semua."
Ui Loh ce juga mendekat, selanya: "Siapa sebenarnya temanmu itu. Maling
Romantis tentu sudah tahu, perbuatannya dulu memang takkan
menimbulkan simpatik malah membuat hati orang dendam tapi belakangan
ini dia berubah dan benar sudah bertobat, sudah mengubah kelakuan
buruknya dan kembali ke jalan lurus" "Semua urusannya sudah kuketahui,
akupun simpatik kepadanya, cuma sayang dia..." Berubah air muka Ui Lohce
tanyanya: "Dia... apakah sudah menemui ajal?" Coh Liu-hiang menghela
napas panjang tak menjawab.
Ui Loh-ce berkata: "Dinilai dari perbuatannya dulu, memang pantas kalau
dia harus menebus dengan kematiannya, akan tetapi... tetapi Cayhe masih
ingin tahu... sebenarnya siapakah yang membunuhnya?" "Orang yang
membunuh diapun sudah terbunuh, malah Sin-cui-kiong-cu sendiri yang
menuntut balas kematiannya kini mereka bertiga satu keluarga pasti sudah
berkumpul dialam baka, buat apa Cianpwe bersedih bagi dirinya." Ui Loh-ce
geleng-geleng kepala lalu terduduk, gumamnya: "Benar dengan dosadosanya
yang kelewat takaran itu, Yang kuasa terhitung memberi keadilan
yang setimpal kepadanya." dimulut dia berkata demikian, api tak terasa air
mata berkaca kaca di kelopak matanya.
Oh Thi-hoa menepuk pundak Coh Liu-hiang katanya: "Dan kau" cara
bagaimana kau bisa lolos dari cengkeraman Induk Air" Apa kau... " dia
tertawa penuh arti menghentikan ucapannya.
Coh Liu-hiang melotot sekali kepadanya, katanya: "Kalau aku toh sudah
lolos, tak perlu kau menguatirkan aku lagi, justru Yong-ji dan lain-lain itu
sampai sekarang belum kunjung tiba, memangnya mereka mengalami
sesuatu?" Tiba tiba dia berputar menghadapi gadis murid Sin-cui-kiong itu
tanyanya dengan tersenyum: "Bolehkah aku mengetahui nama harum nona
yang mulia?"
Sebetulnya gadis itu sedang mendengar dengan mata mencelong, mau
pergi tidak berani menyingkir, kini tiba-tiba ditanya karuan terperanjat
sahutnya malu-malu: "aku bernama Lam Pin."
Suara Coh Liu-hiang lemah lembut: "Kami ingin keluar Bo-dhi-am untuk
mencari orang entah sudikah nona Lam Pin membawa kami keluar?"
Sebentar Lam Pin mengawasi pintu batu yang tertutup kencang itu,
katanya: "Suhu tak suruh aku membawa kalian keluar, aku sendiripun tak
berani ambil putusan."
"Nona tak usah kuatir, kau tunjukkan jalannya, beliau tak akan salahkan
kau." Lam Pin menggigit bibir, agaknya tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang menarik tangannya, katanya: "Hayolah sekarang,
berangkat." Merah muka Lam Pin, ingin meronta dan melepaskan
tangannya, namun kepalanya malah tertunduk, mau bicara tak tahu apa
yang harus dia ucapkan, akhirnya seperti orang linglung saja dia mandah
diseret pergi. Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya geleng-geleng: "Perempuan yang
galak seperti serigala lapar, setiap berhadapan dengan ulat busuk, seolaholah
dia menjadi mati kutu dan tak bisa berbuat apa-apa, aku sungguh tak
mengerti kenapa bisa begitu?"
"Lute" ujar Cay Tok-hiang. "Masakan pengertian yang sepele saja kau tak
tahu?" "Memangnya dia punya daya iblis untuk memelet gadis, kenapa aku tidak
melihatnya sedikitpun?"
"Kalau kaupun bisa melihatnya, wah celaka dua belas."
Air terjun tumpah ke dalam danau, air danau lalu mengalir keluar pula, bila
air terjun tidak berhenti, air danaupun tak berhenti mengalir, begitulah
sambung menyambung tiada putus, disinilah letak keajaiban alam yang
besar dan jaya.
Coh Liu-hiang beramai ramai menyelusuri aliran air bawah tanah terus
beranjak ke depan terasa letak lorong panjang ini semakin tinggi, pada
ujung lorongsana terdapat undakan batu, di atas undakan batu itulah ujung
keluarnya. Lam Pin berkata: "Di atas ini adalah Bo-dhi am, merupakan salah satu
pintu keluar istana kami, dari sinilah cara yang paling gampang karena
kelihatannya Suci amat galak, sebetulnya dia welas asih dan penuh kasih
sayang kalau orang meratap tangis dan minta pertolongannya, jarang dia
tega menolak permintaan orang."
Setelah menelusuri lorong panjang di bawah tanah itu, agaknya
hubungannya dengan Coh Liu-hiang semakin intim, bukan saja tidak malu
dan takut, sebelah tangannya malah dia biarkan digandeng oleh Coh Liuhiang,
tidak berusaha meronta lagi.
Tapi Coh Liu-hiang sendiri menjadi gelisah kalau toh Toa sucinya itu orang
welas asih kenapa sudah sampai sekarang Li Ang-siu beramai belum
kelihatan batang hidungnya"
Terdengar Oh Thi-hoa berkata: "Khabarnya orang-orang yang masuk dari
sini, harus dimasukkan ke dalam keranjang, apa benar?"
"Benar" sahut Lam Pin, "Karena Toa-suci tidak boleh meninggalkan Bo dhi
am, terpaksa dia lepas orang kedalam keranjang, supaya keranjang air itu
mengalir terbawa arus kedalam."
Oh Thi-hoa awasi Coh Liu-hiang, katanya: "Agaknya dalam hal ini Liu Bu-bi
memang tidak berbohong."
Coh Liu-hiang hanya tertawa getir. Sekarang dia lebih yakin lagi bahwa Liu
Bu-bi sebenarnya perempuan yang pandai bohong. Karena hanya orangorang
demikian saja yang tahu didalam ucapan-ucapannya kebohongan
dibumbui dengan kenyataan, cara itu akan jauh lebih gampang untuk
menipu orang. Lam Pin berkata: "Lobang keluarnya kebetulan terletak di bawah kasur
bundar tempat duduk Suci, biasanya kami jarang kemari karena sejak Toa
suci berbuat salah dan dihukum, Suhu lantas larang kami berhubungan
sama dia."
Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya: "Sebenarnya kesalahan apa yang dia
lakukan?" "Ini... aku sendiri kurang jelas!" agaknya Lam Pin tidak mau membicarakan
hal itu lagi, dengan langkah terburu-buru dia naiki undakan batu, lalu
mengetok dinding dengan bundaran gelang besi yang gemandul di sana,
terdengar suara Ting-ting amat keras itu menggema didalam lorong sampai
lama, kedengarannya seperti naga berpekik.
Lam Pin menerangkan pula: "Karena kerja Suci sehari-hari hanya duduk
semedi di atas kasuran itu, jarang sekali bergerak, maka asal kami
mengetuk gelang besi ini, dia lantas tahu akan kedatangan kami."
Oh Thi-hoa tidak berbincang lagi, betapapun hatinya rada tegang, dia
harap pintu rahasianya lekas muncul dan terbuka, supaya mereka lekas
bertemu dengan Song Thiam-ji dan lainnya, ingin dia tahu apa sebenarnya
yang terjadi atas diri mereka.
Tak nyana setelah ditunggu sekian lamanya, dari atas tetap tidak
kedengaran reaksi apa-apa.
Lam Pin mengerut alis, katanya: "Aneh, apa mungkin Toa-suci kebetulan
tidak berada di atas?"
Meski gelisah Coh Liu-hiang malah menghiburnya: "Mungkin kebetulan dia
tengah keluar melemaskan kaki tangan,kan biasa bagi manusia normal?"
"Yang terang dia pasti takkan meninggalkan Bo dhi am, tempat di atas tak
begitu luas, asal gelangan ini berbunyi, seharusnya dia sudah
mendengarnya, kecuali di atas terjadi sesuatu."
Sudah tentu hati Coh Liu-hiang lebih gelisah, karena dia... kalau Liu Bu-bi
sudah tahu bila mereka berhasil masuk ke dalam Sin cui kiong, maka
bualannya bakal terbongkar, sudah tentu dengan berbagai akal dia akan
berusaha merintangi mereka.
Memang pengetahuan Li Ang-sui cukup luas, karena membaca catatan
buku itu, tapi otaknya kurang cerdik dan tak bisa berakal. Song Thiam-ji
lebih lincah dan suka bermain sedikitpun tak tahu keculasan hati manusia
umumnya. Apalagi kedua orang ini sama simpati akan pengalaman Liu Bu-bi
maka bila Liu Bu-bi mau mencelakai jiwa mereka, sungguh segampang
membalikkan telapak tangan.
Terdengar Oh Thi-hoa menggerutu: "Kalau pintu di atas tak terbuka, apa
kita tidak ada cara lain untuk keluar dari sini?"
"Tak ada jalan keluar lainnya, pintu keluar di lorong bawah tanah ini hanya
bisa dibuka dari atas, soalnya Suhu kuatir kita menyelundup keluar secara
diam-diam."
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertepuk tangan katanya tertawa tertahan: "Aku
lupa satu hal, tak nyana kaupun melupakannya."
"Lupa apa?" tanya Coh Liu-hiang mengelak.
"Toa-sucimu itu bisu dan tuli, hanya duduk di atas kasuran baru bisa
merasakan getaran dari ketokan gelang besi ini, kalau dia memang sedang
menyingkir mana dia bisa mendengar suara ketokan ini."
Lam Pin berkata dengan tegas: "Dia dapat mendengar."
"Kenapa" Memangnya dia tak bisu atau tuli, hanya pura-pura demikian
saja?" Oh Thi-hoa menegas.
Tak kira Lam Pin malah geleng-geleng, sahutnya: "Bahwasanya dia memang
bisu dan tuli, sedikitpun tidak salah."
Kali ini Oh Thi-hoa yang tertegun melongo, katanya: "Kalau dia benar bisu
dan tuli, cara bagaimana dia bisa mendengar suara?"
Lam Pin tertawa, ujarnya: "Setelah kau berhadapan dengan dia pasti akan
tahu apa sebabnya bisa begitu."
Oh Thi-hoa menjublek sekian lama, akhirnya seperti sadar, katanya: "Ya,
aku paham sekarang."
"O" Paham bagaimana?" tanya Lam Pin.
"Adaorang asal dia mendengar bibir orang bergerak, maka dia lantas
meraba apa yang dikatakan oleh orang itu, tentu Sucimu mempunyai
kelebihan demikian."
Lam Pin menghela napas dengan masgul, katanya: "Dia bukan saja bisu dan
tuli, malah... malah matanyapun tak bisa digunakan lagi."
Kembali Oh Thi-hoa melotot, katanya kaget: "Jadi diapun buta?"


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya." Lam Pin mengiakan.
Saking gugup Oh Thi-hoa menggosok-gosok hidung, dengan tertawa dia
menggerutu: "Seorang bisu, tuli dan buta, namun bisa mendengar ratap
tangis dan permintaan orang lain yang harus dikasihani, malah bisa
mendengar suara ketokan pintu, ulat busuk biasanya serba pandai, kali ini
tanggung kaupun kebingungan dibuatnya."
Terdengar suara ketokan gelang besi itu kumandang pula. Kali ini ketokan
Lam Pin lebih keras. Tapi setelah ditunggu sekian lamanya dari atas tetap
sunyi tak terdengar reaksi apa-apa.
Tak tahan Coh Liu-hiang maju mendekat menempelkan telinga ke dinding
batu. "Kau mendengar suara apa?" dengan gelisah Oh Thi-hoa bertanya.
Coh Liu-hiang mengerut kening, sahutnya: "Tidak begitu jelas,
kedengarannya seperti ada suara sesuatu."
Oh Thi-hoa banting-banting kaki katanya mengomel: "Hidungmu sudah tak
manjur, memangnya kupingmu juga tidak berguna juga?"
Tiba-tiba Cay Tok-hing menanggalkan karung yang tergantung di
pinggangnya mengeluarkan sebuah mangkok besi, katanya "Dengan mangkok
besi ditempelkan ke dinding, kau akan bisa mendengar lebih jelas."
"Apa benar?" tanya Oh Thi-hoa heran dan tidak percaya.
"Orang-orang Kangouw tahu murid-murid Kaypang paling wahid dalam
pekerjaan mencari ayam menangkap anjing, memangnya kau belum pernah
dengar?" kelakar Cay Tok-hing.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang terima mangkok besi itu terus di
tempatkan ke dinding lalu dia tempelkan pula kupingnya ditengah mangkok,
lama kelamaan sorot matanya semakin menyala, tapi kedua alisnya
sebaliknya bertaut semakin kencang.
"Sudah mendengar suara apa?"
"Ya, ada suara!"
"Suara apa?"
"Agaknya ada orang sedang bicara."
Oh Thi-hoa menggosok hidung, katanya geli: "Orang bisu mana bisa
bicara?" Ingin tertawa namun Lam Pin tak bisa tertawa, katanya mengerut alis:
"Yang terang pasti bukan Toa suciku yang bicara, dia tak bisa bicara."
"Mungkin Thiam-ji dan lain-lain sedang minta-minta kepadanya."
"Bukan... entah suara laki-laki, tapi suaranya serak, tak mirip suara Li
Giok-ham."
"Laki-laki?" Lam Pin berjingkrak kaget, ada laki-laki yang sedang bicara?"
"Laki-laki juga adalah manusia, ada kalanya seperti juga perempuan suka
cerewet, kenapa nona harus kaget begitu rupa?"
"Tapi beberapa tahun lamanya tak ada lelaki yang berani berkunjung ke
Bo-dhi am, orang-orang Kang-ouw hakekatnya jarang ada yang tahu akan
letak Bo dhi-am ini.
"Sin cui kiong saja sudah didatangi laki-laki, apalagi Bo dhi am ini?"
Berobah pula roman muka Lam Pin, debatnya: "Tapi orang yang
mengunjungi Sin cui kiong pasti mempunyai urusan penting, maka berani
menempuh bahaya, Bo-dhi am tak lebih hanya kuil kecil yang tak terawat
dan sepi tiada sesuatu yang bakal menarik orang datang, Toa-suci pasti
tidak akan bermusuhan dengan siapapun, untuk apa pula mereka
berdatangan ke tempat ini?"
"Mungkin mereka ingin menyelundup masuk ke Sin cui kiong dengan diamdiam
lewat tempat ini?"
"Menurut pendapatku mungkin mereka meluruk kemari lantaran temanteman
kalian itu."
Oh Thi-hoa mengerut alis, lalu diapun dekatkan kupingnya ke pinggir
mangkok besi, tanyanya: "Kau dengar tidak apa yang sedang mereka
bicarakan?"
"Tak terdengar." sahut Coh Liu Hiang tertawa getir, "Sekarang mereka
tak bersuara lagi."
Berdiam diri, ada kalanya memang jauh berharga dari pada tutur kata
panjang lebar, kesunyian ada kalanya jauh lebih menakutkan daripada
berbagai suara apapun, keadaan Bo dhi-am saat itu laksana tiada kehidupan
insan berjiwa lagi, sunyi senyap, sedikit suarapun tak terdengar,
memangnya didalam waktu sekejap ini orang-orang di atas sudah mampus
seluruhnya" Kalau tidak kenapa mendadak menjadi hening lelap"
Tanpa terasa telapak tangan Coh Liu Hiang sudah berkeringat dingin.
Setiap orang sedang menunggu dengan hati tegang, lama juga tak tahan Oh
Thi-hoa membuka kesunyian pula: "Masih tak ada suara?"
"Tidak."
"Mungkin... mungkin Toa-suci sudah menggebah mundur orang-orang
pendatang itu. "Lalu kenapa dia tidak segera membuka pintu?"
Lam Pin melongo, keringat sudah membasahi ujung hidungnya.
Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, katanya: "Aku yakin Thiam-ji dan lain-lain
pasti sedang menghadapi sesuatu, kalau tidak masakah sekian lamanya
mereka tidak bersuara, terutama Thiam-ji menyuruh dia tutup mulut
biasanya paling sukar."
Cay Tok-hing batuk-batuk dua kali, timbrungnya: "Mungkin mereka masih
belum tiba disini."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata: "Sekarang juga kita mundur kembali,
dari sebelah luar menyusul ke Bo dhi-am memerlukan berapa lama?"
"Wah harus putar satu lingkaran besar."
"Berapa besar kita harus memutar?"
"Benar sekali, Ginkang orang yang paling tinggi sedikitnya memerlukan tiga
empat jam."
"Wah berat juga, bagaimana baiknya?" ujar Oh Thi-hoa membanting kaki,
"Bikin orang gugup setengah gila, ulat busuk, memangnya kaupun tak bisa
mencari akal."
Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba dia bertanya pula: "Kalau Toa sucimu
mel Pendekar Panji Sakti 23 Golok Halilintar Karya Khu Lung Kisah Sepasang Rajawali 10
^