Peristiwa Burung Kenari 9

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 9


ulusi permintaan orang dan sebelum mengantarnya, masuk ke Sin cui
kiong, sebelumnya memberi mereka minum air teh yang dicampur obat
bius, supaya mereka tidak tahu jalan menuju kedalam Sin cui kiong?"
"Ya, memang begitu."
"Thiam-ji dan lain-lain sudah tahu akan hal ini, maka meski mereka tahu
air teh itu mengandung obat bius, dengan suka hati mereka meminumnya
juga." "Benar, setelah mereka tahu dengan minum air teh bius itu mereka bakal
sampai di Sin cui kiong, maka terpaksa mereka harus meminumnya juga."
Ujar Oh Thi-hoa.
"Setelah mereka minum terus jatuh pingsan, sudah tentu takkan bisa
bicara lagi, maka selama ini kita tidak mendengar suara percakapan
mereka." Oh Thi-hoa tepuk tangan: "Ya, masuk akal."
"Tapi sebelum Toa-sucimu itu membawa mereka ke lorong yang menembus
ke Sin Cui kiong ini, Bo dhi am keburu didatangi musuh, mungkin orangorang
itu meluruk datang lantaran Thiam-ji dan lain-lain, maka mereka
minta Toa-suci menyerahkan mereka kepadanya."
"Toa suci pasti takkan menyerahkan." tukas Lam Pin tegas. "Mereka sudah
berada di Bo-dhi am, itu berarti tamu-tamu Toa-suci, bagaimana juga Toasuci
tidak akan menyerahkan mereka kepada orang."
"Maka orang-orang itu harus berunding dan tawar-menawar dengan Toasuci,
sebelum pembicaraan gagal total, merekapun tidak akan sembarangan
turun tangan terhadap murid-murid Sin cui kiong."
"Masuk akal juga, tapi kenapa mereka sekarang tak membicarakan lebih
lanjut." "Mungkin karena mereka memberi batas waktu tertentu kepada Toa
sucimu untuk mempertimbangkan syarat yang mereka ajukan, lalu memberi
jawaban." "Kalau begitu berarti keadaannya sedang kepepet dan berbahaya."
"Sudah tentu, kalau orang yang meluruk datang itu bukan tandingannya,
merekapun tidak perlu tawar menawar."
"Kalau begitu kenapa tidak lekas dia buka pintu rahasia di bawah ini,
supaya kita keluar membantunya?"
"Dia sendiri tengah menghadapi musuh-musuh tangguh, memangnya dia
berani sembarangan memperlihatkan pintu rahasia yang menembus ke Sin
cui kiong?" kata Coh Liu-hiang menghela napas.
Lam Pin mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya amat kagum dan penuh
simpatik. Walau dia tak bicara apapun tapi kalau seorang gadis mekar
mengawasi lelaki dengan sorot pandangan seperti itu, sesungguhnya jauh
lebih menyenangkan daripada dia mengutarakan isi hatinya dengan katakata
yang panjang lebar.
Mengucek-ngucek hidung, Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Ini hanya
rekaanku belaka bagaimana sesungguhnya belum tentu seperti apa yang ku
utarakan, siapapun sukar berkeputusan."
Lam Pin segera berkata dengan lembutnya: "Tapi aku berani pastikan
bahwa rekaanmu terang tidak salah, karena kecuali adanya kejadian
seperti itu, hakekatnya tak mungkin ada peristiwa lain terjadi di atas."
"Tapi aku justru mengharap rekaanmu salah sama sekali, timbrung Oh
Thi-hoa! Kalau tidak Thiam-ji dan lain-lain sedang pingsan tak sadarkan
diri, Toa-sucimu tak berani membuka pintu lagi, kitapun tak bisa menyusul
kesana tepat pada waktunya... bukankah keadaan seperti ini bakal
membuat mereka celaka?"
Mengingat keadaan mereka memang amat berbahaya, semua hanya
mencak-mencak kebingungan seperti semut didalam kuali panas. Tapi
kecuali gugup dan mencak-mencak mereka tak putus akal tak bisa berbuat
apa-apa. Tiba-tiba Lam Pin berkata dengan tertawa: "Sebetulnya kalian tidak perlu
gugup, bahwa Toa-suci memiliki ilmu silat paling tinggi diantara para
saudara kita, meski dia sudah cacat indranya, ilmu silatnya malah lebih
hebat, aku yakin dia pasti bisa pukul mundur orang-orang itu."
Oh Thi-hoa geleng-geleng, katanya; "Kalau dia yakin dapat mengalahkan
orang-orang itu, sejak tadi pasti dia sudah gebah mereka lari, buat apa
ditunggu sampai sekarang?"
"Tapi... tapi Suhuku sering bilang, ilmu silat Toa suci terang takkan lebih
asor dari sepuluh tokoh-tokoh silat terkosen didalam Bulim pada jaman ini,
memangnya kepandaian silat orang-orang itu lebih tinggi dari dia?"
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Tokoh yang berani mencari gara-gara
terhadap Maling Romantis sudah tentu dia punya kepandaian yang
diandalkan."
"Maling Romantis sendiri masa tidak bisa mengira-ngira siapa kiranya
mereka itu?" tanya Cay Tok-hing.
"Umpama aku bisa mengira-ngira siapa mereka sebenarnya, apa pula
untungnya bagi kita dalam keadaan seperti ini?" Sebetulnya diapun sudah
mengira orang-orang itu pasti tokoh-tokoh silat undangan Liu Bu-bi, apa
yang dia rancang ini bukan saja dapat memutus jalan mundur Coh Liu-hiang,
malah Thiam-ji dan lain-lain bisa ditawannya sebagai sandra, sekaligus
untuk mengancam Coh Liu-hiang bilamana dia bisa meloloskan diri dari Sin
cui kiong, supaya tak bisa membocorkan rahasia pribadinya.
Coh Liu-hiang yakin semua ini adalah tipu daya Liu Bu-bi yang memang
sudah dirancangnya dengan matang. Maka sahutnya menghela napas:
"Sekarang aku hanya mengharap semoga Toa-sucimu sudah menginsyafi
bahwa ilmu silatnya sendiri sekali-kali bukan tandingan orang-orang yang
meluruk datang itu."
"Kenapa demikian?" Lam Pin mengerut kening.
"Karena bila dia sudah kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa membuka
pintu rahasia ini."
"Benar." Cay Tok-hing tepuk tangan. "Inilah yang dinamakan dari pada
mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup."
"Kalau orang lain disaat menghadapi jalan buntu, mungkin bisa berbuat
demikian tapi Toa-suci lebih baik mati betapapun dia takkan melakukan hal
itu lagi."
"Kenapa?" Cay Tok-hing mengerut kening juga.
"Karena secara tidak sengaja Toa suci pernah membocorkan jalan rahasia
untuk musuh ke Sin cui kiong, maka dia menerima ganjarannya yang berat
itu. Memangnya sekarang dia bakal melakukan kesalahan yag menjadikan
dia tanpa daksa.?"
Agaknya titik harapan yang amat minim inipun tumbang dan terputus pula,
keruan semua orang sama putus asa dan gelisah setengah mati.
Tiba-tiba dengan mata beringas Oh Thi-hoa memburu maju, dengan
tangannya dia ketok gelang besi di atas dinding itu dengan sekeraskerasnya,
dinding sekelilingnya sampai mendengung menimbulkan gema
suara yang keras sampai kuping mereka terasa pekak.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Lam Pin kebingungan.
"Inilah yang dinamakan daripada mati kepepet terpaksa mencari jalan
mundur untuk hidup."
"Betul." teriak Cay Tok-hing, "bila orang-orang itu mendengar suara ini,
maka mereka pun tahu dimana kira-kira pintu rahasia yang menembus ke
Sin cui kiong, jikalau mereka sudah tahu dimana letak pintu rahasia untuk
masuk ke Sin cui kiong, Toa-sucimu tak perlu lagi merahasiakan serta
mempertahankannya mati-matian, jikalau dia tidak punya kekuatiran apaapa,
mungkin segera membuka pintu rahasia ini."
Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya: "Aku ini orang goblok, terpaksa
menyimpulkan akal yang goblok pula."
Coh Liu-hiang ikut berseri girang katanya: "Dikala orang-orang pintar
sudah kehabisan akal, maka akal yang disimpulkan orang goblok pasti amat
berguna sekali." baru saja kata-katanya habis diucapkan, selarik sinar
terang segera menyorot dari atas.
Cahaya di ruang sembahyang sebetulnya tak begitu terang, sinar matahari
teraling oleh rimbunan pepohonan yang tumbuh disekitar kuil kecil ini
seolah-olah sejak mula sinar matahari memang tak sampai menyorot ke
dalam kuil kecil ini, sehingga suasana dan hawa didalam ruangan pemujaan
ini terasa dingin dan seram.
Jilid 44 Kain gordyn menutupi altar pemujaan sehingga tak diketahui patung
pemujaan apa yang disembah didalam biara bobrok ini, keadaan di sini
serba luntur dan rusak. Seorang nikoh tua berbadan kurus kering berjubah
hijau dengan mata cekung alis lentik bersimpuh di atas kasuran, meski
sedang berduduk namun dapat dibayangkan berapa tinggi perawakan
badannya. Kulit mukanya yang kuning kuyu sudah tak kelihatan membungkus daging,
dua tulang pelipisnya menonjol keluar, sehingga raut mukanya kelihatan
lebih tua, tapi lebih kaku dingin dan kejam pula.
Di hadapan dan kanan kirinya masih terdapat kasuran bundar, dua kasur
bundaran di sebelah kirinya juga duduk bersila dua gadis remaja,
kepalanya tertunduk dalam di depan dari padanya, agaknya tengah tertidur
pulas. Kedua orang ini adalah Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.
Kasuran di sebelah kanan masing-masing duduk seorang laki-laki dan
seorang perempuan tapi terang bukan Li Giok-ham suami istri, yang laki
bermuka pucat seperti mengenakan kedok muka tapi pakaian hijau di depan
dada dan sekujur badannya berlepotan darah, seakan malah terluka berat
juga. Dia kertak gigi, mata terpejam rapat seakan-akan sedang menahan
kesakitan yang amat menyiksa badannya, malah dudukpun hampir tak kuat
lagi. Yang perempuan mengenakan cadar, yang kelihatan hanya sepasang
matanya, namun sepasang matanya mengandung rasa ketakutan, gusar dan
penasaran. Didalam ruangan sembahyang ini sebetulnya terdengar suara bentrokan
senjata keras, suaranya kedengaran bergema dari bawah tanah tapi saat
itu tiba-tiba semuanya mendadak sirap dan sunyi. Kasur bundar di bawah
tempat duduk Nikoh jubah hijau pelan-pelan tergeser ke samping, dari
bawah kasur tampak sebuah lobang yang membesar, tak lama kemudian
beruntun beberapa bayangan orang menerobos keluar selincah kelinci.
Dua orang yang mendahului menerobos keluar bukan lain adalah Oh Thihoa
dan Coh Liu-hiang.
Melihat kedua orang ini, perempuan berkedok seketika menampilkan sorot
kegirangan, sebaliknya sepasang mata Nikoh jubah hijau seketika
memancarkan cahaya berkilat yang lebih tajam dari kilauan sebilah golok
tajam. Dimana tangan bajunya terkembang, nampak sinar hitam
berkelebatan membawa deru angin tajam langsung menggulung ke arah Coh
Liu-hiang. Hanya kebutan angin pukulan lengan bajunya yang mendampar dasyat saja
sudah bukan olah-olah perbawanya, apalagi ditengah deru angin keras itu
diselingi senjata rahasia pihak Sin cui-kiong yang dibubuhi racun jahat
mematikan. Sementara itu, tiba-tiba Oh Thi-hoa pun merasa segulung angin dingin
menyambuk ke mukanya teramat cepat dan mendadak sekali kejadian
berlangsung sehingga tahu-tahu dia merasa napas sesak. Saking
terperanjat sigap sekali badannya mengkeret, berbareng kaki menutul
bumi badannya bersalto ditengah udara, "Blang" badannya menumbuk daun
jendela dan terlempar keluar, terasa alas sepatunya rada tergetar, dengan
kecepatan gerak refleknya yang tangkas itu, ternyata masih tak luput dari
bokongan orang, untunglah sejak kembali dari padang pasir sampai
sekarang belum lagi mengganti sepatunya yang dipakainya tetap sepatu
tinggi dan tebal pemberian Ki Ping-yan yang terbuat dari kulit kerbau.
Meski kekuatan sambitan senjata itu amat pesat dan besar, namun tak
bisa menembus kulit kerbau di alas kakinya. Kalau tidak umpama dia tidak
mampus, kakinya itu terang bakal cacat seumur hidup.
Belum lagi badannya menyentuh bumi, keringat dingin sudah gemerobyos.
Di luar jendela tumbuh pohon raksasa yang rindang dengan daun-daunnya
yang rapat, baru saja dia berniat melejit naik ke atas pohon, siapa tahu
pada saat itu pula tiba-tiba "Sret" sebuah suara samberan lirih. Dimana
kilat berkelebat, tahu-tahu sebilah pedang laksana lidah ular yang terjulur
keluar menusuk ke arah dirinya dari celah-celah dedaunan pohon yang
rapat itu, betapa cepat keji dan hebat serangan ini, agaknya tak lebih
berbahaya dari serangan senjata gelap tokoh jubah hijau tadi.
Tusukan pedang ini jauh tak terduga pula olehnya, hawa murni yang dia
kerahkan kebetulan sudah berakhir, badan masih terapung ditengah udara,
umpama dia memiliki kepandaian setinggi gunung juga takkan bisa
meluputkan diri dari tusukan pedang ini.
Baru saja tersembur keluar air liur getir dari mulut Oh Thi-hoa, dia sudah
siap pasrah nasib untuk menerima tusukan pedang ini, tiba-tiba dilihatnya
segulung benda hitam melesat terbang dari dalam jendela menyongsong ke
arah samberan sinar kilat. Maka terdengar pula suara "Cres" sinar pedang
tembus segulungan hitam yang ternyata bukan lain adalah sebuah kasur
tempat duduk, tapi Oh Thi-hoa sendiri belum sempat melihat benda apa
yang telah menolong jiwanya, begitu kakinya menyentuh tanah, sigap sekali
badannya melejit masuk pula ke dalam jendela.
Dilihatnya Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak
pernah bergerak, dan deru angin tajam dari serangan senjata rahasia tadi,
entah cara bagaimana dia meluputkan diri.
Di sebelahsana dilihatnya Lam Pin pun sudah melompat keluar dan sedang
menarik tangan Nikoh setengah baya itu entah apa yang sedang mereka
bicarakan, yang terang dia sedang menjelaskan duduk persoalan dan
mintakan ampun bagi Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya: "Ulat
busuk, agaknya aku berhutang jiwa lagi terhadapmu."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Yang menolong jiwamu kali ini bukan aku."
"Siapa?" tanya Oh Thi-hoa tertegun. Mulut bertanya sementara badannya
sudah berputar, baru sekarang dia lihat perempuan berkedok itu kini
sudah berdiri, kasur tempat duduk di bawahnya sudah tiada lagi.
Memegangi hidungnya, Oh Thi-hoa berkata: "Nona menolong jiwaku, aku
malah berterima kasih kepada orang lain, sungguh tidak enak rasanya, tapi
nona harap tidak berkecil hati, meski aku ini bodoh, tapi masih bisa
membedakan baik buruk, kelak nona ingin aku melakukan apa saja, ingin aku
terjun ke lautan api tidak akan kutolak."
Bersinar terang biji mata perempuan berkedok ini, agaknya hendak
mengatakan sesuatu, tapi waktu itu Lam Pin sudah berdiri, katanya: "Toa
suciku ingin menanyakan asal-usul kalian, apa pula hubungan dengan istana
kami..." dia berdiri membelakangi Nikoh jubah hijau itu, tiba-tiba dia
kedip-kedipkan matanya kepada Coh Liu-hiang, lalu menyambung: "Aku tahu
kalian pasti punya hubungan erat dengan pihak kami, kalau tidak Suhu pasti
takkan suruh kalian kemari lebih baik kalian berterus terang kepada Toa
suci." Sebetulnya tak perlu dia main kedip-kedip mata, Coh Liu-hiang sudah
paham akan juntrungannya, meski dia membawa mereka kemari, namun
hatinya masih ketakutan setengah mati. Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak
tega membikin orang memikul tanggung jawab ini, maka katanya dengan
suara berat: "Duduk persoalannya sulit kujelaskan dalam waktu singkat,
setelah nona bertemu dengan gurumu tentu akan mendapat penjelasan
secukupnya, sekarang lebih penting kita selesaikan dulu persoalan disini."
"Benar." sela Oh Thi-hoa: "Aku hanya ingin tahu siapa yang bertindak
begitu rendah main bokong secara menggelap" Bagaimanapun aku harus
beri hajaran kepadanya."
Walau sorot Nikoh tua berkilat-kilat, tapi matanya hampir memutih,
seolah-olah sekeping es batu yang mengambang di atas air beku,
sementara kulit mukanya laksana air danau yang membeku mati, dingin
menampilkan ketenangan yang aneh pula.
Tak tahan Oh Thi-hoa akan mengucek-ngucek hidung pula, katanya getir:
"Kau, apakah Taysu benar-benar tak bisa bicara?"
Nikoh jubah hijau manggut-manggut.
Oh Thi-hoa melengong, tanyanya pula: "Terang kau mendengar ucapanku,
kenapa mengakui tidak mendengar suaraku?"
"Toa suciku memang tidak bisa mendengar!" Lam Pin mewakili beri
penjelasan. "Kalau tidak mendengar, bagaimana dia bisa manggut kepala?"
Sekilas Lam Pin berpaling ke arah Nikoh jubah hijau, mulutnya sudah
terbuka namun batal bicara.
"Kuminta lekaslah kalian jelaskan, tak usah main teka-teki, hampir saja
aku dibikin gila saking gelisah."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya rekaan Coh Liu-hiang tidak meleset, Li Giok-ham suami istri tak
berada di sini, orang-orang di luar mungkin memang undangan mereka yang
disuruh menghadapi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.
Tapi siapakah sebenarnya orang-orang itu" Dilihat dari serangan pedang
yang keji dan telengas itu, betapa tinggi ilmu pedang mereka agaknya tidak
lebih asor dibanding Ui Loh ce. Dari mana pula Liu Bu-bi bisa mengundang
tokoh-tokoh silat tinggi sebanyak itu"
Dan lagi, siapa pula lelaki dan perempuan berkedok itu" Kenapa sikap
mereka begitu misterius" Sungguh hati Oh Thi-hoa dirundung berbagai
pertanyaan yang tidak terjawab, justru dia harus menghadapi seorang
bisu, apalagi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji agaknya sama tak sadarkan diri.
Siapapun yang menghadapi keadaan seperti ini, malah lucu kalau tidak
dibikin gila. Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela terdengar sebuah suara berkata
dengan bengis: "Persoalan ini hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan
kalian, serangan pedang tadipun hanya sebagai peringatan belaka, tiada
maksud kami hendak melukai orang, asal kalian serahkan murid murtad
perguruan kami, kami segera mengundurkan diri, masing-masing tak salah
menyalahi, tapi kalau kalian pasti ingin mencampuri urusan ini, mungkin
kalian akan mati tanpa ada liang kubur untuk mengebumikan kalian."
Dari nada pembicaraan ini, terang mereka bukan bertujuan menawan Song
Thiam-ji dan Li Ang-siu.
Berkerut alis Oh Thi-hoa, katanya: "Sebetulnya siapakah kalian" Siapa
pula murid murtad kalian?"
Belum lagi mendengar penyahutan dari luar, laki-laki berkedok yang
terluka itu mendadak melonjak bangun, dengan langkah meronta segera ia
menerjang keluar, baru saja Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba didengarnya
ting. Nikoh jubah hijau dan perempuan berkedok itu tahu-tahu sudah
menghadang di depannya, perempuan berkedok berkata dengan suara
bergetar: "Kami sudah mencapai tempat ini, segala kejadian terpaksa
pasrah akan tanggung jawab Taysu, kalau sekarang kau menerjang keluar,
bukankah bakal menyia-nyiakan maksud baik beliau orang tua?"
Berkedip kedip mata Nikoh jubah hijau menatap lelaki berkedok, pelanpelan
kepalanya manggut-manggut, seiring dengan setiap patah kata
perempuan berkedok, maka terdengar suara lirih yang cukup nyaring
berbunyi dari bawah kaki Nikoh jubah hijau.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa melihat kaki orang, ternyat terikat oleh sesuatu
rantai panjang yang lembut, sementara ujung rantai yang lain menjuntai
masuk kebawah altar pemujaan yang tertutup kain gordyn itu. Setiap
patah kata perempuan berkedok diiringi gerakan pelan dari rantai lembut
ini yang bergetar diatas batu hijau, maka terdengarlah suara ting ting
yang lirih dan nyaring.
Baru sekarang Oh Thi-hoa mengerti kenapa orang bisu bisa mendengarkan
orang bicara! Sebetulnya tak tertahan dia hendak menerjang kesana untuk
melihat siapa sebetulnya orang yang sembunyi di belakang kain gordyn itu"
Kenapa main sembunyi-sembunyi" Tapi belum niatnya terlaksana, lekas Coh
Liu-hiang sudah mencegahnya dengan lirikan ujung mata.
Terdengar suara di luar jendela itu berkata dingin: "Seorang laki-laki
berani berbuat berani bertanggung jawab, seorang laki-laki sejati kenapa
harus lari kemari minta perlindungan dari kaum hawa, terhitung orang
gagah macam apa kau" Boleh dikata kita para saudarapun merasa tersapu
bersih oleh sikap picikmu ini."
Bergetar badan laki-laki berkedok itu, tiba-tiba dia menyelinap dari
samping Nikoh jubah hijau dan perempuan berkedok itu, betapa cepat
gerakan badannya, sungguh diluar dugaan Oh Thi-hoa.
Kala itu Nikoh jubah hijau tidak menghalanginya lagi, tampak jubah
panjangnya yang kebesaran itu melambai tertiup angin, lengan baju di
sebelah kiri malah seperti melambai kosong.
Terang dengan gampang laki-laki berkedok itu akan menerjang keluar
pintu, di luar angin menghembus dedaunan pohon, jelas bila dia selangkah
keluar dari pintu Bo dhi-am, entah berapa sinar pedang yang serempak
akan menyerang kepadanya.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba sosok bayangan orang kembali berkelebat
tahu-tahu mencegat di depannya. Orang ini bergerak belakangan tapi tiba
lebih dulu, gerak badannya ternyata jauh lebih cepat dan tangkas tak usah
disangsikan lagi, dia bukan lain adalah si Maling Romantis Coh Liu-hiang
yang memiliki ilmu Ginkang tiada tandingannya di seluruh kolong langit ini.
Laki-laki berkedok itu membentak bengis: "Soal ini tiada sangkut pautnya
dengan kau, minggir!"
Coh Liu-hiang tersenyum, sahutnya: "Urusanmu adalah urusanku, kenapa
tiada sangkut pautnya dengan diriku?"
Bergetar badan laki-laki berkedok, suaranya serak gemetar: "Kau... siapa
kau" Aku tak mengenalmu."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Umpama benar kau tidak kenal
aku, tapi aku tetap mengenalimu."
Tiba-tiba lelaki berkedok balikkan telapak tangannya menebas
tenggorokan Coh Liu-hiang. Tapi bukan saja Coh Liu-hiang tak menangkis,
diapun tak berusaha berkelit, betul juga ternyata tebasan tangan lelaki
berkedok berhenti ditengah jalan dengan tajam Coh Liu-hiang menatapnya,
katanya setelah menarik napas panjang: "Ang-heng aku tahu kau tinggi hati
dan angkuh, biasanya tak sudi minta bantuan orang, tapi dalam keadaan
seperti ini kenapa kau harus menyembunyikan diri, kalau begitu kau terlalu
tidak pandang aku ini sebagai sahabat baikmu lagi."
Tiba-tiba lelaki berkedok berpaling muka, pundaknya bergetar turun naik,
terang hatinya sedang haru dan bergolak, perempuan berkedok segera
maju menghampiri, menarik tangannya, matanya sudah berlinang airmata.
Oh Thi-hoa terlongong sekian lamanya baru bersuara tergagap: "Angheng,
nona Ki... ah! Aku memang patut mampus begitu picik mataku tak
mengenal kalian."
Perempuan berkedok itu memang Ki Bu-yong adanya, katanya pilu: "Aku
tak bisa melindunginya baik-baik, malah kemari minta... minta bantuan
orang, sungguh aku tiada muka untuk bertemu lagi dengan kalian, tapi...
tapi..." Oh Thi-hoa berjingkrak, katanya keras: "Akulah yang patut mampus, kalau
Ang-heng tak dibikin cacat oleh aku kurcaki sipicik ini, memangnya
sekarang dia bisa dihina orang" Apalagi, apalagi hari ini nona Ki menolong
jiwaku lagi, aku... aku..."
Mendadak dia menerjang keluar, serunya kalap: "Siapa yang mencari
kesulitan Setitik Merah, hayolah buat perhitungan dulu dengan aku Oh
Thi-hoa." ditengah gemboran gusarnya tahu-tahu dua larik sinar hijau
menukik turun menyerang dari celah-celah lebatnya dedaunan.
Tatkala itu Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing baru mencelat keluar dari lobang
di bawah tanah itu, dari kiri kanan langsung kedua orang ini melesat keluar
jendela, terdengar suara Cay Toh-hing gelak-gelak sambil memaki: "Kunyuk
dari mana sebanyak ini, pandai main bokong dan jahat."
Terdengar pula suara Ui Loh-ce berat dan serius: "Ilmu pedang orangorang
ini ganas dan telengas, merupakan aliran tersendiri, kalian harus
hati-hati."
Setitik Merah segera merenggut kedok dimukanya terus dibuang, maka
tampaklah raut mukanya yang pucat dan rada kurus, tapi pandangan
matanya masih tetap dingin menusuk serta keras lagi, katanya membanting
kaki: "Inilah urusanku, kenapa kalian harus campur tangan?"
"Siao Oh merasa amat menyesal terhadap kau, kalau kau tak beri peluang
dia untuk melampiaskan kemauan hatinya, mungkin dia dapat gila
dibuatnya."
Setitik Merah kertak gigi, katanya: "Tapi betapapun kalian tak akan bisa
menyelesaikan persoalan ini."
"Kenapa?"
Agaknya Setitik Merah semakin gelisah dan tak sabar lagi, katanya: "Kau
tak usah banyak tanya, kalau kau memang temanku, lekas bawa mereka
menyingkir."
"Adanya hubungan erat kita selama ini, masih ada persoalan apa pula yang
tak dapat kau utarakan kepadaku?"
Setitik Merah ulapkan tangan, katanya mendesak: "Lekas pergi! Lekas
pergi! Kalau tidak menghindar, jangan salahkan aku bila aku melabrakmu."
Ki Bu-yong segera menyela: "Sebetulnya dia memang punya kesulitan yang
bisa diterangkan..."
Coh Liu-hiang menukas ucapannya, tanyanya: "Kau melihat pohon yang
tumbuh diluar itu tidak?"
Ki Bu-yong melenggong, agaknya dia belum mengerti kenapa mendadak
menanyakan hal ini, tapi akhirnya dia manggut-manggut. "Ya, aku sudah
melihatnya!"
"Sebatang pohon tumbuh dari dalam bumi, demikian juga manusia tumbuh
untuk hidup berkembang, berbuah dan turun temurun, tapi sekarang dia
bikin gundul dan terbabat roboh oleh gerakan pedang orang itu, bukankah
sayang sekali perjuangan hidupnya?"
Ki Bu Yong melenggong lagi, dengan nanar dia awasi hawa pedang yang
bergulung-gulung diluar jendela, tidak tahu apa yang harus dia katakan,
karena dia masih belum tahu apa yang dimaksud oleh Coh Liu-hiang bicara
meminjam arti kiasan itu.
Maka Coh Liu-hiang lantas melanjutkan: "Perduli jiwa manusia atau jiwa
pohon, jikalau belum lagi dia tumbuh dewasa dan berbuah lantas dibunuh
dan dirobohkan, betapapun merupakan suatu tragedi yang mengenaskan,
tapi dapatkah kau bilang bahwa itu kesalahan dari pedang-pedang itu?"
"Ini... aku sendiripun tidak tahu." Ki Bu-yong tergagap.
Dengan tatapan tajam Coh Liu-hiang mengawasinya, katanya lagi dengan
suara lebih lantang: "Pedang itu sendiri tidak salah, yang salah adalah
tangan yang memegangi golok itu."
"Kau... kau sudah tahu urusannya?" tanya Ki Bu-yong gelagapan.
Coh Liu-hiang menghela napas, dari dalam kantong bajunya dikeluarkan
medali tembaga itu, di atas medali tembaga ini terukir tiga belas pedang
yang lencir panjang, mengelilingi sebuah tangan. Melihat tembaga ini
seketika berubah air muka Setitik Merah, bentaknya beringas: "Darimana
kau dapatkan itu?"
Coh Liu-hiang tidak langsung jawab pertanyaannya, katanya setelah
menghela napas panjang: "Tangan ini mungkin tangan yang paling misterius
di seluruh jagat, tangan yang paling ganas dan jahat, tapi juga sebuah
tangan yang paling punya kekuasaan, karena bukan saja secara diam-diam
dia memegang mati hidup jiwa manusia yang tak terhitung jumlahnya, dan
lagi bisa bikin orang mati tanpa ujung pangkal, sampai orang itu ajal dia
masih tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat sebuah tangan yang
tersembunyi." ditatapnya Setitik Merah dengan tajam, sambungnya:
"Dalam dunia ini hanya ada sebuah tangan seperti ini, paling sedikit satu
dua orang akan hidup ketakutan, hidup didalam dunia nan gelap, jikalau
tangan ini ditumpas dan dilenyapkan, semua orang akan hidup bebas, aman
dan tentram, benar tidak?"
Dengan kencang Setitik Merah kertak gigi, ujung bibirnya kelihatan
mengejang, katanya sesenggukan: "Kau ingin menumpas dia?"
Sekarang ganti sikap Coh Liu-hiang yang bengis: "Kalau kau tidak ingin
menumpasnya, maka dia yang akan menumpas kau."
Napas Setitik Merah tersengal-sengal, mendadak seperti kesurupan dan
menjadi gila dia bergelak tawa: "Aku tahu dia pasti seorang yang amat
menakutkan, tapi betapapun orang yang menakutkan aku sudah sering
melihatnya."
Tiba-tiba Setitik Merah hentikan tawanya, katanya: "Aku tahu terhadap
siapapun kau tidak merasa gentar, tidak pernah takut, tapi dia..." sepasang
biji matanya tiba-tiba menjadi legam pandangannya seperti semakin dalam,
kelihatannya seperti jurang yang tidak kelihatan dasarnya, diliputi
ketakutan yang tak terhingga, derita yang tak berujung pangkal.
"Sampai detik ini, masakah kau tidak sudi membantu aku?"
Gemetar bibir Setitik Merah, katanya: "Kau jangan lupa, sejak kecil aku
diasuh dan dibesarkan olehnya, ilmu silatku juga hasil didikannya, meski dia
hendak membunuh aku, aku tidak akan menjual jiwanya."
Sebentar Coh Liu-hiang menerawang, katanya menghela napas: "Itulah
kesetiaanmu, aku tidak akan memaksamu, aku hanya tanya kau, hari ini dia
sendiri datang tidak?"
Mengawasi sinar pedang di luar jendela, Setitik Merah diam sebentar,
katanya pelan: "Kalau hari ini dia datang, tentu di luar akan ada
pertempuran lagi."
"Kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tiada orang yang akan mampu melawan ilmu pedangnya."
"Dapatkah bila dia dibanding dengan Sia In-jin?"
"Ilmu pedang Sia In-jin dalam pandangan beliau tak lebih hanya permainan
jurus sulaman belaka."
"Jarum sulam?" Coh Liu-hiang menegas.
"Jarum sulam hanya peranti menyulam kembang, jikalau untuk menjahit
pakaian dia akan putus."
"Bagaimana maksud ucapanmu ini?"
"Ilmu pedang Sia In-jin hanya elok dipandang ilmu pedangnya sebaliknya
amat fatal dalam praktek!"
Teringat betapa ganas dan aneh ilmu pedang Setitik Merah. Tak urung
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: "Benar ilmu pedang yang elok
dipandang belum tentu membunuh orang, ilmu pedang peranti membunuh
belum tentu enak dipandang."
"Ya, memangnya begitu kenyataannya."
"Mendengar tutur katamu ini, aku jadi kepingin bertemu sama dia."
"Lebih baik kalau kau tak bertemu dengan dia."
"Hari ini berapa orang mereka yang datang?"
"Enam orang." Ki Bu-yong yang menjawab sambil gigit bibir, "Semula
delapan orang, tapi satu diantaranya kami gasak di luarkota Kilam. Seorang
lagi entah mengapa mendadak mengundurkan diri."
"Jadi sejak dikota Kilam mereka sudah menguntit jejak kalian?"
Sekilas Ki Bu-yong melirik kepada Setitik Merah katanya: "Dia...
sebetulnya dia tak percaya bila orang-orang itu benar-benar akan turun
tangan keji terhadapnya, setelah dia terluka berat... jikalau dia tak
terluka parah, kamipun tidak akan lari kemari." menghela napas, lalu
menyambung: "Karena Suhu dulu pernah bilang kepadaku, kelak bila aku
menghadapi mara bahaya apapun boleh pergi ke tempat ini minta
perlindungan disini, waktu itu memang dia amat baik terhadapku, lama
kelamaan matanya merah dan berkaca-kaca, agaknya terkenang akan budi
kasih Ciok-koan-im mengasuh dan memeliharanya sampai dewasa, lupa akan
dendam sakit hatinya terhadap guru yang lalim itu.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang sadar bahwa gadis yang semula kaku dingin dan
keras hati ini, dalam jangka satu bulan lebih ini sudah berubah jadi lembut
dan welas asih, berubah jadi perempuan yang perasa dan tahu duka dan
cita. Maklumlah hanya kekuatan "cinta" saja yang kuasa berubah sifatnya
sedemikian cepat dan banyak, diam-diam diapun bersyukur dan ikut
bergirang bagi Setitik Merah.
Karena diapun tahu, cepat atau lambat Setitik Merah pasti akan dibikin
luluh dan berubah pula oleh kekuatan "cinta" itu pula, pemuda sebatang
kara yang dingin kaku ini laksana sebatang pohon yang tumbuh menyendiri
di puncak ngarai di pinggir jurang, sesungguhnya amat memerlukan buaian
kasih mesra untuk melebur hatinya yang beku.
Sekilas itu, tiba-tiba dilihatnya pula Nikoh jubah hijau juga berubah
roman mukanya setelah mendengar ucapan Ki Bu-yong, rona matanya yang
kelabu mendadak seperti menyala oleh bara yang berkobar.
Mengawasi medali tembaga di tangannya, berkata Ki Bu-yong: "Satu
diantara delapan orang itu mendadak menghilang, apakah kau..."
"Aku sih tak membunuhnya, tapi dia memang benar hendak membunuh aku
malah." ujar Coh Liu-hiang tertawa.
"Sepanjang jalan ini kami bentrok tujuh kali dengan mereka." demikian
tutur Ki Bu-yong lebih lanjut. "Menurut apa yang kuketahui, orang yang
menghilang itu merupakan orang yang paling rendah ilmu silatnya, cara
bagaimana mereka mengutusnya untuk menghadapi kau?"
"Karena waktu itu mereka belum tahu lawan yang harus dibunuh adalah
Coh Liu-hiang, sudah tentu kekuatan utama harus tetap bertahan untuk
menghadapi kalian, maka tugas membunuh itu diserahkan kepada yang
berkepandaian paling rendah." Tiba-tiba Coh Liu-hiang menambahkan:
"Kalau demikian enam orang yang tersisa ini, apakah kepandaiannya lebih
tinggi dari dia?"


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tujuh kali kami bentrok dengan mereka walau setiap kali dapat lolos dari
mara bahaya tapi juga secara untung-untungan belaka, pernah dua kali aku
sendiri sudah merasa takkan selamat lagi nyawa kami."
Coh Liu-hiang melirik ke arah jendela, katanya mengerut kening: "Kalau
demikian Siao Oh bertiga satu melawan dua, mungkin..."
Sekonyong-konyong terdengar suara rantai memukul lantai sehingga
mengeluarkan suara samar tak putus-putus. Muka Nikoh jubah hijau merah
padam, dengan melotot gusar menatap ke arah kain gordyn ditempat
pemujaan, rantai yang mengikat kakinya juga bergerak-gerak pergi datang.
Lam Pin tampak gelisah dan kebingungan, agaknya dia kehabisan akal dan
tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Tatkala itu sinar pedang di luar jendela memang masih berkembang
dengan lincah dan deras, tapi deru angin sambaran golok yang cepat
merayap selulup timbul ke kanan kiri serta sinar tongkat selincah naga
menari itu berkilau, kedua belah pihak kelihatannya masih berkutat sama
bertahan dengan kuat alias tanding.
Coh Liu-hiang melambaikan tangan ke arah Lam Pin tanyanya dengan lirih:
"Kenapa Toa sucimu marah-marah?"
Lam Pin melirik kepada Ki Bu-yong, katanya: "Nona itu agaknya tadi bilang
Toa suci tak mampu melindungi orang-orang yang berada di sini, maka Toa
suciku amat mendelu dan pedih, maka dia hendak terjang keluar melabrak
orang-orang itu, tapi..."
Tiba-tiba tampak Nikoh jubah hijau membanting kaki dua kali, cepat
sekali putar badan dan melesat keluar, tapi baru saja sampai diambang
pintu, rantai halus yang mengikat kakinya sudah tertarik kencang,
selangkahpun tak bisa maju lagi.
Lam Pin menghela napas, katanya: "Tapi selamanya dia takkan bisa keluar."
Tampak muka Nikoh jubah hijau benar-benar sudah merah-merah padam,
ototnya sampai merongkol keluar, agaknya dia sudah kerahkan tenaganya,
tapi Coh Liu-hiang pernah menghadapi sekali pukulan tangannya, sudah
tentu dia tahu betapa hebat dan dahsyat Lwekang Nikoh jubah hijau ini.
Tapi meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, rantai halus itu tetap
tak kuasa dia putuskan, mengawasi rantai yang tertarik kencang itu Lam
Pin menghela napas, ujarnya: "Khabarnya rantai ini terbuat dari besi murni
yang dingin didasar lautan, meski golok pusaka yang dapat mengiris besi
seperti memotong tahupun jangan harap bisa membacoknya putus, apalagi
kekuatan manusia biasa?"
Tampak semakin tarik rantai itu seperti mulur semakin kencang, altar
pemujaan itupun sudah mulai bergetar, lapat-lapat seperti terdengar
suara helaan napas yang lirih dari balik kain gordyn itu, agaknya di bawah
altar pemujaan itu juga ada seseorang yang menarik kencang rantai itu.
Berkilat sorot mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Ujung rantai yang lain
terikat dimana?"
Lam Pin tertunduk, sahutnya: "Kau sendiri sudah melihatnya, kenapa kau
tanya aku?"
"Apakah ujung rantai yang lain juga terikat di kaki orang, tapi dia
menyembunyikan diri dibalik gordyn di bawah altar itu tidak mau unjuk
diri, dengan menarik dan menggerakkan rantai dia saling memberi berita
dengan Toa-sucimu?"
"Kalau tidak ada kerja sama ini masakah Toa-suci bisa mendengar
pembicaraan orang lain?"
"Tapi siapakah orang itu" Kenapa dia melarang Toa-sucimu keluar" Kenapa
pula selalu sembunyi di bawah altar tidak mau dilihat orang?"
Lam Pin termenung sebentar, katanya: "Ini sebuah rahasia, kami
sendiripun belum pernah melihatnya."
Tiba-tiba terdengar "blang" altar yang sudah keropos itu tak kuat
menahan tekanan tenaga dalam yang hebat, sehingga bergetar roboh dan
runtuh berkeping-keping, ditengah tengah pecahan kayu yang beterbangan
sesosok bayangan orang dengan mengeluarkan pekik panjang yang
melengking menyedihkan menerjang keluar, namun kain gordyn panjang dan
lebar itu kebetulan membungkus seluruh badan sampai kaki tangan dan
kepalapun terbungkus didalamnya, tiada satupun yang sempat melihat
bentuk dan raut mukanya.
Coh Liu-hiang menghampiri dan menepuk pundak Setitik Merah, katanya:
"Ang-siu dan Thiam-ji kuserahkan kepadamu." bahwasanya dia tidak
memberi kesempatan Setitik Merah menolak permintaannya, tahu-tahu
badannya sudah berkelebat keluar.
Tampak selarik sinar mencorong terang laksana seuntai rantai perak tahutahu
melesat keluar dari rimbunnya daun-daun pohon, secepat kilat
menusuk ke arah orang aneh yang menerjang keluar dari altar pemujaan.
Dari kepala sampai kaki seluruh badan terselubung didalam kain longgar
besar itu, hakikatnya apapun tak terlihat, siapapun pasti mengira dia
takkan mungkin bisa meluputkan diri dari tusukan ini.
Tak nyana begitu sinar pedang menusuk tiba, badannya tiba-tiba
berkelebat selicin belut tahu-tahu badannya menyelinap lewat dari depan
laki-laki pembunuh berseragam hitam itu, maka rantai yang terikat kedua
kaki mereka kebentur menjirat badan pembunuh gelap ini.
Terdengar "Cres" belum sempat pembunuh ini menjerit, tahu-tahu
badannya sudah terjerat putus menjadi dua potong, darah segera
beterbangan, tahu-tahu rantai itu sudah tertarik kesana pula, serempak
Nikoh jubah hijau dengan orang aneh itu menubruk ke arah seorang
pembunuh gelap yang lain. Cara mereka membunuh orang sungguh aneh dan
tak pernah terjadi didalam dunia Kang-ouw, apalagi badan mereka amat
aneh, garang dan keji sampai Coh Liu-hiang sendiripun angkat pundak dan
tersirap kaget.
Di sebelahsana ada enam tujuh orang pembunuh gelap yang sedang
bergebrak melawan Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing ditengahtengah
gerombolan dedaunan. Daun-daun pohon dan semak-semak yang
tebal sama beterbangan tersambar pedang, puluhan batang pohon tua yang
rimbun daunnya sudah tercukur gundul tinggal dahan-dahan pohon saja
yang besar. Selintas pandang mirip seorang kakek tua yang tiba-tiba
dilucuti pakaiannya, sehingga seluruh badannya yang telanjang serta
keriput kulit badannya terpampang di hadapan orang banyak, gemetar
kedinginan dihembus angin dingin.
Pedang yang menjadi gaman para pembunuh gelap itu mirip dengan pedang
yang dipakai Setitik Merah, panjang luncir dan tipis bobotnya jauh lebih
enteng dari pedang panjang umumnya. Sudah tentu permainan pedang
merekapun ganas, culas dan keji seperti permainan Setitik Merah, juga
sekali-kali tak pakai variasi atau kembangan yang indah, sekali serang jiwa
orang selalu diincarnya, dan lagi pengalaman tempur orang-orang ini sudah
teramat luas, agaknya merekapun melihat Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay
Tok-hing merupakan tokoh-tokoh silat yang tak boleh dipandang ringan
oleh mereka itu, mereka tak bergebrak secara berhadapan melawan Oh
Thi-hoa bertiga, begitu jurus pertama pedang menusuk, lekas sekali badan
mereka sudah berkelebat menyelinap ke belakang pohon, tahu-tahu
tusukan pedang orang kedua sudah menyelonong datang dari arah lain.
Rangsekan sinar pedang mereka sambung menyambung dan tergabung
dengan rapi dan rapat, begitu cepat gerak-gerik mereka sampai Oh Thihoa
menjadi bingung dan tak bisa membedakan siapa sebenarnya yang
melancarkan tusukan pedang terhadap dirinya, dengan tiga lawan enam,
mereka kira asal dirinya menghadapi dua diantaranya sudah lebih dari
berkecukupan. Tak nyana dengan melawan permainan musuh yang aneh,
gesit dan tangkas itu, bersatu sekaligus mereka masing-masing harus
menghadapi enam orang, karena seperti roda berputar ke enam orang ini
terus berputar dan merangsak bergantian sehingga kekuatan Oh Thi-hoa
bertiga susah dipusatkan!
Agaknya Oh Thi-hoa sudah naik pitam dan gerakkan kekuatan dan boyong
kepandaian, tapi meski golok tunggal di tangannya mempunyai perbawa
untuk menaklukan naga membekuk harimau, namun menyentuh ujung
pakaian lawannya tak mampu.
Sekilas saja Coh Liu-hiang menerawang pertempuran ini, lekas sekali dia
tahu bahwa apa yang dilakukan Ki Bu-yong bukannya tak beralasan,
pembunuh-pembunuh gelap ini memang algojo-algojo yang sudah
tergembleng kuat dan terlatih dengan baik, kalau pertempuran begini
berlangsung terus, Oh Thi-hoa bertiga akhirnya yang akan kehabisan
tenaga, bukan mustahil mereka akan cidera lebih dulu.
Tapi saat mana Nikoh jubah Hijau dan orang aneh itu sudah melesat
kesana, dan orang menyapu datang dan mengapit dua dari dua jurusan
kearah tengah, rantai ditengah kaki mereka panjang dua tombak lebih,
agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing serta para pembunuh
gelap itu hendak dijaring dan dijirat bersama sehingga terpotong mati
menjadi dua. Kini rantai panjang dan lembut ini kiranya sudah menjadi
semacam alat senjata yang paling aneh dan paling berhasil didalam
pertempuran sengit.
Dalam waktu dekat Oh Thi-hoa bertiga agaknya masih bingung dan tak
tahu cara bagaimana untuk menghadapi senjata yang luar biasa ini,
terpaksa mereka main mundur, salah seorang diantara pembunuh gelap itu
tiba-tiba ada yang membalikkan pedang membacok ke arah rantai, "Creng"
lelatu api berpijar, pedang ditangan pembunuh gelap itu sendiri malah yang
tergetar lepas dari cekalannya, sementara rantai besi itu masih tertarik
kencang tak bergeming. Saking kejut pembunuh gelap ini hendak melompat
mundur, tapi sudah terlambat, Tampak dimana bayangan orang berkelebat,
terdengar "Krak" disusul darah muncrat kemana-mana, tahu-tahu badan
pembunuh gelap yang satu ini sudah putus menjadi dua potong.
Kini rantai itu masih ketarik panjang, cuma sekarang kedudukan Nikoh
jubah hijau dengan orang aneh itu sudah pindah tempat. Sudah tentu
kawanan pembunuh gelap itu amat kaget dan terkesiap, beramai mereka
mundur, tapi Oh Thi-hoa bertiga sendan menunggu mereka di sebelah
belakang. Serempaklima batang pedang berkembang lagi, terbagilima
jurusan serentak mereka melesat mundur ke belakang pohon. Tampak
bayangan orang berkelebat pula, satu diantaranya tahu-tahu sudah
terjirat rantai di dahan pohon.
Hanya dalam sekejap mata, kedua orang serba aneh ini sudah menjirat
mampus tiga orang, disadari oleh Coh Liu-hiang pada ketiga kali serangan
ini, orang aneh itu lebih dulu memberikan inisiatif penyerangan, gerak
badannya agaknya lebih cepat dari Nikoh jubah hijau, sungguh mati Coh
Liu-hiang ingin sekali melihat dan tahu siapa sebenarnya orang aneh yang
terselubung didalam kain gordyn ini, sayang kain gordyn itu terlalu lebar
sehingga ujung kakinyapun tertutup sama sekali.
Bahwasanya apapun dia tak melihat, tapi seolah olah punya panca indra
setajam kelelawar, hakekatnya dia tak perlu menggunakan mata, namun toh
dia bisa melihat dengan jelas, Coh Liu-hiang tahu hanya seorang buta yang
memiliki panca indra setajam ini.
Seorang picak bekerja sama dengan seorang yang bisu tuli, namun dapat
mengembangkan permainan yang punya perbawa begitu menakutkan,
kecuali merasa kasihan diam-diam Coh Liu-hiang pun merasa kagum.
Tapi lantaran apa si picak ini berani melibat dan dilihat orang" Apa pula
hubungan sebenarnya orang aneh ini dengan Nikoh jubah hijau" Lantaran
apa pula Induk Air Im Ki sampai membelenggu kedua orang ini di atas
seuntai rantai yang sama"
Kini pembunuh gelap itu tinggallima orang, agaknya kelima orang ini sudah
kapok, mereka hanya berputar kian kemari di bawah dahan pohon. Tapi
merekapun tak berani mengundurkan diri. Agaknya "tangan" itu masih
memegangi cemeti, jikalau sebelum menunaikan tugas mereka berani
mengundurkan diri, siksaan kejam bakal menimpa diri mereka.
Entah berapa banyak jiwa manusia yang terbunuh oleh pedang mereka,
tapi nasib jiwa mereka sendiri, mungkin jauh lebih mengerikan dari pada
para korban yang mereka bunuh.
Coh Liu-hiang menghela napas, cepat sekali badannya melenting kesana,
dilihatnya seorang pembunuh gelap kebetulan sedang menerjang keluar
dari bawah sinar golok Oh Thi-hoa, Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu
mendadak berkelebat keluar juga dari balik dua pohon di sebelahnya,
rantai yang mematikan itu tahu-tahu sudah menghadang jalan hidup dan
memutus harapannya untuk melarikan diri.
Pembunuh gelap ini meraung kalap laksana singa mengamuk, pedang
panjangnya laksana ular beracun menusuk keluar, tapi kaki orang aneh itu
melesat, tahu-tahu sudah meluncur keluar dari bayangan sinar pedang
orang, cepat sekali rantai besi itu sudah menjirat badannya.
Terang dalam kejap lain leher orang ini lantas akan terjirat putus, tapi
pada saat itu juga sekonyong-konyong Coh Liu-hiang melayang datang
menangkap rantai besi itu, katanya: "Merekapun manusia yang harus
dikasihani, berilah ampun kepadanya!"
Dengan mata yang kelabu Nikoh jubah hijau melotot ke arah Coh Liuhiang,
agaknya teramat gusar dan kaget rantai itu sudah terpegang
kencang oleh Coh Liu-hiang, sudah tentu diapun tak mendengar apa yang
diucapkan Coh Liu-hiang.
Sementara pembunuh gelap itu meski menggunakan kedok muka, tapi dari
pandangan matanya, juga memancarkan rasa kaget, ketakutan dan curiga,
memang tak terpikir dalam benaknya, kenapa Coh Liu-hiang menolong
jiwanya" Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Kau tak usah kuatir, aku takkan
memerasmu untuk mengatakan sesuatu, karena aku tahu sampai mati kau
takkan mau buka mulut, sekarang aku hanya ingin membuat transaksi
dengan kalian."
Dengan pandangan waspada pembunuh gelap yang satu ini menyapukan
pandangannya ke sebelah ke seluruhnya, tatkala itu Oh Thi-hoa bertiga
pun sudah menghentikan pertempuran, empat orang pembunuh yang lain
meski masih bergerak tapi gerakan mereka sudah mengendor, sorot mata
mereka sama tertuju kepad Coh Liu-hiang, akhirnya dia ada orang yang
bertanya: "Transaksi apa?"
"Asal kalian berani pergi, kali ini kuberi kesempatan kepada kalian, tiada
syarat apapun yang harus kalian taati."
Parapembunuh gelap itu sama melongo dan menjublek di tempatnya.
Transaksi ini sungguh terlalu murah dan menguntungkan mereka, sesaat
mereka jadi bingung entah apa yang harus mereka putuskan.
Kata Coh Liu-hiang pula: "Mungkin kalian menyangka tiada transaksi
semurah ini dalam dunia, benar tidak" Bahwasanya kali ini kalian sedikitpun
tak pernah mengambil keuntungan apa-apa, benar tidak?" lalu ditepuknya
pundak pembunuh gelap yang ditolongnya dari jiratan rantai itu, katanya
tersenyum: "Aku sudah berjanji dengan kalian, silahkan kalian berlalu tak
usah kuatir apa-apa."
Sekian lamanya pembunuh gelap yang satu ini terlongong, tiba-tiba dia
melejit naik, lolos dari jiratan rantai terus berlari sipat kuping.
Coh Liu-hiang berkata pula: "Seseorang asal dia masih hidup, kelak pasti
masih ada kesempatan, orang mati selamanya takkan bisa menyelesaikan
urusan lain." Seolah-olah dia sedang mengigau seorang diri, tapi setelah
mendengar ucapannya ini, pembunuh gelap yang lain seperti tiba-tiba ambil
putusan, serempak mereka melesat terbang mengikutu langkah temannya
yang lari tadi.
"Ulat busuk." Oh Thi-hoa seketika berjingkrak marah-marah, "Memangnya
kau ingin menjadi Hwesio" Tapi Hwesio takkan sembarangan berwelas asih
secara membabi buta secara mentah-mentah kau bebaskan para durjana
pembunuh itu."
"Orang-orang ini bukan terhitung pembunuh, mereka hanya boleh dianggap
sebagai boneka."
"Boneka apa?" tanya Oh Thi-hoa mengerut kening.
"Benar, boneka, setiap badan mereka seolah-olah terjirat oleh seutas tali,
ujung tali yang lain terbelenggu di "tangan" yang satu itu, umpama kau
bunuh mereka semuanyapun tiada gunanya, lekas sekali tangan itu sudah
akan mencari tiga belah boneka yang lain sebagai alat untuk membunuh
orang, malah kali ini kau hanya membunuh tiga belas bonekanya, bukan
mustahil lain kali dia malah mencari dua puluh enam yang lain."
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung, katanya: "Tapi... umpama begitu saja kau
lepaskan mereka, yang terang bukan laku seorang dagang yang bonafide."
"Agaknya kau belum paham akan teori dagang, orang-orang yang
diutamakan adalah mengulur benang panjang untuk mengail ikan besar."
Bersinar mata Oh Thi-hoa, katanya: "O, aku paham sekarang, kau lepaskan
mereka, maksudmu supaya mereka membawa kau menemukan si "tangan"
itu, tapi dimana benangmu?"
"Hidungmukan lebih tajam dari congorku, memangnya kau tak bisa


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendusnya?"
Oh Thi-hoa pejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam, terasa
didalam hembusan angin lalu sayup-sayup terendus semacam bebauan wangi
yang khas seperti harumnya bau parfum. Itulah bebauan khas milik si
Maling Romantis setiap habis melakukan operasinya.
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya: "Ternyata sekali tangan kau ulat busuk
ini menepuk di pundak orang, kau sudah tinggalkan bau busuk itu ke badan
orang itu."
"Benar sekarang menjadi giliran tugasmu menjadi anjing ajag untuk
menguntit bebauan itu dari jarak tertentu, akhirnya kau akan berhasil
menyandak ikan kakap yang kita harapkan itu."
Belum habis Coh Liu-hiang bicara, tiba-tiba terdengar suara rantai-rantai
berbunyi. Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu laksana terbang sudah
melesat kesana, bukan saja Coh Liu-hiang tak berusaha merintangi, sorot
matanya malah menampilkan rasa senang, katanya dengan serius: "Kau
tinggal di sini bersama Ui Lo-siansing. Cay locianpwe untuk melindungi
mereka, aku..."
"Tak bisa." kontan Oh Thi-hoa menukas dengan mencak-mencak:
"Bagaimana juga kali ini aku mesti menyusul kesana." belum habis
ucapannya dia sudah berlari lebih dulu.
Terpaksa Coh Liu-hiang bersoja kepada Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu
menuding pintu Bo dhi am pula katanya: "Urusan disini kuserahkan kepada
Cianpwe berdua untuk bantu membereskannya, masih ada Yong ji, bila dia
datang..."
"Legakan saja hatimu" tukas Cay Tok hing "Kalau nona Soh datang, akan
ku beritahu kepadanya." Setelah Coh Liu-hiang berlalu, dia menghela
napas, katanya kepada Ui Loh ce dengan tertawa getir: "Kalau demikian
kami berdua tua bangka ini jadi ringan tugasnya."
Ui Loh ce menghela napas juga, ujarnya: "Tak salah, seorang laki-laki kalau
dipunggungnya memikul beban sudah merupakan tugas berat, apalagi beban
yang dipikulnya ada tiga banyaknya."
Cay Tok hing malah tertawa geli, katanya: "Dalam pandangan tua bangka
seperti aku, memangnya itu memang tugas berat, tapi didalam pandangan
anak-anak muda jaman sekarang mungkin kemauanpun kau tak akan sempat
mengenyamnya."
Tidak berselang lama Coh Liu-hiang sudah berhasil menyandak Oh Thihoa,
dilihatnya Oh Thi-hoa dari kejauhan mengikuti jejak Nikoh jubah
hijau dengan orang aneh itu, agaknya hatinya rada bingung dan tak
tentram, begitu melihat Coh Liu-hiang menyusul tiba-tiba dia berkata:
"Agaknya selanjutnya kita harus memelihara seekor anjing."
"Kenapa?"
"Kalau sekarang kita memelihara anjing pasti takkan keliru arah mengejar
jejak orang."
Mengawasi bayangan kedua orang di depan itu, Coh Liu-hiang menjawab:
"Mereka pasti takkan salah menentukan arah."
"Belum tentu, sekarang aku sudah tidak mengendus bau busukan itu,
mereka..."
"Salah hidungmu sendiri yang tak manjur lagi."
"Walau hidungku tidak sebanding anjing, tapi masih lebih kuat dari
hidungmu."
"Menurut pandanganku, hidungmu dengan hidung anjing tiada bedanya
lagi." "Kalau hidungku ini hidung anjing, kalau hidungku tidak bisa mengendus
bau busukmu itu, memangnya mereka bisa mengendusnya malah?"
"Mata dan kupingmu apa teramat tajam?"
"Hmm!" Oh Thi-hoa mendengus saja.
"Tahukah kau kenapa bisa begitu?"
"Mungkin karena kau termasuk hidung kelinci."
"Kau tidak usah iri, soalnya hidungku jarang kugunakan, maka yang kuasa
sengaja memberikan keistimewaan kepadaku."
Bersinar mata Oh Thi-hoa, katanya: "Maksudmu, lantaran mata dan kuping
mereka tak berguna lagi, maka daya penciuman hidungnya teramat tajam?"
"Akhirnya kau menjadi pintar, sungguh tidak gampang bisa maju begini
pesat." "Justru karena otakku bebal, maka Thian pun memberkahi suatu kelebihan
yang lain."
"O, Kau memiliki kelebihan apa" Aku sih belum pernah melihatnya?"
"Jikalau bisa melihatnya, celaka dua belas bagi diriku."
"Kau tak usah takabur, menurut pendapatku, kelebihan itu belum tentu..."
tiba-tiba suaranya terputus, roman mukanyapun berubah hebat.
Sekonyong-konyong dari dalam hutan di sebelah depan terdengar pekik
dan jeritan jiwa yang meregang ajal. Jeritan yang mengerikan, bila
diperhatikan beruntun terdiri dari pekikanlima orang yang hampir
bersamaan, meski kelima orang menjerit dalam waktu yang berlainan,
namun jarak satu sama lain teramat dekat, maka kedengarannya seperti
pekik panjang berantai yang sambung-menyambung, malah kedengarannya
pendek sekali terus hilang, jelas baru saja jeritan mereka keluar dari
mulut, jiwa melayang napaspun putus.
Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu sudah melesat laksana panah
menubruk masuk ke dalam hutan.
Tampak kelima pembunuh gelap itu sudah terkapar bergelimpangan, darah
segar masih mengalir dari tenggorokan masing-masing.
Jilid 45 Seorang berpakaian hitam bertubuh kurus tinggi sedang membungkuk
mengawasi cipratan darah dari leher mereka, sorot matanya menampilkan
rasa puas, seolah-olah sedang menikmati sebuah karya yang amat
mencocoki seleranya.
Orang ini mengenakan jubah hitam yang longgar dan panjang menyentuh
tanah, mukanya mengenakan kedok dari ukiran kayu cendana, hanya
kelihatan sepasang biji matanya yang berwarna kelabu seperti mata ikan
yang sudah mati.
Kedok mukanya itu terang buatan seorang ahli, roman mukanya baik
seperti hidup, ujung mulutnya malah mengulum senyuman, seakan-akan
setiap batang bulu alisnya bisa dihitung dengan jelas, tapi warnanya yang
merah itu bersemu ungu, didalam ungu bersemu hijau lagi, dihiasi sepasang
mata kelabu yang kaku dingin lagi, kelihatannya amat seram, mengiriskan
dan serba misterius.
Tangannya mencekal sebatang pedang lencir panjang, ujung pedangnya
masih berlepotan darah. Kelima pembunuh gelap itu mempunyai ilmu pedang
yang tidak lemah, Ginkang mereka pun cukup tinggi, tapi didalam sekilas
saja semuanya sudah ajal di bawah kekejian pedang orang kurus tinggi ini.
Betapa kejam hati orang ini, kecepatan ilmu pedangnya sungguh amat
seram dan mengejutkan!
Mata Nikoh jubah hijau yang buram mengunjukkan kemarahan besar,
cepat sekali dengan orang aneh itu mereka meluncur dari kanan kiri terus
berputar ke arah yang berlawanan untuk menjerat badan orang. Laki-laki
jubah hitam itu seakan-akan tak merasakan, sampaipun kelopak matanya
tak terangkat. Nikoh baju hijau dan orang aneh itu, secepat kilat sudah berputar ke
belakang laki-laki kurus tinggi, rantai sudah menyentuh dan menjerat
dadanya, begitu kedua orang ini sudah kembali kedudukan semula, maka
badannya bakal terjerat putus menjadi dua potong. Siapa tahu, tepat
disaat bayangan kedua orang ini sejajar dalam satu garis dengan dirinya,
laki-laki kurus jubah panjang itu tahu-tahu sedikit membungkuk laksana
ular sanca keluar dari liang, pedangnya memagut ke belakang dari bawah
ketiak. "Crep" tahu-tahu ujung pedangnya sudah amblas ke dalam kain
gordyn yang longgar itu. Waktu pedang tercabut keluar, darah segera
menyembur keluar dengan deras.
Bahwasanya laki-laki kurus jubah hitam tak usah berpaling ke belakang,
seakan-akan dia sudah perhitungkan dan penuh keyakinan tusukan
pedangnya pasti takkan meleset.
Sebetulnya tusukan pedangnya ini tiada sesuatu yang menakjubkan, tapi
gerakannya memang terlalu cepat, waktunyapun diperhitungkan dengan
tepat, sasaran yang diincarpun amat tepat dan telak di luar dugaan lawan.
Kelihatan seolah-olah bukan pedang itu yang menusuk ke arah badan
orang, lebih mirip kalau dikatakan orangnya sendiri yang menyodorkan diri
untuk ditusuk dan aneh serta menakjubkan sekali, bahwa tusukan pedang
ini tak boleh terpaut sedikitpun, kalau terlambat seper-sepuluh detik,
bukan saja sasarannya tidak kena. Dia sudah perhitungkan dengan tepat
disaat kedua orang bertemu dalam satu garis lingkaran yang sama,
merupakan pertahanan mereka yang terlemah, karena melihat usaha
mereka bakal berhasil, hatinya menjadi girang, dengan sendirinya
kewaspadaannya menjadi kendor.
Apalagi gabungan kerja kedua orang ini harus dijalin dengan seutas rantai,
boleh dikata laksana dwi tunggal, perduli ditujukan kepada siapa tusukan
pedang ini, seorang yang lain akan sempat memberi pertolongan. Tapi
disaat badan kedua orang kebetulan bertemu dalam satu garis lingkaran
yang sama, Nikoh jubah hijau teraling-aling di belakang orang aneh, sudah
tentu orang tidak melihat tusukan pedang laki-laki kurus jubah hitam.
Disitulah letak terlemah dari penjagaan mereka, tapi bukan soal mudah
untuk menemukan titik kelemahan ini, apalagi kejadian berlangsung
teramat cepat, untuk memegang kesempatan yang tepat dan persis dalam
waktu sesingkat itu, sungguh lebih sukar lagi dilaksanakan.
Tampak begitu kain gordyn itu bergetar, orang didalamnya lantas
tersungkur roboh.
Nikoh jubah hijau sudah menerjang maju, merasakan gejala yang ganjil,
tiba-tiba dia berpaling, roman mukanya yang kaku dingin laksana disamber
petir, mata, hidung kelima inderanya seakan-akan mengkeret seperti orang
kalap, tiba-tiba dia menubruk ke atas badan orang yang tertutup kain
gordyn, agaknya dia sudah melupakan pedang lawan sudah mengancam satu
kaki di depan mukanya.
Pelan-pelan laki-laki kurus jubah hitam membalik badan, sorot matanya
menampilkan rasa hina, katanya dingin: "Perasaan hatimu begini lemah,
bahwasanya tidak setimpal mempelajari silat, biarlah aku sempurnakan
kalian berdua."
Sudah tentu Nikoh jubah hijau tidak tahu apa yang dia katakan, pedang
panjang itupun pelan-pelan bergerak menusuk ke tenggorokannya.
"Tahan!" sekonyong-konyong seseorang membentak lantang.
Ternyata laki-laki kurus jubah hitam menghentikan tusukannya, tanpa
berpaling, suaranya kedengaran tawar: "Maling Romantis?"
Coh Liu-hiang tidak segera menubruk maju karena dia tahu pedang
ditangan orang sembarang waktu mungkin menghabisi jiwa Nikoh jubah
hijau, betapapun cepat gerakan badannya, takkan sempat maju menubruk
menolongnya. Badannya meluncur turun dan berhenti kira-kira setombak jauhnya, sorot
matanya tajam, katanya sambil mengawasi tangan yang memegang pedang:
"Cayhe memang Coh Liu-hiang!"
Laki-laki kurus jubah hitam mengeluarkan tawa kering yang menusuk
telinga, katanya: "Bagus sekali, memang aku sudah tahu cepat atau lambat
kau dan aku pasti akan bertemu muka."
"Tuan adalah "tangan" itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tangan?" laki-laki jubah hitam melengak tapi cepat sekali dia sudah
mengerti, katanya menyeringai dingin: "Benar, aku adalah tangan yang satu
itu, mati hidup jiwa kebanyakan orang yang berada di dunia ini, kebanyakan
terbelenggu di tanganku."
Dengan lirikan ujung matanya Coh Liu-hiang mencegah Oh Thi-hoa,
maksudnya supaya orang tidak ceroboh.
Tapi Oh Thi-hoa tidak tahan sabar, bentaknya: "Tapi mati hidupnya
sekarang, tergenggam dalam tangan kami."
"O" Apa ya?" jengek laki-laki jubah hitam. Sorot matanya yang dingin
mengandung penghinaan.
Oh Thi-hoa murka, dampratnya: "Kau tak percaya aku bisa menjagalmu?"
Dari kepala sampai ke kaki, laki-laki kurus jubah hitam mengawasinya
dengan memicingkan mata, jengeknya: "Kalian berdua saja?"
"Memangnya kau kira tidak cukup?" damprat Oh Thi-hoa pula.
"Kalian hendak satu lawan satu" Atau kalian maju bersama?"
Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, serunya bengis:
"Menghadapi kau durjana ini, memangnya perlu menepati aturan Kang-ouw
segala?" Tiba-tiba laki-laki jubah hitam menghela napas panjang, ujarnya:
"Sayang... sayang..."
"Sayang?" Oh Thi-hoa mendelik.
"Kalau dalam keadaan biasa, kalian boleh makan kenyang dulu tiga hari,
menghimpun semangat, mengumpulkan tenaga sehingga kondisi badan segar
bugar, lalu memilih dua macam senjata yang cocok selera baru bergebrak
dengan aku, mungkin masih kuat melawanlima ratus jurus, tapi hari ini..."
"Hari ini kenapa?" bentak Oh Thi-hoa pula.
"Hari ini sorot mata kalian guram, langkah kaki mengambang, jelas kalian
sudah kehabisan setengah tenaga, dan lagi kurang tidur, perut kosong lagi,
sepuluh tingkat kepandaian silat kalian, kini paling hanya tinggal empat
tingkat belaka." lalu di geleng-geleng kepalanya, sambungnya menghela
napas: "Dalam keadaan serba kritis seperti ini, kalian hendak bergebrak
dengan aku, sungguh merupakan tindakan yang kurang pintar."
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak tawa, serunya: "Kau hendak menggertak
kami" Kau kira kami takut?"
"Memang kalian tidak takut, tapi aku merasa kecewa malah."
"Kecewa?"
Laki-laki jubah hitam menatap pedang di tangannya, katanya kalem:
"Sepuluh tahun yang lalu, aku bertamasya keluar perbatasan, di sana aku
pernah bertemu dengan Bu-bing kiam khek, di pinggir Thiam ji di puncak
Tiang pek-san dia melawanku bertanding selama dua hari dua malam." biji
matanya yang kelabu memancarkan cahaya terang seperti nyala api, lalu
melanjutkan: "Pertempuran kali ini sungguh menyenangkan dan memuaskan
hati, selama hidup takkan pernah kulupakan, sayang sekali sejak
pertempuran kali itu, sampai sekarang aku tak pernah kebentur lagi
dengan lawan tangguh yang benar-benar mencocoki seleraku."
"Kalau demikian, memangnya kau ini sudah tiada tandingan dikolong
langit?" Laki-laki kurus jubah hitam tak hiraukan ocehan Oh Thi-hoa, katanya
menyambung: "Kiansu "ahli pedang" tiada tandingannya betapa sunyi
perasaan hatinya, mungkin sukar membayangkannya, selama sepuluh tahun
ini, setiap waktu setiap saat tiada pernah aku berhenti usaha untuk
mencari seorang lawan tangguh..." sorot matanya lalu menatap Coh Liuhiang,
sambungnya: "Sampai akhirnya aku dengar orang bilang tentang
dirimu." Coh Liu-hiang tertawa baru sekarang dia membuka mulut: "Kalau begitu
tuan memang ada maksud mencari aku sebagai lawanmu?"
"Sudah lama aku mendengar kisah petualanganmu, semula aku kira hanya
orang-orang Kang-ouw saja yang suka usil mulut mengagulkan dirimu
setinggi langit, tapi hari ini kulihat kau, baru aku tahu ternyata memang
sejak kau dilahirkan sudah belajar silat."
"Ah, terlalu memuji." Coh Liu-hiang merendah.
"Pertama kali aku melihatmu, lantas kudapati kepintaran, ketenanganmu
jarang ada orang dapat menandingi, bisa bertempur dengan orang seperti
kau memang merupakan kejadian yang menggemparkan, sayang sekali
sekarang..."
"Sekarang kenapa?" tanya Coh Liu-hiang tetap kalem dan tersenyum.
"Mengandalkan kondisimu sekarang, jikalau satu lawan satu, mungkin kau
masih kuat menyambut dua ratus seranganku tapi kalau ketambahan dia,
didalam seratus jurus aku pasti dapat menamatkan riwayatmu."
Oh Thi-hoa berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot, raungnya: "Aku
seorang diri juga bisa tamatkan jiwamu."
"Ilmu silatmu, di kalangan Kangouw boleh terhitung kelas satu, tapi hari
ini semangat dan tenaga kalian sudah luluh, dengan gabungan dua orang
bukan saja tidak akan bermanfaat kerja-sama kalian, malah masing-masing
harus menguatirkan keselamatan dan saling tolong-menolong, tanpa
mengambil keuntungan yang setimpal, lebih celaka lagi..."
"Apapun yang kau katakan," tukas Oh Thi-hoa tertawa lebar "hari ini aku
hendak melabrakmu bersama, andai lidahmu pecah saking banyak ngoceh,
jangan harap kami bisa kau tipu mentah-mentah."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki kurus jubah hitam kembali menghela napas, katanya: "Ribuan
laksa emas dapat diperoleh, panglima gagah sukar dicari, Coh Liu-hiang,
Coh Liu-hiang dengan cara begini saja aku membunuhmu, sungguh terlalu
merendahkan derajatmu, sayang, sayang!"
"Kalau demikian, apakah tuan tidak bisa tidak membunuhku?"
"Kalau orang seperti macammu hidup di dunia fana ini, aku sendiripun
takkan bisa tidur nyenyak dan makan dengan tentram..." tiba-tiba matanya
memancarkan nafsu membunuh, katanya dingin: "Tapi kalau hari ini kalian
kuat melawan seratuslima puluh jurus, aku tak akan membunuhmu." dimana
hembusan angin berlalu, tiba-tiba pedang di tangannya sudah bergerak!
Nafsu membunuh sebetulnya hanya terlontar dari sorot matanya, tapi
begitu gerakan pedangnya dimulai alam semesta sekonyong-konyong
seperti diliputi hawa kematian.
"Kalau dapat melawan seratuslima puluh jurus, aku tak akan
membunuhmu." mendengar ucapan orang ini Oh Thi-hoa sudah hampir
bergelak tawa. Sungguh tak pernah terpikir dalam benaknya, dalam dunia
ini ada manusia secongkak dan seangkuh ini.
Tapi sekarang tawanya tak bisa terdengar. Entah kenapa tahu-tahu tanpa
disadarinya dia sudah tersedot seperti disihir saja sama kekuatan hawa
kematian ini, terasa tak dapat terkendali lagi sanubarinya mengucurkan
keringat dingin.
Hawa pedang Swe It hang memang sangat tajam dan hebat, namun toh
belum bisa membuat hatinya kaget, soalnya hawa pedang Swe It hang itu
merupakan suatu yang mati, hanya bisa mengetuk kalbu saja, tak bisa
melukai badan lawan, sebaliknya laki-laki kurus jubah hitam ini sudah bisa
melebur nafsu membunuh dengan hawa pedang terbayang menjadi satu,
lebih hebat lagi karena hawa membunuh itu ternyata hidup.
Meski pedangnya belum bergerak, tapi hawa membunuh ini sudah mulai
merangsang, bergerak menerjang dan memasuki setiap lobang indra.
Terasa oleh Oh Thi-hoa hawa membunuh ini telah memasuki ke dalam
matanya, menerjang masuk ke dalam telinga, menyusup ke hidung, meresap
ke dalam lengan bajunya.. semua badan seakan-akan sudah telanjang bulat,
terkepung oleh hawa membunuh ini, belum lagi bergebrak dirinya sudah
terdesak di bawah angin, apalagi dia sudah tidak tahu cara bagaimana dia
harus turun tangan.
Ujung pedang laki-laki kurus jubah hitam terjungkit ke bawah, bukan
sajagaya menyerang juga bukan sikap membela diri, semua badannya dari
atas sampai ke bawah dapat dikata merupakan lobang besar yang
merupakan sasaran empuk untuk diserang. Tapi karena terlalu banyak
sasaran yang harus diserangnya, maka Oh Thi-hoa lebih kebingungan dan
tak tahu cara bagaimana dia harus mulai turun tangan, karena dia sendiri
tidak bisa meraba bagaimana perubahan gerakan pedang laki-laki kurus
jubah hitam selanjutnya.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang juga menghela napas, ujarnya: "Sayang... sayang..."
Laki-laki kurus jubah hitam menatapnya dengan pandangan dingin.
"Tuan juga membikin aku amat kecewa." ujarnya tertawa.
Akhirnya laki-laki kurus jubah hitam tidak tahan bertanya juga:
"Kecewa?"
"Kukira betapa tinggi ilmu pedang tuan yang sebenarnya, melihatgaya
kuda-kudamu ini, boleh dikata gerakan tuan banyak menunjukkan lobang
kelemahan yang fatal sekali akibatnya, terlalu lucu dan menggelikan."
"Kalau demikian, kenapa tidak segera kau turun tangan?"
"Terus terang Cayhe rada tidak tega untuk turun tangan."
"Mungkin karena jurus permulaanku ini terlalu banyak mengunjukkan titik
kelemahan, maka kau jadi tidak tahu cara bagaimana kau harus turun
tangan bukan?" ujar laki-laki kurus dengan nada sinis, "jikalau kau satu
lawan satu dengan aku, masih bisa kau mengandal Ginkangmu yang tinggi
untuk menjajal dan menyelami jalan permainan ilmu pedangku, tapi
sekarang kau harus berusaha melindungi temanmu, soalnya sejurus kau
gagal, pedangku pasti sudah tembus menghujam tenggorokannya."
Sudah tentu Coh Liu-hiang sendiripun tahu akan keadaan gawat dan
kepepet ini, soalnya dia lihat sikap Oh Thi-hoa rada kurang normal seperti
kehilangan semangat, maka dia mencari akal berusaha menenangkan
hatinya. Dia tahu omongan kadang kala bisa membuat seseorang menjadi
tentram dalam ketegangan.
Pandangan laki-laki kurus jubah hitam laksana kilat, katanya dengan
tertawa dingin: "Maksud hatimu akupun sudah tahu, kalau dalam keadaan
biasa, mungkin diapun takkan sampai begini, tetapi sekarangpun hatinya
bingung, tenaganya loyo, semangat dan kondisi badannya sama-sama lemah,
kalau tidak mau dikatakan hampir lumpuh, maka hawa pedangku bisa
menyusup ke dalam badannya, sekarang badaniahnya memang tak kelihatan
terluka, tapi semangatnya sudah terkekang dan tersedot oleh kekuatan
hawa pedangku, tak ubahnya seperti mayat hidup."
Memang kedua mata Oh Thi-hoa mendelong memandang lempeng ke
depan, keringat gemerobyos membasahi kepala, golok di tangannya itu
seakan-akan menjadi ribuan kati beratnya, walau ia sudah kerahkan semua
kekuatannya namun ujung goloknyapun tak kuasa diangkatnya.
Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan dimedan laga kenapa bisa berubah
begitu mengenaskan" Sekonyong-konyong Coh Liu-hiang diresapi pikiran
aneh, seakan-akan yang dihadapinya sekarang bukannya seorang manusia,
sebatang pedang, tapi adalah segulung hawa membunuh yang aneh dan gaib.
Gumpalan hawa membunuh ini hasil dari persatuan bentuk manusia aneh
dan sebatang pedang iblis, orang dan pedang laksana dwi tunggal dapat
dikata sudah menjadi begitu kuat ampuh dan tak terpecahkan, tak
terkalahkan. Orang ini sudah menjadi setan pedang sementara pedang itu
sudah merupakan sukma dari manusia.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, dia tahu dengan kondisi
badannya sekarang menghadapi pedang iblis ditangan orang, bukan saja
merupakan sikap yang pintar, malah merupakan malapetaka.
Dikala seseorang sedang kelaparan, keletihan, bukan saja kulit dagingnya
takkan kuat, semangatnyapun akan lumpuh, bayangkan momok sudah timbul
dalam benaknya, demikian juga ancaman dari luar akan segera menyusup ke
dalam. Pertempuran melawan Induk Air dalam air itu boleh dikata sudah
menguras habis seluruh semangat dan kekuatan lahir batinnya, sekarang
memang sesungguhnya dia sudah tak mampu lagi memecahkan gumpalan
hawa membunuh ini.
Biji mata lelaki kurus jubah hitam yang kelabu kaku mati itu tiba-tiba
menyorotkan sinar hijau seperti bara yang mulai menyala, umpama Coh Liuhiang
adalah besi baja, lama kelamaan diapun akan mencair luluh.
Satu-satunya harapan, semoga Nikoh jubah hijau itu tiba-tiba bangkit
kemarahannya dan berkobar dendamnya, maka dengan gencetan dua orang
dari dua posisi yang berlawanan, mungkin dia masih mempunyai harapan,
apa boleh buat Nikoh jubah hijau, kelihatannya sudah lumpuh dan tak
bersemangat lagi karena kematian teman hidupnya itu, dia mendekam di
atas mayat teman hidupnya itu, tenaga untuk berdiri pun tak kuat lagi.
Sekonyong-konyong sinar pedang menjulang ke atas, berputar satu
lingkaran. Berkata lelaki kurus jubah hitam: "Sungguh tak nyana kalian
jauh lebih tak becus dari apa yang kubayangkan semula, agaknya hanya
sedikit angkat tangan saja aku sudah bisa membunuh jiwamu."
Coh Liu-hiang menatap ujung pedang ditangan lawan, baru saja dia siap
melejit ke atas, tapi sekonyong-konyong pedang lelaki kurus jubah hitam
tiba-tiba menjadi tabir cahaya yang menyilaukan memutus segala jalan
mundurnya. Ujung pedang menderu membelah angin, melengking tajam
laksana suitan.
Sebetulnya Coh Liu-hiang cukup mampu untuk memecahkan gerakan
pedang ini, apa boleh buat saat ini dia sudah kehabisan tenaga, kekuatan
tidak memadai dengan keinginan hatinya.
Pada saat yang kritis itulah sekonyong-konyong seseorang menghardik
keras: "Berhenti!" begitu hardikan ini kumandang, lengking pedangpun
berhenti, gerakan pedang laksana siluman ular itupun tiba-tiba tak
bergeming lagi, dari kejauhan ujung pedang menuding atau mengancam di
depan muka Coh Liu-hiang.
Laki-laki kurus jubah hitam berkata dingin: "Aku hanya ingin tahu siapa
gerangan yang berani menyuruh aku berhenti, tiada maksudku yang lain,
tentunya kau tahu pedangku ini setiap saat dapat mencabut nyawamu
menuruti keinginan hatiku."
Seakan-akan Coh Liu-hiang tak mendengar ucapannya, mata orang hanya
mengawasi ke belakangnya, berkata: "Kau tidak melihatku, karena begitu
kau bergerak, aku akan mencabut jiwamu." suara ini nyaring merdu dan
lembut, namun membawa daya ancaman dan hawa membunuh yang tajam
dan kuat, sehingga orang yang di ancamnya mau tak mau percaya akan
ucapannya. Laki-laki kurus jubah hitam menatap Coh Liu-hiang, dilihatnya Coh Liuhiang
menampilkan rasa kaget, heran serta kesenangan, katanya
tersenyum: "Lebih baik kau percaya apa yang dikatakannya, aku berani
tanggung dia pasti tidak sedang berkelakar."
"Jikalau aku tidak percaya?" laki-laki jubah hitam menyeringai dingin.
"Kalau kau melihat apa yang dipegang tangannya, tidak bisa tidak kau akan
percaya." Sorot mata laki-laki kurus jubah hitam yang menyala tadi kembali menjadi
kelabu, katanya sepatah demi sepatah: "Perduli apapun yang berada di
tangannya, aku tetap bisa membunuhmu sembarang waktu."
"Kenapa tidak kau lihat dulu apa sebenarnya yang berada di tangannya?"
debat Coh Liu-hiang dengan sikap tenang dan kalem.
Harus dimaklumi, tatkala itu seluruh kekuatan hawa pedang dari
pengerahan tenaga murninya sudah terpusatkan di batang pedangnya, asal
dia berpaling kepala itu berarti pemusatan kekuatan dan konsentrasinya
terganggu, maka Coh Liu-hiang akan memperoleh kesempatan yang paling
baik. Tak nyana lelaki kurus jubah hitam ini seperti dapat meraba
pikirannya, katanya dingin: "Kau ingin aku berpaling kukira tak begitu
gampang." "Jadi kau tidak mau berpaling?"
"Sekarang seluruh badanmu sudah terjaring didalam hawa pedangku,
umpama kura-kura di gentong, ikan dalam jala, jikalau aku tidak mau
berpaling maka kaupun takkan punya kesempatan untuk memperpanjang
hidup, andaikata dua puluh tujuh batang Bau hi li ho ting di tangannya
serempak menancap di badanku, tusukan pedangku tetap dapat
menamatkan jiwamu."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Ternyata kau sudah menebak apa yang
berada di tangannya."
"Jikalau dia tak memegangi Bau hi li hoa ting, memangnya dia berani
mengancam begitu rupa terhadapku?"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa riang, katanya: "Tapi jikalau tangannya
kosong, dia hanya menggertakmu saja, apa kau tak terlalu penasaran ditipu
mentah-mentah?"
Berubah rona muka lelaki jubah hitam, katanya: "Apakah tangannya
kosong, tanpa berpaling akupun sudah tahu."
"O" Jadi belakang kepalamu juga tumbuh mata?"
Bengis sorot mata lelaki jubah hitam sentaknya: "Tusukan pedangku akan
dapat menjajal apakah tangannya itu benar-benar kosong."
"Jikalau tangannya benar-benar pegang Bau hi li hoa ting, tusukanmu ini
bukankah membawa malapetaka bagi dirimu pula" Dua puluh tujuh batang
Li-ho-ting sekaligus menyerang dari belakang, kau yakin dapat meluputkan
diri?" "Bisa gugur bersama Maling Romantis kukira merupakan transaksi dagang
yang cukup adil juga."
"Bagus sekali." ujar Coh Liu-hiang tersenyum: "Kalau begitu silahkan kau
turun tangan! Mungkin tusukanmu belum tentu dapat menamatkan jiwaku,
bukankah terlalu besar derita kerugianmu?"
Kembali berubah roman muka laki-laki jubah hitam, katanya: "Kalau aku
tak ingin turun tangan?"
"Kalau kau tak turun tangan, mungkin dia pun takkan turun tangan, jikalau
kau ingin menyingkir, silahkan berlalu tiada orang yang akan menarik dan
menahanmu."
Jelalatan sorot mata lelaki jubah hitam, katanya kurang percaya:
"Darimana aku tahu kalau dia..."
"Asal kau pergi, aku berani tanggung dia pasti tidak akan turun tangan."
"Dengan apa kau bertanggung jawab" Kenapa aku harus percaya akan
obrolanmu?"
"Kalau kau tidak percaya hanya turun tanganlah keputusannya, jikalau kau
tak ingin turun tangan, terpaksa harus percaya kepada ku, memangnya
masih ada peluang bagimu untuk tawar-menawar?"
Dengan tatapan tajam, laki-laki jubah hitam mengawasi Coh Liu-hiang lama
sekali, tiba-tiba dia tertawa besar, katanya: "Kalau Maling Romantis
sampai tidak kupercayai, manusia siapa lagi yang dapat kupercaya dalam
dunia ini, baik, hari ini kita selesaikan urusan sampai di sini saja, kelak
masih banyak kesempatan."
"Kelak bila kau berhadapan dengan aku lagi, lebih baik kau berdaya
memasang mata di belakang kepalamu."
"Kuharap kau baik-baik menjaga kesehatan, kumpulkan semangat dan
tenagamu, didalam jangka tiga bulan, semoga jarang sakit atau terluka,
kalau tidak kau akan terlalu mengecewakan aku." mulut bicara kakinyapun
melangkah lebar, sejak langkah pertama tidak pernah dia berpaling,
tampak jubah hitamnya melambai, dia sudah menghilang dari pandangan
mata. Baru saja orang berlalu, Soh Yong-yong yang semula berdiri di
belakangnya segera meloso jatuh dengan lemas, roman mukanya sudah
pucat pias tak kelihatan warna darah, keringat dingin gemerobyos,
membasahi semua badannya. Tangannya kosong melompong, mana ada Bau
hi li hoa ting segala.
Tesipu-sipu Coh Liu-hiang memburu maju memapahnya berdiri, katanya
lembut: "Tepat sekali kedatanganmu sungguh baik sekali!"
Bibir Soh Yong-yong masih gemetar, suaranyapun tak mampu dia katakan.
"Sebetulnya kau tidak perlu begini takut."
Soh Yong-yong gigit bibirnya sebentar, katanya: "Apapun tidak kutakuti,
aku hanya takut bila dia berpaling ke belakang."
"Karena asal kau sudah kemari, kau bawa tidak Bau hi li hoa ting bukan
menjadi soal lagi, persoalan sama saja."
"Kenapa begitu?" tanya Soh Yong-yong.
"Tadi dia bukan sedang membual, umpama kata tanganmu benar membawa
Bau hi li hoa ting, asal dia berani turun tangan, dia tetap bisa membunuhku
lebih dulu, waktu itu aku memang sudah terbelenggu didalam lingkungan
hawa pedangnya, tapi akupun yakin dia takkan berani turun tangan, juga
takkan berani berpaling ke belakang, karena orang macam dia pasti
pandang jiwanya terlalu tinggi, sekali kali dia takkan berani
mempertaruhkan jiwanya untuk menghadapi teka-teki ini."
"Tapi kenapa dia tidak berani berpaling?"
"Dia tidak berani berpaling lantaran takut kalau dirinya tertipu, orang
macam dia kalau tahu dirinya tertipu orang lain, mungkin bisa gila saking
dongkol dan marah."
"Kalau mau dia berpaling dulu baru turun tangankan belum terlambat?"
"Kalau dia berpaling ke belakang, maka dia takkan bisa turun tangan lagi."
"Kenapa?"
"Jikalau kau benar-benar membawa Bau hi li hoa ting, begitu berpaling,
kau akan punya kesempatan membuat tamat riwayatnya."
"Tapi aku..."
"Tapi tanganmu kosong, bila dia berpaling tahu bahwa dirinya ditipu
mentah-mentah, ingin memusatkan kekuatan hawa pedangnya lagi sesulit
memanjat langit."
"Kenapa begitu?" tanya Soh Yong-yong tak mengerti.
"Dia tahu aku sudah laksana api yang hampir kehabisan minyak, yakin
dirinya pasti akan menang, maka dia kuasa menekanku dengan perbawa
hawa pedangnya, tapi bila dia tahu dirinya ditipu, perbawa hawa pedangnya
akan menjadi lumpuh, maka perbawaku malah akan balas menekan dia,
tatkala itu siapa menang siapa asor sukar diramalkan, orang macam dia
masakah mau bertanding dengan orang bila dia tidak yakin akan menang"
Maka sudah kuperhitungkan dia pasti rela tinggal pergi saja, berpalingpun
tidak sudi."
Sampai di sini Coh Liu-hiang tersenyum: "Tokoh kelas wahid bertanding
umpama dua pasukan besar sedang berhadapan, sikap dan perbawa sekalikali


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak boleh kelelap oleh kekuatan lawan, meski persenjataan pihak
sendiri kalah kuat bila perbawa dan semangat tempur kita lebih berkobar,
lawan besarpun akan dapat kita tundukkan. Agaknya dia mengerti juga
akan teori ini, maka tahu situasi yang menyudutkan dirinya serba tidak
menguntungkan, maka dia rela tinggal pergi saja."
Soh Yong-yong tertawa manis, katanya memuji: "Justru karena kau Maling
Romantis juga paham akan teori strategis perang ini, maka setiap kali kau
dengan keadaan yang lemah dapat mengalahkan yang kuat, dari bahaya
menjadi selamat dan ketiban rejeki."
"Terlalu dipuji, terlalu dipuji, tapi kalau kau tidak menyusul tiba tepat
pada saatnya, akupun belum sempat berdoa untuk keselamatanku sendiri."
"Tapi kau memang terlalu tabah, melihat sikapmu yang tenang dan ademayem
tadi sampai akupun hampir merasa aku memang memegangi Bau hi li
hoa ting."
"Kelihatannya aku memang tenang, tabah dan adem-ayem, sebetulnya
hatikupun tegang setengah mati, memang dengan semangat dan kondisi
badanku hari ini bertempur sama dia sedikitpun aku tidak punya keyakinan
dapat mengalahkan dia."
Soh Yong-yong menatapnya lekat-lekat, sorot matanya mengandung
kekuatiran dan duka, katanya: "Dalam keadaanmu yang normal seperti
biasa, berapa persen keyakinanmu dapat melawan dia?"
Coh Liu-hiang berdiam sebentar, katanya tersenyum: "Waktu aku
bergebrak dengan Ciok-koan-im, sedikitpun aku tak punya keyakinan akan
diriku, tapi aku tetap masih berhasil mengalahkan dia."
Tatkala itu Nikoh jubah hijau perlahan merangkak berdiri dari atas mayat
yang terselubung kain gordyn, Coh Liu-hiang selalu memperhatikan gerakgerik
orang, cuma dia cukup tahu perempuan disaat sedih pilu tentu tak
suka diganggu orang lain, maka dia diam saja tak mengajaknya bicara,
supaya orang bisa tenang melampiaskan duka citanya melalui sesenggukkan
tangisnya! Bila perempuan sedang menangis sesambatan, ada orang
mendekati dan menghiburnya, maka dia tak akan habis-habis menangis
sampai dia sendiri kecapaian.
Nikoh jubah hijau sudah menghentikan tangisnya, kulit mukanya yang
pucat tepos kehitaman rada bengkak, pelan-pelan dia membalik badan
menghadapi Coh Liu-hiang, tiba-tiba berkata, katanya: "Aku ingin memohon
sesuatu kepadamu."
Coh Liu-hiang melengak kaget, tapi segera dia menjawab: "Silahkan
berkata." "Aku tahu kalian tentu amat keheranan, tak tahu siapa sebenarnya si dia
itu" Kenapa menyembunyikan diri tak mau dilihat orang?"
"Setiap orang punya rahasianya sendiri-sendiri, siapapun tiada hak
mencampurinya." Nikoh jubah hijau manggut-manggut, katanya pelanpelan:
"Sekarang aku hanya mohon kepadamu, selamanya jangan kau
selidiki rahasia ini, selamanya jangan kau singkap kain gordyn ini,
selamanya jangan sampai ada orang lain yang melihatnya."
Tanpa pikir Coh Liu-hiang menjawab: "Cayhe boleh berjanji diantara
teman-temanku pasti tidak ada seorangpun yang suka mengorek-ngorek
rahasia orang lain."
Nikoh jubah hijau menarik napas panjang yang melegakan hati, kepalanya
mendongak mengawasi angkasa raya, lama dia terlongong, akhirnya berkata
pula dengan kalem: "Kau adalah Kuncu, maka aku berani berpesan
kepadamu, setelah aku wafat, harap kau segera perabukan jenasah kami,
lalu taburkan abu kami berdua ke dalam aliran sungai yang mengalir ke
dalam Sin cui kiong itu." ujung mulutnya mengulum senyum, katanya
menyambung: "Dengan demikian dimasa hidup kami tak bisa kembali ke Sin
cui kiong, setelah wafat akhirnya dapat kembali ke haribaannya pula." air
muka yang semula kaku bengkak, diliputi penderitaan, kini dihiasi senyum
mekar, senyuman yang kelihatan aneh, penuh arti tapi juga mengiriskan.
Coh Liu-hiang sampai bergidik melihat roman muka orang, katanya: "Taysu
apa kau..."
Nikoh jubah hijau ulapkan tangannya menukas omongannya: "Aku dengan
kau sebelum ini masih asing dan tidak saling kenal, bertemu pertama kali
lantas aku berpesan kepadamu, karena aku percaya kau adalah lelaki
sejati, selama hidupku memang takkan bisa membalas baktimu tapi setelah
ajal dialam baka aku pasti akan berdoa dan memberkati kau sehat panjang
umur." Kalau orang lain yang mengucapkan janji ini, mungkin hanya omong kosong
belaka, tapi diucapkan dari mulut orang yang sudah sengsara hidup dan
menjelang ajal ini, ternyata membawa kekuatan misterius yang meresap ke
sanubari, sehingga orang yang mendengar betul-betul merasakan dirinya
sedang mengadakan transaksi dengan sebuah sukma.
Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, karena dia tahu tekad dan keputusannya
siapapun tidak bisa mengubahnya lagi. Maka dilihatnya Nikoh jubah hijau
merangkap kedua telapak tangan di depan dada, badan setengah
membungkuk membacakan mantra dan dia lalu pelan-pelan membalik badan.
Coh Liu-hiang tidak melihat orang melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu
badannya sudah roboh. Roboh menindih mayat yang tersembunyi didalam
kain gordyn itu.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, segera dia menjura dalam.
Sebaliknya air mata Soh Yong-yong berlinang, katanya sambil mengulap
mata: "Agaknya Taysu inipun seorang romantis."
Tiba-tiba terdengar Oh Thi-hoa menarik napas panjang, teriaknya
tertahan: "Eh! Kapan kau datang" Mana dia?" kau yang dimaksud sudah
tentu adalah Soh Yong-yong, sedang dia sudah tentu adalah lelaki kurus
jubah hitam. "Kau tidak melihatnya?" tanya Soh Yong-yong keheranan.
"Aku.. aku..." Oh Thi-hoa gelagapan. Keringat gemerobyos di atas
kepalanya, suaranya sember: "Apakah yang telah terjadi" Kenapa aku tibatiba
bermimpi?"
Coh Liu-hiang berkata pelan-pelan: "Lantaran kau sedang mimpi, maka aku
tidak berani mengusik kau, sekarang setelah siuman dari mimpi, dapatlah
kau lupakan segala impianmu itu."
Maklumlah sukma Oh Thi-hoa tadi sudah terbelenggu atau tersedot oleh
kekuatan hawa pedang lelaki kurus jubah hitam itu, berarti raganya sudah
kosong melompong tinggal badan kasarnya saja, sisanyapun tidak banyak
lagi, jikalau sampai terganggu, begitu hawa murninya sontak berontak dan
nyeleweng, kemungkinan darahnya bakal putar balik sehingga Cay-hwe-jipmo.
Jikalau dia tidak melupakan peristiwa ini, kelak bila bertanding dengan
orang, tentu dirinya kehilangan keyakinan akan dirinya sendiri, bagi
seorang persilatan bila kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri,
sisanyapun takkan banyak lagi. Betapapun Oh Thi-hoa juga tahu akan hal
ini, serta merta keringat dingin gemerobyos lagi membasahi seluruh badan.
Lama Coh Liu-hiang menatap lekat-lekat, kemudian baru bersuara dengan
lembut: "Sekarang kau sudah lupa semuanya?"
Lama juga Oh Thi-hoa menepekur, tiba-tiba dia bergelak tawa dengan
mendongak, sahutnya: "Aku sudah lupa."
Dengan dahan-dahan pohon dan dedaunannya Coh Liu-hiang menutupi
kedua jenasah itu lalu menyulut api membakarnya.
Semua rahasia segera akan ikut lenyap menjadi abu.
Oh Thi-hoa terus mengawasi jenasah yang tertutup rapat oleh kain
gordyn itu, tak tahan mulutnya mengoceh lagi: "Siapakah sebenarnya orang
ini" Apakah dia sumoay Taysu ini" Ataukah kekasihnya" Lantaran roman
mukanya dirusak, maka dia menyembunyikan diri malu dilihat orang?"
Soh Yong-yong seperti mau mengatakan sesuatu, namun dia urung bicara.
Tadi waktu mau berlalu sedikit meningkap ujung kain gordyn, seakan-akan
dia sudah melihat tangan orang itu. Tapi kelihatannya bukan tangan
manusia, tapi lebih serupa dengan cakar binatang, karena jari-jarinya
penuh ditumbuhi bulu lebat dengan kuku-kuku jari yang runcing panjang.
Memangnya binatang sakti yang dicinta oleh Nikoh jubah hijau ini" Antara
cinta dan dosa, ada kalanya memang hanya terpaut satu garis saja.
Tapi bukan saja Soh Yong-yong tak berani mengatakan, malah berpikir
atau membayangkanpun tak berani lagi. Apalagi bukan mustahil di atas
tangan orang bisa tumbuh bulu.
Api mulai menyala dan berkobar semakin besar. Rahasia itu sudah lenyap
ditelan kobaran api, selamanya lenyap dari alam semesta ini.
Namun dalam hati Soh Yong-yong akan tenggelam sebuah teka-teki.
Setitik Merah dan Ki Bu-yong sudah pergi lagi entah kemana. Tiada orang
yang bisa menahan mereka, karena mereka memang lahir dan tumbuh
didalam pengasingan, maka merekapun harus hidup sebatang kara. Hanya
kehidupan menyendiri yang paling mereka gemari.
Yang menghibur dan melegakan hati Coh Liu-hiang adalah bahwa kedua
orang yang semula sebatang kara dan tumbuh didalam kesunyian ini
akhirnya bisa hidup terangkap menjadi satu.
Cay Tok-hing berkukuh ingin mengantar keberangkatan mereka, karena
selama hidup Cay Tok-hing diapun selalu sebatang kara, hanya dia saja
yang betul-betul dapat menyelami jiwa orang sebatangkara adakalanya
juga dilembari oleh hari yang panas dan membara akan kehidupan.
Bagaimana dengan Ui Loh-ce" Dia bertekad akan menemukan jenasah
Hiong-niocu di sepanjang aliran sungai itu, persahabatan mereka takkan
luntur meski mengalami bencana besar dan tergembleng dalam penderitaan
hidup, sampai mati takkan berubah.
Abu jenasah Nikoh jubah hijau berdua diserahkan kepada Ui Loh-ce,
karena Coh Liu-hiang tahu diapun seorang yang dapat dipercaya, siapapun
bila bisa bersahabat dengan orang seperti Ui Loh-ce sungguh merupakan
satu hal yang menguntungkan.
Song Thiam-ji selalu merengut dan bersungut-sungut, mulut mengomel
panjang pendek karena jatuh semaput sehingga dia tak bisa mengikuti
keramaian ini, maka selama ini hanya murung dan masgul.
Soh Yong-yong lantas menghiburnya: "Walau kau kehilangan kesempatan
melihat banyak keramaian ini, tapi banyak urusan lebih beruntung bila kau
tak mengetahui atau melihatnya malah."
Di sebelahnya Li Ang siu sebaliknya sedang menjelaskan pengalamannya
dalam perjalanan ke sini: "Ditengah jalan racun dalam badan Liu Bu-bi
mendadak kumat dia tak kuat berjalan, maka Li Giok-ham menemani dia,
sekarang mereka menginap dirumah seorang tukang kayu di bawah gunung."
Sudah tentu Coh Liu-hiang tahu bahwa Liu Bu-bi hakekatnya bukan sedang
sakit, tapi lantaran takut, dia tahu bila rahasia dirinya terbongkar
masakah dia berani berhadapan dengan Coh Liu-hiang.
Li Ang siu kesima, katanya merinding: "Maksudmu bahwa Liu Bu-bi
hakekatnya tak pernah keracunan, dia memancingmu masuk ke dalam Sin
cui kiong, tujuannya untuk menuntut balas bagi kematian Ciok koan im?"
"Ya, begitulah menurut rekaanku."
"Kalau demikian dia pasti takkan berani menetap dirumah tukang kayu itu,
buat apa kita menyusul kesana untuk mendatangi tempat kosong?"
"Bukan kita saja yang tertipu olehnya, Li Giok-ham sendiripun ditipunya
mentah-mentah, betapapun aku akan menemukan dia."
Cepat sekali mereka sudah tiba ke tempat tujuan, tampak di bawah bukit
dalam sebidang hutan yang rindang terdapat sebuah gubuk, seorang tukang
pencari kayu yang berusia tak muda lagi, namun otot badannya kelihatan
merongkol, dengan kekar, badan bagian atas telanjang sedang membelah
kayu bakar di depan halaman rumahnya. Walau orang ini tak pernah belajar
silat tapi setiap kali kampaknya terayun selalu membawagaya ayunan yang
indah, sebatang bongkol kayu yang besar sekalipun dibelahnya dengan
sekali bacokan kampaknya.
Melihat orang selincahnya mengerjakan kampaknya, diam diam Coh Liuhiang
merasa kagum dan simpatik. "Walau berhasil melatih ilmu silat
sampai tingkat tertinggi sehingga tiada tandingannya dikolong langit, apa
pula gunanya dan masakah patut dibanggakan, tokoh nomor satu yang ahli
menggunakan senjata kampaknya memangnya mampu dibandingkan seorang
tukang kayu yang rajin bekerja?"
Li Ang-siu maju mendekati, sapanya dengan tertawa: "Harap tanya Toako
ini, apakah kedua teman kami itu masih berada didalam?"
Roman muka tukang kayu ini tak menampilkan perasaan apa-apa, malah
melirikpun tidak kepadanya, dia hanya manggut-manggut sambil
mengayunkan kampaknya, sebongkah kayu besar dibelahnya lagi hanya
sekali ayunan kampak.
Setelah mengucapkan terima kasin Li Ang-siu lantas memberi kedipan
mata kepada Coh Liu-hiang, lalu mereka langsung menuju ke pintu, belum
lagi mereka memasuki pintu, Li Giok-ham sudah kelihatan didalam.
Gubuk kayu ini serba sederhana, kalau tidak mau dikatakan serba
kekurangan, didalam hanya ada sebuah meja persegi, seorang diri Li Giokham
sedang duduk menyanding meja sambil minum arak, air mukanya pucat
kekuningan agaknya kurang tidur, secangkir demi secangkir tak putusputusnya
dia tenggak habis araknya. Cahaya dalam rumah agak guram
meski siang hari bolong, suasana dalam rumah seperti ditengah malam
terang bulan. Setelah mereka melangkah masuk, Li Giok-ham hanya sekilas angkat
kepala, segera sibuk lagi dengan araknya seolah-olah mereka selama ini tak
kenal. Coh Liu-hiang langsung duduk dihadapannya, lama sekali baru dia
bertanya: "Mana Li-hujin?"
Cukup lama baru Li Giok-ham mengerti maksud pertanyaannya, tiba-tiba
dia tertawa, katanya berbisik: "Dia sedang tidur, jangan kalian ribut
sehingga dia bangun."
Baru sekarang Coh Liu-hiang sempat perhatikan di atas dipan memang
tidur celentang seseorang, cuma seluruh badannya tertutup kemul, sampai
mukanyapun tak kelihatan.
Begitu melangkah masuk Oh Thi-hoa tidak tahan lagi lantas menyambar
botol arak. Tak kira sekali raih Li Giok-ham lantas merebutnya kembali, katanya:
"Araknya tinggal sedikit, aku sendiri hendak minum, kenapa tidak kau beli
sendiri?" Oh Thi-hoa melongo, hampir dia tidak percaya akan pendengaran dan
pandangannya sendiri bahwa putra hartawan besar seperti Li Giok-ham
yang dulu royal dan suka berfoya-foya kini duduk di depannya, sebaliknya
sikap Li Giok-ham acuh tak acuh seperti tiada orang lain di sekelilingnya,
menuang sendiri, minum sendiri, perduli orang lain anggap dirinya macam
manusia apa, sedikitpun dia tidak ambil perhatian.
Sesaat kemudian Coh Liu-hiang baru buka suara lagi: "Sungguh harus
disesalkan, sampai sekarang kami baru sempat pulang, dan lagi tidak
berhasil mendapatkan obat pemunah racun untuk mengobati istrimu."
"O?" pendek dan dingin sekali Li Giok-ham.
Coh Liu-hiang menambahkan dengan suara kereng: "Soalnya istrimu
sebetulnya tak pernah keracunan, Induk Air sendiri yang beritahu akan hal
ini kepadaku."
Dia kira Li Giok-ham pasti tercengang kalau tidak terkejut mendengar
keterangannya, siapa tahu sedikitpun Li Giok-ham tak memberi reaksi apaapa,
sesaat kemudian baru dia tertawa, katanya: "Dia sedang sakit, Baik
sekali kalau begitu, baik sekali..."
Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang mimik tawa orang aneh dan ganjil,
dikata tertawa adalah lebih tepat kalau dikatakan sedang menangis, dalam
waktu dekat sukar dia meraba apa sebetulnya yang dimaksud dengan
ucapan Li Giok-ham, entah harus menegurnya, turun tangan secara
kekerasan bila perlu" Atau peristiwa itu disudahi begini saja, selanjutnya
tak perlu disinggung lagi.
Memang Coh Liu-hiang berjiwa besar, lapang dada dan luhur budi, bila dia
menerima kebaikan orang, meski hanya setetes air pasti akan dibalasnya,
tapi belum pernah dia menaruh dendam kepada seseorang apalagi ganjalan
hatinya sudah hilang tak luka tak dirugikan, perguruan Ciok-koan-im boleh
dikata sudah putus turunan, buat apa dia harus menindas seorang
perempuan lemah lagi setelah dipikir bolak-balik akhirnya dia bangkit
berdiri, katanya: "Tugas Cayhe sudah berakhir sekarang juga aku mohon
diri, selanjutnya," belum habis dia berkata, tiba-tiba Li Ang-siu berkata
keras: "Tidak bisa, betapapun aku ingin tanya biar jelas apa sebenarnya
hubungan mereka..." mulut bicara kakipun memburu masuk, langsung dia
singkap kemul yang menutupi orang tidur itu, seketika ucapannya terputus
seperti lehenya tiba-tiba dicekik orang, dengan menjublek dia awasi orang
yang rebah di atas dipan.
Liu Bu-bi memang sedang rebah di atas dipan tapi roman mukanya pucat
menguning seperti kertas emas, kedua matanya terpejam, daging dikulit
mukanya sudah kering dan tak kelihatan lagi bekas-bekasnya yang


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketinggalan hanya kulit pembungkus tulang.
Perempuan cantik rupawan bak bidadari ini kini sudah berubah sama
dengan tengkorak, terang tinggal raganya saja yang sudah tak bersukma
lagi, tampak beberapa ekor semut diantara lobang hidung dan telinganya
merayap keluar masuk.
"Waaahhh!" tak tertahan akhirnya Li Ang-siu menjerit ngeri sambil
berlari keluar menutup muka, Soh Yong-yong dan lain-lain lekas berpaling
muka tak tega mengawasi lebih lama, Oh Thi-hoa terbelalak, katanya
mendesis: "Dia... dia sudah mati."
Li Giok-ham geleng-geleng kepala, katanya tertawa lirih: "Dia tak mati,
cuma tidurnya amat nyenyak, jangan kalian ribut di sini nanti membuatnya
bangun." Betapapun ceroboh dan bodoh Oh Thi-hoa sudah maklum bahwa Li Giokham
sipintar ini terlalu keblinger dalam permainan asmaranya, kejadian
sudah berlarut sedemikian jauh, tapi dia tetap menolak mengakui bahwa
istrinya tercinta sudah wafat, maklumlah lantaran dia tidak kuat
mengalami pukulan batin dan penderitaan ini.
Mengawasi senyuman ganjil muka orang, tak terasa air mata Oh Thi-hoa
bercucuran. Sinar lentera amat guram, maklumlah warung arak ini memang merupakan
sebuah bangunan kotor sederhana.
Perut mereka sudah keroncongan, tapi setelah mengalami peristiwa yang
memilukan ini, siapa yang ada selera menangsel perut"
Biji mata Li Ang-siu masih merah bendul, mulutnya menggumam sendiri:
"Tak kukira dia mencari jalan pendek, sungguh aku tidak mengira..."
"Mungkin dia bukan bunuh diri." timbrung Soh Yong-yong. "Tapi memang
benar keracunan dan tidak tertolong lagi."
"Tapi aku yakin Induk Air takkan membual, karena dia toh sudah bertekad
untuk gugur, buat apa pula dia ngapusi orang lagi?" demikian debat Li Angsiu.
"Mungkin karena Liu Bu-bi sendiri selama ini mengira dirinya memang
keracunan, maka hatinya selalu tertekan dan was-was, serba curiga dan
takut akan bayangan sendiri, maka sugesti itu memang ada kalanya bisa
membunuh diri sendiri." demikian Soh Yong-yong coba menganalisa dengan
pendapatnya. Li Ang-siu menghela napas ujarnya: "Dibilang bagaimanapun, Liu Bu-bi tak
pernah ngapusi kita..."
Song Thiam-ji menyeletuk: "Coba kalian pikir, apakah Li Giok-ham akan
terus menunggunya disana mengira dia akan bangun" Dia... dia sungguh
kasihan." tak tertahan airmata meleleh membasahi pipi.
Soh Yong-yong berkata lembut: "Betapapun mendalamnya derita dan
kepedihan setelah berselang lama, lambat laun akan terlupakan juga, kalau
tidak, mungkin manusia yang hidup dalam dunia akan tinggal separo saja."
Apa yang dikatakan ini memang benar, betapapun besar kepedihan dan
mendalam duka cita seseorang, setelah kejadian lama berselang, kesankesan
itu akan semakin luntur dan terlupakan sama sekali. "LUPA" memang
salah satu syarat kehidupan bagi manusia umumnya.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa tepuk pundak Coh Liu-hiang dengan keras, katanya:
"Tugasmu sudah selesai, kaupun berhasil mengalahkan Sin cui kiong-cu
yang tiada tandingannya diseluruh kolong langit, memangnya ada persoalan
apa pula yang tidak bisa meriangkan kalbumu" Kenapa duduk bersungutsungut
saja, arakpun tak mau minum?"
Coh Liu-hiang hanya tertawa getir, tidak bersuara.
"Aku tahu kau merasa salah karena menduga Liu Bu-bi yang tidak-tidak,
maka hatinya merasa menyesal dan bersedih, tapi, hal ini tak bisa
menyalahkan kau, apapun yang telah terjadi, kematiannya toh bukan
lantaran kau."
Soh Yong-yong menghela napas, katanya: "Bagaimana juga perjalanan kita
kali ini terhitung dengan lancar dan sukses besar, yang harus dibuat
sayang hanyalah kepergian Hek-toaci "Mutiara Hitam" sungguh tak kukira
dia membawa adat sendiri yang kaku dan eksentrik, tanpa pamit dia tinggal
pergi." Coh Liu-hiang menarik napas panjang, dia angkat cangkir terus diteguknya
secangkir arak penuh.
Oh Thi-hoa segera tertawa lebar, katanya: "Bagaimana juga urusan yang
tak menyenangkan akhirnya berlalu, sekarang kita harus pikirkan urusanurusan
yang menyenangkan, melakukan apa-apa yang menggembirakan,
aku..." kata-katanya tiba-tiba putus seperti mulutnya tiba-tiba tersumbat,
matanyapun mendelong lurus.
Seorang gadis berpakaian hijau dengan langkah gemulai mendatangi sambil
membawa nampan dari kayu, tubuhnya langsing tindak tanduknya luwes,
meski tak terlalu jelek, tapi juga tak amat cantik cuma roman mukanya
selalu dialasi sikap yang galak dan suci tak boleh dilanggar, "Blang" poci
arak di atas nampan dengan keras dia banting di depan Oh Thi-hoa, tanpa
melirik segera dia berpaling, maka melangkah kembali, tetap dengan
langkah lenggang gemulai.
Melihat kelakuan Oh Thi-hoa yang lucu seperti kehilangan semangat tak
bertahan Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya: Apa kau ingin kembali
menetap ditempat ini?"
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung, lama dia menjublek, tiba-tiba dilihatnya
sepasang biji mata yang membundar besar sedang menatapnya tanpa
berkedip dibalik pintusana .
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak tawa dengan menengadah, serunya: "sekali
kesalahan telah terjadi, orang harus bertanggung jawab, jika kau dengan
cara yang sama dapat menipuku dua kali, itu berarti kesalahanku sendiri,
coba kau pikir memangnya aku bakal kena tipu sekali lagi?"
TAMAT Harpa Iblis Jari Sakti 19 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Kisah Pendekar Bongkok 14
^