Petualang Asmara 11

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah
pengalaman itu. Pedang gadis itu tadi memang sengaja "diterimanya" dengan jubahnya
yang tertusuk dan sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!
"Aihhh...!" Bi Kiok berseru kaget.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
297 Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah
itu menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoat-su
memukul. "Dukkk!" Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul
lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu
dengan mata mendelik penuh kebencian.
Melihat gurunya roboh, Bi Kiok marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan
kosong. Akan tetapi serangannya disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan
angin keras dan gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.
"Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk,
harus dibikin buruk!" Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoat-su memegang pedang
rampasan tadi dan melangkah maju untuk mcrusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak
berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.
"Tahan, Toat-beng Hoat-su!" Kun Liong berteriak dari tempat dia berba-ring. "Engkau
menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?"
Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.
"Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kaupukul mampus, aku tidak
akan sudi memberitabukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke
tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!"
Kakek itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada
dara ini, ya?"
Muka Kun Liong menjadi merah. "Tak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan
kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?"
Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur dan menancap di
atas lantai, hanya setengah jengkal selisihnya dari pipi Bi Kiok! "Huh, kau masih
beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali, akan kubuntungi hidungmu dan dua daun
telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biarpun dia
dalam keadaan tidak terluka."
Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.
"Toat-beng Hoat-su, manusia pengecut!"`Bu Leng Ci berteriak marah. "Kau datang pada
saat aku terluka! Coba kau
datang lagi kelak kalau aku sudah sem-buh!"
Kakek itu menoleh dan tertawa. "Heh-heh-heh, boleh saja!"
"Kau telah mengkhianati kerja sama lima datuk!" Bu Leng Ci yang merasa marah dan
kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, menyerang lagi dengan kata-kata penuh
kebencian. "Huh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu" Pek-lian-kauw membiarkan dirinya
diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa sudi" Boleh saja aku melawan
pemerintah, akan tetapi aku tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor
kepada orang-orang asing!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap
dari situ. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
298 "Subo...!" Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.
"Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat
Thio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andaikata tikus tua itu
berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya."
"Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba
untuk menyelidiki dan membayanginya."
"Hemmm, kau bukan lawannya. Biarlah kita pergi bersama dan sambil melakukan
perjalanah aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho jauh dan memakan
waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan
kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu."
Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka
lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi
dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah di pulau besar dan
menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat tujuh orang
pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka
menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan
itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoat-su.
Mereka berjalan menuruni bukit itu, berdampingan. Kelihatan seperti dua orang sahabat
baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang bergegas pulang ke
kampungnya, kalau saja orang tidak melihat kedua tangan pemuda gundul itu
terbelenggu! Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoat-su amat melelahkan tubuh
dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan
atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan
main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata
dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya. Dia tahu
bahwa kalau kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saia
tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu
bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan dalam hidupnya sebelum mati konyol
begitu saja. Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan
oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab
Siauw-lim-pai yang hilang belum dia penuhi. Karena itu, dia harus berpikir seratus kali
sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum
sesat itu! "Toat-beng Hoat-su, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan
tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku
terbelenggu?" Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena
melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini amat melelahkan
tubuh dan mengesalkan hati.
Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat
langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau
ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya
ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang
sakit. Apalagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
299 gadis! Kepalanya amat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran
tamparan! "Toat-beng Hoat-su," katanya lagi degan nekat, "Engkau mengingatkan aku akan
Kongkongku (Kakekku)."
Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.
"Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek
luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau.
Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku."
Karena Toat-beng Hoat-su sama sekali tidak menjawab, akan tetapi kelihatannya
memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi, "Apakah engkau tidak mempunyai cucu" Anak"
Atau keluarga seorang pun" Apakah engkau hidup -seorang diri, sebatang kara di dunia
yang ramai penuh manusia ini?"
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu
siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Biarpun kedua
pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi kalau hanya untuk membela diri
saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena
memang dia sudah berjanji membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!
"Duduk!" Kakek itu berkata dengan nada memerintah.
Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah
batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat
panas, kemudian berkata, "Kau ingin sekali mendengar riwayatku" Nah, dengarlah baik-
baik." Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang
mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup
terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-
ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman
tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua
keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan
isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta
tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri
tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan
segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga
dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan,
dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri,
mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."
Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya
terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua
manusia" Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang
menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau
membenci manusia?"
"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir" Mana aku bisa melawan
alam" Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan
mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada
manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku,
kuterjang dan kubunuh!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
300 Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini,
membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu
kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"
"Kau juga manusia!"
"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?"
"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau
kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri
sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"
Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh
kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa" Aku sudah berjanji
membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi
Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti" Sekarang tak peduli
kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama
saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah
janji!" Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang
aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan
bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!"
Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su"
Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan
mudah saja!"
Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar.
Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak
berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan
menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau
pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"
"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti
engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan
harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah
semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka" Tentu takkan dapat
mencegah kematian karena usia tua!"
"Cerewet, hayo jalan lagi!"
Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan.
Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil
dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh
semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini" Demikian hebat
deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka
kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk
nomor satu di dunia"
Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya,
kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan
menderita seperti kakek ini" Mengapa mesti demikian" Jelas sekarang tampak olehnya
bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu
direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
301 itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda,
nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu,
keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya
setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan
penderitaan! Jelas!
Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah
batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat
panas, kemudian berkata, "Kau ingin sekali mendengar riwayatku" Nah, dengarlah baik-
baik." Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang
mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup
terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-
ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman
tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua
keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan
isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta
tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri
tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan
segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga
dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan,
dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri,
mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."
Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya
terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua
manusia" Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang
menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau
membenci manusia?"
"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir" Mana aku bisa melawan
alam" Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan
mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada
manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku,
kuterjang dan kubunuh!"
Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini,
membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu
kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"
"Kau juga manusia!"
"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?"
"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau
kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri
sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"
Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh
kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa" Aku sudah berjanji
membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi
Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti" Sekarang tak peduli
kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
302 saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah
janji!" Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang
aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan
bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!"
Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su"
Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan
mudah saja!"
Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar.
Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak
berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan
menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"
"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti
engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan
harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah
semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka" Tentu takkan dapat
mencegah kematian karena usia tua!"
"Cerewet, hayo jalan lagi!"
Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan.
Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil
dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh
semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini" Demikian hebat
deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka
kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk
nomor satu di dunia"
Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya,
kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan
menderita seperti kakek ini" Mengapa mesti demikian" Jelas sekarang tampak olehnya
bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu
direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik
itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda,
nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu,
keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya
setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan
penderitaan! Jelas!
BU LENG CI sudah menyerangnya lagi dengan hebat, memaksa Toat-beng Hoat-su
melayaninya sedangkan Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka
berdua lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut
saja. Mereka lari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu karang, kemudian Bi Kiok
membawanya masuk ke sebuah guha di antara batu-batu karang.
"Kita menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah. Hatinya masih tegang
karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoat-su, kalau Kun Liong tidak
menangkis jubah itu.
Kun Liong memandang kepadanya dan tersenyum. "Bi Kiok yang manis, entah sudah
berapa kali kau menolong nyawa-ku. Pertama, ketika kau menolongku di kuil dahulu itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
303 pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, ketika aku ditawan oleh
orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku..."
"Hemm, bagaimana kau tahu?"
"Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan seka-rang, kau lagi-
lagi menolongku. Eh, anak baik, mengapa kau begini baik kepada-ku?"
Gadis itu mengerutkan alisnya, me-nunduk dan tiba-tiba dia meloncat bang-kit dari
duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu telah terbebas dari
belenggu. "Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!"
Kun Liong mengangkat kedua tangan-nya ke atas dan tersenyum. "Wah, aku lupa ketika
menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu."
"Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri
takkan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau
mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoat-su!"
Kun Liong memandang dan tersenyum. Hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng
yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian
membuatnya tergila-gila karena keindahan mulutnya, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini...
hemmm, sepasang matanya itulah yang membuat dia tak mampu mengalihkan
pandangannya. Mata itu... demikian indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka
itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah" Entahlah, akan
tetapi dia benar-benar senang sekali memandangi mata itu!
"Begitukah...?" komentarnya atas du-gaan Bi Kiok.
"Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu" Kenapa
kau mandah saja dibawa pergi?"
"Karena, Nona yang baik, karena aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau kau
dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!"
"Eh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, mengapa sampai sekarang
gundul terus?"
"Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!"
"Ceriwis!" Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya
menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun
Liong. Kun Liong terus menatap mata yang indah itu, membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan
jengah, juga marah. Dia sen-diri merasa heran mengapa dia selalu ingin menolong
pemuda gundul ini! Apa-kah karena pengalaman mereka bersama ketika kakeknya
terbunuh itu merupakan hal yang tak pernah dapat dilupakannya" Ataukah karena
pemuda ini menjadi kun-ci rahasia bokor emas yang diperebutkan"
"Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?" Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja
dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.
Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling
itu berkesan di hati Kun Liong! "Kalau benar mengapa?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
304 Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya memandang tak senang,
telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, "Giok-hong-cu Yo Bi
Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Le Hwesio?"
Bi Kiok menarik napas panjang. "Hemm, engkau sudah tahu pula" Bukan aku
pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-
to-piauw-kok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si."
"Siapa menyuruhmu?"
"Siapa lagi kalau bukan Subo."
"Subomu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?"
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Bukan. Eh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan
diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?"
"Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!"
"Hemmm..." Dara itu makin terheran. "Kalau begitu, gundulmu itu ada hubung-annya
dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?"
Kun Liong meringis dan meraba kepalanya. "Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang
membunuhnya dan mengapa?"
"Kaucari sendiri!"
Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, "Bi Kiok...!"
Seruan itu disusul teriakan lain yang parau akan tetapi tidak kalah nyaringnya. "Kun
Liong...!"
Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoat-su.
Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya
dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil,
wajahnya pucat.
"Kau kenapa...?"
"Sssttt...!" Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di guha
itu, sampai tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, "Kalau sampai Subo atau
Toat-beng Hoat-su menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong."
"Aku..." Celaka..." Mengapa" Paling hebat mereka akan memaksaku menun-jukkan
tempat aku manyembunyikan bo-kor tua itu. Biar aku menjumpai me-reka."
"Bodoh kau! Kaukira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri" Sesudah seorang di
antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!"
"Heh" Mengapa" Tak mungkin!"
"Hemm, kau tidak tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau
merupakan orang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran.
Apakah kaukira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian
dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
305 Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan
hati terharu, "Aihhh... mengapa, Bi Kiok" Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini
bahkan membahayakan dirimu sehdiri?"
"Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kaukira kita akan selamat kalau seorang di antara
mereka menemukan kita di sini?"
"Tapi..."
"Ssstttt...!" Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak
mengeluarkan suara.
"Bi Kiok...!" Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel
di depan guha. "Ke mana bocah itu" Mungkinkah ia yang melarikan Kun Liong" Hemm...,
mungkinkah dia terserang penyakit cinta" Celaka...!" Kemudian terdengar langkah
wanita itu yang amat ringan dari depan guha.
Dari jauh terdengar gema suara Toat--beng Hoat-su, "Kun Liong...! Hayo lekas ke sini
memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak
lekas pergi bisa celaka!"
Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seolah-olah dia tidak menghendaki
pemuda itu pergi. Kemudian setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di
sekitar situ, akan tetapi dari jauh terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali
kuda. Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengen
perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang
wajah itu kemudian bertanya, "Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?"
"Aku... aku..." Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi
Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu dan
memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.
"Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta" Bi
Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?"
"Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan kepadamu dan suka
kepadamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-
orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat
kepadamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya..."
Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang manis itu, mata yang indah
mempesona itu. "Bi Kiok, betapa indahnya matamu..."
Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih
yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan
terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!
Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan
kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan
menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, "Kun Liong..."
Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu
menempel ketat di dadanya, berulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak
menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali
mencium sesuatu yaog disenanginya! Dia tadi mencium sepasang mata indah yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
306 terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong
oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang
pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru
disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, "Kun Liong..."
Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik, "Bi Kiok, betapa baiknya hatimu...
betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau men-jadi murid seorang
datuk kaum sesat..."
"Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah
masih ada engkau yang mencintaku?"
Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya, "Bi Kiok,
apakah engkau cinta kepada-ku?"
Gadis itu menarik napas panjang. "Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi
semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin
selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka
kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong."
"Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku."
"Heh" Mengapa?"
"Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang
suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini" Kurasa bukan..."
"Tapi... tapi... kau telah menciumku!"
Kun Liong tersenyum pahit. Presis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua
wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta" Apakah orang yang hanya
suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium" Biarpun yang mencium
dan yeng dicium sama-sama rela dan suka"
"Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu
yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga
bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat
tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu,
apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?"
"Kun Liong...!" Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.
"Bi Kiok, jangan menangis...!" Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia
mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang mene-tes di pipi. "Aku tidak
bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menya-kiti hatimu. Aku lebih suka
berterus terang daripada membohongimu."
Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, ke-mudian
menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong. "Aku mengerti... dan aku
menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin, juga tidak. Kau lebih tegas dan
jujur. Adapun ten-tang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang
menerimanya, dan..."
"Ssssttt...!" Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang
merasa khawatir kalau-kalau Bi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
307 Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau
seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya, menemukan mereka, dia akan
melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.
Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda.
Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang
wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, "Pemberontak yang berada di dalam guha!
Keluarlah!"
"Ssst...!" Kembali Kun Liong membe-ri isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.
"Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu
bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!" Kembali suara
wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha.
"Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan
kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kaukarang cerita
lain." Bi Kiok menggeleng kepala dan kem-bali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat
mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. "Jangan
bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!"
Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah,
memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih
tampak pasukan berjalan kaki. Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-per-
wiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya
melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas
seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali. Gadis itu takkan lebih dari
sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi
tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang
perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang
membuat orang menjadi segan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung
dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya
yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan
untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang
segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang
meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang
berkulit putih kuning itu.
Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang
berada di dekatnya, "Tangkap dan belenggu dia!"
"Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?"
Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara dan
ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada
kepalanya yang gundul.
"Jadi engkaukah ini...?" Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan.
Manis bukan main bagi Kun Liong!
"Engkau Kun Liong!"
Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu
bergerak-gerak, otak di dalam
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

308 kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menge-nal
nona yang dagu dan lehernya mem-buat dia terpesona itu. "Nona... siapa-kah...?"
Dara itu merengut. "Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala
gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan la-ngit. Betapa akan
malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku
murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan se-gala macam pemberontak
dan orang ja-hat!"
"Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!"
"Kou terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan
bersama. Masih hendak kausangkalkah itu?"
"Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantar-kannya ke
tempat bokor... ehh..." Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan
marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan
menyebut-nyebut tentang bokor.
Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. "Tangkap dia!" Gadis
itu membentak. Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan
mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera
mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak, "Mundurlah
kalian!" Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu
terjengkang ke belakang!
"Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah" Pemberontak
rendah!" "Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul
hendak menawan aku, kata-kan sebab-sebabnya dan apa kesalahku!"
"Pertama, kau berhaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan
karena kaum sesat menjadi pemberontak, kaupun kucurigai menjadi pemberontak.
Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan
bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat
bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!"
"Apa..." Bokor emas milik... suhumu...?" Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak
perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li
Hwa!" Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis
sekali! "Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?"
"Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak
menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku
tidak mau!"
"Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!" Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid
Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai.
Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
309 tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-
to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.
Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari
atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang
ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum
memandang kepada Souw Li Hwa!
Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah
menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.
"Heii, jangan...!" Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda
berkepala gundul itu tidak meng-elak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam
berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seru-annya, karena golok
itu sudah menyam-bar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya.
"Krookk!"
Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal
seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap
mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke
belakang! "Mundur semua!" Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia
terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan
mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka
hanya mengurung dan memandang dengan marah.
Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia
menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan
menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!
"Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain mela-wan?" Li Hwa
tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.
"Banyak sebabnya," kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok
yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. "Pertama, karena kita sudah
saling mengenal, ke dua kare-na agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang
gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu
kosong." "Bawa tali ke sini!" Li Hwa meme-rintah.
Seorang perwira datang berlari mem-bawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan
gerakan cepat Li Hwa membe-lenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.
"Bawa seekor kuda ke sini!" Kembali dia memerintah.
Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, "Sekarang kaunaiklah
ke kuda ini."
"Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!" Kun Liong
tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.
"Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?" Li Hwa menggunakan sisa
tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
310 kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali
ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.
"Kwan-ciangkun, kautuntun dia!" katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan
memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.
"Aihh!" Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas
dari tangannya. Dia melon-cat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik
ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari
tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun
dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia
melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira
mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu
terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul
menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis
kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak
dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu.
"Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?" Li Hwa
membentak marah.
"Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan
dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku."
"Manusia aneh dan gila!" Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para
perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak
menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den
dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya
dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.
"Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu," kata Li Hwa. "Memang aku hendak
mengembalikan bokor itu kepada gurumu..."
"Bohong! Siapa percaya omonganmu?"
"Percaya atau tidak terserah."
"Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su."
"Siapa bilang aku hendak menyerahkan" Aku hanya bilang bahwa aku hendak
menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu."
"Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?"
"Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku
membiarkan dia mengambilnya."
"Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua
itu?" "Karena... perjanjian!"
Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda
itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati
keindahan dagu dan leher itu.
"Kau cantik, Li Hwa..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
311 Li Hwa mendengus. "Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, se-orang
penjahat golongan hitam yang ca-bul dan hina!"
"Wah-wah-wah, mengatakan kau can-tik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa"
Kau memang cantik, habis ba-gaimana" Apakah kau lebih senang kalau aku membohong
dan mengatakan bahwa kau buruk?"
"Jangan mengatakan apa-apa!" Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya meng-angkat
pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran
terhadap sikap wanita. Mah-luk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan
seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!
"Hayo jawab!" Setelah agak lama ber-diam, Li Hwa membentak. Dengan ta-ngan kirinya
dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu ter-sentak maju ke
depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit
perut kuda se-hingga biarpun dia yang dibetot ke de-pan, yang merasakan adalah kuda
yang ditungganginya!
Dia diam saja. "Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjuk-kan
kepadaku!"
Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat
pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepada-nya.
"Mesam-mesem jual lagak kau! Dita-nya tidak menjawab malah tersenyum-senyum.
Memangnya kau gagu?"
"Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara
cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja
kau bilang kepa-daku bahwa aku jangan mengatakan apa--apa, setelah aku diam tidak
berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih
ke-hendakmu, Nona cantik?"
Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh
para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak
antara sepuluh me-ter.
"Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?"
"Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan
gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima
besar yang sakti The Hoo."
"Kalau sudah tahu, mengapa kau be-rani kurang ajar?"
"Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus
menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun" Apa sih kekurangajaranku?"
"Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!"
"Lagi-lagi itu! Habis kalau memang-nya engkau cantik jelita..."
"Sudahlah... sudahlah!" Li Hwa ber-kata kewalahan. "Katakan saja di mana adanya bokor
emas milik Suhu itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
312 "Kaupimpin pasukanmu melalui sepan-jang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh,
ingatkah kau ketika kau ditawan" Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang--ho yang
airnya tidak begitu dalam, ba-nyak batu-batu besar."
Li Hwa mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini" Dia lalu memberi
aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho,
kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong
diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemu-kan bokor itu. Pemuda itu
menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain.
Hanya diceri-takan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di
sungai dan secara kebetulan ia menemu-kannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke
tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan me-
nyembunyikannya di tempat itu.
Li Hwa merasa terheran-heran men-dengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw
mencari bokor itu. Dan suhu-nya juga menyebar orang untuk mencari-nya karena
suhunya khawatir bahwa ka-lau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan
membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu di-temukan oleh bocah
gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya
sampai sepuluh tahun!
"Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi
tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak.
Apakah Paman Cia Keng Hong tidak me-laporkan ke kota raja?"
Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. "Kami mendengar tentang
pemberontakan dari beliau."
"Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan
menyaksikan para pemberon-tak mengadakan perundingan" Dengan aku! Cia-supek
(Paman Guru Cia) berpi-sah dariku setelah kami berhasil menye-lamatkan seorang gadis
yang tentu kau-kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik
manis seperti engkau, terutama bibirnya."
Li Hwa membelalakkan matanya. "Siapa percaya omonganmu" Yang jelas menurut
penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan
kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya."
"Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis."
"Hemm... gadis lagi!"
"Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar
juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!" Tentu
saja yang dimaksud-kan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan
namanya. "Engkau memang mata keranjang!"
Kun Liong tertawa. "Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat
wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?"
"Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?"
"Gadis dengan bibir manis sekali itu" Liem Hwi Sian..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
313 "Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?"
"Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan
Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada...
kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?"
"Di mana dia sekarang?" Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya
kurang ajar itu.
"Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang
pemberontak?"
"Kita lihat saja nanti keputusan pe-ngadilan di kota raja."
"Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak
menawanku dan membawaku ke kota raja?"
"Tentu saja!"
"Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?"
"Aku tidak percaya ceritamu."
"Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?"
"Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat."
"Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan
kosong" Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin
segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya" Aku pun suka sekali
berdampingan denganmu, Li Hwa."
Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu
tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu
bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan
menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak
mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia
menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga
kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang
dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan
Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.
"Plakkk!" Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!
Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya
telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami hal seaneh ini!
"Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian,
maka kau mengelusnya tiada hentinya."
Li Hwa menjadi merah sekali muka-nya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para
perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala
Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak
Kun Liong. "Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?" Kun Liong berkata dan melepaskan
pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
314 mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan
Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan
sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu
mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!
Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget
sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi
ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala
pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi
apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat "menangkap" dan menempel
telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan
ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus
lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan
tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di
tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah
menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat
yang berbentuk kepala manusia itu, di
mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.
"Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan" Agaknya perkampungan nelayan dan
benda itu kusimpan di situ..."
Li hwa mengerutkan alisnya. "Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke
dalam dusun itu." Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu
memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan
kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan
agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu
banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada
juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang
panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!
Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami
serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa
tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil
berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang
musuh sekaligus. "Basmi para pemberontak!"
Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menja-di sarang
para pemberontak yang berse-kutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan
senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu ter-jadi dalam jarak dekat,
senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk me-ngisi mesiu itu kurang praktis,
maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata ta-
jam bertemu! Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan
pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak
karena ke mana pun pe-dangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang
lawan tentu roboh.
"Dar! Dar!" Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah
menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya
tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua
orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan
langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
315 dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat
betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar
mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung
pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!
"Singggg... trang-trang...!"
Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang
memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan
ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang
pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu
memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata ja-lang.
"Sungguh hebat...!" Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak
kaku, "Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!"
"Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhia-nati
negaranya?" Li Hwa membentak marah.
"Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat
mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi
korban da-lam perang ini. Mari kau ikut saja ber-samaku, jangan khawatir, aku adalah
Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!"
"Mampuslah!" Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak
menyambar ke depan.
Hendrik Selado terkejut, silau mata-nya melihat sinar pedang yang bergulung--gulung
itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum
bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang
berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat
dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang
dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah menge-rahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap
saja dia terus terdesak sehingga dia memper-tahankan diri sambil mundur-mundur.
Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!
"Keparat, hendak lari ke mana kau?"
Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin
rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan
pengejaran. Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa
sepak terjang Li Hwa hebat se-kali dan biarpun berhadapan dengan pe-muda asing
bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong
telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi
mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan
bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat
berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu
bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan
menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.
Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol
sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor
emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter
dalam-nya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
316 yang tersembunyi di bawah batu tan-pa membongkar rumah itu dan menggali tanah
yang menguruk batu" Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para
perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang
asing. Selagi Kun Liong berdiri bingung ba-gaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda
pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia meli-hat Hendrik lari
memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, "Manusia biadab,
hendak lari ke mana kau?"
Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan
senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat
menduga bahwa pe-muda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, "Li Hwa, hati-
hati...!" "Darrr... blungggg...!"
Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya
Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu
merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan
terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam
kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.
"Bokor...! Di situ...!!" Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan
air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk
melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang
tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang
membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula
berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak
tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya
tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang
yang berteriak tadi.
Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para
perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena
mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak
jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang
mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-
teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang
lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi
sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan
mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan.
Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang
asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka
terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.
Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut
bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan,
akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel.
"Heran sekali ke mana perginya Hendrik" Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini,
akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang
mendekatinya."
Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling
kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena
pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
317 dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ
memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi
datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil
mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan
Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya.
Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu
akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi,
Hendrik tidak tampak batang hidungnya.
Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik da-tang
kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul
telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, "Terkutuk! Dia selalu merusak tugas
dengan kesenangan pribadi yang kotor!"
Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung
perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat
sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu.
Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika
dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan
makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin
pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat
gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang
ditaruh di dekat kaki Si Gadis!
Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ"
Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu
telah meledakkan mesiu de-ngan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak
menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh
ping-san. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat ke-
cantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.
Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki
tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir
pembaringan sambil tersenyum-senyum.
"He, kau sudah sadar, manis?"
Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den
membentak, "Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan
pertandingan kalau kau memang jantan!"
"Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis" Aku cinta padamu, Nona. Kau begini
cantik... rambutmu begini indah..." Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang
itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.
"Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh,
bukankah lebih baik kalau kita bersahabat" Kau akan kubawa ke negeriku, sayang..."
"Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!" Li Hwa berteriak lagi.
"Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura,
benarkah kau tidak suka kepadaku" Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta
kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar
menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?"
"Persetan dengan kamu!" Li Hwa memalingkan mukanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
318 "Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!"
Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang
rakus itu mengecup bibir Li Hwa.
Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak
diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak
memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu
membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.
"Auuuughhh... aduuuhhh..." Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh--aduh, bibir
bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak
dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-
ngecup mulutnya secara mengerikan!
Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan
penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li
Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang
cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.
"Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau
melayani cintaku!"
Hendrik sudah benar-benar tergila--gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain
yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan,
memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa
berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini
merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat
memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau
gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena
diperkosa. Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang
sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di
dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.
"Kaulihat ini" Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya.
Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut,
bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping.
Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona."
"Huh, biarkan aku mati!"
"Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu
berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada
mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini."
"Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!" Li Hwa
membentak. Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa
perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia
bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak
tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri
dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang
bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
319 Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan
melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang
berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh
dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya.
Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu
menghardik, "Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau
membunuhku..."
"Sssttt...!"
Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda
agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada
pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar
bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih
jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar
mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat
lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.
"Nona, aku datang untuk menolongmu..." Pemuda itu berbisik dan berjong-kok di
belakangnya. Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang--orang
asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para
pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang
menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap
angkuh dan tidak bersahabat.
"Aku tidak minta pertolonganmu!"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku tahu, dan engkau memang seorang dara
perkasa yang hebat, Nona. Seorang
berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus meno-
longmu." Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka be-lenggu
itu dari kedua tangan Li Hwa.
Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka
tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus menge-rahkan seluruh
tenaganya. "Mengapa kau menolongku?" Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri
untuk tidak bertanya kare-na bukankah di antara mereka terdapat permusuhan"
"Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang
menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi."
Akhirnya, setelah lebih dahulu men-jauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama
berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri,
akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga
kaku ka-rena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat
dia dipeluk oleh Yuan de Gama.
"Lepaskan aku!" Li Hwa meronta. "Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh
memangku sesuka hatimu?"
Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan
pandang matanya tajam menusuk. "Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu
saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
320 Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah.
Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah
pemuda asing ini juga musuh-nya" Musuh negaranya" Ingatan itu me-ngeraskan hatinya
dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalik-kan tubuh lalu melangkah
hendak pergi. "Tahan dulu, Nona...!" Yuan de Gama cepat mengejar. "Nona, kau masih amat lelah...
dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau -pergi begitu saja,
tentu kau akan ter-tangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga..."
"Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?" Tiba--tiba
terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.
Yuan de Gama terkejut, cepat ia me-nyambar tangan Li Hwa dan berkata, "Mari ikut
dengan aku. Cepat...!"
Kini mengertilah Li Hwa bahwa pe-muda ini benar-benar hendak menolong-nya dan
agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik
dan dibawa pergi menye-linap di antara pohon-pohon dan kegelap-an malam sampai
mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.
AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-
pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah
para peronda itu lewat, Yuan berbisik, "Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari
perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan
diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau
harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu
tidak mungkin lagi menyembunyikan diri."
"Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"
Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam
gelap, "Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah
seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar
wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum
percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus
menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga."
Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya,
mana mungkin ada musuh menolong musuhnya" Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia
adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!
"Engkau siapakah?"
Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. "Aku
bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang
dan..." "Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!"
Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. "Aku tidak berniat
demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan
tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena
penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini
menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
321 "Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang
membantu pihak pemberontak!"
"Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-
pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting
sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau
tidak menganggapku sebagai musuh, Nona."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia
menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!
"Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?"
Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. "Yaahh, apa boleh buat!
Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai
seorang pengkhianat."
Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru
senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan
akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan
lukanya itu seperti dibakar rasanya.
"Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?"
"Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-
mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang
amat hebat dan amat kukagumi. Marilah..."
Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa
menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-
pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang
mengelilingi pekarangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li
Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu
adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, "Jangan sampai dia
lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas,
siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi
yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!"
Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan
dengan lirih Yuan berbisik, "Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua
penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan
Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini
membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku
meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya
kepadaku, Nona?"
"Hemmm... percaya dalam hal apa?"
"Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada
lain hal yang tersembunyi di balik itu."
Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh
jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa
mengangguk. "Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku
harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
322 Yuan tersenyum. "Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia
menjawab, "Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo."
"Ya Tuhan...!" Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi.
"Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu" Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona
adalah murid orang luar biasa itu?"
"Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini" Kurasa jalan satu-satunya
hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu
kau mengkhianati teman-temanmu sendiri."
"Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah
mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati.
Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku
mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!" Yuan lalu
menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu
gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak
dan beberapa orang asing. Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang
senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata
rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup
untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan
tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda
asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan
celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu
gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.
Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang
akan gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang,
terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, "Heiii! Berhenti! Siapa di situ?"
Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk
menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik, "Nona, jangan bergerak.
Ingat, kau sudah percaya ke-padaku, kau menurut saja..."
Empat orang penjaga berlari mende-kati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa
dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa
tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa,
wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak, "Kurang ajar! Berani
kalian mengganggu kesenanganku?"
"Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah meneri-ma perintah
agar melakukan penjagaan keras...!"
"Aku tahu!" Yuan membentak. "Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima
wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar
tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sung-guh menjemukan, tidak
ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi.
Hayo, manis..."
Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li
Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan
orang itu yang saling lirik dan menyeringai.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
323 Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi.
Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak
karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki--laki, dua orang
asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah di-dengarnya, apalagi
dialaminya! Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah,
benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya,
membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan ham-pir terobek putus! Akan tetapi, ketika
Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia mak-lum
bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk
berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman
antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya
melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi!
"Ha-ha-ha...!" Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan
bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.
"Heran sekali," kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, "Tuan Yuan de
Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar
dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!"
"Mengapa aneh?" bantah yang lain. "Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan
kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan
Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-
wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi
dan paling kaya!"
Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk
hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari
pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.
"Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa."
Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar
redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.
"Yuan de Gama..." Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih na-mun penuh
perasaan. "Aku akan meng-anggapmu sebagai..."
"Yaaa...?"
"Seorang yang baik hati dan..."
"Hemmm...?"
"... sebagai seorang yang kurang ajar!"
"Begitukah, Nona Li Hwa?"
"Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu."
"Tidak usah berterima kasih!"
"Dan untuk kekurangajaranmu..."
"Kekurangajaran yang mana?"
"... ketika kau... kau menciumku tadi..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
324 "Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar..."
"Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku
akan..." "Yaaa...?"
"Plakkkk!" Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak
mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan
kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.
"Nona, terima kasih atas kebaikanmu..."
"Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu
tadi." "Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar
kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau
kau masih penasaran, boleh kautampar lagi sesukamu..."
"Ehhh..." Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.
"Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan
kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona."
"Ihhh...!"
"Terserah kepadamu kalau kauanggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku
sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta
kepadamu, Souw Li Hwa..."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aihhh...!" Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak
karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah
meloncat pergi dari tempat itu.
"Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu..." Yuan de Gama berteriak
Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri
secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua
pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri. Mengapa dia tidak membenci
Yuan seperti dia membenci Hendrik setelah Yuan menciumnya" Bahkan ada rasa senang
dicium oleh pemuda itu" Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan
tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cintanya kepadanya" Padahal ketika Hendrik
menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina"
Li Hwa berlari cepat dan pada ke-esokan harinya barulah dia dapat berte-mu dengan sisa
pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan
Li Hwa mende-ngar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa
melarikan diri ka-rena kalah banyak dan kalah kuat, apala-gi setelah pemimpin mereka,
dara perka-sa itu lenyap.
"Pasukan mereka lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan
tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?"
"Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona," jawab seorang per-wira tua.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
325 "Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi peledakan yang membuat aku pingsan dan
tertawan musuh?"
Para perwira lalu menceritakan beta-pa ledakan itu membuat tempat bekas rumah itu
berlubang dan sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak melihat
benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lu-bang, maka terjadilah
perebutan dan per-tempuran di air yang menutupi tempat itu.
"Lalu, bagaimana" Di mana bokor itu?" Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu
bahwa Kun Liong tidak berbo-hong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu.
"Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang telah berhasil mendapatkan
bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan sese-orang. Kami terpaksa
mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena kalau dilanjutkan, tanpa adanya Nona
yang me-mimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andaikata ada Nona di sana,
biarpun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya
itu terjatuh ke tangan orang lain. Dan pasukannya sudah lelah, juga berkurang
kekuatannya untuk me-nyerang sarang pemberontak kurang kuat.
"Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan me-laporkan
kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan." Akhirya dia mengambil keputusan dan
pada pagi hari itu juga dia berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor
kepada suhunya, Panglima Besar The Hoo.
Ke mana perginya Yap Kun Liong" Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan
diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas ketika bekas rumah
berubah menja-di sebuah kubangan yang dalam dan ke-tika ada orang berteriak tentang
bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksi-kan bokor itu sebelum air sungai datang
menerjang! Kun Liong cepat membiarkan dirinya ditelan air sungai dan dia terus merang-kak dan
menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat
mencari bokor karena mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu,
Kun Liong sudah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya
yang basah kuyup dan dia memperguna-kan keadaan kacau-balau itu untuk me-larikan
diri keluar dari kubangan. Kalau tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah melarikan
diri keluar dari perkam-pungan itu. Akan tetapi, dia mengkhawa-tirkan keadaan Li Hwa,
maka dia mulai mencari gadis itu setelah pertempuran selesai karena pihak pasukan
pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu.
Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang dibelenggu di luar rumah
terpencil oleh Hendrik. Akan te-tapi sebelum dia dapat turun tangan menolong tiba-tiba
muncul Yuan de Ga-ma. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing
ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan dia terus memba-
yangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu ger-bang.
Jantungnya berdebar tegang ketika dia menyaksikan dari tempat gelap beta-pa Yuan
dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu
dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya makin tertarik untuk melihat bagaimana
nanti sikap Li Hwa. Dia mempergunakan kegesitannya
untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada
Yuan de Gama. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
326 Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan dan mendengarkan pembicaraan mereka,
diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya terharu
ketika mendengar penga-kuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu!
"Hemmm, Yuan, kau seorang laki--laki tolol!" Kun Liong berbisik sendiri. "Begitu mudah
jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri..."
Dia lalu meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Kalau dia bersikap
seperti Yuan mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah
beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan
mungkin kepada Li Hwa sendiri. Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biarpun
harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis--gadis jelita itu! Mata keranjang!
Entah-lah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang,
betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum"
Bunga seruni, bunga mawar, bu-nga bwee, semua bunga tentu akan men-datangkan
rasa suka. Demikian pula, se-mua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di
dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara" Nanti dulu! Cinta macam itu berarti
melekatkan diri kepada se-seorang, dan sekali melekat berarti me-nimbulkan
kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!
Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus me-nyerahkan
bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh
berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang
gagah di dunia kang--ouw dan tokoh kaum sesat saling mem-perebutkan bokor emas ini.
Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini
adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang
dikandung benda pusaka yang diperebut-kan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini
makin baik! Selagi dia berjalan scorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba tampak olehnya
bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak ketika dirinya
telah terkurung oleh bebe-rapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di
antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu
empat orang di antara mereka. Si Kakek Gila Toat-beng Hoat-su, kakek muka hitam
Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pembe-rontak, kakek gila raja ular Ban-tok-
Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak
dikenalnya, akan tetapi dapat di-duga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu
tinggi! Ketika melihat bah-wa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah
tua yang cantik, dengan kuku tangan yang panjang merun-cing, dia cepat bertanya,
"Apakah Lo-cianpwe yang bemama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?"
Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran se-kali
menyaksikan sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah dikepung oleh sembilan
orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa nyawanya
berada di ambang pintu maut, masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-
eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!
"Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!" kata Kwi--eng Niocu
dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun
Liong merasa ngeri ka-rena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di
balik sikap manis itu. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci,
berta-nya, "Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apa-kah
baik-baik saja" Dan mengapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?"
Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, kemudian membentak,
"Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
327 Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, "Hemmm, para
Locianpwe hadir semua, Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin!
Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti
aku?" Tiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga.
Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!
"Serahkan bokor!" Serentak mereka berseru.
Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apalagi masih
ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor
itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Namun dia tidak memikirkan hal itu
semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu
dan berkata nyaring, "Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia,
mengapa berpemandangan begitu dangkal?" Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya
kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa
bokor berada di tangannya, apalagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia
mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, "Cuwi (Anda Sekalian)
mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo
yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka
sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak."
Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka sudah
bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong maklum bahwa agaknya tidak
terdapat kerja sama antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor!
Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, "Tahan! Kwi-eng Niocu,
engkau telah menyuruh orang-orangmu mengambil dua buah pusaka Siauw-lim-pai,
mengapa masih menghendaki bokor" Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?"
"Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!" jawab wanita itu.
"Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Le Hwesio?"
"Bukan kami yang membunuhnya!"
"Niocu, mengapa melayani dia mengobrol" Bocah gundul, berikan bokor itu!" Hek-bin
Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor dari tangan Kun Liong.
Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam
itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk!
"Kwi-eng Niocu, terimalah...!" Kun Liong berseru dan melemparkan bokor itu kepada
Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi girang dan cepat menerima
bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.
"Eh-eh, perlahan dulu, Kwi-eng Nioeu!" empat orang datuk lainnya juga meloncat dan
mengejar! Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka
mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, "Engkau ikut dengan kami!"
Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa
perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andaikata dia mempertahankan bokor itu pun
akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia
tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan
Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing. Kalau bokor
terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
328 kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang yang dia ketahui alamatnya
di antara mereka, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih
condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih
mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan
kematian Thian Le Hwesio.
Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak,
akan tetapi diam-diam dia telah mengerahkan Thi-khi-i-beng yang belum lama ini dia
pelajari dari Pende-kar Sakti Cia Keng Hong.
"Plak-plak-plak-plak!!" Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun
Liong. "Auuuuhhh...!"
"Heeiiii...!"
"Aduhhh...!"
"Lepaskan...!"
Empat orang kakek itu terkejut se-tengah mati ketika mereka merasa beta-pa telapak
tangan mereka menempel dan melekat pada tubuh pemuda gundul itu dan yang
membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah beta-pa hawa sin-kang
mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar
memasuki tubuh pemuda gundul itu.
"Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan" Panaaasss... ihh, panas...!" Kun Liong
meronta-ronta. Dia sudah mempelajari Thi-khi-i-beng, sudah me-nguasai ilmu mujijat
ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Biarpun dia telah mendengar
penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, namun begitu sekarang mengalami sendiri
betapa hawa sin-kang empat orang itu menero-bos memasuki tubuhnya, dia merasa ter-
kejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa
bagaimana harus berbuat. Melihat keada-an Kun Liong, empat orang itu makin
mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, makin kuat
mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sin-kang mereka mengalir keluar
memasuki tubuh pemuda itu.
Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sin-kang lawan membanjiri tubuhnya,
membuat napasnya sesak, kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan
keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi-i-beng dan terdengarlah kembali
olehnya penjelasan Cia Keng Hong. "Thi-khi-i-beng menciptakan daya sedot yang luar
biasa dan amat berbahaya kalau hawa sin-kang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sin-
kang itu dapat membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya,
kelebihan hawa sin-kang, yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala
dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung
pecah. Selain itu, yang tersedot sin-kangnya dapat tewas pula. Maka, yang penting
sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sin-kang yang membanjir itu ke dalam pusar,
kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk
lebih dulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu."
Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa
Bentrok Para Pendekar 8 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 22
^