Petualang Asmara 15

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


nah airnya, antara
manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah
pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan
apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu
berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan
sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat
kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian,
karena itu cintakah ikatan itu" Kurasa bukan!"
Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak. "Tentu saja itu cinta!
Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang
mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin
menikmati kesenangan, dan tentu saja di situ terdapat pula cemburu, iri, dendam dan
kebencian. Itulah memangnya cinta!"
Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu. "Kalau begitu, kasihan
sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan
hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya
menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita."
"Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?"
Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul. "Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku
belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta."
Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas
panjang. "Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali
jatuh cinta benar--benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak
dapat me-miliki cinta seorang pria seperti engkau."
"Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik
yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu."
Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak
pendekar, membual hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada
Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama
mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak
jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
417 Tak tama kemudian, Kun Liong berkata, "Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun
aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan
seperti ini amatlah berbahaa bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau
adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya,
tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik."
Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bang-kit berdiri
dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wa-jah pemuda itu
lalu berkata, "Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun
Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati setalu tersimpan cinta kasih
murni untukmu."
"Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali." Kun Liong merangkul dan
mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak
kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu
terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya.
Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang
dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya.
Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek,
terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan
itu, Kun Liong me-loncat turun dan lari keluar dari kamar-nya.
Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki
seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu de-ngan suara kaku
membentak, "Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!"
Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai
Pohai, "Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak me-lakukan
pembunuhan itu."
"Bukkkk...!" Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-
guling. Penyiksa itu kembali membentak, "Hayo, mengaku atau tidak" Tuan muda
Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir"
Hayo mengaku!"
Dengan tubuh matang biru dan mulut-nya mengeluarkan darah karena giginya rontok,
orang itu berkata lemah, "Tidak... tidak... saya tidak membunuh-nya..."
Raksasa itu melotot dan melangkah maju. "Kalau begitu kau ingin mati!" Diayunnya
lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Ten-tu akan pecah atau
setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu.
"Dukkkk!" Raksasa itu berteriak ke-saktian dan terhuyung ke belakang me-megangi
lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong.
"Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?" Raksasa itu membentak ke-tika
mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda
asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya
begitu akrab dengan pemuda ini!
"Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa
apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan
mengapa kau menyiksa orang ini?" Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus
itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai
pelayan. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
418 "Dia telah membunuh seorang di an-tara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang
bemama Ketty. Dia mem-perkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa
orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?" Rak-sasa itu menghardik.
Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak
tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan.
Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata, "Demi Tuhan, saya tidah
membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya"
Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik..." Dan laki-laki itu
menangis! "Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau
Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya," raksasa itu berkata. "Saya hanya
seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia
mengakui perbuatannya yang biadab!"
KUN LIONG merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan
sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu.
Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang itu memang cantik dan
genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang
tampan, tidak perlu harus menggunakan pak-saan untuk bermain-main dengan seorang
di antara mereka.
"Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa
orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak
kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah
seorang yang menentang dan memberantas per-buatan jahat, akan tetapi apa jadinya
dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat
daripada si penjahat sendiri" Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang ber-
Tuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau seba-gai seorang
manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu
lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah,
akan tetapi pe-meriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai
dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau meng-gunakan
hukum rimba?"
Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama,
Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama
heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai
tukang pukulnya Hendrik Selado.
"Kun Liong, apa yang terjadi?" dia bertanya.
"Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan
pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya
diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membong-kar rahasia itu.
Akan tetapi kulihat se-karang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam
tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat."
Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi
majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun
Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke
arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu
pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah me-nyambar ke atas mengarah dagu lawan.
Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
419 Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah
mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua
tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan
terbuka. "Krekk! Krekk! Oouuuwww...!" Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-
gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan
menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Kau berani melukai orangku...?" Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang
dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan
sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang
paling berbahaya.
"Tahan!" Yuan melompat maju menghalangi Hendrik. "Hendrik, kau tidak boleh
menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!"
"Tapi dia melukai orangku, Yuan!"
"Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya
menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang
bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau
berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang
bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa
sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki."
Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan
menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat
penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua
lengannya. "Hayo katakan terus terang, apa yang kauketahui tentang pembunuhan itu!" kata Yuan
kepada orang tersiksa tadi.
Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa
seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang.
Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah
Hendrik dan menunduk lagi, menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan
pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh
permohonan dan perto-longan, kemudian lirikannya kepada Hen-drik penuh ketakutan
melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut!
Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu, "Kawan, kau
dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan
sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita
terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah.
Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?"
Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan, "Tuan Muda
Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus
terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama
ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui
orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak
berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
420 Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya, "Siapa orang yang
melihat pertemuan kalian itu?"
"Dia... dia adalah... darrr!"
Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir
peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong
marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.
"Hendrik, mengapa kau membunuh dia?" Yuan bertanya dengan nada menegur.
"Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang
dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku
tidak sabar lagi mendengar omongannya."
"Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor an-jing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan"
Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!" Legaspi Selado berkata sambil
tertawa akan tetapi ma-tanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah
mukanya, akan teta-pi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi
pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi,
orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan
bercin-taan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia
lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur. Di atas
pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi.
Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin
seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing" Dan agaknya Kitty itu
merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta,
Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm...
cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut
dinamakan cinta"
Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang
matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan,
sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan sama sekali
tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu
tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang
berdiri di depannya. Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan
wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan,
tidak mau menggunakan kekerasan untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati
kepada dara ini dan mengha-rapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela.
Namun, setelah ber-hari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa
tidak meng-acuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan
menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga
duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan
tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-
marah. "Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala" Biarpun engkau murid Panglima Besar
The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus
murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan
tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah
bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan pe-nurut, sayangku!"
"Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan
bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan
memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang
selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
421 Wajah tampan yang tadinya menyeri-ngai itu kini berubah beringas. Matanya yang
memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya
sudah gemetar hendak membu-nuh saja dara yang membuatnya sengsara ini. "Kalau
begitu, engkau akan kubunuh!"
"Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!"
"Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!" Dia mengeluarkan sebatang suling,
suling biasa tidak seperti terom-petnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara
meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu
sedang mememanggil ular. Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan
takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup
menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri
secara sukar rela.
Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan
muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan
matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia
tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya.
Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap
kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan
sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata.
"Nah, kau melihatnya, bukan" Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia
membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi
sedikit." Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang
Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang
Ouwyang Bouw sambil membentak, "Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun
terserah, aku tidak takut!"
Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau
dan mencengkeram.
"Bret-brett-brettt!" Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian
besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air
ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw
yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya.
Ular besar yang berwarna hitam ber-belang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak
tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan
berwarna itu menjilat--jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang
besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa!
Li Hwa mencoba untuk bersikap ta-bah membuka mata lebar-lebar meman-dang
binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat
melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan
agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu. Biar-pun dia berusaha
bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan
pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak
kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan
samadhi mematikan rasa. Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik
terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memak-sanya bermain
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
422 cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw, "Li Hwa,
katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu."
Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian
dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti
ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian
tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum
menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa
yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu.
Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka- mata dan
melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti
hendak menelan kepalanya sqkaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia
memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan!
Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan
tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh
ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan
tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini,
lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan
itu. Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li
Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega
karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masib terbelenggu dan ular
mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi" Mimpi menyeramkan dan
sekarang baru bangun dari tidur" Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya.
"Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau
membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak
boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!"
"Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!" Li Hwa mendesak.
Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan,
kedua tangannya menyambar em-pat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang
membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu
kaki tangan, memon-dong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya
sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka
bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia di-kejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar.
Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak
sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main!
Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa. "Kautunggu sebentar,
manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar." Dia lalu meloncat ke luar, maklum
bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam
lamanya. Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki
tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya
setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan
teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang" Gurunya" Pasukan gurunya" Atau
panglima Tio Hok Gwan" Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan
tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang
menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan! Jantungnya berdebar-
debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
423 dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia
mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya.
Akan tetapi dia khawatir lagi meli-hat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw.
Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kem-bali membelenggu
kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas
dinding kamar-nya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya,
dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari
luar. Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira
pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak terbelenggu,
mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi
sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masib terbelenggu dan
tidak dapat bebas! Nemun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya,
apakah yang sedang terjadi di luar"
Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah
sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali!
Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati
munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari
permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam
semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai
menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna
kemerahan. Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak
ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai
ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut
beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap,
hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Pada saat seperti
itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah
kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada
hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia
merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan.
Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan
aku-nya. Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka
timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu,
atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini
lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kalau si aku
sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang
melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi,
menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka. Demikian pula dengan
segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu
terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari
aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari
perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran. Kalau kita
menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya
memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka
tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah
begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih
suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa DISADARI bahwa
perbuatannya itu baik!
Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh
rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
424 selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang
diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong!
Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera
memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan
berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah. Legaspi
Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan
Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita,
mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke
Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de
Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu.
Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan
di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan
memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik, "Hati-hatilah kau..."
Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya,
akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita
juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah
itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak
sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-
nyala penuh kebencian!
Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan
dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun
Liong, pemuda ini menolak. "Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa
piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata
gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci
perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau
melukai orang" Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!"
"Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?"
"Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya,
sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan
sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang."
Yuan memandang sahabatnya itu. "Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah
adikku jatuh cinta kepadamu!"
Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.
"Sayang kau tidak membalas cintanya."
Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada
rahasia! "Maafkan aku..." katanya lirih.
Yuan menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah,
tidak menggunakan kesempat-an selagi ada gadis cantik mencintamu kaupergunakan
untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan.
Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian,
hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu..."
"Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas
dan ke dua menolong Nona Souw Li Hwa."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
425 "Serahkan nona itu kepada tanggungjawabku!" Ucapan itu dikeluarkan keras-keras
sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong
oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih, "Engkau pun gila
oleh cinta seperti adikmu."
Yuan menghela napas duka. "Agaknya memang sudah nasib kami berduka, menjadi
korban cinta sepihak."
"Bagimu belum tentu, Yuan."
Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata, "Semua
sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi
Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi
anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja
engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan."
Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata, "Aku siap dan
taat, Kapten!"
Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong. "Gila kau!"
Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya.
Para anak buah Pulau Ular- yang berkumpul di pantai untuk menyam-but penyerbuan
itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan
anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat. Mulailah
terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising,
diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini.
Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau di mana terjadi
sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak
terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan.
Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama
Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong
melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok
Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena
terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh, "Aku mencari benda
itu!" Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh
Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu
memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek
itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia.
Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia
tempat itu. Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot
setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula
kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong
saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani
pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda
bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat! Karena penasaran,
Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu
diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun
Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental,
namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa,
berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya! Dan seka-rang tiba-tiba Hendrik dan
Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak cu-
rang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi
mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
426 mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum
sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka.
Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek
itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-
ong yang lihai.
Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti
Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh
lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya
memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan
semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat.
Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari
Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan
terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia
pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya. Akan tetapi, dia kalah
pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik,
ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-
ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan.
Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh,
mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan
Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru!
Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi
karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu
dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah
Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak.
Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera
menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir.
"Lekas katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!"
Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali, menjawab gagap. "Dia... di... pondok Kongcu...!"
"Lekas bawa aku ke sana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan
kulepaskan!"
Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke
arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari
masuk sambil berteriak memanggil, "Li Hwa...! Li Hwa...!"
"Tuan...!" Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak.
Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari
masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan
dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-
awutan dan muka pucat, Yuan menjerit. "Duhai... Li Hwa... kau...!"
"Yuan! Syukur kau datang...!"
Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan
tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan
berbisik, "Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat...
mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
427 Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih
lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu
yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan
menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik, "Yuan... aku... aku cinta
padamu..."
Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak
mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan
memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka
keramat yang dipujanya, kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat
menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ. Setibanya
di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal
dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke
tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak
buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai.
Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas
pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas,
lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan
seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata, "Li Hwa, kau
menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih
bertempur."
"Jangan...!" Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng
Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. "Mereka amat sakti..."
Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan
membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa
menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya
dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri
dan dia ikut turun dan berdiri.
"Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak
buah, dan terutama sekali, di sana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun
Liong." "Ohhhh...!" Sungguh Li Hwa tidak me-nyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun
girang karena dia tahu bahwa pemu-da gundul itu benar-benar lihai, sungguh- pun dia
masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular.
Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal "Aku harus membantu mereka, dan
kau tinggallah di sini, sayang."
"Tidak, aku akan ikut denganmu!"
"Jangan kau masih lemah."
"Hanya luka ringan dan sekarang su-dab pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh,
lihat, mereka datang..."
Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat
milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengen sigap ke darat lalu
menyerbu ke pulau.
"Mereka itu tentulah anak buah Suhu!" Li Hwa berseru girang.
Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa
yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
428 diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya.
Cinta yang menda-lam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi
Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui
perjodohan ini" Apa pun yang akan ter-jadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau
perlu dia akan menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun
tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri!
Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa" Ketika itu, Kun
Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang
amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat
mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan
tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa
seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh me-ter
jauhnya! Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya
sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil
menari-nari. Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat
menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang
lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Cepat dia
mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua
orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan
Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak
kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan
marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia
sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan
tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, die lebih leluasa melawan dan lebih
kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan
sebagai serangan balasan.
Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan
pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia
Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan
semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama
sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti
puterinya sendiri, Souw Li Hwa.
Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama
sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban
di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus. Para
pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan
karena bukankah sekarang telah ada semacam "perdamaian" antara orang-orang bule ini
dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai
Pohai" Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk
beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan
banyak di antara mereka berjatuhan.
Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang
datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum
bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting
mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu.
Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong, "Mundurlah kau dan
mengasolah!"
Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah
menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat
Owyang Bouw" Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini" Pemuda itu sedang
berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang
datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
429 guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah
percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu
mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!
"Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!"
"Hemmm, kalau begitu pergilah!" Keng Hong berkata cepat.
Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan
main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The
Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik tadi.
Ke mana perginya Legaspi Selado dan puteranya" Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak
melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang
bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular,
mencekiknya dan mengancam, "Hayo katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!" Dia
tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak
ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat.
Karena takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia
melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia.
Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah
patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi
menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu
rahasia! Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat
berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu
bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah
diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu.
Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik.
"Heee... berhenti...!" Hendrik menge-jar dan mencabut pistolnya.
Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek
ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata
api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih
bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah
menggenggam jarum-jarum mautnya.
Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa
orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan
menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia
termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi
pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol
diarahkan kepadanya. Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu
seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai
sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan
sebelum Hendrik sempai menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan
menggerakkan tangannya.
Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap,
cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan.
Hanya tiga perempat saja dari jarum--jarum yang digenggam itu menyerang dan semua
ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
430 sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah ce-pat dan sambil
berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah mema-suki dadanya!
"Hendrik...!" Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan
mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat
memanggil nama puteranya. Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan
cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan
puteranya dan terus mengejar.
Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para
datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau
membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih
cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu. Namun kakek
itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi
panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun
pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek
itu dekat di belakangnya. "Serahkan bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu
akan terdapat olehku!"
Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw
betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam
pikirannya. Bokor atau nyawa" Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor
emas itu sekuatnya ke dalam jurang!
Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat
mengejar benda itu dan tidek lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang
terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada
bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya.
Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari
kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh
itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang
amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong.
"Ayah... tolonglah saya..."
Legaspi Selado bangkit berdiri. "Per-cuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih
baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina."
Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia
sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih
berlangsung, apalagi meno-long Souw Li Hwa seperti yang direnca-nakan. Bokor sudah
didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik! Apalagi, dia melihat dari
jauh beta-pa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh
dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang
melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat
jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima
Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan se-luruh Tiongkok, akan tetapi
juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok!
Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang
berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak
melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa
Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelang-gang pertandingan tentu untuk
mencari bokor, dia mengejar terus. Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan
tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak
Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang
mengejar Ouwyang Bouw" Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
431 kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia
sudah tua dan tubuhnya gendut.
Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung
kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di
tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di
kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di
antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang. Akan tetapi sengaja dia
mengambil jalan memutar.
Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum
bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung
yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar)
dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian
tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan
yang lain untuk kembali ke kapal. Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh
orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi
Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama
dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik
jubahnya! "Guruku telah berhasil merampas bokor!" kata Yuan gembira karena memang menurut
rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar
perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya
tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing.
Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata, "Kembalikan bokor emas itu kepadaku."
Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah. "Kau!
Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan
sahabatku" Kau harus mati!" Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan
cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-
ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa! Biarpun Li Hwa
masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat
ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi
lawan tangguh itu dengan tangan kosong.
"Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!" Yuan de Gama membentak, "Dia adalah murid


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor..."
Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.
"Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?"
Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan
biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas
menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian
Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di
pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek.
"Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!"
Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama.
Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
432 "Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah
kapten!" Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di
atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu
adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi.
Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut
ujung cambuk dari tangannya!
"Ha-ha-ha! Tangkap mereka!" Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang
dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua
orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam,
terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti
mati, maka sementara ini lebih baik menyerah.
"Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!" kata Legaspi.
"Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!"
Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang me-nyelinap dan
tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan
dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan
membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang
tawanannya itu tidak mungkin lolos.
"Terima kasih, Kun Liong..."
"Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!" Kun Liong cepat
meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul
ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka
yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan
meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar
lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka. Terjadi perkelahian cepat
dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang
bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li
Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi
Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan
cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong!
Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan
mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek
botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu
silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang
demi seorang. Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru.
Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu
gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh
menggunakan sin-kang. Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk
membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud
membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga
dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu
silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang
mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.
Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi
yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda
gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
433 keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk.
Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak,
timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar
saja kapal itu sudah berkobar-kobar.
Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian
keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya
sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dah-syat"
Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan
melindungi tubuh dengan sin-kangnya. "Tarrr!" cambuk menghantamnya dan membelit
tubuhnya, akan tetapi Kun LiOng mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang
cambuk. "Augghh!" Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik
tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang
besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini
dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada
dada-nya, terus saja sin-kang dari tubuh Le-gaspi mengalir seperti air membanjir ke
tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa babwa tangannya disedot,
makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan
tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-
beng dan mendorongnya ke belakang.
Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, mela-lui ril dan
jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah
dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri.
Dia tidak senga-ja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati
tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
"Gara-gara benda tertutuk ini!" Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan
korban. "Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!" kata Li Hwa.
"Aku tidak membunuhnya dan..."
"Hem, mengapa mengobrol saja?" teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya
yang kekar itu penuh keringat. "Lebib balk lekas bantu memadamkan api kalau tidak
ingin dibakar hidup-hidup!"
Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air,
bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu.
Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan
bahan bakar yang lebih banyak.
KITA tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan
kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung
dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah
terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih
mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap
gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng
Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya
menjadi lelah dan lemah.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
434 "Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!" kata The Hoo sambil
mendesak lawan. "Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati."
Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap
gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat.
Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah scorang yang selain memiliki ilmu
kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang
yang memiliki sin-kang yang mujijat. Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak
uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-
su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng
Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan
mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan
pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu
dimainkan. "Brett-brett-brett...!" Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya,
senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.
Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung
tidak kalah hebat dan serunya.
"Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu" Ha-ha-ha kalau begitu
biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!" Bantok Coa-ong
tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini "supek".
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan
Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia
merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan
tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat. Datuk
kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan
batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan
kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya
mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya
dapat menangkis dan mundur"mundur.
"Mampuslah! Ha"ha!" Ban"tok Coa"ong sudah menyerang dengan pedang ularnya,
menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan
senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.
Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan
ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan
mengerahkan sin"kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman
di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng
Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan schingga jari"jari tangan mereka saling
mencengkeram! "Lepaskan pedang!" Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat
kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong
tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan
mereka pun saling cengkeram. Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling
mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga.
Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun
mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak
tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-
kangnya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar itu. Mukanya menjadi
pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
435 dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah,
tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya
kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-
netes. "Le... lepaskan aku...!" katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika
merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar.
"Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" terdengar suara pendekar itu
bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya
mendengar berita itu.
"Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng
Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kaulepaskan aku...!"
"Di mana dibunuhnya mereka?"
"Di... di Tai-goan... auggghhhh!" Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika
ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
"Desss... aduhhh...!" Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika.
Dedanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-
ciang-hwat. "Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu
murung, Cia-sicu?" Panglima itu bertanya heran.
"Hamba... baru saja mendengar dari dia..." Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok
Coa-ong "...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah
dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan." Tak terasa dua titik air mata turun
dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
"Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja." Dia menoleh dan
melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya
pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika
menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. "Ada kebakaran di sana...!" teriaknya.
Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang
memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di
Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan
Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang
adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan
lawannya adalah seorang pemuda gundul.
"Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi." kata Keng Hong.
"Akan tetapi kapal itu terbakar. "Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu
seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?"
Keng Hong juga melibat ini. "Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!"
"Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!" Panglima The Hoo,
diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal
cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Akan tetapi ketika
mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu
berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan
kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
436 Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan
sesuatu. Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi
yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api.
Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring
dan sebentar lagi tentu tenggelam!
Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran. "Mereka harus
segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai
kapal itu meledak, celaka...!"
Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main.
"Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!"
Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. "Li Hwa, aku
gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!"
Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa
kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu
Ikan Duyung. "Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!"
"Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan
meninggalkan kapalnya. Lebih mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan
kapal yang akan tenggelam!" Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu
dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.
"Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil."
Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian
menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, "Pergilah kekasihku,
engkau harus diselamatkan."
"Tidak...!" Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. "Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku
harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!"
"Li Hwa..."
"Yuan..."
Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah
diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya
akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
"Apakah kau telah gila, Yuan?"
"Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal
meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan"
Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada
nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka."
"Yuan... kau hebat...!" Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada
kekasihnya. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
437 "Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu...
Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?"
Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong.
Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya. "Kun Liong, engkaulah yang gila
seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan
kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kaupergilah,
bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada
beliau..."
"Yuan... Li Hwa..."
Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi
tenggelam. "Kun Liong...!" terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
"Li Hwa...!" tersusul suara Panglima The Hoo.
Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia
mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak
tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa
juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa
menjadi jodoh Yuan" Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan
dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya
bertitik. "Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian...
bahagia...!" Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas.
Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia
mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas
perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor
emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah
Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih
saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam
sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak
kecil! "Apa yang terjadi...?" Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
"Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati
bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak
mau terpisah darinya..."
"Li Hwa...?" Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga
kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya,
mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan
tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas
panjang. "Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona
Souw Li Hwa!" Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan
bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi
hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
438 Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang
itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!
Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.
"Li Hwa...!"
"Yuan...!"
Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit
kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-
lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis
Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua
mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.
Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh
pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk
menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi
nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat
keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan,
dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun
dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de
Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya.
Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan
tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa
putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan
yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mAti dengan kekasihnya itu. Sedangkan
Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan
hati akibat cinta gagal.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah
berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat
wajahnya. "Ada apakah, Supek?"
"Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita
berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu..." Sampai sini leher Keng Hong
seperti dicekik.
Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan
tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah
terpisah belasan tahun dengannya. "Di mana mereka, Supek" Ahhh, girang sekali hatiku
dan... ihhh, mengapa, Supek?" Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan
air mata! Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata, "Jangan kaget, anakku... aku
mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa...
sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu..." Kembali dia
berhenti dan air matanya makin deras.
"Supek!" Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan
mengguncangkan keras-keras!
"Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
439 Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan
maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang
terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat
disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan
matanya terbuka tanpa cahaya!
"Kun Liong... kasihan kau..." Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan
membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana
telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng
Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan
nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.
Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi
pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah
bundanya. Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam
suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta
pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan
kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga
keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah
tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya.
Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia
mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama
Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana
perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia
menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air
matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka
pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia
menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang
keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
"Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat
ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak
baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa
pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima
orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat
mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-
beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo,
Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin
juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-
eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat
keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang."
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong
meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati
setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi
dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada
sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya
yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang
tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga
Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk
kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri
dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
440 dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai
seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia
bergidik ketika teringat akan kata-kata "membunuh" ini. Selamanya dia tidak akan
pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam
pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya
merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan
ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi
pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam
sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang
jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi
hatinya. Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia
memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk
di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam
warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari
tangannya sambil berteriak, "Haiii, ada orangnyakah di sini?"
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat
menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah
mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia
mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya
berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun
usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher
burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil
membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, "Tuan Muda
hendak memesan apakah?"
Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam
makanan yang disukainya, "Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak
yang manis."
Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan
yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut
yang bibirnya tebal itu menjawab, "Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang
terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw."
"Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal
perutku kenyang."
Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam
suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta
pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan
kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga
keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah
tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya.
Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia
mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama
Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana
perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia
menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air
matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka
pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia
menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang
keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
441 "Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat
ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak
baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa
pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima
orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat
mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-
beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo,
Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin
juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-
eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat
keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang."
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong
meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati
setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi
dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada
sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya
yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang
tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga
Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk
kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri
dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia
dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai
seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia
bergidik ketika teringat akan kata-kata "membunuh" ini. Selamanya dia tidak akan
pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam
pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya
merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan
ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi
pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam
sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang
jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi
hatinya. Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia
memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk
di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam
warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari
tangannya sambil berteriak, "Haiii, ada orangnyakah di sini?"
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat
menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah
mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia
mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya
berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun
usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher
burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil
membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, "Tuan Muda
hendak memesan apakah?"
Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam
makanan yang disukainya, "Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak
yang manis."
Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan
yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
442 yang bibirnya tebal itu menjawab, "Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang
terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw."
"Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal
perutku kenyang."
Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya
mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporan, Marcus bertanya, "Siapakah gurumu, Lo-mo" Tentu dia lihai bukan main."
"Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan
guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu
tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini
pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari
guha dan turun ke dunia ramai."
Marcus mengangguk-angguk. "Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula
sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan
Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis),
Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta
agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu
dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh
mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu
untuk menandingi Thi-khi-i-beng."
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita
Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini,
terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang
dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap
supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang
sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki
warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas
bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan
dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat," kata kakek yang disebut Lo-mo tadi,
kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan. Komandan pasukan memang
tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini
bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah
memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
"Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah
banyak kalau bokor yang aseli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini."
"Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, para pedagang di Teluk
Pohai, selalu dengan senang hati akan membantu pemerintah." Jawab Marcus dan hati
komandan itu makin senang, apalagi setelah Marcus membagi-bagikan dinar emas
kepada para anggauta pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian dinaikkan ke atas
punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
443 memperoleh seekor kuda masing-masing. Marcus membebaskan suami isteri pemilik
warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia
tertarik sekali dan ingin dihadapkan Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan
sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang
sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang
dilakukan orang-orang ambisius yang gila uang ini.
Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Pura-pura
meronta akan tetapi punggungnya ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan
beberapa ujung tombak runcing para perajurit juga menodongnya.
"Kenapa aku dibelenggu" Ke mana aku dibawa pergi?" Kun Liong pura-pura bertanya
untuk menyempurnakan sandiwara.
"Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan" Engkau
penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan
menggantinya dengan yang palsu. Katakan di mana kau menyimpan yang aseli, kalau
tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!"
Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, memandang
kakek itu dan bertanya, "Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau
ini siapakah" Bukankah kau pemilik warung tadi?"
"Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku" Heh-heh, di dunia kang-ouw
orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!"
"Hemm, aku tidak mengenalmu."
"Orang macam engkau mana mengenal" Lebih baik katakan di mana bokor itu."
"Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-
ciangkun."
"Bohong!"
"Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang
menentukan apakah aku bohong atau tidak."
Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat
banyak perajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia
menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik, dan tentu
saja tidak ada selembar rambut pun di hatinya seperti kepala botaknya, untuk
menyerahkan bokor emas yang aseli kepada Panglima The Hoo! Kalau sampai dia
berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-
tahu dia telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa
betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia
mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya
mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya
dan terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
444 Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat di sebuah hutan. Mereka semua
telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk dan semua merasa lelah. Setelah
menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena biarpun
dia dibelenggu kaki tangan dan tubuhnya pada sebatang pohon namun di waktu makan
tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para perajurit itu pergi tidur di
bawah pohon-pohon. Adapun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus, yang merasa bahwa Kun
Liong takkan mampu berkutik lagi karena selain kedua tangannya tergantung dengan
belenggu di batang pohon, kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang
pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan
kedua kaki tangannya, mereka lalu tidur juga bersama komandan pasukan, di dalam
sebuah tenda yang didirian secara darurat. Seperti biasa, para atasan tidur di dalam
tenda sedangkan para perajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah
lajim terjadi di manapun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah
selalu kekurangan dan bekerja paling berat!
Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan
mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat.
Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka
itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula
yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!
Hawa amat dingin di malam itu dan api unggun dibuat di beberapa tempat untuk
memperoleh penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah
malam, Kun Liong melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menyelinap di
antara pepohonan, makin lama makin dekat, kemudian dengan gerakan yang amat
mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat
dekat seseorang tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan
seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap
berjongkok, yang bersandar pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian
bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.
Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang
wanita yang pakaiannya seperti nikouw, memakai kerudung kepala, semua pakaian
berwarna putih. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah waiah orang itu. Wajah
seorang dara masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya! Alisnya melengkung
seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang
lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung,
akan tetapi bibirnya penuh kemerahan, tubuhnya ramping dan biarpun pakaiannya
kebesaran akan tetapi belum dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh
yang penuh lekuk-lengkung indah sekali. Seorang dara yang benar-benar cantik jelita,
akan tetapi anehnya menjadi nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti
kepalanya sendiri, sungguhpun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!
"Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?" tanya Kun Liong.
"Sssttt...!" Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang
panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri. Dengan langkah ringan sekali dia
meloncat ke depan pemuda itu dan dengan gerakan cekatan, jari-jari tangan yang halus
lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis,
menyulam atau mengobati orang terluka itu sekali renggut saja telah mematahkan
semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong! Kembali hal ini merupakan
demonstrasi sin-kang yang amat kuat di samping gin-kangnya tadi yang membuat dia
bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu
tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok
lumpuh. "Aihhh... kau kenapa...?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
445 Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian. "Aku... agaknya aku pernah
mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya" Wajahmu yang
cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam
mimpi naik ke sorga..."
"Hushhh!" Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. "Kau kenapa?"
"Tertotok pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki
tanganku."
Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tan
Kisah Pendekar Bongkok 13 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 21
^