Petualang Asmara 20

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


r itu berhenti di depannya. Mereka turun dari atas kuda dan
memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda
itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong
lantang bergema. "Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang
bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan
rakyat! Engkau hendak mempergunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk
memaksa seorang dara menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu
sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan
aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu" Kalau
seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang
akan mencontoh perbuatanmu?"
Muka pangeran itu sebentar merah sebentar pucat mendengar ini. Dia marah sekali,
karena menganggap pemuda itu terlalu kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya
selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya.
Dia mengajukan lamaran dengan baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw
sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu" Adalah pemuda itu yang
kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang!
"Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Tidak malukah
engkau hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu" Engkau ini
sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak
memaksa orang menjadi jodohnya!"
Kim Seng Siocia tertawa lebar. "Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer
telingamu biar kau bertaubat, hi-hik!"
"Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang
guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak
menjerumuskan murid sendiri" Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi
isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini
adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut
menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!"
"Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para perajurit! Percuma saja hidup seperti kalian
ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain, kalian adalah
boneka-boneka sial yang mau saja ditipu dan diperalat oleh segelintir manusia macam
Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa
kalian!" "Serbu! Bunuh saja keparat itu!" Tiba-tiba terdengar perintah yang keluar dari mulut
Pangeran Han Wi Ong. "Dan tangkap nona itu!"
"Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!" Kim Seng Siocia membantah.
Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun
lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang
dan berturut-turut robohlah beberapa orang perajurit yang terdekat. Akan tetapi
betapapun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur
gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
565 tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah
dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat. Melihat
betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan dan semua itu dilakukan
demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin
mati di samping pemuda ini!
Seru dan hebat sekali pertandingan yang berat sebelah itu berlangsung di tepi pantai
yang berhutan. Hong Ing sudah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang
pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina.
Hanya subonya saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subonya,
maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di
antara para pengeroyoknya. Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-
kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan
mudah tertawan. Maka dia menggerakkan sepasang rantingnya selalu menghadang dan
mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.
Biarpun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun
menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu, Kun Liong merasa kewalahan juga.
Apalagi dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-
bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang
bermacam senjata dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot
sekali. Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang
sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan
hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Namun
sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi-i-beng yang
diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia
memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban
Thi-khi-i-beng. "Awas!" teriaknya. "Dia pandai Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng! Jangan
biarkan tubuhmu menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap
dia!" Memang dengan peringatan ini, para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani
terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya senjata lawan, namun dengan
dikurung ketat seperti itu, dia takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan
kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak
dapat menolong Hong Ing dan hanya melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun
dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan perajurit.
Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, tiba-tiba dia melihat bayangan seorang gadis
yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang girang itu
segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang
bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari
Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia
melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong.
Tak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak diduganya akan tetapi yang
segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah menyerbu ke
medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya! Tanpa menegur pun tahulah dia
mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supeknya Si
Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah seorang yang terkenal sering membantu
pemerintah. Maka kini puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apalagi
karena agaknya pangeran itu sudah memutarbalikkan kenyataan ketika bicara dengan
Giok Keng tadi. Benar saja dugaannya, sambil menudingkan pedangnya Giok Keng
memaki, "Yap Kun Liong! Mengapa kau menjadi begini tersesat" Lebih baik kau
menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang"
Sungguh terlalu kau!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
566 "Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!" teriak Kun Liong
penasaran. "Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!"
"Aku tahu watak mata keranjangmu!". Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut
bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju.
Tentu saja Kun Liong menjadi makin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi
saja dia sudah repot, kini ditambah dua orang yang memiliki kepandaian begini tinggi,
tentu saja dia menjadi makin sibuk.
Seperti diceritakan di bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai
Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan
hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka
bermaksud menggunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun
Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara. Tepat seperti diduga oleh
Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong menanyakan peristiwa
itug mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu.
Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan terus menyerbu bersama Bu Kong.
Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh peluh, seperti juga tubuh Hong Ing yang
membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun
Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, mereka yang roboh oleh
pedang Hong Ing tak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika! Namun
Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan
pahanya. Betapapun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk
mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!
Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum. Baru sekarang dia
menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu. Ilmu
tongkatnya yang dimainkan oleh kedua tenaga Kun Liong yang menggunakan sepasang
ranting benar-benar amat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok
Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Kemana pun tongkat berkelebat, tentu ada
pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari manapun datangnya hujan senjata tentu
dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu! Dan kekebalan tubuh Kun Liong
juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, namun
hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka.
Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya,
pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima sambaran pedangnya, Gim-hwa-
kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong dengan tubuhnya. Jelas bahwa
kekebalan tubuh Kun Liong masih belum dapat menahan pedang pusaka! Dan sekali ini
Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman
golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja,
melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya membuat dia
tidak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sin-kang
melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal. Dan kalau dia menghendaki,
belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukainya! Tentu saja Kun Liong tidak mau
mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri
supeknya ini merasa terhina.
Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tidak akan tertolong lagi. Pihak
pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tidak mungkin bagi Hong Ing untuk
menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tidak akan ada
gunanya untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan. Dia lalu memekik nyaring,
pekik dahsyat yang mengejutkan para pengerayoknya, apalagi ketika dari tangan kiri
Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar
dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur. Kim Seng
Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia menjerit
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
567 sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya
terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi. Memperoleh
kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat seperti kilat menyambar tubuhnya
telah mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu saja
merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam
orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah
menyaksikan dara itu terdesak dan terancam. "Kun Liong, mari kita mati bersama..."
Hong Ing berbisik.
"Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!" teriak Kun Liong penasaran.
Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang
berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap
gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari manapun juga datangnya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung-menyambung
seperti halilintar di musim hujan, bergema di seluruh penjuru dan membawa kekuatan
yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang
perajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir
roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khi-kang itu.
"Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang
nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang sudah mengeroyok dua
orang alim" Ha-ha!"
Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari
dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa,
berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna
merah! Lama jubah merah! Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah
merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan berpengaruh di Tibet! Anehnya,
pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana
sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.
"Ha-ha-ha-ha, mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku!
Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran
pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan
kalian begitu banyak, mana cukup?"
"Hwesio gila...!" Lima orang kango-uw dan belasan orang perajurit yang tadi berada di
bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, menyerbu
dengan senjata mereka yang bermacam-macam. Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa
menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu
mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin
yang dahsyat menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan
orang perajurit itu roboh dan tidak dapat bangun kembali!
"Ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng" Tidak ada gunanya!
Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau lawan pinceng yang seimbang
maju. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw" Mana dia Bun Hwat Tosu dan
Tiang Pek Hosiang" Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo!
Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?"
Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar
ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan
yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Cia Keng Hong yang
bernama Sin-jiu Kiam-ong (baca cerita Pedang Kayu Harum) juga ditantangnya,
termasuk Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
568 Mendengar bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw disebut-sebut,
marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak keras dan melompat ke depan. Tubuh yang
gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan keeil
berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke
arah kakek pendeta Lama itu.
"Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!"
Kakek itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya dan...
seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si
Kakek lihai lalu ditangkapnya.
"Lepaskan cambukku! Aihhh...!" Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot,
namun cambuknya seperti telah berakar ditangan kakek itu yang masih tertawa-tawa,
kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng
Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu!
Kim Seng Siocia sudah berdiri lagi, memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang
matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan
yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim seng Siocia, akan tetapi juga
Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong,
diam-diam kakek itu merasa kagum. Dia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur
ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.
"Kallan tidak lekas masuk ke dalam peti mati selagi masih hidup, apakah menunggu
sampai mampus baru dimasukkan" Ha-ha-ha!"
Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam
hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang untuk menolong mereka,
maka Kun Liong lalu menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti itu yang
dipanggul oleh Si Kakek tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa
Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!
Biarpun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti
mati, bahkan dia lalu tertawa dan kini lengking ketawanya mengandung tenaga yang
sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw
dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, mengerahkan sin-kang untuk
menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu. Pangeran Han Wi
Kong sendiri yang berdiri agak jauh, sudah terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan
banyak perajurit roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar!
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang
hebat itu, dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok
Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti, "Kalian adalah orang-orang buruan
pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk
sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu.
Nah, pergilah!" Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk
melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan.
"Byuuurrr...!" Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai
bertumpang tinding di dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul
Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak
sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya
ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting.
Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya
membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua
mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
569

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergelombang! Ketika mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat
para pengejar mereka berdiri di pantai. Untung di situ tidak tersedia perahu sehingga
mereka tidak mampu melakukan pengejaran. Adapun pendeta Lama bernama Kok Beng
Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera
melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan
dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya
pendeta Lama itu.
Kun Liong terus membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai
telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia
menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali,
lengkap berikut tali-temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati itu bukanlah peti
mati biasa, melainkan peti mati yang dapat dipergunakan sebagai perahu dan agaknya
memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong lalu memasang
layar dan meluncurlah "perahu" mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah
samudera yang luas!
Setelah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar tak
tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.
"Ke mana kita pergi?" Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah penuh
kekhawatiran. Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja
bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia
sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!
"Sebaiknya kita mentaati nasihat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita
akan menjadi orang buruan terus sebelum aku berhasil bertemu dan mendapat
pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ah, tipis harapanku..."
"Giok Keng" Apakah kaumaksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi"
Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?"
"Benar."
"Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu" Siapakah dia?"
"Dia itu... tunanganku..."
"Ihhh...!" Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak
bicara lagi. Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening
menggelisahkan hati.
"Dia adalah puteri Supek Keng Hong..." Akhirnya Kun Liong berkata, tidak tahu mengapa
Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan
karena keadaan mereka.
Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok. "Ehhhh...?"
"Tapi pertunangan kami itu telah putus..."
"Hemm..." Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi
mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya" Apalagi Kun Liong duduknya di
tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
570 melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka
duduk berdekatan!
"Kenapa...?"
Kun Liong yang termenung, agaknya ikut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan
Hong Ing yang seperti orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan
tiba-tiba ini. "Kenapa apanya...?"
"Kenapa pertunangan itu putus?"
"Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku."
Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya
bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek. "Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak
mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu
pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu."
"Tidak! Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera Kwi-eng
Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti itu."
"Mengapa tidak mungkin" Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta
tidak mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta."
"Tapi Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana."
"Tidak! Dia gadis tolol!" Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras.
Kun Liong memandang tajam, agak panas perutnya. "Hong Ing, dia bukan gadis tolol,
dia puteri Supek..."
"Puteri dewa sekalipun, tetap saja dia tolol!" Hong Ing juga memandang tajam
menantang, seolah-olah sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul itu.
Kun Liong hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk
dan menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek" Mereka masih
terancam bahaya, berada di perahu yang aneh dan di tengah samudera, tak tentu arah
tujuan. Lama mereka tenggelam dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik
napas panjang karena suasana hening yang mencekam itu amat tidak mengenakkan
hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi" Pula, Hong Ing tentu masih marah. Mengapa dara
ini marah" Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena kedukaannya dan
kegelisahannya"
"Kun Liong..."
"Hemm...?" Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu
sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.
"Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?"
Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan
ini, akan tetapi karena dia tidak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, dia terpaksa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
571 menjawab, "Tentu saja dia tidak cinta padaku, dia sendiri yang menyatakan ini dan
memutuskan tali perjodohan kami."
"Mengapa tidak cinta padamu?"
"Eh, apa anehnya itu, Hong Ing" Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang
gundul seperti aku" Mana ada di dunia ini seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta
kepada seorang laki-laki gundul tak berharga seperti aku ini" Paling-paling yang jatuh
cinta kepadaku hanyalah orang-orang macam Kim Seng Siocia..." Kun Liong mencoba
berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.
"Kasihan kau, Kun Liong..."
"Tak perlu kaukasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk," kata Kun Liong
sambil cemberut. Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang
jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah
Hwi Sian! Biarpun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya,
akan tetapi yang jelas, Hwi Sian benar-benar mencintanya sehingga dara itu rela
menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!
"Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?"
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Yang jelas hanya seorang..."
"Siapa?" Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan
pertanyaan ini.
"Mendiang ibuku..."
"Hemmm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak
mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya..."
"Tidak sama sekali."
"Heiii?"
"Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada
cinta!" "Ehhh...?"
"Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati
sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya pria yang jatuh cinta! Semua
wanita sama saja, mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti
kembang yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya
wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya,
menyenangkan hatinya! Pria pun berlumba menarik perhatian wanita dengan segala
cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu berahinya!
Aku muak! Aku tidak cinta siapapun dan tidak akan mencinta siapapun!"
Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar
dari mulutnya, "Jadi kau... tidak suka kepada wanita?"
"Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada
bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh
cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan...
seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak bergerak lagi,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
572 kehilangan kebebasan, dan selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang
menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!"
"Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?"
"Tidak!"
"Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kaupelajari dari kitab?"
"Hemmm... mungkin! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan
orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena
cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang..."
"Seperti syair kata-katamu... teruskan..."
"Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi
sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi
bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk..."
Kun Liong menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan
pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong
Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya! Teringatlah dia sekarang
betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada diri sendiri,
membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan
seorang wanita remaja yang amat cantik jelita! Baru dia teringat betapa dia telah
kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran
di hatinya terhadap Giok Keng puteri supeknya yang selain telah bersama-sama Liong Bu
Kong, juga telah mengeroyoknya tadi.
"Yap Kun Liong..."
Panggilan nama lengkapnya ini membuat hati Kun Liong berdebar, namanya disebut
lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan
tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu,
kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan
lautan. "Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu bicara seperti
seorang kakek tua renta tentang wanita... padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari
guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya
menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang melebihi halilintar dia
mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!"
"Hong Ing..." Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.
"Seolah-olah dialah satu-satunya pria yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi
mahluk wanita yang lemah dan hina..."
"Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu..."
"Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan
tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita...
begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan
ibunya pun seorang wanita..."
"Hong Ing...!" Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu
berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
573 Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu
merapikan kain putih penutup kepalanya yang terbuka oleh angin, kemudian gadis ini
bersenandung! Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar
perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin, nyanyiannya lirih namun
kata-katanya terdengar jelas, diiringi suara air laut memercik pada peti yang
mendatangkan irama kacau namun pada saat itu merupakan latar belakang nyanyian
yang menambah keindahan nyanyiannya itu.
Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, menjadi istimewa
karena dinyanyikan di tempat seperti itu, di saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya
berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang
diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta! Dan setelah dia
mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak
kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang
lalu. Dia merasa kagum sekali, kagum dan heran. Kagum karena tidak disangkanya dara
ini selain memiliki suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran mengapa dara murid
Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.
"Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan
mati Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang
dosa Hanya orang bijaksana saja
mengenal Cinta si dungu hanya mengejar
nafsu!" "Suaramu indah sekali!"
Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang lagi
nyanyiannya. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama
sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia
menjadi mendongkol juga. Karena pujiannya tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan
untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan
angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu.
"Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!"
Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran
dia menjawab, "Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya
nikouw menyanyi?"
Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing
itu sehingga membantahnya. Lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-
makinya sekali daripada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
574 Kun Liong tertawa. "Tentu saja semua nikouw boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya
nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang
cinta!" Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah. "Aku bukan nikouw! Aku bukan
nikouw aseli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw
lagi!" Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya
sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya
bulat. Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan matanya
memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan kepada kepalanya,
baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah
sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan "telanjang", maka
dengan tergesa-gesa ditutupkannya kembali kain putih ke atas kepalanya. Tentu saja
gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi makin geli dan dia mencela,
"Heii, mengapa ditutup kembali?"
In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya "telanjang", dan
dengan cemberut dia berkata, "Siapa melarang aku menutupi kepalaku" Matahari amat
teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari."
Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong
Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, "Hong Ing, kaumaafkanlah semua
kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku."
Hong Ing menjawab tidak acuh, "Siapa marah" Aku tidak marah."
"Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong..."
"Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hinanya...!"
Kun Liong makin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada
khususnya. Akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan
seperahu yang senasib sependeritaan dengannya di saat itu, dia diam saja. Dia murung
dan betapapun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut.
Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan
kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan tidak memandang
kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia
mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak
berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengat suara dara
itu, "Kun Liong..." Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah
dara itu berseri. Bukan main manisnya!


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemmm...?" Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.
"Lihat ini..."
Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih
menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat
itu. "Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?"
"Wah, tentu enak sekali!" kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan
percekcokan mereka tadi. Karena di situ tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing
menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil
sedikit kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
575 gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu. Akan tetapi
setelah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak
dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut.
Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak
dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang
mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar! Setelah mengalami hal ini, barulah dengan
amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka terancam bahaya maut yang mengerikan
di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!
"Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau
tidak, celakalah kita."
Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali
layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari
dengan pandang mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari
jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit,
air yang tiada tepinya!
Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin makin kencang dan
tiba-tiba dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua
orang muda itu dengan girang dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan.
Akan tetapi hujan segera turun dengan lebatnya, angin bertiup amat kencangnya
sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!
"Celaka...! Kita tutup peti ini...!" Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua
menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti. Peti itu mulai diombang-
ambingkan gelombang yang dahsyat dan tak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing
terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-
ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang
gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini,
terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan. Dia memeluk tubuh dara itu,
mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi
apa dayanya" Mereka berada di dalam sebuah peti mati tertutup, peti yang kecil
sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap
saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang
sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja. Hong Ing menangis dan
merintih-rintih saking takutnya, sedangkan Kun Liong sendiri yang selama ini tidak
pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul
kembali pengalaman di waktu dia masih kanak-kanak dan tak terasa lagi dia
meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang
menderita ketakutan.
Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali
tubuhnya terlempar dan keadaan menjadi gelap. Ketika terlempar itu dia seperti
mendengar suara wanita memanggil namanya, "Kun Liong...!" Akan tetapi dia tidak tahu
pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-
apa lagi. Ketika Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah
menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap gerakan kaki atau
tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan
Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-
nyeri tubuhnya. Malam masih gelap dan suara badai masib menggelora. Akan tetapi dia
selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit
berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu
karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau terhempas di batu-batu, tentu
tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
576 "Hong Ing...!" Dia memanggil dengan pengerahan khi-kangnya. Suaranya dihembus
pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke
kanan kiri dalam kegelapan.
Tidak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk,
kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil lagi. Akhirnya, setelah suaranya habis
dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia
menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis!
Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang
di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-
batu karang. Baru sekali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan
kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.
Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk
badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang
melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka,
mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-
sakit. Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong
Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti
sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil
menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing
memanggilnya. Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang
mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan adakalanya air meledak bergemuruh
ketika menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan
hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam
hantu dan setan yang muncrat dari dalam lautan, suara mereka yang tertawa-tawa dan
menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.
Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih gelap. Betapapun juga, Kun
Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan
matanya terbelalak dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong
Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan pengerahan khi-kang
sekuatnya. "Hong Ing...!"
Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui
pasir dan batu karang yang tajam, mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang
menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan
pecah berantakan! Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak
merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk
batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu
saja, berikut layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu.
Bekasnya pun tidak ada!
Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing telah dimakan
ikan! Betapa ngerinya!
"Hong Ing...!" Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini,
memanggil-manggil.
Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di
air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda
itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
577 "Hong Ing...!" Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya,
terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh
di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!
Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan marilah kita menengok keadaan di Cin-
ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng,
dengan hidup tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping kedua orang anak
mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan
Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup
dan terjamin, dilayani para anggauta yang juga menjadi murid-muridnya. Giok Keng
telah menjadi seorang dara remaja yang sudah mereka tunangkan dengan Yap Kun
Liong, dan Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-
laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apalagi yang dikehendaki" Cia Keng Hong adalah
seorang pendekar besar yang dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati
sampai ke kota raja, dianggap sebagai orang yang berjasa terhadap pemerintah, hidup
serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang
yang berbahagia hidupnya.
Akan tetapi benarkah demikian" Benarkah Cia Keng Hong merasa dirinya berbahagia"
Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang
tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang
sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok
dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan
demikian selanjutnya. Akan tetapi benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran
seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak"
Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia
berbahagia" Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul iri dan
kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian
meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir
maupun batin"
Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, kehormatan.
Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat
dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk memiliki!
Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki,
tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan
segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya
mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.
Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara
tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu hampa kalau diraih.
Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan
suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang
yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!
Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya
saja hidup bahagia dalam pandang mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah
benar-benar mereka berbahagia, mari kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya
dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah
hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus
dan tidak pernah sama"
Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie
Biauw Eng, duduk bercakap-cakap menghadapi sarapan pagi di dalam taman bunga
mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
578 empat tahun lebih dan tak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar
kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang sedang mekar
mengharum. "Giok Keng sudah cukup dewasa," terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada
isterinya. "Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka sekembalinya nanti, kita
harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun
Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan
biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita." Berkata
demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya gembira membayangkan betapa dia
akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-
sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw.
Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biarpun usianya sendiri sudah empat puluh tahun
lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.
"Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan
Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kaupikir dengan
matang" Apakah sudah cukup bijaksana" Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil
apabila dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Mengapa kau tidak
menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?"
"Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam
apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan
daripada dia" Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri,
ibunya masih sumoiku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi-i-
beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia memiliki
watak yang gagah perkasa dan budiman, biarpun agak lemah dan terlalu mudah
memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan
atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk."
"Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri" Perjodohan harus didasari
cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang
penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja."
"Hemm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum
berpengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang
masih hijau hanyalah melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata!
Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta,
akan tetapi setelah menikah, timbul perpecahan karena tidak cocok watak mereka.
Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja,
sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tidak
mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal..."
"Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang
berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cui. Orang tua mana bisa disamakan orang muda"
Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang
muda. Pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya!
Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, maka mereka pula yang
berhak memilih."
"Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya" Kalau anaknya hidup bahagia
dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan
rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka daripada si anak sendiri. Karena
itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong
sudah tepat."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
579 "Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda
itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia
juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega..."
Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami
isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada
saat itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama
Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang
berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subonya.
"Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil.
Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama..." Sampai di sini
murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira mendengar
kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.
"Bersama siapa?" Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa
bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.
"Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa
waktu yang lalu..."
"Siapa...?" Biauw Eng membentak marah.
"Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang..."
"Apa...?" Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling
pandang dengan isterinya, menekan perasaannya dan berkata, "Kin Ta, kauajak Bun
Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap
kami di taman ini."
Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan
permainan bagus kepada anak itu. Setelah murid kepala ini membawa putera mereka
pergi, Keng Hong dan Biauw Eng duduk kembali saling pandang dan alis mereka
berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang
tidak-tidak. "Tenanglah, kita belum tahu apa yang terjadi," akhirnya Biauw Eng berkata kepada
suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan
marah kepada puteri mereka.
Keng Hong mengangguk. "Tentu terjadi sesuatu yang aneh dan hebat...." katanya,
menarik napas panjang. "Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mungkin Keng-ji mau
berbaik dengan putera seorang datuk sesat."
"Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya," isterinya membela puteri mereka.
Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah
muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.
Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya,
bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung
menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu.
Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka,
sedangkan Giok Keng setelah menyebut "ayah dan ibu" lalu mencabut keluar pedangnya
dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, "Ayah, harap Ayah
periksa pedangku ini."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
580 Benar saja perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka
berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan,
kini sekaligus mereka mengalihkan pandang dan melihat pedang yang diberikan oleh
Giok Keng kepada ayahnya itu. Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia
Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu
melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main. Di
badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat
dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis di batang
pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang memiliki tenaga sin-kang mujijat yang
telah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Seorang
yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.
"Siapa yang melakukan ini?" Sebagai seorang pendekar sakti yang sukar dicari
tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya
yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu.
Memang inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut dan memperlihatkan Gin-
hwa-kiam kepada ayahnya. Dia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga
urusannya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan terputar dan tidak secara
langsung. "Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama
berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang,
Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!" Dengan
panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah
membunuh banyak perajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan
betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya ketika dia
ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.
"Kok Beng Lama...?" Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan
mengingat-ingat. "Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-
kouw...! Mengapa dia menentang perajurit pemerintah?"
"Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar,
Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan
pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung
dan hampir dapat tertawan."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.
"Mengapa" Apa yang telah dilakukannya?" Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak
penasaran. "Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu." Cepat-
cepat Giok Keng menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis
cantik jelita yang telah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan
oleh Kun Liong. Dalam penuturan ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang
menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh
Pangeran Han Wi Ong dan dibantu oleh beberapa orang perwira dan orang-orang kang-
ouw sedang mengeroyok Yap Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun
Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan.
Akan tetapi ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang
amat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga
mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah
membunuh banyak perajurit.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
581 Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sampai
mereka berdua tidak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa
Yap Kun Liong telah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri
orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang
bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang
mengingat bahwa puterinya ikut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu
menjadi calon suaminya"
"Giok Keng!" tiba-tiba pendekar ini membentak dan suaranya terdengar dingin
menyeramkan. "Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi
mengapa engkau ikut pula mengeroyoknya" Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Lebih
mengherankan hati kami lagi, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san"
Bukankah dia ini anak Kwi-eng Niocu?"
Pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, sudah diduga oleh Giok Keng dan dia
sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih mengenai diri
Bu Kong, dia lalu menjawab, "Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan
tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Biarpun Kwi-eng Niocu
terkenal sebagai seorang satuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya,
ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, karena itu ketika sarang ibu angkatnya
diserbu, dia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."
"Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang berani datang menghadap,"
terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. "Memang
tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu
melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan
tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat
teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk
membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan
teecu kembalikan."
"Harap Ayah dan Ibu tidak ragu-ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia
melawan Thian-ong Lo-mo ketika hendak mengambil pusaka, bahkan dia telah
menewaskan lima orang anggauta Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu
angkatnya."
"Giok Keng...!" Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali sehingga Giok
Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. "Apa
kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku" Mengapa kau bicara
seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami menyukai benda itu"
Mengapa engkau membela bocah ini?"
Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa
untuk mengaku, akan tetapi tidak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa
begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab, "Ayah... aku sudah bicara dengan
Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan
ikatan jodoh itu karena antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan... dan aku hanya
mau dijodohkan dengan orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."
Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor
burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya
dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih mampu
mengeluarkan suara bertanya, "Siapa itu orang yang kaucinta?"
Giok Keng yang memang sudah "nekat" ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong
Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-
nyembah dia berkata, "Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
582 Sesungguhnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua
telah... salin mencinta..."
Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong dan tubuhnya
sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu
dianggapnya merupakan penghinaan besar maka dia sudah menerjang ke depan dan
memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!
"Dess...!" Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling, lengan tangannya terasa nyeri
sampai menusuk jantung ketika dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan
kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit.
Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat
berada di depan ayahnya dan dengan suara menentang dan nyaring dia berkata, "Ayah
keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa" Dia cinta
kepadaku, dan aku cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini" Kalau Ayah hendak
membunuh, bunuhlah aku!"
Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh! "Kau... kau...! Memang lebih baik melihat
kau mati...!"
"Tahan...!" Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya,
kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti
mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan. "Mungkinkah kau ini
suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita" Kau hendak membunuh anak sendiri"
Benarkah ini?" Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil
berdiri menantang suaminya.
Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng, Keng Hong merasa
seolah-olah disiram air dingin kepalanya. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu
sedan naik dari dadanya, dia memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian
membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan
tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, "Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak
peduli lagi apa yang akan kaulakukan. Pergi...!"
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadinya dia menentang dan
menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan dan kehancuran hati ayah
bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia diusir, tidak diaku
anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati daripada dibunuh!
"Ayah...!" Dia menjerit dan menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya
memandang dengan wajah pucat.
"Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta
kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali!" Keng Hong berkata lagi, kini suaranya
dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah makin menusuk perasaan karena
selamanya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya
sedingin itu. "Ibu...!" Dia tersedu memanggil ibunya.
Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati
suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi
dia lebih cinta kepada suaminya. Biarpun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan
tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan
suaminya hanya mempunyai dia!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
583 "Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi..." katanya terisak.
Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan
seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi.
Dia lalu membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu
menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti
pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw
Eng. Setelah bayangan kedua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas
tubuhnya. Dia menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca,
matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk
matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya.
Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng menubruknya dan menangis sesenggukan di
atas dada suaminya. Tanpa diduga-duga, seperti datangnya hujan tanpa mendung,
kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali
sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi malapetaka ketika ayah ini
hampir membunuh puterinya sendiri!
Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi
tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta
akan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup
tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku
sehingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan
kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku berkuasa
sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselubungi kata-kata
mutiara yang serba indah! Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa
berduka. Karena apa" Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka
karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk
sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka! Benarkah demikian"
Benarkah dia berduka demi Giok Keng" Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya
sendiri" Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya
memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya" Benarkah dia sebagai seorang
bapak mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati
anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya" Dan kini dia
berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di
hatinya tidak tercapai" Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi
dirinya sendiri"
Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan
tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sukar
diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang
sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita telah
dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua "aku" yang bukan lain adalah pikiran kita,
pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa
lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur
dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku!
Demikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak
maupun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan
Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta,
juga demi aku! "Kau sungguh terlalu, masa begitu tega terhadap Keng-ji..." Biauw Eng menangis.
"Sekarang kau telah mengusirnya... ah, bagaimana akan jadinya dengan dia?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
584 "Hemmm, anak itu terlalu manja!" Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih
membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. "Terlalu memandang rendah
orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja" Mana boleh dia
membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya" Selain dia
akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke
lubang pecomberan!"
Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. "Lupakah engkau" Ingatlah baik-
baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini" Bukankah aku pun
puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor
dengan Kwi-eng Niocu" Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun seorang dari
golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!"
"Aihhh... engkau lain lagi..."
"Apanya yang lain" Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai mantu
seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu!"
"Akan tetapi kalau penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat
puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan seorang dari golongan sesat, kau benar-
benar tidak adil! Urusan semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan
bodoh, semestinya diberi nasihat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan
seperti itu! Sekarang kau telah mengusirnya, sama saja dengan kau makin melekatkan
dia dengan pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.
Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak
mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya juga puteri seorang datuk kaum
sesat yang lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya daripada Kwi-eng Niocu, namun
buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum
sesat, sungguh tidak adil. Apalagi Kwi-eng Niocu bukanlah ibu kandung pemuda itu,
melainkan ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar daripada dia! Akan
tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liongg bantah hatinya! Yap Kun
Liong adalah putera sumoinya yang tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali
ikatan jodoh yang djusulkan itu boleh diputuskan begitu saja"
"Aku mau pergi mencari Kun Liong!" Tiba-tiba dia berkata.
Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah. "Mau apa mencari dia?"
"Dia harus mencari penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia
tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia
patut kuberi hajaran!"
"Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal
mata keranjang!"
"Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau Kun Liong
melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai
supeknya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!"
Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biarpun suaminya itu tidak
mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu
betapa suaminya mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir
puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan
membencinya. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
585 Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan
hati gelisah sekali memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggauta Cin-ling-pai
yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau
ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi.
"Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai
selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang
kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!"
Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu
gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru,
terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia mengulangi
tantangannya itu dengan suara yang mengandung khi-kang kuat bukan main!
Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa
melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak
Pegunungan Go-bi-san. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sarang tempat tinggal
Kim Seng Siocia dan para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri
memandangi bangunan megah itu dan tertawa,
"Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang
disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak
berani keluar melayani tantanganku?"
"Kakek berotak miring!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan keluarlah Kim Seng
Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang berjumlah lima
puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang
paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya.
Melihat munculnya barisan wanita ini, mengenal Kim Seng Siocia yang pernah
mengeroyoknya ketika dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa
bergelak, "Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi
Thai-houw!"
Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil
membentak, "Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?"
"Hah..." Dia sudah mampus?"
"Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia
adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?"
Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali. "Ahhhh, aku terlambat!
Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku)
mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-
ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiang Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain
itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?"
Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini,
akan tetapi karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap
junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah dan dihina maka dia menjadi marah
sekali. "Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biarpun Thai-houw sudah meninggal dunia,
akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar melawanmu!" Setelah berkata
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
586 demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya dan terdengar suara ledakan-
ledakan kecil di udara.
"Jadi engkau murid satu-satunya" Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat
muridnya pun sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian gurunya!" Kok Beng
Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!
"Tar-tar-tar... wuuuutttt...!" Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-
nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan
yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang
runcing tajam dan beracun.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!" Pendeta Lama itu
berkata dengan gembira.
Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng
Siocia mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab
peninggalan Go-bi Thai-houw, tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar juga
tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyelingi serangan
cambuknya. Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua
lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan
lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu ujung lengan baju, ujung cambuk itu
terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju,
Kim Seng Siocia meringis kesakitan dan seluruh lengan kirinya tergetar hebat!
Tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan
cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauwnya itu menyambar ke arah
perutnya sendiri! Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah
kepalanya sendiri.
"Heiii..., gilakah...?"
Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah
wanita gendut itu "membunuh diri" secara aneh tiba-tiba cambuk membalik dan ujung
cambuk itu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat
menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah
membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah
mati itu! "Plakkk... desss...!" Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan
tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauwnya tidak
melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang
sekaligus membuat sin-kang yang terkandung di tangan kirinya itu "tenggelam" dan tak
berbekas. Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, "Ilmu
siluman...!" dan wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam
menyambar dan terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauwnya sendiri itu
menghunjam dan menembus pelipis kepalanya. Kim Seng Siocia masih berusaha untuk
menendangkan kaki kanannya, akan tetapi dengan mudah Kok Beng Lama menangkis
tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya
sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng Siocia tewas seketika! Anak
buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka sangka sama sekali
bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki
ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya
di tangan kakek pendeta Lama itu!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
587 Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas,
menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan
dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju
mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.
Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan
dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,
"Pergilah kalian!" Terdengar suara "plak-plak!" susul-menyusul dan dengan jerit tertahan
enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat
bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek
yang luar biasa lihainya itu!
"Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan
halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan
berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw! Seperti diketahui nenek ini adalah
guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In, dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak
Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan
tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang
ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu. Betapapun juga, dia ingin tahu dan
karena merasa bahwa dia dapat menanggulangi kakek sakti itu, mengikuti dan
menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid
lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia
hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegat mereka karena dia mempunyai niat yang
dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu
utamanya. Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan
kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi
nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya,
Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang
pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali. Dia akan
memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia
menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak
buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, untuk tidak nekat
melawan pendeta Lama yang lihai itu.
Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia mengenal pula
nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.
"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?"
Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal. "Aku Go-bi Sin-kouw tidak
pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah
kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu
kepandaian?"
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!"
Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu pandai
menyembunyikan rasa jerihnya untuk bertanding dengannya. "Habis, mau apa engkau
datang menemuiku?"
"Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk
pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah
benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?" Sambil berkata
demikian, Go-bi Sin-kouw menggunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang
mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat
terlihat oleh Kok Beng Lama.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
588 Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya mcrupakan sebuah
ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!
Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya
berubah pucat dan tiba-tiba dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang
dan kedua tangannya membentuk cakar setan!
Go-bi Sin-kouw terkejut sekali, cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya
menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.
"Plak! Plak!" Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan
tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.
"Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?" Bentak Kok Beng Lama.
Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya
seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih,
"Kaubunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang
Pek Cu Sian...!"
Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda
keras. "Pek... Cu... Sian... " Di... di mana dia...?" Dia terbelalak memandang nenek itu dengan
sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.
"Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia,
dia meninggalkan benda ini dan puterinya..."
"Ouhhh...!" Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya
terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang di dalam
ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang
lalu di Tibet! Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah
yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang
menganut Agama Buddha yang dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping
memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu.
Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipujanya
sebagai dewa pembasmi den penghancur, karena itu amat ditakuti dan telah menjadi
tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, pada hari ulang tahun dewa itu, mereka
menyerahkan korban-korban, diantaranya korban seorang dara cantik yang masih
perawan. Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan
perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan
permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena
golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak
ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah,
diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang
pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang
dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.
Diantara tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar
bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang
baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah
Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini tertawan dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
589 kemudian melihat bahwa dia amat cantik dan masih perawan, dia dipilih untuk menjadi
calon korban, hendak dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun
depan! Pemujaan itu dilakukan dengan membakar anak perawan itu dalam keadaan
telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka!
Ketika Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang
menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama,
seorang diantara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke
dua yang terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika
melihat Pek Cu Sian! Maka dengan kecerdikan dan kelihaiannya, diam-diam Kok Beng
Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan, kemudian
menyembunyikannya di dalam kamar rahasia.
Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang
budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini,
biarpun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Kalau
dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah,
yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak mempunyai orang lain
yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama. Keduanya
melakukannya hubungan rahasia di dalam kamar di mana perawan itu di sembunyikan.
Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan dara itu oleh para tokoh Lama
Jubah Merah dianggap hilang atau berhasil melarikan diri. Akan tetapi sebetulnya, Pek Cu
Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek
Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya. Wanita tua
yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi,
dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!
Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya terbuka juga.
Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang
pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia. Dan
terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama
dan Pek Cu Sian!
Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya,
dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun, Pek Cu Sian telah
mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan
berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Namun dia sendiri
terluka parah dan biarpun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika
tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu
terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang "diadili", maka tidak terjadi hal
yang lebih hebat lagi.
Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya oleh ketua golongan Lama
Jubah Merah. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, Kok Beng Lama
memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khi-kang yang
luar biasa kuatnya, juga sin-kangnya membuat kedua tangannya kebal dan berani
melawan senjata pusaka yang bagaimanapun juga ampuhnya!
Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya dan
puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan
dan dimintanya pertanggungan jawabnya.
"Pinceng telah menerima dosa dan telah menanggung semua kesalahan dengan
menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
590 kami yang tidak berdosa dikejar-kejar" Tentu mereka telah kalian bunuh!" teriaknya


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah. Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama
itu mengaku betapa Pek Cu Sian dan puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok
sampai luka-luka parah dan biarpun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang
amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.
Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk dan ketua golongan Lama Jubah Merah tewas
di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama
yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan niat untuk mencari
tahu perihal kekas1h dan puterinya. Kedukaan hatinya mendengar akan nasib
kekasihnya membuat dia seperti gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-
nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, dan yang terdekat
adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia
percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan
empat orang tokoh besar itu!
Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar tentang kekasihnya itu dari
Go-bi Sin-kouw! Apalagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti
yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia
menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila,
memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali,
sinar matanya menjadi suram dan layu.
"Bagaimana matinya?" Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya" Bagaimana dengan
Puteri Pinceng?" Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu kini
terdengar parau dan tidak jelas.
"Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar
kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Akan tetapi,
sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji dulu bahwa selanjutnya engkau
tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw."
Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, aku Kok
Beng Lama berjanji takkan mengganggu Go-bi Sin-kouw."
"Dan kau harus menyetujui aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini
memimpin semua wanita ini."
"Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian."
Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apalagi anak buah Kim Seng
Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jerih menghadapi pendeta Lama ini
karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan
tandingannya! "Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, aku mempersilakan kau masuk ke
istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama."
Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu,
mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat
tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan
"anak buahnya" untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang
gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
591 Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleb anak buah yang kini
memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw talu bercerita, "Aku sedang melakukan
perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek
Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya,
sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun nenangis di sampingnya. Aku
berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia
meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu
dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkkan benda ini dan
anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing."
Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya,
kemudian dia bertanya penuh gairah, "Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw.
Aku berterima kasih sekali. Dan di mana sekarang adanya anakku itu" Di mana puteriku
Pek Hong Ing...?"
Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang, "Itulah yang menyusahkan hatiku. Anak itu
kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa. Kemudian hendak kujodohkan dengan
seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera Kaisar! Akan
tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala
gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama."
"Hehhh...?" Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. "Di mana" Yang mana?"
"Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai" Ada seorang pemuda gundul
dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan kau telah
membantu mereka melarikan diri."
"Yaaaa, dan mana puteriku?"
"Nikouw muda itulah!"
"Aihhh...!" Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali
memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia
dan dengan cepat dia berkata,
"Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama."
Kakek itu mengepal kedua tinju tangannya yang besar kemudian menghardik, "Go-bi
Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?"
"Ahhh, duduklah baik-baik dan dengarkan dengan tenang," Go-bi Sin-kouw membujuk
dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.
"Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan
dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan
mengangkat derajatnya setinggi mungkin" Bayangkan, kau akan menjadi ayah mertua
seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian" Hong Ing kena
dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur
rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian bersama pemuda itu melawan kami dan
tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan
menyerahkan kepada pengadilan, dan membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri
pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, engkau muncul dan membikin kacau,
engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu."
"Brakkkk!" Meja itu terbuat daripada batu putih yang amat keras, akan tetapi tidak kuat
menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur! "Siapa
pemuda gundul itu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
592 "Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!"
"Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!"
"Tapi dia kabarnya memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-
ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di
mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo."
Berkerut alis Kok Beng Lama. "Apa itu Thi-khi-i-beng?"
"Ahh, seorang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi-i-beng" Ilmu yang amat
dahsyat dan mujijat, sin-kang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya
hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"
"Huh, siapa itu Cia Keng Hong?"
"Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong."
"Bagus! Di mana dia?"
"Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima
The Hoo yang dijadikan rebutan seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya
diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke
mana." "Keparat! Akan kucari mereka semua!" Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali
berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu, membuat Go-bi Sin-kouw menahan napas
saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang
amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia
mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan
mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung
yang mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng
Siocia. Tentu saja dia merasa girang sekali. Biarpun dia kehilangan dua orang muridnya,
akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan
memperoleh tempat tinggal yang indah. Hanya sedikit kecewa hatinya mendengar bahwa
bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah
melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut
banyak harta berupa emas dan perak! Akan tetapi karena yang masih berada di situ jauh
lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Pula, dia tidak menginginkan kitab
pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia.
Kun Liong sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh sinar
matahari yang langsung menimpa kepala dan mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit
duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia teringat dan mengeluh, lalu mendekap
kain itu dan diciuminya.
"Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!" demikian keluh hatinya. Dia hampir merasa yakin
bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas
semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu,
hatinya masih penasaran dan sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang
pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar
di pantai. Namun hasilnya sia-sia. Akhirnya dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati
kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara
yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
593 semalam, atau ditelan ikan besar. Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya
berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke
arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!
Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang
tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Dan dia
masih hidup! Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri di seluruh tubuhnya
dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-
koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa
perutnya amat lapar. Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong
dan sesunyi hatinya, dan dia menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan
mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa amat lapar itu. Sedapat mungkin
dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-
kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat
kepada dara itu.
Jelas ternyata setelah diselidikinya bahwa pulau itu adalah sebuah pulau kecil yang
kosong. Di tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan.
Akan tetapi, Dendam Iblis Seribu Wajah 7 Pendekar Cacad Karya Gu Long Bukit Pemakan Manusia 6
^