Petualang Asmara 23

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


a seorang diri dengan hati geli ketika dia
bercermin di atas air jernih di dalam hutan. Mula-mula dia terkejut ketika menjenguk ke
air dan melihat mukanya sendiri. Tak disangkanya mukanya seperti itu! Sudah lama dia
tidak bercermin, dan sekali bercermin, melihat kepala yang biasanya gundul sehingga dia
sudah terbiasa itu kini berambut, melihat seorang pemuda berambut pendek berpakaian
aneh, dia kelihatan seperti seorang "sinyo" yang asing!
Dua hari kemudian, Kun Liong tak dapat tertawa-tawa lagi. Dia berada di tengah padang
pasir yang tidak kelihatan
tepinya. Yang tampak hanyalah pasir dan gunung pasir, batu-batu kering dan tanah
tandus! Tidak ada setetes pun air kecuali peluhnya sendiri yang bercucuran karena
panasnya. Tidak ada tempat berteduh dan kerongkongannya terasa kering dan haus
sekali! "Celaka...!" pikirnya. Tak disangkanya bahwa padang pasir itu seluas itu. Untuk kembali
dia enggan. Dia harus melanjutkan perjalanannya ke barat, harus cepat mencari Hong
Ing di Tibet. Akan tetapi kalau dilanjutkan, berapa lama dia akan dapat melewati padang
pasir itu"
Dua hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir.
Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya kering
dan haus dan perutnya lapar. "Uh-uh... masih berapa jauhnya?" dia menggumam,
berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus
keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya
setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik
matahari! Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan
emas permata dari sakunya.
"Sialan!" gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. "Aku akan
senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!"
Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti
itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih
lebih berharga daripada emas permata! Betapa tololnya manusia di tempat ramai, untuk
memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
654 dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih
berharga daripada semangkok bubur sepoci air.
Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus
cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati
konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir
ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat
jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dia roboh dan mati
di atas pasir. Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong
merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang
tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi keluar membuat Kun
Liong merasa seperti dipanggang tubuhnya. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya
berkunang-kunang.
"Celaka...!" keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga
karena terlalu banyak berkeringat itu ke atas pasir. Sejenak dia merebahkan dirinya di
belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat.
Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi,
rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia
memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat
tubuhnya. "Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?" Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing
dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.
"Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!" hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri.
Dia meloncat berdiri akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya
pening sekali. "Aku harus keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!" Ketekadan hati ini
membuat Kun Liong merangkakrangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia
tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan
perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan
itu. Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa
dia menghentikan usahanya merangkak. Dia rebah lagi dan memejamkan matanya.
Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!
Tiba-tiba dia terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara
bergemuruh. Dia mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki
kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian
kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa
asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya. Ketika tiba di tempat di
mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti
orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan
menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tak dimengerti oleh Kun Liong.
Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki, "Keparat! Tentu dia merampok anak
buahku. membunuh dan merampas pakaiannya!" Dengan gerakan cepat, orang itu
mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di
busur. "Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
655 Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur. Kun Liong yang
masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah
menyambar dan menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar
anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah
dan teringatlah dia akan pesan orang yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa
Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan memang ilmu panahnya
hebat! Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali
loncatan saja dia sudah berdiri di depan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit
berdiri dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu.
Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing
yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian
seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal
orang uing yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!
Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis
bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika
Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri membawa kitab-kitab pusaka dan
barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng
Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai! Marcus berhasil
pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang
Portugis yang masih berkeliaran, kemudian dia bersama lima orang anak buahnya itu
menggabungkan diri dengan golongan orang Mongol yang berniat memberontak dan
menyerbu ke selatan. Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan
merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha
pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang dinamakan Pasukan Tombak Maut
mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!
Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan
terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa
Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.
Pada hari itu, Marcus mengiringkan komandannya bersama sepasukan oreng. Mongol
berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di
antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang sudah terancam bahaya
maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus. Melihat Kun Liong mengenakan
pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan segera mengancam Kun Liong
dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong dan di belakangnya, duduk di
atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut
menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah,
matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.
Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika
dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut dan dia
mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak
akan pemah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang
Kok Si Raja Ular!
"Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita
periksa di markas!" bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya. Agaknya baik dia
maupun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh
akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dahulunya gundul pelontos itu kini
telah memiliki rambut hitam lebat.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
656 Ketika beberapa orang anggauta Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak
buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk
menangkapnya, Kun Liong sama sekali tidak mau melawan. Dia maklum bahwa
andaikata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia
yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu
amat lihai. Pula begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing
tentang suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati
keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In telah ditangkap oleh
Ouwyang Bouw dan telah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat
akan ini selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan
ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong
Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.
"Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu
mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!" kata pula Ouwyang Bouw dan diam-
diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini. Dapat dibayangkan betapa
segar rasanya air dari guci air yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan
daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk
makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa kepada Ouwyang Bouw. Biarpun
dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan
membuat kepalanya gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah
menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja
Ular itu. Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan dan melihat dia tidak
melakukan perlawanan dan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang
pandai ilmu silat, biarpun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia
tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa
dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah
kakinya dipegang oleh seorang anggauta pasukan.
Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di gunung yang dari jauh tampak
kehijauan tadi. Perjalanan menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari
semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergiclik. Kalau dia tidak bertemu dengan
gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat
tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri
betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa bekal
secukupnya. Ketika rombongan itu tiba di puncak gunung, Kun Liong melihat dengan kaget bahwa
puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang besar dan kuat.
Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga seperti
sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong
masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.
Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan
memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw,
beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah
kursi tinggi berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti
seorang ratu. Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang
bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung,
kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun
Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.
Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di situ dan agaknya menjadi tokoh tertinggi,
menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu" Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoinya, Pek Hong Ing, bertemu dengan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
657 Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw
berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu. Ouwyang Bpuw jatuh
cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya
secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, sucinya itu menyerah dan menerima
menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang
kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw berlari cepat memondong tubuh
Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.
Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya, menerima semua perlakuan
Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tidak membantah atau melawan sedikit pun
ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai
isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua. Kim In sengaja
mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoinya, bukan pula semata-mata untuk menyelamatkan nyawanya
sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan
akan tetapi setengah gila ini. Dia melihat betapa Ouwyang Bouw memiliki kepandaian
yang amat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini,
suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa
muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua
itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.
Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami
tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila dan pemuda sinting ini benar-
benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In. Setelah menderita siksaan batin pada masa
"pengantin baru" tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh
kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari
suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya bahkan dapat
dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya, karena Kim In selalu mengancam
tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi! Kim Ing
mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai
alat untuk memeras! Semua ini dilakukan hanya dengan satu niat, yaitu membalas
dendam kepada musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala
malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo!
Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang
diam-diam telah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa
hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh
Thian-ong Lo-mo karena tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang
cantik dari Thian-ong Lo-mo! Peritiwa itu mendatangkan dua akibat dalam hati Lauw Kim
In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan
membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti
tunangannya itu. Ke dua, dia menaruh dendam yang amat mendalam kepada Thian-ong
Lo-mo yang telah membunuh tunangannya. Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-
ong Lo-mo, tentu tidak ada selirnya yang cantik, tunangannya tidak berjina dan tidak
akan terbunuh mati. Akan tetapi, ketika itu, untuk dapat membalas dendam adalah hal
yang mustahil karena tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subonya
sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu"
Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan
tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya.
Baginya, semua pria sama saja! Dan dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari
"suaminya" itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya telah maju
pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang
ahli dalam hal ini.
Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang makin tunduk dan makin takut
kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw
untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada waktu itu,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
658 Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia
berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena
merasa putus harapan, dia lalu melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula,
yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan guhanya muncul dua orang
muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak
mengharapkan kedatangan siapapun juga. Apalagi dia sama sekali tidak mengenal pria
dan wanita muda itu. Barulah dia memandang penuh perhatian ketika wanita itu
membentak. "Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!"
Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari guha,
berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw
Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, "Eh, bukankah engkau ini
seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?"
"Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas
kematian tunanganku!"
Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara
yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya.
Tertawalah dia. "Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam
hendak membunuh aku! Eh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani.
Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, mengapa masih
meributkan soal kematian tunanganmu yang lama" Apakah tunanganmu yang sekarang
ini kurang mampu" Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana
kalau dengan aku" Ha-ha, biarpun aku sudah tua, kiranya tidak akan kalah
kemampuanku dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha!"
"Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-
kata sombong. Makanlah ini!" Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari
kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun
yang digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.
"Heiii...!" Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau
harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga biarpun dia
sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang
dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, "Engkau siapa...?"
Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan,
pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang
tidak acuh, namun nadanya penuh ancaman. "Dia adalah isteriku, engkau tua bangka
berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!"
Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu
dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi
serangan jarum itu tadi mengejutkannya dan ketika dia melihat pedang berbentuk ular di
tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.
"Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?" tanyanya karena dia mengenal pedang
ular itu. "Kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku mau apa?"
Thian-ong Lo-mo terkejut bukan main. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang
mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
659 putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa
lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!
"Ah, kalau begitu kita adalah orang sendiri!" serunya. "Orang muda, kalau engkau putera
Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara
ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat."
"Hemm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!" bantah Ouwyang Bouw.
"Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di
tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim
yang sekarang berkuasa. Kita malah harus bersatu untuk merobohkan pemerintah ini,
untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan
pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa.
Tunangannya dahulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjina dengan
selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh."
Mendengar omongan ini, Ouwyang Bouw kelihatan ragu-ragu. Memang dia menaruh
dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.
"Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung" Hayo bantu aku merobohkan tua
bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di tanganmu. Aku harus
membunuhnya dengan tanganku sendiri." Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan
pandang mata marah kepada suaminya. Mendengar ini, lenyaplah semua keraguan dari
wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong
Lo-mo dengan tusukan maut.
"Tranggg...!" Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaii
untuk menangkis. "Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah roboh
hanya karena bujukan mulut wanita!"
"Tua bangka keparat!" Lauw Kim In memekik nyaring dan pedangnya berubah menjadi
sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat.
Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat
kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat sekali. Mengertilah dia bahwa wanita itu
tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah
seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu
saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.
"Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!" Dia lalu memutar senjatanya
sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincingan nyaring itu, membalas
serangan lawan dan terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.
"Cringgg... wuuuttt! Wuuutttt!!" Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah
Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, namun kedua
orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari
dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari
dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan
kiri dengan cepat untuk menangkis.
"Cringg! Tranggg...!"
Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur
seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw
Kim In dengan gerakan yang sama, sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki
kiri kakek brewok itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
660 "Cring"cringgg...! Wuuut"wuuuttt!!"
Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu berhasil
menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu dan memutar senjatanya,
namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang memiliki keringanan
tubuh mengagumkan sekali. Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua
pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar berdencingan senjata
yang bertemu dengan kerasnya, bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara
karena dapat dialakkan oleh sasarannya.
Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, biarpun masih muda
namun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan
kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang banyak selama puluhan tahun malang
melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun usia
tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai
memburu. "Hyaaahhh!" Tiba-tiba kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan
pengerahan khi-kang sehingga mengandung tenaga mujijat yang menggetarkan lawan,
sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.
"Sing-sing... wuuuttt... brettt!"
"Aihhh...!"
Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, biarpun Lauw Kim In sudah
menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di
punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.
"Ha-ha-ha-ha!" Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara ketawa untuk
mengejek lawan, sungguhpun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil
merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.
Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak
keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi-tubi dan
mengerahkan tenaga sin-kang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya
melindungi tubuhnya.
"Cring-cring-cringggg...!"
Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras dan meloncat ke belakang. Senjata
rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan
Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong
Lo-mo membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal
sepotong. "Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!" Ouwyang
Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.
Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah
bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam Thian-ong Lo-mo girang hatinya.
Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kautebus dengan nyawamu!
Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggereng dan maju menyerang dua orang
pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main penyerangan Thian-ong Lo-
mo. Mula-mula dia menggerak-gerakkan kedua tangannya saling bersilang dengan jari-
jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
661 sin-kang yang amat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari
tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Kemudian dia menyerbu ke depan,
tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan
tangan kiri mencengkeram ke arah dada Kim In. Serangan maut yang digerakkannya ini.
Namun kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal
kekualan sin-kang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang lihai itu.
Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang
Bouw berani memandang rendah sehingga dia menyimpan pedangnya tadi. Mereka
berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!
Lauw Kim In yang baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, telah
memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena
bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini.
Namun karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya
tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke
batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra! Di samping
ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun
saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan
roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat
dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah
dilatih belasan tahun itu!
"Dukk! Dukkk!"
Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya.
Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi
girang dan dia telah mengerahkan sin-kangnya. Benturan lengan mereka membuat
Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan terdengarlah suara ketawa Thian-
ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sin-
kangnya masih lebih kuat daripada kedua orang lawannya.
"Ha-ha-ha... ehhh...?" Suara ketawanya terhenti dan terganti teriakan kaget. Dia
memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika dia menyingsingkan
lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal.
Tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!
"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa.
"Hi-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini
sudah menerjang maju bersama suaminya.
"Haiiitit... hehhh!!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak ke sana ke mari, dan membalas
dengan pukulan-pukulan maut. Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini
merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan, hanya mengelak ke sana-
sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk
balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung. Kadang-
kadang secara terpaksa, Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun jika hal ini dilakukan,
dia mengisi lengannya dengan hawa sin-kang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun
dari lengan lawan. Betapapun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan
terasa gatal-gatal, tanda bahwa biarpun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan
tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Makin banyak dia menangkis, makin hebat
rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.
Di antara perasaan yang biarpun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia
adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa
hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
662 membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa
digaruk, maka hal ini tentu saja amat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya
menjadi kacau balau tidak karuan. Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali
oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong-hoat-hiat
(Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo dapat membuat
tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan pukulan itu hanya bagian
kulitnya saja yang terkena pukulan menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan
main. "Hyaaahhhh... robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya
bergerak ke depan.
Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari
kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan, namun karena jaraknya amat
dekat, biarpun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw
keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas
oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu
sendiri. Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong
Lo-mo memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti
kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik secara tiba-tiba menyerang
kedua lawan dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau
gesit sehingga hanya terluka ringan saja dan celakanya, menyerang kedua orang suami
isteri ini dengan senjata rahasia tidak ada bedanya dengan menantang ikan berlumba
renang! Penggunaan kancing baju sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja
dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal sepasang suami isteri ini adalah
ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun! Mereka berdua sudah menggerakkan
kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-
mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus
itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan
roboh bergulingan di atas tanah. Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya
bergerak. Seketika tubuh itu tak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena
pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah
yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu
digerakkan lagi!
"Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, lakukanlah apa yang kau ingin
lakukan!" kata Ouwyang Bouw sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk
mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.
Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali kepada Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah
yang dianggapnya menjadi biangkeladi perubahan hidupnya. Betapa dia tidak akan
menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali.
Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan
cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring
seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini!
Kalau tunangannya tidak dibunuh dahulu, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu
dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini mengambil pedangnya
yang tinggal sepotong, menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu. Melihat Lauw
Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu
akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian menggunakan
racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kaubunuh pun tak lama lagi
tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.
Tanpa mengeluarkan kata-kata namun sepasang matanya mengeluarkan sinar
menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tak berdaya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
663 itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak
runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam, lalu tangannya bergerak, pedang
berkelebat ke depan.
"Haiiittt...!" Tiba-tiba tubuh yang sudah tidak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas,
mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan
mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!
"Plakk! Desss...!" Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan,
lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam
keadaan telentang lagi. Kalau dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu
gigitan itu takkan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya
Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanan yang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang pedang bergerak.
"Blesss... rettt...!"
Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu.
Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat
dan isi perutnya keluar. Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh
berkelojotan sebentar lalu terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih bergerak-
gerak sedikit bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.
"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya
pemandangan di saat itu. Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan
menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumur
darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti
oleh suaminya yang tertawa-tawa. Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di
tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Terdengar suara gerengan binatang hutan
dari jauh dan tampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai beterbangan di atas
tempat itu, agaknya binatang-binatang itu dapat mencium bau darah dan mayat.
Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang
Bouw hendak kembali ke timur. Akan tetapi di tengah jalan, mereka dihadang oleh
serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang
dikenal sebagai Dewa Panah! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In
merobohkan para pimpinan gerombolan ini dan karena Marcus mendengar bahwa laki-
laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-
ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The
Hoo, dia mempergunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu
menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya dan para pemberontak Mongol,
mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah
tidak kurang dari seribu orang Mongol!
Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol, dan tentu
saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In karena suaminya tunduk
kepadanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan
hanya menjadi pembantunya! Setelah dendamnya dilaksanakan dan dia berhasil
membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi.
Namun, mengingat betapa suaminya, biarpun dia tidak mencintanya, telah bersikap baik
kepadanya, bahkan membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan
juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebetum membalas
kematian ayahnya. Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya
untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi setidaknya dia
akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah! Dan Kim In
merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka daripada menderita hidup yang
kosong, dia membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
664 paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin oleh suaminya. Dia
diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan
kebutuhan baginya, membuat dia mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena
menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!
Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu. Kita manusia dibikin
mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat,
mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu
berlangsung terus atau berulang kembali, kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-
matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita.
Dalam membela atau mencari ini, kita tidak segan-segan untuk merobohkan siapa saja
yang menghalang di tengah jalan. Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang
menyenangkan itu adalah kebahagian! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah
dari kekecewaan, kekhawatiran dan kedudukan. Bukan berarti bahwa kita tidak harus
menikmati kesenangan, melainkan bodohlah kalau kita mengikatkan diri kepada
kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan. Hanya dia
yang bebas dari segala ikatan lahir maupun batin, dialah yang benar-benar bidup, karena
bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak
membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!
Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dan
Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu
dibawa menghadap ke dalam ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw,
Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan
yang mencurigakan itu. Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah
tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang
menjadi sahabat sumoinya! Biarpun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih,
biarpun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini telah berambut, Kim In tidak
pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapapun juga, bertemu dengan pemuda ini
membuat dia teringat akan sumoinya, satu-satunya orang yang dikasihinya.
"Kalian telah salah menangkap orang!" tiba-tiba terdengar Kim In berkata, "Dia adalah
teman sumoiku." Dia menoleh kepada suaminya dan berkata, "Harap kaubuka
belenggunya dan biar aku yang menanyainya."
Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu,
patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam
hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi
dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.
"Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona
berada dalam keadaan baik-baik saja?"
"Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang
ajar kepada isteriku!" Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu
tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.
Kun Liong menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-
putaran liar itu, masih tersenyum lalu berkata, "Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin
galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu."
"Kau... kau mengenal namaku?" Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh
perhatian. Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. "Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu,
Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok" Masih terbayang di depan mataku kematian semua
orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
665 mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu
sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu makin hebat saja! Jarum
merah yang membuat kepalaku gundul sampal bertahun-tahun lamanya!"
Ouwyang Bouw makin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu
saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlalu banyak dia dan ayahnya membunuhi
orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun
ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran
dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung berusaha mengingat kembali
peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.
Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu
mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat,
"Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu" Yap Kun Liong?"
Kun Liong berpaling kepadanya dan tersenyum lebar. "Dan engkau Marcus yang kini
berjuluk Si Dewa Panah, ya" Bagus, agaknya tidak percuma engkau pemah menjadi
kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya."
Merah muka Marcus mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu engkau tentu mata-mata
musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!" Marcus meloncat ke depan, langsung
menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong. Pemuda ini tanpa
mengelak tanpa berkedip menghadapi serangan itu, setelah kepalan tangan Marcus
menyambar dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba jari tangan kirinya bergerak
menyambar dari bawah.
"Takkk...! Augghhh...!" Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan
kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya.
Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang
memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.
"Hemm, berani engkau kurang ajar?" Ouwyang Bouw berseru dan tangannya
menyambar ke depan.
Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya
miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.
"Dukkk...!"
Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika
dia memandang kepada lawannya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa tawanan itu
ternyata memiliki kepandaian hebat, dapat menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu
membuat dia tergeser!
"Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan
aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu
yang lalu terhadap diriku." Kun Liong berkata, suaranya nyaring.
"Manusia sombong!" Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima
orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing
dan menyambar senjata.
"Tahan, jangan bertempur!" Tiba-tiba Lauw Kim In berseru. Mendengar bentakan
isterinya, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil
bersungut-sungut. Hatinya tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa
tawanan itu lihai, dan hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan
terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai! Akan tetapi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
666 dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti
yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In dan mati-matian isterinya
mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia
merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak
isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya daripada kalau isterinya marah
dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!
Terutama sekali Marcus merasa penasaran dan diam-diam dia marah sekali. Jelas
baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah
musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh
dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali
tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama
dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim
In, dia pun tidak berani berkutik dan hanya duduk kembali sambil memandang tajam
penuh perhatian.
"Yap Kun Liong, duduklah!" kata Kim In setelah melihat bahwa semua orang mentaati
permintaannya. "Terima kasih, engkau baik sekali Nona... eh, Nyonya," katanya sambil melirik ke arah
Ouwyang Bouw yang makin cemberut.
Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya
ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, biarpun dalam jarak agak jauh, telah
dijaga ketat oleh banyak sekali anggauta pasukan yang memegang tombak. Penjagaan
yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.
"Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau telah dikurung dengan rapat di
tempat ini. Betapapun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat
apabila kami menghendaki. Karena itu, kauceritakanlah dengan sejujurnya dan
sebenamya, apa yang kaulakukan di tempat ini dan mengapa pula engkau mengenakan
pakaian seorang anak buah sahabat kulit putih."
Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati
mereka yang panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa
sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta
agar dia suka menceritakan keadaannya itu agar menghilangkan kecurigaan para
pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.
"Aku tidak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan
menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak
kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang laki-laki berkulit putib
sedang dikereyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa
Mongol bermata sipit ahli gulat..."
"Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!" Tiba-tiba scorang di antara pemimpin Mongol
berseru. "Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para
pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya,
akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek dan aku hampir telanjang, aku amat
membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah
itu." "Laki-laki kulit putih" Tahukah engkau siapa dia?" Kim In bertanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
667 "Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan..."
"Alberto...!" Tiba-tiba Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis
berkerut. Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-
lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir
mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia, tidak mau mencampuri
urusan orang lain.
"Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang mengambil pakaiannya, akan tetapi hat itu
kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas,
dan kuanggap sebagai pmbalasan perbuatanku yang mengurus dan mengubur
jenazahnya."
"Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!" Marcus berkata dan lima orang Mongol itu
mengangguk-angguk.
"Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa
melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?"
Kun Liong terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. "Di luar
Tembok Besar" Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu den gunung-gunung liar!
Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena
aku hendak pergi ke Tibet."
Semua orang terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai
curiga lagi. "Ke Tibet?" Lauw Kim In bertanya.
Kun Liong dapat menduga bahwa sebetulnya wanita itu ingin mendengar tentang
sumoinya, maka dia lalu berkata terus terang, "Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong
Ing." Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoinya, wajah Kim In
berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya. "Apa yang terjadi dengan Sumoi?"
tanyanya tidak sabar.
"Tiga orang pendeta Lama yang amat lihai telah membawanya pergi dan aku tidak
berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang amat lihai. Setelah
aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu
adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet."
"Ahhhh...!" Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan
nasib sumoinya.
Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta
sumoinya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, "Harap jangan khawatir. Aku
akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa pasti bahwa aku akan dapat
menyelamatkannya dari ancaman siapapun juga!"
Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu menunduk.
Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, engkau tidak
melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga."
Kun Liong bangkit berdiri memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata
Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
668 kulit putih itu tidak berani bergerak. Melihat keraguan Kun Liong, Kim In berkata kepada
lima orang pemimpin Mongol, "Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoiku."
Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan
terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang perajurit
masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hany tersenyum dan tidak
berkata apa-apa mengikuti dua orang perajurit itu keluar dari benteng ini.
TAK lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, "Aku
lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya untuk disampaikan kepada Sumoi! Kalian
tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!" Tanpa memberi kesempatan orang lain
untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah
berlari keluar mengejar.
Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan
karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus
dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara
wanita itu dari belakang, "Kun Liong, tunggu dulu!"
Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum
sungguhpun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu
yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan kata dia memandang wanita itu
dengan mata penuh pertanyaan.
"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu. "Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?"
Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya itu yang membuat wanita ini berlari-lari
menyusulnya. "Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, biarpun para
pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat
luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya..." Kun Liong masih ragu-
ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.
"Hemm, tentang ayahnya" Seorang pendeta Lama" Aku sudah tahu sedikit-sedikit
tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami
menemukan ibunya dan dia."
Kun Liong kini tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di
pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah
ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga
orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.
"Demikianlah, biarpun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga
dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu." Kun Liong mengakhiri penuturannya.
Lauw Kim In kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, "Yap Kun
Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?"
Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, "Aku cinta padanya, dan
aku bersiap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek
Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!"
Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. "Sukurlah..." dia berbisik,
"Semoga dia berbahagia..." dan tiba-tiba sekali, tanpa tersangka-sangka, tangan
kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
669 Namun Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak
pernah terjadi sesuatu.
"Hemmm... kalau aku menghendaki, bukanlah nyawamu telah melayang, Kun Liong?"
katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeram tangannya.
Memang hebat sekali ilmu kepandaian Lauw Kim In. Tangannya dapat memutuskan
segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.
Akan tetapi pemuda itu tersenyum. "Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan
roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat
apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoimu. Bukankah begitu?"
Lauw Kim In terkejut. "Apa... apa maksudmu?"
"Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadl isteri
Ouwyang Bouw."
Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah
berlubang, baju luar dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat
keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia
mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan
pemuda itu sudah lenyap dari depannya!
Kini ini menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk
keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-
mangu. Akan tetapi di wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut
bahagia bahwa sumoinya, satu-satunya orang yang dicintanya seperti adiknya sendiri,
ternyata telah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu dan...
agak sayang, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurangajaran yang dapat dia maafkan
dan bahkan membuat dia tersenyum geli. Gara-gara dia hendak memperlihatkan
kepandaiannya, ternyata dia malah mendapat malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki,
setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat
melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!
Ketika Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan
memikirkan sumoinya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini
malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh
wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan
orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran
kepada Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!
Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana.
Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim
In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri teringat akan
kekurangajarannya telah merobek baju wanita itu sehingga tampak sebuah di antara
buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu,
menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!
Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus
mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang
menggairahkan hatinya itu.
Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang
takkan pernah terlupakan olehnya, di dalam kuil tua, di malam sunyi, di mana dia
tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
670 begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia
menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum
dan menghentikan langkahnya, bahkan lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil
menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang
mengejarnya lagi, entah mau apa sekarang wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di
tangan wanita itu.
Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan
Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat dari atas kuda
dengan sikap mengancam dengen senjata tombak di tangan. Marcus berada paling
depan, telah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya
mengancam dan senyumnya menyeringai.
"Yap Kun Liong, engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku
mengampuni nyawamu!" bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.
Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun,
Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya
Ouwyang Bouw maupun Lauw Kim In.
"Hemm," Kun Liong tersenyum. "Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang.
Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim
Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol."
"Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?"
"Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu, andaikata aku tahu sekalipun, tak mungkin
akan kuberitahukan kepadamu," jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam
tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan
kanan. "Keparat! Kalau begitu mampuslah!"
"Wit-wir-wirrr...!" Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.
"Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!" Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-
patah disambar hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu
masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan
memandang anak panahnya dengan muka pucat.
"Serbu...! Bunuh...!" Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi
dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup
memalukan. Biarpun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas
dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-
enak duduk di atas batu besar.
"Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hee, jangan kalian tidak tahu malu!" tiba-tiba
terdengar teriakan dari atas! Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan
kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki duduk nongkrong di
atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah laki-laki yang tua, yang usianya tentu
sudah enam puluh tahun lebih, pakaiannya aneh sekali, pakaian longgar kebesaran
berkotak-kotak celananya sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah
seperti yang biasa dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
671 matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup. Adapun orang ke
dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun
tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah sekali membuat Kun Liong kagum
memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.
Melihat dua orang itu, Marcus membentak, "Siapa kalian dan perlu apa mencampuri
urusan kami?"
"Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!" Kakek itu berkata lagi, "Kalian ini tidak
tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!" Kakek itu
lalu merayap turun akan tetapi Si Pemuda lalu memegang lengannya dan membawanya
melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun,
kakek itu menjerit ketakutan. Akan tetapi setelah turun atas tanah, dengan langkah
gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, sedangkan pemuda gagah itu
hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!
Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang
seperti badut ini" Benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak
bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik" Akan tetapi
jika diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian.
Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjelan di belakang kakek itu. Seorang
pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan kelihatan kuat, apalagi karena
wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat,
pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.
Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol
yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar,
akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek
itu. "Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan,
kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian
adalah manusia-manusia yang beradab, bukan" Mana mungkin mau menyembelih
seorang manusia lain" Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama
sekali tidak boleh!"
Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini benar-benar mencari penyakit, pikirnya.
Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang macam Marcus! Betapa
menggelikan! Sama dengan berpidato di depan gerombolan serigala liar! Mencari
penyakit namanya.
Marcus marah bukan main. "Kakek tua bangka gila! Engkau lancang sekali! Aku mau
membunuh siapapun, engkau peduli apa" Bahkan kalian berdua kalau sudah bosan hidup
akan kubunuh sekali!"
Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap
diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama
sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan
tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan
menjadi takut, malah makin hebat gilanya!
"Kalian tidak mau mundur" Wah, kalian malah hendak membunuh kami berdua" Uh-
uhhh... daripada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh guru
dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian
apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
672 Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biarpun kakek itu gila, akan tetapi gilanya
adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu.
Benar-benar mengherankan dan dia menjadi makin ingin tahu, ingin melihat apa yang
akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu, dan siap untuk melindungi
mereka berdua andaikata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.
Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha!" Marcus tertawa
memegangi perutnya. "Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?"
Kun Liong merasa geli akan tetapi juga khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju
mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela
dengan cara menyerahkan nyawa sendiri" Akan tetapi pada saat dia hendak bergerak
maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda
itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa!
Makin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu" Kalau
mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, mengapa bersikap
demikian aneh" Akan tetapi melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh
menggoyang kepala mencegah dia bergerak. Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa
dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar,
menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu
kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu
dilakukan sambil beirdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun
Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa
yang mengandung tenaga mujijat, yang membuat jantungnya tergetar hebat! Kemudian
suara itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang
menembus sampai ke ulu hati. "Ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah
kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati
kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh
mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!"
Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kakek itu telah
berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya
yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!
Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian seorang di antara
pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang
rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tidak
mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak ketika
golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.
"Crakkkk!"
Leher itu sekali babat putus! Darah muncrat-muncrat. Akan tetapi Kun Liong makin
terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-
muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung dan perlahan-lahan darah itu berubah
menjadi kepala yang baru! Kepala kakek itu masih menempel atau lebih tepat lagi, dari
leher yang buntung itu "tumbuh" kepala baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih
menggelinding di atas tanah, di bawah batu!
"Ilmu siluman...!" Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol
itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.
"Crakkkk!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
673 Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan
tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan
kepala ke dua yang terpenggal.
Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak. "Ha-
ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatiku!" terdengar suara kakek itu
mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut kepala yang masih
menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di
atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya
merem melek, bibirnya tersenyum!
"Setan...!"
"Ilmu iblis...!"
"Siluman...!"
"Biar kupenggal lagi kepalanya!" Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya.
Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru
dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini
tidak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih
hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!
Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini
berlumba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu
mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi
algojo Mongol yang masih pingsan!
Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak ketika pundaknya ditepuk orang dari
belakang. Dia menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda
tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi
ke arah "mayat" yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun
sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah
lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, tersenyum-senyum tenang seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu.
"Eh, apa yang terjadi..." Bagaimana... mengapa..." Kun Liong masih bingung dan dengan
gagap bertanya.
"Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tidak mau meniru apa yang kulakukan,
sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-
nakuti dan mengusir mereka," kata pemuda itu.
"Hoatsut (ilmu sihir)..." Ahhh... kiranya begitu?" Kun Liong kagum bukan main dan kini
dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati. Tak disangkanya kakek itu memiliki
kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata,
"Kiranya saya berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan
Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe
dan saudara gagah perkasa?"
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak. "Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap
sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa.
Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku
telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat
lihai. Karena tidak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
674 terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka
agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh."
Kun Liong terkejut. Kiranya kakek itu selain lihai ilmu sihirnya, juga bermata tajam dan
berpemandangan luas, membuat dia makin tunduk dan cepat dia berkata, "Locianpwe,
terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama."
"Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal
dan tempat tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak
angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan
orang Mongol dan orang kulit putih itu" Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang
kulit putih."
Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita,
apalagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka
mengira bahwa aku mencuri pakaian seorang di antara teman mereka, dituduh
membunuh orang itu."
"Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini."
"Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh
gerombolan Mongol." Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia
menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak
berhasil diselamatkan nyawanya itu.
"Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-
twako yang menolongku."
Hong Khi Hoatsu tertawa. "Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku
mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah" Mengapa sampai tersesat di tempat
terasing di luar Tembok Besar ini?"
"Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi."
Berseri wajah kakek itu. "Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan
bersama!" "Mana saya berani mengganggu Locianpwe?"
"Ah, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Kalau Sicu tidak
bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa Sicu telah keliru
mengambil jalan!"
"Apa maksud Locianpwe?"
"Perjalanan menuju ke Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini
menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di
Propinsi Shantung. barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan
lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok
Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan
memakan waktu lebih lama."
"Aihh! Begitukah?" Kun Liong berseru kaget dan juga girang.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
675 "Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh
petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu."
Kun Liong tidak segera menyanggupi. "Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
"Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning..."
"Ahhh...!" Kun Liong terkejut sekali karena segera teringat dia akan orang kulit putih
yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.
"Mengapa Yap-sicu terkejut?" kakek itu bertanya.
"Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?" Kun Liong memancing.
Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu
bertanya, "Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri yang tidak harus merahasiakan
sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?"
"Aku mendengar dari pemilik pakaian ini, sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata
tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning."
"Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?"
"Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh
seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu."
"Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu
usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?"
"Harap Locianpwe menceritakan persoalannya lebih dulu sebelum saya menyatakan
kesanggupan saya."
"Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi
kami merasa yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan
dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi
seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang
kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam
pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh
kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning.
Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan
dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku."
"Hemm..." Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu
yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata, "Saudara
Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biarpun saya tidak
setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak,
dan terserah kepada Suhu. Betapapun juga, kami harus menolong gadis yang belum
pernah kami lihat itu. Hanya kami ketahui namanya, yaitu Bu Li Cun."
Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, "Kalau demikian persoalannya,
tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!"
"Bagus! Dengan bantuan Yap-sicu, tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar
harapannya akan berhasil baik!" Kakek itu tertawa-tawa gembira.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
676 Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya, menyerahkan satu stel pakaian
kepada Kun Liong sambil berkata, "Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini.
Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja."
Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian lalu mengganti
pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah terasa
enak dan lega hatinya dan sambil tersenyum dia mengucapkan terima kasih kepada
sahabat baru itu.
"Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan takkan
puas aku sebelum mendengar darimu mengapa rambutmu menjadi begitu pendek,"
kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.
Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa kini kepalanya sudah
berambut. Sudah berambut saja, karena masih pendek, sudah menjadi perhatian dan
pertanyaan orang, apalagi kalau masih gundul!
"Panjang ceritanya, Locianpwe."
"Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di
dalam perjalanan, Yap-sicu."
Berangkatlah tiga orang itu ke selatan sambil bercakap-cakap dan Kun Liong makin
merasa suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya
dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun akan
tetapi sekarang telah sembuh. Beberapa hari kemudian, Kun Liong sudah menjadi
sahabat baik Lie Kong Tek dan diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena
baik si guru maupun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan
ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa
terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya
suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid pendiam dan serius sehingga
sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.
Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat
lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia
ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas
lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing
dan seringkali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.
Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah
timur yang akan merayakan pernikahan antara Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-
eng-pang dengan Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw menjadi
wali dari Liong Bu Kong, sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw
berbesan dengan Cin-ling-pai! Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di
dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong
orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar
Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang amat
aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah
seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana
mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, mengambil mantu seorang
pemuda putera seorang datuk kaum sesat"
Pada pagi hari yang telah ditentukan, ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke
pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari
dunia kang-ouw dan Hok-lim. Baik golongan putih maupun hitam hadir, karena mereka
semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini. Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik
sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
677 sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-
limpah. Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, dan Yap Kun Liong.
Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja
menyelinap di antara sekian banyaknya tamu dan tentu saja tidak ada yang mengenal
mereka dan tidak ada yang mencurigai. Seperti diketahui, kedatangan mereka adatah
untuk menyelidiki dan menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang terculik oleh
orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, ketika tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw
sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka
bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu
untuk melihat keadaan dan menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba, maka tidak
mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu, juga mereka tidak
menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki.
Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan
sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi
karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan
dengan sendirinya.
Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu
dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah
bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya
dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka. Dan dia ingat pula bahwa
pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah terusir oleh ayahnya
sehingga terpaksa menikah secara ini. Dia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang
dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk
melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri. Ketika keluar
dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di
ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua
tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di
bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia menurut saja ketika dituntun dan disuruh
berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang
mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah. Hati pemuda ini girang sekali.
Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Ciok Keng secara sah! Malam
nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya,
dengan suka rela dan secara resmi! Di samping kebahagiaan ini, dia pun memperoleh
kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-
pang hancur. Seorang pendeta Pek-lian-kauw yang tua ditugaskan memimpin upacara sembahyang
untuk meresmikan pernikahan itu. Hio telah dipasang, dupa telah dibakar, den pendeta
tua itu siap membaca doa liam-keng. Akan tetapi, baru saja hio dibakar dan hendak
diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring.
Lengking yang panjang mengerikan, dan tampak sinar berkelebat diikuti pekik pendeta
tua. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua.
Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!
Gegerlah semua orang, apalagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa
dan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-
api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh!
Semua orang terkejut apalagi ketika banyak diantara mereka yang mengenal laki-laki
setengah tua yang gagah perkasa itu.
"Cia Keng Hong Taihiap...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
678 "Ketua Cin-ling-pai...!"
Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang memandang dengan mata
terbelalak. Kiranya pendekar sakti ini yang muncul, ayah dari pengantin wanita yang
kelibatan marah bukan main.
Belasan orang anggauta Pek-lian-kauw yang bertugas jaga di situ, tentu saja menjadi
marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan
mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta,
bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggauta Pek-lian-kauw
sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka.
Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka dan seorang demi seorang
robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar
ke sana-sini. Ketika mereka semua roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak
pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama
sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak!
Adapun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah
pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai
itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang kepada
ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
Sementara itu, melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah Giok Keng, dan melihat
munculnya Cia Keng Hong, tentu saja Kun Liong menjadi terkejut bukan main. Sungguh
seujung rambut pun dia tidak pernah menyangka bahwa sepasang pengantin yang
dirayakan di Pek-lian-kauw dan sejak tadi ditontonnya itu adalah Cia Giok Keng dan
Liong Bu Kong! Kalau supeknya tidak muncul, tentu dia tidak akan pernah tahu bahwa
pengantin wanita adalah Giok Keng, gadis manis galak yang indah bentuk hidungnya itu!
Melihat betapa Hong Khi Hoatsu juga terkejut dan terheran-heran karena kakek ini
pernah mendengar nama besar Cia Keng Hong, Kun Liong berbisik, "Dia adalah supekku
Cia Keng Hong, dan ternyata yang menjadi pengantin wanita itu adalah puterinya. Tentu
ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan aku takkan dapat mendiamkannya saja..."
Hong Khi Hoatsu mengangguk-angguk dan menjawab dalam bisikan, "Lebih baik kita
melihat gelagat lebih dulu. Seorang sakti seperti supekmu itu belum tentu membutuhkan
bantuan kita, dan tanpa permintaannya berarti lancang kalau kau turun tangan, Sicu."
Kakek ini memandang Kun Liong dengan kagum. Baru dia tahu bahwa pemuda yang dia
sudah duga amat lihal ini adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai yang terkenal
sekali itu. Kun Liong mengangguk maklum. Memang tepat sekali pendapat kakek ini. Supeknya
adalah seorang pendekar sakti yang memiliki nama besar dan kedudukan tinggi sekali di
dunia kang-ouw. Kini urusan yang dihadapi supeknya adalah urusan pribadi yang
menyangkut puterinya, maka sudah semestinya kalau dibereskan oleh pendekar besar
itu sendiri. Kalau dia lancang turun tangan membantu tanpa diminta, hal ini tentu akan
menyinggung kehormatan supeknya. Akan tetapi dia merasa khawatir sekali. Dia
maklum akan kekerasan hati Giok Keng yang tentu akan melawan siapa pun, bahkan
ayahnya sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya sendiri. Dan dia terheran-heran
mengapa Giok Keng memilih Liong Bu Kong sebagai suami! Benar-benar wanita berwatak
aneh sekali, wanita mendatangkan hal-hal yang luar biasa di dunia ini! Lauw Kim In, dara
yang manis dan... hemmm, indah sekali tubuhnya, telah mengorbankan diri menjadi
isteri seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw! Dan sekarang, Giok Keng,
puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, seorang dara yang cantik jelita, memilih Liong Bu
Kong, putera datuk sesat yang amat jahat Ketua Kwi-eng-pang, menjadi jodohnya!
Betapa anehnya kelakuan dara-dara cantik itu! Akan tetapi di samping ketegangan
hatinya, diam-diam dia merasa girang bahwa tanpa disengajanya, dalam mengikuti Hong
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
679 Khi Hoatsu hendak menolong seorang gadis dari sarang Pek-lian-kauw, dia telah bertemu
dengan Cia Keng Hong dan Cia Giok Keng.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah secara luar biasa delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw yang berani
lancang menyerang Cia Keng Hong roboh terbanting dan pingsan, keadaan menjadi sunyi
dan menegangkan. Terdengar bisik-bisik di antara para tamu yang semua memandang
penuh perhatian.
"Giok Keng...!" Bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang amat hebat dan terasa
menggetarkan jantung semua orang yang mendengarnya.
Akan tetapi pengantin wanita itu berdiri tegak memandang ayahnya dengan mata
terbuka lebar penuh tantangan!
"Ayah, kau tidak berhak berbuat begini..." terdengar Giok Keng berkata, suaranya penuh
duka namun juga penuh sesalan.
"Giok Keng, aku melarang engkau menikah di sini dan dengan seorang tokoh sesat!"
"Cia Locianpwe...!" Liong Bu Kong meloncat ke depan.
"Wuuuuttt... plakkkk! Bruuukk...!"
Tubuh Bu Kong terlempar dan terbanting roboh terdorong oleh hawa pukulan dahsyat
yang keluar dari telapak tangan pendekar sakti itu. Akan tetapi karena dia telah memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi, bantingan itu tidak membuat Liong Bu Kong
pingsan seperti delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw, hanya membuat dia pening
dan dia sudah meloncat berdiri dengan muka pucat dan mata merah. Akan tetapi
pemuda ini tentu saja maklum akan kelihaian "calon mertua" yang tidak mau
mengakuinya itu, maka dia tidak berani bergerak lagi, melainkan mulai menengok dan
mencari-cari Thian Hwa Cinjin dengan pandang matanya karena untuk menghadapi Cia
Keng Hong yang sakti, dia hanya mengandalkan Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu.
Namun dia melihat betapa Thian Hwa Cirijin tersenyum kepadanya dan menggelengkan
kepala, memberi isyarat agar dia jangan lancang turun tangan!
"Ayah, kau tidak berhak memukul calon suami pilihanku! Karena engkau telah menolak
dan mengusir kami, kau tidak berhak mencampuri!" Cia Giok Keng berseru keras dan
dengan penuh kemarahan kepada ayahnya. Hatinya masih sakit karena teringat olehnya
betapa dia diusir oleh ayahnya karena jatuh cinta kepada Liong Bu Kong dan melihat
ayahnya datang mengacaukan pernikahannya.
"Cia Giok Keng! Kau menikah dengan seorang penjahat di Pek-lian-kauw pula" Kau
hendak menodai nama keluarga kita" Lebih baik kau mati!" pendekar itu membentak
marah. "Locianpwe, harap Locianpwe sudi bersikap sabar dan tenang!" Tiba-tiba terdengar suara
lantang dan di depan pendekar sakti itu berdiri dengan tegak dan dengan sikap gagah
seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah.
Kun Liong terkejut sekali ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Kong
Tek! Ketika dia menoleh kepada Hong Khi Hoatsu, dia melihat kakek ini mula-mula juga
terkejut, akan tetapi kakek itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk, kelihatan
bangga sekali atas sikap muridnya. Namun Kun Liong merasa khawatir sekali dan
menganggap pemuda itu terlampau lancang.
Cia Keng Hong juga kaget dan memandang pemuda itu dengan mata bernyala dan alis
berkerut. "Siapa, kau" Mau apa kau mencampuri?" bentaknya, suaranya penuh tenaga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
680 khi-kang yang amat kuat. Namun Lie Kong Tek tidak mundur setapak pun, wajahnya
yang tampan gagah itu masih tetap tenang dan sinar matanya tajam menentang
pandang mata pendekar yang sedang marah itu.
"Nama saya Lie Kong Tek, saya tidak pernah mengenal Locianpwe maupun puteri
Locianpwe. Dan saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan
tetapi, karena sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua Cin-ling-pai,
seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan pula karena timbul
rasa iba hati saya melihat puteri Locianpwe, maka saya memberanikan diri untuk
mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini jika Locianpwe tidak menggunakan
kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan urusan yang memalukan."
Muka Cia Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti
dibakar. "Kau... kau manusia lancang...!!" Keng Hong yang sudah marah sekali itu menggerakkan
tangannya mendorong. Lie Kong Tek maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak
jauh, maka biarpun sikapnya tetap tenang, dia mengangkat kedua tangannya juga untuk
menangkis. Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arqhnya dan blarpun sudah
dia tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan
terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin. Lie Kong Tek bergulingan dan
ketika dia meloncat hangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung bibirnya berdarah, akan
tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini sudah mencelat ke depan Cia Keng Hong
lagi! Cia Keng Hong terbelalak heran. Biarpun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda
itu, namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi!
"Apa kau telah gila" Apa kau minta mati?" bentaknya marah.
"Kalau betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan
dipukul mati. Andaikata dipukul mati sekalipun saya lebih beruntung daripada Locianpwe
yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat," kata Lie Kong Tek dengan tenang.
"Kau...! Kau...!" Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, kembali dia mengayun
tangannya. Pada saat itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu
hendak meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie
Kong Tek dari pukulan maut supeknya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya dan
menggelengkan kepalanya. "Pendekar sehebat dia, tidak akan membunuh orang
sembarangan saja," bisik kakek itu.
"Desss...!" Tubuh Lie Kong Tek kembali terlempar dan terbanting keras, bergulingan
sampai jauh. Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya
benjol dan bibirnya pecah-pecah.
"Locianpwe tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu
orang tua, dan memilih jodoh adalah hak si anak." Lie Kong Tek berkata.
"Jahanam bermulut besar! Kau mau ikut-ikut" Kalau anakku menikah dengan seorang
penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam saja?"
Dada Cia Keng Hong seperti akan meledak rasanya dan matanya kini memandang
kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat!
"Ayah, kau terlalu!" Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran akan tetapi
sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan telunjuk kanannya menuding ke arah mata
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
681 ayahnya. "Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku, malah telah mengusir kami dan
sekarang setelah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah datang menghalang dan
mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar" Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu
bukan atas permintaanku! Aku adalah manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat
atas segala kehendak Ayah demi kesenangan hati Ayah sendiri!"
Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Lebih
hebat dari pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing daripada pedang
pusaka yang bagaimana pun.
"Bressss!" Kedua kaki pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung
lantai tembok itu ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut. "Kau...! Kau...! Anak
durhaka... auh...!" Pendeker itu terkulai lemas dan roboh terguling!
"Ayah...!" Glok Kehg menjerit, namun ternyata ayahnya telah roboh pingsan saking
marahnya. Keadaan menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang
pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan pada para tamu
dia berkata lantang, "Harap Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara
ayah dan puterinya, kita semua tidak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap
beristirahat di dalam dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan
dilanjutkan." Suaranya terdengar halus dan ramah dan mengandung kekuatan gaib yang
membuat para pendengarnya tunduk dan taat.
Kun Liong merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan
terdengar kakek itu berbisik, "Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan
kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main sihir di
sini...!" Mendengar ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah. "Kalau begitu, aku
harus turun tangan..."
"Sssttt, sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan baik,
kedudukan mereka kuat. Biarpun banyak juga orang gagah di sini, akan tetapi tanpa
adanya Cia-tai-hiap, kita akan kalah kuat. Harap kauusahakan agar keadaan di sini
kacau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini. Aku sendiri akan mencoba untuk
menyadarkan Cia-taihiap di dalam."
Percaya akan kesaktian kakek itu, Kun Liong mengangguk dan kakek itu telah
menyelinap dan pergi dari situ di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu dari
berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu sudah lenyap, entah menyelinap ke mana,
Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke depan.
Ternyata di ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu,
terjadi kegaduhan dan keributan baru, Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantin yang
kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan muka
merah dan mata melotot, bertolak pinggang lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka
Lie Kong Tek sambil membentak nyaring, "Manusia rendah tak tahu malu! Berani engkau
menjual lagak di sini dan membela isteriku?"
Lie Kong Tek mengusap darah dari ujung bibir dan peluh dari dahi dan lehernya. Dia
berdiri tegak dan tenang, memandang kepada Liong Bu Kong yang marah-marah itu
seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak. Memang perawakan pemuda
ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil. Padahal
Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek. Pandang mata Lie
Kong Tek penuh selidik, karena memang dia sedang menyelidiki pengantin pria yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
682 dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong, pemuda yang
telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang membuat dia ikut pula
merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia menjawab, suaranya tenang dan
halus, "Aku tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang
menerima perlakuan buruk dari ayahnya sendiri."
Lie Kong Tek meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri mengapa
mendadak timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi
mati-matian dia membelanya. Kini perbuatannya yang tadi memarahkan ayah pengantin
wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria!
"Keparat! Kau hendak mengambil hati isteriku, ya" Engkau hend
Dewi Ular 4 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 7
^