Petualang Asmara 24

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


ak mencari muka?"
Liong Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ
terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor.
"Saudara pengantin!" Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita
memandang dengan muka pucat. Wajah Giok Keng yang cantik dan pucat itu
mengundang rasa ibanya yang luar biasa. "Mengapa kau begini tak tahu malu,
mencemarkan nama isteri sendiri?"
"Tutup mulutmu!" Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim
pukulan maut. "Desss...!" Kong Tek menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya
terlempar dan terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan
penasaran, sedikit pun tidak merasa takut.
"Liong-koko, jangan pukul orang!" Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah
menerjang maju lagi.
"Mundurlah, Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!" Bu Kong berseru makin
marah karena menganggap, bahwa calon isterinya itu membela pemuda gagah dan
ganteng itu. "Liong-sicu, tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!" Tiba-tiba terdengar suara
Thian Hwa Cinjin. "Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu tidak boleh
diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan sampai selesai."
Para pendeta Pek-lian-kauw kini sibuk membereskan meja sembahyang yang sudah
kocar-kacir tadi dan suasana menjadi berisik, Giok Keng berdiri dengan muka pucat dan
bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie Kong Tek
yang sudah duduk kembali diantara para tamu. Kun Liong menarik tangan pemuda tinggi
besar itu agar duduk di tempat agak belakang, kemudian berbisik-bisik menceritakan
dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong Tek terkejut sekali dan memandang
kepada Kun Liong dengan mata terbelalak lebar.
Meja sembahyang telah dibereskan sekadarnya dan lilin-lilin yang tadi padam telah
dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan penganten wanita
sudah menutupkan lagi kerudungnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring
setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang berdiri di depan
rombongan tamu, "Kauwcu (Ketua Agama), harap tahan dulu!"
Thian Hwa Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, dan sepasang pengantin terkejut dan
menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak bahwa dia
adalah seorang kangouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan menjunjung tinggi
kegagahan. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
683 Dengan suara harus dan tenang Thian Hwa Cinjin melangkah maju. "Mengapa Sicu
menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?"
Laki-laki itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat.
"Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi
karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai, untuk dijadikan saksi
pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara ditunda lebih dulu."
Suasana menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra
pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, akan tetapi suaranya masih
halus ketika dia bertanya, "Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan bahwa ada yang
ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?"
Phoa Lee It adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biarpun tidak amat
terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja memiliki ilmu
kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu.
"Kauwcu, ketika kami melihat bahwa pengantin wanita tidak ada yang menjadi walinya,
kami sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah
puteri Ketua Cin-ling-pai" Akan tetapi karena tidak ada ketua itu hadir, tadinya kami
mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua Cin-ling-pai
muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Setelah ayah dari pengantin wanita
hadir, upacara ini tentu saja tidak sah kalau tidak disaksikan oleh ayah pengantin wanita
itu. Maka saya harap upacara ini ditunda dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar."
Makin berisikiah para tamu mendengar ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar, berani
mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap kebijaksanaan Pek-
lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung ceng-li (aturan), banyak
tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju. Tentu saja banyak pula yang
tidak setuju, terutama yang pro kepada Pek-lian-kauw. Keadaan makin berisik ketika
para tamu saling mengeluarkan pendapat masing-masing dan terjadi perbantahan kecil
di antara mereka. Di dalam hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena
menghadapi banyak tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin
orang kang-ouw agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu
mengangkat tangan sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia
membalik dan menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum.
"Phoa-sicu, kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu
mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas permintaan
sepasang calon suami isteri yang baru ini menjadi pengantin. Urusan keluarga mereka
adalah urusan pribadi, kami sendiri tidak mencampurinya dan tugas kami hanyalah
melaksanakan upacara pernikahan. Dan tugas ini akan kami laksanakan juga, apa pun
yang terjadi dan kami tidak menghendaki campur tangan pihak luar."
"Kalau begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!" Phoa Lee It berseru
marah karena dia merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin ditemukan dan
dilakukan upacara sembabyang pengantin tanpa persetujuan ayah pengantin wanita"
Tanpa diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang
pembantunya. Yang ditunjuknya untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang
pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak tampak dari ruangan tamu. Dia
merupakan seorang utusan dari Pek-lian-kauw pusat dan termasuk rombongan para
tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan yang timbul.
Pendeta yang diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun
lebih, pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
684 dari bambu, gerakannya lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi begitu
kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa Lee It dan
tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada.
Melihat munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu
adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw, bahkan
merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap musuh-musuh
Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam dia dijuluki sebagai algojo Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh
orang-orang yang menentang Pek-lian-kauw tanpa mengenal kasihan. Dia bukan lain
adalah Loan Khi Tosu!
Di bagian depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang
tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun dia sudah
tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, namun tosu tua ini
amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw. Selain
lihai ilmu silatnya, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang yaitu ilmu menggereng
seperti singa yang disertai tenaga khi-kang. Penggunaan Sai-cu Ho-kang itu saja sudah
cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat sin-kangnya. Selain itu, juga dia amat
terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-
tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari
tangan yang mengandung racun!
Tosu ini sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata
sambil tersenyum, "Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah Pek-lian-
kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah setelah
minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja" Kalau begitu, Sicu
benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Pek-lian-kauw."
Phoa Lee It yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan
dadanya. Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya,
yaitu para sutenya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir agar dia
dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri.
"Memandang rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak
memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami ada
yang menghalanginya."
"Siancai...! Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Kalau memang Go-bi-pai tidak
memandang persahabatan dengan Pek-lian-kauw, mengapa Sicu sekalian suka datang
menghadiri undangan kami?"
"Karena tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa Pek-lian-kauw benar-benar hendak
berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili Go-bi-pai
untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak demikian yang
baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak lagi mau mencampuri
urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun akan sependirian dengan
kami." "Ho-ho, Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak
menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada
peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan
keributan." Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya seolah-olah
hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu meninggalkan
ruangan pesta. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
685 KINI marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai, yaitu
tidak hendak mencampuri urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan
pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia tidak mau bermusuhan dengan Pek-
lian-kauw. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dia dan empat orang sutenya hendak
diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini
tentu saja akan ditentangnya mati-matian.
"Loan Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut
kepadamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar
dan tidak hendak mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw. Minggirlah dan biarkan
kami pergi."
"Ha-ha, tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu, dan kebetulan sekali
bertemu di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu pedangmu
yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari Go-bi)."
"Bagus! Kau menantang" Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan" Kalau atas
nama perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai
pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!" jawab Phoa Lee It dengan sikap gagah. Semua
tamu menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya
sudah terkenal sebagai tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai orang-orang
yang amat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini amat menarik hati dan
menegangkan. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah
ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong
sekali berkata, "Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini" Aku mendengar
bahwa makin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa Go-bi Kiam-
hiap ini belum tentu benar-benar mampu mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut. Heh-
heh-heh!" Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang memandang dengan alis
berkerut. Mereka itu sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam
yang tentu saja sejak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa I Lojin
(Kakek Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain
berkembang. Kakek yang usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya
rapi dan baru dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis dan
jenggotnya terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek
yang tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong,
biarpun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu tanding,
maka para tamu memandangnya dengan hati tak senang. Akan tetapi karena maklum
akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya
secara berterang.
Phoa Lee It tahu siapa kakek yang menghinanya itu, akan tetapi karena yang
berhadapan dengan dia adalah Loan Khi Tosu, dia tidak mempedulikan dan berkata lagi
kepada Loan Khi Tosu, "Kalau tantanganmu bersifat pribadi, nah, aku telah siap!"
Berkata demikian, orang gagah ini mengisyaratkan para sutenya untuk mundur
sedangkan dia sendiri berdiri tegak dengan jari-jari tangan meraba gagang pedangnya
yang tergantung di punggung.
"Bagus! Majulah dan tantangan pinto ini biarpun ada hubungannya dengan peraturan
Pek-lian-kauw sebagai tuan rumah, biarlah kutujukan sebagai tantangan pribadi,
disaksikan oleh para tamu yang hadir sebagai pi-bu (adu silat) yang adil."
"Singgg...!" Phoa Lee It sudah mencabut pedangnya dan gerakannya memang tangkas
sekali. Pedang itu berkilauan dan sedikit pun tidak bergerak berada di tangannya yang
tetap kuat. "Jaga seranganku, Totiang!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
686 "Wirrr... takkk... tringgg...!"
Dua orang itu masing-masing meloncat mundur dan memeriksa senjata masing-masing.
Pertentuan tongkat dengan pedang tadi membuat telapak tangan mereka terasa panas
dan tergetar, tanda bahwa kckuatan mereka berimbang. Mereka saling pandang,
menggeser kaki lalu keduanya menerjang maju. Terjadilah pertandingan yang seru dan
hebat. Bentakan-bentakan mereka diseling suara bertemunya tongkat dan pedang.
Setelah lewat lima puluh jurus, diam-diam Loan Khi Tosu harus mengakui kehebatan
Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut yang dimainkan oleh Phoa Lee It. Ilmu pedang itu memiliki
dasar pertahanan yang amat kuat, membuat tongkatnya sama sekali tidak mampu
mendekati tubuh lawan, bahkan kadang-kadang sinar pedang mencuat dan nyawanya
terancam. "Hyaaaaahhhh...!" Tiba-tiba tosu itu memekik, menangkis pedang dan mengerahkan sin-
kang untuk membuat pedang melekat kepada tongkatnya, kemudian tangan kirinya
melancarkan totokan ke tubuh lawan dengan Ilmu Totok Pek-tok-ci!
"Heiiittt...!" Phoa Lee It juga memekik, pedangnya diputar sehingga terlepas dari
lekatan, tubuhnya miring mengelak dari totokan dan sekali pedangnya berkelebat, sinar
pedang menyambar ke arah lengan kiri lawan.
"Aahhhh...!" Loan Khi Tosu meloncat mundur dan memutar tongkatnya.
"Trang-trang...!"
Keduanya meloncat mundur lagi karena pertemuan tongkat dengan pedang sedemikian
hebatnya, membuat keduanya terhuyung. Akan tetapi Loan Khi Tosu sudah
menempelkan ujung tongkat bambu ke mulut dan melihat ini, Phoa Lee It memutar
pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya.
Belasan batang jarum yang ditiupkan melalui tongkat bambu yang dipergunakan sebagai
tulup (senjata peniup) itu terpukul runtuh oleh sinar pedang, dan Phoa Lee It sudah
menyerbu kepada lawannya. Pedangnya digerakkan makin gencar dan kecepatannya
tidak dapat diatasi olch lawan yang terdesak dan terus mundur-mundur.
"Tranggg... krekk!"
Loan Khi Tosu berseru kaget dan meloncat jauh ke belakang. Tongkatnya tinggal
sejengkal saja di tangannya karena sudah patah, dan lengan bajunya yang sebelah
kanan robek, tampak kulitnya berdarah sedikit karena kulit itu sudah tercium pedang!
Biarpun tidak roboh, jelas sudah disaksikan oleh para tamu bahwa dalam pi-bu itu, Loan
Khi Tosu telah dikalahkan oleh Phoa Lee It, jago dari Go-bi-pai itu. Empat orang sute dari
Phoa Lee It bertepuk tangan dan bersorak, dan perbuatan ini segera diikuti oleh sebagian
dari para tamu yang diam-diam berpihak kepada Go-bi-pai.
"Ha-ha-ha, Loan Khi Tosu benar-benar tidak dapat meninggalkan watak pendeta yang
selalu mengalah!" Tiba-tiba Hwa I Lojin meloncat ke depan, mengebut-ngebutkan baju
kembangnya dengan lagak angkuh. "Kalau Loan Khi Tosu tadi tidak mengalah, tentu saja
dengan mudah dapat menjatuhkan Phoa Lee It karena ternyata bocah ini sama sekali
belum becus mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut, hanya ngawur saja!"
Ucapan ini takabur dan menghina bukan main sehingga empat orang sute dari Phoa Lee
It sudah mencabut pedang masing-masing dan meloncat maju hendak menyerang.
"Sute mundur...!" Phoa Lee It membentak empat orang itu yang terpaksa mundur lagi
sambil menyimpan pedang masing-masing.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
687 "Ha-ha-ha-ha, mengapa mundur" Phoa Lee It, coba kaupamerkan ilmu pedangmu yang
rendah itu, boleh kau dibantu oleh empat orang sutemu, biar agak seimbang. Aku akan
menghadapimu dengan tangan kosong saja. Ilmu pedangmu masih kosong, tanpa isi,
kalau tadi Loan Khi Tosu tidak mengalah, dalam beberapa jurus saja kau tentu kalah!"
Phoa Lee It melangkah maju, mukanya merah sekali. Karena penghinaan atas dirinya
sebagai utusan Go-bi-pai merupakan penghinaan yang dilontarkan pula kepada Go-bi-
pai, maka dia berkata lantang, "Hwa I Lojin, engkau adalah seorang tua yang tidak patut
dihormat oleh yang lebih muda! Aku tahu mengapa engkau berlagak seperti sekarang ini.
Karena engkau pemah dikalahkan oleh suhuku, dan karena tidak berani membalas
kepada Suhu, maka kini engkau hendak menebus rasa malu itu dengan berlagak di
depanku. Akan tetapi jangan disangka aku takut menghadapi lagakmu!"
Muka kakek itu berubah menjadi merah sekali. Dia merasa terpukul dan karena apa yang
diucapkan oleh Phoa Lee It itu memang kenyataan, dia tidak mampu membantah.
Memang, setahun yang lalu dia telah roboh dalam pertandingan melawan Kauw Kong
Hwesio, guru jago Go-bi-pai itu. Sebetulnya, mengingat bahwa Kauw Kong Hwesio
adalah tokoh ke dua di Go-bi-pai, kekalahan itu tidaklah amat memalukan. Akan tetapi


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasar watak Hwa I Lojin amat tinggi hati, kekalahannya itu membuat hatinya penasaran
dan mendendam. Diam-diam dia memperdalam ilmu pedangnya, dan diam-diam dia
mempelajari ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut untuk mencari tahu kelemahan ilmu pedang ini.
Namun, karena maklum akan kelihaian Kauw Kong Hwesio, dia tidak berani sembrono
membalas dendamnya dan kini, di Pek-lian-kauw, bertemu dengan murid-murid
musuhnya itu, tentu saja dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya dan membalas kekalahannya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ternyata Phoa Lee It telah tahu akan
kekalahannya itu dan menghinanya di depan orang banyak. "Phoa Lee It, manusia
sombong!" Bentaknya dan tangan kanannya bergerak cepat meraba punggung, tampak
sinar berkelebat dan dia sudah mencabut pedangnya. "Majulah dan aku akan
membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah kosong belaka. Lihat, dengan
pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau
takut kalau terluka, ha-ha!"
Phoa Lee It yang masih memegang pedangnya itu sudah melangkah maju. "Orang Go-bi-
pai tidak pernah takut mati atau terluka. Kalau kau menantang, majulah, Hwa I Lojin!"
"Ha-ha, seranglah. Majulah dan jaga baik-baik. Aku akan merampas pedangmu dan
mematahkannya seperti sebatang lidi!" kakek itu mengejek.
Phoa Lee It maklum bahwa biarpun sombong, Kakek Baju Kembang ini memiliki ilmu
pedang yang lihai, maka dia tidak mau bersikap sungkan lagi, terus saja dia menerjang
dengan dahsyat, menggunakan jurus pilihan. Hwa I Lojin menyambut sambil tertawa.
"Ha-ha, inikah jurusmu yang terlihai" Aih, tidak seberapa!" Kakek itu menggerakkan
pedangnya menangkis dan begitu dua batang pedang bertemu dia membuat gerakan
memutar sambil mengerahkan sin-kangnya. Phoa Lee It terkejut bukan main karena
pedangnya melekat dan terbawa oleh putaran pedang lawan. Betapa pun dia
mempertahankan, dia kalah tenaga dan pedangnya terus berputar sampai akhirnya
dengan bentakan nyaring, kakek itu membuat gerakan membetot secara mendadak dan
Phoa Lee It berteriak kaget, pedangnya terlempar ke atas! Hwa I Lojin menyambar
pedang lawan itu dengan tangan kirinya, sambil tertawa ha-ha-he-he menekuk pedang
itu di lututnya.
"Pletakkkk!" Pedang patah menjadi dua dan tiba-tiba menyambitkan patahan pedang ke
arah Phoa Lee It.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
688 Pada saat itu, tampak dua sinar kecil menyambar dan dua batang patahan pedang
disambar runtuh. Sebelum Hwa I Lojin dapat mencari siapa penolong lawannya ini, tahu-
tahu dari rombongan tamu keluar dua orang pemuda, keduanya memegang sebatang
kayu kurang lebih satu meter panjangnya dan mereka seperti berkejaran menghadang di
antara Phoa Lee It dan Hwa I Lojin. Phoa Lee It maklum bahwa ada dua orang yang
diam-diam menolongnya, menghela napas panjang mengingat akan kelihaian Hwa I
Lojin, lalu melangkah mundur mendekati para sutenya. Sementara itu, semua orang
tertarik memandang dua orang pemuda yang berkejaran itu. Mereka ini bukan lain
adalah Kun Liong dan Kong Tek.
Tadi ketika Lie Kong Tek berani membela pengantin wanita dari kemarahan ayahnya,
pemuda tinggi besar dan gagah ini sudah menarik perhatian banyak orang. Kini melihat
dia muncul lagi dan mengejar-ngejar seorang pemuda tampan lain yang cukup aneh,
pemuda yang rambut kepalanya pendek dan awut-awutan, tentu saja semua tamu
menjadi terheran-heran dan semua mata memandang penuh perhatian. Yang menarik
hati mereka adalah sikap pemuda rambut pendek yang dikejar-kejar, karena sikapnya
mengejek dan jelas sekali meniru lagak Hwa I Lojin!
"Ha-ha, majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu pedangmu hanya kosong
belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau
takut kalau terluka, ha-ha!" kata Kun Liong sambil berdiri dengan lagak presis seperti
lagak Hwa I Lojin ketika menantang Phoa Lee It tadi! Kong Tek yang sudah dibisiki oleh
Kun Liong untuk melakukan sandiwara mengejek Hwa I Lojin dan memancing perhatian
orang agar Hong Khi Hoatsu dapat bekerja dengan leluasa di sebelah dalam, segera
menanggapi dan menjawab, "Seorang gagah tidak takut mati, tidak seperti engkau!"
"Aku sih bukan orang gagah, kalau untuk mati nanti dulu, akan tetapi ilmu pedangku
tiada bandingannya di kolong langit. Majulah!" Dengan lagak dibuat-buat Kun Liong
menantang. "Awas... haiiiittt!" Kong Tek menyerang dengan pedang kayunya, persis lagak seorang
badut. "Hyaaaahhhh, lihat ilmu pedangku Monyet Tua Mabuk Madat!" Kun Liong berteriak
sambil menangkis, lagaknya persis seperti yang dilakukan Hwa I Lojin tadi. Melihat ini,
banyak tamu tertawa terpingkal-pingkal, apalagi ketika dua orang pemuda itu sudah
"bertanding" dengan lagak dibuat-buat. Siapa tidak akan tertawa melihat Kong Tek
menyerang dengan gerakan lambat sekali sehingga tentu saja amat mudah dielakkan,
kemudian melihat Kun Liong membalas dengan gerakan pedang kayu itu perlahan-lahan
"menempel" pedang lawan, lalu sambil berteriak nyaring dia memutar-mutar kayu di
tangannya. Kong Tek membiarkan rating di tangannya ikut berputar-putar, kemudian
melepaskan ranting yang terlempar ke atas. Kun Liong meniru gerakan Hwa I Lojin tadi,
menyambar kayu itu, lalu mematahkannya di atas lututnya!
"Pletakkkk!" Kayu itu patah menjadi dua dan seperti gerakan Hwa I Lojin tadi, Kun Liong
melemparkan patahan kayu. Seperti dua batang anak panah, dua potong kayu itu
meluncur ke arah... meja sembahyang dan tosu Pek-lian-kauw yang baru saja
menyalakan lilin melongo terkejut karena tiba-tiba dua batang lilin yang dinyalakannya
itu padam dan patah-patah!
Keadaan menjadi gaduh dan kacau. Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng yang tadinya
dibujuk oleh Thian Hwa Cinjin untuk melakukan upacara sembahyang, kini bangkit
berdiri dan memandang ke arah Kun Liong dan Kong Tek. Akan tetapi mereka tidak
dapat mengenal Kun Liong yang kini sudah berambut kepalanya dan sepasang calon
mempelai itu memandang marah karena mengangap bahwa dua orang pemuda itu
sengaja hendak mengacau pesta pernikahan mereka. Juga Ketua Pek-lian-kauw
memandang penuh curiga, alisnya berkerut dan sepasang matanya yang mengeluarkan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
689 sinar aneh berpengaruh itu memandang penuh selidik. Banyak para tamu yang tertawa
geli menyaksikan lagak Kun Liong dan diam-diam mereka merasa puas bahwa Hwa I
Lojin yang bersikap sombong dan tidak mereka suka itu sekali ini dipermainkan orang,
sungguhpun mereka merasa khawatir juga bahwa tentu kakek itu akan turun tangan dan
akan celakalah dua orang pemuda yang main-main itu.
Dan memang Hwa I Lojin sudah memandang dengan muka merah dan mata mendelik ke
arah Kun Liong. Tadinya, ketika melihat dua orang muda itu muncul dan berlagak, dia
mundur dan berdiri di pinggir sambil ikut menonton, mengira bahwa mereka memang
hendak bertanding silat dan sengaja hendak menggembirakan pesta pernikahan. Akan
tetapi ketika melihat lagak Kun Liong yang jelas dibuat-buat, sengaja meniru gerakan-
gerakannya tadi, mukanya menjadi pucat saking marahnya dan kini dia memandang
dengan mata mendelik seolah-olah hendak menelan pemuda itu bulat-bulat! Melihat
betapa semua tamu, juga Ketua Pek-lian-kauw dan sepasang mempelai memperhatikan,
Hwa I Lojin merasa makin malu dan terhina. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu
sengaja mempermainkannya.
"Jahanam keparat!" gerutunya sambil melangkah maju.
Kun Liong pura-pura tidak melihat kakek ini dan dengan memutar-mutar pedang
kayunya seperti lagak Hwa I Lojin setelah tadi menang bertanding, dia melintangkan
pedang itu dengan gerakan aksi di depan dada sambil membusungkan dadanya dan
berkata, "Siapa bilang aku si tua bangka tidak hebat" Siapa bilang aku pernah
dikalahkan seorang ketua" Ha-ha, selain lihai, akulah si manusia sombong, tua bangka
yang suka berlagak, ha-ha-ha!"
"Mampuslah!"
Kun Liong cepat miringkan tubuhnya ketika ada hawa hangat menyambar dari samping,
dan pukulan Hwa I Lojin meleset, mengenai angin.
"Tokk!" Pedang di tangan Kun Liong sudah menyambar keras dan dari samping sudah
memukul tulang lengan Hwa I Lojin. Kakek itu menggigit bibir menahan seruan
kesakitan, menggosok-gosok lengan yang terpukul, lalu menyerang lagi sambit
membentak, "Bangsat keparat!"
Kun Liong pura-pura kaget dan seperti baru melihat bahwa ada orang mengamuk dan
menyerangnya. Dia cepat meloncat ke belakang dan berseru, "Eih-eihhh...! Kenapa kau
tua bangka marah-marah?"
Semua orang menahan senyum. Biarpun mereka merasa khawatir sekali, mereka juga
merasa geli menyaksikan sikap pemuda tampan itu yang jelas sengaja mempermainkan
kakek pesolek itu. Betapa beraninya pemuda ini, pikir mereka. Hwa I Lojin makin marah.
Tadinya dia ingin memaksa pemuda itu mengaku nama dan mengapa memusuhinya,
akan tetapi kemarahan membuat dia tidak sabar lagi dan ingin lekas-lekas merobohkan
pemuda kurang ajar ini. Dia menerjang lagi dengan tangan kosong, menghantam
bertubi-tubi dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kangnya.
"Wuuut-wuuuttt... wirrr... takkkk! Dess...!"
Orang-orang bersorak gembira. Memang lucu sekali. Kun Liong yang diserang kalang
kabut itu kelihatan terdesak, lari sana-sini, meloncat kacau ke kanan kiri, tongkatnya
atau pedang kayunya bergerak tidak karuan, akan tetapi akibatnya, dahi Hwa I Lojin
kena pukul sampal menjendol dan punggungnya kena gebuk satu kali, cukup keras
sehingga debu mengebul dari punggung baju!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
690 "Kun-hoat (ilmu silat tangan kosong) bagus! Kun-hoat bagus." Kun Liong berseru
memuji-muji. Jelas bahwa pujian ini merupakan ejekan. Ilmu silat tangan kosong yang
dimainkan Hwa I Lojin sama sekali tidak berhasil memukulnya, bahkan dalam
segebrakan saja kakek itu telah dihadiahi kemplangan di kepala satu kali dan gebukan
pada punggung satu kali, mana bisa disebut kun-hoat bagus"
Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Hwa I Lojin juga terkejut. Pemuda itu biarpun
gerakannya kacau balau seperti seekor monyet menari, namun sudah jelas semua
pukulannya meleset, bahkan secara aneh dia telah dihajar dengan tongkat!
Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau kakek itu dengan mudah dihajar oleh Kun
Liong. Memang harus diakui bahwa Hwa I Lojin telah memiliki ilmu silat yang tinggi.
Akan tetapi, seperti halnya dalam ilmu ketangkasan apapun juga, jika berhadapan
dengan lawan yang tingkatnya lebih tinggi, maka semua ilmunya menjadi tidak ada
artinya karena dia kalah cepat, kalah tenaga, dan kalah lihai. Kun Liong sekarang telah
menjadi seorang yang sukar diukur sampai di mana tingginya tingkat ilmu
kepandaiannya, maka dengan mudah dia mempermainkan Hwa I Lojin.
"Srattt... singgg...!"
Hwa I Lojin yang marah sekali kini telah mencabut pedangnya dan tanpa membuang
waktu lagi dia telah menggerakkan pedang menyerang Kun Liong dengan ganas sekali.
Terdengar suara berdesing-desing dan pedang di tangannya berubah menjadi segulung
sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Kun Liong.
Kun Liong melihat datangnya serangan pedang, cepat menghindarkan diri dengan
mengelak cepat ke kanan kiri, meloncat ke depan belakang, menangkis dengan
rantingnya sambil berseru, "Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus...! Kiam-hoat
bagus...!" Akan tetapi seruannya ini bernada mengejek dan tiba-tiba dia menggetarkan
kayu di tangannya, menangkis pedang sambil mengerahkan sin-kang istimewa yang
dahulu dia latih dari Bun Hwat Tosu sehingga pedang lawan itu melekat pada rantingnya
dan tak dapat dilepaskan kembali. Selagi lawannya terkejut, dia telah menggerakkan
ranting itu, diputar-putar seperti gerakan Hwa I Lojin ketika merampas pedang di tangan
Phoa Lee It tadi. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa Hwa I Lojin ketika
tanpa dapat dia tahan lagi, pedangnya ikut terbawa oleh putaran ranting, makin lama
makin cepat. Dia telah mencoba untuk mempertahankan pedangnya dengan
mengerahkan sin-kang pada tangan kanan, namun makin lama gerakan memutar itu
makin kuat sehingga dia maklum bahwa tidak mungkin lagi dia mempertahankan
pedangnya. Terkejutlah kakek ini dan kini maklumlah dia bahwa ternyata pemuda ugal-
ugalan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Untuk menjaga gengsinya, dia
tidak mau menyerah kalah begitu saja dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari terbuka
menotok ke arah lambung lawan.
"Dukkk!"
Hwa I Lojin makin kaget. Totokannya bertemu dengan daging kenyal yang ulet dan kuat
seperti karet! Dan pada saat itu, tangan kiri pemuda yang menjadi lawannya juga
bergerak cepat dua kali dan Hwa I Lojin merasa betapa kaki dan tangannya tak dapat
digerakkannya lagi. Dia telah tertotok lumpuh! Pada saat yang sama, pedangnya telah
terampas, terlepas dari pegangannya dan menghunjam ke atas tanah, kemudian tiba-
tiba pemuda itu menendang dan... tubuhnya yang sudah tak mampu bergerak itu
terlempar jauh ke belakang.
"Jadilah kau toapek-kong di meja sembahyang itu!" Kun Liong berseru sambil
menendang dan tubuh kakek itu mencelat ke arah meja sembahyang di mana atas
anjuran Ketua Pek-lian-kauw, sepasang mempelai sudah berlutut dan hendak melakukan
upacara sembahyang tanpa mempedulikan pertempuran!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
691 "Bresss...! Braaakkkk...!"
Meja sembahyang ringsek dan tubuh Hwa I Lojin terbanting di atas meja, terlentang dan
mukanya berlepotan kuwah masakan, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.
Biarpun ilmu kepandaian Kun Liong amat mengejutkan orang, namun peristiwa itu
kelihatan lucu sehingga terdengar suara ketawa di sana-sini mentertawakan Hwa I Lojin.
Karena untuk beberapa kali meja sembahyang terganggu, Liong Bu Kong dan Cia Ciok
Keng menjadi marah sekali. Terutama sekali Liong Bu Kong yang merasa bahwa upacara
sembahyang yang akan mengesahkan pernikahannya dengan Giok Keng selalu
terhalang. Sambil berseru keras tubuhnya mencelat ke arah Kun Liong dan tanpa banyak
cakap lagi tangannya menampar ke arah pelipis Kun Liong. Sebuah tamparan yang amat
keras dan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat membikin pecah kepala orang
yang ditampar. "Plak-plak-plak!" Tiga kali Kun Liong menangkis pukulan bertubi-tubi itu dan yang ketiga
kalinya dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga Bu Kong hampir terpelanting. Bu
Kong terkejut sekali. Tak disangkanya pengacau muda ini lihai bukan main. Namun dia
tidak menjadi takut dan sudah menerjang lagi dengan pukulan yang lebih dahsyat lagi.
"Orang jahat, berani engkau mengganggu kami?"
Bentakan ini keluar dari mulut Giok Keng yang sudah ikut menerjang maju dan
menyerang Kun Liong. Melihat Giok Keng menyerangnya, Kun Liong yang sedang
menghadapi Bu Kong terkejut. Pundaknya terpukul dan dia terpelanting, namun dapat
meloncat bangun kembali. Kakinya menyambar ujung kaki menotok lutut Bu Kong dan
selagi Bu Kong hampir roboh, dia sudah mendorong dengan telapak tangannya,
membuat Bu Kong terlempar dan terbanting ke atas tanah.
"Giok Keng...!" Kun Liong menegur, suaranya memperingatkan. Namun Giok Keng yang
berada dalam pengaruh obat, tidak mengenalnya dan menganggap bahwa pemanggilan
namanya itu merupakan kekurangajaran. Apalagi melihat betapa Bu Kong terpukul
sampai terjengkang, dia menjadi makin marah. Sambil berseru keras Giok Keng
memukul lagi. Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menangkap kedua
pirgelangan tangan dara itu sambil berbisik, "Giok Keng...!"
Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah datang dan menerjang Kun Liong
dengan senjata tongkat di tangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang disuruh
oleh Ketua Pek-lian-kauw untuk turun tangan menangkap pemuda pengacau itu. Lie
Kong Tek berteriak keras, meloncat dan menyambut mereka dengan pukulan dan
tendangan. Melihat ini, pihak tamu menjadi ribut dan mereka terpecah menjadi dua
bagian, ada yang menentang dan ada pula yang membantu Pek-lian-kauw sehingga
tempat pesta itu segera berubah menjadi medan pertempuran yang kacau balau!
Kesempatan ini tentu saja dipergunakan oleh mereka yang memang sudah saling
bermusuhan dan saling mendendam, untuk melampiaskan kebencian mereka dan untuk
saling serang. Akan tetapi sebagian besar dari para tamu, tidak mau mencampuri
pertempuran itu, hanya mundur dan menonton di pinggiran, bahkan yang tidak mau
terlibat, diam-diam telah meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, di sebelah dalam bangunan juga terjadi hal yang luar biasa. Ketika
Pendekar Sakti Cia Keng Hong dalam keadaan pingsan digotong ke dalam, para tosu
Pek-lian-kauw lalu merebahkannya di atas pembaringan. Mereka telah menerima tugas
dari ketua mereka dan tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap pendekar yang
berbahaya itu. Maka begitu merebahkan tubuh Cia Keng Hong di atas pembaringan,
seorang siap untuk menotok jalan darah membuat lumpuh, ada yang siap dengan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
692 belenggu, dan ada pula yang sudah mengeluarkan obat cair untuk dicekokkan kepada
pendekar itu, yaitu obat racun perampas ingatan.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar. "Tahan dulu...!"
Empat orang tosu tua itu terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat seorang kakek
yang pakaiannya kedodoran, celananya kotak-kotak, bajunya kembang, kepalanya
ditutup kopyah bayi, mereka terkejut dan siap untuk menyerang. Akan tetapi, kakek itu
mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya penuh wibawa, "Tolol,
apa kalian tidak mengenal ketua kalian sendiri" Aku adalah Thian Hwa Cinjin...!"
Sungguh aneh sekali. Tiba-tiba saja penglihatan empat orang tosu tua itu berubah dan
cepat mereka menjura kepada kakek itu yang kini kelihatan seperti ketua mereka!
Padahal kakek itu sebenarnya adalah Hong Khi Hoatsu yang telah mempergunakan hoat-
sut yang amat kuat untuk mempengaruhi orang-orang Pek-lian-kauw dan menolong Cia
Keng Hong. "Keluarlah kalian berempat biarkan aku berdua dengan Cia-taihiap," kembali Hong Khi
Hoatsu berkata keren. Empat orang tosu itu mengangguk, tanpa berkata sesuatu seperti
dalam mimpi mereka lalu melangkah keluar dari dalam kamar.
Memang hebat sekali kekuatan sihir dari Ketua Pek-lian-kauw ini. Suaranya


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandung getaran yang amat kuat sehingga otomatis semua tamu, termasuk Phoa
Lee It dan para sutenya, menahan senjata dan melompat mundur, tidak kuat melawan
perintah yang terkandung dalam ucapan yang menyusul lengking nyaring itu. Bahkan
para tokoh Go-bi-pai itu dan para tamu lain, juga Kun Liong dan Kong Tek, selain
menahan gerakan pertempuran, juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
arah kakek yang bertongkat hitam itu!
Sambil tertawa Thian Hwa Cinjin sekarang berjalan menghampiri Kun Liong dan Kong
Tek, sepasang matanya mengeluarkan sinar buas. Hatinya marah sekali karena
dianggapnya dua orang muda inilah yang menimbulkan kekacauan, yang menjadi biang
keladi pertempuran yang merubah suasana pesta pernikahan menjadi gelanggang
pertempuran itu.
"Orang-orang muda yang bosan hidup!" bentaknya setelah dia berada di depan dua
orang pemuda yang masih berlutut itu. "Kalian telah melakukan dosa besar terhadap
Pek-lian-kauw, karena itu terimalah hukuman dari kami!" Sambil berkata demikian,
kakek ini sudah mengangkat tongkat hitamnya ke atas, siap untuk dihantamkan ke arah
kepala dua orang pemuda itu. Tentu saja hantaman seorang yang lihai seperti Thian Hwa
Cinjin, dengan tongkat yang diarahkan ke kepala, akan menimbulkan maut.
Tiba-tiba kedua orang pemuda itu bergerak. Mula-mula Lie Kong Tek yang bergerak dan
dari bawah, pemuda tinggi besar ini sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah
kedua lutut kaki Thian Hwa Cinjin! Adapun Kun Liong sambil tertawa juga bangkit dan
tangannya mencengkeram ke arah tenggorokan Ketua Pek-lian-kauw itu.
Tentu saja Thian Hwa Cinjin menjadi kaget bukan main. Mereka berdua itu, seperti
semua tamu, telah dipengaruhi kekuatan sihirnya, mengapa mercka berdua tahu-tahu
dapat melawan" Sesungguhnya tidaklah demikian, sebelum meninggalkan kedua orang
pemuda itu, Hong Khi Hoatsu telah meninggalkan "bekal" kepada mereka, yaitu cara-
cara menolak pengaruh sihir sehingga ketika tadi Thian Hwa Cinjin mengeluarkan suara
melengking nyaring, Kong Tek dan Kun Liong sudah "menutup" perhatian mereka dan
menggunakan sin-kang untuk menolak seperti yang diajarkan oleh Hong Khi Hoatsu.
Akan tetapi, untuk mengelabuhi mata Thian Hwa Cinjin, mereka berdua ikut-ikut berlutut
seperti orang lain. Ketika melihat kakek itu mendekati mereka dan jelas hendak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
693 melakukan serangan maut, mereka tentu saja segera bergerak dan mendahului
menyerang kakek itu.
Thian Hwa Cinjin selain lihai ilmu sihirnya, juga memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi tingkatnya. Tentu saja diserang oleh Kong Tek seperti itu, dia dengan mudah
dapat meloncat dan menghindarkan tendangan dahsyat itu. Yang membuat dia terkejut
adalah gerakan Kun Liong. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu dapat menyerang
dehgan gerakan secepat itu. Dia sudah mengelak dengan menarik tubuh atasnya ke
belakang, namun sungguh di luar dugaannya, jari-jari tangan pemuda itu masih berhasil
mencengkeram ujung jenggotnya yang panjang dan dipelihara baik-baik itu. Dia
berteriak kesakitan ketika ujung jenggot itu dibetot dan putus!
Sementara itu, Giok Keng yang dipeluk ayahnya ternyata sudah sadar dan tiba-tiba dia
merenggutkan diri dari pelukan ayahnya dan bertainya, "Mana dia" Mana si jahanam
keparat Liong Bu Kong itu?"
Tentu saja Cia Keng Hong terkejut dan girang melihat sikap puterinya yang tiba-tiba
membalik dan memaki pemuda yang tak disukanya itu. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Ayah, dia si keparat laknat itu, dia telah menipuku! Aku harus membunuhnya! Ayah
bagaimana aku bisa memakai pakaian keparat ini?" Dia merenggutkan hiasan kepala dan
jubah pengantinnya, mencabut pedangnya dan begitu dia melihat Liong Bu Kong lalu dia
meloncat dan memaki, "Bangsat hina dina, hari ini engkau mampus di tanganku!"
Melihat puterinya menyerang kalang kabut kepada pemuda yang masih berpakaian
pengantin itu, Keng Hong terbelalak. Hatinya bersukur bahwa akhirnya puterinya terbuka
matanya dan dapat melihat bahwa pilhan hatinya itu adalah keliru sama sekali, dapat
melihat bahwa pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu bukanlah manusia baik-baik
seperti yang telah diketahuinya. Karena dia merasa yakin bahwa puterinya akan dapat
menandingi pemuda itu, Keng Hong lalu mencari-cari dengan pandang matanya. Dan
pada saat itu dia melihat orang yang dicarinya, yang dianggap menjadi biang keladi
sehingga hampir saja puterinya menikah di bawah pengaruh sihir dengan Liong Bu Kong,
yaitu Ketua Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin! Pada saat itu, dia melihat betapa seorang
pemuda berambut pendek yang dia segera kenal sebagai Yap Kun Liong yang dahulu
gundul itu, telah menyerang Thian Hwa Cinjin dan berhasil menarik putus sebagian
jenggotnya. Akan tetapi kagetlah hati Keng Hong ketika tiba-tiba kakek itu
mendorongkan kedua tangannya ke depan dan membentak, "Orang muda, berlututlah
engkau! Berlutut...!"
Bagaikan lumpuh seketika kedua kakinya, Kun Liong berlutut! Biarpun dia telah
memperoleh "bekal" dari Hong Khi
Hoatsu untuk menolak pengaruh sihir, namun kekuatan sihir yang langsung diterimanya
dan menyerang dirinya melalui gerakan kedua telapak tangan, suara dan pandang mata
Ketua Pek-lian-kauw itu terlalu berat bagi Kun Liong sehingga dia tidak dapat
mempertahankan dirinya dan sudah jatuh berlutut tanpa daya sama sekali. Lie Kong Tek
yang tidak langsung terserang ilmu sihir itu, hanya terbelalak memandang karena dia
melihat kakek itu berubah menjadi seorang raksasa yang tiga kali manusia biasa besar
dan tingginya! Namun, ketabahan pemuda ini memang amat luar biasa. Biarpun ada rasa
ngeri di hatinya, namun melihat temannya berlutut dan tidak berdaya, dia sudah
menerjang ke depan dengan pukulan kanannya mengarah pusar Ketua Pek-lian-kauw
yang di dalam pandang matanya berubah menjadi raksasa itu.
"Plakkk... dess!" Tubuh Kong Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah
tendangan kilat menyambutnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak dan
untuk beberapa lama pemuda itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan
mengelus dadanya sambil mengatur pernapasan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
694 "Wuuuuttt... bukkk!" Thian Hwa Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja
ujung kaki Cia Keng Hong menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang.
Serangan Keng Hong yang dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari
jauh, telah menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu, Thian Hwa Cinjin sudah
mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong.
Melihat majunya pendekar sakti ini, terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama
mendengar akan kelihaian Cia Keng
Hong Ketua Cin-ling-pai, maka cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat
tongkatnya dan berseru, "Cia Keng Hong,
berani kau melawan" Hadapilah ular saktiku ini!"
Keng Hong meloncat ke belakang, matanya terbelalak ketika melihat betapa tongkat
hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang amat besar, panjang
dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau berkelebat ketika
sebatang pedang berada di tangan pendekar ini. Sebatang pedang yang biasa saja,
bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang kayu! Akan tetapi itulah
pedang Siang-bhok-kiam. Pedang Kayu Harum yang dahulu pernah menggegerkan dunia
persilatan! Betapapun juga, kini menghadapi seorang yang menggunakan ilmu sihir,
merupakan pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan amat
hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi
serangan lawan.
"Ha-ha-ha, Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap
tongkat, mana mungkin menjadi ular" Asal tanah kembali menjadi tanah asal kayu
kembali menjadi kayu! Cia Tai-hiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap murahan!"
Thian Hwa Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di
tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali.
Thian Hwa Cinjin membentak dan tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar
ledakan keras lalu muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia
berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu melayang
dan menerkam ke arah Keng Hong! Pendekar ini adalah seorang yang sakti dan tidak
mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang aneh itu dia terkejut bukan main dan
cepat dia sudah melempar tubuh ke belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar
Siang-bhok-kiam melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya,
dia melihat gumpalan asap itu masih mengejarnya!
Kembali Hong Khi Hoatsu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia Tai-hiap. Asap
itu hanyalah jadi-jadian yang tercipta oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa dan hanya
gertak sambal saja!" Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali dan... setan asap itu pun
lenyap. Bukan main marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke
arah Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil membentak, "Jadi kalian telah
bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw" Cia Keng Hong, mengapa engkau
begini tak tahu malu" Puterimu dan calon suaminya datang dan mereka memohon
kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka karena engkau tidak menyetujui
pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati untuk
menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu engkau,
ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana ini" Apakah
budi kebaikan kami hendak kaubalas dengan permusuhan?"
Cia Keng Hong mengerutkan alisnya, menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya
mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
695 tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, dikejar oleh Ciok Keng. Dia merasa
khawatir sekali lalu berteriak, "Keng-ji, jangan kejar dia! Kembalilah ke sini!"
Akan tetapi Giok Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau
melepaskan pemuda yang kini amat dibencinya itu" Dia mengejar terus, bahkan
membentak nyaring, "Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai
dapat!" Melihat ini, Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lalu
berseru. "Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul Sumoi dan
membantunya!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan
kecepatan yang amat luar biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum
dibuatnya. Hatinya lega mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia lalu
menghadapi Thian Hwa Cinjin dengan tenang, lalu menjawab kata-katanya tadi dengan
suara lantang, "Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau yang memutar balik omongan"
Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang telah kau atur, bukan atas
kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang
keji!" Thian Hwa Cinjin terkejut dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah
menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka
bela kini sedang bertengkar. Mereka kini datang mendekat dan mendengarkan penuh
perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat itu
karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani
sembarangan turun tangan. Para tamu yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan
tidak ikut bertempur, hanya memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat
itu karena tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan. Hanya ada dua puluh lebih saja
orang-orang kang-ouw yang berpihak kepada Cia Keng Hong termasuk tokoh-tokoh Go-
bi-pai, sedangkan selebihnya, lebih lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman
Pek-lian-kauw. "Ketua Cin-ling-pai membohong!" Thian Hwa Cinjin yang sudah dapat menenteramkan
hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke arah semua
tamu yang masih berada di situ. "Cu-wi sekalian para tamu yang terhormat menjadi
saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara pernikahan tadi" Apakah ada yang
memaksa pengantin wanita melakukan upacara sembahyang?"
"Tidak ada! Tidak ada!" Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu,
sedangkan mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang dapat menjawab
karena mereka itu diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada pemaksaan terhadap
pengantin wanita.
Cia Keng Hong tersenyum mengejek, menghadapi para tamu dan berkata, suaranya
lantang, "Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam ini" Puteriku tadi
berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh sihir dan obat perampas
ingatan! Semua telah diatur oleh Thian Hwa Cinjin. Bahkan ketika aku datang, diam-
diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku tidak sadar! Kalau saja tidak Hong
Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah dicelakakannya tanpa ada seorang pun
tamu yang menduga dan mengetahuinya."
"Bohong! Semua mata melihat! Semua telinga mendengar betapa Ketua Cin-ling-pai
telah ribut mulut dengan puterinya dan karena marahnya lalu roboh pingsan! Kami
bahkan telah menolong Cia-Tai-hiap dan menggotongnya ke dalam, bagaimana kini kau
bisa menuduh yang bukan-bukan" Cu-wi sekalian harap jangan mudah dibohongi orang.
Pek-lian-kauw sudah terlalu banyak dikabarkan jelek. Padahal, Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan orang gagah yang membela rakyat yang tertindas oleh pemerintah lalim!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
696 Pek-lian-kauw selalu mengutamakan kegagahan mana kami sudi berbuat keji dan
buruk?" "Ha-ha-ha, omongan Ketua Pek-lian-kauw seperti kentut!" Tiba-tiba terdengar suara
orang berkata nyaring dan kembali Hong Khi Hoatsu yang bicara itu. Kini dia didampingi
oleh Lie Kong Tek dan seorang dara muda yang cantik akan tetapi mukanya pucat,
matanya merah oleh tangis, dan pakaian serta rambutnya kusut seperti orang menderita
sakit berat. Siapakah dara itu" Dia bukan lain adalah Bu Li Cun! Seperti telah diceritakan
di bagian depang ketika berkenalan dengan Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek, Yap Kun
Liong telah mendengar penuturan mereka tentang seorang gadis yang diculik oleh Pek-
lian-kauw. Untuk keperluan mencari gadis yang menjadi tunangan Lie Kong Tek itulah
maka guru dan murid itu menuju ke Pek-lian-kauw dan minta bantuan Yap Kun Liong.
Tadi, ketika terjadi ribut mulut, diam-diam Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk
pergi menyelinap dan mencari tunangannya yang mereka duga berada di tempat itu. Lie
Kong Tek menyelinap memasuki bangunan besar itu dari pintu samping tanpa diketahui
oleh para anak buah Pek-lian-kauw yang sedang tertarik oleh keributan di luar. Ketika
tiba di ruangan dalam, Kong Tek menangkap seorang pelayan wanita dan
mengancamnya untuk menunjukkan tempat tahanan wanita. Pelayan yang ketakutan itu
terpaksa membawa pemuda perkasa ini ke belakang dan di dalam sebuah kamar, dia
melihat beberapa orang dara yang keadaannya menyedihkan sekali.
"Siapkah di antara kalian yang bernama Bu Li Cun?" tanyanya halus, karena
sesungguhnya, baru satu kali Lie Kong Tek melihat tunangannya, itu pun ketika
tunangannya masih kecil beberapa tahun yang lalu.
Seorang dara berusia delapan belas tahun, cantik dan pucat, keadaannya menyedihkan
seperti para tawanan lain, melangkah maju dan memandang kepada Lie Kong Tek penuh
selidik dan penuh rasa takut.
Hati pemuda itu terharu, dan cepat dia maju, lalu memegang kedua tangan dara itu.
"Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu. Aku Lie Kong Tek..."
Mendengar ini, gadis itu teringat dan segera menangis terisak-isak dan tentu sudah
roboh kalau tidak segera dirangkul oleh pemuda itu. Lie Kong Tek lalu membawanya
keluar dan menjumpai gurunya. Hong Khi Hoatsu girang melihat muridnya sudah berhasil
membebaskan gadis yang mereka cari-cari itu, dan pada saat Thian Hwa Cinjin
mendesak Cia Keng Hong dengan omongannya, dia sudah mentertawakan kakek itu.
"Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw selain pandai menggunakan ilmu sulap secara
curang juga pandai menggerakkan bibir dan lidah menyebar racun yang manis rasanya!"
Hong Khi Hoatsu melanjutkan kata-katanya yang lantang.
"Harap Cu-wi sekalian lihat Nona ini. Dia adalah scorang gadis baik-baik yang telah
diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Apakah dengan perbuatan keji itu Thian Hwa
Cinjin masih mau mengelabuhi mata semua orang dengan mengatakan bahwa Pek-lian-
kauw adalah orang-orang gagah yang berjiwa patriot?"
Terdengar suara berisik yang marah diantara para tamu. Thian Hwa Cinjin sendiri
menjadi pucat mukanya ketika melihat Bu Li Cun sudah berdiri di dekat Hong Khi Hoatsu.
Akan tetapi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia dapat mengenal watak wanita
yang selalu hendak memegang teguh nama baiknya dan menyimpan rahasia
kesuciannya sebagai seorang perawan. Maka sambil tersenyum lebar dia berkata, "Ha-
ha, kakek pengemis yang hendak berlagak! Aku tidak mengenal siapa adanya engkau
yang berlagak aneh ini, akan tetapi engkaulah yang memutarbalikkan omongan! Gadis
ini adalah Nona Bu Li Cun, dan dia adalah seorang di antara dara-dara perkasa yang
dengan suka rela ingin menjadi anggauta Pek-lian-kauw karena dia pun berjiwa patriot!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
697 Dia menjadi tamu kami di sini, dan siapa pun boleh bertanya kepadanya, apakah selama
berada di sini dia sebagai seorang perawan terhormat telah ada yang mengganggunya"
Bu-siocia, harap suka menjawab. Apakah selama ini Nona diganggu orang di Pek-lian-
kauw?" "Lie-koko aku pinjam pedangmu sebentar." Tiba-tiba Bu Li Cun berkata halus sambil
meloloskan pedang yang tergantung di pinggang tunangannya. Lie Kong Tek tidak
mengerti apa yang dikehendaki oleh gadis itu, maka tidak mencegahnya. Dengan pedang
di tangannya, Bu Li Cun lalu berlari menghampiri Thian Hwa Cinjin, dan kakek ini
memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dara ini tentu tidak akan begitu tebal
muka untuk mengakui keadaannya, dan di samping ini, biarpun dara itu memegang
pedang, dia tidak merasa terancam dan tidak pula merasa takut.
"Bu-siocia, bukankah engkau ingin menjadi murid Pek-lian-kauw, menjadi muridku
secara suka rela tanpa paksaan?" kembali dia berkata dengan suara menggetarkan
wibawa kuat. Bu Li Cun dengan muka tunduk tanpa memandang kakek itu kini berdiri di sampingnya,
mengangkat muka memandang kepada semua tamu dengan air mata bercucuran!


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian terdengar suaranya lantang, "Saat seperti ini sudah lama kutunggu-tunggu!
Aku Bu Li Cun hanya mampu membalas sakit hati secara begini. Cu-wi sekalian
dengarlah baik-baik! Aku telah diculik oleh Pek-lian-kauw dan aku telah diperkosa oleh
tua bangka keparat ini!" Tiba-tiba setelah meneriakkan pengakuan hebat ini, yang tak
mungkin dikeluarkan oleh mulut seorang gadis yang menganggap lebih baik mati
daripada mengaku diperkosa orang, Bu Li Cun menggerakkan pedang tunangannya,
menggorok leher sendiri!
"Haiii...! Trang...!" Pedang itu mencelat terlepas dari tangan Bu Li Cun, akan tetapi
setelah terlebih dulu mengerat kulit leher dara itu. Kulit leher yang putih itu seketika
berubah merah, darah muncrat-muncrat dan terdengar suara aneh dari leher Bu Li Cun
yang menggunakan kedua tangan memegang lehemya, tubuhnya terguling ke atas
tanah. "Bu-moi...!" Lie Kong Tek yang tadi kurang cepat bergerak sehingga sambitan piauwnya
yang membuat pedang terlepas itu masih tidak dapat menolong tunangannya, meloncat
dan berlutut, mengangkat tubuh dara itu, dipangkunya. Mukanya pucat sekali ketika dia
melihat betapa leher itu terkuak lebar dan darah muncrat-muncrat mengerikan. Sekali
pandang saja tahulah dia bahwa dia telah terlambat, bahwa nyawa gadis tunangannya ini
tak mungkin dapat ditolong lagi. Bu Li Cun membuka kedua matanya memandang
pemuda gagah itu, tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang
keluar, kemudian dia terkulai lemah dalam pelukan Lie Kong Tek.
Berisiklah semua orang menyaksikan peristiwa mengerikan itu dan pada wajah banyak
tokoh kang-ouw terbayang kemarahan hebat mendengar pengakuan gadis yang
membunuh diri itu telah diperkosa oleh Thian Hwa Cinjin! Akan tetapi mereka tidak
berani langsung bergerak karena mereka maklum akan kelihaian kakek itu.
"Ha-ha-ha-ha, agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini
untuk memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau begitu!"
Thian Hwa Ciniin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal untuk memutarbalikkan
kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li Cun yang masih dipeluk oleh
Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran aneh, "Harap Cu-wi lihat baik-baik.
Gadis itu kelihatannya saja membunuh diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras
dan sehat, pedang tadi tidak mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja.
Lihat baik-baik, semua tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
698 Semua mata terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan
keheranannya, telah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan memutar
leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali Lie Kong Tek
dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih bersih tidak ada darahnya
sedikitpun juga, dan gadis itu masih bernapas, dan tersenyum-senyum dengan mata
terbuka lebar! "Ti... tidak... mungkin...!" Pendekar sakti ini berbisik dan menggoyang kepalanya untuk
mengusir pandangan yang tidak semestinya itu. Dia tadi melihat sendiri betapa
pertolongan Lie Kong Tek terlambat, betapa sebelum terlempar, pedang itu telah
menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu terluka, terkuak lebar dengan darah
muncrat-muncrat dan gadis itu telah menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan
Lie Kong Tek! "Hemm, Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi engkau hendak mengelabuhi para tamu yang
terhormat ini dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan
pedang karena telah kauperlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian harap
jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun telah tewas membunuh diri!
Darahnya pun belum kering!" Hong Khi Hoatsu berteriak, suaranya juga mengandung
getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka didorongkan ke depan, ke arah
Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di sana-sini ketika semua mata, termasuk
mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu benar telah menjadi mayat dengan luka besar di
leher dan darahnya masih mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat
dan alis berkerut memangku dan memandang gadis itu.
Thian Hwi Cinjin menjadi marah sekali. Kembali ilmu sihirnya yang dipergunakan untuk
menyelamatkan nama dan dirinya, telah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul tanpa
disangka-sangkanya dalam pesta pernikahan yang telah diaturnya itu. Dengan alis
berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir dia
menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak, "Pendeta yang lancang mencampuri
urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi kami?"
Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepala yang ditutup kopyah bayi itu sambil
tersenyum dan menjawab, "Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan julukan
Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka dan gila akan
kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi Hoatsu,
pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan dari muridku
itu telah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun gunung dan
mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa tunangan
muridku itu terculik oleh orang-orangmu dan telah menjadi korban kebiadabanmu!
Hemm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang menjadi korban kekejianmu yang
kaulakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan mengandalkan ilmu sihirmu yang
jahat!" "Hong Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?"
"Ha-ha! Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di
sarang Pek-lian-kauw dan sedang dikepung oleh anak buah Pek-lian-kauw! Dan baru
sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa Pek-lian-
kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya hanya
ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan orang-orang
jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan memberontak
mengejar kedudukan."
"Keparat!" Thian Hwa Cinjin membentak, tak dapat menahan kemarahannya, lalu
memberi tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
699 Anak buah Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan
menerjang maju.
"Manusia busuk berkedok nama rakyat pejuang! Kau harus mampus!" Cia Keng Hong
sudah menerjang ke depan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih
menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Trakk! Plak!"
Tubuh Thian Hwa Cinjin terhuyung ke belakang ketika tongkatnya bertemu dengan
Siang-bhok-kiam dan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak tangan Cia Keng
Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar nama besar Cia Keng
Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi sekali. Memang dia sudah merasa
gentar mendengar nama besar pendekar ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena
dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu. Namun
sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya merupakan
seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya melempem dibikin
buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau menggunakan ilmu sihir
lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu sihirnya, berarti dia dikeroyok
dua dan harus memecah kekuatah sin-kangnya
DENGAN nekat dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang
amat dahsyst sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tidak memandang
rendah kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu.
Adapun Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu
terancam kalau dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw,
hanya menonton di pinggiran sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan
merobohkan anggauta Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya. Dia
tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek
yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang
sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak
akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu.
Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya terdapat orang-orang yang jauh
lebih banyak jumlahnya memihak Pek-lian-kauw, sekarang mereka itu sebagian besar
membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian" Sebagian besar para tamu
adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-
kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan
menghommati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim
dan membela rakyat tertindas. Kini baru terbuka mata mereka, dan mereka telah
melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya
menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, sebagai pendekar-
pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tidak sudi lagi bersekutu dengan
kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng
Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw!
Tentu saja masih ada di antara para tamu yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini
memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, dan
orang-orang yang tidak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi
mengumbar hawa nafsu mereka.
Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah
kurang lebih seratus orang dan ditambah dengan para tamu golongan sesat yang
membantu mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang!
Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat
puluh orang. Maka dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
700 kang-ouw dikeroyok oleh dua tiga orang Pek-lian-kauw dan di antara para angauta Pek-
lian-kauw terdapat banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang
menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguhpun di
pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka. Lie Kong Tek mengangkat mayat
tunangannya, merebahkannya di tempat aman, kemudian bagaikan seekor harimau
kelaparan, pemuda tinggi besar yang berduka dan marah ini mengamuk. Sepak
terjangnya menggiriskan para anggauta Pek-lian-kauw dan baru
setelah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan
pemuda ini dapat dibendung dan terjadi pertempuran yang amat seru dan mati-matian.
Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan
hebatnya sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua
Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi amat kagum. Baru
sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat
dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar
Ketua Cin-ling-pai ini, karena kalau tidak demikian, dia sukar dapat percaya apakah Yap
Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang
sedemikian lihainya!
Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding
melawan datuk-datuk kaum sesat ketika dia membantu pemerintah membasmi kaum
pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua
Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai daripada lima datuk kaum
sesat yang pernah dilawannya! Setelah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di
tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-
sut dan mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek-sin-kun, barulah lewat
seratus jurus dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang kini mundur-mundur dan baru
berhasil membalas tiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang
tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan
Pedang Kayu Harum itu maupun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, amat dahsyat
dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur. Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu
gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong, Hong Khi
Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw ketika puluhan orang
yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang
mereka! Bahkan Keng Hong sendiri kini diserang oleh seorang pemuda tampan yang
berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali! Pemuda ini bukan lain adalah
Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus
bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin
para pemberontak Mongol dan membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama dengan
Marcus yang menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung
dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.
Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi makin tidak berimbang lagi ketika
Pasukan Tombak Maut ikut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw!
Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan. Cia Keng Hong sendiri selain harus
menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang
membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali
kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat,
tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In
berteriak kaget, mencelat mundur dan pundak mereka berdarah tercium sinar pedang
Siang-bhok-kiam!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
701 Mereka kaget dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian
tinggi, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja telah terluka oleh lawan Ketua Pek-
lian-kauw ini! "Ji-wi, hati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!" Thian Hwa Cinjin
yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan.
Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim
In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subonya dan selama ini
merupakan nama yang dia junjung tinggi" Adapun Ouwyang Bouw juga terkejut karena
tentu saia dia mengenal nama Ketua Cin-ling-pai. Dia tahu bahwa pendekar yang sakti
ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan
Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak. Bersama Panglima The
Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik sarang-sarang pemberontak, seperti Telaga
Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoat-
su yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya
sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang,
pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw!
Dengan hati giris Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, kini lebih hati-hati
mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu
dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus dan belasan orang pimpinan Pek-
lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini beradu punggung dan melawan
mereka mati-matian.
"Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!" tiba-tiba
terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw. Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya
menggunakan sihir, dia sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melawan pengaruh itu,
namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut
dengan sinar mata penuh kekuatan mujijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan
kakinya yang seperti memaksa diri berlutut!
"Cia-taihiap, bangkitlah!" Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Biarpun
dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong
sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan
pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat.
"Trangg-tranggg... krekkk!!" Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In
terpental hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian
Hwa Cinjin patah. Kagetlah kakek ini sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka
pucat. "Kalian berani melawan aku" Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)
dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!" Hong Khi Hoatsu membentak dan
semua pengeroyoknya, kecuali Marcust berlutut dengan taat! Mengapa Marcus tidak
terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mujijat ini" Hal ini adalah
karena Marcus belumlah begitu paham akan bahasa Han sehingga bentakan yang
dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya
dan karenanya dia pun tidak terpengaruh. Akan tetapi melihat betapa semua temannya
berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu telah
berhasil menotoknya roboh. Kakek ini lalu berteriak, "Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi
sekalian, mari kita pergi!"
Teriakan ini menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa melawan terus
menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu tiada gunanya. Apalagi yang
menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng telah pergi dari situ mengejar
pengantin pria tadi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
702 "Pergi...!" Terdengar teriakan-teriakan mereka.
Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka
dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga ketiga orang
pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk
meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.
"Singgg... tranggg... krek-krek-krekkk!"
Senjata-senjata para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah dan mereka terpaksa
mundur, memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan. Mereka
berdua lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang
tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur. Pihak Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring
dan aneh sekali bagi para pengejar itu, mendadak tampaklah awan hitam yang tebal
bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja mereka menjadi
bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu melarikan diri. Setelah
Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu
lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri dengan
berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar.
"Jangan kejar!" Thian Hwa Cinjin berseru. Kakek ini maklum bahwa dengan berpencar,
pengejaran menjadi berbahaya sekali karena kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-
pecah pula sedangkan pihak musuh demikian lihai, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi.
Masih ngeri dia memikirkan kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong tadi
yang membuat ujung tongkat wasiatnya sampai patah, semua orang tentu saja mentaati
Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki kembali markas Pek-
lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang terluka. Pihak orang-
orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena mereka telah dibawa lari oleh
teman masing-masing. Sedangkan para orang kang-ouw yang tadi membantu mereka,
dipersilakan masuk ke ruangan tamu dan dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-
kauw dan untuk mengikat hati mereka agar selanjutnya menjadi sekutu mereka.
Sementara itu, dalam pelarian yang berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap berlari
bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong Tek berkata,
"Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya tadi."
Mereka berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andaikata ada juga yang
mengejar, asal tidak terlalu banyak jumlah lawan, tentu akan mereka basmi dengan
mudah. "Tidak perlu berterima kasih, bahkan maafkan aku akan sikapku tadi ketika engkau
membela anakku. Engkau memang benar!" Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak
merah, teringat betapa dia tadi hampir membunuh pemuda ini, yang biarpun sama sekali
tidak mengenal Giok Keng, telah mati-matian membelanya. Kemudian ternyata bahwa
pemuda ini dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng.
Andaikata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas, Giok
Keng menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong, sedangkan dia sendiri
tentu tidak terluput dari malapetaka.
"Kalau mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan
kepadamu, orang muda!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
703 "Ha-ha-ha-ha, Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan" Di antara orang
sendiri yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, bantu-
membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tidak ada Cia-
taihiap, juga kalau tidak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu kepandaian setinggi
langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?"
Mendengar disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya,
maka sambil menjura dia berkata, "Sekarang saya hendak pergi menyusul dan mencari
puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja kalau ada waktu dan
kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan mengunjungi Cin-
ling-san."
Hong Khi Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, "Nanti dulu, Tai-hiap.
Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Tai-hiap."
"Ada petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?" Cia Keng Hong
menjawab sambil memandang tajam.
Kakek yang biasanya hanya tersenyum-senyum itu kini menarik napas panjang,
wajahnya bersungguh-sungguh. "Secara tidak sengaja saya telah melihat dan
mendengar semua yang dialami oleh puterimu dan merasa kasihan sekali kepada
puterimu, Tai-hiap. Namanya telah dicemarkan di depan banyak orang oleh Si Laknat
Liong Bu Kong dan perkumpulan kotor Pek-lian-kauw. Dan sebagai seorang tua yang
awas akan gerak-gerik muridnya, saya pun telah melihat sikap muridku kepada Tai-hiap
tadi, ketika membela puterimu. Muridku sendiri, di tempat itu, telah pula kehilangan
calon isterinya yang telah tewas membunuh diri..."
"Ahhh, Suhu! Mengapa teecu tadi sampai terlupa untuk membawa lari mayat Bu Li Cun?"
Tiba-tiba Lie Kong Tek memotong ucapan suhunya dengan suara menyesal dan kaget.
"Biarlah, Kong Tek. Lebih baik kalau mayatnya dikubur oleh mereka agar selalu menjadi
peringatan akan perbuatan kotor ketua mereka dan menginsyafkan para anggautanya
betapa mereka mengabdi kepada seorang yang jahat seperti Thian Hwa Cinjin itu."
"Kalau boleh saya mengatakan, bagaimanakah selanjutnya kehendak Hoatsu?" Cia Keng
Hong bertanya, diam-diam dia mempertimbangkan karena dia sudah dapat menduga apa
yang hendak dikatakan selanjutnya oleh kakek sakti ini.
"Melihat sikap muridku, saya mengambil kesimpulan bahwa di antara mereka memang
ada jodoh, Tai-hiap. Kalau sekiranya Tai-hiap percaya pada kami, dan sudi
mempertimbangkan sebaiknya, perkenankan saya mengajukan pinangan sekarang juga
atas diri puteri Tai-hiap untuk murid saya, Lie Kong Tek ini."
Mendengar ucapan suhunya itu, Lie Kong Tek menundukkan mukanya yang menjadi
merah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tidak merasa heran akan sikap
suhunya yang memang amat aneh, bicara tentang jodoh di tengah jalan dan bicara
secara blak-blakan begitu saja!
Mendengar pinangan yang memang sudah diduga sebelumnya, Cia Keng Hong tidak
menjadi kaget dan dia cepat menjura sambil menjawab, "Banyak terima kasih kepada
Hoatsu yang masih menghargai puteriku yang telah tercemar namanya itu, akan tetapi
hendaknya Hoatsu mengerti bahwa dalam soal perjodohan anakku itu, saya tidak dapat
memutuskan kecuali ada persetujuan dari anaknya sendiri. Oleh karena itu, terpaksa
sementara ini saya belum dapat memberi jawaban menerima atau menolak, tergantung
kepada anak saya sendiri kelak. Kalau dia menerima, atau kalau dia menolak, tentu saya
akan mengirim berita kepada Hoatsu. Ke manakah kelak saya harus mengirim berita?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
704 "Ha-ha-ha, Tai-hiap membuat kami menjadi malu saja. Kami berdua telah meninggalkan
pegunungan dan sengaja hendak merantau di dunia ramai, karena itu tentu saja tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap. Maka sebaiknya diatur begini saja, Tai-hiap.
Setahun kemudian kami akan mengunjungi Cin-ling-pai untuk menerima keputusan Tai-
hiap mengenai pinangan saya."
Cia Keng Hong mengangguk-angguk. "Baiklah, Hoatsu. Kami akan menanti kunjunganmu
itu dan mempersiapkan jawaban yang tepat, dan mudah-mudahan saja anakku akan
suka menyetujuinya. Sekarang saya terpaksa meninggalkan Ji-wi untuk menyusul
anakku." Guru dan murid itu memberi hormat dan Cia Keng Hong berkelebat, sekali loncat dia
lenyap dari pandang mata guru dan murid itu. Hong Khi Hoatsu menghela napas dan
menggeleng-geleng kepala. "Kong Tek, engkau akan beruntung besar kalau bisa menjadi
mantu seorang gagah perkasa seperti dia itu."
Wajah Lie Kong Tek menjadi merah dan terpaksa dia menjawab, "Suhu, apakah suhu
tidak terlalu tergesa-gesa mengajukan pinangan itu tadi" Seorang seperti teccu ini, mana
ada harganya untuk berjodoh dengan Nona Cia Giok Keng" Saya amat jauh kalau
dibandingkan dengan dia, baik mengenai tingkat kedudukan, kepandaian maupun
keadaan." "Kong Tek, engkau mempunyai kelebihan yang besar sekali dan mempunyai modal yang
tiada habisnya, yaitu kejujuran, kesetiaan dan cinta kasih. Nah, kau menunggu apalagi"
Hayo cepat kau pergi menyusul dan mencari nona itu, siapa tahu dia terancam bahaya.
Kalau kau berjumpa dengannya, jangan ragu-ragu kaunyatakan isi hatimu secara
langsung sehingga kita tidak perlu lagi ragu-ragu menanti berita keputusan dari
ayahnya. Pergilah!"
"Akan tetapi... Suhu..."
"Apakah kau masih kanak-kanak sehingga harus memerlukan asuhanku terus" Sudah
waktunya kau terbang sendiri seperti burung yang telah mempunyai sayap yang kuat.
Setahun kemudian kalau tiada halangan, kita sama-sama berjumpa di Cin-ling-san."
Lie Kong Tek terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya. "Harap
Suhu maafkan bahwa teecu sama sekali belum dapat membalas budi kebaikan Suhu
yang berlimpah-limpah."
"Asal engkau menjadi seorang manusia yang baik dan benar, itu telah merupakan
pembalasan budi yang jauh lebih berharga daripada engkau memberiku sebuah gunung
emas hasil kejahatan. Nah, kau terimalah ini untuk bekalmu di perjalanan." Kakek itu
lalu menyerahkan sebuah kantung terisi emas dan sebatang pedang yang selama ini
disimpannya saja. Pedang itu adalah pedang pusaka keluarganya, gagangnya dari perak
berukir burung Hong sehingga diberi nama Gin-hong-kiam (Pedang Burung Hong Perak).
Dengan hati terharu Lie Kong Tek menerima bekal ini dan setelah menghaturkan terima
kasih, pemuda ini lalu berpisah dari gurunya, hendak pergi mencari Cia Giok Keng, dara
yang merupakan gadis pertama yang pernah merebut hatinya karena biarpun dia
bertunangan dengan Bu Li Cung sebenarnya dia belum mengenal gadis itu, apalagi jatuh
cinta. Sebaliknya, dalam pertemuan pertama, ketika melihat Cia Giok Keng berhadapan
dengan ayahnya, Lie Kong Tek telah jatuh cinta. Dia merasa kagum dan juga kasihan
kepada Giok Keng dan agaknya dari kedua perasaan inilah tumbuhnya cinta kasih di
hatinya. "Manusia iblis! Jahanam Liong Bu Kong, kau hendak lari ke mana?" Giok Keng dengan
kemarahan meluap-luap melakukan pengejaran dengan pedang di tangan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
705 "Keng-moi... tidak ingatkah kau akan cinta kasih kita...?" Liong Bu Kong berlari terus.
"Keparat! Jangan bicara tentang cinta, mulutmu tidak ada harganya untuk bicara tentang
itu! Kau hendak lari ke mana" Ke mana pun akan kukejar!" Giok Keng lalu memaki-maki
dengan kemarahan meluap karena sejak tadi dia masih belum mampu menyusul laki-laki
bekas kekasihnya yang kini amat dibencinya itu.
Liong Bu Kong adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa melawan Giok
Keng, tingkat kepandaiannya seimbang, akan tetapi dalam keadaan marah dan nekat
seperti itu, sukarlah baginya untuk mengalahkan dara perkasa itu. Dan dia tidak ingin
membunuhnya, dia masih sayang kepada dara yang cantik ini. Kalau tidak bisa
mendapatkannya secara suka rela, tidak segan-segan dia akan menggunakan paksaan.
Terlalu sayang kalau seorang dara semolek itu, yang tadinya seumpama daging sudah
berada di depan bibirnya akan tetapi lolos, dibiarkan terlepas begitu saja. Maka dia terus
berlari sambil memanaskan hati Giok Keng dengan kata-kata yang mengingatkan dara
itu akan cinta kasih mereka, mengingatkan dara itu betapa dia tertipu oleh Liong Bu
Kong. Melihat Giok Keng mengejar makin dekat, diam-diam Liong Bu Kong memilih jalan
memutar sehingga makin lama mereka makin mendekati Pek-lian-kauw dari arah lain!
Setelah tiba di sebuah dinding karang di pegunungan itu, Liong Bu Kong menarik alat
rahasia yang tersembunyi di antara karang menonjol. Itulah alat rahasia yang
membunyikan tanda bahaya di sebelah dalam markas Pek-lian-kauw, melalui lorong
rahasia di dalam gunung. Kemudian, sambil tersenyum Liong Bu Kong berdiri dengan
pedang di tangan menanti Giok Keng yang tak lama kemudian sudah tiba di situ.
"Keng-moi, lupakah kau akan saat-saat bahagia ketika kita memadu asmara, saling
peluk cium dengan mesra" Kejamkah hatimu untuk menukar semua itu dengan
permusuhan dan saling membunuh" Moi-moi, aku cinta padamu, Moi-moi. Apa pun yang
terjadi..."
"Tutup mulutmu yang kotor dan busuk! Kau manusia berhati iblis! Kalau hari ini aku
tidak dapat membunuhmu, biarlah aku mati di ujung pedangmu!"
Giok Keng membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Liong Bu Kong menangkis
sambil meloncat ke kiri dan segera terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-
matian di pihak Giok Keng, sedangkan Liong Bu Kong lebih banyak mempertahankan diri
sekuatnya sambil menanti datangnya bala bantuan. Dia tidak perlu menanti lama.
Isyarat itu telah diterima oleh Pek-lian-kauw yang pada saat itu sedang menjamu para
tokoh kang-ouw di ruangan tamu karena pertempuran tadi sudah selesai. Mendengar
tanda bahaya dari balik gunung di belakang ini, Bong Khi Tosu lalu memimpin sepasukan
anggauta Pek-lian-kauw yang terdiri dari dua puluh orang, melalui lorong rahasia cepat
lari menuju ke balik gunung dan menerobos keluar dari dalam guha rahasia.
Melihat Liong Bu Kong sedang diserang mati-matian oleh Cia Giok Keng, sejenak Bong
Khi Tosu tercengang. Tak disangkanya bahwa sepasang pengantin gagal itu kini sedang
saling serang sedemikian serunya dan dia tertawa, "Ha-ha-ha, mestinya saling serang di
dalam kamar pengantin, siapa kira kini saling menyerang dengan pedang di tangan ini!"
"Bong Khi Tosu, lekas bantu aku menangkap wanita liar ini. Jangan bunuh, tangkap
hidup-hidup!" Liong Bu Kong berteriak dan pasukan itu dipimpin oleh Bong Khi Tosu
segera mengepung Cia Giok Keng!
Giok Keng terkejut sekali menyaksikan munculnya pasukan Pek-lian-kauw dari sebuah
guha yang sama sekali tak disangka-sangkanya itu. Dia terheran-heran memikirkan dari
mana datangnya pasukan ini karena dia sama sekali tidak sadar bahwa dia telah
dipancing mendekati kembali sarang Pek-lian-kauw oleh Liong Bu Kong, akan tetapi
sedikit pun dia tidak gentar. Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring sekali dia
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
706 lalu menyambut pengeroyokan itu dan robohlah dua orang anggauta pengeroyok Pek-
lian-kauw. Hal ini membuat Bong Khi Tosu marah dan lalu menerjang sambil memimpin
anak buahnya, menyerang dengan ketat dan hujan senjata menyambar ke arah tubuh
Giok Keng yang memaksa gadis itu tidak mampu menyerang lagi melainkan harus
memutar pedang melindungi tubuhnya dari sambaran senjata yang amat banyak itu,
sedangkan dia pun harus waspada terhadap Liong Bu Kong yang menanti kesempatan
untuk merobohkan dan menangkapnya.
Betapa pun gagahnya Cia Giok Keng, namun karena di situ terdapat Liong Bu Kong yang
amat lihai, sedangkan Bong Khi Tosu dan dua puluh orang anggauta Pek-lian-kauw ini
pun masing-masing bukanlah orang lemah, tentu saja dalam waktu singkat Giok Keng
terdesak hebat. Dahi dan lehernya sudah bercucuran peluh dan tangannya yang
memutar pedang dan selalu menangkis senjata lawan yang sedemikian banyaknya sudah
terasa pegal dan lelah.
"Pergunakan jala...!" Bong Khi Tosu yang ingin memenuhi permintaan Liong Bu Kong
memberi aba-aba. Tokoh Pek-lian-kauw ini tahu betapa pentingnya menangkap hidup-
hidup puteri Ketua Cin-ling-pai itu. Bukan hanya untuk menyenangkan hati Liong Bu
Kong yang dianggap sekutu dan diharapkan membantu Pek-lian-kauw, akan tetapi juga
untuk menaklukkan Ketua Cin-ling-pai yang demikian saktinya, jalan terbaik adalah
menawan puterinya ini!
Empat orang anggauta Pek-lian-kauw yang ahli menggunakan jala, kini telah maju
mengurung dari empat penjuru, di antara semua orang yang masih terus mengeroyok
dara itu. Giok Keng maklum akan bahaya ini maka matanya selalu mengawasi gerak-
gerik empat orang yang mencari kesempatan itu sambil tetap memutar pedang ke kanan
kiri, atas dan bawah untuk menghalau pergi setiap senjata pengeroyok yang datang
menyambar. Tiba-tiba yang dikhawatirkan itu terjadilah. Sebuah jala dilempar dari arah
belakangnya, mendatangkan suara bersiutan dan jala itu berkembang lebar, menerkam
ke arah dirinya. Maklum bahwa sekali terkurung dalam terkaman jala keadaannya akan
menjadi berbahaya sekali, Giok Keng kembali mengeluarkan suara lengkingan tinggi, di
antara hujan senjata itu memutar tubuhnya dan pedangnya bergerak ke arah bayangan
lebar hitam yang menerkam itu.
"Trang! Cringg... krrrttt...!!" Pedangnya bergerak secara luar biasa sekali dan si
pemegang jala berteriak kaget ketika jala itu terbabat putus-putus dan robek oleh
pedang Giok Keng yang kembali sudah memutar senjatanya untuk melindungi tubuhnya.
Akan tetapi gerakan ini membuat Giok Keng kurang dapat mempertahankan tubuh
belakangnya dan pada saat jala pertama robek, jala ke dua sudah datang dari arah
bejakang pula, menerkam tubuhnya! Giak Keng berseru kaget, meronta dan
menggunakan pedangnya untuk membabat jala, akan tetapi karena jala itu sudah
menyelimutinya, gerakannya tentu saja menjadi kacau dan sukar. Betapapun juga,
andaikata dua helai jala yang lain tidak segera menerkam dirinya, tentu dia akan berhasil
meloloskan dirinya dari jala ke dua tadi. Kini tubuhnya tertutup dan diselimuti tiga helai
jala dan dia seperti seekor ikan yang tak berdaya, hanya dapat meronta-ronta dan
memaki-maki. "Liong Bu Kong manusia iblis! Pengecut tak tahu malu, menggunakan cara yang curang!
Lepaskan jala ini dan mari kita bertanding sampai mati!"
"Ha-ha-ha, Keng-moi, manisku. Sayang kalau sampai kau mati sebelum kau menjadi
milikku dan sebelum aku menikmatimu sepuas hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki tak tahu malu, mulutmu kotor sekali!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
dan sesosok bayangan manusia berkelebat datang, menyambar ke arah Giok Keng yang
tertutup jala, kedua tangan orang itu bergerak merenggut jala-jala itu, terdengar suara
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
707 nyaring dan tiga helai jala itu robek semua, pemegang talinya terpelanting dan dalam
sekejap mata saja Giok Keng bebas kembali!
"Terima kasih, Kun Liong!" Giok Keng berkata dan pedangnya sudah berkelebat
mengamuk sehingga dalam kemarahannya itu gerakannya menjadi luar biasa sekali dan
robohlah dua orang pengeroyok. Dia hendak menerjang Liong Bu Kong yang amat
dibencinya itu, namun dia dihalangi oleh para anggauta Pek-lian-kauw sehingga
membuat hati gadis ini makin marah.
Sementara itu, Kun Liong tersenyum gembira mendengar suara Giok Keng yang
menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah pulih kembali ingatannya, kembali
seperti Giok Keng dahulu, dara yang amat cantik jelita, yang sampai sekarang bentuk
hidungnya membuat dia terpesona kagum, dara yang periang, liar dan galak, yang
menyebut namanya begitu saja padahal sudah sepatutnya kalau dara itu menyebutnya
kakak atau suheng, baik dipandang dari segi usia maupun hubungan.
Karena gembiranya, Kun Liong sampai kurang memperhatikan dan baru dia sader ketika
melihat Liong Bu Kong menekan-nekan batu di dinding karang dan tahulah dia bahwa


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu tentu menggerakkan alat rahasia maka secepat kilat dia meloncat ke arah
Liong Bu Kong sambil membentak, "Engkau manusia berakhlak rendah sekali!"
Liong Bu Kong menyambut sambaran tubuh Kun Liong itu dengan tusukan pedangnya
sambil membalikkan tubuh setelah dia berhasil memberi isyarat kepada Pek-lian-kauw
tentang bahaya yang lebih besar lagi! Pedang Lui-kong-kiam di tangannya berubah
menjadi sinar kilat menyambar ganas, meluncur ke arah dada Kun Liong yang sedang
menerjangnya. "Sing...! Wuuut, plak-plakk!" Tubuh Liong Bu Kong terbanting keras ke kiri ketika
tusukannya itu dapat dihindarkan oleh Kun Liong yang melempar tubuh ke kiri, kemudian
dari samping dia mendorong ke arah Liong Bu Kong dengan kedua tangannya,
mengerihkan sin-kangnya. Liong Bu Kong terkejut dan berusaha menangkis, akan tetapi
dua kali benturan itu membuat tubuhnya terbanting dan tergetar hebat. Masih untung
bagi Liong Bu Kong bahwa sampai saat itu, Yap Kun Liong masih saja merasa tidak suka
untuk membunuh, maka dorongan tangannya tadipun hanya dilakukan dengan
pengerahan tenaga secukupnya saja untuk mengatasi lawan. Andaikata Kun Lieng
berniat membunuh, agaknya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, Liong Bu Kong
tentu takkan dapat bangun kembali. Namun, harus diakui bahwa Liong Bu Kong juga
lihai. Setelah terbanting keras seperti itu, dia masih mampu terus menggulingkan
tubuhnya menjauhi Kun Liong dan dari tangan kirinya ketika dia bergulingan itu
menyambar sinar-sinar hijau ke arah Kun Liong. Pemuda ini dengan tenangnya
mengebutkan kedua lengan bajunya dan senjata-senjata rahasia kecil-kecil berupa duri
hijau yang beracun itu semua runtuh ke atas tanah.
Pada saat Liong Bu Kong sudah meloncat berdiri dan siap lagi menghadapi lawan yang
dia tahu amat lihai ini, muncullah sepasukan orang-orang Pek-lian-kauw yang jumlahnya
belasan orang, dipimpin oleh Loan Khi Tosu, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In! Ketika
mereka ini melihat betapa Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong mengamuk, cepat mereka
sudah menerjang maju.
"Giok Keng, hati-hatilah!" Kun Liong berseru sambil melompat jauh ke tempat Giok
Keng. Dia tidak khawatir menyaksikan begitu banyak lawan, akan tetapi dia
mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng karena melihat betapa Giok Keng bertempur
dengan kemarahan meluap-luap. Hal ini membahayakan dara itu, apalagi setelah dia
melihat munculnya lawan-lawan tangguh seperti Ouwyang Bouw, Lauw Kim In, dan Loan
Khi Tosu! Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
708 Giok Keng juga melihat munculnya pasukan baru, maka dia maklum akan maksud hati
Kun Liong. Tanpa bicara apa-apa, kedua orang ini lalu memasang kuda-kuda saling
membelakangi, dengan demikian bagian belakang mereka terlindung, mereka saling
melindungi dan hanya menghadapi lawan yang berada di depan dan kanan kiri saja.
Dalam kesempatan selagi menanti datangnya serbuan para pengeroyok yang jumlahnya
amat banyak itu, Giok Keng berbisik tanpa menoleh, "Kun Liong, kaumaafkan semua
kesalahanku dan terima kasih atas bantuanmu."
Terharu hati Kun Lion mendengar ini. "Hushhhh...!" bisiknya kembali, "bukan waktunya
berbicara, Sayang. Kita menghadapi bahaya..."
Liong Bu Kong yang menyaksikan betapa kedua orang itu berbisik-bisik, menjadi panas
hatinya dan segera dia berseru, "Serbuuu...!" lalu memelopori penyerangan itu yang
diikuti oleh semma orang.
Yap Kun Liong telah melihat datangnya seorang anggauta Pek-lian-kauw yang
memegang toya dan yang memang telah diincarnya maka secepat kilat dia mencelat ke
kiri, ke arah orang ini, kedua tangannya bergerak dan orang itu roboh tertotok dan
toyanya telah terampas secara yang dia tidak ketahui bagiimana!
Kun Liong menggunakan tenaganya mematahkan toya itu di tengah-tengah dan... di
kedua tangannya telah tampak sepasang tongkat pendek yang segera dimainkan dengan
ilmu Tongkat Siang-liong-pang (Sepasang Naga) yang dahulu dia pelaiari dari Bun Hwat
Tosu. Terdengar suara trang-tring-trang ketika banyak senjata lawan terlempar ketika
bertemu dengan sepasang tongkat ini. Juga Giok Keng sudah mengamuk dengan
pedangnya, merobohkan dua orang lagi dengan cepatnya.
Melihat ini, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In lalu menerjang ke depan, membantu Liong
Bu Kong mengeroyok Kun Liong, sedangkan Bong Khi Tosu dan Loan Khi Tosu
mengeroyok Giok Keng.
Tentu saja selain mereka, para anak buah Pek-lian-kauw juga ikut pula mengeroyok dan
sungguhpun mereka itu bukan merupakan lawan tangguh bagi Kun Liong dan Giok Keng,
namun jumlah mereka yang amat banyak itu merepotkan juga. Karena khawatir akan
keselamatan Giok Keng sedangkan dia sendiri didesak oleh tiga orang yang cukup lihai
itu, Kun Liong sengaja menahan pedang Lauw Kim In dengan tongkatnya sambil berkata,
"Hemm, setangkai bunga mawar indah bersih dari Go-bi tercemar dalam lumpur..."
Lauw Kim In menjadi merah mukanya dan dia menarik pedangnya untuk ditikamkan ke
lambung Kun Liong, dan pada saat itu, Ouwyang Bouw yang juga mengerti akan sindiran
ini sudah menggerakkan pedang ularnya ke arah leher Kun Liong.
"Trang... cringgg...!" Kun Liang menangkis sambil meloncat ke atas untuk mengelak
sambaran pedang Liong Bu Kong yang menggunakan kesempatan tadi untuk membabat
ke arah kakinya.
"Kasihan Sin-kouw... tidak tahu betapa Pek-eng Kiam-hoat ciptaannya itu dipergunakan
untuk membantu pemberontak dan penjahat! Aihhh, yang menjadi guru, mati pun tidak
bisa meram, apalagi masih hidup!"
"Iihhhh..." Kim Lauw Kim In menjerit karena tidak tahan lagi mendengar sindiran itu, air
matanya bercucuran dan betapa pun kerasnya hati wanita ini, karena selama ini
penderitaan batinnya sejak dia menyerahkan dirinya kepada Ouwyang Bouw ditekan-
tekan, seolah-olah dibuka bendungannya oleh Kun Liong. Lauw Kim In mundur-mundur
dan mukanya pucat sekali.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
709 Melihat ini, Ouwyang Bouw marah bukan main. "Manusia bermulut lancang dan beracun!"
Kedua tangannya bergerak dan serangkum sinar merah menyambar ke arah seluruh
tubuh Kun Liong. Pemuda ini terkejut karena mengerti bahwa itulah jarum-jarum merah
yang pernah membuat kepalanya gundul! Cepat dia memutar kedua tongkatnya sambil
meloncat ke kiri. Sebagian dari jarum-jarum merah beracun itu dapat dia pukul runtuh
dan sebagian lagi dapat dia elakkan.
"Aduhhhh...!" Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit dan bukan main kagetnya hati Kun
Liong karena baru dia teringat bahwa di belakangnya terdapat Giok Keng sehingga ketika
dia mengelak tadi, jarum-jarum merah langsung menyambar tubuh dara itu dan
mengenai bagian belakang tubuhnya!
"Celaka!" serunya dan cepat dia memutar tongkat membalikkan tubuh. Melihat Giok
Keng limbung dan hampir jatuh, Kun Liong cepat membuang kedua tongkatnya,
menyambar pedang dari tangan Giok Keng dan memondong tubuh yang lemas itu,
memanggulnya dan dia melindungi tubuh mereka berdua dengan pedang Giok Keng yang
diputar amat cepatnya sehingga tampaklah gulungan sinar berkilauan yang menyelimuti
tubuh mereka berdua. Semua senjata yang bertemu dengan sinar bergulung-gulung ini
terpental dan semua pengeroyok menjadi gentar dan mundur kembali.
"Kepung, jangan biarkan dia lolos!" Liong Bu Kong berteriak keras, khawatir juga ketika
melihat betapa Lauw Kim In sudah lari dari tempat itu dikejar oleh suaminya, Ouwyang
Bouw. Dengan perginya dua orang yang lihai ini, terutama Ouwyang Bouw dia merasa
kehilangan tenaga bantuan yang boleh diandalkan. Baiknya Giok Keng sudah terluka dan
Kun Liong sedang memanggul tubuh dara itu, maka dia bersama Loan Khi Tosu dan Bong
Khi Tosu, dibantu oleh hampir tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw, yaitu sisa
mereka yang belum roboh, mengurung dan mendesak Kun Liong, tidak memberinya
kesempatan untuk melarikan diri.
Repot juga Kun Liong dikeroyok demikian banyak dalam keadaan seperti itu. Tentu saja
andaikata Giok Keng tidak terluka, mereka berdua masih akan sanggup menandingi
mereka semua setelah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pergi, dan agaknya akan mudah
dapat meloloskan diri. Akan tetapi sekarang, setelah Giok Keng terluka dan pingsan
dalam panggulannya, tentu saja membuat gerakannya tidak leluasa lagi.
Kekhawatirannya terhadap Giok Keng yang telah terkena jarum merah Ouwyang Bouw
yang dia tahu amat berbahaya, membuat hatinya terasa tidak karuan dan akhirnya dia
menjadi marah. Dengan pekik melengking keras yang merobohkan beberapa orang
anggauta Pek-lian-kauw yang kurang kuat, dia lalu membentak, "Liong Bu Kong! Kalau
kau tidak menarik mundur semua orang ini, terpaksa aku akan membunuhmu!"
Liong Bu Kong terkejut, akan tetapi dia mengira bahwa pemuda itu hanya
menggertaknya saja karena dalam keadaan terdesak, maka
Kisah Para Pendekar Pulau Es 19 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
^