Petualang Asmara 4

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


u kepandaian yang menakjubkan, sehingga
orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai
murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!"
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng
tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil
berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!"
Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena
telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar
matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak berhenti
dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan
untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Perutnya tidak lapar lagi dan
sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.
Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya. "Harap minggir!
Kami hendak menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita
masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
89 Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya
makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-
kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya
adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan
seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut.
"Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung" Perahumu hendak ke sana,
bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.
Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi
karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju
sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air
Sungai Huang-ho mengalir!
"Silakan, Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar. Laki-laki itu kelihatan
galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang
membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua
puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian
sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus. Si suami dengan
sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah
isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa
buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong
menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai
biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu,
semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali!
"Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!" Tiba-tiba terdengar
teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki
berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak
suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika
mendengar sebutan "gundul". Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak
sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita
yang menumpang. Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang
membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya
indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya
selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu
menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu
mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,
"Tuan hendak ke mana?"
"Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!"
Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang
layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil
sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.
Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk
dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke
arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap Ji-wi (Kalian
Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi."
Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya
yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-
laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
90 "Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang
perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak
pergi ke manakah?" Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab
dengan suara ramah pula.
"Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi
ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan
kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh
menyenangkan sekali!"
Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan
siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik,
dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat
melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu,
seolah-olah dia dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu,
bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.
"Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu," Si
Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."
"Terima kasih." Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan
dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang
Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian
dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu.
"Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku
kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di
Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat." Ouw-siucai membelalakkan
matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat
yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."
"Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan
saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan
bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh
lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!" Yang dimaksudkan dengan kata-
kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena
dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya
daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada
kedudukan yang lebih tinggi.
Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja
ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk
di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-
kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan
kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"
"Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau
ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti
sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung?"
"Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap
saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya
dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan
dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan
minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka
yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak,
mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
91 bergelak. Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut
tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak
ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya
secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara
keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama
kali dia lakukan selama hidupnya. Kesempatan memang merupakan penggoda yang
amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati
pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan
seorang laki-laki muda!
Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas
persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang ! Kun
Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia
pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua
mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang.
Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan
bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang" Tentu tidak akan
mampu membayar upah kepadanya!
Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai
itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru
Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian.
Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah
kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan
agak jauh. Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah,
yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam.
Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak
tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang
menutup. Siapa yang mendapatkan angka sebanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang
menang. "Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar
sedang mujur!" Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang.
Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini
tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan
sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan
ludas oleh suaminya untuk berjudi!
"Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan.
Masih banyak yang kaumiliki."
"Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi."
"Mari kita bertaruh satu kali lagi." Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang
kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. "Kalau
menang, biarlah semua uangku ini untukmu."
"Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai" Harap jangan engkau
main-main!"
"Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini
untukmu." "Bagaimana kalau aku yang kalah?" Guru silat itu bertanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
92 "Aku akan mengambil satu di antara milikmu."
"Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan" dan pedang ini, biarpun pedang
baik namun harganya tidak sebanyak itu."
"Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu" Engkau sudah kalah banyak dan aku
hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu."
Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang
tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia
dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak
banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan
marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali
semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau
menang! "Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!" katanya sambil
menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.
"Plakk!" Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut
mangkok. "Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?" tanyanya lagi sebelum
membuka tangannya.
Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja diteruskan."
"Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi
milikku dan?"
"Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu."
"Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!" Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam
mangkuk memperlihatkan angka lima!
"Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa
harus mengembalikan semua uangku!" Angka lima merupakan angka kedua terbesar,
dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan
besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan
angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka
empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang
dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu!
Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita
kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka
lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil
mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata,
"Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu," dan meletakkan mangkuk di atas papan
sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan "Akan tetapi, yang menentukan adalah
peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!"
Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu
memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi!
Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada
isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu
berkata, Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
93 "Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih."
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang
ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!" Dengan berkata demikian,
tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu!
Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun
terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam
dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya
dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan
pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai
taruhan untuk dipinjam semalam!
"Apa?"" Srattt!" Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika
ia memalangkan pedang di depan dada. "Hemmm" kau" kau"! Jahanam keparat!
Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah
kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku,
kemudian meloncat keluar dari perahu!"
Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun
merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping
kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama
sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia
telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta
ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan
berusaha melepaskan diri.
"Hemm, manis... jangan berpura-pura?" bisik siucai itu.
"Jahanam!" Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu.
Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan
Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih
merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai
menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan
dimiringkan dan" pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke
dalam air sungai!
Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia
menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai
itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari
tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.
"Hukkk"!!" Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan
dalam keadaan setengah pingsan!
"Kau berani menyerangku, ya" Dasar sudah bosan hidup!" Siucai itu menyambar tali
layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung
tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai
menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat
tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!
"Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
94 "Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan" Seperti penakut burung di tengah sawah!" Si Siucai
tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya.
"Aihhh... ampunkan suamiku" jangan bunuh dia"!" Wanita itu meloncat dan hendak lari
menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu
mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.
"Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan" Nah,
ambillah..." Seperti orang gila wanita menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun
dengan jari-jari tangan gemetar. "Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan
dia... jangan bunuh suamiku... uhu-hu-huuk...!" Wanita itu menjadi lemas dan
menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan.
"Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat!
Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi,
isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-
ha-ha!" Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung
Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya
dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas
lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok.
Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa
siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan
mengeluh menangis perlahan seperti merintih.
"Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!" Kun Liong tak dapat menahan diri melihat
perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan
tangannya ke arah kepala siucai itu.
"Desss...! Aduhhh...!!"
Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan
main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan
yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam
dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun,
menghadapi Kun Liong.
"Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?"
"Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau
yang jahat dan gila ini!" Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.
Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai
ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah
gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah
memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan
miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.
"Desss!!" Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.
"Byuuurrr!!" Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air.
Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah
gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil
terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.
Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena
tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
95 pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar
rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak
menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain.
Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke
arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor
emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu
pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu
akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal
itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam
akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya
agak sesak dan dadanya teras nyeri sekali oleh pukulan tadi. Kalau tidak ada tali untuk
berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi
untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ. Dari
bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia
terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia
menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan
tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu.
Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda
banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang
dan terdengar suara dari tepi sungai, "Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat
tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!"
Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di
atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya,
dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau
pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan
akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu
dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan
perahu itu dengan jelas.
Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh
belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan
menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti. Agaknya sudah
tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball
pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk. Dipandangnya sejenak
isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya
setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga
terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.
"Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?" bentak Gui-kauwsu.
Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak. "Mengapa... mengapa" kau
marah-marah kepadaku" Mengapa" kau marah kepadaku" Apa salahku...?"" Dia
menangis tersedu-sedu.
"Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya"
Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja
dengan dia?"
Wanita itu menjerit, "Apaaa..."!! Kau... kau" kau tega berkata demikian" Suamiku,
aku" aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!" Wanita itu kini
menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
96 "Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kaukira aku tuli"
Kaukira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya" Betapa engkau merasa puas dengan
dia" Perempuan rendah pelacur dan hina...!!"
"Suamiku...!!" Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali
suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengen keras.
"Plakkk!! Jangan dekat aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang
kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!!"
Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya.
Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka daripada
tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin,
"Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar
seperti tadi, buka matamu lebar-lebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku
menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia daripada dengan
engkau! Sudah cukupkah" Masih kurang puas" Aku lebih suka ikut dengan dia kalau saja
dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku
muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!" Tiba-tiba wanita itu
meloncat keluar dari perahu.
"Byuuurrr...!" Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa
tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya
terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong
wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh
kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu.
"Isteriku"! Di mana engkau?" Apa yang telah kaulakukan ini" Isteriku, maafkanlah aku"
aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku"!" Dan Gui-
kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.
"Byuuur"!" Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata terbelalak
lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru
silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang! Lupa akan keadaan
dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan
karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari
dengan matanya, dia tidak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia
berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia
naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu,
mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.
Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan
tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu,
membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak bergerak-gerak lagi,
setengah tidur setengah pingsan!
Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi.
Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu
melakukan perbuatan yang begitu hina" Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan
dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya! Benarkah untuk menyelamatkan
suaminya" Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung sekali, adalah
sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Gui-kauwsu membela isterinya mati-matian terhadap
penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya diperkosa siucai itu, timbul
kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya.
Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai
berenang nekat pula terjun dan mengaku cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
97 bersikap seperti itu" Dan isteri kauwsu itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai"
Ataukah hanya untuk membalas perlakuan suaminya" Apakah isteri itu pun mencinta
suaminya" Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah
suami isteri dan siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat
besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.
Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi
untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal.
Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat
mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan diri tanpa pamrih itu. Gui-kauwsu ingin
menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini
sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir
batin ini tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan
menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta" Adakah
cemburu itu cinta" Adakah benci itu cinta" Adakah cinta mendatangkan derita" Hanya
pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan
menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia, berarti
mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan. Memang,
berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa
puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu karena keinginan
itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Kalau sudah didapat,
tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke
depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi!
Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari telah naik tinggi, Kun Liong bangun dari
tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih.
Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah
tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu
menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan oleh sebaris batu dan untung saja
terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah.
Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu
tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang
mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya. Yang
dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan
perutnya yang tampak, perut yang mengembung besar sehingga kelihatan seperti perut
ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!
Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika dia
memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga
terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan
tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung
mayat yang tertelungkup itu!
Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu
suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus sungai
yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Seorang diri
saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia
tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan
terjepit ini. Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja.
Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak
dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan
kemarahan ayahnya. Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas,
menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu.
Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu
ke batu, sampai akhimya dia tiba di darat yang berbatu-batu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
98 Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa dia
meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya
batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar sekali, dikelilingi
batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu. Ketika dia meraba-raba ini, dia
menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasuki
bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda
itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapapun Kun Liong
merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi
girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu
didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan
mendorong batu besar itu" Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu"
Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!
Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan
setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa
khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling
sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini. Mudah mengenalinya.
Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon
raksasa, sungai yang penuh batu batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apalagi
dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan dapat
melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan mengingat tempat persembunyian bokor
emas! Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang pantai
sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa
tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang
sudah mati dan yang seorang lagi" Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu
tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia ini, namun
mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam"
Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip
mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang
mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah
itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya
membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya.
Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan
menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat
membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba
kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut
kembali" Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio!
Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat
Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan
di tepi sungai. Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu
besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi
sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak
berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan
kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan,
dan di pinggangnya tergantung ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih
muda, juga bajunya tidak berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok.
"Benarkah dia lewat di sini?" tanya Si Brewok kepada yang termuda.
"Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buntalan yang berat." kata yang muda.
"Seorang tosu mempunyai apa sih?" tanya Si Tinggi Besar.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
99 "Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!" Si Brewok menegur. "Kita sedang menanti
datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan."
"Masa seorang tosu?"
"Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang
malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?" kata
yang muda. "Nah, itu dia...!" sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke
belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah menyelinap
dan sembunyi di belakang pohon-pohon.
Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua
menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, di
punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu
pun tergendong sebuah buntalan kain.
Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu,
yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak
memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari
menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang
dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!
"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana
mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!"
Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga
puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil
bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba
muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat
dan memegang tali di hidung keledai.
"Siancai", Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto
(saya)?" Tosu itu bertanya setelah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan
kekagetan. "Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!" Si Brewok membentak.
"Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup
dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapapun juga, apalagi
kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal..."
"Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!" Si Tinggi Besar
berkata sambil tertawa-tawa.
"Aihhhh..." Tosu itu menggeleng kepala. "Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul
kesulitan baru lagi!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
100 Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, "Totiang tentu akan dapat bertemu
dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami."
"Apa" Pinto tidak mengerti..."
Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan
ditariknya, hendak dipaksa turun.
"Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik" Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah
tua!" Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia
sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga
orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu. "Sam-wi bertiga
kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa
kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak
bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?"
"Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?" bentak Si Brewok heran.
"Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!" kata temannya yang muda.
"Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?" kata yang tinggi besar.
"Tangkap saja mereka berdua!" Si Brewok membentak. "Hayo kalian ikut bersama kami!
Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?" Dia sudah melepas ruyungnya dan
mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah melolos pedangnya
ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali
keledai dan menuntunnya.
Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil
tersenyum. "Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana
kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku."
Kun Liong menggeleng kepala. "Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang
berat, aku berjalan kaki saja, Totiang."
"Hayo jalan, jangan banyak mengobrol" Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong
dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong
mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata,
"Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa ditodong-todong?"
Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah, sudah
membuat gerakan hendak menyerang. Akan tetapi Si Brewok membentak dan
melarangnya. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak
dari situ. Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun
Liong. "Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup
menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja."
Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk.
Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan
kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan
halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan.
Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
101 yang membuat kakek itu ditangkap. Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu
lancang dan usil" Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang
terjadi pada lain orang dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya" Ah, tak
mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran"
Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan
gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya!
"Tidak mungkin!" Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.
"Apa yang tidak mungkin?" Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan di
depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan
Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.
Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang
bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan dan
akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing,
tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak. Bangunan-bangunan itu dikelilingi
pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok sudah tampak para penjaga
dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam
perkumpulan silat. Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok,
tampaklah oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah,
tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang
bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong, tubuh mereka
sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga! Ketika dua orang
tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun
Liong pasukan-pasukan lain berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan
kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang
menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si
Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan
golok. Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan
akhirnya dia berkata perlahan, "Siancai" tempat apakah ini" Seperti benteng dan dijaga
pasukan-pasukan. Apakah pinto menjadi tangkapan pasukan asing?"
"Jangan bicara ngawur, Totiang!" Si Brewok membentak. "Engkau menjadi tamu dari Ui-
hong-pang!"
"Heh" Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)" Apa itu?" Kakek itu membuka
matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi
dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di
tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!
"Kita ini mau diapakan, Totiang?" Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali
tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang,
kemudian bertanya,
"Engkau takut, Nak?"
Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab, "Aku tidak bersalah apa-apa
terhadap siapa juga, mengapa takut?"
Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.
"Kau" dari kuil mana?" Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
102 Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati penasaran.
Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, "Aku bukan seorang hwesio!"
"Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!" bentak Si Brewok ketika
mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.
Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan
pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk
di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat beberapa orang yang tidak seragam
pakaiannya, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-
pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.
Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya
serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua daripada warna kuning seragam
anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang
menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka.
"Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!" katanya dengan suara lantang
sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.
"Terima kasih," kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa-
apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.
"Siapakah nama Totiang?" Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.
"Eh, nama pinto..." Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu," jawab
kakek itu. "Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan
menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?"
"Menyambut anak" Utusan" Tebusan" Apakah artinya ini" Sungguh pinto tidak
mengerti."
"Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!" Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan
dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.
Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, "Apa artinya
ini" Siapa kakek dan bocah ini?"
Si Brewok menjadi pucat. "Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia ber uang dan
melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa
buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu."
"Bodoh! Lekas periksa buntalannya!"
"Sudah diperiksa, Pangcu!" Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab
dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.
"Apa isi bungkusannya" Emas dan perak?"
"Bu... bukan... Pangcu..."
"Habis, apa isinya?"
"Batu-batu karang dan akar-akaran!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
103 "Plakkk!" Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah. "Sialan! Apa yang kalian
lakukan?" "Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan melakukan
penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu?""
"Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka
di sini. Pergi kalian bertiga!!" Si Brewok dan dua orang temannya pergi seperti anjing-
anjing dibentak.
Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, "Mengapa kebetulan sekali
Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?"
"Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu
dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih
darah. Pinto sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di
pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto ditangkap."
"Hemmm... dan kau, bocah gundul" Apakah engkau murid tukang obat ini?"
Kun Liong sudah mengetutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut gundul! Setelah
kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul merupakan sebutan yang amat
menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia akan keadaannya yang tidak
menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu
sudah mendahuluinya menjawab, "Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras
hati dan bandel."
Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba dia sadar akan keadaan
dirinya. Memang dia keras hati. Kalau dia menuruti kemarahannya dan mengeluarkan
kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan
menderita hukuman, juga kakek yang tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia
menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.
"Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan
tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan
kami tahan."
"Akan tetapi..." tosu itu membantah.
"Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar
mereka berdua menemani anak perempuan itu!"
Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk mengiring
tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan
akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong
dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan
yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah
seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh
ketenangan itu. Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan
tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan
yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci
dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning,
dan ujung-ujung tombak mereka.
Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu
bergantian, penuh perhatian.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
104 "Engkau siapakah?" Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa
anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersamadhi, bersila dan
punggungnya lurus tegak.
Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan kepalanya
begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu seperti dua
ekor ular hiam bergerak.
"Engkau siapa" Dan kakek ini siapa" Mengapa kalian dijebloskan di sini?" Anak
perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan.
Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong. "Sombong engkau, ya?" katanya tak
senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini
membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya
dengan sikap tenang.
"Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung,
apakah sudah baik?"
Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan
karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit.
"Totiang, engkau awas sekali!" serunya kagum.
"Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba
kuperiksa sebentar!"
Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak itu,
kemudian mengangguk-angguk. "Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya
kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tidak boleh
banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu
secara kuat."
Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lenyap


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak ltu menderita
tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!
"Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?" tanyanya dan
sekarang anak perempuan itu menjawab.
"Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi
seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul
patah pahaku dengan ruyungnya."
Kun Liong mengepal tinju. "Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya
itu bukan manusia baik-baik!"
"Siapakah engkau, Nona" Dan mengapa engkau diculik?" tosu itu bertanya dengan suara
sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.
"Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Ketika
aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mereka
menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang
tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
105 Kakek itu mengangguk-angguk.
"Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!" Ucapan ini
dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi heran
karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang!
Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu"
"Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?" Kun Liong bertanya
dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!
Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya. "Mana mungkin
ayahku menebus dengan uang sebanyak itu" Ayah hanya bekas juru mudi saja yang
sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pemah
mengumpulkan uang haram!"
Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu demikian angkuh,
kiranya keturunan orang yang hebat. "Wah, ayahmu hebat!" Dia memuji.
"Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu, aku tidak
khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan kalau Suhu
sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke
akarnya!" "Siapa sih gurumu?" tanya Kun Liong.
"Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku melakukan
perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati aku tidak akan
menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan sudah tahu siapa
guruku, akan tetapi aku tidak percaya!"
Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan
itu dan bertanya halus. "Nona kecil, apakah suhumu she The?"
Anak itu berteriak heran. "Bagaimana Totiang bisa menduga?"
"Benarkah?"
Anak itu mengangguk.
Tosu itu menarik napas panjang. "Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan
karena ayahmu melainkan karena suhumu."
"Bagaimana Totiang tahu" Apakah Totiang mengenal suhuku?"
Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu kembali
menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. "Sungguh kebetulan sekali kejadian
ini... siapa, kira aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu,
Nona. Dan karena engkau murid The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-
pang menculikmu. Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah
murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman.
Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu."
"Mengapa Totiang?"
"Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan, membasmi
golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu
yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh dendam, dan untuk membalas secara
langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, maka dia melalui muridnya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
106 membalas dendam dengan jalan menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk
memancing agar gurumu datang ke sini."
"Tikus-tikus tak tahu diri!" Li Hwa berseru, "Kalau Suhu datang, mereka tentu akan
mampus semua!"
Tosu itu menarik napas panjaang dan menggeleng kepala. "Mungkin begitu, akan tetapi
juga belum tentu gurumu mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah pinto
secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang mewakilinya. Marilah, Nona, dan kau
juga muridku, mari kita keluar dari sini."
"Ehhh...?" Kun Liong berseru heran.
Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia bertanya,
"Apakah kau tidak mau menjadi muridku" Aku sudah terlanjur mengakuimu."
"Teecu suka, akan tetapi" bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?"
Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. "Muridku yang baik sekali,
siapa namamu?"
"Teecu bernama Yap Kun Liong?"
"Aihh, namanya serem, orangnya hanya bocah gundul!" Li Hwa mencela.
"Sombong kau, ya?" Kun Liong membentak.
"Husshhh, bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari kita keluar dari
sini." Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan kanannya
yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan.
"Braaakkkk...!!" Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar di
dinding bekas pintu itu.
Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi,
dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya
menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak dan
roboh terguling. Melihat ini, Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-
benar tidak membual ketika bercerita tadi, ternyata biarpun kaki kanannya masih sakit,
dalam segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga!
"Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!" Tosu tua itu berkata dan
tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu dipegang dan ditarik oleh
Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung kakek itu! Kun Liong tidak mau
kalah melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua
kakinya meluncur ke depah.
"Haaaiiittt! Dessss...!!" kedua kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka dan dada
penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit
kembali karena kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan
napasnya juga sesak!
Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat lalu menendang, terpental dan
menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan berdiri dengan terhuyung.
Dilihatnya seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat tinggi-tinggi handak
menyerang tosu yang menggendong Li Hwa dan yang bersikap tenang sambil
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
107 memandang kepada Kun Liong dengan senyum geli, Kun Liong cepat berlari ke depan
menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya.
"Hyaaahhhh! Ngekkkk!!" Penjaga itu terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya sesak
perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya
berdenyut dan pandang matanya berkunang!
"Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biar pinto yang
membuka jalan."
Kun Liong menurut karena gerakan-gerakan tadi membuat badannya terasa sakit lagi.
Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar. Dia
telah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukah bocah gundul sembarangan
yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia telah merobohkan dua orang
lawan! Dengan dada dibusungkan, kedua tangan dikepal siap bertanding, Kun Liong
mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li
Hwa. Dari kanan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang
bergolok dari kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan iringan teriakan,
mereka menyerbu dari kanan kiri, Kun Liong yang mentaati perintah gurunya, hanya
berdiri tenang, namun siap-siap untuk membela diri. Tosu itu kini menggerakkan kedua
lengan bajunya ke kanan kiri membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit
pinggangnya dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat
ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput
kering dilanda angin taufan!
Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan
ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali
kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah dipukul runtuh,
berserakan ke lantai sebelah depan mereka. Sebelum ada anak panah menyerang lagi,
kakek itu mendorongkan kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi,
pasukan panah itu roboh terguling-guling!
Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan mereka yang roboh dan bangun
kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menanti perintah
atasan. Kun Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin ia bertepuk tangan saking
kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, dia pun tenang-tenang saja dan
kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan kedua tinju bergerak-gerak
memasang kuda-kuda!
Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi
mereka tidak menyerang, hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan
menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.
"Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!" kata kakek itu
dengan suara tenang dan penuh kesabaran.
Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para
pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, muncul dan meloncat masuk
dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima orang
maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak, ujung tombak tergetar menjadi
banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lwee-kang yang kuat. Kemudian
dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.
"Pergilah...!" Tosu itu berseru, hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung
kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
108 jungkir-balik dan terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat lagi dengan
sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar
biasa itu. "Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin bicara dengamya." Kembali kakek itu berkata
tenang. Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di
sebelah kiri mereka.
"Pangcu tiba"!" Terdengar seruan dari pintu depan.
"Kau mau bertemu Pangcu" Silakan!" kata seorang di antara pengawal-pengawal
bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.
Tosu itu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang
punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang
dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, anak panah,
tombak, golok dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah
kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang!
Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua telah berdiri di situ! Dia tersenyum
mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.
"Hemm" kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya" Agaknya
engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?"
"Tidak sama sekali!!" Jawab tosu itu. "Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab
ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali kalau menculik anak ini dan
berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang.
Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum bertobat dan berani menentang The-
taiciangkun" Kuharap saja engkau dapat sadar dan membiarkan pinto membawa pergi
nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di sini saja."
"Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu" Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati
di depan kakiku!"
"Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama)."
"Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kaukira aku Kian Ti
akan takut kepadamu" Engkau tidak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati
tanpa nama!" Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakan kedua lengan tangannya.
Jari-jari tangannya dibentuk seperti cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan
perlahan saling menyilang dan berputaran dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-
olah semua lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, kedua lengan yang
telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama
makin merah sampai akhirnya menghitam! Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam
Kun Liong terkejut sekali. Biarpun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh
itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah dia mendengar
penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mujijat, yang dilatih oleh
tokoh-tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.
"Suhu, dia mempunyai tangan beracun!" kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan
yang kehitaman.
"Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?" Li Hwa juga bertanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
109 Kakek itu tidak menjawab, bahkan berkata kepada Kiang Ti, "Kiang-kongcu, sebelum
terlambat kuperingatkan kepadamu agar sadar dan tidak menggunakan kekerasan
terhadap pinto seorang tua."
Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu seperti orang guru menasihati murid dianggap
sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan,
berlari sambil memekik nyaring, "Yaaatttt!!" Kedua tangannya yang berubah menjadi
hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali
tidak bergerak untuk menangkis maupun mengelak itu.
"Plakk! Bukkk!!"
Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah
pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan ia
roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dan mulutnya memuntahkan darah!
"Siancai"!" Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada
dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan
pinggirnya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-
apa. "Mengapa engkau keras kepala, Pangcu" Untung di dalam buntalan pinto yang
kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah
dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh."
Dengan tenang, kakek itu lalu melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang
merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.
"Tunggu" Locicianpwe" nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku
kelak...?" Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut.
"Hemmm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah
lama lenyap dari sungai telaga?" Tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap bersama anak
perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya dari pandang mata
Kiang Ti dan anak buahnya.
Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang "Aahhh" tongkat akar
cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini..."
Sungguh sialan..." Dia terguling dan roboh pingsan!
Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apalagi Kun Liong yang
merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang
cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka terengah karena kencangnya angin
menderu di depan hidung, secara tiba-tiba angin berhenti dan ketika mereka membuka
mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya
itu! Li Hwa melorot turun dari gendongan dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki kakek aneh itu. "Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu
bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!"
Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang dipuji-
puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti
dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiang Pek Hosiang, guru
ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu
Harum )! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Maka dia pun cepat
menjatuhkan diri berlutut.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
110

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Teecu juga mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-
san-pai yang mulia!"
Kakek itu tertawa sambil mengelus jengotnya. "Siancai"! Anak-anak sekarang benar-
benar bermata tajam sekali. Eh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa
pinto adalah Bun Hwat Tosu?"
"Suhu pemah menyatakan bahwa di antara sahabat-sahabat beliau yang memiliki
kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar
kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Ketika tadi Locianpwe menyebut kayu
cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu."
"Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun!
Gurumu terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang tinggi sekali
ilmunya, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang
jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana
mungkin pinto yang bodoh sederhana dapat dibandingkan dengan dia" Nah, Nona kecil
yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?"
Li Hwa mengangguk. "Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe
sudi singgah di rumahku, agar kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih
kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apabila mungkin dapat bertemu dengan
Suhu..." Kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan
dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap yang mulia. Nah,
pulanglah agar orang tuamu berlega hati."
Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di depan kaki kakek itu. "Teecu
menghaturkan terima kasih dan bermohon diri."
Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong. "Selamat jalan, Adik Li Hwa!
Jangan lupa kepadaku, ya!"
Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. "Mana bisa aku
melupakan itu?" dia menuding.
Kun Liong juga tertawa dan meraba kepalanya. "Mengapa ragu-ragu" Katakan saja
kepalaku, kepala gundul buruk!"
"Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah
penuh kutu, hi-hik!" Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang
seperti dua orang sahabat lama. Setelah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li
Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur.
Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu
memandang Kun Liong dan bertanya,
"Kun Liong, bagaimana engkau bisa tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-
pai?" "Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya
merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang,
berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
111 "Siapa nama ayahmu?"
"Ayah bernama Yap Cong San."
Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini.
"Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiang Pek Hosiang."
Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya. "Ahhh! Tiang Pek Hosiang bekas ketua Siauw-
lim-pai" Heran sekali! Dan dia itu sukongmu (kakek gurumu)?"
"Ayah adalah murid beliau."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Hemm, pantas kalau begitu" gerakanmu memiliki
dasar Siauw-lim-pai sungguhpun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh..."
"Dari ibu teecu." Kun Liong memotong.
"Hemmm, ibumu juga lihai sekali?"
"Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu
adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong?"
"Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah
kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!"
Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena
khawatir kalau-kalau gurunya membatalkan pengangkatan murid. "Harap Suhu tidak
membatalkan teecu menjadi murid."
"Kenapa" Engkau keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya
engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar
dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan
terhadap Siauw-lim-pai."
"Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!"
"Akan tetapi ayahmu?"
"Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Sudah tidak diakui lagi.
Menurut penuturan Ayah, Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-
pai, biarpun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik
para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu
tidak membohong."
Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiang
Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu
Harum ), akan tetapi dia tidak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu.
Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai karena
tersangkut persoalan gurunya. Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong
San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan
Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dan Tiang
Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang
Kayu Harum ). "Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau
belajar dari pinto?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
112 Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang tepat.
Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia menjawab, "Belajar dari ayah dan ibu
sendiri tidak akan maju, Suhu."
"Hemm, mengapa tidak akan maju" Ayahmu adalah murid Tiang Pek Hosiang yang
berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia)
yang sakti, tentu ayah bundamu memiliki kepandalan tinggi pula. Bagaimana engkau
dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?"
"Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, belajar
dari Ayah tidak akan dapat maju, adapun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah
sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju."
Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun
Liong, kemudian berkata, "Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya
seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah kati kenakalanmu maka engkau
meninggalkan rumah?"
"Wah, tidak" tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat
mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu."
"Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?"
"Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu
merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua
bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-
puji oleh Ayah."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Hemm" alasan ini pun tidak kuat dan hanya
menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja."
Kun Liong menjadi gugup, "Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci" benci" akan ilmu
silat!" "Heee?"
"Maksud teecu" teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul
lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang."
"kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?"
"Justru karena itu, teecu ingin memiliki ilmu kepandaian tinggi agar teecu dapat
mempergunakannya untuk mencegah orang-orang yang pandai silat menganiaya dan
memukul orang lain."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh
ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarmu, tidak perlu engkau belajar
lagi dari pinto."
Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan kini dia mengangkat mukanya
memandang kakek itu sambil berkata, "Harap Suhu suka menerima teecu, dan
sesungguhnya hal ini bukan semata untuk kepentingan teecu, melainkan demi
kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri."
Bun Hwat Tosu terkejut sekali, menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, "Apa
maksudmu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
113 Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar takut melihat betapa
ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah
kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai. Dia tahu bahwa orang-orang
aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal
yang masih dipentingkan hanya satu, yaitu nama yang menyangkut kehormatan. Maka
dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Ternyata kakek itu benar-
benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali!
"Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid
dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa kata-
kata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi
janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik
kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?"
Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu
dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata, "Yap Kun Liong,
sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan
menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar
engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa
kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat
menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat
menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun,
akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan,
yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai
dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?"
Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat. "Teecu menghaturkan terima kasih
atas kemurahan hati Locianpwe."
Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. "Hemm, kemurahan hati apa" Pinto terpaksa
dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan
penyelewengan!"
Serta-merta Kun Liong berkata lantang, "Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan
terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan
menyangkut nama Locianpwe!"
"Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-
kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan
Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama
pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai
Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali
semua ilmu yang kaupelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula
nyawamu atau nyawa pinto."
Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman
yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu
yang membuatnya mengkirik.
"Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe."
"Nah, mari kita pergi!" Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya telah
disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya
meluncur dengan cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang
panjang seperti seekor naga tidur di sebelah depan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
114 Sungainya laksana pita sutera biru
gunungnya laksana tusuk sanggul permata!
Sajak dua baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 " 824) pada waktu Dinasti
Tang (618 " 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di
sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi.
Memang luar biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali kalau
orang memandang dari puncak sebuah di antara gunung-gunungm melihat air Sungai Li
yang kelihatan seperti pita rambut sutera biru melambai dari rambut seorang perawan
jelita. Pemandangan di sepanjang sungai itu selain indah menakjubkan juga berubah-
ubah keadaannya, terutama sekali di bagian antara daerah Kuilin dan Yangsuo.
Gunung Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan
Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung Haiyang ini
mengalir turun dua batang sungai yang mengalir ke utara memasuki Propinsi Hunan
adalah Sungai Siang, adapun yang mengalir ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi
adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui, Sungai Haiyang dan ada pula yang
menyebutnya Sungai Kemala!
Lambang keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak
gunung yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini berbentuk sekuntum bunga
teratai yang sedang menguncup, segar kebiruan. Di lereng Gunung Teratai Biru ini
mendapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil peninggalan dari Dinasti
Tang. Kun Liong kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia
berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati keindahan
alam yang seperti sorga indahnya. Dari puncak ini tampak kota Yangsuo di sekitar
gunung berlapis-lapis dan berwama hijau, seolah-olah kota itu dipeluk oleh sekumpulan
daun-daun bunga.
Tak jauh dari situ tampak Gunung Pelayan Pelajar. Bentuknya seperti seorang kacung
pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di sebelah
kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar. Itulah Gunung
Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang berdiri berhadapan
dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk kedua buah puncak itu mirip dengan
singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk dengan tenang, gagah
perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas.
Tebing-tebing gunung yang menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui
pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya berwarna
putih berderet-deret sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya nama
Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet dengan warna merah,
dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah. Betapa luar biasa pemandangan di situ
dapat kita bayangkan. Di antara warna kehijauan pegunungan tampak tebing berwarna
merah dan putih itu! Semua keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke
selatan, memasuki daerah Simping. Di sini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan
Gunung Lukisan. Masih banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang
berbentuk aneh-aneh sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula. Patutlah kalau para
pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di sepanjang sejarah Tiongkok
berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya alam yang luar biasa, menulis
sajak-sajak abadi untuk memujinya. Para pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya
Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke
daerah ini. Tentu saja lebih banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang
mengagumi tempat itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
115 Semenjak kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa girang dan betah
sekali tinggal di tempat yang indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit mukanya putih
kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah seperti bibir
seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul pelontos tidak ada
rambutnya! Sampai lima tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh
Bun Hwat Tosu yang tidak sembarangan menurunkan ilmunya. Memang amat untung
bagi Kun Liong. Karena kakek itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek
Hosiang dan murid keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani
sembarangan menurunkan ilmu yang remeh kepada anak itu! Tentu saja dia merasa
sungkan kalau tidak mewariskan ilmu-ilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang
tokoh besar dunia persilatan itu. Maka dalam waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong
yang sudah memiliki dasar yang baik berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua
ilmu baru yang diciptakan sendiri setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-san-pai. Yang
pertama adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan
Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat kerena memang kakek ini terkenal
sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat ketika dia masih memegang tongkat kayu
cendana berukir kepala naga. Ilmu tongkat yang diajarkan kepada Kun Liong disebut
Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), disebut demikian karena gerakan kedua
ujung tongkat kalau dimainkan seolah-olah merupakan dua ekor naga mengeroyok
lawan! Biarpun selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini,


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya
sehingga Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega hatinya. Apa pun yang akan
terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang jelas,
pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biarpun murid yang tidak sah
atau tidak diakuinya! Rasa girang dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan
timbul keinginan hatinya untuk menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya
yang khusus diciptakannya untuk menandingi Ilmu Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong
yang kabarnya tiada yang dapat menandinginya!
Pendekar besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat,
yaitu yang disebut Thi-ki-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah
semacam daya tenaga sakti sinkang yang kalau digunakan begitu tangan menampel ke
tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot sampai habis masuk ke
dalam tubuh sendiri. Karena memiliki Ilmu Thi-ki-i-beng inilah maka Cia Keng Hong
dianggap sebagai tokoh yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang
dahulu dipakai perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw (baca
ceritaPedang Kayu Harum ) diam-diam Bun Hwat Tosu merasa penasaran dan
mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk
menghadapi Thi-ki-i-beng! Dan kini, ilmu itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ini yang
akan menandingi sehingga kalau berhasil, ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah
ditaklukkan olehnya!
"Kun Liong, pemahkah engkau mendengar akan ilmu yang disebut Thi-ki-i-beng?"
Setelah pemuda itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun Hwat Tosu bertanya.
Kun Liong menggeleng kepala. "Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah
itu?" "Thi-ki-i-beng pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya
seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong."
"Ahhh, Supek (Uwa Guru)" Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang
sakti yang jarang ada tandingannya."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
116 "Ibumu benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia memiliki Thi-ki-i-beng.
Akan tetapi, pinto telah menciptakan sebuah daya sin-kang yang hendak pinto ajarkan
kepadamu. Ilmu ini adalah kebalikan dari Thi-ki-i-beng. Kalau Thi-ki-i-beng mempunyai
daya menyedot sin-kang lawan, maka ilmu ini mempunyai daya membetot sehingga
kalau engkau sudah berlatih dengan sempurna, pukulan-pukulan beracun lawan dapat
kauhindarkan dengan ilmu ini, juga mungkin, dalam hal ini pinto sendiri belum yakin
benar, mungkin saja ilmu ini akan dapat menahan daya sedot Thi-ki-i-beng."
Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul.
"Maukah engkau berjanji kepadaku?"
"Tentu saja, Locianpwe."
"Kelak, kalau ada kesempatan, engkau cobakanlah sin-kang ini untuk menahan Thi-ki-i-
beng dari Cia Keng Hong. Maukah engkau?"
Kun Liong terkejut dan maklum betapa akan sulitnya mencoba ilmu sakti dari supeknya
itu. Akan tetapi melihat betapa sikap kakek itu penuh gairah, diam-diam otaknya yang
cerdik dapat menangkap bahwa agaknya bekas Ketua Hoa-san-pai ini sengaja
menciptakan ilmu sin-kang ini untuk menghadapi Thi-ki-i-beng, bukan menghadapi
sebagai musuh, melainkan hanya memuaskan hati sudah dapat memecahkan Thi-ki-i-
beng yang tersohor di seluruh dunia persilatan. Maka dia tidak tega untuk menolak,
benar-benar tidak tega, bukan karena inginnya mempelajari ilmu sin-kang itu.
"Teecu berjanji, Locianpwe."
"Bagus! Nah mulai sekarang, kalau siang kaupergunakan untuk melatih kedua ilmu silat
yang sudah mendekati kesempurnaan itu, kalau malam engkau pergunakan untuk
melatih sin-kang ini."
Mulai hari itu, Bun Hwat Tosu melatih sin-kangnya yang memiliki daya membetot itu
kepada Kun Liong, yang menerimanya dan berlatih dengan amat tekun, kadang-kadang
sampai tidak tidur semalam suntuk!
Demikianlah, lima tahun lewat dengan cepatnya, Kun Liong telah berusia lima belas
tahun, menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh sedang dengan pinggang kecil
dan dada lebar. Wajahnya tampan sekali, kadang-kadang kalau dia tersenyum dan
menggerakkan alis malah kelihatan cantik karena mulut, mata dan gerakan dagunya
mirip dengan ibunya. Gui Yan Cu seorang wanita yang amat cantik jelita. Dagunya yang
amat meruncing itu kadang-kadang tampak lembut seperti wanita, akan tetapi kadang-
kadang mengeras dengan sedikit lekuk membayangkan kekuatan kemauan yang tak
tertundukkan. Sinar matanya yang kadang-kadang lembut seolah-olah wataknya lemah
dan cengeng, akan tetapi kadang-kadang sinar matanya membayangkan cahaya kilat
yang menyeramkan, keras dan tajam menembus jantung. Matanya lebar, kepalanya
yang masih tetap gundul itu bundar dan dahinya lebar. Alisnya berbentuk golok,
hidungnya mancung dan mulutnya agak kecil. Mungkin karena selama lima tahun hidup
di samping seorang kakek tua renta, seorang tosu yang mengutamakan kesederhanaan
dan kewajaran, maka pakaian Kun Liong juga sederhana sekali, demikian pula dalam
gerak-geriknya tampak kesederhanaan dan kewajaran, sungguhpun kadang-kadang
bersinar dan mulutnya tersenyum penuh kenakalan.
"Kun Liong, sudah saatnya pinto mengakhiri hubungan di antara kita. Lima tahun telah
lewat seperti yang pinto janjikan dan pinto telah berusaha sebaik mungkin untuk
menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi yang pinto miliki kepadamu. Mulai saat ini, kita
berpisah dan engkau boleh mengambil jalan hidupmu sendiri. Pinto tidak menganjurkan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
117 atau memaksamu, akan tetapi sebaiknya kalau engkau kembali kepada orang tuamu
agar mereka tidak gelisah memikirkan kepergianmu. Nah, selamat berpisah!"
Tanpa menanti jawaban Kun Liong yang sudah menjatuhkan diri berlutut, kakek itu
melangkah pergi meninggalkan lereng Gunung Teratai Biru. Sampai beberapa lama Kun
Liong tetap berlutut, menekan keharuan hatinya. Betapapun juga, selama lima tahun dia
tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di samping melayani gurunya, mencari
kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima tahun itu hubungannya dengan guru yang
tidak mau diakui sebagai guru itu, berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara
dia dan gurunya dan begitu gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa
sunyi dan tidak menyenangkan tempat yang indah itu!
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang.
Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya mengenai
keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.
"Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira
hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya" Di manapun juga, di dalam kota
yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah
kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan terasa
dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran
manusia kemasukan hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu
menjadi penuh sesak, mata tidak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya.
Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, yang berduka akan buta oleh
kedukaannya!"
Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi
kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Dia membantu
para pelancong membawakan barang-barangnya, adakalanya membantu penebang kayu
dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho.
Dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok. Tidak ada seorang pun yang
mengenal pemuda tanggung yang berkepala gundul ini, karena lima tahun yang lalu, Kun
Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut
panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala
gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya
sederhana. Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak mengenal cucu
keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Disangkanya hanya
seorang tamu yang hendak berbelanja, sungguhpun dia memandang heran melihat
seorang pemuda aneh, disebut hwesio akan tetapi biarpun gundul pakaiannya bukan
seperti pendeta, kalau bukan hwesio mengapa kepalanya gundul" Barulah dia kaget
ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,
"Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku" Aku adalah Kun
Liong." Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di
bawah kepala gundul. "Aihhhh... Kun Liong... engkau...?" Tergopoh-gopoh dan
membongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok keluar dari tokonya memegang tangan Kun
Liong dan menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan
seorang pegawai untuk menjaga toko.
"Engkau ke mana saja" Dan mengapa kepalamu...?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
118 "Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Kenapa rumahku ditutup" Dan ke mana perginya
Ayah dan Ibuku?" Kun Liong balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman
kakeknya. "Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang" Telah begitu lama... bertahun-tahun...
aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu..."
"Kukong, apa yang telah terjadi?" Kun Liong bertanya.
Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan,
kemudian dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia
menceritakannya semua, tentang pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong
San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah
keluarga Yap disita oleh pemerintah, toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan
tarikan napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang ibumu terlampau keras hati, kalau menurut nasihatku, kita dapat menggunakan
uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga tidak perlu mereka
melarikan diri dan rumah mereka disita."
Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan
main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang
nakal dahulu itu telah menimbulkan malapetaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah
bundanya celaka karena dia! Kegagalan mengobati itu tentu karena tertumpahnya obat,
ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan
mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal
mengobati, dan ibunya telah membebaskan ayahnya. Karena itu, ayah bundanya
terpaksa lari. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah serta
toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!
"Sudahlah, Kun Liong, jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat
menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau
pergi dari mengapa kepalamu gundul" Apakah engkau masuk menjadi hwesio?"
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang
kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku hendak pergi menyusul
ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"
"Mana aku tahu" Mereka pergi tanpa memberi tahu dan semenjak itu, tak pernah
memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan
petualang!" Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, kelihatan
berduka sekali. "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini."
"Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku." Kun Liong bangkit
dari duduknya. "Eh-eeehhh" nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"
"Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku." Memang di dalam
hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah bundanya untuk menyatakan
penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.
"Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal
dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu?"
"Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
119 "Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan." Tanpa
menanti jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu lari ke dalam kamarnya dan tak lama
kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. "Terimalah ini,
pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi ergkau
sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel."
Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang
sudah tua itu Pendekar Pemetik Harpa 2 Bara Naga Karya Yin Yong Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6
^