Petualang Asmara 5

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi
hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang
mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan
menggelengkan kepala dengan muka muram.
Setelah keluar dari kota Leng-kok, Kun Liong sejenak berdiri bingung. Ke mana dia
hendak menuju" Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian"
Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tidak salah lagi dalam menghadapi kesukaran itu, tentu
ayah bundanya pergi kepada supeknya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung
Cin-ling-san! Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan
perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi
ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san,
tempat kediaman supeknya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu.
Kun Liong dapat melakukan perjalanan cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi
menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal
uang yang diterima dari kukongnya cukup banyak, bahkan lima stel pakaian dalam
buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.
Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di
sebelah selatan kota Tai-goan, di tepi Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah
tidak terlalu jauh lagi. Dia sudah tiba di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-
ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat.
Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia
menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus
biarpun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian
orang. Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi
seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapapun juga, dia melirik
dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang
memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik
manis. Biarpun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera ketika dia
lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu
melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu
dan juga jengkel. Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan
tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya" Dia menghampiri meja di mana
terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi, untuk mencuci muka. Melihat
bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal.
Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan
baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan
mengejek! "Sialan kamu!" Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja
membenamkannya lama-lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai
akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-
engah! Digosoknya muka dan kepala gundulnya kuat-kuat dengan saputangan. Air
baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi
bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin
menyebalkan hatinya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
120 "Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa peduli?"
Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan
melempar tubuhnya ke atas pembaringan.
Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis kalau wajah itu tertawa, dan
terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, "Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih
sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!"
Ahhh, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin satu-satunya anak
perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di
manakah anak itu sekarang" Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan
tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang
kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu ! Kun Liong menarik napas panjang, agak
kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, mengapa dia kecewa" Mengapa dia seperti menyesal
dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo"
Dia bangkit duduk dan termenung, meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia" Tadi,
bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena
anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa
disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa"
"Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?" demikian celanya. Tidak, bukan iri hati
karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu
silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis mengapa"
Karena putus harapan, melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia" Terlalu tinggi
untuk apa" Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan
jengkel. "Plakk!" Kepala gundulnya ditamparnya sendiri. "Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu
tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi" Dan masih belum tentu lagi! Yang
berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku,
siapa berhak melarang" Dan kalau dia" wah celaka, aku sudah gila!" Kun Liong
terbelalak. "Plakk!" Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi. "Apa-apaan ini
mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini"
Tolol!" Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong tidur pulas!
Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka lagi,
membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah
restoran cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang
pelayan menyambutnya.
"Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan" Maaf, di sini tidak disediakan
makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja."
Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidah.
Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, "Aku bukan hwesio!"
"Ahh, maaf" Tuan. Apakah Tuan hanya sendiri" Sayang meja telah penuh semua,
kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain?"
Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia nenoleh. Benar saja! Gadis
remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan saputangan suteranya,
menahan suara ketawa biarpun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki
yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum. Seorang di antara mereka,
yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata
kepada pelayan yang sedang longak-longok mencarikan tempat duduk untuk Kun Liong.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
121 "He, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih
kosong!" Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk
mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk untuk Kun
Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, "Tuan hendak
memesan makanan apa?"
"Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu
kami!" kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan mengangguk-
angguk kemudian pergi.
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan
peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh
tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi
kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu
tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti
dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh
menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli
lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, "Terima kasih!" Kemudian duduk di
atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan
terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga
puluh tahun, berkata,
"Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak
sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi."
Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di
depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara
terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu
memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi
gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap
wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya
mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa
menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang
terlarang. Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, "Harap saja Siauw-
suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan
makan daging dan minum arak, dan?"
"Saya bukan hwesio!" Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena
dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang
disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia
sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio
yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum
arak, lupa kepada kepalanya yang gundul! "Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang
pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!"
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak
dapat menahan ketawanya. Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan
sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
122 itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi
putih mengkilap.
"Brakkk!" Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya,
tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya. "Mengapa
engkau mentertawakan aku?" Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan
kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak
lebih tua dari dia. Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah
mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-
marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya.
"Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau," laki-laki tertua
berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, "Sumoi,
sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham."
Laki-laki ke dua juga berkata, "Maafkanlah kami yang salah menduga karena
sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda."
Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi,
akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia
ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong, "Salahnya
sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas" Sepatutnya dia
memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."
"Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang" Ini adalah
kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa
engkau" Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak
pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!"
"Ihhh...!" Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang
pedangnya. "Engkau" engkau menghina, ya?" bentaknya.
"Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau
mengamuk!"
"Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"
"Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!" Laki-laki tertua membentak sumoinya dan
anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan
cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main
dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini?"
"Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun" eh, anumu" Apakah
kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu" Begitukah?"
Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia
sudah didesak ke sudut.
"Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita
makan. Silakan!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
123 Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu
sambil berkata, "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya
diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini amatlah
kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya" Maafkanlah!" Kun Liong
mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
"Sian-sumoi, jangan!"
Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh.
Jadi namanya pakai huruf Sian, ya" Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau,
ya" Eh, mengapa awas" Dia mau apa" Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri,
untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama
kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar.
Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata, "Aku
bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!"
Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan
ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun
Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang
sedang makan minum di ruangan itu. Karena tidak mengenal nama-nama masakan,
apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang
mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan
lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga
orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih
mengiang di telinganya.
"Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?" Suara ini halus dan
kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
"Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar
Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu.
Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah
menewaskan seorang anggauta kami. Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-
eng-pai." "Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?"
"Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya
baru empat belas tahun."
"Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?"
"Benar, aku melihat mereka masuk tadi."
"Hayo, tunggu apa lagi" Kita datangi mereka."
"Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she
The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan
rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di
tempat sunyi..."
"Sssttt... cukup. Mari minum!"
Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan
dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka
menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia
teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia. Apalagi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
124 mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu
yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan
besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dahulu menculik Li Hwa" Dan isi
percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
"Traakkk..." Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah
mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja
mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang
kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia
mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun,
berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal
Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya, kemudian
memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami
isteri itu! Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa
tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau
Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa! Tidak salah
dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan
menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan
Hek-tok-ciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat
yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi
Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini,
berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja
itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya,
keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang
suhengnya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam,
siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu
keponakan murid dari "orang she The" yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo,
mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang
diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam
hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar
kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi
sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera
membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga
orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu
dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari
kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki
Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan
di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang
selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas
bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di
dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya!
Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik
batang pohon! Mengapa lima orang" Kun Liong dapat menyelinap di antara pohon-pohon
dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum
tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang "dilindungi" itu adalah orang-
orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran
adalah lima orang yang muncul itu. Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan
Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul" Atau barangkali lima orang ini adalah anak
buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
125 "Siapakah kalian" Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?" Dara
remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan
takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang
dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih
seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi
menggerakkan kedua tangan.
"Singgg"!" Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan
kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar
telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini
tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih
pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!
"Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw" Ada maksud apakah Ngo-wi
menghadang perjalanan kami tiga saudara?"
"Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?" Seorang di antara lima orang itu, yang
berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, "Bukankah kalian bertiga adalah
tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah
memusuhi kami?"
Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara
lantang, "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi
Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami
bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami
untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan
negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!"
"Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!" Teriak orang
Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando
karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri,
disusul gerakan mereka menerjang ke depan.
Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke
kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup
teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi
para pengeroyok.
Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara
remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya
menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya
masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya.
Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw,
mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu,
menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya.
Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan
dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga
saja. Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat.
Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit
nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting
senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang
pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena
senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari
asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
126 Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan
dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang
suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan
bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia
sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta
Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari
ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia
sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan
tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri" Akan
tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi,
melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.
"Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!" Lim Hwi Sian berkata sambil
menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.
"Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu
mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak,
kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan
Suhu tentu tidak menugaskan kita." Tan Swi Bu juga berkata.
"Kata-kata yang baik!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah
muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang
melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw
Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang!
Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba
membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi
kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring,
"Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?"
Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh
gairah. "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"
"Cih! Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan
pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan
mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.
"Ihhhh" iblis keparat!"
"Sumoi, tunggu dulu!" Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat
mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka, "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi,
agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah
dengan kami?"
"Ha-ha-ha-ha!" Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti
yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan
karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang
membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-
siucai, ha-ha-ha!"
Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-
pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya
untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam
dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi
bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup
menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw
tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
127 Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan
tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang,
kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"
"Bocah lancang mulut!" Kiang Ti membentak. "Engkau berani memaki guruku" Aku
adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk
menyerang Hwi Sian.
"Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan
menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya
untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu. Dua orang ini melihat pukulan yang hebat
dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh
dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan
serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya
dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan
sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tidak ada jalan lain baginya kecuali
meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa
meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya
yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya
dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi
benar-benar amat dahsyat.
"Hiaaaattt!" Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah
menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.
"Cring! Tranggg!!" Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak
bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu.
Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja
terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus
mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.
Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi
Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan
tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia
mencari tempat pengintaian yang lebih dekat. Biarpun ilmu pedang dara itu amat
tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang
amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian,
dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari
sambil mengejek dan menggoda,
"Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh,
tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"
Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu
telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium
pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.
"Biadab"!" Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil
menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh
tenaganya. "Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!" Ouw-siucai melepaskan pedang yang
dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap,
akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya
sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika
lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
128 siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar
amat lihai. "Ouw-twako" lekas robohkan dia dan bantulah aku?" Terdengar Kiang Ti berseru minta
bantuan kepada temannya.
"Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku
menemanimu!" Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat
sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan
darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan
pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus
tidur dulu oleh totokan!
"Ouw-siucai sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong
pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar
untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw
mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari
sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena
hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung
unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka
pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh
Ouw-siucai terhuyung ke belakang!
"Ehhh"!" Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana
elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan "hwesio" muda
itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan
mencampuri urusanku?" Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada
Kun Liong. Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio
busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang
dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi
terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem.
"Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah
engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang
lalu?" Kun Liong menegur. "Bukankah banyak kitab kuno yang kaubaca, yang mengajar
bagaimana orang harus hidup benar" Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar
malah makin gila!"
Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. "Siauw-suhu dari kuil dan golongan
mana" Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi
dan permusuhan dari kedua golongan!"
Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan
di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
"Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!" Dia membentak. "Bahkan aku sama
sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa
isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri
itu. Ingat?"
Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. "Wah-wah"!" Dia
menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi kau" Si Gundul bocah tukang perahu itu?""
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
129 "Wuuuuttt, plakkk!" Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah
menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal
ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi
sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong. Pemuda gundul ini hanya mengira
bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan
tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat
Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang
mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak
meluncur! "Bocah setan, kau bosan hidup!" Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan
pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat
sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat
permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya
menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang
mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia
menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima
tahun. "Bukkk! Auuuuwww" duhhh"!" Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang
seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau malah berani memukul kepalaku, ya" Benar-benar engkau orang jahat, perlu
dihajar!" Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada
lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini
memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya
ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.
"Plenggg!" Dan dia terguling! Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan
pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang
dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru
dalam ilmu silat sakti ini!
Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat
meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya
meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya
menerjang Kun Liong.
"Trangggg!!"
Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk
menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi
Sian dan sastrawan itu. Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja,
Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa
ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan
meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan.
Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan
hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan
Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini
dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan
itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka
baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan
kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga
kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang
itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
130 terdengar suara "buk!" dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul
sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk!
Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan
temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat
temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi
kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan,
kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama
sekali! Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata, "Mereka sudah
mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?"
Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong
dan orang tertua di antara mereka itu menjura, "Ah, kiranya Laote adalah seorang
pendekar muda yang berilmu tinggi!"
"Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!" kata pula Tan Swi Bu.
"Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini
celaka di tangan siucai busuk tadi!" kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun
Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih
berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk
oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari
dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia
berkata, "Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!" Setelah
berkata demikian, dia lalu melangkah perlu tanpa menengok lagi.
"Eh, sungguh aneh!" kata Tan Swi Bu.
"Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai
kepalanya, Sumoi!" kata Poa Sut It menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang
gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah
pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama
ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap
pemuda itu seorang hwesio!
"Biarlah aku minta maaf kepadanya!" katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang
sudah lenyap di balik sebuah tikungan. Kedua orang suhengnya hanya saling pandang
dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-
mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu
sehingga mereka dapat saling berkenalan.
"Tai-hiap, tunggu dulu"!"
Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok,
tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di
depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku "tai-hiap"! Jantung Kun
Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini" Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu
kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi
diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini
mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
131 "Kau" kau mau apakah menyusul aku?" tanyanya, gagap karena pandangan mata dara
itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
"Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap?"
"Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong" Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara
lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap,
baik ejekan maupun pujian."
Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung. "Habis
disuruh menyebut apakah aku ini?"
"Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar
kecil. Sebut saja namaku, beres!"
"Wah, mana aku berani" Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja."
"Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul
yang?" "Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami
berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah
membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak" tidak adakah maaf bagiku?"
Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani,
kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju
digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan
tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya" eh,
malu karena kepalaku?"
"Mengapa dengan kepalamu" Kepalamu tidak apa-apa, bahkan" hem" baik sekali
bentuknya!"
"Sesungguhnyakah?"
"Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh?"
"Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel."
"Kun" Kun Liong, aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat
membalasmu?"
"Hemm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kauperkenalkan
kepadaku, Lim Hwi Sian!"
"Eh, engkau tahu?""
Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.
"Setan gundul tentu saja tahu segala!"
Mata yang jernih itu terbelalak. "Engkau aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak
menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun?"
"Teruskan saja! Ha-ha, memang aku gundul. Nih, halus bersih, kan?" Kun Liong
menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. "Kau boleh menyebut aku gundul seribu
kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
132 "Siapa yang jijik" Aku senang melihatnya. Memang, lucu, akan tetapi lucu bukan berarti
buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tak pemah buruk! Semua orang ingin
memeluk dan menciumnya."
"Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?" Kun Liong
memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu
dan kedua pipinya berubah kemerahan, apalagi bibirnya yang menjadi merah sekali.
Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!
"Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku telah kautolong, entah
bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu."
"Benarkah engkau ingin membalasnya" Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta
kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?"
"Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?"
"Sumpah?"
"Sumpah apa?"
"Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?"
"Aku bersumpah!"
"Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian."
"Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, katakan, apa
permintaanmu itu?"
"Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm..."
"Mau apa sih engkau ini" Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu."
"Hwi Sian, aku ingin kau... eh, mencium gundulku satu kali saja!"
Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah akan tetapi
matanya mengeluarkan sinar aneh, tersipu dan berseri. "Dekatkan kepalamu," katanya
lirih. Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan
kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa kira, dara itu menerima
permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan
kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian. Dara itu tanpa ragu-ragu memegang
pinggiran kepalanya dengan kedua tangan, lalu menunduk dan mencium kepala gundul
itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang
dimintanya! Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir
hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya,
membakar darahnya dan membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan
mendadak dia mengangkat mukanya menengadah dengan tubuh masih agak
membungkuk sambil berkata, "Kau baik sekali... uppphh..." Karena dia membuat
gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa
disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan
muka merah padam!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
133 "Ehhh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tidak sengaja...! Terima kasih, engkau...
engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini..."
"Ihhh... hu-hukk..." Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu meloncat dan lari
pergi meninggalkan Kun Liong!
"Hwi Sian...!" Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di
tikungan. Kun Liong tidak berani mengejar, merasa malu sekali kalau sampai peristiwa tadi
diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil
mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum kalau teringat
betapa Hwi Sian telah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya
dengan pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.
Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium
tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut,
menyedot penuh kegembiraan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti
yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan
mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.
"Bruuuusss!!" Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon.
Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi
mulutnya masih tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.
Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua
jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba
dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main.
Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini telah dikenalnya. Dua
orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan
lima orang lagi adalah anggauta Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri dihajar oleh
Hwi Sian dan dua orang suhengnya. Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang
berpakaian seperti tosu, usianya tentu enam puluh tahun lebih, memegang tongkat yang
panjangnya hanya tiga kaki. Yang mengejutkan hati Kun Liong dan yang membuat dia
mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak
putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi
Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir ayahnya ketika hendak membunuh tiga
orang perwira pengawal di Leng-kok!
"NAH, itulah dia setan cilik gundul!" Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika
mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. "Dialah yang terlihai di antara mereka!"
Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia
maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia
tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut. Dengan tegak dia
berdiri, membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia bertanya kepada
Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, "Cu-wi (Anda
Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?"
Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan biji matanya dan berusaha
memandang lebih jelas. Biarpun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk
seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya dapat menangkap lebih
jelas lagi, membuat dia yakin bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang anak laki-
laki berusia paling banyak enam belas tahun. Yang membuat dia heran adalah karena
dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tidak dibuat-buat dan sikap
tenang seperti ini dalam keadaan dikurung lawan hanyalah sikap seorang jagoan yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
134 memiliki kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja
dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan
kemampuannya, melainkan tidak merasa bersalah.
"Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar." Loan Khi Tosu berkata
dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, teman-temannya ini
kewalahan dan kelihatan jerih benar"
"Biarpun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena
dia maka mereka dapat lolos!" kata Kiang Ti.
"Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?" Tosu
itu kini bertanya.
"Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin
melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang
seperti yang kaulakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!"
"Siancai...!" Loan Khi Tosu mengerutkan alisnya. "Engkaulah setan cilik itu" Saudara-
saudara tangkap dia ini! Dia putera Yap Cong San di Leng-kok!"
"Ehhh...?" Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh persilatan karena dia adalah ketua
perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, "Akan tetapi bukankah Yap-sinshe (Tabib
Yap) itu murid Siauw-lim-pai?"
"Bukan murid Siauw-lim-pai lagi," kata Loan Khi Tosu. "Dia sudah tidak diakui lagi dan
hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai."
"Tapi... ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!" Kembali ada bantahan dan
sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.
"Benar, dan karena itulah maka kita tidak akan membunuhnya, hanya menangkapnya
sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, kita
dapat memancing tenaga bantuan ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai
juga..." Mengertilah para teman tosu itu dan serentak mereka lalu menubruk maju hendak
menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri tidak mengerti akan maksud percakapan
mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.
"Eh, eh, kalian ini mau apa" Aku tidak ingin berkelahi! Antara kita tidak ada urusan apa-
apa!" Namun, percuma saja dia berteriak teriak dan karena ada tujuh orang yang
mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali
tubuhnya kena hantaman. Biarpun semua pukulan itu meleset karena otomatis sin-
kangnya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, namun kulit tubuhnya
terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apalagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai
kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong. Dia sendiri tidak tahu
mengapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari
sin-kang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia
tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sin-kang istimewa dari bekas Ketua Hoa san
pai itu! Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
135 setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu
meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!
"Hiiittt!!" Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing
menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut
itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu setelah mukanya biru-biru
dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua. Mulailah dia mainkan Ilmu Silat Pat
hong sin kun dengan teratur dan dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika dia
mainkan ilmu ini, dalam beberapa gebrakan saja serangannya membuat tiga orang
pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para
pengeroyoknya! Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apalagi membunuh,
dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawan roboh saja
tanpa terluka sehingga mereka bangkit kembali. Kalau saja setiap pukulannya disertai
tenaga sin-kangnya yang istimewa, agaknya sekali terkena pukulannya, tiap lawan itu
tentu takkan mudah untuk bangkit kembali!
Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu
bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya, akan tetapi
ilmu silat yang dimainkan anak ini, luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat
Siauw-lim-pai biarpun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya lebih
tajam menangkap setiap gerakan daripada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia
menggerakkan tongkatnya pada saat yang tepat dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan
darah di pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya
dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat!
"Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan
hukum lagi" Di mana perikemanusiaan kalian" Tidak tahukah kalian akan hukum dunia
dan akhirat?"
Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu.
Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak
lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih mampu meloloskan diri
dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain
dengan suara mulutnya.
"Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu kejam melebihi iblis.
Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kaupakai hanya untuk
menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan
karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!"
"Bukkkk!!"
Untung Loan Khi Tosu masih ingat bahwa pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-
kauw, kalau tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya
menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan
sin-kangnya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah, nyeri bukan main
rasanya sampai menembus ke tulang sumsum. Biarpun demikian, dia tidak mengeluh,
hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata
setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. "Ouw Ciang Houw manusia cabul!
Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan,
berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi
agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal
sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
136 tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka.
Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kauincar?"
"Desss!!" Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin
membunuh, biarpun amat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar
sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari
dadanya, menghentikan napasnya.
"Siancai" kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak kubebaskan
totokannya!" Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga terbebas
dari totokan. Biarpun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas lagi dan bebas
dari cengkeraman maut.
Setelah Kun Liong siuman, dia mendapatkan dirinya dipanggul oleh seorang di antara
para anggauta Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari
sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat keluar
dari hutan itu sebelum gelap. Kun Liong mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti
seekor babi yang dibelenggu kuat-kuat, kepalanya tergantung di belakang punggung
orang tinggi besar itu, di dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau
yang keluar dari ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat
mengeluarkan bau tak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa seperti ini,
begitu dekat terus-menerus dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi baunya, melainkan
keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apalagi kepalanya tergantung terus
mendatangkan pusing!
Betapa girangnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas!
Dengan hati-hati dia menggerakkan sin-kang dari pusarnya, dan dengan bantuan sin-
kang ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat dan berhasillah dia
meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah tidak
tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang yang
memanggulnya. "Krekkk!" Tamparan itu membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang
itu memekik dan tubuh Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena kedua
kakinya masih terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi
Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya sudah dibelenggu lagi dengan
lebih erat daripada tadi! Sekali lagi dia dipanggul oleh orang lain dan kini oleh Kiang Ti
sendiri, dengan tubuh bagian atas di depan agar kedua tangannya dapat selalu diawasi
oleh pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa
lagi biarpun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti!
Rombongan itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan,
akan tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja dan
diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu. Dia
maklum bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw,
dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima orang
anggauta Pek-lian-kauw. Dia mendengarkan percakapan mereka dan tahulah dia bahwa
ternyata ada kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh
Si Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah
berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya mereka
dapat bekerja sama, sedangkan Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau
menghambakan diri kepada Si Bayangan Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara
Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan
Kiang Ti sebagai perantara, maka tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan
Pek-lian-kauw. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
137 "Dengan bantuan yang amat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa
perjuangan rakyat akan berhasil dalam waktu singkat!" kata Loan Khi Tosu dengan suara
penuh semangat.
Ingin sekali Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan
lemas sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia
ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia penuh dengan manusia-manusia yang
mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu
malu manusia-manusia seperti itu. Sejarah telah menunjukkan betapa kekuasaan-
kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada saat bangkit, pada
saat berusaha merenggut kekuasaan, selalu mempergunakan nama rakyat jelata! Demi
rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk
tercapainya cita-cita mereka. Pemerintah yang sekararang ini, di bawah kekuasaan
Kaisar Yung Lo, pada waktu memperebutkan tahta kerajaan dengan keponakannya
sendiri, pada waktu perang saudara, juga mempergunakan nama rakyat untuk
memperoleh dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu
membonceng kepada nama rakyat. Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah,
karena yang mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja
dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Dengan
sendirinya rakyat yang menjadi korban, menjadi bingung dijadikan permainan orang-
orang seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw. Setelah kini Yung Lo
menang dan menjadi kaisar, timbul penentangnya, yang paling hebat adalah Pek lian
kauw yang kembali menggunakan nama rakyat sebagai dasar perjuangannya! Hendak
dibawa ke manakah rakyat ini" Apakah selama dunia berkembang rakyat hanya akan
menjadi permainan belaka demi pemuasan nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang
menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin rakyat " Pernahkah ditemui mereka yang
tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, setelah berhasil dalam
perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata" Ataukah mereka itu lalu lupa
karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti
pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu
terdapat olehnya" Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai
batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka!
"Harap Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu
akan suka bekerja sama dengan Pek lian kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk
menghancurkan manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan
golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang" Kwi eng
pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, siapa yang
tidak gentar mendengarnya?" kata Kiang Ti dengan bangga, menyombongkan nama
besar gurunya. "Sayang saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang.
Akan tetapi saya yakin dengan perantaraanmu, saya akan dapat menghadap Kwi eng
Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar itu sebagai seorang
di antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua orang
wanita, pertama adalah Kwi eng Niocu, dan ke dua adalah Siang tok Mo li. Benarkah?"
tanya Ouw Ciang Houw.
Kiang Ti, Ketua Ui hong pang mengangguk-angguk. "Benar demikian, akan tetapi aku
sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang tok Mo li (Iblis Betina Racun Wangi).
Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguhpun aku tidak percaya akan
lebih lihai dari Subo."
"Dan siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?"
"Yang saya ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang tok Mo li, dan
ke tiga Ban tok Coa ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya sendiri
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
138 belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo saja. Sudahlah,
kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri pernah melarang saya
menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus, menyebut nama mereka saja
sudah cukup untuk mengundang mereka"
"Ihhh...!" Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri!
"Siancai... ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk. Mudah-
mudahan melalui hubungan dengan Kwi eng pai, kami akan dapat menghubungi pula
para datuk yang lain," kata Loan Khi Tosu.
Percakapan dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan
percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Percakapan
tadi membuat dia teringat kepada Ban tok Coa ong Ouwyang Kok kakek yang
mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi datuk kaum sesat,
kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama Ouwyang Bouw itu.
Meremang bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu.
Kepalanya menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah dia digigit ular
beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya rontok semua! Kelak dia
harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak ada orang yang dibikin gundul
seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat betul-betul baru dia mau sudah!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan
kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget seorang di
antara para anggauta Pek lian kauw di luar! Semua orang kecuali Kun Liong yang masih
terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin, lari ke luar. Kun Liong mendengar
suara orang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak dapat mendengar jelas dan
tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari tempat itu. Tiba-tiba dia melihat
bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram karena hari masih amat pagi dan sinar
matahari baru sedikit menyinari ruangan dalam kuil itu di mana dia berada.
"Engkau Kun Liong, bukan?" Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas
bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja.
Tentu Hwi Sian, siapa lagi" Berdebar jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas
karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat menjawab
pertanyaan aneh itu, karena kalau Hwi Sian perlu apa bertanya lagi apakah dia Kun
Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang mengeluarkan
sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di tangan Kun Liong putus
semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini!
Kun Liong yang telah terbebas dari totokan dengan sendirinya malam tadi, menggosok
gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati rasa. Kini dia
memandang terbelalak. Dara ini bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biarpun dara
remaja yang agak lebih muda ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan
agak dingin. Sikap dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang
mengeras, dan matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan.
"Kau... kau siapakah?"
"Engkau tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok."
"Aihh! Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang
dara yang... ah, cantik jelita!" Kun Liong berhenti ketika melihat sinar mata itu tiba-tiba
menjadi tajam sekali ditujukan kepadanya. Cepat dia menyambungnya, "Dan engkau
menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok, bagaimana engkau bisa mengenalku?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
139 Bi Kiok menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja
di dunia ini, mana ada kepala gundul lain kecuali dia" Kalau ada pemuda gundul, tentu
para hwesio! Tak terasa lagi ia menggerakkan tangan mengelus kepalanya, memandang
Bi Kiok sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bi Kiok. Engkau telah dua kali menyelamatkan nyawaku. Yang pertama di
sungai dahulu dan kini..."
"Sudahlah. Harap engkau cepat-cepat pergi dari sini. Kalau terlambat, aku benar-benar
takkan dapat menyelamatkan nyawamu lagi. Cepat pergi, Kun Liong dan jangan banyak
bertanya!"
"Ah, mengapa begitu" Apakah aku tidak boleh bicara denganmu setelah pertemuan yang
tak tersangka-sangka ini?"
"Tidak, jangan! Pergilah!"
"Hanya untuk mengucapkan terima kasih juga tidak boleh?"
Dara itu menghela napas. "Engkau bandel. Mereka semua akan mati, dan engkau juga
kalau tidak lekas pergi!"
Melihat dara itu gelisah sekali Kun Liong menjadi tidak tega. Dia tidak takut akan
ancaman maut, akan tetapi dia tidak mau menyusahkan hati dara yang telah dua kali
menolongnya ini. "Baiklah, Bi Kiok. Aku pergi, akan tetapi terimalah ucapan terima
kasihku kepadamu!" Rasa terima kasih membuat Kun Liong memegang tangan kanan
dara itu, membawa tangan itu kepada... kepalanya yang gundul sehingga terasa olehnya
betapa telapak targan yang halus hangat itu menyentuh gundulnya! Heran sekali dia di
dalam hatinya, mengapa dia ingin sekali gundulnya disentuh oleh tangan dara ini" Akan
tetapi Bi Kiok merasa geli dan menarik tangannya biarpun dengan halus.
"Pergilah, Kun Liong."
"Kapan kita bertemu lagi, Bi Kiok?"
"Tidak mungkin bertemu lagi. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, dara itu
melangkah ke luar, di pintu membalik dan berkata, "Kauambil jalan dari pintu belakang.
Cepat!" Barulah dara itu meloncat ke depan dan tak nampak lagi.
Kun Liong segera menyelinap melalui belakang kuil, akan tetapi dia tidak pergi seperti
telah dipesan oleh Bi Kiok, melainkan berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon
menuju ke luar kuil dan tak lama kemudian dia telah bersembunyi di belakang semak-
semak dan mengintai ke halaman kuil. Matanya terbelalak penuh kengerian ketika dia
menyaksikan apa yang terjadi di halaman kuil tua itu.
Seorang wanita yang bertubuh pendek, sama tingginya dengan Bi Kiok yang baru
berusia tiga belas tahun, akan tetapi wajah wanita itu menunjukkan bahwa dia telah
berusia dua kali lebih, berdiri di tengah halaman. Wajah wanita itu cantik dengan muka
bulat, di punggungnya tampak sebatang pedang panjang agak melengkung, rambutnya
panjang digelung secara aneh. Yang mengerikan adalah tangannya yang berlepotan
darah itu menggenggam sepotong benda berdarah yang dimakannya dengan gigitan-
gigitan kecil! Di depan kakinya menggeletak sesosok mayat anak buah Pek lian kauw
dengan dada robek sedangkan empat orang anggauta Pek lian kauw lainnya masih
mengurungnya dengan senjata di tangan, bersama Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw dan
Kiang Ti yang semua telah memegang senjata menghadapi wanita cantik itu. Bi Kiok
berdiri di pinggir, bersedakap dan menonton dengan wajah dingin!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

140 Tiba-tiba Loan Khi Tosu mengeluarkan suara pekik dahsyat, itulah Sai cu-ho kang
(Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan. Namun wanita itu tidak bergoyang
sedikit pun, bahkan menghadapi terjangan Loan Khi Tosu yang disusul teman-temannya,
dan dia bersikap seenaknya, menghabiskan benda berdarah yang dimakannya. Setelah
senjata tujuh orang itu berkelebatan dekat hampir mengenai tubuhnya, barulah wanita
itu menyambutnya. Sisa benda berdarah itu digigitnya, kedua tangannya bergerak-gerak
dan tiba-tiba sanggul rambutnya terlepas, rambut itu berubah menjadi bayangan hitam
menyambar ke sekelilingnya, jari-jari tangannya menyambar dan tampaklah darah
muncrat-muncrat disusul pekik mengerikan berkali-kali. Sebentar saja semua gerakan
berhenti dan Kun Liong yang bersembunyi, memandang dengan muka pucat sekali,
matanya terbelalak dan mulutnya terasa kering! Penglihatan di depan itu terlalu
menyeramkan! Hanya Loan Khi Tosu dan Kiang Ti dua orang saja yang masih hidup, bangkit duduk dan
cepat mengatur pernapasan. Lima orang yang lain, yaitu Ouw Ciang Houw Si Sastrawan
Cabul dan empat orang anggauta Pek lian kauw yang tadi mengeroyok, telah
menggeletak malang-melintang dengan dada terobek dan jantung mereka kini telah
berada di tangan wanita itu!
"Tahukah engkau mengapa aku tidak membunuh kalian berdua?" Terdengar suara wanita
itu setelah menyemburkan sisa jantung pertama yang tadi digigitnya ke atas tanah,
mulutnya yang berlepotan darah itu amat mengerikan. "Loan Khi Tosu, karena aku ingin
engkau pergi menghadap Ketua Pek lian kauw dan mengatakan bahwa kalau dia
menghendaki bantuan Siang tok Mo li, dia harus bersikap lebih hormat dan
mengundangku sendiri, dan kematian lima orang anak buahnya ini untuk peringatan
bahwa biarpun aku suka bekerja sama, namun sama sekali aku bukanlah anak buah atau
kaki tangan Pek lian kauw!"
Dengan susah payah Loan Khi Tosu bangkit, tongkatnya telah patah-patah dan tulang
pundaknya patah pula. "Pinto mengerti dan pesan Locianpwe akan pinto sampaikan
kepada ketua kami."
"Tolol kau tosu busuk! Setua engkau menyebut aku Locianpwe" Aku adalah Nona Bu,
mengerti?"
Tosu itu mengangguk-angguk dan menyeringai.
"Dan engkau orang she Kiang, aku tidak membunuhmu bukan karena aku takut terhadap
Kwi eng Niocu Ang Hwi Nio, melainkan aku ingin engkau menyampaikan pesan kepada
gurumu itu bahwa kalau aku mau, mudah saja aku membunuh murid kepalanya. Nah,
kalian minggatlah!"
Dua orang itu melangkah pergi dengan terhuyung-huyung dan wanita itu terkekeh genit,
kemudian dia memandang kepada Bi Kiok yang sejak tadi berdiri dengan kedua lengan
bersedakap tanpa bergerak seperti arca sambil menegur, "Bi Kiok, mengapa engkau
menolong Si Gundul itu?"
Bukan main kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam kaget sekali biarpun
wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
"Dia bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo," jawab Bi Kiok, suaranya dingin
dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Hemmm, kaukira aku tidak tahu akan hal itu" Semalam kulihat dia seorang pemuda
yang bertulang baik dan berdarah bersih, tentu lebih bermanfaat bagiku jantungnya.
Akan tetapi engkau telah menolongnya dan membebaskannya. Eh, Bi Kiok jangan main-
main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan itu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
141 Kembali Kun Liong terkejut sampai tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu.
Mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi Kiok
sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu. "Tidak, Subo. Jangan
Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi tawanan orang-orang
ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tidak menghendakinya dan teecu melepaskan
belenggunya."
"Untung bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia
kubunuh dari tempat ini!"
Untuk ke tiga kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita
mengerikan itu tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Kalau tidak, mana mungkin wanita
itu mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri"
"Mengapa begitu, Subo" Teecu tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi kalau teecu
mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?"
"Pertanyaan yang tolol, jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat
demi sekerat, tahukah engkau" Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di
dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah
setinggi langit sedalam lautan, kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari
perempuan lain. Tahu" Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada pria, dan
kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah membunuhnya,
merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?"
Bi Kiok tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban
karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh darah
itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel, "Ihhh, jantung
manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia yang
berpakaian sastrawan ini!" Dia menggerakkan kakinya menendang.
"Prokkk!!" Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan!
"Uweeekk!" Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat
persembunyiannya! Dia muak bukan main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak
melihat iblis betina itu makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya.
"Ihhhh...!" Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak
menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu!
"Nah, kaulihat betapa menjemukan laki-laki!" Gurunya berkata lagi, "Untung engkau
tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya sekarang
juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi! Biarlah dia
bebas, akan tetapi sekali kita berjumpa dengan bocah gundul itu, engkau ketuk kepala
gundulnya sampai pecah!"
Kun Liong tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh
mati dibunuh akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang,
biarpun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dihina"
"Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan tiada
angin, tiada api tiada air, Bibi datang"datang memaki-maki aku?" Kun Liong sudah
meloncat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya yang tadi muntah,
memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit pun tidak merasa takut.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
142 "Gundul buruk! Siapa bibimu?" Siang tok Mo li Bu Leng Ci membentak, terheran juga
menyaksikan keberanian bocah gundul ini.
"Siapa lagi kalau bukan Siang tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat" Kalau
tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?"
"Swinggg... siuuuuttt...!!"
Kun Liong sudah memejamkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu
menyambar dengan kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-
rambut halus panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya dan tubuhnya terangkat ke
atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak mampu
menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggauta tubuhnya itu ikut terbelit.
Sekali saja dibanting, akan remuk dia!
"Aku adalah Nona Bu, tahu?"
"Aku tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak bisa melawan!
Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas tanah!"
"Apa kau bilang " Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!"
"Siksalah. Siapa takut" Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang tok Mo li yang
terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang
melanggar janji sendiri!"
"Brukkk!" Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras
karena kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu.
"Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji" Engkau takkan kubunuh sekarang, hal
itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak berjanji untuk tidak membuntungi kedua
kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi kedua buah kakimu akan kubikin
remuk tulang-tulangnya sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada
gunanya!" "Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak
berani menghadapi kenyataan!" jawab Kun Liong dengan sikap tenang, seolah-olah
ancaman dibuntungi kedua kakinya hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau
kuku jarinya saja!
"Kenyataan apa yang kau maksudkan?"
Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. "Aku sudah
pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau."
"Ihh! Benarkah" Siapa yang kaujumpai?"
"Yang amat sakti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang
Bouw!" Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan
merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak
itu. "Bohong kau! Hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemm, untuk
kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga sebuah lenganmu akan kubikin
buntung!" Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
143 Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok,
karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan kata-
katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,
"Siapa bohong " Ban tok Coa ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia mempunyai
terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya paniang dapat berputar-putar."
Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena
dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan
tepat sehingga wanita iblis itu percaya.
"Akan tetapi dibandingkan dengan Siang tok Mo li, Si Raja Ular itu masih kalah jauh,
kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih
kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau
tidak akan sehebat mereka itu terutama Si Bayangan Hantu..."
"Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kausaksikan sendiri. Kelak masih belum
terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan
jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!" Iblis betina itu lalu
menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin
memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!
Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai
dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau
tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal
watak iblis itu. Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti di samping kelihaian dan
kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau
dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu
saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya
kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang tok Mo li tidak kalah
dibandingkan dengan datuk lainnya!
Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai
menjadi murid iblis itu. "Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok." Kun Liong mengeluh dan
memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca. Tampak olehnya sesuatu di
atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan
ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang
agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu
saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai daripada Lim Hwi
Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf
itu. "Jangan bicara tentang bokor kepada siapapun juga agar nyawamu selamat!"
Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti
betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang,
dan tentu saja dia tidak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah
disimpannya dengan aman. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang
tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan
meninggalkan pesan yang berbahaya ini" Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali
kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu
menolongnya" Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah
dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan
tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada
seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
144 menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu" Benarkah dia mencinta" Atau
setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.
"Plakk!" Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri.
"Wah, gundul! Untungmu besar memang!" Kun Liong berkata demikian dengan wajah
berseri karena dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji
gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini
teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa gadis-gadis cantik
melulu yang bersikap manis kepadanya" Dengan langkah-langkah ringan, seringan
hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun
Liong melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin ling san yang tak berapa jauh
lagi. Cin ling san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi
Pegunungan Kun lun san, Tang la san, Heng tuan san atau bahkan Ci lian san yang
puncak-puncaknya menjulang tinggi memasuki langit, kata orang! Namun justeru karena
tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat
Pegunungan Cin ling san merupakan daerah yang selain indah juga amat subur
tanahnya, amat sejuk nyaman hawanya.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin ling pai (Perkumpulan Cin ling) terbentuk oleh
Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker
dan tidak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan
yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok. Apalagi ketika
mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin ling san, tidak ada
seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih maupun sesat, yang berani mendekati
daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin ling san ini, lereng timur merupakan bagian
yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini
pula, bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan
perkumpulan Cin ling pai yang tadinya hanya merupakan kelompok petani yang
berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Kemudian jumlah mereka
membesar sehingga terkenalah Perkumpulan Cin ling pai karena Cia Keng Hong
menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.
Pemandangan dari lereng timur Cin-ling san mentakjubkan sekali. Memandang ke utara
tampak samar-samar seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei
ho yang mengalir ke timur. Memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta pa
san di mana mengalir Sungai Han shui. Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san
dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak
Pegunungan Min-san yang terkenal itu.
Yang disebut Cin ling pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin ling
pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi
juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri
mereka anggauta Cin ling pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-
kakek yang sudah pikun!
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati
empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang
dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria
setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang. Baik pakaiannya, sikap
maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah
pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan,
lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
145 mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya kalau orang
memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa
dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.
Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak
dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang
yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan
dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena
pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk
golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)! Di dalam
ceritaSiang Bhok Kiam atauPedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li
Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda
dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja,
tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput.
Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi
kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi.
Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw
namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan
mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah
tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani
mendekatinya! Suami isteri yang gagah perkasa dan bagaikan yang hidup rukun saling mencinta ini
mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada
waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya,
juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, presis ibunya di
waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok
Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.
Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya
pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak
pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi.
Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai
di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata
kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar
bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar. Akan tetapi
pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan
alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak
diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok,
mengunjungi Yap Cong San.
"Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?" dia menuntut
manja. "Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai
sekarang pun saya belum pemah bertemu dengan mereka?"
"Lain kali saja, manis," jawab ayahnya penuh kasih sayang. "Kalau kau ikut pergi, siapa
yang akan menjaga rumah
dan bertanggung jawab di sini" Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga
Cin ling pai. Engkau sudah cukup dewasa!"
Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus
diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari
itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal,
pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu
dan termenung. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
146 Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa
orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari
itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya,
akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia
melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit. Empat orang petani itu
menghentikan langkah mereka dan memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada
orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli
daun-daun dan akar-akar obat, ditukar dengan segala macam benda dari kota yang
mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang
berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu
hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggauta Cin ling pai
sudah biasa bersikap waspada dan hati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.
Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan
dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. "Sudikah Cuwi (Anda Sekalian)
menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin ling pai?"
Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak
pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat
mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka
berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka
menjawab sederhana, "Dusun kami itulah Cin ling-pai dan kami adalah anggauta-
anggauta Cin ling pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin ling pai?"
Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin ling pai adalah nama perkumpulan,
bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan" Dia hanya tersenyum dan
berkata pula, "Tidak ada keperluan dengan Cin ling pai, hanya saja ingin menghadap
Ketua Cin ling pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?"
Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya
lagi dengan hati-hati, "Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda
dengan ketua kami?"
"Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong" Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu
saya adalah sumoi dari Cia susiok."
Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan
membungkuk. "Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia
taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun.
Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan
kami di sawah."
"Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya
sendiri," kata Kun Liong. Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah.
Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi
berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di
situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia
sendiri amat rajin dan suka bekerja!
Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning
karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-
rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah
yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini
segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian
orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang
bangsawan di kota agaknya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
147 "Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku" Apakah engkau mau mencuri bunga"
Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?"
Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang
amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. "Ehhh...! Siapa kau...?" Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak
pinggang dan mengerutkan alisnya.
Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi
dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya!
Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang
berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya
tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di
depannya. "Mau apa engkau" Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan
siapa ketua kuil yang mengutusmu!"
Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas!
Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah
karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia
Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja" Dia seorang laki-laki yang
tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan,
betapapun cantiknya dia"
"Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali
bukan datang mau minta derma!" Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun
Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!
Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis
yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk
gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,
"Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul" Tentu engkau hwesio yang menyamar
dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!"
"Sialan! Aku bukan hwesio!" Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar
terbelalak. Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung
karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. "Bukan hwesio ya
sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda
yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka
kaubuang semua rambutmu!"
"Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?" Kun Liong melangkah maju
setindak. Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan,
membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, "Kalau benar
aku menghina, habis engkau mau apa?"
Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.
"Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
148 "Coba saja kalau berani!"
"Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan
sombong seperti engkau" Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi
banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm..." Kun Liong
memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.
Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. "Seperti apa"
Hayo katakan kalau berani!" Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan
dikepal menjadi dua tinju kecil.
Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya,
kedua pipi itu menjadi kemerahan, presis bunga mawar. Biar dia bertambah marah,
pikirya dan dia berkata, "Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!"
"Keparat kau!"
Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong.
Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat
cepat luar biasa.
"Takkk!" Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan
kanan Giok Keng. Berkat sin kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu
terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepala
Jodoh Rajawali 27 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Jodoh Si Mata Keranjang 8
^