Petualang Asmara 9

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


h tahun teecu tidak berjumpa
dengan mereka."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
236 Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu
Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. "Dia
memang putera mereka. Lihat!" Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan
menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.
"Persis Yan Cu sumoi!" Keng Hong berseru kagum.
"Dan lihat ini!" Kini tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka
pemuda itu. "Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke
mana saja engkau pergi" Kenapa kepalamu gundul" Hemmm... agaknya engkau menjadi
korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak
berjumpa dengan ayah bundamu?"
"Panjang sekali ceritanya, Supek." Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah
Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus
bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san"
Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di
situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.
"Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji
(Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang
telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu."
"Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!" Biauw Eng berkata.
Biarpun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan
membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat
kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, "Liong-ko (Kakak Liong)!"
Kun Liong cepat membalas penghormatan itu dan tersenyum. "Keng-moi (Adik Keng),
maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa."
Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng berseri gembira karena hatinya
lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan
pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Maka dengan ramah dan juga tersenyum dia
menjawab, "Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu."
Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang telah
dialami pemuda itu, Kun Liong lalu menuturkan dengan singkat pengalaman-
pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia
melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat menimpa dirinya sehingga dia
makin tidak berani pulang. Dia menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat
Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.
"Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan,"
sambungnya. Dia tidak menceritakan tentang bokor emas, dan juga banyak hal yang
dianggapnya kurang perlu, diantaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan
lain-lain, tidak diceritakannya!
"Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!" Keng Hong berseru
girang. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
237 Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tak
dapat bertemu dengan ayah bundanya yang telah melarikan diri menjadi orang buruan
karena telah berani menentang Ma-taijin.
"Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah
lagi setelah kuhancurkan sebelah telinganya!" Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong
terkejut. "Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?" tanyanya.
Biauw Eng mengangguk. "Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang
lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu."
"Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak
akan mau melakukan hal itu."
"Kenapa" Kau takut?"" Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.
"Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat
untuk memukul orang..."
Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum
mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia didahului Keng
Hong. "Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu,
apakah kau tidak mencari mereka" Mengapa" Kalau ada ibumu, agaknya kepala
gundulmu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada
di sini?" "Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia. Akhirnya teecu pergi ke
Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong
Tiang Pek Hosiang selama lima tahun."
"Apa?" Kembali Keng Hong dan Biauw Eng terkejut. "Bukankah beliau selama itu
mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?"
Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia menjadi murid sukongnya
sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik
bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini
pada jaman itu!
"Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong
dan puteranya" Dia seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, setelah selesai
upacara penyempurnaan jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, apa yang
hendak kaulakukan, Kun Liong" Engkau hendak pergi ke ma-na?"
"Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu,
juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan
oleh mendiang Sukong."
"Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang
dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu, ketua
Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat."
"Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke
sini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
238 "Bagus! Begitulah baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi.
Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dulu sampai di mana tingkat
kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal."
Kun Liong menghaturkan terimakasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke
ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata, "Ayah, karena Liong-ko adalah orang
dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah
ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran di mana mendiang Tiang Pek Hosiang
bertapa dan di mana Liong-ko digembleng selama lima tahun."
Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. "Pergilah, dan
kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia
mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya."
Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi,
sedangkan Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.
"Dia cukup tampan dan gagah, bukan" Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok..."
Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi.
Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya
itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!
"Tapi... tapi..."
"Tapi apa?" Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.
"Dia... eh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti
hwesio?" "Hemm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut
gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan
kitab pengobatan peninggalan gurumu yang kautemukan di Cin-ling-san ketika
membangun pondok itu" Kalau kauberikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat
mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sebetulnya yang membuat kau kecewa" Aku
yakin bukan soal kepala gundul!" Biauw Eng yang sudah mengenal benar watak
suaminya, mendesak.
Keng Hong menarik napas panjang. "Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu
darimu" Sebetulnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak
suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati
penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!"
"Hemmm, suka atau tidak, yang kita pentingkan bukankah perjodohan Giok Keng"
Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk
selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya."
Keng Hong menarik napas panjang. "Mudah-mudahan dugaanku itu keliru." Mereka tidak
melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu
berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka.
Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, "Kun Liong, kau baik sekali
tidak..." Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur,
"Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja" Kalau aku mengutukmu, kau bisa
menjadi kelelawar!"
"Habis, bukankah namamu Kun Liong?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
239 "Siapa menyangkal" Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua
daripada engkau dan tadi kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak
membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasnya" Kau
menyebutku begitu saja seolah-olah kau lebih tua!" Kun Liong tidak marah sungguh-
sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya, bahwa dara ini masih lincah
dan nakal! "Ataukah barangkali aku tidak perlu membohong kepada Supek" Untuk
mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!" Kun
Liong membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supeknya.
"Eh, eh... nanti dulu, Kun... eh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku
menyebutmu koko! Nah, kaudengar" Koko! Koko! Koko!"
Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. "Kau ceriwis dan
manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dahulu itu hendak kaupakai untuk
memeras aku selamanya ya" Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan
kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, melainkan akan kuketuk
kepala gundulmu sampai retak!"
"Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau" Cantik
seperti bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun
dari kahyangan melalui tangga pelangi!"
"Kau mengejek ya?"
"Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan
mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku tersumpah demi langit dan bumi
bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm..."
"Hemm apa?" Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang
bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apalagi kalau orang itu laki-
laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun
Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!
"Eh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu,
maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku
adalah..."
"Apa" Mengapa bicara putus-putus begitu" Jangan main gila, ya?" Giok Keng pura-pura
marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.
"Yang tak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali!
Ha-ha!" Merah kedua pipi dara itu. Dia sama sekali bukan menempiling setelah dahulu ia
ketakutan setengah mati, hanya menyentuh saja.
"Aku pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu."
"Gundul ini" Ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?"
Giok Keng cemberut lalu menjebikan bibirnya yang merah. "Kau memang manja dan
ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi kelelawar.
Apa maksudmu?"
Kun Liong tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak
ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar. "Kau tahu bagaimana kalau
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
240 kelelawar tidur" Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan" Nah, kalau kau berani
kepada aku yang lebih tua, yang kaupanggil kakak, maka kau bisa kualat, seperti
kelelawar tidur, kaki di atas kepala di bawah!"
"Huhh!" Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun
Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.
"Aduhhh... aduhhh...!"
"Ehhh?" Giok Keng khawatir dan terbelalak. "Aku tidak menggunakan sin-kang, masa
sakit?" Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan. "Untung kau tidak mengerahkan tenaga,
kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?"
Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol. "Dasar sinting!"
Kun Liong tertawa. "Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Ber-ada di
dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersendau-gurau saja. Rasanya aku
seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!"
"Engkau bisa gila kalau terus begini. Eh, Kun Liong... Koko! Mengapa sih kau suka sekali
disebut Koko olehku?"
"Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, aku tidak
punya adik, sudah sepatutnya..."
"Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia
Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya."
"Benarkah" Mana dia?"
"Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan
kami seperti dipesan ibu tadi." Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan
mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.
Mendengar penuturan ini, teringatlah Kun Liong akan keadaan keluarganya sendiri.
Seketika lenyaplah kegembiraannya seperti awan tipis ditiup angin. Wajahnya menjadi
muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.
Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah
selesai bercerita. "Ihh, kau kenapa" Kok suram muram seperti lampu kehabisan
minyak?" Kelakar Giok Keng yang juga memiliki watak lincah gembira itu tidak membuyarkan
kedukaan hati Kun Liong. "Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak
berjumpa. Harapan terakhir di sini, akan tetapi mereka tidak juga muncul. Aku khawatir
sekali, jangan-jangan ada malapetaka menimpa mereka."
Giok Keng mengerutkan alisnya, seketika dia pun tidak nafsu main-main lagi karena
merasa ikut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang
tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu dia mudah ter-seret. Kini dia merasa kasihan
sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata,
"Ayah bundamu adalah orang-orang yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi, malapetaka
apa yang dapat menimpa mereka" Tidak perlu khawatir, Liong-ko."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
241 "Aihhh, kau tidak tabu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja
mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah
manusia-manusia yang menyalahgunakan kedudukan atau kekuatannya."
Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng
memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan
tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!
"Ihhh...!" Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri,
memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.
"Lho, kenapa?" Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.
"Kenapa kau memegang tanganku?"
"Hehh...?" Kun Liong bengong, lalu teringat dan setelah kedukaannya membuyar, dia
tertawa geli dan kembali sifatnya suka menggoda timbul. "Kau juga memegang lenganku
sejak tadi tidak apa-apa, kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah
mencak-mencak. Apakah tanganku kotor" Apakah bau?" Kun Liong mencium telapak
tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Memang bau...!"
"Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!"
"Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan."
"Bohong! Masa tanganmu bau wangi?"
"Eh, tidak percaya" Boleh cium sesukamu!" Dia mengulur tangannya.
"Tidak sudi! Eh, kenapa kau kaya orang sinting menggoda aku" Bukankah kau mau
memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?"
"Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!"
Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Sunyi di situ karena semua hwesio
berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan siap-siap untuk melakukan upacara
memperabukan jenazah di tempat yang sudah khusus disediakan di sebuah puncak
bukit. Mereka berjalan perlahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan
perpustakaan, ruangan sembahyang dan lain-lain bagian di dalam kuil besar itu yang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang amat megah dan indah, juga aneh bagi Giok Keng yang belum pernah
melihatnya. Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat
larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama lima
tahun bersama Tiang Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu. Giok
Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu
selama lima tahun, apalagi Tiang Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama
dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Dia bergidik dan mengajak Kun Liong
meninjau tempat lain.
Asap tampak mengebul di atas bukit di belakang kuil. "Pembakaran jenazah telah
dimulai," kata Kun Liong. "Apakah kau tidak ingin menonton" Ayah bundamu dan semua
tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
242 Giok Keng menggelengkan kepalanya. "Apakah itu tontonan" Aku tidak suka melihat hal
yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini."
Kun Liong tidak berani memaksa biarpun hatinya ingin sekali ikut menonton jenazah
sukongnya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini marah. Dia merasa senang sekali
berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk
nyaman. Mengapa ma-nusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam
saat ini" Meng-apa di mana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan
maut seperti yang dialami oleh Thian Le Hwesio"
"Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan
tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang
tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio
menanam sayur dan bercocok tanam."
Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang
hidup subur gemuk berkat rawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar
sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan
sedap dipandang mata.
"Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?"
"Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?"
"Aih, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku
adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoiku
(adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku
menyebutmu adik den engkau menyebutku kakak. Ape salahnya bagi seorang kakak
mengetahui usia adiknya" Aku berusia hampir dua puluh tahun, den engkau tentu tidak
lebih tua dari aku, biarpun dahulu aku ingat ibuku mengatakan bahwa puteri Cia-supek
lebih muda beberapa bulan dariku."
"Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi" Usiaku hanya lebih muda beberapa
bulan, nah, berarti sembilan belas tahun."
"Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah" Tentu
sudah mempunyai tunangan, ya?"
"Wuuuttt... plakkk!" Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai
terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia
mengelus pipinya den berkata sambil tersenyum, "Wah, engkau marah benar agaknya.
Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu."
Agaknya Giok Keng menyesal juga setelah menampar pemuda yang same sekali tidak
melawan atau mengelak itu, padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa
tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau.
Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya, "Agaknya engkau disuruh
Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?"
"Eh, Keng-moi, apa artinya ini" Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa
kepadaku, dan apa yang harus dibujuk" Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku
sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?"
Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
243 Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik kedua
tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena
tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.
"Adik Cia Giok Keng, mari kautampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan
tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang
yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!" Kun Liong sudah mengulur
leher mendekatkan kepalanya yang gundul.
Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati
luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah
gembira dan pandai bicara seperti ayahnya di waktu muda. Sebentar saja dia sudah
dapat menguasai dirinya menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul
yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, dan sikap Kun Liong
yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia
tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.
"Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!"
Mendengar suara yang bening den hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa
girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biarpun kedua pipinya masih basah air
mata. Benar-benar dia bingung dan tidak mengerti kini.
Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas
panjang. "Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali
sih! Ayah dan Ibu selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Betapa menjengkelkan!
Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini,
semua kutolak mentah-mentah!"
Kun Liong mengerutkan alisnya. "Hemm... kalau boleh aku bertanya, mengapa
kaulakukan itu, Keng-moi" Tentu saja menolak pinangan adelah hakmu, akan tetapi
kalau berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?"
"Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?" Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada
keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir
kalau-kalau membikin marah lagi.
"Eh, tentu saja engkau!"
"Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan."
"Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?"
"Sampai aku mau dan... dan cocok."
"Apakah belum juga ada yang cocok?"
Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka tiba-tiba dan
cemberut. "Sudahlah, perlu apa bicara hal yang bukan-bukan" Kalau kau bisa
menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau
setidaknya tentu sudah bertunangan."
"Aku?" Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan,
sebuah kebiasaan yang tak disadarinya. "Siapa orangnya yang sudi kepada seorang
gundul macam aku?"
"Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
244 Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng.
Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!
"Ah, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidik ke
sana!" Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali.
Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu,
melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!
"Liong-ko, tunggu!"
Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa
lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan
dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri
upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh
besar. Kuil menjadi kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-
kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil yang
sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu kini dijadikan kesempatan oleh mereka
untuk melaksanakan niat buruk mereka.
Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu
itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan
mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi
yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang.
Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar
untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si
pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat
yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus
orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum
dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak
tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka. Tentu saja mereka tidak
berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja
mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh--tokoh
besar dunia persilatan! Akan teta-pi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua
hwesio dan para tamu me-lakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah
belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka me-ninggalkan rombongan
tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan
yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua
puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras
otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah
Ouwyang Bou, putera tung-gal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara
Lima Datuk! Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri
pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik
Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah
mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung
pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor
emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San,
sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai. Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap
Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan
kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan
kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu
untuk turun tangan!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
245 Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang
dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak
mampu bergerak ka-rena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat
meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke
gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah
menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum
merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang
mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia
meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai
kepadanya. "Kau...!" Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran
itu. "Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!"
Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan
ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan
pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena
peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang
Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah
keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab
mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.
"Mau apa kau datang ke dalam kuil?" Kun Liong membentak
Akan tetapi pemuda bermata liar itu berterlak, "Bunuh dia!" Dan dari belakangnya
muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan
mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.
"Eh-eh, kalian orang-orang jahat!" Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya
mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pe-ngeroyokan enam
orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa
gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka.
Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ
melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!
Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan
serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek
Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian
sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran,
dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok
Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia
tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia
mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan
sungguh-sungguh, apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu
tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.
Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan
untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka
memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang
dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam. Akan
tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya
menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan
melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu
bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka
menderita luka berat.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
246 "Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas
pergi melarikan diri sebelum terlambat!" Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-
kata nasihat! Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan
kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat
sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau
yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan
menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-
gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang
berloncatan ke sana-sini.
"Aihhh! Liong-ko...!"
Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa
dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah
dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di
dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan
kamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat!
Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya
bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam
orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah
terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul
itu! Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke
arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar
perpustakaan. "Maling keparat!" Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.
Ketika Kun Liong tiba di dalam ka-mar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang
Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam
karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas!
Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul
dari lubang di tengah ruang perpus-takaan itu.
Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka,
tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi,
lang-sung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap
hitam. Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek
Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun
ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang
dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat
rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng
yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil
mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati
sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi!
Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur,
"Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!"
Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia
melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang
sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya
sehingga mereka terlempar dan apinya padam. Melihat scorang penjahat lain lari melalui
pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
247 penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan
didorong menutup dari luar.
"Brakkk! Augghh...!" Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun
pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga
penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!
Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat
gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-
penjahat itu tentu me-rampok gudang pusaka. Maka sambil me-mondong Glok Keng,
larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan
dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa pe-ristiwa itu telah ketahuan dan sebentar
lagi tentu bala bantuan datang.
Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di
gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar, dia melihat bayangan-
bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-
teman mereka yang terluka. Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk
memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng
ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti!
Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-
olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir
dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat
dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat
diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat
bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima
darl ibunya dahulu.
Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok
Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan
dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu
ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa
dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu
untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian
diulanginya lagi sampai berkali-kali.
Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya
dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan
ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!
Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong
akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng
yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor
atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.
Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya pada mulut Giok Keng, penuh harapan
karena biarpun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa
murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya.
Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak.
Bukan main girangnya hati Kun Liong! "Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau...
kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!"
Giok Keng membuka matanya merasa pening dan menutupkannya kembali, "Liong-ko,
mana maling-maling itu...?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
248 "Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak..." Dia membalikkan tubuh dan terkejut
melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang
dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika
mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu
akan marah sekali.
Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. "Kau
telah menyedot banyak hawa beracun."
"Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat.
Aku masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu,
lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar,
ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa
lagi." "Untung Kun Liong menolongmu. Sudablah, mari kubantu engkau membersihkan paru-
parumu," Biauw Eng berkata. Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang
anaknya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung gadis itu yang mengatur
napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam
dadanya. Keng Hong dan Kun Liong segera menghampiri para hwesio yang mengadakan
pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang. "Untung kebakaran di ruang
perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka
yang lenyap biarpun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, dan
tidak mereka temukan yang mereka cari. Betapapun juga, untuk kedua kalinya,sahabat
muda Yap Kun Liong telah menyelamatkan Siauw-lim-si."
"Ah, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri"
Bahkan dua buah benda pusaka yang dahulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu
sendiri tidak mengerti mengapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa
yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi."
Semua orang memandang kepada Kun Liong. "Benarkah itu, Liong-ji (Anak Liong)" Kau
mengenal pemimpin mereka?" Keng Hong bertanya, kagum, bangga dan heran melihat
putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata
banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama diambil murid Bun Hoat Tosu, ke dua
digembleng sukongnya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat
tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.
"Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang
dahulu menyerang teecu dengan jerum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh
rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."
Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.
"Omitohud...! Kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!" Thian Kek Hwesio
berkata nyaring, "Sute Thian Le Hwesio terbunuh, dan kini kuil Siauw-lim-si diserbu
perampok. Kita harus memperslarpkan diri!" Kalimat terakhir ini ditujukan kepada para
anak murid Siauw-lim-pai.
Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, "Locianpwe, teecu sudah menyanggupi
tugas untuk mencari dan mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga
teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Le Losuhu. Biarlah
sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya
di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
249 "Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal,
Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu."
"Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima
kebaikan dari mendiang sukong" Pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan
akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua
tugas itu."
Para hwesio Siauw-lim-si sibuk mem-bereskan dan memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan oleh kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun
Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!
"Engkau pulanglah bersama Giok Keng." Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya,
"Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya."
Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, sedangkan
Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu
beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih penasaran sekali karena dia tidak
diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena
sebelum dia dapat menyerang para penjahat, dia telah terjeblos ke dalam perangkap
rahasia dan dipaksa pingsan oleh lemparan benda meledak yang mengandung hawa
beracun oleh seorang di antara penjahat.
"Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?"
"Ouwyang Bouw," jawab Kun Liong.
"Kalau kau, bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia."
"Mengapa?" Kun Liong bertanya heran. "Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya
ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya."
"Bagiankulah untuk membunuhnya!" kata dara itu.
"Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan," di tengah jalan Keng
Hong berkata kepada Kun Liong.
Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka
bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-
lim-si. "Supek, kalau boleh teecu bertanya, dalam menemani teecu dalam perjalanan ini,
apakah yang Supek kehendaki?"
Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.
"Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan
kepada teecu."
Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia
dengan kekaguman yang tidak disembunyikan. "Kun Liong, bagaimana engkau bisa
menduga demikian?"
"Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu.
Sekarang pun, teecu mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang
mengetahui di mana adanya mereka. Kalau memang Supek hendak mencari mereka,
karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek
menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu
membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
250 Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdik, dan jujur. Memang
sesungguhnyalah. Mendengar betapa mungkin pencuri pusaka Siauw-lim-si adalah
orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah
putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan
berhadapan dengan datuk-datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, kalau
engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat
mendiamkannya saja" Aku akan menghadapi mereka dan membantumu, itulah tujuanku
menemanimu sekarang. Dan kalau kau beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku
pun ingin sekali bicara dengan mereka." Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia
akan bicara tentang perjodohan puterinya!
Kun Liong segera membungkuk dengan hormat. "Terima kasih banyak atas perhatian
dan pembelaan Supek kepada teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu
sanggupi, bagaimana teecu berani membawa-bawa Supek dan melibatkan diri Supek"
Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai pusaka-pusaka
Siauw-lim-pai itu didapatkan kembali mengandalkan tenaga bantuan Supek. bukankah
hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan orang" Tentu Siauw-lim-pai
dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan seorang sakti seperti Supek. Berbeda
lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong,
apalagi ayah teecu pun murid Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya kalau teecu mewakili
Siauw-lim-pai menghadapi para pencuri."
Keng Hong memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Dia kagum kepada
pemuda gundul itu. Biarpun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong
tentu tinggi. Wajahnya tampan biarpun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh dan
luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani bicara terang-
terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan. Soal kepandaian, dapat dia
selidiki kelak, biarpun agaknya tak mungkin kalau murid Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek
Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih meragukan hati pendekar sakti ini
apakah pemuda ini sudah patut menjadi jodoh puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun
Liong yang tidak hanya dinyatakan dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang,
juga dinyatakan dalam peristiwa keributan di Siauw-lim-si, Kun Liong berhasil menolong
Giok Keng dari dalam sumur, mengapa dia tidak dapat menangkap seorang pun dari para
perampok itu" Hal ke dua adalah cara pengobatan yang dilakukan Kun Liong terhadap
Giok Keng. Biarpun meniupkan hawa dari mulut ke mulut merupakan pertolongan
darurat, akan tetapi mengapa berani lancang melakukannya dan tidak memberi tahu
kepada dia atau isterinya lebih dulu"
"Pandanganmu memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku
terhadap tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di
mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk menghadapi
datuk-datuk kaum sesat seperti mereka" Kalau perlu, aku dapat melatihmu beberapa
macam ilmu sebagai bekal."
"Terima kasih atas kebaikan Supek. Teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para
datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali
pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk
membalikkan pusaka-pusaka dengan baik. Adapun Ouwyang Bouw akan teccu tanya, apa
yang dicari di Siauw-lim-si."
Berkerut alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu
mengemukakan pendapatnya yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai
pencerminan watak penakut.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
251 "HEMM, Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, ter-utama sekali lima
tahun di Ruang Kesa-daran bersama mendiang sukongmu, sebe-tulnya hendak
kaupergunakan untuk apa-kah ilmu-ilmu itu?"
"Tentu saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek."
"Menjaga diri dari apa?"
"Dari kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas,
manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain."
"Dan kau tidak akan memukul orang, biarpun orang itu jahat terhadapmu?"
"Kalau bisa... sedapat mungkin teecu tidak akan menggunakan ilmu silat untuk
menyerang orang lain, hanya untuk mem-pertahankan diri."
"Bukan karena kau takut?"
"Tidak, Supek."
"Nah, kalau begitu aku hendak me-nyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau
dapat mempertahankan dirimu!"
Bukan main kagetnya Kun Liong men-dengar ini. "Tapi... Supek..."
"Awas!" Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah
kepala yang gundul ini.
Kun Liong merasa betapa ada angin dahsyat menyambar, biarpun tangan itu masih jauh,
sudah terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin.
Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri. Keng Hong
sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya
bertubi--tubi dan setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat.
Bukan main kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat
gerakan serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi ke-sempatan untuk
berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi. Kun Liong mengerahkan gin-
kangnya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksa-na seekor burung walet.
Tubuhnya men-cuat ke sana-sini untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata
kecepatan gerakannya dapat diimbangi oleh Keng Hong sehingga akhirnya, mau tidak
mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena kalau hanya mengandalkan kece-patan
mengelak saja tidak cukup dan tentu dia akan kena dipukul.
"Duk! Plak! Dukkk!" Tiga kali ber-turut-turut Kun Liong menangkis dan karena dia
maklum bahwa pukulan-pukul-an yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung
sin-kang yang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sin--kangnya dan menggunakan
ilmu Pek-in--ciang (Tangan Awan Putih) yang dipela-jarinya dari Tiang Pek Hosiang.
Ketika kedua tangan bertemu, dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan
tangan itu hanya membuat Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng
Hong juga merasa betapa tangan-nya tergetar.
"Bagus!" Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah. Tadi pendekar sakti
itu telah mainkan San-in-kun-hoat yang ampuh, akan tetapi karena ilmu silat ini hanya
delapan jurus, biarpun merupakan ilmu silat tinggi na-mun masih kurang dapat untuk
dipakai mendesak agar pemuda itu balas menye-rang! Inilah yang dikehendaki Keng
Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan sanggup mempertahankan pen-
diriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha memaksa pemuda itu untuk
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
252 mengeluarkan kepandaian, selain bertahan, juga balas menyerang. Dan ternyata San-in-
kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu membalas.
"Aihhh...!" Kun Liong terkesiap keti-ka melihat perubahan gerakan supeknya. Ilmu silat
yang dimainkan supeknya ini aneh sekali, gerakannya sederhana, akan tetapi daya
serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supeknya lambat saja,
namun angin pukulan yang datang lebih dahsyat daripada tadi. Itulah Thai -kek-sin-kun!
Namun Keng Hong benar-benar dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mem-
pertahankan diri dan dia mengenal dasar--dasar Pat-hong-sin-kun dari Bun Hoat Tosu,
kemudian Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu
agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga menjadi
ilmu yang amat hebat. Hawa yang kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika
pemuda itu mainkan ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan selalu diisi dengan sin-kang Pek-


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi ha-nya
mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan kepalanya yang
gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya, sampai seratus jurus
lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas!
Keng Hong maklum bahwa kalau dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu
terpaksa akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlalu
berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu Thi-khi-i-
beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak ada bahayanya lagi
bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi-i-beng. Dahulu, sebelum dia menjadi ahli, ilmu
ini amat mengerikan. Siapa saja yang terkena betotan ilmu Thi-khi-i-beng, sin-kangnya
akan tersedot dan Keng Hong sendiri tidak mampu menghentikannya sampai lawan
tersedot habis tenaganya dan tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka
hatinya dan mengaturnya sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu
itu. "Awassss...!" Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak
memungkinkan Kun Liong mengelak, kecuali menangkis.
"Plakkk! Hyaaaat!" Kun Liong mengeluarkan teriakan melengking ketika merasa betapa
lengannya menempel pada lengan lawan dan tenaga sin-kanghya molos keluar. Sambil
melengking itu dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu dahulu,
yaitu yang mempunyai tenaga membotot dan yang oleh kakek sakti itu sengaja
diciptakan untuk menghadapi Thi-khi-i-beng yang kabarnya tidak ada lawannya di dunia
ini. "Eiiihhhh...!!" Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya.
Pemuda itu mampu membebaskan lengan-nya dari sedotan Thi-khi-i-beng! Bukan main!
Sukar untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan
serangannya dan meloncat mundur.
Kun Liong merasa lega sekali. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui
bahwa kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supeknya, sudah sejak tadi dia
terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan supeknya dan berkata, "Terima kasih atas kemurahan Supek dan
maafkan teecu."
Dengan sinar mata penuh selidik Keng Hong bertanya, "Siapakah yang mengajar-kan
kepadamu cara membetot seperti tadi" Apakah mendiang Tiang Pek Ho-siang?"
Kun Liong menggeleng kepala. "Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
253 Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai
itu memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia
tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi-i-beng yang tidak ada
lawannya maka diam--diam telah menciptakan sin-kang untuk menghadapi Thi-khi-i-
beng dan menurun-kan ilmu mujijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun Liong!
"Pernahkah dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi-i-beng kepadamu?"
Kun Liong tidak berani membohong. "Pernah, Supek, dan memang sin-kang tadi
dimaksudkan oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi-i-beng."
Keng Hong tertawa. "Orang tua itu benar-benar tidak mau mengalah! Kun Liong, ilmu
yang kaumiliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih be-lum cukup untuk
melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi-i-
beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti engkau memang
berba-kat baik sekali dan sekarang aku me-ngerti siapa yang dapat kuberi ilmu Thi-khi-i-
beng, yaitu engkau sendiri!"
Kun Liong serkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang
hanya dikuasai oleh supeknya ini dan tiada taranya di seluruh dunia persilatan. Dan kini
supeknya hendak menurunkannya kepadanya!
"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah
semestinya ilmu ini supek berikan kepada Adik Giok Keng?"
Kembali di dalam hatinya, Keng Hong kagum. Ucapan itu saja sudah membukti-kan
behwa pemuda gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat
diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak adil
terhadap Giok Keng.
"Tidak, dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi-i-
beng bukan sembarangan ilmu. Akan membahayakan dunia, dan membahayakan orang
itu sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak memiliki
watak pendekar sejati!"
Kun Liong merasa makin jerih. "Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu
takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan... dan
teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek pertimbangkan baik-
baik." Keng Hong tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali
kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang tidak
menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya seorang
yang kurang tegas dan berani. Betapapun juga, dia tidak mempunyai pandangan orang
lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya kepada putera sumoinya
dan sahabat baiknya ini.
"Bersiaplah engkau menerima ilmu Thi-khi-i-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya
karena ilmu ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau dan kelak pun kalau engkau
menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja."
Kun Liong bertutut dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di depannya. Di
dalam hutan yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mujijat itu kepada Kun
Liong. Selain cara untuk mengemudikan hawa mujijat di dalam tubuh ini, Keng Hong
harus mengoperkan sebagian dari hawa mujijat itu ke dalam tubuh Kun Liong, seperti
yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Dia
menyuruh pemuda itu "membuka" tubuh-nya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
254 boleh melawan, kemudian dia me-letakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang
gundul dan mengerahkan sin--kang dan bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh
Kun Liong. Pemuda gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong
mengoperkan sin-kangnya. Kemudian sedikit demi se-dikit dia dilatih mengemudikan
hawa mujijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya
dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya, membangkitkannya sewaktu-waktu. Juga
dia dilatih cara bersamadhi untuk mengumpulkan hawa murni sebagai pe-nambah
kekuatan tenaga mujijat Thi--khi-i-beng di tubuhnya.
Sampai dua pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan, sedangkan Keng Hong juga
bersamadhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mujijat yang sebagian dia
"operkan" kepada Kun Liong.
Dua pekan kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak
pening oleh pengaruh kekuat-an mujijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan,
sedangkan Keng Hong kelihatan agak pucat.
"Supek, mengapa kita pergi ke kota Ceng-to" Ada apakah di sana?" di tengah perjalanan
Kun Liong bertanya.
"Kota Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi
tempat tinggal seorang di antara datuk-datuk kaum sesat vang menguasai bagian timur,
yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw--lim-si diganggu dua kali,
pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh putera Ban-tok Coa-ong,
sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang tersohor itu sekarang mengadakan
persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di antara mereka, maka kiranya dia akan dapat
memberi keterangan, karena tempatnya yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-
to terdapat banyak to-koh persilatan golongan putih maupun hitam, dan menjadi cabang
besar dari Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di
antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu."
Mendengar ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan ia makin kagum dan suka kepada
supeknya. Tahulah dia bahwa supeknya adalah seorang yang budiman, gagah perkasa
dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supeknya ini!
Di dalam perjalanan, berkali-kaii Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia girang
sekali ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah dapat menguasai Thi-khi-i-
beng, sungguhpun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat pemuda itu,
banyak harap-an kelak pemuda ini akan lebih kuat daripada dia sendiri! Apalagi pemuda
itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari dua orang kakek sakti.
"Kun Liong, apakah dahulu ayah bun-damu tidak pernah bicara denganmu ten-tang
perjodohan?"
"Perjodohan siapa, Supek?"
"Perjodohanmu, siapa lagi."
"Ah, belum pernah, Supek." Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit kepalanya.
"Jadi jelas bahwa engkau belum di-tunangkan?"
"Belum."
"Dan engkau sendiri, apakah telah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi
jodohmu?" Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
255 Diberondong oleh pertanyaan-perta-nyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi
gugup dan malu sekali. "Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan
tentang jodoh."
"Hemm, usiamu sudah dua puluh ta-hun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh," kata
Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga
membikin lega hati Kun Liong. Diam-diam pemuda yang cer-dik ini menduga-duga.
Mengapa supeknya bicara tentang jodoh" Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum
ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya. Ah, agaknya ada
udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu.
Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat
dia akan mulut yang berkali--kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok
Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bi-birnya. Baru sekarang
dia dapat memba-yangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu
itu, pada-hal ketika dia melakukan hal itu, sama sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini ter-
bayanglah kesennuanya itu. Bahkan ter-ingat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan
lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam
usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya terde-bar, tubuhnya
seperti kemasukan getaran panas. Nafsu berahinya terusik oleh ke-nangan dan
bayangan ini. "Hemmm..."
"Ada apa, Liong-ji?" Keng Hong me-noleh.
Kun Liong kaget sekali. Tak disadari-nya, mulutnya mengeluarkan suara me-ngeram
tadi! "Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek."
Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah
mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda" Mengenang-kan seorang dara
memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut
memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya!
Beberapa hari kemudian, tibalah me-reka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di
tepi lautan timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya
perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya.
Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari
tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelom-bang
ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking ka-gumnya.
Akan tetapi telah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa pena-saran dan tidak
senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru
sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu
diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas!
Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan
penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.
"Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah,
akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!" Pemimpin rombongan itu,
seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.
"Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan
orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau
pemberontak?" bentak kepala penjaga.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
256 Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu
diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan
digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang
asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat
seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna
rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali!
Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia
memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa
dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma--taijin, hanya
mereka ini lebih muda. Be-narlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa
asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka
datang dengan pe-rahu-perahu besar itu.
Karena mereka memasuki kota berba-reng dengan rombongan penari silat, agaknya para
penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak
penjaga dan pemim-pin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong
diperkenankan ma-suk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng
Hong tidak mencolok seperti orang biasa, se-dangkan Kun Liong yang menarik perha-
tian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di
antara rombongan penari silat itu!
Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata
biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa
yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti
itulah bicaranya!
Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang--kadang
nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa
mendengar mereka itu bercakap--cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan,
bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di
kanan kiri jalan itu me-reka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini orang-orang
yang tinggi hati, yang memandang rendah orang lain dan merasa diri pandai sendiri,
demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat sikap dan gerak-gerik
mereka. Akan tetapi harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata memiliki bentuk
tubuh yang baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga
puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semua dipotong sepanjang
pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah. Selain rambut mereka
yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada kuning, coklat, putih,
dan ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat bulu tengkuk meremang.
Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, melainkan berwarna-warni seperti itu.
Kun Liong tidak dapat menghitung, berapa banyaknya orang-orang asing ini,
kesemuanya pria. Akan tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima
belas orang banyaknya. Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki scbuah warung
nasi, lalu memesan makanan dan minuman. Warung atau restoran kecil ini cukup ramai
dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga orang laki-laki asing yang sedang
ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka sambil minum arak. Muka ketiga orang ini
sudah merah sekali, tanda bahwa mereka sudah agak mabok. Kun Liong tertegun
melihat dari dekat kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang aneh. Tubuh
mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang putih kekuningan, tidak
kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa
wajah mereka itu seperti wajah orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan
tertawa, mata mereka yang berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di
balik sinar mata ini ada kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain,
terutama terhadap penduduk pribumi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
257 Tiba-tiba seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit
berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, di mana tampak
seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran. Melihat dirinya dituding
dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan berlari masuk, melepaskan
baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring ketika dua buah mangkuk
kosong pecah-pecah.
Pemilik restoran segera berlari datang menghampiri laki-laki asing yang kini berteriak-
teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran menjura dan
berkata, "Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki dan pesan?"
Akan tetapi laki-laki asing itu, kini dibantu dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam
bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada terdengar
terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata "perempuan".
Tentu saja pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di
belakang Kun Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu, "Dia
minta supaya dilayani wanita yang kelihatan tadi."
Mendengar ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan,
dia menggoyang-goyang tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil berkata,
"Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan tetapi anakku dan dia
tidak boleh diganggu!"
"Desss!" Kepalan tangan laki-laki itu menghantam, mengenai dada pemilik restoran
sehingga pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong!


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keadaan menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng
Hong yang memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong merasa
penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing itu sudah bangkit
dari tempat duduk masing-masing, berdiri dengan muka ketakutan dan ditundukkan
meng-hadap seorang asing lain yang telah ber-ada di pintu restoran. Orang yang baru
datang ini juga seorang asing, akan teta-pi Kun Liong memandang kagum. Orang itu
masih muda, belum ada tiga puluh tahun, tubuhnya tegap jangkung, ping-gangnya kecil
tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar. rambutnya kuning emas
terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan panjangnya sam-pai ke bawah
telinga sedangkan yang be-lakang agak panjang diikat dengan pita! Wajah pemuda asing
ini tampan dan ga-gah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak memandang
rendah orang lain sungguhpun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang membayangka
tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubah-nya yang lebar berwarna kuning, kemeja-
nya putih dan celananya abu-abu. Sepa-tunya yang aneh bentuknya dan tinggi sampai
ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap, di pinggangnya tergan-tung sarung
sebatang pedang yang kecil panjang.
Dengan suara lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada tiga orang tadi yang
menjawab dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda itu
mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingat-kan, dia memutar
tubuh dan pergi dari situ. Tiga orang laki-laki tadi lalu duduk kembali dan orang yang
memukul pemi-lik restoran menghampiri orang yang di-pukulnya, menjabat tangannya
dan digon-cancang-goncangkan dengan gaya minta maaf.
"Twako, dia minta maaf atas keka-sarannya tadi," kata pula orang di bela-kang Kun
Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka. Si Pemilik Restoran tersenyum dan
mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa itu timbul karena salah
pengertian akibat perbedaan bahasa mereka.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
258 Keng Hong berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong, "Agaknya
Hiante mengerti bahasa me-reka."
Orang itu mengangguk dan tersenyum. "Mereka itu bangsa Portugis. Kerena sudah lama
kota ini kedatangan orang--orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat dengan
saya, maka sedikit--sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka. Mereka itu
adalah pe-laut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, apalagi kalau melihat wanita.
Maklumlah, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka berada di atas kapal
mengarung samudera, haus akan wanita."
"Mengertikah Hiante apa yang diucap-kan oleh orang asing muda tadi, dan sia-pakah
dia?" "Dia adalah Tuan Muda Yuan, pute-ra pemilik kapal Kuda Terbang. Sering-kali dia datang
bersama kapalnya, dan dia ditakuti semua orang asing itu. Agaknya dia mempunyai
pengaruh besar di antara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan memperingatkan
bahwa ke-butuhan mereka akan perempuan telah disediakan tempat khusus untuk itu
maka mereka dilarang keras mengganggu wani-ta baik-baik."
Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya merasa tidak enak. Mau apakah orang-
orang asing ini berkeliaran di sini" Karena penasaran dia bertanya lagi, "Ta-hukah
Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?"
"Biasanya mereka adalah pedagang--pedagang, membawa barang-barang aneh dari
dunia mereka dan di sini mereka membeli rempa-rempa, obat-obatan dan juga barang-
barang buatan pribumi. Mere-ka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai
hubungan baik dengan pembe-sar-pembesar di sini."
Keng Hong tidak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari
rumah makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana. "Biarlah malam nanti
saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal orang kalau aku
keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini berjalan--jalan, memasang mata
dan telinga. Eng-kau tentu tidak akan ada yang mengenal dan tidak akan menimbulkan
curiga." Kun Liong mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supek-nya yang
tinggal di dalam kamar. Keng Hong bersamadhi di dalam kamar hotel itu untuk
memulihkan tenaganya karena semenjak dia mengoperkan sebagian sin-kangnya untuk
melatih Thi-khi-i-beng kepada Kun Liong, tenaganya belum pulih seluruhnya.
Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja
langsung dia berjalan-ja-lan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagi-an pantai yang sunyi,
agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala,
ikan dan se-bagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang
bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan
pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu
memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing.
"Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?"
Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab, "Yaah, luma-yan
saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua
gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!" Kakek itu kedua tangannya memegang
jala, maka dia me-nunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya
digerakkan ke arah laut.
"Mengapa gara-gara mereka?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
259 "Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa
penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil
penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan
sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras."
Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang
didengarkan penuh perhati-an oleh Kun Liong yang memang meman-cing percakapan.
Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu, "Eh, Lopek. Engkau
yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini,
bukan?" "Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak penda-tang baru,
terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu.
Siapa mengenal mereka?" Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak
senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.
"Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu." Kun
Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. "Tahukah Lopek di mana tempat
tinggalnya?"
Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja
ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!
"Kau... kau... sahabatnya, orang mu-da?"
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Bukan, aku hanya ingin tahu di mana tinggalnya
orang yang tersohor itu."
"Rumah dia itu, siapa yang tidak ta-hu" Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar
yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak
pekerjaan, maafkan, orang muda." Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong
menghampiri pera-hunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu
menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk
kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendaki-nya, alamat datuk itu, telah terpegang,
maka dia pun pergi dari situ, menuju ke utara.
Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-
ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa
rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia mema-suki kota dan agaknya
membuka pertun-jukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang
tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka
merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat.
Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu
gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata--rata
memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak
merobohkan mereka dan kini me-reka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras
sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak
dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!
Melihat ini, Kun Liong sudah melon-cat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga
orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia ber-pendapat babwa tentu
tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.
"Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Me-ngapa
mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?" teriak Kun Liong sambil
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
260 meloncat ke depan dan me-nangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir
merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerah-kan sin-kangnya.
"Dukkk...!"
Orang asing itu mencak-mencak, ber-jingkrak sambil memegangi lengan ta-ngannya
yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!
Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam baha-sa
mereka, dua orang asing itu mener-jang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras
itu menyambar-nyambar. Si-kap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.
Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke
atas. Tubuhnya mencelat se-perti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya,
kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang
orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung. Dua orang
asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeru-duk kembali dengan ganas. Kun
Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang
itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah. Terdengar sorak-sorai orang--orang
yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing "biadab" itu dihajar.
Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar
setempat sudah menge-luarkan pengumuman agar tidak meng-ganggu mereka yang
disebut "tamu-tamu agung" itu. Memang benar bahwa orang--orang asing itu royal
mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi si-kap mereka angkuh dan
memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-
kadang mere-ka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu
berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu
di tengah jalan!
Kun Liong mengambil keputusan bah-wa kalau dua orang itu masih nekat, begitu
memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua
orang itu bangkit, tiba--tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong
ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia
terheran--heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan
seorang ahli gin-kang! Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga
orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala
tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih
mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan
tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang
cukup lancar biarpun nada suaranya ter-dengar lucu dan asing, "Harap Saudara maafkan
kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini.
Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di
tempat terbuka."
Kun Liong juga membungkuk. Diam--diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa
pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak
sombong, bahkan ramah dan merendah.
"Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu."
Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang
tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.
"Tuan bukan anggauta mereka?" Dia mengulang. "Kalau begitu, mengapa Tuan
menyerang orang kami?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
261 "Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka
memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang
saya." Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. "Hem,
kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang
lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?"
"Sama sekali bukan!" jawab Kun Liong. "Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang
sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran
seperti binatang buas yang suka mengganggu orang."
Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya me-mandang
penuh perhatian, kemudian ber-kata, "Saya ingin sekali melihat kepan-daian Tuan.
Marilah kita menguji kepan-daian masing-masing secara bersahabat."
"Apa" Tuan menantang saya untuk bertanding" Orang saling pukul, mana bisa secara
bersahabat?"
"Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa na-manya itu,
untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!"
Dan pemuda asing itu dengan penuh se-mangat lalu menerjang maju, menyerang
dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pu-kulannya
membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!
"Aihh!" Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu
bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan gin--kang, kini ternyata
memiliki tenaga sin--kang yang hebat pula!
"Wut-wutt... siuuuttt!" Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua
tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan
cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat
berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut "terbang" dan kaki kiri menyusul tendangan
kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat
lihai! Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong.
"Dessss! Aughhhh!" Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir- balik dan
turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri,
sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi. "Ba-gus, kau hebat!
Sambutlah!" Dia menye-rang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan kepan-daian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti
seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua ta-ngan dikembangkan, kadang-
kadang dike-pal kadang-kadang dibuka seperti ceng-keraman. Kun Liong makin kagum
dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha
menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai
parah. Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan kedua tangan
terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sin-kang untuk
menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi-i-beng, hanya sekedar
membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya.
"Ahhhh...!" Pemuda asing itu terkejut berusaha menarik kembali kedua tangan-nya,
namun sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
262 itu. Kembali dia membetot dan saat itu dipergunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan
tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat
meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali,
tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor. Dari tempat dia
terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, "Saudara hebat sekali! Saya
Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?"
Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri mengakui
kekalahannya, Kun Liong menjadi tertarik dan senang hatinya. Dia pun membungkuk
berkata, "Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong."
"Terima kasih, sampai jumpa lagi!" Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan
berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!
Kun Liong tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk
memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-
kali membayangi Si Pemuda Asing, melainkan karena dia hendak melanjutkan
penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan
tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja
memperlam-bat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebelah tikungan.
Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang besar den
megah. Agak aneh juga karena di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti
yang biasanya terdapat pada bangunan kuil. Agaknya datuk kaum sesat itu hendak
menyesuaikan rumahnya de-ngan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat
Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang "malaikat" mempunyai
penjaga seekor naga!
Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong lalu kembali ke
rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika ia tiba kembali di kamar penginapan di
mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah
datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang
terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya
dengan supeknya dan dengan maksud ke-datangan mereka berdua di kota itu.
"Setelah kau pergi, aku tadi pun pergi diam-diam mengunjungi beberapa orang tokoh
kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah
mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di
kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan
yang kuperoleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan
ada orang asing yang mengunjungi Hek--bin Thian-sin!"
"Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat
pula dalam urusan kejahatan,"
Kun Liong berkata dan teringatlah dia kepada pemuda asing bemama Yuan de Gama
tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya bukan dari golongan penjahat, dan ilmu
kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh
malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah me-nutupkan daun
pintu. "Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andaikata di sana
tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara
berterang menanyakan ke-padanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
263 Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dia sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-
ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang."
Kun Liong mengangguk dan memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali
kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu. Dengan mudah saja kedua
orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu, kemudian dengan
gerakan ri-ngan tanpa menimbulkan suara, memper-gunakan gin-kang untuk
menyelinap men-dekati rumah, mengitari rumah itu ke-mudian menghampiri bagian
belakang. Atas isyarat Keng Hong, mereka melom-pat ke atas genteng di baglan
belakang tanpa menimbulkan suara, kemudian me-rayap ke bagian di mana tampak
pene-rangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan hati-hati
Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.
Ruangan itu lebar dan perabot-pera-botnya mewah. Di sepanjang dinding ter-dapat
tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang
membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin dan lampu minyak dari
perak yang ter-gantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari.
Banyak lukisan-lukisan indah tergantung di din-ding dan di sana-sini terhias tirai sutera
berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada
dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara
terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang
terdapat di ruangan itu semua mengkilap, dan buatannya halus, sedang-kan kedua
jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat in-dah.
Ada tujuh orang yang berada di ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan
bangku-bangku yang agak berjauhan letaknya, mereka duduk berha-dapan merupakan
setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat
bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak.
Ketika Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara
mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua,
kepalanya ba-gian atas botak pelontos seperti kepala-nya sendiri, bahkan lebih licin
seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, meng-kilap, rambutnya hanya tumbuh di
sekeliling kepalanya saja, akan tetapi aneh-nya rambut yang tumbuh ini cukup lebat,
demikian pula jenggotnya dan kumisnya. Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana
jadinya kalau kelak kepalanya yang gundul itu mau tumbuh rambut, yang tumbuh hanya
sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke
dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata
bukan. Orang-orang asing ini begitu sama muka-nya! Orang ini pun masih muda, paling
banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya
dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini mem-bayangkan
kekejaman dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehi-jauan itu galak
sekali. Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk
hidung kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian
yang dipakai Yuan de Gama tadi, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan
panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.
Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang
pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang
lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga
bah-wa laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan
rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain
diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam.
Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembe-sar yang
berkuasa di Ceng-to, dan di sebelahnya yang berpakaian seperti se-orang panglima
tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pan-tai sebelah timur, yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
264 markasnya ber-ada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang
kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!
Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar perca-kapan mereka
itu, berubah wajah pen-dekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang
hendak melakukan pemberontakan!
"Kami hanya bermaksud membantu, karena Kaisar telah menolak untuk mengadakan
perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di sini.
Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menja-jah. Kami
membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, sedangkan
kami datang membawa da-gangan hasil bumi. Juga kami membutuh-kan rempa-rempa
dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, untuk perjuangan sau-dara-saudara, kami akan
membantu me-ngeluarkan biayanya, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar
diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini." kata kakek asing botak dengan
suara lancar. "Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado," jawab orang yang
berpakaian sebagai pembesar sipit. "Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, dan
kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak
terlalu besar ditambah dengan para anggauta Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum
ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang
merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka."
"Apa yang dikatakan Tung-taijin, be-nar," kata panglima yang berpakaian komandan
pasukan. "Selain pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak
pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya." Jelas bahwa panglima ini merasa jerih.
"Hemm, tentang itu, mengapa Ciang--kun (Panglima) merasa khawatir" Kami dari Pek-
lian-pai mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami
berhubungan juga dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal."
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek asing yang di-sebut namanya Legaspi Selado itu tertawa bergelak
sambil memandang ke atas sehingga perutnya yang gendut tergun-cang-guncang.
"Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita,
mengapa mesti takut" Kalau tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan dapat
berha-sil" Bagaimana katamu, eh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?"
Si Muka Hitam menyeringai. "Memang tak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian
semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati,
pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga benar bahwa kita harus
berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pomerintah, dan
para datuk tidak mau bersatu, agaknya me-mang berat bagi kita. Sayangnya, empat
orang datuk yang tadinya sudah bersemangat, kini kendur lagi semangatnya,
menganggap perjuangan ini terlalu ber-bahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk
mereka nanti."
"Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa takut" Kami sanggup menyedia-kan
senjata-senjata api dan melatih pa-sukan kalian. Dengan senjata api, kiranya kita akan
jauh lebih kuat. Kami memba-wa meriam-meriam di kapal, kalau perlu dapat kami
datangkan lagi dari barat."
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Pemberontak-pemberontak hina!" Dan tampak
sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu.
Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah
seorang gadis muda yang cantik. Begitu masuk, gadis itu sudah mencabut pedangnya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
265 dan menye-rang Tung-taijin sambil memaki, "Pembe-sar terkutuk! Pengkhianat bangsa!
Orang macam engkau harus mati!"
"Trang-trang...!" Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut
goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang
duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Agaknya dia terlalu
memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya
begitu saja. "Tosu pemberontak, robohlah!" Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh, tangan kirinya
memukul dengan kecepatan yang luar biasa.
"Dukkk!" Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena
dihantam dadanya dan dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap
saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di
dalam dada-nya.
"Cringgg...! Aihhh...!" Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam
pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek--bin Thian-sin
sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si
Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.
Maklum bahwa pihak lawan amat lihai, dara itu sudah meloncat secepat burung walet
terbang ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat
untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.
"Uiii..., hendak lari ke manakah, No-na?" Kakek asing berkepala botak ber-tanya,
suaranya nyaring disusul suara "tar-tar-tar!" dan tampaklah sinar putih seperti ular
menyambar ke arah jendela. Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua
kaki dara itu yang menierit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas
lantai di depan kakek asing itu! Si Kakek memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada
pemuda asing yang terdiri yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan,
sambil tersenyum tangannya berge-rak menyambar.
"Plakkkk!" tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu ping-san, tak
dapat bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, beginikah yang kaumaksud-kan orang-orang lihai yang membantu
pemerintah, Tong-taijin?" Legaspi Selado berkata sambil tertawa. "Kalau hanya begini
saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!"
Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa dan menatap tubuh dara yang
telentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Dara itu memang cantik dan bentuk
tubuhnya padat langsing me-narik hati.
Sementara itu, Keng Hong berbisik, "Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka
mengejarku, kautolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. T
Jodoh Rajawali 14 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gelandangan 4
^